Empat Brewok Goa Sanggreng 2
Wiro Sableng 001 Empat Berewok Dari Goa Sanggreng Bagian 2
Udara dingin lenyap. Angin yang memuyuh juga lenyap dan suasana kembali sepeti
sedia kala. Ketika Wiro memandang ke muka dilihatnya gurunya berdiri memegang
sebentuk kapak yang aneh sekali. Belum lagi dia sempat meneliti lebih lama benda itu,
Eyang Sinto Gendeng ajukan pertanyaan, "Kau lihat senjata di tanganku ini, Wiro" Kau
lihat...."!"
Sang murid mengangguk dan matanya tetap lekat ke kapak aneh di tangan gurunya.
"Kali ini kau tak akan sanggup lagi berkelit dari seranganku, Wiro!"
"Eyang Sinto.... apakah kau sudah gila hendak membunuh murid sendiri...."!"
Perempuan itu tertawa mengikik. "Aku memang sudah gila Wiro! Kalau tidak
percuma namaku Sinto Gendeng! Goblok kau yang tidak tahu artinya Gendeng!"
Wiro memandang dengan waspada. Matanya kembali meneliti kapak aneh di tangan
gurunya. Kapak itu bermata dua dan besarnya hampir sebesar batu bata. Gagangnya
putih bersih, mungkin terbuat dari gading menurut taksiran Wiro. Pada batang kapak
yang besar kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
hampir sebesar lengan itu kelihatan enam buah lobang-lobang kecil. Ujung
terbawah dari gagang kapak ini merupakan kepala seekor naga yang mulutnya membuka.
"Wiro!", kata Eyang Sinto. "Aku akan pergunakan kapak ini tiga jurus berturut-
turut untuk menyerangmu! Bila kau sanggup melayaninya, kau akan selamat. Kalau tidak
maka bersiaplah untuk mati konyol!"
Wiro Saksana kertakkan geraham. Dia hendak menjauhi kata-kata gurunya itu. Namun
sebelum mulutnya terbuka, Eyang Sinto Gendeng sudah berseru:
"Ini jurus pertama Wiro!"
TUJUH Si tua Sinto Gendeng menerjang ke muka. Kapak besar di tangan kanannya membabat
kian kemari dalam jurus "orang gila mengebut lalat." Ketika tadi Wiro Saksana
memainkan jurus itu dengan mempergunakan sebilah keris, kehebatannya sudah luar biasa
apalagi kini penciptanya sendiri yang melakukannya maka dahsyatnya bukan olah-olah!
Kapak besar itu berkelebat kian kemari hampir tidak kelihatan karena cepatnya.
Angin deras bersiuran mengibar-ngibarkan pakaian Wiro. Angin deras ini bukan sembarang
angin karena bila menyambar kulit maka kulit itu perih bukan main, seperti lecet! Dan
dari mulut kepala naga pada ujung gagang kapak senantiasa keluar suara mendengung macam
tawon! Dalam sekejap saja Wiro Saksana segera terbungkus sambaran-sambaran kapak
bermata dua itu. Mata dan kulit tubuhnya perih terkena angin tajam yang menderu-
deru. Telinganya pengang oleh suara yang mengaung yang keluar dari mulut kepala naga-
nagaan pada gagang kapak.
"Ciaaaaatt!"
Wiro membentak dahsyat. Tubuhnya berkelebat dan lenyap detik itu juga. Tangan
dan kakinya sambar menyambar kian kemari, membuat gerakan menghindar dan menyerang
bagian-bagian yang lowong dari gurunya. Tapi mana dia sangup mengahadapi senjata
aneh yang dahsyat itu. Apalagi senjata tersebut berada dalam tangan Sinto Gendeng dan
mempergunakan jurus "orang gila mengebut lalat" yang sudah mencapai tingkat
kesempurnaannya. Dalam sekejap saja pemuda itu terdesak hebat. Lengah atau ayal
sedikit saja pastilah pinggang atau perut atau dada atau tenggorokannya akan kena
disambar mata kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
kapak. Hanya dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi yang
dimilikinyalah maka Wiro Saksana dapat menghindari sambaran-sambaran dan
bacokan- bacokan kapak bermata dua itu. Berkali-kali Wiro melepaskan pukulan-pukulan
tenaga dalam yang dahsyat. Namun angin pukulannya terbendung bahkan dihantam buyar oleh angin
tajam yang menderu yang keluar dari senjata di tangan gurunya.
"Senjata edan!" maki Wiro Saksana. Tiba-tiba dijatuhkannya tubuhnya ke bawah.
Serentak dengan itu tangan kanannya dengan jari-jari ditekuk kedalam meluncur ke
arah sambungan siku Eyang Sinto Gendeng.
Tapi pada detik itu pula kaki kanan sang guru menyapu dari atas ke bawah,
mencari sasaran di kepala Wiro Saksana. Mau tak mau ini pemuda terpaksa jatuhkan dan
gulingkan diri di tanah. Dengan demikian maka berakhirlah jurus pertama yang penuh
kehebatan itu. Sinto Gendeng berdiri dengan dada turun naik.
"Kini jurus kedua, Wiro!" katanya. Kedua kakinya dipentang lebar-lebar. Tubuhnya
membungkuk ke muka sedikit sedang kapak di tangan kanan dipegangnya lurus-lurus
ke muka ke arah Wiro Saksana. Dari balik pakaian hitamnya Eyang Sinto Gendeng
mengeluarkan benda hitam yang berkilauan ditimpa sinar matahari. Wiro tak dapat
memastikan benda apa yang ada dalam tangan kiri gurunya itu. Mungkin sebentuk
besi, mungkin juga sebuah batu.
Tiba-tiba tangan kiri Sinto Gendeng memukulkan benda di tangan kirinya ke kepala
kapak. Bunga api memijar. Dan sedetik kemudian lidah api yang dahsyat menyambar
ke arah Wiro Saksana! Terkejutnya pemuda itu bukan alang kepalang. Dia membentak dan lompat ke udara.
Lidah api lewat di bawahnya, kedua kakinya terasa perih panas dan bila dia
melirik ke belakang maka dilihatnya bagaimana semak belukar serta pepohonan terbakar
berkobar oleh sambaran lidah api tadi!.
Masih belum turun ke tanah lagi, maka Sinto Gendeng telah menyerang pemuda itu
untuk kedua kalinya. Lidah api menyambar lagi. Wiro bergulingan di tanah,
menghindarkan dengan sebat. Tanah yang tersambar lidah api kapak sakti itu menjadi hitam
hangus. Wiro leletkan lidahnya. Masih belum sempat dia mengatur nafas, tangan kiri dan tangan
kanan Sinto Gendeng bergerak lagi berkali-kali. Lidah-lidah api yang hampir setengah
lusin banyaknya menyambar tubuhnya dari enam jurusan!
Wiro memekik dahsyat. Meraung dan membentak. Kedua tangannya diangkat tinggi-
tinggi ke atas. Tubuhnya melompat kian kemari, mulutnya komat-kamit. Aji angin
es yang kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
ditebarkannya hanya bisa menahan gelombang lidah api yang menyambar tapi sama
sekali tidak dapat melenyapkan hawa panas lidah-lidah api itu!
Wiro Saksana kelagapan tapi masih belum hilang akal! Bentakan setinggi langit
melengking ke udara. Tubuh Wiro Saksana lenyap keluar dari sambaran-sambaran
lidah-lidah api untuk sesaat kemudian berguling di tanah dengan sangat cepatnya, menuju ke
tempat Eyang Sinto Gendeng berdiri.
Sambil bergulingan ini, Wiro lepaskan dua pukulan tangan kosong yang hebat. Satu
"kunyuk melempar buah" yang satu lagi "sinar matahari"! Mau tak mau Sinto
Gendeng hindarkan diri juga ke samping. Maka putuslah jurus kedua itu!
Wiro Saksana itu berdiri dengan tubuh berkeringat dingin. Dibelakangnya kobaran
api masih juga membakari semak belukar dan daun-daun pepohonan. Gurunya dilihatnya
berdiri tegak tak bergerak. Benda yang di tangan kirinya tadi ternyata adalah sebuah
batu api dan kini
sudah disimpannya kembali di balik pakaian hitamnya.
"Jurus terakhir Wiro....!" kata Eyang Sinto Gendeng.
Pemuda itu tahu, kalau dua jurus pertama tadi hebatnya bukan olah-olah maka jurus
ketiga atau yang terakhir ini tentu lebih dahsyat lagi. Karenanya dia benar-
benar lebih waspada dan teliti kini. Sepasang matanya yang hitam pekat itu menyorot tajam-
tajam ke depan. Sinto Gendeng memegang kapak itu dengan tebalik. Mulut naga-nagaan yang terbuka
di dekatkannya ke mulutnya sedang jari-jari tangannya menutup enam lobang di
batang kapak. Ketika Wiro Saksana tidak mengerti apa yang bakal diperbuat gurunya maka
terdengarlah suara tiupan seruling! Ternyata kapak itulah yang mengeluarkan
suara seruling tersebut dan ditiup oleh Sinto Gendeng!
Gema seruling itu mula-mula perlahan, halus dan lembut, memukau Wiro Saksana.
Kemudian tiupan seruling mengeras dan pembuluh-pembuluh darah di tubuh Wiro
seperti ditusuk-tusuk. Darahnya mengalir tidak karuan, menyendat-nyendat. Matanya
mengabur, kepalanya berat dan pusing!
Maklum bahwa tiupan seruling itu bukan tiupan biasa, cepat-cepat Wiro menghempos
tenaga dalam. Mengatur jalan nafas dan darahnya! Tapi kasip! Suara seruling
semakin kencang. Melengking dan menusuk-nusuk gendang-gendang telinga! Wiro kerahkan
lagi tenaga dalamnya. Mulutnya komat-kamit, kedua tangannuya menghantam ke arah Sinto
Gendeng, tapi sang guru kini tidak di tempat, melainkan berlari-lari sebat
mengelilingi kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
pemuda itu. Wiro membentak, tapi suaranya tidak keluar. Dari melompat tapi
tubuhnya terhuyung. Seluruh kekuatan luar dan dalamnya punah oleh tiupan seruling!
Pinggangnya tertekuk kemuka. Mendadak samar-samar ingatan jernih melintas di
otaknya. Cepat-cepat pemuda ini mentutup indera pendengarannya. Sukar sekali
mula-mula, karena saat itu kedua liang telinganya sudah mengeluarkan darah!
Tapi dengan kerahkan segala sisa tenaga yang ada pemuda ini sanggup juga menutup
pendengarannya. Begitu suara seruling lenyap dari telinganya maka perlahan-lahan
tenaga luar dan dalamnya yang tadi punah kini datang kembali. Tapi rasa yang menusuk-
nusuk pembuluh-pembuluh darahnya masih belum lenyap. Karenanya, diaturnya jalan nafas
dan darahnya. Pengaruh tiupan seruling sakti itu berhasil dilawannya sedikit demi
sedikit. Dan ketika dirasakannya sudah punya kekuatan untuk balas menyerang pemuda ini pura-
pura jatuhkan diri ke tanah, pura-pura pingsan. Namun begitu tangan kanannya
menyentuh tanah,
segera diraupnya pasir tanah itu dan dilemparkannya ke arah Sinto Gendeng!
Ratusan pasir yang sudah diisi dengan aji "angin puyuh" itu menderu ke arah
mulut naga-nagaan dan lobang-lobang di gagang kapak, ratusan butir lagi menyerang ke
muka Sinto Gendeng. Perempuan tua renta itu melepaskan mulutnya dari mulut kepala naga dan
cepat- cepat menghembuskan ke muka. Pasir-pasir yang menghambur menyerangnya rontok
kembali ke tanah! Bersamaan dengan itu Sinto Gendeng memasukkan kapak saktinya ke balik
pakaiannya. Berarti jurus ketiga yang mendebarkan itu berakhir sudah.
Wiro berdiri tersengal-sengal bersandar. Matanya tetap menyorot lekat-lekat dan
memperhatikan gerak-gerik gurunya. Meski tadi Eyang Sinto Gendeng mengatakan
hanya akan menyerangnya sebanyak tiga jurus, tapi bukan mustahil nenek-nenek itu akan
menyerangnya kembali! Tapi dilihatnya Eyang Sinto Gendeng cuma memandang saja
kepadnya. Wiro garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Sekian belas tahun lamanya
dia menuntut ilmu kesaktian dan ilmu silat baru hari ini diketahuinya bahwa Eyang
Sinto Gendeng memiliki sebuah senjata berbentuk kapak yang demikian anehnya, tapi juga
demikian hebatnya! Selama sekian tahun baru hari itu pula gurunya menggempur dia
dengan serangan-serangan yang benar-benar mematikan. Serangan-serangan yang dilancarkan
tidak dengan tertawa-tawa sebagaimana biasanya! Dihubungkannya pula dengan nyanyian
yang dibawakan gurunya tadi! Benar-benar banyak keanehan yang dilihat Wiro Saksana
hari ini. Tiba-tiba dilihatnya nenek-nenek sakti itu berkelebat. Wiro segera siapkan diri.
Terdengar suara tertawa yang meringkik-ringkik macam kuda.
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Gila betul!" maki Wiro. Dia cepat-cepat lompat ke samping karena Eyang Sinto
Gendeng berkelebat ke arahnya!
DELAPAN Tetapi Eyang Sinto bukan menyerangnya. Nenek-nenek sakti ini ternyata hanya
melompat ke atas pohon jambu klutuk dan duduk di cabang tempat dia duduk
sebelumnya. "Bagus Wiro.... bagus sekali," katanya. Mukanya dihadapkan lurus-lurus ke arah
timur. "Sekian lama kau kudidik di puncak Gunung Gede ini, ternyata tidak
mengecewakan....!" Sinto Gendeng tertawa melengking-lengking. Dan sehabis
tertawa tadi maka diulanginya nyanyian tadi. Nyanyian yang membuat hati Wiro Saksana menjadi
tergetar. Pitulas taun wus katilar,
Pucuking Gunung Gede isih panggah kaya biyen mulo,
Langit isih tetep biru,
Wulan lan suryo isih tetep mandeng lan kangen,
Pitulas taun agawe kang tua tambah tua.
Pitulas taun ndadekake bayi abang dadi pemuda kang gagah,
Pitulas taun wektu perjanjian,
Wiro Sableng 001 Empat Berewok Dari Goa Sanggreng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pitulas taun wiwitane perpisahan,
Pitulas taun wekdaling pamales.
Wiro duduk menghamparkan diri di bawah sebatang pohon di seberang pohon jambu
klutuk. Dilihatnya gurunya menghela nafas dalam beberapa kali.
"Dadamu sesak Eyang" Aku bisa tolong urut...."
"Diam!" bentak Sinto Gendeng.
Wiro menggaruk kepalanya dan diam.
"Aku mau bicara sama kau!" kata Sinto Gendeng pula.
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Bicara apa Eyang....?" Pemuda ini mulai bicara sungguh-sungguh karena
dilihatnya gurunya juga bicara sungguh-sungguh.
"Berapa lama kau tinggal di sini bersamaku, Wiro"!"
"Murid tidak ingat...."
"Gelo betul! Buat apa aku ajar tulis baca dan berhitung sama kau"!"
"Mungkin sepuluh tahun, Eyang...."
"Goblok! Tujuh belas tahun, tahu"!"
Wiro tertawa, "Iyyaa.... tujuh belas tahun Eyang," katanya pula.
"Kuharap hari ini kau jangan bicara sinting sama aku, Wiro!" bentak Sinto
Gendeng dan matanya masih terus menatap ke timur.
"Kau lihat matahari itu?"
"Lihat Eyang...." jawab Wiro seraya memandang ke timur.
"Matahari itu masih tetap matahari yang dulu juga, masih sama dengan matahari
tujuh belas tahun yang silam. Puncak Gunung Gede ini juga masih seperti dulu juga.
Cuma yang tua tambah tua, yang orok jadi pemuda! Cuma dunia luar yang banyak berobahnya!"
Wiro Saksana mendengarkan dengan sungguh-sungguh karena tak pernah dilihatnya
gurunya bicara seperti itu sebelumnya.
Kemudian terdengar kembali suara sang nenek. "Tujuhbelas tahun. Sekian lama kau
tinggal bersamaku. Belajar tulis baca, belajar ilmu silat, belajar segala
kesaktian. Tapi kau
jangan lupa! Kudu inget! Ilmu dan segala kesaktian apa yang telah aku berikan
sama kau semuanya adalah masih sangat terlalu kecil, terlalu sedikit, sama sekali tidak
ada artinya jika
dibandingkan dengan ilmu kekuasaan Gusti Allah. Kau mengerti, Wiro?"
"Ya, Eyang...."
"Karena itu kau musti sadar, kudu ingat. Kalau ini hari kau sudah menjadi sakti
mandraguna yang tak sembarang orang bisa menandingi kau, tapi hal utama yang
musti kau lakukan ialah menjauhkan diri dari segala sifat yang tidak baik! Kau jangan
sekali-kali bersifat sombong, congkak dan tekebur! Pakai semua ilmu yang kuberikan untuk
menolong sesama manusia, untuk kebaikan. Kalau kau nyeleweng, kau akan dapat balasan
sendiri di kemudian hari! Kau musti ingat bahwa bukan kau saja yang sakti di dunia ini. Kau
musti sadar bahwa diluar langit ada langit lagi. Kau sadar, Wiro?"
"Sadar, Eyang...."
"Ingat?"
"Ingat,Eyang...."
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Ingat.... ya ingat! Manusia ingat dengan pikirannya, sama otaknya! Tapi aku tak
mau kalau kau cuma sekedar mengingat saja karena setiap ada ingat musti ada lupa.
Dan manusia manapun selagi bernama manusia, suatu ketika tetap akan membawa sifat lupa itu.
Lupa dan kelupaan. Yang penting ialah kau musti menanamkan sedalam-dalamnya ke dalam
hatimu, ke dalam sanubarimu, ke dalam aliran kau punya darah, ke dalam detakan jantung, ke
dalam hembusan nafas! Sesuatu itu, jika ditanamkan dalam-dalam laksana sebatang pohon
jadinya, tak satu tanganpun yang sanggup mencabutnya dari bumi karena dari hari ke hari
akar yang membuat pohon itu tegak semakin kokoh dan jauh masuk ke dalam tanah!"
Kesunyian menyeling beberapa lamanya.
Kesunyian ini dipecahkan oleh suara Eyang Sinto Gendeng kembali.
"Hari ini adalah hari yang penghabisan kau berada di sini, Wiro!"
"Eyang....," terkejut Wiro Saksana mendengar kata-kata gurunya yang tiada
disangkanya itu.
"Kau terkejut...." Tak perlu terkejut. Di dunia ini selalu ada waktu bertemu
selalu ada waktu perpisahan. Waktu datang dan waktu pergi! Aku telah selesai dengan
kewajibanku memberikan segala macam ilmu kepada kau dan kau sudah selesai dengan kewajiban
kau yaitu menuntut dan mempelajari ilmu itu dari-ku...."
Dalam duduknya itu Wiro Saksana jadi tertegun. Jadi rupa-rupanya apa yang
dinyanyikan oleh Eyang Sinto Gendeng tadi ada hubungannya dengan peri
kehidupannya. Cuma yang belum dimengerti Wiro ialah barisan kalimat, Tujuh belas tahun masa
perjanjian.... tujuh belas tahun saat pembalasan....
Eyang Sinto Gendeng tiba-tiba melayang turun ke tanah kembali. Dia berdiri di
hadapan muridnya. Dan mulai lagi bicara.
"Segala apa yang ada di dunia ini selalu terdiri atas dua bagian, Wiro! Dua
bagian yang berlainan satu sama lain tapi yang menjadi pasangan-pasangannya...."
Wiro Saksana kerenyitkan kening tak mengerti. "Misalnya Eyang?" tanyanya.
"Misalnya...., ada laki-laki ada perempuan. Bukankah itu dua bagian yang
berlainan"
Tapi merupakan pasangan"!"
"Betul Eyang...."
"Misal lain.... ada langit.... ada bumi. Ada lautan ada daratan. Ada api ada
air.... ada panas ada dingin. Ada hidup ada mati, ada miskin ada kaya. Ada buta ada melek.
Ada lurus ada bengkok, ada panjang ada pendek, ada tinggi ada rendah, ada dalam ada cetek!
Semuanya selalu begitu Wiro, Kemudian.... ada susah ada senang, ada tertawa ada menangis.
Di atas kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
semua itu ada satu yang tertinggi. Yang satu ini ialah penciptanya. Siapa yang
ciptakan kau, Wiro....?"
"Tidak tahu Eyang...."
"Bogrol!"
"Aku tahu Eyang...."
"Siapa?"
"Ibu sama bapakku."
"Siapa yang mencipatakan ibu sama bapak kau?"
"Nenek sama kakek...."
"Yang menciptakan nenek sama kakek....?"
"Nenek dari nenek dan kakek dari kakek...."
"Dan yang menciptakan nenek dari nenek serta kakek dari kakek....?"
"Ya nenek dari nenek dari nenek dan kakek...."
"Geblek!" bentak Sinto Gendeng. "Manusia tidak pernah bisa menciptakan manusia!
Bapak kau kawin sama ibu kau dan ibu kau cuma melahirkan kau, lain tidak!! Ibu
kau dilahirkan sama nenek, kau begitu seterusnya goblok! Semua manusia ini, semua
apa saja di dunia ini diciptakan oleh Yang Satu. Oleh Gusti Allah! Hal-hal yang dua itupun
juga diciptakan dengan kodrat iradatnya Gusti Allah. Gusti Allah ciptakan laki-laki
juga Dia ciptakan perempuan. Gusti Allah bikin langit, juga bikin bumi. Bikin orang-orang
susah juga bikin orang-orang senang. Bikin manusia-manusia kaya juga bikin manusia-manusia
miskin. Sekarang aku mau tanya sama kau. Berapa kau punya mata?"
"Dua, Eyang."
"Hidung?"
"Satu Eyang."
"Lobang hidung?"
"Dua Eyang...."
"Mulut?"
"Satu...."
"Bibir?"
"Dua Eyang."
"Kepala?"
"Satu...."
"Tangan?"
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Dua...."
"Kaki....?"
"Juga dua Eyang...."
"Kau punya biji kemaluan....?"
"Dua Eyang," dan dalam hatinya Wiro memaki tapi geli.
"Kau punya batang kemaluan?"
"Satu Eyang...." Wiro geli lagi dan memaki lagi.
"Nah.... itu semua membuktikan di dunia ini kehidupan manusia adalah tak ubahnya
seperti bilangan dua dan satu, satu dan dua, dua satu dua dan seterusnya. Angka
dua dan satu itu selalu ada melekat dalam diri manusia. Dan semuanya itu hanya diciptakan
oleh Yang Maha Kuasa yakni Gusti Allah! Kehidupan dua dan satu ini, kehidupan dua satu dua
ini, dan adanya dua satu dua ini tak bisa diingkari dan harus melekat dalam diri manusia!
Manusia pasti akan merasakan senang susah, gembira sedih, kaya miskin, lapar kenyang,
hidup mati, dan manusia juga musti percaya pada yang satu yakni Gusti Allah...."
"Tapi manusia yang picak, Eyang, matanya cuma satu, manusia yang buntung kakinya
sebelah, berarti cuma punya satu kaki. Jadi dia tidak memiliki angka dua yang
sempurna dalam dirinya...."
"Betul, meski begitu berarti dia cuma punya satu mata, punya satu kaki! Nah,
bukankah ada juga melekat angka satu pada dirinya"! Aku sudah bilang sama kau
bahwa dalam diri manusia musti ada angka dua dan satu itu! Apa kau masih kurang
ngerti, goblok"!"
Wiro diam, kata-kata gurunya itu memang betul.
"Sekarang berdirilah kau!," perintah Eyang Sinto Gendeng.
Wiro Saksana berdiri.
Eyang Sinto Gendeng menyeringai dan tertawa cekikikan. Tiba-tiba dari balik
pakaian hitamnya dikeluarkannya kembali kapak saktinya. Terkejut Wiro Saksana dan pemuda
ini mundur beberapa langkah ke belakang. Sinto Gendeng menyeringai lagi, tertawa
lagi hingga kedua matanya berair.
SEMBILAN "Kenapa kau terkejut....?" tanya Eyang Sinto Gendeng. "Kau takut"!"
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Eyang mau bikin cilaka murid lagi"!" tanya Wiro Saksana bersiap-siap.
Dan nenek itu tertawa lagi melengking-lengking. Dia mundur sampai tujuh tombak
ke belakang. "Pejamkan matamu, Wiro!" perintah Eyang Sinto Gendeng pula.
"Tapi.... Eyang mau bikin apa"!"
"Eeee.... kunyuk betul kau! Aku suruh pejamkan mata malah banyak tanya!!
pejamkan matamu!" Wiro memejamkan matanya dengan ragu-ragu. Karena itu kedua mata itu
dipejamkannya tidak rapat betul.
"Biar rapat!" hardik Sinto Gendeng.
Dan Wiro terpaksa menutup matanya rapat-rapat.
"Buka bajumu!"
Wiro membuka bajunya dan meletakkannya di tanah. Kedua matanya tetap memejam.
"Buka tangan kananmu, naikkan ke atas dan hadapkan telapaknya kepadaku!",
perintah Sinto Gendeng lagi. Wiro mengikuti perintah itu.
Eyang Sinto Gendeng memegang mata kapak dengan tangan kanannya erat-erat. Salah
satu jarinya kemudian menempelkan disatu bagian rahasia pada gading dekat kepala
kapak yang terbuat dari besi putih itu.
"Apapun yang terjadi sekali-kali jangan buka kedua matamu dan sekali-kali jangan
bergeser. Kecuali kalau kau mau mampus!"
"Eyang...."
"Diam! Gila betul!," bentak Sinto Gendeng. Wiro terpaksa membungkam.
Perempuan tua itu menekan alat rahasia dekat kepala kapak. Maka dari mulut naga-
nagaan di hulu kapak melesat dengan suara menderu tiga puluh enam batang jarum
putih. Ketiga puluh enam jarum itu mendarat dan menancap di dada kanan Wiro Saksana.
Jarum-jarum ini menancap dengan teratur membentuk susunan angka 212. Pemuda itu
menjerit keras. Tubuhnya rebah ke tanah! Sekali lagi Sinto Gendeng menekan alat
rahasia dekat kepala kapak. Kini dua puluh empat batang jarum hitam meluncur dan
menancap di telapak tangan sebelah kanan Wiro Saksana! Pemuda ini menjerit lagi karena
tancapan jarum yang 36 tadi telah membuat dia tak sadarkan diri!
Sebelum Wiro Saksana siuman, Eyang Sinto Gendeng sudah mencabuti jarum-jarum
putih di dada pemuda itu, juga jarum-jarum hitam di telapak tangan kanan Wiro.
Dan ketika Wiro sadarkan diri maka dilihatnya di kulit dadanya terukir deretan angka-angka
212 berwarna hitam kebiruan. Angka-angka yang sama juga juga terdapat di telapak
tangannya. kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Wiro Sableng 001 Empat Berewok Dari Goa Sanggreng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bedanya angka-angaka yang di telapak tangan ini agak kecil dan berwarna putih
sehingga agak samar-samar kelihatannya.
"Berdiri Wiro!" perintah sang guru.
Wiro Saksana berdiri. Dia tak tahu apa sebenarnya yang telah dilakukan oleh
gurunya. Yang dia tahu tadi ialah suara yang menderu-deru, lalu dia menjerit, lalu roboh
dan.... tak ingat apa-apa lagi.
"Kau telah lihat angka 212 pada kulit dada dan telapak tangan kananmu?"
Wiro mengangguk.
"Berarti dalam dirimu sudah kulekatkan unsur-unsur keduniaan dan unsur ingat
Tuhan. Agar kau tidak lupa bahwa kau hidup di dunia adalah untuk menolong sesama
manusia. Juga agar kau tidak lupa bahwa kau mempunyai Tuhan yang harus dituruti
segala perintah dan dijauhkan segala laranganNya. Kau mengerti?"
"Mengerti Eyang. Tapi... mengapa badanku kini tiga kali lebih enteng dari
sebelumnya" Bahkan tenaga juga terasa bertambah hebat!"
Eyang Sinto Gendeng tertawa mengikik.
"Itu adalah berkat jarum kapak Naga Geni 212" kata Sinto Gendeng pula. Lalu
nenek- nenek ini menerangkan apa yang telah dilakukannya terhadap muridnya.
Wiro merasa mendapat anugerah ilmu tambahan segera berlutut dihadapan gurunya.
"Tak usah pakai peradatan segala macam. Berdirilah! Masih banyak yang aku mau
bicarakan sama kau," kata Sinto Gendeng pula.
Wiro berdiri. Sinto Gendeng mengeluarkan kapak dan batu hitam kembali. Diulurkannya benda-
benda itu. "Wiro.... kapak ini kuberi nama Kapak Naga Geni 212. Sepuluh tahun
lamanya kubutuhkan waktu untuk membuatnya dan telah dua puluh tahun lebih senjata ini
berada di tanganku. Rupanya kau ada jodoh dengan senjata ini. Terimalah...."
Tertegun dan hampir tak percaya Wiro Saksana mendengar ucapan gurunya. Tak
disangkanya bahwa dia bakal mendapat anugerah senjata yang sangat sakti itu. Dia
terdiam mematung seketika.
"Ayo Wiro! Kenapa kau jadi bimbang" Terimalah Kapak Naga Geni 212 ini untuk
kau!" Wiro Saksana mengulurkan kedua tangannya. Ketika senjata sakti itu menyentuh
tangannya mendadak sontak mengalirlah arus aneh yang dingin ke dalam tubuh Wiro.
Dan disaat itu pula dirasakannya tubuhnya naik sampai dua tingkat, padahal dia
merasa tingkat kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
tenaga dalam yang sudah dimilikinya sebelumnya sudah mencapai tingkat yang
paling sempurna! "Sisipkan di pinggangmu Wiro dan pakai kau punya baju kembali!"
Wiro melakukan apa yang dikatakan Eyang Sinto Gendeng. Kapak dan batu yang ada
angka 212-nya itu disisipkan ke pinggangnya.
"Kapak Naga Geni 212 bukan senjata sembarangan, Wiro. Karenanya juga tak boleh
kau pakai sembarangan. Pergunakanlah hanya pada saat-saat kau terdesak hebat
atau dalam keadaan nyawamu terancam. Kau telah lihat juga macam kehebatan kapak itu tadi,
tapi masih ada satu lagi kehebatannya yaitu bila kau tekan salah satu bagian di bawah mata
kapak itu maka akan berhamburanlah jarum-jarum putih dari mulut naga-nagaan.... Untuk
membuat angka 212 pada dada dan telapak tanganmu aku telah pergunakan jarum-jarum
semacam itu tadi. Cuma jarum-jarum tadi telah kuisi dengan sejenis racun yang hebat sehingga
tubuhmu akan kebal terhadap segala racun apapun juga! Tangan kananmu juga mempunyai
racun yang tersembunyi, Wiro. Jangan sembarangan mempergunakannya karena bisa mematikan
lawan!" Wiro Saksana hendak berlutut lagi, tapi segera dibentak oleh gurunya.
"Terima kasih Eyang.... terima kasih," kata pemuda itu.
Eyang Sinto Gendeng hanya keluarkan suara tertawa. Digaruk-garuknya kepalanya
yang berambut jarang dan yang kini hanya ditancapi dua buah tusuk kundai.
Kemudian mulailah dia untuk ketiga kalinya menyanyikan lagu tadi: Pitulas taun wus
katilar.... Ketika Sinto Gendeng selesai menyanyikan lagu itu maka bertanyalah Wiro.
"Eyang, apakah maksud Eyang dengan nyanyian itu....?"
Sinto Gendeng tertawa. Aneh sekali tawanya kali ini. Dan parasnya kelihatan
begitu sedih serta rawan. Kemudian ketika dia berkata, jelas suaranya itu bergetar
tanda dia tak dapat
menahan sesuatu yang menyesak di lubuk hatinya.
"Aku sudah bilang bahwa hari ini adalah hari yang penghabisan kau berada di
Gunung Gede ini bersamaku...."
"Mengapa demikian, Eyang....?" Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Karena segala ilmuku telah kupasrahkan kepadamu. Karena hari inilah saatnya
bagimu untuk turun gunung, memasuki alam dunia luar, membawa garis-garis
kehidupanmu sendiri yang telah ditentukan Gusti Allah...."
Sinto Gendeng diam seketika. Kemudian diteruskannya, "Sebelum kau meninggalkan
puncak Gunung Gede ini ada satu tugas yang musti kau lakukan...."
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Tugas apakah itu, Eyang?" tanya Wiro Saksana. Lagi-lagi digaruknya kepalanya
yang berambut gondrong itu.
"Dengar baik-baik Wiro.... Lebih dari empat puluh tahun yang silam aku telah
mengambil seorang murid bernama Suranyali. Waktu itu dia baru saja berumur dua
tahun. Dari umur dua tahun itulah aku mulai mendidiknya pelbagai ilmu dasar silat dan
kesaktian. Tapi kemudian aku ketahui bahwa aku telah ketelanjuran mengambil itu manusia
menjadi muridku. Suranyali kulepas turun gunung, kubekali pelbagai nasihat tapi dasar
Suranyali bukan manusia baik-baik, begitu turun gunung segala ilmu yang kuberikan padanya
dipakainya untuk perbuatan jahat, maksiat. Dia membuat keonaran dimana-mana!
Menjadi kepala perampok! Tukang peras bahkan menculik perempuan-perempuan cantik dan
merusak kehormatannya! Menurutku kini umurnya sudah hampir setengah abad, sudah dekat ke
liang kubur! Tapi ini sama sekali tidak memberikan keinsyafan pada dirinya.
Kejahatannya akhir-
akhir ini semakin menjadi-jadi, sudah lewat dari takaran! Kini dia tengah
menyusun rencana
busuk terhadap Pajajaran. Pajajaran hendak dibikinnya banjir darah! Karena itu
kau harus lekas-lekas dapat mencari itu manusia laknat dan perintahkan kepadanya untuk
datang ke sini menghadapku guna mempertanggungjawabkan segala apa yang telah dibuatnya selama
malang melintang di dunia sana! Dan perlu kau ketahui, Suranyali kini telah
memakai nama baru yakni Mahesa Birawa!"
Wiro Saksana merasa betapa sedihnya akan berpisah dengan gurunya yang selama 17
tahun telah mendidiknya itu. Tapi mengingat perpisahan itu adalah demi untuk
menjalankan tugas dari sang guru, terhibur juga sedikit hatinya. Dan berkatalah pemuda itu:
"Tugas Eyang akan aku laksanakan. Cuma bagaimana jika itu manusia Mahesa
Birawa tidak mau mematuhi perintah untuk datang ke sini....?"
"Jawabnya hanya satu Wiro. Pateni manusia itu! Bunuh manusia durhaka itu!"
Wiro Saksana terdiam. Dalam diamnya ini dia berpikir-pikir sampai dimanakah
ketinggian ilmu Suranyali atau Mahesa Birawa itu" Sanggupkah dia menghadapi
manusia yang sesungguhnya adalah kakak seperguruannya sendiri"!
"Aku tahu apa yang kau pikirkan Wiro," kata Eyang Sinto Gendeng pula tiba-tiba.
Ini mengejutkan Wiro Saksana. "Suranyali memang sakti bahkan kudengar dia telah
berguru pula pada seorang sakti di Gunung Lawu! Tapi kau tak usah takut! Kau memiliki kapak
Naga Geni 212. Dan kau berada dalam kebenaran pula! Sesungguhnya kau punya hak untuk
membunuh itu manusia, Wiro. Pertama karena tugas yang aku pikulkan dibatok kepalamu!
Kedua karena Suranyali atau Mahesa Birawa itulah yang telah membunuh kau punya ibu-bapak!"
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Mendadak sontak bergetarlah sekujur tubuh Wiro Saksana. Parasnya berubah kelam
membesi! Sejak kecil, sejak diam di puncak Gunung Gede itu belum pernah dia
mengetahui apa yang dinamakan kebencian dan dendam kesumat! Tapi saat itu dadanya serasa
mau pecah oleh kobaran kebencian dan amarah serta dendam yang tiada terkirakan!.
"Bapakmu bernama Ranaweleng! Dibunuh oleh Suranyali. Ibumu dilarikannya.
Sesudah itu bunuh diri sesudah dirusak kehormatannya. Kau sendiri hampir menemui
ajal dimakan api sewaktu rumah bapakmu dibakar oleh Suranyali dan anak buahnya.
Kebetulan sekali aku lewat disitu...."
Wiro menjatuhkan diri di hadapan gurunya. "Terima kasih Eyang.... kalau Eyang
tidak ada...." "Berdiri!" bentak Sinto Gendeng. Perempuan aneh itu memang paling tidak suka
dilututi seperti itu. "Bukan aku yang menolong kau, tapi Gusti Allah!" katanya.
"Ayo berdiri!" Wiro berdiri kembali. Dan Sinto Gendeng menuturkan peristiwa tujuh belas tahun
yang lalu sejelas-jelasnya. Kini maklumlah Wiro apa arti kata-kata dalam
nyanyian gurunya
tadi. Dikuatkan hatinya untuk mengendalikan perasaannya yang campur aduk.
Dikuatkannya dirinya untuk membendung air mata yang hendak tumpah dari kelompok matanya!
"Eyang....," desis Wiro Saksana, "Sewaktu Eyang turun ke kampung Jatiwalu itu,
mengapa Eyang tidak langsung turun tangan....?"
Sinto Gendeng tertawa rawan.
"Semustinya.... semustinya memang aku harus turun tangan saat itu. Tapi ketika
kutahu bahwa Ranaweleng - bapakmu - mempunyai seorang orok maka aku mempunyai
pikiran lain! Kalau kupelihara anak itu dan kudidik ilmu silat seta kesaktian
maka jika sudah
besar dia lebih mempunyai hak dariku untuk menamatkan riwayat Suranyali alias
Mahesa Birawa. Kalau tidak percuma saja aku ajarkan kepadamu bahwa kehidupan di dunia
ini tersimpul dalam tiga barisan angka 212. Bukankah setiap budi ada balas" Setiap
kejahatan ada pembalasannya" Tuhan telah menolongmu, berarti itu angka 1. Suranyali membunuh
orang tuamu berarti itu angka2, Wiro! Jangan sekali-kali kau lupakan!"
"Menurut Eyang, apakah manusia keparat itu masih ada di kampung Jatiwalu bersama
anak-anak buahnya....?"
"Tak dapat kupastikan, Wiro. Itu tugasmu untuk menyelidik. Yang aku tahu ialah
bahwa manusia itu hendak membuat Pajajran banjir darah. Karenanya, seret dia ke
sini sebelum hal itu terjadi. Dan kalau dia tidak mau, pateni saja!!" (pateni=bunuh).
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Sunyi selang beberapa lamanya. Kedua orang itu tenggelam dalam alam pikiran
masing-masing. "Kau akan segera berangkat, Wiro?"
Pemuda itu tak segera menjawab. Kemudian dia mengangguk perlahan.
"Ucapanku yang terakhir Wiro, mulai saat kau turun gunung ini, pakailah nama
WIRO SABLENG. Itu lebih baik bagi kau. Gurunya GENDENG, muridnya SABLENG." Dan habis
berkata demikian si nenek tua ini tertawa mengikik lama dan panjang. Namun
tertawa itu hanyalah untuk menyembunyikan hati yang rawan, sedih itu untuk membendung air
mata yang hendak tumpah keluar!
"Eyang.... kapan kita bisa bertemu lagi?" tanya Wiro.
Sang guru hentikan tertawanya. "Selama langit masih biru, selama hutan masih
hijau, selama air sungai masih mengalir ke laut, kita pasti bertemu lagi Wiro
Sableng....!"
SEPULUH Kedai nasi itu cukup besar. Tapi saat itu pengunjungnya cuma beberapa orang.
Wiro Sableng meneguk air liurnya. Dia tak punya banyak uang tapi perutnya perih dan
lapar, tenggorokannya kering dahaga. Akhirnya dia masuk juga ke dalam kedai itu. Wiro
duduk di satu sudut. Kursi-kursi dan meja lengket oleh debu. Tapi pemuda rambut gondrong
ini terus saja duduk seenaknya tanpa mengacuhkan debu itu.
Seorang laki-laki tua ubanan datang mendekatinya. Dia adalah pemilik kedai.
"Makan nak....?" tegurnya.
Wiro mengangguk. "Tapi jangan mahal-mahal, aku tak punya banyak uang!" kata
Wiro Sableng terus terang.
Pemilik warung itu kerutkan kening. Selama dia membuka kedai di Jatiwalu itu
baru hari ini ada seorang tamu yang datang di kedainya dan berkata seperti itu.
Matanya meneliti
Wiro Sableng dari rambutnya yang gondrong sampai ke kakinya yang berdebu.
"Kau tentu seorang pendatang....", katanya.
"Betul," Wiro menggaruk-garuk rambutnya. "Tolong lekas nasinya, pak, perutku
sudah lapar betul....!"
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Orang kedai itu segera mengambilkan sepiring nasi dan segelas air lalu
diletakkannya
Wiro Sableng 001 Empat Berewok Dari Goa Sanggreng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di atas meja di hadapan Wiro. Titik air liur pemuda ini. Selama tujuh belas
tahun di puncak
Gunung Gede dia hanya kenal nasi merah dan sayur. Kini menghadapi nasi putih dan
ikan serta gulai yang lezat maka lahaplah makan Wiro. Keringat memercik di kulit
mukanya. Kemudian diteguknya air. Pada saat dia mengusapi perutnya yang buncit keras itu
maka masuklah empat orang laki-laki. Semuanya berpakaian serba hitam, memakai golok
di pinggang. Tampang-tampang mereka sungguh tak sedap dipandang. Mereka masuk dan
duduk dengan seenaknya. Keempatnya memelihara berewok.
Pemilik kedai melihat kehadiran keempat orang ini dengan cepat datang melayani.
Agaknya keempat manusia ini pastilah orang-orang penting juga. Tak lama kemudian
maka dihidangkanlah makanan yang lezat-lezat di atas meja. Tuak murni pun diletakkan
dalam sebuah bumbung bambu berikut empat buah gelas yang juga dari bambu.
Keempat orang itu makan dengan angkat kaki. Suara celepak-celapak mulut mereka
terdengar sampai ke tempat Wiro Sableng duduk. Tapi tentu saja pemuda ini tak
mau ambil peduli. Meski mereka menyiplak sampai sekeras geledek pun dia tak akan ambil
pusing! Wiro Sableng melambaikan tangan memanggil pemilik kedai.
"Berapa aku musti bayar?" tanya Wiro.
Orang kedai itu menyebutkan jumlah uang yang musti dibayar Wiro.
"Waduh... mahal sekali!" keluh Wiro. "Tadi aku sudah bilang jangan mahal-
mahal..." "Itu juga sudah sangat murah, Nak," kata orang kedai.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. "Habis uangku buat bayar makanan itu."
Dikeluarkannya uangnya dan diberikannya pada orang di kedai.
Pada saat itu pula terdengar gelak tawa keempat orang yang duduk di meja
seberang sana. Salah seorang dari mereka, yang berbadan gemuk pendek dan berkepala botak
berkata, "Kalau tidak gablek uang, jangan masuk kedai, Bung!"
Yang seorang lagi menyambungi, "Dari pada takut-takut keluar uang, sebaiknya
cari saja makanan di tong sampah!"
Keempat orang itu tertawa gelak-gelak.
Wiro memandang kepada mereka. Diejek demikian rupa pemuda ini tenang-tenang
saja malahan sunggingkan senyum dan garuk-garuk kepala.
Laki-laki yang berkumis panjang menjulai ke bawah bertanya, "Kau mau uang buat
beli makanan?"
"Mau saja kalau diberi," jawab Wiro sejujurnya. Digaruknya lagi kepalanya.
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Merangkaklah dihadapanku, menyalak tiga kali dan tuanmu ini pasti akan kasih
uang kepadamu" Atap kedai itu seperti mau runtuh oleh suara tertawa keempat orang itu.
Wiro memandang berkeliling. Ketika dilihatnya beberapa sisir pisang ambon yang
berjejer digantung di atas meja tempat meletakkan ikan dan gulai maka tertawalah
pemuda itu. Mula-mula perlahan tapi makin lama makin keras dan dia melangkah mendekati
deretan pisang itu. Dikeluarkannya sisa seluruh uangnya yang masih ada yang tak seberapa
tapi cukup untuk membeli sesisir pisang.
"Aku beli pisangmu, pak," kata Wiro.
Diturunkannya sesisisr sambil melangkah ke pintu dipotesnya sekaligus empat buah
pisang. Dia melangkah juga ke pintu sementara di belakangnya masih terdengar
suara gelak tawa keempat orang tadi.
Tiba-tiba hampir tak kelihatan saking cepatnya, dan tanpa berpaling sama sekali
Wiro Sableng gerakkan tangan kanannya. Empat buah pisang meluncur lewat bahunya.
Di belakangnya suara tertawa keempat orang tadi mendadak sontak berhenti,
berganti dengan suara-suara tercekik! Keempat buah pisang itu telah jeblos ke dalam mulut
empat manusia berpakaian hitam-hitam itu. Jangankan untuk tertawa, bernafaspun mereka
sudah megap-megap! Dan diluar sana Wiro Sableng sambil senyum-senyum melangkah terus
sepanjang jalan. Dipotesnya sebuah pisang dan mulai memakannya.
Dia melangkah terus dan acuh tak acuh ketika beberapa saat kemudian didengarnya
derap kaki empat orang dalam kedai tadi mengejarnya.
"Bikin mampus saja sama kawan-kawan!" teriak salah seorang pengejar.
"Berani kurang ajar sama kita orang! Cincang sampai lumat!," kata yang berbadan
paling tinggi. Wiro Sableng terus juga melangkah enak-enak. Cuma sekali-kali tangan kanannya
dilambaikannya ke belakang untuk melemparkan kulit-kulit pisang yang dimakannya.
Namun lambaian tangan itu bukan lambaian tangan biasa yang hanya sekedar melemparkan
kulit pisang belaka! Dari tangan kanan pemuda itu membadai angin dahsyat laksana
tembok baja yang membendung lari keempat orang pengejar itu! Betapapun mereka mempercepat
lari mereka namun tetap saja mereka tak sanggup mengejar Wiro Sableng padahal
kelihatannya pemuda itu hanya tinggal sepejangkauan tangan lagi!
Keempat orang itu berteriak-teriak, memaki dan menggeram, menggapai-gapaikan
tangan ke muka karena merasa hampir-hampir dapat menagkap punggung baju Wiro
Sableng! kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Namun gerakan-gerakan mereka itu tak ubahnya seperti empat ekor monyet yang
menjadi gila mencak-mencak kian kemari! Dan orang yang dikejar terus juga berjalan ongkang-
ongkang bahkan sambil makan pisang ambon!
Mengapa sampai terjadi hal yang demikian, lain tidak karena Wiro Sableng telah
mengeluarkan ilmu kesaktiannya yang bernama: dinding angin berhembus tindih
menindih! "Gila betul!" teriak laki-laki tinggi jangkung yang lari paling depan. Namanya
Bergola Wungu. Dialah yang menjadi pemimpin dari tiga orang lainnya dan dialah yang
memiliki ilmu paling tinggi!
Dengan sangat geram, sambil lari dicabutnya sebilah belati dari pinggangnya dan
dilemparkannya ke arah punggung Wiro Sableng. Tapi anehnya pisau itu melesat
kembali, berbalik menyerang Bergola Wungu! Kalau saja dia tidak cepat-cepat buang diri ke
samping pastilah lehernya akan dimakan ujung pisau!
Akhirnya dengan keluarkan keringat dingin, Bergola Wungu dan anak-anak buahnya
hentikan pengejaran. Baru hari ini Bergola Wungu serta anak-anak buahnya
menghadapi kejadian seperti itu. Kejadian yang mendekam hati tapi juga aneh tak bisa mereka
mengerti. Sebagai pemimpin dari tiga orang itu, sebagai orang yang paling tinggi ilmu
silat dan kesaktiannya sudah barang tentu Bergola Wungu malunya bukan main! Untuk mencuci
mukanya dia berkata menggerendeng:
"Kalau bangsat itu bukannya manusia siluman pastilah dia iblis bermuka manusia!"
SEBELAS Siapakah keempat manusia berpakaian serba hitam dan sama-sama memelihara
berewok itu" Mereka menamakan diri Empat Berewok dari Goa Sanggreng dengan
Bergola Wungu sebagai pimpinannya. Mereka tak lain adalah komplotan rampok yang malang
melintang sepanjang sungai Cimandilu yang terkenal keganasannya di daerah
sekitar situ. Dulunya, Bergola Wungu adalah turunan orang baik-baik yang ayahnya mati ditangan
Kalingundil, kepala rampok yang malang melintang dan bersarang di kampung
Jatiwalu. Sesudah ayahnya dibunuh, keluarganya ditumpas sedang keganasan Kalingundil dan
tiga orang anak buahnya semakin menjadi-jadi melanda Jatiwalu maka Bergola Wungu
yang saat itu berumur dua puluh enam tahun meninggalkan kampung kelahirannya dengan
satu kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
tekat yaitu mencari guru silat yang dapat mengajarkan ilmu dan kesaktian
kepadanya. Dia berhasil menemukan seorang guru dan kemudiannya berhasil pula mendapat tiga
orang anak buah, maka malang melintanglah Bergola Wungu di sepanjang sungai Cimandilu,
menjadi kepala perampok yang ditakuti.
Dan ketika dirasakannya saat untuk melakukan pembalasan sudah tiba maka bersama
ketiga orang anak buahnya berangkatlah dia menuju Jatiwalu. Tapi sewaktu sampai
di Jatiwalu, Kalingundil dan anak-anak buahnya tak ada di sana, pergi keluar
kampung dan tak
satu orangpun yang tahu. Rumahnya kosong dan sepi. Bergola Wungu memutuskan
untuk menunggu sampai musuh besarnya itu kembali. Dan sampai hari itu Kalingundil
masih juga belum muncul. Mereka duduk di dalam kedai di tempat semula. Untuk berapa lamanya tak satupun
yang bisa bicara. Bergola Wungu teguk tuaknya sampai habis.
"Kurasa manusia itu mungkin salah seorang anak buah Kalingundil....", kata Ketut
Ireng, laki-laki yang duduk di hadapan Bergola Wungu.
Bergola Wungu letakkan gelas bambunya ke meja. Dia berpikir, kalau yang tadi itu
benar-benar anak buah Kalingundil, pastilah maksudnya untuk menuntut balas akan
menemui kegagalan. Kalau anak buah Kalingundil sudah demikian hebatnya, apalagi
Kalingundil sendiri! Memang waktu lima belas tahun belakangan ini adalah waktu yang cukup
lama untuk menambah ilmu kesaktian. Tapi bila kehebatan anak buah Kalingundil seperti
kenyataan tadi,
ini adalah tiada diduga Bergola Wungu sama sekali!
"Tidak mungkin....," desis Bergola Wungu. "Tak mungkin manusia tadi adalah anak
buah Kalingundil! Lagi kita belum yakin betul apa dia benar-benar manusia! Dan
aku ingat bahwa Kalingundil cuma punya tiga orang kaki tangan! Aku kenal tampang-tampang
mereka semua!" "Tapi bukan mustahil selama belasan tahun ini jumlah anak buahnya bertambah,"
menyela laki-laki yang bernama Seta Inging.
"Aku tetap tidak mau percaya....!", kata Bergola Wungu. Dilambaikannya tangannya
pada pemilik kedai. "Sini!", bentaknya.
Orang tua pemilik kedai datang dengan ketakutan dan terbungkuk-bungkuk.
"Berapa orang anak buah Kalingundil semuanya?"
"Cuma tiga, Den. Cuma tiga...."
"Masih yang dulu-dulu juga....?"
Orang tua itu mengangguk.
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Dan tak satu manusiapun disini yang tahu kemana mereka pergi"!"
"Tidak satupun, Den...."
"Selain mereka berempat, siapa lagi yang diam di rumah besar itu....?"
"Tidak ada, Den...."
"Dulu kudengar dia punya bini...."
"Sudah meninggal, Den...."
"Juga seorang anak perempuan.... Apa juga sudah meninggal"!"
"Tidak."
"Kalau begitu dimana perempuan itu sekarang?"
"Bapak tidak tahu, Den...."
"Dusta!"
"Sungguh tidak tahu, Den...."
"Bakar saja kedai ini!", ancam Ketut Ireng.
Dan orang tua itupun berlutut minta dikasihani. "Jangan den.... sungguh bapak
tidak tahu. Jangan dibakar kedai ini den.... Kasihani bapak.... Tapi mungkin dia ikut
bersama Kalingundil. Mungkin juga.... Mungkin juga menginap di tempat bibinya...."
"Dimana tempat bibinya?"
"Tidak tahu, Den...."
"Tidak tahu melulu!", bentak Bergola Wungu.
"Kalian manusia-manusia yang sudah diinjak-injak kemanusiaannya oleh
Kalingundil, yang diperas dan dipreteli harta kekayaannya, yang dibunuh dan disiksa, masih
saja melindungi manusia-manusia keparat itu!"
"Kami semua benci dan mendendam terhadap Kalingundil serta anak buahnya, Den.
Tapi kami ini rakyat lemah. Tak ada daya untuk melawan..........."
"Kalian bukan lemah tapi bodoh dan pengecut!" bentak Ketut Ireng. Lalu
sambungnya, "jika beberapa hari dimuka ini kami masih belum juga menemui
Kalingundil dan cecunguk-cecunguknya itu, akan kubakar rumahnya, juga seluruh kampung
ini....!" "Oh jangan, Den.... Jangan, Den. Sekurang-kurangnya Raden musti ingat bahwa
kampung ini dulunya adalah kampung raden juga...."
"Dulu!" kata Bergola Wungu, "tapi sesudah bapakku dibunuh dan keluargaku
ditumpas, kampung ini bukan kampungku lagi! Orang-orang di kampung ini berdiam
diri, tak ambil perduli ketika ibuku dirusak kehormatannya, ketika saudara-saudaraku
ditebas lehernya! Patutkah kuakui ini sebagai kampungku" Persetan sama kampung keparat
ini!" kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Bergola Wungu membantingkan gelas bambunya ke meja. Papan meja pecah, gelas
bambu mental terbelah dua!
"Mereka bukannya takut, den, bukan tak mau menolong, tapi tak punya daya.
Kalingundil dan anak buahnya berilmu tinggi...."
"Diam!", bentak Bergola Wungu.
Wiro Sableng 001 Empat Berewok Dari Goa Sanggreng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang tua pemilik kedai itu diam membungkam.
Ketut Ireng ambil bagian kini, "Kau tahu siapa itu manusia rambut gondrong yang
tadi makan di sini"!"
"Tidak tahu, Den. Sungguh tidak tahu......."
"Sudah pergi sana!" bentak Bergola Wungu.
Orang tua itu berlalu dengan cepat. Tak lama kemudian Bergola Wungu dan ketiga
anak buahnya meninggalkan kedai tanpa membayar satu peser tengikpun atas apa
yang telah mereka makan dan mereka minum!
DUABELAS Dia masih juga mencabuti rerumputan yang bertumbuhan di makam itu. Dia sama
sekali tak mengacuhkan derap kaki kuda yang menggeru di belakangnya karena
menyangka bahwa itu adalah kuda-kuda yang biasa lalu lalang di tempat tersebut. Tapi
tangannya yang halus itu berhenti mencabuti rerumputan ketika di belakangnya terdengar suara
tertawa seseorang. "Ha.... ha.... inikah manusia yang menjadi anak tunggal keparat Kalingundil"!"
Gadis enam belas tahun yang berlutut di muka makam itu putar kepala. Empat orang
penunggang kuda dilihatnya berjejer di belakangnya. Penunggang kuda yang paling
depanlah yang tadi tertawa dan buka suara. Tubuhnya jangkung, berewoknya lebih lebat dari
berewok tiga manusia lainnya, tampangnyapun lebih angker.
"He.... he.... cantik juga parasnya huh"!", kata laki-laki ini yang tak lain dari
Bergola Wungu adanya. "Tapi sayang, kepalanya musti kita pisahkan dari badannya. Bukankah demikian,
Bergola Wungu"!"
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Betul, tapi tak perlu cepat-cepat. Agaknya dia bisa memuaskan seleraku dan
kalian semua!" Keempat orang itu tertawa bekakakan.
"Kunyuk-kunyuk hitam berewok! Kalian siapa"!", bentak gadis berbaju biru. Dengan
enteng dia berdiri. Tangan kanan memegang hulu pedang yang tersisip di pinggang.
"Eh, galak juga betina ini!", kata Ketut Ireng.
"Tapi kalau kau mau kenal kami, aku tak keberatan untuk memperkenalkan diri.
Namaku Ketut Ireng.... Ini Bergola Wungu. Yang ini, yang gemuk pendek Seta Inging
dan ini yang matanya jereng Pitala Kuning. Nah... nah... sekarang kau tak keberatan
kasih tahu namamu....?" Keempat orang itu tertawa lagi.
"Manusia edan! Berlalulah dari hadapanku! Kecuali kalau mau rasa tebasan
pedangku!"
"Ah, besar mulutnya sama saja sama bapaknya!", kata Bergola Wungu sambil usap-
usap berewoknya. "Ketahuilah kami datang untuk mengirim bapakmu ke liang kubur.
Itupun kalau ada liang kubur yang masih mau menerimanya!"
"Mulutmu terlalu besar monyet berewok!", hardik gadis itu. "Aku mau lihat apakah
juga cukup besar untuk menerima ujung pedangku ini"!"
Diiringi dengan pekik yang membising maka berkiblatlah sebatang pedang ke arah
kepala Bergola Wungu! Kejut keempat orang itu, terutama Bergola Wungu sendiri
tidak terkirakan. Kalau tidak cepat dia buang diri dari punggung kuda pastilah
kepalanya akan terbelah dua. Tapi selagi tubuhnya melayang di udara, maka saat itu pula pedang di tangan si
gadis sekali lagi membabat sebat. Bergola Wungu membentak keras dan jungkir balik ke
samping kiri. Pedang si gadis yang seharusnya membabat kutung pinggangnya kini menemui
sasarannya di leher kuda tunggangan Bergola Wungu. Kuda itu meringkik dahsyat
sebelum meregang nyawa. Menggelepar-gelepar dengan leher hampir putus. Kuda-kuda yang
lainnya latah meringkik dan menjadi binal melihat muncratan darah. Untung saja tiga
penunggangnya sudah melompat lebih dahulu. Kalau tidak pastilah mereka akan dilempar mental!
Tiga ekor kuda itu seperti gila kemudian lari menghambur menerjangi batu-batu nisan
pekuburan! "Iblis betina!", kertak Bergola Wungu. "Meski kau punya tampang cantik dan tubuh
mulus, apa kau sangka aku ragu-ragu untuk menebas kau punya batang leher"!"
"Jangan jual bacot kunyuk berewok! Lihat pedang!" pedang di tangan si gadis itu
berkelebat lagi lebih cepat dan sebat.
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Sreet!" Bergola Wungu cabut golok panjangnya.
Dan.... "Trang!"
Dua senjata beradu keras di udara memercikkan bunga api yang menyilaukan mata.
Tangan Bergola Wungu tergetar kesemutan sedang si gadis baju biru terpental
beberapa langkah ke belakang. Pedang di tangannya hampir saja terlepas!
Meski tahu kalau tenaga dalam dan ilmu silat manusia berewok itu lebih tinggi
dari padanya, namun gadis yang keras hati ini tidak menjadi kecut. Dengan lengkingan
dahsyat yang keluar dari tenggorokannya maka berubahlah tubuhnya menjadi bayang-bayang.
Sinar pedang menggebubu membungkus tubuh Bergola Wungu!
Tapi Bergola Wungu bukan manusia hijau dalam dunia persilatan. Bukan anak
kemarin. Percuma dia malang melintang belasan tahun menjadi pemimpin dari Empat
Berewok dari Goa Sanggreng. Sekali dia enjot kedua kaki maka tubuhnyapun lenyap
dari pemandangan. "Breet.... breet.... breet.... breet....!!!"
Gadis baju biru terpekik dan keluar dari kalangan pertempuran. Mukanya merah
gelap ketika menyadari bagaimana ujung golok Bergola Wungu telah membuat lebih dari
sepuluh robekan pada pakaiannya sehingga gadis itu kini hampir berada dalam keadaan
setengah telanjang! "Manusia binatang!" rutuk gadis baju biru. "Hari ini aku mengadu nyawa
terhadapmu!" Dengan segala kekalapan dia menyerbu ke muka. Pedangnya menderu
laksana topan. Bergola Wungu berkelit ke samping. Pedang si gadis hantam batu nisan
sehingga terkutung dua! Dia kembali membabat ke arah pinggang. Tapi pada saat itu lengan
kiri Bergola Wungu telah menghantam pergelangan tangan kanannya, membuat pedangnya
terlepas dan mental jauh.
"Ha.... ha.... hari ini tamatlah riwayatmu sebagai anak Kalingundil!"
Golok panjang di tangan Bergola Wungu kembali mebabat kian kemari. Kembali
terdengar suara: breet.... breet.... breet....! Dan kini celana biru si gadis
yang menjadi sasaran
ujung golok. Dalam waktu setengah jurus saja boleh dikatakan gadis itu sudah
hampir telanjang. Pakaiannya yang robek-robek besar tiada sanggup menutupi keputihan
buah dada, perut, punggung serta pahanya!
Dengan andalkan kecepatan gerak bahkan dengan gulingkan diri di tanah anak
perempuan Kalingundil ini berusaha untuk selamatkan diri. Namun ujung golok
Bergola kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Wungu benar-benar telah mengurungnya dari pelbagai jurusan. Tak mungkin baginya
untuk lari, tak mungkin baginya untuk selamatkan nyawa!
"Sreet....!"
Ujung rambut gadis itu terbabat putus.
"Sreet....!"
Tali celana biru si gadis terkutung putus sehingga celana itu jatuh dari
pinggangnya dan auratnya benar-benar tiada tertutup kini!
"Bedebah! Bunuh saja aku! Bunuh!" teriak gadis itu.
Bergola Wungu tertawa mengakak.
"Bunuh soal mudah!", katanya sambil tekankan ujung golok ke tenggorokan gadis
itu. "tapi apa kau tahu bahwa dulu sebelum membunuh ibuku, kau punya bapak lebih dulu
memperkosanya"! Ha.... ha.... Hukum karma kini berlaku! Hukum karma!"
Tiba-tiba dengan kecepatan yang luar biasa si gadis sorongkan batang lehernya ke
muka. Tapi gerakan Bergola Wungu lebih cepat lagi. Ujung golok digesernya ke
samping. Begitu si gadis terdorong ke muka maka tangan kirinya dengan sigap menyambar
rambutsi gadis. Gadis yang hampir tak berdaya itu masih berusaha menendangkan kakinya ke
muka. Serangan yang tak berarti itu tidak mengenai sasarannya. Bergola Wungu
melemparkan gadis
itu ke tanah kemudian menyergapnya dengan ganas. Keduanya bergulung-gulung. Yang
satu berusaha untuk mempertahankan kehormatannya, yang satu sengaja untuk
menghancurkan kehormatan itu!
"Kawan-kawan!", teriak Bergola Wungu. "Jangan diam saja! Gadis ini adalah bagian
kita semua! Ayo tunggu apa lagi"!"
Serentak dengan itu tiga orang anak buah Bergola Wungu segera menyerbu pula.
Seorang gadis, empat laki-laki bergulung-gulung di tanah pekuburan! Menjerit,
berteriak, menendang dan menerjang. Seakan-akan mereka semua sudah sinting kemasukan setan-
setan kuburan! TIGABELAS Pembalasan dendam kesumat memang dahsyat.
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Apalagi kini disertai dengan dorongan nafsu hewan yang meluap-luap. Keadaan
Nilamsuri benar-benar sudah kepepet. Tenaganya sudah hampir habis. Empat pasang
tangan manusia menggerayang di seluruh tubuh yang tertelentang di atas sebuah makam
tua. "Ha....ha...ha! Tulang belulang kau punya ibu akan menyaksikan pelaksanaan hukum
karma ini!" kata Bergola Wungu.
Nilamsuri hantamkan lututnya ke perut laki-laki itu ketika Bergola Wungu hendak
mendatanginya dari atas. Tapi hantaman lutut yang tiada bertenaga sama sekali
itu tiada terasa
oleh manusia berewok itu!
"Keparat! Bunuh saja aku! Bunuh!", teriak Nilamsuri.
"Kehormatanmu dulu, baru nyawamu!." Bergola Wungu mengekeh. Disaksikan oleh
tiga anak buahnya yang juga menggerayangi tubuh gadis enam belas tahun itu,
Bergola Wungu mulai melaksanakan niat terkutuknya. Runtuhlah harapan Nilamsuri untuk
bisa selamatkan diri. Air mata meleleh di pipinya.
Namun nasib Nilamsuri tidak seburuk yang dibayangkannya saat itu. Satu bayangan
putih berkelebat dari sebelah timur pekuburan yang tanahnya agak membukit. Dan
tahu-tahu keempat orang yang mengerumuni Nilamsuri menjadi kaku tegang laksana patung
batu! Nilamsuri yang hanya merasakan sambaran angin serta gerayangan-gerayangan tangan
pada tubuhnya berhenti dengan mendadak, membuka kedua matanya yang berkaca-kaca
itu. Terkejut sekali dan hampir tak percaya dia melihat bagaimana keempat manusia
berewok itu masih berjongkok di sekelilingnya tapi mata mereka semua melotot dan tubuh
mereka tegang kaku! Gadis ini bangkit dengan cepat. Apakah yang telah terjadi dengan keempat manusia
itu" Dia ingat pada desiran angin tadi. Mungkin ada manusia yang telah
menolongnya"
Manusia yang mempunyai kesaktian luar biasa" Diperhatikannya keempat laki-laki
itu. Ternyata mereka tertotok urat besar di pangkal leher masing-masing. Atau mungkin
keempatnya telah dicekik oleh setan kuburan"!
Peristiwa yang sangat aneh itu membuat Nilamsuri lupa akan keadaan dirinya
sendiri saat itu. Dia memandang berkeliling. Matanya membentur segulung benda putih yang
tergeletak di atas batu nisan sebuah kuburan. Benda ini adalah sehelai baju dan
celana putih. Dan memandang pakaian itu sekaligus mengingatkan Nilamsuri pada keadaan dirinya.
Tanpa perduli lagi siapa pemilik pakaian itu, tanpa ambil pusing lagi bagaimana
pakaian itu bisa
berada di atas kuburan tersebut si gadis langsung saja melompat, menyambar
pakaian itu dan
lari ke balik serumpun semak-semak. Dikenakannya pakaian itu cepat-cepat. Meski
agak kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
kebesaran sedikit, tapi pakaian itu memberi banyak pertolongan bagi Nilamsuri
dan si gadis merasa sangat bersyukur.
Dia keluar dari balik semak-semak itu. Dan ketika terpandang olehnya keempat
manusia yang masih berjongkok kaku di seberang sana maka meluaplah amarahnya.
Mendidih darahnya. Disambarnya pedangnya yang tergeletak di tanah. Sinar pedang
berkiblat sekaligus menyambar ke arah kepala Bergola Wungu dan anak-anak buahnya.
"Tring!"
Sebutir kerikil sebesar ujung jari telunjuk membentur pertengahan pedang yang
hendak merenggut nyawa keempat manusia berewok itu. Dan benturan batu kerikil
ini membuat pedang di tangan Nilamsuri terdorong setengah tombak ke atas, lewat satu
jengkal di atas kepala Bergola Wungu dan tiga orang lainnya itu!
Wiro Sableng 001 Empat Berewok Dari Goa Sanggreng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terkejut anak gadis Kalingundil ini bukan kepalang. Serentak dengan itu dia
membentak dan memandang berkeliling. "Manusia atau setan yang jadi biang kerok
jangan sembunyi! Unjukkan diri!"
Tak ada yang menyahut. Tapi rerumpunan semak belukar di dekat pohon kamboja
kelihatan bergerak. Dan Nilamsuri hantamkan pukulan tangan kosong ke arah semak
belukar itu. Semak belukar tercabut dari akarnya dan berhamburan jauh, tapi tak ada
siapapun kelihatan di belakang sana.
Dengan gemas Nilamsuri balikkan tubuh. Pedangnya kembali membabat ke arah
empat kepala manusia di hadapannya. Namun sekali lagi sebutir kerikil membentur
senjata itu! "Kurang ajar betul!", maki Nilamsuri. "Jika berani cari urusan, berani unjukkan
diri!!" Terdengar suara tawa bergelak.
Suara tertawa itu datangnya dari balik pohon-pohon bambu di tepi pekuburan.
Untuk kedua kalinya Nilamsuri lepaskan pukulan tangan kosong. Angin deras melanda
pohon-pohon bambu. Batang-batang bambu pecah, yang tercerabut dari akarnya segera tumbang
sedang daun-daunnya luruh ke tanah. Tapi seperti tadi kali ini juga tidak kelihatan
seorang manusia
pun dibalik pohon-pohon bambu itu!
Gemas Nilamsuri bukan main.
Terdengar lagi suara tertawa bergelak. Kali ini diiringi dengan ucapan, "Hanya
manusia pengecut yang membunuh musuh dalam keadaan tak berdaya!"
Nilamsuri memandang ke atas pohon kamboja merah. Detik itu juga sesosok tubuh
kelihatan lenyap berkelebat ke utara laksana gaib!
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Nilamsuri kertakkan rahang. Tanpa menunggu lebih lama gadis ini hentakkan kedua
kaki dan segera mengejar ke jurusan utara!
Sampai beberapa ratus tombak jauhnya ke utara Nilamsuri masih juga belum
berhasil mengejar orang tadi. Jangankan mengejar, melihat bayangannyapun tidak bahkan
jejak kakinya sama sekali tidak kelihatan di tanah. Gadis itu menghentikan
pengejarannya di tepi
sebuah lembah. Di samping rasa geram hatinya juga heran dan bertanya-tanya. Siapakah manusia
itu tadi dan kemanakah lenyapnya" Apakah manusia itu yang telah menolongnya dari
perbuatan terkutuk Bergola Wungu dan kawan-kawannya" Sekiranya betul mengapa lantas
kemudiannya orang itu menghalangi ketika dia hendak menebas batang leher keempat
manusia berewok itu"
Nilamsuri memandang lagi ke dalam lembah. Segala sesuatunya diselimuti
kesunyian. Kemudian gadis ini memandang kepada pakaian yang dikenakannya. Pakaian ini
ditemuinya di atas sebuah makam. Apakah pakaian ini sengaja pula ditinggalkan untuk
dipakainya oleh
manusia aneh yang melarikan diri itu"
Nilamsuri memutar tubuhnya hendak kembali ke pekuburan. Tapi dengan serta merta
tertahan ketika di belakangnya dari balik sebatang pohon waru terdengar suara
orang berkata. "Hendak kembali membuat kepengecutan" Membunuh musuh yang tak berdaya"
Percuma tahu ilmu silat tapi tidak tahu tata peradatan silat!"
Bukan main geramnya Nilamsuri mendengar ejekan itu. Dia melompat ke arah pohon
waru. Tapi lebih cepat lagi gerakannya itu orang yang tadi berkata telah
berkelebat laksana
bayang-bayang dan lari ke dalam lembah.
"Manusia atau setan! Jangan lari!" teriak Nilamsuri. Dan segera pula dia
mengejar ke dalam lembah. Tapi seperti tadi, begitu dia sampai di dasar lembah maka orang
yang dikejarnya lenyap lagi! Dengan hati penasaran gadis ini loncat ke atas sebatang
pohon tinggi dan dari sini memandang ke seantero lembah untuk menyelidik kemana larinya orang
tadi. Namun ini juga tidak memberikan hasil.
Nilamsuri turun kembali. Dijelajahinya sebagian dari lembah. Hatinya belum puas
kalau belum berhasil menemui orang yang dikejarnya itu. Di tepi sebuah anak
sungai akhirnya gadis ini hentikan langkah. Sejurus kemudian dia termangu di tepi
sungai ini. Kemudian hidungnya dilanda oleh bau harum dari sesuatu yang dipanggang. Bau ini
datang dari arah hulu sungai, membuat tenggorokannya menerbitkan air liur. Gadis ini
langkahkan kaki ke hulu sungai.
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Belum sampai lima puluh langkah dia berjalan, maka di satu tikungan sungai yang
arus airnya lebih cepat mengalir, dilihatnya duduk ditengah sungai, di atas
sebuah batu besar
yang licin kehitaman, seorang laki-laki. Laki-laki ini duduk membelakanginya dan
rambutnya gondrong, berpakain putih-ptuih. Tak tahu Nilamsuri apa yang dibuat orang ini
ditengah sungai ini di atas batu itu. Berat kecurigannya bahwa manusia ini adalah orang
yang tadi dikejarnya. Tapi anehnya santarnya bau benda yang terpanggang itu datang dari
arah laki-laki di tengah sungai ini!
Nilamsuri terus melangkah beberapa jauhnya ke hulu sungai, melewati laki-laki
itu, untuk dapat melihat apa yang tengah dilakukannya. Nilamsuri masih belum dapat
melihat paras laki-laki berambut gondrong itu. Tapi dari tempatnya berdiri saat itu
dapat disaksikannya bahwa bau harum yang membuat titik seleranya itu disebabkan oleh
seekor ikan besar yang dipanggang oleh laki-laki itu dan kini tengah digerogotinya
dengan lahap! Ikan panggang itu masih mengepulkan hawa hangat. Yang tidak dimengerti sama
sekali oleh Nilamsuri ialah bahwa di atas batu itu di mana laki-laki itu duduk atau ditepi
sungai sama sekali tidak dilihatnya bekas-bekas perapian untuk membakar ikan yang kini
tengah dimakan dengan lahap oleh si rambut gondrong!
Nilamsuri berpikir sejurus. Kemudian berserulah dia ke tengah sungai.
"Saudara! Apa kau melihat seseorang lewat sekitar sini"!"
Laki-laki di tengah sungai tidak menjawab. Malah menolehpun tidak dan dengan
lahapnya terus saja dia makan ikan panggang itu.
"Saudara!", seru Nilamsuri sekali lagi.
Kali ini orang itu palingkan kepala. Dan Nilamsuri terkesiap sejenak karena tak
menyangka kalau si rambut gondrong ini nyatanya adalah seorang pemuda bertampang
keren! Meski keren tapi paras itu membayangkan pula paras anak-anak dan lucu!
"Eh.... kau bicara sama aku?" tanya pemuda yang asyik menggerogoti ikan panggang
Tangan Geledek 19 Pendekar Hina Kelana 22 Peri Bunga Iblis Pendekar Pedang Dari Bu Tong 2
Udara dingin lenyap. Angin yang memuyuh juga lenyap dan suasana kembali sepeti
sedia kala. Ketika Wiro memandang ke muka dilihatnya gurunya berdiri memegang
sebentuk kapak yang aneh sekali. Belum lagi dia sempat meneliti lebih lama benda itu,
Eyang Sinto Gendeng ajukan pertanyaan, "Kau lihat senjata di tanganku ini, Wiro" Kau
lihat...."!"
Sang murid mengangguk dan matanya tetap lekat ke kapak aneh di tangan gurunya.
"Kali ini kau tak akan sanggup lagi berkelit dari seranganku, Wiro!"
"Eyang Sinto.... apakah kau sudah gila hendak membunuh murid sendiri...."!"
Perempuan itu tertawa mengikik. "Aku memang sudah gila Wiro! Kalau tidak
percuma namaku Sinto Gendeng! Goblok kau yang tidak tahu artinya Gendeng!"
Wiro memandang dengan waspada. Matanya kembali meneliti kapak aneh di tangan
gurunya. Kapak itu bermata dua dan besarnya hampir sebesar batu bata. Gagangnya
putih bersih, mungkin terbuat dari gading menurut taksiran Wiro. Pada batang kapak
yang besar kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
hampir sebesar lengan itu kelihatan enam buah lobang-lobang kecil. Ujung
terbawah dari gagang kapak ini merupakan kepala seekor naga yang mulutnya membuka.
"Wiro!", kata Eyang Sinto. "Aku akan pergunakan kapak ini tiga jurus berturut-
turut untuk menyerangmu! Bila kau sanggup melayaninya, kau akan selamat. Kalau tidak
maka bersiaplah untuk mati konyol!"
Wiro Saksana kertakkan geraham. Dia hendak menjauhi kata-kata gurunya itu. Namun
sebelum mulutnya terbuka, Eyang Sinto Gendeng sudah berseru:
"Ini jurus pertama Wiro!"
TUJUH Si tua Sinto Gendeng menerjang ke muka. Kapak besar di tangan kanannya membabat
kian kemari dalam jurus "orang gila mengebut lalat." Ketika tadi Wiro Saksana
memainkan jurus itu dengan mempergunakan sebilah keris, kehebatannya sudah luar biasa
apalagi kini penciptanya sendiri yang melakukannya maka dahsyatnya bukan olah-olah!
Kapak besar itu berkelebat kian kemari hampir tidak kelihatan karena cepatnya.
Angin deras bersiuran mengibar-ngibarkan pakaian Wiro. Angin deras ini bukan sembarang
angin karena bila menyambar kulit maka kulit itu perih bukan main, seperti lecet! Dan
dari mulut kepala naga pada ujung gagang kapak senantiasa keluar suara mendengung macam
tawon! Dalam sekejap saja Wiro Saksana segera terbungkus sambaran-sambaran kapak
bermata dua itu. Mata dan kulit tubuhnya perih terkena angin tajam yang menderu-
deru. Telinganya pengang oleh suara yang mengaung yang keluar dari mulut kepala naga-
nagaan pada gagang kapak.
"Ciaaaaatt!"
Wiro membentak dahsyat. Tubuhnya berkelebat dan lenyap detik itu juga. Tangan
dan kakinya sambar menyambar kian kemari, membuat gerakan menghindar dan menyerang
bagian-bagian yang lowong dari gurunya. Tapi mana dia sangup mengahadapi senjata
aneh yang dahsyat itu. Apalagi senjata tersebut berada dalam tangan Sinto Gendeng dan
mempergunakan jurus "orang gila mengebut lalat" yang sudah mencapai tingkat
kesempurnaannya. Dalam sekejap saja pemuda itu terdesak hebat. Lengah atau ayal
sedikit saja pastilah pinggang atau perut atau dada atau tenggorokannya akan kena
disambar mata kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
kapak. Hanya dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi yang
dimilikinyalah maka Wiro Saksana dapat menghindari sambaran-sambaran dan
bacokan- bacokan kapak bermata dua itu. Berkali-kali Wiro melepaskan pukulan-pukulan
tenaga dalam yang dahsyat. Namun angin pukulannya terbendung bahkan dihantam buyar oleh angin
tajam yang menderu yang keluar dari senjata di tangan gurunya.
"Senjata edan!" maki Wiro Saksana. Tiba-tiba dijatuhkannya tubuhnya ke bawah.
Serentak dengan itu tangan kanannya dengan jari-jari ditekuk kedalam meluncur ke
arah sambungan siku Eyang Sinto Gendeng.
Tapi pada detik itu pula kaki kanan sang guru menyapu dari atas ke bawah,
mencari sasaran di kepala Wiro Saksana. Mau tak mau ini pemuda terpaksa jatuhkan dan
gulingkan diri di tanah. Dengan demikian maka berakhirlah jurus pertama yang penuh
kehebatan itu. Sinto Gendeng berdiri dengan dada turun naik.
"Kini jurus kedua, Wiro!" katanya. Kedua kakinya dipentang lebar-lebar. Tubuhnya
membungkuk ke muka sedikit sedang kapak di tangan kanan dipegangnya lurus-lurus
ke muka ke arah Wiro Saksana. Dari balik pakaian hitamnya Eyang Sinto Gendeng
mengeluarkan benda hitam yang berkilauan ditimpa sinar matahari. Wiro tak dapat
memastikan benda apa yang ada dalam tangan kiri gurunya itu. Mungkin sebentuk
besi, mungkin juga sebuah batu.
Tiba-tiba tangan kiri Sinto Gendeng memukulkan benda di tangan kirinya ke kepala
kapak. Bunga api memijar. Dan sedetik kemudian lidah api yang dahsyat menyambar
ke arah Wiro Saksana! Terkejutnya pemuda itu bukan alang kepalang. Dia membentak dan lompat ke udara.
Lidah api lewat di bawahnya, kedua kakinya terasa perih panas dan bila dia
melirik ke belakang maka dilihatnya bagaimana semak belukar serta pepohonan terbakar
berkobar oleh sambaran lidah api tadi!.
Masih belum turun ke tanah lagi, maka Sinto Gendeng telah menyerang pemuda itu
untuk kedua kalinya. Lidah api menyambar lagi. Wiro bergulingan di tanah,
menghindarkan dengan sebat. Tanah yang tersambar lidah api kapak sakti itu menjadi hitam
hangus. Wiro leletkan lidahnya. Masih belum sempat dia mengatur nafas, tangan kiri dan tangan
kanan Sinto Gendeng bergerak lagi berkali-kali. Lidah-lidah api yang hampir setengah
lusin banyaknya menyambar tubuhnya dari enam jurusan!
Wiro memekik dahsyat. Meraung dan membentak. Kedua tangannya diangkat tinggi-
tinggi ke atas. Tubuhnya melompat kian kemari, mulutnya komat-kamit. Aji angin
es yang kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
ditebarkannya hanya bisa menahan gelombang lidah api yang menyambar tapi sama
sekali tidak dapat melenyapkan hawa panas lidah-lidah api itu!
Wiro Saksana kelagapan tapi masih belum hilang akal! Bentakan setinggi langit
melengking ke udara. Tubuh Wiro Saksana lenyap keluar dari sambaran-sambaran
lidah-lidah api untuk sesaat kemudian berguling di tanah dengan sangat cepatnya, menuju ke
tempat Eyang Sinto Gendeng berdiri.
Sambil bergulingan ini, Wiro lepaskan dua pukulan tangan kosong yang hebat. Satu
"kunyuk melempar buah" yang satu lagi "sinar matahari"! Mau tak mau Sinto
Gendeng hindarkan diri juga ke samping. Maka putuslah jurus kedua itu!
Wiro Saksana itu berdiri dengan tubuh berkeringat dingin. Dibelakangnya kobaran
api masih juga membakari semak belukar dan daun-daun pepohonan. Gurunya dilihatnya
berdiri tegak tak bergerak. Benda yang di tangan kirinya tadi ternyata adalah sebuah
batu api dan kini
sudah disimpannya kembali di balik pakaian hitamnya.
"Jurus terakhir Wiro....!" kata Eyang Sinto Gendeng.
Pemuda itu tahu, kalau dua jurus pertama tadi hebatnya bukan olah-olah maka jurus
ketiga atau yang terakhir ini tentu lebih dahsyat lagi. Karenanya dia benar-
benar lebih waspada dan teliti kini. Sepasang matanya yang hitam pekat itu menyorot tajam-
tajam ke depan. Sinto Gendeng memegang kapak itu dengan tebalik. Mulut naga-nagaan yang terbuka
di dekatkannya ke mulutnya sedang jari-jari tangannya menutup enam lobang di
batang kapak. Ketika Wiro Saksana tidak mengerti apa yang bakal diperbuat gurunya maka
terdengarlah suara tiupan seruling! Ternyata kapak itulah yang mengeluarkan
suara seruling tersebut dan ditiup oleh Sinto Gendeng!
Gema seruling itu mula-mula perlahan, halus dan lembut, memukau Wiro Saksana.
Kemudian tiupan seruling mengeras dan pembuluh-pembuluh darah di tubuh Wiro
seperti ditusuk-tusuk. Darahnya mengalir tidak karuan, menyendat-nyendat. Matanya
mengabur, kepalanya berat dan pusing!
Maklum bahwa tiupan seruling itu bukan tiupan biasa, cepat-cepat Wiro menghempos
tenaga dalam. Mengatur jalan nafas dan darahnya! Tapi kasip! Suara seruling
semakin kencang. Melengking dan menusuk-nusuk gendang-gendang telinga! Wiro kerahkan
lagi tenaga dalamnya. Mulutnya komat-kamit, kedua tangannuya menghantam ke arah Sinto
Gendeng, tapi sang guru kini tidak di tempat, melainkan berlari-lari sebat
mengelilingi kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
pemuda itu. Wiro membentak, tapi suaranya tidak keluar. Dari melompat tapi
tubuhnya terhuyung. Seluruh kekuatan luar dan dalamnya punah oleh tiupan seruling!
Pinggangnya tertekuk kemuka. Mendadak samar-samar ingatan jernih melintas di
otaknya. Cepat-cepat pemuda ini mentutup indera pendengarannya. Sukar sekali
mula-mula, karena saat itu kedua liang telinganya sudah mengeluarkan darah!
Tapi dengan kerahkan segala sisa tenaga yang ada pemuda ini sanggup juga menutup
pendengarannya. Begitu suara seruling lenyap dari telinganya maka perlahan-lahan
tenaga luar dan dalamnya yang tadi punah kini datang kembali. Tapi rasa yang menusuk-
nusuk pembuluh-pembuluh darahnya masih belum lenyap. Karenanya, diaturnya jalan nafas
dan darahnya. Pengaruh tiupan seruling sakti itu berhasil dilawannya sedikit demi
sedikit. Dan ketika dirasakannya sudah punya kekuatan untuk balas menyerang pemuda ini pura-
pura jatuhkan diri ke tanah, pura-pura pingsan. Namun begitu tangan kanannya
menyentuh tanah,
segera diraupnya pasir tanah itu dan dilemparkannya ke arah Sinto Gendeng!
Ratusan pasir yang sudah diisi dengan aji "angin puyuh" itu menderu ke arah
mulut naga-nagaan dan lobang-lobang di gagang kapak, ratusan butir lagi menyerang ke
muka Sinto Gendeng. Perempuan tua renta itu melepaskan mulutnya dari mulut kepala naga dan
cepat- cepat menghembuskan ke muka. Pasir-pasir yang menghambur menyerangnya rontok
kembali ke tanah! Bersamaan dengan itu Sinto Gendeng memasukkan kapak saktinya ke balik
pakaiannya. Berarti jurus ketiga yang mendebarkan itu berakhir sudah.
Wiro berdiri tersengal-sengal bersandar. Matanya tetap menyorot lekat-lekat dan
memperhatikan gerak-gerik gurunya. Meski tadi Eyang Sinto Gendeng mengatakan
hanya akan menyerangnya sebanyak tiga jurus, tapi bukan mustahil nenek-nenek itu akan
menyerangnya kembali! Tapi dilihatnya Eyang Sinto Gendeng cuma memandang saja
kepadnya. Wiro garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Sekian belas tahun lamanya
dia menuntut ilmu kesaktian dan ilmu silat baru hari ini diketahuinya bahwa Eyang
Sinto Gendeng memiliki sebuah senjata berbentuk kapak yang demikian anehnya, tapi juga
demikian hebatnya! Selama sekian tahun baru hari itu pula gurunya menggempur dia
dengan serangan-serangan yang benar-benar mematikan. Serangan-serangan yang dilancarkan
tidak dengan tertawa-tawa sebagaimana biasanya! Dihubungkannya pula dengan nyanyian
yang dibawakan gurunya tadi! Benar-benar banyak keanehan yang dilihat Wiro Saksana
hari ini. Tiba-tiba dilihatnya nenek-nenek sakti itu berkelebat. Wiro segera siapkan diri.
Terdengar suara tertawa yang meringkik-ringkik macam kuda.
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Gila betul!" maki Wiro. Dia cepat-cepat lompat ke samping karena Eyang Sinto
Gendeng berkelebat ke arahnya!
DELAPAN Tetapi Eyang Sinto bukan menyerangnya. Nenek-nenek sakti ini ternyata hanya
melompat ke atas pohon jambu klutuk dan duduk di cabang tempat dia duduk
sebelumnya. "Bagus Wiro.... bagus sekali," katanya. Mukanya dihadapkan lurus-lurus ke arah
timur. "Sekian lama kau kudidik di puncak Gunung Gede ini, ternyata tidak
mengecewakan....!" Sinto Gendeng tertawa melengking-lengking. Dan sehabis
tertawa tadi maka diulanginya nyanyian tadi. Nyanyian yang membuat hati Wiro Saksana menjadi
tergetar. Pitulas taun wus katilar,
Pucuking Gunung Gede isih panggah kaya biyen mulo,
Langit isih tetep biru,
Wulan lan suryo isih tetep mandeng lan kangen,
Pitulas taun agawe kang tua tambah tua.
Pitulas taun ndadekake bayi abang dadi pemuda kang gagah,
Pitulas taun wektu perjanjian,
Wiro Sableng 001 Empat Berewok Dari Goa Sanggreng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pitulas taun wiwitane perpisahan,
Pitulas taun wekdaling pamales.
Wiro duduk menghamparkan diri di bawah sebatang pohon di seberang pohon jambu
klutuk. Dilihatnya gurunya menghela nafas dalam beberapa kali.
"Dadamu sesak Eyang" Aku bisa tolong urut...."
"Diam!" bentak Sinto Gendeng.
Wiro menggaruk kepalanya dan diam.
"Aku mau bicara sama kau!" kata Sinto Gendeng pula.
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Bicara apa Eyang....?" Pemuda ini mulai bicara sungguh-sungguh karena
dilihatnya gurunya juga bicara sungguh-sungguh.
"Berapa lama kau tinggal di sini bersamaku, Wiro"!"
"Murid tidak ingat...."
"Gelo betul! Buat apa aku ajar tulis baca dan berhitung sama kau"!"
"Mungkin sepuluh tahun, Eyang...."
"Goblok! Tujuh belas tahun, tahu"!"
Wiro tertawa, "Iyyaa.... tujuh belas tahun Eyang," katanya pula.
"Kuharap hari ini kau jangan bicara sinting sama aku, Wiro!" bentak Sinto
Gendeng dan matanya masih terus menatap ke timur.
"Kau lihat matahari itu?"
"Lihat Eyang...." jawab Wiro seraya memandang ke timur.
"Matahari itu masih tetap matahari yang dulu juga, masih sama dengan matahari
tujuh belas tahun yang silam. Puncak Gunung Gede ini juga masih seperti dulu juga.
Cuma yang tua tambah tua, yang orok jadi pemuda! Cuma dunia luar yang banyak berobahnya!"
Wiro Saksana mendengarkan dengan sungguh-sungguh karena tak pernah dilihatnya
gurunya bicara seperti itu sebelumnya.
Kemudian terdengar kembali suara sang nenek. "Tujuhbelas tahun. Sekian lama kau
tinggal bersamaku. Belajar tulis baca, belajar ilmu silat, belajar segala
kesaktian. Tapi kau
jangan lupa! Kudu inget! Ilmu dan segala kesaktian apa yang telah aku berikan
sama kau semuanya adalah masih sangat terlalu kecil, terlalu sedikit, sama sekali tidak
ada artinya jika
dibandingkan dengan ilmu kekuasaan Gusti Allah. Kau mengerti, Wiro?"
"Ya, Eyang...."
"Karena itu kau musti sadar, kudu ingat. Kalau ini hari kau sudah menjadi sakti
mandraguna yang tak sembarang orang bisa menandingi kau, tapi hal utama yang
musti kau lakukan ialah menjauhkan diri dari segala sifat yang tidak baik! Kau jangan
sekali-kali bersifat sombong, congkak dan tekebur! Pakai semua ilmu yang kuberikan untuk
menolong sesama manusia, untuk kebaikan. Kalau kau nyeleweng, kau akan dapat balasan
sendiri di kemudian hari! Kau musti ingat bahwa bukan kau saja yang sakti di dunia ini. Kau
musti sadar bahwa diluar langit ada langit lagi. Kau sadar, Wiro?"
"Sadar, Eyang...."
"Ingat?"
"Ingat,Eyang...."
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Ingat.... ya ingat! Manusia ingat dengan pikirannya, sama otaknya! Tapi aku tak
mau kalau kau cuma sekedar mengingat saja karena setiap ada ingat musti ada lupa.
Dan manusia manapun selagi bernama manusia, suatu ketika tetap akan membawa sifat lupa itu.
Lupa dan kelupaan. Yang penting ialah kau musti menanamkan sedalam-dalamnya ke dalam
hatimu, ke dalam sanubarimu, ke dalam aliran kau punya darah, ke dalam detakan jantung, ke
dalam hembusan nafas! Sesuatu itu, jika ditanamkan dalam-dalam laksana sebatang pohon
jadinya, tak satu tanganpun yang sanggup mencabutnya dari bumi karena dari hari ke hari
akar yang membuat pohon itu tegak semakin kokoh dan jauh masuk ke dalam tanah!"
Kesunyian menyeling beberapa lamanya.
Kesunyian ini dipecahkan oleh suara Eyang Sinto Gendeng kembali.
"Hari ini adalah hari yang penghabisan kau berada di sini, Wiro!"
"Eyang....," terkejut Wiro Saksana mendengar kata-kata gurunya yang tiada
disangkanya itu.
"Kau terkejut...." Tak perlu terkejut. Di dunia ini selalu ada waktu bertemu
selalu ada waktu perpisahan. Waktu datang dan waktu pergi! Aku telah selesai dengan
kewajibanku memberikan segala macam ilmu kepada kau dan kau sudah selesai dengan kewajiban
kau yaitu menuntut dan mempelajari ilmu itu dari-ku...."
Dalam duduknya itu Wiro Saksana jadi tertegun. Jadi rupa-rupanya apa yang
dinyanyikan oleh Eyang Sinto Gendeng tadi ada hubungannya dengan peri
kehidupannya. Cuma yang belum dimengerti Wiro ialah barisan kalimat, Tujuh belas tahun masa
perjanjian.... tujuh belas tahun saat pembalasan....
Eyang Sinto Gendeng tiba-tiba melayang turun ke tanah kembali. Dia berdiri di
hadapan muridnya. Dan mulai lagi bicara.
"Segala apa yang ada di dunia ini selalu terdiri atas dua bagian, Wiro! Dua
bagian yang berlainan satu sama lain tapi yang menjadi pasangan-pasangannya...."
Wiro Saksana kerenyitkan kening tak mengerti. "Misalnya Eyang?" tanyanya.
"Misalnya...., ada laki-laki ada perempuan. Bukankah itu dua bagian yang
berlainan"
Tapi merupakan pasangan"!"
"Betul Eyang...."
"Misal lain.... ada langit.... ada bumi. Ada lautan ada daratan. Ada api ada
air.... ada panas ada dingin. Ada hidup ada mati, ada miskin ada kaya. Ada buta ada melek.
Ada lurus ada bengkok, ada panjang ada pendek, ada tinggi ada rendah, ada dalam ada cetek!
Semuanya selalu begitu Wiro, Kemudian.... ada susah ada senang, ada tertawa ada menangis.
Di atas kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
semua itu ada satu yang tertinggi. Yang satu ini ialah penciptanya. Siapa yang
ciptakan kau, Wiro....?"
"Tidak tahu Eyang...."
"Bogrol!"
"Aku tahu Eyang...."
"Siapa?"
"Ibu sama bapakku."
"Siapa yang mencipatakan ibu sama bapak kau?"
"Nenek sama kakek...."
"Yang menciptakan nenek sama kakek....?"
"Nenek dari nenek dan kakek dari kakek...."
"Dan yang menciptakan nenek dari nenek serta kakek dari kakek....?"
"Ya nenek dari nenek dari nenek dan kakek...."
"Geblek!" bentak Sinto Gendeng. "Manusia tidak pernah bisa menciptakan manusia!
Bapak kau kawin sama ibu kau dan ibu kau cuma melahirkan kau, lain tidak!! Ibu
kau dilahirkan sama nenek, kau begitu seterusnya goblok! Semua manusia ini, semua
apa saja di dunia ini diciptakan oleh Yang Satu. Oleh Gusti Allah! Hal-hal yang dua itupun
juga diciptakan dengan kodrat iradatnya Gusti Allah. Gusti Allah ciptakan laki-laki
juga Dia ciptakan perempuan. Gusti Allah bikin langit, juga bikin bumi. Bikin orang-orang
susah juga bikin orang-orang senang. Bikin manusia-manusia kaya juga bikin manusia-manusia
miskin. Sekarang aku mau tanya sama kau. Berapa kau punya mata?"
"Dua, Eyang."
"Hidung?"
"Satu Eyang."
"Lobang hidung?"
"Dua Eyang...."
"Mulut?"
"Satu...."
"Bibir?"
"Dua Eyang."
"Kepala?"
"Satu...."
"Tangan?"
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Dua...."
"Kaki....?"
"Juga dua Eyang...."
"Kau punya biji kemaluan....?"
"Dua Eyang," dan dalam hatinya Wiro memaki tapi geli.
"Kau punya batang kemaluan?"
"Satu Eyang...." Wiro geli lagi dan memaki lagi.
"Nah.... itu semua membuktikan di dunia ini kehidupan manusia adalah tak ubahnya
seperti bilangan dua dan satu, satu dan dua, dua satu dua dan seterusnya. Angka
dua dan satu itu selalu ada melekat dalam diri manusia. Dan semuanya itu hanya diciptakan
oleh Yang Maha Kuasa yakni Gusti Allah! Kehidupan dua dan satu ini, kehidupan dua satu dua
ini, dan adanya dua satu dua ini tak bisa diingkari dan harus melekat dalam diri manusia!
Manusia pasti akan merasakan senang susah, gembira sedih, kaya miskin, lapar kenyang,
hidup mati, dan manusia juga musti percaya pada yang satu yakni Gusti Allah...."
"Tapi manusia yang picak, Eyang, matanya cuma satu, manusia yang buntung kakinya
sebelah, berarti cuma punya satu kaki. Jadi dia tidak memiliki angka dua yang
sempurna dalam dirinya...."
"Betul, meski begitu berarti dia cuma punya satu mata, punya satu kaki! Nah,
bukankah ada juga melekat angka satu pada dirinya"! Aku sudah bilang sama kau
bahwa dalam diri manusia musti ada angka dua dan satu itu! Apa kau masih kurang
ngerti, goblok"!"
Wiro diam, kata-kata gurunya itu memang betul.
"Sekarang berdirilah kau!," perintah Eyang Sinto Gendeng.
Wiro Saksana berdiri.
Eyang Sinto Gendeng menyeringai dan tertawa cekikikan. Tiba-tiba dari balik
pakaian hitamnya dikeluarkannya kembali kapak saktinya. Terkejut Wiro Saksana dan pemuda
ini mundur beberapa langkah ke belakang. Sinto Gendeng menyeringai lagi, tertawa
lagi hingga kedua matanya berair.
SEMBILAN "Kenapa kau terkejut....?" tanya Eyang Sinto Gendeng. "Kau takut"!"
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Eyang mau bikin cilaka murid lagi"!" tanya Wiro Saksana bersiap-siap.
Dan nenek itu tertawa lagi melengking-lengking. Dia mundur sampai tujuh tombak
ke belakang. "Pejamkan matamu, Wiro!" perintah Eyang Sinto Gendeng pula.
"Tapi.... Eyang mau bikin apa"!"
"Eeee.... kunyuk betul kau! Aku suruh pejamkan mata malah banyak tanya!!
pejamkan matamu!" Wiro memejamkan matanya dengan ragu-ragu. Karena itu kedua mata itu
dipejamkannya tidak rapat betul.
"Biar rapat!" hardik Sinto Gendeng.
Dan Wiro terpaksa menutup matanya rapat-rapat.
"Buka bajumu!"
Wiro membuka bajunya dan meletakkannya di tanah. Kedua matanya tetap memejam.
"Buka tangan kananmu, naikkan ke atas dan hadapkan telapaknya kepadaku!",
perintah Sinto Gendeng lagi. Wiro mengikuti perintah itu.
Eyang Sinto Gendeng memegang mata kapak dengan tangan kanannya erat-erat. Salah
satu jarinya kemudian menempelkan disatu bagian rahasia pada gading dekat kepala
kapak yang terbuat dari besi putih itu.
"Apapun yang terjadi sekali-kali jangan buka kedua matamu dan sekali-kali jangan
bergeser. Kecuali kalau kau mau mampus!"
"Eyang...."
"Diam! Gila betul!," bentak Sinto Gendeng. Wiro terpaksa membungkam.
Perempuan tua itu menekan alat rahasia dekat kepala kapak. Maka dari mulut naga-
nagaan di hulu kapak melesat dengan suara menderu tiga puluh enam batang jarum
putih. Ketiga puluh enam jarum itu mendarat dan menancap di dada kanan Wiro Saksana.
Jarum-jarum ini menancap dengan teratur membentuk susunan angka 212. Pemuda itu
menjerit keras. Tubuhnya rebah ke tanah! Sekali lagi Sinto Gendeng menekan alat
rahasia dekat kepala kapak. Kini dua puluh empat batang jarum hitam meluncur dan
menancap di telapak tangan sebelah kanan Wiro Saksana! Pemuda ini menjerit lagi karena
tancapan jarum yang 36 tadi telah membuat dia tak sadarkan diri!
Sebelum Wiro Saksana siuman, Eyang Sinto Gendeng sudah mencabuti jarum-jarum
putih di dada pemuda itu, juga jarum-jarum hitam di telapak tangan kanan Wiro.
Dan ketika Wiro sadarkan diri maka dilihatnya di kulit dadanya terukir deretan angka-angka
212 berwarna hitam kebiruan. Angka-angka yang sama juga juga terdapat di telapak
tangannya. kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Wiro Sableng 001 Empat Berewok Dari Goa Sanggreng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bedanya angka-angaka yang di telapak tangan ini agak kecil dan berwarna putih
sehingga agak samar-samar kelihatannya.
"Berdiri Wiro!" perintah sang guru.
Wiro Saksana berdiri. Dia tak tahu apa sebenarnya yang telah dilakukan oleh
gurunya. Yang dia tahu tadi ialah suara yang menderu-deru, lalu dia menjerit, lalu roboh
dan.... tak ingat apa-apa lagi.
"Kau telah lihat angka 212 pada kulit dada dan telapak tangan kananmu?"
Wiro mengangguk.
"Berarti dalam dirimu sudah kulekatkan unsur-unsur keduniaan dan unsur ingat
Tuhan. Agar kau tidak lupa bahwa kau hidup di dunia adalah untuk menolong sesama
manusia. Juga agar kau tidak lupa bahwa kau mempunyai Tuhan yang harus dituruti
segala perintah dan dijauhkan segala laranganNya. Kau mengerti?"
"Mengerti Eyang. Tapi... mengapa badanku kini tiga kali lebih enteng dari
sebelumnya" Bahkan tenaga juga terasa bertambah hebat!"
Eyang Sinto Gendeng tertawa mengikik.
"Itu adalah berkat jarum kapak Naga Geni 212" kata Sinto Gendeng pula. Lalu
nenek- nenek ini menerangkan apa yang telah dilakukannya terhadap muridnya.
Wiro merasa mendapat anugerah ilmu tambahan segera berlutut dihadapan gurunya.
"Tak usah pakai peradatan segala macam. Berdirilah! Masih banyak yang aku mau
bicarakan sama kau," kata Sinto Gendeng pula.
Wiro berdiri. Sinto Gendeng mengeluarkan kapak dan batu hitam kembali. Diulurkannya benda-
benda itu. "Wiro.... kapak ini kuberi nama Kapak Naga Geni 212. Sepuluh tahun
lamanya kubutuhkan waktu untuk membuatnya dan telah dua puluh tahun lebih senjata ini
berada di tanganku. Rupanya kau ada jodoh dengan senjata ini. Terimalah...."
Tertegun dan hampir tak percaya Wiro Saksana mendengar ucapan gurunya. Tak
disangkanya bahwa dia bakal mendapat anugerah senjata yang sangat sakti itu. Dia
terdiam mematung seketika.
"Ayo Wiro! Kenapa kau jadi bimbang" Terimalah Kapak Naga Geni 212 ini untuk
kau!" Wiro Saksana mengulurkan kedua tangannya. Ketika senjata sakti itu menyentuh
tangannya mendadak sontak mengalirlah arus aneh yang dingin ke dalam tubuh Wiro.
Dan disaat itu pula dirasakannya tubuhnya naik sampai dua tingkat, padahal dia
merasa tingkat kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
tenaga dalam yang sudah dimilikinya sebelumnya sudah mencapai tingkat yang
paling sempurna! "Sisipkan di pinggangmu Wiro dan pakai kau punya baju kembali!"
Wiro melakukan apa yang dikatakan Eyang Sinto Gendeng. Kapak dan batu yang ada
angka 212-nya itu disisipkan ke pinggangnya.
"Kapak Naga Geni 212 bukan senjata sembarangan, Wiro. Karenanya juga tak boleh
kau pakai sembarangan. Pergunakanlah hanya pada saat-saat kau terdesak hebat
atau dalam keadaan nyawamu terancam. Kau telah lihat juga macam kehebatan kapak itu tadi,
tapi masih ada satu lagi kehebatannya yaitu bila kau tekan salah satu bagian di bawah mata
kapak itu maka akan berhamburanlah jarum-jarum putih dari mulut naga-nagaan.... Untuk
membuat angka 212 pada dada dan telapak tanganmu aku telah pergunakan jarum-jarum
semacam itu tadi. Cuma jarum-jarum tadi telah kuisi dengan sejenis racun yang hebat sehingga
tubuhmu akan kebal terhadap segala racun apapun juga! Tangan kananmu juga mempunyai
racun yang tersembunyi, Wiro. Jangan sembarangan mempergunakannya karena bisa mematikan
lawan!" Wiro Saksana hendak berlutut lagi, tapi segera dibentak oleh gurunya.
"Terima kasih Eyang.... terima kasih," kata pemuda itu.
Eyang Sinto Gendeng hanya keluarkan suara tertawa. Digaruk-garuknya kepalanya
yang berambut jarang dan yang kini hanya ditancapi dua buah tusuk kundai.
Kemudian mulailah dia untuk ketiga kalinya menyanyikan lagu tadi: Pitulas taun wus
katilar.... Ketika Sinto Gendeng selesai menyanyikan lagu itu maka bertanyalah Wiro.
"Eyang, apakah maksud Eyang dengan nyanyian itu....?"
Sinto Gendeng tertawa. Aneh sekali tawanya kali ini. Dan parasnya kelihatan
begitu sedih serta rawan. Kemudian ketika dia berkata, jelas suaranya itu bergetar
tanda dia tak dapat
menahan sesuatu yang menyesak di lubuk hatinya.
"Aku sudah bilang bahwa hari ini adalah hari yang penghabisan kau berada di
Gunung Gede ini bersamaku...."
"Mengapa demikian, Eyang....?" Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Karena segala ilmuku telah kupasrahkan kepadamu. Karena hari inilah saatnya
bagimu untuk turun gunung, memasuki alam dunia luar, membawa garis-garis
kehidupanmu sendiri yang telah ditentukan Gusti Allah...."
Sinto Gendeng diam seketika. Kemudian diteruskannya, "Sebelum kau meninggalkan
puncak Gunung Gede ini ada satu tugas yang musti kau lakukan...."
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Tugas apakah itu, Eyang?" tanya Wiro Saksana. Lagi-lagi digaruknya kepalanya
yang berambut gondrong itu.
"Dengar baik-baik Wiro.... Lebih dari empat puluh tahun yang silam aku telah
mengambil seorang murid bernama Suranyali. Waktu itu dia baru saja berumur dua
tahun. Dari umur dua tahun itulah aku mulai mendidiknya pelbagai ilmu dasar silat dan
kesaktian. Tapi kemudian aku ketahui bahwa aku telah ketelanjuran mengambil itu manusia
menjadi muridku. Suranyali kulepas turun gunung, kubekali pelbagai nasihat tapi dasar
Suranyali bukan manusia baik-baik, begitu turun gunung segala ilmu yang kuberikan padanya
dipakainya untuk perbuatan jahat, maksiat. Dia membuat keonaran dimana-mana!
Menjadi kepala perampok! Tukang peras bahkan menculik perempuan-perempuan cantik dan
merusak kehormatannya! Menurutku kini umurnya sudah hampir setengah abad, sudah dekat ke
liang kubur! Tapi ini sama sekali tidak memberikan keinsyafan pada dirinya.
Kejahatannya akhir-
akhir ini semakin menjadi-jadi, sudah lewat dari takaran! Kini dia tengah
menyusun rencana
busuk terhadap Pajajaran. Pajajaran hendak dibikinnya banjir darah! Karena itu
kau harus lekas-lekas dapat mencari itu manusia laknat dan perintahkan kepadanya untuk
datang ke sini menghadapku guna mempertanggungjawabkan segala apa yang telah dibuatnya selama
malang melintang di dunia sana! Dan perlu kau ketahui, Suranyali kini telah
memakai nama baru yakni Mahesa Birawa!"
Wiro Saksana merasa betapa sedihnya akan berpisah dengan gurunya yang selama 17
tahun telah mendidiknya itu. Tapi mengingat perpisahan itu adalah demi untuk
menjalankan tugas dari sang guru, terhibur juga sedikit hatinya. Dan berkatalah pemuda itu:
"Tugas Eyang akan aku laksanakan. Cuma bagaimana jika itu manusia Mahesa
Birawa tidak mau mematuhi perintah untuk datang ke sini....?"
"Jawabnya hanya satu Wiro. Pateni manusia itu! Bunuh manusia durhaka itu!"
Wiro Saksana terdiam. Dalam diamnya ini dia berpikir-pikir sampai dimanakah
ketinggian ilmu Suranyali atau Mahesa Birawa itu" Sanggupkah dia menghadapi
manusia yang sesungguhnya adalah kakak seperguruannya sendiri"!
"Aku tahu apa yang kau pikirkan Wiro," kata Eyang Sinto Gendeng pula tiba-tiba.
Ini mengejutkan Wiro Saksana. "Suranyali memang sakti bahkan kudengar dia telah
berguru pula pada seorang sakti di Gunung Lawu! Tapi kau tak usah takut! Kau memiliki kapak
Naga Geni 212. Dan kau berada dalam kebenaran pula! Sesungguhnya kau punya hak untuk
membunuh itu manusia, Wiro. Pertama karena tugas yang aku pikulkan dibatok kepalamu!
Kedua karena Suranyali atau Mahesa Birawa itulah yang telah membunuh kau punya ibu-bapak!"
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Mendadak sontak bergetarlah sekujur tubuh Wiro Saksana. Parasnya berubah kelam
membesi! Sejak kecil, sejak diam di puncak Gunung Gede itu belum pernah dia
mengetahui apa yang dinamakan kebencian dan dendam kesumat! Tapi saat itu dadanya serasa
mau pecah oleh kobaran kebencian dan amarah serta dendam yang tiada terkirakan!.
"Bapakmu bernama Ranaweleng! Dibunuh oleh Suranyali. Ibumu dilarikannya.
Sesudah itu bunuh diri sesudah dirusak kehormatannya. Kau sendiri hampir menemui
ajal dimakan api sewaktu rumah bapakmu dibakar oleh Suranyali dan anak buahnya.
Kebetulan sekali aku lewat disitu...."
Wiro menjatuhkan diri di hadapan gurunya. "Terima kasih Eyang.... kalau Eyang
tidak ada...." "Berdiri!" bentak Sinto Gendeng. Perempuan aneh itu memang paling tidak suka
dilututi seperti itu. "Bukan aku yang menolong kau, tapi Gusti Allah!" katanya.
"Ayo berdiri!" Wiro berdiri kembali. Dan Sinto Gendeng menuturkan peristiwa tujuh belas tahun
yang lalu sejelas-jelasnya. Kini maklumlah Wiro apa arti kata-kata dalam
nyanyian gurunya
tadi. Dikuatkan hatinya untuk mengendalikan perasaannya yang campur aduk.
Dikuatkannya dirinya untuk membendung air mata yang hendak tumpah dari kelompok matanya!
"Eyang....," desis Wiro Saksana, "Sewaktu Eyang turun ke kampung Jatiwalu itu,
mengapa Eyang tidak langsung turun tangan....?"
Sinto Gendeng tertawa rawan.
"Semustinya.... semustinya memang aku harus turun tangan saat itu. Tapi ketika
kutahu bahwa Ranaweleng - bapakmu - mempunyai seorang orok maka aku mempunyai
pikiran lain! Kalau kupelihara anak itu dan kudidik ilmu silat seta kesaktian
maka jika sudah
besar dia lebih mempunyai hak dariku untuk menamatkan riwayat Suranyali alias
Mahesa Birawa. Kalau tidak percuma saja aku ajarkan kepadamu bahwa kehidupan di dunia
ini tersimpul dalam tiga barisan angka 212. Bukankah setiap budi ada balas" Setiap
kejahatan ada pembalasannya" Tuhan telah menolongmu, berarti itu angka 1. Suranyali membunuh
orang tuamu berarti itu angka2, Wiro! Jangan sekali-kali kau lupakan!"
"Menurut Eyang, apakah manusia keparat itu masih ada di kampung Jatiwalu bersama
anak-anak buahnya....?"
"Tak dapat kupastikan, Wiro. Itu tugasmu untuk menyelidik. Yang aku tahu ialah
bahwa manusia itu hendak membuat Pajajran banjir darah. Karenanya, seret dia ke
sini sebelum hal itu terjadi. Dan kalau dia tidak mau, pateni saja!!" (pateni=bunuh).
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Sunyi selang beberapa lamanya. Kedua orang itu tenggelam dalam alam pikiran
masing-masing. "Kau akan segera berangkat, Wiro?"
Pemuda itu tak segera menjawab. Kemudian dia mengangguk perlahan.
"Ucapanku yang terakhir Wiro, mulai saat kau turun gunung ini, pakailah nama
WIRO SABLENG. Itu lebih baik bagi kau. Gurunya GENDENG, muridnya SABLENG." Dan habis
berkata demikian si nenek tua ini tertawa mengikik lama dan panjang. Namun
tertawa itu hanyalah untuk menyembunyikan hati yang rawan, sedih itu untuk membendung air
mata yang hendak tumpah keluar!
"Eyang.... kapan kita bisa bertemu lagi?" tanya Wiro.
Sang guru hentikan tertawanya. "Selama langit masih biru, selama hutan masih
hijau, selama air sungai masih mengalir ke laut, kita pasti bertemu lagi Wiro
Sableng....!"
SEPULUH Kedai nasi itu cukup besar. Tapi saat itu pengunjungnya cuma beberapa orang.
Wiro Sableng meneguk air liurnya. Dia tak punya banyak uang tapi perutnya perih dan
lapar, tenggorokannya kering dahaga. Akhirnya dia masuk juga ke dalam kedai itu. Wiro
duduk di satu sudut. Kursi-kursi dan meja lengket oleh debu. Tapi pemuda rambut gondrong
ini terus saja duduk seenaknya tanpa mengacuhkan debu itu.
Seorang laki-laki tua ubanan datang mendekatinya. Dia adalah pemilik kedai.
"Makan nak....?" tegurnya.
Wiro mengangguk. "Tapi jangan mahal-mahal, aku tak punya banyak uang!" kata
Wiro Sableng terus terang.
Pemilik warung itu kerutkan kening. Selama dia membuka kedai di Jatiwalu itu
baru hari ini ada seorang tamu yang datang di kedainya dan berkata seperti itu.
Matanya meneliti
Wiro Sableng dari rambutnya yang gondrong sampai ke kakinya yang berdebu.
"Kau tentu seorang pendatang....", katanya.
"Betul," Wiro menggaruk-garuk rambutnya. "Tolong lekas nasinya, pak, perutku
sudah lapar betul....!"
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Orang kedai itu segera mengambilkan sepiring nasi dan segelas air lalu
diletakkannya
Wiro Sableng 001 Empat Berewok Dari Goa Sanggreng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di atas meja di hadapan Wiro. Titik air liur pemuda ini. Selama tujuh belas
tahun di puncak
Gunung Gede dia hanya kenal nasi merah dan sayur. Kini menghadapi nasi putih dan
ikan serta gulai yang lezat maka lahaplah makan Wiro. Keringat memercik di kulit
mukanya. Kemudian diteguknya air. Pada saat dia mengusapi perutnya yang buncit keras itu
maka masuklah empat orang laki-laki. Semuanya berpakaian serba hitam, memakai golok
di pinggang. Tampang-tampang mereka sungguh tak sedap dipandang. Mereka masuk dan
duduk dengan seenaknya. Keempatnya memelihara berewok.
Pemilik kedai melihat kehadiran keempat orang ini dengan cepat datang melayani.
Agaknya keempat manusia ini pastilah orang-orang penting juga. Tak lama kemudian
maka dihidangkanlah makanan yang lezat-lezat di atas meja. Tuak murni pun diletakkan
dalam sebuah bumbung bambu berikut empat buah gelas yang juga dari bambu.
Keempat orang itu makan dengan angkat kaki. Suara celepak-celapak mulut mereka
terdengar sampai ke tempat Wiro Sableng duduk. Tapi tentu saja pemuda ini tak
mau ambil peduli. Meski mereka menyiplak sampai sekeras geledek pun dia tak akan ambil
pusing! Wiro Sableng melambaikan tangan memanggil pemilik kedai.
"Berapa aku musti bayar?" tanya Wiro.
Orang kedai itu menyebutkan jumlah uang yang musti dibayar Wiro.
"Waduh... mahal sekali!" keluh Wiro. "Tadi aku sudah bilang jangan mahal-
mahal..." "Itu juga sudah sangat murah, Nak," kata orang kedai.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. "Habis uangku buat bayar makanan itu."
Dikeluarkannya uangnya dan diberikannya pada orang di kedai.
Pada saat itu pula terdengar gelak tawa keempat orang yang duduk di meja
seberang sana. Salah seorang dari mereka, yang berbadan gemuk pendek dan berkepala botak
berkata, "Kalau tidak gablek uang, jangan masuk kedai, Bung!"
Yang seorang lagi menyambungi, "Dari pada takut-takut keluar uang, sebaiknya
cari saja makanan di tong sampah!"
Keempat orang itu tertawa gelak-gelak.
Wiro memandang kepada mereka. Diejek demikian rupa pemuda ini tenang-tenang
saja malahan sunggingkan senyum dan garuk-garuk kepala.
Laki-laki yang berkumis panjang menjulai ke bawah bertanya, "Kau mau uang buat
beli makanan?"
"Mau saja kalau diberi," jawab Wiro sejujurnya. Digaruknya lagi kepalanya.
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Merangkaklah dihadapanku, menyalak tiga kali dan tuanmu ini pasti akan kasih
uang kepadamu" Atap kedai itu seperti mau runtuh oleh suara tertawa keempat orang itu.
Wiro memandang berkeliling. Ketika dilihatnya beberapa sisir pisang ambon yang
berjejer digantung di atas meja tempat meletakkan ikan dan gulai maka tertawalah
pemuda itu. Mula-mula perlahan tapi makin lama makin keras dan dia melangkah mendekati
deretan pisang itu. Dikeluarkannya sisa seluruh uangnya yang masih ada yang tak seberapa
tapi cukup untuk membeli sesisir pisang.
"Aku beli pisangmu, pak," kata Wiro.
Diturunkannya sesisisr sambil melangkah ke pintu dipotesnya sekaligus empat buah
pisang. Dia melangkah juga ke pintu sementara di belakangnya masih terdengar
suara gelak tawa keempat orang tadi.
Tiba-tiba hampir tak kelihatan saking cepatnya, dan tanpa berpaling sama sekali
Wiro Sableng gerakkan tangan kanannya. Empat buah pisang meluncur lewat bahunya.
Di belakangnya suara tertawa keempat orang tadi mendadak sontak berhenti,
berganti dengan suara-suara tercekik! Keempat buah pisang itu telah jeblos ke dalam mulut
empat manusia berpakaian hitam-hitam itu. Jangankan untuk tertawa, bernafaspun mereka
sudah megap-megap! Dan diluar sana Wiro Sableng sambil senyum-senyum melangkah terus
sepanjang jalan. Dipotesnya sebuah pisang dan mulai memakannya.
Dia melangkah terus dan acuh tak acuh ketika beberapa saat kemudian didengarnya
derap kaki empat orang dalam kedai tadi mengejarnya.
"Bikin mampus saja sama kawan-kawan!" teriak salah seorang pengejar.
"Berani kurang ajar sama kita orang! Cincang sampai lumat!," kata yang berbadan
paling tinggi. Wiro Sableng terus juga melangkah enak-enak. Cuma sekali-kali tangan kanannya
dilambaikannya ke belakang untuk melemparkan kulit-kulit pisang yang dimakannya.
Namun lambaian tangan itu bukan lambaian tangan biasa yang hanya sekedar melemparkan
kulit pisang belaka! Dari tangan kanan pemuda itu membadai angin dahsyat laksana
tembok baja yang membendung lari keempat orang pengejar itu! Betapapun mereka mempercepat
lari mereka namun tetap saja mereka tak sanggup mengejar Wiro Sableng padahal
kelihatannya pemuda itu hanya tinggal sepejangkauan tangan lagi!
Keempat orang itu berteriak-teriak, memaki dan menggeram, menggapai-gapaikan
tangan ke muka karena merasa hampir-hampir dapat menagkap punggung baju Wiro
Sableng! kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Namun gerakan-gerakan mereka itu tak ubahnya seperti empat ekor monyet yang
menjadi gila mencak-mencak kian kemari! Dan orang yang dikejar terus juga berjalan ongkang-
ongkang bahkan sambil makan pisang ambon!
Mengapa sampai terjadi hal yang demikian, lain tidak karena Wiro Sableng telah
mengeluarkan ilmu kesaktiannya yang bernama: dinding angin berhembus tindih
menindih! "Gila betul!" teriak laki-laki tinggi jangkung yang lari paling depan. Namanya
Bergola Wungu. Dialah yang menjadi pemimpin dari tiga orang lainnya dan dialah yang
memiliki ilmu paling tinggi!
Dengan sangat geram, sambil lari dicabutnya sebilah belati dari pinggangnya dan
dilemparkannya ke arah punggung Wiro Sableng. Tapi anehnya pisau itu melesat
kembali, berbalik menyerang Bergola Wungu! Kalau saja dia tidak cepat-cepat buang diri ke
samping pastilah lehernya akan dimakan ujung pisau!
Akhirnya dengan keluarkan keringat dingin, Bergola Wungu dan anak-anak buahnya
hentikan pengejaran. Baru hari ini Bergola Wungu serta anak-anak buahnya
menghadapi kejadian seperti itu. Kejadian yang mendekam hati tapi juga aneh tak bisa mereka
mengerti. Sebagai pemimpin dari tiga orang itu, sebagai orang yang paling tinggi ilmu
silat dan kesaktiannya sudah barang tentu Bergola Wungu malunya bukan main! Untuk mencuci
mukanya dia berkata menggerendeng:
"Kalau bangsat itu bukannya manusia siluman pastilah dia iblis bermuka manusia!"
SEBELAS Siapakah keempat manusia berpakaian serba hitam dan sama-sama memelihara
berewok itu" Mereka menamakan diri Empat Berewok dari Goa Sanggreng dengan
Bergola Wungu sebagai pimpinannya. Mereka tak lain adalah komplotan rampok yang malang
melintang sepanjang sungai Cimandilu yang terkenal keganasannya di daerah
sekitar situ. Dulunya, Bergola Wungu adalah turunan orang baik-baik yang ayahnya mati ditangan
Kalingundil, kepala rampok yang malang melintang dan bersarang di kampung
Jatiwalu. Sesudah ayahnya dibunuh, keluarganya ditumpas sedang keganasan Kalingundil dan
tiga orang anak buahnya semakin menjadi-jadi melanda Jatiwalu maka Bergola Wungu
yang saat itu berumur dua puluh enam tahun meninggalkan kampung kelahirannya dengan
satu kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
tekat yaitu mencari guru silat yang dapat mengajarkan ilmu dan kesaktian
kepadanya. Dia berhasil menemukan seorang guru dan kemudiannya berhasil pula mendapat tiga
orang anak buah, maka malang melintanglah Bergola Wungu di sepanjang sungai Cimandilu,
menjadi kepala perampok yang ditakuti.
Dan ketika dirasakannya saat untuk melakukan pembalasan sudah tiba maka bersama
ketiga orang anak buahnya berangkatlah dia menuju Jatiwalu. Tapi sewaktu sampai
di Jatiwalu, Kalingundil dan anak-anak buahnya tak ada di sana, pergi keluar
kampung dan tak
satu orangpun yang tahu. Rumahnya kosong dan sepi. Bergola Wungu memutuskan
untuk menunggu sampai musuh besarnya itu kembali. Dan sampai hari itu Kalingundil
masih juga belum muncul. Mereka duduk di dalam kedai di tempat semula. Untuk berapa lamanya tak satupun
yang bisa bicara. Bergola Wungu teguk tuaknya sampai habis.
"Kurasa manusia itu mungkin salah seorang anak buah Kalingundil....", kata Ketut
Ireng, laki-laki yang duduk di hadapan Bergola Wungu.
Bergola Wungu letakkan gelas bambunya ke meja. Dia berpikir, kalau yang tadi itu
benar-benar anak buah Kalingundil, pastilah maksudnya untuk menuntut balas akan
menemui kegagalan. Kalau anak buah Kalingundil sudah demikian hebatnya, apalagi
Kalingundil sendiri! Memang waktu lima belas tahun belakangan ini adalah waktu yang cukup
lama untuk menambah ilmu kesaktian. Tapi bila kehebatan anak buah Kalingundil seperti
kenyataan tadi,
ini adalah tiada diduga Bergola Wungu sama sekali!
"Tidak mungkin....," desis Bergola Wungu. "Tak mungkin manusia tadi adalah anak
buah Kalingundil! Lagi kita belum yakin betul apa dia benar-benar manusia! Dan
aku ingat bahwa Kalingundil cuma punya tiga orang kaki tangan! Aku kenal tampang-tampang
mereka semua!" "Tapi bukan mustahil selama belasan tahun ini jumlah anak buahnya bertambah,"
menyela laki-laki yang bernama Seta Inging.
"Aku tetap tidak mau percaya....!", kata Bergola Wungu. Dilambaikannya tangannya
pada pemilik kedai. "Sini!", bentaknya.
Orang tua pemilik kedai datang dengan ketakutan dan terbungkuk-bungkuk.
"Berapa orang anak buah Kalingundil semuanya?"
"Cuma tiga, Den. Cuma tiga...."
"Masih yang dulu-dulu juga....?"
Orang tua itu mengangguk.
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Dan tak satu manusiapun disini yang tahu kemana mereka pergi"!"
"Tidak satupun, Den...."
"Selain mereka berempat, siapa lagi yang diam di rumah besar itu....?"
"Tidak ada, Den...."
"Dulu kudengar dia punya bini...."
"Sudah meninggal, Den...."
"Juga seorang anak perempuan.... Apa juga sudah meninggal"!"
"Tidak."
"Kalau begitu dimana perempuan itu sekarang?"
"Bapak tidak tahu, Den...."
"Dusta!"
"Sungguh tidak tahu, Den...."
"Bakar saja kedai ini!", ancam Ketut Ireng.
Dan orang tua itupun berlutut minta dikasihani. "Jangan den.... sungguh bapak
tidak tahu. Jangan dibakar kedai ini den.... Kasihani bapak.... Tapi mungkin dia ikut
bersama Kalingundil. Mungkin juga.... Mungkin juga menginap di tempat bibinya...."
"Dimana tempat bibinya?"
"Tidak tahu, Den...."
"Tidak tahu melulu!", bentak Bergola Wungu.
"Kalian manusia-manusia yang sudah diinjak-injak kemanusiaannya oleh
Kalingundil, yang diperas dan dipreteli harta kekayaannya, yang dibunuh dan disiksa, masih
saja melindungi manusia-manusia keparat itu!"
"Kami semua benci dan mendendam terhadap Kalingundil serta anak buahnya, Den.
Tapi kami ini rakyat lemah. Tak ada daya untuk melawan..........."
"Kalian bukan lemah tapi bodoh dan pengecut!" bentak Ketut Ireng. Lalu
sambungnya, "jika beberapa hari dimuka ini kami masih belum juga menemui
Kalingundil dan cecunguk-cecunguknya itu, akan kubakar rumahnya, juga seluruh kampung
ini....!" "Oh jangan, Den.... Jangan, Den. Sekurang-kurangnya Raden musti ingat bahwa
kampung ini dulunya adalah kampung raden juga...."
"Dulu!" kata Bergola Wungu, "tapi sesudah bapakku dibunuh dan keluargaku
ditumpas, kampung ini bukan kampungku lagi! Orang-orang di kampung ini berdiam
diri, tak ambil perduli ketika ibuku dirusak kehormatannya, ketika saudara-saudaraku
ditebas lehernya! Patutkah kuakui ini sebagai kampungku" Persetan sama kampung keparat
ini!" kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Bergola Wungu membantingkan gelas bambunya ke meja. Papan meja pecah, gelas
bambu mental terbelah dua!
"Mereka bukannya takut, den, bukan tak mau menolong, tapi tak punya daya.
Kalingundil dan anak buahnya berilmu tinggi...."
"Diam!", bentak Bergola Wungu.
Wiro Sableng 001 Empat Berewok Dari Goa Sanggreng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang tua pemilik kedai itu diam membungkam.
Ketut Ireng ambil bagian kini, "Kau tahu siapa itu manusia rambut gondrong yang
tadi makan di sini"!"
"Tidak tahu, Den. Sungguh tidak tahu......."
"Sudah pergi sana!" bentak Bergola Wungu.
Orang tua itu berlalu dengan cepat. Tak lama kemudian Bergola Wungu dan ketiga
anak buahnya meninggalkan kedai tanpa membayar satu peser tengikpun atas apa
yang telah mereka makan dan mereka minum!
DUABELAS Dia masih juga mencabuti rerumputan yang bertumbuhan di makam itu. Dia sama
sekali tak mengacuhkan derap kaki kuda yang menggeru di belakangnya karena
menyangka bahwa itu adalah kuda-kuda yang biasa lalu lalang di tempat tersebut. Tapi
tangannya yang halus itu berhenti mencabuti rerumputan ketika di belakangnya terdengar suara
tertawa seseorang. "Ha.... ha.... inikah manusia yang menjadi anak tunggal keparat Kalingundil"!"
Gadis enam belas tahun yang berlutut di muka makam itu putar kepala. Empat orang
penunggang kuda dilihatnya berjejer di belakangnya. Penunggang kuda yang paling
depanlah yang tadi tertawa dan buka suara. Tubuhnya jangkung, berewoknya lebih lebat dari
berewok tiga manusia lainnya, tampangnyapun lebih angker.
"He.... he.... cantik juga parasnya huh"!", kata laki-laki ini yang tak lain dari
Bergola Wungu adanya. "Tapi sayang, kepalanya musti kita pisahkan dari badannya. Bukankah demikian,
Bergola Wungu"!"
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Betul, tapi tak perlu cepat-cepat. Agaknya dia bisa memuaskan seleraku dan
kalian semua!" Keempat orang itu tertawa bekakakan.
"Kunyuk-kunyuk hitam berewok! Kalian siapa"!", bentak gadis berbaju biru. Dengan
enteng dia berdiri. Tangan kanan memegang hulu pedang yang tersisip di pinggang.
"Eh, galak juga betina ini!", kata Ketut Ireng.
"Tapi kalau kau mau kenal kami, aku tak keberatan untuk memperkenalkan diri.
Namaku Ketut Ireng.... Ini Bergola Wungu. Yang ini, yang gemuk pendek Seta Inging
dan ini yang matanya jereng Pitala Kuning. Nah... nah... sekarang kau tak keberatan
kasih tahu namamu....?" Keempat orang itu tertawa lagi.
"Manusia edan! Berlalulah dari hadapanku! Kecuali kalau mau rasa tebasan
pedangku!"
"Ah, besar mulutnya sama saja sama bapaknya!", kata Bergola Wungu sambil usap-
usap berewoknya. "Ketahuilah kami datang untuk mengirim bapakmu ke liang kubur.
Itupun kalau ada liang kubur yang masih mau menerimanya!"
"Mulutmu terlalu besar monyet berewok!", hardik gadis itu. "Aku mau lihat apakah
juga cukup besar untuk menerima ujung pedangku ini"!"
Diiringi dengan pekik yang membising maka berkiblatlah sebatang pedang ke arah
kepala Bergola Wungu! Kejut keempat orang itu, terutama Bergola Wungu sendiri
tidak terkirakan. Kalau tidak cepat dia buang diri dari punggung kuda pastilah
kepalanya akan terbelah dua. Tapi selagi tubuhnya melayang di udara, maka saat itu pula pedang di tangan si
gadis sekali lagi membabat sebat. Bergola Wungu membentak keras dan jungkir balik ke
samping kiri. Pedang si gadis yang seharusnya membabat kutung pinggangnya kini menemui
sasarannya di leher kuda tunggangan Bergola Wungu. Kuda itu meringkik dahsyat
sebelum meregang nyawa. Menggelepar-gelepar dengan leher hampir putus. Kuda-kuda yang
lainnya latah meringkik dan menjadi binal melihat muncratan darah. Untung saja tiga
penunggangnya sudah melompat lebih dahulu. Kalau tidak pastilah mereka akan dilempar mental!
Tiga ekor kuda itu seperti gila kemudian lari menghambur menerjangi batu-batu nisan
pekuburan! "Iblis betina!", kertak Bergola Wungu. "Meski kau punya tampang cantik dan tubuh
mulus, apa kau sangka aku ragu-ragu untuk menebas kau punya batang leher"!"
"Jangan jual bacot kunyuk berewok! Lihat pedang!" pedang di tangan si gadis itu
berkelebat lagi lebih cepat dan sebat.
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
"Sreet!" Bergola Wungu cabut golok panjangnya.
Dan.... "Trang!"
Dua senjata beradu keras di udara memercikkan bunga api yang menyilaukan mata.
Tangan Bergola Wungu tergetar kesemutan sedang si gadis baju biru terpental
beberapa langkah ke belakang. Pedang di tangannya hampir saja terlepas!
Meski tahu kalau tenaga dalam dan ilmu silat manusia berewok itu lebih tinggi
dari padanya, namun gadis yang keras hati ini tidak menjadi kecut. Dengan lengkingan
dahsyat yang keluar dari tenggorokannya maka berubahlah tubuhnya menjadi bayang-bayang.
Sinar pedang menggebubu membungkus tubuh Bergola Wungu!
Tapi Bergola Wungu bukan manusia hijau dalam dunia persilatan. Bukan anak
kemarin. Percuma dia malang melintang belasan tahun menjadi pemimpin dari Empat
Berewok dari Goa Sanggreng. Sekali dia enjot kedua kaki maka tubuhnyapun lenyap
dari pemandangan. "Breet.... breet.... breet.... breet....!!!"
Gadis baju biru terpekik dan keluar dari kalangan pertempuran. Mukanya merah
gelap ketika menyadari bagaimana ujung golok Bergola Wungu telah membuat lebih dari
sepuluh robekan pada pakaiannya sehingga gadis itu kini hampir berada dalam keadaan
setengah telanjang! "Manusia binatang!" rutuk gadis baju biru. "Hari ini aku mengadu nyawa
terhadapmu!" Dengan segala kekalapan dia menyerbu ke muka. Pedangnya menderu
laksana topan. Bergola Wungu berkelit ke samping. Pedang si gadis hantam batu nisan
sehingga terkutung dua! Dia kembali membabat ke arah pinggang. Tapi pada saat itu lengan
kiri Bergola Wungu telah menghantam pergelangan tangan kanannya, membuat pedangnya
terlepas dan mental jauh.
"Ha.... ha.... hari ini tamatlah riwayatmu sebagai anak Kalingundil!"
Golok panjang di tangan Bergola Wungu kembali mebabat kian kemari. Kembali
terdengar suara: breet.... breet.... breet....! Dan kini celana biru si gadis
yang menjadi sasaran
ujung golok. Dalam waktu setengah jurus saja boleh dikatakan gadis itu sudah
hampir telanjang. Pakaiannya yang robek-robek besar tiada sanggup menutupi keputihan
buah dada, perut, punggung serta pahanya!
Dengan andalkan kecepatan gerak bahkan dengan gulingkan diri di tanah anak
perempuan Kalingundil ini berusaha untuk selamatkan diri. Namun ujung golok
Bergola kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Wungu benar-benar telah mengurungnya dari pelbagai jurusan. Tak mungkin baginya
untuk lari, tak mungkin baginya untuk selamatkan nyawa!
"Sreet....!"
Ujung rambut gadis itu terbabat putus.
"Sreet....!"
Tali celana biru si gadis terkutung putus sehingga celana itu jatuh dari
pinggangnya dan auratnya benar-benar tiada tertutup kini!
"Bedebah! Bunuh saja aku! Bunuh!" teriak gadis itu.
Bergola Wungu tertawa mengakak.
"Bunuh soal mudah!", katanya sambil tekankan ujung golok ke tenggorokan gadis
itu. "tapi apa kau tahu bahwa dulu sebelum membunuh ibuku, kau punya bapak lebih dulu
memperkosanya"! Ha.... ha.... Hukum karma kini berlaku! Hukum karma!"
Tiba-tiba dengan kecepatan yang luar biasa si gadis sorongkan batang lehernya ke
muka. Tapi gerakan Bergola Wungu lebih cepat lagi. Ujung golok digesernya ke
samping. Begitu si gadis terdorong ke muka maka tangan kirinya dengan sigap menyambar
rambutsi gadis. Gadis yang hampir tak berdaya itu masih berusaha menendangkan kakinya ke
muka. Serangan yang tak berarti itu tidak mengenai sasarannya. Bergola Wungu
melemparkan gadis
itu ke tanah kemudian menyergapnya dengan ganas. Keduanya bergulung-gulung. Yang
satu berusaha untuk mempertahankan kehormatannya, yang satu sengaja untuk
menghancurkan kehormatan itu!
"Kawan-kawan!", teriak Bergola Wungu. "Jangan diam saja! Gadis ini adalah bagian
kita semua! Ayo tunggu apa lagi"!"
Serentak dengan itu tiga orang anak buah Bergola Wungu segera menyerbu pula.
Seorang gadis, empat laki-laki bergulung-gulung di tanah pekuburan! Menjerit,
berteriak, menendang dan menerjang. Seakan-akan mereka semua sudah sinting kemasukan setan-
setan kuburan! TIGABELAS Pembalasan dendam kesumat memang dahsyat.
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Apalagi kini disertai dengan dorongan nafsu hewan yang meluap-luap. Keadaan
Nilamsuri benar-benar sudah kepepet. Tenaganya sudah hampir habis. Empat pasang
tangan manusia menggerayang di seluruh tubuh yang tertelentang di atas sebuah makam
tua. "Ha....ha...ha! Tulang belulang kau punya ibu akan menyaksikan pelaksanaan hukum
karma ini!" kata Bergola Wungu.
Nilamsuri hantamkan lututnya ke perut laki-laki itu ketika Bergola Wungu hendak
mendatanginya dari atas. Tapi hantaman lutut yang tiada bertenaga sama sekali
itu tiada terasa
oleh manusia berewok itu!
"Keparat! Bunuh saja aku! Bunuh!", teriak Nilamsuri.
"Kehormatanmu dulu, baru nyawamu!." Bergola Wungu mengekeh. Disaksikan oleh
tiga anak buahnya yang juga menggerayangi tubuh gadis enam belas tahun itu,
Bergola Wungu mulai melaksanakan niat terkutuknya. Runtuhlah harapan Nilamsuri untuk
bisa selamatkan diri. Air mata meleleh di pipinya.
Namun nasib Nilamsuri tidak seburuk yang dibayangkannya saat itu. Satu bayangan
putih berkelebat dari sebelah timur pekuburan yang tanahnya agak membukit. Dan
tahu-tahu keempat orang yang mengerumuni Nilamsuri menjadi kaku tegang laksana patung
batu! Nilamsuri yang hanya merasakan sambaran angin serta gerayangan-gerayangan tangan
pada tubuhnya berhenti dengan mendadak, membuka kedua matanya yang berkaca-kaca
itu. Terkejut sekali dan hampir tak percaya dia melihat bagaimana keempat manusia
berewok itu masih berjongkok di sekelilingnya tapi mata mereka semua melotot dan tubuh
mereka tegang kaku! Gadis ini bangkit dengan cepat. Apakah yang telah terjadi dengan keempat manusia
itu" Dia ingat pada desiran angin tadi. Mungkin ada manusia yang telah
menolongnya"
Manusia yang mempunyai kesaktian luar biasa" Diperhatikannya keempat laki-laki
itu. Ternyata mereka tertotok urat besar di pangkal leher masing-masing. Atau mungkin
keempatnya telah dicekik oleh setan kuburan"!
Peristiwa yang sangat aneh itu membuat Nilamsuri lupa akan keadaan dirinya
sendiri saat itu. Dia memandang berkeliling. Matanya membentur segulung benda putih yang
tergeletak di atas batu nisan sebuah kuburan. Benda ini adalah sehelai baju dan
celana putih. Dan memandang pakaian itu sekaligus mengingatkan Nilamsuri pada keadaan dirinya.
Tanpa perduli lagi siapa pemilik pakaian itu, tanpa ambil pusing lagi bagaimana
pakaian itu bisa
berada di atas kuburan tersebut si gadis langsung saja melompat, menyambar
pakaian itu dan
lari ke balik serumpun semak-semak. Dikenakannya pakaian itu cepat-cepat. Meski
agak kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
kebesaran sedikit, tapi pakaian itu memberi banyak pertolongan bagi Nilamsuri
dan si gadis merasa sangat bersyukur.
Dia keluar dari balik semak-semak itu. Dan ketika terpandang olehnya keempat
manusia yang masih berjongkok kaku di seberang sana maka meluaplah amarahnya.
Mendidih darahnya. Disambarnya pedangnya yang tergeletak di tanah. Sinar pedang
berkiblat sekaligus menyambar ke arah kepala Bergola Wungu dan anak-anak buahnya.
"Tring!"
Sebutir kerikil sebesar ujung jari telunjuk membentur pertengahan pedang yang
hendak merenggut nyawa keempat manusia berewok itu. Dan benturan batu kerikil
ini membuat pedang di tangan Nilamsuri terdorong setengah tombak ke atas, lewat satu
jengkal di atas kepala Bergola Wungu dan tiga orang lainnya itu!
Wiro Sableng 001 Empat Berewok Dari Goa Sanggreng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terkejut anak gadis Kalingundil ini bukan kepalang. Serentak dengan itu dia
membentak dan memandang berkeliling. "Manusia atau setan yang jadi biang kerok
jangan sembunyi! Unjukkan diri!"
Tak ada yang menyahut. Tapi rerumpunan semak belukar di dekat pohon kamboja
kelihatan bergerak. Dan Nilamsuri hantamkan pukulan tangan kosong ke arah semak
belukar itu. Semak belukar tercabut dari akarnya dan berhamburan jauh, tapi tak ada
siapapun kelihatan di belakang sana.
Dengan gemas Nilamsuri balikkan tubuh. Pedangnya kembali membabat ke arah
empat kepala manusia di hadapannya. Namun sekali lagi sebutir kerikil membentur
senjata itu! "Kurang ajar betul!", maki Nilamsuri. "Jika berani cari urusan, berani unjukkan
diri!!" Terdengar suara tawa bergelak.
Suara tertawa itu datangnya dari balik pohon-pohon bambu di tepi pekuburan.
Untuk kedua kalinya Nilamsuri lepaskan pukulan tangan kosong. Angin deras melanda
pohon-pohon bambu. Batang-batang bambu pecah, yang tercerabut dari akarnya segera tumbang
sedang daun-daunnya luruh ke tanah. Tapi seperti tadi kali ini juga tidak kelihatan
seorang manusia
pun dibalik pohon-pohon bambu itu!
Gemas Nilamsuri bukan main.
Terdengar lagi suara tertawa bergelak. Kali ini diiringi dengan ucapan, "Hanya
manusia pengecut yang membunuh musuh dalam keadaan tak berdaya!"
Nilamsuri memandang ke atas pohon kamboja merah. Detik itu juga sesosok tubuh
kelihatan lenyap berkelebat ke utara laksana gaib!
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Nilamsuri kertakkan rahang. Tanpa menunggu lebih lama gadis ini hentakkan kedua
kaki dan segera mengejar ke jurusan utara!
Sampai beberapa ratus tombak jauhnya ke utara Nilamsuri masih juga belum
berhasil mengejar orang tadi. Jangankan mengejar, melihat bayangannyapun tidak bahkan
jejak kakinya sama sekali tidak kelihatan di tanah. Gadis itu menghentikan
pengejarannya di tepi
sebuah lembah. Di samping rasa geram hatinya juga heran dan bertanya-tanya. Siapakah manusia
itu tadi dan kemanakah lenyapnya" Apakah manusia itu yang telah menolongnya dari
perbuatan terkutuk Bergola Wungu dan kawan-kawannya" Sekiranya betul mengapa lantas
kemudiannya orang itu menghalangi ketika dia hendak menebas batang leher keempat
manusia berewok itu"
Nilamsuri memandang lagi ke dalam lembah. Segala sesuatunya diselimuti
kesunyian. Kemudian gadis ini memandang kepada pakaian yang dikenakannya. Pakaian ini
ditemuinya di atas sebuah makam. Apakah pakaian ini sengaja pula ditinggalkan untuk
dipakainya oleh
manusia aneh yang melarikan diri itu"
Nilamsuri memutar tubuhnya hendak kembali ke pekuburan. Tapi dengan serta merta
tertahan ketika di belakangnya dari balik sebatang pohon waru terdengar suara
orang berkata. "Hendak kembali membuat kepengecutan" Membunuh musuh yang tak berdaya"
Percuma tahu ilmu silat tapi tidak tahu tata peradatan silat!"
Bukan main geramnya Nilamsuri mendengar ejekan itu. Dia melompat ke arah pohon
waru. Tapi lebih cepat lagi gerakannya itu orang yang tadi berkata telah
berkelebat laksana
bayang-bayang dan lari ke dalam lembah.
"Manusia atau setan! Jangan lari!" teriak Nilamsuri. Dan segera pula dia
mengejar ke dalam lembah. Tapi seperti tadi, begitu dia sampai di dasar lembah maka orang
yang dikejarnya lenyap lagi! Dengan hati penasaran gadis ini loncat ke atas sebatang
pohon tinggi dan dari sini memandang ke seantero lembah untuk menyelidik kemana larinya orang
tadi. Namun ini juga tidak memberikan hasil.
Nilamsuri turun kembali. Dijelajahinya sebagian dari lembah. Hatinya belum puas
kalau belum berhasil menemui orang yang dikejarnya itu. Di tepi sebuah anak
sungai akhirnya gadis ini hentikan langkah. Sejurus kemudian dia termangu di tepi
sungai ini. Kemudian hidungnya dilanda oleh bau harum dari sesuatu yang dipanggang. Bau ini
datang dari arah hulu sungai, membuat tenggorokannya menerbitkan air liur. Gadis ini
langkahkan kaki ke hulu sungai.
kucinglistrik@gmail.com
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Empat Berewok dari Goa Sanggreng
Belum sampai lima puluh langkah dia berjalan, maka di satu tikungan sungai yang
arus airnya lebih cepat mengalir, dilihatnya duduk ditengah sungai, di atas
sebuah batu besar
yang licin kehitaman, seorang laki-laki. Laki-laki ini duduk membelakanginya dan
rambutnya gondrong, berpakain putih-ptuih. Tak tahu Nilamsuri apa yang dibuat orang ini
ditengah sungai ini di atas batu itu. Berat kecurigannya bahwa manusia ini adalah orang
yang tadi dikejarnya. Tapi anehnya santarnya bau benda yang terpanggang itu datang dari
arah laki-laki di tengah sungai ini!
Nilamsuri terus melangkah beberapa jauhnya ke hulu sungai, melewati laki-laki
itu, untuk dapat melihat apa yang tengah dilakukannya. Nilamsuri masih belum dapat
melihat paras laki-laki berambut gondrong itu. Tapi dari tempatnya berdiri saat itu
dapat disaksikannya bahwa bau harum yang membuat titik seleranya itu disebabkan oleh
seekor ikan besar yang dipanggang oleh laki-laki itu dan kini tengah digerogotinya
dengan lahap! Ikan panggang itu masih mengepulkan hawa hangat. Yang tidak dimengerti sama
sekali oleh Nilamsuri ialah bahwa di atas batu itu di mana laki-laki itu duduk atau ditepi
sungai sama sekali tidak dilihatnya bekas-bekas perapian untuk membakar ikan yang kini
tengah dimakan dengan lahap oleh si rambut gondrong!
Nilamsuri berpikir sejurus. Kemudian berserulah dia ke tengah sungai.
"Saudara! Apa kau melihat seseorang lewat sekitar sini"!"
Laki-laki di tengah sungai tidak menjawab. Malah menolehpun tidak dan dengan
lahapnya terus saja dia makan ikan panggang itu.
"Saudara!", seru Nilamsuri sekali lagi.
Kali ini orang itu palingkan kepala. Dan Nilamsuri terkesiap sejenak karena tak
menyangka kalau si rambut gondrong ini nyatanya adalah seorang pemuda bertampang
keren! Meski keren tapi paras itu membayangkan pula paras anak-anak dan lucu!
"Eh.... kau bicara sama aku?" tanya pemuda yang asyik menggerogoti ikan panggang
Tangan Geledek 19 Pendekar Hina Kelana 22 Peri Bunga Iblis Pendekar Pedang Dari Bu Tong 2