Pembalasan Ratu Laut Utara 2
Wiro Sableng 047 Pembalasan Ratu Laut Utara Bagian 2
Si nenek tertawa sayu. "Aku tidak suka menerima kebaikan orang tanpa membalasnya
dengan kebaikan pula. Sebungkus nasimu itu akan kutukar dengan tongkat
kuninganku ini! Bawa ke mari nasi itu dan kau ambil tongkat ini!"
Wiro tertawa dan gelengkan kepala. "Nasi sebungkus ini kuberikan dengan ikhlas,
tidak meminta balasan apa-apa."
Page 20 "Jangan menolak. Tongkat ini adalah rezekimu!" kata si nenek pula.
"Terima kasih nek. Kau orang yang sangat memperhatikan budi. Namun aku tak
berani menerima tongkatmu itu. Benda itu lebih berguna bagi dirimu terutama
untuk dipakai berjalan..."
"Kalau begitu baiklah." Si nenek lalu mengambil bungkusan nasi. Lalu tanpa
sungkan-sungkan dia duduk di samping Wiro di atas batang kelapa itu. Tongkatnya
dibelitkan di sampingnya dan dia mulai menyantap nasi, ikan, sambal terasi dan
mentimun. Ternyata si nenek makannya "riuh" sekali. Suara ciplakannya terdengar keras.
Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa melirik memperhatikan si nenek yang begitu
asyik bersantap. Hanya dalam waktu singkat nasi sebungkus itu pun tandas ke
dalam perut si nenek. Kini perempuan itu duduk menjulurkan kakinya. Daun pisang
pembungkus nasi dirapikannya kembali lalu dia berpaling pada Wiro, dan berkata
seraya menyerahkan bungkusan daun nasi yang telah kosong itu.
"Aku sudah kenyang. Sekarang giliranmu makan anak muda!" Lalu enak saja
bungkusan itu diletakannya di atas pangkuan Wiro.
"Perempuan tua ini geblek atau pikun. Nasiku sudah disikatnya habis, kini
bungkusan kosong itu diserahkannya padaku. Aku disuruhnya makan!" Wiro membatin.
"Hai, makanlah! Apa kau malu makan di hadapanku" Aku tadi tidak malu-malu makan
di hadapanmu. Malah suara ciplakanku terdengar sampai ke dalam laut, sempat mengejutkan ikan-
ikan di sana. Hik...hik...hik! Nah, selamat makan anak muda!"
"Nek, apa yang hendak kumakan" Bukankah nasi dalam daun itu sudah kau habiskan
tadi...?" "Ah, kau pasti menyesal memberikan nasi itu padaku!" si nenek tampak memancing.
"Sungguh mati aku tidak menyesal. Aku senang dan ikhlas menolongmu," jawab Wiro
pula. "Kalau begitu kau makanlah nasi itu!"
"Nasi yang mana nek?"
"Nasi dalam bungkus daun. Yang ada di pangkuanmu itu! Apa kau melihat bungkusan
nasi yang lain"!"
"Astaga nek, bungkusan ini kosong. Isinya Cuma tulang ikan. Sebaiknya kubuang
saja..." "Jangan dibuang anak muda. Kau belum membukanya. Belum melihat isinya. Bagaimana
kau bisa mengatakan daun itu isinya cuma tulang ikan?"
"Aku tadi melihat kau menyantap habis nasi itu, ikannya, sambal terasi dan dua
potong ketimun. Yang kau sisakan hanya tulang ikan...!"
Si nenek tertawa cekikikan.
"Eh, apa pula yang kau tertawakan, nek?" tanya Wiro.
"Anak muda, kau seolah-olah punya mata yang bisa menembus daun pisang pembungkus
itu. Hingga begitu yakin isinya hanya sepotong tulang ikan! Cobalah dulu kau
buka dan periksa. Apa yang kau Page 21
katakan mungkin tidak demikian. Nah, apakah kau tak ingin memeriksanya?"
"kalau kau bilang begitu, baiklah..." Wiro lalu membuka bungkusan daun itu. Dan
terkejutlah sang pendekar! Bungkusan yang disangkanya kosong hanya berisikan
tulang belulang ikan bakar ternyata ketika dibuka yang tampak adalah nasi putih
masih mengepul, sepotong ikan bakar, sambal terasi, dan dua buah ketimun segar!
Persis seperti yang sebelumnya dilihat Wiro dan diserahkan pada si nenek lalu
dimakan sampai habis!
Wiro tidak percaya pada matanya sendiri. Dipegangnya nasi itu. Terasa panas dan
memang nasi betulan.
Diangkatnya ikan bakar itu, diciumnya. Terasa harum segarnya ikan bakar.
"Itu ikan betulan anak muda! Buah mentimun itu juga buah betulan! Sambal terasi
itu juga sambal betulan. Jika kau tidak percaya silahkan peperkan ke matamu!
Nanti kau baru yakin akan ucapanku!
Hik...hik...hik..."
"Nek, kau ini ahli sulap atau tukang sihir...?" tanya Wiro.
Si nenek tertawa panjang. "Tidak kedua-duanya, anak muda. Nah kau makanlah!"
katanya. Dengan perasaan penuh ragu Wiro menyuap nasi dan secuil ikan. Ketika dikunyah
dan ditelannya memang nasi dan ikan betulan. "Lalu apa yang tadi dimakan nenek
itu"!" tanya Wiro sambil mengunyah terheran-heran. Sementara si nenek sendiri
duduk tenang-tenang saja memandang ke laut lepas. Selagi Wiro bersantap dan
selagi si nenek duduk santai begitu rupa, tiba-tiba terdengar satu bentakan
keras. "Tua bangka keparat! Akhirnya kutemui juga kau di tempat ini! Jangan kira kau
bisa menipuku dengan menyamar sebagai nenek-nenek rombeng!"
BAB X KALAU Pendekar 212 Wiro Sableng meskipun kaget tetap duduk di atas batang
kelapa, sebaliknya si nenek cepat menyambar tongkat besi kuningannya dan
melompat. Wiro segera melihat perubahan gerak-gerik perempuan tua ini. Kalau
tadinya tampak lamban dan lemah, kini gerakannya menunjukkan kegesitan penuh
waspada. "Setelah tujuh tahun berlalu, bangsat ini muncul kembali! Bagaimana dia tahu
diriku!" si nenek membatin.
Kemudian dia ingat pada tongkat pipa kuningan yang dipegangnya di tangan kanan.
"Ah, pasti senjataku inilah yang dikenalinya!"
"Tua bangka buruk! Sebelum nyawamu kukirim ke akherat lekas katakan di mana cucu
perempuan bekas Adipati Ambarawa Menak Sringgi itu kini berada"!"
"Djarot Pangestu..., Kau bilang aku nenek buruk, memang aku sudah tua dan jelek.
Tapi dirimu kulihat lebih jelek. Tangan dan mukamu penuh cacat! Siapa yang telah
menghajarmu sampai hancur-hancuran begini rupa?" Habis berkata begitu si nenek
lalu tertawa cekikikan.
"Tua bangka sedeng! Lekas katakan di mana anak perempuan itu berada"!"
"Ada urusan apa kau mencarinya" Apa masih belum cukup menebar maut menumpah
darah orang-orang tak berdosa"!"
Page 22 "Puah! Jangan bicara tentang manusia-manusia tak berdosa! Dosa Menak Sringgi
terhadapku turun temurun sampai ke anak cucunya. Adalah pantas kalau seluruh
darah daging keturunannya harus kubasmi!" ujar Djarot Pangestu pula.
"Sampai ke ujung langit sekali pun kau mencari, tak bakal kau menjumpainya! Dan
kalau kau berhasil menemuinya dia akan menghajarmu semudah dia membalikkan
telapak tangannya!"
"Begitu...?" kata Djarot Pangestu lalu meludah ke pasir. "Biar lehermu yang
kubalik lebih dahulu!"
Djarot tutup ucapannya dengan menyerbu dan lancarkan pukulan tangan kosong ke
arah kepala si nenek.
Nenek berambut putih ini serta merta gerakkan tangan kanannya, menangkis
serangan lawan dengan tongkat pipa kuningan.
Sebelumnya Djarot Pangestu sudah tahu kehebatan senjata lawan itu. Namun kini
setelah menguasai ilmu kesaktian yang didapatnya dari Raja Batu Di Batu di Tanah
Bugis, maka dia bermaksud untuk menjajal sampai di mana kehebatan ilmu kesaktian
itu. Begitu tangannya memukul, tangan itu berubah hitam legam dan keras luar
biasa seperti batu!
"Traaaang...!"
Tongkat kuningan dan tangan saling beradu, mengeluarkan suara berdentrangan yang
keras. Si nenek keluarkan seruan kaget. Bukan saja tubuhnya terhuyung keras ke
belakang tapi tongkat pipa besi kuningannya tampak peyok pada bekas yang terkena
hantaman tangan Djarot Pangestu. Sedang lelaki itu sendiri hanya tampak
tergontai-gontai sambil menyeringai.
"Manusia satu ini pasti sudah berguru pada seorang sakti mandraguna, sesuai
ancamannya tempo hari..." pikir si nenek. Walaupun darahnya terkesiap melihat
kehebatan lawan namun dia menunggu dengan sikap tenang.
Ketika Djarot Pangestu menyerbu kembali, dia ketukkan tongkat pipanya ke tanah.
Terdengar suara bergema laksana genta mengalun. Satu gelombang angin yang deras
menghantam ke arah Djarot Pangestu. Wiro turut merasakan kehebatan angin senjata
di tangan si nenek. Tubuhnya terhuyung ke kiri.
Dia cepat berguling lalu tegak melompat.
"Ilmu kesaktianmu tiada guna, nenek jelek!" ejek Djarot Pangestu. Dia dorongkan
kedua tangannya.
Kedua tangan itu serta merta berubah menghitam seperti batu.
"Braaak!"
Terdengar suara aneh seperti dua benda keras saling bentur ketika gelombang
angin yang keluar dari ujung tombak pipa kuningan si nenek bertemu dengan dua
telapak tangan Djarot Pangestu. Djarot terhempas ke belakang sebaliknya si nenek
terdengar keluarkan suara mengeluh. Tanah yang dipijaknya seperti amblas.
Tubuhnya terbanting jatuh sedang mukanya tampak pucat!
"Sekarang terima kematianmu tua bangka sedeng!" teriak Djarot Pangestu. Tangan
kanannya laksana palu godam dihantamkan ke kepala si nenek. Dengan susah payah
perempuan itu melintangkan tongkat pipa kuningannya di atas kepala guna
melindungi diri.
"Traaaaang!"
Untuk kedua kalinya terdengar suara berdentrangan. Tongkat pipa kuningan itu
patah dua. Si nenek Page 23
terpental dua tombak, terguling di atas pasir dan diguyur oleh ombak yang
memecah di pantai. Selagi dia mencoba bangkit dengan susah payah, Djarot
Pangestu sudah melompat ke hadapannya.
"Pergi!" teriak si nenek sambil tusukkan jari telunjuk tangannya ke arah dada
lawan. Djarot pangestu merasa seolah-olah ada besi panas berputar menusuk tembus ke
dadanya. Jantungnya seperti dibor! Lelaki itu berteriak kesakitan, keluarkan
keringat dingin. Dengan cepat dia rangkapkan dua tangan di depan dada. Sepasang
matanya membeliak. Rambutnya yang awut-awutan berjingkrak ke atas seperti
terpanggang. Mukanya dan sekujur tubuhnya mendadak berubah menjadi hitam aneh.
Hitam mengeras seperti batu. Rahangnya menggembung dan dari mulutnya terdengar
suara bergemeletakan.
"Pergi!" Teriak si nenek sekali lagi sambil lipatgandakan tenaga dalamnya.
Tusukan seperti besi berputar kembali menyambar ganas bagian dada Djarot
Pangestu. Tapi kini seperti mendera tembok baja, tusukan itu tak dapat terus,
malah membalik pada pemiliknya.
Terdengar pekik si nenek. Tubuhnya jatuh terguling di atas pasir. Dari mulutnya
tampak mengalir darah segar. Djarot Pangestu membuat langkah-langkah kaku yang
aneh seolah tubuhnya benar-benar telah berubah menjadi batu. Begitu sampai di
hadapan si nenek dia angkat kaki kanannya tinggi-tinggi lalu dihujamkan ke
kepala perempuan tua itu!
BAB XI NENEK Cempaka meskipun dalam keadaan terluka parah di sebelah dalam namun masih
sempat melihat datangnya hantaman kaki Djarot Pangestu yang akan menghujam
kepalanya. Dia berusaha menyingkir. Tapi seperti ada hawa aneh yang membuatnya
tak mampu bergerak. Perempuan tua ini hanya pasrah menunggu datangnya maut!
Hanya sesaat lagi tapak kaki Djarot Pangestu akan menghancurkan kepala si nenek,
tiba-tiba dari samping seperti ada angin puting beliung yang menyambar. Pasir
terbang ke udara dan air laut muncrat tinggi. Tubuh Djarot Pangestu yang hanya
bertumpu pada kaki kiri, meskipun tidak terangkat mental dan hanya terpuntir ke
kiri namun ini sudah cukup menyelamatkan kepala si nenek dari hantaman kakinya.
Kaki itu kini mendarat di atas pasir pantai. Untuk kedua kalinya pasir
menghambur ke udara dan di tanah pantai tampak sebuah lobang besar.
Ketika berpaling ke kanan Djarot Pangestu saksikan tubuh nenek Cempaka sudah
berada dalam dukungan Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kau muridnya atau siapa! Lekas beri tahu!" bentak Djarot Pangestu seraya maju
dua langkah. Sampai saat itu wajah dan sekujur badannya sampai ke kaki masih
tampak hitam membatu.
"Aku dan nenek ini tidak punya hubungan apa-apa. Sangkut pautku dengan dirinya
adalah sangkut paut kemanusiaan!" jawab Wiro. "Mengapa kau hendak membunuhnya"!"
"Mengapa aku hendak membunuhnya itu bukan urusanmu! Lemparkan tubuhnya ke
pasir!" menghardik Djarot Pangestu.
"Kau sudah mengalahkannya, apa masih belum puas"!"
"Bangsat!" Djarot Pangestu jadi meledak amarahnya. "Biar kalian berdua kubunuh
sekaligus!" Lalu Page 24
lelaki ini dorongkan kedua tangannya keras-keras ke arah murid Sinto Gendeng
yang memanggul si nenek di bahu kirinya.
Tadi untuk menyelamatkan Nenek Cempaka, Wiro telah lepaskan pukulan sakti
bernama "Benteng Topan Melanda Samudra". Sebelumnya, siapa saja yang sempat
tersambar pukulan sakti itu pasti akan mencelat mental dan kalau tidak remuk
sekujur tubuhnya, paling tidak akan menderita luka dalam yang parah. Namun
kenyataannya Djarot Pangestu hanya terpuntir ke samping. Jelas manusia satu ini
memiliki ilmu kepandaian dan kesaktian sangat tinggi.
Kini melihat Djarot hantamkan kedua tangannya ke arah dirinya yang sedang
memanggul Nenek Cempaka. Pendekar 212 Wiro Sableng tanpa ayal lagi segera
lepaskan Pukulan Sinar Matahari!
Sinar seputih perak dan menyilaukan serta menebar hawa panas berkiblat
menghantam ke arah angin sakti yang keluar dari dua telapak tangan Djarot
Pangestu. Dua kekuatan sakti tingkat tinggi saling bentrokan. Terdengar suara
berdentum. Pasir pantai beterbangan ke udara. Ombak yang bergulung dan hendak
memecah di pantai tersapu dan membalik kembali ke arah laut.
Pendekar 212 rasakan tubuhnya seperti dijebit oleh dinding batu dari arah depan
serta kiri kanan.
Kedua lututnya goyah. Dia tak sanggup bertahan akhirnya terpental dua tombak ke
belakang, terhempas di atas pasir tapi masih sanggup memegang erat tubuh si nenek hingga
keduanya jatuh saling tindih. Wiro cepat bangkit walau dadanya terasa sesak dan
masih dalam keadaan mendukung si nenek di bahu kirinya!
Ketika pukulan sinar matahari menghantam, sesaat tubuh batu Djarot Pangestu yang
berwarna kehitaman itu berubah menjadi putih dan mengepulkan asap. Kedua matanya
merah membara. Dia menjerit keras sebelum tubuhnya terhempas ke pasir lalu
terguling sampai delapan langkah. Namun tampaknya orang ini tidak mengalami
cedera. Meskipun terhuyung-huyung dia berusaha bangkit. Sekujur tubuhnya yang
memutih dan mengepulkan asap itu mengeluarkan suara bergemeretakan seperti suara
batu bergeser. "Anak muda..." Wiro mendengar si nenek berbisik padanya. "Lekas tinggalkan tempat
ini. Kau tak sanggup mengalahkan manusia itu. Aku tahu ilmu apa yang
dimilikinya. Sebelum terlambat lekas turunkan diriku dan selamatkan dirimu!"
"Aku tak mungkin meninggalkan kau di sini begitu saja nek," ujar Wiro. "Keparat
itu pasti akan membunuhmu!"
"Mungkin memang sudah begitu suratan takdirku!"
"Jangan mendahului kemauan Tuhan nek! Aku masih punya ilmu simpanan. Juga
senjata mustika untuk menghajarnya!"
"Jangan tolol!" mendamprat nenek Cempaka. "Sekalipun kau punya segudang
kesaktian dan seribu macam senjata, dia tak akan sanggup kau kalahkan. Dia
manusia batu yang kebal segala macam pukulan dan senjata. Lekas kau turunkan
diriku!" "Tidak!" jawab Wiro berkeras, sementara itu di depannya Djarot Pangestu dengan
kedua tangan terpentang mulai melangkah mendekat. Kedua tangannya dirangkapkan
secara aneh di depan dada. Dan tubuhnya yang tadi berwarna keputihan perlahan-
lahan kini kembali menjadi hitam membatu!
"Anak muda kau tolol amat sih!" terdengar suara Nenek Cempaka kembali. "Tapi
sudahlah, jika kau Page 25
memang mau menolongku, cepat melangkah ke dalam laut. Aku melihat di kejauhan
ada dua orang dari para sahabatku tengah melesat dari dasar laut menuju ke
tempat ini. Mereka tak bisa mengalahkan lelaki itu, namun keduanya sanggup
menghalangi sehingga kita sempat menyelinap masuk ke dalam laut! Ayo lekas masuk
ke dalam laut!"
"Nek!" seru Wiro. "Kau memang sakit terluka di dalam. Tapi kau bukan sakit
panas. Lalu mengapa kau bicara seperti orang mengigau"!"
"Mengigau macam mana maksudmu"!" Sentak si nenek. "Lekas lakukan apa yang
kubilang. Waktu kita hanya sedikit!"
"Kau menyuruh aku masuk ke dalam laut! Apa itu bukan mengigau"! Lalu kau bilang
melihat ada dua dara sahabatmu melesat dari dasar laut! Apa itu juga bukan
mengigau" Aku tidak melihat siapa-siapa, apalagi dua dara itu...."
Wiro putuskan ucapannya ketika tiba-tiba dari bawah permukaan laut hampir tak
dapat dipercayanya melesat keluar dua sosok tubuh berpakaian biru dan hijau. Dan
keduanya ternyata adalah sepasang dara berparas cantik jelita, berkulit sangat
putih dan seperti berkilauan ditimpa sinar matahari.
Wiro Sableng 047 Pembalasan Ratu Laut Utara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang membuat Wiro jadi menahan nafas adalah pakaian kedua dara ini. Sisi kiri
baju panjang yang dikenakan dua dara itu terbelah tinggi sampai ke pangkal
pahanya hingga sebagian auratnya kelihatan terpampang ketika angin laut
menyibakkan baju mereka! Sesaat Wiro tegak tertegun sementara Djarot Pangestu
yang semula melangkah mendekati Wiro untuk beberapa saat lamanya menatap ke arah
kedua gadis itu dengan tajam dan kedua kaki batunya berhenti melangkah.
Wiro tepuk pantat si nenek. "Pemuda kurang ajar! Apa-apaan kau ini"!" menghardik
si nenek. "Gadis berbaju hijau dan biru itu. Mereka yang kau katakan para sahabatmu"!"
"Betul! Tapi sekarang kita tak punya waktu banyak untuk bicara panjang lebar.
Biarkan dua dara itu menghadang. Kau lekas melangkah ke dalam laut..."
"Nenek ini begitu memaksa... Aneh! Dia tidak mengigau. Kalau aku turuti
perintahnya apa aku mau mati tenggelam..."!"
Selagi Wiro berpikir-pikir seperti si nenek gerak-gerakan kedua kakinya
sementara tangan kanannya menekan punggung murid Sinto Gendeng. Aneh seperti di
dorong oleh suatu kekuatan gaib, Pendekar 212 terdorong ke depan dan bagaimana
pun dia berusaha melawan, tetap saja tubuhnya terdorong malah makin dilawan
tambah keras. Tanpa disadarinya akhirnya Wiro melangkah ke dalam laut. Makin dalam, makin
dalam dan sewaktu air laut sudah sampai ke dadanya malah mulai mendekati leher,
nenek itu menekan kuat-kuat salah satu urat besar di punggung Wiro. Murid Sinto
Gendeng terus melangkah, masuk ke dalam laut dan lenyap dari pemandangan!
BAB XII MURID Sinto Gendeng itu nyaris tak percaya kalau tidak dapat mengalami sendiri
bagaimana dirinya bisa melangkah bahkan melayang di dalam air laut bahkan
bernafas seolah-olah dia berada di udara Page 26
terbuka saja! Hanya pemandangannya saja yang mula-mula terasa agak berkabut dan matanya
sedikit perih. Namun beberapa saat kemudian dia mampu melihat seterang di luar.
Hal ini tak lain karena totokan aneh yang dilakukan nenek Cempaka pada bagian
punggungnya. Wiro hendak membuka mulut menanyakan sesuatu. Tapi sadar berada di dalam laut,
dan khawatir air masuk ke dalam mulutnya, maka pendekar ini kancing mulutnya
rapat-rapat. Setelah melayang beberapa lama di dalam laut, nenek yang dipanggul menunjuk jauh
ke bawah, ke arah dasar laut. Wiro memandang ke arah yang ditunjuk. Dia melihat
sebuah bangunan besar yang memiliki beberapa atap-atap tinggi berbentuk joglo.
Si nenek terus memberi tanda agar Wiro bergerak ke arah bangunan itu.
Ketika hampir mencapai bangunan besar tersebut, dua orang tampak melesat dari
depan. Ternyata dua orang gadis masing-masing berpakaian merah dan cokelat.
Sebentar saja mereka sudah sampai ke dekat Wiro. Lalu pendekar ini mendengar ada
suara mengiang di telinganya.
"Ikuti kami..."
Dua gadis tadi memandang sesaat pada Wiro, lalu berbalik dan berenang mendahului
menuju ke bangunan besar. Begitu sudah sampai di bawah atap bangunan, air laut
serta merta lenyap dan Wiro dapatkan dirinya dalam keadaan basah kuyup berada di
bagian depan bangunan besar. Memandang ke dalam dia melihat satu ruangan
bertiang dua belas buah di kiri kanan, lantainya beralaskan permadani dan jauh
di ujung sana ada sebuah kursi besar di bawah dua buah payung.
"Nek, segala sesuatunya serba ajaib! Aku tak habis percaya bagaimana aku bisa
mampu melayang dan bernafas dalam air laut. Lalu di mana kita berada saat
ini....?" "Kita berada di Kerajaan Bawah Laut, anak muda. Hanya itu yang bisa kuterangkan
saat ini..."
terdengar si nenek menjawab.
Ketika Wiro hendak bertanya lagi, dara berpakaian cokelat sudah mendatangi dan
berkata, "Serahkan nenek itu padaku!" Lalu tanpa menunggu dia mengambil nenek
Cempaka dari bahu kiri Wiro dan memanggulnya menuju sebuah pintu yang diatasnya
ada lampu cokelat.
Gadis berbaju merah memberi isyarat agar Wiro mengikutinya. Saat itu pakaian
Wiro basah kuyup, begitu juga tadi si nenek. Tapi mengapa dara yang melangkah di
depannya itu sama sekali tidak basah"
Padahal tadi jelas dia berenang di dalam laut menyongsong kedatangannya bersama
si nenek. "Jangan-jangan aku berada di sarangnya dedemit atau jin laut," pikir Wiro.
"Di dalam kamar ada seperangkat pakaian. Ganti pakaianmu yang basah. Jika sudah
selesai, keluar dari kamar ini dan duduk didepan tangga di seberang kursi besar
diujung ruangan..."
"Kau sendiri tidak masuk ke dalam kamar...?"
Wajah sang dara tampak menjadi merah. "Jika Sri Ratu tidak menganggap dirimu
sebagai seorang tamu yang berjasa dan terhormat, cukup alasan bagiku untuk
menjatuhkan hukuman atas mulutmu yang lancang itu!" kata dara berpakaian merah
yang dipanggil dengan nama Roro Merah itu.
Wiro baru sadar kalau ucapannya tadi sangat menyinggung perasaan si baju merah,
padahal sebenarnya Page 27
tidak ada maksud apa-apa. Cepat-cepat dia tundukkan kepala dan berkata:
"Saudari, harap maafkan. Aku .... hemm... aku tidak bermaksud yang bukan-bukan.
Segala sesuatunya di tempat ini serba aneh walaupun menakjubkan. Berada seorang
diri di tempat ini, maksudku di kamar itu aku khawatir melakukan kesalahan dan
melanggar aturan. Tadi si nenek mengatakan aku berada di Kerajaan Bawah Laut.
Apa benar begitu" Lalu siapa raja di kerajaan ini" Aku benar-benar mengalami
hal-hal yang luar biasa. Bayangkan, orang tolol sepertiku ini bisa berjalan di
dalam laut, bisa bernafas!
Padahal, jelek-jelek begini, aku bukan turunan ikan atau kura-kura!"
Mendengar ucapan yang polos dan lucu itu Roro Merah kini tampak tersenyum.
"Saudara...," katanya.
"Memang benar saat ini kau berada di Kerajaan Bawah Laut. Kami tidak punya raja
tapi memiliki seorang ratu yang kami sebut dengan panggilan Sri Ratu Ayu
Lestari. Kau bisa berjalan di dalam laut dan bernafas seperti di udara biasa
karena nenek Cempaka menotok salah satu urat di punggungmu..."
Pendekar 212 tentu saja tercengang mendengar keterangan itu. Dia geleng-geleng
kepala. "Ilmu totokan apa yang sungguh luar biasa itu..." katanya sambil
menggaruk kepala. "Ah, kalian di sini tentunya manusia-manusia sakti mandraguna.
Aku benar-benar mengaguminya. Dan mohon maaf kalau dengan sejujurnya aku harus
memuji bahwa kau dan kawanmu tadi, juga dua dara yang melesat menghadang Djarot
Pangestu, semuanya cantik-cantik dan memiliki sepasang mata yang luar biasa
indahnya. Cuma, yang aku heran, kalau memang benar ini sebuah kerajaan, mengapa
suasana sepi-sepi saja" Dan bangunan ini pasti sebuah istana. Lalu di mana para
penjaga" Para pengawal...?"
"Kau melewati mereka, tapi tidak melihat mereka. Cobalah memandang berkeliling
sekali lagi..." kata Roro Merah. Wiro lakukan apa yang dikatakan gadis itu.
"Astaga...!" ucapnya ketika dia menyaksikan bagaimana ruangan itu mulai dari
bagian depan sampai di sekitar kursi besar di bawah payung penuh dengan pengawal
bersenjata lengkap.
"Aneh, bagaimana tadi aku tidak melihat mereka semua...?" Dia memandang
berkeliling sekali lagi.
Mendadak saja muncul rasa kecut dalam dirinya ketika saat itu dia tidak lagi
melihat para pengawal itu!
"Silakan masuk ke dalam kamar dan ganti pakaianmu lalu keluar menuju hadapan
Tahta Kerajaan..."
berkata Roro Merah.
Di dalam kamar yang dinding dan langit-langitnya berwarna merah dan harus
semerbak Wiro dapatkan sebuah ranjang yang sangat bagus. Di atas ranjang ini ada
seperangkat pakaian lelaki terdiri dari celana panjang dan baju tangan panjang
berwarna merah dengan hiasan berupa sulaman dari benang emas. Di samping
pakaian, terdapat pula topi tinggi berwarna merah, lalu ikat pinggang besar
berbentuk rantai yang ketika ditelitinya membuat pendekar ini jadi melengak
karena ikat pinggang itu terbuat dari emas!
Wiro termangu sesaat. Tak ada hal lain yang bisa dilakukannya kecuali memang
mengenakan harus pakaian merah itu. Dia membuka pakaian putih dekilnya yang
basah kuyup. Namun sesaat dia memandang ke pintu, khawatir ada yang masuk. Dia
juga memandang ke seantero kamar, takut ada yang mengintip! Akhirnya dengan
senyum-senyum Wiro tanggalkan pakaian putihnya lalu dengan cepat mengenakan baju
dan celana merah, lengkap dengan ikat pinggang dan topinya. Kapak Naga Geni 212
diselipkannya di pinggang di bawah baju, begitu juga batu hitam sakti kawanan
kapak mustika itu.
Di dinding sebelah kiri terdapat sebuah kaca besar. Wiro pandangi dirinya di
dalam kaca itu dan menyeringai sendiri ketika menyaksikan tampangnya. "Gagah
juga diriku ini! Tak kalah dari seorang pangeran! Pangeran Sableng..." Huh!?"
Dia tertawa sendirian lalu melangkah ke pintu. Tapi cepat berpaling ketika ingat
pakaiannya yang basah. Dan melangkah pendekar kita.
Page 28 Pakaian putih basah itu tadi jelas-jelas ditanggalkannya dan diletakkannya di
lantai. Tapi kini pakaian itu tak ada lagi di situ, lenyap tanpa bekas, bahkan
bekas-bekas air pun tak kelihatan lagi di lantai!
Dengan tubuh agak bergetar, Pendekar 212 keluar dari dalam kamar. Begitu berada
di ruangan besar, di ujung sana dilihatnya nenek Cempaka bersama Roro Merah
telah duduk di hadapan kursi besar. Di atas sana tampak duduk seorang dara
cantik luar biasa, mengenakan pakaian ungu yang sangat tipis. Di kepalanya ada
sebuah mahkota emas bertaburkan permata. sedang di keningnya menempel sebuah
batu permata besar.
Wiro ingat pesan Roro Merah tadi, lalu dia segera melangkah ke ujung ruangan.
Sadar kalau dia pasti berhadapan dengan Sri Ratu penguasa Kerajaan Bawah Laut,
dan khawatir berbuat kesalahan lagi maka murid Sinto Gendeng cepat menjura.
Setelah itu dia melirik pada nenek Cempaka. Perempuan tua ini dilihatnya baik-
baik saja, malah tersenyum tidak seperti orang yang menderita luka parah di
dalam akibat hantaman Djarot Pangestu tadi.
Malah dia pun melihat si nenek telah berdandan hingga wajahnya yang tua itu
tampak cantik, ditambah dengan pakaian putih yang bagus. Tidak dapat tidak, si
nenek pasti sudah mendapat pengobatan yang mujarab hingga bisa sembuh secepat
itu. "Nek, kau sehat-sehat saja..." akhirnya Wiro membuka mulut. Si nenek tersenyum
dan anggukkan kepala. Wiro memandang ke arah gadis di atas kursi. Ada sinar
agung yang memancar dari sepasang matanya, yang membuat Wiro tak kuasa menatap
lebih lama. Inilah Sri Ratu Ayu Lestari, dara berusia tujuh belas tahun, cucu Menak Srenggi
yang secara tidak diduganya sama sekali telah ditunjuk sebagai penguasa Laut
Utara. Selagi Wiro salah tingkah karena tak tahu mau berbuat atau berkata apa,
terdengar Sri Ratu berkata,
"Saudara, kami ingin menyampaikan rasa terima kasih karena kau telah
menyelamatkan nenek Cempaka dari bahaya maut keganasan Djarot Pangestu. Sebagai
balas jasa, katakanlah apa yang kau inginkan dari kami...?"
Wiro tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Sesaat dia menatap
wajah Sri Ratu, tapi sekali lagi sinar yang keluar dari mata gadis muda itu
membuat dia tak sanggup bertahan dan tundukkan kepala. Dalam hatinya murid Sinto
Gendeng menggerendeng. "Sialan, belum pernah aku melihat sinar mata yang begini
berwibawa. Masakan aku tak sanggup memandangnya lama-lama..."!"
"Maafkan diriku Sri Ratu. Aku tidak meminta balas jasa apa-apa. Tolong menolong
sesama manusia adalah hal yang lumrah. Apalagi nenek itu seorang yang baik..."
berkata Wiro. "Lagipula kalian telah berbaik hati meminjamkan seperangkat
pakaian merah yang bagus ini, lengkap dengan topi dan ikat pinggangnya. Dari
emas pula! Seumur hidup baru sekali ini aku mengenakan pakaian sebagus ini!"
Nenek Cempaka tersenyum, begitu juga Sri Ratu Ayu Lestari. Pada saat itulah
tiba-tiba seorang dara berbaju kuning keluar dari balik tirai ungu dan berkata,
"Sri Ratu, Roro hijau mengalami cedera berat.
Tubuhnya tak berkutik, entah pingsan, entah tewas! Roro Biru tengah melarikannya
ke mari!" Sri Ratu, Nenek Cempaka dan Roro Merah serta merta bangkit berdiri. "Pindahkan
Ombak Penyambung Mata ke ruangan ini!" berseru Sri Ratu.
Roro Kuning, dara berbaju kuning tadi, silangkan kedua lengannya di atas kepala.
Mulutnya merapal sesuatu. Ketika kedua lengan itu ditarik dan dipukulkan ke
samping, Wiro mendadak mendengar suara Page 29
seperti ombak berdebur keras. Memandang ke arah pertengahan ruangan, dia melihat
satu keanehan lagi di tempat itu!
BAB XIII DI tengah ruangan tiba-tiba saja terlihat satu gulungan ombak besar, membentang
lebar tak bergerak laksana sebuah layar kaca. Di dalam layar ombak itu Wiro
melihat bayangan seorang dara berbaju biru tengah berenang di dalam laut,
memanggul tubuh kawannya yang mengenakan pakaian hijau. Dua dara ini yang
sebelumnya dilihat Wiro melesat ke luar dari dalam laut.
Semua orang Kerajaan Bawah Laut yang ada di tempat itu tampak cemas. Sri Ratu
Ayu Lestari berpaling pada pembantunya yang berpakaian kuning dan berkata: "Roro
Kuning, cepat songsong Roro Biru dan katakan agar segera membawa Roro Hijau ke
ruang pengobatan. Aku akan menyusul ke sana."
Begitu Roro Kuning berlalu, Sri Ratu Ayu Lestari jentikkan ibu jari dan jari
tengah tangan kanannya.
Layar ombak di tengah ruangan berdesir dan bergulung ke atas. Sesaat kemudian
layar itu menyajikan pemandangan yang lain.
"Luar biasa..." ujar Wiro kagum dalam hati. Kini dia melihat pemandangan tepi
pantai. Lalu tampak sosok tubuh manusia batu Djarot Pangestu tegak berkacak
pinggang. Mulutnya terbuka dan kelihatannya dia seperti tengah memaki. Perlahan-
lahan tubuhnya yang menghitam dan membatu itu kembali ke bentuk semula.
Sri Ratu tampak kepalkan tangan kanannya. Seolah-olah berada seorang diri dia
terdengar berucap:
"Wajah dan tubuh aslimu penuh dengan guratan cacat. Kau boleh berubah menjadi
manusia batu. Tapi aku akan tetap mengenali Djarot Pangestu! Manusia biadab
pembunuh kakek dan nenekku! Pembunuh ibu dan seorang kawanku! Hari ini kau
muncul di Laut Utara! Hari ini hari pembalasan bagimu!"
Lalu sang Ratu berpaling pada pembantunya yang berpakaian merah dan berkata:
"Roro merah kau awasi terus ombak penyambung mata itu. Aku dan nenek Cempaka
akan naik ke darat untuk menyelesaikan perhitungan dengan Djarot Pangestu!"
Nenek Cempaka memegang lengan Sri Ratu Ayu Lestari seraya berkata: "Sri Ratu
kita harus berlaku hati-hati. Djarot Pangestu bukan manusia seperti tujuh tahun
lalu. Melihat ilmu yang dikeluarkannya ketika menghadapiku jelas sekarang dia
menjadi manusia sangat berbahaya dan sulit ditaklukkan. Aku tahu dari siapa dia
mendapatkan ilmu batu sakti itu..."
"Katakan siapa gurunya Nenek Cempaka," ujar Sri Ratu pula.
"Dari seorang musuh besarku di masa muda. Namanya Karaeng Watuampu, seorang
tokoh silat sakti mandraguna dari Tanah Bugis, bergelar Raja Batu Di Batu. Dia
memiliki ilmu batu. Tak ada ilmu lawan yang sanggup menghadapinya. Biarkan aku
dan beberapa pembantumu menghadapinya lebih dulu..."
Sri Ratu Ayu Lestari walaupun masih sangat belia, namun selama tujuh tahun dia
mendapat gemblengan dari Sri Ratu terdahulu dibantu oleh enam Roro dan si Nenek
Cempaka sendiri. Kecerdasan otaknya serta ketabahan dan kerajinannya mempelajari
semua ilmu telah menjadikannya seorang gadis muda yang matang dalam ilmu dan
pemikiran. Sang Ratu gelengkan kepala. "Aku berterima kasih pada kesetiaan kalian membela
diriku dan Kerajaan Page 30
Laut Utara ini, Nek. Tapi melihat bagaimana dia sanggup mencederaimu dan juga
Roro Hijau, aku merasa khawatir. Lagipula aku melihat ada sebuah titik merah
pada saku pakaiannya sebelah kiri.
Cobalah kau perhatikan..."
Nenek Cempaka letakkan tangan kanannya di atas kedua matanya seolah-olah seperti
orang yang memandang ke arah sumber yang tersilau atau sinar matahari. Apa yang
dikatakan Ratu ternyata benar.
Dia kini dapat melihat ada tanda berupa titik merah di saku kiri pakaian Djarot
Pangestu. Pucatlah wajah si nenek.
"Hanya ada satu benda yang bisa menimbulkan cahaya peringatan seperti itu..."
desis si nenek. "Benda pantangan yang sangat berbahaya. Bawang putih...!"
"Kita harus dapat merampas bawang putih itu!" ujar Sri Ratu. "Tapi sekali kita
menyentuh bawang itu, tubuh kita akan menjadi lumpuh bahkan nyawa pun tak
tertolong lagi..."
"Aku akan merampasnya, Sri Ratu!" ujar Roro Merah berjibaku.
"Biar aku yang melakukannya!" satu suara terdengar dari samping. Semua orang
berpaling. Yang barusan bicara bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sri Ratu dan Nenek Cempaka saling pandang. Selagi kedua orang itu belum sempat
memberikan jawaban Wiro sudah melangkah pergi. Tapi begitu sampai di tangga
istana terdepan dia jadi bingung sendiri. Di hadapannya, air laut membentang
laksana tembok raksasa.
Wiro Sableng 047 Pembalasan Ratu Laut Utara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh, apakah totokan sakti si nenek itu masih bekerja" Kalau tidak aku bisa
konyol di dalam laut sebelum mencapai permukaan!" Wiro berpaling pada si nenek.
Perempuan tua itu maklum apa yang dipikirkan dan dikhawatirkan sang pendekar
maka dia pun berkata, "Tak ada yang perlu kau gelisahkan anak muda. Tubuhmu
masih terlindung oleh totokan itu!"
Mendengar ucapan itu Pendekar 212 tanpa ragu-ragu langsung mencebur masuk ke
dalam tembok air.
Sesaat setelah Wiro Sableng meninggalkan Istana Ratu Laut Utara itu Roro Kuning
datang terburu-buru dari ruangan pengobatan.
"Sri Ratu, mohon maafmu. Saya dan Roro Biru telah berusaha menolong Roro Hijau,
agaknya nyawanya tidak tertolong lagi..."
Mendengar keterangan itu. Sri Ratu dan nenek Cempaka segera bergegas menuju
Ruangan Pengobatan sementara Roro Merah tetap berada di tempat itu guna
mengawasi ombak penyambung mata.
Di dalam Ruangan Pengobatan, Roro Biru tampak cemas tegak di samping sebuah
pembaringan di mana terbujur sosok tubuh Roro Hijau. Air mata tampak berurai di
pipi Roro Biru. Sri Ratu dan Nenek Cempaka cepat memeriksa keadaan tubuh Roro
Hijau. Denyutan Jantungnya perlahan sekali. Wajahnya seputih kertas dan pada
sela bibirnya ada darah mengering. Sri Ratu menyibakkan dada pakaian Roro Hujau.
Tampaklah warna membiru di payudara Roro Hijau sebelah kiri.
Paras Sri Ratu langsung berubah. "Kita tak mungkin menyelamatkannya..." desis Sri
ratu tercekat. "Aku tahu Sri Ratu..." ujar nenek Cempaka dengan nada sedih. Pukulan ilmu batu
Djarot Pangestu memang luar biasa berbahaya.
Page 31 Pada saat itu terdengar suara seperti sesuatu keluar dari air. Lalu ada sesuatu
yang meluncur ke lantai.
Ketika semua orang berpaling, mereka langsung menjura dan tundukkan kepala
seraya berseru berbarengan: "Sri Ratu! Kau datang...!"
Di lantai ruangan meluncur seekor buaya putih yang bukan lain adalah penjelmaan
Sri Ratu Kerajaan Laut Utara yang terdahulu. Buaya ini naik ke atas pembaringan.
Moncongnya menjulur ke arah dada Roro Hijau. Mulutnya dibuka lalu ludahnya
menjulur dan menjilati payudara sebelah kiri Roro Hijau.
Selesai melakukan itu buaya putih ini turun dari pembaringan. Kepalanya
ditegakkan sesaat. Kedua matanya menatap orang-orang yang ada dalam ruangan itu.
Lalu aneh, terdengar suaranya, suara manusia, suara perempuan. "Tak usah cemas
dan jangan ada yang menangis. Roro Hijau akan segera sembuh..."
"Sri Ratu, kami sangat berterima kasih..." kata Sri Ratu Ayu Lestari seraya
menjura dalam-dalam.
Buaya putih masih menegakkan kepalanya. Kembali dia keluarkan suara: "Djarot
Pangestu memang manusia sakti. Kepandaiannya setinggi langit. Tapi ketahuilah di
atas langit ada langit lagi. Secepatnya pemuda itu berhasil merampas bawang
putih kalian harus segera naik ke darat untuk membuat perhitungan. Sri Ratu Ayu
Lestari, tangan kananmu yang berjarah menyilang merupakan satu kekuatan yang
berada di atas langit. Hadapilah musuh besarmu itu dengan penuh kepercayaan.
Ulurkan tangan kananmu, kembangkan telapaknya..."
Mendengar perintah sang ratu, Sri Ratu Ayu Lestari segera ulurkan telapak
tangannya. Buaya putih itu lalu menjilati telapak tangan kanan Sri ratu Ayu
Lestari tujuh kali pulang balik, lalu kepalanya meluncur turun. Dia mengucapkan
selamat tinggal lalu meluncur keluar dari ruangan itu diikuti tundukkan kepala
penuh hormat dari semua mereka yang ada disitu.
Baru saja buaya putih itu berlalu, dari arah pembaringan terdengar suara tarikan
nafas. Ketika semua orang berpaling, Roro Hijau ternyata telah duduk di atas
pembaringan. Wajahnya tidak seputih kertas lagi.
BAB XIV WIRO melesat di dalam air dan dalam waktu sesaat saja sudah muncul di permukaan
laut. Dalam keadaan badan dan pakaian basah kuyup dia melangkah menuju pantai
lalu duduk bersila di atas pasir, menghadap ke arah matahari.
Dua telapak tangan dirapatkan di depan wajahnya, kedua matanya dipejamkan.
Sikapnya tidak beda seperti orang tengah bersemedi. Sang Pendekar tidak menunggu
lama. Telinganya menangkap suara orang mendatangi. Djarot Pangestu!
"Manusia berpakaian merah! Kulihat kau barusan keluar dari dalam laut! Mengapa
bersemedi di sini"!"
Terdengar suara Djarot Pangestu. Orang ini memperhatikan tajam-tajam wajah Wiro.
Sepertinya dia pernah melihat pemuda ini sebelumnya. Yang bersama nenek Cempaka"
Tapi pemuda itu berpakaian putih sedang yang duduk di atas pasir ini mengenakan
pakaian dan topi merah, ditambah sebuah ikat pinggang yang membuat Djarot
Pangestu menjadi mendelik karena dia mengenali ikat pinggang berbentuk rantai
itu adalah emas murni!
Perlahan-lahan Wiro buka kedua matanya. Kedua telapak tangan masih tetap
dirapatkan di depan Page 32
wajahnya untuk menutupi karena dia khawatir sebelum sempat bertindak orang sudah
keburu mengetahui siapa dirinya.
Wiro perhatikan tampang Djarot Pangestu sesaat. Jelas tampak lelaki ini tengah
berpikir keras, mengingat-ingat. Maka cepat ia berkata, "Aku Pangeran dari Laut
Selatan. Sengaja bersemedi di sini untuk mendapat petunjuk di mana letak istana
Bawah Laut Ratu Laut Utara. Barusan aku menyelam sampai ke dasar laut namun tak
berhasil menemukan istana itu. Aku akan meneruskan semadiku, jangan
mengganggu...!"
"Tunggu dulu! Kenapa kau ingin mengetahui letak Istana Ratu Laut Utara itu?"
bertanya Djarot Pangestu. "Aku punya dendam kesumat besar terhadap sang ratu.
Dia menculik kekasihku untuk dijadikan hamba sahayanya..." jawab Wiro.
"Ah, kalau begitu kita berada dipihak yang sama!" kata Djarot Pangestu pula.
"Apa maksudmu"!" bertanya Pendekar 212.
"Aku pun punya dendam kesumat terhadap salah seorang pembantu Sri Ratu. Seorang
nenek jelek bernama Cempaka. Beberapa waktu lalu aku berhasil melukainya.
Seorang pemuda menyelamatkannya ke dalam laut. Eh....! Kau! Aku mengenali
tampangmu kini walau kau tutupi dengan kedua tangan!
Bukankah kau pemuda bersama nenek itu..."!"
"Keparat ini mengenaliku!" runtuk Wiro. Tak ada jalan lain, dia harus bertindak
merampas bawang putih yang ada di saku baju sebelah kiri Djarot Pangestu
sekarang juga! Dengan satu gerakan cepat Wiro melompat. Tangan kanannya menyambar. Djarot
Pangestu tersentak kaget, melompat ke samping dengan cepat.
"Breeettt!!!"
Saku pakaian kiri Djarot Pangestu robek besar. Wiro berhasil mengambil bawang
putih di dalam saku itu. Namun ketika diteliti ternyata ada satu ruas bawang
yang terkelupas dan lenyap dari tempatnya!
"Bangsat rendah! Kembalikan bawang putih itu!" teriak Djarot Pangestu marah
sekali. Dia memeriksa saku pakaiannya yang robek. Ternyata masih ada satu ruas
kecil bawang putih yang tertinggal dalam sakunya. Namun hal ini tidak membuat
amarahnya jadi mereda. Serta merta dia menyerbu ke arah Wiro sambil lepaskan
pukulan tangan kosong yang menderukan angin dahsyat!
Murid Sinto Gendeng sudah berhadapan dengan Djarot Pangestu sebelumnya. Pukulan
sakti "Benteng Melanda Samudera" bahkan pukulan "Sinar Matahari" tak mampu
merobohkan manusia ini. Maka dia cepat menghindarkan diri dari serangan dengan
melompat ke samping lalu cepat-cepat mencabut kapak Naga Geni 212 dari balik
saku pakaiannya.
Sementara itu di Istana Ratu Laut Utara, Roro Merah yang terus mengawasi ombak
penyambung mata melihat apa yang telah dilakukan Wiro. Dia segera memberi tahu
kepada Sri ratu apa yang telah terjadi.
"Sri Ratu, pemuda itu telah berhasil mengambil bawang putih dari saku Djarot
Pangestu!" Dia sama sekali tidak mengetahui kalau dalam saku pakaian Djarot
Pangestu masih tertinggal seruas kecil bawang putih!
Mendengar itu Sri Ratu segera memberi isyarat pada nenek Cempaka dan Roro Merah
serta Roro Biru.
Page 33 "Ikuti aku. Kita naik ke darat sekarang juga!"
BAB XV Kembali ke pantai...
"Pemuda keparat! Aku memang sudah menyangka kau adalah kaki tangan nenek keparat
itu! Kali ini jangan harap bisa lolos dari tanganku!" Rahang Djarot pangestu
mengembung, matanya membeliak merah.
Namun baru saja Djarot Pangestu berkata begitu, tiba-tiba dari bawah permukaan
laut melesat empat sosok tubuh. Mereka ternyata adalah Sri Ratu Ayu Lestari dan
Nenek Cempaka serta Roro Merah dan Roro Biru. Di saat yang sama puluhan prajurit
bersenjatakan tombak dan pedang dalam keadaan aneh, yaitu seperti tersamar di
bawah kabut tebal, tampak mengurung pantai.
"Wuuuttt!!!" Serangan ganas Djarot Pangestu lewat di samping Wiro. Murid Sinto
Gendeng segera kiblatkan Kapak Maut Naga Geni 212. Terdengar suara seperti
ribuan tawon mengamuk disertai sambaran sinar perak putih menyilaukan dan
menghamparnya hawa panas luar biasa.
Sesaat Djarot Pangestu terkesiap juga melihat kehebatan senjata sakti di tangan
lawan. Namun kemudian dia tampak menyeringai. Mulutnya berkomat-kamit. Tangan
kananya diangkat. Saat itu juga tangan ini telah berubah menjadi batu hitam yang
atos! Menyangka musuh hendak merampas senjatanya, Wiro Sableng tukikkan arah
serangannya ke bawah untuk membacok lengan lawan.
"Traaang!!!"
Kapak dan tangan saling bentrokan. Bunga api memercik menyilaukan mata. Djarot
Pangestu terjajar ke belakang tanpa cedera sedikit pun pada lengannya yang kena
dihantam Kapak Naga Geni 212. Wiro sendiri terpental empat langkah. Senjata
mustikanya hampir saja terpental dari gengamannya. Dadanya mendenyut sakit. Mau
tak mau Wiro jadi merasakan dingin tengkuknya melihat kenyataan ini! Ketika
dengan kalap dia hendak mendahului menyerbu, terdengar Sri Ratu Ayu Lestari
berseru. "Saudara, serahkan manusia pembunuh bejat itu padaku!"
Paras Pendekar 212 merah tenggelam. Dia hampir tak dapat menerima kenyataan
kalau Kapak Naga Geni 212 yang sangat diandalkannya itu ternyata tidak mempan
menghantam tangan batu Djarot Pangestu. Karenanya, tanpa banyak bicara murid
Sinto Gendeng terpaksa melompat mundur walaupun dengan hati jengkel setengah
mati! Djarot Pangestu berpaling ke arah Sri Ratu. Matanya terpentang lebar ketika
melihat aurat Sri Ratu yang terbayang di balik pakaian ungu tipis yang
dikenakannya. Wajah itu cantik luar biasa dan sepasang matanya mendebarkan untuk
ditatap. "Tentunya saat ini aku berhadapan dengan Ratu Laut Utara yang kesohor itu!"
berkata Djarot Pangestu.
Kedua matanya menggerayangi sekujur tubuh sang ratu. Pikiran kotornya lantas
muncul. Lalu dia berkata sambil menyeringai. "Dengar Ratu! Jika kau bersedia
hidup bersamaku, aku akan melupakan segala dendam kesumatku terhadap nenek jelek
pembantumu ini!"
Page 34 "Manusia kotor! Kau tak lebih dari seekor kutu busuk! Jangan berani bicara
kurang ajar terhadap ratu kami!" teriak Roro Merah.
"Ah, kau juga dara berbaju merah. Yang itu, yang berbaju biru juga boleh menjadi
pendampingku di saat aku perlu belaian tangan kalian. Ternyata kalian berdua
tidak kalah cantik dan berbadan mulus pula!
Ha...ha...ha...! Bagaimana Ratu. Kau terima permintaanku"!"
"Djarot Pangestu! Dosamu selangit tembus terhadapku. Dendan kesumatku lebih
panas dari bara neraka! Buka matamu lebar-lebar... Apa kau tidak mengenali siapa
diriku"!" tanya Sri ratu Ayu Lestari.
"Yang kulihat adalah seorang gadis berkulit putih mulus, berparas cantik dan
tubuhnya yang bagus terbayang indah menggiurkan di balik pakaian yang tipis!"
jawab Djarot Pangestu, lalu tertawa gelak-gelak.
"Ah, ternyata kedua matamu walaupun besar tapi telah mulai lamur. Kepalamu
walaupun keningnya lebar ternyata otaknya sudah mulai tumpul! Dengar baik-baik
Djarot Pangestu. Aku adalah cucu Menak Srenggi yang kau bunuh tujuh tahun lalu
bersama istrinya di desa Kaliwungu. Kau juga membunuh ibuku dan seorang
kawanku!" Tentu saja ucapan Sri ratu itu membuat Djarot Pangestu terkejut hampir tak
percaya. "Dicari-cari malah muncul sendiri! Eh, gadis cantik, siapa pun kau
adanya aku tetap pada ucapanku tadi. Hidup bersamaku, akan kulupakan segala
dendam kesumatku dan kuampuni selembar jiwa nenek jelek itu walau guruku Raja
Batu Di Batu memerintahkan aku untuk membunuhnya."
Nenek Cempaka jadi terkejut mendengar kata-kata Djarot Pangestu itu sementara
Sri ratu Ayu Lestari cepat membuka mulut.
"Kau boleh mengatakan hal itu pada penjaga-penjaga neraka!" sahut Sri Ratu.
"Bersiaplah untuk menerima kematianmu!" Lalu dengan tangan kanan terpentang Sri
Ratu melangkah mendekati Djarot Pangestu.
Djarot Pangestu sendiri sesaat masih tegak seperti tertegun. Gadis cilik tujuh
tahun lalu apakah benar kini menjadi Ratu Laut Utara, yang menurut gurunya Raja
Batu Di Batu memiliki kesaktian luar biasa" "Saat bagiku untuk menjajalnya! Aku
tidak percaya gadis semuda ini memiliki kehebatan seperti yang dikatakan guru!"
Sehabis berpikir begitu Djarot Pangestu hantamkan tangan kanannya ke arah sang
ratu. Yang diincarnya adalah payu dara sebelah kanan. Dan kurang ajarnya,
serangan ganas itu sebenarnya hanyalah tipuan belaka karena maksud sesungguhnya
adalah hendak meremas payu dara sang ratu yang menonjol besar dan kencang! Di
samping itu, karena menganggap enteng orang, Djarot Pangestu hanya andalkan
tenaga luar, sama sekali tidak mempergunakan tenaga dalam atau pun keluarkan
ilmu batunya. Sesaat lagi tangan yang kurang ajar itu akan sempat menyentuh payudara Sri Ratu,
tiba-tiba sang Ratu angkat tangan kanannya. Dari telapak tangan Sri ratu
menyambar asap putih. Djarot Pangestu berteriak kesakitan, tarik pulang
tangannya dan melompat mundur. Ketika tangan kanannya diperhatikan ternyata
sebagian kulitnya telah melepuh lecet!
Berubahlah paras Djarot Pangestu. Namun bersamaan dengan itu amarahnya juga
menggelegak. Mulutnya merapal jejampai. Tangan kanan itu serta merta berubah menjadi batu
hitam. Page 35 "Ratu keparat! Terima kematianmu!" teriak Djarot Pangestu. Tangan kanannya
berkelebat menghantam ke arah kepala.
Dengan tenang Sri ratu miringkan tubuh ke kiri lalu tangan kanannya secepat
kilat melesat ke atas dan tahu-tahu pergelangan tangan Djarot pangestu sudah
kena dicekal! Djarot Pangestu merasakan tangannya seperti berada dalam timbunan bara panas.
Terdengar suara berderak! Lapisan batu hitam aneh yang ada di lengannya
merengkah pecah lalu berjatuhan ke pasir pantai. Djarot berteriak sekali lagi
dan sentakkan cekalan sang ratu. Begitu terlepas dia segera melompat jauh.
"Ilmu kesaktianku tidak mempan...!" kata Djarot Pangestu dalam hati. Nyalinya
menjadi lumer. Namun tiba-tiba saja dia ingat akan sisa bawang putih yang ada
dalam saku pakaiannya. Dia juga ingat pesan gurunya Raja Batu Di Batu. Dengan
cepat bawang putih seruas itu dikeluarkannya dari saku lalu diacungkannya ke
arah Sri ratu. Bersamaan dengan itu jari-jari tangannya meremas hancur bawang
itu hingga kini bau tajam bawang putih menghampar di tempat itu.
Sri Ratu Ayu Lestari berseru tegang, sedang nenek Cempaka tercekat sementara
Roro Merah dan Roro Biru serta merta merasakan tubuhnya bergetar dari lutut
menggoyah. Bau bawang putih yang merasuk ke saluran pernafasan membuat tubuh
mereka menjadi panas sedang dada mendenyut sakit luar biasa. Roro Merah dan Roro
Biru menjerit keras, lalu terhuyung dan jatuh tergelimpang di pasir.
Sri Ratu dan Nenek Cempaka cepat tutup penciuman mereka dan berusaha keras
bertahan. Namun terlambat! Mereka telah terlebih dahulu mencium udara yang
mengandung bawang putih, benda yang merupakan pantangan mematikan bagi orang-
orang Kerajaan Laut Utara.
Di sekeliling tempat itu terdengar suara hiruk pikuk. Ternyata bawang putih yang
berada di tangan Djarot Pangestu telah pula membawa pengaruh pada prajurit
kerajaan yang terlihat seperti bayang-bayang itu. Mereka menjerit dan
berserabutan seperti terkurung dalam ruangan yang terbakar.
Lalu satu demi satu sosok tubuh mereka roboh ke pantai!
BAB XV Sri Ratu Ayu Lestari angkat tangan kanannya. Maksudnya hendak melancarkan
pukulan. Tapi dia terkejut sekali ketika dapatkan tangan kanannya tak mampu
digerakkan lagi. Terasa berat. Tangan itu ternyata telah lumpuh! Sungguh dahsyat
akibat dari pantangan terhadap bawang putih itu.
Nenek Cempaka sendiri tidak bisa berbuat apa-apa pula. Kedua telinganya mengiang
sakit dan pemandangan matanya mulai berkunang-kunang karena kedua matanya kini
mengeluarkan air dan terasa perih.
Djarot Pangestu keluarkan suara tertawa penuh kemenangan. Dia melangkah
menghampiri Sri Ratu sambil berkata, "Jika kau dan anak-anak buahmu bersedia
Wiro Sableng 047 Pembalasan Ratu Laut Utara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hidup bersama dan melayaniku, kalian akan kubebaskan dari siksaan bawang putih
yang mematikan ini!" Lalu Djarot Pangestu acungkan tangannya yang memegang
bawang putih ke arah wajah Sri ratu. Sang ratu terpekik. Tubuhnya menjadi
limbung! Selagi Djarot Pangestu mengacungkan bawang putih begitu rupa, Wiro yang saat itu
masih tegak memegang Kapak Naga Geni 212 berpikir dan berkata dalam hati.
"Kapakku jelas tidak mempan terhadap tubuh manusia keparat itu. Tapi untuk
memusnahkan bawang putih yang dipegangnya masakan Page 36
tidak bisa"!"
Berpikir sampai di situ Wiro keluarkan teriakan keras. Selagi Djarot Pangestu
terbagi perhatian. Murid Sinto Gendeng telah berkelebat. Kapak Naga Geni 212
menderu mengiblatkan hawa panas, sinar menyilaukan dan suara seperti tawon
mengamuk. Djarot Pangestu menyeringai lebar. Dia biarkan saja tangannya masih mengacung
begitu rupa karena sudah tahu kalau senjata sakti sang pendekar takkan mempan
terhadap tubuhnya. Namun dia sama sekali tidak menyangka kalau hantaman hawa
panas dan sinar menyilaukan Kapak Naga Geni 212
membuat hancur dan musnah potongan kecil bawang putih yang ada dalam pegangan
jari-jari tangannya.
Begitu bawang putih tersingkir lenyap tanpa bekas, Sri Ratu dan Nenek Cempaka
segera kuasai diri masing-masing kembali. Roro Merah dan Roro Biru yang
tergelimpang perlahan-lahan tampak bergerak siuman. Begitu juga puluhan prajurit
Kerajaan Laut Utara yang tadi berjatuhan tumpang tindih kini bangun lagi dan
segera mengurung tempat itu!
Djarot Pangestu mengerang marah. Kini seluruh kemarahannya itu ditumpahkan pada
Pendekar 212 Wiro Sableng. "Manusia anjing kurap! Kulumat tubuhmu!" kertaknya. Mulutnya bergerak komat-
kamit. Sekujur tubuhnya mulai dari rambut sampai kaki mendadak berubah menjadi
batu. Setiap gerakan dan langkah yang dibuatnya mengeluarkan suara seperti batu
berderak! Begitu kedua tangannya bergerak, Wiro segera menyingkir. Tapi celaka! Ada hawa
aneh yang membuat kedua kakinya seperti dipantek. Dan hawa aneh ini keluar dari
tubuh batu Djarot Pangestu!
"Kreteeeekkkk!!!"
Dua tangan batu Djarot Pangestu melesat ke depan. Wiro berusaha setengah mati
untuk menghindar tapi sia-sia saja!
"Tobat, tamat riwayatku ditangan jahanam ini!" keluh Wiro. Lalu dia hanya
tertegak pasrah.
Di saat itulah dari samping Sri Ratu Ayu Lestari datang dengan cepat. Tangan
kanannya dengan telapak terkembang menggebuk ke arah bahu kiri Djarot Pangestu.
Terdengar suara meletup keras disertai menggebubunya asap hitam ke udara.
Berbarengan dengan itu terdengar pula jeritan Djarot Pangestu. Dia terhuyung
keras ke samping kanan. Tubuhnya yang hitam membatu terdengar berderak lalu
tampak retak-retak. Retakan-retakan itu satu demi satu jatuh ke pasir.
Ketika lapisan batu hitam itu tanggal keseluruhannya, tampaklah tubuhnya
mengeluas merah seperti dipanggang! Orang ini menjerit lagi lalu jatuh terduduk
di pasir. Sri Ratu Ayu Lestari melangkah menghampiri. "Ini dari ibuku!" teriak sang ratu.
Kaki kanannya menendang perut Djarot Pangestu. Bukan saja tubuh lelaki itu
terpental sampai tiga tombak, tapi perutnya pun tampak ambrol mengerikan.
Sri Ratu mendekati lagi. "Ini dari kakek dan nenekku!" katanya. Sekali lagi kaki
kanannya menendang.
Terdengar suara berderak ketika tulang dada Djarot Pangestu patah dan remuk.
"Ini dari kawanku!" teriak Ratu kembali. Tendangannya yang ketiga membabat
pinggang Djarot pangestu. Tubuh Djarot terlipat dan terhempas ke pasir.
Page 37 "Dan ini dariku!" teriak Sri Ratu lebih keras. Tangan kanannya yang memiliki
kesaktian aneh karena adanya dua ruas tangan yang saling bersilang menggebuk ke
arah batok kepala Djarot Pangestu.
"Praaaakkkk!!!"
Batok kepala itu bukan saja hancur mengerikan, tapi hancurnya juga mengepulkan
asap hitam menggidikkan.
Sri Ratu Ayu Lestari jatuhkan diri berlutut, tekap wajahnya dengan kedua tangan
dan berusaha keras menahan tangis. Nenek Cempaka mendatangi, membantu Sri Ratu
berdiri. Setelah hening sejenak, si nenek berbisik, "Saatnya kita kembali ke
dasar laut, Sri ratu..."
Sri Ratu mengangguk perlahan lalu berpaling dan memandang ke arah Pendekar 212
Wiro Sableng. Untuk sesaat, keduanya saling bertatapan. Dan untuk pertama kalinya Wiro
merasakan sanggup balas memandang mata yang bagus bening dan bersinar penuh
wibawa itu. "Nenek... kita harus membawa pemuda itu ke istana kembali..." berbisik Sri Ratu.
"Maksudmu Sri Ratu...?" tanya si nenek seraya memandang sekilas pada wiro.
"Kita harus mengundangnya. Dia memberikan bantuan besar yang sangat menentukan
ketika dia menghancurkan bawang putih yang dipegang Djarot Pangestu...."
"Perintahmu akan saya sampaikan padanya. Namun setelah sampai di Istana nanti
layanan apa yang akan kita berikan padanya?"
Dalam hatinya Sri Ratu Ayu Lestari mengeluh. "Pembantuku yang tua ini banyak
sekali tanyanya. Apa dia tidak merasakan kalau aku merasa suka terhadap pemuda
itu" Kedudukanku sebagai Ratu tak memungkinkan aku mengatakan kepada siapa pun
secara terbuka. Ah... kupikir jauh lebih baik jadi manusia biasa saja..."
"Sri Ratu, kami mohon petunjukmu lebih lanjut..." terdengar suara Nenek Cempaka.
Sang ratu tersadar kalau barusan dia dibawa oleh perasaannya sendiri. Pada saat
itu dilihatnya Wiro melangkah mendatangi. Sesaat sang pendekar menatap wajah
sang ratu, lalu katanya, "Sri Ratu... Aku ingin memulangkan baju merah yang bagus
ini padamu. Tapi aku tak punya salinan lain. Terpaksa aku harus memintanya..."
"Pakaian itu memang untukmu saudara..."
"Terima kasih. Tapi aku harus mengembalikan ikat pinggang emas ini!" ujar Wiro
pula. "Itupun untukmu juga. Tak perlu dikembalikan," berkata sang ratu.
Wiro menggeleng. "Aku tidak berani menerimanya Sri Ratu... Ini ikat pinggang yang
sangat mahal. Orang sepertiku tidak pantas memakainya, apalagi memilikinya...."
Sri Ratu tidak berikan jawaban. Dia malah memegang lengan si nenek dan
menariknya melangkah menuju ke dalam laut, diikuti oleh Roro Merah dan Roro
Biru. Page 38 Sesaat Wiro tegak tertegun sambil pegangi ikat pinggang emas. Ketika air laut
sampai ke bahu empat orang itu, Wiro mengejar seraya berseru, "Sri Ratu, ikat
pinggang emas ini. Ambil kembali! Kau baik sekali! Tapi aku tidak berani
menerimanya...!"
Dikejauhan sang Ratu hanya tampak tersenyum.
"Nenek Cempaka...!" Panggil Wiro.
Si nenek berpaling. Lalu terdengar seruannya. "Anak muda! Kalau kau ingin
mengembalikan ikat pinggang emas itu, silakan mengantar sendiri ke Istana
Kerajaan laut Utara!"
Wiro melengak. "Mengantar sendiri...?" ujarnya. Dia jadi bingung. "Apakah totokan
aneh itu masih melekat di punggungku...?" dia bertanya-tanya sendiri. Di depan
sana keempat orang itu hanya kelihatan tinggal kepala saja. Ketika empat kepala
itu lenyap di bawah permukaan air laut, akhirnya Wiro pun melompat menghamburkan
tubuhnya ke dalam laut.
Ternyata totokan sakti Nenek Cempaka masih di punggungnya. Dan ini yang
membuatnya bisa bernafas dan melihat seperti biasa di dalam laut. Serta merta
Wiro melesat di dalam air menyusul keempat orang menuju istana Ratu Laut Utara.
*** Page 39 Eng Djiauw Ong 22 Pendekar Rajawali Sakti 189 Dendam Berkubang Darah Manusia Harimau 1
Si nenek tertawa sayu. "Aku tidak suka menerima kebaikan orang tanpa membalasnya
dengan kebaikan pula. Sebungkus nasimu itu akan kutukar dengan tongkat
kuninganku ini! Bawa ke mari nasi itu dan kau ambil tongkat ini!"
Wiro tertawa dan gelengkan kepala. "Nasi sebungkus ini kuberikan dengan ikhlas,
tidak meminta balasan apa-apa."
Page 20 "Jangan menolak. Tongkat ini adalah rezekimu!" kata si nenek pula.
"Terima kasih nek. Kau orang yang sangat memperhatikan budi. Namun aku tak
berani menerima tongkatmu itu. Benda itu lebih berguna bagi dirimu terutama
untuk dipakai berjalan..."
"Kalau begitu baiklah." Si nenek lalu mengambil bungkusan nasi. Lalu tanpa
sungkan-sungkan dia duduk di samping Wiro di atas batang kelapa itu. Tongkatnya
dibelitkan di sampingnya dan dia mulai menyantap nasi, ikan, sambal terasi dan
mentimun. Ternyata si nenek makannya "riuh" sekali. Suara ciplakannya terdengar keras.
Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa melirik memperhatikan si nenek yang begitu
asyik bersantap. Hanya dalam waktu singkat nasi sebungkus itu pun tandas ke
dalam perut si nenek. Kini perempuan itu duduk menjulurkan kakinya. Daun pisang
pembungkus nasi dirapikannya kembali lalu dia berpaling pada Wiro, dan berkata
seraya menyerahkan bungkusan daun nasi yang telah kosong itu.
"Aku sudah kenyang. Sekarang giliranmu makan anak muda!" Lalu enak saja
bungkusan itu diletakannya di atas pangkuan Wiro.
"Perempuan tua ini geblek atau pikun. Nasiku sudah disikatnya habis, kini
bungkusan kosong itu diserahkannya padaku. Aku disuruhnya makan!" Wiro membatin.
"Hai, makanlah! Apa kau malu makan di hadapanku" Aku tadi tidak malu-malu makan
di hadapanmu. Malah suara ciplakanku terdengar sampai ke dalam laut, sempat mengejutkan ikan-
ikan di sana. Hik...hik...hik! Nah, selamat makan anak muda!"
"Nek, apa yang hendak kumakan" Bukankah nasi dalam daun itu sudah kau habiskan
tadi...?" "Ah, kau pasti menyesal memberikan nasi itu padaku!" si nenek tampak memancing.
"Sungguh mati aku tidak menyesal. Aku senang dan ikhlas menolongmu," jawab Wiro
pula. "Kalau begitu kau makanlah nasi itu!"
"Nasi yang mana nek?"
"Nasi dalam bungkus daun. Yang ada di pangkuanmu itu! Apa kau melihat bungkusan
nasi yang lain"!"
"Astaga nek, bungkusan ini kosong. Isinya Cuma tulang ikan. Sebaiknya kubuang
saja..." "Jangan dibuang anak muda. Kau belum membukanya. Belum melihat isinya. Bagaimana
kau bisa mengatakan daun itu isinya cuma tulang ikan?"
"Aku tadi melihat kau menyantap habis nasi itu, ikannya, sambal terasi dan dua
potong ketimun. Yang kau sisakan hanya tulang ikan...!"
Si nenek tertawa cekikikan.
"Eh, apa pula yang kau tertawakan, nek?" tanya Wiro.
"Anak muda, kau seolah-olah punya mata yang bisa menembus daun pisang pembungkus
itu. Hingga begitu yakin isinya hanya sepotong tulang ikan! Cobalah dulu kau
buka dan periksa. Apa yang kau Page 21
katakan mungkin tidak demikian. Nah, apakah kau tak ingin memeriksanya?"
"kalau kau bilang begitu, baiklah..." Wiro lalu membuka bungkusan daun itu. Dan
terkejutlah sang pendekar! Bungkusan yang disangkanya kosong hanya berisikan
tulang belulang ikan bakar ternyata ketika dibuka yang tampak adalah nasi putih
masih mengepul, sepotong ikan bakar, sambal terasi, dan dua buah ketimun segar!
Persis seperti yang sebelumnya dilihat Wiro dan diserahkan pada si nenek lalu
dimakan sampai habis!
Wiro tidak percaya pada matanya sendiri. Dipegangnya nasi itu. Terasa panas dan
memang nasi betulan.
Diangkatnya ikan bakar itu, diciumnya. Terasa harum segarnya ikan bakar.
"Itu ikan betulan anak muda! Buah mentimun itu juga buah betulan! Sambal terasi
itu juga sambal betulan. Jika kau tidak percaya silahkan peperkan ke matamu!
Nanti kau baru yakin akan ucapanku!
Hik...hik...hik..."
"Nek, kau ini ahli sulap atau tukang sihir...?" tanya Wiro.
Si nenek tertawa panjang. "Tidak kedua-duanya, anak muda. Nah kau makanlah!"
katanya. Dengan perasaan penuh ragu Wiro menyuap nasi dan secuil ikan. Ketika dikunyah
dan ditelannya memang nasi dan ikan betulan. "Lalu apa yang tadi dimakan nenek
itu"!" tanya Wiro sambil mengunyah terheran-heran. Sementara si nenek sendiri
duduk tenang-tenang saja memandang ke laut lepas. Selagi Wiro bersantap dan
selagi si nenek duduk santai begitu rupa, tiba-tiba terdengar satu bentakan
keras. "Tua bangka keparat! Akhirnya kutemui juga kau di tempat ini! Jangan kira kau
bisa menipuku dengan menyamar sebagai nenek-nenek rombeng!"
BAB X KALAU Pendekar 212 Wiro Sableng meskipun kaget tetap duduk di atas batang
kelapa, sebaliknya si nenek cepat menyambar tongkat besi kuningannya dan
melompat. Wiro segera melihat perubahan gerak-gerik perempuan tua ini. Kalau
tadinya tampak lamban dan lemah, kini gerakannya menunjukkan kegesitan penuh
waspada. "Setelah tujuh tahun berlalu, bangsat ini muncul kembali! Bagaimana dia tahu
diriku!" si nenek membatin.
Kemudian dia ingat pada tongkat pipa kuningan yang dipegangnya di tangan kanan.
"Ah, pasti senjataku inilah yang dikenalinya!"
"Tua bangka buruk! Sebelum nyawamu kukirim ke akherat lekas katakan di mana cucu
perempuan bekas Adipati Ambarawa Menak Sringgi itu kini berada"!"
"Djarot Pangestu..., Kau bilang aku nenek buruk, memang aku sudah tua dan jelek.
Tapi dirimu kulihat lebih jelek. Tangan dan mukamu penuh cacat! Siapa yang telah
menghajarmu sampai hancur-hancuran begini rupa?" Habis berkata begitu si nenek
lalu tertawa cekikikan.
"Tua bangka sedeng! Lekas katakan di mana anak perempuan itu berada"!"
"Ada urusan apa kau mencarinya" Apa masih belum cukup menebar maut menumpah
darah orang-orang tak berdosa"!"
Page 22 "Puah! Jangan bicara tentang manusia-manusia tak berdosa! Dosa Menak Sringgi
terhadapku turun temurun sampai ke anak cucunya. Adalah pantas kalau seluruh
darah daging keturunannya harus kubasmi!" ujar Djarot Pangestu pula.
"Sampai ke ujung langit sekali pun kau mencari, tak bakal kau menjumpainya! Dan
kalau kau berhasil menemuinya dia akan menghajarmu semudah dia membalikkan
telapak tangannya!"
"Begitu...?" kata Djarot Pangestu lalu meludah ke pasir. "Biar lehermu yang
kubalik lebih dahulu!"
Djarot tutup ucapannya dengan menyerbu dan lancarkan pukulan tangan kosong ke
arah kepala si nenek.
Nenek berambut putih ini serta merta gerakkan tangan kanannya, menangkis
serangan lawan dengan tongkat pipa kuningan.
Sebelumnya Djarot Pangestu sudah tahu kehebatan senjata lawan itu. Namun kini
setelah menguasai ilmu kesaktian yang didapatnya dari Raja Batu Di Batu di Tanah
Bugis, maka dia bermaksud untuk menjajal sampai di mana kehebatan ilmu kesaktian
itu. Begitu tangannya memukul, tangan itu berubah hitam legam dan keras luar
biasa seperti batu!
"Traaaang...!"
Tongkat kuningan dan tangan saling beradu, mengeluarkan suara berdentrangan yang
keras. Si nenek keluarkan seruan kaget. Bukan saja tubuhnya terhuyung keras ke
belakang tapi tongkat pipa besi kuningannya tampak peyok pada bekas yang terkena
hantaman tangan Djarot Pangestu. Sedang lelaki itu sendiri hanya tampak
tergontai-gontai sambil menyeringai.
"Manusia satu ini pasti sudah berguru pada seorang sakti mandraguna, sesuai
ancamannya tempo hari..." pikir si nenek. Walaupun darahnya terkesiap melihat
kehebatan lawan namun dia menunggu dengan sikap tenang.
Ketika Djarot Pangestu menyerbu kembali, dia ketukkan tongkat pipanya ke tanah.
Terdengar suara bergema laksana genta mengalun. Satu gelombang angin yang deras
menghantam ke arah Djarot Pangestu. Wiro turut merasakan kehebatan angin senjata
di tangan si nenek. Tubuhnya terhuyung ke kiri.
Dia cepat berguling lalu tegak melompat.
"Ilmu kesaktianmu tiada guna, nenek jelek!" ejek Djarot Pangestu. Dia dorongkan
kedua tangannya.
Kedua tangan itu serta merta berubah menghitam seperti batu.
"Braaak!"
Terdengar suara aneh seperti dua benda keras saling bentur ketika gelombang
angin yang keluar dari ujung tombak pipa kuningan si nenek bertemu dengan dua
telapak tangan Djarot Pangestu. Djarot terhempas ke belakang sebaliknya si nenek
terdengar keluarkan suara mengeluh. Tanah yang dipijaknya seperti amblas.
Tubuhnya terbanting jatuh sedang mukanya tampak pucat!
"Sekarang terima kematianmu tua bangka sedeng!" teriak Djarot Pangestu. Tangan
kanannya laksana palu godam dihantamkan ke kepala si nenek. Dengan susah payah
perempuan itu melintangkan tongkat pipa kuningannya di atas kepala guna
melindungi diri.
"Traaaaang!"
Untuk kedua kalinya terdengar suara berdentrangan. Tongkat pipa kuningan itu
patah dua. Si nenek Page 23
terpental dua tombak, terguling di atas pasir dan diguyur oleh ombak yang
memecah di pantai. Selagi dia mencoba bangkit dengan susah payah, Djarot
Pangestu sudah melompat ke hadapannya.
"Pergi!" teriak si nenek sambil tusukkan jari telunjuk tangannya ke arah dada
lawan. Djarot pangestu merasa seolah-olah ada besi panas berputar menusuk tembus ke
dadanya. Jantungnya seperti dibor! Lelaki itu berteriak kesakitan, keluarkan
keringat dingin. Dengan cepat dia rangkapkan dua tangan di depan dada. Sepasang
matanya membeliak. Rambutnya yang awut-awutan berjingkrak ke atas seperti
terpanggang. Mukanya dan sekujur tubuhnya mendadak berubah menjadi hitam aneh.
Hitam mengeras seperti batu. Rahangnya menggembung dan dari mulutnya terdengar
suara bergemeletakan.
"Pergi!" Teriak si nenek sekali lagi sambil lipatgandakan tenaga dalamnya.
Tusukan seperti besi berputar kembali menyambar ganas bagian dada Djarot
Pangestu. Tapi kini seperti mendera tembok baja, tusukan itu tak dapat terus,
malah membalik pada pemiliknya.
Terdengar pekik si nenek. Tubuhnya jatuh terguling di atas pasir. Dari mulutnya
tampak mengalir darah segar. Djarot Pangestu membuat langkah-langkah kaku yang
aneh seolah tubuhnya benar-benar telah berubah menjadi batu. Begitu sampai di
hadapan si nenek dia angkat kaki kanannya tinggi-tinggi lalu dihujamkan ke
kepala perempuan tua itu!
BAB XI NENEK Cempaka meskipun dalam keadaan terluka parah di sebelah dalam namun masih
sempat melihat datangnya hantaman kaki Djarot Pangestu yang akan menghujam
kepalanya. Dia berusaha menyingkir. Tapi seperti ada hawa aneh yang membuatnya
tak mampu bergerak. Perempuan tua ini hanya pasrah menunggu datangnya maut!
Hanya sesaat lagi tapak kaki Djarot Pangestu akan menghancurkan kepala si nenek,
tiba-tiba dari samping seperti ada angin puting beliung yang menyambar. Pasir
terbang ke udara dan air laut muncrat tinggi. Tubuh Djarot Pangestu yang hanya
bertumpu pada kaki kiri, meskipun tidak terangkat mental dan hanya terpuntir ke
kiri namun ini sudah cukup menyelamatkan kepala si nenek dari hantaman kakinya.
Kaki itu kini mendarat di atas pasir pantai. Untuk kedua kalinya pasir
menghambur ke udara dan di tanah pantai tampak sebuah lobang besar.
Ketika berpaling ke kanan Djarot Pangestu saksikan tubuh nenek Cempaka sudah
berada dalam dukungan Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kau muridnya atau siapa! Lekas beri tahu!" bentak Djarot Pangestu seraya maju
dua langkah. Sampai saat itu wajah dan sekujur badannya sampai ke kaki masih
tampak hitam membatu.
"Aku dan nenek ini tidak punya hubungan apa-apa. Sangkut pautku dengan dirinya
adalah sangkut paut kemanusiaan!" jawab Wiro. "Mengapa kau hendak membunuhnya"!"
"Mengapa aku hendak membunuhnya itu bukan urusanmu! Lemparkan tubuhnya ke
pasir!" menghardik Djarot Pangestu.
"Kau sudah mengalahkannya, apa masih belum puas"!"
"Bangsat!" Djarot Pangestu jadi meledak amarahnya. "Biar kalian berdua kubunuh
sekaligus!" Lalu Page 24
lelaki ini dorongkan kedua tangannya keras-keras ke arah murid Sinto Gendeng
yang memanggul si nenek di bahu kirinya.
Tadi untuk menyelamatkan Nenek Cempaka, Wiro telah lepaskan pukulan sakti
bernama "Benteng Topan Melanda Samudra". Sebelumnya, siapa saja yang sempat
tersambar pukulan sakti itu pasti akan mencelat mental dan kalau tidak remuk
sekujur tubuhnya, paling tidak akan menderita luka dalam yang parah. Namun
kenyataannya Djarot Pangestu hanya terpuntir ke samping. Jelas manusia satu ini
memiliki ilmu kepandaian dan kesaktian sangat tinggi.
Kini melihat Djarot hantamkan kedua tangannya ke arah dirinya yang sedang
memanggul Nenek Cempaka. Pendekar 212 Wiro Sableng tanpa ayal lagi segera
lepaskan Pukulan Sinar Matahari!
Sinar seputih perak dan menyilaukan serta menebar hawa panas berkiblat
menghantam ke arah angin sakti yang keluar dari dua telapak tangan Djarot
Pangestu. Dua kekuatan sakti tingkat tinggi saling bentrokan. Terdengar suara
berdentum. Pasir pantai beterbangan ke udara. Ombak yang bergulung dan hendak
memecah di pantai tersapu dan membalik kembali ke arah laut.
Pendekar 212 rasakan tubuhnya seperti dijebit oleh dinding batu dari arah depan
serta kiri kanan.
Kedua lututnya goyah. Dia tak sanggup bertahan akhirnya terpental dua tombak ke
belakang, terhempas di atas pasir tapi masih sanggup memegang erat tubuh si nenek hingga
keduanya jatuh saling tindih. Wiro cepat bangkit walau dadanya terasa sesak dan
masih dalam keadaan mendukung si nenek di bahu kirinya!
Ketika pukulan sinar matahari menghantam, sesaat tubuh batu Djarot Pangestu yang
berwarna kehitaman itu berubah menjadi putih dan mengepulkan asap. Kedua matanya
merah membara. Dia menjerit keras sebelum tubuhnya terhempas ke pasir lalu
terguling sampai delapan langkah. Namun tampaknya orang ini tidak mengalami
cedera. Meskipun terhuyung-huyung dia berusaha bangkit. Sekujur tubuhnya yang
memutih dan mengepulkan asap itu mengeluarkan suara bergemeretakan seperti suara
batu bergeser. "Anak muda..." Wiro mendengar si nenek berbisik padanya. "Lekas tinggalkan tempat
ini. Kau tak sanggup mengalahkan manusia itu. Aku tahu ilmu apa yang
dimilikinya. Sebelum terlambat lekas turunkan diriku dan selamatkan dirimu!"
"Aku tak mungkin meninggalkan kau di sini begitu saja nek," ujar Wiro. "Keparat
itu pasti akan membunuhmu!"
"Mungkin memang sudah begitu suratan takdirku!"
"Jangan mendahului kemauan Tuhan nek! Aku masih punya ilmu simpanan. Juga
senjata mustika untuk menghajarnya!"
"Jangan tolol!" mendamprat nenek Cempaka. "Sekalipun kau punya segudang
kesaktian dan seribu macam senjata, dia tak akan sanggup kau kalahkan. Dia
manusia batu yang kebal segala macam pukulan dan senjata. Lekas kau turunkan
diriku!" "Tidak!" jawab Wiro berkeras, sementara itu di depannya Djarot Pangestu dengan
kedua tangan terpentang mulai melangkah mendekat. Kedua tangannya dirangkapkan
secara aneh di depan dada. Dan tubuhnya yang tadi berwarna keputihan perlahan-
lahan kini kembali menjadi hitam membatu!
"Anak muda kau tolol amat sih!" terdengar suara Nenek Cempaka kembali. "Tapi
sudahlah, jika kau Page 25
memang mau menolongku, cepat melangkah ke dalam laut. Aku melihat di kejauhan
ada dua orang dari para sahabatku tengah melesat dari dasar laut menuju ke
tempat ini. Mereka tak bisa mengalahkan lelaki itu, namun keduanya sanggup
menghalangi sehingga kita sempat menyelinap masuk ke dalam laut! Ayo lekas masuk
ke dalam laut!"
"Nek!" seru Wiro. "Kau memang sakit terluka di dalam. Tapi kau bukan sakit
panas. Lalu mengapa kau bicara seperti orang mengigau"!"
"Mengigau macam mana maksudmu"!" Sentak si nenek. "Lekas lakukan apa yang
kubilang. Waktu kita hanya sedikit!"
"Kau menyuruh aku masuk ke dalam laut! Apa itu bukan mengigau"! Lalu kau bilang
melihat ada dua dara sahabatmu melesat dari dasar laut! Apa itu juga bukan
mengigau" Aku tidak melihat siapa-siapa, apalagi dua dara itu...."
Wiro putuskan ucapannya ketika tiba-tiba dari bawah permukaan laut hampir tak
dapat dipercayanya melesat keluar dua sosok tubuh berpakaian biru dan hijau. Dan
keduanya ternyata adalah sepasang dara berparas cantik jelita, berkulit sangat
putih dan seperti berkilauan ditimpa sinar matahari.
Wiro Sableng 047 Pembalasan Ratu Laut Utara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang membuat Wiro jadi menahan nafas adalah pakaian kedua dara ini. Sisi kiri
baju panjang yang dikenakan dua dara itu terbelah tinggi sampai ke pangkal
pahanya hingga sebagian auratnya kelihatan terpampang ketika angin laut
menyibakkan baju mereka! Sesaat Wiro tegak tertegun sementara Djarot Pangestu
yang semula melangkah mendekati Wiro untuk beberapa saat lamanya menatap ke arah
kedua gadis itu dengan tajam dan kedua kaki batunya berhenti melangkah.
Wiro tepuk pantat si nenek. "Pemuda kurang ajar! Apa-apaan kau ini"!" menghardik
si nenek. "Gadis berbaju hijau dan biru itu. Mereka yang kau katakan para sahabatmu"!"
"Betul! Tapi sekarang kita tak punya waktu banyak untuk bicara panjang lebar.
Biarkan dua dara itu menghadang. Kau lekas melangkah ke dalam laut..."
"Nenek ini begitu memaksa... Aneh! Dia tidak mengigau. Kalau aku turuti
perintahnya apa aku mau mati tenggelam..."!"
Selagi Wiro berpikir-pikir seperti si nenek gerak-gerakan kedua kakinya
sementara tangan kanannya menekan punggung murid Sinto Gendeng. Aneh seperti di
dorong oleh suatu kekuatan gaib, Pendekar 212 terdorong ke depan dan bagaimana
pun dia berusaha melawan, tetap saja tubuhnya terdorong malah makin dilawan
tambah keras. Tanpa disadarinya akhirnya Wiro melangkah ke dalam laut. Makin dalam, makin
dalam dan sewaktu air laut sudah sampai ke dadanya malah mulai mendekati leher,
nenek itu menekan kuat-kuat salah satu urat besar di punggung Wiro. Murid Sinto
Gendeng terus melangkah, masuk ke dalam laut dan lenyap dari pemandangan!
BAB XII MURID Sinto Gendeng itu nyaris tak percaya kalau tidak dapat mengalami sendiri
bagaimana dirinya bisa melangkah bahkan melayang di dalam air laut bahkan
bernafas seolah-olah dia berada di udara Page 26
terbuka saja! Hanya pemandangannya saja yang mula-mula terasa agak berkabut dan matanya
sedikit perih. Namun beberapa saat kemudian dia mampu melihat seterang di luar.
Hal ini tak lain karena totokan aneh yang dilakukan nenek Cempaka pada bagian
punggungnya. Wiro hendak membuka mulut menanyakan sesuatu. Tapi sadar berada di dalam laut,
dan khawatir air masuk ke dalam mulutnya, maka pendekar ini kancing mulutnya
rapat-rapat. Setelah melayang beberapa lama di dalam laut, nenek yang dipanggul menunjuk jauh
ke bawah, ke arah dasar laut. Wiro memandang ke arah yang ditunjuk. Dia melihat
sebuah bangunan besar yang memiliki beberapa atap-atap tinggi berbentuk joglo.
Si nenek terus memberi tanda agar Wiro bergerak ke arah bangunan itu.
Ketika hampir mencapai bangunan besar tersebut, dua orang tampak melesat dari
depan. Ternyata dua orang gadis masing-masing berpakaian merah dan cokelat.
Sebentar saja mereka sudah sampai ke dekat Wiro. Lalu pendekar ini mendengar ada
suara mengiang di telinganya.
"Ikuti kami..."
Dua gadis tadi memandang sesaat pada Wiro, lalu berbalik dan berenang mendahului
menuju ke bangunan besar. Begitu sudah sampai di bawah atap bangunan, air laut
serta merta lenyap dan Wiro dapatkan dirinya dalam keadaan basah kuyup berada di
bagian depan bangunan besar. Memandang ke dalam dia melihat satu ruangan
bertiang dua belas buah di kiri kanan, lantainya beralaskan permadani dan jauh
di ujung sana ada sebuah kursi besar di bawah dua buah payung.
"Nek, segala sesuatunya serba ajaib! Aku tak habis percaya bagaimana aku bisa
mampu melayang dan bernafas dalam air laut. Lalu di mana kita berada saat
ini....?" "Kita berada di Kerajaan Bawah Laut, anak muda. Hanya itu yang bisa kuterangkan
saat ini..."
terdengar si nenek menjawab.
Ketika Wiro hendak bertanya lagi, dara berpakaian cokelat sudah mendatangi dan
berkata, "Serahkan nenek itu padaku!" Lalu tanpa menunggu dia mengambil nenek
Cempaka dari bahu kiri Wiro dan memanggulnya menuju sebuah pintu yang diatasnya
ada lampu cokelat.
Gadis berbaju merah memberi isyarat agar Wiro mengikutinya. Saat itu pakaian
Wiro basah kuyup, begitu juga tadi si nenek. Tapi mengapa dara yang melangkah di
depannya itu sama sekali tidak basah"
Padahal tadi jelas dia berenang di dalam laut menyongsong kedatangannya bersama
si nenek. "Jangan-jangan aku berada di sarangnya dedemit atau jin laut," pikir Wiro.
"Di dalam kamar ada seperangkat pakaian. Ganti pakaianmu yang basah. Jika sudah
selesai, keluar dari kamar ini dan duduk didepan tangga di seberang kursi besar
diujung ruangan..."
"Kau sendiri tidak masuk ke dalam kamar...?"
Wajah sang dara tampak menjadi merah. "Jika Sri Ratu tidak menganggap dirimu
sebagai seorang tamu yang berjasa dan terhormat, cukup alasan bagiku untuk
menjatuhkan hukuman atas mulutmu yang lancang itu!" kata dara berpakaian merah
yang dipanggil dengan nama Roro Merah itu.
Wiro baru sadar kalau ucapannya tadi sangat menyinggung perasaan si baju merah,
padahal sebenarnya Page 27
tidak ada maksud apa-apa. Cepat-cepat dia tundukkan kepala dan berkata:
"Saudari, harap maafkan. Aku .... hemm... aku tidak bermaksud yang bukan-bukan.
Segala sesuatunya di tempat ini serba aneh walaupun menakjubkan. Berada seorang
diri di tempat ini, maksudku di kamar itu aku khawatir melakukan kesalahan dan
melanggar aturan. Tadi si nenek mengatakan aku berada di Kerajaan Bawah Laut.
Apa benar begitu" Lalu siapa raja di kerajaan ini" Aku benar-benar mengalami
hal-hal yang luar biasa. Bayangkan, orang tolol sepertiku ini bisa berjalan di
dalam laut, bisa bernafas!
Padahal, jelek-jelek begini, aku bukan turunan ikan atau kura-kura!"
Mendengar ucapan yang polos dan lucu itu Roro Merah kini tampak tersenyum.
"Saudara...," katanya.
"Memang benar saat ini kau berada di Kerajaan Bawah Laut. Kami tidak punya raja
tapi memiliki seorang ratu yang kami sebut dengan panggilan Sri Ratu Ayu
Lestari. Kau bisa berjalan di dalam laut dan bernafas seperti di udara biasa
karena nenek Cempaka menotok salah satu urat di punggungmu..."
Pendekar 212 tentu saja tercengang mendengar keterangan itu. Dia geleng-geleng
kepala. "Ilmu totokan apa yang sungguh luar biasa itu..." katanya sambil
menggaruk kepala. "Ah, kalian di sini tentunya manusia-manusia sakti mandraguna.
Aku benar-benar mengaguminya. Dan mohon maaf kalau dengan sejujurnya aku harus
memuji bahwa kau dan kawanmu tadi, juga dua dara yang melesat menghadang Djarot
Pangestu, semuanya cantik-cantik dan memiliki sepasang mata yang luar biasa
indahnya. Cuma, yang aku heran, kalau memang benar ini sebuah kerajaan, mengapa
suasana sepi-sepi saja" Dan bangunan ini pasti sebuah istana. Lalu di mana para
penjaga" Para pengawal...?"
"Kau melewati mereka, tapi tidak melihat mereka. Cobalah memandang berkeliling
sekali lagi..." kata Roro Merah. Wiro lakukan apa yang dikatakan gadis itu.
"Astaga...!" ucapnya ketika dia menyaksikan bagaimana ruangan itu mulai dari
bagian depan sampai di sekitar kursi besar di bawah payung penuh dengan pengawal
bersenjata lengkap.
"Aneh, bagaimana tadi aku tidak melihat mereka semua...?" Dia memandang
berkeliling sekali lagi.
Mendadak saja muncul rasa kecut dalam dirinya ketika saat itu dia tidak lagi
melihat para pengawal itu!
"Silakan masuk ke dalam kamar dan ganti pakaianmu lalu keluar menuju hadapan
Tahta Kerajaan..."
berkata Roro Merah.
Di dalam kamar yang dinding dan langit-langitnya berwarna merah dan harus
semerbak Wiro dapatkan sebuah ranjang yang sangat bagus. Di atas ranjang ini ada
seperangkat pakaian lelaki terdiri dari celana panjang dan baju tangan panjang
berwarna merah dengan hiasan berupa sulaman dari benang emas. Di samping
pakaian, terdapat pula topi tinggi berwarna merah, lalu ikat pinggang besar
berbentuk rantai yang ketika ditelitinya membuat pendekar ini jadi melengak
karena ikat pinggang itu terbuat dari emas!
Wiro termangu sesaat. Tak ada hal lain yang bisa dilakukannya kecuali memang
mengenakan harus pakaian merah itu. Dia membuka pakaian putih dekilnya yang
basah kuyup. Namun sesaat dia memandang ke pintu, khawatir ada yang masuk. Dia
juga memandang ke seantero kamar, takut ada yang mengintip! Akhirnya dengan
senyum-senyum Wiro tanggalkan pakaian putihnya lalu dengan cepat mengenakan baju
dan celana merah, lengkap dengan ikat pinggang dan topinya. Kapak Naga Geni 212
diselipkannya di pinggang di bawah baju, begitu juga batu hitam sakti kawanan
kapak mustika itu.
Di dinding sebelah kiri terdapat sebuah kaca besar. Wiro pandangi dirinya di
dalam kaca itu dan menyeringai sendiri ketika menyaksikan tampangnya. "Gagah
juga diriku ini! Tak kalah dari seorang pangeran! Pangeran Sableng..." Huh!?"
Dia tertawa sendirian lalu melangkah ke pintu. Tapi cepat berpaling ketika ingat
pakaiannya yang basah. Dan melangkah pendekar kita.
Page 28 Pakaian putih basah itu tadi jelas-jelas ditanggalkannya dan diletakkannya di
lantai. Tapi kini pakaian itu tak ada lagi di situ, lenyap tanpa bekas, bahkan
bekas-bekas air pun tak kelihatan lagi di lantai!
Dengan tubuh agak bergetar, Pendekar 212 keluar dari dalam kamar. Begitu berada
di ruangan besar, di ujung sana dilihatnya nenek Cempaka bersama Roro Merah
telah duduk di hadapan kursi besar. Di atas sana tampak duduk seorang dara
cantik luar biasa, mengenakan pakaian ungu yang sangat tipis. Di kepalanya ada
sebuah mahkota emas bertaburkan permata. sedang di keningnya menempel sebuah
batu permata besar.
Wiro ingat pesan Roro Merah tadi, lalu dia segera melangkah ke ujung ruangan.
Sadar kalau dia pasti berhadapan dengan Sri Ratu penguasa Kerajaan Bawah Laut,
dan khawatir berbuat kesalahan lagi maka murid Sinto Gendeng cepat menjura.
Setelah itu dia melirik pada nenek Cempaka. Perempuan tua ini dilihatnya baik-
baik saja, malah tersenyum tidak seperti orang yang menderita luka parah di
dalam akibat hantaman Djarot Pangestu tadi.
Malah dia pun melihat si nenek telah berdandan hingga wajahnya yang tua itu
tampak cantik, ditambah dengan pakaian putih yang bagus. Tidak dapat tidak, si
nenek pasti sudah mendapat pengobatan yang mujarab hingga bisa sembuh secepat
itu. "Nek, kau sehat-sehat saja..." akhirnya Wiro membuka mulut. Si nenek tersenyum
dan anggukkan kepala. Wiro memandang ke arah gadis di atas kursi. Ada sinar
agung yang memancar dari sepasang matanya, yang membuat Wiro tak kuasa menatap
lebih lama. Inilah Sri Ratu Ayu Lestari, dara berusia tujuh belas tahun, cucu Menak Srenggi
yang secara tidak diduganya sama sekali telah ditunjuk sebagai penguasa Laut
Utara. Selagi Wiro salah tingkah karena tak tahu mau berbuat atau berkata apa,
terdengar Sri Ratu berkata,
"Saudara, kami ingin menyampaikan rasa terima kasih karena kau telah
menyelamatkan nenek Cempaka dari bahaya maut keganasan Djarot Pangestu. Sebagai
balas jasa, katakanlah apa yang kau inginkan dari kami...?"
Wiro tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Sesaat dia menatap
wajah Sri Ratu, tapi sekali lagi sinar yang keluar dari mata gadis muda itu
membuat dia tak sanggup bertahan dan tundukkan kepala. Dalam hatinya murid Sinto
Gendeng menggerendeng. "Sialan, belum pernah aku melihat sinar mata yang begini
berwibawa. Masakan aku tak sanggup memandangnya lama-lama..."!"
"Maafkan diriku Sri Ratu. Aku tidak meminta balas jasa apa-apa. Tolong menolong
sesama manusia adalah hal yang lumrah. Apalagi nenek itu seorang yang baik..."
berkata Wiro. "Lagipula kalian telah berbaik hati meminjamkan seperangkat
pakaian merah yang bagus ini, lengkap dengan topi dan ikat pinggangnya. Dari
emas pula! Seumur hidup baru sekali ini aku mengenakan pakaian sebagus ini!"
Nenek Cempaka tersenyum, begitu juga Sri Ratu Ayu Lestari. Pada saat itulah
tiba-tiba seorang dara berbaju kuning keluar dari balik tirai ungu dan berkata,
"Sri Ratu, Roro hijau mengalami cedera berat.
Tubuhnya tak berkutik, entah pingsan, entah tewas! Roro Biru tengah melarikannya
ke mari!" Sri Ratu, Nenek Cempaka dan Roro Merah serta merta bangkit berdiri. "Pindahkan
Ombak Penyambung Mata ke ruangan ini!" berseru Sri Ratu.
Roro Kuning, dara berbaju kuning tadi, silangkan kedua lengannya di atas kepala.
Mulutnya merapal sesuatu. Ketika kedua lengan itu ditarik dan dipukulkan ke
samping, Wiro mendadak mendengar suara Page 29
seperti ombak berdebur keras. Memandang ke arah pertengahan ruangan, dia melihat
satu keanehan lagi di tempat itu!
BAB XIII DI tengah ruangan tiba-tiba saja terlihat satu gulungan ombak besar, membentang
lebar tak bergerak laksana sebuah layar kaca. Di dalam layar ombak itu Wiro
melihat bayangan seorang dara berbaju biru tengah berenang di dalam laut,
memanggul tubuh kawannya yang mengenakan pakaian hijau. Dua dara ini yang
sebelumnya dilihat Wiro melesat ke luar dari dalam laut.
Semua orang Kerajaan Bawah Laut yang ada di tempat itu tampak cemas. Sri Ratu
Ayu Lestari berpaling pada pembantunya yang berpakaian kuning dan berkata: "Roro
Kuning, cepat songsong Roro Biru dan katakan agar segera membawa Roro Hijau ke
ruang pengobatan. Aku akan menyusul ke sana."
Begitu Roro Kuning berlalu, Sri Ratu Ayu Lestari jentikkan ibu jari dan jari
tengah tangan kanannya.
Layar ombak di tengah ruangan berdesir dan bergulung ke atas. Sesaat kemudian
layar itu menyajikan pemandangan yang lain.
"Luar biasa..." ujar Wiro kagum dalam hati. Kini dia melihat pemandangan tepi
pantai. Lalu tampak sosok tubuh manusia batu Djarot Pangestu tegak berkacak
pinggang. Mulutnya terbuka dan kelihatannya dia seperti tengah memaki. Perlahan-
lahan tubuhnya yang menghitam dan membatu itu kembali ke bentuk semula.
Sri Ratu tampak kepalkan tangan kanannya. Seolah-olah berada seorang diri dia
terdengar berucap:
"Wajah dan tubuh aslimu penuh dengan guratan cacat. Kau boleh berubah menjadi
manusia batu. Tapi aku akan tetap mengenali Djarot Pangestu! Manusia biadab
pembunuh kakek dan nenekku! Pembunuh ibu dan seorang kawanku! Hari ini kau
muncul di Laut Utara! Hari ini hari pembalasan bagimu!"
Lalu sang Ratu berpaling pada pembantunya yang berpakaian merah dan berkata:
"Roro merah kau awasi terus ombak penyambung mata itu. Aku dan nenek Cempaka
akan naik ke darat untuk menyelesaikan perhitungan dengan Djarot Pangestu!"
Nenek Cempaka memegang lengan Sri Ratu Ayu Lestari seraya berkata: "Sri Ratu
kita harus berlaku hati-hati. Djarot Pangestu bukan manusia seperti tujuh tahun
lalu. Melihat ilmu yang dikeluarkannya ketika menghadapiku jelas sekarang dia
menjadi manusia sangat berbahaya dan sulit ditaklukkan. Aku tahu dari siapa dia
mendapatkan ilmu batu sakti itu..."
"Katakan siapa gurunya Nenek Cempaka," ujar Sri Ratu pula.
"Dari seorang musuh besarku di masa muda. Namanya Karaeng Watuampu, seorang
tokoh silat sakti mandraguna dari Tanah Bugis, bergelar Raja Batu Di Batu. Dia
memiliki ilmu batu. Tak ada ilmu lawan yang sanggup menghadapinya. Biarkan aku
dan beberapa pembantumu menghadapinya lebih dulu..."
Sri Ratu Ayu Lestari walaupun masih sangat belia, namun selama tujuh tahun dia
mendapat gemblengan dari Sri Ratu terdahulu dibantu oleh enam Roro dan si Nenek
Cempaka sendiri. Kecerdasan otaknya serta ketabahan dan kerajinannya mempelajari
semua ilmu telah menjadikannya seorang gadis muda yang matang dalam ilmu dan
pemikiran. Sang Ratu gelengkan kepala. "Aku berterima kasih pada kesetiaan kalian membela
diriku dan Kerajaan Page 30
Laut Utara ini, Nek. Tapi melihat bagaimana dia sanggup mencederaimu dan juga
Roro Hijau, aku merasa khawatir. Lagipula aku melihat ada sebuah titik merah
pada saku pakaiannya sebelah kiri.
Cobalah kau perhatikan..."
Nenek Cempaka letakkan tangan kanannya di atas kedua matanya seolah-olah seperti
orang yang memandang ke arah sumber yang tersilau atau sinar matahari. Apa yang
dikatakan Ratu ternyata benar.
Dia kini dapat melihat ada tanda berupa titik merah di saku kiri pakaian Djarot
Pangestu. Pucatlah wajah si nenek.
"Hanya ada satu benda yang bisa menimbulkan cahaya peringatan seperti itu..."
desis si nenek. "Benda pantangan yang sangat berbahaya. Bawang putih...!"
"Kita harus dapat merampas bawang putih itu!" ujar Sri Ratu. "Tapi sekali kita
menyentuh bawang itu, tubuh kita akan menjadi lumpuh bahkan nyawa pun tak
tertolong lagi..."
"Aku akan merampasnya, Sri Ratu!" ujar Roro Merah berjibaku.
"Biar aku yang melakukannya!" satu suara terdengar dari samping. Semua orang
berpaling. Yang barusan bicara bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sri Ratu dan Nenek Cempaka saling pandang. Selagi kedua orang itu belum sempat
memberikan jawaban Wiro sudah melangkah pergi. Tapi begitu sampai di tangga
istana terdepan dia jadi bingung sendiri. Di hadapannya, air laut membentang
laksana tembok raksasa.
Wiro Sableng 047 Pembalasan Ratu Laut Utara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh, apakah totokan sakti si nenek itu masih bekerja" Kalau tidak aku bisa
konyol di dalam laut sebelum mencapai permukaan!" Wiro berpaling pada si nenek.
Perempuan tua itu maklum apa yang dipikirkan dan dikhawatirkan sang pendekar
maka dia pun berkata, "Tak ada yang perlu kau gelisahkan anak muda. Tubuhmu
masih terlindung oleh totokan itu!"
Mendengar ucapan itu Pendekar 212 tanpa ragu-ragu langsung mencebur masuk ke
dalam tembok air.
Sesaat setelah Wiro Sableng meninggalkan Istana Ratu Laut Utara itu Roro Kuning
datang terburu-buru dari ruangan pengobatan.
"Sri Ratu, mohon maafmu. Saya dan Roro Biru telah berusaha menolong Roro Hijau,
agaknya nyawanya tidak tertolong lagi..."
Mendengar keterangan itu. Sri Ratu dan nenek Cempaka segera bergegas menuju
Ruangan Pengobatan sementara Roro Merah tetap berada di tempat itu guna
mengawasi ombak penyambung mata.
Di dalam Ruangan Pengobatan, Roro Biru tampak cemas tegak di samping sebuah
pembaringan di mana terbujur sosok tubuh Roro Hijau. Air mata tampak berurai di
pipi Roro Biru. Sri Ratu dan Nenek Cempaka cepat memeriksa keadaan tubuh Roro
Hijau. Denyutan Jantungnya perlahan sekali. Wajahnya seputih kertas dan pada
sela bibirnya ada darah mengering. Sri Ratu menyibakkan dada pakaian Roro Hujau.
Tampaklah warna membiru di payudara Roro Hijau sebelah kiri.
Paras Sri Ratu langsung berubah. "Kita tak mungkin menyelamatkannya..." desis Sri
ratu tercekat. "Aku tahu Sri Ratu..." ujar nenek Cempaka dengan nada sedih. Pukulan ilmu batu
Djarot Pangestu memang luar biasa berbahaya.
Page 31 Pada saat itu terdengar suara seperti sesuatu keluar dari air. Lalu ada sesuatu
yang meluncur ke lantai.
Ketika semua orang berpaling, mereka langsung menjura dan tundukkan kepala
seraya berseru berbarengan: "Sri Ratu! Kau datang...!"
Di lantai ruangan meluncur seekor buaya putih yang bukan lain adalah penjelmaan
Sri Ratu Kerajaan Laut Utara yang terdahulu. Buaya ini naik ke atas pembaringan.
Moncongnya menjulur ke arah dada Roro Hijau. Mulutnya dibuka lalu ludahnya
menjulur dan menjilati payudara sebelah kiri Roro Hijau.
Selesai melakukan itu buaya putih ini turun dari pembaringan. Kepalanya
ditegakkan sesaat. Kedua matanya menatap orang-orang yang ada dalam ruangan itu.
Lalu aneh, terdengar suaranya, suara manusia, suara perempuan. "Tak usah cemas
dan jangan ada yang menangis. Roro Hijau akan segera sembuh..."
"Sri Ratu, kami sangat berterima kasih..." kata Sri Ratu Ayu Lestari seraya
menjura dalam-dalam.
Buaya putih masih menegakkan kepalanya. Kembali dia keluarkan suara: "Djarot
Pangestu memang manusia sakti. Kepandaiannya setinggi langit. Tapi ketahuilah di
atas langit ada langit lagi. Secepatnya pemuda itu berhasil merampas bawang
putih kalian harus segera naik ke darat untuk membuat perhitungan. Sri Ratu Ayu
Lestari, tangan kananmu yang berjarah menyilang merupakan satu kekuatan yang
berada di atas langit. Hadapilah musuh besarmu itu dengan penuh kepercayaan.
Ulurkan tangan kananmu, kembangkan telapaknya..."
Mendengar perintah sang ratu, Sri Ratu Ayu Lestari segera ulurkan telapak
tangannya. Buaya putih itu lalu menjilati telapak tangan kanan Sri ratu Ayu
Lestari tujuh kali pulang balik, lalu kepalanya meluncur turun. Dia mengucapkan
selamat tinggal lalu meluncur keluar dari ruangan itu diikuti tundukkan kepala
penuh hormat dari semua mereka yang ada disitu.
Baru saja buaya putih itu berlalu, dari arah pembaringan terdengar suara tarikan
nafas. Ketika semua orang berpaling, Roro Hijau ternyata telah duduk di atas
pembaringan. Wajahnya tidak seputih kertas lagi.
BAB XIV WIRO melesat di dalam air dan dalam waktu sesaat saja sudah muncul di permukaan
laut. Dalam keadaan badan dan pakaian basah kuyup dia melangkah menuju pantai
lalu duduk bersila di atas pasir, menghadap ke arah matahari.
Dua telapak tangan dirapatkan di depan wajahnya, kedua matanya dipejamkan.
Sikapnya tidak beda seperti orang tengah bersemedi. Sang Pendekar tidak menunggu
lama. Telinganya menangkap suara orang mendatangi. Djarot Pangestu!
"Manusia berpakaian merah! Kulihat kau barusan keluar dari dalam laut! Mengapa
bersemedi di sini"!"
Terdengar suara Djarot Pangestu. Orang ini memperhatikan tajam-tajam wajah Wiro.
Sepertinya dia pernah melihat pemuda ini sebelumnya. Yang bersama nenek Cempaka"
Tapi pemuda itu berpakaian putih sedang yang duduk di atas pasir ini mengenakan
pakaian dan topi merah, ditambah sebuah ikat pinggang yang membuat Djarot
Pangestu menjadi mendelik karena dia mengenali ikat pinggang berbentuk rantai
itu adalah emas murni!
Perlahan-lahan Wiro buka kedua matanya. Kedua telapak tangan masih tetap
dirapatkan di depan Page 32
wajahnya untuk menutupi karena dia khawatir sebelum sempat bertindak orang sudah
keburu mengetahui siapa dirinya.
Wiro perhatikan tampang Djarot Pangestu sesaat. Jelas tampak lelaki ini tengah
berpikir keras, mengingat-ingat. Maka cepat ia berkata, "Aku Pangeran dari Laut
Selatan. Sengaja bersemedi di sini untuk mendapat petunjuk di mana letak istana
Bawah Laut Ratu Laut Utara. Barusan aku menyelam sampai ke dasar laut namun tak
berhasil menemukan istana itu. Aku akan meneruskan semadiku, jangan
mengganggu...!"
"Tunggu dulu! Kenapa kau ingin mengetahui letak Istana Ratu Laut Utara itu?"
bertanya Djarot Pangestu. "Aku punya dendam kesumat besar terhadap sang ratu.
Dia menculik kekasihku untuk dijadikan hamba sahayanya..." jawab Wiro.
"Ah, kalau begitu kita berada dipihak yang sama!" kata Djarot Pangestu pula.
"Apa maksudmu"!" bertanya Pendekar 212.
"Aku pun punya dendam kesumat terhadap salah seorang pembantu Sri Ratu. Seorang
nenek jelek bernama Cempaka. Beberapa waktu lalu aku berhasil melukainya.
Seorang pemuda menyelamatkannya ke dalam laut. Eh....! Kau! Aku mengenali
tampangmu kini walau kau tutupi dengan kedua tangan!
Bukankah kau pemuda bersama nenek itu..."!"
"Keparat ini mengenaliku!" runtuk Wiro. Tak ada jalan lain, dia harus bertindak
merampas bawang putih yang ada di saku baju sebelah kiri Djarot Pangestu
sekarang juga! Dengan satu gerakan cepat Wiro melompat. Tangan kanannya menyambar. Djarot
Pangestu tersentak kaget, melompat ke samping dengan cepat.
"Breeettt!!!"
Saku pakaian kiri Djarot Pangestu robek besar. Wiro berhasil mengambil bawang
putih di dalam saku itu. Namun ketika diteliti ternyata ada satu ruas bawang
yang terkelupas dan lenyap dari tempatnya!
"Bangsat rendah! Kembalikan bawang putih itu!" teriak Djarot Pangestu marah
sekali. Dia memeriksa saku pakaiannya yang robek. Ternyata masih ada satu ruas
kecil bawang putih yang tertinggal dalam sakunya. Namun hal ini tidak membuat
amarahnya jadi mereda. Serta merta dia menyerbu ke arah Wiro sambil lepaskan
pukulan tangan kosong yang menderukan angin dahsyat!
Murid Sinto Gendeng sudah berhadapan dengan Djarot Pangestu sebelumnya. Pukulan
sakti "Benteng Melanda Samudera" bahkan pukulan "Sinar Matahari" tak mampu
merobohkan manusia ini. Maka dia cepat menghindarkan diri dari serangan dengan
melompat ke samping lalu cepat-cepat mencabut kapak Naga Geni 212 dari balik
saku pakaiannya.
Sementara itu di Istana Ratu Laut Utara, Roro Merah yang terus mengawasi ombak
penyambung mata melihat apa yang telah dilakukan Wiro. Dia segera memberi tahu
kepada Sri ratu apa yang telah terjadi.
"Sri Ratu, pemuda itu telah berhasil mengambil bawang putih dari saku Djarot
Pangestu!" Dia sama sekali tidak mengetahui kalau dalam saku pakaian Djarot
Pangestu masih tertinggal seruas kecil bawang putih!
Mendengar itu Sri Ratu segera memberi isyarat pada nenek Cempaka dan Roro Merah
serta Roro Biru.
Page 33 "Ikuti aku. Kita naik ke darat sekarang juga!"
BAB XV Kembali ke pantai...
"Pemuda keparat! Aku memang sudah menyangka kau adalah kaki tangan nenek keparat
itu! Kali ini jangan harap bisa lolos dari tanganku!" Rahang Djarot pangestu
mengembung, matanya membeliak merah.
Namun baru saja Djarot Pangestu berkata begitu, tiba-tiba dari bawah permukaan
laut melesat empat sosok tubuh. Mereka ternyata adalah Sri Ratu Ayu Lestari dan
Nenek Cempaka serta Roro Merah dan Roro Biru. Di saat yang sama puluhan prajurit
bersenjatakan tombak dan pedang dalam keadaan aneh, yaitu seperti tersamar di
bawah kabut tebal, tampak mengurung pantai.
"Wuuuttt!!!" Serangan ganas Djarot Pangestu lewat di samping Wiro. Murid Sinto
Gendeng segera kiblatkan Kapak Maut Naga Geni 212. Terdengar suara seperti
ribuan tawon mengamuk disertai sambaran sinar perak putih menyilaukan dan
menghamparnya hawa panas luar biasa.
Sesaat Djarot Pangestu terkesiap juga melihat kehebatan senjata sakti di tangan
lawan. Namun kemudian dia tampak menyeringai. Mulutnya berkomat-kamit. Tangan
kananya diangkat. Saat itu juga tangan ini telah berubah menjadi batu hitam yang
atos! Menyangka musuh hendak merampas senjatanya, Wiro Sableng tukikkan arah
serangannya ke bawah untuk membacok lengan lawan.
"Traaang!!!"
Kapak dan tangan saling bentrokan. Bunga api memercik menyilaukan mata. Djarot
Pangestu terjajar ke belakang tanpa cedera sedikit pun pada lengannya yang kena
dihantam Kapak Naga Geni 212. Wiro sendiri terpental empat langkah. Senjata
mustikanya hampir saja terpental dari gengamannya. Dadanya mendenyut sakit. Mau
tak mau Wiro jadi merasakan dingin tengkuknya melihat kenyataan ini! Ketika
dengan kalap dia hendak mendahului menyerbu, terdengar Sri Ratu Ayu Lestari
berseru. "Saudara, serahkan manusia pembunuh bejat itu padaku!"
Paras Pendekar 212 merah tenggelam. Dia hampir tak dapat menerima kenyataan
kalau Kapak Naga Geni 212 yang sangat diandalkannya itu ternyata tidak mempan
menghantam tangan batu Djarot Pangestu. Karenanya, tanpa banyak bicara murid
Sinto Gendeng terpaksa melompat mundur walaupun dengan hati jengkel setengah
mati! Djarot Pangestu berpaling ke arah Sri Ratu. Matanya terpentang lebar ketika
melihat aurat Sri Ratu yang terbayang di balik pakaian ungu tipis yang
dikenakannya. Wajah itu cantik luar biasa dan sepasang matanya mendebarkan untuk
ditatap. "Tentunya saat ini aku berhadapan dengan Ratu Laut Utara yang kesohor itu!"
berkata Djarot Pangestu.
Kedua matanya menggerayangi sekujur tubuh sang ratu. Pikiran kotornya lantas
muncul. Lalu dia berkata sambil menyeringai. "Dengar Ratu! Jika kau bersedia
hidup bersamaku, aku akan melupakan segala dendam kesumatku terhadap nenek jelek
pembantumu ini!"
Page 34 "Manusia kotor! Kau tak lebih dari seekor kutu busuk! Jangan berani bicara
kurang ajar terhadap ratu kami!" teriak Roro Merah.
"Ah, kau juga dara berbaju merah. Yang itu, yang berbaju biru juga boleh menjadi
pendampingku di saat aku perlu belaian tangan kalian. Ternyata kalian berdua
tidak kalah cantik dan berbadan mulus pula!
Ha...ha...ha...! Bagaimana Ratu. Kau terima permintaanku"!"
"Djarot Pangestu! Dosamu selangit tembus terhadapku. Dendan kesumatku lebih
panas dari bara neraka! Buka matamu lebar-lebar... Apa kau tidak mengenali siapa
diriku"!" tanya Sri ratu Ayu Lestari.
"Yang kulihat adalah seorang gadis berkulit putih mulus, berparas cantik dan
tubuhnya yang bagus terbayang indah menggiurkan di balik pakaian yang tipis!"
jawab Djarot Pangestu, lalu tertawa gelak-gelak.
"Ah, ternyata kedua matamu walaupun besar tapi telah mulai lamur. Kepalamu
walaupun keningnya lebar ternyata otaknya sudah mulai tumpul! Dengar baik-baik
Djarot Pangestu. Aku adalah cucu Menak Srenggi yang kau bunuh tujuh tahun lalu
bersama istrinya di desa Kaliwungu. Kau juga membunuh ibuku dan seorang
kawanku!" Tentu saja ucapan Sri ratu itu membuat Djarot Pangestu terkejut hampir tak
percaya. "Dicari-cari malah muncul sendiri! Eh, gadis cantik, siapa pun kau
adanya aku tetap pada ucapanku tadi. Hidup bersamaku, akan kulupakan segala
dendam kesumatku dan kuampuni selembar jiwa nenek jelek itu walau guruku Raja
Batu Di Batu memerintahkan aku untuk membunuhnya."
Nenek Cempaka jadi terkejut mendengar kata-kata Djarot Pangestu itu sementara
Sri ratu Ayu Lestari cepat membuka mulut.
"Kau boleh mengatakan hal itu pada penjaga-penjaga neraka!" sahut Sri Ratu.
"Bersiaplah untuk menerima kematianmu!" Lalu dengan tangan kanan terpentang Sri
Ratu melangkah mendekati Djarot Pangestu.
Djarot Pangestu sendiri sesaat masih tegak seperti tertegun. Gadis cilik tujuh
tahun lalu apakah benar kini menjadi Ratu Laut Utara, yang menurut gurunya Raja
Batu Di Batu memiliki kesaktian luar biasa" "Saat bagiku untuk menjajalnya! Aku
tidak percaya gadis semuda ini memiliki kehebatan seperti yang dikatakan guru!"
Sehabis berpikir begitu Djarot Pangestu hantamkan tangan kanannya ke arah sang
ratu. Yang diincarnya adalah payu dara sebelah kanan. Dan kurang ajarnya,
serangan ganas itu sebenarnya hanyalah tipuan belaka karena maksud sesungguhnya
adalah hendak meremas payu dara sang ratu yang menonjol besar dan kencang! Di
samping itu, karena menganggap enteng orang, Djarot Pangestu hanya andalkan
tenaga luar, sama sekali tidak mempergunakan tenaga dalam atau pun keluarkan
ilmu batunya. Sesaat lagi tangan yang kurang ajar itu akan sempat menyentuh payudara Sri Ratu,
tiba-tiba sang Ratu angkat tangan kanannya. Dari telapak tangan Sri ratu
menyambar asap putih. Djarot Pangestu berteriak kesakitan, tarik pulang
tangannya dan melompat mundur. Ketika tangan kanannya diperhatikan ternyata
sebagian kulitnya telah melepuh lecet!
Berubahlah paras Djarot Pangestu. Namun bersamaan dengan itu amarahnya juga
menggelegak. Mulutnya merapal jejampai. Tangan kanan itu serta merta berubah menjadi batu
hitam. Page 35 "Ratu keparat! Terima kematianmu!" teriak Djarot Pangestu. Tangan kanannya
berkelebat menghantam ke arah kepala.
Dengan tenang Sri ratu miringkan tubuh ke kiri lalu tangan kanannya secepat
kilat melesat ke atas dan tahu-tahu pergelangan tangan Djarot pangestu sudah
kena dicekal! Djarot Pangestu merasakan tangannya seperti berada dalam timbunan bara panas.
Terdengar suara berderak! Lapisan batu hitam aneh yang ada di lengannya
merengkah pecah lalu berjatuhan ke pasir pantai. Djarot berteriak sekali lagi
dan sentakkan cekalan sang ratu. Begitu terlepas dia segera melompat jauh.
"Ilmu kesaktianku tidak mempan...!" kata Djarot Pangestu dalam hati. Nyalinya
menjadi lumer. Namun tiba-tiba saja dia ingat akan sisa bawang putih yang ada
dalam saku pakaiannya. Dia juga ingat pesan gurunya Raja Batu Di Batu. Dengan
cepat bawang putih seruas itu dikeluarkannya dari saku lalu diacungkannya ke
arah Sri ratu. Bersamaan dengan itu jari-jari tangannya meremas hancur bawang
itu hingga kini bau tajam bawang putih menghampar di tempat itu.
Sri Ratu Ayu Lestari berseru tegang, sedang nenek Cempaka tercekat sementara
Roro Merah dan Roro Biru serta merta merasakan tubuhnya bergetar dari lutut
menggoyah. Bau bawang putih yang merasuk ke saluran pernafasan membuat tubuh
mereka menjadi panas sedang dada mendenyut sakit luar biasa. Roro Merah dan Roro
Biru menjerit keras, lalu terhuyung dan jatuh tergelimpang di pasir.
Sri Ratu dan Nenek Cempaka cepat tutup penciuman mereka dan berusaha keras
bertahan. Namun terlambat! Mereka telah terlebih dahulu mencium udara yang
mengandung bawang putih, benda yang merupakan pantangan mematikan bagi orang-
orang Kerajaan Laut Utara.
Di sekeliling tempat itu terdengar suara hiruk pikuk. Ternyata bawang putih yang
berada di tangan Djarot Pangestu telah pula membawa pengaruh pada prajurit
kerajaan yang terlihat seperti bayang-bayang itu. Mereka menjerit dan
berserabutan seperti terkurung dalam ruangan yang terbakar.
Lalu satu demi satu sosok tubuh mereka roboh ke pantai!
BAB XV Sri Ratu Ayu Lestari angkat tangan kanannya. Maksudnya hendak melancarkan
pukulan. Tapi dia terkejut sekali ketika dapatkan tangan kanannya tak mampu
digerakkan lagi. Terasa berat. Tangan itu ternyata telah lumpuh! Sungguh dahsyat
akibat dari pantangan terhadap bawang putih itu.
Nenek Cempaka sendiri tidak bisa berbuat apa-apa pula. Kedua telinganya mengiang
sakit dan pemandangan matanya mulai berkunang-kunang karena kedua matanya kini
mengeluarkan air dan terasa perih.
Djarot Pangestu keluarkan suara tertawa penuh kemenangan. Dia melangkah
menghampiri Sri Ratu sambil berkata, "Jika kau dan anak-anak buahmu bersedia
Wiro Sableng 047 Pembalasan Ratu Laut Utara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hidup bersama dan melayaniku, kalian akan kubebaskan dari siksaan bawang putih
yang mematikan ini!" Lalu Djarot Pangestu acungkan tangannya yang memegang
bawang putih ke arah wajah Sri ratu. Sang ratu terpekik. Tubuhnya menjadi
limbung! Selagi Djarot Pangestu mengacungkan bawang putih begitu rupa, Wiro yang saat itu
masih tegak memegang Kapak Naga Geni 212 berpikir dan berkata dalam hati.
"Kapakku jelas tidak mempan terhadap tubuh manusia keparat itu. Tapi untuk
memusnahkan bawang putih yang dipegangnya masakan Page 36
tidak bisa"!"
Berpikir sampai di situ Wiro keluarkan teriakan keras. Selagi Djarot Pangestu
terbagi perhatian. Murid Sinto Gendeng telah berkelebat. Kapak Naga Geni 212
menderu mengiblatkan hawa panas, sinar menyilaukan dan suara seperti tawon
mengamuk. Djarot Pangestu menyeringai lebar. Dia biarkan saja tangannya masih mengacung
begitu rupa karena sudah tahu kalau senjata sakti sang pendekar takkan mempan
terhadap tubuhnya. Namun dia sama sekali tidak menyangka kalau hantaman hawa
panas dan sinar menyilaukan Kapak Naga Geni 212
membuat hancur dan musnah potongan kecil bawang putih yang ada dalam pegangan
jari-jari tangannya.
Begitu bawang putih tersingkir lenyap tanpa bekas, Sri Ratu dan Nenek Cempaka
segera kuasai diri masing-masing kembali. Roro Merah dan Roro Biru yang
tergelimpang perlahan-lahan tampak bergerak siuman. Begitu juga puluhan prajurit
Kerajaan Laut Utara yang tadi berjatuhan tumpang tindih kini bangun lagi dan
segera mengurung tempat itu!
Djarot Pangestu mengerang marah. Kini seluruh kemarahannya itu ditumpahkan pada
Pendekar 212 Wiro Sableng. "Manusia anjing kurap! Kulumat tubuhmu!" kertaknya. Mulutnya bergerak komat-
kamit. Sekujur tubuhnya mulai dari rambut sampai kaki mendadak berubah menjadi
batu. Setiap gerakan dan langkah yang dibuatnya mengeluarkan suara seperti batu
berderak! Begitu kedua tangannya bergerak, Wiro segera menyingkir. Tapi celaka! Ada hawa
aneh yang membuat kedua kakinya seperti dipantek. Dan hawa aneh ini keluar dari
tubuh batu Djarot Pangestu!
"Kreteeeekkkk!!!"
Dua tangan batu Djarot Pangestu melesat ke depan. Wiro berusaha setengah mati
untuk menghindar tapi sia-sia saja!
"Tobat, tamat riwayatku ditangan jahanam ini!" keluh Wiro. Lalu dia hanya
tertegak pasrah.
Di saat itulah dari samping Sri Ratu Ayu Lestari datang dengan cepat. Tangan
kanannya dengan telapak terkembang menggebuk ke arah bahu kiri Djarot Pangestu.
Terdengar suara meletup keras disertai menggebubunya asap hitam ke udara.
Berbarengan dengan itu terdengar pula jeritan Djarot Pangestu. Dia terhuyung
keras ke samping kanan. Tubuhnya yang hitam membatu terdengar berderak lalu
tampak retak-retak. Retakan-retakan itu satu demi satu jatuh ke pasir.
Ketika lapisan batu hitam itu tanggal keseluruhannya, tampaklah tubuhnya
mengeluas merah seperti dipanggang! Orang ini menjerit lagi lalu jatuh terduduk
di pasir. Sri Ratu Ayu Lestari melangkah menghampiri. "Ini dari ibuku!" teriak sang ratu.
Kaki kanannya menendang perut Djarot Pangestu. Bukan saja tubuh lelaki itu
terpental sampai tiga tombak, tapi perutnya pun tampak ambrol mengerikan.
Sri Ratu mendekati lagi. "Ini dari kakek dan nenekku!" katanya. Sekali lagi kaki
kanannya menendang.
Terdengar suara berderak ketika tulang dada Djarot Pangestu patah dan remuk.
"Ini dari kawanku!" teriak Ratu kembali. Tendangannya yang ketiga membabat
pinggang Djarot pangestu. Tubuh Djarot terlipat dan terhempas ke pasir.
Page 37 "Dan ini dariku!" teriak Sri Ratu lebih keras. Tangan kanannya yang memiliki
kesaktian aneh karena adanya dua ruas tangan yang saling bersilang menggebuk ke
arah batok kepala Djarot Pangestu.
"Praaaakkkk!!!"
Batok kepala itu bukan saja hancur mengerikan, tapi hancurnya juga mengepulkan
asap hitam menggidikkan.
Sri Ratu Ayu Lestari jatuhkan diri berlutut, tekap wajahnya dengan kedua tangan
dan berusaha keras menahan tangis. Nenek Cempaka mendatangi, membantu Sri Ratu
berdiri. Setelah hening sejenak, si nenek berbisik, "Saatnya kita kembali ke
dasar laut, Sri ratu..."
Sri Ratu mengangguk perlahan lalu berpaling dan memandang ke arah Pendekar 212
Wiro Sableng. Untuk sesaat, keduanya saling bertatapan. Dan untuk pertama kalinya Wiro
merasakan sanggup balas memandang mata yang bagus bening dan bersinar penuh
wibawa itu. "Nenek... kita harus membawa pemuda itu ke istana kembali..." berbisik Sri Ratu.
"Maksudmu Sri Ratu...?" tanya si nenek seraya memandang sekilas pada wiro.
"Kita harus mengundangnya. Dia memberikan bantuan besar yang sangat menentukan
ketika dia menghancurkan bawang putih yang dipegang Djarot Pangestu...."
"Perintahmu akan saya sampaikan padanya. Namun setelah sampai di Istana nanti
layanan apa yang akan kita berikan padanya?"
Dalam hatinya Sri Ratu Ayu Lestari mengeluh. "Pembantuku yang tua ini banyak
sekali tanyanya. Apa dia tidak merasakan kalau aku merasa suka terhadap pemuda
itu" Kedudukanku sebagai Ratu tak memungkinkan aku mengatakan kepada siapa pun
secara terbuka. Ah... kupikir jauh lebih baik jadi manusia biasa saja..."
"Sri Ratu, kami mohon petunjukmu lebih lanjut..." terdengar suara Nenek Cempaka.
Sang ratu tersadar kalau barusan dia dibawa oleh perasaannya sendiri. Pada saat
itu dilihatnya Wiro melangkah mendatangi. Sesaat sang pendekar menatap wajah
sang ratu, lalu katanya, "Sri Ratu... Aku ingin memulangkan baju merah yang bagus
ini padamu. Tapi aku tak punya salinan lain. Terpaksa aku harus memintanya..."
"Pakaian itu memang untukmu saudara..."
"Terima kasih. Tapi aku harus mengembalikan ikat pinggang emas ini!" ujar Wiro
pula. "Itupun untukmu juga. Tak perlu dikembalikan," berkata sang ratu.
Wiro menggeleng. "Aku tidak berani menerimanya Sri Ratu... Ini ikat pinggang yang
sangat mahal. Orang sepertiku tidak pantas memakainya, apalagi memilikinya...."
Sri Ratu tidak berikan jawaban. Dia malah memegang lengan si nenek dan
menariknya melangkah menuju ke dalam laut, diikuti oleh Roro Merah dan Roro
Biru. Page 38 Sesaat Wiro tegak tertegun sambil pegangi ikat pinggang emas. Ketika air laut
sampai ke bahu empat orang itu, Wiro mengejar seraya berseru, "Sri Ratu, ikat
pinggang emas ini. Ambil kembali! Kau baik sekali! Tapi aku tidak berani
menerimanya...!"
Dikejauhan sang Ratu hanya tampak tersenyum.
"Nenek Cempaka...!" Panggil Wiro.
Si nenek berpaling. Lalu terdengar seruannya. "Anak muda! Kalau kau ingin
mengembalikan ikat pinggang emas itu, silakan mengantar sendiri ke Istana
Kerajaan laut Utara!"
Wiro melengak. "Mengantar sendiri...?" ujarnya. Dia jadi bingung. "Apakah totokan
aneh itu masih melekat di punggungku...?" dia bertanya-tanya sendiri. Di depan
sana keempat orang itu hanya kelihatan tinggal kepala saja. Ketika empat kepala
itu lenyap di bawah permukaan air laut, akhirnya Wiro pun melompat menghamburkan
tubuhnya ke dalam laut.
Ternyata totokan sakti Nenek Cempaka masih di punggungnya. Dan ini yang
membuatnya bisa bernafas dan melihat seperti biasa di dalam laut. Serta merta
Wiro melesat di dalam air menyusul keempat orang menuju istana Ratu Laut Utara.
*** Page 39 Eng Djiauw Ong 22 Pendekar Rajawali Sakti 189 Dendam Berkubang Darah Manusia Harimau 1