Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 23

09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 23


Karena itu, maka prajurit itu tidak dapat bertahan diatas punggung kudanya. Iapun kemudian telah terlempar jatuh, sementara kudanya berlari meninggalkannya, menyusup di"antara pepohonan dan hilang tanpa tujuan.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu ketika ia berjalan dengan langkah-langkah berat mendekati Raden Rangga, terdengar anak muda itu berkata, "Luar biasa Glagah Putih. Aku tahu, bahwa kau menyesal, justru karena kau telah terpaksa melepaskan kemampuan ilmu pamungkasmu."
Glagah Putih tidak segera menjawab. Namun dua orang
agaknya telah terbunuh olehnya, tanpa mengetahui siapakah
mereka dan dari manakah mereka datang.
" Tetapi itu bukan salahmu. Keadaanku telah memaksamu
berbuat seperti itu " berkata Raden Rangga.
Glagah Putihpun kemudian mendekati Raden Rangga
sambil menyahut " Jangan salahkan diri sendiri Raden. Aku
memang menyesal bahwa aku telah terpaksa membunuh
orang yang sama sekali tidak aku kenal. Tetapi aku tidak
mempunyai pilihan lain. "
Raden Rangga tidak menjawab. Namun kemudian katanya
" Glagah Putih. Agaknya pertempuran menjadi semakin seru.
Orang-orang berkuda itu jumlahnya agaknya jauh lebih
banyak dari jumlah kita. Untuk mengatasinya, mungkin kau
sangat diperlukan. "
" Tetapi aku akan berada disini " berkata Glagah Putih
" bagaimanapun juga Raden harus dikawani, justru
Radenlah yang agaknya menjadi sasaran orang-orang
berkuda itu. Jika keadaan Raden tidak seperti ini, maka tentu
Radenlah yang akan mengawani aku. "
Tiba-tiba saja Raden Rangga tertawa. Mula-mula Glagah
Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian
tertawa pula. Tetapi suara tertawa Raden Rangga dengan tiba-tiba pula
berhenti. Wajahnya nampak tegang. Sementara tatapan
matanya menjadi redup. Glagah Putih mengerti, bahwa Raden Rangga sedang
mengatasi rasa sakitnya. Sementara itu pertempuran di pategalan itu masih
berlangsung terus. Beberapa orang berkuda itupun telah
berloncatan turun. Mereka justru merasa terhambat oleh kudakuda
mereka karena pepohonan yang tumbuh di pategalan itu.
Namun dengan demikian, maka keadaan para prajurit
Mataram yang jumlahnya jauh lebih sedikit itu memang
menjadi semakin sulit. Meskipun beberapa orang lawan telah
dilumpuhkan, bahkan ada pula yang telah terbunuh, namun
jumlah mereka tetap masih lebih banyak.
Dalam keadaan yang sulit itu, tiba-tiba saja terdengar
Raden Rangga itu mulai berkidung lagi. Seperti yang dilagukannya
sebelumnya, maka Raden Rangga telah melagukan
tembang Durma. Tembang yang menghidupkan gejolak
perjuangan di peperangan.
" Raden " desis Glagah Putih.
Tetapi Raden Rangga tidak menghiraukannya.
Sementara itu, beberapa saat kemudian telah datang pula
dua orang yang bersenjata pedang pula. Mereka tidak berada
diatas punggung kuda. Tetapi mereka telah turun dari kudanya
dan berusaha untuk mencari orang yang telah dibawa dengan
tandu. " Nah, ia ada disini " berkata yang seorang. " Bagus " desis
yang lain. Namun keduanya tertegun ketika mereka melihat Ki Lurah
Singaluwih bertempur dengan sengitnya. Keduanya
mempergunakan senjata ditangan. Senjata Ki Lurah yang
besar dan berat itu terayun-ayun sangat mengerikan. Tetapi
senjata yang besar itu sama sekali tidak mampu
menggoyahkan pertahanan Sabungsari. Bahkan beberapa kali
senjata Sabungsari yang lebih kecil itu mampu mendesak Ki
Lurah sehingga Ki Lurah berloncatan mundur.
" Anak setan " geram Ki Lurah " dari mana kau belajar ilmu
iblis itu he" "
Sabungsari tidak menjawab. Tetapi dengan kemampuan
ilmu pedangnya, maka ia sudah mendesak beberapa kali Ki
Lurah Singaluwih. Namun kadang-kadang Sabungsari telah
terdesak pula beberapa langkah surut.
" Ki Lurah akan segera mengatasi lawannya " berkata salah
seorang diantara mereka. Yang lainpun mengangguk sambil berkata " Kita ambil
orang yang dibawa dengan tandu itu.
" Seseorang agaknya telah menjaganya " berkata yang
satu. " Kita selesaikan saja orang itu " jawab yang lain.
Demikianlah keduanya telah mendekati Glagah Putih yang
berdiri termangu-mangu. Sementara itu Raden Rangga masih
saja melagukan tembang Durma yang menggetarkan jantung.
" Apakah orang itu sudah gila " berkata seorang diantara
kedua orang yang mendekatinya itu.
Namun yang lain tiba-tiba telah menggamit kawannya
sambil menunjukkan sesosok tubuh yang terbaring diam.
Bahkan ketika ia memandang berkeliling, dilihatnya sesosok
yang lain terkapar didekat tubuh seekor kuda.
" Setan " geram orang itu " siapakah yang telah membunuh
mereka" " Kawannya tidak menjawab. Namun dengan geram ia mulai
menggerakkan pedangnya sambil mendekati Glagah Putih.
" Siapa yang telah membunuh kawan-kawanku itu he" "
bertanya seorang diantara keduanya.
Glagah Putih tidak melingkar-lngkar lagi. Dengan tegas
iapun telah menjawab " Aku. "
" Persetan. Melihat tampangmu maka kau bukan prajurit
Mataram. Kau tidak mengenakan tanda-tanda keprajuritan
seperti prajurit-prajurit yang lain. Atau kau termasuk salah
seorang prajurit atau petugas sandi" " bertanya orang itu.
" Aku bukan prajurit Mataram. Dan aku juga bukan petugas
atau prajurit sandi " jawab Glagah Putih.
" Kenapa kau berada di antara para prajurit Mataram he" "
desak orang itu. " Aku dan kawanku yang berada diatas tandu itu meninggalkan
Mataram lebih dahulu dari seluruh pasukan. Kami
bertemu di perjalanan dan kami berjalan bersama mereka "
jawab Glagah Putih pula. " Kau berusaha untuk memisahkan orang diatas tandu itu
dari kesatuan prajurit Mataram, ya, " berkata orang itu " jangan
mimpi bahwa kata-katamu dapat dipercaya. Kami sudah yakin,
bahwa orang itu tentu orang penting, sehingga ia harus diantar
lebih dahulu diatas tandu, sementara orang lain yang terluka
dibiarkan saja berada di padepokan itu. "
" Terserah kepada kalian jika kalian ingin menyusun
ceritera tersendiri tentang kawanku itu. Itu hakmu. Tetapi
kalian tidak berhak untuk berbuat sesuatu atasnya " berkata
Glagah Putih. Raden Rangga yang sudah berhenti berkidung
memperhatikan sikap Glagah Putih. Sikap yang memang
meyakinkan. Meskipun Glagah Putih masih sangat muda,
hanya terpaut sedikit lebih tua dari umurnya sendiri, namun
Glagah Putih sudah menunjukkan kelebihannya. Bukan saja
dalam ilmu kanuragan, tetapi juga dalam menentukan sikap
dan langkah langkah yang harus dengan cepat diambil.
Dalam pada itu, kedua orang itupun telah bersiap untuk
menyingkirkan Glagah Putih yang menghalangi mereka.
Dengan pedang ditangan kedua orang prajurit itu bergeser
saling menjauhi. Tetapi agaknya keduanya lebih dahulu akan
menyelesaikan Glagah Putih bersama-sama.
Glagah Putih yang merasa cemas akan keadaan Raden
Rangga, tidak mau banyak kehilangan waktu. Apalagi ketika
dilihatnya dua orang lagi telah melihat tempat itu dan
melangkah mendekat. Karena itu, maka Glagah Putihpun telah memutuskan untuk
mempergunakan ikat, pinggangnya yang khusus itu.
" Anak setan " geram salah seorang lawannya " kau kira
kami cucurut-cucurut busuk yang lari melihat ikat pinggang
kulitmu itu " Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia sudah siap tempur.
Ketika salah seorang lawannya itu menjulurkan pedangnya,
maka dengan serta merta Glagah Putih telah memukul
pedang itu dengan kekuatan ilmunya. Hanya sekali pukul,
maka pedang itu telah terlempar jatuh.
" Gila " teriak prajurit yang kehilangan pedang itu. Namun
kawannyalah yang kemudian menyerangnya
dengan ayunan pedang mendatar. Demikian cepatnya
mengarah ke lambung. Ketika Glagah Putih meloncat surut, maka lawannya yang
kehilangan pedang itupun telah meloncat memungut
pedangnya dengan tergesa-gesa.
Glagah Putih tidak mencegahnya. Namun dengan demikian
maka sejenak kemudian ia harus bertempur melawan dua
orang lawan. Sementara itu, dua orang lagi telah
mendatanginya. Semakin lama semakin dekat.
Raden Rangga melihat kehadiran dua orang baru itu.
Namun ia sendiri memang tidak dapat berbuat apa-apa. Ia
tengah bergulat dengan kekuatan bisa ular didalam dirinya
sehingga membuatnya seakan-akan tidak berdaya.
Ketika kedua orang baru itu menjadi semakin dekat, maka
Glagah Putihpun berniat untuk mempercepat pekerjaannya,
karena pekerjaan baru akan segera menyusul.
Karena itu, maka ikat pinggangnyapun telah berputar
semakin cepat dan kuat. Kedua lawannya sama sekali tidak menduga, bahwa ikat
pinggang itu akan dapat mematuk seperti pedang mereka.
Karena itu ketika Glagah Putih menjulurkan ikat pinggang itu,
maka keduanya telah terkejut.
" Apakah ikat pinggang itu didapatkannya dari sesosok iblis
" Bertanya kedua orang lawannya didalam hatinya.
Sebenarnyalah dengan ilmunya Glagah Putih mampu
menjadikan ikat pinggangnya seperti sehelai pedang.
Ketika Glagah Putih mempercepat serangannya, maka
kedua lawannya benar-benar menjadi semakin terdesak.
Pedang mereka seakan-akan menjadi tidak berarti dihadapan
lawannya yang masih sangat muda dan bersenjata ikat
pinggang itu. Kedua orang kawannya yang datang kemudianpun melihat,
bahwa dua orang diantara para prajurit itu sedang terdesak.
Karena itu, maka merekapun telah mempercepat langkah
mereka. Namun ternyata mereka terlambat. Demikian mereka
menjadi semakin dekat, maka terdengar kawannya yang
sedang bertempur itu berteriak mengumpat dengan
kemarahan yang menghentak. Namun kemudian suaranya
tenggelam kedalam riuhnya pertempuran. Tubuhnya telah
terkapar jatuh ditanah. " Gila " teriak kawannya yang seorang. Sementara itu dua
orang yang lain telah meloncat memasuki arena.
Tetapi kehadiran mereka seakan-akan telah
memperpendek perlawanan seorang yang tersisa dari kedua
orang yang terdahulu. Demikian kedua orang yang berlari-lari
kemudian itu mendekat, maka yang seorang dari yang datang
terdahulu itu telah terdorong surut. Ujung ikat pinggang
Glagah Putih ternyata telah menyengat dadanya, sehingga
lukapun telah menganga, sebagaimana sentuhan ujung
senjata. Yang kemudian berada di arena adalah dua orang baru
yang datang kemudian. Namun mereka ternyata bukan orangorang
yang lebih baik dari kedua orang yang terdahulu.
Sementara itu, Sabungsari yang bertempur melawan Ki
Lurah Singaluwih itupun benar-benar menjadi semakin seru.
Ki Lurah memang bukan orang kebanyakan, sehingga ayunan
pedangnya benar-benar menggetarkan jantung lawannya.
Tetapi Sabungsaripun seorang yang memiliki kemampuan
yang sangat tinggi. Sehingga dengan demikian pertempuran
itupun menjadi sangat sengit. Keduanya saling mendesak dan
saling menyerang. Sekali waktu Sabungsari terdesak
beberapa langkah. Namun kemudian Ki Lurahlah yang
meloncat mundur dengan loncatan-loncatan panjang.
Ki Lurah yang garang itu akhirnya menjadi tidak telaten lagi.
Ia merasa berkewajiban untuk mengambil orang yang berada
di tandu itu. Sekali-sekali Ki Lurah juga mendapat kesempatan untuk
melihat beberapa orangnya yang berusaha mengambil orang
yang berada di dalam tandu yang sederhana itu. Namun iapun
sempat melihat juga bagaimana orang-orangnya itu
dihancurkan oleh seorang anak muda yang menjaganya.
Sementara itu, di arena pertempuran di pategalan itupun
rasa-rasanya para prajuritnya tidak segera dapat mengatasi
keadaan. Kelebihan jumlah orang-orangnya yang berlipat,
telah jauh susut. Pada benturan yang pertama, beberapa
orang prajuritnya telah jatuh dari punggung kudanya. Cambuk
dan tombak pendek dua orang tua itupun telah mengurangi
jumlah prajuritnya. Kemudian anak muda yang mengawani
orang yang berada di dalam tandu itu telah merampas enam
dari orang-orangnya. Sebenarnyalah bahwa keadaan para prajurit Mataram
memang tidak lagi terasa terlalu berat, justru ketika mereka
sudah bertempur beberapa lama. Apalagi para prajurit
Mataram itu sebagian besar justru terdiri dari para perwira
pilihan, sehingga dengan demikian, mereka memang memiliki
kelebihan dari kebanyakan prajurit. Juga kelebihan dari lawanlawan
mereka. Karena itulah, maka para prajurit Mataram itu
mampu bertahan untuk beberapa lama.
Ki Singaluwihlah yang kemudian dengan sepenuh
kekuatan, dan kemampuannya berusaha untuk mendesak
Sabungsari Karena itulah maka Ki Lurah itupun telah
mengerahkan ilmunya pula.
Sabungsari terkejut ketika ia melihat perubahan sikap dan
tata gerak Ki Singaluwih. Jika semula Ki Lurah itu meloncatloncat
menyambar-nyambar dengan tangkas dan cepat, tibatiba
saja kakinya yang ringan itu bagaikan telah terperosok kedalam
bumi. Ki Lurah tidak lagi meloncat-loncat dengan cepat,
tetapi senjatanya yang besar dan teracu itu seakan-akan lebih
banyak menunggu daripada mengambil kesempatan untuk
menyerang. Sabungsaripun tidak tergesa-gesa bergerak, la harus
menilai sikap lawannya. Ia tidak mau terjerumus kedalam
kesalahan yang akan berakibat buruk terhadapnya.
Namun Sabungsari itu terkejut, ketika tiba-tiba saja ia
melihat Ki Lurah itu meloncat sambil mengayunkan
pedangnya kearahnya. Demikian derasnya, sehingga


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sabungsari tidak sempat untuk mengelak. Namun dengan
mengerahkan kekuatan dan kemampuannya pula, Sabungsari
telah menangkis serangan itu.
Dua kekuatan telah berbenturan. Seperti yang sudah
terjadi, maka Sabungsari mampu mengimbangi kekuatan Ki
Lurah. Tetapi sesuatu telah terjadi pada Sabungsari. Tangkai
pedangnya itu tiba-tiba saja terasa menjadi panas.
Tetapi Sabungsari masih bertahan untuk tetap
menggenggam pedangnya. Namun pada benturan berikutnya,
panas pada tangkai pedangnya itu serasa bertambah.
Semakin lama semakin panas disetiap benturan.
Sabungsari yang memiliki ketajaman pengamatan karena
iapun memiliki ilmu yang tinggi, segera mengetahui bahwa
panas itu merupakan bagian dari kemampuan Ki Lurah
Singaluwih. Panas itu bukan panas sewajarnya karena dapat
memanasi tangkai pedangnya. Panas itu merambat demikian
cepat sehingga rasa-rasanya tangannya telah terbakar.
Ki Lurah Singaluwih melihat kelemahan Sabungsari.
Karena itu, maka iapun telah mendesaknya dan dengan
penuh keyakinan, telah berusaha untuk selalu membenturkan
senjatanya. Namun gerak Ki Singaluwih tidak lagi berloncatan dengan
kecepatan yang tinggi. Tetapi setiap kali Ki Lurah berdiri tegak
dengan kedua kaki yang renggang. Sebelah didepan yang lain
dibelakang berjarak setengah langkah. Kedua tangannya
menggenggam tangkai senjatanya yang besar dan berat.
Namun pada setiap kesempatan, tiba-tiba saja ia meloncat
menerkam lawannya dengan senjatanya itu. Berputar atau
terayun mendatar atau mematuk dengan garang. Sekali-sekali
Sabungsari sempat mengelak. Namun Ki Lurah dengan sigap
dan keras telah memburunya, sehingga pada suatu saat
Sabungsari harus menangkisnya.
Benturan yang demikian selalu membuat tangan
Sabungsari menjadi semakin pedih digigit oleh tangkai
pedangnya yang semakin panas. Bahkan pada suatu saat,
akhirnya sampailah panas itu pada batas kemampuan
Sabungsari untuk mengatasinya.
Karena itu, ketika sekali lagi terjadi benturan yang sangat
keras disertai, meningkatnya panas pada pedangnya, maka
Sabungsari tidak berhasil mempertahankannya lagi.
Sabungsari meloncat jauh surut ketika pedangnya
kemudian terlepas dari tangannya.
Yang kemudian terdengar adalah suara tertawa Ki Lurah
Singaluwih yang keras berkepanjangan. Disela-sela suara
tertawanya, itu ia berkata " Nah Ki Sanak yang berilmu tinggi.
Ternyata bahwa hari ini adalah hari yang paling buruk bagimu.
Aku akan terpaksa membunuhmu dan mengambil orang yang
berada ditandu itu. Jika kawanmu yang menjaga tandu itu juga
memiliki ilmu yang tinggi, maka ia tidak akan banyak berarti
bagiku sebagaimana kau sendiri. Ia memang berhasil
melumpuhkan ampat orang prajuritku. Dua orang lagi
sekarang sedang terdesak. Tetapi mereka bukan aku. "
" Prajuritmu" Prajurit dari mana" " bertanya Sabungsari.
Tetapi Ki Lurah itu hanya tertawa saja. Katanya " Lupakan
saja. Tetapi yang penting, kau akan segera mati. Sebut nama
ibu bapamu. Pandang langit untuk yang terakhir kalinya.
Sabungsari tidak menjawab. Tetapi iapun telah bergeser
beberapa langkah surut. Bahkan ketika Ki Lurah maju selangkah, Sabungsari telah
meloncat lagi beberapa langkah surut.
" Kau tidak akan mungkin lari dari tanganku" geram Ki
Lurah. Sabungsari tidak menjawab. Ia sudah siap menghadapi
segala kemungkinan dengan kemampuannya yang tertinggi.
Tanpa pedang di tangan, maka Sabungsari justru menjadi
semakin berbahaya. Pada saat yang demikian, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga
telah berhasil pula mendesak lawan-lawannya. Betapapun
tinggi ilmu dua orang kembar yang berada diantara para
prajurit yang dipimpin oleh Ki Lurah Singaluwih, namun
mereka tidak mampu mengimbangi kemampuan Kiai
Gringsing. Dalam benturan ilmu, maka jarak antara kedua orang
kembar itu dengan Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga memang
masih agak jauh. Sehingga karena itu, maka ketika kulit
mereka telah tersentuh cambuk Kiai Gringsing dan ujung
tombak pendek Ki Jayaraga, maka mereka merasa bahwa
mereka tidak akan mampu menandingi kemampuan orangorang
tua itu. Apalagi ketika ujung cambuk Kiai Gringsing sudah tidak
terdengar meledak-ledak lagi. Maka tingkat kemampuan ilmu
Kiai Gringsingpun menjadi semakin tinggi pula.
Pada saat-saat kedua orang itu semakin terdesak, maka
Sabungsari telah bersiap pula menyelesaikan tugasnya. Ki
Lurah Singaluwih yang melangkah perlahan-lahan kearahnya
sambil mengacukan senjatanya yang besar dan berat itu,
masih sempat tertawa sambil, berkata " Jangan lari anak cengeng. Jika
kau lari, maka kau akan digantung juga di Mataram karena
orang yang kau kawal dengan tandu itu telah jatuh
ketanganku. Karena itu kau sebaiknya mati sebagai pahlawan
disini, karena kau mempertahankan orang yang berada
dibawah pengawalanmu. Nah, sebelum mati, apakah kau
bersedia menjawab pertanyaanku " "
Sabungsari masih berdiam diri. Sementara Ki Lurah itu
berkata selanjutnya " Siapakah orang yang berada di atas
tandu itu" " Sabungsari memandang wajah Ki Lurah yang sedang
melangkah mendekatinya itu. Ketika Ki Lurah itu menjadi
semakin dekat, maka Sabungsaripun berkata " Ki Sanak.
Sebenarnya yang Ki Sanak lakukan ini adalah satu kesiasiaan.
Bahkan harus kau sesalkan. Ki Sanak akan mati dan
semua orang-orangmu akan mati pula, kecuali jika ada belas
kasihan kami. " " Persetan " geram Ki Lurah " sebentar lagi tubuhmu akan
hancur oleh senjataku ini. Bukan saja kulitmu yang tersayat
dan tulang-tulangmu berpatahan. Tetapi sia-sia tubuhmu akan
hangus dimakan api ilmuku. "
" Terserah kepadamu " geram Sabungsari " kali ini adalah
kesempatanmu yang terakhir. "
Ki Lurah tertawa sambil mengacukan senjatanya. Namun
tiba-tiba suara tertawanya terputus ketika tanah diujung jari
kakinya tiba-tiba saja bagaikan meledak.
Ki Lurah meloncat surut. Kerikil-kerikil yang menghambur
ketubuhnya memang membuatnya sakit. Tetapi dengan cepat
ia berhasil mengatasinya.
Dengan wajah yang tegang ia memandang Sabungsari
yang berdiri tegak pada kakinya yang renggang.
" Jika kau menyadari kemungkinan yang dapat terjadi atas
dirimu Ki Sanak, maka pertimbangan sekali lagi langkahlangkah
yang akan kau ambil. Aku memberimu kesempatan
sekali lagi untuk menyerah. " berkata Sabungsari.
Ki Lurah Singaluwih termangu-mangu sejenak.
Dipandanginya Sabungsari dengan wajah kemarahan yang
membakar jantungnya. Untuk beberapa saat ia berdiri tegak
dengan senjatanya yang mendebarkan ditangannya yang
gemetar. " Cepat " bentak Sabungsari " ambil keputusan " Jarak
antara Ki Lurah Singaluwih dan Sabungsari tidak terlalu jauh.
Karena itu, maka gejolak jiwa Ki Lurah itu telah meloncat
dengan kecepatan tatit diudara sambil mengayunkan
senjatanya mengarah keleher Sabungsari. Serangan yang
sangat cepat itu memang sulit untuk dihindari, sementara itu
Sabungsari tidak lagi memegang pedang di tangannya.
Sehingga dengan demikian maka tidak ada kemungkinan lain
dari Sabungsari untuk melindungi dirinya selain ilmunya.
Pada saat Ki Lurah itu meloncat dan bagaikan terapung
diudara, maka Sabungsaripun telah melontarkan
serangannya. Kemampuan ilmunya yang memancar lewat
sorot matanya telah menghantam dada Ki Lurah Singaluwih,
seakan-akan sebongkah bara yang dilontarkan dari mulut
Gunung berapi telah membenturnya.
Betapapun Ki Lurah mengerahkan daya tahannya, namun
serangan itu benar-benar telah berakibat sangat buruk
baginya. Ternyata serangannya yang meluncur itu bagaikan
tertahan. Bahkan iapun kemudian telah terbanting jatuh
ditanah. Tangannya tidak lagi mampu mempertahankan
senjatanya di-dalam genggaman.
Dengan serta merta Ki Lurah itu berusaha untuk bangkit.
Namun iapun kemudian terhuyung-huyung dan jatuh
terjerembab. Sabungsari masih berdiri tegak ditempatnya. Senjata Ki
Lurah yang terayun itu memang hampir menyentuh tubuhnya.
Namun ternyata bahwa sorot matanya mengenai sasaran
lebih cepat dari senjata Ki Lurah itu.
Sabungsari yang melihat Ki Lurah itu jatuh terjerembab,
perlahan-lahan mendekatinya. Ketika ia kemudian berjongkok
disisinya maka Sabungsari itupun menjadi berdebar-debar.
Perlahan-lahan pula ia telah membalikkan tubuh itu. Namun
ternyata Ki Lurah telah kehilangan kesadarannya. Pingsan.
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian
ia berpaling. Dilihatnya Glagah Pulih berdiri dengan tegang.
Ditangannya masih tergenggam ikat pinggangnya. Sementara
itu, lawan-lawannya telah terbaring pula ditanah.
Perlahan-lahan Sabungsari melangkah mendekati Glagah
Putih. Sambil menepuk bahunya ia bertanya " Bagaimana
keadaanmu" " " Aku tidak apa-apa " jawab Glagah Putih.
" Luka-lukamu" " bertanya Sabungsari pula.
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Memang luka itu
masih terasa pedih. Tetapi ternyata bahwa keadaannya tidak
bertambah parah. " Glagah Putih " berkata Sabungsari kemudian " jika
keadaanmu cukup baik, biarlah aku turun ke arena itu sejenak.
Agaknya pertempuran ini akan dapat dipercepat. "
" Pergilah " berkata Glagah Putih " tetapi agaknya kita
memerlukan keterangan dari mereka. "
" Aku mengerti, " jawab Sabungsari. Lalu tetapi jika kau
perlukan, berilah isyarat. Kau dapat memanggil aku. "
Glagah Putih mengangguk. Katanya " Baiklah. Aku akan
tetap disini. " " Jangan terpancing untuk meninggalkan Raden Rangga
sendiri " pesan Sabungsari.
Glagah Putih mengangguk. Sementara itu, Sabungsaripun
telah melangkah meninggalkan Glagah Putih sendiri.
Pada saat yang demikian, maka kedudukan para prajurit
yang dipimpin oleh Ki Lurah Singaluwih itupun telah menjadi
semakin terdesak. Beberapa orang korban telah berjatuhan.
Dua orang yang melawan Kiai Gringsing dan Ki Jayaragapun
tidak lagi mempunyai harapan untuk memenangkan
pertempuran. Karena itu maka bagi mereka tidak ada jalan
lain daripada menghindari keadaan yang lebih buruk lagi.
Dengan demikian, maka agaknya telah timbul pula sikap
yang serupa dari para prajurit yang lain. Bahwa Ki Lurah
Singaluwih tidak lagi berada di antara mereka, telah
menimbulkan berbagai persoalan didalam hati para
prajuritnya. Karena itu, maka ketika dua orang yang dianggap memiliki
ilmu yang tinggi diantara mereka bergeser surut, maka
seakan-akan seluruh pasukanpun telah menjadi gelisah.
Beberapa orang yang masih berada dipunggung kuda, tibatiba
telah membuat gerakan-gerakan yang untuk sesaat
berhasil membingungkan para prajurit Mataram. Namun pada
saat prajurit itu menyadari apa yang terjadi, beberapa orang
diantara mereka telah berhasil memberi kesempatan kepada
kawan-kawannya yang sudah tidak berada diatas punggung
kudanya untuk meloncat naik.
Dalam kekalutan yang sesaat itu pulalah kedua orang
kembar yang berilmu tinggi itu telah berhasil pula melepaskan
diri dari ikatan pertempuran dengan Kiai Gringsing dan Ki
Jayaraga. Sebenarnyalah bahwa jika dikehendaki, Kiai Gringsing dan
Ki Jayaraga akan dapat mencegah keduanya. Tetapi Kiai
Gring-singlah yang telah menahan Ki Jayaraga. Katanya "
Jangan menanamkan dendam lebih dalam. "
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan
nada rendah " Maaf Kiai. Tetapi bukankah kita memerlukan
keterangan" Jika aku berniat untuk menangkap salah seorang
diantara mereka, mungkin dari mulut mereka, kita akan dapat
mengenal mereka lebih dalam. "
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak Namun kemudian
katanya " Akulah yang harus minta maaf. Agaknya aku
mempunyai dugaan yang salah. Aku mengira bahwa Ki
Jayaraga benar-benar menjadi, marah kepada orang-orang
itu." Ki Jayaragapun tersenyum. Katanya " Sudahlah. Masih ada
orang lain yang akan dapat memberikan penjelasan. "
Sebenarnyalah, memang masih ada beberapa orang yang
tinggal. Para prajurit Ki Singaluwih yang terluka dan tidak
dapat lagi meninggalkan arena itu. Diantara mereka ternyata
terdapat Ki Lurah Singaluwih sendiri.
Beberapa orang prajurit Mataram memang telah terluka
pula. Namun untunglah bahwa tidak seorangpun diantara para
prajurit Mataram yang terbunuh.
Meskipun demikian, peristiwa itu benar-benar sudah
menghambat perjalanan para prajurit Mataram yang
membawa Raden Rangga itu. Sementara itu keadaan Raden
Rangga sendiri tidak menjadi bertambah baik. Tubuhnya
nampak menjadi semakin lemah.
Ketika pertempuran sudah selesai, barulah orang-orang
padukuhan itu berani bergeser mendekat. Pemilik pategalan
itulah yang pertama-tama berani memasuki pategalannya
yang rusak. Bahkan pategalan tetanggapun telah menjadi
rusak pula. " Apa yang telah terjadi" " bertanya pemilik pategalan
itu. Senapati yang memimpin prajurit Mataram itupun
mendekatinya sambil berkata " Kami minta maaf Ki Sanak.
Kami telah merusak pategalan Ki Sanak. Tetapi bukan
maksud kami berbuat seperti itu. Tanpa kami ketahui sebabsebabnya,


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami telah diserang oleh sekelompok orang yang
tidak kami kenal. " Orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu, orang orang
lainpun mulai berdatangan. Ketika mereka melihat bahwa
pemilik pategalan itu tidak mengalami perlakuan yang kasar,
maka yang lainpun mulai berani mendekat pula.
Sementara itu, para prajurit Matarampun mulai membenahi
diri. Ada beberapa ekor kuda yang tertinggal dan tanpa
menghiraukan peristiwa yang terjadi, dengan lahapnya makan
rerumputan yang hijau dipinggir pategalan.
" Kami akan mengganti kerusakan yang terjadi " berkata
Senapati yang memimpin pasukan itu.
" Jika itu bukan kesalahan Ki Sanak dan para prajurit
Mataram, maka Ki Sanak tidak mempunyai kewajiban untuk
mengganti kerusakan yang ternyata tidak seberapa.
Untunglah bahwa padi gaga itu sudah dipetik, sehingga tidak
rusak karenanya, " berkata pemilik pategalan itu.
" Tetapi ada tugas lain yang ingin kami serahkan kepada Ki
Sanak. Kami minta tolong untuk mengubur orang-orang yang
terbunuh dalam peristiwa ini. " berkata Senapati itu.
Orang yang memiliki pategalan itu termangu-mangu.
Namun nampak kecemasan membayang dimatanya. Karena
itu, maka Senapati Mataram itupun berkata " Jangan takut.
Orang-orang yang menyerang kami tahu pasti bahwa kami
adalah prajurit-prajurit Mataram. Karena itu, jika kalian
mengubur kawan-kawan mereka dengan cara yang baik,
seharusnya mereka akan berterima kasih kepada kalian. "
Pemilik pategalan itu mengangguk-angguk kecil, meskipun
nampaknya ia belum begitu yakin.
" Kami akan mengumpulkan korban yang jatuh " berkata
Senapati itu. Pemilik pategalan itu tidak menjawab. Tetapi ia masih saja
berdiri bagaikan membeku ditempatnya. Orang-orang
padukuhan itupun menjadi semakin banyak berkumpul untuk
melihat apa yang telah terjadi di pategalan itu.
Dalam pada itu, maka setelah mengumpulkan para korban
dan beberapa ekor kuda yang tertinggal, maka para prajurit
Mataram itupun segera berkumpul untuk menentukan
langkah-langkah yang akan segera diambil. Raden
Ranggapun telah diusung pula diantara mereka diikuti Glagah
Putih. Sementara Sabungsari telah berdiri disebelah Kiai
Gringsing dan Ki Jayaraga.
Tujuh orang prajurit Mataram telah terluka. Dua diantaranya
cukup parah. Namun dari ampat puluh orang lawan,
sembilan orang terbunuh dan tujuh lainnya terluka dan tidak
dapat meninggalkan medan. Mungkin masih ada yang lain
yang terluka, tetapi masih sanggup untuk menghindarkan diri
dari arena pertempuran, Diantara mereka adalah orang-orang
terpaksa menghentikan perlawanan mereka menghadapi
Glagah Putih yang gelisah karena keadaan Raden Rangga. Yang lain
luka yang menganga oleh ujung cambuk Kiai Gringsing dan
ujung tombak ditangan Ki Jayaraga. Tetapi ada juga yang
dadanya tertusuk langsung ujung pedang prajurit Mataram.
Keadaan itu menimbulkan persoaian yang cukup rumit.
Mereka tidak akan dapat meninggalkan orang-orang yang
terluka. Apaiagi Ki Lurah Singaluwih itu sendiri. Ternyata
lukanya cukup parah. Dadanya serasa telah menjadi remuk
oleh kekuatan ilmu Sabungsari.
" Kita dapat memanfaatkan kuda yang ada " desis seorang
perwira. Senapati itu menganggukkan kepalanya. Namun segala
sesuatunya harus dibicarakan sebaik-baiknya dengan orangorang
padukuhan. Ternyata bahwa orang-orang padukuhan itu tidak menolak
untuk mengubur orang-orang yang terbunuh. Tetapi mereka
tidak sanggup untuk merawat mereka yang terluka dari kedua
belah pihak. Daiam pada itu, Senapati yang memimpin pasukan
Mataram itu telah berjanji pada suatu saat datang kembali.
Mereka akan mengganti kerusakan yang diderita oleh
pategaian itu. Meskipun memang tidak seberapa, karena
pategalan itu berisi pohon-pohon buah-buahan dan pohon
kelapa yang tidak goyah disentuh senjata atau terinjak kaki
kuda, tetapi Senapati itu merasa berkewajiban untuk
melakukannya. " Pepohonan itu masih utuh " berkata pemilik pategalan "
mungkin pagar-pagar itu rusak. Tetapi disini terdapat rumpunrumpun
bambu untuk membuat pagar baru. "
" Terima kasih Ki Sanak " berkata Senapati itu " seandainya
aku datang lagi dengan membawa pengganti kerusakan
itupun tentu tidak seberapa pula. Hanya sebagai satu
pertanda, bahwa kami mengakui telah merusakkan pategaian
ini. Setidak-tidaknya karena kehadiran kami disini. "
Pemilik pategaian itu hanya mengangguk-angguk saja.
Sementara itu Senapati itupun minta dipanggil Ki Bekel
untuk berbicara tentang peristiwa yang baru saja terjadi.
Tetapi sebelum orang yang memanggil Ki Bekel itu
berangkat, ternyata Ki Bekel yang kemudian mendengar
peristiwa yang terjadi di padukuhannya itupun dengan
tergesa-gesa telah datang pula.
Kepada Ki Bekel Senapati itu menyerahkan segalagalanya.
Namun seperti sikap orang-orang padukuhan itu,
mereka tidak akan dapat merawat orang yang terluka dari
kedua belah pihak. Setelah berbicara diantara mereka, para perwira dan
mendapat persetujuan Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, maka
pasukan Mataram itupun telah bersiap untuk melanjutkan
perjalanan. Orang-orang yang terluka telah dibawa dengan
kuda-kuda yang banyak berkeliaran disekitar pategalan itu,
karena penunggangnya yang telah terluka atau terbunuh. Baik
mereka para prajurit Mataram, maupun orang-orang yang
dengan tiba-tiba telah menyerang mereka, termasuk Ki Lurah
Singaluwih. Namun bagaimanapun juga Sabungsari merasa hormat
pula kepada lawannya. Meskipun ia langsung menyerang
kearah dadanya, tetapi orang itu masih tetap hidup meskipun
terluka parah didalam. Kiai Gringsing yang terpanggil oleh kemampuannya
mengobati orang-orang yang menderita sakit, tidak dapat
membiarkan orang-orang yang terluka dari kedua belah pihak
itu mengerang. Iapun berusaha untuk mengurangi penderitaan
mereka. Terutama Ki Lurah Singaluwih yang menjadi
pimpinan dari orang-orang yang telah menyerang mereka.
Jika Ki Singaluwih itu dapat bertahan untuk tetap hidup maka
ia akan dapat menjadi sumber keterangan tentang para
penyerang itu, yang diyakini bukan orang Nagaraga.
Sejenak kemudian, dengan berkali-kali mengucapkan
terima kasih kepada orang-orang padukuhan itu, terutama
pemilik pategalan yang rusak serta Ki Bekel, maka pasukan
Mataram itu melanjutkan perjalanan mereka, kembali ke
Mataram. Iring-iringan itu ternyata telah bertambah panjang. Beberapa
ekor kuda berada pula dalam iring-iringan itu dengan
membawa beberapa orang yang terluka. Baik prajurit Mataram
maupun mereka yang telah menyerang prajurit Mataram itu,
termasuk Ki Lurah Singaluwih.
Sementara itu Raden Rangga masih tetap berada diatas
tandu sederhana yang dipergunakannya sejak dari padepokan
Nagaraga. Di sebelahnya berjalan Glagah Putih dan
dibelakang-nya Sabungsari serta kedua orang tua yang
menyertainya, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga.
Mereka memang merasa semakin cemas melihat keadaan
Raden Rangga, meskipun Raden Rangga sendiri masih saja
selalu tersenyum. Namun pada saat-saat tertentu, Glagah
Putih telah melihat Raden Rangga itu menekan perasaan
sakitnya sehingga nampak pada wajahnya yang berkerut.
Dalam perjalanan itu, Raden Rangga yang lemah telah
minta Glagah Putih berjalan lebih dekat. Katanya sambil
mengulurkan tangannya yang lemah " Glagah Putih. Mungkin
kau dapat menyimpan ini. "
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ketika ia
menerimanya, ternyata yang diberikan oleh Raden Rangga
adalah sesobek kain putih yang dikenakannya sebelumnya.
" Raden" " desis Glagah Putih.
" Mungkin merupakan kenang-kenangan. Atau barangkali
kau akan dapat menilai tingkah lakuku jika kau lihat kain itu "
berkata Raden Rangga. " Apa yang Raden maksudkan" " bertanya Glagah Putih.
" Mimpiku itu akan segera terjadi " berkata Raden Rangga "
tetapi aku memang ingin menghadap ayahanda lebih dahulu. "
" Raden akan sembuh " desis Glagah Putih.
Raden Rangga tertawa. Katanya " Jangan menyesatkan
perasaanku seperti itu. Seperti sudah aku katakan, bahwa aku
tidak dapat mendahului kehendak Yang Maha Agung. Tetapi
menilik keadaan dan ujudku, maka kemungkinan itu adalah
kemungkinan yang terbesar akan terjadi sesuai dengan
mimpiku. " " Tetapi apa yang sebenarnya telah terjadi di dalam goa
itu" " bertanya Glagah Putih.
Raden Rangga tersenyum. Ia tidak langsung menjawab.
Katanya " Jangan takut melingkarkan kain putih itu dilehermu
atau dipergelangan tanganmu. Kain itu sama sekali bukan
pertanda kematian. "
" Tetapi Raden mengenakannya pada saat Raden
menghadapi saat-saat seperti ini. Pada saat Raden mendapat
isyarat didalam mimpi. Seakan-akan Raden mengisyaratkan,
bahwa keberangkatan Raden memasuki medan perang
adalah sama seperti Raden berangkat ketujuan yang tidak
kunjung kembali. " berkata Glagah Putih.
Raden Rangga tertawa pendek. Namun terdengar betapa
dalam suara tertawanya itu. Seakan-akan suara itu bergetar
didalam dadanya. Glagah Putih tertegun sejenak. Ia menyesal bahwa ia telah
berbicara tentang perjalanan yang jauh dan tidak kunjung
kembali. Seakan-akan Glagah Putih telah langsung menunjuk
bahwa Raden Rangga benar-benar akan meninggal
karenanya. Tetapi Raden Rangga itu berkata " Glagah Putih. Kau
masih muda. Umurmu tidak terpaut banyak dengan umurku.
Karena itu, maka kau masih akan dapat mengembangkan
dirimu dalam kesempatan yang jauh lebih luas dari
kesempatanku. Apalagi aku memang tidak mendapat
kesempatan untuk berbuat sesuatu atas ilmu yang aku miliki
selain sekedar mempergunakannya. Ia hadir dalam mimpimimpi
yang datang dimalam hari. Dan agaknya akupun akan
pergi sebagaimana mimpi itu terjadi. "
" Raden terlalu terikat kepada mimpi " berkata Glagah
Putih. Kemudian " Kenapa Raden tidak memberikan arti yang
lain pada mimpi itu" Misalnya dengan isyarat kereta itu Raden
akan menerima kedudukan yang tinggi" Atau uraian yang lain
yang lebih baik daripada pergi" "
" Sudah aku katakan Glagah Putih " sahut Raden Rangga "
kita tidak usah mengelabui perasaan kita. Tetapi baiklah, kita
berbicara tentang yang lain. " Raden Rangga berhenti
sejenak, lalu katanya " perjalanan kita sudah tidak terlalu jauh
lagi. " " Tetapi kita harus menempuh perjalanan malam hari "
berkata Glagah Putih. " Aku telah membuat kesulitan bagi kalian " berkata Raden
Rangga pula. " Tidak Raden " jawab Glagah Putih " Jika aku boleh
berterus terang, usaha Raden mengakhiri perlawanan ular
naga itu telah menyelamatkan banyak sekali prajurit Mataram.
" Raden Rangga tertawa. Katanya " Jangan memuji. Mungkin
aku menjadi bangga karenanya, dan kebanggaan itu akan
memberiku kepuasan pada saat-saat terakhir. "
" Ah " Glagah Putih berdesah. Tetapi kepalanya yang
kemudian menunduk dalam-dalam.
" Pada saat seperti ini Glagah Putih, rasa-rasanya aku
menjadi semakin mengerti akan arti dari hidup ini. Sebaiknya
kau tidak menunggu saat-saat seperti ini datang
menggapaimu. Sejak sekarang kau harus menyediakan waktu
untuk menilai arti hidupmu. Dengan demikian maka kau akan
mendapat kesempatan untuk berbuat lebih banyak. Tentu saja
berbuat sesuatu yang baik bagi sesama dan baik menurut
paugeran Sumber Hidup kita, sesuai dengan pengenalan kita,
" desis Raden Rangga.
Glagah Putih mengangkat wajahnya. Hampir diluar
sadarnya ia berpaling kearah Raden Rangga. Yang
dikatakannya itu bukannya pesan seorang remaja yang nakal.
Tetapi sebagaimana Glagah Putih mengenal Raden Rangga,
maka kadang-kadang Raden Rangga itu memang
menunjukkan sikap dan pribadi yang lain, sebagaimana saat
Raden Rangga mengambil keputusan untuk membunuh ular
naga yang berada di dalam goa. Ketika ia memasuki goa,
Raden Rangga tidak sedang bermain-main sebagaimana ia
melepaskan seekor harimau di
halaman seorang Tumenggung. Tidak pula sebagaimana ia
mengangkat sebuah tugu pertanda batas yang berat dan
meletakkannya ditengah-tengah jalan. Tetapi Raden Rangga
mau kedalam goa dengan perhitungan yang matang untuk
menyelamatkan para prajurit Mataram.
Tetapi Glagah Putih tidak mengatakan sesuatu. Sejenak
kemudian kepalanya sudah menunduk lagi. Dipandanginya
ujung kakinya yang bergerak di jalan yang berdebu.
Untuk beberapa saat lamanya keduanya saling berdiam
diri. Sementara itu para prajurit yang lainpun rasa-rasanya
juga menjadi malas untuk saling berbicara. Mereka lebih
banyak memperhatikan jalan yang terbentang dihadapan
mereka. Bahkan Kiai Gringsing dan Ki Jayaragapun berjalan
sambil berdiam diri pula.
Namun ketika mereka mendengar keluhan dekat dibelakang
mereka, maka Kiai Gringsing itupun berpaling.
Nampaknya Ki Lurah Singaluwih yang terluka parah dan
duduk di punggung kuda sambil meletakkan kepalanya dileher
kudanya itu, merasa sakitnya semakin menusuk dadanya.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga pun kemudian berjalan
disampingnya, disebelah prajurit Mataram yang berjalan


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil memegangi kendali kuda itu.
Kiai Gringsing sudah memberikan sedikit obat untuk
memperkuat daya tahan tubuh yang lemah itu. Dan Kiai Gringsingpun
berharap bahwa Ki Lurah itu akan dapat bertahan
untuk hidup. Daripadanya akan dapat didengar keterangan
tentang sekelompok orang yang tiba-tiba saja telah
menyerang para prajurit Mataram itu.
Demikianlah, maka iring-iringan jitu telah melanjutkan
perjalanan mereka. Namun akhirnya merekapun harus
berjalan dimalam hari. Tetapi oleh kelelahan yang dialami oleh
hampir semua prajurit Mataram karena disamping berjalan
merekapun telah bertempur pula, maka mereka memang
harus beristirahat. Betapapun keinginan mereka mendesak
untuk segera sampai di Mataram, terutama karena keadaan
Raden Rangga, namun atas pendapat Raden Rangga sendiri, sebaiknya mereka
beristirahat meskipun hanya sebentar.
Sebenarnyalah bahwa iring-iringan itu hanya beristirahat
sebentar. Sebelum fajar, iring-iringan itu sudah melanjutkan
perjalanan. Namun waktu yang sebentar itu, ternyata sangat berarti
bagi Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Dalam keadaan kalut
oleh perasaan sakit dan bahkan tidak ada harapan, Ki Lurah
Singaluwih telah berbisik dengan suara yang sendat dan
patah-patah ketika Kiai Gringsing bertanya tentang
gerombolannya " Kami adalah prajurit Madiun yang
ditempatkan diluar Madiun itu sendiri. Tetapi apa yang kami
lakukan adalah diluar tanggung jawab Panembahan Madiun. "
Jawaban itu memang mengejutkan Kiai Gringsing dan Ki
Jayaraga. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa prajurit
Madiun telah mulai bergerak langsung membenturkan diri
dengan prajurit Mataram. Dengan hati-hati Kiai Gringsingpun kemudian bertanya "
Jika itu bukan tanggung jawab Panembahan Madiun, lalu
siapakah yang bertanggung jawab" "
Dalam keadaan antara sadar dan tidak, Ki Lurah Singaluwihpun
menjawab " Yang bertanggung jawab adalah Ki
Tumenggung Jayalukita. Aku sudah mencoba untuk
mencegahnya agar Ki Tumenggung minta persetujuan dari
Panembahan. Tetapi sama sekali tidak dihiraukannya. Atau
mungkin Ki Tumenggung tidak mau terlambat dengan
rencananya ini. " " Siapakah Tumenggung Jayalukita" " bertanya Kiai
Gringsing. Ki Lurah Singaluwih nampak masih terlalu payah. Ia
memang masih akan menjawab. Tetapi justru Kiai
Gringsinglah yang mencegahnya " Baiklah. Terima kasih.
Beristirahatlah dalam perjalanan yang melelahkan ini. "
Ki Lurah memang tidak menjawab. Ia berusaha untuk
melupakan segala-galanya. Sekali-sekali terasa dadanya
bagaikan tergores jika ia menyadari bahwa ia menjadi seorang
tawanan prajurit Mataram. Namun kemudian rasa-rasanya
kesadarannya masih sering terguncang.
Antara sadar dan tidak, Ki Lurah Singaluwih memeluk leher
kudanya, sementara kepalanyapun telah diletakkannya di
leher kuda itu pula. Sejenak iring-iringan itu bagaikan membisu. Tidak ada
orang yang mengucapkan sepatah katapun.
Dalam keadaan hening itu terdengar Raden Rangga mulai
berdendang pula. Yang kemudian ditembangkan adalah
Sinom yang ngelangut. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara
Sabungsari berjalan mendekatinya. Dengan nada dalam ia
berdesis " Aku mencemaskan Raden Rangga. "
Glagah Putih mengangguk. Desisnya " Aku juga.
Nampaknya ia sendiri tidak mempersoalkannya. Ia terlalu
pasrah. " " Mungkin itu lebih baik baginya " berkata Sabungsari.
" Ya. Itu lebih baik dari pada ia memberontak terhadap
kenyataan yang harus dialaminya " desis Glagah Putih pula,
Keduanyapun kemudian terdiam. Mereka masih berjalan
tidak terlalu jauh dari Raden Rangga yang diusung dengan
tandu sambil melagukan tembang Sinom.
Setelah melewati Kali Opak, maka rasa-rasanya perjalanan
mereka sudah menjadi sangat dekat. Iring-iringan itu bergerak
semakin cepat. Beberapa orang yang terluka parah memang
segera memerlukan penanganan yang lebih bersungguhsungguh.
Demikianlah, ketika iring-iringan itu memasuki pintu
gerbang Mataram, para prajurit Mataram benar-benar terkejut
karenanya. Bahkan seorang perwira yang mengikuti saat keberangkatan
pasukan Mataram ke Timur, meskipun tidak
merupakan pasukan yang tersusun, terkejut sekali
menyaksikan iring-iringan yang datang. Mereka mengenali
beberapa orang prajurit Mataram dan orang-orang yang
dianggapnya sebagai tawanan.
" Apakah pasukan Mataram itu tinggal sekelompok kecil
sebagaimana aku lihat sekarang" " bertanya perwira itu
dengan serta merta. Senapati yang memimpin pasukan itu menggeleng.
Katanya " Tidak. "
" Lalu bagaimana" " bertanya perwira yang ingin segera
mengetahuinya itu. Senapati yang mempimpin pasukan itupun menyahut "
Kami akan melaporkannya kepada Panembahan Senapati. "
Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Namun jantungnya
serasa berdegup semakin keras. Rasa-rasanya tidak masuk
akal bahwa sepasukan prajurit Mataram yang berangkat,
disaat kembali hanya beberapa orang saja meskipun mereka
membawa tawanan. " " Kenapa dengan Raden Rangga " bertanya perwira yang
lain. Senapati itu tidak mau menjawab lagi. Setiap kali ia berkata
" Aku akan melaporkannya kepada Panembahan Senapati. "
Demikianlah, maka iring-iringan itupun telah langsung
menuju ke istana. Kehadiran iring-iringan itu memang mengejutkan kalangan
istana. Ketika kehadiran mereka dilaporkan kepada
Panembahan Senapati, maka Panembahan Senapati pun
langsung memerintahkan untuk menerima mereka.
" Aku akan menerima mereka langsung " berkata
Panembahan Senapati. Ternyata Panembahan Senapati tidak memerintahkan
beberapa orang untuk menghadap. Tetapi Panembahan
Senapati turun langsung menerima mereka seluruhnya di
bangsal penantian. Ketika Panembahan Senapati melihat keadaan puteranya,
Raden Rangga, maka jantungnya bergetar didalam dadanya.
Dengan wajah tegang Panembahan Senapatil memberi isyarat
agar Raden Rangga dibawa mendekat.
" Bagaimana dengan keadaanmu Rangga" " bertanya
Panembahan Senapati sebelum ia mendengarkan laporan
selengkapnya dari Senapati yang mempimpin sekelompok
kecil pasukan itu. Keadaan Raden Rangga memang sudah terlalu payah.
Namun ia masih juga tersenyum sambil berkata " Ampun
ayahanda. Hamba memang berusaha untuk sempat
menghadap ayahanda."
" Apa yang kau alami" " bertanya Panembahan Senapati
yang melihat noda-noda racun pada tubuh Raden Rangga itu.
" Hamba mohon ampun atas segala kesalahan yang
pernah hamba lakukan " desis Raden Rangga kemudian.
Panembahan Senapati menjadi tegang. Ia menyadari
bahwa ada kelebihan pada anaknya yang sulung itu.
Kelebihan yang tidak terdapat pada adik-adiknya. Namun
sekali-sekali sikap Raden Rangga itu memang menjengkelkan
ayahandanya. Tetapi ketika Panembahan Senapati melihat keadaan
Raden Rangga itu bagaimanapun juga perasaannya sebagai
seorang ayah telah tersentuh.
Bahkan Panembahan Senapati juga merasa menyesal,
bahwa ia telah memerintahkan Raden Rangga dan Glagah
Putih untuk melacak orang-orang Nagaraga meskipun hanya
sekedar untuk mendapat keterangan tentang orang-orang
yang sudah berani dengan kasar memasuki istana Mataram.
Karena Raden Rangga dianggap melenyapkan sumber
keterangan pada waktu itu, maka padanya dibebankan untuk
memperoleh keterangan itu.
Namun karena Raden Rangga kemudian kembali bersama
dengan Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan para prajurit Mataram
disamping Glagah Putih, maka agaknya puteranya itu sudah
bertemu dengan para prajurit Mataram.
" Rangga " desis Panembahan Senapati " aku ingin
mendengar laporan seluruh perjalananmu sehingga kau
bertemu dan berada diantara para prajurit Mataram. Tetapi aku
melihat keadaanmu yang parah, sehingga agaknya kau
memerlukan perawatan yang sungguh-sungguh. "
" Keadaan hamba memang parah ayahanda " berkata
Raden Rangga " namun hamba ingin mendengar ayahanda
mengampuni hamba. Mungkin selama ini hamba telah
membuat hati ayahanda tidak tenang. Mungkin tingkah laku
hamba yang kasar atau mungkin permainan hamba yang
kurang pada tempatnya. "
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam.
Dengan nada dalam ia berkata " Rangga. Aku sudah
memaafkan segala kesalahanmu. Tenanglah. Kau
memerlukan pengobatan dan perawatan segera. Untunglah
disini ada Kiai Gringsing yang akan dapat membantu
mengobatimu. " Raden Rangga tidak berani membantah perintah
ayahandanya. Karena itu katanya " Hamba menyerahkan
segala-galanya kepada ayahanda. Namun bahwa ayahanda
telah mengampuni hamba, maka rasa-rasanya dada hamba
menjadi lapang. Jalan manapun yang akan hamba lalui serasa
menjadi lancar. Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Dengan
nada dalam iapun bertanya " Rangga. Menurut
pengetahuanku, bukankah kau memiliki kemampuan untuk
menawarkan racun" Sementara ini nampaknya luka-lukamu
menjadi gawat karena racun atau bisa. "
" Hamba ayahanda " jawab Raden Rangga " hamba
memang telah terlibat pertempuran dengan seekor ular naga.
Orang-orang Nagaraga menganggap bahwa ular naga itu
memiliki kekuatan yang dapat menjadi tumpuan ilmu sehingga
getar suara ular naga itu dapat meningkatkan kemampuan
mereka. " Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Kemudian
iapun memandangi orang orang yang hadir diruang itu.
Katanya kepada Kiai Gringsing " Kiai, Tolonglah Rangga. Ia
memerlukan perawatan khusus menilik keadaannya. Biarlah
aku mendengarkan laporan dari Senapati yang memimpin
pasukan ini. " " Hamba Panembahan " jawab Kiai Gringsing " hamba
akan melakukannya sejauh kemampuan hamba. "
Wajah Panembahan Senapati menegang sejenak. Namun
kemudian Panembahan Senapati itu menunduk sambil
berdesis " Ya Kiai. Kita memang hanya wajib berusaha. "
Kiai Gringsingpun tanggap. Agaknya Panembahan
Senapati melihat keadaan Raden Rangga yang parah itu.
Meskipun demikian Panembahan Senapati tidak ingin begitu
saja menyerah kepada keadaan. Bagaimanapun juga mereka
harus berusaha. Meskipun didalam perintah Panembahan
Senapati itupun mengandung pengertian bahwa segala usaha
itu masih tergantung kepada Sumber Hidup mereka. Dalam
usaha itu tersirat pula sikap pasrah yang tulus kepada Yang
Maha Agung. " Kiai Gringsing yang mendapat perintah langsung dari
Panembahan Senapati itupun telah membawa Raden Rangga
ke tempat yang khusus untuk melakukan pengobatan. Namun
ketika mereka bergeser dari tempat itu, Raden Rangga
berdesis " Apakah ada gunanya Kiai" "
" Seperti perintah ayahanda Raden, kita memang wajib
berusaha. " berkata Kiai Gringsing.
Sepeninggal Raden Rangga dan Kiai Gringsing, maka
Senapati yang memimpin pasukan Mataram itu telah
memberikan laporan tentang perjalanan mereka. Juga tentang
tawanan yang mereka bawa termasuk Ki Lurah Singaluwih.
Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam.
Glagah Putih yang juga melengkapi laporan Senapati itu
menyebutkan secara terperinci bahwa Raden Rangga telah
mengambil langkah yang sangat berarti bagi penyelesaian
pertempuran di padepokan Nagaraga itu, meskipun Glagah
Putih sama sekali tidak memperkecil arti Pangeran Singasari
yang memimpin seluruh pasukan.
Sambil mengangguk-angguk Panembahan Senapati itupun
kemudian berkata " Baiklah. Aku telah mengetahui secara
menyeluruh. Karena itu aku akan menanganinya satu demi
satu. Aku sudah menyerahkan perawatan Rangga kepada Kiai
Gringsing. Meskipun aku masih ingin mendengar langsung
ceritera tentang anak itu. Tetapi yang menarik pula adalah para
tawanan. Aku ingin berbicara dengan pemimpin dari tawanan
itu. " Orang itu dalam keadaan parah pula Panembahan " lapor
Senapati Mataram itu. " Tempatkan mereka. Biarlah seorang tabib merawatnya.
Jika keadaannya berangsur baik, aku atau orang yang akan
aku perintahkan akan berbicara " perintah Panembahan
Senapati. Setelah memberikan beberapa petunjuk, maka
Panembahan Senapati itu telah meninggalkan mereka untuk
melihat keadaan Raden Rangga.
Kiai Gringsing yang menunggui Raden Rangga memang
merasa cemas, la adalah orang yang memahami tentang
pengo-batan. Namun agaknya keadaan Raden Rangga agak
lain dengan keadaan yang pernah dihadapi Kiai Gringsing
sebelumnya. Raden Rangga sendiri sudah mempunyai
kemampuan untuk menawarkan racun. Namun ternyata


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa racun ular naga itu demikian tajam dan kuatnya
sehingga dapat menembus perisai pada tubuh Raden Rangga
itu. " Kiai " berkata Raden Rangga ketika ia merasa tubuhnya
menjadi panas " apakah Glagah Putih tidak kemari" "
" Ia masih berada bersama para prajurit menghadap
ayahanda Raden " jawab Kiai Gringsing.
Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya " Tolong
Kiai. Jika Glagah Putih telah selesai, biarlah ia datang kemari.
" " Aku akan memanggilnya Raden " jawab Kiai Gringsing.
Namun dalam pada itu, Kiai Gringsingpun mengerti bahwa
tubuh Raden Rangga menjadi panas sekali. Walaupun
nampak menjadi merah dan nafasnyapun seakan-akan
menjadi semakin cepat. Dalam pada itu, Panembahan Senapatilah yang kemudian
hadir dibalik Raden Rangga itu. Bagaimanapun juga Panembahan
Senapati merasa cemas tentang nasib puteranya,
betapapun nakalnya. " Bagaimana keadaanmu Rangga" " bertanya Panembahan
Senapati. Dalam keadaan yang semakin gawat itu Raden Rangga
menjawab " Agaknya sudah berangsur baik ayahanda. "
Tetapi Panembahan Senapati melihat keadaan tubuh
Raden Rangga yang menjadi semakin lemah. Bintik-bintik biru
dikulitnya semakin mengembang tanpa dapat ditahankan lagi.
" Kiai " desis Panembahan Senapati " Aku titipkan Rangga
kepada Kiai. " " Betapa terbatasnya kemampuan seseorang Panembahan
" sahut Kiai Gringsing.
Panembahan Senapatipun telah tanggap. Agaknya Kiai
Gringsing merasa kesulitan untuk menemukan obat yang
paling sesuai dengan keadaan Raden Rangga pada waktu itu.
Ketika kemudian Ki Mandaraka juga hadir dibalik itu, maka
orang tua merenungi Raden Rangga dengan sorot mata yang
membayangkan dukanya yang dalam. Sebagai orang yang
memiliki pengalaman yang sangat luas Ki Mandaraka itupun
melihat, keadaan Raden Rangga sudah menjadi sangat parah.
Namun bibir orang tua itu masih juga bergerak " Tidak ada
yang mustahil bagi Yang Maha Agung. Jika Rangga
diperkenankan sembuh, maka itu tentu akan sembuh tanpa
pengobatan sekalipun. Tetapi jika anak itu memang sudah
dikehendakinya, apapun yang dilakukan, agaknya tidak akan
berhasil. " Beberapa saat keduanya berada didalam bilik Raden
Rangga bersama Kiai Gringsing. Namun kemudian
Panembahan Senapati itupun berkata kepada Kiai Gringsing "
Aku serahkan anak itu sepenuhnya kepada Kiai. Kiai tentu
lebih tahu dari semua orang bahkan para tabib di Mataram
sekalipun. " " Hamba akan berbuat sebaik-baiknya "- jawab Kiai
Gringsing. " Paman Mandaraka " berkata Panembahan Senapati "
marilah. Biarlah Rangga beristirahat. "
Ki Mandaraka meraba kening Raden Rangga sambil
berkata " Tidurlah ngger. Istirahat akan dapat memberikan
ketenangan. " " Aku akan berusaha untuk dapat tidur eyang " desis Raden
Rangga. Ki Mandaraka mengangguk-angguk.Namun kemudian
bersama Panembahan Senapati merekapun meninggalkan
bilik itu. Dipintu bilik Panembahan Senapati berkata "
Beritahukan kepadaku semua perkembangan Rangga. "
" Hamba Panembahan " jawab Kiai Gringsing.
Sepeninggal Panembahan Senapati, Raden Rangga
tersenyum sambil berdesis " Ayah telah benar-benar
memaafkan semua kesalahanku. "
" Tentu Raden " sahut Kiai Gringsing " karena itu tenangkan
hati Raden. " Raden Rangga tidak menjawab. Ia memang mencoba
memejamkan matanya. Tetapi tiba-tiba saja ia berdesis "- Dimana
Glagah Putih. " " Sebentar lagi ia tentu akan datang " berkata Kiai
Gringsing. " Tolong Kiai " desis Raden Rangga pula " panggil anak itu
kemari. " Kiai Gringsing tidak membantah. Iapun segera bangkit dan
melangkah keluar. Namun ia telah tertegun didepan pintu
karena Glagah Putih telah menuju ke bilik itu.
Untuk mengurangi panasnya udara dan kegelisahan didalam
bilik itu, maka hanya Glagah Putih sajalah yang
kemudian oleh Kiai Gringsing dipersilahkan masuk. Ki
Jayaraga dan Sabungsari berada diluar pintu betapapun
mereka juga merasa gelisah.
" Bagaimana keadaannya" " bertanya Sabungsari yang
kemudian duduk diatas sehelai tikar pandan bersama Kiai
Gringsing dan Ki Jayaraga diluar pintu bilik.
Kiai Gringsing mengatakan apa yang ada pada Raden
Rangga. Kesulitan pernafasan, tubuh yang panas dan racun
yang bergerak semakin luas.
" Kiai tidak memberikan obat" " bertanya Sabungsari.
" Sejauh pengetahuan yang ada padaku, obat itu telah aku
berikan. Baik untuk membantu menolak bisa ular naga itu,
maupun untuk menguatkan tubuhnya " jawab Kiai Gringsing.
Sabungsari mengangguk-angguk. Iapun menyadari bahwa
Kiai Gringsing adalah sebagaimana orang kebanyakan,
kemampuannya sangat terbatas, meskipun menurut penilaian
orang lain ia memiliki ilmu dan pengetahuan yang tinggi.
Dalam pada itu, Glagah Putih dengan jantung yang berdebaran
duduk disebelah Raden Rangga yang berbaring.
Untuk beberapa saat Raden Rangga berdiam diri sambil
memejamkan matanya. Ketika Glagah Putih datang dan duduk
disisinya, ia hanya berdesis tanpa membuka matanya yang
terpejam " Kau Glagah Putih" "
" Ya Raden " jawab Glagah Putih " bagaimana keadaan
Raden" " Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dengan tanpa
membuka matanya ia menjawab " Sebagaimana kau lihat
Glagah Putih. Keadaanku semakin gawat. Tetapi bukankah
memang harus begitu" "
" Kenapa harus" " bertanya Glagah Putih.
Barulah Glagah Putih membuka matanya. Katanya "
Jangan menentang apa yang seharusnya berlaku. Juga atas
diri kita. Jika demikian maka hati kita akan menjadi sakit.
Beban kewadagan kita sudah cukup berat. Jangan ditambah
lagi dengan beban perasaan kita. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia memang
sependapat dengan Raden Rangga. Namun bukankah
menjadi kewajiban seseorang untuk berusaha dan tidak terlalu
terlepas dari harapan" "
" Raden benar " berkata Glagah Putih " tetapi usaha dan
doa akan berarti juga bagi kita. "
" Aku tidak pernah terlepas dari doa " berkata Raden
Rangga " tetapi Yang Maha Agung akan memberikan apa
yang terbaik dan yang seharusnya bagi kita. Dan kita harus
menerimanya dengan iklas tanpa keluhan. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia tidak ingin berbantah
dengan Raden Rangga yang sedang dalam keadaan sakit itu.
Namun dalam pada itu, Raden Rangga itupun berkata "
Glagah Putih. Memang ada yang ingin aku katakan
kepadamu. " " Ya Raden " desis Glagah Putih.
" Malam nanti, bukankah bulan bulat dilangit" " berkata
Raden Rangga. " Belum Raden " jawab Glagah Putih " besok bulan baru
bulat penuh. " " Besok" " bertanya Raden Rangga.
" Ya Raden " jawab Glagah Putih.
" Baiklah. Jika demikian, besok malam, tepat saat tengah
malam, datanglah ke dalam bilik ini " berkata Raden Rangga.
" Aku akan banyak berada didalam bilik ini Raden. Mungkin
bersama-sama dengan Kiai Gringsing. Ki Jayaraga dan
Sabungsari. Mungkin berganti-ganti " jawab Glagah Putih.
" Terima kasih " jawab Raden Rangga " tetapi aku harap,
pada saat bulan ada dipuncak langit besok malam, kau., ada
disini. Bukan yang lain. "
" Baik Raden " jawab Glagah Putih.
" Jangan salah mengerti " berkata Raden Rangga " tidak
ada bedanya antara malam ini dan besok malam. Tidak ada
pengaruh bulan bulat atau tidak. Jika aku menyebut bulan
bulat, semata-mata karena aku senang pada bulan bulat.
Seperti masa kanak-kanak yang sudah lama aku lewati. Aku selalu merasa senang bermain dibawah terang bulan. Kesenangan itu mencapai puncaknya ketika bulan menjadi bulat. Bukan apa-apa. Sinarnya tidak jauh berbeda dengan malam sebelumnya atau sesudahnya. Tetapi bulan bulat akan menerangi bumi kita sepanjang malam. "
" Ya Raden " jawab Glagah Putih. Ia merasa perlu untuk memuaskan perabaan Raden Rangga yang sedang dalam keadaan gawat itu " Akupun senang bermain dibawah sinar bulan di masa kecilku. Bahkan hampir setiap orang dimasai kecilnya pernah bermain disaat bulan terang. Apapun yang dilakukan. "
Glagah Putih cepat-cepat mencegah ketika Raden Rangga berusaha untuk bangkit. Katanya " Raden. Sebaiknya Raden tetap berbaring saja. "
Tetapi Raden Rangga tidak menghiraukan. Iapun kemudian duduk dipembaringannya, meskipun kelihatan tubuhnya sangat lemah.
*** Bersambung Ke Jilid 221 Jilid 221 "RADEN." Glagah Putih masih berusaha untuk mempersilahkan Raden Rangga untuk berbaring, "lebih baik Raden tetap berbaring."
"Kenapa?" bertanya Raden Rangga, "aku tidak akan bertambah baik jika aku tetap berbaring dan tidak akan menambah keadaanku semakin buruk jika aku bangkit dan duduk barang sejenak."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia memang tidak dapat memaksa Raden Rangga untuk berbaring lagi.
"Glagah Putih" berkata Raden Rangga, "adalah kebetulan sekali bahwa besok malam bulan akan menjadi bulat. Cobalah kau bantu aku. Mulai tengah malam nanti, kau jangan makan dan jangan minum apapun juga. Kau harus mulai dengan pati geni. Bukankah hal seperti itu sudah sering kau lakukan?"
"Pati geni?" bertanya Glagah Putih.
"Ya, Glagah Putih. Aku minta kau bersedia membantuku." desis Raden Rangga.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Raden. Pati geni adalah sekedar laku."
"Ya. Kau harus menjalani laku." jawab Raden Rangga.
"Untuk apa?" bertanya Glagah Putih.
"Besok akan aku katakan kepadamu." jawab Raden Rangga.
"Bagaimana aku dapat menjalani laku tanpa mengetahui untuk apa?" sahut Glagah Putih pula.
"Persiapkan dirimu. Kau akan mengalami sentuhan getaran ilmu yang barangkali akan berguna bagimu." jawab Raden Rangga.
Glagah Putih termangu-mangu. Tetapi sebelum ia ber"tanya, Raden Rangga berkata, "Sudahlah. Kau tidak usah ber"tanya terlalu banyak sekarang. Lakukan yang aku minta jika kau memang ingin membantu aku."
Memang tidak ada pilihan lain bagi Glagah Putih. Karena itu maka iapun menjawab, "Baiklah. Aku akan melakukannya."
"Bagus." jawab Raden Rangga, "aku akan merasa senang dengan kesediaanmu itu."
Glagah Putih tidak menjawab. Sementara itu sambil tersenyum Raden Ranggapun beringsut sambil bertelekan pada kedua lengannya.
Glagah Putih yang melihat sikap itu segera pembantunya. Ia mengerti bahwa Raden Rangga akan berbaring lagi dipembaringannya. Karena itu, maka Glagah Putihpun segera membantunya.
Demikian tubuhnya terbaring, maka iapun memejamkan matanya sambil berkata, "Aku akan beristirahat. Besok, datanglah di tengah malam saat bulan purnama setelah kau menjalani laku. Pati Geni."
"Baik Raden." jawab Glagah Putih.
"Sekarang, kalau kau ingin beristirahat, Beristirahatlah, kau tentu letih sekali." berkata Raden Rangga.
"Terima kasih Raden. Salah seorang dari kita akan menunggui Raden." berkata Glagah Putih.
"Itu tidak perlu. Disini banyak pelayan yang dapat menunggui aku. Jika aku memerlukan kalian sajalah, biar aku menyuruh seorang pelayan memanggil kalian." ber"kata Raden Rangga.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Raden Rangga yang memejamkan matanya itu agaknya benar-benar akan beristirahat. Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian telah meninggalkan Raden Rangga seorang diri.
Diluar bilik memang terdapat dua orang yang duduk diatas tikar. Dari Kiai Gringsing, Glagah Putih yang kemu"dian duduk pula bersamanya, mendengar bahwa kedua orang itu adalah dua orang yang ditugaskan untuk melayani Raden Rangga. Selain keduanya masih ada dua orang perempuan yang akan membantu menjaga anak muda yang terluka itu. Jika Raden Rangga memerlukan makanan dan minuman maka kedua orang perempuan itulah yang akan menyediakannya.
"Apa yang dikatakan kepadamu?" bertanya Kiai Gringsing.
Glagah Putih menggeleng sambil menjawab, "Tidak ada yang diceriterakan kepadaku. Tetapi Raden Rangga minta aku untuk tidak makan dan minum setelah lewat tengah malam nanti. Aku harus pati geni sampai besok tengah malam."
"Pati geni?" bertanya Kiai Gringsing.
"Ya." jawab Glagah Putih.
"Untuk apa?" bertanya Ki Jayaraga.
"Raden Rangga mengatakan bahwa aku harus mempersiapkan diri untuk menerima sentuhan getaran ilmu yang barangkali akan berguna bagiku." jawab Glagah Putih.
Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Kiai Gringsing sambil berdesis, "Apa artinya itu Kiai" Apakah Glagah Putih dapat begitu saja menerima warisan ilmu Raden Rangga" Aku tidak tahu dengan cara apa ia memberikannya."
"Raden Rangga memang seorang anak yang aneh, Ki Jayaraga. Ia sendiri tidak tahu pasti tentang dirinya. Aku sebenarnya juga agak cemas, apakah ilmu itu akan dapat luluh didalam diri Glagah Putih. Namun sampai saat ini, apa yang diberikan atau katakanlah apar yang diajarkan oleh Raden Rangga itu dapat diterima dengan baik dan luluh didalam dirinya." gumam Kiai Gringsing.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun juga ia merasa ragu. Tetapi ia tidak mempunyai cara untuk menolaknya.
"Apalagi Raden Rangga dalam keadaan gawat seperti itu." berkata Kiai Gringsing kemudian.
"Aku merasa curiga." berkata Ki Jayaraga.
"Curiga tentang apa?" bertanya Kiai Gringsing.
"Dalam keadaan yang sangat lemah, apakah Raden Rangga akan dapat melakukan satu kerja yang sangat besar seperti itu?" bertanya Ki Jayaraga.
"Kita belum tahu, cara yang akan ditempuhnya. Mungkin ia sekedar memberikan petunjuk. Tetapi mungkin ia akan melakukan kerja yang memerlukan pengerahan tenaga dan pemusatan nalar budi." berkata Kiai Gring"sing.
"Jika demikian sebagaimana disebut Kiai yang terakhir, maka keadaan Raden Rangga akan menjadi semakin parah." berkata Ki Jayaraga.
Kiai Gringsingpun mengangguk-angguk. Sementara itu Sabungsaripun berkata, "Kita memang dalam keadaan sulit. Seandainya untuk kepentingan Raden Rangga Glagah Putih tidak datang, maka Raden Rangga tentu akan marah sekali. Itupun akan sangat mempengaruhi kesehatannya yang memang sudah memburuk itu. Tetapi jika Glagah Putih datang maka kemungkinan yang burukpun akan dapat terjadi."
Kedua orang tua itu mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih menjadi semakin bingung.
"Bagaimana pendapat Kiai tentang kemungkinan yang buruk itu menurut penglihatan Kiai sebagai orang yang memiliki kemampuan tentang pengobatan?" ber"tanya Sabungsari.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apapun yang dilakukan atau bahkan tidak melakukan apa-apa, maka aku tidak dapat menghentikan pertarungan antara bisa ular yang memiliki jenis ketajaman yang belum pernah aku kenal sebelumnya dengan kekuatan penawar bisa didalam tubuh Raden Rangga. Bisa itu betapapun lambatnya, tetapi sampai saat ini dengan pasti telah mendesak kemampuan penawar racun didalam diri Raden Rangga."
Sabungsari termangu-mangu sejenak. Namun ketegangan nampak pada kerut didahinya.
"Apakah artinya Kiai?" bertanya Glagah Putih.
Kiai Gringsing termenung sejenak. Namun iapun kemu"dian berkata, "Kita dihadapkan pada jalan simpang yang sulit untuk memilih arah. Sementara itu keadaan Raden Ranggapun harus segera aku laporkan kepada Panembahan Senapati."
"Apakah kini tidak melihat cara apapun untuk menolongnya?" bertanya Glagah Putih.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah iapun berdesis, "Dalam keadaan seperti ini, maka kita akan merasa, betapa terbatasnya kemampuan seseorang. Segala sesuatunya memang harus dikembalikan kepada Yang Maha Agung."
Glagah Putih mengerti arti kata-kata Kiai Gringsing itu. Karena itu, maka iapun tidak bertanya lebih jauh. Namun betapa hatinya merasa pedih.
"Aku akan rnenghadap Panembahan Senapati untuk melaporkan keadaan Raden Rangga." berkata Kiai Gring"sing.
Sekali lagi Kiai Gringsing menengok keadaan Raden Rangga. Agaknya Raden Rangga memang berusaha untuk dapat tidur barang sejenak. Meskipun ia masih mendengar kehadiran Kiai Gringsing di dalam bilik itu, tetapi Raden Rangga sama sekali tidak membuka matanya dan tidak menyapanya.
Sejenak kemudian, Kiai Gringsing telah menghadap Panembahan Senapati dan melaporkan keadaan puteranya. Sambil menunduk Kiai Gringsing berkata, "Ampun Pa"nembahan. Tidak ada pengetahuan hamba yang lain yang akan dapat merubah keadaannya."
Panembahan Senapati mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Terima kasih atas segala jerih payah Kiai bersama Ki Jayaraga dan Sabungsari. Kiai telah berhasil membawa anakku dan Glagah Putih kembali. Betapapun ke"adaan Rangga, namun ia sudah berada kembali di istana Mataram sekarang ini."
Kiai Gringsing mengangguk hormat. Namun katanya, "Tetapi hamba mohon ampun hamba tidak dapat berbuat apa-apa lagi."
"Bukan salah Kiai." berkata Panembahan Senapati.
Dengan demikian maka Panembahan Senapati itu telah memerintahkan para pelayan dalam untuk menyediakan bilik buat keempat orang yang akan bermalam di Mataram. Panembahan Senapati minta agar Kiai Gringsing, Ki Jaya"raga, Sabungsari dan Glagah Putih tetap berada di Mata"ram untuk menunggui Raden Rangga. Meskipun Panem"bahan Senapati telah memerintahkan beberapa orang pela"yan untuk melayaninya, namun kehadiran keempat orang itu akan sangat berarti bagi Raden Rangga. Tentu saja keempat orang itu tidak berkeberatan sama sekali. Apalagi Glagah Putih yang sudah bersedia datang lagi sampai saatnya malam besok. Tengah malam ia harus berada dibilik Raden Rangga itu.
Didalam bilik mereka, keempat orang itu masih saja merenungi keadaan Raden Rangga. Mereka masih juga membicarakan keinginan Raden Rangga untuk menurunkan ilmunya kepada Glagah Putih. Tidak seorangpun yang dapat menentukan apa yang akan terjadi. Meskipun sebenarnya mereka dapat menduga, namun mereka berusaha untuk menghindarkan diri dari pengamatan angan-angan mereka.
Namun berapapun juga, Glagah Putih melakukan pesan Raden Rangga. Sejak tengah malam, ia tidak lagi minum barang setegukpun. Apalagi mengunyah makanan barang sepotong.
Tetapi baik Kiai Gringsing maupun Glagah Putih sendiri sama sekali tidak berani menyampaikan maksud Raden Rangga itu kepada Panembahan Senapati, meskipun me"reka sama sekali tidak dapat membayangkan tanggapan Panembahan Senapati itu sendiri.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabung"sari dan Glagah Putih selalu berganti-ganti menengok Raden Rangga. Tetapi mereka sama sekali tidak mendengar keluhan dari antara bibir anak muda yang nampaknya me"mang menjadi semakin parah.
Jika Raden Rangga membuka matanya dan melihat satu atau dua orang diantara keempat orang itu berada di dalam biliknya, maka ia hanya tersenyum saja. Sama sekali tidak membayangkan kegelisahan di wajahnya. Hanya kadang-kadang jika perasaan sakit terasa mendera bagian dalam tubuhnya. Raden Rangga itu mengatupkan giginya rapat-rapat. Tetapi menilik sikapnya, anak muda itu benar-benar telah pasrah.
Ketika hari berikutnya lewat, maka Raden Rangga sempat mengingatkan Glagah Putih yang menengoknya, "Ja"ngan lupa, malam nanti."
"Ya Raden." jawab Glagah Putih.
"Kau Pati geni?" bertanya anak muda itu pula.
"Ya Raden." jawab Glagah Putih pula.
"Siapkan dirimu. Mudah-mudahan gurumu tidak berkeberatan." desisnya, "jika ia keberatan, katakan bahwa aku tidak akan memberikan apa-apa. Mungkin sekedar mendorongmu agar kau dapat berlari lebih cepat. Atau memberimu alas agar kau menjadi semakin tinggi. Tanpa mengganggu keuntuhanmu."
"Baiklah Raden." jawab Glagah Putih agak kebingungan.
Raden Rangga tersenyum. Lalu katanya, "Aku akan tidur."
Glagah Putih tidak menjawab lagi. Iapun kemudian bergeser meninggalkan ruangan itu. Disudut ruang, dua orang yang menunggui Raden Rangga duduk diatas tikar pandan. Agaknya merekapun merasa prihatin oleh keadaan Raden Rangga itu.
Ketika malam mulai turun, Glagah Putih memang men"jadi berdebar-debar. Sehari itu ia tidak ikut makan dan minuni dengan Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabung"sari. Ia benar-benar telah melakukan pati geni seperti yang dikehendaki oleh Raden Rangga. Dalam keadaan yang gelisah itu, maka Glagah Putih telah dipanggil oleh Kiai Gringsing untuk mendapat pesan-pesannya.
"Ternyata kita memang tidak dapat menolak." ber"kata Kiai Gringsing, "apalagi saat Raden Rangga dalam keadaan seperti itu."
"Jadi apa yang paling baik aku lakukan?" bertanya Glagah Putih.
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Sementara itu Ki Jayaraga dan Sabungsari yang juga hadir diantara merekapun mengikutinya dengan sungguh-sungguh.
Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Namun kemudian Kiai Gringsing bertanya kepada Ki Jaya"raga, "Bagaimana pendapatmu" Kau adalah salah seorang gurunya yang langsung menanganinya."
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Iapun tahu bahwa ia tidak akan dapat menolak maksud Raden Rangga itu. Karena itu, maka iapun kemudian berkata kepada Glagah Putih, "Glagah Putih. Jika saatnya tiba nanti, maka kau harus membuat dirimu lentur. Kau terima sajalah apa yang akan diberikan oleh Raden Rangga tanpa usaha apapun juga didalam dirimu. Biarlah menuangkan apa saja yang belum kita ketahui sebelumnya. Baru kemudian kau akan menilainya. Jika yang kau terima itu sesuai dengan dirimu, barulah kau berusaha untuk mengetrapkannya dalam keutuhan ilmumu. Tetapi jika kurang sesuai, maka kau akan dapat menyisihkannya meskipun tetap tersimpan didalam dirimu. Perlahan-lahan kau harus menuangkan kembali dan melupakannya, meskipun usaha untuk itu agak sulit. Tetapi kami, orang-orang tua ini akan dapat membantumu." Ki Jayaraga terhenti sejenak, lalu, "Tetapi selama ini kau dapat menyesuaikan dirimu dengan anak muda itu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Ki Jayaraga. Ia harus menyediakan sebagian dari dirinya sebagai tempat yang kosong, yang akan menampung air yang akan dituangkan oleh Raden Rangga tanpa mencampur dengan air yang sudah ada lebih dahulu di"dalam dirinya. Baru kemudian ia harus menilai air yang dituangkan itu, apakah ia akan dapat meminumnya juga.
Namun diluar kehendaknya, maka Glagah Putih itupun telah tertidur sambil duduk bersilang tangan, meskipun beberapa depa dari padanya, Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari masih berbincang.
Dalam tidur itu, maka turunlah dunia mimpi mencengkamnya. Seakan-akan Glagah Putih telah melihat Raden Rangga dalam pakaian yang cemerlang. Pakaian yang tidak pernah dipakai oleh Raden Rangga sebelumnya, karena Raden Rangga termasuk salah seorang putera Panembahan Senapati yang sederhana. Ia memiliki beberapa perbedaan sifat dan kebiasaan dengan adik-adiknya, putera Panembahan Senapati yang lain, yang lebih banyak menempatkan dirinya sebagai putera seorang penguasa tertinggi dari Mataram yang menjadi semakin besar.
Dalam mimpinya Glagah Putih memang terlibat dalam beberapa pembicaraan dengan Raden Rangga. Ia seakan-akan mendengar Raden Rangga itu minta diri kepadanya. Kemudian meloncat keatas sebuah kereta yang sangat indahnya. Di dalam kereta itu duduk seorang perempuan dalam pakaian sebagaimana dikenakan oleh Raden Rangga.
Glagah Putih tiba-tiba telah membuka matanya. Ia masih melihat Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari berbicara. Nampaknya ketiga orang itu tidak memperhatikan, bahwa ia telah tertidur tanpa disadari. Agaknya hanya sesaat pendek. Namun mimpi Glagah Putih telah memuat peristiwa yang berlaku untuk waktu yang rasa-rasanya jauh lebih panjang dari waktu yang sebenarnya.
Glagah Putih tidak mengatakannya kepada orang lain. Namun Glagah Putih telah menghubungkan mimpinya itu dengan mimpi Raden Rangga sebelum mereka memasuki padepokan Nagaraga.
Glagah Putih hanya menarik nafas dalam-dalam. Ia masih bersandar tiang sebagaimana sebelumnya. Tetapi justru matanya sama sekali tidak mau terpejam lagi.
Ternyata bahwa Kiai Gringsing, Ki Jayabaya dan Sa"bungsari tidak ingin tidur sebelum mereka mengetahui apa yang akan terjadi dengan Glagah Putih lewat tengah malam.
Beberapa saat menjelang tengah malam, Kiai Gringsingpun telah memperingatkan kepada Glagah Putih, bahwa waktunya telah tiba baginya untuk memasuki bilik Raden Rangga sebagaimana dipesankan.
"Berhati-hatilah." berkata Kiai Gringsing, "seperti dikatakan oleh Ki Jayaraga, kau harus menerima sebagaimana apa adanya. Jika terasa tidak ada kesesuaian pada dirimu, maka kau tidak boleh melawan dan menolaknya. Tetapi kau harus menampungnya agar tidak terjadi benturan. Baru kemudian, perlahan-lahan kau akan dapat menuangkannya kembali. Namun dengan demikian dalam waktu sepekan kurang lebih, kau tidak boleh mengetrapkan ilmumu yang manapun juga, sehingga yang tidak sesuai itu sudah terlepas sama sekali dari dirimu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Betapapun juga, maka ia memang harus datang ke bilik Raden Rangga.
Ketika ia memasuki bilik itu, maka dilihatnya dua orang yang mendapat giliran menunggui Raden Rangga masih juga duduk disudut bilik itu. Mereka sedang berusaha mencegah kantuk dengan bermain macanan dengan potongan-potongan lidi. Agaknya seorang diantara mereka memang sudah menyediakan alas bermain yang dibuat diatas sehelai kain berwarna putih, yang dibentangkan diatas tikar pandan. Tidak begitu luas. Hanya sekitar dua jengkal lebar dan tiga jengkal panjang.
Ketika mereka melihat Glagah Putih memasuki bilik itu, agaknya mereka berdua telah memperhatikannya dengan berbagai pertanyaan di dalam hati. Namun sebelum mereka bertanya Glagah Putih telah mendahului mereka, "Ki Sanak. Raden Rangga telah minta aku datang tepat pada tengah malam."
"Siapa yang telah memanggilmu?" bertanya yang se"orang sambil berdiri.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Yang menunggu Raden Rangga itu memang berganti-ganti sehingga mungkin sekali orang itu tidak melihat saat Raden Rangga datang di antar oleh sekelompok prajurit Mataram dalam sebuah tandu.
"Aku telah mendapat pesan sejak kemarin." berkata Glagah Putih kemudian, "juga siang tadi Raden Rangga memperingatkan aku untuk menghadap malam ini."
"Aku kurang yakin." berkata orang itu, "jika Raden Rangga memerlukan kau, maka kenapa tidak siang tadi. Bukankah ini telah tengah malam" Sementara itu Raden Rangga sedang sakit."


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ki Sanak." desis Glagah Putih, "justru Raden Rangga minta aku datang di tengah malam."
"Mustahil." tiba-tiba saja orang itu menggeram, "buat apa Raden Rangga memanggilmu ditengah malam?"
Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Ia menjadi cemas, bahwa persoalan itu tidak dapat diatasi. Jika Raden Rangga sedang tidur, maka tidak mungkin untuk mendengarkan pendapatnya. Tidak seorangpun akan sampai hati membangunkannya dalam keadaan seperti itu. Namun jika ia dengan begitu saja mengurungkan niatnya, justru akan timbul kesan yang tidak baik pada dirinya.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja terdengar suara Raden Rangga perlahan, "Kaukah itu Glagah Putih?"
"Ya Raden." jawab Glagah Putih.
"Bagus. Kau tepati janjimu. Apakah ini sudah tengah malam?" bertanya Raden Rangga.
"Ya Raden. Sebentar lagi kita sampai ke tengah malam." jawab Glagah Putih.
"Kemarilah. Mendekatlah." berkata Raden Rangga pula.
Glagah Putih memandang wajah orang yang bertugas menunggui Raden Rangga itu. Ternyata bahwa orang itu melangkah sejengkal surut sambil berkata, "Aku minta maaf anak muda. Aku belum pernah mengenalmu meskipun aku pernah melihatmu kemarin."
"Bukan salahmu." desis Glagah Putih.
Ketika orang itu melangkah surut, maka Raden Ranggapun berkata, "Tinggalkan kami berdua. Tunggulah di luar bilik."
Orang itu memang merasa heran. Namun kemudian keduanyapun meninggalkan bilik itu.
"Kau selaraklah pintunya." desis Raden Rangga.
Glagah Putih memang ragu-ragu. Namun iapun kemudian melangkah dan menyelarak pintu bilik itu dari dalam. Baru kemudian Glagah Putih telah mendekati Raden Rangga dan duduk disebelahnya.
"Kau sudah siap?" bertanya Raden Rangga.
"Aku sudah mempersiapkan diri Raden." berkata Glagah Putih.
"Baiklah. Tetapi kita tidak perlu tergesa-gesa. Untuk tataran yang terakhir, kau persiapkan lahir dan batinmu. Aku memang tidak akan memberikan apa-apa. Tetapi aku minta kau benar-benar bersiap."
Glagah Putih memang menjadi semakin berdebar-debar. Iapun kemudian bergeser mendekat. Katanya dengan nada berat. "Aku sudah siap Raden."
Raden Ranggapun kemudian berdesis, "Tolong, aku akan duduk."
"Sebaiknya Raden tetap saja berbaring." berkata Glagah Putih, "keadaan Raden agaknya terlalu letih."
Tanpa mendengarkan kata-kata Glagah Putih Raden Rangga berkata sekali lagi, "Tolong, aku akan duduk."
Glagah Putih yang mengenal sifat dan watak Raden Rangga tidak dapat berbuat apa-apa selain membantunya untuk duduk di pembaringan.
Raden Ranggapun kemudian tersenyum. Ternyata ia masih dapat duduk bersila dengan mantap. Bahkan kemu"dian katanya, "Duduklah dihadapanku."
Glagah Putihpun kemudian naik pula kepembaringan dan duduk berhadapan dengan Raden Rangga.
"Letakkan telapak tanganmu yang terbuka menengadah pada lututmu. Kedua-duanya." mina Raden Rangga selanjutnya.
Glagah Putih melakukannya tanpa berkata sepatahpun. Diletakkannya kedua telapak tangannya terlentang diatas lututnya. Perlahan-lahan Raden Ranggapun menggerakkan tangannya. Diletakkan kedua telapak tangannya yang menelungkup keatas telapak tangan Glagah Putih.
"Glagah Putih." berkata Raden Rangga, "pada saat yang gawat kau pernah membantuku, membantu menusukkan getaran dari dalam tubuhmu untuk membantu memperlancar pernafasanku dan membantu memulihkan kemampuanku untuk mengatur peredaran di dalam tubuhku. Sekarang, akulah yang akan mengalirkan getaran dari dalam diriku. Kau tidak usah menjadi cemas, bahwa yang aku lakukan dapat mengganggu ilmu yang ada didalam diri"mu."
"Ya Raden." jawab Glagah Putih singkat.
Namun tiba-tiba saja Raden Rangga itu tertawa. Katanya, "Dalam sentuhan ini aku merasakan bahwa jantungmu menjadi berdebar-debar."
Glagah Putih memang tidak dapat mengelak. Jawabnya. "Aku memang berdebar-debar Raden."
"Baiklah." berkata Raden Rangga, "tenangkan hatimu. Pusatkan segala nalar budimu."
Glagah Putih memang melakukan semua perintah Raden Rangga. Iapun telah siap melakukannya.
Sejenak kemudian, maka memang mulai terasa sesuatu bergetar di telapak tangannya. Semakin lama semakin deras. Getaran-getaran itu rasa-rasanya mulai menggigit telapak tangannya itu. Bahkan Glagah Putih kemudian merasakan seolah-olah ujung-ujung jarum telah menusuk setiap lubang kulit di telapak tangannya.
Glagah Putih memang memusatkan segenap nalar budinya. Seperti dipesankan oleh orang-orang tua termasuk gurunya, Glagah Putih hanya menerima saja tanpa tanggapan apapun juga.
Karena itu, maka Glagah Putih tidak berusaha untuk berbuat sesuatu ketika terasa getaran yang menusuk lewat telapak tangannya itu mulai merambat, seakan-akan menelusuri alur darahnya. Lambat sekali.
Glagah Putih yang telah mempersiapkan dirinya baik-baik itu merasa arus itu seakan-akan membawa udara yang hangat. Merambatnya sepenuh jumlah mat darahnya. De"ngan demikian maka rasa-rasanya sebulat tangannya itu te"lah dijalari getaran yang bukan saja terasa hangat, tetapi juga pedih.
Dalam pada itu, Raden Rangga yang memejamkan matanya itupun merasakan seakan-akan getaran yang mengalir dari dirinya itu tertahan-tahan. Tubuhnya yang lemah tidak memungkinkannya untuk berbuat lebih baik daripada yang dilakukannya itu.
Ketika arus itu kemudian bagaikan terhenti, maka bibir Raden Rangga itupun mulai bergerak. Suaranya yang parau dan dalam, bergetar lambat, "Glagah Putih. Bantu aku. Kau harus menghisap getaran itu kedalam tubuhmu. Jika kau tidak membantuku, maka kerja ini akan gagal, sehing-ga sia-sialah kerjaku disaat yang terakhir ini."
Glagah Putih yang juga memejamkan matanya, men"dengar suara Raden Rangga itu. Semula ia tetap pada sikapnya. Ia tidak lebih dari menyediakan wadah yang kosong dengan menyisihkan sejenak isi sudah ada didalam dirinya. Namun sekali lagi ia mendengar suara Raden Rang"ga, "Tariklah. Bantu aku. Ternyata aku tidak lagi memiliki kemampuan cukup untuk mendorongnya. Atau aku akan gagal sama sekali. Aku akan pergi dengan perasaan kecewa yang mencengkam."
Glagah Putih yang mendengar suara itu, ternyata tidak mampu untuk menolaknya. Ia tidak dapat berdiam diri dan membiarkan semuanya terjadi tanpa melibatkan gerak didalam dirinya. Karena itu, maka Glagah Putih yang menyadari keada"an Raden Rangga itu, tidak dapat menentang kehendaknya. Iapun telah melibatkan diri dalam usaha menuangkan getar ilmu dari dalam diri Raden Rangga kedalam dirinya.
Dengan demikian maka arus getaran yang mengalir di dalam dirinya itu serasa menjadi lebih cepat. Arus getaran itu mengalir melalui tangannya, lengannya menyusup kepundak dan ketiaknya. Kemudian seakan-akan telah mengalir keseluruh tubuhnya.
Tubuh Glagah Putih terasa menjadi panas. Darahnya bagaikan mendidih didalam dirinya. Bahkan denyut jantungnya menjadi semakin cepat.
Raden Rangga masih meletakkan tangannya pada tela"pak tangan Glagah Putih. Ketika terasa oleh anak muda itu bahwa gejolak didalam tubuh Glagah Putih nampaknya terlalu cepat sampai ke takaran daya tahannya, maka perlahan-lahan Raden Rangga telah menghisap kembali getar"an itu perlahan-lahan pula.
Rasa-rasanya sedikit demi sedikit Glagah Putih merasa bebannya menjadi semakain ringan. Tubuhnya tidak lagi bagaikan dipanasi oleh darahnya yang mendidih serta jantungnya yang membara. Namun ternyata Raden Rangga tidak berhenti dengan usahanya untuk menuangkan ilmunya. Katika keadaan Gla-gah Putih telah menjadi semakin baik, maka ia kembali menuangkan getaran didalam diri Glagah Putih itu. Per"lahan-lahan sekali.
Glagah Putih tidak lagi berbuat sesuatu. Ia tidak lagi melibatkan diri. Ia tidak berusaha untuk menghisap getar"an itu kedalam dirinya, tetapi juga tidak menolaknya. De"ngan demikian betapapun beratnya, Raden Rangga beru"saha untuk mengatur agar getaran yang tertuang itu tidak merusakkan bagian dalam tubuh Glagah Putih karena pemuatan yang serta merta, tetapi juga sejauh mungkin da"pat mengalir kedalam dirinya.
Ternyata bahwa kerja itu merupakan kerja yang sa"ngat berat bagi Raden Rangga. Karena tubuhnya yang memang sudah letih serta ketegangan yang memuncak, maka rasa-rasanya pandangan matanya menjadi semakin kabur.
Tetapi Raden Rangga telah memaksa diri untuk bertahan. Ia tidak memikirkan dirinya sendiri. Ia bertanggung jawab atas keadaan Glagah Putih, sehingga karena itu, maka bagaimanapun juga, ia harus menyelesaikan kerja itu lebih dahulu.
Ternyata Raden Rangga memang memerlukan waktu yang cukup lama. Katika kemudian terdengar ayam jantan berkokok, Raden Rangga merasa bahwa kerjanya telah sele-sai. Glagah Putihpun kemudian tertunduk dalam keletihan yang sangat. Panas didalam tubuhnya yang berubah-ubah, getaran yang kadang-kadang menghentak dadanya namun kemudian susut perlahan-lahan meskipun sejenak kemu-dian bagaikan dihentakan kembali.
Dalam kekuatan daya tahan yang sampai kebatas, Raden Rangga berdesis, "Glagah Putih. Kerja kita sudah selesai. Kau harus menyadari, apa yang telah terjadi atas dirimu betapapun kau terasa letih."
Glagah Putih mendengar suara itu. Tetapi rasa-rasanya tubuhnya memang sudah menjadi sangat lemah. Karena itu, maka ia tidak berbuat sesuatu. Kepalanyapun masih sa"ja menunduk. Bahkan rasa-rasanya ia terlalu berat menyangga tubuhnya yang duduk bersila itu.
Raden Rangga perlahan-lahan mengangkat tangannya. Kemudian menyilangkan didadanya. Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Keduanya berusaha untuk mengatasi keletihan yang terjadi didalam diri masing-masing.
Keduanya mendengar kemudian pintu diketuk perla"han-lahan. Ternyata kedua orang yang bertugas untuk menunggu Raden Rangga menjadi cemas, bahwa sesuatu sudah terjadi. Mereka tidak lagi mendengar suara apa-apa. Sementara itu malam sudah beredar sangat jauh.
Glagah Putih dan Raden Rangga bersama-sama telah mengangkat wajah mereka. Namun agaknya keadaan Gla"gah Putihlah yang ternyata masih lebih baik karena ia memang tidak sedang terluka dibagian dalam. Meskipun selama ia menerima getaran yang mengalir dari tubuh Raden Rangga membuat tubuhnya bagaikan dipanggang api, teta"pi kemudian ia berhasil mengatasi perasaan itu setelah ber"diam diri beberapa saat sambil mengatur pernafasan. Karena itu, maka Glagah Putihpun mulai bergerak. Perlahan-lahan ia turun dari pembaringan. Meskipun tu"buhnya masih gemetar, namun perlahan-lahan ia mulai melangkah. Tetapi langkahnya mulai terhenti ketika tiba-tiba saja melihat Raden Rangga menjadi goyah.
"Raden." desisnya.
Raden Rangga tidak menjawab. Tetapi dalam keadaan yang lemah Glagah Putih sempat menahannya ketika Ra"den Rangga hampir tertelentang.
Meskipun Glagah Putih juga dalam keadaan letih, teta"pi ia dapat membantu Raden Rangga itu dan membaringkannya perlahan-lahan.
Tetapi Raden Rangga masih tetap membuka matanya. Sambil tersenyum ia berkata, "Buka pintu itu Glagah Pu"tih."
Glagah Putih mengangguk. Kemudian tertatih-tatih Glagah Putih pergi ke pintu untuk membuka selaraknya. Rasa-rasanya selarak pintu itu terasa demikian beratnya. Namun Glagah Putih kemudian berhasil membuka pintu itu tanpa memberikan kesan yang dapat menarik perhatian ke dua orang yang berdiri diluar.
Ketika pintu terbuka, maka kedua orang itupun dengan wajah yang cemas melangkah maju. Seorang diantaranya bertanya, "Bagaimana dengan Raden Rangga."
"Lihatlah." jawab Glagah Putih.
Kedua orang itupun kemudian mendekati Raden Rang"ga yang terbaring. Namun mereka masih juga melihat Ra"den Rangga itu tersenyum. Dengan jelas Raden Rangga berkata kepada mereka meskipun perlahan-lahan, "Aku ti"dak apa-apa. Aku ingin tidur disisa malam ini."
"Silahkan Raden." sahut salah seorang dari kedua orang itu.
Ketika Glagah Putih kemudian mendekati Raden Rang"ga, setelah menutup pintu, maka kedua orang itupun menuju ke sudut ruangan. Mereka telah duduk kembali ditikar pandan sebagaimana saat Glagah Putih masuk.
Ketika Glagah Putih mendekati Raden Rangga, ia ma"sih melihatnya tersenyum. Glagah Putih masih ingin ber"tanya, apakah yang kemudian harus dilakukannya dan apakah akan terjadi perubahan didalam dirinya. Namun Glagah Putih menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Raden Rangga itu memejamkan matanya.
"Raden." desis Glagah Putih.
Namun Raden Rangga itu hanya berdiam diri saja. Bahkan ketika Glagah Putih menyentuhnya. Raden Rangga itu tetap saja berdiam diri.
Glagah Putih memang menjadi agak bingung. Namun iapun kemudian berusaha untuk mengatasinya. Kepada kedua orang itu ia minta agar mereka memanggil Kiai Gringsing. Tetapi keduanya tidak boleh menjadi gelisah seperti dirinya.
Karena itu, maka Glagah Putih itu berbicara sendiri seolah-olah Raden Rangga yang memintanya, "Siapa Raden" Kiai Gringsing?"
Kedua orang itu memang mendengarnya. Mereka me"mang menyangka bahwa Raden Rangga minta agar Kiai Gringsing dipanggil keruang itu. Apalagi ketika Glagah Pu"tih berkata kepada mereka, "Tolong. Panggilkan Kiai Gringsing."
Tanpa menengok Raden Rangga lebih dahulu, maka se"orang diantara mereka telah bangkit dan pergi ke bilik Kiai Gringsing menyampaikan pesan Glagah Putih kepada orang tua itu.
Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari memang tidak tidur hampir semalam suntuk. Karena itu, maka de"ngan cepat merekapun bersiap dan bergerak ke bilik Raden Rangga. Sesaat kemudian Kiai Gringsing sudah disisi pembaringan Raden Rangga. Ki Jayaraga dan Sabungsaripun telah berada didalam bilik itu pula. Dengan hati-hati Kiai Gringsing meraba tubuh Raden Rangga yang terbujur diam meskipun nampaknya nafasnya masih berjalan dengan teratur.
"Raden Rangga mengalami keletihan yang sangat." berkata Kiai Gringsing.
Namun wajah Ki Jayaraga yang memancarkan kecemasannya membuat Sabungsari dan Glagah Putih menjadi cemas pula. Sesuatu dapat terjadi pada Raden Rangga, sebagaimana diperkirakan sebelumnya.
"Apa yang dapat Kiai lakukan?" bertanya Ki Jaya"raga.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Segenap pengetahuan dan kemampuannya tentang pengobatan telah dipergunakannya. Tetapi sekali lagi berkata didalam hatinya, "Inilah salah satu ujud keterbatasan seseorang."
Ki Jayaraga tanggap akan sikap Kiai Gringsing meski"pun orang tua itu tidak menjawab.
Meskipun demikian Kiai Gringsing berusaha untuk me"raba bagian-bagian tubuh yang penting dari Raden Rangga. Noda-noda yang biru dibawah kulitnya rasa-rasanya telah menjalar semakin merata.
Dua orang yang duduk di atas tikar pandan disudut ruangan nampaknya dapat melihat kegelisahan yang timbul. Dengan nada berat seorang diantara mereka bertanya, "Bagaimana dengan Raden Rangga Kiai?"
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ketika kemudia orang itu menjenguk keadaan Raden Rangga, maka Kiai Gringsingpun berdesis, "Keadaannya memang kurang menguntungkan."
Kedua orang itu hampir berbareng berpaling kepada Glagah Putih. Seorang diantara mereka bertanya, "Apa yang kau lakukan semalam bersama Raden Rangga disini. Dan kau selarak pintu itu?"
"Raden Rangga yang memerintahkannya." jawab Glagah Putih, "sementara itu kami tidak melakukan apa-apa. Sedikit berbicara tentang pengalaman dan ilmu."
"Tetapi kau membuat Raden Rangga menjadi sangat letih." berkata orang itu, "seharusnya kau biarkan Raden Rangga beristirahat. Ternyata sampai menjelang fajar, Ra"den Rangga masih belum sempat tidur."
"Aku sudah minta Raden Rangga beristirahat." jawab Glagah Putih pula, "tetapi Raden Rangga sendiri yang keberatan. Ia masih saja berceritera tentang masa sulit di lingkungan goa yang garang itu."
"Jika terjadi sesuatu, kaulah yang bertanggungjawab." geram orang itu.
Glagah Putih masih akan menjawab. Namun Kiai Gringsinglah yang mendahului, "Istirahat atau tidak istirahat, bisa ular itu ternyata akan menjalar terus. Hanya kekuatan tubuh Raden Rangga yang melampaui kekuatan orang kebanyakan serta penawar bisa yang ada didalam tu"buh dirinyalah yang menghambatnya. Namun bisa itu juga bukan bisa sebagaimana pernah kita kenal. Penawar racun dan bisa didalam dirinya akan dapat melawan bisa yang paling kuat sekalipun. Namun agaknya bisa ular naga itu agak berbeda juga dari racun dan bisa yang paling tajam itu."
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Mereka mengenal Kiai Gringsing sebagai orang yang mendapat tu"gas untuk merawat Raden Rangga. Karena itu, maka keduanyapun kemudian telah terdiam.
Namunsebenarnyalah bahwa Kiai Gringsingpunmenjadi sangat cemas melihat keadaan Raden Rangga. Tetapi ia ti"dak segera menyampaikannya kepada Pamenbahan Sena"pati. Nampaknya Raden Rangga masih cukup kuat untuk bertahan, pernafasannya masih tetap teratur. Dalam tidur, tidak nampak kegelisahan atau apalagi perasaan sakit dan nyeri. Wajahnya nampak bening meskipun terlalu pucat.
"Kita tunggu sejenak." berkata Kiai Gringsing, "aku menjadi tidak mengerti apa yang sedang aku hadapi. Pengetahuan dan pengalamanku rasa-rasanya tidak lebih dari mereka yang sedang belajar mengenai nama jenis-jenis akar dan pepohonan yang dapat dijadikan sejenis obat. Betapa sempitnya ilmu dan kemampuan seseorang dibandingkan dengan persoalan yang tumbuh dan berkembang."
Yang lain hanya dapat menganguk-angguk saja. Mes"kipun Ki Jayaraga serba sedikit juga mengerti tentang pengobatan, tetapi dibanding dengan Kiai Gringsing, maka ia bukan tatarannya. Pengetahuannya jauh tertinggal dari Kiai Gringsing yang memang menekuni ilmu pengobatan.
Sementara itu keadaan Raden Rangga sekan-akan tidak berubah. Ia masih tetap tidur nyenyak. Nafasnya masih te"tap berjalan teratur. Bahkan menurut Kiai Gringsing dan orang-orang yang mengamatinya, agaknya terlalu nyenyak.
Kiai Gringsing dan orang-orang yang ada didalam bilik itupun kemudian telah duduk di atas tikar disudut ruangan. Dengan nada dalam Kiai Gringsing berdesis, "Jika sampai matahari naik tidak ada perubahan, maka kita harus berbuat sesuatu."
Tidak seorangpun yang menyahut. Semuanya telah menyerahkan keadaan Raden Rangga itu kepada Kiai Gringsing.
Ketika diluar nampak matahari mulai menyentuh dedaunan, maka Kiai Gringsingpun telah mendekati Raden Rangga yang masih saja berdiam diri terbujur dipembaringannya. Nafasnya masih juga teratur mengalir dilubang hidungnya.
Sejenak Kiai Gringsing termangu-mangu. Katika ia meraba tubuh itu, terasa tubuh Raden Rangga masih tetap hangat. Kiai Gringsing memang tidak mengatakan sesuatu. Na"mun sikapnya memang membuat orang-orang lain menjadi gelisah. Merekapun telah mendekat pula untuk melihat keadaannya.
Mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat Raden Rangga membuka matanya. Benar-benar seperti orang baru bangun tidurnya. bahkan kemudian dipandanginya orang-orang yang ada disekitarnya itu seorang demi se"orang. Dengan tersenyum ia kemudian menyapa, "Kiai?"
"Ya Raden." desis Kiai Gringsing.
Raden Rangga menggeliat perlahan-lahan sekali. Agaknya tubuhnya terasa nyeri meskipun ia tidak memberikan kesan seperti itu.
"Pagi yang cerah." berkata Raden Rangga.
"Ya Raden." sahut Kiai Gringsing.
"Kiai." berkata Raden Rangga, "apakah orang yang menunggui aku masih disini?"
"Ya Raden." jawab keduanya hampir berbarengan.
"Bagus. Ambilkan buat aku, minuman hangat dan makan pagi. Aku sangat lapar." berkata Raden Rangga.
Kedua orang itu saling berpandangan. Raden Rangga hampir tidak mau makan sama sekali sejak ia datang. Na"mun kini justru minta makan dan minuman hangat.
"Baik Raden." desis yang seorang, "minuman apa yang Raden kehendaki" Wedang jahe panas" Wedang sere atau wedang serbat" Kemudian makanan apa yang Raden inginkan?"
Raden Rangga tersenyum. Jawabnya, " Buat untukku sambal terasi."
Kedua orang itu termangu-mangu. Permintaan Raden Rangga itu terasa aneh. Disaat-saat Raden Rangga dalam keadaan sehat, ia memang seorang penggemar makan pedas. Tetapi pada saat-saat ia tidak mau makan, iapun telah memesan sambal terasi. Tetapi kedua orang itu sama sekali tidak dapat me"nolak. Keinginan itu mudah-mudahan akan dapat membuatnya mau makan serba sedikit. Karena itu, maka seorang diantara merekapun segera pergi ke dapur untuk menyampaikan pesan Raden Rangga itu.
Ternyata Raden Rangga kemudian justru nampak gembira. Kepada Glagah Putih ia minta dibantu untuk duduk.
"Berbaring sajalah Raden." minta Kiai Gringsing.
"Rasa-rasanya tubuhku menjadi segar Kiai." jawab Raden Rangga, "aku ingin duduk barang sejenak."
Kiai Gringsing tidak dapat mencegahnya. Di bantu oleh Glagah Putih, maka Raden Ranggapun telah duduk dipembaringannya. Glagah Putih yang sebenarnya masih mempunyai bebe"rapa pertanyaan kepada Raden Rangga harus menahan diri. Diantara senyumnya tiba-tiba saja Raden Rangga telah ber ceritera tentang ular naga didalam goa itu.
"Ular itu memang luar biasa." berkata Raden Rangga, "dari mulutnya seakan-akan telah menyembur api berbisa yang dahsyat sekali. Sulit bagiku untuk dapat mendekatinya. Namun akhirnya aku harus mengambil langkah. Ka"rena aku tidak dapat mendekat dan membunuhnya dengan tongkat ditangan, maka aku terpaksa melontarkan tongkatku. Untunglah bahwa aku dapat membidik dengan tepat pada dahinya diantara kedua belah matanya. Ternyata ular naga itu menjadi kesakitan. Ia meronta-ronta luar biasa sehingga goa itu rasa-rasanya menjadi bergetar, bahkan aku sudah mengira bahwa goa itu akan runtuh, dan aku akan berkubur bersama ular naga itu. Namun ternyata goa itu begitu kuat. Betapapun ular naga itu menggeliat, meronta dan membanting dirinya membentur dinding goa pada saat"-saat menjelang ajalnya, namun goa itu tidak runtuh. Se"hingga akhirnya ular itu agaknya menyadari akan saat-saat tefakhirnya. Ketika tubuhnya menjadi lemah, maka ular itu telah meninggalkan ruangan yang luas itu dan memasuki ruangan yang lebih kecil, menggulung diri sebagaimana kalian lihat." Raden Rangga berhenti sejenak, lalu, "untunglah bahwa disaat-saat ular naga itu mengamuk, aku dapat menyelipkan diriku pada relung sempit. Dari relung itu aku masih sempat menyerang ular itu dengan ilmuku yang mampu aku lontarkan dari jarak tertentu. Namun ular naga itu sekali-sekali sempat juga membalas membakar tubuhku dengan dengus api dari dalam mulutnya."
Ketika Raden Rangga berhenti sejenak, Glagah Putih"pun berdesis, "Tetapi Raden Rangga tidak terbakar."
Raden Rangga memandang Glagah Putih sejenak. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata, "Kulitku memang tidak terbakar, tetapi ternyata bisa itu luar biasa."
Glagah Putih tidak bertanya lagi. Namun dengan wa"jah yang cerah Raden Rangga masih juga berceritera, bagaimana ular itu kemudian melengking keras sekali, ka"rena ruang goa yang ikut bergaung karenanya. Kemudian perlahan-lahan suara itu semakin menghilang.
"Disaat-saat ular itu marah, maka ia telah membantu mempercepat kematiannya sendiri dengan membentur-benturkan tubuh dan kepalanya pada dinding goa." ber"kata Raden Rangga kemudian.
Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsaripun meng"angguk-angguk. Mereka memang melihat bekas-bekas itu pada dinding goa. Namun agaknya bahwa dinding goa yang meskipun cukup luas tetapi juga terbatas itu, tidak memberikan kesempatan kepada ular naga itu untuk dengan leluasa menyerang Raden Rangga, mungkin dengan ekornya atau dengan mulutnya.
Tiba-tiba saja Raden Rangga berhenti berceritera. Seje"nak ia memejamkan matanya sambil meraba keningnya.
"Raden." desis Kiai Gringsing.
Tetapi Raden Rangga sudah tersenyum lagi sambil ber"kata, "Kepalaku kadang-kadang memang terasa pening."
"Karena itu, sebaiknya Raden berbaring saja." minta Kiai Gringsing.
"Aku sudah terlalu lama berbaring. Rasa-rasanya punggungku menjadi panas." jawab Raden Rangga.
Kiai Gringsing memang tidak dapat memaksanya. Se"mentara itu Glagah Putih masih saja merasa ragu untuk bertanya tentang arus getaran didalam dirinya yang telah diberikan oleh Raden Rangga itu. Apakah yang kemudian harus dilakukan atau mungkin masih ada hal-hal yang perlu dipesankan kepadanya serta petunjuk-petunjuk tentang getaran yang telah menyusup kedalam dirinya, yang tentu akan berpengaruh pula.
Namun agaknya perhatian Raden Rangga sama sekali tidak tertuju kepadanya.
Ketika kemudian dua orang perempuan memasuki ruangan sambil membawa minuman hangat, maka Raden Ranggapun berdesis, "Nah bawa pula minuman seperti ini untuk semua orang yang ada disini. Jika kau nanti mem"bawa nasi dan sambal terasi, jangan sekedar hanya untuk aku saja. Kami disini akan mengadakan bujana."
Orang-orang yang ada didalam bilik itu saling berpan-dangan. Sementara itu Kiai Gringsingpun berkata, "Raden, silahkan Raden minum dan makan. Kami masih belum mandi."
"Untuk apa harus mandi lebih dahulu" Dimedan perang kadang-kadang kita juga tidak sempat mandi. Nah, jangan menolak. Kita akan makan bersama-sama." berkata Raden Rangga.
Memang tidak mungkin untuk menolak ajakan itu. Namun dengan demikian, jantung Kiai Gringsing justru terasa berdenyut lebih cepat melihat sikap Raden Rangga itu.
Tetapi Kiai Gringsing tidak mengatakan sesuatu. Ke"tika kamudian di hidangkan makan yang juga masih hangat dengan sambal terasi dan daging ayam yang dimasak lembaran, maka mereka yang ada didalam bilik itu telah diminta untuk ikut makan bersama serta menghirup minuman panas.
"Duduk saja disini." minta Raden Rangga ketika beberapa orang yang ada didalam bilik itu bergeser ke tikar yang dibentangkan disudut bilik itu.
Memang agak berdesakan. Tetapi Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabungsari dan Glagah Putih telah duduk dipembaringan pula, sementara dua orang yang menjaga Raden Rangga telah menarik tikar pandan mereka, dan duduk disebelah pembaringan itu.
"Kenapa kalian duduk disitu?" bertanya Raden Rangga.
"Dipembaringan itu tidak cukup Raden." jawab salah seorang diantara mereka.
Raden Rangga tersenyum. Iapun mengerti bahwa me"reka memang tidak akan dapat ikut duduk dipembaringan. Tetapi ketika Sabungsari akan bergeser untuk ikut duduk dibawah, Raden Rangga berkata, "Kau duduk saja disitu. Memang terasa lebih enak jika kita makan sambil berde"sakan."
Sabungsari hanya dapat menarik nafas saja.
Kiai Gringsing yang memperhatikan Raden Rangga makan, memang menjadi heran. Meskipun tidak terlalu banyak, tetapi nampaknya nasi yang dimakan itu terasa enak sekali. Raden Rangga memang agak kepedasan. Namun sam"bil menghirup minuman hangat, ia telah mengusap keringat dikeningnya.
"Tubuhku terasa hangat sekarang." berkata Raden Rangga sambil mendorong mangkuknya. Lalu katanya ke"pada orang-orang yang ikut makan bersamanya, "Silah"kan. Jangan hanya sekedar menuruti permintaanku. Makanlah dengan sungguh-sungguh."
Tetapi sudah barang tentu bahwa orang-orang yang ikut makan bersama Raden Rangga tidak dapat melakukannya sebagaimana dikatakan oleh Raden Rangga. Mereka memang makan sekedar memenuhi permintaannya. Karena itu, Raden Rangga selesai makan, yang lainpun segera telah selesai pula.
Sejenak kemudian, maka mangkuk-mangkukpun segera dibenahi. Dua orang perempuan yang melayani makan dan minum bagi Raden Rangga telah dipanggil untuk menyingkirkannya.
"Tubuhku terasa menjadi segar." berkata Raden Rangga.
"Syukurlah." sahut Kiai Gringsing, "mudah-mudahan akan menjadi semakin baik untuk seterusnya."
Raden Rangga tertawa. Katanya, "Mudah-mudahan Kiai, meskipun hanya sekedar harapan."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun penglihatannya sebagai seorang yang memiliki perbendaharaan yang luas telah membuatnya menjadi cemas. Apalagi ke"tika Kiai Gringsing melihat noda-noda hitam yang berada dibawah kulit Raden Rangga. Kecemasannya semakin membuat jantungnya berdebaran. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, "Raden. Setelah Raden makan dan minum, aku persilahkan Raden Kembali beristirahat."
Tiga Naga Sakti 14 Anjing Kematian The Hound Of Death And Other Stories 1933 Karya Agatha Christie Kekayaan Yang Menyesatkan 10
^