Pencarian

Hidung Belang Berkipas Sakti 2

Wiro Sableng 020 Hidung Belang Berkipas Sakti Bagian 2


lusinan mayat manusia tak berdosa berhamburan dalam keadaan mengerikan. Mayat
perempuan-perempuan tua, perempuan hamil, anak-anak bahkan bayi yang masih
merahi" Wulur Pamenang memandangi tasbih hijau di pangkuannya lalu berkata:
"Baiklah Handaka. Aku mengerti perasaan serta tekadmu. Semuanya kufahami. Namun
bila kau menghendaki aku mengambilmu jadi munid, sesungguhnya kau telah datang
ke tempat yang salah...."
"Salah bagaimana Eyang?" tanya Handaka tak mengerti.
"Orang tua pikun yang hampir masuk liang kubur macamku ini, ilmu kepandaian
apakah yang kumiliki dan bisa kuajarkan padamu?"
"Ah, Eyang terlampau merendahkan diri. Delapan penjuru angin dunia persilatan
boleh dikatakan sudah mengenal nama besar Eyang."
"Akan lebih baik jika kau mencari guru lain yang lebih segala-galanya dariku.
Hingga kelak kau benar-benar menjadi seorang pemuda yang berilmu tinggi"
Bastian Tito 21 Hidung Belang Berkipas Sakti
"Eyang," sahut Handaka. "Saya telah datang kemari karena tekad saya sudah bulat
hanya akan berguru kepada Eyang, tidak kepada orang lain. Akan Eyang
kecewakankah manusia bernasib buruk ini?"
"Aku telah mempunyai dua orang murid. Tak mungkin aku harus menerimamu pula...."
"Tak mungkin" Mengapa tidak mungkin Eyang?" tanya Handaka.
Tapi orang tua itu tidak menjawab. Setelah menunggu dan tidak kunjung ada
sahutan, Handaka berkata:
"Baiklah Eyang, memaksa orang yang tidak mau adalah tidak baik. Seperti saya
katakan, saya tidak berniat mencari guru lain. Jika saya turun dari puncak
gunung Slamet ini, dengan ilmu yang bernama ketabahan hati dan kesabaran serta
senjata sepasang tangan ini saya akan mencari Warok Grimbil. Apakah saya bakal
dapat membunuhnya atau kepala saya yang bakal menggelinding lebih dulu,
entahlah..."
Handaka menjura di hadapan Eyang Wulur Pamenang lalu berdiri.
"Sebelum saya pergi Eyang, pernah saya mendengar ucapan seorang tua di desa.
Katanya Seorang yang berilmu tetapi tidak mau mengamalkan dan mengajarkan
ilmunya kepada orang lain, sama artinya dengan seorang paling tolol di dunia
ini. Dan kelak orang itu akan mati dalam ketololannya. Apakah ucapan orang tua
itu benar atau tidak harap Eyang sudi merenungkannya..."
Sekali lagi pemuda itu menjura lalu membalikkan tubuh. Pada saat Handaka
mencapai ambang pintu dan siap untuk melangkah keluar pondok tiba-tiba
didengarnya Eyang Wulur Pamenang memanggil :
"Handaka, kembalilah! Aku akan mengambilmu jadi murid!"
-- << 6 >> --
Bastian Tito 22 Hidung Belang Berkipas Sakti
7 nam bulan telah berlalu sejak kedatangan Handaka dan sejak pemuda itu diambil
menjadi murid Eyang Wulur Pamenang di puncak gunung Slamet. Orang tua itu memang
E merasa heran melihat Handaka dapat mengikuti setiap pelajaran silat yang
diberikan dengan cepat hingga hanya dalam waktu enam bulan dia benar-benar telah
menguasai ilmu silat yang diturunkan kepadanya.
Pemuda ini luar biasa, demikian Wulur Pamenang berpendapat. Dia merasa tidak
kecewa mendapatkan murid seperti Handaka.
Sebagai dua orang saudara seperguruan tentu saja hubungan Wulandari dengan
Handaka rapat sekali. Mereka sering berlatih berdua, sering bercakap-cakap.
Sedikit demi sedikit rasa sepi yang ada di hati Wulandari karena ditinggal
Sanjaya menjadi berkurang bahkan akhirnya pupus sama sekali. Harus diakui bahwa
Handaka bukan saja lebih gagah parasnya dari Sanjaya tetapi juga pandai bicara,
suka bercerita dan sering melucu.
Pada mulanya hubungan mereka tidak lebih dari apa yang telah dilukiskan di atas.
Namun lambat laun Wulandari menyadari bahwa dari pihak Handaka hubungan itu
telah dipandang secara lain. Sampai pada suatu hari ketika mereka sedang berdua-
dua di tepi telaga Handaka mengatakan bahwa dia mencintal gadis itu.
Wulandari bukan seorang gadis yang mudah berubah haluan. Sekali dia mencintai
seseorang dia akan mencintai selama-lamanya. Akan tetapi sudah lumrah seorang
gadis yang kesepian kadangkala tidak sanggup menghadapi godaan dari pemuda lain.
Apalagi dari seorang pemuda setampan Handaka yang pandai bicara lihay merayu.
Hubungan mereka sehari-hari yang selalu berdekatan itu lambat laun membuat
Wulandari menjadi mulai tertarik pada Handaka,
Gadis ini mulai membanding-banding antara Handaka dengan Sanjaya yang jauh di
Kotaraja. Dan cinta, bilamana sudah sampai pada tingkat banding membandingkan
tanda umurnya tak akan lama lagi!
Demikianlah kalau dulu hampir setiap saat Wulandari tak pernah melupakan Sanjaya
setiap malam hampir tak pernah dia lupa berdoa untuk keselamatan kekasihnya itu,
maka kini mulai dilupakan Wulandari.
Sebagai seorang tua lanjut usia yang dalam waktu tidak lama lagi kelak bakal
menutup mata, sekali seminggu Wulur Pamenang pergi ke puncak Slamet paling
tinggi dan sunyi untuk bersemedi, bertafakur dalam sebuah goa.
Kesempatan-kesempatan seperti inilah yang memberikan peluang-peluang baik pada
Handaka dan Wulandari. Mula-mula hanya saling pandang memandang. Kemudian
meningkat saling beremesan tangan. Lalu lebih berani lagi, lebih berani lagi
hingga keadaan keduanya tidak beda dengan hubungan suami istri.
Bagaimanapun juga lambat laun Wulur Pamenang akhirnya mengetahui jalinan
hubungan antara kedua muridnya itu. Namun tak pernah diduganya sama sekali kalau
hubungan mereka sudah demikian rapatnya, melewati batas-batas hubungan adik
dengan kakak, hubungan saudara seperguruan, Wulur Pamenang memutuskan untuk
menjauhkan kedua orang itu secara halus. Handaka akan disuruhnya mendirikan
sebuah pondok di lereng barat gunung Slamet.
Namun sebelum hal itu dilakukannya, Wulur Pamenang keburu mengetahui bahwa satu
hal luar biasa telah terjadi atas diri murid perempuannya itu. Rasa marah dan
kecewa bertumpuk di hati si orang tua. Menyesal mengapa dia dulu mengambil
Handaka jadi murid. Kesemuanya itu menumpuk menjadi kemarahan yang meluap.
Ketika Handaka sedang berlatih silat di tepi telaga Wulur Pamenang membawa
Wulandari ke ruang dalam pondok.
"Mungkin kau sudah bisa menduga kenapa aku memanggilmu, Wulan?"
Bastian Tito 23 Hidung Belang Berkipas Sakti
Sang murid memandang wajah gurunya sejenak. Hatinya berdebar. Ada kelainan pada
wajah itu kini, juga kelainan pada nada suaranya.
"Mana mungkin saya menduganya Eyang," kata Wulandari pula.
"Sejak beberapa lama ini aku merasa curiga melihat hubunganmu dengan Handaka."
Bicara sampai di situ Wulur Pamenang dapat melihat perubahan pada wajah
muridnya. Lalu dia melanjutkan:
"Hari ini kupanggil kau karena jelas kulihat ada perubahan pada dirimu. Pada
tubuh jasmanimu."
"Pe... perubahan apa maksud Eyang...." Wulandari gugup. "Saya merasa tidak ada
perubahan apa-apa...."
"Kau gugup Wulan...."
"Karena... karena saya terkejut mendengar ucapan Eyang tadi."
Wulur Pamenang tersenyum rawan.
"Kau pandai bicara sekarang Wulan. Dan pandai serta berani pula berdusta
kepadaku. Lebih dari itu kau telah menipu dirimu sendiri. Selama bertahun-tahun
kau di sini tak pernah kuajarkan padamu ilmu berdusta dan menipu diri. Kenapa
tahu-tahu sekarang kau bisa berbuat begitu" Apakah Handaka yang telah
mengajarkannya padamu?"
Sampai di situ mulut Wulan terkancing rapat. Kepalanya ditundukkan. Sepasang
matanya tidak dapat lagi menatap ke arah sang guru sedang wajahnya merah sampai
ke telinga. "Kau sudah ditunangkan dengan Sanjaya. Apa kau lupa hal itu?"
Kepala Wulandari semakin tertunduk.
"Jawab, kau lupa?"
"Tidak Eyang, saya tidak lupa...."
"Bagus. Kalau kau betul-betul tidak lupa. Lalu mengapa kau bermain api dengan
pemuda lain" Mengapa kau menjalin cinta dengan Handaka?"
"Eyang, saya... saya tidak...." Wulandari tak dapat meneruskan kata-katanya.
Sebagai gantinya dari mulutnya mulai terdengar isak tangis. Kedua tangannya
ditutupkan ke wajah.
"Diam!" bentak Wulur Pamenang. "Aku paling benci melihat orang menangis.
Terutama yang menangis karena kesalahannya sendiri!"
Wulandari menyusut air matanya. Ditahannya tangis yang hendak meledak sedapat-
dapatnya. "Sejak akhir-akhir ini kau tidak senang lagi dengan nasi dan sayuran. Kau jarang
makan. Lebih banyak makan asam-asaman dan buah-buahan. Pembawaan seperti itu hanya ada
pada diri perempuan yang sedang hamil! Apa kau juga hamil Wulan" Jawab
pertanyaanku?"
"Eyang... saya... saya."
"Katakan saja. Kau hamil atau tidak"!" hardik sang guru.
"Tidak Eyang... saya tidak hamil.. Hanya... hanya kurang enak badan sejak
beberapa hari ini...."
"Murid penipu!" bentak Wulur Pamenang seraya berdiri dari tikar kulit kambing
yang didudukinya. Dia menunjuk ke pintu. "Tidak kusangka akan sekotor itu
hatimu. Tidak kusangka Bastian Tito
24 Hidung Belang Berkipas Sakti
kau berani bicara dusta terhadap gurumu! Pondok yang kudirikan ini kau nodai
dengan perbuatan mesum! Kau betul-betul terkutuk. Mulai hari ini kau tidak
kusukai sebagai murid lagi! Kau kuusir dan sini! Pergi!"
"Eyang...!" Wulandari jatuhkan diri. "Ampuni muridmu ini!"
"Jangan bersujud dihadapanku. Aku bukan Tuhanmu! Jangan minta ampun padaku!
Karena dosamu bukan padaku. Tapi pada Sanjaya, pada Tuhan! Aku tidak sudi
melihatmu lagi! Aku tidak sudi dalam pondok kelak lahir seorang anak haram!"
Wulandari yang tidak tahan lagi mendengar kata-kata gurunya itu menggerung dan
lari ke luar pondok.
Wulur Pamenang katupkan rahangnya rapat-rapat. Pelipisnya bergerak-gerak. Lalu
dia melangkah ke pintu dan cepat-cepat menuju ke telaga.
Di situ Handaka tengah melatih ilmu silatnya seorang diri.
"Pemuda keparat hidung belang! Hentikan latihanmu! Mulai detik ini kau tidak
kuizinkan mempergunakan ilmu silat yang kuajarkan padamu!"
Handaka tampak terkejut mendengar bentakan itu. Dihentikannya gerakannya dan
berpaling dengan cepat. Dilihatnya Eyang Wulur Pamenang berdiri tolak pinggang.
Mukanya merah laksana bara dan matanya berapi-api.
"Eyang, dengan siapakah Eyang bicara?" bertanya pemuda itu.
Justru pertanyaan ini membuat Wulur Pamenang tambah menggelegak amarahnya.
"Bangsat! Dengan siapa lagi kalau bukan dengan manusia dajal sepertimu!"
Sepasang mata Handaka yang sipit menjadi tambah sipit.
"Ada apakah hingga Eyang sampai marah begini rupa...?"
Wulur Pamenang mendengus.
"Kau masih bisa berpura-pura bertanya!"
"Saya tidak mengerti. Agaknya telah terjadi sesuatu...?"
"Memang telah terjadi sesuatu! Dan sesuatu itu kau yang menjadi biang keladinya!
lngat sewaktu kau dulu mengemis minta aku mengambilmu jadi murid! Setelah aku
berbelas kasihan mau menerimamu di sini, semua itu kini kau balas dengan noda
besar! Kau main gila dengan Wulandari. Padahal kau tahu gadis itu sudah
ditunangkan dengan Sanjaya! Kau rayu dia! Kau bujuk dan kau rusak kehormatannya.
Kini gadis itu hamil! Kau benar-benar manusia bejat!"
"Eyang, sebaiknya kita panggil Wulandari ke sini agar kita...."
"Tak usah banyak bicara! Gadis itu sudah kuusir. Dan kaupun musti angkat kaki
dari sini. Tapi sebelumnya hukuman yang setimpal akan kujatuhkan atas dirimu. Ulurkan kedua
tanganmu!"
"Eyang, kau mau bikin apa...?" tanya Handaka.
"Ulurkan kedua tanganmu manusia murtad. Jangan banyak tanya!" hardik Wulur
Pamenang. Bastian Tito 25 Hidung Belang Berkipas Sakti
Karena Handaka tidak mau mengulurkan tangannya maka naik pitamlah si orang tua.
Dari hidungnya ke luar suara mendengus. Rahangnya bergemeletak. Dia melompat.
Tangannya kiri kanan dalam gerakan yang luar biasa cepatnya menyambar ke arah
kedua tangan Handaka.
Wulur Pamenang yang telah banyak pengalaman dan memiliki ilmu tinggi yakin
sekali bahwa sekali bergerak dia bakal dapat meringkus murid terkutuk itu.
Namun betapa terkejutnya ketika Handaka berhasil mengelakkan serangannya. Jika
saja Handaka mengandalkan kecepatan bergerak untuk mengelakkan serangan
tersebut, si orang tua tak akan demikian terkejutnya. Tapi disaksikannya sendiri
si pemuda mengelakkan serangannya tadi dalam gerakan ilmu silat aneh yang sama
sekali tak pernah diajarkannya pada Handaka!
Heran bercampur marah Wulur Pamenang kembali menyerang si pemuda. Dan sekali
inipun Handaka berhasil berkelit dengan mempergunakan gerakan ilmu silat lain!
"Murid mesum! Jadi ternyata kau memiliki ilmu silat lain"! Bagus! Akan kuberi
hajaran padamu dalam dua jurus!"
Habis berkata begitu Wulur Pamenang berkelebat lenyap. Di lain detik dua buah
angin pukulan tangan kosong yang dahsyat menderu ke arah dada dan perut Handaka.
Si pemuda keluarkan bentakan nyaring. Tubuhnyapun lenyap. Sesaat kemudian
terdengar seruan tertahan ke luar dari mulut Eyang Wulur Pamenang.
Betapakan tidak!
Serangan yang dilancarkan tadi merupakan salah satu dari beberapa buah serangan
terhebat yang dimilikinya, bernama "Dua Naga Sakti Berebut Mangsa." Tak pernah
seorang musuhpun sebelumnya sanggup mengelakkan dua jotosan itu sekaligus.
Karena kedahsyatannya jarang dia mengeluarkan pukulan maut itu. Namun kini
serangannya itu tidak membawa hasil apa-apa. Bahkan dia merasakan kedua tangannya bergetar sewaktu dipapasi serangan balasan yang dilancarkan Handaka!
Bertambah terkejutlah orang tua ini. Mungkinkah Handaka telah memiliki ilmu
silat tinggi sebelum dia mengambilnya jadi murid"
Lalu apa maksud pemuda ini sesungguhnya datang kepadanya" Siapakah dia
sebenarnya"
Melihat Wulur Pamenang tertegun di hadapannya, Handaka lalu keluarkan suara
tertawa. "Wulur Pamenang!" kata pemuda ini seenaknya memanggil tanpa sebutan Eyang,
seolah-olah dia bicara dengan orang yang seusia dengan dirinya. "Kenapa kau
tertegun" Bukankah kau sendiri yang memerintahkan agar aku tidak boleh
mempergunakan ilmu silat yang kupelajari darimu" Mengapa heran kalau aku
terpaksa mengeluarkan ilmu silat yang lebih hebat dan lebih berguna dari ilmu
silat jenis picisan yang kau ajarkan padaku"!"
Muka Wulur Pamenang merah sampai ke telinga. Seluruh tenaga dalamnya dialirkan
ke kedua telapak tangan. Tubuhnya bergetar, pelipisnya bergerak-gerak dan
sepasang matanya seperti mau melompat dari rongganya.
"Dajal bermuka manusia!" desis Wulur Pamenang. "Aku sudah berpantang dan
bertobat untuk tidak membunuh! Namun hari ini biarlah aku menanggung dosa asal
aku dapat mengirimmu ke dasar neraka!"
Wulur Pamenang tutup ucapannya dengan pukul kedua tangannya ke depan. Terdengar
suara menderu. Bumi laksana dilanda topan. Tanah bergetar. Debu dan pasir
beterbangan. Semak belukar rambas berhamburan. Daun-daun berguguran dan beberapa pohon rambas
tumbang. Dikejap itu dua larik sinar hijau berkiblat mengerikan. Apapun yang ada di depan
kedua sinar itu pasti musnah!
Wulur Pamenang turunkan kedua tangannya dan memandang ke depan. Handaka tak
tampak lagi dihadapannya. Tak dapat tidak pemuda itu pasti sudah menemui
kematian dengan keadaan tubuh mengerikan.
Bastian Tito 26 Hidung Belang Berkipas Sakti
Tapi laksana mendengar petir di liang telinganya, begitulah kagetnya Wulur
Pamenang ketika didengarnya suara tertawa bergalak. Orang tua ini memutar
tubuhnya dengan cepat.
Handaka berdiri di depannya. Tangan kiri bertolak pinggang sedang tangan kanan
memegang sebuah kipas hitam yang dikibas-kibaskan di depan mukanya sambil
tersenyum mengejek"


Wiro Sableng 020 Hidung Belang Berkipas Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kontan air muka Wulur Pamenang berubah total ketika melihat kipas hitam di
tangan Handaka itu.
"Kipas Pemusnah Raga...!" seru orang tua itu setengah tercekik. "Pemuda dajal
dari mana kau dapat kipas sakti itu"!"
Handaka tertawa gelak-gelak.
"Mukamu pucat melihat kipas ini" Ha... ha.... Dari mana aku mendapatkan itu
bukan urusanmu"!"
"Sret!"
Handaka menggoyangkan tangannya. Kipas hitam itu terkembang lebih lebar.
"Wulur Pamenang, karena kau benar-benar inginkan jiwaku, kalau tidak kuhabisi
kau sekarang di lain hari tentu kau hanya akan membikin repotku saja! Nah,
selamat jalan ke alam baka!"
Habis berkata begitu Handaka mengibaskan kipasnya ke arah Wulur Pamenang. Si
orang tua yang telah maklum akan kehebatan senjata sakti di tangan lawan secepat
kilat mengeluarkan senjata andalan nya yakni sebuah tasbih hijau. Ketika sinar
hitam pekat yang keluar dari Kipas Pemusnah Raga berkelebat deras kearahnya,
orang tua ini cepat memapaskan tasbih hijaunya dengan sebat. Sinar hijau
berkelibat menangkis datangnya sambaran sinar hitam.
Sesaat kemudian terdengarkan suara menggelegar!
Tasbih di tangan Wulur Pamenang hancur bertaburan. Orang tua ini sendiri
terpelanting jauh dan menyangsang di semak-semak. Sekujur tubuhnya hitam hangus
seperti terpanggang.
Handaka memandang sebentar pada kedua kakinya yang amblas ke tanah sampai
seperempat jengkal,
"Hebat juga tenaga dalam monyet tua itu..." katanya dalam hati. Lalu sambil kipas-
kipasan senjatanya ditinggalkannya tempat itu. Dari mulutnya tiada henti keluar
suara tertawa mengakak.
-- << 7 >> --
Bastian Tito 27 Hidung Belang Berkipas Sakti
8 erombongan pasukan bekuda kerajaan yang berjumlah tigapuluh orang dibawah
pimpinan seorang perwira muda, kelihatan ke luar dari pintu gerbang tenggara,
bergerak S cepat menuju ke selatan. Perwira muda itu bukan lain adalah Sanjaya
yang telah mengabdikan diri pada Kerajaan. Dia membawa pasukannya ke arah kaki
gunung Slamet menuju hutan Walu dimana menurut keterangan disitulah bersarangnya
gerombolan perampok jahat yang dipimpin oleh Warok Grimbil.
Karena Sanjaya mengetahui seluk-beluk daerah sekitar kaki gunung itu, maka Sri
Baginda telah mempercayakannya untuk memimpin pasukan Kerajaan guna menumpas
gerombolan Warok Grimbil.
Akhir-akhir ini memang kejahatan yang dilakukan oleh Warok Grimbil dan anak-anak
buahnya sudah sangat di luar batas. Hampir setiap hari ada saja kampung atau
desa yang menjadi korban keganasannya. Berkali-kali pasukan kerajaan mencoba
melakukan penyergapan dan pengejaran, namun sampai sebegitu jauh semua usaha
yang dilakukan untuk membasmi geromboan itu tak kunjung berhasil.
Kini dibawah pimpinan Sanjaya, murid Wulur Pamenang dari gunung Slamet kembali
prajurit-prajurit Kerajaan turun tangan. Apakah akan berhasil atau tidak,
kenyataanlah nanti yang akan menentukan.
Pada malam hari mereka berhasil mencapai tepi timur hutan Walu, Sanjaya
memerintahkan pasukannya untuk berhenti dan berkemah di situ. Mereka berkemah
tanpa menyalakan api unggun dan sengaja dicari tempat yang gelap pekat serta
perlindungan oleh semak-belukar lebat. Karena jika mereka sampai terlihat oleh
gerombolan Warok Grimbil pasti akan sia-sialah rencana pembasmian itu.
Malam itu, sebelum masuk ke dalam tendanya, lama sekali Sanjaya berdiri
memandang ke sebelah utara, di mana dalam kegelapan malam, jauh di sana
kelihatan menghitam lereng gunung Slamet. Telah sepuluh purnama dia meninggalkan
gurunya dan tak pernah melihat kekasihnya Wulandari. Telah sekian lama dia
membendung kerinduan. Dia yakin gadis itu tetap menantinya di puncak Slamet.
Masih terngiang ucapan perpisahan Wulandari sewaktu dia akan pergi dulu: "Hati-
hati. Dan lekas kembali..."
Dari balik pakaiannya Sanjaya mengeluarkan tusuk kundai perak yang tempo hari
diberikan oleh Wulandari. Setiap dia merindukan gadis itu, benda itu selalu
dikeluarkannya, dipandang dan ditimangnya, dibelai serta diciumnya. Namun
perasaan rindu tak bisa dilenyapkannya seluruhnya.
"Dua purnama lagi, bila Sri Baginda memberi izin aku akan menjengukmu Wulan..."
bisik Sanjaya. Lalu perwira muda ini masuk ke dalam tendanya.
Ketika malam yang gelap sampai pada saat sedingin dan sesunyi-sunyinya, mendadak
terdengar teriakan beberapa prajurit yang bertugas mengawal.
"Semua bangun Kita diserang!"
Suasana yang tadi sunyi-senyap kini menjadi hiruk pikuk kacau-balau. Beberapa
buah tenda tampak terbakar. Kira-kira dua lusin manusia berseragam hitam muncul
dari tempat-tempat gelap, langsung menyerbu dengan berbagai senjata tajam.
Sanjaya melompat bangun, menyambar pedang dan keluar dari tenda. Prajurit-
prajurit dilihatnya tengah bertempur melawan para penyerang. Dari pakaian serta
tampang-tampang mereka yang kotor tak terurus Sanjaya segera maklum bahwa
penyerang adalah gerombolan Bastian Tito
28 Hidung Belang Berkipas Sakti
jahat. Dari gerombolan mana lagi yang berada di sekitar tempat ini kalau bukan
gerombolannya Warok Grimbil"
Sebuah benda melesat ke arah Sanjaya. Perwira muda itu cepat putar pedangnya.
Anak panah yang hendak menghantam dadanya jatuh patah dua ke tanah. Sanjaya tak
menunggu lebih lama, segera terjun ke tengah-tengah kancah pertempuran.
Pertempuran dalam gelap-gulita itu berjalan Seru. Suara beradunya senjata
berselang-seling dengan suara mereka yang terpekik karena luka. Korban mulai
berjatuhan di kedua belah pihak. Sanjaya mengamuk hebat. Ini membuat penyerang
menjadi kacau dan mulai mundur.
"Mana pemimpin kalian"!" teriak Sanjaya.
Sebagai jawaban terdengar satu suitan keras. Para penyerang serta-merta melompat
mundur dan melarikan diri ke dalam rimba belantara yang gelap.
"Jangan kejar!" seru Sanjaya ketika dilihatnya beberapa anak buahnya hendak
melakukan pengejaran.
Kerugian yang diderita pihak Sanjaya cukup besar. Enam tenda musnah dimakan api.
Tujuh prajurit menemui ajal. Di pihak penyerang delapan orang tewas, seorang
tertangkap hidup-hidup, Namun sebelum sempat ditanyai orang ini keburu meninggal
karena luka-luka parah yang dideritanya.
Pagi harinya setelah prajurit-prajurit yang gugur dikuburkan di tepi hutan Walu,
Sanjaya kembali memimpin pasukannya memasuki rimba belantara itu. Mereka
bergerak dengan sangat hati-hati. Meskipun hutan itu liar dan rapat namun jelas
kelihatan bekas-bekas yang dilalui manusia.
Sanjaya menunggangi kudanya di depan sekali. Dengan adanya penyerbuan malam tadi
jelaslah bahwa kedatangan rombongannya telah diketahui oleh Warok Grimbil. Di
satu tempat Sanjaya membagi dua pasukannya. Yang pertama terdiri dari sepuluh
orang langsung dibawah pimpinannya. Sisanya sebanyak dua belas orang dibawah
pimpinan seorang perwira. Kelompok pertama bergerak di sebelah depan, kelompok
kedua menyusul di belakang dalam jarak dua ratus langkah.
Di satu tempat kelompok terdepan membelok ke kiri sedang kelompok kedua bergerak
ke jurusan kanan. Sesuai dengan rencana yang telah diatur Sanjaya dan orang-
orangnya akan lebih dulu menyerbu ke sarang Warok Grimbil. Jika pertempuran
sudah berkecamuk baru kelompok kedua menyerbu memberikan bantuan.
Sanjaya menghentikan kudanya dan memberi pada anak buahnva. Lima belas meter di
hadapan mereka kelihatan sebuah rumah. Rumah pertama dan terdekat dari
perkampungan perampok. Perwira muda ini meneliti suasana. Menurut taksirannya di
perkampungan di tengah hutan itu paling tidak terdapat sekitar tujuh sampai
delapan rumah. Ditambah dengan sebuah bangunan yang agak besar. Dapat dipastikan
bangunan besar ini adalah tempat kediaman Warok Grimbil selaku pimpinan
gerombolan. Perkampungan itu tampak sunyi, tenang.
Seorang perempuan tengah menjemur pakaian di samping sebuah rumah. Dua orang
lainnya menumbuk padi di halaman. Tak seorang anggota rampokpun kelihatan.
Mungkinkah Warok Grimbil dan orang-orangnya tengah pergi melakukan perampokan"
Ini sama sekali tak masuk akal. Karena dengan tewasnya banyak anggotanya malam
tadi serta bahaya akan diserang pagi hari tentunya Warok Grimbil tidak akan
melakukan hal itu. Sanjaya menduga keras Warok Grimbil telah menyusun satu
rencana jebakan. Seorang prajunit dikirim untuk menyelidiki sekeliling kampung.
Tak berapa lama kemudian prajurit ini kembali.
"Tak ada tanda-tanda bahwa Warok Grimbil dan orang-orangnya sembunyi di sekitar
kampung." prajurit itu melapor.
"Aneh," kata Sanjaya. "Kita tunggu sampai sepeminuman teh...."
Bastian Tito 29 Hidung Belang Berkipas Sakti
Sepeminuman teh lewat. Sanjaya memberi isyarat pada anak buahnya. Mereka
bergerak dengan cepat ke tengah perkampungan. Orang-orang perempuan yang ada di
luar tampak terkejut melihat kedatangan prajurit-prajurit kerajaan. Ketakutan
dan terbirit-birit mereka masuk ke dalam rumah masing-masing.
"Kalian orang-orang perempuan tak usah takut!" seru Sanjaya dari atas kudanya.
Dia memandang tajam berkeliling. Masih belum kelihatan seorang rampok pun.
"Mana orang laki-laki" Apakah mereka dan Warok Grimbil bersembunyi dalan
rumah"!"
berseru Sanjaya.
Tak ada yang menjawab. Setiap pintu rumah kelihatan tertutup. Sanjaya menunggu.
Dia jadi kesal. Didekatinya sebuah rumah dan digedor pintunya. Pintu terbuka.
Dan keluarlah perempuan yang tadi tampak menjemur pakalan.
"Lekas katakan di mana rampok-rampok yang tinggal di sini"!"
Perempuan itu menggelengkan kepalanya.
"Kau tidak tahu atau gagu"!" sentak Sanjaya.
"Warok Grimbil membawa mereka pagi-pagi tadi.." perempuan itu menerangkan.
"Semuanya?"
"Mereka menuju ke mana?" tanya Sanjaya lagi.
"Tidak tahu. Tak seorang pun diberitahu..."
Sanjaya menunjuk ke rumah paling besar di tengah kampung
"Itu rumahnya Warok Grimbil?"
"Benar."
"Siapa yang ada di dalamnya..."
"Empat perempuan muda peliharaan Warok...." Sanjaya memberi isyarat pada anak-
anak buahnya lalu bergerak ke arah rumah besar. Suasana di dalam rumah besar itu
kelihatan sunyi.
Sanjaya mendorong daun pintu. Ternyata tidak dikunci. Dari atas kudanya dia
dapat melihat empat orang perempuan duduk berjejer di ruangan dalam. Keempatnya
masih muda dan memiliki paras cantik. Yang membuat perwira muda ini jadi menahan
napas ialah karena empat perempuan tersebut duduk di tempat masing-masing tanpa
mengenakan pakaian! Malah ketika melihat Sanjaya dan prajurit-prajurit itu di
pintu, mereka tersenyum, menggeser duduk masing-masing hingga sikap mereka
benar-benar menantang dan mengundang! Prajurit-prajurit Kerajaan jadi melotot
tak berkesip dan teguk air liur!
Salah seorang dari empat perempuan bertelanjang itu melambaikan tangannya dan
berkata: "Kalian petugas-petugas Kerajaan silakan masuk! Warok berpesan bahwa tamu mana
saja yang datang harus disambut dengan hormat dan hangat!"
Sepasang mata Sanjaya menyipit. Dari suasana yang dihadapinya sekarang ini
semakin yakin dia bahwa Warok Grimbil betul-betul tengah memasang satu jebakan
berbahaya. Dia memberi tanda pada orang - orangnya agar berlaku waspada.
"Mana Warok Grimbil dan anak buahnya?" tanya Sanjaya pada perempuan di dalam
rumah. "Masuklah. Mari kita bicara di dalam sini.." menjawab perempuan di ujung kiri.
Bastian Tito 30 Hidung Belang Berkipas Sakti
Perempuan yang di sampingnya menyambung "Jauh-jauh dari Kotaraja kau tentu haus
perwira muda. Haus dan letih. Mari masuk minum anggur dan melemaskan otot-
ototmu...."
Perempuan berikutnya menimpali:
"Masuklah, minum anggur dan bersenang-senang lalu tidur...."
Muka Sanjaya menjadi merah. Dia berkata "Kalian dengar baik-baik. Siapa saja
yang ada di sini bisa kami tangkap. Kami berjanji akan membebaskan kalian jika
kalian mau mengatakan di mana Warok Grimbil dan anak buahnya."
Keempat perempuan itu tiba-tiba serentak berdiri. Tubuhnya yang telanjang bulat
itu kelihatan jelas dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Masukah perwira, tak pantas bicara dari luar saja..." kata salah seorang dari
mereka sambil membusungkan dadanya yang padat.
"Geledah rumah ini!" perintah Sanjaya.
Lima orang prajurit serentak hendak turun dari kudanya.
Justru pada saat itu entah dari mana datangnya, melayanglah sebuah anak panah
dan menancap tepat di samping pintu sebelah kanan. Pada ekor anak panah terikat
sehelai kertas yang ternyata sepucuk surat dan ditujukan pada pasukan Kerajaan.
Sanjaya merenggutkan surat tersebut lalu membaca isinya. Di situ hanya tertulis
satu baris kalimat dengan huruf-hurufnya berbunyi:
"SELAMAT DATANG DAN SELAMAT MAMPUS! "
-- << 8 >> --
Bastian Tito 31 Hidung Belang Berkipas Sakti
9 ada detik Sanjaya selesai membaca sebaris kalimat itu, pada saat itu pula di
sekitarnya terdengar suara pekik riuh rendah. Empat perempuan telanjang di dalam
rumah lenyap P masuk ke dalam sebuah kamar. Seorang prajurit di samping Sanjaya
mengeluarkan seruan tertahan. Sebatang anak panah menancap di dadanya. Tak ampun
lagi prajurit ini meliuk dan jatuh dari punggung kuda.
Tiba batang anak panah dalam pada itu melesat ke arah Sanjaya. Murid Wulur
Pamenang ini dengan cekatan pergunakan ujung tali les kudanya untuk menghantam
mental ketiga anak panah itu! Ketika dia memandang berkeliling kelihatanlah
sekitar dua lusin manusia berseragam hitam bertampang ganas bersenjata pedang
dan golok, bahkan ada yang membawa kapak, menyerbu ke arah mereka.
Di belakang sana seorang lelaki bertubuh pendek katai berjalan lenggang kangkung
seenaknya. Di tangan kirinya dia memegang sebuah bumbung berisi puluhan anak
panah. Tanpa mempergunakan busur, tapi dengan jalan melemparkan anak-anak panah itu
dengan tangannya, dia melakukan serangan panah tiada henti, terutama sekali ke
arah Sanjaya. Hebat sekali daya lempar manusia ini. Meskipun belum pernah
bertemu muka sebelumnya namun Sanjaya telah menduga bahwa manusia katai bermata
liar dan bercambang bawuk ini pastilah si pemimpin rampok Warok Grimbil. Tanpa
tunggu lebih lama Sanjaya segera cabut pedangnya.
Sembilan pajurit terpilih di bawah pimpinan murid Wulur Pamenang itu dengan
gagah berani baku hantam menghadapi dua puluh empat rampok ganas. Hebat sekali
jalannya pertempuran. Menghadapi lawan yang lebih banyak di atas kuda kurang
memberikan keleluasaan, malah amat membahayakan bagi yang punya diri. Menyadari
hal ini setelah bertempur dua jurus Sanjaya berteriak memberi aba-aba agar semua
anak buahnya melompat turun dari kuda masing-masing.
Seorang prajurit yang kurang hati-hati waktu melompat turun kena disambar
perutnya oleh ujung golok lawan hingga bobol dan ususnya membusai. Dengan
demikian jumlah orang-orang Kerajaan hanya tinggal delapan orang kini, sembilan
dengan Sanjaya.
Walau hati geram tetapi mereka tetap memakai perhitungan sambil menunggu
datangnya bala bantuan kelompok kedua. Sanjaya mengamuk dengan pedangnya. Dua
orang rampok tergelimpang roboh. Satu lagi kemudian menjenit dengan leher hampir
putus. Melihat ini para perampok yang mengurung memperciut kurungannya hingga
Sanjaya dan anak buahnya terjepit di tengah kalangan pertempuran. Namun mereka
terus menghadapi lawan dengan semangat tinggi penuh ketabahan.
Dua prajunit Kerajaan roboh, dan ini harus diimbangi oleh empat nyawa anggota
rampok. Warok Grimbil yang sejak tadi hanya tegak menyaksikan jalannya pertempuran
sambil sekali-sekali melemparkan panah, kini melompat ke muka. Lima batang anak
panah terakhir yang dipegangnya sekaligus dilemparkannya ke arah Sanjaya. Anak-
anak panah ini melesat ke arah lima bagian tubuh Sanjaya. Empat anak panah
berhasil dihantam runtuh dengan putaran pedang. Anak panah ke lima masih sempat
menyerempet bahu kiri pemuda itu.
"Perwira keparat! Mari sini! Aku lawanmu!" teriak Warok Grimbil. Orangnya katai
kecil. Tapi suaranya besar luar biasa. Apalagi teriakannya tadi disertai dengan
tenaga dalam hingga terdengar hebat menggetarkan dada.


Wiro Sableng 020 Hidung Belang Berkipas Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Manusia kerdi!, jadi kau ini biang durjana yang bernama Warok Grimbi!?" tanya
Sanjaya sambil melintangkan pedang di muka dada.
"Anjing Kerajaan! Kurobek mulutmu!" bentak Warok Grimbil marah sekali. Tangan
kanannya bergerak dan tahu-tahu selusin senjata rahasia berbentuk paku rebana
telah melesat ke arah Sanjaya!
Murid Wulur Pamenang itu kaget bukan kepalang. Tak disangkanya kepala rampok itu
memiliki kecepatan luar biasa dalam melancarkan serangan mendadak. Untung saja
saat itu dia dalam sikap melintangkan pedang di depan dada. Hingga dengan sigap
dia bisa pergunakan Bastian Tito
32 Hidung Belang Berkipas Sakti
senjata itu untuk melindungi diri. Delapan paku rebana berhasil dihantam mental,
tiga buah dapat dikelit tapi yang satu lainnya menancap di bahu kiri, dekat luka
bekas serempetan anak panah.
Sanjaya menggigit bibir menahan sakit dan cabut senjata rahasa itu dari bahunya.
Di hadapannya Warok Grimbil melompat, lima jari tangan kirinya bergerak ke mulut
Sanjaya siap untuk merobek tapi dapat dikelit.
Warok Grimbil ketawa mengekeh.
"Anjing Kerajaan, nyatanya tak seberapa kehebatanmu. Kau datang hanya untuk
mengantar nyawa!"
"Warok Grimbil manusia biadab! Jika kau masih ingin hidup menyerahlah. Niscaya
Kerajaan akan mengurangi hukumanmu!" bentak Sanjaya.
"Hukum?" Sepasang ails mata Warok Grimbil mencuat naik. Lalu dia tertawa gelak-
gelak. "Seumur hidupku aku tak pernah kenal hukum! Persetan dengan segala hukum!"
"Jika begitu kematian memang pantas untukmu. Neraka sudah lama menantimu!"
Kembali Warok Grimbil tertawa gelak-gelak.
"Justru di sinilah bangkaimu akan menggeletak dan membusuk!" tukas pemimpin
rampok hutan Walu itu.
"Perlawananmu akan sia-sia! Kau dan anak buahmu sudah terkurung. Perhatikan
sekelilingmu!"
Bola mata Warok Grimbil berputar liar, memandang berkeliling. Saat itu memang
dilihatnya kira-kira selusin prajurit Kerajaan yang menunggang kuda dan
bersenjata lengkap menyeruak dari semak belukar, bergerak dalam posisi
mengurung. Warok Grimbil tertawa mengejek.
"Siapa takut pada kacoak-kacoak Kerajaan?" katanya. Lalu mendengus dan gerakan
kedua tangannya sekaligus!
Tangan pertama melepaskan satu pukulan ke arah Sanjaya, yang satu lagi ke
jurusan prajurit-prajurit yang baru datang.
Sanjaya yang memang sudah bersiap-siap denqan cepat melompat selamatkan diri.
Sebaliknya dua orang prajurit di muka sana, yang tidak menduga kalau bakal
mendapat serangan, terjungkal dari kuda masing-masing, menggelepar-gelepar
beberapa kali di tanah, lalu diam tak bergerak lagi.
"Warok Grimbil! Lihat pedang!" terdengar seruan Sanjaya. Dan sinar pedang
berkiblat ke arah kepala rampok itu.
Warok Grimbil menyingkir sebat dan serentak membalas dengan pukulan tangan
kosong lagi. Tapi Sanjaya tak mau memberi kesempatan, mengirimkan satu tebasan
ganas ke arah tangan lawan hingga pemimpin rampok ini sambil memaki terpaksa
tarik pulang tangannya.
Dalam jumlah kedua belah pihak kini tampak berimbang sehingga kecamuk
pertempuran semakin menggila. Korban-korban berjatuhan hampir setiap dua jurus.
Beberapa bulan yang lalu Warok Grimbil dan anak buahnya pernah disergap pasukan
Kerajaan dibawah pimpinan dua orang perwira. Bukan saja para penjahat itu
berhasil menghadapi pasukan Kerajaan tapi bahkan tak seorangpun yang mereka
biarkan hidup. Semula Warok Grimbil menyangka bahwa pasukan yang datang kali ini juga bakal
dapat dibereskannya dalam waktu singkat. Namun hatinya jadi tergetar ketika
melihat kenyataan bahwa perwira muda yang memimpin pasukan Kerajaan itu bukan
orang sembarangan.
Kepandaiannya jauh lebih tinggi dari dua perwira yang dulu pernah dibunuhnya!
karenanya Bastian Tito
33 Hidung Belang Berkipas Sakti
sebelum mendapat celaka kepala rampok ini segera keluarkan senjata yang amat
diandalkan yakni sebuah keris berwarna ungu yang ujungnya bercabang dua dan agak
melengkung sedang gagangnya berukir kepala kelabang. Keris ini bernama "Kelabang
Ungu". Dari sinar yang memancari di tubuh senjata itu Sanjaya segera maklum kalau keris
lawan adalah sejenis senjata yang tidak boleh dianggap remeh. Cepat-cepat
Sanjaya lancarkan serangan berantai. Warok Grimbil berkelit gesit. Tubuhnya yang
katai itu lenyap dari pemandangan. Kini hanya sinar ungu kerisnya saja yang
tampak bergulung-gulung, menyambar ganas kian kemari! Anginnya bersiur dan
memerihkan kulit.
Meskipun keris di tangan Warok Grimbil merupakan senjata sakti berbahaya, namun
menghadapi sebatang pedang d tangan Sanjaya, kepala rampok ini tidak bisa
berbuat banyak.
Beberapa kali sudah senjatanya bentrokan dengan pedang lawan. Kepala rampok ini
diam-diam mengeluh karena setiap bentrokan yang terjadi dia segera mengetahui
bahwa tenaga dalam lawannya masih muda itu berada dua atau tiga tingkat di
atasnya! Tiba-tiba dari mulut Warok Grimbil keluar satu teriakan dahsyat. Permainan
silatnya mendadak sontak berubah. Senjatanya bertabur laksana curahan hujan dan
membuat Sanjaya menjadi bingung.
Sebelum perwira muda ini bisa mengimbangi jurus-jurus aneh yang dimainkan
lawannya itu tiba tiba dirasakannya badan pedangnya telah terjepit di atas kedua
ujung bercabang keris
"Kelabang Ungu"
Cepat-cepat Sanjaya hendak menarik pedangnya. Namun jepitan itu ketat luar
biasa. Sekali Warok Grimbil memutar lengannya maka patahlah pedang Sanjaya.
Warok Grimbil tertawa panjang.
"Ajalmu sudah di depan mata, perwira!" seru Warok Grimbil.
Tapi kepala rampok ini terlalu cepat bergembira.
Sanjaya yang sudah memaklumi bahaya apa yang dihadapinya, begitu pedangnya
patah, pada kejap itu pula dia mengirimkan satu tendangan kilat ke depan!
Warok Grimbil kaget bukan main, tapi juga penasaran. Kelabang Ungu dibabatkannya
ke bawah, ke arah kaki Sanjaya. Namun apa yang dilakukannya sudah tenlambat.
Kaki kanan lawan datang lebih cepat. Sedapat-dapatnya Warok Grimbil jatuhkan
diri ke samping secara nekat. Kenekatannya tidak membawa hasil yang diharapkan
karena kaki kanan Sanjaya masih sempat menghantam siku tangan kanannya hingga
siku itu bukan saja tanggal dari persendiannya tetapi juga hancur tulangnya.
Jeritan kepala rampok itu setinggi langit. Dia tak peduli lagi ke mana mental
dan jatuhnya keris Kelabang Ungu. Dia melompat dua tombak menjauhi Sanjaya. Tak
mungkin lagi baginya untuk meneruskan perkelahian. Anak-anak buahnya yang
melihat keadaan pemimpin mereka jadi ciut nyalinya. Hendak lari merasa takut
karena belum mendapatkan perintah.
"Ringkus dia!" penintah Sanjaya.
Lima orang prajurit segera bergerak. Untuk meringkus pemimpin rampok yang tak
berdaya dan kesakitan setengah mati itu.
Tapi dalam detik itu terjadilah hal yang sangat mengejutkan laksana adanya
geledek di siang bolong.
"Adikku Grimbil! Siapa yang berani kurang ajar menyakitimu"!"
Satu bentakan nyaring terdengar disusul oleh jeritan-jeritan mengerikan. Lima
prajurit yang tadi hendak meringkus Warok Grimbil menjerit. Kelimanya berdiri
terhuyung-huyung sambil pegangi leher masing-masing. Dari leher itu menyembur
darah. Ketika Sanjaya memperhatikan dengan mata membelalak ternyata leher ke
lima prajurit telah ditancapi sebuah pisau kecil!
Satu demi satu prajurit-prajurit yang malang ini roboh ke tanah dan tak bergerak
lagi selama-lamanya.
Bastian Tito 34 Hidung Belang Berkipas Sakti
Apakah yang telah terjadi" Siapakah yang punya perbuatan membunuh lima prajurit
itu hanya dalam sekejapan mata saja"
-- << 9 >> --
Bastian Tito 35 Hidung Belang Berkipas Sakti
10 uasana sehening di pekuburan. Semua yang bertempur laksana dipukau oleh satu
kekuatan gaib. Semua sama memutar kepala, berpaling ke jurusan munculnya seorang
S nenek-nenek aneh bertubuh kurus kering, bermuka perot. Seperti Warok Grimbil,
nenek-nenek ini pun memiliki tubuh pendek katai. Dia mengenakan jubah yang amat
dalam hingga menjela sampai ke tanah. Setiap langkah yang dibuatnya menyebabkan
debu mengepul ke udara.
Jubah yang dikenakannya bukan jubah sembarangan jubah. Pakaian ini mulai dari
atas sampai ke bawah digantungi dengan puluhan bahkan mungkin ratusan pisau-
pisau kecil. Pisau-pisau seperti inilah yang telah mengakhiri nyawa lima
prajurit Kerajaan tadi!
"Muning Kwengi!" seru Warok Grimbil. Suara dan wajahnya menunjukkan kegembiraan
luar biasa. Semangat dan nyalinya tampak berkobar kembali ketika melihat siapa
yang datang. Demikian pula anggota-anggota rampok lainnya yang sebenarnya sudah siap-siap
untuk ambil langkah seribu.
"Muning! Syukur kau datang! Lekas bunuh kerak-kerak Kerajaan itu! Perwira
keparat ini lebih dulu!"
Muning Kwengi, demikian nama si nenek katai ternyata adalah kakak kandung Warok
Grimbil. Dia bertempat tinggal di sebuah pulau di pantai utara. Dalam dunia
persilatan karena kehebatannya memainkan pisau kecil nenek ini diberi julukan
"Iblis Pisau Terbang."
Seperti juga adiknya Muning Kwengi pun bukanlah manusia baik-baik. Ilmu
kepandaiannya dipergunakan untuk malang-melintang berbuat kejahatan sekehendak
hatinya. Di samping itu nenek tua yang hanya tinggal beberapa meter dari liang
kubur ini juga ternyata masih genit, suka daun muda alias senang pada laki-laki
yang jauh lebih muda apalagi tampan. Memandang kepada adiknya dan melirik pada
Sanjaya si nenek muka perot cengar-cengir lalu berkata:
"Hanya seekor kucing dapur begini kau sudah tidak mampu menghadapinya Grimbil"
Huh, betul-betul membuat aku tidak punya muka menjadi kakakmu!"
Muning Kwengi memandang berkeliling. Lalu membentak pada anggota-anggota rampok
yang memandang angker padanya.
"Kalian kenapa melongo"! Ayo musnahkan prajurit-prajurit Kerajaan itu! Itu
urusan kalian!"
Anak-anak buah Warok Grimbil yang sudah tahu siapa adanya nenek tua tersebut,
timbul kembali keberaniannya. Mereka serempak menyerbu prajurit-prajurit
Kerajaan. Muning Kwengi maju dua langkah, kedip-kedipkan mata kirinya lalu menuding dengan
jari telunjuk tangan kirinya tepat-tepat ke arah Sanjaya yang tegak delapan
langkah di hadapannya.
"Perwira, membunuhmu sama mudahnya dengan membalikkan telapak tanganku...."
"Begitu"!" tukas Sanjaya. Sejak tadi dia sudah berwaspada. Cara muncul dan
gerak-gerik nenek ini cukup menyatakan bahwa dia bukan sembarangan.
Tingkat ilmunya jauh lebih hebat dari Warok Grimbil, mungkin mendekati
kepandaian gurunya Eyang Wulur Pamenang.
Si nenek tertawa dan kedipkan lagi mata kirinya.
Bastian Tito 36 Hidung Belang Berkipas Sakti
"Sangat mudah!" kata Muning Kwengi pula. "Tapi orang segagahmu terlalu sayang
kalau harus mati muda mati percuma. Jika kau bersedia ikut denganku dan jadi
peliharaanku selama lima tahun, akan kuampuni kau punya jiwa!"
Air muka Sanjaya menjadi gelap merah. Muning Kwengi tertawa gelak-gelak.
"Tua bangka peot! Tak tahu diburuk diri! Tak ingat liang kubur sudah menganga
masih saja punya otak kotor cabul!"
"Ahai! Orang muda, jangan bicara keliwat menghina!" sahut Muning Kwengi seraya
usap-usap kedua pipinya yang kempot berkerut. "Aku memang sudah tua... sudah
peot! Tapi bukan tua sembarang tua. Bukan peot sembarang peot! Sekali kau
merasakan kehangatan pelukanku, sekali kau tidur bersamaku, seumur hidup kau
akan mengekor ke mana aku pergi! Hik... hik...
hik... hik!"
Warok Grimbil yang tidak sabar melihat tingkah laku kakaknya itu berteriak
"Muning! Kau tunggu apa lagi" Bunuh bangsat itu!"
"Sabar... sabar adikku! Kalau aku bisa mendapatkan keuntungan dari daun muda ini
bukankah lebih baik dia dibiarkan hidup untuk sementara"!"
Warok Grimbil mengomel panjang pendek. Dia maklum tak bakal dapat memaksa
kakaknya yang beradat aneh itu. Saking kesal akhirnya dia duduk menjelepok di
tanah sambil coba mengobati cedera di sikunya.
"Perwira," kembali Muning Kwengi membuka mulut sambil kedipkan mata kiri dan
sunggingkan senyum di mulut yang perot. "Coba kau pikir baik-baik. Inginkan
hidup berarti kau bakal mendapat banyak kenikmatan dariku. Inginkan mati maka
kau bakal menemul ajal secara mengenaskan detik ini juga! Nah, pilih mana?"
"Aku lebih suka mati berkalang tanah daripada menjadi budak peliharaan manusia
mesum macammu!" jawab Sanjaya.
Si nenek geleng-geleng kepala.
"Apakah musti kubuktikan sekali lagi bahwa kematianmu itu nantinya benar-benar
amat mengerikan" Nah kau saksikanlah!"
Hampir tak terlihat kapan dia menggerakkan kedua tangannya tiba-tiba terdengar
suara bergemerincingan. Sedetik kemudian diikuti oleh pekik susul menyusul.
Sanjaya memutar tubuh ke belakang. Delapan prajurit Kerajaan yang tengah
bertempur melawan anggota rampok roboh menggeletak. Di kepala masing-masing
menancap pisau kecil yang telah dilemparkan Muning Kwengi!
Ketegangan yang menggantung di udara dirobek oleh suara tawa cekikikan Muning
Kwengi! "Indah atau sangat mengerikan kematian itu hai perwira muda?"
"Memang mengerikan perempuan iblis!" sahut Sanjaya dengan kertakkan rahang.
"Tapi tidak lebih mengerikan dari kematian yang bakal kau terima. Lihat!"
Sanjaya pukulkan tangan kanannya ke depan. Selarik sinar yang memiliki tiga
warna yaitu merah, biru dan kuning menderu ke arah Muning Kwengi.
"Pukulan Tiga Racun!" seru si nenek dan cepat-cepat menyingkir. "Ladalah! Apakah
kau muridnya si Wulur Pamenang"! Jadi si tua bangka perot itu masih juga belum
mampus hah"!"
Bastian Tito 37 Hidung Belang Berkipas Sakti
"Hatimu jahat dan mulutmu kotor!" teriak Sanjaya. Pemuda itu marah sekali karena
gurunya dihina dengan sebutan demikian rupa. Kali ini dia lancarkan lagi Pukulan
Tiga Racun dengan tangan kiri kanan.
Muning Kwengi jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Serentak dengan itu dia
cabut lima buah pisau kecil dan melemparkannya ke arah Sanjaya. Karena saat itu
dia tidak bersenjata terpaksa pemuda ini jatuhkan diri ke tanah. Namun dari
belakang sana Muning Kwengi kembali melemparkan lima buah pisau. Sanjaya
bergulingan di tanah. Tapi tak urung salah satu pisau itu masih sempat
menghantam tubuhnya, menancap di dada sebelah kanan!
Perwira muda itu mengeluh. Dengan menahan sakit dia cabut pisau tersebut
langsung menyerbu ke arah si nenek. Muning Kwengi alias Iblis Pisau Terbang
menyambut dengan tawa mengejek. Tubuhnya berkelebat lenyap. Dia sama sekali
tidak melancarkan serangan. Agaknya sengaja memamerkan ilmu meringankan tubuhnya
yang tinggi. Dengan berkelebat kian kemari laksana bayang-bayang semua serangan
Sanjaya dielakkannya dengan gampang.
Di saat itu Sanjaya merasakan dadanya yang bekas ditancapi pisau lawan sakit
sekali. Nafasnya menyesak dan kerongkongannya panas seperti tersekat. Serangannya
menjadi kendor bahkan ketika pandangannya menjadi gelap pemuda ini hanya bisa
berdiri terhuyung-huyung. Bumi ini laksana terbalik di matanya.
Muning Kwengi tersenyum. "Racun pisau telah bekerja... racun pisau telah
bekerja," katanya dalam hati lalu hentikan gerakannya. Dia maju beberapa langkah
menghampiri Sanjaya dan berkata:
"Orang muda, sekarang maut ada di depan hidungmu. Jika kau bersedia ikut
denganku, akan kuberikan obat penawar racun. Tapi jika kau tetap membandel, satu
jam dimuka nyawamu tak akan tertolong lagi...!"


Wiro Sableng 020 Hidung Belang Berkipas Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lebih baik mati. Seribu kali lebih baik mati daripada menyerahkan diri ikut
dengan iblis macammu!" sahut Sanjaya. Suaranya demikian perlahan seperti
berbisik. Kedua kakinya tertekuk. Tubuhnya terkulai dan jatuh ke tanah. Dari
mulutnya ke luar ludah membusah.
Dalam keadaan seperti itu dilihatnya Warok Grimbil memungut sebatang golok dan
lari ke arahnya seraya berteriak:
"Muning Kwengi! Jika kau tidak mau membunuhnya, biar aku yang bikin mampus
bangsat ini!"
Sesaat kemudian golok di tangan kiri kepala rampok itu diayunkan ke arah batok
kepala Sanjaya. Si perwira muda ini tak mampu berbuat apapun selain diam
menunggu kematian.
Sekujur tubuhnya panas dingin akibat racun pisau. Di saat kematian datang itu
terbayang olehnya wajah gurunya, wajah Wulandari. Terakhir sekali dia berseru
menyebut nama Tuhan!
Selama seorang manusia tidak melupakan Tuhannya maka selama itu pula Tuhan ingat
kepadanya. Begitulah yang terjadi dengan Sanjaya.
Pada detik golok di tangan Warok Grimbil akan membelah batok kepala perwira muda
itu, entah dari mana datangnya, melayanglah sebuah batu sebesar kepalan.
Terdengar pekik kepala rampok itu. Sikut kirinya hancur. Golok terlepas dari
tangannya. Dengan demikian kedua sikut kiri kanan kepala rampok ini mengalami
cedera parah. Sebelum Sanjaya jatuh pingsan masih sempat dilihatnya kemunculan seorang pemuda
berambut gondrong, berpakaian serba putih, berdiri di bawah cucuran atap sebuah
rumah sambil bertolak pinggang dan cengar-cengir seenaknya seperti orang kurang
waras! -- << 10 >> --
Bastian Tito 38 Hidung Belang Berkipas Sakti
11 njing kurap! Setan alas! Siapa kau"!" bentak Muning Kwengi menggeledek dan marah
sementara adiknya Warok Grimbil terkapar di tanah mengerang kesakitan. Pemuda di
A bawah cucuran atap kembali menyeringai dan keluarkan suara bersiul.
"Haram jadah!" maki Muning Kwengi.
Sekali tangannya bergerak lima pisau kecil terbang ke arah si pemuda. Di
seberang sana pemuda berambut gondrong itu kembali keluarkan suara bersiul. Dia
telah lama mendengar kehebatan nenek-nenek bertubuh katai itu. Karenanya begitu
diserang segera dia pukulkan tangan kirinya. Satu gelombang angin bersiur
menerpa lima pisau terbang. Senjata-senjata maut beracun itu mental dan hebatnya
kini membalik menggempur pemiliknya sendiri!
Kagetnya Muning Kwengi bukan alang kepalang. Cepat dia menyingkir. Selama malang
melintang memegang gelar lblis Pisau Terbang hanya ada satu tokoh silat yang
pernah membendung bahkan mengembalikan serangan pisaunya. Tokoh silat itu adalah
Dewi Siluman Dari Bukit Tunggul yang kini sudah mati yaitu ketika terjadi
perselisihan antara sesama tokoh-tokoh golongan hitam. Dengan mata membeliak
hatinya bertanya-tanya siapa gerangan adanya pemuda berambut gondrong yang
memiliki kepandaian bukan sembarangan ini!
"Muning Kwengi!" Tiba-tiba si pemuda berseru, membuat kaget si nenek.
"Ladalah! Kowe kenal namaku!" tukas lblis Pisau Terbang.
Tanpa acuhkan keterkejutan orang si rambut gondrong kembali berkata: "Seminggu
lalu secara biadab kau menghancurkan seluruh pesantren Bintang Hijau di lembah
Beringin ...."
"Oh, jadi kau anak murid pesantren Bintang Hijau yang datang untuk menuntut
balas"!"
sentak Muning Kwengi.
"Siapa aku, kau tak perlu tahu! Setiap orang yang berada di jalan kebenaran
berhak meminta pertanggungan jawabmu atas semua kejahatan yang telah kau
lakukan!" "Hebat sekali!" sahut Muning Kwengi lalu tertawa panjang. "Enam tokoh silat
kelas satu pernah mengeroyokku satu bulan lalu. Mereka juga bicara tentang
segala macam kebenaran dan tanggung jawab! Dan mereka semua mampus di tanganku!"
"Memang betul! Ada kalanya kejahatan itu dapat menghancurkan kebenaran, tapi
tidak selamanya...."
"Ah ucapanmu tinggi dan sombong. Melihat tampangmu yang tolol kau tentu bukan
seorang terpelajar, apalagi sastrawan! Disamping itu aku tidak terlalu suka
mendengar obrolan panjang lebar. Lekas terangkan siapa kau dan ilmu kepandaian
apa yang hendak kau andalkan hingga berani datang untuk jual tampang di
hadapanku si lblis Pisau Terbang?"
"Aku utusan kematian! Mewakili malaikat maut untuk minta roh busukmu!" sahut
pemuda berambut gondrong.
Menggelegaklah kemarahan Muning Kwengi. Rahangnya bertonjolan dan matanya
membeliak. Didahului oleh pekikan keras nenek-nenek ini melompat ke muka seraya
lancarkan satu tendangan dan dua pukulan tangan kosong yang hebat!
"Ciat!"
Bastian Tito 39 Hidung Belang Berkipas Sakti
Pemuda rambut gondrong membentak nyaring dan berkelebat ke samping. Tangannya
yang mengepal dipukulkan ke depan. Terdengar angin bersiur. Muning Kwengi
tersentak kaget ketika merasakan tubuhnya terapung di udara tak bisa maju lagi
laksana ditahan oleh selapis dinding yang amat atos!
"Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih!" seru nenek katai itu begitu dia
mengenali pukulan pertahanan yang dilepaskan lawan. Melihat kenyataan ini
tergetarlah hatinya. Mukanya menjadi pucat. Kini dia sudah dapat memastikan
siapa adanya pemuda gondrong itu!
Sebagai tokoh silat golongan yang sudah terkenal di delapan penjuru angin tentu
saja Muning Kwengi tidak mau memperlihatkan kegentarannya. Setelah melompat ke
samping guna menghindarkan terpaan angin pukulan lawan, secepat kilat dia
lemparkan setengah lusin pisau beracun. Serangan ini masih disusul lagi dengan
satu pukulan tangan kosong yang mengeluarkan sinar biru menggidikkan!
Baik pisau terbang maupun pukulan tangan kosong keduanya sama mengandung racun
yang amat jahat.
Pemuda rambut gondrong melompat, dua tombak ke udara. Dari atas dia lalu
melepaskan satu pukulan dahsyat yang selama ini merupakan pukulan yang telah
menggetarkan dunia persilatan.
lblis Pisau Terbang berseru tegang ketika melihat sinar putih menyilaukan
laksana kilat dari langit menyambar panas ke arahnya!
"Pukulan Sinar Matahari!"
Nenek-nenek itu membuang diri ke samping kiri, bergulingan di tanah untuk
kemudian berdiri dengan kedua tangan dipentangkan di depan dada, menjaga segala
kemungkinan sementara wajahnya yang keriput kelihatan bertambah pucat.
Pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan si pemuda yang dengan demikian menyatakan
bahwa dia adalah bukan lain Wiro Sableng yang bergelar Pendekar Kapak Maut Geni
212, murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede!
Seruan Muning Kwengi yang menyebut nama pukulan yang barusan dilepas lawan
lenyap ditelan gelegar suara beradunya sinar pukulan itu dengan sinar biru yang
dilepaskan Muning Kwengi untuk mempertahankan diri.
Dua pukulan itu laksana raksasa, berkecamuk, bergelungan, lalu memecah ke kiri
untuk kemudian menyerempet sisa-sisa prajurit-prajurit dan anggota-anggota
rampok yang masih bertempur. Terdengar pekik-pekik kematian. Semuanya berkaparan
di tanah dengan tubuh hangus laksana dipanggang!
Muning Kwengi merasakan dadanya berdenyut-denyut. Menggempur pemuda itu sampai
lima puluh atau seratus jurus sekalipun belum tentu dirinya akan sanggup
mengalahkannya.
Karenanya daripada membuang-buang waktu dan bukan mustahil dia bisa celaka maka
nenek-nenek ini segera menyambar dan mendukung tubuh adiknya. Untuk tidak
kehilangan muka dia berkata:
"Pendekar 212! Sayang aku tak punya waktu banyak. Jika nyalimu benar-benar besar
aku tunggu kau! Malam bulan purnama besar di pekuburan Blumbung!"
"Nenek-nenek keriput! Kau mau ke mana"!" sentak Wiro Sableng. "Apa yang telah
kau mulai hari ini, harus diselesaikan hari ini juga!"
lblis Pisau Terbang pencongkan mulut. Uengan tangan kanannya dilemparkannya tiga
buah pisau ke arah Wiro Sableng. Pendekar ini cepat menghantam serangan lawan
dengan pukulan tangan kosong. Namun pisau-pisau yang dilemparkan si nenek kali
ini bukan sembarangan pisau. Karena begitu angin pukulan Wiro membentur badan
pisau, ketiga pisau itu yang bagian dalamnya mempunyai rongga, meledak dan tiga
gulungan asap hitam menggebubu menutupi pemandangan!
Bastian Tito 40 Hidung Belang Berkipas Sakti
"Kurang ajar!" maki Wiro dan sadar kalau sudah tertipu. Tak menunggu lebih lama
dia segera lepaskan dua pukulan Sinar Matahari ke jurusan di mana Muning Kwengi
sebelumnya tadi berdiri. Tapi si nenek katai tidak roboh. Begitu asap bertabur
dia melompat tiga tombak ke samping kiri untuk kemudian lenyap di dalam rimba
belantara bersama adiknya.
Wiro Sableng garuk-garuk kepala dan memandang berkeliling. Mayat bertaburan
dimana-mana. Perkampungan di tengah hutan itu sesunyi di pekuburan. Wiro
melangkah mendekati sosok tubuh Sanjaya. Ditotoknya tubuh perwira yang malang
itu di beberapa bagian kemudian dipanggulnya meninggalkan tempat itu.
Di barat langit telah kuning kemerahan. Sebentar lagi sang surya akan segera
tenggelam. Pendekar 212 Wiro Sableng tinggalkan hutan Walu dengan berlari cepat ke jurusan
selatan. Telaga itu terletak di antara dua kaki bukit. Bulan sabit tampak menggantung
tinggi di langit, sebentar-sebentar tertutup angin kelabu yang berarak ke arah
timur. Sebuah api unggun menyala di salah satu tepian telaga. Tak berapa jauh
dari api unggun kelihatan dua orang lelaki duduk berhadap-hadapan.
"Sebaiknya kau berbaring saja perwira. Agar kau bisa istirahat dan jalan darahmu
teratur ...." "Ah, lagi-lagi kau memanggilku dengan sebutan perwira itu Wiro. Namaku
Sanjaya ...."
Wiro cuma menyengir. "Berbaringlah..." katanya lagi.
Sanjaya gelengkan kepala. Dia memandang pada balutan di dadanya.
"Bubuk obat yang kau berikan ternyata mujarab sekali. Aku telah berhutang nyawa
terhadapmu...."
"Jangan kau sebut-sebut lagi hal itu ...."
"Menyebutnya atau tidak namun itu adalah kenyataan."
Sanjaya diam seketika. Lalu: "Bagaimana kau bisa muncul di perkampungan rampok
itu?" tanyanya kemudian.
"Aku memang sudah sejak lama memburu bangsat tua berjuluk lblis Pisau Terbang
itu. Kejahatannya benar-benar telah lewat takaran. Terakhir sekali dia memusnahkan
secara kejam pesantren Bintang Hijau di lembah Beringin. Jejaknya kuikuti sampai
ke dalam rimba belantara Walu. Justru kuketahui di situ juga bersarang
gerombolan rampok ganas pimpinan Warok Grimbil. Menurut keterangan yang kudapat
Warok Grimbil masih bersaudara kandung dengan lblis Pisau Terbang. Kujelajahi
rimba belantara dan akhirnya betul-betul bertemu dua manusia jahat itu. Tapi
sayang, keduanya berhasil meloloskan diri!" Lalu Wiro menerangkan bagaimana dia
telah tertipu oleh tiga pisau terbang Muning Kwengi.
Karena sudah merasa sangat dekat dengan Wiro maka tanpa ditanya Sanjaya
menuturkan pula tugas yang dijalankannya atas perintah Sri Baginda yakni untuk
membasmi komplotan rampok jahat Warok Grimbil, menangkap pemimpinnya hidup atau
mati. "Semua prajuritku menemui kematian," keluh Sanjaya. "Bagaimana aku bisa kembali
ke Kotaraja begini rupa"!"
"Tak usah kawatir, cepat atau lambat tentu ada orang lain yang akan membekuk
kedua manusia jahat itu."
"Betul, tapi aku yang ditugaskan untuk membasminya justru aku sendiri yang
selamat. Tidak mustahil orang akan berprasangka buruk padaku ...."
"Kalah atau menang dalam satu pertempuran adalah satu hal yang lumrah sobat,"
menghibur Wiro.
Bastian Tito 41 Hidung Belang Berkipas Sakti
"Yah, kekalahan yang terlalu pahit untuk ditelan," desis Sanjaya. Dia teringat
pada gurunya dan menyambung dengan suara perlahan: "Yang akan mengalami
kekecewaan besar adalah Eyang Wulur Pamenang, guruku. Dia tentu malu mempunyai
seorang murid yang tidak berguna macamku ini. Aku sendiri tak punya muka untuk
bertemu dengan dia ...."
Wiro Sableng garuk-garuk kepala dan tertawa. "Jangan putus asa Sanjaya. Kita
harus ingat, betapapun tingginya ilmu seseorang kelak ada lain orang yang lebih
tinggi kepandaiannya. Di luar langit ada langit lagi. Begitu orang memberi
perumpamaan ...."
Sanjaya menghela nafas dalam dan memandang ke utara di mana dalam gelapnya malam
sepasang matanya masih mampu melihat puncak gunung Slamet menghitam di kejauhan.
Berada di situ pemuda ini sama sekali tidak mengetahui malapetaka yang telah
menimpa gurunya serta tunangannya dua bulan yang lewat.
-- << 11 >> --
Bastian Tito 42 Hidung Belang Berkipas Sakti
12 edai Pak Tanu terletak di tengah pasar di pusat kota Bumiayu, merupakan kedai
yang buka siang malam di kota kecil itu. Karena Bumiayu menjadi pusat
persimpangan lalu-K lintas dari lima jurusan maka meskipun kecil tapi sepanjang
Panggilan Ke Alam Roh 1 Pendekar Rajawali Sakti 155 Misteri Mayat Darah Pendekar Bodoh 1
^