Pencarian

Pendekar Kipas Akar Wangi 2

Walet Emas 07 Pendekar Kipas Akar Wangi Bagian 2


mereka tak tahu bahwa beberapa sosok tubuh telah cukup lama menyaksikan
perbuatan itu. Dan keduanya njenggirat! Belum sempat mereka membenahi diri,
kelompok orang-orang itu telah menebar jaring ke arah mereka.
Mahesa Alit dan Roro Wilis tak punya kesempatan
untuk mencabut senjatanya. Dalam keadaan tak ber-
daya, mereka hanya bisa mengawasi orang-orang yang
telah meringkusnya. Mereka berpakaian serba hitam
dengan gambar tengkorak pada dada kiri.
Lalu yang rupanya menjadi pimpinan kelompok
muncul. Pakaiannya serupa. Hanya gambar tengkorak
itu yang berwarna merah, sedangkan yang lain putih.
"Kalian bisa melanjutkan kemesraan itu dalam
krangkeng nanti! Ayoh berdiri!" seru pimpinan orang-orang itu.
Tik ada pilihan lain kecuali mematuhi perintah itu.
Kemudian Mahesa Alit dan Roro Wilis digiring ke suatu tempat.
*** TUJUH Pusparini terus menerobos di antara pepohonan.
Dia tidak menghiraukan keadaan Mahesa Alit dan Roro Wilis yang diduga tetap
membuntuti di belakangnya.
Dia baru sadar bahwa kedua temannya tidak lagi ber-
samanya ketika sampai pada hamparan lahan di mana
terlihat dua buah pohon beringin kembar. Pohon itu
tumbuh berdampingan dan batangnya saling melilit.
Tapi yang menarik perhatian, bahwa di atas pohon itu terdapat bangunan tempat
tinggal seseorang. Di bangunan dengan sarana yang ada di sekitar tempat itu, tak
ada tangga untuk naik ke sana. Hal ini hanya di-mungkinkan bagi mereka yang
memiliki ilmu persila-
tan saja. Tapi itu pun akan terbatas pada orang-orang tertentu, karena begitu
tingginya bangunan tersebut.
"Mungkin sekitar enam tombak tingginya. Atau le-
bih," pikir Pusparini. "Tapi bagaimana aku harus mengawali datang sebagai tamu?"
Pusparini turun dari punggung kudanya. Kemudian
melangkah ke depan.
"Spaadaaaa!" serunya diarahkan ke bangunan di
atas sana. Sepi tak ada jawaban. Lalu seruan itu diulangi
sampai tiga kali. Baru saat itulah Pusparini dibuat kaget, sebab tiba-tiba telah
tegak seseorang di belakangnya.
"Oh!" hanya ini yang keluar dari bibir Pusparini.
Orang yang hadir tanpa diketahui kemunculannya itu
benar-benar seseorang yang pernah dilihat dalam
mimpinya. "Maaf, apakah aku berhadapan dengan Pendekar
Kipas Akar Wangi?"
"Kau akan tahu nanti," jawab laki-laki itu. "Kalau
kau menjadi tamuku, mari ke atas sana."
Pusparini masih terpaku di tempatnya ketika orang
yang dianggap bernama Pendekar Kipas Akar Wangi
itu melesat ke atas dan nangkring di anjungan.
"Ayo!" seru Pendekar Kipas Akar Wangi dengan
memberi isyarat agar Pusparini naik.
Sesaat kemudian Pusparini melesat ke atas... Hup!
Dengan gerakan mulus tiba di anjungan.
"Mari masuk," kata si Pendekar.
Tanpa ragu Pusparini masuk ke dalam ruangan
yang berdinding terbuat dari akar-akar gantung pohon beringin. Pantas saja kalau
laki-laki itu bergelar Pendekar Kipas Akar Wangi. Ruangannya pun berbau ha-
rum. Tapi perasaan Pusparini bergidik ketika teringat penjelasan bahwa orang itu
masih keturunan siluman!
"Tak banyak tamu yang mampu datang ke tempat
ini," kata si Pendekar. "Apa maksud kedatanganmu ke tempat ini?"
Tegur sapanya tidak mencerminkan sesuatu yang
menakutkan. Ucapan itu kedengaran ramah. Sambil
berancang-ancang untuk menjawab, Pusparini tak
berkesudahan meneliti penampilan si Pendekar. Begi-
nikah bentuk manusia keturunan siluman" Sopankah
apabila dia menanyakan tentang hal itu"
"Mengapa masih diam?" tanya si Pendekar memanc-
ing pembicaraan.
"Oh... ehmm... aku utusan dari Kadipaten Argapu-
ra." "Kadipaten Argapura..." Ah tentu soal pembangunan candi itu. Mau apa lagi"
Bukankah sudah kukata-
kan bahwa aku keberatan kalau kawasan Embun Nir-
wana ini didirikan sebuah candi untuk pemujaan?"
"Kami ingin tahu rincian tentang keberatan itu. Bu-
kankah kau pernah mengatakan setuju ketika pertama
kali pihak Kadipaten Argapura menyampaikan usulan
tersebut?" kata Pusparini membentangkan masalah
seperti yang dianjurkan oleh Sang Adipati Argapura.
"Kadang-kadang angin bisa berubah arah. Demikian
juga sikap manusia," kata si Pendekar.
"Tapi manusia bisa disebut berbudi luhur apabila
meneguhi perkataan janjinya," sahut Pusparini.
"Itu bagi manusia lain. Tidak bagiku!"
"Karena... karena... kau berdarah siluman?" kata
Pusparini dengan bimbang.
Pendekar Kipas Akar Wangi yang selama itu bersi-
kap lunak, tiba-tiba memandang Pusparini dengan ma-
ta beringas. Pandangan itu begitu menakutkan sehing-ga Pusparini nyaris saja
menjangkau pedangnya. Ketegangan berkembang di antara mereka.
"Bagaimana kau tahu hal itu" Aku tidak menyesal
kau menyebutku begitu. Aku hanya takut bahwa aku
akan membunuhmu karena kau mengatakan siapa di-
riku!" Dugaan bahwa si Pendekar akan menerkamnya,
ternyata keliru. Pusparini melihat laki-laki di hadapannya itu bersimpuh dengan
menutup wajahnya.
Semua berbalik menumbuhkan teka-teki. Pusparini
merasakan telah menghadapi tokoh yang aneh. Untuk
beberapa saat dia menunggu perkembangan sikap si
Pendekar. Laki-laki itu tetap bersimpuh. Pertemuan
yang berselang sesaat ini memang belum memungkin-
kan bagi Pusparini memecahkan masalah yang diem-
bannya secara tuntas. Mengapa semua jadi berubah
ketika pembicaraan itu menyangkut soal kemanu-
siaan" "Kau bisa membunuh orang yang mengatakan bah-
wa kau berdarah siluman?" tanya Pusparini mencoba
membuka percakapan lagi. Hanya ini yang bisa dika-
takan, sebab menyangkut hal yang membuat si Pende-
kar berubah sikap tanpa dipahami duduk perkaranya.
"Ini benar-benar siksaan bagiku. Seharusnya aku
sudah membunuhmu karena kau mengatakan rahasia
keberadaanku!" terdengar suara si Pendekar dengan
suara serak dengan wajah yang tetap ditutup dengan
kedua belah tangannya.
"Mengapa kau tidak bertindak?" kata Pusparini
dengan mempersiapkan diri kalau-kalau si Pendekar
bertindak di luar perhitungannya.
"Karena aku takut membunuh! Aku tidak ingin ter-
seret ke dalam malapetaka. Oohhh, kalau saja kau ta-hu apa yang menjadi masalah
yang selama ini meron-
grong diriku...," kata si Pendekar.
"Baik. Kukira... kita bisa berbicara untuk menjer-
nihkan hal ini. Mungkin aku bisa membantumu," sa-
hut Pusparini dengan nada sareh.
Si Pendekar masih tetap pada sikapnya, bersimpuh
dengan menutup wajahnya. Lalu sikap ini pudar.
Dia melepaskan tangannya dan masih duduk ber-
simpuh. Matanya mengawasi Pusparini. Terlihat wajah sendu pada si Pendekar.
Untuk menghormati si tuan
rumah, Pusparini pun duduk bersimpuh pula.
"Kau... bisa membantuku?" tanya si Pendekar.
"Kalau mengerti persoalannya, dan itu seandainya
bisa kulakukan," jawab si Walet Emas.
"Baru pertama kali ini ada orang mau berbicara
baik-baik kepadaku," kata Pendekar Kipas Akar Wangi.
"Siapa namamu?"
"Pusparini!"
"Pusparini" Mengapa dalam menangani masalah ini
maka seorang pendekar wanita yang dikirimkan?"
"Secara kebetulan saja," jawab Pusparini dengan
menjaga suasana omongan. Hal ini jadi pertimbangan-
nya, sebab merasakan tentang perangai aneh yang be-
lum dipahami dari sifat Pendekar Kipas Akar Wangi.
"Jadi telah banyak orang yang tahu siapa diriku,
tentang... aku ini keturunan apa," terdengar suara si Pendekar. "Kau pasti bisa
mengambil kesimpulan setiap makhluk lahir ke dunia bukan lantaran kehen-
daknya sendiri, bukan" Kita tercipta, lalu harus menghadapi semua kendala
kehidupan. Kemudian tanggun-
gan yang harus dipikul, kita bakal masuk neraka atau nirwana."
"Ah, jangan omong tentang filsafat. Bisa-bisa aku
tidak mengerti," kata Pusparini. "Katakanlah semua
masalahmu dengan cara yang mudah dan tidak berbe-
lit-belit. Kau kira... aku datang untuk mendengar cerita yang membuat kepala
pusing?" Sungguh tak terduga kalau ucapan Pusparini ini
menimbulkan tawa si Pendekar.
"Ada yang lucu?" tukas Pusparini.
"Tidak. Aku menertawakan kebodohanku sendiri,"
jawab si Pendekar. "Baik! Aku akan berbicara dengan dasar siapa diriku yang
membuat akhirnya kau dikirim kemari. Begitu?"
"Ya!"
"Begini. Aku keturunan siluman. Itu karena ibuku,
seorang manusia, telah diculik oleh... makhluk siluman, yang akhirnya lahirlah
aku." "Diculik... dibawa ke alam siluman?" sela Pusparini.
"Ya. Tapi pihak kelompok siluman akhirnya mem-
buat keputusan bahwa ibuku harus dikembalikan ke
dunia ini. Siluman yang menculik ibuku mematuhi ke-
putusan itu. Ibuku dikembalikan, tapi sudah dalam
keadaan mengandung. Di tempat inilah ibuku dikem-
balikan, yang beberapa bulan kemudian... aku lahir!"
"Di mana ibumu sekarang?"
"Beliau sudah meninggal."
"Kapan itu?"
"Ketika aku berumur sepuluh tahun, dan ibu me-
ninggal seratus tahun yang lalu."
"Apa" Eh, coba kau ulangi kata-katamu. Mungkin
aku salah dengar," sela Pusparini.
"Ibuku meninggal ketika aku berumur sepuluh ta-
hun, dan itu terjadi seratus tahun yang lalu!" kata si Pendekar dengan wajah
sendu. Tampaknya dia tidak
main-main mengakui hal itu.
"Ah, jangan mbanyol! Aku ingin mengetahui siapa
dirimu dengan sebenarnya, dan kau kuharap berkata
dengan jujur."
"Aku telah berkata dengan jujur. Kau tidak per-
caya?" "Tentang ibumu yang meninggal ketika kau beru-
mur sepuluh tahun, aku percaya. Tapi peristiwa itu
terjadi se-ra-tus ta-hun yang lalu" Oh...!"
"Aku telah berkata dengan jujur!" sahut si Pende-
kar. Pusparini mengawasi laki-laki di hadapannya yang
bernama Pendekar Kipas Akar Wangi itu. Pendekar
berdarah siluman. Pendekar yang hidupnya terpencil
dan punya daerah kekuasaan tanah perdikan. Pende-
kar yang menjadi sumber sengketa antara dua kadipa-
ten. Dan pendekar yang... ibunya meninggal ketika dirinya berumur sepuluh tahun
dan itu terjadi seratus tahun yang lalu!
"Oh..., aku yang bodoh," tiba-tiba Pusparini menya-
dari keadaan itu.
"Kau mengakui bodoh. Mengapa?"
"Seharusnya aku sadar siapa dirimu yang dengan
keberadaannya, kau seperti manusia masih berumur
likuran tahun," kata Pusparini dengan menatap tajam ke arah si Pendekar. "Kalau
begitu, umurmu telah lebih dari seratus tahun. Tepatnya... sekitar seratus
sepuluh tahun!"
"Ya!"
"Manusia seperti aku sudah keriput dalam usia se-
lanjut itu," kata Pusparini.
"Justru itu yang membuat aku harus hidup dengan
bersikap baik," sahut si Pendekar. "Kalau aku terseret ke kancah kejahatan, aku
bisa musnah dari muka
bumi!" "Oh," hanya ini yang meluncur dari mulut Puspari-
ni. Dia benar-benar sedang berhadapan dengan masa-
lah yang aneh. Bahkan sudah merembet pada luar du-
nianya. Apakah sudah banyak makhluk-makhluk si-
luman yang merambah ke dalam kehidupan manusia
dan melahirkan orang-orang seperti laki-laki bernama Pendekar Kipas Akar Wangi
ini" Pusparini enggan bertanya tentang hal ini. Tapi kalau benar, apakah tidak
akan membahayakan kehidupan manusia seperti dirinya"
Selama ini dia paham tentang siluman yang dipuja
oleh manusia, atau bekerja sama dengan manusia un-
tuk kepentingan manusia itu sendiri. Tapi siluman
membuat seorang wanita melahirkan anak siluman,
baru kali ini dia ketahui!
"Jadi kau bisa musnah kalau berbuat kejahatan?"
tanya Pusparini lebih lanjut.
"Ya. Ayahku yang mengatakan ketika pada suatu
saat menemuiku."
"Ayahmu yang membuka rahasia itu" Kalau begi-
tu... berapa batas usia siluman itu" Apakah mereka
bertampang angker menakutkan?"
"Kebetulan tidak! Dalam alam siluman terdapat
berbagai wujud. Seperti halnya dunia manusia. Du-
niamu ada orang berkulit kuning, putih atau hitam.
Bermata sipit dan tidak. Bertampang jelek dan bagus serta ayu. Di dunia manusia
terdapat berbagai bangsa.
Di alam siluman pun begitu juga. Ada yang bertam-
pang seram dan ganas. Ada yang berhati lembut dan
baik. Hanya saja... para siluman itu memiliki kekuatan yang tak dimiliki oleh
manusia, menyangkut hal-hal
yang berkaitan dengan apa yang disebut 'kesaktian',"
kata si Pendekar yang kemudian disusul lagi dengan
uraian panjang lebar tentang dunia siluman.


Walet Emas 07 Pendekar Kipas Akar Wangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan kau... bisa menembus ke alam siluman?"
"Sekarang tidak lagi. Ketika tahun-tahun lalu aku
masih bisa melakukan, sekarang tidak lagi. Ayahku
yang membuat aku tidak bisa lagi menembus ke sana.
Tubuhku telah dirajah dengan mantera yang tidak
memungkinkan lagi aku bisa menembus ke sana," kata
si Pendekar sambil menunjukkan rajah mantera di da-
danya di balik rompinya.
"Rajah mantera"!" sahut Pusparini dengan meneliti
gambar dan tulisan aneh yang dirajah pada kulit dada si Pendekar. "Mengapa
ayahmu melakukannya?"
"Demi keselamatanku sendiri. Di sana ada pihak-
pihak yang tak menyukai keberadaanku."
"Lalu mengapa kau mengingkari perjanjian yang te-
lah disepakati dengan pihak Kadipaten Argapura?"
"Aku terpaksa. Ada ancaman yang membuatku ha-
rus tunduk kepada pihak ketiga."
"Adipati Karanggayam?"
"Ya! Tapi dia melakukannya dengan bantuan pihak
lain." "Siapa?"
"Saudaraku sendiri!" jawab si Pendekar dengan me-
lepas napas panjang. Seperti ada beban yang dile-
paskan dengan uraian tersebut.
"Saudaramu" Kau punya saudara" Mengapa tidak
kau ceritakan sejak awal bahwa ibumu mempunyai
anak lain selain dirimu?"
"Maksudku... ah, tentu kau tak mempercayai kea-
daan ini. Kau akan banyak mengetahui dari peristiwa
ini hal-hal yang menurut pikiran manusia serba tidak mungkin!"
"Tidak! Aku percaya. Aku akan mempercayai semua
ceritamu," desak Pusparini.
Pendekar Kipas Akar Wangi termenung. Tampaknya
dia ragu-ragu untuk menceritakan hal itu. Di sisi lain, dia merasa mendapat
jalur pelepas untuk mengeluarkan semua masalah yang selama ini dipendam dan
menjadi beban pikirannya.
"Kau tentu pernah mendengar japa-mantra yang di-
ucapkan oleh orang-orang yang mengatakan tentang
Kakang kawah Adi ari-ari Sedulur papat Lima Pancer.
Artinya, kita ini mempunyai 'saudara lain' yang lahir bersama-sama, dan itu
bukan saudara kembar. Kakang kawah adalah cairan yang keluar dari rahim ibu
sebelum kita sendiri lahir. Kemudian kita lahir, disusul dengan lahirnya pula
ari-ari. Dalam diri kita sebenarnya mempunyai 'saudara' lagi yang tak terlihat.
Semua ada lima. Masing-masing menjaga kita pada keempat
kiblat. Dan yang kelima berada dalam tubuh kita," ka-ta si Pendekar menguraikan
tentang hal-hal yang gaib sehubungan dengan kelahiran manusia.
"Hal itu pernah kudengar dari para pinisepuh," sela Pusparini.
"Nah, baik. Paling tidak kau telah memahami hal
itu. Tapi yang menjadi kau tak akan percaya, bahwa
Adi ari-ari itulah yang kini menjelma menjadi saudaraku!"
"Ari-ari... menjelma menjadi saudaramu" Menjadi...
manusia?" tanya Pusparini yang tiba-tiba merasa sulit untuk mempercayai
kelanjutan cerita si Pendekar.
"Apa kataku" Agaknya kau tak mempercayainya,
bukan?" "Eh... apa benar, ari-arimu telah menjelma menjadi
manusia" Bagaimana itu bisa terjadi?"
"Sudah. Aku tak akan melanjutkan cerita ini.
Mungkin kau lapar. Ayo, kita makan dulu," kata si
Pendekar seraya berdiri untuk menuju ke pojok sana
yang terdapat hidangan makanan persediaannya. "Se-
telah makan, kau boleh pergi!"
"Tidak! Aku ingin tahu tentang... saudaramu itu!"
kata Pusparini.
Si Pendekar menghentikan langkahnya.
"Aku percaya kau punya saudara. Tapi jelaskan ba-
gaimana 'ari-arimu' bisa menjelma menjadi manusia,"
kata Pusparini dengan nada penuh harap.
Si Pendekar menghampiri Pusparini lagi. "Ari-ariku
dibawa oleh ayahku ke alam siluman. Aku tak tahu
bagaimana kejadiannya. Yang jelas ari-ari tersebut telah dijelmakan menjadi
manusia yang seusiaku!"
Si Pendekar menghentikan ceritanya.
"Kau tidak percaya?" katanya lebih lanjut.
Pusparini cuma mengangguk pelan. "Ya, aku per-
caya!" "Sukurlah, kau bisa percaya. Pikiran manusia me-
mang tak bisa menerima hal ini. Tapi dunia siluman
adalah dunia dengan seribu satu macam keajaiban."
"Di mana saudaramu sekarang?"
"Justru itu yang aku tak bisa menjelaskan," jawab
si Pendekar. "Dan dia menjadi masalah bagiku."
"Berterus teranglah. Seperti kau menyembunyikan
sesuatu tentang dirinya. Bukankah aku kau harapkan
bisa menolong masalahmu?" kata Pusparini.
Setelah termenung sejenak, Si Pendekar mulai ber-
cerita lagi. "Dialah yang menyebabkan masalah ten-
tang pembangunan candi itu menghadapi kendala se-
hingga aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku terbentur
pada takdir tentang diriku yang bisa musnah secara
mengerikan apabila sampai membunuh manusia. Dan
itu menjadi pantanganku. Anehnya, hal itu tak berlaku bagi saudaraku. Justru hal
itu yang membuat kejahatan berkembang di wilayah ini. Sekarang dia meli-
batkan diri demi kepentingan Raja Wengker!"
"Jadi Raja Wengker ada kaitannya dengan masalah
ini" Bukan Kadipaten Karanggayam...?" seru Pusparini yang semula menaruh
kecurigaan terhadap Kadipaten
Karanggayam yang diduga mendalangi masalah ham-
batan tentang pembangunan candi.
"Sudah kukatakan, di sini telah berkembang sesua-
tu yang bisa mencelakakan diriku. Dan adikku sudah
bertindak di luar batas sehingga aku tak mampu men-
cegahnya lagi. Sementara ini dia telah bekerja sama dengan pihak Kerajaan
Wengker. Aku tahu benar jalan pikirannya. Raja Wengker tak tahu bahwa pada
akhirnya nanti dialah yang akan menjadi korban keresa-
hannya...!" kata si Pendekar.
"Boleh aku mengajukan suatu pertanyaan?" tanya
Pusparini. "Tentang apa?"
"Seseorang yang bernama Dyah Keningar!"
"Bagaimana kau tahu nama itu?"
"Aku telah bentrok dengannya sebelum sampai di
sini. Pedangnya berhasil kurampas!" kata Pusparini
dengan memandang tajam kepada si Pendekar yang
berpaling darinya.
Sesaat belum terjadi jawaban.
"Katakan, siapa Dyah Keningar! Pasti kau tahu ten-
tang dia karena kujumpai tak jauh dari wilayah ini,"
desah Pusparini.
"Dyah Keningar... tangan kanan adikku!"
"Apa" Jadi... secara tidak langsung aku telah ber-
hadapan dengan pengikut adikmu?"
"Tampaknya begitu. Dan ini akan membahayakan
dirimu. Kau harus hati-hati," kata si Pendekar.
"Siapa nama adikmu?"
"Sebenarnya... dialah yang bernama PENDEKAR
KIPAS AKAR WANGI!" kata si Pendekar.
"Apa" Dia yang bernama... Pendekar Kipas Akar
Wangi?" sahut Pusparini dengan cepat.
Dia benar-benar tak mengerti dengan alur peristiwa
yang menyangkut manusia berdarah siluman ini. Dia
merasa terkecoh. Jangan-jangan soal keturunan silu-
man itu pun merupakan isapan jempol belaka.
"Mengapa kau tidak terus terang sejak awal?" sam-
but Pusparini. "Dengar! Ketika pertama kau datang ke tempat ini,
kau berkata kepadaku apakah aku yang bernama
'Pendekar Kipas Akar Wangi'. Aku menjawab 'Kau akan tahu nanti'. Bukankah dengan
begitu aku belum menyebut namaku" Jadi selama pembicaraan ini kau
menganggap aku yang bernama Pendekar Akar Wangi."
"Sialan!" gerutu Pusparini dengan berancang-
ancang hendak pergi.
"Semua yang kuceritakan benar adanya. Hanya saja
kau terlalu terburu-buru menganggapku sebagai 'Pen-
dekar Kipas Akar Wangi'", kata si Pendekar.
"Aku pernah bermimpi dengan seseorang yang ber-
nama 'Pendekar Akar Wangi' dan penampilannya tak
beda dengan dirimu!" sanggah Pusparini.
"Mimpi" Kau pernah bermimpi... melihat aku?"
"Tidak saja melihat. Tapi mimpi itu sangat mence-
maskan terhadapku!" sahut Pusparini yang tiba-tiba
saja merasa menyesal mengatakan hal itu.
"Mimpi yang bagaimana?" desak si Pendekar.
"Maaf, aku tak bisa mengatakan," jawab Pusparini
dengan melesat meninggalkan tempat itu. Tentu saja
semua dilakukan dengan perasaan mendongkol. Dia
telah berbicara cukup lama dengan laki-laki itu yang diduga sebagai 'Pendekar
Kipas Akar Wangi', dan itu tak akan dilanjutkan lagi.
Tapi begitu Pusparini menginjak tanah lagi di ba-
wah pohon beringin itu, si Pendekar telah berada di sana. Pusparini terperangah
kaget. "Kau akan memerlukan diriku," kata si Pendekar.
"Waktuku banyak terbuang karena obrolanmu sa-
ja," tukas Pusparini dengan memperlihatkan perangai yang ketus.
"Kau tak akan mampu menghadapi adikku, si Pen-
dekar Kipas Akar Wangi itu!" sahut si Pendekar dengan mencekal lengan Pusparini
"O, ya"!" sambut Pusparini. "Aku telah mengalah-
kan pacarnya! Kukira aku sanggup menghadapinya
untuk menyelesaikan masalah ini."
Si Pendekar yang belum diketahui dengan pasti sia-
pa namanya ini melepaskan cengkalan tangan yang
semula memegang lengan Pusparini
"Ketahuilah, kemarin orang-orang Pendekar Kipas
Akar Wangi berhasil meringkus enam orang dari Kadi-
paten Argapura," kata si Pendekar.
"Meringkus enam orang dari Kadipaten Argapura?"
ulang Pusparini.
Sekilas pikirannya tertuju kepada Laskar Khusus
yang dipimpin oleh Ki Jlaprang. Tujuh orang Laskar
Khusus dan Ki Jlaprang sebagai pimpinannya maka
semua berjumlah delapan orang. Kalau hal itu benar, siapa dua orang yang tidak
tertangkap"
"Jadi... Pendekar Kipas Akar Wangi telah menghim-
pun beberapa orang pengikut?"
"Bukan beberapa orang. Tapi banyak orang, dan itu
telah menjadi semacam laskar!" sahut si Pendekar.
Pusparini termenung. Tentu perkembangan seperti
ini tidak diketahui oleh Ki Jlaprang.
Tiba-tiba Pusparini teringat dengan Mahesa Alit dan Roro Wilis.
"Ada yang kau pikirkan?" tanya si Pendekar.
Ah, tahu saja dia bahwa aku sedang memikirkan
sesuatu, pikir Pusparini. "Ya! Aku memikirkan kedua temanku yang seharusnya
sudah sampai di tempat
ini," katanya kemudian. "Aku khawatir mereka terse-
sat." "Dua orang temanmu?" kata si Pendekar sambil
memejamkan mata serta telunjuk jari kanannya dite-
kankan pada kening.
Sikap ini menjadi perhatian Pusparini.
"Mereka tertangkap," kata si Pendekar dengan
membuka matanya.
"Apa" Kau... tahu dengan caramu tadi" Maksud-
ku... kau bisa melihat dengan mata hatimu?" sahut
Pusparini. "Kau harus ingat, aku berdarah siluman," jawab si
Pendekar tenang.
Pusparini menggeleng sambil membuang muka.
"Aku yang bodoh," katanya kemudian. "Saat ini aku
berada di tempat yang tak kukenal sama sekali. Baik keadaannya maupun penghuni-
penghuninya," helaan
napas dilepaskan seakhir dengan ucapan itu.
"Makanya, itu sangat membahayakan dirimu kalau
kau bertindak gegabah," kata si Pendekar.
"Apakah... kedua temanku tersebut ditangkap oleh
orang-orang Pendekar Kipas Akar Wangi?"
"Ya!"
"Aku ingin tahu sarang mereka!" sahut Pusparini.
"Aku tak akan memberitahu di mana letaknya kalau
kau tak mau menuruti saranku!"
"Aku akan mencarinya sendiri," jawab Pusparini
sambil melesat pergi.
Tapi tindakan ini ketanggor sambaran tangan si Pendekar sehingga tubuhnya jatuh
dalam pelukan la-ki-laki itu.
Pusparini tergagap kaget. Untuk beberapa saat dia
tak bisa berbuat sesuatu. Bahkan untuk berbicara rasanya tak sepatah kata pun
mampu diucapkan. Piki-
rannya melayang kepada mimpi yang pernah dialami.
Dia benar-benar bermimpi dengan laki-laki ini! Kea-
daan yang begini tiba-tiba menimbulkan perasaan
aneh terhadap Pusparini. Rasanya dia tak menghen-
daki laki-laki itu melepaskan pelukannya. Laki-laki itu memeluknya dari
belakang. Terasa sekali napasnya
menyentuh tengkuknya, dan terasa merambat ke leh-
er. Dan itu memang benar. Laki-laki yang semula didu-ga bernama 'Pendekar Kipas
Akar Wangi' mengecup le-
hernya. Lama kecupan itu bertumpu pada suatu tem-
pat, lalu merambat ke belakang telinga. Pusparini
sempat dibuat agak menggelinjang karena ciuman di
bagian itu membuat dirinya mendesis sehingga pan-
dangannya tak mampu menatap keadaan di sekitar-
nya. Lalu... semua disadari lagi ketika tiba-tiba terdengar ringkik kuda.
Pusparini berontak melepaskan diri. Kudanya terli-
hat muncul tak jauh dari tempat mereka. Si Pendekar tak bertindak apa-apa lagi
begitu Pusparini melepaskan diri dari pelukannya.
"Apa yang kau lakukan tadi terhadapku?" seru Pus-
parini dengan mengatur napas.
"Entah! Kau sendiri merasakan apa"!" jawab si Pen-
dekar. Wajah Pusparini merona merah. Tubuhnya berpe-
luh. Rambut-rambut halusnya terurai di seputar ke-


Walet Emas 07 Pendekar Kipas Akar Wangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ningnya. Ada beberapa butir keringat meleleh pada wajahnya. Oh, alangkah cantik
Pusparini dalam keadaan seperti itu. Matanya menyorot tajam kepada si Pendekar.
"Sebut, siapa namamu yang sebenarnya. Itu yang
kuharapkan sebelum aku meninggalkan tempat ini,"
kata Pusparini tegas.
Si Pendekar masih membisu. Perasaan masih ter-
paku kepada penampilan Pusparini yang saat ini terlihat berang, tapi menawan. Si
Pendekar mengambil
cundrik (keris kecil) yang terselip di pinggangnya. Lalu dia menulis di udara.
Tindakan ini memang menak-jubkan. Betapa tidak. Gerakkan tangan si Pendekar
yang menulis sesuatu di udara dengan cundriknya itu menimbulkan percikan bunga-
bunga api berwarna merah. Dan di sana tertulis sebuah nama!
"Dahana Putra?" terdengar ucapan Pusparini mem-
baca tulisan itu, yang beberapa saat kemudian lenyap tak berbekas. Tapi bau
asapnya tercium harum sekali.
Baru saat inilah Pusparini sadar sedang berhada-
pan dengan siapa. Manusia lumrah tak akan mampu
bertindak seperti itu.
"Terima kasih!" hanya ini yang diucapkan oleh Pus-
parini dengan menaiki punggung kudanya. Tapi dia ti-ba-tiba ragu untuk mengambil
arah. "Tunjukkan aku
arah tempat saudaramu itu!"
Dahana Putra masih terpaku di tempat. Kemudian
dengan pelan dia memalingkan kepalanya ke arah ba-
rat. Entah itu suatu petunjuk atau bukan, yang jelas Pusparini segera
menghentakkan tali kekang kudanya
ke arah barat. Dahana Putra mengawasi kepergian
Pusparini sampai gadis itu lenyap di balik pepoho-
nan...! *** DELAPAN Tak jauh dari kawasan hutan di pegunungan Em-
bun Nirwana terdapat tebing batu dengan pilar-pilar penyanggahan sehingga
membentuk sebuah relung
goa. Anehnya tempat itu hanya terlihat seperti tebing batu saja. Baru kalau
diteliti sekitar dua puluh tombak jauhnya, akan terlihat pilar-pilar yang
menyangga relung itu.
Pada saat ini terlihat beberapa kelompok manusia
berpakaian serba hitam dengan tanda tengkorak putih sebesar kepalan tangan pada
dada kiri. Mereka berbondong-bondong masuk ke sana mengiringkan bebe-
rapa orang tawanan, yang tiada lain adalah Ki Jla-
prang dan tiga orang anggota Laskar Khususnya. Ke-
mudian menyusul Mahesa Alit dan Roro Wilis.
Dyah Keningar, orang yang pernah dikalahkan oleh
Pusparini, berdiri dengan angkuh sambil mengawasi
orang-orang itu.
Sedangkan Ki Jlaprang dan anggota Laskar Khu-
susnya yang baru saja sadar dari pingsannya, sangat terkejut ketika melihat
Mahesa Alit dan Roro Wilis dalam keadaan terikat dengan jaring. Karena letaknya
yang agak berjauhan, tak memungkinkan mereka un-
tuk bisa saling berbicara. Tapi dengan melihat keadaan mereka masing-masing,
timbul pertanyaan tentang
kawan-kawannya yang lain. Ki Jlaprang yang melihat
Mahesa Alit dengan Roro Wilis, terbebani pertanyaan tentang keberadaan
Pusparini. Sedangkan di pihak Mahesa Alit sendiri bertanya-
tanya tentang anggota Laskar Khusus yang tidak ter-
dapat di sana. Tewaskah mereka"
"Kumpulkan para tawanan di sana!" terdengar pe-
rintah Dyah Keningar dengan mengacungkan telun-
juknya. Tempat yang dimaksud adalah sebuah relung seper-
ti mulut naga dengan kanan kiri terdapat jambangan
yang berisi cairan minyak. Setelah para tawanan di-
kumpulkan jadi satu, maka kedua jambangan itu dis-
ulut dan berkobarlah api di kanan kiri mulut ruangan yang seperti mulut naga
itu. Para tawanan dilepas dari ikatannya masing-
masing. Hanya senjata mereka yang dilucuti. Keadaan para tawanan itu sepertinya
dibiarkan seakan-akan bi-sa meloloskan diri. Tapi sebenarnya tidak. Dan Dyah
Keningar tidak akan khawatir tentang hal itu.
"Kalau kalian ingin mati konyol, boleh lolos dari
tempat itu," seru Dyah Keningar. "Tempat itu terdapat ranjau mantra. Siapa pun
yang melewati ambang pintu, tahu sendiri akibatnya!"
"Hm! Kalian dengar itu" Setidak-tidaknya kita su-
dah tahu bahaya apa yang menanti kita di depan re-
lung ini," kata Ki Jlaprang. "Mudah-mudahan masih
ada peluang untuk lolos dari tempat ini."
"Dengan cara bagaimana?" tanya Udel Bodong.
"Berdoalah agar yang lain masih hidup untuk bisa
menolong kita," jawab Ki Jlaprang dengan mengawasi
ambang pintu yang katanya beranjau mantra.
Di seberang sana Dyah Keningar mengawasi mere-
ka. Tampaknya ada yang sedang ditunggu oleh wanita
yang punya cacat pada wajahnya.
"Jadi dia sedang merampungkan semadinya?" tanya
Dyah Keningar kepada seorang di sampingnya yang
berbadan ceking berjidat lebar dengan mata plolong
dengan hidung seperti paruh betet. Dia biasa dipanggil
'Thengul'. "Ya. Mungkin sebentar lagi usai," jawab orang itu.
Dyah Keningar terdiam. Tak ada perlunya lagi
membuka percakapan untuk mengorek tentang kebe-
radaan orang yang sedang mereka tunggu.
Mereka memang dituntut sabar untuk menunggu
kehadiran 'junjungannya'. Bahkan kesabaran itu ha-
rus tercermin lahir batin. Pernah suatu saat ada seorang anak buah yang '
nggondok' menunggu kemunculannya. Perasaan itu dipendam dalam hati. Tapi aki-
batnya, perasaan semacam itu bisa 'dideteksi' oleh junjungan mereka. Anak buah
itu mendapat hukuman di-
bakar hidup-hidup...!
Tiba-tiba Dyah Keningar terusik oleh laporan seo-
rang anak buahnya yang mengatakan ada utusan dari
Kerajaan Wengker.
"Panglima Kuda Walungan dari Wengker" Suruh dia
masuk!" perintah Dyah Keningar.
Tak berapa lama kemudian tokoh bernama Pangli-
ma Kuda Walungan dari Wengker muncul di sana di-
dampingi oleh dua orang.,
"Selamat datang, Kuda Walungan! Lama kita tak
bertemu," sambut Dyah Keningar.
Panglima Kuda Walungan tidak kaget dengan tegur
sapa Dyah Keningar yang tidak menyertakan jabatan-
nya 'Panglima'. Mereka adalah sahabat akrab sejak kecil. "Aku hendak menghadap
Sang Pendekar!" kata Ku-
da Walungan. "Silahkan duduk dulu. Sebentar lagi dia hadir ke-
mari," jawab Dyah Keningar sambil mengawasi kedua
orang di samping Panglima Kuda Walungan.
Terhadap kedua orang itu Dyah Keningar memper-
lihatkan perhatian khusus.
"Untung kalian bisa menyelamatkan diri, Dhand-
hang Gendis dan Jelantik", tegurnya. "Bagaimana kalian bisa muncul secara
serentak di sini?"
"Siapa gerangan mereka ini?" tanya Kuda Walun-
gan. "Di luar tadi secara bersamaan kami dipersilahkan masuk."
"Mereka berdua 'telik sandi', mata-mata, yang ber-
hasil menyelundup ke dalam Laskar Argapura!" kata
Dyah Keningar dengan melempar senyum angkuh.
Dan... di seberang sana, di tempat para tawanan...
"Ki Jlaprang! Lihat siapa di sana itu! Apakah mata-
ku tidak salah lihat" Mereka Dhandhang Gendis dan
Jelantik!" kata Gumbrek bagai melihat setan bertan-
duk. Semua mata mengawasi orang-orang yang sedang
berbicara dengan Dyah Keningar.
"Mereka mata-mata!" desis Watangan. "Aku pernah
mendapat firasat bahwa laskar kita pasti kesusupan
mata-mata. Baru sekarang kuketahui siapa mereka
sebenarnya."
Tak kalah geramnya adalah Ki Jlaprang.
"Pantas saja kedatangan kita ke tempat ini seperti
sudah dicium oleh pihak lawan. Tidak tahunya ada
musuh dalam selimut. Aku benar-benar tak tahu ba-
gaimana mereka menghubungi kelompok yang mering-
kus kita." Sampai di sini Ki Jlaprang memenggal ucapannya. Matanya dipertajam
untuk mengawasi orang
yang satunya lagi yang asyik berbicara dengan Dyah
Keningar. "Orang itu kalau tidak salah... Panglima Wengker.
Namanya Kuda Walungan," katanya kemudian.
"Ki Jlaprang kenal?" tanya Gumbrek.
"Tidak kenal. Tapi tahu," jawab Ki Jlaprang sambil
mengutuk dalam hati terhadap Dhandhang Gendis dan
Jelantik. "Mereka berdua seolah-olah tidak tahu tentang ke-
beradaan kita," sambung Mahesa Alit.
"Kalau saja kita bisa lolos, maka kedua orang itu
akan jadi sasaranku terlebih dulu," kata Roro Wilis mengumandangkan dendamnya.
Dia masih belum bisa
melupakan saat sewaktu tertangkap ketika menjalin
kemesraan dengan Mahesa Alit.
"Sekarang tinggal Pusparini, Arumdalu dan Prang-
bakat!" sela Gumbrek.
"Kau pikir ketiganya juga mata-mata karena sampai
saat ini tidak lagi bersama kita?" tanya Udel Bodong.
Tak ada yang bisa menjawab. Tapi harapan mereka,
nasib ketiga orang yang masih belum diketahui kebe-
radaannya, tidak sejelek apa yang mereka alami.
*** SEMBILAN Akhirnya tokoh yang ditunggu muncul! Dialah
orang yang menyandang gelar Pendekar Kipas Akar
Wangi! Semua menaruh hormat ketika tokoh ini muncul
dari rongga yang selalu mengepulkan semacam uap.
Rongga itu berada tepat di belakang dampar tempat
duduk yang dialasi dengan permadani berbulu tebal.
Dari arah para tawanan, tempat itu bisa dilihat dengan jelas. Hal ini memang
diatur sedemikian rupa sehingga bisa terjadi hubungan pembicaraan kalau sang
tokoh itu menginginkan percakapan dengan mereka yang di-
tawan tanpa harus datang mendekat.
"Itukah Pendekar Kipas Akar Wangi?" tanya Mahesa
Alit. Ki Jlaprang yang konon pernah bertemu dengan to-
koh yang menamakan Pendekar Kipas Akar Wangi,
mengerinyutkan dahi.
"Mengapa Ki Jlaprang sepertinya belum pernah
mengenal orang itu?" tanya Mahesa Alit.
"Tampaknya yang kutemui tempo hari bukan dia.
Dan tidak pula di tempat ini. Aku bertemu dengan
Pendekar Kipas Akar Wangi di pohon beringin kem-
bar!" jawab Ki Jlaprang.
Tokoh yang menjadi rerasan berpenampilan tenang.
Wajahnya mencerminkan seseorang yang tak pernah
membuat dosa. Dia seorang wanita!
"Aku yakin bukan dia. Tapi mengapa orang-orang di
sini menghormati dia dan menyebut namanya sebagai
'Pendekar Kipas Akar Wangi'?" kata Ki Jlaprang yang herannya tiada berkesudahan.
Terdengar pembicaraan di seberang sana antara to-
koh bernama Pendekar Kipas Akar Wangi dengan para
pembantunya serta tamu dari Kerajaan Wengker.
"Dyah! Orang-orangmu perlu ditingkatkan daya
tempurnya. Dalam waktu sebulan harus sudah ada
peningkatan. Coba, kalau aku tidak turun tangan sendiri menangani apa yang
disebut sebagai Laskar Khu-
sus Kadipaten Argapura. Semua bisa jadi berantakan, walaupun rencana mereka
untuk menyusup ke Kadipaten Karanggayam," kata Pendekar Kipas Akar Wangi.
"Seharusnya mereka kau biarkan agar terjadi ben-
trokan antara Argapura dan Karanggayam. Bukankah
selama ini mereka belum ada yang tahu bahwa musuh
utama adalah dari pihak Wengker?" kata Panglima Ku-
da Walungan. Pendekar Kipas Akar Wangi melemparkan pandang
dingin ke arah para tawanan di seberang sana.
"Ketika kudengar pihak Argapura membentuk
Laskar Khusus, tanganku sudah gatal untuk bertin-
dak. Di samping itu ada keinginan menguji orang-
orang asuhan Dyah Keningar. Dan buktinya" Dyah
Keningar kehilangan senjatanya, serta semua anak
buahnya kedodoran dalam menghadapi lawan-lawan
itu. Yah, anggap saja itu sebagai tolok ukur. Tapi aku tak mau hal itu berlarut-
larut. Aku harus punya pasukan tangguh!"
"Kau bisa menggunakan prajurit Wengker!" saran
Kuda Walungan. "Aku tak mau terikat. Kau tahu itu!" tukas Pende-
kar Kipas Akar Wangi.
"Maaf, Sang Pendekar. Ada seseorang yang kua-
nggap paling utama yang harus segera kita tangani,"
sela Dyah Keningar.
"Gadis yang punya gelar kependekaran Walet Emas
seperti yang kau ceritakan kemarin?" Kata Pendekar
Kipas Akar Wangi.
"Benar! Aku khawatir dia telah bertemu dengan
saudaramu," sahut Dyah Keningar.
"Apa yang kalian bicarakan" Kalian menyebut Walet
Emas?" sela Kuda Walungan.
"Ya. Walet Emas. Menurut keterangan Dhandhang
Gendis, nama aslinya Pusparini," kata Dyah Keningar sambil memandang Dhandhang
Gendis yang duduk
berdampingan dengan Jelantik.
Kedua mata-mata ini di tengah para penggede me-
reka tampaknya tidak berani banyak omong kalau ti-
dak ditanya. "Betul Pusparini, Dhandhang?" lanjutnya.
"I... i... iya! Iya! Nama aslinya Pusparini, dari Padepokan Canggal di kaki
Gunung Merapi!" jawab Dhand-
hang Gendis. "Aku jadi penasaran ingin menghadapinya. Aku ke-


Walet Emas 07 Pendekar Kipas Akar Wangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ranjingan sekali dengan Pedang Merapi Dahana yang
saat ini berada di tangan Walet Emas. Kalian tahu"
Pedang itu pedang tua. Umurnya sekitar dua ratus tahun. Dibuat ketika zaman raja
Samaratungga, pendiri Borobudur!" kata Kuda Walungan yang tiada sadar
bahwa kata-katanya itu membuat perasaan Pendekar
Kipas Akar Wangi jadi muak.
"Aku tidak ingin ada nama pendekar lain yang di-agul-agulkan di hadapanku!" kata
Pendekar Kipas Akar Wangi dengan pandangan judes. "Kalau begitu, saat ini
kuputuskan bahwa Walet Emas jadi sasaran utama
sebelum kita melanjutkan rencana kita semula!"
"Tapi bagaimana kalau saudaramu telah bertemu
dengan si Walet Emas" Tampaknya gadis itu telah
mengendarai kudanya ke arah Waringin Kembar," kata
Dyah Keningar. "Kalau saja tidak ada larangan bagi
kami untuk tidak memasuki daerah itu lagi, pasti kami akan mengejarnya terus,"
lanjutnya dengan perasaan
cemas. Dia khawatir kata-katanya akan membang-
kitkan amarah Pendekar Kipas Akar Wangi.
"Keterlaluan sekali kalau sampai Dahana Putra,
saudaraku itu, ikut campur dalam urusan ini. Tempo
hari utusan Kadipaten Argapura pernah datang kepa-
danya dengan amanah untuk minta izin mendirikan
candi di pegunungan Embun Nirwana. Tolol sekali dia.
Dikiranya utusan orang-orang Argapura itu main-
main. Dia mengijinkan begitu saja, bahkan mengenal-
kan dirinya sebagai Pendekar Kipas Akar Wangi! Aku
pernah menegur sikapnya itu. Tapi dia berdalih, ka-
tanya untuk menjaga nama baikku! Apa itu tidak
edan" Apa dikira aku punya nama jelek?" Macam-
macam saja!" Pendekar Kipas Akar Wangi mengumbar
omongan. "Dyah Keningar! Sekarang kita bertindak serentak
untuk meringkus si Walet Emas itu. Kalau menurut
keterangan Jelantik ada yang masih berkeliaran di
samping Pusparini, mereka harus kita bereskan sekaligus! Siapa nama mereka?"
kata Pendekar Kipas Akar
Wangi dengan pandangan dilempar ke arah Dhand-
hang Gendis. "Arumdalu dan Prangbakat!" jawab Dhandhang
Gendis singkat tanpa embel-embel lagi.
"Arumdalu?" sela Dyah Keningar. "Ya. Nama itu
yang hampir kulupa. Dia jandanya si Aragani. Laki-laki yang pernah kutewaskan.
Dia membuat cacat wajahku
seperti ini. Kalau benar apa yang dikatakan bahwa
Arumdalu itu janda si Aragani, maka dia kuminta se-
bagai bagianku!"
"Edan! Dendam! Dendam! Dendam! Kalau kau ber-
tindak dengan alasan itu kau bisa celaka!" seru Pendekar Kipas Akar Wangi.
"Terima kasih atas peringatannya. Justru itu yang
membuat aku akan berhati-hati," sahut Dyah Kenin-
gar. "Bagaimana dengan senjata yang akan kau pakai?"
tanya si Pendekar Kipas Akar Wangi yang belum puas
dengan rundingan itu.
Dyah Keningar terdiam. Rupanya dia tadi terlalu
menggebu mengeluarkan uneg-uneg hatinya sehingga
lupa bahwa senjata andalannya kini telah jatuh di tangan Pusparini alias Walet
Emas. Mengerti dengan keadaan ini maka Pendekar Kipas
Akar Wangi melemparkan sebuah kipas kepada Dyah
Keningar. "Pakailah sebagai senjata. Walaupun terbuat dari anyaman akar wangi,
itu bisa menandingi kekuatan baja apa pun. Itu akar wangi adalah tanaman dari
alam siluman, yang tak ada di dunia ini!"
Dyah Keningar mengamat-amati kipas yang kini be-
rada di tangannya. Kipas itu kalau dilipat menjadi seperti golok pendek. Kalau
Pendekar Kipas Akar Wangi sudah berbicara tentang 'siluman', maka orang-orang di
sana sudah 'miris' membayangkan tentang hal-hal
yang serem. Kemudian dengan singkat Pendekar Kipas
Akar Wangi memberi tahu tentang kegunaan senjata
Kipas Akar Wangi itu. Kibasan baunya bisa membuat
pusing lawan. Kalau dikebutkan, akan keluar bulu-
bulu halus seperti ' lugut bambu' dan itu beracun sekali. Mendengar penjelasan
seperti itu Dyah Keningar mengumbar senyum.
"Mengapa tidak dari dulu aku diberi senjata seperti ini?" katanya.
"Jangan keburu bangga. Senjata itu bisa membu-
nuhmu apabila kau salah menggunakannya," kata
Pendekar Kipas Akar Wangi.
"Menggunakan salah yang bagaimana?"
"Jangan kau gunakan menentang arah angin se-
waktu kau mengebutkan ke arah lawan!" jawab wanita
yang jadi biang kerok peristiwa ini.
"Aku akan mendampingimu agar kau tidak ceroboh
menggunakannya," sela Panglima Kuda Walungan
dengan nada bergurau.
"Nah, sekarang dengar apa yang kurencanakan un-
tuk meringkus mereka yang masih berkeliaran...!" sahut Pendekar Kipas Akar
Wangi. Kemudian mereka merundingkan siasat...!
*** SEPULUH Pusparini mengendarai kudanya terus ke arah ba-
rat. Tapi sampai begitu jauh belum ada tanda-tanda
yang menunjukkan adanya tempat yang menjadi pe-
mukiman Pendekar Kipas Akar Wangi.
"Mungkin dia menipuku!" pikir Pusparini dengan
menghentikan kudanya. "Tempat yang semakin ke ba-
rat membuat perasaanku curiga. Ini bisa membuatku
keluar dari pegunungan Embun Nirwana, sebab di se-
berang itu sudah terlihat genangan kabut."
Di sini Pusparini termenung memikirkan perte-
muannya dengan Dahana Putra yang semula diduga
Pendekar Kipas Akar Wangi. Akhirnya diputuskan un-
tuk kembali ke arah timur, berarti ke tempat Waringin Kembar. Dia menyadari
kebodohannya mengapa tidak
mencari Mahesa Alit dan Roro Wilis sebelum mening-
galkan Waringin kembar.
Kini diputuskan untuk mencari kedua temannya
itu. Kembali Pusparini menerobos hutan. Perasaannya harap-harap cemas, jangan-
jangan Mahesa Alit dan
Roro Wilis terseret bahaya di luar kemampuan mereka untuk mengatasi. Terlintas
pikirannya untuk menemui Dahana Putra kembali, tapi hatinya bimbang. Jangan-
jangan hal itu menimbulkan kesulitan baginya.
Tanpa terasa Pusparini sampai di tempat yang di-
duga dijadikan peristirahatan oleh Mahesa Alit dan Ro-ro Wilis. Sejenak dia
memeriksa tempat itu. Dia melihat tanda-tanda bahwa Mahesa Alit dan Roro Wilis
memang telah beristirahat di situ. Tapi sesuatu telah terjadi menimpa mereka.
Nyata sekali bekas-bekas tapak kaki dari banyak orang.
"Apakah mereka diringkus lawan?" pikir Pusparini.
Begitu pikiran ini melintas, tiba-tiba inderanya terusik dengan kehadiran
langkah kaki yang mendekat
ke tempat itu. Pusparini segera melesat dari punggung kudanya. Gerakan tubuhnya
ringan melambung ke
atas, yang kemudian nangkring di atas dahan. Dia ber-siaga bertindak sesuatu
sebab dilihatnya dua sosok
tubuh melesat pula ke atas pohon di seberang sana.
Dan pada saat setelah terlihat nyata...
"Arumdalu, Prangbakat!" seru Pusparini.
"Pusparini!" seru dari seberang sana serentak.
"Bagaimana kalian bisa berada di tempat ini?" Pus-
parini melesat menghampiri.
Ketiganya tetap bertengger di atas pohon.
"Kami diserang dengan cara unik!" kata Arumdalu.
"Bau harum yang tak bisa kita ketahui jenisnya telah melumpuhkan teman-teman
yang lain."
"Tak bisa dipungkiri lagi, itu adalah tindakan Pen-
dekar Kipas Akar Wangi," sela Pusparini.
Kemudian diceritakan semua pengalamannya kepa-
da Arumdalu dan Prangbakat. Akhir kesepakatan, ma-
ka diputuskan untuk mencari sarang Pendekar Kipas
Akar Wangi! Untung sekali mereka berhasil menemu-
kan dua ekor kuda tunggangan milik Mahesa Alit dan
Roro Wilis yang rupanya tak sempat diringkus oleh lawan.
Tanpa membuang kesempatan lagi, mereka berge-
rak ke arah timur. Dalam perjalanan ini Pusparini
memberitahukan kepada Arumdalu bahwa dia telah
menemukan senjata rahasia berbentuk cakra sewaktu
diserang oleh Dyah Keningar, tangan kanan Pendekar
Kipas Akar Wangi. Dan hal ini akhirnya dapat disim-
pulkan bahwa Laskar Khusus pasti telah kesusupan
'telik sandi', mata-mata. Tapi rasanya tidak mungkin kalau Dyah Keningar bisa
menyusup ke Kadipaten Ar-
gapura. Jadi jelasnya, ada mata-mata yang berkeliaran di sana.
Mendengar uraian ini perasaan Arumdalu semakin
menggelegak. Siapa yang menjadi mata-mata dalam
Laskar Khusus" Begitu rapi kerja mereka sehingga hal yang seperti itu tak bisa
terungkap. Hanya secara kebetulan Arumdalu punya masalah pribadi maka perih-
al telik sandi atau mata-mata itu berhasil diketahui.
"Pusparini! Lihat!" seru Prangbakat dengan menun-
juk ke seberang tanah ketinggian di sisi mereka.
Semua mata mengarah kepada telunjuk Prangba-
kat. Apa yang mereka lihat"
"Cepat, kita sembunyi di balik padas itu," perintah Pusparini setelah melihat
sekelompok manusia berpakaian serba hitam muncul dari tikungan di atas sana.
Untung sekali orang-orang itu tidak melihat mereka
bertiga. Pusparini segera memerintahkan agar kuda
mereka disembunyikan di tempat aman. Prangbakat
menemukan segerumbulan semak yang cocok untuk
itu. Kemudian mereka bertiga mengintip kemunculan
orang-orang di sana.
"Astaga! Itu Dyah Keningar!" bisik Pusparini.
Mendengar nama itu Arumdalu nyaris melesat ke
luar, tapi keburu dicegah oleh Pusparini.
"Jangan tolol! Lihat siapa orang lainnya itu!" sela Pusparini ketika tampak pula
orang-orang yang dikenalnya.
"Dhandhang Gendis dan Jelantik"!" desis Arumda-
lu. "Merekakah mata-mata itu" Keparat! Tempo hari
aku pernah mencurigai mereka. Tapi tak bisa mem-
buktikan apa-apa!"
Pusparini memerintahkan Arumdalu untuk men-
gendalikan perasaannya.
Kini ganti Prangbakat yang merasa gelisah ketika
menyaksikan seseorang yang lain dalam kelompok
orang-orang itu.
"Itu Panglima Kuda Walungan!" bisik Prangbakat.
"Pejabat Wengker!"
Jelas sudah duduk perkaranya. Dari pengamatan
ini Pusparini bisa mengambil kesimpulan bahwa di pegunungan Embun Nirwana telah
bercokol suatu perse-
kutuan untuk menggasak Kerajaan Medang, di mana
Kadipaten Argapura dan Karanggayam termasuk di da-
lamnya. Hanya secara kebetulan Adipati Argapura dan Karanggayam terjadi perang
dingin sehingga musuh
yang utama luput dari pengamatan.
Pusparini merasa bersukur bahwa sinar matahari
memancar dengan gencar saat itu. Berarti Pedang Me-
rapi Dahana bisa berperan lebih tuntas.
Tapi di sisi lain, Dyah Keningar yang juga punya indera tajam, segera mengetahui
bahwa kemunculannya
telah diintai oleh lawan. Dia segera memberi isyarat kepada semua anak buahnya
untuk menyebar. Dyah
Keningar mengenduskan hidung, mencoba mencium
bau pihak lawan yang dicurigai sedang mengintai me-
reka. "Walet Emas! Aku tahu kau sedang mengintipku!
Ayo, keluar!" seru Dyah Keningar dengan suara lan-
tang. Saking lantangnya tebing padas yang ada di sekitarnya menggogrogkan
butiran-butiran kerikil, rumput pun bergoyang ke arah tersebarnya suara itu ke
segenap penjuru.
Mengetahui hal ini Pusparini dengan didampingi
Arumdalu dan Prangbakat keluar dari persembunyian-
nya. Untuk mengimbangi gertakan lawan, mereka ke-
luar dengan pamer ketangkasan melesat ke udara dan
bergulir bagaikan pemain akrobat. Kemudian keti-
ganya mendarat di hadapan lawan sekitar tiga tombak
jauhnya. "Mengapa mengintip-intip seperti tikus, Walet
Emas" Kini kita lanjutkan lagi urusan kita," kata Dyah Keningar.
"Dan untuk itu kau memborong tenaga demikian
banyak" Termasuk coro-coro yang kau susupkan ke
dalam Laskar Khusus Kadipaten Argapura?" sambut
Pusparini dengan melempar pandang kepada Dhand-
hang Gendis dan Jelantik yang kelihatan rikuh tampil di sana. "Kalau kau tanya
tentang pedangmu, senjata itu telah kubesi-tuakan. Sekarang cuma pantas jadi
barang loak!"
"Sangkamu aku getun dengan kehilangan pedang itu?" dengus Dyah Keningar. "Dan
kulihat ada wanita lain di sampingmu. Apakah dia yang bernama Arumdalu" Bilang
padanya, bahwa akulah yang telah mene-
waskan Aragani, suaminya! Kalau dia punya nyali be-
sar, suruh menghadapiku! Suaminya telah membuat
cacat di wajahku ini. Dia boleh bangga kalau mau! Ta-pi yang harus dia ketahui,
sangkanya si Aragani seorang suami yang jujur" Dia pernah bergendakan den-
gan aku!" Tak tahan mendengar kicauan seperti itu, kontan
Arumdalu melesat ke depan. Tapi yang dituju adalah
Panglima Kuda Walungan. Sedangkan Prangbakat me-
nerjang ke arah Dhandhang Gendis dan Jelantik.
Dyah Keningar menyambut serangan Arumdalu
dengan gempuran tangan kosong. Dan mereka yang
terlibat baku hantam masih menggunakan cara ini.
Anak buah Dyah Keningar masih menjadi penonton.
Rupanya mereka hanya menanti perintah pimpinannya
kapan harus terjun ke palagan.
Paling deras serangannya adalah Arumdalu sendiri.
Dia begitu penasaran terhadap Dyah Keningar yang te-
lah mengaku sebagai pembunuh suaminya. Apapun
alasannya, dia punya dendam yang harus dipadam-
kan. Dan itu hanya bisa dilakukan apabila Dyah Ke-
ningar bisa mampus di tangannya. Soal suaminya
yang dikatakan pernah gendakan dengan Dyah Kenin-
gar, hal itu sulit dipercaya. Bisa dipastikan hanya olok-olok agar Arumdalu


Walet Emas 07 Pendekar Kipas Akar Wangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

marah dan penasaran. Atau
mungkin benar. Tapi apa pedulinya" Yang penting
Dyah Keningar harus mampus di tangannya.
Di sisi lain, Pusparini tidak hanya baku hantam
dengan Kuda Walungan. Ada kalanya dia nyrempet
menyerang ke arah Jelantik atau Dhandhang Gendis
yang berhadapan dengan Prangbakat.
Pada suatu kesempatan Arumdalu mendapat seran-
gan beruntun yang sulit dicari lowongnya untuk mem-
beri balasan. Hal itu karena Dyah Keningar telah mengeluarkan Kipas Akar
Wanginya yang dipergunakan
sebagai senjata mengimbangi Arumdalu yang beberapa
jurus tadi telah menggunakan pedangnya. Bau harum
yang menyengat penciumannya membuat pusing kepa-
lanya. Jarak perang tanding mereka berjauhan dengan keberadaan Pusparini serta
Prangbakat yang juga sedang menghadapi lawan. Tapi mereka masih menggu-
nakan baku hantam tangan kosong.
Keadaan ini tercium juga oleh Pusparini.
"Rupanya Dyah Keningar memiliki lagi senjata an-
dalan," pikir Pusparini dengan mencabut Pedang Me-
rapi Dahananya. Begitu pedang tersebut keluar dari
sarungnya, maka cahaya merah memancar dari bilah
pedangnya. Telah diketahui oleh siapa saja yang tahu keampuhan Pedang Merapi
Dahana, apabila pedang
tersebut kena cahaya matahari akan memancarkan
cahaya merah. Panglima Kuda Walungan yang mengetahui kilatan
merah dari Pedang Merapi Dahana mencoba mengha-
dapi dengan senjata andalannya. Pedangnya yang ber-
hulu panjang dan hanya bisa dikendalikan dengan
genggaman dua buah tangan itu, rontok sekaligus di-
terjang gempuran Pedang Merapi Dahana milik Walet
Emas. Melihat senjatanya hancur berkeping-keping, dia
mengeluarkan ikat pinggangnya yang ternyata bisa di-andalkan sebagai cambuk! Hal
yang tiada terduga ini sempat membuat Pusparini kecolongan peluang. Lengannya
disambar lecutan cambuk sehingga pedang di
tangannya terpental.
Dan sialnya secara kebetulan Dhandhang Gendis
yang berhasil melihat hal itu segera menyambar. Pusparini tak punya kesempatan
untuk merebut kembali,
sebab lecutan cambuk Kuda Walungan yang bertubi-
tubi sangat merepotkan dirinya.
Dhandhang Gendis yang kini memegang Pedang
Merapi Dahana dengan kesombongan selangit mem-
pergunakan senjata itu untuk menggempur Prangba-
kat. Tapi Prangbakat lebih waspada. Dia tahu kehebatan senjata itu. Oleh sebab
itu tak akan menghadapi dengan senjata yang membutuhkan kontak langsung.
Dicarinya akal. Akhirnya dia terpaksa mengeluarkan
senjata rahasia untuk membendung serangan Dhand-
hang Gendis. Balasan senjata rahasia miliknya dilemparkan ke
arah lawan. Dan hebatnya Dhandhang Gendis mampu
menangkis, menghancurkan logam-logam tersebut.
Karena kehabisan senjata rahasia, Prangbakat terpak-sa menggunakan pedangnya.
Tapi baru satu tebasan,
pedangnya telah berkeping-keping oleh sambaran Pe-
dang Merapi Dahana. Peristiwa selanjutnya Prangbakat hanya mampu berkelit dan
melesat ke udara untuk
menghindari serangan Dhandhang Gendis.
Pada waktu yang bersamaan Pusparini yang semula
diributkan oleh lecutan-lecutan cambuk Kuda Walun-
gan, akhirnya berhasil menangkap ujung cambuk ter-
sebut. Tarik-menarik terjadi sesaat.
Tapi ketika Pusparini mulai menyalur tenaga da-
lamnya, maka hentakannya berhasil menyeret tubuh
Kuda Walungan yang mencelat, tanpa diduga tersam-
bar Pedang Merapi Dahana di tangan Dhandhang Gen-
dis yang saat itu sedang ditebaskan ke arah Prangbakat. Kontan leher Kuda
Walungan menyemburkan da-
rah, ketika kepalanya mencelat dari tubuhnya. Semburan darah itu begitu derasnya
sehingga muncrat ke
wajah Dhandhang Gendis sehingga klabakan.
Prangbakat tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.
Dia segera menyerang lawannya yang kehilangan per-
hatian karena matanya pedih tersiram darah Kuda Wa-
lungan. Prangbakat berhasil merebut Pedang Merapi
Dahana dari tangan Dhandhang Gendis. Kemudian
dengan gerakan memutar, ujung senjata itu dihun-
jamkan ke lambung lawan, lalu diputar-putar di ba-
gian tubuh itu sehingga semua 'jeroan' tubuh Dhand-
hang Gendis lumat bagaikan bergedel.
Pusparini yang kini berhadapan dengan Jelantik se-
gera mendapatkan Pedang Merapi Dahana kembali ke-
tika Prangbakat melemparkan pedang tersebut kepa-
danya. "Terima kasih!" seru Pusparini dengan melesat me-
nangkap senjata itu.
Begitu senjata andalannya terpegang di tangan,
langsung dihunjamkan ke arah Jelantik yang ketika
itu juga berniat merebut Pedang Merapi Dahana. Je-
lantik mendelik sesaat ketika dirasakan ada benda panas menembus dadanya. Dia
kalah cepat dengan Pus-
parini dalam merebut senjata tersebut. Tubuh Jelantik ambruk ke tanah yang
diawali dengan gerak sekarat
yang kemudian ndlosor tak berkutik.
Dyah Keningar yang masih menghadapi Arumdalu
segera memerintahkan anak buahnya untuk turun ke
palagan. Sebenarnya anak buahnya miris juga kalau
melihat keampuhan Pedang Merapi Dahana di tangan
Pusparini yang dengan mudah merontokkan semua
senjata logam yang dipergunakan di sana untuk me-
renggut nyawa. Hanya karena kepatuhan saja maka
mereka tetap bersikeras untuk menghadapi Pusparini
dan Prangbakat.
Sebenarnya Pusparini tidak sampai hati kalau ha-
rus menggunakan Pedang Merapi Dahana untuk me-
nyikat habis nyawa lawan yang tingkatan kepandaian
bela dirinya berkelas kacangan. Tapi apa boleh buat, kali ini dia harus
bertindak kejam mengingat lawan
yang begitu banyak kelihatan bernafsu sekali untuk
membunuhnya. Sebagian besar berhasil dibunuh, se-
dangkan yang masih punya pertimbangan ingin hidup
segera melarikan diri.
"Prangbakat," seru Pusparini, "tangani sisa orang-
orang ini. Aku akan membantu Arumdalu!"
Memang sejak tadi Pusparini memperhatikan kea-
daan Arumdalu yang tampaknya sudah kehilangan
daya menghadapi Dyah Keningar.
Begitu melihat Pusparini datang mendekat, lang-
sung Dyah Keningar memapak dengan terjangan. Ki-
pas Akar Wanginya memang mampu menghadapi Pe-
dang Merapi Dahana walaupun senjata itu terbuat dari jenis akar wangi. Tapi
tumbuhan itu berasal dari alam siluman. Dalam kesempatan ini memang Dyah
Keningar belum memanfaatkan senjatanya seprima mung-
kin. Pusparini heran ketika melihat ada senjata seperti
kipas akar wangi yang mampu bertahan terhadap
gempuran pedangnya. Di sisi lain bau yang disebarkan telah membuat kepalanya
pusing. Pusparini dan
Arumdalu terpaksa mengroyok Dyah Keningar dan
mencoba bertahan terhadap bau yang memusingkan
kepala mereka. Jurus-jurus serangan saling membelit. Akhirnya
pada suatu kesempatan Pusparini berhasil menendang
lambung Dyah Keningar, dan disusul pada dadanya.
Tendangan beruntun ini sempat membuat Dyah Ke-
ningar blingsatan. Apalagi dari pihak Arumdalu pun
melancarkan serangan dengan sabetan pedang yang
berhasil melukai lengannya.
Untuk mengatasi hal ini Dyah Keningar melesat ke
belakang untuk memperbaiki posisinya. Begitu mem-
peroleh peluang, dia segera mengebutkan kipasnya.
Dari kipas tersebut berhamburan senjata rahasia se-
perti "lugut" bambu yang teramat halus sehingga tak bisa dilihat oleh mata
karena bentuknya yang lembut serta kecepatan melesat yang deras.
Sesuai pesan Pendekar Kipas Akar Wangi, bahwa
Dyah Keningar harus memperhatikan arah angin kalau
hendak melancarkan jurus tersebut. Dan inilah sial-
nya... Dia lupa memperhitungkan arah angin. Angin
sedang bertiup ke arahnya sendiri. Dan tentu saja serangan itu menjadi 'senjata
makan tuan'! Pusparini dan Arumdalu benar-benar tidak sadar
dengan serangan tersebut. Yang diketahui kemudian,
bahwa tubuh Dyah Keningar menggeliat kejang dengan
mata melotot. Tubuh itu tetap berdiri dengan gemetar.
Sesaat kemudian dari wajahnya mengucur darah, yang
seakan-akan keluar dari pori-pori kulitnya. Juga leher dan dada di atas balutan
kembennya. "Apa yang terjadi?" bisik Arumdalu keheranan.
"Tak tahu!" jawab Pusparini sambil mendekat ke
arah Dyah Keningar yang tetap tegak dengan gemetar.
Kipas di tangannya jatuh. Kedua tangannya juga
mengucur darah. Tiba-tiba Dyah Keningar menjerit
histeris! Jeritan ini pun membuat pemandangan ber-
tambah mengerikan, sebab jeritan tersebut diiringi
semburan darah segar... lalu tubuh Dyah Keningar
ambruk tak berkutik lagi!
"Dia keracunan!" kata Pusparini ketika menghampi-
ri Dyah Keningar yang telah jadi mayat.
Ketika didekati, kini tahulah mereka bahwa sekujur
tubuh Dyah Keningar tertancapi senjata rahasia yang sangat lembut bagaikan lugut
bambu. Benda-benda
lembut itu terlihat nyata pada kain kembennya. Pusparini mencoba mengambil
kesimpulan tentang nasib
naas yang menimpa Dyah Keningar.
Baru saja hal itu dipahami, mendadak tercium bau
harum lagi. Pusparini, Arumdalu, dan Prangbakat yang telah
berhasil menghalau anak buah Dyah Keningar, sadar
bahwa bau itu mengandung tenaga dalam untuk me-
lumpuhkan mereka. Tapi setelah ditunggu beberapa
saat lamanya, bau itu hanya menyebar tanpa berpen-
garuh apa-apa. Dengan perasaan berdebar mereka menunggu per-
kembangan berikutnya. Tapi yang jelas, dipastikan
Pendekar Kipas Akar Wangi akan muncul sebentar la-
gi. Untuk itu mereka bertiga mempersiapkan diri dengan pandangan mata menyapu ke
arah sekelilingnya.
Baru saja hal itu dilakukan, mendadak muncul seke-
lompok orang dari arah yang berlainan. Ada enam so-
sok tubuh muncul mengepung mereka.
"Hei! Itu teman-teman kita!" seru Pusparini sambil
beranjak ke arah orang yang dikenalnya.
Arumdalu dan Prangbakat bertindak serupa. Betapa
tidak. Yang mereka lihat adalah Ki Jlaprang, Mahesa Alit, Roro Wilis, Watangan,
Udel Bodong, dan Gumbrek.
Tapi baru beberapa langkah kemudian, Pusparini
merasa ada yang tidak beres dengan kemunculan
orang-orang yang dikenalnya.
"Tunggu!" cegahnya. "Lihat mata mereka!"
Arumdalu dan Prangbakat mengawasi dengan teliti
mata orang-orang itu. Mata mereka terlihat merah, po-los! Tak ada bulatan
hitamnya. "Ini pasti perbuatan Pendekar Kipas Akar Wangi.
Hati-hati, mereka telah di bawah pengaruhnya," bisik Pusparini dengan nada
cemas. Betapa tidak"! Sebab,
kalau mereka menyerang, berarti akan terjadi bentrokan dengan teman sendiri!
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Arumdalu.
"Kita terpaksa melawan mereka. Tapi jangan mema-
kai senjata tajam!" jawab Pusparini yang kemudian
melesat ke atas ketika Mahesa Alit yang bermata me-
rah itu menyerang dirinya. Juga yang lain-lain.
Mereka yang kini berada dalam pengaruh Pendekar
Kipas Akar Wangi tanpa sadar harus berhadapan den-
gan Pusparini dan dua orang kawannya. Peristiwa yang belum bisa dicari cara
penyelesaiannya ini dalam beberapa saat memang memeras tenaga Pusparini dan
Arumdalu serta Prangbakat. Apalagi mereka bertiga telah sepakat untuk tidak
menggunakan senjata tajam.
Tapi ketika para penyerang itu mengeluarkan senjata tajam, barulah terpikir
untuk menghindari para penyerang. Pusparini melihat bahwa Arumdalu dan Prang-
bakat telah terkepung. Tak ada pilihan lain bagi Pusparini selain mencabut
Pedang Merapi Dahana untuk
menolong mereka.
Apakah Pusparini telah tega dengan orang-orang
yang kini dalam pengaruh Pendekar Kipas Akar Wan-
gi" Rupanya dia punya muslihat lain untuk mengu-
rangi keganasan para penyerang yang seperti orang
kesurupan itu. Dengan gerakan gesit Pusparini menerjang ke arah lawan yang
mengepung Arumdalu dan
Prangbakat. Kilatan Pedang Merapi Dahana yang ber-
sinar merah karena ditimpa cahaya matahari, segera
dibabatkan ke arah senjata teman-temannya yang ke-
surupan. Tak ayal lagi, semua senjata rontok dibuatnya.
"Cepat hindari mereka!" seru Pusparini sambil me-
nendang Gumbrek yang nyaris meringkusnya. Dia
agak kesulitan untuk keluar, sebab Udel Bodong ber-
hasil mencekal lengannya. Terpaksa Pusparini bertindak nekad. Pedang Merapi
Dahana ditebaskan ke tan-
gan Udel Bodong. Tapi serangan itu tidak mematikan.
Hanya melukai, yang membuat Udel Bodong mele-
paskan cengkalannya.
"Lebih baik aku berhadapan dengan lusinan musuh
daripada harus menghadapi orang yang kukenal den-
gan baik!" kata Pusparini sambil menonjok Roro Wilis yang mencoba mencegatnya.
Kemudian dia baru berhasil lolos dari kepungan orang-orang itu dan bergabung
dengan Arumdalu serta Prangbakat.
"Aku benar-benar tak tahu bagaimana harus meng-
hadapi mereka," kata Pusparini dengan napas teren-
gah-engah. "Aku yang akan menyelesaikan!" tiba-tiba terdengar


Walet Emas 07 Pendekar Kipas Akar Wangi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara di belakang mereka.
Ketiganya menoleh. Di belakang mereka telah tegak
seseorang yang hanya Pusparini yang mengenalnya.
"Dahana Putra"!" desah ucapan Pusparini setelah
melihat orang itu.
"Biarlah aku yang menyelesaikan!" kata Dahana Pu-
tra dengan tenang. Sikapnya kalem, lalu mengawasi
enam orang yang kesurupan pengaruh Pendekar Kipas
Akar Wangi yang merangkak naik ke tempat mereka.
Dahana Putra segera bertindak. Dia tegak di tem-
patnya sambil membaca mantera seiring dengan gera-
kan tangan kanannya yang diletakkan di depan wa-
jahnya dengan jari-jari saling merapat secara tegak lurus. Tampak tangan itu
bergetar dan mengeluarkan
asap hijau. Lalu dengan kekuatan prima dihantamkan
ke arah orang-orang yang di bawah pengaruh Pendekar Kipas Akar Wangi.
Kontan keenam orang itu mencelat roboh! Di atas
tanah keenam orang itu menggelepar sejenak, yang
akhirnya lenyap!
"Dahana Putra, kau membinasakan mereka" Bu-
kankah kau telah bersumpah untuk tidak membunuh
manusia?" seru Pusparini.
"Mereka hanya bayangan saja. Tubuh yang sebe-
narnya masih berada di dalam krangkeng!" kata Daha-
na Putra dengan tenang. "Minggirlah kalian bertiga
dengan jarak agak jauh. Dia akan muncul!"
"Dia" Dia siapa?" desak Pusparini, yang agaknya
ucapan ini telah membuat Dahana Putra agak kesal
karena sarannya tidak cepat dipatuhi.
Dan akibatnya memang di luar dugaan. Suatu
hembusan angin yang sangat kencang menerjang ke
sana. Pusparini yang tidak menduga akan hal itu,
langsung mencelat dan tubuhnya menghantam padas.
Dahana Putra cepat bertindak untuk mengatasi
keadaan. Dia telah tahu bahwa Pendekar Kipas Akar
Wangi, saudaranya, telah hadir di sana untuk menin-
dak dirinya. Kehadirannya memang berbareng dengan
datangnya hembusan angin tadi. Kini sosok tubuh wa-
nita dengan berselendang panjang tegak di hadapan
Dahana Putra. "Kau memang tak bisa dieman lagi, Kakang Dahana!" sahut si wanita yang tiada
lain adalah Pendekar Kipas Akar Wangi. Pandangannya ketus ditujukan ke
arah Pusparini yang berusaha bangkit. "Apakah kau
akan membela kepentingannya?"
"Maaf! Aku tak bisa membiarkan tindakanmu.
Omongan para pinisepuh di alam kita mungkin benar,
bahwa kita tidak sesuai kalau bercokol di alam manusia walaupun dalam diri kita
mengalir darah antara
manusia dan siluman. Lebih-lebih dirimu, yang tercip-ta oleh ari-ariku. Ternyata
kau condong untuk mengo-barkan sisi lain dari sifat jahat yang berusaha kuku-
bur," kata Dahana Putra.
"Bukan salahku kalau aku tercipta. Kau jangan
menyalahkan aku!" jawab Pendekar Kipas Akar
"Aku tidak menyalahkan kau, tapi akan menghan-
curkan sifat jahat yang bersarang dalam ari-ariku!"
sahut Dahana Putra.
"Kau hanya cari malapetaka dengan omonganmu
itu. Kau tahu, aku tak akan tinggal diam."
Dahana Putra waspada bahwa saudaranya akan
bertindak. Maka untuk mencegah tindakan tersebut
dia telah terlebih dulu menggelar tirai penolak. Tapi Pendekar Kipas Akar Wangi
teramat lihai dalam mengatasi hal itu. Dia mengibaskan tangannya, dan sekejap
kemudian telah terpegang sebuah kipas terbuat
dari akar wangi.
"Jangan kau lakukan itu, saudaraku! Kita semua
bisa celaka!" seru Dahana Putra dengan nada penuh
harap. Semua itu disaksikan oleh Pusparini yang dengan
sisa-sisa kekuatannya ingin pula bertindak. Dengan
kecepatan yang dikerahkan secara total, dia melesat sambil mencabut Pedang
Merapi Dahana. Kecepatan gerak Pusparini mungkin hebat di hada-
pan manusia, tapi tidak pada makhluk seperti Pende-
kar Kipas Akar Wangi yang tercipta dari ari-ari keturunan manusia dan siluman.
Pusparini terasa dihantam
palu godam raksasa ketika tubuhnya berbenturan
dengan kibasan tangan yang memegang kipas akar
wangi. Tapi dia masih mampu bertahan dengan me-
minjam tenaga dari dinding padas di mana tubuhnya
terhempas. Tenaga balik ini tidak diduga oleh Pendekar Kipas Akar Wangi.
Akibatnya, Pusparini berhasil meneroboskan serangannya dengan mengerahkan jurus
walet emas. Sabetan pedangnya melukai lengan
Pendekar Kipas Akar Wangi!
Betapa marahnya si Pendekar ini. Apalagi melihat
darah telah mengucur dari lengannya. Pusparini melihat hal itu juga heran. Sebab
yang dilihat bukan darah berwarna merah, tapi hijau!
"Astaga! Ini benar-benar bukan manusia!" pikir
Pusparini yang selanjutnya mencelat karena Pendekar Kipas Akar Wangi mengirimkan
angin pukulan yang
sangat fatal ke arahnya.
Pusparini terhempas ke tanah dengan muntah da-
rah. Tak tega melihat keadaan itu, Arumdalu dengan
Prangbakat turun ke gelanggang palagan. Tapi kedua-
nya tak bisa berbuat banyak selain harus mengalami
nasib naas. Mereka juga muntah darah ketika dihan-
tam pukulan oleh Pendekar Kipas Akar Wangi.
Di mana Dahana Putra selama peristiwa itu ber-
langsung" Pendekar Kipas Akar Wangi mencari saudaranya.
Matanya menyapu ke tempat di sekelilingnya. Akhirnya dilihat Dahana Putra telah
melakukan sesuatu di luar
dugaannya. Di sana Dahana Putra kelihatan tegak di
atas sebilah pedang yang tertancap di tanah. Kakinya yang kiri menapak hulu
pedang, sementara yang kanan dalam keadaan ditekuk seperti orang bersila.
Sedangkan kedua tapak tangannya saling merapat seper-
ti orang menyembah dan ditekan di hadapan dadanya.
Dan kedua tapak tangan itu mengeluarkan cahaya
kuning. "Kakang Dahana Putra! Kau telah nekad"!" seru
Pendekar Kipas Akar Wangi.
"Aku terpaksa, adikku! Tindakanmu terlalu jauh!"
kata Dahana Putra dengan tenang.
"Kau bisa binasa kalau membunuhku!" seru Pende-
kar Kipas Akar wangi dengan nada berang tapi men-
gandung kekhawatiran.
"Itu telah kusadari!" kata Dahana Putra yang tam-
pak perubahan pada wajahnya.
Roman mukanya yang semula bersih seperti ular,
kemudian matanya bersinar tajam disertai hentakan
tubuhnya melesat ke atas. Pedang yang dipijak tadi
ikut tersedot dan akhirnya ditendang ke arah Pendekar Kipas Akar Wangi yang siap
dengan bentangan kipas
akar wanginya. Pedang itu melaju dengan deras serta menerjang bentangan kipas
akar wangi yang diusaha-kan sebagai perisai.
Usaha itu sia-sia. Pedang milik Dahana Putra ber-
hasil menerjang, dan menembus kipas tersebut, yang
selanjutnya menghunjam ke dada Pendekar Kipas Akar
Wangi. Jeritannya menggema mengiringi semburan da-
rah berwarna hijau...!
"Lihat betapa mengerikan!" seru Arumdalu yang
semula terkapar dan menyaksikan peristiwa itu.
Pusparini dan Prangbakat dengan terengah-engah
berusaha untuk bangkit dari tanah. Mereka bertiga
menyaksikan bagaimana tingkah polah Pendekar Kipas
Akar Wangi yang sekarat menjelang ajal menahan rasa sakitnya. Tubuhnya berasap
dan menjadikan pemandangan berubah mengerikan ketika dengan pelan me-
leleh bagaikan lemak terbakar... sampai akhirnya lele-han itu lenyap terserap ke
dalam tanah tanpa bekas!
Pusparini mengawasi Dahana Putra yang tetap te-
gak di tempatnya. Timbul semacam perasaan ngeri ka-
rena Pusparini menyaksikan wajah dan tubuh Dahana
Putra yang bersisik seperti ular...!
"Waktunya telah tiba, Pusparini! Ajalku segera tiba.
Maafkan aku... selama beberapa saat yang lalu...
mungkin tindakanku tak berkenan di hatimu...!" sam-
pai di sini terdiam. Dahana Putra sepertinya menahan rasa sakit yang tiada
terkira. Kemudian berusaha untuk bisa berbicara lagi... "Teman-temanmu masih da-
lam sekapan krangkeng mantra dalam goa itu...! Kalau ingin membebaskan mereka,
kau harus memadamkan
kedua tungku api di kanan kiri pintu masuknya...!"
Sampai di sini Dahana Putra diam. Pusparini men-
gawasi dengan seksama. Bayangan tentang mimpi
yang pernah dialami dengan Dahana Putra sekilas me-
nerjang ingatannya.
"Selamat tinggal, Pusparini...," terdengar suara Dahana Putra dengan nada
mendesah hampir-hampir tak
terdengar. Lalu tubuhnya roboh ke tanah... dan lenyap bagaikan ditelan bumi...!
Tanah di tempat itu membara sejenak... yang akhirnya pulih seperti sediakala
seperti tak pernah terjadi apa-apa di sana,
*** "Jadi kau tidak ingin menetap di sini?" tanya Roro
Wilis yang didampingi Mahesa Alit.
"Untuk sementara aku belum bisa menetap di suatu
tempat," jawab Pusparini.
Pembicaraan ini terjadi seminggu kemudian dalam
acara pelepasan keberangkatan Pusparini. Sebenarnya Ki Jlaprang sudah berusaha
untuk mempengaruhi
Pusparini agar tetap tinggal di Kadipaten Argapura, ta-pi si Walet Emas ini tetap bersikeras untuk melan-
jutkan pengembaraannya.
"Mereka sudah cukup tangguh kalau Laskar Khu-
sus hanya diperkuat dengan tenaga yang kini tetap tujuh orang itu dengan
masuknya Mahesa Alit dengan
Roro Wilis," kata Pusparini.
"Kami tak akan melupakan jasa-jasamu, Pusparini.
Peristiwa itu merupakan tamparan bagi Kerajaan
Wengker yang ingin mencundangi Kerajaan Medang di
mana kadipaten ini termasuk di dalamnya," sambut Ki Jlaprang.
Ketika Pusparini benar-benar berangkat meninggal-
kan Kadipaten Argapura, maka pasangan Mahesa Alit
dan Roro Wilis serta Arumdalu dan Prangbakat men-
gantar sampai di perbatasan.
"Mudah-mudahan kalian cepat dianugrahi momon-
gan kalau kelak menginjak pelaminan," kata Pusparini yang kemudian memacu
kudanya meninggalkan Kadipaten Argapura.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Clickers
Document Outline
*** *** DUA *** TIGA *** EMPAT *** *** *** LIMA *** ENAM *** TUJUH *** DELAPAN *** SEMBILAN *** SEPULUH *** SELESAI Pendekar Mata Keranjang 18 Gento Guyon 8 Topeng Kedua Perawan Perawan Persembahan 2
^