Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 24

09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 24


Raden Rangga tersenyum pula. Katanya, "Biarlah aku duduk lagi sebentar Kiai."
Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian iapun berkata, "Raden. Biarlah aku minta diri sebentar un"tuk pergi ke pakiwan."
Raden"Rangga memandang wajah Kiai Gringsing se"jenak. Memang agak tiba-tiba menurut pendengaran Raden Rangga, bahwa Kiai Gringsing akan pergi ke pakiwan. Namun kemudian, Raden Ranggapun mengangguk-angguk. Katanya, "Silahkan Kiai."
Kiai Gringsingpun kemudian berpaling kepada Ki Jayaraga sambil berkata, "Aku persi"lahkan Ki Jayaraga menunggui Raden Rangga sebentar."
Ki Jayaraga mengangguk. Ternyata iapun mempunyai perhitungan yang sama dengan Kiai Gringsing. Tetapi iapun tidak mengatakan kepada siapapun juga. Apalagi kepada Raden Rangga sendiri.
Demikianlah, maka Kiai Gringsingpun telah meninggalkan bilik itu. Tetapi ia sama sekali tidak pergi ke paki"wan. Tetapi Kiai Gringsing telah berusaha untuk menghadap Panembahan Senapati. Untunglah bahwa Panembahan Senapati yang sedang tidak terlalu sibuk, dapat menerimanya. Dengan singkat Kiai Gringsing memberi tahuKan apa yang sedang dialami oleh Raden Rangga. Juga tentang noda-noda dibawah kulitnya.
Panembahan Senapatipun menjadi berdebar-debar. De"ngan nada rendah iapun berdesis, "Bagaimana menurut pendapat Kiai?"
"Hamba ingin mempersilahkan Panembahan untuk melihat keadaannya," berkata Kiai Gringsing, "keter-batasan pengetahuan hamba telah membuat hamba tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang hamba hadapi pada Raden Rangga itu."
"Baiklah." berkata Panembahan Senapati, "aku akan segera datang. Aku akan berbenah diri lebih dahulu."
Kiai Gringsingpun kemudian mendahului kembali ke bilik Raden Rangga. Namun iapun telah singgah sejenak dipakiwan untuk membasahi wajahnya. Ketika Kiai Gringsing berada di bilik itu kembali, dilihatnya Raden Rangga sudah berbaring. Namun wajahnya yang pucat itu masih nampak cerah. Bahkan iapun kemudian telah kembali melagukan tembang. Kali ini Raden Rangga telah melagukan tembang Dandanggula.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Glagah Putihpun menjadi gelisah. Ia memang memerlukan waktu untuk berbicara dengan Raden Rangga. Tetapi ia tidak mau memutuskan tembang Raden Rangga itu.
Raden Rangga memang tidak menghiraukan orang-orang yang berada didalam bilik itu. Bahkan seakan-akan ia tidak lagi merasakan kehadiran mereka. Ia justru asik dan tenggelam kedalam lagu tembangnya.
Glagah Putih yang gelisahpun kemudian berdesis ditelinga Kiai Gringsing, "Kiai. Bukankah sebaiknya aku bertanya kepada Raden Rangga, mungkin ada sesuatu yang perlu dipesankan kepadaku, setelah Raden Rangga menga-lirkan getaran dari dalam dirinya. Aku sama sekali tidak mengerti, pengaruh apa yang bakal terjadi atas diriku atau barangkali ada pantangan atau keharusan untuk aku lakukan."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ya. Kau memang memerlukannya."
"Tetapi apakah aku harus memotong tembangnya" Agaknya ia terlalu asyik dan bahkan lebur didalam kidungnya." berkata Glagah Putih pula.
Kiai Gringsing tidak menjawab. Namun terdengar sua"ra tembang itu mulai susut. Lagunya masih utuh tetapi semakin lama menjadi semakin perlahan. Kiai Gringsing dengan jantung yang berdebaran telah mendekati Raden Rangga yang pucat. Bibir anak muda itu masih terus bergerak sehingga akhirnya bait yang terakhirpun telah dilagukannya pula.
Ketika Raden Rangga kemudian berhenti melagukan tembang Dandanggula, maka Kiai Gringsingpun menyebut namanya, "Raden Rangga."
Raden Rangga memandanginya. Ia masih tersenyum. Dan tiba-tiba saja ia berdesis, "Dimana Glagah Putih."
Kiai Gringsingpun telah memberi isyarat kepada Gla"gah Putih untuk mendekat. Namun ketika Glagah Putih berdiri disisi pembaringan Raden Rangga, serta melihat anak muda itu akan mengatakan sesuatu kepadanya, Panembahan Senapati telah memasuki bilik itu.
Semua orangpun bergeser. Panembahan Senapati yang cemas telah mendekati puteranya yang dianggapnya terlalu nakal itu. Namun dalam keadaan yang gawat, Panembahan Senapati bersikap sebagaimana seorang ayah kepada anaknya.
"Ayahanda." desis Raden Rangga.
"Bagaimana keadaanmu Rangga?" bertanya Panem"bahan Senapati dengan suara lembut.
Raden Rangga tersenyum. Katanya, "Hamba mohon ampun ayahanda."
"Aku sudah mengampunimu seperti yang pernah aku katakana." sahut Panembahan Senapati.
Raden Ranggapun tersenyum. Kemudian iapun ber"desis, "Kiai Gringsing."
Panembahan Senapati telah memanggil Kiai Gringsing untuk mendekat. Dengan suara yang lemah Raden Rangga berkata, "Aku tidak sempat memberikan pesan-pesan kepada Glagah Putih, Kiai. Tolong Kiai dan Ki Jayaraga tentu dapat mengurai apakah yang telah menyusup ke"dalam dirinya."
"Raden." sahut Kiai Gringsing, "Raden masih mempunyai banyak waktu."
Raden Rangga tersenyum. Sambil menggeleng, ia ber"kata, "Tugas yang dibebankan kepadaku oleh ayahanda telah aku selesaikan."
"Belum Rangga." berkata Panembahan Senapati, "masih banyak tugas yang dibebankan kepadamu, justru karena kau telah menyelesaikan tugasmu ini dengan baik. Dengan pertimbangan itu maka kau adalah salah seorang diantara mereka yang mampu melakukan perintahku dengan sebaik-baiknya."
Raden Rangga tersenyum. Namun sorot matanya men"jadi semakin redup. Katanya, "Ayahanda. Hari-hari yang terakhir telah hamba lampaui. Mimpi itu datang lagi. Sekarang."
"Rangga." desis Panemahan Senapati.
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Suaranya melemah. Katanya, "Ayahanda. Hamba harus mohon diri."
"Rangga." ulang Panembahan Senapati.
"Selamat tinggal semuanya." berkata Raden Rangga. Lalu desisnya, "Kiai Gringsing. Kiai tidak akan menemukan penyebab yang paling tajam yang telah memisahan aku dengan dunia yang memuat unsur kewadagan ini. Bisa ular itu memang sangat tajam. Tetapi setelah Glagah Putih mengembangkan dirinya, maka ia akan dapat mengambil pelajaran dari tata hidup dan ilmu yang selama ini diamatinya ada padaku."
Orang-orang yang ada didalam bilik itupun telah merapat, sehingga mereka melupakan unggah-ungguh, bahwa didekat mereka berdiri Panembahan Senapati.
"Ayahanda." desis Raden Rangga, "hamba sudah memperhitungkan bahwa hari-hari seperti ini akan datang. Bukan mendahului kehendak Yang Maha Agung. Tetapi hanya sekedar menduga-duga arti isyarat yang hamba terima di dalam mimpi." Raden Rangga berhenti sejenak. Lalu, "Ayahanda. Hamba akan menghadap Yang Maha Agung. Semoga diampuni pula segala kesalahan yang pernah hamba lakukan."
"Rangga, kau masih akan mendapat kesempatan." desis Panembahan Senapati.
Raden Rangga tersenyum. Suaranya merendah, "Ham"ba sudah berjalan sampai ke batas ayahanda."
Panembahan Senapati memandang Raden Rangga dengan tatapan mata yang redup. Kemudian terdengar suaranya merendah, "Aku juga minta maaf Rangga. Mungkin aku bukan seorang ayah yang paling baik bagi anak-anaknya."
"Tidak. Ayah tidak bersalah. Ayah adalah seorang pemimpin tertinggi pemerintahan Mataram, sehingga memi"liki keharusan untuk bertindak sebaik-baiknya sebagai seorang pemimpin." desis Raden Rangga. Namun kemu"dian suaranya menurun, "Selamat tinggal semuanya."
Glagah Putih benar-benar tersentuh oleh kata-kata itu. Karena itu ia telah mendesak maju tanpa menghiraukan lagi, bahwa yang berdiri disisi pembaringan Raden Rangga itu adalah Panembahan Senapati.
"Raden." desis Glagah Putih sambil memegang tangan Raden Rangga, "jangan pergi."
Raden Rangga sempat memandanginya sambil ter"senyum. Tapi ia tidak mengatakan sesuatu.
Kiai Gringsinglah yang kemudian menggamit Glagah Putih. Orang tua itu mengerti, bagi Glagah Putih, Raden Rangga adalah seorang sahabat yang baik, yang telah ba"nyak memberi kepadanya. Bahkan juga ilmu.
Sejenak kemudian suasana bilik itu menjadi hening. Ra"den Rangga benar-benar telah pergi.
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Disentuhnya dahi Raden Rangga dengan ujung-ujung jarinya. Dengan suara dalam ia berkata, "Ia telah menunaikan kewajibannya, Ia telah menjalani hukuman yang aku berikan kepadanya. Karena itu, maka hutangnya telah dibayar dengan lunas."
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga memandangi wajah Raden Rangga yang pucat. Didalam hati keduanya berkata, "Hutangnya memang sudah dibayarnya."
Glagah Putih dan Sabungsari hanya dapat menun"dukkan kepalanya. Namun bagi Glagah Putih, kepergian Raden Rangga merupakan satu hentakan perasaan yang menyakitkan. Ia tidak lagi mengingat kepentingannya sendiri, bahwa Raden Rangga belum meninggalkan pesan apapun. Tetapi baginya, ia merasa terlalu pahit untuk ditinggalkan seorang sahabat yang telah sekian lama melakukan banyak kerja bersama-sama. Bahkan kadang-kadang Gla"gah Putih merasa bahwa Raden Rangga itu bagaikan saudara kandungnya sendiri. Meskipun umurnya masih lebih muda daripadanya, tetapi kadang-kadang Raden Rangga itu terasa sebagai seorang saudara tua, meskipun kadang-kadang juga terasa sebagai seorang adik yang nakal.
Demikianlah, hari itu, Mataram disibukkan dengan upacara yang diperuntukkan bagi penghormatan terakhir atas Raden Rangga. Seorang yang mempunyai watak yang sulit diraba. Seorang yang dicela namun juga banyak dipuji. Yang diharap keberadaannya tetapi juga dijauhi. Namun Mataram ternyata telah berkabung.
Ki Mandaraka merasa sangat menyesal bahwa ia terlambat datang sehingga tidak berada disisi anak muda itu pada saat-saat terakhir.
Panembahan Senapati dengan menyesal berkata, "Aku minta maaf paman. Aku sendiri agak kebingungan waktu itu, sehingga aku tidak sempat memberitahukan kepada paman."
"Sudahlah ngger." berkata Ki Mandaraka, "mungkin memang cucunda Raden Rangga tidak ingin aku tunggui disaat terakhirnya, sengaja atau tidak sengaja. Tetapi nampaknya Raden Rangga telah menjalani saat-saat terakhirnya dengan baik. Jalan yang dilewatinya ternyata cukup lapang."
Panembahan Senapati mengangguk kecil. Katanya, "Mudah-mudahan Yang Maha Agung telah mengampuni segala dosa-dosanya."
Ki Mandaraka tidak menjawab. Tetapi iapun mengang-guk-angguk pula.
Sementara itu, Glagah Putih benar-benar merasa kehilangan. Ia menjadi murung dan wajahnya selalu muram. Sabungsari berusaha untuk mengurangi duka yang mencekam. Tetapi agaknya Glagah Putih benar-benar diliputi oleh perasaan sedih.
Ternyata upacara berjalan sebagaimana seharusnya. Putera Panembahan Senapati itu telah dipanggil kembali. Orang-orang yang sempat menyaksikan melihat bahwa dibibir anak muda yang telah tersungging senyum. Nam"paknya sebagaimana orang yang sedang tidur dengan mimpi yang indah.
Akhirnya semuanya itupun berlalu. Kepergian Raden Rangga agaknya memang berbekas pula di istana Panem"bahan Senapati. Meskipun Raden Rangga jarang berada di istana, tidak sebagaimana adik-adiknya, namun rasa-rasa"nya memang ada yang berkurang.
Pada saat Panembahan Senapati dihari-hari berikutnya berada diantara putera-puteranya, Maka terasa bahwa belum ada diantara putera-puteranya itu yang memiliki kelebihan sebagaimana Raden Rangga.
Namun sebagai seorang pemimpin yang besar dan se"orang ayah yang bijaksana, maka Panembahan Senapati yakin, bahwa pada suatu saat, putera-puteranya akan men"jadi prajurit-prajurit yang baik meskipun dengan cara yang berbeda dengan cara yang pernah dijalani oleh Raden Rang"ga. Tanda-tanda untuk itu memang sudah dilihatnya.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabung"sari dan Glagah Putih untuk beberapa hari masih tetap berada di Mataram. Meskipun mereka tidak merasa perlu untuk menunggu pemeriksaan atas beberapa orang tawanan yang mereka bahwa dibawah pimpinan Ki Lurah Singaluwih, namun rasa-rasanya mereka belum dapat dengan ser"ta merta meninggalkan Panembahan Senapati dan Mataram yang sedang berkabung.
Namun dalam satu dua hari, Panembahan Senapati masih belum berbicara tentang padepokan Nagaraga, mau"pun orang-orang yang telah menyerang iring-iringan prajurit Mataram yang membawa Raden Rangga kembali ke Mataram.
Tetapi tentu tidak untuk seterusnya. Pada suatu saat, Panembahan Senapati tentu akan kembali kepada tugas-tugasnya. Apalagi perkembangan sikap beberapa pihak tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Perubahan-peru-bahan akan dapat terjadi dengan cepat.
Ketika kemudian Panembahan Senapati itu sudah mulai memasuki kesibukannya kembali sepenuhnya, maka Kiai Gringsingpun merasa sudah cukup lama menunggu di Mataram. Karena itu, maka atas persetujuan Ki Jayaraga, Sa"bungsari dan Glagah Putih, maka merekapun akan mohon diri.
"Apakah kalian tidak menunggu adimas Singasari kembali dari Nagaraga?" bertanya Panembahan Senapati ketika mereka berempat menghadap.
"Terima kasih Panembahan." jawab Kiai Gringsing, "jika pada saatnya Panembahan memerlukan kami, maka kami bersedia untuk dipanggil setiap saat."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Iapun menyadari, bahwa orang-orang itu mempunyai kepentingan yang lain di tempat tinggal masing-masing. Karena itu, maka Panembahan Senapatipun kemudian berkata, "Baiklah. Jika kalian akan kembali ketempat tinggal kalian. Aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga. Kalian telah bukan saja berhasil ikut serta menundukkan orang-orang padepokan Nagaraga. Namun kalian juga telah membawa Rangga kembali."
"Itu adalah kewajiban kami." jawab Kiai Gringsing.
"Pada saat lain, aku tentu memerlukan kalian." ber"kata Panembahan Senapati.
"Kami tidak akan ingkar." jawab Kiai Gringsing, "namun sebagaimana Panembahan ketahui, hamba menjadi semakin tua. Segala sesuatunya tentu akan menjadi susut. Hamba tidak akan dapat menembus keterbatasan hamba, sebagaimana keharusan yang terjadi atas diri seseorang."
"Aku mengerti Kiai." jawab Panembahan Senapati, "memang tidak seorangpun akan dapat ingkar dari kuasa Yang Maha Agung."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Perkenankanlah kami mohon diri."
"Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih." lalu katanya kepada Sabungsari, "Salamku kepada Untara. Bukankah kau akan kembali ke Jati Anom?"
"Hamba Panembahan." jawab Sabungsari, "hamba akan kembali kedalam kesatuan hamba, dibawah pimpinan Senapati besar Ki Untara."
"Meskipun belum pasti, tetapi nampaknya awan dari Timur menjadi semakin gelap. Sampaikan perintahku ke"pada Untara, agar ia mulai bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan." berkata Panembahan Senapati kemudian.
"Hamba Panembahan." jawab Sabungsari, "hamba akan menyampaikan perintah Panembahan kepada Ki Untara."
"Juga kepada Kiai Gringsing aku pesankan. Perintah"ku kepada pasukan khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh agar mereka juga mempersiapkan diri." desis Pa"nembahan Senapati kemudian.
"Hamba Panembahan." jawab Kiai Gringsing. Sementara itu Panembahan Senapatipun berkata pula, "Juga pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri. Tanah Perdikan Menoreh mempunyai pasukan pengawal Tanah Perdikan yang kuat, tidak ubahnya dengan kesatuan-kesatuan prajurit Mataram. Juga Kademangan Sangkal Putung yang secara khusus mempunyai pengawal yang kekuatannya jauh melampaui kekuatan Kademangan yang lain. Agaknya karena keadaan pada saat-saat Tohpati berada disekitar Kademangan itu justru telah membuat Sangkal Putung menjadi lain dengan kademangan-kademangan yang lain."
"Hamba Panembahan." jawab Kiai Gringsing dan Sabungsari hampir bersamaan.
"Agaknya justru kebalikan dari Kademangan Jati Anom sendiri." berkata Panembahan Senapati pula, "justru karena pasukan Mataram yang dipimpin Untara ber"ada di Jati Anom sejak masa kuasa Pajang. Jati Anom tidak pernah merasa terancam kedudukannya. Karena itu, maka agaknya Kademangan Jati Anom sendiri tidak mempunyai kekuatan pengawal sebagaimana Sangkal Pu"tung."
Sabungsari mengangguk-angguk. Yang dikatakan oleh Panembahan Senapati itu memang benar. Jati Anom sen"diri tidak mempunyai kekuatan yang cukup seperti Sangkal Putung. Justru karena di Jati Anom ada sepasukan prajurit yang kuat.
Demikianlah, maka Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sa"bungsari dan Glagah Putihpun mohon diri meninggalkan Mataram. Kecuali Panembahan Senapati, maka perwira yang memimpin pasukan Mataram yang mengawal Raden Rangga kembali mendahului ke Mataram, juga mengucapkan terima kasih berulang kali. Tanpa keempat orang itu, maka prajurit Mataram yang jumlahnya sedikit itu tidak akan dapat mempertahankan Raden Rangga yang akan diambil oleh Ki Lurah Singaluwih.
"Sampai saatnya, maka Ki Lurah Singaluwih tentu akan diminta keterangannya." berkata perwira itu.
"Pada suatu saat, kami akan mendengar hasil pemeriksaan itu." desis Kiai Gringsing.
Diantar oleh perwira itu sampai kegapura Kota Raja, maka Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabungsari dan Glagah Putihpun telah meninggalkan Mataram.
"Kita kemana Kiai?" bertanya Sabungsari, "apakah kita langsung ke Jati Anom atau ke Tanah Perdikan" Jika kita langsung, maka biarlah Ki Jayaraga dan Glagah Putih menuju ke Menoreh, dan kita berdua ke Jati Anom."
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Apakah tidak sebaiknya kita pergi ke Tanah Perdikan dahulu untuk menemui Agung Sedayu?"
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Sudah lama aku tidak bertemu dengan Agung Sedayu."
"Selebihnya, sebaiknya Agung Sedayu mengetahui hubungan ilmu antara Glagah Putih dan Raden Rangga yang tidak jelas itu." berkata Kiai Gringsing kemudian.
Sabungsaripun mengangguk-angguk pula. Dengan nada rendah ia berkata, "Sebaiknya memang demikian Kiai. Bukankah Agung Sedayu termasuk salah seorang yang telah mewariskan ilmunya kepada Glagah Putih?"
Dengan demikian maka keempat orang itupun telah menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Bagi mereka, mengamati keadaan Glagah Putih tidak kalah pentingnya dengan menunggu keterangan yang keluar dari mulut Ki Lurah Si"ngaluwih.
Perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh dibandingkan dengan perjalanan yang sudah mereka tempuh ke padepokan Nagaraga adalah perjalanan yang tidak terlalu panjang. Beberapa saat menjelang tengah hari, keempat orang itu telah sampai ke tepian Kali Praga. Beberapa rakit nampak hilir mudik menyeberangi Kali Praga dengan membawa beberapa orang penumpang dan bahkan barang-barang.
Beberapa jenis hasil bumi telah dibawa dari sebelah Barat Kali Praga menyeberang ke sebelah Timur. Sebaliknya para pedagang alat-alat pertanian membawa beberapa jenis barang dari Timur menyeberang ke Barat.
Dalam perjalanan itu, sama sekali tidak ada hambatan yang dialami oleh keempat orang itu. Mereka naik keatas sebuah rakit bersama beberapa orang laki-laki dan perem"puan. Dua orang diantara mereka nampaknya sedang bepergian ke jarak yang agak panjang, menilik barang-barang yang dibawanya.
Tetapi keempat orang itu tidak bertanya. Bahkan mereka seakan-akan sedang merenungi perasaan masing-masing, sehingga keempat orang itu saling berdiam diri sa"ja tanpa mengucapkan sesuatu diantara mereka.
Pada umumnya orang-orang yang menumpang rakit itupun berdiam diri saja. Apalagi saat itu airnya nampak lebih besar dan keruh. Beberapa orang setiap kali menengadahkan wajahnya melihat awan yang mengalir dari Selatan. Jika mendung kemudian berkumpul di sebelah Utara, maka airpun mungkin sekali akan menjadi semakin besar.
Namun rakit itupun telah merapat dengan selamat. Tidak ada goncangan apapun yang disebabkan oleh air yang semakin besar. Tidak ada kesulitan sama sekali bagi juru satang, yang setiap hari telah melakukan pekerjaannya. Bertahun-tahun, bahkan sejak umurnya meningkat remaja.
Tetapi nampaknya mendung memang bergantung dilangit sebelah Utara. Air yang runtuh menggenangi bumi mengalir menyusuri parit-parit, anak sungai dan tumpah ke Kali Praga yang berair keruh.
Ketika kemudian Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabung"sari dan Glagah Putih telah meloncat ketepian, merekapun segera melangkah naik keatas tebing.
"Hujan belum akan turun disini." berkata Ki Jayaraga.
"Ya." sahut Kiai Gringsing, "mungkin sebelah bukit."
Yang lain hanya mengangguk-angguk saja. Namun merekapun kemudian berjalan lebih cepat agar mereka tidak kehujanan di perjalanan.
Kedatangan mereka di Tanah Perdikan Menoreh, telah menarik perhatian. Orang-orang yang sedang berada di sawah dan melihat Kiai Gringsing bersama dengan Ki Jayaraga, Glagah Putih dan seorang yang tidak terlalu banyak dikenal di Tanah Perdikan Menoreh, telah mengucapkan salam. Beberapa diantara mereka justru telah berloncatan di pematang, menghampiri mereka.
" Selamat datang di Tanah Perdikan, Kiai " berkata seorang petani yang telah berdiri dipinggir jalan.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tersenyum. Sementara Sabungsari dan Glagah Putih berdiri di belakang mereka.
" Sudah lama Kiai tidak mengunjungi Tanah Perdikan, sementara Ki Jayaraga rasa-rasanya juga sudah cukup lama pergi. Apalagi Glagah Putih.
Kiai Gringsing mengangguk kecil sambil menjawab "
Sekarang kami berdua telah datang. Bahkan berempat. "
" Selamat datang " desis orang itu " silahkan. Baru saja Ki Gede lewat jalan ini pula. "
" Ki Gede" Darimana" " bertanya Ki Jayaraga.
" Seperti biasanya, mengelilingi Tanah Perdikan. " jawab orang itu.
" Bukankah tidak ada sesuatu yang terjadi selama ini" "
bertanya Ki Jayaraga pula.
" Tidak " jawab petani itu " selama ini kami sibuk dengan
kerja. Kita sedang memperbaiki sebuah bendungan di
susukan Kali Praga yang membelah padukuhan Paheman. "
" O " Glagah Putih yang menyahut " bendungan itu
memang sudah wakunya diperbaiki. "
" Ya. Ki Gede agaknya baru saja dari melihat orang-orang
yang bekerja di bendungan itu. " jawab petani itu.
" Kakang Agung Sedayu" " bertanya Glagah Putih.
" Mungkin masih ada di bendungan itu " jawab petani itu
pula. Glagah Putih termangu-mangu. Namun Kiai Gringsing-pun
berkata " Kita langsung pergi ke rumahnya. Seandainya
Agung Sedayu tidak ada, iapun pada saatnya akan kembali. "
Ki Jayaraga tersenyum. Katanya " Kita tidak akan
mengganggunya." Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya kemudian "
Baiklah. Kita langsung kembali. "
Demikianlah mereka berempat langsung menuju ke-rumah
Agung Sedayu di padukuhan induk. Meskipun seandainya
Agung Sedayu tidak ada, maka Sekar Mirah agaknya berada
dirumahnya. Berempat mereka meneruskan perjalanan menuju ke
padukuhan induk. Sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diberikan oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh
yang melihat kehadiran mereka, maka merekapun akhirnya
sampai ke pintu regol halaman rumah Agung Sedayu.
Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah
memasuki halaman. Mereka memang melihat rumah itu
nampak sepi. Namun Glagah Putih telah melingkar dan
memasuki longkangan disebelah dapur.
Pembantu Agung Sedayu, seorang laki-laki yang mulai
menginjak remaja keluar dari pintu dapur. Ketika ia melihat
Glagah Putih, maka iapun menjadi gembira.
" Kau sudah kembali" " sambut anak itu.
" Ya " Glagah Putihpun tertawa. Lalu " Dimana kakang
Agung Sedayu atau Mbokayu Sekar Mirah" "
" Mereka berdua sedang pergi " jawab anak itu.
" Kemana" " bertanya Glagah Putih dengan jantung yang
berdebaran. " Kerumah Ki Gede. Belum lama. " jawab anak itu.
" Untuk apa" " bertanya Glagah Putih pula.
Anak itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya " Aku tidak
tahu. " " Tetapi kau dapat melihat gelagatnya. Apakah keduanya
nampak gelisah" Atau biasa-biasa saja atau bagaimana" "
bertanya Glagah Putih. " Tidak apa-apa. Nampaknya keduanya biasa-biasa saja.
Agaknya tidak ada masalah yang menggelisahkan " jawab
anak itu. Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya " Sokur-lah.
Tetapi apakah kakang Agung Sedayu tidak pergi ke Paheman
ikut memperbaiki bendungan bersama Ki Gede yang katanya
baru saja kembali" "
" Lewat tengah hari Ki Agung Sedayu sudah pulang.
Setelah istirahat sebentar, maka bersama-sama dengan Nyi
Sekar Mirah keduanya pergi ke rumah Ki Gede " jawab anak
itu. Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah.
Buka pintu. Aku datang bersama beberapa orang. "
Anak itupun kemudian telah membuka pintu pringgit-an.
Sementara itu Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabung-sari
telah duduk dipendapa. " Marilah " Glagah Putihpun kemudian mempersilah-kan
mereka untuk memasuki ruang dalam.
" Ah. Agaknya lebih enak duduk disini untuk sementara. "
jawab Kiai Gringsing " udara tentu agak panas di-dalam. "
" Ya. Biarlah keringat kami kering " desis Sabung-sari.
Glagah Putih tidak memaksa. Namun kemudian iapun
justru duduk bersama mereka dan memberitahukan bahwa
Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak sedang berada dirumah.
" Apakah aku harus menyusulnya" " bertanya Glagah Putih.
" Itu tidak perlu " jawab Kiai Gringsing " mungkin ada
pembicaraan penting yang sedang dilakukan. "
Glagah Putih mengangguk sambil berdesis " Baiklah. Kita
akan menunggu disini. Namun silahkanlah. Aku mohon diri
untuk menyiapkan minuman. Kita semuanya agaknya telah
menjadi haus. " " Bukan hanya haus " sahut Sabungsari sambil tertawa.
Glagah Putihpun tertawa. Jawabnya " Semuanya akan
segera siap. " " Bagus " berkata Sabungsari pula " tetapi kau tidak perlu
bersusah payah mengejar seekor ayam. "
" Tidak. Tidak " jawab Glagah Putih " barangkali seekor
kambing yang masih ada dikandang. "
Kiai Gringsing dan Ki Jayaragapun tertawa pula.
Sementara itu Glagah Putih telah meninggalkan mereka untuk
pergi ke dapur. Sambil menyiapkan minuman dan menanak nasi, laki-laki
remaja yang telah beberapa lama tinggal bersama Agung
Sedayu itu masih juga sempat berceritera tentang pliridan dan
rumponnya. " Tadi siang aku membuka rumpon ditikungan sungai kecil
itu. Kebetulan tidak ada orang yang mengganggu. Hanya ada
dua orang anak yang kebetulan mencari ikan ikut membuka.
Tetapi sudah tentu mereka tidak aku biarkan memasang icir.
Ternyata aku mendapat ikan cukup banyak " berkata anak itu.
" Dimana sekarang" " bertanya Glagah Putih.
" Ikan lele yang besar-besar telah dimasak mangut. Sedikit
kepedasan. Tetapi enak sekali " jawab anak itu.
" Siapa yang masak" " bertanya Glagah Putih.
" Nyi Sekar Mirah. Hari ini ia telah masak mangut dan
pepes udang. He, aku juga mendapat banyak udang dan
wader pari. " berkata anak itu.
Glagah Putih tersenyum. Katanya " Kebetulan aku
membawa tamu. Mereka tentu akan senang sekali mendapat
hidangan nasi hangat dengan mangut lele, pepes udang dan
wader yang digoreng dengan tepung. "
" Kebetulan pula Nyi Sekar Mirah bersedia memasak ikan
itu " desis anak itu.
" Kalau kau mendapat banyak, Mbokayu tentu akan
bersedia memasaknya. Tetapi jika kau hanya mendapat tiga
ekor udang dan dua ekor wader kecil-kecil sudah tentu
mBokayu tidak mau mengotori tangannya. Kau goreng saja
sendiri untuk memberi makan kucing " sahut Glagah Putih.
" Ah, kau " desah anak itu.
" Sudahlah. Kita siapkan minuman. Sediakan mangkuknya.
Aku akan membuat minumannya. Sementara nasi akan
masak " berkata Glagah Putih " Mudah-mudahan kakang
Agung Sedayu berdua segera pulang, sehingga akan dapat
makan bersama para tamu itu. "
Anak itu mengangguk-angguk. Sementara itu keduanyapun
menjadi sibuk menyiapkan minuman. Namun hal itu
sudah sering mereka lakukan, sehingga mereka tidak merasa
canggung lagi. Beberapa saat kemudian, maka minumanpun telah
dihidangkan. Pembantu dirumah Agung Sedayu itu masih
menyimpan beberapa potong makanan. Jadah ketan dan
sagon gula kelapa, yang masih pantas untuk dihidangkan
kepada para tamu. Sementara ketiga orang dipendapa masih juga berbincang
tentang Tanah Perdikan Menoreh yang semakin nampak
subur, Glagah Putih sibuk menyiapkan makan bagi tamutamunya.
Pada saat Glagah Putih mengharapkan Agung Sedayu dan
Sekar Mirah kembali, maka sebenarnyalah keduanya
memasuki regol halaman. Keduanya terkejut ketika mereka
melihat tiga orang telah berada di pendapa.
" Kiai " desis Agung Sedayu kemudian.


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan tergesa-gesa keduanyapun telah naik kepen-dapa
pula. Telah agak lama mereka semuanya tidak saling
bertemu. Karena itu pertemuan itu merupakan pertemuan
yang menyentuh perasaan mereka masing-masing.
Sabungsari yang juga sudah cukup lama tidak bertemu
dengan Agung Sedayu merasa bersukur pula bahwa ia telah
mengikuti Kiai Gringsing ke Tanah Perdikan. Bahkan Ki Jayaragapun
rasa-rasanya sudah terlalu lama pula pergi.
Namun Agung Sedayu menjadi cemas karena tidak
dilihatnya Glagah Putih bersama mereka.
" Apakah Glagah Putih tidak berada diantara Kiai berdua
dan Sabungsari" " bertanya Agung Sedayu.
" Kami telah bertemu dengan anak itu " jawab Kiai
Gringsing. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih
juga bertanya " Dimana anak tu sekarang" "
Kiai Gringsing akan menjawab. Namun Glagah Putih telah
muncul dipintu pringgitan.
" Kakang, mBokayu " desis Glagah Putih sambil mendekat.-
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Ketika Glagah
Putih kemudian duduk disebelahnya, maka Agung Sedayu
telah menepuk bahunya. Tetapi justru hanya dua patah kata
yang terucapkan. " Kau selamat" "
Glagah Putih menundukkan kepalanya. Sambil
mengangguk kecil ia menjawab " Ya kakang. Yang Maha
Agung melindungi aku. "
" Tanah Perdikan Menoreh telah diresahkan oleh berita
meninggalnya Raden Rangga " berkata Agung Sedayu.
" Kami menunggui saat-saat terakhirnya " berkata Kiai
Gringsing. " Kami disini telah menduga " desis Agung Sedayu " tentu
satu peristiwa yang sangat dahsyat yang mampu mengantar
Raden Rangga kedunia abadinya. "
" Ya. Memang satu peristiwa yang sangat dahsyat " jawab
Kiai Gringsing " sementara itu, satu peringatan bagiku. Betapa
kerdilnya pengetahuan yang ada padaku tentang pengobatan
yang aku kira selama ini ilmuku itu
sudah memadai. " Agung Sedayu dan Sekar Mirah hanya menganggukangguk
saja. Dengan singkat Kiai Gringsing menceritera-kan,
apa yang telah mereka lakukan disaat-saat terakhir Raden
Rangga. " Yang Maha Agung telah menghendakinya " desis Agung
Sedayu. " Ya. Apapun yang kita lakukan, jika saat itu datang, maka
kitapun harus pergi " berkata Ki Jayaraga dengan nada datar.
Lalu " Dan Raden Ranggapun telah pergi. "
Agung Sedayu dan Sekar Mirah mengangguk-angguk pula.
Namun mereka dapat membayangkan betapa besarnya
kekuatan yang dapat mengatasi ketahanan racun dan bisa
pada diri Raden Rangga. Namun dalam pada itu, sebelum mereka sampai kepembicaraan
selanjutnya, Sekar Mirah telah minta diri untuk pergi
ke dapur. " Glagah Putih telah menyediakan minuman hangat buat
kami " berkata Kiai Gringsing.
" Mungkin aku perlu menyediakan yang lain " sahut Sekar
Mirah. Kiai Gringsingpun tersenyum, sementara Sabungsari
berkata " Kami juga sudah memesannya kepada Glagah
Putih. " Yang lain tersenyum pula mendengar kata-kata Sabungsari
itu. Demikianlah maka Sekar Mirah dan Glagah Putihpun telah
meninggalkan pendapa. Didapur merekapun telah sibuk
menyediakan hidangan makan bagi tamu-tamu mereka.
" Kau sudah menanak nasi" " bertanya Sekar Mirah.
" Sudah mBokayu " jawab Glagah Putih " sebentar lagi
akan masak. " " Kita panasi dulu mangut lele itu " berkata Sekar
Mirah " anak itu berhasil mendapat ikan cukup banyak hari
ini."Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya " Anak itu
termasuk anak yang tidak mudah putus-asa. Meskipun
kadang-kadang dalam beberapa kali turun ke sungai ia tidak
mendapat ikan seekorpun selain ketam dan beberapa ekor
udang yang hanya pantas untuk makanan kucing, namun ia
masih juga melakukannya dengan mantap sehingga kali ini ia
berhasil. " Sekar Mirah tertawa. Anak yang mendengar kata-kata
Glagah Putih sambil mengerutkan keningnya itu telah ditepuk
bahunya oleh Sekar Mirah sambil berkata " He, ambil bakul
tempat nasi itu. " Anak itupun kemudian telah mengambil bakul tempat nasi,
sementara periukpun telah diturunkan dari api.
Pada saat Sekar Mirah sibuk menyiapkan hidangan makan
bagi tamu-tamunya, maka Kiai Gringsing sempat berceritera
tentang hubungan ilmu antara Glagah Putih dan Raden
Rangga. " Sebenarnya aku ingin juga mendengar keterangan Ki
Lurah Singaluwih yang mengaku seorang prajurit madiun itu.
Tapi aku menganggap bahwa persoalan Glagah Putih juga
penting " berkata Kiai Gringsing " karena kita tidak tahu, apa
yang telah terjadi didalam dirinya selama ini. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti sikap Kiai
Gringsing dan sudah barang tentu juga Ki Jayaraga. Bahkan
Agung Sedayupun telah menjadi cemas pula. Jika dalam saatsaat
yang telah lewat, terjadi gejolak atau mungkin pergeseran
di dalam diri Glagah Putih, maka banyak kemungkinan dapat
terjadi. Tetapi menilik keadaan dan sikap,Glagah Putih yang
tidak berubah, maka agaknya tidak ada yang dapat
menimbulkan kesulitan didalam dirinya.
Meskipun demikian, tidak ada yang tahu, lebih-lebih
dengan pasti, apa yang telah terjadi. Karena itu, maka
Agung Sedayu sependapat bahwa perlu segera dilakukan
pengamatan atas diri Glagah Putih. Apalagi mereka
menyadari bahwa perkembangan Raden Rangga dalam
peningkatan ilmunya agak tidak berlangsung wajar
sebagaimana kebanyakan orang.
" Baiklah " berkata Agung Sedayu " setelah anak itu
beristirahat semalam, maka besok kita akan melihat, apa yang
ada dan bergetar didalam dirinya. Mudah-mudahan kita
mempunyai kesempatan untuk menelusurinya. "
Ternyata mereka tidak meneruskan pembicaraan mereka
tentang Glagah Putih, karena Glagah Putih sendiri telah keluar
dari pintu pringgitan sambil membawa hidangan makan. Nasi
hangat dengan lele mangut, pepes udang dan rempeyek
wader. " Bukan main " desis Sabungsari.
" Silahkan, apa adanya " Sekar Mirah yang kemudian
muncul pula telah mempersilahkan.
" Agaknya kedatangan kita sudah diketahui sebelumnya,
sehingga hidanganpun telah disiapkan " berkata Sabungsari
pula. " Ya. Aku telah mempelajarinya dari Ki Waskita " berkata
Agung Sedayu. Yang mendengar gurau itupun tertawa. Namun dalam pada
itu terbersit juga di dalam kepala Agung Sedayu pertanyaan "
Kenapa aku tidak mempelajarinya" "
Tetapi Agung Sedayu tidak sempat memikirkannya. Ia-pun
kemudian sibuk mempersilahkan tamu-tamunya untuk makan
bersama, setelah membersihkan tangan mereka.
" Kau juga Glagah Putih " berkata Agung Sedayu.
" Aku nanti saja kakang " jawab Glagah Putih.
" Tidak. Kau sudah pantas makan bersama kami. Biarlah
mBokayumu makan pula disini. " berkata Agung Sedayu.
Merekapun kemudian duduk mengelilingi hidangan
yang telah disediakan. Ternyata memang terasa enak
sekali makan bersama-sama dengan orang-orang yang telah
cukup lama tidak bertemu.
Selama mereka makan, Agung Sedayu sempat menceriterakan,
apa yang telah mereka bicarakan dengan Ki Gede
ketika mereka menghadap. " Ki Gede merencanakan untuk mengadakan semacam
sayembara bagi rakyat Tanah Perdikan " berkata Agung
Sedayu. " Sayembara apa" " bertanya Ki Jayaraga.
" Ki Gede akan memerintahkan beberapa orang yang
ditunjuk untuk menilai kemajuan dan pengembangan
kesejahteraan rakyat disetiap padukuhan diseluruh Tanah
Perdikan. " jawab Agung Sedayu.
" Bagus " hampir diluar sadarnya Glagah Putih menyahut.
" Ya, memang bagus " berkata Agung Sedayu selanjutnya "
rencana itu, akan dapat mendorong kegiatan disetiap
padukuhan. Sayembara itu akan melengkapi segala kerja
keras yang telah dilakukan oleh rakyat Tanah Perdikan. "
" Tentu akan memberikan kegembiraan pula bagi rakyat
Tanah Perdikan " berkata Ki Jayaraga.
->- Pelaksanaannya, akan disesuaikan dengan upacara
merti desa bagi setiap padukuhan, agar tidak mengadakan
kegiatan tersendiri yang akan dapat memberikan kesan
menghamburkan uang dan tenaga. Waktunya diserahkan
kepada setiap padukuhan itu sendiri. Sedangkan mereka yang
akan memberikan penilaian akan hadir dalam upacara bersih
desa itu. " berkata Agung Sedayu.
" Satu keputusan yang bijaksana " berkata Ki Jayaraga "
penilaian setiap padukuhan akan mengadakan keramaian
disetiap merti desa. "
" Jika saja Kiai Gringsing dan Sabungsari dapat menunggu
" berkata Agung Sedayu kemudian.
Kiai Grinp"ing hanya tersenyum saja, sementara
Sabungsari bertanya " Kapan merti desa itu diselenggarakan"
" " Kita melihat bahwa padi telah menguning disawah " jawab
Agung Sedayu " sesudah panen, setiap padukuhan akan
menyelenggarakan upacara itu. "
Sabungsari mengangguk-angguk. Namun kemudian
ternyata " Sayang. Kami membawa pesan Panembahan
Senapati bagi Ki Untara. Karena itu, agaknya kami tidak akan
dapat terlalu lama tinggal disini. Jika saatnya Panembahan
Senapati memanggil Untara, maka pesan itu harus sudah
sampai kepadanya. " " O " Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia tidak dapat
berbuat sesuatu jika itu merupakan salah satu kewajiban yang
harus dilakukan oleh Sabungsari.
Bahkan kemudian Kiai Gringsing berkata " Pesan itu
ditujukan juga kepada pasukan khusus yang ada di Tanah
Perdikan. " " O " Agung Sedayu masih mengangguk-angguk.
" Ada hubungannya dengan sergapan Ki Lurah Singa-luwih
" berkata Kiai Gringsing kemudian.
Agung Sedayu tidak menjawab. Singgungan yang
meskipun hanya sedikit sebagaimana pernah dikatakan oleh
Kiai Gringsing tentang Ki Lurah Singaluwih, telah memberikan
gambaran yang agak jelas bagi Agung Sedayu. Iapun
memahami kenapa Sabungsari harus menyampaikan pesan
kepada Untara, dan juga kepada pasukan Khusus yang ada di
Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu, sesuap demi sesuap, nasipun telah tertelan.
Beberapa saat kemudian, maka perempuan telah selesai
makan. Beberapa saat mereka masih duduk berbincang ketika
mangkuk dan sisa makanan disingkirkan. Namun kemudian
Agung Sedayu telah mempersilahkan tamunya untuk
beristirahat. Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsaripun kemudian
telah membersihkan diri ke pakiwan. Beberapa lama mereka
sempat untuk berada di halaman, sementara malampun turun
semakin pekat. Lampu-lampu telah terpasang dan jalanjalanpun
menjadi sepi. Glagah Putih masih sibuk membantu Sekar Mirah di dapur.
Membersihkan mangkuk dan alat-alat dapur. Sementara
pembantu dirumah Agung Sedayu itupun telah mengambil air
dari sumur untuk mengisi gentong.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka Agung
Sedayu telah mempersilahkan tamu-tamunya untuk
beristirahat di gandok kanan. Sementara Glagah Putih telah
mempunyai janji sendiri dengan pembantu dirumah itu.
" Sudah lama kau tidak turun ke kali " berkata pembantu
dirumah Agung Sedayu itu " kita sekarang mencobanya. "
" Kau tahu aku baru datang " jawab Glagah Putih.
" Apa susahnya orang berjalan-jalan " jawab anak itu " nah,
kau jangan banyak alasan. Kita turun ke sungai malam ini. "
Glagah Putih mendorong kening anak itu sambil tersenyum
" Anak bengal. Kau kira aku berjalan-jalan. "
" Jadi apa yang kau lakukan di Mataram, jika tidak melihatlihat
jalan yang ramai, pasar yang riuh dan rumah-rumah yang
bagus " jawab anak itu " atau mungkin gadis-gadis yang
cantik" " " Ah kau " sahut Glagah Putih berdesis " Apa yang kau
ketahui tentang gadis cantik" "
" Cepatlah berkemas. Kita terlambat membuka pliridan
malam ini. Seharusnya beberapa saat tadi aku pergi ke
sungai. Tetapi aku harus melayani tamu-tamumu. " berkata
anak itu. " Bukan tamuku. Tamu kakang Agung Sedayu " sahut
Glagah Putih pula. " Sama saja bagiku " geram anak itu.
" Baiklah. Biarlah aku mengatakan kepada kakang Agung
Sedayu, bahwa tamu-tamunya telah membuat kau terlambat
turun ke sungai " berkata Glagah Putih.
" Ah, jangan. Jangan kau lakukan " berkata anak itu.
Glagah Putih tertawa. Namun katanya " Baiklah. Aku ikut turun
ke sungai. Tetapi jika aku letih, aku tidak akan ikut membuka
besok menjelang pagi. "
" Aku akan membangunkanmu dimanapun kau tidur "
berkata anak itu " dan jika kau tidak mau bangun, aku basahi
kau dengan air. " " Aku gelitik kau sampai pingsan " jawab Glagah Putih.
Namun Glagah Putihpun kemudian berkata " Baiklah. Kita


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berangkat sekarang. Aku akan minta diri kakang Agung
Sedayu. " Agung Sedayu memang tidak -pencegahnya. Tetapi Sekar
Mirahlah yang sambil tertawa berkata " Kau belum puas
berburu di padepokan Nagaraga" Karena itu kau masih akan
berburu udang di pliridan. "
Glagah Putihpun tersenyum. Katanya " Hanya sebentar
mBokayu. Mungkin dapat memberikan kesegaran. "
Agung Sedayupun kemudian ikut tertawa pula. Tetapi ia
tidak berkata apa-apa. Demikianlah keduanya telah turun kesungai. Seperti biasa
mereka telah membuka pliridan. Pliridan yang dibuat sejak
beberapa tahun yang lalu, namun hampir disetiap malam
masih juga memberikan ikan kepada pembantu dirumah
Agung Sedayu itu. Ditebing, ketika mereka turun, mereka bertemu dengan
seorang anak muda yang juga membuka pliridan. Tetapi anak
muda itu sudah berjalan meninggalkan sungai.
" Kalian baru datang" " bertanya anak muda itu " sudah
terlalu malam. " "Ada tamu dirumah " jawab Glagah Putih.
Anak muda itu tidak bertanya lebih lanjut. Demikianlah,
Glagah Putih dan anak itupun kemudian sibuk
membuka pliridan itu. Tetapi rasa-rasanya air agak lebih besar dari biasanya.
Karena itu Glagah Putihpun berkata " Jika malam nanti banjir,
maka icirmu justru akan hanyut. "
" Air memang lebih besar " jawab anak itu.
" Ketika aku menyeberang Kali Praga, maka airnya juga
agak lebih besar. Tetapi masih belum dapat disebut banjir "
berkata Glagah Putih. Anak itu menengadahkan wajahnya. Langit memang
nampak gelap. Tidak ada bintang yang nampak. Namun anak
itu kemudian berkata " Mendungnya tipis saja. Aku kira tidak
akan terjadi banjir malam ini. "
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian telah
ikut sibuk dengan pliridan itu.
Ketika mereka sudah selesai, maka keduanyapun
kemudian telah membenahi diri. Seperti biasanya, mereka
tidak membawa cangkul mereka pulang, karena besok
menjelang pagi, cangkul itu akan dipergunakannya lagi. Tetapi
mereka telah menyimpan cangkul itu dibawah gerumbul
ditepian. Sejenak kemudian keduanya telah berada diatas tanggul.
Rasa-rasanya angin memang bertiup agak keras. Bahkan
rasa-rasanya mengandung air, sehingga malampun terasa,
dingin. " Kita pergi ke sawah " berkata anak itu tiba-tiba.
" Untuk apa" " bertanya Glagah Putih.
" Sebentar lagi padi akan dipetik. Kita melihat, apakah tidak
ada gangguan pada tanaman itu. " berkata anak itu.
" Apakah sering terjadi gangguan" " bertanya Glagah Putih.
" Memang tidak. Tetapi rasa-rasanya masih terlalu sore
untuk tidur. " jawab anak itu.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Anak ini
memang sering berbuat aneh-aneh. Karena itu, maka Glagah
Putihpun berkata " Aku merasa sangat letih. Aku ingin
beristirahat. " " Ah kau " geram anak itu " kau semakin lama semakin
malas. Aku dapat berjalan dari dan kembali ke Mataram dua
tiga kali dalam sehari tanpa merasa letih. "
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun anak itu
menariknya sambil berkata " Kita pergi berjalan-jalan. Kau
sudah lama tidak melihat sawah kita yang sudah menguning. "
" Bukankah dapat dilakukan besok siang" " bertanya
Glagah Putih. Anak itu memang menjadi kecewa. Tetapi sekali lagi
Glagah Putih berkata " Aku sangat letih. "
Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar
suara agak gaduh " Cepat. Kita akan dapat menangkapnya. "
Glagah Putih dan anak yang bersamanya itu segera
berlindung dibalik gerumbul. Mereka tidak melihat dengan
jelas, apa yang terjadi. Namun ternyata ada beberapa orang
yang mengejar dan kemudian berhasil menangkap seseorang.
" Apa yang terjadi" " desis anak itu.
" Aku tidak tahu " jawab Glagah Putih. Lalu "
Bersembunyilah. Aku akan melihat. "
" Aku ikut " berkata anak itu.
" Kau bersembunyi, atau kau akan ikut ditangkap orangorang
yang tidak kita ketahui itu " berkata Glagah Putih.
" Bagaimana dengan kau" " bertanya anak itu. Aku akan
menjaga diriku. Aku mempunyai keahlian
bersembunyi dan aku mampu berlari cepat. Jauh lebih
cepat dari setiap orang. Karena itu, maka tidak seorangpun
akan dapat menangkap aku. " jawab Glagah Putih.
" Ilmu lari " desis anak itu.
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Tetapi ia mengerti
maksud anak itu. Katanya " Pokoknya selamat. "
Glagah Putih tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun
kemudian bergeser dari balik gerumbul kebalik gerumbul yang
lain. Perlahan-lahan dan hati-hati ia menjadi semakin dekat
dengan orang-orang yang telah menangkap seseorang.
" Tanu " desis Glagah Putih ketika ia melihat anak muda
yang baru saja berpapasan saat ia menuruni tebing. Namun
Glagah Putih itupun bertanya kepada diri sendiri " Kenapa ia
ditangkap" " Ketika Glagah Putih menjadi semakin jelas melihat orangorang
yang menangkap Tanu, iapun berkata kepada diri
sendiri " Bukan anak-anak Tanah Perdikan. "
Sebenarnyalah anak-anak muda yang menangkap Tanu itu
bukan anak-anak Perdikan Menoreh. Seorang diantara
mereka berkata " Kau jangan terlalu sombong anak Tanah
Perdikan. Kau kira tidak ada orang yang berani bertindak atas
anak Tanah Perdikan Menoreh" Nah, sekarang kau lihat,
bahwa aku menangkapmu di halamanmu sendiri. Ternyata
tidak terlalu sulit untuk melakukannya. "
" Persetan " geram Tanu " Ayo, siapakah diantara kalian
yang beranibersikap jantan Jangan melakukan beramai-ramai
seperti ini. Aku -menantang berkelahi seorang melawan
seorang. Siapapun diantara kalian. "
Suara Tanu terputus. Seseorang telah memukulnya.
Betapa marahnya Tanu yang merasakan kesakitan. Namun
ketika ia akan membalas, beberapa orang dengan cepat
menangkapnya. Bahkan yang lain masih juga memukulnya
beberapa kali. " Pengecut " geram Tanu.
" Berteriaklah " berkata salah seorang diantara mereka
yang menangkap Tanu " tidak akan ada orang yang
mendengar. Orang-orang Tanah Perdikanmu terlalu yakin,
bahwa tidak akan terjadi sesuatu disini, sehingga tidak
seorangpun yang pernah pergi menengok tanamannya
disawah. " " Aku tantang kau " Tanu memang berteriak. Tetapi sekali
lagi suaranya terputus. " Kita bawa anak ini keluar Tanah Perdikan " berkata
seorang diantara orang-orang yang menangkapnya " kita akan
menunjukkan kepada orang-orang Tanah Perdikan, bahwa
anak mudanya tidak dapat berbuat sekehendak hatinya
ditempat orang. " " Kalian akan menyesal " geram Tanu " anak-anak muda
Tanah Perdikan pernah bertempur dalam perang gelar.
Apalagi hanya dengan pengecut macam kalian. Padukuhan
kalian akan dihancurkan rata dengan tanah. "
" Jangan membual " geram salah seorang dari mereka.
Yang lain tidak berbicara lagi. Tanu itupun kemudian
dibawa beramai-ramai menelusuri jalan bulak. Merekapun
kemudian memilih jalan yang tidak melalui pedukuhan agar
anak-anak muda yang berada di gardu tidak mendengar
mereka. Glagah Putih dengan hati-hati selalu mengikuti mereka.
Iapun sempat menghitung orang yang membawa Tanu itu
keluar Tanah Perdikan. Tidak kurang dari dua puluh orang.
" Agaknya mereka tahu, bahwa Tanu selalu turun sungai.
Mereka menunggu dan kemudian menyergapnya " berkata
Glagah Putih didalam hatinya. Tetapi iapun kemudian
bertanya " Tetapi apakah salah Tanu" "
Pertanyaan itupun segera terjawab, ketika seorang anak
muda yang membawa Tanu itu menggeram " Kau kira kau
dapat dengan leluasa mengganggu gadis-gadis kami" "
" Aku tidak mengganggunya " geram Tanu " aku datang
kerumahnya dengan maksud baik. "
" Omong-omong " geram orang itu " apakah di Tanah
Perdikan Menoreh kehabisan perempuan" "
" Apa salahnya aku berkenalan dengan gadis dipa-dukuhan
kalian" " teriak Tanau.
Yang terdengar kemudian bukanlah jawaban dari anakanak
muda yang telah membawa Tanu itu. Tetapi beberapa
pukulan diwajah dan dada Tanu yang tidak berdaya untuk
melawan, karena beberapa orang telah memeganginya.
Namun demikian, sekali-sekali sambil meronta Tanu sempat
juga menendang orang-orang yang memukulinya. Tetapi
akibatnya anak-anak muda itu menjadi semakin marah.
Beberapa saat kemudian Tanu telah diseret pula semakin
jauh, sehingga akhirnya mereka telah mendekati batas Tanah
Perdikan. Glagah Putih masih mengikuti mereka. Dengan
kemampuannya, ia dapat berada tidak terlalu jauh dari anakanak
muda yang marah itu tanpa mereka ketahui. Bahkan
Glagah Putih sempat mendengar Tanu berkata lantang " Kau
kira aku ini apa he" Jika kalian jujur, pertemukan aku dengan
perempuan itu. Kita berbicara dengan orang tuanya, apakah
orang tuanya merasa tersinggung karena kedatanganku
kerumahnya. " " Persetan " geram salah seorang dari anak-anak muda itu
". kau tentu telah mengguna-gunainya sehingga perempuan
itu menerimamu dengan baik. Ketahuilah, perempuan itu
sudah mempunyai calon suaminya. "
" Bohong " geram Tanu " aku bertemu dengan perempuan
itu dipasar. Aku menolongnya membawa barang-barang yang
berat, karena ia tidak kuat membawa sendiri. Aku antar ia
sampai kerumahnya. "
" Tetapi kau datang kembali beberapa hari kemudian.
Tanpa maksud buruk, kau tidak akan menempuh jarak yang
cukup jauh dari rumahmu ke rumah perempuan itu. Apalagi
perempuan itu sudah mempunyai calon suami. " bentak
seorang diantara mereka. " Aku juga mendengar tentang laki-laki yang kau sebut
calon suami itu. Sama sekali bukan calon suami. Tetapi lakilaki
yang tergila-gila kepadanya " jawab Tanu.
Beberapa pukulan terdengar lagi mengenai wajah Tanu.
Namun Tanu masih juga berteriak. " Aku tantang laki-laki itu
berkelahi secara jantan. "
Suaranya sekali lagi terputus oleh pukulan-pukulan yang
semakin membabi buta. Bahkan terdengar suara berat "
Akulah laki-laki itu. Buat apa aku berkelahi melawanmu" Lebih
baik aku memukulimu seperti ini. "
Lalu katanya kepada kawan-kawannya " Kita bawa anak ini
keluar dari Tanah Perdikan. Jika terjadi sesuatu atas anak ini,
maka ia dapat dianggap telah menyerang ke daerah kita,
sehingga ia mengalami nasib yang buruk. "
Tetapi seorang diantara mereka menyahut " Tetapi
mulutnya akan dapat berbicara. "
" Kita sumbat mulutnya untuk selama-lamanya " berkata
laki-laki yang tidak mau kehilangan perempuan yang telah
dikunjungi Tanu itu. Namun dengan demikian, maka Glagah Putih telah dapat
menangkap persoalan yang dihadapi oleh Tanu. Bagi Glagah
Putih, maka ia lebih percaya kepada Tanu daripada orangorang
yang menyeretnya itu. Agaknya perasaan takut
kehilangan seorang gadis telah membuat laki-laki itu marah
dan mengajak teman-temannya untuk mengambil Tanu.
" Cepat, kita bawa orang ini keluar kandangnya " berkata
laki-laki yang takut kehilangan itu.
Glagah Putih menjadi semakin mencemaskan nasib Tanu.
Menurut pendapat Glagah Putih, anak muda itu memang tidak
bersalah. Jika ia datang mengunjungi seorang gadis, apa
salahnya. Apalagi orang tua gadis itu tidak menolaknya.
Jika Tanu benar-benar dibawa keluar dari Tanah Perdikan,
agaknya keadaannya memang menjadi lebih buruk.
Apalagi jika Tanu terkapar di dekat rumah gadis itu. Maka
anak-anak muda itu tentu akan dapat membuat fitnah yang
sangat keji. Karena itu, ketika mereka mulai menyeret Tanu yang
menjadi semakin lemah, Glagah Putih telah beringsut,
menyuruk dipematang diantara batang-batang padi yang
sudah menguning, mendahului anak-anak itu.
- Beberapa saat kemudian, ketika anak-anak muda yang
menyeret Tanu itu hampir mencapai batas Tanah Perdikan,
maka tiba-tiba saja langkah mereka terhenti. Seseorang tibatiba
saja telah meloncati parit dan berdiri di tengah jalan
dihadapan mereka. Tanu yang lemah itupun terkejut pula. Namun ketika orang
yang berdiri ditengah jalan itu melangkah mendekat, tiba-tiba
saja Tanu berdesis " Glagah Putih. "
" Siapa kau" " geram salah seorang diantara anak-anak
muda itu. " Anak muda itu sudah menyebut namaku. Glagah Putih "
jawab Glagah Putih. " Untuk apa kau menghambat kerja kami" " bertanya anak
muda itu. " Kalian telah membawa seorang anak muda dari Tanah
Perdikan Menoreh keluar dengan kekerasan " berkata Glagah
Putih " apalagi karena aku mendengar rencana kalian untuk
membinasakannya dan memfitnahnya, seolah-olah kawanku
itu telah datang ketempat kalian dengan niat buruk. "
" Persetan kau " geram anak muda itu " karena kau melihat
peristiwa ini, apalagi dengan sengaja menghalangi, maka kau
akan dapat mengalami nasib seburuk anak ini. "
" Aku seorang pelari yang baik " berkata Glagah Putih "
sekarang aku minta lepaskan anak itu, atau aku akan menjadi


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saksi atas kenyataan dari peristiwa itu. "
" Anak setan. Kami akan menangkapmu " geram anak
muda yang menangkap Tanu itu.
" Tidak mungkin " jawab Glagah Putih.
" Jika kami tidak dapat menangkapmu, maka kesaksianmu
akan dapat diabaikan. Kami mempunyai saksi lebih banyak
lagi. " berkata laki-laki yang marah itu.
Glagah Putih termangu-mangu. Sesaat dipandanginya
anak-anak muda yang telah membawa Tanu itu. Jika ia
sempat memperhatian satu demi satu, tentu ada diantara
mereka yang sudah dikenalnya.
Sebenarnyalah bahwa diantara mereka memang sudah
ada yang mengenal Glagah Putih. Tetapi perkenalan itu tidak
terlalu akrab dan masing-masing tidak terlalu banyak
mengetahui keadaannya. Karena itu, maka anak-anak muda
yang membawa Tanu itu tidak mengerti dengan siapa mereka
sebenarnya berhadapan. Namun dalam pada itu, laki-laki yang disebut sebagai calon
suami perempuan yang dikunjungi Tanu itupun tiba-tiba
berkata lantang " Nah, menyerahlah. Ikutlah kami. Dengan
demikian, maka kami akan mempertimbangkan keadaanmu
untuk selanjutnya. " Sudah aku katakan, aku dapat melarikan diri, " jawab
Glagah Putih. Lalu " Aku dapat memanggil orang-orang
padukuhan dan para pengawal Tanah Perdikan ini. Bahkan
jika perlu aku dapat minta bantuan para prajurit dari Pasukan
Khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan ini "
" Sudah aku katakan pula, kesaksianmu akan diabaikan.
Kau hanya seorang dan kebetulan adalah sahabat anak setan
ini. Kau dapat dituduh membuat kesaksian palsu atau bahkan
kau dapat dituduh bersama-sama dengan Tanu telah
melakukan kejahatan di daerah orang lain, sehingga kalian
dapat ditangkap dalam keadaan yang tidak kita kehendaki
bersama, " jawab laki-laki itu. Bahkan laki-laki itu kemudian
tertawa sambil berkata " Kita dapat berbuat lebih jauh lagi.
Tanu dapat dianggap hilang tanpa diketahui
kemana perginya. Semua ceriteramu merupakan isapan
jempol yang berisi fitnah. "
Glagah Putih termangu-mangu. Memang mungkin sekali
terjadi seperti yang dikatakan oleh laki-laki itu.
Karena itu, maka Glagah Putih itupun telah mengambil
keputusan untuk mencegah agar Tanu tidak dibawa keluar
Tanah Perdikan. Jika terjadi sesuatu atas anak muda itu,
maka hal itu terjadi di Tanah Perdikan Sembojan, sehingga
tidak seorangpun dapat menuduh bahwa Tanu telah
melakukan kejahatan di lingkungan orang lain, atau dianggap
hilang begitu saja. Apalagi ketika tiba-tiba saja seorang diantara anak-anak
muda itu berkata lantang " Kepung saja. Cepat. Jangan beri
kesempatan anak itu lari. "
Anak anak itu memang bergerak cepat* Beberapa orang
telah berlari-lari menebar, sehingga Glagah Putih benar-benar
telah terkepung. " Nah, kau lihat " laki-laki yang tidak mau kehilangan itu
tertawa " betapa kau mampu berlari cepat, tetapi kau sudah
terkepung. " Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Jadi
kalian tidak memberi kesempatan kepadaku untuk lari" "
" Jangan mengigau " geram laki-laki yang marah itu " kau
terlalu bengal. Jika terjadi sesuatu atasmu, memang sayang
sekali. Agaknya kau masih terlalu muda. Bahkan lebih muda
dari iblis ini. " " Baiklah " berkata Glagah Putih " jika demikian, marilah kita
bersungguh-sungguh. Lepaskan anak itu. Tanu adalah
kawanku. Selain itu juga anak Tanah Perdikan seperti aku,
maka Tanu tidak bersalah. Kaulah yang terlalu tamak.
Seharusnya kau merasa bahwa gadis itu tidak menyukaimu.
Tetapi ia menyukai Tanu. "
" Aku sayat mulutmu " geram laki-laki itu.
" Sekali lagi aku minta " berkata Glagah Putih, " le -
paskan Tanu atau kalian tidak akan dapat meninggalkan
Tanah Perdikan ini. "
Ancaman itu memang membuat anak-anak muda itu raguragu.
Bukan karena mereka menjadi takut terhadap Glagah
Putih. Tetapi yang mereka cemaskan adalah bahwa Glagah
Putih itu sebenarnya telah membawa beberapa orang kawan,
para pengawal Tanah Perdikan yang memang sudah diketahui
kemampuannya. Beberapa orangpun kemudian memandangi tanaman di
sawah. Batang batang padi yang menguning, beberapa jenis
perdu yang tumbuh di tanggul parit. Beberapa batang pohon
ciplukan yang rendah tetapi berdaun rimbun.
" Tidak seorangpun yang bersembunyi di sekitar tempat ini
" berkata Glagah Putih.
" Jadi kau dengan sombong menganggap bahwa kau
seorang diri akan dapat mengalahkan kami" " bertanya
seorang anak muda yang bertubuh tinggi kekar.
" Aku tidak beranggapan demikian. Tetapi aku minta kalian
lepaskan Tanu, atau aku harus memakai kekerasan, " geram
Glagah Putih yang juga sudah kehilangan kesabarannya.
Anak muda yang bertubuh tinggi kekar itu tidak dapat
mengendalikan diri lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang
Glagah Putih dengan garangnya.
Sebenarnyalah bahwa ia tidak mengenal Glagah Putih.
Karena itu maka ia sekedar mempercayakan serangannya
kepada kekuatan wadagnya. Kekuatan kewadagan yang
wajar. Glagah Putih yang marah memang ingin menunjukkan
kelebihannya. Ia berharap dengan demikian maka perkelahian
tidak akan berkembang, dan anak-anak muda itu akan
melepaskan Tanu. Karena itu, ketika serangan itu datang, maka Glagah Putih
sama sekali tidak menghindar. Ia membiarkan dirinya dikenai
oleh serangan anak muda yang bertubuh tinggi
kekar itu. Namun diluar sadarnya, ia telah berusaha untuk
menahan serangan itu dengan kekuatan didalam tubuhnya.
Namun ternyata akibatnya sangat mengejutkan. Glagah
Putih memang tidak nampak bergerak. Tetapi kekuatan
didalam tubuhnya yang menahan serangan lawan telah
menolak dan seakan akan mendesak kembali kekuatan
lawannya itu. Karena itu, maka benturan yang keras telah terjadi. Jika
Glagah Putih hanya sekedar berusaha untuk tidak disakiti oleh
serangan lawan, maka kekuatan untuk menolaknya telah
berakibat gawat bagi lawannya.
Ternyata bahwa anak muda yang bertubuh tinggi kekar itu,
yang telah menyerang Glagah Putih dengan sepenuh
tenaganya yang dilontarkan lewat kakinya menghantam dada
Glagah Putih, justru telah terlempar beberapa langkah surut.
Bahkan kemudian anak muda itu telah terbanting jatuh,
bagaikan didorong oleh kekuatan seekor
kerbau yang marah. Terdengar anak muda itu berteriak kesakitan. Demikian ia
terjatuh maka yang dapat dilakukan hanyalah menggeliat.
Itupun sambil mengeluh menahan sakit.
Kawan-kawannya terbelalak melihat peristiwa itu. Mereka
tidak tahu apa yang telah terjadi. Semula mereka mengira
bahwa Glagah Putih tidak mendapat kesempatan untuk
mengelakkan serangan itu. Namun akibatnya ternyata sama
sekali tidak mereka bayangkan.
Beberapa orang anak-anak muda itu telah mendekati anak
yang terbaring sambil kesakitan itu. Ketika seorang berusaha
menyentuh tubuhnya, maka iapun menyeringai sambil
berdesis " Sakit. "
Tidak ada yang tahu pasti sebab dari keadaan itu. Namun
anak-anak itu mengira, bahwa karena tergesa-gesa kawannya
yang bertubuh tinggi kekar itu telah salah langkah, sehingga
bagian tubuhnya justru telah terkilir.
Karena itu. tiga orang anak muda yang paling disegani
telah melangkah maju mendekati Glagah Putih. Seorang
diantara mereka berkata " Kau jangan berbangga dengan
kebetulan yang baru saja terjadi itu he" "
" Kita sudah cukup banyak berbicara " desis Glagah Putih "
marilah, kita akan mulai. "
Ketiga orang anak muda itu memang tersinggung. Karena
itu, maka merekapun segera memencar. Dengan cepat
mereka bertiga telah menyerang Glagah Putih dari tiga arah
yang berlainan. Glagah Putih memang agak ragu. Ia sendiri sebenarnya
merasa heran, bahwa anak muda yang menyerangnya itu
terlempar. Glagah Putih sama sekali tidak merasa
mendorongnya. Jika ia berusaha untuk menolak dengan
kekuatannya, sekedar untuk melindungi dirinya dan mengatasi
perasaan sakit. Namun akibatnya ternyata mendebarkan.
Sekilas Glagah Putih teringat kepada Raden Rangga.
Apakah yang terjadi itu merupakan satu gejala peningkatan
ilmunya setelah ia seakan-akan menerima arus getaran dari
diri Raden Rangga itu. Tetapi Glagah Putih tidak sempat memikirkannya lagi. Tiga
serangan telah datang beruntun.
Untuk menghindari kemungkinan yang lebih buruk bagi
anak-anak muda itu, maka Glagah Putih telah berusaha untuk
menghindari serangan-serangan itu. Demikian cepatnya ia
bergerak, sehingga ketiga serangan itu sama sekali tidak
menyentuhnya. Dengan marah ketiga orang itu telah memburunya. Namun
tidak seorangpun yang kemudian dapat mengenainya.
Dalam pada itu, Glagah Putih telah berusaha untuk tidak
mempergunakan kemampuan tenaga cadangannya. Ia telah
berusaha dengan tenaga wajarnya melawan ketiga orang
anak muda itu. Ia telah mencoba membalas seranganserangan
itu dengan serangan pula. Tetapi ia sudah berusaha
untuk menahan tenaganya sebanyak-banyaknya.
Karena itu, maka tenaga yang terpencar dari dalam
dirinyapun telah jauh susut.
Namun demikian, setiap gerak Glagah Putih masih juga
mengejutkan. Bahkan ketika menyentuh salah seorang
lawannya, maka anak muda itu telah terpental dan jatuh
terguling ditanah. Meskipun tidak mengalami kesulitan seperti
anak muda yang bertubuh tinggi kekar dan yang pertama kali
menyerangnya, namun rasa-rasanya tulang-nyapun telah
berpatahan. Glagah Putih sendiri memang menjadi agak bingung.
Ternyata ia masih belum mampu mengendalikan dan
mengatur kekasaran dan kemampuan yang ada didalam
dirinya. Ia merasakan hal itu justru baru pertama kali ia terlihat
dalam perkelahian setelah ia menerima semacam warisan
ilmu dari Raden Rangga. Namun ketika seorang lagi diantara mereka terlempar pula
dan mengaduh kesakitan, maka kawan-kawan merekapun
menjadi ragu-ragu. Mereka mulai percaya bahwa anak muda
yang datang seorang diri itu memang memiliki kelebihan.
Beberapa orang diantara mereka yang mengepung Glagah
Putih pun telah saling merapat. Mereka merasa ngeri melihat
sikap Glagah Putih. Tiga orang kawannya masih terkapar
sambil merintih kesakitan.
Glagah Putih yang melihat anak-anak muda itu
merenggang tidak memburu lagi. Namun dipandanginya anakanak
muda itu seakan-akan ingin melihat wajah-wajah mereka
satu demi satu dengan jelas.
Namun kemudian terdengar suaranya berat " Sekali lagi
aku minta, lepaskan Tanu. Jika kalian benar-benar
berkeberatan, maka aku akan menjadi lebih kasar. "
Sejenak keadaan menjadi tegang. Anak-anak muda itu
berdiri bagaikan patung yang beku. Mereka tidak tahu apakah
yang sebaiknya harus mereka lakukan.
Dalam pada itu, sekali lagi Glagah Putih berkata "
Cepat lepaskan. Atau benar-benar harus ada korban" "
Ternyata anak-anak itu tidak lagi mempunyai keberanian
untuk melawan Glagah Putih. Mereka, sebanyak lebih dari dua
puluh orang anak-anak muda itu harus tunduk kepada
seorang yang masih lebih muda dari mereka.
Karena itu, maka beberapa orang yang semula memegangi
Tanu itupun kemudian melepaskannya.
Tanu meloncat selangkah ke depan. Kemudian itupun
berdesis " Terima kasih Glagah Putih. Kau telah memberi
kesempatan kepadaku untuk menunjukkan, bahwa aku juga
seorang laki-laki. "
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia mengerutkan
keningnya. Ia ingin tahu, apa yang akan dilakukan oleh Tanu.
Ternyata dengan nada geram Tanu berkata " Aku tantang
laki-laki itu untuk berkelai seorang melawan seorang. Bukan
maksudku untuk memperebutkan seorang gadis. Tetapi aku
ingin bahwa kita harus mempergunakan cara yang lebih jantan
daripada membawa sekelompok kawan untuk mengeroyok
beramai-ramai. " Tetapi laki-laki yang merasa disaingi oleh Tanu itu sama
sekali tidak menjawab. Agaknya iapun menjadi sangat cemas,
bahwa ia akan mengalami nasib yang sangat buruk. Apalagi
ketika kemudian Tanu berkata " Ki Sanak. Yang. paling
menyakitkan hati, kau sudah berniat, meskipun tidak dapat
kau lakukan, tetapi niat untuk membunuhku itu sudah benarbenar
biadab. Kau membunuh karena kau tidak mau
kehilangan seorang gadis yang justru tidak menyukaimu. "
Laki-laki itu justru menjadi gemetar. Namun Glagah
Putihlah yang berkata " Sudahlah Tanu. Biarlah mereka pergi.
Kita sudah tahu siapa mereka.
Jika kelak terjadi sesuatu atas dirimu karena pokalnya,
maka kita tidak saja akan menangkap dan menghancurkannya,
tetapi kekuatan Tanah Perdikan Menoreh akan dapat
menghancurkan seluruh padukuhan dan menangkap semua
anak-anak muda yang terlibat. "
Tanu menggeram. Tetapi ia tidak berani membantah.
" Nah " berkata Glagah Putih kepada anak-anak muda itu "
pergilah dankenanglah apa yang telah terjadi ini.
Kalian tidak akan dapat berbuat sesuka hati kalian. Apalagi
jika kalian dilihat oleh sekelompok pengawal Tanah Perdikan
ini, maka kalian akan ditangkap dan harus kalian sadari,
bahwa hal ini akan dapat merenggangkan hubungan antara
Tanah Perdikan ini dengan Kademangan. Padahal kalian


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus tahu, bahwa jika terjadi kekerasan, maka kalian tidak
akan dapat menggoyahkan sehelai rambut kami para
pengawal Tanah Perdikan ini. "
Anak-anak muda itu memang tergetar hatinya. Karena itu
ketika sekali lagi Glagah Putih berkata " Pergilah " maka
orang-orang itupun bergegas untuk pergi.
Tetapi Glagah Putih masih juga berdesis " bawa kawanmu
yang terbaring itu. "
Anak-anak muda itupun tertegun. Namun merekapun telah
menolong kawan-kawannya mereka, dan memapahnya
meninggalkan tempat itu. Masih terdengar keluhan dan
rintihan dari mereka yang terluka.
Tanu berdiri termangu-mangu. Namun sekali lagi ia berkata
" Terima kasih. Jika kau tidak datang tepat pada waktunya,
mungkin aku benar-benar telah mati atau setidak-tidaknya
menjadi cacat tanpa dapat membuktikan kesalahan mereka. "
" Marilah " berkata Glagah Putih " kita kembali. "
Tanu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
ternyata tubuhnya justru mulai merasakan kesakitan. Tulangtulangnya
bagaikan retak dan kulitnya merasa pedih.
Tetapi Tanu masih dapat berjalan sendiri meskipun harus
mengatupkan bibirnya rapat-rapat menahan sakit.
Glagah Putih ternyata mengantarkan Tanu sampai ke dekat
padukuhannya. Tetapi Glagah Putih tidak mau mendekati
mulut lorong padukuhan, karena ia ingin segera kembali dan
beristirahat. Jika sampai ke gardu maka ia harus menjawab
seribu macam pertanyaan yang akan dapat menahannya
sampai pagi. Namun demikian Glagah Putih masih juga berpesan "
Tanu. Agaknya persoalan sudah selesai. Anak-anak
padukuhan itu tidak akan berani lagi mengganggumu. Karena
itu, maka kaupun harus menganggap bahwa persoalanmu
memang sudah selesai. Kau tidak perlu membakar perasaan
kawan-kawan yang akan dapat menimbulkan persoalan baru.
" Tetapi hatiku sakit sekali " jawab Tanu.
" Disinilah kebenaran jiwa diuji " berkata Glagah Putih
kemudian. Lalu " Satu pertanyaan harus kau jawab, meskipun
tidak sekarang. Apakah kau memiliki kelebihan dari laki-laki
yang tidak mau kehilangan atas sesuatu yang belum pernah
dimilikinya itu, atau tidak. Jika kau mendendamnya dan pada
suatu hari kau datang beramai-ramai dengan kawan-kawanmu
ke padukuhan itu, maka nilai kejiwaanmu tidak lebih dari lakilaki
itu. Apalagi jika kita mengingat kerukunan bertetangga,
karena jika persoalannya menjadi semakin luas, maka Ki
Gede harus ikut mencampurinya. "
Tanu menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Baiklah. Aku
tidak akan mempersoalkannya lagi " Namun kemudian ia
bertanya " Tetapi apakah aku tidak boleh mengunjungi gadis
itu" " " Untuk sementara jangan " jawab Glagah Putih " apalagi
jika kau belum terlanjur hanyut dalam satu hubungan yang
lebih mendalam dengan gadis itu. "
Tanu mengangguk-angguk. Katanya " Sebenarnya
hubunganku dengan gadis itu masih sangat terbatas. Aku kira
lebih baik aku tidak mengunjunginya lagi. Aku sebenarnya
juga malu jika diketahui oleh banyak orang bahwa
aku telah berkelahi karena seorang gadis " ia berhenti
sejenak, lalu " jika kawan-kawanku bertanya, aku akan
mengatakan bahwa aku tergelincir di sungai. Tolong kau
jangan menyebar-luaskan peristiwa yang memalukan itu. "
Glagah Putih tersenyum. Ditepuknya bahu Tanu yang
masih kesakitan. Katanya " Sudahlah. Aku akan kembali. Baru
hari ini aku pulang dari sebuah perjalanan yang panjang. "
" Ya. Untuk waktu yang cukup lama kau tidak kelihatan di
Tanah Perdikan " berkata Tanu.
Glagah Putih tersenyum. Namun kemudian katanya "
Sudahlah. Malam menjadi semakin larut. "
Glagah Putihpun kemudian telah meninggalkan Tanu.
Tertatih-tatih Tanu melangkah ke mulut lorong pedukuhannya.
Sudah diduga sebelumnya, ketika ia sampai di depan
gardu, maka beberapa orang kawannya telah bertanya
tentang keadaannya. " Kenapa kau menjadi pengab" " bertanya seorang anak
muda yang bertubuh kurus.
" Aku membuka pliridan. Ketika aku pulang, aku tergelincir
di tebing, " jawab Tanu.
Beberapa orang memandangnya dengan tegang. Namun
tiba-tiba saja mereka tertawa. Seorang diantara mereka
berkata " Bukankah kerjamu setiap hari membuka dan
menutup pliridan" Setiap malam sedikitnya kau turun dua kali
ke sungai. Kenapa tiba-tiba saja kau tergelincir dan jatuh" "
" Entahlah " jawab Tanu " mungkin aku sudah terlalu letih
dan mengantuk. " " Apa kerjamu sehari-harian he" " bertanya yang lain.
Tanu tidak menjawab. Sambil menahan sakit ia berjalan
terus meninggalkan kawan-kawannya di gardu. Ia masih
mendengar kawan-kawannya itu mentertawakannya.
Namun ia harus menahan diri. Ia memang tidak mau
mengatakan apa yang sebenarnya baru saja terjadi.
Sementara itu Glagah Putih telah melintasi sebuah bulak
pendek dan memasuki padukuhan induk. Iapun segera
langsung pulang. Ia mengira bahwa pembantu rumahnya telah
mendahului kembali. Sebenarnyalah bahwa anak itu memang telah kembali.
Tetapi ia telah mengatakan bahwa mereka di perjalanan
kembali dari sungai telah melihat sesuatu yang menarik
perhatian. Sekelompok orang yang tidak dikenalnya dari mana
dan untuk apa. Agung Sedayu, Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari
memang menjadi cemas. Karena itu, maka mereka
ternyata telah keluar dari bilik mereka dan duduk diruang
dalam. Bahkan Sekar Mirahpun telah duduk bersama mereka
pula. Jilid 222 UNTUK beberapa lama mereka telah menunggu sambil berbicara tentang banyak hal. Terutama tentang Glagah Putih.
Sabungsari yang tidak tenang menunggu berkata, "Apakah tidak sebaiknya kita mencarinya?"
"Mudah-mudahan ia tidak mengalami kesulitan. Tetapi jika kita mencarinya, mungkin akan berselisih jalan." berkata Agung Sedayu. Lalu, "Tetapi jika terlalu lama ia tidak kembali, maka kita memang akan mencarinya. Namun aku masih tidak terlalu mencemaskannya, karena hal itu terjadi di Tanah Perdikan ini. Hampir semua orang di Tanah Perdikan ini sudah dikenalnya. Sedangkan jika ter"jadi sesuatu, maka tentu akan terdengar kentongan dalam nada-nada tertentu."
Namun ternyata malam tetap sepi. Tidak ada suara isyarat apapun, sementara Glagah Putih tidak segera pulang. Tetapi pada saat Agung Sedayu mulai mempertimbangkan untuk mencarinya, maka tiba-tiba saja Glagah Putih telah kembali.
"Ada apa?" bertanya Agung Sedayu.
Glagah Putihpun menceriterakan apa yang dilihat dan dialaminya. Namun iapun mengatakan, bahwa Tanu lebih senang dianggap jatuh tergelincir di sungai daripada berkelahi tentang perempuan.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Syukurlah jika tidak terjadi sesuatu atau persoalannya tidak akan berkepanjangan. Dengan demikian agaknya kedua belah pihak sudah menganggap persoalannya telah selesai."
"Ya Kiai." jawab Glagah Putih, "kedua belah pihak telah menganggap persoalannya telah selesai. Tanu justru berusaha untuk menyembunyikan peristiwa yang telah terjadi itu."
"Syukurlah." Kiai Gringsing masih menyambung, "agaknya anak-anak yang telah menangkap Tanu itupun sudah menjadi jera. Tetapi apakah Tanu tidak memerlukan pengobatan?"
"Tadi ia masih dapat berjalan sendiri memasuki mulut lorong." jawab Glagah Putih, "tetapi baiklah. Besok aku akan menengoknya. Mungkin ia memang memerlukan pe"ngobatan, karena ia mengalami perlakuan yang kasar dari beberapa orang anak muda yang kuat."
"Sebaiknya kau besok memang melihatnya." berkata Agung Sedayu, "selagi Kiai Gringsing ada disini."
"Baik kakang." jawab Glagah Putih.
"Nah, sekarang kita semuanya akan beristirahat. Sebentar lagi langit akan menjadi merah oleh cahaya fajar." berkata Sekar Mirah.
Glagah Putih mengangguk sambil menjawab, "Baik mbokayu. Aku memang merasa sangat letih."
Demikianlah, maka orang-orang yang menunggu Gla"gah Putih diruang dalam itupun kemudian telah pergi ke bilik masing-masing. Sementara itu Sabungsari sempat berdesis, "Hampir saja kita mencarimu."
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Untunglah kalian belum berangkat."
Namun dalam pada itu, demikian Glagah Putih berbaring, terdengar pintu biliknya diketok perlahan.
"Siapa?" bertanya Glagah Putih.
"Aku. Sudah waktunya kita pergi ke sungai menutup pliridan." terdengar jawaban diluar pitu.
"Ah." Glagah Putih berdesah, "pergilah sendiri. Aku letih sekali. Aku ingin tidur."
"Jangan malas, aku guyur kau dengan air." bentak suara di luar pintu.
Glagah Putih yang memang ingin tidur memang ti"dak mau bangkit dari pembaringannya. Katanya, "Jika kau tidak pergi, aku gelitik kau sampai pingsan he. Bukankah biasanya kau pergi sendiri."
Anak itu terdiam. Namun kemudian iapun menggerutu, "Pemalas."
Glagah Putih tidak menyahut. Namun iapun tetap memejamkan matanya.
Tetapi ia masih mendengar anak itu berkata, "Jika aku mendapat banyak ikan, kau tidak boleh ikut makan."
Glagah Putih sama sekali tidak menjawab. Ia men"dengar langkah anak itu menjauh. Memang ada juga perasaan iba. Tetapi ia benar-benar malas untuk bangun lagi dan turun ke sungai.
Pagi-pagi Glagah Putih sudah bangun. Ternyata yang lainpun segera terbanguri pula dan bergantian pergi ke pakiwan. Ketika Glagah Putih pergi ke sumur, maka dilihatnya anak yang turun ke sungai itu bersungut-sungut sambil membersihkan sekepis ikan.
"Bukan main." desis Glagah Putih, "kau mendapat ikan sebanyak itu?"
"Tetapi kau tidak akan ikut menikmatinya." jawab anak itu, "aku akan minta Nyi Sekar Mirah untuk membuat pecel lele."
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Nanti aku akan merampokmu. Aku senang sekali pecel lele. He, tetapi bukankah semalam aku ikut membuka pliridanmu meskipun tidak ikut menutupnya" Dengan demikian aku harus mendapat bagian seperempat dari sekepis ikan itu."
"Seperempat." anak itu terbelalak, "siapa yang menentukan jumlah itu?"
Glagah Putih tertawa. Iapun kemudian telah memegang senggot timba dan mengambil air untuk mengisi gentong di dapur.
Agung Sedayu yang telah berada di kebun untuk membersihkan dedaunan kering yang runtuh telah bersepakat dengan Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, bahwa mereka harus dengan segera menilik keadaan Glagah Putih. Mereka tidak tahu, gerak apakah yang ada didalam diri anak muda itu. Jika gerak dan getar itu merugikan kemampuan dan ilmunya, atau mungkin kurang sesuai dengan keadaaan yang menjadi landasan ilmunya, maka harus diusahakan agar keadaan itu tidak berlarut-larut. Karena itu, maka ketika kerjanya sudah selesai, maka Agung Sedayupun segera membenahi dirinya. Mandi dan minta agar Sekar Mirah menyiapkan makan bagi mereka.
"Kami akan memanfaatkan hari ini untuk menilik kea"daan Glagah Putih." berkata Agung Sedayu.
Sekar Mirahpun telah tanggap pula. Karena itu, maka iapun dengan cepat telah menyiapkan makan bagi Agung Sedayu dan tamu-tamunya.
"Aku akan membuat pecel lele nanti siang saja." berkata Sekar Mirah, "pagi ini aku akan membuat kuluban lebih dahulu."
Ternyata anak yang membersihkan ikan itu memang belum selesai, sehingga karena itu ia menjawab, "Baiklah Nyi. Kebetulan sekali sehingga aku tidak tergesa-gesa."
Sekar Mirah tidak menghiraukannya lagi. Iapun segera bekerja didapur dengan cekatan.
Setelah makan pagi dan beristirahat sejenak, maka Agung Sedayu telah minta kepada Glagah Putih untuk mempersiapkan diri.
"Kita ingin segera mengetahui apa yang terjadi atas dirimu." berkata Agung Sedayu.
"Ya kakang." jawab Glagah Putih, "aku tidak sempat bertanya kepada Raden Rangga sebelum pergi, apa yang telah dilakukannya."
"Pergilah ke sanggar. Bersiaplah. Kami akan menyusul kemudian." berkata Agung Sedayu.
Glagah Putihpun kemudian telah mendahului pergi ke Sanggar. Sudah lama tidak berada disanggar itu. Karena itu, maka rasa-rasanya ia ingin mengenali kembali, perabot yang terdapat di sanggar itu.
Beberapa balok kayu yang membujur dan bersilang. Patok-patok yang dibuat dari batang gelugu yang tidak sama tingginya. Kemudian semacam jembatan tinggi yang merentang diatas patok-patok itu. Beberapa jenis senjata dan beberapa jenis batu. Dari batu putih yang lunak, batu padas dan batu karang yang tajam serta batu hitam yang keras seperti baja.
Glagah Putih memandangi semua itu dengan kepala yang terangguk-angguk. Seperti seseorang yang telah lama meninggalkan sesuatu yang akrab untuk waktu yang lama dan kemudian dijumpainya kembali. Namun akhirnya Glagah Putih itu duduk diatas sebuah batu disudut sanggar itu.
Glagah Putih sendiri tidak tahu, bagaimana hal itu dapat terjadi. Mungkin karena ia memang terlalu letih kare"na ia hanya sempat tidur sejenak dimalam sebelumnya. Sementara itu ia baru saja menempuh perjalanan yang berat dan menegangkan.
Diluar sadarnya Glagah Putih itu telah memejamkan matanya. Angin yang bertiup dan menyusup disela-sela rusuk-rusuk dan atap sanggar itu rasa-rasanya begitu sejuknya.
Mata Glagah Putih memang hanya sesaat saja terpejam. Ketika ia terkejut dan bangkit, ternyata belum seorangpun yang datang menyusulnya. Sementara itu sebuah lingkaran bayangan cahaya matahari yang menyusup dise"la-sela tulang-tulang kayu dan gebyok sanggar itu belum bergeser lebih dari sepanjang ibu jarinya. Namun rasa-rasa"nya ia telah berada didunia mimpi untuk waktu yang lama. Rasa-rasanya ia telah mengulangi apa yang telah dilakukannya untuk menerima getaran ilmu dari Raden Rangga yang lemah. Getaran itu telah menjalar dan menyusup disela-sela kulit dagingnya.
Dalam mimpi Glagah Putih mendengar Raden Rangga berkata, "Jangan takut bahwa getaran itu akan menyentuh ilmumu yang telah mapan didalam dirimu dalam arti yang kurang baik."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Mimpi itu begitu jelasnya. Namun Glagah Putihpun kemudian menduga, bahwa mimpi itu datang karena ia terlalu memikirkan anak muda yang aneh itu. Glagah Putih merasa sangat kecewa bahwa ia tidak sempat mendapat penjelasan Raden Rangga tentang ilmu yang ditinggalkannya, sehingga hampir setiap saat ia memikirkannya. Bahkan rasa-rasanya ia memang berharap untuk dapat bertemu dengan Raden Rangga itu. Dan mimpi itupun agaknya merupakan bayangan dari keinginannya itu.
Glagah Putih masih berdiri tegak. Dicobanya untuk mengerti tentang dirinya sendiri. Ketika tiba-tiba ia melen"ting dan hinggapi di atas sebuah patok batang gelugu, rasa-rasanya tubuhnya memang lebih ringan.
Beberapa kali Glagah Putih mencobanya. Setiap kehendak untuk melakukan sesuatu ternyata mempunyai pengaruh langsung pada tubuhnya dan pada sikap yang diambilnya. Rasa-rasanya jalur-jalur arus kehendaknya dengan sendirinya telah menyentuh simpul-simpul syarafnya dan bahkan mengungkit ilmunya. Glagah Putih menghentikan pengamatannya atas diri"nya sendiri ketika ia mendengar suara beberapa orang mendekati sanggar.
Sejenak kemudian, maka pintu sanggar itupun terbuka. Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Sabungsari telah memasuki Sanggar itu.
Sejenak kemudian, maka sanggar itupun telah ditutup dan diselarak dari dalam. Sedangkan Sekar Mirah yang sebenarnya juga ingin melihat perkembangan ilmu Glagah Putih terpaksa tidak dapat ikut berada didalam sanggar karena ia harus sibuk didapur. Bagaimanapun juga ia adalah seorang isteri dirumah itu. Apalagi ia memang sudah menyanggupi pembantu dirumahnya untuk membuat pecel lele.
Didalam sanggar Kiai Gringsing telah mempersilahkan Glagah Putih untuk duduk ditengah-tengah sanggar. Dengan nada rendah Kiai Gringsing berkata, "Apakah kau sudah siap?"
"Ya Kiai." jawab Glagah Putih.
"Kita akan segera mulai." berkata Kiai Gringsing, "mungkin kita dapat mengambil kesimpulan hari ini. Tetapi mungkin juga tidak."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia ti"dak ingin mempengaruhi orang-orang itu dengan mimpinya, sehingga karena itu, maka ia sama sekali tidak mengatakannya.
Sementara itu Kiai Gringsingpun telah duduk tepat dihadapan Glagah Putih, sedangkan dua orang guru Glagah Putih duduk menghadap Glagah Putih disisi kanan dan kiri. Sedangkan mereka telah minta Sabungsari duduk dibelakang Glagah Putih untuk mengamati sesuatu yang mung"kin perlu mendapat perhatian dari mereka.
Untuk beberapa saat mereka telah menyiapkan diri masing-masing memusatkan nalar budi untuk mencapai satu tataran yang mapan dan kepekaan tertinggi. Sejenak sanggar itu menjadi hening. Namiun sejenak, kemudian, Kiai Gringsing itupun berdesis, "Mulailah Gla"gah Putih. Bergeraklah. Berikan isyarat, ilmumu sejauh dapat kau lakukan."
Glagah Putih mendengar suara itu. Iapun mulai mengungkapkan unsur ilmu didalam dirinya sebagaimana diwarisinya dari Agung Sedayu dan Ki Jayaraga dalam ujudnya yang khusus. Karena Glagah Putih tidak melepaskannya dalam ungkapan yang keras, maka getar didalam dirinya yang memancar adalah pelepasan ilmunya dalam ujud yang lunak. Didalam dirinya Glagah Putih telah mampu menyusun kedua kekuatan dari kedua ilmu itu, luluh menjadi satu sehingga mampu tampil dalam satu wadah. Atas bantuan Agung Sedayu dan Ki Jayaraga, Glagah Pu"tih telah menjadikan getaran ilmu itu tidak lagi berlapis, na"mun menyatu.
Kiai Gringsing adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Dengan kepekaan ilmunya itu ia mampu menangkap isyarat yang dipancarkan oleh Glagah Putih yang telah menengadahkan dadanya, mengangkat siku tangannya yang tetap bersilang sehingga dadanya terbuka dibawah tangannya itu.
Sementara itu Ki Jayaraga dan Agung Sedayu telah melakukannya hal yang sama dengan berusaha mengenali tataran ilmu yang bersumber dari ilmu masing-masing. Mereka menangkap keutuhan ilmu rangkap di dalam diri Glagah Putih yang diurainya sehingga mereka mampu menangkap sentuhan ilmu yang terpisah. Hanya dengan kepekaan yang sangat tinggi dari Ki Jayaraga dan Agung Sedayu sajalah hal itu dapat dilakukannya.
Baik Kiai Gringsing, maupun Ki Jayaraga dan Agung Sedayu ternyata telah menangkap nilai yang lebih besar dari yang mereka perhitungkan pada diri Glagah Putih. Meskipun Ki Jayaraga dan Agung Sedayu tidak ragu-ragu lagi bahwa yang ada didalam diri Glagah Putih itu adalah getar ilmu mereka, namun getaran itu menjadi lebih cepat dan lebih tajam dari setiap kemungkinan perkembangan yang wajar didalam diri anak muda itu.
Kiai Gringsing yang tidak memberikan landasan dasar itu kepada Glagah Putih terutama melihat apakah ada sesu"atu yang kurang wajar didalam kesatuan ilmu anak muda itu. Namun ternyata menurut tangkapan Kiai Gringsing, getar didalam diri Glagah Putih itu bergerak utuh dan tidak timpang. Tidak terasa hambatan atau sentuhan-sentuhan yang mengganggu. Bahkan ungkapan yang dapat ditangkap oleh Kiai Gringsing menunjukkan, betapa ilmu Glagah Putih telah mencapai tataran yang sangat tinggi.
Bahkan ketika Glagah Putih hampir sampai kepuncak terasa betapa kekuatan Glagah Putih sempat menekan dada mereka yang duduk di sekitarnya. Namun dalam pada itu, ternyata dalam pengamatan yang saksama dari Ki Jayaraga dan Agung Sedayu, yang bergetar didalam diri Glagah Putih dan terpancar kesekitarnya telah dikenalinya seluruhnya, sehingga hanya bagian-bagian kecil dari perkembangannya yang kadang-kadang lepas dari pengenalan mereka. Namun tidak terasa menghambat atau apalagi menentang arus. Tetapi getar itu terasa begitu kuatnya. Jauh melampaui kewajaran. Meskipun getaran itu sendiri dapat dikenali, tetapi arusnya yang sangat kuat itulah yang harus dipertanyakan.
Sabungsari yang duduk dibelakang Glagah Putih untuk mengamatinya merasakan juga getaran yang dahsyat pada diri anak muda itu. Dengan demikian Sabungsari memang menjadi heran, bahwa anak semuda Glagah Putih memiliki kekuatan yang demikian besarnya dari landasan ilmu yang dimilikinya.
Ki Jayaragapun tidak segera mengerti perkembangan Glagah Putih. Jika benar tangkapannya atas ilmu anak muda itu, maka ia telah sampai pada tataran tertinggi dari ilmu yang pernah diwariskan kepada anak itu.
Orang-orang yang duduk disekitar Glagah Putih itupun membiarkaan Glagah Putih meningkatkan ketajaman getaran dari dalam dirinya. Namun ternyata bahwa Glagah Putih telah melepaskannya sampai tuntas. Ia tidak mensisakannya, sehingga dengan demikian maka pemusatan nalar budi yang dilakukan oleh orang-orang didalam sang"gar itu tidak berlangsung terlalu lama lagi.
Perlahan-lahan Glagah Putih mulai mensusut getaran didalam diri. Tangannya yang bersilang, perlahan-lahan pula diturunkan dan dilekatkan kembali didadanya. Bebe"rapa kali Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Se"hingga akhirnya iapun mengurai tangannya dan melepas"kannya jatuh diatas lututnya.
Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Sabungsaripun menarik nafas dalam-dalam pula. Ternyata pakaian merekapun basah oleh keringat, sebagaimana Glagah Putih. Usaha mereka menangkap dan mengurai getaran didalam diri serta usaha mereka mengenalinya me"mang memerlukan pengerahan kemampuan didalam diri mereka masing-masing, menyesuaikan ketajaman tangkapan atas getar yang mereka kehendaki serta mengurainya.
Sejenak kemudian, Kiai Gringsing yang telah memahami keadaan Glagah Putih ditilik dari kekuatan dan kemampuan yang tersimpan didalam dirinya, ingin melihat bagaimana kekuatan dan kemampuan ilmu itu dituangkan. Karena itu, maka iapun minta kepada Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Sabungsari untuk melangkah surut, menjauhi Glagah Putih yang kemudian berdiri tegak di tengah-tengah sanggar.
"Mulailah Glagah Putih." berkata Kiai Gringsing, "apakah unsur-unsur serta watak gerakmu masih utuh di-dalam perkembanganmu yang terjadi secara khusus itu."
Glagah Putih kemudian mempersiapkan diri. Ia tidak duduk bersila. Tetapi ia siap untuk menunjukkan perkem"bangan ilmu yang dituangkannya dalam ujud kasarnya. Sejenak kemudian, Glagah Putih itupun mulai bergerak. Perlahan-lahan. Namun semakin lama semakin cepat. Ia mulai berloncatan tidak saja diatas lantai sanggar. Tetapi iapun telah melenting meloncat keatas patok-patok barang yang berdiri tidak sama tinggi. Kemudian meloncat turun dan bergerak perputaran. Demikian cepatnya gerak yang dilakukan, maka tubuhnya kemudian bagaikan bayangan yang terbang mengelilingi sanggar itu. Sekali-kali bertengger diatas palang bambu, kemudian meluncur turun, menyusup diantara kayu-kayu yang bersilang dan kemudian kembali berada ditengah-tengah banjar. Kedua tangan Glagah Putih bergerak dengan cepat, menuangkan tata gerak yang tangkas dan cekatan, bahkan dengan ke"kuatan yang luar biasa besarnya sehingga gerak itu telah menimbulkan arus angin yang berputaran didalam sanggar itu.
Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Sabungsari benar-benar tergetar hatinya melihat kemajuan Glagah Putih. Namun mereka tetap mengenali unsur gerak itu. Meskipun sebagaimana mereka rasakan dalam getar ilmu anak muda itu, bahwa tersisip juga unsur-unsur oleh Ki Jayaraga dan Agung Sedayu pada ciri utama dari ilmu perguruan mereka, namun kemajuan yang dicapainya ter"nyata pesat sekali.
Beberapa saat Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Agung Se"dayu dan Sabungsari mengagumi tata gerak Glagah Putih. Namun kemudian ketika beberapa jenis kemampuan Glagah Putih itu telah ditangkap sifat dan wataknya yang ternyata tidak berubah, maka Kiai Gringsingpun telah minta Glagah Putih untuk menghentikannya.
Glagah Putih kemudian mulai menyusut geraknya, se"hingga akhirnya ia berhenti sama sekali. Dengan hormatnya Glagah Putih kemudian menunduk dalam-dalam kearah orang-orang yang sangat dihormatinya itu.
"Beristirahatlah Glagah Putih" berkata Kiai Gring"sing, "aku akan berbicara dengan kedua gurumu."
Glagah Putih tidak menjawab. Namun iapun kemudian telah bergeser menepi dan duduk disudut sanggar itu. Sementara Sabungsari yang merasa dirinya tidak berwenang untuk ikut berbicara, telah duduk didekat Glagah Putih yang sedang mengatur pernafasannya itu.
Beberapa saat Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Agung Sedayu telah memusatkan pengamatan mereka masing-masing. Mereka dengan terperinci telah menyatakan hasil penglihatan mereka serta uraiannya.
Namun ternyata Glagah Putih memang ingin mendapat penilaian yang tuntas. Karena itu, maka iapun telah berbuat dengan sejujur-jujurnya. Tidak ada yang disembunyikan. Apa yang ada padanya telah diungkapkannya. Ia tidak ingin orang-orang yang dianggap sebagai guru-gurunya itu akan salah menilai ten"tang dirinya.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Agung Sedayu telah mengadakan penilaian atas peng-amatan mereka. Menurut Ki Jayaraga dan Agung Sedayu, maka mereka telah berhasil mengenali getaran ilmu yang telah mereka wariskan. Mereka tidak menjumpai goncangan dalam perkembangan nilai itu meskipun telah ter"jadi peningkatan dan unsur yang kurang mereka kenal, namun bukan merupakan hambatan dan apalagi gangguan.
"Tetapi arus getaran itu jauh lebih kuat dari yang sewajarnya." berkata Agung Sedayu.
"Ya." jawab Ki Jayaraga, "ilmu didalam diri Glagah Putih telah meningkat terlalu cepat, melampaui segala kemungkinan yang dapat dilakukan oleh siapapun. Se"hingga aku condong untuk mengatakan, bahwa hal itu tidak akan mungkin dilakukan tanpa bantuan orang lain."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan nada datar iapun berkata, "Jika demikian, kita akan dapat mengambil satu kesimpulan. Tidak ada getaran ilmu lain selain yang sudah ada didalam dirinya dengan segala pengembangannya. Tetapi ternyata bahwa hal itu telah dapat kita kenali. Yang ada hanyalah satu pacuan diluar kewajaran akan kemajuan ilmu anak muda itu. Bukan saja loncatan panjang pada kemajuan ilmunya, juga kemam"puan untuk meningkat semakin cepat."
Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Beberapa saat mereka masih berbincang. Namun kesimpulannya adalah bahwa apa yang terjadi pada diri Glagah Putih tidak mengandung keberatan. Tetapi mereka harus selalu memperingatkan agar Glagah Putih menyadari apa yang terjadi pada dirinya. Dengan demikian maka ia tidak akan terdorong untuk melakukan tindakan yang akan dapat bertentangan dengan pesan yang harus dibawakannya serta lepas dari pengamatan dirinya sendiri.
Glagah Putih tidak boleh terlepas dari sumbernya. Ia harus tetap berpijak ditempatnya sebagaimana ia belum menerima alas yang mampu meningkatkan tataran yang dengan utuh telah meningkatkan ilmunya.
Dengan nada berat Kiai Gringsingpun kemudian ber"kata, "Anak muda itu sudah berada pada tataran tertinggi dari antara orang-orang berilmu. Namun umurnya yang masih sangat muda memerlukan bantuan agar ia tidak kehilangan kesadarannya akan dirinya. Kesenangan dan gelora perasaan anak muda yang tentu kadang-kadang masih menyala didalan dirinya, akan dapat berbahaya karena dukungan ilmu yang terlalu tinggi baginya" Kiai Gring"singpun berhenti sejenak, lalu, "untuk itu maka bukan dipundak kalian menjadi lebih berat. Kalian adalah guru-gurunya. Namun ada unsur lain yang mengangkatnya secara utuh dalam kemampuan ilmunya ketingkat yang lebih tinggi."
Ki Jayaraga dan Agung Sedayu mengangguk-angguk. Mereka sependapat dengan Kiai Gringsing dan agaknya kesepakatanpun tidak mereka dapatkan, tentang apa yang harus mereka lakukan atas Glagah Putih.
Namun dalam pada itu, tanpa terasa ternyata mereka telah sehari berada didalam sanggar. Demikian mereka menyadari, bahwa mereka telah menemukan kesepakatan, maka merekapun menyadari pula bahwa didalam sanggar itu menjadi gelap. Cahaya yang semula menyusup melalui lubang-lubang angin dan jalan bagi pernyataan, telah men"jadi redup.
Dalam pada itu, Sekar Mirahpun telah menjadi gelisah. Sejak matahari melalui puncak langit, ia sudah menyediakan makan bagi mereka yang berada didalam sanggar. Tetapi ternyata sampai saatnya matahari turun dan langitpun dibauri cahaya senja, ternyata yang berada didalam sanggar masih belum selesai.
Baru ketika langit benar-benar telah menjadi gelap, maka pintu sanggarpun terbuka. Kelima orang yang berada didalam sanggar itupun telah melangkah keluar.
Namun dalam pada itu, ternyata mereka masih akan membenahi diri. Terutama Glagah Putih yang telah meme"ras keringat. Mereka akan mandi dahulu sebelum mereka duduk mengelilingi makan dan minum panas.
Sekar Mirah masih sempat memanasi hidangan yang disediakan, sehingga ketika orang-orang yang letih dari dalam sanggar itu sudah duduk di amben yang besar, maka nasi dan minumanpun memang masih terasa hangat.
Setelah mereka makan, Kiai Gringsing yang mewakili mereka yang mengadakan penilaian atas Glagah Putih tidak menyampaikan kesimpulan pendapat mereka. Sebagaimana Glagah Putih dengan jujur mengungkapkan semuanya yang ada didalam dirinya untuk mendapat peni"laian yang utuh, maka Kiai Gringsingpun telah menyampai"kan hasil pembicaraan mereka dengan jujur dan lengkap pula.
Sabungsari dan Sekar Mirah yang tidak ikut membicarakan dan menilai perkembangan ilmu Glagah Putihpun ikut mengangguk-angguk. Justru karena mereka juga memiliki bekal pengetahuan tentang ilmu kanuragan, maka merekapun dapat menangkap uraian yang diberikan oleh Kiai Gringsing.
Glagah Putih mendengarkan penjelasan Kiai Gringsing dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian maka iapun baru menyadari, apa yang telah terjadi dengan anak-anak muda yang telah membawa Tanu dengan kekerasan. Ter"nyata bahwa ia telah kehilangan pengamatan tentang ke"kuatan dan kemampuannya sendiri.
Sejenak Glagah Putih mengenang apa yang telah dila"kukan oleh Raden Rangga atas dirinya. Demikian saja tanpa penjelasan apapun juga. Untunglah bahwa Glagah Putih masih mempunyai beberapa orang yang mampu menilai tentang dirinya, sehingga dengan demikian ia masih men"dapat kesempatan untuk dapat mengenali dirinya sendiri.
Demikianlah, ketika malam menjadi semakin dalam dan masing-masing telah berada di pembaringan, maka Glagah Putih sempat merenungi dirinya sendiri. Apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing merupakan persoalan yang harus dipecahkannya sendiri.
Karena itu, maka Glagah Putihpun telah menganyam rencana untuk melakukannya. Ia akan dapat mencari tempat yang paling terasing untuk melakukannya.
Hampir semalam suntuk Glagah Putih sama sekali tidak memejamkan matanya. Ia mencoba untuk memahami apa yang terjadi sebagaimana dijelaskan oleh Kiai Gring"sing tentang dirinya. Namun demikian, akhirnya Glagah Putih sempat juga tidur barang sejenak.
Ketika matahari terbit, maka Glagah Putihpun telah terbangun. Ia merasa agak terlambat. Namun ia masih sem"pat pergi ke pakiwan untuk mengisi air.
Di sumur ia melihat pembantu rumahnya sedang sibuk membersihkan ikan. Sambil bersungut-sungut anak itu ber"kata, "Aku tidak membangunkanmu. Kau menjadi sema"kin malas sekarang."
"Aku letih sekali." jawab Glagah Putih, "besok aku akan membantumu."
"Terserah saja. Membantu atau tidak." jawab anak itu.
Glagah Putih tersenyum. Sambil menepuk bahu anak itu ia berkata, "Jangan cepat marah."
Anak itu tidak menjawab. Hari itu Glagah Putih sudah bertekad untuk melihat lebih banyak kepada dirinya sendiri. Ia tidak mau menunda-nunda lagi. Baginya semakin cepat semakin baik. Ketika mereka makan pagi, Glagah Putih telah menyampaikan rencananya untuk pergi ke kaki pebukitan.
Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Sabungsari sependapat. Dengan demikian segala sesuatunya mengenai Glagah Putih akan menjadi semakin jelas dan mapan.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka merekapun telah mempersiapkan diri. Sekar Mirah telah menyatakan diri untuk ikut bersama mereka. Sementara pembantu rumah Agung Sedayu bersungut-sungut sambil ber"kata kepada diri sendiri, "Untuk apa sebenarnya mereka pergi semuanya" Disini banyak bebahu yang dapat diperintahkan untuk melakukan apa saja, sehingga Nyi Sekar Mirah sebenarnya tidak perlu ikut bersama mereka. Tetapi masak saja didapur."
Tetapi beberapa saat kemudian, beberapa ekor kuda telah berderap meninggalkan rumah Agung Sedayu. Sebelumnya Agung Sedayu telah pergi ke rumah Ki Gede untuk menyatakan kesibukannya hari itu.
"Aku tidak dapat ikut Ki Gede hari ini mengelilingi Tanah Perdikan." berkata Agung Sedayau.
"Kenapa?" bertanya Ki Gede.
"Aku sedang menilik kemampuan adik sepupuku, Glagah Putih." jawab Agung Sedayu.
Ki Gede tersenyum. Katanya, "Baiklah. Agaknya hari ini tidak ada tugas yang penting dan segera. Prastawa akan ikut bersamaku."
Agung Sedayupun kemudian minta diri. Bahkan ia telah meminjam seekor kuda dari Ki Gede untuk dipergunakan oleh Sabungsari, karena kuda yang ada di rumah Agung Sedayu kurang mencukupi.
Demikianlah iring-iringan kecil itu telah menempuh jalan bulak dan kemudian memasuki jalan-jalan sempit menuju ke kaki pebukitan yang jarang sekali dikunjungi orang. Mereka menyusup hutan yang lebat, kemudian memasuki daerah yang lebih jarang sehingga akhirnya me"reka sampai kedaerah berbatu-batu yang diselingi beberapa hutan perdu.
Mereka telah berhenti ditempat itu. Meloncat turun dari kuda-kuda mereka dan mengikat kuda-kuda mereka pada pepohonan yang ada disekitar mereka.
Beberapa saat kemudian Glagah Putihpun telah siap. Ia ingin mengetahui bukan saja batas kemampuannya, te"tapi iapun ingin mengetahui tataran kekuatan dan kemam"puannya sehingga ia akan dapat mengendalikan dirinya. Dengan mengetahui tataran-tataran itu, maka ia akan dapat mengatur dirinya pada saat-saat ia melepaskan kekuatannya itu.
Dibawah pengawasan Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Agung Sedayu serta disaksikan oleh Sabungsari dan Sekar Mirah, maka Glagah Putih berusaha untuk mengenali ke"kuatan dan kemampuannya.
Beberapa saat kemudian Glagah Putih telah berdiri diantara bebatuan. Memusatkan nalar budinya dan membangunkan budinya. Namun Glagah Putih mencoba untuk memulai dari tataran yang terendah yang kemudian akan ditingkatkannya selapis demi selapis. Yang menjadi sasaran adalah batu-batu padas di lereng perbukitan itu.
Dengan telaten Glagah Putih mencoba kekuatannya dengan pukulan-pukulan pada batu-batu padas itu. Ia harus mempelajari saat-saat batu itu mulai pecah. Setingkat demi setingkat. Kemudian Glagah Putih telah mengetrapkan pukulan ilmunya pada batu hitam. Seberapa jauh ia harus mengerahkan kemampuannya sehingga batu-batu itu dapat dipecahkannya.
Dengan mengetrapkan ilmu yang diwarisinya menurut jalur perguruan Ki Sadewa yang diajarkan oleh Agung Se"dayu, maka Glagah Putih ternyata mampu berbuat jauh lebih baik dari puncak ilmu itu sendiri. Dengan pengerahan kekuatan ilmu itu sampai kepuncak dilambari dengan ke"kuatan yang telah menyusup kedalam dirinya dengan cara yang tidak sebagaimana kebanyakan dilakukan, maka ilmu yang kemudian terpancar dari padanya adalah ciri perguruan Ki Sadewa namun dengan bobot yang jauh lebih berat dari sebelumnya.
Kemudian Glagah Putih mulai dengan kekuatan dan kemampuan ilmu yang diterima dari Ki Jayaraga. Setelah berhenti sejenak sambil mengatupkan telapak tangannya di dadanya, maka Glagah Putih telah bergerak lagi. Namun dengan ciri-ciri ilmu yang lain. Ilmu yang memiliki pertanda yang khusus dari perguruan Ki Jayaraga.
Seperti saat-saat Glagah Putih mengungkapkan ilmu"nya yang diwarisinya dari alur ilmu Ki Sadewa, maka ilmu yang kemudian itupun telah dilepaskannya dengan utuh bahkan dengan ungkapan yang mendebarkan. Segala sesuatunya memang sudah jauh meningkat dari kewajaran ilmu yang sudah diwarisinya.
Sekali lagi Glagah Putih berdiri tegak diatas sebuah batu sambil mengatupkan tangannya di dadanya. Kemu"dian iapun mulai lagi dengan gerakan yang perlahan-lahan, namun semakin lama menjadi semakin cepat.
Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Agung Sedayu men"jadi berdebar-debar. Apalagi yang akan diungkapkan oleh Glagah Putih.
"Apakah ia juga menyadap ilmu dari Raden Rangga dalam ujud tersendiri?" bertanya Agung Sedayu dan Ki Jayaraga di dalam hati.
Namun yang ternyata diungkapkan oleh Glagah Putih adalah satu perkembangan dari ilmunya yang diwarisinya dari Agung Sedayu dan Ki Jayaraga. Dua alur ilmu yang didalam diri Glagah Putih telah menjadi luluh dan saling mengisi. Bahkan dalam perkembangan dan peningkatannya, mereka melihat unsur-unsur baru yang memberikan kemungkinan yang jauh lebih besar bagi ilmu yang ada di dalam diri anak muda itu.
Glagah Putih bergerak semakin lama semakin cepat. Bahkan kemudian kaki anak muda itu seakan-akan tidak lagi menyentuh tanah. Tubuhnya menjadi seolah-olah tidak berbobot sementara ayunan tangannya menimbulkan arus angin yang mengguncang dedaunan.
Yang dilakukan oleh Glagah Putih menjadi jauh lebih dahsyat dari yang dapat dilakukannya di sanggar yang tertutup. Di udara terbuka ia dapat bergerak lebih leluasa dan tidak terlalu dibatasi oleh ruang. Bahkan sentuhan-sentuhan tangannya atas sasaran tidak terganggu lagi, sehingga bukan saja batu-batu padas, tetapi dalam hentakan kekuatannya, maka tangannya telah dapat memecahkan batu hitam.
Sabungsari dan Sekar Mirah menjadi sangat kagum. Keduanya tidak menduga sama sekali, bahwa anak semuda itu telah mampu menyimpan ilmu demikian tinggi dan matang. Bahkan keduanya tidak dapat ingkar, bahwa mereka tidak akan mungkin untuk dapat mengimbangi ilmu Glagah Putih lagi.
Ketika kemudian Glagah Putih berhenti, ternyata bah"wa ia masih belum selesai. Seperti yang dilakukannya sebe"lumnya, maka sekali lagi ia berdiri tegak sambil mengatup"kan kedua telapak tangannya di dadanya. Kemudian, gerakan-gerakannya pun mulai berubah lagi. Tidak menjadi semakin cepat, tetapi justru menjadi lamban. Namun ternyata bahwa Glagah Putih telah berusaha untuk melepaskan ilmu dari jarak jauh terhadap batu-batu padas di lereng-lereng pebukitan.
Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Agung Sedayu, apa"lagi Sabungsari dan Sekar Mirah hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya. Bagaimanapun juga mereka tidak dapat ingkar, bahwa selama Glagah Putih berada di dekat Raden Rangga, maka anak muda itu telah mengalami ke"majuan yang luar biasa. Meskipun Raden Rangga tidak memberikan ilmunya dalam ujud yang dapat ditangkap oleh indera kewadagan, namun ternyata bahwa ilmu yang tergetar dari anak yang aneh itu menyusup di dalam diri Glagah Putih dan petunjuk-petunjuk serta dorongan yang diberikan sebelumnya, telah membuat Glagah Putih berada di lapisan yang tinggi dari ilmu yang telah dikuasainya se"belumnya.
Beberapa kali batu-batu di lereng pebukitan itu bagaikan meledak. Kemudian runtuh berguguran.
Sejenak kemudian Glagah Putih tidak lagi menghadap ke lereng pebukitan, tetapi ia menghadap kearah batang-batang pohon yang ada dikaki pebukitan itu. Dengan ke"mampuannya maka anak muda itu telah menghentakkan ilmunya kearah pepohonan itu. Ternyata bahwa ilmu yang disadapnya dari Ki Jayaraga dilandasi dengan kemampuan yang dialirkan dari Raden Rangga kedalam dirinya dengan berbagai cara sampai yang terakhir menjelang Raden Rang"ga meninggal, telah mewujudkan ilmu yang sangat dahsyat. Ketika Glagah Putih itu melontaran ilmu ke arah dedaunan, maka ternyata kekuatan panasnya api telah membakar dedaunan itu. Dalam sekejap dedaunan itu telah men"jadi layu dan kering. Bahkan sepercik api seakan-akan telah nampak menyala. Namun hanya sekejap"saja. Yang dilaku"kan kemudian oleh Glagah Putih adalah mengalirkan kekuatan. angin, sehingga beberapa batang pepohonan bagaikan diputar oleh angin pusaran.
Manusia Srigala 9 Kamar Gas The Chamber Karya John Grisham Pendekar Guntur 19
^