Pencarian

Pembalasan Pendekar Bule 1

Wiro Sableng 054 Pembalasan Pendekar Bule Bagian 1


Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
BASTIAN TITO Mempersembahkan :
PENDEKAR KAPAK NAGA GENI
WIRO SABLENG Episode ke 054 :
Pembalasan Pendekar Bule
Ebook by : Tiraikasih (Kang Zusi)
Scanning kitab by : Aby Elziefa
mailto:22111122@yahoo.com
Bastian Tito Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
PENDEKAR 212 WIRO SABLENG SESAAT BERDIRI MEMANDANGI BANGUNAN BESAR BERBENTUK
JOGLO ITU. "BANGUNAN BEGINI BESAR TAPI TIDAK SATU MANUSIAPUN KELIHATAN," KATA MURID SINTO
GENDENG DALAM HATI. DI SAMPING KANAN BANGUNAN TAMPAK SEBUAH KERETA PUTIH. TAK JAUH DARI
SITU SEEKOR KUDA PUTIH TENGAH MENCARI MAKAN DI HALAMAN YANG BANYAK DITUMBUHI RUMPUT LIAR.
BINATANG INI TAMPAK GELISAH. SEBENTAR-SEBENTAR DIA MENEGAKKAN KEPALA LALU
MERINGKIK. WIRO MENDEKATI KUDA PUTIH INI LALU MENGUSAP-USAP LEHERNYA SAMPAI
BINATANG INI TENANG KEMBALI, MALAH BALAS
MENGGESER-GESERKAN PIPINYA KE BAHU SANG PENDEKAR.
"NENEK HANTU BULAI! APAKAH KAU ADA DI RUMAH"!" WIRO BERTERIAK MEMANGGIL
SESEORANG YANG PUNYA GELAR ANEH YAITU SI PEMILIK RUMAH BESAR.
SUARA SANG PENDEKAR MENGGEMA SESAAT. DIA MENUNGGU. TAK ADA JAWABAN. WIRO BERSERU
SEKALI LAGI. SEKALI LAGI. TETAP HANYA KESUNYIAN YANG MENYAMBUT. DIA LALU
MEMASANG TELINGA.
LAPAT-LAPAT DIA MENDENGAR SUARA SEPERTI AIR MENCURAH DI SEBELAH
TIMUR BANGUNAN.
"AGAKNYA ADA AIR TERJUN DI BELAKANG SANA..." PIKIR WIRO. LALU DIA PUN MELANGKAH
CEPAT MENUJU BELAKANG BANGUNAN. TANAH DI BAGIAN BELAKANG BANGUNAN BERBENTUK JOGLO ITU
TERNYATA MENURUN TAJAM MEMBENTUK SEBUAH JURANG KECIL. DI SEBELAH TENGAH ADA
TANGGA YANG DIBUAT
DARI SUSUNAN BATU KALI. DI KIRI KANAN TANGGA TUMBUH RAPAT SEMAK BELUKAR DIPAGARI
OLEH POHOH-POHON BESAR. SUARA AIR YANG MENCURAH ITU DATANG DARI DASAR JURANG.
WIRO MELANGKAH MENURUNI TANGGA BATU DEMI BATU SAMBIL MENGHITUNG SEMENTARA
SEPASANG MATANYA MENGAWASI KEADAAN DI SEKITARNYA. PADA HITUNGAN KE TIGA BELAS, BERARTI
PADA ANAK TANGGA ATAU BATU KALI YANG KE TIGA BELAS, PENDEKAR 212 HENTIKAN
LANGKAH. "ANGKA TIGA BELAS..." MEMBATIN PEN DEKAR 212. "AKU TIDAK PERCAYA SEGALA MACAM
TAHAYUL, TAPI KAKIKU MENDADAK SAJA TERHENTI PADA LANGKAH KE TIGA BELAS. HATIKU
TIBA-TIBA SAJA MERASA TIDAK
ENAK..." KEDUA MATA MURID SINTO GENDENG MENATAP TAK BERKESIP LURUS-LURUS KE DEPAN. DI
UJUNG TANGGA BATU MELINTANG SEBUAH SUNGAI KECIL DANGKAL PENUH DENGAN BEBATUAN BERWARNA
HITAM. DISEBERANG SUNGAI KECIL INI MENCURAH SEBUAH AIR TERJUN SETINGGI HAMPIR DELAPAN
TOMBAK. YANG DIPERHATIKAN PENDEKAR 212 BUKANLAH AIR TERJUN ITU, MELAINKAN SEBATANG POHON
BERINGIN YANG TUMBUH DI SEBELAHNYA. DAN BUKAN PULA POHON BERINGIN ITU YANG MENJADI PUSAT
PANDANGAN MATANYA, MELAINKAN SESOSOK TUBUH BERPAKAIAN SERBA PUTIH, BERKULIT BULAI, YANG
TERGANTUNG DI AKAR POHON, KAKI KE ATAS KEPALA KEBAWAH! RAMBUTNYA YANG PUTIH
TERGERAI LEPAS, MELAMBAI-LAMBAI DITIUP ANGIN. KEDUA TANGANNYA TERKULAI KEBAWAH!
"NENEK HANTU BULAI!" TERIAK WIRO TERCEKAT. TANPA PIKIR PANJANG LAGI MURID SINTO
GENDENG INI MELOMPATI TANGGA BATU, TERJUN KE DALAM SUNGAI DANGKAL, LARI KE ARAH
POHON BERINGIN.
"NENEK BULAI! SIAPA YANG BERBUAT KEJI BEGINI RUPA TERHADAPMU"!" TERIAK
WIRO BEGITU SAMPAI DI HADAPAN SOSOK TUBUH YANG TERGANTUNG. LALU DIA SEGERA
BERTINDAK UNTUK
MEMUTUSKAN AKAR YANG MENGIKAT KEDUA PERGELANGAN KAKI PEREMPUAN TUA ITU.
JUSTRU PADA SAAT ITU ORANG YANG TERGANTUNG MEMBUKA KEDUA MATANYA. TERNYATA ORANG
INI BELUM MATI WALAU MAUT TAK MUNGKIN DIHINDARINYA DALAM WAKTU BEBERAPA SAAT
LAGI! SEPASANG MATA YANG TAMPAK SANGAT MERAH TANDA BANYAK DARAH TERKUMPUL DISITU MEMBUKA HANYA
SESAAT. "KATAKAN SIAPA KAU YANG MUNCUL DISAAT AKU SEKARAT BEGINI"!" TIBA-TIBA SI NENEK
KELUARKAN SUARA SANGAT PERLAHAN, HAMPIR TIDAK TERDENGAR DIANTARA DERU AIR TERJUN.
"AKU WIRO SABLENG. MURID EYANG SINTO GENDENG DARI GUNUNG GEDE. AKU DATANG
MEMBAWA PESAN GURU..." "LUPAKAN SAJA PESAN ITU. SEBENTAR LAGI AKU AKAN MATI..."
"AKU AKAN MENURUNKAN TUBUHMU, NEK..."
"TIDAK USAH! PERTOLONGAN TAK ADA GUNANYA LAGI. UMURKU HANYA TINGGAL BEBERAPA
SAAT..." Bastian Tito Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
PENDEKAR 212 MANA MAU PERDULI. DIA CABUT KAPAK MAUT NAGA GENI 212 DARI
PINGGANGNYA. SINAR
BERKILAUAN BERKIBLAT DISERTAI SUARA GAUNGAN DAHSYAT.
CRASSS SEKALI TABAS SAJA SEMBILAN AKAR GANTUNG POHON BERINGIN PUTUS. TUBUH SI NENEK
BULAI JATUH KE BAWAH. WIRO CEPAT MENYAMBUTNYA, MENDUKUNGNYA BEBERAPA LANGKAH LALU Dl8ATU
TEMPAT YANG BERSIH DAN TERLINDUNG DARI SINAR MATAHARI TUBUH PEREMPUAN TUA BERGELAR
HANTU BULAI ITU DIBARINGKANNYA. WIRO MEMPERHATIKAN DAN DIAM-DIAM DIA MAKLUM, APA
YANG DIKATAKAN SI NENEK ADALAH BENAR. UMUR PEREMPUAN TUA INI TAK AKAN LAMA LAGI.
HANYA KEKUATAN LUAR BIASA YANG DIMILIKINYA MEMBUAT KEMATIANNYA MASIH BISA
TERTUNDA BEBERAPA SAAT SERTA MASIH
SANGGUP BICARA.
SALAH SATU BAGIAN PAKAIAN NENEK BULAI TAMPAK ROBEK. LALU ADA BEBERAPA LUKA
MENGOYAK DAGING LENGAN DAN PUNGGUNGNYA.
"NEK, SEBELUM KAU MENGHADAP TUHAN LEKAS KATAKAN SIAPA YANG MELAKUKAN KEBIADABAN
INI ATAS DIRIMU..."
"MURID SINTO GENDENG, APAKAH KAU HENDAK MEMBALASKAN SAKIT HATI DENDAM
KESUMATKU...?"
"AKU BERSUMPAH NEK!" SAHUT WIRO.
"AKU TIDAK MEMINTA, TAPI JIKA KAU MEMANG INGIN BERBUAT KEBAJIKAN AKU TIDAK
MENOLAK. ORANG ITU ADALAH BEBERAPA TOKOH SILAT KAKI TANGAN GANDABOGA, ADIPATI KARANGANYAR! AKU
TIDAK TAHU NAMA MEREKA SATU PERSATU. MEREKA BERJUMLAH TIGA ORANG. TAPI AKU TAHU MEREKA
ADALAH ORANG-ORANGNYA GANDABOGA..."
"BIADAB! MEREKA AKAN MENERIMA KEMATIAN LEBIH MENGERIKAN DARI YANG
KAU DERITA INI NEK..."
"MURID SINTO GENDENG, ADA SATU HAL LAIN YANG LEBIH PENTING..."
"CEPAT KATAKAN NEK..."
"SESAAT SEBELUM TIGA BANGSAT ITU MUNCUL, AKU BARU SAJA MELEPAS MURID TUNGGALKU
BERNAMA PADANARAN. DIA MEWARISI SELURUH KEPANDAIANKU. TAPI DIA BELUM PUNYA
PENGALAMAN MENGARUNGI DUNIA PENUH KELICIKAN INI. WALAU DIA TAK PERNAH BICARA
TAPI AKU TAHU DIMASA KECILNYA ORANG
YANG MEMELIHARANYA ADA SILANG SENGKETA DENGAN ADIPATI KARANGANYAR ITU. DAN DIA
PASTI AKAN MENCARINYA... SATU HAL AKU MOHON PADAMU, SUSUL DIA, BANTU AGAR DIA JANGAN
MENDAPAT CELAKA.
AKU..." UCAPAN SI NENEK CUMA SAMPAI DISITU. LIDAHNYA MENDADAK KELU. DARI
TENGGORAKANNYA TERDENGAR SUARA SEPERTI TERCEKIK. NYAWANYA LEPAS MENINGGALKAN
TUBUH KASAR. WIRO PANDANGI WAJAH TUA YANG MALANG ITU SESAAT LALU USAP DAN
TUTUPKAN SEPASANG MATA SI NENEK.
"PADANARAN..." DESIS WIRO. "AKU TAK PERNAH MENGENAL MURID SI NENEK INI. SATU-
SATUNYA JALAN IALAH PERGI KE KARANGANYAR DAN MENYELIDIK... SILANG SENGKETA. DUNIA INI AGAKNYA
TAK PERNAH LEPAS DARI SILANG SENGKETA DAN DENDAM KESUMAT!" PENDEKAR 212 MENGHELA NAFAS
PANJANG DAN GARUK-GARUK KEPALANYA.
WIRO BANGKIT BERDIRI, MEMANDANG BERKELILING MENCARI-CARI TEMPAT YANG BAIK DIMANA
NENEK BERGELAR HANTU BULAI ITU DAPAT DIKUBURKANNYA. SELAGI DIA MENCARI-CARI BEGITU
TIBA-TIBA ADA SUARA BERDESING HALUS DISERTAI KILATAN MELESAT DI UDARA, MENYAMBAR
KE ARAHNYA! "PEMBOKONG JAHANAM!" MAKI PENDEKAR 212. KAPAK MAUT NAGA GENI 212 YANG MASIH
DIGENGGAMNYA DI TANGAN KANAN DIBABATKAN KEUDARA.
"TRANG... TRANG... TRANG!"
TIGA DARI EMPAT BUAH YANG TADI MENYAMBARNYA MENTAL BERPATAHAN. BENDA KEEMPAT
TERHEMPAS KE KIRI DAN MENANCAP DI BATANG SEBUAH POHON. WIRO MELIHAT BAYANGAN
SESEORANG BERKELEBAT DI UJUNG TANGGA BATU SEBELAH ATAS. SERTA MERTA WIRO HANTAMKAN TANGAN
KIRINYA MELEPAS PUKULAH "SINAR MATAHARI!"
CAHAYA BERKILAUAN MENYAMBAR. HAWA PANAS MENGHAMPAR.
Bastian Tito Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
"BUMMM! BYAARR!"
SEMBILAN BATU KALI YANG JADI ANAK TANGGA HANCUR BERMENTALAN. TANAH DISEKITAR
SITU AMBLAS BERHAMBURAN. PEPOHONAN DAN SEMAK BELUKAR YANG TERSAMBAR HAWA PANAS PUKULAN SAKTI
ITU TAMPAK MENGHITAM SEPERTI DIBAKAR! TAPI BAYANGAN ORANG YANG TADI DILIHAT WIRO
BERHASIL MELARIKAN DIRI DAN LENYAP DARI TEMPAT ITU.
WIRO MEMAKI DALAM HATI. DIA INGAT PADA BENDA YANG MENANCAP DI POHON, CEPAT
BALIKKAN DIRI DAN MELANGKAH KEARAH POHON ITU. BENDA YANG MENANCAP DI SITU
TERNYATA ADALAH SENJATA RAHASIA BERBENTUK SEBILAH PISAU TIPIS YANG KEDUA
PINGGIRANNYA BERGERIGI TAJAM SEPERTI GERGAJI.
"HEMMMMM...," GUMAM WIRO. "PEMBOKONG TOLOL... KAU MENINGGALKAN CIRI CIRIMU
SENDIRI. KINI AKU TAHU SIAPA DIRIMU...!" PISAU TIPIS ITU DIMASUKKANNYA KE DALAM
SAKU BAJUNYA. Bastian Tito Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
SATU RIUHNYA SUARA ANAK-ANAK bermain bola rotan bukan alang kepalang. Apalagi kalau
ada salah satu pihak yang bertanding berhasil membobolkan gawang lawan yang
terbuat dari potongan bambu yang ditancapkan ke tanah. Masing-masing pihak
berjumlah delapan anak. Belasan anak lainnya yang tidak ikut main menonton di
pinggir lapangan. Justru suara anak-anak yang menonton inilah yang paling ramai,
"Bermain bola harus sebelas lawan sebelas!" berteriak seorang anak dari tepi
lapangan. "Betul!" menimpali kawan disebelahnya.
"Sebaiknya ditambah tiga- tiga. Biar ramai!"
Anak-anak yang berada dilapangan mengangkat tangan tanda setuju. Tapi dari
pinggir tanah lapangan berumput kasar itu hanya lima anak yang mau ikut bermain.
"Ahl Kurang satu! Masakan yang lain tak Ada yang mau ikut main"!"
"Biar aku yang main!" tiba-tiba terdengar suara seorang anak berteriak seraya
berlari mendatangi dari tepi tanah lapang sebelah timur. Semua anak berpaling.
Lalu tampak anak-anak itu mencibir bahkan ada yang mengangkat tangan membentuk
tinju. Sesaat kemudian seperti diatur semua anak itu berseru :
"Huuuuuuu!"
"Bule anak setan! Mana pandai kau main bola rotan!" kata seorang anak.
"Memandang saja tidak becus! Jangan-jangan kaki kami nanti yang kau tendang!"
teriak seorang anak.
Terdengar suara anak-anak tertawa dan mencemooh.
Seorang anak lain berteriak : "Kami lebih suka kurang satu dari pada main
bersamamu!"
"Kulitmu lain dengan kulit kami! Sebaiknya kau main dengan anak-anak tuyul!"
Kembali terdengar suara tawa riuh rendah.
"Monyet bulai! Lekas menyingkir ke tepi lapangan! Kalau tidak akan kami gotong
kau ramai-ramai dan cemplungkan ke kubangan kotoran kuda!"
Anak lelaki sepuluh tahun yang tadi begitu berharap dapat turut serta bermain
bola rotan bersama anak-anak seusianya itu sesaat hanya bisa tegak terdiam. Bola
matanya yang kelabu bergerak kian kemari dan tangan kanannya ditudungkan diatas
mata karena tak tahan sinar matahari pagi yang mulai terik. Rambut- nya sangat
pirang, bahkan sepasang alis dan bulu matanya juga pirang. Kulitnya putih bulai
penuh bercak-bercak bekas gigitan nyamuk.
"Kawan-kawan! Monyet bulai ini benar-benar ingin kita cemplungkan ke dalam kolam
kotoran kuda! Seorang anak berteriak ketika dilihatnya si bulai itu masih berada
di lapangan. Beberapa anak segera bergerak mendekati.
Melihat hal ini anak lelaki bulai itu cepat- cepat melangkah ke pinggir lapangan
sambil berkata : "Kalau kalian tidak suka aku ikut main tak jadi apa. Biar aku
menonton saja dari jauh. ."
"Menonton kami bermainpun kau tidak layak! Pergi dari sini!" teriak seorang anak
berkulit hitam bermata besar. Namanya Suradadi.
"Ayo pergi dari sini!"
Anak lelaki bulai itu memandang sayu dengan sepasang matanya yang kelabu dan
lalu bergerak, lalu perlahan-lahan dia memutar tubuh hendak meninggalkan tempat
itu. Tiba-tiba ada suara anak perempuan berkala : "Padanaran, jangan pergi dulu...!"
Si bulai hentikan langkahnya dan berpaling. Dia tersenyum ketika melihat wajah
mungil yang manis itu. "Ada apa Tarini?"
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Anak perempuan bernama Tarini menjawab : "Kau tetap disini saja Padanaran. Aku
mau bertanya pada anak sombong itu!" Lalu anak perempuan ini melangkah ke tengah
lapangan, langsung menghadapi Suradadi yang rupanya memang dianggap sebagai
pimpinan oleh anak- anak yang ada di tempat itu.
"Suradadi, kau dan kawan-kawanmu tidak mau mengajak Padanaran bermain bola.
Kenapa kalian sejahat itu"!"
Bola mata Suradadi yang besar tampak membeliak. Lalu dia berpaling pada kawan-
kawannya. Dan meledaklah tawa anak-anak itu.
"Dewi kecil ini hendak bertindak sebagai pembela rupanya!" berteriak seorang
anak. Suradadi letakkan kedua tangannya di pinggang lalu berkata : "Kami tidak suka
bermain dengan dia bukan baru sekarang ini. Tapi dari dulu-dulu. Kami tidak sama
dengan dia. Kami anak-anak dari orang tua baik-baik.
Sedang dia! Ibunya dikawin oleh hantu! Lihat saja kulitnya bule seperti hantu!'
Gelak tawa menyusul ucapan Suradadi itu.
Paras Tarini tampak merah sementara Padanaran hanya bisa tegak tertegun.
"Mulutmu keji amat Suradadi! Bagaimana kau bisa bicara sejahat itu! Apakah ayah
atau Ibumu yang mengajarkan"!" bertanya Tarini.
"Tidak ada yang mengajariku dewi cilik! Tapi semua orang di dukuh Sawahlontar
tahu kalau ibu Padanaran adalah manusia tapi ayahnya hantu putih! Bukan begitu
kawan-kawan..."!"
"Betullllllll!" jawab semua anak. "Karena itu si Padanaran kulitnya bulai
matanya kelabu rambut dan alisnya pirang!" Lalu kembali terdengar mereka tertawa
gelak-gelak... "Kalian semua sama jahatnya!" teriak Tarini.
Saat itu Padanaran mengulurkan tangan menarik lengan anak perempuan itu seraya


Wiro Sableng 054 Pembalasan Pendekar Bule di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata : "Sudahlah Tarini. Biarkan saja mereka. Mari kita tinggalkan tempat ini!"
Kawan-kawan! Lihat anak bule ini hendak mengajak Tarini pergi. Hati-hati kau
Tarini. Pasti kau akan dibawanya ke sarang hantu kerajaan ayahnya!" berkata
Suradadi. "Tarini, mari..." Padanaran tarik tangan Tarini.
"KAUpergilah duluan. Aku mau bicara ngotot-ngototan dengan anak lelaki yang
sombong ini. Mentang-mentang anak kepala dukuh!"
Karena Tarini tak mau diajak pergi maka terpaksa Padanaran tetap pula tegak di
tempat itu. "Kalian tidak memperbolehkannya main bola bersama kalian. Mengapa kalian lalu
melarangnya menonton"!" bertanya Tarini.
"Jawabnya gampang saja dewi cilik!" sahut Suradadi.
"Aku dan kawan-kawan tidak suka ditonton oleh anak hantu!"
"Tarini, mari. Jangan layani mereka. Tak ada gunanya. Mereka menganggap aku
lebih jelek dari kotoran kuda tidak apa. Jangan sampai mereka juga
mempermalukanmu! Kata Padanaran. Lalu kembali ditariknya lengan anak perempuan
itu. Sebenarnya saat itu Tarini sudah mau mengikuti kata-kata Padanaran dan
meninggalkan tempat itu. Justru saat itu Suradadi menarik tangan Tarini yang
lain keras-keras hingga anak perempuan ini menjerit kesakitan.
Melihat Tarini kesakitan Padanaran yang sejak tadi bersikap sabar dan merelakan
dirinya dihina terus-terusan kini menjadi marah. Dia melompat kesamping dan
mendorong dada Suradadi kuat-kuat hingga anak ini jatuh terduduk di tanah.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
"Anak Hantu Bule! Berani kau mendorong dan menjatuhkanku!" teriak Suradadi. Dia
berdiri dan menerjang dengan tendangan. Yang menyerang Padanaran kemudian bukan
hanya 8uradadi seorang tapi belasan kawan-kawannya yang lain juga ikut
melayangkan tangan serta tendangan. Anak-anak itu tidak memperdulikan teriakan-
teriakan Tarini. Dalam keadaan babak belur hampir pingsan Padanaran mereka
gotong dan bawa ke ujung barat tanah lapang. Disini terdapat sebuah kolam buatan
tempat pembuatan pupuk dari kotoran kuda.
Tubuh Padanaran mereka lemparkan kedalam kubangan itu. Masih untung kubangan itu
dangkal. Walaupun keadaannya benar-benar memelas tapi Padanaran tak sempat
tenggelam. Sehabis melemparkan Padanaran ke dalam kubangan kotoran kuda itu
Suradadi dan teman-temannya melarikan diri.
"Padanaran! Padanaran...!" terdengar suara Tarini memanggil berulang kali. Di
tepi kubangan dia berhenti.
Memandang kian kemari. Dilihatnya ada sepotong bambu yang cukup panjang.
Potongan bambu ini dimasukkannya ke dalam kubangan. "Pegang ujungnya Padanaran.
Pegang... biar kutarik kau dari dalam sana...!"
"Aku ingin mati disini saja, Tarini. Tak usah kau tolong. Di dunia ini memang
tak ada orang yang menyukaiku.." terdengar suara Padanaran dari tengah kubangan.
"Jangan tolol Padanaran! Lekas kau pegang ujung bambu itu! Ayo!"
Akhirnya Padanaran memegang dan bergayut pada ujung bambu yang dijulurkan.
Dengan susah payah Tarini menarik hingga akhirnya Padanaran berhasil mencapai
tepi kubangan dan naik ke tanah. Sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke
kaki penuh dengan kotoran kuda dan busuk.
"Larilah ke sungai! Aku akan menyusul!" kata Tarini pula.
Ketika anak perempuan itu sampai di sungai kecil didapatinya Padanaran tengah
sibuk membersihkan tubuh dan pakaiannya. Selesai membersihkan diri anak lelaki
itu naik ke darat dalam keadaan basah kuyup.
Tarini menghampiri dan bertanya : "Kau tak apa-apa sekarang...?"
"Sekujur tubuhku sakit-sakit. Tulang-tulangku seperti patah. Kepalaku pusing..."
"Kalau begitu kau harus cepat pulang, ganti pakaian."
"Aku tak berani pulang. Paman pasti akan marah besar dan menggebukku dengan
rotanl" jawab Padanaran.
"Kalau kau tak pulang akan lebih celaka lagi, Padanaran! Mari kuantar kau!"
"Kau baik sekali Tarini. Tapi jika paman malihat aku bersamamu hajaran akan
berlipat ganda atas diriku!"
"Eh, mengapa begitu?" tanya Tarini heran.
"Kata paman ayahmu pernah mengancamnya. Jika aku berani bermain- main denganmu
maka ayahmu akan menyuruh tukang-tukang pukulnya menghajar paman! Sebaiknya kau
saja yang pulang duluan, Tarini..."
Anak perempuan itu terdiam beberapa lamanya. Lalu perlahan-lahan gelengkan
kepala. "Aku heran..." kata anak perempuan itu tersendat, "mengapa semua orang di dukuh
Sawahlontar membencimu. Bahkan pamanmu juga Dari mana mereka dapat cerita bahwa
ayahmu hantu putih..."
"Aku tak pernah mempercayai hal itu Tarini. Tapi ketika setiap mendamprat paman
juga selalu berkata begitu, mau tak mau aku jadi punya pikiran jangan-jangan aku
ini memang anak hantu. Kalau tidak mengapa bentukku begini berbeda..."
"Orang-orang itu keterlaluan. Anak-anak itu juga! Aku benci mereka semua...!
Mana ada hantu bisa beranak!"
"Kau tidak boleh membenci mereka Tarini. Kau tak boleh membenci siapapun..."
kata Padanaran pula.
Lalu dia berdiri dan memegang lengan anak perempuan itu seraya berkata : "Kita
pulang saja Tarini. Kau ambil jalan sebelah kanan, aku sebelah kiri. Kalau ada
yang melihat kita berdua-duaan pasti aku akan celaka..."
"Memang kau akan celaka anak hantu haram jadah!" tiba-tiba terdengar suara
membentak keras.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
DUA KEDUA ANAK ITU SAMA-SAMA TERKE JUT dan menoleh ke kiri. Pucatlah wajah bulai
Padanaran sementara Tarini merasakan lututnya goyah karena ketakutan. Tapi anak
perempuan ini cepat menabahkan hatinya. Dia menunggu dengan tenang apa yang
bakal terjadi. Beberapa langkah di samping kiri tegak dua orang lelaki. Di sebelah depan yang
bertubuh tinggi besar dan berkumis melintang adalah Gandaboga, bukan lain ayah
Tarini. Wajahnya yang garang tampak marah sekali.
Matanya membeliak dan pelipisnya bergerak-gerak. Di dukuh Sawahlontar Gandaboga
dikenal sebagai seorang paling kaya karena dialah satu-satunya juragan sayuran
dan ternak, teRmasuk pemilik tambak ikan. Kekayaannya membuat dia disegani dan
lebih dihormati dari pada kepala desa.
Di sebelah belakang Gandaboga berdiri seorang lelaki yang tampangnya tak kalah
garangnya malah menyeramkan karena mata kirinya picak sedang pipi kanannya ada
parut atau cacat bekas luka. Orang ini berselempang kain sarung hitam dan di
pinggang di balik kain sarung itu tersembul hulu sebilah golok. Dia adalah
Jalitanggor, pembantu atau pengawal, atau lebih tepat dikatakan tukang pukul
Gandaboga. Dalam kedudukannya sebagai tukang pukul, Jalitanggor sering ditugasi
untuk bertindak sebagai juru tagih. Para pedagang atau siapa saja yang terlambat
membayar dagangannya pasti akan didatangi Jalitanggor. Tak jarang orang ini main
tendang dan main pukul jika orang yang berhutang belum sanggup melunasi
hutangnya. Karenanya lambat laun rasa hormat penduduk terhadap Gandaboga berubah menjadi
takut. Apalagi jika Jalitanggor sudah muncul, seolah-olah bumi ini menjadi
kiamat rasanya!
"Tarini! Bagus sekali perbuatanmu!" membentak Gandaboga. "Sudah berapa kali aku
memberi ingat! Jangan kau sekali-kali bermain dengan anak hantu ini! Ternyata kau berani
melanggar perintahku!"
"Ayah, saya..."
"Jangan banyak mulut!" teriak Gandaboga.
"Untung anak bernama Suradadi itu memberi tahu. Kalau tidak pasti kau telah
diapa-apakan si bule haram jadah ini! "Tangannya bergerak lalu terdengar pekik
Tarini ketika telinganya diputar dengan keras laluditarik.
"Pulang sana!"
Tubuh si kecil itu didorong hingga hampir terkapar jatuh. Tarini menggigit bibir
agar tidak menangis.
Terhuyung-huyung anak ini melangkah pergi. Sebelum menghilang di balik
rerumpunan semak belukar dia masih sempat berpaling memandang ke arah Padanaran.
"Maafkan aku Tarini Ini semua salahku hingga kau mendapat hukuman..." berucap
Padanaran. "Bukan salahmu Padanaran! Tapi Suradadi anak jahat itulah yang jadi biang gara-
gara!" awab Tarini lalu melanjutkan langkahnya sambl memogangi telinganya yang
sakit. "Sekarang gili iranmu nenerima hukuman bocah bule tak tahu di untung". Satu
Tangan besar menjambak rambut pirang Padanaran. Sakitnya bukan main membuat anak
itu meringis. Yang menjambaknya adalah Gandaboga
"Anak hantu! Apa kau tak sadar kalau tidak layak bermain dengan anak perempuanku
?" Dan kau berani mengajaknya ketempat sunyi ini ! Apakah yang telah kau lakukan
terhadap anakku ?".
"Saya tidak melakukan apa-apa. Saya pergi mandi di kali sana. Tarini menolong
saya..." "Plaaak!"
Satu tamparan keras melabrak wajah Padanaran. Anak ini mengeluh kesakitan.
Bibirnya pecah dan darah mengucur. Pemandangannya menjadi gelap dan tedua
kakinya terasa lunglai. Kemudian dalan keadaan seperti itu tubuhnya dibantingkan
ke tanah. "Juragan, apa y ig harus saya lakukan terhadap bocah sialan ini"!" terdengar
Jalitanggor bertanya. Suara besar tapi parau. Tangan kanannya sudah siap untuk
menghunus golok.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
"Tendang saja ke sungai sana! Lain kali jika dia berani mendekati anakku, aku
perintahkah agar kau langsung menyembelihnya!" jawab Gandaboga. la tinggalkan
tempat itu. "Anak keparat! ada-ada saja yang menjadikan urusanku!" maki Jalitanggor. Kaki
kanannya bergerak, tubuh Padanaran melesat jauh dan rubuh di tengah sungai.
Semak belukar sebelah kanan tiba-tiba tersibak. Dari situ muncul Suradadi
bersama enam orang kawannya.
Bersorak-sorak mereka berlari ke tepi sungai dimana sosok tubuh Padanaran
melingkar tak bergerak.
"Rasakan olehmu tuyul bule!" teriak Suradadi begitu sampai di hadapan Padanaran.
"Anak Hantu mau jual lagak! Masih untung pembantu juragan Gandaboga tidak
menggorok batang lehermu! Kalau tidak pasti kau ludah Jadi bangkai saat ini!
Ha... ha... ha...!" Enam anak lainnya ikut tertawa.
Dalam sakitnya Padanaran tak kuasa membuka kedut matanya. Tapi telinganya
menangkap jelas dan mengenali bahwa yang bicara itu adalah Suradadi, anak kepala
dukuh Sawahlontar.
Sesaat kemudian terdengar suara Suradadi dan kawan-kawan, "Mari kita tinggalkan
tempat ini. Langit tampak mendung. Sebentar lagi pasti hujan turun..."
Tak lama setelah Suradadi dan kawan-kawannya pergi Padanaran berusaha bangkit
berdiri. Sulit dan sakit terasa sekujur tubuhnya. Di langit kilat menyambar lalu
terdengar guruh menggelegar. Hujan kemudian turun deras sekali. Padanaran masih
tertegak tak mampu melangngkah. Dia tak tahu hendak pergi ke mana. Kalau pulang
dalam keadaan babak belur seperti itu pasti akan ditanyai pamannya dan lebih
parah lagi dia akan kena hajaran pula. Tapi kalau tidak pulang lantas dia mau
pergi kemana"
Apapun yang akan terjadi Padanaran akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah
pamannya dimana dia tinggal sejak ibunya meninggal dan ayahnya lenyap entah
kemana. Dia tidak pernah melihat apalagi mengenali ayahnya. Kata orang ayahnya
melenyapkan diri begitu dia lahir dalam keadaan mengejutkan karena bulai. Ada
yang mengatakan ayahnya kabur karena malu. Ada lagi yang menuturkan bahwa
ayahnya lari ke sebuah gunung sepi dan mati membunuh diri disitu sementara
ibunya karena tidak terawat dengan baik meninggal dunia seminggu setelah
melahirkannya. "Ah, kenapa buruk amat nasibku...?" membatin pilu Padanaran. "Mengapa aku
dilahirkan berbeda seperti ini... Betulkah ayahku hantu putih...?"
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
TIGA HUJAN MASIH MENCURAH LEBAT ketika Padanaran memasuki halaman rumah. Dari halaman
dia dapat melihat seorang lelaki berselubung kain sarung duduk di kursi kayu
dekat pintu depan sambil menghisap rokok.
Itulah Randuwonto sang paman. Padanaran sudah punya firasat akan mengalami
sesuatu. Namun dia melangkah terus. Belum lagi dia sampai di bawah cucuran atap,
Randuwonto tampak mencampakkan rokoknya ke tanah lalu terdengar suaranya.
"Anak hantu! Masih ingat pulang kau rupanyal"
"Paman, maafkan saya. Saya terhalang oleh hujan..." menyahut Padanaran lalu
melangkah masuk ke serambi rumah. Pada saat yang sama sang paman sudah berdiri
dari duduknya. Matanya menatap besar-besar.
"Hemm.. kau terhalang hujan katamu"!" Ujar lelaki berusia hampir setengah abad
itu. "Tapi mengapa kulihat pakaianmu kotor berlumpur dan ada yang robek. Tubuhmu bau
kotoran kuda. Mukamu benjat benjut dan bibirmu pacah berdarah!" Padanaran diam
saja sambil tundukkan kepala.
"Kau tidak tuli! Lekas katakan apa yang teah kau lakukan"!" bentak Randuwonto.
"Saya dikeroyok anak-anak, paman..." jawab Padanaran akhirnya memberi tahu.
"Kau dikeroyok! Bagus! Berarti kau kembali berkelahi! Sudah berapa kali
kukatakan agar kau jangan berkelahi!"
"Saya terpaksa melakukannya paman. Mereka yang mulai lebih dulu. Saya hanya
bertahan. Tapi mereka banyak sekali. Saya terlempar kedalam kubangan kotoran
kuda...!" "Hanya itu saja yang terjadi"!" Padanaran terdiam, sulit untuk menjawab.
"Anak hantu! Lekas jawab. Hanya itu yang kau alami"!" bentak Randuwonto.
"Tidak paman... Saya juga mendapat hukuman dari juragan Gandaboga serta
pembantunya Jalitanggor..."
memberi tahu Padanaran.
Terkejutlah Randuwonto mendengar kata-kata Padanaran itu. "Kau hanya menimbulkan
silang sengketa diantara kami orang-orang tua! Ceritakan apa yang terjadi!"
"Waktu itu saya berada di sungai membersihkan tubuh dan baju. 'Lalu datang
Tarini anak perempuan juragan Gandaboga. Di saat yang sama juragan itu muncul
disana. Saya disangka melakukan apa-apa terhadap anaknya. Saya ditampar olehnya.
Pembantunya kemudian menendang saya...."
"Akan lebih baik jika mereka membunuhmu saja saat itu!" ujar Randuwonto. Saat
itu dari dalam rumah muncul seorang perempuan bersama seorang anak lelaki seusia
Padanaran. Perempuan itu adalah istri Randuwonto sedang anak lelaki itu adalah
anaknya jadi saudara sepupu Padanaran bernama Rangga.
Padanaran hanya tundukkan kepala. Dalam hatinya dia juga menginginkan mengapa
Gandaboga dan Jalitanggor tidak membunuhnya saat itu hingga tamat riwayatnya dan
berakhir pula penderitaan hidupnya.
"Sepuluh tahun bersama kami kau hanya mendatangkan kesulitan saja! Sebaiknya kau
angkat kaki dari sini Padanaran...!"
"Mas Randu..." Istri Randuwonto hendak mengatakan sesuatu tapi segera dibentak
dan diperintahkan masuk oleh suaminya. Perempuan adik almarhumah ibu Padanaran
itu yang memang sangat takut pada suaminya segera saja masuk ke dalam rumah,
meninggalkan Rangga seorang diri dekat pintu.
"Maafkan saya paman. Saya tidak bermaksud menyulitkan paman..." terdengar kata-
kata Padanaran.
"Tidak bermaksud... Tidak bermaksud! Nyatanya kau selalu memberi kesulitan. Dan
kini kesabaranku sudah sampai pada puncaknya anak hantu! Kau telah menyulut
silang sengketa dengan juragan Gandaboga!
Hubungan dagangan denganku pasti diputuskan. Segala hutangnya pasti akan segera
ditagih! Kalau kepalamu ini bisa kupakai untuk menyelesaikan semua urusan itu,
sudah kupatahkan batang lehermu saat ini juga!"
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
"Paman, kalau memang kematian saya bisa menolongmu, saya rela diapakan saja..."
berucap Panadaran.
Randuwonto yang tengah melangkah mundar mandir menahan kemarahannya kini jadi
meledak mendengar kata-kata keponakan istrinya itu.
"Anak keparat! Kumpulkan pakaianmu! Pergi dari sini! Jangan berani kembali!"
teriak Randuwonto.
"Saya... saya harus pergi kemana paman..?"
"Perduli setan kau mau pergi kemana!" sentak Randuwonto. Dijambaknya rambut
pirang Panadaran lalu anak itu dilemparkannya keluar serambi.
"Paman... saya mohon maafmu. Tapi jangan usir saya dari sini..."
"Anak setan! Benar-benar keparat! Sekali aku bilang pergi kau harus pergi!"
teriak Randuwonto. Kini kakinya yang bergerak. Tendangannya mendarat di pinggul
Padanaran. Anak ini terlempar jauh dan jatuh di halaman yang becek. Bagi
Padanaran sakit yang diderita tubuhnya tidak seberapa dibanding dengan kepiluan
hati diperlakukan seperti itu. Lalu rasa takut karena tidak tahu harus pergi
kemana. Jika orang sudah tidak sudi memeliharanya lagi bagaimana mungkin dia


Wiro Sableng 054 Pembalasan Pendekar Bule di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memaksa untuk tetap tinggal di rumah itu.
Tanpa mengambil pakaiannya yang ada di dalam rumah dengan terhuyung-huyung
Padanaran melangkah menuju pagar halaman. Saat Itu ada suara orang berlari di
belakangnya. Lalu ada suara memanggil.
"Padanaran tunggu dulu..." Padanaran berpaling. Dilihatnya Rangga berlari
mendatangi. Adik sepupuhnya ini tegak menundukkan kepala. "Padan... aku tak bisa
menolongmu menghalangi kehendak ayah...Maafkan aku Padan..."
Padanaran berusaha tersenyum dan menjawab. "Tidak jadi apa Rangga. Kau saudaraku
yang sangat baik.
Kau anak yang sangat berbakti pada orang tuamu. Aku harus pergi Rangga. Selamat
tinggal..."
"Tunggu Padan..." Dari dalam sakunya Rangga mengeluarkan sebuah benda kehitaman.
Ternyata sebuah burung-burungan terbuat dari batu.
"Kau ingat burung-burungan ini" Kau dulu yang mengajarkan bagaimana cara
membuatnya. Kau ambillah.
Aku tidak punya apa-apa untuk diberikan...."
Padanaran ragu sesaat. Akhirnya diambilnya juga burung-burungan dari batu itu.
"Terima kasih Rangga. Aku pergi sekarang..." Padanaran memasukkan burung-
burungan itu kedalam saku pakaiannya, memegang tangan Rangga erat-erat lalu
tinggalkan tempat itu.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
EMPAT HUJAN MASIH TURUN DENGAN DERAS. Padanaran berjalan sepembawa kakinya. Pakaiannya
basah kuyup, sekujur tubuhnya dingin dan sakit. Di atas langit mengelam tanda
sebentar lagi malam akan turun. Di bawah sebatang pohon besar Padanaran akhirnya
hentikan langkah dan memandang berkeliling. Saat itulah disadarinya bahwa di
depannya ada sebuah jalan kecil becek berlumpur. Lalu diseberang jalan kecil ini
terletak pekuburan Jatiwaleh. Pekuburan dimana makam ibunya berada.
Padanaran berpikir ejenak. Akhirnya anak inimemutuskan, sebelum pergi-pergi
entah kemana-sebaiknya dia menyambangi pusara Ibunya terlebih dahulu. Maka
Padanaranpun melangkah menyeberangi jalan kecil itu.
Meski hujan lebat dan cuaca mulai menggelap tidak sulit bagi Padanaran mencari
makam ibunya karena dia memang sering datang kesitu, terutama jika hatinya
sedang gundah dan sedih menghadapi penderitaan hidup. Tak jarang dia bangun
pagi-pagi dan pergi ke makam Itu, bicara seorang diri seolah-olah mengadukan
nasib dirinya yang malang pada sang ibu yang berada di alam lain itu.
Kilat menyambar. Pekuburan itu sekejap menjadi terang benderang. Padanaran
bersimpuh di samping makam ibunya yang kayu nisannya sudah rusak karena lapuk
dan tanahnya penuh ditumbuhi rumput liar.
"Ibu... Aku anakmu datang bersimpuh dihadapanmu. Mungkin ini kali terakhir aku
menyambangimu. Aku tidak tahu kapan bisa kembali kemari. Aku harus pergi ibu.
Walau aku tidak tahu mau pergi kemana. Aku pergi sekehendak jalan hidupku yang
malang. Kalau ibu masih hidup tentu nasibku tidak seperti ini..."
Padanaran diam sejenak. Dia menggigit bibirnya keras-keras. Betapapun derita
yang dihadapinya saat itu, dia tak mau hanyut oleh perasaan, pantang menitikkan
air mata apalagi sampai menangis!
"Ibu aku tak percaya ayahku adalah hantu putih seperti yang dikatakan teman-
teman. Seperti yang juga dikatakan paman. Kalau dia masih hidup aku pasti akan
mencarinya. Aku mohon petunjukmu ibu..." Sampai disini anak lelaki itu kembali
terhenti menyuarakan suara batinnya. "Ibu... aku harus pergi sekarang. Anakmu
mohon doa restumu..."
Padanaran bangkit berdiri perlahan-lahan. Mendadak dia merasakan ada seseorang
tegak dlbelakangnya.
Sesaat tengkuknya terasa dingin. Dia berpaling. Astaga!
"Tarini!" seru Padanaran. "Bagaimana kau bisa berada disini"!"
"Aku.. aku menyelinap dari rumah. Aku sangat mengawatirkan dirimu Padanaran.
Ayah dan Jalitanggor pasti melakukan apa-apa padimu. ."
Padanaran menggeleng. "Tidak, mereka tidak melakukan apa-apa. Mereka pergis
setelah kau berlalu jawab Padanaran sengaja berdusta.
"Sampai di rumah aku langsung masuk kamar lalu diam-diam menyelinap lewat
jendela. Aku pergi ke sungai.
Tapi kau tak ada lagi disitu, Aku mengendap-endap kerumahmu. Rangga mengatakan
kau diusir pamanmu. Dia tak tahu kau pergi kemana. Tapi aku seperti bisa menduga
kalau kau datang kesini. Bukankah kau pernah bercerita kalau kau sering ke makam
Ibumu sedang sedih ... Tenyata kau memang ada disini."
"Tarini kau baik sekali padaku. Aku sangat menghargaimu. Tapi harus pulang
Tarini. Cepat. Nanti kalau ayahmu atau Jalitanggor mengetahui kau tak ada di
rumah, lalu mereka mencarimu dan menemui kita berdua lagi disini, kau pasti akan
kena damprat... Pulanglah Tarini, lekas..."
"Aku hanya kepingin tahu, kau mau pergi kemana Padanaran...?" bertanya anak
perempuan itu. "Aku sendiri tidak tahu mau pergi kemana...," jawab Padanaran bingung.
"Kau tidak boleh pergi Padanaran. Kau harus tetap di Sawahlontar ini..."
"Tapi disini tak ada orang yang menyukai Tarini. Tak ada yang mau menerimaku.
Bahkan pamanku mengusirku..."
"Tidak semua orang benci padamu Padanaran. Mereka adalah orang-orang gila yang
tidak punya alasan mengapa harus membencimu. Aku menyukaimu. Aku menyukaimu. Aku
temanmu..."
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Padanaran memegang kedua tangan Tarini erat-erat. "Kau temanku yang baik...
sangat baik yang pernah kupunyai. Aku tak akan melupakan semua kebaikanmu, semua
ucapanmu. Kalau kelak nanti aku kembali ke Sawahlontar ini, kaulah yang kelak
akan kucari..."
Tarini hanya bisa diam. Anak ini sadar kalau dia tidak mungkin menahan Padanaran
agar tidak pergi.
Perlahan-lahan anak lelaki itu lepaskan pegangannya. Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara seperti letusan berulang kali. Lalu suara sesuatu menggelinding
ditimpali suara kaki-kaki kuda yang kemudian disusul oleh suara nyanyian. Suara
nyanyian perempuan!
Dibawah hujan lebat
Dua sahabat berpegang erat
Satu hendak berangkat
Satunya ditinggal tercekat
Yang pergi berkuat hati
Yang tinggal tabahkan hati
Kalau memang jodoh pasti akan bersatu hati
Aku datang menjemput
Jangan kalian terkejut
Yang lelaki akan kuangkut
Yang perempuan jangan merengut
Lalu kembali terdengar suara seperti letusan, Tar... tar... tar...!
Padanaran dan Tarini berpaling. Dua anak ini bukan saja terkejut tapi tampak
seperti ketakutan. Betapakan tidak. Ini adalah satu pemandangan yang luar biasa.
Di bawah hujan lebat dan cuaca gelap seperti itu tampak muncul sebuah kereta
putih ditarik oleh seekor kuda putih.
Orang yang menjadi saisnya adalah seorang nenek mengenakan jubah serba putih
yang basah kuyup.
Kepalanya ditutup oleh sehelai selendang putih yang diikatkan seperti topi.
Dibawah selendang putih itu tampak tergerai rambut pirang sebahu. Yang membuat
orang ini menjadi lebih angker ialah kenyataan bahwa dia memiliki wajah putih
bulai beralis mata pirang, berbola mata kelabu! Di tangan kanannya dia memegang
sebuah cambuk yang setiap kali dihantamkannya mengeluarkan suara letusan keras
dan di ujung cambuk yang menggeledek itu seperti ada percikan api!
Tarini langsung merapatkan diri pada Padanaran seraya berbisik : "Padanaran...
apa- kah kita tengah berhadapan dengan setan kuburan...?"
Padanaran tak berani menjawab. Dia cepat merangkul anak perempuan itu, bertindak
melindunginya ketika dilihatnya orang berjubah putih hentikan kereta dan
melompat turun ke tanah lalu melangkah ke tempat mereka berdiri.
"Ha... ha... ha... Sepasang anak baik-baik. Sayang hanya satu yang berjodoh
denganku!" Nenek berjubah putih bermuka bulai itu kedip-kedipkan matanya. "Anak
lelaki bulai, kau ikut bersamaku. . !"
"Ikut.. ikut bersamamu..." Ikut kemana?" tanya Padanaran. Berdiri dekat-dekat
seperti itu dia melihat bahwa sepasang mata si nenek sama kelabunya dengan kedua
bola matanya. Lalu wajah dan sepasang tangannya yang tersembul dari balik jibah
juga sama bulai dengan kulitnya.
"Ikut kemana itu tidak jadi urusan. Bukankah kau memang sudah bertekad untuk
meninggalkan dukuh Sawahlontar ini...?"
"Eh, bagaimana kau bisa tahu..."!" tanya Padanaran heran.
Si nenek tertawa panjang. Lalu terdengar dia berucap : "Tujuh puluh tahun hidup
di dunia, adalah tolol kalau tidak tahu apa yang terjadi di sekitarku! Dengar,
namamu Padanaran bukan" Pamanmu bernama Randuwonto.
Kawanmu yang cantik ini bernama Tarini, ayah nya bernama Gandaboga... Betul
begitu tidak?"
Padanaran dan Tarini hanya bisa tertegun melongo di bawah curahan hujan. Si
nenek kembali membuka mulut: "Di Sawahlontar kau tidak punya teman kecuali anak
perempuan ini. Di Sawahlontar tak ada yang menyukai dirimu kecuali sahabatmu
yang satu ini. Kulitmu sama bulai denganku. Rambutmu sama pirang denganku,
matamu sama kelabu seperti mataku. Nah mengapa kita tidak sama-sama pergi,
minggat dari desa yang tidak mau menerima kehadiranmu ini...?"
"Nenek, siapapun kau adanya kau tak boleh membawa kawanku ini..." kata Tarini
lalu memegang kedua tangan Padanaran kuat-kuat.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Si nenek tertawa lebar dan usap rambut anak perempuan itu. "Anak baik," kata si
nenek pula. "Aku membawa sahabatmu itu bukan untuk maksud jahat. Kau tunggu
sajalah. Sepuluh tahun dimuka kalau dia kembali menemuimu maka dia telah menjadi
seorang pemuda yang hebat luar biasa...!"
"Hebat luar biasa bagaimana nek...?" tanya Tarini pula.
"Ah, kau banyak bertanya anak. Itu berarti kau anak cerdas. Tapi aku tak bisa
menjawab pertanyaanmu tadi..."
"Juga kau tidak mau mengatakan siapa dirimu nek" Kau tahu-tahu berada di
pekuburan ini seolah-olah muncul dari perut bumi..." ujar Tarini.
"Hik... hik... hik! Kalian berdua pasti menyangka aku setan hantu yang kesasar
dibawah hujan lebat!
Hik... hik... hik. Aku manusia biasa seperti kalian. Tapi mulut manusia yang
jahil memberi gelar Hantu Bulai padaku. Hik... hik.... hik..."
Begitu tawa si nenek berakhir dia ulurkan tangannya dan tahu-tahu Padanaran
sudah ada dalam kempitan tangan kirinya tanpa bisa berkutik lepaskan diri!
"Nek! Jangan bawa temanku!" seru Tarini. Dia hendak mengejar ke depan. Tapi
dengan lalu lompatan aneh si nenek tahu-tahu sudah melompat naik ke atas kereta
putih. Di lain kejap kuda penarik kereta itu meringkik keras dan ketika digebrak
binatang inipun lari ke jurusan timur pekuburan. Tarini lari mengejar. Namun
sesaat kemudian anak ini menyadari dia tak mungkin melakukan pengejaran. Anak
ini hentikan larinya dan hanya bisa memandang ke arah kejauhan dimana kereta
putih, kuda putih, si nenek berjubah putih dan Padanaran lenyap di kegelapan!
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
LIMA DALAM KEADAAN KEDUA TANGAN terikat di belakang Randuwonto dipapah dan didorong
ke balik semak belukar itu. Hujan turun rintik-rintik. Empat orang lelaki
mengelilinginya. Yang pertama berkumis melintang berbadan tinggi besar yang
bukan lain adalah Gandaboga sang juragan kaya dari dukuh Sawahlontar. Di sebelah
kanannya berdiri si tukang pukul Jalitanggor. Dua orang lainnya adalah anak buah
Jalitanggor. "Juragan ," terdengar suara Randuwonto. "Mengapa kau membawaku ke pekuburan
malam-malam begini. Mana gerimis lagi!"
"Diam! Tutup mulutmu! Kalau tidak aku suruh bicara jangan berani bersuara!"
bentak Gandaboga. Lalu disepaknya betis Randuwonto hingga lelaki ini hampir
roboh. Gandaboga memandang ke depan lalu berpaling pada Jalitanggor. "Mengapa belum
kelihatan anak itu...?"
dia bertanya. "Sebentar lagi dia pasti muncul. Sabar saja, juragan...," jawab sang pembantu.
Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba dari arah pintu masuk pekuburan tampak
muncul sesosok tubuh kecil, melangkah dengan cepat tanpa ada rasa takut.
"Dia sudah muncul juragan..." bisik Jalitanggor.
Gandaboga mengangguk. Sepasang matanya tidak berkesip. Dia memandang dengan rasa
hampir tak percaya. Anaknya Tarini malam- malam gelap dan gerimis serta angin
dingin kencang begini, mendatangi pekuburan itu seorang diri. Sebelumnya sang
pembantu Jalitanggor telah memberikan laporan. Namun dia tak mau percaya begitu
saja kalau tidak melihat sendiri. Dan saat itu dia benar- benar menyaksikan apa
yang dikatakan oleh pembantunya bahwa Tarini sering datang ke pekuburan, berdiri
di dekat sebuah makam lalu berseru berulang-ulang mengatakan sesuatu.
Seperti yang disaksikannya sendiri saat itu dilihatnya anak perempuannya itu
tegak di dekat sebuah makam. Anak ini tanpa rasa takut memandang berkeliling
lalu dia mengangkat kedua tangannya dan berseru.
"Nenek Hantu Bulai... Datanglah...! Muncullah! Bawa aku serta! Nenek Hantu
Bulai...datanglah! Bawa aku bersamamu biar aku bisa bertemu dengan sahabatku
Padanaran! Nenek hantu Bulai... mengapa kau tak mau datang..."!" Capai berseru-
seru tanpa ada jawaban Tarini duduk menjelepok di samping makam. Setelah itu dia
berdiri lagi lalu kembali berseru seperti tadi.
"Ah Nenek Hantu Bulai... Mengapa kau tak datang membawaku..." Tarini tampak
kecewa dan keletihan.
"Randuwonto!" desis Gandaboga. "Kau lihat sendiri anakku seperti kemasukkan
setan! Datang ke pekuburan malam-malam. Berteriak memanggil hantu dan minta
dirinya di bawa agar bisa bertemu dengan Padanaran!
Ini semua gara-gara keponakanmu yang bulai celaka keparat itu!"
"Juragan, saya tidak mengerti dan tidak tahu bagaimana semua ini bisa
terjadi..." jawab Randuwonto yang menyaksikan semua yang terjadi itu dengan bulu
tengkuk merinding. Keponakan saya itu sendiri lenyap sejak beberapa hari
lalu..." "Menurut pembantuku setiap saat datang kemari anakku selalu berdiri dekat makam
itu. Katakan makam siapa itu"!" bertanya Gandiboga.
"Kalau saya tidak keliru, itu adalah makam ibu Padanaran..." jawab Randuwonto.
"Kurang ajar! Kalau begitu anakku memang telah kena guna-guna. Ada yang
memasukkan roh jahat ke dalam tubuhnya hingga diluar sadarnya dia datang ke
tempat ini! Katakan siapa yang dipanggilnya dengan sebutan Hantu Bulai itu"!"
"Mana saya tahu juragan. Saya tidak tahu siapa yang dimaksudkannya..."
"Kau dusta!"
"Plaaakkk!"
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Gandaboga menampar pipi kanan Randuwonto hingga orang ini terpekik kesakitan.
Suara pekikannya itu mengejutkan Tarini. Anak ini berpaling. Gandaboga segera
memerintahkan Jalitanggor untuk menangkap anak itu. Ketika Jalitanggor keluar
dari balik semak-semak dan Tarini melihatnya, anak perempuan ini sementara
melarikan diri. Tapi sebentar saja dia segera terkejar dan dipegang oleh
Jalitanggor. Tarini berteriak-teriak ketika dipanggul dan dibawa ke tempat ayahnya.
"Juragan... anak ini keluarkan keringat dingin. Pertanda memang ada roh jahat
yang masuk dalam tubuhnya..." berkata Jalitanggor.
Padahal keringat dingin itu adalah karena rasa takut yang kemudian ditambah pula
dengan air hujan rintik-rintik yang membasahi Tarini.
Gandaboga percaya saja pada kata-kata pembantunya. "Seperti rencana semula,
hidupkan obor. Gali makam ibu Padanaran itu. Apapun yang kalian temukan
didalamnya segera bakar." Lalu dengan suara lebih perlahan Gandaboga meneruskan
ucapannya. "Manusia bernama Randuwonto ini tidak ada gunanya dibiarkan hidup.
Hutangnya tak pernah dilunasi sejak tiga bulan ini. Lebih dari itu dia ikut
menjadi biang kerok keanehan yang dialami anakku, Bunuh dan masukkan dia dalam
kuburan itu"
Dua buah obor dinyalakan. Makam ibu Padanaran digali. Semua itu disaksikan
Tarini dalam keadaan keletihan karena tadi terus-menerus berteriak. Tak lama
kemudian ditemukan tulang belulang dan sepotong tulang tengkorak. Sesuai
perintah Gandaboga tulang-tulang itu diguyur dengan minyak lalu dibakar.
Gandaboga kemudian memberi isyarat. Randuwonto diseret ke tepi kuburan. tahu
firasat, Randuwonto berteriak ketakutan : "Apa yang hendak kalian lakukan,
terhadapku"!"
Sebagai jawaban Gandaboga mendorong tubuh Randuwonto hingga orang ini jatuh
masuk ke dalam liang kubur. Randuwonto berteriak keras. Dalam keadaan kedua
tangan terikat tidak mungkin baginya untuk mencoba keluar dari dalam lobang itu.
Apalagi saat itu Gandaboga telah menyambar sebatang linggis lalu menghantam
kepala Randuwonto dengan benda itu.
Tubuh Randuwonto terkapar di liang kubur. Kepalanya rengkah dan darah membasahi


Wiro Sableng 054 Pembalasan Pendekar Bule di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala serta wajahnya. Tarini yang ketakutan melihat kejadian itu jatuh pingsan
dalam dukungan ayahnya!
"Timbunkan tanah cepat! Kita harus meninggalkan tempat ini sebelum ada orang
datang!" perintah Gandaboga. Dua anak buah Jalitanggor segera menimbun liang
kubur. Tak lama kemudian orang-orang itu lompat meninggalkan pekuburan menaiki
sebuah gerobak ditarik dua ekor kuda.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
ENAM HANYA BEBERAPA SAAT setelah orang-orang itu berlalu dan lenyap di kegelapan
malam, tiba-tiba dari balik serumpunan semak belukar melompat keluar sesosok
tubuh. Yang melompat ini ternyata seorang anak lelaki kecil dan bukan lain
adalah Rangga, putera Randuwonto, saudara sepupu Padanaran.
"Ayah...! Ayah...!", pekik si anak seraya lari menghambur menuju gundukan tanah
merah dimana ayahnya dibunuhsecara keji lalu ditimbun.
Rangga jatuhkan diri di atas tanah merah, menangis menjerit memanggil ayahnya.
Panggilannya yang mengenaskan itu tentu saja tidak mendapatkan jawaban. Suaranya
lenyap ditelan hembusan angin sementara hujan gerimis mulai membesar.
Rangga tak menyadari berapa lama dia berada di pekuburan itu. Ketika pakaian dan
tubuhnya basah kuyup dan rasa dingin mencucuk tulang-tulangnya, perlahan-lahan
anak ini berdiri lalu melangkah pergi sambil terus menangis.
Keesokan paginya dusun Sawahlontar menjadi gempar. Di dalam dan di luar rumah
Randuwonto banyak orang berkerumun. Istri Randuwonto menangis sambil memeluki
anak lelakinya yaitu Rangga yang kelihatan berwajah pucat dan pakaian kotor
serta basah. Pada orang-orang yang ada di situ diceritakannya apa yang telah
terjadi yakni sesuai dengan apa yang dilihat Rangga.
"Mas Randu dibawa! Sampai saat ini tidak kembali! Berarti apa yang dikatakan
anakku benar. Mas Randuwonto dibunuh dan dikubur di Jatiwaleh...! Dibunuh oleh
juragan Gandaboga dan pembantu-pembantunya...!" Begitu istri Randuwonto berucap
diantara tangisnya yang memilukan.
Seorang lelaki separuh baya mendekati perempuan itu. Dia mengusap kepala Rangga
sesaat lalu berkata :
"Bune Rangga, cerita anakmu perlu diselidiki dulu. Apa yang dikatakannya memang
begitu. Aku tak habis pikir bagaimana anak sekecil ini malam-malam pergi ke
pekuburan lalu katanya dia..."
"Rangga tidak dusta. Anak ini tidak pernahberdusta!" menyahuti istri Randuwonto.
"Malam tadi Jalitanggor dan dua orang anak buahnya datang kemari. Dia bicara
membentak-bentak lalu memaksa mas Randuwonto mengikutinya mereka. Ternyata mas
Randuwonto dibawa ke rumah juragan Gandaboga. Disitu dia dipukuli lalu dibawa ke
pekuburan Jatiwaleh. Anakku kemudian menyaksikan ayahnya dibunuh, dipentung
dengan batangan besi lalu dipendam...!"
Lelaki separuh baya itu menundukkan kepalanya lalu bertanya pada Rangga :
"Rangga kau tidak berdusta. Benar bahwa kau melihat ayahmu dibunuh dan
dikubur...?"
Rangga menganggukkan kepala lalu memeluk ibunya erat-erat. Anak dan ibu itu
kemudian sama-sama bertangisan.
Seorang lelaki berpakaian biru gelap menyeruak diantara orang banyak. Dia adalah
Suto Kenongo kepala dukuh Sawahlontar merangkap kepala desa di wilayah itu.
Melihat kemunculan kepala desa tangis istri Randowonto semakin mengeras.
"Tenang bune Rangga... Tenang. Hentikan tangismu...," berkata Suto Kenongo.
"Dari orang-orang di luar rumah aku mendengar bahwa suamimu dibawa oleh kaki
tangannya juragan Gandaboga. Lalu anakmu katanya melihat ayahnya dibunuh dan
dikubur di Jatiwaleh tadi malam. Apa semua itu betul adanya, bune Rangga...?"
Ibu Rangga mengangguk.
Suto Kenongo termenung sejurus. Lalu dia berkata : "Ini bukan urusan kecil, bune
Rangga. Jika kau menuduh juragan Gandaboga telah membunuh suamimu maka tuduhan
itu harus ada buktinya..."
"Anakku yang menyaksikannya!. Dia melihat sendiri ayahnya dipentung dengan besi.
Juragan Gandaboga yang melakukan itu. Lalu pembantu-pembantunya memendamnya
dalam tanah..."
"Kesaksian anak sekecil ini sulit dijadikan pegangan...," ujar kepala desa pula.
"Kalau tidak percaya...," tiba-tiba membuka mulut si kecil Rangga, "pergi saja
ke Jatiwaleh! Bongkar kuburan itu. Pasti mayat ayah akan kita temukan!"
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Semua orang yang ada disitu sama tergerak hati mereka dan sama- sama
mengeluarkan ucapan setuju.
Mereka mendesak agar Suto Kenongo sendiri yang memimpin per- jalanan dan
penyelidikan ke pekuburan Jatiwaleh.
"Ah ini urusan kapiran!" kata Suto Kenongo dalam hati sambil mengusap dagunya.
Hati kecilnya diam-diam mempercayai apa yang terjadi. Namun karena urusan ini
terkait dengan nama Gandaboga, juragan kaya raya sedesa yang sekaligus memiliki
kekuasaan besar mau tak mau kepala desa itu merasa tidak tenang.
Suto Kenongo berpaling pada orang banyak lalu berkata : "Baik, kalian pergi
duluan ke pekuburan Jatiwaleh.
Aku patut memberi tahu urusan ini pada juragan Gandaboga. Aku nanti akan
menyusul ke pekuburan..."
* * * GANDABOGA DUDUK DI KURSI JATI berukir sambil mengunyah tebu manis kesukaannya.
Di sebelahnya berdiri pembantu kepercayaannya Jalitanggor. Setelah mencampakkan
ampas tebu ke halaman rumah, Gandaboga berpaling kearah Suto Kenongo yang saat
itu tegak di hadapannya dekat tangga.
"Cerita yang kau dengar itu, apakah kau mempercayainya Suto Kenongo?" bertanya
Gandaboga lalu mengambil lagi sepotong tebu manis.
"Saya... Tentu saja saya tidak mempercayainya...," jawab sang kepala desa.
"Bagus! Kalau begitu mengapa kau capai-capai datang kemari?"
"Juragan, apa yang saya percayai tidak sama dengan apa yang dipercayai penduduk.
Mereka memaksakan untuk membongkar kubur di Jatiwaleh itu..."
"Suto Kenongo! Jabatanmu adalah kepala dukuh dan kepala desa! Betul begitu..."!"
Suara juragan Gandaboga terdengar mulai meradang.
"Betul juragan," menyahuti Suto Kenongo.
"Nah, kalau begitu adalah kewajibanmu untuk membuat penduduk untuk tidak
berpikir gila mempercayai apa kata anak dan istri Randuwonto itu! Kau bukannya
melakukan itu, malah datang kemari tanpa juntrungan! Seharusnya kau mencegah
penduduk untuk tidak ke Jatiwaleh, apalagi kalau sampai membongkar kuburan itu!"
"Saya... Kalau saya tidak segera memberi tahu, jangan-jangan masalahnya bisa..."
"Suto Kenongo! Kau telah menjadi kepala desa selama hampir tujuh tahun. Katakan
siapa yang memungkinkan kau mendapatkan jabatan itu"! Ayo jawab!"
"Semua itu karena kekuasaan juragan..." jawab Suto Kenongo.
"Apakah kau masih ingin memiliki jabatan itu Suto"!" tanya Gandaboga pula.
"Tentu juragan. Tentu saja saya menginginkannya."
"Kalau begitu lekas angkat kaki dari sini. Pergi ke Jatiwaleh dan lakukan apa
saja. Yang penting penduduk tidak berpikir bahwa kematian Randuwonto ada sangkut
pautnya dengan diriku! Cegah mereka membongkar kuburan itu! Kau dengar itu
Suto...?" "Saya dengar juragan. Hanya saja... Bagaimana saya melakukannya" Apa yang harus
saya katakan pada penduduk...?"
"Kepala desa tolol!" yang membentak adalah Jalitanggor. "Itu urusanmu! Jangan
bertanya pada juragan Ganda!"
Suto Kenongo tundukkan kepala. Setelah memberi hormat dengan membungkuk beberapa
kali kepala desa ini segera tinggalkan rumah kediaman juragan Gandaboga dan
memacu kudanya menuju pekuburan Jatiwaleh.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
Begitu Suto Kenongo berlalu, Gandaboga berpaling pada Jalitanggor.
"Ada tugas baru untukmu Jali!"
"Katakan saja juragan. Saya segera akan melakukannya!" jawab sang pembantu.
"Culik anak Randuwonto itu dan bunuh! Sekarang Jali!"
"Sekarang juragan!" jawab Jalitanggor lalu tinggalkan tempat itu.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
TUJUH KETIKA SUTO KENONGO sampai di pekuburan Jatiwaleh tenyata kuburan telah digali
dan mayat Randuwonto kelihatan terhampar menggeletak di dalam lubang kuburan.
Walau sebagian wajahnya bercelemong tanah dan ada gelimangan darah namun semua
orang yang menyaksikan sama mengenaldan memastikan bahwa yang ada dalam kubur
itu memang adalah jenazah Randuwonto.
Di pinggir kubur istri Randuwonto merasakan tanah yang dipijaknya seperti
amblas. Dia menjerit lalu menangis. Sambil memeluk anaknya yang ketakutan
perempuan ini melangkah sempoyongan, dipapah oleh dua orang. Saat itulah Suto
Kenongo turun dari kudanya dan berhadapan dengan ibu serta anak yang malang itu.
"Kepala desa...," ucap istri Randuwonto dengan suara bergetar. "Semua orang
sudah menyaksikan kebenaran ucapan anakku. Semua mata melihat bahwa mayat yang
ada dalam lobang itu adalah mayat suamiku! Ada darah di kepala dan mukanya.
Kepalanya rengkah! Pertanda bahwa dia memang dipentung, dibunuh!"
Suto Kenanga tak tahu apa yang musti dilakukannya. Akhirnya sambil memandang
berkeliling dia berteriak menyuruh orang banyak kembali ke Sawahlontar.
"Walau mayat dalam lobang dikenali sebagai ayah Rangga,.namun urusan ini belum
tuntas. Masih perlu dicari dan dibuktikan siapa pembunuh Randuwonto! Kalian
semua kembali ke dukuh!"
Suara orang banyak yang bergumam bahkan setengahnya ada yang memaki pertanda
bahwa mereka tidak suka mendengar ucapan dan melihat sikap kepala desa itu.
"Keterangan anak mas Randu jelas benar! Mayat dalam lubang jelas mayat mas
Randu! Bukti apa lagi yang diperlukan"!" berkata seseorang.
"Yang harus dilakukan ialah melaporkan kejadian ini pada Adipati!" seorang lain
berkata dengan suara keras.
Suto Kenongo melotot dan membentak :
"Soal lapor melapor adalah tanggung jawabku! Jangan ada diantara kalian yang
berani mendahuluiku!
Semua kembali ke dukuh! Tiga orang tetap disini untuk menimbun kubur itu
kembali!" Baru saja kepala desa itu berucap begitu tiba-tiba ada dua ekor kuda dipacu
memasuki pekuburan.
Penunggangnya sengaja memacu ke arah orang banyak hingga mereka berpencaran
takut tertabrak. Dua penunggang kuda ini mengenakan pakaian merah. Wajah dan
kepala masing-masing ditutup dengan kain merah pula. Selagi semua orang,
termasuk kepala desa tidak tahu apa yang hendak dilakukan dua penunggang kuda
itu, tiba-tiba salah seorang dari mereka menerjang ke kiri dimana istri
Randuwonto dan anak lelakinya berada.
Cepat sekali gerakan penunggang kuda satu ini. Tahu-tahu Rangga sudah
dirampasnya dari pegangan ibunya lalu dibawa kabur.
"Rangga! Anakku diculik!" teriak ibu si anak.
Orang banyak tentu saja terkejut. Beberapa orang diantaranya berusaha mengejar.
Bahkan kepala desa setelah terkesiap sebentar segera melompat ke punggung
kudanya. Namun penunggang kuda kedua cepat memintas. Dia bukan saja menghalangi
tetapi pergunakan sebatang tongkat kayu untuk menghantam. Dua orang terkapar
kena pukulan tongkat. Kepala desa dengan nekad coba melompati penunggang kuda
itu. Namun sodokan ujung tongkat pada perutnya membuat kepala desa ini jatuh ke
tanah.. "Bangsat penculik!" teriak kepala desa. Dari balik bajunya dia mengeluarkan
sebuah pisau kecil. Senjata tajam ini kemudian dilemparkannya ke arah penunggang
kuda sebelah belakang yang tadi menyodok perutnya dengan tongkat. Ternyata orang
yang dibokong dari belakang itu memiliki kepandaian cukup tinggi. Begitu dia
mendengar suara berdesing di belakangnya, tanpa mengurangi kecepatan kuda yang
dipacunya dan sama sekali tanpa menoleh dia sabatkan tongkat kayunya kebelakang.
Ujung tongkat menghantam pisau hingga mencelat jauh. Dua penunggang kuda itu,
satu diantaranya mengempit tubuh Rangga di tangan kiri sesaat Wiro Sableng-
Pendekar Kapak Naga Geni 212
kemudian lenyap di ujung pekuburan. Kini hanya tinggal suara orang banyak
berteriak-teriak dan suara jerit raung ibu Rangga.
*** DI SEBUAH LEMBAH SUNYI dua orang yang wajah dan kepalanya ditutupi kain merah
itu hentikan kuda masing-masing.
"Kita selesaikan disini saja Jali " penunggang yang mengempit Rangga membuka
mulut. Rangga sendiri saat itu berada dalam keadaan tidak sadarkan diri karena
ketakutan yang amat sangat sewaktu dilarikan di atas kuda dengan kencang.
Penunggang kuda di sebelah belakang me- mandang seantero lembah. Lalu tangan
kirinya membuka kain penutup muka dan kepalanya. Ternyata dia bukan lain adalah
Jalitanggor, pembantu dan tangan kanan juragan Gandaboga. Sekali lagi dia
memandang berkeliling, mengamati dan memasang telinga. Lalu kepalanya
dianggukkan. Orang di sebelah depan turun dari kudanya, melangkah ke arah sebatang pohon
waru. Dia berpaling pada Jalitanggor dan bertanya:
"Aku atau kau yang melakukannya Jali...?"
"Aku biasa membunuh orang-orang besar, jago-jago ternama. Masakan kau suruh aku
mengotori tangan memancung anak kecil itu! Lakukan sendiri olehmu! Untuk itu kau
dibayar!" terdengar Jalitanggor menjawab.
Lalu dia lemparkan tongkat di tangan kirinya ke arah orang yang masih mengempit
Rangga. "Pentung kepalanya! Selesai urusan kita!"
Orang dibawah pohon menyambut tongkat yang dilemparkan. Tubuh Rangga kemudian
dijatuhkannya di kaki pohon. Jatuh di tanah yang keras membuat Rangga siuman dan
be- gitu membuka mata dia terkejut mendapatkan dirinya berada di tempat yang
serba asing itu. Di sebelah kiri dilihatnya sosok tubuh Jalitanggor.
Sedang di hadapannya ada orang yang kepala dan mukanya ditutup dengan kain
merah. Orang ini menimang-nimang sebuah tongkat di tangan kanannya. Tangan
kirinya tampak membetot lepas kain merah yang menutupi kepalanya.
Kelihatanlah satu wajah yang sangat pucat seolah-olah tidak berdarah, laksana
wajah mayat. Keseraman tampang manusia ini bertambah lagi karena memiliki dua
pipi dan sepasang rongga mata yang cekung.
Tampang seram ini tampak menyeringai. Rangga menjerit ketakutan melihat tampang
mengerikan ini. Lalu tiba-tiba dilihatnya si muka cekung menghujamkan tongkat di
tangan kanannya kearah kepalanya. Si anak kembali menjerit sambil tekapkan kedua
telapak tangannya kemuka. Ujung tongkat menderu ke arah kening Rangga. Anak itu
menjerit sekali lagi.
"Wuuuttt!"
"Traaakk!"
Sebuah batu sebesar kepalan melesat di dekat pohon waru langsung menghantam
ujung tongkat kayu yang akan menghunjam di batok kepala Rangga. Ujung tongkat
patah sedang tongkat itu sendiri terlepas dari pegangan orang berwajah cekung.
Telapak tangannya terasa pedas dan panas. Jalitanggor terkejut, melompat turun
dari kudanya dan memandang berkeliling. Dia sama sekali tidak melihat siapapun.
"Keparat dari mana yang berani main gila!" teriak si muka cekung marah sekali.
Baru saja dia berteriak begitu tiba-tiba sebuah benda melayang ke arahnya dan
plaak, benda ini menghantam mulutnya hingga dia berteriak kesakitan. Ketika
memperhatikan ke bawah, ternyata benda yang barusan menghantam mukanya itu
adalah sebuah kulit pisang!
"Jahanam, berani mempermainkan! Berani berlaku kurang ajar terhadapku Si Muka
Mayat Dari Goa Kepala Ular!" si muka cekung kembali mendamprat marah. Dan untuk
kedua kalinya pula sebuah kulit pisang menghantam tepat dimulutnya! Manusia yang
mengaku bernama Si Muka Mayat ini memaki panjang pendek sambil meludah- ludah.
Ludah yang disemburkannya bercampur darah karena lemparan pisang yang keras
telah membuat bibirnya pecah! Jalitanggor diam-diam merasa tidak enak. Tapi
sikapnya lebih tenang dari pada Si Muka Mayat.
Wiro Sableng-Pendekar Kapak Naga Geni 212
"Muka Mayat, mendekat kemari..," ujar Jalitanggor setengah berbisik. Ketika si
muka cekung itu mendekat, Jalitanggor berbisik:
"Ada orang pandai tengah mempermainkan kita. Hati- hati..."
"Jangankan orang pandai, setan atau iblis pandaipun aku tidak takut. Akan
Pertapa Cemara Tunggal 1 Dewa Arak 59 Titipan Berdarah Pedang Dan Kitab Suci 1
^