Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 9

09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 9


Raden Rangga seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan Glagah Putih menjadi heran ketika ia melihat Raden Rangga seakan-akan sedang berbicara kepada seseorang. Meskipun Raden Rangga tidak berteriak-teriak, namun Glagah Putih seakan-akan mendengar suara Raden Rangga " Aku tidak berkeberatan. Tetapi bukankah kalian mengetahuinya, bahwa aku sedang mengemban tugas ayahanda. "
Glagah Putih tidak mendengar jawaban apapun juga. Tetapi sejenak kemudian Raden Rangga berkata " Jika ayahanda memerintahkan, aku akan pergi bersama kalian. Tetapi kalianlah yang bertanggung jawab kepada ayahanda. "
Raden Rangga menunggu sejenak. Lalu " Terima kasih atas kerinduan itu. Akupun menyadari jika waktuku telah tiba. Tetapi tunggu sampai aku selesai. Baru aku akan pulang. Bagiku sama saja. Bersama ayahanda atau bersama ibunda. Tetapi siapakah ibundaku. Yang nampak dimata atau yang terbersit didalam hati. "
Suara Raden Rangga terputus sejenak. Lalu " Jadi yang nampak dan yang tersimpan itu tidak ada bedanya" Tentu ada. Aku tidak tahu apa yang dimaksud itu. "
Setelah terputus sejenak Raden Ranggapun berkata " Aku akan pulang jika tugas ini selesai. Pulang kemana saja. Kepada ayahanda atau kepada ibunda. Sekarang tinggalkan aku dalam tugas ini. Lautan tidak dapat menjemputku sekarang. Kecuali ayahanda hadir sekarang dan memberikan perintah itu kepadaku. Karena ayahandalah penguasa tunggal di bumi Mataram ini. "
Glagah Putih bagaikan membeku ditempatnya. Yang kemudian dilihat adalah bahwa air itupun perlahan-lahan
menjadi surut, sehingga akhirnya airpun telah pulih kembali seperti sediakala.
Glagah Putih benar-benar menjadi heran atas penglihatannya. Namun beberapa saat ia menunggu. Ia tidak dengan serta merta turun ke sungai dan kembali ketem-patnya.
Tetapi yang membuat jantungnya berdebaran adalah bahwa Raden Rangga itu telah berbaring lagi diatas batu sebagaimana ia tidur.
Setelah beberapa saat ia menunggu, akhirnya Glagah Putih itu dengan hati-hati menuruni tebing. Ia sadar, bahwa ia telah melihat sesuatu tidak dengan mata wadagnya, karena yang dilihatnya itu ternyata bukan sebagaimana dikenal oleh penglihatan wadagnya.
Perlahan-lahan Glagah Putih mendekati Raden Rangga. Suatu hal yang menarik adalah, bahwa ternyata bebatuan itu sama sekali tidak menjadi basah. Ketika ia tiba-tiba saja berjongkok dan meraba pasir tepian diluar arus air, ternyata pasir itu kering.
" Hem " Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam " sesuatu telah terjadi dengan Raden Rangga.
Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian telah membangunkan Raden Rangga yang ternyata telah tertidur lagi.
" Raden " desis Glagah Putih.
Perlahan-lahan Raden Rangga mulai menggeliat. Kemudian iapun terbangun sambil menguap.
" Nyenyak sekali aku tidur " desis Raden Rangga sambil bangkit dan duduk diatas batu besar itu.
" Raden tidur cukup lama " berkata Glagah Putih.
" Apakah kau akan ganti tidur dan menghendaki aku duduk berjaga-jaga" " bertanya Raden Rangga.
" Tidak Raden " jawab Glagah Putih " aku tidak mengantuk. "
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia berdesis " Rasa-rasanya lama sekali aku tertidur. Ternyata aku telah bermimpi dahsyat sekali. "
" Bermimpi" " bertanya Glagah Putih.
" Ya, bermimpi " jawab Raden Rangga.
" Raden bermimpi apa" " bertanya Glagah Putih.
" Sungai ini tiba-tiba saja menjadi banjir. " jawab Raden Rangga.
Jantung Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Dengan nada dalam ia bertanya " Dan Raden hanyut" "
" Tidak. Aku tetap berdiri diatas batu ini " jawab Raden Rangga.
" Ada apa dimimpi Raden itu selain banjir" " bertanya Glagah Putih.
" Aku dijemput oleh utusan ibunda "- jawab Raden Rangga " ibunda menjadi sangat rindu kepadaku. Aku dipanggilnya pulang. Tetapi didalam mimpi aku teringat perintah ayahanda, sehingga aku mohon waktu kepada ibunda itu. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia mampu melihat sebagian dari mimpi Raden Rangga. Tetapi ia tidak dapat melihat yang disebut utusan ibunda Raden Rangga itu.
Dengan demikian maka Raden Rangga merupakan orang yang semakin aneh baginya. Bagaimana mungkin ia dapat melihat mimpi seseorang sebagaimana hal itu benar-benar terjadi. Tetapi menilik pasir dan bebatuan yang tetap kering, maka yang dilihatnya itu bukan yang sebenarnya terjadi.
Glagah Putih menjadi semakin sulit mengerti tentang hubungannya dengan Raden Rangga. Ia banyak terlibat pada diri Raden Rangga. Bukan hanya dalam hubungan kewadagan. Namun bahkan ia terlibat didalam mimpinya.
" Aku tidak mengerti " berkata Glagah Putih didalam hatinya.
Namun dalam pada itu, Glagah Putih itupun bertanya " Raden. Menurut Raden, sungai ini menjadi banjir di-dalam mimpi. Sementara itu, utusan ibunda telah datang. Bagaimana hubungan antara banjir dan utusan ibunda itu" Apakah utusan ibunda justru tidak hanyut didalam banjir"-
" Utusan ibunda naik seekor kuda yang tegar justru di-ujung banjir. Namun kemudian kuda itu berhenti diatas air yang semakin deras dibawah kaki-kakinya yang kokoh dan kuat " jawab Raden Rangga.
" O " Glagah Putih menjadi semakin bingung, sehingga Raden Rangga justru bertanya " Kau kenapa" Nampaknya kau justru seperti orang kebingungan. Kenapa kau terlalu terpengaruh oleh mimpiku" "
" Raden " berkata Glagah Putih " Raden bagiku adalah orang yang aneh. Bagaimana mungkin aku dapat terlibat didalam mimpi Raden. Seakan-akan aku telah ikut mengalaminya. Jika Raden hanya melihat dan mengalaminya didalam mimpi, maka rasa-rasanya aku justru mengalaminya sesungguhnya. Aku telah berlari-lari menepi dan naik keatas tanggul pada saat aku melihat Raden siap untuk meloncat dari batu ke batu. Namun ternyata Raden tidak menepi. "
Raden Rangga mengangguk-angguk. Sebenarnya iapun merasa heran, bahwa seseorang dapat terlibat didalam peristiwa mimpi orang lain.
" Satu peristiwa yang menarik " berkata Raden Rangga " meskipun sulit dimengerti, namun hal itu telah terjadi. Sayang, kau tidak melihat utusan ibunda yang gagah dalam pakaian yang asing diatas seekor kuda yang tinggi tegar. "
" Sayang sekali " desis Glagah Putih.
" Namun yang kau alami cukup aneh. Banjir itu tentu tidak sesungguhnya terjadi " berkata Raden Rangga " jika benar, aku tentu sudah hanyut. "
" Pasir dan bebatuannya tidak basah selain yang tersentuh air seperti sekarang ini. " sahut Glagah Putih " tetapi yang aku lihat adalah mimpi sebagaimana Raden ceriterakan. "
" Baiklah " berkata Raden Rangga " biarlah hal ini merupakan teka-teki. Kita akan mencari jawabnya jika mungkin. "
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian duduk pula tepekur diatas sebuah batu. Direnunginya air Kali Opak yang gemericik dibawah kakinya.
" Aku merasa bahwa aku justru tidak tertidur sama sekali " berkata Glagah Putih.
Ketika ia kemudian menengadahkan wajahnya kela-ngit, dilihatnya langit bersih. Tidak selembar mendungpun yang nampak mengalir didorong angin malam. Juga dile-reng Gunung Merapi nampak langit tak berawan sama sekali.
" Tidurlah " berkata Raden Rangga " biarlah aku yang berjaga-jaga meskipun banjir yang sesungguhnya tidak akan datang. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian " Apakah Raden tidak akan tidur lagi" "
" Jika aku merasa mengantuk maka biarlah aku membangunkanmu " berkata Raden Rangga kemudian.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berbaring puladiatas sebuah batu|yang besar. Batu itu mulai terasa dingin karena embun yang mulai turun.
Tetapi Glagah Putih tidak segera dapat tertidur. Ia masih memikirkan peristiwa yang dialaminya justru didalam mimpi Raden Rangga.
Namun akhirnya Glagah Putih berusaha melepaskan semua gerak didalam hati dan pikirannya. Ia ingin beristirahat barang sejenak diatas batu di Kali Opak itu.
Glagah Putih memang tertidur. Tetapi tidak terlalu lama. Kemudian ia terbangun, maka dilihatnya Raden
Rangga masih duduk ditempatnya dengan sikap sebagaimana saat ia tertidur.
" Kau hanya tidur sebentar sekali " desis Raden Rangga ketika ia melihat Glagah Putih terbangun.
" Sudah cukup " sahut Glagah Putih " agaknya aku tidak dapat tidur terlalu lama. "
Raden Rangga hanya mengangguk saja. Namun kedua-nyapun kemudian terdiam ketika mereka melihat seseorang yang menyusuri sungai itu sambil sekali-sekali menebarkan jalanya.
" Ia mencari ikan semalam suntuk dengan cara itu " berkata Raden Rangga.
" Tetapi orang-orang yang mencari ikan dengan cara itu, kadang-kadang dapat menangkap ikan sekepis penuh jawab Glagah Putih.
" Tentu " jawab Glagah Putih " pliridan hanya sekedar untuk membuat kesibukan. Tetapi orang-orang yang menjala ikan semalam suntuk disepanjang sungai, adalah bagian dari usaha untuk menambah penghasilannya. Biasanya mereka adalah petani " berkata Glagah Putih.
Raden Rangga mengangguk-angguk. Orang yang menjala ikan itu akhirnya mendekat juga, dan melemparkan jalanya beberapa langkah saja dari kedua anak muda itu.
Sejenak kemudian, maka jala itu telah ditariknya. Ketika jala itu kemudian dibawa menepi dan dikibaskannya sejengkal demi sejengkal, maka beberapa ekor ikan wader pari telah tertangkap didalamnya.
Demikianlah dilakukan oleh orang itu beberapa kali. Ditempat yang agak dalam dan tidak terdapat banyak bebatuan, maka orang itu telah mendapatkan ikan cukup banyak.
Namun kemudian orang itupun meneruskan kerjanya, menyusuri Kali Opak.
Demikian orang itu hilang dibalik bebatuan yang besar
maka Raden Rangga itupun berkata " Ia bekerja keras untuk keluarganya. Jika ia seorang yang berusaha untuk memperdalam olah kanuragan, maka laku yang dijalaninya cukup tinggi. Tetapi ia terpancang pada usahanya untuk mendapatkan sesuap nasi besok pagi. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Orang-orang seperti itu biasanya menyusuri sungai semalam suntuk antara tiga ampat hari sekali. Dari matahari terbenam sampai matahari terbit.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Raden Rangga berkata " Marilah. Kita meneruskan perjalanan. "
" Sekarang" " bertanya Glagah Putih.
" Ya. Justru kita tidak akan kepanasan " jawab Raden Rangga.
Glagah Putihpun mengangguk-angguk. Iapun segera membenahi dirinya. Mencuci wajahnya dengan air Kali Opak yang bening dan dingin. Kemudian bersama Raden Rangga meneruskan perjalanan disisa malam itu.
Seperti sebelumnya keduanya sama sekali tidak nampak tergesa-gesa. Raden Rangga berjalan sambil mempermainkan tongkatnya, sementara Glagah Putih melangkah satu-satu sambil memperhatikan keadaan disekitarnya.
Keduanya justru berjalan memanjat kaki lereng Merapi. Semakin lama semakin tinggi. Baru kemudian mereka berbelok dilambung menuju kearah Timur.
Ketika matahari terbit, keduanya sampai kesebuah padukuhan yang banyak dikenal oleh orang-orang disekitarnya; karena sebatang pohon yang besar dan disebut pohon Mancawarna. Orang-orang dipadukuhan itu dan disekitarnya percaya bahwa pohon yang besar, sebesar pohon beringin itu mempunyai beberapa jenis bunga. Barang siapa yang dapat melihat kuntum bunga melati pada pohon yang besar itu, maka orang itu akan mendapatkan sesuatu yang berharga atau satu diantara keinginan-keinginannya yang besar akan terpenuhi.
Sementara itu, pasar yang cukup besar terdapat dise-belah pohon yang besar itu.- Beberapa buah kedai terdapat didalamnya, sehingga Raden Ranggapun kemudian berkata " Kau lihat nasi yang masih mengepul itu.
" Ya Raden " jawab Glagah Putih.
"Apakah kau tidak lapar" " bertanya Raden Rangga
pula. Glagah Putih " tersenyum. Namun kemudian iapun mengangguk. Katanya " Aku memang sudah lapar Raden.
Keduanyapun kemudian memasuki sebuah kedai di-antara beberapa buah kedai yang berjajar dipinggir pasar itu. Disebelah lain berjajar pula beberapa pandai besi yang mengerjakan beberapa jenis alat-alat pertanian.
Agaknya dimana-mana memang ada orang-orang yang merasa dirinya lebih besar dari orang lain. Ternyata juga di-pasar itupun terdapat orang-orang yang demikian. Seorang yang agak gemuk merupakan orang yang paling ditakuti di pasar itu. Ia dapat berbuat apa saja sekehendaknya. Bahkan ia sering makan di kedai-kedai itu tanpa mau membayar. Untungnya orang itu mau berpikir juga, sehingga hal itu dilakukannya bergantian. Tidak hanya pada sebuah saja diantara kedai-kedai yang ada. Sekali ia berada diujung kanan, kemudian lain kali diujung kiri, atau disebelahnya atau ditengah. Dengan demikian maka para penjual di kedai itu tidak merasa terlalu banyak dirugikan.
Ketika Raden Rangga dan Glagah Putih sedang makan nasi hangat, mereka terkejut dengan kehadiran orang yang agak gemuk, berjambang dan berkumis lebat, menyelipkan golok besar dipinggangnya.
Demikian orang itu masuk, maka pemilik kedai itu sudah nampak gugup dan ketakutan. Apalagi ketika orang itu dengan nada keras memesan beberapa jenis makanan dan semangkuk wedang sere dengan gula kelapa.
Dengan tergesa-gesa maka pemilik kedai itu segera menyajikan apa yang telah dimintanya.
" Kau punya tuak legen aren" " bertanya orang yang agak gemuk itu.
" O, maaf Ki Dumi, kami tidak mempunyainya " jawab pemilik kedai itu dengan nada ketakutan.
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya " Baiklah. Biarlah aku beli di kedai lain. He, karena ini salahmu, maka beri aku uang. "
Pemilik kedai itu sama sekali tidak membantah. Justru setelah orang itu selesai makan dan minum, maka ia telah menerima beberapa keping uang dari pemilik kedai itu.
Demikian orang itu pergi, maka Raden Ranggapun telah bertanya " Ki Sanak. Apakah kau tidak menderita rugi mengalami perlakuan yang demikian. "
" Tidak Ki Sanak. Dan ini tidak terjadi setiap hari. Mungkin lima enam hari sekali. Bahkan kadang-kadang lebih. " jawab pemilik kedai itu.
Raden Rangga hanya mengangguk-angguk saja. Bahkan Glagah Putih menjadi cemas bukan karena orang itu. Tetapi sulit untuk mencegah jika tiba-tiba saja Raden Rangga berniat sesuatu.
Tetapi agaknya Raden Ranggapun bergumam " Jika kau tidak merasa dirugikan, biarlah hal ini terjadi dalam keadaan tenang dan damai. "
Pemilik warung itu mengangguk-angguk. Namun ia merasa heran bahwa ada seseorang yang berani menanyakan tentang orang yang gemuk dan membawa golok dipinggangnya itu.
Tetapi Raden Rangga dan Glagah Putih memang tidak berbuat apa-apa. Mereka masih tetap duduk ditempat mereka sambil makan dan sekali-sekali meneguk minuman panas yang menyegarkan.
Setelah selesai makan dan minum, maka keduanyapun minta diri sambil membayar harga makanan dan minuman mereka.
Tetapi ketika keduanya keluar dari kedai itu, keduanya
terkejut. Beberapa orang telah berlari-lari sementara ada yang memperhatikan kesatu arah dari kejauhan.
" Apa yang telah terjadi" " bertanya Glagah Putih kepada pemilik warung.
Pemilik warung itupun kemudian keluar dari warungnya. Namun kemudian iapun menarik nafas sambil berdesis " Satu kebetulan yang dapat membuat pasar ini menjadi kisruh. "
" Kenapa" " bertanya Glagah Putih pula.
" Ki Dumi telah bertemu dengan Ki Santop. Dua orang musuh bebuyutan. Biasanya keduanya saling menghindar. Namun agaknya keduanya telah memasuki warung yang sama untuk mencari legen aren. " jawab pemilik warung itu.
" Biasanya mereka selalu berselisih" " bertanya Glagah Putih pula.
" Ya. Bahkan kadang-kadang berkelahi " jawab pemilik kedai itu " namun daerah ini sebenarnya adalah daerah Ki Dumi. Orang gemuk yang tadi masuk kewarung ini. Ki Santop biasanya berada di pasar Prambanan. Mungkin ada sesuatu hal yang membawanya kemari, sehingga keduanya bertemu. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, beberapa orang memang sudah menyingkir. Menjauhi kedua orang yang nampaknya memang sedang bertengkar itu. Semakin lama semakin keras.
" Marilah, kita lihat apa yang dipertengkarkan " ajak Raden Rangga.
" Jangan anak muda " cegah pemilik warung itu " jika mereka marah, kadang-kadang mereka kehilangan kendali diri. Daripada kalian mengalami kesulitan, jangan mendekat. Lihat, orang-orang tuapun telah bergeser menjauh.
Tetapi Raden Rangga justru tertawa. Katanya " Aku ingin tahu apa yang mereka persoalkan. "
Pemilik kedai itu tidak dapat mencegahnya lagi. Raden
Rangga telah mengajak Glagah Putih justru mendekati dua orang yang sedang bertengkar itu, sehingga mereka mendengar apa yang dipertengkarkan.
" Aku tidak peduli ini daerahmu " berkata Ki Santop " kau sudah menghina kemanakanku kemarin. Bahkan kau sebut-sebut namaku. Aku tidak mau menerima penghinaan seperti itu. "
" Keponakanmu memang gila " geram Ki Dumi " ia kira bahwa ia dapat berbuat apa saja karena ia kemanakan Santop, termasuk berbuat gila dilingkungan kuasaku. "
Omong kosong " jawab Santop " ia tidak berbuat apa-apa. Kaulah yang terlalu besar kepala. Kau anggap dunia ini sudah menjadi milikmu. "
" Persetan " geram Dumi " sekarang kau mau apa" Aku memang telah memukuli kemanakanmu yang mencoba mencuri di pasar ini beberapa hari yang lalu. "
" Ia tidak mencuri, dungu " bentak Santop " ia mengambil benda yang dibutuhkan sebagaimana kau mengambilnya. "
" Itu tidak mungkin " Dumi hampir berteriak " jika aku dapat mengambil apa saja yang aku butuhkan, justru aku melindungi mereka, seisi pasar ini, dari tangan-tangan panjang seperti kemanakanmu itu. "
*** Jilid 208 "ANAK iblis." geram Santop, "sekarang aku datang untuk membuat perhitungan."
"Bagus-bagus. Kita akan mencoba sekali lagi kemampuan kita. Tetapi kali ini sampai tuntas, Siapa yang dapat disebut paling baik diantara kita berdua," berkata Ki Dumi, "jika selama ini kita masih menganggap bahwa kita memiliki tingkat ilmu yang sama, maka kita harus membuat kesan lain. Siapa yang kalah diantara kita hari ini, akan tunduk kepada yang menang untuk seterusnya."
"Kau tidak usah sesorah." bentak Santop, "aku akan memilin lehermu sampai patah."
"Bagus. Bagus." sahut Dumi sambil menarik golok serta sarungnya dan meletakkan di atas sebuah batu.
Sementara itu, Santoppun telah melepas ikat pinggangnya yang digantungi parangnya yang besar dan meletakkannya pula disebuah dingklik didepan sebuah kedai.
Namun dalam pada itu, keduanya terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar seseorang bertepuk tangan sambil berkata, "Bagus. Ternyata kalian berdua cukup jantan."
Dengan serta merta Glagah Putih menggamit Raden Rangga yang berdiri dengan wajah berseri-seri. Ternyata Raden Rangga terkejut juga. Bahkan tiba-tiba saja ia bergeser dibelakang Glagah Putih. Agaknya Raden Rangga itu menyesal, karena ia berbisik, " Aku tidak sengaja."
Kedua orang itu memandang Glagah Putih dan Raden Rangga yang berdiri dibelakangnya dengan tatapan mata yang garang. Bahkan Ki Santop itupun kemudian berkata lantang, "He, anak setan. Pergi dari situ. Atau kalian akan aku lemparkan ke lumpur di sawah itu."
Glagah Putih bergeser mundur. Namun Raden Rangga ada dibelakangnya sambil berdesis, "Kita akan melihat mereka berkelahi."
"Dari kejauhan saja. Kita akan berada diantara orang-orang yang berkerumun itu. Atau Raden memang mencari perkara?" bertanya Glagah Putih.
Raden Rangga kemudian bergeser mundur pula dan berada diantara orang-orang yang berkerumun pada lingkaran yang agak besar.
"Kalian menjadi saksi." teriak Dumi kepada orang-orang yang menonton itu, "siapakah yang terbaik diantara kami berdua."
Tidak ada seorangpun yang menjawab. Semua orang justru menjadi tegang. Namun diantara mereka tiba-tiba terdengar suara, "Ya. Kami akan menjadi saksi."
Semua orang berpaling kearah suara itu. Sekali lagi Raden Rangga bersembunyi dibelakang Glagah Putih yang nampak agak lebih besar daripadanya, karena umurnya memang lebih tua.
Dua orang yang siap berkelahi itupun berpaling pula kearah Raden Rangga. Tetapi keduanya ternyata tidak menghiraukannya.
Sejenak kemudian, maka kedua orang yang akan berkelahi itupun telah mempersiapkan diri. Keduanya bergeser beberapa langkah. Kemudian, Santoplah yang ternyata lebih dahulu meloncat menyerang Dumi. Namun Dumipun telah siap. Karena itu, maka iapun segera bergeser menyamping sehingga serangan Santop itu sama sekali tidak menyentuh sasaran.
Tetapi Santop tidak berhenti. Ia segera berputar dengan kaki terangkat mendatar. Dengan tumitnya ia telah berusaha mengenai lambung Dumi. Namun Dumi melihat serangan itu. Karena itu, maka iapun telah bergeser lagi dan bahkan dengan tangannya ia sempat menangkis serangan itu kesamping, sehingga sekali lagi serangan Santop itu tidak mengenai sasaran.
Yang kemudian menyerang adalah justru Dumi. Ia tidak mau selalu diburu saja oleh Santop dengan serangan-serangan. Karena itu, demikian Santop tergeser, maka Dumilah yang dengan loncatan panjang menjulurkan tangannya kearah dada lawannya.
Santop terkejut melihat serangan yang tiba-tiba. Karena itu, maka cepat ia menarik satu kakinya surut, kemudian sambil merendah ia memukul serangan itu kesamping. Dengan demikian maka lambung Dumipun justru terbuka. Dengan serta merta Santop telah melepaskan serangan dengan kakinya yang terjulur menyamping ke arah lambung lawannya.
Dumi tidak membiarkan lambungnya dihantam oleh serangan kaki Santop. Karena itu, maka dengan cepat dan sigap iapun telah meloncat mundur. Berputar setengah lingkaran bertumpu pada tumit, dan justru meloncat kembali dengan setengah kaki mendatar.
Santop terkejut. Ia tidak sempat menghindar. Karena itu, maka iapun telah merendah, melindungi dadanya dengan tangannya yang bersilang didadanya.
Kaki Dumi ternyata telah menghantam tangan Santop yang melindungi dadanya. Dengan demikian maka benturan yang keras telah terjadi. Namun agaknya Dumi dalam keadaan yang lebih mapan, sehingga karena itu, maka Santoppun telah terdorong dengan kekuatan yang besar, meskipun tidak langsung menghantam dadanya.
Santop terdorong surut. Bahkan keseimbangannya telah terganggu, sehingga Santop telah terdorong dan jatuh berguling. Tetapi ia cepat melenting berdiri sebelum Dumi sempat mengambil sikap, karena Dumipun telahh terdorong pula surut selangkah.
Sejenak kemudian keduanya telah kembali berhadapan dalam kesiagaan tertinggi. Santop dan Dumi telah sampai pada tingkat tertinggi ilmu mereka yang disegani oleh orang-orang disekitarnya. Dalam perkelahian yang kemudian terjadi, maka orang-orang yang menyaksikannya menjadi semakin kagum kepada keduanya. Mereka saling menyerang dan saling menghindar. Dorong mendorong. Desak mendesak dengan kekuatan sepenuhnya.
Beberapa orang tidak dapat menahan diri untuk memuji keduanya. Namun yang lain dengan nada kecut merasa semakin takut kepada kedua orang yang ternyata memiliki ilmu yang bagi mereka sangat nggegirisi itu.
Namun dalam pada itu, hampir diluar sadarnya, Raden Rangga berteriak, "Ayo. Lakukan dengan lebih baik. Atau yang kalian miliki memang hanya itu?"
Ternyata suara Raden Rangga itu didengar kedua orang yang sedang berkelahi itu. Agaknya keduanya memang merasa tersinggung karenanya, sehingga diluar persetujuan mereka berdua, maka Santop dan Durm itu telah berloncatan saling menjauh.
"Mulut siapa yang berbicara itu?" bertanya Santop dengan nada marah.
Tidak ada seorangpun yang menjawab. Raden Ranggapun tidak. Bahkan ia telah menyusup diantara orang-orang yang mengilingi arena dari jarak yang agak jauh itu.
"Ayo, siapa yang telah menghina kami." teriak Dumi, "salah seorang diantara kalian harus mengaku. Jika tidak, maka kami akan menghancurkan kepala kalian sernuanya."
"Cepat." sambung Santop pula. Bahkan ia telah melangkah mendekat kearah suara itu. Lalu katanya, "Jika tidak ada yang mengaku, maka kalian harus dapat menunjukkan siapakah yang telah berteriak itu. Jika kalian tidak mau menunjuk, maka kalian semua kami anggap bersalah."
Orang-orang itu menjadi semakin tegang. Apalagi ketika Santop dan Dumi bersama-sama melangkah mendekat kearah Raden Rangga.
"Cepat." teriak Dumi.
Orang-orang itu terkejut. Suara Dumi bagaikan gelegar guruh di atas kepala mereka. Namun tidak seorangpun yang mengaku.
Dalam pada itu, orang-orang yang mengetahui bahwa Raden Rangga yang berteriak menjadi marah pula kepada anak itu. Ialah yang membuat kedua orang yang sedang berkelahi itu mengancam dan barangkali keduanya tidak hanya sekedar mengancam. Karena itu, orang yang berdiri dibelakang Raden Rang"ga telah berdesis, "Nah, salahmu. Kau harus bertanggung jawab."
Raden Rangga berpaling. Katanya, "Tidak. Aku tidak apa-apa."
"Kau tadi yang berteriak dan membuat keduanya marah." orang dibelakangnya itu menegaskan.
"Bukan aku." jawab Raden Rangga.
"Kau. Aku sendiri melihat dan mendengar." orang itu mulai membentak.
Glagah Putih benar-benar menjadi gelisah. Apalagi ketika beberapa orang yang lainpun telah mendesak Raden Rangga pula karena mereka takut menjadi sasaran kemarahan kedua orang yang ditakuti itu.
"Persoalannya jadi bergeser." desis seorang yang berkepala botak tanpa ikat kepala, "karena itu kau harus mengaku, atau kami akan mendorongmu ke arena bahkan ikut memukulmu."
Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namim kemudian katanya, "Baiklah. Aku akan mengaku."
Tetapi sebelum Raden Rangga melangkah maju Glagah Putihlah yang lebih dahulu melangkah keluar kerumunan orang-orang yang melingkari arena perkelahian itu sambil berdesis, "Biar aku saja yang keluar."
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun ia mengerti maksud Glagah Putih sehingga ia tidak berusaha mencegahnya.
Ketika Glagah Putih kemudian maju mendekat, maka kedua orang itupun tertegun. Santop dengan serta merta berkata, "Kau lagi anak iblis."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun telah berubah sikap. Dengan lantang ia berkata, "Ya. Akulah yang mengharapkan pertarungan kalian menjadi lebih mantap."
"Apa maksudmu he?" bentak Dumi.
"Kalian tidak berkelahi dengan sungguh-sungguh. Apakah kalian hanya sekedar bermain-main untuk memberikan sedikit hiburan kepada orang-orang yang berada di pasar ini?" bertanya Glagah Putih.
"Anak gila." geram Dumi, "apakah kau sadari yang kau katakan."
"Kenapa tidak." jawab Glagah Putih, "aku sadar sepenuhnya. Aku tahu apa yang terjadi dan aku menjadi kecewa karenanya. Atau seperti yang aku katakan, kemampuan kalian memang hanya sekian."
Orang-orang yang mengerumuni arena dari jarak jauh itu, sempat juga mendengar kata-kata Glagah Putih. Mereka benar-benar menjadi heran. Namun orang-orang itu merasa belum pernah melihat anak yang lancang mulut itu, sehingga mereka mengira bahwa anak itu tidak mengenal dengan baik orang yang bernama Santop dan Dumi itu, sehingga agaknya anak itu menyangka, bahwa keduanya dapat dibawa berkelakar.
Dengan demikian orang-orang yang berada di arena itu menjadi semakin cemas. Mereka menjadi jengkel kepada Glagah Putih tetapi merasa cemas juga, bahwa anak itu mengalami nasib yang buruk.
Seorang diantara mereka bergumam ditelinga Raden Rangga, "Apakah saudaramu itu gila he?"
"Tidak, kenapa?" bertanya Raden Rangga.
"Apakah ia sadar akan apa yang dilakukannya sebagaimana ditanyakan oleh Ki Dumi?" bertanya orang itu pula.
"Tentu, kenapa tidak?" sahut Raden Rangga.
Orang-orang yang mendengar jawaban Raden Rangga itu mengumpat. Seorang diantara mereka menggeram, "Terserah saja jika anak iblis itu akan mengalami nasib buruk. Mereka terlalu dungu untuk mengatahui keadaan yang sebenarnya. Mereka menganggap bahwa mereka sedang berkelakar dengan kakeknya saja."
Raden Rangga tersenyum mendengar umpatan itu. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab.
Dalam pada itu, Ki Santop dan Ki Dumi menjadi sangat marah mendengar jawaban Glagah Putih. Namun terhadap anak yang masih sangat muda itu, keduanya masih berusaha menahan diri, meskipun dengan demikian tubuh mereka justru menjadi gemetar.
"Anak setan. Aku minta kau pergi dari tempat ini. Aku masih berusaha menahan diri meskipun melihat tampangmu rasa-rasanya aku ingin meremas mulutmu." geram Ki Dumi.
Tetapi jawab Glagah Putih memang sangat menyakitkan hati keduanya. Katanya, "Maaf Ki Sanak. Sudah aku katakan, bahwa aku ingin melihat kalian berkelahi lebih baik. Karena itu aku tidak akan pergi."
Ki Santop dan Ki Dumi tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba saja keduanya telah meloncat untuk menangkap Glagah Putih.
Glagah Putih tidak menghindar. Dihiarkannva dirinya diseret oleh kedua orang itu ketengah arena.
Pemilik warung yang melihat hal itu menjadi sandal berdebar-debar. Katanya kepada diri sendiri, "Aku sudah melarangnya. Tetapi anak itu memang keras kepala."
Demikian Glagah Putih sampai ketengah arena, maka iapun telah dilepaskan. Dengan nada tinggi Ki Santop berkata, "Berjongkok. Minta maaf kepada kami berdua. Atau kau akan menjadi cacad seumur hidupmu". Kau tentu belum mengenai siapa Santop."
"Dan siapa Dumi." sambung Ki Dumi.
Glagah Putih yang berdiri diantara kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Ki Sanak. Kenapa aku harus minta maaf. Bukankah aku hanya ingin melihat sesuatu yang lebih menarik" apakah itu salah?"
Ki Santoplah yang sudah tidak dapat menahan diri. Tiba-tiba tangannya melayang menghantam pipi Glagah Putih sambil membentak, "Aku koyak mulutmu."
Glagah Putih sudah menyangka, karena itu, maka iapun telah berusaha untuk meningkatkan daya tahannya, sehingga pukulan Ki Santop itu tidak terlalu menyakitkan pipinya.
Namun demikian Glagah Putih itu berkata, "Kenapa kau sakiti aku?"
Ki Santop mulai memperhatikan anak itu. Ia telah memukulnya. Ia menyangka, bahwa tiga giginya akan rontok. Tetapi anak itu seakan-akan tidak merasakan sesuatu. Ki Dumipun ternyata memperhatikannya juga, sehingga iapun menjadi heran karenanya.
Glagah Putih yang melihat sikap ragu pada kedua orang itu telah bertanya, "Ada apa?"
"Persetan." geram Ki Santop, "kau sudah terlalu banyak menghina aku. Jangan menyesal bahwa kami berdua akan memukulimu sampai tulang-tulangmu patah."
"Ki Sanak." berkata Glagah Putih, "sudahlah. Aku kira tidak akan ada gunanya kalian memukuli aku. Yang penting bahwa kalian menyadari, bahwa kalian tidak dapat bertindak atas dasar kesenangan dan kepentingan kalian sendiri. Ketika aku melihat salah seorang dari kalian mengambil makanan, minuman dan bahkan uang di kedai itu, aku merasa sangat kecewa. Berapa keuntungan penjual makanan itu" Seharusnya orang-orang yang memiliki kelebihan seperti kalian, justru melindungi orang-orang yang ada didalam pasar ini. Bukan malahan melakukan pemerasan seperti itu. Apalagi kemudian kalian berkelahi disini menakut-nakuti seisi pasar karena sebab-sebab yang tidak jelas."
"Tutup mulutmu anak setan." bentak Ki Dumi, "kau mau mengajari aku he" Kau itu apaku" Kakekku" Anak yang masih ingusan seperti kau ini seharusnya tidak berbuat aneh-aneh yang dapat menyeret lidahmu sendiri."
"Aku tidak berbuat aneh-aneh. Aku berkata sebenarnya. Bahkan aku memperingatkan kalian berdua, sejak saat ini kalian berdua tidak boleh memeras orang-orang yang berada di pasar ini, atau pasar yang manapun juga. Aku anjurkan kalian berdua membicarakan dengan baik-baik, imbalan yang akan kalian peroleh ditempat kalian masing-masing jika kalian bersedia menjadi pelindung mereka. Dengan demikian maka kalian akan merasa saling memerlukan dengan orang-orang yang berada dipasar ini."
"Tutup mulutmu." bentak Dumi. Yang kemudian mengayunkan tangannya bukan Santop, tetapi Dumi mengarah ke mulut Glagah Putih.
Glagah Putih memang tidak mengelak. Tetapi ditingkatkannya daya tahan tubuhnya dengan lambaran tenaga cadangannya. Karena itu ketika tangan Dumi yang terayun telah membentur batu. Karena itu, maka iapun telah menyeringai menahan sakit.
Dengan demikian, maka kedua orang itu telah benar-benar kehilangan kesabaran. Namun keduanya lidak terlalu dungu untuk tidak mengetahui bahwa anak itu teutu memiliki kelebihan. Menurut pengamatan mereka kedua anak muda itu bukannya orang gila. Karena ilu, maka penalarannya yang utuh itu tentu dialasi pula dengan perhitungan tentang tingkah laku mereka.
Karena itu, maka baik Santop maupun Dumi telah bersama-sama menyerang Glagah Putih. Namun Glagah Putih yang memang telah bersiap, sama sekali tidak mnngalami kesulitan. Santop dan Dumi memang termasuk orang-orang yang paling ditakuti, namun olah satu lingkungan yang me"mang jauh dari kisruhnya dunia olah kanuragan.
Karena itu, sebenarnyalah dibandingkan dengan Glagah Putih baik Ki Santop maupun Ki Dumi bukanlah orang yang harus diperhitungkan. Meskipun mereka akan bertempur berpasangan, namun Glagah Putih tidak akan mengalami kesulitan apapun juga.
Namun Glagah Putih tidak akan membuat mereka men"jadi kehilangan harga diri dihadapan orang-orang yang berkerumun disekitar arena itu. Karena itulah, maka ia telah maju ke arena tanpa membiarkan Raden Rangga melakukannya. Jika Raden Rangga ingin bermain-main dengan caranya, maka kadang-kadang ia lupa memperhatikan kepentingan orang lain.
Dengan demikian maka Glagah Putih tidak dengan serta merta mengalahkan kedua orang itu. Tetapi dibawanya kedua orang itu untuk bertempur, sebagaimana ia pernah mendengar Agung Sedayu menceriterakan cara-cara yang sering dipakainya untuk membuat seseorang jera tanpa merampas harga dirinya dalam keseluruhan.
Karena itu, maka perkelahian antara Glagah Putih dan kedua orang itupun nampaknya merupakan pertempuran vang sangat seru. Kedua belah pihak saling mendesak dan saling menghindar, Ki Santop dan Ki Dumi yang marah kadang-kadang telah menyerang dengan garangnya sehingga Glagah Putih nampak terdesak mundur. Namun kemudian Glagah Putihlah yang mendesak kedua lawannya.
Orang-orang yang berkerumun disekitar arena itu memang menjadi sangat heran. Bagaimana mungkin anak yang masih sangat muda itu mampu berkelahi melawan Ki Santop dan Ki Dumi bersama-sama. Padahal menurut pengenalan mereka, Ki Santop dan Ki Dumi adalah orang-orang yang tidak terkalahkan oleh siapapun juga didalam lingkungan kehidupan mereka. Apalagi anak-anak yang masih sangat muda itu. Namun mereka melihat satu kenyataan, bahwa anak muda itu memang mampu mengimbangi dua orang yang sangat mereka takuti di lingkungan mereka.
Sementara itu, Ki Santop dan Ki Dumi bertempur melawan Glagah Putih dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka. Keduanya memang merasa sangat malu, bahwa mereka berdua tidak segera dapat mengalahkan lawannya yang masih sangat muda itu. Bahkan mereka merasa bahwa mereka masih belum mampu mengenai tubuh lawan mereka.
Namun betapa mereka mengerahkan tenaga dan kemampuan, mereka tidak dapat berbuat banyak. Lawan mereka dengan tangkas selalu berhasil menghindarkan diri dari serangan mereka berdua. Tetapi keduanya terkejut ketika satu kenyataan lagi telah terjadi. Justru serangan anak muda itulah yang berhasil mengenainya. Menyentuh tubuhnya bahkan tidak hanya sekali atau karena kebetulan.
Ki Santop dan Ki Dumi mengumpat didalam hati. Namun mereka harus menghadapinya. Anak yang masih terlalu muda, tetapi mampu bergerak secepat burung sikatan menyambar bilalang.
Glagah Putih memang telah sempat mengenai kedua lawannya. Tetapi ia tidak ingin menjatuhkan lawan-lawannya dengan sentuhan tangannya. Jika ia menyentuh lawannya, Glagah Putih sekedar memacu lawannya agar bertempur semakin cepat. Dengan demikian, diharapkan agar lawannya itu menjadi semakin cepat kehabisan tenaga.
Sebenarnyalah bahwa Ki Santop dan Ki Dumi telah mengerahkan segenap kemampuannya. Sentuhan-sentuhan tangan Glagah Putih memang memaksa untuk lebih banyak mengerahkan tenaga.
Ketika Glagah Putih kemudian sempat menyentuh kening Ki Dumi dengan ujung jarinya, maka iapun berdesis, "Kenapa kau tidak menangkisnya?"
"Persetan." geram Ki Dumi yang meloncat menerkam Glagah Putih.
Tetapi Glagah Putih meloncat kesamping. Demikian serangan Ki Dumi kehilangan sasaran, maka justru tangan kiri Glagah Putih terayun ketengkuknya sambil berkata, "Jika aku memukul tengkukmu dengan sisi telapak tanganku ini dan apalagi dengan kekuatan yang besar, maka kau akan jatuh terjerembab. Wajahmu akan penuh dengan debu dan barangkali gigimu terantuk batu dan patah tiga buah sekaligus."
"Anak Setan." geram Ki Dumi.
Namun yang meloncat menyerang adalah justru Ki Santop. Kakinya terjulur menyamping, tepat kearah punggung Glagah Putih. Namun Glagah Putih yang dapat menangkap gerak Ki Santop, sempat menghindari serangan itu. Dengan tangannya ia justru mengangkat kaki yang terjulur itu begitu tiba-tiba.
Ki Santop terkejut. Demikian kakinya terangkat, maka ia tidak lagi dapat menjaga keseimbangannya, sehingga iapun telah jatuh terduduk. Ki Santop itu mengumpat kasar. Dengan tangkasnya ia meloncat berdiri.
Namun dalam pada itu, orang-orang yang mengerumuni arena itu menjadi semakin heran. Meskipun sebagian besar dari mereka tidak mengetahui apa yang terjadi, namun mereka dapat juga melihat, bahwa dalam perkelahian itu. Ki Santop dan Ki Dumi bersama-sama tidak segera dapat mengalahkan lawannya yang masih sangat muria itu. Bahkan beberapa kali keduanya telah terdesak, dan malahan mereka justru terjatuh dan tertatih-tatih kehilangan keseimbangan.
"Siapakah sebenarnya anak-anak muda itu?" pertanyaan itu mulai mengganggu orang- orang yang berada disekitar arena itu, bahkan beberapa orang menjadi ragu, bahwa anak-anak muda itu mempunyai niat buruk kepada seisi pasar itu.
Dalam pada itu, Raden Rangga menjadi gembira melihat permainan Glagah Putih. Iapun menyadari bahwa Glagah Putih memang tidak bersungguh-sungguh. Sebenarnya Glagah Putih akan dapat menghentikah perlawanan kedua orang lawannya itu kapan saja ia mau. Namun agaknya Glagah Putih memang menjaga agar kedua orang itu tidak kehilangan harga dirinya dan justru mendendamnya. Karena keduanya tidak akan mampu membalas saikit hatinya kepada Glagah Putih, maka orang-orang yang tidak berdaya ituiah yang akan dapat menjadi sasaran dendam mereka.
Sementara Glagah Putih masih berkelahi maka Raden Rangga itupun telah bergeser memasuki arena. Semakin lama semakin dekat. Bahkan kemudian ia hanya berdiri beberapa langkah saja dari mereka yang sedang berkelahi.
Orang-orang yang menyaksikan itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka tidaK tahu, apakah anak yang lebih muda itu juga memiliki kemampuan seperti anak muda yang lebih besar, yang sedang berkelahi melawan dua orang yang dianggap memiliki ilmu yang sangat tinggi oleh orang-orang disekitarnya.
"Anak ituiah yang sebenarnya tadi berteriak mengejek Ki Santop dan Ki Dumi. Tetapi anak muda yang lebih besar ituiah yang mengakunya." berkata seorang diantara mereka yang berada diseputar arena itu.
"Nah", tiba-tiba Ki Santop tertawa berkepanjangan, sekarang kau tidak dapat berlaku sombong lagi dihadapan kami."
Glagah Putih termangu-mangu. Sementara itu Ki Dumipun telah melangkah mengambil jarak.
"Ya." berkata yang lain, "agaknya anak itu memang nakal sekali. Sekarang ia menonton perkelahian itu sampai melekat dihidungnya. Jika terjadi salah langkah, maka itu adalah salahnya sendiri."
Ternyata Raden Rangga justru telah berjongkok sambil menonton perkelahian antara Glagah Putih dengan kedua orang lawannya. Bahkan sekali-sekali Raden Rangga itu telah bertepuk tangan.
Sikapnya memang sangat menjengkelkan. Orang-orang yang berada dilingkaran sekitar arena itu bertambah cemas melihat anak muda yang berjongkok didekat medan perkelahian. Apalagi anak itu seakan-akan sama sekali tidak menghiraukan bahaya yang mungkin dapat menimpanya.
Sikap Raden Rangga itu tidak lepas dari perhatian Ki Santop dan Ki Dumi yang selalu merasa terdesak. Apalagi ketika sentuhan-sentuhan tangan Glagah Putih semakin sering mengenai mereka. Bahkan kadang-kadang mulai terasa sakit.
Karena itu, tiba-tiba saja timbul niat yang licik dihati Ki Santop. Pada saat anak itu sama sekali tidak menghiraukan kemungkinan yang dapat terjadi atas dirinya, maka iapun berniat untuk menangkapnya dan menjadikannya perisai untuk memaksakan kehendaknya.
Karena itu, pada saat yang dianggapnya baik, selagi Ki Dumi meloncat menjauh, sementara itu Glagah Putih memburunya, maka Ki Santoppun telah meloncat dengan kecepatan yang sangat tinggi. Tiba-tiba saja ia telah menangkap tangan Raden Rangga dan memilinnya kebelakang.
Raden Rangga tidak melawan. Dibiarkannya tangannya terpilin. Sementara beberapa orang justru berdesis menahan jantung yang bergejolak.
"Anak itu." gumam pemilik warung.
"Nah." tiba-tiba Ki Santop tertawa berkepanjangan, "sekarang kau tidak dapat berlaku sombong lagi dihadapan kami."
Glagah Putih termangu-mangu. Sementara itu Ki Dumipun telah melangkah mengambil jarak.
Pertempuran kemudian terhenti. Ki Dumi yang berdiri beberapa langkah dari Ki Santop berkata, "Bagus. Ternyata kau mampu menangkap tikus kecil itu. Sekarang anak ini tidak dapat berbuat lain kecuali harus tunduk kepada perintah kita."
"Ya." berkata Ki Santop, "kita dapat berbuat apa saja. Jika anak itu mencoba melawan, maka tangan anak ini akan aku patahkan."
Glagah Putih masih saja termangu-mangu. Ia tidak mengerti niat Raden Rangga. Namun yang pasti, bahwa Glagah Putih sama sekali tidak mencemaskan nasibnya.
"Nah." berkata Ki Santop kemudian, "kau harus menuruti segala perintahku."
Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi di pandanginya wajah Ki Santop dengan tajamnya.
"Kemari." bentak Ki Santop tiba-tiba.
Glagah Putih masih tetap tidak menyahut. Tetapi ia tidak beranjak sama sekali dari tempatnya.
"Cepat kemari." bentak Ki Santop semakin keras, "kau harus berjongkok, mencium kakiku dan kau harus minta maaf atas segala kesalahanmu."
Glagah Putih masih tetap berdiri mematung.
Sementara itu Ki Santop telah menekan tangan Kaden Rangga sambil berkata lantang. "Cepat, atau tangan anak ini aku putuskan."
Yang terdengar adalah Raden Rangga berteriak, "Jangan."
Tetapi sungguh diluar dugaan bahwa Glagah Putih justru bertanya kepada anak muda yang tangannya terpilin itu, "Apa yang jangan."
Raden Rangga mengerutkan dahinya. Tetapi akhirnya ia tertawa tertahan sambil berdesis, "Anak setan."
"Cepat berjongkok." Ki Santop hampir berteriak.
Karena Glagah Putih masih berdiri tegak, maka Ki Dumipun mendekatinya. Dengan kasar ia telah mendorong Glagah Putih untuk mendekat dan kemudian berjongkok untuK mencium kaki Ki Santop.
Tetapi ternyata Glagah Putih,tidak melakukannya. la memang terdorong maju selangkah. Tetapi ia telah berdiri lagi tegak seperti patung.
Ki Santop menjadi jengkel. Karena itu, maka sekaii lagi ia menekan tangan Raden Rangga keras-keras. Dan sekali lagi terdengar Raden Rangja itu berteriak, "Jangan."
"Aku tidak peduli." geram Ki Santop, "jika kawanmu atau saudaramu itu tidak mau berjongkok dan mencium kakiku, maka tanganmu akan aku patahkan."
"Lalu, apakah aku tidak akan memakai tangan lagi?" bertanya Raden Rangga.


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anak iblis." teriak Ki Santop sambil menekan tangan itu lebih keras lagi. "Aku tidak peduii bahwa tanganmu akan benar-benar patah."
Namun Raden Rangga itu berteriak lagi. "Jangan."
Ki Santop tidak menghiraukannya. Ia ingin menekan tangan itu semakin keras. Tetapi sesuatu terasa didalam dadanya. Teriakan anak muda yang tangannya itu dipiiinnya rasa-rasanva telah bergetar menusuk kedalam dadanya. Sementara itu, terasa seakan-akan getaran yang asing merambat dari tangan anak yang dipilianya itu menyusup kedalam darahnya dan mengalir pula kejantungnya. Dengan demikian jantung orang itupun terasa menjadi sangat pedih.
Tetapi Ki Santop tidak segera mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Karena anak muda yang berkelahi melawannya itu tidak juga mau berjongkok dihadapannya dan mencium kakinya, maka iapun telah berusaha untuk memaksanya dengan menyakiti anak yang tangannya telah dipilinnya itu. Namun setiap kali ia menekan tangan itu, maka pedih didadanya terasa semakin menusuk.
"Gila." katanya didalam hati, "apa yang telah terjadi?"
KiDumi yang kemudian sekali lagi mendorong Glagah Putih, memang menjadi heran melihat sikap Ki Santop yang wajahnya tiba-tiba menjadi sangat tegang.
"Jangan menunggu kami marah." geram Ki Dumi, "cepat berjongkoklah."
Ketika orang itu dengan keras dan kasar mendorong Glagah Putih sekali lagi, maka Glagah Putih memang telah berjongkok dihadapan Raden Rangga yang tangannya terpilin.
Namun adalah diluar dugaan Ki Dumi bahwa justru Ki Santop telah melepaskan tangan Raden Rangga sambil meloncat surut. Dengan kasar ia mengumpat.
"Kenapa?" Ki Dumi menjadi heran.
Ki Santop memegangi tangannya yang dipergunakannya untuk memilin tangan Raden Rangga. Tetapi pada tangan itu tidak terasa sesuatu. Bahkan dadanyapun tidak lagi merasa tertusuk oleh perasaan pedih dan sakit.
"Aneh." desisnya.
Sementara itu Glagah Putihpun telah bangkit pula dan berdiri tegak memandangi Ki Santop yang termangu-mangu. Ki Dumipun tegak memandangi Ki Santop yang termangu-mangu. Ki Dumipun nampaknya menjadi bingung dan kurang tanggap, apakah sebenarnya yang telah terjadi.
"Apa yang aneh?" bertanya Glagah Putih.
Ki Santop tidak segera menjawab. Diamatinya kedua anak muda itu dengan jantung yang berdebar-debar. Na"mun didalam hatinya telah tumbuh satu keyakinan, bahwa kedua orang anak muda itu tentu bukan orang kebanyakan Karena itu, maka iapun kemudian melangkah mendekat sambil menarik nafas dalam-dalam. Nada suaranyapun telah berubah ketika kemudian iapun bertanya, "Siapakan sebenarnya kalian anak muda?"
Raden Rangga memandang orang itu sejenak. Namun kemudian katanya, "Kami bukan siapa-siapa Ki. SanaK. Kami adatah pengembara yang menjelajahi bumi ini."
Ki Dumi menjadi termangu-mangu. Apalagi orang-orang yang berada disekitar arena itu. Mereka tidak tabu apa yang terjadi. Namun mereka melihat bahwa Ki Santop tidak lagi nampak terlalu garang.
Ki Dumipun kemudian melangkah mendekat. Dengan nada ragu ia bertanya, "Apa yang sebenarnya terjadi."
"Kita harus melihat kenyataan." berkata Ki Santop, "aku yakin bahwa kedua anak muda ini memilik kelebihan dan bahkan mungkin keduanya adalah orang-orang yang terpilih dalam satu perjalanan untuk tugas-tugas tertentu."
"Kenapa kau dapat mengambii kesimpulan begitu?" bertanya Ki Dumi.
"Apakah tidak terasa oleh kita." berkata K Santop, "apakah yang kita dapatkan selama kita bertempur untuk waktu yang sebenarnya sudah terlalu panjang. Aku yakin bahwa kita tidak akan dapat memenangkan pertempuran ini. Bahkan aku berpendapat, seandainya anak-anak muda ini mau bertindak lebih kasar kita sudah dikalahkannya."
Ki Dumi termangu-mangu, sementara itu Ki Santop menjelaskan.
"Tangan yang aku pilin itulah yang menjelaskan segala-galanya. Jika semula kita masih bertahan bertempur berdua, akhirnya tangan yang terpilin itu memastikar aku, bahwa sebaiknya aku mengakui kenyataan ini."
Ki Dumi menarik nafas. Sebenarnya iapun telah menduga, bahwa anak-anak muda itu bukan anak-anak muda kebanyakan sebagaimana mereka sangka semula. Namun dengan demikian maka Ki Dumi pun bertanya, "Jika demikian apakah yang sebenarnya kalian kehendaki."
"Tidak ada." jawab Raden Rangga, "aku hanya tidak senang melihat kalian berkelahi. Padahal kalian dapat bekerja bersama untuk justru mengamankan pasar ini atau pasar yang lain. Tetapi kalian malahan berkelahi. Apakah yang kalian dapatkan dari perkelahian ini?"
"Dumi berbuat kasar atas kemanakanku." jawb Ki Santop.
"Bukankah itu persoaian yang dapat terjadi pada anak-anak yang berkelahi karena berebut kemiri yang tidak mapan milik siapa?" berkata Raden Rangga.
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Raden Rangga mulai bebicara dan bersikap lain.
Dalam pada itu Ki t"antop dan Ki Dami mengangguK-angguk. Sementara Raden Ranggapun berkata, "Nan, bukankah banyak persoalan yang dapat kalian pecahkan jika kalian bekerja bersama" Mungkin pasar ini di ganggu oleh orang-orang yang sering mencopet milik orang lain, atau gangguan-gangguan lain yang dapat kalian atasi bersa"ma."
Ki Santop menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Daerah ini semula aman Ki Sanak. Itulah sebabnya maka kami tidak mempunyai persoalan apapun juga dengan orang lain, sehingga kami telah membuat persoaian sendiri."
"Kenapa semula?" bertanya Raden Rangga.
Ki Santop termangu-mangu. Namun iapun kemudian mengatakan, "memang akhir-akhir ini telah terjadi satu gangguan yang mencemaskan kami."
"Gangguan apa" Jika demikian kenapa justru kalian tidak bersama-sama menghadapi gangguan itu, malahan kalian berselisih tentang sesuatu yang kurang pantas?" bertanya Raden Rangga.
"Gangguan itu hanya seperti air yang mengaiir lewat dan kemudian kering kembali." jawab Ki Santop.
"Apa yang terjadi?" bertanya Raden Rangga.
"Untuk beberapa hari ada empat orang yang tinggal di pasar Prembun." berkata Ki Santop, "mereka merampok dan mengambil uang orang-orang yang berada dipasar. Ketika aku mencoba mengatasi mereka, ternyata aku telah menjadi tertawaan mereka. Karena itu, maka akhirnya aku tidak dapat berbuat apa-apa."
"Orang itu sekarang dimana?" bertanya Raden Rangga.
"Kami disini tidak mengetahuinya. Tetapi beberapa orang melihat empat orang itu pergi ke arah timur." jawab Ki Santop.
"Sepeninggal orang-orang itu kalian ingin rnenunjukkan kelebihan kalian kembali setelah kalian dikalahkan oleh keempat orang itu agar kalian tetap disegani didaerah ini?" bertanya Raden Rangga.
Ki Santop hanya menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak menjawab.
Namun ampat orang itu telah menarik perhatian. Ketika Raden Rangga minta keterangan lebih banyak lagi, maka ternyata bahwa empat orang itu tentu sebagian dari orang-orang yang telah berada di Mataram, namun kehi"langan pimpinan mereka, sehingga mereka seperti semut yang diguncang sarangnya.
"Mereka pergi ke arah timur." desis Raden Rangga, "tentu satu usaha untuk melaporkan keadaan mereka di Ma"taram."
"Apakah kalian mengenai mereka?" bertanya Ki Dumi.
Tetapi Raden Rangga menggeleng. Katanya, "Aku hanya mendengar beberapa ceritera tentang orang-orang seperti itu."
"Nah, itulah yang dapat kami beritahukar. Kami berkelahi karena kami masih ingin menunjukkan bahwa Kami adalah orang-orang yang harus ditakuti. Namun ter"nyata bahwa kami tidak mampu berbuat sesuatu dihadapan kalian, namun ada sedikit keraguan pada kami, bukankah kalian tidak termasuk orang-orang sebagaimana keempat orang itu?" bertanya Ki Santop kemudian.
"Apalagi ujud dan sikap kami mendekati orang-orang yang kau katakan itu?" bertanya Raden Rangga.
"Tidak, sama sekali tidak." jawab Ki Santop.
"Nan, jika demikian maka kalian dapat menilai kami berdua." jawab Raden Rangga, "tetapi apakah kalian dapat memberikan petunjuk, kemana keempat orang itu pergi?"
"Kami mendapat keterangan dari orang yang melihatnya, bahwa empat orang itu telah meninggalkan daerah ini lewat padukuhan Patran dan kernudian melalui Sawit."
Raden Rangga mengangguk-angguk. Meskipun ia belum tahu pasti letak kedua padukuhan itu namun Raden Rangga yakin bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang itu adalah justru menuju ke Timur, yang mungkin akan dapat memberikan paling tidak petunjuk arah. Karena itu, maka Raden Ranggapun telah minta kepada Ki Santop dan Ki Dumi untuk memberikan ancer-ancer padukuhan yang dilalui oleh orang-orang yang ter"nyata telah melakukan perampasan di jalan-jalan yang dilewatinya.
"Terima kasih." berkata Raden Rangga yang kemu"dian berpaling kepada Glagah Putih, "kita akan mengikuti perjalanan mereka."
"Untuk apa?" bertanya Ki Santop.
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun dengan nada rendah ia kemudian berkata, "Bukankah tidak pantas jika orang-orang itu merampas disepanjang perjalanan mereka?"
Ki Santop dan Ki Dumi mengangguk-angguk. Semen tara itu Raden Ranggapun berkata, "Sudahlah. Kami min"ta diri. Sebenarnya kami sekedar singgah untuk makan. Namun kami telah terlibat dalam persoalan kalian. Sokurlah jika kalian dapat mencari jalan pemecahan yang baik dari persoalan kalian. Sokurlah jika kalian dapat mencari jalan pemecahan yang baik dari persoalan yang kalian hadapi."
Ki Santop dan Ki Dumi tidak menjawab. Tetapi kedua"nya mengangguk-angguk kecil.
Namun ketika Raden Rangga dan Glagah Putih mulai beringsut, Ki Santop berkata, "Terima kasih anak-anak muda. Kalian telah memberikan peringatan dengan cara yang cukup keras namun mampu menyentuh perasaan kami. Kekalahan kami dari kalian, sama sekali tidak menimbulkan dendam. Berbeda dengan kekalahanku dari keempat orang-orang yang telah pergi ke arah Timur itu. Jika aku mampu, rasa-rasanya aku ingin membunuh mereka."
"Lupakan mereka." berkata Raden Rangga, "seandainya ada lagi orang-orang seperti itu da tang, jangan kau lawan. Atau jika kalian memang ingin mengusir mereka, maka semua orang padukuhan harus ikut serta. Namun kalian harus memperhitungkan korban yang mungkin jatuh. Untuk membunuh empat orang diantara orang-orang seperti yang kau katakan itu diperlukan kekuatan yang cukup besar. Bahkan korban yang jatuhpun tidak akan kurang dari sepuluh orang. Bahkan mungkin akan dapat berlipat dua."
Ki Santop dan Ki Dumi mengangguk-angguk pula. Sementara itu Raden Rangga berkata, "Hati-hatilah. Sementara itu, kami akan berjalan menyusuri jejak mereka. Tetapi, kapan mereka meninggalkan tempat ini."
"Sudah tiga atau ampat hari yang lalu." jawab Ki Santop.
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Mungkin orang-orang itu telah meninggalkan Mataram lebih dahulu dari orang-orang yang terbunuh di keramaian Merti Desa itu.
Demikianlah, maka Raden Rangga dan Glagah Putih telah meninggalkan pasar itu. Mereka berusaha untuk menelusuri jalan yang melewati padukuhan Patran dan kemudian Sawit.
"Jika mungkin kita akan mengikuti perjalanan me"reka." berkata Raden Rangga, "memang sulit dan mung-kin kita akan kehilangan jejak. Tetapi mudah-mudahan orang-orang itu sempat menarik perhatian orang banyak disepanjang perjalanannya, sehingga memberikan kemungkinan kepada kita untuk mengikutinya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Bukan mustahil. Tetapi kemungkinan lain dapat terjadi."
Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun keduanya berniat untuk mencobanya.
Seperti yang diberitahukan oleh Ki Santop dan Ki Dumi, maka merekapun telah melewati beberapa bulak pendek dan padukuhan Patran. Akhirnya mereka memasuki ling"kungan padukuhan Sawit.
Memang sulit bagi Raden Rangga dan Glagah Putih untuk mendapat keterangan tentang empat orang yang pernah melewati padukuhan itu. Jalan yang paling mudah ditempuhnya adalah berbicara dengan orang-orang padu"kuhan itu.
Namun seharusnyalah bahwa pembicaraan itu tidak justru menarik perhatian mereka. Karena itu, maka Raden Rangga dan Glagah Putihpun ketika melewati sebuah warung singgah pula sejenak meski"pun sebenarnya mereka masih kenyang. Namun Raden Rangga berkata, "Aku merasa sangat haus."
Glagah Putih hanya tersenyum saja. Hampir saja ia menjawab, bahwa biasanya mereka dapat minum dari air belik di tepian.
Sebenarnyalah, bahwa ketika mereka berada didalam kedai, mereka sempat memancing pembicaraan tentang empat orang yang pernah melewati padukuhan itu.
"Mereka singgah di warung ini pula." berkata pemilik warung itu.
"O, mereka berhenti untuk makan dan minum?" ber"tanya Raden Rangga.
"Ya, meskipun agaknya mereka tidak begitu berselera." jawab pemiliknya.
"Jadi, untuk apa mereka singgah" Apakah mereka sekedar ingin beristirahat, atau barangkali haus atau kepentingan yang lain?" bertanya Raden Rangga pula.
"Mereka memerlukan uang." jawab pemilik warung itu, semua uangku yang ada pada waktu itu telah diambilnya tanpa tersisa sekepingpun."
Raden Rangga dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba mereka melihat pemilik warung itu menjadi tegang sambil bertanya, "Tetapi siapakah kalian ini?"
"Aku bukan kawan mereka." jawab Raden Rangga, "aku mendengar tentang empat orang itu di padukuhan di dekat pohon Mancawarna itu. Ternyata keempat orang itu telah memeras beberapa orang yang sedang berada di pasar."
"Pasar Mancawarna?" bertanya seseorang.
"Tidak." Glagah Putihlah yang menyahut, "tetapi di pasar Prembun."
Pemilik warung itu mengangguk-angguk. Namun iapun masih juga bertanya, "Apakah kalian berkepentingan dengan keempat orang itu?"
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Glagah Putih menjawab, "Tingkah mereka tidak menyenangkan."
"Tetapi apa yang dapat kalian perbuat terhadap mereka?" bertanya pemilik warung itu.
"Setidak-tidaknya aku dapat melaporkannya." jawab Glagah Putih pula.
"Lapor kepada siapa" Bebahu padukuhan" Atau bebahu Kademangan" Mereka bertindak cepat dan kasar. Bahkan mungkin Ki Demang dan Ki Jagabaya tidak akan dapat mengatasi mereka berempat. Nah, kenapa di Prembun mereka tidak ditangkap?" desak pemilik warung itu.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ya. Tidak seorangpun yang mampu menangkapnya di Prembun."
"Kalau begitu, yang kau lakukan adalah sia-sia saja." berkata pemilik warung itu.
Glagah Putih tidak menyahut. Menurut jalan pikiran pemilik warung itu, yang akan dilakukan memang sia-sia. Dan Glagah Putih tidak membantah.
Demikianlah, maka sejenak kemudian kedua orang anak muda itu telah minta diri setelah membayar harga minuman yang telah mereka teguk dan sepotong kecil makanan yang telah mereka makan.
Namun dipintu mereka masih mendengar pemilik warung itu berkata, "Anak-anak muda. Jika kalian tidak berkepentingan langsung, jangan hiraukan orang-orang itu. Mereka adalah orang-orang yang berbahaya."
"Baiklah. Terima kasih atas peringatan ini." jawab Glagah Putih.
Pemilik warung itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Anak-anak muda itu agaknya memang senang bertualang. Tetapi ia akan membentur batu jika ia mengikuti keempat orang yang pergi kearah Timur itu."
Namun agaknya Raden Rangga dan Glagah Putih tidak menghentikan usahanya. Mereka menjadi semakin yakin bahwa jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang pernah dilalui keempat orang itu. Namun untuk seterusnya keduanya tidak tahu kemana keempat orang itu pergi. Pemilik warung itupun tentu tidak tahu pula, sementara itu pemilik warung itu tidak akan memberitahukan pula seandainya ia mengetahuinya. Meskipun maksudnya baik sebagaimana pemilik warung di padukuhan yang pernah dilaluinya didekat pohon Mancawarna itu.
Adalah kebetulan bahwa Raden Rangga dan Glagah Putih kemudian duduk disamping orang itu dan berbicara tentang empat orang yang diikutinya itu, maka orang itu"pun mengangguk-angguk sambil menjawab, "Seisi padu"kuhan ini menjadi ketakutan ketika berita tentang empat orang itu tersebar. Tetapi empat orang itu hanya merampas uang di kedai itu saja dan pergi meninggaikan padukuhan ini."
"Mereka pergi kearah mana Ki Sanak?" bertanya Raden Rangga.
"Mereka pergi ke padukuhan sebelah. Padukuhan diseberang hutan panjang itu." jawab petani itu.
"Terima kasih." berkata Raden Rangga yang kemu"dian bersama Glagah Putih meninggaikan orang itu termangu-mangu.
Ternyata disetiap padukuhan keempat orang itu telah melakukan perampasan. Namun dengan demikian telah mempermudah usaha Raden Rangga dan Glagah Putih untuk menelusuri jalannya. Namun Raden Rangga dan Glagah Putihpun kemudian menjadi berdebar-debar. Ternyata jalan yang ditempuh oleh orang itu menuju ke Jati Anom.
"Mereka pergi ke Jati Anom." berkata Raden Rangga sambil mengerutkan keningnya, "agaknya mereka masuk kedaerah yang berbahaya, Seharusnya hal itu mereka sadari."
"Mungkin mereka tidak berbuat apa-apa di Jati Anom," berkata Glagah Putih.
"Mungkin." Raden Rangga mengangguk-angguk.
"Jadi bagaimana dengan kita" Apakah kita akan pergi ke Jati Anom pula?" bertanya Glagah Putih.
"Kita mengikuti jalan yang ditempuh orang-orang itu." berkata Raden Rangga.
Sebenarnyalah, jalan yang ditelusuri oleh keempat orang itu ternyata menuju ke Jati Anom. Tetapi jarak yang bermalam dibeberapa padu"kuhan untuk melakukan perampasan terhadap orang-orang yang dianggapnya kaya.
"Kita akan dapat menyusul mereka." berkata Raden Rangga.
"Mudah-mudahan." jawab Glagah Putih, "tetapi jika kita kemudian hanya membunuh mereka, maka keem"pat orang itu tidak ada gunanya bagi kita."
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemu"dian iapun tersenyum sambil menyahut, "Baiklah. Kita tidak akan membunuh mereka jika kita bertemu dengan me"reka. Di dua padukuhan yang baru saja kita lewati orang-orang itu telah bermalam. Dengan demikian maka jarak kita menjadi sangat pendek."
"Didepan kita adalah jalan menurun. Kita akan sam"pai ke Bodeh dan kemudian melewati hutan kecil itu, kita akan sampai ke daerah Kedung Aren, padukuhan disebelah Banyu Asri." berkata Glagah Putih.
"Ya. Kau tentu mulai mengenali padukuhan-padukuhan yang akan kita lewati." berkata Raden Rangga "meskipun aku juga mengenalnya, tetapi aku tidak tahu nama-namanya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia memang menge"nali jalan yang terbentang dihadapan mereka. Bahkan beberapa jalur jalan yang lain yang menuju ke Jati Anompun telah dikenalinya pula.
Demikianlah, maka mereka berjalan terus. Perjalanan yang ditempuh, oleh orang yang diikutinya selama tiga atau ampat hari, dapat mereka capai dalam waktu yang tidak terlalu lama, sehingga hari itu juga mereka berharap untuk dapat menyusul keempat orang itu.
Namun ketika mereka sampai disebuah padukuhan, kedua anak muda itu berdebar-debar. Ternyata keempat orang itu tidak mengambil jalan lurus ke Jati Anom, tetapi mereka telah membelok ke kanan.
"Mereka ternyata telah menghindari Jati Anom." berkata Glagah Putih.
"Ya." jawab Raden Rangga, "betapa bodohnya mereka, mereka tentu pernah mendengar tentang kekuatan Mataram, yang ada di Jati Anom. Karena itu, maka mereka telah menghindarinya."
"Kita juga menghindarinya?" bertanya Glagah Putih.
"Kita mengikuti saja kemana orang-orang itu pergi." jawab Raden Rangga.
Sebenarnyalah dari seorang petani mereka mendapat petunjuk bahwa keempat orang yang telah melakukan perampasan itu telah dilihat oleh dua orang petani yang sedang berada disawah menuju ke arah Selatan, sehingga dengan demikian mereka tidak menuju ke Jati Anom meskipun jaraknya dengan Jati Anom sudah cukup dekat.
Demikianlah maka Raden Rangga dan Glagah Putihpun telah mengikuti arah perjalanan keempat orang itu. Mereka memang tidak pergi ke Jati Anom. Namun ternyata jalan yang mereka lalui telah melingkar dan turun di Macanan.
Menurut beberapa petunjuk maka ternyata keempat orang itu telah menuju ke Sangkal Putung. Dengan demikian maka Raden Rangga dan Glagah Putih itupun telah menuju ke Sangkal Putung pula. Mungkin keempat orang itu akan menghindari Ka"demangan Sangkal Putung pula.
"Mungkin keempat orang itu akan menghindari Kademangan Sangkal Putung itu sendiri. Tetapi mereka akan melalui Kademangan tetangganya." berkata Glagah Putih.
Raden Rangga mengangguk-angguk. "Namun kemungkinan yang lain masih dapat terjadi."
Ternyata bahwa perjalanan Raden Rangga dan Glagah Putihpun merupakan perjalanan yang lambat. Ketika mereka memasuki Sangkal Putung maka langitpun telah mulai menjadi gelap.
"Sulit untuk mencari warung yang masih terbuka." berkata Glagah Putih.
"Kita akan pergi ke sebuah banjar padukuhan. Jangan dipadukuhan induk." berkata Raden Rangga, "kita mohon untuk dapat bermalam di padukuhan itu sambil mencari keterangan tentang empat orang yang mungkin masih bera"da di Sangkal Putung pula."
Glagah Putih merasa ragu. Katanya, "Jika empat orang itu berada di Sangkal Putung pula, maka mungkin akan timbul kecurigaan terhadap kita jika keempat orang itu berbuat sesuatu."
Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, " Aku setuju. Jadi kita akan bermalam diluar padukuhan" Dipinggir hutan misalnya atau dimana saja, asal di dalam lingkungan Kademangan Sangkal Putung?"
Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Kita akan berada di lingkungan Kademangan Sangkal Putung meskipun kita tidak tahu disebelah mana orang-orang itu bermalam atau mungkin justru telah meninggalkan Sangkal Putung."
"Tetapi agaknya mereka belum berbuat sesuatu disini." berkata Raden Rangga, "tidak seorangpun yang tanggap tentang kehadiran empat orang itu. Kita sudah berbicara dengan lebih dari seorang dipadukuhan sebelah yang termasuk lingkungan Sangkal Putung pula. Sedangkan di padukuhan sebelumnya, menjelang kita masuk Kade"mangan ini, hampir setiap orang telah membicarakannya karena empat orang itu telah melakukan satu perbuatan yang menarik perhatian. Merampok dan merampas. Justru dalam keadaan tenang seperti ini, merampok dan merampas merupakan pekerjaan yang dengan cepat menjadi bahan pembicaraan."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun iapun sadar, jika orang-orang itu tidak berbuat sesuatu di Sangkal Putung dan apalagi untuk seterusnya, maka ia dan Raden Rangga akan kehilangan jejak, sehingga mereka ber"dua benar-benar harus menelusuri jalan yang belum pernah mereka kenal.
Demikianlah, maka malam itu Glagah Putih dan Raden Rangga memang berada di Sangkal Putung. Tetapi mereka tidak berada di banjar padukuhan itu, namun mereka bera"da disebuah hutan kecil yang menjorok memasuki ling"kungan Kademangan Sangkal Putung.
Namun ketika malam menjadi semakin malam, kedua"nya telah meninggaikan hutan itu dan berjalan menyusuri pategalan mendekati padukuhan yang berada disebelah padukuhan induk Kademangan. Tidak ada yang menarik. Semuanya nampak hitam dan sepi. Namun dari kejauhan mereka melihat cahaya obor di mulut lorong padukuhan, terpancang di atas regol.
Untuk beberapa saat keduanya duduk di ujung pate"galan, di atas rerumputan sambil memandangi padukuhan yang agaknya telah tertidur nyenyak itu.
Sebenarnyalah bahwa saat itu empat orang yang diikuti oleh Raden Rangga dan Glagah Putih masih berada di Sangkal Putung. Mereka telah meninggaikan sebuah padukuhan yang ramai setelah berhasil merampas benda-benda berharga dari sebuah rumah dipadukuhan itu, Pa"dukuhan yang juga disinggahi oleh Raden Rangga dan Gla"gah Putih justru setelah lewat padukuhan diujung Kade"mangan Pakuwon, dan menjelang mereka turun ke Macanan. Bahkan di padukuhan itu keempat orang itu telah bermalam. Disiang hari keempat orang itu menunggu dipinggir hutan. Baru menjelang malam mereka memasuki Sangkal Putung. Hampir bersamaan waktunya dengan Raden Rangga dan Glagah Putih. Namun dari jurusan yang berbeda.
Ternyata keempat orang itu begitu mengenal keadaan Kademangan Sangkal Putung. Mereka menganggap bahwa Sangkal Putung tidak berbeda dengan Kademangan-kademangan lain yang pernah mereka lalui.
Setelah mereka menghindari Jati Anom, yang mereka dengar memiliki kekuatan yang tinggi karena sepasukan prajurit berada di Kademangan itu, apalagi dipimpin oleh seorang Senapati yang namanya banyak dikenal, Untara, maka mereka berusaha untuk menguras padukuhan-padukuhan yang mereka lewati, termasuk Sangkal Putung.
Namun agaknya keempat orang itu telah terbentur para pengawal Kademangan Sangkal Putung. Berbeda dengan anak-anak muda padukuhan yang lain, yang hampir tidak berani berbuat sesuatu, namun anak-anak muda Sangkal Putung tidak demikian.
Ketika keempat orang itu memasuki halaman rumah se"orang yang diduganya cukup berada, maka dua orang peronda telah melihat mereka. Dengan berani kedua orang anak muda itu telah menegur keempat orang itu, apakah maksud mereka memasuki halaman rumah seseorang dimalam hari.
"Apakah kalian masih sanak kadang pemilik rumah itu?" bertanya salah seorang diantara kedua anak muda itu.
Keempat orang itu termangu-mangu sejenak. Namun sikap mereka memang mencurigakan. Karena itulah, maka kedua orang anak muda menjadi berhati-hati menghadapi mereka.
"Siapakah kalian berdua." bertanya salah seorang diantara keempat orang itu.
"Kami pengawal Kademangan ini." jawab salah se"orang dari keduanya, "dan siapakah kalian?"
Sejenak keempat orang itu tercenung. Namun kemu"dian seorang diantaranya berkata, "Kami adalah saudara sepupu pemilik rumah ini. Kami berasal dari tempat yang jauh. Ada keperluan penting yang ingin kami sampaikan kepadanya."
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun se"orang diantara mereka bertanya, "Jika kalian memang saudara sepupunya, siapakah nama pemilik rumah ini."
Orang yang menyebut sepupunya itu memang menjadi agak bingung. Tetapi kemudian menyebut, "Namanya Gangsal. Ia adalah anak kelima dari saudara-saudaranya. Itu nama kecilnya. Aku tidak tahu namanya setelah ia berkeluarga."
Kedua anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang diantaranya berkata, "Aku kira nama"nya bukan Gangsal. Atau barangkali aku yang kurang tahu."
"Ya.Kau memang kurang tahu." jawab orang yang dicurigai itu.
Anak muda itu mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya, "Tetapi kenapa kalian datang pada saat begini?"
"Kami berjalan sepanjang hari. Kami memang mempunyai keperluan yang sangat penting." jawab orang itu.
Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Jika memang kalian termasuk sanak kadangnya, silahkan."
Kedua anak muda itupun kemudian beranjak untuk meninggaikan mereka. Sementara seorang diantara anak muda itu tidak begitu mengerti maksud kawannya. Namun karena kawannya mengajaknya pergi, maka keduanyapun telah melangkah meninggaikan keempat orang itu.
Namun tiba-tiba orang tertua dari keempat orang itu berkata, "Mereka cukup berbahaya"
"Apakah kita akan menyelesaikan mereka?" ber"tanya salah seorang yang lainnya.
Orang tertua itu mengangguk. Sementara itu, seorang kawannya telah menghentikan kedua pengawal itu, "Ki Sanak, berhentilah."
Kedua pengawal itu memang berhenti. Namun seorang berdesis kepada kawannya, "Cepat, capai kentongan di regol itu jika perlu."
Namun kawannya itu tidak perlu mengulangi. Ketika kedua anak muda itu melihat seorang diantara keempat Orang itu mencabut senjatanya, maka anak muda yang se"orang dengan serta merta telah berlari keregol halaman. Dengan cepat digapainya kentongan kecil yang tergantung diregol dan dengan sekuat tenaga kentongan itu dipukulnya dengan nada titir.
Keempat orang itu terkejut. Mereka tidak mengira, bahwa hal itu akan dilakukan. Karena itu, maka keempat orang itupun telah menjadi sangat marah.
Namun yang tertua diantara mereka berkata, "Anak-anak gila. Kita tidak usah berkeberatan jika kawan-kawannya datang. Kita akan membunuh. Berapapun sampai yang lain-lain melarikan diri."
Kawan-kawannya menarik nafas dalam-dalam. Seorang diantara mereka berkata, "Sudah lama senjataku tidak minum darah. Agaknya sudah datang waktunya aku memberinya minum lagi."
Keempat orang itu ternyata tidak menjadi bingung mendengar suara kentongan dengan nada titir. Suara ken"tongan kecil yang tidak begitu keras. Namun ternyata bahwa suara kentongan itu, sementara yang lain tetap ber"ada digardu untuk menjaga segala kemungkinan. Namun yang tinggal digardu itupun membunyikan kentongan pula dengan nada yang sama.
Ketika keempat orang yang berlari kearah suara ken"tongan itu sampai ketujuan, yang ditemuinya dua orang kawannya yang dengan susah payah bertahan menghadapi dua orang dari antara empat orang yang memasuki hala"man itu. Jika keempat orang kawan-kawannya dari gardu itu tidak segera datang, maka kedua orang itu sudah tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi. Bahkan seorang diantara mereka pada benturan pertama telah terluka. Pundaknya telah terkoyak mereka mencucurkan darah yang hangat. Sementara yang seorang lagi benar-benar telah terdesak dan sulit untuk dapat melepaskan diri.
Kentongan kecil yang berhasil memanggil keempat orang dari gardu itu telah tergolek ditanah, sementara pengawal yang membunyikannya telah terluka dipundaknya.
Keempat orang itupun segera terjun kearena. Namun dua orang kawan dari mereka yang berkelahi itupun tidak membiarkan kawan-kawannya harus bertempur melawan enam orang. Karena itu, maka keduanyapun segera telah turun pula kearena.
Sebenarnyalah meskipun berenam melawan ampat orang yang garang itu mereka telah terdesak. Namun keenam orang itu adalah pengawal Kademangan Sangkal Putung yang pernah mengalami pertempuran yang keras, sehingga karena itu, maka merekapun telah bertahan tanpa gentar.
Tetapi adalah satu kenyataan, bahwa keempat orang yang mereka curigai itu memiliki ilmu yang tinggi, sehing"ga karena itu, maka keenam orang itu benar-benar telah ter"desak. Seorang lagi diantara mereka telah terluka pula dilengan. Bahkan seorang lagi lambungnya telah tersentuh senjata pula.
Namun dalam pada itu, pemilik rumah yang mendengar hiruk pikuk di halaman itupun telah terbangun pula. Ketika ia mengintip dari sela-sela pintu, dilihatnya dalam keremangan malam, perkelahian telah terjadi di halaman. Tanpa berpikir lagi, maka orang itupun telah mengambil ken"tongan dilongkangan dan membunyikannya pula.
Orang-orang yang berada digardu menjadi cemas. Ken"tongan yang semula telah berhenti, ternyata terdengar lagi dalam nada yang sama. Karena itu, ketika sekelompok anak-anak muda yang mendengar suara kentongan digardu telah berdatangan, dengan serta merta telah menyusul ke"suara kentongan ditempat pertempuran itu terjadi.
Beberapa anak muda telah memasuki halaman. Semen"tara itu orang tertua diantara keempat orang itu berkata, "Marilah. Semakin banyak kalian datang, semakin banyak korban yang akan jatuh. Siapakah yang ingin cepat mati, tampillah didepan. Tetapi siapa yang ingin selamat tinggalkan tempat ini."
Para pengawal Kademangan Sangkal Putung memang berbeda dengan anak-anak muda di padukuhan lain yang pernah dilalui oleh keempat orang itu. Meskipun beberapa orang telah terluka, tetapi anak-anak muda itu sama sekali tidak menjadi gentar dan apalagi melarikan diri.
"Anak-anak setan." geram orang tertua diantara keempat orang itu.
Namun anak-anak Sangkal Putung itu bertempur terus dengan gigihnya.
Meskipun demikian keempat orang itu ternyata memi"liki kemampuan yang sangat tinggi bagi para pengawal. Beberapa orang yang telah terlempar dari arena, harus dipapah menepi. Sementara yang lain mengalir memasuki halaman. Namun seperti yang dikatakan oleh keempat orang itu, hanya korban akan berjatuhan.
Tetapi karena anak-anak muda Sangkal Putung mempunyai pengalaman bertempur, sehingga karena itu, maka korbanpun pada umumnya masih dapat diselamatkan jiwanya. Kawan-kawannya yang lain dengan cepat mengambil alih lawan mereka yang terluka dan bahkan yang lain lagi telah melindunginya dan menyelamatkannya.
Meskipun yang datang ternyata semakin banyak, tetapi sulit bagi anak-anak muda Sangkal Putung yang mempunyai pengalaman bertempur itu untuk mengalahkan keempat lawan mereka yang tangguh itu. Bahkan satu demi satu, para pengawal itu telah terluka.
Sementara itu, Raden Rangga dan Glagah Putih yang mendengar suara kentongan itu, menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah Raden Rangga berkata, "Me"reka masih berada di Kademangan ini."
"Sebaiknya kita mendekati padukuhan itu." berkata Glagah Putih, "ternyata bukan di padukuhan ini mereka bermalam. Tetapi masih dilingkungan Kademangan Sangkal Putung."
Kedua anak itupun kemudian bergeser lewat jalan sempit diantara pategalan dan sawah menuju ke padukuhan yang memberikan isyarat pertama-tama, karena kemudian isyarat kentongan itu telah menjalar ke padukuhan-padukuhan yang lain, bahkan dipadukuhan induk. Hanya dengan isyarat sandi pada nada pukulan sajalah, orang-orang padukuhan di Kademangan Sangkal Putung yang tidak mendengar sumber suara kentongan, dapat mengenali dari manakah asalnya isyarat itu.
Namun Raden Rangga dan Glagah Putih telah men"dengar arah suara kentongan yang pertama didengarnya, sehingga merekapun telah mendengar arah, kemana mereka harus pergi.
Untuk beberapa saat Raden Rangga dan Glagah Putih menunggu diluar padukuhan. Mereka ingin menjajagi apakah yang sebaiknya mereka lakukan.
Namun tiba-tiba keduanya menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat tiga ekor kuda berpacu memasuki padukuhan itu.
Dalam keremangan malam Glagah Putih dan Raden Rangga dengan pandangan matanya yang tajam sempat mengenali orang yang berkuda dipaling depan.
"Kakang Swandaru." desis Glagah Putih.
Raden Ranggapun mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya memang Swandaru."
"Sebaiknya kita memasuki padukuhan itu." berkata Glagah Putih.
"Lewat regol?" bertanya Raden Rangga.
"Tidak." jawab Glagah Putih, "kita masuk dengan diam-diam. Kita melihat apa yang terjadi."
Raden Rangga mengangguk-angguk. Dalam kegelisahan, keduanya bergeser mendekati padukuhan. Justru karena perhatian para pengawal tertuju kepada peristiwa yang sedang terjadi di padukuhan itu, maka tidak seorang"pun yang sempat melihat kehadiran Raden Rangga dan Glagah Putih.
"Kita cari dimana keempat orang itu berada. Tentu telah terjadi pertempuran melawan para pengawal Tanah Perdikan. Bahkan dengan Swandaru." berkata Glagah Putih.
Dengan diam-diam kedua orang itupun telah menyusup diantara halaman rumah yang luput dari perhatian para pengawal. Menilik gerak anak-anak muda yang berlari-lari di jalan padukuhan, Raden Rangga dan Glagah Putih mendapat petunjuk arah kemana ia harus pergi.
Sebenarnyalah, beberapa puluh langkah kemudian, maka mereka telah melihat sebuah halaman yang penuh dengan anak-anak muda. Bahkan dari atas dinding halaman sebelah yang terlindung dedaunan yang agak rimbun kedua orang anak muda itu dapat melihat apa yang terjadi di halaman itu.
Beberapa orang yang mengerumuni keempat orang itu terpaksa setiap kali berloncatan surut. Bahkan mereka sempat melihat dua orang anak muda yang terlempar keluar dari arena karena dua orang diantara keempat orang itu berhasil melukai dua orang lawan mereka.
Sementara itu, keempat orang itu justru menjadi sema"kin garang, sehingga anak-anak muda dari Sangkal Putung itupun menjadi semakin berhati-hati untuk mendekat.
Pada saat yang demikian, halaman itu sudah digetarkan oleh suara cambuk yang melengking tinggi. Rasa-rasanya udara sepadukuhan itu telah ikut tergetar pula karenanya. Suara cambuk itu memang mengejutkan. Swandaru yang telah meloncat turun dari kudanya itupun telah menyibak anak-anak muda yang sedang mengepung keem"pat orang itu.
Dalam pada itu Glagah Putih yang mendapat kesempatan melihat lebih banyak berdesis, "Kakang Swandaru ternyata datang bersama mbokayu Pandan Wangi."
Raden Rangga mengangguk-angguk. Ternyata seorang dari penunggang kuda itu adalah seorang perempuan.
"Minggir." terdengar suara Swandaru lantang.
Anak-anak muda Sangkal Putungpun telah bergeser menepi. Keempat orang yang dikepung itupun ternyata terkejut juga mendengar suara cambuk Swandaru. Sejenak kemudian dua orang telah muncul diantara anak-anak muda pengawal Kademangan yang bergeser menepi itu. Seorang laki-laki yang menjinjing cambuk ditangannya dan seorang perempuan yang membawa sepasang pedang di kedua lambungnya. Keempat orang itu menjadi tegang. Sikap kedua orang itu memang berbeda dari sikap para pengawal.
Karena itu, orang tertua diantara keempat orang itu bertanya, "Siapa kau he?"
"Swandaru." jawab Swandaru pendek, "ini isteriku."
"Untuk apa kau datang kemari?" bertanya orang ter"tua itu pula.
"Aku anak Demang Sangkal Putung. Nah, kau tentu tahu, untuk apa aku dan isteriku serta Ki Jagabaya datang ketempat ini." jawab Swandaru. "Karena itu, menyerahlah. Ulurkan tanganmu untuk diikat."
"Gila." geram orang itu, "kau lihat, berapa banyak korban yang telah jatuh. Jika kau, anak Demang Sangkal Putung ingin melengkapi korban, marilah. Majulah."
Swandaru yang marah itu membentak. "Jangan banyak bicara. Menyerah atau aku hancurkan kalian berempat."
Tetapi ampat orang itu adalah orang yang kasar. Ka"rena itu, maka seorang diantaranya telah mengumpat dan berkata, "Tundukkan kepalamu. Aku akan memotongnya seperti memotong kepala seekor ayam."
Swandaru tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Namun ia masih berusaha untuk mengetahui keadaan keempat orang itu. Karena itu, maka meskipun suaranya menjadi gemetar oleh kemarahan, ia masih juga bertanya, "Siapakah sebenarnya kalian berempat, dan untuk apa kalian datang di Kademangan ini pada saat seperti ini."
"Kami ingin menguras kekayaan yang ada di Kade"mangan ini. Adalah kebetulan jika kau, anak Demang Sangkal Putung dan Ki Jagabaya ada disini. Jika kami segera dapat menyelesaikan kalian, maka kami akan dapat mengambil isi Kademangan ini, apa saja yang kami sukai." jawab orang tertua diantara keempat orang itu.
Namun suaranya terputus ketika mereka mendengar ledakan cambuk Swandaru yang rasa-rasanya telah mengoyakkan daun telinga.
Keempat orang itu semakin heran ketika mereka me"lihat kedua orang suami isteri itu mulai melangkah berpencar.
Raden Rangga dan Glagah Putih telah mencari tempat yang lebih baik agar mereka dapat melihat semua peristiwa yang terjadi di halaman itu. Mereka tidak merasa cemas bahwa mereka akan menarik perhatian, karena seluruh perhatian tertuju kepada peristiwa di halaman yang luas dari sebuah rumah yang dianggap milik seorang yang kecukupan itu.
"Apa yang akan kau lakukan?" orang tertua dari keempat orang itu bertanya.
"Gila." bentak Swandaru, "kau masih bertanya."
"Maksudku, perempuan ini." sahut orang itu.
"Jawab Pandan Wangi." Swandaru hampir berteriak.
Pandan Wangi memandang orang tertua diantara keempat orang itu. Dengan nada rendah Pandan Wangi ber"kata, "Aku adalah isteri anak Ki Demang Sangkal Putung. Aku harus dapat berbuat sebagaimana dilakukan oleh suamiku dan tugasnya."
"Persetan." geram orang tertua itu, "Kademangan ini tidak mempunyai lagi laki-laki yang pantas untuk menghadapi kami. Tetapi jangan menyesal jika wajahmu yang cantik itu tergores ujung senjata."
Pandan Wangi tidak menjawab lagi. Namun sepasang pedangnya telah berada disepasang tangannya.
"Bagus." geram salah seorang dari keempat orang itu, "serahkan perempuan ini kepadaku. Aku akan menangkapnya hidup-hidup dan membawanya dalam perjalanan. Sementara itu, bunuh saja suaminya yang sombong itu. Ka"rena seandainya ia tetap hidup, iapun tentu akan membunuh diri karena kehilangan isterinya yang cantik ini."
Swandaru menjadi semakin marah. Sekali lagi cambuknya menggelepar dan ledakannya telah menggetarkan udara padukuhan itu.
Glagah Putih menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat Raden Rangga tersenyum sambil berkata, "Tontonan yang menarik sekali. Kekuatan Swandaru itu melampaui kekuatan seekor banteng. He, kau pernah mendengar ceritera tentang eyang Sultan Hadiwijaya ketika masih muda" Dengan tangannya anak yang disebut Jaka Tingkir atau Mas Karebet itu telah menangkap seekor Kerbau liar yang besar sekali apalagi dalam keadaan mabuk?"
" Ya " jawab Glagah Putih " tetapi bukan sesuatu yang aneh bagi Raden. Bukankah Raden juga mampu melakukannya jika Raden ingin" "
" Ah " desis Raden Rangga. Lalu " Kaupun dapat
melakukannya. Sebenarnya yang dilakukan oleh
Jaka Tingkir itupun bukan puncak dari
kemampuannya. Ia telah melakukan pekerjaan
lain yang lebih menarik. Berkelahi dan
menundukkan ampat puluh ekor buaya dan
membunuh Dadungawuk dengan sadak kinang.
Semuanya itu dilakukan justru sebelum ia
membunuh Kerbau Hutan yang liar itu dengan
tangannya. " Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.
Agaknya yang akan terjadi di halaman itu sangat
menarik perhatian Raden Rangga.
Sebenarnyalah keempat orang itu telah bersiap
menghadapi suami isteri anak Ki Demang Sangkal
Putung itu. Para pengawal yang semula gagal
menangkap keempat orang itu telah
diperintahkan untuk minggir.
" Kepung tempat ini, agar mereka tidak dapat
melarikan diri " berkata Swandaru.
" Kau sombong sekali " geram orang tertua
diantara keempat orang itu " seandainya kau
perintahkan para pengawal itu untuk bertempur,
maka kalian tidak akan dapat menahan gerak
ujung senjata kami. Dan tiba-tiba saja kau berdua
akan menghadapi kami berempat. Bukankah ini
satu langkah bunuh diri. "
" Sudah aku katakan " sahut seorang diantara
keempat orang itu " aku akan membawa
perempuan ini disepan-jang perjalanan. Kita akan
membunuh suaminya. Swandaru tidak menunggu lebih lama lagi. Ia
mulai menggetarkan cambuknya, bukan sekedar


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk mengejutkan lawan-lawannya. Tetapi ia
benar-benar mulai menyerang.
Kedua orang yang terdekat dengan Swandaru itu
agaknya cukup tangkas. Merekapun telah
memperhitungkan serangan yang demikian,
sehingga karena itu, maka mereka masih sempat
meloncat menghindarkan diri.
Sementara itu, dua orang yang lain telah bergeser
mengambil jarak, karena mereka harus
menghadapi Pandan Wangi yang membawa
pedang rangkap. Namun salah seorang dari kedua orang yang
menghadapi Pandan Wangi itu masih sempat
berkata " Kau jangan memaksa diri untuk
membuat pengewan-ewan disini anak manis. "
Pandan Wangi tidak menjawab. Sementara itu
orang itupun telah berkata selanjutnya "
Bagaimana mungkin kau akan bertempur melawan kami berdua,
sedangkan para pengawal itu telah mengalami
nasib yang buruk. Berapa orang yang telah
terluka dan bahkan mungkin terbunuh. Sekarang
kau datang untuk menghadapi kami berdua.
Bukankah itu aneh" Seorang diantara kami akan
dapat menghadapi kau dan suamimu. "
Pandan Wangi masih tetap berdiam diri. Namun
ujung pedangnya mulai bergetar.
Kedua orang lawannya itupun telah
mempersiapkan diri. Merekapun
memperhitungkan, bahwa tentu terdapat sesuatu
pada perempuan itu. Jika ia tidak mempunyai
bekal yang cukup, maka ia tentu tidak akan
berani dengan serta merta menghadapi dua orang
lawan sekaligus yang telah ternyata mampu
mengatasi para pengawal yang mengepung
mereka. Ketika pedang Pandan Wangi terjulur, maka
seorang diantara mereka bergeser kesamping.
Namun senjatanya dengan cepat memukul
pedang Pandan Wangi. Ia bermaksud
menjatuhkan pedang itu pada sentuhan yang
pertama. Namun pedang Pandan Wangi dengan cepat
menggeliat, sehingga senjata lawannya tidak
menyentuh pedang itu sama sekali.
Lawannya itu mengerutkan keningnya. Karena
kedua lawannya itu juga orang berilmu, maka
melihat gerak pedang Pandan Wangi, maka orang
itu harus memperhitungkan banyak kemungkinan.
Sebenarnyalah setelah mereka benar-benar
bertempur, maka rasa-rasanya keringat dingin
mulai membasahi punggung.
Mula-mula hanya seorang sajalah yang berusaha
melayani getar pedang Pandan Wangi. Orang
yang telah berkata akan menangkapnya hidup
hidup dan membawanya sepanjang perjalanan.
Sementara itu kawannya hanya akan
menyorakinya dan melindunginya jika ada
diantara para pengawal yang dengan tiba-tiba
menyerbu kearena. Namun ternyata bahwa pada langkah-langkah
permulaan orang itu sudah mulai terdesak
" Anak setan " geram orang itu " apakah buKan
sekedar kebetulan" "
Tetapi bukan sekedar kebetulan. Pandan
Wangi memang dengan sengaja menunjukkan,
bahwa seorang diantara mereka tidak akan
mampu melawannya sepenginang.
Dengan demikian, maka kawannyapun segera
melibatkan dirinya pula, sehingga dengan
demikian Pandan Wangi benar-benar telah
bertempur melawan dua orang.
Dalam pada itu, Pandan Wangi memang ingin
menja-jagi kedua lawannya, apakah kelebihan
mereka sehingga beberapa orang pengawal telah
terluka ketika mereka dalam jumlah yang berlipat
ganda bertempur melawan keempat orang itu.
Ketika Pandan Wangi berusaha mendesak terus,
maka akhirnya iapun menemukan kelebihan
lawannya itu. Kecepatan gerak dan arah gerak
mereka yang sulit diperhitungkan.
Untuk beberapa saat, Pandan Wangi memang
harus berusaha dengan mengungkapkan tenaga
cadangannya, agar ia dapat mengimbangi
kecakapan gerak lawan-lawan nya Ketika kedua
lawannya meningkatkan kemampuan mereka,
maka Pandan Wangipun melakukannya pula.
Dalam pada itu, Raden Rangga yang menyaksikan
perkelahian itu telah menggamit Glagah Putih "
Agaknya keempat orang itu memang memiliki
kelebihan dari orang-orang yang telah terbunuh di
keramaian Merti Desa itu. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya " Aku
sependapat Agaknya orang-orang ini termasuk
tataran yang lebih tinggi. -
Keduanya menjadi semakin tertarik melihat
kecepatan gerak kedua lawan Pandan Wangi itu.
Mereka berloncatan berurutan, namun kadang-kadang mereka telah
berloncatan silang menyilang.
Untunglah bahwa Pandan Wangi memiliki
pengalaman yang luas dan bekal yang cukup.
Karena itu, maka ia masih dapat mengimbangi
kecepatan gerak lawannya yang meningkat
semakin tinggi itu. " Bukan main " geram salah seorang dari kedua
lawannya itu " perempuan ini ternyata memang
beralasan jika ia berani turun kemedan dan
menghadapi kita berdua. "
" Tetapi sebentar lagi aku akan menangkapnya
hidup-hidup " desis yang lain.
Dengan demikian maka kedua orang lawan
Pandan Wangi itu memang telah meningkatkan
kemampuan mereka. Ketika keduanya bergerak
semakin cepat dan dengan loncatan-loncatan
panjang yang saling menyilang, maka Pandan
Wangi memang agak terdesak karenanya.
" Membingungkan " berkata Pandan Wangi
didalam hatinya " keduanya mampu melepaskan
kesan yang lain dari gerak mereka yang
sesungguhnya. " Sebenarnyalah, ketika kedua orang itu
meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi, maka
Pandan Wangi memang mulai terpengaruh.
Keduanya seakan-akan memiliki kemampuan
untuk mengganggu pemusatan pikiran Pandan
Wangi dan memberikan kesan gerak yang lain
dari yang mereka lakukan. Dengan demikian
kadang-kadang Pandan Wangi telah kehilangan
arah sehingga serangannya menjadi tidak mapan.
Sementara itu serangan lawannya kadang-kadang
datang dari arah yang tidak diduganya.
Pandan Wangi berusaha mengatasinya dengan
meningkatkan kecepatan geraknya. Landasan
tenaga cadangannyapun telah ditingkatkan,
sehingga perempuan itu menjadi semakin kuat
dan mampu bergerak semakin cepat.
Tetapi kedua lawannya tidak membiarkan
Perempuan itu mampu bertahan lebih lama lagi.
Keduanyapun benar-benar telah sampai pada satu
niat untuk melumpuhkannya, meskipun tidak
membunuhnya. Karena itu, maka keduanyapun
telah bergerak semakin cepat. Keduanya
berloncatan dalam susunan yang semakin rumit.
Sehingga dengan demikian maka Pandan Wangi
pun harus meningkatkan pula kecepatan
geraknya. Sementara itu, Swandaru ternyata menghadapi
lawan yang memiliki ilmu yang sama. Berbeda
dengan kedua lawan Pandan Wangi yang
meningkatkan ilmunya tahap demi tahap, karena
mereka menganggap bahwa Pandan Wangi tidak
memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi
kemampuan mereka sampai kepuncak, serta ada
usaha dari salah seorang diantara kedua
lawannya untuk menangkapnya hidup-hidup,
maka lawan Swandaru dengan serta merta telah
sampai kepuncak ilmu mereka. Mereka memang
ingin dengan cepat menyelesaikan Swandaru dan
mengusir anak-anak muda yang mengepung
mereka, sementara mereka masih sempat
mengambil kekayaan di Kademangan Sangkal
Putung. Bahkan tanpa anak Ki Demang itu,
menurut orang-orang itu, Sangkal Putung tidak
akan mempunyai kekuatan apapun juga.
Sebenarnyalah kadang-kadang Swandaru
memang agak kebingungan. Namun iapun telah
berlindung dibalik senjatanya. Diputarnya
cambuknya mengelilingi tubuhnya, sehingga
seakan-akan sebuah perisai yang kuat, dan rapat
melingkari dirinya. Namun kedua orang lawannya tidak kehilangan
akal. Seorang diantara mereka telah berusaha
untuk memotong putaran ujung cambuk itu
dengan sentuhan. Namun ternyata bahwa
kekuatan Swandaru jauh melampaui dugaan
kedua orang lawannya. Hampir saja senjata
lawannya itu justru hanyut dalam putaran ujung
cambuk Swandaru. Meskipun demikian, kedua lawannya masih
mampu mempergunakan ilmunya untuk
mengacaukan pertahanan Swandaru. Kedua
orang itu memang mampu menimbulkan kesan
yang lain dari gerak mereka sesungguhnya, sehingga
pada suatu saat, salah seorang diantara keduanya
mampu memancing Swandaru untuk bergerak
menyamping. Sementara itu. kawannya yang
menurut penglihatan Swandaru akan meloncat
memburunya, justru tidak melakukannya.
Kawannyalah yang menyerang Swandaru dari sisi.
Untunglah pengalaman dan kemampuan
Swandaru masih mampu menggerakkan tubuhnya
bergeser selangkah, sehingga serangan itu tidak
mengenainya. Bahkan yang terdengar kemudian
adalah ledakan cambuk Swandaru mengejar
orang yang telah menyerangnya itu. Tetapi
dengan tangkas orang itu telah melenting
menjauh, sehingga ujung cambuk Swandaru tidak
menggapainya. Dengan demikian maka Swandarupun menjadi
semakin marah. lapun telah mengerahkan
segenap kekuatan dan kemampuannya.
Cambuknya adalah lambang keperkasaannya
sehingga dengan demikian, maka dengan
mengungkapkan tenaga cadangan yang sangat
besar yang berada didalam dirinya. Swandaru
telah menghentakkan cambuknya.
Udara yang bergetar telah menggetarkan setiap
jantung. Ujung cambuknya telah melukai tanah
yang menjadi arena pertempuran itu. Debupun
telah berhamburan dan kerikil -kerikil tajam telah
memercik kesegala arah. Swandaru benar-benar telah sampai kepuncak
kemampuannya. Karena lawannya sempat
menghindarinya, maka iapun telah melecutkan
cambuknya mendatar. Tetapi lawannya sempat melenting surut,
sementara yang lain justru telah meloncat
mendekat sambil mengayunkan senjatanya
kearah lehernya. Swandaru terkejut. Kedua orang lawannya itu
seolah-olah telah digerakkan oleh satu kehendak
sehingga tata gerak keduanya benar-benar dapat
saling mengisi. Dengan tangkas pula Swandaru menghindar. Ia
meloncat surut. Namun ia masih juga merendah.
Sementara itu cambuknya telah terayun sendai
pancing menyerang lawannya
yang sedang menebaskan senjatanya itu.
Tetapi orang itupun bergerak dengan cepat. Ia
telah meloncat surut pula, sehingga ujung
cambuk Swandaru tidak menggapainya.
Sementara itu, lawannya yang lain-pun telah
meloncat pula menyerang. Susul menyusul,
semakin lama semakin cepat. Bahkan seperti juga
terjadi pada Pandan Wangi, maka untuk beberapa
saat kemudian Swandaru kadang-kadang masih
juga sempat di kisruhkan oleh kemampuan
lawan-lawannya mengacaukan pemusatan
perhatiannya karena keduanya berloncatan silang
menyilang dan bergerak berputaran.
Seperti yang pernah dilakukan, dalam keadaan
demikian Swandaru berusaha memutar juntai
cambuknya mengelilingi tubuhnya, sementara ia
sempat memperbaiki keadaannya.
Dengan demikian maka pertempuran itupun
semakin lama menjadi semakin cepat. Kedua
lawannya masih berusaha untuk menumbuhkan
kebingungan. Namun ternyata Swandaru justru
menjadi semakin mapan.

09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi kemarahan Swandaru itu memuncak,
ketika tiba-tiba saja seorang diantara lawannya
yang bergerak saling menyilang itu sempat
menyentuh tubuhnya dengan ujung senjatanya.
Sebuah goresan kecil telah menyilang
dipundaknya, mengkoyak bajunya.
Karena itulah, maka ujung cambuk Swandaru
selanjut-nyapun menjadi bertambah garang.
Ternyata ketika Swandaru benar-benar sampai dipuncak
kemampuannya, kedua lawannyapun
menjadi sulit untuk mengimbanginya. Cambuk
yang meledak-ledak memekakkan telinga itu
telah meniupkan angin yang menerpa kulit kedua
lawannya. Meskipun ujung cambuk Swandaru itu,
belum sempat mengenai salah seorang dari kedua
lawannya itu. namun keduanya seakan-akan
dapat membayangkan, apa yang terjadi jika
ujung cambuk itu menyentuhnya.
Apalagi ketika terasa luka dipundak Swandaru itu
menjadi pedih, karena keringatnya yang semakin
banyak mengalir. Maka kemarahannya bagaikan
api yang disiram dengan minyak
Karena itulah, maka cambuknyapun berputar
semakin cepat. Kadang-kadang berubah arah,
menyambar mendatar. Namun kemudian
mematuk dan terayun sendai pancing.
Ternyata kedua lawannya tidak mampu
mengimbangi kesempatan dan kekuatan
Swandaru. Ketika keduanya berusaha untuk
menembus pertahanan Swandaru dengan
kemampuan mereka mengacaukan pemusatan
perhatian lawan, ternyata Swandaru sudah
menjadi lebih mapan. Justru pada saat mereka
menyerang, ujung cambuk Swandaru telah
menyentuh salah seorang diantara keduanya.
Orang itu telah meloncat beberapa langkah.
Terasa ujung cambuk Swandaru itu telah
mengkoyak kulitnya, bukan saja segores kecil
seperti yang terdapat dipundak Swandaru.
Ternyata kulit lengan orang itu telah menganga.
Darah-pun telah mengucur dari luka itu. Bahkan
rasa-rasanya tulang lengannya pun telah patah pula.
Karena lawannya meloncat menjauh, maka yang
lain-pun telah melakukannya pula. Keduanya
sengaja mengambil jarak untuk memperbaiki keadaan.
Namun Swandaru tidak memberi mereka
kesempatan. Dengan serta merta iapun telah
memburu pula justru lawannya yang telah terluka.
Sekali lagi orang itu meloncat menjauh. Ketika
Swandaru siap memburu lagi, maka serangan dari
lawannya yang lainpun telah datang pula. Karena
itu, maka Swandaru harus merubah sasarannya.
Dengan serta merta, tanpa banyak pertimbangan
lagi, Swandaru sama sekali tidak berusaha
menghindar. Tetapi dengan sepenuh kekuatannya
Swandaru justru sudah membentur serangan itu
dengan serangan pula. Lawannyalah yang terkejut karena sikap Swandaru itu.
Namun ternyata bahwa dengan cepat ia telah
mengambil sikap pula. Justru karena ia sadar,
bahwa kekuatan Swandaru ternyata sangat besar,
maka ia tidak membiarkan ujung cambuk itu
membelit pedangnya. Karena itu, maka iapun dengan cepat menarik
serangannya. Sekali ia berputar, kemudian sambil
merendah ia bergeser lagi menjauh ketika
cambuk Swandaru mengejarnya dengan ayunan
menebas leher. Pertempuranpun semakin menjadi cepat.
Lawannya yang telah terkoyak lengannyapun
masih berusaha untuk dapat mengimbangi
kekuatan dan kecepatan gerak Swandaru. Namun
darah yang mengalir dari lukanya yang jauh lebih
besar dari luka dipundak Swandaru membuatnya
semakin lama semakin lemah.
Dalam pada itu, Pandan Wangipun masih
bertempur dengan sengitnya. Sekali-sekali
perhatiannya masih dikisruhkan oleh tata gerak
lawannya. Bahkan kadang-kadang Pandan Wangi
harus mengambil jarak untuk memantapkan
sikapnya menghadapi kedua lawannya itu.
Sementara itu lawannya benar-benar tidak
memberinya kesempatan lagi. Keduanya bergerak
dengan cepat dan membingungkan. Bahkan
kadang-kadang terasa sambaran angin yang
menyentuh kakinya, sehingga debar jantungnya
terasa menjadi semakin cepat.
Dalam keadaan yang demikian. Pandan Wangi
tidak mempunyai jalan lain. Ia tidak sekedar
mempercayakan diri kepada kekuatan dan
kecepatan geraknya berlandaskan tenaga
cadangannya. Namun ia mulai
mempertimbangkan untuk mengetrapkan
ilmunya. Ilmu yang akan mampu mengimbangi
tata gerak lawannya yang membingungkan itu.
Untuk beberapa saat, Pandan Wangi masih
mencoba bertahan. Namun akhirnya, iapun mulai
dengan kekuatan ilmunya yang telah
diterapkannya. Namun kedua lawannya tidak segera mengetahui,
Apa yang telah terjadi pada Pandan Wangi itu. Ketika
mereka berusaha meningkatkan kemampuan
mereka dan bermaksud membuat Pandan Wangi
menjadi semakin bingung, maka justru merekalah
yang telah dikejutkan oleh satu kenyataan yang
tidak mereka duga sebelumnya.
Ketika Pandan Wangi menghindari serangan yang
cepat dari salah seorang diantara kedua orang
lawannya, maka lawannya yang lain tidak
membiarkannya. Dengan loncatan yang
menyilang, lawannya itu telah memancing
perhatian Pandan Wangi. Namun yang kemudian
benar-benar menyerang adalah lawannya yang lain.
Namun Pandan Wangi tidak mau menjadi sasaran
serangan yang tidak henti-hentinva. Ketika
lawannya itu benar-benar menyerang, Pandan
Wangi menghindar tetapi ia langsung menyerang
lawannya yang seorang. Tetapi lawannya tidak terkejut oleh serangannya
yang justru terasa lamban. Dengan tangkasnya
lawannva telah menangkis serangan Pandan Wangi.
Namun alangkah terkejut orang itu kemudian.
Ujung pedang Pandan Wangi masih berjarak
sejengkal dari tubuhnya, ketika ia berhasil
menangkis serangan itu menurut penglihatannya.
Namun ternyata bahwa terasa sebuah goresan
celah mengoyak kulitnya. " Giia " geram orang itu " apa yang sebenarnya
terjadi. - Pandan Wangi tidak terpancang pada lawannya
yang seorang. Sebelum lawannya itu menyadari apa yang
terjadi, Pandan Wangi telah meloncat menyerang
lawannya yang lain. Dengan tangkas lawannya menghindari serangan
itu. Menurut perhitungannya ia tidak akan
terlambat. Namun Pandan Wangi tidak
melepaskannya. Ia telah memburu dan dengan
menjulurkan pedangnya lurus kedepan ia
menyerang lambung. Sekali lagi orang itu berusaha menghindar.
Dengan tangkas ia melenting surut.
Namun seperti kawannya, iapun telah
mengumpat. Ternyata ujung pedang Pandan
Wangi sempat menggapainya tanpa disadarinya.
Ia merasa bahwa masih ada jarak antara ujung
pedang Pandan Wangi dengan kulitnya. Namun
ternyata bahwa lambungnya telah terluka oleh
senjata perem puan itu. Kedua orang itu menjadi bingung sesaat. Mereka
tidak mengerti bagaimana hal itu terjadi. Namun
merekapun menyadari bahwa mereka tidak boleh
terpancang kepada keadaan itu. Karena itu
seorang diantara lawannya tiba-tiba saja telah
berteriak " Perempuan tidak tahu diri. Kau kira
kami memang tidak mampu membunuhmu. "
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia justru
telah meloncat menyerang dengan garangnya.
Ketika hal yang membingungkan itu terjadi sekali
lagi, dan pedang Pandan Wangi sempat
menggores lengan, maka lawannya segera
mengetahui, bahwa perempuan itu ternyata
memiliki satu jenis ilmu yang menggetarkan
jantung. " Perempuan iblis " geram orang yang terluka
dilengan dan dilambung itu " kau kira dengan
ilmu iblismu itu kau akan dapat mengalahkan
kami" " Pandan Wangi sama sekali tidak menjawab.
Tetapi ia telah menyerang dengan garangnya. Ia
tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, justru
pada saat lawannya sedang didera oleh
kecemasan. Sebenarnyalah kedua lawannya kedua lawannya
benar-benar menjadi gelisah. Bukan Pandan
Wangi yang menjadi bingung. Tetapi mereka
berdualah yang kadang-kadang harus meloncat
jauh-jauh untuk mengambil jarak, agar mereka
dapat memperbaiki kedudukan mereka
menghadapi perempuan yang berilmu tinggi itu.
Sementara itu, cambuk Swandarupun meledak
semakin cepat. Rasa-rasanya suara
ledakannyapun menjadi semakin keras. Ujung
cambuknya menggapai-gapai kemanapun arah
lawannya bergeser. Bahkan kedua lawannya itu telah berhasil
dilukainya dengan ujung cambuk Swandaru.
Kulitnya telah terkoyak dan lukapun telah
menganga. Kedua orang lawannya memang bagaikan
menjadi gila. Rasa-rasanya luka ditubuh mereka
itu telah menggelapkan nalar budi mereka.
Bahkan keduanya seakan-akan telah menjadi
putus asa. Apalagi ketika mereka melihat,
dihalaman itu penuh dengan anak-anak muda
Kademangan Sangkal Putung.
Karena itu, maka kedua orang lawan Swandaru
itu memang tidak melihat kemungkinan untuk
menyingkir dari pertempuran. Namun mereka
sama sekali tidak bermimpi untuk menjadi
tawanan orang Kademangan Sangkal Putung. Jika
demikian, maka orang-orang dari padukuhan
sebelah menyebelah yang pernah dirampoknya
dan mendegar bahwa mereka tertangkap tentu
akan ikut memperlakukan mereka dengan sangat
buruk. Dengan demikian maka tidak ada yang dapat
mereka lakukan kecuali bertempur dengan sisa
kekuatan yang masih ada sampai saatnya
darahnya menjadi kering. Karena itu, maka kedua orang lawan Swandaru
itu sudah tidak bertempur lagi dengan wajar.
Mereka dengan putus ada telah berusaha
membenturkan dirinya pada kekuatan Swandaru
yang seakan-akan tidak terbatas lagi.
Raden Rangga dan Glagah Putih memang menjadi
berdebar debar. Dalam keremangan malam,
maka penglihatan mereka yang tajam mampu
menangkap yang telah terjadi.
" Glagah Putih " berkata Raden Rangga "
Tiga Maha Besar 13 Pendekar Pulau Neraka 16 Rahasia Bunga Cubung Biru Cincin Maut 4
^