Danyang Delapan Neraka 2
Walet Emas 02 Danyang Delapan Neraka Bagian 2
Sriwening sendiri kaget. Dia tak menduga kalau dibuntuti pemuda yang baru
dikenalnya. "Eh, siapa dia, Sri?" tanya Pusparini sambil mengawasi pemuda itu tanpa kedip.
Yang dipandang mengumbar senyum. Tak ayal lagi, Pusparini pun terseret membalas
dengan senyum. "Dia Wanda Bayu. Baru saja kukenal. Dia telah menyelamatkan diriku dari jebakan
rahasia ketika kubuntuti orang yang bernama...
engh.... Bango Thonthong itu," jawab Sriwening yang kemudian membantu Klungsu
berdiri. "Dia telah tahu kita sejak kita bentrok di sini," sambung Sriwening
lagi. "Oh ya " kata Pusparini dengan terus menyelidiki penampilan Wanda Bayu.
"Kalau boleh tahu namamu.....?"
tanya Wanda Bayu.
"Pusparini! Ini kang Klungsu,"
jawab Pusparini. "Aku harus tahu lebih banyak apabila ada orang yang
berkenalan dengan kami. Jelasnya, kau ini siapa, dari mana, hendak kemana,
mau apa!" "Wah. Ini perlu waktu khusus kalau kalian ingin tahu apa dan siapanya aku,"
jawab Wanda Bayu.
"Paling tidak, katakan kau dari mana!" kata Pusparini mulai tegas dengan nada
bicaranya. "Kau pasti yang memimpin kelompok tiga ini. Benar ?" kata Wanda Bayu.
"Kalau kau ingin tahu... ya... aku ini dari Kawasan Pesisir Utara."
"Kawasan Pesisir Utara?" tanya Sriwening menimpali.
"Ya! Tepatnya Pantai Teluk Penyu.
Itu sebuah kota pelabuhan. Banyak saudagar asing yang berlabuh di sana yang
kemudian pergi ke pedal aman."
"Lalu... bagaimana kau bisa di tempat ini ?" tanya Pusparini.
"Ah.... secara kebetulan saja."
"Secara kebetulan" Bagaimana kau bisa tahu tempat itu merupakan tempat berbahaya
ketika menyelamatkan diriku?" Sriwening menggugat.
Wanda Bayu tidak cepat menjawab.
Ini menimbulkan kecurigaan mereka bertiga.
"Maaf, Wanda Bayu. Tanpa mengu-rangi rasa terima kasih kami kareka kau telah
menyelamatkan Sriwening, kuharap kau jangan mengganggu kami.
Kami punya tugas cukup berbahaya,"
kata Pusparini.
"Justru akupun senang dengan hal-
hal yang mengundang bahaya !" jawab Wanda Bayu tangkas.
"Bagaimana" Dia boleh ngikut kita?" tanya Sriwening ketika Pusparini tak
memberimjawaban kepas-tiannya. Semua jadi menunggu keputusan Pusparini.
"Baik! Apapun urusanmu, selama tidak merugikan kami, kau boleh dekat-dekat
dengan kami. Tetapi begitu kau menyalahi peraturan dan mengganggu kami, maka
kami bisa bertindak tegas!"
kata Pusparini.
"Baik. Baik. Aku senang dengan peraturan yang tegas. Selama ini memang aku
selalu sendirian. Jadi keberadaan kalian bertiga, sangat bermanfaat bagi
lidahku. Maksudku....
ada yang bisa diajak ngomong!" Wanda Bayu menimpali.
*** 5 Akhirnya Pusparini memutuskan
ingin mendatangi tempat yang diceritakan Sriwening untuk melacak jejak orang
bernama Bango Thonthong. Tentang nama ini memang diperoleh dari Wanda Bayu.
Ketika ditanya dari mana Wanda Bayu tahu nama itu, dia mengatakan tahu lewat
pembicaraan yang didengar
antara Senggoro Macan dengan yang bersangkutan ketika akan menumpas Pusparini
dan kawan-kawannya.
Sementara itu, mereka berempat telah tiba di tempat yang dituju.
Tetapi aneh, tempat yang didatangi untuk kedua kalinya oleh Sriwening,
kelihatannya sudah berubah.
"Ada tambahan semak belukar yang kelihatannya baru saja dilakukan oleh seseorang
atau suatu kerja kelompok,"
kata Sriwening. Tetapi ketika
diselidiki semak belukar itu yang kemungkinan hanya potongan dedaunan dan semak
yang diletakkan begitu saja untuk menutupi jebakan-jebakan yang dipasang,
ternyata tumbuhan-tumbuhan itu tertanam dengan erat ke tanah.
Berarti bukan tanaman baru, atau potongan semak yang sengaja diletakkan di sana.
"Aneh. Tempat ini jadi tidak seperti yang kudatangi," keluh Sriwening. "Wanda!
Apa pikirmu tentang hal ini " Kau satu-satunya saksi yang kuandalkan untuk
menjelaskan teka-teki ini."
"Aku sendiri tak tahu. Arahnya memang betul seperti keberadaan kita tadi. Tetapi
suasananya jadi lain.
Pintu masuk yang diselimuti semak belukar, kini tak terlihat lagi,"
jawab Wanda Bayu dengan sungguh-sungguh. Dari penampilannya, Pusparini
bisa mengambil kesimpulan bahwa Wanda Bayu tidak sering kelayapan ke tempat itu.
Jadi dia baru pertama kali ke sana. Pertolongannya terhadap Sriwening berkat
kewaspadaannya saja.
Bukannya tahu bahwa di sana dipasang jebakan.
"Tempat ini pasti dikelola ber-dasar sarang laba-laba," kata Klungsu memecah
kesunyian yang selama ini banyak berdiam diri.
"Sarang laba-laba" Apa maksudmu, kang?" tanya Pusparini.
"Kau tahu bagaimana bentuk sarang laba-laba, bukan" Nah, dengan memasuki salah
satu jalurnya, kau akan
dihadapkan kepada teka-teki tentang jalur-jalur lain yang kelihatannya sama,
tetapi sebenarnya berbeda. Dalam hal ini mungkin perjalanan yang ditempuh
Pusparini dan Wanda Bayu sepertinya benar, tetapi sebenarnya salah masuk pada
jalur pertama. Dan hal itu belum menjadi jaminan kalau toh kita masuk ke jalan
yang benar. Sebab simpangan yang lain akan menjebak kita ke arah yang salah kalau kita tidak
teliti," kata Klungsu yang kedengarannya arif dengan pandangan yang diberikan.
"Astaga! Kau benar, kang. Aku memang tidak memperhatikan adanya simpangan
simpangan yang tampaknya membingungkan ketika masuk kedua
kalinya ke tempat ini," sahut Sriwening. "Kau sendiri
bagaimana, Wanda" Apakah kau tidak ingat
sesuatu?" "Seingatku kita tadi keluar dengan mudah. Dan aku telah mencoba mengingat
tentang simpangan yang kita lewati di sana tadi," jawab Wanda Bayu yang benaknya
kelihatan mulai dibebani masalah ini. "Ah, pasti kita keliru menempuh jalan ini.
Dekat pohon di sana seharusnya kita berbelok. Ya, aku ingat itu. Ayoh!"
Mereka berempat menuju jalan yang dikatakan Wanda Bayu. Dan beberapa saat
kemudian... "Oh, bukan juga. Aneh. Mengapa kita jadi linglung"!" ujar Wanda Bayu dengan
tatapan mata serius ditujukan ke arah sekeliling tempat itu. "Tempat ini tak
jauh dari pemukiman penduduk, tetapi memiliki keunikan begini.
Apakah tidak ada orang lain kesasar kemari?"
"Kukira kuncinya hanya satu. Kita cari tempat yang sekiranya terdapat jebakan
yang bisa membunuh pendatang,"
sahut Sriwening. "Bagaimana?"
"Kalau begitu, kita harus menyebar," saran Pusparini. "Sebaiknya berpasang-
pasangan Sri, kau
berpasangan dengan....."
"Dengan siapa". Kang Klungsu?"
Sriwening menyela ketika Pusparini
ragu memberi keputusan.
"Tidak. Kau berpasangan dengan Wanda Bayu saja," jawab Pusparini dengan menelan
ludah. Dia tak tahu mengapa lidahnya terasa kelu untuk mengatakan hal itu.
Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya.
Akhirnya mereka menyebar dengan pasangan masing-masing.
"Pahamu tidak sakit, kang?" tanya Pusparini yang berpasangan dengan Klungsu.
"Bisa kuatasi, nduk. Kau tahu, kalau aku tadi tidak melihat Sayem, semangatku
pasti loyo. Karena kulihat Sayem, maka apapun yang terjadi, akan kuhadapi.
Apakah kau menduga Sayem dibawa masuk ke tempat rahasia yang dikajtakan tadi?"
celoteh Klungsu dengan langkah pincang.
"Tak tahu, kang. Tokoh bernama Bango Thonthong itu apakah membawa lari Sayem,
aku tak tahu. Tetapi agaknya tadi kulihat dia selalu bersama dengan pasangan
mainnya. Entah siapa dia. Diapun juga telah melepaskan topengnya ketika
keributan terjadi. Anehnya yu Sayem kok lantas lari juga ya" Seperti tidak kenal
dengan kang Klungsu," kata Pusparini dengan terus melangkah hati-hati.
"Mungkin Sayem sudah kena bius japa mantra. Tetapi setahuku Sayem
tidak bisa menari. Ah, aneh juga,"
gerutu Klungsu di belakang Pusparini.
Mereka terus melangkah dengan
hati-hati. Dan pada saat itulah, tanpa diduga, Pusparini melihat sesosok tubuh
berkelebat di antara dahan-dahan pohon. Tanpa berpikir lebih lanjut Pusparini
cepat memburu. Dia melesat ke atas dahan pohon, dan melakukan pengejaran.
Sedangkan Klungsu tak bisa berbuat banyak. Dia tetap pada tempatnya.
"Hei! Berhenti kau!" teriak Pusparini sambil terus mengejar.
Tetapi gerakan Pusparini tidak bisa mulus lagi sebab sosok tubuh yang dikejar
itu mendadak meliukkan tubuhnya sambil melempar senjata rahasia. Pusparini
berkelit menghindar. Kemudian mengejar lagi setelah desingan senjata rahasia itu
luput dari sasarannya. Sesuatu tak terduga terjadi. Sesaat kemudian sosok tubuh
yang dikejar Pusparini ini berbalik arah. Pubparini tak menduga de ngan gerakan
ini. Jadinya dia terpaksa mengerahkan tendangan untuk menyambut datangnya
serangan lawan. Benturan terjadi di udara. Hempasan berlangsung dengan masing-
masing meluncur ke tanah. Tetapi begitu tubuh Pusparini menginjak tanah, maka
semak belukar di sisi kanannya bergerak dan menyembul-lah anyaman batang dengan
ujung-ujung pisau menyeringai berjajar rapat, siap merejam ke arahnya. Pusparini bergulir ke
samping menghindarkan hempasan jebakan yang mendatangkan maut itu.
Berhasil! Kemudian dia menghimpun tenaganya dengan memasang kuda-kuda menjaga
kemungkinan serangan lawan berikutnya. Tetapi tanpa sadar, sewaktu membenahi
diri, kakinya menyentuh jebakan yang lain.
Akibatnya, dari samping kiri muncul selosin tombak yang melesat ke arahnya.
Pusparini menggenjotkan tubuh melanting ke atas, dan kemudian turun lagi, tepat
menginjak salah satu tombak yang masih bergerak ke arahnya.
Dengan meminjam tenaga luncuran tombak, Pusparini berhasil menjauhi sarang
jebakan tersebut. Tombak menancap di pohon sebelah sana. Tanpa membuang waktu
lagi, dia melesat ke atas dahan. Dari sini dia mencoba mencari sosok tubuh yang
dlkejarnya. Baru saja dia menoleh ke samping kiri, dilihatnya sosok tubuh yang diburu tadi
telah bergerak melaju ke arahnya.
Pusparini trengginas menyambut serangan tersebut dengan melesatkan tubuh bergaya
Walet Menyambar Serangga.
Akibatnya si penyerang hanya berhasil menyerang tempat kosong, sedang Pusparini
mampu mengirimkan pukulan telak ke tengkuk lawan. Suara
"Aakkhh...." meledak dari bibir
lawan dengan diiringi meluncurnya tubuh ke tanah. Pusparini terus menyambar ke
bawah, menukik dengan manis, namun berbekal himpunan tenaga dalam untuk
menggojlok lawan yang dilihat masih belum siap mengadakan serangan lagi.
"Dhiegh!!!" tendangan Pusparini mendarat di dada lawan yang saat itu baru saja
akan menyelidik
keberadaannya. Tak ayal lagi, sang lawan jungkir balik menahan rasa sakit yang
membakar seluruh tubuhnya. Tetapi dalam keadaan ini dia sempat melihat Pusparini
akan menyerang dirinya bgi.
Dengan cepat dia menarik seutas tali yang tertanam dalam semak belukar.
Akibat yang ditimbulkan adalah munculnya juluran tali-temali datang dari
berbagai arah dengan ujung seperti jangkar. Tali-temali ini bergerak lurus
tetapi saling menyilang sehingga membentuk jaring dan melilit ke tubuh
Pusparini. Pendekar yang bergelar Walet Emas ini pasti teringkus oleh belitan
jaring itu kalau saja dia tidak trengginas meraih pedangnya.
Maka dengan Pedang Merapi Dahana yang kesohor itu, Pusparini membabat tali-
temali yang melilit tubuhnya. Hanya dua kali tebas, di arah kanan dan kiri, maka
tali-temali itu putus berantakan.
Pusparini sadar bahwa tempat di
sekelilingnya adalah tempat yang penuh dengan jebakan maut. Berarti tempat ini
dekat dengan pintu masuk yang sedang mereka cari. Yaitu pintu masuk menuju
sarang rahasia lawan.
"Oh, pedang itu lagi! Aku tak mungkin dapat menandingi. Aku tahu kehebatannya,"
pikir lawan Pusparini yang tiada lain adalah Bango
Thonthong. "Hei, kau kiranya. Kau tentunya yang bernama Bango Thonthong!" seru Pusparini
dengan kcthus. "Kalau kau ingin menjaga nyawamu, lebih baik kau katakan di mana
tempat sarangmu itu.
Jangan ingkar, aku tahu kau punya sarang di sekitar tempat ini!"
"Jangan mengumbar nyali meskipun kau punya pedang semacam itu! Kau tahu, di atas
langit masih ada langit.
Kau akan berhadapan dengan Danyang Delapan Neraka kalau ikut campur dalam urusan
ini," ancam Bango Thonthong seraya berdiri. Dalam sikapnya ini dengan cepat dia
melempar sebutir ramuan kearah Pusparini, dan.....
"Jhhuusshhh !!!"
Ledakan asap terjadi. Pusparini mencoba menghindari kepulan asap yang
menghalangi pandangan di sekelilingnya. Dia melesat ke atas dahan pohon.
"Assemm !!" umpatnya, "Tak kuduga kalau dia punya perisai macam itu.
Paling tidak dia gertakan untuk
meloloskan diri. Cara yang lihai.
Tempat ini pasti dekat dengan pintu rahasia yang kami cari."
Pusparini menyelidiki keadaan di sekelilingnya.
"Oh, ada sesuatu yang bergerak di sana," tanpa pikir panjang, dia terus melesat
mengejar dari dahan ke dahan sementara pandang annya ditujukan ke arah bawah
yang dipenuhi semak-semak Lalu semuanya terhenti. Tak ada yang bergerak lagi di
semak-semak itu. Pusparini turun dari atas dahan dengan pedang tetap di tangan.
"Di tempat ini gerakan itu lenyap. Coba kuselidiki," pikir Pusparini sambil
menyibakkan semak-semak. Dan...
"Astaga! Ini seperti pintu batu penutup lubang gua! Tetapi bagaimana cara
membukanya" Menurut cerita Sriwening, Bango Thonthong masuk dengan menggerakkan
pengungkit batu yang menonjol. Di mana batu yang harus ditekan, ya?" pikir
Pusparini dengan mata menyelidik "Oh, barangkali ini!"
Gghhrrgg!! Begitu batu yang mencuat bagai cula badak itu ditekan, maka
mengangalah sebuah lubang setelah penutupnya membuka.
Perasaan Pusparini berdebar
ketika mengawali melangkah masuk.
Cahaya remang-remang dalam gua itu
adalah pancaran cahaya obor yang terdapat di sana-sini.
"Hm! Ini memang sarang persembunyian dari orang-orang yang bermaksud jahat.
Anehnya tempat ini tak jauh dari kawasan Prambanan. Tetapi kalau dipertimbangkan
lagi, kawasan ini memang tepi hutan rimba," pikir Pusparini dalam hati dengan
terus melangkah.
"Seperti yang dikatakan oleh Bango Thonthong, pasti di sini bisa kujumpai tokoh
yang bergelar Danyang Delapan Neraka itu. Berarti, aku akan bertempur di sarang
lawan. Kalau saja aku sempat memanggil Sriwening dan Wanda Bayu serta kang
Klungsu, pasti lebih enakan, bisa bertempur rame-rame!"
Tengah berbicara dalam hati
dengan dirinya sendiri, tiba-tiba terdengar suara berdetak dari atas.
Pusparini sempat mendongak. Dan dia atas, sebuah perangkap siap menerkam
tubuhnya. Bilah pisau-pisau sekitar selusin buah, melesat ke bawah. Dengan
trengginas Pusparini membabatkan pedangnya ke arah pencabut nyawa yang nyaris
melahap jiwanya.
Thraang! Shhriing! Shwwtth! Bilah-bilah pisau itu hancur
berantakan dibabat Pedang Merapi
Dahana. Kemudian diam. Sepi. Pusparini menunggu. Telinganya dipasang untul
meneliti gerakan yang mungkin ada dari mana saja yang bisa membahayakan jiwanya.
Karena tidak ada sesuatupun, maka diputuskan untuk melangkah lagi.
Tetapi belum ada lima belas
Walet Emas 02 Danyang Delapan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langkah.... Pusparini benar-benar dibuat
kaget. Sebab di hadapannya tiba-tiba muncul sebuah lubang menganga begitu
kakinya menginjak hamparan yang lunak.
Sebuah perangkap dengan bentuk lubang!
Pikirannya cepat bereaksi tentang ujung-ujung benda tajam yang akan menyambut
tubuhnya di bawah sana.
Dengan cepat dia menancapkan pedangnya ke arah belakang dirinya.
Jhbbh! Tepat mengenai dinding padas. Hal ini menghambat tubuhnya yang sesaat tadi
meluncur ke bawah. Kini tubuh Pusparini bergelantungan. Di bawah, ternyata tidak
terdapat sesuatu yang mencuat tajam. Tetapi terlihat permukaan air.
"Tampaknya di bawah itu ada bagian sungai atau kolam dalam gua.
Mungkin ada rongga yang menembus tempat lain. Untung-untungan. Berbagai cara
akan kucoba agar bisa sampai ke tempat lawan. Mungkinbisa kuterobos dari bawah.
Sebab kuperkirakan lorong atas Itu akan penuh jebakan lagi,"
pikir Pusparini sambil menarik pedang yang jadi pegangannya. Pedang dicabut, dan
meluncurlah tubuhnya ke bawah.
Dengan gerakan beranting menjejakkan kakinya dari tepi-tepi lubang, -
khirnya Pusparini tiba di bawah.
Dugaannya benar. Ternyata di sana terdapat lorong bawah tanah di mana terdapat
sungai yang arusnya tenang.
Bahkan tak terlihat kalau mengalir.
"Ah! Di sinipun terpasang obor penerangan. Ini benar-benar sarang merangkap
tempat tinggal yang nyaman, tetapi menjadi perangkap maut terhadap orang yang
tak dikehendaki
kehadirannya," pikir Pusparini. "Dan aku pasti termasuk orang yang tak
dikehendaki hadir di sini...!"
Benar! Kalau lubang menganga itu hanya akan membuat Pusparini kecebur di sungai
bawah tanah, pasti suatu kehadiran yang dikehendaki oleh penguasa setempat.
Tetapi kalau tiba-tiba dilihatnya ada beberapa kelompok buaya yang mengendap
berjalan mendekatinya, ini yang tidak mengenak-kan. Berarti kehadirannya memang tidak
dikehendaki. "Aku memang tak pernah suka dengan binatang yang disebut buaya, Juga
panggilannya yang diperuntukkan bagi laki-laki," gerulu Pusparini sambil
menggenjotkan tubuh mencari tempat yang aman dari sambaran buaya.
Tetapi sial. Justru begitu dia menghindari buaya yang telah
mengepungnya, tidak tahunya mendarat di punggung seekor buaya yang lain.
"Aawwh.....!" jeritnya. Pusparini tercekam histeris geli karena
menginjak binatang yang paling dibencinya. Sang buaya menggeliat dengan mulut
siap mencaplok. Sambil melesat menghindar, Pusparini
menyabetkan pedangnya ke moncong buaya itu. Sekali tebas, maka rontoklah moncong
sang binatang. "Huuhh!"gerutunya, "Ini benar-benar tempat neraka. Sebaiknya aku cepat
meninggalkan tempat ini."
Tetapi begitu dia melesat ke
sebuah lorong yang diperkirakan menjadi jalan keluar, maka muncul beberapa sosok
tubuh dengan bertopeng merah. Semua mengenakan topeng Rahwana!
"Hm! Jadi kedatanganku memang ditunggu. Kalau kalian melihatku masih segar
bugar, tentunya kehadiran kalian hanya untuk mencabut nyawaku!" sumbar
Pusparini. "Apa gunanya topeng-topeng itu, hah" Aku bukan bocah yang bisa kalian
takut-takuti dengan topeng macam itu. Kuharap kalau di antara kalian ada yang
bernama Bango Thonthong, coba buka topengnya. Tak perlu dia bertopeng di
hadapanku, sebab aku sudah tahu tampang busuknya itu!"
Ternyata tantangan itu tak
menimbulkan tindakan apa-apa di antara mereka yang bertopeng. Tak seorang pun
yang membuka topengnya. Bahkan yang dilihat Pusparini adalah gerakan sekelompok
orang-orang bertopeng itu yang mencabut senjatanya masing-masing, lalu bergerak
dengan cepat ke arahnya.
"Seharusnya kalian tahu bahwa pedangku mampu menghancurkan senjata dari logam
apapun!" kata Pusparini dengan suara lantang. Dengan
trengginas dia mengayunkan pedangnya membabat senjata-senjata yang
bentuknya aneh itu.
Thhraang! Shhwwtth! Sshhrraakk! Cringg! Suara logam yang merupakan
senjata pencabut nyawa saling beradu menghadapi Pedang Merapi Dahana di tangan
Pusparini. Pada saat itulah Pusparini tersentak kaget. Dia melihat senjata
lawan-lawahnya yang berbentuk aneh itu tetap utuh walaupun telah be-benturan
dengan senjatanya.
"Ini pasti ada sesuatu yang tidak beres. Senjata mereka mampu menghadapi Pedang
Merapi Dahana," pikir Pusparini sambil terus menghadapi lawan-lawanya.
Jurus demi jurus terlewati dengan seru. Dan selama itu lawan-lawan
Pusparini tetap tegar. Belum ada seorang pun yang berhasil dikalahkan.
Tenaga Pusparini benar-benar terkuras!
Pada saat itulah, dikala
dia memikirkan taktik untuk mencari kelemahan kepungan lawan, mendadak posisi lawan
di sebelah kanan porak poranda.
"Kami datang, Rini!!" terdengar suara tak jauh darinya.
Ternyata Sriwening dan Wanda Bayu muncul dari sebuah terowongan yang lain.
Mereka belum sempat basa-basi
bagaimana Sriwening dan Wanda Bayu bisa sampai ke tempat itu.
"Kami menemukannya karena pintu itu dalam keadaan terbuka," seru Sriwening
sambil membabatkan pedangnya ke arah lawan ketika berdekatan dengan Pusparini.
"Aku yakin kau telah masuk ke dalam."
"Kalau begitu kang Klungsu masih berada di tempat semula. Kau ketemu dia?"
"Tidak!" jawab Sriwening dengan menghindar jauh. Dia mengharapkan lawan akan
memecah kekuatan. Tujuh lawan tiga. Tak begitu berat. Tetapi tampaknya ketujuh
lawan itu adalah orang-orang yang tangguh. Bahkan pada suatu kesempatan
Pusparini terdesak sampai ke tempat di mana buaya-buaya yang tadi disingkiri
berada. "Tampaknya mereka tahu apa yang kutakutkan. Dan mereka mencoba mendesakku
kemari," pikir Pusparini dengan mencari posisi agar dirinya tidak terdesak ke
arah buaya-buaya yang beberapa di antaranya mulai mengangakan moncongnya.
Seorang lawan dari ketiga orang yang mengroyoknya mencoba memberikan serangan
fatal. Sang lawan rupanya berharap bahwa serangannya akan membuat Pusparini
terpelosok ke dalam kubangan buaya. Tetapi perhitungannya meleset. Pusparini
dapat membaca taktik itu. Maka dengan gebrakan mengayunkan pedang yang diharap
akan memperoleh serangan balasan, Pusparini menggenjotkan tubuh melesat ke atas.
Akibatnya, lawan yang menyerang dengan kekuatan penuh ini terpa-sa menyerang
tempat kosong, dan tubuhnya meluncur ke bawah. Sadar akan hal ini, orang yang
terkecoh itu berusaha menguasai keadaan dengan meringankan tubuh agar dirinya
tidak terlampau cepat jatuh terbawa daya dorongnya sendiri. Memang bisa, tetapi
dia tak mampu menghadapi moncong mulut buaya yang siap menerima tubuhnya. Dan
kepala orang itu persis jatuh di mulut buaya!! Tak ada yang bisa diperbuat lagi.
Sang buaya terus mengatupkan mulutnya, sementara buaya yang lain menyambar
kakinya. Dan kelompok buaya di bawah sana berpesta
melahap mangsa.
Setelah hal itu berlalu bukan
berarti per-awanan musuh jadi kendor.
Bahkan rupanya semakin gencar. Hal ini menimbulkan niatan Pusparini untuk
mempergunakan buaya-buaya itu menghabisi lawannya. Maka dicarinya muslihat untuk
menjebak lawan agar bisa dikecoh serangan serupa. Pancingan Pusparini berhasil.
Seorang lawan lagi bisa dijebak taktik perlawanan sehingga mengalami nasib
serupa dengan kawannya yang telah dilahap buaya. Kini tinggal seorang. Tahu akan
taktik Pusparini, orang yang satu ini menjauh dari kubangan buaya.
"Hei, jangan lari kau! Takut disantap buaya, hah?" seru Pusparini dengan
mengejar lawan yang menjauhi dirinya.
Pusparini menghentikan langkahnya karena melihat Sriwening dan Wanda Bayu baru
saja menghabisi nyawa lawannya.
"Selesai?" tanya Pusparini.
"Ya! Tapi kami kebobolan masing-masing seorang. Mereka melarikan diri," jawab
Wanda Bayu. Pusparini melihat luka merobek lengan Sriwening.
Tetapi tampaknya tidak apa-apa. Dari hal ini bisa disimpulkan bahwa manusia
bertopeng yang mereka hadapi mempunyai kelihaian cukup tangguh dalam ilmu bela
diri. "Meraka lari ke sana. Ayoh kita kejar. Hati-hati, mungkin masih banyak jebakan
yang belum kita ketahui," kata Pusparini dengan mengawali melangkah maju.
Mereka bertiga terus menerobos lorong-lorong gua bawah tanah. Siapa sangka di
daerah Prambanan ada tempat seperti ini" terowongan gua itu terbentuk secara
alamiah, tetapi pada bagian tertentu ada yang digarap oleh tangan manusia.
Semakin ke dalam, tampaknya tanah yang mereka lalui semakin menanjak ke atas.
Dan tak berapa lama kemudian tiba di tempat terbuka.
"Astaga ! Kita berada di tengah bangunan yang letaknya di atas tanah.
Lubang ini tepat di tengah bangunan tembok yang mengelilingnya. Tempat apa
ini ?" kata Pusparini memberi wawasan apa yang dilihatnya. "Hati-hati. Di tempat
terbuka macam ini serangan panah dari pihak lawan bisa terjadi."
Baru saja mulut itu terbungkam, tiba-tiba mendesing dari berbagai penjuru anak-
anak panah yang
dilepaskan dari atas tembok. Lusinan orang tiba-tiba muncul di sana sambil
melepas panah bertubi-tubi. Karena sudah menyadari bahaya macam ini, Pusparini
segera mengibaskan Pedang Merapi Dahana ke segenap penjuru. Juga Sriwening dan
Wanda Bayu bertindak
serupa. Agar tidak bertumpu pada sasaran lawan, maka mereka bertiga segera
menyebar. Kini lawan terpaksa membelah pe-hatiannya menjadi tiga.
Detik selanjutnya Pusparini bahkan bertekad melesat ke atas tembok.
Dengan kalap dia membabat lawan-lawannya tanpa ampun. Di sisi lain, Sriwening
dan Wanda Bayu bertindak serupa. Keduanya melesat ke atas tembok. Serangan lawan
lewat anak panah dapat di atasi, kini beralih dengan pertarungan pedang. Jumlah
lawan yang jumlahnya lusinan itu hanya mengantar nyawa saja ketika berhadapan
dengan amukan tiga pendekar yang belum diketahui apa urusannya. Yang jelas,
siapapun yang kelayapan ke sana, harus dibunuh.
"Cukup! Hentikan!!" tiba-tiba terdengar seruan lantang. Kalau orang biasa pasti
tidak bisa berteriak sekeras itu. Seruan itu tidak sekedar seruan, tetapi luapan
ucapan yang disertai tenaga dalam. Yang tidak terbiasa menghadapi suara macam
itu, pasti pecah gendang telinganya. Karena suara itu, semua gerak terhenti
tiba-tiba. Bagai diperintah oleh tenaga gaib, para penyerang itu mundur dengan
cepat, dan menghilang di balik pilar-pilar bangunan yang banyak terdapat di
sana. "Anak-anak muda yang bernyali
besar. Aku benar-benar kagum dengan sepak terjang kalian. Apapun urusan kalian
sehingga berani menjamah kawasan ini, akibat yang harus disandang adalah maut!"
kata sesosok tubuh tinggi besar dengan memakai topeng Rahwana. Hanya bedanya,
topeng yang dipakainya lebih mewah karena ada hiasan-hiasan keemasan pada ukiran
jamangnya. Jelas, ini adalah dedengkot dari kelompok orang-orang yang pernah
dihadapi Pusparini dan kawan-kawannya.
Mata Pusparini jelalatan mencari orang yang bernama Bango Thonthong. Dan orang
itu ternyata berdiri tak jauh dari sesosok manusia bertubuh besar itu.
"Anak-anak muda! Katakan apa urusanmu yang sebenarnya!!" kata orang itu dengan
lantang. "Kami akan menyingkap kematian keluarga Ki Bangah dan hilangnya wanita bernama
Sayem!" jawab Pusparini sebagai juru bicara.
"Hua ha ha ha ha ha...," ledakan tawa dari orang tinggi besar itu membahana.
"Menyingkap kematian dan mencari wanita yang hilang" Mengapa kau berpikir bahwa
semua itu harus kau urus di sini?"
"Topeng Rahwana, dan senjata rahasia ini," jawab Pusparini sambil mengacungkan
sebuah senjata rahasia.
"Senjata rahasia ini kutemukan di
puing reruntuhan rumah Ki Bangah!"
Sriwening terkejut. Dia mengawasi Pusparini. "Mengapa hal ini tidak kau katakan
padaku?" tanyanya.
"Tak ada apa-apa. Aku cuma ingin kau tak banyak pikiran untuk
mengungkap kematian keluargamu," jawab Pusparini lirih sambil tetap mengawasi
tokoh berbadan besar itu.
"Hm! Jadi atas dasar itu" Pinter kamu. Otakmu encer. Aku suka dengan anak muda
yang berotak encer. Sayang kalau kalian harus menentang tujuan kelompokku," kata
orang bertubuh besar itu.
"Aku telah mencurigai orang yang bernama Bango Thonthong. Dia yang memiliki
senjata rahasia ini. Dia melukai temanku bernama Klungsu dengan senjata serupa.
Dia memakai topeng Rahwana untuk menimbulkan keresahan penduduk Sonogading!
Penduduk resah karena dia muncul pada malam hari hanya untuk melihat kebugilan
tubuh gadis-gadis desa itu. Walaupun dia tidak menodai, tindakan itu perlu
ditindak. Untuk apa sebenarnya?" tanya Pusparini.
"Jadi kau butuh penjelasan walaupun seandainya itu bukan urusan yang menyangkut
kelompok ini" Hm !
Berarti kau cuma menebak-nebak saja.
Menghubung hubungkan satu peristiwa satu dengan yang lain.....! Tapi, se-
perti sudah kukatakan awal itu, kau memang berotak encer, anak muda. Dan aku tak
akan segan untuk menjelas-kannya. Tapi harap tahu, ini sekedar penglipur hati
saja. Anggap saja sebagai 'permintaan terakhir' sebelum nyawamu terbang oleh
tangan Danyang Delapan Neraka ! Hua ha ha ha ha ha...!!!" seru orang bertopeng.
"Rekaan pikiranmu itu benar adanya.
Dengar baik-baik, aku akan
menjelaskan!!"
"Jadi kau yang bergelar Danyang Delapan Neraka! Sudah kuduga beberapa saat yang
lalu. Jelaskan, akan kudengar dengan baik-baik pengakuan-mu!!" kata Pusparini
sambil memasukkan Pedang Merapi Dahana ke dalam
sarungnya. Kalau saja Pusparini jeli, pasti dia tahu bahwa selama Danyang Delapan Neraka
itu berbicara, matanya tak lepas dari pedang di tangannya.
"Ah! Rupanya kau punya tata krama juga. Kau masukkan pedangmu selama aku akan
mengatakan rahasia ini...! Itu sangat kuhargai. Benar-benar kuhargai, cah ayu!!
Dan kupikir, kalau kita berbicara dengan sikap begini, agaknya menjadi tidak
sopan. Bagaimana kalau kita berbicara di balairung perjamuan di tempatku yang
resmi?" "Hati-hati, Rini. Tawaran ini bisa mencelakakan kita," bisik Wanda
Bayu. "Aku tahu. Tapi apa salahnya kita coba menerima tawaran itu" Pertimbangkan, kita
ini telah berada di sarang lawan. Siapa tahu kita bisa mengungkap lebih banyak
dari pada yang kita duga," jawab Pusparini lirih.
"Bagaimana" Aku telah memutuskan agar kalian lebih banyak tahu dengan tujuan
kelompok kami. Siapa tahu, kalian bisa berbalik arah untuk berpihak kepadaku,"
kata Danyang Delapan Neraka itu.
"Baik! Kami terima tawaranmu,"
jawab Pusparini. "Dan aku tak ingin ada siasat licik!"
"Hua ha ha ha ha ha ha....! Kita cuma berbicara baik-baik. Kalau buntutnya
membuat pembicaraan jadi runyam, apa boleh buat...!" jawab Danyang Delapan
Neraka. "Katakan, di mana kita harus berbicara," seru Pusparini lagi.
Pikirnya, kalau pembicaraan itu dengan diikuti perjamuan, akan lebih
mendingan. Paling tidak saat ini tenggorokannya terasa kering setelah menguras
tenaga menghadapi anak buah Danyang Delapan Neraka. Dan kini dia menerima
tawaran perjamuan lawannya.
*** 6 Danyang Delapan Neraka tetap
mengenakan topeng Rahwana. Agaknya penampilan itu sudah menjadi ciri jati
dirinya. Tak seorangpun tahu bagaimana wajah Danyang Delapan Neraka yang
sebenarnya. Suara gamelan mengiringi suasana perjamuan itu.
Banyak mata yang mengawasi
kehadiran Pusparini, Sriwening dan Wanda Bayu. Mereka bertiga duduk secara
lesehan menghadapi seperangkat hidangan yang memancing selera. Mulai dari buah-
buahan segar sampai panggang ayam dan minuman tersedia di sana.
"Jauhkanlah prasangka kalian kalau berpikir bahwa makanan itu beracun. Tidak
sama sekali. Kalau curiga, anak buahku bisa mencicipi terlebih dulu," kata
Walet Emas 02 Danyang Delapan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Danyang Delapan Neraka di seberang mereka. Perjamuan itu diatur secara
berhadapan, tetapi dengan jarak sekitar dua tombak jauhnya. Danyang Delapan
Neraka selalu didampingi Bango Thonthong. Karena tokoh yang satu ini telah
dicurigai sebagai pembunuh Ki Bangah, maka tak henti-hentinya Sriwening
mengawasinya. Dalam hati Sriwening menggelegak dendam yang siap meledak kalau saja ada
kesempatan berhadapan dengan si
Bango Thonthong itu.
Dengan ragu-ragu Pusparini mengawali menyentuh hidangan yang
disajikan. Minuman dicicipi dengan ujung lidahnya. Rasanya seperti tuak, tetapi
agak ringan sedikit. Dirasakan sejenak, lalu disruput, ditelan dengan perasaan
berdebar. Tindakan ini dilirik saja oleh Sriwening dan Wanda Bayu. Karena
sepertinya tak ada apa-apa, mereka berdua mengikuti minum-minuman yang
dihidangkan. "Ha ha ha ha ha ha ha....,"
terdengar suara tawa Danyang Delapan Neraka.
Pusparini kaget. Jangan-jangan dia telah masuk perangkap dengan minum minuman
itu. "Bagus! Kau telah bertindak yang mungkin tak berani dilakukan oleh orang lain.
Kulihat kedua temanmu itu baru mau menjamah setelah kau
melakukannya. Nah, tidak beracun, bukan" Aku memang bisa membunuh orang dengan
kepala dingin, tapi aku tak suka meracun orang!" kata Danyang Delapan Neraka
sambil meneguk minumannya. Karena topeng yang dipakai itu tidak menutupi mulutnya,maka kegiatan
makan minum tidak
mengganggunya. Jenggotnya yang setengah beruban bisa menunjukkan bahwa usia
Danyang Delapan Neraka sekitar enam puluh tahunan.
"Ayo, silakan menyantap hidangan yang lain," katanya lagi. Dia sendiri segera
menjamah panggang ayam dan dilahap dengan rakus.
Bersamaan dengan itu terlihat
para penari keluar. Mereka menarikan tarian semacam gambyong yang terdiri dari
enam orang wanita. Tanpa
bertopeng. Pusparini bisa melihat dengan nyata bahwa salah seorang di antaranya
terdapat wanita seperti Sayem.
"Apakah benar dia yu Sayem ?"
pikir Pusparini. "Kalau benar, mengapa dia seakan-akan tak pernah mengenal aku.
Dan lagi, menurut keterangan kang Klungsu, yu Sayem tidak bisa menari.
Ataukah dia orang lain yang mirip yu Sayem" Atau... kembaran yu Sayem" Ah,
mustahil. Inipun tak dijelaskan kang Klungsu kalau yu Sayem punya saudara
kembar." Seusai tarian tersebut maka
kelima penari masuk ke dalam ruangan.
Kini yang tinggal hanya wanita yang mirip Sayem. Suara gamelan beralih irama.
Kedengarannya lebih keras, bagaikan mengiringi tari perang. Dan wanita itu
kemudian melepas kemben yang menutupi dadanya.
Adegan ini membuat mata Pusparini dan kedua temannya terbelalak Betapa tidak.
Buah dada wanita itu benar-benar terbuka sekarang. Hanya pada
kedua putingnya ada semacam cungkup kecil terbuat dari logam keemasan.
Mereka tahu, bahwa pada zaman itu banyak wanita yang tidak berkemben.
Tetapi keadaan wanita yang berkemben yang kemudian tiba-tiba dibuka, memang
membuat berdebar perasaan semua mata yang melihatnya. Apalagi mata itu mata
lelaki. Dan buah dada itu benar-benar indah, nyaris sempurna dalam penilaian
pemuja keindahan.
Wanita itu menari sesuai dengan irama gamelan. Akhirnya pada suatu irama, maka
muncullah dua orang lelaki sambil membawa sebungkus karung. Benda itu diletakkan
di tengah panggung. Di dalam karung ada sesuatu yang bergerak. Tampaknya seperti
ada dua manusia di dalamnya.
Kini gerak tari wanita itu
tertuju kepada karung di hadapannya.
Dengan trengginas tangannya meraih bilah pisau yang terselip dipingg-angnya.
Dan....... Shrettht! Sekali tebas, maka ikatan simpul yang mengikat karung terlepas. Karung kendor
dan nongollah dua sosok tubuh manusia. Dua orang laki-laki!
"Kang Klungsu! Ragil?" terlempar ucapan dari bibir Pusparini. Sriwening pun tak
ketinggalan keslomot rasa heran melihat Klungsu dalam keadaan terikat berada di
sana. Begitu karung terbuka, serentak Klungsu dan Ragil memanggil nama wanita itu...
"Sayemmm!!" Tetapi yang dipanggil tak mengadakan reaksi kecuali terus menari
menghanyutkan diri dalam alunan suara gamelan yang kian bertempo cepat. Klungsu
dan Ragil tak bisa berbuat apa-apa karena tubuh mereka terikat satu sama
lainnya. "Bagaimana mereka bisa diringkus macam itu ?" bisik Sriwening agar tidak
menimbulkan kecurigaan.
"Tentunya kang Klungsu tertangkap sewaktu mencoba mencari jalan masuk pintu
rahasia. Tetapi tentang si Ragil, entahlah. Aku tak bisa mengerti mengapa dia
tertangkap juga. Beberapa waktu yang lalu dia lenyap tak seorangpun tahu. Paling
akhir aku bentrok dengan dia di pinggir kali sewaktu akan bertindak kurang ajar
terhadap yu Sayem yang sedang mandi.
Kutinggalkan dia dalam keadaan pingsan," Pusparini menjelaskan dengan mata
mengawasi keadaan sekelilingnya.
Tak ada yang memancing kecurigaan selain semua perhatian tertuju kepada adegan
diatas panggung.
"Sayem!! Apa yang kau lakukan di sini?" seru Klungsu dengan berusaha melepaskan
diri. Demikian juga Ragil.
Karena diikat satu ikatan dengan Klungsu, mulutnya misuh-misuh tiada
berkesudahan. Tetapi kemudian mereka tersentak kaget ketika dilihatnya gerak
tari wanita yang dipanggil Sayem kian ganas dan menunjukkan akan mengunjamkan
pisau di tangannya ke arah mereka.
"Ini pasti sudah direncanakan,"
bisik Pusparini kepada Sriwening.
"Entah bagaimana keduanya tertangkap, hal ini menimbulkan ilham bagi Danyang
Delapan Neraka untuk menjadikan tontonan kepada kita."
Wanita itu terus menari dengan gerakan erotis dan sadis. Sadisnya bisa dilihat
bagaimana dia dengan menyayat sedikit demi sedikit bagian tubuh Klungsu dan
Ragil. Erotisnya, tercermin dari gerakan pinggul yang memancing bayangan pikiran
tentang adegan ranjang. Ragil yang keedanan terhadap Sayem, adegan tersebut
membuat napasnya naik-turun walaupun darah mengucur dari lukanya yang disayat
belati oleh penari itu.
"Sayem sayangku....," ucap Ragil,
"kau ambil jantungku pun aku rela asal kau pertunjukkan kepolosan lekuk-lekuk
tubuhmu.....!"
"Gila kau, Gil! Dalam keadaan begini kau tetap mabuk gandrung dengan Sayem
istriku!" gerutu Klungsu.
"Istrimu" Kalau istrimu mengapa dia ber buat seperti itu?" kata Ragil dengan
mata tiada berkedip memandangi
gerakan Sayem yang menari dengan
gemulai. Dan suasananya semakin membakar mata ketika wanita itu membelah kain
yang dipakainya dengan pisau di tangannya. Akibat belahan kain ini, maka betis
sampai pahanya tersingkap dengan nyata. Dan gerakan tari yang semakin merangsang
membuat pandangan mata Ragil bertambah teler.
Paha mulus itu hilang-hilang tampak akibat gerakan tari yang menggila.
Sampai akhirnya........
Sshhwwtt! Sayatan pisau merobek pipi Ragil!
Darah mengucur.
"Hentikan itu!! Tarian apa itu!!"
teriak Pusparini
tiba-tiba sambil
berdiri dari tempat duduknya. Seketika itu juga suara gamelan terhenti. Juga
gerak tari wanita itu.
"Hua ha ha ha ha ha...!" meledak tawa Danyang Delapan Neraka. "Itu belum
seberapa. Aku bisa menyajikan pertunjukan yang lebih indah dari tarian itu. Oh,
seharusnya kau tidak berteriak seperti itu, Walet Emas!"
Perasaan Pusparini tersirap. Baru kali ini nama gelarnya disebut oleh orang yang
dianggap lawan, padahal dia tak pernah mengenalkan nama itu.
"Kau heran aku bisa tahu dengan gelarmu, Cah ayu ?" kata Danyang Delapan Neraka
dengan memberi isyarat kepada Bango Thonthong. Dan isyarat
ini diteruskan kepada yang lain.
"Kau punya Pedang Merapi Dahana.
Siapa lagi kalau pemegangnya bukan pendekar bergelar Walet Emas" Ah, tak usah
merisaukan benar apa yang kuketahui. Bahkan seharusnya kau bangga bahwa namamu
dikenal dalam dunia persilatan sebagai pendekar punya kharisma," kata Danyang
Delapan Neraka.
Tiba-tiba semua pandangan tertuju ke arah munculnya anak buah Danyang Delapan
Neraka yang mengawal seseorang.
"Ss......Sayem?" Klungsu orang yang pertama kali yang mengucapkan nama itu.
Orang yang pernah
mengenalnya memang akan memanggilnya dengan nama Sayem. Tetapi bagaimana dengan
wanita satunya yang bisa juga dikenal sebagai Sayem"
Kini ada dua orang Sayem. Dua
manusia kembar! Nyata bahwa yang muncul terakhir ini benar-benar Sayem ketika
dia langsung hendak mendekat ke arah Klungsu..
"Kang Klungsu!" jeritnya.
"Sayem!! Bagaimana kau bisa berada di sini" Apakah orang-orang ini telah
menculikmu ?"
Sayem tak sempat berbicara lagi karena ditarik oleh Danyang Delapan Neraka.
"Inilah kunci permasalahannya,
Walet Emas! Semua karena wanita bernama Sayem! Sayem yang punya saudara kembar
bernama Thiwul!" kata Danyang Delapan Neraka. Lalu dengan ganas dia menarik
kemben yang menutupi tubuh Sayem sehingga keadaannya setengah bugil. Tubuh Sayem
dibalikkan sehingga bisa dilihat dengan nyata oleh setiap orang. Punggung Sayem
seperti ada rajah yang sengaja dituliskan secara samar-samar. Kemudian Bango
Thonthong memberikan bubukan kuning seperti sari bunga kepada Danyang Delapan
Neraka. Kemudian punggung Sayem diborehi dengan bubuk kuning tersebut. Ajaibnya,
di punggung itu tiba-tiba muncul rajah tulisan dengan nyata!
Klungsu satu-satunya orang yang mengumbar kata, "Oh, aku tak pernah melihatnya.
Rajah apa itu" Siapa yang menuliskan di situ?"
Terdengar suara tawa Danyang
Delapan Neraka. Kemudian dia memberi isyarat kepada wanita yang dikatakan
sebagai kembaran Sayem.
"Thiwul! Kemari kau!!" terdengar suara si
Danyang. Wanita bernama
Thiwul mendekat. Si Danyang menyingkap kain yang robek, dan terlihatlah paha
mulus si Thiwul. Di sini, kalau diamati dengan teliti, memang ada semacam rajah
yang dituliskan. Kemudian Danyang Delapan Neraka memborehi
paha Thiwul dengan bubuk kuning.
Sesaat kemudian terlihatlah tulisan rajah dengan nyata, tetapi lain bentuknya
dengan yang tertera di punggung Sayem.
"Apa maksud semua ini?" tanya Pusparini mulai buka suara lagi.
"Sayem dan Thiwul adalah saudara kembar yang mempunyai rajah rahasia yang pernah
dituliskan oleh Ki Bangah.
Aku kenal baik dengan Ki Bangah. Dia punya istri piaraan yang kemudian
melahirkan Sayem dan Thiwul ini.
"Apa" Ayahku pnnya istri piaraan dan mempunyai anak kembar" Sss...
Sayem dan Thiwul?" Sriwening menengahi dengan tercengang.
"Aha! Jadi kau juga anak Ki Bangah" Ah, jadi kau yang tentunya bernama
Sriwening. Aku pernah dengar bahwa kau dikirim oleh ayahmu berguru untuk
membekali diri dengan ilmu bela diri. Hendaknya kau jangan menggugat ayahmu yang
ternyata punya istri piaraan sehingga melahirkan Sayem dan Thiwul ini," kata
Danyang Delapan Neraka. "Ayahmu telah tewas!"
"Aku akan balas kematian ayahku!!
Aku tahu kini, ayahku mati di tangan Bango Thonthong itu. Senjata
rahasianya yang ditemukan Pusparini bisa dijadikan bukti!!" Sriwening menggebrak
ucapan dengan kethus.
"Hm! Persoalan ini jadi
mengasyikkan. Sebelum sampai pada akhir pertemuan ini, akan kuberitahu tentang
rajah yang tertera di punggung dan paha wanita kembar ini. Gabungan tulisan dan
gambar yang ada di sana menunjukkan tempat peninggalan harta karun Ratu Sima!"
kata si Danyang.
"Harta karun Ratu Sima"!" sela Pusparini ingin meyakinkan peristiwa yang melatar
belakangi kejadian-kejadian yang telah berlalu.
"Ki Bangah adalah orang terakhir yang menyimpan petunjuk itu. Untuk menyimpan
rahasia tersebut, maka dituliskan ke bagian tubuh kedua anak kembarnya. Dia
menuliskannya ketika Sayem dan Thiwul berumur sepuluh tahun. Thiwul berhasil
kuculik dan kuasuh. Hanya Sayem yang berhasil disembunyikan oleh Ki Bangah.
Sejak itu aku kehilangan jejak. Tetapi aku yakin keberadaan Ki Bangah tidak jauh
dari Prambanan ini," si Danyang memberi penjelasan tanpa ragu-ragu.
Seakan-akan dia telah berhasil menguasai segalanya, dan kisah itu diungkap demi
kebanggaan dirinya sendiri. "Berlangsungnya memang lucu sekali. Aku perintahkan Bango
Thonthong untuk mencari anak perempuan Ki Bangah yang bukan kembaran dari satu
desa ke desa lain. Setiap malam dia menyamar karena tak mungkin secara
terang-terangan membuka punggung setiap anak perawan. Semula aku menduga bahwa
bagian lain peta rajah itu dituliskan oleh Ki Bangah kepada anak perempuannya
yang lain yang bukan kembaran Thiwul. Yang kumaksud adalah Sriwening, yang tidak
tahunya di kirim untuk berguru. Hal ini kulakukan karena aku mendengar kabar
slentingan bahwa Ki Bangah telah menyembunyikan anak-anaknya yang lain agar
rahasia rajah peta tidak bisa dilacak oleh orang lain," kata Danyang Delapan
Neraka dengan mengenyahkan tubuh Thiwul. Sepertinya dia tidak
memerlukan lagi tentang rajah yang tertera di paha Thiwul.
"Bagaimana kau tahu bahwa bagian yang lain ternyata ada pada anak kembar satunya
bernama Sayem?" tanya Pusparini sambil mengawasi keadaan sekitarnya. Adalah
tidak mungkin kalau Danyang Delapan Neraka akan membiarkan peristiwa ini berlalu
begitu saja setelah segalanya diceritakan secara gamblang. Cepat atau lambat si
Danyang pasti akan memerintahkan anak buahnya untuk mengganyang dirinya, atau
dengan kata lain menumpas habis terhadap pihak luar yang telah tahu hal ini.
"Aku tahu bahwa hal itu ditulis pada kembaran Thiwul karena keterangan Ki Bisma.
Sayang, aku harus membunuh laki-laki ini karena dia pun ternyata
mengincar harta tersebut," jawab si Danyang dengan suara datar.
"Aku adalah anak Ki Bisma, Danyang keparat!" tiba-tiba Wanda Bayu yang selama
ini banyak bungkam, mulai buka suara. Dan ini tidak sekedar mengeluarkan ucapan
bagaikan hawa kentut keluar dari dubur, tetapi benar-benar seperti geledek di
telinga Danyang Delapan Neraka. Sriwening dan Pusparini jadi dibuat terperangah
oleh ucapan Wanda Bayu.
Sejenak wajah Danyang Delapan
Neraka tegang. Kemudian mengumbar tawa berkepanjangan...
"Jadi kau akan menuntut balas, thole" Pasti kau bernama Wanda Bayu.
Aku memang tak pernah memperhatikan keluarga si Bisma. Aku benar-benar bahagia
bahwa dalam kesempatan ini telah berkumpul manusia-manusia yang akan menuntut
balas. Hahahahahahaha........!"
Seakhir dengan ucapan itu Danyang Delapan Neraka mencabut pedangnya dan
disabetkan ke arah Thiwul dan Sayem.
Tentu saja tindakan yang tak
terbayangkan sebelumnya membuat semua orang kaget dan terperangah.
Tubuh Sayem dan Thiwul langsung roboh. Sabetan dengan gerakan ilmu tinggi itu
tampak nya hanya sekali tebas. Mata jeli seorang pendekar akan tahu bahwa
sabetan pedang itu di-
lakukan dengan cepat mengandung empat gerakan. Punggung Sayem dan paha Thiwul
yang jadi sasaran sehingga bagian tubuhnya menganga secara mengerikan. Pedang
itu paling tidak mengandung racun, sebab kedua wanita yang jadi korban tidak
bergerak lagi begitu jatuh terkapar.
Klungsu satu-satunya orang yang berteriak histeris. Melihat keadaan itu dia
meronta hebat. Perasaannya meledak mengakibatkan munculnya kekuatan yang tidak
semestinya sehingga dia berhasil melepaskan diri dari ikatannya. Ragil pun
terlepas dari ikatan. Bagaimanapun dia tak bisa membiarkan diri melihat wanita
Walet Emas 02 Danyang Delapan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang digandrungi walaupun sudah bersuami, terbunuh dengan cara itu.
Dan keributan berkobar ! Baku
hantam meledak Masing-masing mencari lawan.
Pusparini, Sriwening serta Wanda Bayu segera bertindak. Dalam kesempatan ini
Pusparini baru sadar mengapa senjatanya, Pedang Merapi Dahana, tidak mampu
menghancurkan senjata lawan-lawannya. Dia ingat pesan gurunya, bahwa Pedang
Merapi Dahana sangat ampuh kalau dipergunakan di bawah naungan cahaya matahari.
Sebab matahari merupakan sumber panas yang mampu membakar pamor pedang sehingga
mengeluarkan cahaya merah membara. Itu
sebabnya di dalam sarang Danyang Delapan Neraka yang terselubung dari cahaya
matahari, pedang Pusparini tidak menunjukkan keampuhannya. Tetapi tetap
mengundang maut kalau dipergunakan menghadapi lawan. Seperti halnya kali ini,
dia telah menghabisi lima orang anak buah si Danyang.
Dalam pada itu, Sriwening yang dendamnya sudah keslomot, terus mencari
kesempatan untuk dapat berhadapan dengan Bango Thonthong, si pembantai
keluarganya. Dua orang ini berhadapan dengan seru di tempat yang agak tersisih.
Sedangkan Wanda Bayu, Klungsu dan Ragil, terlibat perkelahian dengan Danyang
Delapan Neraka.
Pusparini meladeni anak buah si Danyang yang jumlahnya lusinan.
Sebenarnya Wanda Bayu tidak menjadi lebih enak dengan turut campurnya Klungsu
dan Ragil dalam menangani Danyang Delapan Neraka. Tetapi apa mau dikata, Klungsu
dan Ragil juga punya dendam dengan si Danyang.
"Ayo, mengapa cuma bertiga"
Tunjukkan kelihaianmu. Rahwana adalah tokoh pujaanku. Dia punya kepala sepuluh
dan tangan dua puluh. Kesaktian Rahwana ada padaku.... hahahahaha...!"
sumbar si Danyang untuk mengecoh nyali lawan. Seperti tokoh Rahwana, meskipun
kejam, dia punya rasa humor. Oleh sebab itu dalam pertarungan ini si
Danyang banyak memancing lawakan.
Setiap mengucapkan lawakan, pasti berhasil melukai lawan. Buktinya, Ragil dan
Klungsu yang dalam ukuran kependekaran hanya kelas jago kepruk di desa
Sonogading, telah luka parah kena babat pedang si Danyang.
Sedangkan Wanda Bayu karena merasa terhalang oleh gerakan kedua jago kepruk itu,
dia banyak berada di luar serangan pedang lawan. Lama-lama si Danyang merasa
disepelekan kalau harus berhadapan dengan dua jago kepruk semacam Klungsu dan
Ragil. Maka diambil tindakan tegas. Dengan mengeluarkan jurus pamungkas, Danyang
Delapan Neraka membabat leher Ragil dan Klungsu. Bagaikan buah kelapa jatuh dari
pohon, kepala mereka mencelat lepas dari badannya. Sungguh mengerikan!
Hal ini semakin membakar semangat Wanda Bayu. Dengan berteriak
mengobarkan semangat, dia menerjang ke arah lawan. Si Danyang agak kuwalahan
menghadapi jurus awut-awutan dari lawannya. Disebut awut-awutan karena sulit
dibaca rumus serangannya. Diduga serangan dari atas, tidak tahunya muncul
pukulan dari bawah. Dan apabila dari bawah, Wanda Bayu banyak
menggunakan tendangan kaki memberi rangkaian pembobolan pertahanan si Danyang
yang rupanya sangat lihai
dengan ilmu pedangnya. Tetapi lama-kelamaan si Danyang dapat membaca taktik
Wanda Bayu. Maka dengan serangan jurus pamungkas, dia menyabetkan pedangnya ke
leher lawan. Tetapi di luar dugaan Wanda Bayu mampu melemparkan tubuhnya ke belakang.
Dengan bergulir tiga kali di udara, makajarak serangan si Danyang dapat
dihindari. "Hm! Dia selalu menggunakan jurus pamungkas di arah leher lawannya,"
pikir Wanda Bayu dengan mengatur siasat lain.
Sementara itu Bango Thonthong
terlihat sangat keteter serangan Sriwening. Dendam memang mengalahkan segalanya.
Mengalahkan rasa takut.
Mengalahkan akal sehat. Inilah modal tindakan Sriwening. Akibatnya, Bango
Thonthong dibuat tak berkutik dalam menghadapi lawannya yang semula dipandang
masih ingusan dalam ilmu bela diri. Sampai pada akhirnya, baku hantam mereka
tiba di kubangan dekat sungai bawah tanah di mana buaya-buaya yang kelaparan
mengangakan moncongnya.
Geram suaranya sangat menyeramkan.
Mungkin karena begitu dendamnya Sriwening terhadap Bango Thonthong, sehingga
pada kesempatan di sini dia kurang waspada. Tanah yang licin di luar
perhitungannya. Sampai ketika lawannya melancarkan tendangan, Sri-
wening tergelincir sewaktu akan mengelak. Dia terpeleset jatuh ke bawah. Dan
jatuh sekitar dua depa dari seekor buaya yang moncongnya menganga.
Sang buaya melihat ada mangsa di dekatnya, langsung bersiap menyantap.
Tetapi Sriwening dengan gesit
melantingkan tubuhnya ke samping.
Dengan dua kali gerakan, dia telah menghadang langkah Bango Thonthong yang akan
meninggalkan tempat itu karena menduga lawannya disantap buaya.
"Aku masih belum mampus, Bango,"
seru Sriwening, "Buaya lebih suka dengan daging burung. Di sini tak ada burung.
Yang ada manusia bernama burung!"
Bango Thonthong benar-benar kaget dengan kemunculan Sriwening. Sebelum dia
sadar, maka gadis ini telah mengirimkan pukulan fatal lewat tendangan kaki.
Bango Thonthong yang semula sudah tidak mengira akan berhadapan dengan Sriwening
lagi, tak sempat mengelak Tendangan itu
mengunjam dengan keras ke dadanya sampai dia muntah darah. Dan detik selanjutnya
tubuhnya mencelat ke
bawah, ke kubangan buaya. Bango Thonthong sebenarnya bisa menghen-takkan kakinya
begitu dia sampai di bawah untuk dapat naik kembali, tetapi ketika tindakan
tersebut dilakukan,
dengan cepat kakinya disambar buaya.
Jeritan terdengar dengan robohnya si Bango, yang kemudian tubuhnya dicaplok
moncong-moncong yang kelaparan. Bango Thonthong jadi ajang pesta di sana.
Tubuhnya dicabik-cabik buaya...!
Yakin bahwa lawannya telah tewas, Sriwening segera melesat untuk membantu kawan-
kawannya. Ketika sampai di arena pertarungan, dilihatnya Wanda Bayu keteter oleh
serangan Danyang Delapan Neraka. Dia langsung membantu.
Dengan dua kali lompatan, dia telah terlibat dengan ujung pedang si Danyang.
Bahkan nyaris lehernya kena babat. Untung dia waspada. Dengan membuang tubuh ke
samping, sabetan pedang lawan membabat ke tempat kosong.
Sementara itu Pusparini telah
berhasil menyikat habis anak buah Danyang Delapan Neraka. Tidak semua.
Mereka ada yang melarikan diri cari selamat.
"Hm, tinggal dedengkotnya. Tangguh juga dia. Dikroyok dua orang tenaganya
kelihatan tetap tegar,"
pikir Pusparini dengan melangkah ke sana.
Melihat kehadiran Pusparini si Danyang tertawa sambil menjauh.
"Tunggu! Kini kalian akan mengroyok aku" Boleh! Ayo. Tetapi sebelumnya akan
kuberitahu tentang
racun yang telah bersarang dalam perut kalian!" seru Danyang Delapan Neraka
dengan berkacak pinggang.
"Racun" Lewat makanan tadi?" kata Pusparini, "Kau bilang meracun orang tak
pernah kau lakukan. Kau berkata itu tindakan pengecut. Mengapa kini kau mengaku
ada racun dalam tubuh kami yang kesannya terdapat di dalam makanan?" sahut
Pusparini dengan mengawasi kedua temannya. Dia khawatir Sriwening dan Wanda Bayu
telah merasakan reaksi racun yang dikatakan si Danyang. Dia khawatir racun yang
diberikan lewat makanan reaksinya lambat, tetapi mematikan. Di pihak lain Wanda
Bayu dan Sriwening saling memandang. Tiba-tiba keduanya menebah perut, tubuh
mereka sempoyongan.
Pusparini yang melihat kedua temannya mengalami hal itu, timbul rasa cemasnya.
"Huahahahahaha...! Kau lihat itu!" seru Danyang Delapan Neraka dengan girang,
"kedua temanmu telah sempoyongan. Reaksi racun itu memang dibuat lambat agar
tidak mencurigakan.
Sebentar lagi pasti kau menyusul, Walet Emas!!"
"Celaka! Mereka benar-benar keracunan," pikir Pusparini dengan terus bersikap
waspa-da. Tiba-tiba diapun bertindak serupa. Menebah perut dan sempoyongan...
Melihat hal ini tawa Danyang
Delapan Neraka meledak lagi. Dengan langkah pethitha-pethithi dia menghampiri
ketiga lawannya yang tampaknya kini tak berdaya.
"Sebentar lagi kalian akan berangkat ke akherat. Tubuh kalian akan melepuh
seperti kesiram air panas. Kemudian daging kalian akan mlonyoh mengandung nanah.
Lalu satu persatu anggota badan kalian akan lepas dari persendiannya. Benar-
benar cara mati yang sangat mengerikan!
Sangat mengerikan! Tetapi aku senang menyaksikannya. Hahaha...!" seru Danyang
Delapan Neraka dengan terus menghampiri mereka.
Kini Pusparini, Sriwening dan
Wanda Bayu benar-benar ndlosor di lantai. Kelihatannya mereka bertiga sudah
tidak berdaya lagi.
"Tetapi aku masih berbaik hati.
Aku kasihan melihat kalian harus mati dengan cara menjijikkan dan
menyakitkan. Aku akan menolong kalian dengan cara mati yang cepat. Mengerti
maksudku" Kepala kalian akan kupenggal satu persatu! Ah, tidak. Akan
kupenggal secara bersamaan dengan sekali tebas! Lihat pedangku ini.
Pedang berbentuk kepala makara pada ujungnya. Makara penyebar maut!" kata si
Danyang dengan mempersiapkan senjatanya yang mingis-mingis tajam.
Pedang yang katanya bisa membelah rambut.
"Sekaranglah waktunya!!" suara Danyang Delapan Neraka sangat lantang terdengar
sambil mengayunkan pedangnya.
Dan sebelum si Danyang mengayunkan pedangnya, tiba-tiba Pusparini, Sriwening dan
Wanda Bayu bergerak serentak mengayunkan pedang masing-masing. Pedang Pusparini
mengunjam ke jantung. Pedang Sriwening menancap pada leher. Dan pedang Wanda
Bayu merobek perut! Mereka bukanlah bunuh diri, tetapi pedang mereka telah
bersarang ke tubuh lawan. Ketubuh Danyang Delapan Neraka yang nyaris mengayunkan
pedangnya ke kepala mereka bertiga.
Kontan si Danyang roboh, yang
sebelumnya sempat melotot seakan-akan tak percaya apa yang menimpa dirinya.
Dia terkapar dengan gerak sekarat, lalu tak bergerak lagi. Mati!!
Mereka bertiga tiba-tiba saling mengawasi diri.
"Sri! Bukankah kau tadi
keracunan" Dan juga kau.... Wanda?"
seru Pusparini yang me-lihat Sriwening dan Wanda Bayu dalam keadaan segar bugar.
"Bahkan kami berdua mengira kaulah yang keracunan, Rini," seru Sriwening pula.
"Kami berdua tetap
waspada tidak memakan serta minum minuman yang dihidangkan tadi walaupun kau
telah mencicipi yang kemudian kau lahap."
"Sangkamu begitu" Aku cuma mencicipi. Tetapi tidak kutelan. Semua makanan yang
kelihatan kumakan, sebenarnya kubuang di bawah meja,"
Pusparini mengaku.
"Aku juga!" jawab Sriwening.
"Aku juga begitu," Wanda Bayu menimpali.
Mereka bertiga tertawa terharu!
Kemudian memandang tubuh Danyang Delapan Neraka yang terkapar.
"Aku benar-benar tak mengerti tindakan si Danyang yang membunuh Sayem dan
Thiwul. Dengan tindakannya berarti rajah tulisan dan peta tentang harta karun
Ratu Sima tak bisa terbaca lagi. Entah kalau dia telah menyalin dan menyimpan,"
kata Pusparini dengan membersihkan pedangnya sebelum dimasukkan ke dalam
sarungnya. "Lihat! Itu ada semacam ruas bambu di sarung pedang si Danyang,"
seru Wanda Bayu. Dia segera mengambil sarung pedang si Danyang yang dilekati
seruas bambu sebesar pergelangan tangan bayi. Setelah diteliti ternyata tabung
bambu yang tertutup. Bambu itu diukir indah. Tutup dibuka, dan terlihat gulungan
dari kulit kambing.
"Nah, apa kataku ?" ucap Wanda
sambil memperlihatkan barang temuan-nya. "Ini peta dan tulisan tentang harta
karun Ratu Sima yang telah dipadukan dari rajah di paha Thiwul dan punggung
Sayem!" Mereka bertiga dengan tekun
meneliti lembaran yang bertulis dan bergambar yang tertera di kulit kambing.
"Benarkah ini bisa menunjukkan ke tempat harta karun Ratu Sima?" kata Pusparini
dengan tekun membaca tulisan yang memberi keterangan gambar denah tempatnya.
"Sekarang tidak lagi!" tiba-tiba terdengar suara di belakang mereka.
Suara itu sangat mereka kenal.
"Ki Pandulu"!" seru Sriwening dan Pusparini serentak.
"Bagaimana Ki Pandulu bisa sampai kemari ?" lanjut Pusparini.
"Sebagai jagabaya aku wajib mengikuti jejak kalian," kata Ki Pandulu. "Kuharap
kalian tidak lagi mempersoalkan harta karun itu. Coba kulihat," katanya sambil
mengacungkan tangan agar mereka memberikan peta itu.
Tanpa curiga Pusparini memberikan peta tersebut kepada Ki Pandulu.
Sejenak Ki Pandulu memperhatikan lembaran di tangannya. Lalu dia melangkah
menuju perdiangan api. Tanpa diduga oleh mereka, maka Ki Pandulu
membakar lembaran kulit kambing itu.
"Ki!!! Apa yang telah Ki
lakukan?" seru Pusparini.
"Seperti yang kalian lihat, aku membakar peta itu," jawab Ki Pandulu dengan
tenang. "Ttt... tapi...," ucapan Sriwening tak berlanjut.
"Sekarang tidak akan ada lagi orang yang memburu harta karun Ratu Sima. Aku
sebagai keturunannya, melarang siapa pun yang akan
mencarinya. Aku tak ingin harta leluhurku yang dikubur untuk menghindarkan
keserakahan manusia, jadi rebutan sehingga menimbulkan pertumpahan darah."
"Jadi.....Ki Pandulu ini
keturunan Ratu Sima ?" tanya Sriwening seperti tidak percaya. Sementara itu
kulit kambing yang dibakar telah jadi abu. Lalu Ki Pandulu menatap ketiga
pendekar muda di hadapannya.
"Ratu Sima yang ratusan tahun memerintah di Kerajaan Kalingga dekat kawasan
pesisir utara sana, adalah leluhurku! Kalian boleh mempercayai, boleh juga
tidak," kata Ki Pandulu dengan suara arif. "Ratu Sima berhasil memerintah
negerinya sehingga menjadi negeri yang adil dan makmur, terkenal sampai ke
negeri Cina. Sepeninggalnya, banyak pihak yang akan menjarah harta kekayaannya.
Tetapi Ratu Sima bijak-
sana. Sebagian besar harta lalu dikuburkan di tempat yang dirahasiakan...!
Begitulah latar belakang-nya."
Hening sejenak. Ketiga pendekar muda itu terasa hanyut oleh pengakuan Ki
Pandulu. Memang benar, harta membuat manusia jadi serakah.
Kemudian setelah mereka membakar jenazah Sayem, Klungsu, Thiwul dan Ragil,
mereka kembali ke Sonogading mengiringkan Ki Pandulu....!
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Pedang Golok Yang Menggetarkan 12 Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra Nyawa Kedua Dari Langit 2
Sriwening sendiri kaget. Dia tak menduga kalau dibuntuti pemuda yang baru
dikenalnya. "Eh, siapa dia, Sri?" tanya Pusparini sambil mengawasi pemuda itu tanpa kedip.
Yang dipandang mengumbar senyum. Tak ayal lagi, Pusparini pun terseret membalas
dengan senyum. "Dia Wanda Bayu. Baru saja kukenal. Dia telah menyelamatkan diriku dari jebakan
rahasia ketika kubuntuti orang yang bernama...
engh.... Bango Thonthong itu," jawab Sriwening yang kemudian membantu Klungsu
berdiri. "Dia telah tahu kita sejak kita bentrok di sini," sambung Sriwening
lagi. "Oh ya " kata Pusparini dengan terus menyelidiki penampilan Wanda Bayu.
"Kalau boleh tahu namamu.....?"
tanya Wanda Bayu.
"Pusparini! Ini kang Klungsu,"
jawab Pusparini. "Aku harus tahu lebih banyak apabila ada orang yang
berkenalan dengan kami. Jelasnya, kau ini siapa, dari mana, hendak kemana,
mau apa!" "Wah. Ini perlu waktu khusus kalau kalian ingin tahu apa dan siapanya aku,"
jawab Wanda Bayu.
"Paling tidak, katakan kau dari mana!" kata Pusparini mulai tegas dengan nada
bicaranya. "Kau pasti yang memimpin kelompok tiga ini. Benar ?" kata Wanda Bayu.
"Kalau kau ingin tahu... ya... aku ini dari Kawasan Pesisir Utara."
"Kawasan Pesisir Utara?" tanya Sriwening menimpali.
"Ya! Tepatnya Pantai Teluk Penyu.
Itu sebuah kota pelabuhan. Banyak saudagar asing yang berlabuh di sana yang
kemudian pergi ke pedal aman."
"Lalu... bagaimana kau bisa di tempat ini ?" tanya Pusparini.
"Ah.... secara kebetulan saja."
"Secara kebetulan" Bagaimana kau bisa tahu tempat itu merupakan tempat berbahaya
ketika menyelamatkan diriku?" Sriwening menggugat.
Wanda Bayu tidak cepat menjawab.
Ini menimbulkan kecurigaan mereka bertiga.
"Maaf, Wanda Bayu. Tanpa mengu-rangi rasa terima kasih kami kareka kau telah
menyelamatkan Sriwening, kuharap kau jangan mengganggu kami.
Kami punya tugas cukup berbahaya,"
kata Pusparini.
"Justru akupun senang dengan hal-
hal yang mengundang bahaya !" jawab Wanda Bayu tangkas.
"Bagaimana" Dia boleh ngikut kita?" tanya Sriwening ketika Pusparini tak
memberimjawaban kepas-tiannya. Semua jadi menunggu keputusan Pusparini.
"Baik! Apapun urusanmu, selama tidak merugikan kami, kau boleh dekat-dekat
dengan kami. Tetapi begitu kau menyalahi peraturan dan mengganggu kami, maka
kami bisa bertindak tegas!"
kata Pusparini.
"Baik. Baik. Aku senang dengan peraturan yang tegas. Selama ini memang aku
selalu sendirian. Jadi keberadaan kalian bertiga, sangat bermanfaat bagi
lidahku. Maksudku....
ada yang bisa diajak ngomong!" Wanda Bayu menimpali.
*** 5 Akhirnya Pusparini memutuskan
ingin mendatangi tempat yang diceritakan Sriwening untuk melacak jejak orang
bernama Bango Thonthong. Tentang nama ini memang diperoleh dari Wanda Bayu.
Ketika ditanya dari mana Wanda Bayu tahu nama itu, dia mengatakan tahu lewat
pembicaraan yang didengar
antara Senggoro Macan dengan yang bersangkutan ketika akan menumpas Pusparini
dan kawan-kawannya.
Sementara itu, mereka berempat telah tiba di tempat yang dituju.
Tetapi aneh, tempat yang didatangi untuk kedua kalinya oleh Sriwening,
kelihatannya sudah berubah.
"Ada tambahan semak belukar yang kelihatannya baru saja dilakukan oleh seseorang
atau suatu kerja kelompok,"
kata Sriwening. Tetapi ketika
diselidiki semak belukar itu yang kemungkinan hanya potongan dedaunan dan semak
yang diletakkan begitu saja untuk menutupi jebakan-jebakan yang dipasang,
ternyata tumbuhan-tumbuhan itu tertanam dengan erat ke tanah.
Berarti bukan tanaman baru, atau potongan semak yang sengaja diletakkan di sana.
"Aneh. Tempat ini jadi tidak seperti yang kudatangi," keluh Sriwening. "Wanda!
Apa pikirmu tentang hal ini " Kau satu-satunya saksi yang kuandalkan untuk
menjelaskan teka-teki ini."
"Aku sendiri tak tahu. Arahnya memang betul seperti keberadaan kita tadi. Tetapi
suasananya jadi lain.
Pintu masuk yang diselimuti semak belukar, kini tak terlihat lagi,"
jawab Wanda Bayu dengan sungguh-sungguh. Dari penampilannya, Pusparini
bisa mengambil kesimpulan bahwa Wanda Bayu tidak sering kelayapan ke tempat itu.
Jadi dia baru pertama kali ke sana. Pertolongannya terhadap Sriwening berkat
kewaspadaannya saja.
Bukannya tahu bahwa di sana dipasang jebakan.
"Tempat ini pasti dikelola ber-dasar sarang laba-laba," kata Klungsu memecah
kesunyian yang selama ini banyak berdiam diri.
"Sarang laba-laba" Apa maksudmu, kang?" tanya Pusparini.
"Kau tahu bagaimana bentuk sarang laba-laba, bukan" Nah, dengan memasuki salah
satu jalurnya, kau akan
dihadapkan kepada teka-teki tentang jalur-jalur lain yang kelihatannya sama,
tetapi sebenarnya berbeda. Dalam hal ini mungkin perjalanan yang ditempuh
Pusparini dan Wanda Bayu sepertinya benar, tetapi sebenarnya salah masuk pada
jalur pertama. Dan hal itu belum menjadi jaminan kalau toh kita masuk ke jalan
yang benar. Sebab simpangan yang lain akan menjebak kita ke arah yang salah kalau kita tidak
teliti," kata Klungsu yang kedengarannya arif dengan pandangan yang diberikan.
"Astaga! Kau benar, kang. Aku memang tidak memperhatikan adanya simpangan
simpangan yang tampaknya membingungkan ketika masuk kedua
kalinya ke tempat ini," sahut Sriwening. "Kau sendiri
bagaimana, Wanda" Apakah kau tidak ingat
sesuatu?" "Seingatku kita tadi keluar dengan mudah. Dan aku telah mencoba mengingat
tentang simpangan yang kita lewati di sana tadi," jawab Wanda Bayu yang benaknya
kelihatan mulai dibebani masalah ini. "Ah, pasti kita keliru menempuh jalan ini.
Dekat pohon di sana seharusnya kita berbelok. Ya, aku ingat itu. Ayoh!"
Mereka berempat menuju jalan yang dikatakan Wanda Bayu. Dan beberapa saat
kemudian... "Oh, bukan juga. Aneh. Mengapa kita jadi linglung"!" ujar Wanda Bayu dengan
tatapan mata serius ditujukan ke arah sekeliling tempat itu. "Tempat ini tak
jauh dari pemukiman penduduk, tetapi memiliki keunikan begini.
Apakah tidak ada orang lain kesasar kemari?"
"Kukira kuncinya hanya satu. Kita cari tempat yang sekiranya terdapat jebakan
yang bisa membunuh pendatang,"
sahut Sriwening. "Bagaimana?"
"Kalau begitu, kita harus menyebar," saran Pusparini. "Sebaiknya berpasang-
pasangan Sri, kau
berpasangan dengan....."
"Dengan siapa". Kang Klungsu?"
Sriwening menyela ketika Pusparini
ragu memberi keputusan.
"Tidak. Kau berpasangan dengan Wanda Bayu saja," jawab Pusparini dengan menelan
ludah. Dia tak tahu mengapa lidahnya terasa kelu untuk mengatakan hal itu.
Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya.
Akhirnya mereka menyebar dengan pasangan masing-masing.
"Pahamu tidak sakit, kang?" tanya Pusparini yang berpasangan dengan Klungsu.
"Bisa kuatasi, nduk. Kau tahu, kalau aku tadi tidak melihat Sayem, semangatku
pasti loyo. Karena kulihat Sayem, maka apapun yang terjadi, akan kuhadapi.
Apakah kau menduga Sayem dibawa masuk ke tempat rahasia yang dikajtakan tadi?"
celoteh Klungsu dengan langkah pincang.
"Tak tahu, kang. Tokoh bernama Bango Thonthong itu apakah membawa lari Sayem,
aku tak tahu. Tetapi agaknya tadi kulihat dia selalu bersama dengan pasangan
mainnya. Entah siapa dia. Diapun juga telah melepaskan topengnya ketika
keributan terjadi. Anehnya yu Sayem kok lantas lari juga ya" Seperti tidak kenal
dengan kang Klungsu," kata Pusparini dengan terus melangkah hati-hati.
"Mungkin Sayem sudah kena bius japa mantra. Tetapi setahuku Sayem
tidak bisa menari. Ah, aneh juga,"
gerutu Klungsu di belakang Pusparini.
Mereka terus melangkah dengan
hati-hati. Dan pada saat itulah, tanpa diduga, Pusparini melihat sesosok tubuh
berkelebat di antara dahan-dahan pohon. Tanpa berpikir lebih lanjut Pusparini
cepat memburu. Dia melesat ke atas dahan pohon, dan melakukan pengejaran.
Sedangkan Klungsu tak bisa berbuat banyak. Dia tetap pada tempatnya.
"Hei! Berhenti kau!" teriak Pusparini sambil terus mengejar.
Tetapi gerakan Pusparini tidak bisa mulus lagi sebab sosok tubuh yang dikejar
itu mendadak meliukkan tubuhnya sambil melempar senjata rahasia. Pusparini
berkelit menghindar. Kemudian mengejar lagi setelah desingan senjata rahasia itu
luput dari sasarannya. Sesuatu tak terduga terjadi. Sesaat kemudian sosok tubuh
yang dikejar Pusparini ini berbalik arah. Pubparini tak menduga de ngan gerakan
ini. Jadinya dia terpaksa mengerahkan tendangan untuk menyambut datangnya
serangan lawan. Benturan terjadi di udara. Hempasan berlangsung dengan masing-
masing meluncur ke tanah. Tetapi begitu tubuh Pusparini menginjak tanah, maka
semak belukar di sisi kanannya bergerak dan menyembul-lah anyaman batang dengan
ujung-ujung pisau menyeringai berjajar rapat, siap merejam ke arahnya. Pusparini bergulir ke
samping menghindarkan hempasan jebakan yang mendatangkan maut itu.
Berhasil! Kemudian dia menghimpun tenaganya dengan memasang kuda-kuda menjaga
kemungkinan serangan lawan berikutnya. Tetapi tanpa sadar, sewaktu membenahi
diri, kakinya menyentuh jebakan yang lain.
Akibatnya, dari samping kiri muncul selosin tombak yang melesat ke arahnya.
Pusparini menggenjotkan tubuh melanting ke atas, dan kemudian turun lagi, tepat
menginjak salah satu tombak yang masih bergerak ke arahnya.
Dengan meminjam tenaga luncuran tombak, Pusparini berhasil menjauhi sarang
jebakan tersebut. Tombak menancap di pohon sebelah sana. Tanpa membuang waktu
lagi, dia melesat ke atas dahan. Dari sini dia mencoba mencari sosok tubuh yang
dlkejarnya. Baru saja dia menoleh ke samping kiri, dilihatnya sosok tubuh yang diburu tadi
telah bergerak melaju ke arahnya.
Pusparini trengginas menyambut serangan tersebut dengan melesatkan tubuh bergaya
Walet Menyambar Serangga.
Akibatnya si penyerang hanya berhasil menyerang tempat kosong, sedang Pusparini
mampu mengirimkan pukulan telak ke tengkuk lawan. Suara
"Aakkhh...." meledak dari bibir
lawan dengan diiringi meluncurnya tubuh ke tanah. Pusparini terus menyambar ke
bawah, menukik dengan manis, namun berbekal himpunan tenaga dalam untuk
menggojlok lawan yang dilihat masih belum siap mengadakan serangan lagi.
"Dhiegh!!!" tendangan Pusparini mendarat di dada lawan yang saat itu baru saja
akan menyelidik
keberadaannya. Tak ayal lagi, sang lawan jungkir balik menahan rasa sakit yang
membakar seluruh tubuhnya. Tetapi dalam keadaan ini dia sempat melihat Pusparini
akan menyerang dirinya bgi.
Dengan cepat dia menarik seutas tali yang tertanam dalam semak belukar.
Akibat yang ditimbulkan adalah munculnya juluran tali-temali datang dari
berbagai arah dengan ujung seperti jangkar. Tali-temali ini bergerak lurus
tetapi saling menyilang sehingga membentuk jaring dan melilit ke tubuh
Pusparini. Pendekar yang bergelar Walet Emas ini pasti teringkus oleh belitan
jaring itu kalau saja dia tidak trengginas meraih pedangnya.
Maka dengan Pedang Merapi Dahana yang kesohor itu, Pusparini membabat tali-
temali yang melilit tubuhnya. Hanya dua kali tebas, di arah kanan dan kiri, maka
tali-temali itu putus berantakan.
Pusparini sadar bahwa tempat di
sekelilingnya adalah tempat yang penuh dengan jebakan maut. Berarti tempat ini
dekat dengan pintu masuk yang sedang mereka cari. Yaitu pintu masuk menuju
sarang rahasia lawan.
"Oh, pedang itu lagi! Aku tak mungkin dapat menandingi. Aku tahu kehebatannya,"
pikir lawan Pusparini yang tiada lain adalah Bango
Thonthong. "Hei, kau kiranya. Kau tentunya yang bernama Bango Thonthong!" seru Pusparini
dengan kcthus. "Kalau kau ingin menjaga nyawamu, lebih baik kau katakan di mana
tempat sarangmu itu.
Jangan ingkar, aku tahu kau punya sarang di sekitar tempat ini!"
"Jangan mengumbar nyali meskipun kau punya pedang semacam itu! Kau tahu, di atas
langit masih ada langit.
Kau akan berhadapan dengan Danyang Delapan Neraka kalau ikut campur dalam urusan
ini," ancam Bango Thonthong seraya berdiri. Dalam sikapnya ini dengan cepat dia
melempar sebutir ramuan kearah Pusparini, dan.....
"Jhhuusshhh !!!"
Ledakan asap terjadi. Pusparini mencoba menghindari kepulan asap yang
menghalangi pandangan di sekelilingnya. Dia melesat ke atas dahan pohon.
"Assemm !!" umpatnya, "Tak kuduga kalau dia punya perisai macam itu.
Paling tidak dia gertakan untuk
meloloskan diri. Cara yang lihai.
Tempat ini pasti dekat dengan pintu rahasia yang kami cari."
Pusparini menyelidiki keadaan di sekelilingnya.
"Oh, ada sesuatu yang bergerak di sana," tanpa pikir panjang, dia terus melesat
mengejar dari dahan ke dahan sementara pandang annya ditujukan ke arah bawah
yang dipenuhi semak-semak Lalu semuanya terhenti. Tak ada yang bergerak lagi di
semak-semak itu. Pusparini turun dari atas dahan dengan pedang tetap di tangan.
"Di tempat ini gerakan itu lenyap. Coba kuselidiki," pikir Pusparini sambil
menyibakkan semak-semak. Dan...
"Astaga! Ini seperti pintu batu penutup lubang gua! Tetapi bagaimana cara
membukanya" Menurut cerita Sriwening, Bango Thonthong masuk dengan menggerakkan
pengungkit batu yang menonjol. Di mana batu yang harus ditekan, ya?" pikir
Pusparini dengan mata menyelidik "Oh, barangkali ini!"
Gghhrrgg!! Begitu batu yang mencuat bagai cula badak itu ditekan, maka
mengangalah sebuah lubang setelah penutupnya membuka.
Perasaan Pusparini berdebar
ketika mengawali melangkah masuk.
Cahaya remang-remang dalam gua itu
adalah pancaran cahaya obor yang terdapat di sana-sini.
"Hm! Ini memang sarang persembunyian dari orang-orang yang bermaksud jahat.
Anehnya tempat ini tak jauh dari kawasan Prambanan. Tetapi kalau dipertimbangkan
lagi, kawasan ini memang tepi hutan rimba," pikir Pusparini dalam hati dengan
terus melangkah.
"Seperti yang dikatakan oleh Bango Thonthong, pasti di sini bisa kujumpai tokoh
yang bergelar Danyang Delapan Neraka itu. Berarti, aku akan bertempur di sarang
lawan. Kalau saja aku sempat memanggil Sriwening dan Wanda Bayu serta kang
Klungsu, pasti lebih enakan, bisa bertempur rame-rame!"
Tengah berbicara dalam hati
dengan dirinya sendiri, tiba-tiba terdengar suara berdetak dari atas.
Pusparini sempat mendongak. Dan dia atas, sebuah perangkap siap menerkam
tubuhnya. Bilah pisau-pisau sekitar selusin buah, melesat ke bawah. Dengan
trengginas Pusparini membabatkan pedangnya ke arah pencabut nyawa yang nyaris
melahap jiwanya.
Thraang! Shhriing! Shwwtth! Bilah-bilah pisau itu hancur
berantakan dibabat Pedang Merapi
Dahana. Kemudian diam. Sepi. Pusparini menunggu. Telinganya dipasang untul
meneliti gerakan yang mungkin ada dari mana saja yang bisa membahayakan jiwanya.
Karena tidak ada sesuatupun, maka diputuskan untuk melangkah lagi.
Tetapi belum ada lima belas
Walet Emas 02 Danyang Delapan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langkah.... Pusparini benar-benar dibuat
kaget. Sebab di hadapannya tiba-tiba muncul sebuah lubang menganga begitu
kakinya menginjak hamparan yang lunak.
Sebuah perangkap dengan bentuk lubang!
Pikirannya cepat bereaksi tentang ujung-ujung benda tajam yang akan menyambut
tubuhnya di bawah sana.
Dengan cepat dia menancapkan pedangnya ke arah belakang dirinya.
Jhbbh! Tepat mengenai dinding padas. Hal ini menghambat tubuhnya yang sesaat tadi
meluncur ke bawah. Kini tubuh Pusparini bergelantungan. Di bawah, ternyata tidak
terdapat sesuatu yang mencuat tajam. Tetapi terlihat permukaan air.
"Tampaknya di bawah itu ada bagian sungai atau kolam dalam gua.
Mungkin ada rongga yang menembus tempat lain. Untung-untungan. Berbagai cara
akan kucoba agar bisa sampai ke tempat lawan. Mungkinbisa kuterobos dari bawah.
Sebab kuperkirakan lorong atas Itu akan penuh jebakan lagi,"
pikir Pusparini sambil menarik pedang yang jadi pegangannya. Pedang dicabut, dan
meluncurlah tubuhnya ke bawah.
Dengan gerakan beranting menjejakkan kakinya dari tepi-tepi lubang, -
khirnya Pusparini tiba di bawah.
Dugaannya benar. Ternyata di sana terdapat lorong bawah tanah di mana terdapat
sungai yang arusnya tenang.
Bahkan tak terlihat kalau mengalir.
"Ah! Di sinipun terpasang obor penerangan. Ini benar-benar sarang merangkap
tempat tinggal yang nyaman, tetapi menjadi perangkap maut terhadap orang yang
tak dikehendaki
kehadirannya," pikir Pusparini. "Dan aku pasti termasuk orang yang tak
dikehendaki hadir di sini...!"
Benar! Kalau lubang menganga itu hanya akan membuat Pusparini kecebur di sungai
bawah tanah, pasti suatu kehadiran yang dikehendaki oleh penguasa setempat.
Tetapi kalau tiba-tiba dilihatnya ada beberapa kelompok buaya yang mengendap
berjalan mendekatinya, ini yang tidak mengenak-kan. Berarti kehadirannya memang tidak
dikehendaki. "Aku memang tak pernah suka dengan binatang yang disebut buaya, Juga
panggilannya yang diperuntukkan bagi laki-laki," gerulu Pusparini sambil
menggenjotkan tubuh mencari tempat yang aman dari sambaran buaya.
Tetapi sial. Justru begitu dia menghindari buaya yang telah
mengepungnya, tidak tahunya mendarat di punggung seekor buaya yang lain.
"Aawwh.....!" jeritnya. Pusparini tercekam histeris geli karena
menginjak binatang yang paling dibencinya. Sang buaya menggeliat dengan mulut
siap mencaplok. Sambil melesat menghindar, Pusparini
menyabetkan pedangnya ke moncong buaya itu. Sekali tebas, maka rontoklah moncong
sang binatang. "Huuhh!"gerutunya, "Ini benar-benar tempat neraka. Sebaiknya aku cepat
meninggalkan tempat ini."
Tetapi begitu dia melesat ke
sebuah lorong yang diperkirakan menjadi jalan keluar, maka muncul beberapa sosok
tubuh dengan bertopeng merah. Semua mengenakan topeng Rahwana!
"Hm! Jadi kedatanganku memang ditunggu. Kalau kalian melihatku masih segar
bugar, tentunya kehadiran kalian hanya untuk mencabut nyawaku!" sumbar
Pusparini. "Apa gunanya topeng-topeng itu, hah" Aku bukan bocah yang bisa kalian
takut-takuti dengan topeng macam itu. Kuharap kalau di antara kalian ada yang
bernama Bango Thonthong, coba buka topengnya. Tak perlu dia bertopeng di
hadapanku, sebab aku sudah tahu tampang busuknya itu!"
Ternyata tantangan itu tak
menimbulkan tindakan apa-apa di antara mereka yang bertopeng. Tak seorang pun
yang membuka topengnya. Bahkan yang dilihat Pusparini adalah gerakan sekelompok
orang-orang bertopeng itu yang mencabut senjatanya masing-masing, lalu bergerak
dengan cepat ke arahnya.
"Seharusnya kalian tahu bahwa pedangku mampu menghancurkan senjata dari logam
apapun!" kata Pusparini dengan suara lantang. Dengan
trengginas dia mengayunkan pedangnya membabat senjata-senjata yang
bentuknya aneh itu.
Thhraang! Shhwwtth! Sshhrraakk! Cringg! Suara logam yang merupakan
senjata pencabut nyawa saling beradu menghadapi Pedang Merapi Dahana di tangan
Pusparini. Pada saat itulah Pusparini tersentak kaget. Dia melihat senjata
lawan-lawahnya yang berbentuk aneh itu tetap utuh walaupun telah be-benturan
dengan senjatanya.
"Ini pasti ada sesuatu yang tidak beres. Senjata mereka mampu menghadapi Pedang
Merapi Dahana," pikir Pusparini sambil terus menghadapi lawan-lawanya.
Jurus demi jurus terlewati dengan seru. Dan selama itu lawan-lawan
Pusparini tetap tegar. Belum ada seorang pun yang berhasil dikalahkan.
Tenaga Pusparini benar-benar terkuras!
Pada saat itulah, dikala
dia memikirkan taktik untuk mencari kelemahan kepungan lawan, mendadak posisi lawan
di sebelah kanan porak poranda.
"Kami datang, Rini!!" terdengar suara tak jauh darinya.
Ternyata Sriwening dan Wanda Bayu muncul dari sebuah terowongan yang lain.
Mereka belum sempat basa-basi
bagaimana Sriwening dan Wanda Bayu bisa sampai ke tempat itu.
"Kami menemukannya karena pintu itu dalam keadaan terbuka," seru Sriwening
sambil membabatkan pedangnya ke arah lawan ketika berdekatan dengan Pusparini.
"Aku yakin kau telah masuk ke dalam."
"Kalau begitu kang Klungsu masih berada di tempat semula. Kau ketemu dia?"
"Tidak!" jawab Sriwening dengan menghindar jauh. Dia mengharapkan lawan akan
memecah kekuatan. Tujuh lawan tiga. Tak begitu berat. Tetapi tampaknya ketujuh
lawan itu adalah orang-orang yang tangguh. Bahkan pada suatu kesempatan
Pusparini terdesak sampai ke tempat di mana buaya-buaya yang tadi disingkiri
berada. "Tampaknya mereka tahu apa yang kutakutkan. Dan mereka mencoba mendesakku
kemari," pikir Pusparini dengan mencari posisi agar dirinya tidak terdesak ke
arah buaya-buaya yang beberapa di antaranya mulai mengangakan moncongnya.
Seorang lawan dari ketiga orang yang mengroyoknya mencoba memberikan serangan
fatal. Sang lawan rupanya berharap bahwa serangannya akan membuat Pusparini
terpelosok ke dalam kubangan buaya. Tetapi perhitungannya meleset. Pusparini
dapat membaca taktik itu. Maka dengan gebrakan mengayunkan pedang yang diharap
akan memperoleh serangan balasan, Pusparini menggenjotkan tubuh melesat ke atas.
Akibatnya, lawan yang menyerang dengan kekuatan penuh ini terpa-sa menyerang
tempat kosong, dan tubuhnya meluncur ke bawah. Sadar akan hal ini, orang yang
terkecoh itu berusaha menguasai keadaan dengan meringankan tubuh agar dirinya
tidak terlampau cepat jatuh terbawa daya dorongnya sendiri. Memang bisa, tetapi
dia tak mampu menghadapi moncong mulut buaya yang siap menerima tubuhnya. Dan
kepala orang itu persis jatuh di mulut buaya!! Tak ada yang bisa diperbuat lagi.
Sang buaya terus mengatupkan mulutnya, sementara buaya yang lain menyambar
kakinya. Dan kelompok buaya di bawah sana berpesta
melahap mangsa.
Setelah hal itu berlalu bukan
berarti per-awanan musuh jadi kendor.
Bahkan rupanya semakin gencar. Hal ini menimbulkan niatan Pusparini untuk
mempergunakan buaya-buaya itu menghabisi lawannya. Maka dicarinya muslihat untuk
menjebak lawan agar bisa dikecoh serangan serupa. Pancingan Pusparini berhasil.
Seorang lawan lagi bisa dijebak taktik perlawanan sehingga mengalami nasib
serupa dengan kawannya yang telah dilahap buaya. Kini tinggal seorang. Tahu akan
taktik Pusparini, orang yang satu ini menjauh dari kubangan buaya.
"Hei, jangan lari kau! Takut disantap buaya, hah?" seru Pusparini dengan
mengejar lawan yang menjauhi dirinya.
Pusparini menghentikan langkahnya karena melihat Sriwening dan Wanda Bayu baru
saja menghabisi nyawa lawannya.
"Selesai?" tanya Pusparini.
"Ya! Tapi kami kebobolan masing-masing seorang. Mereka melarikan diri," jawab
Wanda Bayu. Pusparini melihat luka merobek lengan Sriwening.
Tetapi tampaknya tidak apa-apa. Dari hal ini bisa disimpulkan bahwa manusia
bertopeng yang mereka hadapi mempunyai kelihaian cukup tangguh dalam ilmu bela
diri. "Meraka lari ke sana. Ayoh kita kejar. Hati-hati, mungkin masih banyak jebakan
yang belum kita ketahui," kata Pusparini dengan mengawali melangkah maju.
Mereka bertiga terus menerobos lorong-lorong gua bawah tanah. Siapa sangka di
daerah Prambanan ada tempat seperti ini" terowongan gua itu terbentuk secara
alamiah, tetapi pada bagian tertentu ada yang digarap oleh tangan manusia.
Semakin ke dalam, tampaknya tanah yang mereka lalui semakin menanjak ke atas.
Dan tak berapa lama kemudian tiba di tempat terbuka.
"Astaga ! Kita berada di tengah bangunan yang letaknya di atas tanah.
Lubang ini tepat di tengah bangunan tembok yang mengelilingnya. Tempat apa
ini ?" kata Pusparini memberi wawasan apa yang dilihatnya. "Hati-hati. Di tempat
terbuka macam ini serangan panah dari pihak lawan bisa terjadi."
Baru saja mulut itu terbungkam, tiba-tiba mendesing dari berbagai penjuru anak-
anak panah yang
dilepaskan dari atas tembok. Lusinan orang tiba-tiba muncul di sana sambil
melepas panah bertubi-tubi. Karena sudah menyadari bahaya macam ini, Pusparini
segera mengibaskan Pedang Merapi Dahana ke segenap penjuru. Juga Sriwening dan
Wanda Bayu bertindak
serupa. Agar tidak bertumpu pada sasaran lawan, maka mereka bertiga segera
menyebar. Kini lawan terpaksa membelah pe-hatiannya menjadi tiga.
Detik selanjutnya Pusparini bahkan bertekad melesat ke atas tembok.
Dengan kalap dia membabat lawan-lawannya tanpa ampun. Di sisi lain, Sriwening
dan Wanda Bayu bertindak serupa. Keduanya melesat ke atas tembok. Serangan lawan
lewat anak panah dapat di atasi, kini beralih dengan pertarungan pedang. Jumlah
lawan yang jumlahnya lusinan itu hanya mengantar nyawa saja ketika berhadapan
dengan amukan tiga pendekar yang belum diketahui apa urusannya. Yang jelas,
siapapun yang kelayapan ke sana, harus dibunuh.
"Cukup! Hentikan!!" tiba-tiba terdengar seruan lantang. Kalau orang biasa pasti
tidak bisa berteriak sekeras itu. Seruan itu tidak sekedar seruan, tetapi luapan
ucapan yang disertai tenaga dalam. Yang tidak terbiasa menghadapi suara macam
itu, pasti pecah gendang telinganya. Karena suara itu, semua gerak terhenti
tiba-tiba. Bagai diperintah oleh tenaga gaib, para penyerang itu mundur dengan
cepat, dan menghilang di balik pilar-pilar bangunan yang banyak terdapat di
sana. "Anak-anak muda yang bernyali
besar. Aku benar-benar kagum dengan sepak terjang kalian. Apapun urusan kalian
sehingga berani menjamah kawasan ini, akibat yang harus disandang adalah maut!"
kata sesosok tubuh tinggi besar dengan memakai topeng Rahwana. Hanya bedanya,
topeng yang dipakainya lebih mewah karena ada hiasan-hiasan keemasan pada ukiran
jamangnya. Jelas, ini adalah dedengkot dari kelompok orang-orang yang pernah
dihadapi Pusparini dan kawan-kawannya.
Mata Pusparini jelalatan mencari orang yang bernama Bango Thonthong. Dan orang
itu ternyata berdiri tak jauh dari sesosok manusia bertubuh besar itu.
"Anak-anak muda! Katakan apa urusanmu yang sebenarnya!!" kata orang itu dengan
lantang. "Kami akan menyingkap kematian keluarga Ki Bangah dan hilangnya wanita bernama
Sayem!" jawab Pusparini sebagai juru bicara.
"Hua ha ha ha ha ha...," ledakan tawa dari orang tinggi besar itu membahana.
"Menyingkap kematian dan mencari wanita yang hilang" Mengapa kau berpikir bahwa
semua itu harus kau urus di sini?"
"Topeng Rahwana, dan senjata rahasia ini," jawab Pusparini sambil mengacungkan
sebuah senjata rahasia.
"Senjata rahasia ini kutemukan di
puing reruntuhan rumah Ki Bangah!"
Sriwening terkejut. Dia mengawasi Pusparini. "Mengapa hal ini tidak kau katakan
padaku?" tanyanya.
"Tak ada apa-apa. Aku cuma ingin kau tak banyak pikiran untuk
mengungkap kematian keluargamu," jawab Pusparini lirih sambil tetap mengawasi
tokoh berbadan besar itu.
"Hm! Jadi atas dasar itu" Pinter kamu. Otakmu encer. Aku suka dengan anak muda
yang berotak encer. Sayang kalau kalian harus menentang tujuan kelompokku," kata
orang bertubuh besar itu.
"Aku telah mencurigai orang yang bernama Bango Thonthong. Dia yang memiliki
senjata rahasia ini. Dia melukai temanku bernama Klungsu dengan senjata serupa.
Dia memakai topeng Rahwana untuk menimbulkan keresahan penduduk Sonogading!
Penduduk resah karena dia muncul pada malam hari hanya untuk melihat kebugilan
tubuh gadis-gadis desa itu. Walaupun dia tidak menodai, tindakan itu perlu
ditindak. Untuk apa sebenarnya?" tanya Pusparini.
"Jadi kau butuh penjelasan walaupun seandainya itu bukan urusan yang menyangkut
kelompok ini" Hm !
Berarti kau cuma menebak-nebak saja.
Menghubung hubungkan satu peristiwa satu dengan yang lain.....! Tapi, se-
perti sudah kukatakan awal itu, kau memang berotak encer, anak muda. Dan aku tak
akan segan untuk menjelas-kannya. Tapi harap tahu, ini sekedar penglipur hati
saja. Anggap saja sebagai 'permintaan terakhir' sebelum nyawamu terbang oleh
tangan Danyang Delapan Neraka ! Hua ha ha ha ha ha...!!!" seru orang bertopeng.
"Rekaan pikiranmu itu benar adanya.
Dengar baik-baik, aku akan
menjelaskan!!"
"Jadi kau yang bergelar Danyang Delapan Neraka! Sudah kuduga beberapa saat yang
lalu. Jelaskan, akan kudengar dengan baik-baik pengakuan-mu!!" kata Pusparini
sambil memasukkan Pedang Merapi Dahana ke dalam
sarungnya. Kalau saja Pusparini jeli, pasti dia tahu bahwa selama Danyang Delapan Neraka
itu berbicara, matanya tak lepas dari pedang di tangannya.
"Ah! Rupanya kau punya tata krama juga. Kau masukkan pedangmu selama aku akan
mengatakan rahasia ini...! Itu sangat kuhargai. Benar-benar kuhargai, cah ayu!!
Dan kupikir, kalau kita berbicara dengan sikap begini, agaknya menjadi tidak
sopan. Bagaimana kalau kita berbicara di balairung perjamuan di tempatku yang
resmi?" "Hati-hati, Rini. Tawaran ini bisa mencelakakan kita," bisik Wanda
Bayu. "Aku tahu. Tapi apa salahnya kita coba menerima tawaran itu" Pertimbangkan, kita
ini telah berada di sarang lawan. Siapa tahu kita bisa mengungkap lebih banyak
dari pada yang kita duga," jawab Pusparini lirih.
"Bagaimana" Aku telah memutuskan agar kalian lebih banyak tahu dengan tujuan
kelompok kami. Siapa tahu, kalian bisa berbalik arah untuk berpihak kepadaku,"
kata Danyang Delapan Neraka itu.
"Baik! Kami terima tawaranmu,"
jawab Pusparini. "Dan aku tak ingin ada siasat licik!"
"Hua ha ha ha ha ha ha....! Kita cuma berbicara baik-baik. Kalau buntutnya
membuat pembicaraan jadi runyam, apa boleh buat...!" jawab Danyang Delapan
Neraka. "Katakan, di mana kita harus berbicara," seru Pusparini lagi.
Pikirnya, kalau pembicaraan itu dengan diikuti perjamuan, akan lebih
mendingan. Paling tidak saat ini tenggorokannya terasa kering setelah menguras
tenaga menghadapi anak buah Danyang Delapan Neraka. Dan kini dia menerima
tawaran perjamuan lawannya.
*** 6 Danyang Delapan Neraka tetap
mengenakan topeng Rahwana. Agaknya penampilan itu sudah menjadi ciri jati
dirinya. Tak seorangpun tahu bagaimana wajah Danyang Delapan Neraka yang
sebenarnya. Suara gamelan mengiringi suasana perjamuan itu.
Banyak mata yang mengawasi
kehadiran Pusparini, Sriwening dan Wanda Bayu. Mereka bertiga duduk secara
lesehan menghadapi seperangkat hidangan yang memancing selera. Mulai dari buah-
buahan segar sampai panggang ayam dan minuman tersedia di sana.
"Jauhkanlah prasangka kalian kalau berpikir bahwa makanan itu beracun. Tidak
sama sekali. Kalau curiga, anak buahku bisa mencicipi terlebih dulu," kata
Walet Emas 02 Danyang Delapan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Danyang Delapan Neraka di seberang mereka. Perjamuan itu diatur secara
berhadapan, tetapi dengan jarak sekitar dua tombak jauhnya. Danyang Delapan
Neraka selalu didampingi Bango Thonthong. Karena tokoh yang satu ini telah
dicurigai sebagai pembunuh Ki Bangah, maka tak henti-hentinya Sriwening
mengawasinya. Dalam hati Sriwening menggelegak dendam yang siap meledak kalau saja ada
kesempatan berhadapan dengan si
Bango Thonthong itu.
Dengan ragu-ragu Pusparini mengawali menyentuh hidangan yang
disajikan. Minuman dicicipi dengan ujung lidahnya. Rasanya seperti tuak, tetapi
agak ringan sedikit. Dirasakan sejenak, lalu disruput, ditelan dengan perasaan
berdebar. Tindakan ini dilirik saja oleh Sriwening dan Wanda Bayu. Karena
sepertinya tak ada apa-apa, mereka berdua mengikuti minum-minuman yang
dihidangkan. "Ha ha ha ha ha ha ha....,"
terdengar suara tawa Danyang Delapan Neraka.
Pusparini kaget. Jangan-jangan dia telah masuk perangkap dengan minum minuman
itu. "Bagus! Kau telah bertindak yang mungkin tak berani dilakukan oleh orang lain.
Kulihat kedua temanmu itu baru mau menjamah setelah kau
melakukannya. Nah, tidak beracun, bukan" Aku memang bisa membunuh orang dengan
kepala dingin, tapi aku tak suka meracun orang!" kata Danyang Delapan Neraka
sambil meneguk minumannya. Karena topeng yang dipakai itu tidak menutupi mulutnya,maka kegiatan
makan minum tidak
mengganggunya. Jenggotnya yang setengah beruban bisa menunjukkan bahwa usia
Danyang Delapan Neraka sekitar enam puluh tahunan.
"Ayo, silakan menyantap hidangan yang lain," katanya lagi. Dia sendiri segera
menjamah panggang ayam dan dilahap dengan rakus.
Bersamaan dengan itu terlihat
para penari keluar. Mereka menarikan tarian semacam gambyong yang terdiri dari
enam orang wanita. Tanpa
bertopeng. Pusparini bisa melihat dengan nyata bahwa salah seorang di antaranya
terdapat wanita seperti Sayem.
"Apakah benar dia yu Sayem ?"
pikir Pusparini. "Kalau benar, mengapa dia seakan-akan tak pernah mengenal aku.
Dan lagi, menurut keterangan kang Klungsu, yu Sayem tidak bisa menari.
Ataukah dia orang lain yang mirip yu Sayem" Atau... kembaran yu Sayem" Ah,
mustahil. Inipun tak dijelaskan kang Klungsu kalau yu Sayem punya saudara
kembar." Seusai tarian tersebut maka
kelima penari masuk ke dalam ruangan.
Kini yang tinggal hanya wanita yang mirip Sayem. Suara gamelan beralih irama.
Kedengarannya lebih keras, bagaikan mengiringi tari perang. Dan wanita itu
kemudian melepas kemben yang menutupi dadanya.
Adegan ini membuat mata Pusparini dan kedua temannya terbelalak Betapa tidak.
Buah dada wanita itu benar-benar terbuka sekarang. Hanya pada
kedua putingnya ada semacam cungkup kecil terbuat dari logam keemasan.
Mereka tahu, bahwa pada zaman itu banyak wanita yang tidak berkemben.
Tetapi keadaan wanita yang berkemben yang kemudian tiba-tiba dibuka, memang
membuat berdebar perasaan semua mata yang melihatnya. Apalagi mata itu mata
lelaki. Dan buah dada itu benar-benar indah, nyaris sempurna dalam penilaian
pemuja keindahan.
Wanita itu menari sesuai dengan irama gamelan. Akhirnya pada suatu irama, maka
muncullah dua orang lelaki sambil membawa sebungkus karung. Benda itu diletakkan
di tengah panggung. Di dalam karung ada sesuatu yang bergerak. Tampaknya seperti
ada dua manusia di dalamnya.
Kini gerak tari wanita itu
tertuju kepada karung di hadapannya.
Dengan trengginas tangannya meraih bilah pisau yang terselip dipingg-angnya.
Dan....... Shrettht! Sekali tebas, maka ikatan simpul yang mengikat karung terlepas. Karung kendor
dan nongollah dua sosok tubuh manusia. Dua orang laki-laki!
"Kang Klungsu! Ragil?" terlempar ucapan dari bibir Pusparini. Sriwening pun tak
ketinggalan keslomot rasa heran melihat Klungsu dalam keadaan terikat berada di
sana. Begitu karung terbuka, serentak Klungsu dan Ragil memanggil nama wanita itu...
"Sayemmm!!" Tetapi yang dipanggil tak mengadakan reaksi kecuali terus menari
menghanyutkan diri dalam alunan suara gamelan yang kian bertempo cepat. Klungsu
dan Ragil tak bisa berbuat apa-apa karena tubuh mereka terikat satu sama
lainnya. "Bagaimana mereka bisa diringkus macam itu ?" bisik Sriwening agar tidak
menimbulkan kecurigaan.
"Tentunya kang Klungsu tertangkap sewaktu mencoba mencari jalan masuk pintu
rahasia. Tetapi tentang si Ragil, entahlah. Aku tak bisa mengerti mengapa dia
tertangkap juga. Beberapa waktu yang lalu dia lenyap tak seorangpun tahu. Paling
akhir aku bentrok dengan dia di pinggir kali sewaktu akan bertindak kurang ajar
terhadap yu Sayem yang sedang mandi.
Kutinggalkan dia dalam keadaan pingsan," Pusparini menjelaskan dengan mata
mengawasi keadaan sekelilingnya.
Tak ada yang memancing kecurigaan selain semua perhatian tertuju kepada adegan
diatas panggung.
"Sayem!! Apa yang kau lakukan di sini?" seru Klungsu dengan berusaha melepaskan
diri. Demikian juga Ragil.
Karena diikat satu ikatan dengan Klungsu, mulutnya misuh-misuh tiada
berkesudahan. Tetapi kemudian mereka tersentak kaget ketika dilihatnya gerak
tari wanita yang dipanggil Sayem kian ganas dan menunjukkan akan mengunjamkan
pisau di tangannya ke arah mereka.
"Ini pasti sudah direncanakan,"
bisik Pusparini kepada Sriwening.
"Entah bagaimana keduanya tertangkap, hal ini menimbulkan ilham bagi Danyang
Delapan Neraka untuk menjadikan tontonan kepada kita."
Wanita itu terus menari dengan gerakan erotis dan sadis. Sadisnya bisa dilihat
bagaimana dia dengan menyayat sedikit demi sedikit bagian tubuh Klungsu dan
Ragil. Erotisnya, tercermin dari gerakan pinggul yang memancing bayangan pikiran
tentang adegan ranjang. Ragil yang keedanan terhadap Sayem, adegan tersebut
membuat napasnya naik-turun walaupun darah mengucur dari lukanya yang disayat
belati oleh penari itu.
"Sayem sayangku....," ucap Ragil,
"kau ambil jantungku pun aku rela asal kau pertunjukkan kepolosan lekuk-lekuk
tubuhmu.....!"
"Gila kau, Gil! Dalam keadaan begini kau tetap mabuk gandrung dengan Sayem
istriku!" gerutu Klungsu.
"Istrimu" Kalau istrimu mengapa dia ber buat seperti itu?" kata Ragil dengan
mata tiada berkedip memandangi
gerakan Sayem yang menari dengan
gemulai. Dan suasananya semakin membakar mata ketika wanita itu membelah kain
yang dipakainya dengan pisau di tangannya. Akibat belahan kain ini, maka betis
sampai pahanya tersingkap dengan nyata. Dan gerakan tari yang semakin merangsang
membuat pandangan mata Ragil bertambah teler.
Paha mulus itu hilang-hilang tampak akibat gerakan tari yang menggila.
Sampai akhirnya........
Sshhwwtt! Sayatan pisau merobek pipi Ragil!
Darah mengucur.
"Hentikan itu!! Tarian apa itu!!"
teriak Pusparini
tiba-tiba sambil
berdiri dari tempat duduknya. Seketika itu juga suara gamelan terhenti. Juga
gerak tari wanita itu.
"Hua ha ha ha ha ha...!" meledak tawa Danyang Delapan Neraka. "Itu belum
seberapa. Aku bisa menyajikan pertunjukan yang lebih indah dari tarian itu. Oh,
seharusnya kau tidak berteriak seperti itu, Walet Emas!"
Perasaan Pusparini tersirap. Baru kali ini nama gelarnya disebut oleh orang yang
dianggap lawan, padahal dia tak pernah mengenalkan nama itu.
"Kau heran aku bisa tahu dengan gelarmu, Cah ayu ?" kata Danyang Delapan Neraka
dengan memberi isyarat kepada Bango Thonthong. Dan isyarat
ini diteruskan kepada yang lain.
"Kau punya Pedang Merapi Dahana.
Siapa lagi kalau pemegangnya bukan pendekar bergelar Walet Emas" Ah, tak usah
merisaukan benar apa yang kuketahui. Bahkan seharusnya kau bangga bahwa namamu
dikenal dalam dunia persilatan sebagai pendekar punya kharisma," kata Danyang
Delapan Neraka.
Tiba-tiba semua pandangan tertuju ke arah munculnya anak buah Danyang Delapan
Neraka yang mengawal seseorang.
"Ss......Sayem?" Klungsu orang yang pertama kali yang mengucapkan nama itu.
Orang yang pernah
mengenalnya memang akan memanggilnya dengan nama Sayem. Tetapi bagaimana dengan
wanita satunya yang bisa juga dikenal sebagai Sayem"
Kini ada dua orang Sayem. Dua
manusia kembar! Nyata bahwa yang muncul terakhir ini benar-benar Sayem ketika
dia langsung hendak mendekat ke arah Klungsu..
"Kang Klungsu!" jeritnya.
"Sayem!! Bagaimana kau bisa berada di sini" Apakah orang-orang ini telah
menculikmu ?"
Sayem tak sempat berbicara lagi karena ditarik oleh Danyang Delapan Neraka.
"Inilah kunci permasalahannya,
Walet Emas! Semua karena wanita bernama Sayem! Sayem yang punya saudara kembar
bernama Thiwul!" kata Danyang Delapan Neraka. Lalu dengan ganas dia menarik
kemben yang menutupi tubuh Sayem sehingga keadaannya setengah bugil. Tubuh Sayem
dibalikkan sehingga bisa dilihat dengan nyata oleh setiap orang. Punggung Sayem
seperti ada rajah yang sengaja dituliskan secara samar-samar. Kemudian Bango
Thonthong memberikan bubukan kuning seperti sari bunga kepada Danyang Delapan
Neraka. Kemudian punggung Sayem diborehi dengan bubuk kuning tersebut. Ajaibnya,
di punggung itu tiba-tiba muncul rajah tulisan dengan nyata!
Klungsu satu-satunya orang yang mengumbar kata, "Oh, aku tak pernah melihatnya.
Rajah apa itu" Siapa yang menuliskan di situ?"
Terdengar suara tawa Danyang
Delapan Neraka. Kemudian dia memberi isyarat kepada wanita yang dikatakan
sebagai kembaran Sayem.
"Thiwul! Kemari kau!!" terdengar suara si
Danyang. Wanita bernama
Thiwul mendekat. Si Danyang menyingkap kain yang robek, dan terlihatlah paha
mulus si Thiwul. Di sini, kalau diamati dengan teliti, memang ada semacam rajah
yang dituliskan. Kemudian Danyang Delapan Neraka memborehi
paha Thiwul dengan bubuk kuning.
Sesaat kemudian terlihatlah tulisan rajah dengan nyata, tetapi lain bentuknya
dengan yang tertera di punggung Sayem.
"Apa maksud semua ini?" tanya Pusparini mulai buka suara lagi.
"Sayem dan Thiwul adalah saudara kembar yang mempunyai rajah rahasia yang pernah
dituliskan oleh Ki Bangah.
Aku kenal baik dengan Ki Bangah. Dia punya istri piaraan yang kemudian
melahirkan Sayem dan Thiwul ini.
"Apa" Ayahku pnnya istri piaraan dan mempunyai anak kembar" Sss...
Sayem dan Thiwul?" Sriwening menengahi dengan tercengang.
"Aha! Jadi kau juga anak Ki Bangah" Ah, jadi kau yang tentunya bernama
Sriwening. Aku pernah dengar bahwa kau dikirim oleh ayahmu berguru untuk
membekali diri dengan ilmu bela diri. Hendaknya kau jangan menggugat ayahmu yang
ternyata punya istri piaraan sehingga melahirkan Sayem dan Thiwul ini," kata
Danyang Delapan Neraka. "Ayahmu telah tewas!"
"Aku akan balas kematian ayahku!!
Aku tahu kini, ayahku mati di tangan Bango Thonthong itu. Senjata
rahasianya yang ditemukan Pusparini bisa dijadikan bukti!!" Sriwening menggebrak
ucapan dengan kethus.
"Hm! Persoalan ini jadi
mengasyikkan. Sebelum sampai pada akhir pertemuan ini, akan kuberitahu tentang
rajah yang tertera di punggung dan paha wanita kembar ini. Gabungan tulisan dan
gambar yang ada di sana menunjukkan tempat peninggalan harta karun Ratu Sima!"
kata si Danyang.
"Harta karun Ratu Sima"!" sela Pusparini ingin meyakinkan peristiwa yang melatar
belakangi kejadian-kejadian yang telah berlalu.
"Ki Bangah adalah orang terakhir yang menyimpan petunjuk itu. Untuk menyimpan
rahasia tersebut, maka dituliskan ke bagian tubuh kedua anak kembarnya. Dia
menuliskannya ketika Sayem dan Thiwul berumur sepuluh tahun. Thiwul berhasil
kuculik dan kuasuh. Hanya Sayem yang berhasil disembunyikan oleh Ki Bangah.
Sejak itu aku kehilangan jejak. Tetapi aku yakin keberadaan Ki Bangah tidak jauh
dari Prambanan ini," si Danyang memberi penjelasan tanpa ragu-ragu.
Seakan-akan dia telah berhasil menguasai segalanya, dan kisah itu diungkap demi
kebanggaan dirinya sendiri. "Berlangsungnya memang lucu sekali. Aku perintahkan Bango
Thonthong untuk mencari anak perempuan Ki Bangah yang bukan kembaran dari satu
desa ke desa lain. Setiap malam dia menyamar karena tak mungkin secara
terang-terangan membuka punggung setiap anak perawan. Semula aku menduga bahwa
bagian lain peta rajah itu dituliskan oleh Ki Bangah kepada anak perempuannya
yang lain yang bukan kembaran Thiwul. Yang kumaksud adalah Sriwening, yang tidak
tahunya di kirim untuk berguru. Hal ini kulakukan karena aku mendengar kabar
slentingan bahwa Ki Bangah telah menyembunyikan anak-anaknya yang lain agar
rahasia rajah peta tidak bisa dilacak oleh orang lain," kata Danyang Delapan
Neraka dengan mengenyahkan tubuh Thiwul. Sepertinya dia tidak
memerlukan lagi tentang rajah yang tertera di paha Thiwul.
"Bagaimana kau tahu bahwa bagian yang lain ternyata ada pada anak kembar satunya
bernama Sayem?" tanya Pusparini sambil mengawasi keadaan sekitarnya. Adalah
tidak mungkin kalau Danyang Delapan Neraka akan membiarkan peristiwa ini berlalu
begitu saja setelah segalanya diceritakan secara gamblang. Cepat atau lambat si
Danyang pasti akan memerintahkan anak buahnya untuk mengganyang dirinya, atau
dengan kata lain menumpas habis terhadap pihak luar yang telah tahu hal ini.
"Aku tahu bahwa hal itu ditulis pada kembaran Thiwul karena keterangan Ki Bisma.
Sayang, aku harus membunuh laki-laki ini karena dia pun ternyata
mengincar harta tersebut," jawab si Danyang dengan suara datar.
"Aku adalah anak Ki Bisma, Danyang keparat!" tiba-tiba Wanda Bayu yang selama
ini banyak bungkam, mulai buka suara. Dan ini tidak sekedar mengeluarkan ucapan
bagaikan hawa kentut keluar dari dubur, tetapi benar-benar seperti geledek di
telinga Danyang Delapan Neraka. Sriwening dan Pusparini jadi dibuat terperangah
oleh ucapan Wanda Bayu.
Sejenak wajah Danyang Delapan
Neraka tegang. Kemudian mengumbar tawa berkepanjangan...
"Jadi kau akan menuntut balas, thole" Pasti kau bernama Wanda Bayu.
Aku memang tak pernah memperhatikan keluarga si Bisma. Aku benar-benar bahagia
bahwa dalam kesempatan ini telah berkumpul manusia-manusia yang akan menuntut
balas. Hahahahahahaha........!"
Seakhir dengan ucapan itu Danyang Delapan Neraka mencabut pedangnya dan
disabetkan ke arah Thiwul dan Sayem.
Tentu saja tindakan yang tak
terbayangkan sebelumnya membuat semua orang kaget dan terperangah.
Tubuh Sayem dan Thiwul langsung roboh. Sabetan dengan gerakan ilmu tinggi itu
tampak nya hanya sekali tebas. Mata jeli seorang pendekar akan tahu bahwa
sabetan pedang itu di-
lakukan dengan cepat mengandung empat gerakan. Punggung Sayem dan paha Thiwul
yang jadi sasaran sehingga bagian tubuhnya menganga secara mengerikan. Pedang
itu paling tidak mengandung racun, sebab kedua wanita yang jadi korban tidak
bergerak lagi begitu jatuh terkapar.
Klungsu satu-satunya orang yang berteriak histeris. Melihat keadaan itu dia
meronta hebat. Perasaannya meledak mengakibatkan munculnya kekuatan yang tidak
semestinya sehingga dia berhasil melepaskan diri dari ikatannya. Ragil pun
terlepas dari ikatan. Bagaimanapun dia tak bisa membiarkan diri melihat wanita
Walet Emas 02 Danyang Delapan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang digandrungi walaupun sudah bersuami, terbunuh dengan cara itu.
Dan keributan berkobar ! Baku
hantam meledak Masing-masing mencari lawan.
Pusparini, Sriwening serta Wanda Bayu segera bertindak. Dalam kesempatan ini
Pusparini baru sadar mengapa senjatanya, Pedang Merapi Dahana, tidak mampu
menghancurkan senjata lawan-lawannya. Dia ingat pesan gurunya, bahwa Pedang
Merapi Dahana sangat ampuh kalau dipergunakan di bawah naungan cahaya matahari.
Sebab matahari merupakan sumber panas yang mampu membakar pamor pedang sehingga
mengeluarkan cahaya merah membara. Itu
sebabnya di dalam sarang Danyang Delapan Neraka yang terselubung dari cahaya
matahari, pedang Pusparini tidak menunjukkan keampuhannya. Tetapi tetap
mengundang maut kalau dipergunakan menghadapi lawan. Seperti halnya kali ini,
dia telah menghabisi lima orang anak buah si Danyang.
Dalam pada itu, Sriwening yang dendamnya sudah keslomot, terus mencari
kesempatan untuk dapat berhadapan dengan Bango Thonthong, si pembantai
keluarganya. Dua orang ini berhadapan dengan seru di tempat yang agak tersisih.
Sedangkan Wanda Bayu, Klungsu dan Ragil, terlibat perkelahian dengan Danyang
Delapan Neraka.
Pusparini meladeni anak buah si Danyang yang jumlahnya lusinan.
Sebenarnya Wanda Bayu tidak menjadi lebih enak dengan turut campurnya Klungsu
dan Ragil dalam menangani Danyang Delapan Neraka. Tetapi apa mau dikata, Klungsu
dan Ragil juga punya dendam dengan si Danyang.
"Ayo, mengapa cuma bertiga"
Tunjukkan kelihaianmu. Rahwana adalah tokoh pujaanku. Dia punya kepala sepuluh
dan tangan dua puluh. Kesaktian Rahwana ada padaku.... hahahahaha...!"
sumbar si Danyang untuk mengecoh nyali lawan. Seperti tokoh Rahwana, meskipun
kejam, dia punya rasa humor. Oleh sebab itu dalam pertarungan ini si
Danyang banyak memancing lawakan.
Setiap mengucapkan lawakan, pasti berhasil melukai lawan. Buktinya, Ragil dan
Klungsu yang dalam ukuran kependekaran hanya kelas jago kepruk di desa
Sonogading, telah luka parah kena babat pedang si Danyang.
Sedangkan Wanda Bayu karena merasa terhalang oleh gerakan kedua jago kepruk itu,
dia banyak berada di luar serangan pedang lawan. Lama-lama si Danyang merasa
disepelekan kalau harus berhadapan dengan dua jago kepruk semacam Klungsu dan
Ragil. Maka diambil tindakan tegas. Dengan mengeluarkan jurus pamungkas, Danyang
Delapan Neraka membabat leher Ragil dan Klungsu. Bagaikan buah kelapa jatuh dari
pohon, kepala mereka mencelat lepas dari badannya. Sungguh mengerikan!
Hal ini semakin membakar semangat Wanda Bayu. Dengan berteriak
mengobarkan semangat, dia menerjang ke arah lawan. Si Danyang agak kuwalahan
menghadapi jurus awut-awutan dari lawannya. Disebut awut-awutan karena sulit
dibaca rumus serangannya. Diduga serangan dari atas, tidak tahunya muncul
pukulan dari bawah. Dan apabila dari bawah, Wanda Bayu banyak
menggunakan tendangan kaki memberi rangkaian pembobolan pertahanan si Danyang
yang rupanya sangat lihai
dengan ilmu pedangnya. Tetapi lama-kelamaan si Danyang dapat membaca taktik
Wanda Bayu. Maka dengan serangan jurus pamungkas, dia menyabetkan pedangnya ke
leher lawan. Tetapi di luar dugaan Wanda Bayu mampu melemparkan tubuhnya ke belakang.
Dengan bergulir tiga kali di udara, makajarak serangan si Danyang dapat
dihindari. "Hm! Dia selalu menggunakan jurus pamungkas di arah leher lawannya,"
pikir Wanda Bayu dengan mengatur siasat lain.
Sementara itu Bango Thonthong
terlihat sangat keteter serangan Sriwening. Dendam memang mengalahkan segalanya.
Mengalahkan rasa takut.
Mengalahkan akal sehat. Inilah modal tindakan Sriwening. Akibatnya, Bango
Thonthong dibuat tak berkutik dalam menghadapi lawannya yang semula dipandang
masih ingusan dalam ilmu bela diri. Sampai pada akhirnya, baku hantam mereka
tiba di kubangan dekat sungai bawah tanah di mana buaya-buaya yang kelaparan
mengangakan moncongnya.
Geram suaranya sangat menyeramkan.
Mungkin karena begitu dendamnya Sriwening terhadap Bango Thonthong, sehingga
pada kesempatan di sini dia kurang waspada. Tanah yang licin di luar
perhitungannya. Sampai ketika lawannya melancarkan tendangan, Sri-
wening tergelincir sewaktu akan mengelak. Dia terpeleset jatuh ke bawah. Dan
jatuh sekitar dua depa dari seekor buaya yang moncongnya menganga.
Sang buaya melihat ada mangsa di dekatnya, langsung bersiap menyantap.
Tetapi Sriwening dengan gesit
melantingkan tubuhnya ke samping.
Dengan dua kali gerakan, dia telah menghadang langkah Bango Thonthong yang akan
meninggalkan tempat itu karena menduga lawannya disantap buaya.
"Aku masih belum mampus, Bango,"
seru Sriwening, "Buaya lebih suka dengan daging burung. Di sini tak ada burung.
Yang ada manusia bernama burung!"
Bango Thonthong benar-benar kaget dengan kemunculan Sriwening. Sebelum dia
sadar, maka gadis ini telah mengirimkan pukulan fatal lewat tendangan kaki.
Bango Thonthong yang semula sudah tidak mengira akan berhadapan dengan Sriwening
lagi, tak sempat mengelak Tendangan itu
mengunjam dengan keras ke dadanya sampai dia muntah darah. Dan detik selanjutnya
tubuhnya mencelat ke
bawah, ke kubangan buaya. Bango Thonthong sebenarnya bisa menghen-takkan kakinya
begitu dia sampai di bawah untuk dapat naik kembali, tetapi ketika tindakan
tersebut dilakukan,
dengan cepat kakinya disambar buaya.
Jeritan terdengar dengan robohnya si Bango, yang kemudian tubuhnya dicaplok
moncong-moncong yang kelaparan. Bango Thonthong jadi ajang pesta di sana.
Tubuhnya dicabik-cabik buaya...!
Yakin bahwa lawannya telah tewas, Sriwening segera melesat untuk membantu kawan-
kawannya. Ketika sampai di arena pertarungan, dilihatnya Wanda Bayu keteter oleh
serangan Danyang Delapan Neraka. Dia langsung membantu.
Dengan dua kali lompatan, dia telah terlibat dengan ujung pedang si Danyang.
Bahkan nyaris lehernya kena babat. Untung dia waspada. Dengan membuang tubuh ke
samping, sabetan pedang lawan membabat ke tempat kosong.
Sementara itu Pusparini telah
berhasil menyikat habis anak buah Danyang Delapan Neraka. Tidak semua.
Mereka ada yang melarikan diri cari selamat.
"Hm, tinggal dedengkotnya. Tangguh juga dia. Dikroyok dua orang tenaganya
kelihatan tetap tegar,"
pikir Pusparini dengan melangkah ke sana.
Melihat kehadiran Pusparini si Danyang tertawa sambil menjauh.
"Tunggu! Kini kalian akan mengroyok aku" Boleh! Ayo. Tetapi sebelumnya akan
kuberitahu tentang
racun yang telah bersarang dalam perut kalian!" seru Danyang Delapan Neraka
dengan berkacak pinggang.
"Racun" Lewat makanan tadi?" kata Pusparini, "Kau bilang meracun orang tak
pernah kau lakukan. Kau berkata itu tindakan pengecut. Mengapa kini kau mengaku
ada racun dalam tubuh kami yang kesannya terdapat di dalam makanan?" sahut
Pusparini dengan mengawasi kedua temannya. Dia khawatir Sriwening dan Wanda Bayu
telah merasakan reaksi racun yang dikatakan si Danyang. Dia khawatir racun yang
diberikan lewat makanan reaksinya lambat, tetapi mematikan. Di pihak lain Wanda
Bayu dan Sriwening saling memandang. Tiba-tiba keduanya menebah perut, tubuh
mereka sempoyongan.
Pusparini yang melihat kedua temannya mengalami hal itu, timbul rasa cemasnya.
"Huahahahahaha...! Kau lihat itu!" seru Danyang Delapan Neraka dengan girang,
"kedua temanmu telah sempoyongan. Reaksi racun itu memang dibuat lambat agar
tidak mencurigakan.
Sebentar lagi pasti kau menyusul, Walet Emas!!"
"Celaka! Mereka benar-benar keracunan," pikir Pusparini dengan terus bersikap
waspa-da. Tiba-tiba diapun bertindak serupa. Menebah perut dan sempoyongan...
Melihat hal ini tawa Danyang
Delapan Neraka meledak lagi. Dengan langkah pethitha-pethithi dia menghampiri
ketiga lawannya yang tampaknya kini tak berdaya.
"Sebentar lagi kalian akan berangkat ke akherat. Tubuh kalian akan melepuh
seperti kesiram air panas. Kemudian daging kalian akan mlonyoh mengandung nanah.
Lalu satu persatu anggota badan kalian akan lepas dari persendiannya. Benar-
benar cara mati yang sangat mengerikan!
Sangat mengerikan! Tetapi aku senang menyaksikannya. Hahaha...!" seru Danyang
Delapan Neraka dengan terus menghampiri mereka.
Kini Pusparini, Sriwening dan
Wanda Bayu benar-benar ndlosor di lantai. Kelihatannya mereka bertiga sudah
tidak berdaya lagi.
"Tetapi aku masih berbaik hati.
Aku kasihan melihat kalian harus mati dengan cara menjijikkan dan
menyakitkan. Aku akan menolong kalian dengan cara mati yang cepat. Mengerti
maksudku" Kepala kalian akan kupenggal satu persatu! Ah, tidak. Akan
kupenggal secara bersamaan dengan sekali tebas! Lihat pedangku ini.
Pedang berbentuk kepala makara pada ujungnya. Makara penyebar maut!" kata si
Danyang dengan mempersiapkan senjatanya yang mingis-mingis tajam.
Pedang yang katanya bisa membelah rambut.
"Sekaranglah waktunya!!" suara Danyang Delapan Neraka sangat lantang terdengar
sambil mengayunkan pedangnya.
Dan sebelum si Danyang mengayunkan pedangnya, tiba-tiba Pusparini, Sriwening dan
Wanda Bayu bergerak serentak mengayunkan pedang masing-masing. Pedang Pusparini
mengunjam ke jantung. Pedang Sriwening menancap pada leher. Dan pedang Wanda
Bayu merobek perut! Mereka bukanlah bunuh diri, tetapi pedang mereka telah
bersarang ke tubuh lawan. Ketubuh Danyang Delapan Neraka yang nyaris mengayunkan
pedangnya ke kepala mereka bertiga.
Kontan si Danyang roboh, yang
sebelumnya sempat melotot seakan-akan tak percaya apa yang menimpa dirinya.
Dia terkapar dengan gerak sekarat, lalu tak bergerak lagi. Mati!!
Mereka bertiga tiba-tiba saling mengawasi diri.
"Sri! Bukankah kau tadi
keracunan" Dan juga kau.... Wanda?"
seru Pusparini yang me-lihat Sriwening dan Wanda Bayu dalam keadaan segar bugar.
"Bahkan kami berdua mengira kaulah yang keracunan, Rini," seru Sriwening pula.
"Kami berdua tetap
waspada tidak memakan serta minum minuman yang dihidangkan tadi walaupun kau
telah mencicipi yang kemudian kau lahap."
"Sangkamu begitu" Aku cuma mencicipi. Tetapi tidak kutelan. Semua makanan yang
kelihatan kumakan, sebenarnya kubuang di bawah meja,"
Pusparini mengaku.
"Aku juga!" jawab Sriwening.
"Aku juga begitu," Wanda Bayu menimpali.
Mereka bertiga tertawa terharu!
Kemudian memandang tubuh Danyang Delapan Neraka yang terkapar.
"Aku benar-benar tak mengerti tindakan si Danyang yang membunuh Sayem dan
Thiwul. Dengan tindakannya berarti rajah tulisan dan peta tentang harta karun
Ratu Sima tak bisa terbaca lagi. Entah kalau dia telah menyalin dan menyimpan,"
kata Pusparini dengan membersihkan pedangnya sebelum dimasukkan ke dalam
sarungnya. "Lihat! Itu ada semacam ruas bambu di sarung pedang si Danyang,"
seru Wanda Bayu. Dia segera mengambil sarung pedang si Danyang yang dilekati
seruas bambu sebesar pergelangan tangan bayi. Setelah diteliti ternyata tabung
bambu yang tertutup. Bambu itu diukir indah. Tutup dibuka, dan terlihat gulungan
dari kulit kambing.
"Nah, apa kataku ?" ucap Wanda
sambil memperlihatkan barang temuan-nya. "Ini peta dan tulisan tentang harta
karun Ratu Sima yang telah dipadukan dari rajah di paha Thiwul dan punggung
Sayem!" Mereka bertiga dengan tekun
meneliti lembaran yang bertulis dan bergambar yang tertera di kulit kambing.
"Benarkah ini bisa menunjukkan ke tempat harta karun Ratu Sima?" kata Pusparini
dengan tekun membaca tulisan yang memberi keterangan gambar denah tempatnya.
"Sekarang tidak lagi!" tiba-tiba terdengar suara di belakang mereka.
Suara itu sangat mereka kenal.
"Ki Pandulu"!" seru Sriwening dan Pusparini serentak.
"Bagaimana Ki Pandulu bisa sampai kemari ?" lanjut Pusparini.
"Sebagai jagabaya aku wajib mengikuti jejak kalian," kata Ki Pandulu. "Kuharap
kalian tidak lagi mempersoalkan harta karun itu. Coba kulihat," katanya sambil
mengacungkan tangan agar mereka memberikan peta itu.
Tanpa curiga Pusparini memberikan peta tersebut kepada Ki Pandulu.
Sejenak Ki Pandulu memperhatikan lembaran di tangannya. Lalu dia melangkah
menuju perdiangan api. Tanpa diduga oleh mereka, maka Ki Pandulu
membakar lembaran kulit kambing itu.
"Ki!!! Apa yang telah Ki
lakukan?" seru Pusparini.
"Seperti yang kalian lihat, aku membakar peta itu," jawab Ki Pandulu dengan
tenang. "Ttt... tapi...," ucapan Sriwening tak berlanjut.
"Sekarang tidak akan ada lagi orang yang memburu harta karun Ratu Sima. Aku
sebagai keturunannya, melarang siapa pun yang akan
mencarinya. Aku tak ingin harta leluhurku yang dikubur untuk menghindarkan
keserakahan manusia, jadi rebutan sehingga menimbulkan pertumpahan darah."
"Jadi.....Ki Pandulu ini
keturunan Ratu Sima ?" tanya Sriwening seperti tidak percaya. Sementara itu
kulit kambing yang dibakar telah jadi abu. Lalu Ki Pandulu menatap ketiga
pendekar muda di hadapannya.
"Ratu Sima yang ratusan tahun memerintah di Kerajaan Kalingga dekat kawasan
pesisir utara sana, adalah leluhurku! Kalian boleh mempercayai, boleh juga
tidak," kata Ki Pandulu dengan suara arif. "Ratu Sima berhasil memerintah
negerinya sehingga menjadi negeri yang adil dan makmur, terkenal sampai ke
negeri Cina. Sepeninggalnya, banyak pihak yang akan menjarah harta kekayaannya.
Tetapi Ratu Sima bijak-
sana. Sebagian besar harta lalu dikuburkan di tempat yang dirahasiakan...!
Begitulah latar belakang-nya."
Hening sejenak. Ketiga pendekar muda itu terasa hanyut oleh pengakuan Ki
Pandulu. Memang benar, harta membuat manusia jadi serakah.
Kemudian setelah mereka membakar jenazah Sayem, Klungsu, Thiwul dan Ragil,
mereka kembali ke Sonogading mengiringkan Ki Pandulu....!
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Pedang Golok Yang Menggetarkan 12 Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra Nyawa Kedua Dari Langit 2