Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 20

09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 20


mengangguk-angguk ia berkata " Baiklah Pangeran. Kami
akan berada dalam kelompok khusus yang akan memasuki
padepokan bersama Pangeran. Kami akan melakukan semua
perintah Pangeran sebatas kemampuan kami. "
" Baiklah, " berkata Pangeran Singasari " karena itu dalam
pertemuan antara para pemimpin kelompok sebagaimana
telah kita bicarakan, Kiai tidak perlu hadir. Karena akulah
pemimpin kelompok ketujuh itu, sehingga cukup aku sajalah
yang akan mewakili seluruh kelompok. "
" Segala perintah akan kami lakukan " jawab Kiai Gringsing.
" Perintah selanjutnya akan diberikan saat pasukan ini
berangkat, " berkata Pangeran Singasari selanjutnya.
Namun pertemuan itu sempat menentukan, kapan mereka
harus berangkat menuju sasaran.
" Kita harus memperhitungkan bahwa saat fajar naik
kelangit, kita sudah berada di sekitar padepokan. Sebelum
matahari terbit, kita akan meloncat masuk dan menuju ke
sasaran masing-masing. Gambaran tentang dinding didalam
padepokan, akan aku berikan nanti dalam pertemuan diantara
para pemimpin kelompok. Kita akan berbicara dengan
terperinci, " berkata Pangeran Singasari.
Dengan demikian maka pertemuan itupun telah selesai.
Mereka yang ikut dalam pembicaraan itupun telah
meninggalkan tempat mereka masing-masing.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaragapun telah kembali pula ke
tempat mereka. Sabungsari, Glagah Putih dan terutama
Raden Rangga rasa-rasanya sudah tidak sabar lagi. Karena
itu, demikian Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga duduk di antara
mereka, Raden Ranggapun bertanya " Begitu lama Kiai" -
" Ah, bukankah hanya sesaat saja" " sahut Kiai Gring sing.
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian iapun berkata " Mungkin waktu ditempat Kiai
berbincang dengan pamanda Pangeran Singasari berbeda
dengan waktu disini. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian tersenyum. Katanya " Raden sekali-sekali masih
juga merajuk. " Raden Rangga memandang wajah Kiai Gringsing sekilas.
Namun kemudian katanya " Sekali-sekali menyenangkan juga
" Raden Rangga berhenti sejenak, namun kemudian katanya "
Apa yang dibicarakan" "
Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabungsari, Glagah Putih dan
Raden Ranggapun kemudian duduk melingkar. Kiai Gringsing
dan Ki Jayaraga telah menceriterakan hasil pembicaraan
mereka dengan Pangeran Singasari. Namun kedua orang tua
itu cukup berhati-hati sehingga tidak menyinggung perasaan
Raden Rangga. Tidak semua yang
mereka dengar mereka katakan kepada anak-anak muda
itu. Akhirnya Kiai Gringsingpun berkata " Nanti kita berangkat "
" Nanti atau besok" " bertanya Raden Rangga " Bukankah
kita akan berangkat menjelang pagi. "
" Raden benar. Kita akan berangkat lewat tengah malam. "
jawab Kiai Gringsing. Anak-anak muda yang mendengarkan keterangan Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga itu mengangguk-angguk. Mereka dapat membayangkan tugas-tugas yang harus mereka
lakukan besok. Namun anak-anak muda itu merasa kecewa bahwa mereka akan selalu berada bersama dengan Pangeran Singasari itu sendiri. Dengan demikian maka gerak mereka
akan sangat terbatas. Bahkan sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Singasari, bahwa mereka tidak boleh berbuat apa-apa tanpa perintah.
Tetapi mereka memang tidak dapat memilih sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gringsing.
Namun bagaimanapun juga Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga berhati-hati sekali menyampaikan hasil pembicaraan mereka dengan Pangeran Singasari, namun kekecewaan masih nampak jelas membayang diwajah Raden Rangga. Tetapi agaknya Raden Rangga masih berusaha untuk menahan diri.
*** Jilid 218 DEMIKIANLAH, maka yang dapat dilakukan oleh setiap orang hanyalah sekedar menunggu. Ketika hari bergeser menjelang malam, maka para pemimpin kelompok benar-benar telah mengadakan pertemuan untuk menerima perintah-perintah, petunjuk-petunjuk dan jalur yang akan mereka lalui menuju ke sasaran. Beberapa pesan telah diberikan oleh Pangeran Singasari. Bahkan dengan tekanan, "Tidak seorangpun boleh melakukan kesalahan. Kita akan memasuki padepokan itu dalam kelompok-kelompok. Jika satu kelompok melakukan kesalahan, maka yang lain akan sulit untuk membantu, karena setiap kelompok akan mempunyai tugas yang hampir sama beratnya. Karena itu, maka kalian harus berbuat dengan penuh tanggung jawab."
Para pemimpin kelompok itupun mengangguk angguk. Rasa-rasanya semuanya memang sudah menjadi jelas. Apa yang akan mereka lakukan. Bahkan seakan-akan mereka telah melihat peristiwa yang bakal terjadi besok pagi-pagi.
Ketika para pemimpin kelompok itu kembali ketempat mereka masing-masing, maka merekapun segera memanggil orang-orang yang termasuk dalam kelompok mereka. Pa"ra senapati itu telah menyampaikan segala perintah, pesan dan petunjuk dari Pangeran Singasari.
Pangeran Singasaripun telah memanggil para perwira dan prajurit yang termasuk kedalam kelompoknya. Namun ternyata bahwa Pangeran Singasari tidak memanggil Kiai Gringsing dan keempat orang yang bersamanya, termasuk Raden Rangga.
Seorang perwira memang bertanya, "Bagaimana dengan orang tua itu Pangeran?"
"Biar saja. Orang itu memiliki kelebihan. Karena itu. biar saja mereka tidak usah ikut berbicara. Mereka tidak memerlukan petunjuk dan pesan. Mereka justru akan mampu mengatasi masalah yang timbul." jawab Pangeran Singasari.
"Tetapi mereka sebaiknya mengetahui batas-batas tugas mereka." berkata perwira itu.
"Aku sudah mengatakan, bahwa mereka harus menunggu perintah yang akan aku berikan kemudian." ber"kata Pangeran Singasari.
Perwira itu hanya mengangguk-angguk saja. Semua kebijaksanaan memang berada ditangan Pangeran Singa"sari.
Ketika malam mulai gelap, maka Pangeran Singasari memerintahkan semua prajurit yang akan berangkat besok untuk berisirahat. Mereka harus menghemat tenaga yang akan dipergunakannya besok untuk bertempur melawan orang-orang Nagaraga. Mereka masih belum dapat meramalkan, apakah mereka harus bertempur sampai tengah hari, atau sehari penuh atau justru lebih dari itu.
Karena itu, maka di ujung malam itu, perkemahan orahg-orang Mataran itu menjadi sepi. Para prajuritpun te"lah berbaring dan berusaha untuk dapat tidur, selain mereka yang bertugas.
Raden Rangga yang gelisah itupun ternyata tidak banyak melontarkan pembicaraan. lapun telah berbaring pula dan dalam waktu yang terhitung singkat, ternyata Raden Rangga itupun telah tertidur pula.
Glagah Putih dan Sabungsari masih sempat tersenyum mendengar nafas Raden Rangga yang mengalir teratur. Na"mun mereka sendiripun rasa-rasanya telah menjadi mengantuk pula, sehingga mereka pun segera telah jatuh ter"tidur pula.
Tetapi Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga masih duduk sambil berbincang tentang berbagai macam hal. Terutama tentang sikap Pangeran Singasari. Ketika Kiai Gringsing diluar sadarnya memandang tubuh Raden Rangga yang terbujur diam, ia menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar sadarnya pula ia berkata, "Apa yang dilihatnya didalam, mimpi benar-benar ada di padepokan itu."
"Anak yang aneh." sahut Ki Jayaraga, "dalam tidur ia tidak lebih dari anak-anak yang lain."
"Ujud wadagannya." berkata Kiai Gringsing, "teta"pi justru didalam tidur ia sering mengalami satu kehidupan yang lain."
"Ya, Kiai benar." berkata Ki Jayaraga, "anak itu me"mang diliputi oleh satu rahasia yang sangat sulit untuk dipecahkan."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak lagi berbicara tentang Raden Rangga, namun merekapun telah berbicara lagi tentang serangan yang bakal dilakukan oleh pasukan Mataram terhadap padepokan itu.
Pangeran Singasari memang tidak memberikan pesan apapun kepada mereka, sehingga Ki Jayaraga itupun kemu"dian berkata, "Agaknya kita akan benar-benar menjadi orang-orang yang tidak berarti disini. Pangeran Singasari sama sekali tidak ingin berbicara dengan kita."
"Mungkin Pangeran Singasari ingin menunjukkan bahwa ia mampu menyelesaikan tugas ini sendiri. Tanpa kita sekalipun." berkata Kiai Gringsing, "menurut perhitunganku. Pangeran Singasari pernah mengenal aku. Bukan maksudku untuk menyombongkan diri, tetapi setidak-tidaknya ia harus menganggapaku berguna baginya."
"Kiai benar." berkata Ki Jayaraga, "Pangeran Singasari ingin memberikan kesan kepada para perwira Mataram, bahwa ia dapat melakukannya sendiri tanpa keterlibatan kita."
"Bukankah dengan demikian ia akan mendapat pujian dari Panembahan Senapati?" desis Kiai Gringsing.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi sebagai orang tua maka mereka lebih baik mengikuti garis kebijaksanaan Pangeran Singasari meskipun dalam keadaan yang paling gawat mereka harus berbuat sesuatu tanpa menunggu perintahnya.
Ketika malam menjadi semakin larut, maka kedua orang tua itupun mulai membenahi tempat yang akan dipergunakannya untuk berbaring. Merekapun ingin beristirahat serba sedikit sebelum besok menjelang pagi mereka harus sudah ikut dalam pasukan Mataram yang akan memasuki padepokan Nagaraga.
Tetapi kedua orang itu terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar Glagah Putih mengigau dalam tidurnya. Bahkan kemudian seperti memanggil-manggil, "Raden, Raden. Tunggu."
Kedua orang tua itupun segera bangkit. Mereka memang akan membangunkan Glagah Putih, Tetapi tidak dengan serta merta, karena memang seharusnya mereka tidak boleh mengejutkan orang yang sedang mengigau dalam tidur.
Tetapi sebelum keduanya menyentuh tubuh Glagah Putih, ternyata Glagah Putih sudah terbangun. Bahkan bukan saja Glagah Putih, tetapi kemudian Raden Rangga"pun telah bangkit pula dan duduk sambil mengusap matanya.
"Kau mengigau didalam tidurmu Glagah Putih." ber"kata Kiai Gringsing.
Glagah Putih menarik nafas dalam dalam. Ketika ia melihat Raden Rangga duduk, maka Glagah Putih itupun melangkah mendekatinya.
"Kau tidak apa-apa Raden?" bertanya Glagah Putih.
Raden Rangga tidak segera menjawab. Tetapi dalam pada itu,Sabungsaripun telah bangun pula. Ketika ia kemu"dian duduk, maka ia menjadi heran, bahwa semua orang telah terbangun pula.
"Ada apa Kiai." desis Sabungsari, "ternyata aku ter"bangun paling akhir."
"Glagah Putih telah mengigau dalam tidurnya." jawab Kiai Gringsing, "meskipun tidak begitu keras."
Sabungsari tersenyum. Katanya, "O, jadi Glagah Putih sering mengigau dalam tidur?"
"Jarang-jarang sekali." sahut Kiai Gringsing, "tetapi sekali ini kelihatannya Glagah Putih seperti orang yang ketakutan. Bahkan kemudian telah memanggil-mang"gil nama Raden Rangga."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mimpiku memang mendebarkan."
"Kau bermimpi apa?" bertanya Raden Rangga.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemu"dian katanya, "Aku melihat air yang mendebarkan jantungku."
"Air bagaimana." bertanya Sabungsari.
"Sebuah sungai yang banjir. Kemudian aku melihat sebuah kereta yang bagus sekali ditarik oleh delapan ekor kuda berderap diatas air yang bergulung-gulung mengerikan itu. Seorang Ratu yang berada di kereta itu melam"baikan tangannya ketepi diseberang." berkata Glagah Putih.
Namun tiba-tiba Raden Rangga menyahut, "Yang ada di seberang itu adalah aku. Delapan ekor kuda putih dengan pakaian kuda yang sangat bagus. Sedangkan yang naik diatas kereta dikawal oleh ampat orang dayang-dayang dengan kereta masing-masing adalah seorang Puteri yang mengenakan mahkota yang cemerlang seperti bulan. Didepannya duduk seorang sais yang juga seorang perempuan yang mengenakan pakaian kelam."
"Darimana Raden tahu?" bertanya Glagah Putih, "bukankah yang mimpi itu aku."
"Bukankah kita kadang-kadang saling terlibat di da"lam mimpi-mimpi kita?" bertanya Raden Rangga.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai Gringsing yang juga heran mendengar Raden Rangga yang dapat menyambung keterangan Glagah Putih tentang mimpinya berdesis, "Memang kadang-kadang diluar nalar."
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam, sementara Glagah Putih menjadi tegang. Dengan nada berat ia berka"ta, "Ternyata Raden tertarik dan memperhatikan kereta itu."
"Kau lihat puteri yang memakai mahkota yang bercahaya kekuningan?" bertanya Raden Rangga.
"Ya. Dengan sais berpakaian warna gelap." jawab Glagah Putih.
"Ujud dari puteri itu adalah ujud ibuku. Wajahnya adalah wajah ibuku. Kecantikannya adalah kecantikan ibuku. Tubuh yang ramping dengan pakaian yang gemerlapan itu adalah tubuh ibuku. Tetapi ibuku adalah perem"puan yang sederhana meskipun ia isteri Panembahan Senapati. Apalagi ibu diambil oleh ayahanda dari sengkerannya sebelum ayahanda menjadi Panembahan Senapati seperti sekarang ini. Meskipun dalam ujudnya aku melihat ibunda, tetapi aku merasa bahwa ibunda tidak akan mendapatkan kebebasan seperti puteri itu." berkata Raden Rangga dengan nada berat. Bahkan nada suaranya masih menurun lagi. "Meskipun demikian, rasanya memang ada ikatan antara aku dan puteri itu. Aku tidak kuasa lagi menolak lambaian tangannya. Meskipun demikian aku memang mencoba untuk bertahan. Seperti waktu-waktu yang lewat aku mohon kesempatan untuk tidak menyertainya."
"Ya." Glagah Putih tiba-tiba memotong, "Raden memang menolak. Raden tidak mendekat. Ya, aku ingat se"karang."
"Tetapi puteri itu sudah tidak sabar lagi." desis Raden Rangga, "kereta yang beriringan itu berhenti. Dan aku dengar suaranya yang lembut, tepat seperti suara ibuku. Betapa puteri itu memanggilku, dan bahkan aku me"rasa seakan-akan ibundaku sendirilah yang telah memang"gilku. Namun aku mencoba untuk bertahan dan tetap berdiri diluar banjir bandang itu." Raden Rangga berhenti. sejenak, lalu, "tetapi tiba-tiba puteri itu mengurai selendangnya yang berwarna aneh. Seperti warna kulit seekor ular sanca yang berbunga-bunga.Tiba-tiba saja selendang itu dikibarkannya. Aku sama sekali tidak mengira bahwa selendang itu dapat mekar dan memanjang. Ternyata dari tengah-tengah banjir bandang itu, selendang yang berwar"na kulit ular itu mampu menggapai aku yang berdiri ditepi sungai yang sedang banjir itu, diatas tanggul."
"Karena itulah maka aku telah berteriak memanggil. Aku melihat selendang yang berwarna kulit ular itu membelitnya dan menariknya kedalam kereta." sambung Glagah Putih, "aku berusaha memanggilnya. Ketika kereta itu kemudian bergerak lagi, dan delapan ekor kuda itu mulai berderap, aku telah berteriak-teriak memanggil nama Ra"den Rangga. Agaknya karena itulah aku telah mengigau."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Jayaraga berkata, "Hampir tidak mungkin, bahwa dua orang telah bermimpi sebgaimana terjadi dalam kenyataan hidup ini. Keduanya mengalami satu peristiwa yang tepat sama."
Sementara itu Raden Rangga telah berkata dengan nada yang sangat dalam, "Dan akupun pergi bersama puteri yang ujudnya adalah ujud ibundaku."
"Raden." berkata Glagah Putih kemudian, "bagaimanakah kiranya jika Raden berusaha untuk menemui ibunda Raden" Apakah ibunda mempunyai sentuhan jiwani dengan peristiwa mimpi itu?"
"Tidak." jawab Raden Rangga, "pada mimpi-mimpiku yang terdahulu, ibunda tidak pernah mendapat sen-tuhan perasaan sama sekali. Ibunda tidak pernah mengetahui apa yang terjadi atas diriku dan tidak pernah mendapatkan isyarat apapun sebagaimana nampak di dalam mimpiku. Namun ibunda adalah seorang yang terlalu pasrah pada keadaan, sehingga seakan-akan dirinya justru tidak bersikap sama sekali. Kosong."
Orang-orang yang mendengar keterangan Raden Rangga itu termangu-mangu. Kiai Gringsing dan Ki Jaya-raga tiba-tiba saja teringat kepada seekor ular naga yang didalam goa. Namun keduanya sama sekali tidak menyebutnya.
Bahkan Kiai Gringsingpun kemudian berkata, "Sudahlah Raden. Setiap orang mengalami mimpi. Kadang-kadang ada mimpi yang memberikan kesan yang baik, tetapi memang ada juga mimpi yang memberikan kesan kurang baik. Tetapi mimpi adalah mimpi. Sekarang, silahkan melanjutkan beristirahat. Kita masih mempunyai waktu sebelum kita harus berangkat menuju ke sasaran."
Tetapi Raden Rangga tersenyum. Katanya, "Memang kadang-kadang kita dapat mengbaikan mimpi-mimpi itu. Tetapi mimpiku yang tepat sama, sebagaimana kita hadir dalam satu peristiwa dalam dunia yang sama pula dengan Glagah Putih, bukan mimpi yang dapat dilupakan begitu saja."
"Raden." berkata Kiai Gringsing, "memang yang terjadi adalah satu keanehan. Tetapi bukan untuk membuat kita gelisah tanpa berkesudahan. Marilah kita merenungkannya. Mungkin sesuatu akan nampak kepada kita. Lebih dari itu, marilah kita memohon petunjuk dari Yang Maha Agung. Apakah sebenarnya yang tersirat dari mimpi Raden yang juga dapat dilihat dalam mimpi Glagah Putih itu."
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Barulah ia kemudian menjawab, "Baiklah Kiai. Hanya kepada Yang Maha Agung kita dapat bertanya. Karena sebenarnyalah kekerdilan penggraita kita, tidak akan banyak berarti untuk menghadapi rahasia terbentang dihadapan kehidupan kita."
"Nah, Silahkan Raden. Mungkin dengan memusatkan nalar budi kita akan dapat menyentuh keberadaannya betapapun rendahnya martabat kita dihadapannya." berkata Kiai Gringsing. Lalu, "semoga Raden mendapat petunjuknya."
Raden Rangga mengangguk. Iapun kemudian bergeser sambil berdesis, "Aku akan mempergunakan waktuku yang tersisa. Silahkan kalian tidur."
Kiai Gringsing hanya dapat menarik nafas. Namun iapun kemudian telah bergeser. Demikian pula Ki Jayaraga, Sabungsari dan Glagah Putih. Ketika ketiganya kemudian berbaring, maka Raden Ranggapun telah memusatkan nalar budinya. Dengan sepenuh hati ia mencoba untuk menerawang kembali kedaiam mimpinya. Raden Rangga, sadar, bahwa ia belum lama tertidur ketika mimpi itu nampak didalam tidurnya. Waktu yang pendek itu, rasa-rasanya bagaikan berlipat ganda panjangnya dalam peristiwa mimpinya.
Tetapi tidak banyak yang dapat ditemukan oleb Raden Rangga itu didalam mimpinya kecuali kesan bahwa ia me"mang sudah harus mengikutinya, tanpa mengetahui siapakah penunggang kereta itu. Mungkin sekedar ujud sebagai lantaran kepergiannya. Karena lantaran kehadirannya ada"lah ibunya, maka lantaran kepergiannyapun ternyata adalah ujud yang sama. Atau sekedar isyarat akan kepergiannya itu dengan lantaran yang lain didalam kehidupan wadagnya.
Namun yang dilakukan oleh Raden Rangga, seorang yang kadang-kadang hanya menuruti kesenangannya sendiri, tetapi kadang-kadang langkahnya yang dilandasi maksud baik telah membuatnya melakukan kesalahan, serta seorang yang hidup dalam masa remajanya sekaligus dalam tataran kematangan ilmu yang jarang ada bandingnya, membuatnya seseorang yang agak lain dengan orang-orang kebanyakan, apalagi seusianya yang muda itu, ada"lah pasrah diri kepada kuasa dan keadilan Yang Maha Agung. Justru dalam penyerahan yang utuh itulah, maka Raden Rangga telah menemukan ketenangan. Dengan demikian maka Raden Rangga itupun justru telah berbaring pula pada sisa malam itu.
Sabungsari, Glagah Putih dan kedua orang tua yang memperhatikan keadaan Raden Rangga itu, masih juga beium dapat tidur sama sekali. Mereka melihat, bagaima Raden Rangga duduk tepekur, Namun kemudian merekapun melihat Raden Rangga itu berbaring. Tetapi mereka masih belum tahu, apa yang telah terjadi didalam diri anak muda itu.
Tetapi ternyata bahwa Raden Rangga telah tertidur lebih dahulu dari keempat orang yang lain itu. Kiai Gringsing hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengucap sukur bahwa Raden Rangga telah menemukan ketenangannya. Ternyata dengan nafas"nya yang teratur serta sikapnya yang nampak pasrah itu, Raden Rangga benar-benar telah tertidur.
Di sisa waktu yang pendek itu, ternyata Kiai Gring"sing, Ki Jayaraga, Sabungsari dan Glagah Putihpun sempat tidur barang sejenak. Namun merekapun segera terbangun ketika mereka mendengar isyarat bagi para prajurit Mataram untuk bersiap-siap.
Ketika keempat orang itu terbangun, mereka melihat Raden Rangga telah duduk pula sambil menyilangkan tangan di dadanya.
"Raden telah bangun?" bertanya Glagah Putih sam"bil mendekat.
Raden Rangga tersenyum sambil menyahut, "Sebagaimana kau lihat."
"Apakah Raden bermimpi lagi?" bertanya Glagah Putih pula.
"Tidak. Aku tidak bermimpi lagi." jawab Raden Rangga. Namun kemudian katanya, "duduklah."
Glagah Putihpun kemudian duduk didekat Raden Rangga. Sementara itu, para prajurit Mataram telah mulai bersiap-siap untuk berangkat menuju ke sasaran, pade"pokan Nagaraga.
"Kita akan memasuki padepokan Nagaraga." berkata Raden Rangga, "satu tugas yang memang berat bagi pamanda Pangeran Singasari."
"Ya." jawab Glagah Putih, "kita akan benar-benar berhadapan dengan kekuatan yang besar. Ternyata Naga"raga memang sebuah padepokan yang kuat. Sebagaimana Raden melihatnya dalam mimpi, maka Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga telah melihatnya pula. Dinding-dinding yang membagi padepokan itu menjadi beberapa bagian. Sanggar yang jumlahnya sebanyak bagian yang ada, serta sanggar yang besar dan terbuka dibagian belakang."
"Berhati-hatilah Glagah Putih." pesan Raden Rangga, "kau tidak boleh hilang dalam pertempuran itu."
"Maksud Raden?" bertanya Glagah Putih.
"Sudahlah, kau sebaiknya berbenah diri." berkata Raden Rangga, "nanti kau ketinggalan. Pamanda Singa-sari tidak akan mau mendengar alasan apapun bagi mereka yang dianggapnya terlambat."
Glagah Putih mengangguk kecil. Iapun kemudian meninggalkan Raden Rangga. Ketika ia masih melihat beberapa perwira yang pergi kesebuah sungai kecil, maka iapun pergi juga untuk menyiram wajahnya agar menjadi semakin segar.
Pada saat yang ditentukan, semuanya ternyata sudah bersiap. Raden Ranggapun telah bersiap pula. Namun ke"tika Glagah Putih melihatnya, ia terkejut. Raden Rangga ternyata membelitkan sehelai kain putih dilehernya.
"Apa artinya itu Raden?" bertanya Glagah Putih, "Raden Rangga tidak pernah mengenakan sehelai kain putih dileher seperti itu."
"Aku telah mandi keramas di sebuah belik kecil dibawah pohon preh itu." berkata Raden Rangga.
"Pohon preh yang mana?" Glagah Putih menjadi heran.
Raden Rangga menunjuk kekejauhan. Tetapi Glagah Putih tidak melihat pohon itu, karena kegelapan masih meliputi padang perdu itu. Bahkan dengan mengingat-ingat, apakah kemarin atau hari-hari sebelumnya ia melihat pohon preh itu. Namun ia sama sekali tidak teringat, bahwa disekitar tempat itu ada sebatang pohon preh.
Namun Glagah Putih tidak bertanya tentang pohon preh itu. Tetapi dengan cemas ia memperhatikan kain putih dileher Raden Rangga itu.
Raden Ranggapun agaknya menyadari, bahwa Glagah Putih selalu memperhatikan kain putih itu. Karena itu, maka katanya, "Jangan memandang aku seperti itu Gla"gah Putih. Pandanglah masa depanmu yang panjang. Banyak hal yang telah kita lakukan bersama. Namun selama ini agaknya hal yang tidak sempat kita nilai diantara yang pernah kita lakukan itu. Karena itu, maka usahakanlah waktu untuk menilainya. Yang baik, lakukanlah untuk seterusnya, sementara yang kau anggap kurang baik, kau dapat meninggalkannya. Namun satu hal yang barangkali berarti bagimu adalah cara-cara menempa diri sebagaimana pernah kita lakukan bersama."
"Pesan Raden membuat aku menjadi semakin berdebar-debar." berkata Glagah Putih.
Tetapi Raden Rangga tertawa. Katanya, "Tidak ada yang perlu dicemaskan. Yang harus terjadi biarlah terjadi. Tidak seorangpun akan mampu melawannya."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sentuhan dihatinya terasa semakin kuat, bahwa isyarat di dalam mim"pi itu merupakan isyarat yang pahit bagi Raden Rangga. Namun agaknya Raden Rangga memang sudah siap menghadapinya. Tanpa keluhan dan tanpa kecemasan sama sekali. Semuanya dijalaninya dengan tabah dan lebih dari itu adalah pasrah.
Agaknya kedua anak muda itu tidak dapat berbincang lebih lama lagi. Mereka harus segera mempersiapkan diri kedalam kelompoknya masing-masing. Sebentar lagi, pasukan itu akan berangkat.
Seperti yang sudah ditentukan, maka Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Glagah Putih, Sabungsari dan Raden Rangga berada didalam kelompok yang dipimpin langsung oleh Pangeran Singasari. Karena itu maka merekapun segera menempatkan dirinya didalam kelompok itu.
Agaknya baru saat itu Pangeran Singasari bertemu langsung dengan Raden Rangga. Karena itu, maka iapun telah menyapanya, "Kau Rangga."
"Ya pamanda. Aku sudah berada di tempat ini ber"sama Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga." jawab Raden Rangga.
"Aku sudah tahu. Dan sekarang kau berada didalam kelompok yang aku pimpin langsung. Tetapi Kiai Gringsing tentu sudah memberitahukan kepadamu, bahwa setiap orang didalam kelompokku harus menurut segala perintahku." berkata Pangeran Singasari.
"Aku mengerti paman." jawab Raden Rangga.
"Bagus." berkata Pangeran Singasari. Lalu katanya, "Mudah-mudahan kaupun mengalami perkembangan. Kau menjadi semakin besar, bahkan menjadi dewasa. Jika kau masih saja menuruti keinginan dan kesenanganmu sendiri, kau akan menjadi anak muda yang tidak berarti betapapun kau memiliki ilmu yang tinggi."
Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Tetapi ia mena"rik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar Raden Rangga men jawab, "Aku mengerti paman."
"Jika demikian, maka kau akan ikut bersamaku. Teta"pi berhati-hatilah. Kita memasuki sebuah padepokan yang gawat. Kau jangan mengira bahwa kau memiliki ilmu yang tidak terkalahkan Bagaimanapun juga kau masih terhitung kanak-kanak didalam dunia kanuragan." berkata Pangeran Singasari.
Raden Ranggapun mengangguk hormat sambil menjawab, "Ya paman."
"Bagus. Kau beritahu juga kawanmu itu. Karena ia sudah lama bersamamu, mungkin sifat-sifatmu telah menjalar kepadanya juga."
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun sambil berpaling kepada Glagah Putih iapun menjawab, "Ya paman."
Pangeran Singasari tidak berbicara lagi dengan Raden Rangga. Iapun kemudian memanggil beberapa orang Senapatinya dan memerintahkan seluruh pasukan bersiap.
Seperti yang telah ditentukan, maka pasukan itu dibagi menjadi enam kelompok. Ditambah dengan satu kelompok khusus yang dipimpin oleh Pangeran Singasari sendiri. Semua perwira dan prajurit yang telah diperintahkan untuk ikut serta memasuki padepokan itu. Yang diperhitungkan sebagai pasukan cadangan adalah kelompok khusus itu sen"diri, meskipun Pangeran Singasari berhasrat untuk dapat bertemu langsung dengan pemimpin padepokan Nagaraga.
Ketika pasukan itu sudah siap seluruhnya, maka Pangeran Singasari memerintahkan pasukan itu untuk bergerak. Empat petugas sandi yang pernah melihat pade"pokan Nagaraga sebelumnya harus berjalan dipaling depan. Tiga kelompok mengikuti dua diantara petugas sandi itu, sementara yang tiga kelompok mengikuti dua orang yang lain. Mereka akan memasuki padepokan itu dari arah yang berbeda-beda, karena seperti yang diperintahkan oleh Pangeran Singasari, setiap kelompok akan memasuki tiap bagian dari padepokan itu. Menurut perhitungan, maka disetiap bagian itu tentu terdapat seorang yang sudah diberi wewenang oleh pemimpin tertinggi padepokan Naga"raga untuk menempa murid-murid mereka sendiri.
Sementara itu, Pangeran Singasari dan kelompoknya akan memasuki padepokan itu lewat pintu gerbang. Ia berharap bahwa pemimpin tertinggi padepokan itu ada di bangunan induk yang ada di bagian depan padepokan itu, sehingga jika mereka memasuki padukuhan induk lewat pintu gerbang, maka mereka akan mencapai bangunan induk itu.
Dengan hati-hati pasukan itu muiai bergerak. Ketika Kiai Gringsing mengangkat wajahnya, maka dilihatnya warna semburat merah mulai membayang di langit.
"Sebenarnyalah Pangeran Singasari tepat berpegangan pada rencana yang sudah disusun" berkata Kiai Gringsing didalam hatinya.
Jarak antara perkemahan itu sampai ke sasaran me"mang tidak terlalu jauh. Tetapi kedua tempat itu rasa-rasanya memang terpisah.
Dengan penuh kewaspadaan Pangeran Singasari memimpin pasukannya mendekati padepokan Nagaraga yang besar namun yang bagaikan masih tertidur lelap.
Sebenarnyalah bahwa padepokan Nagaraga masih ter"tidur. Tetapi bukan berarti tidak ada yang terbangun di"antara mereka. Para petugas tetap pada tempatnya masing-masing, mengamati keadaan dengan saksama.
Ketika pasukan Mataram mendekati padepokan itu, maka Pangeran Singasaripun telah memberikan isyarat agar pasukan segera berbagi.
Semakin dekat mereka dengan padepokan itu, maka Pangeran Singasaripun menjadi semakin yakin akan kebenaran laporan para petugas sandinya. Segala macam ciri-ciri dan pertanda sebagaimana dikatakannya, telah dijumpai pula oleh pasukan itu.
Tiga kelompok dari pasukan Mataram itu telah melingkari padepokan itu, sementara tiga yang lain mengambil arah yang berbeda. Sedangkan Pangeran Singasari lang"sung menuju ke pintu gerbang.
Namun pasukan Mataram itu terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar suara yang bergaung di dalam goa tidak jauh dari padepokan yang mulai dikepung itu. Se"makin lama menjadi semakin keras. Terputus-putus tetapi memberikan kesan yang menyeramkan.
"Ular itu." desig Kiai Gringsing.
"Apakah ular itu lepar lagi?" berbisik Ki Jayaraga.
"Tidak mungkin. Biasanya ular itu makan dalam jarak wakta yang cukup lama." sahut Kiai Gringsing, "agaknya ada maksud lain dari ular itu. Apakah benar ular itu dapat memberikan isyarat?"
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. tetapi ia tidak sempat mengatakan sesuatu, ketika Pangeran singasari segera memberikan isyarat untuk bergerak. Seseorang telah melepaskan panah sendaren yang segera bergaung diudara.
"Ternyata Pangeran Singasari cepat mengambil keputusan." bisik Kiai Gringsing, "satu sikap yang terpuji dari seorang Panglima dalam keadaan seperti ini."
"Ya." sahut Ki Jayaraga, "jika Pangeran Singasari terlambat, maka akibatnya akan berbeda."
Raden Rangga yang berdiri dekat dibelakang Kiai Gringsing telah berdesis pula, "Aku tidak mengira bahwa pamanda memiliki ketajaman panggraita seperti ini. Mudah-mudahan kecepatannya mengambil sikap ini akan menolong seluruh pasukan."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk sambil berkata, "Ya Raden. Agaknya kita telah berpacu dengan waktu."
Sebenarnyalah bahwa pada saat itu seisi padepokan memang telah terbangun. Suara ular naga didalam goa itu telah membangunkan semua penghuni padepokan itu. Bukan saja sekedar terbangun, tetapi mereka seakan-akan telah menangkap satu isyarat, bahwa padepokan itu akan diterkam bahaya.
Pada saat yang demikian, maka para pemimpin yang ada didalam padepokan itu telah melontarkan perintah-perintah. Suara ular itu mendera mereka untuk bertindak dengan cepat.
Namun ternyata mereka telah dikejutkan pula oleh suara panah sendaren yang terbang diatas padepokan itu. Panah sendaren yang memberikan perintah kepada para prajurit Mataram untuk segera menyerang.
Kedua belah pihak memang bertindak cepat. Namun ternyata pasukan Mataram yang memang terlatih, apalagi yang terdiri sebagian besar dari para perwira, telah berlon"catan masuk. Mereka terbagi menjadi kelompok-kelompok yang langsung menuju sasaran sebagaimana telah diberikan pengarahan oleh Pangeran Singasari.
Para Senapati yang memimpin kelompok-kelompok itupun telah berada di lingkungan sebagaimana ditentukan. Ternyata tidak banyak perbedaan antara petunjuk yang mereka dengar dari Pangeran Singasari sebagai hasil laporan para petugas sandi yang datang sebelumnya dengan kenyataan yang mereka hadapi.
"Laporan yang cermat." berkata para Senapati itu di dalam hatinya setelah mereka berada di dalam padepokan itu.
Dengan kelompok yang kecil, maka pasukan Mata"ram itupun segera mengambil langkah-langkah sebagai"mana direncanakan. Setiap pemimpin kelompok berusaha untuk mendapatkan inti kekuatan dari penghuni padepokan itu disetiap bagian.
Dengan bekal yang diberikan oleh Pangeran Singasari, maka para Senapati itupun segera menempatkan dirinya untuk menghadapi kekuatan di padepokan itu.
Kehadiran pasukan Mataram yang tiba-tiba itu memang mengejutkan. Isyarat yang dilontarkan oleh ular naga di dalam goa itu memang banyak menolong. Tetapi kecepatan gerak pasukan Mataram telah mendahului merebut waktu yang sangat berharga itu. Apalagi orang-orang padepokan Nagaraga itu tidak mengira bahwa pasukan Mataram akan bergerak secepat itu.
Dalam waktu yang singkat, di enam bagian dari pade"pokan itu telah terjadi pertempuran yang sengit. Seperti yang diperhitungkan, bahwa disetiap bagian itu merupakan perguruan-perguruan kecil yang terpisah meskipun masih tetap dibawah kuasa pemimpin tertinggi dari perguruan Nagaraga.
Kecepatan bergerak para prajurit Mataram memang banyak memberikan keuntungan. Apalagi para prajurit Mataram dibawah pimpinan Pangeran Singasari itu tidak merasa ragu untuk bertindak. Bagi Mataram, Nagaraga adalah sebuah perguruan yang tidak pantas untuk diampuni. Mereka sudah mencoba untuk langsung membunuh Panembahan Senapati. Bagi Pangeran Singasari, Nagaraga memang sudah memberontak dan pantas dihukum. Meskipun demikian, para Senapati yang memasuki lingkungan yang terpisah-pisah itu masih juga mempergunakan untuk meneriakkan perintah agar orang-orang Na"garaga menyerah.
"Lepaskan senjata kalian." teriak para Senapati itu, "siapa yang menyerah akan mendapat kesempatan untuk hidup. Tetapi yang mengeraskan hatinya, akan dihukum mati dalam pertempuran ini."
Tetapi orang-orang Nagaraga tidak menghiraukannya. Mereka telah siap melawan pasukan Mataram dengan sekuat-kuat kemampuan yang ada di Nagaraga. Apalagi menurut penglihatan mereka, jumlah pasukan Mataran me"mang tidak terlalu banyak. Dengan demikian maka pertempuranpun telah membakar seisi padepokan itu.
Dengan kemenangan waktu yang sedikit, maka pasukan Mataram telah berhasil menggertak lawan pada gerakan pertama. Para perwira Mataram itu telah berhasil dengan cepat melukai beberapa orang lawan. Tetapi ternyata bahwa jumlah lawan memang lebih banyak dari jumlah prajurit Mataram yang memasuki pade"pokan itu.
Sementara itu Pangeran Singasari masih berada diluar regol. Ketika pertempuran berkobar di seluruh sudut pade"pokan itu, maka mataharipun mulai naik dan menerangi langit dan bumi.
Pangeran Singasari masih menunggu sesaat. Jika salah satu kelompok pasukannya mengalami kesulitan, kelompok itu harus segera memberikan isyarat, meskipun Pangeran Singasari sudah memerintahkan bahwa setiap kelompok ha"rus berusaha mengatasi kesulitan mereka masing-masing. Namun jika mereka memang menghadapi satu kenyataan, maka mereka memang harus memberikan laporan lewat isyarat.
Tetapi agaknya pasukan Mataram tidak ada yang sege"ra menghadapi kesulitan, sehingga karena itu, maka Pangeran Singasari pun telah mengambil keputusan untuk melakukan rencananya. Ia akan memasuki padepokan itu lewat pintu gerbang dan berusaha menemui pemimpin tertinggi padepokan Nagaraga. Jika pemimpin tertinggi itu bersedia menyerah, maka ia akan dibawa ke Mataram. Teta"pi jika tidak, maka Pangeran Singasari mendapat wewenang untuk menyelesaikannya.
Namun dalam pada itu, para prajurit Mataram memang merasa terganggu oleh suara yang bergaung namun terputus-putus itu. Suara itu kadang-kadang terdengar lambat, namun kadang-kadang memekik serasa menusuk jantung. Gaung yang patah-patah itu bergulung-gulung memenuhi udara padepokan Nagaraga dan menggetarkan setiap dada para prajurit Mataram.
Sabungsari juga merasa terganggu oleh suara itu. Kare"na itu iapun berdesis, "Bagaimana mungkin seekor ular dapat meneriakkan suara seperti itu?"
"Ular itu berada dalam goa." desis Kiai Gringsing, "tentu ruang di dalam goa itu cukup luas. Atau goa itu telah terbentuk oleh kekuatan alam menjadi sebuah goa yang memungkinkan suara yang keras di dalamnya dapat bergaung seperti itu. Karena ditempat lain ada goa yang dapat menggetarkan angin yang bertiup sehingga suaranya sampai ketempat yang jauh."
"Ya." sahut Ki Jayaraga, "goa yang disebut Susuhing Angin, adalah goa yang mempunyai mulut menghadap keatas disebuah bukit kecil, sementara perut goa itu terdiri dari ruang yang luas. Jika angin bertiup, maka goa itu akan menjadi sebuah seruling raksasa, meskipun hanya mengeluarkan satu jenis nada."
Sabungsari mengangguk-angguk. Namun suara ular naga itu bukan sekedar mengganggu pendengaran. Tetapi seakan akan digetarkan oleh kekuatan ilmu yang mampu mengguncang isi dada.
Namun mereka tidak sempat berbicara terlalu lama. Pa"ngeran Singasari segera memberi isyarat kepada orang-orang didalam kelompoknya untuk mendekat.
"Tidak ada penjaga diatas pintu Gerbang." berkata Pa"ngeran Singasari kepada Senapati kepercayaannya, "orang-orang perguruan ini menyangka bahwa semua orang Mataram telah memasuki padepokan."
"Kita akan memasuki pintu gerbang itu." sahut Senapati itu.
"Ya. Tetapi berhati-hatilah. Mungkin dibelakang pin"tu gerbang itu menunggu kekuatan yang besar yang me"mang sengaja menjebak kita." berkata Pangeran Singa"sari.
Namun dalam pada itu Raden Ranggapun berkata, "Apakah tidak sebaiknya kita melihat dahulu?"
Pangeran Singasari memandangnya dengan kerut di dahi. Namun iapun bertanya, "Melihat bagaimana maksudmu?"
"Jika pamanda memerintahkan kepadaku, maka aku akan memanjat dinding dan melihat, apakah ada kekuatan itu dibelakang gerbang." jawab Raden Rangga.
"Apakah kau akan mencoba" Tetapi atas tangung jawabmu sendiri jika kepalamu disambar senjata atau lontaran ilmu dari dalam?" geram Pangeran Singasari.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai mengagumi Pangeran Singasari atas ketepatannya memperhitungkan waktu sehingga perintahnya untuk menye-rang diberikan tepat pada waktunya. Namun sikap kepada Raden Rangga membuatnya kecewa. Seharusnya ia bersikap sebagai seorang Panglima. Boleh atau tidak boleh.
Namun seperti yang diduga oleh Kiai Gringsing, maka Raden Ranggapun menjawab, "Jika pamanda tidak melarang, baiklah, aku akan melihatnya."
Pangeran Singasari memang nampak ragu-ragu. Na"mun akhirnya iapun berkata, "Sudah aku katakan, terserah kepadamu."
Raden Rangga tersenyum. Iapun kemudian melangkah mendekati pintu gerbang. Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing telah maju men"dekati Pangeran Singasari sambil berkata, "Pangeran. Yang dilakukan oleh Raden Rangga itu sangat berbahaya."
"Itu tanggung jawabnya sendiri." jawab Pangerah Singasari.
"Aku mohon Pangeran melarangnya." berkata Kiai Gringsing.
Pangeran Singasari memang merenungkan pendapat itu. Tetapi ternyata bahwa sudah terlambat untuk mencegah. Raden Rangga sudah berada dekat dimuka pintu ger"bang. Dengan hati-hati Raden Rangga mendekati dinding padepokan itu disebelah pintu gerbang. Kemudian ia mulai menengadahkan kepalanya untuk melihat bibir dinding pa"depokan itu. Ketika ia memandang kearah Kiai Gringsing, ia melihat Kiai Gringsing itu melambaikan tangannya. Namun Raden Rangga justru hanya tersenyum saja.
"Pangeran." berkata Kiai Gringsing, "apakah aku boleh mendekat?"
"Kau tetap disini." jawab Pangeran Singasari, "kehadiran beberapa orang dipintu gerbang, mungkin akan mempunyai akibat yang merugikan."
"Aku akan berusaha untuk tidak menimbulkun akibat apapun." berkata Kiai Gringsing, "juga atas tanggung jawabku sendiri sebagaimana Raden Rangga."
Pangeran Singasari mengerutkan keningnya. Namun Pangeran Singasari itupun kemudian ternyata menganggukkan kepalanya.
Kiai Gringsing memang menjadi semakin tidak menger"ti sifat kepemimpinan Pangeran Singasari. Tetapi ia memang merasa perlu untuk mendekati Raden Rangga. Dengan tergesa-gesa Kiai Gringsing melangkah menuju kepintu gerbang pula. Tetapi ternyata bahwa Raden Rangga telah berusaha untuk meloncat. Tangannya menggapai bibir dinding padepokan itu disebelah pintu gerbang. Perlahan-lahan Raden Rangga menarik tubuhnya keatas.
Memang satu sikap yang sulit sekali dilakukan oleh orang lain. Tetapi Raden Rangga dapat melakukannya. Perlahan-lahan tubuhnya memang terangkat, sementara kakinya tidak berjejak pada dinding padepokan itu. Tetapi Raden Rangga memang harus berhati-hati. Per"lahan-lahan kepalanya terjulur diatas dinding padepokan.
Jantung Raden Rangga memang berdesir, Ia melihat beberapa orang yang bersiap berdiri di halaman padepokan itu menghadap kearah pintu gerbang. Agaknya mereka sudah mengerti, bahwa sekelompok prajurit Mataram akan memasuki padepokan itu lewat pintu gerbang itu.
Raden Rangga memperhatikan orang-orang itu sejenak. Diantara mereka terdapat seorang yang sudah mendekati masa senjanya, sebagaimana KiaiGringsing. Tetapi seperti juga Kiai Gringsing, orang itu masih nampak kokoh dan matanya memancarkan ketajaman ilmunya.
Ratten Rangga memang terkejut ketika tiba-tiba saja orang itu berpaling kepadanya. Dengan tatapan matanya yang tajam itu, ia memandang kepadanya.
"Nah." berkata orang itu, "aku memang menunggumu anak muda. Ternyata kau adalah anak muda yang berani, tetapi tidak mempunyai penalaran yang jernih. Aku sudah mengira bahwa kau akan mengintip dengan caramu itu. Namun dengan demikian aku tahu, bahwa kau memang mempunyai kelebihan dari orang lain. Tidak banyak orang dapat melakukan sebagaimana kau lakukan. Tetapi karena kau sudah melanggar hakku, maka kau harus mati. Terimalah nasibmu yang malang itu anak muda."
Raden Rangga menyadari, bahwa ia akan mendapat serangan yang dahsyat dari orang itu. Karena itu, maka iapun telah berada dalam puncak kemampuannya pula. Tetapi demikian cepatnya, orang itu mengangkat tangannya telapak tangannya yang terbuka mengarah kepadanya. Raden Rangga hampir tidak mempunyai waktu. Ia memang dengan serta merta menelusur turun. Tetapi sam-baran ilmu orang itu benar-benar dahsat sekali.
Kecepatan gerak Raden Ranggapun telah mengherankan pula bagi orang tua itu. Demikian cepatnya anak itu tanggap akan keadaan. Namun sambaran yang meluncur selapis daun diatas dinding itu benar-benar telah meng"getarkan setiap hati. Udara yang bergetar karena serangan itu, telah melemparkan Raden Rangga, sehingga Raden Rangga itupun telah diterbangkan beberapa langkah. Namun untunglah, bahwa yang mengalami serangan itu adalah Raden Rangga. Demikian ia terlontar, maka ia masih sempat berputar diudara dan jatuh diatas kedua kakinya. Namun untuk sesaat Raden Rangga harus berjuang untuk memantapkan keseimbangan tubuhnya sehingga Raden Rangga itu tidak terjatuh karenanya.
Pangeran Singasari dan para prajurit Mataram ter"kejut. Bahkan Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabungsari dan Glagah Putihpun terkejut pula. Namun merekapun kemu"dian menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat Raden Rangga masih berdirj tegak.
"Gila." geram Raden Rangga, "ikat kepalaku."
Ikat kepala Raden Rangga jatuh beberapa langkah dari padanya.
Sementara itu Pangeran Singasaripun menjadi ber-debar-debar. Jika bukan Raden Rangga, maka mungkin sekali kepala anak itu sudah terlepas, terbawa oleh sambaran ilmu yang meluncur dengan dahsyatnya itu.
"Satu contoh ilmu yang luar biasa." desis Kiai Gring"sing yang sudah berdiri selangkah disebelah Raden Rangga.
Raden Ranggapun menarik nafas dalam-dalam. Terasa jantungnya masih berdebaran oleh serangan maut yang hampir saja membakar rambutnya.
Sambil melangkah memungut ikat kepalanya Raden Rangga berkata, "Ada beberapa orang di halaman."
"Kita melaporkannya kepada Pangeran Singasari." berkata Kiai Gringsing.
Sambil mengenakan ikat kepalanya, maka Raden Rangga dan Kiai Gringsingpun melangkah mendekati Pangeran Singasari.
"Hampir saja kepalamu diremukkannya." desis Pa"ngeran Singasari.
"Karena itu, kau jangan terlalu sombong. Meskipun yang kau lakukan itu adalah tanggung jawabmu sendiri, te"tapi jika kepalamu benar-benar hancur, maka kau akan menjadi korban yang pertama dari pasukan ini. Bukan ka"rena perintahku. Tetapi karena keinginanmu yang tidak terkendali." berkata Pangeran Singasari kemudian.
Raden Rangga itu mengerutkan dahinya. Tetapi sebelum ia menjawab Kiai Gringsing berkata mendahuluinya, "Raden memang agak tergesa-gesa. Tetapi bersukurlah, bahwa Raden selamat."
Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Bersyukurlah bahwa aku selamat. Untung pula kiranya karena agaknya pemilik padepokan itu tidak mau merusakkan dinding padepokannya. Jika ia merendahkan serangan"nya sedikit saja dan membiarkan bibir dinding padepok"annya ikut pecah, maka aku kira tubuhku memang telah di"remukkannya."
"Cukup." geram Pangeran Singasari, "seharusnya kau menyesalinya. Bukan justru menjadi suatu kebanggaan."
Raden Rangga memandang waj ah pamandanya dengan tatapan mata yang aneh. Namun kemudian ia hanya dapat menarik nafas.
Kiai Gringsing yang berdiri disebelahnya masih menunggu. Ia memang mengharap Raden Rangga melaporkan hasil penglihatannya. Tetapi ternyata Raden Rangga hanya diam saja sambil menundukkan kepalanya.


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang kemudian justru bertanya adalah Pangeran Singasari, "Nah, apakah yang kau lihat dibelakang pintu gerbang?"
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia berpaling kepada Kiai Gringsing. Namun agaknya Kiai Gringsing tanggap akan maksud anak nakal itu. Ternyata Raden Rangga memang tidak mau melaporkannya. Ia menunggu Pangeran Singasari bertanya kepadanya.
"Pamanda." berkata Raden Rangga, "aku memang ingin memberikan laporan itu. Mudah-mudahan berarti bagi pasukan Mataram, bukan sekedar memenuhi kesenanganku sendiri."
"Cukup." geram Pangeran Singasari, "katakana."
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun ia"pun kemudian memang mengatakan apa yang dilihatnya di belakang pintu gerbang yang tertutup itu.
Pangeran Singasari termangu-mangu sejenak. Tetapi tidak ada pilihan lain baginya, kecuali harus memasuki pin"tu gerbang itu.
Sebagai adik Panembahan Senapati, maka Pangeran Singasari memang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi kematangan ilmunya masih berada dibawah tataran Panembahan. Bahkan kelengkapan ilmunyapun masih harus ditingkatkannya. Meskipun demikian Pangeran Singasari adalah seorang Pangeran yang disegani.
Udara yang tergeser karena serangan itu, telah melemparkan Raden Rangga, sehingga Raden Rangga itupun telah diterbangkan beberapa langkah. Namun untunglah, bahwa yang mengalami serangan itu adalah Raden Rangga.
"Kita akan memecahkan pintu gerbang ini." berkata Pangeran Singasari.
"Tetapi harus dengan sangat berhati-hati." desis Kiai Gringsing.
Pangeran Singasari mengerutkan keningnya. Ia me"mang tidak begitu senang terhadap orang yang dianggapnya mengguruinya. Namun ia harus menahan diri terhadap Kiai Gringsing, karena ia sadar, bahwa Kiai Gringsing-adalah orang yang berilmu sangat tinggi.
Bagaimanapun juga Pangeran Singasari adalah se"orang yang menghargai penalarannya. Ia harus mengakui kenyataan, bahwa di dalam pintu gerbang itu terdapat setidak-tidaknya seorang yang berilmu sangat tinggi. Orang yang telah menyerang Raden Rangga. Mungkin ia dapat menempatkan diri menghadapi orang itu tanpa menentukan apakah ia akan menang atau kalah. Tetapi jika ada orang lain yang memiliki kemampuan yang tinggi pula, maka ia memang memerlukan Kiai Gringsing.
"Aku tidak akan mampu melawan dua orang berilmu tinggi sekaligus." berkata Pangeran Singasari di dalam hatinya.
Sesaat Pangeran Singasari masih memandang pintu gerbang padepokan yang kokoh itu, Namun ia memang tidak ingin tergesa-gesa mengambil langkah, tetapi salah.
Namun dalam pada itu, suara ular naga yang berada di dalam goa itu yang untuk beberapa saat agak menurun, tiba-tiba terdengar lagi bergaung semakin keras, terputus-putus seakan-akan dengan sengaja menghentak-hentak jantung, sehingga rasa-rasanya akan terlepas dari tangkainya.
Para perwira dan prajurit serta orang-orang yang berada didalam kelompok khusus yang dipimpin langsung oleh Pangeran Singasari itu masih menunggu. Sementara itu, di bagian-bagian yang terpisah-pisah didalam padepokan itu, pertempuran berlangsung semakin lama semakin sengit. Para prajurit Mataram telah berjuang atas nama kebesaran nama Panembahan Senapati yang telah diancam hidupnya oleh perguruan Nagaraga itu. Dengan demikian maka para prajurit Mataram itu benar-benar bertempur dengan garangnya. Namun Senapati yang memimpin kelompok-kelompok kecil itu masih meneriakkan peringatan, "Menyerah atau kita hancurkan sampai lumat."
Namun orang-orang perguruan Nagaraga itu memang tidak ingin menyerah. Dengan demikian maka para prajurit Mataram benar-benar berusaha untuk menghancurkan padepokan itu.
Tetapi kegarangan prajurit Mataram itupun tertahan oleh kekuatan yang ternyata cukup besar di padepokan itu. Disetiap bagian dari padepokan itu, seperti yang diperhitungkan, memang dipimpin oleh seorang murid yang sudah memiliki ilmu yang cukup sehingga mereka berhak untuk membangunkan perguruan sendiri. Namun karena mereka masih harus berada dibawah pengawasan, maka perguruan-perguruan itu dihimpun menjadi satu didalam lingkungan padepokan Nagaraga. Karena itulah, maka disetiap bagian dari padepokan itu, terdapat paling sedikit seorang yang berilmu tinggi.
Menghadapi kekuatan tertinggi disetiap bagian dari padepokan itu, maka Senapati yang memimpin kelompok-kelompok itu tidak dapat bertempur seorang diri. Hal itu memang sudah diperingatkan oleh Pangeran singasari. Pada umumnya murid terdekat dan apalagi yang dianggap sudah mampu berdiri sendiri, tentu memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, maka setiap Senapati telah menugaskan sedikitnya seorang perwira untuk bertempur bersamanya menghadapi pemimpin dari bagian padepokan itu.
Salah satu diantara bagian-bagian yang terpisah di"dalam padepokan Nagaraga itu dipimpin oleh seorang yang masih terhitung muda. Seorang yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan. Ketika pasukan Mataram mulai menyerang lingkungan yang dipimpinnya, maka iapun dengan ter-gesa-gesa keluar dari pondoknya. Seorang yang berambut putih berkata kepadanya, "Putut Paksi. Berhati-hatilah. Mataram nampaknya tidak dapat mengekang dirinya lagi."
Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itupun berkata, "Jangan cemas paman. Biarlah aku membantai mereka."
Dengan tidak menunjukkan kecemasan sama sekali, orang itupun kemudian turun kemedan. Ketika Senapati yang memimpin kelompok pasukan Mataram dibagian pa"depokan yang dipimpin oleh Putut Paksi itu melihatnya, maka iapun langsung menempatkan diri untuk menghadapinya.
Demikian keduanya terlibat dalam pertempuran, maka segera terasa bahwa Senapati yang memimpin kelompok itu tidak akan mampu menghadapinya seorang diri. Karena itu, maka iapun segera memberikan isyarat kepada perwira kepercayaannya yang memang sudah dipersiapkannya.
Bersama perwira itu, maka keduanya telah berusaha untuk mematahkan perlawanan Putut Paksi yang berilmu tinggi itu. Namun hal itu tidak mudah dilakukannya. Ter"nyata melawan dua orang perwira terpilih yang dikirim oleh Mataram, Putut Paksi itu tidak merasa kesulitan. Namun murid-murid Nagaraga yang diserahkan dibawah bimbingannya serta para cantrik agaknya memang harus bekerja keras untuk melawan para perwira dari Mataram. Bahkan karena para prajurit Mataram dibekali pengertian, bahwa Nagaraga telah melakukan kesalahan yang terlalu besar, maka para prajurit Mataram itupun telah bertindak dengan keras pula. Namun orang-orang Nagaragapun telah mengimbanginya pula. Para pemimpin yang diserahi memimpin bagian-bagian dari padepokan itupun kemudian telah berjuang untuk mempertahankan padepokannya.
Karena mereka adalah murid-murid terpilih dari perguruan Nagaraga, maka pada umumnya mereka memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi para perwira Mataram yang juga ter"pilih telah melawannya dalam kelompok-kelompok. Semen"tara yang lain telah berusaha untuk menahan perlawanan para cantrik dan murid-murid Nagaraga yang diserahkan bimbingannya kepada para Putut itu.
Dengan demikian, maka pergolakan diseluruh pade"pokan itu semakin lama menjadi semakin keras. Dua kekuatan yang mempunyai latar belakang kemampuan ilmu yang berbeda. Para prajurit Mataram lebih banyak berlatih dalam kesatuan-kesatuan masing-masing sehingga mereka memiliki kemampuan yang tinggi dalam perang gelar dan perang dalam kelompok-kelompok tertentu. Namun orang-orang padepokan lebih banyak mempercayakan kemam"puan mereka pada kemampuan perseorangan.
Ketika pertempuran itu berkobar besar didalam pade"pokan, maka Pangeran Singasari telah siap untuk mema"suki padepokan itu lewat pintu gerbang. Dengan kesadaran sepenuhnya bahwa dibelakang pintu gerbang itu terdapat orang-orang yang berilmu tinggi, maka Pangeran Singasari telah siap untuk menghancurkan pintu gerbang itu. Tidak dengan kekuatan wajar, tetapi dengan ilmunya yang tinggi.
"Kita akan mendekat." berkata Pangeran Singasari, "kita akan bersama-sama menghantam pintu gerbang itu. Namun kemudian dengan cepat kita harus menghindar kesamping. Orang-orang yang ada didalam padepokan itu tentu akan dengan cepat menyerang dari dalam."
Tidak ada seorangpun yang bertanya. Mereka sudah tahu apa yang kira-kira akan terjadi. Beberapa orang itu akan menghantam pintu gerbang dengan lambaran ilmu mereka. Demikian pintu itu pecah, maka orang-orang yang ada didalam dinding itu akan segera menyerang mereka dari jarak tertentu.
Dengan demikian maka orang-orang yang akan memecahkan pintu gerbang itupun harus menyiapkan dirinya baik-baik. Mereka harus mampu bergerak cepat. Meloncat, menghantam dinding itu dengan kekuatan ilmu mereka dan kemudian meninggalkan dengan cepat pula, sehingga mere"ka akan terlepas dari serangan yang dahsyat sebagaimana telah dilakukan atas Raden Rangga.
Namun ketika mereka mulai bergerak, maka tiba-tiba Raden Rangga berdesis, "Pamanda, eh, apakah aku boleh menyampaikan pendapat?"
Pangeran Singasari ragu-ragu. Namun akhirnya ia ber"kata, "Katakan, cepat. Aku tidak mempunyai banyak waktu."
Raden Rangga memang agak ragu-ragu. Namun iapun kemudian memaksa diri untuk berkata, "Pamanda. Apa"kah pamanda tidak mencoba untuk memecahkan pintu ger"bang itu tanpa harus mendekat. Bukankah dari jarak lima enam langkah agak kesamping, pamanda akan dapat meme"cahkan pintu gerbang itu dengan kemampuan ilmu yang ada" Sebagai pamanda lihat, serangan yang dilontarkan oleh orang yang ada didalam dinding padepokan itu sangat berbahaya. Jika pamanda mencoba memecahkan pintu ger"bang itu dengan sentuhan wadag, dan bersamaan dengan itu orang-orang yang ada didalam dinding padepokan itu melepaskan serangan, maka mungkin sekali akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."
Pangeran Singasari mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian menjawab, "Kau sangka aku tidak memperhitungkan hal itu" Karena itu, minggirlah. Kami akan memecahkan pintu gerbang itu dan dengan cepat meng"hindar. Kau tidak usah ikut agar kau tidak justru mengganggu. Aku dan para Senapatilah yang akan melakukannya."
"Tetapi pamanda, orang-orang dibelakang pintu ger"bang itu seakan-akan melihat, apa yang kita lakukan disini. Mereka akan dapat menghitung waktu dengan tepat, justru pada saat pamanda dan para Senapati menghantam pintu gerbang." berkata Raden Rangga.
"Omong kosong." jawab Pangeran Singasari, "me"reka tidak melihat kita. Mereka tentu memerlukan waktu barang sekejap untuk menyiapkan serangannya. Sementara itu, kita sudah berguling menyingsing."
"Tetapi bukankah ternyata bahwa orang itu seakan-akan melihat aku menjenguk dinding padepokan itu?" ber"kata Raden Rangga kemudian.
"Ia dapat menyebut setelah ia melihat kau. Ia dapat memperhitungkan apa yang sudah kau lakukan. Bukan ka"rena ia melihatmu dengan menembus dinding." bentak Pangeran Singasari.
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tetapi keterangan pamannya itu memang masuk akal. Karena itu, maka Raden Rangga itu tidak berbicara lagi.
Pangeran Singasari yang tertahan sejenak itu berdesis, "Rangga. Aku peringatkan sekali lagi, bahwa kau hanya boleh berbuat sesuatu atas perintahku."
Raden Rangga mengangguk hormat sambil menjawab, "Baik pamanda."
Pangeran Singasari tidak menghiraukannya lagi. Bersama dengan dua orang Senapati terpilihnya maka iapun mendekat pintu gerbang itu selangkah demi selangkah.
"Kenapa paman tidak mempergunakan ilmunya untuk memecahkan pintu gerbang itu dari jarak tertentu. Menurut sepengetahuanku pamanda memiliki kemampuan untuk melakukannya." desis Raden Rangga kepada Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian berbisik, "Mungkin Pangeran Singasari ragu-ragu, apakah kekuatan ilmunya mampu memecahkan pintu gerbang itu. Sementara itu Pangeran Singasari tidak mau merendahkan dirinya, minta bantuan kita."
Namun Raden Rangga itupun berkata, "Tetapi aku tetap mencemaskan keselamatan pamanda Singasari."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemu"dian iapun berkata, "Kita harus berbuat sesuatu."
"Apa?" bertanya Raden Rangga.
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia berpaling kearah para Senapati dan prajurit Mataram yang menunggu dengan tegang. Sementara Pangeran Singasari dan dua orang Senapati terpilih yang memiliki ilmu yang tinggi melangkah semakin dekat dengan pintu gerbang.
Sementara itu, Raden Rangga menjadi semakin gelisah.. Pintu gerbang itu terbuat dari papan yang tebal. Namun pada sambungannya terdapat celah-celah yang dapat dipergunakan untuk mengintip keluar. Seandainya orang-orang yang ada didalam pintu gerbang itu tidak dapat mengetahui yang terjadi diluar, maka lewat celah-celah pin"tu itu, seseorang akan dapat mengintip dan memberikan isyarat, kapan orang-orang dibelakang pintu gerbang itu harus melepaskan ilmunya.
"Kiai, pamanda hampir meloncat."desis Raden Rangga.
Kiai Gringsingpun kemudian berpaling kearah Ki Jaya"raga. Katanya, "Ki Jayaraga. Mungkin kau memiliki kemampuan lebih baik untuk melontarkan ilmu pada jarak yang agak jauh. Lakukan bersama dengan Raden Rangga, Sabungsari dan Glagah Putih."
"Pintu gerbang?" bertanya Ki Jayaraga.
"Bukan. Tetapi dinding padepokan disebelah pintu gerbang." jawab Kiai Gringsing, "tetapi jangan terlalu dekat."
Ki Jayaraga mengerti maksud Kiai Gringsing. Dengan demikian maka benturan ilmu pada dinding padepokan itu akan menarik perhatian para pemimpin di dalam. Merekapun kemudian menemukan sasaran. Keempat orang itupun segera bersiap.
Dalam pada itu Pangeran Singasari memang sudah bersiap. Ketika ia memberikan isyarat untuk meloncat, maka Kiai Gringsing pun memberi isyarat kepada keempat orang disebelahnya. Serentak mereka melepaskan serangannya. Sabungsari melepaskan serangan lewat sorot matanya, sementara Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Raden Rangga telah menghentakkan kekuatannya pula.
Dinding itu memang mengalami hentakan yang dahsyat sekali. Berlipat dari serangan yang ditujukan kepa"da Raden Rangga, karena benturan itu memang dilontarkan oleh ampat orang yang berilmu tinggi. Namun benturan itu"pun segera disusul oleh ledakan yang dahsyat pula. Ter"nyata bahwa dengan cepat orang-orang didalam dinding padepokan itu telah bertindak.
Demikian dinding itu tergetar oleh hentakan kekuatan yang dilontarkan dari luar dan merobohkannya, maka ledakan itupun telah terjadi. Demikian cepat, sehingga hampir bersamaan waktunya.
Bersamaan dengan itu pula, maka Pangeran Singasari dengan ilmunya bersama dua orang Senapati terpilih telah menghantam pintu gerbang. Mereka memang mendengar ledakan dua kali yang hampir tanpa jarak. Namun mereka telah memusatkan nalar budi dan isyarat telah diberikan, sehingga mereka telah berada didalam ujung gerak dan sikap. Dengan demikian maka mereka tidak menghentikan gerak mereka, sehingga sesaat kemudian, maka pintu ger"bang itupun telah dihantam oleh kekuatan raksasa dari tiga orang yang berilmu tinggi.
Pintu itupun berderak pecah. Papan-papannya hancur dan terlempar berserakan. Namun pada waktu sekejap, demikian ketiga orang itu meloncat kesamping, maka sekali lagi terdengar ledakan. Pintu itu telah didorong oleh ke"kuatan ilmu raksasa dari dalam sehingga pecahan papanpun terhambur keluar.
Namun Pangeran Singasari dan kedua Senapatinya telah berhasil melenting dan berguling menyamping, se"hingga mereka tidak dihantam oleh pecahan pintu yang dilemparkan oleh kekuatan ilmu yang dahsyat, apalagi oleh kekuatan ilmu itu sendiri.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa usahanya setidak-tidaknya mempengaruhi peristiwa yang menggetarkan jantung itu.
Pangeran Singasari setelah berhasil memecahkan pintu gerbang itu, dengan serta merta telah berlari kearah Kiai Gringsing. Dengan wajah yang tegang ia bertanya, "Apa yang telah terjadi?"
Kiai Gringsingpun telah mengatakan apa yang dilakukannya bersama Ki Jayaraga, Sabungsari, Glagah Putih dan Raden Rangga. Dengan caranya ia telah menarik perhatian orang-orang yang ada didalam dinding padepokan. Kiai Gringsing berharap dengan hitungan yang tepat, maka seti"dak-tidaknya serangan mereka atas pintu gerbang itu tertunda sekejap. Yang sekejap itu dapat dipergunakan oleh Pangeran Singasari dan kedua Senapatinya untuk menghindar.
"Itu tidak perlu." geram Pangeran Singasari, "waktu itu tidak perlu kau hambat dengan caramu."
"Pangeran mendengar suara dua ledakan yang hampir tidak berjarak tepat pada saat Pangeran meloncat meng"hantam pintu gerbang?" bertanya Kiai Gringsing. Lalu, "Pangeran, sebenarnyalah bahwa mereka telah bersiap di belakang pintu gerbang itu. Setiap saat mereka mampu menyerang. Mungkin tidak hanya satu orang. Ketika me"reka dikejutkan oleh benturan tidak dipintu gerbang, maka mereka harus berpaling. Itulah sebabnya ada jarak waktu meskipun hanya sekejap. Tetapi jika serangan itu terjadi dipintu gerbang, maka yang terjadi akan berbeda."
Pangeran Singasari mengerutkan keningnya. Ia me"mang dapat membayangkan bahwa ternyata orang-orang didalam padepokan itu mampu membalas serangan yang tidak diduganya itu dengan cepat sekali. Karena itu, maka seandainya perhatian mereka tidak terpecah, maka mereka tentu akan dapat menghantam pintu gerbang itu dalam waktu yang bersamaan dengan hentakan Pangeran Singa"sari atas pintu gerbang itu.
Sejenak Pangeran Singasari membayangkan, bahwa malapetaka memang dapat terjadi. Namun demikian ia masih berkata, "Yang Kiai katakan itu mungkin benar, tetapi mungkin juga tidak. Tetapi yang penting sekarang kita akan memasuki padepokan itu."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian mengangguk sambil menjawab, "Kami akan melakukan perintah Pangeran."
Sabungsari mengerutkan keningnya. Ia adalah seorang perwira prajurit Mataram meskipun ia berada di Jati Anom. Tetapi ia sama sekali tidak diperlakukan sebagai se"orang prajurit. Meskipun demikian, dalam kelompok Kiai Gringsing rasa-rasanya ia menemukan persesuaian sikap daripada jika ia berada di dalam pasukan.
Demikianlah, maka Pangeran Singasari itupun segera bergerak kearah pintu gerbang yang telah terbuka. Namun dengan sangat berhati-hati. Mereka tidak mendekat dari samping, tetapi mereka justru berdiri diarah pintu gerbang pada jarak yang masih cukup panjang.
Namun dalam pada itu Raden Ranggapun bertanya, "Kiai, kenapa kami harus berempat membentur dinding itu" Apakah kami seorang-seorang tidak dapat melakukannya."
"Kita ingin mengejutkan mereka Raden, seolah-olah ilmu yang kita lontarkan adalah ilmu yang mahadahsyat." Kiai gringsing tersenyum. Raden Ranggapun tersenyum pula.
"Kadang-kadang hal seperti itu memang perlu." ber"kata Ki Jayaraga, "kecemasan, keragu-raguan, keterkejutan memang dapat mempengaruhi perasaan mereka. Karena itu, maka dalam peperangan terbuka kadang"kadang perang urat syaraf tidak kalah pentingnya dengan tajamnya ujung senjata."
Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Menurut pendapatku kita sudah melakukan sesuatu yang penting artinya dalam tugas ini. Jika pada saat pamanda menghantam pintu gerbang itu, orang-orang didalam melontarkan ilmunya, maka keadaan memang akan men"jadi gawat."
Namun mereka tidak dapat berbicara lebih panjang lagi. Mereka telah berada dimuka pintu gerbang meskipun pada jarak beberapa langkah. Setapak demi setapak mereka melangkah maju.
Di seberang pintu gerbang, beberapa orang memang te"lah menunggu. Mereka adalah orang-orang terpenting di pa"depokan itu. Namun juga beberapa orang murid yang siap untuk bertempur bersama dengan pemimpin tertinggi mere"ka.
Pangeran Singasari menjadi sangat berhati-hati. Ia menyadari bahwa lawannya memiliki ilmu yang tinggi. Te"tapi kini mereka dapat saling memandang, sehingga Pange"ran Singasari akan dapat mengetahui jika lawannya itu akan melontarkan ilmunya dengan ketajaman penglihatan ilmunya pula.
Dengan isyarat, maka Pangeran Singasari memberitahukan kepada para perwira yang ada didalam kelompoknya, agar mereka tidak berdiri terlalu rapat. Dengan isyarat itu maka para perwira dan prajurit Mataram itu mengerti, bahwa pada saat-saat tertentu mereka harus mampu dengan cepat meloncat menghindar.
"Kita harus mencapai pintu gerbang itu." desis Pa"ngeran Singasari tanpa berpaling, "jika kita sudah masuk, maka kita akan dengan cepat berpencar dan bertempur melawan orang-orang yang telah menunggu kita itu."
Tidak ada yang menjawab. Tetapi perintah itu siap dilaksanakan oleh para prajurit Mataram.
Namun Raden Rangga bertanya perlahan-lahan. "Pa"manda. Apakah aku diperkenankan masuk lewat dinding yang pecah dan roboh itu."
Jawab Pangeran Singasari terdengar bergetar mes"kipun tetap perlahan-lahan, "Kau dengar perintahku anak bengal."
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia tidak berani menjawab lagi.
Demikianlah mereka berjalan semakin mendekati pintu gerbang. Pangeran Singasari yang juga memiliki ilmu yang tinggi dan mampu pula melontarkan ilmu dari jarak jauh te"lah bersiap pula. Ia harus membalas serangan yang demi"kian, jika lawannya melakukannya. Namun ia menyadari, betapa dahsyatnya kekuatan lawannya itu.
Tetapi orang-orang didalam padepokan itupun telah digetarkan pula oleh serangan yang menghantam dan menghancurkan dinding padepokannya. Kekuatan yang menghancurkan dinding padepokannya itu adalah kekuatan yang luar biasa. Kekuatan yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Meskipun pemimpin tertinggi perguruan Nagaraga itu juga menyangka, bahwa serangan itu tidak dilakukan oleh hanya satu orang.
Dengan demikian maka orang-orang Nagaraga itu tidak dengan serta merta menyerang orang-orang Mataram itu dengan ilmunya dari jarak yang jauh. Pemimpin perguruan Nagaraga itu memang menunggu orang-orang Mataram mendekat dan bertempur pada jarak yang pendek. Mereka akan dapat mempergunakan ilmunya yang lain, yang mung"kin akan menjadi cara yang lebih baik untuk menghancurkan lawannya itu.
Pangeran Singasari menjadi semakin berhati-hati keti"ka ia mendekati pintu gerbang. Para prajuritpun bersiaga sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan. Mereka te"lah berada hampir tepat di pintu gerbang ketika Pangeran Singasari itu berhenti.
"Silahkan masuk Ki Sanak." terdengar suara pemim"pin perguruan Nagaraga itu menggelegar. Suaranya mem"punyai warna yang mirip dengan gaung yang terputus-putus yang dilontarkan oleh ular naga di goa sebelah pa"depokan yang saat itu menjadi agak menurun.
Pangeran Singasari masih berdiri tegak dengan kesiagaan tertinggi. Para perwira yang termasuk kelompoknya berdiri berlapis dengan jarak yang renggang. Semen"tara itu Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabungsari, Glagah Putih dan Raden Rangga berdiri agak menyamping se"hingga mereka dapat langsung memandang kearah para pe"mimpin padepokan itu. Bagaimanapun juga mereka merasa wajib untuk ikut bertanggung jawab.
Namun sebenarnyalah bahwa baik Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, maupun Raden Rangga, merasa kurang yakin akan kemampuan Pangeran Singasari. Meskipun mereka mengerti bahwa Pangeran Singasari memang mempunyai kemampuan yang tinggi, namun apakah ia mampu mengimbangi pemimpin tertinggi perguruan Nagaraga yang telah berani memerintahkan murid-muridnya untuk membunuh Panembahan Senapati. Meskipun murid-muridnya itupun telah diberinya hak untuk mendirikan perguruan tersendiri sebagai bagian dari perguruan Nagaraga, namun masih tetap dibawah pengawasannya.
Sedangkan Sabungsari dan Glagah Putih yang tidak dapat menilai kemampuan Pangeran Singasari itu, agaknya sekedar berbuat sebagaimana dilakukan oleh Kiai Gring"sing. Namun demikian keduanyapun telah bersiap pula se"penuhnya untuk menghadapi segala kemungkinan.
Memang yang dilakukan oleh Pangeran Singasari saat memecahkan pintu gerbang menimbulkan pertanyaan pada keduanya. Kenapa Pangeran Singasari tidak melakukan sebagaimana mereka lakukan. Tetapi keduanyapun telah mendengar bahwa Pangeran Singasari sendiri sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menggempur dari jarak jauh. Hanya saja, apakah Pa"ngeran Singasari sendiri yakin bahwa ia akan berhasil melakukannya.
Karena Pangeran Singasari tidak segera menjawab, maka sekali lagi pemimpin padepokan itu mempersilahkannya, "Silahkan Ki Sanak masuk. Aku mengerti maksud kedatangan Ki Sanak. Dan kami disinipun sudah siap untuk menerima kedatangan Ki Sanak."
Pangeran Singasari melangkah dengan hati-hati. Ia masih juga memperhitungkan bahwa lawannya mungkin sengaja menjebaknya.
"Siapakah kau yang memimpin pasukan Mataram, Ki Sanak." bertanya pemimpin padepokan Nagaraga yang berdiri dengan tangan bersilang di dada.
"Aku, Pangeran Singasari, saudara muda Panembahan Senapati di Mataram " jawab Pangeran Singasari.
Pemimpin perguruan Nagaraga itu mengerutkan keningnya, mengangguk hormat sambil berkata " Maaf Pangeran, aku tidak tahu bahwa Pangeran Singasari yang besar itu berkenan
datang sendiri ke perguruan yang terpencil dan sepi ini."
" Siapa kau" " bertanya Pangeran Singasari.
" Akulah yang kemudian mengenakan gelar Kiai Nagaraga "
jawab orang itu " aku adalah pemimpin tertinggi dari perguruan
ini. " " Jadi Ki Sanak adalah Maha Guru di padepokan ini" "
bertanya Pangeran Singasari pula.
Orang itu tersenyum. Katanya " Aku hanya memberikan
sedikit petunjuk kepada mereka yang datang ke padepokan
ini." Pangeran Singasari mengangguk-angguk. Diamatinya
orang itu dengan saksama. Seorang yang sudah berangkat
memasuki hari-hari tuanya. Berjanggut putih meskipun tidak
terlalu panjang. Rambutnya yang terjuntai dibawah ikat
kepalanyapun sudah nampak memutih pula. Tetapi
giginya masih nampak utuh,serta tatapan matanyamasih
berkilat-kilat. Ki Jayaraga yang mendengar jawaban itu bergeser
mendekati Kiai Gringsing sambil berbisik. " Namanya seperti
nama ular itu. " Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya " Ia
menempatkan dirinya dalam bayangan kekuatan ular itu.
Karena itu, maka ia merasa perlu untuk menyebut dirinya
seperti sebutan yang diberikan kepada ular raksasa itu. "
" Apakah ular itu memang besar sekali" " tiba-tiba Ki
Jayaraga bertanya. " Menilik bekas-bekasnya agaknya memang cukup besar.
Apalagi sesuai dengan penglihatan Raden Rangga dan
Glagah Putih disekitar padepokannya yang lama. Jejak ular itu
menunjukkan bahwa ular itu cukup besar. Makan-annyapun
seekor kambing. " jawab Kiai Gringsing.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Sementara itu ia
mendengar Kiai Nagaraga bertanya " Pangeran, apakah
keperluan Pangeran datang ke padepokan kami yang sepi dan
terpencil ini" Apalagi pasukan yang Pangeran bawa dengan
serta merta telah menyerang murid-murid perguruan
Nagaraga yang tidak bersiap-siap menghadapinya.
"Kau tidak usah berpura-pura Kiai " jawab Pangeran
Singasari " kesalahanmu kau sandang siang dan malam. Atau
barangkali kau tidak berani mengakuinya" Memang ada dua
alasan untuk ingkar. Kiai memang tidak jantan untuk mengakui
dan bertanggung jawab atas apa yang pernah kau lakukan,
atau Kiai menyesal dan kemudian menjadi ketakutan,
sehingga Kiai tidak lagi mengakui perbuatan itu.
Kiai Nagaraga menjadi tegang. Namun iapun masih juga
memaksa diri untuk tersenyum. Katanya " Pangeran Singasari.
Pangeran masih terlalu muda untuk memimpin sebuah
pasukan yang akan memasuki padepokan Nagaraga.
Kemudaan Pangeran agaknya yang membuat darah
Pangeran cepat mendidih. Sedangkan seorang pemimpin
apalagi seorang Panglima, tidak sebaiknya cepat menjadi
marah agar wawasannya tidak menjadi sempit dan kehilangan
akal. " " Terima kasih " sahut Pangeran Singasari " tetapi aku
dapat marah tanpa kehilangan akal dan penyempitan
wawasan. " " Sungguh satu keajaiban " desis Kiai Nagaraga " tetapi
agaknya Pangeran telah dibekali oleh Panembahan
Senapati orang-orang tua didalam pasukan Pangeran yang
menilik ujud lahiriahnya bukan prajurit Mataram. Mungkin
orang-orang tua itulah yang oleh Panembahan Senapati
ditugaskan untuk berbicara dengan aku. "
" Tidak " Pangeran Singasari hampir berteriak " akulah yang
mendapat tugas sebagai Panglima dalam pasukan ini.
Seandainya orang tua itu yang akan berhadapan dengan Kiai
Nagaraga, namun orang itu harus menunggu perintahku. -
Kiai Nagaraga menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian Pangeran Singasari itupun berkata " Nah, Kiai. Kita
jangan membuang waktu terlalu banyak. Kalau kau masih juga
ingkar Kiai, biarlah aku menyebutnya. Bukankah kau telah
mengirimkan beberapa orang ke Mataram untuk membunuh
kakanda Panembahan Senapati di Mataram" Bukan itu saja.
Kau telah bekerja sama dengan gerombolan yang garang dan
buas untuk menakut-nakuti rakyat Mataram. Tetapi usahamu
itu gagal sama sekali. Orang-orangmu terbunuh di Mataram. "
" Apakah Pangeran yang telah membunuhnya" " bertanya
Kiai Nagaraga. Pertanyaan itu telah menghentak jantung Pangeran
Singasari. Memang bukan Pangeran Singasari yang telah
membunuhnya. Tetapi diantaranya justru telah- terbunuh oleh
Raden Rangga yang nakal itu.
Raden Rangga sendiri menjadi berdebar-debar. Jika
pamannya Singasari menyebut namanya, maka ia akan
mendapat beban yang berat di padepokan itu, karena ia
akan menjadi pusat pembalasan dendam.
Tetapi Raden Rangga bukannya menjadi takut.
Seandainya demikian, maka ia harus minta ijin kepada
pamannya atau bahkan perintah untuk menyelesaikannya
dengan perguruan Nagaraga.
Namun ternyata Pangeran Singasari tidak menyebut
namanya. Tetapi jawabnya " Di Mataram banyak orang yang
memiliki kemampuan membunuh murid-muridmu. Bahkan
seandainya kau sendiri memasuki bilik kakanda Panembahan
Senapati. " Kiai Nagaraga itu mengangguk-angguk. Katanya " Aku
memang harus mengakui kenyataan, bahwa Panembahan
Senapati adalah orang yang memiliki ilmu rangkap dan
berlapis-lapis, sehingga jarang sekali orang yang mampu
mengimbangi ilmunya itu. Tetapi agaknya tidak demikian
dengan saudara-saudaranya. Hanya saudara angkatnya
sajalah yang agaknya dapat mendekati ilmunya itu, Pangeran
Benawa. " Wajah Pangeran Singasari menjadi merah. Satu sindiran
yang sangat tajam. Karena itu maka katanya " Kiai Nagaraga.
Yang datang bukan Pangeran Benawa. Tetapi Pangeran
Singasari. Jika kau menganggap saudara-saudara
Panembahan Senapati tidak ada yang mampu mengimbangi
ilmunya selain Pangeran Benawa, maka aku datang untuk
membuktikan bahwa kau salah. "
" O " Kiai Nagaraga mengangguk-angguk " jadi Pangeran
Singasari juga merasa memiliki kemampuan setinggi
Pangeran Benawa" Bagus. Jika demikian, silahkan masuk.
Kita akan membuktikan, apakah yang Pangeran katakan itu
benar. Disini kami sudah siap menunggu beberapa orang
muridku dan beberapa orang cantrik terpilih. Kami akan
menyambut pasukan yang agaknya pasukan pilihan yang
dipimpin langsung oleh Panglimanya. "
Pangeran Singasari mengerutkan keningnya. Tetapi ia
sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Namun sekali lagi Kiai Nagaraga berkata " Silahkah masuk
Pangeran. Kika akan membuktikan kemampuan kita masingmasing
didalam padepokan. Kau sudah berhasil memecahkan
pintu gerbang, karena itu, kau berhak memasukinya. "
Pangeran Singasari masih termangu-mangu. Namun iapun
kemudian melangkah masuk sambil memberikan isyarat
kepada para prajurit Mataram untuk mengikutinya.
Dengan sangat berhati-hati mereka melangkah masuk.
Namun seperti perintah yang sudah diberikan oleh Pangeran
Singasari, maka demikian mereka berada didalam padepokan,
maka merekapun segera berpencar.
" Satu langkah yang rapi dari sekelompok prajurit " berkata
Kiai Nagaraga. " Bersiaplah " geram Pangeran Singasari " kami sudah siap.
Kau akan dapat menilai, siapakah yang lebih baik. Saudara
Panembahan Senapati atau saudara angkatnya.
Kiai Nagaraga tertawa. Katanya " Sebenarnya akupun
kurang tahu pasti, seberapa tinggi ilmu Pangeran Benawa.
Tetapi jika kau memang memiliki ilmu yang lebih tinggi,
sokurlah. Kita akan mempunyai banyak waktu untuk bermainmain.
Pangeran dan juga aku tidak akan mencemaskan
orang-orang kita masing-masing di bagian-bagian dari
padepokan. Mereka adalah orang-orang yang bertanggung
jawab. Jika mereka kalah, biarlah kekalahan itu dipertanggung
jawabkan. Sedangkan jika mereka menang, maka biarlah
mereka berbangga dengan kemenangan mereka setiap
bagian dari padepokan ini. "
" Bagus " berkata Pangeran Singasari " tetapi dengarlah
dahulu pesan yang aku bawa. Panembahan Senapati
memerintahkan kalian untuk menyerah. Tetapi jika kalian tidak
mau menyerah, maka segala kebijaksanaan ada ditanganku. "
" Bagus sekali " berkata Kiai Nagaraga " sekarang
Pangeran sudah berhadapan dengan kami, orang-orang
dari perguruan Nagaraga. Kami tidak menyerah. Kami
sudah berani melakukan satu langkah yang kami sadari akan


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berakibat seperti ini. Tetapi ketahuilah Pangeran, bahwa kami,
Nagaraga tidak -sendiri. "
" Aku tahu " jawab Pangeran Singasari " tetapi kau-pun
harus menyadari, bahwa kau tidak akan mendapatkan apa
yang dijanjikan kepadamu seandainya kau mampu membunuh
panembahan Senapati. Kau tidak akan dapat mendapat
kedudukan apapun juga dari Panembahan Madiun. Bahkan
mungkin kau akan dilemparkan ketempat sampah sebagai
seorang pengkhianat. "
Kiai Nagaraga tertawa. Katanya " Luar biasa. Agaknya
bukan rahasia lagi bahwa sikap Panembahan Madiun
terhadap Mataram sudah diketahui. Tetapi jika kau anggap
bahwa aku tidak akan berarti kelak, kau salah Pangeran. Atau
barangkali kau sekedar ingin membuat kesan, bahwa kerjaku
akan sia-sia sehingga aku akan menarik diri"
Jantung Pangeran Singasari menjadi semakin bergetar.
Kemarahannya seakan-akan sudah tidak tertahankan lagi.
Tetapi tiba-tiba saja ia teringat, justru kata-kata Kiai Nagaraga,
bahwa seorang Senapati tidak boleh kehilangan nalar karena
kemarahan. Sebelumnya Pangeran Singasaripun tahu akan
hal itu. Namun kadang-kadang ia lupa diri dan kemarahan itu
melonjak begitu saja. Namun berhadapan dengan orang yang menyebut dirinya
Nagaraga itu Pangeran Singasari benar-benar harus berhatihati.
Menilik sikap dan tatapan matanya maka kiai Nagaraga
adalah orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Hampir diluar sadarnya Pangeran Singasari berpaling
kearah Kiai Gringsing. Kiai Gringsing memang nampak lebih
tua dari orang itu. Garis-garis diwajah Kiai Gringsing-pun
nampak lebih dalam. Tubuhnyapun tidak lagi nampak sekuat
orang yang menyebut dirinya Nagaraga itu. Namun Pangeran
Singasari mengerti, bahwa Kiai Gringsing itupun memiliki ilmu
yang jarang ada bandingnya. Namun bagaimanapun
juga ternyata seseorang tidak akan dapat
menghindarkan diri dari ketuaan.
Disamping Kiai Gringsing berdiri Ki Jayaraga yang nampak
lebih muda sedikit dari Kiai Gringsing. Hanya sedikit.
Sedangkan kemudian berdiri Sabungsari, Glagah Putih dan
Raden Rangga diantara prajurit-prajurit Mataram yang
bersiaga sepenuhnya. Dalam pada itu Pangeran Singasaripun berkata dengan
nada rendah " Kiai Nagaraga. Sekali lagi aku perintahkan kau
menyerah atas nama Panembahan Senapati yang berkuasa di
Mataram. " " Maaf Raden. Aku sudah bertekad untuk menyatukan diri
dengan Madiun meskipun padepokanku ini terletak disebelah
Barat Bengawan. Jika Madiun sekarang belum bergerak, tentu
hanya soal waktu. Bahkan mungkin sekarang pasukan Madiun
sudah siap untuk menggempur Mataram. " jawab Kiai
Nagaraga. Tetapi Pangeran Singasari menggeleng. Katanya " Kau
salah Kiai. Mungkin sekarang pamanda Panembahan Madiun
sedang menyesali rencana yang meskipun baru di dengar
oleh beberapa orang. Sementara itu kau telah dengan
tergesa-gesa menjual jasa untuk mendapat pujian dan
barangkali kedudukan kelak. Tetapi kau akan menyesal
sepanjang hidupmu; seandainya hari ini kau terlepas dari
maut, bahwa ternyata Panembahan Madiun tidak berbuat apaapa.
" " Kau memang pandai bergurau Pangeran Singasari " Kiai
Nagaraga tersenyum " memang mungkin permainan kanakkanak
akan terjadi seperti yang kau katakan. "
" Jarak yang memang ada diantara pamanda Panembahan
Madiun dan kakangmas Panembahan Senapati bukan
menjadi semakin jauh, tetapi keduanya sudah saling
mengadakan pendekatan " berkata Pangeran Singasari pula.
Kiai Nagaraga tertawa. Katanya " Sudahlah Pangeran.
Jangan merajuk seperti itu. Sekarang kita berhadapan
dimedan, sementara orang-orang kami masing-masing
telah bertempur. Mungkin satu dua orang telah terbunuh, baik
prajurit Mataram maupun orang-orang Nagaraga. Tetapi itu
wajar sekali " Kiai Nagaraga berhenti sejenak, lalu -Nah
sekarang kita yang akan bertempur. Mungkin aku, tetapi
mungkin Pangeran akan mati. Mungkin orang-orang
Padepokan ini akan tumpas, tetapi mungkin pula semua
prajurit Mataram yang datang kepadepokan ini tidak akan
kembali. " Pangeran Singasari mengangguk-angguk. Katanya " Baik.
Baik. " Sejenak ia terdiam. Namun kemudian Pangeran Singasari
segera memberikan aba-aba dengan isyarat tangannya.
Ketika ia merentangkah tangannya, maka para prajurit yang
berada dalam kelompok itupun mulai bergerak. Mereka
berpencar semakin jauh, sehingga jarak yang satu dengan
yang lain menjadi semakin panjang. Sabungsari mengenali
juga isyarat itu, tetapi ia tidak dapat ikut melakukannya,
karena Pangeran Singasari tidak memasangnya dalam
pasukannya. Dalam pada itu sekali lagi Kiai Nagaraga memuji " Satu
gerakan prajurit yang rapih " tetapi katanya selanjutnya "
namun hanya menarik dalam pertunjukan ketangkasan di
alun-alun dalam upacara kebesaran. Tidak untuk dipamerkan
di medan perang. " Darah Pangeran Singasari memang terasa hampir
mendidih. Bahkan Raden Ranggapun rasa-rasanya tidak
sabar lagi. Kata-kata Kiai Nagaraga itu benar-benar membuat
hatinya menjadi panas, sehingga iapun telah bergeser
setapak. Namun Glagah Putih telah menggamitnya sambil
berdesis " Kita hanya boleh bergerak jika kita mendapat
perintah. " Glagah Putih menyadari, betapa perasaan Raden Rangga
telah bergejolak ketika ia mendengar anak muda itu
gemeretak. Tetapi Raden Rangga memang harus menahan
dirinya, jika ia tidak ingin justru dibentak oleh Pangeran
Singasari sendiri. Ketika tangan Pangeran Singasari keduanya terangkat
keatas, maka para prajurit Mataram itupun mulai melangkah
mendekati lawan. Namun mereka masih tetap berhati-hati.
Mereka menyadari bahwa orang-orang padepokan itu mampu
melontarkan serangan yang dahsyat dari jarak jauh
sebagaimana mereka menyerang Raden Rangga ketika anak
muda itu menengok dari atas dinding.
Namun dalam pada itu, ketika Kiai Nagaraga melihat
pasukan Mataram dalam kelompok yang dipimpin langsung itu
bergerak, justru tertawa. Katanya " Ternyata Mataram
memang memiliki prajurit-prajurit yang mapan dalam gelar.
Meskipun kelompok ini hanya kecil, namun yang nampak
adalah bayangan gelar Wulan Tumanggal. "
" Persetan " gertak Pangeran Singasari " kita akan segera
bertempur. Kenapa kau tidak melontarkan lagi seranganmu
yang dahsyat dari tempatmu" "
Kiai Nagaraga itu tiba-tiba mengerutkan keningnya. Namun
kemudian sambil tersenyum ia berkata " Ternyata orang yang
dapat menghindari seranganku adalah seorang laki-laki
remaja. Bukan main. Bukankah anak itu yang tadi memanjat
dinding" " Pangeran Singasari memang ragu-ragu untuk menjawab.
Bagaimanapun juga Raden Rangga adalah kemenakannya. Ia
tidak ingin perhatian lawannya apalagi Kiai Nagaraga sendiri
tertuju kepada Raden Rangga.
Namun ternyata Raden Rangga sendirilah yang menjawab
" Ya. Kiai heran" "
Kiai Nagaraga mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian tersenyum sambil berkata " Kau lucu anak muda.
Tetapi sayang bahwa hari ini adalah hari terakhirmu. Apalagi
bahwa kau adalah orang yang pertama-tama berani
melanggar hakku. " " Bukan anak itu " sahut Pangeran Singasari " prajurit
Mataram telah lebih dahulu memasuki padepokan ini. "
" Tetapi tidak di padepokan induk ini " wajah Kiai Nagaraga
nampak berkerut. " Semua adalah tanggung jawabku " berkata Pangeran
Singasari. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ketika memandang
Ki Jayaraga, orang tua itupun mengangguk kecil. Keduanya
memang agak bingung menanggapi sifat Pangeran Singasari
yang kadang-kadang seakan-akan sama sekali tidak
menghiraukan dan apalagi bertanggung jawab terhadap
orang-orangnya. Tetapi tiba-tiba saja ia menunjukkan sifat
kepemimpinannya yang besar.
" Keluarga Panembahan Senapati terdiri dari orang-orang
yang sulit untuk dijajagi " berkata Kiai Gringsing didalam
hatinya. " Apakah Pangeran Mangkubumi, adik Pangeran Singasari
juga mempunyai sifat seperti ini" Menurut pendengaranku,
Pangeran Mangkubumi meskipun lebih muda, tetapi agak
lebih tenang dari Pangeran Singasari. Terlebih-lebih lagi
adalah kakak Pangeran Singasari, adik Panembahan Senapati
yang bergelar Pangeran Gagak Baning. "
Sementara itu Kiai Nagaragapun agaknya telah bersiap
pula. Karena Pangeran Singasari yang telah berdiri dihadapannya,
maka iapun telah bersiap untuk bertempur
melawan. Pangeran Singasari. Sementara itu pasukan Matarampun
telah bergeser semakin dekat. Para perwira didalam
pasukan itu sadar, bahwa mereka akan lebih banyak
tergantung kepada kemampuan mereka secara pribadi.
Mereka tidak akan banyak tergantung kepada bayangan gelar
Wulan Tumanggal yang kecil itu.
Demikianlah, maka ketika Pangeran Singasari kemudian
memberi isyarat, maka pasukan Mataram itu langsung telah
menyerang para penghuni padepokan yang lebih banyak
menunggu. Namun pada saat terakhir merekapun telah
bergeser memencar pula untuk menghadapi lawan masingmasing.
Jumlah para murid terpilih dan para cantrik yang ada di
padepokan induk itupun ternyata lebih banyak dari para
perwira dan prajurit dari Mataram. Namun para prajurit dari
Mataram memang telah bersiap menghadapi mereka.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga sempat memperhatikan
medan itu secara keseluruhan. Menurut perhitungan mereka,
para cantrik bukannya orang-orang yang sudah matang.
Mereka adalah orang-orang yang baru memiliki ilmu dasar dari
padepokan Nagaraga. Namun yang lain agaknya mempunyai
ilmu dalam tataran yang berbeda-beda. Bahkan menilik
ujudnya, ada satu dua orang yang agaknya merupakan murid
yang sudah menyerap seluruh ilmu dari Nagaraga meskipun
belum sempat dikembangkan sebagaimana para murid yang
sudah diberi wewenang untuk mengendalikan bagian dari
perguruan Nagaraga itu. Ketika para prajurit dari Mataram telah bertempur, maka
Pangeran Singasaripun telah bersiap menghadapi pemimpin
tertinggi dari Nagaraga yang juga disebut Kiai Nagaraga itu.
Sementara itu Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabung-sari,
Glagah Putih dan Raden Rangga masih juga ragu-ragu.
Apakah perintah Pangeran Singasari itu berlaku juga bagi
mereka. Ketika para prajurit Mataram telah bertempur melawan para
penghuni padepokan itu dalam jumlah yang lebih banyak,
sementara lima orang diantara mereka dari kelompok itu
masih berdiri termangu-mangu, maka Pangeran Singasaripun
berkata " He, kenapa kalian belum berbuat sesuatu. Betapa
tinggi ilmu kalian, tetapi jika tidak kalian pergunakan, maka
ilmu itu tidak akan ada artinya. "
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sikap Pangeran
Singasari kadang-kadang memang menyinggung perasaan.
Tetapi dalam keadaan itu, mereka harus melupakannya.
Mereka sudah berada dihadapan hidung lawan.
Karena itu, maka kelima orang itupun tidak menghiraukan
lagi sikap Pangeran Singasari. Merekapun segera
bersiap-siap menghadapi segala, kemungkinan.
Namun dalam pada itu, rasa-rasanya Kiai Gringsing selalu
dibayangi oleh kecemasan melihat sikap dan sorot mata Kiai
Nagaraga yang harus melawan Pangeran Singasari. Rasarasanya
Pangeran Singasari masih belum cukup matang
untuk menghadapinya. Meskipun demikian Kiai Gringsing
yang tua itu tidak mengatakan sesuatu. Tetapi Kiai Gringsing
berusaha untuk dapat selalu berada didekat Pangeran
Singasari. Meskipun Pangeran Singasari seakan-akan telah
menempatkan dua orang perwira terpilihnya yang bersamasama
telah memecahkan pintu gerbang untuk menjadi
Senapati pengapitnya namun ilmu kedua Senapati itu bagi Kiai
Gringsing memang masih terlalu muda.
Dengan segala macam cara Kiai Gringsing telah
mendapatkan seorang lawan yang meskipun belum mencapai
pertengahan abad, namun apaknya ia adalah murid yang
sudah terhitung mapan dari Kiai Nagaraga. Dengan demikian,
maka Kiai Gringsing mendapat kesempatan untuk bertempur
didekat Pangeran Singasari, disebelah salah seorang dari
kedua Senapati pengapit itu.
Ketika Kiai Gringsing bergeser mendekati Pangeran
Singasari maka ia telah berbisik ditelinga Ki Jayaraga "
Tolong, awasi anak-anak itu. Aku akan berusaha berada
didekat Pangeran Singasari. "
- Ki Jayaraga mengangguk. Tetapi iapun berdesis "
Bagaimana jika aku sendiri digulung oleh ilmu orang-orang
Nagaraga. " " Kau akan menjadi nasi golong " jawab Kiai Gringsing
sambil tersenyum. Ki Jayaragapun tersenyum. Namun iapun kemudian telah
bergeser untuk selalu berada didekat anak-anak muda yang
datang bersamanya. Dengan demikian maka pertempuranpun telah menjalar
kesetiap orang. Kiai Gringsing yang tua itu harus berusaha
mengimbangi tata gerak lawannya yang keras.
Namun karena kemampuan ilmu yang ada didalam dirinya,
maka Kiai Gringsing ternyata mampu bergerak dengan cepat.
Meskipun menilik ujud wadagnya. Kiai Gringsing seharusnya
sudah menjadi semakin lemah. Namun Kiai Gringsing masih
merupakan seorang yang selalu mampu mengimbangi
kemampuan ilmu lawannya. Betapapun lawannya
meningkatkan kemampuannya, namun kemampuan itu sama


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali tidak berhasil melampaui kemampuan orang tua itu.
Bahkan kadang-kadang lawan Kiai Gringsing itu terkejut dan
terpaksa meloncat menghindar jika tiba-tiba saja Kiai
Gringsing mendesaknya. Namun Kiai Gringsing masih selalu menahan dirinya. Yang
penting baginya bukannya lawannya itu. Tetapi ia selalu
mengamati pertempuran antara Pangeran Singasari dan Kiai
Nagaraga yang telah berkobar pula. Namun agaknya
keduanya juga masih berusaha untuk saling menjajagi
kemampuan lawan. Di bagian lain, Sabungsari, Glagah Putih dan Raden
Rangga telah bertempur pula. Tetapi mereka sama sekali
tidak memilih lawan. Mereka bertempur dengan siapa saja
yang datang kepada mereka.
Ki Jayaraga masih sempat memperhatikan pertempuran itu
beberapa saat sebelum seorang yang bertubuh kecil
melenting menyerangnya. Seorang yang perbandingan kaki
dan tubuhnya tidak seimbang.
Tetapi meskipun kakinya terhitung terlalu pendek dibanding
dengan tubuhnya, namun ternyata ia adalah murid Kiai
Nagaraga yang telah mewarisi hampir semua ilmunya.
Dengan demikian maka Ki Jayaragapun harus segera
berusaha mencari keseimbangan dengan kemampuan
lawannya. Karena lawannya langsung mengerahkan
kemampuannya sampai ketataran kemampuan lawannya.
Meskipun kemudian pertempuran antara Ki Jayaraga dan
murid Kiai Nagaraga yang berkaki pendek itu berlangsung
dengan cepat, tetapi Ki Jayaraga masih sempat mengamati
anak-anak muda yang datang bersamanya, yang
bertempur tidak jauh daripadanya, diantara murid-murid dari
padepokan Nagaraga yang bertempur dengan prajurit
Mataram. Sementara itu Pangeran Singasari sendiri, yang bertempur
melawan Kiai Nagaraga menjadi semakin lama semakin cepat
dan keras. Bagaimanapun juga adik Panembahan Senapati itu
memiliki bekal yang lengkap untuk memasuki padepokan
Nagaraga yang besar. Namun Pemimpin Agung dari padepokan itu benar-benar
seorang yang mumpuni. Kemampuan Pangeran Singasari
yang tinggi, ternyata belum mampu menggoyahkan
pertahanannya. Semakin lama benturan-benturan ilmu yang terjadipun
menjadi semakin keras. Baik Pangeran Singasari maupun Kiai
Nagaraga selalu meningkatkan kemampuannya selapis demi
selapis. Namun keduanya ternyata masih belum menganggap perlu
untuk mempergunakan senjata. Bahkan mereka memang
lebih percaya pada kemampuan ilmu mereka daripada ujung
senjata. Namun para prajurit dan perwira Mataram sebagian besar
telah mempergunakan senjata mereka sebagaimana orangorang
padepokan itu. Seorang perwira Mataram telah bertempur melawan
seorang murid Kiai Nagaraga yang baru mencapai tataran
tengahan. Tetapi murid Nagaraga itu pada dasarnya memang
memiliki tubuh yang tinggi besar dan kekuatan melampaui
orang kebanyakan. Dengan ilmu yang telah diwarisinya itu,
maka ia benar-benar merupakan orang yang sangat
berbahaya. Senjatanya adalah sebuah bindi yang bergerigi
tajam Putaran bindinya itu telah menimbulkan desau yang
mendebarkan, sementara anginpun bagaikan diputarnya
disekitar tubuhnya karena putaran bindinya itu.
Perwira Mataram yang mempergunakan pedang sama
sekali tidak mau membenturkan pedangnya. Perwira itu sadar
akan kekuatan lawannya, sehingga karena itu, maka iapun
telah melawan kekuatan itu dengan kecepatan dan
ketrampilan ilmu pedangnya.
Di bagian lain dari pertempuran itu, seorang murid Kiai.
Nagaraga yang telah memiliki landasan ilmu yang kuat, telah
berhasil mendesak lawannya. Seorang perwira Mataram
hampir saja disambar tombak bertangkai pendek. Namun
perwira itu masih sempat melenting menjauh.
Tetapi lawannya tidak membiarkannya lepas. Dengan serta
merta ia telah memburunya dengan ujung tombak yang
teracu. Namun para prajurit Mataram memiliki ketrampilan
bertempur dalam kelompok-kelompok. Karena itu, selagi
orang bertombak itu berusaha untuk menghabisi lawannya,
seorang perwira yang semakin terdesak, maka tiba-tiba
serangan yang lain telah datang menyambarnya.
Untunglah bahwa ia masih sempat menghindar, sehingga
ujung pedang seorang perwira yang lain tidak mengoyak
dadanya. Namun demikian iapun berkata " Kau curang. Kau tidak
bertempur secara jantan. "
" Kami adalah sekelompok prajurit yang berada di-medan
perang. Kami bukan sedang berperang tanding " sahut perwira
yang menyerangnya. Lalu " Lihat, apakah para cantrik dari
padepokan ini juga bersikap jantan" Mereka telah
mengeroyok para prajurit Mataram. Bahkan ada yang
berkelompok sampai tiga orang melawan seorang prajurit. "
" Jumlah kami memang lebih banyak " jawab murid
Nagaraga itu. " Bagi seorang prajurit, yang penting bukan jumlahnya,
tetapi kemampuan bertempur dalam kelompok itu. " jawab
perwira itu. Murid Nagaraga itu tidak menjawab lagi. Tetapi iapun telah
meloncat menyerang prajurit yang telah menggagalkan
usahanya membunuh lawannya itu.
Dengan demikian maka pertempuranpun menjadi semakin
lama semakin sempit. Orang-orang padepokan Nagaraga
ternyata sebagaimana perguruan-perguruan yang lain,
kemampuan dan ilmunya bertataran panjang. Ada yang baru
mulai, ada yang sudah menginjak jenjang pertengahan, ada
yang sudah mulai mendalami ilmunya, dan bahkan ada yang
telah mewarisi semua ilmu gurunya. Tetapi orang-orang
terpenting dari perguruan itu telah berada dibagian-bagian
yang dipisahkan oleh dinding-dinding meskipun masih berada
dilingkungan padepokan Nagaraga itu.
Namun demikian, beberapa orang memang telah membuat
para perwira Mataram menjadi gelisah. Murid-murid terbaik
dibawah mereka yang berhak berdiri sendiri dalam lingkungan
padepokan itu telah membuat para perwira harus menempuh
berbagai cara untuk menghubungi mereka. Secara pribadi
mereka memang memiliki kemampuan lebih baik dari para
perwira. Sementara jumlah para cantrikpun melampaui jumlah
prajurit Mataram yang lain.
Tetapi diantara prajurit Mataram itu terdapat beberapa
orang yang berilmu tinggi, namun masih belum
mempergunakan kemampuan mereka sepenuhnya.
Mereka justru baru menahan serangan orang-orang yang
datang kepada mereka. Tetapi mereka masih belum memilih
lawan selain Kiai Gringsing. Tetapi yang penting bagi Kiai
Gringsing adalah, bahwa ia bertempur dekat dengan
Pangeran Singasari. Beberapa saat kemudian, maka ternyata bahwa orangorang
padepokan yang jumlahnya lebih banyak, serta beberapa
orang murid yang memiliki kemampuan secara pribadi lebih
tinggi itu, berhasil mendesak para prajurit Mataram. Perlahanlahan
prajurit Mataram harus bergeser surut. Para perwira
yang bertempur melawan satu atau dua orang cantrik
memang mampu bertahan dan bahkan mampu
mengatasi para cantrik itu. Tetapi jika masih datang lagi
para cantrik yang meskipun tidak berilmu tinggi, namun
mereka benar-benar membingungkan.
Sedangkan beberapa orang murid Kiai Nagaraga benarbenar
memiliki ilmu yang lebih tinggi dari para perwira,
sehingga para perwira harus mempergunakan kemampuan
mereka bertempur dalam kelompok-kelompok tertentu yang
saling bersilang lawan. Dengan demikian kadang-kadang
mereka memang dapat membuat lawan mereka menjadi
agak bingung karena lawannya harus setiap kali berganti.
Namun dalam pada itu, Ki Jayaragapun mulai mencoba
untuk ikut menahan desakan orang-orang padepokan itu.
Ketika orang berkaki pendek yang menyerangnya itu menjadi
semakin garang, maka Ki Jayaragapun berusaha untuk
melemparkannya kembali kebelakang garis pertempuran. Ia
ingin mempengaruhi seluruh medan agar orang-orang
Mataram tidak selalu terdesak. Namun ia harus bekerja sama
dengan Sabungsari, Glagah Putih dan meskipun sambil
berdebar-debar juga Raden Rangga.
Karena itu, maka ketika ia sempat mendekati Sabungsari,
maka iapun berkata tanpa menghiraukan lawannya yang
berkaki pendek itu, apakah ia akan mendengarnya " Kita
sudah mendapat perintah. Beritahukan kepada Glagah Putih
agar kalian dapat ikut menahan gerak maju pasukan
Nagaraga. Minta Raden Rangga ikut, tetapi jangan biarkan
anak muda itu berbuat semaunya. "
" Baik Kiai " jawab Sabungsari " aku akan minta Glagah
Putih untuk berbicara dengan Raden Rangga. "
" Bagus " jawab Ki Jayaraga " Glagah Putih lebih akrab
dengan anak muda yang aneh itu. "
Sabungsaripun kemudian berusaha untuk menembus
medan mendekati Glagah Putih yang sedang bertempur
melawan seorang cantrik yang berusaha mendesak Glagah
Putih itu. Sementara itu Glagah Putih sendiri yang masih raguragu
apakah yang sebaiknya dilakukan justru karena
sikap Pangeran Singasari, tidak segera mengambil
langkah-langkah penting. Ia berada pada garis pertempuran,
hingga karena pasukan Mataram tergeser surut, maka iapun
ikut pula terdesak mundur.
Sabungsaripun kemudian memberitahukan kepada Glagah
Putih pesan Ki Jayaraga yang agaknya telah memutuskan
untuk mengambil langkah-langkah tanpa menunggu isyarat
apapun juga. " Beritahu Raden Rangga " pesan Sabungsari " tetapi
jangan biarkan anak muda itu bertindak berlebihan. Hal itu
akan dapat memancing kemarahan Pangeran Singasari. "
" Baik " sahut Glagah Putih sambil menghadapi cantrik
yang sibuk menyerangnya. Sabungsaripun kemudian telah bergeser pula. Iapun telah
mendapat lawan seorang cantrik. Sementara itu seorang
prajurit Mataram mengalami kesulitan ketika dua orang cantrik
bersama-sama menyerangnya.
Ketika Glagah Putih kemudian berusaha mendekati Raden
Rangga, maka seorang perwira tiba-tiba saja membentaknya "
Kau mau kemana he" Lari "
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Perwira itu sendiri
sibuk bertempur dengan mengerahkan segenap
kemampuannya. Ia harus melawan tiga orang murid yang
nampaknya telah menyelesaikan beberapa tataran permulaan
olah kanuragan. Sehingga dengan demikian, maka para murid
itu sudah memiliki kemampuan bermain senjata.
" Aku akan menghubungi Raden Rangga " jawab Glagah
Putih. " Kau berada di medan pertempuran " geram perwira yang
terdesak itu. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba
saja ia merasa jengkel kepada perwira yang membentaknya
itu. Karena itu maka ia ingin menunjukkan sesuatu kepada
perwira itu. Dengan serta merta Glagah Putih melompat memasuki
arena pertempuran perwira itu. Dengan serta merta, maka
Glagah Putih telah mengerahkan kemampuannya. Dengan
landasan ilmunya iapun telah berloncatan disekitar perwira itu.
Tangannya bagaikan menjadi seribu. Meskipun ia belum
mengurai senjatanya, namun perwira itulah yang memberikan
senjata kepadanya. Tanpa diketahuinya, pedangnya sudah
berpindah ditangan Glagah Putih. Sehingga dengan pedang
itu Glagah Putih telah bertempur melawan tiga orang murid
Kiai Nagaraga. Perwira yang kehilangan pedangnya itu menjadi bingung.
Tetapi iapun kemudian melihat, ketiga orang murid itu telah
terdesak mundur. Dua orang diantara mereka terluka,
sementara seorang diantaranya berusaha untuk melindungi
kedua kawannya yang terluka itu menarik diri.
Glagah Putih tidak mengejar mereka. Namun iapun
kemudian telah menyerahkan pedang itu kembali kepada
perwira yang sedang kebingungan. Nampaknya ia bukan
perwira yang memiliki kemampuan bertempur secara pribadi
dengan baik meskipun barangkali ia memiliki kemampuan
dalam perang gelar dan mengatur gerak pasukan.
Glagah Putih tidak berbicara sepatah katapun. Iapun
kemudian meninggalkan perwira itu untuk menemui Raden
Rangga. Untuk beberapa saat perwira itu termangu-mangu. Ia sama
sekali tidak mengira bahwa anak muda itu memiliki
kemampuan yang demikian tingginya sehingga membuatnya
agak bingung untuk menilainya.
Namun iapun segera sadar, bahwa pertempuran masih
berlangsung. Karena itu, maka iapun segera mengangkat
pedangnya dan memasuki arena menyusup diantara para
prajurit Mataram yang dengan susah payah bertahan agar
tidak terdesak terus. Ketika Glagah Putih mendekati Raden Rangga, maka
Raden Rangga nampaknya masih saja bermain-main dengan
para cantrik. " Raden " berkata Glagah Putih " sebagaimana Raden lihat,
pasukan Mataram telah terdesak. "
Tetapi dengan acuh tak acuh Raden Rangga menjawab "
Biar saja. Bukankah semuanya tanggung jawab pamanda
Pangeran Singasari. "
" Memang benar Raden. Tetapi bagaimana dengan para
prajurit Mataram" Kita masih belum sempat mengamati
pertempuran di bagian bagian lain dari padepokan ini. Jika
mereka juga terdesak, maka prajurit Mataram yang ada disini
akan tertumpas habis. Mungkin kita dapat meloloskan diri.
Tetapi apakah kita akan membiarkan korban yang demikian
banyaknya" "

09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Jadi maksudmu, aku harus membunuh sebanyakbanyaknya"
" bertanya Raden Rangga.
" Bukan. Bukan maksudku. Tetapi setidak-tidaknya kita
berusaha agar pasukan Mataram tidak terdesak dan berhasil
menguasai padepokan ini " jawab Glagah Putih.
" Bukankah kita boleh berbuat sesuatu setelah ada perintah
pamanda Pangeran" " bertanya Raden Rangga sambil
meloncat kian kemari. Bahkan ketika Glagah Putih-pun
diserang pula, iapun harus menghindar juga. Tetapi Glagah
Putih itu berkata " Bukankah perintah untuk bertempur itu
sudah dijatuhkan" "
" Dan bukankah aku juga sudah bertempur mati-matian"
" jawab Raden Rangga.
Para cantrik yang bertempur melawan Raden Rangga itu
menjadi muak mendengar percakapan itu. Seorang cantrik
tiba-tiba membentak " Jangan banyak bicara. Sebentar lagi
kau akan mati disini. "
Tetapi cantrik itu terkejut. Demikian mulutnya ter-katub,
tiba-tiba saja terasa mulutnya menjadi panas. Tiga giginya
terlepas dan darahpun mengalir dari sela-sela bibirnya.
" Gila " geram cantrik itu.
" Jangan mengumpat lagi agar tidak semua gigimu
Rahasia Hiolo Kumala 21 Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka Kereta 450 Dari Paddington 3
^