Pencarian

Kilatan Pedang Merapi Dahana 1

Walet Emas 01 Kilatan Pedang Merapi Dahana Bagian 1


KILATAN PEDANG http://cerita-silat.mywapblog.com Daftar Judul Cersil Bag 11 :601 Wiro Sableng
- Siluman Teluk Gonggo602 Wiro Sableng - Cincin Warisan Setan603 Wiro Sableng -
Penculik Mayat Hutan Roban604 Wiro Sableng - Cinta Orang-orang Gagah605 Wiro
Sableng - Iblis Iblis Kota Hantu606 Wiro Sableng - Khianat Seorang Pendekar607
Wiro Sableng - Petaka Gundik Jelita608 Wiro Sableng - Bencana Di Kuto Gede609
Wiro Sableng - Dosa-dosa Tak Berampun610 Wiro Sableng - Pangeran Matahari dari
PuncakMerapi611 Wiro Sableng - Bajingan dari Susukan612 Wiro Sableng - Panglima
Buronan613 Wiro Sableng - Munculnya Sinto Gendeng614 Wiro Sableng - Telaga Emas
Berdarah615 Wiro Sableng - Dewi Dalam Pasungan616 Pendekar Mabuk - Perawan
Titisan Peri617 Pendekar Mabuk - Dendam Selir Malam618 Pendekar Mabuk - Setan
Rawa Bangkai619 Pendekar Mabuk - Misteri Malaikat Palsu620 Pendekar Mabuk -
Pemburu Darah Satria621 Pendekar Mabuk - Geger Di Selat Bantai622 Pendekar Mabuk
- Ratu Cendana Sutera623 Pendekar Mabuk - Kitab Lorong Zaman624 Pendekar Mabuk -
Telur Mata Setan625 Pendekar Mabuk - Pisau Tanduk Hantu626 Pendekar Mabuk -
Asmara Berdarah Biru627 Pendekar Mabuk - Keranda Hitam628 Pendekar Mabuk -
Manusia Pemusnah Raga629 Pendekar Mabuk - Sabuk Gempur Jagat630 Pendekar Mabuk -
Gundik Sakti631 Wiro Sableng - Maut Bermata Satu632 Wiro Sableng - Iblis
Berjanggut Biru633 Wiro Sableng - Kelelawar Hantu634 Wiro Sableng - Setan Dari
Luar jagat635 Wiro Sableng - Malaikat Maut Berambut Salju636 Wiro Sableng -
Badai di Parangtritis637 Wiro Sableng - Dewi Lembah Bangkai638 Wiro Sableng -
Topeng Buat Wiro Sableng639 Wiro Sableng - Manusia Halilintar640 Wiro Sableng -
Serikat Setan Merah641 Wiro Sableng - Pembalasan Ratu Laut Utara642 Wiro Sableng
- Memburu Si Penjagal Mayat643 Pendekar Mabuk - Titisan Dewa Pelebur Teluh644
Pendekar Mabuk - Kipas Dewi Murka645 Pendekar Mabuk - Pembantai Raksasa646
Pendekar Mabuk - Misteri Bayangan Ungu647 Pendekar Mabuk - Siasat Dewi
Kasmaran648 Pendekar Mabuk - Bencana Selaput Iblis649 Pendekar Mabuk - Ratu
Maksiat650 Pendekar Mabuk - Asmara Janda Liar651 Pendekar Mabuk - Gadis
Buronan652 Dewa Arak - Iblis Berkabung653 Dewa Arak - Panggilan Ke Alam Roh654
Dewa Arak - Penjara Langit655 Dewa Arak - Sengketa Guci Pusaka656 Dewa Arak -
Pembalasan Dari Liang Lahat657 Dewa Arak - Iblis Buta658 Dewa Arak - Misteri
Gadis Gila659 Dewa Arak - Nyawa Kedua dari Langit660 Dewa Arak - Golok Kilat
MERAPI DAHANA Oleh : Teguh Santosa
Diterbitkan Pertama Kali Oleh:
Penerbit BINTANG USAHA JAYA -
SURABAYA Cetakan Pertama 1991
Lukisan Cover oleh: TEGUH SANTOSA
Dilarang mengutip tanpa seizin
penulis Hak Cipta Dilindungi
Undang-Undang ALL RIGHTS RESERVED
Apabila ada nama dan tempat
kejadian ataupun cerita yang
bersamaan, cerita ini adalah fiktif.
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Tubuh sintal yang dibalik kemben
kuning itu menarik berpasang-pasang mata, begitu dia memasuki warung yang
merangkap sebagai penginapan. Terutama mata para lelaki yang bertampang
urakan dengan cambang dan rambut tak terurus. Dan wanita berkemben kuning itu
tanpa memperdulikan keadaan
sekelilingnya terus mengambil tempat duduk di meja pojok sendiri. Di sana serba
lesehan di atas tikar. Bungkusan dan bilah pedangnya diletakkan di
sampingnya. "Wharagadah!
Tiba-tiba saja kantukku jadi sirna. Siapa sangka ada bidadari jelita sudi mampir di tempat
ini?" Suara ini meluncur dari mulut laki-laki bergigi tongos. Kemudian dia
beranjak dari tempatnya, dan melangkah menuju wanita itu.
"Apa tidak salah masuk " Atau....
mungkin butuh teman bercanda di sini
?" Si wanita tetap diam. Melirik pun
tidak. Pandangannya tetap tertuju
kepada pemilik warung
yang siap melayani. "Coba beri saya secangkir tuak, pak!" terdengar suara si wanita.
"Hwahahahahahaha.....kalian
dengar, kawan " Gendhuk ayu ini
memesan tuak. Bukan main. Ini baru betina sungguhan... hahahahaha...!!"
laki-laki bergigi tongos itu meledek sambil mencoba menjamah dagu si
wanita. Tetapi sebelum tangan itu
berhasil menyentuh sasaran, tiba-tiba tubuhnya meliuk ke belakang karena sabetan
tangan si wanita.
Bruaakk!! Tubuh laki-laki itu mencelat
melanda meja yang dikelilingi teman-temannya. Dengan sikap blingsatan dia
mencoba berdiri, walau agak
sempoyongan. Umpatannya meledak.
"Hhuuh!! Galak juga kau rupanya.
Jangan kira aku kapok. Ini membuat birahiku menggelegak, cah ayu! Aku suka
sikapmu itu!" katanya sambil memasang kuda-kuda. Seperti yang telah
diperhitungkan, lelaki ini terus
menerjang ke muka.
Tetapi si wanita cukup waspada.
Dengan tetap duduk di tempatnya,
tangannya berhasil membabat lambung perut lawannya yang nyaris menerkam buah
dadanya. Si lelaki mengaduh. Kali ini darah muncrat dari mulutnya.
Begitu mendadak. Ini menunjukkan
serangan si wanita dikerahkan secara prima. Kemudian lelaki itu roboh.
Melihat keadaan ini teman-temannya terperangah. Mereka bergerak membentuk pagar
betis. "Hm. Apakah kalian manusia kebiri
yang cuma berani main keroyok " Aku bisa meladeni kalian. Tetapi aku tak mau
menanggung biaya kerusakan tempat ini," tukas si wanita yang perangainya mulai
ketus. "Jangan cari alasan! Seharusnya sejak tadi kami hati-hati dengan
kehadiranmu di sini," kata salah seorang di antara para lelaki yang berperut
buncit. "Sebut namamu sebelum kau menyesal memasuki tempat ini!"
"Mengancam" Itu cuma gertakan macan ompong!" ledek si wanita sambil membuang
senyum kecut. Dan detik selanjutnya, tak ada
yang tahu siapa yang memulai menerjang ke.muka di antara lelaki itu. Yang jelas
mereka bergerak serentak. Dan serentak pula tubuh mereka saling
bertebaran ke belakang dan
terjerembab. Itu bukan serangan fatal dari si wanita. Terbukti lawan-lawannya
cepat bangkit dari tempatnya.
Kali ini golok mereka diandalkan untuk menghadapi si wanita yang dinilai
memang bukan wanita sembarangan,
walaupun penampilannya benar seorang pendekar.
Dua orang maju serentak. Golok
mereka berkelebat mencari sasaran.
Tetapi dengan gesit si wanita melesat dari tempatnya sambil mengirim pukulan ke
punggung lawan. Mereka terjerembab melanda meja.
Kemudian yang lain menyusul
menyerang. Kali ini dengan gerak
pengepungan yang ketat. Tetapi lagi-lagi si wanita masih di atas angin.
Unggul. Dengan gebrakan pukulan yang sulit ditangkis, tiga laki-laki itu
terjerembab di lantai dengan aduhan yang tersendat. sebab mereka terus pingsan.
Enam laki-laki telah tersungkur
karena sepak terjang wanita itu. Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan
tanda kekaguman.
Si wanita menoleh. Dengan
pandangan ketus dia mengawasi
datangnya suara tepuk tangan itu.
"Kalau bukan Walet Emas, tak
mungkin bisa bertindak seperti itu".
kata yang bertindak tepuk tangan.
"Ah, kau bisa menyebut nama Walet Emas, bagaimanabisa tahu ?" ucap si wanita.
"Wanita berkemben kuning dengan ciri penampilanmu, telah menjadi buah bibir para
pendekar di kaki gunung Merapi ini. Kau tahu, namamu menjadi terkenal karena
telah membunuh Gagak Lodra, tokoh hitam yang sering bikin onar di desa Awu-awu
Langit. Tetapi mungkin satu hal yang tak kau ketahui, bahwa ada kabar slentingan
Gagak Lodra tidak mati," kata laki-laki berpakaian rapi itu.
"Kata-katamu meluncur seperti air
pancuran dengan nada serba tahu. Siapa kau sebenarnya ?" ujar si wanita yang
telah dibuktikan dengan nama gelar Walet Emas.
"Aku tidak gembagus, sok tampan, tetapi orang tuaku memberi nama Bagus Tulada."
"Bagus Tulada"!"
"Ya! Apakah nama ini berarti
bagimu?" "Tidak!"
"Hmm!"
"Ada apa bilang Hmm?"
"Sekedar meyakinkan saja.
Tampaknya kau pura-pura tidak pernah mendengar namaku."
"Jangan sok ! Aku memang tak
pernah mendengar namamu," kata Walet Emas sambil menikmati hidangan
pesanannya. Sementara itu kelompok laki-laki urakan yang telah dikalahkan mulai
sadar dari pingsannya. Mereka satu persatu bangkit dengan gerakan perlahan agar
tidak menarik perhatian Walet Emas.
"Apakah mereka anak buahmu ?"
tanya Walet Emas sambil melirik orang-orang yang mulai hengkang keluar dari
warung itu. "Jangan menghina. Aku tak punya anak buah macam mereka," jawab Bagus Tulada
berusaha menyemarakkan suasana menjadi ramah. "Bagaimana kalau kita rayakan
pertemuan ini ?"
Walet Emas meladeni. Kemudian
keduanya duduk lesehan semeja. Tuak yang dihidangkan diteguk dengan tandas oleh
Walet Emas. Bagus Tulada
mengawasi dengan cermat tenggorokan wanita ini yang meneguk tuak tanpa ragu-
ragu. "Itu minuman kegemaranmu?" tanya Bagus Tulada.
"Untuk obat."
"Obat?" Bagus Tulada ingin meyakinkan, pasti ini ada hubungannya dengan
keracunan. Sebab ada jenis
racun ganas yang bisa ditawarkan
dengan minuman tuak. Apakah kau
keracunan " Maaf kalau aku lancang menduga, sebab tidak biasanya seorang wanita
menegak tuak seperti itu."
"Pengamatanmu jeli. Aku memang keracunan. Kini aku yakin dengan
dugaanku barusan, kau pasti murid Ki Sembur Adas, tabib kesohor itu,"
sambung si Walet Emas sambil menyeka mulutnya berbibir menggemaskan,
mangar-mangar bagai tomat yang ranum.
"Kalau boleh aku tahu, kau
mengidap racun dari siapa" Memang
kulihat kau agak pucat"
"Dua hari yang lalu aku bentrok dengan
Sawung Cemani. Kau pernah
dengar nama itu?" kata Walet Emas merasakan reaksi tuak yang baru
diminumnya. Sikap itu tak luput dari perhatian Bagus Tulada. Dirasakan ada
sesuatu yang tak beres, cepat
tangannya mencengkal pergelangan
tangan Walet Emas.
"Tahan nafasmu sejenak," Bagus Tulada memberi saran. "Seharusnya kau makan nasi
sebelum minum tuak itu.
Tentunya kerongkonganmu sampai perutmu terasa panas."
Bagus Tulada meraba jakun
tenggorokan Walet Emas. Jari-jarinya memijit dengan lembut. Anehnya, Walet Emas
pasrah saja dengan tindakan itu.
Beberapa orang di warung itu melihat dengan penuh perhatian. Kemudian
tangan Bagus Tulada merayap ke dada, yang kemudian meraba perut. Semua
gerakan mengandung pijitan lembut, tetapi terisi tenaga dalam.
"Nah, agak mendingan bukan "!"
kata Bagus Tulada dengan melepaskan pijitannya.
Walet Emas menelan ludah. Dia
menghela napas lega. Ada perasaan nyaman terlukis di wajahnya setelah pijitan
yang dilakukan oleh Bagus
Tulada. "Terima kasih. Berapa aku harus membayarmu?" tanya Walet Emas.
Bagus Tulada ketawa sambil
menjangkau makanan di meja.
"Mengapa setiap pertolongan harus kau nilai dengan imbalan uang?"
"Bukankah tabib adalah
pekerjaanmu?"
"Sekedar keterampilan saja. Dan aku bukan tabib."
"Kalau begitu, apa yang mesti kulakukan untuk imbalan pengobatanmu?"
"Bersahabat saja. Imbalannya
persahabatan. Kau keberatan ?" tanya Bagus Tulada.
"Itu tidak terlalu berat kurasa.
Tetapi.....ini tak berarti kita harus selalu bersama, bukan ?"
"Enghhng.... kukira tidak. Yang penting kita telah saling berkenalan dengan
dasar saling menghormati,"
jawab Bagus Tulada sambil melempar senyum.
Tetapi sebelum suasana penuh
persahabatan itu terjalin lewat
pembicaraan lebih lanjut, mendadak terdengar hiruk-pikuk di ambang pintu luar.
Di sana terlihat sekelompok
manusia muncul dengan sikap brangasan.
Di anta-ranya terlihat laki-laki yang pernah digampar oleh Walet Emas.
"Tuh dia orangnya," kata laki-laki bergigi tongos.
Seorang tokoh di antara kelompok
orang-orang itu tampil ke depan.
Perawakannya tegap dengan bulu dada sengaja dipamerkan sebagai lambang
kejantanan. "Kudengar ada orang yang pamer keperkasaan di sini" katanya sambil menatap tajam
ke arah Walet Emas dan Bagus Tulada.
"Kalau yang kau maksud karena laporan si tongos itu, maka persoalan yang kau
dengar keliru. Dia dan kawan-kawannya punya tindak tidak sopan
terhadap teman wanitaku ini," tukas Bagus Tulada.
"He, anak muda. Aku berbicara tidak tertuju kepadamu. Tetapi kepada wanita
berkemben kuning itu. Atau....
kau lebih berkuasa dari dia dalam mengatasi masalah ini?" kata laki-laki kekar
itu. "Persoalannya adalah persoalanku juga. Terutama yang ada hubungannya dengan
kekurang-ajaran yang telah
dilakukan oleh si tongos dan teman temannya."
"Aku bapak buahnya, tahu... " Dan aku paling tak suka kalau ada orang yang pamer
ketangkasan di desa ini.
Kalau kalian pernah dengar nama
Branjang Geni, itulah aku!" ungkap laki-laki tegap itu.
"Ini Walet Emas, dan aku Bagus Tulada!"


Walet Emas 01 Kilatan Pedang Merapi Dahana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus! Bagus! Kalian telah
mengenalkan diri. Jadi aku tak usah repot-repot menjelaskan siapa nama orang
yang bakal jadi mayat oleh
tanganku."
"Ini namanya kekerasan berantai.
Semula cecungkuk macam si tongos itu yang bikin ulah, kemudian kau muncul untuk
bertindak. Kalau kau nanti
runtuh juga oleh sepak terjang kami, siapa lagi yang bakal muncul ?" tukas Bagus
Tulada. Walet Emas tetap
membisu. Tetapi dia telah menyiapkan diri untuk menghadapi tindakan
sewaktu-waktu yang mungkin ada pihak pembokong di antara orang-orang itu selagi
pembicaraan berlangsung.
"Aku adalah aku. Tak ada atasan lagi. Disini ucapanku merupakan undang undang."
"Ampuh benar ucapanmu. Nah, kita coba saja, apakah ucapanmu masih
merupakan undang-undang di desa ini ?"
terdengar suara Walet Emas.
"Gendhuk tengil! Eman-eman kalau kulitmu yang mulus itu terpaksa harus lecet
oleh gebrakan pukulanku.
Pantasnya cuma untuk dielus di
ranjang!" sahut Branjang Geni. Kata-kata ini mendapat sambutan hiruk-pikuk anak
buahnya yang ketawa dengan nada urakan.
Dan suara tawa itu tiba-tiba
menjelma menjadi suara aduhan ketika Walet Emas menyiramkan tuak di guci yang
sejak tadi terhidang di
hadapannya. Siraman tuak dengan
hempasan tenaga dalam itu menyayat muka mereka seperti sabetan pisau.
Beberapa orang kulit wajahnya melepuh bagai tersiram air panas. Sedangkan
Branjang Geni yang cukup tangkas
berhasil mengelak dengan menggenjot
tubuhnya melambung ke atas.
Dia luput dari siraman tuak.
Tetapi bukan berarti lepas dari
bahaya, sebab Bagus Tulada segera
menghajarnya dengan lemparan cawan berisi makanan. Cawan melesat ke
arahnya. Tetapi memang Branjang Geni punya
embel-embel nama pendekar, sehingga serangan Bagus Tulada dapat dielakkan pula.
Cawan melesat membobol dinding warung. Begitu tubuh Branjang Geni turun, dia
mendapat serangan pukulan Walet Emas yang menerjang ke muka.
Di sini keduanya lalu terlibat
perang tanding menggunakan tangan
kosong. Di sisi lain Bagus Tulada
meladeni serangan anak buah Branjang Geni yang berhamburan mengroyoknya.
Warung menjadi ajang pertarungan.
Isinya berantakan. Dinding-dindingnya jebol terlanda tubuh anak buah
Branjang Geni yang mencelat akibat tendangan Bagus Tulada.
Pada suatu kesempatan, karena
keteter serangan Walet Emas, maka
Branjang Geni melesat ke luar.
Gerakannya membobol jende-la sehingga jeruji kayunya berantakan. Walet Emas
memburu. Dengan gerakan bergulir di udara agar lawan tidak dapat menyerang
ketika dia menerjang ke luar, Walet Emas masih memiliki pertahanan untuk
membabat ke arah lawan.
Branjang Geni melihat gerakan
Walet Emas terpana sejenak. Dia tidak menyangka kalau lawan terus memburu
secepat itu sebelum dia sempat
mengatur pertahanannya. Bagaimana juga Branjang Geni terpaksa menggenjot
tubuhnya dan bergulir ke atas ketika sabetan kaki Walet Emas menyapu ke arah
tubuhnya. Serangan ini luput.
Tetapi ketika tubuh Branjang Geni
melorot ke bawah maka kaki Walet Emas yang sebelah telah menjegalnya. Tubuh
Branjang Geni oleng. Kesempatan ini dipergunakan Walet Emas menerjangkan pukulan
tangan dengan gerak burung Walet menyapu air, sehingga berhasil mengena ke arah
sasaran. Tepat ke arah dada Branjang Geni. Kontan darah segar muncrat dari
mulut! Branjang Geni mencoba menguasai
dirinya dengan mengeluarkan golok dari sarungnya. Dengan pandangan beringas
terus menerjang ke arah lawan. Walet Emas menggenjotkan tubuh ke atas
ketika sabetan golok bertubi-tubi
membabat ke arahnya. Tubuhnya limbung berputar di udara, dan ketika melorot ke
bawah kakinya mengunjam ke tengkuk lawannya.
Branjang Geni menggeliat. Tetapi
cepat menguasai keadaan dengan memutar tubuh menghadapi lawan. Di sini
sebelum sempurna mengatur serangan yang akan dilakukan, gerakan tangan
Walet Emas meliuk manis menyambar
lambungnya. Anehnya Branjang Geni
tampak mampu bertahan. Tetapi terlihat bahwa dia menahan kesakitan yang amat
sangat. Lalu goloknya dipermainkan untuk menggoyahkan perhatian lawan sambil
bergerak ke depan. Untuk
beberpa saat Walet Emas tak bisa
mengatasi serangan ini. Sulit mencari peluang untuk mengimbangi serangan.
Dia hanya berkelit ke kanan kiri.
Merasa lawannya tak akan mampu lagi menghadapi serangannya, maka Branjang Geni
melakukan serangan total.
Ditebaskan goloknya dengan perhitungan mampu mencegah gerakan lawan sehingga
terjebak di ujung senjatanya.
Sayang, perhitungannya keliru.
Walet Emas tidak bergerak ke arah yang diduga, tetapi merobohkan tubuhnya dan
mengirimkan pukulan telak ke arah
bawah pusar sehingga lawannya
menggeliat kehilangan keseimbangan.
Hal ini diisi lagi dengan pukulan
berikutnya ke arah tangan yang
menggenggam golok sehingga senjata tersebut mencelat.
Senjata tersebut meluncur ke
tanah dengan hulu senjata di bawah.
Begitu menyentuh tanah, maka tubuh Branjang Geni menimpanya. Akibatnya ujung
golok tersebut mengunjam
menembus punggungnya, langsung merobek jantung. Aduhan meledak. Tubuh
Branjang Geni menggelepar sesaat
sebelum akhirnya diam direnggut ajal.
Sementara itu Bagus Tulada yang
meladeni beberapa orang anak buah
Branjang Geni berhasil pula mengakhiri pertarungannya. Beberapa orang
melarikan diri, yang lain pingsan, dan beberapa orang lagi mati konyol.
"Bukan salah kita kalau hari ini Sang Yamadipati, Dewa
Maut, akan dibuat sibuk di akherat mencatat nama-nama mereka," kata Bagus Tulada sambil
mengawasi tubuh Branjang Geni yang mati di tangan Walet Emas.
"Kupikir aku harus meninggalkan desa ini sebelum senja," sela Walet Emas sambil
berlalu ke dalam warung untuk mengambil bungkusannya.
"Kau hendak ke mana ?" Teguran Bagus Tulada tak memperoleh jawaban.
Matanya mengekor langkah wanita itu.
Sekilas berhasil menangkap bentuk kaki Walet Emas yang berbetis indah dengan
lekuk lembah di tungkai kakinya.
Bentuk kaki yang sempurna sesuai
dengan penilaian keindahan tubuh
wanita. Sulit dipercaya bahwa pemilik kaki tersebut harus bergumul dengan
kebengisan dunia persilatan.
Lama Bagus Tulada menunggu
kemunculan Walet Emas. Ketika tidak muncul juga sampai pada batas
kesabaran menunggu, dia menyusul ke dalam.
Tidak terlihat Walet Emas di
sana. Kemudian dihampirinya pemilik warung yang sibuk membenahi kerusakan
warungnya. "Pak, wanita berkemben kuning tadi ke mana?"
"Telah pergi, den, lewat pintu belakang," jawab laki-laki tua itu.
"Baru kali ini saya memperoleh ganti rugi karena tempat ini sering menjadi ajang
keonaran para pendekar. Lihat, den, wanita itu telah memberi saya sejumlah uang
sebagai pengganti
kerusakan tempat ini. Kalau bukan
orang kaya, tak mungkin dia memberi ganti rugi. Tapi... yhah, untuk
memberi ganti rugi, saya kira belum tentu orang kaya. Dia pasti orang yang punya
tanggung jawab, dandermawan,"
kata pemilik tempat itu dengan
menimang nimang sekantung kecil uang pemberian Walet Emas.
Bagus Tulada mengawasi kantung
berisi uang di tangan pemilik warung.
"Maaf, pak. Coba saya lihat
kantung itu," pintanya. Dia
memperhatikan dengan seksama ketika kantung itu diperlihatkan.
"Hm. Ya! Terima kasih, pak!" kata Bagus Tulada terus berlalu dari sana.
Di luar, dia menghampiri kuda
tunggangannya yang sejak tadi
ditambatkan di penitipan kuda. Seorang bocah dengan berambut kuncung
menjaganya dengan setia. Setelah
memberi upah penunggu kepada bocah itu, Bagus Tulada cepat memacu kudanya untuk
memburu jejak Walet Emas.
Senja kian temaram, menelan
kecerahan sang surya.
* * * 2 Lidah api di tumpukan ranting-
ranting yang menghangatkan keadaan sekelilingnya, dicoba diperbesar oleh
jangkauan tangan yang berselimut kain batik. Sekilas wajah terlihat di sana.
Wajah Walet Emas, yang kini sibuk
menghangatkan diri lewat perdiangan api yang disusun dari ranting-ranting kayu
yang banyak bertebaran di sana.
Walet Emas di tempat itu
sendirian. Itu yang terjadi sekarang, setelah meninggalkan warung tanpa
pamit lagi kepada Bagus Tulada. Dia memang sengaja menjauhi Bagus Tulada yang
telah mengikrar diri sebagai
sahabat. Dia tak ingin keberadaannya jadi terbebani karena kehadiran orang lain.
Sejak semula memang dia ingin sendirian untuk menyelesaikan masalah pribadinya.
Dia berhasil menghindar dari Bagus Tulada dengan ilmu larinya
"Walet Menembus Awan" sehingga sampai
di tempat yang sulit dijangkau
kendaraan apapun.
Nyala api itu dipandangnya dalam-
dalam. Pada keheningan malam di mana terlihat nyala api, pikirannya selalu
tergugah pada peristiwa masa lampau, sekitar tiga tahun yang lalu.
Suara hiruk pikuk menjagakan
dirinya dari tidur malam itu. Bau asap menusuk hidung. Serta merta dia keluar
dari kamar, bertepatan dengan
peristiwa robohnya tubuh ibunya yang terbabat sambaran golok dari seorang laki-
laki kekar bercambang lebat. Di bagian sana ayahnya sedang terlibat baku hantam
dengan beberapa orang yang mengeroyoknya. Ayahnya dengan gigih berjuang dan
semakin kalap ketika
mengetahui ibunya menjadi korban dalam kekacauan itu. Kemudian sang ayah
berhasil mengatasi keadaan yang
mengancam jiwanya, di mana para
pengeroyok satu persatu tewas oleh babatan goloknya. Disusul serangan dari laki-
laki yang telah membunuh ibunya yang kini berhadapan dengan sang ayah.
"Wibhangga! Rupanya kau memilih mampus dari pada menyerahkan buku itu
?" seru laki-laki bertubuh kekar kepada ayahnya.
"Cara apa pun yang kau lakukan, kau tak akan memperoleh barang yang kau cari,
Cakraganta! Aku rela
keluargaku musnah, asal keselamatan umat dapat terhindar dari kehancuran karena
kau memiliki buku itu," sahut ayahnya sambil menangkis serangan
laki-laki bernama Cakraganta. Keduanya terlihat perang tanding sementara
kebakaran terus melahap bangunan rumah itu. Pada suatu kesempatan ayahnya
berhasil melukai Cakraganta dengan sayatan golok merobek wajahnya.
Cakraganta menggeliat ke belakang.
Tetapi sebelum ayahnya akan
melancarkan serangan lagi, tiba-tiba muncul seorang wanita membokong
ayahnya dengan sabetan senjata
membabat leher ayahnya sehingga
terpisah dari badannya.......
Tiba-tiba lamunan Walet Emas
terpenggal. Kesadarannya pulih karena indranya menangkap bunyi gemerisik.
Dia melirik ke arah datangnya suara itu, dan secepatnya melesat ke atas lalu
nangkring di dahan
pohon. Gerakannya lembut sehingga tak sebutir kerikil ikut tergeser serta tidak
menggoyangkan dahan yang diinjak. Itu adalah gerakan "Kapas Tertiup Badai"
yang baru dilakukan dengan sempurna beberapa bulan yang lalu.
Kemudian ditunggunya beberapa
saat dengan pandangan mata ditujukan ke arah datangnya suara. Dalam
kegelapan malam yang dinaungi cahaya bulan, Walet Emas melihat sesosok
tubuh berjalan mengendap-endap
mendekati nyala api unggun yang
dibuatnya. Diperhatikan dengan seksama sosok tubuh itu. Dan tamu yang tak
diundang itu tanpa ragu-ragu lagi menjangkau panggangan ikan di sana.
Sebelum santapan itu menyentuh
mulutnya, tiba-tiba Walet Emas melesat ke bawah, tepat di sampingnya tanpa
menimbulkan bunyi yang mengagetkan.
Dan si pendatang itu terkejut setelah mengetahui di sampingnya telah berdiri
sesosok tubuh. Gerakan njenggirat
dengan maksud untuk lari tak berhasil dilakukan ketika Walet Emas dengan
trengginas mencengkal batang lehernya.
"Aaaaak.... ampuun! Ssss.....saya orang
baik-baik....!" suara sosok
tubuh itu dengan melepaskan panggangan ikan di tangannya.
"Orang baik-baik tidak akan
mengambil milik orang lain tanpa
permisi," tukas Walet Emas.
"Mmm.... maafkan saya....!"
"Siapa namamu ?" tanya Walet Emas sambil melepaskan cengkeramannya.
"Www....Wariga.......!"
"Wariga ?"
"Iiyy... iya! Wariga. Ss.....saya orang baik-baik. Hanya saja sudah
seharian ini belum makan."
"Tampangmu lusuh. Mengapa belum makan ?" tanya Walet Emas sambil membenah api
unggun yang hampir padam.
"Kalau kau belum makan, santap saja ikan itu. Kalau kurang, cari
sendiri di sungai."
Tanpa tercegah lagi anak muda
bernama Wariga itu menjangkau sundukan ikan yang semula diincar. Dengan lahap
dia makan ikan panggang itu. Sikapnya tak luput dari pengawasan Walet Emas.
Terbetik perasaan iba melihat tingkah pemuda kecil itu. Umumya sekitar lima
belas tahun. Kain yang dipakai menutup auratnya dikenakan seenaknya saja.
"Kau......pengemis ?" tanya Walet Emas.
Tiba-tiba sikap Wariga tegang.
Dipandangnya Walet Emas dengan tatapan mata tajam.
"Saya bukan pengemis! Saya anak orang kaya. Orang tua saya juragan di pasar,"
katanya membela diri. Ucapan ini dicetuskan Wariga dengan sikap tegas. Bertolak
belakang sekali dengan sikapnya semula yang kelihatan penakut ketika dipergoki
Walet Emas.

Walet Emas 01 Kilatan Pedang Merapi Dahana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi bagimana kau bisa tampak begini?"
"Beberapa hari yang lalu rumah kami dirampok. Kedua orang tua saya terbunuh
dalam kekacauan itu. Dan...
dan.... saya... yang berhasil
menyelamatkan diri....!" kata Wariga dengan nada sedih.
Walet Emas termenung, teringat
dengan nasibnya sendiri.
"Malam telah larut. Aku ingin tidur. Kau boleh berada di sini kalau mau. Besok
kita ngobrol lagi," kata Walet Emas. Dengan perbekalannya, dia mempersiapkan
diri untuk bisa tidur nyenyak. Dia tidak memperdulikan Wariga untuk tidur di
mana. Wariga melihat keadaan Walet Emas
yang begitu cepat pulas, berusaha
mencari tempat untuk membaringkan
tubuhnya. Mungkin karena kelelahannya juga yang membuat Wariga cepat
terseret kelelapan meskipun udara
dingin menyengat sekujur tubuhnya.
Tetapi sebenarnya Walet Emas
sendiri belum tertidur. Dia cuma pura-pura tidur. Dia hanya ingin tahu sikap
pemuda bernama Wariga itu. Terselip kecurigaan juga di sanubari Walet Emas
terhadap pendatang yang tiba-tiba
muncul di sana. Apakah Wariga seorang mata-mata yang diselundupkan lawan untuk
mengikuti jejaknya " Tampaknya Wariga begitu polos dan jujur. Tetapi bagaimana
kalau hal itu hanya kedok belaka"
Api unggun itu telah padam. Walet
Emas tak berniat menyalakannya lagi.
Keremangan cahaya bulan diandalkan untuk melihat keadaan sekelilingnya, di
samping inderanya yang terlatih peka untuk menangkap suara yang datang dari
jauh. Beberapa saat ditunggu tak ada
peristiwa lagi yang mencurigakan.
Akhirnya Walet Emas terseret juga
dengan rasa kantuk yang membebani
matanya........
* * * 3 Tiba-tiba Walet Emas njenggirat
bangun. Dirasanya cahaya matahari
menerpa wajahnya. Dilihatnya hari
telah siang. Tidak biasanya dia bangun kesiangan seperti itu. Biasanya dia
bangun ketika fajar pagi masih
meremang di ufuk timur.
Dilihatnya tempat Wariga di mana
pemuda kecil itu tidur semalam.
Kosong. Tak terlihat lagi Wariga
di sana. Kecurigaan Walet Emas timbul.
Dia cepat beranjak dari tempatnya dan melesat ke atas dahan pohon. Dari sana dia
memeriksa keadaan sekelilingnya.
Pandangannya ditujukan kearah sungai tak jauh dari tempatnya bermalam. Sepi di
sana. Dan pada saat
itulah..........
"Hah?" Walet Emas terperangah.
Di sebelah timur di mana terdapat
batu-batu terjal, muncul beberapa
sosok tubuh. Mereka bergerak ke
arahnya. Kelompok orang-orang itu
berpakaian seragam punggawa kadipaten
Rejodani. "Mereka berhasil juga mencium jejakku. Apakah ini ada hubungannya dengan si
Wariga?" pikir Walet Emas.
"Apapun sebabnya, aku tak ingin sepagi ini harus baku hantam dengan penguasa
yang menyengsarakan rakyat. Secepatnya akan kutinggalkan tempat ini."
Tubuhnya limbung ke bawah dengan
gerakan manis tanpa menimbulkan bunyi.
Dengan menyambar bungkusan dan
pedangnya, kemudian melesat ke
seberang sungai. Tiga lompatan dengan menapak batu yang muncul di permukaan air,
Walet Emas telah sampai di
seberang. Benar dugaannya. Kelompok
punggawa kadipaten Rejodani rupanya akan menyergap keberadaannya di tempat itu.
Tetapi bagaimana ceritanya mereka dapat mencium jejaknya, itu yang
menjadi pertanyaan. Kecurigaannya
bertumpu pada pemuda bernama Wariga itu yang kini amblas tanpa jejak.
Walet Emas merasa terkecoh dengan
tindakan ini. "Lihat bekas api unggun ini.
Rupanya dia bermalam di sini," kata seseorang yang menjadi pimpinan para
punggawa Rejodani. Perawakannya ceking dengan bentuk alis yang tebal.
"Jadi petunjuk itu benar adanya,"
sela anak buahnya. "Apakah kita terlambat menyergapnya?"
"Seperti yang telah disarankan, dia pasti telah lari ke timur,
menyeberang sungai itu," jawab pemimpin mereka.
"Benar-benar petunjuk yang jitu.
Kalau selama ini tugas kita bisa
diarahkan berdasar ramalan, maka
setiap persoalan secepatnya akan
berhasil kita atasi," kata yang lain menggarami.
Laki-laki ceking beralis tebal
itu memandang ke seberang sungai.
Dia dikenal dengan nama Wiro
Brangasan. Penampilannya kalem, tetapi kalau
sudah keslomot amarah, orang tak akan percaya bahwa di dalam tubuhnya yang
ceking itu bisa meledakkan tindakan yang sangat membahayakan bagi orang lain.
"Tetapi saran itu pula yang
mengatakan kita tidak boleh
menyeberang sungai. Bisa membawa sial kita. Kita harus bisa bergerak ke arah
timur tanpa harus menyeberangi
sungai," kata Wiro Brangasan lirih dengan menatap tajam ke arah pepohonan di
seberang sungai yang airnya jernih itu. "Aku telah mencium baunya, dia memang ke
sana." Kata-kata ini membuat anak
buahnya terperangah. Mereka tahu, Wiro Brangasan memang bergelar Kucing
Malaikat. Dia punya kelebihan bisa
mengendus bau seperti indera penciuman kucing. Dengan penciumannya saja,
walau matanya ditutup, dia bisa tahu siapa orang-orang yang berada di
sekitarnya. "Ayo, kita cari jalan pintas
menuju ke timur tanpa menyeberangi sungai ini," perintah Wiro Brangasan sambil
beranjak dari tempatnya.
Bagaimana dengan Walet Emas"
Ternyata dia masih bercokol di
seberang sungai di balik semak-semak sambil mengawasi orang-orang yang
selama ini mengejarnya. Matanya dengan jelas dapat melihat kehadiran Wiro
Brangasan dari tempatnya.
"Hm ! Jadi dia ikut turun
gelanggang untuk mengejar aku. Tetapi mengapa mereka tidak terus
menyeberangi sungai ini ?" pikir Walet Emas. "Persetan ! Aku jadi banyak
terlihat dengan pihak lain. Yang
penting aku harus dapat melaksanakan tugasku yang utama. Menemukan tokoh bernama
Cakraganta dan tokoh wanita yang telah membunuh ayahku. Sayang sekali aku tak
tahu nama tokoh wanita itu. Tetapi wajahnya tak pernah aku lupakan.......!"
Walet Emas segera meninggalkan
tempat itu, seiring dengan lenyapnya orang-orang kadipaten Rejodani dari
seberang sungai.
* * * Kemudian di suatu desa yang
dikenal dengan nama Pophitu......
Hari pasaran, banyak orang
berbondong- bondong menuju pasar di pusat desa Pohpitu. Lima hari sekali, tempat
itu menjadi ajang pertemuan para penjual dan pembeli. Seperti yang sudah tertera
dalam peraturan desa, para pedagang harus membayar pajak untuk bisa berdagang di
sana. Pajak itu ditarik di pintu masuk.
"Hei, gendhuk ayu! Bayar dulu di sini. Kau akan jualan apa?" tiba-tiba teguran
ini menyengat perhatian Walet Emas yang sedang menginjak kawasan pasar. Suara
teguran itu datang dari seorang berperut buncit dengan pusar diparmerkan. Ikat
pinggangnya sengaja diplorotkan ke bawah. Dengan
penampilan seperti itu dia ingin
memberi kesan kepada orang lain, bawa dirinya punya kuasa di sana. Tetapi semua
orang tahu, bahwa dia hanya
bawahan saja. Namanya Surogemblung.
Pas dengan penampilan orangnya.
"Aku tidak berjualan apa-apa, pak!" jawab Walet Emas.
"Bungkusan yang kau bawa itu" Kau pasti akan menjual sesuatu. Tampaknya kau
belum pernah datang ke tempat
ini," kata Surogemblung lagi dengan pandangan mata
menjelajahi celah dada Walet Emas
yang dibungkus kemben kuning. Tubuh Walet Emas yang sintal itu memang
cepat mengundang perhatian lelaki.
Mata Surogemblung menyapu ke bawah.
Entah apa yang dinilai, yang pasti jantungnya berdetak semakin cepat
melihat penampilan Walet Emas.
"Penampilanmu... kau pasti
menguasai ilmu bela diri," kata
Surogemblung lagi.
"Omongan bapak ini akan melantur ke mana" Memeriksa diriku sebagai
pedagang, atau.... pendekar ?"
"Bisa dua-duanya. Kukira kau
perlu diperiksa," Surogemblung mengumbar kata sambil memberi isyarat kepada tiga
orang yang sejak tadi
mematung di tempatnya. Dia banyak
berdiam diri ketimbang Surogemblung sendiri yang banyak tingkah menghadapi orang
yang lalu-lalang di sana.
Tiga orang itu maju serentak.
Dengan kasar dia merenggut bungkusan yang disandang Walet Emas. Dibiarkan saja
mereka bertindak seperti itu.
Bungkusan segera diduduh. Isinya hanya perlengkapan untuk keperluan pribadi.
Lalu mata ketiga orang itu mengikuti pada bungkusan lain sebesar kelapa yang
masih di tangan Walet Emas.
"Yang itu?" tanya yang seorang sambil mengulurkan tangan untuk
menjangkau bungkusan tersebut.
Tetapi sebelum sampai lebih
lanjut, lutut Walet Emas telah
menerjang kemaluan laki-laki itu.
Kontan menjerit dengan membungkukkan badan. Kedua teman yang lain segera
bertindak untuk meringkus, tetapi
tangan Walet Emas telah berkelebat menyikat rahang mereka dengan
kecepatan yang sulit dilihat. Keduanya menggeliat saling bertubrukan. Sebelum
keduanya jatuh, disusui lagi dengan tendangan sehingga mencelat ke arah
Surogemblung. Peristiwa itu menimbulkan
perhatian banyak orang. Beberapa orang bersorak kegirangan karena melihat
tindakan Walet Emas.
"Bener itu, jeng ! Gebrak saja tukang kepruk itu. Banyak pajak pasar yang masuk
untuk perutnya sendiri,"
terdengar suara di antara hingar
bingar orang yang menonton.
"Keparat!!" teriak Surogemblung sambil beranjak ke depan. Langkahnya tak begitu
gesit karena tambun
perutnya menyimpan banyak lemak.
Begitu dekat ke arah Walet Emas,
tangannya berniat mehcengkeram tubuh wanita yang semula dikagumi karena
kesintalannya. Tetapi sebelum kedua tangan Surogemblung sampai pada
sasaran, tendangan kaki Walet Emas mengunjam perutnya.
Aneh! Surogemblung tak bergiming
sedikit pun. Seakan-akan Walet Emas menendang batu padas yang kokoh
tertanam di tanah.
"Hehehehehehehe........! Baru tahu siapa aku ya"! Surogemblung! Nah, sudah tahu
namaku" Kini sebut namamu, cah ayu, sebelum kulitmu kubuat lecet karena berani
kurang ajar di sini."
Walet Emas tak menjawab.
Tendangannya berbicara lagi. Kali ini yang menjadi sasaran dada
Surogemblung. Ternyata tokoh berperut buncit itu tak bisa dirobohkan dengan
tendangan seperti itu.
"Ayo, teruskan. Kuras tenagamu.
Pilih yang mana yang hendak kau
jadikan sasaran. Rasanya enak kena tendanganmu. Kayak dipijit. Ayo lagi!
Mengapa belum bertindak juga?" sumbar si gendut dengan suara lantang.
Melihat hal ini orang-orang yang
semula berpihak kepada Walet Emas, mulai membisu. Dalam hati mereka
mengakui bahwa Surogemblung bukan
orang sembarangan. Pantas saja dia diberi wewenang menarik pajak pasar.
Suara tawa Surogemblung masih
nyekakak dengan nada kebanggaan
berkibar di dadanya. Tetapi pada saat itulah, tiba-tiba dia merasakan
sengatan pukulan yang benar-benar
membuat matanya berkunang-kunang. Dan kesakitan itu dirasakan pada
kemaluannya. Ya, benar! Kiranya Walet
Emas telah melancarkan tendangan ke arah itu. Tubuh Surogemblung oleng.
Dia tak bisa lagi mengatur kekuatan pertahanannya. Pada kesempatan ini Walet
Emas mundur beberapa langkah, Kemudian dengan menggenjot kekuatan prima, dia
mengunjamkan tendangan ke arah dada Surogemblung. Kontan laki-laki gendut ini
mencelat roboh. Orang-orang bersorak-sorai. Nama
Surogemblung jadi ejekan. Tetapi hal itu tak berlangsung lama. Suara orang-orang
membungkam serentak. Semua mata tertuju kepada sosok laki-laki berkuda muncul di
sana. Orang-orang pada
minggir dengan sikap hormat, penuh keengganan. Tepatnya, mereka terpaksa
menghormat. "Hah" Dia" Bagus Tulada"!" pikir Walet Emas setelah melihat siapa yang muncul di
sana. "Walet Emas!" seru Bagus Tulada.
"Apa kerjamu di sini" Kemarin kau pergi tanpa pamit"
"Aku punya urusan yang tak bisa didampingi orang lain," jawabnya.
"Urusan" Menangani Surogemblung"
Bagaimana kau bisa terlibat bentrokan dengan dia" Dia pasti melaporkan hal ini
kepada ayahku. Dan itu yang tak kuharapkan."
"Jadi...ayahmu penguasa tempat ini?"
Bagus Tulada menggangguk. "Ayo
kita tinggalkan tempat ini. Kita cari tempat tenang untuk berbicara."
Ajakan Bagus Tulada mendapat
sambutan. Kemudian keduanya menuju tempat semacam pesanggrahan. Ketika Walet
Emas memasuki tempat itu,
berulah tahu bahwa itu tempat
penginapan bagi para pedagang yang sering kemalaman apabila harus
bercokol di sini. Tetapi dengan


Walet Emas 01 Kilatan Pedang Merapi Dahana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat keadaannya, Walet Emas tahu bahwa tidak sembarang bisa menginap di sana.
Ini menyangkut soal martabat dan kekayaan.
"Nah, kita berbicara lagi di
sini. Kau bisa pula menginap di sini,"
kata Bagus Tulada dengan sikap ramah.
Tindakan itu menunjukkan bahwa dia berkuasa di sana. Beberapa orang
pelayan menghidangkan minuman dan
makanan. Itu berlangsung setelah Bagus Tulada memberi isyarat yang cukup
dipahami oleh mereka.
"Apa urusanmu maka kini orang-orang tertentu mempergunjingkan
namamu?" tanya Bagus Tulada.
"Oh ya" Begitukah yang kau
dengar" Karena
hal itu maka kau
tertarik padaku?" jawab Walet Emas sambil menikmati minumannya.
"Namamu terdengar santer menjadi pergunjingan tokoh persilatan dalam beberapa
bulan ini. Pada awalnya
tersebar berita, kau berhasil
membinasakan Gagak Lodra di desa Awu-awu Langit."
"Kau menjelaskan bahwa Gagak
Lodra belum mati. Aku berhasil
menghunjamkan senjataku ke tubuhnya, lalu dia tercebur sungai. Mungkin juga
berita yang kau sampaikan benar. Dia belum mati. Mungkin menyelamatkan
diri, dan mengobati luka-lukanya.
Tetapi bagaimanapun, dia tokoh hitam yang secara tak sengaja terpaksa
bentrok denganku begitu aku turun
gunung dari perguruanku. Aku mengambil sikap untuk berpihak pada kelompok putih
yang membasmi kejahatan dan
kebatilan," ucapan ini dicetuskan Walet Emas dengan nada kesungguhan dengan
pandangan tajam tertuju kepada Bagus Tulada.
"Wah. Hatiku jadi mengkirik
mendengar tekadmu."
"Apakah ucapanku bertentangan dengan nuranimu?" Bagus Tulada tak cepat menjawab.
Hening beberapa saat.
"Aku punya pandangan hidup,
apabila ada sesuatu yang merugikan diriku, maka itu berarti memusuhiku,"
katanya kemudian.
"Walau datangnya dari pihak
kebenaran?"
"Kebenaran yang mana" Kebenaran yang timbul karena suara terbanyak"
Karena kekuasaan ?" tanya Bagus Tulada mencari ketegasan.
"Ini bisa berkepanjangan apabila kita berdebat tentang kebenaran. Yang jelas,
sebaiknya kita mengurusi diri masing-masing saja," jawab Walet Emas.
"Akur! Tetapi sementara ini,
tentunya kau tak keberatan kalau aku ingin tahu banyak tentang dirimu,"
Bagus Tulada berkata dengan nada
mengharap. "Kau sudah tahu bahwa aku adalah Walet Emas."
"Walet Emas kurasa cuma gelar.
Siapa nama aslimu?" Pertanyaan Bagus Tulada tak cepat memperoleh jawaban.
Tetapi dirasakan pandangan mata Walet Emas yang mengandung banyak teka-teki ini
bisa mengganti jawaban yang enggan untuk dikatakan.
"Baiklah. Memang aku tak ingin memaksakan kehendak. Karena kurasa kau perlu
istirahat, kau boleh menginap di sini. Aku akan pamit dulu untuk pergi ke
kelurahan," kata Bagus Tulada dengan terus bangkit dari duduknya.
Sebelum meninggalkan tempat itu, Bagus Tulada berpesan kepada para pelayan agar
menyediakan sebuah kamar untuk Walet Emas.
* * * 4 Malam hari. Walet Emas
menggeletak di pembaringan. Pikirannya masih dibebani oleh pertemuannya
dengan Bagus Tulada yang terjadi siang tadi. Memang tak diduga, yang akhirnya
dapat terbeber bahwa Bagus Tulada
adalah putra Lurah desa Pohpitu.
Melihat penampilannya, bisa dipastikan bahwa Lurah Pohpitu seorang pejabat yang
kaya. Dan itu tercermin oleh
penampilan Bagus Tulada sendiri.
Akhirnya pikiran Walet Emas
tertambat kepada pertanyaan Bagus
Tulada yang ingin tahu lebih banyak tentang dirinya. Hal ini yang menyeret
lamunannya kepada masa lampau.......
Ketika ayahnya terbunuh di depan
komplotan Cakraganta, maka dirinya adalah satu-satunya orang yang masih hidup di
antara keluarganya yang telah binasa dalam peristiwa itu. Sebuah buku menjadi
sengketa. Buku tentang rumus pembuatan sebilah pedang sebagai warisan dari
keturunan raja-raja
wangsa Syailendra beberapa ratus tahun yang lalu.
"Pusparini! Aku mendapat firasat bahwa ketentraman keluarga kita akan terancam
bencana. Kalau ada peristiwa di luar kemampuan kita untuk
menanggulangi, kau harus bisa
menyelamatkan diri," kata ayahnya, Wibhangga, pada suatu hari kepadanya.
"Ayah merasa bahwa pusaka yang disebut
"Tosan Aji" kini sedang diincar pihak lain yang menginginkan. Buku itu ayah
simpan baik-baik dengan harapan tidak jatuh ke tangan orang berwatak jahat."
"Buku Tosan Aji itu buku apa, ayah ?" tanya Pusparini yang saat itu berumur tiga
belas tahun. "Buku dari kumpalan lontar yang berisi rahasia bagaimana meramu logam untuk
senjata yang ampuh. Buku itu disusun oleh seorang Mpu pembuat keris di zaman
wangsa Syailendra. Dahulu, ada dua wangsa atau keturunan raja, yang bernama
Sanjaya dan Syailendra.
Buku Tosan Aji itu menjadi terkenal ketika pemerintahan keturunan
Syailendra bernama Samaratungga yang mendirikan candi Borobudur. Entah
bagaimana kisahnya, yang jelas buku tersebut akhirnya berada di tangan salah
seorang kakek buyutmu. Kemudian diturunkan kepadaku. Karena kau anak tunggal,
dan aku tak mempunyai anak laki-laki, maka kaulah yang harus
menjaganya."
"Ayah menjelaskan bahwa buku
Tosan Aji memuat rumusan cara membuat senjata yang ampuh. Apakah selama ini
sudah banyak senjata yang dihasilkan?"
tanya Pusparini yang kemudian memakai gelar Walet Emas.
"Menurut dongeng turun temurun, baru sebilah pedang yang berhasil
dibuat berdasarkan rumusan yang
tertulis dalam buku Tosan Aji. Pedang itu dinamakan oleh pembuatnya sebagai
Pedang Merapi Dahana. Dia memakai nama Merapi sebab logam yang diramu, unsur
salah satunya adalah pijaran lahar gunung Merapi....!"
"Wah, sulit kalau begitu membuat pedang ampuh semacam itu," sahut Pusparini.
"Ya! Oleh sebab itu tidak semua orang bisa membuatnya. Untuk mendapat pijaran
lahar Merapi sangat sulit
kalau gunung itu tidak kebetulan
meletus. Dan itu berarti toh nyawa untuk mendapatkan. Kemudian unsur
lainnya adalah batu karang yang bisa didapat di Laut Selatan. Karang
berwarna merah! Kau bisa membayangkan betapa sulitnya untuk mendapatkan
sarana seperti itu. Orang harus
menyelam menakhlukkan ombak besar. Dan unsur lain masih banyak yang kau kelak
bisa mengetahuinya sendiri dalam buku itu."
"Lalu.....pedang yang disebut Pedang
Merapi Dahana yang pernah
dibuat di zaman raja Samaratungga, sekarang di mana?"
"Pedang itu memang ampuh. Menurut cerita, raja Samaratungga sendiri
berkenan memiliki, tetapi tak pernah terlaksana. Oleh Mpu pembuatnya,
pedang tersebut diwariskan kepada
putranya sendiri. Kini sekitar dua ratus tahun kisah itu begitu. Konon keturunan
wangsa Sanjaya dan wangsa Syailendra terus saling bermusuhan.
Untuk memperoleh keunggulan, mereka telah berlomba untuk mendapatkan buku Tosan
Aji tersebut setelah Pedang
Merapi Dahana yang pernah diciptakan hilang tak tentu rimbanya!"
Lamunan Walet Emas yang kini kita
ketahui memiliki nama asli Pusparini, terhenti. Ada sesuatu yang mengusik
perasaannya. Ada sesuatu yang tiba-tiba membuatnya pusing. Kecurigaaannya
timbul. Dia menyelidik ruangan itu.
Terasa tercium bau asap seperti
belerang barcampur dupa.
Pusparini mencoba untuk bangun.
Terlambat! Bau asap itu telah merasuk ke paru-parunya. Kesadarannya goyah.
Dia tahu, pasti ada pihak lain yang melakukan pembiusan.
"Aku harus secepatnya keluar dari ruangan ini," pikirnya sambil berjalan
sempoyongan untuk menjangkau
pedangnya. Tetapi niatnya kandas. Dia tak kuat bertahan. Dan ambruk ke
lantai......! * * * Entah berapa lama Pusparini tak
sadarkan diri. Yang jelas ketika
siuman, dirinya merasa terikat di
sebuah tonggak. Bau pengap menusuk hidung. Dia berada di suatu tempat kotor.
Paling tidak sebuah gudang yang tak terurus.
Ketika pandangannya pulih dengan
sempurna, maka sesosok tubuh terlihat di hadapannya.
"Gagak Lodra"!" suara Pusparini menyebut nama laki-laki yang
dilihatnya. "Kau benar-benar masih hidup......!"
"Kukira kau akan menduga melihat hantu. Jadi kau tahu bahwa aku masih hidup?"
kata tokoh bernama Gagak Lodra.
"Bagaimana kau bisa membuatku tak berdaya seperti ini?" Pusparini mencoba
mengorek keterangan lebih
lanjut. "Atau.........
"Kau kenal baik dengan Bagus
Tulada?" "'Kemudahan yang kuperoleh atas
usahaku sendiri. Nama Bagus Tulada memang kuketahui. Tetapi aku tidak kenal
kepadanya. Hanya secara
kebetulan, kau menginap di tempat
miliknya. Dan aku telah lama
menyatroni dirimu, Pusparini alias Walet Emas!!" kata Gagak Lodra dengan sikap
angkuh. Sekilas Pusparini teringat
bagaimana asal mula bentrokan dengan
Gagak Lodra di desa Awu-awu
Langit........ Setelah dia terhindar dari
pembantaian yang dilakukan oleh
kelompok Cakraganta, dia diasuh oleh seorang pimpinan perguruan bernama Ki
Suswara di padepokan Canggal. Inipun awalnya secara kebetulan ketika Pusparini
sewaktu melarikan diri menjadi buronan orang-orang Cakraganta dan diselamatkan
oleh Ki Suswara. Kemudian Pusparini diangkat sebagai murid, dan dididik kurang
lebih tiga tahun di padepokan Canggal. Ketika turun
gunung, Pusparini yang memakai gelar Walet Emas, bentrokan dengan Gagak
Lodra......! "Jadi kau akan balas dendam?"
tanya Pusparini menghapus lamunannya masa lalu.
"Apapun namanya, aku kini menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang
menghendaki buku Tosan Aji itu, Pusparini! Memang awalnya tak aku
duga, bahwa buku yang dicari banyak orang itu berada di tanganmu. Sekarang mana
buku itu, cah ayu ?" kata Gagak Lodra sambil meraba dada Pusparini secara kurang
ajar. Pusparini yang tak berdaya
karena ikatan, hanya
mengatupkan geraham. Dan tangan Gagak Lodra kian nakal menyusup ke dalam sebelah
kembennya. "Tetapi bagaimana kalau sebelum
kepada tujuan utama berbicara tentang buku itu, kita bermain cinta dulu?"
rayu Gagak Lodra dengan remasan
tangannya yang semakin menggila di dada Pusparini. Napas Pusparini turun naik.
Terlukis jelas lewat gerak
dadanya yang diremas Gagak Lodra.
"Kau benar-benar manusia bejat!!
Laki-laki pengecut! Hanya berani
menghadapi wanita yang tak
berdaya......!" debat Pusparini.
"Memangnya ada hukum yang
melarang?" ejek Gagak Lodra. "Sebagai wanita kau sedang ranum-ranumnya.
Bibirmu merah seperti tomat. Dadamu nyengkir gading. Pinggangmu nawon
kemit. Betismu indah. Tak pantas jadi pendekar!"
"Bedebah! Manusiabejat!!"
Pusparini mencoba berontak. Semakin beringas dia berusaha lepas dari
ikatan, semakin menggila pula Gagak Lodra mencengkeram dadanya.
Dan pada saat itulah...., tiba-
tiba dinding tempat itu jebol! Sesosok tubuh melesat kedalam. Sebelum Gagak
Lodra sadar apa yang terjadi,
pendatang itu menggenjotkan tubuhnya dan berputar di udara, yang
selanjutnya kakinya berkelebat
mengunjam ke dagu Gagak Lodra.
Gagak Lodra tergeser dari
tempatnya sambil mengatur diri untuk mencegah serangan berikutnya. Dia
melihat bagaimana sosok tubuh yang muncul tiba-tiba ini melepaskan ikatan tali
yang melilit di tubuh Pusparini dengan sayatan cudrik, keris kecil, sekali
tebas. Tali yang melilit di tubuh Pusparini terurai lepas.
"Hah" Kau......?" Pusparini terpana. Tetapi keheranan ini cepat sirna seiring
dengan tindakan
melepaskan diri dari tempatnya untuk memberi bantuan, karena melihat Gagak Lodra
telah bergerak melancarkan
balasan kepada si penyerang tadi.
Tetapi sebelum Pusparini melaksanakan bantuannya, tokoh penyelamat itu
berhasil mengatasi serangan Gagak
Lodra dengan menggelindingkan tubuhnya menghindarkan diri dari tendangan
beruntun lawannya.
Pusparini mencegah gerak Gagak
Lodra dengan sapuan kaki ke arah
lambung lawan. Tindakan pencegahan ini berhasil, tetapi segera mengalihkan
perhatian Gagak Lodra ke arahnya.
"Jadi kalian saling mengenal, hah"!" seru Gagak Lodra sambil mengimbangi
serangan Pusparini.
Melihat Gagak Lodra kini ganti
berhadapan dengan Pusparini, maka si penyelamat untuk beberapa saat menjadi
penonton. Dia tersenyum cengar-cengir melihat adegan baku hantam yang sedang
berlangsung. "Wariga! Kau akan kutandangi
sampai modar kalau Walet Emas ini berhasil kuringkus lagi!" seru Gagak Lodra
sambil terus dengan gencar
mengirimkan serangan ke arah lawan.
Ya! Wariga si penyelamat itu!
Beberapa saat tadi Pusparini sempat dibuat heran, karena tidak menduga bahwa
Wariga yang muncul. Wariga yang pernah dikenali kemarin lusa yang
kehadirannya seperti bocah clola-cloco seperti pengemis, ternyata punya
kemampuan tak terduga. Atau memang hal itu menjadi sikap Wariga yang tidak sok
pamer dengan kemampuan dirinya"
Wariga yang pernah mencuri ikan


Walet Emas 01 Kilatan Pedang Merapi Dahana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panggang di api unggun, benar-benar merupakan malaikat penolong. Apa
jadinya kalau bocah itu tidak muncul"
Keperawanan Pusparini pasti amblas dilahap Gagak Lodra yang
konon mendapat julukan Si Pemetik Bunga, alias doyan merusak anak gadis orang di desa-
desa yang dilaluinya.
"Aku tidak ingin disebut
pengecut, oleh sebab itu aku tidak membantumu menangani Si Pemetik Bunga itu!"
seru Wariga di tempatnya sambil terus menonton.
Sementara itu baku hantam telah
menjebol dinding ruangan itu, dan kini beralih di luar. Untuk beberapa jurus,
kekuatan mereka seimbang. Tetapi
kemudian terlihat beberapa pukulan dari Pusparini mulai banyak bersarang
ke tubuh Gagak Lodra.
"Hm! Gadis ini tetap tegar
walaupun baru kena pembiusanku. Tenaga dalam yang dimiliki pasti ampuh,"
pikir Gagak Lodra sambil mengelakkan pukulan lawannya. "Umumnya murid-murid
perguruan Canggal memiliki daya
penangkal racun tingkat tinggi. Toh kemarin dia berhasil kubius dengan ramuan
baru temuanku." Gagak Lodra tetap hanyut dalam pikirannya sambil mencari peluang
untuk melakukan
serangan balasan. Tetapi kenyataannya pertahanan Pusparini sulit ditembus.
Dan pada saat itulah.....
"Ahh !" terdengar aduhan dari mulut Pusparini. Dia merasakan angin pukulan
mengenai lambungnya. Sekilas dia mencari dari mana datangnya
pembokong yang menyerang dirinya
secara pengecut. Di sisi lain, karena melihat Pusparini tak menguasai diri lagi,
maka Gagak Lodra berniat
melancarkan serangan balasan. Tetapi tindakan ini tidak kesampaian. Sebab
dirinya pun mendapat serangan serupa, yakni pukulan jarak jauh yang
dilakukan oleh orang yang menyerang Pusparini.
Tertimpa pukulan ini Gagak Lodra
limbung beberapa langkah ke belakang.
Dia tahu ada pihak ketiga yang
mencampuri baku hantam ini. Matanya jelalatan mencari datangnya si
penyerang. Akhirnya diketahui bahwa ada seseorang telah muncul di atas dahan
pohon. Pusparini pun melihat tokoh yang baru muncul. Dan tak luput pula si
Wariga, juga menyaksikan
campur tangan orang itu. Tiga pasang mata mengawasi ke arah tokoh yang baru
muncul tersebut.
"Kalian kecewa aku turut campur?"
tanya tokoh itu.
Pusparini mengenalinya.
"Sawung Cemani"!"
"Kau tak menduga kalau kita bisa bertemu lagi, Walet Emas ?" kata tokoh bernama
Sawung Cemani. Beberapa waktu yang lalu terjadi
juga bentrokan Pusparini dengan tokoh bernama Sawung Cemani ini. Pusparini
terkena pukulan "Jalu Beracun" yang dimiliki Sawung Cemani sehingga
tubuhnya sedikit keracunan. Tetapi di sisi lain Pusparini berhasil melukai
Sawung Cemani cukup parah dengan
sabetan pedang. Kemudian keduanya
mengundurkan diri. Dalam perjalanan, akhirnya Pusparini berjumpa dengan Bagus
Tulada di warung penginapan yang melibatkan bentrokan dengan Branjang Geni.
Kini, Sawung Cemani muncul lagi!
Gagak Lodra menahan geram. Dia merasa disepelekan dengan munculnya orang yang
ikut campur dalam
pertarungannya. Apalagi
ketika Pusparini menyebut nama orang itu, yang tiada lain Sawung Cemani. Dan tokoh ini
diketahui juga memburu buku Tosan Aji.
Semua orang menghendaki buku
Tosan Aji. Dan diketahui bahwa
Pusparini alias Walet Emas yang
menyimpannya. "Sawung Cemani! Antara kita
memang belum pernah berkenalan. Tetapi aku tahu, kalau kau menghendaki buku
Tosan Aji, kau harus mundur dulu. Saat ini giliranku untuk merebut dari
tangan si sintal ini," seru Gagak Lodra.
"Hahahahahaha......! Cepat benar kau mengambil kesimpulan begitu...
eee......siapa namamu, kisanak?" ucap Sawung Cemani sambil melompat dari dahan
di atas pohon. "Terang sekali bahwa lingkunganmu seperti katak dalam terpurung kalau tidak
kenal nama Gagak Lodra!" jawab Gagak Lodra dengan nada angkuh.
"Ah, ya, ya! Gagak Lodra! Aku pernah dengar itu. Tetapi kau jangan lantas bangga
punya nama seperti itu, sebab namamu tak masuk hitungan dalam kancah orang-orang
penting di sekitar gunung Merapi ini," jawab Sawung Cemani. Sindiran seperti ini
terang saja memanaskan telinga Gagak Lodra yang sifatnya brangasan. Tak ayal
lagi, kontan dia menghentakkan
kakinya, dan melesat ke arah Sawung Cemani.
Sawing Cemani cukup waspada.
Sebelum tendangan lawan tertuju ke dadanya, dia membungkukkan badannya ke
samping sambil menghentakkan kaki
kanannya memapag tendangan lawan. Dan kaki yang dibungkus kulit ini, tiba-tiba
mencuatkan jalu besi di atas
tumitnya. Inilah yang disebut "Jalu Beracun"!
Gagak Lodra terlambat menyadari
adanya senjata lawan tersebut.
Akibatnya kakinya robek oleh senjata yang berbentuk jalu itu. Kalau tempo hari
Pusparini pernah mengalami
mengidap racun dari jalu ini, itu
hanya terkena tendangannya saja.
Tetapi tendangan ini menyemburkan
bubuk beracun yang terisap
pernafasannya. Dan kini lain halnya dengan Gagak Lodra. Dia benar-benar kena
sabetan jalu besi itu !
Gagak Lodra merasakan seperti ada
api membakar kakinya. Ketika dilihat sambil mencari peluang untuk mengatur
pertahanannya kembali, kakinya telah mengucurkan darah. Darah berwarna
kehitaman. Dia sadar, luka itu telah dicemari racun. Begitu cepat
perkembangannya. Darahnya langsung berwarna kehitaman. Melihat keadaan ini Gagak
Lodra secepatnya menotok aliran darah di atas luka tersebut
untuk menghambat racun yang mungkin menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia
berhasil melakukan, tetapi akibatnya membuat kaki itu sukar digerakkan
untuk melancarkan serangan lagi.
"Percuma kau menghadapi aku lagi, Gagak Lodra. Menyingkir saja dari
percaturan orang-orang yang hendak merebut buku Tosan Aji dari Walet
Emas," seru Sawung Cemani yang nama ini berarti Ayam Laga Hitam. "Dalam keadaan
seperti itu dengan mudah aku bisa membabat nyawamu terbang ke
akherat. Kuberi kau
waktu untuk hengkang dari hadapanku."
Mendengar ancaman yang sangat
merendahkan dirinya, maka Gagak Lodra meledakkan suara jeritan. Sawung
Cemani untuk sesaat sempat dibuat
kaget dengan suara itu, sebab nada getaran suara tersebut mengandung tenaga
dalam untuk membuyarkan
perhatian. Benar saja, dengan teriakan
seperti itu Gagak Lodra berusaha
mengadakan serangan walaupun kakinya yang terluka sukar digerakkan. Benar-benar
suatu upaya yang nekad. Tubuhnya bisa meluncur ke arah lawan. Tetapi Sawung
Cemani bukan tokoh kelas teri yang bisa dikecoh dengan gertakan
seperti itu. Dia dengan trengginas mempersiapkan diri menghadapi serangan
tersebut dengan meregangkan tapak
tangannya. Tapak tangan ini berhasil menyambar tendangan kaki Gagak lodra, dan
mencengkeram pergelangan kaki.
Gerak Gagak Lodra terasa ketanggor batu padas yang membuat aliran darah di
bagian kakinya terasa membeku.
Tidak itu saja. Tiba-tiba terasa
tulang kaki yang dicengkeram Sawung Cemani berdetak. Tulang kaki di bagian itu
remuk kena cengkeraman tangan
lawan. Benar-benar suatu kesialan yang beruntun. Kini dia benar-benar lumpuh!
Sementara Sawung Cemani dapat
membendung serangan Gagak Lodra, tiba-tiba Wariga yang sejak tadi tenang asyik
menyaksikan pergulatan tersebut, kini menggebrak dengan terjangan ke punggung
Sawung Cemani. Tentu saja keadaan ini benar-benar mengagetkan tokoh yang kali
ini menjadi pusat
perhatian karena keunggulannya
menangani Gagak Lodra.
Sambil melempar tubuh Gagak
Lodra, Sawung Cemani berusaha
menangkis serangan yang tiada terduga itu, yang kemungkinan akan dilakukan
secara beruntun oleh pihak penyerang.
Sesaat dia menduga bahwa yang
menyerang adalah Pusparini alias Walet Emas. Ternyata bocah laki-laki yang tak
pernah diperhatikan sama sekali walaupun sejak tadi berada di sana.
Tendangan kaki Wariga cukup
menyakitkan. Terbukti Sawung Cemani
mengatupkan gerahamnya mengatur
pernapasan untuk mengendalikan rasa sakit. Rupanya bocah itu cukup jeli di mana
bagian tubuh lawan yang bisa
diserang sehingga menggoyahkan
pertahanan. "Bocah edan! Jadi kaupun ingin ambil bagian dalam masalah ini?" seru Sawung
Cemani setelah dirinya
melimbungkan tubuhnya yang kemudian berpijak ke tanah kembali untuk
mempersiapkan serangan balasan.
"Aku cuma penonton! Sebagai
penonton akan tidak senang kalau ada tindakan para pemain yang akan
memborong nilai permainan dengan
serakah dan curang!" kata Wariga tanpa gentar sedikit pun.
"Jangan sok kau bocah. Apa maksud kata-katamu memborong nilai permainan dengan
serakah?" tanya Sawung Cemani dengan mata melotot menahan geram.
Kulitnya yang kehitaman menambah
seramnya penampilan dalam rangkaian pakaiannya yang berwarna hitam dan merah.
"Belum lima jurus, kau telah
mengeluarkan senjata rahasiamu ! Jalu besi di atas tumitmu terlalu cepat kau
gunakan. Apa kau tak punya kebolehan ilmu bela diri dengan tangan kosong untuk
pemanasan perang tanding" Caramu itu sah-sah saja. Tetapi kurang
ksatria. Kalau dinilai sepak terjangmu
dapat angka tiga!"
"Umurmu masih ingusan sudah bisa ngumbar omongan seperti itu ! Dengar, bocah !
Aku pantang bertarung dengan pengemis seperti dirimu! Kau tadi
telah menendangku. Itu kumaafkan.
Kalau kau ingin panjang umur, cepat menyingkir dari sini!" sanggah si Sawung
Cemani. "Cobalah kau usir tidak dengan omongan ! Itu yang kukehendaki!"
"Jahanam keparat!!" teriak Sawung Cemani sambil terus menggerakkan
tubuhnya menerjang ke arah Wariga.
Benar-benar tak disangka.
Ternyata Wariga mampu berkelit dengan gesit mengelakkan serangan Sawung
Cemani. Gerakannya begitu lincah, dan ternyata dia menguasai Ilmu Kera. Ini
benar-benar diperhatikan oleh Pusparini yang terus memantau peristiwa itu.
Wariga yang berpenampilan seorang pengemis sangat menguasai Ilmu Kera.
Ilmu itu dikembangkan oleh Perguruan Anoman yang konon padepokannya berada di
puncak Gunung Dieng.
Mengetahui kepastian akan hal ini
Pusparini tak meragukan lagi dengan keberadaan Wariga yang telah
menolongnya. Dia tahu betul bahwa
Perguruan Anoman mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Perguruan Canggal yang
dipimpin oleh Ki Suswara, orang yang telah mendidiknya sampai menjadi
seorang pendekar pilih tanding.
Sementara itu Sawung Cemani yang
nenyaksikan gerakan-gerakan bela diri si Wariga, cukup membuat perasaannya
terkesima. Dia mengenal jurus kera.
Tetapi yang dimiliki oleh Wariga bukan main tangkas dan lincahnya. Sulit
diramal ke arah mana setiap gerak yang dilancarkan akan menuju. Sebab tanpa
diduga, serangan yang diperkirakan menjurus ke kanan, bisa berubah ke arah kiri
atau ke arah atas atau
bawah. Konon jurus seperti ini disebut jurus Kera Siluman, suatu sempalan ilmu
bela diri yang dicangkok dari Negeri Atas Angin. Tempat ini kemudian dikenal
pula dengan nama Himalaya, di kawasan India sana. Di tempat itulah menurut
legenda setempat, tempat
lahirnya tokoh manusia kera bernama Hanuman, yang kemudian di Jawa dikenal
dengan nama Anoman.
Sawung Cemani benar-benar
kuwalahan menghadapi gerak kelincahan si Wariga. Ini ibarat pertarungan
antara ayam jago dengan kera. Betapa dahsyat. Si jago dengan jurus kepakan
sayapnya mencoba memberikan pukulan fatal. Belum lagi ditambah jurus
tendangan kaki yang berjalu beracun itu. Sementara si kera dengan cakaran lewat
tendangan tangan dan kaki, semua itu menambah sengitnya pertarungan.
Tetapi kalau diukur dengan usia, maka
Wariga mendapat angka jempol. Sebab dengan usianya begitu muda, dia dapat
menandingi Sawung Cemani yang sudah boleh dibilang kampiun dalam rimba
persilatan. Sampai pada akhirnya......
Tiba-tiba mereka merasakan bumi
bergetar! Semua yang berada di sana menghentikan sikap, memantau keadaan alam
yang tiba-tiba dirasakan tidak seperti biasanya.
Gempa bumi! Ya. Itulah yang terjadi. Tidak
cukup keras memang, tetapi hal ini menimbulkan perhatian yang sangat
serius, karena setiap mata tiba-tiba mengarah kepada puncak gunung Merapi di
sebelah barat sana.
Gunung Merapi meletus. Jelas
kelihatan kepulan asap kelabu yang tebal dengan gerak pelan membumbung ke
angkasa. Dan entah siapa yang membuat
prakarsa, semua pihak segera melesat meninggalkan tempat itu, menuju arah gunung
Merapi. Tentu saja tidak semua. Hanya
Gagak Lodra yang tak bisa bertindak apa-apa. Pertarungannya dengan Sawung Cemani
membual dirinya lumpuh tak
berdaya. Pusparini cepat mengambil
kesimpulan mengapa Wariga dan Sawung Cemani melesat lari ke arah gunung Merapi.
Mereka pasti mengerti tentang
rumusan dalam buku Tosan Aji. Apalagi kalau tidak begitu " Sebab dalam rumusan
itu tercantum catatan adanya unsur batu lahar berpijar untuk
menciptakan sebilah pedang yang ampuh.
Sedangkan rumusan yang lain berisi ramuan tidak diketahui oleh siapa pun,
kecuali kalau sudah memiliki buku
tersebut. Kini Wariga dan Sawung Cemani
telah melesat lari ke arah gunung
Merapi yang sedang meletus.
"Jadi si Wariga mengerti juga.
Pasti dia menghendaki buku tersebut.


Walet Emas 01 Kilatan Pedang Merapi Dahana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi mengapa dia tampak baik-baik saja terhadapku" Apakah ada maksud
tersembunyi yang aku tidak tahu dengan sikapnya itu" Bagaimanapun, siapa yang
berkepentingan untuk memperoleh batu lahar berpijar, pasti menghendaki buku
Tosan Aji!" pikir Pusparini sambil terus berlari.
Dari peristiwa ini bisa
diketahui, bahwa Pusparini, Wariga dan Sawung Cemani memiliki ilmu yang
Siluman Hutan Waringin 3 Dewa Linglung 10 Rahasia Istana Kuno Si Cantik Berdarah Dingin 3
^