Pencarian

Halloween Tanpa Kepala 1

Goosebumps - Halloween Tanpa Kepala Bagian 1


I "YAAAAIIIII!" Itu suara ketakutan. Jeritan mencekam yang mendirikan bulu
roma. Aku menyukainya. Aku tahu, aku tahu. Kedengarannya memang kejam, ya" Tapi
aku suka sih. Namaku Brandon Plush. Dan motoku adalah: "Bikin Mereka
Menjerit." Aku senang menakut-nakuti orang. Aku suka mendengar anakanak menahan napas ngeri"dan kemudian berteriak histeris sampai
kepala mereka serasa mau copot.
Lucu banget kelihatannya. Kepanikan mereka" selalu
membuat aku tertawa terpingkal-pingkal.
Dad bilang, aku ini benar-benar kejam. Katanya bakat itu
kudapatkan dari dia. Kami berdua suka nonton film horor di TV
sampai larut malam. Kami selalu tertawa bila melihat adegan orangorang dicincang atau dibantai atau dimakan oleh monster-monster.
Mom bilang, aku harus bersikap lebih baik pada orang lain.
Setiap kali Mom berkata begitu, aku dan Dad pasti saling
melemparkan senyuman penuh rahasia. Kami tahu menyeramkan itu
menyenangkan. Adikku, Maya, umurnya tujuh tahun, dan ia korban yang paling
sempurna. Maya bakal menjerit jika kaujulingkan matamu padanya. Ia
takut pada serangga, ulat, anjing, kucing, kelelawar, dan beberapa
jenis burung. Ia anak yang hebat, dan ia takut padaku. Aku bisa membuatnya
menjerit ketakutan begitu saja, hanya dengan menjentikkan jemariku.
Semalam, aku bersembunyi di dalam lemarinya sambil
mengenakan salah satu topengku yang paling jelek.
Menurut si penjual topeng, itu adalah topeng-satu-macam yang
tidak ada kembarannya. "Tak ada yang memiliki topeng seperti ini," penjual itu berkata.
Waktu Maya membuka pintu lemarinya, aku menggeram seperti
binatang buas. Kemudian aku melompat menerkamnya dengan topeng
jelek itu menutupi kepalaku.
Anak kecil yang malang itu menjerit ngeri dan memuntahkan
seluruh makan malamnya. Ha ha. Apakah aku tertawa" Jelas dong, sampai nggak bisa
berhenti, lagi! Sudah kubilang, Maya itu korban yang paling sempurna.
"Brandon... kenapa kaulakukan itu?" sembur Mom. Ia tampak
kesal. Soalnya ia harus membersihkan muntah Maya.
"Ups!" sahutku. "Cuma bercanda."
Apakah aku telah membuatmu ketakutan setengah mati"
Apakah aku telah membuatmu ketakutan sampai terkencing-kencing"
Ups"cuma bercanda! Sepupuku, Vinnie, tinggal di ujung blok. Ia nyaris sama
payahnya dengan Maya. Vinnie berumur sebelas tahun, hanya sedikit
lebih muda daripada aku. Tapi ia anak kuper kecil yang kurus kering.
Kalau ia cukup gemuk untuk memiliki bayang-bayang, ia pasti
takut pada bayangannya sendiri!
Sambil bermimpi pun aku bisa membuat Vinnie ketakutan.
Pada hari Sabtu, aku menemukan cacing ungu yang gendut
sekali di halaman belakang. Waktu Vinnie mendekatiku, kuselipkan
cacing itu di balik sweternya. Kukatakan padanya itu ular berbisa.
Apakah ia menjerit" Ha ha! Jeritannya sampai memecahkan rekor dunia!
Lalu tubuh Vinnie membeku saat cacing itu meluncur turun di
punggungnya. Matanya nyaris melompat keluar dari soketnya, dan
giginya mulai bergemeletukan.
Akhirnya, kuulurkan tanganku ke punggungnya. Kutarik cacing
itu, dan kusorongkan ke depan wajah Vinnie. "Ups"cuma bercanda!"
aku berkata. Lalu aku tertawa terpingkal-pingkal.
Vinnie cuma berdiri di sana, tubuhnya gemetaran seperti agaragar. Ia membuatku tertawa terbahak-bahak. Ia benar-benar
menggelikan. Vinnie dan Maya dan banyak lagi anak-anak di kompleks
tempatku tinggal ada dalam masalah besar. Soalnya sudah hampir
Halloween"hari favoritku setiap tahun.
Aku punya rencana besar untuk Halloween.
Aku bermaksud tampil tanpa kepala tahun ini.
2 JENNIFER dan Ray adalah dua anak kecil yang tinggal di
seberang rumah Vinnie. Kadang-kadang, kalau orangtua mereka tidak
dapat menemukan siapa pun untuk menjaga kedua anak kecil itu,
mereka menyuruhku. Ayo tebak, kenapa aku senang menjaga kedua berandalan kecil
itu" Benar. Mereka pengecut jempolan.
Dengan mata tertutup sekalipun, aku bisa membuat mereka
menjerit. Aku suka sekali menceritakan kisah-kisah horor pada mereka.
Kuceritakan kisah-kisah yang mendirikan bulu kuduk. Yang membuat
darah mereka beku. Yang membuat mereka merinding ketakutan.
Mereka selalu menjerit sampai tersedak. Dan kalau ceritaku
benar-benar seram, kadang-kadang aku malah bisa membuat mereka
menangis tersedu-sedu. Ha ha! Mereka amat menyedihkan. Mau nggak mau kau pasti
menyukainya! Beberapa malam yang lalu, aku diminta menjaga mereka.
Kubawa kedua malaikat kecil itu turun ke ruangan kecil di ruang
bawah tanah. "Aku akan menceritakan kisah sesungguhnya pada kalian," aku
berkata. "Jangan cerita yang seram-seram dong!" pinta Jennifer.
"Jangan takut-takuti kami malam ini," rengek Ray.
Kalian harus lihat betapa manisnya tampang mereka, memohonmohon padaku untuk tidak menyiksa mereka.
Tapi tetap saja kuredupkan lampu, dan kuceritakan pada mereka
kisah hantu paling menyeramkan yang dapat kuingat. Kugunakan
suaraku yang paling seram dan paling parau. Dan aku bicara amat
pelan, supaya mereka harus mencondongkan badan mereka untuk
dapat mendengarku. "Orangtua kalian tak ingin kalian mengetahui hal ini," aku
memulai. "Tapi kisah ini sungguh-sungguh terjadi."
Mata mereka semakin lebar. Dapat kulihat mereka sudah
ketakutan! "Dulu ada sebuah keluarga yang tinggal di rumah kalian ini,"
kataku pada mereka. "Mereka punya dua anak, laki-laki dan
perempuan, yang sepantar dengan kalian. Tapi anak-anak itu tak
berumur panjang. Sesuatu yang buruk sekali terjadi pada mereka.
Tepat di ruang bawah tanah ini. Tepat di ruangan ini."
"Kumohon, jangan teruskan," rengek Ray.
Jennifer menutup telinganya dengan tangan. Tapi aku tahu ia
masih bisa mendengar suaraku.
"Aku tidak menyukai cerita ini," ratap Ray.
"Aku juga nggak suka," kakaknya setuju.
"Tapi ceritanya makin seru lho," ujarku.
Kutarik napas dalam-dalam dan mulai lagi sambil berbisik.
"Kalian tahu rumah kalian ini angker?" aku bertanya.
Mulut mereka menganga lebar-lebar.
"Yah, anak laki-laki dan perempuan itu tidak tahu. Mereka tidak
tahu ada hantu yang sangat kejam tinggal di ruang bawah tanah
mereka. Hantu itu hampir selalu tak menimbulkan suara. Tapi ia
punya satu sifat jelek."
"Hentikan," pinta Jennifer dengan suara gemetaran.
"Yeah, ayo kita ke atas," rengek Ray.
"Setiap tahun, tepat sebelum Halloween, hantu itu suka
membunuh siapa pun yang turun ke ruangan ini," aku melanjutkan.
'"Ruang bawah tanah ini milikku,' hantu itu berkata. 'Kalau ada yang
turun kemari, akan kubuat mereka menderita. Akan kuubah mereka
menjadi hantu juga.'"
"Ini bohongan, kan?" tanya Jennifer dengan suara kecil.
"Ini cuma cerita... ya, kan?" adiknya yang cengeng menimpali.
"Tentu saja cerita ini sungguhan," sahutku. "Terjadinya tepat di
sini." Kutudingkan jariku.
"Apa yang terjadi?" Jennifer bertanya.
"Kedua anak kecil itu tak tahu tentang hantu itu. Mereka turun
ke ruang bawah tanah untuk bermain. Mereka duduk di lantai, tepat di
sebelah situ." Kutudingkan telunjukku lagi.
"Pelan sekali... amat pelan... hantu itu menyelinap di belakang
anak lelaki itu. Semakin dekat... tambah dekat..."
"Kumohon, hentikan!" erang Jennifer, tangannya kembali
menutup telinganya. "Tolong dong"stop!" Ray si Peniru ikut-ikutan menutup
telinganya. "Begitu dekat...," aku berbisik. "Hantu itu melayang semakin
dekat lagi. Ia mengulurkan tangannya yang dingin dan
mati...menggenggam dan membuka jemarinya yang sudah mati. Ia
mengulurkan tangannya... terus begitu"DAN MENARIK LEPAS
KEPALA ANAK LAKI-LAKI ITU!" Aku menjerit keras seraya
mencengkeram leher Ray. Kedua pengecut kecil itu ikut menjerit histeris.
"A-apa yang terjadi dengan anak perempuan itu?" tanya
Jennifer tergagap. "Dia kabur," kataku. "Dia tak pernah terlihat lagi. Itu sebabnya
orangtua mereka menjual rumah ini kepada orangtua kalian."
"Tapi anak laki-laki itu...?" Ray bertanya.
"Anak tanpa kepala itu masih ada di sini," bisikku. Kupandang
sekelilingku, seolah-olah mencari anak itu. "Anak tanpa kepala itu
sekarang menghantui ruang bawah tanah ini. Menunggu. Menunggu
korban yang baru." "Bohong!" sergah Jennifer seraya melompat berdiri. "Ini kan
cuma cerita, ya kan" Tidak ada satu anak laki-laki tanpa kepala pun di
bawah sini."ebukulawas.blogspot.com
"Brandon, bisakah kita kembali ke atas saja?" Ray mulai
merengek lagi. Dicengkeramnya tangan kakaknya dan tak dilepasnya
barang sebentar pun. Mereka berdua amat sangat ketakutan, hingga sekujur tubuh
mereka gemetaran kayak agar-agar.
Mungkin seharusnya aku kasihan pada mereka. Mungkin
seharusnya aku berhenti saja menakuti mereka seperti ini.
Tapi aku punya ide yang sangat brilian.
"Ayo, duduk," aku memerintahkan mereka. "Jangan bergerak
sedikit pun. Akan kubuktikan bahwa anak lelaki tanpa kepala itu
masih tinggal di sini. Aku akan segera kembali."
Mereka terus memohon-mohon agar aku tidak meninggalkan
mereka di situ. Tapi aku tetap saja lari ke atas dan mencari tasku. Aku
selalu membawa tas berisi benda-benda khusus setiap kali aku
bertugas jadi baby-sitter. Itu lho, topeng-topeng dan segala macam
peralatan yang dapat membantuku menakut-nakuti anak-anak kecil.
Kutarik keluar topeng karet jelek yang kubawa tadi. Topeng itu
memiliki rambut warna biru yang menjuntai, gumpalan cairan karet
warna hijau yang menetes keluar dari soket matanya yang kosong
melompong, dan torehan luka serta codet di seluruh permukaan
wajahnya. "Sempurna sekali," gumamku pada diriku sendiri.
Kayaknya aku jadi menyeringai lebar sekali. Rencanaku benarbenar mengagumkan!
Buru-buru aku menghilangkan kepalaku. Caranya gampang
sekali kok. Kutarik blusku ke atas dan kukancingkan di atas kepalaku.
Dengan begitu kepalaku akan tersembunyi.
Lalu kubengkokkan sebuah gantungan jaket dan kuletakkan
sedemikian rupa sehingga berdiri tegak dari kerah blusku. Lalu
kusisipkan topeng jelek itu di atas gantungan sampai ke atas bahuku.
Kuperiksa bayanganku pada cermin di koridor depan. Yes!
Topeng itu sekarang kelihatan seperti kepalaku.
Pertunjukan akan segera dimulai!
Aku meluncur menuruni anak tangga dan berjalan terhuyunghuyung ke ruang bawah tanah. "Akulah anak lelaki tanpa kepala itu!"
aku berseru dengan suara yang dalam dan parau. "Aku anak tanpa
kepala yang menghuni ruang bawah tanah ini."
Ray menjerit histeris. Tapi Jennifer hanya menyeringai
memandangku. "Kami tahu itu kau, Brandon," ia berkata.
"Aku anak tanpa kepala itu," ulangku. "Coba saja. Tarik topeng
ini." Mereka ragu. "Ayo, tarik topengku," ulangku lagi.
Akhirnya, Jennifer maju mendekatiku. Ia mengulurkan kedua
tangannya ke arah topengku dan menariknya lepas.
Tidak ada kepala! Tidak ada kepala di balik topeng itu!
Mereka menjerit begitu nyaring hingga dinding-dinding
bergetar. Lalu mereka mulai menangis.
Mereka berdua. Ray dan Jennifer. Menggerung-gerung
ketakutan. Benar-benar momen yang sempurna.
Tapi cuma sebentar. Karena waktu aku berbalik ke arah tangga... Saat itulah
giliranku untuk menjerit!
3 AKU menjerit melihat orangtua Ray dan Jennifer berdiri di kaki
tangga. Mereka tidak tampak terlalu gembira.
Kusembulkan kepalaku dari balik blusku.
"Ada apa ini?" ibu Jennifer bertanya. Ia berlari menghampiri
anak-anaknya yang menangis. "Anak-anak" Ada apa" Apa yang
terjadi?" Ayah mereka melototiku dengan marah. "Kenapa mereka
menangis, Brandon?" Aku cuma mengangkat bahu. "Aku juga nggak tahu tuh,"
sahutku. "Mungkin sesuatu membuat mereka takut."
************* Waktu tiba di rumah, aku menelepon teman baikku, Cal. Cal itu
badannya besar. Tingginya hampir 180 senti, dan bobotnya setidaknya
satu ton. Mungkin malah dua.
Ia bisa tampil cukup mengerikan jika ia mau. Dan ia suka sekali
mengganggu anak-anak yang jauh lebih kecil daripada dirinya
sendiri"dan karena itulah ia kujadikan teman baikku.
"Cal, aku baru saja melakukan sesuatu yang benar-benar
mengasyikkan," aku memberitahu dia. "Aku telah menakut-nakuti dua
anak ini dengan membuat diriku tampil tanpa kepala."
"Keren," sahut Cal. Tapi aku tahu ia sebenarnya tidak mengerti
apa yang kubicarakan. Butuh beberapa waktu untuk menjelaskan seluruh kejadian itu
kepadanya. Lalu ia cuma berkata "Keren" lagi.
"Ayo kita tampil tanpa kepala pada Halloween ini," usulku.
"Kalau kita berdua tampil seperti itu, kita pasti akan membuat anakanak kecil itu benar-benar menjerit ketakutan."
"Keren," timpal Cal. "Dan mungkin kita dapat mengurung
beberapa anak di dalam rumah angker itu. Kau tahu, kan" Rumah tua
di jalan buntu itu."


Goosebumps - Halloween Tanpa Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku dan Cal suka sekali mengurung anak-anak kecil di dalam
rumah berhantu itu. Lalu kami akan menunggu di luar dan mendengar
mereka menjerit. "Aku nggak sabar lagi," Cal berkata.
Aku harus meletakkan gagang telepon. Soalnya ibuku
memanggilku dari bawah. "Sabar, sabar! Aku datang!" teriakku.
Aku tahu Mom sedang marah. Rambut Mom panjang dan
berwarna merah, dan ia mengibas-ngibaskan rambutnya setiap kali ia
sedang marah. Kedua tangannya mengepal erat-erat.
"Brandon, Mrs. Sullivan baru saja meneleponku," Mom berkata
seraya mengertakkan gigi.
"Uh-oh," aku menelan ludah. Mrs. Sullivan adalah ibu Ray dan
Jennifer. "Dia lupa memberi upahku," aku berkilah. "Itukah sebabnya dia
menelepon?" Mom kembali mengibas-ngibaskan rambutnya. "Bukan itu
alasannya menelepon," bentaknya.
"Uh-oh." Lagi-lagi aku menelan ludah.
"Kata Mrs. Sullivan, kau membuat anak-anaknya ketakutan,"
Mom melanjutkan. "Dia tak bisa membuat mereka berhenti menangis.
Katanya, dia tidak akan menyuruhmu menjaga mereka lagi."
"Tidak akan?" "Tidak akan pernah."
Kutundukkan kepalaku. "Aku minta maaf deh," gumamku.
Biasanya itu berhasil. Setiap kali aku berada dalam masalah besar, aku selalu
menundukkan kepala dan bergumam "Aku minta maaf deh" sepelan
dan setulus mungkin. Dan biasanya Mom puas.
Tapi kayaknya kali ini trik itu tidak berhasil.
"Aku minta maaf deh," aku berbisik sekali lagi.
"Kau menyesal?" Mom menyergah. "Tapi kenapa kaulakukan
hal itu, Brandon" Kenapa kau selalu saja menakut-nakuti anak-anak
kecil?" "Karena itu menyenangkan?" sahutku.
*********** Keesokan paginya di sekolah, aku sedang membawa sebuah
tabung percobaan menuju laboratorium IPA. Aku berhenti di lorong
dan memperhatikan Cal menyumpalkan seorang anak kelas empat ke
dalam loker. Anak itu memang pantas dibegitukan. Soalnya ia menginjak Air
Jordan Cal yang baru. Memang sih, dia nggak sengaja. Tapi Cal tidak
punya pilihan. Didorongnya anak malang itu ke dalam loker, lalu
dibantingnya pintu loker itu, dan dikuncinya.
Kunaikkan jempolku pada temanku itu. Lalu aku melanjutkan
jalan sambil membawa tabung percobaan dalam kedua tanganku.
Aku berbelok"dan melihat sepupuku, Vinnie, berjalan ke
arahku. Kepala anak cengeng itu terbenam di dalam buku. Ia membaca
sambil berjalan menyusuri lorong, dan ia tidak melihatku.
"Vinnie"awas!" seruku. "Aku sedang membawa cairan asam
nih." Ia mendongak"tepat ketika kakiku tersandung.
Cairan itu muncrat keluar dari tabung percobaan"dan
membasahi tubuh Vinnie. Membasahi kepalanya, wajahnya, dan bagian depan blusnya.
Dan mulut kami pun terbuka dan mengeluarkan jeritan histeris
yang mengerikan. 4 "MUKAKU! Mataku!" ratap Vinnie. Ia jatuh berlutut dan
membungkuk dalam-dalam hingga seperti bola yang gemetaran.
"Oh, diam! Itu cuma air biasa," aku memberitahu dia.
"Apa?" Idiot kecil itu membuka mata. "Air?"
"Ups"cuma bercanda!" seruku.
Ia menelan ludah dua kali. Lalu diusapkannya air dari wajahnya
dengan kedua tangan. "Nggak lucu, Brandon," gerutunya jengkel
sekali. "Lucu ah," sahutku.
"Tidak, itu sama sekali tidak lucu!" sebuah suara yang dalam
menggelegar tepat di belakangku.
Aku berbalik, dan nyaris saja menjatuhkan tabung percobaan
yang sudah kosong itu. "Mr. Benson?" aku menahan napas.
Mr. Benson itu guru yang paling tidak kusukai.
Ia menepukkan tangannya yang besar di bahuku. "Tidak lucu,
Brandon," ulangnya lagi. Suaranya seperti drum bas. Bahkan pada saat
ia berbisik sekalipun, suaranya tetap menggelegar.
Mr. Benson tingginya sekitar tiga meter dan sekujur tubuhnya
terdiri atas otot semua. Di belakangnya anak-anak menjulukinya "Si
Gunung". Rambutnya yang hitam tebal ditarik ke belakang dan diekor
kuda. Dan alisnya yang hitam tebal menari-nari naik-turun di
keningnya seperti sepasang ulat bulu.
Ia mengenakan jins kumal dan blus flanel yang besar sekali.
Dan ia mengenakan anting-anting di salah satu telinganya.
Banyak anak menganggap dia keren. Tapi aku tidak terlalu suka
padanya. Ia guru IPA yang galak. Dan kayaknya ia selalu saja
mengawasiku. Seperti sekarang. "Brandon, aku melihat semuanya," gelegar Mr. Benson. "Aku
melihat lelucon kecilmu itu dari awal sampai akhir."
"Oh," sahutku. Apa lagi yang bisa kukatakan"
"Pernahkah kau mendengar pepatah yang mengatakan agar kau
melakukan pada orang lain segala sesuatu yang kau ingin mereka
lakukan padamu, dan jangan lakukan pada orang lain segala sesuatu
yang kau tak ingin orang lain lakukan padamu?" tanyanya, alis ulat
bulunya menari-nari liar.
"Aku tak pernah dengar," gumamku.
Segerombolan anak-anak sudah berkerumun mengelilingi kami
di lorong itu. Aku mulai merasa malu. Si Gunung masih menekan
bahuku dengan tangan raksasanya.
Beberapa anak cewek menanyakan Vinnie bagaimana ia bisa
basah kuyup begitu. Mr. Benson menjulang di atasku. Aku bisa mencium bau kopi
pada napasnya. Iiih! "Maukah kau kalau Vinnie memuncratkan air di sekujur
badanmu?" ia bertanya.
"Aku nggak sengaja kok! Aku tersandung!" dustaku. "Itu
kecelakaan!" Alis Mr. Benson melompat naik-turun di keningnya yang lebar.
Ia menggelengkan kepala. "Brandon, sudah kukatakan padamu, aku
melihat semuanya," ulangnya.
"Katanya itu cairan asam!" timpal Vinnie. Dasar si cengeng.
Beberapa anak menahan napas.
"Ayo ikut aku," perintah Mr. Benson. Ia mulai membimbingku
menyusuri lorong. "Tapi aku bakal telat masuk kelas!" aku memprotes.
"Sayang sekali," sahut Mr. Benson. "Kau dan aku harus bicara.
Aku akan memberimu Nasihat Nomor 35."
"Nasihat tentang apa itu?" gerutuku.
"Tentang bersikap kejam kepada orang lain."
Ia membawaku ke kelas IPA-nya, lalu menutup pintu. Dan
disuruhnya aku duduk di seberang mejanya.
Lalu ia sendiri duduk di pinggir mejanya, menjulang di atasku
bagai elang yang bersiap menyantap mangsanya.
"Selama sisa minggu ini, aku ingin kau tetap tinggal seusai
sekolah dan membersihkan laboratorium IPA," ia berkata.
"Tapi aku kan tidak membuat ruangan itu berantakan!"
protesku. Ia tidak memedulikan ucapanku dan memulai nasihatnya
tentang bagaimana kita harus bersikap baik kepada orang lain jika kita
ingin mereka baik pada kita.
Rasanya nasihatnya itu panjaaaang sekali. Tapi aku cuma
menyimak selama satu-dua menit. Setelah itu suara Mr. Benson hanya
seperti dengungan di latar belakang.
Aku sudah selesai merencanakan balas dendamku.
Mr. Benson, pikirku, sekarang sudah hampir Halloween.
Seharusnya Anda tidak mencampuri urusanku kalau sudah
mendekati Halloween. Sebab sekarang aku tak punya pilihan lagi.
Sekarang aku harus memikirkan sebuah kejutan Halloween
yang indah untuk Anda! 5 SEPULANG sekolah aku masih harus membersihkan
laboratorium IPA. Hukuman ini membuatku jengkel sekali.
Kelas terakhir telah melakukan eksperimen yang benar-benar
bau. Dan sekarang tubuhku sama baunya dengan eksperimen itu.
Kutendang-tendang ranselku nyaris sepanjang jalan pulang.
Sudah nyaris gelap, matahari mulai terbenam. Dedaunan cokelat yang
besar-besar berputar mengelilingi kakiku ditiup angin musim gugur
yang kencang. Waktu berbelok ke jalur masuk rumahku, aku sudah mendapat
ide yang brilian. Kujatuhkan ranselku di undak-undakan depan rumah. Lalu aku
berjalan ke samping rumah. Kupanjat pohon ek besar yang nyaris
menyentuh rumah kami. Dan aku berjalan miring di atas sebatang
dahan tepat di luar jendela kamar adikku.
Kugeser jendelanya. Lalu menunggu.
Lampu kamar Maya menyala. Layar komputernya juga. Aku
tahu sebentar lagi ia akan naik ke kamarnya. Dan pada saat ia
memasukinya, ia tidak akan menyangka ada orang akan datang ke
situ. Apalagi masuknya dari jendela.
Aku mendoyongkan tubuh dan memasang telinga. Yes! Suara
langkah kaki di lorong. Aku berjalan menyamping di dahan pohon, semakin dekat ke
jendela. Lalu kutarik tubuhku supaya Maya tak dapat melihatku waktu
ia memasuki kamarnya. Aku menahan napas dan menunggu.
Maya memasuki kamar. Aku mengintip. Apa yang dibawanya
itu" Semangkuk sesuatu. Dan segelas susu cokelat.
Aku bergeser maju. Lebih dekat lagi...
"AAAAAAAGH!" Kubuka mulutku dengan jeritan melengking
yang mendirikan bulu kuduk"lalu melompat masuk lewat jendela.
Mata Maya membeliak lebar. Mulutnya terbuka, tapi tak satu
suara pun keluar. Tangannya terbang ke atas. Dan mangkuk serta
gelas yang tadi dipegangnya ikut beterbangan.
Mangkuk itu pecah berkeping-keping di lantai. Keripik kentang
berserakan di mana-mana. Gelasnya jatuh miring, menumpahkan susu
cokelat di atas karpet berbulu yang berwarna putih.
"BRANDON!" Maya berteriak. "Jahat kau! JAHAT!"
"Ups"cuma bercanda!" seruku. Aku mulai tertawa. Kurasa aku
akan terus tertawa setidaknya selama setahun.
Maya mulai memukul-mukul dadaku dengan tinjunya. Tapi
tentu saja, itu cuma membuat tawaku semakin keras saja.
"Baiklah, baiklah. Akan kubantu kau membereskan semua ini,"
kataku padanya. Aku tahu aku harus menenangkannya.
Aku benar-benar girang. Tidak sulit kok membuatku senang.
Cuma bikin orang takut saja sudah cukup.
"Janji kau tidak akan melakukannya lagi?" desak Maya.
"Janji," sahutku.
"Kau benar-benar janji?" tuntutnya. "Benar, benar?"
"Tentu saja," kataku seraya menepuk kepalanya. "Aku benarbenar janji."
Gampang sekali rasanya berjanji. Maksudku, apa sih janji itu"
Itu kan sesuatu yang mudah diingkari"ya, kan"
Kubantu dia membersihkan semuanya. Pecahan mangkuknya,
keripik kentangnya, dan susu cokelatnya. Noda besar di atas karpet tak
mau hilang" tapi apa lagi yang bisa kulakukan"
Waktu kami selesai, Maya mulai mengumpulkan kostum
Halloween-nya. Ia mau jadi apa sih" Seorang putri, tentu saja.
"Brandon, kau mau jadi apa Halloween nanti?" ia bertanya,
tangannya memainkan pita elastis di atas mahkota tiara yang
berkilauan. "Untuk trick-or-treatl" sahutku. Trick or treat adalah kebiasaan
yang dilakukan pada Hari Halloween. Anak-anak pergi ke rumahrumah tetangga dengan mengenakan kostum dan membawa tas, dan
mereka akan mendapatkan permen, cokelat, dan makanan kecil
lainnya dari para pemilik rumah yang mereka datangi itu. "Aku tidak
akan pakai kostum. Kostum itu kan cuma untuk bayi. Aku akan
menakut-nakuti anak kecil saja dan merampas tas permennya."
Ia menyipitkan matanya menatapku. "Kau bercanda"ya, kan?"
Aku cuma menyeringai. Buat apa aku bercanda untuk hal seperti itu"
Kupelankan suaraku. "Kau tahu apa yang akan aku dan Cal
lakukan?" "Sesuatu yang mengerikan, kurasa," Maya berkata seraya
memonyongkan mulutnya. "Yeah," aku setuju. "Aku dan Cal akan memorak-porandakan
rumah Mr. Benson." "Nggak mungkin!" komentar Maya. Diambilnya roknya yang
terbuat dari kertas krep warna pink dan ditaruhnya di pinggang.
"Rencana kalian itu tolol!"
"Kenapa tolol?" sergahku.
"Karena kau tolol!" sahutnya jahat sekali.
"Kau sendiri terlalu tolol untuk menjadi tolol!" kataku padanya.
Kalau ia ingin bertengkar, aku sudah siap.
Maya menjatuhkan roknya ke tempat tidur. "Rumah itu terlalu
menyeramkan," ia berkata.
Ia benar. Mr. Benson tinggal di sebuah rumah yang besar, reyot,
sangat gelap, dan nyaris ambruk. Rumah itu terletak di tepi Jurang
Raven. "Kau kan tahu Mom dan Dad melarangmu dekat-dekat jurang
itu," Maya menyeringai.
Kuulangi kata-katanya seraya menirukan suaranya yang
cengeng. Ia menjulurkan lidahnya mengejekku.
"Taruhan aku bisa melompati jurang itu," aku membual.
Ia menahan napas. "Kau takkan mencobanya" ya, kan?"
Aku menyeringai. "Mungkin saja."
Sebenarnya, aku tak pernah bermaksud melompati Jurang
Raven. Jurang itu sangat curam. Letaknya tepat di belakang rumah Mr.
Benson. Jurang itu berupa karang terjal bebatuan, seperti celah yang
dalam"yang lebarnya tiga meter.
Jurang itu amat berbahaya. Tapi banyak sekali anak-anak yang
telah menerima tantangan untuk melompatinya.
Kalau kau gagal melompatinya, kau bakal jatuh langsung ke
atas bebatuan tajam di bawah sana.
"Jangan cari masalah," Maya mengingatkan.
"Terima kasih, Mom!" sergahku. "Jangan coba mengaturku"
oke?" Ia menatapku dengan cemberut. "Kalau kau pergi ke rumah Mr.
Benson, kau akan ketahuan, Brandon."
"Nggak mungkin," bantahku. "Aku dan Cal... kami terlalu cepat


Goosebumps - Halloween Tanpa Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan lihai." Kalau saja aku mendengarkan perkataannya...
6 CAL meneleponku setelah makan malam pada Hari Halloween.
"Kita akan tampil tanpa kepala, kan?"
"Yap!" jawabku.
"Jadi aku tak memerlukan kostum, ya kan?"
"Yap. Kau bisa menggunakan salah satu topengku untuk ditaruh
di atas pundakmu." "Kita tidak akan pergi trick-or-treat. Kita cuma akan menakutnakuti anak-anak, betul kan?"
"Ya," sahutku. "Dan kita akan memorakporandakan rumah Mr.
Benson." "Wow, keren," ujar Cal.
"Jadi, lekaslah datang, oke" Di luar sudah gelap. Sudah
waktunya bergerak." Kuambil dua topeng monster karet yang jelek sekali dan buruburu turun.
Sebuah kejutan mengerikan menantiku di ruang depan.
Seorang anak yang mengenakan kostum hitam mengilat Darth
Vader, si penjahat dalam Star Wars, melangkah memasuki pintu
depan. Semula kukira itu cuma salah satu anak yang datang untuk
trick-or-treat. Tapi kemudian, dari balik topeng plastiknya yang berat, anak
itu berkata, "Hei, Brandon." Dan tahulah aku itu Vinnie.
"Apa yang kaulakukan di sini?" semburku.
Mom memasuki ruangan. "Bukankah Vinnie tampak
menakutkan?" ia bertanya. Ditepuknya puncak topeng plastiknya.
"Apa yang dilakukannya di sini?" aku mengulang pertanyaanku.
"Kau akan membawanya pergi trick-or-treat," sahut Mom.
"Apa?" seruku. "Aku akan apa?"
"Kau kan kakak yang baik," Mom berkata.
"Tidak akan!" protesku. "Tidak akan pernah!"
Maya dan ketiga temannya memasuki ruangan sambil
melompat-lompat. Salah satu dari mereka mengenakan kostum Ariel
si Putri Duyung. Yaik! Maya sedang memasang mahkota tiaranya yang terbuat dari
karton. Dua putri yang lain tengah menarik rok mereka dan
membetulkan topeng-topeng mereka yang berkilat-kilat. Si putri
duyung sibuk menyentakkan siripnya.
"Ayo berangkat," Maya berkata.
"TIDAK!" protesku.
Mom menatapku dengan mata disipitkan. "Kuharap kau akan
membantuku dalam hal ini, Brandon."
Sebelum aku bisa menjawab, Cal menyembulkan kepalanya di
pintu depan. "Ada apa?" ia bertanya.
"Kau dan Brandon akan melakukan perbuatan mulia," Mom
menjawab. "Kalian akan membawa anak-anak ini trick-or-treat."
Cal nyaris menelan lidahnya sendiri. "Oh ya?" serunya.
"Ayo, berangkat dong!" rengek Vinnie. "Panas sekali di dalam
topeng ini. Aku keringatan!"
Mom berdiri di depanku, tangannya bersedekap, matanya
memelototiku. Aku tahu aku tak punya pilihan. "Nggak masalah,"
bisikku pada Cal. "Kita tinggalkan mereka secepatnya."
"Baiklah, baiklah. Ayo berangkat, anak-anak," ujarku.
Kupimpin rombongan itu keluar dari pintu depan.
"Jaga mereka baik-baik," seru Mom dari belakang. "Dan jangan
biarkan Vinnie ketakutan."
"Yeah. Tentu saja," gerutuku.
Kubawa mereka menyeberangi halaman depan menuju rumah
tetangga. Malam itu terang dan dingin. Gumpalan-gumpalan awan
berarak-arak seperti ular, melewati bulan yang bersinar penuh.
Malam yang amat sempurna untuk menakut-nakuti anak-anak.
Tapi aku terperangkap bersama bayi-bayi ini.
Anak-anak cewek terkikik-kikik dan bicara tak henti-hentinya.
Vinnie memegangi topengnya dengan kedua tangan dan berlari-lari
kecil supaya tidak tertinggal.
Aku dapat melihat gerombolan-gerombolan kecil anak-anak
yang pergi trick-or-treat memenuhi seluruh blok. Aku dan Cal
membawa Vinnie dan anak-anak cewek ke tiga atau empat rumah.
Dari jalur masuk kami awasi mereka sampai mereka mendapatkan
permen mereka.ebukulawas.blogspot.com
"Ini sih nggak seru," gerutu Cal.
"Yuk, kita singkirkan anak-anak idiot itu," bisikku.
Mata Cal melebar. "Apa" Meninggalkan mereka begitu saja?"
"Tentu. Kenapa tidak?" sahutku.
"Tapi mereka baru tujuh tahun!" protes Cal.
"Ah, mereka akan baik-baik saja," aku memberitahu dia. "Apa
sih yang bisa terjadi" Mereka bahkan takkan tahu kita telah pergi."
Maya dan teman-temannya berdiri di depan sebidang lahan
kosong, mengobrol dengan sekelompok anak cewek. Aku tidak
melihat Vinnie. "Ayo"lari!" aku memerintah Cal.
Kami berdua pun berlari menyeberangi jalan. Anak-anak cewek
itu bahkan tidak melihat kami. Kami membelok dan tetap berlari.
Setelah sekitar setengah blok, kudengar suara langkah-langkah
kaki di belakang kami. Dan kemudian suara rengekan Vinnie, "Hei,
tunggu! Tunggu!" Ia berlari mengejar kami, napasnya berat di balik topeng. Ia
bernapas seperti Darth Vader sungguhan.
"Aku tak dapat melihat kalian!" serunya. "Sulit sekali melihat
dari balik topeng ini." Ia mulai menggaruki bahunya, lalu berusaha
menggaruk punggungnya. "Kostum ini gatal sekali. Dan di dalam sini
benar-benar panas!" "Mungkin sebaiknya kau menjadi Putri Leia saja," selorohku.
Vinnie menggerakkan kepala plastiknya dari kiri ke kanan.
"Mana anak-anak cewek itu?" ia bertanya.
"Uh... mereka memutuskan untuk pergi duluan," aku
memberitahunya. Cal mengangguk mengiyakan. "Mungkin kau ingin mengejar
mereka," usulnya. "Tidak ah. Aku ikut kalian saja," jawab Vinnie. "Di luar sini
sedikit menakutkan. Gelap sekali sih."
Aku dan Cal menghela napas. Kami kembali berjalan.
Menyeberang jalan. Lalu menyeberang jalan lagi. Vinnie terus saja
mendatangi rumah demi rumah, memencet bel, lalu mengulurkan tas
trick-or-treat Darth Vader-nya untuk mendapatkan permen.
"Ia akan menghancurkan rencana kita nih," omel Cal. "Kita jadi
nggak bisa menakut-nakuti satu anak pun."
"Akan kita singkirkan dia," sahutku. "Aku punya rencana."
"Tapi dia itu cengeng banget," ujar Cal seraya menggelengkan
kepala. "Kalau dilihatnya kita pergi, mungkin dia akan mulai
menangis." "Nggak masalah. Seseorang pasti akan kasihan padanya dan
mengantarnya pulang," sahutku.
"Tapi apa yang akan dikatakan ibumu?" Cal bertanya.
Aku mengangkat bahu. "Kubilang saja Vinnie kabur. Lalu
kukatakan bahwa semalaman kita mencari dia."
"Keren," timpal Cal.
Kami bawa Vinnie ke rumah angker di jalan buntu itu. Rumah
itu sudah tua dan seram dan dikelilingi pepohonan yang lebat.
"Kita tak akan mengunci dia di dalam, kan?" Cal berbisik.
"Tidak. Kita cuma akan meninggalkannya di sini," aku balas
berbisik. Lalu aku berbalik kepada si Darth Vader. "Ayo coba rumah
ini," ujarku. Kudorong dia ke jalur masuk yang penuh alang-alang.
Rumah reyot yang nyaris ambruk itu tidak memiliki lampu. Aku
nyaris tak dapat melihat Vinnie melangkah ke beranda depannya.
Aku dan Cal langsung kabur, berlari secepat kami dapat.
Baru beberapa langkah, telinga kami langsung menangkap
jeritan ketakutan. Vinnie! Aku dan Cal berhenti berlari. Dan mendengarkan.
Kami berdua menahan napas saat terdengar jeritan mengerikan
yang membuat kami merinding. Dan jeritan itu berhenti di tengahtengah.
Lalu... sunyi senyap. 7 AKU tertawa keras. "Kurasa Vinnie yang malang bertemu
hantu!" seruku. Cal menoleh ke rumah tua itu. "Tidakkah sebaiknya kita
kembali dan melihat apakah dia baik-baik saja?"
"Tidak!" pekikku. "Dia pasti baik-baik saja. Dia cuma suka
menjerit. Lagi pula, kalau sesuatu yang buruk terjadi, kita toh sudah
terlambat untuk menolongnya."
"Tapi ibumu..." Cal mulai.
"Lupakan soal itu," sahutku. "Sekarang setelah kita
menyingkirkan para pecundang kecil itu, tibalah waktunya untuk
bersenang-senang." Kutarik kedua topeng karet itu dari saku jaketku dan
menyorongkan salah satunya pada Cal. Bersama-sama kami menarik
jaket kami sampai menutupi kepala, dan mengaitkan ritsletingnya
sampai ke atas. Lalu kami letakkan topeng-topeng jelek itu di atas
bahu kami. "Halloween Tanpa Kepala!" pekikku. "Ayo! Mari kita buru
beberapa mangsa!" Jalanan di dekat sekolah penuh dengan anak-anak yang sedang
trick-or-treat. Aku dan Cal menunggu di belakang pagar tanaman yang
tinggi. Ketika beberapa anak lewat di dekat kami, kami pun melompat
ke depan mereka dan menarik lepas topeng kami.
"Halloween Tanpa Kepala!" aku dan Cal menggeram.
Anak-anak itu menjerit-jerit seperti orang gila.
Kami berjalan menyusuri jalan, menakut-nakuti setiap anak
yang kami temui. Tanpa kesulitan, aku membuat dua anak laki-laki
kecil menangis tersedu-sedu.
Beberapa menit setelah kemenangan itu, aku dan Cal melompat
ke jalan dan membuat seorang anak laki-laki lain terjatuh dari
sepedanya. Ha ha! "Aku mulai lapar nih," Cal berkata, suaranya tak jelas dari balik
jaketnya. "Bukan masalah," sahutku.
Kurampas tas trick-or-treat yang penuh permen dan cokelat dari
tangan anak kecil yang sekujur tubuhnya dibebat seperti mumi. Aku
tahu mumi takkan bisa berlari cepat mengejar kami.
Aku dan Cal lari menyeberangi jalan.
Anak itu menjerit keras sampai kepalanya mau copot.
"Kembali! Itu tasku! Itu tasku!"
Kulempar sebatang Snicker padanya. Cokelat itu mengenai
dadanya dan jatuh ke jalanan.
Lalu kami berlari sampai anak kecil cengeng itu tak tampak
lagi. Aku dan Cal bersembunyi di belakang sebuah rumah. Kami
tumpahkan seluruh isi tas itu ke tanah. Lalu kami buka sekitar selusin
permen dan menyumpalkannya ke mulut.
Wah, aku benar-benar suka Halloween!
Kami mendengar anak mumi itu menangis kencang sekali di
jalanan. Kami bersandar rapat-rapat pada dinding rumah dan
bersembunyi di sana sampai anak itu lenyap.
Cal menyeringai. "Anak malang," ia berkata. Dagu Cal kotor
oleh cokelat. Kami memenuhi kantong kami dengan permen. Kubuka
sebungkus M&M, lalu kuangkat ke mulut dan kutuang seluruh isinya.
Hmmm... sedap. "Yuk pergi," aku berkata, lalu menyendawakan cokelat. "Kita
harus ke rumah Mr. Benson"ingat?"
"Apakah kita akan meninggalkan semua permen ini berserakan
begitu saja?" Cal bertanya, masih terus mengunyah.
"Jelas tidak dong. Bawa semua permen itu," sahutku. "Mungkin
kita bakal kelaparan waktu memorakporandakan rumah si Gunung."
"Asyik," timpal Cal seraya menelan semulut penuh Tootsie
Roll. Dijejalkannya lagi semua permen yang berserakan itu ke dalam
tas. Lalu kami sembunyikan kepala kami di balik jaket dan berjalan
tanpa kepala menuju rumah Mr. Benson.
Bulan telah lenyap di balik awan yang berat dan hitam. Deretan
rumah sudah berakhir saat kami semakin mendekati Jurang Raven.
Jalanan juga semakin gelap.
"Apakah kita sungguh-sungguh akan menghancurkan rumah si
Gunung?" Cal bertanya takut-takut.
"Jelas dong," sahutku, lalu kembali bersendawa. Aku tidak
merasa terlalu sehat. Mungkin tadi aku makan permennya terlalu
cepat. "Wow, keren," komentar Cal. "Tapi bagaimana kalau dia ada di
rumah?" "Kita lihat saja nanti," gumamku.
Beberapa menit kemudian, rumah Mr. Benson tampak
menjulang di depan kami. Berdiri di dalam kegelapan yang pekat di
puncak bukit yang curam. Rumah itu mengingatkan aku akan kastil
yang angker. Dindingnya semua terbuat dari batu, dengan jendelajendela kecil dan menara bulat tinggi di salah satu sisi.
Kutatap tajam-tajam ke belakang rumah, terus ke arah jurang.
Terlalu gelap untuk melihat apa pun di belakang sana.
"Rumahnya gelap," aku berkata. "Mungkin si Gunung sedang
keluar." "Mungkin saja dia sedang tidur," usul Cal.
Kami maju beberapa langkah memasuki halaman depan. Lalu
kami sama-sama menahan napas saat pintu samping rumah terayun
membuka. Aku merunduk di belakang sebatang semak evergreen yang
tinggi. Kutarik Cal ke sebelahku. Lalu aku mengintip dari balik
semak, dan melihat Mr. Benson berjalan pelan. Ia menengadahkan
kepala, memeriksa langit.
Lalu ia lenyap ke dalam garasi batu di sebelah kanan rumah.
Aku dan Cal merunduk dalam-dalam di balik semak. Beberapa detik
kemudian, kami mendengar suara mesin mobil dinyalakan. Minivan
hitam pak guru itu bergerak mundur di jalan masuk dan kemudian
meluncur pergi. Aku tertawa geli. "Dia bahkan membutuhkan van. Dia tidak
muat masuk ke dalam mobil!"
Cal ikut menyeringai, matanya menatap rumah tua itu. "Apakah
kita akan masuk ke sana?"
"Kenapa tidak?" sahutku. "Ini Halloween, ya kan" Waktunya
melakukan sedikit keisengan Halloween."
Kami keluar dari balik semak. Maju dua atau tiga langkah
mendaki halaman yang landai, menuju ke rumah.
Dan berhenti saat kami mendengar geraman marah.
"Anjing?" kataku tercekat.
Benar. Sebelum aku dan Cal sempat bergerak, dua ekor anjing raksasa
bermata merah bergerak ke arah kami, menggeram penuh ancaman,
kepala mereka merunduk siap menyerang.
8 "TIIDDAAAAK!"

Goosebumps - Halloween Tanpa Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menjerit keras sekali. Lalu berbalik. Aku mencoba kabur
dari situ"tapi tubuhku malah membeku ketakutan.
Sambil berlari cepat, kedua anjing itu menggeram penuh
ancaman. "Habislah kita," gumamku. Kuangkat kedua tanganku untuk
melindungi wajahku. Lalu terdengar dengkingan. Dua dengkingan. Dan satu erangan.
Aku menurunkan tangan, dan menatap terperangah. Kedua
anjing galak itu tak lagi menyerang. Mereka menggerak-gerakkan
tubuh mereka, kaki-kaki mereka bergetar, wajah mereka kebingungan.
"Mereka terikat!" pekik Cal seraya menudingkan telunjuknya.
"Lihat, kan" Mereka hanya bisa sampai di situ!"
Jantungku berdebar begitu kencang, hingga aku nyaris tak dapat
bernapas. Perutku jungkir balik. Rasa cokelat tak kunjung hilang dari
mulutku. Kulayangkan pandanganku ke bukit, ke tempat anjing-anjing itu
berada. Mereka menggeram-geram kepada kami. Tapi kini tidak lagi
bersemangat. Soalnya mereka tahu mereka tak dapat menangkap
kami. Mereka tahu mereka sudah kalah.
Aku dan Cal tertawa. Lalu ber-high five. Kami berlari-lari
mengitari kedua binatang itu, dan menuju pintu samping rumah.
Apakah Mr. Benson membiarkan pintu itu tak terkunci"
Ya. Pintu itu berderit saat kudorong terbuka. Aku masuk duluan ke
dalam rumah. "Ini keren banget," bisik Cal. "Kita benar-benar berada di dalam
rumah Mr. Benson!" Aku menunggu sampai mataku menyesuaikan diri dengan
kegelapan di sekitar kami. Kami berdiri di sebuah pantry yang
panjang dan sempit. Baunya seperti lada.
Berjalan amat pelan dan hati-hati, kami masuk ke dapur.
Angin mengembuskan gorden putih di jendela yang terbuka.
Terdengar suara air menetes"TES- TES..."di dalam bak cuci piring.
Perutku kembali berakrobat, rasanya seperti ada gelombang
yang mengempas pantai di dalam tubuhku. "Aku... aku kurang enak
badan nih," bisikku.
Aku tak yakin apakah Cal mendengar ucapanku. Ia tengah
membuka kulkas dan mengintip ke dalam. "Wow! Mr. Benson minum
bir banyak sekalil" serunya. "Kurasa itulah sebabnya dia begitu
besar!" Sambil tertawa Cal berbalik kepadaku. Ekspresinya yang penuh
semangat tampak jelas dengan bantuan lampu kulkas. "Apa yang akan
kita lakukan?" ia bertanya. "Kau ingin mengeluarkan semua makanan
dari kulkas dan melemparkannya ke seluruh rumah?"
Aku membuka mulut untuk menjawab. Tapi perutku kembali
mengamuk. "Aku merasa nggak enak badan nih. Aku"kayaknya aku mau
muntah," keluhku. Kututup mulutku dengan tangan.
Aku harus ke kamar mandi, kataku pada diri sendiri. Segera.
Pergi ke kamar mandi. Aku beranjak ke pintu dapur. Tapi kemudian aku mendapat ide
yang lebih baik. Aku berbalik dan berjalan terhuyung-huyung ke meja dapur.
Sambil mencengkeram sandaran kursi, aku mendoyongkan tubuh"
dan muntah di atas taplak meja dapur yang bermotif kotak-kotak.
Muntahku banyak sekali. Seluruh makan malam dan semua
permen yang kutelan tadi.
"Iiih! Menjijikkan! Yaik!" Cal mengerang dari seberang dapur.
Ketika aku sudah selesai, meja dapur itu praktis diselimuti
genangan muntah. Ada rasa asam di mulutku. Tapi aku merasa jauh
lebih baik. Kubersihkan mulutku dengan sudut taplak meja. Lalu aku
mundur. Cal memencet hidungnya dengan telunjuk dan ibu jarinya. "Kau
sudah selesai?" ia bertanya.
Aku mengangguk lemas. "Keren," ia berkata. "Kurasa kita tidak perlu melakukan apa-apa
lagi." Aku menelan ludah dua kali, berusaha mengusir rasa asam itu.
"Apa" Apa maksudmu?" aku bertanya. Suaraku parau dan kasar.
"Kau telah mempersembahkan kejutan Halloween yang
menyenangkan untuk Mr. Benson," sahut Cal sambil menahan tawa.
"Kau telah mendekorasi dapur ini untuknya. Kurasa kita bisa pergi
sekarang." Ia beranjak ke pintu samping.
"Wow. Tunggu dulu," aku berkata, seraya menariknya.
"Setidaknya, marilah kita menjungkirbalikkan beberapa perabot atau
apa kek." Cal ragu. "Yeah. Baiklah. Itu keren."
"Ayo kita balikkan sofa di ruang duduk," aku mengusulkan.
"Dan TV-nya," Cal menambahkan.
"Asyik!" Aku mulai merasa jauh lebih enak.
Tapi nggak lama. Kami sedang berada di koridor yang menuju ruang duduk
ketika aku mendengar suara daun pintu terayun terbuka.
"Kita ketahuan!" Aku menahan napas.
9 AKU mendengar suara langkah yang berat dari muka rumah.
"Cepat!" aku berbisik. Kurenggut lengan jaket Cal dan kutarik
dia sepanjang koridor. "Kalau Mr. Benson memergoki kita, tamatlah riwayat kita!"
bisik Cal, matanya membelalak ngeri.
Kami meluncur cepat ke dapur.
Di belakang kami, kudengar suara napas yang berat. Lalu suara
besi diseret di lantai. Besi" Rantai" Aku melompat mendengar gonggongan yang mendirikan bulu
kuduk. "Anjing-anjing itu!" teriakku.
Aku berbalik dan melihat kedua anjing galak yang berada di
halaman tadi menyerbu masuk ke dapur. Rantai mereka menggesek
lantai di belakang mereka.
Kini kedua binatang itu menggonggong galak, kepala mereka
merunduk penuh ancaman, mata mereka berkilat merah.
"Mereka lepas!" pekikku.
Itulah ucapan terakhirku sebelum kedua anjing itu menerjang.
Aku mengelak. Lalu membalikkan tubuh dengan panik.
Lari tunggang-langgang ke jendela dapur yang terbuka"terjun
dengan kepala lebih dulu... keluar"keluar ke malam yang dingin.
Sambil tersengal-sengal mengisap udara segar, dadaku berdebar
cepat. Aku berlari dengan kaki gemetaran. Di belakangku, dapat
kudengar geraman dan salakan marah anjing-anjing dari arah dapur.
Di tengah halaman belakang, setengah jalan menuju jurang
gelap di depanku, aku menoleh.
Kulihat kepala Cal di jendela dapur. Satu lengannya terulur
keluar, bergerak-gerak liar sekali.
"Cepat!" seruku.
Tapi kemudian aku tersadar temanku yang berbadan besar itu
terjepit di sana. Terperangkap di ambang jendela yang sempit.
"Tolong aku!" Teriakan putus asanya nyaris tak terdengar di
tengah-tengah geraman mengerikan kedua anjing itu.
"Brandon"tolong!"
Aku maju selangkah menuju rumah"tapi kemudian berhenti.
Bagaimana aku bisa membantunya" Apa yang dapat kulakukan
bagi Cal sekarang" Ayo, kabur sana, Brandon, sebuah suara di kepalaku
mendesakku. Kau tak dapat menyelamatkan Cal. Jadi, selamatkan saja
dirimu. "Brandon"tolong!" erang Cal. Kemudian ia mengeluarkan
jeritan yang membuatku bergidik.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Anjing-anjing itu
melumatnya sampai habis, aku tersadar.
Lalu aku melihat salah satu anjing itu berlari mengitari samping
rumah. Sambil menyalak buas, binatang itu berlari cepat
menyeberangi halaman menuju ke arahku.
"Ohhhh." Aku mengerang ketakutan. Lalu berbalik menjauhi
rumah"saking cepatnya sampai aku nyaris terjatuh.
Dan lari terbirit-birit. Lari... lari menuju Jurang Raven.
Dengan terengah-engah dan jantung berdentam cepat, aku
sampai di bibir jurang. Lubang hitam yang dalam itu menganga di
depanku. Aku menoleh sekali lagi. Anjing yang terus menggonggong itu menyerbu cepat, matanya
berkilat-kilat, gigi dipertontonkan, kepalanya merunduk siap
menyerang. Cuma ada satu jalan untuk menyelamatkan diri. Melompati
jurang! Aku cuma punya waktu beberapa detik.
Aku dapat melihat seberang jurang itu, hanya sekitar tiga meter
dari tempatku berdiri. Di bawahku menganga jurang yang dalam dan
curam"dan di dasarnya menanti bebatuan yang hitam dan tajam.
Bisakah aku melompatinya tanpa mengambil ancang-ancang
dulu" Aku harus mencoba. Aku menoleh dan melihat anjing itu menengadahkan kepala,
mengeluarkan lolongan seraya bersiap-siap menyerangku.
Kupaksa diriku bergerak maju... kutekuk lututku...
Lalu kuregangkan otot-otot kakiku...
Dan melompat. "Tiddddaaak!" Jeritan mengerikan keluar dari tenggorokanku.
Lompatanku meleset. Tidak cukup jauh. Tidak cukup jauh... Tanganku mencakar-cakar udara. Tak ada sesuatu pun selain
udara. Dan kemudian aku terjatuh... cepat sekali...
Jatuh ke dalam jurang kematianku.
10 AKU mendarat keras sekali. Rasa sakit meledak di sekujur
tubuhku. Kututup mataku, berusaha mengusir pergi rasa sakit itu.
Waktu membuka mata, aku cuma mendapatkan kegelapan yang
pekat. "Di manakah aku?" aku bergumam, kepalaku terasa pening.
Aku tak dapat melihat. Tak dapat melihat apa pun juga.
Lalu aku tersadar bahwa kedua tanganku tengah berpegangan
erat ke sisi jurang. Jemariku menancap dalam-dalam di dinding
tanahnya. Aku berhasil. Yes. Aku berhasil melompati jurang itu.
"Cal?" gumamku, masih merasa pening.
Berhasil kaburkah dia" Apakah dia ikut melompat juga"
"Ohhh," aku mengerang saat dinding tanah jurang yang dingin
itu luruh. Cengkeramanku terlepas.
Aku mulai meluncur menuruni sisi jurang yang curam.
Dengan jeritan melengking kucengkeram kembali dinding
tanahnya. Kutanamkan jemariku dalam-dalam. Lalu kutarik diriku
naik, kakiku menendang-nendang, sepatuku menggaruk-garuk dinding
jurang itu. Saat berhasil mencapai puncak, kujatuhkan diriku dengan
posisiku menelungkup, tanganku terbentang di atas tanah yang dingin,
seperti memeluk bumi. Rasanya butuh waktu lama sekali untuk bisa bernapas kembali.
Kuhela tubuhku dan berdiri. Lalu berjalan dengan kaki
gemetaran ke bibir jurang.
"Cal?" seruku, tanganku kutangkupkan di sekeliling mulutku.
"Cal" Kau di situ?"
Aku tak dapat melihatnya. Juga anjing yang tadi mengejarku.
Atau rumah di atas halaman belakang itu.
Terlalu gelap, aku tersadar.
Kubersihkan tubuhku dari serpihan tanah. Lalu aku memandang
sekelilingku. Aku mulai merasa lebih normal lagi.
Bagaimana aku bisa pulang dari sisi sini" pikirku.
Aku sadar, aku belum pernah ke seberang jurang ini.
Aku berbalik dan mendapatkan diriku berhadap-hadapan
dengan hutan yang gelap. Pepohonan hitam yang tinggi menjulang ke
langit yang berwarna ungu. Pepohonan itu tumbuh rapat satu sama
lain, membentuk pagar. Aku berjalan cepat sambil bersiul-siul, dan mulai mengikuti
sebuah jalan setapak yang menikung menembus hutan.
Pasti ada kompleks permukiman di seberang sini, kataku pada
diri sendiri. Malam belum terlalu larut. Mungkin masih banyak anakanak keluar untuk trick-or-treat.
Udara semakin dingin saat aku berjalan keluar hutan. Sambil
menutup ritsletingku hingga ke bawah dagu, kuperhatikan
sekelilingku. Aku mendapatkan diriku berdiri di sebuah jalan sempit.
Di kiri dan kanan jalan ada deretan rumah-rumah kecil dan gelap yang
berdiri berdempetan satu sama lain.
Jalan itu kosong. Tak ada orang atau kendaraan lewat di sana.
Di mana sih anak-anak yang pergi trick-or-treat itu" pikirku.
Aku mulai merasa lapar. Akan kutakut-takuti anak pertama
yang kutemukan dan merampok permennya, aku memutuskan.
Kutarik topeng karetku dari kantong jaket dan kupasangkan
hingga menutup kepalaku. Sekarang aku cuma perlu menemukan seseorang untuk ditakuttakuti, kataku pada diri sendiri. Di mana sih semua orang"
Aku berjalan sepanjang trotoar, mengintai halaman-halaman
depan rumah yang gelap dari atas semak-semak rendah dan pagar
tanaman. Aku berhenti di belokan pertama dan membaca nama
jalanan itu: JALAN PERTAMA. "Nggak pernah dengar nama jalan seperti itu," gumamku.
Rumah-rumah di blok berikutnya bahkan lebih kecil dan lebih
berdempetan lagi. Lingkaran-lingkaran redup yang diciptakan oleh
cahaya kuning yang berasal dari lampu jalan menciptakan bayangan
diriku di atas permukaan jalan. Aku tak menemukan cahaya lain lagi
selain itu. Masih belum tampak satu manusia pun. Atau satu kendaraan
pun. Tak ada gonggongan anjing. Tak ada tangisan bayi.
Tak ada satu gerakan pun.
Aku bersiul semakin keras dan menggesekkan alas sepatuku
pada trotoar, hanya supaya menimbulkan suara.
"Kompleks permukiman yang aneh," gumamku lagi.
Nama jalanan yang berikutnya berbunyi:
JALAN KEDUA. Aku menatap berkeliling, mencoba mengetahui ke arah mana
aku sedang berjalan. Aku tahu aku harus berjalan mengitari jurang dan
baru bisa kembali ke seberang sana.
Tapi jalan mana itu"


Goosebumps - Halloween Tanpa Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jalan mana" Aku memandang kegelapan, dan tak lagi melihat pepohonan
tinggi hutan itu. Akan kucoba Jalan Kedua, putusku. Akan kususuri jalan itu
sampai menemukan seseorang. Dan kemudian aku akan menanyakan
bagaimana caranya kembali ke seberang.
Tapi Jalan Kedua sama kosong dan sunyinya dengan jalan yang
lain. Aku mencoba menyenandungkan sebuah lagu, bersenandung
keras sekali, hanya supaya diriku tidak panik.
Tak heran bila tak seorang pun pernah menyeberang ke sisi
jurang ini, batinku. Semua orang di sisi sini pasti pergi tidur pada
pukul delapan! Dan kemudian aku melihat seseorang.
Di sana, sekitar setengah blok dari tempatku berdiri. Orang itu
berjalan ke arahku di trotoar.
"Hei!" panggilku. "Hai!"
Tak ada jawaban. Aku berhenti berjalan dan menatap di bawah cahaya redup
kuning itu. Apakah itu seorang anak laki-laki"
"Hai"aku tersesat nih!" seruku. "Bisakah kau menolongku?"
Aku maju beberapa langkah ke arahnya. Ia terus berjalan,
mantap, tangannya di kedua sisi tubuhnya.
Begitu ia melangkah ke bawah sebuah lampu jalan, aku pun
dapat melihatnya dengan jelas.
Dan menahan napas saking terkejutnya.
11 ANAK itu mengenakan topeng. Topengku.
Topeng jelek sama seperti yang sedang kukenakan. Dari mana
ia dapatkan topeng itu" pikirku. Kukira cuma aku yang memiliki
topeng seperti itu. Ia berjalan ke arahku, menatapku dari balik lubang mata
topengnya. Tinggi anak itu sama denganku. Di balik topengnya, ia
mengenakan jaket denim dan celana jins baggy berwarna hitam.
"Dari mana kaudapatkan topeng itu?" tukasku.
Ia mengangkat bahu. "Aku nggak ingat."
"Tapi topeng itu sama dengan punyaku!" protesku.
"Yeah." Ia menatapku, sepertinya sedang mencoba
mengenaliku. "Aku"aku tersesat," kataku terbata-bata. "Di mana aku
sekarang ini" Aku tidak mengenali daerah ini."
"Well, bagaimana kau bisa sampai di sini?" ia bertanya.
"Aku... melompati jurang," aku memberitahu dia. Lalu tertawa,
tawaku tegang. "Seekor anjing mengejarku. Kau percaya" Jadi,
kulompati saja jurang itu."
"Wow. Itu benar-benar berbahaya," timpalnya pelan, suaranya
terdengar samar karena tertutup topeng jelek itu.
"Menurutku juga," gumamku.
"Pernahkah kau mendengar tentang anak cowok yang pernah
mencoba melompatinya tapi gagal" Tubuhnya menghantam batu di
dasar jurang dan dia langsung mati."
"Yaik," sahutku, bergidik ngeri. "Aku beruntung. Aku selamat
sampai di seberang."
"Yeah. Beruntung," ulangnya, masih menatapku lekat-lekat.
"Kau punya permen atau sesuatu?" aku bertanya. "Aku lapar
setengah mati nih." Ia menggelengkan kepala. "Aku tidak pergi trick-or-treat. Tapi
aku menghadiri sebuah pesta Halloween. Di sana tempatnya." Ia
menudingkan telunjuknya ke sebuah rumah bergaya peternakan yang
panjang. Letaknya di sudut jalan.
"Kok di sana sunyi senyap?" aku bertanya. Di mana semua
orang?" "Ini memang permukiman yang tenang," jawabnya. "Di sini
cuma ada sedikit anak-anak."
"Dan gelap banget, lagi," tambahku.
Ia menyeringai. "Kau tidak takut gelap, ya kan?"
"Tentu saja tidak," jawabku cepat. "Tapi aku tak suka tersesat.
Di mana Jalan Utama?"
"Di sebelah sana, kurasa." Ia memberi isyarat dengan
kepalanya. "Mau ikut ke pesta itu?"
"Pesta Halloween?" Kutatap rumah di sudut jalan itu. "Berapa
sih umurmu" Pesta-pesta Halloween kedengarannya konyol, ya kan?"
"Yang ini berbeda," sahutnya pelan. Ia berbalik dan mulai
berjalan menuju rumah itu.
Aku buru-buru mengejarnya. "Di sana ada makanan, nggak?"
"Yeah. Makanan. Namanya juga pesta."
Aku berjalan cepat di sisinya. Kupikir kami pasti kelihatan
aneh, sebab mengenakan topeng yang sama persis. "Siapa namamu?"
aku bertanya. "Norband," ia menjawab.
"Namamu aneh," gumamku.
"Semua orang memanggilku Norb," ia berkata, seraya
mempercepat jalannya. "Aku Brandon," ujarku.
Ia berhenti di undakan depan rumah dan berbalik padaku. "Jadi,
kau mau ikut nggak ke pesta itu?"
"Kayaknya sih," ujarku. "Tapi cuma sebentar lho. Kapan kau
mau memberitahuku bagaimana caranya pulang?"
Ia tak menjawab. Sebaliknya, ia malah mendorong pintu muka
hingga terbuka, dan masuk ke rumah.
Kuikuti ia masuk. "Hei"di sini gelap gulita!" teriakku. "Apa
yang terjadi?" 12 NORB berbalik dan menatapku dari balik topeng. "Apa sih
masalahmu, Brandon?" ia bertanya. "Pestanya di bawah, di ruang
bawah tanah." Aku merasa tolol sekali. Ketika kami berjalan melintasi rumah,
dapat kudengar bunyi musik dan suara-suara dari bawah. Norb
membuka sebuah pintu menuju tangga ruang bawah tanah, dan suarasuara itu langsung meledak menyambut kami.
"Lebih baik?" ia bertanya.
"Yeah. Hebat," sahutku. "Ini rumahmu?"
Sekali lagi, ia tidak menjawab pertanyaanku. Ia mulai
melangkah menuruni tangga yang curam, dua anak tangga sekali
melangkah, seraya memberi isyarat padaku untuk mengikutinya.
Saat bergerak turun, kulihat cahaya yang terang dan berkelapkelip serta bayangan-bayangan yang menari-nari di dinding. Dan aku
mendengar anak-anak tertawa dan mengobrol dengan suara keras,
meningkahi dentuman musik dansa yang memekakkan telinga itu.
Di dasar tangga aku menemukan diriku berada di sebuah
ruangan yang luas, yang didekorasi untuk Halloween. Pada dindingdindingnya terdapat karton-karton berbentuk buah labu yang diberi
mata dan mulut khas Halloween. Dan pita-pita yang terbuat dari kertas
krep oranye dan hitam terjuntai dari langit-langit yang rendah.
Ruangan itu penuh dengan anak-anak, setidaknya ada tiga atau
empat puluh anak cowok dan cewek, semuanya mengenakan topeng
dan kostum. Beberapa anak cewek berdansa di tengah ruangan.
Beberapa anak cowok memperhatikan mereka sambil mengobrol.
Anak-anak lain berkerumun membentuk kelompok-kelompok kecil,
mengobrol dan tertawa-tawa. Dua orang anak membebat tubuh
mereka dalam pita yang terbuat dari kertas krep oranye.
"Ini Brandon," Norb memperkenalkanku kepada seorang anak
tinggi kurus yang mengenakan kostum tengkorak.
Tengkorak itu mengangguk. "Namaku Max."
"Brandon kelaparan," Norb memberitahunya. Lalu ia berbalik
dan mulai mengobrol dengan dua anak cewek yang mengenakan
kostum nenek sihir. "Meja makanan dan minuman ada di sebelah sana," Max
berkata. Dibimbingnya aku melewati anak-anak yang sedang
berdansa, menuju sebuah meja panjang yang bertaplak oranye. Aku
melihat bertumpuk-tumpuk kue kering dan donat, bermangkuk keripik
kentang, dan dua pai labu yang tinggal setengah.
"Beri Brandon donat," perintah Norb, tiba-tiba saja ia sudah
muncul di meja. "Kau suka donat?" Max bertanya.
Aku mengangguk. "Yeah. Tentu saja. Tiba-tiba saja aku
semakin kelaparan." Diambilnya sebuah donat dari tumpukan paling atas, dan
diulurkannya padaku. Matanya menatapku dengan saksama dari balik
topeng tengkoraknya, seolah-olah ia tengah mempelajariku. "Ini donat
istimewa," ia berkata.
"Trims. Kelihatannya enak," aku berujar. Kutarik topengku.
Norb dan Max berdiri mengerumuniku saat kuangkat donat itu
ke mulutku. Donat itu lembut dan dilapisi tepung gula. Hmmm,
favoritku. Aku menggigit sekali. Lalu mengunyahnya. Dan mulai
menelan. Dan kemudian aku mengerang.
Aku merasakan sesuatu yang basah dan hangat di lidahku.
Kuangkat donat itu dan menatapnya penuh selidik.
"Iiiiih." Apa sih yang menggeliat-geliut di dalam donat itu"
Cacing-cacing berwarna cokelat-dan-ungu!
Kulepehkan gumpalan bercacing itu.
Cacing-cacing keluar dari donat itu. Satu malah merayap ke atas
tanganku. Dengan jeritan jijik, kuturunkan donat itu.
Tapi Norb keburu mencengkeram lenganku. Diangkatnya donat
itu ke depan wajahku dengan paksa.
"Makan, Brandon," ia memerintahkan. "Ayo. Habiskan donat
ini." 13 "TIIDAK!" Aku berusaha menarik tanganku.
Tapi Max dengan sigap membantu Norb. Berdua mereka
memegangiku"dan mendorong donat yang menjijikkan itu ke
wajahku. Mereka jejalkan donat itu ke dalam mulutku.
Kurasakan cacing-cacing itu bergerak-gerak di atas lidahku dan
menggelitiki langit-langit mulutku.
Aku mulai tersedak. Tapi mereka tak peduli, dengan teganya
mereka dorong donat itu masuk.
"Kunyah! Ayo kunyah!" bentak Norb.
Aku tak punya pilihan. Aku tak mau tersedak sampai mati
dengan mulut penuh cacing. Jadi aku mulai mengunyah.
Rasa asam yang menjijikkan membuatku kembali tersedak.
Mataku berair. Kurasakan keringatku bergulir turun di
keningku. Kututup mataku dan mencoba berpura-pura bahwa aku sedang
makan sesuatu yang lain. Pure kentang, misalnya.
Tapi pure kentang tidak menggeliat di dalam mulutmu!
Aku menahan napas dan menelan. Segumpal besar cacing
meluncur di tenggorokanku.
Akhirnya, aku berhasil menghabiskan seluruh donat itu.
Norb dan teman-temannya membebaskan aku.
Aku melangkah mundur hingga menabrak meja makanan.
Kutarik napas, sekujur tubuhku gemetaran. Rasa cacing yang asam
masih terasa di mulutku. "Kenapa?" Aku menarik napas. "Kenapa kalian melakukan ini
padaku?" ?B?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Mereka tertawa di balik topeng mereka. "Ini Halloween, ingat
kan?" Norb bertanya. Ia dan Max ber-high five.
"Tidakkah kau suka melakukan hal-hal menakutkan pada Hari
Halloween?" goda Max.
"Itu Sih bukan menakutkan. Tapi menjijikkan," gerutuku marah.
"Bye. Aku akan pergi dari sini."
Kudorong mereka dan berjalan menuju anak tangga. Tapi
mereka mencengkeram bahuku dan menarikku kembali.
"Kau baru saja tiba," Norb berkata. Matanya berkilat jahat di
balik topengnya. "Pestanya bahkan belum dimulai," Max menimpali.
"Lepaskan aku," desakku. "Pestamu busuk."
Tapi mereka malah mencengkeram lenganku semakin erat lagi.
"Hei, semua," Norb berseru. "Hei, dengar ini! Sekarang
Brandon akan menangkap apel dengan gigi!" (Kalau kalian belum
tahu, menangkap apel dengan gigi ini adalah salah satu tradisi
Halloween di negeri Barat. Biasanya pada Hari Halloween orangorang akan mengisi tong dengan air dan memasukkan apel ke
dalamnya. Nah, kita harus bisa menangkap apel yang mengapungapung itu dengan mulut, dan tidak boleh menggunakan tangan.)
"Siapa bilang!" aku memprotes. Aku terus meronta-ronta. Tapi
mereka lebih kuat daripada aku.
"Hei, semuanya!" Norb berteriak mengatasi suara berisik. "Ayo,
kita saksikan. Brandon akan menangkap apel dengan gigi!"
Kedua anak cowok itu menyeretku ke depan sebuah tong kayu
yang besar. Aku memandang ke bawah. Tong itu berisi air yang
berwarna hitam, hingga terlalu gelap untuk dapat melihat apa pun.
Empat atau lima anak menghampiri untuk menonton.
"Lepaskan aku!" hardikku marah. "Aku tak akan memasukkan
kepalaku ke dalam situ! Di sana bahkan tidak ada apel satu pun!"
"Tentu saja ada," sahut Max. "Banyak, malah."
Norb mencengkeram tengkukku dan mendorong kepalaku
mendekati tong. "Semua orang menangkap apel dengan gigi di pesta
Halloween," katanya pelan.
"Apa sih yang ingin kaubuktikan?" bentakku. "Pergi dariku!
Kau gila, apa" Lepaskan aku!"
Kutatap air yang gelap pekat itu. "Aku tidak melihat apel satu
pun!" "Lihat lebih dekat lagi," ujar Norb.
Mereka memegangiku dan mendorong kepalaku lebih rendah
lagi. Hidung dan pipiku menyentuh air yang menjijikkan itu.
Sambil meronta kuangkat kepalaku. "Kenapa kalian melakukan
ini padaku?" Aku menahan napas.
"Ini kan pesta Halloween," tukas Norb.
"Ayo, Brandon," bujuk Max. "Tangkap sebuah apel di antara
gigimu, dan tugasmu pun selesai."
"Aku cuma ingin pergi?" aku mulai berkata.
Tapi mereka kembali mendorong kepalaku ke dalam tong.
Mereka sinting semua, kataku pada diri sendiri. Mereka benarbenar sinting.
Baiklah. Akan kutangkap sebuah apel. Lalu pergi dari sini.
Kubuka mataku. Tapi aku tak dapat melihat apa pun di dalam
air yang gelap dan pekat itu.
Sesuatu terasa menusuk wajahku. Aku merasakan sesuatu yang
lembut dan basah merangkak ke dalam telingaku.
Sambil meronta, aku berjuang menarik kepalaku. Tapi Max dan
Norb memegangiku, mendorongku lebih dalam lagi ke dalam tong.
Kurasakan sesuatu menggaruk pipiku. Bagian belakang leherku
terasa geli saat beberapa makhluk kecil merangkak di atasnya. Seluruh
wajahku serasa ditusuk-tusuk.
Dengan segenap kekuatan, kuangkat kepalaku. Lalu kutatap
tong itu. Air di dalamnya bergerak-gerak. Hidup!
Airnya hidup! Bukan. Bukan air... Bukan air...
Tapi timbunan kecoak yang bergerak-gerak!
Sebelum aku dapat mengeluarkan protes, mereka menekan
kepalaku lagi ke tong itu.


Goosebumps - Halloween Tanpa Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menahan napas ngeri saat kecoak-kecoak menggaruk
wajahku, menyelam di rambutku, memanjat ke hidung dan telingaku.
Aku meronta-ronta. Tapi Max dan Norb menelikung tanganku
Pendekar Aneh Naga Langit 17 Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 2
^