Pencarian

Penculik Mayat Hutan Roban 2

Wiro Sableng 024 Penculik Mayat Hutan Roban Bagian 2


mengejar perahu besar! Apa yang hendak dilakukannya"!"
Orang banyak semakin berjejalan di sepanjangan dermaga. Tak lama
kemudian pukat itu berhasil menyusul perahu besar, lalu tak selang berapa lama
setelah itu tampak asap hitam mengepul di atas perahu besar.
"Perahu besar itu terbakar!" teriak orang banyak berbarengan.
Pada saat itulah Wiro sampai kembali ke pelabuhan, dan ikut menyaksikan
perahu besar dimakan kobaran api. Perahu pukat tadi untuk beberapa lamanya tidak
kelihatan lagi. Namun seseorang kemudian melihat dan berseru ketika pukat itu
tampak seperti menyeruak di antara kepulan asap hitam, meluncur ke arah timur
dan akhirya lenyap di titik batas pemadangan.
"Apakah kalian semua di sini hanya bisa menonton tanpa melakukan sesutau
untuk menolong"!" Satu suara terdengar di antara kerumunan orang banyak. Yang
bicara ternyata adalah seorang kakek mengenakan kain dan selempang putih.
Mulutnya komat kamit. Kedua matanya yang kelabu menatap jau ke tengah lautan,
kea rah perahu besar yang diamuk api.
"Ah, empu Tembikar tupanya...." Kata seseorang. Orang ini seperti sadar
segera berteriak. "Yang memiliki perahu besar itu!" Lalu dia mendahului lebih
dari selusin perahu kecil didayung cepat menuju perahu kayu yang terbakar. Namun
nyala api besar sekali. Sebelum orang0orang itu berhasil mendekat, perahu telah hampir
musnah. Di antara isinya, hanya dua orang awak kapal yang sempat menyelamatkan
diri, terjun ke laut lalu berenang sambil berpegangan pada potongan papan.
Keduanya segera ditolong dan dibawa ke darat. Sampai di darat mereka segera dihujani
pertanyaan apa yang terjadi. Kenapa perahu itu sampai terbakar. Salah seorang
dari awak perahu memberi keterangan tak jelas dari mana asalnya api. Ketika kebakaran
itu diketahui, kobaran api telah mengamuk hebat. Dan ini terjadi pada tiga bagian
perahu. Yakni buritan, bagian palka tengah lalu anjungan. Persediaan air di
perahu itu ternyata tidak mencukupi karena sewaktu berlabuh di Tanjung Karangwelang belum
sempat mengisi air.
BASTIAN TITO 24 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Di dalam suasana kacau beberapa orang awak kapal sempat melihat
kemunculan tiba-tiba pengemis yang sebelumnya diketahui telah melarikan kereta
pembawa peti jenazah Cui Lan. Dia tampak mengobrak abrik beberapa bagian perahu
tanpa seorangpun awak kapal atau keluarga saudagar Wong dan para pengawalnya
dapat mencegah. Karena saat itu masing-masing berusaha memadamkan api bahkan
lebih banyak ingin menyelamatkan diri dalam kebingungan. Pengemis tadi kemudian
menemukan sebuha peti kayu yang tersembunyi di bawah tumpukan sayur mayur
dalam gerobak. Dia langsung membukanya dan mengambil jenazah Cui Lan, puteri
Saudagar Wong. Begitu dia mendapatkan jenazah itu pengemis tersebut segera
meninggalkan perahu besar, melompat ke dalam perahu pukat, mengayuhnya
menjauhi perahu besar dan lenyap!
Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepala mendengar keterangan awak
perahu itu. Sejak beberapa bulan lalu dia memang pernah mendengar peristiwa-
peristiwa menggemparkan tentang dicuri atau diculiknya jenazah anak gadis atau
perempuan muda yang belum kawin. Apakah artinya semua ini. Apa perlunya
seseorang menculik mayat" Dan kabarnya penculik itu adalah seorang pengemis,
seperti manusia yang tadi disaksikannya melairkan kereta mayat!
Di tengah laut perahu besar itu hanya tinggal tiang-tiangnya saja yan
gkelihatan. Baian lainnya sudah musnah dimakan api dan enggelam ceraiberai ke
dalam air laut. Asap hitam masih mengepul-ngepul. Wiro yang saat itu ikut
memandang kea rah kapal yang hampir lenyap tiba-tiba dikagetkan oleh sesosok
tubuh yan gtahu-tahu sudah tegak tepat di depannya.
Ternyata yang berdiri di hadapannya saat itu adalah kakek berpakaian putih
yang tadi didengarnya dipanggil dengan sebutan Empu Tembikar.
Orang tua ini memandang tak berkedip tepat ke wajah Wiro dengan sepasang
matanya yang kelabu.
"Kau orang pandai. Tapi hanya berpangku tangan!" Orang tua ini berkata.
Suaranya tandas seperti menghukum.
Wiro berkedip. Hendak menjawab. Tapi Empu Tembikar sudah
meninggalkannya. Penasaran maka Wiro Sableng mengikuti orang tua itu. Jauh
sekali dia berjalan mengikuti hingga akhirnya sampai di sebuah tambak ikan asin. Di
sini Empu Tembikar membalikkan tubuhnya dan bertanya "Mengapa kau mengikutiku"!"
"Ingin tahu apa maksud ucapanmu tadi, orang tua?" balik bertanya murid
Sinto Gendeng. "Oh, jadi kau masih tidak tahu. Ternyata kau tolol melompong. Aku tak suka
bicara dengan orang pandir. Apalagi orang pandir yang tidak tahu kebodohannya
sendiri!" "Kebodohan apa yang telah kuperbuat"!" tanya Wiro dengan menahan jengkel.
"Aku tahu kau mampu menolong orang-orang di kapal yang terbakar tadi itu.
Tapi mengapa kau tidak melakukan sesuatu....?"
Wiro garuk lagi kepalanya. Lalu menjawab "Mampu belum tentu bisa. Perahu
besar itu terbakar cepat sekali. Ketika aku sampai di dermaga sudah hampir
musnah. Kulihat banyak yang mencoba turun ke laut untuk emnolong. Nyatanya mereka tidak
dapat melakukan apa-apa. Aku sama saja dengan manusia-manusia itu. Bukan orang
pandai atau dewa yang mempu malakukan pertolongan ajaib....!"
Si kakek bermata kelabu tiba-tiba tertawa.
"Kau pandai bicara mencari alas an. Ketika kereta pembawa peti mati
dilarikan orang, kaupun bertindak lalai...."
"Aku mengejar. Tapi kutemui peti mati itu telah kosong," menerangkan Wiro.
BASTIAN TITO 25 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Itu karena kau bertindak terlambat. Apakah gurumu tak pernah mengajarkan
bahwa soal waktu itu bisa sama harganya dengan selembar nyawa manusia....?"
"Kau menyebut-nyebut guruku. Apakah kau kenal dia?"
Si kakek angkat bahu lalu melangkah pergi. Tapi Wiro cepat pegang bahunya.
"Orang tua, tunggu dulu. Tadi kau menyebut aku berpangku tangan. Bodoh,
pandir, lalai dan sebagainya. Aku mau tanya. Apa saja yang telah kau lakukan
selama kejadian-kejadian yang menggemparkan di pelabuhan itu. Hanya bicara....?"
Paras orang tua itu sekilas berubah. Kemudian dia tampak tersenyum.
"Orang tua adalah tempat bertanya. Orang tua sumber petunjuk. Sebaliknya
orang muda seperti kau adalah para pelaksana...."
"Kalau begitu alangkah enaknya jadi orang tua. Hanya tinggal bicara lalu
menyalahkan orang muda....!"
"Terserah kalau kau berpendapat seperti itu..."
Wiro tak mengacuhkan kata-kata si mata kelabu itu. Dia berkata "Kalau
katamu orang tua tempat bertanya, orang tua sumber petunjuk. Lalu petunjuk apa
yang dapat kau berikan saat ini"!"
"Bagus kau bertanya begitu. Apakah kau ada mendengar peristiwa-peristiwa
buruk yang dialami jenazah para gadis di kawasan ini?"
"Tidak," jawab Wiro sengaja berdusta. "Apa petunjukmu selanjutnya?"
"Kejahatan itu harus dihentikan!" jawab Empu Tembikar.
"Kenapa kau tidak menghentikan?"
"Karena ada seorang lain yang harus menghentikannya?"
"Siapa?" tanya Wiro.
"Kau....!"
Wiro melengak kaget.
"Mengapa musti aku?"
"Aku tidak tahu!"
"Kau tahu siapa pelaku kejahatan itu" Pendulik itu?"
"Aku tidak tahu" jawab Empu Tembikar.
"Kau mungkin tahu dimana kediamannya?" tanya Wiro lagi.
"Aku tidak tahu. Tapi ada petunjuk dia selalu membuang jenazah culikannya
di arah timur, tenggara atau timur lautan utan Roban."
"Kalau dia menculik kemudian membuang jenazah begitu saja, apa perlunya
dia melakukan itu?"
"Untuk mengambil jantung dan hati gadis yang mati itu!"
Wiro merasa tengkuknya jadi dingin.
"Apa guna jantung dan hati itu" Untuk disantap" Ih!"
Empu Tembikar mengeluarkan segulung kertas dari balik selempang kain
putihnya. "Seseorang memberikan kertas surat ini tiga tahun lalu padaku. Ambil dan
bacalah isinya. Mungkin kau akan mendapat petunjuk lebih lanjut...."
Habis berkata begitu Empu Tembikar melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEMBILAN Wiro Sableng mencari pohon rindang dan duduk di bawahnya, pada
pematang tambak ikan asin. Meskipun matahari sore bersinar terik tapi tiupan
angin yang sepoi-sepoi membuat udara cukup nyaman. Pendekar ini membuka gulungan
keras yang tadi diberikan Embpu Tembikar. Tulisan di kertas itu cukup panjang,
ditulis dengan huruf-huruf yang membentuk tulisan bagus sekali. Wiro mulai
membaca. INTI SARI KEHIDUPAN INDAH KAUM PEREMPUAN
Sejak dunia terkembang, sejak perempuan dilahirkan di dunia, diciptakan dari
tulang rusuk nabi Adam, ada satu kekuatan yang selalu menghantui kaum perempuan.
Mereka takut dimakan usia. Mereka takut menghadapi kenyataan bahwa mereka akan
menjadi...... Belum sampai Wiro menyelesaikan membaca kalimat terakhir itu tiba-tiba dia
merasa ada angin yang menyambar dari belakang kiri. Pendekar ini cepat
menghantam dengan tangan kirinya namun dia hanya memukul tempat kosong.
Bersamaan dengan itu hidungnya mencium bau harum. Sudut matanya
menangkap gerakan sosok tubuh di samping kanan. Secepat kilat murid Sinto
Gendeng lepaskan pukulan kunyuk melempar buah. Satu gelombang angin deras
membuntal. Tapi lagi-lagi pendekar ini kecele. Ternyata kembali dia menghantam
tempat kosong. Malah saat itu satu dorongan yang luar biasa hebatnya membuat
terhuyung-huyung ke kiri.
"Setan alas keparat!" maki Wiro.
Selagi dia berusaha mengimbangi diri, kertas yang ada dalam pegangan tangan
kirinya tahu-tahu disambar lepas. Dia kembali melihat gerakan orang sangat cepat
dan berusaha menelikung dengan tangan kanann sambil memukul denagn tangan kiri.
Pess...!!! Terdengar suara mendesis. Wiro Sableng masih belum sempat melihat siapa
adanya orang yang menyerang dan merampas kertas tahu-tahu di sekelilingnya
membuntal asap hitam berbau harum aneh. Pemuda ini bukan saja jadi tertutup
pemandangannya namun juga merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas. Untung
dia cepat sadar. Sambil tutup jalan pernafasan, tangan kanan cepat memegang hulu
Kapak Naga Geni 212. Hawa panas segera menjalar dari hulu kapak. Tubuhnya yang
kebal racun kini samakin terlindungi oleh hawa panas mujizat yang keluar dari
senjata mustika itu. Perlahan-lahan kekuatannya pulih.
Asap hitam juga mulai lenyap. Pemandangannya terang kembali. Tapi orang
yang tadi belum sempat dilihatnya dengan jelas, jangankan mukanya, sosok
tubuhnya hampir tak terlihat, telah lenyap dari tempat itu. Wiro Sableng memaki panjang
pendek. Bagaimana hal itu bisa terjadi. Bagaimana mungkin dia tidak bisa atau
tidak punya kesempatan melihat siapa adanya orang yang muncul dengan tiba-tiba lalu
merampas kertas yang sedang dibacanya. Wiro diam-diam menyadari.
Dan ini membuat tengkuknya dingin. Jika orang tadi siapa pun adanya mau
mencelakainya atau membunuhnya, pasti halitu dapat dilakukannya.
Wiro memandang jauh ke depan, kea rah tambak ikan asin yang luas
sementara matahari sore semakin redup. Pendekar ini geleng-geleng kepala.
"Guru sendiri tidak sehebat itu gerakannya. Belum pernah kujumpai manusia
yang dapat bergerak demikina cepat seperti kilat. Heh, apa betul dia manusia...."
Bukan setan maghrib yang kesasar" Dan bau harum aneh itu....?"
BASTIAN TITO 27 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Pendekar 212 Wiro Sableng cepat berdiri. Dia memandang berkeliling. Lalu
dengan perasaan tetap tidak enak dia segera tinggalkan tempat itu.
Warok Kunto Rekso yang berjalan paling depan memimpin hampir lima puluh
orang anak buahnya hentikan langkah, mendongak kea rah bukit di ujung pohon
beringin. Hari itu adalah hari ketiga pengungsian yang mereka lakukan sejak
pasukan kerajaan menyerbu hutan Roban, menghancurkan kelompok gerombolan rampok
yang ada di situ. Jika saja dia tidak bertindak cepat pasti kelompok yang
dipimpinnya juga akan mengalami bencana yang sama. Setelah masih jauh ke dalam hutan Roban,
berputar-putar di pedalaman yang sebelumnya tak pernah dijejakinya akhirnya
siang itu mereka sampai di tempat itu.
Kunto Rekso menyuruh anak buahnya beristirahat sementara dia sendiri mulai
memanjat bukit batu untuk menyelisiki kadaan di atas sana. Namun tiba-tiba
hidungnya mencium bau busuk. Kepala rampok yang sudah berpengalaman ini segera
mengetahui bau busuk itu adalah bau bangkai manusia. Dia memandang berkeliling,
lalu bergerak ke jurusan kiri dari arah mana bau busuk daang dengan santar.
Kunto Rekso tak perlu mencari susah payah. Sosok tubuh itu segera ditemuinya. Terkapar
melintang di bawah sebtanag pohon berlumut. Betapa kagetnya kepala rampok ini
ketika mengeahui mayat busuk itu ternyata adalah mayat Jalatunda, pemuda
pembantu juru masak yang dianggapnya gila dan membangkang untuk ikut
bersamanya. "Buang mayat ini jauh-jauh dari sini," kata Kunto Rekso pada anak buahnya.
"Aku akan menyelidiki ke atas bukit sana. Jika keadaan di sini cukup baik, aku
memilih kita mendirikan perkampungan baru di sini." Lalu kepala rampok ini
meneruskan maksudnya semula menyelidiki ke puncak bukit batu. Penciumannya
merasakan di atas sana ada air. Dan betul memang. Ketika dia sampai di puncak
bukit batu, di sebelah bawah seberang depannya dilihatnya sebuah telaga berair hijau
membiru. Di tengah telaga tampak sebuah batu licin rat hampir berbentuk sebuah
meja. Kunto Rekso menarik nafas dalam-dalam. Udara di tempat itu ternyata sejuk
dan segar sekali.
"Ini tempat yang baik! Sangat cocok untuk markas baruku!" Lalu kepala
rampok ini mengeluarkan suara suitan nyaring, memberi isyarat pada anak buahnya
untuk segera naik ke atas.
Siang itu juga Kunto Rekso memerintahkan anak buahnya untuk
mempersiapkan pembangunan perkampungan. Beberapa pohon besar ditebang untuk
diambil kayunya. Menjelang malam tiba baru mereka berhenti bekerja. Besok pagi
pekerjaan itu akan diteruskan.
Akan tetapi pada pagi harinya justru terjadi kegemparan di antara rombongan
perampok pimpinan Warok Kunto Rekso. Sang pimpinan masih mengorok ketika
seorang anak buahnya membangunkan.
"Keparat jaah! Mau kupecahkan kepalamu berani membangunkanku"!"
"Warok, ada kejadian hebat. Lima orang anggota kita kedapatan mati!" kata
anggota rampok yang membangunkan lalu cepat-cepat melompat mundur karena
takut dihantam jotosan pemimpinnya.
"Apa katamu"!" Waro Kunto Rekso melompat dari tidurnya. "Sipa yang
amti..."!"


Wiro Sableng 024 Penculik Mayat Hutan Roban di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mereka dibunuh!" kata seorang anggota lainnya.Lalu membawa Kunto
Rekso ke kaki bukit batu di ujung kanan. Di situ tergelimpang lima anak buahnya
yang telah jadi mayat. Ketika diperiksa apa yang dilaporkan tadi memang betul.
Lima BASTIAN TITO 28 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
anggota rampok itu mati dibunuh. Leher masing-masing tampak ketakutan tampak
terkulai tanda patah!
"Keparta! Edan! Siapa yang melakukan...."!" Sentak Kunto Rekso. Kunto
Rekso berpaling di batang pohon itu tampak tertempel sehelai kertas yang
dibubuhi tulisan. Sambil menggereng menahan geram Kunto Rekso renggutkan kertas itu lalu
membacanya dengan pelipis bergerak-gerak.
Lima mayat itu adalah peringatan pertama dan terakhir. Daerah ini adalah
daerah kekuasaanku. Tak seorangpun boleh menginjakkan kaki di sini. Apalagi
hendak membangun perkampungan. Sebelum matahari tinggi pagi ini, segera
tinggalkan tempat!
"Setan alas!" kutuk Kunto Rekso. "Siapa yang membuat surat ini pengecut!
Tak berani memberitahu nama!" Kepala rampok itu remas kertas itu sampai lumat.
Berkali-kali dia membuat gerakan seperti hendak mencabut golok besar di
pinggangnya. Gerahamnya terdengar jelas bergemeletakan.
"Pemimpin, apa yang harus kita lakukan....?" Seorang anak buahnya bertanya.
"Apa yang harus kita lakukan" Tolol! Tentu saja meneruskan pembangunan
perkampungan! Di sini! Di tempat ini!"
"Tapi surat itu."
"Keparat! Apa kau harus takut pada selembar kertas"!" Kunto Rekso
bantingkan kertas yang tadi diremasnya ke tanah. "Semua teruskan pekerjaan! Aku
akan mengawasi. Ku mau lihat siapa manusianya yang berani membunuhi anak
buahku! Jika dia muncul kucincang tubuhnya dari kepala sampai kaki!"
Begitulah sementara beberapa orang mengurus maya lima anggota rampok
yang terbunuh secara aneh itu, yang lain-lainnya meneruskan pekerjaan membangun
perumahan. Warok Kunto Rekso mengawasi dari atas pohon. Sesekali dia turun ke
bawah dan berkeliling meneliti keadaan. Sampai sore hari, bahkan ketika siang
berganti malam tak terjadi apa-apa. Tak ada yang muncul mengganggu atau
menghalangi. Meskipun hanya lega sedikit namun Kunto Rekso tetap merasa was-was.
Mengingat kematian lima anak buahnya itu, dia ingat pula pada mayat Jalatunda
yang ditemuinya sebelumnya. Bukan mustahil Jalatunda mati dibunuh oleh orang yang
sama. Tapi orang itu sendiri siapa"
Begitu malam tiba Kunto Rekso berjaga-jaga di atas pohon sementara selusin
anak buahnya berganti-ganti melakukan penjagaan di sebelah bawah. Tampaknya
malam hari itupun akan berlalu dengan tenang. Namun ternyata tidak!
Belum lagi sinar matahari pagi sempat menembus kelebatan dedaunan
pepohonan di kaki bukit batu itu, kehebohan terjadi. Lima dari selusin anggota
rampok yang melakukan pengawalan ditemui telah menjadi mayat. Mati dengan cara
yang sama seperti lima kawannya terdahulu. Yakni dengan leher patah!
"Keparat anjing kurap!" teriak Kunto Rekso menggeledek seraya cabut golok
besarnya. Senjata ini diputarnya berdesing-desing di atas kepala. Anak buahnya
menjauh ketakutan.
"Ini sudah keterlaluan! Keparat! Manusia pengecut! Keluar dari
persembunyianmu! Jangan hanya berani membunuh secara membokong!"
Sesaat setelah bentakan kepala rampok itu berakhir, mendadak terdengar suara
tertawa mwlwngking. Tak dapat diduga apakah itu suara manusia, lelaki atau
perempuan, ataukah suara jin pelayangan!
"Lihat!" seorang anggota rampok berseru seraya menunjuk ke atas.
Semua orang termasuk Warok Kunto Rekso sama mendongak. Entah dari
mana datangnya saat itu tampak melayang sehelai kertas. Sekali lompat saja
kertas itu BASTIAN TITO 29 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
sudah di tangkap Kunto Rekso dengan tangan kirinya. Di situ terdapat beberapa
baris tulisan. Peringatan telah diabaikan.
Hukuman harus dijatuhkan.
Sebelah mata sudah berkecukupan.
Jika masih membangkang jantung jadi imbalan!
Bergetar sekujur tubuh kepala rampok itu. Bukan karena dia takut membaca
surat tersebut, tetapi karena menahan amarah yang tidak tahu hendak dilampiaskan
pada siapa. Sambil meremas kertas dengan tangan kiri dan sepasang mata
memandang berkelilnga ke atas, rahang menggembung dan geraham bergemeletukan,
Warok Kunto Rekso tiba-tiba lemparkan golok besarnya kea rah mana tadi datangnya
suara tertawa aneh itu. Golok besar dan berat itu melesat laksana anak panah,
menembus kerapatan daun pepohonan dan menancap di cabang bercagak tiga.
"Bangsat! Keparat!" maki Kunto Rekso begitu mengetahui lemparan goloknya
tidak mengenai sasaran apa-apa.
Di saat itu justru kembali terdengar suara tawa mwlwngking. Lalu tiba-tiba
saja meluncur sebuah benda putih berkilat sepanjang ukuran jari kelingking.
Begitu cepatnya benda ini melesat hingga sukar dilihat bentuknya. Yang jelas itu adalah
sebuah senjata rahasia.
Ketika melihat benda ini Warok Kunto Rekso meskipun menggebrak marah
tapi mengenggap enteng. Kalau cuma satu senjata rahasia yang terlihat jelas
seperti itu siapa takut, kertaknya. Lalu kepala rampok hutan Roban yang ditakuti ini
secepat kilat menyambar golok seorang anak buahnya. Dengan senjata ini dia memapas ke
depan untuk menghantam senjata rahasia yang melesat ke arah kepalanya.
Tring! Golok dan senjata rahasia bentrokan di udara keluarkan suara nyaring.Warok
Kunto merasakan tangannya bergetar hebat sementara goloknya patah dua tapi
dirinya selamat dari serangan senjata rahasia itu. Sementara itu matanya yang tajam
kembali dapat menangkap gerakan sesosok tubuh di atas pohon sebelah kiri. Secepat kilat
patahan golok yang masih digenggamnya dilemparkan ke arah gerakan itu. Namun
baru saja golok melesar lepas mendadak dari samping kembali melesat sebuah benda
putih berkilat. Betapapun hebat dan cepatnya kepala rampok itu kali ini taak
mungkin baginya untuk menyelamatkan kepalanya. Bahkan seorang anak buahnya yang
berusaha membantu dengan hantaman pedang gagal. Senjata rahasia itu menderu dan
menancap tepat di mata kirinya, menembus sampai belakang telinga!
Sang Warok meraung setinggi langit. Darah muncrat membasahi mukanya.
Dia lari kian kemari, berteriak tiada henti dan memukul apa saja yang berada di
dekatnya. Seorang anak buahnya yang berkepandaian cukup tinggi segera menotok
pelipis dan urat leher pimpinannya ini. Meskipun darah terus mengucur namun rasa
sakit berkurang sedikit.
"Setan! Tempat ini dikuasai setan! Ada setannya!" kata Kunto Rekso. Dia
merobek bajunya dan menggunakan potongan kain ini untuk menutupi matanya yang
bocor. "Tinggalkan tempat ini! Semua tinggalkan tempat ini!" perintahnya.
"Kami siap Warok. Tapi kita menuju kemana?" bertanya seorang anggota
rampok. "Jalan saja dulu!" sahut Kunto Rekso. "Mungkin kita menuju ke utara. Aku
tak pasti. Yang penting tinggalkan tempat celaka ini!"
Maka rombongan rampok yang telah kehilangan sepuluh anggotanya itu
segera tinggalkan tempat tersebut. Mereka kemudian memang menuju ke utara. Di
BASTIAN TITO 30 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
daerah pantai mereka membangun sebuah perkampungan. Kelak di kemudian hari
Warok Kunto Rekso merobah jalan hidupnya yang sesat, dari rampok hutan daratan,
menjadi perampok lautan. Dia kemudian dikenal dengan julukan Bajak Laut Mata
Satu. Sementara mereka berlalu, di kejauhan terdengar tawa melengking, panjang
dan membuat bulu kuduk para penjahat itu menjadi dingin. Masing-masing
mempercepat langkah. Bukan meustahil bencana yang lebih celaka akan menimpa
mereka. BASTIAN TITO 31 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEPULUH Desa Wonotunggal terletak di daerah berbukit-bukit yang sangat subur.
Hasil sayur mayurnya yang segar-segar dan beraneka macam menyebabkan desa ini
terkenal di sepanjang pantai utara Jawa Tengah bahkan sampai jauh ke pedalaman.
Dari hasil lading maupun sawah dan peternakan, rata-rata penduduk Wonotunggal
hidup berkecukpan. Di samping itu ada hal lain yang membuat desa ini terkenal
jauh sampai kemana-mana. Hal ini ialah tentang para gadisnya yang rata-rata berkulit
putih, senang memelihara rambut panjang, berparas jelita ditambah dengan raut
tubuh yang elok mempesona.
Hal yang satu ini menyebabkan banyak pemuda-pemuda dari desa-desa lain
sering datang ke situ atau orang tua sengaja pergi ke sana untuk meninjau
menjajagi kemungkinan bagi mereka atau putera mereka untuk mendapatka jodoh yang
diidamkan. Umumnya para pemuda dan orang tua tidak mengalami kekecewaan.
Mereka dating dan selalu kembali dengan berita bagus, mendapatkan calon yang
apat dipersunting beberapa bulan mendatang. Memang mereka harus cepat melaksanakan
hajat baik itu, kalau tidak sang dara akan jatuh ke tangan orang lain. Karenanya
desa Wonotunggal boleh dikatakan hampir setiap bulan selalu diramaikan dengan adanya
pesta perkawinan di sertai hiburan seperti wayang eong, wayang kulit atau
ketoprak. Dari sekian banyak bunga harum jelita desa Wonotunggal, ada satu sekuntum
yang memiliki kelebihan dari pada dara-dara lainnya hingga dia menjadi
primadona, bunga tercantik dari segala bunga indah. Gadis ini anak seorang pemilik kebun
tebu, berusia menjelang delapan belas tahun. Melihat kepada usia pada masa itu banyak
para gadis telah berumah tangga pada umur enam belas atau tujuh belas. Bahkan
terkadang di usia lima atau empat belas. Karenanya usia dara yang satu ini, yang
menjelang delapan belas dianggap sudah melewati batas keharusan untuk kawin.
Namun demikian sang dara sendiri ataupun orang tuanya tidak menganggap demikian.
Malah semakin bertambah usianya, semakin semarak bentuk badannya, semakin jelita
parasnya dan semakin matang sikap lakunya. Semua ini membuat semakin banyak
pemuda yang tergila-gila. Semakin banyak orang tua yang ingin agar putera mereka
dapat mempersunting sang dara. Namun Wilani, demikian nama sang dara kabarnya
masih belum mendapatkan pemuda yang berkenan di hatinya. Kabarnya pula sang
orang tua belum mendapatkan calon menantu yang cocok. Akibatnya lambat laun
penduduk desa menganggap Wilani dan orang tuanya jual mahal, ingin mencari suami
yang gagah serta kaya. Padahal tidak demikian adanya. Dan segala anggap
pergunjingan yang dilakukan orang banyak membuat nama gadis itu semakin tambah
terkenal. Memang Wilani memiliki banyak kelebihan dari gadis-gadis Wonotunggal
lainnya. Parasnya bulat telur, kulitnya licin putih dan mulus. Rambutnya hitam
panjang sepinggang, selalu kelihatan berkilat dan menabur bau minyak yang harum.
Sepasang matanya bening seperti bersinar laksana bintang timur, dihiasi oleh
sepasang alis tebal bak bulan sabit dan sebaris bulu mata hitam lentik.
Hidungnya kecil mancung. Pipinya selalu merah seperti pauh dilayang. Bibirnya tak pernah
memakai gincu tetapi senantiasa merah oleh kesegaran yang memancar dari dalam
tubuhnya. Barisan gigi-giginya rata dan putih. Kalau dia tersenyum, cantiknya
bukan main. Siapa yang melihat pasti akan merasakan nafasnya sesak sesaat. Raut
tubuhnya ramping di pinggang besar di dada dan pinggul. Kalau berjalan lenggoknya membuat
para pemuda menelan air ludah. Banyak yang berusaha untuk mencuri pandang pada
BASTIAN TITO 32 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
sepasang betisnya yang terkadang tersingkap dari balik kain panjang yang
dikenakannya. Segala kesemarakan kecantikan dan keindahan tubuh Wilani itu tiba-tiba saja
menjadi redup. desa Wonotunggal kini diselimuti kesedihan. Sejak seminggu
berselang dikabarkanWilani telah jatuh sakit. Telah berbagai macam obat
diberikan namun sakitnya tidak berkurang, malah makin bertambah. Makanan maupun
minuman sulit melewati mulutnya. Akibatnya dikabarkan tubuhnya yang dulu bagus
itu kini menjadi kurus. Wajahnya yang dulu cantik jelita itu kini menjadi
cekung. Beberapa orang pandai termasuk para dukun ahli pengobatan kabarnya telah
pula dipanggil. Tapi sampai hari kedua puluh satu sakit sang dara masih belum
dapat dipulihkan. Banyak para pemuda yang ingin datang menjenguk melihat si sakit.
Namun menurut orang tua Wilani, anak mereka itu mengidap sejens penyakit
menular. Hingga semua orang yang ingin melihat dimintakan untuk tidak masuk ke dalam
kamar di mana gadis itu terbaring. Kalau Wilani sampai akhirnya meninggal dunia
sebelum sempat menginjak jenjang perkawinan, alangkah malangnya nasib gadis itu.
Demikian orang sedesa berpendapat dengan rasa haru kasihan tentunya.
Suatu malam, Ronocula, lelaki yang menjadi kepala desa Wonotunggal datang
menemui kedua orang tua Wilani. Selama ini telah beberapa kali dia mengunjungi
mereka namun sebegitu jauh tidaak mendapat kesempatan untuk melihat sendiri si
sakit. Diapun tidak memaksa karena kalau memang Wilani menderita penyakit
menular, siapa mau kebagian penyakit berbahaya itu.
"Mas Prayit...." Kata Ronocula pada ayah Wilani. "Aku dan orang sedesa
selalu mendoakan agar puterimu yang sedang loro itu ditolong oleh Gusti Allah
dan dapat cepat disembuhkan dari penyakitnya...."
"Terima kasih dimas Ronocula," jawab Prayit.
Ucapan seperti itu sudah berulang kali didengarnya dari mulut sang kepala
desa. "Kami tidak mengharapkan musibah menimpa keluargamu mas. Hanya saja,
kalau puterimu diambil oleh Yang Kuasa, ada satu hal yang harus kita perhatikan.
Kau kita semua harus berjaga-jaga...."
"Berjaga-jaga bagaimana maksudmu dimas Ronocula?"
Lalu kepala desa itu menerangkan tentang kisah tujuh gadis yang
menggegerkan. Ketujuh jenazah gadis itu diculik oleh seorang aneh yang selalu
muncul seperti pengemis. Selang satu dua hari kemudian mayatnya ditemukan
kembali di pinggiran hutan Roban. Tapi hati dan jantungnya telah lenyap dan
jenazahnya rusak mengerikan.
"Aku memang ada juga mendengar hal itu," kata Prayit. "Tapi kukira semua
itu hanya cerita kosong belaka.... Apa perlunya orang menculik mayat..."
"Jangan bicara seperti itu mas Prayit. Dunia sekarang ini semakin aneh.
Berbagai kejadian yang tak masuk akal bisa terjadi. Kejahatan di luar batas
kemanusiaan berlangsung sulit dipercaya. Nyawa manusia hampir tak ada harganya.
Kau ingat penuturan kepala desa terdahulu, tentang orang-orang yang tengah
mencoba kehebatan ilmunya" Membunuh orang lain secara semena-mena demi untuk
kepentingan ilmunya....?"
Prayit terdiam sesaat. Lalu dengan datar karena keletihan lelaki ini berkata
"Kalau cerita penculikan itu memang benar, kuharap puteriku tidak akan mengalami


Wiro Sableng 024 Penculik Mayat Hutan Roban di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nasib seperti itu..."
"Itu yang kita harapkan mas. Namun berharap tanpa melakukan sesuatu, jika
nanti sudah kejadian maka jangan sampai ada penyesalan seumur hidup..."
"Lalu bagaimana menurutmu" Apa yang baik yang harus kita lakukan..."'
BASTIAN TITO 33 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kita harus membentukbarisan pengamanan. Aku sendiri yang akan
mengepalainya. Barisan ini terdiri dari lima orang anak buahku, ditambah dengan
guru silat Bagus Menakdari dukuh Jatiwangi...."
"Terima kasih kalau kau mau melakukan itu dimas," kata Prayit gembira. Dia
tahu sebagai kepala desa Ronocula memiliki kepandaian silat yang dapat
diandalkan, memiliki jimat yang kabarnya membuat dirinya kebal segala macam senjata. Apalagi
kalau guru silat Bagus Menak bersama anak-anak muridnya itu membantu. "Aku akan
merasa aman...." Katanya menambahkan. "Hanya saja, yang paling baik adalah kalau
puteriku dapat disembuhkan. Kau dan yang lain-lainnya tak perlu bersusah
payah...."
"Itulah yang selalu kami doa dan harapkan," sahut Ronocula.
Tapi doa dan harapan orang sedesa Wonotunggal itu tidak tercapai. Dua hari
setelah kedatangan kepala desa tersebut, pada suatu pagi, belum lagi sang surya
muncul, seisi desa telah mendengar kabar duka datang dari rumah keluarga pemilik
perkebunan tebu itu, Wilani, puteri mereka telah meninggal dunia. Hampir seluruh
penduduk desa datang melayat dengan harapan dapat melihat paras gadis yang
malang itu untuk terakhir kali. Namun mereka kecewa karena ternyata jenazah
telah dimandikan dan dikafani. Menurut keluarga hal itu perlu dilakukan dengan cepat
mengingat kekhawatiran penyakit menular yang diderita si sakit akan menebar.
Di luar rumah, di antara puluhan pelayat kelihatan kepala desa Ronocula
duduk berdampingan dengan seorang lelaki bertopi merah, berpakaian serba putih.
Sehelai kain sarung tersilang di bahunya. Orang yang bersikap pendiam tak banyak
bicara ini adalah guru silat Bagus Menak yang telah datang bersama sembilan
muridnya. Kesembilan murid silat ini bersama-saa lima pembantu kepala desa
senantiasa berkeliling menjaga keamanan sesuai dengan yang direncanakan.
Karena pekuburan terletak cukup jauh di luar desa maka setelah jenazah
disembahyangkan dan dimasukkan ke dalam usungan lalu dinaikkan ke atas sebuah
gerobak terbuka, ditarik oleh dua ekor sapi, dikusiri oleh seorang lelaki tua
berwajah kotor dan berpakaian tebal. Agaknya kusir gerobak ini memakai lebih dari sehelai
pakaian. Namun karena semua perhatian orang lebih tertuju pada keluarga yang
ditimpa musibah itu maka tak seorangpun yang memperhatikan keanehan pakaian
kusir gerobak itu. Juga tidak seorangpun yang menyadari kalau kusir gerobak
tersbut bukanlah penduduk desa Wonotunggal ataupun desa tetangga. Juga tak seoran[un
ingin atau merasa perlu tahu bagaimana kusir bersama gerobaknya tahu-tahu sudah
ada di sana, padahal bukan kusir dan gerobak itulah yang semula dipesan.
Di bawah matahari pagi rombongan pengantar jenazah bergerak menuju
pekuburan, mengikuti gerobak sapi yang berjalan perlahan. Sesampai di pekuburan,
udara yang tadi cerah tampak mendung. Prayit memberi isyarat agar pemakaman
segera dilakukan secepatnya sebelum hujan turun. Maka usungan diturunkan dari
gerobak sapi, jenazah dikeluarkan dan segera dimasukkan ke liang lahat. Pada
saat jenazah dikeluarkan inilah tiba-tiba kusir gerobak menanggalkan pakaiannya. Di
balik pakaian itu kelihatan pakaian lain yang penuh tambalan, kotor dan bau!
"Pengemis penculik!" teriak Ronocula yang entah kenapa sejak memasuki
tanah pemakaman tiba-tiba saja dia menjadi curiga terhadap kusir gerobak itu.
Semua orang terkejut. Guru silat Bagus Menak memberi isyarat ada sembilan
anak buahnya. Maka enam belas orang, termasuk Ronocula segera mengurung kusir
gerobak itu. Sang kusir berdiri di atas gerobak, menyeringai lalu tertawa panjang. Tawanya
lenyap ketika tiba-tiba Ronocula berteriak "Ringkus manusia itu!"
Para pengurung serta merta menyerbu. Tak ada satupun yan gmenggunakan
senjata. Mereka berpikir, untuk menangkap seorang pengemis tua seperti itu, apa
BASTIAN TITO 34 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
perlunya pakai senjata. Tapi ketika empat orang terpental dan terjengkang roboh
kena tendangan kaki serta hantaman pengemis itu barulah mereka sadar. Ronocula segera
cabut kerisnya, Bagus Menak tanggalkan kain sarungnya yang ternyata di bagian
dalam diisi dengan potongan besi lentur.
Pengemis tadi kembali tertawa. Kini dia mendahului menyerang. Bagus
Menak sambut dengan hantaman kain sarung, Ronocula datang dari samping dengan
tusukan keris. Enam orang lainnya menggebuk dengan berbagai senjata, mulai dari
pisau, kelewang atau golok. Sementara itu hujan rintik-rintik mulai turun.
Prayit memperhatikan semua apa yang terjadi dengan wajah pucat sementara kebanyakan
para pengantar berusaha menjauhkan diri dan memperhatikan apa yang selanjutnya
terjadi dengan penuh cemas.
Hantaman kain sarung Bagus Menak mengeluarkanangin deras. Tusukan keris
Ronocula membuat angin berdesing. Belum lagi senjata-senjata yang lain yang
datang membabat. Tak dapat tidak kusir gerobak itu akan tersatai dan tercincang
tubuhnya.Tapi apa yang kemudian terjadi justru kebalikannya.
Bagus Menak, guru silat lihay berseru kaget ketika kain sarung dibetot lawan
dan dia tak dapat mempertahankan. Cepat orang ini gerakkan potongan besi yang
terlindung di balik kain sarung. Potongan besi itu kemudian melentur keras dan
melesat kea rah perut kusir gerobak. Tapi sebelum mencapai sasarannya pengemis
di atas gerobak lepaskan betotan pada kain sarung. Akibatnya Bagus Menak terhuyung
ke belakang oleh daya tarik kekuatannya sendiri sedang potongan besi melenceng
ke samping menghantam dua orang muridnya. Kedua orang ini terpekik kesakitan.
Kepala dan wajah keduanya tampak benjut.
Ronocula yakin sekali tusukan kerisnya akan menancap di dada kiri pengemis.
Hanya saja keyakinan ini berubah jadi keterkejutan ketika orang yang diserangnya
tiba-tiba melompat dan dengan sekali menggerakkan tangan kanan senjata itu
berhasil dirampasnya. Ronocula keluarkan keringat dingin. Dia melihat empat senjata
orang- orang yang ada di pihaknya masih terus memburu lawan. Karenanya dia merasa ada
kesempatan untuk menyerbu sekalipun dengan tangan kosong.
Pengemis di atas gerobak kembali melompat. Dua penyerang kembali mental
sambil menjerit kesakitan.
"Makan kerismu ini!" pengemis itu tiba-tiba berteriak dan tusukkan keris
kepala desa kepada pemiliknya sendiri. Dan sekian puluh pasang mata menyaksikan
bahwa Ronocula sebenarnya tidak kebal senjata. Keris miliknya sendiri menancap
di dada, tepat di bawah tenggorokannya.
Sebelum roboh kepala desa ini masih sempat berteriak "Lindungi jenazah!
Lindungi jenazah!"
Tapi percuma saja. Sebelum ada yang sempat bergerak untuk melindungi
jenazah Wilani, manusia berpakain pengemis itu sudah lebih dulu berkelebat
merampas jenazah lalu dipanggulnya di bahu kiri.
Bagus Menak cepat menyerbu. Masih dengan menggunakan kain sarung. Tapi
kali ini nasibnya jauh lebih buruk dari tadi. Tendangan si penculik jenazah
mendarat sangat cepat di dadanya. Tubuhnya terpuruk ke kolong gerobak muntah darah lalau
tak bergerak lagi, entah pingsan entah mati.
"He....he....!" Pengemis penculik tertawa. "Jika perlu di antara kalian yang
masih merasa memerlukan mayat gadis ini, silakan datang ke hutan Roban sebelah
timur besok malam!"
Habis berkata begitu penculik ini cepat berkelebat. Tetapi empat orang anak
murid Bagus Menak yang menjadi kalap melihat kematian guru mereka, meskipun
BASTIAN TITO 35 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
sadar bahwa penculik itu bukanlah tandingan mereka, tetap saja menghadang dan
menyerbu dengan senjata di tangan.
"Manusia-manusia tolol!" maki pengemis penculik. "Mencari mati dengan
percuma!" Tangan kanannya menghantam. Kakinya sebelah kiri menyusul
menendang. Dua anak murid Bagus Menak di sebelah kanan terpelanting muntah
darah. "Ada lagi yang minta mampus"!" Si pengemis menantang sambil menyeringai.
Tak ada yang berani membuka suara. Tak ada yang bergerak. Prayit, ayah
Wilani terduduk setengah pingsan di tanah dan digotong orang ke bawah pohon. Si
penculik keluarkan tawa melengkingnya lalu berkelebat dan cepat sekali tubuhnya
bersama jenazah Wilani lenyap di ujung pekuburan.
BASTIAN TITO 36 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEBELAS Begitu keluar dari daerah pekuburan pengemis penculik itu melarikan diri
ke jurusan selatan, memasuki hutan Roban yang angker. Dia berlari terus tanpa
berhenti, tanpa merasa kebaratan oleh sosok jenazah yang berada di bahu kirinya.
Semakin ke dalam hutan itu semakin rapat. Sinar matahari semakin sulit menembus
kelebatan daun-daun pepohonan, udara bertambah lembab dan gelap. Tapi si
pengemis dapat berlari sangat cepat. Jelas dia tahu sekali seluk beluk belantara
ini. Di satu bagian hutan yang tidak pernah didatangi manusia si penculik
membelok tajam ke kanan hingga akhirnya dia sampai ke kaki sebuah bukit batu. Di
sini barulah dia menghentikan larinya, tapi hanya sesaat. Seringai aneh
tersungging di mulutnya. Dari tenggorokannya terdengar suara suitan keras. Lalu mulutnya
berteriak. "Pengusaha hari tua! Aku datang membawa obat penawar usia!"
Habis berkata begitu dia melompat mendaki bukit batu. Bukan hal yang
mudah mendaki bukti batu berlumut licin itu, apalagi secepat yang dilakukan si
pengemis. Ditambah pula dengan beban berat jenazah manusia pada bahu kirinya.
Tapi nyatanya semua itu dilakukan dengan mudah oleh si penculik. Sampai di
puncak bukit dia memandang ke bawah. Ke arah telaga berair hijau kebiruan. Inilah bukit
batu dan telaga yang beberapa waktu lalu hendak dijadikan markas oleh Warok
Kunto Rek0so. Sepasang mata si pengemis tampak bersinar-sinar. Dari mulutnya kembali
terdengar suara siutan. Lalu dia melompat ke bawah, menuruni bukit batu hingga
akhirnya sampai di tepi telaga. Dengan satu lompatan besar dia berhasil mencapai
pertengahan telaga dimana terdapat sebuah batu besar rata berbentuk meja.
Jenazah Wilani diturunkannya lalu dibaringkan di atas batu besar itu. Sekilas
tampak dia menyeringai sambil pandangi sosok jenazah yang masih tertutup rapi
oleh kain kafan. Beberapa kali jenazah itu dibelai dan ditepuk-tepuknya.
"Bersabarlah.....bersabarlah....." katanya. "Aku akan ganti pakaian dulu. Aku
akan berdandan dan berhias...." Lalu pengemis ini putar tubuhnya dan melompat ke
tepi telaga sebelah timur di mana tumbuh sekelompok tanaman berbunga putih
kecil- kecil. Di sebelah belakang terdapat lamping bebatuan menghitam datar.
Dengan tangan kirinya pengemis itu mendorong lampingan batu datar. Aneh,
batu itu perlahan-lahan menggeser ke samping. Di bekas dudukan batu itu kini
tampak sebuah pintu dan di belakang pintu batu ini muncul sebuah ruangan batu
yang berwarna kelabu. Merapat ke dinding tengah sebelah dalam ada sebuah pembaringan
yang terbuat dari batu beralaskan kain lembut tebal hampir menyerupai permadani.
Lalu ada dua buah kursi mengapit sebuah meja kecil yang juga terbua dari batu.
Di sudut lain terdapat ruangan cekung pada dinding menyerupai lemari tanpa pintu.
Dalam lemari ini kelihatan tergantung pakaian yang kebanyakan berwarna biru.
Ternyata ruangan batu itu tidak bedanya dengan sebuah kamar tidur! Ada asap
tipis keluar di sudut kanan yang menebar bau harum semerbak. Pengemis tadi
melangkah masuk. Dari dalam lemari batu diturunkannya sehelai jubah panjang
berwarna biru. Dengan jubah ini dia menutupi sekujur tubuhnya mulai dari kepala
sampai kaki. Pada bagian kepala jubah terdapat dua buah lobang. Rupanya lobang-
lobang ini dibuat demikian rupa agar si pemakai jubah dapat melihat ke luar.
Setelah mengenakan jubah biru, pengemis tadi melangkah ke luar kamar.
Tanpa menutup kembali pintu batu dia menuju ke telaga di hadapan pintu yang
terbuka. Dari sebuah celah dia mengeluarkan beberapa potong kayu warna warni
lalu BASTIAN TITO 37 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dedaunan seperti ramuan obat. Terakhir dia mengambil pula sebuah cawan batu
berisi minyak yang sangat harum. Tanpa menganggalkan jubah ataupun pakaian
pengemisnya orang ini masuk ke dalam telaga. Tampaknya dia hendak mandi.
Berlangir mungkin. Sampai matahari di luar hutan menjadi redup dan ambang sore
siap memasuki malam si pengemis masih belum keluar dari air telaga. Tak lama
kemudian terdenganr suara nyanyian. Suara nyanyian ini begitu perlahan dan halus
sehingga sulit ditangkap kata-kata yang dilafalkannya. Namun jelas suara itu
adalah suara perempuan.
Tempat itu semakin gelap. Tiba-tiba si pengemis keluar dari dalam air.
Tubuhnya masih tertutup jubah rapat. Kini tubuh itu mengeluarkan bau yang sangat
harum. Sekeluarnya dari dalam telaga, pengemis tadi tidak segera menuju ke
ruangan batu, tapi dari sebuah tempat di ujung barat telaga dia mengeluarkan hampir dua
lusin potongan bambu yang ternyata adalah obor. Ketika obor itu dinyalakannya dan
dipasang sekeliling telaga, keadaan di tempat itu menjadi terang, tetapi deperti
dikungkung oleh kesunyian yang menegakkan bulu roma. Sesaat pengemis berjubah
menatap ke arah batu di atas telaga di mana masih terbaring jenazah Wilani.
Kemudian agak tergegas dia melangkah menuju pintu batu. Membukanya, masuk ke
dalam ruangan batu dan menutupnya. Lapat-lapat kemudian kembali terdengar suara
nyanyian itu terdengar tak putus-putusnya. Tepat ketika malam sampai pada
pertengahan suara nyanyian itu lenyap dengan tiba-tiba. Sesaat kemudian pintu
batu tampak bergeser ke samping. Di ambang pintu batu itu kini tampak berdiri sesosok
tubuh. Orang ini tidak berpakaian pengemis ataupun berjubah. Tetapi mengenakan
pakaian biru yang terbuat dari bahan sangat tipis. Dan ternyata dia adalah
seorang dara berparas sangat cantik, berkulit putih mulus. Demikian tipisnya pakaian
biru yan gdikenakannya hingga nyala obor di sekeliling telaga membuat pakaian itu menjadi
tembus pandang dan auratnya yang ramping bagus kelihatan membayang jelas!
Dengan langkah ringan dan wajah berseri-seri dara jelita ini melangkah ke tepi
telaga. Ada sebuah benda di tangan kanannya yan gberkilauan tertimpa api obor.
Benda ini ternyata adalah sebilah pisau besar yang sangat tajam matanya dan
runcing ujungnya. Waktu sampai di tepi telaga sang dara hentikan langakh. Dia mendongak ke
atas dan pejamkan kedua matanya. Mulutnya kelihatan begerak-gerak seperti tengah
melafatkan sesuatu. Mantera" Sesaat kemudaian kepala itu diturunkan perlahan-
lahan.

Wiro Sableng 024 Penculik Mayat Hutan Roban di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepasang mata dibuka kembali dan kini memandang tepat-tepat tak berkedip ke arah
jenazah di atas batu hitam. Satu suitan nyaring seperti menembus langit di atas
rimba belantara gelap itu. Bersamaan dengan itu sosok tubuh berpakaian biru itu
melesat ke tengah telaga, mendarat tepat di atas batu besar.
"Penguasa hari tua!" sang dara baju biru tiba-tiba berteriak. "Dipertengahan
malam dingin ini aku kembali datang! Obat penawar usia sudah tersedia! Tiba
saatnya untuk melakukan hajat!"
Dara jelita angkat tinggi-tinggi pisau di tangan kanannya ke atas. Beberapa
kalai senjata ini dibolang-balingkannya dalam gerakan menusuk, membabat,
membacok ataupun menikam. Setiap sambaran pisau mengeluarkan suara bersiuran
disertai kalauan akibat pantulan nyala obor sekeliling telaga.
Sesaat kemudian gerakan-gerakan itu berubah menjadi lamban. Lalu perlahan-
lahan pisau besar diletakkan di atas batu, tepat di kepala jenazah. Sang dara
sesaat pejamkan mata,kembali mulutnya bergerk-gerak. Lalu kelihatan jari-jari tangannya
bergerak ke tubuh jenazah. Sambil membuka kedua mata dia mulai mambuka tali kain
putih pengikat jenazah di bagian perut. Nafasnya memburu dan panas. Dadanya
turun BASTIAN TITO 38 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
naik tanda dia tengah diselubungi satu gejolak yang dahsyat. Selesai membuka
tali pengikat di bagian perut, kini jari-jari tangannya pindah ke atas siap untuk
membuka tali pengikat di atas kepala!
Ketika kain kafan di bagian kepala jenazah tersingkap lebar, deua manusia
sama-sama tersentak kaget! Sang dara sampai tersurut beberapa langkah. Hampir
jatuh ke dalam telaga!
"Keparat! Siapa kau"!"
"Setan alas! Kau sendiri siapa"!"
Dua bentakan menggeledek di malam buta!
BASTIAN TITO 39 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA BELAS Sosok jenazah di atas batu besar di tengah telaga tiba-tiba melesat tegak.
Bret....! Bret....! Bret....! Kain kafan putih yang membungkusnya robek-robek mulai
dari ujung kaki sampai kepala. Mengerikam! Apakah jasad Wilani yang sudah jadi
mayat itu kini hidup kembali"! Tetapi sosok tubuh yang kemudian tampak tegak di
atas batu besar itu bukanlah sosok tubuh Wilani. Melainkan sosok tubuh seorang
pemuda berambut gondrong. Dia mengenakan pakaian putih dengan baju tersingkap
hingga dadanya yang telanjang kelihatan tegap penuh otot. Di dada kanan ada
guratan biru kehitaman susunan tiga angka yakni 212. Di pinggang kirinya tersisip sebuah
senjata berupa kapak bermata dua yang berkilau-kilau tertimpa cahaya obor!
Pemuda di atas batu - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - menyeringai
tapi penuh waspada.
"Jadi kau rupanya!" desisnya. "Tidak disangka gadis secantikmu ternyata
penculik hutan Roban yang ganas itu! Bukankah kau gadis yang kutemui di kedai di
Tanjung Karangwelang"!"
Gadis berbaju biru tipis tak menjawab. Sepasang matanya tampak seperti
dikobari api, memandang tak berkedip pada Wiro Sableng. Wajahnya yang
memebersitkan hawa ganas itu justru membuatnya tambah cantik di mata pendekar
kita! Diam-diam dia ingat bau harum yang pernah tercium olehnya beberapa waktu
yang lalu. Bau yang sama kini berada di sekelilingnya, bersumber oada tubuh yang
bagus mulus itu.
"Kau juga orangnya yang merampas surat yang kuterima dari Empu
Tembikar! Pasti...!" kata Wiro Sableng. Lalu dia geleng-gelengkan kepala. "Kalau
tidak turun tangan dan melihat dengan mata kepala sendiri sulit dipercaya. Kau
yang begini cantik ternyata seorang manusia iblis! Tujuh mayat gadis sudah kau lahap
jadi korban! Aku hampir jadi korban yang kedelapan! Tapi....ha....ha....ha....!" Wiro
tertawa bergelak. "Kau tentu tidak doyan jantung dan hati lelaki jelek sepertiku
ini! ha...ha...ha....! Hari ini kedokmu terbuka! Riwayatmu tamat sudah!"
Entah mengapa sang dara masih tak membuka mulut. Mungkin masih
terkesiap oleh rasa tak percaya atas apa yang terjadi dan disaksikannya saat
itu. "Pemuda keparat! Penipu!" tiba-tiba meluncur ucapan itu dari mulut sang dara.
"Menipu jauh lebih baik dari pada pembongkar jenazah!" tukas Wiro Sableng.
"Lagi pula kalau tidak menyamar jadi mayat, bagaimana mungkin aku bisa
menjbakmu seperti ini...!"
"Selanjutnya kau tak perlu menyamar lagi! Kau benar-benar akan jadi mayat!"
desis gadis berbaju biru. "Sebelum mampus katakan siapa namamu!"
Wiro tersenyum.
"Namaku jelek. Tak pantas diberi tahu pada gadis secantikmu. Hanya saja
orang-orang tolol di luar sana menyebutku Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!"
"Aku sudah menyangka! Jadi kau adalah murid nenek keparat Sinto Gendeng
dari gunung Gede itu!"
"Hemm... Kau tahu juga asal usul guruku!" ujar Wiro meski diam-diam
merasa heran."Tahukah kau bahwa hari ini kau harus menebus semua kejahatanmu
dengan selembar jiwamu"!" Namun dalam hatinya Wiro bertanya-tanya akan tegakah
dia membunuh seorang dara paling cantik yang pernah ditemuinya ini" Di samping
itu dia merasa perlu untuk mengorek keterangan sebanyak-banyaknya dari perempuan
BASTIAN TITO 40 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ini. "Dengar, aku ada satu pertanyaan. Mengapa kau melakukan semua kejahatan
itu....?" "Kau tidak layak bertanya! Kau hanya layak mampus detik ini juga!"
Begitu bentakannya lenyap dara baju biru itu langsung berkelebat. Tubuhnya
lenyap dan tahu-tahu satu hantaman angin yang luar biasa kerasnya menerpa
Pendekar 212 Wiro Sableng.
Ketika terjadi perampasan surat Empu Tembikar di tambak ikan, Wiro sudah
tahu jelas bahwa si perampas memiliki kecepatan gerak luar biasa hingga tubuhnya
sulit dilihat dengan jelas. Saat itu dia kembali berhadapan dengan manusia lihay
tersebut. Ilmu meringankan tubuh sang dara jelas berada di atas tingkat
kepandaiannya. Kalau sang dara juga memiliki ilmu silat dan kesaktian di
atasnya, celakanya aku pikir Wiro.
Begitu angin datang menerpa Wiro Sableng melompat ke atas, jungkir balik
lalu balas menghantam dengan tangan kanan. Lepaskan pukulan Kunyuk Melempar
Buah. Gumpalan angin dahsyat bergulung laksana batu besar menggelundung.
Byarr! Pukulan murid Sinto Gendeng hanya mengenai air telaga hingga muncrat
belasan tombak ke atas. Dikejap itu pula dia melihat bayangan biru berkelebat
dan satu sodokan siku menghantam perutnya. Meskipun dia bisa mengelak namaun tak
urung siku lawan masih menyerempet. Perutnya terasa seperti mau pecah. Selagi
dia menahan sakit satu jotosan menyusul melabrak dada kirinya. Tubuhnya terhempas
jauh dari atas batu besar, masuk ke dalam telaga. Ternyata telaga itu hanya
sedalam pinggang Wiro. Murid Sinto Gendeng menahan sakit sambil menyumpah. Seumur
hidup baru sekali itu dia menghadapi lawan yang demikian hebat hingga dalam
gebrakan pertama saja dia sudah menerima dua hantaman!
Sadar kalau lawan tak mungkin diimbangi kecepatan gerakannya maka dari
dalam telaga Wiro lepaskan pukulan-pukulan saktinya. Dia membuka serangan
dengan pukulan Topan Melanda Samudra. Suara seperti angin punting beliung
menderu mengeirkan. Api obor sepanjang tepi telaga berkelap kelip. Air telaga
seperti mendidih dan muncrat di sana sini. Daun-daun pepohonan jatuh berguguran.
Gadis baju biru yang berada di ujung batu besar merasakan tubuhnya seperti
hendak digulung ombak besar. Dia melengking keras lalu menghantam dengan kedua
tangan. Dua larik sinar biru menggebubu, memporak porandakan serangan Wiro,
membuat pendekar ini kaget setengah mati. Ternyata sang dara memiliki pukulan
sakti yang sanggup memusnahkan serangannya tadi!
"Celaka! Gadis gila ini memiliki pukulan sakti luar biasa! Ah, apakah aku
harus mampus di tangannya" Gila!" rutuk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Kalau tadi dia mengandalkan setengah bagian saja dari tenaga dalamnya maka
kini dia mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Kedua tangannya.
Sepanjang ingatan Wiro baru sekali itu dia mengerahkan seluruh tenaga dalam
utnuk menghadapi lawan.
Sesaat sebelum dua larik sinar biru menghantam dada dan kepalanya Wiro
Sableng pukulkan kedua tangannya. Terdengar suara menderu-deru susul menyusul.
Gadis baju biru tersentak kaget ketika melihat sinar pukulannya tertahan saja.
Karena sedetik kemudian deru angin yang tidak berhenti itu menggulung balik dua larik
sinar pukulannya, menyertnya ke belakang lalu menghempaskannya ke arah diri sendiri.
Sang dara berteriak keras. Tubuhnya mencelat ke udara. Gerakannya hampir tak
terlihat, tapi suaranya jelas terdengar membuat Wiro mengetahui dimana lawan
berada. Maka pukulan sakti bernama Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih
yang tadi telah dilepaskannya kembali kini dihantamkan ke ats ke arah lawan.
BASTIAN TITO 41 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Dengan cerdik si baju biru layangkan tubuhnya ke kiri. Menyangka lawan
hendak larikan diri Wiro berseru "Pengecut! Jangan kabur!"
"Keparat! Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum nyawamu lepas
meninggalkan tubuh!" teriak sang dara. Lalu dalam satu gerakan aneh, laksana
seekor burung pemakan mayat, tubuhnya menyambar ke bawah. Tangan kanan menusuk ke
arah mata, tangan kiri mencari sasaran di tenggorokan Wiro.
Murid Sinto Gendeng yang menahan kekuatan tenaga dalam penuh melompat
keluar dari air. Sambut serangan lawan dengan memukulkan kedua lengannya.
Dua pasang tangan beradu!
Wiro kembali terhempas ke dalam telaga, hampir terjengkang ke dalam air.
Sekujur tubuhnya terasa panas. Di lain pihak dilihatnya dara berpakaian biru
terpental satu tombak sambil keluarkan suara menjerit tapi cepat jatuhkan diri di atas
batu besar. Dari gerakannya menjatuhkan diri Wiro dapat memastikan gadis ini menderita
cidera yang tidak enteng. Maka dia segera memburu untuk membekuknya hidup-hidup. Tapi
baru saja bergerak ke arah batu, lima bauh benda putih berkilat menyambar ke
arahnya! "Senjata rahasia! Pengecut!" teriak Wiro.
Sang dara keluarkan tawa mengekeh. Selama ini paling banyak dia hanya
mengeluarkan tiga buah senjaa rahasia seperti itu dalam menghadapi lawan
tangguh. Dan tak pernah satu pun lawan yang luput dari kematian. Kini lima senjata
rahasia berbentuk paku itu dilepaskan sekaligus! Masakan tidak akan dapat manghantam
lawan barang satupun"
Namun hari itu sang dara menyaksikan bahwa kehebatan senjata rahasianya
tidak berdaya ketika Wiro tanpa tedeng aling-aling lepaskan pukulan Sinar
Matahari dengan tangan kanannya. Terdengar suara menggelegar disertai kiblatan sinar
menyilaukan. Air telaga menggejolak tinggi. Batu besar hitam ditengah sana
hancur lebur. Sang dara berseru tegang. Tubuhnya tampak melesat ke kiri. Kecepatan
gerakannya menyelamatkan dirinya dari kematian. Namun tak urung bahu pakaian
birunya yang terserempet sinar pukulan terbakar hangus. Daging bahunya ikut
terluka. Sakitnya bukan kepalang, laksana tertempel besi panas!
Selagi lawan kesakitan, Wiro pergunakan kesempatan untuk menerkam. Kaki
kanannya mencelat lebih dulu. Namun saat itu terdengar suara pesss....! Asap hitam
mendadak sontak membuntal menutupi seantero telaga.
Ketika terjadi perampasan surat di tambak ikan, Wiro telah mengalami hal
yang sama. Dia tak mau tertpu untuk kedua kali. Lawan hendak melarikan diri
dengan menutupi tabir pemandangan denga asap hitam berbau harum aneh itu. Maka murid
Sinto Gendeng cepat melesat ke udara, melompat naik ke atas cabang sebatang
pohon. Dari sini dia dapat melihat jelas keadaan di bawah telaga sampai jauh ke tepi
sana. Dan saat itu dilihatnya gadis berbaju biru berkelebat ke jurusan timur. Serta
merta Wiro melayang turun, memapasi dan menghadang sang dara! Kagetnya si gadis
bukan kepalang.
Marah, penasaran tapi diam-diam juga kagm melihat kehebatan pemuda itu,
dia lepaskan lagi senjata rahasianya. Kali ini sepuluh paku berkilat sekaligus!
"Curang!" maki Wiro. Tangan kanannya bergerak ke pinggang dimana tersisip
Kapak Maut Naga Geni 212. Sekali senjata itu diputar maka berkiblatlah sinar
putih menggidikkan. Sepuluh senjata rahasia luruh, jatuh ke tanah dan telaga dalam
keadaan luluh lantak!
Kini luluh pula nyali sang dara. Namun untuk menyerah tak ada dalam kamus
hidupnya. Dia lebih suka mengadu jiwa dengan pemuda itu, maka segera dia
menyerbu lagi. Tetapi sesuatu tiba-tiba dirasakannya menempel di lehernya.
Dingin BASTIAN TITO 42 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
menggidikkan. Memandang ke depan kini tengkuknyalah yang dingin. Si pemuda
tegak sambil menyeringai. Kapak Naga Geni 212 tergenggam di tangan kanannya.
Salah satu mata kapak menempel ke batang tenggorokan gadis itu, mulai mengiris
bagian kulit yang halus hingga sang dara mengerenyit kesakitan.
"Bunuh! Bunuhlah! Aku tidak takut mati!" kata gadis itu.
Wiro Sableng masih tegak menyeringai. Dalam rimba persilatan, manusia iblis
seperti gadis ini tak banyak cerita lagi harus segera dibunuh dimusnahkan.
Tetapi entah mengapa tangan yang memegang kapak itu tidak juga mau bergerak. Kemudian
Wiro melihat sepasang mata si gadis mulai berkaca-kaca. Susah payah dia berusaha
menahan tangis. Bagaimanapun jahatnya, dia tetap saja seorang perempuan. Air
mata menetes membasahi kedua pipinya.
"Bunuhlah..... Lekas bunuh!" terdengar kata-kata itu meluncur berulang kali
dari mulutnya. Namun kini tidak sekeras tadi, semakin perlahan semakin
memilukan. Wiro kertakkan rahang. Tangan kanannya bergerak. Mata kapak melesat tapi
menjauhi leher. Di lain kejap, bagian gagangnya yang tumpul membalik, menusuk ke
depan, menotok tepat bagian leher dekat dada kiri sang dara. Tak ampun tubuh
gadis ini melosoh jatuh, tak bisa bergerak lagi. Tapi jalan suaranya tetap terbuka
tidak putus. Sepasang matanya yang basah menatap ke arah Wiro.
"Kenapa tidak kau bunuh" Bukankah kau sengaja menjebakku agar dapat


Wiro Sableng 024 Penculik Mayat Hutan Roban di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membunuhku....?" Berkata sang dara.
Saat itu Wiro sudah sisipkan Kapak Maut Naga Geni 212 kembali ke
pinggangnya. "Dosamu memang sudah lewat takaran. Kematian memang yang paling pantas
bagimu. Namun aku perlu beberapa keterangan...."
"Jangan mengoceh! Saat ini bukan tempatnya untuk bertutur cakap. Cabut
kapakmu tetakkan ke kepalaku!"
Wiro gelengkan kepala.
"Aku ingin tahu kenapa kau melakukan itu semua" Menculik mayat para gadis.
Mengorek jantung dan hatinya....!"
"Itu bukan urusanmu!"
"Kau betul, itu bukan urusanku," ujar Wiro.
"Lalu kenapa tidak kau bunuh aku saat ini"!"
"Kau juga merampas surat yang kudapat daari Empu Tembikar....
Mengapa..... Itu bukan suratmu atau surat kekasihmu.....!"
"Jangan coba melucu! Demi penguasa usia, bunuh aku detik ini juga. Sekali
aku lepas aku akan membunuhmu....!"
Wiro tertawa. "Katakan, siapa yang kau sebut penguasa usia itu....!"
Paras sang dara berubah. Dia baru sadar kalau telah ketelepasan bicara. Tapi
dia bungkam seribu bahasa.
"Ketika sore tadi kau sampai ke tempat ini, kau juga berteriak menyebut nama
itu. Apakah dia sebangsa makhluk yang menjerumuskanmu ke dalam perbuatan iblis
itu"!"
"Dia tidak menjerumuskanku! Semua yang terjadi adalah kemauan dan
sumpahku sendiri!"
"Aku tak ingin bicara lebih banyak. Yang aku inginkan saat ini adalah mati!
Bunuh aku!"
"Dalam usia semuda ini, dengan paras begini cantik, apakah kau tidak takut
mati.....?"
"Aku bukan manusia kecoak pengecut yang takut mati sepertimu!"
BASTIAN TITO 43 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Jangan bicara takabur orang cantik. Tak ada satu manusiapun yang tidak
takut pada kematian. Termasuk kau! Jika kau mati, bukankah apa yang kau lakukan
selama ini hanya berarti kesia-siaan belaka"!"
"Aku telah menemukan apa yang kuinginkan. Matipun kini aku tidak takut!"
"Kalau begitu katakan apa yang telah kau temukan itu!"
"Bangsat ini pandai bicara mengorek keterangan!" maki si gadis dalam
hati. "Lebih baik aku mengunci mulut!" Maka diapun tidak bicara apa-apa lagi.
Wiro pegang bahu sang dara sesaat. Kedua mata si gadis tampak melotot.
"Jangan kau berani menyentuh tubuhku!" sentaknya.
"Dengar, aku tak mungkin membunuh lawan yang tidak berdaya seperti
keadaanmu ini. Kalau kau mau memberi keterangan, mungkin aku akan
mempertimbangkan utnuk melepaskanmu....."
Si gadis tertawa.
"Aku tahu jenis pemuda macammu ini. Merayu untuk mendapatakan sesuatu.
Begitu dapat ......Cis!"
Wiro tetawa panjang, lalu berkata "Kau tak mau bicara tak apa. Aku akan
pergi dari sini...."
"Tidak! Kau tak boleh pergi sebelum membunuhku!"
"Aku memang akan kembali," jawab Wiro. "Tapi kembali membawa binatang
buas dan berbisa! Biar harimau dan serigala lapar mencabik-cabik tubuhmu! Biar
ular dan laba-laba seta kalajengking berbisa mematuki dagingmu yang putih..." Lalu
tanpa mengacuhkan lagi murid Sinto Gendeng melangkah meninggalkan sang dara.
Kedua mata sang gadis kembali tampak melotot. Kemudian terdengar
suaranya meratap memilukan hati. Wiro berjalan terus sampai akhirnya tiba-tiba
dia mendengar gadis itu berseru "Jangan pergi! Kembalilah..... Aku akan terangkan apa
yang kau minta...."
Sekali lompat saja Wiro sudah berada di hadapan gadis itu kembali.
"Nah, sekarang katakanlah riwayatmu yang menggegerkan itu! Asal muasal
sampai kau melakukan kejahatab ganas luar biasa!"
Sesaat sang dara masih tersedu-sedu. Namun perlahan-lahan dia kemudian
mulai memberi keterangan.
"Semua berasal dari keinginan gila.... Tidak, tidak gila. Sebenarnya wajar-
wajar saja. Setiap perempuan tak ingin jadi tua. Takut dimakan usia....."
"Hemm.... Aku ingat bunyi surat yang kau rampas itu. Sama dengan
keteranganmu. Perempuan takut dimakan usia...."
"Aku sengaja merampas surat itu. Karena kawatir dapat kau jadikan bahan
untuk menyelidiki diriku. Aku sudah curiga tindak tandukmu sejak di Tanjung
Karangwelang.... Hanya saja aku yang bodoh. Ketika jenazah yang kukira jenazah
Wilani itu kuculik, seharusnya aku sadar mengapa jenazah itu begitu berat.
Padahal tubuhnya pasti kurus karena dia menderita sakit sekian lama...." Kini aku tahu,
kau yang mengatur semua itu bukan?"
Wiro mengangguk. "Apa hubungan antara kejahatan yang kau lakukan dengan
rasa takutmu dimakan usia...."'
"Seseorang mengatakan, jika seorang perempuan berusia di bawah dua puluh
tiga tahun inginkan tetap awet muda sampai akhir hayatnya maka dia harus
melakukan sesuatu. Sesuatu itu adalah...."
"Menculik anak perawan yang mati, mengambil jantung dan hatinya lalu
memakannya!" potong Wiro.
"Aku memang menculik dan mengambil hati serta jantung mereka. Tapi aku
tidak memakannya!" sahut sang dara.
BASTIAN TITO 44 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Lalu?"
"Hati dan jantung harus kuambil paling sedikit tujuh kali untuk digosokkan
pada muka dan sekujur tubuh. Itulah kekuatan mukjizat yang sanggup membuat
seseorang perempuan menjadi tetap muda seumur hidupnya...."
"Kau percaya pada kekuatan gila itu"!"
Si gadis tak menjawab.
"Siapa yang menanamkan kepercayaan itu padamu?" tanya Wiro.
"Empu Tembikar!"
"Edan! Tapi mengapa dia memberikan padaku surat yang bisa membuka
rahasia dirimu itu! Mengapa dia menyuruh aku bertindak ketika terjadi kebakaran
di atas perahu Cina itu...?"
"Mungkin....mungkin dia menyesal telah memberitahukan hal itu padaku.
Atau mungkin dia menyadari berlangir dengan hati dan jantung anak perawan tidak
mungkin dapat menahan ketuaan...."
"Lalu siapa penguasa usia yang beberapa kali kau pekikkan itu?"
"Aku tidak tahu. Empu mengatakan aku harus mengeluarkan ucapan itu setiap
aku mendapat jenazah baru..."
Wiro menarik nafas dalam. "Dunia penuh keanehan. Terkadang keanehan itu
terselubung tangan iblis utnuk menimbulkan bencana." Sesaat Wiro menatap paras
si gadis. "Katamu kau mendapatkan ilmu awer muda itu dari Empu Tembikar. Apakah
dia juga yang mengajarkan ilmu silat hebat itu padamu...?"
"Kau bunuhpun aku tak bakal memberi tahu siapa guruku dalam ilmu silat dan
kesaktian. Beliau tidak ada sangkut pautnya dngan kejahatan yang kuperbuat!"
"Kau murid yang baik," kata Wiro.
Si gadis tundukkan pandangannya. "Sekarang kau sudah tahu semua
riwayatku...."
"Belum semua."
"Maksudmu?"
"Aku belum tahu siapa namamu...?"
"Lebih baik kau tak perlu tahu namaku..."
"Begitu" Umur dunia masih panjang. Usia kita memungkinkan sewaktu-waktu
kita bertemu lagi. Sungguh tidak enak kalau aku tidak tahu namamu..."
"Ucapanmu seperti kau memang bena-benar tak ingin membunuhku. Malah
ingin bertemu lagi..."
Wiro angkat tangan kirinya. Jari-jari tangannya diluruskan. Lalu dengan
gerakan perlahan dia melepaskan totokan di dada si gadis. Meskipun totokannya
kini terlepas namun si gadis itu tidak segera berdiri atau melompat menjauh. Sepasang
matanya kembali tampak berkaca-kaca.
"Kau bebas sekarang. Kau boleh pergi kemana kau suka. Asal saja kau
berjanji tidak akan mengulangi perbuatanmu dulu. Menyamar jadi pengemis lalu
menculik anak perawan orang.... Ha...ha...ha. Tahu-tahu yang terculik anak jejaka!"
Sang dara tutup wajahnya dengan kedua tangan. Wiro membantunya berdiri.
"Aku tak akan melupakan kebesaran jiwa dan kebaikan hatimu ini," kata sang
dara sambil tundukkan kepala. "Kuharap di kemudian hari aku bakal membalasnya."
Wiro tersenyum mendengar basa-basi kuno itu. Dia melangkah menuju tepian
telaga dimana terletak pintu yang menuju ruangan batu. Sebelum masuk ke dalam
diambilnya dua buah obor dan diletakkannya di sudut ruangan, lalu pergi duduk di
salah satu kursi batu. Sesaat kemudian gadis baju biru itu muncul di ambang
pintu. "Biar hatimu puas akan kukatakan apa yang kau minta. Namaku Mantini.
Malam ini juga aku akan berangkat ke Tanjung Karangwelang...."
BASTIAN TITO 45 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Ah, namamu bagus. Tak pernah kudengar nama sebagus itu."
Sang dara kelihatan merah parasnya.
"Untuk apa kau ke Tanjung Karangwelang?" tanya Wiro kemudian.
"Mencari Empu Tembikar. Kalau tidak karena dia, aku tak akan melakukan
kejahatan itu...."
"Tak ada gunanya. Dia hanya memberi tahu apa yang diketahuinya. Tinggal
kita si pendengar harus mencerna dalam jalan pikiran yang sehat...."
"Tapi walau bagaimanpun dia yang membuatku sesat. Dia harus bertanggung
jawab!" "Terserah padamu. Tapi malam-malam begini pergi apa perlunya. Kau butuh
istirahat dari kegoncangan jiwa yang besar ini. Dan bukankah kau berjanji pada
orang-orang dari desa Wonotunggal untuk mengembalikan jenazahku besok
malam....?"
Untuk pertama kalinya gadis bernama Mantini itu tersenyum. "Aku ingin
pergi ke puncak sebuah gunung. Bertobat dan minta ampun di sana! Mudah-mudahan
Tuahn masi mau mengampuniku..." kata Mantini sesaat kemudian.
"Bagus kalau begitu. Pagi masih lama. Kau tidurlah, tutup pintu batu itu. Aku
lebih suka tidur di tepi telaga..."
"Jika kau suka, kau boleh tidur dalam ruangan ini..."
Wiro menggeleng.
"Kau takut aku membokongmu secara pengecut?" tanya Mantini.
"Justru kau yang harus takut kalau aku yang membokongmu!" kata Wiro pula
lalu tertawa gelak-gelak.
Keesokan harinya, ketika mereka sampai ke tempat kediaman Empu Tembikar
di Tanjung Karangwelang mereka dapatkan orang tua itu dalam keadaan tak
bernyawa dalam kamarnya. Sebilah keris beracun menancap di lehernya. Tak dapat
dipastikan apakah dia bunuh diri atau dibunuh orang.
TAMAT BASTIAN TITO 46 Orang Orang Terbuang 2 Anak Berandalan Karya Khu Lung Hati Budha Tangan Berbisa 4
^