Pencarian

Pendekar Atap Dunia 1

Walet Emas 09 Pendekar Atap Dunia Bagian 1


PENDEKAR DARI ATAP DUNIA http://cerita-silat.mywapblog.com Daftar Judul Cersil Bag 19 :1081 Wiro Sableng
- Insan Tanpa Wajah1082 Wiro Sableng - Sang Pemikat1083 Wiro Sableng - Topan Di
Gurun Tengger1084 Wiro Sableng - Nyawa Titipan1085 Wiro Sableng - Si Cantik Dari
Gunung Gede1086 Wiro Sableng - Bayi Satu Suro1087 Wiro Sableng - Dendam Mahluk
Alam Roh1088 Wiro Sableng - Perjodohan Berdarah1089 Wiro Sableng - Badai Laut
Utara1090 Wiro Sableng - Cinta Tiga Ratu1091 Pendekar Rajawali Sakti - Rahasia
Dara Iblis1092 Pendekar Rajawali Sakti - Darah di BukitSerigala1093 Pendekar
Rajawali Sakti - Pusaka PantaiSelatan1094 Pendekar Rajawali Sakti - Mawar
Berbisa1095 Pendekar Rajawali Sakti - Rahasia CincinMustika1096 Pendekar
Rajawali Sakti - Tengkorak Hitam1097 Pendekar Rajawali Sakti - Singa Gurun1098
Pendekar Rajawali Sakti - Datuk Pulau Ular1099 Pendekar Rajawali Sakti - Telapak
Kematian1100 Pendekar Rajawali Sakti - Sengketa TigaPotong Peta1101 Pendekar
Rajawali Sakti - Wanita Iblis1102 Pendekar Rajawali Sakti - Dewa Mata Maut1103
Pendekar Rajawali Sakti - Sepasang Taji Iblis1104 Pendekar Rajawali Sakti -
Dendam BerkubangDarah1105 Pendekar Rajawali Sakti - Dedemit PintuNeraka1106
Pendekar Rajawali Sakti - Kelelawar Hijau1107 Pendekar Rajawali Sakti - Dewi
Mawar Selatan1108 Pendekar Rajawali Sakti - Iblis PemenggalKepala1109 Pendekar
Rajawali Sakti - Ratu Alam Baka1110 Pendekar Rajawali Sakti - Asmara Gila
diLokananta1111 Pendekar Rajawali Sakti - Kekasih SangPendekar1112 Pendekar Naga
Putih - Petaka Kuil Tua1113 Pendekar Naga Putih - Penyembah DewiMatahari1114
Pendekar Naga Putih - Racun Ular Karang1115 Pendekar Naga Putih - Panggung
Kematian1116 Pendekar Naga Putih - Pemburu Nyawa1117 Pendekar Naga Putih -
Majikan Pulau Setan1118 Pendekar Naga Putih - Goa Larangan1119 Pendekar Naga
Putih - Pewaris Dendam Sesat1120 Pendekar Naga Putih - Penculik
PenculikMisterius1121 Pendekar Naga Putih - Gerombolan Setan Merah1122 Pendekar
Naga Putih - Jerat Peri Kembangan1123 Pendekar Naga Putih - Tokoh Buronan1124
Pendekar Naga Putih - Gendruwo RimbaDandara1125 Pendekar Naga Putih -
Pertarungan Dua Naga1126 Pendekar Naga Putih - Perempuan-PerempuanLembah
Hitam1127 Pendekar Naga Putih - Neraka Bumi1128 Pendekar Naga Putih - Budak
Nafsu Terkutuk1129 Pendekar Naga Putih - Perempuan Berbisa1130 Pendekar Naga
Putih - Setan Pantai Timur1131 Pendekar Naga Putih - Bayang-Bayang Maut1132
Pendekar Naga Putih - Orang-Orang Terbuang1133 Pendekar Naga Putih - Pengantin
Ratu Pesolek1134 Pendekar Naga Putih - Utusan dari Neraka1135 Pendekar Naga
Putih - Pembalasan TopengTengkorak1136 Pendekar Naga Putih - Pembunuh
BerdarahDingin1137 Pendekar Naga Putih - Perantauan ke TanahIndia1138 Wiro
Sableng - Janda Pulau Cingkuk1139 Wiro Sableng - Bayi Titisan1140 Wiro Sableng -
Kupu-Kupu Giok Ngarai Sianok
Oleh TEGUH SANTOSA
Cetakan Pertama - 1991
Penerbit BINTANG USAHA JAYA SURABAYA
Cover oleh TEGUH SANTOSA
Hak Cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa ijin tertulis dari penerbit
TEGUH SANTOSA Serial Pendekar WALET EMAS
dalam episode ke - 9
Pendekar dari Atap Dunia
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU Roda pedati yang mulai merambah jalanan berbatu
membuat Pusparini terbangun dari tidurnya. Tubuh-
nya terguncang di pembaringan dalam ruang pedati
yang tidak berapa luas. Di sampingnya terdapat bungkusan barang dagangan milik
pedagang yang kenda-
raannya sedang melaju dengan oleng karena berada di jalanan yang buruk.
"Hei, akhirnya kau terbangun juga," kata kusir pe-
dati dengan menoleh sekilas ke arah Pusparini yang menggeliat bangun. "Bukan
maksudku untuk mem-bangunkan kamu, tetapi jalanan ini memang bukan
main jeleknya. Apalagi kalau musim hujan, kita terpaksa mendorong kalau
terperangkap genangan lum-
pur." "Tidak apa-apa. Kalau tidak begini aku tetap molor tertidur. Sampai di desa mana
ini?" kata Pusparini sambil melongok keluar.
Di dekat kusir pedati itu duduk seorang setengah
umur yang terkantuk-kantuk. Rupanya ia sedang
mimpi yang tak terusik keadaan jalan seperti itu.
Mungkin sudah terbiasa. Dialah sang juragan yang
memiliki pedati itu.
"Kita sampai di Desa Klerek," jawab kusir pedati.
"Kalau yang kau tuju Desa Manggisan, masih dua pu-
luh lima pal lagi."
"Masih jauh juga," sahut Pusparini dengan menga-
wasi daerah yang sedang dilalui.
"Kau belum pernah kemari?" tanya sang kusir.
"Baru sekali ini."
"Lalu apa tujuanmu ke Desa Manggisan?"
"Mencari seorang teman. Sudah hampir sebulan ti-
dak kembali ke tempat pangkalan tugas," jawab Pus-
parini. "Kembali ke tempat pangkalan tugas?" sela kusir
pedati itu. "Tempat macam apa itu?"
"Ah, cuma tempat berkumpul saja, Pak."
"Tetapi kedengarannya aneh."
"Kami bekerja untuk membantu pemerintah Kera-
jaan Medang," jawab Pusparini.
"Semacam laskar?"
"Enghm... ya! Semacam itu. Tetapi kami tidak teri-
kat pada tatacara keprajuritan."
"Enak kalau begitu. Keponakanku juga seorang pra-
jurit Medang. Sudah lama tidak pulang ke rumah. Katanya kerajaan ini sedang
gawat. Apa benar?" tanya si kusir dengan ucapan menggebu-gebu.
"Sampai anaknya lahir dia tidak tahu," tiba-tiba
terdengar suara sang juragan yang semula dikira tertidur sambil duduk.
"Eh, Ki Puluwatu tidak sedang tidur, to?" sahut si kusir.
"Tidur pun aku bosan kalau dalam perjalanan se-
perti ini," jawab sang juragan bernama Ki Puluwatu itu. Kini dia benar-benar
membuka matanya. Orangnya gendut, pencerminan lambang kemakmuran kehi-
dupannya. "Jadi... kau nanti turun di Desa Manggisan?" tanya Ki Puluwatu kepada Pusparini.
"Iya, Ki!"
"Aku senang kendaraan ini kau tumpangi. Melihat
penampilanmu, kau ini pasti seorang pendekar."
Pusparini tidak menyanggah.
"Aku juga punya sanak famili yang kerjanya seperti dirimu. Tetapi dia seorang
pemuda. Kerjanya memang
' toh nyawa' (taruhan nyawa), harus berani korban
nyawa. Entah apa keuntungannya kerja semacam itu.
Kuajak hidup menjadi pedagang tidak mau."
"Tetapi kalau itu sudah menjadi niatnya, maka ba-
haya apa pun tak pernah dirisaukan, Ki," sahut Pusparini. "Siapa nama famili
itu?" "Adik ragilku. Namanya Ragapangus!" jawab sang
juragan. "Ragapangus?"
"Pernah mendengar nama itu?"
"Tidak!" jawab Pusparini.
Tiba-tiba si kusir menyentak tali kekang pedatinya.
"Ada apa"!" tanya Ki Puluwatu.
"Lihat, Ki! Ada orang menggeletak di tengah jalan!"
"Astaga," sahut lelaki gendut itu setelah mengamati dengan teliti.
Pusparini juga memperhatikan.
"Tunggu! Biar aku yang memeriksa," katanya.
Pusparini melompat dari atas pedati. Dengan sekali gerak, ia sudah berada di
tempat yang dituju. Lalu membungkuk untuk memeriksa siapa yang menggeletak itu.
Baru saja Pusparini akan menyentuh tubuh
orang itu, tiba-tiba yang dituju bergerak cepat merenggut lengan Pusparini.
Pusparini yang sejak semula telah curiga, sebenar-
nya tidak begitu kaget. Renggutan tangan itu berhasil ditepiskan dengan hantaman
tapak tangannya, sehingga orang itu menyeringai kesakitan. Tetapi orang itu
cepat pula menyabetkan kakinya ke arah tubuh
Pusparini. Nyaris kena kalau ia tidak menggulirkan tubuhnya ke samping sehingga
serangan lawan mene-robos ke tempat kosong. Untuk mengimbangi serangan tersebut,
Pusparini segera menghantam kaki yang ter-julur itu dengan sikunya, tepat pada
tulang kering lawan.
Jeritan menggema. Sang lawan melompat bergaya
belalang. Sambil bergerak, kakinya menerjang lagi. Tetapi lagi-lagi Pusparini
berhasil menghindar. Serangan segera disambut dengan mematahkan tendangan itu
dengan sabetan tangan yang menotok jalan darah sa-
lah satu kaki yang lengah tak terjaga.
Kontan orang itu roboh sambil menebah kakinya
yang lumpuh. Baru saja Pusparini akan bertindak me-lumpuhkan secara total, tiba-
tiba mendesing sebuah senjata rahasia ke arahnya. Tetapi dengan sigap tangan
Pusparini berhasil menangkap senjata rahasia itu, tepat dengan jepitan dua buah
jarinya. Senjata itu segera dilempar kembali ke tempat asalnya.
"Akh!" sebuah jeritan dari semak-semak terdengar.
Lalu sesosok tubuh muncul dari sana sambil menebah salah satu matanya yang
tertembus senjata rahasianya sendiri.
Lawannya yang pertama, walaupun dengan kekua-
tan satu kaki, mencoba menyabetkan pedangnya ke
lambung Pusparini. Tetapi pendekar wanita ini men-gempiskan perutnya sehingga
tusukan itu lolos ke depan. Untuk menangkal serangan ini disusul gebrakan
lututnya yang menghajar lambung lawan. Serangan
dengan tulang lutut ini disertai tenaga dalam yang cukup mantap, sehingga
lawannya muntah darah, dan
roboh tak berkutik. Limpanya pecah.
Pusparini segera melihat ke arah lawan lainnya
yang menebah luka di matanya. Orang itu segera melarikan diri menembus semak-
semak. Pusparini enggan
untuk mengejar.
"Mampus," terdengar suara Pusparini pelan setelah
memeriksa keadaan lawannya berbareng dengan da-
tangnya Ki Puluwatu untuk melihat dari dekat.
"Ck, ck, ck! Bukan main tandangmu, Gendhuk. Be-
lum pernah kulihat tandang seorang pendekar seperti itu," kata Ki Puluwatu.
"Mari kita cepat meninggalkan tempat ini sebelum
yang lain muncul," saran Pusparini.
"Apakah mereka begal?" tanya si kusir yang mende-
kat ingin tahu.
"Entahlah. Menurut Bapak bagaimana" Apakah hal
seperti ini sering terjadi" Maksud saya... penghadangan seperti ini," kata
Pusparini. "Tt... tidak pernah," jawab Ki Puluwatu.
"Aneh! Jadi untuk apa mereka berbuat semacam
itu" Yang jelas ini adalah tindak penghadangan. Apakah untuk membegal barang-
barang Bapak?"
"Entahlah. Mungkin juga begitu. Atau... ada alasan lain yang aku sendiri tidak
tahu. Tetapi...," Ki Puluwatu tidak melanjutkan ucapannya.
"Tetapi apa?" sahut Pusparini yang merasa ada
yang tidak beres dengan ucapan saudagar gendut itu.
"Beberapa hari lalu... aku menerima surat anca-
man," jawab Ki Puluwatu.
"Surat ancaman" Tentang apa?" tanya Pusparini.
"Untuk menyerahkan pusaka yang kumiliki," jawab
saudagar itu. "Pusaka" Pusaka yang sangat ampuh maksud Ba-
pak?" "Aku tak tahu. Pusaka itu sebilah keris yang pernah kutukar dengan sepasang
kerbau." "Hm. Aneh. Ada orang yang menukar pusaka den-
gan sepasang kerbau, dan sekarang ada yang memin-
tanya kembali dengan ancaman," sahut Pusparini.
"Ayolah kalau begitu. Kita teruskan perjalanan. Biarkan korban itu. Pasti ada
temannya yang kini mengintip dari jauh yang nanti membereskannya."
"Jadi... kita sekarang sedang dimata-matai?" tanya
si kusir. "Aku melihat beberapa orang menyelinap di batang
pohon di sana itu. Ayo cepat kita tinggalkan tempat ini," saran Pusparini dengan
mengawali naik ke atas pedati.
Tak lama kemudian, pedati itu meluncur lagi. Kali
ini dengan laju yang cepat sebab dilecut dengan menggebu oleh sang kusir.
*** DUA Sebenarnya di Desa Manggisan, Ki Puluwatu tidak
berniat bermalam. Tetapi karena peristiwa itu, maka diputuskan untuk tidak
melanjutkan perjalanannya ke tujuannya semula, ke Kambang Putih, yang kelak
bernama Tuban, di pesisir utara.
"Aku jadi berpikir bahwa surat ancaman itu benar
adanya," kata Ki Puluwatu kepada Pusparini di sebuah penginapan di Manggisan.
Mereka akhirnya harus berada dalam satu atap penginapan, karena Pusparini tidak
berhasil menemui kakak seperguruannya bernama
Narendra. "Tentunya surat ancaman itu ada tanda pengenal-
nya," kata Pusparini.
"Benar. Orang yang mengirim memakai nama sama-
ran sebagai 'Barong Makara'," jawab Ki Puluwatu.
"Barong Makara"!"
"Ya. Oh, ini. Secara kebetulan surat ancaman itu
kusimpan dalam ikat pinggang," kata saudagar itu
dengan mengeluarkan sesuatu dari ikat pinggangnya.
"Ini."
Kemudian lembaran kulit selebar sejengkal tangan
tersebut diserahkan kepada Pusparini. Kemudian di-
baca oleh yang bersangkutan.
"Hm. Ya," jawabnya setelah membaca tulisan yang
tertera di sana. "Jadi Ki Pulu diharuskan menyerahkan keris itu agar diletakkan
di sanggar pamujan halaman rumah" Mengapa tidak Bapak lakukan?"
"Menyerahkan begitu saja?" jawab Ki Puluwatu.
"Kalau barang itu barang dagangan, ya harus dibayar dengan duit, atau ditukar
dengan barang lain. Aku telah mengeluarkan sepasang kerbau untuk penukaran-
nya. Kalau ditukar dengan kerbau, maka jumlahnya ya harus lebih dari yang telah
kukeluarkan."
"Wah, ilmu dagang Ki Pulu njlimet benar. Tetapi kalau hal ini sudah menyangkut
nyawa, apakah tidak
ada pertimbangan yang lain?"
"Maksudmu?"
"Balas saja surat itu dengan kehendak Bapak se-
suai dengan cara dagang," saran Pusparini.
"Dia tidak memberikan alamatnya yang jelas. Ba-
gaimana aku bisa menghubungi si pengirim surat?"
jawab Ki Puluwatu.
"Gampang!" kata Pusparini setelah termenung bebe-
rapa saat. "Ki Pulu hubungi lagi orang yang menjual keris tersebut yang
menukarnya dengan sepasang kerbau itu. Siapa dia, dan di mana rumahnya."
"Namanya Wungsu, dari Desa Gaplek," jawab Ki Pu-
luwatu.

Walet Emas 09 Pendekar Atap Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah! Ki Pulu tinggal mencarinya di sana untuk
minta penjelasan dari mana keris tersebut berasal," saran Pusparini lebih
lanjut. "Mengapa Bapak tampak
murung?" katanya lagi ketika dilihatnya saudagar itu termenung.
"Justru hal-hal seperti itu yang aku tidak suka
mengurusi. Waktuku tersita oleh urusan dagang," ja-
wab Ki Puluwatu.
"Kalau dibanding bahwa ini menyangkut keselama-
tan Bapak, lebih baik meluangkan waktu untuk itu,"
kata Pusparini.
Ki Puluwatu termenung lagi. Kali ini terlihat lebih beku dengan perangai
dirundung kekalutan. Berbagai pertimbangan simpang siur dalam benaknya.
"Bagaimana kalau aku... minta tolong kepadamu?"
katanya kemudian.
"Apa maksud Bapak?"
"Aku minta tolong kepadamu!"
Pusparini membisu.
"Kau tentu mau melakukannya."
"Saya tak bisa mengenyampingkan tugas saya
membantu menjaga keamanan Kerajaan Medang," ja-
wab Pusparini. "Untuk kerja sampingan saja. Kau bisa melacak je-
jak siapa yang mengirim surat tersebut di samping tugas utamamu," kata Ki
Puluwatu. "Mengapa Bapak tidak minta tolong kepada Raga-
pangus, adik Bapak itu?" saran Pusparini.
"Kalau saja dia kuketahui tempat tinggalnya, sudah kemarin-kemarin kusuruh dia.
Sudah hampir dua tahun kami tak pernah bertemu. Paling akhir dia berlayar ke
negeri seberang. Bahkan pernah ke negeri Ci-na."
"Sayang sekali!" sahut Pusparini. "Melihat pengem-
baraannya itu, pasti dia seorang pendekar yang linuwih dari saya."
"Ah, tidak juga. Dia disebut pendekar, tetapi aku
belum pernah melihat dia menghajar lawan di depan
mataku. Lain dengan kau. Tadi kulihat kau memba-
bak-belurkan dua orang itu... whuih... tandangmu ampuh, nDhuk," kata Ki Puluwatu
memuji untuk men-
gambil hati Pusparini.
"Sayang sekali saya tidak bisa membantu Bapak,"
jawab Pusparini. "Nah, Pak, saya permisi kembali ke kamar. Sudah ngantuk."
Ki Puluwatu mengangguk mempersilakan. Ada se-
macam kekecewaan terlintas pada wajahnya dengan
pipinya yang mengendor.
*** Hari semakin larut. Malam tanpa bintang karena
langit terselimut awan. Pusparini masih terjaga. Rasanya menyesal menolak
permintaan Ki Puluwatu. Be-
lum pernah dia menghindari masalah yang terpam-
pang di depan matanya untuk ditolak. Tetapi bukan-
kah saat ini dia tetap mengemban amanah untuk
membela kebenaran" Kini dia telah mengabdi kepada
pemerintah Medang. Pemerintah kerajaan tumpah da-
rahnya. Semboyan 'Benar atau Salah adalah Negaraku'
membuat tentang arti 'kebenaran' itu tak bisa ditawar lagi.
Dirinya telah diberi tugas sebagai anggota laskar
prajurit Medang tanpa terikat jadwal hadir serta tata-tertib keprajuritan yang
berlaku. Tugas utamanya adalah semacam telik sandi. Mapatih Satyawacana sendiri
tak bisa menyebut jabatan yang diberikan kepada
Pusparini. Yang jelas, nama Pusparini telah terdaftar sebagai seorang yang
paling dibutuhkan dalam pertahanan kekuatan Kerajaan Medang. Untuk ini dia
punya tanda pengenal khusus yang diberikan oleh
Mapatih apabila Pusparini bertugas ke daerah wilayah Medang.
Ini semua tak luput dari jasa Tunggul Randi, seo-
rang telik sandi yang berkenalan dengan dirinya sewaktu terlibat peristiwa 'Dewi
Selaksa Racun'. Sedang-
kan Narendra, kakak seperguruannya, yang dikenal-
nya dalam peristiwa 'Siluman Kedung Brantas', men-
dapat jabatan serupa. Kemudian dalam kalangan pra-
jurit laskar Medang, nama Pusparini dan Narendra dikenal sebagai 'Pasangan
Pendekar Asmarawan', sebab keduanya dijodoh-jodohkan sebagai pasangan yang co-
cok. Sesuai dalam penampilan. Dan serasi sebagai suami-istri.
Tetapi kalau orang sudah memperolokkan tentang
ini, Pusparini tak pernah menggubris. Rasanya urusan pribadinya tak ingin
digembar-gemborkan. Bahkan dia bisa marah kalau hal itu jadi pergunjingan
murahan, jadi bahan rerasan di warung-warung jalanan. Akhirnya orang-orang yang
dekat dengan dirinya tak berani lagi memperolokkan pembicaraan mengenai hubungan
Pusparini dan Narendra.
Pikiran tentang ini akhirnya terkikis dengan pulihnya perhatian kepada Ki
Puluwatu. Ia ingin membantu.
Tetapi dalam waktu dekat ini dirinya harus mencari Narendra yang sudah sebulan
tidak hadir ke Medang.
Padahal Narendra akan diberi tugas untuk mengawal
para 'amahat' yang akan membuat prasasti di Waringin Sapta.
"Mungkin tawaran Ki Puluwatu bisa dipertimbang-
kan lagi," pikir Pusparini dengan menguap.
Rasa kantuk itu akhirnya menyeret dirinya. Tetapi
baru saja ia terhanyut suasana tidur, tiba-tiba terbangun karena adanya suara
jeritan. Mulanya tak dihi-
raukan benar, sebab mungkin hanya pendengarannya
saja yang salah. Tetapi setelah didengar lagi dengan cermat, jeritan itu
terdengar lagi. Bahkan berkepan-jangan.
"Itu suara Ki Puluwatu!" pikir Pusparini dengan
membenahi dirinya yang kemudian melesat ke luar.
Di sana sudah ada beberapa orang yang menengok
kamar saudagar itu. Bahkan si kusir pedatinya kelihatan panik meraung-raung.
"Apa yang terjadi?" tanya Pusparini menyibak ke-
rumunan orang-orang yang ingin menengok ke dalam
kamar penginapan.
Pusparini tak sulit memperoleh jawabannya. Pan-
dangannya segera melihat apa yang menimpa Ki Pulu-
watu. Lehernya terbelah dan mengantarkan nyawa
meninggalkan raganya.
"Terlambat!" bisik Pusparini dengan wajah penyesa-
lannya. "Mengapa dia mesti terbunuh kalau mereka
menghendaki keris itu" Bukankah dengan keadaan ini maka keterangan yang mereka
kehendaki jadi sirna"
Atau Ki Puluwatu telah menjelaskan di mana disim-
pannya keris tersebut, dan dia lantas dibunuh?" pikirnya lebih lanjut.
"Apakah Bapak melihat seseorang yang melakukan-
nya?" tanya Pusparini kepada si kusir pedati.
"Saya tidur di emperan sini. Tahu-tahu terdengar
suara jeritan. Lalu saya terbangun untuk membuka
pintu kamarnya. Pada saat itu pintu terbuka, dan seseorang menerjang keluar
sehingga saya mencelat," ka-ta si kusir pedati.
"Bagaimana penampilan orang itu?" tanya Puspari-
ni. "Berpakaian serba hitam. Belum pernah saya melihat orang berpakaian seperti
itu." Pusparini memeriksa barang-barang pribadi si kor-
ban. Tak ada tanda-tanda perampokan. Jelas bahwa
hal itu adalah masalah keris yang pernah diceritakan kepadanya. Tetapi ketika
Pusparini mencari surat yang pernah ditunjukkan kepadanya, lembaran kulit itu
tidak diketemukan.
"Apa mungkin surat itu dibawa kabur oleh si pem-
bunuh?" pikir Pusparini.
Kemudian diputuskan untuk membawa jenasah Ki
Puluwatu kembali ke desanya besok pagi. Mau tidak
mau Pusparini terpaksa mendampingi mengantar jena-
sah itu. Ketika hal ini dikatakan kepada si kusir pedati, orang ini terima
kasihnya bukan main. Dia benar-benar tak tahu apa yang harus diperbuat untuk
menghadapi hal ini.
*** TIGA Ciri-ciri orang sebagai pembunuh Ki Puluwatu san-
gat menarik perhatian Pusparini. Sampai hari kedua setiba di rumah saudagar
malang itu, Pusparini masih berada di sana. Atas kehendak istri Ki Puluwatu, ia
diharapkan menangani persoalan suaminya yang dipan-
dang sebagai peristiwa pembunuhan yang harus ditangani pihak yang berwajib.
Pihak Bhayangkara kadipa-ten juga bertindak menangani. Tetapi tampaknya gerak
mereka terbatas. Hal bunuh-membunuh pada saat itu
rupanya bukan barang baru lagi. Memang ada semen-
tara orang beranggapan bahwa masalah ini umumnya
diselesaikan dengan cara hukum rimba walaupun di
Medang telah ada sarana hukum yang mengaturnya.
Itu sebabnya istri almarhum tidak begitu percaya kalau hal ini diserahkan kepada
yang berwajib. Karena dilihatnya Pusparini bisa bertindak lewat jalur hukum dan
juga bisa bertindak sesuai dengan 'keadaan yang memaksa' yang berkaitan dengan
dunia persilatan,
maka ia lebih condong mengandalkan kemampuan
Pusparini. Kemudian pemburuan terhadap pembunuh itu dila-
cak mulai dari orang yang memiliki keris tersebut. Sedangkan keris yang menjadi
biang malapetaka itu di-minta oleh Pusparini sebagai sarana perburuan.
"Saya tidak dapat menyangkal kalau Nyi Pulu me-
naruh dendam terhadap siapa saja yang mengaki-
batkan terbunuhnya suami Nyai. Tetapi kalau saya
disuruh membawa kepala yang terpenggal dari si pembunuh, saya tidak bisa
melaksanakan walaupun saya
mampu melakukan," kata Pusparini ketika mendengar
permintaan istri almarhum saudagar itu.
"Baiklah. Lakukan tugasmu. Datanglah kembali
kemari kalau kau telah berhasil membunuhnya. Hu-
tang nyawa, harus dibayar nyawa!" kata wanita janda itu. "Saya melakukan atas
dasar permintaan Ki Puluwatu yang tidak saya sanggupi. Kini saya melibatkan diri
karena saya merasa terpanggil untuk bertindak. Saya tidak akan mengharapkan
imbalan apa-apa," jawab
Pusparini. "Kalau Nyai didatangi oleh orang yang tak dikenal dan menanyakan
keris tersebut, katakan,
bahwa Walet Emas yang membawanya."
"Walet Emas?" sahut wanita itu.
"Nama kependekaran saya!" jawab Pusparini seraya
meninggalkan tempat itu. "Mereka pasti mencari saya.
Dan itu yang saya kehendaki."
Boleh dikata istri almarhum saudagar itu sangat
memanjakan Pusparini. Untuk tugas ini ia diberi seekor kuda beserta perbekalan
dalam perjalanan. Berbicara tentang kuda, Pusparini bisa mengambil man-
faatnya ketika mencari Narendra dan membonceng ke-
reta pedati milik Ki Puluwatu. Seandainya dia berangkat berkuda, pasti tidak
akan membonceng kendaraan saudagar itu, dan masalah ini tak bakal diketahuinya.
Nama Wungsu dari Desa Gaplek menjadi sasaran
pertama. Dialah yang menjual keris tersebut dengan imbalan pertukaran sepasang
kerbau. Untuk pergi ke desa itu memang tidak mengalami hambatan. Kesuli-tannya
hanya, ketika datang ke rumah orang bernama Wungsu, ternyata orang yang dicari
ini kata para te-tangga telah meninggal sepuluh hari yang lalu. Dia terbunuh
dalam suatu bentrokan bersenjata dengan
beberapa orang yang mengroyoknya.
"Pasti ada yang tidak beres dengan kematiannya,"
pikir Pusparini. "Kalau sepuluh hari yang lalu, berarti sebelum Ki Puluwatu
terbunuh. Rupanya ada pihak
yang tidak menghendaki soal keris itu agar tidak diketahui oleh mereka yang
pernah menyimpannya. Dan
membunuh Ki Puluwatu sebenarnya tindakan yang sa-
lah kalau mereka menginginkan keris itu."
Menghadapi hal ini sepertinya Pusparini mengalami
jalan buntu. Dan Pusparini bukanlah Walet Emas ka-
lau tidak dilecut oleh hasrat yang membara untuk menangani hal ini. Dua jiwa
telah melayang. Ini telah cukup untuk mencari kelompok yang menamakan diri
sebagai 'Barong Makara' itu.
Pusparini meninggalkan Desa Gaplek. Tak ada sa-
nak famili Wungsu yang bisa memberi penjelasan dari mana almarhum mendapatkan
sebuah keris yang ditukar dengan sepasang kerbau. Dan hari itu rasa haus
Pusparini memaksanya untuk singgah di sebuah kedai. Baru saja ia turun dari
kuda, seseorang mendeka-tinya.
"Saya saudara ipar Wungsu," kata orang itu. Seo-
rang lelaki yang berpenampilan sebagai petani dengan sikap ragu mencoba
berbicara dengan Pusparini.
"Maaf. Aku tadi tak sempat menemuimu ketika kau datang ke rumah saudara iparku
itu. Ketika aku diberi
tahu istrinya, buru-buru aku mencarimu."
"Oh. Kebetulan sekali. Kita bisa berbicara dalam
kedai itu," kata Pusparini.
"Jangan di situ. Di dalam ada beberapa orang yang
kulihat tempo hari mengroyok Wungsu. Tetapi yang
membunuh bukan mereka."
Ini namanya 'pucuk dicinta ulam tiba' pikir Puspa-
rini. Tanpa diduga telah datang penjelasan secara be-runtun yang penanganannya
bisa dimulai. Tentu saja dari orang-orang yang mengroyok Wungsu. Tetapi
Pusparini ingin bahan lebih lanjut dari orang yang menyebut dirinya sebagai
saudara ipar Wungsu. Orang itu memperkenalkan namanya.
"Pak Gumoh?"
"Ya!" jawab laki-laki setengah baya itu.
"Bapak tahu dari mana Wungsu mendapatkan keris
itu?" tanya Pusparini.
"Enghmm... sebenarnya, eh sebenarnya... Wungsu
menemukan di sebuah kereta yang terguling," jawab
Gumoh. "Kereta yang terguling?"
"Ya! Saat itu kami berdua sedang berangkat ke sa-
wah. Tiba-tiba di tengah jalan kami melihat sebuah kereta terjerumus ke jurang.
Entah kapan terjadinya.
Kami selidiki, dan ternyata milik saudagar Keling!"
"Saudagar Keling" Yang kau maksud orang Hindus-
tan?" "Iya! Rupanya kereta itu dirampok habis-habisan
oleh sekelompok begal. Tiga orang jenasah kami temukan di sana. Dan secara
kebetulan Wungsu menemu-
kan sebilah keris."
"Hm. Jadi begitu ceritanya. Terima kasih atas penjelasan Bapak. Sekarang aku
mengerti. Coba Bapak me-
nyingkir dari sini. Aku akan mengurusi orang-orang
yang pernah mengroyok Wungsu," kata Pusparini den-
gan melangkah masuk ke dalam kedai.
Kemunculan Pusparini mengundang perhatian. Bi-
asa, dia jadi wanita satu-satunya di tempat itu, selain istri pemilik kedai. Di
samping itu pakaian kependekarannya yang membalut tubuhnya yang sintal padat,
membuat setiap mata mengekor geraknya. Pusparini
langsung memesan minuman dan duduk lesehan di
pojok. Untuk lebih menarik perhatian, langsung Pusparini memesan minuman tuak.
Dia pilih yang paling keras.
"Hei! Kalian dengar apa yang dipesan" Tuak paling
keras!" sahut seorang dari kelompok laki-laki yang akan menjadi sasaran
penyelidikannya. "Ia pesan satu bumbung penuh. Apa hendak dibuat mandi"


Walet Emas 09 Pendekar Atap Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hahahahaha...! Bisa teler kau, nDhuk!"
"O ya" Maksudku... minuman yang kupesan untuk
nraktir kalian!"
"Wah, dermawan benar kau. Belum pernah kutemui
wanita cantik mau nraktir kami," sahut laki-laki berambut panjang yang dikuncir
kepang. Panjang ram-
butnya sampai pantat.
Umumnya kelima orang itu berpakaian nyentrik pa-
da zamannya. Ada yang jidatnya diberi warna pemerah bibir. Ada yang telinganya
ditindik dan digantungi anting-anting besar. Seorang lagi yang jenggotnya
panjang sampai menyentuh dada, dijalin pada ujungnya dan
diberi bandul besi yang runcing.
Pusparini mengawasi satu per satu kelima laki-laki itu. Jelas bahwa kelengkapan
yang mereka pakai bukan sekedar untuk nyentrik-nyentrikan, tetapi merupakan
senjata sampingan yang tersembunyi.
"Mari, kalau kalian ingin menikmati. Silakan!" sambut Pusparini mencoba bersikap
ramah. Tanpa ragu kelima orang itu nimbrung ke tempat
Pusparini. Ada beberapa orang yang menganggap Pus-
parini sebagai wanita murahan dan berusaha menge-
lus pundaknya. Tetapi dengan tenang Pusparini men-
cekal tangan itu agar tidak bergerak berlarut-larut yang naga-naganya akan
mlorot dengan rabaan semakin ke bawah. Kelihatannya memang tenang. Tetapi
Pusparini telah mencekalnya dengan tenaga dalam sehingga laki-laki itu nyengir
kesakitan. Teman-
temannya yang lain menyambut dengan tawa urakan.
"Dia memang kami juluki 'si tangan jahil'. Sukanya meraba-raba. Jangan takut.
Cuma begitu yang bisa dia lakukan. Lainnya sudah kendor, hahahahaha...!"
Olok-olok itu membuat merah wajah 'si tangan ja-
hil'. Yang lain mencoba menggoda dengan mengelus
pantat yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi da-
ri belakang. Pusparini tak tinggal diam. Tangan yang usil itu langsung diduduki
sehingga yang punya sikap menjerit kesakitan. Lagi-lagi hal seperti itu disambut
gelak tawa dari teman-temannya yang lain. Sedangkan Pusparini sepertinya tidak
mengalami apa-apa. Semua dihadapi dengan tenang.
"Ayo, minum!" ajak Pusparini mengawali.
Tanpa sungkan kelima laki-laki itu meneguk tuak
yang disediakan. Tanpa setahu mereka, sebenarnya
Pusparini hanya menyentuhkan bibirnya saja kepada
cangkir minumannya yang terbuat dari gerabah. Ini
membutuhkan kesabaran untuk membuat kelima laki-
laki itu menjadi teler. Hampir setengah losin tegukan cangkir yang telah masuk
ke dalam perut mereka. Sedangkan Pusparini belum seteguk pun. Dan anehnya
kelima orang itu belum ada tanda-tanda teler! Ia mulai cemas. Jangan-jangan
usahanya gagal. Bau tuak itu
benar-benar menyebar ke seluruh ruangan. Terbukti
jenis tuak yang keras.
Selama berkubang dalam perjamuan yang mema-
bukkan itu percakapan-percakapan membuih dalam
iringan gelak tawa. Kebanyakan memancing-mancing
Pusparini yang tetap dianggap sebagai wanita gampangan.
"Masa nggak mau?" kata seorang yang rambutnya
panjang. "Aku baru dapat ceperan."
"O ya. Dari siapa?" tanya Pusparini mulai merasa
dapat peluang ke arah sasaran.
"Pasupata!"
"Pasupata" Siapa Pasupata"!" tanya Pusparini.
"Akulah Pasupata!" tiba-tiba terdengar suara di ambang pintu.
Seorang yang berperawakan tinggi besar berdiri di
sana. Seorang berkebangsaan Keling, Hindustan.
Rompinya mirip jubah, sedangkan pakaian bawahnya
semacam cawat yang berjumbai panjang di tengahnya, mirip selendang, warnanya
merah. Rambutnya dikuncir, berkumis sampai menyentuh pipinya. Matanya
menyorot tajam.
"Kau baik hati benar menjamu mereka," kata laki-
laki bernama Pasupata tanpa beranjak dari tempatnya.
"Dan kau cukup kaya memberi ceperan untuk me-
reka. Pasti suatu kerja yang teramat penting yang telah mereka lakukan atas
perintahmu. Kerja apa itu?"
tanya Pusparini.
"Aku benci kepada orang yang sok ingin tahu,
meskipun kau wanita cantik," jawab Pasupata.
"Aku hanya ingin tahu siapa yang membunuh
Wungsu," kata Pusparini.
Pasupata mengerutkan dahinya. "Kau jadi melewati
batas." Dan ucapan ini disertai isyarat.
Pusparini merasakan sebuah tangan tiba-tiba men-
cekal lengannya. Ini memang tidak main-main, sebab yang lain berusaha menggapit
lehernya. Tindakan itu tidak berlanjut sebab Pusparini segera bergerak dengan
segenap anggota tubuhnya sehingga kelima orang yang mengepungnya mencelat ke
belakang. Sekejap setelah itu, ia langsung ke arah Pasupata. Pusparini tahu
bahwa laki-laki Keling ini yang pegang peranan terbunuhnya Wungsu.
Pasupata berusaha berkelit. Tetapi terjangan Pus-
parini lebih dulu menggampar dagunya. Kontan dia
terjerembab ke belakang tetapi dengan cepat mampu
menguasai diri dan pasang kuda-kuda.
Sebelum Pusparini melancarkan serangan berikut-
nya, Pasupata telah bergerak mendahului menyerang.
Untuk beberapa saat keduanya terlibat baku hantam
untuk mencari peluang kelemahan lawan. Gerakan Pa-
supata agak lambat. Tetapi daya pukulannya deras.
Bahkan sudah tiga kali Pusparini merasakan hanta-
man laki-laki berkebangsaan Keling itu. Setiap berhasil memukul lawan, Pasupata
seperti kehilangan daya.
Dia sendiri heran apa sebabnya. Ternyata Pusparini mampu memusatkan tenaga pada
sasaran yang dituju
lawan sehingga daya tahan tubuh memiliki semacam
serangan kilas balik, walaupun tidak besar, sehingga lawan mendapat imbasan
serangannya sendiri.
Ilmu ini memang tidak diajarkan di Padepokan
Canggal. Pusparini menciptakan sendiri jurus pertahanan ini berdasar pengalaman
setiap kali ketanggor lawan yang memiliki daya pukulan hebat. Ya. Pada
pukulan yang keras saja hal itu bisa dilakukan. Tetapi daya tahan Pusparini juga
terbatas. Dirinya tak mungkin terus-menerus melakukan pertahanan seperti itu.
Menghadapi hal semacam ini, Pasupata mengelua-
rkan senjata tajamnya. Semacam keris, tetapi luk-nya
hanya tiga walaupun bentuknya lebih panjang. Hu-
lunya menunjukkan bahwa senjata itu bukan ciri senjata Jawadwipa. Begitu
dikeluarkan dari sarungnya, Pusparini langsung menghadapi dengan senjatanya
pula walaupun yang dikeluarkan bukan Pedang Merapi Dahana.
Dua senjata beradu, dan baku hantam ini semakin
menjadi tontonan orang-orang di sana. Kelincahan
Pusparini terlihat dengan manis dalam babak ini. Dia memang bertujuan untuk
mengorek keterangan, dan
tidak ingin membunuh lawan. Paling tidak harus bisa memaksa lawan 'berkicau'
tentang manfaat keris yang diperebutkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Shret! Pusparini berhasil melukai lawan pada len-
gannya. Ini membuat Pasupata semakin penasaran.
Dengan sikap menggebu-gebu lelaki Keling ini menco-ba menyergap Pusparini dengan
jurus-jurus simpa-
nannya. Tetapi di mata Pusparini hal itu tak berarti sama sekali, sebab medan
laga benar-benar miliknya sekarang. Pasupata terdesak terus, yang akhirnya
senjata di tangannya terpental ketika dengan gesit berhasil dicokel dari
genggamannya. Sadar bahwa posisinya terdesak, Pasupata segera
memberi peluang kepada anak buahnya untuk men-
groyok Pusparini.
Kelima orang maju serentak, langsung dengan se-
rangan senjata tajam. Tetapi Pusparini juga waspada bahwa di antara mereka ada
yang memiliki senjata
sampingan yang berupa kelengkapan perhiasan mere-
ka yang nyentrik.
Gebrakan demi gebrakan berhasil dilakukan Puspa-
rini untuk membuyarkan serangan lawan. Ternyata
mereka tak punya kelebihan ketrampilan bela diri yang andal. Tetapi tak berarti
semua bisa diremehkan begitu
saja. Salah seorang yang berambut panjang, nyaris sa-ja rambutnya yang dijalin
melilit leher Pusparini. Serangan sabetan yang membahayakan itu berhasil
digagalkan dengan memutuskan rambut itu dengan teba-
san pedang. Yang punya rambut meraung karena penasaran.
Ketika nekad menerjang ke arah Pusparini, perutnya jadi sarang tendangan. Yang
lain melarikan diri. Melihat hal ini Pusparini cepat mengambil sikap untuk
menyandera salah seorang di antaranya.
Berhasil. Yang digelari teman-temannya dengan se-
butan 'si tangan jahil' berhasil diringkus setelah menundukkan dengan menendang
kemaluannya. Empat
orang lainnya dan Pasupata sendiri sudah tak terlihat batang hidungnya lagi.
Mereka telah hengkang dengan menyebar sehingga Pusparini akan sulit memperoleh
jejak untuk mengejar mereka. Kecuali yang satu ini.
Dengan meringkus tangan lawan ke belakang, Puspa-
rini membuat 'si tangan jahil' tak berkutik sedikit pun.
"Kalian perlu berguru lagi untuk mengalahkan aku,
tahu!" sumbar Pusparini. "Dengan sekali plintir, tan-ganmu akan patah, dan
gelarmu 'si tangan jahil' tak berlaku lagi!"
"Jangan! Aku mau berbicara untuk memberi penje-
lasan apa yang kau butuhkan," kata laki-laki itu dengan napas tersengal karena
jakunnya pun jadi sasaran cekalan jari-jari Pusparini. Kalau perlu, jari-jari si
Walet Emas ini bisa membuat remuk jakun lawan di leher itu. "Siapa atasan si
Pasupata!" gertak Pusparini.
"Yang itu... aku tak tahu!"
"Jangan bohong. Pilih! Tanganmu yang patah, atau
jakun lehermu ini yang pecah sehingga kau tak bisa menelan makanan lagi."
"Sss... sungguh. Aku hanya tahu si Pasupata orang
Keling itu."
"Katakan tempat tinggalnya!"
"Ak... ak... aku pun tak tahu. Ttt... tapi... biasanya dia menghubungi kami di
Candi Bar... Aakhh!!!"
Suara 'si tangan jahil' tersendat karena tiba-tiba sebuah senjata rahasia
melesat dan menancap di ke-
ningnya. Langsung laki-laki itu mendelik tak berkutik lagi.
Pusparini cepat mencari dari mana datangnya se-
rangan tersebut. Tak terlihat seorang pun yang mencurigakan yang dituduh sebagai
pelakunya. Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu satu per satu menyingkir.
"Cara kuno! Setiap saksi mata selalu kena bokong
penyerang gelap!" terdengar ucapan tak jauh dari tempat Pusparini.
Si pendekar yang punya gelar Walet Emas ini meno-
leh. Seseorang terlihat berdiri dengan sikap santai sambil meneguk minuman yang
disandangnya. Rupanya ke mana-mana ia selalu membawa alat minum-
nya itu. Dia seorang wanita.
"Siapa kau?" tanya Pusparini.
"Apakah penampilanku belum memberi gambaran
kepadamu?" kata wanita itu.
"Pendekar... pemabuk"!" terka Pusparini. "Tetapi kelihatannya janggal kalau hal
itu ditampilkan oleh wanita semacam kau."
"Apa salahnya" Apakah kebiasaan macam begini
hanya dihaki oleh lelaki" Wanita berhak untuk mabuk.
Wanita berhak untuk jadi penyandang gelar 'penunduk lelaki'. Dan wanita berhak
'di atas'. Ah, rupanya obro-lan macam ini tidak akan kau mengerti karena kau
masih bau kencur!" kata wanita itu.
Pusparini memang tidak bisa mengerti arti keselu-
ruhan omongan wanita itu. Kesannya ganjil, kalau ada wanita yang punya kebiasaan
tak mau kalah dengan
sikap lelaki. "Sudah. Aku tak ada urusan denganmu. Aku masih
ada kerja," kata Pusparini dengan menghampiri ku-
danya. Ternyata laki-laki bernama Gumoh, saudara ipar
Wungsu, dengan setia menunggu kudanya.
"Bapak tahu apa yang diucapkan laki-laki yang te-
lah mampus oleh serangan gelap itu?" tanya Pusparini.
"Dia menyebut Candi Bar... begitu!"
"Candi Barong!" tiba-tiba wanita pendekar pemabuk
itu nyeletuk lagi.
Pusparini tampak tak suka dengan turut campur-
nya wanita itu dalam pembicaraannya. Tetapi karena ucapan itu sangat berarti
baginya, ia ingin bicara lagi dengan wanita itu.
"Candi Barong"! Aku juga pernah mendengar nama
itu. Tetapi tak tahu tempatnya," kata Pusparini.
"Jodoh! Ini namanya ada jodoh antara kau dan
aku," kata wanita itu.
"Jodoh" Jangan gila kau," tangkis Pusparini.
"Jodoh dalam melaksanakan tugas! Aku juga ada
kepentingan ke Candi Barong!"
"Apa?"
"Aku ada kepentingan juga ke Candi Barong!" jawab
pendekar wanita pemabuk.
Pusparini termenung. Pikirannya tertuju kepada
wanita pendekar pemabuk yang punya tujuan sama.
Apakah itu mungkin" Apakah tidak mengada-ada"
Ataukah ini suatu jebakan" Apakah yang melempar
senjata rahasia itu bukan wanita ini sendiri" Pusparini jadi ragu untuk
menggalang kerja sama yang dikata-
kan 'ada jodoh' itu.
"Uruslah urusanmu sendiri," kata Pusparini.
"Aku tahu tempat itu," kata si pendekar wanita pe-
mabuk. "Aku bisa tanya kepada orang lain."
"Bandel! Kukira kita punya urusan yang sama, te-
tapi dengan kepentingan yang berbeda!" jawab si wanita itu.
Pusparini berpikir sejenak.
"Jadi begitu?" katanya kemudian. "Katakan dulu
apa kepentinganmu!"
"Tak bisa sekarang. Bagaimana" Masih tak mau
seiring sejalan ke Candi Barong?"
"Janji"! Hanya seiring sejalan. Tidak seurusan! Aku tak mau kalau urusanku
dicampuri orang lain," tawar Pusparini. "Dan kau tak perlu mempengaruhi aku
untuk jadi pemabuk!"
Wanita pendekar pemabuk tersenyum. "Bagaimana
aku harus memanggil namamu?"
"Pusparini!" jawab Pusparini.
"Kau bisa panggil aku Samresti. Gelarku 'Bidadari
Pemabuk'!"
"Wah. Pantas saja. Berapa guci tuak yang kau lahap setiap hari?"
"Melihat keadaan," kata Bidadari Pemabuk dengan
mengumbar senyum. Kemudian dia meneguk arak di
gucinya yang mirip kendi. Sepertinya tak ada pengaruh bahwa kepalanya akan
nggliyeng yang membuat dirinya teler. "Kita berangkat sekarang," lanjutnya.
Kemudian terlihat dua orang wanita berkuda me-
ninggalkan Desa Gaplek. Sedang ipar Wungsu berna-


Walet Emas 09 Pendekar Atap Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ma Gumoh mengawasi dengan penuh tanda tanya se-
telah dipamiti.
*** EMPAT Candi Barong! Tempatnya di atas Bukit Putir, didirikan semasa
pemerintahan Raja Pu Sindok. Candi yang bangunan-
nya terbengkalai karena keadaan tanahnya labil, kini bagaikan puing-puing yang
tak terurus. Tempatnya
yang terpencil membuat bangunan itu jadi sarang para penjahat. Karena menjadi
daerah tak bertuan, maka
sudah beberapa kali tempat itu berpindah kekuasaan di antara mereka yang kuat
untuk mempertahankan
sebagai pemukiman pertemuan.
Kini Pusparini dengan Samresti alias Bidadari Pe-
mabuk telah sampai di sana. Perjalanan yang melelahkan itu berhasil ditempuh
dengan tabah. Sudah dua
kali selama perjalanan itu Samresti mengisi gucinya dengan tuak yang dibeli di
kedai pinggir jalan. Pusparini tak habis pikir bagaimana Samresti bisa kecan-
duan seperti itu.
"Ini sebenarnya obat bagiku," kata Samresti pada
malam harinya ketika mereka begadang di Candi Ba-
rong menunggu pihak lain yang mungkin hadir di sa-
na. "Obat?" ulang Pusparini.
"Aku pernah bentrok dengan seseorang. Dia lolos!
Tetapi akibat yang ditimbulkan adalah penderitaan.
Aku mengidap racun dari lawan yang meloloskan diri.
Racun itu ternyata sejenis binatang lintah yang berhasil dimasukkan ke dalam
mulutku. Kini binatang itu tetap mendekam dalam lambungku. Dia mengisap sari
makanan apa yang kumakan. Dan kotorannya meru-
pakan racun yang membuatku bisa mampus!" kata
Samresti. "Hih!"
"Kau ngeri mendengarnya, bukan?"
"Ya!" jawab Pusparini. Dia membayangkan binatang
itu pasti pipih dan berlendir.
"Untung ada seseorang yang menolongku untuk
mengatasi hal ini. Katanya binatang itu tidak akan bi-sa dikeluarkan kalau sudah
menempel di lambung pe-
rut. Tetapi racun yang ditimbulkan dari kotorannya itu hanya bisa dilawan dengan
tuak. Oleh sebab itu kini aku selalu meminum tuak setiap harinya kalau tidak
ingin mampus!"
Pusparini bergidik mendengar cerita itu. Dunia persilatan memang dunia penuh
kekejaman. Berbagai sa-
rana diciptakan orang untuk bisa dipakai mengalah-
kan lawan dalam setiap bentrokan. Dari senjata rahasia selembut lugut bambu
sampai sekasar batu karang, bisa diciptakan oleh mereka. Tujuannya hanya satu.
Menjadi pendekar pilih tanding. Tak terkalahkan walaupun pepatah 'Di atas langit
masih ada langit' pernah singgah di telinga mereka. Justru pepatah ini yang
memaksa mereka selalu menyempurnakan ilmu-ilmunya. Baik ilmu kanuragan atau ilmu
olah kepraju-ritannya. Dan senjata maut itupun sampai tergali dari binatang yang
kini mendekam dalam lambung Samresti. "Kalau begitu, nyawamu bagai telur di
ujung tanduk kalau sampai tidak ada tuak," kata Pusparini dengan nada prihatin.
"Justru itu aku datang ke tempat Candi Barong ini,"
sahut Samresti.
"Kau... mencari penawar racun itu yang lebih baik
daripada tuak?"
"Ya!"
"Siapa orang yang kau maksud bisa menyembuh-
kanmu?" "Mithara!"
"Mithara?"
"Orang dari Atap Dunia!"
"Negeri mana itu?"
"Mithara artinya sama dengan Surya, Dewa Mataha-
ri. Dan negeri Atap Dunia terletak di utara Hindustan.
Negeri yang penuh hamparan permadani putih. Dia
sudah beberapa bulan ini mengembara di Jawadwipa
mencari pusaka leluhurnya."
"Pusaka leluhurnya?" tanya Pusparini.
Sejenak ia berpikir tentang keris yang saat ini dis-impannya. Kalau itu keris
pusaka yang dimaksud, pas-tilah punya nilai sendiri sehingga banyak pihak yang
menghendakinya. Tetapi Pusparini masih merahasiakan keris tersebut. Ia takut
kalau bukan itu barang yang jadi sengketa.
"Dari mana kau tahu tentang orang bernama...
eehmm... Mithara itu?" kata Pusparini lebih lanjut.
"Dari hasilku mencuri dengar pembicaraan sarese-
han para tabib di Kambang Putih," jawab Samresti
dengan menyantap daging burung panggang dari api
unggun. "Mithara selalu muncul di sini setiap bulan purnama. Entah benar entah
tidak, aku datang kemari hanya untuk mencoba."
"Lalu apa pikiranmu tentang kedatanganku kemari"
Kau pikir aku ingin ketemu Mithara?" kata Pusparini untuk menjajagi pengetahuan
Samresti tentang tugas-nya.
"Kau mencari dalang suatu peristiwa pembunuhan,
bukan" Karena sanderamu berbicara tentang Candi
Barong, maka sudah dipastikan otak mereka berada di tempat ini," jawab Samresti.
"Kau mengira ini ada hubungannya dengan Mitha-
ra?" "Enghm... kayaknya begitu. Atau mungkin, tidak."
"Jadi kau benar-benar tak tahu?"
"Hanya secara kebetulan sanderamu menyebut
Candi Bar... begitu. Candi mana lagi kalau bukan
Candi Barong?"
"Aku pernah mendengar Barong Makara. Apakah
kau bisa memberi penjelasan?" tanya Pusparini untuk memancing pendapat.
"Barong Makara" Yang jelas ada hubungannya den-
gan tempat ini. Kau lihat itu hiasan 'makara' pada candi ini" Mungkin ini nama
suatu kelompok, atau
nama seseorang, aku tak tahu. Yang jelas, ada kata
'barong' pasti berhubungan candi ini. Tak diragukan lagi, bahwa nama 'Barong
Makara' pasti ada sangkut pautnya dengan Candi Barong," jawab Samresti.
"Kalau begitu, berarti aku berada di sarang lawan,"
sela Pusparini sambil beranjak berdiri.
Dirinya merasa jadi tidak enak. Sepertinya ada ber-pasang-pasang mata mengawasi
keberadaannya di ke-
gelapan di sekelilingnya.
"Apa yang akan kau lakukan seandainya bertemu
dengan Mithara?" lanjutnya.
"Akan kukatakan terus terang bahwa aku membu-
tuhkan jampi ramuannya untuk menghalau racun di
tubuhku." "Kalau Mithara tidak mau?"
"Mungkin aku bisa memaksanya."
"Galak benar kedengarannya."
"Hidup suatu perjuangan, Pusparini. Untuk tujuan
apa pun, perlu diperjuangkan," jawab Samresti tegas.
Sebenarnya Pusparini ingin memberi tanggapan
atas ucapan itu. Tetapi tiba-tiba perasaannya terusik oleh bunyi lembut yang
mencurigakan dari kegelapan
di sebelah selatan candi.
"Kita diawasi," bisik Pusparini.
"Ya. Sejak tadi. Kau tidak tahu?"
Mendengar jawaban Samresti ini, Pusparini jadi
klencutan. Ia merasa dibodohi terhadap keadaan yang sebenarnya telah diketahui.
"Tenang saja," saran Samresti. "Mereka cuma dela-
pan orang dan hanya begadang di kegelapan."
Untuk kedua kalinya Pusparini dibuat mati kutu
dengan pengamatan Bidadari Pemabuk ini. Ternyata
wanita itu punya indera pengamatan lebih tajam dari dirinya. Ataukah mereka itu
anak buah Samresti sendiri" Pusparini jadi curiga dengan sikap-sikap teman
wanitanya ini. Tetapi untuk mendobrak teka-teki itu ia agak bimbang. Samresti
berkata dengan jujur, bisa-bisa keadaannya jadi salah kaprah.
Tiba-tiba Samresti tegak, seolah ada sesuatu yang
sangat mengganggu.
"Mereka mulai bergerak kemari. Persiapkan dirimu,"
katanya. Pusparini juga merasakan hal itu. Tidak lama di-
rinya bersikap waspada, tiba-tiba orang-orang yang telah dicurigai kehadirannya
itu muncul serentak. Nyata sekali bahwa kemunculan mereka atas perintah dari
orang ke sembilan yang muncul dari jauh dan kini belum tampil ke depan.
Delapan orang yang muncul serentak itu disambut
dengan sikap bertahan dari Pusparini dan Bidadari
Pemabuk. Baku hantam dalam kegelapan malam ter-
jadi. Api unggun yang menjadi penerangan sangat
membantu dua pendekar wanita ini untuk menyidik
pertahanan lawan. Sejak awal kemunculan delapan
lawan mereka, yang membuat kaget adalah pakaian
yang dikenakan. Mereka berpakaian serba hitam, dan
hanya mata saja yang tampak tak terlindung. Orang-
orang ini pasti sekelompok dengan orang yang telah membunuh Ki Puluwatu di
penginapan. Kalau begitu,
inilah kelompok yang menamakan diri 'Barong Makara'
seperti tertera dalam surat ancaman yang pernah diberikan kepada Ki Puluwatu.
Beberapa belas jurus telah berlalu. Tetapi tampak-
nya delapan orang ini sangat tangguh. Begitu juga pasangan Pusparini dan
Samresti. Dua pendekar wanita ini amat susah untuk ditundukkan begitu saja.
Kelihatan sekali bahwa lawan mereka punya cara penyeran-
gan secara seragam. Artinya, jurus-jurus yang dilakukan yang serentak itu
mempunyai cara yang sama dan berirama. Satu lawan empat.
Setelah disadari oleh Pusparini bahwa serangan la-
wan selalu dengan gerakan serentak, maka kunci un-
tuk menjebol pertahanan lawan bisa diketahui. Lalu serangan dipusatkan pada satu
orang sementara yang lain hanya diberi tangkisan saja. Satu orang ini diteter
terus. Setelah kualahan, ternyata serangan mereka tidak kompak lagi. Pada saat
itulah Pusparini memberikan gebrakan dengan menyapukan tendangan berantai
ke tiga orang lainnya, sehingga susunan kekuatan
buyar berantakan.
Kiranya taktik seperti itu dilakukan juga oleh Sa-
mresti, padahal antara keduanya tidak ada yang saling menyontek jurus. Hal
inilah yang akhirnya membuyarkan pertahanan pihak lawan yang berpakaian serba
hitam. Mereka lalu mundur serentak. Tetapi jelas mereka belum kalah.
Entah siasat apalagi yang akan dilancarkan. Kedua
pendekar wanita ini menunggu. Dan itu tak terlalu la-ma, sebab seseorang
akhirnya muncul pula. Hanya sa-ja pakaiannya tidak hitam. Tetapi serba merah
walau- pun dengan model yang serupa. Di dadanya ada gam-
bar 'makara' selebar tapak tangan berwarna kuning.
"Jadi kau pimpinan mereka?" tanya Pusparini.
"Kau... pemimpin kelompok yang menamakan diri Ba-
rong Makara yang memberi ancaman kepada Ki Pulu-
watu?" "Kukira kau telah mengerti jawabannya. Ada berita
yang kuperoleh bahwa kau telah ikut campur dalam
urusan ini. Kemarin aku dengar ada pendekar wanita sesumbar menyebutkan gelar
kependekarannya sebagai Walet Emas. Kaukah itu?"
Ucapan itu membuat Samresti kaget juga. Jadi wa-
nita muda ini yang punya gelar kependekaran Walet
Emas, pikirnya. Ada semacam perasaan menggelegak
yang tiba-tiba membakar dadanya. Tetapi dicoba ditahan setelah tahu bahwa
Pusparini adalah Walet Emas.
"Ya. Akulah Walet Emas. Kalau kau ingin menda-
patkan keris tersebut, harus berhubungan dengan
aku!" jawab Pusparini dengan nada sombong.
Ini memang sengaja dilakukan untuk menggoyah-
kan nyali lawan. Biasanya kelompok yang menyembu-
nyikan jati dirinya punya pertimbangan agar tidak dikenal oleh masyarakat
banyak, sebab keberadaannya
memang akrab dengan kehidupan sehari-hari di ka-
langan penduduk. Kesombongan yang dipamerkan di-
harapkan bisa menggoyahkan sikap mereka yang eng-
gan tampil secara terang-terangan.
"Kalau begitu, serahkan keris pusaka itu," kata sosok tubuh itu.
"Cuma begitu" Bagaimana dengan Ki Puluwatu
yang telah tewas?" jawab Pusparini.
"Itu bukan kerjaku. Ada pihak lain yang ingin men-
gacaukan tugas kami," kata orang itu.
"Aku tak percaya!" tukas Pusparini. "Kalau kau me-
rasa bahwa itu kerja pihak lain, maka kau harus bisa membuktikan dengan menyeret
pelakunya di hadapanku. Baru kemudian aku serahkan keris itu kepa-
damu!" "Hm! Begitu?"
"Mudah, bukan" Kau sanggup memenuhi sya-
ratku?" "Baik! Tunggu tiga hari lagi di sini," kata sosok tubuh yang dibalut samaran
kain merah itu.
"Tiga hari" Lama benar," sanggah Pusparini.
"Apa kau pikir kami menangkap kodok?"
"Hei, kau bisa melawak juga. Kuberi waktu dua ha-
ri!" Orang itu termenung.
"Baiklah," katanya kemudian. "Dua hari lagi. Tung-
gu di sini."
Orang itu melesat pergi diikuti anak buahnya yang
sejak tadi menyaksikan dari tempat persembunyian.
Kemudian tempat itu sepi kembali.
"Samresti! Mengapa kau mematung di situ" Menga-
pa tidak nimbrung ngomong" Mungkin orang yang
berkedok tadi adalah orang yang kau cari. Mithara!"
kata Pusparini.
"Tampaknya bukan."
"Kau yakin?"
"Mithara tidak merahasiakan dirinya, dan tidak
berpakaian seperti itu."
"Bagaimana kau tahu?"
"Dari pembicaraan yang pernah kudengar di Kam-
bang Putih."
"Orang tadi mencari pusaka yang pernah disimpan
Ki Puluwatu," kata Pusparini menekankan persoalan.
"Katamu Mithara pun mencari pusaka leluhurnya. Bu-
kankah peristiwa itu merupakan satu mata rantai?"
"Aku tidak berkepentingan tentang keris pusaka itu.
Aku hanya ingin bertemu dengan Mithara untuk pe-
nyembuhan sakitku," jawab Samresti.
"Jadi itu maksud ucapanmu bahwa kita punya uru-
san sama tetapi dengan kepentingan berbeda?"
"Kalau kau telah menyadari, kita masih diharuskan
menunggu di sini," kata Samresti dengan menyelonjorkan untuk tidur tanpa
menghiraukan Pusparini lagi.
Tanpa menghiraukan" Sepertinya tidak. Setelah ia
tahu bahwa Pusparini adalah pendekar yang punya gelar Walet Emas, ada getaran


Walet Emas 09 Pendekar Atap Dunia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perasaan yang menggelegak dalam dadanya. Hanya pendekar wanita Walet
Emas yang memegang Pedang Merapi Dahana. Dan
pedang itu pernah dipersengketakan oleh para lelu-
hurnya! Secara tidak langsung, dia bisa menggugah
permusuhan dengan si Walet Emas ini atas dasar
memperebutkan Pedang Merapi Dahana.
"Tetapi waktunya tidak sekarang, Pusparini. Tidak
sekarang. Aku masih perlu penyembuhan diriku. Se-
bab kalau kau kugebrak sekarang, kau telah tahu apa kelemahan tubuhku!" pikir
Samresti dengan mata yang semakin meredup.
*** LIMA Cahaya matahari bersinar cerah membakar bumi.
Hari masih pagi. Udara sejuk. Di sebuah mata air yang tak jauh dari Candi
Barong, Pusparini membersihkan tubuhnya. Rupanya Samresti lebih awal mandi di
sa-na. Dalam keadaan ini Samresti punya kesempatan
untuk menyatroni perbekalan Pusparini yang dibung-
kus tergantung di pelana kudanya. Tanpa sepengeta-
huan pemiliknya, Samresti memeriksa barang-barang
Pusparini. "Hm. Ini pasti Pedang Merapi Dahana. Dia mem-
bungkusnya rapi. Sedangkan pedang yang satu ini rupanya untuk senjata sampingan
saja. Oh, dan ini ada sebuah keris. Apakah ini pusaka yang diperebutkan
itu?" pikir Samresti.
Pikirannya segera memutuskan untuk mengambil
senjata tersebut. Bukan hanya Pedang Merapi Dahana, tetapi juga keris yang
berbentuk aneh. Kemudian ngeblas meninggalkan Candi Barong...!
Pusparini tidak menduga dengan tindakan
pengkhianatan itu. Ia masih menikmati segarnya air pancuran. Sambil mandi tak
lupa menyuarakan tem-bang klangenannya yang syair-syairnya berisi kisah dua
asmarawan yang sedang dimabuk cinta. Lalu,
mengeringkan tubuhnya.
Baru saja hal itu dilakukan, tiba-tiba matanya me-
lihat sesosok tubuh berkelebat. Penampilannya sangat mencurigakan seakan-akan
menghindar dari pengamatan Pusparini. Dengan membungkus tubuhnya dengan
jarit, ia segera melesat membuntuti orang itu.
Betapa terkejut Pusparini ketika dilihatnya orang
itu kemudian nyengklak kuda miliknya yang ditambatkan.
"Hei!" hanya seruan ini yang keluar dari mulut Pusparini.
Lalu dengan gesit segera dikejarnya maling kuda
itu. Ilmu larinya dikerahkan secara prima. Dengan
memperhitungkan untuk mencegat pada arah lain,
Pusparini segera menggenjotkan tubuhnya ke atas tebing. Dari sini ia meluncur ke
bawah untuk mencegat si pencuri kudanya.
Perhitungannya benar. Dan si pencuri kuda yang
tidak menduga siasat Pusparini begitu kagetnya ketika sesosok tubuh muncul
menghadang dengan terjangan.
Kontan tubuhnya mencelat. Tetapi dengan gerak manis orang itu berhasil
mendaratkan tubuhnya di tanah
tanpa terguling.
"Belajar dulu kalau ingin jadi pencuri kuda," seru Pusparini dengan wajah ketus.
"Ayo, majulah kalau
pagi-pagi ingin sarapan tapak tanganku."
"Sialan! Kau benar-benar harus dikasihani!" jawab
laki-laki itu. "Aku berniat menolongmu, tahu"!"
"Apa katamu" Menolongku" Menolong apa?" sahut
Pusparini dengan sorot mata yang tajam.
Tangannya membetulkan letak jarit yang membungkus tubuhnya sekenanya. Ikatan
jarit tepat pada dadanya yang sintal itu terkesan melorot karena gerakan
menerjang kepada laki-laki yang telah menyerang kudanya. Laki-laki itu tersenyum
melihat kerepotan Pusparini. Pikirannya mengumbar khayal terhadap
bentuk tubuh wanita di hadapannya. Kalau bentrokan dilangsungkan, pasti lawan
wanitanya itu kedodoran sikap, sebab ia akan dengan mudah menjambret kain
yang dikenakan.
"Periksa isi perbekalanmu!" perintah laki-laki itu seperti seorang panglima
kepada bawahannya.
"Kurang ajar kau. Berani-beraninya kau memberi
perintah seperti itu. Kau kira aku ini apamu, hah"
Kenal pun tidak," tukas Pusparini semakin ketus.
Tetapi tiba-tiba Pusparini tertarik dengan kuda dan perbekalannya yang tak jauh
darinya. Ia segera memeriksa perbekalan yang menggantung di sisi kudanya,
sementara laki-laki itu mengumbar senyumnya.
"Sialan! Kau mencuri senjataku dan keris itu!" seru Pusparini dengan siap
menerkam ke arah orang yang
baru dikenalnya itu.
"Tunggu. Jangan lakukan itu. Kalau aku menye-
rangmu, yang kujadikan sasaran adalah kain penutup tubuhmu. Kalau itu berhasil
kutarik, kau akan telan-jang bulat, sebab aku tahu hanya selembar kain itu yang
kau pakai."
"Keparat! Apakah kau pendekar cabul" Dan di per-
guruanmu hanya diajari untuk menelanjangi wanita"!"
gertak Pusparini tanpa takut apa yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Pikir Pusparini, dirinya masih mampu bertahan
seandainya laki-laki itu menyerang hanya untuk menjambret kainnya. Bukankah
dalam peristiwa Siluman
Kedung Brantas ia mampu menggagalkan tangan-
tangan yang jahil yang mencoba mencolek pantatnya
dalam arena tari, dan hal itu disayembarakan"
"Ayo, cobalah jambret kainku ini!" katanya lagi.
"Tidak! Akhlakku tidak serendah itu," jawab si laki-laki itu. "Dan aku bukan
pencuri." "Buktinya! Senjataku telah hilang. Kau telah mela-
rikan kuda itu. Kalau tidak kucegah, kau pasti sudah ngeblas jauh."
"Memang. Tetapi aku hanya ingin mengejar orang
yang mencuri senjatamu. Dia mungkin teman seperja-
lananmu sendiri."
"Apa?" sahut Pusparini.
Kini disadari keteledorannya. Ia tidak melihat Sa-
mresti di sana. Baik orang maupun kudanya. Mengapa Samresti pergi tanpa pamit"
Benarkah Samresti telah mengambil senjata Pedang Merapi Dahananya. Juga
keris yang dibungkus itu"
Sikap Pusparini yang tiba-tiba lunak, menarik per-
hatian laki-laki itu.
"Kau sadar apa yang telah terjadi?" kata laki-laki itu. "Dengar. Aku baru saja
sampai di candi itu ketika
seorang wanita mengambil barang-barang berupa pe-
dang yang semula dibungkus, dan sebuah bungkusan
lagi yang setelah dibuka lalu dibungkus lagi dan dipin-dahkan ke tempat
perbekalannya sendiri. Dari jauh
aku amati kerjanya itu. Karena aku keburu untuk ke pancuran, maka langkahku
kuteruskan menuju pe-mandian. Tetapi kulihat ada kamu sedang mandi. Ke-
mudian aku balik ke tempat tambatan kuda hanya se-
kedar ingin berkenalan. Sesampai di situ, kulihat teman wanitamu itu telah
ngeblas pergi. Aku mendapat firasat buruk. Mungkin dugaanku terlalu pagi kalau
menuduh temanmu telah berlaku buruk terhadap barang milikmu. Lalu kuputuskan
untuk mengejar dia
dengan meminjam kudamu."
Laki-laki itu mengakhiri pengakuannya.
Pusparini masih membisu. Rasanya jadi kikuk ha-
rus berkata apa terhadap orang itu.
"Kau percaya dengan pengakuanku?"
Pusparini tidak menjawab. Kemudian menuju candi
dengan mencengklak kudanya.
Ada dua hal yang dilakukan Pusparini dengan sikap
ini. Pertama untuk menenangkan perasaannya karena
mendengar pengakuan laki-laki itu. Kedua untuk ganti pakaian.
Ketika laki-laki itu sampai di pelataran candi, Pusparini telah selesai
merapikan dirinya. Ia dengan sengaja menanti kedatangan laki-laki itu. Ia memang
ingin berbicara.
"Kau akan memburu teman wanitamu itu?" tanya
laki-laki itu. "Ya, setelah ini. Aku ingin tahu siapa dirimu, dan mengapa sampai klayapan
kemari." Laki-laki itu tersenyum. Rupanya punya pemba-
waan tenang. "Namaku Ragapangus!"
"Ragapangus" Kk... kau adik ragil Ki Puluwatu" Be-
nar?" sahut Pusparini.
"Jadi dia pernah mengatakan perihal diriku kepa-
damu?" Pusparini jadi bertambah ramah. Tak diduga ia bisa bertemu dengan adik ragil
almarhum Ki Puluwatu yang katanya hidup sebagai pendekar pengembara. Bahkan
pernah sampai ke negeri Cina.
Lalu kedua orang itu jadi akrab. Ragapangus men-
ceritakan bahwa secara kebetulan saja ia kembali menengok kampung halamannya.
Sesampai di rumah di-
beritahu bahwa saudara sulungnya tewas terbunuh.
Lewat cerita keluarganya, ia tahu bahwa seorang pendekar wanita bernama Walet
Emas telah menangani
peristiwa itu. Kemudian Ragapangus mencari sisik me-lik untuk mencari Pusparini.
Akhirnya berhasil menemui Pak Gumoh, saudara Wungsu. Dari orang ini Ra-
gapangus tahu bahwa Candi Barong adalah tempat
yang dituju Pusparini.
"Dan kini keris yang jadi sumber sengketa itu di
tangan Samresti, wanita yang akan kau kejar tadi," ka-ta Pusparini. "Termasuk
senjata andalanku dicurinya pula. Pasti ia tahu tentang senjataku. Kalau tidak,
bagaimana mungkin diambilnya juga?"
"Mengapa kau tidak berniat untuk mengejarnya?"
tanya Ragapangus.
"Dengan Mempertimbangkan bahwa pasti ia kemari
lagi. Dirinya punya rencana menemui tokoh bernama Mithara untuk penyembuhan
racun yang bersarang di
tubuhnya. Selama ini racun itu masih bisa ditawarkan dengan minuman tuak. Kalau
kukejar, kemungkinan
menghabiskan tenaga. Dia pasti kemari lagi karena Mithara setiap bulan purnama
muncul di sini."
"Mudah-mudahan perhitunganmu tidak keliru," ka-
ta Ragapangus. "Lalu rencanamu?" Pusparini balik bertanya.
"Mencari pembunuh itu."
"Tak usah repot-repot. Nanti ada orang yang men-
gantarkan pembunuh itu kemari."
"Bagaimana kau bisa beranggapan begitu?"
"Semalam aku bentrok dengan kelompok yang tahu
siapa pembunuh Ki Puluwatu. Dan aku menjanjikan
memberikan keris itu kalau si pembunuh diserahkan."
"Bukankah keris tersebut dilarikan Samresti?"
"Ya. Itulah masalahnya sekarang."
"Sebaiknya kita berbagi tugas," saran Ragapangus.
"Aku akan mencari Samresti. Bagaimana?"
Pusparini membisu. Jelas tampak sedang berpikir
untuk menilai rencana Ragapangus. "Kalau begitu, kau bisa memakai kudaku."
"Biar aku berjalan kaki saja. Kalau perkiraanmu
benar, maka Samresti berada tidak jauh dari tempat ini. Aku akan menyatroni dari
jauh, dan menangkap-nya."
"Ada waktu sampai lusa malam. Pembunuh itu kata
mereka akan dibawa kemari lusa malam."
"Akan kucoba. Doakan!" kata Ragapangus dengan
melesatkan diri meninggalkan Candi Barong.
Sepeninggal Ragapangus kesepian di sana benar-
benar dirasakan oleh Pusparini. Sampai menjelang malam nanti dia tak punya kerja
apa-apa selain menung-gu. Itupun mungkin tak ada hubungannya dengan tu-
gasnya. Malam nanti, bulan purnama, orang bernama
Mithara diduga akan muncul untuk mengadakan per-
temuan dengan orang-orang yang biasa dihubungi. Da-ri peristiwa ini Pusparini
bisa menduga bahwa ada banyak pihak yang menghendaki keris itu. Satu kelom-
pok 'Barong Makara' yang dipimpin tokoh berkedok
merah, dan yang lain kelompok Mithara yang punya
anak buah bernama Pasupata. Mithara juga mencari
pusaka yang konon pusaka leluhurnya. Kemudian
Pusparini mencoba mengaitkan antara 'Barong Maka-
ra' dengan Mithara dari negeri Atap Dunia itu. Mungkin mereka satu mata rantai,
tetapi ada niat terselubung yang satu sama lain tidak akur, alias saling me-
mentingkan keperluannya sendiri.
Akhirnya Pusparini akan mengikuti saja perkem-
bangan peristiwa yang dasarnya untuk membekuk
pembunuh Ki Puluwatu. Waktu masih setengah hari
lagi menjelang bulan purnama. Kerjanya kini hanya
menunggu. Dan itu merupakan kebosanan yang me-
nyakitkan perasaan.
*** ENAM Malam bulan purnama!
Pusparini mempersiapkan diri menghadapi peristi-
wa yang lama ditunggu. Kudanya ditambatkan di tem-
pat persembunyian yang agak jauh agar tidak menim-
bulkan kecurigaan. Sedangkan ia sendiri bersembunyi di tempat pada bagian candi
yang memungkinkan bisa mengintip pertemuan orang yang ditunggu.
Waktu kian merayap, dan ketika bulan tepat di
puncak langit, muncullah beberapa sosok tubuh dari kegelapan sana. Setelah
dekat, salah seorang di antara mereka adalah Pasupata, orang Keling. Mereka
mengambil tempat duduk yang rupanya menjadi kebiasaan dalam pertemuan-pertemuan
yang lalu. Mereka menunggu. Dan beberapa saat kemudian muncul sesosok
tubuh, yang tanpa diketahui bagaimana caranya, telah bertengger di puncak
bangunan Candi Barong. Secara kebetulan Pusparini mengawasi puncak candi ketika
sosok tubuh itu telah muncul di sana.
"Tampaknya keadaan semakin buruk, Mithara!"
sambut Pasupata ketika sosok tubuh itu muncul.
Peristiwa Bulu Merak 5 Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Manusia Harimau Marah 1
^