Pencarian

Siluman Kedung Brantas 1

Walet Emas 08 Siluman Kedung Brantas Bagian 1


SILUMAN KEDUNG BRANTAS http://cerita-silat.mywapblog.com Daftar Judul Cersil Bag 18 :1021 Pendekar
Rajawali Sakti - Ladang Pembantaian1022 Pendekar Rajawali Sakti - Korban Ratu
Pelangi1023 Pendekar Rajawali Sakti - Kabut Hitam diKarang Setra1024 Pendekar
Rajawali Sakti - Tujuh Mata Dewa1025 Pendekar Rajawali Sakti -
PengkhianatanDanupaksi1026 Pendekar Rajawali Sakti - Pusaka Gowa Naga1027
Pendekar Rajawali Sakti - Pedang Halilintar1028 Pendekar Rajawali Sakti -
Rajawali Murka1029 Pendekar Rajawali Sakti - Kucing Siluman1030 Pendekar
Rajawali Sakti - Kemelut HutanDandaka1031 Pendekar Slebor - Ajian Sesat Pendekar
Slebor1032 Pendekar Slebor - Serigala-Serigala Lapar1033 Pendekar Slebor -
Malaikat Bukit Pasir1034 Pendekar Slebor - Samurai Berdarah1035 Pendekar Slebor
- Manusia Muka Kucing1036 Pendekar Slebor - Bayangan Kematian1037 Pendekar
Slebor - Dewi Ular Hitam1038 Pendekar Slebor - Goa Terkutuk1039 Pendekar Slebor
- Dendam Jasad Dedemit1040 Pendekar Slebor - Jodoh Sang Pendekar1041 Pendekar
Slebor - Istana Durjana1042 Pendekar Slebor - Putri Samudera1043 Pendekar Slebor
- Lamaran Berdarah1044 Pendekar Slebor - Pulau Kera1045 Pendekar Slebor - Tasbih
Emas Bidadari1046 Pendekar Slebor - Perserikatan Setan1047 Pendekar Slebor -
Rahasia Permata Sakti1048 Pendekar Slebor - Darah Darah Laknat1049 Pendekar
Slebor - Alengka Bersimbah Darah1050 Pendekar Slebor - Patung Kepala Singa1051
Pendekar Slebor - Rahasia Di Balik Abu1052 Pendekar Slebor - Cinta Dalam
Kutukan1053 Pendekar Naga Putih - Tragedi GunungLangkeng1054 Pendekar Naga Putih
- Dewa Tangan Api1055 Pendekar Naga Putih - Macan Tutul LembahDaru1056 Pendekar
Naga Putih - Malaikat GerbangNeraka1057 Pendekar Naga Putih - Rahasia Pedang
NagaLangit1058 Pendekar Naga Putih - Sengketa Jago-JagoPedang1059 Pendekar Naga
Putih - Tersesat di LembahKematian1060 Pendekar Naga Putih - Dendam
PendekarCacat1061 Pendekar Naga Putih - Terdampar di PulauAsing1062 Pendekar
Naga Putih - Kumbang Merah1063 Pendekar Naga Putih - Bidadari Iblis1064 Pendekar
Naga Putih - Mustika Naga Hijau1065 Pendekar Naga Putih - Pendekar Gila1066
Pendekar Naga Putih - Misteri Desa Siluman1067 Pendekar Naga Putih - Keturunan
Datuk-DatukPersilatan1068 Pendekar Naga Putih - Tewasnya Raja RacunMerah1069
Pendekar Naga Putih - Putra Harimau1070 Pendekar Naga Putih - Petualangan di
AlamRoh1071 Pendekar Naga Putih - Bangkitnya MalaikatPetir1072 Pendekar Naga
Putih - Tumbal Perkawinan1073 Wiro Sableng - Azab Sang Murid1074 Wiro Sableng -
Api Di Puncak Merapi1075 Wiro Sableng - Dadu Setan1076 Wiro Sableng - Si Cantik
Dari Tionggoan1077 Wiro Sableng - Misteri Pedang Naga Merah1078 Wiro Sableng -
Sang Pembunuh1079 Wiro Sableng - Petaka Patung Kamasutra1080 Wiro Sableng -
Misteri Bunga Noda
Oleh TEGUH SANTOSA
Cetakan Pertama - 1991
Penerbit BINTANG USAHA JAYA
SURABAYA Cover oleh TEGUH SANTOSA
Hak Cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa ijin tertulis dari penerbit
TEGUH SANTOSA Serial Pendekar WALET EMAS
dalam episode ke - 8
Siluman Kedung Brantas
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU Goyang pinggul penari itu benar-benar menyeret
pandangan mata setiap lelaki yang terbius alunan gamelan yang kian memanas.
Selingan teriakan yang ka-
dang-kadang terdengar melengking, umumnya mem-
bumbui dengan ucapan-ucapan yang mengundang ge-
lak tawa. Ada yang lucu. Ada yang jorok. Tetapi semua disambut seperti sudah
sewajarnya. Kalau tak ada
bumbu ucapan seperti itu, katanya kurang 'nges' atau kurang sedap. Dan sang
penari yang terdiri dari tiga wanita itu, membiarkan saja kalau ada tangan-
tangan jahil yang menthowel pantat. Itu pun kalau berani. Sebab tak kurang pula
harus menanggung akibatnya.
Ketiga penari itu bukan penari sembarangan. Konon
mereka punya ilmu. Dengan tangkisan tangannya,
maka si tangan jahil bisa rontok jari-jarinya kalau sampai kena seblak. Dan hal
ini akhirnya menimbulkan semacam taruhan. Siapa lelaki yang paling banyak bisa
menepuk pantat sang penari, biasanya bisa
menggondol taruhan.
Konon ada seorang yang disebut jagoan dalam hal
'thowel-menowel pantat' bernama Kebo Parud. Boleh
dibilang tak ada seorang penari pun yang belum per-
nah dithowel pantatnya oleh sang jagoan ini.
Seperti halnya kali ini, ketika di Kademangan Rajeg Banjar diadakan tontonan
seperti itu, maka yang namanya Kebo Parud tak ketinggalan unjuk ketrampilan.
Ketiga penari itu semuanya berhasil dithowel pantatnya. Ini hanya berpacu
tentang kegesitan saja. Kebo Parud menang taruhan lagi. Masing-masing telah
berhasil dithowel pantatnya rata-rata tiga kali. Sedangkan penari itu sendiri
telah berhasil merontokkan jari-jari
tangan lima orang lelaki yang mencoba menthowel
pantat mereka. Benar-benar tontonan yang asyik tapi mengundang bahaya.
"Kau mau maju lagi menthowel pantat mereka?"
tanya seseorang kepada Kebo Parud yang meneguk
minuman tuak. Satu bumbung tuak tersedia di sampingnya. Untuk
menghabiskan satu bumbung tuak, orang biasa pasti
ndlosor terkapar alias mabuk. Tetapi Kebo Parud, itu bukan apa-apa.
"Mereka akan mudah kuthowel lagi. Aku akan cari
penari yang penuh tantangan," kata Kebo Parud.
"Penuh tantangan yang bagaimana?"
"Yang sulit dithowel!" jawab Kebo Parud.
"Kau nanti akan mendapat apa yang kau idamkan,"
terdengar suara di belakang Kebo Parud, yang ketika ditoleh ternyata kenalan
lamanya, si Sempak Waja.
"Hei, kau Sempak! Duduk kemari. Temani aku mi-
num," sambut Kebo Parud ketika melihat kenalannya.
Sempak Waja masih melayangkan pandangan ke
arah ketiga penari yang dikelilingi beberapa orang lelaki. Mereka masih terlibat
tarian yang diiringi teriakan-teriakan. Seorang lelaki kena gampar tangannya
ketika mencoba menthowel pantat si penari. Langsung laki-laki itu mengaduh. Tiga
tulang jarinya patah!
"Apa kau bilang tadi" Aku akan mendapat apa yang
kuidamkan?" tanya Kebo Parud.
"Ki Demang akan mengeluarkan seorang penari an-
dalannya. Katanya belum pernah seorang lelaki pun
yang berhasil menthowel pantatnya!" kata Sempak Wa-
ja. "Seorang... penari baru, maksudmu?"
"Baru untuk ukuran di kademangan ini. Tetapi dia
sudah kondang di tempat lain," jawab Sempak Waja.
"Nah, itu dia!"
Kepala Kebo Parud mendongak melihat munculnya
seorang penari baru. Dia muncul diiringi seorang 'pe-landang' atau pembimbing ke
tengah arena tari. Se-
dangkan munculnya penari tunggal ini menggantikan
ketiga penari yang mundur dari arena. Suara gamelan yang semula bergaung dengan
irama rendah ketika terjadi pertukaran penari ini, kini mulai memanas dengan
irama yang menyeret gerak gemulai penari baru.
Suara riuh mulai bertingkah lagi. Penampilan pena-
ri baru ini memang aduhai. Aduhai dalam mutu
orangnya. Setiap lelaki akan selalu menatap wajahnya terlebih dulu. Kemudian
kontan ke bawah, ke lembah
tumit yang bercekung dalam. Lalu pada betis yang kelihatan hilang-hilang tampak
dari belahan jarit yang menyibak ketika kaki itu bergerak menurut irama gamelan.
Dari sini, mata terus meneliti bentuk pantat yang padat, mengombak dari lekuk
pinggang yang ' nawon kemit'. Lalu meneliti ke atas, ke ukuran dada dalam balutan kemben merah
darah. Kemben itu menutup buah dadanya sebatas tiga jari dari putingnya,
sehingga tampak semakin menggunung mempesona.
Kemudian setiap mata menikmati wajahnya lagi. Wa-
jah yang punya bibir ranum bagai tomat. Dengan se-
sungging senyum diimbuhi lirikan mata, maka setiap
lelaki mau saja memberikan sepasang kerbau asal pe-
nari ini bersedia tidur dengannya.
Baru kali ini ada peminat untuk turun ke gelang-
gang tari terjadi antrian panjang menanti giliran. Ada selusin lelaki sudah
berdiri berjajar menanti giliran.
Setiap orang diberi kesempatan sepemakan sirih untuk bisa menthowel pantat
penari. Ketika giliran lelaki pertama kena gampar sehingga jari-jarinya rontok,
orang mulai membelalakkan mata. Ya, rontok! Jari-jari lelaki
itu putus kelima-limanya lepas dari telapak tangannya.
Darah menyembur. Belum pernah ada kejadian seperti
ini. Biasanya si penari hanya bisa menepis, dan tulang jari si lelaki hanya
kesemutan atau patah tulang atau urat saja. Belum ada yang rompal secara total
seperti ini! Giliran orang kedua masih nekad tampil. Ini pun tidak berlanjut
lama. Ketika tangan si lelaki akan menthowel pantat si penari, langsung mendapat
tepisan yang serupa. Bahkan kali ini telapak tangannya putus dari pergelangannya. Tentu
saja hal ini membuat riuh semua orang yang menyaksikan. Tontonan ini jadi
mendapat perhatian semakin besar. Yang jadi korban
hanya bisa menyeringai dan meninggalkan gelanggang
tari. Melihat hal ini para peminat yang antri, satu persa-tu mengundurkan diri.
"Wah, kalau yang begini, lebih baik jadi penonton
saja daripada tangan bisa cacat seumur hidup!" kata seseorang yang menyingkir
dengan klincutan dari antrian.
Akhirnya orang-orang yang berminat turun ke arena
tari tak ada lagi.
"Ini baru penari idaman!" bisik Kebo Parud setelah
menyaksikan peristiwa itu yang kemudian beranjak
dari tempatnya.
Orang-orang minggir memberi jalan kepada Kebo
Parud yang akan turun ke arena tari. Banyak orang
mulai pasang taruhan. Kali ini pasaran taruhan ba-
nyak yang memihak kepada sang penari. Bagi Kebo Pa-
rud sendiri yang tampaknya mulai kehilangan pasa-
ran, tidak mempedulikan hal itu. Dengan jeli dia masih mengawasi penari yang
tetap lemah gemulai menuruti
irama gending gamelan. Lama Kebo Parud mengawasi
penari itu. Di pihak lain, sang penari pun kadang-kadang meli-
rikkan pandangannya kepada Kebo Parud. Sikapnya
benar-benar ngletheki memancing hasrat. Lemah gemulai antara gerak tangan dan
goyangan pinggul
membuat setiap mata terpaku menyaksikan.
"Ayo, Kebo Parud! Mengapa kau masih mematung
saja" Thowel itu pantat! Aku pasang sepasang kerbau kalau kau mampu
melakukannya!" teriak seseorang.
"Dua pasang kerbau buatmu!" komentar yang lain.
Ini artinya, kalau Kebo Parud sampai bisa mentho-
wel pantat sang penari, akan memperoleh taruhan itu.
Kalau tidak, dia yang akan membayar. Sedangkan di
petaruh yang lain, hanya bertaruh antar penonton.
Tiba-tiba Kebo Parud memberi isyarat kepada pena-
buh gamelan untuk berhenti sejenak. Tidak biasanya
hal yang demikian dilakukan oleh lawan penari. Anehnya, pihak penabuh gamelan
mematuhi isyarat itu.
"Aku ingin bicara dengan Ki Demang sebentar," seru
Kebo Parud dengan melayangkan pandang kepada
yang bersangkutan.
Ki Demang Balawan yang berkuasa di Kademangan
Rajeg Banjar tersenyum melihat Kebo Parud tampil di sana. Sepertinya hal ini
memang diharapkan. Dia tahu bahwa Kebo Parud adalah jagoan dalam menthowel
penari, dan tak pernah gagal. Dan acara yang diseleng-garakan kali ini dalam
memeriahkan 'bersih desa', Ki Demang sengaja mendatangkan penari yang kesohor
yang belum pernah berhasil dithowel pantatnya oleh
para pendamping tari.
"Mohon maaf, Ki Demang. Langsung saja saya ingin
taruhan dengan Ki Demang. Apakah Ki Demang ber-
kenan?" seru Kebo Parud dengan lantang sambil mem-
biarkan rompinya menganga menunjukkan simbar da-
danya yang lebat.
"Tentu saja. Taruhan apa yang kau minta?" jawab
Ki Demang. "Seluruh hasil panen padi tahun ini yang Ki De-
mang miliki," seru Kebo Parud.
Terdengar suara gremeneng dari semua orang yang hadir di sana. Mereka menilai
taruhan yang diminta
oleh Kebo Parud sangat tinggi. Itu berarti separo hasil panen padi dari seluruh
wilayah Kademangan Rajeg
Banjar. "Bagaimana" Sebab, mungkin tanganku bisa cacat
seumur hidup kalau tak berhasil menjamah pantat
penari jempolan ini. Dan kedua, apabila berhasil, dia harus bersedia tidur
dengan saya," kata Kebo Parud
ketika Ki Demang belum memberi persetujuan atas
usulnya yang pertama.
Mendengar usul yang kedua ini, kontan orang-orang
berteriak "Huuuuuu..." tanda mencemoohkan usulan
Kebo Parud yang dinilai kelewatan.
Ki Demang Balawan mengerinyutkan alisnya. Piki-
rannya menjajagi keinginan Kebo Parud yang memang
dinilai kelewatan. Tetapi hal ini memang menyangkut harga diri. Apalagi telah
disaksikan oleh segenap penduduk yang hadir dalam hajat 'bersih desa'.
"Untuk permintaanmu yang pertama, aku bisa me-
menuhi. Tetapi yang kedua, kau harus mengatakan
sendiri kepada yang bersangkutan," jawab Ki Demang.
Mendengar hal ini sang penari menatap tajam ke-
pada Kebo Parud. Masalah tidur bersama, hal itu me-
nyangkut harga diri dan moral.
"Kau harus banyak menundukkan aku untuk per-
mintaan yang satu itu," jawab sang penari.
Ucapan ini benar-benar menyengat perasaan Kebo
Parud. Pikirannya segera menebak kemampuan penari
ini sampai berapa jauh dia menguasai ilmu yang bu-
kan sekedar tari.
"Baik!" jawab Kebo Parud singkat. Kemudian tan-
gannya memberi isyarat agar gamelan ditabuh.
Suara hingar-bingar terdengar lagi. Sang penari mu-
lai menari menuruti irama gending gamelan. Suara sorak-sorai dari orang-orang
yang menyaksikan mulai
membahana. Kebo Parud pun mulai mengimbangi
dengan gerak tari. Dia bergerak mengelilingi sang penari. Dua orang ini
sebenarnya sudah saling mengatur siasat. Satu bertahan, yang lain akan menyerang
dengan jamahan tangan ke arah pantat. Tampaknya sang
penari lengah, tetapi jangan dikira itu sikap yang sem-brono. Sebab hal ini
merupakan jebakan agar lelaki
lawannya menthowel pantatnya. Tetapi Kebo Parud ti-
dak gegabah untuk segera bertindak. Dia terus menari berputar seakan-akan tidak


Walet Emas 08 Siluman Kedung Brantas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada perhatian ke arah tubuh sang penari yang jadi incarannya.
"Ayo, Bo, sikat saja!" sebuah teriakan terdengar.
Kemudian disusul omongan yang lain bernada jorok.
Tetapi justru hal yang begini semakin mengundang ta-wa orang-orang lainnya.
Kebo Parud terus menari.
Sang penari tetap dengan lemah gemulainya me-
mamerkan keindahan tubuhnya sesuai irama gending.
Gerakannya lebih banyak dilakukan dengan sikap me-
rangsang lawan jenis.
Dan pada saat itulah, tangan Kebo Parud berkelebat
berbareng dengan liukan tubuhnya. Tetapi di luar du-gaannya, tangan yang nyaris
menthowel pantat itu ter-sambar selendang sang penari. Dan itu bukan sekedar
sambaran. Tetapi sambaran yang berisi tenaga dalam.
Kontan Kebo Parud mengaduh tertahan. Ya, tertahan,
sebab rasanya malu kalau sampai terdengar oleh para
penonton. Tetapi tak urung para penonton telah bersorak karena kegagalannya.
Kebo Parud terus menari tanpa mempedulikan sua-
ra-suara di sekelilingnya.
"Ini tak boleh diremehkan," pikir Kebo Parud sambil terus mengimbangi gerak
tari. Tetapi matanya tak lepas dari gemulai tangan sang penari yang mungkin bi-
sa dipantau jurus geraknya. Ya! Jurus gerak. Sebab
Kebo Parud tahu bahwa itu bukan sekedar gerak tari.
Itu jurus serangan yang dilakukan dengan menari. Te-gasnya, mereka berdua sedang
perang tanding dalam
kancah persilatan! Dan ini tak banyak orang yang ta-hu. Hanya orang-orang yang
menguasai ilmu persila-
tan yang mengerti jurus seperti ini. Itu pun tidak banyak yang teliti, sebab
keadaannya telah dilebur dalam alunan gamelan.
Ki Demang dengan cermat mengawasi mereka. Laki-
laki bernama Sempak Waja mendekati.
"Saya tadi sempat membakar hatinya," lapor Sem-
pak Waja kepada atasannya, Ki Demang itu. "Kali ini rupanya Kebo Parud benar-
benar ketanggor."
"Ya! Ini satu cara untuk menindaknya setelah ber-
bagai cara kita lakukan tanpa membawa hasil," sahut Ki Demang Balawan. "Dan
gadis itu benar-benar jempolan untuk berperan sebagai penari. Siapa na-
manya?" "Pusparini!" jawab Sempak Waja.
"Ya! Pusparini. Selalu saja aku lupa meskipun kau
telah menyebut namanya berkali-kali," kata Ki De-
mang. "Tetapi kita harus berjaga-jaga menunggu bun-
tut peristiwa berikutnya kalau Kebo Parud bisa ditundukkan oleh penari itu."
"Ki Demang mengharap bahwa Kebo Parud akan
membawa kita untuk mengungkap masalah Siluman
Kedung Brantas?" tanya Sempak Waja.
"Arahnya memang ke sana. Firasatku mengatakan
bahwa lalu lintas Bengawan Brantas yang dikacaukan
oleh munculnya Siluman Kedung Brantas, ada kaitan-
nya dengan Kebo Parud. Paling tidak, dia tahu banyak tentang tokoh yang
menamakan diri sebagai Siluman
Kedung Brantas," jawab Ki Demang dengan mendon-
gakkan kepalanya karena ingin tahu apa yang terjadi di arena tari. Hal ini
karena terdengar sorak-sorai penonton yang menyaksikan tarian Kebo Parud mengha-
dapi penari baru yang tampaknya sulit dijinakkan.
"Siapa kau sebenarnya"!" kata Kebo Parud sambil
mengitari sang penari.
"Kau harus menundukkan aku kalau ingin tahu
namaku," jawab penari yang bernama Pusparini.
"Kau penari baru. Tetapi tak pernah kulihat menari
di mana pun, di kawasan kademangan ini," kata Kebo
Parud lagi dengan mata menatap tajam untuk mencuri
kesempatan menthowel pantat Pusparini.
Ya! Wanita penari itu adalah Pusparini, yang punya
gelar kependekaran Walet Emas. Dari perjalanannya
yang malang-melintang di kawasan Kerajaan Medang,
akhirnya dia harus berhadapan dengan masalah yang
membikin resah penduduk di kawasan Kademangan
Rajeg Banjar sepanjang Bengawan Brantas. Konon ada
tokoh yang menamakan diri Siluman Kedung Brantas
yang sering membegal perahu-perahu yang berlayar di Bengawan Brantas. Hal ini
bukan menjadi masalah
Kademangan Rajeg Banjar saja, tetapi sudah menjadi
masalah pemerintah Kerajaan Medang juga. Hanya sa-
ja untuk menindaknya, perlu perhitungan yang hati-
hati. Pusparini terus menari. Sampai sekian jauh Kebo
Parud belum berhasil menthowel pantat penari lawan-
nya. Bahkan ketika Kebo Parud merasa yakin bisa bertindak, lagi-lagi selendang
Pusparini berhasil menangkis dengan hantaman keras. Kali ini Pusparini
mengeluarkan tenaga prima sehingga benturan selendang
dengan tangan Kebo Parud mengepulkan asap. Itu per-
tanda kulit tangan Kebo Parud telah hangus. Dan itu benar adanya. Kebo Parud
menyeringai kesakitan. Para penonton bersorak menggetarkan bangunan terop yang
terbuat dari bambu.
"Mundur saja, Bo, Kebo! Kau sudah keok!" seru pe-
nonton. Kebo Parud semakin penasaran. Kesempatan ku-
rang satu lagi. Sebab, dia diberi kesempatan untuk
menthowel tiga kali. Dua kali telah gagal. Kalau sampai saat ini dia bisa
bertahan, itu karena pertahanannya mempergunakan tenaga dalam.
Sementara itu gending ditabuh kian bernada cepat.
Memang sudah mencapai puncak gerak tari yang
membutuhkan alunan gaya yang paling menentukan.
Dan pada saat itulah Kebo Parud mencoba lagi untuk
melancarkan serangannya. Kali ini Pusparini bertindak lebih ganas. Selendang
dikipatkan menyambar tangan Kebo Parud sebatas lengan. Bagaikan pedang,
selendang yang lentur itu berisi tenaga dalam, memapras lengan Kebo Parud.
Kontan putus! Penggalan tangannya mencelat ke tengah para wiyaga, penabuh game-
lan, ke perangkat gong. Justru gong yang akan ditabuh sebagai penutup gending,
kini telah dilanda penggalan tangan Kebo Parud. Gong berbunyi tepat pada irama
penutup! Orang bersorak kagum.
Kebo Parud terkulai sambil menebah lengannya
yang putus. Dia mencoba menotok uratnya agar da-
rahnya tidak membanjir keluar dari lukanya. Dengan
langkah gontai Kebo Parud meninggalkan arena tari diiringi sorak-sorai penonton.
"Bo, ini lenganmu!" seru seseorang sambil memba-
wa potongan lengan yang terpenggal. Orang-orang nge-ri menyaksikan. Dan Kebo
Parud terus melesat dari
sana tanpa mempedulikan potongan lengannya.
Pusparini berdiri di tengah gelanggang tari dengan
tenang sambil mengawasi larinya Kebo Parud. Meski-
pun Pusparini tenang-tenang saja, kini tak ada seo-
rang pun dari calon penari laki-laki yang berani turun ke gelanggang. Lalu
Pusparini beranjak dari sana, masuk ke dalam ruang rias. Kini gelanggang tari
diisi lagi dengan ketiga penari lain, yang muncul untuk kedua
kalinya. Baru saat inilah ada satu dua orang penari lelaki berani turun ke
gelanggang tari. Tontonan ramai lagi. Paling tidak dengan ketiga penari ini
musibah tidak separah ketika penari berkemben merah tadi
menghajar Kebo Parud.
Dan malam pun semakin larut...!
*** DUA Tiga hari berikutnya setelah 'bersih desa' usai, Pusparini menemui Ki Demang
Balawan. "Jadi kau pendekar yang dikirim oleh Mapatih Sa-
tyawacana dari Ibukota Medang?" tanya Ki Demang se-
telah Pusparini membeberkan tugasnya.
"Benar, Ki! Ki Mapatih telah menggladi saya sebagai penari hampir sebulan
lamanya," jawab Pusparini yang kini tampil dengan pakaian kependekarannya,
berkemben kuning, dengan mencangklong Pedang Merapi
Dahana yang terbungkus.
"Hm, akhirnya pemerintah pusat mengirimkan
orang pilihannya untuk menangani masalah ini," gu-
mam Ki Demang. Tampaknya dia merasa terpukul
dengan kehadiran Pusparini. Hal ini menunjukkan
bahwa Ki Demang tidak mampu menangani masalah
Siluman Kedung Brantas, dan pemerintah pusat telah
turun tangan. "Ki Demang tak usah kecil hati. Kalau pemerintah
pusat sampai mengirim saya kemari, itu menunjukkan
adanya perhatian dari Ki Mapatih demi kepentingan
warga Medang di pelosok. Bahkan ada berita-berita
bahwa banyak orang-orang Sriwijaya yang masuk ke
wilayah Medang untuk mengacaukan kerajaan ini dari
dalam," kata Pusparini menjelaskan.
Setelah mengalami peristiwa menghadapi Dewi Se-
laksa Racun yang melibatkan orang-orang Sriwijaya,
Pusparini semakin tahu tentang masalah politik dan
intrik-intriknya. Setelah peristiwa itu, dirinya diberi kepercayaan oleh Mapatih
Satyawacana sebagai anggota 'telik sandi' Kerajaan Medang. Tugas pertamanya
mengharuskan dia 'turba' tanpa didampingi anggota
'telik sandi' yang lain. Keadaan Kerajaan Medang akhir-akhir ini memang gawat.
Permusuhan dengan pi-
hak Sriwijaya mengharuskan mempergiat ketahanan
keamanan wilayah, sementara pihak Sriwijaya mulai
menyusupkan orang-orangnya ke dalam negeri Kera-
jaan Medang. Hal ini dalam kesempatan itu dibeberkan kepada Ki Demang. Orang tua
itu hanya manggut-manggut mencoba memahami perkembangan keama-
nan yang tampaknya tidak menggembirakan.
"Ki Demang tahu apa arti tatakehidupan yang baik
bagi suatu negeri" Itu akan membuat warganya taat
kepada perintah raja. Tetapi kalau sudah tatakehidupan semrawut dan hidup
rakyatnya semakin menderi-
ta, maka kepercayaan itu akan sirna dari nurani warganya," kata Pusparini.
"Jadi orang-orang Sriwijaya yang menyusup kemari
bertujuan menumbuhkan keresahan rakyat agar Kera-
jaan Medang kropos dari dalam?" sela Ki Demang.
"Tepat sekali. Mungkin juga yang menamakan diri
Siluman Kedung Brantas itu ada kaitannya dengan
mereka. Atau mungkin juga dari pihak lainnya," kata Pusparini menambahi
penjelasan. Pembicaraan yang
semula obrolan ringan, ternyata dibicarakan semakin menyita perhatian.
Tengah perbincangan itu membuih di bibir, tiba-tiba perabot kademangan bernama
Sempak Waja datang
dengan tergopoh-gopoh.
"Hei, ada apa kau ini" Sepertinya kau dikejar hantu saja," tegur Ki Demang
sambil meludahkan kunyahan
kinang dari mulutnya ke dalam paidon.
"Mmm... memang ada hantu!" ujar Sempak Waja
dengan wajah pucat pasi.
"Hantu" Hantu apa" Kau ini mungkin nglindur
siang-siang begini ada hantu," sela Ki Demang.
"Mmm... maksud saya... tangan Kebo Parud yang
putus itu...!" kata Sempak Waja lagi dengan sikap yang masih belum tenang.
Di belakangnya muncul pula dua orang lainnya. Te-
tapi mereka mengekor pada laporan Sempak Waja.
Dua orang itu juga tampak pucat pasi.
"Tangan Kebo Parud yang putus" Yang terpenggal
karena diseblak oleh... Pusparini?" tanya Ki Demang.
"Bukankah potongan tangan itu telah kita kuburkan
ketika Kebo Parud tidak mempedulikan lagi dan terus melarikan diri yang sampai
sekarang tidak muncul la-gi?"
"Bbb... be... benar, Ki!" kata Sempak Waja. "Justru
itu... hantunya! Tangan itu muncul dari kuburnya...
dan merayap ke mana-mana! Dia telah menimbulkan
korban. Seorang wiyaga penabuh gamelan, mati terce-
kik di rumahnya."
"Dicekik oleh tangan itu?" sahut Pusparini.
"Iii... iya! Dicekik oleh tangan itu. Sepertinya tangan itu bernyawa. Kini
orang-orang khawatir kalau tangan itu menyerang mereka selagi lengah."
"Tidak diusahakan untuk menangkapnya?" tanya Ki
Demang. "Wah, bagaimana cara menangkapnya. Lha wong
geraknya gesit sekali. Sekali lompat, kemudian menghilang ke dalam semak
belukar," kata orang di bela-
kang Sempak Waja.
Ki Demang nyaris tak percaya dengan cerita orang-
orang itu. Dia ingin membuktikan kebenarannya. Bi-
asanya orang senang bercerita dengan sesuatu hal
yang tidak dilihatnya sendiri, justru kemudian dibumbui dengan hal-hal lain
untuk mempertambah
'wah'nya kejadian.
"Kalian tahu di mana paling akhir potongan tangan
itu terlihat?" tanya Pusparini.
"Di semak-semak pinggir Bengawan Brantas, dekat
dermaga sungai," jawab teman Sempak Waja.
"Ki Demang, bagaimana kalau kita tengok ke sana?"
saran Pusparini.
*** Saran Pusparini disetujui.
Mereka segera menuju ke dermaga sungai, tempat
berlabuhnya perahu-perahu yang berlayar di Benga-
wan Brantas. Di sana orang masih membicarakan
munculnya potongan tangan Kebo Parud. Jelas sekali
bahwa potongan tangan yang bisa bergerak itu adalah
tangan Kebo Parud. Ciri lainnya karena terlihat cincin bermata akik yang masih
menghiasi jari tangannya.
Dan setelah diselidiki kuburan tangan itu, ternyata telah kosong. Terlihat bahwa
tangan itu memang berge-
rak dengan sendirinya keluar dari tempatnya dikuburkan.
"Ilmu apa yang dimiliki oleh Kebo Parud itu?" bisik Pusparini dalam hati.
Kemudian Ki Demang memutuskan untuk meme-
riksa rumah Kebo Parud di Puthuk Gilang, di sebuah
tebing curam di tepi Bengawan Brantas. Dan tak jauh dari tempat itu terdapat
suatu kedung, tempat bengawan yang paling dalam dan memiliki arus pusaran
yang kuat, yang disebut Kedung Brantas. Dari tempat inilah beberapa waktu yang
lalu muncul Siluman Kedung Brantas. Sementara orang ada yang bercerita
bahwa yang disebut siluman itu benar-benar siluman.
Ada lagi yang mengatakan bahwa siluman itu adalah
orang yang menyamar.
"Itu dia rumahnya," tunjuk seorang penunjuk jalan
ke sebuah rumah yang terlihat terpencil dari rumah-
rumah yang lain.
Rumah itu sebenarnya cukup besar, dan menun-
jukkan keberadaan yang terjamin tentang harta benda yang dimiliki Kebo Parud.
Tetapi konon, itu semua
hanya harta warisan dari orang tuanya yang kini tiada lagi. Di sana hanya ada
dua orang pembantu. Satu
seorang tukang kebun, dan yang lain pembantu dapur.


Walet Emas 08 Siluman Kedung Brantas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka adalah orang-orang yang dulu mengabdi kepa-
da almarhum kedua orang tua Kebo Parud.
Sesampai di sana, Ki Demang mengetuk pintu ru-
mah. "Sepi, tak ada orang. Coba kau tengok dari bela-
kang," perintah Ki Demang.
Sempak Waja akan melaksanakan perintah itu, te-
tapi Pusparini mencegahnya.
"Biar saya yang memeriksa," sarannya.
Pusparini melesat ke atas pagar rumah yang terbuat
dari susunan batu kali. Dari sini dia meniti sepanjang pagar yang memanjang ke
belakang. Sesampai di tempat yang dituju Pusparini menengok pintu belakang
rumah. Pintu itu menganga, terbuka.
Firasatnya terusik tentang adanya hal-hal yang ti-
dak beres. Pusparini segera memasuki rumah itu lewat pintu belakang yang
terbuka. "Spada!" serunya.
Gemanya memantul ke seluruh ruangan. Karena
tak ada jawaban, dia terus melangkah masuk. Tetapi
baru saja kakinya menapak lima langkah, Pusparini
dikejutkan dengan munculnya seseorang dari dalam
kamar. Seorang lelaki muda bertelanjang dada dengan pedang bertengger pada
punggungnya. Sedangkan di
bahunya menggantung perbekalan.
Melihat kehadiran Pusparini, laki-laki itu terus menyerang tanpa basa-basi.
Tentu saja terjangan yang
mendadak ini sangat mengejutkan. Pusparini hanya
mampu mengelak, sebab serangan itu telah mengunci
peluang gerak yang mungkin dilakukan Pusparini un-
tuk membalas. Dengan sebuah tendangan, laki-laki itu berhasil menerobos ke luar
melewati pintu yang menganga lebar.
Pusparini berniat memburu. Tetapi ketika sesampai
di luar, laki-laki itu telah lenyap seperti ditelan bumi.
Yang pasti, menurut dugaan Pusparini, telah melompat menyeberangi Bengawan
Brantas dengan meminjam
tenaga dari sebatang pohon yang kebetulan terhanyut.
Sebab kalau tidak, mustahil seseorang bisa menyebe-
rangi bengawan yang lebar itu dengan sekali lompat
menuju ke seberang.
Kemudian Pusparini balik ke dalam rumah itu, dan
membuka pintu depan dari dalam.
"Rumah ini kosong! Saya menemukan seseorang di
dalamnya. Kini dia melarikan diri. Pasti bukan penghuni rumah ini," Pusparini
memberi laporan.
Kemudian mereka memeriksa keseluruhan isi ru-
mah. Tiba-tiba terdengar teriakan Sempak Waja. Buru-
buru mereka mendatangi tempat itu. Apa yang mem-
buat Sempak Waja menjerit karena dia menemukan
dua sosok mayat terkapar dalam gudang pangan. Ada
beberapa ekor tikus dalam gudang itu yang menggero-
goti dua mayat itu segera dihalau.
"Mereka adalah dua orang pembantu rumah ini,"
kata perabot kademangan yang ikut serta memeriksa
di sana. "Ada bekas cekikan di leher mereka," kata Ki De-
mang sesaat memeriksa kedua mayat itu.
"Masih jadi teka-teki, apakah mereka dibunuh oleh
laki-laki yang kupergoki tadi, ataukah...," Pusparini tidak melanjutkan kata-
katanya. "Dicekik potongan tangan Kebo Parud?" sela Sem-
pak Waja dengan nada bergetar.
Tak ada yang memberi wawasan. Semua kemungki-
nan bisa saja terjadi.
Kemudian Ki Demang memberi tugas kepada kedua
perabot kademangan agar mengawasi rumah itu sete-
lah mereka pergi. Sedangkan Pusparini akan terus melanjutkan mencari jejak Kebo
Parud, dan mencari laki-laki buron yang pernah dipergoki di dalam rumah itu.
Ki Demang dan Sempak Waja kembali ke kademangan
untuk memberi perintah lebih lanjut kepada perabot
lainnya. Itulah kesibukan mereka sekarang.
Peristiwa tentang Kebo Parud segera menyebar ke
seluruh kademangan. Karena lidah manusia itu bisa
diibaratkan bisa lebih panjang dari panjangnya jalan, maka berita itu bahkan
menyebar sampai ke luar Kademangan Rajeg Banjar.
Kebo Parud jadi buronan. Maklumat tentang ini se-
gera menyebar ke pelosok desa. Hadiah untuk tertangkapnya Kebo Parud, hidup atau
mati, dikeluarkan oleh Demang Balawan. Apalagi ketika pada suatu hari salah
seorang keluarga Ki Demang tewas tercekik dan
mayatnya ditemukan di galengan sawah, maka kecurigaan siapa pelakunya tak sulit
untuk ditebak. Biang keladinya adalah potongan tangan Kebo Parud.
Orang lantas mencari keterangan tentang masa
lampau Kebo Parud. Apakah dia pernah berguru kepa-
da orang yang berilmu tinggi sehingga potongan tan-
gannya bisa hidup dan membunuh orang lain"
Dan tentang sayembara itu tentu saja mengundang
munculnya para pemburu hadiah. Umumnya mereka
terdiri dari para pendekar yang punya kegemaran un-
tuk itu. "Ini gara-gara penari bernama Pusparini yang ke-
nyataannya dia seorang pendekar wanita," kata seo-
rang petani yang sedang istirahat di gubuk di tengah sawah.
Di gubuk itu terdapat tiga orang. Satu laki-laki tadi yang kini sedang menikmati
makan siangnya yang dikirim dari rumah. Sedangkan dua orang yang lain adalah
anak gadisnya dan istrinya. Laki-laki petani itu makan dengan lahap disaksikan
oleh anak-istrinya.
"Tidak tanduk, pak"!" tanya si gadis.
"Kau menghendaki perutku mbledhos kekenyangan?" jawab ayahnya sambil meneguk air
kendi. Cara meneguknya dengan menengadah ke atas. Dan pada
saat itulah matanya terbelalak kaget. Kendi di tangannya terlepas.
"Ada apa, Pak"!" tanya istrinya.
"Ttttt... tangan itu... hhhh!" terdengar suara laki-laki petani sambil beranjak
keluar gubuk. Anak gadisnya dan istrinya menengadah ke atas
langit-langit gubuk itu. Di sana terlihat sepotong tangan yang berpegangan pada
bambu atap gubuk. Den-
gan kecepatan yang tak terlihat, tahu-tahu tangan itu telah melesat ke bawah dan
mencengkeram leher istri si petani. Jeritannya melolong mengerikan. Melihat hal
itu si petani segera mengambil goloknya untuk bertindak menolong.
"Pak! Cepat tolong emak!" seru anak gadisnya.
Ayah gadis itu ragu-ragu bertindak. Dia khawatir
kalau potongan tangan itu dibacok akan mengenai tu-
buh istrinya yang bergumul di pematang sawah. Kepa-
nikan membakar suasana. Petani itu dengan gugup te-
tap berusaha untuk membacok potongan tangan yang
mencengkeram leher istrinya. Sedangkan anak gadis-
nya terus berlari dengan menjerit-jerit minta tolong.
Petani-petani lainnya terkejut mendengar teriakan
semacam itu. Mereka berbondong-bondong untuk me-
nolong. Ketika sampai di tempat kejadian, mereka menyaksikan istri si petani
telah tewas, sementara laki-laki itu melolong-lolong menangis.
"Di mana! Di mana tangan itu"!" teriak petani-
petani lainnya.
Mereka terkejut menyaksikan tubuh istri petani te-
mannya yang berlumur darah.
"Aku telah membunuhnya...," seru petani itu den-
gan menangis. "Golokku mengenainya ketika kucoba
menusuk potongan tangan keparat ituuuu...!"
"Di mana potongan tangan Kebo Parud?" tanya sa-
lah seorang di antara mereka dengan tangan meme-
gang arit. "Menyusup ke sana!" seru petani yang malang yang
telah keliru membunuh istrinya sendiri ketika hendak membabat potongan tangan
Kebo Parud. Kemudian para petani berbondong-bondong menge-
jar ke arah yang ditunjukkan. Mereka tak mempeduli-
kan hamparan padi yang menguning. Tanaman yang
beberapa hari lagi siap dituai itu diterjang langkah-langkah kaki untuk memburu
potongan tangan Kebo
Parud. *** TIGA "Jadi potongan tangan itu terakhir kali terlihat di sawah Pak Mintuno?" tanya
Pusparini. "Kami tak bisa menemukan jejaknya lagi. Pasti po-
tongan tangan itu bisa membenamkan diri ke dalam
lumpur dan bersembunyi di antara hamparan sawah.
Sama halnya seperti mencari jarum dalam jerami," jawab laki-laki itu yang ikut
mengejar potongan tangan Kebo Parud di sawah siang tadi.
"Jelas si Kebo Parud itu punya ilmu iblis," sela petani yang lain.
Sementara ada beberapa orang mengawasi kebera-
daan Pusparini di sana. Dalam pikiran orang-orang itu ada yang menuduh bahwa
semua ini gara-gara ulah
tingkah laku pendekar wanita yang kini berada di tengah-tengah mereka.
"Seharusnya kau tidak menari dalam bersih desa
itu," kata seorang laki-laki yang tampaknya berpenga-
ruh di antara kelompok para petani yang berkumpul di sana.
"Menari atau tidak, kademangan ini tetap akan di-
landa keresahan," tangkis Pusparini. Dia merasa bah-wa telah ada beberapa
kelompok orang di desa itu yang menuduhnya sebagai biang keladi kerusuhan. "Aku
bertugas atas nama pemerintah Medang untuk menin-
dak biang keresahan di kademangan ini!"
Baru dengan ucapan ini orang-orang itu mencoba
memaklumi keberadaan Pusparini di sana.
"Apakah kau berniat untuk mengejar hadiah pula?"
tiba-tiba terdengar suara menimpali, datangnya dari pojok di samping lumbung
padi. Justru makna ucapan itu yang membuat Pusparini
cepat-cepat menoleh ke arah datangnya suara. Di sana berdiri seseorang bertopi
lebar yang menelan seluruh wajahnya dari pandangan orang lain. Kemudian orang
itu berjalan pelan mendekati Pusparini. Orang-orang menyibak memberi jalan. Atau
mereka memang takut
dengan penampilan orang itu yang tampaknya punya
pembawaan disegani orang lain.
"Kenalkan, namaku Narendra!" kata laki-laki bertopi lebar itu.
Pusparini meneliti penampilan orang itu. Seorang
lelaki muda. Mungkin umurnya lima tahun di atas
umur Pusparini. Wajahnya berbakat ditumbuhi kumis
dan janggut. Tetapi bulu rambut itu sering dicukur sehingga meninggalkan bekas
membiru di seputar dagu
dan di atas bibirnya. Keadaan itu semakin menunjuk-
kan kejantanan penampilannya. Sebagai wanita, Pus-
parini bisa menilai, mana lelaki jantan dalam penampilan, dan yang kebanci-
bancian, atau perpaduan kedu-
anya. Penampilan laki-laki itu terus terang dengan cepat menumbuhkan rasa
simpati Pusparini berdasar-
kan pengamatan lahiriah. Tentang watak batinnya, dia belum bisa menilai.
"Kau pendekar pemburu hadiah buronan?" tanya
Pusparini. "Secara kebetulan, bukan! Tetapi hadiah yang dis-
ediakan dengan tanda tangan Ki Demang itu menarik
perhatianku. Kebetulan... aku butuh duit!" jawab laki-laki bernama Narendra
tanpa segan mengatakan kein-
ginannya. "Kata orang di sana itu menjelaskan bahwa namamu Pusparini. Benar?"
Pusparini mengangguk. Lalu matanya mengawasi
orang yang memberitahukan namanya kepada laki-laki
bertopi lebar. Orang itu lantas pergi.
"Kau pendekar utusan istana Medang?" tanya laki-
laki itu. "Tentu kau sudah bertanya banyak tentang diriku
kepada orang-orang itu," jawab Pusparini.
"Sebenarnya aku tadi ingin bertanya langsung den-
ganmu. Tetapi tampaknya kau sibuk menghadapi
orang-orang itu," kata Narendra. "Kau mendapat kesulitan dengan mereka?"
"Tidak! Mereka bisa mengerti. Tetapi kalau ada yang mengail di air keruh,
suasananya memang bisa mere-potkan," jawab Pusparini.
"Mengapa bisa begitu?"
"Perlukah hal itu kau ketahui?"
"Hanya sekedar ingin tahu," jawab Narendra.
"Saat ini Kerajaan Wengker dan Sriwijaya merupa-
kan musuh yang perlu diwaspadai," kata Pusparini.
"Dan ini memang sulit untuk mengetahui mana lawan
dan mana teman. Keresahan yang timbul di kademan-
gan ini sudah dipastikan merupakan salah satu mata
rantai yang ingin menjatuhkan kewibawaan Kerajaan
Medang yang dipimpin oleh Baginda Raja Dharma-
wangsa." "Apakah kau lantas mencurigaiku?" tanya Narendra
"Ada orang-orang tertentu yang perlu diwaspadai,"
jawab Pusparini. "Dan itu tak bisa gegabah dilakukan."
Narendra tersenyum. Sebelum melangkah pergi, dia
memberikan sesuatu kepada Pusparini. Si Walet Emas
ini terkejut. "Hei! Dari mana kau dapatkan benda ini?" tanya
Pusparini. "Kalau kau berkenan, aku bisa membuatkan lebih
banyak untukmu," jawab Narendra sambil terus me-
ninggalkan tempat itu.
Pusparini terpaku di tempatnya. Benda itu diamati
dengan teliti. Sebuah bentuk senjata rahasia yang
menggambarkan lambang burung walet! Walaupun ti-
dak terbuat dari emas, benda itu sangat cocok sekali sebagai kharisma senjata
rahasianya. Tetapi bagaimana laki-laki bernama Narendra itu tahu nama kepen-
dekarannya"
"Narendra, tunggu!" seru Pusparini.
Tetapi laki-laki itu telah menghilang di antara po-
hon-pohon bambu. Geraknya menyelinap sangat men-
gagumkan. Kalau bukan orang berilmu, pasti sulit berlaku demikian.
"Narendra!" bisik Pusparini lirih yang tercermin
hanya dari gerak bibir saja. Nama itu jadi punya arti baginya. Kemudian
Pusparini berlalu dari sana.
*** EMPAT Orang-orang masih tercekam ketegangan dengan
merajalelanya potongan tangan Kebo Parud. Korban
semakin bertambah. Dan potongan tangan itu semakin
hari semakin menyebarkan bau busuk setiap kali
orang memergoki kemunculannya. Oleh karenanya,


Walet Emas 08 Siluman Kedung Brantas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemunculannya akan segera diketahui apabila tiba-
tiba orang-orang mencium bau busuk. Bau mayat!
Para pendekar silat bermunculan untuk menangkap
Kebo Parud dan membasmi potongan tangannya. Teta-
pi sampai demikian jauh, kerja mereka seperti membu-ru angin saja.
Senja itu, Pusparini baru saja datang dari perjala-
nannya melacak jejak buronannya. Belum pernah dia
merasakan kerja seperti ini. Agaknya sasaran yang diburu tahu bahwa dirinya
sedang diincar oleh berbagai pihak sehingga ruang geraknya tak bisa leluasa
lagi. Sempak Waja menemaninya mengobrol dengan di-
dampingi beberapa orang perabot kademangan lain.
Sedangkan Ki Demang sendiri sudah dua hari pergi ke ibukota Kerajaan Medang
untuk mendapat pengarahan
lebih lanjut dari para atasan mengenai perkembangan negeri itu yang semakin
menghangat. "Apakah Ki Sempak pernah mendengar nama Na-
rendra?" tanya Pusparini di tengah obrolan itu ketika mereka membicarakan
tentang munculnya banyak
pendekar di Kademangan Rajeg Banjar.
"Narendra" Narendra siapa ya?" jawab Sempak Wa-
ja. "Kemarin ada orang yang mengenalkan namanya
kepadaku," jawab Pusparini.
"Narendra...!" ulang Sempak Waja sambil mencoba
mengingat-ingat nama itu. "Namanya menunjukkan
golongan bangsawan. Kedengarannya gagah."
"O ya?" sahut Pusparini.
Pikirannya segera melayang kepada laki-laki yang
pernah ditemuinya. Baru kali ini Pusparini dibuat 'mabuk' oleh penampilan laki-
laki itu. Seperti para pende-
kar pengembara, maka pakaiannya memang tidak me-
wah. Tetapi sorot matanya yang tajam dinaungi alis lebat itu yang membuat
Pusparini sulit menghapuskan
bayangannya. Apalagi laki-laki bernama Narendra ini telah memberikan benda
kenang-kenangan yang mencerminkan lambang kependekaran dirinya. Sebuah
senjata rahasia berlambang burung walet. Paling tidak Narendra tahu tentang
gelar kependekarannya. Bagi
Pusparini memang sudah lama ingin menciptakan se-
buah senjata rahasia yang menunjukkan kharisma di-
rinya. Dan kini ada seorang laki-laki tanpa diduga telah memberikan sebuah
senjata rahasia yang dinilai
cocok dengan apa yang diinginkan selama ini. Bahkan Narendra berpesan, kalau dia
berkenan, akan dibua-tkan sesuai dengan kebutuhannya.
Dalam keasyikan merenungkan tentang Narendra,
suasana santai itu dibuyarkan oleh sebuah jeritan.
Seorang wanita setengah baya dengan tergopoh-gopoh
datang ke tempat itu dalam keadaan pucat pasi. Kem-
bennya berlumur darah.
"Oh... tolong! Tolonglah suami saya. Tangan itu
muncul dan kini sedang bergumul di rumah saya!" se-
runya dengan nada gemetar.
Sempak Waja adalah orang pertama yang mengam-
bil prakarsa untuk menuju ke rumah wanita itu yang
terletak di seberang kademangan. Orang-orang ber-
bondong-bondong ke sana dengan membawa senjata
masing-masing. Karena suasana malam hari, maka
penerangan obor sangat dibutuhkan. Beberapa orang
dari 'jagabaya' telah siap dengan sarana itu. Sedangkan Pusparini tidak
bertindak gegabah. Kali ini dia lebih banyak mengamati dari jauh. Sebab, kalau
poton- gan tangan itu bergerak meloloskan diri karena mun-
culnya orang-orang, akan dengan mudah bisa menge-
tahui arah ke mana perginya.
Orang-orang telah menerobos masuk ke dalam ru-
mah. Beberapa orang terlihat mengepung di luar. Sempak Waja yang kini
penampilannya lebih berani dari-
pada hari-hari yang lalu, mendapati si pemilik rumah terkapar tak bernyawa lagi.
Dari bekas darah yang ter-cecer mereka mencoba mengikuti jejak potongan tan-
gan yang diketahui telah menuju ke luar rumah. Bau busuk masih menggenang dalam
ruangan itu, tetapi
semakin terasa menyengat hidung pada arah di luar
rumah. Maka dengan berpedoman bau busuk itu, Pusparini
melesat memburu ke dalam kegelapan malam. Indera
penglihatannya dipertajam untuk mengetahui gerak
yang mencurigakan. Pada suatu tempat, bau busuk itu tercium dengan sangat. Tak
sangsi lagi, pasti potongan tangan Kebo Parud berada tak jauh dari tempatnya di
sana. Tempat di mana dia berada sekarang, sudah
jauh dari kademangan. Orang-orang yang semula ikut
mengejar, kini sudah jauh tertinggal di belakang.
"Bau itu semakin kuat di grumbulan itu," pikir Pusparini dengan mempertajam
pandangan ke arah se-
mak-semak setinggi manusia. Di seberang sana, sudah terdapat pinggiran Bengawan
Brantas. Baru saja Pusparini berancang-ancang akan men-
gobrak-abrik grumbulan itu dengan pedangnya, tiba-
tiba muncul sesosok tubuh dari sana. Dia tak bisa melihat dengan nyata wajah
orang itu. Yang jelas punya rambut panjang sebatas pantat.
Gerakan sosok tubuh itu begitu cepatnya sehingga
Pusparini tak sempat mengatur serangan untuk me-
nangkis lawan. Terjangan kaki lawan dirasakan telah menghunjam ke tangannya
sehingga pedangnya ter-pental. Baru kali ini Pusparini mengalami hal semacam
itu. Tenaga dalam lawan sangat ampuh. Biasanya dia
mampu bertahan apabila ada serangan pada gengga-
man pedangnya. Sang lawan rupanya memang men-
gincar pedang di tangan Pusparini.
Si Walet Emas ini tidak merisaukan benar walau-
pun pedang telah terlepas dari tangannya. Itu bukan Pedang Merapi Dahana, tetapi
pedang lain yang sering dipergunakan untuk menghadapi peristiwa dasar. Artinya,
sekedar memberi pemanasan saja. Kalau ada
hal-hal yang perlu ditangani tanpa dapat dikuasai lagi, barulah Pusparini
mempergunakan Pedang Merapi
Dahana. Sementara itu sosok lawannya terus menerjang un-
tuk melumpuhkan dengan tendangan kaki terhadap
Pusparini. Untung saja si wanita bergelar Walet Emas ini cepat menguasai
keadaan. Kegelapan memang
mempersulit gerak Pusparini yang tidak menguasai
medan di sekitarnya. Tetapi berkat usaha memperta-
hankan diri, Pusparini berhasil menguasai diri untuk melancarkan serangan
balasan. Matanya sudah terbiasa mengamati kegelapan di sana. Kini dengan gencar
dia membalas setiap jurus lawan. Kebanyakan dilaku-
kan dengan baku hantam yang kadang-kadang disertai
kekuatan tenaga dalam. Lagi-lagi Pusparini merasa ke-teter serangan yang sulit
ditangkis. Beberapa kali tubuhnya jadi bulan-bulanan lawan yang memakai jubah
bagaikan bentangan sayap kelelawar. Sedangkan ku-
ku-kukunya yang tajam sudah beberapa kali meng-
gores kulit Pusparini.
Entah mengapa, tiba-tiba Pusparini merasakan tu-
buhnya lemas tak berdaya. Matanya mulai berkunang-
kunang. Sampai akhirnya ketika dia berusaha melan-
carkan serangan, yang bisa dilakukan hanya men-
gayunkan lengan saja. Itupun tak sampai tertuju ke
arah sasaran, sebab tubuhnya telah dilanda terjangan lawan, yang akhirnya dia
roboh ke tanah...
*** Pusparini merasakan siraman air mengguyur tu-
buhnya. Terasa dingin menggigit kulit. Pandangannya agak kabur ketika dicoba
untuk mengawasi keadaan
sekelilingnya. Ketika terpaku kepada penampilan sesosok tubuh, dia tersentak
kaget. "Kau..." Narendra"!" terdengar ucapan Pusparini
dengan nada bergetar. Kesehatannya belum pulih be-
nar. Tetapi pikirannya berhasil menyimpulkan bahwa
dia telah keracunan.
Lalu teringat perkelahiannya dengan tokoh berju-
bah berambut panjang. Pusparini berusaha menghim-
pun tenaganya untuk menyerang laki-laki di hadapan-
nya yang dikenal dengan nama Narendra. Tetapi ayu-
nan tangannya tak bisa bertindak seperti yang diha-
rapkan. Dia roboh terkulai.
"Tenang! Apa yang kau kerjakan ini?" terdengar
ucapan Narendra.
"Kau... kau yang menyamar dengan penampilan
rambut panjang dan berjubah"!" seru Pusparini den-
gan suara lemah.
"Tenang!" terdengar suara Narendra lagi dengan
menahan tubuh Pusparini. Tetapi gadis ini malahan
berontak ingin melepaskan diri.
"Tubuhmu masih lemah! Kalau kau banyak tingkah,
otot-otot tubuhmu akan bergeser dari tempatnya," kata Narendra.
Ucapan ini kemudian disadari oleh Pusparini. Lalu
dia berusaha untuk tidak bergerak.
"Tubuhmu hanya perlu didinginkan!" terdengar su-
ara Narendra lagi sambil membimbing tubuh Pusparini
ke pembaringan.
Pusparini pasrah! Pikirannya tentang sosok tubuh
yang berjubah, lenyap dari ingatannya. Antara lupa-
lupa ingat, dia berusaha untuk mengetahui apa yang
diperbuat oleh Narendra terhadap dirinya.
Narendra mengambil sebumbung air dan diguyur-
kan ke seluruh tubuh Pusparini. Begitu berulang kali, sampai-sampai tubuh gadis
itu basah kuyup. Kembennya yang basah menyerap penampilan kulit da-
danya sehingga terlihat samar-samar. Dan air itu ternyata air dingin yang
diguyurkan berisi ramuan daun-daun yang telah ditumbuk halus sehingga warnanya
hijau. Ada suatu hambatan yang membuat Narendra rikuh
dan segan. Seharusnya dia membuka kemben Puspa-
rini untuk mengadakan pijatan pada dadanya. Kemu-
dian dipertimbangkan untuk mencari cara lain agar tidak menimbulkan prasangka
yang tidak-tidak. Dan ca-
ra itu adalah yang sedang dilakukan saat ini!
Guyuran air dihentikan. Narendra kini memijit tela-
pak kaki Pusparini setelah melepaskan terompahnya.
Telapak kaki adalah tumpuan dari semua urat darah.
Dia melakukan pijitan dengan memadukan totokan ja-
lan darah untuk mengeluarkan racun yang mendekam
dalam tubuh gadis itu. Bukan itu saja. Tenaga dalamnya pun dikerahkan untuk
mendorong racun itu ke-
luar dari tubuh Pusparini. Terlihat tapak kaki gadis ini mengeluarkan uap. Uap
inilah cara pelepasan racun-nya, tidak dari muntahan darah seperti yang lazim
terjadi. Hal itu berlangsung berulang kali sampai uap
yang keluar berangsur-angsur menipis, yang akhirnya lenyap sama sekali.
Sampai di situ Narendra menghentikan kerjanya.
Dia terlihat letih. Peluhnya bercucuran. Kemudian me-
langkah mencari ramuan tumbuh-tumbuhan untuk
jampi. Lama menyusup ke gerumbulan semak-semak
yang bertebaran di sana. Bagi orang yang tahu seluk-beluk ramuan alami, hal itu
bukan menjadi hambatan
untuk mencari tumbuhan yang bisa dipergunakan se-
bagai obat-obatan
Narendra telah mendapatkan tumbuhan yang dica-
ri. Kemudian ditumbuk halus, dan sari airnya ditam-
pung di cawan tempurung. Melihat perlengkapan yang
dia bawa, orang bisa tahu bahwa Narendra memang
punya kepandaian untuk melakukan pengobatan.
"Ayo, minumlah!" katanya sambil mengangkat leher
Pusparini agar tegak.
"Apa ini?" tanya Pusparini dengan suara berbisik.
Terlihat sikap ragu untuk tidak mau minum jampi
yang ditawarkan kepadanya.
"Kau boleh pilih. Jika mau cepat hengkang dari du-
nia ini, boleh untuk tidak minum jampi ini," kata Narendra. "Kau keracunan berat
sekali!" Pusparini memandang dengan pandangan redup ke
arah Narendra. Kemudian bibirnya menyentuh cawan
tempurung itu. Cairan berwarna hijau tua itu mulai di-reguknya. Terasa pahit
tidak ketulungan, dan mulut
terasa panas! Tetapi akhirnya habis juga jampi itu di-reguk dengan memejamkan
mata, seolah berusaha me-
lupakan rasa pahitnya.
"Bagus. Bagus sekali. Biasanya orang lalu muntah
setelah minum jampi ini. Sedangkan kau tidak. Berar-ti, kau akan cepat sembuh,"
kata Narendra memuji.
Pusparini lalu menggeletak lagi. Dia tertidur...!
Narendra mengawasi tubuh yang terbaring di hada-
pannya. Perasaannya berdetak keras apabila hanyut
oleh pandangan matanya setiap melihat sosok tubuh
Pusparini yang terbaring. Tidak seharusnya wanita se-
perti ini menjadi pendekar pengembara. Pantasnya
menjadi ibu rumah tangga pendamping suami.
Narendra memang telah lama mencari Pusparini,
wanita pendekar yang bergelar Walet Emas ini. Itu semua adalah amanah gurunya,
Ki Suswara, yang me-
mimpin Padepokan Canggal. Boleh dikata, Narendra
adalah kakak seperguruannya. Tetapi sampai detik ini Pusparini belum mengetahui
hal itu. Sebab, setelah
dua tahun Narendra meninggalkan Padepokan Cang-
gal, barulah Pusparini mulai berguru di sana.
Narendra sendiri belum pernah bertemu dengan
Pusparini. Ki Suswara hanya mengatakan ciri-cirinya saja. Seperti: pakaian
kharisma Pusparini yang berkemben kuning. Pedang Merapi Dahana. Lalu ciri wa-
jahnya. Semua itu cepat ditangkap oleh Narendra, walau hanya sekilas gambaran.
"Kau harus mendampinginya. Gadis itu tidak bakal
mampu menghadapi tantangan dalam pengembaraan-
nya. Keadaan Kerajaan Medang kian memanas. Musuh
dari luar telah menyusup ke dalamnya dengan berma-
cam cara," pesan Ki Suswara pada suatu hari ketika
beranjangsana ke Padepokan Canggal.
"Jadi... dia adalah adik seperguruan saya?" tanya
Narendra. "Benar. Dia tak punya sanak saudara lagi," jawab Ki Suswara. "Carilah dia. Dan
dampingilah!"
Itulah amanah Ki Suswara kepada Narendra bebe-
rapa waktu yang lalu...!
Dan kini gadis yang selama ini dibuntuti berhasil
ditemukan. Tetapi sampai saat itu dia belum memberitahu tentang peranannya,
kecuali hanya memberitahu
nama saja. Tiba-tiba terdengar Pusparini mengeluh membuka


Walet Emas 08 Siluman Kedung Brantas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesadarannya. Gadis ini mencoba bangun. Narendra
membiarkan saja. Dia ingin tahu sampai berapa jauh
kesadaran Pusparini untuk mendapatkan kekuatannya
kembali. Dan akhirnya, terlihat Pusparini berhasil berdiri, walau agak
sempoyongan. Lalu dipandangnya Na-
rendra. "Mandilah di sungai itu. Jemur pakaianmu. Dan
untuk sementara, kau nanti bisa memakai kain ini,"
kata Narendra sambil menyodorkan kainnya.
Pusparini mematuhi saran itu. Sementara dia man-
di membersihkan badannya, maka Narendra berjaga
tak jauh dari tempatnya. Untuk beberapa waktu tak
ada percakapan. Hanya saja otak Pusparini dipenuhi
tanda tanya tentang sikap-sikap Narendra yang telah menolongnya.
"Jadi... kau telah berhasil menghalau lawan yang
kuhadapi itu?" tanya Pusparini setelah berbenah diri.
Sambil menunggu pakaiannya kering, dia mem-
bungkus badannya dengan kain pinjaman Narendra.
Kain panjang itu dibungkuskan ke badannya sebatas
dada dan diikatkan ujungnya dengan cara seperti me-
makai kemben. "Orang yang berperang denganmu itu bertopeng!"
sela Narendra. "Tak disangsikan lagi, dialah tokoh yang punya nama Siluman
Kedung Brantas!"
"Aku juga punya dugaan begitu. Dan racun yang
mengenaiku berasal dari dia?" tanya Pusparini.
"Ya!" jawab Narendra.
"Tetapi aku tidak terluka ataupun tergores!"
"Dia menyemburkan racun!"
"Menyemburkan racun?"
"Sepertinya semacam itu. Aku pernah tahu cara
yang dilakukan oleh seseorang dalam melancarkan se-
rangan beracun. Dia mengunyah ramuan racun yang
diciptakan. Kunyahan yang bermantera itu tercampur
dengan ludahnya sehingga tercipta sejenis racun yang berupa uap. Lalu
disemburkan ke arah lawan, kepa-damu, ketika kalian berdua bertarung. Apakah kau
tidak merasakannya?" kata Narendra
"Ya! Aku merasakannya. Tetapi tak sempat menyeli-
diki bagaimana dia melancarkan serangan dengan ra-
cun tersebut kepadaku," jawab Pusparini mencoba
mengingat-ingat peristiwa kemarin lusa.
Ya. Kemarin lusa kejadian itu. Berarti telah dua hari Pusparini dalam perawatan
Narendra yang dilakukan
di sebuah gua di tepi Bengawan Brantas. Suatu tempat tersembunyi yang secara
kebetulan diketemukan Narendra beberapa hari yang lalu setelah dia berhasil
berkenalan dengan Pusparini.
"Sekarang jelaskan, bagaimana kau bisa mengerti
tentang diriku" Yang kumaksud tentang... tanda bu-
rung walet sebagai senjata rahasia yang pernah kau
tawarkan kepadaku," tanya Pusparini.
"Kau tentu tak percaya kalau kujelaskan bahwa aku
adalah kakak seperguruanmu," kata Narendra.
"Apa?" sela Pusparini.
"Aku kakak seperguruanmu dari Padepokan Cang-
gal!" "Kau mengada-ada. Aku tak pernah melihatmu se-
lama aku berguru di sana."
"Karena aku telah selesai dua tahun lebih awal se-
belum kau masuk ke sana. Apakah kita perlu pergi
menghadap Ki Suswara untuk meyakinkan hal ini?"
jawab Narendra.
Pusparini memandang tajam kepada Narendra. Ada
perasaan senang dan curiga. Dia akan senang sekali
kalau Narendra ini benar-benar murid Padepokan
Canggal, kakak seperguruannya. Tetapi bagaimana ka-
lau hanya ' apus-apus' saja" Mungkin dia telik candi
dari Kerajaan Sriwijaya atau Wengker yang punya ken-dala permusuhan dengan
Kerajaan Medang, dimana
Pusparini mengabdikan diri"
"Agaknya sulit untuk mempercayai kata-katamu.
Tapi akan kucoba untuk mengerti," jawab Pusparini.
"Artinya... kau masih setengah-setengah memper-
cayai aku?"
"Daripada aku terjebak muslihat."
"Dengan pertolongan yang telah kuberikan ini kau
masih ragu" Bagaimana dengan tanda ini?" kata Na-
rendra dengan mengeluarkan sebuah kalung sebagai
tanda murid Padepokan Canggal.
Pusparini mengawasi benda di tangan Narendra.
Sebuah kalung perunggu bertanda 'makara', ciri dari Padepokan Canggal.
Sebenarnya Pusparini juga memiliki kalung semacam itu. Tetapi tak pernah
dipertunjukkan kepada siapa-siapa, sebab tak ada alasan un-
tuk itu. Kalau Narendra sudah berlaku demikian, ar-
tinya dia benar-benar murid Padepokan Canggal. Me-
mang sudah diberi pengarahan oleh Ki Suswara, bah-
wa murid-murid perguruan Canggal hanya bisa dike-
nali dengan kalung tersebut, untuk saling mengetahui apabila bertemu dengan
orang lain yang tidak dikenal, tetapi murid seperguruan.
"Bagaimana" Tentu kau memiliki kalung serupa
ini," kata Narendra.
"Oh, pakaianku mungkin telah kering," kata Puspa-
rini membelokkan percakapan.
Dia beranjak menghampiri jemuran pakaiannya.
Narendra mengawasi dengan penuh tanda tanya. Per-
cayakah Pusparini dengan penjelasan tadi"
"Pusparini, apakah kau mempercayai aku?" seru
Narendra ketika dilihatnya gadis itu menyelinap di balik semak-semak untuk ganti
pakaian. Tak ada jawaban. Yang terjadi kemudian adalah
kain Narendra yang tadi dipakai Pusparini, kini me-
layang dilemparkan. Lemparannya tepat ke arah Na-
rendra. Terlihat sesungging senyuman Narendra. Bau ke-
ringat Pusparini yang menempel di kain itu menimbulkan aroma yang khas. Kalau
bukan gadis yang rajin
minum jamu ramuan, pasti tidak punya bau keringat
yang harum seperti itu. Pertanda kalau Pusparini rajin minum jamu. Dan aroma bau
keringatnya sedap dihi-rup. Bahkan menimbulkan rangsangan yang sulit di-
lukiskan bagi pikiran pria.
*** LIMA Pusparini dan Narendra terlihat dalam perjamuan
makan di kademangan. Siang tadi Ki Demang Balawan
telah kembali dari ibukota Medang. Dalam kesempatan ini, Narendra diperkenalkan
sebagai kakak seperguruannya oleh Pusparini. Tentu saja hal itu disambut dengan
senang hati oleh Ki Demang. Paling tidak dengan kehadiran Narendra, maka
kedudukannya merasa
ada tambahan pengayoman untuk menghadapi keru-
suhan di daerah kekuasaannya.
"Jadi... armada Medang telah menderita kekalahan
di laut ketika berhadapan dengan armada Sriwijaya?"
sela Pusparini menanggapi cerita Ki Demang yang beri-ta tersebut diperoleh dari
kalangan istana.
"Yah!" jawab Ki Demang singkat. Terlihat mendung
kemurungan terlukis di wajah laki-laki tua ini. "Tetapi mudah-mudahan kerajaan
kita masih bisa mempertahankan daerah pesisir utara. Dan tampaknya pihak
Sriwijaya belum siap sepenuhnya untuk langsung me-
nyerbu ke daratan Kerajaan Medang. Yang jelas, Sriwijaya masih ragu-ragu untuk
menyerang langsung ke
istana." "Tetapi bukan berarti tidak bisa. Saya kira hal itu menyangkut soal waktu," kata
Narendra memberi pandangan dengan ucapan yang cukup berani.
"Kau... mempunyai dugaan seperti itu?" sela Puspa-
rini. "Aku dua tahun berada di Kerajaan Sriwijaya," ja-
wab Narendra. "Jangan terkejut kalau aku mencerita-
kan sekarang. Secara kebetulan saja Ki Demang mem-
bicarakan tentang perkembangan keamanan negeri ini.
Dan setahuku, Sriwijaya memang telah lama punya
niat untuk menundukkan Medang. Semua bertumpu
kepada kepentingan perdagangan semata."
"Kukira pengetahuanmu tentang seluk-beluk Kera-
jaan Sriwijaya perlu kau laporkan kepada Mapatih Satyawacana," saran Pusparini.
"Mereka sudah tahu apa yang terjadi. Aku hanya
membumbui pembicaraan ini saja sebagai keterangan
bagi mereka yang belum tahu," kata Narendra dengan
melempar pandang kepada segenap orang yang hadir
dalam perjamuan makan itu.
Hal itu memang menjadi berita baru bagi orang-
orang perabot Kademangan Rajeg Banjar. Berita ten-
tang keamanan negara, umumnya tidak boleh diketa-
hui umum apabila hal itu bisa menimbulkan keresa-
han penduduk. "Sekarang memang tak perlu untuk menutup-
nutupi hal seperti itu. Bahkan sebentar lagi pihak istana akan mempersiagakan
semua kawula Medang un-
tuk menghadapi serangan musuh dari luar," sambut Ki Demang. "Yang jelas, saat
ini kita sedang menghadapi
sumber keresahan yang menamakan diri Siluman Ke-
dung Brantas itu!"
"Dan tangan si Kebo Parud," sambung Sempak Waja
dengan meneguk minumannya.
"Sudah. Kita lupakan sejenak urusan seperti itu.
Kini kita santap hidangan makanan yang mungkin te-
lah semakin dingin. Ayo, silakan," kata Ki Demang.
Dalam hidangan yang dilakukan secara lesehan itu
terhidang bermacam masakan. Dari semacam sayur
lodeh sampai kuali besar berisi sejenis sayur gudheg, lalu panggangan daging
kidang, nasi, lalapan, buah pencuci mulut, semua tersedia di sana. Kuali besar
berisi sejenis sayur gudheg itu belum terjamah. Mungkin karena dalam keadaan
tertutup, maka orang masih
enggan mengawali menyeduk untuk mengambil. Sempak Waja sebagai wakil tuan rumah,
mulai membuka kuali itu. Terlihat setumpuk sayur gudheg berwarna
kecoklatan menggunung dalam kuali. Sempak Waja
mulai menyeduk.
"Rupanya sayur ini dicampuri paha kidang agar kita tidak repot-repot memilih
lauk sampingannya," kata
Sempak Waja. Tangannya yang memegang sendok sayur mencoba
memeriksa potongan daging yang bercampur irisan
buah nangka muda yang diolah menjadi sayur. Tetapi
begitu potongan daging itu disentuh, tiba-tiba bergerak dengan sendirinya...!
"Hah"!" Sempak Waja tersentak kaget. Juga semua
orang yang kebetulan menoleh ke kuali itu.
Di dalam timbunan sayur gudheg itu tiba-tiba me-
nyembul telapak tangan yang akhirnya bergerak ke-
luar. Kemudian terlihat nyata bahwa itu adalah potongan tangan Kebo Parud!
Sementara orang-orang tercekam rasa ngeri dan ji-
jik, Narendra segera mencabut senjatanya untuk ditebaskan ke arah potongan
tangan itu. Jbhraasss! Golok Narendra menghantam kuali besar di mana
potongan tangan itu masih berada di sana. Kuali pecah berantakan. Isinya
semburat. Tetapi potongan tangan itu cepat melesat ke atas!
Pusparini tak tinggal diam. Dia sudah menduga un-
tuk menangani gerakan lincah dari potongan tangan
Kebo Parud tidak akan semudah itu. Dengan senjata di tangan, dia menjebak gerak
arah potongan tangan tersebut. Ketika hal itu terjadi, Pusparini berhasil
menjebak dengan tebasan senjatanya, sehingga telapak tangan tersebut terbelah
dan menghancurkan beberapa
jari-jarinya. Potongan tangan itu akhirnya rontok ke tanah dan tak bergerak
lagi. "Edan! Bagaimana potongan tangan itu menyusup
dalam kuali" Untung belum ada seorang pun yang
menyantap sayur gudheg itu," kata seorang perabot
kademangan dengan bergidik.
Lebih-lebih Sempak Waja yang semula nyaris me-
nyeduk sayur itu. Dia terpaksa muntah-muntah ke be-
lakang. Lalu muncul lagi dengan pucat.
"Jadi kekuatannya terletak pada cincin yang terpa-
sang pada jari tengahnya itu!" kata Narendra mencoba menjajagi rahasia kekuatan
potongan tangan Kebo Parud yang selama ini bikin onar di Kademangan Rajeg
Banjar. "Mungkin juga. Apakah kau berpikir bahwa poton-
gan tangan itu dimasukkan orang ke dalam kuali, atau masuk dengan sendirinya
tanpa setahu orang-orang di dapur?" tanya Ki Demang yang nyaris memarahi orang
dapur karena teledor sehingga terjadi peristiwa seperti itu.
Untuk hal ini, tak seorang pun bisa menyalahkan
pekerja dapur. Kini orang telah memperoleh jawaban
atas rahasia yang bisa membuat potongan tangan itu
bergerak. Sarananya adalah cincin yang kini telah
hancur kena tebasan senjata Pusparini. Keadaan ini
diuraikan oleh Narendra. Rupanya banyak orang yang
sepaham dengan penjelasan itu. Cincin itu menjadi
'mediator' yang memungkinkan potongan tangan ter-
sebut bisa bergerak sesuai dengan perintah yang
punya. Siapa yang punya"
Tentu saja si Kebo Parud, yang saat ini entah di
mana beradanya.
Mereka memang tidak tahu. Tetapi seandainya saja
mereka mampu menyelidiki di lereng sebuah tebing di tepi Bengawan Brantas,
mereka akan tahu di sanalah
sarang tempat persembunyian Kebo Parud...!
*** "Bedebah! Aku tak bisa mengendalikannya lagi.
Cincin itu telah hancur!" terdengar suara di tengah rongga gua. Sosok tubuh itu
tidak diterangi cahaya sedikit pun sehingga penampilannya selalu dalam naun-
gan bayangan. Sedangkan cahaya obor yang menyala
tidak meneranginya karena terhalang oleh sebuah 'sta-lagmit'.
"Sudahlah, Kebo Parud. Hentikan saja permainan
yang kekanak-kanakan itu," terdengar suara yang di-
iringi langkah kaki mendekatinya.
Ya. Inilah Kebo Parud yang menjadi buronan. Dan
orang yang mendekati itu berwajah keriput, tanda dari usia tuanya yang melebihi
usia manusia normal.
"Aku akan memberi pelajaran kepada pendekar wa-
nita bernama Pusparini itu," jawab Kebo Parud yang
tangannya kini tinggal sebelah.


Walet Emas 08 Siluman Kedung Brantas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memberi pelajaran" Kau lihat sendiri. Tempo hari
dia nyaris dikalahkan oleh Siluman Kedung Brantas.
Aku lihat sendiri pertarungan itu. Tetapi tiba-tiba muncul seorang lelaki muda
membantunya sehingga
Siluman Kedung Brantas meninggalkan gelanggang
pertarungan. Lelaki muda itu rupanya punya ilmu un-
tuk menangkal berbagai racun."
"Nenek selalu menyebut Siluman Kedung Brantas.
Mengapa tidak memanggilnya 'Kang' atau 'Ki' atau namanya yang pernah kesohor
sebagai 'Senopati Pasuka-
la' semasa zaman pemerintahan Prabu Makutawang-
sawardhana, ayahanda Prabu Dharmawangsa?" kata
Kebo Parud. Wanita tua itu termenung. Latar belakang masa
lampau membayang di pelupuk matanya. Wanita tua
ini bernama Nyi Kunjari, bekas seorang selir raja Makutawangsawardhana. Dia 'ada
main' dengan seorang
senopati yang dikenal dengan nama 'Senopati Pasuka-
la' yang nama aslinya Tarusbawa. Tindakan mereka
tercium oleh raja, dan mereka melarikan diri. Bertahun-tahun orang sudah
menganggap mereka sebagai
pasangan yang telah sirna dari Kerajaan Medang. Me-
reka hidup secara sembunyi-sembunyi dengan jalan
menyamar dan orang tidak mengenalnya lagi. Apalagi
bagi orang-orang yang tinggal di pedesaan di tepi Bengawan Brantas di mana
mereka tinggal, yang tak seo-
rang pun mengenal mereka, kecuali namanya saja.
Sayang sekali pasangan ini tidak berputra sama sekali.
Masalah yang peka ini sangat mempengaruhi kehar-
monisan hubungan mereka. Akhirnya ada pihak ketiga
yang menjadi biang kerok keretakan cinta mereka.
Seorang saudagar yang sering berlayar di Bengawan
Brantas berkenalan dengan Nyi Kunjari. Terjadi cinta
'jalan belakang' antara saudagar bernama Ki Pradhana dan Nyi Kunjari, yang
akhirnya diketahui oleh Tarusbawa. Akhirnya Tarusbawa yang dulu bergelar 'Seno-
pati Pasukala' minggat meninggalkan Nyi Kunjari. Konon dia pergi dengan memendam
dendam, dan mem-
perdalam ilmunya.
Nyi Kunjari diboyong ke tempat tinggal Ki Pradhana.
Pasangan asmarawan ini sebenarnya sudah tidak mu-
da lagi. Usia mereka telah berkepala lima. Artinya masing-masing telah berusia
di atas lima puluh tahun. Nyi Kunjari berusia lima puluh lima tahun, sedangkan
Ki Pradhana lima puluh sembilan tahun. Cinta kalau sudah melekat, usia bukan
rintangan penyekat. Dari
'kumpul kebo' antara mereka, maka lahirlah seorang
bayi yang diberi nama Kebo Parud!
Sampai di sini lamunan Nyi Kunjari terpenggal. Dia
mengawasi anaknya yang telah mengalami nasib ma-
lang gara-gara ketanggor seorang pendekar wanita
yang menyamar sebagai penari bernama Pusparini.
Anak" Ya. Kebo Parud memang putra Nyi Kunjari.
Tetapi karena keadaan usianya, yang membuat Nyi
Kunjari tidak menyebut dirinya sebagai 'ibu' dari Kebo Parud. Dia membiasakan
menyebutkan sebagai 'nenek', dan Kebo Parud dianggap sebagai cucunya. Se-
dangkan saudagar bernama Ki Pradhana itu meninggal
ketika Kebo Parud berumur tiga tahun. Ki Pradhana
terbunuh dalam bentrokan oleh seorang tokoh yang
menamakan diri Siluman Kedung Brantas!
Upaya Nyi Kunjari untuk menyingkap siapa sebe-
narnya Siluman Kedung Brantas akhirnya berhasil.
Ternyata dia adalah Tarusbawa, teman 'kumpul ke-
bo'nya masa lalu. Pertemuan mereka kiranya menye-
maikan kembali cinta keduanya.
"Aku masih mencintaimu, Nyi," kata Tarusbawa.
"Itu sebabnya aku selalu mengganggu kehidupan ka-
lian dengan menampilkan sosok diri sebagai Siluman
Kedung Brantas!"
Kehadiran Tarusbawa lain sekali dengan penampi-
lannya beberapa tahun yang lalu. Kini dia tampil sebagai laki-laki yang memiliki
ilmu ' linuwih' yang tidak sa-ja terbatas pada ketrampilan bela diri saja ketika
men-jabat sebagai senopati.
"Kalau kau punya dendam karena aku telah mem-
bunuh Pradhana, lakukan dendammu sekarang," kata
Tarusbawa. Suatu tantangan yang menggelitik perasaan. Ba-
gaimana dia harus menerima laki-laki macam Tarus-
bawa yang telah membunuh orang yang membuahkan
seorang anak baginya" Hal itu memang membutuhkan
waktu bagi Tarusbawa untuk mendekati Nyi Kunjari.
Akhirnya setelah sekian bulan Nyi Kunjari merasa tak tahan dengan hasratnya yang
kian meluap, dia menerima kehadiran laki-laki yang kini punya gelar Siluman
Kedung Brantas itu.
Karena hasrat yang meluap" Ya! Kiranya Tarusbawa
tidak begitu saja dalam melaksanakan perjuangannya
untuk mendapatkan kembali Nyi Kunjari. Tarusbawa
memakai sarana pemikat semacam aji 'pengasihan' se-
hingga wanita itu jatuh ke dalam pelukannya lagi.
Sungguh sulit dimengerti bahwa pasangan setua itu
masih kranjingan amukan asmara yang ingin dinikma-
ti seperti pasangan muda lainnya. Tetapi sesungguh-
nya hal itu tak ada seorang pun yang mengerti dengan rahasia yang mereka bisa
lakukan. Jasmani mereka
memang tua. Dan Tarusbawa memiliki ilmu yang bisa
menghilangkan semua hal yang menyangkut dengan
ketuaan mereka. Dengan ilmu tersebut mereka dapat
menjelma menjadi pria dan wanita yang penampilan
jasmaninya tidak sebagai orang-orang 'manula' lagi.
Tetapi menjelma menjadi manusia muda remaja yang
sedang diamuk badai asmara birahi.
Setelah semua berlalu, barulah jasmani mereka
yang tua itu pulih seperti semula. Jadi bukan semangatnya saja. Benar-benar ilmu
yang membuat kaum
manula lain pasti 'ngiler' ingin bisa menikmati hal seperti itu. Ilmu tersebut
aji 'pengasihan', yang bisa me-mulihkan bentuk jasmani menjadi muda kembali di
saat melangsungkan kebersamaan dalam amukan ba-
dai asmara birahi. Bukan main! Ya, bukan main-main
memang. Ilmu itulah yang membuat Nyi Kunjari rela
kembali ke dalam pelukan asmara Tarusbawa. Aneh-
nya hal itu hanya bisa dilakukan terhadap Nyi Kunjari.
Tidak bisa dilakukan dengan wanita lain. Itu sebabnya, bagaimana pun, Tarusbawa
selalu memburu cinta Nyi
Kunjari. Ilmu itu 'tidak ada jodoh' kalau dilakukan terhadap wanita lain.
Tetapi sudah beberapa minggu ini Tarusbawa yang
bergelar Siluman Kedung Brantas itu sepertinya tidak mengindahkan Nyi Kunjari
lagi. Hal itu benar-benar dirasakan oleh Nyi Kunjari. Apalagi ketika Kebo Parud
mengalami musibah seperti itu, tampaknya Tarusbawa
tidak berhasrat menikmati saat-saat senggang seperti biasanya. Perubahan sikap
ini mulanya tak begitu diri-saukan. Tetapi ketika pada suatu malam Tarusbawa
mengigau menyebut pendekar wanita bernama Puspa-
rini, maka perasaan Nyi Kunjari keslomot kecembu-ruan!
"Aku harus menyelidiki hal itu. Katanya tidak ada
wanita lain selain aku. Baru kali ini dia menyebut na-ma wanita selain namaku.
Disebutnya dalam mengigau
tidurnya lagi. Ini pasti hal yang tidak bisa diremehkan," pikir Nyi Kunjari.
"Tampaknya ada masalah antara nenek dan kakek!"
kata Kebo Parud seraya berdiri dari tempatnya.
"Jadi kau punya perhatian juga terhadap sikap-
sikap nenekmu yang tua ini?" tanya Nyi Kunjari.
"Telah beberapa hari kakek tidak pulang. Kenapa?"
tanya Kebo Parud. "Kakek telah berjanji kepadaku untuk menurunkan penyempurnaan
ajian yang disebut
'Sukma Lintah' itu."
Seperti yang telah berlangsung, bahwa ajian 'Sukma
Lintah' itu yang membuat potongan tangan Kebo Parud mampu bergerak sesuai dengan
perintah yang dilakukan lewat jarak jauh. Cincin yang masih melekat di jari
tangannya yang terpotong, bisa dijadikan 'mediator'
untuk menggerakkan potongan tangan tersebut. Itu
karena ilmu 'Sukma Lintah' belum sempurna dikuasai
oleh Kebo Parud.
"Aku akan mencari kakek!" seru Kebo Parud seraya
beranjak dari tempatnya.
"Jangan! Ingat, kau belum sembuh benar!" sela Nyi
Kunjari. "Aku tak mau jadi pajangan di sini. Aku akan me-
lampiaskan dendamku kepada Pusparini!" terdengar
ucapan Kebo Parud yang kemudian lenyap dari balik
pintu rahasia. Pintu itu dibuat dari lempengan batu besar yang di-
atur dengan tenaga air deras sehingga bisa ditutup dan dibuka oleh orang yang
mengerti cara membukanya.
"Anak bandel!" gerutu Nyi Kunjari. "Keadaan ini
sangat mengkhawatirkan aku. Kalau sampai orang-
orang tahu bahwa aku dan Tarusbawa adalah pelarian
dari istana Medang di kala pemerintahan Baginda Raja Makutawangsawardhana, pihak
istana pasti mengerahkan kekuatan besar-besaran mendatangi tempat
ini." Kemudian Nyi Kunjari mendekati sebuah relung ba-
tu. Di sana ada lubang sebesar tampah. Kemudian tangannya merogoh ke dalam.
Ketika ditarik keluar,
tangan itu telah memegang sebilah keris.
"Keris ini milik Baginda Raja Makutawangsaward-
hana yang berhasil kucuri dan kubawa lari. Konon
termasuk keris sakti, mampu memenggal senjata yang
terbuat dari logam apa pun. Aku sampai detik ini belum pernah membuktikan.
Tarusbawa pun tidak tahu
bahwa aku menyimpan pusaka ini," pikir Nyi Kunjari
sambil mengawasi bilah keris yang kini dicabut dari sarungnya.
Pada saat itulah, tiba-tiba keris tersebut seolah ingin lepas dari tangannya.
Nyi Kunjari tersentak kaget.
Tetapi dia berusaha untuk mempertahankan agar keris itu tidak lepas dari
tangannya. Kemudian diusahakan untuk dimasukkan kembali ke dalam sarungnya.
Memang dibutuhkan tenaga untuk melakukan hal itu.
"Jadi kau ingin minum darah, seperti yang pernah
kudengar tentang keampuhanmu!" kata Nyi Kunjari
dengan suara bergetar. Jiwanya seakan menyatu den-
gan keris itu. "Sabar! Kau akan memperolehnya. Ku-
janjikan darah dari perawan cantik yang telah mence-derai Kebo Parud!"
Utusan Siluman Tujuh Nyawa 3 Pendekar Rajawali Sakti 5 Naga Merah Pendekar Panji Sakti 10
^