Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 10

09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 10


nampaknya pertempuran akan cepat berakhir. "
" Tetapi nampaknya Swandaru tidak dapat
mengendalikan dirinya " berkata Glagah Putih
kemudian. " Dapat dimengerti " jawab Raden Rangga.
" Tetapi kita sebenarnya memerlukan orangorang
itu " berkata Glagah Putih kemudian.
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian katanya " Tetapi apa yang
dapat kita lakukan" Glagah Putih termangu-mangu sejenak.
Sementara itu pertempuran pun agaknya sudah
sampai pada tataran terakhir. Ketika cambuk
Swandaru meledak lagi beberapa kali, maka
lawannya benar-benar sudah tidak berdaya.
Tetapi Swandaru adalah seorang yang garang.
Meskipun lawannya sudah terdesak sampai
kesudut, namun ia tidak mampu melihat keadaan
lawannya itu seutuhnya. Apalagi lawannya masih
juga berusaha menggerakkan senjata mereka,
dan apalagi luka segores kecil di kulit Swandaru
terasa menjadi semakin pedih karena dibasahi
oleh keringat yang mengalir.
Karena itu, maka yang terjadi kemudian sama
sekali tidak diharapkan oleh Raden Rangga dan
Glagah Putih. Kemarahan Swandaru memang
tidak terbendung lagi. Cambuknya yang meledak
sama sekali tidak dapat dihindarkannya atau
ditangkis lagi. Begitu dahsyatnya sehingga terasa
dada lawannya itu bagaikan terbelah.
Keduanya benar-benar tidak mampu bertahan
lagi. Ledakan cambuk yang terakhir telah
merobohkan lawannya yang terakhir pula.
Swandaru yang kemudian berdiri tegak,
memandangi kedua lawannya yang terbaring
diam. Dalam keremangan malam ia masih melihat
salah seorang diantaranya menggeliat. Namun
kemudian diam. Dalam pada itu, pada saat-saat Swandaru
meledakkan cambuknya yang terakhir, Raden
Rangga telah bergeser dari tempatnya sambil
berdesis " Aku harus mencegahnya. "
Tetapi Glagah Putih menggeleng sambil berkata "
Tidak ada gunanya Raden. Aku mengenal kakang
Swandaru sebagaimana diceriterakan oleh kakang
Agung Se-dayu. " " Aku dapat mencegahnya " berkata Raden
Rangga " apakah kau tidak yakin. "
" Aku yakin Raden " jawab Glagah Putih " tetapi
persoalannya akan bergeser. Apalagi kakang
Swandaru adalah saudara seperguruan kakang
Agung Sedayu. " Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu mereka berdua telah berpaling
kearah Pandan Wangi. Namun merekapun tidak
dapat banyak berharap. Pedang Pandan Wangipun
telah melukai kedua lawannya. Namun agaknya
kedua lawannya masih berusaha untuk bertempur
terus. Seperti lawan Swandaru, keduanya menjadi
berputus asa. Tidak ada jalan untuk lari, dan
mereka tidak akan bersedia untuk menjadi
tawanan anak-anak Sangkal Putung.
Luka yang silang menyilang ditubuh mereka telah
membuat mereka berdua bagaikan gila.
Namun setiap serangan, justru telah dihentikan
oleh ujung pedang Pandan Wangi, sehingga
lawan-lawannya itu terdorong surut.
Akhirnya kedua orang lawannya itu tidak mampu
lagi berbuat sesuatu. Pada saat-saat terakhir
keduanya telah terhuyung-huyung kehilangan
segenap tenaga karena darah mereka bagaikan
terkuras habis dari tubuhnya.
Pandan Wangi memang tidak memburunya. Ia
sadar sepenuhnya, bahwa lawannya sudah tidak
berdaya. Ketika Pandan Wangi bergeser mendekati kedua
orang lawannya yang terbaring, Swandarupun
telah mendekatinya pula sambil bertanya "
Bagaimana dengan kau" "
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.
Katanya " Aku telah melumpuhkan mereka. "
Swandaru mengangguk-angguk. Namun ketika ia
kemudian berjongkok disebelah orang-orang yang
terbaring itu, maka iapun berkata " Lukanya
terlalu banyak. " " Biarlah dicoba untuk menolongnya " berkata
Pandan Wangi. " Tidak ada gunanya " jawab Swandaru " namun
biarlah anak-anak memanggil Ki Oneng. "
Namun seperti yang dikatakan oleh Swandaru,
maka lawan Pandan Wangi itupun tidak akan dapat
bertahan lebih lama lagi. Darah memang terlalu
banyak mengalir Ketika anak-anak muda yang
memanggil Ki Oneng datang bersama orang tua
itu, ternyata Ki Oneng hanya dapat
menggelengkan kepalanya saja
Raden Rangga dan Glagah Putih hanya dapat
menarik nafas dalam-dalam. Glagah Putih selalu
menahan jika Raden Rangga siap meloncat
memasuki kerumunan anak-anak muda Sangkal
Putung " Dan kakang Swandaru masih panas " berkata
Glagah Putih " akan mudah terjadi salah paham. "
" Jadi bagaimana dengan kita" Dengan susah
payah kita mengikuti jejaknya. Akhirnya kita
temui mereka ter bunuh disini. " berkata Raden
Rangga. " Apaboleh buat. Yang terjadi adalah diluar
kekuasaan kita berdua untuk mencegahnya "
berkata Glagah Putih. Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Ia
melihat masih ada usaha untuk menoiong jiwa
dua orang yang bertempur melawan Pandan
Wangi. Namun ternyata bahwa kedua orang
itupun tidak dapat tertolong lagi. Darah mereka
terlalu banyak mengalir sementara keduanya
seakan-akan memang berusaha untuk membunuh
diri, tanpa mau menghentikan perlawanan sampai
tarikan nafas mereka yang terakhir
Dalam pada itu, anak-anak muda Sangkal Putung
telah menjadi ribut. Jumlah mereka semakin lama
menjadi semakin banyak. Anak-anak muda dari
padukuhan-padu-kuhan lain di Kademangan itu,
yang mendengar isyarat, telah berkumpul
meskipun disetiap padukuhan masih tersisa
mereka yang bertugas meronda.
Beberapa diantara mereka masih belum jelas apa
yang terjadi. Namun merekapun kemudian
mengetahui, bahwa ampat orang telah terbunuh
diarena. Dua orang oleh Swan daru dan dua
orang lainnya oleh Pandan Wangi.
Sementara itu Raden Ranggapun bertanya kepada
Glagah Putih -- bagaimana dengan kita" Apakah
kita akan tetap bersembunyi disini atau kita akan
menemui Swan-daru" "
Glagah Putih termangu-mangu sejenak, Namun
kemudian katanya " Apakah ada gunanya kita
menemuinya" " Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun
kemudian iapun berkata " Bukankah Swandaru
saudara seperguruan Agung Sedayu" "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya " Jika kita singgah, maka itu
hanya sekedar kita lakukan sebagaimana kita
mengadakan kunjungan biasa tanpa ada
hubungannya dengan keempat orang yang telah
terbunuh itu. " " Apa salahnya jika kita sekedar berceritera
tentang usaha kita mengikuti mereka. " berkata
Raden Rangga " tanpa maksud menyalahkan apa
yang telah terjadi. "
Glagah Putih termangu-mangu. Jika Raden
Rangga benar dapat bersikap demikian, maka
memang tidak ada salahnya mereka singgah di
Sangkal Putung. Untuk beberapa saat kedunya masih menunggu.
Swandaru dan Pandan Wangi yang berada
diantara anak-anak muda itu nampak
memberikan beberapa petunjuk.
" Sebentar lagi anak-anak muda itu akan
meninggalkan halaman itu " berkata Glagah Putih
" mungkin satu dua diantara mereka akan melihat
kita disini setelah mereka tidak lagi terikat
perhatiannya kepada peristiwa yang terjadi di
halaman itu. " " Kita lebih baik turun " berkata Raden Rangga "
jika mereka melihat kita, kita tidak akan dicurigai
sebagaimana jika kita berada disini. "
Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi sebagaimana
yang dikatakan oleh Raden Rangga, maka
keduanyapun telah turun dihalaman sebelah dan
dengan hati-hati keduanya telah keluar dari regol
halaman. Untuk beberapa saat, memang tidak ada orang
yang memperhatikan keduanya karena kesibukan
anak-anak muda itu sendiri. Namun kemudian
tiba-tiba saja seorang anak muda dengan tidak
sengaja melihat mereka berdiri termangu-mangu.
Anak muda itu mulai tertarik kepada keduanya.
Karena itu tiba-tiba saja anak muda itu
menggamit kawannya sam bil berkata " He,
siapakah mereka" Agaknya aku belum pernah
mengenalnya. " Kawannyapun mulai memperhatikan kedua anak
muda itu. Namun kemudian iapun berdesis " Ya.
Aku belum mengenalnya. Mungkin ada
hubungannya dengan keempat orang yang
terbunuh itu. " Karena itu, maka tiba-tiba saja kedua orang anak
muda itu telah mencabut senjata mereka.
Sementara itu, kawan-kawannya yang melihat
keduanya segera memperhatikan arah perhatian
mereka pula, sehingga merekapun telah melihat
Raden Rangga dan Glagah Putih yang berdiri termangu-mangu.
Beberapa orang telah mendekatinya dengan
senjata tertunduk. Namun Raden Rangga dan
Glagah Putih sama sekali tidak berbuat sesuatu.
Yang mereka lakukan adalah justru bergeser
kebawah cahaya oncor minyak yang berada
dipintu gerbang halaman itu.
" Siapa kau" " terdengar seorang diantara anakanak
muda itu bertanya. " Glagah Putih - jawab Glagah Putih - dari Jati
Anom. " " Kenapa kau berada disini dimalam-malam
seperti ini" " bertanya anak muda Sangkal Putung
itu. " Justru pada saat di Kademangan ini terjadi
sesuatu. " " Satu kebetulan yang tidak menguntungkan bagi
kami " berkata Glagah Putih. Tetapi kemudian
katanya " Namun sebenarnyalah bahwa kami
ingin bertemu dengan kakang Swandaru yang aku
lihat ada dihalaman sebelah. "
" Siapa kau dan untuk apa kau ingin bertemu
dengan Swandaru" " bertanya seorang anak
muda yang lain. " Sudah aku katakan, bahwa aku adalah Glagah
Putih dari Jati Anom " jawab Glagah Putih " aku
ingin bertemu kakang Swandaru sekedar singgah
karena aku sudah lama tidak menemuinya. "
" Sekedar singgah dan dimalam seperti ini" "
bertanya anak muda itu. " Kami memang sedang dalam perjalanan " jawab
Glagah Putih. Namun beberapa orang anak muda yang
mengerumuninya memang menaruh curiga
kepada keduanya, justru baru saja terjadi sesuatu
yang telah menggemparkan Kade mangan itu.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba seorang anak
muda menyibak kawan-kawannya sambil
menyebut namanya " Glagah Putih "
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun
kemudian iapun tersenyum. Ternyata seorang
anak muda yang dikenalnya telah datang
kepadanya. Dengan nada tinggi ia bertanya "
Kenapa kau berada disini di malam hari seperti ini" "
" Kami sedang dalam perjalanan " berkata Glagah
Putih " sebenarnyalah kami ingin singgah dirumah
kakang Swandaru. Namun ternyata disini baru
terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan
kehadiran kami. " Anak muda yang telah mengenalnya itu kemudian
berkata " Tetapi baiklah. Aku akan mengatakannya kepada Swandaru. Jangan pergi."
Glagah Putih dan Raden Rangga menarik nafas
dalam-dalam. Sementara itu anak-anak muda
yang lainpun tidak lagi mengacukan senjata
mereka meskipun mereka masih juga
mengamatinya dengan sikap yang hati-hati.


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika anak muda itu kemudian menyibak kawankawannya
dan menemui Swandaru sambil
mengatakan bahwa Glagah Putih ada di tempat itu, Swandaru
itupun bertanya lantang " Ada apa anak itu
kemari" " " Katanya ia hanya singgah saja. Ia sedang dalam
perjalanan bersama seorang kawannya " jawab anak muda itu.
" Aku sedang sibuk " jawab Swandaru.
Anak muda yang menyampaikan kehadiran
Glagah Putih itu mengerutkan keningnya. Namun
dalam pada itu, Pandan Wangilah yang menyahut
" Bukankah Glagah Putih itu sepupu kakang
Agung Sedayu. " " Ya. " jawab Swandaru " tetapi aku tidak
berkepentingan dengan anak itu. "
" Tetapi jika ia ingin singgah bukankah tidak ada
salahnya " berkata Pandan Wangi.
" Tetapi aku sedang sibuk sekali sekarang ini "
berkata Swandaru pula. Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.
Diperhatikannya kesibukan anak-anak muda
disekitarnya. Mereka memang sedang dicengkam
oleh ketegangan. Tetapi Pandan Wangi tidak
dapat membiarkan begitu saja kehadiran adik
sepupu Agung Sedayu itu. Karena itu, maka iapun berkata " Baiklah kakang.
Biarlah aku saja yang menerima mereka. "
Swandaru tidak berkeberatan. Katanya " Nanti
jika aku sudah selesai, aku akan kembali. Tetapi
aku tidak tahu, kapan aku selesai itu. "
Pandan Wangi mengangguk. Ialah yang kemudian
meninggalkan tempatnya menemui Glagah Putih.
Glagah Putih mengangguk hormat ketika ia
melihat Pandan Wangi menghampirinya.
Sementara itu Pandan Wangipun terkejut ketika ia
melihat anak muda yang datang bersama Glagah Putih.
" Aku datang bersama Raden Rangga, mbokayu "
berkata Glagah Putih. Pandan Wangilah yang kemudian mengangguk
hormat. Dengan nada rendah ia berkata "
Maafkan kami Raden. Kami sedang disibukkan
oleh peristiwa yang tidak kami inginkan terjadi di
Kademangan ini. " " Kami melihatnya " berkata Raden Rangga "
silah-kan jika kalian masih terlalu sibuk. Kami
hanya sekedar singgah. " berkata Raden Rangga.
" Marilah, kami ingin mempersilahkan Raden dan
Glagah Putih untuk singgah barang sejenak di
Kademangan " Pandan Wangi mempersilahkan.
Tetapi Raden Rangga menggeleng. Katanya "
Terima kasih. Kami sedang dalan perjalanan.
Dimana kakang Swandaru" "
" Kakang Swandaru sedang sibuk dengan anakanak
muda itu " jawab Pandan Wangi.
" Sampaikan salam kami " berkata Raden Rangga
" sebenarnya kami memang sedang mengikuti
ampat orang yang terbunuh itu untuk mendapat
satu petunjuk. Tetapi ternyata mereka telah
terbunuh disini, sehingga kami telah kehilangan
tuntunan perjalanan kami. "
" O " Pandan Wangi mengerutkan keningnya.
Dengan nada rendah ia berkata " Maafkan kami
Raden. Kami tidak mengetahuinya. "
" Ya. Tidak apa-apa. Kalian memang tidak
mengetahuinya. " sahut Raden Rangga tergesagesa.
Lalu katanya " Baiklah. Aku dan Glagah
Putih minta diri. Kami hanya ingin menunjukkan
diri karena kami sudah berada di Kademangan ini.
Sekarang kami akan meneruskan perjalanan kami. "
" Jadi Raden tidak singgah di Kademangan" "
bertanya Pandan Wangi. " Terima kasih " jawab Raden Rangga " silahkan
menyelesaikan tugas kalian. Kami minta diri. "
" Maaf mbokayu " berkata Glagah Putih " lain -kali
saja kami akan singgah. "
Demikianlah Glagah Putih dan Raden Rangga
ternyata hanya sekedar menunjukkan dirinya.
Ketika mereka kemudian keluar dari padukuhan
itu Raden Rangga berkata " Sebenarnya aku juga ingin singgah. Tetapi
agaknya Swandaru terlalu sibuk, sehingga tidak
sempat menemui kita. Karena itu, maka lebih
baik kita tidak mengganggu nya. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sadar,
bahwa agaknya Raden Rangga kurang senang
menghadapi sikap Swandaru yang tidak mau
menemuinya betapapun sibuknya. Karena itu,
maka lebih baik baginya untuk pergi saja
daripada terjadi salah paham. Bahkan Raden
Rangga mencoba mengerti, bahwa Swandaru
memang sedang sibuk. Sementara itu Pandan Wangi telah kembali
kepada Swandaru, sehingga Swandaru justru
bertanya " Begitu cepat" "
" Mereka tidak singgah. Mereka hanya sekedar
menampakkan diri karena mereka telah berada di
Sangkal Putung " jawab Pandan Wangi.
" Mereka siapa" " bertanya Swandaru pula.
" Glagah Putih dengan Raden Rangga " jawab
Pandan Wangi. " Raden Rangga " ulang Swandaru.
" Ya. Raden Rangga putera Panembahan Senapati
itu" jawab Pandan Wangi.
Swandaru menjadi berdebar-debar. Dengan ragu
ia bertanya " Jadi mereka sudah pergi" "
" Ya " jawab Pandan Wangi " mereka telah
meneruskan perjalanan mereka. "
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya "
Aku tidak tahu bahwa yang datang adalah putera
Panembahan Senapati. Tetapi sudahlah. Anak itu
sudah terlanjur pergi. Agaknya keduanya
memang sedang bertualang. "
Pandan Wangi juga mengatakan, bahwa anakanak
muda itu sedang mengikuti keempat orang
yang terbunuh itu. " Tetapi mereka dapat mengerti " berkata Pandan Wangi.
Swandaru mengangguk-angguk. Namun
kemudian sekali lagi ia berkata " Biar sajalah
anak itu melakukan petualangan. Kita pernah
mendengar apa saja yang pernah dilakukan oleh
Raden Rangga. Mudah-mudahan ia tidak
melakukan yang aneh-aneh itu di Sangkal Putung,
karena aku tentu akan mencegahnya, meksipun
ia adalah anak Panembahan Senapati. "
" Ah " desah Pandan Wangi.
" Aku berkata sebenarnya " desis Swandaru "
anak itu harus dicegah agar tidak semakin
menjadi-jadi, sementara ayahandanya tentu akan
berterima kasih jika kita membantunya sedikit
memberi pelajaran kepada anak itu agar ia tidak
semakin nakal. Justru karena ia merasa tidak ada
orang lain yang mampu mencegah segala tingkah lakunya.
" Tentu bukan begitu " sahut Pandan Wangi "
agak-- nya ia dapat mengerti dan nampaknya
tidak senakal ceritera yang pernah kita dengar.
" Karena ia merasa berhadapan dengan kita "
jawab Swandaru " sementara itu agaknya Glagah
Putih sudah dijangkiti oleh penyakitnya pula,
karena ia merasa sepupu Agung Sedayu. "
Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Ia
mencoba mengingat sikap anak-anak muda itu,
Baru kemudian ia berkata " Tidak kakang.
Menurut penilaianku mereka bersikap wajar.
Agaknya bukan karena mereka berada dihadapan
saudara seperguruan kakak sepupunya,
tetapi menurut penilaianku, mereka tidak berbuat
atau bersikap tidak seharusnya, sebagaimana
sikap mereka sewajarnya. Swandaru mengangguk-angguk. Jawabnya " Mudah mudahan. Tetapi ceritera tentang kenakalan
Raden Rangga sudah banyak didengar oleh orang-orang Mataram. "
Pandan Wangi tidak membantah lagi. Apalagi
Swanda-rupun kemudian telah melangkah pergi,
turun dalam kesibukan bersama anak-anak muda
Kademangan Sangkal Pulung.
Namun mereka tidak terlalu lama berada
ditempat itu. Sejenak kemudian merekapun telah
meninggalkan halaman rumah itu dan kembali ke
kademangan setelah meninggalkan pesan kepada
pemimpin pengawal padukuhan itu.
Sejenak kemudian tiga ekor kuda telah berderap
meninggalkan padukuhan itu. Swandaru, Pandan
Wangi dan Ki Jagabaya. Dalam pada itu, Raden Rangga dan Glagah Putih
berjalan menyusuri bulak panjang. Tanpa mereka
sadari, mereka telah menempuh jalan menuju ke
padukuhan induk. Karena itu, maka ketika
Swandaru, Pandan Wangi dan Ki Jagabaya
berpacu menuju ke padukuhan induk, mereka
telah menempuh jalan itu pula.
Raden Rangga terhenti ketika ia mendengar derap
kaki kuda. Dengan kening yang berkerut ia
berkata " Itu tentu mereka. Swandaru, isterinya
dan seorang lagi yang datang bersama mereka. "
" Bagaimana jika kita diminta singgah" " bertanya
Glagah Putih. " Tidak usah. Kita bersembunyi saja, agar mereka
tidak melihat kita dan kita tidak usah menjawab
sapa mereka " jawab Raden Rangga.
Keduanyapun kemudian telah bergeser menepi
dan turun kepematang. Keduanya telah
berlindung dibalik lanjaran batang kacang
panjang yang subur dan berdaun rimbun.
Sejenak kemudian maka tiga ekor kuda melintas
dengan cepat. Karena ketiganya tidak
memperhatikannya, maka merekapun tidak
melihat Raden Rangga dan Glagah Putih
berjongkok dipematang. Demikian tiga ekor kuda lewat, maka Raden
Rangga-pun berdiri sambil menggeliat. Namun
ditangannya tergenggam tiga buah kacang
panjang yang masih muda. " Sejak kecil aku gemar kacang panjang seperti
ini " berkata Raden Rangga.
" Dan sekarang Raden sudah besar " sahut
Glagah Putih yang berdiri pula sambil
mengibaskan pakaiannya. Katanya pula "
Pakaianku menjadi basah oleh embun yang
melekat pada daun lembayung ini. "
Keduanyapun kemudian telah naik ke jalan pula.
Sejenak kemudian keduanya telah melanjutkan
perjalanan mereka. Raden Rangga sempat pula
mengunyah kacang panjang yang dipetiknya dari
batangnya yang subur segar.
" Agaknya Swandaru itu mempunyai sifat yang
berbeda dengan Agung Sedayu " berkata Raden Rangga.
" Mungkin " desis Glagah Putih " tetapi akupun
tidak terlalu banyak mengenal kakang Swandaru
itu. " Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian katanya " He, apa yang
menarik di Kademangan ini" "
" Maksud Raden" " bertanya Glagah Putih.
" Apakah disini ada sesuatu yang pantas untuk
dijadikan permainan" " bertanya Raden Rangga
pula. " Ah, Raden akan mulai lagi" " sahut Glagah
Putih. Raden Rangga mengerutkan keningnya.
Namun iapun tertawa. " Sudahlah Raden " berkata Glagah Putih "
pekerjaan kita sudah cukup rumit. Jangan
menambah kerumitan tugas ini dengan hal-hal
yang tidak ada artinya. "
Raden Rangga menjawab sambil tertawa " Aku
sebenarnya ingin bermain-main dengan Swandaru
barang sejenak. Ia sama sekali tidak menghargai
kedatangan kita disini. "
" Bukan tidak menghargai " jawab Glagah Putih "
kakang Swandaru memang sedang sibuk
sebagaimana kita lihat. Ia bertanggung jawab
atas peristiwa yang baru saja terjadi. "
Raden Rangga mengangguk-angguk, Dengan
nada tinggi ia berkata " Baiklah. Aku tidak akan
berbuat apa-apa di Kademangan yang besar ini. "
Namun Raden Rangga itu telah menarik tongkat
pring gadingnya yang terselip dipunggungnya.
Kemudian digoreskannya tongkat itu pada
sepotong pohon turi yang tumbuh dipinggir jalan,
berjajar panjang hampir sepanjang bulak.
Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Ia melihat
semacam sinar yang meloncat dari ujung tongkat
yang menggores batang pohon turi itu.
Sementara itu Raden Rangga melakukannya
beberapa kali, sehingga lebih dari duapuluh
batang pohon turi telah disentuhnya. Baru
kemudian dia menyelipkan lagi tongkatnya
dipunggungnya. " Apa yang Raden lakukan" " bertanya Glagah
Putih. Raden Rangga tidak menjawab. Namun


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Glagah Putihlah yang kemudian berhenti.
" Kenapa kau berhenti" " bertanya Raden Rangga.
" Aku ingin melihat akibat sentuhan tongkat
Raden itu. " jawab Glagah Putih.
" Sudahlah. Tidak apa-apa " jawab Raden Rangga.
" Aku akan menunggu sampai aku melihat
akibatnya meskipun sampai pagi sekalipun. "
jawab Glagah Putih pula. " Aku akan pergi " berkat Raden Rangga.
" Silahkan. Aku tinggal disini " jawab Glagah
Putih. Raden Rangga mengumpat pendek. Namun iapun
terpaksa ikut menunggu pula.
Sebenarnyalah akibat sentuhan tongkat Raden
Rangga itupun segera terlihat. Daun pohon turi
yang batangnya tergores tongkat Raden Rangga
itu menjadi layu saat itu pula.
Jantung Glagah Putih menjadi berdebar-debar.
Justru karena ia melihat dalam keremangan malam
pohon-pohon turi itu menjadi layu, maka iapun
telah melangkah mendekat. Glagah Putih telah
mengamati batang-batang pohon turi yang
tergores oleh ujung tongkat Raden Rangga.
Bekas sentuhan tongkat Raden Rangga itu telah
memberikan bekas yang mendebarkan. Batang
pohon turi itu bagaikan telah terbakar. Bukan
hanya pada bekas sen tuhan, tetapi beberapa
depa dari permukaan tanah memanjat keatas.
" Raden " berkata Glagah Putih " Raden telah
meninggalkan bekas yang kurang mapan di
Kademangan ini. " Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam.
Katanya " Maaf Glagah Putih. Kadang-kadang aku
memang tidak mampu mengendalikan diri.
Bahkan kadang-kadang aku sulit untuk
mengetahui gejolak perasaanku sendiri, sehingga
aku merasa asing dengan diriku sendiri. "
Glagah Putih termangu-mangu sejenak.
Pengakuan Raden Rangga itu membuatnya raguragu
untuk mempersalahkannya lebih jauh lagi.
Bahkan justru karena itu ia berkata " Sudahlah.
Mudah-mudahan untuk selanjutnya Raden sempat
mempertimbangkan tingkah laku Raden. "
" Niatku sudah tumbuh sejak aku mulai
melakukan hal-hal yang dianggap kurang wajar "
jawab Raden Rangga " tetapi aku tidak mampu
mengetrapkannya dalam tingkah lakuku. Sesuatu
kadang-kadang melonjak didalam hati tanpa
terkuasai. Dan aku menjadi sangat prihatin
karenanya. " Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Ia sudah
lama bergaul dengan Raden Rangga. Karena itu,
maka seharusnya ia sudah mengetahuinya bahwa
hal seperti itu memang ter jadi didalam diri anak
muda itu. Sebagaimana dikatakannya, bahwa ia
kadang-kadang merasa asing dengan dirinya
sendiri. Ketika Glagah Putih kemudian melihat Raden
Rangga itu menunduk dan mengesankan penyesalan yang
sangat dalam, maka iapun berkata " Sudahlah
Raden. Kita tinggalkan Kademangan ini. "
" Apakah menurut pendapatmu, sebaiknya aku
singgah di Kademangan dan mohon maaf kepada
Ki Demang dan Swandaru" " bertanya Raden
Rangga. " Tidak perlu Raden " jawab Glagah Putih yang
mencemaskan kemungkinan bahwa justru akan
terjadi salah paham. " Baiklah " berkata Raden Rangga " kita pergi
keluar dari Kademangan ini.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu
keduanyapun telah melanjutkan perjalanan keluar
dari Kademangan Sangkal Putung. Bahkan
terdapat kesan pada Raden Rangga, bahwa ia
merasa sangat tergesa-gesa, seakan-akan ia
menjadi ketakutan, bahwa kesalahannya sempat
dilihat orang. Glagah Putih mencoba memperhatikan sikap
Raden Rangga. Memang sudah terjadi beberapa
perubahan. Tetapi ledakan-ledakan perasaan
masih terjadi didalam dirinya yang pribadinya
kadang-kadang berloncatan dari yang satu ke
yang asing itu. Malam itu, ternyata banyak juga anak-anak muda
yang ternyata kemudian lewat di jalan yang
dipinggirnya ditumbuhi pohon turi berjajar hampir
disepanjang bulak. Pohon turi yang dimusim
berbunga memberikan bunganya bagi orangorang
dipadukuhan sebelah menyebelah. Karena
banyak orang yang menyukai bunga turi yang
dibumbui dengan sejenis sambal kacang tanah.
Tetapi anak-anak muda yang hilir mudik dalam
kesibukan mereka itu sama sekali tidak
menghiraukan apa yang telah terjadi dengan
pohon-pohon turi itu. Namun dipagi hari berikutnya, maka beberapa
orang mulai melihat keanehan itu. Lebih dari
duapuluh batang pohon turi menjadi layu.
Batangnya bagaikan terbakar
dipangkalnya hingga beberapa depa. Kulit
batangnya menjadi hangus, sementara itu
daunnyapun menjadi layu. Beberapa orang mulai mengerumuni pohon turi
itu. Semakin lama semakin banyak, sehingga
akhirnya dua orang pengawal telah pergi
kepadukuhan induk, memberikan laporan tentang
keanehan yang terjadi pada beberapa batang
pohon turi itu. " Apalagi yang terjadi " geram Swandaru "
keempat mayat itu masih belum dikuburkan.
Sekarang ada lagi keanehan tentang pohon
pohon turi itu. Apakah kalian tidak dapat mencari
pemecahan untuk pohon turi itu, sehingga aku
pula yang harus pergi kesana" "
" Satu keanehan telah terjadi " sahut salah
seorang dari kedua pengawal itu " satu hal yang
belum pernah kami lihat sebelumnya. "
Pandan Wangilah yang kemudian berkata "
Marilah kakang. Sebaiknya kita melihatnya.
Mungkin memang tidak berarti. Tetapi mungkin
teka-teki itu perlu jawaban "
Swandaru yang masih merasa letih itupun
kemudian telah mempersiapkan diri. Kemudian
bersama Pandan Wangi keduanya telah berkuda
menuju ketempat yang ditunjuk oleh para
pengawal itu. Disebelah padukuhan yang
semalam diributkan oleh empat orang perampok
yang telah terbunuh itu. Orang-orang yang menyaksikan keanehan itupun
telah menyibak ketika mereka melihat Swandaru
dan Pandan Wangi meloncat turun dari kuda mereka.
Ketika keduanya kemudian mendekati pohonpohon
turi itu, merekapun ternyata juga menjadi
heran. Dengan nada rendah Pandan Wangi
berdesis " Aneh. Tentu bukan karena disambar
petir. " " Tentu tidak " jawab Swandaru " jika pohonpohon
ini disambar petir, tentu bagian
ujungnyalah yang menjadi parah. Bukan pokok
batangnya. Bahkan tidak akan mungkin sekaligus
sekian banyak pohon menjadi layu. "
Untuk beberapa saat mereka berteka-teki. Namun
tiba-tiba seperti meledak Swandaru berkata "
Raden Rangga. Tentu pokal anak itu. "
Semua wajah menjadi tegang. Pandan Wangipun
menjadi tegang. Sementara itu, Swandarupun
berkata " Aku akan menyusulnya. Ia harus
bertanggung jawab atas permainannya yang ugalugalan ini. "
Pandan Wangi terkejut mendengar ungkapan
kemarahan Swandaru itu. Karena itu, maka
dengan tergesa-gesa berkata " Jangan kakang. "
" Sudah aku katakan, bahwa anak itu tidak boleh
membuat kekisruhan di Kademangan ini. Aku
tidak mau dipermainkan oleh anak-anak ingusan
seperti itu. Aku akan menyusul Raden Rangga,
menyeretnya kemari agar ia mempertanggung
jawabkan perbuatannya ini. " geram Swandaru.
" Raden Rangga bersama-sama dengan Glagah
Putih kakang. Glagah Putih adalah sepupu kakang
Agung Seda-yu dan tinggal bersama kakang
Agung Sedayu pula " berkata Pandan Wangi.
" Maksudmu, jika anak itu menyampaikannya
kepada kakang Agung Sedayu, maka kakang
Agung Sedayu akan dapat menjadi marah"
Begitu" " bertanya Swandaru. Lalu katanya " Aku
tidak peduli. Agung Sedayu harus tahu, bahwa
adik sepupunya itu tidak mempunyai unggahungguh.
Ia harus tahu bahwa adiknya memang
harus mendapat sedikit peringatan sebagaimana
juga Raden Rangga. Namun jika kakang Agung
Sedayu menjadi salah paham dan melakukan
langkah-langkah yang tidak sepantasnya, apa
boleh buat. Justru aku, yang menjadi saudara
mudanya seperguruan perlu memberikan sedikit
peringatan pula kepadanya. Meskipun aku dalam
perguruan lebih muda, tetapi aku sanggup untuk
melakukannya. " Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.
Katanya " Kakang. Dari pada persoalan akan
berlarut-larut, maka aku kira kita harus lebih
sabar menghadapi anak-anak nakal itu.
Jika kakang Agung Sedayu marah, mungkin kita
masih mempunyai cara untuk meredakannya.
Apalagi menurut perhitunganku, kakang Agung
Sedayu tidak akan marah karenanya. Ia akan
dapat mengerti dan bahkan mungkin ia akan
berterimakasih. Tetapi bagaimana dengan
Panembahan Senapati" Kita tidak tahu pasti,
apakah Panembahan Senapati tidak marah jika
kita mengambil langkah-langkah untuk sedikit
memberinya peringatan"
" Tetapi anak itu harus diberi peringatan. Pada
satu saat ia harus menghadapi satu kenyataan
bahwa tidak dapat berbuat sesuka hatinya. "
berkata Swandaru. " Aku sependapat kakang. Tetapi kita harus tahu
akibat yang mungkin timbul. Jika Panembahan
Senapati tidak berkenan dihatinya, maka
persoalannya akan menjadi berkepanjangan. "
berkata Pandan Wangi " selain itu, jika kakang
menyusul, kakang akan menyusul kemana" Tidak
seorangpun dapat menunjukkan arah kepergian
anak-anak itu. " berkata Pandan Wangi pula.
Swandaru mengerutkan keningnya. Kata-kata
Pandan Wangi yang terakhir memang
memberikan persoalan kepadanya, kemana ia
harus menyusul. Karena itu, maka Swandaru itupun menggeram.
Namun iapun kemudian berkata " Kau benar
Pandan Wangi. Mungkin sehari ini aku belum
dapat menemukan mereka. "
" Karena itu, maka urungkan saja niatmu itu
kakang " berkata Pandan Wangi pula.
Swandaru mengangguk-anguk. Meskipun
demikian ia masih bergumam " Jika aku
mengurungkan niatku, bukan karena aku tidak
ingin memberikan peringatan kepada kedua anak
anak ugal-ugalan itu. Tetapi karena aku tidak
mempunyai waktu untuk mencarinya. "
Pandan Wangi menarik nafas. Tetapi ia tidak
menyahut lagi. Namun, justru karena itu, maka Swandaru
ternyata mempunyai waktu untuk memperhatikan
beberapa pohon turi yang batangnya bagaikan terbakar itu.
Bersama Pan-can Wangi ia melihat batang-batang
yang hangus dari pangkal batangnya sampai
beberapa depa memanjat kea-tas. Pohon-pohon
itu tentu tidak disambar petir dan seseorang tentu
tidak membakarnya dengan menimbun seonggok
kayu di pangkal batangnya dan menyalakannya.
Jika demikian maka pekerjaan itu tentu tidak
akan selesai dikerjakan semalam suntuk. Dan
apipun akan dapat dilihat oleh anak-anak muda
yang lewat di tempat itu atau dari pedukuhan
sebelah menyebelah bulak.
Swandaru dan pandan Wangi memang merasa
heran melihat bekas yang mendebarkan itu.
Namun dengan demikian terbayang oleh mereka
kemampuan anak-anak muda yang semalam
singgah di Kademangan. " Mereka kecewa bahwa kakang Swandaru tidak
bersedia menerima mereka " berkata Pandan
Wangi didalam hatinya. Meskipun ia tidak pasti,
tetapi ia men duga, bahwa hal itu merupakan
salah satu sebab mengapa keduanya telah
meninggalkan kesan yang mendebarkan itu.


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Swandarupun merasakan pula hal seperti itu.
Tetapi bagi Swandaru kedua anak muda itulah
yang harus menunggunya, karena ia baru dalam
kesibukan. *** NAMUN bagaimanapun juga Swandaru harus memperhatikah kemungkinan yang dapat dilakukan oleh kedua anak itu. Meskipun demikian katanya didalam hati, "Mungkin mereka memiliki permainan untuk membuat pangeram-eram. Tetapi kemampuan Glagah Putih tidak akan lebih dari kemampuan Agung Sedayu yang menuntunnya dalam oleh kanuragan. Sementara itu Agung Sedayu masih harus banyak belajar untuk mencapai tataran yang memadai. Sifatnya yang malas dan cepat puas itulah yang menghambat perkembangan ilmunya. Kitab yang oleh guru diperkenankan untuk dipergunakan bergantian itupun kadang-kadang tidak diambilnya pada saat-saat yang sudah menjadi haknya. Jika kakang Agung Sedayu tidak mau merubah cara-cara yang dipergukan untuk mengembangkan ilmunya, maka ia akan ketinggalan dari anak-anak yang tumbuh kemudian."
Untuk beberapa saat Swandaru masih memperhatikan bekas sentuhan tongkat Raden Rangga itu. Tetapi baik Swandaru, maupun Pandan Wangi, apalagi anak-anak muda Sangkal Putung, tidak dapat menebak apa yang telah terjadi. Namun bahwa duapuluh batang pohon lebih telah menjadi kering dan mati merupakan satu kenyataan yang mendebarkan.
"Marilah." berkata Swandaru kemudian kepada Pandan Wangi, "kita kembali ke Kademangan. Kita akan mencari jawab atas teka-teki ini. Jika periu kita akan berbicara dengan Guru tentang peristiwa ini."
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, "Apakah kakang akan menemui Kiai Gringsing dan minta petunjuk tentang batang-batang turi ini?"
"Tidak. Aku tidak akan mencari petunjuk kepada siapapun tentang batang-batang turi itu. Kita akan membicahkan sendiri." jawab Swandaru.
"Lalu apakah yang akan kita bicarakan dengan Kiai Gringsing?" bertanya Pandan Wangi.
"Aku akan berbicara tentang Glagah Putih." berkata Swandaru, "apakah yang sebaiknya kita lakukan atas anak itu. Apakah kita akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh dan berbicara dengan kakang Agung Sedayu, atau kita malahan akan menghadap Panembahan Senapati dan memberitahukan tingkah laku puteranya di Kademangan Sangkal Putung."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi baginya, lebih baik Swandaru berbicara dengan Kiai Gringsing daripada ia langsung bertindak. Pandan Wangi yakin, bahwa Kiai Gringsing akan dapat mengendalikan suaminya untuk memilih, langkah manakah yang paling baik dilakukan.
Sejenak kemudian maka keduanyapun telah meninggalkan tempat itu tanpa dapat memecahkan teka-teki tentang pohon-pohon turi itu. Mereka tidak dapat membayangkan, apakah yang sudah dilakukan oleh anak-anak muda itu, sehingga batang-batang turi itu menjadi bagaikan terbakar.
Sepeninggal Swandaru dan Pandan Wangi, masih banyak anak-anak muda yang berkerumun. Mereka sebenarnya menunggu penjelasan Swandaru, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi agaknya Swandaru sendiri belum dapat memecahkan teka-teki itu.
Di Kademangan, Swandaru telah mengulangi keinginannya untuk berbicara dengan Kiai Gringsing. Dan agaknya Swandaru bersungguh-sungguh dengan rencananya itu.
"Kita pegi ke Jati Anom sebentar." berkata Swandaru.
Pandan Wangipun menyadari, bahwa Jati Anom bukanlah jarak yang panjang. Karena itu maka mereka akan dapat menyisihkan waktu beberapa saat dan berpacu. ke Jati Anom.
"Untuk apa sebenarnya kalian pergi ke Jati Anom?" bertanya Ki Demang ketika mereka minta diri.
"Tidak apa-apa ayah." jawa Swandaru, "kami hanya ingin mendapat petunjuk apa yang sebaiknya harus kami lakukan atas tingkah laku Glagah Putih dan Raden Rangga yang telah meninggalkan bekas dengan sangat tidak mapan. Apalagi bagi Glagah Putih, karena aku adalah saudara seperguruan kakak sepupunya."
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mencegah anaknya. Seperti Pandan Wangi ia berpikir, lebih baik Swandaru berbicara dengan Kiai Gringsing daripada ia dengan tergesa-gesa telah mengambil tindakan sendiri."
Namun sebelum berangkat Swandaru telah memberikan beberapa pesan kepada para pemimpin pengawal Kademangan agar mereka berhati-hati. Peristiwa yang terjadi semalam mungkin masih akan mempunyai ekor.
"Tetapi aku tidak lama. Aku akan segera kembali setelah aku berbicara dengan guru di Jati Anom." berkata Swandaru kepada para pemimpin pengawal. Kemudian kepada Ki Demang ia berkata, "Jika semua persiapan sudah selesai, biarlah mayat orang-orang yang terbunuh itu dikuburkan tanpa menunggu aku, tetapi seperti yang aku katakan, Kademangan ini harus berjaga-jaga. Mungkin kawan-kawannya akan menuntut balas."
"Kenapa kau justru pergi?" bertanya Ki Demang.
"Hanya sebentar." jawab Swandaru. "Begitu aku datang di Jati Anom, aku langsung kembali. Sebelum matahari turun, aku sudah berada di Kademangan ini kembali."
"Baiklah. Kau harus benar-benar cepat kembali." berkata Ki Demang.
"Tetapi menurut perhitunganku, kawan-kawannya tidak akan berani memasuki Kademangan ini lagi." berkata Swandaru.
"Mudah-mudahan." sahut Ki Demang.
Demikianlah, Swandaru dan Pandan Wangi dengan diam-diam tanpa pengawal telah meninggalkan Sangkai Putung. Namun dalam keadaan yang gawat, keduanya telah bersiap dengan kelengkapan yang memadai. Pedang rangkap Pandan Wangi berada dilambungnya sebelah menyebelah, sementara Swandaru telah membelitkan cambuknya dilambung.
Dua ekor kuda telah berpacu menuju ke Jati Anom. Rasa-rasanya mereka tidak lebih lambat dari angin yang bertiup menggerakkan batang-batang padi di sawah yang basah digenangi air sampai kebibir pematang.
Ternyata mereka memang tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama. Beberapa saat kemudian mereka telah menyusuri tepi hutan buruan yang tidak terlalu lebat. Kemudian berbelok dan melintasi daerah yang subur lagi, memasuki daerah Macanan. Dalam waktu yang pendek mereka telah melintasi Dukuh Pakuwon dan beberapa saat kemudian mereka telah memasuki Kademangan Jati anom.
Tetapi mereka tidak menuju ke padukuhan induk. Mereka menuju kesebuah padepokan kecil yang agak terpencil. Padepokan Kiai Gringsing. Ketika mereka sampai ke regol padepokan, keduanyapun telah meloncat turun. Keduanyapun telah menuntun kuda mereka memasuki halaman padepokan yang bersih terawat.
Seorang cantrik yang melihat kedatangan mereka, dengan tergesa-gesa telah menyongsongnya. Cantrik itu telah minta kuda-kuda mereka untuk diikat dipatok yang tersedia dan mempersilahkan keduanya naik kependapa.
"Silahkah naik." berkata cantrik itu, "aku akan menyampaikannya kepada Kiai Gringsing."
"Terima kasih." jawa Pandan Wangi.
Kedua orang suami isteri dari Sangkai Putung itupun kemudian naik kependapa. Baru saja mereka duduk, maka Kiai Gringsingpun telah keluar dari ruang dalam. Sambil tersenyum ia menyapa, "Selamat datang di padepokan kecil ini."
Swandaru dan Pandan Wangi mengangguk dalam-dalam. Dengan nada datar Swandaru berkata, "Kami berdua telah datang untuk menghadap guru. Mohon maaf, jika kami telah mengganggu."
Kiai Gringsing tertawa. Katanya, "Aku tidak pernah merasa terganggu dengan kedatangan kalian. Justru aku merasa bahwa padepokan ini menjadi lebih hidup dan segar."
Kiai Gringsing yang kemudian duduk pula bersama Swandaru dan Pandan Wangi telah menanyakan juga keselamatan keluarga di Sangkai Putung. Baru kemudian Kiai Gringsing bertanya, "Apakah kalian berdua datang untuk sekedar menengok keselamatanku dan para cantrik dipadepokan ini atau kalian memang mempunyai keperluan yang khusus?"
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Guru. Kami datang untuk menengok guru dan padepokan ini, yang sudah agak lama tidak aku lihat. Tetapi kecuali itu, kami juga mempunyai kepentingan yang lain yang akan kami sampaikan kepada guru."
"Baiklah." berkata Kiai Gringsing, "jika kalian tidak tergesa-gesa biarlah nanti saja kalian menyampaikan Kepentingan kalian. Kalian dapat beristirahat dan melihat-lihat padepokan yang sudah lama tidak kau lihat ini."
"Maaf guru." berkata Swandaru, "aku tidak akan lama disini. Di Sangkai Putung semalam telah terjadi satu keributan sehingga aku tidak boleh terlalu lama meninggalkannya."
"O." Kiai Gringsing mengangguk-angguk, "jika demikian, baiklah. Tetapi biarlah kalian menunggu minuman panas yang sudah dibuat oleh para cantrik."
Swandaru tidak menolak, Mereka berdua tidak dapat segera menyampaikan persoalan mereka. Bahkan Kiai Gringsing telah berbicara tentang sawah yang ada disekitar padepokan, yang digarap para cantrik dan menghasilkan padi yang baik. Sementara pategalanpun memberikan beberapa jenis palawija dan buah-buahan.
Namun ketika mereka sudah minum minuman panas dan sekedar makan makanan yang dihidangkan para cantrik, Swandaru itupun berkata, "Guru. Kami mohon untuk diijinkan menyampaikan persoalan yang kami bawa kemari. Persoalan yang kami anggap penting sehingga karena itu, maka kami telah meninggalkan Kademangan yang justru sedang dalam kesibukan."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, "Baiklah Swandaru. Katakanlah."
Swandaru pun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi di Kademangan Sangkal Putung. Empat orang terbunuh meskipun tidak ada kesengajaan untuk membunuh. Namun karena mereka memiliki ilmu yang tinggi, maka Swandaru dan Pandan Wangi tidak mempunyai pilihan lain atas mereka itu.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, "Membunuh seharusnya di lakukan jika memang tidak ada pilihan lain. Selama masih ada, pilihan lain, maka membunuh bukannya cara yang terbaik untuk memecahkan persoalan."
"Kami mengerti guru." jawab Swandaru, "yang kami hadapi memang sulit untuk menghindari pembunuhan itu, jika kami sendiri justru tidak mau terbunuh."
Kiai Gringsing berdesis, "Ya Swandaru. Itu termasuk tidak ada pilihan lain bagimu."
"Ya guru." jawab Swandaru, "kami melakukannya setelah usaha kami menundukkan mereka tidak berhasil."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula, sementara itu Swandaru telah menceriterakan pula kehadiran Glagah Putih dan Raden Rangga di Kademangan Sangkal Putung.
"O" Kiai Gringsing mengangguk-angguk, "jadi anak-anak itu singgah di Sangkal Putung?"
"Ya guru." jawab Swandaru, "itulah yang paling penting yang ingin kami tanyakan kepada guru."
"Tentang kedua orang anak itu?" bertanya Kiai Gringsing.
"Ya, guru. Kami ingin bertanya pendapat guru tentang anak-anak itu. Apakah yang sebaiknya aku lakukan. Raden Rangga adalah putera Panembahan Senopati, sedangkan Glagah Putih adalah sepupu saudara seperguruanku, Agung Sedayu." sahut Swandaru.
"Jadi bagaimana dengan mereka?" bertanya Kiai Gringsing pula.
"Guru." berkata Swandaru, "aku tidak senang bahwa mereka berdua telah melakukan tindakan yang menyinggung perasaan kami, para pengawal Sangkal Putung. Mereka menunjukkan satu perbuatan yang sangat sombong. Seakan-akan tidak ada orang lain yang mampu berbuat sebagaimana mereka lakukan."
"Ah." Kiai Gringsing berdesah, "bukankah mereka hanya anak-anak saja" Anak-anak yang memang masih belum mempunyai pertimbangan yang baik atas tingkah laku mereka?"
"Justru mereka masih anak-anak." jawab Swandaru, "mereka harus mendapat peringatan. Nah, yang ingin kami tanyakan kepada guru, bagaimana aku memberikan peringatan kepada mereka. Apakah kami harus pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, melaporkan kepada kakang Agung Sedayu bahwa sepupunya telah melakukan tindakan yang tidak terpuji" Demikian pula menghadap Panembahan Senopati, atau kami harus bertindak sendiri atas anak-anak itu."
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Mereka adalah anak-anak Swandaru. Agaknya persoalannya jangan menjadi besar sehingga menyangkut sanak kadangnya."
"Jika demikian, guru cenderung agar aku langsung sedikit memberi pelajaran kepada anak-anak itu." berkata Swandaru.
Kiai Gringsing menyahut dengan hati-hati, "Jangan tergesa-gesa Swandaru. Tetapi apakah sebenarnya yang telah dilakukan oleh anak-anak itu?"
Swandaru termangu-mangu. Namun iapun kemudian melaporkan apa yang telah dilakukan oleh Glagah Putih dan Raden Rangga.
Kiai Gringsing mendengarkan keterangan yang dikatakan oleh Swandaru tentang lebih dari dua puluh batang pohon turi yang pangkalnya telah terbakar.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Tentu Raden Rangga yang melakukan. Bukan Glagah Putih. Glagah Putih masih belum memiliki ilmu sampai setinggi itu."
"Tetapi mereka berdua." jawab Swandaru, "siapapun yang melakukannya, namun Glagah Putih aku anggap terlibat dalam permainan ini."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Swandaru. Raden Rangga memang seorang anak yang sangat dipengaruhi oleh lonjakan-lonjakan perasaannya. Tetapi ia menyesali perbuatannya Swandaru."
"Bagaimana Kiai tahu, bahwa anak itu menyesali perbuatannya?" bertanya Swandaru.
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah aku berterus terang. Anak-anak itu ada disini sekarang."
"Ada disini?" bertanya Swandaru.
"Ya. Mereka ada disini. Sebenarnya mereka tidak ingin singgah di padepokan ini, karena mereka sedang dalam perjalanan ke Timur. Beberapa saat yang lalu, mereka pernah juga datang untuk minta beberapa petunjuk tentang perjalanan mereka. Dan merekapun telah minta diri serta mengatakan bahwa mereka tidak akan singgah. Tetapi karena peristiwa yang dilakukan oleh Raden Rangga di Sangkai Putung itu, maka mereka ternyata singgah pula ke padepokan ini. Sebenarnya mereka telah merasa bersalah."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan nada rendah ia berkata, "Hanya mengaku bersalah saja?"
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sementara Pandan Wangi menyela, "Itu sudah cukup kakang. Jika mereka sudah merasa bersalah, maka itu berarti bahwa mereka tidak akan melakukannya lagi di Sangkai Putung."
"Bagiku, orang yang bersalah, meskipun ia sudah merasa bersalah harus dihukum." berkata Swandaru.
"Aku kira itu tidak perlu kakang." berkata Pandan Wangi, "karena yang mereka lakukan bukan kejahatan. Tetapi sekedar kenakalan anak-anak."
"Tetapi akibat dari perbuatannya, seluruh Kademangan menjadi gelisah." berkata Swandaru.
"Baiklah Swandaru." berkata Kiai Gringsing, "biarlah anak anak itu menemuimu dan minta maaf kepadamu."
Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun Pandan Wangi lah yang menjawab, "Baiklah Kiai. Jika anak-anak itu bersedia minta maaf kepada kakang Swandaru, maka aku kira persoalannya telah selesai."
Swandaru yang tidak sempat menjawab hanya berdesis saja. Tetapi ia tidak menyangkal pernyataan Pandan Wangi.
"Aku akan memanggil mereka." berkata Kiai Gringsing kemudian sambil beringsut dari tempat duduknya.
Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing telah kembali bersama Raden Rangga dan Glagah Putih. Kedua anak muda yang berjalan di belakang Kiai Gringsing dari ruang dalam itu, menundukkan kepala mereka, sementara Swandaru memandang mereka dengan tajamnya. Dipunggung Raden Rangga nampak mencuat tongkat pring gadingnya yang diselipkan pada ikat pinggangnya diarah punggung.
Kedua anak muda itupun kemudian duduk disebelah Kiai Gringsing. Keduanya masih menundukkan kepalanya. Mereka nampaknya benar-benar telah merasa bersalah.
Pandan Wangi yang memandangi kedua anak muda itu justru tersenyum. Keduanya masih terlalu muda. Lebih-lebih Raden Rangga. Sehingga kenakalan mereka bukannya sesuatu yang berlebihan. Namun bahwa mereka telah melakukan satu hal yang sulit ditebak, itulah yang sangat menarik perhatian.
Kiai Gringsinglah yang kemudian berkata, "Nah, inilah anak-anak itu. Mereka terpaksa singgah lagi ke padepokan ini karena perasaan bersalah yang menekan jantung mereka. Seandainya kalian tidak datang ke padepokan pagi ini, kedua anak ini sudah berpesan kepadaku untuk menyampaikan permintaan maafnya kepada kalian berdua."
Lalu Kiai Gringsingpun berkata kepada Raden Rangga, "Raden, adalah kebetulan bahwa Swandaru suami isteri datang ke padepokan ini. Karena itu, sebaiknya Raden sendirilah yang mengatakan kepada keduanya permintaan maaf itu."
Raden Rangga menjadi gelisah. Namun kemudian katanya dengan suara sendat, "Kakang Swandaru."
Glagah Putihjah yang dengan serta merta berpaling kepadanya. Raden Rangga jarang sekali mempergunakan sebutan untuk memanggil nama seseorang, kecuali orang-orang tua atau orang-orang yang sangat dihormatinya. Karena itu, Glagah Putihpun merasa tenang bahwa agaknya dengan demikian Raden Rangga benar-benar akan minta maaf.
Dalam pada itu Raden Ranggapun meneruskannya, "Aku minta maaf kepadamu. Agaknya permainanku tidak berkenan dihatimu. Aku berjanji untuk tidak akan berbuat lagi di Kademangan Sangkai Putung."
Wajah Swandaru menegang. Tetapi ia berkata dengan nada berat, "Bagaimana dengan kau Glagah Putih?"
Glagah Putih beringsut setapak. Meskipun ia tidak berbuat apa-apa, namun iapun berkata, "Aku juga minta maaf kakang. Akupun tidak akan mengganggu lagi ketenangan Kademangan Sangkai Putung."
Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi suaranya masih dalam nada berat, "Sebenarnyalah kesalahan kalian tidak cukup hanya dengan sekedar permintaan maaf saja. Kesalahan harus dihukum. Tetapi mengingat bahwa Raden Rangga adalah putera Panembahan Senapati dan Glagah Putih adalah sepupu saudara seperguruanku, maka aku dapat memberikan maaf kepada kalian, tetapi kalian harus menjelaskan kepda orang-orang Sangkai Putung, apa yang telah kalian lakukan itu, sehingga orang-orang Sangkai Putung tidak selalu merasa gelisah karena perbuatan kalian itu."
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan untuk menjelaskan apa yang sudah terjadi. Karena itu maka diluar sadarnya Raden Rangga berpaling kearah Kiai Gringsing yang menarik nafas dalam-dalam.
Namun Kiai Gringsing tanggap akan maksud Raden Rangga. Ia memerlukan bantuan untuk menjawab. Karena itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata, "Swandaru. Permintaanmu agak sulit dilakukan oleh Raden Rangga. Bagaimana ia dapat menjelaskan apa yang sudah dilakukan. Mungkin Raden Rangga dapat mengatakan bahwa ia telah melakukannya tanpa maksud apa-apa. Tetapi sudah tentu tidak untuk melakukannya dihadapan orang-orang Sangkai Putung sekedar untuk menentramkan hati mereka. Jika untuk menenangkan hati orang-orang Sangkal Putung Raden Rangga harus melakukannya lagi untuk membuktikan bahwa hal itu tidak perlu menggelisahkan mereka, maka Raden Rangga justru harus menyombongkan dirinya dihadapan banyak orang."
"Tetapi Guru." berkata Swandaru, "dengan melihat langsung, maka orang-orang Sangkal Putung tidak akan selalu terheran-heran, bahkan ketakutan bahwa hal yang tidak wajar telah terjadi."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Aku tidak sependapat dengan kau Swandaru. Kau sajalah yang mengatakan kepada orang-orang Sangkal Putung, bahwa Raden Rangga telah melakukannya tanpa maksud apa-apa dan bahwa Raden Rangga dan Glagah Putih sudah minta maaf kepadamu. Kaupun tidak perlu menemui Agung Sedayu untuk melaporkan tingkah laku saudara sepupunya. Apalagi untuk menghadap Panembahan Senapati menyampaikan kenakalan puteranya yang sudah mengakui kesalahan dan minta maaf kepadamu."
Glagah Putih menjadi tegang pula. Jika Swandaru memaksa Raden Rangga untuk datang lagi ke Sangkal Putung, maka yang dilakukannya mungkin akan berbeda. Sikap Raden Ranggapun mungkin akan berubah pula.
Namun ternyata bahwa bukan saja Glagah Putih yang menjadi berdebar-debar, tetapi juga Pandan Wangi. Ia kenal kekerasan hati suaminya, sehingga mungkin memang akan dapat timbul salah paham. Seandainya tidak dengan Panembahan Senapati mungkin dengan Agung Sedayu.
Tetapi ternyata bahwa pengaruh Kiai Gringsing atas muridnya cukup besar, sehingga ternyata bahwa Swandaru tidak memaksakan niatnya untuk membawa Raden Rangga ke Sangkal Putung. Bagaimanapun juga Kiai Gringsing adalah gurunya.
"Baiklah Guru." berkata Swandaru kemudian, "jika Guru memang menghendaki demikian, maka akupun tidak akan berkeberatan. Aku akan menyampaikannya kepada orang-orang Sangkal Putung, bahwa kedua anak-anak itu sudah minta maaf. Sementara yang dilakukannya itu bukan sejenis ilmu sihir atau ilmu hitam yang lain meskipun aku tidak tahu, apa yang dapat aku katakan tentang bekas-bekas yang terdapat di batang pohon turi itu."
Kiai Gringsing termangu-mangu. Swandarupun tentu menemui kesulitan untuk dapat mengatakan apa yang telah terjadi dengan pohon-pohon turi itu. Tetapi memang lebih baik bahwa Raden Rangga tidak perlu datang, menjelaskan dan menunjukkan bahwa yang terjadi itu bukan apa-apa.
Sementara itu, Swandarupun berkata, "Nah, jika demikian aku akan segera kembali ke Sangkal Putung. Meskipun aku ingin berbuat lebih banyak dari yang Guru maksudkan, tetapi karena Guru tidak menyetujuinya, maka akupun akan mengurungkannya. Namun demikian kedua anak muda itu benar-benar harus menjadi jera. Mereka tidak boleh berbuat sekehendak hatinya dimanapun, bukan hanya di Sangkal Putung. Aku yakin bahwa Panembahan Senapatipun tidak senang mendengar laporan tentang tingkah laku Raden Rangga, karena hal itu akan dapat menggoncangkan wibawa Panembahan Senapati. Juga tingkah laku Glagah Putihpun tidak akan menyenangkan kakang Agung Sedayu. Jika aku menyampaikan persoalan ini kepada kakang Agung Sedayu, dan kakang Agung Sedayu menjadi salah paham, maka kakang Agung Sedayu tentu sudah keblingar."
"Aku mengerti Swandaru." potong Kiai Gringsing, "kau benar. Akulah yang akan memberitahukannya bukan saja kepada Agung Sedayu yang mengasuhnya, tetapi juga kepada Ki Widura. Glagah Putih memang harus mendapat peringatan. Demikian pula Raden Rangga. Meskipun barangkali aku tidak akan berani menyampaikannya kepada Panembahan Senapati, namun aku akan dapat menyampaikannya kepada Ki Juru Martani yang bergelar Ki Patih Mandaraka."
Swandaru mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, "Baiklah Guru. Segala sesuatunya kami serahkan kepada Guru. "
"Tentang kedua orang anak itu?" bertanya Kiai Gringsing. "Ya guru. Kami ingin bertanya pendapat guru tentang anak-anak itu. Apakah yang sebaiknya aku lakukan. Raden Rangga adalah putera Panembahan Senapati".
Pandan Wangi yang tegang menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa terlepas dari beban perasaan yang berat karena sikap suaminya. Namun ketika Swandaru tidak lagi bersikap keras, maka rasa-rasanya ketegangan itupun mulai menjadi lunak.
Namun dalam pada itu, selagi keadaan mereda, tiba-tiba saja wajah Swandarulah yang menjadi tegang. Bahkan kemudian dengan nada keras ia berkata, "Raden. Aku sudah terlalu banyak mengalah. Sekarang agaknya Raden memang ingin menunjukkan bahwa Raden memiliki ilmu yang tidak terlawan. Namun jika memang demikian, Raden seharusnya mendapat sedikit pelajaran langsung di lapangan. Tidak hanya sekedar dilaporkan kepada Ki Patih Mandaraka atau Panembahan Senapati sekalipun."
Raden Rangga terkejut. Bahkan semua orang menjadi terkejut karenanya. Sehingga hampir diluar sadarnya Raden Rangga bertanya, "Aku kenapa?"
Semua orang memandang Raden Rangga. Tetapi anak muda itupun terheran-heran melihat sikap Swandaru yang memandanginya dengan sorot mata yang menyala.
"Sebaiknya Raden mengatakan terus terang, apakah Raden memang mencoba Swandaru Geni?" bertanya Swandaru.
Ketegangan yang sudah mereda itu tiba-tiba telah memanjat naik. Bahkan suasana benar-benar menjadi panas ketika Swandaru beringsut maju sambil menuding Raden Rangga, "Raden jangan mencoba menakut-nakuti aku. Jika aku surut dari tuntutanku bukan karena aku takut kepada Raden. Tetapi karena aku menghormati giiruku."
Raden Rangga masih nampak kebingungan. Demikian pula Glagah Putih dan bahkan juga Kiai Gringsing. Sementara itu Pandan Wangi yang terkejut dengan serta merta bergeser pula mendekati suaminya. Memegang lambungnya sambil berkata lembut, "Kakang. Tenanglah sedikit. Apa yang terjadi?"
"Lihat." geram Swandaru sambil menunjuk ompak disebelah tempat duduk Raden Rangga.
Semua orang memandang kearah jari telunjuk Swandaru. Kiai Gringsingpun menjadi berdebar-debar karenanya. Namun melihat wajah Raden Rangga, Kiai Gringsing yakin, bahwa ia telah melakukannya dengan tidak sengaja.
Glagah Putihpun kemudian melihatnya pula. Semula ia sama sekali tidak memperhatikan apa yang telah dilakukan Raden Rangga, sehingga iapun berdesis, "Raden telah melakukannya."
Raden Rangga sendiri ternyata terkejut melihat akibat permainannya. Namun dengan gagap ia berkata "Tetapi, tetapi aku tidak sengaja. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya sekedar ingin mengendorkan ketegangan didalam dadaku."
"Tetapi dengan cara itu, Raden nampaknya ingin mengatakan bahwa Raden memang memiliki kemampuan tidak terlawan, sehingga apa yang Raden lakukan di Sangkal Putung itu telah Raden lengkapi dengan permainan Raden itu."
"Sudahlah." berkata Kiai Gringsing, "nampaknya Raden Rangga benar-benar tidak sengaja. Ia memang sedang berusaha untuk mengatasi gejolak didalam dirinya, sehingga tanpa disengaja ia telah melakukannya."
Glagah Putih yang berdebar-debar itupun melihat beberapa lubang sebesar jari Raden Rangga sedalam kerat jari-jari telunjuknya. Agaknya untuk mengatasi ketegangan didalam dirinya Raden Rangga telah menusuk ompak pendapa Padepokan Kiai Gringsing dengan jari-jarinya beberapa kali, sehingga sedalam satu kerat jari telunjuknya itu. Namun yang mendebarkan adalah, karena ompak yang menjadi alas tiang pendapa padepokan itu dibuat dari batu yang dibentuk secara khusus.
Agaknya pada saat-saat Raden Rangga tepekur disebelah tiang pendapa itu, tangannya telah bermain-main sekedar untuk mengimbangi perasaannya yang tertahan, tanpa maksud tertentu. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa yang dilakukannya itu akan dapat mengundang persoalan baru.
Wajah Swandaru masih menegang. Dengan suara tertahan ia berkata, "Aku belum pernah merasa ditantang dengan cara seperti ini. Aku merasa bahwa seharusnya aku melayaninya dan menunjukkan kepada Raden Rangga, bahwa permainannya itu dapat menjebaknya. Untunglah jika ia berhadapan dengan orang-orang yang hanya sekedar ingin memberinya sedikit pelajaran agar ia menjadi jera, tetapi mungkin ia akan bertemu dengan orang-orang yang benar-benar merasa tersinggung dan merasa direndahkan."
Wajah Raden Rangga menjadi semburat merah. Glagah Putih yang kemudian mendahuluinya berkata, "Kakang Swandaru Aku yakin, bahwa Raden Rangga tidak bermaksud apa-apa. Seperti yang dikatakan oleh Raden Rangga sendiri serta Kiai Gringsing, bahwa Raden Rangga sekedar ingin mengurangi ketegangan didalam dirinya."
"Sudahlah kakang." berkata Pandan Wangi, "jangan terlalu cepat dibakar oleh perasaanmu yang melonjak-lonjak itu. Mereka adalah anak-anak yang belum mampu membuat pertimbangan-pertimbangan yang jauh. Mereka adalah anak-anak yang masih dipengaruhi oleh gejolak perasaan mereka sesaat. Dan sebaiknya kita tidak menjadikan diri kita anak-anak pula."
"Aku ingin memberi mereka peringatan. Justru sikap seorang dewasa terhadap anak-anak." sahut Swandaru.
"Kita serahkan saja semuanya kepada Kiai Gringsing." berkata Pandan Wangi, "biarlah Kiai Gringsing memperlakukan mereka sebagaimana baiknya."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Baiklah jika aku harus mengalah lagi. Aku masih dapat berpikir bening justru karena aku berada dihadapan guruku. Akupun masih menghargai sangat tinggi orang-orang yang akan tersentuh karena peristiwa ini. Karena itu, selagi aku sempat menahan diri, biarlah aku mohon diri Guru."
"Baiklah Swandaru." berkata Kiai Gringsing, "baik-baiklah dijalan. Untuk selanjutnya berusahalah untuk menjelaskan persoalannya kepada orang-orang Sangkal Putung. Mereka tidak perlu gelisah, karena sebenarnyalah tidak terjadi apa-apa."
Pandan Wangipun rasa-rasanya menjadi tergesa-gesa. Karena itu maka iapun telah mohon diri pula, "Kami mohon doa restu, Kiai."
"Kita akan bersama-sama berdoa." berkata Kiai Gringsing, "semoga hati kita selalu jernih karenanya."
Demikianlah, maka sejenak kemudian Swandaru dan Pandan Wangi telah turun kehalaman. Glagah Putihpun telah ikut menuruni tangga pula bersama Raden Rangga. Namun Glagah Putih yang berdebar-debar itu mendengar nafas Raden Rangga yang tertahan-tahan oleh gejolak perasaannya.
Sementara itu Kiai Gringsing telah mengikuti Swandaru dan Pandan Wangi melintasi halaman. Ternyata Pandan Wangi sempat melambaikan tangannya kepada Glagah Putih dan Raden Rangga sambil berkata, "Marilah, lain kali singgah barang sejenak."
"Terima kasih mbokayu." jawab Glagah Putih sambil mengangguk.
Meskipun agak dipaksakan, Raden Ranggapun telah mengangguk pula dengan hormatnya.
Sejenak kemudian Swandaru dan Pandan Wangi itupun telah meloncat kepunggung kudanya. Setelah sekali lagi mereka mohon diri sambil mengangguk hormat, maka kedua ekor kuda itupun telah berderap meninggalkan regol halaman padepokan kecil.
Namun demikian derap kuda itu menjauh, maka tiba-tiba saja Raden Rangga telah meloncat ke halaman samping. Kedua tangannyapun tiba-tiba telah terayun kearah segerumbul pohon perdu dalam tatanan hiasan halaman padepokan itu.
Glagah Putih terkejut. Tetapi itu sudah terjadi. Gerumbul perdu itu bagaikan meledak dan sekejap kemudian tinggal asap tipis mengepul ditiup angin dan debu kasar yang berhamburan.
"Raden." Glagah Putih hampir berteriak, "apa yang Raden lakukan?"
Kiai Gringsing yang masih berada diregolpun terkejut. Ketika ia berpaling, ia melihat apa yang terjadi. Namun kemudian dengan nada rendah ia menyahut kata-kata Glagah Putih, "Biarlah Glagah Putih. Aku dapat mengerti. Ketegangan di dada Raden Rangga telah demikian menyesakkannya, sehingga ia memang perlu berbuat sesuatu. Ternyata pertimbangan nalar Raden Rangga masih tetap jernih, sehingga ia telah memilih sasaran yang tidak berbahaya."
Raden Rangga berdiri tegak sambil menundukkan kepalanya. Terdengar suaranya rendah, "Maaf Kiai."
"Tidak apa-apa Raden. Aku mengerti. Gerumbul perdu itu akan dapat diganti dengan tanaman baru. Dalam waktu dekat, segalanya akan pulih kembali." sahut Kiai Gringsing.
"Aku tidak dapat menahan perasaan yang bergejolak didalam dadaku Kiai. Jika tidak ada Kiai disini, mungkin aku tidak dapat mengekang diri lagi. Kiai adalah orang yang aku hormati sebagaimana aku menghormati eyang Mandaraka, karena dari eyang Mandaraka aku banyak mendengar tentang Kiai. Bahkan ayahandapun menaruh hormat yang tinggi terhadap Kiai." desis Raden Rangga.
"Sudahlah. Marilah kita duduk kembali. Kita dapat berbicara dengan tenang dan tidak mencari kesalahan. Memang kita tidak boleh ingkar, bahwa benturan sifat dan watak dalam pergaulan itu akan dapat terjadi. Yang tidak menarik perhatian bagi seseorang mungkin merupukun persoalan yang dianggap penting bagi orang lain. Yang wajar terjadi dianggap telah menyinggung perasaan. Itulah sebabnya kita harus mengembangkan tenggang rasa diantara sesama, sehingga akan dapat mengurangi kemungkinan-kemungkinan sesama, buruk yang dapat terjadi dalam sentuhan sifat dan watak seseorang." berkata Kiai Gringsing kemudian.
Raden Rangga tidak menyahut. Namun kemudian merekapun telah dibawa naik kependapa dan kembali duduk bersama-sama.
"Masih ada minuman dan makanan." berkata Kiai Gringsing.
Sementara itu Glagah Putih masih sempat memperhatikan ompak batu yang menjadi alas tiang dipendapa itu yang berlubang lubang sedalam kerat jari.
"Bukan main." berkata Glagah Putih didalam hatinya.
Sementara itu, Swandaru dan Pandan Wangi telah berpacu meninggalkan padepokan Kiai Gringsing di Jati Anom. Meskipun mereka tidak dalam kecepatan sepenuhnya, namun kuda mereka berlari cepat melintasi jalan-jalan bulak. Namun jika mereka memasuki padukuhan-padukuhan, maka mereka terpaksa mengurangi kecepatan laju kuda mereka.
Dalam pada itu, Swandaru sempat juga berkata, "Anak itu ternyata memang sombong sekali. Jika tidak ada Guru, maka aku benar-benar ingin menghajarnya agar ia menjadi jera. Aku yakin, bahwa Panembahan Senapati tidak akan marah atau jika ia marah, maka ia bukan seorang pemimpin yang baik, yang membiarkan anaknya berbuat sesuka hatinya, hanya karena ia anak seorang pemimpin."
"Aku kira Panembahan Senapati memang tidak menghendaki anaknya berbuat seperti itu kakang." berkata Pandan Wangi.
"Tetapi jika tidak ada orang yang berani mencegahnya, ia akan terus menerus melakukannya." berkata Swandaru.
"Namun lepas dari usaha untuk mencegahnya, anak itu memang memiliki sesuatu yang sulit dimengerti." berkata Pandan Wangi, "kita memang akan menemui kesulitan, bagaimana kita akan menjelaskan, bahwa sekitar duapuluh batang pohon turi telah terbakar tanpa mempergunakan api."
"Mungkin itu memang satu pengeram-eram. Tetapi belum tentu dalam benturan ilmu yang sebenarnya ia akan mampu bertahan sepenginang." jawab Swandaru.
"Memang mungkin." jawab Pandan Wangi, "tetapi bagi orang kebanyakan memang sulit dimengerti, bagaimana ia dapat melubangi batu ompak itu dengan jari-jarinya."
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, "Itulah yang dapat dilakukannya. Mungkin ia sudah merambah kedalam lingkungan ilmu sihir atau bahkan ilmu hitam yang sekedar mampu membuat pengeram-eram. Namun jika benar-benar dihadapi dengan sikap dan pribadi yang utuh, maka ilmu seperti itu tidak akan berarti apa-apa. Dihadapan orang yang berkepribadian kuat, ilmu sihir tidak akan dapat berlangsung dalam pengetrapannya."
Pandan Wangi tidak menjawab lagi. Namun sebenarnyalah ia memang mengagumi kemampuan Raden Rangga. Yang dilakukan adalah sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Meskipun Pandan Wangi sendiri memiliki kelebihan dalam olah kanuragan. Pandan Wangi memiliki dasar ilmu yang mampu membingungkan lawannya dengan kemampuannya melepaskan kekuatan kewadagan mendahului ujud kewadagannya itu sendiri. Namun Pandan Wangipun memiliki kemampuan dasar untuk menyentuh sasaran dari jarak tertentu. Bahkan dalam perkembangannya. Pandan Wangi mampu menyerang lawannya pada jarak tertentu meskipun masih harus dikembangkannya lebih lanjut.
Namun demikian ia tetap tidak dapat memecahkan teka-teki tentang pohon-pohon turi itu. Ia hanya dapat menduga, bahwa Raden Rangga mampu menghancurkan sasaran sebagaimana dapat dilakukan oleh orang-orang tua yang mereka kagumi.
Tetapi dengan demikian, maka sebenarnyalah bahwa Swandarupun harus menilai kemampuan anak yang masih terlalu muda itu, meskipun agaknya Swandaru condong menganggap bahwa yang dilakukan oleh Raden Rangga itu sekedar pengeram-eram, namun yang tidak memiliki kekuatan dalam beruntun ilmu yang sebenarnya.
Memang agak berbeda dengan penilaian Pandan Wangi. Pandan Wangi yang sudah merambah ke dalam kekuatan yang bukan saja berlandasan kepada kemampuan wadag serta tenaga cadangan betapapun besarnya di dalam diri, namun sudah mulai berhubungan dengan getaran yang ada dilingkungan geraknya, maka ia lebih dapat mendekati kenyataan kekuatan yang dipergunakan oleh Raden Rangga. Tetapi Pandan Wangi tidak ingin berbantah dengan suaminya, sehingga karena itu, maka iapun kemudian hanya berdiam diri saja.
Namun dalam pada itu, kuda mereka masih berpacu terus. Mereka melintasi bulak-bulak panjang dan pendek, menerobos padukuhan-padukuhan dan menyusuri tepi-tepi hutan rindang. Ketika kemudian mereka memasuki Kademangan Sangkal Putung, maka suasana di Kademangan itu agaknya telah hampir pulih kembali, meskipun masih nampak agak sepi. Ketika mereka melewati sebuah pasar di sebuah padukuhan, maka nampak pasar itu memang agak lengang.
Sementara itu, Swandaru dan Pandan Wangi sengaja melewati jalan yang dipinggirnya terdapat batang pohon turi yang terbakar pada pangkalnya itu. Ternyata disekitar pohon-pohon turi itu masih terdapat beberapa orang yang memperhatikannya. Bahkan ketika mereka melihat Swandaru lewat, mereka seakan-akan bertanya, apakah yang telah terjadi.
Swandaru yang jantungnya sudah berdetak wajar, tiba-tiba telah menjadi semakin cepat lagi. Kepada Pandan Wangi ia berdesis, "Anak itu harus dibawa kemari. Ialah yang harus menjelaskan apa yang telah terjadi. Permainan sihirnya itupun harus dikatakannya kepada orang-orang itu."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, "Kakang, sebaiknya orang-orang itu diminta untuk meninggalkan pohon turi yang menjadi layu dan kering itu. Tidak ada apa-apa yang terjadi. Memang mungkin satu hal yang ganjil. Tetapi tidak untuk direnungi dan dipikirkan."
Swandaru menggeretakkan giginya. Namun iapun kemudian mendekat sambil bicara kepada orang-orang yang berkerumun itu, "Aku sudah berhasil menyusul orang yang melakukan permainan sihir ini. Orang itu sudah minta maaf kepadaku. Ia sudah berjanji untuk tidak mengulangi lagi permainan yang kotor ini. Orang itu memang mengira bahwa tidak ada orang yang berani menghalangi tingkah-lakunya. Namun ternyata bahwa orang itu tidak lebih dari seorang pembual yang hanya sekedar berbekal kemampuan sihir itu saja tanpa kemampuan untuk menyambung ilmu kanuragan."
Orang-orang Sangkal Putung itu mengangguk-angguk. Mereka memang tidak bertanya sesuatu. Mereka memang percaya bahwa Swandaru telah berhasil menemukan orang itu dan memaksanya untuk minta maaf, karena orang-orang Sangkal Putung yakin akan kemampuan Swandaru. Namun demikian mereka tetap merasa heran tentang apa yang telah terjadi atas batang pohon-pohon turi yang jumlahnya lebih dari duapuluh batang pohon itu.
Dalam pada itu, selagi orang-orang Sangkai Putung itu masih termangu-mangu, maka Swandarupun berkata, "Sudahlah. Tinggalkan tempat ini. Tidak ada yang perlu mendapat perhatian berlebih-lebihan. Besok pohon-pohon turi yang layu dan kering itu akan ditebang dan diganti dengan pohon yang baru."
Dengan demikian maka orang-orang Sangkai Putung itupun kemudian telah meninggalkan tempat itu. Swandaru dan Pandan Wangi masih berada di tempat itu beberapa saat lamanya. Baru kemudian merekapun telah meninggalkan tempat itu pula, langsung menuju ke pedukuhan induk. Dirumahnya Swandaru telah menerima dua orang pemimpin pengawal Kademangan yang memberikan laporan tentang penguburan orang-orang yang semalam terbunuh di Kademangan itu.
"Semuanya berjalan lancar. Tidak ada gangguan apapun juga." berkata salah seorang diantara kedua pemimpin pengawal itu.
"Syukurlah." berkata Swandaru yang kemudian juga menceriterakan bahwa ia telah berhasil menemui orang yang melakukan permainan ugal-ugalan pada batang pohon turi itu dan memaksanya untuk minta maaf.
"Sampaikan kepada para pengawal." berkata Swandaru, "mereka tidak usah gelisah. Demikian pula orang-orang lain. Yang melakukan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan keempat orang yang terbunuh itu. Bahkan seandainya ada, maka orang itupun agaknya tidak akan mampu melakukan apapun lagi sekarang sebagaimana yang ampat orang itu."
Para pengawal itu mengangguk-angguk. Sebagaimana orang lain, maka merekapun percaya sepenuhnya kepada Swandaru yang memang merupakan orang terbaik di Sangkai Putung, terutama dalam olah kanuragan serta kemampuannya mengatur pemerintahan. Bahkan Ki Demang yang mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak dari Swandaru dalam pemerintahan di Sangkai Putung, nampaknya harus lebih banyak menyerahkan pimpinan kepada Swandaru.
Karena itu, maka bagi para pengawal, Swandaru merupakan orang yang menjadi puncak pimpinan mereka. Sehingga apa yang dikatakan oleh Swandaru, bagi para pengawal merupakan kepastian dan kebenaran yang mereka percaya sepenuhnya.
Demikianlah, maka Swandarupun telah memerintahkan agar kedua pengawal itu segera menyampaikan kepada para pemimpin yang lain, sebagaimana dikatakannya.
Dalam pada itu, Raden Rangga dan Glagah Putih masih tetap berada di padepokan Kiai Gringsing di Jati Anom. Dalam kesempatan itu Kiai Gringsing telah memberikan pesan-pesan lebih banyak kepada kedua anak muda itu, justru karena telah timbul persoalan dengan Swandaru.
"Raden harus mampu melihat tugas Raden yang besar dan berat itu berkata Kiai Gringsing, sehingga karena itu, jangan timbul persoalan-persoalan yang dapat menghambat tugas Raden yang sebenarnya dapat dihindari. Karena jika Raden gagal menjalankan tugas sebelum Raden mulai dengan tugas itu yang sebenarnya, maka kegagalan Raden itu adalah kegagalan yang sia-sia. Berbeda dengan kegagalan yang terjadi justru dalam tugas itu sendiri. Meskipun gagal, namun Raden dan Glagah Putih adalah seorang utusan seorang Raja yang setia. Bahkan seorang pahlawan."
Raden Rangga dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada datar Raden Rangga berkata, "Aku mengerti Kiai. Aku akan mencoba untuk menghindari persoalan-persoalan yang tidak penting disepanjang jalan."
"Sebaiknya memang demikian Raden." berkata Kiai Gringsing, "apalagi jalan ke Timur itu memerlukan kesiapan jiwani yang tinggi. Banyak padepokan-padepokan dengan para penghuninya yang berilmu tinggi, numun tidak jelas sikap dan pendirian mereka. Bukan saja dalam menilai hidup sehari-hari, tetapi juga tentang sikap mereka terhadap Mataram. Mataram sebagai pusat pemerintahan yang masih baru memang harus mengatasi persoalan-persoalan yang timbul. Meskipun sebuah padepokan itu merupakan titik-titik kecil bagi pemerintahan Mataram, tetapi jika yang kecil-kecil itu banyak jumlahnya, maka hal ini tentu harus mendapat perhatian yang cukup besar."
Raden Rangga mengangguk-angguk pula. Sambil berpaling kearah Glagah Putih ia berkata, "Glagah Putih akan sering mengekang tingkah lakuku yang kadang-kadang meledak-ledak. Glagah Putih banyak mengetahui tentang diriku dan bahkan yang tidak aku ketahui sendiri telah diketahuinya."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia bertanya, "Apa maksud Raden?"
Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Glagah Putih nampaknya berhasil mengenali diriku sedalam-dalamnya sebagaimana sering dikatakannya kepadaku."
Kiai Gringsing memandang Glagah Putih sejenak. Namun iapun kemudian berdesis, "Syukurlah jika masih ada yang dapat Raden percaya untuk sedikit mengekang tingkah laku Raden. Namun Radenpun setiap saat harus selalu ingat, bahwa orang itu memang mampu melakukannya."
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam, sementara itu Kiai Gringsing masih sempat memberikan beberapa pesan yang lain. Namun dalam pada itu, pembicaraan mereka yang bergeser, tiba-tiba telah .menyinggung peristiwa yang terjadi di Kali Opak pada perjalanan Raden Rangga dan Glagah Putih menuju ke Timur.
"Kiai berkata Glagah Putih, hal ini sebenarnya ingin kami tanyakan kelak jika kami telah kembali dari tugas kami. Tetapi karena kami sekarang akhirnya singgah juga di padepokan ini, maka sebelum kami berangkat, kami ingin menyampaikannya kepada Kiai."
"Tentang apa?" bertanya Kiai Gringsing. Glagah Putihlah yang kemudian menceriterakan apa yang pernah terjadi di Kali Opak, bahwa Glagah Putih justru telah terlibat di dalam peristiwa yang hanya terjadi didalam mimpi Raden Rangga.
Kiai Gringsing mendengarkan ceritera Raden Rangga itu dengan seksama. Semakin lama ia menjadi semakin tertarik pada ceritera itu. Dengan mengangguk-angguk kecil , Kiai Gringsing kemudian berkata setelah Glagah Putih selesai menceriterakan peristiwa itu.
"Memang aneh Glagah Putih. Peristiwa itu terjadi didalam mimpi Raden Rangga. Tetapi sebagian dari mimpi itu justru merasa kau alami. Biasanya mimpi itu adalah persoalan pribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa yang terjadi atas orang lain pada mimpi itu. Yang pernah terjadi adalah, mimpi yang menjadi isyarat dari peristiwa yang akan terjadi. Itupun merupakan teka-teki yang tidak selalu dapat ditebak. Karena sebenarnyalah tidak semua mimpi dapat dicari maknanya."
Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya pula, "namun yang terjadi atas kalian ternyata terlalu asing. Mimpi itu dialami oleh Raden Rangga dalam tidurnya, sehingga tidak terjadi sesuatu diluar diri Raden Rangga. Namun Glagah Putih itu justru merasa mengalami sesuatu sebagaimana peristiwa yang terjadi didalam mimpi Raden Rangga meskipun tidak lengkap."
"Ya Kiai." sahut Glagah Putih, "itulah yang telah terjadi."
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Tentu tidak seorangpun yang tahu dengan pasti Glagah Putih. Bahkan Ki Waskitapun akan ragu-ragu mengurainya. Ki Waskita yang memiliki pengetahuan menangkap isyarat bagi masa depan dan kemudian mencari arti itupun tidak selalu dapat dilakukan dengan tepat. Demikian juga agaknya tentang peristiwa ini seandainya kalian dapat bertemu dengan Ki Waskita."
Namun demikian derap kuda itu menjauh, maka tiba-tiba saja Raden Rangga telah meloncat kehalaman samping. Kedua tangannya terayun kearah gerumbul pohon perdu dalam tatanan hiasan halaman padepokan itu.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun katanya, "Mungkin pada suatu saat, kami ingin bertemu dengan Ki Waskita. Namun sementara ini barangkali Kiai dapat memberikan setidak-tidaknya pendapat Kiai tentang hal ini."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Satu pendapat belum tentu mengandung kebenaran. Karena itu, pendapatkupun belum tentu mengandung kebenaran. Karena itu, pendapatkupun belum tentu mengandung kebenaran itu. Meskipun demikian, barangkali aku dapat menduga apa yang telah terjadi dengan kalian berdua."
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam, sementara Glagah Putih telah beringsut mendekat. Mereka ingin mendengar pendapat Kiai Gringsing tentang mimpi Raden Rangga yang aneh, yang justru terasa dialami oleh Glagah Putih sebagai satu peristiwa, meskipun ternyata tidak terjadi apa-apa.
Untuk sesaat Kiai Gringsing masih berdiamdiri. Agaknya ia sedang merenungi peristiwa yang telah dialami Glagah Putih itu. Baru kemudian katanya, "Glagah Putih. Aku tidak ingin mencari arti dari mimpi Raden Rangga itu sendiri. Mungkin Raden Rangga sudah menceriterakan persoalan yang berhubungan dengan mimpinya itu. Namun yang ingin aku katakan adalah dugaanku tentang hubunganmu dengan Raden Rangga. Justru karena kau merasa mengalami peristiwa yang terjadi hanya didalam mimpi Raden Rangga saja."
Glagah Putih dan Raden Rangga menundukkan kepalanya. Sementara itu Kiai Gringsing berkata selanjutnya, "Anak-anak muda. Menurut rabaanku, maka ternyata setelah bergaul sekian lama, berlatih bersama, meresapi ilmu bersama dan bahkan mengalami pengalaman bersama, maka pribadi kalian telah berbaut. Tanpa kalian sadari, maka kalian seakan-akan telah menyatu. Apa yang terjadi dan dialami oleh yang satu, maka yang lainpun akan ikut merasa mengalaminya meskipun tidak wantah. Bahkan peristiwa dalam mimpipun telah terbagi. Getaran pribadi Raden Rangga yang telah menggetarkan pribadi Glagah Putih telah melukiskan peristiwa didalam mimpi itu. Mudahnya pribadi Glagah Putih dan Raden Rangga mirip dengan dua lempeng prunggu yang sama tebalnya, sama mampatnya, sehingga jika yang satu bergetar maka yang lainpun akan ikut bergetar pula dengan sendirinya, meskipun tidak menimbulkan bunyi yang sama kerasnya, tetapi sama nadanya."
"Tetapi tidak semua peristiwa kita alami bersama Kiai. Kadang-kadang aku tidak mengerti, apa yang dikehendaki oleh Raden Rangga dan sebaliknya. Bahkan mimpi-mimpi yang lainpun tidak kita alami bersama." berkata Glagah Putih.
"Sudah tentu Glagah Putih." jawab Kiai Gringsing, "dua lempeng prunggu itupun tidak selalu bergetar jika yang lain digetarkan. Hanya nada-nada yang tajam dan cukup keras sajalah yang mampu menggetarkan yang lain. Demikian pula kalian. Hanya yang terpenting sajalah yang dapat kalian alami bersama. Hal itu juga terpengaruh karena kalian merambah kedalam perluasan ilmu yang sama meskipun kalian mempunyai landasan yang berbeda. Pengaruh getar itu akan semakin terasa apabila masing-masing melakukan dengan sengaja."
Glagah Putih dan Raden Rangga mengangguk-angguk. Mereka tidak dapat mengerti seluruhnya apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, tetapi mereka mampu mengerti apa yang dimaksudkan. Sehingga dengan demikian serba sedikit merekapun mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi.
"Kalau aku boleh berterusterang." berkata Kiai Gringsing, "hal ini akan sangat menguntungkan Glagah Putih. Sekali lagi aku katakan, bahwa dugaanku tidak harus benar." Kiai Gringsing itupun berhenti sejenak.
Sementara itu Raden Rangga bertanya, "Kenapa menguntungkan Glagah Putih Kiai."
"Apa yang bergetar pada pribadi Raden bergetar pula pada pribadi Glagah Putih. Yang tidak disengaja itupun telah terjadi. Yang disengajapun akan dapat terjadi pula. Semakin keras sumbernya bergetar maka yang lainpun akan bergetar semakin keras pula meskipun tidak akan dapat menyamai sumbernya."
"Apa yang didapat oleh pribadi yang lain jika pribadi itu telah ikut pula bergetar?" bertanya Glagah Putih.
"Satu pengalaman." jawab Kiai Gringsing, "pengalaman adalah suatu yang mahal harganya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Demikian pula dengan Raden Rangga. Mereka mengerti, bahwa dengan demikian mereka akan dapat membagi pengalaman jiwani mereka dalam keadaan tertentu. Namun seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, tentu tidak seluruhnya yang disebut itu tepat sebagaimana terjadi atas kedua pribadi anak-anak muda itu.
Bahkan, dengan nada rendah Glagah Putih bertanya, "Kiai, apakah dengan demikian berarti bahwa pribadi yang satu adalah sekedar bayangan dari pribadi yang lain?"
"Tidak." jawab Kiai Gringsing, "masing-masing pribadi berdiri sendiri-sendiri. Namun ternyata bahwa pribadi yang berdiri sendiri-sendiri itu memiliki kemungkinan untuk saling mempengaruhi bila satu diantaranya bergetar. Yang manapun. Apalagi apabila dengan sengaja mempersiapkan diri untuk menerima pengaruh itu, maka getarnyapun akan menjadi lebih jelas dan lebih keras."
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Raden Rangga berkata, "Aku dapat menangkapnya Kiai, meskipun ada berapa hal yang masih agak kabur."
"Baiklah Raden. Nanti pada saatnya, Raden dan Glagah Putih akan memahaminya." berkata Kiai Gringsing selanjutnya, "bahkan jika ada yang sisip dari kebenaran, kalian berdua akan dapat mencari bagaimana seharusnya."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Kiai, petunjuk Kiai akan menjadi bekal kami. Kami akan mencari makna dari peristiwa itu berlandaskan kepada keterangan Kiai. Jika ada yang sisip, kami akan berusaha untuk mencari sebagaimana Kiai katakan. Kami mohon doa restu Kiai agar kami pada saatnya dapat menemukannya."
"Berdoalah anak-anak muda. Seharusnya kalian mohon petunjuk kepada Yang Maha Agung. Dari Sumber itulah kalian akan dapat melihat dengan hati yang terang dan bening." berkata Kiai Gringsing.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai Gringsingpun berkata, "Dengan petunjuknya pula kalian akan memberikan arti dari kurnia yang telah kalian terima itu serta yang masih akan dilimpahkan kepada kalian."
"Ya Kiai." berkata Raden Rangga dengan suara yang dalam, "kami memang harus selalu memandang kepada-Nya. Dan kamipun sadar, bahwa kami tidak akan mampu mengerti semua kehendak-Nya."
"Nah, anak-anak muda. Yang bakal datang adalah tugas yang akan kalian masuki. Berhati-hatilah kalian dalam tugas yang berat itu." berkata Kiai Gringsing kemudian.
Namun demikian Kiai Gringsing telah minta kedua anak muda itu untuk bermalam lagi di padepokannya. Baru di hari berikutnya, pagi-pagi benar keduanya telah siap meninggalkan padepokan Kiai Gringsing, melanjutkan perjalanan mereka yang masih panjang.
Diregol padepokan itu Raden Ranggapun telah berdesis, "Kiai. Aku telah memperhatikan semuanya yang ada dipadepokan ini. Semuanya memberikan arti. Baik kegunaannya, hasilnya yang dapat dipetik atau memberikan keasrian. Aku sekali lagi mohon maaf, bahwa aku telah merusakkan taman karena gejolak perasaanku yang tidak terkendali."
"Dalam waktu singkat, semuanya akan pulih kembali." berkata Kiai Gringsing.
"Namun aku tidak tahu, apakah aku masih sempat untuk menyaksikan lagi." berkata Raden Rangga.
"Ah, jangan berkata begitu Raden." potong Glagah Putih, "jika kita kembali nanti dari tugas kita, kita akan singgah dipadepokan ini."
Raden Rangga memandang Glah Putih sambil tersenyum. Meskipun ia tidak mengatakan sesuatu, tetapi Glagah Putih merasa bahwa Raden Rangga mengerti kecemasan yang sebenarnya juga ada didalam hati Glagah Putih, karena semua isyarat yang pernah diterima Raden Rangga pernah dikatakannya kepada Glagah Putih.
Namun Glagah Putih masih berkata pula, "Kita akan melakukan perjalanan sambil berdoa."
"Kita memang dapat berusaha Glagah Putih." berkata Raden Rangga, "tetapi segalanya tergantung kepada Yang Maha Agung itu pula."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi terdengar ia bergumam, "Memang kehendak-Nyalah yang berlaku."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Ternyata kalian benar-benar telah bersiap lahir dan batin. Berangkatlah. Apa yang terjadi memang akan terjadi. Hadapi semuanya dengan wajah tengadah, karena kalian memang sedang mengemban tugas."
Raden Rangga memandang Kiai Gringsing dengan tatapan mata yang tajam, seolah-olah ingin melihat isi jantungnya. Sementara itu Kiai Gringsing berkata kepadanya, "Selamat jalan anak-anak muda."
Kedua anak muda itu mengangguk hormat. Merekapun kemudian meninggalkan padepokan itu dengan darah yang terasa menjadi semakin hangat. Beberapa saat kemudian, ketika mereka melintasi sawah yang digarap oleh para cantrik padepokan, mereka sempat minta diri pula kepada beberapa orang cantrik yang sedang bekarja di sawah.
Ternyata bahwa para cantrik itu telah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka. Namun kerja itu nampak pada hasil yang mereka peroleh. Sawah mereka nampak subur dan tanamannyapun tumbuh dengan segarnya. Bahkan di pategalan pohon buah-buahan memberikan buahnya yang lebat. Sementara tanaman palawijapun member hasil yang bahkan terlalu banyak.
Demikianlah, maka akhirnya anak-anak muda itupun telah keluar dari Jati Anom. Tanpa singgah dirumah Untara dan di Banyu Asri lagi, anak-anak itu telah menuju ke Timur mengemban tugas dari Panembahan Senapati. Tugas yang akan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Tetapi Raden Rangga memang tidak tergesa-gesa. Sambil berjalandibulak panjang, Raden Rangga itu berkata, "Kita mempunyai banyak kesempatan selama perjalanan."
"Kesempatan apa Raden?" bertanya Glagah Putih.
"Bertukar pengalaman." sahut Raden Rangga, "benar atau tidak benar yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, maka aku memang merasa bahwa apa yang aku miliki akan dapat menjadi satu pengalaman bagimu. Aku pada saatnya tidak akan memerlukannya lagi."
"Raden." potong Glagah Putih, "Raden masih akan memerlukannya."
Raden Rangga mengerutkan keningnya. Katanya, "Ya. Aku masih akan memerlukannya. Tetapi jika yang aku miliki itu aku tuangkan kepadamu, maka hasilnya tidak seperti cairan didalam mangkuk yang akan menjadi kering. Berapapun banyaknya aku tuangkan, namun mangkuk itu sendiri tidak akan dapat menjadi kering."
Glagah Putih mengangguk, sementara Raden Rangga berkata, "Mungkin itulah maksud Kiai Gringsing, bahwa pengalaman kita dapat berbagi. Sumber bunyi itu tidak akan berkurang nyaringnya, jika ada lempeng perunggu yang lain yang ikut tergetar karenanya."
"Aku mengerti maksudnya." berkata Glagah Putih.
Raden Rangga mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak langsung menanggapinya.
Demikianlah mereka berjalan menyusuri jalan-jalan persawahan. Sekali-sekali Raden Rangga mempermainkan tongkatnya. Namun kemudian menyelipkannya dipunggungnya, apabila ia ingin berjalan sambil melenggang.
Beberapa padukuhan telah mereka lewati, Sementara itu tidak ada hambatanapapun yang mereka jumpai. Namun demikian Raden Rangga itupun berkata, "Glagah Putih. Seperti dikatakan Kiai Gringsing kita akan melalui jalur jalan yang mungkin sangat berbahaya. Banyak padepokan yang tidak mengakui kuasa Mataram dan bahkan jalur ini agaknya merupakan jalur jalan kembali dari orang-orang yang telah gagal untuk menyingkirkan Panembahan Senapati dan mengacaukan Mataram dari pusat pemerintahannya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, "Dengan demikian kita memang harus sangat berhati-hati. Kita akan berusaha sejauh mungkin menghindari persoalan-persoalan dengan mereka, agar perjalanan kita tidak justru terlalu lama terhambat. Apalagi jika kita justru mengalami kegagalan sebelum kita melakukan tugas pokok kita."
Raden Rangga mengangguk-angguk, sementara Glagah Putih berkata, "Seperti orang-orang yang menginginkan kudaku pemberian Raden itu. Ternyata mereka telah terjerat kedalam persoalan yang justru bukan tugas mereka dan bahkan merugikan tugas itu sendiri."
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya jalan yang terbentang dihadapannya. Jalan yang panjang sekali. Namun tiba-tiba saja ia berkata, "Glagah Putih. Kita memang tidak akan mencari persoalan. Tetapi jika persoalan itu datang dan mendesak kita pada suatu keadaan yang tidak mungkin dihindari, maka kita tidak mempunyai pilihan lain. Selain itu, tiba-tiba saja timbul satu keinginan padaku untuk menempuh laku disaat-saat terakhir ini dengan Tapa Ngrame."
"Apa maksud Raden?" bertanya Glagah Putih.
"Kesempatanku tinggal sedikit Glagah Putih. Untuk memberikan warna terakhir dari kehadiranku yang tidak panjang ini, maka aku akan menempuh laku seperti yang aku katakan. Tapa Ngrame adalah salah satu jenis dari beberapa macam laku bertapayang paling baik bagiku. Jika kita bertapa ditempat terasing, maka yang terjadi itu adalah persoalan kita yang sangat pribadi. Kita sendiri, tanpa melibatkan orang lain. Tetapi Tapa Ngrame, lain. Tapa Ngrame adalah satu laku untuk menyatakan cinta kita kepada sesama. Dalam laku itu, maka seseorang harus bersedia memberikan pertolongan apapun juga kepada orang lain yang memerlukannya. Dengan demikian laku yang kita tempuh tidak mengasingkan kita dari kehidupan. Tetapi justru memberikan bentuk pada hubungan kita dengan sesama. Karena sebenarnyalah ilmu yang kita miliki harus kita amalkan. Jika kita memilikinya tetapi hanya kita simpan saja didalam diri kita, maka ilmu itu tidak banyak berarti bagi sesama."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Aku tidak menolak Raden. Tetapi kita harus tetap dalam garis besar dari perjalanan kita. Yaitu mengemban tugas Panembahan Senapati."
Raden Rangga seakan-akan tidak mendengar jawaban Glagah Putih. Bahkan ia berkata selanjutnya, "Jika kita tidak berbuat sesuatu, maka semisal sebatang pohon, maka kita adalah sebatang pohon yang tumbuh subur. Tetapi yang ada hanyalah daunnya saja yang rimbun. Tetapi pohon yang rimbun itu tidak berbuah sama sekali."
Glagah Putih tidak menjawab. Ia dapat mengerti maksud Raden Rangga yang merasa dirinya sudah mendekati batas akhir dari hidupnya. Isyarat yang setiap kali datang itu seakan-akan meyakinkan anak yang masih sangat muda itu, bahwa umurnya memang tidak akan panjang lagi.
Dengan demikian maka untuk beberapa saat lamanya keduanya saling berdiam diri. Mereka berjalan menyusuri jalan-jalan yang menghubungkan antara padukuhan dengan padukuhan. Namun kadang-kadang merekapun telah melintas dipinggir hutan yang tidak terlalu lebat.
Namun jalan itu bukannya jalan yang sepi. Beberapa orang melintas di jalan itu pula, karena hutan itu tidak lagi banyak dihuni oleh binatang buas. Hanya dibagian yang paling dalam dari hutan itu, masih merupakan hutan lebat yang pepat oleh tumbuh-tumbuhan liar dan binatang-binatang buas yang garang.
Meskipun lambat, keduanya, melangkah terus kearah Timur. Disepanjang jalan mereka melihat kesibukan para petani disawah. Mereka melihat orang-orang yang bekerja keras dibawah sinar matahari yang semakin panas. Keringat mulai membasahi seluruh tubuh mereka, sehingga mereka yang sibuk mencangkul disawah, punggungnya menjadi berkilau seperti cermin.
Raden Rangga yang tiba-tiba saja mengangguk-angguk berkata, "Mereka telah memeras keringat. Namun meskipun aku berniat untuk membantu orang-orang yang memerlukan bantuanku, namun aku tidak akan mampu membantu mereka, karena yang mereka lakukan adalah kerja sehari-hari yang seakan-akan tanpa batas, dan dilakukan hampir setiap orang di padukuhan itu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Jika Raden Rangga berniat membantunya, maka ia tidak akan pernah sempat meninggalkan padukuhan itu dan melakukan tugas yang dibebankan kepada mereka berdua, karena pekerjaan itu akan berlanjut dan tidak akan terputus. Yang satu disambung dengan yang lain. Dari kotak sawah yang satu kekotak sawah yang lain pula.
Demikianlah mereka keduanya berjalan terus. Namun kemudian Raden Rangga itu berkata, "Glagah Putih. Meskipun kita sudah bersepakat untuk tidak mengabaikan tugas kita, maka aku berniat untuk mengisi waktu diperjalanan kita dengan memanfaatkan kemungkinan seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing."


09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maksud Raden?" bertanya Glagah Putih.
"Kita mempunyai banyak kesempatan Glagah Putih. Selama perjalanan, kita jangan tenggelam dalam tugas ini tanpa berbuat sesuatu bagi diri kita sendiri." berkata Raden Rangga, "kita dapat membagi pengalaman. Seperti yang aku katakan, aku akan menuangkan ilmu yang ada padaku. Cobalah menangkap pengalaman itu, dan kaupun akan memilikinya dan mudah-mudahan bermanfaat bagimu."
Glagah Putih mengangguk kecil. Katanya, "Asal semuanya itu tidak akan mengganggu perjalanan kita, maka aku tidak berkeberatan Raden, meskipun yang Raden katakan itu akan banyak memberikan keuntungan kepadaku."
"Tentu tidak. Hanya pada waktu beristirahat atau dimalam hari. Sementara itu, seperti juga aku katakan, yang aku tuangkan itu tidak akan dapat mengering karena sumbernya memang ada didalam diriku."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia mengerti sepenuhnya maksud Raden Rangga. Bukan hanya untuk menuangkan ilmunya kepadanya, tetapi sebenarnyalah bahwa dibalik niatnya itu tersembunyi sikap pasrahnya, bahwa ia memang akan segera pergi. Namun ia tidak ingin membawa semua miliknya itu sehingga ia ingin mewariskan kepadanya.
Tetapi Glagah Putih tidak akan mengecewakannya. Ia akan menerima apapun yang akan diberikannya, meskipun Glagah Putih berharap bahwa isyarat yang selama ini diterima oleh Raden Rangga itu mempunyai makna lain daripada kepergiannya itu.
Sebenarnyalah apa yang dikatakan oleh Raden Rangga itu. Jika malam turun dan keduanya telah menemukan tempat untuk beristirahat yang pada umumnya ditempat yang terpencil, maka Raden Rangga telah mengajak Glagah Putih untuk berlatih. Mereka telah bertempur seakan-akan bersungguh-sungguh Bahkan sekali-sekali Glagah Putih benar-benar kesakitan oleh sentuhan tangan Raden Rangga yang serasa membakar kulitnya. Namun Glagah Putihpun telah memiliki daya tahan yang sangat besar, sehingga kemampuannya itu telah mengatasi perasaan sakit ditubuhnya. Dengan latihan-latihan itu Glagah Putih telah meningkatkan kemampuan tata geraknya. Meningkatkan kecepatannya bergerak serta pengetrapan tenaga cadangannya yang tinggi.
Dengan demikian maka Glagah Putih telah sampai kepada tingkat kekuatan yang jarang ada bandingnya. Tenaga cadangannya menjadi bagaikan berlipat, serta dukungan kekuatan. Wadagnyapun benar-benar mengagumkan. Namun jika dimalam hari Glagah Putih telah melakukan latihan yang sangat berat, maka kadang-kadang dipagi harinya, ia agak terlambat siap, sehingga perjalanan merekapun mulai mereka lakukan ketika matahari sudah naik.
Tetapi Raden Rangga tidak berkeberatan. Bahkan kadang-kadang ia tertawa melihat Glagah Putih berjalan dengan kaki yang agak terasa sangat berat sebelah karena latihan yang sangat berat dimalam harinya.
Namun latihan-latihan itu bukannya sia-sia. Kemampuan Glagah Putih memang meningkat semakin tinggi. Kemampuannya menguasai dan mempergunakan tenaga cadangannya benar-benar telah mapan, sehingga Glagah Putihpun telah memiliki kekuatan yang sangat besar meskipun belum sebesar Raden Rangga. Tetapi apa yang dapat dilakukan oleh Glagah Putih sulit untuk dapat dilakukan orang lain. Bukan saja yang seumur sebayanya. Hanya orang-orang tertentu sajalah yang akan dapat mengimbanginya mempergunakan tenaga cadangan sebagaimana dapat dilakukan.
Ketika tenaga cadangan Glagah Putih telah menjadi semakin mapan, Raden Rangga telah mempergunakan cara yang untuk menyalurkan kemampuannya. Dengart jujur Raden Rangga melakukannya, karena anak muda itu mempunyai kepercayaan yang utuh kepada Glagah Putih yang selama mereka berhubungan, telah banyak dikenalnya sifat dan sikap lahir batinnya.
Dimalam hari, ditempat yang tersembunyi, Raden Rangga dan Glagah Putih telah duduk berhadapan. Keduanya melekatkan telapak tangan masing-masing yang satu dengan yang lain. Dengan kemampuan yang ada didalam diri mereka, maka mereka telah berusaha untuk menyalurkan pengalaman Raden Rangga dalam penjelajahan ilmu kepada Glagah Putih.
Getaran dalam diri Raden Rangga memang seolah-olah menjalar kedalam diri Glagah Putih, yang menurut pengertian Kiai Gringsing, getaran dalam diri Raden Rangga telah menyebabkan getaran pula didalam diri Glagah Putih dengan nada yang sama. Jika Glagah Putih mampu menyadap getaran itu sebagai satu pengalaman didalam dirinya, maka ia akan mampu memanfaatkannya.
Demikianlah, maka usaha yang hanya dapat dilakukan dengan sangat lamban itu sedikit demi sedikit berarti juga kepada Glagah Putih. Beberapa kali hal itu diulangi, sehingga keduanya menjadi sangat letih.
Sementara itu, Glagah Putihpun telah mampu memilahkan kemampuannya yang mendasar didalam dirinya serta kemampuan yang disadapnya dari Raden Rangga dengan cara berbeda sebagaimana dilakukannya dibawah bimbingan kedua orang gurunya.
Namun dalam pada itu Raden Ranggapun berkata " Glagah Putih. Yang kau dapatkan dari padaku memang berbeda dengan yang kau dapatkan dari kedua gurumu. Yang mampu menyusup dan menggetarkan pengalamanmu tidak lebih dari bahan mentah yang masih harus kau olah dan kau matangkan didalam dirimu. Sementara yang kau terima dari kedua gurumu adalah ilmu yang sudah masak yang meskipun masih perlu kau kembangkan didalam dirimu, namun kau sudah siap mempergunakannya pada tahap-tahap tertentu. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia sadar, bahwa ia harus berhati-hati mengetrapkan ilmu yang diterimanya dari Raden Rangga, sebagaimana perftah
diperingatkan oleh kedua gurunya. Ia tidak boleh dengan serta merta mempergunakannya. Sehingga karena itu, maka
Glagah Putih memerlukan waktu-waktu tertentu untuk mencoba dan menguji apakah ilmu yang diterimanya itu dapat
luluh dengan ilmu yang sudah ada didalam dirinya.
Ternyata Glagah Putih memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. Ia mampu mengetrapkan cara yang pernah dipergunakan oleh kedua gurunya untuk menilai ilmu yang pernah diterimanya dari Raden Rangga pada waktu itu dalam hubungan dengan ilmu yang telah ada didalam dirinya. Juga cara kedua gurunya itu saling menyesuaikan ilmu yang mereka berikan kepada Glagah Putih.
Dengan demikian maka disepanjang jalan, ilmu Glagah Putihpun menjadi semakin meningkat, meskipun tidak melonjak. Namun betapapun tipisnya lembaran-lembaran yang disusun, akhirnya nampak juga tingkat-tingkat yang dicapai oleh Glagah Putih selama dalam perjalanan yang ditempuhnya.
Ketika keduanya berada ditebing sebuah sungai yang curam, maka dengan sengaja keduanya menelusurinya sampai ketempat yang tersembunyi. Ketika malam turun, maka Glagah Putih telah mencoba mempergunakan ilmunya yang dapat dipancarkannya dengan menghentakkan keduabelah tangannya sambil membuka telapak tangannya kearah sasaran.
Ternyata hasilnya mengagumkan. Meskipun tidak terlalu jauh melonjak, namun kekuatan yang terpancar dari dirinya itu benar-benar telah menunjukkan bahwa Glagah Putih adalah seorang anak luar biasa.
Raden Rangga yang menyaksikan hasil dari jerih payahmereka berdua itupun tersenyum. Kemajuan yang dicapai oleh Glagah Putih memberinya kepuasan. Dengan demikian maka kawannya memasuki daerah yang gawat adalah seorang yang berilmu tinggi.
Namun kepuasan yang lain dari Raden Rangga adalah bahwa ilmunya tidak akan terbawa tanpa bekas jika saat itu
benar-benar akan tiba. Seseorang akan tetap mengenangnya, karena didalam diri orang itu tersimpan ilmu yang disadap
daripadanya. Orang itu adalah Glagah Putih.
Demikianlah, dalam perjalanan berikutnya, kemampuan dan ilmu Glagah Putihpun menjadi semakin bertambah tambah. Sementara itu Raden Rangga benar-benar telah melakukan apa yang dikatakannya. Ia telah berusaha menolong orang-orang yang memerlukan pertolongan. Bukan saja karena persoalan-persoalan yang besar, tetapi juga
dalam persoalan-persoalan yang kecil.
Raden Rangga telah berlari-lari mengejar seekor lembu yang terlepas ketika seorang petani yang sudah agak tua menuntunnya untuk dipekerjakan disawah. Orang tua itu dengan nafas terengah-engah berusaha untuk menangkap
lembunya. Tetapi lembu itu justru semakin lama menjadi semakin jauh.
Dengan kemampuannya yang melampaui orang kebanyakan Raden Rangga berhasil menangkap lembu itu
dan menyerahkannya kepada petani tua itu.
" Terima kasih anak muda " berkata petani tua itu.
Raden Rangga tertawa sambil menyahut " Hati-hatilah
kakek. Lembu jantan ini mampu berlari lebih cepat dari
kemampuan berlari kakek, sehingga tanpa bantuan orang lain
kakek akan mengalami kesulitan. "
" Ya, ya ngger. Terima kasih " jawab kakek itu yang
kemudian mempersilahkan Raden Rangga singgah.
" Terima kasih kakek. Kami akan meneruskan perjalanan
kami yang masih panjang. " jawab Raden Rangga.
Orang tua itu memandang kedua anak muda itu dengan
kagum. Namun keduanya tidak bersedia untuk singgah.
Demikianlah, maka yang dilakukan oleh Raden Rangga
bahkan kadang-kadang terasa aneh. Dengan tangkas ia
membawa kelenting naik tebing yang agak curam ketika ia
melihat seorang perempuan tua memanjat tebing itu sambil
membawa kelenting dilambungnya.
Namun Raden Rangga ternyata sempat juga menolong
seorang anak muda yang justru sebaya dengan dirinya dari
kegarangan seekor harimau yang disangkanya sesat dan
keluar dari hutan. Ketika Raden Rangga berjalan bersama Glagah Putih
menjelang senja, tiba-tiba saja ia mendengar seseorang
berteriak minta tolong. Tanpa menunggu lagi maka keduanya
telah meloncat kearah suara itu. Ternyata seorang anak muda
berdiri dengan tubuh gemetar, sementara seekor harimau
berjalan selangkah demi selangkah mendekatinya.
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kepada Glagah Putih " Kau tenangkan anak itu. Aku akan
menyelesaikan harimau itu.
Glagah Putihpun kemudian melangkah mendekati anak
muda yang ketakutan itu, sementara Raden Rangga
selangkah demi selangkah mendekati harimau yang agaknya
merasa heran melihat kedatangan dua orang lagi
mendekatinya. " Jangan takut " berkata Glagah Putih " harimau itu akan
segera diselesaikan. "
Anak muda itu masih gemetar. Tetapi bagaimana mungkin
anak muda sebayanya itu akan dapat menyelesaikan seekor
harimau yang garang. Meskipun demikian kehadiran kedua
orang itu membuat anak muda itu menjadi sedikit tenang.
Apalagi melihat sikap Glagah Putih dan Raden Rangga yang
nampaknya menganggap harimau itu tidak lebih dari seekor
kambing. " Kenapa kau berada disini" " bertanya Glagah Putih
kepada anak muda itu. Ketakutan yang sangat yang mencengkam jantungnya,
membuat anak muda itu tidak segera dapat menjawab
pertanyaan Glagah Putih. Namun Glagah Putih tidak, memaksanya berbicara.
Dengan lembut ia berkata " Marilah, duduklah disini. "
Anak muda itu tidak mengerti, apa yang harus
dilakukannya. Sementara seekor harimau dengan garang
mengancam seseorang, apakah mereka akan dapat duduk
dengan tenang. Bahkan kadang kadang terbersit niatnya
untuk melarikan diri. Namun masih juga timbul keragu-raguannya.
Jika orang lain yang sebaya dengan dirinya datang
untuk menolongnya, apakah ia akan melarikan diri begitu
saja" Kecemasan nampak membayang diwajahnya ketika ia
melihat harimau itu mulai mengalihkan perhatiannya kepada
Raden Rangga. Bahkan kemudian harimau itu telah
mengikutinya ketika Raden Rangga bergeser kepadang perdu.
" Jangan cemaskan anak itu " berkata Glagah Putih " ia
akan menyelesaikan harimau itu atau mengusirnya masuk
Prahara Di Pantai Selatan 2 Pendekar Mata Keranjang 19 Misteri Hutan Larangan Senopati Pamungkas I 21
^