Pencarian

Pendekar Atap Dunia 2

Walet Emas 09 Pendekar Atap Dunia Bagian 2


"Mithara?" pikir Pusparini. "Itukah Mithara?"
Matanya terus dipertajam untuk mengamati kea-
daan orang itu.
"Semakin buruk" Apa maksudmu?" tanya Mithara
dengan melesat turun dari puncak candi. Gerakannya begitu lembut, bagaikan kapas
jatuh. "Seorang wanita berkemben kuning rupanya akan
menjadi kesulitan bagi kita," jawab Pasupata.
"Ceritakan pengalamanmu."
Sejenak Pasupata menceritakan pengalamannya.
"Hm, begitu"!" kata Mithara setelah Pasupata men-
gakhiri ceritanya. "Kalian tak akan bersusah payah apabila ingin balas dendam
terhadap wanita itu. Sebab ia berada di dekat kita."
Pusparini yang mendengarkan pembicaraan mereka
di tempat persembunyian, kontan merinding menden-
gar ucapan Mithara. Jadi dirinya telah diketahui" Mithara tahu ia bersembunyi di
situ" Pusparini masih bertahan di persembunyiannya. Ia khawatir itu hanya gertak
sambal belaka. Bagaimana Mithara tahu dirinya bersembunyi di situ"
"Keluarlah kau dari persembunyianmu!" terdengar
suara Mithara. Pusparini masih membeku dalam persembunyian-
nya. Malu sekali rasanya terkecoh lawan seperti itu.
Jadi selama ini Mithara tahu ia bersembunyi di candi"
Apakah sejak siang Mithara telah menyatroni tempat itu dan mengerti kehadiran
Pusparini di tempat itu"
"Ayolah keluar. Atau aku yang akan memaksamu
keluar!" terdengar perintah Mithara lagi.
Dengan kikuk Pusparini keluar dari persembu-
nyiannya. "Begitu lebih baik. Kita bisa omong-omong dengan
leluasa. Sikapmu menunjukkan bahwa kau menggali
permusuhan denganku. Begitukah?" kata Mithara.
"Pasupata menceritakan kisah yang salah," tukas
Pusparini. "Bukan aku yang bikin gara-gara menan-
tang kau. Aku masuk ke warung ketika itu, memesan
sebumbung tuak, lalu beberapa orang 'tukang kepruk'
datang nimbrung minum. Dari mulut mereka keluar
pernyataan bahwa mereka pernah dibayar Pasupata
untuk mengroyok Wungsu. Yang kulihat di sini bukan orang-orang yang tempo hari
kujumpai di warung. Kelihatannya mereka orang baru, kecuali Pasupata sendiri."
"Pasupata! Bagaimana dengan pengakuan wanita
ini?" tegur Mithara setelah Pusparini mengakhiri ceritanya. "Dia tidak
menantangku, bukan?"
"Mm... maaf Mithara. Saya hanya mengambil ke-
simpulannya saja. Paling tidak dia akan menghalangi kita untuk mencari keris
itu," dalih Pasupata.
"Mithara! Sebenarnya keris itu telah berada di tanganku. Diberikan oleh istri Ki
Puluwatu kepadaku. Aku diharapkan mencari pembunuh suaminya," terdengar
ucapan Pusparini menyela pembicaraan karena tak
mau lagi mendengar omongan Pasupata.
"O ya. Mana keris itu sekarang" Kalau kau serah-
kan baik-baik kepadaku, aku akan berterima kasih sekali. Aku punya imbalan yang
memuaskan," jawab Mi-
thara. "Maaf. Keris itu telah dilarikan oleh pendekar Bidadari Pemabuk, orang yang baru
kukenal. Dia telah
minggat. Tetapi punya rencana untuk bertemu dengan kau sehubungan dengan
tubuhnya yang mengidap racun."
Mithara tersenyum. "Apa dikira aku ini tabib?"
"Dia pernah tahu apa yang kau omongkan di Kam-
bang Putih," jawab Pusparini.
"O ya?"
"Maaf, Mithara. Tidak pantas kita mempercayai
omongan wanita itu," tukas Pasupata si orang Keling.
Mithara termenung sejenak. Wajahnya bersih.
Orang banyak yang menganggap sebagai orang Keling, tetapi kulitnya kuning.
Sebutan orang Keling biasa di-peruntukkan bagi orang Hindustan yang berkulit ge-
lap. Pantas saja kalau Mithara berkulit kuning, sebab dirinya berasal dari
negeri yang disebut Atap Dunia, di Hindustan utara sana. Pakaiannya pun
perpaduan antara pakaian tradisional negerinya dengan pakaian
orang-orang Jawadwipa. Ia masuk ke daratan Jawad-
wipa dikenal sebagai pedagang. Memang umumnya
orang-orang asing yang datang ke Jawadwipa keba-
nyakan berstatus sebagai pedagang, yang kadangkala punya maksud-maksud tertentu
yang terselubung. Seperti misalnya Mithara sendiri.
"Jangan terlalu mencurigai wanita ini, Pasupata.
Aku mencium kejujuran dari kata-katanya. Seperti
halnya aku hanya bisa mengendus kehadirannya di
tempat ini lewat penciumanku," kata Mithara dengan nada arif.
Pasupata merasa terpojok. Sebenarnya ia ingin ba-
nyak mengambil hati terhadap Mithara. Maklum, Pa-
supata cuma bawahan saja. Dalam kesempatan ini Mi-
thara bertanya nama Pusparini, yang kemudian dija-
wab gelar kependekarannya saja.
"Walet Emas?" ulang Mithara. "Nama yang indah. Di
negeriku juga banyak burung walet. Alangkah indah-
nya seandainya burung-burung itu berbulu emas."
"Boleh aku mengutarakan sesuatu?" kata Pusparini
yang sudah berani mengumbar gagasannya setelah ta-
hu perangai Mithara yang tidak sejahat yang diperkirakan. Tetapi dalam hati
kecilnya Pusparini terbetik sikap waspada. Jangan-jangan perangai manis Mithara
hanya kedok saja. Ia sudah berulang kali ketanggor peristiwa tokoh-tokoh yang
awalnya dikenal manis, yang ternyata berperangai iblis. Dan sifat iblis memang
selalu manis untuk menjerat korbannya.
"Katakan apa yang ingin kau utarakan," jawab Mi-
thara. "Tentang kelompok yang menamakan diri 'Barong
Makara'! Mereka juga menghendaki keris itu."
"Barong Makara" Oh, rupanya kau telah tahu ba-
nyak tentang masalah peristiwa ini. 'Barong Makara'
adalah bayang-bayang saja."
"Bayang-bayang?"
"Seperti halnya manusia, selalu punya bayang-
bayang. Begitu juga sifat suatu kelompok. Barong Makara adalah bayang-bayang
pihakku. Hanya bedanya,
kalau manusia tak bisa dipisahkan dengan bayang-
bayangnya, maka Barong Makara bisa kusingkirkan
sewaktu-waktu atas kemauanku sendiri!"
"Apakah terbunuhnya Ki Puluwatu atas perintahmu
juga?" "Itu tanggung jawab Barong Makara. Ini sebenarnya
suatu perlombaan untuk mendapatkan keris itu. Aku, atau Barong Makara yang bisa
memperolehnya. Kelompok itu punya nama begitu karena dikaitkan den-
gan tempat ini, di mana pertama kali kami mempergunakan kawasan ini untuk
melacak hilangnya keris tersebut."
"Menurut kisah yang kudengar, Wungsu dan Gu-
moh menemukan kereta yang terjerumus ke dalam ju-
rang. Menurut tanda-tandanya seperti bekas diram-
pok. Wungsu menemukan sebuah keris," kata Puspa-
rini memancing penjelasan lagi.
"Kereta itu milik Kawasa, tokoh pencuri ulung dari Agat, salah satu tempat di
Hindustan. Yang merusak kereta itu adalah Barong Makara yang memang mencari
keris tersebut. Tetapi rupanya Kawasa dengan rapi menyimpan keris itu sehingga
ditemukan oleh orang
bernama Wungsu. Beberapa waktu kemudian kami ta-
hu ada seorang petani menemukan keris pada kereta
yang hancur di jurang dan ditukar dengan sepasang
kerbau kepada seorang saudagar. Itulah kisah yang
kami peroleh sehingga menimbulkan peristiwa ini," ka-ta Mithara.
"Apakah Kawasa menjadi korban dalam musibah
itu?" tanya Pusparini.
"Kami tidak menemukan mayat Kawasa. Kemungki-
nan dia masih hidup dan bersembunyi di suatu tem-
pat," jawab Mithara dengan mengawasi bulan yang
mulai condong ke barat.
"Aku ingin tahu siapa orang yang berkedok kain
merah seluruh badannya yang menjadi pimpinan Ba-
rong Makara itu."
"Kau tentu tak percaya kalau kuberitahu bahwa
aku tidak tahu siapa dia sebenarnya. Aku biasa me-
manggilnya Agni!"
"Aneh. Benar-benar aneh!" sahut Pusparini. "Den-
gan sosok bayanganmu saja kau tidak kenal."
"Dia memang begitu keadaannya. Tak seorang pun
pernah melihat wajahnya. Juga semua anak buahnya."
Pusparini menanti ucapan Mithara lebih lanjut. Te-
tapi laki-laki itu tidak bicara lagi. Semua masih belum
tuntas diketahui oleh Pusparini. Masih banyak teka-tekinya.
"Kalau bulan tenggelam di balik gunung itu aku
akan pergi," kata Mithara. "Kau tetap di sini?"
"Ya. Sampai lusa malam! Agni berjanji membawa
pembunuh Ki Puluwatu kemari," jawab Pusparini.
"Hm. Jadi telah begitu jauh kau berkenalan tokoh
merah yang bernama Agni itu?" kata Mithara. "Kau
berhasil bertemu dengannya sebelum ketemu aku. Ku-
kira aku perlu mengubah keputusanku."
"Keputusanmu yang bagaimana?"
"Aku harus menundukkanmu!" kata Mithara den-
gan menjulurkan tangannya.
Dan tangan tersebut begitu anehnya, karena tapak
tangan Mithara muncul serat-serat bagaikan benang
sutra yang menjerat ke tubuh Pusparini. Si Walet
Emas ini terlambat menyadari. Tetapi ia berusaha berontak. Semakin berontak,
maka serat-serat tipis itu semakin lebat menjerat tubuhnya. Pusparini tak bisa
berkutik lagi. Mithara menyunggingkan senyuman.
"Kau akan diurus Pasupata," katanya.
Mithara melesat pergi. Kemudian Pasupata dan
anak buahnya tampil mendekati Pusparini. Sepertinya mereka sudah tahu apa yang
harus dilakukan terhadap tawanan semacam Pusparini.
"Akhirnya sampai juga pada tahap yang kuha-
rapkan," kata Pasupata. "Kau akan tahu balasan yang setimpal karena pernah
mempecundangi aku."
Peluh dingin Pusparini membasahi tubuhnya.
Bayangan tentang sikap yang akan dilakukan Pasupa-
ta terhadap dirinya, terbayang mengerikan. Apakah dia akan diperkosa beramai-
ramai" Yang jelas, tiba-tiba tangan Pasupata merenggut kembennya sehingga
tanggal. Benang-benang halus tetapi liat dan kuat itu hanya membelenggu tangan
dan pinggangnya. Di bawah cahaya bulan, dada Pusparini yang polos mengo-
barkan birahi mereka. Napas Pasupata berpacu.
"Bedebah kau!" jerit Pusparini ketika dengan jalang dan kurang ajar tangan
Pasupata mengelus dadanya.
Pusparini berontak. Karena dirasa kakinya masih
bisa bergerak leluasa, maka kaki itu dipergunakan untuk menyerang. Langsung
ditendangkan ke arah kema-
luan Pasupata. Kontan laki-laki ini meraung sambil menebah burung kesayangannya.
Lainnya akan menyergap. Tetapi Pusparini telah
mendapat peluang untuk lolos. Dia melesat walaupun kedua tangannya terikat lekat
pada pinggangnya.
"Tangkaaapp! Telanjangi diaa!!!" raung Pasupata
dengan menahan rasa sakit.
Malam yang hening jadi hingar-bingar. Anak buah
Pasupata mencoba meringkus si Walet Emas. Tetapi
Pusparini ternyata tidak selemah yang mereka duga.
Dengan kedua kakinya ia masih cukup membahaya-
kan. Gerakannya tetap lincah. Seorang lawannya berhasil kena gampar dagunya
dengan sabetan kaki ki-
rinya ketika berniat menubruk. Hal ini membuat lainnya jadi penasaran. Justru
yang begini semakin men-gobarkan nafsu mereka. Aneh sekali memang. Sikap-
sikap Pusparini yang garang dan jalang dalam mem-
pertahankan diri semakin membangkitkan birahi.
Pada suatu kesempatan Pusparini berhasil melesat
ke atas puncak candi walaupun dalam keadaan tangan terikat. Lima orang itu
berniat memburu ke sana. Tetapi justru hal ini mengundang maut baginya.
Tendangan Pusparini menyambut tubuh mereka yang menco-
ba menguber ke atas. Sang lawan mencelat. Kepalanya membentur arca candi, pecah.
Dalam keadaan begini sebenarnya Pusparini masih
mampu mengatasi dirinya. Yang membuat ngeri adalah sikap-sikap lawannya.
Ternyata mereka tidak berniat membunuhnya, tetapi untuk memperkosanya. Ini yang
membuat ngeri. Masalah yang satu ini sering diala-
minya. Mengapa sasaran laki-laki berandalan selalu tertuju kepada kesenangan
satu itu" Membayangkan tentang hal itu sekilas, nyaris seo-
rang lawannya berhasil menyergap dari belakang. Tetapi Pusparini berhasil
mengelak sehingga tubuh lawan menubruk ke tempat kosong dan meluncur ke
bawah. Orang ini mampus ketika tubuhnya menghun-
jam di kepala arca yang berhias mahkota agak runcing.
Melihat anak buahnya satu per satu tewas di tan-
gan Walet Emas, Pasupata bangkit dari tempatnya
sambil menghunus pedang. Rupanya nafsu birahi itu
telah berubah menjadi nafsu membunuh. Ia melesat ke atas candi yang menjadi
pertahanan Pusparini paling strategis dalam keadaan anggota tangannya terikat.
Sabetan pedang Pasupata nyaris membabat leher-
nya. Pusparini berkelit, dan hal ini menimbulkan pikiran bahwa senjata lawan
bisa dimanfaatkan untuk
membebaskan diri. Lalu setiap serangan lawan dipergunakan agar bisa membabat ke
arah jerat yang melilit tangannya.
Berkali-kali Pusparini menggunakan kesempatan ini
tanpa disadari oleh Pasupata yang sudah mata gelap.
Pasupata baru menyadari siasat Pusparini ketika dilihatnya jerat itu kian
mengendor, di mana dengan satu hentakan maka serat pengikat itu putus total.
Pusparini tak menghiraukan tubuhnya yang berte-
lanjang dada. Suasana malam masih memberikan per-
lindungan bayangan sehingga sikapnya tidak begitu ri-kuh dalam menghadapi lawan.
Pasupata makin beringas. Tetapi dengan serangan
yang ke sekian kalinya hal itu tidak membuat posi-
sinya lebih baik. Pusparini berhasil menerjang lehernya. Orang Keling ini
sempoyongan. Sedangkan anak
buahnya yang masih tegar mencoba membantu. Den-
gan gerak lincah, Pusparini berhasil meminjam tenaga Pasupata yang tangannya
mencekal pedang. Tangan
itu ditendang sehingga pedangnya mengarah pada
anak buah yang menerjang ke depan. Tentu saja tu-
buhnya jadi santapan pedang Pasupata seperti disate saja. Tepat menembus perut.
Pasupata semakin uring-uringan. Pedang dicabut
dan secepat kilat diserangkan ke arah lawannya. Pusparini yang telah
memperhitungkan hal ini meliukkan tubuh. Dengan hantaman pada lambung lawan,
maka Pasupata menggeliat ke belakang. Belum puas dengan hal ini, kaki Pusparini


Walet Emas 09 Pendekar Atap Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjebol selangkang lawan. Untuk kedua kalinya bagian celah paha Pasupata jadi
sasaran serangan Pusparini.
Ada suara berdetak dalam serangan itu. Dan kesa-
kitan yang selangit hanya Pasupata yang merasakan.
Sudah dipastikan ada dua butiran yang pecah dan sebuah tongkat otot yang hancur.
Itu terbukti dengan terlihatnya darah muncrat dari bagian tubuh itu. Pasupata
menggeliat sekarat.
Pusparini benar-benar terlihat sadisnya. Itu karena lawan yang begitu lancang
mencoba menelanjangi untuk memperkosanya. Dalam keadaan sekarat kesaki-
tan Pasupata masih mencoba melawan dengan sabetan
pedang walaupun tubuhnya terkapar di lantai candi.
Pada saat yang bersamaan, seorang anak buahnya
yang masih hidup mencoba membokong Pusparini. Te-
tapi si Walet Emas ini waspada. Ia berkelit sehingga serangan pembokong nyeplos
ke depan. Tepat ke arah
Pasupata yang sedang mengayunkan senjatanya. Dua
serangan beradu. Dan dua tubuh saling dihunjam senjata. Pasupata dan anak
buahnya saling membunuh,
terjebak siasat si Walet Emas. Baku hantam berakhir.
Setelah itu Pusparini menyelonjorkan tubuhnya un-
tuk istirahat. Belum terpikir olehnya untuk membena-hi tubuhnya yang terbuka
bagian dadanya. Cahaya bulan yang semakin condong ke barat masih mampu me-
nyinari bukit dadanya yang sintal nyengkir gading. Ia benar-benar lelah. Sejenak
kemudian barulah ia bangun untuk mengambil kembennya yang tercecer.
Pusparini melangkah meninggalkan pelataran candi
setelah kain kembennya dikenakan menutup dadanya
kembali. Ia menuju tempat kuda yang ditambatkan secara tersembunyi. Ia ingin
istirahat. Untuk sementara, lawan tak mungkin muncul lagi. Angin fajar pagi
mulai terasa. Justru saat itu rasa kantuk Pusparini kian menggigil. Pusparini
tertidur...! *** TUJUH Samresti yang bergelar Bidadari Pemabuk terlihat
memasuki sebuah desa di sebelah selatan kota pela-
buhan yang disebut Kambang Putih. Hampir seharian
dia memacu kudanya menghindari pengejaran sean-
dainya Pusparini alias Walet Emas itu memburu di-
rinya. Sikapnya telah jelas. Kini dia bisa dianggap maling karena telah mencuri
Pedang Merapi Dahana dan
sebuah keris. Karena merasa lelah, maka dicarinya sebuah kedai
untuk mengisi perutnya, terutama mencari tuak. Teta-pi begitu jauh, sudah
selusin kedai yang dimasuki, tak
ada sebuah pun yang menjual tuak.
"Aneh! Apakah di tempat ini ada larangan untuk
menjual tuak di kedai-kedai?" pikir Samresti.
Dia memeriksa guci tuaknya yang isinya tinggal be-
berapa teguk saja. Perasaannya jadi cemas. Tak menduga bahwa dia sampai tiba di
suatu desa yang tidak terdapat kedai yang menjual tuak. Dan desa itu memang desa
pertama kali ia masuki. Jadi tidak menghe-rankan kalau hal-hal begini baru
diketahui sekarang.
Terpikir olehnya untuk melanjutkan saja perjalanan sampai di kota pelabuhan
Kambang Putih. Tetapi untuk ke sana, baru bisa dilakukan besok pagi, karena hari
telah senja. Dan perjalanan ke Kambang Putih diperkirakan memakan waktu setengah
hari. Itu diketahui dari keterangan penduduk. Baru saat itulah Sa-
mresti merasa menyesal mengapa memilih jalur mele-
wati tempat itu. Seharusnya, seperti biasanya, ia melewati Desa Kuncen untuk
menuju Kambang Putih.
Hanya lantaran ingin mempersingkat jarak, maka Sa-
mresti melewati Desa Gadangan ini. Tidak tahunya
malah ketanggor kesulitan seperti itu. Tak menemui penjual tuak.
"Ada yang bisa saya tolong?" tiba-tiba ucapan ini
terdengar tak jauh dari tempatnya.
Samresti menoleh. Dirinya masih bertengger di
punggung kuda yang seakan orang kebingungan. Seo-
rang laki-laki dengan penampilan sebagai warga desa telah menegur. Penampilannya
misterius, karena wajahnya tertutup topi lebar yang menelan seluruh wajahnya,
dan tak terlihat kalau diawasi dari atas.
"Aku mencari kedai penjual tuak," kata Samresti.
"Penjual tuak" Di sini tidak diizinkan lagi menjual tuak," jawab laki-laki itu.
"Tidak diizinkan" Siapa yang melarang" Kepala De-
sa?" "Aku yang melarang!" jawab orang itu lagi.
Tanda tanya melingkar dalam benak Samresti.
"Jangan ngawur kau! Siapa sebenarnya kau, hah"!"
"Orang yang tahu penyakitmu!" jawab laki-laki itu
dengan memperbaiki letak pedangnya yang tersem-
bunyi sehingga tidak terlihat Samresti.
Samresti seperti orang terhipnotis, masih terpaku di punggung kudanya. Ia tak
menduga ada orang yang
tahu tentang penyakitnya. Selama ini hal itu hanya pernah dikatakan kepada Walet
Emas. Bagaimana
orang itu tahu apa yang diidapnya" Yang lebih menga-nehkan, bagaimana ia bisa
melarang seluruh kedai di desa ini untuk tidak menjual tuak" Pejabat pentingkah
orang itu"
"Katakan dirimu sebenarnya!" kata Samresti dengan
nada sengol mengandung ancaman.
"Aku adalah orang yang melarang menjual tuak di
Desa Gadangan ini!"
"Perananmu dalam desa ini"!"
"Yhah, secara kebetulan kepala desa di sini masih
sanak keluargaku, dan mereka prihatin atas kematian Ki Puluwatu!"
"Apa hubungannya denganku" Dengan... dengan
tuak yang kubutuhkan?" sela Samresti.
Hatinya mulai curiga, bahwa laki-laki bertopi lebar ini mulai menghubungkan
dengan nama Ki Puluwatu
yang diketahui masalahnya dari Walet Emas.
"Kau tentu tahu siapa Walet Emas yang bertugas
mencari pembunuh Ki Puluwatu," kata laki-laki yang tetap menyembunyikan wajahnya
di balik topi lebar.
"Walet Emas?" sahut Samresti terperangah. Orang
ini tahu tentang penyakitnya, dan mengenal nama Walet Emas. Samresti semakin
heran. "Jangan pura-pura tidak mengerti, Bidadari Pema-
buk!" kata orang itu lagi.
"Hm. Kau tahu nama gelar kependekaranku pula!
Sebut namamu sebelum aku bertindak kasar terha-
dapmu!" "Rupanya tuak telah membuat perangaimu jadi liar.
Karena tuak, kau jadi pencuri. Akuilah itu!"
"Aku... pencuri" Pencuri apa?"
"Mana ada pencuri ngaku di jagad ini?" ejek laki-
laki itu. Samresti keslomot api tuduhan yang sebenarnya telah disadari. Tanpa buang
kesempatan ia menghen-
takkan tali kekang kudanya. Maunya agar kuda yang
ditunggangi ini melonjak ke atas dan kakinya menghajar laki-laki bertopi lebar
itu. Tetapi laki-laki ini waspada. Ia berkelit menghindar sambil bergulir ke samping
depan di sisi Samresti. Ka-ki Bidadari Pemabuk ini berayun menerjang. Tetapi
luput. Laki-laki itu bergerak ke arah sasaran. Ia ada rencana menotok jalan
darah kaki kuda.
Usahanya berhasil. Kuda yang ditumpangi Samresti
menggeliat roboh. Untung Samresti cepat melompat.
Dengan gerakan ini ia menjambret topi lebar lawannya.
Kena. Kini terlihat wajah laki-laki itu dengan nyata.
Samresti memang tidak dan belum mengenalnya.
"Sebut namamu sebelum nyawamu kubetot dari
jantungmu!" ancam Samresti.
"Ragapangus, adik ragil Puluwatu yang terbunuh,
sahabat Walet Emas!" jawab laki-laki itu yang tiada lain adalah Ragapangus.
Ia sampai di desa itu berdasar perhitungan untung-
untungan. Samresti pasti ke Kambang Putih untuk
menemui Mithara yang diduga sering muncul di sana.
Dan menuju Kambang Putih yang paling dekat dari
Candi Barong harus melewati Desa Gadangan ini. Dan perhitungan Ragapangus benar.
Kini dirinya bisa bertemu dengan Samresti yang ketika mengambil senjata milik
Walet Emas berhasil ia pergoki.
"Aku tak akan membiarkan omong besarmu itu
mempecundangi rencanaku," sahut Bidadari Pemabuk
sembari unjuk ketangkasan dengan menerjang ke arah Ragapangus.
Dua orang ini lantas terlibat baku hantam. Diawali dengan serangan-serangan
pukulan tangan. Lalu sabetan kaki. Disulam lagi dengan serangan perpaduan
segenap anggota badan yang memungkinkan bisa meng-
gojlok lawan. Tampaknya kedua orang ini seimbang.
Atau memang dalam penjajagan kekuatan ini mereka
belum mengeluarkan ilmu bela diri andalannya. Hal itu akan terbukti pada detik
selanjutnya. Dan benarlah. Ketika Samresti merasa keteter serangan lawan, ia mulai beringas.
Pada suatu kesempatan Samresti meneguk tuaknya dan disemburkan ke
arah Ragapangus. Laki-laki ini berhasil menangkis
dengan kebutan topinya yang berhasil disambar. Angin kebutan itu melanda
semburan tuak sehingga menjadi serangan kilas balik. Air tuak nyiprat kembali
kepada asalnya. Kontan Samresti mengaduh, sebab semburan
tuaknya memang berisi tenaga dalamnya. Ditambah
dengan hempasan tangkisan Ragapangus yang juga
mengerahkan tenaga dalam, maka serangan itu jadi
berlipat ganda.
Ragapangus tidak menyia-nyiakan keadaan ini. Se-
rangan berikutnya dilancarkan dengan menendang ke
arah perut lawan. Dalam keadaan tidak siap, serangan ini bisa membuat napas
tersengal. Bahkan mungkin
kehilangan daya untuk mengatur pernapasan guna
mengadakan pertahanan apabila lawan mengadakan
serangan ganda.
Semua telah diperhitungkan Ragapangus dengan
tepat, sehingga serangan berikutnya ia berhasil meringkus Samresti. Kedua tangan
Bidadari Pemabuk ini berhasil dikunci ke belakang tubuh, sedangkan tangan
Ragapangus yang lain siap mencomplong mata wanita itu seandainya berontak
melepaskan diri.
Samresti sadar dengan ancaman ini.
"Pedang yang kau curi dan keris itu, harus kau se-
rahkan padaku," kata Ragapangus. "Atau tanpa keke-
rasan pun kau akan kuikat, sampai kau membutuh-
kan tuak untuk menyelamatkan tubuhmu. Dan kau
akan mati keracunan."
Rasanya ancaman itu sangat berarti bagi keselama-
tannya. Samresti tak punya pilihan lain.
"Baik...! Aku menyerah! Berjanjilah, bahwa kau
akan memberi tuak kepadaku setelah pedang dan keris itu kuserahkan," katanya.
"Hm. Akhirnya kau bisa jinak juga. Aku menyimpan
tuak di rumah kosong itu," kata Ragapangus.
Dalam keadaan tersandera, Samresti digiring ke da-
lam rumah kosong. Kudanya yang lumpuh karena ke-
na totokan jalan darah tetap terkapar tak jauh dari bangunan itu. Sesampai di
dalam, tubuh Samresti di-dorong ke muka yang sebelumnya telah ditotok jalan
darah kakinya agar tidak bisa meloloskan diri.
"Kau tidak mempercayaiku"!" kata Samresti dengan
nada kesal. "Cuma kewaspadaan saja. Ngasolah di sini dulu.
Aku akan mengambil pedang dan keris di kudamu,"
kata Ragapangus sambil meninggalkan Samresti yang
tak berdaya. Seperginya Ragapangus, Samresti mengawasi den-
gan teliti keadaan ruangan rumah kosong itu. Di se-
buah sudut terdapat segentong tuak. Samresti bisa
memastikan karena baunya mengambar dalam ruangan. Dengan kaki terseret ia
mencoba mendekati gentong itu. Kemudian dengan mencoba menggapai tutup
gentong, tubuhnya diusahakan untuk bisa tegak.
"Sialan, tangan ini pun dilumpuhkan oleh Ragapan-
gus," gerutu Samresti.
Karena usaha ini sulit dilakukan, maka tubuhnya
roboh melanda gentong. Tentu saja benda itu terguling dan isinya tumpah. Sekujur
tubuh Samresti terguyur tuak. Karena hausnya, maka dengan rakus ia melahap tuak
yang tercurah ke lantai.
"Hm. Ternyata kau tidak sabaran," terdengar tegu-
ran yang ternyata Ragapangus telah masuk kembali
dengan membawa Pedang Merapi Dahana dan sebuah
keris. Semua tetap dalam keadaan terbungkus.
Samresti tak menghiraukan teguran itu. Ia terus
meneguk tuak yang tumpah pada genangan yang ter-
dapat dalam pecahan gentong. Ia butuh minuman itu
untuk memulihkan tenaganya. Setelah puas, barulah
beringsut menjauhi tempat yang basah. Tetapi tak
urung tubuhnya telah basah kuyup. Ragapangus he-
ran melihat wanita itu tidak mabuk setelah minum
tuak sebanyak itu. Orang bisa teler. Tetapi Samresti tidak.
"Aku perlu ganti pakaian," kata Samresti. "Aku per-lu mandi juga."
Ragapangus masih tegak, tidak menyahut menang-
gapi ucapan Samresti.
"Hei! Kau dengar apa yang kukatakan" Aku ingin
mandi dan ganti pakaian. Tuak ini akan mendatang-
kan semut!" kata Samresti lagi. Matanya menyorot tajam. Matanya pun tidak merah
seperti halnya orang
yang baru minum tuak. Bidadari Pemabuk benar-
benar tidak mabuk!
"Aku yang akan memandikan kau!" kata Ragapan-
gus dengan bergerak mendekati.
"Hei, jangan gila kau!" cegah Samresti.
Bidadari Pemabuk ini berusaha berontak ketika Ra-
gapangus membopongnya.
"Kau... jahanam keparat! Lepaskan aku."
"Katanya kau perlu mandi?" jawab Ragapangus
tanpa mempedulikan Samresti yang berontak dalam
bopongannya. Ya, hanya berontak dengan tenaga terbatas, sebab
tangan dan kakinya telah ditotok sehingga bagian tubuh itu lumpuh total.
Ragapangus membawanya ke tempat mandi di bela-
kang rumah itu. Walaupun hari semakin gelap ia tak peduli. Maunya tubuh wanita
itu harus diceburkan ke dalam kolam mandi yang cukup lebar. Airnya tetap
mengalir yang didapat dari pancuran buatan.
Tetapi karena tempat itu rupanya tidak terurus, sesampai di tepi kolam kaki
Ragapangus terpeleset. Kontan tubuhnya terjerumus ke dalam kolam bersama tu-
buh Samresti yang tetap dalam bopongannya.
Kolam itu hanya sedalam sampai di dada. Walau-
pun begitu, hal itu tidak menguntungkan bagi Samres-ti. Dia bisa tenggelam
karena kakinya lumpuh. Terpaksa Ragapangus menjaganya tetap dalam bopongan.
"Gila! Aku tak sudi mandi dengan kau!!!" seru Bidadari Pemabuk.
"Aku tadi terpeleset! Siapa yang mau mandi den-
ganmu, hai wanita peminum tuak"!" ejek Ragapangus.


Walet Emas 09 Pendekar Atap Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Samresti berontak. Ragapangus melepaskan bopon-
gannya. Maka akibatnya tubuh wanita itu tenggelam
ke dalam kolam. Ia gelagapan. Untuk sesaat Ragapangus membiarkannya. Kemudian
diangkat setelah kea-
daan semakin payah.
"Kk... kau... hhh, akan... mem... bunuhku dengan
cara ini?" terdengar suara Samresti yang kemudian
disusul suara batuk-batuk kesengalan. "Bunuh aku!
Bunuuh!!!" Samresti berontak lagi walaupun kaki dan tangannya tak bisa bergerak.
Yang bergoyang keras
hanya tubuhnya saja.
Ragapangus tetap mempertahankan bopongannya.
Dan tubuh yang saling bersentuhan dengan keras itu menimbulkan perasaan-perasaan
aneh. Apalagi kemben Samresti yang kian melorot karena tingkah-
polahnya sendiri. Dadanya mulai menyibak. Ini sangat tidak disadari. Yang sadar
hanya Ragapangus, sebab dada yang kian lepas dari lindungan kain bersentuhan
dengan bidang dadanya sendiri.
Sentuhan keras dua kulit yang tersibak tanpa pem-
batas itu akhirnya berubah menjadi sentuhan lembut.
Sangat lembut, ketika keduanya sadar bahwa hal itu semakin melenakan diri
masing-masing. Lalu dua ma-ta saling memandang dengan detak perasaan yang
kian berdebar. Ada semacam hasrat yang ragu ingin
dilakukan. Masing-masing enggan untuk mendahului.
Lebih-lebih di pihak Samresti. Bidadari Pemabuk ini begitu pasrah dalam bopongan
Ragapangus. Ketenan-gannya mengundang keberanian laki-laki yang mem-
bopongnya. Dalam air yang dingin itu, tubuh mereka terasa panas. Itu karena
bakaran api birahi yang me-nyala.
Kemudian ada tindakan Ragapangus di luar du-
gaan. Tangan dan kaki Samresti dilepas totokan jalan darahnya sehingga pulih
kembali. Lalu wanita itu dilepas dari bopongannya. Samresti pulih kembali, dan
ki-ni bisa tegak di kolam.
"Sekarang kau bisa mandi sesukamu," kata Raga-
pangus dengan beranjak untuk keluar dari dalam ko-
lam. Samresti masih mematung di tempatnya. Dia tak
menyangka dengan ucapan yang barusan terdengar.
Dia tidak mempedulikan air kolam yang dingin mem-
belenggu sebagian tubuhnya dari kaki sampai sebatas dada. Ia juga tidak
mempedulikan bahwa kain kembennya telah lepas sehingga dadanya terbuka menan-
tang. Keremangan di sana sangat mengundang suasa-
na romantis. "Ragapangus," terdengar suara Samresti lirih. Tetapi suasana hening di sana
membuat panggilan itu terdengar nyata.
Ragapangus menoleh. Matanya tertuju ke arah wa-
nita yang bergelar Bidadari Pemabuk itu. Keheningan mencekam. Dua pasang mata
saling bertatapan me-mendam gelora perasaan yang kian menggelegak.
"Tuak yang tadi menempel di punggungku pasti su-
lit untuk dibersihkan," kata Samresti. "Kau bisa menolong menggosokkan?"
Tak ada jawaban dari Ragapangus. Tetapi laki-laki
ini dengan pelan melangkah maju. Sesaat kemudian
tubuhnya telah terendam air.
Kini dua insan saling berhadapan. Kalau ada gera-
kan, itu karena tangan Samresti memegang tangan
Ragapangus yang sejak menceburkan diri dalam kolam tidak bertindak apa-apa. Lalu
tangan itu ditariknya.
Ditempelkan ke bukit dadanya.
Ragapangus sebagai seorang pendekar pengembara
memang bukan bocah lagi. Bahkan sangat dewasa da-
lam kancah malang-melintangnya kehidupan. Asam
garam pengalaman hidupnya bisa disebut sebagai laki-laki yang tidak 'bersih'
lagi. Begitu pula si Bidadari Pemabuk ini. Ia sebenarnya
telah terjerumus ke dalam lumpur noda sejak masa
gadisnya direnggut oleh pamannya sendiri. Ternyata sang paman tak bertanggung
jawab. Tetapi gadis mana yang bisa menolak seorang paman yang tampan ketika
kesempatan berdua terjalin karena bujukan sang iblis"
Sejak itu Samresti minggat dari rumah dengan rasa
putus asa. Namanya mungkin akan menjadi kenangan
kalau tidak ditolong oleh seorang pendekar tua ketika mencoba bunuh diri ke
dalam jurang. Ia digembleng
oleh pendekar tua itu menjadi seorang pendekar wani-ta. Kini ia berhadapan
dengan seorang lelaki lagi.
"Apa yang kau harapkan?" terdengar suara Raga-
pangus lirih. "Menggosok punggungku," jawab Samresti.
"Tetapi ini bukan punggung."
"Kau bisa mengawali dari sini."
Ragapangus terdiam. Tetapi jari-jari tangannya ti-
dak diam lagi. Dan itu adalah awal pendobrakan dinding pembatas yang sejak tadi
membentang...! *** DELAPAN Saat yang ditunggu Pusparini tiba, walaupun per-
temuannya dengan kelompok Barong Makara mungkin
terjadi pada malam harinya. Tetapi perasaannya waswas juga ketika teringat akan
sarana yang harus diberikan kepada kelompok itu kalau seandainya pembu-
nuh Ki Puluwatu bisa diseret ke hadapannya. Kecemasannya terletak pada keris
yang seharusnya diberikan kepada kelompok itu yang saat ini telah raib dari
tangannya karena ulah Samresti alias Bidadari Pemabuk.
Mayat-mayat masih bergelimpangan di pelataran
Candi Barong. Lalat-lalat beterbangan mengerumuni
tubuh-tubuh yang tak bernyawa lagi. Hal itu pasti
akan mengundang perhatian kalau kelompok Barong
Makara tiba. Dugaan bahwa kelompok itu akan tiba pada malam
harinya, ternyata meleset. Mereka telah muncul ketika matahari mulai condong ke
barat. Agni, tokoh berkedok merah itu tampil dengan cara mengejutkan. Ia
muncul dengan diawali ledakan asap.
"Selamat datang, Agni!" sambut Pusparini.
Tentu saja sebutan nama itu sangat mengejutkan
bagi sosok tubuh yang berkedok merah. Tujuh orang
anak buahnya tetap mengenakan cadar hitam sekujur
tubuhnya. "Di mana si pembunuh itu" Menurut saksi mata,
dia berkedok hitam sekujur tubuhnya. Apakah dia salah seorang di antara orang-
orang itu?" kata Pusparini mencoba menguasai suasana.
Ia menduga, kalau sampai si Agni tahu bahwa keris
itu tidak ada pada dirinya, ini berarti kesulitan harus dihadapi.
"Tunggu dulu, Walet Emas! Aku selama ini tak per-
nah menyebutkan nama kepadamu. Mengapa kau
panggil aku Agni" Siapa yang memberitahumu" Apa-
kah Mithara telah bertemu dengan kau" Sebab hanya
dirinya yang mengerti panggilan itu!" kata orang berkedok merah yang bernama
Agni. "Ya! Mithara yang mengatakan padaku. Kau lihat
mayat-mayat yang bergelimpangan itu" Bukankah di
antaranya kau kenal" Atau tidak?" kata Pusparini lagi untuk membelokkan
percakapan agar tidak menjurus
kepada si pembunuh yang dikehendaki.
Sebenarnya si Agni sudah menduga ketika melihat
mayat-mayat yang bergelimpangan yang di antaranya
terdapat Pasupata, orang kepercayaan Mithara, bahwa sekutunya yang dianggap api
dalam sekam, telah hadir di sana.
Tiba-tiba Agni tertawa. Walaupun mulutnya tertu-
tup cadar, suara itu keras terdengar.
"Jadi kau telah membinasakan anak buahnya?" ka-
tanya. "Jadi kau telah bermusuhan dengannya?"
"Mungkin dia pikir sekarang aku telah mati," jawab Pusparini.
"Apakah itu berarti Mithara pergi sebelum anak
buahnya berhasil kau tumpas?"
"Aku tidak gentar berhadapan dengan siapa pun.
Aku begitu benci kalau ada orang yang akan merusak diriku."
"Itu memang kedoyanan Pasupata."
"Lalu bagaimana dengan janjimu" Mana si pembu-
nuh itu?" Pusparini nekad bertanya.
"Maaf, secara jujur kuakui, kami sulit menemukan-
nya. Rupanya sejak membunuh saudagar itu, ia me-
nyembunyikan diri," jawab Agni.
Pusparini tersenyum mengejek, seolah melempar-
kan hinaan terhadap kerja yang tak becus, padahal hatinya was-was kalau pembunuh
itu ternyata berhasil diseret ke hadapannya, dirinya benar-benar mati kutu.
"Kalau begitu perjanjian kita batal," dalih Pusparini.
"Kau menganggap begitu juga boleh. Selama ini ka-
mi berusaha berbuat jujur. Perlu kau ketahui, bahwa keris itu tak akan berguna
bagi orang lain. Hanya ka-mi, orang-orang dari Atap Dunia yang mengerti kegu-
naannya. Mengapa kau akan mempertahankannya"
Tidakkah bisa kita runding berdasar imbalan yang kau minta umpamanya?" kata Agni
nada jujur. "Aku telah berjanji untuk membawa pembunuh itu
ke hadapan istri almarhum Ki Puluwatu," jawab Pus-
parini. "Imbalannya telah kukatakan padamu. Bawalah pembunuh ke hadapanku. Jadi
bukan ' emas picis raja brana'!"
"Rupanya percuma kita berdebat. Selama ini aku
berusaha jujur. Tetapi kalau terpaksa bertindak dengan cara kekerasan,
sebenarnya bukan kemauanku."
"Jadi kau akan merampas dari tanganku?"
"Maaf. Terpaksa," kata Agni sambil memberi isyarat kepada anak buahnya.
"Tunggu!" tiba-tiba Pusparini mencegah.
"Ada apa" Kau berubah pikiran?"
"Keadaannya telah berubah. Ketika aku kemari, ke-
ris itu telah dicuri oleh teman seperjalananku," kata Pusparini dengan mengawasi
orang-orang bercadar hitam yang mulai bergerak mengepungnya.
"Bicara apa kau ini?"
"Keris itu sudah tidak berada di tanganku lagi. Seorang pendekar wanita bergelar
Bidadari pemabuk, ia mengambilnya ketika aku sedang mandi. Juga senjata
andalanku!"
Agni memberi isyarat lagi. Orang-orang berpakaian
serba hitam itu menghentikan langkahnya. Sementara Pusparini sendiri telah siap
siaga seandainya usaha pencegahannya gagal.
"Bidadari Pemabuk?" terdengar ucapan Agni.
"Ya. Bidadari Pemabuk. Nama aslinya Samresti!"
"Apakah hal itu bisa kupercaya?"
"Kita bisa memburunya bersama-sama. Harap kau
ketahui, seorang temanku saat ini sedang mengejar-
nya. Itu sebabnya aku menunggu di sini."
Agni termenung.
"Aku bisa percaya omonganmu," katanya. "Tetapi
untuk bergerak bersama, tak mungkin. Kau bukan go-
longanku!"
"Bukan golonganmu?"
"Suatu saat kau akan mengerti mengapa kami ber-
cadar dengan ketat semacam ini."
"Apakah... orang-orang Atap Dunia lain dengan
orang-orang Jawadwipa?"
"Kau tak akan mengerti apabila kujelaskan. Seka-
rang tunjukkan denah tempat yang biasa dituju oleh...
Bidadari Pemabuk itu!"
"Dia pasti ke Kambang Putih. Kota pelabuhan di
pantai utara sana!"
*** Agni dan orang-orangnya melesat pergi. Gerakannya
memang tidak ada ubahnya seperti para pendekar ka-
lau bergerak pergi. Tetapi gerak itu lebih cepat. Atau boleh dikata seperti
ditelan angin saja. Blas..., tak terlihat lagi! Kalau itu merupakan ilmu
kanuragan, Pusparini tak habis pikir, ilmu kanuragan macam apa
yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang mengaku
dari negeri Atap Dunia itu.
Tengah berpikir sendirian, mendadak dikejutkan
oleh munculnya sosok tubuh lain yang muncul dari
arah sisi candi. Rupanya kedatangannya mengambil
jalan trabasan dari puncak tebing.
"Ragapangus!" seru Pusparini dengan beranjak
menjemput kedatangan laki-laki itu. "Bagaimana ha-
silnya" Rasanya berbulan-bulan menunggu kemuncu-
lanmu." Ragapangus muncul sendirian. Perangainya tampak
loyo dan lesu. "Kau... tak berhasil menemukan Samresti!?"
"Ketemu!"
"Mana dia?"
"Dia benar-benar wanita iblis!"
"Wanita iblis" Maksudmu... ia memiliki ilmu kanu-
ragan pemberian iblis?"
"Wataknya."
"Hei! Kau cerita hanya sepotong-sepotong. Berceri-
talah apa yang telah menimpamu."
Ragapangus yang muncul sendirian itu kemudian
menceritakan peristiwa yang dialami. Tanpa tedeng aling-aling, blak-blakan saja.
Ketika sampai pada bagian mandi bersama, Pusparini berdehem agar cerita yang
macam begituan tidak dibeberkan secara rinci.
"Maaf! Tetapi karena peristiwa itu aku jadi sadar
bahwa aku telah terjerat rayuan Bidadari Pemabuk
berhati iblis!"
"Dan ia meloloskan diri ketika kau terlena?"
Ragapangus mengangguk lesu. "Pedang Merapi Da-
hanamu masih di tangannya. Tetapi keris itu berhasil kutahan karena pada waktu
itu kuletakkan agak tersembunyi. Rupanya dia pergi terburu-buru."
Pusparini mengambil alih keris yang menjadi sumb-
er sengketa dari tangan Ragapangus.
"Jadi kau dijebak dengan rayuan" Penyakit kelema-
han macam itu bisa-bisanya tak kau sadari" Kurang
pengalaman?"
"Justru kebanyakan pengalaman!" jawab Ragapan-
gus menyentil rasa gurauan. "Tetapi yang seperti Samresti baru kali ini."
Pusparini melengos dan mangkel. Tetapi apa boleh buat. Untuk sejenak matanya
mengamati keris di tangannya. Baru kali ini ia merasa perlu meneliti senjata
yang menjadi persengketaan. Sebenarnya tak ada
keunggulan apa-apa. Baik bentuk maupun tata nilai
seni perkerisan. Apanya yang istimewa" Apakah keris itu berasal dari negeri Atap
Dunia" "Apakah kau sependapat denganku bahwa keris ini
sebenarnya tidak terlalu istimewa?" tanya Pusparini.
"Ya!" jawab Ragapangus. Sikapnya masih terbeleng-
gu rasa sesal karena peristiwa mandi bersama Samres-ti ternyata merupakan
perangkap baginya. Ia hampir-hampir tak percaya. Begitu pasrahnya Samresti mem-
biarkan tubuhnya digelut penuh nafsu. Bahkan di sini Ragapangus menilai bahwa
Samresti punya banyak kelebihan dalam menghadapi laki-laki. Ia begitu ganas dan
rasanya tak pernah terpuasi. Akhirnya Ragapangus sendiri yang terkapar. Ini
benar-benar jebakan dari Bidadari Pemabuk.
"Dia benar-benar bidadari yang memabukkan lelaki.


Walet Emas 09 Pendekar Atap Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi bagiku cukup sampai di situ. Ketemu lagi, dia bakal minta ampun padaku!"
gerutu Ragapangus.
"Hei, kalau sudah begini kau nggrundel seperti bocah kepleset kulit pisang.
Seharusnya kau waspada sejak awal!"
Ragapangus membaringkan diri. Rupanya ia sangat
kelelahan. Dalam keadaan ini Pusparini tekun meneliti keris tersebut. Dari hulu
yang terbuat dari gading, kemudian diteliti bagian sambungan yang disebut
'ganja' yang ada bentuk 'eri pandhan', 'thingil', 'rondha', pada ekornya. Banyak istilah
perihal keris yang dipahami oleh Pusparini, seperti 'elis', 'kruwingan',
'gusen', dan lain sebagainya. Yang terakhir ini bagian dari 'wi-lah'nya.
"Hm. Apa yang istimewa dari keris ini"!" pikirnya.
Tengah berpikir seperti itu mendadak tangannya
memutar hulu keris. Ganja, bagian yang terletak di pangkal keris, bergeser! Hal
ini membuat tangan Pusparini semakin usil. Bagian keris itu diputar berkali-kali
yang akhirnya hulu keris terlepas. Hulu tangkai keris yang terbuat dari gading
itu berongga. Dan rong-
ga itu tersumpal gulungan seperti kain sutra. Ketika dikeluarkan, memang kain
sutra yang bertuliskan huruf-huruf yang tak dikenal oleh Pusparini.
"Hei"! Kau apakan keris itu?" tanya Ragapangus ke-
tika rasa penatnya semakin pudar.
"Inilah rahasianya mengapa keris ini jadi sengketa.
Ada rahasianya di hulu keris. Lihat apa yang kutemukan di sini."
Lembaran kain sutra tipis yang dibeber itu ternyata selebar seluas tapak tangan.
Dan di sana tertera tulisan dengan huruf yang sangat asing.
"Astaga. Kau benar," sahut Ragapangus serentak
melihat lembaran kain sutera itu.
"Hurufnya lembut sekali," sambut Pusparini. "Kau
bisa membacanya?"
Ragapangus menggeleng.
"Aku punya rencana," kata Pusparini kemudian.
"Kita ke Kambang Putih, sebab di sana akan jadi tempat pertemuan orang-orang
yang menghendaki keris
ini." "Bagaimana kau tahu hal itu?" tanya Ragapangus.
"Pertama, di sana dipastikan tempat mangkal Mi-
thara. Kedua, aku telah mengatakan kepada Agni,
orang yang bercadar merah, bahwa pencuri pusaka da-ri tanganku yang bernama
Bidadari Pemabuk, pasti ke Kambang Putih untuk mencari Mithara guna penyembuhan
racun yang mendekam dalam tubuhnya."
"Hm. Kalau begitu kita tak usah membuang waktu.
Sebaiknya kita ke Kambang Putih."
"Tetapi... hanya ada seekor kuda."
"Aku membawa kuda. Kutambatkan di kelok jalan
sana. Kuda pinjaman dari Kepala Desa Gadangan yang masih famili sendiri."
Keduanya lalu berkemas meninggalkan Candi Ba-
rong. Lalu berangkat menuju Kambang Putih.
*** SEMBILAN Kambang Putih, sebuah kota pelabuhan yang kelak
kemudian bernama Tuban, tampak ramai. Bukan saja
kapal-kapal yang berlabuh di sana, tetapi padatnya manusia hilir mudik yang
selalu memenuhi jalanan setiap harinya. Di sana banyak orang mengadu nasibnya,
mencari dengan berbagai cara. Ada yang halal, ada
yang tidak. Bahkan ada yang terselubung dengan
maksud tertentu yang alasannya dia sendiri yang tahu.
Kota itu di bawah wilayah Kerajaan Medang. Karena
timbul ketegangan dengan kerajaan Sriwijaya, maka
para pendatang asing sangat diawasi dengan ketat.
"Apa kataku" Pasti ia berada di sini. Lihat itu!" kata Pusparini sesampai di
Kambang Putih dan menelusuri keramaian pelabuhan.
"Siapa yang kau maksud?" tanya Ragapangus.
"Mithara!"
Di suatu tempat, terlihat sebuah tenda yang banyak dikerumuni banyak orang.
Tertera tulisan di sana. 'Mithara, tabib negeri Atap Dunia'. Tulisan itu sendiri
sudah merupakan daya tarik. Lebih-lebih nama negeri
asalnya: Atap Dunia! Orang menghubungkan dengan
hal-hal yang magis. Kebanyakan yang hadir di sana
memang mencari kesembuhan. Kalau berbicara hal
itu, tampaknya manusia getol sekali untuk bisa sehat terus. Tak mempan penyakit.
Tetapi kadang manusia
lupa, bahwa penyakit itu bisa datang karena perbuatan karma. Jadi bukan karena
sarana hidup yang ku-
rang memadai. Buktinya, di sana tampak menunggu
giliran para orang kaya dan pejabat. Bukankah untuk hidup sehat mereka itu bisa
terlaksana" Mengapa bisa sakit" Nah, hal itu mungkin ada hukum karmanya.
Siapa tahu dalam memperoleh kekayaan itu mereka
bertindak tidak jujur" Ada juga yang kerjanya mem-
bungakan uang dengan nilai tinggi alias lintah darat.
Uang melimpah. Tetapi boleh dikata setiap minggu apel mencari kesembuhan di
berbagai tempat.
Tengah Pusparini menyaksikan orang-orang yang
berjubel di sana, tiba-tiba melintas Samresti di antara orang-orang itu.
"Lihat di pojok tiang itu. Samresti!" kata Pusparini kepada Ragapangus.
"Dia bisa kabur kalau melihatku atau melihatmu,"
jawab laki-laki yang pernah terkecoh rayuan Samresti.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan. Orang hiruk-
pikuk karena ada copet. Seseorang telah kena copet. Si pencopet berusaha
melarikan diri dan membaur di
tengah orang-orang yang lalu-lalang di sana. Pusparini berhasil mengawasi
pencopet itu. Ini yang membuat
dia turun tangan. Dia kejar orang itu. Dengan sekali gebrak, si pencopet ndlosor
ke tanah tak berkutik.
Orang-orang segera mengerumuni pencopet yang ba-
rang buktinya masih di tangan. Si pemilik barang datang dan mengucapkan terima
kasih kepada Pusparini.
Justru tindakan tersebut telah mengundang perhatian Samresti alias Bidadari
Pemabuk. Melihat Pusparini berada di sana, kontan ia mencoba menyembunyikan
diri. Tetapi Ragapangus telah melihat kelebatnya.
"Kita ketemu lagi, Bidadari," tegur Ragapangus.
Samresti njenggirat kaget. Secepat itu pula gerakan tangannya mengayun ke arah
Ragapangus yang hendak meringkusnya. Laki-laki yang pernah dikecohnya ini
menangkis. Ternyata gerak itu mengawali baku
hantam. Orang-orang yang berada di dekat sana sem-
burat menyingkirkan diri. Dekat-dekat dari pendekar yang baku hantam bisa
berabe. "Kau tak akan lepas dari tanganku kali ini, Bidada-ri!" ejek Ragapangus yang
bertindak serius menghada-pi lawan perempuannya.
Pusparini segera mengetahui peristiwa ini. Ia menu-ju ke tempat baku hantam.
"Kalian akan mengroyokku?" seru Samresti ketika
melihat kemunculan Pusparini.
"Untuk seorang maling tak perlu dikroyok. Orang
yang kerjanya maling sifatnya selalu pengecut. Mengambil milik orang lain selagi
pemiliknya lengah, apa itu bukan tindakan pengecut?" ejek Pusparini.
Tiba-tiba Samresti mencabut Pedang Merapi Daha-
na. Sshhrriiingg!!!
Pedang itu memancarkan bias warna merah karena
ditimpa cahaya matahari. Orang-orang yang melihat
kejadian itu terperangah kagum dan heran.
"Pedang ini pernah dipersengketakan leluhurku ju-
ga, Walet Emas. Dan aku akan melanjutkan hasrat pa-ra leluhur itu yang belum
pernah kesampaian. Kini
senjata ini telah jatuh ke tanganku. Ayo, majulah, kalau kau benar-benar singa
betina!" sumbar Samresti.
"Aku bukan singa betina, tetapi Walet Emas!" berka-ta begitu Pusparini
menggenjotkan tubuh, langsung
meliuk ke atas bagaikan burung walet. "Minggir, Ragapangus. Biar kuhadapi
Bidadari Pemabuk ini!"
Ragapangus menyingkir untuk memberi kesempa-
tan kepada Pusparini. Gadis itu juga punya hak untuk menangani Bidadari Pemabuk.
Sedangkan Ragapangus
hanya ingin melampiaskan dendam saja, karena terkecoh rayuan di kolam mandi.
Seruan Pusparini dengan menyebut nama Bidadari
Pemabuk, membuat orang-orang tahu siapa nama dua
pendekar wanita itu. Juga gelar Walet Emas. Mereka terkagum dengan sepak terjang
dua wanita yang sedang baku hantam.
Keributan di sana tentu saja mengundang perhatian
banyak orang. Termasuk Mithara, yang saat itu sedang menyembuhkan pasiennya di
dalam tenda. "Ada apa ribut-ribut di luar?" tanya Mithara kepada seorang pembantunya.
"Dua orang sedang baku hantam. Orang-orang me-
nyebut Walet Emas dengan Bidadari Pemabuk sedang
bentrokan di sana."
Penjelasan itu membuat Mithara terhenyak.
"Dia masih hidup" Kalau begitu Pasupata bisa dika-
lahkan. Dan yang satu... Bidadari Pemabuk" Orang
yang mencuri keris tersebut dari tangan Walet Emas,"
pikirnya. Mithara tersenyum dengan melangkah keluar sete-
lah pasien yang ditangani selesai diobati. Kemudian kerja penyembuhan itu
ditutup untuk hari itu.
Di sana, tepat di pinggiran pesisir, baku hantam antara Pusparini dengan
Samresti berlangsung dengan
seru. Menghadapi Pedang Merapi Dahana yang bisa
menghancurkan senjata lain, memang sulit untuk di-
tanggulangi. Memang ada senjata tertentu yang sanggup bertahan, tetapi pada saat
itu rupanya tidak ada sebilah pun yang bisa bertahan. Apalagi kalau sinar
matahari dengan gencar-gencarnya memancar me-manggang bumi.
"Ayo! Jangan jumpalitan saja menghindari pedang
ini," seru Samresti sambil terus menghajar Pusparini dengan sabetan Pedang
Merapi Dahana. Kerusakan yang ditimbulkan oleh hantaman pedang
itu cukup parah. Banyak perahu nelayan yang dida-
ratkan di atas pasir, hancur oleh sabetan Pedang Merapi Dahana.
"Pusparini! Coba dengan keris ini!" seru Ragapan-
gus sambil melempar keris pusaka yang jadi sumber
sengketa orang-orang dari negeri Atap Dunia.
Keris tersebut berhasil ditangkap dengan trenggi-
nas. Pusparini ragu-ragu apakah keris itu mampu bertahan terhadap gempuran
Pedang Merapi Dahana.
Maka dengan nekad, ia menghadang gempuran Sa-
mresti dengan keris tersebut.
Claangg!!! Dua buah senjata beradu! Dan keris itu tidak han-
cur! Menurut Ki Suswara, guru Pusparini, memang ada
logam tertentu yang bisa bertahan terhadap gempuran Pedang Merapi Dahana. Dan
Pusparini memang telah
beberapa kali membuktikan sebelum peristiwa ini.
Melihat hal ini Samresti heran. Bagaimana mungkin
ada senjata yang bisa bertahan terhadap Pedang Me-
rapi Dahana" Ia memang awam terhadap rahasia pe-
dang tersebut. Tahunya hanya keampuhannya saja.
Bahkan ia tidak tahu kalau Pedang Merapi Dahana
yang dipegangnya itu hanya ampuh kalau ditimpa ca-
haya matahari. Sementara itu Mithara telah tampil melihat mereka
yang sedang baku hantam. Melihat keris yang dicari selama ini di tangan
Pusparini alias Walet Emas, timbul niatnya untuk merebut. Tanpa membuang waktu
lagi, tangannya dijulurkan, yang sejenak kemudian
meluncur serat-serat seperti benang sutra dan menjerat ke keris di tangan
Pusparini. Lalu dihentakkan dengan keras.
Keris terlepas. Peristiwa ini sangat mengejutkan.
Tampilnya Mithara membuat gembira Samresti. Betapa tidak. Dengan begitu ia akan
bisa berhubungan langsung dengan orang yang diharapkan bisa menyem-
buhkan ketergantungannya dengan tuak.
Tanpa ada yang memberi aba-aba atau mendahului
bertindak, baku hantam itu terhenti. Tiga pihak saling tegak di atas pesisir.
"Keris itu telah jatuh ke tanganku. Terima kasih.
Sekarang aku tak ada urusan dengan kalian lagi," kata Mithara dengan menimang
keris di tangannya.
Pusparini berdebar dengan tindakan yang akan di-
lakukan oleh Mithara. Laki-laki itu menggerakkan hu-lu keris tersebut, seperti
yang diperkirakan oleh Pusparini.
"Ke mana isinya?" terdengar suara Mithara setelah
hulu keris tersebut dilepas. Hulu gagang keris ternyata kosong melompong.
"Isi apa?" sahut Pusparini pura-pura tak tahu.
"Lembaran sutra. Tertulis mantera untuk menyem-
buhkan Putri Raja Atap Dunia. Laksmi Dewi!" seru Mithara dengan pandangan nanar
yang ditujukan kepada Pusparini. "Pasti kau telah mengambilnya!"
"Aneh! Katanya kau tabib. Tetapi kerepotan menda-
patkan mantera penyembuhan. Apakah kau tergan-
tung dengan mantera itu" Atau kau tabib yang tak begitu menguasai ilmu ketabiban
dengan sempurna?"
sahut Pusparini.
Mendadak ucapan itu terhalang dengan tampilnya
sosok-sosok bercadar hitam yang kemudian disusul
dengan munculnya si Agni! Kehadiran mereka dengan
kecepatan tinggi sehingga kelihatannya muncul dari dalam pasir. Hanya penampilan
si Agni diawali dengan ledakan asap merah. Kemudian Agni memberi isyarat
kepada anak buahnya yang meringkus seseorang yang
berpakaian hitam pula. Sebelum dilempar ke hadapan Pusparini, cadar orang itu
dilepas paksa...!
Tubuh itu terguling ke hadapan Pusparini. Wajah
seorang Keling.
"Kawasa"!" seru Mithara.
"Ya. Dia Kawasa. Pencuri ulung dari Agat. Dialah
pencuri keris tersebut. Dia lari ke Jawadwipa ini untuk menghindari pengejaran.
Kehidupannya yang mewah
memungkinkan dia bisa hidup seperti bangsawan. Di-
alah yang menenung Putri Laksmi Dewi karena cin-
tanya ditolak. Dia menenung lewat seorang dukun
Agat. Dan dialah pembunuh saudagar bernama Pulu-
watu, Walet Emas!" kata si Agni yang penjelasan ini lebih banyak ditujukan
kepada Pusparini.
Kawasa, si pembunuh Ki Puluwatu, memandang
nanar di sekitarnya. Dirinya berhasil ditangkap oleh kelompok Barong Makara
karena kepergok ketika hendak menuju Kambang Putih. Pada kesempatan yang
membuat dirinya tak berkutik, dilihatnya Pedang Merapi Dahana yang bersinar
merah terlihat lena di tangan pemegangnya. Tanpa buang waktu ia melompat
merebut. Samresti tergagap kaget melihat hal itu, sebab pikirannya sejak tadi tertuju
kepada Mithara yang diharap bisa menyembuhkan sakitnya. Pedang Merapi Dahana
berhasil dirampas. Tubuh Samresti ditendang sehingga terjengkang. Lalu dengan
pedang tersebut Kawasa menyerang Agni. Tokoh bercadar merah ini mencoba
berkelit. Tetapi terlambat. Ujung Pedang Merapi telah me-robek cadarnya. Kain
merah itu tersibak, dan terlihat-lah wajah yang seakan tidak berkulit. Hanya
otot dan daging saja yang terlihat.
Melihat hal itu Mithara segera bertindak. Tangan-
nya dijulurkan. Sekejap kemudian serat-serat halus


Walet Emas 09 Pendekar Atap Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar dari tangan itu. Tangan yang ditutup lengan jubah panjang menyibak karena
ditiup angin. Dari sini orang tahu bahwa serat-serat halus itu ternyata
dikeluarkan dari semacam gelang yang terlindung. Dengan bagian yang berada di
telapak tangannya, maka jari tengahnya menekan semacam pengumpil, dan dari lo-
bang di bawah gelang meluncurlah benang-benang su-
tra yang halus ke arah sasaran.
Kawasa yang tidak sadar akan serangan semacam
ini baru tahu ketika pedang di tangannya telah terjerat. Ia berusaha
mempertahankan senjata tersebut.
Karena serat halus itu rasanya bermuatan getaran
yang menyengat, maka tangannya tak kuasa lagi ber-
tahan. Kiranya getaran yang menyengat itu adalah tenaga
dalam yang disalurkan oleh Mithara. Kawasa meraung kesakitan, dan pedang
terlepas dari tangan. Tetapi Kawasa cerdik. Dengan melepaskan pedang tersebut
sebenarnya dia juga melemparkan ke arah sasarannya, yakni kepada Mithara.
Akibatnya, Pedang Merapi Dahana meluncur tak terkendali, dan melesat ke arah
leher Mithara. Kontan tokoh ini terhenyak dan tak bisa mengelua-
rkan suaranya kecuali bunyi "Ghhhrrokhh!" disertai semburan darah bagai air
mancur. Lalu, detik berikutnya berlangsung dengan cepat.
Pusparini melompat dengan liukan tubuh yang manis
dan menyambar Pedang Merapi Dahana. Senjata ini
berhasil dicabut dari leher Mithara sebelum tabib ini terjerembab ke tanah.
Kini dengan Pedang Merapi Dahana di tangan, Pus-
parini ganti mengincar Kawasa.
"Aku berjanji kepada istri Ki Puluwatu untuk me-
laksanakan dendamnya," kata Pusparini dengan mele-
sat ke arah Kawasa.
Orang Keling ini sadar akan bahaya yang mengan-
cam. Dia berusaha meloloskan diri. Tetapi tiba-tiba dirasakan ada semburan tuak
melanda tubuhnya dari
belakang. Ternyata semburan tuak itu berasal dari
Samresti! Tubuh Kawasa mencelat, karena semburan
itu tersalur tenaga dalam yang bukan main-main.
Mencelatnya tubuh Kawasa meluncur ke arah Puspa-
rini yang siap dengan acungan Pedang Merapi Dahana, dan... Jhrraass!!!
Pedang Merapi Dahana yang membiaskan cahaya
merah itu menghunjam tepat pada ubun-ubunnya!
Pusparini terpaksa menahan dengan kedua tangannya
ketika ujung pedangnya dimuati tubuh Kawasa yang
tertusuk bagaikan sate raksasa!
Kawasa mampus! Pusparini mencabut dengan rasa bergidik, sebab
darah yang tercecer di hadapannya bercampur dengan serpihan otak Kawasa yang
hancur. Suasana tegang berakhir...!
Pusparini memandang Samresti. Kedua pandangan
wanita yang semula tegang ini tiba-tiba tersiram kera-mahan. Keduanya sama-sama
tersenyum. Entah siapa
yang memulai. Rupanya senyum itu mengibarkan per-
damaian antara keduanya.
"Maafkan aku, Pusparini!" kata Samresti.
"Tak ada yang perlu dimaafkan," jawab si Walet
Emas. Lalu Pusparini menghadapi Agni yang kini menge-
nakan cadar kembali.
Selama baku hantam tadi terjadi, Agni dan anak
buahnya hanya menanti kesempatan terakhir untuk
menghadapi lawan. Tetapi kiranya Pusparini telah berhasil mengatasi.
"Ini mungkin yang kalian cari," kata Pusparini sambil mengeluarkan selembar kain
sutra bertulis mantra.
"Terimalah! Aku percaya, kau utusan Baginda Raja
Atap Dunia untuk mencari kesembuhan putrinya,
Laksmi Dewi!" sambungnya sambil menyerahkan lem-
baran sutra itu kepada Agni. "Dan ini kerisnya untuk tempat penyimpannya!"
Agni memandang dengan haru atas sikap Pusparini.
"Kami tak tahu harus berkata bagaimana untuk
mengucapkan terima kasih," terdengar suara Agni di balik cadarnya.
"Salamku saja sampaikan kepada Putri Laksmi De-
wi apabila telah sembuh."
"Akan kujunjung pesan itu."
"Tetapi... apa yang membuat kalian harus berca-
dar?" tiba-tiba Ragapangus nimbrung.
"Kulit kami tidak tahan dengan alam panas di Ja-
wadwipa. Kau lihat tadi sewaktu cadar ini tersingkap, bukan?" jawab Agni.
"Tetapi Mithara tidak begitu," kata Pusparini.
"Sebenarnya dia bukan warga Atap Dunia. Dia
hanya ingin melamar Putri Laksmi Dewi. Boleh dikata kedatangannya kemari hanya
untuk berlomba mencari
keris itu," jawab Agni sambil memberi isyarat kepada anak buahnya.
Orang yang diberi isyarat lalu beranjak pergi. Tentang hal itu segera diketahui
ketika sebuah perahu cukup besar muncul dari balik perahu-perahu yang ber-jajar
di dermaga. Rupanya keberangkatan kembali ke negeri Atap Dunia akan dilakukan
hari itu juga. "Kami telah menghubungi syahbandar di sini," ja-
wab Agni. Pusparini tak menduga bahwa kedatangan mereka
di Medang berlangsung secara resmi. Bukan menye-
lundupkan diri.
Tak berapa lama kemudian perahu yang mirip 'jung'
itu berangkat berlayar meninggalkan bandar Kambang Putih...!
*** SEPULUH Pusparini baru sadar bahwa dirinya telah sendirian di ujung anjungan dermaga,
ketika menoleh diketahui Ragapangus tak ada lagi di tempatnya.
"Kemana dia" Juga Samresti tak kulihat!"
Pusparini sibuk mencari.
"Jangan-jangan mereka terlibat bentrokan melan-
jutkan urusannya," pikir si Walet Emas ini dengan terus mencari mereka.
Kemudian langkahnya dialihkan ke tenda tempat
Mithara melayani pasien-pasiennya. Tempat itu sepi.
Hanya seorang pembantu warga Kambang Pulih yang
diupah untuk menjaga tempat itu. Kini tenda itu tak bertuan.
"Bapak tahu dua orang teman saya yang... satu wa-
nita pemabuk itu?" tanya Pusparini kepada penjaga
tenda. Orang itu rupanya enggan menjawab. Timbul kesan
takut untuk berbicara.
"Jangan takut. Saya tidak akan membunuh Bapak
walau bekas pesuruh Mithara. Kulihat dua ekor kuda ditambatkan dekat tenda ini.
Apakah mereka... di dalam?"
Orang tua itu tetap canggung untuk menjawab.
"Baik. Bapak memang takut menjawab. Saya akan
memeriksa ke dalam," kata Pusparini dengan ndlujur
masuk tanpa permisi lagi.
Dan sesampai di dalam... benar-benar astaga!
Ragapangus dan Samresti sedang bergumul di atas
permadani. Bukan bergumul baku hantam berdarah.
Tetapi rupanya ada masalah yang harus dilanjutkan
dengan urusan mereka.
Ketika Pusparini balik melangkah, tiba-tiba terdengar teguran Ragapangus, "Maaf!
Aku tak lihat kau masuk."
"Apakah kalian pikir aku pantas mengganggu?" kata
Pusparini tanpa melihat dua orang itu yang saling
membenahi pakaiannya yang semua nyaris tercampak
lepas. "Kalau kalian berdua telah akur, aku ikut senang. Aku akan segera kembali
ke istana Medang. Dan tentang urusan dengan Nyi Puluwatu telah jadi tanggung
jawabmu, Ragapangus. Laporkan kepada istrinya bahwa kerjaku telah selesai."
Sebelum melangkah pergi Pusparini berkata lagi,
"Bagaimana tentang racun yang kau idap, Samresti?"
Samresti muncul. Baru berani menghadapi Puspa-
rini setelah kembennya terbenahi kembali.
"Orang tua penjaga itu memberitahu aku bahwa da-
lam menyembuhkan sakit, Mithara hanya mempergu-
nakan ramuan butiran di guci ini. Semua penyakit
diobati dengan memberikan butiran ini kepada semua orang yang sakit. Dan aku
telah menelan beberapa butir. Rasanya... kesehatanku pulih!" kata Samresti.
"Dan setelah itu?" tanya Pusparini.
"Kami akan... menikah!" sahut Ragapangus yang
muncul nimbrung.
Tiga orang itu mengumbar tawa.
"Apakah kau masih menghendaki pedangku?" tanya
Pusparini. "Ah. Lupakan itu, Pusparini. Apa gunanya melan-
jutkan urusan orang-orang tua zaman dulu" Kau me-
mang berhak menyandang Pedang Merapi Dahana itu!"
jawab Samresti yang dipeluk Ragapangus dari bela-
kang. Pusparini pergi meninggalkan mereka.
Dengan berkuda ia menuju ke istana Medang. Ia pi-
kir Narendra pasti sudah muncul di istana menemui
Mapatih Satyawacana sehubungan dengan tugas pem-
buatan prasasti. Selama perjalanan, ingin rasanya cepat-cepat bertemu dengan
Narendra. Sebulan berpisah rasanya kangen sudah menggunung.
*** SAMPAI JUMPA DI LAIN
KISAH Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Clickers
Document Outline
*** DUA *** *** TIGA *** EMPAT *** LIMA *** ENAM *** TUJUH *** DELAPAN *** *** SEMBILAN *** SEPULUH *** Hamukti Palapa 8 Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu Perawan Lembah Wilis 6
^