Lima Iblis Dari Nangking 2
Wiro Sableng 017 Lima Iblis Dari Nangking Bagian 2
Benda merah kehitaman itu ternyata adalah kepala berwajah merah dan berambut
hitam Ang-mo It-kui yang tetah dijagal! Dari bekas potongan lehernya masih
menyembur darah segar mengerikan!
"Ang-mo It-kui ... ah. Apa yang terjadi denganmu sobat" Siapa yang membunuhmu"!"
desis Tiat-thou-kui dengan suara bergetar dan lutut goyah. Di antara empat
kawannya dia memang paling dekat dengan Ang-mo It-kui.
Tentu saja kutungan kepala itu tidak bisa memberikan jawaban. Kesunyian
menggidikkan menyungkup tempat itu. Tiba-tiba sepasang mata garang Nan-king Kui-
ong melihat suatu gerakan.
Didahului suara menggembor dia membentak keras dan hantamkan tangan kanannya ke
depan. Krak! Krak! Dua batang pohon patah. Semak belukar rambas berhamburan. Di belakang semak
belukar yang rambas itu kelihatan tegak seorang bertubuh tinggi besar, bermuka
kotor penuh cambang bawuk serta kumis meliar dan rambut awut-awutan.
Sepasang matanya membersitkan sinar menggidikkan. Maut. Di tangan kanannya
tergenggam sebilah pedang yang mengeluarkan tujuh sinar angker. Orang ini bukan
lain adalah Ki Hok Bun alias Pendekar Pedang Pelangi! Kim-hong Kiam-khek!
Apakah yang telah terjadi dengan Ang-mo It-kui orang ke empat dari Nan-king Ngo-
kui itu hingga dia menemui kematian amat menyeramkan begitu rupa"
Seperti diceritakan sebelumnya Ang-mo It-kui diserang sakit perut dan membuat
dia memisahkan diri dari empat kawannya. Dia pergi ke tepi sungai diantara
pohon-pohon dan semak belukar rapat untuk membuang hajat besar. Dia sama sekali
tidak menduga justru di tempat itulah maut tengah menantinya!
Sesaat satelah dia turunkan pakaian dalam dan singsingkan jubah lalu berjongkok,
tiba-tiba saja seolah-olah keluar dari dalam air muncul sesosok tubuh di
hadapannya. Nyawa Ang-mo It-kui serasa terbang. Kalau orang lain yang muncul dia
tidak akan demikian kagetnya. Tetapi melihat sosok tubuh Ki Hok Bun di depannya
benar-benar membuat manusia iblis yang satu ini seperti sudah berhenti nafasnya
detik itu juga!
"Kau....!" suara Ang-mo It-kui bergetar. Dia melompat bangun. Namun dia lupa
pada celana dalam yang melingkar di pergelangan kakinya. Gerakannya yang tiba-
tiba itu membuat kakinya terjirat celana dalamnya sendiri dan akibatnya tak
ampun lagi tubuhnya tersungkur ke depan.
Ang-mo It-kui tahu bahaya apa yang bakal dihadapinya. Sebetulnya dengan
kepandaiannya yang tinggi dia tidak perlu kawatir bakal dapat dirobohkan dalam
waktu cepat oleh siapapun. Namun kemunculan Ki Hok Bun benar-benar tidak
disangkanya. Dia laksana melihat setan kepala sepuluh.
Karenanya Ang-mo It-kui segera buka mulut untuk berteriak memberi tahu kawan-
kawannya. Namun Ki Hok Bun telah tahu gelagat. Sebelum Ang-mo It-kui sempat keluarkan
suara dia melompat ke depan dan menotok urat jalan suara di pangkal leher musuh
besarnya itu hingga detik itu juga manusia iblis ini sama sekali tidak sanggup
keluarkan suara selain haha-huhu macam orang gagu sedang sepasang matanya
melotot. Sebenarnya kalau saja dia tidak terlalu dicekam ketakutan luar biasa
dan dapat menguasai diri tidak akan terlalu mudah bagi Ki Hok Bun untuk dapat
menotoknya begitu rupa.
Ki Hok Bun keluarkan seringai maut.
"Jangan harap kau bisa lari selamatkan diri manusia biadab! Hari pembalasan
telah datang. Bersiaplah untuk berangkat ke neraka!"
Kedua mata Ang-mo It-kui membeliak. Dia melangkah mundur hendak larikan diri
namun secepat kilat Ki Hok Bun sudah berkelebat dan tahu-tahu sudah menghadang
di depannya. "Mau lari ke mana binatang?" Di tangan kanan Ki Hok Bun saat itu sudah
tergenggam Pedang Tujuh Pelangi.
Ang-mo It-kui angkat kedua tangannya dan goyang-goyangkan kepala. Dia sadar tak
mungkin lari. Maut sudah di depan mata. Sekalipun saat itu dia memegang senjata
pula belum tentu dia dapat lolos. Bahkan dibantu oleh empat kawannya pun sukar
untuk cari selamat karena dia sudah tahu kehebatan pedang mustika di tangan
lawan. "Huk ... huk . . . huk . . . " Ang-mo It-kui lagi-lagi angkat kedua tangannya
tinggi-tinggi. Dengan berbuat begitu dia bermaksud hendak mengatakan agar Ki Hok
Bun jangan membunuhnya. Tentu saja hal ini suatu hal yang tidak mungkin. Selama
beberapa minggu Ki Hok Bun telah menguntit lima musuh besarnya itu. Kini salah
seorang dari mereka sudah berada dalam tangannya.
"Iblis-iblis di neraka sudah lama menunggumu manusia keparat! Pergilah ke sana!"
Pedang di tangan Ki Hok Bun berkelebat. Tujuh warna sinar pelangi bertabur. Ang-
mo It-kui membuang diri ke samping dan lepaskan satu pukulan tangan kosong
tetapi tak menemui sasaran.
Seperti diketahui rambut merah panjang Ang-mo It-kui merupakan senjata hebat
yang bisa menotok, menusuk, mencekik bahkan melibat dan merampas senjata lawan.
Namun menghadapi Pedang Tujuh.Pelangi dia tidak berani pergunakan rambutnya
untuk melakukan semua itu. Mati-matian dia keluarkan seluruh kepandaiannya.
Untuk lari sudah tidak bisa. Setiap dicobanya setiap kali pula Ki Hok Bun
berhasil menghadangnya. Pedang lawan seolah-olah telah berubah jadi puluhan
banyaknya dan mengurung dirinya dari berbagai jurusan.
Ang-mo It-kui cuma sanggup bertahan selama empat jurus. Jurus kelima Pedang
Tujuh Pelangi menyambar putus tangan kirinya kemudian berbalik menusuk dada.
Darah seperti mancur dari dua bagian tubuh yang terluka itu. Pembalasan Ki Hok
Bun masih belum berhenti. Di lain saat tangan kanannya jadi sasaran sambaran
pedang. Ang-mo It-kui menjerit tapi suaranya hanya sampai di tenggorokan. Dalam
keadaan tubuh sempoyongan ujung pedang datang lagi menyambar. Kali ini merobek
perutnya hingga isi perut manusia iblis ini berbusaian keluar.
Ki Hok Bun tampaknya masih belum puas. Pedangnya dibabatkan ke bagian bawah
perut dan cras! Putuslah keseluruhan anggota rahasia Ang-mo It-kui yang dulu
telah menodai The Cun Giok, istri Ki Hok Bun!
Sampai disitu masih juga Ki Hok Bun belum merasa puas. Pembalasannya betul-betul
mengerikan. Hanya manusia yang dilanda dendam kesumat seperti dialah yang
sanggup melakukan hal seperti itu. Dia ingin mendengar bagaimana jerit kesakitan
melanda musuh besarnya itu sebelum dia menghabisi nyawanya. Maka dengan tangan
kirinya dia lepaskan totokan di leher Ang-mo It-kui.
Begitu totokan lepas maka menggeledeklah jeritan setinggi langit dari
tenggorokan Ang-mo It-kui yang sejak tadi terbendung. Tubuhnya roboh ke tanah
dan detik itu pula Pedang Pelangi membabat menyambar batang lehernya. Nyawanya
lepas begitu kepalanya menggelinding!
Jeritan Ang-mo It-kui itulah yang membuat terkejut empat manusia iblis lainnya.
Sewaktu mereka mendatangi Ki Hok Bun telah menunggu dengan menjambak rambut
kepala Ang-mo It-kui di tangan kirinya lalu melemparkan kutungan kepala itu ke
arah Nan-king Kui-ong dan tiga kambratnya.
Bukan saja menyaksikan kutungan kepala kawan mereka membuat keempat manusia
iblis itu menjadi menggerinding ngeri, tetapi yang membuat mereka terkesiap dan
kaget sekali adalah menyaksikan berdirinya Ki Hok Bun di hadapan mereka.
"Ki ... Ki Hok Bun ... Kau?" Suara Nan-king Kui-ong bergetar. Lidahnya terasa kelu
dan tenggorokannya seperti tercekik.
Ki Hok Bun alias Kim-hong Kiam-khek mendengus. Sementara Bu Ceng gosok-gosok
kedua matanya seperti tak percaya pada pemandangannya sendiri.
Kemudian terdengar suara tawa Ki Hok Bun mengekeh. Bagi keempat iblis itu suara
kekehan tersebut laksana suara malaikat maut dari liang kubur.
"Ki Hok Bun ... bukankah, bukankah kau sudah mampus" Mati ditembus api bersama
istri dan anakmu. Dulu ...?" Yang buka suara adalah si botak kepala besi Tiat-
thou-kui. "Memang ... memang aku sudah mampus iblis botak! Dan yang kalian lihat berdiri
di hadapan kalian saat ini ada!ah setannya Ki Hok Bun. Setannya yang datang dari
neraka untuk melakukan pembalasan atas kejahatan biadab yang telah kalian
lakukan. Heh . . . kalian sudah lihat bagaimana cara mampusnya Ang-mo It-kui"
Kalau masih belum jelas silahkan lihat lebih terang!"
Habis berkata begitu Ki Hok Bun tendang sosok tubuh tanpa kepala Ang-mo It-kui
ke hadapan ke empat musuh besarnya itu. Empat manusia iblis ini saking ngerinya
tak berani memandang ke jurusan tubuh kawannya itu.
"Pedang sakti itu. Celaka . . . Rupanya masih ada padanya," Nan-king Kui-ong
mengeluh ketika memandang senjata di tangan Ki Hok Bun. Dia tahu bagaimanapun
tingginya ilmu silat tangan kosong bekas perwira tinggi ini namun kalau dia
mengeroyok bersama kawan-kawannya pasti dia mampu mengalahkan Ki Hok Bun. Namun
jika pedang sakti itu berada dalam genggaman Ki Hok Bun mau tak mau manusia
iblis ini jadi gentar sekalipun dia masih memiliki tiga kawan untuk membantunya.
"Apakah kalian sudah siap untuk mampus menyusul Ang-mo It-kui ...?" tanya Ki Hok
Bun dengan pandangan mata tak berkedip.
"Twako dengarlah ... Mari kita bicara dulu," berkata Bu Ceng alias Nan-king Kui-
ong dan diam-diam dia berikan isyarat pada Si Golok Iblis Gui Kun.
Ki Hok Bun meludah ke tanah.
"Kau mau bicara apa manusia iblis biang racun kejahatan" Silahkan bicara dengan
pedangku!"
Habis berkata begitu Ki Hok Bun segera menerjang ke depan namun mendadak dari
samping kiri menderu setengah lusin golok terbang, mencari sasaran di enam
bagian tubuhnya!
Ki Hok Bun kertakkan rahang. Pedang Pelangi di tangan kanannya digerakkan. Tujuh
warna sinar pelangi bertaburan. Terdengar suara berdentrangan enam kali
berturut-turut. Setengah lusin golok terbang yang dilepaskan Si Golok Iblis Gui
Kun mental patah dua dihantam Pedang Pelangi.
Di saat yang sama dari jurusan lain Nan-king Kui-ong lepaskan satu pukulan
tangan kosong yang menimbulkan angin deras ke arah lambung Ki Hok Bun.
Berbarengan dengan itu menyambar pula sepuluh sinar hitam panjang yang membersit
keluar dari jentikan kuku-kuku jari Tui-hun Hui-mo. Sedang dari belakang
didahului dengan suara menggembor seperti banteng mengamuk kepala besi Tiat-
thou-kui datang menyeruduk!
"Bagus! Kalian main keroyok. Berarti lebih cepat aku dapat mencincang kalian
sekaligus!" seru Ki Hok Bun.
Nan-king Kui-ong tertawa mengejek.
"Justru kami ingin menolong agar kau lekas-lekas bisa bertemu dengan anak
istrimu di akherat!"
Mendidih darah Ki Hok Bun mendengar ucapan itu. Dia berseru keras. Tujuh sinar
pelangi berkiblat seputar tubuhnya hingga diri dan pedang sakti itu seolah-olah
lenyap dari pemandangan.
Sesaat kemudian terdengar seruan kaget susul menyusul keluar dari mulut ke empat
pengeroyok. Nan-king Kui-ong tersurut mundur dan cepat-cepat melompat ke samping ketika
pukulan hawa saktinya yang membentur sinar pedang mustika seperti membal dan
terpental kembali menghantam dirinya sendiri.
Tui-hun Hui-mo yang berbadan katai mundur jumpalitan menjauhi kalangan
pertempuran. Wajahnya seputih kertas sewaktu menyaksikan bagaimana dua kuku jarinya sebelah
kiri dan tiga lagi di sebelah kanan kena dibabat putus oleh pedang sakti lawan.
Kedua tangannya terasa panas. Masih untung bukan jari-jari tangannya yang kena
disambar. Orang ke tiga dari lima iblis itu yakni Gui-Kun Kui-to juga mundur dengan
tampang pucat pasi sambil pegangi jubah hitamnya yang robek besar di bagian dada
kena dimakan ujung Pedang Pelangi.
Sedang Tiat-thou-kui yang menyeruduk dari belakang terpaksa tarik pulang
serangannya karena mendadak sontak Ki Hok Bun kirimkan satu tendangan ke
belakang. Bagaimanapun atosnya batok kepala Tiat-thou-kui yang terkenal seperti besi itu,
namun untuk beradu dengan tendangan kaki seorang berkepandaian tinggi seperti
Pendekar Pedang Pelangi dia musti berpikir tiga kali!
Sesaat empat manusia iblis itu diam tak bergerak di tempat masing-masing,
mengurung Ki Hok Bun di tengah-tengah. Perlahan-lahan Nan-king Kui-ong susupkan
tangan kanannya ke balik jubah.
Sesaat kemudian dia telah memegang sebuah senjata aneh. Senjata ini berbentuk
hudtim (kebutan) sedang ujungnya yang lain berbentuk tombak besi bermata dua
berkilauan. "Hem ... jadi senjata curian itu masih berada di tanganmu, biang iblis?" sentak
Hok Bun. Senjata di tangan Nan-king Kui-ong dulunya adalah milik seorang tokoh silat
golongan putih pembantu Kaisar Yung Lo. Dalam satu pertempuran di medan perang
tokoh silat itu menemui ajalnya dikeroyok Nan-king Ngo-kui, senjatanya lalu
dirampas oleh Nan-king Kui-ong.
"Ha .. ha. Agaknya kau takut menghadapi senjata ini Hok Bun?" ejek Nan-king Kui-
ong. Sebagai jawaban Ki Hok Bun lantas putar pedangnya. Melabrak ganas ke arah pangcu
manusia-- manusia iblis yang tinggal empat orang itu. Jurus yang dikeluarkan Hok Bun saat
itu bernama ko-sing poan-swat atau bintang mengejar rembulan.
Tak kalah hebatnya Nan-king Kui-ong keluarkan jurus pit-bun ki-khek atau menutup
pintu menolak tetamu guna menangkis serangan ganas lawan. Gerakan ini sebenarnya
dimainkah dalam ilmu silat tangan kosong. Tapi karena Kui-ong berkepandaian
tinggi maka dengan senjata di tangan dia membuat gerakan yang amat hebat. Namun
bagaimanapun dia tak mau ambil risiko untuk bentrokan senjata dengan pedang
sakti di tangan lawan. Karena sebelum ujung tombak mata dua saling beradu dengan
Pedang Pelangi, Nan-king Kui-ong membuat gerakan joan-hun ki-gwat atau menyusup
awan mengambil rembulan.
Ki Hok Bun bukan pendekar kemarin. Dia maklum kalau lawan takut untuk bentrokan
senjata. Maka buru-buru dia kiblatkan pedangnya dalam jurus tiang-hong koan-jit atau
pelangi menutup matahari. Akibatnya Nan-king Kui-ong tak dapat lagi melihat
lawan maupun pedang. Gulungan sinar tujuh warna menyambar deras menyilaukan mata
dan mengurungnya. Dia terpaksa mundur dua langkah. Justru saat itu Hok Bun tidak
memberi kesempatan dan susul dengan serangan thian-sing tui-sin atau bintang
meluncur turun.
Pedang Pelangi laksana kilat menyambar deras dari atas ke bawah. Kali ini Nan-
king Kui-ong mati langkah. Mau tak mau dia harus menangkis dengan senjatanya
untuk selamatkan diri dari bahaya maut.
Sambil putar senjata ke depan pangcu manusia-manusia iblis itu berteriak,
"Kawan-kawan bantu aku cepat!"
Maka tiga serangan menggebu ke arah Hok Bun. Namun semuanya luput karena Hok Bun
sudah lebih dulu melompat ke atas dan dari atas meneruskan serangannya tadi yang
kini jadi lebih dahsyat.
Trang! "Auu!"
Nan-king Kui-ong terpekik. Dia melompat mundur jauh-jauh. Salah satu jari tangan
kanannya putus sedang senjata hudtimnya hancur berkeping-keping dihantam Pedang
Pelangi. Tiga kawannya yang barusan menyerang kini mundur pula berserabutan
ketika Ki Hok Bun kembali kiblatkan pedang saktinya ke arah mereka.
Diantara empat iblis itu Iblis Pengejar maut Tui-hun Hui-mo dan Si Golok Iblis
Gui Kun sebenarnya sudah runtuh nyalinya. Hanya si botak kepala besi Tiat-thou-
kui yang masih cukup berani dan bertekad untuk menghancurkan tubuh lawan dengan
serudukan-serudukan kepaia besinya. Nanking Kui-ong sendiri merasa malu kalau
terlalu menunjukkan rasa kawatirnya. Namun dia menyadari bahwa saat itu keadaan
sangat tidak menguntungkannya. Malah jika dia tidak mengambil keputusan cepat
mereka berempat bisa mengalami celaka besar menemui kematian satu persatu. Dia
berpaling pada Si Golok Iblis Gui Kun dan memberi isyarat. Gui Kun yang cepat
menangkap arti isyarat pangcunya itu menganggukkan kepala dan mengirimkan
isyarat yang sama pada Tui-hun Hui-mo.
Malang bagi si kepala besi Tiat-thou-kui karena berada di sebelah depan dia tak
dapat melihat isyarat-isyarat tersebut. Karenanya terpaksa Nan-ing Kui-ong
berseru, "Kawan-kawan, tinggalkan tempat ini. Lain hari kita buat perhitungan dengan
bangsat itu!"
"Ho... ho! Mau lari kemana manusia-manusia keparat"!" teriak Hok Bun seraya
melompat memburu. Sambil melompat itu dia kirimkan satu tendangan ke arah si
kepala besi Tiat-thou-kui.
Karena memang berada sangat dekat, di samping itu tidak menyangka kalau sambil
mengejar ke jurusan lain lawan akan kirimkan tendangan, Tiat-thou-kui agak
terlambat mengelak. Akibatnya bahu kirinya kena dihantam tumit Hok Bun hingga
remuk dan dia terpelanting jatuh tergelimpang di tanah.
Di lain kejap Hok Bun sudah berhasil menghadang tiga manusia iblis lainnya.
"He ... he ... Kalian boleh lari. Tapi tinggalkan nyawa kalian disini!" kata Hok Bun
sambil melintangkan pedang sakti di depan dada.
Nan-king Kui-ong dan dua kawannya terkesiap kaget. Hebat sekali gin-kang bekas
perwira tinggi itu hingga belum sempat mereka bergerak jauh tahu-tahu sudah kena
Wiro Sableng 017 Lima Iblis Dari Nangking di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dihadang. Jika tidak memakai tipu muslihat tak bakal bisa lolos. Demikian Nan-
king Kui-ong membatin.
"Hok Bun, jangan terlalu sombong! Aku akan perlihatkan sepucuk surat dari Kaisar
Hui Ti untukmu. Surat ini diloloskan lewat penjara ..."
"Akal busukmu tak bakal mempan manusia iblis!" kata Hok Bun yang sudah mencium
niat licik lawan. Namun karena disebutnya nama Hui Ti bekas Kaisar kepada siapa
dia pernah mengabdi, agak tergerak juga hati Ki Hok Bun. Karena itulah dia hanya
tegak berdiam diri.
Dari balik jubah pakaiannya Nan-king Kui-ong keluarkan segulung kertas merah
mudah yang ujungnya berjumbai-jumbai benang hijau. Kertas dengan jumpai-jumbai
seperti itu memang adalah ciri-ciri surat Kaisar Hui Ti. Nan-king Kui-ong
membuka gulungan kertas lalu mengangsurkannya ke hadapan Hok Bun seraya berkata,
"Kau bacalah sendiri isinya!"
Ketika mengangsurkan surat itu sebuah benda bulat hitam sebesar ujung ibu jari
melesat ke udara disertai bunyi mendesis tajam. Sadarlah kini Hok Bun kalau dia
memang telah tertipu. Dia melompat ke depan sambil kiblatkan pedang namun
terlambat! Bola kecil hitam itu.meledak di udara membersitkan asam hitam pekat bergulung-
gulung. Keadaan di tikungan sungai itu menjadi gelap gulita. Pemandangan Hok Bun
tertutup. Kemanapun berpaling hanya kehitaman yang kelihatan. Hok Bun merutuk
dalam hati. Dia melompat jauh-jauh ke belakang. Tak ada yang bisa dilakukannya
selain menunggu.
Selang beberapa lama asap hitam mulai menipis. Nan-king Kui-ong dan kawan-
kawannya telah lenyap. Tetapi ternyata tidak semua mereka sempat melarikan diri.
Tiat-thou-kui yang tadi kena dihantam tendangan kelihatan merangkak di tanah
sambil pegangi bahu kirinya yang remuk.
"Pangcu ...! Kawan-kawan! Jangan tinggalkan aku!" teriak Tiat-thou-kui. Namun
sang pangcu dan dua kawannya sudah lari jauh. Sepasang kaki dilihatnya melangkah
mendekatinya. Ketika dia mendongak pandangannya membentur wajah Ki Hok Bun yang
garang angker. "Sampai lidahmu copot berteriak, tak ada satu orangpun yang bakal menolong
manusia keparat!"
Dengan tubuh menggigil Tiat-thou-kui berdiri tegak. Dihadapannya Ki Hok Bun
melangkah semakin dekat dengan pedang terhunus di tangan. Tiba-tiba Hok Bun
gerakkan tangan kanannya yang memegang pedang. Tiat-thou-kui mengelak ke kiri,
lompat ke kanan, mundur dan melompat berulang kali, berusaha menyelamatkan diri
dari sambaran pedang yang datang bertubi-tubi.
Sebagai orang ke tiga di antara Lima Iblis Dari Nan-king Tiat-thou-kui memiliki
ilmu kepandaian yang tidak rendah. Namun dalam keadaan terluka serta hanya
ditinggal sendirian begitu rupa dia jadi mati kutu.
Karena melompat terus-terusan lama lama tenaganya jadi kendor dan nafasnya
memburu. Satu kali terdengar teriakan Tiat-thou-kui ketika kepalanya kena
digores pedang dan senjata itu terus membabat putus telinga kirinya. Darah
mengucur membasahi wajahnya hingga tampangnya benar-benar menyeramkan seperti
iblis. Sadar kalau dirinya tak bakal lolos dari tangan musuh tiba-tiba Tiat-
thou-kui jatuhkan diri dan berlutut. Setengah meratap dia berkata,
"Twako Kim-hong Kiam-khek, aku menyerah dan pasrahkan diri padamu. Aku mohon
padamu sudilah mengampuni selembar nyawa yang hina dina ini. Aku sadar kini
kalau sudah tersesat ikut berbuat jahat bersama Bu Ceng dan kawan-kawan. Aku
insaf dan tobat. Aku bersedia membantumu membalaskan sakit hati terhadap ketiga
orang itu . . . "
"Cuh!" Hok Bun meludahi muka Tiat-thou-kui. "Tutup mulut busukmu yang banyak
akal. Omongan iblis aku tak mau dengar!" lalu tanpa banyak bicara lagi Hok Bun
gerakkan pedang pelanginya. Tiat-thou-kui terpekik dan tekap mukanya dengan
kedua tangan. Sambaran pedang tadi telah memutus hidung dan bibirnya hingga
tampangnya jadi luar biasa mengerikan.
Rasa sakit yang amat sangat membuat si botak ini menjadi kalap. Hilang rasa
takutnya. Dia sadar percuma saja minta ampun. Dari pada mati sia-sia lebih baik
melawan. Siapa tahu dengan serangan membabi buta dia berhasil merobohkan lawan.
Maka dengan nekad didahului macam suara harimau menggereng Tiat-thou-kui
menerjang ke depan, hantamkan tangan kanannya. Angin pukulan deras menyambar Hok
Bun tapi segera terpental begitu membentur sinar pedang tujuh warna pelangi dan
membalik menyerang tuannya sendiri.
Selagi Tiat-thou-kui kalang kabut mengelakkan angin pukulannya sendiri Ki Hok
Bun kembali membabatkan pedangnya. Kali ini Tiat-thou-kui tak punya daya lagi
untuk mengelak. Dengan kalap dia sorongkan kepalanya melabrak perut lawan.
Ki Hok Bun memutar arah pedangnya sedikit dan cras! Tamatlah riwayat orang ke
tiga dari Nan-king Ngo-kui ini. Kepalanya terbacok terbelah sampai ke pangkal
leher! Meski Tiat-thou-kui sudah menggeletak tak bernyawa namun Ki Hok Bun seperti
kemasukan setan terus saja membacokkan pedangnya ke sekujur tubuh orang itu.
Pembalasan bekas perwira tinggi ini benar-benar sadis. Dua musuh besar telah
mati di tangannya. Masih ada tiga orang lagi yang harus dicarinya!
*** 8 PELACURAN adalah salah satu macam pekerjaan yang paling tua di dunia. Sama
tuanya dengan umur ummat manusia dan terdapat di mana-mana.
Umumnya di masa perang dan sesudah perang pelacuran lebih menjadi-jadi dibanding
dari masa damai. Hal ini disebabkan karena kesulitan hidup akibat peperangan itu
sendiri. Demikian pula yang terjadi di Tiongkok sesudah perang saudara
berkecamuk. Kota-kota seperti Peking, Tien Tsien, Hankouw, Nanking, Shanghai, Ningpo, Kanton
dan sebagainya timbul menjadi pusat-pusat hiburan dengan pelacuran pada tingkat
teratas. Bahkan gejala buruknya kehidupan sosial ini menjalar pula ke kota-kota
kecil, ke pedalaman.
Salah satu dari kota-kota kecil yang dilanda pelacuran itu adalah Ankeng di
propinsi Kiangsi, kira-kira 20 lie di barat laut Nanking. Meskipun Ankeng cuma
sebuah kota kecil namun karena menjadi pusat pertemuan dari tiga buah jalan raya
maka tak urung kota ini senantiasa ramai setiap siang maupun malam. Pelacuran
merajalela. Mulai dari kelas murahan di lorong-lorong gelap yang sempit sampai
ke tingkat tinggi di gedung-gedung besar danmewah.
Suatu hari di Ankeng, saat itu matahari pagi baru saja menyingsing naik. Di
dalam sebuah kamar pada satu gedung mewah di pusat kota, yakni sebuah gedung
pelacuran, terjadi pertengkaran antara seorang pelacur muda dengan lelaki yang
telah memakainya semalam suntuk.
"Cis!" pelacur yang bernama Lu Sian Cin mengomel. "Semalam suntuk kau berpuas-
puas menikmati diriku. Masakan dibayar sebegini"!"
Lelaki berambut gondrong awut-awutan bertampang seram penuh cambang bawuk liar
serta kumis jenggot meranggas sesaat memandang Lu Sian Cin sambil menyeringai
sementara kedua tangannya sibuk mengikat ikat pinggang jubah hitamnya yang dekil
danbau. "Lelaki brengsek. Kalau tak punya uang cukup jangan datang ke tempat ini!"
kernbali terdengar omelan Lu Sian Cin.
Sang tamu yang berbadan tinggi jengkel juga mendengar ucapan itu dan berkata,
"Kalau tak mau dibayar sebegitu biar kuambil kembali uang itu!" Lal!u
diulurkannya tangannya hendak mengambil uang di atas meja. Begitu uang
dimasukkannya kembali ke kantong di balik jubahnya tahu-tahu plak!
Tamparan perempuan lacur itu mendarat di salah satu pipinya.
"Benar-benar lelaki tidak bermalu!"
Mendapat tamparan begitu rupa si berewok yang bukan lain adalah Bu Ceng alias
Nan-ing Kui-ong menjadi naik darah. Dijambaknya rambut si pelacur dan sekali
tangannya bergerak perempuan itu dilemparkannya keluar pintu.
Lu Sian Cin menjerit-jerit kesakitan. Keningnya terantuk dinding pintu kelihatan
bengkak dan mengucurkan darah.
Seorang lelaki tinggi besar bermuka hitam, entah dari mana datangnya tahu-tahu
sudah berada di tempat itu. Gerakannya enteng tanda dia memiliki ilmu. Sesaat
dia memandang pada tetamu berjubah hitam. Lalu berpaling pada Lu Sian.
"Ada apa?" tanya si muka hitam ini. Namanya Song Bun Lip. Dia adalah kepala
keamanan di gedung pelacuran itu. Perlu diketahui Lu Sian Cin adalah primadona
dari semua pelacur yang ada disitu dan paling muda usianya. Sudah sejak lama Bun
Lip menaruh hati pada pelacur ini dan agaknya Lu Sian pun senang padanya. Tentu
saja melihat orang,yang disayanginya luka seperti itu Bun Lip jadi marah.
Apalagi setelah Lu Sian Cin menerangkan apa yang terjadi.
Song Bun Lip membantu Sian Cin berdiri lalu berpaling pada Bu Ceng dan berkata,
"Loya berjubah hitam. Pinceng adalah Song Bun Lip, kepala keamanan di gedung
ini. Pinceng dan majikan tak ingin terjadi keributan di sini, karenanya pinceng
harap loya suka membayar sewajarnya. Loya telah mendapat hiburan. Bukankah
pantas membayar menurut aturan?" (loya =
tuan besar. pinceng = saya)
Nan-king Kui-ong yang penaik darah, ditegur begitu rupa mula-mula hendak
melabrak si tinggi besar kepala keamanan itu. Namun melihat Song Bun Lip
bersikap tenang dan pandangan matanya tajam diam-diam Bu Ceng jadi tercekat
juga. Setelah membetulkan ikat pinggang jubahnya dia berkata,
"Aku kan sudah membayar. Betina sialan ini malah mengumel, memakiku bahkan
menampar. Apa kalian di sini tidak memberi pelajaran sopan santun padanya hingga dia
tahunya cuma naik ke atas ranjang, mengangkang lalu minta uang dengan cara yang
kurang ajar" Sekarang siapapun kau adanya, apapun pangkatmu di tempat ini
menyingkirlah. Aku mau pergi!"
Song Bun Lip batuk-batuk beberapa kali.
"Setiap saat tentu saja loya boleh pergi. Namun tentunya setelah membayar
seperti yang pinceng bilang tadi."
"Hem ... berani kau memaksa"!"
"Bukan memaksa loya. Kami di sini cari makan ..."
"Kalau tuan besarmu tidak mau bayar, kau mau apa manusia muka hitam?" ejek Bu
Ceng. "Jika demikian adanya, terpaksa pinceng menjalankan apa yang menjadi tugas
pinceng," sahut Song Bun Lip.
Bu Ceng tertawa bergelak.
"Manusia bermuka hitam macam pantat kuali, rupanya kau tidak melihat gunung
Thaysan di depan mata hah?"
Sehabis berkata demikian Nanking Kui Ong dorongkan tangan kanannya ke dada
kepala keamanan itu. Song Bun Lip terkejut karena detik itu juga dia merasa
dadanya seperti ditindih batu besar. Kontan mukanya berubah pucat.
Sebagai kepala keamanan Bun Lip memang memiliki ilmu kepandaian silat yang
tinggi. Tapi semua yang dimilikinya hanya ilmu luar atau ilmu kasar belaka. Di
dalam dia sama sekali tidak mempunyai isi. Sebelum tubuhnya terlempar dan
terjengkang, lelaki ini melompat ke samping dan dari samping langsung kirimkan
satu jotosan ke pelipis Bu Ceng. Meski pukulan ini tidak mengandung tenaga dalam
namun demikian hebatnya hingga kalau sampai mendarat di kepala Bu Ceng pastilah
manusia iblis ini akan rengkah kepalanya!
Akan tetapi tentu saja Bu Ceng, manusia pertama dan pimpinan dari Nanking Ngo
Kui tidak semudah itu untuk dijatuhkan. Dengan gerakan seperti acuh tak acuh dan
sikap memandang rendah Bu Ceng mengelak dan entah kapan tangannya bergerak tahu-
tahu buk! Kepala keamanan tempat pelacuran itu mengeluh tinggi. Tubuhnya terpental ke luar
kamar, terguling-guling di langkan gedung terus terhampar di halaman depan,
muntah darah, mengerang kesakitan tetapi masih sanggup bangun kembali.
Song Bun Lip orang yang tahu membaca kehebatan lawan. Dengan tangan kosong tak
mungkin dia sanggup melayani si jubah hitam ini. Karenanya dia segera cabut
golok. Dengan mulut berlumuran darah dia melangkah mendekati Bu Ceng. Yang
diserang tegak tolak pinggang di tangga gedung.
Sementara itu orang mulai banyak berkumpul di depan gedung. Ankeng adalah kota
hiburan yang hangat. Setiap perkelahian atau sesuatu yang berbau kekerasan akan
segera menarik perhatian orang banyak. Mereka akan menonton dengan senang malah
memberi semangat agar perkelahian menjadi lebih hebat.
Wut! Golok di tangan Bun Lip menyambar ke arah tenggorokan Bu Ceng. Serangan maut ini
disambut dengan ganda tertawa oleh Nan-king Kui-ong.
"Manusia pantat kuali tak tahu diri. Kau rasakanlah bagaimana senjatamu sendiri
akan menembus dadamu!"
Song Bun Lip sudah dapat memastikan bahwa serangan kilatnya yang ganas itu akan
membuat bergelindingnya kepala lawan. Tetapi tidak dinyana tahu-tahu sikutnya
terasa remuk berderak dan di lain saat lengannya tertekuk hingga ujung goloknya
dengan sebat dan tak dapat dihindarinya lagi menusuk keras ke arah badannya
sendiri! Semua orang yang ada disitu bergidik dan menyaksikan dengan mata membeliak ngeri
apa yang bakal dialami Song Bun Lip.
Saat itu tiba-tiba terdengar jeritan perernpuan.
"Lelaki keparat! Kalau kau bunuh dia maka kau sendiri bakal mampus!"
Yang berteriak adalah Lu Sian Cin. Dia mendatangi dengan menggenggam sebilah
golok penjagal babi. Senjata ini diayunkannya dari arah samping ke kepala Bu
Ceng. Hebatnya Bu Ceng seolah-olah tidak mengacuhkan serangan tersebut dan terus
menekan golok dalam genggaman Bun Lip ke dada kepala keamanan itu. Nainun
sedetik lagi golok penjagal babi akan mendarat di batok kepalanya, Bu Ceng
kebutkan lengan kiri jubahnya. Angin deras menderu. Lu Sian Cin terpekik.
Tubuhnya mencelat dan dia terguling muntah darah di tanah, pingsan. Beberapa
orang segera datang menolongnya.
Song Bun Lip sadar bahwa dia tak bakal menghindari dari goloknya sendiri yang
ditusukkan ke arah dadanya. Ini membuat dia menjadi kalap dan sengaja dorongkan
tubuh ke depan sambil menendang ke arah selangkangan lawan. Maksudnya hendak
berjibaku. Tapi dengan mempergunakan lututnya Bu Ceng berhasil menahan tendangan
maut itu sebaliknya ujung golok sudah menyentuh dada pakaian Bun Lip.
Sedetik lagi ujung golok akan menembus dada Song Bun Lip tiba-tiba terdengarlah
satu siulan aneh. Bersamaan dengan itu sebuah benda merah sebesar kepalan
melayang di udara. Plak!
Benda itu menghantam tangan kanan Nan-king Kui-ong dan pecah. Ternyata sebuah
apel merah. Meski cuma apel belaka tetapi begitu terkena lemparan Nan-king Kui-
ong merasakan tangan kanannya seperti lumpuh hingga cekalannya terlepas.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Song Bun Lip untuk meloloskan diri. Namun
pukulan tangan kiri Nan-king Kui-ong masih sempat mampir di bahunya hingga dia
terbanting ke tanah dengan tulang bahu remuk. Ini adalah lebih baik dari pada
ditembus goloknya sendiri!
Sambil menguruti tangan kanannya dengan tangan kiri Bu Ceng memandang
berkeliling. "Bangsat rendah dari mana yang berani campur tangan dengan jalan membokong"
Lekas tunjukkan tampang!"
Teriakan Bu Ceng ini demikian kerasnya hingga semua orang yang ada disitu
tergetar kecut dan mundur beberapa langkah. Sepasang mata kepala manusia iblis
ini menyorot berkeliling mencari-cari.
Akhirnya pandangannya membentur seorang pemuda asing berambut gondrong yang
duduk ongkang kaki di atas bangku di bawah emper sebuah warung penjual teh
pahit. Di bangku di sampingnya ada sebuah keranjang berisi buah-buah apel.
Seolah-olah dia cuma berada sendiri di situ dan seperti orang kelaparan pemuda
asing tadi yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang tanpa acuh
terus saja asyik menggerogoti buah-buah apel yang manis itu.
Pelipis Bu Ceng bergerak-gerak. Rahangnya menggembung. Karena cuma pemuda asing
ini saja yang memegang dan makan apel di sekitar tempat itu maka Bu Ceng yakin
sekali dialah tadi yang telah melemparnya dengan buah itu!
"Bangsat rendah yang sedang makan apel! Kemari kau!" bentak Bu Ceng.
Wiro Sableng sesaat hentikan mengunyah apel dalam mulutnya dan berpaling.
Sejenak dia memandang pada Bu Ceng dengan sepasang mata disipitkan, garuk-garuk
kepala, meludahkan apel yang dalam mulutnya ke tanah lalu acuh kembali mengambil
buah apel baru dari dalam keranjang dan memakannya. Tentu saja sikap Wiro ini
membuat Bu Ceng naik darah setengah mati.
"Benar-benar minta dihajar bangsat ini!" kertak Bu Ceng. Dengan langkah-langkah
besar dia mendatangi Wiro. Sekali tendang bangku kayu yang diduduki murid Sinto
Gendeng ini hancur berkeping-keping. Namun anehnya Wiro sendiri tetap tak
bergerak di tempatnya. Jangankan bergerak, bergemingpun tidak. Sikapnya seolah-
olah dia masih duduk di atas bangku yang tak kelihatan seperti tadi. Lalu
perlahan-lahan tubuhnya merunduk turun ke bawah, duduk menjelepok di tanah
sambil terus mengunyah apel!
Kalau tadi orang banyak tampak agak takut menyaksikan keberangan Bu Ceng, maka
kini melihat kelakuan si pemuda asing semuanya jadi tersenyum lucu dan ingin
menyaksikan bagaimana lanjutan kejadian ini.
Bu Ceng yang bermata tajam sadar kalau pemuda asing tak dikenal itu memiliki
kepandaian namun amarah membuatnya jadi kalap. Apalagi disaksikan demikian
banyak pasang mata. Dia merasa direndahkan dan dipermainkan.
Wiro Sableng 017 Lima Iblis Dari Nangking di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Budak gondrong keparat! Kau mau jual tampang dan pamer ilmu padaku hah"!"
"Eh muka berewok berjubah hitam kau bau busuk. Kenalpun aku tidak padamu.
Mengapa usii menggangguku?" Wiro Sableng menjawab seenaknya.
"Setan alas! Mampuslah!" teriak Bu Ceng yang seumur hidupnya baru sekali itu
dihina demikian rupa dan di depan banyak orang pula. Kaki kanannya menderu ke
arah kepala Wiro Sableng. Orang banyak terkesiap malah ada yang mengeluarkan
seruan tertahan karena mengira detik itu-juga pastilah kepala si pemuda berambut
gondrong yang tidak dikenal akan pecah.
Di saat itu justru terdengar suara siulan aneh. Dan tahu-tahu tendangan Bu Ceng
hanya rnengenai tempat kosong. Semua orang melongo heran. Bu Ceng sendiri
melengak kaget karena dia tidak dapat melihat kapan pemuda yang hendak
dibunuhnya itu bergerak dan ketika memandang ke atas tahu-tahu dilihatnya Wiro
sudah berada di cabang sebatang pohon besar sambil duduk goyang-goyang kaki dan
makan buah apel!
Sebenarnya jika Bu Ceng mau berpikir sedikit jauh dari situ dia harus memaklumi
bahwa pemuda asing itu memiliki kepandaian yang bukan sembarangan. Namun amarah
sudah membuatnya mata gelap. Dia menghantam ke atas lepaskan satu pukulan sakti
yang mengandung tenaga dalam hebat.
Segulung angin laksana hembusan topan melabrak deras ke arah pendekar kita.
Bukan saja cabang di mana Wiro duduk hancur berantakan tetapi batang pohon juga
ikut patah dan pohon itu tumbang dengan suara menggemuruh disertai pekik orang
banyak. Wiro sama sekali tidak kelihatan.
Sepasang mata Nan-king Kui-ong bergerak liar mencari-cari.
"Hai!" terdengar suara rremanggil.
Bu Ceng berpaling. Setan betul! Pemuda itu tahu-tahu sudah tegak di belakangnya
memegang keranjang apel sambil cengar-cengir.
"Jika kuberikan apel satu keranjang ini padamu, maukah kau tidak menggangguku
lagi?" tanya Wiro tentu saja mempermainkan.
"Anjing geladak hina dina! Kau rupanya tidak tahu berhadapan dengan siapa!
Apakah kau pernah mendengar nama Nan-king Ngo-kui" Lima Iblis Dari Nanking"
Akulah pemimpinnya. Aku Nan-king Kui-ong!"
Mendengar kata-kata itu semua orang menjadi gempar dan banyak diantara mereka
yang buru-buru tinggalkan tempat itu. Yang masih berani mengintip-intip dari
tempat jauh. Siapa yang tidak pernah mendengar nama Lima Iblis Dari Nanking" Dan
kini justru kepalanya, biang iblisnya yang muncul!
Bu Ceng sadar kalau dalam marahnya telah ketelepasan mulut mengatakan siapa
dirinya. Kalau saja ada alat Kerajaan di tempat itu pasti dia akan menghadapi
urusan yang tidak sedap.
Wiro Sableng sendiri tak kalah kagetnya ketika mengetahui bahwa manusia berjubah
hitam busuk yang sejak tadi dipermainkannya itu adalah pemimpin dari Nan-king
Ngo-kui. "Hm, jadi inilah manusia biang racun yang jadi musuh saudara angkatku Ki Hok
Bun!" katanya dalam hati. Dan sekaligus yang selama ini diburunya pula. Sesaat
Wiro tertegak diam sambil garuk-garuk kepala. Kemudian dia berkata, "Ah, mataku
sangat buta. Tidak melihat gunung Thaysan di depan mata. Jika kau memang Nan-
king Kui-ong, biarlah aku memberikan penghormatan dengan menyerahkan apel-apel
ini padamu!"
Setelah berkata begitu Wiro goyangkan keranjang apel yang dipegangnya. Dan empat
belas buah apel yang masih ada dalam keranjang itu laksana meteor melesat ke
arah 14 bagian tubuh Nanking Kui Ong. Menyaksikan ini orang banyak yang
mengintip dari tempat kelindungan merasa kagum.
Pemuda ini rupanya memang berilmu tinggi. Tapi menghadapi Nan-king Kui-ong sama
saja mencari mati. Begitu mereka berpikir.
Bu Ceng sendiri tak kurang kagetnya. Melemparkan buah apel dalam keranjang tanpa
menyentuh langsung buah-buah itu sudah merupakan kepandaian tersendiri, apalagi
kalau buah-buah tersebut dijadikan senjata yang ampuhl Hanya tokoh silat
berkepandaian tinggi yang sanggup melakukan hal seperti itu. Menilik kepada
tampangnya yang tolol dan sikapnya yang seperti orang miring otak Nanking Kui
Ong sulit untuk mempercayai bahwa pemuda berambut gondrong itu telah melakukan
kehebatan tersebut. Namun justru itulah kenyataan yang terjadi dan jika dia
tidak bertindak cepat niscaya bakal cidera!
Nan-king Kui-ong membentak garang. Sekali kebutkan ujung lengan jubah hitamnya
sebelah kanan, enam buah apel mental berhamburan. Enam lainnya dihajar dengan
kebutan lengan jubah kiri dan dua sisanya dikelit dengan gerakan cepat.
"Oho ...!" seru Wiro yang melihat Bu Ceng membuat gerakan menghantam dan
mengelak itu, "Rupanya selain jadi iblis nyatanya kau juga pandai menari! Ha ... ha ... ha!"
"Sialan benar. Kalau tidak segera kubunuh bangsat ini bisa membuat darah muncrat
dari benak-ku!" kata Bu Ceng dalam hati. Sementara itu di hadapannya Wiro
kembali membuka mulut.
"Hai! Setahuku kalian berjumlah lima orang. Mana empat iblis jejadian lainnya?"
"Makan dulu gebukanku ini baru nanti kujawab!" ujar Bu Ceng lalu melompat ke
depan sambil dorongkan kedua tangannya yang dikepal ke arah dada Wiro Sableng.
Inilah serangan tangan kosong yang mengandalkan tenaga dalam tinggi bernama
Soan-hong hiap-in atau angin berpusing mengejar awan.
Belum lagi dua kepalan itu mengenai sasarannya, angin pukulannya saja sudah
membuat pakaian Wiro berkibar-kibar dan dadanya seperti ditekan!
Melihat kehebatan serangan lawan, Wiro Sableng tak mau berlaku ayal walau
tampangnya masih tetap cengar cengir. Cepat dia melompat ke samping dan dari
arah ini bermaksud lancarkan satu sodokan lutut ke pinggul lawan.
Namun serangan angin berpusing mengejar awan mempunyai cahaya yang tidak
terduga. Karena begitu dielakkan tiba-tiba dengan kecepatan luar biasa membalik.
Dan kini bukan saja dua tinju yang bergerak menyerang tetapi satu kaki ikut pula
berkelebat ke bawah perut Wiro Sableng!
Wiro Sableng keluarkan siulan nyaring. Tubuhnya mengapung sampai dua tombak dan
dari atas laksana elang menyambar anak ayam dia menukik. Lima jari tangannya
menyambar ke arah kepala Nan-king Kui-ong yang berambut panjang awut-awutan.
Nan-king Kui-ong geram sekali. Belum pernah serangannya yang begitu hebat dapat
diruntuhkan lawan malah kini mendapat serangan balasan. Bu Ceng rendahkan kuda-
kuda kedua kakinya. Tubuhnya kini merunduk dan serentak dengan itu tangan
kirinya memukul ke atas. Sesaat kemudian kedua orang itu sama-sama mengeluarkan
seruan. Meskipun sudah merunduk namun jari-jari tangan Wiro masih sempat menjambak putus
segenggam rambut di kepala Bu Ceng hingga kulit kepalanya mengeluarkan darah.
Sakitnya tentu saja bukan kepalang.
Sebaliknya Wiropun kena dihantam oleh pukulan Hoan-thian-ciang (pukulan membalik
langit) yang dilepaskan lawan. Tubuhnya tergetar dan dadanya berdenyut sakit.
Cepat-cepat dia jungkir balik dan begitu berdiri di atas kedua kakinya dia
segera salurkan tenaga dalam ke bagian tubuh yang kena dihantam.
Bu Ceng merasakan dan melihat jelas pukulan saktinya tadi tepat mengenai dada
lawan. Tapi Wiro masih tegak berdiri tanpa cidera bahkan masih bisa cengar
cengir, membuat tokoh terlihai dari Lima Iblis Dari Nanking ini jadi melengak
kaget kalau tidak mau dikatakan dingin tengkuknya.
Selama ia memiliki ilmu pukulan Hoan-thian-ciang itu, tak ada satupun musuh yang
bisa selamat, paling tidak muntah darah atau terluka di dalam.
Sebenarnya ingin sekali Bu Ceng mengetahui siapa adanya pemuda acing berambut
gondrong bertampang tolol ini. Namun untuk bertanya dia merasa jatuh harga diri
danakan menunjukkan kekecutan beiaka. Dalam hatinya dia membatin, "Keparat ini
memiliki kepandaian tinggi. Berbahaya.
Kalau tidak segera kuhabisi bisa berabe buntut-buntutnya ..." Maka tanpa
menunggu lebih lama Nanking Kui-ong langsung menyerang.
Dia kerahkan seluruh kepandaiannya, gunakan gin-kang dan iwekangnya yang tinggi
dalam setiap pukulan atau tendangan yang dilancarkan. Tubuhnya lenyap. Yang
kelihatan hanya bayangan jubah hitamnya berkelebat kian kemari. Demikian
hebatnya serbuan Nan-king Kui-ong hingga Wiro merasa seolah-olah ada setengah
lusin musuh yang menggempurnya saat itu. Tubuhnya disambar angin serangan dari
berbagai penjuru dan sesaat kemudian satu pukulan menyerempet bahunya hingga
pendekar ini melintir. Nan-king Kui-ong yang melihat lawan kehilangan
keseimbangan kirim tendangan ganas dari samping kiri ke arah perut. Namun saat
itu Wiro sudah dapat menguasai diri.
Murid Sinto Gendeng ini membentak nyaring. Saat itu pula tubuhnya lenyap dari
pemandangan dan yang ada kini hanya bayangan putih menyambar kian kemari. Kini
Nan-king Kui-ong yang ganti kebingungan. Sekilas dilihatnya sosok tubuh Wiro
seperti ada di sebelah kanan. Diserangnya ke jurusan itu namun tahu-tahu dia
sendiri mendapat serbuan dari sebelah kiri.
Setelah menggempur lima belas jurus tanpa hasil Nan-king Kui-ong mulai gelisah.
Jubah hitamnya telah basah oleh keringat dan ini membuat pakaian itu menebar bau
yang semakin menjadi-jadi. Seumur hidupnya dia tak pernah kucurkan begitu banyak
keringat untuk perkelahian yang masih di bawah dua puluh jurus.
Tiba-tiba. Buk! Nanking Kui Ong mengeluh dan pegangi dadanya yang kena disodok sikut lawan.
Belum lagi hilang rasa sakitnya dia harus pula menerima jambakan pada rambutnya.
Demikian hebatnya hingga pada bekas rambut yang tercabut itu kelihatan kepalanya
seperti botak dan mengucurkan darah. Nanking Kui-ong meraung kesakitan.
"Setan alas! Aku bersumpah untuk membunuhmu saat ini juga!" teriak Bu Ceng dalam
sakit dan marahnya. Dan wuut! Satu sinar biru berkiblat menyambar ke arah Wiro
Sableng. Melihat angkernya sinar dan derasnya angin yang menyambar Wiro tak
berani bertindak gegabah. Dia melompat mundur. Memandang ke depan dilihatnya
lawan memegang sebuah tasbih yang memancarkan sinar biru. Senjata ini adalah
senjata mustika hasil rampasan pada masa perang dulu. Wiro yang bisa menduga hal
ini berseru mengejek.
"Seorang iblis bersenjata tasbih, sungguh lucu dan tak pantas. Kau curi dari
mana tasbih itu"!"
Rahang Bu Ceng menggembung. "Bagaimana keparat asing ini tahu kalau tasbih ini
adalah senjata curian," katanya dalam hati. Tanpa banyak bicara melayani kata-
kata Wiro tadi dia langsung saja menyerbu dengan menyabatkan tasbih. Sinar biru
yang keluar dari senjata sakti ini menderu menelikung aneh disertai hawa dingin
menggidikkan. Wiro cepat berkelit menghindarkan serangan lawan. Namun tiba-tiba dengan
kecepatan luar biasa senjata itu membalik dan kembali menabur sinar biru.
Demikian terjadi berulang kali. Kalau saja Wiro tidak memiliki kegesitan yang
ditunjang oleh ilmu meringankan tubuh yang tinggi niscaya sudah beberapa kali
dia kena dihantam tasbih mustika, paling tidak terserempet sinarnya yang
mengandung hawa dingin.
Serangan Nan-king Kui-ong datang bertubi-tubi. Sinar biru dan hawa dingin
menggebu-gebu. Menelikung dan mengurung dari berbagai arah, mempersempit ruang gerak Pendekar
212 Wiro Sableng.
Lambat laun hawa dingin itu dirasakannya mulai membuat matanya perih dan menekan
denyut jantungnya.
"Gila! Lama-lama aku bisa remuk dibuatnya!" kata Wiro.
Lalu dia membentak nyaring. Sikap dan gerakannya seperti hendak mengeluarkan
satu serangan balasan yang hebat detik itu juga. Hal ini membuat Nan-king Kui-
ong cepat berlaku waspada.
Namun justru saat itu Wiro sama sekali tidak melancarkan serangan hebat atau
melepas pukulan sakti melainkan seperti seorang gila atau tepatnya seperti
seekor monyet terbakar buntut dia melompat-lompat petatang peteteng. Sesekali
dia menggelitiki tubuhnya sendiri seperti lutung lalu tertawa gelak sambil
garuk-garuk kepala.
"Keparat ini benar-benar miring otaknya!" kertak Nan-king Kui-ong. Dia salurkan
tenaga dalamnya lebih besar hingga tasbih di tangannya memancar lebih terang dan
menderu-deru sewaktu dia kembali mulai menggempur. Akan tetapi bagaimanapun
dahsyatnya serangan manusia iblis ini tak satupun berhasil mengenai Wiro Sableng
padahal lawan kelihatan begitu jelas untuk diserang bahkan ditamatkan
riwayatnya. Ilmu silat yang dikeluarkannya Wiro Sableng saat itu adalah ilmu silat "orang
gila" yang dipelajarinya dari gurunya yang kedua yakni Tua Gila. Ilmu silat ini
memang aneh dan mempunyai kemampuan luar biasa. Seumur hidupnya manusia berjuluk
Nan-king Kui-ong baru kali itu menyaksikan ilmu silat macam begitu. Mau tak mau
dia jadi bingung. Lebih-lebih ketika Wiro salurkan hawa sakti pada kedua
tangannya hingga setiap serangan tasbih dapat dibendung.
Nan-king Kui-ong hampir hilang kesabarannya ketika dalam satu jurus dia melihat
kedudukan lawan dianggapnya lemah. Maka dia tidak membuang kesempatan dan
langsung menerjang. Tasbih di tangan kanannya menabur sinar terang menyilaukan,
membabat dari samping kiri. Tampaknya hendak menghantam ke jurusan dada Wiro
Sableng yang terbuka. Namun sebelum sampai, tiba-tiba senjata itu melesat
menghantam ke jurusan kepala!
Orang banyak yang menyaksikan kejadian itu menahan nafas. Wiro terlihat seperti
tidak berdaya untuk mengelak. Sekali ini akan hancurlah kepala pemuda asing ini,
pikir mereka. Sesaat lagi tasbih itu akan mengenai sasarannya, Pendekar 212 angkat tangan
kanannya ke muka.
Telapak tangan menghadap ke depan dan jari-jarinya menekuk membentuk cakar.
Sambil kerahkan tenaga dalamnya murid Sinto Gendeng ini sudah siap untuk
menangkis tasbih dan sekaligus merenggut merampasnya. Akan tetapi sebelum hal
itu terjadi mendadak terdengar suara menderu.
Tujuh warna sinar pelangi berkiblat, menyeruak diantara kepala Wiro dan ujung
Tasbih. Sedetik kemudian tasbih itu putus hancur bertaburan dengan mengeluarkan
suara bergemerincing!
Nan-king Kui-ong berseru kaget dan melompat mundur. Dia masih kurang cepat.
Ujung sinar pelangi mengejarnya dan bret! Pakaiannya di bagian dada robek besar.
Pucatlah wajah manusia iblis ini.
Di saat itu pula terdengar suara bentakan garang:
"Manusia iblis bernama Bu Ceng! Hari ini kutagih hutang darah dan nyawa!
Serahkan kepalamu!"
*** 9 BU CENG yang kenali suara menggeledek itu berpaling ke kiri. Wajahnya berubah
putih. Dadanya berdebar dan lututnya bergetar goyah. Memandang ke kiri
dilihatnya Ki Hok Bun Pendekar Pedang Pelangi tegak dengan muka membersitkan
hawa pembunuhan. Di tangan kanannya berkilauan pedang pelangi.
"Celaka, bagaimana dia bisa muncul di sini," keluh Bu Ceng.
"Twako, kukira siapa. Terima kasih kau telah menyelamatkan mukaku yang buruk ini
dari hantaman tasbih curian itu!" kata Wiro merendah ketika dia melihat
kehadiran Ki Hok Bun di tempat itu.
Melengak Bu Ceng mendengar Wiro memanggil twako terhadap Ki Hok Bun. "Ah, tambah
celaka jadinya. Rupanya kedua orang ini sudah saling kenal!" Bu Ceng jadi
bingung dan takut sekali.
Menghadapi Wiro Sableng saja dia sudah tak mampu, apalagi kini datang pula Ki
Hok Bun untuk membalaskan dendam.
Nan-king Kui-ong melangkah mundur sewaktu Ki Hok Bun mendekatinya. Matanya liar
ke kiri dan ke kanan. Hok Bun tahu apa yang ada dalam benak manusia iblis ini.
"Larilah jika kau memang mampu!" ujar Hok Bun.
Sadar kalau dia tak mungkin melarikan diri Bu Ceng yang banyak akal dan licik
ini tiba-tiba jatuhkan diri dan bersujud.
"Ki Hok Bun ciangkun," katanya tanpa mengangkat keningnya dari tanah. "Mengingat
hubungan baik kita di masa perang dahulu, sudilah ciangkun mengampunkan selembar
nyawaku. Aku sekarang benar-benar insyaf dan bertobat. Aku berjanji akan kembali
ke jalan benar."
"Manusia iblis! Kau lupa apa yang telah kau lakukan terhadap anak dan istriku"
Sekarang kau mengemis minta ampun!"
Bu Ceng alias Nan-king Kui-ong angkat kepalanya. Sambil berlutut kini dia
berkata, "Ciangkun, aku betul-betul merasa berdosa atas semua perbuatanku di masa lampau.
Apapun yang bakal kau lakukan atas diriku akan kuterima asal kau mau
mengampunkan nyawaku."
"Enak betul ucapanmul" kata Ki Hok Bun. Saat itu dia tak dapat lagi menahan
hati. Kaki kanannya menderu menendang dada Bu Ceng. Pimpinan manusia-manusia
iblis itu terlempar. Sambil mengerang dia bangkit berlutut seperti tadi dan
kembali merengek minta diampuni.
Ki Hok Bun menyeringai. Pedang pelangi di angkatnya tinggi-tinggi. Sebelum
memenggal leher musuh besarnya ini dia berniat menebas bagian-bagian tubuh Bu
Ceng terlebih dahulu. Namun sebelum pedang itu meluncur turun tiba-tiba
didengarnya Wiro Sableng berseru,
"Twako terlalu bodoh untuk cepat-cepat membunuhnya!"
Pendekar Pedang Pelangi Ki Hok Bun berpaling. Dilihatnya Wiro kedipkan mata dan
berkata, "Waktu manusia iblis ini melakukan perbuatan biadab itu dia tidak sendirian. Ada
empat orang kawannya. Kudengar kau telah berhasil membunuh dua di antara mereka.
Wiro Sableng 017 Lima Iblis Dari Nangking di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Berarti masih ada dua iblis lainnya. Di mana dua iblis itu berada pasti dia
tahu. Kita tak bakal susah-susah mencari mereka ... "
Sepasang mata Bu Ceng kelihatan membesar dan bersinar. Sambil mengangkat
tangannya dia berkata, "Ciangkun, jika kuberi tahukan di mana mereka berada
apakah kau mau mengampuniku"
Aku tak perduli apa yang kau akan lakukan terhadap Si Golok Ib!is Gui Kun dan
Tui-hun Hui-mo..."
"Lekas katakan di mana mereka!" bentak Ki Hok Bun yang merasa bahwa ucapan Wiro
ada benarnya. Kalau Bu Ceng dibunuhnya saat itu memang berarti dia berhasil
melampiaskan dendam kesumatnya. Akan tetapi dia akan butuh waktu untuk mencari
dua manusia iblis lainnya. Tak ada salahnya menunda kematian Nan-king Kui-ong
dan pergunakan manusia ini sebagai alat untuk mencari dua kambratnya. "Hai,
lekas katakan di mana mereka!" sentak Ki Hok Bun kembali.
"Tapi kau akan mengampuniku bukan ...?"
Yang menjawab adalah Wiro. "Soal nyawamu bisa diatur kemudian sobat. Sekarang
lebih baik terangkan di mana dua anak buahmu itu berada."
Bu Ceng tak segera menjawab. Dia seperti memikirkan sesuatu. Ki Hok Bun
tempelkan ujung pedang ke tenggorokannya. Kontan Bu Ceng membuka mulut,
"Baiklah, aku akan katakan. Mereka ...
mereka berada di sebuah rumah pelacuran. Di Ankeng ini juga. Aku akan tunjukkan
pada kalian."
Bu Ceng lalu berdiri. Diiringi Ki Hok Bun danWiro Sableng serta orang banyak
yang ingin menyaksikan kejadian itu lebih lanjut, dia menuju ke pinggiran kota.
Song Bun Lip dan Lu Sian Cin kelihatan diantara rombongan orang yang mengikuti.
"Awas kalau kau menipu kami Bu Ceng," kata Ki Hok Bun memperingatkan.
"Ciangkun, kau percayalah padaku. Bahkan jika kau betul nanti mengampuni jiwaku,
kelak tiga peti emas rampokan dulu bisa kita bagi dua. Kau masih ingat pada
peti-peti emas itu ciangkun?"
Ki Hok bun muak mendengar kata-kata Bu Ceng itu. Dia membentak, "Sudah, jangan
banyak mulut. Jalan terus!"
Wiro Sableng yang mendengar ucapan Bu Ceng itu hanya tertawa menyengir. Siapa
yang mau percaya pada kata-kata manusia iblis seperti Bu Ceng"
Rumah mesum di mana saat itu Iblis Pengejar Maut Tui-hun Hui-mo dan Golok Iblis
Gui Kun berada dan tengah bersenang-senang terletak agak di pinggiran kota
Ankeng. Melihat munculnya seorang berjubah hitam bertampang seram diiringi
seorang lelaki separuh baya berwajah penuh berewok serta seorang pemuda asing
berambut gondrong, ditambah pula dengan serombongan orang banyak yang mengikuti
mereka dari belakang, tentu saja pemilik gedung pelacuran, germo serta tukang
pukulnya kaget bercampur heran.
"Ada apakah?" tanya sang germo seorang bertubuh gemuk bermuka merah.
Ki Hok Bun bepaling pada Bu Ceng dan menganggukkan kepalanya. Bu Ceng lantas
berkata, "Dua orang kawanku ada di dalam sana. Panggil mereka. Katakan pangcu mereka
memanggil!"
"Maksud loya dua orang berjubah hitam dan berewokan seperti loya?"
"Betul!"
Germo itu menatap Bu Ceng sesaat. Hatinya bergetar melihat keangkeran manusia
iblis ini. Lalu berpaling pada Ki Hok Bun dan Wiro Sableng.
"Loya ... mereka sedang istirahat dan menghibur diri. Mana mungkin aku berani
mengganggu mereka?" si germo akhirnya berkata.
Nan-king Kui-ong menunjukkan tampang berang dan membentak, "Apa perlu kami yang
langsung masuk"!"
Wiro garuk-garuk kepaia sedang Ki Hok Bun pegang gagang pedangnya. Melihat
gelagat yang kurang baik ini tukang pukul rumah pelacuran hendak melangkah maju
namun cepat ditahan oleh sang germo. Dia sudah berpengalaman dan maklum kalau
tiga orang yang ada di depannya itu bukan manusia-manusia biasa. Pasti orang-
orang dari rimba hijau (persilatan). Dan dia tak mau mencari urusan dengan
orang-orang tersebut.
"Baik loya, aku akan beritahu mereka," kata si germo lalu cepat-cepat masuk ke
dalam. Saat itu Tui-Hun Hui-mo dan Gui-kun Kui-to sedang duduk di atas sebuah kursi
besar ditemani dua pelacur sambil meneguk anggur. Si Golok Iblis Gui Kun
memangku seorang pelacur berkulit putih bertubuh langsing. Hampir tiada henti
dia menciumi pelacur ini. Kalau saja bukan lantaran uang tentu saja si pelacur
merasa jijik terhadap manusia ini. Sementara itu Iblis Pengejar Maut Tui hun
asyik mendekapi pelacur pilihannya, seorang perempuan berbadan gemuk dan
berambut panjang. Tangannya merayap kian kemari.
Kedua apak buah Nan-king Kui-ong ini saat itu sudah siap-siap untuk masuk ke
kamar masing-masing ketika germo berbadan gemuk mendatangi.
"Loya berdua harap maafkan. Ada orang mencari loya... "
Merasa terganggu tentu saja kedua orang itu marah sekali. Iblis Pengejar Maut
Tui hun membentak sambil bantingkan gelas anggur ke lantai hingga pecah
berkeping-keping.
"Aku sudah bilang berapa kali! Jangan ganggu kalau kami sedang bersenang-
senang ...!"
"Tapi yang mencari adalah ..."
"Sekalipun setan aku tak perduli!" kini Si Golok Iblis Gui Kun yang buka mulut
keras. Sesaat germo itu jadi bingung. Dia tidak mau kehilangan dua orang tamunya ini
yang walaupun kasar liar serta bertampang bengis tapi nyatanya punya banyak
uang. Namun dia juga tidak mau cari urusan dengan tiga manusia di luar sana.
Maka dia memberanikan diri membuka mulut memberi tahu. "Yang mencari adalah
pangcu loya berdua..."
Dua manusia iblis itu sesaat saling pandang. Dengan segan dan sambil menggerutu
keduanya bangkit dari kursi setelah terlebih dulu meminta pelacur pilihan
masing-masing untuk menunggu.
Begitu sampai di luar keduanya kontan melengak kaget setengah mati.
Mereka memang melihat pemimpin mereka tegak di halaman rumah, tetapi di samping
sang pangcu juga berdiri Ki Hok Bun alias Pendekar Pedang Pelangi, yang
kemunculannya pasti sudah dapat diterka yaitu untuk membalaskan dendam kesumat.
Selain itu mereka melihat pula seorang pemuda asing berambut gondrong bertampang
tolol yang mereka tidak kenal. Lalu orang banyak yang sudah berkumpul di tempat
itu. Keduanya heran mengapa ketua mereka tegak agak gelisah dan kelihatannya dialah
yang telah membawa Ki Hok Bun serta pemuda asing itu ke tempat tersebut.
Sepasang mata Iblis Pengejar Maut Tui-hun memperhatikan robek besar di dada
pakaian pemimpinnya. Pasti sesuatu telah terjadi pikirnya. Lalu dia memberi
kisikan pada kambrat di sebelahnya.
"Ada yang tidak beres. Kita kabur saja. Naga-naganya kita bisa celaka!"
Si Golok Iblis Gui Kun mengangguk perlahan-lahan. Namun saat itu mereka
dikagetkan oleh seruan pangcu mereka, "Ciangkun, tunggu apa lagi. Bunuh saja
kedua manusia tak berguna ini!"
"Pangcu!" seru Gui-kun Kui-to. "Jadi kau bersekutu dengan Ki Hok Bun..." Habis
berkata begitu dia berpaling pada Tui-hun Hui-mo danberkata "Tunggu apa lagi.
Mari kabur!"
Kedua orang itu secepat kilat putar tubuh hendak masuk ke dalam rumah dan
seterusnya melarikan diri lewat pintu belakang. Namun keduanya serta merta
hentikan langkah ketika tahu-tahu di hadapan mereka sudah menghadang pemuda
asing berambut gondrong itu sambil tolak pinggang dan cengar cengir.
Tidak mengenali siapa adanya orang Si Golok Iblis Gui Kun langsung membentak,
"Bangsat rendah! Kau siapa berani menghalangi kami"! Kepingin mampus"!"
Wiro pencongkan hidungnya.
"Mau kabur ..." Tempat kabur manusia-manusia iblis macam kalian adalah neraka!"
Tui-Hun Hui-mo marah sekali. Lima kuku jarinya yang hitam panjang dan mengandung
racun jahat bekelebat ganas meremas ke arah muka Wiro Sableng!
Sebagai orang kedua dari Nan-king Ngo-kui, Tui-hun Hui-mo tentu saja memiliki
kepandaian tinggi luar biasa. Jurus yang barusan dikeluarkannya untuk menyerang
Wiro adalah hek-hou wat-sim atau macan hitam mengorek hati. Sekali kepala lawan
kena remas pastilah akan hancur, mata terkorek keluar, hidung dan mulut copot!
Belum lagi racun mematikan yang terkandung dalam kuku kuku hitam itu.
Tetapi hebatnya Wiro Sableng melayani serangan musuh itu dengan mengejek seperti
orang mempermainkan.
"Buset! Kau ini perempuan atau banci. Pelihara kuku begini panjang" Bagusnya
kupotes saja!"
Wiro miringkan mukanya yang hendak diremas. Tangan kanannya bergerak dan
pletek... pletek...
pletek... Tiga kuku jari Tui-hun Hui-mo patah berpeletekan. Manusia iblis ini
meraung kesakitan. Jari-jari tangannya mengucurkan darah"
Melihat apa yang terjadi dengan kawannya, Si Golok Iblis Gui Kun tak tinggal
diam. Sekali bergerak empat golok terbang dilemparkannya ke arah Wiro Sableng.
Pemuda kita keluarkan siulan tinggi. Tubuhnya bekelebat.
Dua golok berhasil dikelit dan menancap pada kusen pintu. Dua golok lainnya
dengan sikap acuh tak acuh ditangkapnya lalu trak ... trak. Kedua senjata ini
dipatahkannya! Tentu saja Si Golok Iblis Gui Kun jadi terkesiap setengah mati.
Selama hidup baru sekali ini dia menemui lawan yang kepandaiannya begitu tinggi.
Sedang Tui-hun Hui-mo menjadi goyah lututnya dan meleleh nyalinya..
Nan-king Kui-ong alias Bu Ceng yang sebelumnya sudah menyaksikan danmerasakan
sendiri kehebatan Wiro saat itu terkesima demikian rupa karena nyatanya pemuda
asing berambut gondrong itu benar-benar luar biasa. Dia yakin kalau Ki Hok Bun
sendiripun masih ketinggalan jauh. Bahkan gurunya sendiri menurut Bu Ceng paling
tidak masih dua tingkat di bawah pemuda itu.
Ki Hok Bun sendiri diam-diam tak habis mengagumi kelihayan Wiro. Sulit
dipercayanya ada manusia sehebat ini.
Selagi Ki Hok Bun maupun Nanking Kui Ong tertegun begitu rupa Wiro sudah
mencekal rambut panjang dua manusia iblis itu lalu mendorongnya dengan keras
hingga Tui-hun Hui-mo dan Gui-kun Kui-to jatuh tergelimpang di tanah tepat di
hadapan Ki Hok Bun.
Keduanya cepat bangun dan bersurut mundur melihat Ki Hok Bun cabut pedang
mustikanya. "Pangcu!" berseru Golok Iblis Gui kun memanggil ketuanya. "Aku tak percaya kau
bersekutu dengan musuh besar kita ini. Tapi kenapa kau suruh bunuh kami" Bantu
kami menghadapi mereka!"
Bu Ceng tertawa mendengar kata-kata anak buahnya itu dan berkata, "Sobatku Gui-
kun harap maafkan. Saat ini aku bukan pangcumu lagi. Antara kita tak ada
hubungan apa-apa lagi. Tak ada satu orangpun yang sanggup menyelamatkan nyawa
kalian dari kematian di tangan Ki Hok Bun ciangkun.
Namun ciangkun masih berbaik hati memberi kesempatan pada kalian untuk membela
diri!" "Pengkhianat busuk!" maki Si Golok Iblis Gui Kun.
Tui-hun Hui-mo yang sudah melihat tidak ada jalan lain tiba-tiba berteriak, "Ki
Hok Bun! Apakah untuk menghadapi kami berdua yang mengandalkan tangan kosong kau begitu
pengecut hendak pergunakan Pedang Pelangi?"
Tui-hun Hui-mo sebetulnya coba mengukur tingkat kepandaian Ki Hok Bun. Dalam
tangan kosong jika dikeroyoik dua dia merasa pasti akan dapat mengalahkan Ki Hok
Bun. Tetapi jika lawan memegang Pedang Pelangi, sulit untuk menyelamatkan diri.
Namun di lain pihak Ki Hok Bun yang berjiwa kesatria sejati begitu mendengar
kata-kata salah seorang lawannya segera sarungkan Pedang Pelangi. Lalu tanpa
tunggu lebih lama dia menerjang ke hadapan kedua musuh besarnya itu. Maka
terjadilah perkelahian dua lawan satu yang hebat.
Tui-hun Hui-mo meskipun tangannya sebelah kanan terluka namun kehebatannya boleh
dibilang hampir tidak berkurang. Serangan-serangannya berupa cakaran dan pukulan
serta tendangan datang bertubi-tubi. Demikian pula Gui-kun Hui-to yang bertubuh
tinggi kurus itu. Serangannya menggebu-gebu. Walaupun dia cuma jago ke lima di
antara lima manusia iblis dari Nanking namun tingkat kepandaiannya tidak boleh
dipandang remeh. Apalagi kedua orang itu sadar kedudukan mereka dalam keadaan
terjepit hingga keduanya mengadu nyawa karena laripun sudah tidak mungkin.
Sepuluh jurus berlalu. Walaupun belum kelihatan Ki Hok Bun terdesak namun dia
dibikin repot juga dan hanya sekali-kali mampu balas menyerang. Jika saja pangcu
mereka membantu pasti Ki Hok Bun dapat dibereskan. Memikir ke situ Gui-kun Kui-
to berteriak, "Pangcu! Lekas bantu kami!"
Namun Nan-king Kui-ong cuma tersenyum. Saat itu sebenarnya dia berada dalam
keadaan tertotok. Pada saat sampai di depan rumah pelacuran Ki Hok Bun telah
menotok manusia iblis ini hingga dia hanya mampu buka mulut tapi tak dapat
bergerak. Kalaupun dia tidak dalam keadaan tertotok tak juga dia akan membantu
kedua anak buahnya itu. Tentu saja dia merasa senang melihat kematian mereka
dari pada dirinya sendiri jadi korban. Memang begitulah sifat manusia iblis
seperti Bu Ceng. Tak perduli anak buah celaka asal diri sendiri selamat!
Memasuki jurus ke dua puluh karena menyerang terus menerus tanpa hasil, tenaga
dua manusia iblis itu mulai mengendor. Kini Ki Hok Bun ambil kesempatan.
Di jurus ke dua puluh satu jotosannya menghantam Si Golok Iblis Gui-kun hingga
tubuhnya melintir setengah lingkaran Gui-kun pegangi dadanya yang terasa sakit
dan nafasnya sesak. Dia merasa seperti mau muntah. Ketika dia meludah, ludahnya
bercampur darah!
Tubuhnya terhuyung-huyung seperti hendak roboh ke tanah. Dia berputar-putar,
tapi begitu berada tepat di belakang Ki Hok Bun yang tengah menghadapi Tui-hun
Hui-mo secepat kilat dia cabut empat buah golok dan melemparkannya ke arah lawan
yang membelakang!
"Twako awas serangan curang!" seru Wiro memberi tahu. Dia tak mungkin menolong
karena saat itu berada tepat di belakang Ki Hok Bun. Kalau dia menghantam runtuh
empat pisau itu dengan pukulan tangan kosong ada kemungkinan satu dari senjata
tersebut akan mengenai Ki Hok Bun.
Bekas perwira tinggi Kaisar itu sendiri sudah mendengar suara bersiuran dari
arah belakang. Ditambah dengan teriakan peringatan Wiro dia sadar kalau telah
diserang secara curang.
Secepat kilat Ki Hok Bun jatuhkan diri seraya tangkap sepasang kaki Tui-hun Hui-
mo. Meskipun kaget melihat gerakan lawan menjatuhkan diri dan menangkap kakinya
namun Tui-hun Hui-mo melihat adanya kesempatan baik untuk mencengkeram kepala
dan pundak Ki Hok Bun.
Namun sebelum maksudnya ini kesampaian dua dari empat golok terbang yang
dilemparkan Gui kun Kui to menancap tepat di dadanya. Manusia iblis ini menjeril
keras. Matanya melotot. Dia tergelimpang di tanah.
Golok Iblis Gui-kun bukan kepalang kagetnya ketika menyaksikan bagaimana
serangan mautnya tadi justru membunuh kawan sendiri! Sesaat dia tertegun
terkesiap. Justru ini adalah satu kesalahan besar karena saat itu pula laksana
seekor singa lapar Ki Hok Bun melompatinya. Sepuluh jari tangannya langsung
menyambar batang leher Gui-kun. Gui-kun memberontak, berusaha melepaskan diri.
Tapi cekikan itu laksana jepitan baja. Nafasnya menyengal. Lidahnya terjulur
keluar. Mulutnya membusah ludah campur darah. Matanya membeliak. Bagian hitamnya
makin menghilang.
Sesaat kemudian terdengar suara berderak tanda remuknya tulang leher Gui Kun.
Nyawanya lepas. Tubuhnya terkulai.
Tiba-tiba seperti orang kemasukan setan Ki Hok Bun berteriak sambil mencabut
Pedang Pelangi. Semua orang yang ada di situ menyaksikan bagaimana tujuh sinar
pelangi berkiblat kian kemari membuntal tubuh Gui kun. Lalu sinar itu berpindah
ke arah tubuh Tui-hun Hui-mo.
Kemudian kelihatanlah hal yang mendirikan bulu tengkok karena terlalu
mengerikan. Tubuh Gui-kun dan Tui-hun Hui-mo kini terkapar di tanah dalam
keadaan tidak utuh lagi. Tercincang mulai dari ujung kepala sampai ke ujung
kaki! Wiro sendiri bergidik menyaksikan hal itu sedang Nan-king Kui-ong melengos
ke jurusan lain!
Nan-king Kui-ong kemudian menyadari bahwa ada seseorang yang mendekatinya dari
arah depan. Ketika dia berpaling ke jurusan itu dadanya jadi berdebar. Ki Hok
Bun dilihatnya melangkah mendatangi dengan Pedang Pelangi terhunus. Senjata
mustika ini penuh lumuran darah. Darah Gui-Kun dan Tui-hun!
"Bu Ceng, katakan di mana kau sembunyikan tiga peti emas itu?" tiba-tiba Ki Hok
Bun ajukan pertanyaan.
"Ciangkun ... seperti yang aku bilang. Tiga peti emas itu akan kita bagi dua.
Kita bisa berangkat ke sana sekarang."
"Baik, tapi aku ingin kau memberitahu dulu di mana tempat kau sembunyikan. Aku
tidak mau tertipu ... "
"Tapi ... ciangkun, apa kau tidak percaya padaku?"
Ki Hok Bun menyeringai. "Jangan banyak tanya Bu Ceng. Katakan lekas. Atau
kucincang kau seperti kawan-kawanmu detik ini juga?"
Tubuh Bu Ceng alias Nanking Kui Ong bergeletar.
"Letaknya kira-kira lima puluh lie dari sini. Di sebelah selatan ada sebuah
reruntuhan klenteng.
Di tanah pada pintu sebelah belakang tiga peti emas itu kupendam..."
Wiro Sableng 017 Lima Iblis Dari Nangking di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau berani dusta terhadapku Bu Ceng"!" hardik Ki Hok Bun.
"Aku tidak dusta ciangkun. Kita ke sana saja sekarang jika ciangkun tidak
percaya," sahut Bu Ceng.
Ki Hok Bun anggukkan kepala dan mengerling ke arah Wiro. Melihat isyarat ini
Wiro lalu lepaskan totokan di tubuh Bu Ceng seraya berkata, "Manusia tolol.
Apakah kau pernah mendengar kalau bangsa iblis dan setan macammu ini akan
ditempatkan Thian di sorga sekalipun dia menyerahkan seratus peti emas?"
Sesaat Bu Ceng tertegun.
"Apa maksudmu?" tanya dengan suara besar serak.
"Maksudku kau tetap harus mampus. Dosa dankejahatanmu sudah selangit. Malah
sudah menerobos langit! Kalau bukan karena kau biang racunnya istri dan anak
saudara angkatku itu tak akan menemui kematian. Nah sekarang kau hadapilah
twakoku itu!"
Wajah Bu Ceng yang garang jadi berubah putih kertas. Pucat pasi.
"Tapi... tapi ... bukankah dia sudah janji memberi ampun dan tiga peti emas itu
kami bagi dua...?"
"Jangan bicara ngelantur manusia durjana!" hardik Ki Hok Bun. "Siapa sudi
memberi ampun padamu. Pengampunan tidak akan menghidupkan kembali anak serta
istriku! Soal emas itu kau bisa terima bagianmu di neraka!"
"Jadi... kau sengaja menipuku"!" Mata Bu Ceng melotot.
Kembali Ki Hok Bun menyeringai.
"Terserah kau mau bilang apa. Yang jelas kau akan susul empat anak buahmu.
Mereka telah tak sabar menunggumu di neraka. Di dunia kalian sama-sama berbuat
kejahatan. Ganjarannya di akhirat juga harus kalian rasakan sama-sama!"
Dendam kesumat yang membara membuat Ki Hok Bun merasa tidak perlu memikirkan
segala macam aturan persilatan ataupun jiwa satria terhadap musuh paling
besarnya ini. Pedang sakti di tangan kanannya tergenggam erat. Sekali senjata
ini menabas maka terpekiklah Bu Ceng. Tangan kanannya putus. Pedang berkelebat
lapi. Tangan kirinya kini yang jadi sasaran. Sekali lagi senjata itu menderu.
Dan anggota rahasia Bu Ceng amblas putus!
Terdengar suara seperti sapi dipotong keluar dari tenggorokan pimpinan manusia-
manusia iblis itu. Tubuhnya jatuh ke tanah tanpa nyawa lagi. Dan seperti tadi,
seperti kamasukan setan Ki Hok Bun bacokkan pedangnya berulang kali ke tubuh Bu
Ceng hingga tubuh itu tak karuan rupa lagi, hancur luluh!
Sesaat setelah sadar akan dirinya Ki Hok Bun jatuhkan diri di tanah. Mulutnya
bergetar ketika berkata, "Istriku The Cun Giok, anakku Sun Bie, hari ini aku Ki
Hok Bun telah membalaskan sakit hati kalian atas lima manusia iblis itu. Kuharap
kalian berdua bisa tenteram kini di slam baka .... "
Lalu KI Hok Bun menangis sesenggukan.
'Twako, bangunlah...!" kata Wiro sambil memegang bahu saudara angkatnya itu.
Perlahan-lahan Ki Hok Bun berdiri. Ditatapnya muka pemuda itu lalu berkata,
"Tarima kasih. Aku berhuYtng budi bahkan bwhutang nyawa terhadapmu. Kau sudah
tahu di mana tiga peti emas itu disembunyikan. Pergilah ke sana dan ambillah...!"
Wiro Sableng tersenyum dan geleng-gelengkan kepala.
"Sekarang bukan saatnya bicara segala hutang budi hutang nyawa. Soal emas itu,
aku mana ada hak untuk memilikinya. Takdir menentukan emas itu harus menjadi
milikmu..."
"Kalau begitu tiga peti emas itu kukembalikan saja pada Kaisar Yung Lo," kata Ki
Hok Bun pula. Wiro jadi mendelik. "Kenapa jadi begitu tolol twako" Kalaupun mau dikembalikan
cukup dua saja, yang satu ambil olehmu. Kau sudah kehilangan segala-galanya
twako. Anak istri, rumah dan ladang. Kau perlu sesuatu untuk modal masa
depanmu!" Ki Hok Sun merenung. "Kata-katamu akan kupertimbangkan Wiro. Sekarang aku akan
menuju ke sana. Kau ikut...?"
"Tidak twako. Aku akan melanjutkan perjalanan. Masih hanyak daerah selatan ini
yang belum kudatangi!
"Kalau begitu kita berpisah dan selamat jalan. Selama langit masih biru, hutan
masih hijau dan air sungai masih mengalir ke laut, aku tak akan melupakanmu dan
kuharap kita bisa berjumpa kembali!"
Wiro mengangguk. "Kudoakan agar kau bahagia twako."
Keduanya saling rangkul beberapa ketika. Lalu Ki Hok Bun tinggalkan tempat itu
lebih dulu. Wiro memperhatikan sampai saudara angkatnya itu lenyap di kejauhan. Setelah Ki
Hok Bun tak kelihatan lagi dia putar tubuh siap pule untuk pergi. Namun tiba-
tiba satu tangan halus memegang lengannya. Dia berpaling. Ternyata pelacur
jelita bernama Lu Sian Cin itu.
"Eh, ada apakah nona ...?"
"Tayhiap, kau telah menolongku. Kalau tak ada kau mungkin aku sudah mati di
tangan manusia iblis itu. Aku merasa tidak tenteram sebelum dapat membalas budi
bessrmu itu..."
"Eh, aku tidak mengharapkan imbalan apaapa..."
"Terus terang akupun tak punya harta apa-apa. Kecuali..."
"Kecuali apa maksudmu?"
Lu Sian Cin membisikkan satu kata-kata mesra ke telinga Wiro Sableng membuat pemuda ini jadi merah wajahnya tapi juga senyum-senyum.
"Kau mau...?"
Wiro garuk-garuk kepala. Siapa yang tak mau diajak bersenang-senang oleh
perempuan secantik Lu Sian Cin ini" Tapi walau bagaimana pun Lu Sian Cin adalah
pelacur. Dan ini membuat pendekar kita jadi meragu. Namun untuk menyenangkan
hati perempuan itu dia berkata, "Baiklah, aku akan datang ke tempatmu. Kau
berangkat saja lebih dulu. Nanti kususul!" Wiro kedipkan matanya. Lu Sian Cin
tersenyum gembira dan setengah berlari tinggalkan tempat itu.
TAMAT Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Munculnya Ratu Siluman Darah 2 Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra Darah Para Tumbal 3
Benda merah kehitaman itu ternyata adalah kepala berwajah merah dan berambut
hitam Ang-mo It-kui yang tetah dijagal! Dari bekas potongan lehernya masih
menyembur darah segar mengerikan!
"Ang-mo It-kui ... ah. Apa yang terjadi denganmu sobat" Siapa yang membunuhmu"!"
desis Tiat-thou-kui dengan suara bergetar dan lutut goyah. Di antara empat
kawannya dia memang paling dekat dengan Ang-mo It-kui.
Tentu saja kutungan kepala itu tidak bisa memberikan jawaban. Kesunyian
menggidikkan menyungkup tempat itu. Tiba-tiba sepasang mata garang Nan-king Kui-
ong melihat suatu gerakan.
Didahului suara menggembor dia membentak keras dan hantamkan tangan kanannya ke
depan. Krak! Krak! Dua batang pohon patah. Semak belukar rambas berhamburan. Di belakang semak
belukar yang rambas itu kelihatan tegak seorang bertubuh tinggi besar, bermuka
kotor penuh cambang bawuk serta kumis meliar dan rambut awut-awutan.
Sepasang matanya membersitkan sinar menggidikkan. Maut. Di tangan kanannya
tergenggam sebilah pedang yang mengeluarkan tujuh sinar angker. Orang ini bukan
lain adalah Ki Hok Bun alias Pendekar Pedang Pelangi! Kim-hong Kiam-khek!
Apakah yang telah terjadi dengan Ang-mo It-kui orang ke empat dari Nan-king Ngo-
kui itu hingga dia menemui kematian amat menyeramkan begitu rupa"
Seperti diceritakan sebelumnya Ang-mo It-kui diserang sakit perut dan membuat
dia memisahkan diri dari empat kawannya. Dia pergi ke tepi sungai diantara
pohon-pohon dan semak belukar rapat untuk membuang hajat besar. Dia sama sekali
tidak menduga justru di tempat itulah maut tengah menantinya!
Sesaat satelah dia turunkan pakaian dalam dan singsingkan jubah lalu berjongkok,
tiba-tiba saja seolah-olah keluar dari dalam air muncul sesosok tubuh di
hadapannya. Nyawa Ang-mo It-kui serasa terbang. Kalau orang lain yang muncul dia
tidak akan demikian kagetnya. Tetapi melihat sosok tubuh Ki Hok Bun di depannya
benar-benar membuat manusia iblis yang satu ini seperti sudah berhenti nafasnya
detik itu juga!
"Kau....!" suara Ang-mo It-kui bergetar. Dia melompat bangun. Namun dia lupa
pada celana dalam yang melingkar di pergelangan kakinya. Gerakannya yang tiba-
tiba itu membuat kakinya terjirat celana dalamnya sendiri dan akibatnya tak
ampun lagi tubuhnya tersungkur ke depan.
Ang-mo It-kui tahu bahaya apa yang bakal dihadapinya. Sebetulnya dengan
kepandaiannya yang tinggi dia tidak perlu kawatir bakal dapat dirobohkan dalam
waktu cepat oleh siapapun. Namun kemunculan Ki Hok Bun benar-benar tidak
disangkanya. Dia laksana melihat setan kepala sepuluh.
Karenanya Ang-mo It-kui segera buka mulut untuk berteriak memberi tahu kawan-
kawannya. Namun Ki Hok Bun telah tahu gelagat. Sebelum Ang-mo It-kui sempat keluarkan
suara dia melompat ke depan dan menotok urat jalan suara di pangkal leher musuh
besarnya itu hingga detik itu juga manusia iblis ini sama sekali tidak sanggup
keluarkan suara selain haha-huhu macam orang gagu sedang sepasang matanya
melotot. Sebenarnya kalau saja dia tidak terlalu dicekam ketakutan luar biasa
dan dapat menguasai diri tidak akan terlalu mudah bagi Ki Hok Bun untuk dapat
menotoknya begitu rupa.
Ki Hok Bun keluarkan seringai maut.
"Jangan harap kau bisa lari selamatkan diri manusia biadab! Hari pembalasan
telah datang. Bersiaplah untuk berangkat ke neraka!"
Kedua mata Ang-mo It-kui membeliak. Dia melangkah mundur hendak larikan diri
namun secepat kilat Ki Hok Bun sudah berkelebat dan tahu-tahu sudah menghadang
di depannya. "Mau lari ke mana binatang?" Di tangan kanan Ki Hok Bun saat itu sudah
tergenggam Pedang Tujuh Pelangi.
Ang-mo It-kui angkat kedua tangannya dan goyang-goyangkan kepala. Dia sadar tak
mungkin lari. Maut sudah di depan mata. Sekalipun saat itu dia memegang senjata
pula belum tentu dia dapat lolos. Bahkan dibantu oleh empat kawannya pun sukar
untuk cari selamat karena dia sudah tahu kehebatan pedang mustika di tangan
lawan. "Huk ... huk . . . huk . . . " Ang-mo It-kui lagi-lagi angkat kedua tangannya
tinggi-tinggi. Dengan berbuat begitu dia bermaksud hendak mengatakan agar Ki Hok
Bun jangan membunuhnya. Tentu saja hal ini suatu hal yang tidak mungkin. Selama
beberapa minggu Ki Hok Bun telah menguntit lima musuh besarnya itu. Kini salah
seorang dari mereka sudah berada dalam tangannya.
"Iblis-iblis di neraka sudah lama menunggumu manusia keparat! Pergilah ke sana!"
Pedang di tangan Ki Hok Bun berkelebat. Tujuh warna sinar pelangi bertabur. Ang-
mo It-kui membuang diri ke samping dan lepaskan satu pukulan tangan kosong
tetapi tak menemui sasaran.
Seperti diketahui rambut merah panjang Ang-mo It-kui merupakan senjata hebat
yang bisa menotok, menusuk, mencekik bahkan melibat dan merampas senjata lawan.
Namun menghadapi Pedang Tujuh.Pelangi dia tidak berani pergunakan rambutnya
untuk melakukan semua itu. Mati-matian dia keluarkan seluruh kepandaiannya.
Untuk lari sudah tidak bisa. Setiap dicobanya setiap kali pula Ki Hok Bun
berhasil menghadangnya. Pedang lawan seolah-olah telah berubah jadi puluhan
banyaknya dan mengurung dirinya dari berbagai jurusan.
Ang-mo It-kui cuma sanggup bertahan selama empat jurus. Jurus kelima Pedang
Tujuh Pelangi menyambar putus tangan kirinya kemudian berbalik menusuk dada.
Darah seperti mancur dari dua bagian tubuh yang terluka itu. Pembalasan Ki Hok
Bun masih belum berhenti. Di lain saat tangan kanannya jadi sasaran sambaran
pedang. Ang-mo It-kui menjerit tapi suaranya hanya sampai di tenggorokan. Dalam
keadaan tubuh sempoyongan ujung pedang datang lagi menyambar. Kali ini merobek
perutnya hingga isi perut manusia iblis ini berbusaian keluar.
Ki Hok Bun tampaknya masih belum puas. Pedangnya dibabatkan ke bagian bawah
perut dan cras! Putuslah keseluruhan anggota rahasia Ang-mo It-kui yang dulu
telah menodai The Cun Giok, istri Ki Hok Bun!
Sampai disitu masih juga Ki Hok Bun belum merasa puas. Pembalasannya betul-betul
mengerikan. Hanya manusia yang dilanda dendam kesumat seperti dialah yang
sanggup melakukan hal seperti itu. Dia ingin mendengar bagaimana jerit kesakitan
melanda musuh besarnya itu sebelum dia menghabisi nyawanya. Maka dengan tangan
kirinya dia lepaskan totokan di leher Ang-mo It-kui.
Begitu totokan lepas maka menggeledeklah jeritan setinggi langit dari
tenggorokan Ang-mo It-kui yang sejak tadi terbendung. Tubuhnya roboh ke tanah
dan detik itu pula Pedang Pelangi membabat menyambar batang lehernya. Nyawanya
lepas begitu kepalanya menggelinding!
Jeritan Ang-mo It-kui itulah yang membuat terkejut empat manusia iblis lainnya.
Sewaktu mereka mendatangi Ki Hok Bun telah menunggu dengan menjambak rambut
kepala Ang-mo It-kui di tangan kirinya lalu melemparkan kutungan kepala itu ke
arah Nan-king Kui-ong dan tiga kambratnya.
Bukan saja menyaksikan kutungan kepala kawan mereka membuat keempat manusia
iblis itu menjadi menggerinding ngeri, tetapi yang membuat mereka terkesiap dan
kaget sekali adalah menyaksikan berdirinya Ki Hok Bun di hadapan mereka.
"Ki ... Ki Hok Bun ... Kau?" Suara Nan-king Kui-ong bergetar. Lidahnya terasa kelu
dan tenggorokannya seperti tercekik.
Ki Hok Bun alias Kim-hong Kiam-khek mendengus. Sementara Bu Ceng gosok-gosok
kedua matanya seperti tak percaya pada pemandangannya sendiri.
Kemudian terdengar suara tawa Ki Hok Bun mengekeh. Bagi keempat iblis itu suara
kekehan tersebut laksana suara malaikat maut dari liang kubur.
"Ki Hok Bun ... bukankah, bukankah kau sudah mampus" Mati ditembus api bersama
istri dan anakmu. Dulu ...?" Yang buka suara adalah si botak kepala besi Tiat-
thou-kui. "Memang ... memang aku sudah mampus iblis botak! Dan yang kalian lihat berdiri
di hadapan kalian saat ini ada!ah setannya Ki Hok Bun. Setannya yang datang dari
neraka untuk melakukan pembalasan atas kejahatan biadab yang telah kalian
lakukan. Heh . . . kalian sudah lihat bagaimana cara mampusnya Ang-mo It-kui"
Kalau masih belum jelas silahkan lihat lebih terang!"
Habis berkata begitu Ki Hok Bun tendang sosok tubuh tanpa kepala Ang-mo It-kui
ke hadapan ke empat musuh besarnya itu. Empat manusia iblis ini saking ngerinya
tak berani memandang ke jurusan tubuh kawannya itu.
"Pedang sakti itu. Celaka . . . Rupanya masih ada padanya," Nan-king Kui-ong
mengeluh ketika memandang senjata di tangan Ki Hok Bun. Dia tahu bagaimanapun
tingginya ilmu silat tangan kosong bekas perwira tinggi ini namun kalau dia
mengeroyok bersama kawan-kawannya pasti dia mampu mengalahkan Ki Hok Bun. Namun
jika pedang sakti itu berada dalam genggaman Ki Hok Bun mau tak mau manusia
iblis ini jadi gentar sekalipun dia masih memiliki tiga kawan untuk membantunya.
"Apakah kalian sudah siap untuk mampus menyusul Ang-mo It-kui ...?" tanya Ki Hok
Bun dengan pandangan mata tak berkedip.
"Twako dengarlah ... Mari kita bicara dulu," berkata Bu Ceng alias Nan-king Kui-
ong dan diam-diam dia berikan isyarat pada Si Golok Iblis Gui Kun.
Ki Hok Bun meludah ke tanah.
"Kau mau bicara apa manusia iblis biang racun kejahatan" Silahkan bicara dengan
pedangku!"
Habis berkata begitu Ki Hok Bun segera menerjang ke depan namun mendadak dari
samping kiri menderu setengah lusin golok terbang, mencari sasaran di enam
bagian tubuhnya!
Ki Hok Bun kertakkan rahang. Pedang Pelangi di tangan kanannya digerakkan. Tujuh
warna sinar pelangi bertaburan. Terdengar suara berdentrangan enam kali
berturut-turut. Setengah lusin golok terbang yang dilepaskan Si Golok Iblis Gui
Kun mental patah dua dihantam Pedang Pelangi.
Di saat yang sama dari jurusan lain Nan-king Kui-ong lepaskan satu pukulan
tangan kosong yang menimbulkan angin deras ke arah lambung Ki Hok Bun.
Berbarengan dengan itu menyambar pula sepuluh sinar hitam panjang yang membersit
keluar dari jentikan kuku-kuku jari Tui-hun Hui-mo. Sedang dari belakang
didahului dengan suara menggembor seperti banteng mengamuk kepala besi Tiat-
thou-kui datang menyeruduk!
"Bagus! Kalian main keroyok. Berarti lebih cepat aku dapat mencincang kalian
sekaligus!" seru Ki Hok Bun.
Nan-king Kui-ong tertawa mengejek.
"Justru kami ingin menolong agar kau lekas-lekas bisa bertemu dengan anak
istrimu di akherat!"
Mendidih darah Ki Hok Bun mendengar ucapan itu. Dia berseru keras. Tujuh sinar
pelangi berkiblat seputar tubuhnya hingga diri dan pedang sakti itu seolah-olah
lenyap dari pemandangan.
Sesaat kemudian terdengar seruan kaget susul menyusul keluar dari mulut ke empat
pengeroyok. Nan-king Kui-ong tersurut mundur dan cepat-cepat melompat ke samping ketika
pukulan hawa saktinya yang membentur sinar pedang mustika seperti membal dan
terpental kembali menghantam dirinya sendiri.
Tui-hun Hui-mo yang berbadan katai mundur jumpalitan menjauhi kalangan
pertempuran. Wajahnya seputih kertas sewaktu menyaksikan bagaimana dua kuku jarinya sebelah
kiri dan tiga lagi di sebelah kanan kena dibabat putus oleh pedang sakti lawan.
Kedua tangannya terasa panas. Masih untung bukan jari-jari tangannya yang kena
disambar. Orang ke tiga dari lima iblis itu yakni Gui-Kun Kui-to juga mundur dengan
tampang pucat pasi sambil pegangi jubah hitamnya yang robek besar di bagian dada
kena dimakan ujung Pedang Pelangi.
Sedang Tiat-thou-kui yang menyeruduk dari belakang terpaksa tarik pulang
serangannya karena mendadak sontak Ki Hok Bun kirimkan satu tendangan ke
belakang. Bagaimanapun atosnya batok kepala Tiat-thou-kui yang terkenal seperti besi itu,
namun untuk beradu dengan tendangan kaki seorang berkepandaian tinggi seperti
Pendekar Pedang Pelangi dia musti berpikir tiga kali!
Sesaat empat manusia iblis itu diam tak bergerak di tempat masing-masing,
mengurung Ki Hok Bun di tengah-tengah. Perlahan-lahan Nan-king Kui-ong susupkan
tangan kanannya ke balik jubah.
Sesaat kemudian dia telah memegang sebuah senjata aneh. Senjata ini berbentuk
hudtim (kebutan) sedang ujungnya yang lain berbentuk tombak besi bermata dua
berkilauan. "Hem ... jadi senjata curian itu masih berada di tanganmu, biang iblis?" sentak
Hok Bun. Senjata di tangan Nan-king Kui-ong dulunya adalah milik seorang tokoh silat
golongan putih pembantu Kaisar Yung Lo. Dalam satu pertempuran di medan perang
tokoh silat itu menemui ajalnya dikeroyok Nan-king Ngo-kui, senjatanya lalu
dirampas oleh Nan-king Kui-ong.
"Ha .. ha. Agaknya kau takut menghadapi senjata ini Hok Bun?" ejek Nan-king Kui-
ong. Sebagai jawaban Ki Hok Bun lantas putar pedangnya. Melabrak ganas ke arah pangcu
manusia-- manusia iblis yang tinggal empat orang itu. Jurus yang dikeluarkan Hok Bun saat
itu bernama ko-sing poan-swat atau bintang mengejar rembulan.
Tak kalah hebatnya Nan-king Kui-ong keluarkan jurus pit-bun ki-khek atau menutup
pintu menolak tetamu guna menangkis serangan ganas lawan. Gerakan ini sebenarnya
dimainkah dalam ilmu silat tangan kosong. Tapi karena Kui-ong berkepandaian
tinggi maka dengan senjata di tangan dia membuat gerakan yang amat hebat. Namun
bagaimanapun dia tak mau ambil risiko untuk bentrokan senjata dengan pedang
sakti di tangan lawan. Karena sebelum ujung tombak mata dua saling beradu dengan
Pedang Pelangi, Nan-king Kui-ong membuat gerakan joan-hun ki-gwat atau menyusup
awan mengambil rembulan.
Ki Hok Bun bukan pendekar kemarin. Dia maklum kalau lawan takut untuk bentrokan
senjata. Maka buru-buru dia kiblatkan pedangnya dalam jurus tiang-hong koan-jit atau
pelangi menutup matahari. Akibatnya Nan-king Kui-ong tak dapat lagi melihat
lawan maupun pedang. Gulungan sinar tujuh warna menyambar deras menyilaukan mata
dan mengurungnya. Dia terpaksa mundur dua langkah. Justru saat itu Hok Bun tidak
memberi kesempatan dan susul dengan serangan thian-sing tui-sin atau bintang
meluncur turun.
Pedang Pelangi laksana kilat menyambar deras dari atas ke bawah. Kali ini Nan-
king Kui-ong mati langkah. Mau tak mau dia harus menangkis dengan senjatanya
untuk selamatkan diri dari bahaya maut.
Sambil putar senjata ke depan pangcu manusia-manusia iblis itu berteriak,
"Kawan-kawan bantu aku cepat!"
Maka tiga serangan menggebu ke arah Hok Bun. Namun semuanya luput karena Hok Bun
sudah lebih dulu melompat ke atas dan dari atas meneruskan serangannya tadi yang
kini jadi lebih dahsyat.
Trang! "Auu!"
Nan-king Kui-ong terpekik. Dia melompat mundur jauh-jauh. Salah satu jari tangan
kanannya putus sedang senjata hudtimnya hancur berkeping-keping dihantam Pedang
Pelangi. Tiga kawannya yang barusan menyerang kini mundur pula berserabutan
ketika Ki Hok Bun kembali kiblatkan pedang saktinya ke arah mereka.
Diantara empat iblis itu Iblis Pengejar maut Tui-hun Hui-mo dan Si Golok Iblis
Gui Kun sebenarnya sudah runtuh nyalinya. Hanya si botak kepala besi Tiat-thou-
kui yang masih cukup berani dan bertekad untuk menghancurkan tubuh lawan dengan
serudukan-serudukan kepaia besinya. Nanking Kui-ong sendiri merasa malu kalau
terlalu menunjukkan rasa kawatirnya. Namun dia menyadari bahwa saat itu keadaan
sangat tidak menguntungkannya. Malah jika dia tidak mengambil keputusan cepat
mereka berempat bisa mengalami celaka besar menemui kematian satu persatu. Dia
berpaling pada Si Golok Iblis Gui Kun dan memberi isyarat. Gui Kun yang cepat
menangkap arti isyarat pangcunya itu menganggukkan kepala dan mengirimkan
isyarat yang sama pada Tui-hun Hui-mo.
Malang bagi si kepala besi Tiat-thou-kui karena berada di sebelah depan dia tak
dapat melihat isyarat-isyarat tersebut. Karenanya terpaksa Nan-ing Kui-ong
berseru, "Kawan-kawan, tinggalkan tempat ini. Lain hari kita buat perhitungan dengan
bangsat itu!"
"Ho... ho! Mau lari kemana manusia-manusia keparat"!" teriak Hok Bun seraya
melompat memburu. Sambil melompat itu dia kirimkan satu tendangan ke arah si
kepala besi Tiat-thou-kui.
Karena memang berada sangat dekat, di samping itu tidak menyangka kalau sambil
mengejar ke jurusan lain lawan akan kirimkan tendangan, Tiat-thou-kui agak
terlambat mengelak. Akibatnya bahu kirinya kena dihantam tumit Hok Bun hingga
remuk dan dia terpelanting jatuh tergelimpang di tanah.
Di lain kejap Hok Bun sudah berhasil menghadang tiga manusia iblis lainnya.
"He ... he ... Kalian boleh lari. Tapi tinggalkan nyawa kalian disini!" kata Hok Bun
sambil melintangkan pedang sakti di depan dada.
Nan-king Kui-ong dan dua kawannya terkesiap kaget. Hebat sekali gin-kang bekas
perwira tinggi itu hingga belum sempat mereka bergerak jauh tahu-tahu sudah kena
Wiro Sableng 017 Lima Iblis Dari Nangking di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dihadang. Jika tidak memakai tipu muslihat tak bakal bisa lolos. Demikian Nan-
king Kui-ong membatin.
"Hok Bun, jangan terlalu sombong! Aku akan perlihatkan sepucuk surat dari Kaisar
Hui Ti untukmu. Surat ini diloloskan lewat penjara ..."
"Akal busukmu tak bakal mempan manusia iblis!" kata Hok Bun yang sudah mencium
niat licik lawan. Namun karena disebutnya nama Hui Ti bekas Kaisar kepada siapa
dia pernah mengabdi, agak tergerak juga hati Ki Hok Bun. Karena itulah dia hanya
tegak berdiam diri.
Dari balik jubah pakaiannya Nan-king Kui-ong keluarkan segulung kertas merah
mudah yang ujungnya berjumbai-jumbai benang hijau. Kertas dengan jumpai-jumbai
seperti itu memang adalah ciri-ciri surat Kaisar Hui Ti. Nan-king Kui-ong
membuka gulungan kertas lalu mengangsurkannya ke hadapan Hok Bun seraya berkata,
"Kau bacalah sendiri isinya!"
Ketika mengangsurkan surat itu sebuah benda bulat hitam sebesar ujung ibu jari
melesat ke udara disertai bunyi mendesis tajam. Sadarlah kini Hok Bun kalau dia
memang telah tertipu. Dia melompat ke depan sambil kiblatkan pedang namun
terlambat! Bola kecil hitam itu.meledak di udara membersitkan asam hitam pekat bergulung-
gulung. Keadaan di tikungan sungai itu menjadi gelap gulita. Pemandangan Hok Bun
tertutup. Kemanapun berpaling hanya kehitaman yang kelihatan. Hok Bun merutuk
dalam hati. Dia melompat jauh-jauh ke belakang. Tak ada yang bisa dilakukannya
selain menunggu.
Selang beberapa lama asap hitam mulai menipis. Nan-king Kui-ong dan kawan-
kawannya telah lenyap. Tetapi ternyata tidak semua mereka sempat melarikan diri.
Tiat-thou-kui yang tadi kena dihantam tendangan kelihatan merangkak di tanah
sambil pegangi bahu kirinya yang remuk.
"Pangcu ...! Kawan-kawan! Jangan tinggalkan aku!" teriak Tiat-thou-kui. Namun
sang pangcu dan dua kawannya sudah lari jauh. Sepasang kaki dilihatnya melangkah
mendekatinya. Ketika dia mendongak pandangannya membentur wajah Ki Hok Bun yang
garang angker. "Sampai lidahmu copot berteriak, tak ada satu orangpun yang bakal menolong
manusia keparat!"
Dengan tubuh menggigil Tiat-thou-kui berdiri tegak. Dihadapannya Ki Hok Bun
melangkah semakin dekat dengan pedang terhunus di tangan. Tiba-tiba Hok Bun
gerakkan tangan kanannya yang memegang pedang. Tiat-thou-kui mengelak ke kiri,
lompat ke kanan, mundur dan melompat berulang kali, berusaha menyelamatkan diri
dari sambaran pedang yang datang bertubi-tubi.
Sebagai orang ke tiga di antara Lima Iblis Dari Nan-king Tiat-thou-kui memiliki
ilmu kepandaian yang tidak rendah. Namun dalam keadaan terluka serta hanya
ditinggal sendirian begitu rupa dia jadi mati kutu.
Karena melompat terus-terusan lama lama tenaganya jadi kendor dan nafasnya
memburu. Satu kali terdengar teriakan Tiat-thou-kui ketika kepalanya kena
digores pedang dan senjata itu terus membabat putus telinga kirinya. Darah
mengucur membasahi wajahnya hingga tampangnya benar-benar menyeramkan seperti
iblis. Sadar kalau dirinya tak bakal lolos dari tangan musuh tiba-tiba Tiat-
thou-kui jatuhkan diri dan berlutut. Setengah meratap dia berkata,
"Twako Kim-hong Kiam-khek, aku menyerah dan pasrahkan diri padamu. Aku mohon
padamu sudilah mengampuni selembar nyawa yang hina dina ini. Aku sadar kini
kalau sudah tersesat ikut berbuat jahat bersama Bu Ceng dan kawan-kawan. Aku
insaf dan tobat. Aku bersedia membantumu membalaskan sakit hati terhadap ketiga
orang itu . . . "
"Cuh!" Hok Bun meludahi muka Tiat-thou-kui. "Tutup mulut busukmu yang banyak
akal. Omongan iblis aku tak mau dengar!" lalu tanpa banyak bicara lagi Hok Bun
gerakkan pedang pelanginya. Tiat-thou-kui terpekik dan tekap mukanya dengan
kedua tangan. Sambaran pedang tadi telah memutus hidung dan bibirnya hingga
tampangnya jadi luar biasa mengerikan.
Rasa sakit yang amat sangat membuat si botak ini menjadi kalap. Hilang rasa
takutnya. Dia sadar percuma saja minta ampun. Dari pada mati sia-sia lebih baik
melawan. Siapa tahu dengan serangan membabi buta dia berhasil merobohkan lawan.
Maka dengan nekad didahului macam suara harimau menggereng Tiat-thou-kui
menerjang ke depan, hantamkan tangan kanannya. Angin pukulan deras menyambar Hok
Bun tapi segera terpental begitu membentur sinar pedang tujuh warna pelangi dan
membalik menyerang tuannya sendiri.
Selagi Tiat-thou-kui kalang kabut mengelakkan angin pukulannya sendiri Ki Hok
Bun kembali membabatkan pedangnya. Kali ini Tiat-thou-kui tak punya daya lagi
untuk mengelak. Dengan kalap dia sorongkan kepalanya melabrak perut lawan.
Ki Hok Bun memutar arah pedangnya sedikit dan cras! Tamatlah riwayat orang ke
tiga dari Nan-king Ngo-kui ini. Kepalanya terbacok terbelah sampai ke pangkal
leher! Meski Tiat-thou-kui sudah menggeletak tak bernyawa namun Ki Hok Bun seperti
kemasukan setan terus saja membacokkan pedangnya ke sekujur tubuh orang itu.
Pembalasan bekas perwira tinggi ini benar-benar sadis. Dua musuh besar telah
mati di tangannya. Masih ada tiga orang lagi yang harus dicarinya!
*** 8 PELACURAN adalah salah satu macam pekerjaan yang paling tua di dunia. Sama
tuanya dengan umur ummat manusia dan terdapat di mana-mana.
Umumnya di masa perang dan sesudah perang pelacuran lebih menjadi-jadi dibanding
dari masa damai. Hal ini disebabkan karena kesulitan hidup akibat peperangan itu
sendiri. Demikian pula yang terjadi di Tiongkok sesudah perang saudara
berkecamuk. Kota-kota seperti Peking, Tien Tsien, Hankouw, Nanking, Shanghai, Ningpo, Kanton
dan sebagainya timbul menjadi pusat-pusat hiburan dengan pelacuran pada tingkat
teratas. Bahkan gejala buruknya kehidupan sosial ini menjalar pula ke kota-kota
kecil, ke pedalaman.
Salah satu dari kota-kota kecil yang dilanda pelacuran itu adalah Ankeng di
propinsi Kiangsi, kira-kira 20 lie di barat laut Nanking. Meskipun Ankeng cuma
sebuah kota kecil namun karena menjadi pusat pertemuan dari tiga buah jalan raya
maka tak urung kota ini senantiasa ramai setiap siang maupun malam. Pelacuran
merajalela. Mulai dari kelas murahan di lorong-lorong gelap yang sempit sampai
ke tingkat tinggi di gedung-gedung besar danmewah.
Suatu hari di Ankeng, saat itu matahari pagi baru saja menyingsing naik. Di
dalam sebuah kamar pada satu gedung mewah di pusat kota, yakni sebuah gedung
pelacuran, terjadi pertengkaran antara seorang pelacur muda dengan lelaki yang
telah memakainya semalam suntuk.
"Cis!" pelacur yang bernama Lu Sian Cin mengomel. "Semalam suntuk kau berpuas-
puas menikmati diriku. Masakan dibayar sebegini"!"
Lelaki berambut gondrong awut-awutan bertampang seram penuh cambang bawuk liar
serta kumis jenggot meranggas sesaat memandang Lu Sian Cin sambil menyeringai
sementara kedua tangannya sibuk mengikat ikat pinggang jubah hitamnya yang dekil
danbau. "Lelaki brengsek. Kalau tak punya uang cukup jangan datang ke tempat ini!"
kernbali terdengar omelan Lu Sian Cin.
Sang tamu yang berbadan tinggi jengkel juga mendengar ucapan itu dan berkata,
"Kalau tak mau dibayar sebegitu biar kuambil kembali uang itu!" Lal!u
diulurkannya tangannya hendak mengambil uang di atas meja. Begitu uang
dimasukkannya kembali ke kantong di balik jubahnya tahu-tahu plak!
Tamparan perempuan lacur itu mendarat di salah satu pipinya.
"Benar-benar lelaki tidak bermalu!"
Mendapat tamparan begitu rupa si berewok yang bukan lain adalah Bu Ceng alias
Nan-ing Kui-ong menjadi naik darah. Dijambaknya rambut si pelacur dan sekali
tangannya bergerak perempuan itu dilemparkannya keluar pintu.
Lu Sian Cin menjerit-jerit kesakitan. Keningnya terantuk dinding pintu kelihatan
bengkak dan mengucurkan darah.
Seorang lelaki tinggi besar bermuka hitam, entah dari mana datangnya tahu-tahu
sudah berada di tempat itu. Gerakannya enteng tanda dia memiliki ilmu. Sesaat
dia memandang pada tetamu berjubah hitam. Lalu berpaling pada Lu Sian.
"Ada apa?" tanya si muka hitam ini. Namanya Song Bun Lip. Dia adalah kepala
keamanan di gedung pelacuran itu. Perlu diketahui Lu Sian Cin adalah primadona
dari semua pelacur yang ada disitu dan paling muda usianya. Sudah sejak lama Bun
Lip menaruh hati pada pelacur ini dan agaknya Lu Sian pun senang padanya. Tentu
saja melihat orang,yang disayanginya luka seperti itu Bun Lip jadi marah.
Apalagi setelah Lu Sian Cin menerangkan apa yang terjadi.
Song Bun Lip membantu Sian Cin berdiri lalu berpaling pada Bu Ceng dan berkata,
"Loya berjubah hitam. Pinceng adalah Song Bun Lip, kepala keamanan di gedung
ini. Pinceng dan majikan tak ingin terjadi keributan di sini, karenanya pinceng
harap loya suka membayar sewajarnya. Loya telah mendapat hiburan. Bukankah
pantas membayar menurut aturan?" (loya =
tuan besar. pinceng = saya)
Nan-king Kui-ong yang penaik darah, ditegur begitu rupa mula-mula hendak
melabrak si tinggi besar kepala keamanan itu. Namun melihat Song Bun Lip
bersikap tenang dan pandangan matanya tajam diam-diam Bu Ceng jadi tercekat
juga. Setelah membetulkan ikat pinggang jubahnya dia berkata,
"Aku kan sudah membayar. Betina sialan ini malah mengumel, memakiku bahkan
menampar. Apa kalian di sini tidak memberi pelajaran sopan santun padanya hingga dia
tahunya cuma naik ke atas ranjang, mengangkang lalu minta uang dengan cara yang
kurang ajar" Sekarang siapapun kau adanya, apapun pangkatmu di tempat ini
menyingkirlah. Aku mau pergi!"
Song Bun Lip batuk-batuk beberapa kali.
"Setiap saat tentu saja loya boleh pergi. Namun tentunya setelah membayar
seperti yang pinceng bilang tadi."
"Hem ... berani kau memaksa"!"
"Bukan memaksa loya. Kami di sini cari makan ..."
"Kalau tuan besarmu tidak mau bayar, kau mau apa manusia muka hitam?" ejek Bu
Ceng. "Jika demikian adanya, terpaksa pinceng menjalankan apa yang menjadi tugas
pinceng," sahut Song Bun Lip.
Bu Ceng tertawa bergelak.
"Manusia bermuka hitam macam pantat kuali, rupanya kau tidak melihat gunung
Thaysan di depan mata hah?"
Sehabis berkata demikian Nanking Kui Ong dorongkan tangan kanannya ke dada
kepala keamanan itu. Song Bun Lip terkejut karena detik itu juga dia merasa
dadanya seperti ditindih batu besar. Kontan mukanya berubah pucat.
Sebagai kepala keamanan Bun Lip memang memiliki ilmu kepandaian silat yang
tinggi. Tapi semua yang dimilikinya hanya ilmu luar atau ilmu kasar belaka. Di
dalam dia sama sekali tidak mempunyai isi. Sebelum tubuhnya terlempar dan
terjengkang, lelaki ini melompat ke samping dan dari samping langsung kirimkan
satu jotosan ke pelipis Bu Ceng. Meski pukulan ini tidak mengandung tenaga dalam
namun demikian hebatnya hingga kalau sampai mendarat di kepala Bu Ceng pastilah
manusia iblis ini akan rengkah kepalanya!
Akan tetapi tentu saja Bu Ceng, manusia pertama dan pimpinan dari Nanking Ngo
Kui tidak semudah itu untuk dijatuhkan. Dengan gerakan seperti acuh tak acuh dan
sikap memandang rendah Bu Ceng mengelak dan entah kapan tangannya bergerak tahu-
tahu buk! Kepala keamanan tempat pelacuran itu mengeluh tinggi. Tubuhnya terpental ke luar
kamar, terguling-guling di langkan gedung terus terhampar di halaman depan,
muntah darah, mengerang kesakitan tetapi masih sanggup bangun kembali.
Song Bun Lip orang yang tahu membaca kehebatan lawan. Dengan tangan kosong tak
mungkin dia sanggup melayani si jubah hitam ini. Karenanya dia segera cabut
golok. Dengan mulut berlumuran darah dia melangkah mendekati Bu Ceng. Yang
diserang tegak tolak pinggang di tangga gedung.
Sementara itu orang mulai banyak berkumpul di depan gedung. Ankeng adalah kota
hiburan yang hangat. Setiap perkelahian atau sesuatu yang berbau kekerasan akan
segera menarik perhatian orang banyak. Mereka akan menonton dengan senang malah
memberi semangat agar perkelahian menjadi lebih hebat.
Wut! Golok di tangan Bun Lip menyambar ke arah tenggorokan Bu Ceng. Serangan maut ini
disambut dengan ganda tertawa oleh Nan-king Kui-ong.
"Manusia pantat kuali tak tahu diri. Kau rasakanlah bagaimana senjatamu sendiri
akan menembus dadamu!"
Song Bun Lip sudah dapat memastikan bahwa serangan kilatnya yang ganas itu akan
membuat bergelindingnya kepala lawan. Tetapi tidak dinyana tahu-tahu sikutnya
terasa remuk berderak dan di lain saat lengannya tertekuk hingga ujung goloknya
dengan sebat dan tak dapat dihindarinya lagi menusuk keras ke arah badannya
sendiri! Semua orang yang ada disitu bergidik dan menyaksikan dengan mata membeliak ngeri
apa yang bakal dialami Song Bun Lip.
Saat itu tiba-tiba terdengar jeritan perernpuan.
"Lelaki keparat! Kalau kau bunuh dia maka kau sendiri bakal mampus!"
Yang berteriak adalah Lu Sian Cin. Dia mendatangi dengan menggenggam sebilah
golok penjagal babi. Senjata ini diayunkannya dari arah samping ke kepala Bu
Ceng. Hebatnya Bu Ceng seolah-olah tidak mengacuhkan serangan tersebut dan terus
menekan golok dalam genggaman Bun Lip ke dada kepala keamanan itu. Nainun
sedetik lagi golok penjagal babi akan mendarat di batok kepalanya, Bu Ceng
kebutkan lengan kiri jubahnya. Angin deras menderu. Lu Sian Cin terpekik.
Tubuhnya mencelat dan dia terguling muntah darah di tanah, pingsan. Beberapa
orang segera datang menolongnya.
Song Bun Lip sadar bahwa dia tak bakal menghindari dari goloknya sendiri yang
ditusukkan ke arah dadanya. Ini membuat dia menjadi kalap dan sengaja dorongkan
tubuh ke depan sambil menendang ke arah selangkangan lawan. Maksudnya hendak
berjibaku. Tapi dengan mempergunakan lututnya Bu Ceng berhasil menahan tendangan
maut itu sebaliknya ujung golok sudah menyentuh dada pakaian Bun Lip.
Sedetik lagi ujung golok akan menembus dada Song Bun Lip tiba-tiba terdengarlah
satu siulan aneh. Bersamaan dengan itu sebuah benda merah sebesar kepalan
melayang di udara. Plak!
Benda itu menghantam tangan kanan Nan-king Kui-ong dan pecah. Ternyata sebuah
apel merah. Meski cuma apel belaka tetapi begitu terkena lemparan Nan-king Kui-
ong merasakan tangan kanannya seperti lumpuh hingga cekalannya terlepas.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Song Bun Lip untuk meloloskan diri. Namun
pukulan tangan kiri Nan-king Kui-ong masih sempat mampir di bahunya hingga dia
terbanting ke tanah dengan tulang bahu remuk. Ini adalah lebih baik dari pada
ditembus goloknya sendiri!
Sambil menguruti tangan kanannya dengan tangan kiri Bu Ceng memandang
berkeliling. "Bangsat rendah dari mana yang berani campur tangan dengan jalan membokong"
Lekas tunjukkan tampang!"
Teriakan Bu Ceng ini demikian kerasnya hingga semua orang yang ada disitu
tergetar kecut dan mundur beberapa langkah. Sepasang mata kepala manusia iblis
ini menyorot berkeliling mencari-cari.
Akhirnya pandangannya membentur seorang pemuda asing berambut gondrong yang
duduk ongkang kaki di atas bangku di bawah emper sebuah warung penjual teh
pahit. Di bangku di sampingnya ada sebuah keranjang berisi buah-buah apel.
Seolah-olah dia cuma berada sendiri di situ dan seperti orang kelaparan pemuda
asing tadi yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang tanpa acuh
terus saja asyik menggerogoti buah-buah apel yang manis itu.
Pelipis Bu Ceng bergerak-gerak. Rahangnya menggembung. Karena cuma pemuda asing
ini saja yang memegang dan makan apel di sekitar tempat itu maka Bu Ceng yakin
sekali dialah tadi yang telah melemparnya dengan buah itu!
"Bangsat rendah yang sedang makan apel! Kemari kau!" bentak Bu Ceng.
Wiro Sableng sesaat hentikan mengunyah apel dalam mulutnya dan berpaling.
Sejenak dia memandang pada Bu Ceng dengan sepasang mata disipitkan, garuk-garuk
kepala, meludahkan apel yang dalam mulutnya ke tanah lalu acuh kembali mengambil
buah apel baru dari dalam keranjang dan memakannya. Tentu saja sikap Wiro ini
membuat Bu Ceng naik darah setengah mati.
"Benar-benar minta dihajar bangsat ini!" kertak Bu Ceng. Dengan langkah-langkah
besar dia mendatangi Wiro. Sekali tendang bangku kayu yang diduduki murid Sinto
Gendeng ini hancur berkeping-keping. Namun anehnya Wiro sendiri tetap tak
bergerak di tempatnya. Jangankan bergerak, bergemingpun tidak. Sikapnya seolah-
olah dia masih duduk di atas bangku yang tak kelihatan seperti tadi. Lalu
perlahan-lahan tubuhnya merunduk turun ke bawah, duduk menjelepok di tanah
sambil terus mengunyah apel!
Kalau tadi orang banyak tampak agak takut menyaksikan keberangan Bu Ceng, maka
kini melihat kelakuan si pemuda asing semuanya jadi tersenyum lucu dan ingin
menyaksikan bagaimana lanjutan kejadian ini.
Bu Ceng yang bermata tajam sadar kalau pemuda asing tak dikenal itu memiliki
kepandaian namun amarah membuatnya jadi kalap. Apalagi disaksikan demikian
banyak pasang mata. Dia merasa direndahkan dan dipermainkan.
Wiro Sableng 017 Lima Iblis Dari Nangking di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Budak gondrong keparat! Kau mau jual tampang dan pamer ilmu padaku hah"!"
"Eh muka berewok berjubah hitam kau bau busuk. Kenalpun aku tidak padamu.
Mengapa usii menggangguku?" Wiro Sableng menjawab seenaknya.
"Setan alas! Mampuslah!" teriak Bu Ceng yang seumur hidupnya baru sekali itu
dihina demikian rupa dan di depan banyak orang pula. Kaki kanannya menderu ke
arah kepala Wiro Sableng. Orang banyak terkesiap malah ada yang mengeluarkan
seruan tertahan karena mengira detik itu-juga pastilah kepala si pemuda berambut
gondrong yang tidak dikenal akan pecah.
Di saat itu justru terdengar suara siulan aneh. Dan tahu-tahu tendangan Bu Ceng
hanya rnengenai tempat kosong. Semua orang melongo heran. Bu Ceng sendiri
melengak kaget karena dia tidak dapat melihat kapan pemuda yang hendak
dibunuhnya itu bergerak dan ketika memandang ke atas tahu-tahu dilihatnya Wiro
sudah berada di cabang sebatang pohon besar sambil duduk goyang-goyang kaki dan
makan buah apel!
Sebenarnya jika Bu Ceng mau berpikir sedikit jauh dari situ dia harus memaklumi
bahwa pemuda asing itu memiliki kepandaian yang bukan sembarangan. Namun amarah
sudah membuatnya mata gelap. Dia menghantam ke atas lepaskan satu pukulan sakti
yang mengandung tenaga dalam hebat.
Segulung angin laksana hembusan topan melabrak deras ke arah pendekar kita.
Bukan saja cabang di mana Wiro duduk hancur berantakan tetapi batang pohon juga
ikut patah dan pohon itu tumbang dengan suara menggemuruh disertai pekik orang
banyak. Wiro sama sekali tidak kelihatan.
Sepasang mata Nan-king Kui-ong bergerak liar mencari-cari.
"Hai!" terdengar suara rremanggil.
Bu Ceng berpaling. Setan betul! Pemuda itu tahu-tahu sudah tegak di belakangnya
memegang keranjang apel sambil cengar-cengir.
"Jika kuberikan apel satu keranjang ini padamu, maukah kau tidak menggangguku
lagi?" tanya Wiro tentu saja mempermainkan.
"Anjing geladak hina dina! Kau rupanya tidak tahu berhadapan dengan siapa!
Apakah kau pernah mendengar nama Nan-king Ngo-kui" Lima Iblis Dari Nanking"
Akulah pemimpinnya. Aku Nan-king Kui-ong!"
Mendengar kata-kata itu semua orang menjadi gempar dan banyak diantara mereka
yang buru-buru tinggalkan tempat itu. Yang masih berani mengintip-intip dari
tempat jauh. Siapa yang tidak pernah mendengar nama Lima Iblis Dari Nanking" Dan
kini justru kepalanya, biang iblisnya yang muncul!
Bu Ceng sadar kalau dalam marahnya telah ketelepasan mulut mengatakan siapa
dirinya. Kalau saja ada alat Kerajaan di tempat itu pasti dia akan menghadapi
urusan yang tidak sedap.
Wiro Sableng sendiri tak kalah kagetnya ketika mengetahui bahwa manusia berjubah
hitam busuk yang sejak tadi dipermainkannya itu adalah pemimpin dari Nan-king
Ngo-kui. "Hm, jadi inilah manusia biang racun yang jadi musuh saudara angkatku Ki Hok
Bun!" katanya dalam hati. Dan sekaligus yang selama ini diburunya pula. Sesaat
Wiro tertegak diam sambil garuk-garuk kepala. Kemudian dia berkata, "Ah, mataku
sangat buta. Tidak melihat gunung Thaysan di depan mata. Jika kau memang Nan-
king Kui-ong, biarlah aku memberikan penghormatan dengan menyerahkan apel-apel
ini padamu!"
Setelah berkata begitu Wiro goyangkan keranjang apel yang dipegangnya. Dan empat
belas buah apel yang masih ada dalam keranjang itu laksana meteor melesat ke
arah 14 bagian tubuh Nanking Kui Ong. Menyaksikan ini orang banyak yang
mengintip dari tempat kelindungan merasa kagum.
Pemuda ini rupanya memang berilmu tinggi. Tapi menghadapi Nan-king Kui-ong sama
saja mencari mati. Begitu mereka berpikir.
Bu Ceng sendiri tak kurang kagetnya. Melemparkan buah apel dalam keranjang tanpa
menyentuh langsung buah-buah itu sudah merupakan kepandaian tersendiri, apalagi
kalau buah-buah tersebut dijadikan senjata yang ampuhl Hanya tokoh silat
berkepandaian tinggi yang sanggup melakukan hal seperti itu. Menilik kepada
tampangnya yang tolol dan sikapnya yang seperti orang miring otak Nanking Kui
Ong sulit untuk mempercayai bahwa pemuda berambut gondrong itu telah melakukan
kehebatan tersebut. Namun justru itulah kenyataan yang terjadi dan jika dia
tidak bertindak cepat niscaya bakal cidera!
Nan-king Kui-ong membentak garang. Sekali kebutkan ujung lengan jubah hitamnya
sebelah kanan, enam buah apel mental berhamburan. Enam lainnya dihajar dengan
kebutan lengan jubah kiri dan dua sisanya dikelit dengan gerakan cepat.
"Oho ...!" seru Wiro yang melihat Bu Ceng membuat gerakan menghantam dan
mengelak itu, "Rupanya selain jadi iblis nyatanya kau juga pandai menari! Ha ... ha ... ha!"
"Sialan benar. Kalau tidak segera kubunuh bangsat ini bisa membuat darah muncrat
dari benak-ku!" kata Bu Ceng dalam hati. Sementara itu di hadapannya Wiro
kembali membuka mulut.
"Hai! Setahuku kalian berjumlah lima orang. Mana empat iblis jejadian lainnya?"
"Makan dulu gebukanku ini baru nanti kujawab!" ujar Bu Ceng lalu melompat ke
depan sambil dorongkan kedua tangannya yang dikepal ke arah dada Wiro Sableng.
Inilah serangan tangan kosong yang mengandalkan tenaga dalam tinggi bernama
Soan-hong hiap-in atau angin berpusing mengejar awan.
Belum lagi dua kepalan itu mengenai sasarannya, angin pukulannya saja sudah
membuat pakaian Wiro berkibar-kibar dan dadanya seperti ditekan!
Melihat kehebatan serangan lawan, Wiro Sableng tak mau berlaku ayal walau
tampangnya masih tetap cengar cengir. Cepat dia melompat ke samping dan dari
arah ini bermaksud lancarkan satu sodokan lutut ke pinggul lawan.
Namun serangan angin berpusing mengejar awan mempunyai cahaya yang tidak
terduga. Karena begitu dielakkan tiba-tiba dengan kecepatan luar biasa membalik.
Dan kini bukan saja dua tinju yang bergerak menyerang tetapi satu kaki ikut pula
berkelebat ke bawah perut Wiro Sableng!
Wiro Sableng keluarkan siulan nyaring. Tubuhnya mengapung sampai dua tombak dan
dari atas laksana elang menyambar anak ayam dia menukik. Lima jari tangannya
menyambar ke arah kepala Nan-king Kui-ong yang berambut panjang awut-awutan.
Nan-king Kui-ong geram sekali. Belum pernah serangannya yang begitu hebat dapat
diruntuhkan lawan malah kini mendapat serangan balasan. Bu Ceng rendahkan kuda-
kuda kedua kakinya. Tubuhnya kini merunduk dan serentak dengan itu tangan
kirinya memukul ke atas. Sesaat kemudian kedua orang itu sama-sama mengeluarkan
seruan. Meskipun sudah merunduk namun jari-jari tangan Wiro masih sempat menjambak putus
segenggam rambut di kepala Bu Ceng hingga kulit kepalanya mengeluarkan darah.
Sakitnya tentu saja bukan kepalang.
Sebaliknya Wiropun kena dihantam oleh pukulan Hoan-thian-ciang (pukulan membalik
langit) yang dilepaskan lawan. Tubuhnya tergetar dan dadanya berdenyut sakit.
Cepat-cepat dia jungkir balik dan begitu berdiri di atas kedua kakinya dia
segera salurkan tenaga dalam ke bagian tubuh yang kena dihantam.
Bu Ceng merasakan dan melihat jelas pukulan saktinya tadi tepat mengenai dada
lawan. Tapi Wiro masih tegak berdiri tanpa cidera bahkan masih bisa cengar
cengir, membuat tokoh terlihai dari Lima Iblis Dari Nanking ini jadi melengak
kaget kalau tidak mau dikatakan dingin tengkuknya.
Selama ia memiliki ilmu pukulan Hoan-thian-ciang itu, tak ada satupun musuh yang
bisa selamat, paling tidak muntah darah atau terluka di dalam.
Sebenarnya ingin sekali Bu Ceng mengetahui siapa adanya pemuda acing berambut
gondrong bertampang tolol ini. Namun untuk bertanya dia merasa jatuh harga diri
danakan menunjukkan kekecutan beiaka. Dalam hatinya dia membatin, "Keparat ini
memiliki kepandaian tinggi. Berbahaya.
Kalau tidak segera kuhabisi bisa berabe buntut-buntutnya ..." Maka tanpa
menunggu lebih lama Nanking Kui-ong langsung menyerang.
Dia kerahkan seluruh kepandaiannya, gunakan gin-kang dan iwekangnya yang tinggi
dalam setiap pukulan atau tendangan yang dilancarkan. Tubuhnya lenyap. Yang
kelihatan hanya bayangan jubah hitamnya berkelebat kian kemari. Demikian
hebatnya serbuan Nan-king Kui-ong hingga Wiro merasa seolah-olah ada setengah
lusin musuh yang menggempurnya saat itu. Tubuhnya disambar angin serangan dari
berbagai penjuru dan sesaat kemudian satu pukulan menyerempet bahunya hingga
pendekar ini melintir. Nan-king Kui-ong yang melihat lawan kehilangan
keseimbangan kirim tendangan ganas dari samping kiri ke arah perut. Namun saat
itu Wiro sudah dapat menguasai diri.
Murid Sinto Gendeng ini membentak nyaring. Saat itu pula tubuhnya lenyap dari
pemandangan dan yang ada kini hanya bayangan putih menyambar kian kemari. Kini
Nan-king Kui-ong yang ganti kebingungan. Sekilas dilihatnya sosok tubuh Wiro
seperti ada di sebelah kanan. Diserangnya ke jurusan itu namun tahu-tahu dia
sendiri mendapat serbuan dari sebelah kiri.
Setelah menggempur lima belas jurus tanpa hasil Nan-king Kui-ong mulai gelisah.
Jubah hitamnya telah basah oleh keringat dan ini membuat pakaian itu menebar bau
yang semakin menjadi-jadi. Seumur hidupnya dia tak pernah kucurkan begitu banyak
keringat untuk perkelahian yang masih di bawah dua puluh jurus.
Tiba-tiba. Buk! Nanking Kui Ong mengeluh dan pegangi dadanya yang kena disodok sikut lawan.
Belum lagi hilang rasa sakitnya dia harus pula menerima jambakan pada rambutnya.
Demikian hebatnya hingga pada bekas rambut yang tercabut itu kelihatan kepalanya
seperti botak dan mengucurkan darah. Nanking Kui-ong meraung kesakitan.
"Setan alas! Aku bersumpah untuk membunuhmu saat ini juga!" teriak Bu Ceng dalam
sakit dan marahnya. Dan wuut! Satu sinar biru berkiblat menyambar ke arah Wiro
Sableng. Melihat angkernya sinar dan derasnya angin yang menyambar Wiro tak
berani bertindak gegabah. Dia melompat mundur. Memandang ke depan dilihatnya
lawan memegang sebuah tasbih yang memancarkan sinar biru. Senjata ini adalah
senjata mustika hasil rampasan pada masa perang dulu. Wiro yang bisa menduga hal
ini berseru mengejek.
"Seorang iblis bersenjata tasbih, sungguh lucu dan tak pantas. Kau curi dari
mana tasbih itu"!"
Rahang Bu Ceng menggembung. "Bagaimana keparat asing ini tahu kalau tasbih ini
adalah senjata curian," katanya dalam hati. Tanpa banyak bicara melayani kata-
kata Wiro tadi dia langsung saja menyerbu dengan menyabatkan tasbih. Sinar biru
yang keluar dari senjata sakti ini menderu menelikung aneh disertai hawa dingin
menggidikkan. Wiro cepat berkelit menghindarkan serangan lawan. Namun tiba-tiba dengan
kecepatan luar biasa senjata itu membalik dan kembali menabur sinar biru.
Demikian terjadi berulang kali. Kalau saja Wiro tidak memiliki kegesitan yang
ditunjang oleh ilmu meringankan tubuh yang tinggi niscaya sudah beberapa kali
dia kena dihantam tasbih mustika, paling tidak terserempet sinarnya yang
mengandung hawa dingin.
Serangan Nan-king Kui-ong datang bertubi-tubi. Sinar biru dan hawa dingin
menggebu-gebu. Menelikung dan mengurung dari berbagai arah, mempersempit ruang gerak Pendekar
212 Wiro Sableng.
Lambat laun hawa dingin itu dirasakannya mulai membuat matanya perih dan menekan
denyut jantungnya.
"Gila! Lama-lama aku bisa remuk dibuatnya!" kata Wiro.
Lalu dia membentak nyaring. Sikap dan gerakannya seperti hendak mengeluarkan
satu serangan balasan yang hebat detik itu juga. Hal ini membuat Nan-king Kui-
ong cepat berlaku waspada.
Namun justru saat itu Wiro sama sekali tidak melancarkan serangan hebat atau
melepas pukulan sakti melainkan seperti seorang gila atau tepatnya seperti
seekor monyet terbakar buntut dia melompat-lompat petatang peteteng. Sesekali
dia menggelitiki tubuhnya sendiri seperti lutung lalu tertawa gelak sambil
garuk-garuk kepala.
"Keparat ini benar-benar miring otaknya!" kertak Nan-king Kui-ong. Dia salurkan
tenaga dalamnya lebih besar hingga tasbih di tangannya memancar lebih terang dan
menderu-deru sewaktu dia kembali mulai menggempur. Akan tetapi bagaimanapun
dahsyatnya serangan manusia iblis ini tak satupun berhasil mengenai Wiro Sableng
padahal lawan kelihatan begitu jelas untuk diserang bahkan ditamatkan
riwayatnya. Ilmu silat yang dikeluarkannya Wiro Sableng saat itu adalah ilmu silat "orang
gila" yang dipelajarinya dari gurunya yang kedua yakni Tua Gila. Ilmu silat ini
memang aneh dan mempunyai kemampuan luar biasa. Seumur hidupnya manusia berjuluk
Nan-king Kui-ong baru kali itu menyaksikan ilmu silat macam begitu. Mau tak mau
dia jadi bingung. Lebih-lebih ketika Wiro salurkan hawa sakti pada kedua
tangannya hingga setiap serangan tasbih dapat dibendung.
Nan-king Kui-ong hampir hilang kesabarannya ketika dalam satu jurus dia melihat
kedudukan lawan dianggapnya lemah. Maka dia tidak membuang kesempatan dan
langsung menerjang. Tasbih di tangan kanannya menabur sinar terang menyilaukan,
membabat dari samping kiri. Tampaknya hendak menghantam ke jurusan dada Wiro
Sableng yang terbuka. Namun sebelum sampai, tiba-tiba senjata itu melesat
menghantam ke jurusan kepala!
Orang banyak yang menyaksikan kejadian itu menahan nafas. Wiro terlihat seperti
tidak berdaya untuk mengelak. Sekali ini akan hancurlah kepala pemuda asing ini,
pikir mereka. Sesaat lagi tasbih itu akan mengenai sasarannya, Pendekar 212 angkat tangan
kanannya ke muka.
Telapak tangan menghadap ke depan dan jari-jarinya menekuk membentuk cakar.
Sambil kerahkan tenaga dalamnya murid Sinto Gendeng ini sudah siap untuk
menangkis tasbih dan sekaligus merenggut merampasnya. Akan tetapi sebelum hal
itu terjadi mendadak terdengar suara menderu.
Tujuh warna sinar pelangi berkiblat, menyeruak diantara kepala Wiro dan ujung
Tasbih. Sedetik kemudian tasbih itu putus hancur bertaburan dengan mengeluarkan
suara bergemerincing!
Nan-king Kui-ong berseru kaget dan melompat mundur. Dia masih kurang cepat.
Ujung sinar pelangi mengejarnya dan bret! Pakaiannya di bagian dada robek besar.
Pucatlah wajah manusia iblis ini.
Di saat itu pula terdengar suara bentakan garang:
"Manusia iblis bernama Bu Ceng! Hari ini kutagih hutang darah dan nyawa!
Serahkan kepalamu!"
*** 9 BU CENG yang kenali suara menggeledek itu berpaling ke kiri. Wajahnya berubah
putih. Dadanya berdebar dan lututnya bergetar goyah. Memandang ke kiri
dilihatnya Ki Hok Bun Pendekar Pedang Pelangi tegak dengan muka membersitkan
hawa pembunuhan. Di tangan kanannya berkilauan pedang pelangi.
"Celaka, bagaimana dia bisa muncul di sini," keluh Bu Ceng.
"Twako, kukira siapa. Terima kasih kau telah menyelamatkan mukaku yang buruk ini
dari hantaman tasbih curian itu!" kata Wiro merendah ketika dia melihat
kehadiran Ki Hok Bun di tempat itu.
Melengak Bu Ceng mendengar Wiro memanggil twako terhadap Ki Hok Bun. "Ah, tambah
celaka jadinya. Rupanya kedua orang ini sudah saling kenal!" Bu Ceng jadi
bingung dan takut sekali.
Menghadapi Wiro Sableng saja dia sudah tak mampu, apalagi kini datang pula Ki
Hok Bun untuk membalaskan dendam.
Nan-king Kui-ong melangkah mundur sewaktu Ki Hok Bun mendekatinya. Matanya liar
ke kiri dan ke kanan. Hok Bun tahu apa yang ada dalam benak manusia iblis ini.
"Larilah jika kau memang mampu!" ujar Hok Bun.
Sadar kalau dia tak mungkin melarikan diri Bu Ceng yang banyak akal dan licik
ini tiba-tiba jatuhkan diri dan bersujud.
"Ki Hok Bun ciangkun," katanya tanpa mengangkat keningnya dari tanah. "Mengingat
hubungan baik kita di masa perang dahulu, sudilah ciangkun mengampunkan selembar
nyawaku. Aku sekarang benar-benar insyaf dan bertobat. Aku berjanji akan kembali
ke jalan benar."
"Manusia iblis! Kau lupa apa yang telah kau lakukan terhadap anak dan istriku"
Sekarang kau mengemis minta ampun!"
Bu Ceng alias Nan-king Kui-ong angkat kepalanya. Sambil berlutut kini dia
berkata, "Ciangkun, aku betul-betul merasa berdosa atas semua perbuatanku di masa lampau.
Apapun yang bakal kau lakukan atas diriku akan kuterima asal kau mau
mengampunkan nyawaku."
"Enak betul ucapanmul" kata Ki Hok Bun. Saat itu dia tak dapat lagi menahan
hati. Kaki kanannya menderu menendang dada Bu Ceng. Pimpinan manusia-manusia
iblis itu terlempar. Sambil mengerang dia bangkit berlutut seperti tadi dan
kembali merengek minta diampuni.
Ki Hok Bun menyeringai. Pedang pelangi di angkatnya tinggi-tinggi. Sebelum
memenggal leher musuh besarnya ini dia berniat menebas bagian-bagian tubuh Bu
Ceng terlebih dahulu. Namun sebelum pedang itu meluncur turun tiba-tiba
didengarnya Wiro Sableng berseru,
"Twako terlalu bodoh untuk cepat-cepat membunuhnya!"
Pendekar Pedang Pelangi Ki Hok Bun berpaling. Dilihatnya Wiro kedipkan mata dan
berkata, "Waktu manusia iblis ini melakukan perbuatan biadab itu dia tidak sendirian. Ada
empat orang kawannya. Kudengar kau telah berhasil membunuh dua di antara mereka.
Wiro Sableng 017 Lima Iblis Dari Nangking di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Berarti masih ada dua iblis lainnya. Di mana dua iblis itu berada pasti dia
tahu. Kita tak bakal susah-susah mencari mereka ... "
Sepasang mata Bu Ceng kelihatan membesar dan bersinar. Sambil mengangkat
tangannya dia berkata, "Ciangkun, jika kuberi tahukan di mana mereka berada
apakah kau mau mengampuniku"
Aku tak perduli apa yang kau akan lakukan terhadap Si Golok Ib!is Gui Kun dan
Tui-hun Hui-mo..."
"Lekas katakan di mana mereka!" bentak Ki Hok Bun yang merasa bahwa ucapan Wiro
ada benarnya. Kalau Bu Ceng dibunuhnya saat itu memang berarti dia berhasil
melampiaskan dendam kesumatnya. Akan tetapi dia akan butuh waktu untuk mencari
dua manusia iblis lainnya. Tak ada salahnya menunda kematian Nan-king Kui-ong
dan pergunakan manusia ini sebagai alat untuk mencari dua kambratnya. "Hai,
lekas katakan di mana mereka!" sentak Ki Hok Bun kembali.
"Tapi kau akan mengampuniku bukan ...?"
Yang menjawab adalah Wiro. "Soal nyawamu bisa diatur kemudian sobat. Sekarang
lebih baik terangkan di mana dua anak buahmu itu berada."
Bu Ceng tak segera menjawab. Dia seperti memikirkan sesuatu. Ki Hok Bun
tempelkan ujung pedang ke tenggorokannya. Kontan Bu Ceng membuka mulut,
"Baiklah, aku akan katakan. Mereka ...
mereka berada di sebuah rumah pelacuran. Di Ankeng ini juga. Aku akan tunjukkan
pada kalian."
Bu Ceng lalu berdiri. Diiringi Ki Hok Bun danWiro Sableng serta orang banyak
yang ingin menyaksikan kejadian itu lebih lanjut, dia menuju ke pinggiran kota.
Song Bun Lip dan Lu Sian Cin kelihatan diantara rombongan orang yang mengikuti.
"Awas kalau kau menipu kami Bu Ceng," kata Ki Hok Bun memperingatkan.
"Ciangkun, kau percayalah padaku. Bahkan jika kau betul nanti mengampuni jiwaku,
kelak tiga peti emas rampokan dulu bisa kita bagi dua. Kau masih ingat pada
peti-peti emas itu ciangkun?"
Ki Hok bun muak mendengar kata-kata Bu Ceng itu. Dia membentak, "Sudah, jangan
banyak mulut. Jalan terus!"
Wiro Sableng yang mendengar ucapan Bu Ceng itu hanya tertawa menyengir. Siapa
yang mau percaya pada kata-kata manusia iblis seperti Bu Ceng"
Rumah mesum di mana saat itu Iblis Pengejar Maut Tui-hun Hui-mo dan Golok Iblis
Gui Kun berada dan tengah bersenang-senang terletak agak di pinggiran kota
Ankeng. Melihat munculnya seorang berjubah hitam bertampang seram diiringi
seorang lelaki separuh baya berwajah penuh berewok serta seorang pemuda asing
berambut gondrong, ditambah pula dengan serombongan orang banyak yang mengikuti
mereka dari belakang, tentu saja pemilik gedung pelacuran, germo serta tukang
pukulnya kaget bercampur heran.
"Ada apakah?" tanya sang germo seorang bertubuh gemuk bermuka merah.
Ki Hok Bun bepaling pada Bu Ceng dan menganggukkan kepalanya. Bu Ceng lantas
berkata, "Dua orang kawanku ada di dalam sana. Panggil mereka. Katakan pangcu mereka
memanggil!"
"Maksud loya dua orang berjubah hitam dan berewokan seperti loya?"
"Betul!"
Germo itu menatap Bu Ceng sesaat. Hatinya bergetar melihat keangkeran manusia
iblis ini. Lalu berpaling pada Ki Hok Bun dan Wiro Sableng.
"Loya ... mereka sedang istirahat dan menghibur diri. Mana mungkin aku berani
mengganggu mereka?" si germo akhirnya berkata.
Nan-king Kui-ong menunjukkan tampang berang dan membentak, "Apa perlu kami yang
langsung masuk"!"
Wiro garuk-garuk kepaia sedang Ki Hok Bun pegang gagang pedangnya. Melihat
gelagat yang kurang baik ini tukang pukul rumah pelacuran hendak melangkah maju
namun cepat ditahan oleh sang germo. Dia sudah berpengalaman dan maklum kalau
tiga orang yang ada di depannya itu bukan manusia-manusia biasa. Pasti orang-
orang dari rimba hijau (persilatan). Dan dia tak mau mencari urusan dengan
orang-orang tersebut.
"Baik loya, aku akan beritahu mereka," kata si germo lalu cepat-cepat masuk ke
dalam. Saat itu Tui-Hun Hui-mo dan Gui-kun Kui-to sedang duduk di atas sebuah kursi
besar ditemani dua pelacur sambil meneguk anggur. Si Golok Iblis Gui Kun
memangku seorang pelacur berkulit putih bertubuh langsing. Hampir tiada henti
dia menciumi pelacur ini. Kalau saja bukan lantaran uang tentu saja si pelacur
merasa jijik terhadap manusia ini. Sementara itu Iblis Pengejar Maut Tui hun
asyik mendekapi pelacur pilihannya, seorang perempuan berbadan gemuk dan
berambut panjang. Tangannya merayap kian kemari.
Kedua apak buah Nan-king Kui-ong ini saat itu sudah siap-siap untuk masuk ke
kamar masing-masing ketika germo berbadan gemuk mendatangi.
"Loya berdua harap maafkan. Ada orang mencari loya... "
Merasa terganggu tentu saja kedua orang itu marah sekali. Iblis Pengejar Maut
Tui hun membentak sambil bantingkan gelas anggur ke lantai hingga pecah
berkeping-keping.
"Aku sudah bilang berapa kali! Jangan ganggu kalau kami sedang bersenang-
senang ...!"
"Tapi yang mencari adalah ..."
"Sekalipun setan aku tak perduli!" kini Si Golok Iblis Gui Kun yang buka mulut
keras. Sesaat germo itu jadi bingung. Dia tidak mau kehilangan dua orang tamunya ini
yang walaupun kasar liar serta bertampang bengis tapi nyatanya punya banyak
uang. Namun dia juga tidak mau cari urusan dengan tiga manusia di luar sana.
Maka dia memberanikan diri membuka mulut memberi tahu. "Yang mencari adalah
pangcu loya berdua..."
Dua manusia iblis itu sesaat saling pandang. Dengan segan dan sambil menggerutu
keduanya bangkit dari kursi setelah terlebih dulu meminta pelacur pilihan
masing-masing untuk menunggu.
Begitu sampai di luar keduanya kontan melengak kaget setengah mati.
Mereka memang melihat pemimpin mereka tegak di halaman rumah, tetapi di samping
sang pangcu juga berdiri Ki Hok Bun alias Pendekar Pedang Pelangi, yang
kemunculannya pasti sudah dapat diterka yaitu untuk membalaskan dendam kesumat.
Selain itu mereka melihat pula seorang pemuda asing berambut gondrong bertampang
tolol yang mereka tidak kenal. Lalu orang banyak yang sudah berkumpul di tempat
itu. Keduanya heran mengapa ketua mereka tegak agak gelisah dan kelihatannya dialah
yang telah membawa Ki Hok Bun serta pemuda asing itu ke tempat tersebut.
Sepasang mata Iblis Pengejar Maut Tui-hun memperhatikan robek besar di dada
pakaian pemimpinnya. Pasti sesuatu telah terjadi pikirnya. Lalu dia memberi
kisikan pada kambrat di sebelahnya.
"Ada yang tidak beres. Kita kabur saja. Naga-naganya kita bisa celaka!"
Si Golok Iblis Gui Kun mengangguk perlahan-lahan. Namun saat itu mereka
dikagetkan oleh seruan pangcu mereka, "Ciangkun, tunggu apa lagi. Bunuh saja
kedua manusia tak berguna ini!"
"Pangcu!" seru Gui-kun Kui-to. "Jadi kau bersekutu dengan Ki Hok Bun..." Habis
berkata begitu dia berpaling pada Tui-hun Hui-mo danberkata "Tunggu apa lagi.
Mari kabur!"
Kedua orang itu secepat kilat putar tubuh hendak masuk ke dalam rumah dan
seterusnya melarikan diri lewat pintu belakang. Namun keduanya serta merta
hentikan langkah ketika tahu-tahu di hadapan mereka sudah menghadang pemuda
asing berambut gondrong itu sambil tolak pinggang dan cengar cengir.
Tidak mengenali siapa adanya orang Si Golok Iblis Gui Kun langsung membentak,
"Bangsat rendah! Kau siapa berani menghalangi kami"! Kepingin mampus"!"
Wiro pencongkan hidungnya.
"Mau kabur ..." Tempat kabur manusia-manusia iblis macam kalian adalah neraka!"
Tui-Hun Hui-mo marah sekali. Lima kuku jarinya yang hitam panjang dan mengandung
racun jahat bekelebat ganas meremas ke arah muka Wiro Sableng!
Sebagai orang kedua dari Nan-king Ngo-kui, Tui-hun Hui-mo tentu saja memiliki
kepandaian tinggi luar biasa. Jurus yang barusan dikeluarkannya untuk menyerang
Wiro adalah hek-hou wat-sim atau macan hitam mengorek hati. Sekali kepala lawan
kena remas pastilah akan hancur, mata terkorek keluar, hidung dan mulut copot!
Belum lagi racun mematikan yang terkandung dalam kuku kuku hitam itu.
Tetapi hebatnya Wiro Sableng melayani serangan musuh itu dengan mengejek seperti
orang mempermainkan.
"Buset! Kau ini perempuan atau banci. Pelihara kuku begini panjang" Bagusnya
kupotes saja!"
Wiro miringkan mukanya yang hendak diremas. Tangan kanannya bergerak dan
pletek... pletek...
pletek... Tiga kuku jari Tui-hun Hui-mo patah berpeletekan. Manusia iblis ini
meraung kesakitan. Jari-jari tangannya mengucurkan darah"
Melihat apa yang terjadi dengan kawannya, Si Golok Iblis Gui Kun tak tinggal
diam. Sekali bergerak empat golok terbang dilemparkannya ke arah Wiro Sableng.
Pemuda kita keluarkan siulan tinggi. Tubuhnya bekelebat.
Dua golok berhasil dikelit dan menancap pada kusen pintu. Dua golok lainnya
dengan sikap acuh tak acuh ditangkapnya lalu trak ... trak. Kedua senjata ini
dipatahkannya! Tentu saja Si Golok Iblis Gui Kun jadi terkesiap setengah mati.
Selama hidup baru sekali ini dia menemui lawan yang kepandaiannya begitu tinggi.
Sedang Tui-hun Hui-mo menjadi goyah lututnya dan meleleh nyalinya..
Nan-king Kui-ong alias Bu Ceng yang sebelumnya sudah menyaksikan danmerasakan
sendiri kehebatan Wiro saat itu terkesima demikian rupa karena nyatanya pemuda
asing berambut gondrong itu benar-benar luar biasa. Dia yakin kalau Ki Hok Bun
sendiripun masih ketinggalan jauh. Bahkan gurunya sendiri menurut Bu Ceng paling
tidak masih dua tingkat di bawah pemuda itu.
Ki Hok Bun sendiri diam-diam tak habis mengagumi kelihayan Wiro. Sulit
dipercayanya ada manusia sehebat ini.
Selagi Ki Hok Bun maupun Nanking Kui Ong tertegun begitu rupa Wiro sudah
mencekal rambut panjang dua manusia iblis itu lalu mendorongnya dengan keras
hingga Tui-hun Hui-mo dan Gui-kun Kui-to jatuh tergelimpang di tanah tepat di
hadapan Ki Hok Bun.
Keduanya cepat bangun dan bersurut mundur melihat Ki Hok Bun cabut pedang
mustikanya. "Pangcu!" berseru Golok Iblis Gui kun memanggil ketuanya. "Aku tak percaya kau
bersekutu dengan musuh besar kita ini. Tapi kenapa kau suruh bunuh kami" Bantu
kami menghadapi mereka!"
Bu Ceng tertawa mendengar kata-kata anak buahnya itu dan berkata, "Sobatku Gui-
kun harap maafkan. Saat ini aku bukan pangcumu lagi. Antara kita tak ada
hubungan apa-apa lagi. Tak ada satu orangpun yang sanggup menyelamatkan nyawa
kalian dari kematian di tangan Ki Hok Bun ciangkun.
Namun ciangkun masih berbaik hati memberi kesempatan pada kalian untuk membela
diri!" "Pengkhianat busuk!" maki Si Golok Iblis Gui Kun.
Tui-hun Hui-mo yang sudah melihat tidak ada jalan lain tiba-tiba berteriak, "Ki
Hok Bun! Apakah untuk menghadapi kami berdua yang mengandalkan tangan kosong kau begitu
pengecut hendak pergunakan Pedang Pelangi?"
Tui-hun Hui-mo sebetulnya coba mengukur tingkat kepandaian Ki Hok Bun. Dalam
tangan kosong jika dikeroyoik dua dia merasa pasti akan dapat mengalahkan Ki Hok
Bun. Tetapi jika lawan memegang Pedang Pelangi, sulit untuk menyelamatkan diri.
Namun di lain pihak Ki Hok Bun yang berjiwa kesatria sejati begitu mendengar
kata-kata salah seorang lawannya segera sarungkan Pedang Pelangi. Lalu tanpa
tunggu lebih lama dia menerjang ke hadapan kedua musuh besarnya itu. Maka
terjadilah perkelahian dua lawan satu yang hebat.
Tui-hun Hui-mo meskipun tangannya sebelah kanan terluka namun kehebatannya boleh
dibilang hampir tidak berkurang. Serangan-serangannya berupa cakaran dan pukulan
serta tendangan datang bertubi-tubi. Demikian pula Gui-kun Hui-to yang bertubuh
tinggi kurus itu. Serangannya menggebu-gebu. Walaupun dia cuma jago ke lima di
antara lima manusia iblis dari Nanking namun tingkat kepandaiannya tidak boleh
dipandang remeh. Apalagi kedua orang itu sadar kedudukan mereka dalam keadaan
terjepit hingga keduanya mengadu nyawa karena laripun sudah tidak mungkin.
Sepuluh jurus berlalu. Walaupun belum kelihatan Ki Hok Bun terdesak namun dia
dibikin repot juga dan hanya sekali-kali mampu balas menyerang. Jika saja pangcu
mereka membantu pasti Ki Hok Bun dapat dibereskan. Memikir ke situ Gui-kun Kui-
to berteriak, "Pangcu! Lekas bantu kami!"
Namun Nan-king Kui-ong cuma tersenyum. Saat itu sebenarnya dia berada dalam
keadaan tertotok. Pada saat sampai di depan rumah pelacuran Ki Hok Bun telah
menotok manusia iblis ini hingga dia hanya mampu buka mulut tapi tak dapat
bergerak. Kalaupun dia tidak dalam keadaan tertotok tak juga dia akan membantu
kedua anak buahnya itu. Tentu saja dia merasa senang melihat kematian mereka
dari pada dirinya sendiri jadi korban. Memang begitulah sifat manusia iblis
seperti Bu Ceng. Tak perduli anak buah celaka asal diri sendiri selamat!
Memasuki jurus ke dua puluh karena menyerang terus menerus tanpa hasil, tenaga
dua manusia iblis itu mulai mengendor. Kini Ki Hok Bun ambil kesempatan.
Di jurus ke dua puluh satu jotosannya menghantam Si Golok Iblis Gui-kun hingga
tubuhnya melintir setengah lingkaran Gui-kun pegangi dadanya yang terasa sakit
dan nafasnya sesak. Dia merasa seperti mau muntah. Ketika dia meludah, ludahnya
bercampur darah!
Tubuhnya terhuyung-huyung seperti hendak roboh ke tanah. Dia berputar-putar,
tapi begitu berada tepat di belakang Ki Hok Bun yang tengah menghadapi Tui-hun
Hui-mo secepat kilat dia cabut empat buah golok dan melemparkannya ke arah lawan
yang membelakang!
"Twako awas serangan curang!" seru Wiro memberi tahu. Dia tak mungkin menolong
karena saat itu berada tepat di belakang Ki Hok Bun. Kalau dia menghantam runtuh
empat pisau itu dengan pukulan tangan kosong ada kemungkinan satu dari senjata
tersebut akan mengenai Ki Hok Bun.
Bekas perwira tinggi Kaisar itu sendiri sudah mendengar suara bersiuran dari
arah belakang. Ditambah dengan teriakan peringatan Wiro dia sadar kalau telah
diserang secara curang.
Secepat kilat Ki Hok Bun jatuhkan diri seraya tangkap sepasang kaki Tui-hun Hui-
mo. Meskipun kaget melihat gerakan lawan menjatuhkan diri dan menangkap kakinya
namun Tui-hun Hui-mo melihat adanya kesempatan baik untuk mencengkeram kepala
dan pundak Ki Hok Bun.
Namun sebelum maksudnya ini kesampaian dua dari empat golok terbang yang
dilemparkan Gui kun Kui to menancap tepat di dadanya. Manusia iblis ini menjeril
keras. Matanya melotot. Dia tergelimpang di tanah.
Golok Iblis Gui-kun bukan kepalang kagetnya ketika menyaksikan bagaimana
serangan mautnya tadi justru membunuh kawan sendiri! Sesaat dia tertegun
terkesiap. Justru ini adalah satu kesalahan besar karena saat itu pula laksana
seekor singa lapar Ki Hok Bun melompatinya. Sepuluh jari tangannya langsung
menyambar batang leher Gui-kun. Gui-kun memberontak, berusaha melepaskan diri.
Tapi cekikan itu laksana jepitan baja. Nafasnya menyengal. Lidahnya terjulur
keluar. Mulutnya membusah ludah campur darah. Matanya membeliak. Bagian hitamnya
makin menghilang.
Sesaat kemudian terdengar suara berderak tanda remuknya tulang leher Gui Kun.
Nyawanya lepas. Tubuhnya terkulai.
Tiba-tiba seperti orang kemasukan setan Ki Hok Bun berteriak sambil mencabut
Pedang Pelangi. Semua orang yang ada di situ menyaksikan bagaimana tujuh sinar
pelangi berkiblat kian kemari membuntal tubuh Gui kun. Lalu sinar itu berpindah
ke arah tubuh Tui-hun Hui-mo.
Kemudian kelihatanlah hal yang mendirikan bulu tengkok karena terlalu
mengerikan. Tubuh Gui-kun dan Tui-hun Hui-mo kini terkapar di tanah dalam
keadaan tidak utuh lagi. Tercincang mulai dari ujung kepala sampai ke ujung
kaki! Wiro sendiri bergidik menyaksikan hal itu sedang Nan-king Kui-ong melengos
ke jurusan lain!
Nan-king Kui-ong kemudian menyadari bahwa ada seseorang yang mendekatinya dari
arah depan. Ketika dia berpaling ke jurusan itu dadanya jadi berdebar. Ki Hok
Bun dilihatnya melangkah mendatangi dengan Pedang Pelangi terhunus. Senjata
mustika ini penuh lumuran darah. Darah Gui-Kun dan Tui-hun!
"Bu Ceng, katakan di mana kau sembunyikan tiga peti emas itu?" tiba-tiba Ki Hok
Bun ajukan pertanyaan.
"Ciangkun ... seperti yang aku bilang. Tiga peti emas itu akan kita bagi dua.
Kita bisa berangkat ke sana sekarang."
"Baik, tapi aku ingin kau memberitahu dulu di mana tempat kau sembunyikan. Aku
tidak mau tertipu ... "
"Tapi ... ciangkun, apa kau tidak percaya padaku?"
Ki Hok Bun menyeringai. "Jangan banyak tanya Bu Ceng. Katakan lekas. Atau
kucincang kau seperti kawan-kawanmu detik ini juga?"
Tubuh Bu Ceng alias Nanking Kui Ong bergeletar.
"Letaknya kira-kira lima puluh lie dari sini. Di sebelah selatan ada sebuah
reruntuhan klenteng.
Di tanah pada pintu sebelah belakang tiga peti emas itu kupendam..."
Wiro Sableng 017 Lima Iblis Dari Nangking di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau berani dusta terhadapku Bu Ceng"!" hardik Ki Hok Bun.
"Aku tidak dusta ciangkun. Kita ke sana saja sekarang jika ciangkun tidak
percaya," sahut Bu Ceng.
Ki Hok Bun anggukkan kepala dan mengerling ke arah Wiro. Melihat isyarat ini
Wiro lalu lepaskan totokan di tubuh Bu Ceng seraya berkata, "Manusia tolol.
Apakah kau pernah mendengar kalau bangsa iblis dan setan macammu ini akan
ditempatkan Thian di sorga sekalipun dia menyerahkan seratus peti emas?"
Sesaat Bu Ceng tertegun.
"Apa maksudmu?" tanya dengan suara besar serak.
"Maksudku kau tetap harus mampus. Dosa dankejahatanmu sudah selangit. Malah
sudah menerobos langit! Kalau bukan karena kau biang racunnya istri dan anak
saudara angkatku itu tak akan menemui kematian. Nah sekarang kau hadapilah
twakoku itu!"
Wajah Bu Ceng yang garang jadi berubah putih kertas. Pucat pasi.
"Tapi... tapi ... bukankah dia sudah janji memberi ampun dan tiga peti emas itu
kami bagi dua...?"
"Jangan bicara ngelantur manusia durjana!" hardik Ki Hok Bun. "Siapa sudi
memberi ampun padamu. Pengampunan tidak akan menghidupkan kembali anak serta
istriku! Soal emas itu kau bisa terima bagianmu di neraka!"
"Jadi... kau sengaja menipuku"!" Mata Bu Ceng melotot.
Kembali Ki Hok Bun menyeringai.
"Terserah kau mau bilang apa. Yang jelas kau akan susul empat anak buahmu.
Mereka telah tak sabar menunggumu di neraka. Di dunia kalian sama-sama berbuat
kejahatan. Ganjarannya di akhirat juga harus kalian rasakan sama-sama!"
Dendam kesumat yang membara membuat Ki Hok Bun merasa tidak perlu memikirkan
segala macam aturan persilatan ataupun jiwa satria terhadap musuh paling
besarnya ini. Pedang sakti di tangan kanannya tergenggam erat. Sekali senjata
ini menabas maka terpekiklah Bu Ceng. Tangan kanannya putus. Pedang berkelebat
lapi. Tangan kirinya kini yang jadi sasaran. Sekali lagi senjata itu menderu.
Dan anggota rahasia Bu Ceng amblas putus!
Terdengar suara seperti sapi dipotong keluar dari tenggorokan pimpinan manusia-
manusia iblis itu. Tubuhnya jatuh ke tanah tanpa nyawa lagi. Dan seperti tadi,
seperti kamasukan setan Ki Hok Bun bacokkan pedangnya berulang kali ke tubuh Bu
Ceng hingga tubuh itu tak karuan rupa lagi, hancur luluh!
Sesaat setelah sadar akan dirinya Ki Hok Bun jatuhkan diri di tanah. Mulutnya
bergetar ketika berkata, "Istriku The Cun Giok, anakku Sun Bie, hari ini aku Ki
Hok Bun telah membalaskan sakit hati kalian atas lima manusia iblis itu. Kuharap
kalian berdua bisa tenteram kini di slam baka .... "
Lalu KI Hok Bun menangis sesenggukan.
'Twako, bangunlah...!" kata Wiro sambil memegang bahu saudara angkatnya itu.
Perlahan-lahan Ki Hok Bun berdiri. Ditatapnya muka pemuda itu lalu berkata,
"Tarima kasih. Aku berhuYtng budi bahkan bwhutang nyawa terhadapmu. Kau sudah
tahu di mana tiga peti emas itu disembunyikan. Pergilah ke sana dan ambillah...!"
Wiro Sableng tersenyum dan geleng-gelengkan kepala.
"Sekarang bukan saatnya bicara segala hutang budi hutang nyawa. Soal emas itu,
aku mana ada hak untuk memilikinya. Takdir menentukan emas itu harus menjadi
milikmu..."
"Kalau begitu tiga peti emas itu kukembalikan saja pada Kaisar Yung Lo," kata Ki
Hok Bun pula. Wiro jadi mendelik. "Kenapa jadi begitu tolol twako" Kalaupun mau dikembalikan
cukup dua saja, yang satu ambil olehmu. Kau sudah kehilangan segala-galanya
twako. Anak istri, rumah dan ladang. Kau perlu sesuatu untuk modal masa
depanmu!" Ki Hok Sun merenung. "Kata-katamu akan kupertimbangkan Wiro. Sekarang aku akan
menuju ke sana. Kau ikut...?"
"Tidak twako. Aku akan melanjutkan perjalanan. Masih hanyak daerah selatan ini
yang belum kudatangi!
"Kalau begitu kita berpisah dan selamat jalan. Selama langit masih biru, hutan
masih hijau dan air sungai masih mengalir ke laut, aku tak akan melupakanmu dan
kuharap kita bisa berjumpa kembali!"
Wiro mengangguk. "Kudoakan agar kau bahagia twako."
Keduanya saling rangkul beberapa ketika. Lalu Ki Hok Bun tinggalkan tempat itu
lebih dulu. Wiro memperhatikan sampai saudara angkatnya itu lenyap di kejauhan. Setelah Ki
Hok Bun tak kelihatan lagi dia putar tubuh siap pule untuk pergi. Namun tiba-
tiba satu tangan halus memegang lengannya. Dia berpaling. Ternyata pelacur
jelita bernama Lu Sian Cin itu.
"Eh, ada apakah nona ...?"
"Tayhiap, kau telah menolongku. Kalau tak ada kau mungkin aku sudah mati di
tangan manusia iblis itu. Aku merasa tidak tenteram sebelum dapat membalas budi
bessrmu itu..."
"Eh, aku tidak mengharapkan imbalan apaapa..."
"Terus terang akupun tak punya harta apa-apa. Kecuali..."
"Kecuali apa maksudmu?"
Lu Sian Cin membisikkan satu kata-kata mesra ke telinga Wiro Sableng membuat pemuda ini jadi merah wajahnya tapi juga senyum-senyum.
"Kau mau...?"
Wiro garuk-garuk kepala. Siapa yang tak mau diajak bersenang-senang oleh
perempuan secantik Lu Sian Cin ini" Tapi walau bagaimana pun Lu Sian Cin adalah
pelacur. Dan ini membuat pendekar kita jadi meragu. Namun untuk menyenangkan
hati perempuan itu dia berkata, "Baiklah, aku akan datang ke tempatmu. Kau
berangkat saja lebih dulu. Nanti kususul!" Wiro kedipkan matanya. Lu Sian Cin
tersenyum gembira dan setengah berlari tinggalkan tempat itu.
TAMAT Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Munculnya Ratu Siluman Darah 2 Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra Darah Para Tumbal 3