Pencarian

Dewa Mimpi Merajalela 2

Walet Emas 04 Dewa Mimpi Merajalela Bagian 2


menginjak tanah, tiba-tiba tubuh kusir kereta itu roboh dan jatuh ke tanah.
Pusparini terperangah. Dia memeriksa keadaan kusir kereta yang tidak bernyawa
lagi. Sebuah benda tajam menancap tepat di antara dua matanya.
"Ranti! Berlindunglah," seru Pusparini. Matanya se-
gera menyapu keadaan di sekelilingnya. Untung ada
bulan sepotong di langit. Dengan penerangan cahaya
bulan, Pusparini dapat mengetahui keadaan sekitar-
nya. Dia berada di tengah bulak dengan beberapa po-
hon menjulang tinggi. Pandangan matanya sempat
menangkap beberapa sosok tubuh muncul dari alang-
alang setinggi pusar, Mereka langsung menyerbu ke
arahnya. Pusparini tak tinggal diam. Siapa pun mereka, niat-
nya telah diketahui. Itu sebabnya dia tak ambil resiko untuk mengulur waktu
menghadapi lawan. Dengan
spontan dia mencabut pedangnya.
Shriingg!!! Pedang Merapi Dahana keluar dari sarungnya. Te-
pat seseorang telah sampai di dekatnya, langsung roboh karena diterjang sambaran
pedang tersebut. Ranti menjerit menyaksikan peristiwa tersebut.
"Ranti, cepat ke dekatku!" seru Pusparini.
Nyaris gadis itu menjadi korban serangan kalau ti-
dak dengan cepat keluar dari kereta dan berada di
samping si Walet Emas. Orang yang hendak menikam
Ranti terjerembab ke tanah karena perutnya robek
disambar sabetan pedang Pusparini.
Ada sekitar delapan orang yang muncul di sana
mengajak main-main dengan maut terhadap Pusparini.
Dua orang telah jadi korban. Yang lain masih penasaran untuk melaksanakan
niatnya. Tapi Pusparini bu-
kan pendekar yang bisa digebrak dengan serangan
pendadakan semacam ini. Apalagi pada waktu malam.
Untuk ke sekian kalinya Pusparini masih unggul.
Tapi ketika lawan tinggal empat orang, maka sisa ini yang agak tangguh.
Sebenarnya hal ini bisa diselesaikan dengan tuntas. Berhubung dia harus
melindungi Ranti, maka geraknya jadi tidak leluasa.
Salah seorang dari keempat orang lawannya, ter-
nyata ada yang paling tangguh. Dia pada awalnya tidak turun gelanggang. Ketika
ketiga orang lainnya keteter serangan Pusparini, barulah dia unjuk kebolehan.
Sambil membimbing Ranti, Pusparini mencoba
mencari peluang untuk mencapai kereta. Di sini pula tololnya dia, mengapa sejak
awal tidak langsung saja mengendalikan kereta tersebut untuk lolos dari sana"
Kini pikiran ke arah itu semakin menebal. Dia harus
mencapai kereta yang sejak awal baku hantam ku-
danya lari menjauh dan berhenti dekat sebatang po-
hon. Dia sendiri tak tahu, mengapa malam ini gerakan-
nya tidak bisa mulus untuk menghadapi lawan yang
tak seberapa tangguh. Ada sesuatu yang tidak beres
dengan tenaganya. Begitupun terhadap Ranti. Gadis
yang dilindungi ini sepertinya bertambah lemas saja.
"Ranti...! Ranti...! Sadarlah...!" seru Pusparini dengan suara terengah-engah.
Dirasa tubuhnya sendiri
kian lemas. Dalam keadaan begini barulah dia menya-
dari tentang apa penyebabnya. "Makanan itu! Maka-
nan yang dihidangkan oleh Den Bagus Panggelaran...
pasti mengandung racun!" kata Pusparini lirih. "Ini semua pasti ulah kerjanya!
Benar-benar iblis bermuka malaikat!"
Pusparini samar-samar mendengar suara tawa. Ka-
lau saja dia mampu mengawasi, pasti akan terkejut
siapa yang mengumbar tawa itu. Dan ini tak jauh dari prasangkanya yang terlintas
dalam pikirannya sebelum dia roboh tak sadarkan diri...! Pusparini dan Ranti
ter-kapar di sana.
Entah berapa lama Pusparini tak ingat apa-apa lagi
terhadap keadaan di sekitarnya. Kesadarannya pulih
ketika dirasakan siraman air membasahi sekujur tu-
buhnya. "Hm! Baru dengan cara ini dia bisa sadar. Yang aku
khawatirkan, dia hanya pura-pura pingsan. Sebab ra-
cun yang kuberikan adalah jenis yang kerjanya lam-
bat. Tidak mematikan. Cuma bisa membuat teler yang
bersangkutan untuk beberapa waktu saja. Tak lebih
dari setengah hari," suara ini terdengar nyata oleh Pusparini ketika dia sadar
dari pingsannya.
Seorang lelaki bertubuh kurus dengan janggut se-
perti jenggot kambing, tertawa terkekeh-kekeh setelah melihat Pusparini siuman.
Matanya jalang mengawasi
dada Pusparini yang dibalut kemben kuning itu. De-
ngan siraman air yang mengguyur tubuhnya, membuat
kemben itu kian ketat dan semakin menonjolkan ben-
tuk buah dadanya yang sintal. Dan tangan laki-laki
kurus yang penampilannya norak dengan pakaian
yang serba 'trendy' zaman itu, meraba dada Pusparini.
Tidak sekali ini Pusparini mendapat perlakuan ma-
cam itu. Pikirannya segera menyudutkan pandangan-
nya terhadap lelaki yang menjadikan wanita sebagai
alat pemuas nafsu.
"Coba lalukan dalam keadaan diriku tidak terikat
seperti ini," ancam Pusparini dengan nada garang.
"Hehehe...! Jangan judes, Nduk!" ujar laki-laki itu yang ternyata hanya
sendirian di ruangan itu. "Kalau mau, kau tadi sudah kutelanjangi. Hanya karena
Den Bagus Panggelaran yang punya kuasa, aku cuma bisa
meraba dadamu, hehehe...!"
"Laki-laki bejat! Jadi kau bawahan si Panggelaran
itu"!" tukas Pusparini yang semakin bisa menangkap
persoalannya. "Jangan sembrono memanggil dia begitu. Jangan
lupa panggilan 'Den Bagus'-nya. Dia memang banyak
teman wanitanya. Tapi yang macam dirimu, baru seka-
rang ini. Kau golongan pendekar. Biasanya wanita
yang digauli adalah wanita yang serba manut dan pa-
srah bongkokan. Tidak banyak cingcong seperti kamu!"
ujar laki-laki itu yang kini tangannya merambat ke da-gu Pusparini dan
mengelusnya sampai merambat ke
pipi. Nikmat sekali rasanya dia bisa berbuat seperti itu, sampai akhirnya dia
menjerit ketika tangannya digigit oleh Pusparini.
Gigitan Pusparini demikian ketatnya sehingga dua
jari-jari laki-laki itu mengucurkan darah. Bahkan nyaris putus. Sedangkan usaha
untuk melepaskan dari
gigitan itu, laki-laki ini hanya memukul-mukul tubuh Pusparini. Dari sini
kentara sekali bahwa laki-laki kurus itu tidak menguasai ilmu bela diri.
Jeritannya semakin menjadi-jadi ketika dua jarinya benar-benar putus digigit
Pusparini alias Walet Emas ini. Kemudian dua buah jari yang terputus disemburkan
ke arah laki laki itu dengan hentakkan tenaga dalam.
Potongan dua jari melesat, dan menembus mata sa-
sarannya. Kontan laki-laki kurus itu menjerit kian kla-bakan sambil menebah
matanya. Baru keadaan inilah
yang membuat orang-orang berdatangan ke tempat itu.
Pusparini melihat ke arah mereka. Ternyata Den
Bagus Panggelaran tidak tampak di sana.
"Wisang! Astaga! Apa yang terjadi?" seru di antara
orang-orang itu dengan berusaha menolong laki-laki
kurus yang ternyata bernama Wisang. Lalu orang-
orang itu menoleh ke arah Pusparini yang mulutnya
berlepotan darah.
"Wanita muda ini jelmaan iblis!" kata salah seorang di antara mereka. "Lihat
mulutnya! Pasti Wisang menjadi korban keganasannya."
"Kita laporkan kepada Den Bagus!" seru yang lain.
Tak beberapa lama kemudian, Den Bagus Panggela-
ran muncul setelah dua orang menyusulnya. Dia men-
dapat laporan sepihak, dan itu membuatnya nyaris untuk menghukum Pusparini
dengan sabetan cambuk.
Ketika anak buahnya menghampiri dengan membawa
cambuk, maka alat penyiksa tersebut diminta olehnya.
"Pusparini! Mengapa sampai hal ini terjadi?" tanya
Den Bagus Panggelaran sambil mengendapkan kema-
rahannya. "Seharusnya aku yang bertanya kepadamu, menga-
pa sampai aku disekap di sini!" kata Pusparini dengan melempar pandangan tajam.
Den Bagus Panggelaran tersenyum. Dari cara terse-
nyumnya ini bisa diambil kesimpulan tentang sifat-
sifat yang mengendap dalam sanubarinya.
"Itu semua liku-liku peristiwa. Sejak anak buahku
melaporkan bahwa kau bikin ulah di jembatan itu, aku bersumpah untuk
meringkusmu. Tapi aku ingin seni
tersendiri dalam menjalankan rencanaku. Dan jalan
peristiwanya cukup mengasyikkan!"
"Di mana Ranti"!" tanya Pusparini dengan nada ga-
rang. Matanya tak berkedip mengawasi Den Bagus
Panggelaran. Pertanyaan ini mengundang tawa pria nomer satu di
tempat itu. "Dia aman. Percayalah. Bahkan telah kuberikan kenikmatan yang
mungkin selama ini dia rindu-
kan. Gadis dalam masa pancaroba tak bakalan me-
nampik tawaranku."
"Gila! Kau telah menodainya?" seru Pusparini.
"Bukan aku yang melakukan," jawab Den Bagus
Panggelaran dengan enak sambil melempar pandang
dingin ke arah Pusparini.
"Bukan kau" Lantas siapa?"
"Pernah mendengar tentang nama Dewa Mimpi" Dia
yang melakukannya!"
"Apa" Dewa Mimpi?" Pusparini terperangah.
"Hm. Agaknya kau pernah mendengar nama itu.
Hanya saja tentunya tak pernah kau bayangkan bahwa
ada rangkaiannya dengan kegiatanku." ucap Den Ba-
gus Panggelaran dengan memberi isyarat agar semua
anak buahnya keluar dari ruangan itu.
Kini tempat itu sepi. Hanya Pusparini dan Den Ba-
gus Panggelaran yang berada di sana. Dan laki-laki ini menyeka mulut Pusparini
yang berlumur darah Wi-
sang yang muncrat ketika menggigitnya sampai putus.
"Bibirmu ranum," ucap Den Bagus Panggelaran
mencoba memancing keramah tamahan. "Pernah ada
yang mengecupnya?"
Omongan gila! Demikian gerutu Pusparini dalam
hati. Dalam hatinya timbul rencana untuk menggigit
jari-jari laki-laki ini kalau sikap mengelus wajahnya itu akan dekat dengan
mulutnya. Tapi rupanya Den Bagus Panggelaran tidak sebodoh
itu. "Aku bisa menjinakkan kamu," kata laki-laki itu,
"Dengan menotok jalan darah pada bagian lehermu ini, kau tak akan bisa
menggerakkan otot-otot sekitar ke-palamu. Kau hanya bisa berkedip dan membuka
bibir- mu, tapi... tak bisa menggigitku. Bayangkan itu! Lalu dengan leluasa aku bisa
menciummu. Dan kembenmu
yang basah ini akan kubuka. Bahkan aku bisa mele-
pas seluruh pakaianmu. Akan kupandangi lekuk-lekuk
tubuhmu yang indah sementara kau tak akan mampu
untuk berbuat sesuatu, bahkan menolak apapun yang
kulakukan terhadapmu!"
Sampai di sini Den Bagus Panggelaran diam. Dia
ingin agar Pusparini meresapi kata-katanya. Dia ingin menanamkan rasa takut pada
gadis ini. Takut yang setengah mati. Bahkan kalau perlu minta ampun agar
dia tidak melakukan rencananya.
"Tentunya kau masih perawan...!" terdengar lagi su-
ara Den Bagus Panggelaran dengan nada lirih.
Pusparini menelan ludah ketika tangan laki-laki itu mengelus batang lehernya.
Akankah dia segera melakukan totok jalan darah agar dirinya dapat diperlakukan
seperti yang dikatakan tadi" Ditunggunya bebe-
rapa saat. Ternyata tangan itu cuma mengelus. Belum melakukan totokan.
"Tapi satu hal yang tak kusukai. Dengan cara itu
berarti aku bercumbu dengan barang mati. Seperti
mempermainkan batang pisang! Padahal aku ingin
yang hidup. Yang menggairahkan lewat sikap yang
membara...!"
Sampai di sini Den Bagus Panggelaran berhenti lagi.
Dia memandang mata Pusparini, dan si Walet Emas ini membalas pandangan dengan
mata penuh kebera-ngan, tak takut dengan ancaman.
"Mengapa kau memandangku seperti itu?" tanya
Den Bagus Panggelaran. "Pandanganmu begitu garang.
Atau... kau tak takut aku bisa bertindak seperti yang kukatakan tadi?"
"Kau... iblis bertampang malaikat! Sudah berapa ba-
nyak wanita yang jadi korbanmu?"
"Berapa banyak?" ucapan ini dibuntuti dengan sua-
ra tawa. Suara tawa ini persis seperti yang didengar sewaktu pencegatan di bulak
itu. Kini jelas bahwa Den Bagus Panggelaran memimpin langsung pencegatan itu
sehingga dirinya tertangkap sewaktu tidak sadar. "Se-leraku tinggi. Dan kau
adalah wanita idamanku yang
selama ini kurindukan. Aku sering membayangkan ke-
lak ingin mempunyai istri seperti kau, Walet Emas!"
Dheg! Perasaan Pusparini tersirap. Ternyata laki-
laki itu mengenal nama kependekarannya.
"Jangan heran kalau aku pun bisa tahu gelar ke-
pendekaranmu. Nama Walet Emas memang kesohor
akhir-akhir ini, sebagai pendekar wanita yang memiliki Pedang Merapi Dahana.
Mengapa kau tidak pasrah sa-ja kepadaku sehingga semua itu bisa terlaksana tanpa
kekerasan" Dan itu akan membuatku bahagia. Dan
satu hal lagi, bahwa aku tak ingin kau menjadi korban Dewa mimpi."
Sampai di sini Pusparini merasa tak punya arti lagi.
Itu benar-benar dirasakan karena tahu bahwa Pedang
Merapi Dahana telah jatuh ke tangan Den Bagus Pang-
gelaran. Pedang itu telah sejiwa dengannya. Semangatnya terasa loyo kalau harus
kehilangan pedang tersebut. Ditambah lagi dengan masalah tentang Dewa
Mimpi yang dikatakan oleh Den Bagus Panggelaran,
semua kian membuat dirinya seperti barang rongso-
kan. Tak berarti lagi. Dia tak tahu bahaya macam apa yang dihubungkan dengan
keberadaan Dewa Mimpi.
Sri Tanjung pun sedang memburu tokoh ini. Masalah
yang semula tak banyak mengundang perhatian, ter-
nyata kini dirinya benar-benar terperangkap di dalamnya. Dan langsung akan
berhadapan dengan Dewa
Mimpi seperti yang dikatakan oleh Den Bagus Pangge-
laran tadi. Dalam kesempatan ini Pusparini berpikir tentang
Sri Tanjung dan Ken Akung terhadap ketidak-pu-
langannya setelah menerima hadiah sabuk emas itu.


Walet Emas 04 Dewa Mimpi Merajalela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah orang seisi rumah Nyai Sandhing tidak menca-
rinya" Kalau kini dirinya berada di tempat kekuasaan Den
Bagus Panggelaran, di bagian mana tempatnya" Tam-
paknya dirinya disekap dalam kamar ruang dalam ta-
hanan. Itu terlihat lewat dinding ruangan yang seperti goa. Atau dirinya memang
disekap dalam sebuah goa"
Tapi di mana"
Dalam saat pikirannya berkecamuk ini, mendadak
dirasakan tangan Den Bagus Panggelaran meraba da-
danya. Pusparini tersentak. Perasaanya terguncang ketika dirasanya tangan itu
menyusup ke dalam kem-
bennya. Tangan itu berada di celah dadanya. Terasa
sekali dua buah jari Den Bagus Panggelaran menekan
tulang dadanya. Detak jantungnya dirasa berpacu
dengan cepat. Lalu tangan itu merambat keluar. Dari
sini terus meraba sampai di tenggorokannya. Dan di
sinilah kedua jari Den Bagus Panggelaran menotok
urat lehernya. Perasaan Pusparini terguncang. Kepalanya terasa pusing. Tapi
kesadarannya masih ada...!
Dia bisa merasakan dan melihat apa yang dilakukan
oleh Den Bagus Panggelaran terhadap dirinya.
Pusparini sadar, bahwa tangan laki-laki itu kini telah merenggutkan kembennya.
Tapi dia tak mampu
berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menutup mata meng-
alami nasib naas ini. Dia merasakan bagaimana Den
Bagus Panggelaran membelai dadanya dengan kecu-
pan lembut...! Tapi itu tak berkelanjutan. Pusparini benar-benar tahu itu, bahwa
laki-laki yang bernafsu ini tiba-tiba mencelat dari hadapannya. Tubuhnya limbung
sekitar tiga tombak, yang akhirnya menghantam
dinding ruangan.
Sumpah serapahnya segera meledak sembari men-
cari penyebab yang membuat dirinya menderita seperti itu. Seseorang telah
muncul. Tubuhnya dibalut dengan kain serba putih bagai seorang pendeta.
Rambutnya putih terurai panjang sebagai ekor dari gelungannya.
Tapi wajahnya sulit dikenali karena ditutup dengan
cadar. "Keparat! Siapa kau maka unjuk nyali di sini, hah"!"
seru Den Bagus Panggelaran seraya bangkit dari tem-
patnya. Tokoh berpakaian serba putih ini telah berkelebat
lagi ke arah Pusparini. Dia melepaskan totok jalan darah, sehingga si Walet Emas
ini sadar dan bisa bergerak lagi. Disusul hentakan dengan tangannya, maka
tali-temali yang mengikat tubuh Pusparini mengendor semua.
Dengan cepat Pusparini membenahi diri sebelum
Den Bagus Panggelaran memberi pertanda kepada se-
mua anak buahnya yang berada di luar. Tanda itu be-
rupa tali yang menghubungkan sebuah genta di luar.
Dan genta pun bergema, sekejap kemudian tempat itu
sudah penuh dengan orang-orang yang siap mengga-
nyang tokoh yang berpakaian serba putih.
Rupanya tokoh berpakaian serba putih ini tak mau
urusan lebih lama dengan Den Bagus Panggelaran. Dia segera memberi isyarat
kepada Pusparini meninggalkan ruangan itu. Sekali genjot keduanya berhasil
keluar dari sana lewat lubang angin-angin yang berlingkaran dua depa di sebelah
atap. Kemudian keduanya
melesat di atas atap bangunan yang berderetan di sa-na. Lalu melompat rerimbunan
pohon. Di sini mereka menunggu. Dari tempat ini mereka
bisa mengawasi keadaan anak buah Den Bagus Pang-
gelaran yang berhamburan seperti semut untuk men-
cari jejak mereka.
"Mereka tak bakalan bisa menemukan kita," kata
tokoh berpakaian serba putih di samping Pusparini.
Sejenak Pusparini punya kesempatan untuk menge-
nali orang yang menyelamatkan dirinya ini. Dia seo-
rang wanita. Dan suaranya tak membuat pangling bagi Pusparini....
"Maaf, nenek pasti Nyai Sandhing!" terka Pusparini.
Tokoh itu membuka cadarnya yang menutup seba-
gian wajahnya. Pusparini terperangah dengan mengumbar panda-
ngan ceria. "Nyai Sandhing!"
"Bukan! Aku saudara kembarnya," jawab wanita tua
itu. "Oh! Ss... saudara... kembarnya?" kata Pusparini hampir-hampir tak percaya.
"Selama beberapa hari
saya di sana, Nyai Sandhing tak pernah bercerita tentang Nyai.... Eh, nama Nyai
siapa" Boleh saya tahu?"
"Nyai Asih. Selama kau di sana aku juga tampil di
rumah itu. Aku berpakaian seperti Nyai Sandhing, dan kami memang sepakat untuk
tidak muncul secara bersamaan. Sehingga di rumah itu aku mengerti segala
permasalahan. Seperti halnya kemarin, setelah kalian berdua tidak muncul kembali
setelah menerima hadiah sabuk emas dari Panggelaran, langsung aku mencari
kalian. Aku memang sudah lama menyatroni orang
bernama Den Bagus Panggelaran itu. Apabila kau per-
nah mendengar nama Dewa Mimpi, maka dialah sau-
dara kembarnya."
"Saudara kembarnya" Oh, sangat menakjubkan. Di
sini aku terlibat dengan tokoh-tokoh yang punya saudara kembar," kata Pusparini
dengan membenahi pa-
kaiannya. "Bagaimana dengan Ranti?"
"Justru itu yang masih menjadi beban. Aku tak ta-
hu di mana Ranti disekap. Dan apabila kau tak kebe-
ratan, aku minta bantuanmu mendampingi aku untuk
mencarinya," kata Nyai Asih.
"Saya tidak keberatan. Tapi terus terang, saya akan mencari pedang saya dahulu.
Senjata itu pasti disimpan oleh Panggelaran," kata Pusparini dengan menga-
wasi orang-orang di seberang sana yang masih heboh
mencari mereka.
"Kalau perkiraan senjatamu berada di tangan Pang-
gelaran, kiranya tak begitu sulit untuk menemukan-
nya," ujar Nyai Asih. "Apakah Panggelaran tadi tidak berkata tentang Ranti?"
"Dia ada mengatakan bahwa Ranti berada di tangan
Dewa Mimpi, saudaranya!" jawab Pusparini.
"Oh, jadi begitu" Ini berarti kita harus ke Gunung
Wilis. Aku tahu tempat Dewa Mimpi. Pertahanannya
sangat ketat. Banyak ranjau mantera di sekelilingnya,"
kata Nyai Asih dengan mata berbinar. Harapannya un-
tuk melacak hilangnya Ranti akan segera diketahui.
"Jadi kita segera ke sana" Ke Gunung Wilis"!" tanya Pusparini.
Nyai Asih tak segera menjawab. Pandangannya ter-
paku pada kelompok orang yang sedang berlalu-lalang mencari mereka. Kemudian
terlihat Den Bagus Panggelaran muncul dengan naik kuda.
"Lihat itu," kata Nyai Asih. "Panggelaran siap be-
rangkat. Pasti mereka akan ke Gunung Wilis."
Pusparini mencoba mengawasi mereka yang berada
di kejauhan. Di sana memang terjadi kesibukan. Tapi untuk tahu satu persatu
melihat dengan teliti sangat sulit. Kalau sampai Nyai Asih dapat melihat jelas,
pasti pandangan mata wanita tua yang umurnya sekitar tu-juh puluh tahun ini
lebih tajam dari dirinya.
"Sekarang kita mengikuti jejak mereka dari bela-
kang." *** ENAM TENTANG ketidak-pulangan Pusparini dan Ranti
dari tempat Den Bagus Panggelaran untuk mengambil
hadiah sabuk emas, akhirnya menjadi pemikiran Ken
Akung dan Sri Tanjung juga. Dua orang ini sejak mengalami kekalahan dalam lomba
memanjat pohon jambe
sempat uring-uringan. Bagaimana tidak" Sri Tanjung
merasa bahwa bahunya kena totok jalan darah lewat
lemparan sebuah batu. Dan dia secara naluri telah
menduga, pasti tindakan tersebut perbuatan Ken
Akung. Tentu saja Ken Akung mulanya tidak mengaku.
Sri Tanjung mencoba mengupas masalahnya dengan
tindakan Ken Akung yang pada waktu itu memapah
tubuhnya sewaktu dirinya jatuh dari atas. Ken Akung yang menyadari salah sasaran
untuk menotok jalan
darah, dengan cepat memulihkan totokannya begitu
Sri Tanjung berhasil dibopong. Dari hal inilah Sri Tanjung menuduh Ken Akung.
"Bagaimana kau tahu bahwa aku kena totok dari ja-
rak jauh lewat lemparan batu" Kau mau mencundangi
aku dan berpihak kepada Pusparini?" kata Sri Tanjung dengan ketus. "Kau sudah '
sir' kepadanya bukan?"
"Jangan berkata macam-macam. Kau harus sadar
bahwa semua itu berkat ulahmu juga. Tanpa ulahmu,
Pusparini tak akan menang. Tanpa ulahmu, mereka
tak akan mengalami nasib buruk yang sampai kini me-
reka belum kembali ke rumah," tangkis Ken Akung.
"Dan kini Nyai Sandhing menghimbau kita untuk men-
cari mereka."
Sri Tanjung ngambek. Dia benar-benar uring-uri-
ngan. Dia tak mau melaksanakan himbauan Nyai
Sandhing agar mencari Ranti dan Pusparini.
"Baik! Kalau itu sikapmu, berarti kita akan jalan
sendiri-sendiri. Aku akan mencari mereka. Tentu kau tak menduga tentang sesuatu
hal yang kulihat tadi pa-gi," kata Ken Akung sambil membenahi perbekalannya.
Sri Tanjung pura-pura tak mau tahu, padahal ha-
tinya ingin sekali mengetahui apa yang hendak dikatakan oleh Ken Akung.
"Ternyata Nyai Sandhing punya saudara kembar.
Namanya Nyai Asih. Jadi selama aku di sini mereka selalu ada. Karena tidak
pernah muncul bersama, jadi
tak kuketahui keberadaanya," sambung Ken Akung la-
gi. Dia mengambil pedang dan diselipkan pada sabuk
pinggangnya. Ketika akan keluar ruangan itu, Sri Tanjung men-
cegahnya, "Tunggu! Apa kau bilang tadi" Nyai Sandh-
ing mempunyai saudara kembar?"
"Ya. Kita benar-benar tak tahu akan hal itu. Mereka selalu serumah dan tak
pernah muncul di depan
umum secara bersamaan. Bahkan Ranti pun mungkin
tak tahu. Ranti hanya mengerti bahwa neneknya mem-
punyai saudara, tapi entah di mana," kata Ken Akung menunda langkah. "Apakah
semua ini punya arti ba-gimu?"
"Tentang saudara kembar itu... memang iya! Kau
tentu tahu bahwa kita mendapat tugas dari guru kita untuk melacak adanya Dewa
Mimpi. Kita bertugas
sendiri-sendiri yang akhirnya bertemu di tempat ini.
Paling akhir setelah keberangkatanmu tempo hari, aku mendapat ' sisik melik'
dari guru kita agar aku mencari Pasangan Pendekar Kembar wanita tua di sekitar
kaki Gunung Wilis. Merekalah yang menyimpan Senjata
Pamungkas apabila kita ingin membinasakan Dewa
Mimpi. Apakah kau berpikir bahwa Pasangan Pendekar
Kembar itu adalah Nyai Sandhing dan saudaranya
itu?" kata Sri Tanjung dengan perasaan cerah. Hal ini rupanya telah melupakan
kecemburuannya terhadap
perilaku Ken Akung yang sejak tadi disuguhi muka
cemberut. "Jadi begitu pesan terakhir guru kita?" kata Ken
Akung. Sri Tanjung mengangguk dengan mata ceria.
"Bagaimana pikiranmu kalau kita sekarang mene-
mui Nyai Sandhing" Kita beberkan rahasia ini!"
Ken Akung termenung sejenak. Dia mengangguk pe-
lan, lalu mengajak Sri Tanjung menemui Nyai Sandh-
ing yang biasanya hari-hari seperti itu berada di gand-hok belakang rumah.
Nyai Sandhing memang berada di sana. Kedatangan
kedua pendekar itu tidak terlalu mengejutkan. Bahkan
mereka disambut dengan ucapan penyambutan di luar
dugaan mereka. "Kalian akan mencari Senjata Pamungkas itu?"
sambut Nyai Sandhing ketika melihat kedatangan me-
reka. Ken Akung dan Sri Tanjung saling berpandangan.
Mereka berdua heran bagaimana orang tua itu tahu
rencana mereka.
"Tak usah heran. Yang perlu kalian harus sadar,
bahwa di rumah ini tidak segamblang yang kalian du-
ga. Selama kalian berada di sini, boleh dikata tak ada rahasia yang tidak
kuketahui. Tentu kalian malu apabila kubeberkan rahasia apa yang kalian lakukan
di kamar itu."
Bukan main malu kedua orang ini mendengar uca-
pan Nyai Sandhing. Mau ditaruh di mana muka itu"
Dari peristiwa ini mereka tahu bahwa tokoh yang di-
hadapi ini bukan orang sembarangan. Selama ini me-
reka menganggap Nyai Sandhing sebagai 'manula' yang tinggal menunggu hari-hari
terakhirnya. Ternyata dugaan itu meleset sama sekali. Bahkan mereka diha-
dapkan pada kenyataan yang selama ini tersembunyi.
"Sudahlah! Mengapa kalian ndlahom seperti kera kesasar" Tak perlu disesalkan.
Aku tahu bahwa moral murid-murid Perguruan Pring Sewu sebagian besar
brengsek!" kata Nyai Sandhing dengan nada mengadili mereka. Bukan main! Orang
tua ini tau nama pergu-ruan mereka. Bahkan menuduhnya 'brengsek'! Dari-
mana dia tahu bahwa mereka berasal dari Perguruan
Pring Sewu" Ken Akung tak sempat bertanya soal ini
sebab Nyai Sandhing segera membeberkan semuanya.
"Guru kalian bernama Ki Bangsacara. Sampai setua
itu dia hidup 'wadat', tidak kawin. Apabila dia tahu bahwa yang menyimpan
Senjata Pamungkas itu aku,
pasti dia mencarinya sendiri. Dia tidak menyangka kalau yang disebut Pasangan
Pendekar Kembar adalah
orang yang pernah dikenalnya. Itu karena dia tak tahu bahwa aku mempunyai
saudara kembar, yaitu Nyai
Asih." Sampai di sini Nyai Sandhing diam. Dia menunggu
reaksi kedua pendekar muda itu. Rupanya mereka te-
lah tertelanjangi tentang perbuatannya, maka tak berani menyanggah ucapan wanita
tua ini. "Nah, apakah kalian akan merampas Senjata Pa-
mungkas itu dariku?" tanya Nyai Sandhing lagi. "Perhitungkan baik-baik. Kalian
akan berhadapan dengan
aku, yang mungkin ilmuku setaraf dengan gurumu!"
Belum ada reaksi dari Ken Akung dan Sri Tanjung.
"Kita punya musuh yang sama, yaitu Dewa Mimpi,
saudara kembar Panggelaran. Kusarankan kalian be-
rangkat saja ke Gunung Wilis. Sebab, mungkin Puspa-
rini dan saudara kembarku dalam perjalanan ke sana.
Itu kalau Nyai Asih berhasil membebaskan Pusparini
dari sekapan Panggelaran. Kalau tidak, Nyai Asih akan sendirian ke Gunung
Wilis," kata Nyai Sandhing dengan santai seakan memandang enteng setiap persoa-
lan.

Walet Emas 04 Dewa Mimpi Merajalela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf, Nyai Sandhing. Saya ingin menanyakan se-
suatu hal. Yaitu tentang Senjata Pamungkas untuk
menghadapi Dewa Mimpi. Kalau senjata tersebut dapat dipergunakan untuk
menghadapi Dewa Mimpi, mengapa Nyai tidak bertindak sejak dulu" Seperti kita
ketahui, bahwa Dewa Mimpi dapat menyusup ke dalam
mimpi seseorang. Dia dapat berbuat apa saja terhadap siapapun dalam mimpi yang
dia masuki. Dan orang
yang dihadapi tidak akan berdaya sedikitpun," kata
Ken Akung dengan penuh hormat agar memberi kesan
bahwa dia sebenarnya tidak sebrengsek yang dituduh-
kan, sebab masalah bermain cinta adalah masalah
manusiawi, apalagi kalau itu dilandasi suka sama su-ka, begitu menurut pikiran
Ken Akung. Tapi kalau hal ini dikedepankan, pasti timbul perdebatan tentang
moral, di mana kaum tua akan memberi pandangan
yang bertentangan dengan dirinya.
"Senjata pamungkas itu akan bisa bermanfaat pada
sewindu sekali. Setiap delapan tahun sekali. Dan tahun ini adalah tahun ke
delapan. Tepatnya, kurang li-ma hari lagi!" kata Nyai Sandhing dengan suara
bergetar seolah-olah memendam dendam. "Memang ada la-
tar belakang yang mewarnai. Kami adalah tiga se-
rangkai. Aku, Ki Bangsacara dan Panembahan Ma-
taun." "Panembahan Mataun" Siapakah dia?" tanya Sri
Tanjung yang mulai berani membuka suara. Sejak tadi dia membisu ketika orang tua
itu membeberkan perilaku mereka tanpa tedeng aling-aling. Dasar orang tua
nyinyir, begitu pikirnya semula. Tapi setelah tahu keberadaan Nyai Asih, dia
jadi menghormati orang tua
itu. "Panembahan Mataun adalah orang tua Den Bagus
Panggelaran dan si Dewa Mimpi itu. Dewa Mimpi sen-
diri nama sebenarnya Den Bagus Purusada. Saat itu
Eyang Sepuh guru kami, akan menguraikan ilmu ka-
nuragan yang disebut "Ngrogoh Sukma". Ilmu itu hasil temuannya dan akan
ditrapkan. Kami bertiga akan di-ajarkan ilmu tersebut. Tapi pada saat yang
ditentukan, buku yang memuat mantera-mantera ilmu kanuragan
"Ngrogoh Sukma" hilang. Yang lebih menyedihkan,
Eyang Sepuh kami dapati dalam keadaan sekarat keti-
ka kami temukan. Racun ganas telah menggerogoti tu-
buhnya. Dalam menjelang ajal, dia sempat membisik-
kan suatu pesan kepadaku. Kau tahu apa yang dibi-
sikkan" Kitab itu dicuri oleh Panembahan Mataun!"
Sampai di sini Nyai Sandhing menghentikan omo-
ngannya. Matanya menerawang jauh, seakan-akan
mengumpulkan ingatannya yang lapuk termakan usia.
Tapi tidak. Ingatan Nyai Sandhing tidak lapuk. Semua masih diingatnya. Suasana
masih terasa segar. Peristiwa itu seperti baru kemarin terjadi. Seperti halnya
pesan gurunya, Eyang Sepuh, yang dibisikan kepadanya untuk menanggulangi ilmu
kanuragan "Ngrogoh
Sukma" itu.
"Eyang Sepuh mengatakan padaku bahwa ilmu ka-
nuragan "Ngrogoh Sukma" adalah ilmu yang sangat
berbahaya kalau sampai jatuh ke tangan orang berwa-
tak jahat. Karena buku ilmu kanuragan tersebut telah lepas dari tangannya, maka
akan sulit didapatnya
kembali. Itu sudah kodrat namanya. Dari bisikan E-
yang Sepuh, aku mendapat petunjuk agar menemui
seseorang bernama Mpu Kuturan di lembah Jurang
Grawah. Di sana akan kudapatkan Senjata Pamungkas
untuk menghadapi ilmu kanuragan "Ngrogoh Sukma"
itu." "Mpu Kuturan" Nama itu pernah diceritakan oleh
guru kami, Ki Bangsacara. Tapi beliau terlambat me-
nuju ke tempat itu. Kiranya Nyai yang mendapatkan
senjata tersebut," kata Ken Akung.
"Ah, gurumu pasti bercerita mengada-ada. Yang di-
beritahu tentang nama Mpu Kuturan dan tempat ting-
galnya hanya aku. Gurumu tahu setelah kuberitahu.
Itu pun setelah senjata tersebut kuperoleh. Kepadanya kuberitahu bahwa senjata
tersebut telah berada di
tangan Pasangan Pendekar Kembar. Mpu Kuturan me-
ninggal karena sakit. Tapi sebelum meninggalnya, aku masih sempat menghadap
beliau, dan menyampaikan
pesan Eyang Sepuh. Kemudian Senjata Pamungkas
tersebut diserahkan kepadaku beserta keterangan per-syaratannya."
Sampai di sini Nyai Sandhing berhenti lagi. Kalau
tadi dia bercerita sambil memandang jauh ke seberang persawahan, kali ini
dipandangnya Ken Akung tajam-tajam. "Ketika kau datang pertama kali aku sudah
ta-hu bahwa kau adalah murid Perguruan Pring Sewu,
karena kau memakai ikat kepala plintiran tali berwar-na merah. Hanya saja aku
tidak menunjukkan perha-
tian tentang kependekaranmu. Ketika kau memohon
untuk tinggal di sini sebagai pembantu, dugaanku semakin terbukti bahwa kau
adalah murid Ki Bangsaca-
ra. Gurumu itu memang pernah menaruh hati kepa-
daku. Tapi aku menolaknya. Aku sudah punya pilihan.
Suamiku meninggal lima tahun yang lalu. Dia tewas
dalam suatu bentrokan sewaktu menghadapi perusuh
dari Bengawan Kedung Naga. Hanya lantaran pesan
almarhum suamiku aku tidak bisa menindak pencuri
buku ilmu kanuragan "Ngrogoh Sukma". Ternyata Ma-
taun, yang namanya pada usia tuanya diembel-embeli
'Panembahan', adalah saudara kandungnya. Panem-
bahan Mataun pun telah meninggal karena usia tua-
nya...!" Nyai Sandhing mengakhiri ceritanya dengan me-
nundukkan wajahnya. Ken Akung dan Sri Tanjung tak
menduga bisa mengetahui kisah yang saling membelit
para pelakunya. Dari uraian kisah tersebut, mereka
kini tahu bahwa Den Bagus Panggelaran dan Den Ba-
gus Purusada yang bergelar Dewa Mimpi, masih ada
hubungan kelurga dengan Nyai Sandhing.
"Tapi..." kata Sri Tanjung membuka percakapan la-
gi, "bagaimana Den Bagus Purusada mendapat gelar
Dewa Mimpi" Apakah Nyai Sandhing tahu nalarnya?"
"Ya! Tahu benar! Buku ilmu kanuragan "Ngrogoh
Sukma" ternyata disimpan oleh pihak sulung putra
kembar Panembahan Mataun yang kini bergelar Dewa
Mimpi. Sepuluh tahun yang lalu setelah Panembahan
Mataun meninggal, mereka pindah di kadipaten ini.
Rupanya sampai meninggalnya Panembahan Mataun,
mereka tidak tahu bahwa ayah mereka masih saudara
kandung suamiku. Ternyata Den Bagus Purusada le-
bih mengutamakan ilmu-ilmu kanuragannya daripada
hidup sebagai manusia lumrah. Itu sebabnya dia me-
milih tempatnya di Gunung Wilis. Kudengar, ketika
Purusada mengetrapkan ilmu kanuragan tersebut, ter-
jadi penyimpangan yang ternyata hasilnya lebih am-
puh. Mulanya ilmu kanuragan "Ngrogoh Sukma" ha-
nya bisa menghentikan denyut jantung lawan dari ja-
rak jauh, kini berkembang bisa menembus alam piki-
ran seseorang. Dan cara penembusan itu ternyata le-
wat mimpi. Hal inilah yang menggetarkan pihak-pihak dari mereka yang bermusuhan
dengan Purusada. Tanpa pergi ke suatu tempat untuk membinasakan orang
yang dianggap lawannya, Purusada tak perlu beranjak dari tempatnya. Tapi Sang
Hyang Widhi Maha Adil.
Akibat pengetrapan ilmu tersebut jasmani Purusada
semakin tua saja. Paling akhir kudengar dia kelihatan seperti kakek-kakek
berumur seratus tahun. Badan-nya ringkih sampai tak bisa bangkit dari duduknya."
"Astaga! Jadi begitu ceritanya?" sela Sri Tanjung.
"Yang ini mungkin tak diketahui guru kami Ki Bangsacara."
"Gurumu tahu. Tapi mungkin tidak menceritakan
hal ini secara lengkap kepada kalian. Sekitar lima tahun yang lalu aku pernah
berjumpa dengan gurumu.
Mungkin saat itu kalian belum berguru di Pring Sewu.
Aku memberitahu kepadanya tentang perkembangan
ilmu kanuragan "Ngrogoh Sukma" yang kini dimiliki
oleh orang yang bergelar Dewa Mimpi. Bahkan gurumu
masih percaya bahwa Senjata Pamungkas untuk
menghadapi ajian kanuragan "Ngrogoh Sukma", tetap
dipegang oleh Pasangan Pendekar Kembar. Untungnya
selama ini Dewa Mimpi tak pernah berpikir tentang
siapa yang memegang Senjata Pamungkas. Ataupun
kalau dia berusaha menyelidiki siapa yang meme-
gangnya, tidak bakalan tahu. Aku telah dibekali sara-na oleh Mpu Kuturan agar
keberadaan Senjata Pa-
mungkas tidak diketahui oleh pemilik ilmu kanuragan
"Ngrogoh Sukma." Kalau saat ini kalian tahu aku be-
lum berangkat ke Gunung Wilis, ini adalah salah satu sarananya untuk mengamankan
senjata Pamungkas.
Sebab apabila tidak, Purusada yang bergelar Dewa
Mimpi itu akan bisa mengetahui keberadaanya. Dia
akan dengan mudah membunuhku dengan cara mera-
suk ke dalam mimpiku di mana aku tak akan berdaya
sama sekali."
Sampai di sini hening lagi. Sri Tanjung dan Ken
Akung masing-masing mencoba merenungkan alur pe-
ristiwa masa lampau yang menyeret mereka harus me-
lakukan pelacakan secara rahasia tentang adanya De-
wa Mimpi dan senjata yang disebut Senjata Pamung-
kas tersebut. "Apakah ada hal lain yang Nyai ketahui tentang De-
wa Mimpi itu?" tanya Ken Akung yang semakin pena-
saran ingin tahu lebih banyak. Sepertinya dia seorang bocah yang ingin mendengar
sebuah dongeng yang
sangat menarik.
"Ya! Seperti kukatakan tadi, karena pengetrapan il-
mu kanuragan "Ngrogoh Sukma" itu, jasmani Purusa-
da semakin tua renta. Tapi rupanya dia tak putus asa untuk memulihkan agar dapat
sewujud seusianya. Paling akhir dia melakukan pengetrapan "Aji Tumbal." Dia
mencari gadis yang mempunyai rajah tangan Dewi Sri."
"Gadis yang mempunyai rajah tangan Dewi Sri" Un-
tuk apa?" sela Sri Tanjung cemas, karena nama 'Sri'
punya persamaan dengan namanya.
"Aku tahu bentuk rajah tangan Dewi Sri. Ada tanda
khususnya. Kalian tahu, bahwa Dewi Sri adalah dewi
padi, lambang kesuburan. Oleh sebab itu Dewa Mimpi
mencari gadis berajah tangan Dewi Sri untuk menang-
gulangi kerentaan jasmaninya. Dia harus mandi de-
ngan darah gadis itu!"
"Mengerikan sekali!" sela Sri Tanjung lagi. Dia me-
mang wanita pendekar, tapi mendengar kisah sema-
cam itu, perasaannya tak luput dari rasa ngeri. "Bagaimana kalau rajah tangan
saya berajah tangan Dewi Sri" Pasti aku yang diburu," kata Sri Tanjung, walaupun
menyadari dirinya bukan gadis lagi.
"Tidak. Bukan kau. Aku tahu pasti. Beberapa bulan
lalu seorang peramal memberitahu tentang bentuk ra-
jah itu," kata Nyai Sandhing dengan tenang. Inilah yang sangat diherankan oleh
Sri Tanjung dan Ken
Akung. Pada saat suasana semakin gawat, orang tua
ini adem-ayem saja.
"Siapa Nyai"!" tanya Ken Akung semakin penasaran.
"Saudara kembarku sendiri... Nyai Asih!"
*** TUJUH UCAPAN itu yang membuat Sri Tanjung dan Ken
Akung semakin geleng-geleng. Semua cerita Nyai
Sandhing telah memberi jawab semuanya. Tapi sebegi-
tu jauh orang tua itu tidak menunjukkan kecemasan
menghadapi masalah yang mungkin bisa berkembang
membahayakan jiwa orang lain. Apalagi ketika dikatakan bahwa orang yang memiliki
rajah tangan Dewi Sri ternyata saudara kembarnya sendiri, yaitu Nyai Asih.
Dalam kesempatan ini Nyai Sandhing menjelaskan,
meskipun mereka saudara kembar, ternyata ada hal-
hal yang mengandung perbedaan. Satu pada rajah
tangan! Pada Nyai Asih terlihat jelas garis tangan yang menggambarkan bentuk
bulir padi. Sedangkan Nyai
Sandhing tidak. Nyai Sandhing telah mengalami masa
perkawinan, sedangkan Nyai Asih sampai sekarang be-
lum pernah menikah. Berarti sampai setua itu dia masih perawan! Olok-olok
'perawan tua' rupanya tidak
menjadikan dirinya rendah hati. Ini disebabkan ketika berguru pada suatu
padepokan, mereka tidak sepergu-ruan. Tapi Nyai Asih nyempal ke tempat lain, di
se- buah padepokan di Gunung Kombang. Dia berguru di
sana memakan waktu lama. Melebihi waktu yang di-
pergunakan oleh Nyai Sandhing ketika berguru kepada Eyang Sepuh. Dan hasilnya
memang lumayan. Dalam
beberapa hal Nyai Sandhing bisa mengakui keunggu-
lan kebolehan Nyai Asih. Di antaranya dalam kegesitan gerak memipihkan tubuh
untuk menghindari serangan
lawan dengan senjata tajam. Kesannya, tubuh itu se-
perti tak bertulang. Dan lagi, Nyai Asih memiliki "Ilmu Bunglon" yang dapat
menyamarkan diri dengan keadaan sekelilingnya. Keterangan tersebut diceritakan
kepada Ken Akung dan Sri Tanjung.
"Yang jelas, diperlukan waktu yang tepat untuk
menghadapi Dewa Mimpi," kata Nyai Sandhing meya-
kinkan. "Waktu yang sewindu sekali itu yang membuat kami harus bertahan tidak
gegabah untuk bertindak.
Oleh sebab itu, kalau kalian berdua berniat mengemban amanat Ki Bangsacara,
laksanakan tugas kalian
untuk mendahului kerja. Tapi ingat, jangan sampai
merusak suasana. Aku akan bergerak dalam waktu
yang tepat, agar tidak dapat dipantau oleh Dewa Mimpi itu. Pergilah ke Gunung
Wilis. Ada pohon beringin
kembar sebagai pertanda tempat sarangnya setelah kalian menyebrangi Sungai
Nyambik." Akhirnya Sri Tanjung dan Ken Akung berangkat ke
Gunung Wilis. Meskipun peranan mereka dalam masa-
lah ini tak berarti, paling tidak akan mendukung terja-dinya perkembangan.
Begitulah, setelah mereka berdua menempuh perja-
lanan secara cermat, akhirnya sampai di sebuah sun-
gai yang disebut Sungai Nyambik. Disebut Nyambik,
karena di sana banyak biawaknya. Ada sebuah jemba-
tan terentang, terbuat dari akar-akar pohon yang saling dililitkan dari ujung ke
ujung. Melihat bentuknya, jembatan itu sudah berumur puluhan tahun, bahkan
ratusan tahun, karena melihat lumut-lumut yang
menghijau, dan hanya bisa dilewati dengan jalan kaki.
Baru saja mereka selesai meniti jembatan itu, tiba-
tiba dikejutkan oleh hiruk-pikuk.
"Ada yang bentrok! Di sebelah sana!" kata Sri Tan-
jung tanpa menunggu sikap Ken Akung yang mencoba


Walet Emas 04 Dewa Mimpi Merajalela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memeriksa keadaan sekelilingnya. Wanita pendekar itu terus ngeblas menerobos
semak-semak. Yang diperkirakan benar. Di sana ada bentrokan.
"Pusparini!" seru Sri Tanjung terus membaurkan di-
ri. Apapun masalahnya, dia akan berpihak pada si Walet Emas itu. Di sana
Pusparini dikroyok tak kurang dari sepuluh orang lawan. Sebagian ada wanitanya
dengan pakaian sewarna dengan kaum lelakinya, cok-
lat dan merah. Gebrakan yang dilakukan oleh Sri Tanjung belum
mendukung bahwa para pengroyok semakin kendor
semangatnya, bahkan semakin mengganas. Tak berapa
lama kemudian muncul Ken Akung. Gebrakan laki-laki
ini sempat membuat mencelat dua wanita lawan yang
ditonjok tepat pada buah dadanya. Tapi yang lain cepat nimbrung mengisi
kekosongan perlawanan, sehing-
ga Ken Akung tak sempat membobol lawan yang sibuk
menangani Sri Tanjung dan Pusparini. Kelihatannya
lawan-lawan ini adalah tenaga pilihan. Mereka sampai begitu jauh masih
mempergunakan tangan kosong.
"Apakah kau datang kemari bersama Nyai Asih?"
tanya Sri Tanjung ketika sempat bergerak di samping Pusparini.
"Kau tahu siapa dia?" seru Pusparini dengan mengi-
rimkan pukulan ke lambung lawan. Ketika lawannya
menggeliat, ditambah dengan hentakan sabetan kaki
menyambar leher, kontan lawannya ini muntah darah.
"Kami kemari atas dorongan Nyai Sandhing. Dia
akan muncul pada waktunya!" jawab Sri Tanjung de-
ngan membabat leher lawan dengan tendangan kaki.
Sang lawan limbung ke samping, lalu dipapag dengan kaki satunya. Orang ini
kehilangan pertahanan. Tapi seperti yang lain-lain, bagaimanapun terlihat pihak
lawan keteter serangan yang mematikan, tampaknya pa-ra pengroyok itu mempunyai
tenaga cadangan dan
menyerang dengan gencar kembali.
"Gila! Manusia apa ini"!" seru Sri Tanjung. "Biasa-
nya tak ada orang yang kuat menghadapi sepakanku
semacam itu."
"Justru ini yang membuat aku keteter sejak pagi,"
jawab Pusparini yang kedatangannya ke sana bersama
Nyai Asih untuk memburu Den Bagus Panggelaran.
"Nyai Asih telah memisahkan diri memburu Panggela-
ran. Ranti dipastikan jadi sandera Dewa Mimpi!" kata Pusparini yang telah
berkali-kali berasa bisa merobohkan lawan yang ternyata mereka semakin tegar sa-
ja. "Kalau kuamati sejak tadi, mereka sepertinya ingin menangkapmu hidup-hidup!"
kata Ken Akung dengan
mengirim pukulan ke arah lawan. Di sini tampaknya
naluri lawan jenis terpanggil. Ternyata dalam bentrokan itu pihak lawan laki-
laki menghadapi Pusparini
dan Sri Tanjung. Sedangkan lawan wanita lebih se-
nang berhadapan dengan Ken Akung.
"Aku bosan. Aku akan menggunakan pedangku!"
seru Sri Tanjung dengan mencabut pedangnya. Tapi
begitu dia mencabut senjatanya, lawannyapun meng-
imbangi. Sedangkan Pusparini yang senjatanya bisa
dipastikan berada di tangan Panggelaran, tak bisa berbuat banyak selain
menghadapi lawan dengan tangan
kosong. Dan sepuluh orang itu bukan lawan semba-
rangan. Tak kurang kesalnya adalah Ken Akung juga. Pe-
muda ini pun mencabut senjatanya. Lawan pun meng-
imbangi. "Hm! Mereka bertindak ksatria juga. Aku yang tan-
pa senjata tajam, tetap saja dihadapi dengan tangan kosong," pikir Pusparini
setelah melihat perkembangan bentrokan itu.
Chrraasshh!!! Senjata Sri Tanjung membabat lengan lawan sampai
putus. "Gila! Sepertinya dia tidak merasakan rasa sakit!"
pikir Sri Tanjung yang menyaksikan hasil kerjanya
sendiri. "Darahnya tak banyak menyembur!"
Di sisi lain, Ken Akung berhasil menjebol dada la-
wan dengan tusukan senjatanya. Darah hanya meleleh
sedikit. Penasaran dengan keadaan ini, maka leher lawan
berhasil ditebas dengan sabetan fatal setelah beberapa kali harus berkelit yang
ternyata lawannya semakin
beringas setelah terluka. Kepala lawan lepas dari lehernya, mencelat ke semak-
semak! "Gila! Dia tidak roboh!" seru Ken Akung setelah me-
lihat lawannya yang tanpa kepala itu tetap tegak, tapi tidak mengadakan
perlawanan lagi. Bahkan anehnya,
ketika Ken Akung pergi menjauh, maka sosok tubuh
yang tidak berkepala itu berjalan tertatih-tatih. Dia mencari kepalanya di
semak-semak! "Astaga!" hanya ini yang keluar dari mulut mereka
bertiga sambil menghadapi lawan yang lain.
"Apakah mereka memiliki Ajian Rawarontek"!" seru
Pusparini yang sempat juga menyaksikan lawan Ken
Akung tadi. Ken Akung tak sempat membicarakan lebih lanjut,
sebab lawan yang lain segera mengroyoknya. Karena
peristiwa itu, maka mereka bertiga tak mau lagi berla-rut-larut terjebak oleh
lawan-lawan yang adikodrati tanpa tahu harus dituntaskan dengan cara apa. Sri
Tanjung dan Ken Akung mengambil kesempatan agar
bisa memenggal semua kepala lawan. Sebab dengan
cara ini lawan yang rupanya dibekali Ajian Rawarontek akan kesulitan untuk
menghimpun diri.
Di sisi lain, Pusparini yang punya pandangan dan
pernah mendengar kehebatan Ajian Rawanontek, se-
gera mencari peluang untuk menyalakan api. Dia se-
gera memisahkan diri. Dengan bekal cabang dan ran-
ting, Pusparini mencoba membuat api. Usahanya ber-
hasil, walaupun untuk itu dia nyaris diterkam lawan yang kehilangan sebelah
tangannya. Api berkobar melahap alang-alang. Dan semua lawan yang sebagian
besar telah terpenggal kepalanya, dengan langkah gontai mencari kepala mereka
yang mencelat ke tengah
alang-alang yang terbakar. Akibatnya bisa dibayang-
kan. Mereka terbakar dilahap api...!
"Usahamu jempol! Hebat! Kalau sudah jadi abu,
Ajian Rawarontek tak bakalan berfungsi lagi," kata Ken Akung yang juga menyadari
akan ajian tersebut.
"Ayo kita cepat tinggalkan tempat ini sebelum ada
hal lain yang bisa mengungkung kita berada di sini terus. Kau tahu ke mana Nyai
Asih perginya?" kata Sri Tanjung.
"Ke sana!" tunjuk Pusparini dengan mengambil go-
lok lawan yang terserak di tanah.
"Rupanya tanpa pedangmu sendiri kau merasa
canggung. Kau sadar bahwa di sini tak bisa dihadapi dengan tangan kosong," sela
Sri Tanjung dengan membuntuti langkah Pusparini.
Mereka melangkah dengan hati-hati. Siapa tahu ada
pembokong yang menjegal mereka. Kawasan itu adalah
daerah kekuasaan Dewa Mimpi.
"Itu pohon beringin kembar, seperti yang dikatakan
Nyai Sandhing!" seru Sri Tanjung.
"Rupanya kalian telah mendapat santi aji dari Nyai Sandhing," kata Pusparini.
"Lebih dari santi aji!" jawab Ken Akung, "Kami berdua terasa ditatar dan
disuguhi cerita yang cukup panjang. Asyik didengar menjelang tidur untuk dongeng
anak cucu. Orang tua itu tidak seremeh yang kita du-ga. Boleh dikata semut pun
menjadi perhatiannya di
rumah itu," kata Ken Akung mengakhiri omongannya
sambil melirik ke arah Pusparini.
Pusparini masih juga belum mengerti dengan uca-
pan Ken Akung. Pikirannya saat itu lebih tertuju kepada Pedang Merapi Dahananya,
serta tugas untuk
membebaskan Ranti. Tak berapa lama sesampai diba-
wah pohon beringin kembar, mereka melihat sebuah
jalan lurus. Dan di sepanjang jalan itu berserakan tulang belulang! Tengkorak
manusia...! "Seperti ada pembantaian massal di sepanjang jalan
ini. Tulang belulang manusia agaknya sebagai perma-
dani menuju ke tempat Dewa Mimpi," kata Pusparini
lirih dengan perasaan tercekam. Betapa tidak. Melihat tulang belulang manusia
yang bertaburan seperti sam-pah, tidak terbayangkan beberapa puluh atau ratus
manusia yang kerangkanya berserakan di sepanjang
jalan menuju tempat Dewa Mimpi. Dan suasananya
memang lengang. Sepi. Hanya bunyi serangga lalat
atau sebangsanya yang senang dengan suasana seperti itu. Dengan perasaan mantap,
mereka bertiga terus
menerobos ke sana.
"Kita harus berhati-hati dengan suasana sepi seper-
ti ini. Tidak mustahil gerak-gerik kita telah dipantau dari tempat tersembunyi,"
kata Sri Tanjung menggurui.
Sedangkan Pusparini tanpa banyak omong terus me-
langkah tegar menapak di atas kerangka tulang belu-
lang manusia itu. Dari sinilah langkahnya makin lama makin pelan. Terlihat nyata
bahwa semakin dekat dengan tempat yang dituju, keadaan tulang belulang itu
wujudnya semakin lain, artinya bukan tulang lagi, tapi masih berwujud mayat
membusuk! Dari sinilah bau
tak sedap mulai menusuk hidung.
"Apakah kita akan terus masuk ke sana?" tanya Sri
Tanjung tampak enggan melangkahkan kaki lebih jauh
sementara tanganya sibuk menutup hidungnya.
"Ya! Kalau kalian enggan, biar aku saja yang terus!"
jawab Pusparini singkat tanpa mempedulikan lagi keadaan di sekitarnya yang
tampak sebagai neraka dunia!
Pusparini menggenjot tubuhnya langsung melesat ke
dalam sana. Yang jelas, gambaran tentang hamparan
tulang-belulang sampai ke mayat yang baru membu-
suk, rupanya suatu peringatan bagi siapa saja yang
berani menentang kehendak Dewa Mimpi.
Di dalam goa yang merupakan lorong pendek, Pus-
parini dihadapkan suatu pemandangan yang tak begi-
tu mengagetkan. Di sana berdiri seseorang yang dikenalnya, yaitu Den Bagus
Panggelaran, yang dengan
pongah memegang Pedang Merapi Dahana!
"Kita bertemu lagi, Nimas Ayu! Kalau kedatangan-
mu kali ini untuk mengambil pedangmu, dengan rela
hati kuberikan, asal kau mau kujadikan istriku!" ucap Panggelaran dengan senyum
manis. "Ketahuilah, di si-ni kau jangan bertindak macam-macam. Aku punya
sarana pendukung yang membuatmu tak akan ber-
kutik. Kalau kau nekad, kau akan berhadapan dengan
Dewa Mimpi, saudaraku!"
"Ancaman demi ancaman sudah membuatku kebal
selama petualanganku. Jangan kau tambahi lagi de-
ngan omong kosongmu!" tukas Pusparini.
Selagi sumbar-sesumbar ini belum tuntas, maka
Ken Akung dan Sri Tanjung telah sampai pula di sana.
"Wah, pertunjukan bakal rame. Terima kasih kalian
datang juga. Aku masih geli kalau teringat kalian berdua keroyokan memanjat
jambe yang berlemak. Setiap
pendekar pasti mudah melakukan. Tapi kalian tak ta-
hu bahwa itu bukan lemak sapi. Tapi lemak manusia
yang kuawetkan dan sengaja kubuat untuk pertunju-
kan seperti itu. Lemak macam itu mengandung man-
tera. Bagaimana rasanya ketika kalian memanjat" Su-
kar, bukan" Hehehehe...! Aku memang suka bermain-
main dengan bagian dari mayat manusia...!"
"Kau benar-benar manusia berwatak iblis. Aku tak
tahu bagaimana bapakmu, Si Durjana Mataun, bisa
mengukir jiwa ragamu menjadi manusia macam dirimu
dan saudaramu!" sela Pusparini. Ya, Pusparinipun ta-hu tentang riwayat itu,
ketika kemarin Nyai Asih ber-samanya menunggu di tempat persembunyian untuk
mencari peluang meniti jembatan gantung sementara
anak buah Dewa Mimpi masih berkeliaran di sekitar-
nya. Dalam kesempatan itu Nyai Asih, seperti halnya Nyai Sandhing, telah membuka
rahasia masa lam-paunya. Kemudian setelah keadaan di sekitarnya di-
pandang aman, barulah mereka melanjutkan menyu-
sup untuk menyatroni tempat itu. Nyai Asih kini telah bergerak entah kemana,
sementara Pusparini menyem-pal ke bagian lain yang akhirnya ketanggor sepuluh
orang lawan yang memiliki ilmu Rawarontek itu.
"Kau... tahu siapa nama ayahku?" tanya Den Bagus
Panggelaran dengan mata mendelik. "Kau sebut ayah-
ku tanpa gelar keagungannya 'Panembahan'. Tapi kau
sebut 'si Durjana'! Whuah! Kau pamer nyali dengan
gaya keterlaluan!"
"Ini tentang masa lampau, Panggelaran! Mungkin
selama ini kau menganggap ilmu kanuragan yang di-
miliki Dewa Mimpi alias Purusada hasil olahan lelu-
hurmu. Itu barang curian. Maka lebih pantas kalau
ayahmu mendapat gelar 'Durjana' daripada 'Panemba-
han'. Durjana adalah gelar yang cocok bagi almarhum ayahmu. Sebab dia tidak saja
mencuri buku itu, tapi juga membunuh pemilik buku kanuragan tersebut,
yaitu gurunya sendiri!" kata Pusparini membuka tabir masa lampau lawannya. Tentu
saja ini dicurahkan un-
tuk mengaduk kemarahan lawan, sebab dia tahu, Pe-
dang Merapi Dahana tidak akan berguna di tangan
pemegangnya apabila orang yang bersangkutan dalam
keadaan amukan amarah.
"J a h a n a a a m... kau...!" teriak Panggelaran
sambil berniat mencabut Pedang Merapi Dahana dari
sarungnya. Tapi seperti yang menjadi ciri senjata itu, seperti harapan Pusparini, maka
pedang itu tak hisa dicabut dari sarungnya. Melihat hal ini Panggelaran semakin
murka. "Senjata celaka! Senjata apa ini" Pedang-pedangan kayu?" teriak
Panggelaran lagi dengan me-
lempar senjata itu ke arah Pusparini.
Tentu saja keadaan ini segera disambut dengan
tangkapan tangan yang tangkas oleh pemiliknya sen-
diri. Kini Pedang Merapi Dahana telah berada di tangan Pusparini. Sebelum
Panggelaran melesat maju
untuk menghajar Pusparini dengan senjatanya sendiri, maka Walet Emas ini telah
mencabut Pedang Merapi
Dahananya. Shhriingg! Pedang Merapi Dahana berkilau merah diterpa sinar
matahari yang menerobos ke celah goa. Den Bagus
Panggelaran masih sempat melihat pedang tersebut
dengan gerakan melesat ke arah Pusparini. Senjatanya sendiri juga siap
ditebaskan ke arah pendekar bergelar Walet Emas itu. Tapi cahaya merah yang
menyilaukan terpancar dari Pedang Merapi Dahana membuat diri-
nya terjengah beberapa kejap. Dan ini cukup meng-


Walet Emas 04 Dewa Mimpi Merajalela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

goyahkan posisinya. Ketika keduanya beradu, hanya
sambaran cepat yang terjadi. Pusparini merunduk. Di sebelah sana Panggelaran
menapak tanah dengan sikap tegak. Pedangnya masih terpegang di tangan.
Sri Tanjung dan Ken Akung menyaksikan peristiwa
itu dengan rasa takjub. Suatu gerakan adu tanding
tingkat tinggi baru saja berlangsung. Bagi mata yang terlatih akan tahu siapa
yang menderita kekalahan.
Semua mata tertuju ke arah Den Bagus Panggela-
ran yang masih tegak. Tapi beberapa saat kemudian
pedang di tangannya tanggal. Dan sejajar dengan batas tanggalnya pedang
tersebut, terlihat darah mengucur yang kian deras seluas lebar dadanya. Dari
pinggang kanan mengarah ke atas jantung pada bagian dada kiri telah terjadi
potongan tubuhnya. Di bagian tubuh ini terdapat belahan akibat sabetan Pedang
Merapi Dahana! Herannya, tubuh itu tetap tegak terpadu. Tapi ketika Pusparini
mendorongkan tangan mengirim angin
pukulan, barulah tubuh Panggelaran roboh menjadi
dua! Suatu pandangan yang mengerikan membuat si
pendekar sendiri tak tega menyaksikan lebih lama.
"Ayo kita cari Dewa Mimpi!" ajak Pusparini.
Mereka segera meninggalkan tempat itu. Suasana
sepi dan hening. Di mana anak buah lawan yang lain"
"Suasana begini yang paling tak kusukai. Mencuri-
gakan!" kata Ken Akung.
"Melihat keadaannya, rupanya tinggal Dewa Mimpi
yang harus kita hadapi," bisik Sri Tanjung dengan ma-ta jlalatan menyapu ke
tempat sekitarnya.
Untuk beberapa saat lamanya mereka bergerak tan-
pa ada gangguan. Tempat-tempat yang diperkirakan
mengandung jebakan, ternyata tak ada apa-apanya.
Langkah mereka akhirnya menjurus ke suatu tempat
terbuka. Suatu hamparan gersang dengan banyak ba-
tang pohon yang meranggas, tak berdaun, terhampar
di hadapan mereka. Dan di seberang sana ada tempat
yang agak tinggi terdiri dari susunan balok batu yang ditata seperti altar
pamujan. Ada sesosok tubuh yang terbaring di sana. Itu se-
babnya mereka bertiga bergegas untuk mendekati, ka-
rena merasa kenal dengan sosoknya. Tubuh si Ranti!
"Ranti!" seru Pusparini dengan menggoyang tubuh
yang kelihatannya tertidur pulas.
"Dia tertidur, atau dibius untuk tidur?" kata Sri
Tanjung setelah usaha Pusparini membangunkan ga-
dis itu sia-sia. Mereka tahu bahwa Ranti telah dibuat untuk tidur. Jelas sekali
terlihat bagaimana napasnya turun naik secara beraturan. Dia tertidur. Bukan
pingsan. "Tidur" Apakah dia dalam keadaan sedang mimpi?"
bisik Pusparini. "Dewa mimpi itu pasti sedang berada dalam mimpinya."
"Pasti begitu. Kalau saja kita bisa melihat apa yang sedang terjadi dalam mimpi
si Ranti...!" kata Ken
Akung dengan nada mengharapkan jalan keluar untuk
mengatasi teka-teki itu. "Kita berhadapan dengan ilmu yang adikodrati!"
"Hei, lihat di jambangan air itu!" seru Pusparini
dengan menunjuk pada sebuah jambangan air terbuat
dari tembaga yang luasnya sekitar satu depa berben-
tuk lingkaran. Sejak awal mereka bertiga memang te-
lah melihat jambangan tersebut. Tapi ketika ada 'sesuatu' yang tampak di
permukaan airnya, perhatian Pusparini terusik. Kemudian mereka bertiga melihat
ke permukaan dalam jambangan tersebut.
"Astaga! Kita bisa melihat suatu peristiwa di permukaan air ini," bisik Sri
Tanjung dengan rasa takjub. Di sana mereka melihat Ranti!
Ya, Ranti. Gadis itu terlihat berjalan sendirian di tengah padang yang tak
terbatas. Sekelilingnya dige-nangi kabut. Tiba-tiba perasaan Pusparini tersirap.
Pemandangan seperti itu pernah dirasakan dalam
mimpinya tempo hari, yang ketika itu nyaris diperkosa oleh seseorang yang tak
begitu bisa dilihat jelas roman mukanya.
"Pasti ini yang terjadi dalam mimpi Ranti," bisik Ken Akung. "Dewa Mimpi rupanya
dengan sengaja menyediakan sarana ini agar bisa kita ketahui."
"Artinya... dia benar-benar mengharapkan agar kita
tahu apa yang dia lakukan?" tanya Sri Tanjung.
"Ya!" terdengar jawaban di luar jalur percakapan
mereka. Mereka bertiga menoleh ke arah datangnya suara.
Tak jauh dari tempat mereka, tegak seseorang de-
ngan tubuh tua renta yang memberi jawaban tadi. Dari penampilannya, mereka
bertiga bisa mengambil kesimpulan bahwa orang yang muncul ini pastilah Den
Bagus Purusada alias Dewa Mimpi.
"Kalian memang besar nyali. Apa yang membuat ka-
lian berani menerobos ke tempat ini?" kata orang tua itu. "Dewa Mimpi! Semua
orang punya sikap dan pandangan walaupun apa saja rintangannya," Pusparini
membuka suara. "Kami bertiga memang tak suka omo-
ngan muluk-muluk, tapi kalau ada orang bertanya di
mana kami harus berpijak, maka arah kami berlawa-
nan dengan yang kau kehendaki!"
"Omongan yang selangit. Dan itu sering kudengar
dari mulut setiap pendekar yang mencoba menentang-
ku. Kalian lihat hamparan tulang belulang yang berserakan menuju pintu masuk
kemari" Merekalah yang
mencoba menentangku!" kata Dewa Mimpi dengan su-
ara serak-serak basah.
"Kau bisa berbuat apa saja untuk menangani seseo-
rang dengan menyusup lewat mimpi. Tapi kami tak
akan gentar!" kata Pusparini lagi.
Rupanya dari berbagai pengalaman, dia bisa me-
manfaatkan keadaan untuk merusak daya pertahanan
lawan dengan cara gertak sambal walaupun hati kecilnya miris juga.
Melihat cara berbicara lawan seperti ini, Dewa Mim-
pi sempat berpikir tentang bobot orang yang sedang
dihadapi. Jangan-jangan lawan yang satu ini telah
berbekal sarana ampuh yang bisa membinasakan di-
rinya. Lalu terdengar suara Pusparini lagi...,
"Jangan sangka aku tidak tahu semua rahasiamu!
Saat ini kau sedang mencari gadis berajah tangan Dewi Sri agar bisa memulihkan
jasmanimu yang tua renta
karena dimakan oleh ilmu kanuraganmu sendiri!"
"Cukup!! Hentikan omonganmu!" seru Dewa Mimpi
beringas. "Aku tahu kalian kemari dengan tujuan uta-ma membebaskan gadis cilik
itu! Dia dalam kekua-
saanku! Dia bisa tidur sepanjang hidupnya kalau aku sampai terbunuh!"
"Bagus! Kau telah memberi ancaman. Tapi apa pe-
duliku terhadap satu nyawa kalau dibandingkan de-
ngan banyak nyawa lain yang akan binasa selama kau
tetap hidup?" tangkis Pusparini lagi.
Ancaman omongan yang ini rupanya mulai mem-
pengaruhi sikap Dewa Mimpi. Dia tahu. Saat ini adalah saat windu delapan tahun
sekali dalam masa naasnya.
Dewa Mimpi belum pernah ketanggor lawan yang
criwis seperti ini.
"Aku memang sedang mencari wanita berajah ta-
ngan Dewi Sri untuk memulihkan jasmaniku. Apabila
gadis berajah tangan Dewai Sri itu adalah dirimu sendiri, alangkah bahagianya
aku. Sebab dengan segala
dayaku akan kuusahakan untuk mandi dengan da-
rahmu!" kini ganti Dewa Mimpi memberi gertak anca-
man. "Akulah wanita yang berajah tangan Dewi Sri," ter-
dengar suara menggema, dan ini sangat mengejutkan
Dewa Mimpi. Semua mata mencari arah datangnya suara. Dari
puncak batang pohon yang meranggas, terlihat seso-
sok tubuh berpakaian serba putih. Lalu sosok tubuh
itu melesat dan mendarat dekat Ranti yang sedang tidur pulas.
"Akulah wanita yang kau cari....!" kata wanita itu
yang tiada lain adalah Nyai Asih, kembaran Nyai
Sandhing. "Kau sendiri tak tahu bagaimana bentuk rajah tangan Dewi Sri, bukan"
Kau hanya dengar, tapi
tak tahu cirinya!"
"Jangan membodohiku!" seru Dewa Mimpi. "Siapa
kau sebenarnya, hah"!"
"Salah seorang Pasangan Pendekar Kembar yang
mengetahui semua masalahmu! Aku Nyai Asih, kemba-
ran Nyai Sandhing!"
"Hah" Apa?" Dewa Mimpi terperangah dengan lang-
kah mundur. "Tampaknya kau baru sadar dengan nama-nama
itu?" tanya Nyai Asih. "Lihat ini, rajah tanganku! Inilah rajah tangan Dewi Sri!
Garis bulir padi ada pada tanganku, tanda kesuburan pertiwi. Ini yang kau ha-
rapkan. Darahku bisa memulihkan jasmanimu!"
Tampak Dewa Mimpi ragu-ragu.
"Aku masih gadis. Belum pernah menikah atau ber-
hubungan dengan laki-laki!" sambung Nyai Asih lagi.
"Ambil pedangmu, dan bunuhlah aku. Kau akan bisa
membuktikan sendiri!"
"Kau... main-main! Ini urusan antara hidup dan
mati!" terdengar suara Dewa Mimpi bergetar.
"Aku tidak main-main. Aku hanya tidak ingin ada
korban lebih banyak lagi. Tulang-belulang tengkorak
manusia yang berserakan itu pertanda bahwa kau ber-
susah payah mencari gadis yang berajah tangan Dewi
Sri! Berapa puluh lagi yang harus dikorbankan?"
Sepi. Tak ada percakapan. Dewa Mimpi alias Den
Bagus Purusada mencoba meyakinkan diri bahwa apa
yang sedang dihadapi benar adanya!
Ya, gambarnya adalah garis-garis yang menunjuk-
kan bulir padi. Padi tanda kesuburan. Dan kesuburan akan memulihkan jasmaninya!
"Tapi aku punya satu syarat!" tiba-tiba terdengar
suara Nyai Asih.
"Syarat?" tanya Dewa Mimpi.
"Ya. Syarat! Bebaskan gadis ini dari tidur abadinya!"
Dewa Mimpi tak cepat menjawab.
"Bagaimana?"
Sepi. Semua menunggu jawaban Dewa Mimpi.
Pusparini dan kedua temannya tercekam ketega-
ngan. Mengapa Nyai Asih kembaran Nyai Sandhing
mengadakan keputusan semacam itu" Mengorbankan
diri" "Baik! Kupenuhi tuntutanmu. Tapi sebelum itu kau
harus kubelenggu di altar itu sebagai penggantinya,"
terdengar suara Dewa Mimpi.
Nyai Asih mengangguk.
Kemudian Dewa Mimpi datang mendekatinya dan
memeriksa rajah tangan Nyai Asih. Dipandangi telapak tangan itu dengan teliti,
jangan-jangan hanya coretan buatan. Kemudian tangan Nyai Asih dibelenggu.
"Bangunkan gadis ini," hardik Nyai Asih.
"Pasti kubangunkan," jawab Dewa Mimpi tenang.
Terlihat biang kerok keonaran ini mendekati ubun-
ubun Ranti. Dengan baca mantera beberapa kalimat,
lalu ubun-ubun itu diusap.
Pusparini memandang permukaan air di jamba-
ngan. Di sana tak terlihat lagi gambaran tentang Ranti.
Berarti Ranti tidak dalam keadaan mimpi lagi.
Ranti membuka matanya. Dia tampak bingung.
Pusparini segera memapahnya berdiri dan diajak men-
jauhi tempat itu sesuai dengan isyarat yang diberikan Dewa Mimpi. Sri Tanjung
dan Ken Akung menjauh dari
tempat itu pula.
"Sebenarnya kita punya kesempatan untuk menggo-
rok Dewa Mimpi itu selagi dia memerintahkan kita
menjauh dari sana," bisik Ken Akung.
"Dan aku juga bisa melemparkan bumerang dari si-
ni," sela Sri Tanjung.
"Hst! Kali ini kita hanya jadi penonton," saran Pusparini sambil membimbing
Ranti. Mereka berempat menjauhi tempat itu. Seolah ada
kesepakatan, akhirnya mereka berhenti pada suatu
tempat, yang dalam perhitungan masih bisa berperan
kalau terjadi sesuatu di luar dugaan mereka.
Kini semua mata tertuju kepada tindakan Dewa
Mimpi. Tampak dia mengambil sebilah senjata yang
aneh bentuknya. Dengan bilah ketajaman sekitar tiga jengkal yang penuh ukiran
berisi tulisan mantera, ma-ka senjata itu siap dihunjamkan ke dada Nyai Asih.
Semua menahan napas. Mereka menanti gerakan
tangan Dewa Mimpi. Tapi sampai begitu jauh belum
terlihat tanda-tanda tangan itu akan bergerak menuju ke arah sasarannya.
Dan tiba-tiba....
"Hhhhaaaaaaaaaaaaaa....!!"
Jeritan panjang meledak dari bibir Dewa Mimpi. Se-
perti ada sesuatu yang dirasakan membuat dia ber-
teriak seperti itu. Terlihat tubuhnya bergetar.
Nyai Asih mengerutkan dahi. Seperti ada tanda
tanya dalam benaknya melihat sikap Dewa Mimpi se-
perti itu! Tapi dia tetap tenang. Kalau semua ini seperti yang telah
direncanakan dengan saudara kembarnya,
Nyai Sandhing, dia hanya ingin menanti lanjutannya.
Ada perhitungan meleset dari rencana, berarti dia benar-benar harus binasa di
tangan Dewa Mimpi,
Tapi melihat sesuatu yang menimpa Dewa Mimpi
dengan jeritan tersebut, sudah bisa dipastikan bahwa saudara kembarnya telah
bertindak! Lalu dengan cara apa dan bagaimana" Inilah teka-
teki yang selama ini tak pernah diungkap oleh saudaranya sendiri. Tapi konon
hanya diberi tahu bahwa
Senjata Pamungkas yang bisa dilawankan kepada De-
wa Mimpi mempunya pamor ampuh delapan tahun se-
kali alias sewindu! Itupun dia sendiri tak pernah diberi tahu wujudnya.
Keadaan Dewa Mimpi semakin parah. Kelihatan tu-
buhnya berasap. Baru dari peristiwa inilah kelihatan Nyai Asih tampak gelisah.
Apakah ini semua akibat da-ri perbuatan saudara kembarnya"
"Ohh! Mengapa bisa terjadi seperti itu?" kata Sri
Tanjung. "Ini di luar kemampuan kita. Walaupun bisa, akan
sangat membahayakan. Kita sudah dipesan agar tidak
turun tangan membantu mereka, kecuali untuk me-
nyelamatkan Ranti," kata Pusparini.
Dari peristiwa selanjutnya, kini terlihat Dewa Mimpi berjalan sempoyongan
mendekati jambangan air. Di
sana akan menceburkan tubuhnya yang berasap. Bisa
ditebak, bahwa asap yang mengepul dari tubuhnya,
pasti karena panas yang membakar yang tidak diketa-
hui asalnya.

Walet Emas 04 Dewa Mimpi Merajalela di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi aneh! Begitu dia menceburkan diri ke dalam
jambangan, bahkan di sana timbul kobaran api yang
hebat!! "Lihat! Bukankah di sana tadi terdapat air" Apakah
bukan air..., tapi minyak?" seru Ken Akung.
Semua tercekam melihat peristiwa yang banyak me-
ngandung teka-teki.
"Aku yakin air!" kata Pusparini meyakinkan. "Kita
tidak mencium bau minyak di sana. Kalau ada air bisa membakar, kita benar-benar
dihadapkan pada kekuatan adikodrati di luar kemampuan kita. Aku tahu Nyai
Sandhing telah melakukan tugasnya. Tapi di mana dia gerangan, kita tidak tahu."
Sementara itu kobaran api kian melahap tubuh De-
wa Mimpi disertai jeritan yang menyayat. Tubuh Dewa Mimpi yang terbakar itu
tertelan dalam jambangan air.
Ya, tertelan di sana. Seperti jambangan itu punya dasar yang amat dalam, yang
sebenarnya tidak.
"Kau benar-benar telah melakukannya, saudara-
ku...!" bisik Nyai Asih ketika melihat tubuh Dewa
Mimpi yang terbakar lenyap dalam jambangan air.
Baru setelah peristiwa itu berlalu, maka Pusparini
dan kawan-kawannya beranjak untuk menolong Nyai
Asih. "Apakah dia telah binasa?" tanya Pusparini sambil
melepaskan belenggu pada wanita tua kembaran Nyai
Sandhing.. "Tampaknya begitu. Tapi aku tak tahu bagaimana
Nyai Sandhing melakukannya."
Baru saja mereka akan beranjak meninggalkan tem-
pat itu, tiba-tiba permukaan air dalam jambangan ber-golak...! Suaranya yang
bergemuruh membuat semua
perhatian menoleh ke arah tempat itu. Dan dari jam-
bangan air itu ada sesuatu yang muncul! Sesosok tu-
buh muncul dari sana.
Sulit diurai nalar bagaimana hal itu mungkin. Se-
bab dasar jambangan itu hanya sedalam dua jengkal
dari permukaan airnya.
Sosok tubuh yang sangat mengerikan, sebab nyata
sekali tidak terbungkus kulit. Terlihat berkas otot dari dagingnya yang
mengelupas. Semua itu akibat dari lu-ka bakar!
"Awas! Dia akan menyerang kita!" seru Pusparini
ketika mereka menyaksikan tubuh itu semakin mun-
cul dari dalam air dan berancang-ancang bertindak.
Benar saja! Sosok tubuh itu melesat ke arah me-
reka. Pusparini yang semula sadar akan hal ini telah mencabut Pedang Merapi
Dahananya. Begitu sosok tubuh itu menerjang, maka langsung disambut sabetan
pedang! Nyata sekali tubuh itu terbabat dengan lugas se-
hingga bisa dibayangkan nasibnya akan seperti kema-
tian Den Bagus Panggelaran. Yang terlihat kemudian
tubuh tersebut terlontar ke atas yang kemudian men-
darat di tanah, dan berdiri tegak!
Semua pandangan mata tertuju ke arah sosok tu-
buh itu. Memang sulit dikenali, tapi mereka yakin
bahwa yang muncul ini adalah Dewa Mimpi.
Suasana hening beberapa saat.
Mereka menanti perkembangan selanjutnya.
Dan detik berikutnya mereka terperangah, sebab
sosok tubuh itu bergerak dengan pelan. Langkah kakinya gontai tapi mantap.
"Dia masih hidup!" bisik Sri Tanjung dengan men-
cekal hulu senjatanya dan siap untuk membantu Pus-
parini apabila keadaan tidak teratasi.
Sosok tubuh itu hanya bergerak lima langkah... dan
kemudian roboh!!! Hempasannya ke tanah membuat
tubuh itu terpotong jadi tiga!
"Ah, kau hebat, Walet Emas!"
Terdengar sapaan yang tak jauh dari mereka di kala
peristiwa itu berlalu...!
Semua orang memandang ke arah suara itu. Dan
tak jauh dari sana, di samping batang pohon, terlihat Nyai Sandhing berdiri
dengan tubuh memendam derita. "Nyai!!!" seru Pusparini yang pertama kali
menghampiri. Kemudian diikuti yang lain-lain ikut memban-tu memapah wanita itu.
"Kami tahu, Nyai telah melakukan peperangan de-
ngan Dewa Mimpi dalam jarak jauh," ujar Pusparini.
"Ya! Aku berada di balik pilar batu itu. Delapan tahun sekali Senjata Pamungkas
untuk melawannya ba-
ru bisa digunakan," jawab Nyai Sandhing. "Semua te-
lah kurunding dengan Asih, adik kembarku. Sebenar-
nya ini adalah peperangan kami. Kalian hanya pelengkap. Tapi akhirnya kusadari
beberapa saat barusan,
bahwa yang menentukan kemenangan ini adalah pe-
dangmu, Walet Emas...!" Wanita tua ini batuk-batuk
pelan yang agaknya menahan rasa sakit.
"Nyai terluka dalam"!" tanya Pusparini meyakinkan
prasangkanya, sebab dia melihat mata wanita tua itu semakin cekung membiru.
"Tak apa-apa. Semua telah kusadari," jawabnya li-
rih sambil menjilat bibirnya yang pucat dengan lidahnya. Dari warna lidah yang
terlihat hitam itu bisa diketahui betapa dahsyat luka dalam yang diderita Nyai
Sandhing. "Sandhing, saudaraku! Mengapa yang begini tidak
kau ceritakan padaku" Senjata Pamungkas yang ba-
gaimana kau pergunakan untuk menghadapi Dewa
Mimpi sehingga kau mengalami luka dalam macam
ini?" kata Nyai Asih dengan nada sendu.
"Bukan dengan senjata tajam. Tapi dengan ilmu ka-
nuragan juga. Karena yang kuperangi ilmu 'Ngrogoh
Sukma', maka tandingannya adalah 'Nguntal Raga'! Ini semua adalah ilmu kanuragan
tingkat tinggi yang tak bisa dipelajari satu atau dua tahun. Sudahlah... semua
telah berakhir. Tapi kalau Pusparini tidak bertindak, mungkin Dewa Mimpi tetap
hidup ketika keluar dari
jambangan itu! Bawalah aku keluar dari tempat ini...!
Aku tak ingin mati di sini...!" pesan Nyai Sandhing yang suaranya kian lemah.
*** Empat puluh hari kemudian....
"Jadi kau akan melanjutkan pengembaraanmu"!"
tanya Sri Tanjung kepada Pusparini yang mengemasi
barang-barangnya.
"Ya," jawab Pusparini. "Peristiwa dengan Dewa Mim-
pi telah selesai. Masa berkabung telah rampung, dan kukira tak ada alasanku
untuk berlama-lama di sini.
Kau sendiri bagaimana?"
Sri Tanjung hanya tersenyum di samping Ken A-
kung yang sejak tadi berdiam diri.
"Kami akan seatap terus, Rini," malah Ken Akung
yang memberi jawaban.
"Untuk sementara kami berdua akan tinggal di
Bayeman, sesuai dengan amanah almarhum Nyai
Sandhing. Kami di sini akan menemani Nyai Asih, se-
mentara kalau nanti Ranti mendapat jodohnya, mung-
kin kami akan mendirikan padepokan, entah di mana."
"Aku senang mendengar rencana kalian," kata Pus-
parini yang telah siap untuk berangkat.
"Kalau ada umur panjang dan kesempatan, pasti
kusambangi kalian. Mau mengantar aku sampai per-
batasan desa?"
Kedua pasangan pendekar, Ken Akung dan Sri Tan-
jung, mengangguk. Kemudian Pusparini pamit kepada
Nyai Asih dan Ranti yang didampingi kedua orang tuanya, Ki Langkir.
Dan di perbatasan Desa Bayeman, Ken Akung sam-
bil menggandeng Sri Tanjung melambaikan tangan ke-
pada Pusparini yang mengendarai kudanya dengan
hentakan langkah yang mantap, meninggalkan kawa-
san di kaki Gunung Wilis...!
SELESAI EPISODE INI
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Clickers
Document Outline
SATU *** *** DUA *** *** TIGA *** EMPAT *** LIMA *** ENAM *** TUJUH *** SELESAI EPISODE INI
Geger Ratu Racun 3 Naga Beracun Lanjutan Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Iblis Berwajah Seribu 1
^