Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 27

09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 27


Ternyata Glagah Putih memang tidak perlu menunggu terlalu lama. Semuanya itu dapat dilakukan dalam waktu yang terhitung singkat. Sejenak kemudian, ketiga orang laki-laki itu telah membawa kedua orang perempuan itu kembali ketempat persembunyiannya bagi mereka.
Rencana Agung Sedayu ternyata berhasil. Glagah Putih telah berhasil mengetahui letak persembunyian bagi kedua orang perempuan yang telah dipisahkan dari Kiai Sasak, bahkan telah dipakai sebagai alat untuk memaksa Kiai Sasak bekerja bersama. Namun Glagah Putihpun tahu bahwa ia tidak dapat bertindak malam itu juga, karena dengan demikian, agaknya usaha untuk menjebak orang-orang yang besok akan berkumpul di rumah Kiai Sasak itu menjadi gagal.
Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian telah menemui Agung Sedayu yang masih mengawasi rumah Kiai Sasak ditempat yang telah disepakati bersama. Se"jenak kemudian merekapun telah bergeser menjauhi rumah itu, untuk membicarakan langkah-langkah yang segera dapat mereka ambil.
Namun agaknya keduanya sependapat, bahwa mereka harus mengatasi keadaan itu bersama-sama dikedua tempat itu, agar kedua-duanya dapat diselesaikan dengan baik tanpa ada yang harus dikorbankan.
Namun sebagai landasan waktu, maka mereka harus menunggu orang-orang yang akan hadir di rumah Kiai Sasak itu. Baru setelah mereka datang, rumah itu harus dikepung oleh sepasukan yang terpilih, sementara usaha untuk membebaskan Nyai Sasak dan anak gadisnya harus dilakukan pula.
"Tetapi bagaimana kita tahu, bahwa orang-orang yang akan datang kerumah Kiai Sasak itu sudah lengkap?" bertanya Glagah Putih.
"Kita memang tidak tahu pasti. Tetapi kita dapat mengamatinya. Kita akan menghubungi Kiai Sasak sekali lagi untuk mendapatkan pertimbangannya." jawab Agung Sedayu, "mungkin Kiai Sasak mengetahui serba sedikit."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ternyata mereka harus sekali lagi memasuki rumah Kiai Sasak. Untunglah bahwa orang-orang yang harus mengawasi Kiai Sasak me"mang menjadi lengah. Mereka menganggap bahwa Kiai Sasak tidak akan berbuat sesuatu justru karena anak dan isterinya ada ditangan mereka. Bahkan mereka sudah mulai menduga, bahwa Kiai Sasak agaknya akan mau bekerja ber-sama setelah dilihatnya anak isterinya selamat.
Karena itu, maka pemimpin dari orang-orang yang ditempatkan dirumah Kiai Sasak itu telah memerintahkan untuk menjaga isteri dan anak Kiai Sasak itu baik-baik. Jika terjadi sesuatu atas mereka dan hal itu diketahui oleh Kiai Sasak, maka akibatnya akan menjadi rumit. Dalam keputus-asaan Kiai Sasak akan dapat merusak segala rencana.
Demikianlah, sejenak kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berada diluar dinding bilik Kiai Sasak. Dengan hati-hati ternyata mereka sempat berbicara.
"Besok mereka akan datang sebelum matahari sampai kepuncak langit." desis Kiai Sasak, "aku mendengar hal itu dari pembicaraan mereka."
"Baiklah Kiai." berkata Agung Sedayu hampir berbisik, "kami akan mengepung rumah ini setelah tengah hari. Tetapi apakah Kiai dapat menyebut, berapa kekuatan mereka."
"Yang ada sekarang sekitar enam orang disini. Aku tidak tahu pasti, berapa orang yang ada ditempat isteri dan anakku disembunyikan. Besok akan datang enam orang lagi. Ampat dari Tanah Perdikan Menoreh dan dua orang yang bertugas di dalam kota ini. Disamping itu akan datang lagi seorang yang dianggap berilmu tinggi untuk dapat menjaga agar aku tidak dapat berbuat banyak jika terpaksa terjadi benturan. Orang itu tentu tidak sendiri. Karena itu, kalian harus mempertimbangkan baik-baik kekuatan yang akan kalian pergunakan. Besok aku akan berada dipihak kalian, jika aku yakin anak dan isteriku selamat."
"Kami akan berusaha membebaskan anak dan isteri Kiai setelah tempat ini dikepung. Tetapi menurut perhitungan kami, kami akan berhasil menyelamatkan mereka." berkata Agung Sedayu perlahan-lahan.
"Aku sangat mengharapkan." berkata Kiai Sasak, "namun sebenarnyalah aku telah menyerahkan semuanya dengan pasrah kepada kehendak Yang Maha Agung. Sampaikan terima kasihku kepada Panembahan Senapati yang telah memerintahkan prajurit-prajuritnya terpilih untuk melindungi aku. Sebenarnya aku tidak mengerti, bagai"mana mungkin Panembahan Senapati memperhatikan aku. Namun berhasil atau tidak berhasil, Panembahan telah memerintahkan satu usaha menyelamatkan. Karena itu, aku memang wajib menyampaikan terima kasihku yang tulus."
"Kita wajib berusaha Kiai." jawab Agung Sedayu, "keterangan Kiai agaknya sudah cukup jelas. Lewat tengah hari, kami akan datang dengan pasukan."
"Terima kasih." desis Kiai Sasak.
Demikianlah maka Agung Sedayu dan Glagah Putih minta diri. Mereka telah beringsut dari tempatnya dan de"ngan hati-hati meninggalkan tempat itu.
Dengan tergesa-gesa keduanya telah kembali menemui para petugas sandi yang oleh Panembahan Senapati ditunjuk untuk membantu mereka.
Mereka mempergunakan sisa malam itu untuk membicarakan rencana yang paling baik yang dapat mereka lakukan, namun tanpa mengorbankan keluarga Kiai Sasak.
Kesimpulan dari pembicaraan itu adalah, bahwa kedua-duanya harus dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Pa"sukan yang khusus disediakan akan mengepung rumahKiai Sasak. Disaat itu pula, maka penyelamatan isteri dan anak Kiai Sasak itu dilakukan.
Jika terlambat, sehingga orang-orang yang mengawasi isteri dan anak Kiai Sasak itu mengetahui lebih dahulu tentang pengepungan rumah Kiai Sasak, mungkin mereka akan melarikan kedua orang perem"puan itu.
Menjelang dini, mereka masih sempat beristirahat sejenak. Meskipun hanya sekejap, Agung Sedayu dan Glagah Putih dapat tertidur dibilik mereka.
Disaat fajar menyingsing, maka Panglima pasukan berkuda telah berada ditempat itu pula. Dengan jelas Agung Sedayu telah menguraikan rencananya. Ia memerlukan pa"sukan untuk mengepung dan kemudian memasuki rumah Kiai Sasak. Dengan terperincinya pula Agung Sedayu telah menyebut jumlah orang-orang yang ada di dalam halaman rumah yang akan dikepung itu.
"Aku harus menyiapkan sekelompok prajurit dengan satu keyakinan bahwa kita tidak boleh gagal." berkata Panglima itu.
Namun kedua petugas sandi itu bertanya kepada Agung Sedayu, "Kalian berdua akan berada dimana?"
"Kami akan berusaha membebaskan isteri dan anak gadis Kiai Sasak sementara pasukan berkuda mengepung rumah Kiai Sasak. Kami akan datang kerumah Kiai Sasak sambil membawa kedua orang perempuan itu. Baru kemu"dian kita mulai memasuki halaman rumah Kiai Sasak dan menangkap semua isinya. Jika mungkin hidup-hidup." jawab Agung Sedayu.
Panglima pasukan berkuda itu mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayu berkata, "Kedua prajurit Sandi itu akan membawa pasukan kalian ke rumah Kiai Sasak. Semua harus berlangsung dengan cepat."
Panglima pasukan berkuda itu telah mendapat gambaran apa yang harus dilakukannya disaat matahari mencapai puncaknya. Tetapi ia harus bergerak beberapa saat setelah itu. Sementara pada saat yang sama Agung Sedayu, Glagah Putih dan beberapa orang yang akan dibawanya, berusaha untuk membebaskan kedua perempuan itu. Pang"lima itupun telah mendapat gambaran kekuatan dari orang-orang yang berada didalam rumah Kiai Sasak, sehingga ia dapat memperhitungkan prajurit-prajurit yang akan diba"wanya mengepung rumah itu. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu telah minta kepada petugas sandi itu untuk dapat mengawasi rumah Kiai Sasak.
"Kalian dapat mengirim petugas-petugas sandi yang dapat dipercaya untuk mengawasi rumah itu." berkata Panglima pasukan berkuda itu.
Namun salah seorang dari kedua petugas sandi itu menjawab, "Salah seorang diantara kami berdua akan berada di kedai itu. Untuk tidak menarik perhatian, maka kami akan berada ditempat itu bergantian."
"Hanya dua orang" Sementara kita akan menunggu sampai matahari mencapai puncaknya." berkata Panglima itu.
Kedua petugas itu termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang berkata, "Aku akan mohon ijin Panembahan, agar aku diperkenankan untuk membawa beberapa orang kawan yang terpercaya. Wewenang itu belum ada padaku karena Panembahan telah menunjuk kami berdua langsung untuk diperbantukan dalam tugas ini."
Panglima pasukan berkuda itu menyadari, betapa rumitnya tugas yang dihadapi oleh petugas sandi itu. Jika karena mereka melibatkan orang lain yang ternyata dapat menjebak mereka tanpa persetujuan Panembahan Senapati sendiri, maka keduanya akan mengalami kesulitan.
Karena itu, maka katanya, "Dalam keadaan seperti ini Panembahan Senapati akan dapat menerima kalian setiap saat."
"Ya. Kami akan segera menghadap." jawab petugas sandi itu.
Ternyata Panembahan Senapati yang kemudian mene"rima kedua orang petugas sandi itu tidak berkeberatan. Tetapi Panembahan Senapati minta agar orang-orang yang terlibat dalam tugas itu benar-benar orang yang dapat dipercaya.
Dalam pada itu, kedua petugas sandi itupun telah melaporkan pula rencana yang telah mereka susun bersama dengan Agung Sedayu dan Panglima pasukan berkuda.
"Lakukanlah. Tetapi berhati-hatilah. Kita tidak tahu pasti siapa yang akan kita hadapi." berkata Panembahan Senapati. Lalu, "Ikutilah rencana Agung Sedayu. Aku percaya kepadanya bahwa ia akan dapat memecahkan per"soalan ini."
Kedua petugas itupun segera telah menghubungi dua orang petugas yang lain yang berada di bawah perintahnya. Keduanya telah memilih orang-orang yang terbaik dan yang terpercaya, sehingga keduanya dapat mengatur waktu, pengawasan atas rumah Kiai Sasak menjelang tengah hari.
Demikianlah segala sesuatunya telah diatur sebaik-baiknya. Namun sama sekali tidak ada kesan kesiagaan di Mataram. Tidak ada perubahan-perubahan yang terjadi dan tidak ada kesibukan prajurit sama sekali.
Orang-orang yang berada di rumah Kiai Sasak telah mendapat perintah untuk mengamati keadaan. Dua di"antara mereka telah keluar dan berjalan-jalan menyusuri jalan kota. Namun mereka memang tidak melihat kegiatan apapun, sehingga mereka sama sekali tidak mempunyai kecurigaan bahwa sebenarnya Mataram telah menyiapkan pasukan untuk menyergap mereka.
Dua orang yang lain telah diperintahkan untuk meng"hubungi orang-orang yang menunggui isteri dan anak gadis Kiai Sasak. Namun yang berada dirumah itupun tidak mempunyai kecurigaan apapun tentang lingkungan me"reka. Kehidupan sehari-hari berjalan sewajarnya. Pasar yang tidak terlalu jauhpun tumbuh dan ramai seperti hari-hari sebelumnya sejak matahari terbit. Orang lewat di jalan-jalanpun agaknya tidak merasa terganggu sama sekali. Karena itu, maka orang-orang yang berada dirumah Kiai Sasak, maupun yang menunggui isteri dan anak gadisnya sama sekali tidak merasa curiga terhadap keadaan.
Dalam pada itu, para petugas sandi, berganti-ganti ber"ada di kedai didepan rumah yang bersebelahan dengan rumah Kiai Sasak. Mereka telah melihat beberapa orang keluar dan masuk regol rumah itu. Agaknya orang-orang itupun berusaha untuk tidak menarik perhatian orang lain. Sehingga dengan demikian maka mereka tidak pernah nampak bersama-sama lebih dari dua orang.
Namun menjelang tengah hari, petugas sandi yang kebetulan berada di kedai itu adalah petugas sandi yang bersama-sama dengan Agung Sedayu mengamati rumah itu dihari pertama. Ia telah melihat kelompok yang agak lain. Tidak hanya dua orang, tetapi berturut-turut sebanyak enam orang. Meskipun tidak bersama-sama, namun berurutan pada waktu yang singkat. Menilik ujud dan sikapnya, maka seorang diantara mereka adalah orang yang disegani oleh yang lain.
"Orang inilah agaknya yang disebut berilmu tinggi untuk mengimbangi Kiai Sasak, jika ia menjadi liar." ber"kata petugas sandi itu didalam hatinya.
Ketika kemudian datang petugas sandi yang lain memasuki kedai itu tanpa memberikan kesan bahwa orang itu telah mengenalnya, maka petugas sandi yang terdahulu itupun segera meninggalkan kedai itu. Ia harus berada ber"sama kawannya yang seorang lagi ikut menyiapkan sergapan pasukan berkuda mengepung rumah Kiai Sasak. Sementara masih diharapkan orang-orang lain yang akan memasuki regol halaman rumah Kiai Sasak itu pula, terutama dua orang yang bertugas mengamati Mataram secara langsung.
Tetapi para petugas sandi tidak dapat mengatakan, apakah kedua orang yang bertugas di Mataram itu telah datang memasuki halaman rumah Kiai Sasak atau belum Para petugas sandi itu tidak mempunyai gambaran sama sekali tentang kedua orang yang bertugas di Mataram bersamaan dengan empat orang yang bertugas di Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, para prajurit dari pasukan berkuda yang disiapkan untuk tugas yang rumit itu telah siap untuk berangkat. Sampai saat mereka berdiri tegang dihadapan Panglimanya, mereka belum tahu apa yang akan mereka lakukan, selain bersiaga penuh menghadapi kemungkinan terberat sebagai seorang prajurit. Baru setelah semuanya siap, maka Panglima pasukan berkuda sendiri yang kemudian berdiri dihadapan mereka, menjatuhkan perintah untuk berangkat.
"Kita akan mengepung rumah seseorang yang dihuni oleh sekelompok orang-orang yang memusuhi Mataram. Jumlah mereka hanya sekitar lima belas orang. Tetapi me"reka adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka kalian harus benar-benar mempersiapkan diri meng"hadapi mereka. Kita akan mengepung rumah itu dengan ke"kuatan ampat puluh orang. Sepuluh orang disetiap sisi. Tidak seorangpun boleh lolos dari rumah itu. Sementara itu beberapa petugas sandi akan bersama kita. Aku dan empat orang dari pimpinan pasukan berkuda akan berada diantara kalian pula."
Sesaat sebelum matahari mencapai puncak langit, maka pasukan berkuda itupun mulai bergerak. Sedangkan lima orang prajurit berkuda yang lain akan bersama-sama dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih membebaskan isteri dan anak Kiai Sasak.
Satu tugas yang harus dila"kukan dengan sangat berhati-hati. Jika keduanya salah langkah, sehingga anak dan isteri Kiai Sasak mengalami bencana, maka hidup Kiai Sasak untuk selanjutnya tidak akan berarti. Ada beberapa kemungkinan terjadi atas Kiai Sasak. Ia menjadi liar dan menjadi sangat berbahaya bagi orang-orang dirumahnya atau ia akan menjadi putus asa dan mencari jalan kematian atau ia justru akan memusuhi Mataram yang dianggapnya sebagai penyebab kematian anak dan isterinya.
Dengan perhitungan yang cermat, maka kedua gerakan itu dilakukan. Yang satu tidak boleh mendahului yang lain.
Derap kaki kuda di jalan-jalan kota memang mengejutkan. Beberapa orang menjadi gelisah dan bagaikan mem"beku melihat kuda-kuda yang berpacu dengan cepat melintas dihadapannya.
Waktu yang diperlukan memang hanya sebentar. Pa"sukan berkuda itu segera mencapai rumah Kiai Sasak. De"ngan cepat mereka berloncatan turun. Beberapa orang dengan sigap menerima kuda-kuda itu dan mengurusnya. Sementara yang lain berloncatan di halaman sebelah menyebelah rumah Kiai Sasak. Dalam waktu sekejap, rumah Kiai Sasak memang sudah terkepung rapat. Pim"pinan pasukan itu dipegang langsung oleh Panglima pa"sukan berkuda. Namun seperti yang telah disepakati, me"reka baru akan bergerak setelah Agung Sedayu dan Glagah Putih datang sambil membawa anak dan isteri Kiai Sasak, kecuali jika orang-orang yang ada di halaman itulah yang justru menyerang mereka lebih dahulu.
Dua orang petugas sandi yang telah bergerak bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih sejak hari-hari sebelumnya telah memberikan beberapa petunjuk bagi Pang"lima pasukan berkuda untuk mengatur prajurit-prajuritnya.
Kehadiran mereka memang mengejutkan seisi rumah itu. Seorang diantara mereka langsung memaksa Kiai Sasak untuk berada di pendapa.
"Inikah yang kau lakukan Kiai?" bertanya orang itu.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi sekarang ini." jawab Kiai Sasak.
"Prajurit berkuda Mataram telah datang. Kaukah yang telah memberikan keterangan kepada mereka?" ber"tanya orang itu.
"Bagaimana hal itu dapat aku lakukan. Aku tidak pernah beranjak dari rumah ini." jawab Kiai Sasak.
"Ingat, anak dan isterimu berada ditangan kami." berkata orang itu.
"Aku selalu mengingatnya. Karena itu, aku tidak ber"buat sesuatu selama ini. Jika terjadi hal-hal yang tidak kalian inginkan, maka itu adalah karena ketajaman penciuman hidung para petugas sandi di Mataram." jawab Kiai Sasak.
"Ini agaknya akibat dari orang-orang yang bertugas di Tanah Perdikan Menoreh. Mereka tidak datang pada waktunya. Agaknya mereka telah terperangkap." berkata orang itu. Lalu, "Kita harus menghancurkan mereka. Kiai Sasak, jika kau tidak mau membantu kita, melawan para prajurit Mataram, maka anak dan isterimu akan menjadi taruhan."
Kiai Sasak tidak menjawab. Tetapi ia memang menjadi berdebar-debar. Apakah usaha para petugas sandi dari Mataram membebaskan anak dan isterinya itu berhasil.
Pada saat yang demikian, beberapa orang yang berkuda memang lewat dan berhenti didepan rumah tempat anak dan isteri Kiai Sasak disembunyikan. Dengan garangnya para prajurit berkuda itu telah dengan sengaja merusak pintu gerbang yang, sebenarnya tidak tertutup. Ampat orang berloncatan dari dalam rumah itu dan siap menghadapi segala kemungkinan.
"Setan kau." geram salah seorang dari mereka, "apa kerjamu disini."
"Kami harus menangkap orang-orang yang tidak dikenal yang ada dirumah ini." berkata pemimpin dari kelompok kecil prajurit itu.
"Persetan." geram salah seorang dari keempat orang itu, "kau kira kami kelinci-kelinci kecil yang tunduk kepada perintahmu?"
Salah seorang diantara para prajurit itu tertawa. Kata"nya, "Meskipun seandainya kalian orang-orang berilmu setinggi langit, namun kalian berada di Mataram. Kami dapat memanggil pasukan segelar sepapan. Senapati yang berilmu melampaui tingginya langit itu dan dengan ujung tombak menusuk kearah jantung kalian."
"Persetan." geram orang tertua diantara orang-orang yang keluar dari dalam rumah itu, "Seluruh prajurit Mata"ram tidak akan mampu menangkap kami."
Para prajurit Mataram itu tertawa. Tetapi mereka tidak segera menyergap. Pemimpin dari kelima orang itu justru bertanya, "Ki Sanak. Sebenarnya siapakah kalian itu" Dan apakah tugas kalian berada disini" Memata-matai Mataram" Menimbulkan kegelisahan atau apa" Para petugas sandi kami tidak melihat kehadiran kalian disini. Karena itu, maka kami datang untuk menangkap kalian. Jika kemudian ternyata kalian tidak bersalah, maka kalian tentu akan kami lepaskan."
"Cukup." berkata orang tertua dari keempat orang itu, "pergi dari sini atau kalian tidak akan pernah keluar regol halaman ini?"
Tetapi para prajurit itu tertawa. Seorang diantara me"reka berkata, "Jangan terlalu garang Ki Sanak. Salah satu ciri sehingga kami dengan cepat mengenali kalian sebagai orang-orang asing disini adalah karena kalian cepat marah. Kalian sudah dibekali oleh perasaan bersalah, sehingga singgungan kecil saja dapat membakar perasaan kalian."
"Cepat, apa yang akan kau lakukan?" bentak orang ter"tua dari keempat orang itu, "jika kau memaksa kami, marilah, kita akan bertempur. Jika kau gentar menghadapi kami, pergilah."
Para prajurit itu tidak segera berbuat sesuatu. Bahkan pemimpinnya masih juga berkata, "Sebenarnya kita akan berbicara dengan cara yang lebih bersahabat. Marilah, ikutilah kami. Seperti aku katakan, jika kalian memang tidak bersalah, maka kalian tentu akan dibebaskan."
"Cukup. Jangan ulangi sampai seribu kali. Aku tidak tuli. Tetapi aku tidak mau diperlakukan seperti itu." Orang tertua diantara mereka itu hampir berteriak.
"Jika kau berteriak." berkata pemimpin prajurit itu. "maka orang-orang disekitar rumah itu akan berdatangan. Mereka akan melihat apa yang terjadi disini."
"Bukan salahku. Sekali lagi aku beri kesempatan, pergi dari tempat ini." geram orang itu.
"Tempat ini adalah tlatah Mataram. Aku adalah pra"jurit Mataram. Kenapa justru kau yang minta aku pergi." bertanya pemimpin prajurit itu.
Ternyata keempat orang itu tidak sabar lagi. Mereka telah menarik senjata mereka masing-masing. Namun sebelum mereka berteriak pemimpin prajurit itu berkata, "Jadi kita benar-benar akan bertempur" Ingat, jika kau melawan, maka hukuman yang akan ditimpakan kepadamu akan menjadi lebih berat. Melawan itu sendiri sudah merupakan satu kesalahan yang harus dihukum."
"Persetan." geram orang itu, "kenapa kau terlalu banyak bicara he?"
Prajurit itu tertawa. Namun kemudian seorang di"antara ampat orang itu berkata, "Nampaknya mereka dengan sengaja memperpanjang waktu."
"Ya. Kau benar. Lihat, apa yang terjadi didalam. Aku mendengar sesuatu." geram yang tertua diantara keempat orang itu.
Seorang diantara keempat orang itu meloncat kepintu. Namun demikian ia menyusup pintu, maka iapun telah terlempar keluar dan jatuh terguling ditanah. Dengan sigapnya orang itu melenting berdiri, siap menghadapi segala kemungkinan.
Namun seorang lagi telah terlempar pula keluar dan disusul oleh seorang lagi. Berbeda dengan orang yang akan memasuki pintu yang masih sempat melenting berdiri, maka kedua orang itu seakan-akan sudah tidak berdaya lagi. Keduanya memang masih sempat menggeliat. Namun mereka tidak mampu untuk bangkit lagi.
"Anak ibilis." orang tertua diantara mereka berteriak, "ternyata kalian telah berlaku licik."
Yang terdengar adalah suara tertawa para prajurit Mataram. Sementara itu, Agung Sedayu telah melangkah keluar pintu rumah itu. Dibelakangnya dua orang perem"puan keluarga Kiai Sasak. Dan dibelakang mereka adalah Glagah Putih.
Agung Sedayupun kemudian telah memberi isyarat kepada Glagah Putih untuk membawa kedua orang perem"puan itu bergeser. Kemudian dengan tegapnya ia berdiri menghadap ke arah orang-orang yang mengumpat-umpat itu.
"Kami telah membebaskan anak dan isteri Kiai Sasak yang telah kau pisahkan dari padanya." berkata Agung Se"dayu, "sekarang kami akan membawanya kepada Kiai Sasak, agar ia tidak menjadi gelisah."
"Persetan. Kau kira kami akan membiarkan kalian pergi" Ingat, kalian akan menebus tingkah laku kalian dengan nyawa kalian." geram orang tertua diantara mereka.
Tetapi Agung Sedayu sudah siap. Ia tidak mau membuang waktu terlalu banyak. Ia harus segera membawa kedua perempuan itu kerumah Kiai Sasak yang tentu sudah dikepung oleh para prajurit dari pasukan berkuda.
Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian berkata, " Menyerahlah. Kami mempunyai wewenang untuk menangkap kalian."
Orang-orang itu tidak menjawab. Tetapi merekapun dengan serta merta telah menyerang dengan garang.
Para prajurit Mataram yang melihat suasana itupun telah bersiap pula. Karena itu, maka merekapun dengan sigapnya telah meloncat memasuki arena.
Orang-orang yang menyerang Agung Sedayu itu tidak dapat mengabaikan para prajurit yang menyerang mereka. Karena itu, beberapa diantara mereka telah menghadapi pa"ra prajurit itu, sementara orang tertua diantara mereka telah menyerang Agung Sedayu dengan garangnya.
Sejenak kemudian di halaman itu telah terjadi pertempuran yang sengit. Orang-orang yang menjaga isteri dan anak gadis Kiai Sasak itu memang memiliki ketrampilan mempermainkan senjata. Namun lawan mereka adalah pra"jurit berkuda dari Mataran, sehingga karena itu, maka mereka tidak terlalu banyak mendapat kesempatan.
Apalagi diantara mereka yang kebetulan melawan Agung Sedayu. Dalam beberapa saat saja, orang itu sudah mengalami kesulitan. Apalagi Agung Sedayu harus segera pergi kerumah Kiai Sasak untuk menunjukkan bahwa ia telah berhasil menyelamatkan anak dan isterinya. Justru pada saat prajurit Mataram menarik perhatian orang-orang yang berada dirumah itu. Agung Sedayu dan Glagah Putih telah menyelinap lewat pintu belakang.
Demikianlah dengan cepat Agung Sedayu telah menyelesaikan lawannya. Demikian pula para prajurit berkuda yang jumlahnya memang lebih dari tiga orang itu, sehingga merekapun segera menguasai lawan mereka pula.
"Terserahlah kepada kalian." berkata Agung Sedayu kemudian, "aku akan membawa keduanya ke rumah Kiai Sasak."
"Silahkan." berkata pemimpin prajurit itu. Namun dalam pada itu, para prajurit itupun tidak mau mengalami kesulitan dengan tawanan-tawanannya. Me"rekapun kemudian telah mengikat tangan dan kaki para tawanan itu, sementara seorang diantara para prajurit itu telah berpacu memanggil beberapa orang kawan untuk membawa tawanan mereka.
Agung Sedayu dan Glagah Putih telah membawa kedua orang perempuan itu kerumah Kiai Sasak. Agar mereka le"bih cepat sampai ke tujuan, maka merekapun telah mempergunakan kuda yang sebagian dipinjam dari prajurit yang ada dirumah itu pula.
Ternyata bahwa anak gadis Kiai Sasak itu sudah sering berkuda pula, sehingga Agung Sedayu tinggal membawa isteri Kiai Sasak bersamanya, sementara gadis itu berkuda sendiri.
Meskipun kuda mereka tidak berpacu terlalu cepat, tetapi karena jaraknya memang tidak terlalu jauh, mereka tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk mencapai rumah Kiai Sasak yang sudah terkepung.
Sementara itu, orang-orang yang berada di rumah Kiai Sasak telah menentukan sikap sendiri tanpa menghiraukan pendapat Kiai Sasak lagi. Bahkan seorang diantara mereka berkata, "Kita akan menilai apa yang kau lakukan, Kiai Sasak. Jika kau berbuat baik dan bersahabat maka anak dan isterimu akan selamat. Apalagi jika kau dengan sungguh-sungguh membantu kami. Tetapi jika kau berbuat sebaliknya, anak isterimu akan mengalami bencana yang paling pahit. Kau ingat he, anak dan isterimu adalah perempuan-perempuan cantik yang berada ditangan laki-laki kasar."
Kiai Sasak tidak menjawab. Hatinya memang dicengkam oleh kegelisahan. Apakah para petugas sandi Mataram itu akan mampu menguasai anak dan isterinya.
Dalam pada itu, orang yang dianggap berilmu paling tinggi diantara mereka telah mengatur orang-orangnya. Bagaimanapun juga mereka adalah orang-orang pilihan Karena itu, maka mereka akan menghadapi para prajurit yang mengepung mereka dengan dada tengadah.
Ketika dua orang diantara mereka berdiri diregol hala"man, maka keduanya melihat, betapa prajurit Mataram da"lam kesiagaan penuh berada di jalan di depan rumah itu dan agaknya juga diseputar dinding halaman rumah Kiai Sasak. Dari balik dinding terdengar aba-aba para pemimpin kelompok memberikan perintah kepada para prajuritnya.
Sementara itu orang yang dianggap memiliki ilmu tertinggi diantara merekapun telah membawa Kiai Sasak keregol itu pula. Dengan nada berat ia berkata kepada Kiai Sa"sak, "Berbicaralah kepada mereka. Sebut anak dan isteri"mu. Kita akan menilai apa yang kau lakukan."
Kiai Sasak yang kemudian juga berdiri diregol halaman rumahnya telah melihat pasukan Mataram yang menge"pung rumahnya. Namun dalam keragu-raguan dan kecemasan, hampir diluar sadarnya ia berbicara, "He, para pra"jurit Mataram. Apa yang kalian lakukan disini, di seputar rumahku?"
Panglima pasukan berkuda yang berdiri beberapa langkah dari regol itulah yang menjawab, "Kiai, apakah Kiai yang bernarna Kiai Sasak?"
"Ya. Aku Kiai Sasak, yang memiliki rumah dan hala"man disekitarnya." jawab Kiai Sasak.
"Bagus. Jika demikian aku berbicara dengan orang yang benar." berkata Panglima itu. Lalu, "Kiai, siapa sajakah orang-orang yang berkumpul di rumah Kiai. Mereka bukan orang Mataram. Bahkan nampaknya agak mencurigakan."
"Mereka adalah sanak kadangku." jawab Kiai Sasak. Lalu, "Karena itu, kalian tidak perlu bersusah payah mengurusinya."
"Kiai." berkata Panglima itu, "apaboleh buat. Aku memerlukan mereka. Jika mereka sanak kadangmu, maka aku memerlukan sanak kadangmu itu."
"Apa sebenarnya yang kalian perlukan" Bukankah mereka tidak mengganggu?" bertanya Kiai Sasak.
"Memang tidak." jawab Panglima itu, "kamipun tidak akan berbuat apa-apa terhadap mereka. Sekedar sikap hati-hati para petugas di Mataram menghadapi kemelut yang nampaknya membayangi keutuhannya."
Kiai Sasak termangu-mangu sejenak. Diedarkannya pandangan matanya kesegala arah. Yang dilihatnya adalah sederetan prajurit dalam kesiagaan sepenuhnya.
Kiai Sasak itupun menarik nafas dalam-dalam. Semen"tara itu, orang yang mengambil alih pimpinan di rumah itu"pun berdesis, "Suruh mereka pergi. Sebut tentang keselamatan anak dan isterimu."
"Tetapi aku terlanjur mengatakan, bahwa kalian ada"lah sanak kadangku." jawab Kiai Sasak.
"Persetan." geram orang itu, "katakan, atau anak dan isterimu itu benar-benar mengalami bencana."
Kiai Sasak tidak menjawab. Tetapi ia masih saja dibayangi oleh wajah anak dan isterinya yang memelas. Seakan-akan wajah itu telah dibasahi oleh air mata yang mengalir tidak berkeputusan.
"Cepat." geram orang yang memimpin seisi rumah itu.
Kiai Sasak tidak mempunyai pilihan lain. Namun ia masih juga menunggu sejenak. Bahkan kemudian iapun melangkah maju sehingga ia turun kejalan.
"He para prajurit Mataram." suara Kiai Sasak lantang.
Orang yang memaksanya berbicara itupun mengikutinya dengan seksama. Tetapi ia tidak dapat ikut turun ke"jalan sebagaimana dilakukan oleh Kiai Sasak. Bahkan dua orang yang lainpun masih saja berdiri di regol halaman itu.
Kemudian Kiai Sasak itupun berkata selanjutnya, "Keta"huilah, bahwa anak dan isteriku telah berada ditangan orang-orang itu. Karena itu, demi keselamatan anak dan isteriku, tinggalkan tempat ini. Segala sesuatunya akan kami selesaikan sendiri, karena segalanya tidak menyangkut orang lain kecuali persoalan antara keluarga kami. Antara sanak kadang sendiri."
"Kami adalah para prajurit yang mengemban perintah." berkata Panglima prajurit itu, "karena itu, maka kami harus melaksanakan perintah ini."
"Tetapi anak dan isteriku berada dalam bahaya. Apakah kalian akan mengorbankannya?" bertanya Kiai Sasak.
Panglima itu memang menjadi bingung. Ia harus menunggu Agung Sedayu untuk dapat mengambil satu kepastian. Namun jika orang-orang dirumah itu memaksakan kekerasan, maka ia tidak dapat mengelak lagi. Yang menjadi persoalan adalah justru Kiai Sasak itu sendiri.
Namun dalam pada itu, selagi keadaan menjadi tegang, tiba-tiba saja Kiai Sasak telah melihat seseorang melambaikan tangannya. Hampir tidak percaya kepada penglihatannya, ia telah melihat anak dan isterinya berdiri di sebelah seorang yang tidak dikenalnya. Sementara itu, Glagah Putih telah menyusup diantara para prajurit mendekati Panglima yang memimpin pasukan berkuda untuk membe"rikan laporan.
"Jadi mereka sudah berada disini sekarang?" ber"tanya Panglima itu.
"Ya. Mereka ada dibelakang kita." jawab Glagah Pu"tih.
Panglima itu berpaling sejenak. Iapun melihat Agung Sedayu berdiri disebelah kedua orang perempuan yang gelisah.
Karena itu, maka tiba-tiba saja Panglima itu berkata, "Kiai Sasak. Aku tidak peduli lagi akan keselamatan anak dan isterimu. Aku siap untuk menjalankan perintah. Menyerahlah."
Kiai Sasak termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia telah meloncat menyeberangi jalan menuju ke ha"laman di depan rumahnya. Namun pada saat yang bersamaan, serangan dahsyat telah menyambar Kiai Sasak. Sebuah pisau belati panjang yang bagaikan terbang menyusulnya. Tetapi agaknya ketajaman perhitungan Kiai Sasak telah menolongnya. Ketika ia hampir sampai di seberang jalan, maka iapun telah menjatuhkan diri berguling di tanah.
Pisau itu meluncur diatas kepalanya disaat ia men"jatuhkan diri. Bahkan hampir saja mengenai seorang pra"jurit yang dengan tangkas pula menghindar, Pisau itu ter"nyata telah membentur dinding halaman rumah didepan rumah Kiai Sasak. Akibatnya memang mengejutkan. Din"ding itu bagaikan meledak sehingga beberapa bagian telah runtuh. Sebuah lubang yang besar ternyata telah menganga pada dinding itu.
Tetapi Kiai Sasak telah berdiri tegak. Disampingnya Glagah Putihpun telah siap menghadapi segala kemungkin"an.
"Ambillah isteri dan anakmu Kiai." berkata Panglima itu.
Orang yang mengambil alih pimpinan dirumah Kiai Sasak dan yang telah melempar pisau kearah Kiai Sasak tetapi tidak mengenainya, berdiri dengan wajah yang membara. Dengan lantang ia berkata, "Kalian licik. Kalian telah bergerak dengan tipuan-tipuan yang hanya pantas di"lakukan oleh para pengecut. Dan agaknya kalian memang pengecut itu."
Kiai Sasak tidak menghiraukannya. Iapun kemudian menyusup diantara para prajurit, berlari menemui anak dan isterinya yang berada diujung jajaran prajurit dari pasukan berkuda yang berada di depan rumah Kiai Sasak itu.
Sesaat Kiai Sasak telah memeluk anak dan isterinya. Namun kemudian keduanya telah dilepaskannya. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku harus membuat perhitungan dengan orang-orang itu."
Tetapi Agung Sedayu menjawabnya, "Biarkan mereka diselesaikan oleh para prajurit dari pasukan berkuda yang terpilih ini."
Kiai Sasak termangu-mangu. Dengan nada berat ia ber"kata, "Beberapa orang diantara mereka ternyata berilmu tinggi."
"Percayakan kepada kami. Urusi anak dan isteri Kiai." berkata Agung Sedayu.
"Persoalannya bersumber dari aku." jawab Kiai Sasak.
Agung Sedayu tersenyum sambil melangkah, "Kami adalah prajurit Mataram yang mempunyai kewajiban menyelesaikan persoalan seperti ini."
Kiai Sasak termenung sejenak. Hampir diluar sadarnya ia bertanya, "Kaukah yang telah membebaskan anak dan isteriku?"
"Aku adalah petugas sandi yang menghubungi Kiai dirumah Kiai dan yang mendapat tugas untuk membe"baskan anak dan isteri Kiai."
Kiai Sasak menjadi ragu-ragu, apakah yang harus dilakukannya. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu telah me"langkah menyusuri jalan dimuka rumah Kiai Sasak disela-sela para prajurit berkuda yang sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun ia masih sempat berdesis, "Lindungi anak dan isterimu."
Kiai Sasak tidak dapat berbuat lain. Iapun kemudian justru melangkah surut bersama anak dan isterinya, meng"ambil jarak dari para prajurit Mataram yang mengepung rumah Kiai Sasak itu.
Sejenak kemudian Agung Sedayu telah berada dihadapan regol rumah Kiai Sasak bersama Glagah Putih dan Panglima pasukan berkuda. Sementara itu, orang-orang yang berada didalam halaman rumah Kiai Sasak justru telah menutup regol halaman.
"Aku akan memasuki halaman itu." berkata Pang"lima pasukan berkuda yang memimpin langsung pengepungan itu.
"Kita harus berhati-hati." berkata Agung Sedayu, "seperti dikatakan oleh Kiai Sasak, didalam halaman rumah itu ada beberapa orang berilmu tinggi. Jika kita dengan serta merta memasuki halaman rumah itu, maka orang-orang yang pertama mungkin akan menjadi korban."
"Bukankah itu wajar sekali." berkata Panglima itu, "kita tidak akan dapat menangkap mereka hanya dengan mengepung halaman rumah ini sampai kapanpun."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti jalan pikiran seorang Panglima. Karena itu, maka iapun kemu"dian berkata, "Kita akan memasuki halaman rumah itu. Tetapi dengan berhati-hati."
"Apakah tidak terlalu lamban jika kita masih harus membuat perhitungan-perhitungan sekian kali ulang." ber"kata Panglima itu.
"Kita akan mencoba berbuat lebih cepat." berkata Agung Sedayu.
Dalam pada itu, Glagah Putihpun berkata, "Lubang di dinding halaman ini adalah benturan pisau belati seseorang dari dalam regol itu yang diarahkan kepada Kiai Sasak. Untunglah Kiai Sasak dan seorang prajurit sempat meng"elak."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan melihat lubang pada dinding itu, maka Agung Sedayu dapat menduga betapa besarnya kekuatan serta lambaran ilmu orang yang melontarkannya. Namun tiba-tiba Agung Sedayu telah mengamati lu"bang itu dengan saksama. Ia tidak menilai lubang itu lagi, tetapi agaknya ia sedang mencari sesuatu.
"Apa yang kau cari?" bertanya Panglima pasukan ber"kuda itu.
Agung Sedayu tidak menjawab. Namun ditangannya telah tergenggam pisau belati yang telah dilontarkan oleh seseorang dari dalam regol halaman.
Kepada Panglima pasukan berkuda itu Agung Sedayu berkata, "Perintahkan kepada mereka untuk menyerah. Jika mereka tidak mau, maka kita akan mencari jalan untuk memasuki halaman itu meskipun harus dengan berhati-hati."
Panglima berkuda itu mengangguk-angguk kecil. Iapun kemudian melangkah selangkah maju. Menghadap ke regol halaman. Panglima itupun berkata lantang, "He, orang-orang yang berada didalam rumah dan halaman yang telah terkepung rapat. Menyerahlah. Kami memberikan waktu beberapa saat. Jika pada panggilan kami berikutnya kalian belum menyerah, maka kami akan mengambil langkah-langkah tegas."
Namun yang terdengar adalah jawaban, "Kami adalah orang-orang terpilih dan berilmu tinggi. Jika kalian merasa berkewajiban menangkap kami, lakukanlah. Tetapi jangan menyesal jika semua orang yang memasuki halaman ini akan mati."
Panglima pasukan berkuda itupun kemudian berkata, "Aku masih memberi kesempatan."
"Persetan. Itu tidak perlu. Kalian hanya akan mem"buang-buang waktu saja." berkata orang dibalik pintu regol, "jika kalian ingin memasuki halaman, lakukanlah jika kalian mempunyai keberanian."
"Setan." geram Panglima pasukan berkuda.
Namun Agung Sedayu cepat berkata, "Aku dan Glagah Putih akan memancing perhatian mereka."
"Apa yang akan kalian lakukan?" bertanya Pang"lima itu.
Agung Sedayupun kemudian memanggil Glagah Putih mendekat. Katanya, "Pecahkan sudut dinding halaman disebelah kiri itu. Aku akan melakukan disebelah kanan. Pada saat perhatian orang-orang didalam halaman itu tertarik ke kedua sudut yang pecah itu, maka Panglima akan memimpin pasukannya memecahkan regol halaman dan memasukinya dengan pasukannya. Sementara aku masuk lewat dinding yang pecah itu. Demikian pula kau, yang akan diikuti oleh beberapa orang prajurit." Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu iapun bertanya kepada Panglima pa"sukan berkuda, "Apakah Panglima setuju?"
Panglima itu mengangguk. Katanya, "Aku sependapat. Aku akan menyesuaikan diri."
Ketika kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih mendekati sasaran yang telah ditentukan, maka Panglima dan beberapa orang prajuritnya telah bergeser pula. Mereka berdiri disebelah menyebelah regol yang masih tertutup rapat itu.
Bahkan sejenak kemudian masih terdengar orang berteriak dibelakang regol itu. "Jika kalian berani memasuki halaman ini, lakukanlah. Mayat kalian akan berserakan seperti tebasan batang ilalang."
Panglima yang berada disebelah regol itu menggeretakkan giginya. Tetapi ia harus menahan diri, karena ia harus menunggu Agung Sedayu dan Glagah Putih mencapai sasarannya.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah berada di hadapan kedua sudut dinding halam"an bagian depan dari rumah Kiai Sasak itu. Merekapun segera mempersiapkan diri untuk melakukan rencana me"reka.
Dinding halaman rumah Kiai Sasak memang tidak begitu tebal. Ketika rumah itu dibuat, sama sekali tidak terbersit pikiran, bahwa pada saat dinding itu akan menjadi menyekat antara kedua kekuatan yang saling berbenturan. Apalagi disatu pihak adalah prajurit Mataram sendiri. Karena itu, maka dinding itu bukanlah dinding sekuat benteng pertahanan sepasukan prajurit.
Agung Sedayu ternyata telah mendekati dinding disudut halaman itu. Glagah Putih yang melihatnya dari kejauhan menyadari, bahwa Agung Sedayu tidak menghendakinya memecahkan dinding itu dengan lontaran ilmu. Tetapi harus dengan sentuhan kewadagan, sehingga mere"ka tidak dituduh membuat pengeram-eram oleh orang-orang yang belum mengenalnya.
Sesaat kemudian Glagah Putih dari kejauhan melihat Agung Sedayu meraba sudut halaman rumah Kiai Sasak itu Kemudian sambil memberikan isyarat kepada Glagah Pu"tih, Agung Sedayu telah mundur beberapa langkah untuk mempersiapkan diri.
Mula-mula Glagah Putih tidak mengetahui maksud Agung Sedayu yang mengangkat tangannya dan kemudian menyentuh kakinya. Namun akhirnya Glagah Putih mengerti, bahwa Agung Sedayu akan memecahkan dinding itu dengan kakinya.
Dalam pada itu, dari depan regol, Panglima pasukan berkuda masih berkata lantang, "Cepat, menyerahlah. Aku tidak mempunyai banyak waktu."
"Diam kau." teriak orang yang berada didalam.
Panglima itu tidak menjawab. Namun ia telah berpa"ling kearah Agung Sedayu, seakan-akan memberikan isyarat, agar Agung Sedayu cepat melakukan rencananya, memecah dinding halaman sebagaimana dikatakannya.
Sebenarnya Agung Sedayu memang sudah bersiap. Sejenak kemudian, maka iapun telah meloncat, melangkah dengan mengerahkan kekuatan tenaga cadangan serta ilmunya pada kakinya. Dengan melayang sambil memiringkan tubuhnya, Agung Sedayu benar-benar telah menghantam dinding halaman itu.
Pada saat yang hampir bersamaan Glagah Putihpun telah melakukan pula. Hentakkan kaki kedua orang yang memiliki ilmu yang tinggi, pada dinding yang tidak tebal itu, ternyata telah berhasil meruntuhkannya disudut hala"man rumah Kiai Sasak, sekaligus keduanya telah berguling memasuki halaman rumah itu.
Kehadiran keduanya dengan memecahkan dinding itu memang mengejutkan orang-orang yang berada didalam halaman. Dua orang telah berada didalam dengan cara yang tidak mereka duga. Orang-orang yang berada di halaman itu ternyata telah bersiaga dibelakang pintu gerbang, kare"na satu-satunya kemungkinan menurut perhitungan mere"ka adalah memecahkan pintu regol itu.
Oleh peristiwa yang tidak mereka perhitungkan itu, maka orang-orang di halaman itu menjadi agak bingung. Bahkan orang yang memimpin sekelompok orang itu telah memberikan perintah, "Bunuh mereka."
Beberapa orang telah berlarian kearah Agung Sedayu dan Glagah Putih yang telah memecahkan dinding di sudut-sudut halaman. Sementara itu beberapa orang prajurit dari pasukan berkuda yang berada di sepanjang jalan, telah berloncatan masuk pula melalui dinding yang pecah itu.
Dalam pada itu, sesuai dengan rencana, maka Panglima pasukan berkuda itu telah bergeser pula mengambil ancang-ancang. Dengan satu loncatan yang kuat, maka Panglima pasukan berkuda itu telah memecahkan pintu regol yang selaraknya memang tidak terlalu kuat. Namun Panglima pasukan berkuda itu memang seorang yang memiliki ke"kuatan dan ilmu yang tinggi pula.
Para prajurit tidak sempat mengagumi Agung Sedayu dan Glagah Putih. Mereka segera berdesakan memasuki halaman rumah itu. Namun Panglima dari pasukan berkuda itu masih juga memerintahkan beberapa orang untuk tetap berada disepanjang jalan. Jika ada diantara orang-orang dari halaman itu yang melarikan diri, maka adalah menjadi tugas mereka untuk menangkapnya.
Para pemimpin kelompok yang berada di sisi dan dibe"lakang rumah Kiai Sasak itupun dengan cepat berusaha menyesuaikan diri. Beberapa orang diantara para prajurit telah berlari-larian dan memasuki halaman lewat dinding yang runtuh disudut halaman itu. Sementara yang lain juga tetap berada ditempatnya. Sedangkan yang berjaga-jaga dibelakang rumah, menjadi semakin siaga menghadapi kemungkinan pelarian dari orang-orang yang berada di rumah Kiai Sasak itu.
Demikianlah di halaman rumah Kiai Sasak itu telah ter"jadi pertempuran yang sengit. Ternyata orang-orang terpi"lih yang bertugas di Mataram itu telah membentur kekuat"an pasukan Mataram yang tangguh.
Orang yang mengambil pimpinan di rumah Kiai Sasak itu ternyata telah bertemu dengan Agung Sedayu yang memasuki halaman itu lewat dinding yang dipecahkannya. Sedangkan seorang pengawalnya yang terpercaya telah meloncat kearah Glagah Putih yang memasuki halaman itu dengan cara yang sama dengan Agung Sedayu.
Justru karena itu, ketika Panglima pasukan berkuda memecahkan pintu regol, maka dua orang yang tinggal didepan regol itu telah menyerangnya. Sementara beberapa orang yang lain berlari-larian mendekat.
Namun Panglima itu cukup tangkas. Dengan cekatan ia berhasil mengelakkan serangan kedua orang itu. Bahkan kemudian, dengan garang Panglima itu telah menyerang kembali. Apalagi kemudian beberapa orang prajurit telah menyusulnya memasuki halaman.
Pertempuranpun semakin lama menjadi semakin sengit. Separuh dari prajurit Mataram bersama para petugas sandi telah memasuki halaman dan bertempur melawan orang-orang yang berada didalam. Namun yang separuh dari seluruh prajurit Mataram yang mengepung rumah itu, ternyata telah lebih banyak dari orang-orang yang berada di dihalaman itu.
Namun ternyata sebagaimana mereka perhitungkan, bahwa diantara orang-orang yang berada di halaman rumah Kiai Sasak itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Mereka bukan saja seorang prajurit, tetapi mereka adalah orang-orang terpilih dalam tugas yang khusus.
Dengan demikian maka pertempuran di halaman rumah Kiai Sasak itu menjadi semakin lama semakin sengit. Orang-orarg yang berilmu tinggi itu telah mulai melepaskan ilmunya untuk mengatasi ketangkasan prajurit Mata"ram. Namun prajurit Mataram yang jumlahnya memang lebih banyak, telah mengatur diri sebaik-baiknya untuk mengatasi tingkat-tingkat ilmu yang lebih tinggi dari mere"ka seorang demi seorang.
Disudut halaman Glagah Putih telah bertempur dengan pengawal terpercaya dari orang yang mengambil pimpinan di rumah Kiai Sasak itu. Orang yang datang khusus untuk membuat keseimbangan kekuatan atas kemampuan Kiai Sasak yang diperhitungkan berilmu tinggi.
Sebagaimana diisyaratkan oleh Agung Sedayu, maka Glagah Putih berusaha untuk bertempur tanpa melepaskan kekuatan ilmu yang mampu menyerang lawannya dari jarak jauh. Karena itu, maka Glagah Putih telah bertempur langsung dengan benturan-benturan wadagnya.
"Tetapi jika lawan ini memiliki kemampuan yang terlalu tinggi maka apaboleh buat." berkata Glagah Putih didalam hatinya, karena ia masih belum tahu seberapa ting"gi tingkat ilmu lawannya itu.
Karena itu untuk beberapa saat Glagah Putih masih berusaha untuk menjajagi kemampuan lawannya. Beberapa kali ia berusaha untuk menyentuh serangan-serangan yang datang membadai. Untuk menjaga kemungkinan yang pa"ling buruk dari lawannya, maka Glagah Putih dengan sangat berhati-hati menilai takaran kemampuannya yang dipergunakannya untuk menahan setiap benturan.
Namun kemudian Glagah Putihpun berkata kepada diri sendiri ketika tangannya terasa sakit, "Agaknya aku terlalu sombong menghadapi lawan. Satu pantangan yang setiap kali diperingatkan baik oleh kakang Agung Sedayu maupun guru, Kiai Jayaraga. Namun aku tidak mau mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan."
Dengan demikian maka Glagah Putih menjadi lebih berhati-hati lagi menghadapi lawannya. Ia tidak mau disakiti lawannya, tetapi juga tidak mau kehilangan kendali sehingga dengan serta merta ia akan dapat membunuh lawannya.
Namun justru karena Glagah Putih terlalu sibuk memperhitungkan kekuatannya, maka kecepatan geraknya memang agak terlambat. Beberapa kali lawannya berhasil mengenainya, justru pada saat Glagah Putih sedang mencoba-coba.
Pada serangan yang dilambari segenap kekuatan dan kemampuan lawannya, maka terasa tumit lawannya yang mengenai lambungnya bagaikan himpitan bindi besi. Jus"tru pada saat Glagah Putih sedang berusaha mengatasi rasa sakit, serangan berikutnya datang demikian cepatnya. Kaki lawannya yang berputar, tepat mengenai dadanya. Glagah Putih terlempar beberapa langkah surut. Na"mun ia masih sempat berguling dan melenting berdiri.
Namun serangan berikutnya telah memburunya. Agak"nya lawannya tidak mau melepaskannya, karena menurut perhitungannya, Glagah Putih telah terdesak sehingga ti"dak mampu lagi berbuat banyak. Semakin cepat orang itu mengakhiri perlawanan Glagah Putih, berarti semakin banyak pula kesempatannya untuk membantu kawan-kawannya.
Tetapi ternyata Glagah Putih tidak membiarkan dirinya dikenai lagi oleh serangan lawannya. Karena itu, maka dengan tangkasnya iapun segera mengelak sambil menahan sakit dilambung dan dadanya. Glagah Putih bukan hanya bergeser selangkah, tetapi sekaligus beberapa langkah un"tuk mengambil jarak.
"Jangan lari." geram lawannya yang berdiri tegak menghadap kearahnya.
Glagah Putih yang telah berhasil mengambil jarak telah berdiri tegak pula. Perlahan-lahan perasaan sakit dilambungnyapun menjadi semakin menghilang. Sehingga akhirnya ia telah siap menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu, Glagah Putih yang sedang mengamati tingkat kemampuannya sendiri itu, telah menempatkan dirinya pada satu tataran, bahwa ia tidak akan disakiti lagi oleh lawannya.
Ketika lawannya maju selangkah Glagah Putihpun berkata, "Aku tidak akan lari Ki Sanak. Mungkin aku telah terdesak. Tetapi aku akan menyelesaikan pertempuran ini dengan sikap seorang prajurit."
"Bagus." sahut lawannya, "aku juga seorang pra"jurit. Aku akan dapat menilai, apakah kau memang benar-benar seorang prajurit."
Keduanyapun kemudian telah bersiaga sepenuhnya. Sejenak mereka masih bergeser saling mendekat. Namun tiba-tiba saja lawan Glagah Putih itu meloncat menyerang dengan kecepatan yang sangat tinggi. Namun Glagah Putih telah bersiap pula. Karena itu, maka dengan cepat pula ia bergeser sehingga serangan lawannya itu sama sekali tidak mengenainya.
Namun demikian kaki lawannya itu berjejak diatas tanah, maka iapun telah mengangkat kakinya sambil berputar, bertumpu pada kaki yang lain. Glagah Putih masih sempat meloncat surut. Talapak kaki lawannya yang mengarah langsung kekepalanya. Ia justru merendahkan dirinya dan dengan cepat menyapu kaki lawannya yang menjadi tumpuan tegaknya.
Sapuan kaki Glagah Putih itu terjadi demikian cepatnya, sehingga lawannya itu tidak sempat mengelakannya. Dengan demikian maka lawan Glagah Putih itu telah jatuh terbaring di tanah. Namun ternyata bahwa orang itu mampu bergerak cepat sekali. Demikian ia terjatuh, maka iapun sekejap telah melenting berdiri. Bahkan mendahului kesiagaan Glagah Putih. Sehingga Glagah Putih terkejut ketika tiba-tiba saja orang itu telah melayang menyerangnya dengan kakinya yang terjulur lurus menyamping.
Tetapi kecepatan geraknya ternyata berakibat buruk baginya. Glagah Putih yang terkejut itu tidak sempat mengelak. Demikian ia tegak setelah menyapu kaki lawan"nya, maka serangan itu seakan-akan telah berada didepan hidungnya. Glagah Putih tidak sempat memperhatikan bagaimana orang itu dapat bergerak demikian cepatnya.
Ternyata Glagah Putih yang terkejut itu telah menangkis serangan lawannya. Anak muda itu berdiri tegak dengan kaki renggang. Tangannya dengan tangkasnya bersilang didepan wajahnya yang menjadi sasaran serangan lawannya. Demikian kaki lawannya menyentuh tangannya, Glagah Putih telah menghentakkannya dengan keras men"dorong kaki lawannya itu.
Pada saat yang demikian itulah, maka Glagah Putih agak lepas dari pengamatannya atas kekuatannya sendiri. Benturan yang terjadi ternyata benar-benar mengejutkan. Glagah Putih memang tergetar setapak surut. Namun lawannya ternyata telah terlempar beberapa langkah. De"ngan kerasnya ia terbanting di tanah. Kakinya serasa patah dan tulang-tulangnya bagaikan mencuat kedalam tubuhnya. Punggungnya yang membentur tanah yang keras seraya remuk pada sendi-sendinya.
Terdengar orang itu mengaduh kesakitan. Ketika ia berusaha untuk bangkit berdiri, maka tiba-tiba ia telah terjatuh kembah. Bahkan rasa-rasanya duniapun telah men"jadi gelap. Seorang diantara kawan-kawannya bergegas mendekatinya. Yang lain mencoba melindunginya. Ketika kawan"nya yang menolongnya itu berjongkok dan mengamatinya, maka ternyata orang itu telah pingsan.
Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Tetapi dadanya menjadi berdebaran. Hampir diluar sadarnya ia berdesis, "Apakah ia mati?"
Tidak ada jawaban. Namun seorang telah menyerangnya dengan garangnya pula.
Tetapi sebelum serangan itu menyentuhnya, seorang prajurit dari pasukan berkuda telah memotong serangan itu dengan pedang terjulur, sehingga orang itu telah menggeliat dan berputar menghadapi prajurit itu.
"Kau mempunyai kemungkinan lebih baik melawanku daripada melawannya." berkata prajurit berkuda itu.
"Persetan." geram lawannya.
Glagah Putih masih termangu-mangu, sementara pertempuran dihalaman itu masih berlangsung dengan sengit.
Tetapi sebenarnyalah bahwa prajurit Mataram memang telah mulai menguasai keadaan, Di beberapa bagian dari pertempuran itu satu dua orang yang semula berada di rumah Kiai Sasak itu telah melepaskan senjatanya, sedangkan yang lain terbaring diam dengan luka menganga ditubuhnya.
Disudut yang lain, Agung Sedayu masih bertempur melawan orang yang memegang pimpinan di lingkungan halaman rumah Kiai Sasak itu. Orang yang semula dipersiapkan untuk menguasai Kiai Sasak apabila orang itu tiba-tiba menjadi liar.
Ternyata bahwa orang itu itu memang berilmu tinggi. Orang itu mampu bergerak sangat cepat serta kekuatannyapun bagaikan berlipat dengan kekuatan orang kebanyakan.
Namun agaknya orang itu sempat melihat, bagaimana kepercayaannya telah jatuh ditangan seorang anak yang masih muda sekali, justru dalam pertempuran tanpa senjata. Orang itu tidak mau melakukan kesalahan yang sama dengan pengikutnya yang terpercaya itu. Karena itu, ketika ternyata lawannya mampu mengimbangi kecepatannya ber"gerak dan kekuatannya, maka iapun telah mencabut pedangnya.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia dapat mempergunakan beberapa unsur dari ilmunya untuk mela"wan pedang itu. Ia dapat melindungi dirinya dengan ilmu kebalnya. Atau ia dapat menyerang orang itu dengan sorot matanya dari jarak diluar jangkauan orang itu.
Tetapi Agung Sedayu tidak melakukannya. Ketika pedang lawannya itu terayun. Agung Sedayu telah mengelak sambil menarik pisau belati yang terselip dilambungnya. Pisau belati yang telah dipungutnya di depan regol halaman rumah Kiai Sasak, yang ternyata adalah pisau belati lawannya itu sendiri yang telah dilemparkan kepada Kiai Sasak dan memecahkan dinding halaman rumah didepan Kiai Sasak itu.
Lawan Agung Sedayu itu termangu-mangu. Namun sebelum ia bertanya Agung Sedayu telah berkata, "Apakah pisau belati ini milikmu?"
"Ya." geram orang itu, "tetapi pisau itu tidak lebih baik dari parang pembelah kayu. Karena itu, aku telah melemparkannya. Aku sama sekali tidak memerlukannya. Tetapi pedang ini adalah pedang pusaka yang tidak ada duanya didunia ini."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ketika ia sem"pat memperhatikan pedang itu, maka hatinya memang menjadi berdebar-debar. Pedang itu sama sekali tidak mengkilap dan memantulkan panasnya cahaya matahari. Tetapi pedang itu berwarna kehitam-hitaman. Ditengahnya bagaikan merambah satu bentuk yang mendebarkan. Seper"ti sebatang pohon yang bercabang-cabang dan beranting-ranting kecil.
"Pamor apakah yang membuat pedang itu bagaikan menyala?" bertanya Agung Sedayu didalam hatinya.
Sebenarnyalah ketika pedang itu digerakkan, maka se-akan-akan daunnya menjadi bagaikan membara. Antara nampak dan tidak, warna kemerahan menyala pada jalur-jalur pamor pedang yang mendebarkan itu.
Orang yang menggenggam pedang itupun kemudian tersenyum. Katanya, "Aku tahu bahwa kau adalah seorang yang berilmu tinggi. Namun justru karena itu kau tentu mengenali watak pedangku ini. Bukan saja terbuat dari besi baja pilihan dengan pamor Riris yang tidak ada duanya. Barangkali kau belum pernah mendengar pada keris, tombak ataupun luwuk yang mempunyai pamor Riris. Nah, lihatlah dengan sungguh-sungguh ujud dari pamor Riris yang mengandung kekuatan api.
Selebihnya warangan yang kuat telah diusapkan pada saat-saat memandikan pedang ini,
sehingga setiap goresan betapapun kecilnya, akan dapat
membunuhmu dalam waktu yang singkat. "
Agung Sedayu sempat mengangguk-angguk. Tetapi bisa
yang terdapat pada warangan di pedang itu tidak
menggetarkan jantungnya, karena Agung Sedayu menyadari,
bahwa tidak ada jenis bisa yang akan membunuhnya. Bisa
ular bandotan yang paling tajampun tidak akan dapat
membekukan darahnya. Bahkan seandainya seekor ular
Gundala dilangit turun sekalipun.
Namun Agung Sedayu sempat mengagumi ketika ia


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat pedang itu digerakkan. Seakan-akan telah
meninggalkan bayangan helai-helai pedang yang berwarna
kemerahan. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat lebih lama
memperhatikannya, karena lawannyapun kemudian mulai
memutar pedangnya itu. Ujungnya mulai diarahkan ke dada
Agung Sedayu yang bersiap-siap menanti serangan lawannya
dengan pisau belati ditangannya. Pisau belati milik lawannya
itu sendiri. Pisau belati itu memang bukan pisau belati yang
mempunyai kelebihan. Meskipun pisau belati itu cukup baik,
bukan saja buatannya, tetapi juga bahannya, namun tidak ada
pamor yang terpahat pada daunnya. Tidak pula dimandikan
dengan warangan disetiap permulaan tahun, dan tidak pula
memancarkan cahaya kemerah-merahan. Namun di tangan
Agung Sedayu pisau itu telah berubah menjadi pisau belati
yang sangat berbahaya. Demikianlah, maka sejenak kemudian, keduanya telah
terlihat dalam pertempuran senjata yang mendebarkan. Orang
yang dikirim untuk mengimbangi Kiai Sasak itu memang
mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Ilmu
pedangnyapun telah mencapai tataran yang mengagumkan
pula. Apalagi ia memiliki senjata yang lebih
baik dari senjata lawannya.
Namun ketika kedua senjata itu mulai bersentuhan, orang
itu memang terkejut. Ia merasakan betapa kuatnya hentakan
pisau belati yang berada ditangan lawannya itu.
Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya
semakin lama menjadi semakin sengit. Keduanya berloncatan
dengan cepat dan berputaran sambil menggerakkan senjata
masing-masing. Beberapa orang yang menyaksikan pertempuran itu
menjadi berdebar-debar, karena pedang lawan Agung Sedayu
itupun seakan-akan telah berubah menjadi berpuluh-puluh
pedang yang membara. Dalam pada itu, pertempuran di halaman itupun telah
menjadi semakin susut. Di beberapa tempat, beberapa orang
masih bertahan. Namun ditempat lain, diantara mereka yang
berada di rumah Kiai Sasak itu telah menyerah.
Glagah Putih sendiri telah memaksa seorang lagi untuk
menyerah disamping orang yang pingsan itu.
Namun ketika Glagah Putih sempat melihat pedang lawan
Agung Sedayu itu menjadi berdebar-debar pula. Kepada
prajurit Mataram yang ada di sebelahnya ia menyerahkan
pengamatan orang yang pingsan itu.
" Berhati-hatilah " berkata Glagah Putih " jika ia mulai sadar,
jangan menungguinya sendiri. Orang itu berilmu tinggi. "
Prajurit itu mengangguk. Tetapi agaknya ia masih belum
memerlukan kawan, karena orang itu masih saja pingsan. Dua
orang kawannya yang telah menyerah telah mencoba untuk
membangunkannya. Atas ijin dan dikawal oleh seorang prajurit
Mataram, kawan orang yang pingsan itu telah mengambil air
yang kemudian setitik demi setitik diteteskan pada bibir orang
yang pingsan itu. Sementara itu Glagah Putih telah melangkah mendekati
arena pertempuran antara Agung Sedayu dan lawannya.
Bahkan kemudian Panglima pasukan berkuda, yang
menganggap bahwa tugasnya untuk menangkap orang-orang
yang berada di dalam rumah Kiai Sasak itu telah selesai
sebagian besar, maka iapun telah bergerak mendekati arena
yang tersisa. Terutama pertempuran antara Agung Sedayu
dan lawannya yang datang khusus untuk menghadapi Kiai
Sasak jika ia memberontak. Tetapi yang ternyata kemudian
telah berhadapan dengan seorang yang bernama Agung
Sedayu. Namun beberapa saat kemudian, orang itu mengumpatumpat
kasar. Ternyata pedangnya yang tidak ada duanya itu,
tidak dapat dengan cepat mengakhiri perlawanan Agung
Sedayu yang hanya membawa sebuah pisau belati yang agak
panjang. Namun yang menurut ujud kewadagan-nya tidak
seimbang dengan pedang pusakanya.
Ketika pedangnya yang pilihan itu pada satu kali
diayunkannya kuat-kuat mengarah ke leher Agung Sedayu, ia
sudah mengira bahwa pertempuran akan berakhir. Agung
Sedayu yang baru saja memutar tubuhnya menghindari
serangan sebelumnya itu, agaknya sudah tidak sempat
menghindar lagi. Karena itu, maka Agung Sedayu harus
menangkis pedang pusaka yang tidak ada duanya itu dengan
sebuah pisau belati. Lawannya menjadi pasti, bahwa pisau belati yang jauh
lebih kecil itu akan tidak mampu menahan arus ayunan
pedangnya betapa kuat tangan yang memeganginya. Apalagi
pedangnya itu bukan pedang kebanyakan. Bahkan
seandainya pedangnya itu hanya mampu menggores kecil,
seujung rambut sekalipun, maka goresan kecil itu sudah akan
dapat membunuh dengan cepat.
Tetapi ternyata dugaan orang itu keliru. Ketika pedangnya
itu membentur pisau belati di tangan Agung Sedayu, maka
rasa-rasanya pedangnya telah menghantam bukit baja. Bunga
api telah memercik dari benturan itu,
sementara tangan lawan Agung Sedayu itu justru terasa
pedih. Untunglah bahwa orang itu masih mampu
mempertahankan pedangnya sehingga tidak terlepas.
Namun dengan demikian, orang yang menjadi terkejut itu
telah meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil
jarak, seakan-akan ia ingin melihat apa yang sebenarnya telah
terjadi. Agung Sedayu tidak segera memburunya. Ia memang telah
dengan sengaja membentur kekuatan lawannya. Selagi
lawannya itu masih berusaha mengurai apa yang terjadi, maka
Agung Sedayupun kemudian berkata " Ki Sanak. Lihatlah apa
yang telah terjadi di halaman ini. Orang-orangmu telah
menyerah selain yang dengan menyesal telah terbunuh dalam
pertempuran ini. Sekarang, bagaimana dengan kau" Sudah
barang tentu kau tidak akan dapat bertempur sendiri melawan
kami, seluruh pasukan Mataram yang bertugas disini. "
Tetapi wajah orang itu justru menjadi merah membara.
Katanya " Kau telah menghina kami. Kami tidak akan pernah
menyerah apapun yang terjadi. Kami hanya akan menyerah
kepada maut. " " Ki Sanak " berkata Agung Sedayu pula " kenapa kau
ingkar pada kenyataan yang kau lihat. Lihatlah. Aku tidak akan
menyerang saat kau memperhatikan seisi halaman itu.
Bukankah orang-orangmu telah menyerah" Bagaimana
mungkin kau dapat mengingkari kenyataan didepan matamu
sendiri. " Orang itu menggeram. Katanya " Mereka adalah pe-ngecutpengecut
yang tidak mempunyai arti lagi bagiku. Apapun yang
mereka lakukan, aku tidak peduli. Tetapi aku bukan mereka
dan aku tidak akan menyerah. "
" Sungguh luar biasa " berkata Agung Sedayu " tetapi apa
artinya langkah yang kau ambil itu" Putus asa, atau
membunuh diri atau perbuatan lain yang sama penge-cutnya
dengan itu. Kenapa kau tidak berani dengan jantan
melihat dan mengakui kenyataan yang kau hadapi" "
" Itukah ujud kejantanan menurut orang-orang Mataram"
menyerah dengan alasan kenyataan dan .bertanggung jawab
atas perbuatannya. " geram orang itu " sekarang jangan
banyak bicara. Aku mempunyai nilai sendiri tentang
kejantanan. Aku akan bertempur sampai mati. "
" Luar biasa " berkata Agung Sedayu " satu ujud kesetiaan
tanpa batas. Daripada kau harus memberikan keterangan
tentang kenyataanmu, maka kau telah memilih membunuh diri
dengan kedok sikap seorang kesatria. "
" Cukup " orang itu berteriak " aku tidak bertugas untuk
menentukan nilai kejantanan seseorang. Katakan apa saja
menurut kepentinganmu. Aku tidak perlu. Sekarang kau harus
mati. Apakah kau akan mati sebagai kesatria atau sebagai
seorang pengecut, akupun tidak peduli. Kita masing-masing
mempunyai kepentingan dengan penilaian itu. " orang itu
berhenti sejenak, lalu " nah, jika kau takut bertempur seorang
diri, maka majulah bersama-sama. Goresan-goresan
pedangku akan membunuh sekalian banyak orang-orang
Mataram yang pengecut. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
melangkah maju sambil menggeleng. Katanya " Tidak. Aku
tidak akan bertempur bersama siapapun. Kita akan melihat,
siapakah diantara kita yang memiliki kemampuan lebih baik. "
" Bagus " orang itu masih berteriak " Kaupun ternyata ingin
disebut seorang laki-laki. Jika demikian, matilah sebagai lakilaki
sejati. " " Bukankah kita sepakat, bahwa kita tidak peduli sebagai
apapun kita akan mati" " sahut Agung Sedayu.
Wajah orang itu menjadi tegang. Agaknya ia masih akan
berbicara. Namun tiba-tiba saja ia telah mengerahkan
segenap kekuatan dan kemampuannya, sehingga ia mampu
bergerak dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti dengan
pandangan mata kewadagan. Pedangnya telah terjulur lurus
kepada Agung Sedayu yang nampaknya tidak menduga
bahwa hal itu akan terjadi.
Namun Agung Sedayu yang ilmunya sudah mapan itu,
tidak membiarkan dadanya dikenai pedang lawannya,
meskipun ia sudah mensiagakan ilmu kebalnya. Karena itu,
maka iapun telah menangkis serangan yang datang bagaikan
petir menyambar di udara itu.
Sekali lagi terjadi benturan. Serangan itu demikian
cepatnya sehingga ternyata bahwa Agung Sedayu tidak
sepenuhnya dapat menggeser arah serangan itu.
Namun Agung Sedayu yang siap untuk memulai lagi
dengan pertempuran itu telah tertegun. Lawannya ternyata
telah meloncat mengambil jarak. Terdengar orang itu tertawa
berkepanjangan. Disela-sela suara tertawanya ia berkata " Ki
Sanak yang perkasa. Kau tidak usah membanggakan ilmumu
lagi. Sebentar lagi kau akan mati. Aku merasakan pada
telapak tanganku, bahwa pedangku yang meskipun tidak
menghunjam ke jantungmu, disamping benturan yang keras,
agaknya satu goresan telah melukaimu. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
berkata " Kau salah Ki Sanak. Senjatamu sama sekali tidak
menyentuh aku. Dalam benturan yang keras, kau agaknya
telah kehilangan pengamatan atas indera perasaanmu. "
" Persetan " geram orang itu. Namun ia memang tidak
melihat luka dilengan Agung Sedayu.
Dengan demikian maka iapun telah meloncat menyerang
dengan garangnya. Segenap kemampuannya telah
dikerahkan untuk dapat sekedar menyentuh tubuh Agung
Sedayu dan melukai kulitnya.
Sebenarnyalah bahwa pedangnya yang pilihan, kemarahan
yang bergejolak didalam dada, dilambari dengan ilmunya yang
mampu mendorong setiap gerak dan langkahnya
menjadi sangat tangkas, cekatan dan cepat, telah
membuat perlawanan Agung Sedayu menjadi agak sibuk.
Namun Agung Sedayu sendiri memang tidak merasa
tergesa-gesa. Pertempuran diseluruh halaman itu sudah dapat
disebut berakhir. Orang yang tersisa telah menyerah.
Namun ternyata pedang ditangan orang itu benar-benar
pedang yang jarang ada duanya. Pedang itu seakan-akan
mempunyai mata pada ujungnya serta mampu bergerak
menuntun gerak tangan pemiliknya.
Dengan demikian, maka ujung pedang itupun telah mampu
menembus pertahanan Agung Sedayu yang hanya
mempergunakan sebilah pisau belati yang terlalu pendek
dibanding dengan pedang pusaka itu.
Agung Sedayu sendiri tidak terkejut ketika ujung pedang itu
menyentuh tubuhnya. Untuk meyakinkan bahwa ujung pedang
itu tidak akan menembus pertahanan ilmu kebalnya, maka
Agung Sedayu telah bergeser surut. Namun ujung pedang itu
benar-benar mengenainya. Sekali lagi lawannya meloncat mengambil jarak. Sekali lagi
orang itu tertawa berkepanjangan. Katanya " Kau tidak akan
dapat ingkar dari kenyataan itu Ki Sanak. Ujung pedangku
telah menembus lambungmu. Luka itu agaknya memang tidak
terlalu dalam karena kau sempat bergeser surut. Tetapi luka
yang kecil itu akan membunuhmu sebentar lagi. "
Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak menunjukkan
kecemasannya. Ia berdiri saja tegak sambil menggenggam
pisau belatinya. " He, kau akan mati. Kau dengar " orang itu berteriak ketika
ia melihat Agung Sedayu sama sekali tidak memberikan kesan
bahwa ia mencemaskan keadaan dirinya.
" Ki Sanak " berkata Agung Sedayu kemudian " sayang
bahwa pedangmu terlalu tumpul. Warangan di daun
pedangmu tidak akan dapat berpengaruh atas lawanmu jika
kau tidak melukainya. " -
Wajah orang itu menjadi tegang. Ia yakin bahwa ia telah
mengenai tubuh lawannya. Telapak tangannya merasakan
sentuhan itu. Tetapi ia memang telah melihat luka pada tubuh
lawannya itu. " Ilmu iblis manakah yang kau miliki" " geram orang
itu. " Bukan ilmu iblis " jawab Agung Sedayu " karena itu
menyerahlah. Kau tidak mempunyai pilihan Ki Sanak. "
" Jangan menghina aku begitu " geram orang itu " kita akan
bertempur sampai salah seorang diantara kita mati. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Orang itu
memang terlalu keras hati.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja mereka dikejutkan
oleh suara seseorang " Ki Sanak. Minggirlah. Orang itu
berkepentingan dengan aku. Apalagi pedangnya sangat
berbahaya. Ketika Agung Sedayu berpaling, dilihatnya Kiai Sasak
berdiri beberapa langkah dibelakangnya. Ia baru saja
memasuki halaman itu lewat dinding yang telah dipecahkan
oleh Agung Sedayu. " Kau Kiai Sasak " geram orang yang memiliki pedang yang
jarang ada bandingannya itu.
" Bukankah kau dikirim untuk membayangi aku" " bertanya
Kiai Sasak. " Ya " jawab orang itu.
" Bagus. Jika demikian, kau harus melawan aku. Kau tidak


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

boleh berhadapan dengan siapapun, apalagi dengan pedang
pusakamu itu " berkata Kiai Sasak.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Karena Agung
Sedayu tidak memperlihatkan kelebihannya, maka Kiai Sasak
agaknya kurang yakin bahwa Agung Sedayu itu akan dapat
memenangkan pertempuran itu.
Tetapi sudah barang tentu bahwa Glagah Putih tidak dapat
berteriak memuji Agung Sedayu, bahwa ia tentu akan menang
melawan orang itu meskipun bersenjata petir sekalipun.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu berkata " Sudahlah
Kiai. Seperti yang aku katakan, lindungi anak dan isteri Kiai.
Aku, petugas yang ditunjuk oleh Panembahan Senapati,
biarlah menyelesaikan orang-orang itu. "
" Tetapi yang seorang ini lain bagiku. Ia mempunyai
beberapa kepentingan untuk datang kemari. Apalagi karena ia
memang ditugaskan untuk melawan aku. Aku tidak akan
mengecewakannya. Apapun yang akan terjadi " geram Kiai
Sasak. Agung Sedayu termangu-mangu. Sementara itu Kiai Sasak
berkata " Tunggulah sebentar. "
Kiai Sasak tidak menunggu jawaban. Tetapi iapun segera
melangkah menuju kependapa rumahnya.
Namun Kiai Sasak tidak berhenti di pendapa. Ia langsung
melintasi pringgitan dan masuk kedalam rumahnya.
" Apa yang akan dilakukan setan itu " geram orang yang
berpedang pusaka. Agung Sedayu menggeleng. Katanya " Aku tidak tahu.
Tetapi apakah kau menerima tantangannya" "
" Sudah aku katakan. Siapapun yang akan melawan aku,
akan aku binasakan. Aku lebih senang jika kau berdua
bersama Kiai Sasak bertempur melawan aku. Dengan
demikian maka aku akan cepat selesai " Orang itu hampir
berteriak. Agung Sedayu tidak menjawab. Ketika ia melihat Kiai
Sasak keluar dari ruang dalam, maka dipunggungnya terselip
sebuah keris yang besar dan panjang. Keris yang
khusus karena ukurannya yang jauh lebih besar dari keris
kebanyakan. " O " desis orang yang memang dikirim untuk
membayanginya " Kau mengambil senjatamu. "
Kiai Sasak tidak menjawab. Demikian ia berdiri diha-dapan
orang itu, maka iapun telah mencabut kerisnya lewat diatas
pundaknya. Mengangkat keris itu diatas kepalanya sambil
berkata " Pusaka ini akan dapat mengimbangi pedangmu yang
menggirisi itu. " Orang-orang yang menyaksikan keris itu termangumangu.
Pamornya tidak memancarkan bara yang merah, tetapi
justru seakan-akan menyala kehijau-hijauan.
Orang yang dikirim untuk membayangi Kiai Sasak itu
termangu-mangu. Ia memang seorang yang memiliki
pengetahuan tentang pusaka. Karena itu, maka iapun segera
mengetahui bahwa pusaka Kiai Sasak itupun merupakan
pusaka yang nilainya tidak kalah dari pedangnya.
" Aku sembunyikan senjataku ini, sehingga orang-orang
tidak menemukannya " berkata Kiai Sasak sambil
menggerakkan kerisnya. Lawan Agung Sedayu yang termangu-mangu itu bagaikan
terbangun dari lamunannya. Iapun segera membentak "
Cepat. Kita akan membuat perhitungan. "
Kiai Sasak menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Memang
tidak ada orang lain yang lebih berhak menghadapimu
daripada aku. " Agung Sedayu itupun tidak mungkin lagi dapat mencegah
Kiai Sasak. Ternyata orang itupun memiliki harga diri yang
tinggi, sehingga ia merasa wajib untuk menghadapi orang
yang memang dipersiapkan menjadi lawannya itu.
Demikianlah, maka Agung Sedayupun kemudian telah
bergeser menjauhi lawannya, sementara Kiai Sasak telah
memasuki arena. " Hati-hatilah kakang " terdengar suara seorang
perempuan. Agung Sedayupun kemudian melihat isteri dan anak Kiai
Sasak itu berdiri termangu-mangu. Disebelah-menye-belahnya
dua orang prajurit Mataram berjaga-jaga melindungi mereka.
" Isteri dan anaknya telah dititipkan kepada prajurit-prajurit
itu " berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Demikianlah, sejenak kemudian kedua orang itu telah
memulai menggerakkan senjatanya. Kedua senjata itu benarbenar
mendebarkan. Jika senjata orang yang memang
dipersiapkan untuk melawan Kiai Sasak itu bagaikan
membara, serta setiap gerakannya, seakan-akan
meninggalkan beberapa lembar bayangan daun pedang,
maka keris Kiai Sasakpun seakan-akan telah menyala.
Cahaya yang berwarna kehijau-hijauan kadang-kadang seperti
bersinar menyilaukan. Namun kemudian telah hilang dengan
sendirinya. Tetapi beberapa saat kemudian cahaya itu telah
datang lagi hinggap di daun keris yang besar itu.
Beberapa saat kemudian, maka keduanya telah mulai
saling menyerang. Senjata mereka bergerak berputaran.
Sekali menyambar, kemudian terayun mendatar dan mematuk
mengerikan. Agung Sedayu, Glagah Putih, Panglima pasukan berkuda
dan mereka yang menyaksikan pertempuran itu menjadi
berdebar-debar. Kiai Sasak sendiri tentu tidak mau dicampuri
persoalannya, sebagaimana sikap dan harga dirinya.
Sehingga karena itu, maka yang lainpun hanya dapat
menunggui pertempuran yang semakin lama menjadi semakin
sengit itu. Sebagaimana lawannya, maka ternyata Kiai Sasak mampu
mengimbangi gerak serta ketangkasannya. Meskipun Kiai
Sasak nampak lebih tua, tetapi tenaga dan kemampuannya
sama sekali tidak meragukan.
Sekali-sekali kedua senjata yang jarang ada bandingnya itu
telah berbenturan. Bunga api telah bertaburan melontarkan
warna-warna kemerah-merahan dan kehijau-hijaukan.
Kedua orang yang sedang bertempur itu sadar, bahwa
kedua senjata itu tentu dimandikan dan diusap dengan
warangan yang berbisa tajam, sehingga setiap getaran akan
dapat membunuh jika tidak dengan cepat mendapat
pengobatan yang mujarab. Karena itu, maka keduanya menjadi sangat berhati-hati.
Mereka berusaha agar ujung-ujung senjata tidak menyentuh
kulit mereka. Dengan demikian, maka pertempuran itu menjadi semakin
seru. Namun kadang-kadang pertempuran itu menjadi lamban
oleh sikap hati-hati mereka.
Tetapi gejolak didalam dada kedua orang itu kadangkadang
telah mendorong mereka untuk mengerahkan
segenap kemampuan dan ilmu mereka sehingga keduanya
bergerak semakin cepat. Namun bila perhitungan mereka
mulai ikut berbicara, maka mereka menjadi lebih berhati-hati.
Agung Sedayu, Glagah Putih dan orang-orang yang
menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Isteri
dan anak perempuan Kiai Sasak itupun menjadi gelisah pula
menyaksikan pertempuran yang kadang-kadang
membingungkan mereka. Ketika pertempuran itu berlangsung lebih lama lagi, maka
Agung Sedayu dan mereka yang berilmu di halaman itu,
segera mengetahui bahwa keduanya memang memiliki
tataran yang seimbang. Namun bahwa Kiai Sasak masih
mempunyai tenaga yang utuh, ternyata mempunyai pengaruh
juga. Lawannya yang sebelumnya telah memeras tenaga,
kemampuan dan ilmunya melawan Agung Sedayu, agaknya
mulai menyadari, bahwa tenaganya justru mulai susut pada
saat Kiai Sasak mulai berkeringat.
Karena itu, maka lawan Kiai Sasak itu harus membuat
perhitungan yang mapan untuk mengatasinya.
Namun sebelum orang itu menemukan cara yang terbaik,
agaknya Kiai Sasak telah melihat keadaan itu. Dalam
benturan-benturan yang terjadi, maka terasa bahwa tenaga
lawannya mulai berkurang meskipun sangat perlahan-lahan.
Dalam keadaan yang demikian, maka Kiai Sasak justru
mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Ia telah
membuat perhitungan sebaik-baiknya atas lawannya. Bagi
Kiai Sasak ada dua kemungkinan yang dapat ditempuh. Ia
justru berusaha membuat pertempuran itu menjadi semakin
lama dengan loncatan-loncatan panjang, sehingga pada
saatnya lawannya itu benar-benar kehabisan tenaga, atau
justru ia harus mengerahkan segenap kemampuannya, untuk
dengan cepat menguras tenaga lawannya.
Mula-mula Kiai Sasak memang menempuh pilihan yang
pertama. Ia berusaha memaksa lawannya untuk bertempur
dengan gerak yang lebih lamban tetapi mempergunakan
arena yang lebih luas. Namun lawannya bukannya orang yang
tidak mampu berpikir dan menilai rencananya. Lawannya
sama sekali tidak berpengaruh oleh geraknya yang panjang
dan loncatan-loncatannya yang jauh.
Karena itu, maka lawan Kiai Sasak itu berusaha untuk tidak
terseret ke dalam pertempuran pada jarak yang luas. Ia tidak
dengan serta merta memburu lawannya jika lawannya
meloncat menjauh. Tetapi ia justru bagaikan lebih mari-tap
tegak diatas bumi yang diinjaknya. Hanya sekali-sekali saja ia
bergerak, berputar jika Kiai Sasak berloncatan,
mengelilinginya. Kiai Sasak akhirnya menyadari bahwa lawannya justru
mulai mengekang diri. Karena itu, maka ia memang tidak
mempunyai pilihan lain. Ia harus memaksa lawannya untuk
bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan dan
kekuatan serta tenaga yang ada. Ia harus memeras sisa-sisa
tenaga yang ada pada lawannya itu, sehingga ia benar-benar
menjadi kelelahan. Demikianlah, maka irama pertempuran itupun tiba-tiba telah
berubah. Kiai Sasak telah bertempur pada jarak yang lebih
pendek. Namun ia telah mengerahkan segenap kemampuan
ilmunya untuk memeras tenaga lawannya yang masih ada.
Lawannya mengumpat kasar. Namun pedangnya yang
berwarna bara itu berputar lebih cepat. Bayangan helai-helai
dalam pedang itu bagaikan telah menebar melingkari
tubuhnya, bagaikan perisai yang melindunginya.
Tetapi keris Kiai Sasak yang kadang-kadang berkilat
menyilaukan itu sekali-sekali menembus pertahanan
lawannya, sehingga setiap kali hampir saja kulit lawannya itu
tergores. Meskipun goresan itu hanya seujung rambut, namun
goresan itu akan dapat membunuhnya, sebagaimana goresan
pedangnya. Namun ternyata bahwa Kiai Sasak mulai melihat hasil dari
usahanya itu. Lawannya menjadi semakin letih, meskipun ia
sendiri mulai menjadi cemas, bahwa kekuatan tenaganyapun
akan segera menurun setelah memeras kemampuannya
hampir melampaui takaran kemampuan wadagnya.
Agung Sedayu, Glagah Putih dan para prajurit Mataram
menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang
berdebaran. Sementara itu beberapa orang yang lain telah
menyelesaikan tugas mereka. Mengatur para tawanan dan
mengumpulkan korban yang telah jatuh.
Ternyata bahwa pertempuran yang terjadi di rumah Kiai
Sasak itu telah menggemparkan seluruh kota. Berita itu
dengan cepat menjalar sehingga semua orang di kota
Mataram telah mendengarnya. Sebagian dari penduduk di
padukuhan-padukuhan di dalam kota Mataram menjadi
cemas. Mereka telah bersiap-siap mengumpulkan barangbarang
mereka yang berharga, sehingga jika setiap saat
mereka memang harus pergi mengungsi, maka barang-barang
mereka yang berharga akan dapat mereka bawa.
Tetapi sebagian yang lain, justru berusaha untuk
mendapatkan keterangan lebih jauh. Bahkan ada diantara
mereka yang telah mencoba untuk melihat-lihat apa yang
telah terjadi. Namun dalam pada itu, jalan-jalan yang menuju ke arena
pertempuran itu telah ditutup. Sekelompok pasukan memang
telah mendapat perintah secara khusus pula untuk menjaga
jalan-jalan dan bahkan ketenangan kota Mataram, sedangkan
di barak-barak para prajurit yang lain berada dalam kesiagaan
tertinggi. Panembahan Senapati bersama Ki Mandaraka tidak hentihentinya
menerima laporan tentang perkembangan keadaan.
Bahkan keadaan yang terakhirpun telah diketahui pula oleh
keduanya. Seorang penghubung telah melaporkan bahwa Kiai
Sasak telah mengambil alih lawan Agung Sedayu. Namun
sementara itu, pertempuran dirumah Kiai Sasak itu telah
dianggap selesai. " Kenapa Agung Sedayu melepaskan lawannya" " bertanya
Panembahan Senapati. " Kiai Sasak tidak lagi dapat dicegah. Ia merasa bahwa
orang itu memang disiapkan untuk menjadi lawannya " jawab
penghubung itu. " Apakah Agung Sedayu memang sudah mencoba
mencegahnya" " bertanya Panembahan Senapati.
" Ampun Panembahan. Hamba melihat bagaimana Agung
Sedayu berusaha untuk meyakinkan Kiai Sasak, bahwa ia
bertugas untuk menangkap orang itu " jawab penghubung itu.
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun
kemudian katanya " Kembalilah. Sampaikan perintahku.
Agung Sedayu harus berusaha menangkap orang itu hiduphidup.
Aku tidak mau orang itu terbunuh dalam pertempuran.
Jika ia bertempur melawan Kiai Sasak, menilik laporanmu,
maka salah seorang diantara keduanya atau bahkan keduaduanya
dapat mati. Jika senjata mereka menggores lawan
yang mungkin kedua-duanya, maka mereka akan mati
semuanya. Padahal aku berkepentingan dengan keduaduanya.
" Bagaimana jika Kiai Sasak berkeberatan" " bertanya
penghubung itu. " Katakan, perintah Panembahan Senapati " jawab
Panembahan Senapati itu " Aku ingin mempertemukannya
dengan Singaluwih. "
Penghubung itupun kemudian mohon diri untuk kembali ke
rumah Kiai Sasak. Kudanya dipacu secepat mungkin. Jika
pertempuran itu telah berakhir, maka perintah itu tentu tidak
akan dapat dilaksanakannya.
Ketika kuda itu sampai didepan regol halaman rumah Kiai


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sasak yang masih dijaga oleh prajurit Mataram, penghubung
itu meloncat turun. Dengan tergesa-gesa ia berlari memasuki
regol. Namun langkahnya tertegun. Demikian ia berada di
halaman, maka yang dilihatnya adalah bagian terakhir dari
pertempuran itu. Ia masih melihat lawan Kiai Sasak itu
meloncat menikam. Namun Kiai Sasak sempat bergeser
kesamping. Demikian pedang lawannya itu bergetar disebelah
lambungnya, maka Kiai sasak telah mengayunkan
kerisnya mendatar. Lawannya memang menangkis serangan
itu, sehingga terjadi benturan yang keras. Namun keris itu
bagaikan menggeliat berputar dan terayun cepat.
Lawan Kiai Sasak meloncat menghindar. Namun ternyata
bahwa karena tenaganya yang telah susut, maka
gerakannyapun menjadi lebih lamban. Ujung keris Kiai Sasak
lebih cepat mendahului loncatannya.
Karena itu, maka ujung keris Kiai Sasak itu masih juga
menggores lambungnya. Mengoyak pakaiannya, namun juga
kulitnya. Lawan Kiai Sasak itu kemudian meloncat mengambil jarak.
Wajahnya menjadi merah oleh kemerahan yang menghentakhentak.
Ketika penghubung itu mendekatinya, semuanya itu telah
terjadi. Kulit lawan Kiai Sasak telah tergores keris yang dilapisi
dengan warangan yang sangat kuat.
Kiai Sasakpun kemudian berdiri termangu-mangu.
Dipandanginya lawannya yang menyadari apa yang telah
terjadi atas dirinya. Namun dengan demikian Kiai Sasakpun
menjadi lebih berhati-hati. Dalam keadaan putus asa, maka
lawannya itu akan dapat berbuat apa saja diluar dugaan.
Ternyata bukan hanya Kiai Sasak yang menjadi lebih
berhati-hati. Mereka yang berada di seputar arena itupun telah
bersiaga sepenuhnya. Mungkin mereka harus berbuat sesuatu
menghadapi orang yang menyadari akan datangnya kematian,
justru dalam keadaan yang sangat marah.
Sebenarnyalah, sebagaimana diduga oleh Kiai Sasak.
Orang itupun tiba-tiba saja menggeram dan berkata lantang "
Gila. Kau sudah melukai aku Sasak. Aku akan mati. Tetapi
aku tidak mau mati sendiri. "
Demikian mulutnya terkatub rapat, maka iapun segera
meloncat menyerang. Pedangnya terayun-ayun mengerikan.
Bahkan mulutnyapun ikut pula berteriak-teriak.
Kiai Sasak menjadi lebih banyak bertahan. Ia harus
menjaga dirinya untuk tidak mati bersama. Seperti kerisnya,
maka pedang lawannya itupun beracun tajam.
Namun karena tenaga lawannya telah jauh surut, maka Kiai
Sasak tidak terlalu banyak mengalami kesulitan. Seranganserangan
lawannya semakin lama menjadi semakin lemah.
" Sudahlah " berkata Agung Sedayu " kau terluka. Dan
lukamu bukan sekedar luka senjata. Tetapi kau telah terkena
racun. Karena itu, jangan terlalu banyak memaksa diri untuk
bergerak, agar racun didalam dirimu tidak cepat menjalar.
Biarlah kita mencoba untuk mengobatinya. "
Tetapi tanggapan orang itu sangat mengejutkan. Ia sama
sekali tidak mau mendengar kata-kata Agung Sedayu itu.
Apalagi mencoba melakukannya. Bahkan tiba-tiba saja ia
telah mengalihkan serangannya yang garang, dilambari
dengan segenap sisa tenaganya, kepada Agung Sedayu.
Pedangnya terayun dengan derasnya mengarah keleher. Jika
sasarannya lengah dan wadag sewantah, maka ayunan
pedang itu benar-benar akan dapat melepaskan kepala Agung
Sedayu itu dari tubuhnya.
Tetapi ternyata Agung Sedayu tidak lengah meskipun ia
agak terkejar karena ia sama sekali tidak menduga serangan
berikutnya memang ditujukan kepadanya.
Dengan pisau belati yang masih ada ditangannya Agung
Sedayu memang menangkis serangan itu. Tetapi setelah
benturan yang keras terjadi, orang itu telah mendapatkan
segenap tenaganya kembali oleh dorongan kemarahan yang
meluap didadanya. Sekali lagi Agung Sedayu terkejut. Orang yang kelelahan
itu ternyata masih mampu membuat gerakan yang demikian
cepatnya, yang seakan-akan tidak dapat diikuti oleh
pandangan mata wadag. Agung Sedayu tidak menangkis serangan itu. Tetapi ia
telah bergerak setapak mundur.
Namun orang itu seakan-akan telah memperhitungkannya.
Ia justru mendesak maju selangkah. Pedangnya yang
bagaikan menggeliat itu tiba-tiba telah mematuk dada Agung
Sedayu. Agaknya orang itu telah bergerak dengan dorongan
nalurinya sebagai seorang yang mempunyai ilmu pedang yang
tinggi. Meskipun ia tidak sempat lagi mempergunakan
nalarnya dengan bening, namun dalam keadaan yang gawat,
nalurinyalah yang bekerja dengan cepat dan justru
menentukan. Pedang itu memang bagaikan memburu. Agung Sedayu
terpaksa bergeser sekali lagi kesamping. Namun ia memang
agak terlambat. Ujung pedang itu telah mencabik bajunya dan
menggores kulitnya. Orang yang menyerangnya itu tiba-tiba meloncat menjauh.
Semua itu terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Pada saat
Kiai Sasak mengambil keputusan untuk mengambil alih sekali
lagi pertempuran itu, orang itu telah tertawa kepanjangan.
" Aku tidak akan mati sendiri. Kau orang yang telah
mengacaukan semua rencanaku disini, akan mati juga
bersamaku. " Orang itu berhenti sebentar, lalu " kulitmu telah
tersentuh ujung pedangku. Nah, marilah. Kita bersama-sama
mati. " Agung Sedayu meraba bajunya yang koyak. Namun tibatiba
saja ia berkata " Apakah kita tidak akan berusaha untuk
mengobatinya Ki Sanak" "
" Tidak ada gunanya. Tidak ada obat yang dapat
menghentikan racun warangan di pedangku. Agaknya juga
dikeris Kiai Sasak jahanam itu. Sebenarnya aku ingin
membunuhnya. Tetapi tubuhku terasa menjadi lemah. Karena
itu, marilah, kita mati bersama-sama. " berkata orang itu.
Agung Sedayu ternyata tidak membantah. Iapun kemudian
telah berlutut mendahului orang yang telah menggoreskan
pedangnya. Panglima pasukan berkuda terkejut melihat sikap Agung
Sedayu. Juga Kiai Sasak. Namun Glagah Putih sempat
memberikan isyarat, agar mereka tidak mencampurinya.
Orang-orang diseputar arena itu menjadi tegang. Ketika
mereka melihat lawan Agung Sedayu itu juga berlutut, mereka
menjadi semakin berdebar-debar.
Namun orang itu memang tidak dapat berbuat lain.
Sebenarnya niatnya membunuh Kiai Sasak tidak mereda
didalam jantungnya. Tetapi racun yang ada didalam dirinya
telah merambat lewat urat darahnya. Semakin banyak ia
bergerak, maka racun itu menjadi semakin cepat bekerja.
Sehingga dengan demikian maka tubuh orang itu telah menjadi
gemetar. Tetapi orang itu masih juga menggeram " Jika aku boleh
memilih, maka untuk kawan keneraka, aku memilih Sasak.
Tetapi jika itu gagal, maka kaupun cukup memadai. Agaknya
kaulah yang telah mengacaukan semua tugas yang kami
lakukan disini. Agaknya kau pulalah yang telah berusaha
membebaskan isteri dan anak Sasak yang gila itu. "
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebagai murid
Kiai Gringsing yang memiliki pengetahuan tentang
pengobatan, maka serba sedikit Agung Sedayupun mulai
mempelajarinya. Apalagi pengetahuan tentang pengobatan itu
terdapat pula dikitab Kiai Gringsing yang pernah dibacanya.
Karena itu, maka tiba-tiba saja iapun berkata " Ki Sanak.
Marilah. Kita mencoba mengobati racun yang ada didalam diri
kita. " " Tidak ada gunanya " geram orang itu.
" Kita belum mencoba " berkata Agung Sedayu. Orang itu
termangu-mangu ketika Agung Sedayu
mengambil obat dari sebuah bumbung kecil di kantung ikat
pinggangnya. Diambil sebutir reramuan obat pemuntah racun.
" Makanlah " berkata Agung Sedayu.
" Tidak ada gunanya " orang itu membantah.
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi iapun telah berpurapura
menelan obat itu. Semua orang mengira bahwa Agung
Sedayu telah melontarkan sebutir reramuan obat itu kedalam
mulutnya. " Glagah Putih " berkata Agung Sedayu " ambil air. "
Glagah Putih tidak menjawab. Iapun kemudian berlari ke
sumur disamping rumah itu. Namun ternyata Glagah Putih
masih harus mencari dapur rumah itu untuk mendapatkan
sebuah mangkuk. Sambil menunggu Glagah Putih, Agung Sedayu berkata
kepada orang yang terluka itu " Makanlah. Mudah-mudahan
obat ini ada artinya. Kecuali itu jangan bergerak. Pusatkan
daya tahan yang ada dalam dirimu untuk menahan arus bisa
itu keseluruh tubuhmu. Jika bisa itu mencapai jantungnya,
maka jantungmu memang akan berhenti berdenyut. "
Orang itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja Agung
Sedayupun telah bangkit berdiri. Katanya " Kau lihat, racun itu
tidak lagi merambat semakin dalam ditu-buhku. Bahkan terasa
racun itu terdorong kembali ke luka dikulitku. "
Apalagi ketika kemudian Agung Sedayu itu minum seteguk.
Katanya " Tubuhku menjadi segar. Aku akan sembuh. "
Orang itu masih tetap termangu-mangu. Namun dengan
hati-hati Agung Sedayu, melangkah mendekat sambil
mengulurkan sebutir obat. Perhatiannya tidak luput dari
pedang yang terletak ditanah, namun yang mutunya masih
tetap dalam genggaman tangan yang menjadi semakin lemah
itu. " Telanlah obat ini. Kemudian minumlah " minta Agung
Sedayu yang sudah kelihatan menjadi segar.
Orang itu ragu-ragu. Dipandanginya Agung Sedayu dan
Kiai Sasak berganti-ganti. Dengan nada rendah ia bertanya "
Apakah kau yakin bahwa akupun akan sembuh" "
" Jangan membuang waktu. Sebelum racun itu mencapai
jantungmu " berkata Agung Sedayu.
Dalam pada itu penghubung yang mendapat perintah dari
Panembahan Senapatipun menjadi berdebar-debar. Ia
mengharap agar orang itu mau menelan obat sebagaimana
dilakukan oleh Agung Sedayu. Jika orang itu sembuh dari
cengkaman racun didalam tubuhnya, maka perintah
Panembahan Senapati itu dapat diwujudkannya.
Namun orang itu tiba-tiba saja menggeram " Berikan
penangkal racun itu. Jika aku sembuh, akan aku bunuh Sasak.
" Agung Sedayu menggeleng. Katanya " Kiai Sasak juga
akan mempunyai obat seperti ini. Jadi tidak ada gunanya
kalian saling membunuh. Kita dapat menyelesaikan semua
persoalan tanpa saling membunuh."
Namun orang itu justru menjadi,ragu-ragu. Selagi orang itu
ragu-ragu, maka penghubung itu telah mendesak maju
menyibak beberapa orang yang mengelilingi orang yang
menjadi semakin lemah itu. Dengan gagap ia berkata " Agung
Sedayu. Biarlah orang itu menelan obat itu. Usahakan agar ia
dapat mengatasi racun didalam tubuhnya. Panembahan
Senapati memerintahkan agar orang itu dapat ditangkap
hidup-hidup. " Agung Sedayu terkejut mendengarnya. Ia justru menjadi
sangat cemas. Namun Agung Sedayu terlambat mengambil langkah.
Orang yang sudah menjadi semakin lemah itu tiba-tiba
berteriak " Aku tidak mau ditangkap Panembahan Senapati
hidup-hidup. Aku tidak mau disembuhkan hanya untuk diperas
sampai darahku kering dan akhirnya aku akan digantung juga
di alun-alun. Jika perintah Panembahan Senapati itu
menangkap aku hidup-hidup, maka aku sekarang akan mati.
" Ki Sanak " panggil Agung Sedayu " dengarkan aku. "
Orang itu tidak menghiraukan lagi. Tetapi iapun kemudian
menundukkan kepalanya dan mengatupkan bibirnya rapatrapat.
Agung Sedayu tidak dapat berbuat sesuatu. Ternyata orang
itu telah mengerahkan sisa tenaganya untuk meremas
gumpalan-gumpalan tanah yang dicakupnya dengan jarijarinya
yang lemah. Dengan demikian maka racun didalam
tubuhnya itupun memang bekerja lebih cepat, disaat-saat ia
menghentakkan jari-jarinya. Jantungnya berdegup keras.
Namun kemudian menjadi semakin lama semakin lemah,
sehingga akhirnya orang itu tidak dapat lagi bertahan untuk
tetap duduk bersimpuh ditanah.
Ketika perlahan-lahan orang itu terjatuh, Agung Sedayu
cepat menangkapnya dan menahannya untuk tetap duduk.
" Cepat, telan obat ini " berkata Agung Sedayu. Namun
Agung Sedayu sendiri sudah mulai ragu-ragu, apakah obatnya
akan dapat mencegah kematian orang itu. Mungkin obat itu
sudah jauh terlambat. Namun agaknya Agung Sedayu masih
akan mencobanya. Tetapi orang itu menggeleng. Tubuhnya yang sangat lemah
itupun sama sekali tidak lagi mampu menahan kepalanya
sehingga kepalanyapun kemudian terkulai di-tangan Agung
Sedayu. " Aku tidak mau jatuh ketangan orang-orang Mataram
dalam keadaan hidup " desisnya.
Memang tidak akan ada orang yang dapat memaksanya
untuk bertahan. Orang itu sendiri sudah dengan sengaja
menjelang kematiannya. Namun Panglima pasukan berkuda itupun telah berdesis
ditelinga penghubung yang mendapat pesan dari
Panembahan Senapati " Kau agak tergesa-gesa. Ia sudah
hampir mau menerima obat dari Agung Sedayu. "
" Maaf " berkata orang itu " aku memang menjadi agak
bingung. Aku tidak tahu, yang manakah yang baik aku
lakukan. " Panglima itu hanya dapat menarik nafas dalam dalam.
Namun orang itupun akhirnya benar-benar telah meninggal.
Pedangnya yang memiliki kelebihan dari pedang keba-nyakan
itu tergolek disisinya. Kiai Sasak berdiri termangu-mangu. Kerisnya masih -
berada dalam genggaman. Ia melihat kematian orang yang
terkena bisa kerisnya itu dengan jantung yang berdebardebar.
Agung Sedayu yang kemudian meletakkan orang itu, telah


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangkit berdiri sambil berdesis " Ia telah meninggal.
" Ya " desis Kiai Sasak.
" Jika ia mau menelan obat sebagaimana aku lakukan,
maka masih ada kemungkinan baginya untuk tetap hidup.
Namun segala sesuatunya memang berada ditangan Yang
Maha Agung " gumam Agung Sedayu kemudian.
Tetapi Kiai Sasak itu menggeleng. Katanya " Ki Sanak tidak
menelan reramuan obat itu. Seandainya Ki Sanak
menelannya, obat itu tidak berarti apa-apa bagi Ki Sanak.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun
bertanya " Kenapa" "
" Ki Sanak tidak terluka oleh pedang pusaka yang
nggegirisi itu. Ki Sanak tentu mempunyai ilmu kebal. " berkata
Kiai Sasak. Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara itu, Kiai
Sasakpun berkata " Anak dan istriku sudah mengatakan
kepadaku, siapakah yang telah membebaskan mereka dari
tangan orang-orang yang ingin memaksakan kehendaknya
atasku itu. Untuk itu, aku hanya dapat mengucapkan terima
kasih. " Tetapi Agung Sedayu kemudian berpaling kepada
Panglima Pasukan berkuda itu sambil berkata " Panglima
inilah yang memimpin seluruh gerakan pembebasan anak dan
istri Kiai disamping penangkapan orang-orang yang telah
berada dirumah Kiai. "
Tetapi Panglima itu berdesah sambil berkata " Aku hanya
menjalankan tugas. Tetapi segala sesuatunya telah
digerakkan oleh Agung Sedayu. "
Kiai Sasak tersenyum. Namun ia kemudian berpaling pula
kepada Glagah Putih sambil berkata " Kau masih terlalu muda
untuk memiliki ilmu yang luar biasa itu. "
" Tidak ada yang berlebihan padaku Kiai " jawab Glagah
Putih " semuanya masih sederhana. "
Kiai Sasak tersenyum Katanya " Aku mengucapkan terima
kasih kepadamu, sebagaimana kepada Ki Sanak Agung
Sedayu dan Panglima pasukan berkuda yang telah memimpin
gerakan ini. " " Tidak ada yang berarti yang aku lakukan " jawab Glagah
Putih. Sementara itu, Panglima pasukan berkuda itupun kemudian
telah berkata kepada Agung Sedayu " Panembahan Senapati
sebenarnya menginginkan orang itu hidup-hidup. Tetapi
didalam pertempuran seperti ini, memang sulit untuk dapat
melakukannya. Apa yang terjadi biarlah kita laporkan kepada
Panembahan. " " Kita akan menghadap " berkata Agung Sedayu.
Panglima itupun kemudian telah memanggil perwiranya
yang tertinggi diantara prajurit dari pasukan berkuda itu untuk
memimpin gerakan penyelesaian. Panglima itu akan bersamasama
dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih menghadap
Panembahan Senapati untuk melaporkan keadaan terakhir
dari tugas mereka. Kepada Kiai Sasak Panglima itu berkata " Kiai. Kami
persilahkan Kiai beristirahat bersama anak dan isteri Kiai yang
untuk beberapa lamanya dicengkam ketegangan. Aku minta
ijin bagi beberapa orang prajurit yang masih akan sibuk di
halaman rumah Kiai. Bahkan mungkin dalam dua tiga hari,
Kiai masih perlu dikawani oleh beberapa orang - prajurit,
karena mungkin akan terjadi balas dendam atau usaha-usaha
kekerasan yang lain. "
" Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih, Ki Sanak.
Ternyata Mataram benar-benar berusaha melindungi
rakyatnya sebaik-baiknya " jawab Kiai Sasak.
" Nanti, atau besok atau kapan, Kiai tentu dipanggil
menghadap oleh Panembahan. Aku mohon Kiai dapat
mengatakan semuanya dengan terbuka. " berkata Panglima
itu. " Aku akan melakukannya " jawab Kiai Sasak " aku
mempunyai tanggung jawab untuk memberikan penjelasan
tentang semua persoalan yang sudah aku ketahui. Bukan saja
yang terjadi disini, tetapi apa yang aku dengar dari orangorang
yang datang kerumahku. "
" Baiklah. Kami akan segera mohon diri " berkata Panglima
itu. Istri dan anak perempuan Kiai Sasakpun sempat juga
menyatakan terima kasih mereka kepada orang-orang yang
telah menolongnya, membebaskannya dari tangan tangan
orang yang ingin memeras Kiai Sasak untuk kepentingan
mereka. Sepeninggal Panglima pasukan berkuda, Agung Sedayu
dan Glagah Putih maka prajaurit Mataram yang tinggal
dirumah Kiai Sasak telah menyelesaikan sisa-sisa tugas
mereka. Mengurus tawanan dan mengumpulkan korban yang
terluka dan terbunuh. Bahkan kemudian mengatur tugas bagi
para prajurit yang untuk sementara masih akan ditempatkan
dirumah itu. Dari beberapa orang prajurit yang tinggal itulah, Kiai Sasak
telah mendengar semakin banyak tentang Agung Sedayu dan
Glagah Putih. " Jadi mereka bukan prajurit Mataram" " bertanya Kiai
Sasak. Seorang perwira yang mengenal Agung Sedayu dan
Glagah Putih menggeleng. Katanya " Keduanya adalah orangorang
dari Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi Agung Sedayu
dikenal oleh Panembahan Senapati sejak mudanya. Sejak
Panembahan Senapati masih sering mengembara. Agung
Sedayu adalah sahabat Panembahan Senapati dan Pangeran
Benawa. Sedangkan Glagah Putih adalah kawan dekat dan
bahkan sudah bagaikan saudara sendiri dari Raden Rangga,
putera Panembahan Senapati yang baru-baru saja gugur. "
" Aku memang mendengar serba sedikit tentang Raden
Rangga " berkata Kiai Sasak. Namun kemudian sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya ia berdesis " Luar biasa.
Isteri dan anakku tidak tahu, apa sebenarnya yang telah
dilakukan oleh mereka berdua disaat-saat mereka memasuki
dan membebaskan anak dan isteriku itu. Padahal didalam
rumah itu, beberapa orang yang menjaganya dengan golok
terhunus telah mengancam untuk membunuh. Agaknya orangorang
itu tidak bermain-main. Namun tanpa diketahui
bagaimana terjadinya, maka orang-orang itu telah terlempar
jatuh. " Mereka memang mempunyai ilmu yang tinggi " berkata
perwira itu. " Apakah Agung Sedayu mempunyai ilmu kebal" " bertanya
Kiai Sasak " pedang yang nggegirisi itu tidak mampu
mengoyak kulitnya. Hanya pakaiannya. "
" Menurut pendengaranku, ia memang mempunyai ilmu
kebal " jawab perwira itu. Lalu " Tetapi entahlah apakah
Glagah Putih juga memiliki ilmu itu.
" Bagaimanapun juga kedua orang itu benar-benar orang
yang mengagumkan " berkata Kiai Sasak. Lalu katanya
dengan nada rendah " Tetapi aku lupa memberikan pesan
kepada mereka, agar mereka menjadi lebih berhati-hati. Aku
mengira keduanya adalah perwira-perwira pasukan sandi.
Namun jika bukan, maka mereka akan dapat menjadi sasaran
kemarahan orang-orang dari beberapa perguruan disekitar
Madiun yang telah dihimpun dalam pengaruh orang-orang
yang dengan sengaja ingin memancing di air keruh, jika
perbedaan pendapat antara Madiun dan Mataram menjadi
semakin besar dan bahkan apabila timbul benturan kekuatan.
" " Kenapa" Apakah bedanya jika keduanya petugas sandi
dan jika bukan " bertanya perwira itu.
" Jika keduanya dari pasukan sandi, maka mereka berada
didalam lingkungan satu kekuatan tertentu, sehingga mereka
akan lebih terlindung dari ancaman-ancaman orang yang
mendendamnya. " " Tetapi di Tanah Perdikan Menoreh terdapat juga pasukan
pengawal yang kuat. Bahkan disana ada barak pasukan
khusus Mataram yang memang ditempatkan di Tanah
Perdikan itu. Agung Sedayu pada mulanya adalah juga salah
seorang pelatih pada pasukan khusus itu " jawab perwira itu.
Kyai Sasak mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia
berdesis. Menurut penilikanku dan pengenalanku, ada tiga
perguruan yang terlibat. Perguruan yang terpenting adalah
perguruan Tandes. Perguruan yang disebut sebagaimana
nama pemimpin tertingginya, Kiai Tandes. Orang yang telah
terbunuh oleh kerisku itu menilik tata gerak dan ungkapan ilmunya adalah orang dari perguruan Tandes itu.
Perwira itu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya " Jika demikian maka Kiaipun terancam oleh perguruan itu. "
" Mungkin. Tetapi ditempat ini akan ditinggalkan beberapa orang prajurit Mataram untuk beberapa saat.
Sementara itu aku dapat mengatur keselamatan keluargaku sendiri tanpa membebani tugas pada para prajurit Mataram " berkata Kiai Sasak.
" Jangan risaukan prajurit. Itu memang tugas mereka " berkata perwira itu.
Kiai Sasak mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata " Aku berpesan bagi Agung Sedayu dan Glagah Putih, agar mereka menjadi semakin berhati-hati. Apa yang terjadi disini bukan merupakan sepotong peristiwa yang berdiri sendiri. "
"Baiklah " jawab perwira itu " aku akan menemui mereka.
Aku kira mereka masih akan berada di Mataram, setidaktidaknya sampai besok "
Kiai Sasak mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian minta diri kepada perwira itu untuk masuk keruang dalam menemui keluarga kecilnya yang masih ketakutan. Beberapa orang pembantu rumahnya yang ketakutan pula telah dipanggilnya pula. Untuk beberapa lama para pembantu dirumah itu telah dikurung oleh orang-orang yang telah berada di rumah Kiai Sasak itu sehingga mereka tidak dapat berhubungan dengan siapapun juga. Bahkan mereka yang harus masak sekalipun selalu diawasi agar tidak keluar dari halaman rumah itu.
Ternyata perwira itu memperhatikan pesan Kiai Sasak, dengan sungguh-sungguh. Iapun telah memikirkan kemungkinan balas dendam bagi Agung Sedayu, Glagah Putih dan Kiai Sasak sendiri.
Sebenarnyalah perwira itu dengan cepat telah didengar oleh para petugas sandi Madiun yang ada di Mataram.
Dengan demikian maka hal itupun dengan cepat pula telah terdengar oleh beberapa perguruan yang telah terlibat pada tugas-tugas khusus. Karena sebenarnyalah mereka telah bergerak justru mendahului gerak prajurit Madiun itu sendiri.
Karena itu maka setiap persoalan yang timbul sebenarnyalah bukan tanggung jawab Panembahan Madiun yang menganggap Panembahan Senapati sebagai kemanakannya sendiri.
Tetapi satu hal yang membuat hubungan antara Mataram dan Madiun semakin lama menjadi semakin putus, justru karena laporan tentang hal itu tidak pernah sampai kepada Panembahan Madiun. Jika laporan itu memanjat keatas, maka akhirnya tentu terpotong sebelum sempat ke puncak pimpinan di Kadipaten Madiun.
Karena itu, maka bagi Panembahan Madiun, merasa bahwa tidak ada persoalan yang sungguh-sungguh yang berkembang antara Mataram dan Madiun. Memang ada beberapa perbedaan sikap setelah pimpinan pemerintahan berpindah dari Pajang ke Mataram. Namun bagaimanapun juga, Panembahan Senapati yang sudah diangkat menjadi anak Sultan Hadiwijaya itu, rasa-rasanya sudah sebagai kemanakannya sendiri seperti juga Pangeran Benawa.
Rembulan Berdarah 3 Trio Detektif 25 Misteri Setan Menandak Terbang Harum Pedang Hujan 4
^