Kilatan Pedang Merapi Dahana 2
Walet Emas 01 Kilatan Pedang Merapi Dahana Bagian 2
tinggi dalam mengerahkan tenaga
larinya. Entah jurus lari apa namanya, yang jelas semua itu telah mereka
kerahkan untuk mencapai tempat yang dituju.
* * * 5 Gunung Merapi meletus! Awan
kelabu membumbung tinggi. Karena angin berembus ke arah barat, maka asap
letusan itu meliuk ke barat. Lelehan lahar terlihat jelas menuruni lereng di
sebelah selatan. Banyak penduduk yang menyaksikan peristiwa itu dengan harap-
harap cemas. Mereka khawatir kalau letusan itu semakin besar
seperti beberapa waktu yang lalu,
seperti yang pernah didongengkan oleh para leluhur mereka. Beberapa puluh tahun
yang lalu gunung Merapi pernah meletus dengan dahsyat sehingga abunya
menyelimuti daerah sekitarnya.
Sedangkan candi-candi yang
terdapat di sekeliling kawasan Merapi sampai tertimbun abu lahar setebal dua
jengkal. Suara gemuruh semakin nyata
terdengar begitu Pusparini bertambah dekat dengan gunung tersebut. Daerah yang
diterobos semakin menanjak
tinggi. Langkahpun kian berat menapak batu-batu yang menghadang jalan. Dari sini
dia tahu bahwa Wariga dan Sawung Cemani sudah berpencar. Entah kemana.
"Hm ! Jelas sudah. Mereka pasti akan mencari lahar berpijar dari
gunung Merapi ini untuk membuat pedang ampuh". pikir Pusparini sambil terus
melompat ke atas. Kini gerakannya
dilakukan dengan cara melompat dari
batu satu ke batu yang lain yang letak tempatnya kian menanjak. Kawasan yang
dilalui mulai berbau belerang, dan pandangan tak bisa melihat jelas
sejauh lima tombak.
"Oh.... aku sulit bernafas dengan nyaman. Udara di sini telah bercampur uap
belerang," pikir Pusparini sambil melepas selendang ikat pinggangnya untuk
menutup hidung.
"Memang tak begitu mudah untuk mendapatkan sarana pedang tersebut!"
Keluhan-keluhan mulai dirasakan.
Siapa yang mampu melawan kekuatan
alam" Tetapi hal itu belum membuat Pusparini putus asa. Dia terus
memanjat dengan gerak lompatan semakin ke atas. Kadang-kadang perhitungannya
meleset, sebab batu yang diinjak tiba-tiba longsor ke bawah. Beberapa kali dia
mengalami hal itu. Dia yakin di suatu tempat di atas sana ada daerah yang bisa
dibuat tempat untuk
mendapatkan pijaran lahar.
Tiba-tiba dirasakan dentuman
hebat. Pusparini yang semula baru akan melompat ke atas, tubuhnya terpental
karena hempasan dentuman tersebut. Itu adalah dentuman letusan untuk kesekian
kalinya. Membuktikan adanya limpahan lahar yang dikeluarkan lewat kepundan
gunung Merapi. "Astaga! Ada lahar yang menuju ke tempatku!" kata Pusparini dalam hati.
Ada rasa panik mencekam hatinya.
Dia memang mendapat bekal ajaran
sebagai pendekar pilih tanding. Tetapi menghadapi keganasan alam yang begini tak
pernah diajarkan. Walaupun begitu
Pusparini tak cepat putus asa. Dia menganggap aliran lahar itu sebagai lawan
yang menyerang dirinya. Maka dengan menggenjot tubuhnya ke atas, dia mencoba
menghindarkan diri dari terjangan lahar tersebut. Usahanya berhasil. Kini
tubuhnya nangkring di atas batu padas, sementara aliran lahar mulai menerjang di
bawahnya. Semua disaksikannya dengan
perasaan berdebar. Pijaran lahar yang dicari dengan jelas terpapar di
hadapannya. Tinggal mengambil saja.
Tetapi dengan alat apa" Tiba-tiba
dirasakan betapa tolol dirinya
menghadapi semua ini.
Konon pernah didengar cerita dari
ayahnya, bahwa empu pembuat senjata bisa dengan mudah meraup pijaran lahar itu
dengan tangan telanjang. Tanpa bantuan alat apa-apa. Tentunya orang semacam itu
adalah orang yang sakti.
"Jadi sia-sia saja aku berada di sini!" pikirnya.
Mendadak Pusparini teringat akan
Sawung Cemani dan Wariga. Dia ingin tahu apa yang telah dikerjakan mereka.
"Akan kucari mereka. Aku ingin tahu dengan cara apa mereka mengambil
lahar berpijar ini," kata Pusparini dalam hati sambil melesat meninggalkan
tempat itu. Pusparini melompati batu-batu
yang bertonjolan di lereng Merapi
sementara lahar berpijar meluncur ke bawahnya. Belum lama dia bertindak, tiba-
tiba pandangannya tertuju kepada sesosok tubuh berkelebat di seberang sana.
"Wariga!"
teriak Pusparini.
Wariga menoleh. Senyumnya menghias bibir.
"Apa yang akan kau lakukan di tempat ini?" tanya Pusparini sambil melompat
mendekat ke arah bocah itu.
"Mungkin.... seperti yang akan kau lakukan juga," jawab Wariga sambil memandangi
aliran lahar berpijar di kakinya.
"Mengambil lahar ini?" Pusparini menyelidik.
"Maaf. Aku juga mempunyai
kepentingan yang sama," Wariga menjawab dengan nada bicara berwibawa.
Seakan-akan dirinya bukan bocah
seperti yang dikenal Pusparini. Juga suara Wariga terdengar mantap seperti suara
orang dewasa. "Bagaimana kau akan mengambil lahar berpijar ini?" tanya Pusparini dengan
mengerutkan dahi. Tiba-tiba dirasakan Wariga yang dikenal beberapa hari yang
lalu, seperti bukan Wariga
lagi. Ada perubahan sikap yang tidak dimengerti oleh Pusparini.
"Akan kuambilkan untukmu!" jawab Wariga sambil melangkah turun
mendengati aliran lahar berpijar.
"Dengan alat apa?"
"Lihat saja apa yang bisa
kulakukan untukmu," jawab Wariga dengan sikap santai.
Kemudian Wariga berjongkok. Lama
dia termenung mengawasi lahar berpijar yang mengalir di depannya. Orang biasa
akan merasakan betapa panas udara di dekat lahar yang mengalir itu.
Tampaknya Wariga tidak merasakan hal itu. Pusparini mengawasi dengan tekun.
Wariga seperti sibuk membaca
mantera-mantera. Perhatiannya tertuju ke arah pijaran lahar yang mengalir di
hadapannya. Dan kemudian yang
dilakukan Wariga membuat perasaan
Pusparini berdetak cepat. Tanpa ragu Wariga meraup lahar berpijar itu
dengan tangannya!
Kedua tangan Wariga kini memapah
pijaran lahar. Dan tangan itu tak
cedera sedikitpun! Kemudian dia
bangkit dari sana, mendekati
Pusparini. "Www.. Wariga....! Bagaimana kau bisa melakukan hal ini" Kau... tidak sesepele
yang kuduga. Kau......punya banyak keunggulan dari padaku. Siapa kau
sebenarnya?" tanya Pusparini
sambil mengawasi kedua tangan yang membawa setumpuk lahar berpijar.
Tetapi pijaran lahar itu berangsurangsur menghitam, dan suhu panasnya kian
merendah. "Aku telah berkata, aku
mengambilkan untukmu," jawab Wariga yang suaranya tidak seperti bocah
lagi. "Ayo, kita tinggalkan tempat ini. Udara di sini tidak baik untuk
kesehatan."
Kemudian mereka beranjak
meninggalkan tempat itu dengan
lompatan-lompatan menuju ke bawah.
Langkah ini kelihatannya lebih mudah dari pada mereka harus mendaki. Tetapi yang
diperkirakan tidaklah demikian.
Hujan abu yang semakin deras
karena arus angin yang berbalik ke arah mereka membuat pandangan semakin
terhalang. "Jangan terlalu jauh denganku,
Pusparini!" kata Wariga sambil memberi isyarat dengan gerakan kepala agar
Pusparini mendekat ke arahnya.
Pusparini yang kini seperti
seorang bocah yang tidak tahu apa-apa, menuruti saran itu. Dia mengekor
langkah Wariga sementara suara gemuruh terdengar lagi dengan dahsyat. Ini
pertanda ada muntahan lahar lagi dari kepundan gunung.
"Kita jangan sampai terjebak
udara beracun! Harus kita cari tempat
yang sesuai dengan arah angin
bertiup!" saran Wariga.
"Lahar berpijar di tanganmu
rupanya telah dingin dan warnanya
berubah menghitam !" sela Pusparini.
"Tak menjadi masalah. Yang
penting, syarat bahwa pengambilan
lahar ini harus diambil dengan tangan telanjang sewaktu masih dalam keadaan
berpijar. Ah, sudahlah. Kita jangan mengomongkan masalah ini dulu. Yang penting
kita harus meninggalkan kawasan ini secepatnya." Wariga terus melangkah sambil
mengakhiri ucapannya.
Mereka berdua terus menuruni
lereng Merapi. Seperti ada yang
mengingatkan, tiba-tiba Pusparini
teringat akan Sawung Cemani. Apakah dia juga berhasil mendapatkan lahar
berpijar" Mungkinkah dia juga
mempunyai kemampuan seperti Wariga yang bisa mengambil pijaran lahar
dengan tangan telanjang"
Ya! Siapa tahu" Dalam dunia
persilatan, kadang-kadang seseorang yang kelihatan tidak memiliki
kemampuan tangguh, ternyata memyimpan kehebatan ilmu yang jarang dikuasai orang
lain. Dan kini dilihatnya Sawung Cemani belum juga terlihat batang
hidungnya lagi. Apakah dia tewas
diterjang lahar" Atau sudah berhasil mendapatkan tetapi kini masih berada di
tempat lain " Pusparini benar-benar
dihadapkan kepada tugas yang penuh tantangan. Disadari kini bahwa dirinya
menjadi tumpuan perhatian orang-orang yang mengerti akan buku Tosan Aji.
Tetapi tentang Wariga, walaupun
tampaknya bocah itu berpihak
kepadanya, dia tetap menaruh
kecurigaan. Siapa tahu bahwa semua itu cuma kedok untuk mengelabui dirinya"
Pusparini tetap mengingat pesan
gurunya, Ki Suswara, agar tidak
mempercayai siapapun dalam suatu
urusan. Maksudnya, agar hati-hati.
Apalagi kalau hal itu dikaitkan dengan persahabatan yang terdapat masalah
terselubung, yang mengandung teka-teki. Dan Wariga adalah seorang bocah yang
masih menjadi teka-teki baginya.
Wariga adalah seseorang yang
berpenampilan seperti seorang bocah dengan sifat kebocahannya, tetapi
kadang-kadang terlihat seperti
seseorang yang telah dewasa, dengan nada suara kedewasaannya. Ini sangat aneh!
"Kita berteduh di situ saja,"
ajak si Wariga sambil memberi isyarat ke arah sebuah gua.
Pusparini tetap mengekor langkah
bocah itu. Gua yang dituju dikelilingi dahan-dahan pohon yang meranggas
kering, dengan selimut abu gunung
menebal. "Huh ! Baru bisa bernafas lega di
sini," keluh Wariga sambil mencari tempat untuk meletakkan lahar yang telah
membeku di tangannya. "Kau bisa membuat api unggun?"
Pusparini bertindak. Aneh! Kini
api yang dibutuhkan, padahal tadi
keduanya terbirit-birit menghindari lahar panas. Dengan ketrampilannya,
Pusparini segera mempersiapkan api unggun dengan dahan-dahan kayu yang mudah
diperoleh di sekitar tempat itu.
Dengan menggosok-gosokkan dua batang kayu kering, maka terciptalah api.
Begitu api berkobar, Wariga segera membenamkan batu lahar yang telah
membeku ke dalam api itu.
"Untuk apa" Mengapa harus
begitu?" tanya Pusparini.
"Agar pamor batu itu tetap ada, harus diperlakukan seperti itu. Harus tetap hangat. Tidak boleh dingin
membeku. Kalau tidak ada api, kita harus selalu menggenggamnya, karena tubuh
kita juga mengandung unsur api.
Hal itu berlangsung sampai batu lahar ini siap ditempa sesuai dengan
campuran sarana yang lain....!" Wariga mengumbar omongan seakan-akan
menggurui masalah yang buku kuncinya terletak di tangan Pusparini.
"Pasti kau juga menghendaki buku Tosan Aji itu," terka Pusparini dengan
pandangan menyelidik. "Aku benar-benar tak mengerti siapa kau sebenarnya,
Wariga. Penampilanmu sungguh asing dan mengundang teka-teki. Sulit dikatakan
bahwa kau seorang bocah seperti
terlihat pada bentuk lahirmu."
Terdengar suara tawa Wariga.
"Mengapa ketawa" Ada yang lucu dengan pertanyaanku tadi ?" tanya Pusparini
seakan-akan merasa
disepelekan dengan sikap Wariga.
"Kau pasti mencurigai aku. Sudah kukatakan, aku hanya ingin menolongmu.
Tak lebih dari itu. Ketika secara
kebetulan gunung Merapi itu meletus, kau pasti menghendaki lahar berpijar untuk
sarana pembuatan senjata ampuh seperti yang tertulis dalam kitab
Tosan Aji," Wariga menambahi
penjelasan. "Kini katakan, siapa kau
sebenarnya"!"
"Aku" Namaku sudah kau kenal.
Asalku" Enghmm.....sebut saja sebagai Manusia Kabur Kanginan.. Orang yang tak
diketahui asal-usulnya. Nah, puas
?" "Tidak!"
"Tidak"! Ya sudah. Tak ada yang bisa kuceritakan padamu lagi.
Seseorang berhak menyimpan suatu
rahasia bukan" Apalagi kalau hal itu menyangkut tentang diri pribadi nya,"
kata Wariga dengan sikap tak acuh. Dia bangkit untuk memeriksa keadaan di luar
gua. "Kelihatannya kita terpaksa
bermalam di sini. Merapi masih belum reda dari krodanya."
"Apa pikiranmu tentang Sawung Cemani?" tanya Pusparini. Dia mengharapkan bahwa
Wariga yang menyimpan banyak rahasia ini dapat memberi penjelasan.
"Aku tak tahu apakah dia bisa mengambil lahar berpijar dengan
tangannya sesuai dengan persyaratan.
Tetapi melihat gelagatnya ketika dia begitu terburu-buru ingin mendapatkan
pijaran lahar itu, bisa dipastikan, dia mampu melakukan!" ujar Wariga
meyakinkan. "Seperti halnya dengan yang lain, maka sebagian isi buku
Tosan Aji sudah banyak orang yang
tahu. Dan yang paling utama adalah sarana lahar berpijar dari gunung
Merapi." "Jadi.....batu lahar ini akan kau berikan padaku?" Pusparini menyelidik.
"Ambillah ! Itu memang kucarikan untukmu," jawab Wariga sambil mencari tempat
untuk tidur.
Walet Emas 01 Kilatan Pedang Merapi Dahana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau pikir aku berniat membuat pedang sesuai dengan rumusan dalam buku Tosan
Aji?" tanya Pusparini lagi.
Wariga tak menjawab.
"Wariga".... Kau sudah tidur?"
terdengar suara Pusparini.
Tak terdengar jawaban.
Dipandanginya tubuh Wariga yang
terbaring dengan berbantal tangan.
Tubuh yang tak berbaju. Hanya bagian bawah saja yang tertutup kain. Itu pun kain
yang sudah lusuh. Penampilan macam itu akan menimbulkan kesimpulan bahwa
Wariga adalah seorang
gelandangan. Kasarnya pengemis. Tetapi Pusparini tidak menganggap lagi
pandangan seperti itu. Wariga
mempunyai banyak kelebihan. Dan
mungkin tidak semua yang ditonjolkan.
Hanya saja tentang suara yang pernah didengar ketika mengambil pijaran
lahar itu, benar-benar membuat heran Pusparini. Suara Wariga terdengar
tidak seperti bocah seusianya. Tetapi terdengar seperti suara orang dewasa!
Memikirkan banyak hal tentang
teka-teki yang menyangkut diri Wariga, membuat Pusparini terseret rasa
ngantuk. Akhirnya dia tertidur.
* * * 6 Pusparini njenggirat kaget.
Kesadarannya cepat pulih di saat dia terbangun dari tidurnya. Rasanya ada
seseorang yang membangunkan. Tetapi ketika diselidiki keadaan sekitarnya, tak
ada seorangpun yang terlihat. Juga si Wariga!
"Wariga"!" panggilnya. Tak ada
sahutan. Tak terlihat sosok tubuh
Wariga. Tempat di mana Wariga tidur, terlihat kosong.
Pusparini mengawasi tempat api
unggun. Di situ masih terdapat batu lahar. Api unggun telah padam, tetapi terasa
masih hangat sisa-sisanya.
"Kemana lagi dia ?" pikir Pusparini. "Selalu begini. Tempo hari ketika aku
bangun, dia sudah lenyap.
Kali ini lagi. Tetapi dengan adanya batu lahar tetap di tempatnya, agaknya kata-
katanya bisa dipercaya."
Pusparini memeriksa ke luar gua.
Letusan telah mereda walaupun sisa-sisa berupa genangan kabut masih
menebal di sekitar tempat itu.
"Warigaaaa!!!" teriak Pusparini.
Gema suaranya bergaung memantul lereng tebing gunung. Berkali-kali dia
memanggil nama Wariga, tetapi orang yang dipanggil tak kunjung muncul.
Akhirnya Pusparini memutuskan
untuk turun gunung. Batu lahar itu disimpan dalam bungkusan selendang ikat
pinggangnya. Dari hal ini
Pusparini baru tahu betapa berat batu lahar tersebut, kira-kira 30 kati.
Tetapi dengan mudah Wariga membawanya seperti membawa kapas saja. Dengan besar
sekitar lima genggam dan
beratnya 30 kati, bisa dibayangkan bagaimana batu lahar itu memiliki kekuatan
sebagai sarana pembuatan
pedang. Dan hanya lahar Merapi yang mempunyai syarat sempurna!
Pusparini telah jauh meninggalkan
kawasan gunung Merapi. Cuaca masih diselimuti kabut. Tak diragukan lagi, hari
telah tinggi. Keputusan
Pusparini, bahwa dia akan menuju desa Pohpitu, sebab sewaktu dia diculik oleh
Gagak Lodra barang-barangnya
diperkirakan masih tertinggal di
penginapan milik Bagus Tulada.
Desa Pohpitu kelihatan sepi
ketika Pusparini tiba di sana. Suasana di ambang senja ini memang tidak
menggembirakan penduduk setempat,
karena suasana letusan Merapi juga terasa di sana. Abu bertebaran di
pelosok tempat.
Langkah Pusparini langsung menuju
ke penginapan. Tetapi beberapa orang tiba-tiba muncul dari dalam bangunan itu,
langsung mengepungnya.
Perasaan Pusparini tersirap. Dia
melihat pakaian seragam orang-orang yang mengepungnya. Mereka para
punggawa kadipaten Rejodani yang telah lama memburunya. Ini namanya "ulo marani
gebuk" alis ular mencari
gebukan! Tetapi siapa sangka kalau bahaya yang tak dikehendaki tiba-tiba saja
menanti di depan mata" Dan para punggawa kadipaten Rejodani itu
dipimpin langsung oleh seorang tokoh bernama Wiro Brangasan yang mendapat
gelar Kucing Malaikat. Dan tokoh itu muncul dengan langkah penuh berwibawa.
"Aku tak akan bisa melupakan
baumu, cah ayu! Kalau kau mengerti akan gelarku, Kucing Malaikat, tentu kau tak
akan sembrono memunculkan diri di sini. Kini kau harus mempertanggung jawabkan
perbuatanmu yang pernah
memasuki ruang perbendaraan kadipaten Rejodani dan menjarah isinya.
Kasarnya, kau telah merampok harta benda kadipaten!"
"Tunggu dulu. Ini adalah kesalah pahaman!" sanggah Pusparini sambil melirik
keadaan di sekelilingnya.
Bagaimanapun, dia harus dapat
menguasai keadaan kalau nanti
pembicaraan ini harus diselesaikan dengan ujung senjata.
Mengapa Pusparini sampai terlibat
masalah tersebut"
Hal ini memang diluar kehendak
Pusparini. Inipun gara-gara Gagak
Lodra yang pertama kaki bentrokan
dengan Pusparini...........
Saat itu Pusparini memang berada
di kadipaten Rejodani begitu dia
menyelesaikan pendidikannya sebagai murid Ki Suswara di padepokan Canggal.
Dia berada di sana hanya sekedar
numpang lewat untuk menuju desa
kelahirannya kembali. Ketika malam tiba, dia melihat sesosok tubuh
menyatroni sebuah bangunan kadipaten.
Setelah diselidiki, ternyata seseorang yang hendak merampok di ruang
bendahara. Si pelaku berhasil
menggasak barang yang diinginkan,
yaitu seperti uang yang cukup lumayan nilainya. Pusparini terpaksa bertindak
untuk meringkus perampok itu.
Bentrokan terjadi. Dan si perampok berhasil dikalahkan. Si perampok kabur dengan
barang jarahan yang tercecer.
Tetapi Pusparini tidak terus mengejar.
Dia mencoba memungut beberapa pundi-pundi uang yang tercecer. Pada saat itulah
pada punggawa Rejodani yang dipimpin Wiro Brangasan muncul. Mereka langsung
mencurigai Pusparini sebagai biang keladi perampokan itu. Bentrokan terjadi
ketika Pusparini tak berhasil meyakinkan mereka bahwa bukan dia yang merampok di
tempat perbendaharaan
kadipaten Rejodani. Pusparini tidak ingin memperpanjang permasalahan.
Kemudian dia melarikan diri dari
gelanggang pertarungan. Tekatnya, dia hendak meringkus si perampok tadi.
Niat Pusparini berhasil. Akhirnya
dia bertemu dengan orang yang diburu.
Orang itu tak lain adalah Gagak Lodra.
Dalam kesempatan ini terjadi
pembicaraan lebih gamblang antara
Pusparini dengan Gagak Lodra.
"Apa salahnya aku menjarah harta pemerintah yang mengisap darah rakyat lewat
pajak-pajak yang tak
berperikemanusiaan?" kata Gagak Lodra pada waktu itu.
Dari sini Pusparini baru tahu
bagaimana keadaan penguasa kadipaten Rejodani dalam memerintah rakyatnya.
Tetapi di sisi lain, akhirnya Gagak Lodra tahu siapa Pusparini yang
memakai gelar Walet Emas tersebut.
Ternyata seseorang yang menyimpan buku Tosan Aji yang diincar banyak orang di
kawasan itu sejak Wibhangga, ayah
Pusparini terbunuh oleh komplotan yang dipimpin Cakraganta. Peristiwa
selanjutnya, dalam bentrokan lagi, Gagak Lodra berhasil dilukai oleh
Pusparini dan terlempar ke sungai....
Itulah latar belakang masalah
Pusparini dengan para punggawa
kadipaten Rejodani.
"Kau tak bisa keluar dengan
selamat lagi, cahayu!" kata Wiro Brangasan. Tokoh ini memberi isyarat kepada
anak buahnya. Dan sekejap
kemudian orang-orang yang mengepung Pusparini maju serentak.
Sayang. Tindakan mereka buyar
berantakan, karena Pusparini telah bergerak dengan tangkas mengayunkan bungkusan
yang berisi batu lahar.
Benda seberat 30 kati itu menghantam tubuh-tubuh yang mencoba meringkusnya.
Jeritan meledak dari mulut mereka. Tak seorangpun luput dari sabetan ayunan itu.
Lalu beberapa orang mencoba
menggunakan senjatanya. Tetapi inipun tak berhasil menghentikan sepak
terjang Pusparini.
Tentu saja hal ini menimbulkan
amarah Wiro Brangasan alias Kucing Malaikat yang bertubuh ceking beralis tebal
sehingga dua ujungnya saling bertaut. Dengan menyeringai bagaikan seekor kucing
menghadapi lawan, dia melesat ke muka. Dia memang menguasai jurus kucing dengan
sempurna. Kedua tangan nya dihiasi kuku-kuku yang mencuat tajam. Anggota badan
inilah yang pertama kali dipergunakan sebagai senjata untuk menandangi Pusparini
alias Walet Emas.
Pusparini sadar dengan kehadiran
pentolan punggawa Rejodani ini. Batu lahar dalam bungkusan tetap dipakai senjata
untuk menghadapi serangan
lawan. Beberapa kali Wiro Brangasan dapat menghindari sabetan bungkusan
Pusparini. Sementara itu tak ada
seorangpun tahu apa isi bungkusan yang dipegang Pusparini. Tetapi ketika Wiro
Brangasan mencoba menerkam lawannya, dengan gaya burung walet meliuk di
permukaan air Pusparini berhasil
menghindar, sekaligus mengirimkan
serangan berupa tendangan kaki yang mengunjam tengkuk. Wiro Brangasan
terguling. Tetapi ibarat kucing,
jatuhnya selalu bertumpu kepada
kakinya. Bahkan dengan cepat pula dia
menggenjotkan tubuh untuk memberi
serangan balik ke arah Pusparini.
Tetapi usaha ini mendadak tersendat.
Tiba-tiba dia melihat seseorang muncul dengan gerakan limbung melaju ke
arahnya. Keadaan yang mendadak ini tentu saja sulit dihindarkan, sebab dia
memperhitungkan pula serangan dari Pusparini. Akibatnya, sosok tubuh yang baru
muncul itu menghantamnya. Wiro Brangasan mencelat tertimpa tubuh itu.
Tetapi dia mencoba mengatasi dengan cengkraman kuku-kuku tangannya kalau orang
yang menerjangnya itu memberikan serangan bertubi-tubi dengan jurus yang tak
bisa dilacak geraknya. Tetapi tidak. Orang itu tidak menyerang.
Bahkan terlihat tak berdaya sama
sekali. Wiro Brangasan terperangah kaget. Dia mengenali siapa orang itu.
"Gagak Lodra"!" desisnya sambil mengenyahkan tubuh orang yang
dikenalnya. Tak kurang herannya demikian juga
di pihak Pusparini. Dia melihat tubuh Gagak Lodra tergeletak tak bergerak.
"Dialah yang merampok di
kadipaten Rejodani!" Suara ini dibarengi munculnya seseorang dengan gerak
melambung, dan mendarat di
antara Pusparini dan Wiro Brangasan.
"Bagus Tulada"!" terdengar hampir bersamaan ucapan ini meluncur dari mulut
Pusparini dan Wiro Brangasan.
Ya. Bagus Tulada yang muncul. Dia mengaku bahwa dirinyalah yang melempar tubuh
Gagak Lodra untuk melerai
pertarungan yang telah terjadi.
"Maaf, ki Wiro. Kukira saya
terpaksa bertindak demikian, karena tak ingin para punggawa Rejodani
menindak orang yang tak bersalah,"
kata Bagus Tulada dengan nada
meyakinkan. "Bagus Tulada ! Apakah kau tahu mengapa Gagak Lodra sampai tak berdaya begitu"
Ketahuilah, itu akibat
pertarungannya dengan Sawung Cemani sebelum letusan Merapi," ucap Pusparini
sambil mengawasi Bagus
Tulada yang mungkin akan unjuk jasa dalam peristiwa ini.
"Kau pikir aku akan mengelabuhi latar belakangnya?" sanggah Bagus Tulada. "Dia
telah mengaku apa yang dilakukan. Kutemui dia dalam keadaan sekarat di saat
letusan Merapi itu terjadi. Dia menceritakan tentang
dirimu, dan juga Sawung Cemani. Dan kubawa agar mempertanggung jawabkan
perbuatannya. Dan kukira.... saat ini Gagak Lodra tetap dalam keadaan
pingsan." "Mudah-mudahan keteranganmu bisa melunakkan para punggawa itu," jawab Pusparini
sambil beranjak masuk ke penginapan. "Maaf, aku akan mengambil barang-barang
yang lain. Semua masih
di sini ketika Gagak Lodra menculikku.
Itu kalau tidak ada tangan jahil yang mengambilnya."
"Barang-barangmu telah kusimpan di suatu tempat yang aman," kata Bagus Tulada
dengan menyambar lengan
Pusparini yang beranjak masuk ke
penginapan. "Apa"!"
"Barang-barangmu tidak lagi di penginapan ini."
"Kau begitu lancang!"
"Ah, seharusnya kau berterima kasih, dari pada barang-barangmu itu digrayangi
isinya oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab."
Pusparini terdiam. Dia mengawasi
Bagus Tulada dengan tajam.
"Dan kau punya kesempatan untuk mendudah barang-barangku, bukan?"
"Ayo ikut aku. Tak
baik membicarakan hal itu di sini," kata Bagus Tulada tanpa mengindahkan lagi para
punggawa Rejodani yang dipimpin Wiro Brangasan itu.
Pusparini sempat melihat Wiro
Brangasan memerintahkan anak buahnya agar mengangkut tubuh Gagak Lodra dalam
keadaan pingsan sebelum dia
mengikuti langkah Bagus Tulada.
Langkah mereka menuju suatu jalan
yang kanan kirinya banyak dipasang obor untuk penerangan jalan. Suasana malam
kian pekat. Dan dari jauh
Pusparini melihat bangunan yang
berpenerangan dengan mewah.
"Itukah rumahmu?" tanyanya.
Tetapi Bagus Tulada tidak menjawab sepatah pun sampai mereka memasuki halaman
rumah itu. "Ayo, masuk. Silakan. Jangan
ragu," Bagus Tulada mulai membuka omongan.
Pusparini masih berdiri di ambang
pintu halaman. Matanya menyapu keadaan sekitar-nya.
"Kau pikir rumah ini penuh
jebakan?" kata Bagus Tulada lagi. "Kau aman di sini. Seharusnya sejak semula kau
kuajak kemari dari pada menginap di penginapan itu."
Walet Emas 01 Kilatan Pedang Merapi Dahana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi itu adalah penginapan milikmu. Seharusnya kau bisa menjaga keamanannya."
"Sebenarnya bukan milikku, tetapi milik ayahku!"
"Dan ini rumah ayahmu bukan?"
"Tidak. Ini milikku sendiri.
Tempat tinggal pribadi."
"Ow. Kalau begitu, kau tinggal bersama istrimu," Pusparini berkata dan
langkahnya tersendat karena ragu dengan ucapannya sendiri.
"Aku belum beristri" jawab Bagus Tulada tegas dengan melempar senyum.
Pusparini mengekor langkah laki-
laki itu. Matanya jelalatan mengawasi keadaan isi bangunan yang tampak mewah
untuk ukuran desa itu.
"Kau sendirian di sini" Engm....
maksudku... siapa saja yang berada di rumah ini?" tanya Pusparini.
"Cuma seorang pelayan penjaga rumah. Nah, sebelah itu adalah
kamarmu. Barang-barangmu ada di
dalam," kata Bagus Tulada dengan sikap ramah. Justru ini yang tiba-tiba
menimbulkan kecurigaan Pusparini.Hati nuraninya memperingatkan
agar dia berhati hati. Ini salah satu pelajaran
dari Ki Suswara yang mengatakan, di suatu tempat di mana dua orang pria dan
wanita berada, maka pihak ketiga adalah setan! Suatu peringatan yang dikaitkan
dengan moral. "Tolong, ambilkan barangku di dalam ruangan itu," kata Pusparini dengan
menghentikan langkahnya.
Kemudian diawasinya Bagus Tulada, yang rupanya ada perubahan pada wajahnya
ketika mendengar ucapan si Walet Emas.
Keduanya saling berpandangan. Suatu bentrokan sikap antara kecurigaan dan maksud
yang terselubung. Hal ini
dirasakan benar oleh Walet Emas alias Pusparini.
Kecurigaannya semkin menebal
karena sampai sebegitu jauh Bagus
Tulada tak pernah menanyakan batu
lahar yang dibawa Pusparini dalam
bungkusan, di samping masalah buku Tosan Aji yang menjadi banyak incaran
dari pihak-pihak tertentu.
Kini terlihat Bagus Tulada
mengumbar senyum.
"Kau mencurigaiku, Walet Emas?"
"Sebagai tamu, tak baik kalau aku blusak-blusuk semaunya meskipun kau ijinkan,"
jawab Pusparini tegas.
"Baik. Kuambilkan barang-
barangmu," kata Bagus Tulada sambil melangkah ke depan. Tetapi begitu dia berada
di samping Pusparini, tangannya mendorong tubuh wanita yang bergelar Walet Emas
itu. Pusparini yang tidak menduga perlakuan ini terdorong ke depan dan menabrak
daun pintu di depannya. Pintu menganga, dan tubuh Pusparini meluncur kebawah. Ya,
meluncur ke bawah, sebab ruangan itu tidak berlantai, tetapi sebuah lubang yang
menganga! Ditambah dengan berat batu lahar yang berada dalam bungkusan yang
dibawanya, membuat tubuh
Pusparini semakin cepat meluncur ke bawah. Tak ada sarana untuk
menyelamatkan diri. Dalam saat yang sedemikian cepat, dia sempat berpikir
tentang apa yang menanti di bawah
lubang itu. Ujung-ujung tombakkah"
Atau tanah yang keras" Atau air"
Jawabannya segera diketahui begitu tubuhnya terhempas di bawah. Ternyata sebuah
jaring.....! * * * 7 Untuk beberapa saat Pusparini
terbaring dalam lilitan jaring yang menyangga tubuhnya. Dia mencoba
menenangkan perasaannya dan menanti peristiwa selanjutnya. Sepi. Tak ada apa-apa
yang terjadi lagi. Kini
tubuhnya bergelantungan tersekap
jaring. Baru saja dia mencoba berpikir untuk meloloskan diri dari tempat itu,
tiba-tiba tercium bau aroma yang tak sedap.
"Uap beracun!" desis Pusparini sambil mencoba
menutup hidungnya
dengan selendang pembungkus batu
lahar. "Bagus Tulada ternyata tak lebih dari sekian banyak orang yang hendak mengecoh
diriku. Apalagi kalau tidak dengan alasan buku Tosan Aji itu"
Untung buku itu kusimpan di suatu
tempat dengan rapi. Kalau kubawa-bawa terus, pasti telah lama jatuh ke
tangan pihak lain. Dan untuk kedua kalinya aku harus berhadapan dengan uap
seperti ini. Suatu cara agar aku lebih tak berdaya....!"
Dan kesadaran Pusparini hanya
sampai di situ......!
Lalu, satu-satunya perasaan yang
menyengat kesadarannya adalah bau
harum yang mengusik hidungnya. Dengan pelan dibukanya matanya yang masih terasa
berat. Tetapi begitu dia bisa melihat nyata, perasaannya tersentak kaget.
Bagus Tulada berada dihadapannya,
sementara tubuhnya sendiri dalam
keadaan terikat di tiang sebuah
bangunan. "Dia telah siuman, ayah .'"
terdengar ucapan Bagus Tulada kepada seseorang yang dipanggil sebagai ayah.
Pusparini mencoba mengawasi
keadaan di sekitarnya. Ada dua orang lagi yang berada di sana di samping Bagus
Tulada. Seorang laki-laki
setengah umur, dan lainnya seorang wanita yang hampir sebaya. Laki-laki itu
berperawakan gembrot dengan
pakaian mewah. Juga si wanita di
sampingnya. Tetapi yang membuat
Pusparini tersengat rasa kaget bukan kehadiran mereka. Tiada lain adalah siapa
kedua orang itu!
"Ki Cakraganta, dan si wanita itu! Mereka terlibat dalam pembantaian keluargaku.
Dan wanita itu yang
membunuh ayahku.....!!"
geram Pusparini dalam hati. Ini
semua membuat perasaannya membara.
"Pusparini alias Walet Emas! Hmm, siapa sangka kalau kau yang menjadi kunci
masalah selama ini"!" terdengar suara Cakraganta yang kemudian disusul
ketawa dengan nada ejekan. "Rupanya kau telah menjelma menjadi seorang gadis
dewasa yang banyak tingkah. Aku memang telah lama menyatroni dirimu dari jauh
beberapa minggu ini setelah kudengar ada seseorang dari keturunan Wibhangga yang
ternyata menyimpan buku Tosan Aji yang menimbulkan
persengketaan itu."
"Tentunya usahamu itu tidak
tanggung-tanggung. Tentu kau menyebar banyak orang untuk mendapatkan buku Tosan
Aji. Dan paling akhir, ternyata Bagus Tulada ini yang dapat menyeretku ke
hadapanmu sehingga aku pun bisa bertemu dengan orang yang kucari
selama ini sebagai pembantai keluargaku. Terutama wanita di sampingmu ini!"
kata Pusparini dengan pandangan penuh dendam.
"Dia Nyi Sanghata. Kau tahu apa arti 'Sanghata'" Artinya suka
membunuh. Kau tentunya sangat
mendendam kepadanya. Aku tak tahu
ketika itu kau berada di mana ketika kami datang untuk membantai keluargamu
karena tidak mau menyerahkan buku
Tosan Aji. Kau tentu menduga bahwa hasratku untuk mendapatkan buku Tosan Aji
dengan tujuan ingin menciptakan pedang ampuh seperti yang rumus-rumusnya
tertulis dalam buku tersebut.
Kau keliru. Keliru besar, cah ayu !!
Aku hanya ingin membinasakan buku itu
agar tak ada orang yang membuat pedang ampuh lagi yang disebut Pedang Merapi
Dahana!" kata Cakraganta dengan suara terkekeh diakhir ucapannya yang
dibumbui ketawa.
"Pedang Merapi Dahana berada di tanganku. Aku dari keturunan wangsa keturunan
Sanjaya yang selalu
bermusuhan dengan pihak Syailendra, tak menginginkan adanya pedang yang menyamai
keampuhan Pedang Merapi
Dahana!" sela wanita bernama Nyi Sanghata.
"Jadi kau yang lebih berkuasa dari pada Cakraganta ini?" tanya Pusparini dengan
harapan bisa mendapatkan pengetahuan lebih banyak tentang permusuhan turun-temurun yang
pernah diceritakan oleh almarhum
ayahnya. "Tak kuduga bahwa Cakraganta yang selama
ini kucari ternyata hanya
begundalnya seorang wanita. Huh!!"
Dan.... cplas!! Sebuah tamparan
mendarat di pipi Pusparini. Tangan Cakraganta telah mdayang tanpa
terkendali lagi karena ucapan itu.
"Ayah berjanji tidak akan
menyakitinya dalam keadaan tak
berdaya," sela Bagus Tulada dengan sikap mencegah tindakan ayahnya lebih lanjut.
"Hmm! Rupanya kecantikan Walet Emas ini telah melumpuhkan kesetiaanmu
kepada wangsa keturunan Sanjaya.
Mungkin itu sebabnya kau terlibat
waktu yang lama untuk meringkus gadis ini walaupun ada kesempatan
melakukannya. Aku tak suka kau
bcrsikap loyo. Bagus ! Kukira Sawung Cemani yang tak kuperhatikan serta
kuabaikan kesetiaannya, mungkin lebih tegas dalam bertindak dari padamu !"
kata Cakraganta dengan pandangan mata melecehkan sikap anaknya.
"Sawung Cemani?" tercetus ucapan ini dalam hati Pusparini. "Jadi Sawung Cemani
ada hubungannya dengan
Cakraganta" Oh, kalau begitu semua itu terdiri satu kelompok saja. Termasuk
Gagak Lodra tentunya" Tetapi mengapa Sawung Cemani bentrok juga dengan
Gagak Lodra " Atau memang Gagak Lodra berdiri di pihak lain untuk
kepentingannya sendiri" Mungkin!"
Inilah yang bisa disimpulkan oleh
Pusparini saat ini. Tengah berpikir tentang Sawung Cemani, tiba-tiba orang yang
menjadi buah pikiran ini muncul pula di tempat itu. Penampilannya
tampak tenang. Dia muncul dengan
memberikan hormat terlebih dulu kepada Nyi Sanghata. Jelas sekali bahwa Nyi
Sanghata lebih tinggi derajatnya dari pada Cakraganta. Tetapi bagaimana
Sawung Cemani bisa muncul di sana, itu yang tidak diketahui.
Sebab paling akhir Pusparini
melihat Sawung Cemani lari ke arah gunung Merapi ketika gunung itu
meletus beberapa hari yang lalu. Dia menduga bahwa Sawung Cemani akan
mendapatkan lahar berpijar.
Kenyataannya sampai begitu jauh, dia tidak melihat Sawung Cemani lagi,
sampai akhirnya orang itu muncul pula di sini.
"Saya mendapat laporan
dari orang-orang bahwa Walet Emas telah tertangkap. Itu sebabnya saya
menghadap kemari untuk membuktikan kebenarannya," kata Sawung Cemani sambil
mengawasi Pusparini yang tak berdaya dalam ikatan.
"Kalau dia kini memiliki batu lahar, hal itu karena bantuan seorang bocah yang
berpenampilan pengemis.
Tetapi digdayanya bukan main. Kulihat dari tempat persembunyianku bagaimana dia
mengambil lahar panas itu dengan tangan telanjang tanpa alas apa-apa,"
kata Sawung Cemani memberi kesaksian.
"Seorang bocah pengemis katamu"!"
sela Nyi Sanghata.
"Iya, Nyi! Seorang bocah!" ucap Sawung Cemani. "Aku sempat bentrok dengan dia
sebelum terjadi letusan gunung Merapi."
"Dia bukan seorang bocah. Namanya pasti Wariga. Dia bukan seorang bocah walaupun
penampilannya seperti itu.
Aku tahu betul dengan si Wariga itu.
Umurnya telah delapan puluh tahun.
Jadi lebih tua dari pada kita-kita ini. Dia seorang empu pembuat Keris!!"
debat Nyi Sanghata dengan nada ketus.
"Wariga berumur delapan puluh tahun?" pikir Pusparini yang pernah bergaul akrab
dengan laki-laki yang diduga masih bocah itu. Wariga pernah mengecoh lewat
penampilannya dan
mengaku sebagai seorang yang kini
hidup melarat karena seluruh
keluarganya dibunuh oleh perampok.
Tentunya hal ini bohong belaka untuk merahasiakan siapa dirinya di hadapan
Pusparini. "Lalu apa yang akan kita lakukan terhadap penyimpan buku Tosan Aji
ini?" tanya Sawung Cemani dengan mengawasi Pusparini yang secara
kebetulan melirik ke arahnya.
"Tentu saja akan kita paksa agar dia berbicara !" sahut Nyi Sanghata.
"Tidak!! Jangan lakukan itu!"
cegah Bagul Tulada. "Dia bisa kita perlakukan dengan baik-baik agar
menyerahkan buku itu. Aku berhasil menangkapnya dan menyerahkan kepada kalian
karena janji bahwa dia tidak akan disakiti."
"Membujuknya secara baik-baik katamu" Dengan cara apa" Kau akan
merayunya" Akan kau beri kenikmatan dia dengan cumbu rayu di atas ranjang"
Owwh, nak Bagus. Mengapa semangatmu
jadi betina?" cela Nyi Sanghata sambil membelai pipi pemuda itu. Kemudian dia
meraih tangan Bagus Tulada dan
ditempelkan ke atas buah dadanya.
"Ayahmu bisa cemburu karena
melihat tanganmu membelai buah dadaku, Bagus. Sebenarnya aku lebih suka tidur
denganmu dari pada harus menuruti
hasrat ayahmu yang selama ini tak
berani dia lakukan karena aku tak sudi melayaninya sebelum buku Tosan Aji itu
jatuh ke tanganku dan kuhancurkan!"
kata Nyi Sanghata sambil memaksa
tangan Bagus Tulada agar membelai buah dadanya yang membukit di balik
kembennya. Walaupun usia Nyi Sanghata ini sudah kepala lima, tetapi
penampilannya tidak kalah dengan gadis remaja. Bahkan penampilannya yang
mencerminkan 'wanita matang' sangat menggoyahkan iman lawan jenisnya.
Melihat tindakan Nyi Sanghata dan
mendengar omonganhya, tentunya harga diri Cakraganta terasa tercoreng.
Tetapi apa mau dikata, Nyi Sanghata adalah orang yang berpengaruh serta berkuasa
dalam kelompok yang menamakan diri sebagai orang-orang keturunan wangsa Sanjaya.
Di sisi lain, Pusparini terpaksa memalingkan wajahnya karena tindakan Nyi
Sanghata yang merobek kesopanan itu.
Dan tiba-tiba Nyi Sanghata
mendorong dengan keras tubuh Bagus
Tulada. "Ki Cakraganta! Aku tak suka
perangai anakmu ini! Kalau kau sebagai orang mengaku anak kepadanya, beri
pelajaran dia!!" kata Nyi Sanghata sambil memandang bengis ke arah Bagus Tulada
yang kehilangan peranan di
tengah orang-orang itu.
Cakraganta seperti kerbau dicocok
hidung, serta merta menggampar kepala Bagus Tulada. Dia benar-benar
kehilangan muka atas peristiwa ini.
Dan untuk menjaga kedudukannya
dihadapan Nyi Sanghata, dia tak segan-segan
melakukan perintah tersebut.
Tubuh Bagus Tulada oleng ke belakang.
Tetapi ketika ayahnya akan bertindak kedua kalinya, dia mempertahankan diri
dengan mengelak sehingga pukulan
ayahnya menerobos tempat terbuka.
Walet Emas 01 Kilatan Pedang Merapi Dahana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kurang ajar!!" umpat Cakraganta.
"Maaf, aku tak bisa diperlakukan seperti binatang karena ayah terlalu gandrung
dengan wanita itu!" jawab Bagus Tulada dengan berang.
"Ayah terlalu diperbudak olehnya.
Aku tak suka itu. Kini aku mengerti mengapa ibu sampai meninggal karena sakit.
Karena ayah tidak sungguh-sungguh mencari upaya penyembuhan agar ibu sehat
kembali. Ayah telah
terbelenggu oleh iblis betina ini!!"
Benar-benar tak diduga kalau
Bagus Tulada akan berkata seperti itu.
Cakraganta tak bisa mengendalikan
dirinya lagi. Pedangnya kini berperan.
Bagitu lepas dari sarungnya, langsung disabetkan ke arah anaknya. Tetapi Bagus
Tulada berhasil mengelakkan. Dia menggelindingkan tubuhnya ke samping sambil
melemparkan pisaunya ke arah tali yang melilit tubuh Pusparini.
Lemparan pisau menyayat lilitan tali.
Kesempatan ini dipergunakan oleh
Pusparini untuk melepaskan diri. Dan berhasil ! Semua terjadi dengan cepat
sehingga tak seorang pun sadar akan tindakan Bagus Tulada yang tiba-tiba
berbalik arah menentang mereka.
Nyi Sanghatalah orang yang
pertama kali mencoba membendung
gerakan Pusparini ketika diketahui
gadis itu lepas dari ikatannya. Tetapi tindakannya kalah gesit dengan gadis yang
bergelar Walet Emas itu. Nyi
Sanghata maju ke muka, tetapi
tendangan Pusparini yang menyambutnya.
Tepat ke lambung perut. Wanita yang membanggakan dirinya sebagai keturunan
wangsa Sanjaya ini menggeliat sambil menebah perutnya. Tetapi secepat itu pula
dia berhasil menguasai dirinya.
Detik selanjutnya semua terlibat
pertarungan. Nyi Sanghata, Cakraganta dan Sawung Cemani di satu pihak,
melawan Pusparini serta Bagus Tulada.
Ini benar-benar satu kesempatan yang ditunggu oleh Pusparini. Telah lama
dia mencari pembantai keluarganya.
Kini kesempatan itu terjadi walaupun belum tahu sampai di mana ketangkasan lawan
yang harus dihadapi. Sasaran pertama adalah Nyi Sanghata. Dia terus melabrak ke
arah wanita itu sementara Bagus Tulada terlihat berhadapan
dengan ayah kandungnya sendiri yang dibantu Sawung Cemani. Dendam memang
mengalahkan pikiran sehat. Pusparini tidak memperdulikan dirinya lagi dalam
menghadapi lawan. Akibatnya Nyi
Sanghata sampai kuwalahan menangkis serangan-serangan si Walet Emas yang banyak
mengandalkan jurus-jurus
waletnya. Bisa dibayangkan betapa
gesit kalau seekor burung walet
menyambar. Begitu juga dengan sepak terjang Pusparini. Ruangan tempat
mereka bertarung jadi porak poranda.
Kini mereka melebarkan gerak di tempat terbuka.
Melihat Nyi Sanghata terus
keteter serangan Pusparini, Cakraganta mencoba memberi bantuan. Parhatian Walet
Emas kini bercabang harus
menghadapi dua arah serangan. Rupanya Cakraganta ingin unjuk keperkasaan di
hadapan Nyi Sanghata. Medan laga
diambil alih agar Nyi Sanghata dapat menghindarkan diri. Paling tidak untuk
mengatur perlawanan lebih lanjut. Hal ini benar-benar disadari karena sepak
terjang Pusparini bagaikan banteng
kedaton yang tidak memperdulikan
dirinya lagi. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh
Nyi Sanghata untuk mengundurkan diri.
Entah kemana perginya. Yang jelas
Pusparini tidak melihat wanita itu lagi.
"Aku harus melumpuhkan Cakraganta ini terlebih dahulu," pikir Pusparini sambil
mengelakkan diri karena sabetan senjata lawan nyaris membabat arah lehernya.
Sejak awal Cakraganta telah menggunakan pedangnya sementara
Pusparini masih lawaran tanpa senjata selain mengandalkan anggota badannya, baik
tangan maupun kakinya. Sekilas Pusparini berhasil melihat pertarungan antara
Sawung Cemani dengan Bagus
Tulada yang dengan susah payah harus menghindari tendangan kaki lawan yang jalu
besinya telah mencuat untuk
senjata. Keduanya telah menggunakan bilah senjata tajam. Masing-masing telah
terlibat pertarungan dengan
bilah pedang. Tetapi Sawung cemani memperguna kan pula senjatanya yang lain,
yaitu jalu besinya yang
mengandung racun. Di sini terlihat
bagaimana Bagus Tulada menghindari tendangan kaki lawan dengan sikap
hati-hati. Sebab kalau salah
perhitungan, dirinya bisa terjebak oleh kaki berjalu yang lain.
Melihat lawannya merasa keteter
dengan serangannya, maka Sawung Cemani ingin memberi serangan yang mematikan.
Dia mengadakan gerak jebakan agar
lawan menghindar ke samping kiri. Dari sini dia akan mengecoh Bagus Tulada yang
kemudian akan diserang dengan jepitan kedua kakinya yang berjalu.
Bisa dipastikan leher lawan akan
berhasil ditembus oleh jalu yang
mencual di atas tumit kakinya. Siasat serangan dijalankan. Tetapi tiba-tiba
Sawung Cemani merasa betisnya
tersambar pedang lawan. Tentu saja, sebab ternyata Bagus Tulada bisa
menebak gerak serangan yang dilakukan oleh Sawung Cemani. Kena sabetan
pedang, kontan kaki kanan Sawung
Cemani terpental. Kaki itu putus
mencelat empat tombak
jauhnya. Jeritannya meledak. Tetapi secepat itu pula dia berhasil menguasai keadaan.
Pedangnya menyambar ke arah lawan yang masih terlena dengan kemenangannya.
Pedang Sawung Cemani berhasil membabat bahu Bagus Tulada sehingga tangan yang
memegang pedang itu terkulai
menyemburkan darah. Kini keduanya
saling terluka. Keduanya masih sama-sama beringas. Dengan menahan rasa sakit
keduanya masih berniat menyerang ke pihak lawan.
Semua itu sempat disaksikan oleh
Pusparini sambil menghadapi
Cakraganta. Pusparini
benar-benar terharu dengan pengorbanan Bagus
Tulada. Siapa sangka kalau pemuda itu berani menentang sikap ayah kandungnya
sendiri" Tetapi inilah sialnya. Karena perhatiannya tertuju kepada Bagus
Tulada, Pusparini lengah sejenak
sehingga pedang Cakraganta menyambar lengannya. Hanya tergores. Darah
mengucur. Tetapi tak dihiraukan oleh Pusparini, sebab lawannya terus
melabrak dengan sabetan yang beruntun.
Pusparini benar-benar kewalahan sebab tidak berhasil mendapatkan peluang untuk
membendung serangan tersebut.
Kalau saja dia memegang senjata, pasti mampu menangkis sabetan pedang
Cakraganta. Dalam gerak menghindar dengan jurus waletnya, Pusparini
melihat sempalan kaki Sawung Cemani yang menggeletak putus akibat sabetan pedang
Bagus Tulada. Dengan cepat
sempalan kaki sebatas lutut itu
disambarnya, dan dengan kecepatan yang sulit diduga oleh Cakraganta sendiri,
bagian tubuh Sawung Cemani itu melesat ke arahnya.
Dan.... crass!!! Tepat mengenai
leher Cakraganta. Jalu beracun yang mencuat itu menancap di situ. Jeritan
meledak. Cakraganta menggeliat, tetapi dia tetap berusaha untuk bisa berdiri.
Dia mencabut benda yang menjijikkan itu.
Sempalan kaki berjalu yang
melukainya dilemparkan. Dengan mata
beringas dia memandang ke arah
Pusparini. Sementara itu Bagus Tulada sempat
pula menyaksikan keadaan ayahnya.
Tiba-tiba timbul rasa ibanya.
Bagaimanapun, dia tak sampai hati
melihat ayahnya terluka seperti itu.
Karena hal inilah, di saat Bagus
Tulada lengah, maka Sawung Cemani
mengunjamkan pedangnya ke arah lawan.
Pedang itu menembus perut Bagus
Tulada. Dan dengan buasnya pedang yang mengunjam ke perut itu diputar-putarkan
sehingga menimbulkan luka yang lebar. Boleh dikata isi perut Bagus Tulada
diaduk-aduk sehingga
ususnya terburai keluar. Perbuatan Sawung Cemani benar-benar ganas. Dalam
berdiri dengan satu kaki dia menyiksa lawannya yang semakin tak berdaya.
Akhirnya tubuh Bagus Tulada terjerembab ke tanah.....!
Puas memandangi lawan yang sudah
tak berdaya, Sawung Cemani mengalihkan perhatiannya kepada Pusparini yang
tercekam tegang menyaksikan keadaan Cakraganta. Laki-laki ini tampak
mengerikan karena merasakan rasukan racun yang menggerogoti kepalanya. Dan
kepala Cakraganta terlihat melepuh di sana sini. Kulit wajahnya mengelupas
dengan mengucurkan darah hitam akibat keganasan racun. Pusparini menahan
jeritnya ketika tiba-tiba menyaksikan
kedua mata Cakraganta melotot keluar.
Ya, keluar ! Yang kemudian copot dari tempatnya. Disusul dengan mulut
Cakraganta yang menganga lebar
mengumandangkan jeritan dengan suara parau menyeramkan. Dan mulut inipun
terkelupas kulitnya sehingga
menampakkan gigi giginya dengan lidah yang menjulur mcm-bengkak. Keadaan inilah
yang mengakhiri riwayat
Cakraganta, yang kemudian roboh.
Belum sirna rasa ngeri
menyaksikan kematian Cakraganta, tiba-tiba Pusparini dikejutkan oleh
sambaran angin pukulan. Ketika
menoleh, dilihatnya Sawung Cemani
telah menyerang dirinya. Untung saja serangan pertama ini tidak berhasil karena
gerak Sawung Cemani yang sudah tidak prima lagi. Dia kehilangan
banyak darah pada kakinya yang buntung sebelah. Ketika Sawung Cemani
menyerang lagi, Pusparini telah siap dengan tendangan kaki. Tetapi gerakan
tendangan ini tidak dia lanjutkan, sebab dengan gesit Sawung Cemani
mencoba menahan dengan kaki yang
berjalu. Tentu saja hal ini dilakukan dengan gerak melambungkan tubuhnya untuk
keseimbangan. Pusparini
menghindar. Dia tahu benar keganasan racun jalu Sawung Cemani yang rupanya lebih
ampuh dari pada tempo hari.
Untungnya, dalam menghindarkan diri
ini Pusparini mendapat kesempatan
meraih pedang milik Cakraganta. Dengan mengerahkan tenaganya, Pusparini
melemparkan pedang tersebut ke arah lawan.
Jhebb!!! Pedang mengunjam tepat di arah
jantung. Sawung Cemani
sempoyongan dengan wajah menyeringah Dengan kakinya yang tinggal sebelah dia
mencoba menguasai diri. Dia hendak menerjang ke arah Pusparini dengan
menggenjotkan tubuhnya. Tetapi
Pusparini telah terlebih dulu
bertindak. Dengan melesat ke udara mengeluarkan jurus waletnya, Pusparini
berhasil menerjang ujung senjata yang menancap di dada Sawung Cemani.
Akibatnya pedang itu semakin melesak ke dalam dada, dan tubuh Sawung Cemani
roboh ke tanah dan menemui ajal dengan cara itu.
Pusparini terkulai kepayahan.
Pandangannya menyapu ke arah tubuh-tubuh terkapar tak bernyawa lagi.
Tetapi tunggu. Ada seseorang yang
masih bergerak. Itu tubuh Bagus
Tulada. Pusparini menghampiri.
"Bagus Tulada!" kata Pusparini.
"Kau telah berkorban untukku....!"
"Kk.... karena... aku mencintaimu..!"
jawab Bagus Tulada
lirih. Hanya sampai di situ. Tak
terdengar lagi suara Bagus Tulada. Dia menghembuskan napas terakhir di
pangkuan Pusparini.
Dan pada saat itulah... terasa
ada sesuatu yang menyengat perasaannya, Pusparini menoleh....!
Nyi Sanghata muncul lagi. Kini
kelihatan lebih bangga dengan dirinya.
Kemunculannya dengan menanting sebuah pedang yang masih tersimpan di dalam
sarungnya. Sarung pedang itu berwarna merah dengan hiasan keemasan. Hulunya
berkepala makara.
"Rupanya aku terlambat datang.
Kalau tadi pedang ini kubawa,
peristiwanya tidak seburuk ini. Tetapi yang penting aku harus membinasakan kau,
Walet Emas, meskipun buku Tosan Aji tak akan kutemukan lagi. Atau bisa kutemukan
setelah kematianmu dengan pedang ini. Lihat! Pedang inilah yang disebut Pedang
Merapi Dahana!!"
terdengar suara lantang Nyi Sanghata sambil mengeluarkan pedang itu dari
sarungnya. Shhrringg!! Pedang lepas dari sarungnya.
Sinar matahari yang menerangi membuat bilah pedang tersebut memantulkan
cahaya merah. Konon pedang tersebut hanya ampuh kalau dipergunakan pada siang
hari saja. Artinya, benda apapun yang ditebas pasti terpental putus.
Oleh sebab itu tak ada logam lain yang
mampu bertahan dengan tebasannya.
"Pedang ini tak bisa dimasukkan ke dalam sarungnya lagi kalau belum berlumur
darah manusia, Walet Emas,"
terdengar suara Nyi Sanghata dengan lantang. Langkahnya dengan pelan terus
mendekat ke arah Pusparini.
Pusparini tertegun menyaksikan
yang memancar dari Pedang Merapi
Dahana..........! tentang bagaimana keampuhan
pedang tersebut, telah
diketahui pula lewat buku Tosan Aji yang dia simpan.
"Dengan apa aku harus menghadapi
nya?" pikir Pusparini. Tanpa pikir panjang, dia menjangkau pedang di
sampingnya ketika dilihatnya Nyi
Sanghata semakin dekat ke arahnya.
Sekejap kemudian pedangnya telah
beradu dengan Pedang Merapi Dahana.
Trangg!! Sekali tebas, pedang di tangan
Pusparini terpenggal. Hanya karena Nyi Sanghata lamban mengadakan serangan kedua
kalinya, Pusparini berhasil
berkelit dan melesatkan tubuhnya
dengan gaya burung walet menjauhi lawannya. Untuk
kedua kalinya
Walet Emas 01 Kilatan Pedang Merapi Dahana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pusparini menjangkau pedang yang lain. diambil dari genggaman tangan Cakraganta
yang telah jadi mayat.
Pedang milik Cakraganta berbentuk agak besar.
"Ayo, carilah seribu pedang untuk
melawanku," sumbar Nyi Sanghata dengan lantang. Sekejap berikutnya tubuhnya
telah melesat ke arah Pusparini yang masih ragu untuk menggunakan pedang di
tangannya. Pusparini bergulir ke
samping ketika Nyi Sanghata menerjang ke arahnya. Tetapi sebelum dia
mempersiapkan diri lagi, dilihatnya Nyi Sanghata siap mengayunkan pedang Merapi
Dahana ke arahnya. Pusparini berusaha menangkis pedang itu. Dan untuk kedua
kalinya pedang di
tangannya terpenggal. Melihat keadaan ini dia mencoba menghindar. Tetapi Nyi
Sanghata berhasil menjegal geraknya dengan tendangan kaki. Pusparini
terjerembab. Pandangannya sempat
menangkap bagaimana Nyi Sanghata
dengan bernafsu sekali akan menebaskan pedang ke arahnya. Lalu diusahakan daya
upaya untuk menghindari. Tetapi kaki Nyi Sanghata berperan lagi. Kali ini
berhasil menginjak ujung kainnya sehingga kain itu robek karena
hentakan dirinya yang mencoba
menghindar. "Ohh, Aku tahu sampai kapan
pedang itu mempunyai keampuhan. Selama sinar matahari bersinar tak akan ada
benda yang dapat menahan tebasannya.
Tetapi hari masih tinggi. Kuatkah aku menghadapinya sampai matahari
terbenam" Tenagaku akan terkuras
habis!" pikir Pusparini sambil terus
mengelak dengan berbagai gaya
menghindari tebasan pedang Merapi
Dahana yang diserangkan ke arahnya oleh Nyi Sanghata.
"Ayo, larilah sampai ke ujung jagad, aku akan terus memburumu, Walet Emas !"
teriak Nyi Sanghata. Kali ini tebasan pedangnya nyaris membabat
lambung buronannya. Tetapi Pusparini masih mampu berkelit sampai dirinya
menggulirkan tubuhnya ke tanah dan menyentuh potongan kaki Sawung Cemani.
Tanpa pikir panjang lagi dia
menjangkau potongan kaki itu dan
dilempar ke arah Nyi Sanghata. Tetapi wanita ini waspada. Pedang ditebaskan
untuk menahan potongan kaki yang
melesat ke arahnya. Kena. Potongan kaki Sawung Cemani hancur berantakan, tetapi
jalu beracun yang mencuat itu mencelat menggores bahunya!
Nyi Sanghata tersentak kaget. Dia
tahu bagaimana ampuhnya racun jalu besi yang dimiliki Sawung Cemani.
Kemudian dia menotok jalan darah di bahunya agar racun itu tidak cepat menjalar.
Tetapi akibat totokan jalan darah ini dia tak bisa menggerakkan tangan kirinya
lagi, padahal penggunaan pedang Merapi Dahana hanya bisa dipergunakan dengan sempurna
apabila dipegang dengan dua belah
tangan. Pusparini melihat gelagat ini.
Dia tidak ingin membuang kesempatan.
Dengan tekad yang menggebu dia melesat ke arah Nyi Sanghata. Tujuannya untuk
merebut pedang itu yang kini hanya dipegang sebelah tangan kanan saja.
Melihat gerak Pusparini, Nyi Sanghata hendak mengayunkan pedang tersebut.
Tetapi Pusparini lebih cepat meraih tangannya. Kini terjadi pergulatan untuk
merebut pedang. Dari peristiwa ini Pusparini baru tahu betapa hebat kekuatan Nyi
Sanghata. Gerak bela
dirinya memang agak lambat, tetapi Nyi Sanghata mempunyai kekuatan otot
seperti laki-laki. Bertentangan sekali dengan penampilannya yang menggiurkan.
Walaupun hanya dengan sebelah tangan, Nyi Sanghata mampu memegang ketat
pedang tersebut. Pusparini menempel terus. Dia tak boleh merenggangkan tubuhnya
menjauhi lawan. Sebab apabila hal itu dilakukan, maka dengan mudah Nyi Sanghata
akan menjulurkan pedang ke arahnya.
Dua tubuh itu kini bergulir di
tanah setelah keduanya roboh serentak.
Peristiwanya berlangsung lama. Pakaian mereka telah terobek awut-awutan
karena hempasan-hempasan tubuh mereka sendiri dalam mencari kelemahan lawan.
Tetapi tiba-tiba... Nyi Sanghata
tersentak kejang!
Pegangannya pada
pedang merenggang. Kesempatan ini
dipergunakan Pusparini untuk merebut Pedang Merapi Dahana dari cengkeraman
lawannya. Dan berhasil, sementara Nyi Sanghata sendiri blingsatan di tanah
seperti cacing kepanasan.
"Aku berhasil melepaskan totok jalan darahnya sehingga racun itu
tanpa disadari menjalar ke segenap tubuhnya....!" kata Pusparini kepada dirinya
sendiri. Dia terus mengawasi keadaan Nyi Sanghata yang dalam
keadaan pola tidak karuan. Bagian
tubuh pada bahunya mulai melepuh, lalu menjalar kekepala.....! Peristiwa
semuanya sama dengan yang dialami Cakraganta. Kedua biji matanya melotot keluar
dan lepas dari tempatnya.
Disusul kemudian dengan lepasnya kulit dan
daging di kepala Nyi Sanghata.....! Kemudian wanita yang selama ini menyimpan Pedang Merapi Dahana
menemui ajalnya....!
"Tetapi pedang ini tak dapat
dimasukkan ke dalam sarungnya sebelum merenggut nyawa manusia. Padahal semua
orang telah tewas.....!" keluh Pusparini sambil mengawasi pedang yang
menimbulkan sengketa berdarah.
"Jangan khawatir, Pusparini!"
tiba-tiba terdengar suara dari
kejauhan. Pusparini menoleh. Dilihatnya
Wariga berdiri tegak di seberang sana didampingi seseorang, yang dikenal sebagai
gurunya, yaitu Ki Suswara.
Pusparini berniat mendatangi kedua
orang itu, tetapi geraknya terganggu oleh pedang di tangannya. Pedang
Merapi Dahana itu seperti memiliki tenaga dan rnengendalikan tangan
Pusparini.... berayun kesana kemari dengan liar.
"Ohh, apa yang terjadi dengan pedang ini" Benda ini seperti mau
lepas dari tanganku!" jerit Pusparini dengan cemas.
Wariga dan Ki Suswara bertindak.
Pusparini melihat Wariga membawa batu lahar yang dikenali sebagai benda yang
pernah diberikan kepadanya.
"Untung aku menemukan batu lahar ini di sana. Jangan khawatir. Terus pegang
dengan erat pedang itu dan
tebaskan ke arah batu ini!" ujar Wariga dengan tenang sambil meletakkan batu
lahar tersebut di tanah.
Pusparini segera menebaskan
Pedang Merapi Dahana ke arah batu lahar. Dan......
Bbhllaarrr !!! Tubuh Pusparini terpental. Tetapi
tangannya masih menggenggam pedang itu. Dengan ragu dia mencoba bangkit sambil
mengawasi pedang di tangannya.
Pedang Merapi Dahana tidak bergolak lagi.
"Hh. Bagaimana bisa begitu"
Pedang ini.......tiba-tiba terasa
ringan di tangan saya," ujar Pusparini seperti seorang bocah mendapat sebuah
mainan yang didambakan. Lain memandang Wariga yang tetap memandangnya dengan
tenang. Sedangkan gurunya dengan
senyum kebanggaan melangkah
menghampirinya.
"Sang Hyang Widhi rupanya
menghendaki semua ini, Pusparini. Buku Tosan Aji yang kau titipkan padaku agar
tidak jatuh ke tangan orang-orang berwatak angkara, telah kupelajari.
Kemudian aku mencari seorang sahabat untuk membicarakan hal ini. Kau tahu siapa
dia bukan" Ki Wariga ! Itulah orangnya yang kau kenal dengan Wariga si pengemis.
Dia memang suka
memperdaya orang. Tetapi siapa
menyangka kalau dia telah berumur
lebih dari delapan puluh tahun" Dia memiliki ajian ampuh sehingga
penampilannya seperti bocah," kata Ki Suswara.
"Saya telah mengetahuinya dari cerita Nyi Sanghata," jawab Pusparini yang kini
bersikap hormat kepada Ki Wariga.
"Aku dengan Ki Wariga berhasil memecahkan rahasia pedang itu
bagaimana cara mengendalikan. Dan kau lihat sendiri, Pedang Merapi Dahana tidak
dapat ditenangkan begitu dia dikeluarkan dari sarungnya sebelum membinasakan
nyawa manusia. Cara
mengatasi harus ditebaskan ke batu lahar. Kau lihat, batu itupun tidak
cuil sedikitpun. Sebab batu lahar itu salah satu
unsur senyawanya," Ki
Suswara terus menjelaskan.
"Dan kita akan membuat sarung pedang dengan menggunakan batu lahar itu agar bisa
mengamankan keganasan Pedang Merapi Dahana..... ! Maksudku, kalau pedang itu
terlanjur lepas dari sarungnya, dan tidak mendapatkan
mangsa nyawa, bisa dimasukkan kembali ke dalam sarungnya. Nah, kini masukkan
pedang tersebut ke dalam sarungnya, sementara dalam beberapa hari ini aku dan Ki
Wariga akan membuat sarung
pgdang dari bahan batu lahar itu,"
kata Ki Wariga dengan nada suara
dewasa. "Sebaiknya kita secepatnya
meninggalkan tempat ini sebelum ada pihak lain mencium peristiwa ini.
Mari" ajak Ki Suswara. Kemudian mereka berangkat menuju padepokan
Canggal....! * * * Beberapa hari kemudian.....
Terlihat Pusparini berdiri di
samping kudanya yang akan membawa dia pergi meninggalkan padepokan.
"Pedang Merapi Dahana kini
menjadi milikmu, Pusparini. Sarung pedangnya yang telah berhasil kami buat, akan
mengamankannya. Tetapi
tidak berarti kau bisa semena-mena mempergunakannya. Senjata ampuh tidak boleh
dipergunakan sembarangan," kata Ki Wariga. Terbayang sekilas bagaimana Ki Wariga
dan Ki Suswara menciptakan sarung Pedang Merapi Dahana. Pusparini mengakui
kehebatan Ki Wariga bagaimana dia membentuk batu lahar yang
dicairkan lewat tungku dan hanya
dipenyet-penyet dengan tangan
telanjang. Dan Ki Suswara mengukir hiasannya dengan tambahan kayu untuk
memperindah bentuknya. Akhirnya
tercipta penampilan pedang yang tampak berwibawa....!
"Kau bukan orang pertama yang akan menjadi pendekar pembasmi
kejahatan, Tetapi......jadilah yang
terbaik !" pesan Ki Suswara.
"Jaga dirimu baik-baik, Walet Emas....!"
"Mohon doa restu. Saya akan
berangkat sekarang," ucap Pusparini lirih dengan penuh hormat.
Pusparini segera menaiki kudanya.
Dengan hentakan kakinya dia
memerintahkan kuda bergerak.
Langkahnya tenang meninggalkan
padepokan Canggal, dilepas dengan
pandangan Ki Wariga dan Ki Suswara sementara cakrawala Timur membiaskan warna
jingga......! Hari semakin
cerah. Dan kehidupan
menantang Pusparini alias Walet Emas di seberang
sana....,! SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Munculnya Si Pamungkas 2 Pendekar Rajawali Sakti 9 Manusia Bertopeng Hitam Pedang Darah Bunga Iblis 6
tinggi dalam mengerahkan tenaga
larinya. Entah jurus lari apa namanya, yang jelas semua itu telah mereka
kerahkan untuk mencapai tempat yang dituju.
* * * 5 Gunung Merapi meletus! Awan
kelabu membumbung tinggi. Karena angin berembus ke arah barat, maka asap
letusan itu meliuk ke barat. Lelehan lahar terlihat jelas menuruni lereng di
sebelah selatan. Banyak penduduk yang menyaksikan peristiwa itu dengan harap-
harap cemas. Mereka khawatir kalau letusan itu semakin besar
seperti beberapa waktu yang lalu,
seperti yang pernah didongengkan oleh para leluhur mereka. Beberapa puluh tahun
yang lalu gunung Merapi pernah meletus dengan dahsyat sehingga abunya
menyelimuti daerah sekitarnya.
Sedangkan candi-candi yang
terdapat di sekeliling kawasan Merapi sampai tertimbun abu lahar setebal dua
jengkal. Suara gemuruh semakin nyata
terdengar begitu Pusparini bertambah dekat dengan gunung tersebut. Daerah yang
diterobos semakin menanjak
tinggi. Langkahpun kian berat menapak batu-batu yang menghadang jalan. Dari sini
dia tahu bahwa Wariga dan Sawung Cemani sudah berpencar. Entah kemana.
"Hm ! Jelas sudah. Mereka pasti akan mencari lahar berpijar dari
gunung Merapi ini untuk membuat pedang ampuh". pikir Pusparini sambil terus
melompat ke atas. Kini gerakannya
dilakukan dengan cara melompat dari
batu satu ke batu yang lain yang letak tempatnya kian menanjak. Kawasan yang
dilalui mulai berbau belerang, dan pandangan tak bisa melihat jelas
sejauh lima tombak.
"Oh.... aku sulit bernafas dengan nyaman. Udara di sini telah bercampur uap
belerang," pikir Pusparini sambil melepas selendang ikat pinggangnya untuk
menutup hidung.
"Memang tak begitu mudah untuk mendapatkan sarana pedang tersebut!"
Keluhan-keluhan mulai dirasakan.
Siapa yang mampu melawan kekuatan
alam" Tetapi hal itu belum membuat Pusparini putus asa. Dia terus
memanjat dengan gerak lompatan semakin ke atas. Kadang-kadang perhitungannya
meleset, sebab batu yang diinjak tiba-tiba longsor ke bawah. Beberapa kali dia
mengalami hal itu. Dia yakin di suatu tempat di atas sana ada daerah yang bisa
dibuat tempat untuk
mendapatkan pijaran lahar.
Tiba-tiba dirasakan dentuman
hebat. Pusparini yang semula baru akan melompat ke atas, tubuhnya terpental
karena hempasan dentuman tersebut. Itu adalah dentuman letusan untuk kesekian
kalinya. Membuktikan adanya limpahan lahar yang dikeluarkan lewat kepundan
gunung Merapi. "Astaga! Ada lahar yang menuju ke tempatku!" kata Pusparini dalam hati.
Ada rasa panik mencekam hatinya.
Dia memang mendapat bekal ajaran
sebagai pendekar pilih tanding. Tetapi menghadapi keganasan alam yang begini tak
pernah diajarkan. Walaupun begitu
Pusparini tak cepat putus asa. Dia menganggap aliran lahar itu sebagai lawan
yang menyerang dirinya. Maka dengan menggenjot tubuhnya ke atas, dia mencoba
menghindarkan diri dari terjangan lahar tersebut. Usahanya berhasil. Kini
tubuhnya nangkring di atas batu padas, sementara aliran lahar mulai menerjang di
bawahnya. Semua disaksikannya dengan
perasaan berdebar. Pijaran lahar yang dicari dengan jelas terpapar di
hadapannya. Tinggal mengambil saja.
Tetapi dengan alat apa" Tiba-tiba
dirasakan betapa tolol dirinya
menghadapi semua ini.
Konon pernah didengar cerita dari
ayahnya, bahwa empu pembuat senjata bisa dengan mudah meraup pijaran lahar itu
dengan tangan telanjang. Tanpa bantuan alat apa-apa. Tentunya orang semacam itu
adalah orang yang sakti.
"Jadi sia-sia saja aku berada di sini!" pikirnya.
Mendadak Pusparini teringat akan
Sawung Cemani dan Wariga. Dia ingin tahu apa yang telah dikerjakan mereka.
"Akan kucari mereka. Aku ingin tahu dengan cara apa mereka mengambil
lahar berpijar ini," kata Pusparini dalam hati sambil melesat meninggalkan
tempat itu. Pusparini melompati batu-batu
yang bertonjolan di lereng Merapi
sementara lahar berpijar meluncur ke bawahnya. Belum lama dia bertindak, tiba-
tiba pandangannya tertuju kepada sesosok tubuh berkelebat di seberang sana.
"Wariga!"
teriak Pusparini.
Wariga menoleh. Senyumnya menghias bibir.
"Apa yang akan kau lakukan di tempat ini?" tanya Pusparini sambil melompat
mendekat ke arah bocah itu.
"Mungkin.... seperti yang akan kau lakukan juga," jawab Wariga sambil memandangi
aliran lahar berpijar di kakinya.
"Mengambil lahar ini?" Pusparini menyelidik.
"Maaf. Aku juga mempunyai
kepentingan yang sama," Wariga menjawab dengan nada bicara berwibawa.
Seakan-akan dirinya bukan bocah
seperti yang dikenal Pusparini. Juga suara Wariga terdengar mantap seperti suara
orang dewasa. "Bagaimana kau akan mengambil lahar berpijar ini?" tanya Pusparini dengan
mengerutkan dahi. Tiba-tiba dirasakan Wariga yang dikenal beberapa hari yang
lalu, seperti bukan Wariga
lagi. Ada perubahan sikap yang tidak dimengerti oleh Pusparini.
"Akan kuambilkan untukmu!" jawab Wariga sambil melangkah turun
mendengati aliran lahar berpijar.
"Dengan alat apa?"
"Lihat saja apa yang bisa
kulakukan untukmu," jawab Wariga dengan sikap santai.
Kemudian Wariga berjongkok. Lama
dia termenung mengawasi lahar berpijar yang mengalir di depannya. Orang biasa
akan merasakan betapa panas udara di dekat lahar yang mengalir itu.
Tampaknya Wariga tidak merasakan hal itu. Pusparini mengawasi dengan tekun.
Wariga seperti sibuk membaca
mantera-mantera. Perhatiannya tertuju ke arah pijaran lahar yang mengalir di
hadapannya. Dan kemudian yang
dilakukan Wariga membuat perasaan
Pusparini berdetak cepat. Tanpa ragu Wariga meraup lahar berpijar itu
dengan tangannya!
Kedua tangan Wariga kini memapah
pijaran lahar. Dan tangan itu tak
cedera sedikitpun! Kemudian dia
bangkit dari sana, mendekati
Pusparini. "Www.. Wariga....! Bagaimana kau bisa melakukan hal ini" Kau... tidak sesepele
yang kuduga. Kau......punya banyak keunggulan dari padaku. Siapa kau
sebenarnya?" tanya Pusparini
sambil mengawasi kedua tangan yang membawa setumpuk lahar berpijar.
Tetapi pijaran lahar itu berangsurangsur menghitam, dan suhu panasnya kian
merendah. "Aku telah berkata, aku
mengambilkan untukmu," jawab Wariga yang suaranya tidak seperti bocah
lagi. "Ayo, kita tinggalkan tempat ini. Udara di sini tidak baik untuk
kesehatan."
Kemudian mereka beranjak
meninggalkan tempat itu dengan
lompatan-lompatan menuju ke bawah.
Langkah ini kelihatannya lebih mudah dari pada mereka harus mendaki. Tetapi yang
diperkirakan tidaklah demikian.
Hujan abu yang semakin deras
karena arus angin yang berbalik ke arah mereka membuat pandangan semakin
terhalang. "Jangan terlalu jauh denganku,
Pusparini!" kata Wariga sambil memberi isyarat dengan gerakan kepala agar
Pusparini mendekat ke arahnya.
Pusparini yang kini seperti
seorang bocah yang tidak tahu apa-apa, menuruti saran itu. Dia mengekor
langkah Wariga sementara suara gemuruh terdengar lagi dengan dahsyat. Ini
pertanda ada muntahan lahar lagi dari kepundan gunung.
"Kita jangan sampai terjebak
udara beracun! Harus kita cari tempat
yang sesuai dengan arah angin
bertiup!" saran Wariga.
"Lahar berpijar di tanganmu
rupanya telah dingin dan warnanya
berubah menghitam !" sela Pusparini.
"Tak menjadi masalah. Yang
penting, syarat bahwa pengambilan
lahar ini harus diambil dengan tangan telanjang sewaktu masih dalam keadaan
berpijar. Ah, sudahlah. Kita jangan mengomongkan masalah ini dulu. Yang penting
kita harus meninggalkan kawasan ini secepatnya." Wariga terus melangkah sambil
mengakhiri ucapannya.
Mereka berdua terus menuruni
lereng Merapi. Seperti ada yang
mengingatkan, tiba-tiba Pusparini
teringat akan Sawung Cemani. Apakah dia juga berhasil mendapatkan lahar
berpijar" Mungkinkah dia juga
mempunyai kemampuan seperti Wariga yang bisa mengambil pijaran lahar
dengan tangan telanjang"
Ya! Siapa tahu" Dalam dunia
persilatan, kadang-kadang seseorang yang kelihatan tidak memiliki
kemampuan tangguh, ternyata memyimpan kehebatan ilmu yang jarang dikuasai orang
lain. Dan kini dilihatnya Sawung Cemani belum juga terlihat batang
hidungnya lagi. Apakah dia tewas
diterjang lahar" Atau sudah berhasil mendapatkan tetapi kini masih berada di
tempat lain " Pusparini benar-benar
dihadapkan kepada tugas yang penuh tantangan. Disadari kini bahwa dirinya
menjadi tumpuan perhatian orang-orang yang mengerti akan buku Tosan Aji.
Tetapi tentang Wariga, walaupun
tampaknya bocah itu berpihak
kepadanya, dia tetap menaruh
kecurigaan. Siapa tahu bahwa semua itu cuma kedok untuk mengelabui dirinya"
Pusparini tetap mengingat pesan
gurunya, Ki Suswara, agar tidak
mempercayai siapapun dalam suatu
urusan. Maksudnya, agar hati-hati.
Apalagi kalau hal itu dikaitkan dengan persahabatan yang terdapat masalah
terselubung, yang mengandung teka-teki. Dan Wariga adalah seorang bocah yang
masih menjadi teka-teki baginya.
Wariga adalah seseorang yang
berpenampilan seperti seorang bocah dengan sifat kebocahannya, tetapi
kadang-kadang terlihat seperti
seseorang yang telah dewasa, dengan nada suara kedewasaannya. Ini sangat aneh!
"Kita berteduh di situ saja,"
ajak si Wariga sambil memberi isyarat ke arah sebuah gua.
Pusparini tetap mengekor langkah
bocah itu. Gua yang dituju dikelilingi dahan-dahan pohon yang meranggas
kering, dengan selimut abu gunung
menebal. "Huh ! Baru bisa bernafas lega di
sini," keluh Wariga sambil mencari tempat untuk meletakkan lahar yang telah
membeku di tangannya. "Kau bisa membuat api unggun?"
Pusparini bertindak. Aneh! Kini
api yang dibutuhkan, padahal tadi
keduanya terbirit-birit menghindari lahar panas. Dengan ketrampilannya,
Pusparini segera mempersiapkan api unggun dengan dahan-dahan kayu yang mudah
diperoleh di sekitar tempat itu.
Dengan menggosok-gosokkan dua batang kayu kering, maka terciptalah api.
Begitu api berkobar, Wariga segera membenamkan batu lahar yang telah
membeku ke dalam api itu.
"Untuk apa" Mengapa harus
begitu?" tanya Pusparini.
"Agar pamor batu itu tetap ada, harus diperlakukan seperti itu. Harus tetap hangat. Tidak boleh dingin
membeku. Kalau tidak ada api, kita harus selalu menggenggamnya, karena tubuh
kita juga mengandung unsur api.
Hal itu berlangsung sampai batu lahar ini siap ditempa sesuai dengan
campuran sarana yang lain....!" Wariga mengumbar omongan seakan-akan
menggurui masalah yang buku kuncinya terletak di tangan Pusparini.
"Pasti kau juga menghendaki buku Tosan Aji itu," terka Pusparini dengan
pandangan menyelidik. "Aku benar-benar tak mengerti siapa kau sebenarnya,
Wariga. Penampilanmu sungguh asing dan mengundang teka-teki. Sulit dikatakan
bahwa kau seorang bocah seperti
terlihat pada bentuk lahirmu."
Terdengar suara tawa Wariga.
"Mengapa ketawa" Ada yang lucu dengan pertanyaanku tadi ?" tanya Pusparini
seakan-akan merasa
disepelekan dengan sikap Wariga.
"Kau pasti mencurigai aku. Sudah kukatakan, aku hanya ingin menolongmu.
Tak lebih dari itu. Ketika secara
kebetulan gunung Merapi itu meletus, kau pasti menghendaki lahar berpijar untuk
sarana pembuatan senjata ampuh seperti yang tertulis dalam kitab
Tosan Aji," Wariga menambahi
penjelasan. "Kini katakan, siapa kau
sebenarnya"!"
"Aku" Namaku sudah kau kenal.
Asalku" Enghmm.....sebut saja sebagai Manusia Kabur Kanginan.. Orang yang tak
diketahui asal-usulnya. Nah, puas
?" "Tidak!"
"Tidak"! Ya sudah. Tak ada yang bisa kuceritakan padamu lagi.
Seseorang berhak menyimpan suatu
rahasia bukan" Apalagi kalau hal itu menyangkut tentang diri pribadi nya,"
kata Wariga dengan sikap tak acuh. Dia bangkit untuk memeriksa keadaan di luar
gua. "Kelihatannya kita terpaksa
bermalam di sini. Merapi masih belum reda dari krodanya."
"Apa pikiranmu tentang Sawung Cemani?" tanya Pusparini. Dia mengharapkan bahwa
Wariga yang menyimpan banyak rahasia ini dapat memberi penjelasan.
"Aku tak tahu apakah dia bisa mengambil lahar berpijar dengan
tangannya sesuai dengan persyaratan.
Tetapi melihat gelagatnya ketika dia begitu terburu-buru ingin mendapatkan
pijaran lahar itu, bisa dipastikan, dia mampu melakukan!" ujar Wariga
meyakinkan. "Seperti halnya dengan yang lain, maka sebagian isi buku
Tosan Aji sudah banyak orang yang
tahu. Dan yang paling utama adalah sarana lahar berpijar dari gunung
Merapi." "Jadi.....batu lahar ini akan kau berikan padaku?" Pusparini menyelidik.
"Ambillah ! Itu memang kucarikan untukmu," jawab Wariga sambil mencari tempat
untuk tidur.
Walet Emas 01 Kilatan Pedang Merapi Dahana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau pikir aku berniat membuat pedang sesuai dengan rumusan dalam buku Tosan
Aji?" tanya Pusparini lagi.
Wariga tak menjawab.
"Wariga".... Kau sudah tidur?"
terdengar suara Pusparini.
Tak terdengar jawaban.
Dipandanginya tubuh Wariga yang
terbaring dengan berbantal tangan.
Tubuh yang tak berbaju. Hanya bagian bawah saja yang tertutup kain. Itu pun kain
yang sudah lusuh. Penampilan macam itu akan menimbulkan kesimpulan bahwa
Wariga adalah seorang
gelandangan. Kasarnya pengemis. Tetapi Pusparini tidak menganggap lagi
pandangan seperti itu. Wariga
mempunyai banyak kelebihan. Dan
mungkin tidak semua yang ditonjolkan.
Hanya saja tentang suara yang pernah didengar ketika mengambil pijaran
lahar itu, benar-benar membuat heran Pusparini. Suara Wariga terdengar
tidak seperti bocah seusianya. Tetapi terdengar seperti suara orang dewasa!
Memikirkan banyak hal tentang
teka-teki yang menyangkut diri Wariga, membuat Pusparini terseret rasa
ngantuk. Akhirnya dia tertidur.
* * * 6 Pusparini njenggirat kaget.
Kesadarannya cepat pulih di saat dia terbangun dari tidurnya. Rasanya ada
seseorang yang membangunkan. Tetapi ketika diselidiki keadaan sekitarnya, tak
ada seorangpun yang terlihat. Juga si Wariga!
"Wariga"!" panggilnya. Tak ada
sahutan. Tak terlihat sosok tubuh
Wariga. Tempat di mana Wariga tidur, terlihat kosong.
Pusparini mengawasi tempat api
unggun. Di situ masih terdapat batu lahar. Api unggun telah padam, tetapi terasa
masih hangat sisa-sisanya.
"Kemana lagi dia ?" pikir Pusparini. "Selalu begini. Tempo hari ketika aku
bangun, dia sudah lenyap.
Kali ini lagi. Tetapi dengan adanya batu lahar tetap di tempatnya, agaknya kata-
katanya bisa dipercaya."
Pusparini memeriksa ke luar gua.
Letusan telah mereda walaupun sisa-sisa berupa genangan kabut masih
menebal di sekitar tempat itu.
"Warigaaaa!!!" teriak Pusparini.
Gema suaranya bergaung memantul lereng tebing gunung. Berkali-kali dia
memanggil nama Wariga, tetapi orang yang dipanggil tak kunjung muncul.
Akhirnya Pusparini memutuskan
untuk turun gunung. Batu lahar itu disimpan dalam bungkusan selendang ikat
pinggangnya. Dari hal ini
Pusparini baru tahu betapa berat batu lahar tersebut, kira-kira 30 kati.
Tetapi dengan mudah Wariga membawanya seperti membawa kapas saja. Dengan besar
sekitar lima genggam dan
beratnya 30 kati, bisa dibayangkan bagaimana batu lahar itu memiliki kekuatan
sebagai sarana pembuatan
pedang. Dan hanya lahar Merapi yang mempunyai syarat sempurna!
Pusparini telah jauh meninggalkan
kawasan gunung Merapi. Cuaca masih diselimuti kabut. Tak diragukan lagi, hari
telah tinggi. Keputusan
Pusparini, bahwa dia akan menuju desa Pohpitu, sebab sewaktu dia diculik oleh
Gagak Lodra barang-barangnya
diperkirakan masih tertinggal di
penginapan milik Bagus Tulada.
Desa Pohpitu kelihatan sepi
ketika Pusparini tiba di sana. Suasana di ambang senja ini memang tidak
menggembirakan penduduk setempat,
karena suasana letusan Merapi juga terasa di sana. Abu bertebaran di
pelosok tempat.
Langkah Pusparini langsung menuju
ke penginapan. Tetapi beberapa orang tiba-tiba muncul dari dalam bangunan itu,
langsung mengepungnya.
Perasaan Pusparini tersirap. Dia
melihat pakaian seragam orang-orang yang mengepungnya. Mereka para
punggawa kadipaten Rejodani yang telah lama memburunya. Ini namanya "ulo marani
gebuk" alis ular mencari
gebukan! Tetapi siapa sangka kalau bahaya yang tak dikehendaki tiba-tiba saja
menanti di depan mata" Dan para punggawa kadipaten Rejodani itu
dipimpin langsung oleh seorang tokoh bernama Wiro Brangasan yang mendapat
gelar Kucing Malaikat. Dan tokoh itu muncul dengan langkah penuh berwibawa.
"Aku tak akan bisa melupakan
baumu, cah ayu! Kalau kau mengerti akan gelarku, Kucing Malaikat, tentu kau tak
akan sembrono memunculkan diri di sini. Kini kau harus mempertanggung jawabkan
perbuatanmu yang pernah
memasuki ruang perbendaraan kadipaten Rejodani dan menjarah isinya.
Kasarnya, kau telah merampok harta benda kadipaten!"
"Tunggu dulu. Ini adalah kesalah pahaman!" sanggah Pusparini sambil melirik
keadaan di sekelilingnya.
Bagaimanapun, dia harus dapat
menguasai keadaan kalau nanti
pembicaraan ini harus diselesaikan dengan ujung senjata.
Mengapa Pusparini sampai terlibat
masalah tersebut"
Hal ini memang diluar kehendak
Pusparini. Inipun gara-gara Gagak
Lodra yang pertama kaki bentrokan
dengan Pusparini...........
Saat itu Pusparini memang berada
di kadipaten Rejodani begitu dia
menyelesaikan pendidikannya sebagai murid Ki Suswara di padepokan Canggal.
Dia berada di sana hanya sekedar
numpang lewat untuk menuju desa
kelahirannya kembali. Ketika malam tiba, dia melihat sesosok tubuh
menyatroni sebuah bangunan kadipaten.
Setelah diselidiki, ternyata seseorang yang hendak merampok di ruang
bendahara. Si pelaku berhasil
menggasak barang yang diinginkan,
yaitu seperti uang yang cukup lumayan nilainya. Pusparini terpaksa bertindak
untuk meringkus perampok itu.
Bentrokan terjadi. Dan si perampok berhasil dikalahkan. Si perampok kabur dengan
barang jarahan yang tercecer.
Tetapi Pusparini tidak terus mengejar.
Dia mencoba memungut beberapa pundi-pundi uang yang tercecer. Pada saat itulah
pada punggawa Rejodani yang dipimpin Wiro Brangasan muncul. Mereka langsung
mencurigai Pusparini sebagai biang keladi perampokan itu. Bentrokan terjadi
ketika Pusparini tak berhasil meyakinkan mereka bahwa bukan dia yang merampok di
tempat perbendaharaan
kadipaten Rejodani. Pusparini tidak ingin memperpanjang permasalahan.
Kemudian dia melarikan diri dari
gelanggang pertarungan. Tekatnya, dia hendak meringkus si perampok tadi.
Niat Pusparini berhasil. Akhirnya
dia bertemu dengan orang yang diburu.
Orang itu tak lain adalah Gagak Lodra.
Dalam kesempatan ini terjadi
pembicaraan lebih gamblang antara
Pusparini dengan Gagak Lodra.
"Apa salahnya aku menjarah harta pemerintah yang mengisap darah rakyat lewat
pajak-pajak yang tak
berperikemanusiaan?" kata Gagak Lodra pada waktu itu.
Dari sini Pusparini baru tahu
bagaimana keadaan penguasa kadipaten Rejodani dalam memerintah rakyatnya.
Tetapi di sisi lain, akhirnya Gagak Lodra tahu siapa Pusparini yang
memakai gelar Walet Emas tersebut.
Ternyata seseorang yang menyimpan buku Tosan Aji yang diincar banyak orang di
kawasan itu sejak Wibhangga, ayah
Pusparini terbunuh oleh komplotan yang dipimpin Cakraganta. Peristiwa
selanjutnya, dalam bentrokan lagi, Gagak Lodra berhasil dilukai oleh
Pusparini dan terlempar ke sungai....
Itulah latar belakang masalah
Pusparini dengan para punggawa
kadipaten Rejodani.
"Kau tak bisa keluar dengan
selamat lagi, cahayu!" kata Wiro Brangasan. Tokoh ini memberi isyarat kepada
anak buahnya. Dan sekejap
kemudian orang-orang yang mengepung Pusparini maju serentak.
Sayang. Tindakan mereka buyar
berantakan, karena Pusparini telah bergerak dengan tangkas mengayunkan bungkusan
yang berisi batu lahar.
Benda seberat 30 kati itu menghantam tubuh-tubuh yang mencoba meringkusnya.
Jeritan meledak dari mulut mereka. Tak seorangpun luput dari sabetan ayunan itu.
Lalu beberapa orang mencoba
menggunakan senjatanya. Tetapi inipun tak berhasil menghentikan sepak
terjang Pusparini.
Tentu saja hal ini menimbulkan
amarah Wiro Brangasan alias Kucing Malaikat yang bertubuh ceking beralis tebal
sehingga dua ujungnya saling bertaut. Dengan menyeringai bagaikan seekor kucing
menghadapi lawan, dia melesat ke muka. Dia memang menguasai jurus kucing dengan
sempurna. Kedua tangan nya dihiasi kuku-kuku yang mencuat tajam. Anggota badan
inilah yang pertama kali dipergunakan sebagai senjata untuk menandangi Pusparini
alias Walet Emas.
Pusparini sadar dengan kehadiran
pentolan punggawa Rejodani ini. Batu lahar dalam bungkusan tetap dipakai senjata
untuk menghadapi serangan
lawan. Beberapa kali Wiro Brangasan dapat menghindari sabetan bungkusan
Pusparini. Sementara itu tak ada
seorangpun tahu apa isi bungkusan yang dipegang Pusparini. Tetapi ketika Wiro
Brangasan mencoba menerkam lawannya, dengan gaya burung walet meliuk di
permukaan air Pusparini berhasil
menghindar, sekaligus mengirimkan
serangan berupa tendangan kaki yang mengunjam tengkuk. Wiro Brangasan
terguling. Tetapi ibarat kucing,
jatuhnya selalu bertumpu kepada
kakinya. Bahkan dengan cepat pula dia
menggenjotkan tubuh untuk memberi
serangan balik ke arah Pusparini.
Tetapi usaha ini mendadak tersendat.
Tiba-tiba dia melihat seseorang muncul dengan gerakan limbung melaju ke
arahnya. Keadaan yang mendadak ini tentu saja sulit dihindarkan, sebab dia
memperhitungkan pula serangan dari Pusparini. Akibatnya, sosok tubuh yang baru
muncul itu menghantamnya. Wiro Brangasan mencelat tertimpa tubuh itu.
Tetapi dia mencoba mengatasi dengan cengkraman kuku-kuku tangannya kalau orang
yang menerjangnya itu memberikan serangan bertubi-tubi dengan jurus yang tak
bisa dilacak geraknya. Tetapi tidak. Orang itu tidak menyerang.
Bahkan terlihat tak berdaya sama
sekali. Wiro Brangasan terperangah kaget. Dia mengenali siapa orang itu.
"Gagak Lodra"!" desisnya sambil mengenyahkan tubuh orang yang
dikenalnya. Tak kurang herannya demikian juga
di pihak Pusparini. Dia melihat tubuh Gagak Lodra tergeletak tak bergerak.
"Dialah yang merampok di
kadipaten Rejodani!" Suara ini dibarengi munculnya seseorang dengan gerak
melambung, dan mendarat di
antara Pusparini dan Wiro Brangasan.
"Bagus Tulada"!" terdengar hampir bersamaan ucapan ini meluncur dari mulut
Pusparini dan Wiro Brangasan.
Ya. Bagus Tulada yang muncul. Dia mengaku bahwa dirinyalah yang melempar tubuh
Gagak Lodra untuk melerai
pertarungan yang telah terjadi.
"Maaf, ki Wiro. Kukira saya
terpaksa bertindak demikian, karena tak ingin para punggawa Rejodani
menindak orang yang tak bersalah,"
kata Bagus Tulada dengan nada
meyakinkan. "Bagus Tulada ! Apakah kau tahu mengapa Gagak Lodra sampai tak berdaya begitu"
Ketahuilah, itu akibat
pertarungannya dengan Sawung Cemani sebelum letusan Merapi," ucap Pusparini
sambil mengawasi Bagus
Tulada yang mungkin akan unjuk jasa dalam peristiwa ini.
"Kau pikir aku akan mengelabuhi latar belakangnya?" sanggah Bagus Tulada. "Dia
telah mengaku apa yang dilakukan. Kutemui dia dalam keadaan sekarat di saat
letusan Merapi itu terjadi. Dia menceritakan tentang
dirimu, dan juga Sawung Cemani. Dan kubawa agar mempertanggung jawabkan
perbuatannya. Dan kukira.... saat ini Gagak Lodra tetap dalam keadaan
pingsan." "Mudah-mudahan keteranganmu bisa melunakkan para punggawa itu," jawab Pusparini
sambil beranjak masuk ke penginapan. "Maaf, aku akan mengambil barang-barang
yang lain. Semua masih
di sini ketika Gagak Lodra menculikku.
Itu kalau tidak ada tangan jahil yang mengambilnya."
"Barang-barangmu telah kusimpan di suatu tempat yang aman," kata Bagus Tulada
dengan menyambar lengan
Pusparini yang beranjak masuk ke
penginapan. "Apa"!"
"Barang-barangmu tidak lagi di penginapan ini."
"Kau begitu lancang!"
"Ah, seharusnya kau berterima kasih, dari pada barang-barangmu itu digrayangi
isinya oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab."
Pusparini terdiam. Dia mengawasi
Bagus Tulada dengan tajam.
"Dan kau punya kesempatan untuk mendudah barang-barangku, bukan?"
"Ayo ikut aku. Tak
baik membicarakan hal itu di sini," kata Bagus Tulada tanpa mengindahkan lagi para
punggawa Rejodani yang dipimpin Wiro Brangasan itu.
Pusparini sempat melihat Wiro
Brangasan memerintahkan anak buahnya agar mengangkut tubuh Gagak Lodra dalam
keadaan pingsan sebelum dia
mengikuti langkah Bagus Tulada.
Langkah mereka menuju suatu jalan
yang kanan kirinya banyak dipasang obor untuk penerangan jalan. Suasana malam
kian pekat. Dan dari jauh
Pusparini melihat bangunan yang
berpenerangan dengan mewah.
"Itukah rumahmu?" tanyanya.
Tetapi Bagus Tulada tidak menjawab sepatah pun sampai mereka memasuki halaman
rumah itu. "Ayo, masuk. Silakan. Jangan
ragu," Bagus Tulada mulai membuka omongan.
Pusparini masih berdiri di ambang
pintu halaman. Matanya menyapu keadaan sekitar-nya.
"Kau pikir rumah ini penuh
jebakan?" kata Bagus Tulada lagi. "Kau aman di sini. Seharusnya sejak semula kau
kuajak kemari dari pada menginap di penginapan itu."
Walet Emas 01 Kilatan Pedang Merapi Dahana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi itu adalah penginapan milikmu. Seharusnya kau bisa menjaga keamanannya."
"Sebenarnya bukan milikku, tetapi milik ayahku!"
"Dan ini rumah ayahmu bukan?"
"Tidak. Ini milikku sendiri.
Tempat tinggal pribadi."
"Ow. Kalau begitu, kau tinggal bersama istrimu," Pusparini berkata dan
langkahnya tersendat karena ragu dengan ucapannya sendiri.
"Aku belum beristri" jawab Bagus Tulada tegas dengan melempar senyum.
Pusparini mengekor langkah laki-
laki itu. Matanya jelalatan mengawasi keadaan isi bangunan yang tampak mewah
untuk ukuran desa itu.
"Kau sendirian di sini" Engm....
maksudku... siapa saja yang berada di rumah ini?" tanya Pusparini.
"Cuma seorang pelayan penjaga rumah. Nah, sebelah itu adalah
kamarmu. Barang-barangmu ada di
dalam," kata Bagus Tulada dengan sikap ramah. Justru ini yang tiba-tiba
menimbulkan kecurigaan Pusparini.Hati nuraninya memperingatkan
agar dia berhati hati. Ini salah satu pelajaran
dari Ki Suswara yang mengatakan, di suatu tempat di mana dua orang pria dan
wanita berada, maka pihak ketiga adalah setan! Suatu peringatan yang dikaitkan
dengan moral. "Tolong, ambilkan barangku di dalam ruangan itu," kata Pusparini dengan
menghentikan langkahnya.
Kemudian diawasinya Bagus Tulada, yang rupanya ada perubahan pada wajahnya
ketika mendengar ucapan si Walet Emas.
Keduanya saling berpandangan. Suatu bentrokan sikap antara kecurigaan dan maksud
yang terselubung. Hal ini
dirasakan benar oleh Walet Emas alias Pusparini.
Kecurigaannya semkin menebal
karena sampai sebegitu jauh Bagus
Tulada tak pernah menanyakan batu
lahar yang dibawa Pusparini dalam
bungkusan, di samping masalah buku Tosan Aji yang menjadi banyak incaran
dari pihak-pihak tertentu.
Kini terlihat Bagus Tulada
mengumbar senyum.
"Kau mencurigaiku, Walet Emas?"
"Sebagai tamu, tak baik kalau aku blusak-blusuk semaunya meskipun kau ijinkan,"
jawab Pusparini tegas.
"Baik. Kuambilkan barang-
barangmu," kata Bagus Tulada sambil melangkah ke depan. Tetapi begitu dia berada
di samping Pusparini, tangannya mendorong tubuh wanita yang bergelar Walet Emas
itu. Pusparini yang tidak menduga perlakuan ini terdorong ke depan dan menabrak
daun pintu di depannya. Pintu menganga, dan tubuh Pusparini meluncur kebawah. Ya,
meluncur ke bawah, sebab ruangan itu tidak berlantai, tetapi sebuah lubang yang
menganga! Ditambah dengan berat batu lahar yang berada dalam bungkusan yang
dibawanya, membuat tubuh
Pusparini semakin cepat meluncur ke bawah. Tak ada sarana untuk
menyelamatkan diri. Dalam saat yang sedemikian cepat, dia sempat berpikir
tentang apa yang menanti di bawah
lubang itu. Ujung-ujung tombakkah"
Atau tanah yang keras" Atau air"
Jawabannya segera diketahui begitu tubuhnya terhempas di bawah. Ternyata sebuah
jaring.....! * * * 7 Untuk beberapa saat Pusparini
terbaring dalam lilitan jaring yang menyangga tubuhnya. Dia mencoba
menenangkan perasaannya dan menanti peristiwa selanjutnya. Sepi. Tak ada apa-apa
yang terjadi lagi. Kini
tubuhnya bergelantungan tersekap
jaring. Baru saja dia mencoba berpikir untuk meloloskan diri dari tempat itu,
tiba-tiba tercium bau aroma yang tak sedap.
"Uap beracun!" desis Pusparini sambil mencoba
menutup hidungnya
dengan selendang pembungkus batu
lahar. "Bagus Tulada ternyata tak lebih dari sekian banyak orang yang hendak mengecoh
diriku. Apalagi kalau tidak dengan alasan buku Tosan Aji itu"
Untung buku itu kusimpan di suatu
tempat dengan rapi. Kalau kubawa-bawa terus, pasti telah lama jatuh ke
tangan pihak lain. Dan untuk kedua kalinya aku harus berhadapan dengan uap
seperti ini. Suatu cara agar aku lebih tak berdaya....!"
Dan kesadaran Pusparini hanya
sampai di situ......!
Lalu, satu-satunya perasaan yang
menyengat kesadarannya adalah bau
harum yang mengusik hidungnya. Dengan pelan dibukanya matanya yang masih terasa
berat. Tetapi begitu dia bisa melihat nyata, perasaannya tersentak kaget.
Bagus Tulada berada dihadapannya,
sementara tubuhnya sendiri dalam
keadaan terikat di tiang sebuah
bangunan. "Dia telah siuman, ayah .'"
terdengar ucapan Bagus Tulada kepada seseorang yang dipanggil sebagai ayah.
Pusparini mencoba mengawasi
keadaan di sekitarnya. Ada dua orang lagi yang berada di sana di samping Bagus
Tulada. Seorang laki-laki
setengah umur, dan lainnya seorang wanita yang hampir sebaya. Laki-laki itu
berperawakan gembrot dengan
pakaian mewah. Juga si wanita di
sampingnya. Tetapi yang membuat
Pusparini tersengat rasa kaget bukan kehadiran mereka. Tiada lain adalah siapa
kedua orang itu!
"Ki Cakraganta, dan si wanita itu! Mereka terlibat dalam pembantaian keluargaku.
Dan wanita itu yang
membunuh ayahku.....!!"
geram Pusparini dalam hati. Ini
semua membuat perasaannya membara.
"Pusparini alias Walet Emas! Hmm, siapa sangka kalau kau yang menjadi kunci
masalah selama ini"!" terdengar suara Cakraganta yang kemudian disusul
ketawa dengan nada ejekan. "Rupanya kau telah menjelma menjadi seorang gadis
dewasa yang banyak tingkah. Aku memang telah lama menyatroni dirimu dari jauh
beberapa minggu ini setelah kudengar ada seseorang dari keturunan Wibhangga yang
ternyata menyimpan buku Tosan Aji yang menimbulkan
persengketaan itu."
"Tentunya usahamu itu tidak
tanggung-tanggung. Tentu kau menyebar banyak orang untuk mendapatkan buku Tosan
Aji. Dan paling akhir, ternyata Bagus Tulada ini yang dapat menyeretku ke
hadapanmu sehingga aku pun bisa bertemu dengan orang yang kucari
selama ini sebagai pembantai keluargaku. Terutama wanita di sampingmu ini!"
kata Pusparini dengan pandangan penuh dendam.
"Dia Nyi Sanghata. Kau tahu apa arti 'Sanghata'" Artinya suka
membunuh. Kau tentunya sangat
mendendam kepadanya. Aku tak tahu
ketika itu kau berada di mana ketika kami datang untuk membantai keluargamu
karena tidak mau menyerahkan buku
Tosan Aji. Kau tentu menduga bahwa hasratku untuk mendapatkan buku Tosan Aji
dengan tujuan ingin menciptakan pedang ampuh seperti yang rumus-rumusnya
tertulis dalam buku tersebut.
Kau keliru. Keliru besar, cah ayu !!
Aku hanya ingin membinasakan buku itu
agar tak ada orang yang membuat pedang ampuh lagi yang disebut Pedang Merapi
Dahana!" kata Cakraganta dengan suara terkekeh diakhir ucapannya yang
dibumbui ketawa.
"Pedang Merapi Dahana berada di tanganku. Aku dari keturunan wangsa keturunan
Sanjaya yang selalu
bermusuhan dengan pihak Syailendra, tak menginginkan adanya pedang yang menyamai
keampuhan Pedang Merapi
Dahana!" sela wanita bernama Nyi Sanghata.
"Jadi kau yang lebih berkuasa dari pada Cakraganta ini?" tanya Pusparini dengan
harapan bisa mendapatkan pengetahuan lebih banyak tentang permusuhan turun-temurun yang
pernah diceritakan oleh almarhum
ayahnya. "Tak kuduga bahwa Cakraganta yang selama
ini kucari ternyata hanya
begundalnya seorang wanita. Huh!!"
Dan.... cplas!! Sebuah tamparan
mendarat di pipi Pusparini. Tangan Cakraganta telah mdayang tanpa
terkendali lagi karena ucapan itu.
"Ayah berjanji tidak akan
menyakitinya dalam keadaan tak
berdaya," sela Bagus Tulada dengan sikap mencegah tindakan ayahnya lebih lanjut.
"Hmm! Rupanya kecantikan Walet Emas ini telah melumpuhkan kesetiaanmu
kepada wangsa keturunan Sanjaya.
Mungkin itu sebabnya kau terlibat
waktu yang lama untuk meringkus gadis ini walaupun ada kesempatan
melakukannya. Aku tak suka kau
bcrsikap loyo. Bagus ! Kukira Sawung Cemani yang tak kuperhatikan serta
kuabaikan kesetiaannya, mungkin lebih tegas dalam bertindak dari padamu !"
kata Cakraganta dengan pandangan mata melecehkan sikap anaknya.
"Sawung Cemani?" tercetus ucapan ini dalam hati Pusparini. "Jadi Sawung Cemani
ada hubungannya dengan
Cakraganta" Oh, kalau begitu semua itu terdiri satu kelompok saja. Termasuk
Gagak Lodra tentunya" Tetapi mengapa Sawung Cemani bentrok juga dengan
Gagak Lodra " Atau memang Gagak Lodra berdiri di pihak lain untuk
kepentingannya sendiri" Mungkin!"
Inilah yang bisa disimpulkan oleh
Pusparini saat ini. Tengah berpikir tentang Sawung Cemani, tiba-tiba orang yang
menjadi buah pikiran ini muncul pula di tempat itu. Penampilannya
tampak tenang. Dia muncul dengan
memberikan hormat terlebih dulu kepada Nyi Sanghata. Jelas sekali bahwa Nyi
Sanghata lebih tinggi derajatnya dari pada Cakraganta. Tetapi bagaimana
Sawung Cemani bisa muncul di sana, itu yang tidak diketahui.
Sebab paling akhir Pusparini
melihat Sawung Cemani lari ke arah gunung Merapi ketika gunung itu
meletus beberapa hari yang lalu. Dia menduga bahwa Sawung Cemani akan
mendapatkan lahar berpijar.
Kenyataannya sampai begitu jauh, dia tidak melihat Sawung Cemani lagi,
sampai akhirnya orang itu muncul pula di sini.
"Saya mendapat laporan
dari orang-orang bahwa Walet Emas telah tertangkap. Itu sebabnya saya
menghadap kemari untuk membuktikan kebenarannya," kata Sawung Cemani sambil
mengawasi Pusparini yang tak berdaya dalam ikatan.
"Kalau dia kini memiliki batu lahar, hal itu karena bantuan seorang bocah yang
berpenampilan pengemis.
Tetapi digdayanya bukan main. Kulihat dari tempat persembunyianku bagaimana dia
mengambil lahar panas itu dengan tangan telanjang tanpa alas apa-apa,"
kata Sawung Cemani memberi kesaksian.
"Seorang bocah pengemis katamu"!"
sela Nyi Sanghata.
"Iya, Nyi! Seorang bocah!" ucap Sawung Cemani. "Aku sempat bentrok dengan dia
sebelum terjadi letusan gunung Merapi."
"Dia bukan seorang bocah. Namanya pasti Wariga. Dia bukan seorang bocah walaupun
penampilannya seperti itu.
Aku tahu betul dengan si Wariga itu.
Umurnya telah delapan puluh tahun.
Jadi lebih tua dari pada kita-kita ini. Dia seorang empu pembuat Keris!!"
debat Nyi Sanghata dengan nada ketus.
"Wariga berumur delapan puluh tahun?" pikir Pusparini yang pernah bergaul akrab
dengan laki-laki yang diduga masih bocah itu. Wariga pernah mengecoh lewat
penampilannya dan
mengaku sebagai seorang yang kini
hidup melarat karena seluruh
keluarganya dibunuh oleh perampok.
Tentunya hal ini bohong belaka untuk merahasiakan siapa dirinya di hadapan
Pusparini. "Lalu apa yang akan kita lakukan terhadap penyimpan buku Tosan Aji
ini?" tanya Sawung Cemani dengan mengawasi Pusparini yang secara
kebetulan melirik ke arahnya.
"Tentu saja akan kita paksa agar dia berbicara !" sahut Nyi Sanghata.
"Tidak!! Jangan lakukan itu!"
cegah Bagul Tulada. "Dia bisa kita perlakukan dengan baik-baik agar
menyerahkan buku itu. Aku berhasil menangkapnya dan menyerahkan kepada kalian
karena janji bahwa dia tidak akan disakiti."
"Membujuknya secara baik-baik katamu" Dengan cara apa" Kau akan
merayunya" Akan kau beri kenikmatan dia dengan cumbu rayu di atas ranjang"
Owwh, nak Bagus. Mengapa semangatmu
jadi betina?" cela Nyi Sanghata sambil membelai pipi pemuda itu. Kemudian dia
meraih tangan Bagus Tulada dan
ditempelkan ke atas buah dadanya.
"Ayahmu bisa cemburu karena
melihat tanganmu membelai buah dadaku, Bagus. Sebenarnya aku lebih suka tidur
denganmu dari pada harus menuruti
hasrat ayahmu yang selama ini tak
berani dia lakukan karena aku tak sudi melayaninya sebelum buku Tosan Aji itu
jatuh ke tanganku dan kuhancurkan!"
kata Nyi Sanghata sambil memaksa
tangan Bagus Tulada agar membelai buah dadanya yang membukit di balik
kembennya. Walaupun usia Nyi Sanghata ini sudah kepala lima, tetapi
penampilannya tidak kalah dengan gadis remaja. Bahkan penampilannya yang
mencerminkan 'wanita matang' sangat menggoyahkan iman lawan jenisnya.
Melihat tindakan Nyi Sanghata dan
mendengar omonganhya, tentunya harga diri Cakraganta terasa tercoreng.
Tetapi apa mau dikata, Nyi Sanghata adalah orang yang berpengaruh serta berkuasa
dalam kelompok yang menamakan diri sebagai orang-orang keturunan wangsa Sanjaya.
Di sisi lain, Pusparini terpaksa memalingkan wajahnya karena tindakan Nyi
Sanghata yang merobek kesopanan itu.
Dan tiba-tiba Nyi Sanghata
mendorong dengan keras tubuh Bagus
Tulada. "Ki Cakraganta! Aku tak suka
perangai anakmu ini! Kalau kau sebagai orang mengaku anak kepadanya, beri
pelajaran dia!!" kata Nyi Sanghata sambil memandang bengis ke arah Bagus Tulada
yang kehilangan peranan di
tengah orang-orang itu.
Cakraganta seperti kerbau dicocok
hidung, serta merta menggampar kepala Bagus Tulada. Dia benar-benar
kehilangan muka atas peristiwa ini.
Dan untuk menjaga kedudukannya
dihadapan Nyi Sanghata, dia tak segan-segan
melakukan perintah tersebut.
Tubuh Bagus Tulada oleng ke belakang.
Tetapi ketika ayahnya akan bertindak kedua kalinya, dia mempertahankan diri
dengan mengelak sehingga pukulan
ayahnya menerobos tempat terbuka.
Walet Emas 01 Kilatan Pedang Merapi Dahana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kurang ajar!!" umpat Cakraganta.
"Maaf, aku tak bisa diperlakukan seperti binatang karena ayah terlalu gandrung
dengan wanita itu!" jawab Bagus Tulada dengan berang.
"Ayah terlalu diperbudak olehnya.
Aku tak suka itu. Kini aku mengerti mengapa ibu sampai meninggal karena sakit.
Karena ayah tidak sungguh-sungguh mencari upaya penyembuhan agar ibu sehat
kembali. Ayah telah
terbelenggu oleh iblis betina ini!!"
Benar-benar tak diduga kalau
Bagus Tulada akan berkata seperti itu.
Cakraganta tak bisa mengendalikan
dirinya lagi. Pedangnya kini berperan.
Bagitu lepas dari sarungnya, langsung disabetkan ke arah anaknya. Tetapi Bagus
Tulada berhasil mengelakkan. Dia menggelindingkan tubuhnya ke samping sambil
melemparkan pisaunya ke arah tali yang melilit tubuh Pusparini.
Lemparan pisau menyayat lilitan tali.
Kesempatan ini dipergunakan oleh
Pusparini untuk melepaskan diri. Dan berhasil ! Semua terjadi dengan cepat
sehingga tak seorang pun sadar akan tindakan Bagus Tulada yang tiba-tiba
berbalik arah menentang mereka.
Nyi Sanghatalah orang yang
pertama kali mencoba membendung
gerakan Pusparini ketika diketahui
gadis itu lepas dari ikatannya. Tetapi tindakannya kalah gesit dengan gadis yang
bergelar Walet Emas itu. Nyi
Sanghata maju ke muka, tetapi
tendangan Pusparini yang menyambutnya.
Tepat ke lambung perut. Wanita yang membanggakan dirinya sebagai keturunan
wangsa Sanjaya ini menggeliat sambil menebah perutnya. Tetapi secepat itu pula
dia berhasil menguasai dirinya.
Detik selanjutnya semua terlibat
pertarungan. Nyi Sanghata, Cakraganta dan Sawung Cemani di satu pihak,
melawan Pusparini serta Bagus Tulada.
Ini benar-benar satu kesempatan yang ditunggu oleh Pusparini. Telah lama
dia mencari pembantai keluarganya.
Kini kesempatan itu terjadi walaupun belum tahu sampai di mana ketangkasan lawan
yang harus dihadapi. Sasaran pertama adalah Nyi Sanghata. Dia terus melabrak ke
arah wanita itu sementara Bagus Tulada terlihat berhadapan
dengan ayah kandungnya sendiri yang dibantu Sawung Cemani. Dendam memang
mengalahkan pikiran sehat. Pusparini tidak memperdulikan dirinya lagi dalam
menghadapi lawan. Akibatnya Nyi
Sanghata sampai kuwalahan menangkis serangan-serangan si Walet Emas yang banyak
mengandalkan jurus-jurus
waletnya. Bisa dibayangkan betapa
gesit kalau seekor burung walet
menyambar. Begitu juga dengan sepak terjang Pusparini. Ruangan tempat
mereka bertarung jadi porak poranda.
Kini mereka melebarkan gerak di tempat terbuka.
Melihat Nyi Sanghata terus
keteter serangan Pusparini, Cakraganta mencoba memberi bantuan. Parhatian Walet
Emas kini bercabang harus
menghadapi dua arah serangan. Rupanya Cakraganta ingin unjuk keperkasaan di
hadapan Nyi Sanghata. Medan laga
diambil alih agar Nyi Sanghata dapat menghindarkan diri. Paling tidak untuk
mengatur perlawanan lebih lanjut. Hal ini benar-benar disadari karena sepak
terjang Pusparini bagaikan banteng
kedaton yang tidak memperdulikan
dirinya lagi. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh
Nyi Sanghata untuk mengundurkan diri.
Entah kemana perginya. Yang jelas
Pusparini tidak melihat wanita itu lagi.
"Aku harus melumpuhkan Cakraganta ini terlebih dahulu," pikir Pusparini sambil
mengelakkan diri karena sabetan senjata lawan nyaris membabat arah lehernya.
Sejak awal Cakraganta telah menggunakan pedangnya sementara
Pusparini masih lawaran tanpa senjata selain mengandalkan anggota badannya, baik
tangan maupun kakinya. Sekilas Pusparini berhasil melihat pertarungan antara
Sawung Cemani dengan Bagus
Tulada yang dengan susah payah harus menghindari tendangan kaki lawan yang jalu
besinya telah mencuat untuk
senjata. Keduanya telah menggunakan bilah senjata tajam. Masing-masing telah
terlibat pertarungan dengan
bilah pedang. Tetapi Sawung cemani memperguna kan pula senjatanya yang lain,
yaitu jalu besinya yang
mengandung racun. Di sini terlihat
bagaimana Bagus Tulada menghindari tendangan kaki lawan dengan sikap
hati-hati. Sebab kalau salah
perhitungan, dirinya bisa terjebak oleh kaki berjalu yang lain.
Melihat lawannya merasa keteter
dengan serangannya, maka Sawung Cemani ingin memberi serangan yang mematikan.
Dia mengadakan gerak jebakan agar
lawan menghindar ke samping kiri. Dari sini dia akan mengecoh Bagus Tulada yang
kemudian akan diserang dengan jepitan kedua kakinya yang berjalu.
Bisa dipastikan leher lawan akan
berhasil ditembus oleh jalu yang
mencual di atas tumit kakinya. Siasat serangan dijalankan. Tetapi tiba-tiba
Sawung Cemani merasa betisnya
tersambar pedang lawan. Tentu saja, sebab ternyata Bagus Tulada bisa
menebak gerak serangan yang dilakukan oleh Sawung Cemani. Kena sabetan
pedang, kontan kaki kanan Sawung
Cemani terpental. Kaki itu putus
mencelat empat tombak
jauhnya. Jeritannya meledak. Tetapi secepat itu pula dia berhasil menguasai keadaan.
Pedangnya menyambar ke arah lawan yang masih terlena dengan kemenangannya.
Pedang Sawung Cemani berhasil membabat bahu Bagus Tulada sehingga tangan yang
memegang pedang itu terkulai
menyemburkan darah. Kini keduanya
saling terluka. Keduanya masih sama-sama beringas. Dengan menahan rasa sakit
keduanya masih berniat menyerang ke pihak lawan.
Semua itu sempat disaksikan oleh
Pusparini sambil menghadapi
Cakraganta. Pusparini
benar-benar terharu dengan pengorbanan Bagus
Tulada. Siapa sangka kalau pemuda itu berani menentang sikap ayah kandungnya
sendiri" Tetapi inilah sialnya. Karena perhatiannya tertuju kepada Bagus
Tulada, Pusparini lengah sejenak
sehingga pedang Cakraganta menyambar lengannya. Hanya tergores. Darah
mengucur. Tetapi tak dihiraukan oleh Pusparini, sebab lawannya terus
melabrak dengan sabetan yang beruntun.
Pusparini benar-benar kewalahan sebab tidak berhasil mendapatkan peluang untuk
membendung serangan tersebut.
Kalau saja dia memegang senjata, pasti mampu menangkis sabetan pedang
Cakraganta. Dalam gerak menghindar dengan jurus waletnya, Pusparini
melihat sempalan kaki Sawung Cemani yang menggeletak putus akibat sabetan pedang
Bagus Tulada. Dengan cepat
sempalan kaki sebatas lutut itu
disambarnya, dan dengan kecepatan yang sulit diduga oleh Cakraganta sendiri,
bagian tubuh Sawung Cemani itu melesat ke arahnya.
Dan.... crass!!! Tepat mengenai
leher Cakraganta. Jalu beracun yang mencuat itu menancap di situ. Jeritan
meledak. Cakraganta menggeliat, tetapi dia tetap berusaha untuk bisa berdiri.
Dia mencabut benda yang menjijikkan itu.
Sempalan kaki berjalu yang
melukainya dilemparkan. Dengan mata
beringas dia memandang ke arah
Pusparini. Sementara itu Bagus Tulada sempat
pula menyaksikan keadaan ayahnya.
Tiba-tiba timbul rasa ibanya.
Bagaimanapun, dia tak sampai hati
melihat ayahnya terluka seperti itu.
Karena hal inilah, di saat Bagus
Tulada lengah, maka Sawung Cemani
mengunjamkan pedangnya ke arah lawan.
Pedang itu menembus perut Bagus
Tulada. Dan dengan buasnya pedang yang mengunjam ke perut itu diputar-putarkan
sehingga menimbulkan luka yang lebar. Boleh dikata isi perut Bagus Tulada
diaduk-aduk sehingga
ususnya terburai keluar. Perbuatan Sawung Cemani benar-benar ganas. Dalam
berdiri dengan satu kaki dia menyiksa lawannya yang semakin tak berdaya.
Akhirnya tubuh Bagus Tulada terjerembab ke tanah.....!
Puas memandangi lawan yang sudah
tak berdaya, Sawung Cemani mengalihkan perhatiannya kepada Pusparini yang
tercekam tegang menyaksikan keadaan Cakraganta. Laki-laki ini tampak
mengerikan karena merasakan rasukan racun yang menggerogoti kepalanya. Dan
kepala Cakraganta terlihat melepuh di sana sini. Kulit wajahnya mengelupas
dengan mengucurkan darah hitam akibat keganasan racun. Pusparini menahan
jeritnya ketika tiba-tiba menyaksikan
kedua mata Cakraganta melotot keluar.
Ya, keluar ! Yang kemudian copot dari tempatnya. Disusul dengan mulut
Cakraganta yang menganga lebar
mengumandangkan jeritan dengan suara parau menyeramkan. Dan mulut inipun
terkelupas kulitnya sehingga
menampakkan gigi giginya dengan lidah yang menjulur mcm-bengkak. Keadaan inilah
yang mengakhiri riwayat
Cakraganta, yang kemudian roboh.
Belum sirna rasa ngeri
menyaksikan kematian Cakraganta, tiba-tiba Pusparini dikejutkan oleh
sambaran angin pukulan. Ketika
menoleh, dilihatnya Sawung Cemani
telah menyerang dirinya. Untung saja serangan pertama ini tidak berhasil karena
gerak Sawung Cemani yang sudah tidak prima lagi. Dia kehilangan
banyak darah pada kakinya yang buntung sebelah. Ketika Sawung Cemani
menyerang lagi, Pusparini telah siap dengan tendangan kaki. Tetapi gerakan
tendangan ini tidak dia lanjutkan, sebab dengan gesit Sawung Cemani
mencoba menahan dengan kaki yang
berjalu. Tentu saja hal ini dilakukan dengan gerak melambungkan tubuhnya untuk
keseimbangan. Pusparini
menghindar. Dia tahu benar keganasan racun jalu Sawung Cemani yang rupanya lebih
ampuh dari pada tempo hari.
Untungnya, dalam menghindarkan diri
ini Pusparini mendapat kesempatan
meraih pedang milik Cakraganta. Dengan mengerahkan tenaganya, Pusparini
melemparkan pedang tersebut ke arah lawan.
Jhebb!!! Pedang mengunjam tepat di arah
jantung. Sawung Cemani
sempoyongan dengan wajah menyeringah Dengan kakinya yang tinggal sebelah dia
mencoba menguasai diri. Dia hendak menerjang ke arah Pusparini dengan
menggenjotkan tubuhnya. Tetapi
Pusparini telah terlebih dulu
bertindak. Dengan melesat ke udara mengeluarkan jurus waletnya, Pusparini
berhasil menerjang ujung senjata yang menancap di dada Sawung Cemani.
Akibatnya pedang itu semakin melesak ke dalam dada, dan tubuh Sawung Cemani
roboh ke tanah dan menemui ajal dengan cara itu.
Pusparini terkulai kepayahan.
Pandangannya menyapu ke arah tubuh-tubuh terkapar tak bernyawa lagi.
Tetapi tunggu. Ada seseorang yang
masih bergerak. Itu tubuh Bagus
Tulada. Pusparini menghampiri.
"Bagus Tulada!" kata Pusparini.
"Kau telah berkorban untukku....!"
"Kk.... karena... aku mencintaimu..!"
jawab Bagus Tulada
lirih. Hanya sampai di situ. Tak
terdengar lagi suara Bagus Tulada. Dia menghembuskan napas terakhir di
pangkuan Pusparini.
Dan pada saat itulah... terasa
ada sesuatu yang menyengat perasaannya, Pusparini menoleh....!
Nyi Sanghata muncul lagi. Kini
kelihatan lebih bangga dengan dirinya.
Kemunculannya dengan menanting sebuah pedang yang masih tersimpan di dalam
sarungnya. Sarung pedang itu berwarna merah dengan hiasan keemasan. Hulunya
berkepala makara.
"Rupanya aku terlambat datang.
Kalau tadi pedang ini kubawa,
peristiwanya tidak seburuk ini. Tetapi yang penting aku harus membinasakan kau,
Walet Emas, meskipun buku Tosan Aji tak akan kutemukan lagi. Atau bisa kutemukan
setelah kematianmu dengan pedang ini. Lihat! Pedang inilah yang disebut Pedang
Merapi Dahana!!"
terdengar suara lantang Nyi Sanghata sambil mengeluarkan pedang itu dari
sarungnya. Shhrringg!! Pedang lepas dari sarungnya.
Sinar matahari yang menerangi membuat bilah pedang tersebut memantulkan
cahaya merah. Konon pedang tersebut hanya ampuh kalau dipergunakan pada siang
hari saja. Artinya, benda apapun yang ditebas pasti terpental putus.
Oleh sebab itu tak ada logam lain yang
mampu bertahan dengan tebasannya.
"Pedang ini tak bisa dimasukkan ke dalam sarungnya lagi kalau belum berlumur
darah manusia, Walet Emas,"
terdengar suara Nyi Sanghata dengan lantang. Langkahnya dengan pelan terus
mendekat ke arah Pusparini.
Pusparini tertegun menyaksikan
yang memancar dari Pedang Merapi
Dahana..........! tentang bagaimana keampuhan
pedang tersebut, telah
diketahui pula lewat buku Tosan Aji yang dia simpan.
"Dengan apa aku harus menghadapi
nya?" pikir Pusparini. Tanpa pikir panjang, dia menjangkau pedang di
sampingnya ketika dilihatnya Nyi
Sanghata semakin dekat ke arahnya.
Sekejap kemudian pedangnya telah
beradu dengan Pedang Merapi Dahana.
Trangg!! Sekali tebas, pedang di tangan
Pusparini terpenggal. Hanya karena Nyi Sanghata lamban mengadakan serangan kedua
kalinya, Pusparini berhasil
berkelit dan melesatkan tubuhnya
dengan gaya burung walet menjauhi lawannya. Untuk
kedua kalinya
Walet Emas 01 Kilatan Pedang Merapi Dahana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pusparini menjangkau pedang yang lain. diambil dari genggaman tangan Cakraganta
yang telah jadi mayat.
Pedang milik Cakraganta berbentuk agak besar.
"Ayo, carilah seribu pedang untuk
melawanku," sumbar Nyi Sanghata dengan lantang. Sekejap berikutnya tubuhnya
telah melesat ke arah Pusparini yang masih ragu untuk menggunakan pedang di
tangannya. Pusparini bergulir ke
samping ketika Nyi Sanghata menerjang ke arahnya. Tetapi sebelum dia
mempersiapkan diri lagi, dilihatnya Nyi Sanghata siap mengayunkan pedang Merapi
Dahana ke arahnya. Pusparini berusaha menangkis pedang itu. Dan untuk kedua
kalinya pedang di
tangannya terpenggal. Melihat keadaan ini dia mencoba menghindar. Tetapi Nyi
Sanghata berhasil menjegal geraknya dengan tendangan kaki. Pusparini
terjerembab. Pandangannya sempat
menangkap bagaimana Nyi Sanghata
dengan bernafsu sekali akan menebaskan pedang ke arahnya. Lalu diusahakan daya
upaya untuk menghindari. Tetapi kaki Nyi Sanghata berperan lagi. Kali ini
berhasil menginjak ujung kainnya sehingga kain itu robek karena
hentakan dirinya yang mencoba
menghindar. "Ohh, Aku tahu sampai kapan
pedang itu mempunyai keampuhan. Selama sinar matahari bersinar tak akan ada
benda yang dapat menahan tebasannya.
Tetapi hari masih tinggi. Kuatkah aku menghadapinya sampai matahari
terbenam" Tenagaku akan terkuras
habis!" pikir Pusparini sambil terus
mengelak dengan berbagai gaya
menghindari tebasan pedang Merapi
Dahana yang diserangkan ke arahnya oleh Nyi Sanghata.
"Ayo, larilah sampai ke ujung jagad, aku akan terus memburumu, Walet Emas !"
teriak Nyi Sanghata. Kali ini tebasan pedangnya nyaris membabat
lambung buronannya. Tetapi Pusparini masih mampu berkelit sampai dirinya
menggulirkan tubuhnya ke tanah dan menyentuh potongan kaki Sawung Cemani.
Tanpa pikir panjang lagi dia
menjangkau potongan kaki itu dan
dilempar ke arah Nyi Sanghata. Tetapi wanita ini waspada. Pedang ditebaskan
untuk menahan potongan kaki yang
melesat ke arahnya. Kena. Potongan kaki Sawung Cemani hancur berantakan, tetapi
jalu beracun yang mencuat itu mencelat menggores bahunya!
Nyi Sanghata tersentak kaget. Dia
tahu bagaimana ampuhnya racun jalu besi yang dimiliki Sawung Cemani.
Kemudian dia menotok jalan darah di bahunya agar racun itu tidak cepat menjalar.
Tetapi akibat totokan jalan darah ini dia tak bisa menggerakkan tangan kirinya
lagi, padahal penggunaan pedang Merapi Dahana hanya bisa dipergunakan dengan sempurna
apabila dipegang dengan dua belah
tangan. Pusparini melihat gelagat ini.
Dia tidak ingin membuang kesempatan.
Dengan tekad yang menggebu dia melesat ke arah Nyi Sanghata. Tujuannya untuk
merebut pedang itu yang kini hanya dipegang sebelah tangan kanan saja.
Melihat gerak Pusparini, Nyi Sanghata hendak mengayunkan pedang tersebut.
Tetapi Pusparini lebih cepat meraih tangannya. Kini terjadi pergulatan untuk
merebut pedang. Dari peristiwa ini Pusparini baru tahu betapa hebat kekuatan Nyi
Sanghata. Gerak bela
dirinya memang agak lambat, tetapi Nyi Sanghata mempunyai kekuatan otot
seperti laki-laki. Bertentangan sekali dengan penampilannya yang menggiurkan.
Walaupun hanya dengan sebelah tangan, Nyi Sanghata mampu memegang ketat
pedang tersebut. Pusparini menempel terus. Dia tak boleh merenggangkan tubuhnya
menjauhi lawan. Sebab apabila hal itu dilakukan, maka dengan mudah Nyi Sanghata
akan menjulurkan pedang ke arahnya.
Dua tubuh itu kini bergulir di
tanah setelah keduanya roboh serentak.
Peristiwanya berlangsung lama. Pakaian mereka telah terobek awut-awutan
karena hempasan-hempasan tubuh mereka sendiri dalam mencari kelemahan lawan.
Tetapi tiba-tiba... Nyi Sanghata
tersentak kejang!
Pegangannya pada
pedang merenggang. Kesempatan ini
dipergunakan Pusparini untuk merebut Pedang Merapi Dahana dari cengkeraman
lawannya. Dan berhasil, sementara Nyi Sanghata sendiri blingsatan di tanah
seperti cacing kepanasan.
"Aku berhasil melepaskan totok jalan darahnya sehingga racun itu
tanpa disadari menjalar ke segenap tubuhnya....!" kata Pusparini kepada dirinya
sendiri. Dia terus mengawasi keadaan Nyi Sanghata yang dalam
keadaan pola tidak karuan. Bagian
tubuh pada bahunya mulai melepuh, lalu menjalar kekepala.....! Peristiwa
semuanya sama dengan yang dialami Cakraganta. Kedua biji matanya melotot keluar
dan lepas dari tempatnya.
Disusul kemudian dengan lepasnya kulit dan
daging di kepala Nyi Sanghata.....! Kemudian wanita yang selama ini menyimpan Pedang Merapi Dahana
menemui ajalnya....!
"Tetapi pedang ini tak dapat
dimasukkan ke dalam sarungnya sebelum merenggut nyawa manusia. Padahal semua
orang telah tewas.....!" keluh Pusparini sambil mengawasi pedang yang
menimbulkan sengketa berdarah.
"Jangan khawatir, Pusparini!"
tiba-tiba terdengar suara dari
kejauhan. Pusparini menoleh. Dilihatnya
Wariga berdiri tegak di seberang sana didampingi seseorang, yang dikenal sebagai
gurunya, yaitu Ki Suswara.
Pusparini berniat mendatangi kedua
orang itu, tetapi geraknya terganggu oleh pedang di tangannya. Pedang
Merapi Dahana itu seperti memiliki tenaga dan rnengendalikan tangan
Pusparini.... berayun kesana kemari dengan liar.
"Ohh, apa yang terjadi dengan pedang ini" Benda ini seperti mau
lepas dari tanganku!" jerit Pusparini dengan cemas.
Wariga dan Ki Suswara bertindak.
Pusparini melihat Wariga membawa batu lahar yang dikenali sebagai benda yang
pernah diberikan kepadanya.
"Untung aku menemukan batu lahar ini di sana. Jangan khawatir. Terus pegang
dengan erat pedang itu dan
tebaskan ke arah batu ini!" ujar Wariga dengan tenang sambil meletakkan batu
lahar tersebut di tanah.
Pusparini segera menebaskan
Pedang Merapi Dahana ke arah batu lahar. Dan......
Bbhllaarrr !!! Tubuh Pusparini terpental. Tetapi
tangannya masih menggenggam pedang itu. Dengan ragu dia mencoba bangkit sambil
mengawasi pedang di tangannya.
Pedang Merapi Dahana tidak bergolak lagi.
"Hh. Bagaimana bisa begitu"
Pedang ini.......tiba-tiba terasa
ringan di tangan saya," ujar Pusparini seperti seorang bocah mendapat sebuah
mainan yang didambakan. Lain memandang Wariga yang tetap memandangnya dengan
tenang. Sedangkan gurunya dengan
senyum kebanggaan melangkah
menghampirinya.
"Sang Hyang Widhi rupanya
menghendaki semua ini, Pusparini. Buku Tosan Aji yang kau titipkan padaku agar
tidak jatuh ke tangan orang-orang berwatak angkara, telah kupelajari.
Kemudian aku mencari seorang sahabat untuk membicarakan hal ini. Kau tahu siapa
dia bukan" Ki Wariga ! Itulah orangnya yang kau kenal dengan Wariga si pengemis.
Dia memang suka
memperdaya orang. Tetapi siapa
menyangka kalau dia telah berumur
lebih dari delapan puluh tahun" Dia memiliki ajian ampuh sehingga
penampilannya seperti bocah," kata Ki Suswara.
"Saya telah mengetahuinya dari cerita Nyi Sanghata," jawab Pusparini yang kini
bersikap hormat kepada Ki Wariga.
"Aku dengan Ki Wariga berhasil memecahkan rahasia pedang itu
bagaimana cara mengendalikan. Dan kau lihat sendiri, Pedang Merapi Dahana tidak
dapat ditenangkan begitu dia dikeluarkan dari sarungnya sebelum membinasakan
nyawa manusia. Cara
mengatasi harus ditebaskan ke batu lahar. Kau lihat, batu itupun tidak
cuil sedikitpun. Sebab batu lahar itu salah satu
unsur senyawanya," Ki
Suswara terus menjelaskan.
"Dan kita akan membuat sarung pedang dengan menggunakan batu lahar itu agar bisa
mengamankan keganasan Pedang Merapi Dahana..... ! Maksudku, kalau pedang itu
terlanjur lepas dari sarungnya, dan tidak mendapatkan
mangsa nyawa, bisa dimasukkan kembali ke dalam sarungnya. Nah, kini masukkan
pedang tersebut ke dalam sarungnya, sementara dalam beberapa hari ini aku dan Ki
Wariga akan membuat sarung
pgdang dari bahan batu lahar itu,"
kata Ki Wariga dengan nada suara
dewasa. "Sebaiknya kita secepatnya
meninggalkan tempat ini sebelum ada pihak lain mencium peristiwa ini.
Mari" ajak Ki Suswara. Kemudian mereka berangkat menuju padepokan
Canggal....! * * * Beberapa hari kemudian.....
Terlihat Pusparini berdiri di
samping kudanya yang akan membawa dia pergi meninggalkan padepokan.
"Pedang Merapi Dahana kini
menjadi milikmu, Pusparini. Sarung pedangnya yang telah berhasil kami buat, akan
mengamankannya. Tetapi
tidak berarti kau bisa semena-mena mempergunakannya. Senjata ampuh tidak boleh
dipergunakan sembarangan," kata Ki Wariga. Terbayang sekilas bagaimana Ki Wariga
dan Ki Suswara menciptakan sarung Pedang Merapi Dahana. Pusparini mengakui
kehebatan Ki Wariga bagaimana dia membentuk batu lahar yang
dicairkan lewat tungku dan hanya
dipenyet-penyet dengan tangan
telanjang. Dan Ki Suswara mengukir hiasannya dengan tambahan kayu untuk
memperindah bentuknya. Akhirnya
tercipta penampilan pedang yang tampak berwibawa....!
"Kau bukan orang pertama yang akan menjadi pendekar pembasmi
kejahatan, Tetapi......jadilah yang
terbaik !" pesan Ki Suswara.
"Jaga dirimu baik-baik, Walet Emas....!"
"Mohon doa restu. Saya akan
berangkat sekarang," ucap Pusparini lirih dengan penuh hormat.
Pusparini segera menaiki kudanya.
Dengan hentakan kakinya dia
memerintahkan kuda bergerak.
Langkahnya tenang meninggalkan
padepokan Canggal, dilepas dengan
pandangan Ki Wariga dan Ki Suswara sementara cakrawala Timur membiaskan warna
jingga......! Hari semakin
cerah. Dan kehidupan
menantang Pusparini alias Walet Emas di seberang
sana....,! SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Munculnya Si Pamungkas 2 Pendekar Rajawali Sakti 9 Manusia Bertopeng Hitam Pedang Darah Bunga Iblis 6