Pencarian

Cinta Orang Orang Gagah 1

Wiro Sableng 025 Cinta Orang-orang Gagah Bagian 1


BASTIAN TITO Mempersembahkan :
PENDEKAR KAPAK NAGA GENI 212
Wiro Sableng Episode ke 025 :
Cinta Orang-orang Gagah
Ebook by : Tiraikasih (Kang Zusi)
Scanning kitab by : Kelapalima & Aby Elziefa
mailto:22111122@yahoo.com
SATU SAAT ITU menjelang fajar menyingsing. Kesunyian dirobek oleh suara tawa bergelak
seseorang. Orang ini tengah berlari cepat ke jurusan timur. Jelas suara tawanya
bukan tawa sembarangan. Bukan saja mengejutkan burung-burung serta binatang-binatang
lain yang tengah tertidur nyenyak dalam pelukan udara dingin, tetapi juga
menggetarkan tanah pada tempat-tempat yang dilajuinya.
Begitu cepat manusia ini berlari hingga dalam waktu singkat dia sudah menempuh
jarak ratusan tombak. Suara tawanya masih juga terus mengumandang. Di lain saat
di ufuk timur merambas sinar terang tanda matahari telah terbit menyembulkan diri.
Tanda malam telah berganti dengan siang.
Orang itu hentikan larinya. Dibasahinya mukanya dengan air embun yang menempel
pada dedaunan di sekitarnya, Setelah merasakan kesegaran maka dia meneruskan
perjalanan kembali. Seperti tadi lagi-lagi berlari sambil mengumbar tawa. Namun
sekali ini suara tawanya tidak berlangsung lama.
Dua bayangan hijau berkelebat. Satu teguran yang hampir merupakan bentakan
lantang terdengar.
"Singgar Manik! Gerangan apakah yang membuatmu pagi-pagi begini demikian
gembiranya"!"
Orang yang lari sambil tertawa hentikan Jari dan memandang ke depan. Begitu
melihat dua manusia berjubah hijau yang berdiri sepuluh langkah di hadapannya,
bergetarlah hatinya. Perasaannya serta merta jadi tidak enak.
Dua orang berjubah hijau itu adalah dua brahmana kembar dari Bali yang dikenal
dengan julukan Sepasang Kobra Dewata.
Jubah mereka yang hijau, kepala yang botak plontos ditambah muka yang lebar
serta tampang-tampang yang tidak sedap untuk dipandang, membuat keduanya benar-benar
hampir menyerupai dua ekor ular kobra yang angker. Siapa tokoh silat di Jawa
Timur yang tidak kenal dengan dua manusia yang menguasai rimba persilatan di Pulau
Dewata ini" Mereka bukan dari golongan baik-baik. Inilah yang membuat orang tadi yakni
Singgar Manik merasa tidak enak walau dia sendiri bukan pula tergolong manusia bersih
dan baik! Setelah berbasa basi dan menjura pada kedua orang itu Singgar Manik lantas
berkata: "Di pagi begini bertemu dengan Sepasang Kobra Dewata sungguh merupakan
hal yang tidak terduga. Satu kehormatan bagiku kalian mau menegur bertutur
cakap. Hendak kemanakah kalian berdua?"
Nyoka Gandring, orang tertua dari Sepasang Kobra Dewata rangkapkan tangan di
muka dada. Sambil mengulum senyum dia berkata: "Angin kegembiraanmu Iah yang
agaknya telah membawa kami ke mari. Coba kau terangkan apa. yang begitu
menggembirakanmu hingga tertawa bergelak sepanjang jalan" "
"Ah, sebenarnya tidak ada apa-apa," menjawab Singgar Manik. Hatinya semakin
tidak enak. "Aku tertawa karena menurutku hidup dengan tawa gembira bisa mendatangkan
kebahagiaan."
"Betul sekali!" menyahuti orang kedua dari Sepasang Kora Dewata yaitu Nyoka
Putubayan. "Tetapi kami mendapat firasat bahwa kegembiraanmu kali ini bukan
kegembiraan biasa. Terangkanlah. Bagi sedikit kegembiraanmu itu pada kami
berdua!" Singgar Manik coba tersenyum.
"Jika kalian memang ingin bergembira, mari ikut ke tempat kediamanku biar kujamu
makanan dan minuman yang enak enak! Dan kalau kalian butuh perempuan cantik
untuk hiburan, tak usah kawatir. Katakan saja kalian mau yang bentuk bagaimana aku
Singgar Manik pasti menyediakannya!"
Nyoka Gand ring mendehem beberapa kali sedang Nyoka Putubayan hanya
menyeringai. " Aih, undanganmu sungguh patut untuk diterima, Hanya sayang kami tak punya
waktu banyak. Karenanya kuharap kau sudi membagi kegembiraan mu di sini saja
sobatku Singgar Manik!"
Singgar Manik coba sembunyikan rasa kagetnya sambil berkata: "Kegembiraan
apakah yang musti kuberikan di sini. Kau ini ada-ada saja, sobatku Nyoka
Gandring. Ah, akupun tidak punya banyak waktu . . . "
Singgar Manik menjura dalam-dalam lalu siap untuk meninggalkan kedua orang itu.
Tetapi Nyoka Putubayan cepat bergerak menghadangnya seraya berkata: "Kenapa
musti terburu-buru Singgar Manik. Siang masih jauh. Lagi pula pembicaraan kita
belum selesai" "Harap maafkan aku sobat-sobatku. Aku musti cepat kembali ke tempat
kediamanku. Ada seorang tamu yang bakal datang"
Nyoka Putubayan kembali menyeringai lalu bertanya: "Apakah tamumu itu pemilik
tusuk kundai mustika yang kau curi dan sekarang berada di balik
pakaianmu . . . . "!"
Kini Singgar Manik tak dapat lagi menyembunyikan perubahan air mukanya.
Meskipun demikian dia masih menjawab: "Nyoka Putubayan, aku tidak mengerti. Kau
ini membicarakan soal apakah?"
Nyoka Putubayan tersenyum jumawa. Sambil rangkapkan sepasang tangan di depan
dada dia lalu berkata: "Seminggu lalu kami ketahui kau berada di sekitar danau
Jembangan. Kau telah mencuri sebentuk tusuk kundai dari tempat kediaman tokoh
silat yang bergelar Si Pemusnah Iblis. Tusuk kundai itu bukan benda sembarangan.
Merupakan satu senjata mustika. sakti. Sejak lama kami dengar kau adalah seorang
pencuri lihay yang suka mencuri dan mengumpulkan barang-barang curian itu,
terutama benda-benda mustika, apalagi berupa senjata pasti jadi incaranmu.
Sekarang perlihatkan pada kami tusuk kundai itu!"
Singgar Manik geleng-geleng kepala sambil berdecak.
"Pendengaran dan penglihatan kalian benar-benar tajam luar biasa. Memang satu
minggu lalu aku berada di danau Jembangan. Aku berniat hendak mencuri tusuk
kundai yang kau katakan itu. Namun maksudku tidak kesampaian. Si Pemusnah Iblis
terlalu tinggi ilmunya. Dia memergokiku. Untuk melawannya aku mana punya
kemampuan" Daripada mendapat celaka lebih baik mengundurkan diri. Lain hari jika
angin baik aku akan berusaha lagi mendapatkannya. Kalau kalian mau ikut sama-
sama, hatiku akan senang sekali! Nah puaskah kalian atas keteranganku ini"!"
"Puas! Puas sekali! "sahut Nyoka Putubayan. Lalu saudaranya menimpali: "Juga
puas sekali melihat kecerdikanmu. Tapi jangan harap kau bisa menipu Sepasang
Kora Dewata dengan kecerdikanmu itu Singgar Manik. Keluarkan tusuk kundai itu.
Berikan padaku. Lekas! Jangan berani berbohong!" Habis berkata begitu Nyoka Gandring
ulurkan tangannya.
"Nyoka Gandringl Apakah aku harus bersumpah untuk meyakinkan bahwa aku betul-
betul belum berhasil mendapatkan tusuk kundai mustika itu?"
"Bersumpah"! Bagus juga. Tapi jangan bersumpah pada Dewa atau Tuhan!
Bersumpahlah pada setan! Ayo serahkan senjata mustika itu padaku sebelum aku
kehilangan kesabaran!" Nada suara Nyoka Gandring mengandung hawa ancaman.
Singgar Manik terkesima sesaat. Dia menimbang-nimbang. Untuk mengikuti kemauan
Sepasang Kobra. Dewasa itu terlalu berat baginya. Sebaliknya tidak mengikuti
berarti melawan yang pasti disusul dengan terjadinya bentrokan. Menghadapi Sepasang
Kobra Dewata yang terkenal hebat itu bukan satu hal yang mudah.
Tiba-tiba Nyoka Gandring mendengus. Matanya yang besar memandang garang pada
Singgar Manik. Kedua kakinya merenggang sedang sepasang tangannya yang tadi
mendekat di dada perlahan-lahan bergerak diturunkan.
"Kuhitung sampai tiga. Jika tusuk kundai itu tidak juga kau serahkan, maka
bersiaplah untuk mampus!"
"Nyoka Gandring! Dengar dulu keteranganku..."
"Satu!"
Nyoka Gandring mulai menghitung;
"Benda itu benar-benar tak ada padaku!"
"Dua____ !"
"Aku bersumpah!"
"Tiga!"
Singgar Manik bersurut mundur.
NyokaGandring membentak buas lalu hantamkan tangan kanannya ke arah Singgar
Manik. Serangkum angin deras datang menyambar. Singgar Manik cepat menyingkir
seraya berseru:
"Antara aku dan kalian tak ada silang sengketa! Kenapa menyerang aku sejahat
ini"! "
"Wus!"
Serangkum angin lagi menyapu ganas. Kali ini datang dari samping. Untuk, kedua
kalinya Singgar Manik melompat dan berhasil selamatkan diri.
"Adikku mari kita beg pelajaran pada pencuri penipu ini!" seru Nyoka Gandring.
Bersama Nyoka Putubayan maka diapun kembali menyerbu Singgar Manik.
Menghadapi satu saja dari Sepasang Kobra Dewata sudah merupakan hal yang sulit
bagi Singgar Manik. Apalagi melawan keduanya sekaligus. Terpaksalah dia harus
bertindak cepat dan hati-hati. Sekali salah gerakan atau salah langkah tak ampun
lagi serangan lawan pasti akan mencelakakannya, bahkan mungkin membunuhnya!
Sambil berkelebat mengelak Singgar Manik tiada hentinya berteriak agar Sepasang
Kobra Dewata menghentikan serangan. Namun dua brahmana berjubah hijau ini tidak
ambil perduli. Malah mereka semakin memperhebat serangan masing-masing. Hingga
setelah bertahan susah payah selama delapan jurus Singgar Manik mulai tampak
terdesak! DUA DUA KALI pukulan keras Nyoka Gandring bersarang di tubuh Singgar Manik. Lalu
satu jotosan Nyoka Putubayan menghantam rusuknya pula. Singgar Manik tampak
terhuyung-huyung. Keningnya mengerenyit menandakan dia tengah menahan rasa
sakit yang amat sangat. Salah satu hantaman Nyoka Gandring tadi telah membuat
tubuhnya terluka di bagian dalam.
Jika dia bertahan terus, cepat atau lambat maut pasti akan merenggut nyawanya.
Karenanya Singgar Manik sedapat mungkin berusaha mengintai kelengahan lawan agar
dapat menerobos keluar dari kurungan mereka lalu melarikan diri.
Singgar Manik lepas dua pukulan tangan kosong yang dahsyat ke arah kedua
lawannya. Lalu susul dengan serangan senjata rahasia.
Sepasang Kobra Dewata melompat jauh untuk mengelakkan pukulan sedang untuk
menangkis serangan senjata rahasia, mereka kebutkan lengan jubah hijau masing-
masing hingga senjata rahasia itu mental berantakan.
Gerakan-gerakan lawan inilah yang memang ditunggu Singgar Manik. Melihat
adanya kesempatan tanpa tunggu lebih lama pencuri kelas kakap ini segera putar
tubuh dan kabur. Namun Sepasang Kora Dewata bukan manusia-manusia kemarin. Dari gerakan yang
dibuat lawan mereka sudah maklum apa yang sedang direncanakan Singgar Manik.
Karenanya begitu lawan ambil ancang-ancang untuk larikan diri, Nyoka Gandring
dan Putubayan cepat berkelebat menghadang.
Melihat dirinya dihadang begitu rupa hingga ga gal kabur, dengan penasaran
Singgar Manik lepaskan satu pukulan ke batok kepala Nyoka Gandring. Sambil mendengus
yang diserang menangkis dan balas menjotos. Dua kepalan beradu mengeluarkan suara
keras. Singgar Manik terpekik. Tubuhnya terdorong sampai empat langkah dan
ketika diperhatikan tiga jari, tangan kanannya telah hancur. Di depannya sebaliknya
Nyoka Gandring tegak sambil tolak pinggang dan menyeringai mengejek.
"Masih juga kau belum mau menyerahkan tusuk kundai itu?" dengus Nyoka
Gandring. "Manusia keparat! Kalau kau mau k an benda itu, ini kau ambillah!"
Selesei berkata begitu Singgar Manik mengeruk ke balik pakaian. Sesaat kemudian
sebuah benda, yakni sebuah tusuk kundai dari perak berbentuk sederhana berada
dalam genggamannya. Dengan mengandalkan tusuk kundai ini sebagai senjata diapun
menyerang Nyoka Putubayan.
Sinar putih yang disertai angin panas menyembur dari tusuk kundai! Nyatalah
benda yang biasanya menjadi hiasan di kepala perempuan itu bukan benda biasa, tetapi
sebentuk senjata mustika sakti. Karena kesaktiannya inilah Sepasang Kobra Dewata
menginginkannya. Ingin merampas dari Singgar Manik yang mereka anggap sebagai
pencuri dan penipu besar.
Nyoka Putubayan yang sudah maklum kehebatan tusuk kundai itu tak ayal lagi cepat
menyingkir sambil kebutkan lengan jubahnya. Sebaliknya Singgar Manik tidak
tinggal diam. Dia teruskan serangannya dengan membalikkan mata tusuk kundai ke arah
tangan lawan. Bret! Lengan jubah hijau Nyoka Putubayan robek besar direnggut bagian runcing tusuk
kundai! Nyoka Putubayan sendiri merasakan lengannya menjadi ngilu panas. Masih
untung hanya lengan jubahnya saja yang robek. Jika daging tangannya sampai kena
atau terluka oleh senjata itu yang kabarnya menyerap racun jahat, niscaya
celakalah dirinya! "Adikku hati-hati!"
Nyoka Gandring memberi ingat. "Bangsat pencuri senjata itu tak usah kita
takutkan. Tapi terhadap tusuk kundai itu kau harus waspada!"
Singgar Manik yang melihat kejerihan lawan tertawa mengejek.
"Jika kalian sudah tahu kehebatan tusuk kundai ini mengapa tidak lekas-lekas
minggat dari sini" Apa kalian tunggu sampai benar-benar kena kucelakai!"
"Singgar Manik! Jangan keliwat sombong!" teriak Nyoka Putubayan. "Coba kau
terima pukulan ku ini!" Habis berkata begitu Nyoka Putubayan hantamkan tangan
kannya ke depan. Angin laksana badai menggebu bu ke arah Singgar Manik.
Ketika merasa tubuhnya tergetar hebat bahkan hampir roboh oleh angin pukulan
lawan Singgar Manik serta merta sapukan tusuk kundai yang dipegangnya ke depan.
Hebat! Angin pukulan orang kedua dari Sepasang Kobra Dewata itu musnah!
Kejut Nyoka Putubayan. bukan kepalang, juga kakaknya ketika menyaksikan
kejadian itu. Pukulan yang barusan dilepaskannya adalah pukulan Kobra Sakti
Mematuk. Merupakan salah satu pukulan simpanannya. Dia bersama kakaknya telah
meyakini ilmu pukulan itu selama bertahun-tahun, ternyata sanggup dibikin punah
oleh tusuk kundai kecil itu!
Menyadari kehebatan tusuk kundai perak itu, semakin keraslah hasrat Sepasang
Kobra Dewata untuk memilikinya. Keduanya saling kedipkan mata memberi isyarat.
Lalu didahului dengan bentakan-bentakan nyaring mereka menyerbu. Satu datang
dari samping kiri, satunya lagi dari sebelah kanan.


Wiro Sableng 025 Cinta Orang-orang Gagah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Singgar Manik hantamkan tusuk kundainya pada Nyoka Putubayan yang menyerang
lebih dulu dan lebih dekat di hadapannya. Sebelum serangannya sampai brahmana
dari Bali ini tahu-tahu sudah lenyap dari pemandangan. Bersamaan dengan itu dari
samping menderu angin pukulan kencang luar biasa.
Sekali ini kembali Singgar Manik rasakan tubuhnya tergoncang keras hendak roboh.
Segera dia kiblatkan tusuk kundai perak ke samping. Namun satu pukulan telak
menghantam per gel angan tangan kanannya hingga tulang lengannya patah dan tusuk
kundai yang tadi dipegangnya terlepas mental!
Singgar Manik menjerit kesakitan.
Dia melompat untuk menyambar tusuk kundai yang mental di udara dengan tangan
kiri. Namun tubuhnya segera terbanting ke belakang begitu satu jotosan melanda
dadanya dengan keras!
Lelaki ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Dengan mengandalkan
kepandaiannya dia berjumpalitan dan cepat berdiri sambil pasang kuda-kuda baru.
Namun dadanya sudah terlanjur sakit. Tenggorokannya terasa panas. Sesaat
kemudian darah kental mengalir keluar dari sela bibirnya. Memandang ke depan dia lihat
Nyoka Putubayan sudah berhasil menguasai tusuk kundai perak itu.
"Singgar Manik!" kata Nyoka Putubayan seraya acungkan tusuk kundai di tangan
kanannya. "Kami Sepasang Kobra Dewata masih punya rasa kemanusiaan terhadapmu.
Berlalulah dari hadapan kami sebelum kami berubah pikiran dan minta nyawamu.
Singgar Manik semburkan darah dan ludah dari mulutnya.
"Sialan! Kau tunggu apa lagi" Dikasih hidup malah menantang! "hardik Nyoka
Gandring. "Bangsat!" kertak Singgar Manik. "Aku mengadu jiwa dengan kalian!"
Lalu Singgar Manik menyerang ke depan.
"Manusia tolol!" teriak Nyoka Gandring.
"Benar-benar minta mampus!" berseru Nyoka Putubayan seraya tusukkan tusuk
kundai di tangan kanannya. Tanpa bisa mengelak Singgar Manik keluarkan jeritan
panjang. Tusuk kundai menghantam tepat di keningnya hingga berlubang dalam dan
darah mengucur. Lelaki ini menjerit sekali lagi lalu tubuhnya terputar ke
samping dan roboh tak berkutik lagi, mati dengan mata melotot!
Nyoka Putubayan seka tusuk kundai yang bernoda darah dengan ujung lengan
jubahnya. Dia perhatikan Singgar Manik sebentar lalu meludah dan berkata:
"Diberi ampun minta racun! Diberi hidup minta mampus!"
Orang kedua dari Sepasang Kobra Dewata ini memberi isyarat pada kakaknya.
Kedua brahmana itu kemudian berkelebat tinggalkan tempat itu.
TIGA DI ATAS tempat tidur rotan itu duduk bersila seorang tua bermata buta. Kedua
kakinya buntung sebatas lutut sedang kedua tangannya di rangkapkan di muka dada.
Kepalanya menghadap lurus-lurus ke pintu pondok yang terbuka. Rambutnya yang putih
melambai- lambai ditiup angin yang datang dari arah danau.
"Hentikan tangismu Lestari!" Tiba-tiba orang tua ini berkata dengan nada keras.
"Sampai kiamat kau menangis benda yang hilang itu tak bakal bisa kembali!"
Dara berbaju putih yang duduk sesenggukan didepan si orang tua menyusut air
matanya dengan tepi pakaian. Bibirnya bergetar dan tubuhnya bergoncang menahan
tangis yang seperti hendak meledak.
"Tusuk kundai itu bukan benda biasa Lestari. Kau tahu hal itu I" berkata lagi si
orang tua. Sekali ini Lestari menyahuti dengan suara gemetar: "Saya tahu eyang. Saya tahu
semua salah saya....Saya bersedia dihukum untuk kelalaian ini!"
"Benda itu bukan hanya merupakan senjata sakti, tapi juga sebagai tanda
perjodohanmu- Kini ketika aku pergi tusuk kundai itu lenyap! Amblas dicuri
orang. Dan kau tidak tahu siapa pencurinya!"
Orang tua'berambut putih itu diam sesaat lalu meneruskan kata-katanya:
"Bagaimana aku musti mempertanggung jawabkan nanti pada Sinto Gendeng!
Tusuk kundai perak itu diberikannya padaku dua tahun yang lalu sebagai tanda
persetujuan ikatan jodoh antaramu dengan murid tunggalnya yaitu Wiro Sableng,
pemuda sakti bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Ayo, coba kau katakan
bagaimana aku musti mempertanggung jawabkannya! Jika saja kedua kakiku ini tidak
buntung pasti sudah sejak lama aku meninggalkan pondok gua mengejar pencuri
laknat itu!"
"Eyang, saya yang salah ini yang akan pergi mencari benda yang hilang itu,"
Lestari membuka mulut "Saya tak akan kembali sebelum dapat...."
Orang tua itu usap-usap dagunya. Dia tengah menimbang-nimbang. Akhirnya dia
berkata: 'Terserah padamu apapun yang bakal kau lakukan. Kau boleh pergi.
Kuharap kau dapat menemukan tusuk kundai itu kembali. Kalau tidak, aku tak tahu lagi
bagaimana menghadapi Sinto Gendeng nanti.
Gadis bernama Lestari berdiri. Dia masuk ke da- lam sebuah kamar. Ketika keluar
sudah berganti pakaian. Kini dia mengenakan pakaian merah ringkas. Di
pinggangnya tergantung sebilah pedang merah. Rambutnya yang tadi panjang tergerai kini
diikat buntut kuda. Meski wajahnya murung dan kedua matanya merah habis menangis
namun kecantikannya masih terlihat jelas.
"Eyang, saya sudah siap untuk berangkat," katanya pada si orang tua.
Orang tua itu mengangguk dan memberi isyarat agar gadis itu datang mendekat.
Sambil menepuk-nepuk bahu Lestari dia berkata: "Pergilah. Lekas kembali jika
tusuk kundai itu kau temukan."
"Baik eyang."
"Ada baiknya jika kau hubungi beberapa tokoh persilatan golongan putih. Mungkin
kau dapat menyirap keterangan dari mereka. Jangan lupa meminta bantuan mereka
jika sewaktu-waktu kau ditimpa mara-bahaya dan kau tak sanggup menghadapinya
seorang diri."
"Semua nasihat eyang saya perhatikan.".
Setelah menjura tiga kali berturut-turut di hadapan gurunya Lestari tinggalkan
pondok itu. Ratusan tombak meninggalkan danau Jembangan, di satu tempat yang penuh
dengan pepohonan rindang Lestari berhenti untuk istirahat. Dia duduk di bawah
sebatang pohon sambil memikirkan kemana dia harus pergi dan bagaimana caranya
dapat mengetahui siapa pencuri tusuk kundai pertanda jodohnya dengan Wiro
Sableng. Ingat soal jodoh wajah sang dara jadi kemerahan. Sebelum peristiwa besar
penghancuran Istana Darah beberapa waktu yang lalu (baca serial Wiro Sableng
Hancurnya Istana Darah) gadis itu tak pernah tahu kalau dirinya telah dijodohkan
oleh gurunya dengan Wiro Sableng. Wiro sendiri agaknya begitu pula ketika secara
kebetulan gurunya memberi tahu , mengenai urusan perjodohan itu. Bagi Lestari dia tak akan
menolak hal apapun yang dilakukan gurunya karena dia percaya bahwa semua itu
untuk kebaikan dirinya. Namun yang jadi pertanyaan apakah Pendekar 212 Wiro
Sableng bersedia mematuhi ikatan jodoh yang tak pernah diketahuinya sebelumnya. Pemuda
itu telah menyelamatkan diri dan kehormatannya dari Hulubalang Istana Darah. Hutang
nyawa itu tak mungkin akan dibalasnya. Pembalasan hanya bisa dilakukan dengan
bersedia menjadi istri Wiro, setia dan mengabdi pada suami. Tapi apakah dia
mencintai pemuda itu"
Memandang ke langit Lestari melihat matahari telah tinggi. Hari telah bertambah
siang. Akhirnya sang dara lanjutkan perjalanan. Belum sampai seratus tombak
jauhnya murid silat dari danau Jembangan ini lanjutkan perjalanan, mendadak bau amat
busuk menyambar hidungnya. Lestari hentikan langkah dan memandang berkeliling. Dia
dapatkan bau busuk itu datang dari jurusan tenggara. Segera dia melangkah menuju
sumber bau itu untuk mengetahui lebih jauh. Mula-mula dia melihat burung-burung
gagak hitam pemakan bangkai, terbang berputar-putar lalu menukik turun, kemudian
terbang kembali ke udara, demikian berulang kali. Berjalan lima puluh langkah
lagi Lestari melihat benda yang menjadi sumber bau busuk itu. Yakni sesosok tubuh
manusia yang terbakar di tanah dalam keadaan busuk dan rusak.
Lestari tak berani mendekat. Dari tempatnya berdiri dia melihat kedua mata mayat
itu hanya tinggal merupakan dua lobang besar mengerikan. Hidung dan bibirnya,
bahkan hampir keseluruhan daging pada wajahnya telah habis berlubang-lubang
digerogoti burung-burung gagak. Demikian pula daging di bagian tubuh lainnya
yakni dada, perut dan kedua kaki serta tangan.
Tak dapat Lestari menduga siapa adanya orang yang telah jadi mayat ini. Matanya
yang tajam dapat melihat dua buah titik lobang pada kening mayat serta darah
yang telah keras membeku.
Mayat busuk yang dijumpai sang dara bukan lain adalah mayat Singgar Manik yang
dibunuh oleh Sepasang Kobra Dewata.
Karena tak tahan oleh bau busuk yang amat sangat Lestari segera hendak
tinggalkan tempat itu. Namun matanya masih sempat melihat sepotong kain berwarna hijau.
Lestari ambil potongan kain ini dan menelitinya. Mungkin sekali ini sobekan
ujung lengan pakaian. Lengan pakaian siapa" Dia memandang pada mayat. Mungkin lengan pakaian
orang yang membunuh" Agaknya telah terjadi perkelahian sebelumnya di tempat itu.
Tanda-tanda memang menyatakan demikian.
"Mungkin ada gunanya jika kusimpan," membatin Lestari. Robekan kain hijau itu
lalu dimasukkannya ke balik pakaian merahnya.
Dia memandang lagi berkeliling. Karena tak ada lagi yang bisa ditemukannya di
tempat itu sang dara segera berlalu.
EMPAT SEBENARNYA TAMPANG pemuda itu cukup gagah asal kulit mukanya tidak amat
pucat dan tubuhnya tidak tinggi kerempeng macam tiang bambu. Jika saja dia bukan
putera seorang- bekas perwira kerajaan, niscaya mulut-mulut usil di kota Jember
akan menggelarinya "Si Jangkung Kerempeng Muka Mayat" atau "Si Pucat Kerempeng" atau
lain sebagainya. Namun karena dia putera bekas perwira tinggi kerajaan yang dulu
dihormati rakyat maka tak ada penduduk yang tega memberi gelar ejekan itu pada
si pemuda. Di samping itu pemuda ini juga memiliki ilmu pedang yang hebat, yang
dipelajarinya dari ayahnya; Sebagai seorang perwira tinggi yang pernah mengabdikan diri selama
dua puluh lima tahun pada kerajaan, sang ayah memiliki ilmu pedang yang sangat
tinggi hingga semasa jayanya dia mendapat julukan "Raja Pedang Kotaraja".
Meski sang anak belum mewarisi seluruh kepandaian ayahnya namun tingkat
kepandaiannya cukup mengagumkan. Lima orang perwira muda kerajaan yang
mengeroyoknya sekaligus belum tentu dapat mengalahkannya dalam perkelahian dua
puluh lima jurus!
Kalaupun pemuda itu tidak sampai diberi julukan mengejek oleh penduduk, namun
rata-rata banyak penduduk yang tidak suka padanya. Ini disebabkan
kesombongannya.
Dan kesombongan ini berpangkal pada kepandaiannya memainkan pedang. Menurut dia
selain ayahnya maka dialah jago pedang kelas satu di tanah Jawa. Karenanya semua
orang harus hormat dan tunduk padanya. Harus melakukan apa saja yang dimintanya!
Hari itu Ronggo Bogoseto, demikian nama putera bekas perwira kerajaan itu,
berada di rumah makan paling besar di kota Jember. Dia duduk di meja besar bersama tiga
orang kawan, asyik menyantap hidangan. Di luar rumah makan terdapat sebuah tong
sampah yang telah dua hari tidak dibersihkan hingga isinya meluber dan bau busuk
menebar serta lalat datang bergerombolan. Binatang ini ternyata tidak hanya
mencari makanan pada tong sampah itu saja, tetapi juga masuk dalam rumah makan, hingga
di atas makanan yang terhidang di meja.
Sejak tadi Ronggo Bogoseto dan kawan-kawannya terganggu dengan adanya
puluhan lalat ini. Lama-lama pemuda muka pucat ini jadi jengkel. Sambil mengomel
dia berteriak memanggil pelayan. Pelayan datang dengan cepat dan ketakutan. Dengan
mata melotot dan mulut tersumpal makanan Ronggo Bogoseto membentak hingga
sebagian makanan dalam mulutnya tersembur mengenai muka dan pakaian si pelayan.
"Lekas usir lalat-lalat celaka itu t Kalau tidak aku tak akan mau membayar
makananmu yang jadi kotor dihinggapinya!"
Tentu saja pelayan segera melakukan apa yang diperintahkan si pemuda. Dia
mempergunakan dua buah serbet sekaligus, mengusir lalat. Namun baru saja diusir
binatang-binatang ini kembali datang, malah lebih banyak.
'Tolol! Coba kau pasang lampu di atas meja ini! Lalat takut dengan lampu!"
bentak Ronggo Bogoseto seraya menggebrak meja.
Sebuah lampu minyak lalu dinyalakan. Apinya sengaja diperbesar. Tetapi lalat
yang ada di atas dan sekitar meja terlalu banyak untuk dapat ditakuti dengan lampu
itu. "Binatang sialan!" makin salah seorang kawan Ronggo Bogoseto. Dia pergunakan
kedua tangannya menepuki binatang itu. Dua kawannya melakukan hal yang sama.
Banyak lalat yang mati, tapi tangan mereka jadi kotor sedang jumlah lalat tak
banyak berkurang. Ronggo Bogoseto jadi marah. Dia mendengus dan meludah seenaknya di lantai
rumah makan. Sambil memandang berkeliling dengan mata mendelik dia berteriak.
"Kawan-kawan, melihat kalian menepuki binatang celaka itu aku jadi ingat pada
cerita tentang seorang yang mampu membunuh tujuh lalat dengan sekali tepuk! Hai,
apa kalian pernah dengar cerita itu"!" Ketiga pemuda kawannya itu sama
mengatakan pernah. Ronggo tersenyum. Jelas adanya bayangan kesombongan di balik senyumnya itu.
"Sekarang akan kuperlihatkan pada kalian bertiga. Juga pada semua yang ada di
rumah makan jorok ini! Dengan pedangku aku sanggup membunuh lebih dari tujuh
ekor lalat dalam sekali tebas saja!"
"Ah, ini bakalan hebat jadinya! "seru salah seorang pemuda kawan Ronggo.
"Aku benar-benar ingin melihat! Ayo Ronggo, kau perlihatkan pada kami dan
semua orang di sini!" menimpali kawannya yang seorang lagi. Sedang pemuda yang
ketiga ikut berkata: "Aku percaya! Kau pasti mampu melakukan kehebatan itu
Ronggo!" Ronggo berdiri dari kursinya. Dia memandang dulu berkeliling lalu sret! Pemuda
ini cabut pedang yang selalu dibawanya.
"Lihat! Kalian lihat semual" katanya. "Jangan ada yang mengedip. Gerakannya
sangat cepat Kalau kalian mengedip, kalian tak akan sempat menyaksikan
kehebatanku!"
Lalu wut! Pedang di tangan kanan Ronggo Bogoseto mencuit di udara. Sembilan ekor lalat
terkaparan di lantai dan di meja. Semuanya mati dalam keadaan tubuh belah dua!
"Luar biasa!'
"Hebat!"
"Gila! Aku hampir tak percaya!"
Begitu tiga kawan si pemuda berseru seraya berdiri.


Wiro Sableng 025 Cinta Orang-orang Gagah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ronggo Bogoseto menyeringai dan lagi-lagi meandang berkeliling. Memang mau tak
mau semua yang ada dalam rumah makan itu dan menyaksikan apa yang barusan
dilakukan si pemuda memuji kagum. Dan melihat semua orang mengaguminya
bertambah sombonglah Ronggo. Dia ingin semua orang'benar-benar meyakini bahwa
dialah jago pedang nomor satu sesudah ayahnya di Jember dan seluruh Jawa. Maka
dia kiblatkan pedangnya kembali.
"Lihat lagi!"
"Lihat!"
"Ini lagi!"
Tiga kali Ronggo Bogoseto berteriak. Tiga kali pedangnya menderu. Masih belum
puas dia susul lagi dengan lima kali gerakan. Ketika dia menghentikan
gerakannya, tak
seekor lalat hidup pun bersisa di atas meja makan itu,
Tiga kawan Ronggo Bogoseto tegak dari kursi masing-masing sambil leletkan lidah.
Seorang dari mereka berkata:
"Gila Ronggo! Kurasa ilmu pedangmu jeuh lebih hebat dari ayahmu!"
Cuping hidung Ronggo tampak mengembang dan bergerak-gerak oleh pujian itu.
Sambil duduk kembali ke kursinya Ronggo berkata: "Sekarang kalian saksikan
sendiri kehebatanku! Mari kita teruskan makan!"
Keempat pemuda itu duduk kembali. Salah seorang yang duduk menghadap pintu
meneguk minumannya, namun gelas minuman buru-buru diletakkan seraya berkata:
"Astaga ronggo! Bidadari dari mana yang diutus dewa datang ke rumah makan ini"!"
Ronggo berpaling, memandang ke pintu. Semua orang kini ikut memandang ke
jurusan itu. Seorang dara bertubuh tinggi semampai, berpakaian ringkas merah, berambut hitam
buntut kuda tampak memasuki rumah makan. Parasnya cantik sekali. Jangankan para
pemuda itu, lelaki-lelaki tua yang ada di rumah makan itupun tak segan
memandanginya dengan hati kagum.
"Amboi!" Ronggo sandarkan punggungnya ke kursi dan lunjurkan kedua kaki
sedang sepasang mata menyipit. "Itu bukan bidadari sobatku," katanya.
"Tapi sekuntum bunga mawar merah segar yang menebar harum semerbak, terbang
dihembuskan angin untuk menemui kita di sini!"
Tiga kawan Ronggo tertawa. Sementara dera yang baru masuk yang bukan lain
adalah Lestari mengambil tempat duduk tak jauh dari meja mereka.
"Gadis cantik, jika kau tak keberatan sudilah duduk bersama kami di sini. Jangan
kawatir, kau tak usah membayar makanan dan minuman. Kau boleh makan dan minum
sepuasmu!"
Lestari melirik sesaat pada Ronggo Bogoseto.
Dilirik begitu si pemuda merasa mendapat perhatian dan berkata pada ketiga
temannya: "Lihat, dia melirik padaku. Ah, taksangka hari ini aku bakal melihat
bunga yang begini cantik!"
Tetapi setelah melirik Lestari tidak perdulikan lagi pemuda bermuka pucat itu.
Dia melambaikan tangan memanggil pelayan dan memesan makanan.
"Ronggo, rupanya gadis itu malu duduk semeja dengan kita. Baiknya kau saja yang
pergi duduk ke mejanya!" berkata salah seorang kawan Ronggo.
Putera bekas perwira tinggi itu tersenyum lebar.
"Kau betul sobatku. Tentu saja dia malu duduk di sini. Kita berempat dia
sendiri. Kalau sendiri lawan sendiri tentu lain lagi!" kata Ronggo pula seraya berdiri dan
melangkah ke meja Lestari lalu duduk di kursi di hadapan sang dara. Setelah cengar cengir
sebentar pemuda ini memanggil pelayan.
"Hidangkan makanan lezat dan minuman kelas satu untuk kami berdua! Lekas! "
Pelayan itu menjura lalu cepat-cepat masuk kedalam guna menyiapkan pesanan.
"Darah manis, kau datang dari mana dan siapa namamu?" Ronggo Bogoseto
bertanya sementara semua orang memperhatikan tanpa berani bicara apa-apa.
Lestari palingkan wajahnya. Sesaat keduanya saling bertatapan.
"Aih, betapa bagusnya kedua matanya. Bening tapi berkilat seperti bintang timur.
Pipinya kemerahan, keningnya licin, hidungnya kecil mancung. Bibirnya merah
seperti delima merekah!" kata Ronggo dalam hati memuji. Namun sesaat kemudian dia merasa
terkesima karena pandangan mata sang dara seperti menusuk.
"Kau sendiri siapa?" tiba-tiba Lestari balik bertanya.
"Ah! Namaku Ronggo Bogoseto!" sahut Ronggo dengan dada agak dibusungkan.
Dia merasa senang ditanya seperti itu. Baginya ini satu pertanda bahwa sang dara
juga menaruh perhatian terhadapnya. "Namaku bagus bukan! Dan tampangku gagah!
Ayahku adalah bekas perwira tinggi kerajaan. Jago pedang kelas satu berjuluk
Raja Pedang Kotaraja. Tapi ada orang yang berpendapat sebenarnya kepandaianku memutar
balik pedang lebih tinggi dari ayahku!"
"Betul, betul!" salah seorang kawan Ronggo berkata sambil tegak dari kursinya.
"Sayang kau terlambat datang.Kalau kau muncul lebih tadi-tadi pasti kau akan
sempat menyaksikan kehebatannya membelah tubuh sembilan ekor lalat hanya sekali
membabatkan pedangnya!"
"Ah, dia keliwat memuji. Tapi apa yang dikatakannya memang benar!" ujar Ronggo
Bogoseta senang dan cuping hidungnya kembali tampak mekar. Lalu dia berkata:
"Kalau kau suka, di hadapan dara secantikmu ini aku bersedia memperlihatkan kehebatan
permainan pedangku!"
"Oo begitu . . . ?" ujar Lestari sambil angguk-anggukkan kepala. Lalu dalam hati
dia menambahkan: "Pemuda ini sombong sekali, Mungkin ada yang tidak beres dengan otaknya!"
Menyangka orang kagum padanya Ronggo lantas berkata: "Jadi kau mau melihat
kehebatanku dengan mata kepala sendiri"!"
"Silahkan! Siapa yang tidak suka melihat tontonan gratis!" sahut Lestari lalu
meneguk minuman yang dihidangkan pelayan.
"Kau akan lihat! Kau akan saksikan!" Ronggo Bogoseto tegak dari kursi sambil
usap- usap dada. Lestari hampir tak melihat kapan-tangan pemuda itu bergerak tahu-tahu dia
merasakan ada sambaran angin di belakang kepalanya. Pita kecil yang mengikat
rambutnya putus. Rambut sang dara yang hitam panjang terlepas dari ikatannya dan
tergerai di bahunya. Di saat yang sama pedang yang tadi berkelebat kini sudah
kembali berada dalam sarungnya. Sungguh satu gerakan ilmu pedang yang luar biasa
cepatnya. "Hebat! Hebat luar biasa!" seru tiga kawan Ronggo seraya bertepuk-tepuk memuji.
Meskipun jengkel melihat tingkah kesombongan pemuda bermuka pucat itu namun
sebagai orang yang tahu seluk beluk ilmu silat Lestari harus mengakui bahwa ilmu
pedang si pemuda memang luar biasa.
"Saudari kau belum memberikan pendapatmu mengenai gerakan ilmu pedangku
tadi!" Ronggo berkata dan pandangi wajah Lestari dengan sepasang bola
mata meliar. "Pantas dikagumi!" jawab Lestari sepolosnya.
Ronggo mendongak ke atas dan tertawa gelak-gelak.
'Tapi!" katanya kemudian. "Itu belum seberapa. Aku akan lihatkan lagi kehebatan
ilmu pedangku. Nah, kau duduklah tenang-tenang di kursimu!'
Habis berkata begitu Ronggo Bogoseto kembali gerakkan tangan kanannya ke
pinggang. Sinar putih berkelebat di depan hidung Lestari dari atas ke bawah dan
terdengarlah suara tring . . . tring . . . tring .... tiga kali berturut-turut.
Ketika Lestari memandang ke bawah ternyata tiga kancing pakaian merahnya telah
putus tanggai hingga dadanya yang putih tersingkap lebar. Sepasang mata Ronggo
Bogoseto dan juga semua mata lelaki yang ada di situ menyaksikan satu
pemandangan yang membuat mata mereka mendelik dan dada bergetar. Lestari cepat-cepat
tutupkan pakaiannya dan melompat dari kursi sementara Ronggo serta kawan-
kawannya tertawa gelak-gelak.
"Pemuda keparat kurang ajar!" bentak Lestari.
' Benar! Pemuda kerempeng muka mayat! Kau manusia paling kurang ajar yang perlu
diberi pelajaran!" Satu suara menyambungi bentakan Lestari tadi dan datang dari
arah pintu rumah makan
BESIUR angin menderu keras. Meja tergeser tak karuan dan kursi bermentalan.
Kalau Ronggo Bogoseto tak lekas berkelit pastilah tubuhnya akan kena disambar angin
deras tersebut! Semua orang yang ada di ruangan itu terkejut. Lebih-lebih pemuda putera bekas
perwira tinggi kerajaan yang sombong itu. Cepat dia berpaling dan memandang ke
pintu. Di situ tegak seorang pemuda berpakaian serba putih. Tampangnya keren sikapnya
gagah. "Bangsat! Siapa kau!" Bentak Ronggo. Mukanya yang senantiasa pucat sesaat tampak
membiru. "Siapa aku bukan urusanmu! Aku paling tidak suka pada manusia-manusia kurang
ajar yang pergunakan kepandaian untuk mempermainkan dan menghina perempuan!
Angkat kakimu dari sini. Bawa kawan-kawanmu!"
"Ahoi! Ada pahlawan pembela hak-hak perempuan di tempat ini!" seru salah seorang
pemuda kawan Ronggo. Pemuda lainnya langsung mendamprat. "Pemuda hina dina!
Kau bicara keren amat! Apa tidak tahu kautengah berhadapan dengan siapa"!"
"Siapa kau dan dua kawanmu itu tak lebih dari monyet-monyet! Lalu kawanmu yang
satu lagi, yang berpakaian mewah dan sesumbar sebagai jago pedang kelas satu di
Jawa itu, di mataku tak lebih dari seekor kunyuk yang bertingkah aneh kalau melihat
perempuan cantik!"
Tanpa perdutikan keempat pemuda itu yang jadi mendelik dan marah, si pemuda
melangkah mendekati Lestari. Lestari sendiri yakin sebelumnya pernah melihat
pemuda ini tapi tidak ingat entah di mana dan kapan.
"Lupa?" si pemuda menegur sambil tersenyum.
"Nggg . . . Bukankah kau Panji Kenanga" Murid brahmana Lokapala dari gunung
Raung?" tanya Lestari.
"Ah, ssyukur kau masih ingat padaku!" kata si pemuda tertawa lega.
(Baca serial Wiro Sableng berjudul Hancurnya Istana Darah. Di situ dikisahkan
bagaimana Panji Kenanga bersama gurunya serta Wiro dan Lestari juga tersama
gurunya menghancurkan Istana Darah. Juga diceritakan Panji Kenangalah yang telah
mengembalikan suling perak milik Lestari yang dicuri oleh seorang tokoh silat
jahat bernama Tapak Biru).
Dimaki dan dihina begitu rupa membuat tiga pemuda kawan Ronggo sakit hati dan
marah bukan main. Namun karena mereka tak satupun memiliki kepandaian silat maka
mereka tak berani bergerak. Lain halnya dengan Ronggo Bogoseto. Pemuda ini
menghardik. . "Bangsat baju putih! Urusanmu dengan aku belum selesai. Jangan enak-enak
bermesraan dengan gadis itu di depanku!"
Dengan tersenyum Panji Kenanga menjawab. "Oh, rupanya kau masih di situ. Kukira
sudah minggat bersama kawan-kawanmu!"
"Keparat! Kau belum tahu siapa aku!"
"Aih, namamu Ronggo Bogoseto bukan" Kau putera bekas perwira tinggi kerajaan.
Ayahmu berjuluk Raja Pedang Kotaraja. Mukamu pucat seperti kain kafan, tingkahmu
pongah! Kau jadi lebih sombong jika melihat gadis cantik seperti kawanku ini!"
Oo . . . jadi gadis itu kawanmu! Bagus! Di depan kawanmu itu kau akan kuhajar
sampai babak balur!"
"Seharusnya kau yang layak mendapat hajaran karena tadi telah menghina keji
kawanku ini. Apa kau kira jika ayahmu bergelar Raja Pedang lalu kau merasa
tentunya kau Pangeran" Hik. . . hik!"
"Setan alas!"
Amarah Ronggo Bogoseto meledak.
Sret! Ronggo hunus pedangnya.
"Cincang dia Ronggo! Tak seorang pun boleh menghinamu!" salah seorang
pemuda berteriak memberi semangat
Ronggo luruskan pedangnya di depan hidung. Lalu berkata pada Panji Kenanga.
"Kulihat kaupun membekal pedang. Lekas cabut jika tak ingin mampus percuma!"
Panji Kenanga memang sudah mengetahui kehebatan ilmu pedang pemuda muka
pucat itu. Karenanya tidak sungkan-sungkan diapun segera cabut pedangnya
"Gajah Biru", sebuah senjata mustika berwarna biru dan gagangnya terbuat dari
gading gajah. Ketika melihat badan pedang yang memancarkan sinar biru, diam-diam Ronggo
Bogoseto agak bergeming juga. Namun karena dia terlalu yakin akan kepandaiannya
maka dia menyimpan rasa takutnya dan berganti dengan sikap percaya diri yang
keterlaluan dan menjadikannya pongah sombongi Dia melangkah mendekati Panji
Kenanga. Tiba-tiba didahului bentakan keras pedang di tangannya menyambar.
Demikian sebatnya hingga benda itu kini berubah menjadi sinar putih yang bersiur
deras dan bertabur ke arah kepala Panji Kenanga.
Yang diserang cepat melompat ke belakang sambil tundukkan kepala, lalu
berkelebat ke kanan sapukan pedang Gajah Biru. Melihat gerakan lawan seperti itu Ronggo
Bogoseto tertawa mengejek.
"Pemuda yang mau jadi pahlawan! Keluarkan seluruh kepandaianmu! Dalam waktu
tiga jurus kepalamu akan ku belah dua!"
"Sombongnya!" balas mengejek Panji Kenanga. "Coba kau terima dulu seranganku
ini!" Lalu dia susupkan satu tusukan ke tenggorokan lawan.
"Puah! Hanya tusukan tipuan! Siapa takut!" seru Ronggo.
Panji Kenanga terkesiap. Serangan yang dilancarkannya tadi memang hanya
merupakan satu tipuan. Bagaimana lawan bisa membaca" Ilmu pedang pemuda muka
pucat itu benar-benar bukan sembarangan. Dari gerakan dan letak tangan musuh dia
sudah mengetahui mana serangan sungguhan, mana yang palsu!
Setelah mementahkan serangan lawan, Ronggo menerjang ke muka. Pedangnya
berkelebat bertubi-tubi. Ilmu pedangnya asing dan aneh di mata Panji Kenanga.
Untung dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi hingga dapat mengelakkan
semua serangan. Di sini tampaklah bahwa di satu pihak Ronggo Bogoseto memiliki
ilmu pedang yang jauh lebih tinggi tetapi rendah dalam ilmu meringankan tubuh.
Sebaliknya Panji Kenanga memiliki ilmu pedang yang lebih rendah namun tingkat
ilmu meringankan tubuhnya jauh melampaui lawan.
Panji putar pedangnya dengan sebat hingga sinar biru tampak bertabur bergulung-
gulung. Dia coba menerobos ke depan untuk membuyarkan serangan pedang lawan
yang seolah-olah membuntal dirinya. Usahanya tak kunjung berhasil walaupun dia
sudah mengerahkan seluruh kepandaian. Di jurus ke sembilan Panji Keanga mulai
menyadari bahwa sambaran angin pedang lawan sama sekali tidak mengandung
tenaga dalam yang berbahaya. Nyata Ronggo hanya mengandalkan tenaga luar atau
tenaga kasar ditambah dengan kecepatan yang memang luar biasa. Maka di jurus
ke sepuluh Panji ambil keputusan!
Ketika pedang Ronggo Bogoseto membacok laksana kilat ke arah bahu kirinya tepat
di pangkal leher. Panji Kenanga kiblatkan pedang Gajah Biru menyongsong
serangan. Trang! Dua pedang saling bentrokan mengeluarkan suara nyaring. Bunga api memercik.
Ronggo Bogoseto keluarkan seruan tertahan. Mata pedangnya gompal sedang
pedang itu sendiri terlepas mental dari genggamannya, menancap dilangit-langit
rumah makan. Dengan wajah yang tambah pucat pemuda ini melompat mundur.
Matanya membeliak tak percaya memandang pada Panji Kenanga lalu pada pedangnya
yang ada di langit-langit. Ketiga kawannya juga sama terkesiap kaget. Semua
orang yang ada di situ tidak menyangka jago pedang kelas wahid putera Raja* Pedang
Kotaraja dapat dikalahkan oleh seorang lawan muda yang tidak dikenal!


Wiro Sableng 025 Cinta Orang-orang Gagah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Muka pucat! Kenapa kau diam saja!" seru Panji.
"Jika kau anggap urusan kita belum selesai silahka ambil pedangmu di atas sana
dan teruskan perkelahian!"
Mau rasanya Ronggo berteriak dan memukul kepalanya sendiri saking marah dan
malu. Dan yang membuatnya benar-benar terpukul saat itu justru rasa malu dan
seperti tak punya muka lagi saat itu!
"Keparat! Jika kau benar-benar punya nyali besar jangan lari! Tunggu di sini!"
ujar Ronggo Bogoseto. Lalu pemuda ini putar tubuh diikuti ketiga kawannya. Mereka
menuju; ke pintu. Namun satu bayangan merah berkelebat dan menghadang.
"Pangeran sombong! Sebelum pergi aku akan balas dulu kekurang ajaranmu tadi! "
"Betina sialan! Kau mau apa pula"!" bentak Ronggo begitu mengetahui yang
menghadangnya adalah Lestari.
"Mauku ini!" sahut Lestari. Lalu cepat sekali tangan kanannya bergerak menampar
muka pemuda itu. Bagaimanapun pucatnya wajah Ronggo, tetap saja tamparan Lestari
membekas merah di wajahnya! Sudut bibirnya sebelah kiri pecah.
"Jahanam!" maki Ronggo. Lalu meninju dada Lestari. Namun pukulannya ini dengan
mudah dapat dielakkan Lestari malah kini kembali tangan gadis itu bergerak ke
atas. Kali ini menjambak rambut si pemuda lalu menyentakannya keras-keras. Tak ampun tubuh
ronggo tertarik dan terlempar ke luar pintu rumah makan, jatuh tersungkur di
tanah. Mukanya berkelukuran, lecet dan bercelemong tanah. Darah mengucur dari
hidungnya. Sambil mengerang kesakitan Ronggo berdiri dibantu oleh tiga temannya. Kedua
tangannya terkepal. Matanya berkilat-kilat oleh hawa amarah.
"Gadis iblis! Kau tunggu pembalasanku!" mengancam Ronggo. Bersama tiga
temannya dia bergerak pergi.
"Pangeran! Pedangmu ketinggalan!" seru Panji Kenanga. Tapi keempat pemuda itu
tak menoleh lagi. Dari melangkah kini mereka malah mulai berlari.
Panji geleng-gelengkan kepala sedang Lestari hanya tersenyum. Pemuda itu
kemudian dekati si gadis.
"Lestari, bagaimana kau sampai berada di Jember ini. Apakah gurumu si Pemusnah
Iblis itu ada dalam keadaan baik-baik?"
Lestari mengangguk. Sesaat dia sibuk membetulkan pakaiannya.
"Sambil menunggu hidangan ceritakan apa yang membuatmu meninggalkan danau
Jembangan "Panjang kisahnya. Tak dapat kuceritakan padamu di tempat ini " sahut Lestari.
"Memangnya kenapa?"
"Sebaiknya kita tinggalkan rumah makan ini. Aku yakin pemuda muka pucat itu akan
datang bersama seseorang berkepandaian tinggi!"
"Lalu, apakah kau takut?" tanya Panji Kenanga pula.
"Jauh dari itu" sahut Lestari. "Yang aku kawatirkan adalah kalau-kalau semua
yang terjadi di sini bakal mempersulit urusan atau tugas yang harus kujalani. .
"Hemm... tugas'urusan apakah itu?"
"Aku sudah katakan, tak mungkin hal itu kuceritakan di sini. Hai Pangeran sedang
itu datang kembali!" seru Lestari ketika dia melihat keluar pintu-rumah makan.
ENAM PANJI KENANGA memalingkan kepala ke arah pintu. Apa yang dikatakan Lestari
betul. Ronggo Bogoseto bersama tiga kawannya muncul kembali, melangkah cepat ke arah
rumah makan. Di depan mereka melangkah seorang lelaki berpakaian bagus dan rapi,
berbadan tegap. Rambutnya yang tersembul di bawah blangkon berwarna memutih.
Menurut taksiran Panji, lelaki ini berusia paling tidak sekitar enam puluh
tahun. Dan pasti
dia adalah ayah Ronggo, manusia yang bergelar Raja Pedang Kotaraja itu!
Kelima orang itu sampai di hadapan Panji dan Lestari. Lelaki berpakaian bagus
sesaat menatap wajah kedua muda mudi itu lalu melirik ke langit-langit rumah
makan dimana dilihatnya menancap sebilah pedang.
"Ayah!" Ronggo tiba-tiba maju dan buka suara. "Inilah monyet yang berani membuat
keonaran. Membuat malu dan menghina kita!" Ronggo menunjuk tepat-tepat ke arah
Panji Kenanga. Panji Kenanga memutar duduknya sedikit lalu bertanya: "Apakah kami berhadapan
dengan bekas perwira tinggi berjuluk Raja Pedang Kotaraja?"
'Tepat! Tidak meleset dugaanmu anak muda!" jawab orang tua berambut putih.
Dari sikap dan nada bicaranya Panji maupun Lestari cepat menarik kesimpulan
bahwa orang inipun memiliki sifat sombong walau tidak keterlaluan seperti
puteranya. Panji Kenanga tersenyum. Dia menoleh pada Ronggo dan berkata: "Kau sudah
membawa ayahmu kemari. Mengapa tidak membawa ibumu sekalian"!" Merahlah paras
Ronggo Bogoseto. Juga wajah sang ayah.
"Keparat!" maki Ronggo. Dengan adanya ayahnya di situ dia mendapat keberanian
dan melompat untuk menendang Panji. Tapi ayahnya bergerak mencegah dan
mendorongnya ke samping.
"Orang muda! Apa yang telah kau lakukan terhadap pu teraku merupakan
penghinaan. Merupakan tindakan kejahatan dan kekerasan. Dan kini di hadapanku
kau masih berani bicara kurang ajar! Apa kau punya segudang ilmu hingga berani
berlaku begitu!" "Orang tua, apa kau sudah menyelidik hingga menimpakan tuduhan seenak
perutmu sendiri"!" Lestari buka mulut
Raja Pedang berpaling pada si gadis dan memandangnya sesaat. "Wajahmu
cantik, tapi rupanya kaupun bukan gadis baik-baik!"
Panaslah darah Lestari. Dia mengambil baskom kecil berisi air cuci tangan.
"Kau ayah dan anak coba berkaca dulu dalam air cuci tangan ini. Coba kalian
lihat apakah kalian juga orang baik-baik"!"
Mendidih amarah Raja Pedang.
"Gadis lancang! Penghinaanmu melewati batas!" Secepat kilat orang tua ini
layangkan tamparan ke muka si gadis* Namun baru setengah jalan sebuah benda
keras membentur tangannya hingga tergetar sakit. Ternyata Panji telah menepis dan
menangkis tamparannya itu!
Raja Pedang Kota raja kaget. Tidak disangkanya kalau pemuda itu memiliki
kekuatan seperti itu. Dengan penasaran kini dia lancarkan satu pukulan kemuka Panji.
Namun serangannya hanya mengenai tempat kosong karena si pemuda sudah berpindah
tempat. Di saat ayahnya menampar Panji, Ronggo pergunakan kesempatan untuk melompat
mengambil pedangnya dari langit-langit rumah makan. Dengan senjata ini dia
kemudian memburu ke arah Lestari.
"Gadis liar! Ayo keluarkan pedangmu! Jangan kira aku tidak tega mencincang
tubuhmu!" "Rupanya hajaran kawanku tadi tidak membuatmu kapok! Kau ingin aku ganti
menghajarmu" Memang kalau tidak kuhajar kau sampai babak belur belum
puas hatiku!"
Wut! Pedang di tangan Ronggo berkelebat.
Lestari angkat sebuah kursi dan menangkis dengan benda ini. Dua kaki kursi putus
dibabat pedang.
"Sebentar lagi tanganmu . . . . "
Ronggo tak sempat teruskan ucapannya karena tiba-tiba kursi yang masih dipegang
oleh Lestari menusuk ke arah kepalanya. Kalau tidak cepat dia mengelak, pasti
mukanya akan cidera berat Dengan sebat dia putar pedangnya. Sinar senjata itu bergulung-
gulung menguning Lestari.
Sebelumnya Lestari sudah melihat kehebatan ilmu pedang pemuda itu. Namun dia
juga mengetahui kalau Ronggo tidak memiliki ilmu silat tangan kosong yang
tinggi, apalagi ilmu meringankan tubuh atau tenaga dalam. Maka Lestari memanfaatkan
kelemahan lawan dengan bergerak cepat sambil keluarkan jurus-jurus silat andalan
yang dipelajarinya dari gurunya Si Pemusnah Iblis. Setelah dua jurus menyerang
tanpa hasil, Ronggo putar pedangnya lebih sebat. Rahangnya menggembung tanda marah.
Namun kursi di tangan lawan merupakan senjata yang sulit untuk dihadapinya.
Berkali- kali dia berusaha menghancurkan kursi itu terlebih dulu. Setiap kali serangannya
tidak membawa hasil. Malah di jurus ketujuh tendangan Lestari tepat menghantam lengan
kanannya. Trak! Ronggo menjerit kesakitan. Tulang lengannya patah. Pedangnya mental jatuh
bergrompyangan di lantai. Dengan sudut matanya Raja Pedang Kotaraja dapat
menyaksikan apa yang terjadi atas diri puteranya tanpa dapat menolong. Karena
saat itu dia sendiri tengah mengeluarkan seluruh kepandaian menghadapi Panji Kenanga.
Orang tua ini memang lihay sekali memainkan pedangnya. Senjata yang berat dan
besar itu seperti sebuah tongkat enteng yang dapat digerakkannya ke mana saja. Namun
seperti anaknya, diapun kalah dalam kegesitan dan tenaga dalam. Cuma orang tua
satu ini memiliki pengalaman luar biasa hingga dalam sepuluh jurus dia dapat mengunci
Panji Kenanga di salah satu sudut rumah makan.
Panji keluarkan keringan dingin. Kalau saja pedang Gajah Biru di tangannya bukan
senjata mustika pasti sudah sejak tadi-tadi dia dapat dicelakai lawan. Selama
sepuluh jurus lagi Panji bertahan mati-matian.
"Kalau tidak ku barengi dengan pukulan, sulit membuyarkan serangan yang
mengurung ini!" kata Panji dalam hati.
Karenanya memasuki jurus ketiga puluh empat pemuda ini keluarkan bentakan
garang dan lepaskan satu pukulan tangan kosong dengan tangan kiri.
Jago tua itu terkejut ketika merasakan ada angin yang menyambar dan membuatnya
tergontai. Cepat dia sapukan pedang untuk melindungi diri. Namun gerakannya ini
membuat tubuhnya di sebelah bawah jadi terbuka. Justru ke arah bagian tubuh
inilah Panji membebatkan pedangnya disertai tenaga dalam hingga senjata itu menaburkan
sinar biru. "Celaka!" seru Raja Pedang Kotaraja. Buru-buru dia melompat menjauhi serangan
lawan. Karena kawatir masih akan terkena sambaran Ujung pedang Panji, orang tua
ini babatkan pedangnya ke bawah.
Trang! Dua pedang beradu keras.
Apa yang diduga bekas perwira tinggi kerajaan itu benar-benar terjadi. Pedangnya
mental, tangannya terasa kaku seperti kesemutan. Kedua matanya melotot. Kembali
dia menyurut beberapa langkah. Wajahnya gelap. Seumur hidup baru kali ini dia
dipecundangi oleh seorang lawan yang jauh lebih muda darinya.
"Gila! Aku betul-betul tak punya muka lagi!" kata Raja Pedang dalam hati. Ketika
dia berpaling ke kiri dilihatnya puteranya terduduk di lantai dengan muka penuh
benjut, dikelilingi oleh ketiga kawannya. Panji Kenanga sarungkan pedang Gajah Biru
kembali. Dia menoleh pada Lestari. Dilihatnya gadis itu memberi isyarat. Lalu keduanya
melangkah ke pintu.
"Orang, muda tunggu dulu!" Tiba-tiba terdengar seruan Raja Pedang Kotaraja
memanggil. "Ada apa"!! tanya Panji.
"Sebelum pergi harap kalian suka memberi tahu nama masing-masing . . . . "
"Untuk apa?" Kini Lestari yang bertanya.
"Untuk sekedar jadi kenangan," jawab bekas perwira tinggi itu. Kalian berdua
telah membuka mataku bahwa kesombongan itu hanyalah satu kepalsuan hidup yang bisa
membawa bencana bagi diri sendiri!"
"Ah, aku yang tua ini benar-benar merasa mendapat pelajaran dari kalian orang-
orang muda. Mulai saat ini aku tak mau lagi memakai gelar Raja Pedang Kotaraja!" Lalu
orang tua itu memungut pedangnya. Ketika dia hendak tinggalkan rumah makan pu teranya
yang mengalami patah tangan cepat menghadang seraya berseru.
"Ayah! Mereka mematahkan lenganku. Kau hendak pergi begitu saja tanpa memberi
hukuman pada mereka"!"
"Kaulah yang patut diberi hukuman!" bentak sang ayah dan plak! Tamparannya
melayang menghantam pipi Ronggo Bogoseto. Pemuda ini mengeluh kesakitan. Tak
tahan menanggung malu.dia lari lebih dulu meninggalkan tempat itu. Tiga kawannya
menyusul di belakang.
TUJUH KUDA PUTIH polos bernama Angin Salju itu berlari cepat di kegelapan malam. Di
atas punggungnya di sebelah depan duduk Lestari dan di belakangnya duduk Panji
Kenanga. Semula sang dara menolak untuk menunggangi kuda besar itu bersama-sama. Tapi
akhirnya mau juga. Di tepi sebuah telaga mereka berhenti.
"Kita bermalam di sini dan membuat perapian. Kau setuju?"
Lestari tak menjawab.
"Di samping itu kau bisa memberikan keterangan mengenai urusan dan tugas yang
harus kau jalankan itu. . . "
Setelah berpikir beberapa lamanya akhirnya Lestari menyetujui usul Panji.
Sementara Angin Salju merumput. Panji segera mencari kayu untuk perapian.
Setelah api menyala, keduanya duduk berhadap-hadapan. Panji menatap paras gadis
di hadapannya itu. Paras yang tak pernah dilupakannya sejak perjumpaan pertama
dahulu. Sebenarnya sudah sejak lama pemuda ini ingin mengunjungi Lestari di
tempat kediaman gurunya di danau Jembangan. Namun sebelum kesampaian malah bertemu di
Jember. "Lestari_____ "
Dara itu mengangkat kepalanya.
Sesaat pandangan mereka saling beradu.
"Kau kedinginan" Duduklah lebih dekat ke perapian
"Cukup hangat di sini. Panji'
"Sekarang coba ceritakan apa urusanmu itu. Jika ada yang bisa ku bantu, pasti
akan kulakukan."
Lestari memandang nyala api yang melenggang-lenggok dipermainkan hembusan
angin malam. "Seseorang telah mencuri senjata mustika milik guru. Hal itu terjadi ketika guru
tidak di rumah. Ini kelalaian ku sendiri. Guru amat marah. Aku tahu sekali hal itu
walau dia tidak memperlihatkannya padaku. Tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain
meninggalkan danau Jembangan dan mencari senjata mustika itu sampai dapat.
Sebelum dapat aku tak akan kembali."
"Senjata apakah yang dicuri itu?" tanya Panji Kenanga.
"Sebuah tusuk kundai. Terbuat dari perak"
"Pencurinya pasti seorang berkepandaian tinggi."
"Pasti," membenarkan Lestari. "Guru menasihatkan agar aku menghubungi
beberapa tokoh silat golongan putih untuk mencari keterangan. Sampai saat
ini segala sesuatunya masih gelap bagiku
"Jelas yang melakukannya seseorang atau beberapa orang dari golongan hitam. Kita
akan menyelidikinya bersama-sama."


Wiro Sableng 025 Cinta Orang-orang Gagah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita?" ulang Lestari.
"Ya ____ Kau tak suka aku bantu?"
"Terima kasih. Aku berterima kasih sekali. Tapi kau tahu. Ada puluhan tokoh
silat golongan hitam. Bagaimana kita bisa menemukan pencurinya...."
"Itulah yang harus kita selidiki Lestari. . . . "
Sang dara hanya mengangguk pelahan. Dia telah menceritakan hilangnya tusuk
kundai sakti itu. Namun sama sekali tidak diberitahukannya kalau benda itu
adalah pertanda ikatan tali perjodohannya dengan murid Eyang Kunti Kendil yang
bernama Wiro Sableng.
Malam bertambah larut dan dingin. Panji Kenanga mengambil sehelai tikar kulit
dan selimut tebal dari kantong perbekalan di punggung kudanya. Tikar itu lalu
dibentangkannya dekat perapian.
"Kau tidurlah di sini. . . . " katanya pada Lestari.
"Aku belum mengantuk."
"Mengantuk atau tidak kau butuh istirahat Untuk mencari senjata yang hilang itu
mungkin kita harus mengadakan perjalanan jauh yang menguras tenaga... ."
Lestari menyadari bahwa apa yang. Dikatakan Panji itu benar. Perlahan-lahan
direbahkannya dirinya di atas tikar kulit itu. Panji kemudian menyelimutinya.
'Terima kasih. Kau baik sekali. . . ."kata Lestari polos..
Panji tersenyum. Dengan bergelung sehelai kain sarung pemuda ini membaringkan
diri di seberang perapian. Sesekali dia melirik dan melihat Lestari masih belum
memejamkan mata.Kesunyian malam kadang- kadang digemeretaki oleh suatu ranting
kayu yang berderak dimakan api.
"Ingat peristiwa di Istana Darah dulu _ ?" tiba-tiba Panji bertanya.
"Ya, kenapa?"
"Sejak peristiwa itu apa kau pernah bertemu Wiro " "
"Tidak. Memangnya kenapa?" Lestari bertanya lagi.
"Pemuda itu ilmunya tinggi sekali. Ingin sekali aku bertemu dengan dia. Selain
bertukar pengalaman siapa tahu dia berbaik hati mau memberikan sejurus dua ilmu
baru" Yang dipikirkan Lestari saat itu justru bukan ketinggian ilmu Wiro Sableng
melainkan hubungan jodohnya dengan pemuda itu, yang ikatannya diatur oleh guru mereka.
Apakah Wiro mengetahui hal itu"
Lama kesunyian menggantung. Sayup-sayup terdengar riak air telaga terhembus
angin. "Lestari. . . "
"Hemm . . . Aku masih ingin ngobrol. Entah kalau kau sudah mau tidur. . . . "
'Tubuhku memang agak letih. Tapi mata ini masih belum bisa dipicingkan
" "Dalam kehidupanmu yang mencapai usia sekarang ini, apakah kau pernah
mencintai dan dicintai seseorang . . . . " "
Pertanyaan Panji Kenanga ini membuat Lestari terkejut Dia sadar wajahnya saat
itu pasti menjadi merah.
"Ada-ada saja yang kau tanyakan. Kenapa kau bertanya begitu?"
"Hanya ingin tahu __ "
"Soal cinta belum terpikir olehku . . . . "
"Lalu soal seseorang yang mencintaimu?"
"Mana aku tahu" Kalau ada yang mencintaiku dia tak pernah bilang begitu
Panji tertawa. "Bagaimana kalau andai kata kau kemudian mengetahui bahwa ada seseorang yang
mencintaimu dengan sepenuh hati. . . . "
"Aku harus tahu yang jatuh cinta ini lelaki atau nenek-nenek. Atau seekor kucing
. . . . Aih, malam-malam begini bicara soal cintai Siapa orangnya yang mau
mencintaiku.....?"
"Ada!"
"Sudahlah. Aku tak mau membicarakan hal itu lagi . . . ." Kata Lestari. Namun
diam- diam dia ingin tahu juga siapa orang yang kata Panji ada mencintainya itu. Wiro
Sableng" "Kau tak ingin tahu siapa orang yang mencintaimu itu Lestari?" tanya Panji.
"Kalau kau tahu katakanlah."
"Orangnya saat ini dekat sekali denganmu," kata Panji pula.
'Tak ada orang lain di sini."
"Ada. Kau tak melihat" Atau lupa?"
"Siapa?"
"Akui" jawab Panji Kenanga.
Lestari palingkan kepalanya. Kedua matanya terbuka lebar dan memandang tak
berkedip pada Panji Kenanga. Sesaat kemudian terdengar suara tawa dara itu.
"Kau tengah membanyol Panji!"
"Aku tidak melucu. Apa yang kukatakan adalah sebenarnya. Aku mencintaimu!"
Lestari merasakah dadanya berdebar.
"Kau bodoh Panji!"
"Bodoh" Bodoh bagaimana?"
"Bodoh karena mau-mauan mencintaiku. Me mangnya aku ini apa sih!"
"Cinta itu terkadang memang aneh Lestari. Kata orang cinta bisa membuat buta.
Lalu bodoh seperti katamu itu. Lalu perasaan bahwa dunia ini hanya dia yang punya "
"Aih, pengalamanmu tentang cinta rupanya banyak juga "
"Seperti katamu, mungkin benar aku ini pemuda bodoh. Namun aku tak mau
menyembunyikan sesuatu yang aku rasakan
" Sunyi. Lestari tak bisa berkata apa-apa lagi. Panji juga terdiam. Gadis itu
akhirnya picingkan kedua matanya. Namun dia tidak tidur. Mendadak dirasakannya ada hawa
panas menghembus wajahnya. Ketika kedua matanya dibuka dilihatnya sebuah wajah
dekat sekali ke mukanya. Wajah Panji.
v "Lestari. . . ."bisik Panji. "Dengarlah _ " Sambil bicara dibelainya rambut
gadis itu. "Aku benar-benar mencintaimu . . . ." Lalu kepala si pemuda datang lebih dekat.
Satu ciuman menyapu kening Lestari.Si gadis merasakan sekujur tubuhnya bergetar.
Itulah pertama kali tubuhnya dibelai dan parasnya dicium lelaki.
"Panji . . . jangan . . . . " bisik Lestari ketika ciuman kedua melembut jatuh
di pipinya. "Jangan . . ." bisik Lestari lagi. Namun dia tak berusaha menjauhkan wajahnya.
Ketika bibir pemuda itu menempel di bibirnya. Lestari merasakan nafasnya seperti
terbang. Entah sadar entah tidak kecupan Panji pada bibirnya dibalasnya dengan hangat.
MENJELANG dinihari baru Lestari bisa memejamkan matanya dan tidur. Panji
Kenanga masih duduk di sampingnya, memandang dan menjaganya dengan pe-
rasaan penuh kasih sayang.
Ketika di timur kelihatan langit mulai terang barulah pemuda ini berdiri dan
melangkah ke telaga. Semalam suntuk dia tidak memicingkan mata barang
sekejappun. Namun tubuhnya sama sekali tidak terasa letih. Kebahagiaan kasih
sayang yang dirasakannya laksana suatu kekuatan dalam dirinya. Dia maklum kalau sang
dara menyukainya, mungkin juga mengasihinya. Walaupun semua itu tidak diucapkan
dalam bentuk kata-kata.
Tak lama setelah Panji mandi di telaga Lestari terbangun. Dia duduk di samping
perapian yang telah padam. Kepalanya terasa agak berat. Di telaga dilihatnya
Panji berkecimpung di air telaga. Begitu melihat pemuda ini berdebarlah dada sang
dara. Serta merta dia ingat apa yang terjadi malam tadi. Dia telah dipeluk dan balas
memeluk pemuda itu. Dia telah dicium dan balas mencium. Bagaimana semua itu bisa
terjadi" Teringat Lestari akan tugas yang masih harus dijalankannya. Yaitu menemukan
kembali tusuk kundai perak yang telah dicuri orang. Benda yang merupakan tanda
perjodohannya dengan Wiro Sableng. Guru Wiro dan gurunya telah mengadakan
pengikatan jodoh bagi mereka. Tapi semalam dia telah bercumbu berkasih mesra
dengan Panji Kenanga. Apakah ini berarti suatu dosa" Apakah ini merupakan satu
pengkhianatan terhadap calon suaminya yakni Wiro" Ada rasa dosa dan malu dalam
hati gadis ini. Lalu apakah dia akan meneruskan perjalanan bersama Panji
Kenanga" Bagaimana kalau terulang lagi kejadian malam tadi. Terulang lagi malah mungkin
lebih jauh dari itu. Lestari merapikan rambut dan pakaiannya. Tekadnya sudah bulat Dia harus
meninggalkan Panji Kenanga dan menempuh jalannya sendiri. Tanpa menunggu lebih
lama dia segera lari meninggalkan tempat itu.
Pada saat matahari pagi muncul di ufuk timur maka Lestari telah berada jauh dari
telaga. Dia sengaja memasuki rimba belantara karena dia tak mengharapkan agar
Panji Kenanga dapat menyusulnya. Namun baru saja dia memasuki hutan itu beberapa belas
tombak mendadak di belakang terdengar suara bergemeresik disusul satu teriakan
keras. "Randu Wongso! Lihat! Dara berbaju merah itulah yang tengah kita cari-cari!"
D E L AP AN LESTARI terkejut dan cepat Wpaling ke belakang. Kira-kira lima tombak di
belakangnya dilihatnya dua orang lelaki. Yang seorang bertubuh tinggi langsing tak
dikenalnya. Sedang orang kedua bukan lain Ronggo Bogoseto, pemuda bermuka pucat sombong
yang kemarin dihajarnya di rumah makan Jember.
Sadar kalau kedua orang itu mengejarnya dengan maksud yang tidak baik maka
Lestari segera melarikan diri. Dia berhasil meninggalkan Ronggo Bogoseto jauh di
belakang. Namun si tinggi langsing ternyata memiliki kepandaian lari. Karena
dalam waktu dekat dia segera dapat mendekati Lestari.
"Kalau mereka berani berbuat sesuatu kubunuh keduanya!" kata Lestari dalam hati.
Sang dara tidak mengetahui kalau lelaki bertubuh tinggi langsing yang dibawa
Ronggo Bogoseto itu adalah seorang berkepandaian tinggi.
Siapakah adanya orang ini"
Mari kita ikuti apa yang dilakukan Ronggo setelah dia mendapat hajaran di rumah
makan itu. Meskipun ayahnya sudah menganggap selesai pertikaian dengan Panji Kenanga
serta Lestari namun ronggo Bogoseto tak dapat melenyapkan rasa sakit hati dendam
kesumatnya terhadap kedua muda mudi itu. Kini dia tak punya muka lagi di seluruh
Jember. Semua orang seperti memandangnya dengan mengejek.
Sebenarnya di samping sakit hati diam-diam pemuda bermuka pucat sangat tertarik
pada kecantikan Lestari. Telah banyak dia melihat gadis cantik, namun tak ada
yang secantik dan begitu menggiurkan seperti yang satu ini
Setelah mengobati mukanya yang babak belur, dan tangannya yang patah, dengan
menunggangi seekor kuda pemuda ini meninggalkan kota menuju ke arah timur.
Tujuannya adalah sebuah candi tua yang di diami oleh seorang tokoh silat berilmu
tinggi. Tokoh silat ini bukanlah seorang baik-baik. Sering sekali dia
mempergunakan kepandaiannya untuk maksud-maksud jahat Apalagi jika seseorang mau memberikan
hadiah padanya maka apapun akan dilakukannya. Karena itu orang mencapnya
sebagai tokoh silat golongan hitam.
Hari telah malam ketika Ronggo, sampai di candi tua itu. Semula dia kawatir
kalau orang yang dicarinya tak ada di tempat. Tokoh silat itu memang jarang ada di
candi tersebut. Namun begitu melihat ada nyala lampu, maka senanglah hati pemuda ini.
Di depan candi tua pemuda ini hentikan kuda, begitu turun langsung masuk ke
dalam candi. Sebagian besar bangunan itu sudah sangat rusak dan kotor. Di salah satu
sudut terletak sebuah lampu minyak. Apinya bergoyang-goyang dipermainkan angin hingga
membentuk bayang-bayang yang mengerikan di dinding candi. Udara terasa dingin.
Ronggo memandang berkeliling. Orang yang dicarinya tidak nampak.
"Randu . . . ." panggil si pemuda. "Randu Wongso . . . . Apakah kau ada di sini.
. . . " "
Tak ada jawaban.
Tetapi telinga Ronggo tjba-tiba mendengar suara seseorang.
Suara perempuan merintih!
Dia memandang tak berkedip ke sudut kiri lalu melangkah ke arah tumpukan balok-
balok tua yang seperti membatas bagian depan candi dengan bagian belakang.
Ronggo sampai di susunan balok setinggi dada dan menjenguk ke balik susunan
balok itu. Kedua matanya terpentang lebar ketika apa yang terpampang di depannya, di
antara kesuraman sinar lampu minyak.
Di sana, di lantai candi yang hanya dialasi tikar jerami butut dilihatnya Randu
Wongso dalam keadaan tanpa pakaian tengah menggagahi seorang perempuan!
Perempuan ini masih muda. Parasnya tidak cantik, berkulit agak hitam. Tetapi dia
memiliki bagian-bagian tubuh yang kencang serta serba besar.
"Sialan!" rutuk Ronggo Bogoseto. "Randu!" serunya kemudian. "Lekaslah! Aku ada
urusan amat penting perlu dibicarakan!"
"Sompret anjing kurap!"
Lelaki bernama Randu Wongso itu memaki.
"Anak setan! Siapa kau yang berani mengganggu kesenanganku! Apa mau
kurengkahkan batok kepalamu"!"
"He . . . he . . . . Tenang Randu. Tenang. Aku Ronggo Bogoseto!"
Mendengar nama itu kemarahan Randu Wongso kontan lenyap. Tetapi tentu saja dia
tidak mau meninggalkan apa yang tengah dilakukannya saat itu. Apa lagi dia
menjelang akan sampai ke puncak kenikmatannya.
"Sobat muda! Apa pun urusanmu bisa menunggu! Malah kalau kau suka bisa
kebagian! Eh, apakah kau membawa uang banyak?"
"Soal uang kau tak usah kawatir. Yang penting cepat sudahi pekerjaan dajalmu
itu!" Ronggo benar-benar tidak sabaran. Yang dikawatirkannya adalah Panji dan Lestari
jadi terlalu jauh untuk dikejar. "Sialan! Perempuan mana yang digagahinya itu!"
Ronggo melangkah mundar-mandir di bangunan candi yang kecil sempit itu. Telinganya
terus menerus menangkap suara rintihan perempuan itu, diseling oleh suara nafas
Randu Wongso yang memburu.
Tiba-tiba terdengar suara Randu Wongso seperti mengerang.
"Bangsat!" maki Ronggo.
Beberapa saat kemudian baru Rando Wongso keluar dari balik tumpukan balok.
Tubuhnya penuh keringat dan dia hanya mengenakan sehelai cawat kumal.
"Kelakuan bejatmu masih belum berobah Randu! Perempuan mana puja kali ini yang
kau rusak kehormatannya" Sudah berapa lama kau peram di tempat ini. Sudah berapa
kali kau tiduri*"!"
Randu Wongso tertawa gelak-gelak. Di sekanya keringat yang mengucuri dahinya.
"Yang satu ini lain, Ronggo. Dia mau ikut denganku ke sini. Dan . . . ha . . .
ha . . . Sungguh luar biasa. Kau ada minat?"
"Gila! Aku kemari bukan untuk begituan!"
"Kau akan menyesal sobat. Yang satu ini benar-benar lain "
"Kentut! Kau selalu memberikan sisa padaku!"
"Sisa bukan sembarang sisa. Kau tahu, paling lama aku hanya memeram perempuan
dua hari. Tak lebih. Tapi dia . . . . sudah lima hari berada di sini. . . "
Sekilas Ronggo melirik ke balik tumpukan balok. Perempuan muda itu masih
terbaring tanpa pakaian. Melihat keadaan tubuhnya yang bagus memang Ronggo harus
mengakui ucapan Randu tadi bahwa yang satu ini lain.
"Hai sobat! Jangan memandang terlalu lama! Nanti kau tergiur! Sekarang katakan


Wiro Sableng 025 Cinta Orang-orang Gagah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa urusan pentingmu itu!"
Dengan singkat Ronggo Bogoseto menuturkan apa yang telah dialami dia dan
ayahnya di Jember. Tak lupa dia memperlihatkan bibirnya yang luka akibat
tamparan Lestari, lalu tangannya yang dibalut.
"Lalu apa hubungan kejadian* jtu dengan kedatanganmu kemari?" bertanya Randu
Wongso. "Kita harus cari kedua orang itu. Hajar si pemuda dan sang dara itu
urusanku...."
Ronggo tertawa gelak-gelak.
"Nyatanya kau sendiripun masih memiliki nafsu setan. Apakah gadis itu cantik
sekali hingga kau ingin mencarinya?"
"Cantik luar biasa. Tak pernah sebelumnya aku melihat gadis secantik, itu.
Ketika pedangku memutuskan kancing-kancing pakaiannya hingga dadanya tersingkap . . . .
Mau mati rasanya aku ketika melihat dadanya. Putih dan kencang!"
"Ha . . . ha . . . hal Sifat kita tak jauh berbeda sobat! Aku suka hal itu!"
ujar Randu Wongso pula. "Kau tak usah kawatir. Kita cari mereka sama-sama. Tapi..."
Habis berkata begitu Randu kembangkan telapak tangan kirinya dan
mengangsurkannya kepada Ronggo
Tanpa banyak bicara Ronggo keluarkan sebuah kantong kecil berisi uang dan
berikan pada Randu Wongso.
"Kita pergi sekarang?" tanya Randu. Ronggo mengangguk.
"Aku berpakaian dulu. Tunggu di sini. Tapi . .Heh, kau benar-benar tidak
berhasrat terhadap perempuan itu?"
"Urusanku lebih penting. Kita harus cepat...."
' 'Cepat . . . . cepat! Seperti waktu ini dikejar-kejar setan. Bersama Randu
Wongso kau pasti akan menemukan gadis itu. Kau sungguh tak mau" Urusan beginian kan tidak
lama Ronggo...."
Pemuda itu jadi bimbang. Dia melirik lagi ke balik tumpukan balok. Memandangi
tubuh perempuan yang gempal kencang itu lambat laun terangsang juga nafsu Ronggo
Bogoseto. Memang bukan satu. hal baru dia melakukan hal seperti itu bersama-sama
Randu Wongso. Randu yang menculik lalu mereka gagahi bergantian.
Randu tepuk-tepuk bahu pemuda itu. Lalu mendorongnya ke balik tumpukan balok.
"Pergilah, aku akan menunggumu sampai selesai . . . ." bisik Randu Wongso.
Akhirnya sambil melangkah ke balik susunan balok, Ronggo tanggalkan pakaiannya.
LESTARI berusaha mempercepat larinya. Namun Randu Wongso cepat sekali
gerakannya. Menyadari bahwa dia tak mungkin lepas jika terus lari. Lestari
akhirnya berbalik dan menunggu dengan sikap siap menyerang.
"Aha! Akhirnya kami temui juga kau!" kata Ronggo dengan nafas memburu
sementara Randu Wongso tegak tolak pinggang, memandang tak berkedip pada gadis
berbaju merah di hadapannya.
"Apa maumu"!" sentak Lestari.
' 'Wah Ronggo! Gadismu ini galak sekali!" kata Randu Wongso.
"Brengsek! Enak saja kau mengatakan aku gadisnya!" semprot Lestari dengan mata
melotot. "Aih,melotot marahpun kau malah tambah cantik!" ujar Randu Wongso semakin
menggoda. Diam-diam dia sudah terpikat pula pada kecantikan gadis ini dan otak
kotornya mulai bekerja. Tangannya diulurkan hendak menjamah tubuh Lestari.
"Berani kau menyentuh tubuhku akan kubunuh!" mengancam Lestari seraya tangan
kanannya bergerak ke pinggang d i mana tersisip pedangnya.
"Ah, mati di tanganmu pun aku senang! Ha . . . ha. . . ha " ujar Randu Wongso
lalu tertawa gelak-gelak.
"Mana pemuda keparat kawanmu itu"!" bertanya Ronggo dengan nada garang.
"Sebentar lagi dia datang. kau akan dihajarnya seperti kemarin!"
Kata-kata Lestari itu membuat wajah pucat Ronggo Bogoseto sesaat jadi memerah.
"Gadis cantik, aku dan sobatku ini tidak tega melihat kau melakukan perjalanan
seorang diri. Jika terjadi apa-apa denganmu ah, kami rasanya tak tega berlepas
tangan. Kami bersedia menemanimu. Bahkan aku mau mendukungmu sampai ke manapun
kau pergi "Manusia edan! Mulutmu kotor! Kurang ajar! damprat Lestari.
Randu Wongso kembali tertawa gelak-gelak dan kali ini sambil kedip-kedipkan
matanya membuat Lestari tambah jijik melihatnya. Dengan cepat gadis ini putar
tubuh. "Hai! Kau mau kemana gadisku cantik"!" seru Randu Wongso.
"Randu sebaiknya cepat kau ringkus dia!" berkata Ronggo yang menjadi tidak
sabaran. "Meringkus burung molek ini perkara mudah sobatku. Lihat! Aku akan tangkap
pinggangnya! Ah, betapa nikmatnya merangkul tubuhnya!"
Setelah berkata begitu dengan satu gerakan Randu Wongso berkelebat. Begitu
cepatnya gerakan orang ini tahu-tahu tangan kirinya sudah meraih pinggang Lestari
sedang tangan kanan menjamah dadanya!
"Bangsat kurang ajar!" teriak Lestari marah sekali.
Wut! S E M B I L A N
SINAR putih menyambar ke arah lambung Randu Wongso disertai suara bersuit. Kaget
lelaki ini bukan olah-olah. Sambaran angin yang datang sangat berbahaya. Mau tak mau
segera dia lepaskan pegangannya di pinggang si gadis dan melompat mundur.
Di hadapannya kini Randu melihat Lestari berdiri memegang sebuah seruling
terbuat dari perak. Benda ini berkilat-kilat tertimpa sinar matahari pagi.
Randu berpaling pada Ronggo lalu bertanya.
"Sobatku, sebenarnya siapakah si cantik berbaju merah ini" "Kulihat gerakan ilmu
pedangnya boleh juga!"
"Siapa dia nanti saja kita bicarakan. Aku tak mau kau membuang waktu. Lekas
tangkap dia!"
"Baiklah sobatku. Rupanya kau sudah tidak sabaran! 'Kembali Randu Wongo
bergerak. "Majulah kalau ingin mampus!" kata Lestari ketika dilihatnya Randu Wongo datang
mendekat. Sambil tertawa Randu Wongso melangkah menghampiri si gadis.
Tiba-tiba Randu menyergap ke depan. Lestari menghantamkan sulingnya ke arah
dada lawan. Namun kali ini dia tertipu.
Serangan Randu Wongso hanya pura-pura saja karena sedetik kemudian dia sudah
berpindah kedudukan dan berkelebat ke jurusan lain. Lestari tak kalah cepat. Dia
putar gerakan tangannya dan sulingnya kini justru menusuk ke muka lawan! Ketika
Randu Wongso berkelit untuk menghindarkan mukanya. Lestari lepaskan satu pukulan
tangan kosong dengan tangan kiri,
"Eh!"
Untuk kedua kalinya Randu Wongso dibuat terkejut. Dia benar-benar sadar kini
kalau dara berbaju merah yang tadi dianggapnya sepele itu tak bisa dipandang enteng.
Di balik wajahnya yang jelita, di belakang gerakan tubuhnya yang halus gemulai itu,
tersembunyi satu ilmu silat tinggi!
"Kalau tak segera kuringkus gadis ini bisa berbahaya!' 'kata Randu Wongso dalam
hati. Dengan gerakan bernama pelangi menggelung langit dia me-
nyambar dari samping, kiri. Gerakannya aneh, perlahan sekali, seperti acuh tak
acuh dan sangat mudah untuk balas dihantam. Namun Lestari walau tidak banyak pengalaman
telah digembleng oleh gurunya Si Pemusnah Iblis secara meyakinkan. Dia tegak
menunggu dengan waspada. Ketika lawan sampai di hadapannya baru dia bersurut dua
langkah: Betul saja apa yang diduganya. Lawan tiba-tiba membuat gerakan susulan.
Baru serangan Randu bergerak setengah jalan Lestari sudah menyongsong
mendahului dengan satu tendangan ke arah ulu hati lawan. Tapi serangan ini hanya
mengenai tempat kosong karena Randu Wongso berhasil mengelakkannya
Dengan penasaran Lestari lepaskan pukulan tangan kosong dengan mengerahkan
tenaga dalamnya.Randu Wongso juga tak kalah jengkelnya. Dia ingin tahu sampai di
mana ketinggian ilmu lawan. Serangan Lestari disambutnya dengan pukulan tangan
kosong pula. Dua (arik angin menderu, saling labrak satu sama lain.
Lestari rasakan tubuhnya bergoyang gontai. Serta merta dia lipat gandakan tenaga
dalamnya. Namun ternyata tenaga dalam lawan jauh lebih tinggi. Sekali
mendorongkan tangan kanannya ke depan maka Lesta ri terjajar ke belakang. Selagi
dia coba mengimbangi diri Randu Wongso menyergap.
"Celaka! "seru Lestari dalam hati ketika dilihatnya lawan berhasil merampas
suling peraknya. Dengan senjata ini Randu Wongso kemudian berusaha menotok pundak sang
dara. Sekali totokan itu mengena maka akan lumpuhlah sekujur tubuh Lestari.
Tabib Setan 2 Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen Pendekar Muka Buruk 12
^