Pencarian

Dewi Selaksa Racun 2

Walet Emas 05 Dewi Selaksa Racun Bagian 2


Di tempat peristirahatan rombongan tamu agung
diperlakukan dengan sambutan kebesaran. Mulai dari
hidangan sampai hiburan ringan yang berupa gending
dan tari, diselenggarakan dengan takaran melebihi dari biasanya. Tempo hari
pernah berlangsung penyambutan tamu agung dari Cina, tetapi suasananya tidak
seperti ini. Dulu utusan dari Cina membicarakan soal
perdagangan. Tetapi dari Sriwijaya ini menyangkut soal keberadaan kekuatan
kerajaan, yang setiap perselisi-han pendapat bisa membangkitkan ketegangan tidak
menguntungkan. Dan itu artinya perang!
"Baru kali ini aku berkubang dalam kancah orang
besar," kata Pusparini kepada Tambi dan Srenggi yang mendampingi mengawasi
keamanan jalannya perjamuan di balai peristirahatan.
"Jadi mereka akan beristirahat semalam di sini dan
esok harinya melanjutkan perjalanan darat ke Ibukota Medang?" tanya Srenggi
dengan mengunyah ramuan
kinang. "Ya. Mulai detik ini jangan lengah mengawasi Putri
itu," jawab Pusparini.
"Siapa nama Putri itu sebenarnya, hah" Apakah
'Putri' adalah namanya" Bukan panggilannya?" tanya
Tambi. "Tadi Jalu Rangkah memberitahu aku bahwa nama
tamu kita adalah Damayanti," jawab Pusparini yang
tak lepas memandangi tingkah gerak tamu yang harus
dilindungi itu.
Sekilas pandangannya dilemparkan ke arah Rangga
Lurukan yang kini seolah kehilangan kekuasaan den-
gan tampilnya Jalu Rangkah. Rangga Lurukan berada
tidak jauh dari tamu agung bernama Damayanti. Bah-
kan terlihat tamu agung wanita ini banyak melayang-
kan pandang kepada Rangga Lurukan. Tetapi gara-
gara keberadaan Perwira Tamtama Jalu Rangkah, ma-
ka kesempatan berbincang agaknya tersita.
Di samping itu, Pusparini telah membicarakan ten-
tang langkah-langkah yang akan diambil nantinya.
Pertama adalah melindungi tamu agung itu. Kedua
membongkar komplotan yang benar-benar 'musuh da-
lam selimut' bagi Kerajaan Medang. Sebab perkemban-
gan peristiwa mengharuskan mereka menilai kebera-
daan beberapa pihak yang hendak mengail di air keruh dengan kedatangan tamu
agung tersebut.
Pertama, tentang kelompok yang dipimpin Ki Jalak
Jenar yang memimpin "Camar Putih". Kedua, tentang
kelompok wanita bercadar yang belum diketahui rin-
cian jati dirinya. Ketiga, pihak Rangga Lurukan sendiri.
Keempat tentang keberadaan Tunggul Randi yang
menjadi mata-mata ganda.
"Kita akan bingung menghadapi mereka," jawab
Tambi ketika membicarakan hal itu.
"Tidak usah bingung, Paman. Garis tegas kita ada-
lah membela Kerajaan Medang, dan kita setia kepada
Sang Baginda Raja Prabu Dharmawangsa Teguh Anan-
ta-wikrama-tunggadewa," jawab Pusparini dengan me-
nyebut nama kepanjangan rajanya.
"Iya, dah! Kami yakin kau bisa memilah-milah un-
tuk memutuskan sesuatu. Santiaji yang pernah ditu-
runkan oleh Ki Suswara, pasti bisa dijadikan pedoman
untuk bertindak menghadapi masalah seperti ini," kata Srenggi yang semakin
memperlihatkan diri sebagai bekas murid Padepokan Canggal. Sikap urakan dan ma-
sa depan yang mengambang, kini sirna dari penampi-
lan Tambi dan Srenggi sejak mereka berkenalan den-
gan Pusparini. "Nanti malam kita perketat pengawasan," kata Pus-
parini. Lalu angannya melayang tentang pengarahan
Rangga Lurukan di mana dia harus menyamar sebagai
Damayanti. Untuk inilah pada sore harinya dia mene-
mui Rangga Lurukan.
Tetapi apa jawaban yang diperoleh" Ternyata Rang-
ga Lurukan tidak mau tahu lagi dengan rencana men-
jaga keselamatan tamu agung tersebut. Persoalannya
segera dipahami oleh Pusparini. Itu karena wewenangnya telah digeser oleh Jalu
Rangkah. Lalu, pada malam harinya, ketika Pusparini sedang
dalam tugas jaganya, dia melihat tamu agung itu be-
rangin-angin di beranda ruang yang disediakan ba-
ginya. Kemunculannya tentu saja mengejutkan Puspa-
rini. "Jadi tugasmu menjaga keselamatanku?" kata Da-
mayanti, tamu agung itu.
"Benar. Apakah... Gusti memerlukan sesuatu?"
tanya Pusparini dengan bersikap merendahkan diri
penuh sopan santun.
Terlihat senyuman Damayanti. Senyum pertama
yang ditujukan kepadanya. Prasangkanya bahwa wani-
ta ini sombong dan angkuh, sirna dengan penampilan
sikap ini. Pusparini jadi krasan untuk berbicara dengannya. Apalagi ketika
Damayanti menghendaki agar
Pusparini tidak memanggilnya dengan sebutan 'Gusti'.
Awal sekali memang kikuk untuk menganggap Da-
mayanti sebagai 'orang biasa'. Dia benar-benar tak
mengerti mengapa tamu agung dari Sriwijaya itu bersikap demikian.
"Sejak dari Sriwijaya aku selalu dihadapkan kepada
hal-hal yang sifatnya membatasi gerakku. Semua serba unggah-ungguh. Saling
menghormat. Bicara penuh ke-sopanan. Menyungging senyum walau hati tertekan.
Oh, aku muak dengan semua itu," terdengar keluhan
Damayanti seakan mengumbar isi hatinya. Dan itu
memang keluhan dari hati nurani paling dasar. Hanya sesama wanita yang bisa merasakan hal ini.
"Aku hampir-hampir tak percaya kalau hal itu me-
rupakan bebanmu selama ini," jawab Pusparini setelah terlibat pembicaraan
panjang sehingga batas antara
abdi dan gusti terdobrak oleh keakraban.
"Sebenarnya aku hanya mewakili ayahku. Beliau
wafat empat bulan yang lalu karena sakit. Ayah mewa-riskan jabatannya kepadaku
dan hal itu disetujui oleh Baginda Sri Udayadityawarman. Akulah salah seorang
duta dari Kerajaan Sriwijaya yang termuda, dan wanita satu-satunya," kata
Damayanti. "Selama menjabat du-ta ini, sudah dua kali aku melanglang ke
mancanega- ra. Pertama kali ke negeri Cina. Kedua kalinya ke Jawa Dwipa ini, ke Kerajaan
Medang." "Apakah tugas itu berat" Bukankah hal itu hanya
menyampaikan pesan raja?" kata Pusparini sambil
menerima tawaran minum yang diajukan oleh Da-
mayanti. Sikap ini semakin menumbuhkan rasa simpati ke-
pada tamu agung yang ternyata memiliki sifat mera-
kyat. Bagaimana mungkin sikap seperti ini bisa me-
numbuhkan peperangan antara Sriwijaya dengan Me-
dang seandainya dalam pembicaraan nantinya tidak
membuahkan kesepakatan"
"Bolehkah aku bertanya tentang sesuatu?" tanya
Pusparini berlanjut ketika hal itu memenuhi benaknya.
"Tentang apa?"
"Keselamatan dirimu!"
"Keselamatan diriku?"
"Ya! Apakah kau tidak khawatir terhadap orang-
orang yang mungkin bisa membunuhmu" Aku men-
dengar berita bahwa kedatanganmu ke Medang banyak
mengundang bahaya. Itu sebabnya kami mengadakan
pengawalan yang ketat terhadap kedatanganmu," kata
Pusparini. Ucapan ini rupanya tidak menimbulkan perubahan
sikap Damayanti yang semula dikhawatirkan oleh
Pusparini. Tampaknya hal seperti itu sudah disadari sebagai beban yang harus
ditanggungnya. "Beban itu aku tahu. Semasa hidupnya, ayah sering
bercerita kepadaku tentang tugas-tugas yang diem-
bannya. Termasuk ancaman marabahaya yang sewak-
tu-waktu bisa merenggut nyawa," jawab Damayanti.
"Seharusnya aku menyamar sebagai dirimu dalam
perjalanan darat menuju Ibukota Medang," kata Pus-
parini memperjelas tugasnya.
"O ya" Untuk mengelabuhi orang bertindak jahat,
maksudmu?" kata Damayanti dengan pandangan tak
percaya terhadap omongan Pusparini. "Mengapa Perwi-
ra Tamtama Jalu Rangkah tidak menjelaskan kepada-
ku?" "Tentu saja tidak. Tetapi... sudahlah. Kau tak perlu cemas dengan keadaan ini.
Yang penting, besok kau
akan diberangkatkan melewati jalur lain. Sedangkan
jalan yang diperuntukkan bagi tamu agung menuju
Ibukota Medang, akulah yang akan mengisi. Oleh se-
bab itu... mungkin kau tak keberatan kalau beberapa pakaianmu kupinjam."
Damayanti menggeleng. "Tidak! Aku tak mau cara
seperti itu. Kuharap kau melaporkan kepada Perwira
Tamtama atau kepada siapa saja yang berwenang me-
rencanakan tugas seperti itu, bahwa aku tak sudi diperlakukan dengan tindak
penyelamatan penyamaran
dengan cara kebocahan."
"Cara kebocahan" Ini demi keselamatanmu!" kata
Pusparini yang begitu heran dengan ucapan Damayan-
ti yang kedengarannya berubah jadi garang.
"Cara menjaga keselamatan cukup dengan menja-
gaku. Jangan memakai cara seperti itu. Aku sangat tidak suka," kata Damayanti
mulai kelihatan sifat ke-
tusnya. Pusparini sempat dibuat heran dengan sikap yang
berubah ini. Apakah itu semacam harga diri" Apakah
orang-orang Sriwijaya pantang dengan cara penjagaan tamu agung yang katanya
bersifat kebocahan" Rupanya pihak Sriwijaya mau menguji sampai di mana
kemampuan laskar Medang dalam menghadapi tan-
tangan menyambut tamu agung dari mancanegara.
"Baik, kalau hal itu tidak berkenan di hati gusti,"
kata Pusparini dengan meninggalkan tempat itu. Kata
'gusti' sengaja dia tampilkan lagi mengingat Damayanti memperlihatkan
kekuasaannya kembali.
"Pusparini!" seru Damayanti mencegah langkah
Pusparini yang hampir lenyap dari balik pintu.
Pusparini menghentikan langkah dan memandang
kepada Damayanti. Terasa pandangan Pusparini san-
gat menyengat tidak mengenakkan. Terjadi ketegangan sesaat.
"Aku masih membutuhkan bantuanmu. Tetapi jan-
gan dengan cara seperti itu," kata Damayanti mencoba ramah kembali.
Tetapi Pusparini cepat menghilang dari balik pintu.
Damayanti termenung. Dia mencoba memahami si-
kap Pusparini. Lalu sesungging senyum menghias bi-
birnya. Sayang tak ada yang melihat senyum itu. Se-
bab pada penampilan wajahnya tiba-tiba itu tercermin perangai bengis,
menenggelamkan paras ayunya.
*** ENAM Semua yang direncanakan oleh Rangga Lurukan
buyar berantakan. Pusparini tidak jadi menyamar se-
bagai tamu agung. Dan pagi harinya orang-orang di-
buat sibuk untuk mencari Rangga Lurukan yang kini
tidak terlihat keberadaannya. Padahal dia harus melepas tamu agung yang
meninggalkan Tanjung Penyu
untuk menuju Ibukota Medang yang memakan waktu
dua hari perjalanan darat ke arah selatan.
"Aku tak mau keberangkatan tamu agung kita ter-
tunda gara-gara kepergian Rangga Lurukan," kata Jalu Rangkah di atas kudanya.
"Kita berangkat sekarang!"
Maka berangkatlah rombongan itu. Sebuah tandu
yang dipikul delapan orang bermuatan Putri Damayan-
ti, sang tamu agung. Tandu terukir indah dengan para pemikul masing-masing empat
orang di sebelah kanan
dan kiri secara memanjang, dikawal dengan ketat dan rapi oleh laskar Medang.
Sedangkan anggota tamu
agung yang juga disertai laskar Sriwijaya, hanya terdiri dari sepuluh orang
saja. Itupun yang empat orang terdiri dari pejabat pendamping.
"Mengapa kau memilih berada di belakang?" tanya
Tambi kepada Pusparini setelah iring-iringan keluar dari perbatasan Tanjung
Penyu. Pusparini yang diapit Tambi dan Srenggi, ketiganya
berkuda dan berada di belakang barisan.
"Namanya saja pengawal. Tempatnya ya harus di
belakang," jawab Pusparini yang berniat memancing
senda gurau. "Hitung-hitung kita ini 'kawula cilik', apa pantas harus pethitha-
pethithi di depan tamu agung?"
Srenggi menggarami dengan ketawa. Sedangkan
Tambi hanya nyengir. Mereka berseloroh tentang keberadaannya yang tampaknya kini
jadi pelengkap saja.
Rupanya keadaan telah berubah di luar dugaan. Juga
tentang kepergian Rangga Lurukan yang tanpa diketa-
hui kemana rimbanya.
Tentang hal ini hanya Pusparini yang bisa memasti-
kan, bahwa Rangga Lurukan kemungkinan besar tidak
pergi dengan niatnya sendiri. Tetapi dia diculik. Pasti diculik oleh orang-orang
yang tempo hari bentrok dengannya. Mereka adalah orang-orang bercadar, dan sa-
lah seorang di antaranya terdapat Tunggul Randi. Memang banyak hal-hal yang
bersimpang siur perihal pihak-pihak yang hendak mengambil keuntungan dari
kedatangan tamu agung ini.
"Jadi kau memilih barisan di belakang ini juga
hanya untuk melamun?" tanya Srenggi.
Pusparini tergagap kaget. Dia sekilas memang ter-
hanyut lamunan memikirkan peristiwa yang sedang
dihadapi. "Aku memikirkan Rangga Lurukan," jawab Puspari-
ni. "Memangnya ada perlunya memikirkan orang sema-
cam dia?" kata Tambi.
"Tentu Paman setuju dengan pendapatku bahwa hi-
langnya Rangga Lurukan karena dia diculik!"
"Cocok sekali. Aku pun punya dugaan begitu. Bu-
kankah beberapa waktu yang lalu kita bentrok dengan orang-orang bercadar yang
mencoba menculik dirinya?" jawab Tambi.
"Kesimpulannya sekarang, ada dua pihak yang per-
lu diwaspadai. Kelompok orang bercadar dan kelompok
'Camar Putih' pimpinan Ki Jalak Jenar," jawab Pusparini.
"Ah. Aku lebih setuju kalau kita tidak berpusing-
pusing memikirkan mereka. Tugas kita hanya men-


Walet Emas 05 Dewi Selaksa Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gawal tamu agung ini. Titik. Sampai di Ibukota Me-
dang, tugas selesai. Titik. Dan kita bebas pergi. Titik!"
jawab Srenggi yang senang memancing guyonan. Lain
sekali perangainya ketika pertama kali baru berkenalan dengan Pusparini.
Pembicaraan mereka memang kemudian beralih ke
hal lain. Mereka mengobrol tentang upah jerih payah dalam tugas pengawalan ini.
Tambi dan Srenggi me-rencanakan untuk 'tirah' atau berkunjung ke Padepo-
kan Canggal setelah tugas selesai.
*** Ketika perjalanan sampai di Desa Gambiran, mere-
ka beristirahat. Hari memang telah senja. Rombongan menuju ke tempat
peristirahatan di rumah kepala de-sa. Kedatangan tamu agung disambut dengan
jamuan yang telah disediakan. Daerah itu memang tempat per-singgahan bagi perjalanan
menuju Ibukota Medang
yang berawal dari Tanjung Penyu.
Ini bukan berarti pengawalan jadi lengah. Bahkan
lebih ketat dan berhati-hati. Seperti halnya malam itu, ketika semua
beristirahat melepaskan lelah setelah
menikmati perjamuan. Pusparini mengambil prakarsa
nangkring lagi di atas wuwungan. Suatu cara yang paling disukai untuk bisa
mengawasi tempat di sekitar-
nya. Apakah mentang-mentang dia seorang pendekar
bergelar Walet Emas maka mempunyai kebiasaan se-
perti itu" Kiranya tidak. Hal itu melihat suasananya.
Seperti keadaan malam ini di mana tempat penginapan tamu agung itu mudah sekali
menjadi sasaran serangan orang-orang yang berniat jahat. Menurut keterangan Jalu
Rangkah, tempat menginapnya setiap tamu
agung tidak di rumah itu. Tetapi karena bangunan
yang biasa dipergunakan telah terbakar seminggu yang lalu, maka terpaksa
dipindahkan ke sebuah rumah
joglo yang biasa dipergunakan sebagai balai persidangan desa. Tentu saja
bangunan itu dibenahi sedemi-
kian rupa sehingga layak untuk penginapan seorang
tamu agung. Tetapi justru hal itulah yang membuat Pusparini
bersikap waspada. Karena keberadaan rumah joglo itu keamanannya jadi rawan.
Dinding-dindingnya mudah
diterobos. Sepertinya ada niat untuk menjadikan tamu agung agar diinapkan di
rumah joglo dengan sengaja
membakar rumah penginapan yang sarananya aman.
"Hm! Kalau bocah ingusan pasti tak berpikir ten-
tang hal ini," kata Pusparini dalam hati. "Pasti ada tangan-tangan jahil yang
membakar rumah itu, dan
kedatangan tamu agung memang ditunggu di tempat
ini... untuk dicelakakan!"
Dan penjagaan itu memang dilakukan oleh Puspa-
rini tanpa setahu Jalu Rangkah, si Perwira Tamtama.
Sedangkan Tambi dan Srenggi telah ditugaskan men-
jaga jalur masuk dan keluar gerbang rumah kepala de-sa. Walaupun pihak Jalu
Rangkah sendiri telah mengerahkan laskarnya untuk menjaga keamanan, tetapi
Pusparini mempunyai cara lain memperketat kewaspa-
daan. Sepertinya Pusparini tidak percaya dengan pihak
lain, walaupun itu terdiri dari laskar Medang sendiri.
Siapa tahu bahwa di antaranya terdapat musuh dalam
selimut yang justru di depan hidung sendiri.
Selagi termenung itulah, maka tiba-tiba Pusparini
menangkap bunyi desiran ke arahnya. Tak ayal lagi,
ternyata sebuah pisau terbang melesat dari kegelapan menuju ke arahnya.
Pusparini berkelit dengan lompa-tan ringan agar tidak menimbulkan perhatian.
Gera- kannya bagai sehelai daun runtuh dari tangkai, tetapi sulit ditebak ke mana arah
jatuhnya. Begitu gemulai, seakan-akan memperolok pihak penyerang.
Pusparini tahu bahwa pihak penyerang tidak hanya
sekali melakukan serangan setelah serangan perta-
manya luput. Dugaannya benar. Serangan berikutnya
terjadi. Tetapi untuk kesekian kalinya berhasil dihindari. Bahkan sebuah pisau
berhasil ditangkap dan dilemparkan ke arah lawan yang berada dalam kegela-
pan. Kalau sang lawan lengah, pasti kena.
Pusparini sadar bahwa serangan balasannya tidak
mengenai sasaran. Bukan berarti kurang trampil.
Hikmahnya bisa didapat saat berikutnya. Terlihat sang lawan mencoba bergerak
memperbaiki posisi. Justru
hal ini cepat dipahami Pusparini yang dengan cepat
melemparkan senjata rahasianya sendiri.
"Akh!" terdengar suara aduhan tertahan.
Terlihat tubuh lawan limbung dari persembunyian-
nya di dahan pohon. Tetapi sesampai di tanah dia melarikan diri. Pusparini
berusaha mengejar. Walaupun dalam keadaan terluka, sang lawan masih mampu ber-
lari dengan gesit.
"Aku harus bisa menangkapnya untuk mengorek
keterangan," pikir Pusparini dengan mempercepat
langkahnya. Kegelapan ditrobos. Dia yakin gerak lawan itu berla-
ri terus menuju arah barat. Hanya beberapa tombak
dia akan berhasil menjangkau lawannya. Ketika diperkirakan mampu, Pusparini
melompat. Tangannya ber-
hasil mencekal leher lawan. Tetapi aneh. Mendadak
yang dipegang serba dingin dan licin. Ketika diperiksa ternyata gedebok batang
pisang! "Keparat! Ilmu apa ini?" gerutu Pusparini sambil
mencampakkan batang pisang itu.
Saat itu juga terdengar suara tawa. Jelas sekali
bahwa yang punya suara adalah seorang wanita. Suara gemanya memantul ke berbagai
penjuru. Tetapi berkat pengamatan terlatih, Pusparini bisa mengetahui arah yang
pasti datangnya suara itu. Orang itu berdiri dekat pohon besar.
Tanpa membuang waktu lagi Pusparini melesat ke
arah orang itu. Pedang Merapi Dahananya langsung
dicabut. Gebrakan serangannya melaju dengan pesat.
Ini gara-gara dia merasa terkecoh oleh 'permainan' lawan yang diduga memiliki
ilmu sihir, atau apapun namanya.
Serangan Pusparini disambut dengan perlawanan.
Pada saat itulah dia tahu bahwa lawan yang dihadapi adalah wanita yang bercadar.
Pedang Merapi Dahananya memang tidak seampuh kalau dipergunakan
pada saat siang hari di mana matahari bersinar cerah.
Walaupun begitu Pusparini tetap gencar menyerang
lawannya. Dia memang ingin menguak teka-teki sela-
ma ini untuk mengungkap musuh dalam selimut.
Di lain pihak wanita bercadar itu tak kurang ga-
rangnya menghadapi Pusparini. Pedangnya berkelebat
mencari sasaran. Jelas sekali bahwa dia sangat men-
guasai ilmu pedang. Sabetan yang tampaknya sekali,
ternyata merupakan serangan ganda sehingga nyaris
membobolkan pertahanan Pusparini. Kemudian sete-
lah menyadari siasat lawan, Pusparini merubah jurus serangan. Dia membuat gerak
tipu sehingga lawan terseret menyerang ke arah itu. Tidak tahunya dengan
cepat dialihkan ke bagian lain. Baru pada tindak pertama saja Pusparini telah
berhasil menjambret cadar lawan dengan ujung pedangnya.
Cadar tersingkap. Dalam keremangan malam lewat
cahaya bulan di langit, Pusparini bisa mengenali wajah itu. Detak jantungnya
bergetar lebih cepat ketika disadari siapa lawannya itu.
"Damayanti"! Tamu agung dari Sriwijaya"!" seru
Pusparini dengan suara tertahan.
Saat lengah sekejap ini cukup memberi peluang ba-
gi lawannya mengirimkan serangan. Sebuah sambaran
pedang membabat lengan Pusparini. Dia tak sempat
mengaduh sebab disusul tendangan kaki lawan meng-
hunjam ke perutnya. Tubuh Pusparini mencelat ke be-
lakang. Maunya sang lawan dengan keadaan ini dia akan
dengan mudah bisa melancarkan serangan dengan tu-
sukan pedang. Tetapi sebelum dia bertindak lebih lanjut, tiba-tiba tubuh wanita
itu menggeliat dengan sem-buran aduhan tertahan. Itu karena lehernya tertembus
bilah pedang dilemparkan. Pedang Merapi Dahana!
Dan tubuh itu roboh diiringi suara mengerikan, seperti kambing disembelih.
Pusparini nyaris menjerit histeris. Tetapi tangannya cepat menutup mulutnya
sendiri. Betapa tidak. Sebab dia merasa telah membunuh tamu agung itu.
Seharusnya sewaktu wanita itu hendak menyerang lagi, dia bertindak berkelit
sehingga kematian fatal itu tak terjadi. Tetapi bagaimana kalau lawannya terus
membabi buta melancarkan serangan sehingga dirinya sendiri
yang tewas"
Dengan tabah Pusparini mencoba menenangkan di-
rinya. Dia beranjak untuk memeriksa wanita itu yang kini menggeletak tak
bergerak lagi. Pedang Merapi Dahana dicabut dari leher lawannya. Lalu dengan
teliti diawasi wajah itu.
Tiba-tiba ada sesuatu yang mencurigakan. Wajah
itu terkelupas. Artinya, ada yang lepas dari wajah itu.
Ketika dipegang, ternyata sebuah topeng menutup wa-
jah aslinya. Topeng direnggutkan, dan kini terlihat wajah yang bukan wajah tamu
agung. Tetapi wajah orang lain yang belum pernah dilihat sebelumnya. Sedangkan
topeng itu adalah bentuk topeng yang mirip wajah tamu agung dari Sriwijaya.
Topeng itu terbuat dari kulit yang cara pembuatannya bisa dinilai sebagai karya
seni yang agung.
Pusparini cepat memutuskan untuk melaporkan hal
ini kepada Jalu Rangkah, si Perwira Tamtama. Len-
gannya yang berdarah segera dibalut dengan ikat ping-gangnya yang berbentuk
selendang kecil. Tetapi baru saja dia menapakkan kaki untuk bergerak cepat, ada
sosok tubuh lain yang menghadang jalan.
Pusparini siap siaga. Dia tak mau ambil resiko un-
tuk berlama-lama menghadapi lawan dengan tangan
kosong yang biasanya dipergunakan menjajagi lawan
sebelum serangan utama dilancarkan. Saat ini waktu
sangat berharga. Melihat sosok tubuh itu, langsung
Pusparini menyerang. Tetapi tampaknya lawan yang
diserang berkelit tanpa mengadakan perlawanan. Bah-
kan terdengar teguran, "Hentikan!"
Pusparini tidak mengindahkan seruan itu. Pedang-
nya dibabatkan ke arah lambung lawan. Orang yang
diserang dengan lincah mengelak. Kegelapan agak me-
nebal, sebab bulan dihalangi awan yang berarak ke timur.
"Aku Tunggul Randi!" seru orang itu.
Pusparini menghentikan serangannya, tetapi ke-
waspadaan tetap terjaga.
"Kau Tunggul Randi?" seru Pusparini. "Kau bersa-
ma orang-orang bercadar menyerbu kemari?"
"Tenang! Aku ingin berbicara sebagai pihak yang ti-
dak bermusuhan denganmu. Kulihat kau telah berha-
sil menewaskan Dyah Kumpi," kata Tunggul Randi.
"Dia..." Dyah Kumpi" Siapa Dyah Kumpi"!" tanya
Pusparini. "Aku sudah pernah bercerita kepadamu tentang
wanita yang memberi mantera kepadaku sehingga aku
harus setia kepadanya," jawab Tunggul Randi.
Bulan bersih dari halangan awan. Kini Pusparini
dengan jelas bisa melihat sosok Tunggul Randi.
"Kau tahu bahwa Dyah Kumpi menyamar dirinya
sebagai... wajah tamu agung dari Sriwijaya?" tanya
Pusparini. "Tahu! Dan itu baru dilakukan malam ini. Sebenar-
nya dia hendak menyusup ke dalam kamar tamu
agung itu," jawab Tunggul Randi.
"Hendak membunuh Putri Damayanti, tamu agung
itu?" "Tidak!"
"Lalu untuk apa?"
"Aku sendiri belum berhasil mengorek keterangan
itu," jawab Tunggul Randi. "Yang jelas, antara Dyah Kumpi dan Putri Damayanti
sebenarnya ada hubungan
kerja sama. Kau tahu, Dyah Kumpi adalah kawula
Sriwijaya yang menyusup ke Medang."
"Jadi begitu" Bagaimana dengan hilangnya Rangga
Lurukan?" tanya Pusparini tidak srantan.
"Orang-orang Dyah Kumpi telah menculiknya sete-
lah pesta penyambutan tamu agung itu."
"Bicaramu mulai menarik perhatianku, Tunggul
Randi. Sebenarnya kau ini bekerja untuk siapa, hah"
Untuk kelompok Ki Jalak Jenar dengan 'Camar Putih'
nya?". "Aku tak menyalahkan dirimu kalau bimbang ter-
hadap diriku. Semula kau bisa menyimpulkan bahwa
aku mata-mata ganda, berbuat untuk pihak yang
menguntungkan. Tetapi sebenarnya aku 'telik sandi', mata-mata dari Kerajaan
Medang sendiri. Langsung di bawah perintah Mapatih Satyawacana, Dewan Penasihat
Raja. Ini tanda pengenalku," kata Tunggul Randi sambil mengeluarkan sekeping
logam yang diikat ran-tai halus.
Bulan membantu Pusparini meneliti benda itu. Ter-
tera simbol Kerajaan Medang di sisi satunya. Sedangkan sisi yang lain
menyebutkan tentang jabatan yang diemban Tunggul Randi.
"Kalau ada cahaya lebih terang, kau bisa membaca
namaku di kepingan logam tanda pengenal itu," kata
Tunggul Randi lagi.
"Tetapi mengapa kau sampai disandera oleh Dyah
Kumpi?" "Dia berhasil mengetahui siapa diriku. Dengan ran-
jau mantera ditulis pada tubuhku, aku bagaikan kerbau tercocok hidung saja. Aku
diperintahkan menyu-
sup ke dalam kelompok Ki Jalak Jenar. Itulah cerita yang sesungguhnya tentang
anggapan diriku sebagai
telik sandi ganda."
"Terima kasih! Berarti dengan tewasnya Dyah Kum-
pi mantera di tubuhmu telah sirna. Begitu?" kata Pusparini.
"Ya. Kini aku bisa berjalan pada tugas semula. Tu-
gasku memang untuk melacak pihak-pihak yang men-
jadi musuh pemerintah Medang. Terutama yang dis-
ebut 'musuh dalam selimut' itu."
"Artinya... pihak Ki Jalak Jenar dengan 'Camar Pu-
tihnya' bukan lawan yang memusuhi raja?" tanya Pus-
parini mencoba mendapatkan kepastian, walaupun hal
itu pernah diungkap oleh Ki Jalak Jenar sendiri.
"Ki Jalak Jenar adalah kelompok yang 'bersih'. Ten-
tang Rangga Lurukan memang perlu dicurigai," kata
Tunggul Randi. "Dyah Kumpi menculiknya hanya un-
tuk menagih pertanggungan jawab tentang persekong-
kolannya untuk melumpuhkan perdagangan Kerajaan
Medang yang dimasukkan lewat Tanjung Penyu."
Sebenarnya Pusparini ingin tahu lebih banyak ten-
tang cerita Tunggul Randi. Tetapi tiba-tiba terlihat bias cahaya merah di
sebelah timur. "Kebakaran! Mereka telah bertindak!" kata Tunggul


Walet Emas 05 Dewi Selaksa Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Randi dengan beranjak dari tempat itu.
Pusparini mengekor di belakang. Mereka menuju
pemukiman tamu agung.
*** TUJUH Kebakaran memang sedang berkobar di pemukiman
kepala desa Gambiran. Terutama pada bangunan joglo
tempat tamu agung bermalam. Kebakaran berkembang
ke bangunan lain. Bentrokan berkecamuk. Rupanya
laskar Medang di bawah pimpinan Perwira Tamtama
Jalu Rangkah sedang baku hantam dengan orang-
orang bercadar di bawah pimpinan Dyah Kumpi. Tetapi mereka tidak tahu bahwa Dyah
Kumpi sendiri telah
tewas. Ini merupakan hal yang aneh. Biasanya kematian
pemimpin membuat kendor semangat anak buahnya.
Di sini terlihat orang-orang bercadar itu masih sigap menghadapi laskar
pemerintah Medang.
"Mereka masih kompak. Bagaimana itu bisa terja-
di?" tanya Pusparini sesampai di sana, tanpa berniat untuk melibatkan diri dalam
bentrokan berdarah itu.
"Sepertinya kau belum paham dengan keadaan ini.
Mereka patuh pada Dewi Selaksa Racun!" Tunggul
Randi memberi jawaban.
"Dewi Selaksa Racun" Siapa lagi itu?" tanya Puspa-
rini penasaran.
Topeng wajah tamu agung masih tetap dipegangnya.
Pedang Merapi Dahana telah disimpan ke dalam sa-
rungnya yang bertengger di punggung. Letak pedang-
nya diatur sedemikian rupa sehingga mudah dicabut
dengan gerakan cepat.
"Dewi Selaksa Racun adalah gelar Putri Damayanti,
sang tamu agung itu!" jawab Tunggul Randi dengan
membayangkan bahwa sebutan itu pasti sangat men-
gejutkan Pusparini. Dan itu memang benar.
"Mengerikan sekali namanya," tanggapan Pusparini
dengan memandang topeng wajah Damayanti alias
Dewi Selaksa Racun. "Tampaknya kedatangannya ke-
mari bukan untuk sebagai duta Kerajaan Sriwijaya."
"Memang tidak! Begitu tiba di istana, dia akan
membunuh Sang Baginda Raja Prabu Dharmawangsa!"
jawab Tunggul Randi.
Perasaan Pusparini bergetar mendengar penjelasan
yang semakin rinci. Tentu saja hal itu berkat keberadaan Tunggul Randi selama
dia berada dalam kelom-
pok Dyah Kumpi. Tak percuma Tunggul Randi menjadi
anggota kelompok itu walaupun dalam keadaan ter-
sandera ranjau mantera. Dan mantera itu begitu am-
puhnya, yang meliputi bisa mendatangkan maut kalau
sampai Tunggul Randi membeberkan apa yang diketa-
hui tentang komplotan Dyah Kumpi.
"Kalau begitu kita harus memberitahukan hal ini
kepada Jalu Rangkah," kata Pusparini sambil mele-
satkan diri ke kancah pergolakan.
Tunggul Randi terpaksa mengekor di belakangnya
walaupun dia sebenarnya lebih memiliki wewenang
menghubungi Jalu Rangkah. Sementara dia melang-
kah di belakang Pusparini, sempat dipesankan agar tidak mengatakan peranan
dirinya kepada Jalu Rang-
kah. Ketika Pusparini menanyakan sebabnya, Tunggul
Randi memberitahukan bahwa itu merupakan seba-
gian tugas agar laskar pemerintah Medang sendiri tidak mengetahui siapa dia
sebenarnya. Begitulah. Ketika Pusparini sibuk mencari Perwira
Tamtama Jalu Rangkah, maka Tunggul Randi memi-
sahkan diri tanpa setahu dirinya.
Bentrokan antara laskar Medang di bawah pimpi-
nan Jalu Rangkah dengan kelompok orang-orang ber-
cadar masih berlangsung dengan seru.
Tiba-tiba Pusparini melihat Putri Damayanti, si ta-
mu agung, yang punya gelar 'Dewi Selaksa Racun'.
Tamu agung itu tampak tenang menyaksikan hiruk-
pikuk di sekitarnya. Di sampingnya berdiri empat
orang pembantunya. Kelima orang itu sepertinya tidak terganggu oleh pihak-pihak
yang saling bentrok. Tentu saja, sebab orang-orang bercadar itu memang seku-
tunya. Di lain pihak, laskar Medang belum mengetahui pe-
ranan Putri Damayanti. Mereka masih menganggap
sebagai tamu yang harus dijaga keselamatannya.
Pusparini mengamati dari kejauhan di balik sudut
rumah. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh
tamu agung itu. Dalam pengamatan ini mendadak ter-
lihat Tambi mendekati Putri Damayanti. Rupanya
Tambi berusaha melindungi tamu agungnya.
"Putri! Bersembunyilah! Orang-orang bercadar itu
tampaknya jumlahnya kian bertambah. Entah dari
mana datangnya mereka," seru Tambi.
Putri Damayanti hanya melempar senyum. Kebaka-
ran yang berkobar di sana memungkinkan keadaan
terlihat dengan nyata. Tambi tetap siap siaga, menjaga kalau-kalau ada lawan
yang mendekat ke arah tamu
agung. Tambi melihat bahwa Putri Damayanti mendekat
kepadanya. Rasa harga dirinya melonjak. Tambi mera-
sa bahwa tamu agung itu minta dilindungi dari mara-
bahaya. "Putri lebih baik berada di dekat saya. Jangan jauh-jauh," kata Tambi tanpa
melihat wanita itu yang kian mendekat.
Yang dirasakan Tambi kemudian adalah sentuhan
tangan Putri Damayanti yang memegang bahunya.
Agak kaget dia. Dan hal itu dibiarkan saja. Nyaman rasanya kalau ada seorang
wanita ingin minta perlin-
dungan. Itu kalau wajar. Yang tidak wajar adalah
renggutan tangan Putri Damayanti yang dirasakan se-
makin kuat mencekal bahunya. Itu bukan sekedar
sentuhan. Tetapi serangan tenaga dalam!
"Aakhh... Pp... Putri! Apa yang Putri lakukan ini?"
seru Tambi sambil menyeringai kejang. Disusul mata
yang melotot, semua membuat penampilan wajah
Tambi jadi berubah. Otot-otot wajahnya menyembul
keluar. Roman mukanya jadi merah seperti udang di-
rebus. Dan sesaat kemudian otot-otot yang kelihatan itu pecah. Darah menyembur.
Mata, hidung dan mulut
mengeluarkan darah!
Pusparini yang menyaksikan dari jauh menahan di-
ri untuk tidak bertindak walaupun untuk itu terpaksa mengorbankan Tambi. Dia
ingin tahu sejauh mana il-mu simpanan Dewi Selaksa Racun yang berperan se-
bagai tamu agung dari Sriwijaya.
Kemudian terlihat tubuh Tambi dicampakkan sete-
lah sekujur tubuh itu berlumur darah yang keluar dari delapan lubang pelepasan.
Perasaan Pusparini menggelegak. Dia membayang-
kan apa jadinya kalau wanita itu turun ke gelanggang menangani laskar Medang.
"Cari Perwira Tamtama itu" terdengar ucapan Putri
Damayanti kepada empat orang pembantunya.
Empat orang itu dikenal dengan nama masing-
masing Rake Pagaresi, Rake Kalungwarak, Rake Lam-
pi, Rake Sikhalan. Mereka bergerak menyebar.
Sementara itu Perwira Tamtama Jalu Rangkah se-
dang menghadapi lawan yang mengepung dirinya. Di
sampingnya terdapat Srenggi, yang dengan susah
payah membantu Jalu Rangkah.
"Di mana Pusparini?" seru Jalu Rangkah kepada
Srenggi. "Entahlah. Tampaknya dia pun sedang menangani
seorang lawan yang dikejarnya ke arah barat," jawab Srenggi sambil membabatkan
pedang kepada lawannya.
Kena! Sang lawan roboh. Disusul serangan dari
yang lain. Tetapi kali ini membutuhkan tenaga tambahan karena lawannya lebih
trampil dengan gerak ber-
kelit. Sedangkan Srenggi yang perawakannya agak
gendut sangat sulit untuk bergerak lincah. Tetapi tebasan sambaran pedangnya
memiliki tenaga kuat.
Tiba-tiba Jalu Rangkah melihat empat pejabat tamu
agung Sriwijaya muncul. Semula Jalu Rangkah akan
memberi peringatan agar bersikap hati-hati. Tetapi di-
lihatnya orang-orang bercadar yang kebetulan lewat di samping mereka, tidak
bertindak apa-apa.
Serentak keempat orang itu datang mendekat, maka
orang-orang bercadar yang mengroyok Jalu Rangkah
dan Srenggi pada mundur. Ini merupakan keanehan
lagi, yang akhirnya menebalkan kecurigaan bahwa ada yang tidak beres dengan
keadaan yang sedang berlangsung di sana.
"Perwira Tamtama Jalu Rangkah! Putri Damayanti
memanggilmu!" kata salah seorang yang bernama Rake
Pagaresi. "Katakan dulu, apa sebenarnya yang telah terjadi"
Mengapa orang-orang bercadar itu tidak menyerang
kalian?" kata Jalu Rangkah.
"Mengapa kau sulit untuk mengerti?" jawab Rake
Pagaresi. "Jadi... orang-orang bercadar itu... sekutu kalian?"
"Lebih baik kau bicarakan dengan Putri Damayanti.
Dia sedang menunggumu."
Jalu Rangkah ragu-ragu bertindak. Benarkah yang
didengar itu" Rasanya seperti mimpi. Semua di luar
dugaan. Semua santiaji, pesan-pesan, yang diperoleh dari Mapatih Satyawacana
memang ada benarnya
bahwa saat ini sedang terjadi penyusupan besar-
besaran dari pihak Sriwijaya yang hendak menggem-
pur Medang. Dia mencurigai Rangga Lurukan sebagai
penguasa muda syahbandar sebagai jalur lawan. Teta-
pi kenyataannya hal yang dikhawatirkan tiba-tiba bercokol di depan matanya di
luar dugaan. "Ayo. Kau tak perlu memikirkan anak buahmu. Se-
bentar lagi mereka kalah. Sedangkan kau masih punya peluang untuk hidup kalau
menuruti kemauan Putri
Damayanti," kata Rake Pagaresi.
Jalu Rangkah memandang kepada Srenggi. Kedua
orang ini saling berpandangan. Lalu seperti ada kesepakatan, mereka berdua
melangkah mengikuti perin-
tah keempat orang itu.
Putri Damayanti terlihat menunggu kedatangan me-
reka setelah pertemuan itu terjadi. Dengan enggan dan ragu Jalu Rangkah mendekat
ke arah putri tamu
agung. "Kuharap kau tidak menganggap hal ini sebagai
mimpi," kata Putri Damayanti dengan pandangan din-
gin. "Kisahnya telah berubah. Tetapi aku menghendaki kau tetap hidup. Jangan
paksa aku melakukan hal-hal yang tak kau kehendaki."
Pandangan Putri Damayanti beralih ke sosok tubuh
yang terkapar di tanah. Hal ini menyeret pandangan
Jalu Rangkah dan Srenggi. Dan Srenggilah orang yang bergetar perasaannya ketika
menyaksikan sosok tubuh itu. "Tambi!" serunya sambil menubruk tubuh yang
menggeletak di tanah.
"Itu sekedar contoh!" kata Putri Damayanti.
"Kau... harus menebus dengan nyawamu!" seru
Srenggi sambil menubruk wanita yang punya gelar
Dewi Selaksa Racun itu.
Srenggi bertindak tanpa perhitungan. Tidak mem-
perhitungkan lagi keberadaan wanita itu sebagai tamu agung, dan tidak peduli
tentang seberapa kemampuan
orang yang telah membuat Tambi menemui ajal. Se-
dangkan Jalu Rangkah tak bisa berbuat banyak kare-
na dirinya setelah diancam dengan pedang oleh Rake
Sikhalan. Srenggi menubruk wanita itu, tetapi dengan tang-
kas tangan si wanita menyambar lengannya. Kontan
Srenggi menjerit. Tubuhnya bergetar bagaikan teraliri arus listrik. Tubuh
Srenggi berasap dan kulitnya
menghitam kering!
Semua itu tetap dalam pengamatan Pusparini dari
persembunyiannya di balik sudut rumah. Perasaan
Pusparini bergidik menyaksikan tindakan Dewi Selak-
sa Racun. Tindakannya seperti sepele, tetapi akibatnya sangat fatal!
"Bagaimana?" kata Putri Damayanti kepada Jalu
Rangkah dengan mencampakkan tubuh Srenggi yang
telah jadi arang.
"Apa maumu?" Jalu Rangkah baru bisa mengelua-
rkan ucapannya setelah membisu beberapa saat.
"Kau tetap pada jabatanmu. Bantu aku memasuki
istana Medang untuk menghadap raja. Dan orang-
orangku menyamar sebagai laskarmu. Kujamin kau te-
tap panjang umur selama kau tunduk pada perintah-
ku!" kata Putri Damayanti.
Jalu Rangkah mengamati wajah wanita tamu agung
yang semula dihormati. Dan pandangan mata wanita
itu balik mengawasi dirinya dengan pandangan tak kalah tajamnya. Tajam bukan
sembarang pandangan ta-
jam. Tetapi ada sesuatu yang terpancar dari mata itu walaupun tidak bersinar.
Pancaran suatu kekuatan
untuk melumpuhkan otak yang mengendalikan semua
kegiatan tubuh. Dan Jalu Rangkah telah terperangkap oleh pandangan itu.
"Sukurlah kalau kau punya pengertian," kata Dewi
Selaksa Racun ketika mengetahui sikap Jalu Rangkah
yang pasrah. Tetapi hal itu belum sepenuhnya memenuhi syarat
bahwa Jalu Rangkah telah tunduk kepada kehendak-
nya. Kemudian Putri Damayanti memerintahkan kepa-
da keempat pembantunya untuk membawa Jalu Rang-
kah ke suatu tempat, ke sebuah rumah yang masih
utuh. Yang dimaksud adalah rumah kepala desa Gam-
biran yang tak jauh dari sana.
Rumah kepala desa Gambiran memang tetap tegak
tak terusik. Tetapi semua penghuninya telah dibantai oleh orang-orang bercadar.
Ke sanalah Jalu Rangkah
digiring oleh keempat pengawal Putri Damayanti. Itu semua dilakukan setelah
semua keadaan berhasil di-kuasai oleh pihak orang-orang bercadar. Semua anak
buah Jalu Rangkah berhasil ditumpas.
Pusparini tetap mengawasi perkembangan keadaan
dengan cara menyelinap untuk mengetahui apa yang


Walet Emas 05 Dewi Selaksa Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan mereka perbuat terhadap Jalu Rangkah yang
tampaknya kini seperti tak punya daya.
"Ah. Dia dibawa masuk ke rumah itu. Tak mungkin
aku bisa tahu apa yang mereka lakukan. Tetapi...
mungkin ada cara lain yang bisa kutempuh," pikir
Pusparini dengan melesat menuju ke belakang rumah
kepala desa Gambiran.
Sepanjang jalan terlihat sosok-sosok tubuh yang te-
lah menjadi mayat. Di tempat itu terlihat benar yang jadi korban adalah perabot
desa, termasuk kepala de-sanya sendiri yang diketemukan tegak tak bernyawa
lagi tertancap di sebuah pilar dengan sebuah tombak menembus lehernya. Sedangkan
anggota keluarganya
menggeletak tak jauh dari tempat itu, termasuk istri dan dua orang anaknya.
Pusparini menyelinap lewat kamar belakang. Ilmu
enteng tubuhnya dikerahkan secara prima sehingga tidak menimbulkan bunyi sedikit
pun sewaktu menapak
di lantai rumah. Dia melihat Jalu Rangkah diperintahkan masuk ke dalam kamar.
Tak berapa lama kemu-
dian terlihat Dewi Selaksa Racun datang ke sana, dan masuk ke dalam kamar
tersebut. "Apa yang mereka lakukan di kamar itu" Menyiksa
Jalu Rangkah" Tetapi mengapa hanya wanita itu yang
masuk sedangkan keempat pengawalnya keluar ru-
mah?" pikir Pusparini dari tempat persembunyiannya
di balik amben yang terguling.
Dan kamar itu bersebelahan dengan kamar di mana
Jalu Rangkah dan Putri Damayanti berada. Pusparini
mencari peluang untuk bisa mengintip ke dalam ka-
mar di sebelah tempatnya bersembunyi.
Tetapi rasanya untuk bergerak sangat takut. Terlalu menimbulkan resiko kalau
wanita itu benar-benar
mengerahkan indera pendengarannya untuk meman-
tau keadaan sekitarnya.
Diputuskan nekad untuk bertindak. Pusparini ber-
gerak cepat menghampiri dinding kamar yang terbuat
dari anyaman bambu. Sesaat dia membekukan sikap
setelah sampai di tempat yang dituju. Dia menunggu
perkembangan. Ternyata tak ada reaksi dari kamar sebelah. Lalu dicari lubang
untuk mengintip. Ada satu celah kecil, cukup untuk melempar pandangan ke kamar
sebelah...! "Aku tahu kau akan tunduk kepada perintahku. Te-
tapi di hadapan raja nanti, mungkin kau berkilah dan menggagalkan semua
rencanaku," terdengar ucapan
Putri Damayanti. "Dan aku tak senang dengan kegaga-
lan. Nah, kau akan melakukan apa yang kukehendaki
di kamar ini sebagai sarana memantapkan pengaruh
manteraku kepadamu."
Jalu Rangkah kini tak lebih seperti sebuah robot.
Yang mengendalikan adalah pikiran Putri Damayanti.
Seperti halnya saat dia menanggalkan pakaiannya,
semua atas perintah lewat 'telepati' wanita asal Sriwijaya itu.
Pusparini melepaskan intipannya ketika mengeta-
hui bahwa Jalu Rangkah kini tak berbusana selembar
pun! Pikirannya mencoba menelusuri tindakan yang
akan terjadi di kamar itu. Menanamkan mantera pen-
garuh" Seperti yang telah dialami oleh Tunggul Randi di bawah pengaruh Dyah
Kumpi" Dan mantera itu sirna setelah si pemberi mantera binasa, seperti yang
menimpa nasib Dyah Kumpi yang berhasil dibunuh-
nya" Tetapi bagaimana cara memberi manteranya"
Dan... ketika Pusparini mengintip lagi, perasaannya bergetar. Betapa tidak.
Sebab yang disaksikan sekarang adalah Putri Damayanti yang tidak berbusana la-
gi. Cepat-cepat Pusparini menghindari pemandangan
itu. "Edan!" bisiknya dalam hati. Tak tahan dia menyaksikan pemandangan seperti
itu. Pusparini memang memutuskan untuk tidak men-
gintip apa yang terjadi di sana. Dia tidak akan tahu bahwa tubuh Jalu Rangkah
kini terlentang, sementara Dewi Selaksa Racun itu menindihnya dengan tubuh
saling berhadapan.
"Kau telah melakukan dengan baik, Jalu Rangkah,"
kata wanita itu. Lewat perintah mata batinnya, dia
memang mengendalikan tindakan Jalu Rangkah. Sua-
tu peristiwa sanggami untuk menanamkan pengaruh
mantera. Dalam keadaan bersatu Dewi Selaksa Racun
mengambil air susunya yang menetes dan dibuat me-
nulis mantera pada dada Jalu Rangkah dengan ujung
jarinya. Tulisan yang terdiri dari air susu itu meresap ke dalam pori-pori kulit
dan meninggalkan bekas ke-coklatan. Huruf-huruf berwarna coklat itu hanya bisa
dikenal oleh mereka yang menguasai ilmu tersebut. Sejenis huruf 'Pallawa',
tetapi ada gaya tulisan huruf Ci-na kuno, semirip dengan tulisan yang bisa
diketemu- kan oleh kuil-kuil di Tibet.
Ketika tulisan itu selesai dibuat, maka Dewi Selaksa
Racun tersenyum.
"Selesai sudah!" kata wanita itu. "Tetapi tidakkah
kau menghendaki sesuatu yang belum pernah kau ra-
sakan bersama wanita..." Dengan istrimu mungkin"
Aku bisa membuatmu pada rasa jenjang nirwana yang
belum pernah kau alami. Tak ada seorang pun wanita
yang bisa membuatmu merasakan hal itu. Mari kita
buktikan."
Tiba-tiba Pusparini mendengar suara sitar. Kadang-
kadang diselingi irama seruling, yang mengalun syah-du. Kemudian tepukan tabla,
alat musik serupa ken-
dang. Datangnya alunan musik itu jelas dari dalam
kamar sebelah. Tetapi siapa yang memainkannya"
Iringan musik ilmu ibliskah itu"
Pusparini penasaran lagi. Dia mengintip lagi. Tak
terlihat pemain musik di sana. Yang terlihat hanya dua sosok tubuh saling
berhimpitan tanpa busana. Dewi
Selaksa Racun dan Jalu Rangkah! Kali ini perbuatan
itu disaksikan dengan nyata oleh Pusparini sehingga napasnya sendiri berpacu
dengan cepat. Justru napas inilah yang mengundang perhatian Dewi Selaksa Racun.
Dia menoleh ke arah tempat Pusparini.
"Kurang ajar!" seru Dewi Selaksa Racun dengan me-
lepaskan angin pukulan. Serangan berisi tenaga dalam itu bisa membuat Pusparini
menemui ajal kalau dia tidak dengan sigap melesat dari tempatnya.
Dinding itu jebol. Pusparini berhasil menghindar
dan melesat ke luar rumah menembus atap. Sesampai
di luar dia terus menghindari tempat itu. Dia belum siap menghadapi wanita yang
memiliki ilmu iblis semacam itu.
Dewi Selaksa Racun penasaran. Dengan cepat dia
mengenakan pakaian seadanya. Hanya selembar kain
sutera yang semula dibuat jarit, dipakai sebatas da-
danya yang membukit. Lalu melesat keluar. Untuk se-
mentara dia nangkring di atas wuwungan dengan mata
nanar mengawasi sekelilingnya. Indera penciumannya
mengendus mencari jejak buronannya. Sesungging se-
nyum menghias bibirnya. Aroma buronannya telah di-
ketahui. Dan dia mengenalnya...!
*** DELAPAN Suasana malam kian menggelincir. Beberapa waktu
lagi subuh akan tiba. Tetapi keadaan di sana tampaknya belum usai walaupun sudah
dipastikan kemenan-
gan berada di pihak orang-orang bercadar.
Dewi Selaksa Racun segera memerintahkan kepada
Rake Pagaresi agar semua orang dikumpulkan. Tetapi
baru saja perintah tersebut akan dilaksanakan, tiba-tiba dikejutkan oleh
datangnya penyerbu yang tak dikenal dari mana asalnya. Yang jelas mereka adalah
orang-orang yang mengenakan bandu ikat kepala ber-
tanda burung camar putih! Kelompok ini langsung
menyerbu ke arah orang-orang bercadar.
Pusparini kebetulan saja melongok dari persembu-
nyiannya di ketinggian batang pohon kelapa ketika
bentrokan tanpa basa basi itu terjadi. Rasa ingin tahu membengkak dalam
benaknya. "Penyerbu dari mana itu" Tampaknya bentrokan
berkobar lagi," pikir Pusparini sambil melesat turun dari puncak pohon kelapa.
Begitu menginjak tanah,
dia dikejutkan oleh langkah kaki menuju ke arahnya.
Pusparini mempersiapkan dirinya.
"Tahan! Ini aku! Tunggul Randi," terdengar suara
dari sosok yang nyaris dihajar oleh Pusparini.
"Astaga! Hampir saja. Dari mana saja kau?" tanya
Pusparini. "Mulanya aku berniat menghubungi Ki Jalak Jenar.
Tetapi ternyata mereka kutemui sedang dalam perjalanan ke mari. Kuberitahu apa
yang telah terjadi di sini.
Dan inilah yang terjadi sekarang!" kata Tunggul Randi.
"Ya! Dan aku sempat menyaksikan bagaimana cara
memantrai seseorang sehingga tak bisa berkutik," jawab Pusparini.
"Kau..." Menyaksikannya..." Siapa yang kena ran-
jau mantera itu?" tanya Tunggul Randi.
"Perwira Tamtama Jalu Rangkah!"
"Apa"!"
Dan pembicaraan ini tidak berlanjut, sebab Puspa-
rini memberi isyarat kepada Tunggul Randi bahwa ada langkah kaki sedang menuju
ke arah mereka.
"Dia berhenti di sana," bisik Pusparini.
"Mungkinkah Dewi Selaksa Racun sedang menge-
jarmu?" sambut Tunggul Randi dengan suara pelan
pula. Pusparini memberi isyarat agar Tunggul Randi me-
nyebar. Ini tentu saja untuk memancing perhatian
orang yang sedang dicurigai berada tak jauh dari mereka yang tampaknya ragu-
ragu, atau sedang menyeli-
dik sesuatu. Tunggul Randi bergerak. Jelas sekali bahwa orang
itu terkejut dengan adanya gerakan orang yang tak
jauh darinya. Pada saat itulah Pusparini nekad menerjang dengan menghunuskan
pedangnya. Pusparini le-
bih mengkhawatirkan bahwa orang itu adalah Dewi Se-
laksa Racun. Oleh sebab itu ketika dia menerjang,
langsung mencabut Pedang Merapi Dahana. Begitu ter-
lihat, orang yang sedang diincar mengeluarkan pe-
dangnya. Tetapi dia bukan Dewi Selaksa Racun.
"Rangga Lurukan!" seru Pusparini.
"Kau... Pusparini"!" seru laki-laki itu pula yang ternyata Rangga Lurukan yang
kabarnya telah diculik
oleh orang-orang bercadar.
"Bagaimana kau bisa sampai di tempat ini" Kuden-
gar pengakuan dari seseorang bahwa kau telah diculik oleh komplotan Dyah Kumpi
yang selalu tampil dengan cadar menutup wajahnya," tanya Pusparini tanpa berniat
menyarungkan pedangnya. Sebab dia tahu bahwa
Rangga Lurukan ternyata punya jalinan kerja sama
dengan orang-orang Sriwijaya.
"Apa yang telah kau ketahui lagi?" tanya Rangga
Lurukan yang tampaknya sangat payah.
"Jadi kau benar-benar diculik, atau telah dile-
paskan?" pancing Pusparini.
"Aku berhasil melarikan diri! Katakan, apa yang te-
lah kau ketahui tentang diriku lagi?"
"Bahwa kau telah menjual harga dirimu sebagai
penguasa syahbandar!" terdengar suara dari belakang Rangga Lurukan.
Ternyata Tunggul Randi menengahi percakapan itu
dengan muncul dari tempatnya. Tentu saja hal ini sangat mengejutkan Rangga
Lurukan. "Siapa kau?" tanya Rangga Lurukan.
"Aku tahu siapa kau. Tetapi kau tidak tahu siapa
aku. Namaku Tunggul Randi, telik sandi Mapatih Sa-
tyawacana!" jawab Tunggul Randi tegas.
"Setiap orang bisa mengaku sebagai orang penting
di sini," sanggah Rangga Lurukan.
"Bagiku tak ada waktu untuk menjelaskan lagi.
Pusparini bisa menjawab untuk meyakinkanmu. Atau
aku yang memaksa kau untuk kuringkus yang kemu-
dian baru tahu siapa aku setelah kau kubawa meng-
hadap kepada Mapatih Satyawacana!" kata Tunggul
Randi dengan tegas. Pedangnya pun telah dikeluarkan dari sarungnya.
Tampak sekali wajah Rangga Lurukan yang telah
berhasil melarikan diri dari sekapan orang-orang bercadar, terlihat loyo tak
bersemangat. Tetapi setelah mendengar ucapan Tunggul Randi, tenaganya merasa
digugah. Kedoknya tersingkap di hadapan kedua orang itu. Hal yang diduga
terjadi. Tunggul Randi siap menangkis serangan Rangga
Lurukan ketika penguasa syahbandar itu menebaskan
pedang ke arahnya. Perang tanding di antara keduanya berlangsung. Pusparini
tidak mau mencampuri, sebab
hal itu lebih cocok kalau mereka berdua yang terlibat dalam bentrokan. Bukankah
mereka adalah abdi negara yang bertolak belakang dalam pengabdiannya"
"Selesaikan urusanmu, Randi! Aku akan mencari
tamu agung itu!" seru Pusparini sambil melesat me-
ninggalkan mereka yang berbaku hantam dengan pe-
dang. *** Bentrokan yang terjadi sekarang rupanya lebih be-
sar dari peristiwa semula. Orang-orang 'Camar Putih'
bisa mengimbangi sepak terjang kelompok orang ber-
cadar. Ketika Pusparini sampai di sana, terlihat Ki Jalak Jenar sedang bentrok
dengan keempat pembantu
Dewi Selaksa Racun. Sedangkan wanita yang memiliki
ilmu iblis itu tidak diketahui berada di mana.
Tiba-tiba terlintas pikiran Pusparini untuk melaku-
kan kekisruhan. Dia mengenakan topeng wajah Dewi
Selaksa Racun dan akan terjun mengacaukan kelom-
pok orang-orang bercadar. Tindakan itu segera dilaksanakan. Kemudian nimbrung
dalam baku hantam.
Hadirnya Pusparini dengan topeng itu, dalam sua-
sana malam yang hanya diterangi kobaran api kebaka-
ran, bisa benar-benar mengecoh bahwa itu adalah Pu-
tri Damayanti dari Sriwijaya.
Beberapa orang dari kelompok orang-orang berca-
dar sempat kaget. Dan semakin kaget ketika diketahui
'Putri Damayanti' menyerang mereka. Beberapa orang
telah jadi korban.
Mengetahui hal ini keempat orang yang mengroyok
Ki Jalak Jenar sebagian terhenyak kaget. Rake Pagare-si dan Rake Kalungwarak
segera berkelebat untuk
menghampiri 'Putri Damayanti'. Dua orang ini sangat waspada bahwa ada seseorang
yang telah menyamar


Walet Emas 05 Dewi Selaksa Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai junjungannya.
"Buka kedokmu!" seru Rake Pagaresi sambil menye-
rang. Pusparini berhasil berkelit. Tetapi geraknya diha-
dang dengan serangan yang lain, yakni dari Rake Ka-
lungwarak. Pusparini tidak menjawab, hanya pedang-
nya yang berbicara. Kedua orang itu cukup waspada
bahwa orang bertopeng mirip Putri Damayanti adalah
Pusparini. Hal itu ditandai dengan pakaian kemben
kuning. Tetapi kalau sampai Pusparini bisa memiliki topeng itu, berarti nyawa
Dyah Kumpi telah melayang oleh wanita ini.
Kedua orang ini tampaknya sulit membendung se-
rangan Pusparini. Ketika Rake Kalungwarak berhasil
dibinasakan, barulah Rake Pagaresi sadar bahwa dia
sedang menghadapi pendekar wanita yang punya gerak
gesit bagaikan burung walet! Gerak lincah itu sangat mengagumkan dirinya. Karena
terbuai kekaguman itulah yang membuat Rake Pagaresi lengah, sehingga per-
tahanannya kebobolan serangan yang membuat lam-
bungnya robek oleh sabetan Pedang Merapi Dahana.
Hanya sekali sabet, dan lambung itu benar-benar ter-burai pecah! Rake Pagaresi
roboh. "Dia belum muncul juga!" gerutu Pusparini.
Kali ini, dia benar-benar mengharapkan kemuncu-
lan Putri Damayanti alias Dewi Selaksa Racun. Ketika Pusparini menoleh ke arah
Ki Jalak Jenar, ternyata
orang tua itu telah berhasil menghabisi nyawa Rake
Lampi. Kini tinggal Rake Sikhalan yang masih berta-
han. Yang ini agaknya membutuhkan waktu lama un-
tuk mengalahkan. Rake Sikhalan mempunyai gerak ti-
pu sehingga menyulitkan Ki Jalak Jenar untuk mem-
bendung serangan. Dengan lawan ini Ki Jalak Jenar
mendapat luka pada dadanya. Tetapi orang tua itu
mampu bertahan.
"Aku akan mencari Dewi Selaksa Racun itu, seka-
rang!" gumam Pusparini dalam hati.
Dia terus melesat ke tempat kediaman kepala desa
Gambiran di mana pernah mengintip tindakan wanita
itu sedang mengetrapkan belenggu mantera kepada
Jalu Rangkah. Topeng yang dipakai, dilepas dan di-
buang. Pusparini sendiri tak tahu, mengapa tiba-tiba di-
rinya mendapat semangat untuk menghadapi wanita
itu. Semula dia ragu-ragu ketika diketahui wanita itu memiliki ilmu yang
adikodrati, yang melebihi ilmu kanuragan.
Pusparini telah memasuki rumah itu. Langkahnya
sengaja dibuat gaduh untuk memancing kemunculan
Dewi Selaksa Racun. Dan dugaannya benar!
"Kau mencariku?" terdengar suara dalam kamar.
"Masuklah."
Pusparini nekad menerobos masuk. Tetapi begitu
pandangannya tertuju kepada sasarannya, secepat itu pula wajahnya dipalingkan.
Tak tahan dia menyaksi-
kan adegan itu. Di sana Dewi Selaksa Racun sedang
bercumbu dengan Perwira Tamtama Jalu Rangkah se-
bagai kelanjutan tindakan beberapa saat yang lalu.
Perwira Kerajaan Medang itu benar-benar terbius oleh mantera wanita itu.
Tindakannya seperti anjing saja, menjilati sesuatu yang sangat digemari. Karena
dia bukan anjing, dan yang dihadapi adalah tubuh mulus, maka sikap yang demikian itu
membuat Pusparini cepat-cepat hengkang dari sana.
Itu maunya! Tetapi Dewi Selaksa Racun dengan cepat men-
gayunkan tangannya sehingga angin pukulannya ber-
hasil menotok jalan darah Pusparini di bagian kaki, yang membuat tak mampu
bergerak. "Kau perlu menyaksikan peristiwa ini, Pusparini!
Jangan sok alim kau! Malu menyaksikan, hah?" kata
Dewi Selaksa Racun yang dibumbui suara ketawa
mencemoohkan bernada gembira. "Kau perlu disiksa
dengan cara ini. Setiap pendekar bisa mati karena senjata. Kini kau akan tahu
bahwa hal itu tak bakal kau alami. Yang aku inginkan sekarang, kau bisa mampus
melihat apa yang kau lihat di sini!"
Pusparini kehilangan daya untuk meninggalkan
tempat itu. Dia tak tahan menyaksikan peristiwa yang terjadi di hadapannya. Dewi
Selaksa Racun benar-benar wanita bejad. Dan terdengar suara tawanya
menggelitik birahi. Hal itu memang sengaja dilakukan oleh wanita itu agar
Pusparini tersiksa oleh naluri ke-wanitaannya sehingga terseret kepada suatu
hasrat gelora birahi.
Pusparini mencoba menutup segala inderanya den-
gan menekan tenaga yang disalurkan kepada bagian-
bagian tubuhnya yang peka. Suara tawa yang diku-
mandangkan oleh Dewi Selaksa Racun memang meng-
gelitik kepekaannya. Tawa yang mengandung tenaga
dalam, membuai, mengelus ke segenap pori-pori kulitnya. Itu memang sangat sulit
diatasi. Gurunya tak
pernah mengajarkan bagaimana untuk mengatasi se-
rangan semacam ini. Belum pernah terdengar ada
orang yang menghendaki kematian lawannya dengan
cara mengobarkan hasrat birahi yang tak terpuasi.
Orang bisa mati karena ketagihan candu. Bagaimana
orang bisa mati karena tak terpenuhi hasrat bira-
hinya" Inilah sasaran Dewi Selaksa Racun sekarang!
Sebenarnya dengan cengkalan tangan saja dia bisa
membuat mampus Pusparini, seperti yang telah me-
nimpa nasib Tambi dan Srenggi. Tetapi dia menghen-
daki Pusparini mampus dengan caranya ini!
Tiba-tiba suara tawa Dewi Selaksa Racun terhenti.
Matanya memandang ke arah Pusparini. Hal itu kare-
na wanita ini melihat sesuatu yang timbul dari sikap Pusparini. Sikapnya dipacu
dengan napas yang memburu. Bibirnya bergetar. Matanya terbuka, tetapi yang
terlihat hanya segaris putih. Lalu Pusparini merenggut kembennya. Pedang Merapi
Dahananya terlempar di
lantai. Dewi Selaksa Racun senyum puas melihat tindakan
Pusparini. Usahanya berhasil. Pusparini telah terbakar birahi. Rintihannya
mendesis, mengharapkan sesuatu
yang didambakan. Pusparini benar-benar seperti wani-ta lupa diri. Kemben yang
telah terlepas itu menampilkan dadanya yang polos membukit.
Keadaan inilah yang tiba-tiba Dewi Selaksa Racun
mencampakkan tubuh Jalu Rangkah yang sejak tadi
bertindak seperti anjing. Tubuh Jalu Rangkah terguling. Karena dia dalam
belenggu mantera, maka sikap-
nya pasrah saja. Kini dia mematung di tempatnya. Sedangkan Dewi Selaksa Racun
kini berdiri tegak, tanpa
busana selembar pun.
"Sayang kalau kau cepat-cepat mampus dengan ca-
ra ini! Kau mungkin tidak tahu bahwa di Sriwijaya aku punya selir!" terdengar
suara wanita berhati iblis ini.
"Apakah wanita bisa bermesraan dengan wanita" Bisa.
Mengapa tidak. Dan penampilanmu benar-benar
menggelorakan hasratku. Aku jadi benci dengan lela-
ki!" Dewi Selaksa Racun lalu menghampiri Pusparini.
Segera dipeluknya. Sasaran ciumannya adalah leher.
Dipagut habis-habisan bagian itu. Lalu merambat ke
bawah, di bagian dada. Pakaian Pusparini direnggut
sehingga lepas seluruhnya.
Tetapi sampai demikian jauh, Pusparini tidak men-
gadakan imbangan sikap. Dia pasrah saja. Hal ini menimbulkan perasaan aneh bagi
Dewi Selaksa Racun
kalau mengingat bahwa wanita yang dipeluknya ini sejak tadi telah sekarat diamuk
birahi. "Mungkin aku telah berbuat kesalahan," bisik Dewi
Selaksa Racun yang kemudian melepaskan totok jalan
darah yang membelenggu kaki Pusparini. "Nah, kau telah bebas bisa bergerak
leluasa. Ayo, peluklah aku.
Aku akan memberikan apa yang kau dambakan."
Peristiwa yang terjadi di Desa Gambiran telah me-
rambat ke waktu pagi. Cahaya matahari tampak mene-
robos lubang-lubang atap rumah itu. Tetapi Dewi Se-
laksa Racun belum puas menggeluti tubuh Pusparini
yang tetap pasrah saja.
Sehingga suatu saat seberkas cahaya matahari me-
nerobos ke kamar itu dan menimpa Pedang Merapi
Dahana. Seperti kodratnya, bahwa Pedang Merapi Dahana
akan membiaskan cahaya merah apabila tertimpa ca-
haya matahari. Dan itu terjadi sekarang.
Dewi Selaksa Racun terkejut. Tetapi hal itu tak
sempat mengalihkan perhatiannya secara prima. Se-
bab tangan Pusparini telah mencekal hulu Pedang Me-
rapi Dahana yang kemudian pedang itu ditebaskan ke
arah leher Dewi Selaksa Racun! Kontan kepala itu
mencelat dari lehernya! Darah menyembur deras. Pus-
parini dengan cepat beranjak dari pembaringannya
dengan menendang tubuh tanpa kepala yang menin-
dihnya. Tubuh Pusparini yang polos itu basah oleh darah Dewi Selaksa Racun.
"Aku tidak selengah yang kau duga, wanita iblis!"
gerutu Pusparini. Kemudian dia mengambil pakaian-
nya yang tercecer dan dikenakan kembali setelah
membersihkan tubuhnya yang berlumur darah, lalu
keluar kamar. Di sudut kamar, Jalu Rangkah tiba-tiba sadar den-
gan keadaan dirinya. Itu karena Dewi Selaksa Racun
telah dibinasakan oleh Pusparini sehingga terbebas da-ri belenggu mantera.
Menyadari keadaan tubuhnya
yang tiada berpakaian, dia segera mencari pakaiannya.
Di sini dia sempat melihat tubuh Dewi Selaksa Racun yang telah tewas dengan
kepala terpenggal. Dan kepala itu menggeletak di pojok kamar!
Di luar keadaan telah sepi. Matahari semakin tinggi.
Semula Pusparini menduga bahwa akan berhadapan
dengan lawan lagi. Kiranya hal itu tidak terjadi. Sangat mengherankan sekali
bahwa tak seorang pun yang hidup di sana. Seluas mata memandang, Pusparini
hanya melihat tubuh-tubuh yang berserakan telah
menjadi mayat. Baik itu dari orang-orang bercadar
maupun dari kelompok 'Camar Putih'. Belum pernah
Pusparini melihat mayat bergelimpangan sebanyak ini.
Tiba-tiba perhatiannya tertuju ke sosok tubuh yang
bergerak dari tumpukan mayat. Pusparini memperha-
tikan dengan seksama. Kiranya tubuh Ki Jalak Jenar.
"Ki Jalak!" seru Pusparini dengan bergerak meno-
long. Orang tua itu tampak kepayahan. Luka-lukanya
' arang kranjang'. Tampaknya dia telah mengalami pen-groyokan secara massal. Dia
memang mengalami hal
itu setelah berhasil menewaskan Rake Sikhalan.
"Sampaikan pesanku kepada Baginda Raja Dhar-
mawangsa, bahwa aku tetap setia kepada beliau wa-
laupun dengan cara kami sendiri...!"
Dan itu adalah pesan terakhirnya sebelum meng-
hembuskan napas yang terakhir.
Perasaan Pusparini tersendat dan trenyuh.
Lalu dia berdiri. Dilayangkan perhatiannya ke arah
rumah di mana dirinya telah bentrok dengan Dewi Se-
laksa Racun. Dia tahu bahwa Jalu Rangkah masih hi-
dup dan kini sadar kembali. Diharapkan laki-laki itu segera keluar dari sana.
Baru saja berpikir tentang Jalu Rangkah, mendadak
terlihat Tunggul Randi muncul. Keadaannya lebih pa-
rah lagi. Sebelah tangan kirinya putus akibat terbabat pedang. Ketika bertemu
dengan Pusparini, diceritakan bahwa itu akibat bentrokannya dengan Rangga
Lurukan. Tetapi dia berhasil menewaskan lawannya.
"Ini semua akan kulaporkan kepada Mapatih Sa-
tyawacana," kata Tunggul Randi. "Jadi si Perwira Tamtama masih hidup?" katanya
lagi setelah diberi tahu oleh Pusparini, pengalamannya bagaimana sampai bi-sa
mengalahkan Dewi Selaksa Racun. Tentu saja hal-
hal yang secara rinci tidak diceritakan, apalagi mengenai kepura-puraannya yang
seolah-olah dirinya telah hanyut dalam pengaruh mantera birahi wanita iblis
itu. Ya! Sesungguhnya Pusparini telah berjuang penuh siksaan ketika menghadapi
serangan Dewi Selaksa Ra-
cun. Untungnya dia menyadari taktik lawan sehingga
dia pura-pura terkungkung birahi. Kadang geli sendiri memikirkan hal itu. Dia
tak tahu bagaimana bisa me-merankan sikap seperti wanita yang sedang ketagi-
han...! Rasanya cukup sampai di situ pengalaman pa-
hitnya. Lebih baik berhadapan dengan berlusin-lusin lawan daripada harus
menghadapi lawan dengan cara
seperti itu. Selagi mereka masih terlibat pembicaraan, tiba-tiba terdengar jeritan dari dalam
rumah itu. Pusparini dan Tunggul Randi segera melesat ke sana.
"Ohh...!" hanya itu yang tercurah dari bibir Puspa-
rini sambil membenamkan wajah ke dada Tunggul
Randi. Apa yang mereka lihat di sana sungguh pemandan-
gan yang mengerikan serta... mungkin menjijikkan.
Sebab yang mereka lihat adalah Tubuh Perwira Tam-
tama Jalu Rangkah terkapar terlentang. Dan di bawah pusarnya tergeletak kepala
Dewi Selaksa Racun yang
sudah terpenggal itu dalam keadaan menggigit bagian tubuh di antara pahanya.
Mata Jalu Rangkah melotot, dan tubuhnya tak bernapas!
Entah apa yang telah terjadi. Apakah kepala wanita
itu hidup lagi dalam keadaan terpenggal dan menye-
rang Jalu Rangkah" Mereka tak bisa membayangkan!
Tetapi sikap penasaran itu sempat bercokol di benak Pusparini. Dengan cepat dia
mencabut pedangnya, dan kepala Dewi Selaksa Racun segera dibelahnya! Gerakan
tebasan bagaikan pemain ?"?", sehingga kepala
itu hancur berantakan dilanda Pedang Merapi Dahana, bercahaya merah ditimpa
cahaya matahari yang menyusup ke dalam ruangan itu...!
"Mari kita tinggalkan tempat ini!" ajak Tunggul
Randi. Dengan langkah gontai Pusparini melangkah keluar.
Ketika menoleh lagi, dilihatnya rumah itu telah dilahap api. Rupanya Tunggul
Randi telah membakarnya.
Tak ada yang perlu dibicarakan lagi oleh mereka
berdua. Pikiran masing-masing masih dipenuhi peris-
tiwa yang baru berlalu. Langkah kaki membawa mere-
ka mencari kuda untuk dipergunakan kembali ke Ke-
rajaan Medang. Ini berarti tugas berat bagi Tunggul Randi untuk memberi laporan
kepada atasannya. Bagi
Pusparini sendiri tak ada masalah. Dia hanya merasa bangga bisa berbuat untuk
negara di mana dia hidup
sebagai warganya. Warga Kerajaan Medang.
Biasanya Pusparini selalu melanjutkan perjalanan-
nya setiap menyelesaikan suatu peristiwa. Dan itu dilakukan seorang diri. Entah


Walet Emas 05 Dewi Selaksa Racun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengapa kali ini bersedia diajak Tunggul Randi pergi ke Ibukota Medang. Atau-kah
dia ingin melihat ibukota kerajaan itu" Yang jelas, petualangannya akan terus
berkembang. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Clickers
Document Outline
*** DUA *** TIGA *** EMPAT *** LIMA *** ENAM *** *** TUJUH *** DELAPAN *** SELESAI Racun Puri Iblis 1 Pendekar Bayangan Sukma 24 Sepasang Manusia Serigala Sang Penerus 3
^