Pencarian

Munculnya Si Pamungkas 2

Pendekar Bayangan Sukma 19 Munculnya Si Pamungkas Bagian 2


Geram dan jeri bercampur menjadi satu.
"Hahaha... aku tahu. kalian tentunya jeri melihat ajian Sambar Nyawaku, bukan"!"
seru si Pamungkas dengan nada mengejek. "Nah, lebih baik kalian membunuh diri
saja sebelum akupun
punya niat untuk mencabut nyawa kalian!"
Merah padam wajah keduanya. Dan mereka
merasakan sakit hati dan panas di dada mereka.
Keduanya menggeram, menatap marah dengan
dingin pada si Pamungkas.
"Kau harus membayar nyawa sahabatku, Pa-
mungkas!" geram si Tua Welas Asih..
"Kami tak akan mengampunimu, Manusia bu-
suk!" kata si Tangan Besi menyambung kata-kata si Tua Welas Asih.
Tetapi kata-kata keduanya hanya disambut ta-
wa oleh si Pamungkas.
"Kalian hanyalah orang-orang yang bisa menjual lagak dan besar mulut! Cepat
kalian membunuh
diri, sebelum aku menjadi marah!"
Si Tua Welas Asih mendengus.
"Hhh! Kami sudah bulatkan tekad untuk men-
cari dan menghentikan sepak terjangmu! Sekarang kau sudah kami temukan, tak
mungkin kami akan
kembali dengan tangan hampa, atau pun membu-
nuh diri secara pengecut! Kami bukanlah orang-
orang pengecut, Pamungkas!" seru si Tua Welas Asih berapi-api. Hatinya panas
bukan main. "Bagus! Aku mau melihat lagi orang-orang bukan pengecut seperti kalian!" seru si
Pamungkas dan tubuhnya sudah melayang dengan ajian Sam-
bar Nyawa yang terapal di tangannya.
Kedua lawannya pun sudah tahu akan kekeja-
man ajian Sambar Nyawa yang dimiliki si Pa-
mungkas. Mereka pun tak berani untuk beradu
tangan dengan resiko yang mematikan. Dan hal ini memudahkan si Pamungkas untuk
mencecar dan menurunkan tangan telengas pada keduanya.
"Hahaha... mengapa kalian tidak membalas"!"
ejeknya seakan-akan tidak tahu kalau kedua la-
wannya gentar. Dan keduanya memang tak mau mengambil re-
siko yang mematikan itu. Sambil terus menghindar keduanya berpikir keras untuk
mematahkan serangan si Pamungkas.
Namun karena mereka tak mau mengambil re-
siko, sulit bagi keduanya untuk menghentikan serangan si Pamungkas. Bahkan
keduanya pun te-
rus menghindar.
Sampai suatu ketika, si Tangan Besi terhuyung
karena kakinya berhasil dikait oleh kaki si Pa-
mungkas. Dan tubuh si Pamungkas pun sudah
menerjang dengan cepat ke arahnya.
Ajian Sambar Nyawanya siap untuk mencabut
nyawa si Tangan Besi yang sudah tidak mempu-
nyai kesempatan untuk menghindar lagi.
Namun mendadak saja tubuh si Pamungkas
bersalto ke belakang ketika dirasakannya ada angin berdesing ke arahnya.
"Setan alas!" makinya geram ketika dia hinggap di bumi.
Dan melihat benda apa yang menyambarnya.
Dua buah senjata rahasia berbentuk topeng hitam
menancap di pohon sebagai ganti sasaran dari tubuhnya.
Dan bermunculanlah delapan orang mengena-
kan pakaian hitam-hitam dan bertopeng hitam.
Mereka tak lain adalah murid-murid Perguruan
Topeng Hitam yang diutus oleh Madewa Gumilang
untuk menyelidiki dan menangkap si Pamungkas.
Kedatangan mereka di desa Bojong Sawo dis-
ambut dengan baik oleh Ki Lurah Wijayatikta.
Bahkan Saburo Manda pun meminta maaf pada
Pratama karena salah paham yang dilakukannya.
Selama sepuluh hari mereka berada di desa Bo-
jong sawo, tak sekali pun ada tanda-tanda si Pamungkas akan datang. Dan ini
membuat mereka menjadi bosan. Lalu Pratama pun meminta izin untuk pergi ke
desa Glagah Jajar pada Ki Lurah Wijayatikta. Dan dalam perjalanan mereka menuju
desa Glagah Jajar, secara tidak sengaja mereka tiba di tempat itu.
Di mana dua tokoh dari golongan putih sedang
berhadapan dengan si Pamungkas.
Para murid Perguruan Topeng Hitam terkejut
melihat salah seorang yang sedang bertanding itu mengenakan pakaian dan
bertopeng biru. Mereka
seperti disadarkan oleh kenyataan, bahwa orang
itulah yang sedang mereka cari.
Dan Pratama pun segera melemparkan senjata
rahasia yang berbentuk topeng hitam ke arah si
Pamungkas yang tengah siap untuk menghabisi si
Tangan Besi. Si Pamungkas melihat kedatangan orang-orang
itu. Tetapi kemudian dia berkata merandek, "Hhh!
Rupanya kalian para murid Perguruan Topeng Hi-
tam!" "Dan kalau tidak salah, kaulah orang yang sedang kami cari yang berjuluk si
Pamungkas!" bentak Pratama.
Si Pamungkas terbahak. Dari rasa geramnya
seolah menjadi lucu mendengar kata-kata itu.
"Hahaha.. rupanya kalianlah yang diutus oleh Madewa Gumilang alias Pendekar
Bayangan Sukma untuk menangkapku" Hmm.... mengapa tidak
Pendekar Bayangan Sukma itu sendiri yang turun
tangan" Apakah dia sudah menjadi pengecut dan
penakut seperti anak perempuan"!"
Kata-kata si Pamungkas membuat wajah-wajah
yang berada di balik topeng hitam itu memerah.
Geram. "Lancang bicara kau, Pamungkas! Ketua kami tak perlu turun tangan untuk mencari
orang celaka seperti kau!"
"Duh, duh.. apakah kalian mampu untuk me-
nangkapku, hah"! Atau., kalian memang sudah ti-
dak sayang dengan nyawa yang kalian miliki"!"
"Manusia busuk! Kami rela mati demi kebenaran!"
"Bukan main! Rupanya ajaran si Pendekar
Bayangan Sukma sudah begitu meresap di hati ka-
lian! Namun sayang... sayang sekali, karena kalian akan mengantarkan dan
membuang nyawa dengan
percuma!" "Monyet busuk!"
"Hahahaha..." Makian Pratama hanya disambut tawa oleh si Pamungkas. "Bagus,
bagus sekali., aku memang sudah lama ingin mengetahui sampai
di mana kehebatan akan ilmu Perguruan Topeng
Hitam. Hanya sayang... ketua kalian Pendekar
Bayangan Sukma tidak ada di sini. Tetapi ingat, akan kubasmi Perguruan Topeng
Hitam hingga ke
akar-akarnya!"
Murkalah Pratama.
Dia berseru seraya menggerakkan tangannya,
"Kurung orang itu! Dia telah lancang bicara meng-hina dan meremehkan Ketua
kita!" Serentak delapan murid Perguruan Topeng Hi-
tam mengurung si Pamungkas yang hanya terba-
hak saja. Si Tua Welas Asih merasa bisa bernafas kembali
melihat secara tidak disangka muncul delapan
murid Perguruan Topeng Hitam. Si Tua Welas Asih sudah tahu siapa Pendekar
Bayangan Sukma yang
menjadi ketua Perguruan Topeng Hitam.
Begitu pula halnya si Tangan Besi yang buru-
buru bersemedi untuk menghilangkan rasa sakit
di dadanya. Setelah dirasakan cukup pulih, dia
pun berdiri tegap. Siap membantu delapan murid
Perguruan Topeng Hitam yang mengurung si Pa-
mungkas. Si Pamungkas terbahak kembali.
"Hahaha! Rupanya kalian benar-benar bosan
hidup! Baiklah, aku pun sudah bosan! bermain-
main seperti ini!"
Pratama pun meloloskan sepasang pedangnya
yang diikuti oleh beberapa orang temannya yang
lain. "Pamungkas! Lebih baik kau menyerah saja da-
ripada kami bunuh!"
"Hahaha... mengapa masih banyak bicara"! Cepat kalian serang aku!"
"Bangsat! Tangkap orang itu!" seru Pratama seraya memulai serangannya yang
disusul oleh tujuh temannya.
Kembali di tempat itu terjadi pertempuran kem-
bali. Kali ini delapan orang berpakaian hitam-
hitam dan bertopeng hitam menggempur hebat sa-
tu sosok tubuh yang mengenakan pakaian dan to-
peng berwarna biru.
Pedang-pedang itu pun berkelebat menyambar
ke arah si Pamungkas yang kembali memperli-
hatkan kelincahannya. Si Tua Welas Asih pun tu-
rut membantu. Begitu pula dengan si Tangan Besi.
Mereka mengurung langkah si Pamungkas.
"Bangsat! Rupanya kalian memang benar-benar bosan hidup!" bentak si Pamungkas
dan diam-diam dia mengeluarkan ajian Seribu Bobot Besi.
Sambil terbahak dia berseru, "Hahaha.. ayo serang, hantam, bunuh aku!"
Para penyerangnya pertama kebingungan kare-
na tiba-tiba saja si Pamungkas diam tegak berdiri.
Tidak lagi menghindari serangan-serangan mereka.
Namun kesempatan itu pun mereka pergunakan
sebaik-baiknya.
Namun mereka terkejut melihat apa yang terja-
di. Begitu pukulan dan pedang mereka mengenai
sasarannya, malah tangan mereka yang menjadi
kesakitan. Si Tua Welas Asih merasakan tangannya seolah
patah. Si Tangan Besi merasakan tangannya kesemu-
tan. Dan pedang-pedang yang dihantamkan oleh pa-
ra murid Perguruan Topeng Hitam malah menim-
bulkan suara, "Trang!"
Orang-orang itu mundur karena terkejut.
"Hahaha! Mengapa harus mundur" Ayo, bukan-
kah kalian ingin menangkap dan membunuhku"!
Cepat lakukan, sebelum aku berubah pikiran ma-
sih memberi kalian bermain-main!"
Orang-orang itu pun kembali menyerang, na-
mun serangan itu terasa sia-sia belaka. Karena hal yang sama yang mereka lihat.
Tiba-tiba si Pamungkas membuka kedua tan-
gannya. "Hahaha... agaknya aku sudah bosan dengan permainan ini!" desisnya dan
tiba-tiba tubuhnya melenting ke arah si Tua Welas Asih den-
gan kedua tangan yang kemerahan mengarah pada
dadanya. "Ajian Sambar Nyawa!" desis si Tua Welas Asih.
Sambil bergulingan. Namun si Pamungkas terus
mencecar. Sedangkan pedang-pedang yang men-
genai tubuhnya dibiarkan saja, karena hanya me-
nimbulkan suara "trang" kembali.
Nasib si Tua Welas Asih. Seperti telur di ujung tanduk. Dia sudah kebingungan
dan kewalahan menerima serangan ajian Sambar Nyawa yang di-
lancarkan oleh si Pamungkas.
Dan memang tak seorang pun dari sekian ba-
nyak yang bisa menolongnya. Maka tanpa ampun
lagi tubuh si Tua Welas Asih pun harus mampus
terkena sambaran ajian Sambar Nyawa.
Tubuhnyapun hangus dan meledak seperti yang
dialami Dewi Berbaju Putih.
Bau sangit pun kembali tercium. Si Tangan Besi
menjerit keras melihat lagi-lagi sahabatnya mati dengan cara yang mengerikan.
Dengan menjerit geram dia menerjang ke arah si
Pamungkas dengan kalap.
"Kau harus membayar nyawa temanku, Manu-
sia Kejam!"
Namun si Pamungkas yang sekujur tubuhnya
sudah dialiri ajian Seribu Bobot Besi hanya tertawa saja menerima pukulan dari
si Tangan Besi.
"Hhh! Kau membosankan aku, Tangan Besi!"
geramnya dan orang yang berpakaian dan berto-
peng biru itu pun menggerakkan tangannya.
"Des!"
Tepat mengenai dada si Tangan Besi.
Tubuh si Tangan Besi pun terpental dengan de-
ras ke belakang.
Lalu ambruk sebelumnya menabrak sebuah po-
hon. Kembali pemandangan yang seperti dialami si Tua Welas Asih terlihat. Tubuh
itu berubah hangus dan kemudian meledak menimbulkan kembali
bau sangit yang amat sangat.
Para murid Perguruan Topeng Hitam pun kem-
bali terkejut melihat kehebatan ajian Sambar Nya-wa yang dimiliki oleh si
Pamungkas. Tetapi biarpun begitu, mereka tidak takut sekalipun harus
mengorbankan nyawa.
Malah kembali dengan segera mereka mengu-
rung manusia berpakaian dan bertopeng biru itu.
Orang itu kembali terbahak. Tawanya memba-
hana, mengerikan, mengundang kematian dan
membuat bulu roma berdiri.
Tiba-tiba dia berkata dengan suara merandek,
"Hhh! Berpikirlah kalian dua kali sebelum nekat menantangku"! Aku yakin,
sebenarnya kalian masih sayang dengan nyawa kalian! Hhh! Lebih baik kalian
beritahukan kepada ketua kalian, Pendekar Bayangan Sukma! Untuk keluar dari
sarang jangan bersembunyi seperti anak perempuan! Aku, si Pamungkas, akan
membasminya hingga punah
dari muka bumi ini!"
Kembali wajah-wajah di balik topeng hitam itu
memerah. Bukan main geram dan panas hati mereka
mendengar kata-kata si Pamungkas.
Sengkala pun melesat maju, disusul oleh yang
lain. Kembali pedang-pedang itu berkelebat ke


Pendekar Bayangan Sukma 19 Munculnya Si Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arah si Pamungkas. Namun lagi-lagi si Pamungkas tidak bergeming dari berdirinya.
Dia malah terbahak. Seolah kegelian pedang-
pedang itu mengenai sekujur tubuhnya. Ajian Se-
ribu Bobot Besi yang telah mengalir dalam tubuhnya, tak satu pun yang membuat
pedang-pedang lawannya berhasil melukainya!
"Cepat kalian tinggalkan tempat ini sebelum mampus kubunuh!" berkata si
Pamungkas dengan gusar.
"Tak akan pernah kami mundur dari hadapan-
mu, Pamungkas!" sahut Sengkala gagah berani.
Si Pamungkas mendengus.
"Rupanya kalian benar-benar ingin mampus!"
desisnya marah dan kedua tangannya pun berge-
rak. Menghantam dua orang murid Perguruan To-
peng Hitam dengan ajian Sambar Nyawanya.
Tanpa ampun lagi tubuh kedua orang itu pun
ambruk. Hangus.
Dan meledak. Melihat hal itu, bukannya membuat nyali para
murid Perguruan Topeng Hitam menjadi ciut. Te-
tapi malah semakin membara.
"Bangsat! Kau harus membayar nyawa dua
saudara seperguruan kami!" dengus Sengkala dan menyerang kembali.
Namun kembali serangannya sia-sia, malah tu-
buhnya hampir saja terkena sambaran pukulan
ajian Sambar Nyawa milik manusia berpakaian
dan bertopeng biru itu.
"Hahaha.. kembalilah kalian ke Perguruan Topeng Hitam! Katakan pada ketua kalian
agar jan- gan turut campur urusanku! Bila dia masih mau
menentang, aku tak akan ragu-ragu lagi untuk
membunuhnya!"
Menyadari kesaktian manusia ini amat tinggi,
Sengkala memberi tanda kepada teman-temannya
untuk menghentikan penyerangan.
Lalu dia mendengus pada si Pamungkas.
"Manusia laknat! Hari ini kau menang! Tetapi kami akan terus dendam padamu!"
"Lakukanlah bila itu yang kau inginkan! Hahaha... katakan pula pada Pendekar
Bayangan Suk- ma, bila dia ingin mencariku, aku berada di Bukit Alas Waru!" tertawa si
Pamungkas. Dan mendadak saja tubuhnya berkelebat, meninggalkan tawa
yang masih membahana.
Bukan main malu, kecewa, sedih dan marahnya
para murid Perguruan Topeng Hitam itu. Lebih-
lebih menyaksikan dua kawan mereka harus
mampus dengan cara yang mengerikan di tangan
si Pamungkas. Mereka pun menyadari kalau ilmu yang dimiliki
manusia itu begitu tinggi. Namun kekejaman yang telah dilakukan manusia
berpakaian dan bertopeng biru itu telah membangkit dendam kesumat
yang amat sangat.
Mereka tidak bisa menerima tangan telengas
yang telah diturunkan manusia itu kepada dua
saudara seperguruan mereka. Namun memang tak
ada jalan lain selain menghentikan menyerang sebelum maut pun yang akan
mengundang mereka
datang. Keenam sisa murid Perguruan Topeng Hitam itu
hanya bisa menahan tangis sambil menatap tubuh
dua saudara seperguruan mereka yang hancur.
"Bagaimana, Pratama?" tanya salah seorang.
Pratama yang terisak mendesah.
"Memang tidak ada jalan lain. Kita memang harus menghentikan serangan. Apa yang
dilakukan Sengkala benar."
"Tetapi dia telah membunuh Adi Jaya dan Pur-nama!"
"Ya, tenanglah, lebih baik kita kembali ke perguruan. Dan bila kita diberi
kesempatan lagi oleh Ketua untuk mencari si Pamungkas, kita bersumpah untuk
membalas dendam ini padanya!"
Lalu wajah-wajah itu pun tertunduk.
Hari semakin senja. Dan matahari kini hanya
menampakkan sisa-sisa biasnya di ufuk barat sa-
na. Semilir angin mengantarkan kepergian enam
murid Perguruan Topeng Hitam sambil membawa
mayat kedua saudara Seperguruan mereka.
*** 6 Bukit Alas Waru adalah sebuah bukit yang
amat menyeramkan, letaknya di belakang gunung
merapi yang masih aktif. Bila dilihat dari kejau-han, Bukit Alas Waru seperti
memperingatkan ka-
lau tempat itu begitu mengerikan. Bahkan pernah tersiar kabar, kalau Bukit Alas
Waru tempat segala dedemit bermukim.
Dan diterangi sinar bulan yang cukup, bukit
Alas Waru seperti raksasa yang tengah terdiam.
Dan sewaktu-waktu bisa bangun dengan mena-
kutkan. Namun sosok tubuh yang berkelebat cepat itu,
seolah tidak menghiraukan keseraman dan keang-
keran Bukit Alas Waru. Sosok tubuh itu dengan
ringannya berlari mendaki bukit itu.
Geraknya ringan dan cepat.
Tak lama kemudian dia sudah tiba di sebuah
mulut goa yang terdapat di atas bukit Alas Waru.
Sinar bulan pun menerangi tubuhnya. Sosok itu
berpakaian dan bertopeng biru. Dia adalah si Pamungkas!
"Kaukah itu, Topeng Biru..." terdengar suara bernama serak dari dalam goa.
Si Pamungkas membungkukkan tubuhnya di
mulut goa. "Benar, Guru..."
"Masuklah, Topeng Biru..."
Si Pamungkas pun memasuki goa itu. Mulut
goa yang kelihatan sempit merupakan sebuah lo-
rong yang cukup panjang. Di ujung sana nampak
terlihat ada cahaya yang amat terang menerangi
sebuah tempat yang mana lorong itu berubah dari sempit menjadi semakin lebar.
Si Pamungkas tiba di tempat itu.
"Bagaimana, Topeng Biru" Apakah kau berhasil mendapatkan Cincin Naga Sastra dari
tangan Juragan Wilada Tista?"
Si Pamungkas berjalan ke arah suara itu. Dan
dia menjura kembali, di hadapan sebuah batu be-
sar yang panjang.
"Belum, guru."
"Apa maksudmu?" Nada suara itu berubah gusar.
Tiba-tiba di batu yang panjang itu bergolek so-
sok tubuh tua yang lemah. Wajah orang itu amat
berkeriput. Dia seorang kakek yang berusia 70 tahun dengan janggut, kumis dan
rambut putih. Tu-
buh kakek itu nampak begitu lemah. Dan dia se-
pertinya sedang sakit.
"Juragan Wilada Tista mengaku tidak menyimpan cincin itu, Guru."
"Bagaimana tidak" Lima belas tahun yang lalu, aku melihatnya sendiri Cincin Naga
Sastra diberi- kan oleh Kyai Tapa Suci kepadanya, di saat kau
belum kuangkat sebagai muridku."
"Tetapi dia mengaku tidak memilikinya, Guru."
"Bangsat!" kakek yang sakit itu menggeram.
"Topeng Biru sakitku akibat Pukulan Sakti yang dilancarkan oleh Kyai Tapa Suci
lima belas tahun yang lalu saat kami bertempur di puncak Semeru, hanya bisa
disembuhkan oleh air yang telah direndam oleh Cincin Naga Sastra.
Pertarungan yang terjadi antara aku dengan
Kyai Tapa Suci berlangsung selama satu bulan penuh. Dan akhirnya kami sama-sama
kuat dan menderita luka dalam. Luka yang kuderita begitu pahit sekali. Tetapi Kyai Tanpa
Suci pun terkena ajian Sambar Nyawa milikku.
Saat itu Wilada Tista adalah murid tunggalnya.
Dan sebelum Kyai Tapa Suci tewas dia memberi-
kan Cincin Naga Sastra pada Wilada Tista. Cincin Naga Sastra itulah yang bisa
menyembuhkan ini.
Untunglah saat itu aku dapat melarikan diri da-
ri kejaran Wilada Tista, bila tidak aku tentu sudah mati!
Hingga akhirnya aku bertemu denganmu dan
kau kuangkat murid. Dengan maksud agar kau
dapat mencari Cincin Naga Sastra untuk mengoba-
ti luka dalam dan penyakit yang kuderita selama bertahun-tahun ini.
Bahkan bila kau tidak kuberitahukan bagaima-
na cara menyerang Wilada Tista, belum tentu kau dapat membunuhnya!"
"Dan sekarang kau kembali tanpa membawa
Cincin Naga Sastra! Keterlaluan!" si Kakek tua
yang bergelar Dewa Nyawa Maut menggeram ma-
rah pada si Pamungkas atau yang dipanggilnya
Topeng Biru. Si Pamungkas menjura.
"Aku sudah mencarinya, guru. Bahkan keluarganya pun kubantai karena tak seorang
pun yang memberitahukan padaku dimana Cincin Naga Sa-
stra itu berada. Bahkan tidak hanya sampai di sa-na, sahabat kental Wilada Tista
yang berada di de-sa Bojong Sawo pun kubantai!"
"Bodoh! Murid macam apa kau ini, Topeng Bi-ru" Hanya mencari Cincin Naga Sastra
itu saja kau tidak dapat"!"
Mendadak di balik topeng biru itu, seraut wajah menjadi sengit. Dan rasa
hormatnya perlahan-lahan menghilang karena kesal dimaki bodoh.
Si Pamungkas memang dapat mengetahui akan
kesaktian gurunya, namun saat ini gurunya se-
dang sakit. Tadi pun gurunya tidak terlihat oleh pandangan mata padahal dia
tengah terbaring di
batu panjang itu. Gurunya sudah mengeluarkan
ajian Pembuta Mata. Satu-satunya ajian yang ti-
dak diturunkan padanya. Telah lama si Pamung-
kas sebenarnya ingin memiliki ajian yang aneh dan hebat itu. Namun berulang kali
gurunya menolak.
Dan kini dia telah berubah menjadi benci kare-
na dimaki bodoh.
"Maafkan aku, Guru...."
"Kau benar-benar bodoh, Topeng Biru! Kau tak ubahnya seperti seekor keledai yang
bodoh! Cepat kau cari sampai dapat Cincin Naga Sastra itu! Aku sudah bosan harus
terbaring disini terus mene-
rus!" Si Pamungkas kembali menjura.
"Baik, Guru... semua titah Guru akan aku lak-sanakan...." kata si Pamungkas lalu
berbalik. Namun tiba-tiba saja dia berbalik kembali dan
menghantam tubuh gurunya yang terbaring den-
gan ajian Sambar Nyawa.
Dewa Nyawa Maut tak menyangka akan hal itu.
Maka tanpa ampun lagi ajian Sambar Nyawa yang
telah diturunkan kepada Si Pamungkas, menghan-
tam dirinya! "BUK!"
Sungguh kuat tubuh Dewa Nyawa Maut. Meski-
pun dia tengah sakit, namun ajian Sambar Nyawa
tidak langsung membuat tubuhnya hangus.
Sepasang mata tuanya berkilat-kilat marah me-
natap si Pamungkas yang tersenyum mirip iblis.
"Kau... kau... murid durhaka...."
Senyum itu semakin lebar, mengerikan.
"Mampuslah kau orang tua cerewet! Aku sudah bosan berada di bawah kekuasaanmu!
Hhh! Kau sudah tidak berguna lagi sekarang!"
"Murid laknat... kukutuk kau... Ma-matiku ti-tidak tenang... sebelum kau... kau
mampus...."
"Hahaha... lebih baik kau memang mampus sa-ja, Tua Bangka! Dan kau akan
saksikan, kalau seluruh rimba persilatan akan membuka matanya
padaku! Dan akulah yang akan menguasai seluruh
rimba persilatan ini... ha ha ha...."
"Murid celaka..."
Tiba-tiba tawa itu terhenti. Sepasang mata di
balik topeng biru itu melotot.
"Apa kau bilang"!"
"Kau... kau murid celaka... hidupmu tidak akan tenang... mati pun kau akan
penasaran...."
"Bangsat tua! Kau masih bisa membacot ru-
panya!" geram si Pamungkas dan menghantam
kembali tubuh yang sudah sekarat dengan ajian
Sambar Nyawa. Dan kali ini orang tua itu pun melayang. Tu-
buhnya hangus seketika dan meledak!
Bau sangit kembali menguar, menusuk hidung.
Si Pamungkas terbahak, puas dia melihat hasil
kerjanya sendiri.
"Lebih baik kau mampus saja, Orang sekarat!
Daripada hidupmu menyusahkan aku! Aku tidak
akan perduli lagi dengan Cincin Naga Sastra bera-da di mana! Persetan dengan
semua itu! Aku tidak memerlukannya! Hahaha... yang kuperlukan, aku
akan menjadi jago nomor satu di dunia persila-
tan.... hahaha.. tak seorang pun yang dapat men-galahkanku!"
Tawa manusia berpakaian dan bertopeng biru
itu membahana, menggema di dalam goa.
Keras. Amat keras. Saking keras. Saking kerasnya tawa itu, dinding-dinding goa
pun berguguran. Obor yang terdapat di beberapa
tempat dalam goa itu padam seketika.
Lalu sosok si Pamungkas pun berkelebat keluar
dari dalam goa sebelum goa itu ambruk dan me-
nimbulkan suara bergemuruh. Dan merupakan
kuburan abadi bagi si Dewa Nyawa Maut!
Si Pamungkas begitu puas menyaksikan goa
yang telah berubah menjadi tumpukan batu.
Lalu terdengar tawanya yang keras.
Menggema di seluruh Bukit Alas Waru.
"Hahaha.. sebentar lagi aku akan menguasai rimba persilatan ini! Dan akan
kubunuh siapa pun orangnya yang berani menentang sepak terjangku!" serunya
keras. Lalu kepalanya berpaling pada goa yang kini telah menjadi tumpukan batu
itu. "Hhh! Jadilah itu kuburanmu yang abadi, Orang Tua Cerewet!"
Lalu tubuh itu pun melesat berlari menuruni
bukit. Sama cepatnya ketika sosok tubuh itu me-


Pendekar Bayangan Sukma 19 Munculnya Si Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

naiki Bukit Alas Waru!
Dan teror yang dilancarkan oleh manusia berto-
peng biru itu semakin menjadi-jadi. Sepak terjangnya begitu mengenaskan. Dan
tidak tanggung-
tanggung menurunkan tangan.
Bahkan kekejamannya tidak hanya sampai di
sana saja. Dia juga menculik beberapa anak perawan. Lalu
diperkosanya dengan buas. Si Pamungkas rupanya
memang ditakdirkan untuk menjadi manusia ke-
jam dan buas. Anak perawan yang telah diperkosanya itu dis-
ayat-sayat wajahnya dengan kejam hingga terluka mengerikan. Bahkan ada yang
sebelah matanya
dicongkel hidup-hidup.
Entah dendam apa yang menyebabkan manusia
kejam itu berbuat seperti itu. Namun perbuatan-
nya memang sudah keterlaluan.
Para jago-jago dari golongan putih yang tidak
menyukai sepak terjang si Pamungkas pun ber-
munculan. Namun usaha mereka untuk menghen-
tikan sepak terjang manusia bertopeng biru itu
hanyalah sia-sia belaka.
Karena mereka harus mampus dengan tubuh
yang terluka mengerikan akibat ajian Sambar
Nyawa. Ilmu yang dimiliki oleh si Pamungkas, warisan
dari Dewa Nyawa Maut memang begitu hebat.
Membuatnya menjadi pongah. Bahkan sekarang
setiap kali dia habis membunuh korbannya, dia
selalu melemparkan secarik kain berwarna biru,
yang menandakan itu hasil perbuatannya
Ini membuat orang-orang dari golongan putih
begitu marah. Berbondong-bondong mereka mencari si Pa-
mungkas. Namun hasilnya tetap sama.
Mereka hanya mengantarkan nyawa dengan
percuma! *** 7 Pagi itu udara cerah. Angin semilir Awan-awan
putih di langit berarak lembut. Langit pun cerah kebiruan. Matahari baru saja
sepenggalah. Satu sosok tubuh yang nampak tertatih-tatih
berjalan memasuki desa Glagah Jajar. Wajah
orang itu betapa buruknya, malah terkesan men-
gerikan. Dia adalah Mandali Sewu.
Sebenarnya Mandali Sewu adalah penduduk as-
li desa Glagah Jajar. Dia ditinggal mati oleh ayah dan ibunya ketika dia berusia
lima tahun. Pada masa itu. Wilada Tista pun mempunyai putra yang berusia lima
tahun di samping putri sulungnya
yang berusia sembilan tahun.
Oleh Wilada Tista Mandali Sewu diangkat seba-
gai anak. Tetapi sudah lazimnya seorang anak
angkat, anak-anak kandung Wilada Tista tidak
pernah menyukainya.
Mereka selalu membuat Mandali Sewu menan-
gis. Namun dasar anak itu kuat mentalnya, selalu saja ejekan, makian atau pun
tamparan yang dilakukan anak-anak Juragan Wilada Tista hanya di-
terimanya dengan lapang dada. Dia tidak pernah
menangis lagi. Apalagi ketika Mandali Sewu berusia dua belas tahun.
Dia tak pernah bersikap cengeng lagi. Sebenar-
nya Wilada Tista amat mengasihi anak itu. Tetapi dia pernah marah besar ketika
suatu saat Mandali Sewu menghajar putra bungsunya karena tidak
tahan dipukuli.
Mandali Sewu ditampar hingga pingsan oleh Wi-
lada Tista. Namun akhirnya Wilada Tista menjadi menyesal
sendiri. Dia pun meminta maaf pada bocah itu.
Yang membuatnya kuatir, ternyata putra bung-
su Wilada Tista mendendam pada Mandali Sewu.
Di suatu malam, anak itu memasuki kamar Man-
dali Sewu, dan mengguyur wajah Mandali Sewu
dengan air keras.
Lolongan bocah itu keras amat menyayat hati.
Wajahnya yang cukup tampan pun rusak akibat
guyuran air keras itu. Wilada Tista tidak mau
orang-orang desa mengetahui perbuatan jahat pu-
tranya. Lalu dia menyuruh beberapa pengawalnya
untuk membuang Mandali Sewu.
Sementara ketika para penduduk bertanya di
mana Mandali Sewu, Wilada Tista selalu menja-
wab, "Ada sepasang suami istri kaya yang tidak mempunyai anak mengambilnya
sebagai anak."
Dan nama Mandali Sewu pun perlahan-lahan
menghilang dari benak orang-orang desa
Kini mereka terkejut ketika melihat satu sosok
tubuh dengan wajah yang begitu buruk mengeri-
kan memasuki desa mereka
Orang-orang yang bertemu dengan manusia bu-
ruk itu, ada yang langsung menyingkir karena menyangka dedemit yang datang. Ada
yang menge- rutkan keningnya. Ada yang bergidik.
Bahkan ada yang tidak tanggung lagi berucap,
"Huh! Buruk sekali wajahnya!"
"Siapa sih dia?"
"Dari mana asalnya?"
"Jangan-jangan., dia dedemit yang sedang me-nyamar untuk mengganggu ketenangan
kita!" Suara-suara pun ramai terdengar. Tetapi Man-
dali Sewu terus melangkah. Tujuannya adalah ru-
mah Ki Lurah Sentot Prawira. Dia berharap Ki Lurah masih mengenalinya
Namun sambutan dari istri Ki Lurah Sentot
Prawira amat mengenaskan hatinya ketika sosok
tubuh itu berdiri membukakan pintu.
"Oh!" Wajah Nyai Lurah kelihatan pias. Dan matanya mengerjap-ngerjap ketakutan.
"Si-siapa kau"
Setan mana yang datang" Dan kau., kau mau
apa"!"
Dikatakan setan, Mandali Sewu mencoba terse-
nyum. Namun karena wajahnya yang begitu buruk
senyum seperti menyeringai. Malah lebih mena-
kutkan. Membuat wajah Nyai Lurah semakin pias keta-
kutan. Ingin rasanya dia menutup pintu kembali.
Namun tatapan orang berwajah buruk itu seolah
menahannya. "Saya, Nyai Lurah...."
"Saya., saya siapa?"
"Nyai Lurah... memang, tak seorang pun yang mengenal saya... Usia saya kini
sudah dua puluh empat tahun, Nyai Lurah masih ingatkah Nyai Lurah ketika Juragan
Wilada Tista mengangkat seo-
rang anak yatim piatu?"
Nyai Lurah mengerjap-ngerjap lagi dan kepa-
lanya mengangguk angguk cepat.
"Iya, iya., aku ingat., tapi., tapi apa hubungan-nya denganmu?"
"Nyai Lurah., akulah Mandali Sewu., bocah yang diangkat anak oleh Juragan Wilada
Tista..." "Oh! Tapi... tapi.."
"Aku tahu maksud Nyai Lurah. Wajahku, bu-
kan" Mengapa wajahku menjadi buruk seperti
ini?" "Oh, bukan... eh, iya, iya., mengapa, bukankah kau memiliki wajah yang cukup
bagus?" Mandali Sewu terdiam. Dia jadi teringat peristi-wa dua belas tahun yang lalu.
Peristiwa yang amat mengenaskan dan membuatnya sakit-hati.
Sebelum dia bercerita, muncul seorang laki-laki setengah baya dari dalam Dia
langsung bertanya
pada wanita yang masih berdiri di ambang pintu.
"Ada tamu, Nyai?"
Nyai Lurah menoleh. Yang datang itu suaminya,
Ki Lurah Sentot Prawira.
"Iya, Ki..."
"Siapa?" tanya Ki Lurah sambil melongok keluar. Dia kelihatan terkejut melihat
sosok tubuh dengan wajah yang mengerikan di hadapannya.
Tetapi Ki Lurah mencoba untuk tersenyum.
Dalam hati dia bergumam, wajah itu mirip iblis
sekali. Mandali Sewu pun menganggukkan kepalanya
"Saya, Ki..."
"Siapa?"
"Mandali Sewu, Ki.. bocah yang diangkat sebagai anak oleh Juragan Wilada Tista"
"Oh, Tuhan... rupanya kau, Mandali! Ayo, ayo masuk!" sambut Ki Lurah ceria.
Lalu Mandali Sewu pun duduk di hadapannya.
Istri Ki Lurah menyediakan kopi dan singkong rebus. Setelah mencicipinya Ki
Lurah bertanya "Mandali.. ke mana saja kau selama ini" Dan., ah, maaf., mengapa wajahmu menjadi
demikian rusak?" Mandali Sewu tercenung. Lalu dia pun menceri-
takan kejadian yang sesungguhnya yang telah me-
nimpanya Ki Lurah Sentot Prawira mendesah panjang.
"Kami tidak pernah menyangka kalau kejadian seperti itu yang menimpamu,
Mandali.. Sungguh
kami tidak pernah menyangka. Karena selama ini
kami begitu percaya pada Juragan Wilada Tista,
dan kami pun percaya ketika dia mengatakan ada
sepasang suami istri kaya mengambilmu sebagai
anak mereka..."
"Itu bohong belaka, Ki..., Saya di buang di sebuah hutan dekat sebuah bukit. Ah,
sudahlah., kejadian itu sudah lama sekali. O ya, Ki.. sebenarnya saya pun ingin datang
menjenguk ayah dan
ibu angkat saya. Bagaimana keadaan mereka, Ki"
Mereka sehat-sehat saja?"
Kali ini terlihat wajah Ki Lurah tercenung. Begi-tu pula dengan Nyai Lurah.
"Kenapa Ki" Nyai" Apakah saya tidak pantas untuk datang menjenguk. Tidak, saya
tidak meng-harapkan kembali diangkat sebagai anak. Tidak,
Ki. Saya hanya ingin menjenguk mereka. Biar ba-
gaimana pun selama tujuh tahun merekalah yang
merawat dan mengasihi saya. Ki..."
Terdengar helaan nafas panjang dari Ki Lurah
Sentot Prawira. Lalu perlahan-lahan dia menatap wajah buruk yang sepertinya
sedang menunggu
jawabannya. "Maafkan aku, Mandali.."
"Hei, hei.. ada apa, Ki" Ada apa?"
"Orang tua angkatmu dan saudara-saudara
angkatmu telah mati mengerikan karena dibunuh
orang..." "Ya, Tuhan! Kapan" Kapan itu terjadi, Ki" Mengapa mereka dibunuh orang"!"
"Tenang, Mandali.. tenanglah..." kata Ki Lurah yang melihat Mandali Sewu menjadi
kalap. Pemuda yang berwajah buruk itu pun menghela
nafas panjang. Mencoba untuk menenangkan ha-
tinya. Lalu ditatapnya Ki Lurah dalam-dalam.
"Ceritakanlah, Ki.. mengapa mereka sampai dibunuh orang" Dan siapa yang membunuh
mereka, Ki?" Dengan perlahan dan kuatir mengejutkan Man-
dali Sewu kembali, Ki Lurah Sentot Prawira pun
menceritakan kejadian mengenaskan itu dua bu-
lan yang lalu. "Jadi sampai sekarang pembunuhnya belum
tertangkap?"
"Belum Dan orang-orang memanggil si pembu-
nuh itu dengan sebutan si Pamungkas..."
"Si Pamungkas"! Oh!"
"Kau tahu siapa dia, Mandali?" tanya Ki Lurah yang melihat Mandali Sewu
terkejut. "Tidak, Ki... tetapi, si Pamungkas itu pun telah membuat teror di desa Bojong
Sawo. Bukankah dia mengenakan pakaian dan bertopeng biru, Ki?"
"Ya."
"Rupanya manusia kejam itu yang membunuh
keluarga angkatku."
"Tidak hanya mereka saja, Mandali. Juga orang-orang rimba persilatan yang
mencoba menghalangi perbuatannya pun tewas dibunuh oleh si Pamungkas. Kekejaman
manusia itu sudah mencapai se-
tinggi langit dan sedalam lautan!"
"Apakah kesaktiannya begitu tinggi, Ki?"
"Ya. Mengingat tak seorang pun dari rimba persilatan yang mampu untuk
membunuhnya! Jan-
gankan untuk membunuh, menangkapnya saja
mereka tidak sanggup"!"
"Oh, Tuhan., dengan maksud apa manusia ke-
jam itu menebarkan terornya?"
"Tak seorang pun yang tahu maksudnya mene-
barkan teror kejam seperti itu. Namun yang men-
jadi desas-desus sekarang ini, adalah tentang Cincin Naga Sastra yang dimiliki
oleh Juragan Wilada Tista."
"Cincin Naga Sastra?"
"Ya."
"Ada apa dengan cincin itu, Ki" Apakah itu sebuah cincin sakti?"
"Aku sendiri pun tidak tahu. Ada seorang Kyai tua yang bernama Kyai Paksi
Brahma, sepuluh ha-ri yang lalu datang ke desa ini. Dia bermaksud ingin
menjumpai Juragan Wilada Tista. Ternyata secara diam-diam ayah angkatmu itu
murid seorang sakti yang bernama Kyai Tapa Suci. Menurut Kyai Paksi Brahma, kedatangannya
mencari Juragan
Wilada Tista untuk mengambil Cincin Naga Sa-
stra..." "Siapa sebenarnya Kyai Paksi Brahma itu, Ki?"
"Dia mengaku adik seperguruan dari Kyai Tapa Suci"
"Dan bagaimana dengan cincin itu" Apakah dia mendapatkannya dari tangan ayah
angkatku?"
"Tidak. Tidak seorang pun yang tahu apakah Juragan Wilada Tista benar-benar
memiliki Cincin Naga Sastra. Karena hanya dia sendiri yang tahu.
Tetapi manusia itu telah mati sekarang."
"Berarti cincin itu tidak ditemukan?"


Pendekar Bayangan Sukma 19 Munculnya Si Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak. Kyai Paksi Brahma pun tidak bisa ber-
buat apa-apa karena Juragan Wilada Tista dan seluruh keluarganya telah tewas."
"Sebenarnya., semacam cincin apakah Cincin Naga Sastra itu, Ki?"
"Entahlah... aku sendiri tidak tahu."
"Apakah Kyai Paksi Brahma tidak memberita-
hu?" "Dia memang memberitahu. Cincin itu dapat
menyembuhkan segala macam penyakit Bila cincin
itu direndam di air, lalu air itu diminum, segala macam penyakit akan dapat
disembuhkan. Yang
membuat dia kuatir, bila Cincin Naga Sastra dimiliki oleh orang jahat."
"Kenapa?"
"Karena bila setiap malam Jumat cincin itu direndam dalam air dan airnya
diminum, maka orang yang meminumnya akan kebal oleh segala
macam penyakit, racun dan pukulan sakti macam
apapun." "Bukan main! Sungguh hebat sekali khasiat cincin itu, Ki."
"Benar. Itulah yang menguatirkan Kyai Paksi Brahma bila cincin sakti itu jatuh
ke tangan orang jahat dan digunakan untuk kejahatan."
"Lalu... apakah Ki Lurah tahu di mana cincin itu berada?"
"Aku tidak tahu."
"Bagaimana dengan Kyai Paksi Brahma" Apa-
kah dia tidak tahu juga di mana cincin itu bera-da?"
"Ya."
"Ah, sayang sekali bila cincin itu jatuh ke tan-
gan orang jahat."
"Kau benar, Mandali. Itu pun yang amat menguatirkan Kyai Paksi Brahma" kata Ki
Lurah Sentot Prawira yang juga menguatirkan kalau cincin sakti itu jatuh ke
tangan orang jahat. Lalu ditatapnya kembali Mandali Sewu, "Mandali.. apakah kau
akan menetap di sini?"
"Tidak, Ki."
"Mengapa?"
"Kedatanganku ke sini hanyalah untuk menjenguk orang tua angkatku. Tetapi mereka
sudah meninggal. Untuk apa lagi aku berada di sini?"
"Kau bisa tinggal di rumahku, Mandali..." kata Ki Lurah.
Nyai Lurah pun berkata menyambung kata-kata
suaminya, "Benar, Mandali.. tinggallah bersama kami. Rumah ini akan jadi rumahmu
juga. Bukan begitu, Ki?"
"Benar kata-kata istriku ini, Mandali. Rumah ini akan menjadi rumahmu. Kau bisa
tinggal di sini
bersama kami. Dan kau pun tahu bukan., kalau
kami selama ini tidak mempunyai anak?" mengucapkan kata-kata terakhir, Mandali
Sewu dapat melihat kalau wajah Ki Lurah Sentot Prawira menjadi murung.
Juga wajah istrinya. Di wajah wanita itu tersirat rasa kekecewaan yang begitu
mendalam. Dia sepertinya tidak sempurna menjadi seorang istri.
Mandali menatap wajah kedua orang tua itu
yang tiba-tiba menjadi murung.
"Maafkan aku, Ki.. Nyai.. Bukan aku menolak untuk menerima kebaikanmu.. Tetapi
aku tidak ingin kalian dihina oleh warga desa yang tadi meli-hatku seperti melihat setan
karena wajahku yang begini buruk., jadi., terima kasih banyak atas kebaikan
kalian berdua..."
Ki Lurah tersenyum
"Ah, sudahlah... Itu terserah padamu, Mandali.
Tetapi bila kau tiba-tiba mempunyai keinginan untuk tinggal di sini, kami akan
menerimanya den-
gan senang hati. Dengan semua kerelaan yang ada di hati kami.."
"Terima kasih, Ki.. kata-kata Ki Lurah akan kuingat selama-lamanya..."
"Jadi kau hendak pergi sekarang?"
"Benar, Ki."
"Kamu tinggal dimana Mandali?"
"Di sebuah hutan kecil yang sangat jauh dari sini, Ki."
"Tidakkah kau ingin melihat-lihat suasana desa ini dan bermalam di sini dulu?"
"Sebenarnya keinginan itu ada, Ki. Tapi aku tidak mau kedatanganku ke sini,
malah membuat orang-orang desa takut dan menaruh curiga."
"Kau jangan menghiraukan mereka, Mandali,"
kata Nyai Lurah.
"Memang tidak, Nyai. Tapi sudahlah., aku harus pergi sekarang.. O iya, Ki....
dimana Kyai Paksi Brahma tinggal sekarang?"
"Di ujung jalan desa ini. Penginapan milik si tua Kerto Wongso."
"Terima kasih, Ki..." Lalu Mandali Sewu pun bangkit dari duduknya. Disalami dan
diciuminya tangan kedua orang tua itu dengan penuh khid-
mat. Lalu dia pun pergi meninggalkan rumah itu.
Air mata Nyai Lurah menitik perlahan-lahan
membasahi pipinya. Meskipun Mandali Sewu telah
berwajah buruk akibat perlakuan almarhum putra
dari Juragan Wilada Tista yang telah tewas mengerikan di tangan si Pamungkas,
bagi Nyai Lurah dia adalah Mandali Sewu, bocah yang baik hati dan
berwajah tampan dulu.
Ki Lurah dapat memaklumi perasaan istrinya
yang telah lama merindukan seorang anak. Namun
agaknya Yang Maha Kuasa belum mengizinkan pu-
tra bagi mereka yang dapat menghidupkan suasa-
na gembira dalam keluarga.
"Sudahlah, Nyai., biarkan Mandali pergi..."
"Tapi, Ki..." Nyai Lurah tersendat. Mengingsut air matanya.
"Aku dapat mengerti perasaanmu, Nyai."
"Aku telah lama merindukan seorang anak, Ki.
Biarpun wajahnya buruk seperti. Mandali Sewu,
aku akan rela membesarkannya..."
"Begitu pula dengan aku, Nyai. Ya... agaknya Gusti Allah belum memberikan apa
yang kita inginkan. Sudahlah, Nyai., kau perlu ingat, sebagai umat manusia kita
hanya bisa berusaha, dan Gusti Allah jualah yang menentukan segalanya. Su-
dahlah, Nyai., biarkan Mandali Sewu mengambil
langkahnya sendiri. Ah... dia bukan anak kita,
Nyai.. Dia pun bukan anak kandung dari Juragan
Wilada Tista almarhum. Dia hanyalah anak ang-
katnya, Nyai..."
Nyai Lurah mengusap lagi air matanya. Kepedi-
han akan kerinduan pada seorang anak semakin
menjadi-jadi. "Aku mengerti akan semuanya, Ki.." desisnya sambil tersenyum
Ki Lurah Sentot Prawira tersenyum. Merangkul
bahu istrinya. Dan kasih sayangnya semakin bertambah pada
wanita yang telah menemaninya hidup selama 35
tahun. "Kita masuk, Nyai..."
Nyai Lurah cuma menganggukkan kepalanya
saja, lalu mengikuti langkah suaminya masuk ke
rumahnya *** 8 Malam telah larut. Udara berhembus dingin. Di
langit mega-mega telah berubah menjadi hitam,
bertanda sebentar lagi hujan akan turun.
Mungkin deras dan membasahi semua yang ada
di muka bumi. Ada kalanya pula hujan membawa
berkah dan rahmat, namun ada kalanya pula hu-
jan membawa bencana.
Di penginapan Kerto Wongso suasana pun agak
sepi. Beberapa penjaga penginapan itu mera-
patkan pakaiannya untuk mengusir angin dingin
yang menembus hingga ke tulang sumsum
Di salah sebuah kamar dalam penginapan itu,
Kyai Paksi Brahma tercenung di tepi jendela ka-
marnya Hatinya risau memikirkan tentang Cincin
Naga Sastra milik kakak seperguruannya men-
diang Kyai Tapa Suci.
Cincin Naga Sastra adalah sebuah cincin sakti
yang bisa membuat orang yang memilikinya men-
jadi tahan penyakit, tahan segala macam pukulan sakti macam mana pun. Yang
dikuatirkan oleh
Kyai Paksi Brahma, bila cincin itu jatuh ke tangan orang jahat dan
menggunakannya untuk kejahatan.
Kyai Paksi Brahma mendesah panjang. Tata-
pannya panjang menembus kepekatan malam Dia
seorang kakek yang berusia 65 tahun. Dengan pa-
kaian berwarna putih. Dan di pinggangnya terikat sebuah angkin merah. Wajahnya
sudah cukup tua, dengan janggut yang putih dan rambut yang
putih pula yang diikat berbentuk kucir.
"Maafkan aku, Kakang Tapa Suci..." desahnya pada angin, karena tidak ada siapa-
siapa di sana. Hanya dia seorang yang masih menatap kepekatan
malam. "Sebelum kau bertempur mati-matian
dengan Dewa Nyawa Maut, sebenarnya kau hen-
dak memberikan Cincin Naga Sastra warisan
Eyang Jagaladara padaku. Tapi ah... sayang saat itu aku tidak ada di tempat.,
hingga kau memberikan cincin itu pada Wilada Tista murid tunggal-
mu..." Kembali Kyai Paksi Brahma mendesah panjang.
Tiba-tiba kedua telinganya menegang. Kakek
tua itu menangkap suara bergerak di atap.
"Hmm.. siapakah orang iseng yang hendak bermain-main denganku ini..." desisnya
dalam hati. Pendengaran kakek tua itu ternyata begitu ber-
fungsinya hingga suara yang mencurigakan di atap bisa didengarnya.
"Hmm.. lebih baik aku lihat saja siapa cecunguk ini!" desisnya. Lalu dia
melompat jendela tanpa bersuara. Dan dengan sekali empos tubuhnya sudah berada
di atap. Pendatang yang bergerak amat pelan itu terke-
jut melihat sosok tubuh berpakaian putih itu tengah berdiri di hadapannya
Kyai Paksi Brahma terbahak.
"Hahaha... rupanya kau yang nekat muncul di hadapanku, Pamungkas!"
Orang yang ternyata si Pamungkas mendengus.
"Hhh! Rupanya nama besar Kyai Paksi Brahma bukan omong kosong belaka!"
"Ada apa kau malam-malam begini menyatroni ketenanganku, Pamungkas"!"
"Hhh! Jangan berlagak pilon, Paksi Brahma!
Aku datang untuk meminta Cincin Naga Sastra!"
"Hahaha.. tak kusangka orang kejam macam
kau ini menghendaki cincin sakti itu pula! Biarpun aku tahu di mana cincin itu
berada tetap tak akan pernah kuberitahukan pada orang macam kau,
Pamungkas!"
"Jangan jual lagak di depanku, Paksi! Cepat berikan cincin itu padaku!"
"Hahaha.. bagaimana bila tidak" Apakah kau akan menurunkan tangan telengasmu
padaku" Pamungkas... kekejamanmu telah lama terdengar
dan menjadi ajang pembicaraan orang-orang rimba persilatan, baik dari golongan
putih maupun dari golongan hitam! Dan ketahuilah., malam ini agak-
nya akulah orang yang akan menghentikan sepak
terjang kekejamanmu, Pamungkas!"
"Hhh! Banyak omong kau, Paksi! Kata-katamu itu membuat tanganku gatal untuk
membunuh-mu!"
"Majulah Pamungkas... kemunculanmu telah
membuatku ganti bertanya. Menurut kabar, kau-
lah yang membunuh Wilada Tista murid tunggal
kakak seperguruanku secara licik! Hhh... aku jadi mencurigaimu, Pamungkas! Satu
pikiran ada di benakku! Kau pasti hendak mencari Cincin Naga
Sastra dari tangannya! Dan hanya satu orang yang tahu tentang Cincin itu.
Juragan Wilada Tista! Da-ri semua kejadian yang ada kau tahu pula sebe-
narnya Wilada Tista murid dari Kyai Tapa Suci.
Dan kecurigaanku, kau adalah murid dari Dewa
Nyawa Maut yang bertempur habis-habisan den-
gan kakak seperguruanku! Entah di mana si Dewa
Nyawa Maut itu berada sekarang!"
Si Pamungkas terbahak. Wajah di balik topeng
biru itu agak terkejut mendengar kata-kata Kyai Paksi Brahma. Rupanya orang tua
itu cepat tang-gap dengan semua kejadian yang ada. Dari rasa
terkejut itu berubah menjadi kegeraman.
"Paksi Brahma... dugaanmu tak meleset sedikit pun! Aku memang murid tunggal dari
si Dewa Nyawa Maut yang ditugaskan olehnya untuk men-
cari Cincin Naga Sastra! Namun sayang, aku su-
dah bosan diperintah oleh si Tua sekarat itu. Dan yang perlu kau ketahui, si Tua
itu sudah mampus di tanganku!"
"Hhh! Kau murid laknat Pamungkas! Kau tak
ubahnya seperti iblis!"
"Hahaha.. ya, ya... aku memang iblis! Dan iblis itu akan merenggut nyawamu
sekarang juga! Se-rahkan Cincin Naga Sastra padaku cepat!"
"Kau pun menjual lagak di depanku! Aku yakin, Cincin Naga Sastra telah berada di
tanganmu! Kau yang harus menyerahkannya kepadaku!"
"Bangsat! Aku bosan bermain kata-kata seperti ini, Paksi! Tahan serangan!" seru
si Pamungkas dan tubuhnya sudah menyerbu menyerang dengan
cepat. Kyai Paksi Brahma yang sudah menyangka
akan hal itu pun berkelit menerima serangan cepat yang dilancarkan si Pamungkas.
Dan di atap penginapan itu, dua tokoh sakti pun bertarung den-
gan hebatnya. Cepat. Dahsyat. Dan mematikan! Keduanya saling memperlihatkan kehebatan
dan kelincahan mereka. Keduanya pun saling be-
rambisi untuk menjatuhkan.
Si Pamungkas sendiri sudah mengeluarkan pu-
kulan Patuk Bangaunya yang dapat menghancur-
kan sebuah batu sebesar domba jantan.
Kelincahan si Pamungkas amat trampil dan he-
bat. Namun Kyai Paksi Brahma pun mengimban-
ginya dengan tak kalah cepatnya. Dia pun menge-
luarkan jurus Pukulan Penebas Nyawa.
"Hahaha.. rupanya kau punya kelebihan juga, Paksi!" terbahak si Pamungkas
padahal dia begitu kaget melihat Kyai Paksi Brahma dapat mengim-
banginya "Tak lama lagi kau akan mampus di tanganku, Pamungkas!" seru Kyai Paksi Brahma
sambil terus mencecar.
"Jangan sesumbar dulu! Hhh... aku jadi ingin merasakan kehebatan pukulan saktimu
itu, Paksi!" kata si Pamungkas, kemudian dia bersalto ke belakang dan begitu
hinggap dia merapal ajian Seribu Bobot Besi.
Lalu tawanya pun meledak.
Kyai Paksi Brahma terkejut melihat sikap si


Pendekar Bayangan Sukma 19 Munculnya Si Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pamungkas yang mendadak terdiam di tempatnya
sambil tertawa "Hmm... punya rencana busuk apa lagi manusia durjana ini?" desisnya dalam hati.
"Hei.. mengapa kau hanya terdiam saja, Paksi!
Ayo, seranglah aku bila kau benar-benar merasa
kuat dengan pukulan saktimu itu!" seru si Pamungkas sambil terbahak.
"Hhh! Kau tak akan pernah luput dari tangan-ku, Pamungkas!" seru Kyai Paksi
Brahma sambil menyerang dengan pukulan mautnya. Pukulan
Penebas Nyawa. Si Pamungkas hanya terbahak saja. Dan dia te-
tap tak bergeming dari tempatnya.
Tubuh Kyai Paksi Brahma melesat dengan pu-
kulan lurus. "Des!"
Pukulan saktinya itu pun tepat mengenai dada
si Pamungkas. Namun sungguh luar biasanya,
Pukulan Penebas Nyawa milik Kyai Paksi Brahma
tidak berakibat apa-apa bagi si Pamungkas. Pa-
dahal itu adalah pukulan sakti yang dimilikinya.
"Hahaha.. rupanya pukulan semacam itu yang kau perlihatkan kepadaku, paksi!"
"Manusia keparat! Rupanya kau benar-benar
murid dari Dewa Nyawa Maut yang memiliki ajian
Seribu Bobot Besi!" geram Kyai Paksi Brahma.
"Hhh! Rupanya kau jeri dengan ajian yang kumiliki ini, bukan"!"
"Jangan gembira dulu! Kau rasakan ajianku
yang satu ini ajian Pemunah Rasa!"
"Hahaha.. keluarkan semua ilmu yang kau miliki, Paksi Brahma!"
Menggeram marah dan panas hati Kyai Paksi
Brahma. Lalu sambil menjerit hebat kembali dia
menyerang si Pamungkas. Kali ini dengan ajian
Pemunah Rasa. Namun ajian itu pun tak membawa banyak aki-
bat pada si Pamungkas. Tubuh yang telah dialiri oleh ajian Seribu Bobot Besi itu
tak bergeming sedikit pun.
Merahlah wajah Kyai Paksi Brahma
"Hahaha mengapa kau diam saja Paksi" Kau takut dengan ajian yang kumiliki ini"!"
"Hhh! Aku akan mengadu jiwa denganmu, Pa-
mungkas!" "Hahaha.. majulah biar kumusnahkan kau!" se-ru si Pamungkas sambil merapal ajian
Sambar Nyawanya. Dan tiba-tiba saja tangannya perlahan-lahan berubah kemerahan, lalu
menjadi semerah
darah. "Ajian Sambar Nyawa!"
"Agaknya kau cukup mengenal semua ilmu
yang dimiliki oleh guruku, si Dewa Nyawa Maut,
Paksi Brahma!"
"Tetapi jangan kau mengira aku takut dengan semua yang dimiliki oleh gurumu itu,
Pamungkas!"
"Hahaha.. aku ingin tahu sampai di mana kebenaran ucapanmu itu, Paksi Brahma!"
Lalu si Pamungkas pun menyerbu dengan ajian
Sambar Nyawanya yang hebat dan cepat Kyai Pak-
si Brahma sudah mengetahui akan kehebatan il-
mu itu. Maka dia pun tak berani untuk berbentur tan-
gan. Atau pun berbenturan bagian tubuhnya yang
lain. Dengan sebisanya dia menghindari serangan-
serangan yang dilancarkan oleh si Pamungkas.
Dan berkali-kali dia pun mencoba membalas.
Namun semua serangan balasannya hanya sia-
sia belaka karena tak satu pun yang bisa membuat si Pamungkas jatuh. Jangankan
untuk jatuh bergeming sajak tidak. Karena ajian Seribu Bobot Besi yang dialiri
ke suruh tubuhnya telah membuatnya kebal dengan semua ajian yang dimiliki oleh
Kyai Paksi Brahma
Dan suara ribut yang terjadi karena pertarun-
gan keduanya membangunkan beberapa orang
termasuk pemilik rumah itu, Kerto Wongso.
"Hei, bukankah itu tamuku"!" desisnya.
"Benar! Dan yang bertarung dengannya bukannya si Pamungkas" Orang yang
berpakaian dan bertopeng biru"!"
"Benar, itu si Pamungkas!"
"Bunuh dia!"
"Tangkap!"
"Ganyang!"
Seruan-seruan itu pun terdengar keras. Dan
beberapa orang yang hadir pun segera mengambil
senjata-senjata milik mereka dan langsung me-
lemparkannya kepada si Pamungkas.
Melihat hal itu, konsentrasi si Pamungkas ter-
hadap Kyai Paksi Brahma terpecah. Dia menjadi
geram. Dengan jengkel dia menangkis beberapa senjata
yang datang ke arahnya dan senjata-senjata itu
melayang kembali kepada para pemiliknya.
Jeritan kesakitan pun terdengar.
Beberapa tubuh pun ambruk dan darah ber-
simbah. Hal itu membuat mereka menjadi geram.
Berlompatan mereka berusaha untuk naik ke atap, namun semua perlawanan mereka
pun sia-sia belaka.
Karena mereka pun harus mati dengan cara
yang mengenaskan.
Bahkan beberapa di antaranya pun tewas ter-
kena pukulan Sambar Nyawa yang dilemparkan si
Pamungkas dengan geram
Dan tubuh-tubuh itu pun hangus, lalu meledak.
Di antara orang-orang yang berdatangan itu
pun di antaranya berdiri Ki Lurah Sentot Prawira.
Yang menjadi geram dengan kemunculan si Pa-
mungkas. "Hhh! Kau rupanya manusia laknat! Telah lama kami menunggu kedatanganmu ke sini!
Kau harus membayar nyawa terhadap orang-orang yang kau
bunuh! Dan para perawan yang kau perkosa lalu
kau bunuh secara kejam!"
"Diam kau, Manusia tua! Lebih baik kau pulang saja sebelum kucabut nyawamu!"
"Kami akan mengadu nyawa denganmu. Manu-
sia Keparat!"
Tetapi si Pamungkas cuma tertawa saja. Tiba-
tiba dia bersalto di belakang dan hinggap di tanah.
"Hahaha.. bila kalian penasaran ingin menangkap dan membunuhku, datanglah ke
bukit Alas Waru malam ini juga! Kyai Paksi Brahma... kau
pun harus ikut serta dan kucabut nyawamu nan-
ti!" Lalu tubuh itu pun melesat cepat menerobos kepekatan malam. Dan orang-orang
yang marah itu pun berlarian mengejar termasuk Kyai Paksi
Brahma, yang begitu dendam sekali!
*** 9 Bukit Alas Waru tengah malam. Bulan di langit
renta, sepotong dan semakin hari semakin menua.
Bukit Alas Waru tetap menyeramkan.
Pohon-pohon yang tumbuh di sana seakan pa-
sukan setan yang tengah menunggu mangsa. Ter-
lalu mengerikan.
Namun sosok tubuh berpakaian biru dan berto-
peng biru itu terus berkelebat ke atas.
Tanpa memperdulikan semua keseraman yang
ada. Tubuhnya begitu lincah, ringan dan seolah-
olah kedua kakinya tidak menapak pada tanah.
Ketika tiba di atas, dia menjadi terkejut karena melihat sosok tubuh berdiri
tegar dengan wajah
yang welas asih dan senyum yang arif bijaksana.
Sosok itu mengenakan jubah berwarna putih yang
terkibar dihembuskan angin malam
Si Pamungkas menghentikan langkahnya.
Memperhatikan sosok tubuh yang berjubah putih
itu. Tiba-tiba dia terbahak setelah mengenali.
"Hahaha... rupanya Pendekar Bayangan Sukma yang telah hadir di tempatku ini"!"
Sosok yang ternyata Madewa Gumilang itu
mengembangkan senyum
"Bukankah kau yang mengundangku untuk
bertamu ke Bukit Alas Waru ini, Pamungkas?"
"Hahaha.. kunjunganmu telah membuat hatiku senang... Madewa.. agaknya Gusti
Allah menakdir-kan kau untuk mati di Bukit Alas Waru ini..."
"Hahaha... sudah lama aku mendengar sepak
terjangmu yang telengas. Ah, agaknya kau sudah
amat dipengaruhi iblis, Pamungkas!"
"Persetan dengan ucapanmu, Madewa! Aku su-
dah lama ingin memusnahkanmu dari muka bu-
mi!" "Sadarlah, Pamungkas..." kata Madewa yang berada di sana sejak dua jam yang
lalu. Setelah diberitahukan oleh para muridnya mengenai kematian
tiga orang tamunya dari desa Glagah Jajar, dia
pun langsung mendatangi Bukit Alas Waru seperti yang diberitahukan oleh para
muridnya. Dan Madewa melarang para muridnya untuk ikut serta.
Dan kini dia tengah berhadapan dengan si Pa-
mungkas. "Persetan dengan kata-katamu, Madewa!" geram si Pamungkas sambil menyerang
dengan ajian Sambar Nyawa-nya
Madewa dapat menduga kalau ajian itu begitu
ganas karena hawa panas yang ditimbulkan setiap kali tangan itu tergerak begitu
menyengat. Dia pun menghindarinya dengan jurus Ular Meloloskan Di-ri. Serangan-
serangan yang dilancarkan oleh si
Pamungkas luput pada sasarannya. Hal ini mem-
buat si Pamungkas semakin geram.
"Jangan bisamu hanya menghindar saja Made-
wa! Balaslah bila kau mampu!"
"Pamungkas, sayang sekali ilmu yang kau miliki ini kau gunakan untuk kejahatan!"
"Jangan berkhotbah di depanku, Madewa! Ba-
laslah aku bila kau mampu!"
Perlahan-lahan Madewa pun menghentikan
menghindarnya. Dia pun berpikir untuk segera
membalas semua serangan si Pamungkas.
"Baiklah, Pamungkas.... bila itu maumu!" desis Madewa sambil menyerang dengan
Pukulan Tem-bok Menghalau Badai. Namun Madewa menjadi
terkejut karena begitu tangannya menghantam ba-
gian tubuh si Pamungkas, dia merasakan tangan-
nya ngilu. "Hahaha... jangan terkejut, Madewa! Inilah ajian Seribu Bobot Besi yang
kumiliki!"
Madewa pun mencoba kembali, namun lagi-lagi
hal yang sama diterimanya. Bahkan kini Si Pa-
mungkas pun kembali, melancarkan serangan-
serangannya lagi.
Tiba-tiba terdengar suara ramai bergemuruh.
Orang-orang yang mengejar si Pamungkas telah ti-ba di Bukit Alas Waru. Di antara
mereka termasuk Kyai Paksi Brahma dan Ki Lurah Sentot Prawira.
Orang-orang itu pun segera mengurung si Pa-
mungkas. Namun mereka harus tewas tersambar
ajian Sambar Nyawa yang dimiliki manusia kejam
itu. "Bangsat! Kau harus membayar semua nyawa
yang kau cabut, Pamungkas!" geram Ki Lurah Sentot Prawira sambil menyerang
dengan goloknya.
Serangan itu pun sia-sia belaka. Begitu pula
yang dialami oleh Kyai Paksi Brahma yang juga
menyerangkan pukulannya.
Namun satu keanehan terjadi, si Pamungkas ti-
dak menurunkan tangan telengas pada Ki Lurah
Sentot Prawira meskipun ada kesempatan. Ki Lu-
rah saja terkejut karena si Pamungkas seperti sengaja menghentikan serangannya.
Tetapi dia tidak perduli, dia terus menyerang.
Namun lagi-lagi si Pamungkas menghentikan se-
rangannya pada Ki Lurah.
Lain halnya dengan Kyai Paksi Brahma. Si Pa-
mungkas malah berusaha untuk membunuhnya
dengan ajian Sambar Nyawa.
Madewa sendiri yang menyaksikan hal itu men-
jadi heran. Namun kegeramannya sudah sampai
puncaknya ketika menyaksikan kekejaman yang
dilakukan si Pamungkas.
"Pamungkas... kita bertarung sampai mati!"
dengusnya. "Majulah Madewa!"
Madewa pun menyadari akan kehebatan ajian
Sambar Nyawa dan ajian Seribu Bobot Besi yang
dimiliki si Pamungkas.
Perlahan-lahan dia pun menghentikan gerakan-
nya. Dan kedua tangannya terangkum di dada. La-
lu mengembang ke kiri dan ke kanan. Saat terangkum tadi mengepul asap berwarna
putih. Itulah pukulan andalan yang dimiliki Madewa, warisan
dari gurunya Ki Rengsersari atau Pendekar Ular
Sakti. "Pukulan Bayangan Sukma!" seru Kyai Paksi Brahma. Dan seketika dia dapat menduga
siapa laki-laki berjubah putih itu. "Kaukah yang bernama Madewa Gumilang alias
Pendekar Bayangan
Sukma?" "Ya, akulah orangnya, Kyai Paksi Brahma..."
"Salam kenal dariku, Pendekar Budiman..."
"Menyingkirlah Kyai dari sini. Dan Kau Ki Lurah, kau pun harus menyingkir..."
"Madewa! Tunggu apa lagi kau"!" bentak si Pamungkas yang tadi mendengar pukulan
apa yang tengah dilancarkan oleh Madewa Gumilang. "Aku ingin mengetahui sampai di mana
kehebatan Pukulan Bayangan Sukma yang kau miliki, Madewa!"
"Terpaksa ini kulakukan, Pamungkas!"
"Kau masih banyak omong saja! Kau membo-
sankan!" terdengar bentakan si Pamungkas lalu menyerbu ke arah Madewa Gumilang
dengan ajian Sambar Nyawa dan ajian Seribu Bobot Besi yang
dipadukan. Madewa pun segera menyongsong.
Yang menyaksikan bergidik ngeri.
Dan ketika kedua pukulan itu berbenturan, bu-


Pendekar Bayangan Sukma 19 Munculnya Si Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kit yang mereka pijak seolah bergoyang.
"DUAAARRR!"
Batu-batu pun berguguran. Debu berterbangan
tebal. Dari debu itu terpental dua sosok tubuh ke be-
lakang. Madewa merasakan dadanya sesak. Dan
sungguh luar biasa yang dialami si Pamungkas.
Meskipun dia terhuyung, tetapi dia bisa menjaga keseimbangannya dan berdiri
tegak kembali. "Hahaha.. rupanya hanya begitu saja kehebatan Pukulan Bayangan Sukma yang kau
miliki, Madewa!" terbahak si Pamungkas.
Namun mendadak tubuhnya limbung. Dia me-
megangi dadanya yang terasa sakit. Dan semakin
lama tubuhnya semakin limbung. Yang memper-
hatikan menjadi keheranan. Dan tubuh itu pun
ambruk dengan jeritan yang keras.
Orang-orang segera mendekatinya.
Dan melihat orang kejam itu tengah sekarat. Ki
Lurah Sentot Prawira yang merasa heran karena si Pamungkas seperti enggan untuk
menurunkan tangan telengas padanya, cepat menarik topeng bi-ru yang menutupi wajah manusia
kejam itu. "Breeet!"
Dan pekikannya terdengar ketika melihat wajah
di balik topeng biru itu. Wajah yang amat buruk mengerikan. Wajah Mandali Sewu!
"Mandali!" seru Ki Lurah. Begitu pula dengan yang hadir di sana. Mereka pun
terkejut melihat Mandali Sewu di balik topeng biru itu. "Mandali..
mengapa., mengapa kau lakukan semua ini..."
Sepasang tangan Mandali Sewu Menggapai Ki
Lurah. Wajahnya meringis menahan sakit.
"Maafkan aku, Ki..." sendatnya
"Semua ini kulakukan., karena aku mendendam pada Juragan Wilada Tista dan
keluarganya..."
sendatnya "Kebetulan guruku menugaskanku untuk men-
cari Cincin Naga Sastra..." sendatnya.
"Lalu kubunuh manusia itu... kubunuh semuanya.. biar dendamku tuntas...."
sendatnya. "Maafkan aku, Ki..." sendatnya. Lalu kepala itu pun terkulai selama-lamanya.
Orang-orang mendesah. Begitu pula dengan
Madewa Gumilang. Cincin Naga Sastra" Cincin
apa itu" desahnya dalam hati.
Sedangkan Kyai Paksi Brahma hanya terdiam.
Dia belum tahu di mana Cincin sakti itu berada
Sementara Ki Lurah Sentot Prawira menangis
tersedu-sedu karena tidak menyangka siapa di balik topeng biru itu.
Bagaimana dengan cincin sakti yang hebat itu"
Anda semua akan mengetahui jawabannya pada
cerita TIGA KESATRIA BERTOPENG
SELESAI Scan by Clickers
Juru Edit: Fujidenkikagawa
PDF: Abu Keisel
Document Outline
*** *** 3 *** *** 4 *** 5 *** 6 *** 7 *** 8 *** 9 SELESAI Renjana Pendekar 1 Pedang Kayu Cendana Karya Gan K H Bentrok Rimba Persilatan 2
^