Pencarian

Darah Para Tumbal 3

Putri Bong Mini 05 Darah Para Tumbal Bagian 3


*** 7 Siang yang terik. Matahari bersinar garang, seperti memuntahkan cahayanya di
atas kepala manusia.
Memaksa orang-orang yang terkena sengatannya un-
tuk berlindung di bawah pepohonan rimbun atau di
bawah payung-payung terkembang.
Di atas bukit Hutan Roban, seorang pemuda yang
mengenakan baju bertapis jubah kuning tampak se-
dang menggeliatkan tubuhnya. Ia baru saja terjaga
saat matahari siang yang terik membakar tubuhnya.
Kemudian ia bangkit perlahan dan berlindung di ba-
wah pohon rindang. Sedangkan sepasang matanya
yang sipit menyebar ke sekeliling, seperti mencari sesuatu.
Pandangannya tiba-tiba menangkap sesosok baya-
ngan mungil ke arahnya. Dan sebelum ia menyadari siapa sosok bayangan itu, tiba-
tiba seorang gadis mungil
berwajah cantik dengan baju merah ketat berdiri di
depannya. Wajahnya cerah dengan bibir yang selalu terse-
nyum. Sedangkan rambut bagian belakangnya yang
dibiarkan tergerai bebas tampak berayun-ayun, tersi-bak angin panas yang
berlalu. Pemuda tampan yang semula duduk bersandar di
bawah rimbunnya pohon tampak tersentak kaget. Du-
duknya yang tadi santai, kini tegak menegang, me-
mandang gadis mungil berwajah cantik di depannya.
Lekuk-lekuk tubuh gadis itu jelas membayang lewat
pakaian ketat yang membungkusnya. Sepasang mata
yang hitam jernih terlihat berpijar-pijar ke arahnya.
Sehingga pemuda itu benar-benar terpesona.
"Bagaimana" Sudah sembuh sakitnya?" tanya gadis
bertubuh mungil yang tidak lain Bong Mini sambil
mengumbar senyumnya.
"Sudah. Sudah sembuh! Tubuhku sudah dapat ber-
gerak seperti biasa!" sahut pemuda tampan yang tidak lain Ong Lie dengan sikap
gugup. "Racun pada tongkat itu memang amat berbisa. Le-
wat satu hari saja, orang yang terkena racun itu akan mati jika tidak segera
ditolong!" tutur Bong Mini seraya mengambil tempat duduk di sebelah kiri depan
pemuda itu. "Terima kasih atas pertolonganmu. Kalau saja tidak
ada kau, tentu aku sudah mati sejak kemarin!" ucap
Ong Lie yang baru ingat kalau gadis itulah yang telah menyelamatkan nyawanya
dari ujung tombak Iblis
Pencabut Nyawa. Dia menyadari benar, betapa tinggi
ilmu yang dimiliki gadis bertubuh mungil itu. Ia merasa kalau ilmunya pun jauh
di bawah gadis itu. Se-
hingga Ong Lie bersikap hormat dan penuh kekagu-
man pada Bong Mini, walaupun usianya jauh lebih tua dari gadis itu.
Bong Mini tersenyum mendengar ucapan Ong Lie
tadi. Dan dengan gerakan bola matanya yang indah, ia menoleh ke wajah tampan
lawan bicaranya.
"Sebagai manusia sudah selayaknya kita tolong-me-
nolong, bahu-membahu dalam segala kesulitan!" ujar
Bong Mini merendah.
Ong Lie terdiam. Hatinya benar-benar mengagumi
gadis di hadapannya. Bukan saja karena kecantikan-
nya, akan tetapi juga karena kebersihan hati dan keramah-tamahannya.
"Siapa kau sebenarnya" Dan mengapa bisa sampai
di tempat ini?" tanya Ong Lie ingin tahu.
"Namaku Bong Mini. Ada pun keberadaanku di tem-
pat ini hanya kebetulan saja!" sahut Bong Mini.
Ong Lie terdiam. Ia sudah mulai punya firasat kalau gadis yang berada di
hadapannya pasti orang yang dicari selama ini. Gadis yang akan diajaknya untuk
bersekutu melawan orang-orang Perguruan Topeng Hitam.
Namun demikian ia tetap diam, ingin mengetahui pri-
badi gadis itu lebih dalam lagi.
"Nama kau sendiri siapa?" Bong Mini balik berta-
nya. "Namaku Ong Lie!" sahut pemuda tampan itu cepat.
Sengaja ia tidak menyebutkan asal-usulnya, khawatir rahasianya yang menjadi
pengikut Iblis Pulau Neraka akan terbongkar.
"Lalu, kenapa kau bisa bentrok dengan empat lelaki
itu?" tanya Bong Mini pura-pura tidak tahu.
"Aku memang sengaja menghadang mereka!"
"Alasannya?" pancing Bong Mini lagi.
"Mereka orang-orang yang hendak bersekutu de-
ngan Perguruan Topeng Hitam!" sahut Ong Lie.
Bong Mini mengangguk-angguk. Sesungguhnya ia
sendiri sudah tahu semua itu, dari awal penyergapan sampai pertempuran antara
Ong Lie dengan Iblis Pen-
cabut Nyawa. Namun demikian ia ingin mengetahui le-
bih jauh lagi maksud pemuda itu.
"Apakah kau mempunyai persoalan dengan Pergu-
ruan Topeng Hitam?" Lagi-lagi Bong Mini memancing.
Ong Lie terdiam beberapa saat mendengar pertanya-
an Bong Mini. Pikirannya menimbang-nimbang, apa-
kah harus berterus terang atau tetap menyembunyi-
kan siapa dirinya yang sebenarnya. Bila dia membuka kedoknya, tentu hal itu akan
mengejutkan si gadis.
Dan mungkin akan mengundang kemarahannya. Ka-
rena gadis itu sendiri pernah menjadi korban perbuatan empat temannya. Tapi
kalau tetap memperta-
hankan niatnya semula, ia tidak sampai hati. Meng-
ingat gadis itu telah berbuat baik kepadanya. Menyelamatkan jiwanya saat nyaris
mati di ujung tombak
lawan. "Aku memang punya persoalan yang harus disele-
saikan secepatnya dengan Perguruan Topeng Hitam,"
sahut Ong Lie datar.
"Persoalan lama?"
Ong Lie menggeleng pelan.
"Orang-orang Perguruan Topeng Hitam telah mela-
kukan pembantaian terhadap perguruanku. Bahkan
pemimpinku tewas di tangan mereka!" sahut Ong Lie.
"Apa nama perguruanmu?" tanya Bong Mini sung-
guh-sungguh. Matanya mencorong tajam menatap wa-
jah pemuda itu.
"Iblis Pulau Neraka!" sahut pemuda itu tenang. Se-
dangkan matanya tetap memandang Bong Mini, ingin
mengetahui reaksi gadis itu setelah ia membuka rahasia dirinya.
Bong Mini tersentak bukan main mendengar nama
Iblis Pulau Neraka. Ia tidak mengira sama sekali kalau pemuda berwajah tampan
dan pernah ditolongnya merupakan salah satu anggota perkumpulan Iblis Pulau
Neraka. Perkumpulan yang telah menghancurkan ru-
mah dan para prajurit papanya. Bahkan sempat mem-
buatnya pingsan selama satu hari satu malam ketika
terkena jarum hitam beracun.
"Aku tahu, kau akan terkejut setelah mendengar pe-
ngakuanku ini. Karena selama ini sepak-terjang per-
kumpulanku sangat merugikan rakyat negeri ini. Oleh karena itu, aku siap
menerima hukuman apa saja yang akan kau lakukan terhadap diriku sekarang ini!"
kata Ong Lie mengandung nada pasrah.
Bong Mini menghela napas panjang. Jelas ia tak
mungkin memberikan hukuman kepada orang yang te-
lah berterus terang padanya. Namun yang ia heran-
kan, kenapa pemuda itu tiba-tiba berubah sikap ke-
padanya dengan mengatakan siapa dirinya yang sebe-
narnya" "Apa yang mendorongmu bersikap terus terang ke-
padaku kalau kau seorang pengikut perkumpulan Iblis Pulau Neraka?" tanya Bong
Mini. "Semula aku berniat hendak membujukmu untuk
bergabung dengan perkumpulanku dalam memberan-
tas orang-orang Perguruan Topeng Hitam. Hal ini didorong oleh keinginanku untuk
menguasai negeri ini. Ta-pi setelah aku bertemu denganmu, tiba-tiba niat itu
berubah. Tidak layak bagiku mengelabui orang yang
telah berhutang budi padaku. Apalagi orang itu mem-
punyai sifat welas asih sepertimu!" sahut Ong Lie.
Bong Mini tercenung mendengar pengakuan pemu-
da itu. "Tahukah kau, siapa yang melakukan penyerangan
terhadap perkumpulanmu?" tanya Bong Mini.
"Secara pasti tidak. Tapi aku yakin kalau orang-o-
rang Perguruan Topeng Hitam yang telah melakukan-
nya!" sahut Ong Lie.
Bong Mini menggeleng tenang.
"Aku dan papaku yang telah melakukan itu semua!"
sahut Bong Mini mantap. Matanya memandang tajam
pada pemuda itu.
Ong Lie tersentak kaget mendengar pengakuan ga-
dis di hadapannya. Ia tidak mengira kalau gadis itu mampu menaklukkan
pemimpinnya yang terkenal beringas dan berkepandaian tinggi.
"Kau ingin tahu, kenapa aku melakukan itu?"
Ong Lie diam. Ia masih terpana terhadap pengaku-
an Bong Mini tadi.
"Karena orang-orang Iblis Pulau Neraka telah mela-
kukan kesalahan terhadapku. Mereka membantai o-
rang-orangku, merusak rumah dan merampok seluruh
hartaku!" "Jadi, kau putri Bongkap?" tanya Ong Lie, langsung
menebak. "Ya!"
Lagi-lagi pemuda itu terkejut mendengar pengakuan
Bong Mini. Pikirnya, pantas kalau teman-temannya
dulu melihat Bong Mini menunggang kuda bersama-
sama Bongkap. "Aku makin kalap setelah melihat seorang gadis ke-
hilangan ingatan akibat perbuatan biadab orang-
orangmu. Atau mungkin kau sendiri yang melakukan-
nya"!" tuduh Bong Mini (lihat episode 4: 'Iblis Pulau Neraka').
"Sungguh! Aku tak pernah melakukan itu. Selama
aku masuk perkumpulan Iblis Pulau Neraka, aku tak
pernah keluar bersama-sama pasukan. Pemimpinku
memperbolehkanku keluar bila memberikan tugas-
tugas khusus yang lebih penting seperti membujukmu
untuk bergabung!" sahut Ong Lie.
Bong Mini menatap sorot mata Ong Lie dalam-da-
lam. Dia melihat tidak ada kebohongan dalam sorotan mata pemuda itu. Sehingga ia
percaya kalau pemuda
itu sungguh mempunyai sifat jujur dan ksatria. Hanya lingkungan perkumpulan
Iblis Pulau Neraka yang
membuatnya liar.
Apa yang menjadi penilaian Bong Mini itu memang
benar. Sesungguhnya keberadaan Ong Lie di Perkum-
pulan Iblis Pulau Neraka bukan atas kehendaknya
sendiri. Ia berada di sana karena diajak oleh Gonggo Gung, Ketua Iblis Pulau
Neraka sejak berumur enam
belas tahun. Waktu itu ia hidup sebatang kara. Kedua orang-
tuanya tewas ketika terjadi huru-hara di negerinya
sendiri, negeri Lanoa. Dalam kehidupannya yang ham-
pa, tiba-tiba datang Gonggo Gung dan menawarkannya
ilmu bela diri. Sebagai anak remaja tentu saja Ong Lie senang mendapat tawaran
itu. Sehingga ia pun ber-sedia menjadi pengikut Gonggo Gung dan belajar
kungfu padanya.
Ketika ia sudah cukup pandai dalam bermain silat,
Gonggo Gung mengajaknya untuk berlayar ke Selat
Malaka. Saat itu ia tidak tahu apa tujuan Gonggo
Gung berangkat ke Selat Malaka bersama para pengi-
kutnya. Dan betapa terkejutnya ia ketika mengetahui kalau tujuan Gonggo Gung
berlayar tidak lain hendak melakukan pembajakan terhadap kapal-kapal sauda-gar
kaya atau pun nelayan. Dalam pembajakan itulah
ia pertama kali diperintah untuk terjun memimpin pasukan.
Karena merasa dirinya berhutang budi pada Gonggo
Gung, maka perintah itu terpaksa ia jalankan walau-
pun dengan hati berat.
Apa yang diperintahkan Gonggo Gung itu ternyata
hanya sebuah ujian. Sampai di mana kesetiaannya
terhadap Gonggo Gung yang telah banyak menurun-
kan ilmu kepadanya. Setelah tiga kali ia memimpin
teman-temannya dalam membajak, Gonggo Gung tak
pernah lagi menyuruhnya atau mengikutsertakan diri-
nya dalam setiap aksi pembajakan ataupun perampo-
kan. Dia diberi tugas khusus sebagai penyelidik atau membujuk orang-orang
tertentu sesuai dengan perintah Gonggo Gung. Seperti juga perintah membujuk
Bong Mini untuk bersekutu dengan orang-orang Iblis
Pulau Neraka. Itulah sekilas kisah tentang pemuda
yang bernama Ong Lie.
"Sekarang, apa yang hendak kau lakukan?" tanya
Bong Mini setelah beberapa saat hening.
"Aku minta maaf atas kesalahan orang-orang Iblis
Pulau Neraka yang selama ini membuat kesalahan ke-
padamu dan rakyat banyak. Selanjutnya, aku ingin
menyertaimu dalam memperjuangkan rakyat negeri
ini!" Betapa gembiranya hati Bong Mini mendengar jawa-
ban itu. Ini menunjukkan kalau pemuda itu benar-
benar telah menyadari kekeliruannya selama ini.
Di saat mereka asyik bercakap-cakap, tiba-tiba
muncul enam orang berkuda ke arah mereka. Mereka
tidak lain Jurik dan teman-temannya.
"Sungguh letih aku mencarimu. Rupanya kau di si-
ni bersama seorang gadis!" kata Jurik sambil melom-
pat dari atas punggung kuda. Ketika melihat Bong
Mini, wajahnya tampak terkejut. Sebab gadis itulah
yang direncanakan Gonggo Gung untuk dibujuk agar
bersekutu dengan pasukannya.
"Mana yang lain?" tanya Ong Lie sebelum Jurik
mengajukan pertanyaan lebih jauh lagi.
"Teman-teman yang lain tewas ketika terjadi per-
tempuran dengan orang-orang Perguruan Topeng Hi-
tam, termasuk Tiga Serangkai Berkalung Tengkorak
yang bersekutu dengan kita!" sahut Jurik menje-
laskan. Sedangkan matanya sesekali melirik ke arah
Bong Mini. Begitu pula dengan yang lain.
"Jadi kalian sempat menyerbu mereka?"
"Ya. Semua pasukan Perguruan Topeng Hitam te-


Putri Bong Mini 05 Darah Para Tumbal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

was. Hanya dua pemimpin pasukannya saja yang ber-
hasil meloloskan diri!" cerita Jurik sambil beralih memandang pada Bong Mini.
"Nona, apakah Nona kenal
dengan pemuda yang memiliki baju berlukis naga
emas?" Bong Mini diam, mengingat-ingat pemuda yang di-
sebutkan Jurik tadi.
"Hm... ya, aku kenal!" sahut Bong Mini setelah ingat kalau pemuda yang dimaksud
orang itu Khian Liong.
"Ada hubungan apa antara Nona dengan pemuda
itu?" tanya Jurik lagi ingin tahu.
"Aku sendiri baru mengenalnya. Tapi menurut
pengakuannya, dia utusan rakyat negeri Manchuria
untuk mencari papaku dan meminta bantuan menye-
lamatkan rakyat dari penindasan rajanya!" sahut Bong Mini.
"Apa hubungan pemuda itu dengan Perguruan To-
peng Hitam?" tanya Jurik lagi setengah mendesak.
Membuat Ong Lie dan Bong Mini keheranan.
"Tidak ada. Malah dia akan membantu papaku un-
tuk menumpas perguruan itu!"
"Dusta!" potong Jurik membuat Bong Mini dan Ong
Lie terkejut. "Maksudmu?" kini Bong Mini yang balik bertanya.
"Dia bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam.
Dan dalam pertempuran yang kami lakukan, dialah
yang memimpin pasukan bersama seorang temannya!"
kata Jurik menjelaskan.
Bong Mini tersentak. Hampir-hampir ia tidak per-
caya dengan penjelasan lelaki tadi. Karena pemuda
yang dituduh itu tidak mempunyai tampang jahat,
apalagi bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam.
"Benarkah apa yang kau ucapkan itu?" tanya Bong
Mini ragu. "Nona bisa buktikan sendiri nanti!" sahut Jurik
mantap. Bong Mini mengangguk-angguk. Tapi bukan berarti
percaya terhadap laporan itu. Paling tidak, ia harus membuktikannya sendiri.
"Sudahlah! Persoalan mengenai pemuda itu ditunda
dulu. Yang harus kalian ketahui, bahwa perlawanan
kita sekarang terhadap Perguruan Topeng Hitam bu-
kan atas nama Iblis Pulau Neraka, tetapi atas nama
rakyat negeri Selat Malaka!" kata Ong Lie mengubah
suasana percakapan.
"Heh, apa pula maksudmu?" tanya Jurik dengan
wajah terkejut.
"Iblis Pulau Neraka telah mati. Dan sekarang kita
berjuang untuk kepentingan rakyat!" sahut Ong Lie.
Perubahan sikap Ong Lie tentu saja membuat te-
man-temannya terkejut. Kecuali Seyton yang tampak
bersikap tenang.
"Aku tidak menyangka kalau tekadmu cepat pupus
hanya karena seorang wanita!" ejek Jurik dengan wa-
jah geram. "Terserah pendapatmu. Tapi sekarang aku menya-
takan diri untuk bersatu dengan rakyat!" sahut Ong
Lie. "Baik kalau begitu. Mulai hari ini kita berpisah. Aku tetap akan membangun
kembali Perkumpulan Iblis Pulau Neraka! Dan siapa di antara kalian yang berpihak
padaku, silakan ikut!" tegas Jurik.
Empat orang lainnya yang sejak tadi hanya berdiri
langsung mengikuti langkah Jurik. Hanya Seyton saja yang berpihak pada Ong Lie.
Karena sesungguhnya,
dia sendiri sudah bosan hidup di tengah kejahatan
yang selama ini dilakukannya.
"Seyton! Beresi mereka. Aku tidak ingin nantinya ia
mengganggu ketenteraman negeri ini!" kata Ong Lie
memberi perintah.
Tanpa mengucapkan kata sepatah pun, Seyton yang
memiliki tubuh pendek kekar, berkalung taring singa dengan baju koko terbuka
segera melesat menghadang
lima temannya yang belum jauh dari tempat itu.
"Jurik, hadapilah aku jika kau ingin membangun
Perkumpulan Iblis Pulau Neraka kembali!" dengus Seyton dengan sorot mata
mencorong. "Rupanya kau pun telah ketularan si Ong Lie!" ejek
Jurik. "Tapi baik. Aku akan layani tantanganmu itu!"
usai berkata begitu, ia langsung melompat setinggi sa-tu meter ke arah lawannya
disertai pekikan yang amat nyaring. Sedangkan golok di tangannya diangkat
tinggi, siap dihujamkan ke leher Seyton
Wut! Jurik mengarahkan golok ke leher Seyton dengan
gerakan membacok. Namun dengan cepat Seyton men-
gelak dengan sedikit memiringkan tubuhnya ke bela-
kang. Sedangkan golok di tangannya pun siap memba-
las serangan lawan.
Wut...! Bret! "Uhhh!"
Tangan Seyton yang memegang golok begitu cepat
bergerak. Tanpa disangka lawan, golok yang diayun-
kannya itu berhasil membabat paha kiri lawannya
hingga terhuyung jatuh. Disusul dengan lemparan go-
lok ke tubuh Jurik yang belum sempat bangkit
Creb! "Aaakh!"
Ujung golok yang dilemparkan Seyton tepat menan-
cap di perut lawan. Seketika itu juga, tubuh Jurik
langsung roboh kembali di atas tanah dan tak dapat
berkutik lagi. Melihat lawannya tewas, Seyton segera menghampi-
ri dan mencabut golok yang menancap di perut Jurik
sedalam dua puluh senti. Kemudian ia berdiri tegak
memandang empat orang temannya yang lain.
"Siapa lagi di antara kalian yang ingin menyusul
kematiannya"!" tantang Seyton dengan sikap gagah.
"Cecunguk! Jangan dulu berlagak!" ujar satu dari
keempat orang itu. Kemudian tanpa komando, keem-
patnya langsung menyerang Seyton dengan golok di
tangan masing-masing.
Trang trang trangngng!
Golok yang digenggam Seyton berusaha menangkis
serangan empat buah golok yang menyambar-nyambar
ke arahnya. Sedangkan matanya terus mengamati kel-
engahan lawan agar dapat melakukan serangan balik.
"Hiaaat!"
Tiba-tiba tubuh Seyton melompat setinggi dua me-
ter ke arah seorang lawan yang lengah. Kemudian ka-
kinya menjejak punggung lawan dengan keras.
Bug! "Aaakh!"
Lawan yang terkena hentakan kaki Seyton ter-
huyung ke depan dengan wajah membentur sebuah
batu besar hingga mengucurkan darah dan tak dapat
bergerak lagi. Melihat seorang temannya mati lagi, tiga orang lainnya segera memburu Seyton
dengan golok terhunus
dan bergerak lebih cepat lagi.
Dalam kepungan itu, tiba-tiba Seyton membuat ge-
rakan yang tak terduga. Tubuhnya mencelat setinggi
dua meter dengan keadaan berputar seperti gangsing.
Dan dalam keadaan berputar itu, ia menghujamkan
goloknya yang terhunus dengan sadis.
Wuttt! Crokkk...! Brettt!
Pedang yang digenggam Seyton berhasil membacok
kepala seorang lawan. Sedangkan leher seorang lawan yang lain nyaris putus.
Tubuh keduanya hanya dapat
berdiri limbung sebentar. Selanjutnya roboh tanpa dapat berkutik lagi.
"Hiaaat!"
Sebuah teriakan melengking tiba-tiba terdengar dari mulut lawan yang masih
hidup. Bersama teriakan itu, tubuhnya langsung melesat cepat ke arah Seyton
seraya menyabet-nyabetkan goloknya dengan buas hing-
ga tak dapat lagi mengontrol posisi serangan. Akibatnya, serangan jadi tak
menentu, sehingga memberikan kesempatan baik bagi lawannya untuk melakukan
serangan balasan.
Trang! Crokkk! Di saat goloknya menangkis, Seyton menyusulkan
serangan balasan, tepat menggurat wajahnya.
Lawan yang terkena sabetan golok itu langsung me-
lepaskan senjatanya untuk menutupi wajahnya yang
sudah dialiri darah.
Seyton yang sudah kalap tidak menyia-nyiakan ke-
sempatan itu. Dia langsung menghujamkan senjata
bertubi-tubi ke tubuh lawan dengan penuh nafsu. Da-
lam waktu singkat lawannya tewas tanpa ampun lagi.
Bong Mini yang sejak tadi menyaksikan pertempu-
ran itu agak bergidik dan ngeri. Walaupun ia seorang pendekar dan sering pula
membunuh lawan dalam
menumpas kejahatan, namun kalau menonton pertem-
puran yang sadis begitu, perasaan ngeri menyusup pu-la ke hatinya.
"Aku kagum terhadap kepandaian dan perjuangan-
mu yang akan membantuku!" ucap Bong Mini kepada
Seyton yang kini telah berdiri tegak menghadapnya.
"Semua itu belum ada artinya, Nona. Aku masih
menjadi seorang penjahat. Aku belum membuktikan
kesetianku terhadap rakyat!" sahut Seyton tegas.
"Seharusnya kau tidak memiliki perasaan itu. Keta-
huilah, Seyton! Aku amat kagum terhadapmu yang se-
mula menjadi pemeras rakyat, kini berbuat sebaliknya.
Dan itu telah kau tunjukkan dengan memberesi lima
temanmu yang tak sejalan!" ucap Bong Mini.
Seyton terdiam.
"Sudahlah, sekarang kita lanjutkan perjalanan!" ka-
ta Bong Mini lagi.
"Ke mana tujuan kita?" tanya Ong Lie.
"Sebaiknya kita menemui papaku. Kita sampaikan
laporan orang-orangmu mengenai pemuda yang me-
ngenakan baju berlukis naga emas itu, agar papaku
bisa bersikap lebih hati-hati lagi," jawab Bong Mini.
Ong Lie dan Seyton mengangguk-angguk, menyetu-
jui pendapat Bong Mini. Setelah itu, mereka melan-
jutkan perjalanan menuju Kampung Dukuh, di mana
Bongkap dan pengikutnya tinggal.
*** 8 Sebenarnya Kidarga geram melihat kedatangan
Khian Liong dan Giwang yang membawa berita tentang
kekalahan pasukannya dalam menghadapi serangan
mendadak Iblis Pulau Neraka. Tapi karena saat itu banyak para pendekar yang
ingin bersekutu dengannya,
maka kemarahannya bisa teredam. Ditambah lagi de-
ngan kabar kedatangan prajurit Kerajaan Manchuria
yang akan tiba beberapa hari lagi untuk membantu
pergerakannya, maka nyawa-nyawa anak buahnya
yang tewas itu pun sudah tidak lagi diperhitungkan.
Pikirnya, masih banyak pengganti yang lebih tangguh
untuk membalas kekalahan itu. Sekaligus mewujud-
kan cita-citanya menguasai negeri ini secara mutlak.
Tanpa ada gangguan dan pemberontakan, baik yang
dilakukan Bongkap dan pengikutnya maupun yang di-
lakukan Iblis Pulau Neraka.
Siang itu, Kidarga tampak duduk gagah menghada-
pi tiga pendekar gagah yang menamakan perkumpu-
lannya Siluman Ular Belang. Tiga pendekar itu berjubah merah dengan kepala
botak. Umur ketiganya rata-
rata sekitar lima puluh tahun dengan tinggi badan sekitar 1,63 meter. Mereka
besar dan berotot. Wajahnya tenang, penuh simpatik. Namun di balik ketenangannya
itu, mereka memiliki sifat sadis yang tiada ban-dingnya. Apalagi bila berhadapan
dengan musuh. Me-
reka pantang melarikan diri walau terdesak. Mati lebih baik daripada selamat
jadi pecundang! Demikian sem-boyan dalam diri para pendekar tersebut.
Tiga Siluman Ular Belang mempunyai nama ma-
sing-masing Chiang Su Kiat, Ji Sun Bi, dan Sim Lie
King. Ketiganya berasal dari kota Weining, Tiongkok.
"Bagaimana, Ketua. Apakah kami bisa diterima un-
tuk membantu Perguruan Topeng Hitam yang Ketua
pimpin" Tentu saja dengan perjanjian kalau kelak gerakan ini berhasil, kami
dapat bagian atau kedudukan tinggi dan terhormat, sesuai dengan jasa-jasa kami!"
ujar Chiang Su Kiat yang memimpin kedua temannya.
Wajah Kidarga yang hitam gesang itu tampak ber-
seri mendengar pernyataan Chiang Su Kiat. Pikirnya, bila ada orang yang ingin
membantu dengan pamrih,
tentu akan lebih bisa dipercaya. Dengan wajah berseri ia berkata kepada ketiga
Siluman Ular Belang.
"Jangan khawatir, jabatan panglima akan kuberi-
kan jika kalian berhasil!"
"Terima kasih! Terima kasih, Ketua Perguruan!"
ucap Chiang Su Kiat tersenyum senang. Lalu dengan
wajah masih gembira, dia bersama dua temannya sal-
ing berpandangan dan tersenyum.
Di dalam menerima anggota baru, Kidarga telah me-
netapkan persyaratan khusus bagi calonnya. Di anta-
ranya, menguji setiap pendekar yang akan bersekutu
dengan Perguruan Topeng Hitam. Ini dilakukan karena musuh yang akan dihadapi
bukanlah orang-orang
sembarangan. Di antaranya, Bongkap dan Bong Mini.
Dua orang ini yang menjadi musuh alot orang-orang
Perguruan Topeng Hitam.
Dalam suasana gembira itu, tiba-tiba muncul dua
pelayan muda yang cantik-cantik dengan membawa
arak dan buah-buahan. Kemudian setelah menyuguh-
kan hidangan di atas meja, kedua wanita itu segera
pergi lagi dengan langkah genit, membuat pinggul mereka yang padat berisi
bergoyang-goyang. Mengundang perhatian tiga pendekar Siluman Ular Belang.
"Raja Manchuria yang mengirimkan dua pelayan
itu. Katanya, untuk membangkitkan semangat orang-
orang Perguruan Topeng Hitam!" kata Kidarga ketika
melihat tamunya terpesona terhadap kegenitan dua
pelayan wanita tadi.
Siluman Ular Belang sadar kalau sikapnya tadi di-
perhatikan Kidarga, maka dengan cepat mereka mem-


Putri Bong Mini 05 Darah Para Tumbal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perbaiki sikapnya kembali.
"Ayo, nikmati hidangan segar ini!" kata Kidarga
sambil menuangkan arak pada gelas tamu masing-
masing. Setelah itu mereka menikmatinya dengan pe-
nuh kegembiraan. Termasuk Khian Liong dan Giwang
yang sejak tadi duduk mendengar percakapan antara
Kidarga dan tiga pendekar Siluman Ular Belang.
*** Sementara itu, seorang pemuda tampan berjalan
gagah di sekitar Bukit Setan. Pakaian yang dikenakan-
nya setengah jubah warna putih. Diteruskan dengan
celana panjang yang juga berwarna putih dengan tali sepatu melilit sampai
pertengahan betis. Pemuda itu tidak lain bernama Baladewa. Dia adalah saudara
se-perguruan Bong Mini ketika berada di Gunung Muda,
tempat Kanjeng Rahmat Suci, gurunya.
Walaupun sudah lama berpisah dengan Bong Mini
dan sudah sampai di Bukit Setan, tapi ia belum juga dapat menyingkirkan wajah
Bong Mini yang selama di
Gunung Muda telah menjerat hatinya. Pada setiap
langkah dan pandangannya selalu terbayang wajah
Bong Mini yang cantik, mungil dan menggemaskan.
Tanpa disadari, langkahnya terus diawasi oleh lima
pasang mata pengikut Perguruan Topeng Hitam yang
sengaja ditugaskan untuk menjaga ketat keadaan se-
keliling bukit itu. Kemudian lima orang berompi dan bercelana pangsi warna hitam
itu segera melompat
menghadang Baladewa dengan senjata pedang yang te-
lah tergenggam di tangan masing-masing.
"Heh, Kecoa Buduk! Kau mau jadi pemberontak,
ya!" bentak satu di antara kelima orang itu sambil menudingkan ujung pedang ke
arah Baladewa. Baladewa yang sejak tadi pikirannya tertuju pada
Bong Mini menjadi gelagapan. Sehingga ia tersentak
kaget memandang lima penghadangnya.
"Tangkap dia! Hidup atau mati!" perintah lelaki tadi kepada empat temannya.
Mendapat aba-aba itu, keempat temannya segera
memutar-mutar pedang yang digenggamnya dengan
sangat mahir. Sehingga sinar yang ditimbulkan oleh
pedang-pedang itu tampak bergulung-gulung. Setelah
itu, barulah mereka menyerang Baladewa disertai lengkingan-lengkingan tinggi.
"Hiaaat!"
Trang trang! Walaupun Baladewa terkejut dengan serangan men-
dadak itu, tapi sempat pula ia mencabut pedang yang terselip di pinggang kirinya
untuk menangkis serangan lima orang tersebut. Kemudian ia membuat gerakan
memutar sambil menyerang kelima lawannya.
"Hiaaat...! Huhhh!"
Tiba-tiba Baladewa menghentakkan kedua tangan
dan perutnya setelah beberapa saat menarik dan me-
nahan napas. Ketika napasnya dihentakkan, kelima
pengeroyoknya terhuyung beberapa langkah ke bela-
kang. Itulah ilmu 'Batin Raga Sakti' yang dipelajarinya dari Kanjeng Rahmat Suci
ketika berada di Gunung
Muda. Sebuah ilmu yang berkekuatan dahsyat, namun
tidak mematikan. Cukup memberikan kesempatan un-
tuk mengambil posisi lebih baik lagi.
Lima pengeroyoknya telah berdiri tegak kembali.
Mereka langsung melakukan serangan ke arah lawan-
nya. Namun pada saat itu pula, Baladewa mengelua-
rkan suara lengkingan tinggi disertai lentingan tubuhnya yang melewati kepala
para pengeroyoknya. Dan ketika kelima orang itu mencoba menghalangi, Baladewa
mendorong tangan kirinya yang sudah mengandung
tenaga sakti Dewa Matahari yang sangat panas, se-
hingga lima orang yang berusaha menghalanginya itu
langsung terdorong mundur dan berteriak kepanasan.
"Monyet bego! Aku tidak punya urusan dengan ka-
lian! Aku cuma ingin berjumpa dengan Ketua Pergu-
ruan Topeng Hitam!" bentak Baladewa sambil mema-
sukkan pedangnya kembali. Sengaja ia tidak membu-
nuh kelima orang itu agar tidak berkepanjangan.
Sebelum kelima orang itu kembali menyerang, Bala-
dewa segera melesat menuju pintu gerbang yang dijaga oleh empat murid Perguruan
Topeng Hitam. "Siapa kau dan hendak apa datang ke sini!" bentak
seorang dari mereka dengan tatapan tajam, penuh se-
lidik. "Aku tidak punya urusan denganmu. Aku ingin ber-
temu dengan Ketua Perguruan Topeng Hitam!" sahut
Baladewa, memancing kemarahan empat penjaga ter-
sebut. Karena kalau mereka marah dan melakukan
penyerangan berarti akan memancing Kidarga untuk
keluar. "Tidak bisa! Ketua kami tidak bisa menerima tamu
sembarangan jika tidak diketahui maksud tujuannya!"
kata lelaki penjaga pintu gerbang itu sambil mencabut goloknya. Dan bersamaan
dengan itu pula, lima orang lain yang tadi melakukan penghadangan segera
mendekati pintu gerbang.
"Tahan orang itu. Dia pengacau!" teriak mereka de-
ngan suara lantang.
Baladewa memandang kelima orang itu dengan si-
kap mengejek. Kemudian dengan suara yang sengaja
dikeraskan ia berkata, "Eh, apa sih sebenarnya mau
kalian! Sudah kubilang, aku datang ke sini hendak
bertemu dengan Ketua Perguruan Topeng Hitam. Bu-
kankah sekarang ini dia sedang mengumpulkan para
pendekar" Sekarang aku datang ke sini hendak me-
nemuinya langsung. Tapi kenapa kalian menyambutku
dengan kasar begitu" Beginikah cara orang-orang perguruan yang mempunyai nama
besar dalam menyam-
but tamunya?"
"Heh! Anak muda, dengar! Kau datang ke sini hen-
dak menemui ketua kami, tapi kenapa tidak mau se-
butkan nama" Ini jelas sangat mencurigakan dan aku
harus menghadapimu seperti musuh!" bentak lelaki
yang tadi bertanya di pintu gerbang.
'Tidak patut kalian mengenal namaku, kecuali pe-
mimpin perguruan ini!" berang Baladewa.
"Tidak bisa!" bantah lelaki itu pula.
"Kalau aku memaksa, kalian mau apa?" tantang Ba-
ladewa sengit. "Aku terpaksa mengusirmu dengan kekerasan!" ka-
ta lelaki tadi. Selanjutnya sembilan orang Perguruan Topeng Hitam itu segera
mengurung Baladewa dengan
senjata-senjata terhunus. Tapi sebelum senjata mereka melayang ke arah Baladewa,
tiba-tiba terdengar suara lantang dan berat.
"Tahan!"
Mendengar bentakan itu, sembilan orang Perguruan
Topeng Hitam yang mengurung Baladewa segera mem-
batalkan niatnya. Kemudian sambil memasukkan sen-
jata kembali, mereka mengalihkan pandangannya ke
arah mulut goa. Di sana, mereka melihat Kidarga bersama tiga lelaki gagah yang
tidak lain tiga pendekar Siluman Ular Belang.
Kidarga dan tiga pendekar Siluman Ular Belang se-
gera melangkah mendekati sembilan anak buahnya.
"Ada apa ribut-ribut?" tanya Kidarga seraya mena-
tap tajam pada seorang anak buahnya. Lalu matanya
melirik pada Baladewa yang juga tengah berdiri di antara mereka.
"Maaf, Ketua! Orang ini hendak menerobos begitu
saja ke ruangan, Ketua!" lapor seorang muridnya. Padahal pertanyaan Kidarga tadi
hanya basa-basi saja.
Karena sesungguhnya dia sudah tahu apa yang me-
nyebabkan keributan itu. Sejak tadi dia berdiri di mulut goa menyaksikan tingkah
laku pemuda asing ter-
hadap anak buahnya.
Ketika seorang penjaga pintu itu menyebut ketua,
Baladewa segera memberi hormat pada Kidarga.
"Bila tidak salah duga, Anda pasti Ketua Perguruan
Topeng Hitam!" kata Baladewa. Sesungguhnya dia ti-
dak mengenal sama sekali bagaimana sosok Ketua Per-
guruan Topeng Hitam. Apalagi selama terjun ke dunia keramaian, ia belum pernah
berhadapan dengan o-
rang-orang tersebut
Sepasang mata Kidarga yang karam dan merah
tampak begitu tajam menatap pemuda di hadapannya.
"Dugaanmu tidak keliru, Anak Muda. Aku yang
bernama Kidarga, pemimpin perguruan ini! Lalu siapa kau sesungguhnya dan mengapa
hendak berjumpa denganku?"
Baladewa sangat girang mendengar pertanyaan Ki-
darga yang nampak lembut, penuh keramah-tamahan.
"Namaku Baladewa!" sahutnya singkat.
Kidarga mengangguk-angguk. "Aku baru mengenal
namamu itu!"
"Tentu saja, Ketua! Selama ini aku hidup menga-
singkan diri di pegunungan-pegunungan. Dan ketika
mendengar kalau di sini membutuhkan orang-orang
gagah, maka aku segera turun dan langsung ke tempat ini!" sahut Baladewa.
"Asalmu dari mana?" tanya Kidarga lagi ingin tahu.
"Aku berasal dari Kampung Padomorang. Tapi se-
perti penjelasanku tadi kalau aku lama hidup di pegunungan. Jadi tidak tahu
bagaimana warna kehidupan
di desa itu. Apalagi desa-desa lain di negeri ini!" sahut Baladewa.
Kidarga mengangguk-angguk kembali sambil mene-
liti seluruh perawakan pemuda di depannya itu. Mulai dari ujung rambut sampai
ujung kaki. "Bagaimana, Ketua"! Apakah keinginanku tadi da-
pat diterima?" tanya Baladewa lagi.
Bibir Kidarga tersenyum. Sepasang matanya menco-
rong ke arah Baladewa. Hatinya sangat kagum terha-
dap kesungguhan pemuda itu.
"Untuk mengetahui diterima atau tidaknya, kau ha-
rus diuji terlebih dahulu!" kata Kidarga menjelaskan.
"Hal itu sudah aku ketahui, Ketua. Dan alangkah
baiknya jika langsung dilaksanakan uji tanding itu!"
kata Baladewa. Bibir Kidarga kembali mengembangkan senyum me-
lihat ketidaksabaran pemuda itu.
"Baiklah! Mari menuju ruang berlatih!" ajak Kidar-
ga. Mereka bersama-sama menuju ruang latihan yang
letaknya bersebelahan dengan goa kediamannya. Di-
ikuti pula oleh tiga pendekar Siluman Ular Belang.
Ruang berlatih silat itu cukup luas. Dikelilingi oleh pagar tembok yang
tingginya sekitar sepuluh meter.
Sedangkan lantainya berlapis semen. Semua itu di-
bangun atas biaya Raja Manchuria. Dengan maksud
agar tempat itu bisa pula dijadikan tempat tinggal para pendekar yang bersekutu
dengan Perguruan Topeng
Hitam. Baladewa melangkah tenang memasuki ruang lati-
han itu. Matanya tertuju pada beberapa anak buah Kidarga yang sedang berlatih
silat. Di saat Baladewa, Kidarga, dan tiga Siluman Ular
Belang melangkah tenang, tiba-tiba seorang pemuda
yang memiliki baju berlukis naga emas menghampiri
mereka dan memberi hormat kepada Kidarga.
"Saudara Baladewa, inilah Khian Liong. Dialah nan-
ti yang akan menguji tingkat kepandaianmu. Dialah
satu-satunya orang kepercayaanku selama ini. Ter-
utama tugas-tugas khusus seperti penyelidikan!" kata Kidarga memperkenalkan.
Baladewa dan Khian Liong saling berjabat tangan
hangat. Wajah mereka tampak berseri.
"Sudah siap?" tanya Khian Liong.
"Siap!" sahut Baladewa sambil menganggukkan ke-
palanya. "Kalau begitu, mari kita segera mulai!" ajak Khian
Liong. Kemudian kakinya melangkah ke tengah ruang
latihan. Diikuti oleh Baladewa yang berjalan tenang
dengan pandangan mengedari sekeliling ruangan yang
luas itu. Khian Liong dan Baladewa telah berada di tengah
ruangan. Sedangkan Kidarga dan beberapa puluh
pengikut Perguruan Topeng Hitam siap menyaksikan
pertandingan yang akan dimulai itu dengan sikap te-
gang, menunggu siapa yang unggul dalam pertandi-
ngan itu. "Bersiaplah! Aku akan menyerangmu!" kata Khian
Liong setelah keduanya saling berhadapan dengan si-
kap gagah. Selanjutnya, Khian Liong mengeluarkan seruan nyaring. Tubuhnya
berkelebat cepat hingga tak
dapat diikuti pandangan mata. Dengan gerakan cepat
itu, ia melancarkan serangan berupa totokan bertubi-tubi ke tubuh Baladewa.
"Hiaaat...! Hiyyy!"
Baladewa terkejut mendapat serangan yang begitu
cepat. Namun ia segera menyambut serangan itu de-
ngan mengerahkan ilmu peringan tubuh 'Burung Ca-
mar Terbang di Awan'. Sebuah jurus yang membuat
tubuhnya melenting ringan seperti seekor burung yang melayang-layang di udara.
Khian Liong yang membuka serangan pertama ber-
balik kaget. Begitu pula dengan penonton lainnya, termasuk Kidarga. Mereka
berkali-kali menyerukan rasa
kagum karena pertandingan kali ini benar-benar me-
narik. Bahkan beberapa pendekar lainnya yang me-
nyaksikan itu memberikan penilaian kepada Baladewa, kalau pemuda itu memiliki
banyak macam ilmu. Ter-bukti dari bermacam jurus yang ditampilkannya. Ada
silat dari Tiongkok, Pulau Jawa, dan dari negeri timur lainnya yang semua itu ia
dapatkan saat bertapa. Karena lewat bertapa itu, banyak tokoh-tokoh gagah yang
telah mati ratusan tahun silam mengunjungi Baladewa dan memberikan ilmu yang
mereka miliki kepada Bala-
dewa. Orang-orang tidak henti-hentinya berdecak kagum
melihat kepandaian Baladewa, termasuk Khian Liong
sendiri. Begitu pula dengan Kidarga yang selalu me-
nunjukkan wajah gembira setiap melihat ketangkasan
Baladewa. Ia membayangkan bila nanti Perguruan To-
peng Hitam berkuasa mutlak di negeri Selat Malaka ini lewat kehebatan pemuda
yang sedang bertanding itu.
Ditambah lagi dengan pendekar-pendekar gagah lain.
"Hiyaaat!"
Dep! Khian Liong menyerang dada Baladewa lewat tela-
pak tangan yang sudah dialiri ilmu tenaga dalam 'Lahar Panas Bergolak'. Tapi


Putri Bong Mini 05 Darah Para Tumbal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan cepat Baladewa me-
nyambut serangan itu dengan telapak tangannya pula, hingga kedua tangan itu
berbenturan lalu melekat
erat. Baladewa pun telah mengerahkan ilmu tenaga
dalam 'Angin Pendingin'.
Setelah agak lama telapak tangan keduanya me-
nempel, tiba-tiba Baladewa melakukan gerakan yang
tidak diduga oleh lawannya.
"Hiyaaat..!"
Dug! Heggg! Baladewa melompat sedikit sambil memutarkan ba-
dannya mengelilingi tubuh lawan. Dan dalam putaran
itu kakinya menendang punggung Khian Liong dengan
keras. Membuat tubuh lawan terhuyung ke depan
mencium lantai.
Para pendekar yang menyaksikan pertandingan itu
terbelalak ketika melihat tubuh Khian Liong tersungkur dengan mulut mengucurkan
darah yang cukup
banyak. Benar-benar sebuah pertandingan yang dah-
syat. Apalagi melihat Khian Liong belum dapat bangun, menahan rasa nyeri yang
teramat sangat.
Kidarga melonjak kaget dari kursinya melihat orang
yang selama ini dibanggakan tersungkur tak berdaya.
Namun ia juga senang mendapat tenaga pembantu
yang lebih pandai dan muda seperti Baladewa yang ba-ru berumur delapan belas
tahun. "Cukup. Cukup! Aku sudah puas melihat kepandai-
an silatmu!" ujar Kidarga dengan wajah berseri-seri menyambut Baladewa yang
sekarang tengah membungkuk hormat di hadapannya.
"Hari ini, aku langsung menyatakan kepadamu bah-
wa kau sudah sah menjadi pembantuku di Perguruan
Topeng Hitam!" kata Kidarga lagi dengan wajah berseri-seri. Segala persoalan
yang menggayuti pikirannya selama ini sirna setelah kedatangan Baladewa yang
telah menjadi pengikutnya.
Kemenangan Baladewa dalam uji coba dengan Khi-
an Liong bukan saja menyenangkan hati Kidarga, teta-pi juga para pendekar lain.
Hal ini disebabkan usianya yang masih muda. Khian Liong sendiri merasa jengkel
karena tersaingi.
*** 9 Senja itu, kota Girik terlihat ramai oleh orang-orang gagah yang hilir-mudik.
Mereka tidak lain para pendekar yang datang dari berbagai pelosok negeri dengan
tujuan yang tidak bisa diketahui secara pasti. Sebab wajah beringas, lembut,
atau simpatik tidak bisa jadi ukuran kalau mereka orang jahat atau sebaliknya.
Selain itu, di antara para pendekar saling menutupi diri.
Hanya sorot mata mereka saja yang menatap penuh
kecurigaan antara satu dengan lain.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh,
Bong Mini, Ong Lie, dan Seyton memasuki rumah ma-
kan dan penginapan yang agak mewah. Dan di Rumah
Makan Hin-Hin ini banyak tersedia makanan asli
Tiongkok yang cukup lezat. Ini sengaja disediakan agar orang-orang asli Tiongkok
yang sudah lama tinggal di negeri Selat Malaka dapat mengenang kembali kampung
halamannya lewat masakan yang disediakan.
Setiap hari Rumah Makan Hin-Hin selalu banyak
dikunjungi orang-orang Cina, khususnya yang berasal dari negeri Tiongkok. Hingga
tidak heran jika Bong
Mini dan kedua pengikutnya memasuki rumah makan
itu. Ruangan sudah banyak terisi. Pengunjungnya ti-
dak lain para pendekar yang baru menjejakkan kaki di negeri itu. Sehingga antara
satu dengan yang lain tidak saling mengenal.
Bong Mini menyebarkan pandangan ke sekeliling
ruangan. Di sana ada empat bangku kosong. Mereka
segera mengisi satu meja kosong.
Tidak berapa lama mereka duduk, makanan yang
mereka pesan pun segera diantar oleh seorang pelayan yang juga masih keturunan
Tionghoa. Kemudian pesanan itu diletakkan di atas meja.
Bong Mini, Ong Lie, dan Seyton segera menyantap
hidangan yang sudah tersedia di atas meja dengan la-hap. Maklumlah sejak pagi
tadi perut mereka belum
terisi makanan sedikit pun. Sehingga tidak heran bila dalam waktu singkat
hidangan yang disantap telah
habis tanpa sisa.
Di saat Bong Mini menyandarkan punggungnya ke
sandaran kursi, tiba-tiba matanya tertuju pada dua
pemuda yang sedang duduk berhadapan, tak jauh dari
tempat duduk Bong Mini. Dia melihat kedua pemuda
yang umurnya kurang lebih dua puluh lima tahun itu
sedang mengadu kesaktian tanpa sepengetahuan para
pendekar lain yang memenuhi ruangan itu.
Bong Mini mengalihkan pandangan pada pemuda
berkumis yang tengah menunjukkan kebolehannya
dengan menyalurkan hawa panas pada air anggur di
segelas cawan. Sehingga secawan anggur itu menda-
dak panas dan mengeluarkan asap yang begitu tebal.
Andai saja orang yang menerima tidak memiliki kesaktian yang cukup tinggi, air
anggur yang panas itu tidak akan berubah keadaannya sehingga yang menerima
akan merasa kepanasan.
Pemuda berambut panjang yang bergelung di ba-
gian atas kepalanya tampak melebarkan senyum, keti-
ka melihat pemuda berkumis di hadapannya itu me-
ngeluarkan hawa panas pada anggur yang kini di-
sodorkan kepadanya. Pemuda itu menerimanya sambil
mengerahkan hawa dingin yang lebih sakti lagi agar
dapat meredakan air panas itu. Sehingga ketika cawan itu beralih ke tangannya,
pemuda berambut panjang
itu langsung mereguknya sampai habis, membuat la-
wannya melongo tak berkedip. Bukan dia saja, Bong
Mini dan para pendekar lainnya yang kini menyaksi-
kan atraksi itu pun terkejut dan kagum. Mereka sama-sama mengagumi tenaga sakti
yang dimiliki oleh kedua pemuda itu.
"Huh, kesaktian semacam itu saja dipamerkan!" ti-
ba-tiba terdengar suara lembut seorang wanita. Dan
ketika semua orang menoleh, terlihat seorang perem-
puan muda berparas cantik tengah berdiri di sudut
ruangan sambil mengumbar senyum. Sedangkan pa-
kaiannya yang berwarna kuning dan terbuat dari ba-
han sutera halus terlihat begitu ketat, memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya yang
sintal. Belum hilang keterkejutan mereka, tiba-tiba wanita
tadi mengacungkan dua jarinya ke arah dua pelayan
yang sedang berdiri dengan termangu-mangu ke arah-
nya. Cuat cuat! Dari dua jari yang diarahkan pada pelayan itu me-
luncur dua jarum berwarna hitam secara berbarengan, sehingga dua pelayan itu
menjerit dan roboh tak bergerak lagi. Mereka mati akibat dua jarum hitam yang
menembus ulu hati keduanya.
Bong Mini yang menyaksikan perbuatan itu menjadi
terkejut. Karena wanita yang melakukan perbuatan ke-ji itu pernah dilihatnya.
Bahkan bertarung ketika berada di Desa Buncit. Dialah wanita yang mengaku
bernama Tinting.
"Hm..., perempuan itu ternyata tidak jera-jera juga.
Kini dia membuat keonaran di desa ini," gumam Bong
Mini dalam hati.
"Kalian semua boleh bangga jika sudah memiliki il-
mu seperti tadi!" desah wanita cantik yang memiliki bibir merah, tebal, dan agak
lebar itu dengan genit.
Kemudian ia melangkah gemulai, sehingga pinggulnya
yang berbentuk itu melenggok-lenggok.
Orang-orang di ruangan itu tampak terpaku. Seo-
lah-olah terkena hipnotis oleh keindahan pinggul wanita tadi.
"Heh, tunggu!" tiba-tiba tiga pemuda yang duduk di
sudut ruangan tersadar dari keterpakuannya. Mereka
melompat mengejar wanita yang mempunyai daya pe-
sona tadi. Diikuti pula oleh para pendekar lain, termasuk Bong Mini dan dua
pengikutnya. Wanita cantik yang memiliki tubuh sintal tadi se-
gera menghentikan lenggak-lenggoknya ketika mende-
ngar seruan tiga pemuda tadi. Dia membalikkan tu-
buhnya dengan lembut dan wajahnya menatap tiga
pemuda yang umurnya kurang lebih dua puluh lima
tahun itu. "Aiiih...! Kukira siapa orang yang memanggil tadi.
Ternyata tiga pemuda tampan dan gagah!" desah wani-
ta cantik itu sambil memainkan kedua tangannya den-
gan lemah-gemulai, layaknya seorang penari. Sedang-
kan sepasang matanya yang bundar dan bening tam-
pak berkerjap-kerjap, menggoda tiga pemuda yang
berdiri di depannya.
Tiga pemuda yang berdiri di depan wanita cantik itu memang mempunyai wajah yang
cukup tampan. Kulit
mereka putih kemerah-merahan. Di atas matanya yang
sipit, terukir alis mata yang cukup tebal. Berambut pendek serta berpakaian
kemeja tangan panjang warna putih yang dikenakan bersama celana yang juga
berwarna putih, membuat mereka lebih simpatik. Mereka
adalah Tiga Pendekar Mata Dewa.
"Siapa kalian bertiga?" tanya wanita cantik itu se-
raya tersenyum genit.
"Kami Tiga Pendekar Mata Dewa berasal dari negeri
Manchuria! Dan siapa namamu"!" tanya seorang dari
Tiga Pendekar Mata Dewa. Suaranya tenang dan berat, hingga memberikan kesan
berwibawa. "Namaku Nyi Genit dari Perguruan Topeng Hitam!"
ucap wanita cantik itu.
Semua pendekar di tempat itu tampak terkejut keti-
ka mendengar nama Perguruan Topeng Hitam. Karena
kedatangan mereka ke negeri itu pun ada hubungan-
nya dengan Perguruan Topeng Hitam. Hanya tujuan-
nya saja yang mereka rahasiakan.
Bong Mini pun tersentak kaget. Karena saat ia ber-
hadapan di Bukit Buncit beberapa waktu yang lalu,
wanita itu menyebut namanya Tinting. Tapi sekarang, ketika berhadapan dengan
Tiga Pendekar Mata Dewa,
wanita tersebut memperkenalkan dirinya dengan nama
Nyi Genit. Mana yang benar" Pikir Bong Mini.
"Kebetulan sekali kalau kau dari Perguruan Topeng
Hitam. Sebab kedatangan kami ke sini ada hubu-
ngannya dengan perguruanmu!" kata pemuda tadi me-
wakili kedua temannya yang berdiri di kiri kanannya.
"Ada maksud apa gerangan?" tanya Nyi Genit.
"Maksudku hendak menghancurkanmu bersama-
sama Perguruan Topeng Hitam!" cetus pemuda tadi.
Walau kata-kata tadi cukup pedas terdengar di teli-
nga Nyi Genit, wanita tersebut tetap bersikap ramah.
Dan dengan bibir tersenyum ia berkata, "Aiiih..., sungguh tidak pantas lelaki
gagah seperti kalian marah-
marah pada seorang wanita!"
"Seharusnya memang begitu. Tapi yang kuhadapi
sekarang bukanlah wanita lembut yang patut dihorma-
ti dan dilindungi. Melainkan wanita iblis yang harus dihadapi dengan kekerasan!"
kata pemuda yang berdiri di antara kedua temannya itu. Suaranya sudah tidak
lagi terdengar lembut. Melainkan penuh caci-maki
yang menyakitkan! Tapi karena wanita yang dihadapi-
nya bukanlah wanita biasa, maka kata-kata yang me-
manaskan telinganya itu justru disambutnya dengan
senyum menggoda.
"Aiiih, galak amat! Bukankah kita bisa bicara secara baik-baik?"
"Maksudmu?"
Mata bulat gemerlap itu terlihat mengerling. Bibir-
nya tersenyum penuh makna.
"Maksudku dengan cara yang lebih tenang dan pe-
nuh kehangatan!"
"Perempuan lacur!"
"Iblis jalang!"
"Perusak!"
Tiga Pendekar Mata Dewa yang masing-masing ber-
nama Kao Cin Liong, Sin Hong, dan Kui Lok memaki
penuh emosi. Kemudian mereka membuat kurungan
segitiga. Sedangkan wanita yang dikurung tampak te-
nang saja. "Kalian memang orang-orang gagah. Majulah! Siapa
yang ingin menikmati tubuhku terlebih dahulu!"
Tiga Pendekar Mata Dewa yang sudah marah sema-
kin geram mendengar kata-kata wanita itu, kata-kata rendah yang menjijikkan bagi
telinga-telinga sopan.
Sedangkan bagi mereka yang gemar mengumbar nafsu
iblis, tentu ucapan itu merupakan satu tantangan
yang menyenangkan.
"Kau memang wanita yang perlu diberikan pelajaran
agar tahu bagaimana cara menghormati kehormatan-
mu sendiri!" geram Kao Cin Liong yang sejak tadi menjadi juru bicara kedua
temannya. Atas ajakannya pula mereka datang ke negeri Selat Malaka dengan tujuan
menolong rakyat dari kebiadaban orang-orang Pergu-
ruan Topeng Hitam. Hal itu diketahui ketika mende-
ngar Raja Manchuria mengirim para pendekar untuk
membantu gerakan Perguruan Topeng Hitam.
Kao Cin Liong yang sudah naik pitam segera mener-
jang ke arah Nyi Genit dengan totokan jari-jari ta-
ngannya yang dilakukan secara beruntun ke arah tu-
juh jalan darah terpenting di bagian depan tubuh wanita itu.
Plak plak! Desss! Sungguh di luar dugaan. Nyi Genit yang sejak tadi
hanya diam saja, tiba-tiba menyambut serangan itu
secara berbarengan, hingga tubuh penyerangnya ter-
lempar ke belakang, lalu terbanting dan pingsan mencium tanah. Debu mengepul
dari tempat yang tertimpa tubuhnya.
Melihat temannya begitu mudah dirobohkan, pemu-
da yang kedua menjadi geram. Dia berseru keras me-
nerjang Nyi Genit sambil menyambar-nyambarkan pu-
kulannya. Melihat serangan susulan itu, Nyi Genit segera bergerak mengelakkan
tendangan dan pukulan
lawan dengan lincah disertai tendangan balasan. Na-
mun dengan cepat pula pemuda kedua itu mengelak-
kannya. Sementara itu, di antara para pendekar yang me-
nyaksikan pertempuran, Bong Mini tampak memper-
hatikan sungguh-sungguh. Sepasang matanya begitu


Putri Bong Mini 05 Darah Para Tumbal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lincah mengikuti gerakan-gerakan tubuh dua orang
yang bertarung.
Pemuda kedua dari Tiga Pendekar Bermata Dewa
kembali berdiri gagah menghadapi wanita genit dari jarak lima meter. Dia
bersiap-siap untuk menerjang lawannya kembali dengan pukulan 'Tapak Tangan Dewa'
yang dipelajarinya selama lima tahun di negeri Pano-rama Biru.
Pukulan 'Tapak Tangan Dewa' yang dilancarkan
pemuda kedua ini amat berbahaya. Sebab dari puku-
lan yang dilayangkan akan menyebar hawa racun yang
sulit disembuhkan! Namun besar kecilnya bahaya yang diderita lawan tergantung
dari besar kecilnya tenaga dalam yang dikeluarkan saat memukul. Sedangkan
pemuda itu mengerahkan pukulannya hanya setengah
tenaga. Dia hanya ingin memberikan pelajaran kepada wanita genit itu tanpa
membunuhnya. Tapi apa yang dia kehendaki bertolak belakang dari
kenyataan. Karena pada saat pemuda itu menyerang,
Nyi Genit telah mendahului serangannya dengan 'Pu-
kulan Angin Sakti'.
Duk! "Aaakh...!"
Tubuh pemuda itu terpental dan membentur tanah
dengan keras. Beberapa saat, dia hanya dapat menggeliatkan tubuhnya, menahan
rasa nyeri yang teramat
sangat. "Bedebah! Kubunuh kau, Perempuan Iblis!" geram
pemuda ketiga yang sejak tadi hanya melihat pertem-
puran. Kini ia menerjang ke arah lawan penuh nafsu
setelah melihat dua temannya berhasil dirobohkan.
Wanita genit itu kembali berdiri tenang sambil terus mengumbar senyum
meremehkan! Karena dia telah
berhasil merobohkan dua lawannya dengan mudah,
berarti pemuda yang ketiga pun tidak jauh berbeda
dengan kedua orang tadi.
Dugaan Nyi Genit meleset. Sebab pada saat tangan-
nya mencengkeram tubuh pemuda itu, lawannya se-
gera menghindar dan lolos. Dan wanita ini semakin
kaget ketika melihat kaki lawannya menggeser ke
samping disertai tangan kiri yang menotok ke arah
lambungnya dengan cepat. Wanita itu cepat-cepat me-
narik tangannya kembali dan menangkis sambil men-
coba mencengkeram lengan lawan.
Duk! Sebuah tangkisan telah membuat tubuh wanita tadi
tergetar, hingga ia membatalkan niatnya untuk men-
cengkeram. Tangannya sendiri sudah ditarik saking
kagetnya. Dia menyadari, betapa lawannya yang beru-
sia muda itu memiliki tenaga yang luar biasa! Dari pertemuan lengan itu ia dapat
menilai kalau pemuda yang satu ini jauh lebih pandai dari kedua temannya. Dia
bukan lawan yang bisa dianggap remeh. Namun demikian, bukan berarti dia harus
menguras tenaga untuk menghadapinya. Sebab bagaimanapun juga ilmu yang
dimilikinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pemuda itu. Yang diperlukan
dalam menghadapi pemuda
ketiga ini adalah kewaspadaan!
Sebenarnya bisa saja Nyi Genit menjatuhkan ketiga
lawannya sekaligus tanpa harus buang-buang waktu
dan tenaga. Namun hal itu sengaja tak dilakukan, karena dia punya rencana
tertentu sebelum mengakhiri-
nya, yaitu mengencani dan mengisap darahnya satu
persatu. Pemuda ketiga dari Pendekar Bermata Dewa telah
memasang jurus-jurusnya kembali. Sebentar kemu-
dian tubuh pemuda itu pun telah berkelebat ke depan dengan kecepatan seperti
kilat secepat gerakan kedua tangannya yang mengandung tenaga cukup, hingga
menimbulkan angin yang cukup besar pula. Lawannya
terkejut dan membalikkan tubuhnya. Tapi ...
Bresss! Dukkk! Wanita genit yang mempunyai tubuh sintal itu ke-
colongan. Brukkk! Tubuhnya terlempar ke belakang dan menabrak se-
batang pohon. Untunglah Nyi Genit memiliki kepan-
daian yang amat tinggi. Kalau tidak, tentu tulang-
tulangnya akan remuk.
Nyi Genit telah selamat dari bahaya yang mengan-
camnya. Kini tubuhnya bangkit kembali dengan gagah.
Namun wajahnya sangat berbeda dari sebelumnya. Bi-
bir merahnya yang menantang yang selalu banyak
mengumbar senyum kini berubah dengan seringai
yang amat mengerikan, seketika itu juga, pesona wa-
jahnya lenyap. Matanya berkilat-kilat, diiringi suara kaku dan ketus, penuh
kemarahan! "Anak muda tidak tahu diri! Dikasih hati malah ku-
rang ajar! Sekarang, rasakanlah pembalasanku!" ge-
ramnya sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah
lawan. Cuat cuat cuat!
Ujung jari itu tampak bersinar merah. Sekejap ke-
mudian memuntahkan tiga buah jarum hitam beracun
ke arah lawan. Tapi pemuda ketiga itu langsung me-
nyadari perbuatan wanita yang di hadapannya. Saat
lawannya menudingkan jari telunjuk ke arahnya tadi, ia melompat cepat dan
bersalto disertai pengerahan te-
naga peringan tubuh. Tiga jarum beracun yang dike-
rahkan wanita itu pun luput dari sasaran.
Perempuan genit itu marah bukan main melihat se-
rangannya tidak mengenai sasaran. Darahnya berdesir panas ke seluruh tubuh.
Malah bola mata bundar yang sebelumnya memikat hati, berubah menjadi merah
menyala, seolah menyimpan bara api. Sepasang mata
yang merah menyala itu tampak menyorot tajam pada
lawan. Melihat perubahan sikap wanita itu, dua pemuda
lain yang sempat dirobohkan segera membantu. Me-
reka mengambil posisi segi tiga mengurung. Mereka
sadar, bagaimanapun gigih temannya melawan wanita
itu, dia tetap akan kalah. Karena kepandaian mereka masing-masing masih jauh di
bawah lawan. Dalam
soal jurus mereka memang unggul. Tapi dalam hal ke-
saktian, lawannya lebih hebat.
Untuk menghadapi wanita itu mereka memperguna-
kan pedang masing-masing.
"Bagus! Rupanya kalian tetap siap untuk mati!" se-
ringai wanita yang berubah menakutkan itu.
Tiga pemuda itu tidak memberikan tanggapan. Ke-
cuali serentak melakukan serangan ke arah lawan di-
sertai lengkingan tinggi.
"Hiaaat!"
Sing sing singngng!
Tiga pedang berdesing-desing dan menyambar la-
wan dengan cepat. Namun bagaimanapun baiknya per-
mainan pedang mereka, tak satu pun di antara tiga
pedang itu yang berhasil menggores tubuh lawan. Tu-
buh Nyi Genit rupanya bergerak mengelak dengan ke-
cepatan dua kali lipat dari kecepatan Tiga Pendekar Mata Dewa. Sehingga
pertempuran itu memberikan kesan seperti tiga lelaki yang sedang memburu baya-
ngan. "Aaakh!"
Tiba-tiba satu di antara tiga pemuda itu mengeluh.
Disusul dengan robohnya tubuh lelaki tadi dan tak dapat bergerak lagi. Tanpa
diduga oleh mereka, lawan telah melakukan serangan menotok, membuat seluruh
persendian tulang-tulangnya tak dapat digerakkan.
Hanya mata dan telinganya saja yang masih dapat ber-fungsi.
Melihat temannya roboh dengan tubuh lumpuh,
dua temannya semakin gencar melakukan serangan-
serangan ke arah lawan. Namun kepandaian wanita itu sangat sulit tertandingi.
Setiap kali pedang dua pemuda itu berkelebat, setiap kali pula lawan lenyap
seperti angin. Sambil melakukan gerakan mengelak, diam-diam
Nyi Genit membuka selendang panjang berwarna hi-
tam yang selalu membelit pinggangnya. Kemudian se-
lendang panjang itu diulur ke arah dua lawannya se-
kaligus. Sungguh menakjubkan! Selendang hitam yang di-
ulurkan wanita itu seperti mempunyai kekuatan gaib yang luar biasa, bergerak ke
sana kemari mencari sasaran. Begitu sasarannya telah didapat, selendang itu
bergerak menggulung tubuh dua lawannya.
Dua pemuda yang terkena lilitan selendang hitam
berusaha bergerak, melepaskan lilitan selendang sakti itu. Tapi jangankan
bergerak, membuka mulut saja
mereka tidak mampu. Karena selendang hitam itu te-
lah melilit tubuh keduanya sampai sebatas leher, hingga sulit untuk bernapas.
Kemudian tubuh mereka
yang sudah terjerat selendang sakti bergerak mende-
kati Nyi Genit. Setelah dekat, wanita itu memberikan dua totokan pada punggung
keduanya. Dalam sekejap,
kedua pemuda itu kehilangan tenaga, sama seperti temannya yang sudah lebih dulu
terbaring di tanah tan-
pa dapat berbuat apa-apa. Kemudian tubuh kedua
pemuda yang tidak berdaya itu diletakkan di dekat temannya yang lain hingga
berjejer. "Kalian tiga orang pemuda yang gagah dan tampan,"
kata Nyi Genit, kembali berubah lembut dan menarik.
"Dan sebelum aku mengirimmu ke neraka, aku akan
memberikan kehangatan yang luar biasa. Biar kalian
bertiga tidak menyesal meninggalkan kehidupan dunia ini!" sambung wanita itu
seraya tersenyum-senyum.
"Rupanya kau belum jera juga, Perempuan Iblis!" ti-
ba-tiba terdengar suara lantang di antara para pen-
dekar yang sejak tadi hanya melongo menyaksikan
pertempuran antara Tiga Pendekar Mata Dewa dengan
wanita genit itu.
Nyi Genit yang akan melakukan aksinya terhadap
ketiga pemuda yang siap menjadi mangsanya itu lang-
sung terkejut melihat gadis mungil yang melangkah
tenang ke tengah arena pertempuran. Dia lebih terkejut lagi ketika melihat dan
meneliti penampilan gadis itu. Gadis berbaju merah yang berdiri angkuh di
depannya itu pernah dia kenal beberapa waktu yang lalu.
Siapakah wanita yang tiba-tiba menghentikan aksi
Nyi Genit" Mengapa wanita iblis itu terkejut" Bagaimana kelanjutan kisah
Baladewa yang bersekutu de-
ngan Perguruan Topeng Hitam" Apa tujuannya" Apa-
kah pemuda itu telah berubah jahat"
Ikutilah kisah seru Putri Bong Mini selanjutnya da-
lam episode selanjutnya: 'Rahasia Pengkhianatan Ba-
ladewa'. SELESAI Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
1 *** *** 2 *** *** *** *** 3 *** 4 *** *** 5 *** 6 *** *** 7 *** 8 *** *** 9 SELESAI Tusuk Kondai Pusaka 3 Pendekar Gila 40 Empat Bidadari Lembah Neraka Prahara Rimba Buangan 2
^