Pencarian

Hidung Belang Berkipas Sakti 1

Wiro Sableng 020 Hidung Belang Berkipas Sakti Bagian 1


Hidung Belang Berkipas Sakti
1 atahari bersinar terik membakar jagat. Pemuda berpakaian sederhana itu melangkah
menyusuri jalan berdebu. Di hadapan sebuah pintu gerbang yang dikawal oleh dua M
orang prajurit bersenjatakan tombak dia berhenti. Sesaat dengan sepasang matanya
yang disipitkan diperhatikannya bangunan pintu gerbang yang kokoh itu. Lalu dia
berpaling pada salah seorang pengawal yang berdiri di situ.
"Apakah ini gedung kediaman Adipati Kebo Panaran?" bertanya si pemuda.
Pengawal yang ditanya tidak segera menjawab. Dia memandang penuh curiga,
meneliti pemuda itu dari kepala sampai ke kaki. Segera dia tahu kalau Si pemuda
adalah seorang desa yang baru saja turun ke kota.
Dengan sikap meremehkan pengawal itu menjawab.
"Betul. Kau ada keperluan apa orang desa"!"
"Aku ingin bertemu Adipati," jawab si pemuda.
"Ingin bertemu dengan Adipati Kebo Panaran" Heh...." Pengawal yang satu ini
berpaling pada kawannya. Lalu tertawa bergelak. "Sobat," katanya pada kawannya.
"Kau dengar ucapan pemuda ini?"
Prajurit yang satu ikut-ikutan tertawa dan berkata. "Sebelum kami muak
melihatmu, sebaiknya lekas pergi dari sini!"
"Tapi... aku ingin bertemu Adipati," sahut Si pemuda pula.
"Heh, memaksa rupanya. Apa maumu sebenarnya"!" prajurit pertama maju selangkah
sambil menggenggam tombaknya.
"Mau cari pekerjaan," jawab si pemuda tanpa ragu-ragu.
"Buset! Tak ada pekerjaan untuk manusia macammu di sini. Adipati sudah punya
tukang kebun. Sudah punya penjaga kuda...."
"Bukan pekerjaan macam begitu yang aku inginkan," memotong pemuda desa tadi.
"Ahai! Lalu pekerjaan macam apa yang kau inginkan" Jadi juru masak barangkali"!"
Sepasang mata pemuda itu semakin menyipit. Tiba-tiba dia tersenyum.
"Prajurit pengawal pintu!" kata pemuda itu dengan suara tandas. "Kau dengar
baik-baik. Namaku Dipasingara. Katakan pada Adipatimu bahwa aku datang untuk mencari
pekerjaan!"
"Sekalipun namamu Bapak Moyang Setan aku tidak perduli. Menyingkir dari sini
atau batang tombak ini akan membuat kepalamu jadi benjol besar!"
Si pemuda masih saja tersenyum mendengar ancaman itu. Malah dia menyambuti
dengan ucapan: "Rupanya suasana di kota benar-benar harus memakai segala macam
kekerasan. Sobat, aku minta tolong padamu agar memberi tahu Adipati, kalau tidak.."
"Kalau tidak kau mau apa?" Si prajurit jadi berang.
"Aku terpaksa nyelonong sendiri masuk ke dalam gedung!"
"Pemuda desa kurang ajar! Kau betul-betul minta digebuk!"
Tombak besi di tangan pengawal pintu gerbang menyambar ke arah pemuda yang
mengaku bernama Dipasingara itu. Sesaat lagi pastilah remuk atau paling tidak
benjol besar kepalanya.
Tapi apa yang terjadi kemudian membuat terkejut kawan prajurit yang satu ini.
Hampir sama sekali tidak kelihatan bergerak, tahu-tahu pengawal yang
mengemplangkan tombak telah terpental ke atas untuk kemudian jatuh bergedebuk di
tanah tanpa sadarkan diri lagi. Tombak yang tadi dipakainya untuk memukul kini
berpindah tangan digenggam Dipasingara!
Bastian Tito 1 Hidung Belang Berkipas Sakti
"Bangsat rendah! Berani kau mencelakai kawanku!" teriak pengawal yang seorang
lagi marah sekali. Dia melompat dan tusukkan mata tombaknya ke dada pemuda desa
itu. Dipasingara ulurkan tangan kirinya. Tahu-tahu bagian belakang mata tombak
berhasil dicekalnya lalu disentakkan kuat-kuat. Tak ampun lagi pengawal yang
menyerang terbetot kencang ke depan, terguling di tanah dengan muka
berkelukuran! Meski dia tidak jatuh pingsan namun luka-luka yang mengeluarkan
darah memenuhi tubuhnya, sakitnya bukan kepalang. Dia terduduk di tanah tanpa
bisa berbuat apa-apa selain mengerang kesakitan.
Dipasingara menimang-nimang dua batang tombak yang barusan dirampasnya. Satu
demi satu tombak itu kemudian ditancapkannya di tanah tepat diantara kedua kaki
prajurit Kadipaten itu. Kemudian dia melangkah ke pintu gerbang. Baru saja dia
menggerakkan tangan untuk membuka pintu, Sebuah kereta yang dikawal oleh
serombongan penunggang kuda yang rata-rata berbadan kekar herbenti di situ.
Penunggang kuda paling depan yang berkumis melintang membentak dari punggung
kuda tunggangannya.
"Apa yang terjadi di sini"!"
Bola matanya yang besar menyorot si pemuda. Kembali dia membentak: "Siapa
kowe"!"
Dengan tenang pemuda itu menjawab. "Namaku Dipasingara. Aku ingin bertemu dengan
Adipati Kebo Panaran. Untuk maksud baik. Mau cari pekerjaan. Aku sudah minta
izin dan tolong kedua pengawal ini. Tapi tanpa alasan mereka malah menurunkan
tangan kasar terhadapku.
Cuma sayang mereka terlalu kesusu!"
"Pemuda edan! Anak-anak tangkap pemuda ini!" teriak si kumis melintang. Rupanya
dia yang jadi pimpinan.
Empat lelaki berpakaian seragam, bertubuh besar tegap melompat turun dari
punggung kuda lalu serempak menyerbu Dipasingara untuk meringkusnya hidup-hidup.
Namun mereka cuma bisa menangkap angin. Karena pada detik itu Si pemuda telah
lenyap dan tahu-tahu sudah berdiri di samping kereta.
Justru saat itu pula tirai kereta disingkapkan orang dari dalam. Sebuah kepala
laki-laki kemudian muncul. Di sampingnya tampak kepala seorang perempuan muda
berparas cantik luar biasa.
"Sura... ada apa ribut-ribut?" tanya lelaki dalam kereta. Suaranya besar parau,
tak sedap didengar.
Suramanik, demikian nama lelaki berkumis melintang yang tadi berikan perintah
untuk menangkap Dipasingara cepat menjawab:
"Tidak ada apa-apa Adipati. Tak perlu khawatir. Cuma seekor kecoak sinting
kesasar kemari dan berbuat sedikit kerusuhan. Mohon maafmu. Kami akan segera
mengenyahkannya dari sini!"
Dipasingara memalingkan kepalanya ke jendela kereta. Dilihatnya seorang lelaki
berpakaian bagus, berkopiah tinggi, bermuka putih. Menurut taksirannya paling
tidak orang ini berusia setengah abad. Di sebelahnya duduk seorang perempuan
berparas rupawan yang membuat Dipasingara sejenak tertegun. Namun menyadari
bahwa orang di dalam kereta itu pastilah Adipati Kebo Panaran dan istrinya maka
cepat-cepat Dipasingara membuka mulut.
"Adipati Kebo Panaran. Mohon dimaafkan segala tindakanku. Semuanya terjadi
karena terpaksa. Aku harus mempertahankan diri dari orang-orangmu yang menyerang
secara sewenang-wenang. Aku datang dari jauh. Sengaja hendak menemuimu untuk
minta pekejaan.
Bolehkah aku tolong membukakan pintu gerbang agar keretamu bisa lewat...?"
Sesaat Kebo Panaran menatap tampang pemuda itu. Wajahnya cakap. Sikapnya
sederhana tetapi hormat tanda dia bukan seorang pemuda gelandangan tak karuan,
Bastian Tito 2 Hidung Belang Berkipas Sakti
"Orang muda, kau siapa?" bertanya sang Adipati.
Sepasang mata Dipasingara mengerling sekilas pada perempuan yang duduk dalam
kereta di samping Adipati. Cuma sekilas, tetapi pandangan mata tajam pemuda ini
membuat bergetar hati serta dada Galuh Resmi, istri Kebo Panaran.
"Namaku Dipasingara" menjawab si pemuda. "Sengaja datang dari jauh untuk cari
pekerjaan."
"Hemmm.. begitu?" ujar Kebo Panaran. Dia mengerling pada dua pengawal pintu
gerbang yang terkapar di tanah.
"Apakah menghantam dua prajurit Kadipaten itu salah satu pekerjaan yang kau
inginkan..."!"
"Mohon maaf Adipati. Bukan maksudku untuk berbuat kurang ajar. Tapi mana mungkin
aku berdiam diri jika yang satu dari mereka hendak mengemplang kepalaku, yang
satu lagi hendak menembus dadaku dengan tombak"!"
Kebo Panaran terdiam.
Sebaliknya Suramanik yang sejak tadi menahan amarah kini membentak: "Adipati,
biar kuhajar pemuda hina dina ini!"
Tapi sang Adipati melambaikan tangannya. Mencegah kepala pengawalnya untuk
melaksanakan maksudnya.
"Aku akan bukakan pintu gerbang untukmu," kata Dipasingara tanpa mengacuhkan
Suramanik. Lalu didorongnya daun pintu gerbang lebar-lebar.
Kusir kereta memandang pada pemuda itu dengan air muka tidak senang. Tetapi
Adipati Kebo Panaran memberi isyarat agar kereta segera dimasukkan ke dalam.
Ketika Dipasingara ikut-ikutan hendak masuk ke dalam Suramanik mengusirnya
dengan beringas.
"Biarkan dia masuk Sura," terdengar suara Adipati dari dalam kereta.
Dengan amat penasaran Suramanik terpaksa membiarkan Dipasingara memasuki halaman
Kadipaten. -- << 1 >> --
Bastian Tito 3 Hidung Belang Berkipas Sakti
2 dipati dan istrinya turun dari kereta. Dipasingara berdiri dekat tangga
Kadipaten. Sepasang matanya yang sipit menatap paras perempuan itu. Ketika itu Galuh Resmi
A mengerling pula, sesaat pandangan mata mereka saling bertemu. Galuh Resmi
palingkan wajahnya dan cepat-cepat menaiki tangga lalu masuk ke dalam gedung.
Bentrokan pandangan ini sama sekali tidak diketahui Adipati Kebo Panaran.
Sebaliknya Suramanik sempat melihatnya sehingga semakin besar kegusarannya
terhadap Dipasingara.
Kusir membawa kereta ke halaman samping. Kebo Panaran memberi isyarat pada
Dipasingara untuk mengikutinya ke langkan Kadipaten, sementara Suramanik dan
anak buahnya tetap berdiri di anak tangga sebelah bawah. Dua orang prajurit
sebelumnya sudah disuruhnya untuk menggotong dua pengawal pintu gerbang yang
cidera. "Nah sekarang katakan pekerjaan apa yang kau inginkan," kata Adipati. Tapi dia
tak menunggu jawaban malah menambahkan: "Untuk mengurus kandang kuda aku sudah
punya orang. Tukang kebun juga sudah ada. Pengawal banyak. Kau mau kujadikan
sebagal perawat kuda-kuda kesayanganku?"
"Terima kasih Adipati. Terima kasih atas kepercayaanmu. Namun bukan pekerjaan
macam itu yang aku inginkan."
Di bawah langkan gedung Suramanik menggertakkan rahangnya tanda marah. Sudah
diberi pekerjaan menolak pula. Dasar manusia kampung tidak tahu diri. Demikian
kepala pengawal Kadipaten itu mengumpat dalam hati.
"Lantas pekerjaan yang bagaimana yang kau inginkan?" tanya Adipati pula.
"Aku ingin menjadi kepala pengawal di Kadipaten ini, Adipati!"
Kebo Panaran tersentak kaget mendengar ucapan Dipasingara. Dia mulai berpikir
apakah pemuda ini sehat otaknya atau bagaimana. Suramanik sendiri sampai melotot
kedua matanya. Saat itu dia adalah kepala pengawal Kadipaten. Dan justru pekerjaan itulah yang
diinginkan Si pemuda sialan itu! Benar-benar membuat Suramanik menjadi panas
dingin menahan amarah.
Kalau saja Adipati Kebo Panaran tidak ada di situ sudah sejak tadi dilabraknya
pemuda lancang mulut itu!
Kebo Panaran batuk-batuk beberapa kali. "Tentunya kau tidak bicara bertele-tele
atau ngaco, orang muda. Aku sudah memiliki kepala pengawal. Tak mungkin jabatan
itu kuberikan padamu."
"Rasanya tak ada yang tak mungkin di dunia ini, Adipati," jawab Dipasingara.
"Disamping itu untuk jadi kepala pengawal tidak sembarangan. Ada syarat-
syaratnya."
"Apakah syarat-syarat itu Adipati?"
Kebo Panaran merasa didesak dan jadi jengkel.
"Sudahlah orang muda. Aku tak punya waktu lama untuk bicara denganmu. Juga tak
ada pekerjaan lowong di sini untukmu. Kecuali jika kau mau bekerja sebagai
perawat kuda-kudaku.
Kalau tidak silahkan pergi dan cari pekerjaan di tempat lain!"
Dipasingara terdiam sejenak. Lalu angkat bahu. Dia menjura "Jika begitu katamu
baiklah Adipati. Aku minta diri...."
Pemuda itu membalikkan tubuh dan siap untuk pergi. Tapi di belakangnya terdengar
Kebo Panaran berkata:
Bastian Tito 4 Hidung Belang Berkipas Sakti
"Tunggu dulu!"
"Ada apa Adipati?" tanya Dipasingara.
Saat itu sang Adipati teringat akan dua pangawal pintu gerbang yang telah
dipreteli Dipasingara. Tak dapat tidak tentu pemuda ini memiliki kepandaian
silat yang diandalkan.
Kalau tidak mana dia mampu dan punya keberanian untuk berbuat begitu. Dan jika
dia menginginkan jabatan kepala pengawal Kadipaten pasti dia tidak main-main.
"Dengar orang muda," kata Kebo Pananan. "Aku akan memberikan jabatan yang cukup
layak untukmu. Asal saja kau mau menerangkan kepandaian apa saja yang kau
miliki!" "Maaf Adipati. Rahasia diriku tak mungkin kuberitahu. Aku hanya menginginkan
jabatan kepala pengawal. Lain tidak...."
Suramanik yang sejak tadi sudah kelangsangan dilanda amarah, serasa terbakar
tubuhnya. Dia merasa dihina oleh pemuda desa itu. Suramanik melompat ke langkan Kadipaten
dan berkata lantang:
"Adipati, aku bersedia menyerahkan jabatanku pada pemuda kurang ajar ini jika
dia sanggup menerima pukulanku satu kali saja pada dadanya!"
Suramanik memang bukan sembarang orang. Jika tidak memiliki kepandaian tinggi
tentu dia tak akan menjabat kepala pengawal Kadipaten.
Kebo Panaran terkesiap mendengar ucapan kepala pengawalnya itu. Urusan jadi
ruwet jika pemuda desa itu sampai kena dihantam tinju Suramanik apa jadinya"
Sebaliknya dengan tenang Dipasingara menyahuti:
"Kalau aku sanggup menahan pukulanmu, kau akan kehilangan jabatanmu, kepala
pengawal!"
"Mari kita buktikan!" bentak Suramanik dengan mata melotot dan amarah meluap.
Dalam hatinya dia berkata: "Sekali jotosanku mendarat di dadamu kau akan terbang
ke neraka!"
Dipasingara berpaling pada Adipati Kebo Panaran.
"Adipati, apakah kau izinkan kami menjalankan pertaruhan ini?"
"Itu urusan kalian. Tapi kunasihatkan agar kau jangan menantang Suramanik. Lebih
bagus kau mencari selamat dan tinggalkan tempat ini!" Begitu jawaban Kebo
Panaran karena dia tahu kehebatan kepala pengawalnya.
"Karena aku tetap menginginkan jabatan kepala pengawal Kadipaten, mohon maafmu
Adipati kalau aku terpaksa melayani tantangannya."
Dipasingara turun ke halaman. Di belakangnya menyusul Suramanik. Kebo Panaran
yang juga ingin menyaksikan adu tanding itu ikut turun sementara beberapa
prajurit berdiri membentuk lingkaran besar. Ditengah-tengah lingkaran Suramanik
dan Dipasingara saling berhadap-hadapan.
Di belakang tirai jendela depan gedung Kadipaten sepasang mata mengintai dengan
hati berdebar. Yang mengintip ini adalah Galuh Resmi, istri Kebo Panaran. Diam-
diam dia telah mendengar percakapan orang-orang itu dan kini ingin melihat apa
yang bakal terjadi.
Entah mengapa dia sangat menyesalkan ketololan pemuda bertampang gagah itu yang
mau saja melayani tantangan Suramanik. Dia tahu Suramanik berilmu tinggi dan
kabarnya memiliki pukulan sakti.
"Dia pasti mati begitu pukulan Suramanik menghantam dadanya!" membathin Galuh
Resmi. Aneh. Perempuan ini merasa kawatir. Mengkawatirkan keselamatan pemuda yang tidak
dikenalnya itu.
Bastian Tito 5 Hidung Belang Berkipas Sakti
"Sudah siapkah kau menerima pukulanku"!" terdengar suara Suramanik. Rahang-
rahangnya tampak menonjol.
"Sebentar sobat," jawab Dipasingara. "Biar kubuka dulu bajuku agar kau bisa
mencari bagian yang empuk untuk kau pukul!"
"Manusia takabur! Sebentar lagi akan kau rasakan akibat tingkahmu yang


Wiro Sableng 020 Hidung Belang Berkipas Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sembrono!" tukas Suramanik.
Dengan tenang Dipasingara membuka bajunya. Kini dia berdiri bertelanjang dada.
Tubuhnya kelihatan bersih ramping.
"Nah kau carilah sasaran yang empuk!" kata pemuda itu pada Suramanik disertai
senyum sinis. Seorang prajurit Kadipaten memaki dalam hatinya:
"Pemuda gendeng! Sudah mau mati masih saja bicara sombong!"
Dengan menyeringai geram Suramanik mengepalkan jari-jari tangan kanannya.
Seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke situ. Dia sengaja mengerahkan keseluruhan
kekuatannya karena ingin melihat pemuda kurang ajar itu meregang nyawa dalam
sekali pukul! Sebagai kepala pengawal Kadipaten Suramanik memiliki beberapa pukulan sakti.
Yang paling hebat adalah pukulan "Wesi Ireng". Selama lima tahun dia telah
melatih diri untuk menguasai ilmu pukulan dahsyat tersebut. Dan kini pukulan
itulah yang akan dihadiahkannya pada Dipasingara.
Perlahan-lahan tangan kanan Suramanik sampai sebatas pergelangannya berubah
menjadi kehitaman. Semua orang termasuk Dipasingara melihat perubahan yang
mengerikan itu.
Adipati Kebo Panaran maklum kalau kepala pengawalnya benar-benar ingin
menghabiskan riwayat pemuda desa itu dengan pukulan Wesi Ireng. Dia tahu,
jangankan dada manusia, tembok tebal sekali pun akan hancur luluh dihantam
pukulan itu. Dan yang mencengangkan sang Adipati ialah bahwa si pemuda itu masih
saja tenang-tenang bahkan selalu menyunggingkan senyum mengejek terhadap
Suramanik. "Kasihan..." kata Kebo Panaran dalam hati. "Dia tak sadar kalau sebentar lagi
akan menemui kematian!"
Suramanik mundur selangkah. Tangan kanannya diangkat sebatas kepala.
"Kau sudah siap untuk mampus orang muda?" ujar Suramanik.
"Cepatlah, aku sudah siap sejak tadi!"
"Kalau begitu kau terimalah detik kematianmu!"
Didahului satu bentakan garang Suramanik menghantamkan tinju kanannya ke dada
Dipasingara. "Buk!"
Tinju keras tepat menghantam dada Dipasingara di bagian jantung. Dan
terdengarlah satu pekikan dahsyat!
-- << 2 >> --
Bastian Tito 6 Hidung Belang Berkipas Sakti
3 ubuh Dipasingara sedikit pun tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Didepannya
Suramanik terbungkuk-bungkuk memegangi tangan kanannya dengan tangan kiri.
T Belasan kerut kesakitan muncul di kulit mukanya yang beringas. Semua orang
kini menyaksikan bagaimana tangan kanan Suramanik yang tadi sebatas pergelangan
berwarna hitam, kini menjadi gembung lecet. Dari mulut kepala pengawal ini tiada
hentinya terdengar suara rintihan.
Terkejutlah Adipati Kebo Panaran. Juga semua orang. Termasuk Galuh Resmi yang
mengintip di balik tirai jendela. Semula semua orang sudah sama memastikan
bagaimana pemuda itu akan terjengkang dilanda jotosan sakti Wesi Ireng,
menggeletak di tanah tanpa nyawa. Apa yang kemudian terjadi hampir tak dapat
mereka percaya.
Suramanik masih mengerang. Lututnya terasa goyah. Dia coba bertahan tapi tak
mampu. Dia jatuh berlutut. Tangan kanannya tampak semakin merah. Dari bagian-bagian
yang lecet darah mulai membersit. Kebo Panaran geleng-gelengkan kepala. Setelah
menarik nafas dalam dia berkata:
"Suramanik, ternyata pemuda itu sanggup menahan pukulanmu...."
Rahang Suramanik menggembung. "Aku tahu maksud ucapanmu Adipati. Tak usah
kawatir. Aku bukan bangsa manusia yang tidak memegang janji. Kau terimalah pemuda hina
dina itu menjadi kepala pengawal Kadipaten!"
Habis berkata begitu Suramanik memutar tubuh untuk berlalu.
"Tunggu!" seru Dipasingara. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya satu kantong
kertas kecil. Di dalam kantong ini terdapat sejenis obat mujarab.
"Taburkan obat ini di tanganmu. Lukamu pasti akan sembuh dalam waktu cepat!"
Suramanik mendengus dan menampik kantong kertas yang dilemparkan padanya.
"Aku tak butuh obatmu! Apa yang kau lakukan hari ini kelak akan kubalas berikut
bunganya! Bersiaplah dari sekarang. Karena aku pasti datang menemuimu!"
Suramanik membalikkan tubuh dan berlalu cepat. Ketika dia lenyap dikejauhan
semua mata kini ditujukan pada Dipasingara. Pada dasarnya prajurit-prajurit
Kadipaten itu diam-diam mengagumi kehebatan si pemuda. Namun masing-masing
mereka juga merasa kurang senang terhadap sikap dan tindak tanduk Dipasingara
yang mereka anggap ombong.
Setelah beberapa lama kesunyian menggantung, akhirnya Kebo Panaran membuka
mulut: "Orang muda, sesuai perjanjianmu dengan Suramanik dan dengan kepergiannya dari
sini maka mulai saat ini jabatan kepala pengawal menjadi hakmu. Namun sebelum
jabatan itu kuberikan padamu, satu ujian lagi harus kau lewati...."
"Adipati, apa maksudmu?" tanya Dipasingara,
Sebagai jawaban Kebo Panaran melemparkan sebilah golok pada Dipasingara. Lalu
pada enam orang prajurit Kadipaten dia berseru:
"Cabutlah golok kalian dan serang dia!" Pada Dipasingara Kebo Panaran
menambahkan "Kau harus sanggup merobohkan mereka dalam waktu tiga jurus. Tapi ingat, tak
satu pun harus terluka!"
Bastian Tito 7 Hidung Belang Berkipas Sakti
Dipasingara menyambut golok yang dilemparkan sambil tersenyum sementara enam
prajurit dengan golok terhunus menyebar berkeliling, mengurungnya!
Di belakang jendela Galuh Resmi yang masih mengintip kembali merasa cemas.
Dikeroyok oleh enam prajurit-prajurit kelas satu apakah pemuda itu sanggup
bertahan" Enam golok serentak berkelebat menyerang.
Dipasingara menekuk kedua lututnya. Golok di tangan kanannya dibabatkan ke atas
dalam bentuk lingkaran. "Trang... trang... trang...." Terdengar suara beradunya
senjata sampai enam kali berturut-turut. Lalu suara bergedebukan dan pekik
kesakitan susul menyusul.
Dengan mata kepalanya sendiri Adipati Kebo Panaran menyaksikan bagaimana setelah
menangkis serangan enam golok si pemuda lantas pergunakan kaki dan tangan
kirinya serta gagang golok untuk menghajar ke enam pengeroyoknya hingga tiga
orang terpelanting roboh, dua kena di totok dan satu berdiri sambil pegangi
hidungnya yang mengucurkan darah.
Di belakang jendela Galuh Resmi sampai ternganga takjub melihat kejadian itu.
Kebo Panaran memegang bahu Dipasingara. "Kau ternyata tidak mengecewakan. Kau
memang pantas menjadi kepala pengawal Kadipaten. Mulai hari ini kau menjalankan
tugas di Kadipaten Gombong!"
Dipasingara tersenyum dan menjura dalam-dalam.
"Terima kasih Adipati. Terima kasih." Katanya seraya mengembalikan golok yang
tadi diberikan Kebo Panaran.
Ketika Adipati itu berlalu Dipasingara memalingkan kepalanya ke arah jendela.
Meski cuma sekilas tapi masih sempat dilihatnya wajah Galuh Resmi. Galuh Resmi
merasakan wajahnya bersemu merah dan bergegas masuk ke dalam kamar. Sesaat dia
tegak di depan kaca menatap wajahnya sendiri. Pemuda itu tahu kalau dia
mengintip. Betapa malunya. Tetapi kenapa dia begitu merasa tertarik padanya"
Kebo Panaran, Adipati yang berusia setengah abad itu menaruh kepercayaan penuh
pada kepala pengawalnya yang baru. Namun dia tidak menduga sama sekali kalau
justru Dipasingara sebenarnya adalah manusia biang racun yang bakal merusak
rumah tangganya.
Tanpa setahu siapa pun di gedung Kadipaten itu, diam-diam Dipasingara mulai main
api dengan Galuh Resmi. Banyak hal yang membuat istri Adipati Gombong itu
melayani kedipan mata, lirikan nakal dan senyum berbisa Dipasingara. Pertama
Dipasingara seorang pemuda bertampang gagah. Pertemuan pertama dulu dengan
ketinggian ilmunya telah mendatangkan rasa kagum dalam diri Galuh Resmi. Kedua,
karena kehidupan rumah tangga perempuan itu dengan Kebo Panaran tidak
berbahagia. Sebagai seorang lelaki berusia 50 tahun Kebo Panaran tidak mungkin
mempunyai kesanggupan untuk menjalankan kewajiban badaniah terhadap istri yang
cantik jelita dan baru berusia delapan belas tahun itu. Ketidak sanggupan ini
ditambah pula dengan seringnya sang Adipati melakukan kunjungan kerja ke desa-
desa. Lalu pergi menghadap pembesar-pembesar di Kotaraja untuk memberi laporan.
Semua ini membuat Galuh Resmi seperti terasing jauh dalam kesunyian.
Ketika Dipasingara muncul dengan keberaniannya yang nakal berbisa Galuh Resmi
tak kuasa untuk mengelak bahkan tanpa disadari dia sendiri senantiasa membalas
setiap senyuman kepala pengawalnya yang gagah itu.
Meskipun tidak merupakan kebiasaan tapi pada umumnya setiap pembesar di masa itu
mempunyai dua buah kamar tidur. Satu untuk dirinya sendiri dan satu lagi untuk
istrinya. Demikian pula dengan Kebo Panaran. Setiap malam dia selalu tidur di kamar besar
di sebelah depan gedung Kadipaten sedang istrinya di kamar lain yang
bersebelahan. Antara kedua kamar itu dihubungkan dengan sebuah pintu. Dengan
adanya dua kamar inilah Dipasingara mempunyal kesempatan untuk berbuat lebih
berani. Suatu malam, ketika seluruh gedung Kadipaten diselimuti kesunyisenyapan
Dipasingara ke luar dari kamarnya di bagian belakang gedung Kadipaten. Malam itu
dia telah menyusun rencana untuk melaksanakan niat terkutuk yang selama ini
masih ditahan-tahannya. Dia yakin Galuh Resmi tidak akan menolak. Kalau pun
ternyata nanti perempuan cantik itu tidak bersedia melayaninya akan dipaksanya
dengan kekerasan, lalu menyingkir dari Gombong. Habis Bastian Tito
8 Hidung Belang Berkipas Sakti
perkara! Bukankah maksudnya meminta jabatan kepala pengawal Kadipaten itu
sebenarnya hanyalah kedok belaka" Karena yang diintainya bukan lain adalah istri
Adipati Gombong yang muda belia dan cantik rupawan itu!
Di hadapan pintu kamar yang diketahuinya adalah kamar tidur Galuh Resmi, kepala
pengawal itu berhenti, tegak sejenak memasang telinga. Semuanya serba sunyi. Dia
melangkah mendekati pintu satu lagi. Di sini didengarnya suara dengkur Adipati
Kebo Panaran. Dipasingara kembali ke pintu pertama dan mulai mengetuk daun pintu perlahan-
lahan. Tak selang beberapa lama didengarnya suara orang turun dari ranjang,
disusul suara langkah-langkah kaki. Lalu pintu di depannya terbuka sedikit.
Wajah Galuh Resmi menyeruak di celah pintu. Perempuan ini tampak agak kaget
melihat Dipasingara.
"Ada apakah...?" tanya Galuh Resmi.
"Adipati telah tidur?"
"Ya, kenapa?"
"Boleh aku masuk?" tanya Dipasingara. Matanya memandang tajam. Lalu tanpa
menunggu jawaban dia mendorong daun pintu dan menyelinap masuk ke dalam. Sampai
di dalam daun pintu ditutupnya dengan cepat.
"Kepala pengawal, tindakanmu masuk ke dalam kamar dan malam-malam begini sangat
diluar kesopanan!" Suara Galuh Resmi bergetar.
Dipasingara tersenyum.
"Kau tau mengapa aku datang kemari, Galuh?" ujar Dipasingara pula. Suaranya
setengah berbisik dan senyum masih terus menyungging di bibirnya.
Galub Resmi merasakan dadanya berdebar. Pemuda yang selama ini selalu
memanggilnya dengan sebutan "jeng" kini langsung menyebut namanya.
"Kau ingin bertemu dengan Adipati?"
Dipasingara menggeleng.
"Aku hanya ingin menemuimu. Bukankah pertemuan ini sudah sejak lama sama kita
nantikan?"
"Kepala pengawal. Jaga mulutmu.."
"Namaku Dipasingara."
"Jika Adipati tahu kau masuk malam-malam ke sini, kau bisa celaka!"
"Dan agar suamimu tidak tahu boleh kukunci pintu yang menghubungkan kamar ini
dengan kamar sebelah?"
"Tidak! Kau harus ke luar dan sini Dipasingara. Saat ini juga!"
Kembali si pemuda tersenyum. Dia melangkah ke arah pintu penghubung lalu
menguncinya. "Kau...! Apa-apaan ini" Apa maksudmu Dipasingara?"
Kepala pengawal itu melangkah ke hadapan Galuh Resmi, membuat perempuan ini
tersurut mundur.
"Kalau kau berani melakukan sesuatu terhadap ku, aku akan menjerit!" Galuh
mengancam. Bastian Tito 9 Hidung Belang Berkipas Sakti
"Galuh, jangan tipu dirimu sendiri," bisik Dipasingara. "Jangan tipu perasaan
hati sanubarimu. Apakah layangan senyum dan lirikan mata mesramu selama ini
hendak kau musnahkan dengat satu teriakan yang akan membangunkan seluruh isi
gedung Kadipaten ini?"
"Tapi...."
"Aku menyukaimu. Dan kau menyukaiku. Kita sama-sama tau hal itu. Atau masihkah
kau hendak berpura-pura?"
"Kalau semua itu terjadi tidak kuinginkan sampai sejauh ini. Kau berani masuk ke
kamarku!" "Lagi-lagi kau menipu dirimu Galuh. Aku yakin bahwa kau sepenuhnya menyadari
bahwa satu saat pertemuan seperti ini pasti akan terjadi. Aku telah masuk ke
mari menemuimu, orang yang kukagumi kecantikannya, yang ku... yang kukasihi.
Apakah semua itu hendak kau hancurkan...?"
Gauh Resmi tundukkan kepala. Dadanya yang kencang bergoyang turun naik.
"Masih banyak kesempatan untuk bertemu Dipa. Jika memang kau inginkan. Bukan
malam-malam begini. bukan di kamar...."
"Jadi kau inginkan aku keluar dari kamar ini?" tanya Dipasingara.
Galuh Resmi tak menjawab. Disadarinya bahwa diam-diam dia memang menyukai
Dipasingara pada saat pertama kali melihat pemuda ini. Tetapi tindakan
Dipasingara masuk ke dalam kamar seperti itu sangat berbahaya. Namun untuk
menyuruh si pemuda ke luar dari kamarnya hatinya terasa sangat berat. Sesaat dia
hanya bisa berdiam diri. Kemudian dirasakannya nafas pemuda itu menghembus
hangat di wajahnya. Lalu terasa pegangan jari-jari tangan Dipasingara pada kedua
bahunya. "Kau izinkan aku bersamamu malam ini di sini Galuh?"
Pemuda itu mengusap dagu Galuh Resmi. Perlahan-lahan diangkatnya hingga
perempuan itu menengadah. Sepasang mata mereka saling bertatapan.
"Dipa, kau terlalu berani Dipa. Terlalu berani." desis Galuh Resmi.
"Semuanya karena kau. Demi kau Galuh..." balas berbisik Dipasingara.
Perempuan itu menggeliat sewaktu lehernya disentuh ciuman Dipasingara. Ah,
betapa tubuhnya menjadi menggigil panas dingin tetapi nikmat. Betapa darahnya
menyentak-nyentak.
Betapa lainnya terasa peluk dan ciuman pemuda itu dibanding dengan rangkulan
suaminya yang berusia setengah abad itu!
"Jangan di sini Dipa. Jangan di sini..." kata Galuh Resmi waktu pemuda itu
membimbingnya ke tempat tidur.
Tapi Dipasingara menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi pada pangkal lehernya.
Membuat perempuan itu bergelinjang, menggeliat dan mengeluarkan suara lirih.
Nafasnya memburu tetapi tersendat-sendat.
"Tidak di sini Dipa. Aku khawatir suamiku bangun...."
"Semua pintu telah kukunci. Tak ada yang harus kau takutkan," kata Dipasingara.
Dia membungkuk, membenamkan hidungnya di celah antara kedua buah dada Galuh
Resmi, Bastian Tito
10 Hidung Belang Berkipas Sakti
membuat perempuan itu mencengkeramkan kuku-kuku jarinya ke punggung Dipasingara.
Ketika tubuhnya diangkat, Galuh menggelungkan tangannya ke leher si pemuda.
Kini dia terbaring di atas tempat tidur. Dipa yang membaringkannya. Galuh
memejamkan matanya. Tak berani menatap wajah Dipasingara. Sesaat kemudian
dirasakannya jari-jari tangan Dipasingara menyelinap di balik pakaiannya. Galuh
Resmi tersentak, menggeliat kelangsangan. Selama ini hanya jari-jari tangan
lelaki tua bernama Kebo Panaran yang menggerayangi tubuhnya. Betapa lainnya
dengan rabaan seorang pemuda.
Galuh Resmi menggeliat lagi, lagi dan lagi sampai akhirnya tiba-tiba dia
membalikkan tubuh dan menggigit dada Dipasingara. Pemuda itu mengeluh kesakitan


Wiro Sableng 020 Hidung Belang Berkipas Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi sekaligus menimbulkan gelegak rangsangan. Tangan Dipasingara menggerayang
lebih berani. Galuh Resmi merasa seperti pembuluh-pembuluh darahnya meletus
sewaktu pemuda itu mulai membuka pakaiannya. Tidak berani dia membuka matanya.
Tak berani dia membuka mulut. Desau nafasnya membara. Dirasakannya tubuh
Dipasingara meneduhi tubuhnya. Tubuh kukuh itu dipeluk Galuh Resmi kuat-kuat.
Demikianlah malam itu telah terjadi hubungan gelap dan mesum antara Dipasingara
dengan Galuh Resmi. Antara seorang kepala pengawal dengan perempuan yang menjadi
istri Adipati atasannya sendiri! Apa yang terjadi malam itu baru merupakan
permulaan saja dari serangkaian panjang perbuatan mesum terkutuk diantara mereka
berdua. -- << 3 >> --
Bastian Tito 11 Hidung Belang Berkipas Sakti
4 etapa pun suatu kejahatan tidak akan berlangsung selama-lamanya tanpa diketahui
orang. Bagaimana pun sesuatu yang berbau busuk itu tak mungkin dibungkus B
disembunyikan. Lama kelamaan akan tercium dan ketahuan juga.
Demikian pula dengan segala perbuatan mesum yang dilakukan Dipasingara dan Galuh
Resmi. Hanya dalam waktu dua bulan, entah bagaimana sebabnya, seisi gedung Kadipaten
telah mengetahui hubungan gelap dan kotor kedua orang itu. Hanya karena takut
terhadap Galuh Resmi, terlebih lagi ngeri akan tindakan yang bakal dilakukan
Dipasingara yang berilmu tinggi itu, maka tak ada seorang pun yang berani
menyampaikan atau mengadukan kebusukan itu pada Adipati Kebo Panaran. Namun pada
akhirnya diam-diam Kebo Panaran merasakan adanya kelainan pada tindak tanduk
istrinya. Kemudian diperhatikannya pula tingkah laku Dipasingara. Sikap Galuh Resmi jika
berada di dekat kepala pengawalnya itu, Pastilah ada hubungan tertentu antara
kedua orang ini. Dan hubungan antara lelaki muda dengan seorang perempuan jelita
apalagi kalau bukan menjurus pada hubungan hati dan badaniah" Sudah sampai
sebegitu jauhkah hal itu terjadi"
Kebo Panaran berusaha mencari bukti-bukti. Tetapi gagal. Dicobanya memancing
kedua orang itu dengan pura-pura pergi menjalankan tugas ke kota atau ke desa-
desa. Lalu diam-diam bersama beberapa pengawal dia melakukan pengintaian. Tapi
semuanya tetap tidak membawa hasil.
Suatu ketika Kebo Panaran mendapat akal. Sengaja dicarinya satu kesempatan baik.
Selagi berdua-dua dengan Galuh Resmi berkatalah Adipati ini:
"Istriku Galuh, seingatku telah lebih dari tiga bulan dinda tak pernah
menyambangi ibu mertuamu di Karangtretes...."
"Memang betul kanda. Sudah tiga bulan kita tak pernah ke sana." Menyahuti Galuh
Resmi. "Aku kawatir kalau-kalau nanti mereka kecewa dalam berharap-harap. Dan
menganggapmu sebagai seorang menantu yang tak punya perhatian..."
Galuh Resmi terdiam. Kebo Panaran melirik dan meneruskan:
"Bagaimana kalau besok kau berangkat ke Karangtretes?"
"Jika begitu kehendak kanda, saya akan berangkat besok. Kanda tentu akan ikut
serta pula bukan?"
"Ada urusan yang perlu kuselesaikan di Kotaraja. Penting sekali. Aku tak mungkin
menemanimu. Sampaikan saja salam hormatku pada orang tuaku...."
"Ah, mana enak pergi tanpa kanda. Kanda yang menyuruh saya pergi tapi kanda
sendiri tidak ikut," mengajuk Galuh Resmi membuat Kebo Panaran agak bimbang apa
benar sedemikian besar perhatian serta kasih sayang istrinya.
"Lagi pula saat ini daerah yang bakal dilalui kabar-kabarnya kurang aman," kata
Galuh Resmi lebih lanjut.
"Hal itu tak usah dinda kawatirkan. Dipasingara akan mengawalmu pulang pergi
bersama beberapa prajurit."
"Meskipun demikian, jika urusan kakanda di Kotaraja cepat selesai, saya harap
kanda mau menjemput ke Karangtretes dan pulang bersama-sama."
Kebo Panaran menganggukkan kepalanya. Tak lama kemudian suami istri itu pun
masuk ke kamar mereka. Di atas ranjang malam itu Galuh Resmi sangat bergairah.
Ini agak Bastian Tito
12 Hidung Belang Berkipas Sakti
mengherankan Kebo Panaran. Sebenarnya perempuan itu bergairah karena ingat saat
berdua-dua dengan Dipasingara yang bakal dialaminya dalam perjalanan ke
Karangtretes pulang pergi.
Karangtretes sebuah desa subur di tepi lembah yang jaraknya kira-kira satu
setengah hari perjalanan dari Gombong. Jika seseorang berangkat pagi hari dengan
mengendarai kuda, pada malamnya dia akan sampai di sebuah kampung pusat
perdagangan yang terletak setengah hari perjalanan dari Karangtretes.
Biasanya orang akan berhenti dan menginap di sana. Keesokan hari baru
melanjutkan perjalanan lagi.
Demikian pula dengan rombongan Galuh Resmi. Mereka sampai di kampung itu sewaktu
siang telah berganti malam. Dipasingara yang memimpin rombongan langsung membawa
rombongan ke sebuah penginapan. Di situ disewanya tiga buah kamar.
Kamar yang paling besar dan bagus serta bersih untuk Galuh Resmi. Kamar kedua
yang bersebelahan dengan kamar pertama ditempati oleh kusir kereta dan prajurit-
prajurit yang berjumlah tiga orang. Kamar terakhir yang terletak di sebelah kiri
kamar Galuh Resmi ditempati oleh Dipasingara seorang diri.
Mengetahui bahwa yang menginap adalah rombongan istri Adipati Gombong maka
pemilik dan pembantu-pembantunya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya.
Karena perjalanan seharian penuh itu, sehabis makan para prajurit dan kusir
kereta yang keletihan langsung masuk kamar dan tertidur pulas. Sebelumnya kepada
mereka Dipasingara berkata bahwa malam itu dia sendiri yang akan berjaga-jaga.
Tetapi semua orang sudah maklum kalau pimpinan mereka itu akan mempergunakan
kesempatan untuk bersenang-senang berbuat mesum dengan istri Adipati. Karena
mereka tidak perduli dan sudah muak maka langsung saja ke tempatnya tertidur.
Di dalam kamarnya Galuh Resmi berdiri di depan kaca, memupuri wajahnya yang
halus dengan bedak harum. Di antara heningnya malam Galuh Resmi kemudian
mendengar suara ketukan halus di pintu kamar. Dia tersenyum. Diletakkannya kotak
bedak di atas meja lalu cepat-cepat membuka pintu.
"Aku masih belum selesai berhias, engkau sudab datang kemari," kata Galuh Resmi
dengan senyum lebar memanaskan birahi Dipasingara.
Tanpa menunggu lebih lama Dipasingara masuk dan sekaligus mengunci pintu.
"Orang secantikmu tak perlu berdandan lagi Galuh," ujar Dipasingara.
"Seorang permaisuri raja pun tetap memerlukan berhias. Apalagi aku..." sahut Galuh
Resmi. "Soalnya mungkin permaisuri itu jelek. Dan kau secantik bidadari. Tidak pernah
membosankan,..."
Tak sabar lagi Dipasingara langsung mengulurkan kedua tangannya dan memeluk
Galuh Resmi kencang-kencang.
Sebelumnya mereka telah biasa berbuat kemesuman di gedung Kadipaten. Kini karena
merasa lebih bebas serta aman maka masing-masing lebih terangsang oleh kobaran
nafsu, lebih hebat dari yang sudah-sudah. Dalam keadaan setengah telanjang
keduanya berguling-guling di atas tempat tidur. Tempat tidur besar itu kini
berubah menjadi sebuah arena pertandingan. Pertandingan mesum.
"Dipa..." bisik Galuh Resmi suaranya lirih. Matanya setengah terpejam. Jari-
jarinya mencengkam punggung si pemuda.
Dipasingara tahu betul apa arti bisikan itu. Satu demi satu segera
ditanggalkannya pakaian yang melekat di tubuh Galuh Resmi. Ketika lelaki ini
hendak melepaskan pakaian terakhir yang melekat di aurat Galuh, tiba-tiba pintu
kamar ditendang dari luar hingga terpentang lebar dan hancur berantakan!
Bastian Tito 13 Hidung Belang Berkipas Sakti
Menyusul terdengar suara bentakan menggeledek.
"Manusia-manusia dajal! Malam ini kalian berdua akan mampus dalam kemesuman!"
Galuh Resmi memekik. Dia mengenali suara itu. Juga Dipasingara.
"Wuutt!"
Satu sambaran angin keras menderu dekat kepala Dipasingara.
Pemuda ini cepat jatuhkan diri dan berpaling menghadapi. Adipati Kebo Panaran!
Dia berhadap-hadapan dengan Adipati itu! Di tangan kanan Kebo Panaran tergenggam
sebilah pedanq panjang. Parasnya kelam membesi, seram menggidikkan!
"Pemuda haram jadah! Jadi inilah balas jasamu terhadapku! Mampuslah!"
Untuk kedua kalinya Kebo Panaran membabatkan pedangnya ke arah kepala
Dipasingara. Untuk kedua kalinya pula kepala pengawal Kadipaten ini berhasil mengelak. Dengan
kalap karena diamuk amarah Kebo Panaran memburu dan hantamkan pedangnya bertubi-
tubi. "Kanda! Kanda Kebo Panaran! Hentikan... Hentikan...!" Galuh Resmi menjerit
panjang sambil menjangkau kain untuk menutupi auratnya yang polos.
"Perempuan laknat! Kau mampus duluan!"
Kebo Panaran tusukkan pedangnya ke dada telanjang istrinya.
Galuh Resmi menjerit.
-- << 4 >> --
Bastian Tito 14 Hidung Belang Berkipas Sakti
5 ebelum ujung pedang menembus dada yang putih telanjang itu, satu deru angin
dahsyat datang memapas dari samping. Kebo Penaran terhuyung-huyung, bahkan
hampir S terpelanting jika dia tidak lekas-lekas memperkuat kuda-kuda kakinya.
Tusukan pedangnya meleset jauh.
Ternyata Dipasingara telah lepaskan satu pukulan tangan kosong yang dahsyat. Hal
ini membuat Adipati Gombong itu menjadi penasaran.
Sambil berbalik tangan kirinya dipukulkan ke depan.
Serangkum cahaya putih yang luar biasa panasnya berkiblat. lnilah pukulan sakti
bernama "Perak Mendidih" yang merupakan pukulan paling hebat yang dimiliki oleh Adipati
Gombong itu. Dia sengaja mengeluarkan pukulan sakti itu siang-siang karena ingin menamatkan
riwayat Dipasingara detik itu juga.
Dipasingara kaget bukan kepalang. Tidak disangkanya Adipati tua yang
kelihatannya mulai pikun itu ternyata memiliki ilmu pukulan tangan kosong yang
demikian hebatnya. Buru-buru dia melompat ke samping selamatkan diri. Tak urung
hawa panas masih sempat menyambar pundak kirinya hingga kelihatan menjadi merah
dan perih. Pukulan "Perak Mendidih" lewat, terus melanda dinding kamar hingga hancur hangus
berkeping-keping dengan suara gaduh, ini membuat terbangunnya seluruh isi
penginapan. "Bangsat!" bentak Adipati Kebo Panaran geram ketika melihat pukulannya tidak
mengenai sasaran. Dia pukulkan tangan kirinya sekali lagi untuk melancarkan
serangan yang sama.
Namun saat itu Dipasingara sudah bersiap sedia. Dia tak ingin berada di tempat
itu lebih lama dalam keadaan hampir telanjang begitu rupa. Dari balik pakaiannya
yang terletak di tepi ranjang dikeluarkan sebuah benda hitam.
"Sreett!"
Benda hitam itu terbuka. Ternyata adalah sebuah kipas hitam legam. Sekali
Dipasingara menggoyangkan tangannya, bersiurlah larikan sinar hitam yang sangat
menggidikkan. Pukulan
"Perak Mendidih" yang siap dilancarkan Kebo Panaran musnah tertindih. Sinar
hitam terus melabrak.
Kebo Panaran menjerit keras. Tubuhnya mental dan bergulingan di lantai, hangus
hitam tanpa nyawa. Laksana sepotong kayu dimakan api!
Galuh Resmi memekik tiada henti.
Di luar kamar yang porak poranda itu penghuni penginapan datang berlarian
Dipasingara menggigit bibir. Cepat dia mengambil pakaiannya dan mengenakannya.
Kipas hitam diselipkannya dibalik pinggang. Lalu seperti tidak terjadi apa-apa
di situ pemuda ini balikan tubuh siap untuk berlalu.
"Dipa, kau mau ke mana...?" seru Galuh Resmi. Dipasingara tersenyum. Senyum aneh
yang lebih merupakan seringai sadis di mata Galuh Resmi.
"Ke mana aku mau pergi itu bukan urusanmu!" Kata-kata itu terluncur dari mulut
Dipasingara. Ini sangat mengejutkan Galuh Resmi.
Bastian Tito 15 Hidung Belang Berkipas Sakti
"Jadi... jadi kau mau pergi begitu saja"!"
"Antara kita tak ada hubungan apa-apa sejak semula. Biar semua berakhir seperti
itu!" "Kau... jangan pergi Dipa! Bawa aku bersama mu!"
Kembali Dipasingara menyeringai buruk. Tiba-tiba dia tertawa mengekeh.
"Aku tidak butuh kau lagi Galuh. Aku telah mendapatkan segalanya darimu!'
"Mulutmu keji. Hatimu ternyata jahat! Kau manusia jahat!"
Dipasingara tertawa bergelak. Sekali dia berkelebat tubuhnya lenyap dari tempat
itu. Hanya suara tawanya saja yang sesaat masih terdengar menggema di kejauhan
di malam yang dingin.
Galuh Resmi merasakan dadanya sesak. Dia menjerit keras lalu terkulai dan jatuh
pingsan di lantai kamar.
Tiga prajurit Kadipaten menghambur masuk ke dalam kamar diikuti oleh pemilik
kedai dan pembantu-pembantunya. Kesemuanya langsung terpaku di lantai begitu
menyaksikan sosok tubuh Adipati Kebo Panaran yang hangus hitam hampir tak
dikenal menggeletak di lantai. Tak jauh dan situ terkapar istrinya dalam keadaan
tanpa sehelai benangpun menutupi auratnya.
Seseorang mengambil kain dan menutupi tubuh ini.
Untuk beberapa lamanya tak seorangpun melakukan sesuatu. Semuanya masih terpaku
oleh rasa tak percaya tetapi juga ngeri. Tiba-tiba tubuh Galuh Resmi kelihatan
bergerak. Dua prajurit segera mendekat untuk menolong. Tetapi perempuan muda ini
tiba-tiba menjerit.
"Pergi! Jangan dekati aku! Jangan pegang!"
Perempuan itu melompat tegak. Dia seperti tidak menyadari kalau saat itu dia
tidak berpakaian sama sekali dan tegak di hadapan banyak orang. Tiba-tiba dia
menjerit keras.
"Istri Adipati ini pasti sudah jadi gila..." kata pemilik penginapan dalam hati.
Didahului oleh satu raungan panjang, tiba-tiba Galuh Resmi lari ke tempat
suaminya terbujur. Tanpa ada satu orangpun yang dapat mencegah, perempuan ini
mengambil pedang milik Kebo Panaran lalu berteriak:
"Kanda Kebo Panaran! Ampuni istrimu! Aku menyusulmu kanda!"
Apa yang terjadi kemudan sangat cepat. Semua orang tertegun terkesiap. Tak
seorangpun sempat atau mampu mencegah tindakan Galuh Resmi. Mereka seolah-olah
baru tersadar ketika Galuh Resmi sudah terkapar mandi darah di lantai. Pedang
Kebo Panaran menancap di dadanya. Sungguh malang perempuan muda ini. Sisa
hidupnya sejak beberapa bulan lalu penuh kekotoran bergelimang dosa mesum. Dan
kini kematiannyapun dalam jalan yang sesat pula. Semua gara-gara Dipasingara.
Pemuda terkutuk yang telah melarikan diri entah kemana!
-- << 5 >> --
Bastian Tito 16 Hidung Belang Berkipas Sakti
6 ika seseorang berdiri di puncak gunung Slamet, maka dia akan dapat melihat
pemandangan indah terbentang di bawahnya. Di mana-mana hutan menghijau segar, di
J seling oleh sawah luas yang menghampar kuning laksana permadani emas. Beberapa
sungai kecil yang mengalir berkilau-kilau airnya ditimpa sinar matahari, tak
ubah seperti ular yang tengah melenggang lenggok.
Kita menuju ke lereng timur gunung Slamet yang menjulang tinggi itu.
Di hadapan sebuah pondok papan tampak berdiri seorang lelaki tua yang menurut
taksiran paling tidak usianya telah mencapai tuluhpuluhan. Di depan orang tua
ini tegak seorang pemuda bersama seorang gadis manis ayu, berkulit kuning
langsat. Setelah memandang pada pemuda yang berdiri di hadapannya itu beberapa lama maka
berkatalah si orang tua:
"Walau bagaimanapun kita tidak dapat menolak kenyataan, bahwa di antara seribu
satu peristiwa dalam kehidupan manusia, sepasang di antaranya adalah pertemuan
dan perpisahan.
Setiap ada pertemuan tentu ada pula perpisahan. Pertemuan tidak kekal karena
selalu adanya perpisahan. Demikianlah sifat segala apa yang ada di alam ini.
Semuanya tidak kekal. Tak ada yang abadi. Hanya satu yaitu Yang Esa sajalah yang
akan tetap kekal selama-lamanya.
Hari ini kalau aku tidak salah hitung tepat sewindu lamanya kau tinggal


Wiro Sableng 020 Hidung Belang Berkipas Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersamaku dan mengenyam segala macam ilmu pelajaran. Justru di hari ini pula
kepadamu akan kuberikan satu tugas. Tugas ini membuat kau harus berpisah
denganku. Dan lebih dari itu terpaksa berpisah dengan orang yang kau kasihi.
Tetapi aku yakin Sanjaya, perpisahan ini tentu sudah kau sadari sebelumnya.
Karenanya sebagai seorang lelaki kau tentu akan menunjukkan ketabahan hati dan
kebesaran jiwa. Bila nanti tugasmu telah selesai kau akan kembali kemari.
Pertemuan kita nanti sekaligus akan merupakan hari paling bahagia dalam hidupmu.
Yakni perkawinanmu dengan Wulandari..."
Sampai di situ orang tua itu hentikan kata-katanya.
Dilihatnya Sanjaya menunduk agak tersipu maka sedang Wulandari juga menunduk
dengan wajah kemerahan.
"Sebagai seorang berilmu tinggi," melanjutkan orang tua itu, "Harus kau sadari
bahwa setiap tugas adalah mahal. Dan memang adalah menjadi satu kewajiban bagi
seseorang yang telah berilmu untuk mengamalkan ilmunya itu. Ilmu yang tidak
diamalkan tak ada gunanya.
Tak ada manfaatnya.
Nah Sanjaya, tak banyak nasihat atau petuah yang akan kuberikan pada saat ini.
Segala sesuatunya nanti akan terletak di tanganmu sendiri. Pergilah ke Kotaraja
dan kembalilah bila tugasmu sudah selesai. Berikan pengabdianmu yang tulus pada
kerajaan. Aku gurumu dan kekasihmu Wulandari akan menunggumu di sini"
Selesai berkata begitu si orang tua lantas mengundurkan diri masuk ke dalam
pondok guna memberikan kesempatan pada sepasang muda mudi yang merupakan murid-
murid kesayangannya.
Di bagian belakang pondok terdapat sebuah kebun kecil. Di ujung kebun terletak
telaga buatan berair jernih karena berasal dari pancuran air gunung yang segar.
Wulandari melangkah ke tepi telaga diikuti oleh Sanjaya.
Lama keduanya berdiri di tempat itu tanpa satu orangpun membuka mulut. Detik-
detik perpisahan yang menggugah hati itu membuat seolah-olah lidah mereka
menjadi kelu, membuat mulut masing-masing seperti terkunci, tak sanggup
melafatkan kata-kata.
Namun setelah beberapa lama akhirnya Sanjaya memecah kesunyian walau suaranya
agak bergetar. Bastian Tito 17 Hidung Belang Berkipas Sakti
"Wulan, perpisahan ini merupakan satu ujian bagi kita...."
"Aku kawatir kak," sahut Wulandari sambil memperhatikan air pancuran yang jatuh
memercik di atas batu hitam, baru mengalir ke dalam telaga.
"Apa yang kau kawatirkan?" tanya Sanjaya.
"Kotaraja ribuan lebih bagus segala-galanya dari pada di sini. Gadis-gadisnya
cantik-cantik, tidak seperti gadis buruk di puncak gunung Slamet ini. Akan
sanggupkah kau menghadapi ujian seperti itu?"
Sanjaya kontan tersenyum lebar. Dia maju mendekati gadis itu. Sambil memegang
jari-jari Wulandari dia berkata:
"Selama rimba masih hijau dan selama air sungai masih mengalir ke lautan lepas,
selama itu pulalah cintaku terhadapmu tak akan luntur. Selama itu pula aku setia
pada cinta kita."
Sunyi beberapa lamanya. Di kejauhan terdengar kicau burung-burung. Jari-jari
tangan mereka saling beremasan. Wulandari kemudian melihat paras pemuda itu
mendekati wajahnya.
Dipejamkannya kedua matanya. Lalu dirasakannya satu ciuman lembut dan mesra pada
keningnya. Dan terdengar bisikan Sanjaya:
"Wulan, aku pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik..."
"Hati-hati. Dan lekas kembali." bisik Wulandari. Lalu dicabutnya tusuk kundai
perak di rambutnya dan menyerahkannya pada Sanjaya seraya berkata:
"Bawalah ini, simpan baik-baik. Jika kau ingat aku ambil dia dan pandanglah.
Mudah-mudahan rindumu akan terobat."
"Terima kasih Wulan," kata Sanjaya dengan terharu sambil menerima tusuk kundai
perak itu. Dia berpikir-pikir benda apa yang akan diberikannya pada Wulandari
sebagai balasan. Tiba-tiba dia teringat pada cincin berbatu biduri bulan di
tangan kirinya. Ditanggalkannya benda itu lalu berkata: "Pakai cincin ini
sebagai pengganti diriku...."
Sanjaya kemudian memasukkan cincin tersebut ke jari manis tangan kanan
Wulandari. Setelah menyiapkan barang-barang yang perlu dibawa dan memasukkannya dalam
sebuah buntalan, Sanjaya lalu berpamitan pada gurunya. Selesai pamit pemuda itu
segera menuruni gunung Slamet. Wulandari mengantarkannya sampai di sebuah
tikungan dan baru kembali ke pondok bilamana pemuda yang dicintainya itu lenyap
dari pandangan di kejauhan.
"Ya Tuhan, selamatkanlah dia dalam perjalanan. Lindungi dia dalam tugas mengabdi
Kerajaan. Selamatkan pula dia dalam perjalanan kembali..." demikian Wulandari
berdo'a dalam hati untuk kekasihnya.
Hari itu adalah hari kedua sejak Sanjaya meninggalkan pondok gurunya di gunung
Slamet. Wulandari mempersibuk diri dengan berbagai pekerjaan. Sehabis mengambil sayuran
segar di ladang, ditampungnya air pancuran dalam sebuah kendi besar. Sewaktu dia
membawa kendi serta sayuran itu kembali ke pondok, gadis ini dikejutkan oleh
kemunculan seorang yang tak dikenal di hadapannya.
Orang ini masih muda belia, mungkin seusia Sanjaya. Pakaiannya putih sederhana.
Rambutnya hitam tebal menyela bahu. Wajahnya yang cakap tampan itu memiliki
sepasang mata sipit yang mempunyai pandangan tajam.
Sebagaimana terkejutnya Wulandari demikian pula tampaknya pemuda asing itu.
Dalam keterkejutan untuk beberapa saat lamanya kedua orang ini saling
berpandangan. Bastian Tito 18 Hidung Belang Berkipas Sakti
"Maaf saudari..." si pemuda akhirnya membuka mulut. Suaranya halus dan sikapnya
sopan. "Kalau aku boleh bertanya, apakah di sini tempat kediaman Eyang Wulur Pamenang?"
Wulandari tak segera menjawab. Dia meneliti pemuda itu sesaat baru menganggukkan
kepala. "Apakah saat ini beliau ada di dalam?" Wulandari mengangguk lagi. "Dapatkah aku
bertemu dengan beliau?" Sebelum Wulandari menjawab dari dalam pondok terdengar
suara gurunya. "Tamu yang datang, silahkan masuk ke dalam pondokku yang buruk."
Wulandari memberi jalan. Si pemuda lalu masuk ke dalam pondok. Di bagian depan
pondok pemuda itu melihat seorang tua duduk bersila di atas sehelai kulit
kambing putih. Dipangkuannya ada seuntai tasbih warna kuning yang memancarkan sinar terang.
Begitu sampai di hadapan si orang tua, pemuda tadi jatuhkan diri berlutut. Eyang
Wulur Pamenang adalah seorang yang paling tidak senang dihormati secara
berlebihan, apalagi pakai berlutut segala. Buru-buru dia berkata:
"Duduklah di tikar. Katakan siapa kau, datang dari mana dan ada keperluan apa
mencariku."
Si pemuda duduk bersila di hadapan Eyang Wulur Pamenang. Dia tidak segera
membuka mulut memberikan jawaban. Tampaknya ada sesuatu yang mengganjalnya.
"Anak muda, kau belum menjawab pertanyaanku," menegur Wulur Pamenang.
"Eyang, saya bernama Handaka. Datang dari desa Kembiring, dua minggu perjalanan
dari sini. Saya...."
Si pemuda tak bisa meneruskan kata-katanya.
"Anak muda, tenanglah hatimu. Bicaralah biasa. Tak usah ragu-ragu. Tak ada yang
dikawatirkan di sini."
"Saya, saya mencari Eyang karena malapetaka besar telah menimpa kampung saya
termasuk orang tua serta saudara-saudara saya."
"Malapetaka apakah yang telah menimpa desa serta keluargamu?"
Si pemuda lantas menerangkan. "Sehari sebelum terjadinya malapetaka itu seorang
anggota gerombolan rampok yang dipimpin oleh Warok Grimbil telah kedapatan mati
dalam cara amat mengerikan. Mayatnya ditemukan dalam desa kami. Sekujur tubuhnya
mulai dari kepala sampai ke kaki hancur lumat bekas dicincang. Tak seorangpun
tahu siapa yang membunuhnya dan bagaimana bisa berada di desa kami. Kemudian
datanglah malapetaka itu.
Warok Grimbil dan orang-orangnya menyangka bahwa penduduk Kembiringlah yang
telah membunuh anak buah dan teman mereka itu. Malam hari, ketika penduduk
sedang tidur Warok Grimbil dan anak buahnya datang menyerbu. Setiap bangunan di
desa dibakar. Semua orang dibunuh. Tak perduli orang tua, perempuan ataupun
anak-anak yang tidak berdosa. Setelah melakukan perbuatan biadab itu gerombolan
rampok membawa harta benda dan ternak penduduk lalu melarikan diri..."
Eyang Wulur Pamenang termenung. Memang sudah sejak lama mendengar kejahatan yang
dilakukan oleh gerombolan rampok pimpinan Warok Grimbil seorang jahat yang
berkepandaian tinggi.
"Kau sendiri bagaimana bisa menyelamatkan diri?" bertanya Wulur pamenang.
Bastian Tito 19 Hidung Belang Berkipas Sakti
"Sewaktu bencana itu terjadi, saya berada di desa tetangga. Melihat kepulan asap
dan langit merah tanda ada kebakaran, saya cepat-cepat kembali ke Kembiring.
Yang saya temui hanya kemusnahan yang memilukan dan mengerikan. Di mana-mana
mayat berkaparan, Warok Grimbil dan anak buahnya telah melarikan diri di hadapan
reruntuhan rumah saya, saya temui kedua orang tua saya dan semua saudara-saudara
menemui ajal dengan cara yang mengerikan. Ketika saya menangis seperti orang
gila, lapat-lapat saya dengar suara orang menggerang sambil memanggil nama saya.
Orang itu ternyata adalah sahabat dan tetangga saya. Tubuhnya penuh luka bekas
tusukan senjata tajam. Dalam keadaan sekarat Ia masih bisa menerangkan bahwa
Warok Grimbil bersama anak-anak buahnyalah yang telah melakukan kebiadaban
itu...." Ketika Handaka mengakhiri ceritanya suasana dalam pondok ini menjadi sunyi
sampai akhirnya Eyang Wulur Pamenang membuka mulut:
"Setelah kejadian itu, kau langsung menuju kemari?"
"Betul Eyang."
"Tentunya dengan mengandung sesuatu maksud."
"Benar. Tentang maksud itu saya rasa Eyang tentu sudah maklum."
"Ah, aku yang sudah tua ini terlalu pikun untuk meraba maksud seseorang."
"Eyang... apa yang telah terjadi dengan orang tua dan saudara-saudara saya,
telah menimbulkan satu dendam kesumat yang berurat berakar dalam dada saya.
Walau bagaimanapun, dan sampai di manapun saya harus membalaskan sakit hati
kematian orang-orang yang saya kasihi itu. Namun saya menyadari, seorang diri
tak mungkin untuk melakukan pembalasan. Apalagi mengingat saya tidak memiliki
kepandaian apapun. Karena itulah saya datang kemari untuk meminta bantuan Eyang.
Sudilah kiranya Eyang mengambil saya jadi murid. Perkenankan saya menerima
sejurus dua jurus ilmu silat dari Eyang...."
Lama Wukir Pamenang termenung. Ada beberapa hal yang membuat dia tidak bisa
memberikan jawaban dengan segera.
Kejahatan orang-orang macam Warok Grimbil sudah semestinya ditumpas. Namun
menerima pemuda bernama Handaka itu untuk jadi muridnya terasa agak berat bagi
orang tua ini. Dia telah mempunyai dua orang murid yaitu Sanjaya dan Wulandari.
Di samping itu usianya telah terlalu tua untuk memberikan pelajaran-pelalaran
dasar pada seorang murid baru.
Kemudian ada satu hal yang membuat dia merasa keberatan untuk mengambil Handaka
jadi muridnya. Dia melihat satu bayangan pada wajah pemuda ini.
Sepasang mata Wulur Pamenang yang tajam penuh pengalaman disertai perasaan hati
yang arif melihat bahwa ada sifat-sifat buruk tertentu mengendap dalam diri
pemuda itu. Namun untuk tidak mengecewakan Handaka, Wulur Pamenang tidak mau menyatakan
penolakannya secara terang-terangan. SebaliknYa dia berkata:
"Handaka, ketahuilah dari sekian banyak sifat-sifat buruk di dalam dunia ini
satu di antaranya adalah dendam dan balas dendam. Dendam yang selalu
dilampiaskan tak akan habis-habisnya sampai turun temurun. Warok Grimbil dan
anak-anak buahnya telah membunuh orang tuamu, saudara-saudaramu serta sahabat-
sahabatmu sedesa. Layak kalau rasa sakit hati dan dendam berurat berakar dalam
tubuhmu. Satu-satunya tekad yang ada dalam hatimu saat ini adalah balas dendam!
Katakanlah pembalasan berhasil kau lakukan. Warok Grimbil dan anak-anak buahnya
berhasil kau bunuh. Namun tanpa setahumu Warok Grimbil mungkin memiliki seorang
putera yang kelak kemudian hari akan menuntut balas pula atas kematian ayahnya.
Demikian seterusnya tiada henti.
Semua ini terjadi lain tidak karena manusia-manusia tidak dapat menahan nafsu
untuk balas dendam melampiaskan sakit hati dan pembalasan. Lalu bagaimanakah
jadinya jika hal itu berlangsung demikian rupa terus menerus" Dapat kau
bayangkan sendiri Handaka.
Bastian Tito 20 Hidung Belang Berkipas Sakti
Orang-orang yang tidak ada sangkut paut dan dosa apa-apa harus menemui kematian
dengan cara mengenaskan. Kemanusiaan dan kebenaran sudah tidak dipikirkan lagi
oleh manusia-manusia yang katanya beradab. Mereka berubah menjadi binatang.
Malah lebih jahat dari binatang. Karenanya kuharap kau bisa menahan diri.
Bersabar menghadapi musibah atau cobaan besar ini. Tidak terpengaruh untuk
menempuh jalan sesaat yang akan merugikan dirimu sendiri, bahkan banyak orang!"
Setelah berdiam diri beberapa lamanya baru Handaka membuka mulut memberikan
jawaban: "Semua yang Eyang katakan itu memang benar. Tapi jika boleh saya menjawab, saya
ingin mengajukan satu pertanyaan. Apakah akan dibiarkan saja manusia-manusia
macam Warok Grimbil itu hidup terus malang melintang berbuat kejahatan,
membunuh, merampok, memperkosa?"
Wulur Pamenang tersenyum dan menjawab:
"Betul Handaka. Betul sekali kalau kau mengajukan pertanyaan seperti itu.
Sebagai jawabannya ingin kukatakan padamu bahwa di dunia ini bukan hanya
manusia-manusia saja yang bisa mengambil tindakan. Lebih dari itu kekuasaan
Tuhan berada di mana-mana. Kelak manusia macam Warok Grimbil dan anak-anak
buahnya akan mendapat hukuman dan pembalasan dari-Nya!"
Kini Handaka yang ganti tersenyum.
"Seorang manusia yang cuma berlepas tangan menunggu pembalasan Tuhan tanpa
mengadakan usaha sama sekali, sama saja dia mati dalam hidupnya. Dan apakah arti
serta gunanya hidup semacam itu?"
"Kepala sama berambut Handaka, rambut sama hitam. Tapi jalan pikiran orang
berbeda satu dengan lainnya..." kata Eyang Wulur Pamenang pula. Ucapan pemuda
itu tadi telah membuat wajahnya yang tua jadi berubah kemerahan,
"Betul Eyang, tetapi setiap manusia yang bijaksana akan berusaha mengambil jalan
ke arah yang benar. Mungkin Eyang kurang atau tidak dapat merasakan sakit hati
seseorang yang mengalami musibah matapetaka seperti saya ini. Karena Eyang tidak
terlibat. Karena Eyang tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana
Makam Bunga Mawar 19 Pendekar Rajawali Sakti 122 Sepasang Pendekar Bertopeng Dewa Iblis 1
^