Pencarian

Serikat Candu Iblis 2

Wiro Sableng 060 Serikat Candu Iblis Bagian 2


waktu hanya untuk menghirup candu. Kata orang, sekali orang sudah terjeblos ke
tempat seperti itu sulit baginya akan keluar lagi.
Wiro kemudian melihat ada seorang pengawal bercelana hitam di setiap sudut
ruangan batu. Masing-masing membekal sebuah pentungan dan sebuah kotak kecil
yang digantungkan di pinggang. Mereka duduk di atas sebuah bangku kayu.
"Bagaimana pendapat Raden?" tanya Sentiko pada Wiro Sableng.
"Ini rupanya yang dinamakan surga dunia," jawab Wiro.
"Raden boleh mencobanya. Secuil pertama tidak dipungut bayaran. Cuilan
selanjutnya baru dibayar tapi harus dibayar lebih dahulu sebelum menikmati
cuilan pertama." "Yang aku pikirkan saat ini justru bukan bersenang-senang mengisap candu,
tapi..." "Tapi apa Raden?"
"Aku tiba-tiba saja punya niat untuk membuka usaha penghisapan candu
seperti ini!" kata Wiro pula.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
"Saya tahu Raden punya banyak uang. Tapi tidak sembarang orang bisa
membuka tempat penghisapan candu seperti ini. Bahayanya besar dan harus ada
perlindungan serta kepercayaan dari orang-orang di atas," menerangkan Sentiko.
"Tempatmu ini sama sekali tidak ada perlindungan. Jika ada apa-apa kau dan
anak buahmu pasti kena bekuk secara mudah."
Sentiko tertawa. "Raden tidak melihat empat pengawal bertelanjang dada yang
ada di sudut-sudut ruangan?"
"Mereka memang bertubuh besar tapi kulihat seperti tidak punya kekuatan,"
jawab Wiro. "Kalau aku membuka usaha seperti ini manusia-manusia macam mereka tidak
akan kupakai!"
"Raden terlalu menganggap enteng orang," kata Sentiko dengan air muka
kurang senang. "Dengan tangan kosong mereka sanggup memukul hancur kepala kerbau
bahkan menjebol tembok! Atau mungkin Raden punya ilmu yang diandalkan dan
hendak menjajal mereka?"
Wiro mengangkat bahu. Pengawal di sudut kanan berdiri dan mendekati
mereka. "Apakah tamu ini sudah siap untuk diberikan satu cuil?" tanya pengawal itu.
"Bagaimana Raden?" Tanya Sentiko. "Terima kasih, niatku semakin keras
untuk membuka usaha beginian. Untungnya pasti besar!"
Sentiko tampak kecewa. "Jika Raden tidak mau bersenang-senang di sini tidak
apa. Tapi ada aturan yang harus dijalankan..."
"Hem... aturan apakah?" tanya Wiro.
"Pertama Raden harus menjaga kerahasiaan. Tidak boleh menceritakan kepada
siapa pun apa yang Raden telah lihat di sini."
"Kalau hanya aturan itu kau tidak perlu kawatir. Aku tidak akan menceritakan
pada siapa pun."
"Bagus kalau begitu. Sekarang aturan yang kedua. Raden harus membayarkan
sejumlah uang karena sudah masuk kemari."
"Tapi aku tidak menghisap candu," kata Wiro pula.
"Menghisap atau tidak Raden tetap harus dipungut bayaran. Tidak banyak.
Hanya separuh dari apa yang ada dalam kantong uang Raden itu."
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
"Separuh uang dalam kantong" Gila! Itu tidak sedikit!"
"Begitu aturan kami agar tidak sembarang orang masuk kemari!" suara
Sentiko yang tadi lunak kini berubah keras.
"Aku tidak akan membayar!" Wiro melangkah ke arah tangga. Di depan
tangga ternyata telah menghadang seorang pengawal. Sikapnya garang. Pengawal ini
menyeringai. "Kalau kau tidak mau membayar, tinggalkan lidahmu padaku!"
Tangannya bergerak dan tahu-tahu dia sudah memegang pisau kecil yang amat
tajam. Pisau ini sama dengan pisau delapan pengusung tandu yang dilihat Wiro di
hutan Karangkukusan.
"Kalau kalian memaksa dengan kekerasan, kalian akan menyesal!"
Si pengawal kembali menyeringai mendengar ucapan Pendekar 212 itu. Dia
melangkah mendekati Wiro. "Uangmu atau lidahmu!" ancamnya.
Wiro cepat menjauh. Dia telah menyaksikan cara berkelahi orang-orang
Serikat Candu Iblis di rimba Karangkukusan. Sekali lawan kena tertangkap pasti
celaka. Wiro mundur lagi ketika pengawal di depannya bergerak maju. Tiba-tiba
dari belakang ada yang menangkap bahunya. Sebelum dia bisa berbuat apa, tubuhnya
sudah dibaringkan ke lantai batu!
Pendekar 212 merasakan tulang belulangnya seperti remuk. Pemandangannya
berkunang. Ketika dia coba berdiri satu kaki menginjak lehernya dengan keras.
"Ayo keluarkan lidahmu!" bentak pengawal yang menginjak lehernya
demikian keras sehingga lidahnya hampir terjulur. Di sampingnya tiba-tiba
Sentiko membungkuk dan menyambar kantong uang yang ada di pinggangnya. Tapi
tangannya cepat ditangkap Wiro lalu dipuntir hingga si gemuk ini terpekik
kesakitan. Pengawal yang menginjak lehernya marah besar. "Kau minta mampus!"
teriaknya. Kaki kanannya dihujamkan kuat-kuat ke leher Wiro. Saat itu Pendekar
212 telah lebih dahulu menghantamkan tangan kanannya ke tulang kering pengawal yang
menginjaknya. "Kraak!!!"
Pukulan yang disertai tenaga dalam itu mematahkan tulang kaki si pengawal
hingga dia menjerit keras. Selagi dia terbungkuk-bungkuk kesakitan, masih dalam
keadaan terbaring di lantai batu Wiro hantamkan tumit kirinya keselangkangan
pengawal itu. Orang ini meraung kesakitan. Tubuhnya mental lalu jatuh di lantai,
menimpa seorang yang sedang merem melek menghisap candu!
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
Tiga orang pengawal melompat dan langsung menyerbu Pendekar 212 Wiro
Sableng. Wiro berkelit dengan cepat sambil mengayunkan satu jotosan ke perut
lawan yang terdekat. "Bukk!!" Jotosan itu tepat menghantam perut. Tapi si pengawal hanya
menyeringai. Wiro kerahkan tenaga dalamnya. Dia kembali lancarkan pukulan. Kali
ini ke arah batok kepala si pengawal yang sama. Namun tiba-tiba ada dua tangan
yang kukuh mencekal tangan kanannya. Selagi dia berusaha melepaskan diri, dua tangan
lagi dari samping kiri melesat. Satu menjambak rambut gondrongnya satu lagi
mencekal lehernya.
Menyadari bahaya besar ini Wiro cepat membuat gerakan "Kincir padi
berputar". Tangan dan kakinya yang masih bebas menghantam. Dua orang pengawal
menjerit kesakitan, lepaskan cekalan mereka dan terhuyung-huyung sambil mundur.
Yang di sebelah kanan tampak pecah mata kirinya. Yang satu lagi pegangi perutnya
yang kena tendang. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu muntahkan darah segar.
"Setan alas! Kau berani mengacau di sini!" teriak pengawal ketiga. Tubuhnya
paling besar di antara semua pengawal yang bertugas di ruang pengisapan madat
itu. Dia mendekati Wiro dengan tangan terpentang. Tiba-tiba dia meniup ke depan.
Serangkum angin menderu lalu berubah menjadi sebilah pedang. Pedang asap!
Waktu di hutan Karangkukusan beberapa hari yang lalu Wiro telah melihat
ilmu kesaktian aneh ini. Karenanya dia tidak merasa terkejut. Namun dia harus
berhati-hati. Cepat dia menyingkir selamatkan diri dari tusukan pedang asap. Si
pengawal menggeram melihat serangannya luput. Mulutnya dibuka lebar-lebar lalu
dia keluarkan suara menggerung. Pedang asap seolah berubah menjadi ular,
bergelung ke kiri, menyambar ke arah leher murid Sinto Gendeng!
"Gila!" maki Pendekar 212 dalam hati. Dia rundukkan kepala untuk
selamatkan leher tapi dari depan lawannya menyambut dengan satu jotosan.
Penasaran serta ingin menjajaki kehebatan-kehebatan lawan, Pendekar 212 balas
menghantam dengan tinju kanan. Dua jotosan saling beradu keras!
Murid Sinto Gendeng keluarkan keluhan keras. Tubuhnya terlempar sampai
lima langkah dan jatuh duduk di lantai batu. Ketika diperhatikannya tangan
kanannya tampak jari-jarinya menggembung kemerahan!
"Bangsat itu tidak memiliki tenaga dalam tinggi. Tapi dia mempunyai
kekuatan aneh luar biasa!" kata Wiro dalam hati. Memandang ke depan dilihatnya
si Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
pengawal tersandar ke dinding ruangan. Mukanya mengeryit menahan sakit. Tangan
kanannya terkulai. Ketika Sentiko memperhatikan ternyata tangan pengawal itu
telah remuk sampai ke pergelangan. Sentiko berpaling pada Wiro.
"Kau telah membunuh seorang pengawal dan mencederai tiga lainnya! Kau
bakal menerima hukuman berat! Jangan harap kau bisa lolos!" Sentiko lari ke arah
tangga. Namun Wiro cepat menyusul dan memegang leher bajunya.
"Jika kau tidak membawa aku pada pemimpinmu, kupecahkan muka babimu
saat ini juga!" gertak Wiro.
Lelaki gemuk itu tampak kecut. Tapi dalam hati dia menyumpah setengah
mati. "Ikuti aku," katanya kemudian. Dia menaiki tangga dan melangkah cepat di
sepanjang lorong papan. Di pintu dia mengetuk tiga kali. Tak lama kemudian pintu
kayu yang dipalang dan digembok dibukakan dua pengawal dari luar.
"Teman-teman kalian mendapat cedera di dalam sana. Cepat kalian tolong!"
berkata Sentiko sebelum dia meninggalkan tempat itu.
Dua pengawal tentu saja keheranan. Mereka hendak bertanya tapi Sentiko
sudah berlalu bersama Wiro. Yang satu akhirnya menyuruh kawannya untuk masuk
ke dalam. "Coba kau periksa apa sebenarnya yang terjadi."
Pengawal itu masuk. Tak lama kemudian dia keluar kembali setengah berlari.
"Jaka dolok mati! Tiga kawan lainnya cedera berat! Bantu aku menolong mereka!"
-- == 0O0 == --
DELAPAN SENTIKO membawa Wiro ke dalam sebuah kamar di tingkat atas penginapan.
"Kau tidak membawa aku pada pimpinanmu?" tanya Wiro.
"Sebaiknya kau melupakan saja niat untuk membuka usaha penghisapan
candu. Kau telah membunuh seorang di antara kami, mencrderai tiga orang lainnya!
Apakah pimpinanku akan mengabulkan begitu saja permintaanmu?"
"Kau tak perlu meributkan apakah dia mengabulkan atau tidak! Yang jelas kau
harus mengantarkan aku padanya!"
"Jika aku tidak mau?" ujar Sentiko.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
Wiro melangkah mendekati pemilik rumah penginapan itu. Baru dua langkah
dia maju, tanpa diketahuinya Sentiko menginjak sebuah tombol kayu di bawah meja.
Lantai yang dipijak Wiro tiba-tiba amblas. Tak ampun lagi pemuda ini terperosok
ke bawah. Dia ternyata jatuh ke dalam sebuah ruangan batu sedalam empat tombak.
Tidak mungkin baginya untuk dapat melompat setinggi itu.
"Keparat!" teriak Wiro memaki. Di atas lobang Sentiko tertawa mengakak.
Dari dalam lubang Wiro lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah Sentiko
yang tegak di pinggir lubang. Lelaki gemuk ini cepat menyingkir begitu dia
mendengar ada suara angin menggemuruh dari bawah lubang. Angin pukulan
menghantam langit-langit ruangan hingga jebol berantakan.
"Kau boleh mengamuk di dalam lubang itu Raden! Sebentar lagi akan ada
mahluk-mahluk lucu yang bakal menemanimu !"
Habis berkata begitu Sentiko melangkah ke sudat kamar. Di sini dia menarik
sebuah kawat. Di Dalam lubang Wiro mendengar suara mendesis. Tampak ada celah
kecil di dinding lobang sebelah kanan bawah. Lalu lima kepala pipih lebar
berwarna hijau kelihatan menjulur! Kepala lima ekor ular sendok!
Pendekar 212 melompat mundur. Tapi di lobang yang sempit itu tidak ada
ruangan untuk menghindar. Lima ular sendok melata di lantai lobang. Kepala
masing- masing bergerak naik ke atas. Mulut binatang ini terpentang mengerikan.
Wiro segera siapkan Pukulan Sinar Matahari. Tetapi dia sadar. Membunuh
kelima ular berbisa itu dengan pukulan sakti di ruangan yang begitu sempit sama
saja dengan bunuh diri. Pukulan saktinya akan berbalik menghantam dirinya sendiri.
Menurut gurunya Eyang Sinto Gendeng, dia kebal terhadap segala macam racun.
Apakah itu juga berarti kebal terhadap bisa ular"
Kita tinggalkan dulu Pendekar 212 yang tengah menghadapi bahaya terancam
lima ekor ular sendok berbisa. Kita ikuti rombongan Adipati Magetan yang
bergerak menuju Kotaraja. Karena Lawunggeno, Jala Gandring dan Barataji sama-sama
menderita cedera, maka rombongan itu tidak bisa bergerak cepat. Satu hari
kemudian baru mereka sampai di Kotaraja. Lawunggeno langsung memimpin rombongan
menuju gedung Kepatihan.
"Astaga, apa yang terjadi dengan diri kalian"!" tanya Patih Sagara Wisamala
ketika melihat kemunculan ketiga orang itu. Tangan kiri Adipati Lawunggeno
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
dilihatnya tergantung dalam kain penyanggah tanda ada bagian bahu atau pangkal
lengannya yang patah.
Tapi yang paling menggidikkan ialah mukanya yang seperti hancur. Hidung
melesak ke dalam dan kelihatannya dia mengalami kesulitan bernafas. Di samping
Adipati Magetan itu tegak orang tua bermuka hitam Jala Gandring, bertopang pada
sebuah tongkat. Kaki kirinya dibalut dan diganjal dengan sepotong kayu. Patih
Kerajaan berpaling pada Barataji. Leher orang ini tampak bengkak membiru.
Seperti Jala dan Lawunggeno, dia pun kelihatan sulit bernafas.
Karena tidak ada satu pun dari ketiga orang itu yang membuka mulut, Patih
Sagara Wisamala kembali bertanya, "Orang-orang Serikat Candu Iblis yang
menghajar kalian?"
Sentak menarik nafas panjang dan dalam Jala Gandring menjawab. "Kami
memang berhasil menjebak rombongan orang-orang Serikat Candu Iblis di hutan
Karangkukusan. Pemimpinnya nyaris kami tangkap. Tetapi terjadi satu keanehan.
Ada satu mahluk yang tidak kelihatan menolong Ketua Serikat Candu Iblis sehingga dia
berhasil lolos."
"Lolos setelah menghajar kalian lebih dulu?" tanya Patih Kerajaan.
"Bukan dia yang menghajar kami. Tapi mahluk yang tidak kelihatan itu.
Mahluk tersebut ternyata menjadi kawan sang ketua." Barataji yang menjawab.
"Keteranganmu sungguh tidak dapat kupercaya Dimas Barataji. Coba salah
satu dari kalian menceritakan apa sesungguhnya yang telah terjadi. Yang lebih
penting kalian telah bertemu dengan Ketua Serikat Candu Iblis itu. Apakah kalian
mengenal siapa adanya dia?"
"Manusia terkutuk itu ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid
nenek sakti bernama Sinto Gendeng dari Gunung Gede!" kata Jala Gandring.
"Pendekar 212 Wiro sableng"! Dia katamu yang jadi Ketua Serikat Candu
Iblis?" Jala Gandring dan Lawunggeno mengangguk sedang Barataji mengiyakan.
"Tidak dapat kupercaya! Sungguh tidak aku duga! Bukankah Pendekar 212
seorang tokoh silat muda yang sangat disegani dan berasal dari golongan putih"
Malah setahuku dia telah berjasa banyak pada kerajaan. Beberapa kali dia pernah
ikut membantu menumpas pemberontakan."
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis


Wiro Sableng 060 Serikat Candu Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kakang Patih, biar saya ceritakan agar jelas bagi kakang Patih," kata Jala
Gandring pula. Lalu dia pun menuturkan apa yang telah terjadi yaitu sejak dia
dan rombongannya berhasil menjebak orang-orang Serikat candu Iblis di hutan
Karangkukusan sampai akhirnya mereka dibuat babak belur.
"Aneh..." kata patih Sagara Wisamala sambil melangkah mondar mandir.
"Hutan Karangkukusan memang termasuk salah satu hutan angker di kawasan
perbatasan. Tapi jika ada satu mahluk tidak kelihatan menolong Pendekar 212 ini
benar-benar tidak masuk akal."
"Turut penglihatan saya," kata Jala Gandring pula, "Agaknya antara Pendekar
212 dan mahluk itu sudah saling kenal sebelumnya. Mereka akrab. Besar dugaan
saya mahluk itu adalah mahluk perempuan." "Kuntil anak" Sebangsa peri atau gendaruwo
atau penghuni laut selatan" Atau jin peliharaannya?" ujar Patih Kerajaan sambil
memandang pada ketiga orang di hadapannya satu persatu.
Lawunggeno batuk-batuk beberapa kali. Dari hidungnya yang cedera masih
mengalir darah. Dengan sehelai sapu tangan basah dia menyeka mukanya lalu
berkata. Suaranya terdengar sangau akibat hidungnya yang rusak.
"Siapa atau apa pun adanya mahluk itu tidak penting! Lebih penting saat ini
ialah menyebarkan pengumuman penangkapan atas diri Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kita sudah mengetahui kedoknya. Dia bukan lain adalah Ketua Serikat Candu
Iblis!" "Apa yang dikatakan Adipati Lawunggeno betul. Manusia itu harus ditangkap
hidup atau mati," ikut bicara Barataji. "Kerajaan harus mengirimkan surat kepada
gurunya di Gunung Gede serta para sesepuh dunia persilatan. Mereka harus ikut
bertanggung jawab dan membantu menangkap pemuda itu!"
Pati Sagara Wisamala tercenung sesaat. "Antara jasa dan kejahatan memang
tidak dapat dibanding-bandingkan," katanya. "Walau pemuda itu telah banyak
berjasa pada Kerajaan dan dunia persilatan tetapi menjadi orang jahat, menjadi Ketua
dari komplotan perusak ummat tidak ada ampunnya. Hari ini juga aku akan mengeluarkan
surat penagkapan atas diri Pendekar 212! Berita ini harus diumumkan di seluruh
Kerajaan, sampai di pelosok-pelosok!"
SEHARI sebelum kedatangan rombongan Jala gandring ke Keraton, pada suatu
malam gelap tanpa bulan, delapan orang lelaki bertubuh kekar hanya mengenakan
celana hitam berlari cepat di wilayah selatan luar Kotaraja. Mereka mengusung
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
sebuah tandu. Gerakan mereka laksana hantu malam. Dari mulut mereka selalu
terdengar ucapan: "Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!"
Di sebuah persimpangan sunyi rombongan ini membelok ke kiri. Tak lama
kemudian mereka memasuki halaman sebuah gedung yang berada dalam keadaan
gelap gulita. Hanya ada sebuah lampu minyak menyala dekat tangga depan. Delapan
pengusung tandu hentikan ucapan-ucapan mereka.
Lima orang pengawal muncul menyongsong kedatangan orang-orang pemuda
tandu itu. Dari pihak yang disongsong, yang bertindak sebagai pemimpin segera
berkata: "Beri tahu Raden Haryo Adipuro kalau kami sudah datang."
"Raden Haryo memang sudah menantikan," jawab pengawal itu. Dia
mengangkat tangannya seperti memberi tanda. Pintu besar gedung kelihatan
terbuka. Delapan lelaki pengusung tandu segera bergerak. Mereka menaiki tangga gedung,
terus masuk ke dalam gedung bersama tandu yang mereka usung!
Bagian dalam gedung ternyata berada dalam keadaan gelap. Sebuah lampu
minyak terdapat di atas sebuah meja di tengah ruangan. Nyala apinya yang sangat
kecil dan redup tidak dapat menerangi seluruh ruangan yang cukup besar. Segala
yang ada di tempat itu terlihat seperti bayang-bayang menghitam.
Di sudut kiri ruangan ada sebuah kursi. Di atas kursi ini, dalam kegelapan
tampak duduk seorang lelaki berbadan kukuh. Sikapnya tenang tetapi air mukanya
menunjukkan rasa khawatir yang coba disembunyikannya.
Delapan lelaki bertelanjang dada menurunkan tandu di tengah ruangan. Bagian
depannya sengaja membelakangi nyala lampu minyak di atas meja. Para pengusung
kemudian berdiri tak bergerak, empat di samping kiri dan empat lagi di samping
kanan tandu. Suasana di ruangan itu sunyi hening seperti di pekuburan. Kesunyian
kemudian dipecah oleh suara berkeretekan. Bagian depan tandu yang merupakan
sebuah pintu perlahan-lahan terbuka. Di dalam tandu, terbungkus oleh kegelapan
kelihatan duduk satu sosok tubuh anak-anak. Tapi ternyata dia adalah seorang
laki- laki katai. Menggunakan jubah hitam berumbai-umbai kuning emas. Kepalanya botak
dan mukanya berwarna kelabu!
Raden Haryo Adipuro adalah Kepala Pasukan Pengawal Sri baginda, seorang
pejabat tinggi Kerajaan yang setingkat dengan Menteri. Namun adalah aneh ketika
pintu tandu terbuka, dia segera berdiri dan menjura memberikan hormat pada orang
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
pendek yang duduk di dalam tandu. Setelah menjura dia duduk kembali dengan sikap
hormat, menunggu.
"Raden Haryo" orang di dalam tandu terdengar berkata. "Aku datang seperti
biasa mengantarkan uang perlindungan." Lalu dari dalam tandu melesat sebuah
kantong. Kantong ini mengeluarkan suara berdering ketika jatuh di atas meja di
samping lampu minyak.
Raden Haryo Adipuro memperhatikan kantong itu sesaat. Dilihatnya ada
kelainan pada ukuran kantong. Tapi dia diam saja. Tidak berani menanyakan.
Orang di dalam tandu kembali membuka suara. "Jumlah yang aku sampaikan
kali ini jauh lebih kecil. Itu satu pertanda bahwa perlindungan yang Raden Haryo
berikan terhadap Serikat tidak memadai. Kami kebobolan! Kami sangat kecewa."
"Ada sesuatu yang terjadi?" tanya Raden Haryo Adipuro.
"Sebelumnya aku sudah memberi bisikan. Aku mencurigai Patih Sagara
Wisamala. Dia bisa membahayakan Serikat. Karena itu Raden aku minta untuk
menyelidik. Apa yang telah Raden laku kan?"
"Saya telah menyuruh beberapa orang kepercayaan untuk menyelidik..."
"Orang-orang Raden tidak lebih dari kerbau-kerbau tolol!" kata si pendek
dalam tandu yang membuat Raden Haryo Adipuro jadi terdiam.
"Beberapa hari lalu orang-orang Patih Sagara menyerang dan menjebak
rombonganku di hutan Karangkukusan. Delapan orang anggota Serikat tewas! Tiga
dibunuh dengan panah beracun. Lima dibakar hidup-hidup!"
Dalam gelap paras Raden Haryo Adipuro jadi berubah dan memucat.
"Ini adalah kealpaan yang tidak dapat dimaafkan Raden haryo!"
"Saya... saya mengerti Soltan Ramada," jawab Kepala Pengawal Istana
menyebut nama orang kate yang duduk di dalam tandu. Kepalanya ditundukkan. Dia
tak berani menatap mata orang di hadapannya itu.
Lalu dia berkata, "Mohon Soltan Ramada mau memberi tahu siapa pemimpin
rombongan yang melakukan penyergapan itu. Saya akan segera mengambil tindakan."
"Ada tiga orang. Jala Gandring, tokoh silat istana sahabat kental Patih
kerajaan. Lalu Adipati Lawunggeno dari Magetan. Yang ketiga Barataji, tokoh
silat yang selama ini menjadi guru para prajurit pengawal istana! Jadi orangmu
sendiri!" Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
Paras Raden Haryo berubah. Tiga nama yang disebutkan itu adalah tiga orang
tokoh berkepandaian tinggi. "Saya akan menghabiskan mereka! Saya bersumpah!"
kata Raden Haryo Adipuro akhirnya.
"Bagus! Karena memang itulah satu-satunya jalan untuk mengampuni
kelalaianmu! Sekarang aku minta laporan perkembangan kegiatanmu!"
"Satu tempat penghisapan baru mulai dijalankan di Kotaraja sebelah timur.
Dua lainnya di Sleman dan Klaten."
"Bagaimana dengan orang-orang penting yang jadi sasaran Serikat?"
"Tumenggung Jarot Agasa masuk ke dalam bujukan kita. Salah seorang selir
Sri Baginda diam-diam sudah mulai menghisap. Lalu pangeran tua Dipa Alit dan
seorang keponakannya juga berhasil dibujuk..."
"Bagus, sekarang tugas utamamu adalah berusaha agar Sri Baginda bisa
dibujuk. Kau bisa memperalat gundiknya yang telah jadi pemadat itu atau melalui
pangeran Dipa Alit."
"Saya siap melakukannya Soltan."
"Aku segera pergi. Ada pertanyaan yang ingin kau ajukan?"
"Tidak. Kecuali permintaan agar jumlah kiriman candu diperbanyak," jawab
Raden Haryo Adipuro.
"Tak usah kau kawatirkan. Itu sudah ada dalam benakku!" jawab si botak
muka kelabu yang bernama Soltan Ramada. Tangan kirinya dilambaikan. Pintu tandu
tertutup. Delapan lelaki bertelanjang dada segera mengangkat tandu itu lalu
mengusungnya keluar gedung. Tak lama kemudian di dalam kegelapan malam
kembali terdengar suara mereka. "Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat!"
-- == 0O0 == --
SEMBILAN GOA batu itu terletak di kaki selatan Gunung Merapi, tersamar di balik
kerapatan pepohonan dan semak belukar. Suasana sunyi senyap yang sesekali
ditandai oleh kicau burung-burung hutan jadi terusik ketika dikejauhan terdengar seruan
berkepanjangan. "Satu dua tiga empat! Anjing gila jilat pantat...!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
Makin lama suara itu semakin keras tanda tambah mendekati goa. Tak lama
kemudian terlihatlah rombongan yang tak asing lagi. Delapan lelaki bertelanjang
dada, hanya mengenakan celana panjang hitam sebetis mengusung sebuah tandu
sambil berlari.
Di depan goa rombongan berhenti. Perlahan-lahan tandu diturunkan ke tanah.
Seorang dari delapan pengusung melangkah ke sebuah pohon besar di samping goa.
Dengan kedua tangannya yang kukuh dipeluknya batang pohon itu lalu diputarnya ke
kanan. Sesaat kemuadian terdengar suara berderik, disusul dengan suara bersiur.
Lalu terjadilah satu keanehan. Rerumputan pohon dan semak belukar yang
menutupi mulut goa perlahan-lahan turun ke bawah seolah-olah ditelan bumi. Mulut
goa kini kelihatan dengan jelas namun lima langkah ke sebelah dalam menghadang
sebuah batu besar.
Tiba-tiba pintu tandu berkereketan dan terpentang lebar. Dari dalam tandu
melesat keluar satu sosok pendek berjubah hitam, langsung masuk ke dalam mulut
goa. Di depan batu besar yang menyumpal mulut goa sebelah dalam, orang ini
yang bukan lain adalah manusia bernama Soltan Ramada mengetuk batu tiga kali
berturut-turut. Ketukan yang disertai pengerahan tenaga dalam itu menggetarkan
batu. Getaran ini menjalar sepanjang lorong goa dan sampai ke sebuah kursi batu yang
terletak disuatu ruangan agak ketinggian.
Di atas kursi batu ini duduk seorang lelaki. Baik bentuk tubuh maupun
wajahnya yang terlihat samar-samar karena pada pertengahan ruangan, beberapa
langkah di depan kursi batu terdapat sebuah tirai berwarna merah dengan garis
garis kuning. Di sebelah bawah ada gambar bulatan setengah lingkaran berwarna merah
tua. Begitu merasakan getaran pada kursi batu yang didudukinya, orang di balik
tirai menekan ujung kanan lengan kursi. Bagian ini rupanya merupakan sebuah
tombol dari peralatan rahasia. Begitu lengan kursi ditekan, di mulut goa, batu
besar yang menutup bergeser ke kiri. Soltan Ramada segera melompat ke dalam goa. Di
belakangnya batu besar bergeser kembali, menutup mulut goa.
"Kau membawa kabar baik untukku Soltan?"
Orang yang duduk di atas kursi batu bertanya. Suaranya keras, bergema
panjang di dalam goa itu.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
"Tentu, tentu Pangeran!" jawab Soltan Ramada. Lalu manusia katai ini
jatuhkan dirinya dekat tiga alur tangga batu dan bersujud beberapa lamanya.
Kalau tidak disuruh bangkit dia tidak akan terus bersujud seperti itu.
Orang yang disebut dengan panggilan Pangeran menyeringai. "Bangunlah
Soltan. Berikan laporanmu!"
Soltan Ramada bangkit dari sujudnya lalu duduk bersila dengan khidmat.
"Sesuai dengan petunjuk Pangeran saya telah berhasil membuat Pendekar 212
menjadi bulan-bulanan pengejaran orang-orang Kerajaan dan orang-orang
Persilatan. Kini dia dianggap sebagai Ketua dari Serikat Candu Iblis. Perintah
penangkapannya hidup atau mati telah disebarluaskan di seluruh pelosok kerajaan."
Mendengar keterangan itu orang yang duduk di kursi batu tertawa gelak gelak.
"Kau memang pembantuku paling hebat. Coba ceritakan bagaimana kejadiannya."
Lalu Soltan menuturkan peristiwa di hutan Karangkukusan.
"Bagus...! Bagus! Delapan korban tak jadi apa. Candu palsu dalam kotak
yang kau selipkan di pinggang Pendekar 212! Ha...ha...ha.!"
Soltan Ramada ikut tertawa mengekeh.
"Sekarang aku tidak susah-susah turun tangan sendiri mencari musuh besarku
itu. Orang-orang berkepandaian tinggi se-Tanah Jawa ini yang akan
mengerjakannya.
Menurut perkiraanku, paling lambat dalam waktu tiga puluh hari manusia sableng
itu pasti akan tertangkap! Kalau dia tidak mati dalam perlawanan maka Kerajaan akan
menggantungnya sampai mampus! Ha...ha...ha....!"
"Berita lain yang menggembirakan, Pangeran," kata Soltan Ramada pula.
"Saat ini sudah banyak orang-orang yang dekat dengan Keraton masuk dalam
perangkap candu kita. Dua di antaranya adalah selir Sri Baginda dan Pangeran
Alit." "Hebat! Berarti kita sudah dekat dengan sasaran utama. Yaitu Sri Baginda!"
"Saya sudah perintahkan Raden Haryo Adipuro untuk melakukan hal itu.
Rasa-rasanya segala rencana akan berjalan mulus. Katakanlah paling lambat kita
harus menunggu tiga purnama..."
"Ya, paling lambat memang sekitar sembilan puluh hari."
"Kalau Sri Baginda sudah masuk dalam perangkap Serikat Candu Iblis...
Ha...ha...ha...ha...! Tanda kerajaan tak lama lagi akan lumpuh dan kita dengan
mudah bisa merebut tahta!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
"Tahta memang adalah hak warismu yang sah Pangeran," kata Soltan Ramada
pula. "Tapi ingat Soltan. Dalam setiap langkah dan tindakan, dalam setiap saat dan
waktu semua orang-orang kita, terutama kau, harus berlaku hati-hati. Waspada!
Aku merisaukan beberapa orang yang bisa menjadi penghalang. Pertama Patih Sagara
Wisamala."
"Saya memang terus memata-matainya. Dia telah memberikan tugas khusus
pada tiga orang tokoh. Jala Gandring. Barataji dan Adipati Lawunggeno."
"Mereka orang-orang berkepandaian tinggi," kata Sang Pangeran sambil
pangkukan kaki kirinya ke kaki kanan.
"Tidak usah khawatir Pangeran. Saya telah membuat Raden Haryo bersumpah
bahwa dia harus membunuh ketiga orang itu. Mereka akan mati dan Raden Haryo
saya perintahkan untuk meninggalkan tanda pada setiap pembunuhan. Yaitu SCI,
singkatan dari nama serikat kita."
"Otakmu sungguh luar biasa Soltan! Dari siapa kau mendapatkan kepintaran
itu?" tanya sang Pangeran dari balik tirai sambil menyeringai.
"Saya hanya belajar darimu Pangeran!" jawab Soltan Ramada lalu letakkan
keningnya di lantai goa, bersujud! Lalu sambil terus menempelkan keningnya di
lantai Soltan berkata penuh penjilatan, "Bukankah Pangeran yang ditunjuki orang
Pendekar segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala congkak"!"


Wiro Sableng 060 Serikat Candu Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang di atas kursi batu tertawa mengakak. "Kau ingat betul sifat-sifatku itu
Soltan," katanya. "Dan aku tahu apa akibat dari perbuatan licikmu itu! Semua
orang akan menuduh Pendekar 212-lah yang telah membunuh ketiga orang itu. Bukan
begitu?" "Betul sekali Pangeran!" jawab Soltan Ramada sambil duduk bersila kembali.
"Hemmmm... Soltan, masih ada satu orang lagi yang berbahaya bagi Serikat
Candu Iblis kita. Raden Mas Kuntoro Abimanunggal, Kepala Pasukan Kerajaan..."
"Saat ini dia masih berada di luar pulau. Ada kabar dia meneruskan perjalanan
ke Tanah Melayu. Dia tidak akan kembali dalam waktu empat atau lima bulan," kata
Soltan Ramada. Sang Pangeran mengangguk-angguk mendengar penjelasan itu. Lalu berkata,
"Baiklah Soltan, Kau tentu perlu istirahat. Apakah kau akan menemui kekasihmu
saat ini?" Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
"Kalau Pangeran mengizinkan. Sudah satu bulan lebih saya tidak
melihatnya..."
Sang Pangeran tertawa lalu menekan ujung lengan kursi sebelah kiri.
Terdengar suara menderu perlahan. Satu celah tampak di dinding sebelah kiri
dekat lorong menuju keluar.
Soltan Ramada bersujud lebih dahulu, lalu tanpa menunggu lebih lama dia
bangkit dan berkelebat ke dalam celah batu. Di belakang celah itu ternyata
terdapat sebuah kamar yang bagus sekali. Di bagian tengah ada tempat tidur dari batu yang
dialas dengan kasur jerami serta seprai tebal seperti permadani.
Di atas tempat tidur, berdiri satu sosok tubuh perempuan yang luar biasa
buntak dan gemuknya. Lehernya tidak kelihatan, karena dagunya seperti telah jadi
satu dengan dadanya. Wajahnya merah karena diberi pupur berlebihan. Gincunya
tebal bukan kepalang dan alis matanya yang seperti bulan sabit diberi alat
penghitam. Perempuan gemuk ini tegak bertolak pinggang dan tersenyum lebar ketika melihat
Soltan Ramada masuk ke dalam kamar batu itu.
"Kanda Ramada!" kata si perempuan dengan suara lembut dan gerakan mulut
serta mata penuh genit. "Kalau hari ini Kanda tidak sampai datang, dinda niscaya
sudah mati menelan kerinduan..."
"Kekasihku Ramini!" seru Soltan Ramada seraya melompat naik ke atas
tempat tidur. "Rindumu adalah rinduku juga!" Berdiri berhadap-hadapan tinggi
Soltan Ramada hanya sampai sepusar perempuan gemuk itu. Mendengar ucapan Soltan tadi,
perempuan itu tersenyum lebar. Dia menggerakkan bahunya. Pakaian sebentuk jubah
tipis yang melekat di tubuhnya jatuh ke bawah. Kini perempuan itu berdiri tanpa
mengenakan sepotong pun kain pelindung. Di mata Soltan Ramada, tubuh yang
gemuk buntak penuh lemak itu seindah tubuh bidadari. Dia menjerit keras lalu
melompat merangkul leher si gemuk.
Dari tempatnya duduk di kursi batu, orang yang dipanggil dengan sebutan
Pangeran dapat melihat ke dalam kamar melalui celah yang masih belum ditutupnya.
Dia tertawa-tawa seorang diri.
"Apa yang aku lihat ini" Seekor sapi betina bulat melawan seekor kadal
sawah" Ha...ha...ha!" dia menekan ujung lengan kiri kursi batu. Celah di dinding goa
menutup kembali.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
-- == 0O0 == --
SEPULUH KOTARAJA menjadi geger ketika dua hari kemudian, yaitu setelah Soltan
Ramada menemui Raden Haryo Adipuro, pagi-pagi sekali telah tersebar luas berita
mengejutkan kematian tiga orang penting. Mereka adalah Jala Gandring, Lawunggeno
dan Barataji. Jika tiga orang penting menemui kematian secara bersamaan maka hal ini
bukanlah suatu peristiwa biasa. Kematian mereka tidak bisa disebut wajar. Dan
memang ketiga tokoh itu tewas akibat dibunuh!
Jala Gandring dan Barataji ditemukan mayatnya dalam kamar masing-masing
di perumahan khusus untuk tamu-tamu istana, tak berapa jauh dari tembok Istana
sebelah timur. Sedang Adipati Lawunggeno ditemukan tewas di rumah adik iparnya
di kawasan pusat Kotaraja.
Ketiga orang ini menemui ajal dengan cara yang sama. Sebatang kayu kecil
berbentuk sumpit menancap di tenggorokan masing-masing. Leher dan sebagian
muka mereka kelihatan membiru tanda kayu maut itu mengandung racun jahat. Pada
bagian ujung kayu terdapat bagian berbentuk bulat pipih. Pada bulatan ini
tertera tiga huruf SCI yang merupakan singkatan dari Serikat Candu Iblis.
Seperti diketahui ketiga orang yang jadi korban pembunuhan itu memiliki
kepandaian silat tinggi serta kesaktian. Jika mereka bisa dibunuh begitu rupa
berarti si pembunuh memiliki kepandaian yang sangat luar biasa. Atau mungkin ketiganya
dibokong satu demi satu"! Dan siapa pun sang pembunuh, dia adalah anggota
Serikat Candu Iblis yang bahkan dengan sengaja berani meninggalkan tanda!
Pagi itu juga Sri Baginda memanggil Patih Sagara Wisamala.
"Kita kebobolan Patih," kata Sri Baginda.
"Saya mengerti Sri Baginda. Semua karena kelalaian saya," jawab Patih
Sagara Wisamala. "Yang menjadi korabn pembunuhan ketiganya adalah orang-orang
yang saya percayakan untuk menangani komplotan candu jahat itu."
"Mereka sekarang secara terang-terangan dan berani meninggalkan tanda dari
Serikat mereka," kata Sri Baginda pula. "Aku merasa dipermalukan. Belum lagi
rasa Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
tanggung jawab terhadap orang-orang yang sekarang telah menjadi pemadat. Patih,
katakan kalau benar bahwa ada orang-orang penting dalam Istana yang juga telah
masuk perangkap jahat menjadi penghisap candu!"
"Hal itu memang menjadi kekhawatiran saya Sri Baginda. Saya akan segera
melakukan penyelidikan." jawab sang Patih. Dia tidak berani mengatakan terus
terang bahwa dia memang sudah mendengar kabar kalau ada orang-orang yang dekat dengan
Istana telah masuk ke dalam perangkap Serikat Candu Iblis. "Bagaimana dengan
Pendekar 212" Masih belum diketahui di mana dia berada?"
"Belum Sri Baginda. Saya telah menambah jumlah mata-mata di seluruh
pelosok Kerajaan."
"Jangan terlalu memperhatikan daerah pelosok. Nyatanya pendekar sesat itu
berada di Kotaraja dan sempat membunuh tiga orang kepercayaanmu!"
Ucapan Sri Baginda itu membuat air muka Patih Kerajaan menjadi bersemu
merah. "Kuharap kau bekerjasama dengan Raden Haryo Adipuro. Geledah setiap
tempat yang mencurigakan di Kotaraja. Kalau perlu tempat kediaman para pejabat
yang mencurigakan jangan segan-segan digeledah. Aku punya dugaan Serikat Candu
Iblis tidak mungkin berkembang secepat dan seberani itu kalau tidak mempunyai
tulang punggung yang mereka andalkan."
"Petunjuk Sri Baginda akan saya laksanakan. Saya mohon diri..."
"Tunggu! Ada satu hal lagi Patih. Hubungi tokoh-tokoh dunia persilatan.
Minta mereka membantu menangkap atau membunuh Pendekar 212. Kita tidak bisa
bekerja sendirian. Kita perlu bantuan mereka. Kirimkan utusan khusus menemui
Sinto Gendeng. Perintahkan dia menghadapku dalam waktu dekat. Aku ada rencana yang
mungkin bisa memaksa muridnya keluar dari persembunyian."
"Kalau saya boleh tahu Sri Baginda, rencana apakah itu?"
Sri Baginda menatap wajah Patihnya itu beberapa saat. Sang Patih jadi merasa
tidak enak dipandang seperti itu. Maka dia cepat berkata, "Jika Sri Baginda
tidak percaya bahwa saya tidak dapat merahasiakan rencana itu, Sri Baginda tidak perlu
mengatakannya pada saya." Sagara Wisamala menghaturkan sembah hendak berlalu.
"Tunggu Patih! Jangan salah menduga. Aku percaya padamu. Aku akan katakan
rencana itu. Tapi jangan sekali-kali kau ceritakan pada siapa pun!"
"Saya berjanji tidak akan membuka rahasia," kata Sagara Wisamala pula.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
"Begitu Sinto Gendeng masuk ke Istana ini, kita akan menangkapnya. Lalu
jika dalam waktu sepuluh hari setelah dia ditangkap Pendekar 212 yang Ketua
Serikat Candu Iblis itu tidak muncul menyerahkan diri, perempuan tua itu akan kusuruh
gantung sampai mati!"
Tersirap darah Patih Sagara Wisamala mendengar ucapan Sri Baginda itu.
Dalam hati dia membatin. "Nenek sakti Sinto Gendeng memang bisa dimintakan
pertanggungan jawab atas kejahatan yang dilakukan muridnya. Tapi kalau sampai si
nenek digantung, sama saja dengan menantang perang terhadap orang-orang dunia
persilatan!"
SENTIKO menggeliat beberapa kali lalu turun dari tempat tidur. Setelah
meneguk air putih dari dalam sebuah kendi dia naik ke kamar di tingkat atas
penginapan. "Keparat bermulut besar itu pasti sudah mampus dilalap lima ekor
ular sendok!" berucap Sentiko dalam hati.
Pintu kamar dibukanya. Sebelum melihat ke dalam lobang dia membuka
semua jendela kamar agar cahaya terang masuk ke dalam. Lalu baru dia melangkah
ke tepi lobang dan memandang ke bawah. Dia membayangkan akan melihat sosok tubuh
Pendekar 212 terkapar tak bernyawa.
Tetapi alangkah terkejutnya pemilik rumah penginapan dan rumah makan ini
ketika yang dilihatnya bukan sosok tubuh atau mayat Wiro, melainkan yang tampak
adalah bangkai lima ekor ular sendok bergeletakan menghitam seperti dipanggang!
Apakah yang telah terjadi didalam lobang dimana sebelumnya Pendekar 212
Wiro Sableng terjebak dan terperangkap"
Kita kembali pada saat Wiro berada di dalam lobang dan mengurungkan untuk
melepaskan pukulan sinar matahari karena di ruang batu yang sempit itu pukulan
sakti tersebut bisa berbalik menghantam dan mencelakai dirinya sendiri.
Pada saat lima ekor ular sendok semakin meninggikan tubuh dan siap
mematuk, murid Sinto Gendeng ini tidak terpikir lagi pada Suci atau Dewi Bunga
Mayat yang setiap saat bisa membantunya jika dipanggil.
Di saat-saat genting seperti itu hatinya mendua bahwa dirinya juga kebal
terhadap bisa ular. Dengan sangat hati-hati agar gerakannya tidak menarik
perhatian lima ekor ular, Wiro merapat ke dinding di belakangnya sambil kedua tangannya
bergerak ke pinggang.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
Yang kiri mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tangan kanan mengeluarkan
batu hitam pasangan kapak sakti itu.
Tiba-tiba ular paling kanan bergerak maju. Empat kawannya mendesis dan
ikut bergerak. Wiro jatuhkan diri ke lantai lobang batu. Serentak dengan itu
batu hitam diadu dan digeserkannya kuat-kuat ke mata kapak. Satu gelombang lidah api
melesat ke atas. Inilah salah satu kesaktian yang dimiliki pasangan kapak Naga
Geni 212 dan batu hitam warisan Eyang Sinto Gendeng.
Empat ekor ular sendok surutkan kepala ke belakang. Yang satu seperti nekad
meneruskan mematuk ke arah muka pendekar 212. Lidah api segera menyambar
binatang ini. Tubuhnya langsung terpanggang hangus lalu jatuh ke lantai lobang.
Wiro gosokkan lagi batu saktinya ke mata kapak. Kembali lidah api
menyembur. Dua ekor ular sendok jatuh berkaparan dalam keadaan hangus hitam.
Udara di dalam lobang itu menjadi panas bukan kepalang. Wiro merasa dirinya ikut
terpanggang. Dua ekor ular yang masih hidup bersurut mundur, memendekkan badan
masing-masing, kelihatannya hendak menyelinap lari lewat celah di bawah dinding.
Wiro tidak mau membiarkan binatang-binatang itu lolos. Sekali lagi kapak mustika
dan batu sakti digosokannya. Dua ekor ular sendok bergelepakan di lantai.
Murid Eyang Sinto Gendeng menarik nafas lega. Dadanya turun naik.
Hidungnya kembang kempis. Tubuhnya terasa letih sekali seperti kehabisan tenaga
dan basah oleh keringat. Salah satu lengan pakaiannya baru disadarinya hangus
terbakar. Pendekar ini melosoh dan menjatuhkan diri ke lantai. Dia berhasil
menyelamatkan diri. Namun masih adakah bahaya baru yang bisa keluar dari celah
di bawah dinding itu" Sebelum malam tiba dia harus keluar dari dalam lobang celaka
itu. Wiro memutar akal sambil memandang berkeliling. Dia harus melakukan sesuatu.
Tapi apa dan bagaimana"
Perlahan-lahan Wiro berdiri. Dia memukul-mukul dinding batu itu dengan
tinjunya. Hampir tidak terdengar bunyi keras ataupun gema pertanda dinding
lobang itu tebal sekali. Lalu dia coba mengukur-ukur jarak antara satu dinding dengan
dinding di depannya dengan kedua tangannya.
"Tolol!" Wiro memaki sendiri. "Mengapa dengan tangan" Aku bukan monyet
atau orang utan yang bisa memanjat hanya mengandalkan tangan!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
Dikangkangkannya kedua kakinya. Ternyata kaki kiri dan kaki kanan bisa
menempel ke dinding kiri dan kanan lobang. Hatinya berdebar. Jalan lolos dari
dalam lobang itu sudah terlihat. Tapi memperhatikan keadaan dinding lobang, murid
Eyang Sinto Gendeng kernyitkan kening dan garuk-garuk kepala.
Dinding lobang yang terbuat dari batu itu ditebali oleh lumut. Jika kakinya
menginjak, tidak dapat tidak, dia pasti akan tergelincir dan jatuh ke bawah
kembali. Dia memerlukan sesuatu untuk menjadi pegangan.
"Geblek!" Tiba-tiba sang pendekar kembali memaki dirinya sendiri sambil
menepuk jidatnya. Dia keluarkan kembali Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik
pinggangnya. Senjata itu dibacokkannya ke dinding batu di hadapannya. Begitu
menancap, gagang kapak terus dipegangnya. Lalu kedua kakinya dikembangkan,
diinjakkan pada dinding lobang. Perlahan-lahan tubuhnya diangkat ke atas.
Sekali dicoba gagal, kali kedua gagal. Kali keempat baru dia berhasil
menekankan kedua kakinya pada dinding lobang. Begitu mendapat kedudukan yang
kukuh tubuhnya berhasil bergerak ke atas. Ketika kepalanya mencapai gagang
kapak, Wiro cabut senjata itu dan sebelum tubuhnya terjatuh ke bawah secepatnya mata
kapak dibacokkannya ke dinding sebelah atas.
Sesaat dia bergantungan pada gagang senjata ini. Lalu perlahan-lahan
tubuhnya beringsut naik ke atas. Mencapai pertengahan lobang ternyata dinding-
dinding lobang itu agak menyempit. Karenanya kedudukan kedua kakinya menjadi
lebih kuat. Tanpa kesulitan akhirnya Wiro memanjat ke atas dan keluar dari dalam
lobang, dengan tubuh serta pakaian basah mandi keringat.
Sentiko masih tertegun bengong di tepi lobang ketika tiba-tiba dari atas langit-
langit kamar yang jebol melompat keluar seseorang yang langsung mencekal leher
pakaiannya. Sesaat kemudian manusia bertubuh gemuk ini merasakan tubuhnya
terangkat. Sebelum dia bisa berbuat apa tubuhnya sudah dilemparkan orang ke
dinding! Dinding ruangan yang terbuat dari kayu hancur berantakan. Sentiko menjerit
kesakitan. Badannya yang gemuk menyangsang di jebolan dinding. Selagi dia
berusaha meloloskan dirinya, Wiro tarik ke bawah celana yang dikenakan si gemuk
ini. Lalu dari atas meja dia menyambar segulung tali.
Ketika Sentiko berhasil lolos dari dinding dan berusaha hendak berdiri


Wiro Sableng 060 Serikat Candu Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matanya mendelik dan dari mulutnya terdengar teriakan keras. Ternyata dengan
tali Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
tadi Pendekar 212 telah mengikat anggota rahasia Sentiko, baik yang tunggal
maupun yang kembar! Ketika tali dibetot tentu saja pemilik penginapan dan rumah makan
yang juga menjalankan tempat pengisapan candu ini menjerit kesakitan setengah
mati! Wiro tarik tali yang dipegangnya. Mau tak mau Sentiko terpaksa mengikuti
maju seperti kerbau dicucuk hidung.
"Ampun... jangan! Apa yang kau lakukan ini"!" teriak Sentiko.
"Sakit?" tanya Wiro.
"Sakit! Tentu saja! Wadaw!"
"Dengar babi gemuk!" kata Wiro seraya main-mainkan tali yang dipegangnya.
"Burung perkututmu ini akan kubetot lepas jika kau tidak menjawab apa yang aku
tanya!" "Bangsat! Setan! Adaw...!" Sentiko memaki lalu menjerit ketika Wiro
sentakkan tali yang dipegangnya. "Lepaskan tali celaka ini! Bangsat! Atau aku
akan berteriak memanggil pengawal!"
"Kalau kau masih sayang pada perkututmu, sebaiknya jangan berbuat macam-
macam! Lekas katakan siapa pemimpin Serikat Candu Iblis dan di mana aku bisa
menemuinya?" "Demi Tuhan aku tidak tahu!"
"Jangan dusta!" Bentak Wiro sambil membuat gerakan hendak menarik tali
keras-keras. "Jangan ditarik! Ampun!"
"Kalau begitu lekas bicara!"
"Sumpah! Aku tidak tahu siapa pimpinan Serikat Candu Iblis..."
"Lalu siapa yang mengirimkan candu-candu keparat itu padamu?"
"Seorang penghubung. Aku tidak tahu siapa orangnya. Dia selalu datang pada
malam hari dan meletakkan kotak kecil berisi candu pada tempat tertentu."
"Lalu bagaimana caranya dia menerima uang pembayaran candu serta
keuntungan hasil perbuatan celakamu pada seratus orang-orang yang kini mendekam
di kamar bawah tanah itu"!"
"Aku... Aku memasukkan uang di sebuah kotak. Lalu meletakkannya pada
malam hari di satu tempat. Besoknya kotak itu lenyap tanda sudah diambil oleh
orang Serikat Candu Iblis."
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
"Aku tidak bisa percaya begitu saja keteranganmu. Kau sendiri pasti anggota
Serikat itu..."
"Demi tuhan aku..."
"Dalam bahaya dan mau mampus kau menyebut nama Tuhan. Waktu kau
menyeret orang-orang itu jadi penghisap madat dan mendapat keuntungan besar,
apakah kau juga ingat Tuhan"!"
Dengan geram Wiro sentakkan tali. Kembali Sentiko menjerit setinggi langit.
"Babi gemuk, aku tahu kau tidak mungkin menjalankan pekerjaan terkutuk ini
secara bebas kalau tidak ada yang melindungimu. Katakan siapa pelindungmu!"
"Aku... Tidak ada yang melindungi. Serikat Candu Iblis hanya menyediakan
enam orang pengawal di tempat ini. Kau sudah melihat mereka kemarin. Bahkan kau
telah membunuh seorang di antaranya...!"
"Aku tidak percaya!" seringai Wiro. "Kau berdusta. Mukamu kulihat pucat.
Kalau kau tidak mau bilang, kupotes telor kodok dan lontong kumelmu!" Wiro
gerakkan tangannya yang memegang tali.
"Ampun! Jangan! Aku akan katakan, Aku akan katakan! Tapi lepaskan dulu
ikatan tali celaka itu. Aku bisa cacat seumur hidup Aku bisa lemah syahwat...!"
Wiro menyeringai. "Ikatan akan kulepaskan kalau kau sudah mengatakan
siapa yang jadi pelindung komplotanmu. Kau dengar?"
"Ya... ya" kata Sentiko sambil membungkuk terhuyung-huyung
memperhatikan bagian bawah perutnya. Seolah-olah memeriksa apakah sang burung
berikut sarangnya masih tersangkut di sana! Ketika dilihatnya keadaanya masih
baik- baik saja walau bentuknya tidak karuan rupa lagi maka dia cepat meneruskan
ucapannya. "Baik akan aku katakan. Orangnya adalah..." Belum sempat Sentiko
menyelesaikan ucapannya tiba-tiba sebuah benda melayang dan menancap di pangkal
leher lelaki gemuk itu. Sentiko menjerit. Pendekar 212 melompat ke jendela.
Pohon di seberang bangunan dilihatnya bergoyang. Seseorang melompat dari atas pohon ke
punggung seekor kuda. Wiro lepaskan satu pukulan tangan kosong. Tapi kuda dan
penunggangnya sudah lenyap di balik tembok. Pukulan yang dilepaskan Wiro hanya
sempat merusak bagian atas tembok hingga runtuh berantakan.
"Kurang ajar!" maki Wiro. Dia lari mendapatkan Sentiko yang saat itu
menggeletak di lantai dalam keadaan menelungkup. Sebatang kayu kecil berbentuk
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
sumpit yang ujungnya ada bundaran pipih dengan tulisan SCI menancap di lehernya.
Melihat tengkuk Sentiko yang mulai menghitam Wiro maklum kalau kayu kecil itu
mengandung racun keras. Sentiko tak mungkin bisa diselamatkan lagi. Wiro
berusaha menotok jalan darah sekitar kayu yang menancap.
"Dengar, kau tak bakal apa-apa. Aku akan menolongmu. Tapi lekas katakan
siapa pelindung komplotanmu. Ayo Sentiko! Lekas bilang..."
Kedua mata sipit lelaki gemuk itu membeliak. Mulutnya membuka.
Ketika Wiro menuruni tangga dari tingkat atas menuju tingkat bawah
penginapan dia berpapasan dengan dua orang lelaki yang hanya mengenakan celana
hitam. Keduanya adalah dua dari enam pengawal baru yang ditempatkan di situ.
Mereka sejak tadi curiga mendengar suara ribut-ribut di bagunan sebelah atas
lalu lari menaiki tangga, berpapasan dengan Wiro yang menuju turun.
"Hai! Jangan lari! Kau pasti...!"
Wiro tidak memberi kesempatan. Dia melompat dari anak tangga yang
kesembilan. Kedua kakinya menendang ke depan. Dua anggota Serikat Candu Iblis
yang berbadan kekar itu mencelat lalu tergelimpang. Yang satu pecah pelipisnya.
Satu lagi hancur mulut dan hidungnya!
-- == 0O0 == --
SEBELAS SEPERTI setiap kali datang, malam kali ini tidak beda dengan malam-malam
sebelumnya. Empat oramg pengawal gedung di luar Kotaraja sebelah selatan itu
menyongsong kedatangan rombongan pengusung tandu. Pintu gedung dibuka dan
tandu lalu digotong ke dalam.
Juga seperti dulu-dulu, ruangan di mana tandu diturunkan berada dalam
keadaan suram temaram. Hanya ada satu lampu minyak kecil di atas meja. Empat
orang pengusung di kiri dan empat lagi di sebelah kanan. Dengan suara
berkereketan pintu tandu terbuka. Raden Haryo Adipuro yang sejak tadi duduk dalam kegelapan
berdiri dan menjura memberi hormat pada si katai Soltan Ramada yang duduk di
dalam tandu dengan sikap seperti seorang raja diraja.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
Tanpa memulai pertemuan itu dengan pembicaraan terlebih dahulu Soltan
Ramada langsung melemparkan kantong uang ke atas meja.
"Kantongmu makin lama makin kecil Raden Haryo..."
Raden Haryo tampak seperti hendak membuka mulut. Tapi Soltan Ramada
mengangkat tangan dan berkata, "Waktumu untuk bicara akan kuberikan. Sekarang
kau dengar dulu apa yang akan aku katakan dan jawab jika aku ada pertanyaan!"
Raden Haryo Adipuro anggukan kepala.
"Pertama, aku cukup gembira bahwa kau memang membereskan Jala
Gandring, Barataji dan Lawunggeno. Tetapi pahala yang kau buat itu terkubur
bersama kejadian di perbatasan!"
"Pusat penghisapan candu di sana diobrak-abrik oleh orang tak dikenal.
Beberapa orang anggota serikat yang menjadi pelindung dan pengawal dibunuh.
Beberapa lainnya cedera berat. Bagaimana ini bisa terjadi!" Kau harus
menjawabnya nanti!" "Hal kedua, orang kita di tempat itu, yakni Sentiko juga tewas. Ada keanehan
pada keadaan mayatnya. Kemaluannya dijirat! Gila betul! Tapi itu tidak membuatku
risau! Yang perlu diungkapkan ialah bahwa Sentiko mati akibat ditancap sumpit
beracun yang ada lambang singkatan Serikat Candu Iblis! Adalah aneh kalau orang
Serikat membunuh kawannya sendiri! Hal ketiga..."
Raden Haryo Adipuro tampak berdiri dari kursinya. Terdengar dia berucap
memotong kata-kata Soltan Ramada. "Hal ketiga atau keempat atau kelima tidak
penting bagiku! Aku ingin bertanya! Apakah kau juga ingin mati dengan kemaluan
dijirat seperti yang terjadi dengan Sentiko"!"
"Eh!" Soltan Ramada keluarkan seruan tertahan saking kagetnya mendengar
ucapan itu. Dia cepat berdiri. Delapan lelaki pengusung tandu juga terkesiap
mendengar kata-kata yang mereka anggap sangat berani, bahkan keterlaluan itu.
Salah seorang di antara mereka berbisik pada kawannya. "Kepala Pasukan Pengawal Istana
ini ingin cepat mampus rupanya..."
"Suaramu lain Raden Haryo! Sejak tadi sebetulnya aku juga heran melihat
tubuhmu yang agak langsingan..."
Raden Haryo Adipuro tertawa bergelak.
"Kurang ajar! Berani kau tertawa seperti itu di depanku"!" bentak Soltan
Ramada melompat dari tandu.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
Saat itu tiba-tiba ruangan tersebut menjadi terang benderang. Limapuluh orang
prajurit Kerajaan, dua puluh di antaranya membawa obor, membanjiri ruangan itu.
Di luar masih ada sekitar seratus orang prajurit lagi mengurung gedung. Si
katai ini memandang berkeliling dengan paras berubah. Lalu dia kembali berpaling
pada orang di depannya. Saat itu orang ini telah melepaskan ikatan pada
rambutnya hingga kini kelihatan rambutnya yang gondrong.
"Kau!" seru Soltan Ramada. "Ternyata kau adalah Ketua Serikat Candu Iblis!
Pemimpinku sendiri! Sungguh satu pertemuan yang tidak diduga!" Lalu Soltan
Ramada menjura dalam-dalam. Delapan pengusung yang tidak tahu apa-apa ikut-
ikutan menjura. Sesaat suasana menjadi senyap di ruangan itu.
Suara tawa seseorang kemudian memecah kesunyian yang mencekam itu.
Orang yang tertawa menyeruak di antara deretan prajurit yang mengurung. Di
sampingnya mengapit dua orang perwira tinggi kerajaan. Orang yang barusan
tertawa ini bukan lain adalah Patih Sagara Wisamala.
"Soltan Ramada alias Cula Singkir! Enam tahun kau menghilang tahu-tahu
muncul lagi menimbulkan malapetaka. Dirimu rupanya tidak pernah kering dari
kejahatan! Otakmu cerdik dan licin. Tapi kau tidak bisa menipu diriku dengan
begitu cerdik mengatakan bahwa pemuda berambut gondrong ini adalah Ketua Serikat
Candu Iblis! Dia adalah Pendekar 212, orang tak bersalah yang hendak kau
libatkan dan cemarkan namanya! Dosa dan kejahatanmu sudah lewat takaran! Raden Haryo
Adipuro yang jadi kaki tanganmu sudah ditangkap!"
Berubahlah tampang kelabu manusia katai berkepala botak itu. Kedua
matanya berputar liar. "Aku masih bisa kabur. Masih bisa lolos..." katanya dalam
hati. Matanya melirik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Hai!" ujar Wiro seraya tersenyum lebar dan angkat tangannya. "Apa saat ini
ada lagi kotak candu yang hendak kau berikan padaku"!"
Di balik kulit mukanya yang kelabu, tampang Soltan Ramada alias Cula
Singkir mengelam membesi. Dia melangkah mundur menuju tandu. Wiro yang sudah
maklum kalau tandu itu memiliki berbagai senjata rahasia maju tiga langkah lalu
hantamkan tangan kanannya melepas pukulan sakti "Dewa Topan Menggusur
Gunung". Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
Tandu kayu jati yang kokoh itu mencelat dan hancur berantakan. Soltan
Ramada sendiri kalau tidak cepat menyingkir pasti kena disambar mental. Dengan
air muka geram si katai ini berteriak pada delapan lelaki pengusung tandu.
"Bunuh pemuda gondrong itu!" Delapan lelaki bertubuh kekar bergerak maju.
Melihat hal ini Patih Sagara Wisamala cepat memberi perintah pada prajurit-
prajurit serta pimpinan mereka. "Habisi mereka semua!"
"Tunggu dulu!" teriak Pendekar 212. "Paman Patih, mohon maafmu.
Mengingat saya yang punya hajat, biar saya yang mengurusi tetamu-tetamu
terhormat itu! Harap yang lain mengawasi si kate itu. Dia punya banyak akal untuk
melarikan diri!" Lalu Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu saktinya.
Sebelumnya dia telah menyaksikan kalau manusia-manusia pengusung tandu itu tidak
sanggup bertahan terhadap api. Sebaliknya, delapan orang pengusung tampaknya
seperti menganggap remeh senjata di tangan Wiro. Mereka terus merangsak.
Didahului bentakan nyaring, Wiro adu kapak dengan batu hitam. Lidah api
menyembur. Kini baru delapan orang itu kaget dan berusaha menyingkir. Namun tiga
orang terlambat. Tubuh mereka segera dilalap api. Ketiganya meraung dan
bergulingan di lantai.
Lima temannya dalam marah seperti menjadi kalap. Dengan nekat mereka
menyerbu Wiro. Batu dan kapak mengeluarkan suara keras ketika saling beradu.
Lidah api yang lebih besar menyambar ke depan. Lima raungan menggema di
ruangan itu! Selagi semua orang seperti terpukau melihat peristiwa dahsyat itu Soltan
Ramada alias Cula Singkir pergunakan kesempatan untuk melarikan diri. Dia
sengaja menyeruak ke dalam barisan pasukan yang mengurung tempat itu. Tubuhnya yang
kecil pendek menyusup di antara kaki-kaki prajurit. Lalu dari dalam sakunya dia
mengeluarkan benda hitam sebesar ujung jari kelingking. Benda ini dimasukannya
ke dalam mulutnya.
Selagi para prajurit itu sibuk berusaha menangkapnya, Soltan Ramada meniup
keras-keras. Asap kelabu menggebubu dari mulutnya disertai menyebarnya hawa
aneh. Begitu hawa itu terhirup ke dalam pernafasan, lebih dari duapuluh prajurit
langsung lemas keliangan. Dua perwira tinggi tertegun sesaat. Mereka hampir ikut
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
roboh kalau Patih Sagara Wisamala tidak menarik keduanya menjauhi asap candu
iblis. "Celaka! Manusia katai itu lenyap!" teriak Patih Sagara. Dia melompat ke
pintu depan. Wiro ikut mengejar. Belasan prajurit mengikuti dari belakang. Di
luar terjadi kegaduhan karena tidak seorang pun prajurit yang mengurung gedung
melihat sosok Soltan ramada.
"Sialan!" maki Wiro. Sementara Patih Sagara Wisamala terduduk di tangga


Wiro Sableng 060 Serikat Candu Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gedung. Semua orang terdiam seolah-olah habis daya. Kesunyian mencekam di dalam
dan di luar gedung. Namun tiba-tiba ada satu suara tertawa cekikikan dari arah
persimpangan jalan yang gelap di seberang sana.
"Siapa yang tertawa?" tanya Patih Sagara pada Wiro.
"Tak dapat saya pastikan. Tapi itu suara perempuan!" jawab Wiro. Lalu dia
mendahului melompati tangga dan lari ke arah persimpangan. Ketika Patih Sagara
mengikuti, semua orang langsung menghambur pula.
-- == 0O0 == --
DUA BELAS DI persimpangan jalan yang tadinya gelap dan kini diterangi oleh sekian
banyak obor, kelihatan Soltan Ramada tegak tak bergerak. Di depannya berdiri
seorang nenek tinggi kurus. Demikian kurusnya seperti hanya tinggal kulit
pembalut tulang. Kulitnya hitam pekat seperti jelaga. Pipi dan kedua matanya cekung.
Batok kepalanya ditumbuhi rambut jarang berwarna putih, begitu juga warna alisnya.
Lima buah tusuk kundai perak menghiasi kepalanya. Kelima tusuk kundai itu tidak
disisipkan disela-sela rambut tapi ditusukan ke kulit kepala!
"Guru! Eyang!" teriak Pendekar 212 ketika dia mengenali bahwa nenek di
tengah jalan itu bukan lain adalah Eyang Sinto Gendeng, gurunya sendiri!
Patih Sagara Wisamala terkesiap. Selama ini dia belum pernah bertemu muka
dengan si nenek sakti, hanya mendengar nama dan kehebatannya saja. Diam-diam
hatinya tergetar juga melihat keangkeran Sinto Gendeng.
Wiro jatuhkan dirinya di depan sang guru. Si nenek memandang padanya.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
"Anak sableng!" si nenek memaki. "Apa yang kau lakukan hingga ada orang
mengirim kabar bahwa kau sekarang sudah kaya raya. Jadi pedagang candu kelas
kakap! Katanya kau juga sudah jadi Ketua satu komplotan bejat! Apa memang betul
begitu?" "Semua dusta dan fitnah busuk dari orang-orang Serikat Candu Iblis," jawab
Wiro. "Nenek sakti, muridmu tidak bersalah. Dia memang korban fitnah," berkata
Patih Sagara Wisamala.
Sinto Gendeng melirik pada sang patih. Dia sebenarnya sudah tahu siapa
adanya orang yang barusan bicara itu namun dia bersikap acuh saja.
"Ah, kalau begitu percuma saja aku datang jauh-jauh. Orang-orang kerajaan
yang tidak bisa mengurus negeri akibatnya aku dan muridku yang jadi korban.
Malah aku menyirap kabar bahwa diriku akan dijadikan sandera. Jika kau tidak
menyerahkan diri maka aku akan digantung! Busyet!" si nenek cekikikan.
Paras Patih Sagara Wisamala berubah, sebentar marah sebentar pucat. Dalam
hati dia bertanya. "Bagaimana nenek ini tahu rencana Sri Baginda itu" Ah, aku
benar- benar jadi tidak punya muka."
"Eyang, bagamana kau bisa muncul di sini?" bertanya Wiro.
"Tubuh tua keropos ini tidak ubah seperti daun kering," jawab Sinto Gendeng
pula. "Mudah ditiup angin dan melayang ke arah mana saja. Tapi waktu aku sedang
melancong makan-makan angin di persimpangan sini, kulihat si kate botak ini
berlari seperti orang dikejar setan. Celananya basah. Rupanya dia sudah kencing di
celana! Hik...hik... hik!" si nenek tertawa cekikikan.
Patih Sagara Wisamala dan orang-orang yang berada di tempat itu hampir-
hampir tak bisa menahan geli mendengar ucapan si nenek dangan gayanya waktu
bicara. "Wiro! Kowe tahu siapa adanya kecoak botak ini"!"
"Namanya Soltan Ramada alias Cula Singkir. Dia seorang pentolan penting
Serikat Candu Iblis," menerangkan Wiro.
"Ah..ah...ah! Jadi namanya Sultan bercula!" kata si nenek sengaja salah
menyebut nama manusia katai itu. "Karena curiga, begitu kepapasan aku totok
tubuhnya. Ternyata dia adalah bangsat yang harus dibekuk!"
"Kami berterima kasih karena kau telah menangkapnya. Jasamu akan kami
laporkan kepada Sri Baginda," kata patih kerajaan.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
Si nenek tersenyum. Senyumnya itu justru membuat tampangnya tambah
angker. "Hidup hampir seratus tahun, tak pernah aku mencari nama meminta
pamrih!" Sinto gendeng berpaling pada muridnya. "Sableng! Kau bangkitlah! Aku
bukan orang penting yang patut kau hormati dengan berlutut!" Sinto Gendeng
mengangkat tangannya. Wiro merasakan bahunya yang dipegang seperti lengket dan
ditarik oleh satu kekuatan dahsyat. Dia ingin menjajal. Dia kerahkan tenaga
dalam tubuhnya menjadi seberat seekor gajah. Sinto Gendeng tampak mengerut
tampangnya. Dia lipat gandakan tenaganya menarik bahu muridnya.
"Brettt!!!"
Pakaian Wiro robek sedang tubuhnya tetap saja berlutut.
"Anak setan!" maki si nenek perlahan. "Ternyata kau sudah memiliki tenaga
dalam luar biasa..."
"Saya tidak punya apa-apa eyang. Masih bodoh seperti dulu," sahut Wiro.
Si nenek melotot lalu mendongak dan tertawa gelak-gelak. Dia memberi
isyarat agar Wiro berdiri. Setelah muridnya berdiri maka Sinto Gendeng lantas
berkata. "Aku tidak punya kepentingan lama-lama di tempat ini. Sebelum aku
berangkat ada satu pegangan hidup yang hendak kusampaikan dan harus kau ingat
baik-baik. Kau mau mendengarnya anak sableng"!"
"Saya mendengar Eyang..."
"Dalam perjalanan hidup seseorang, jika dia berbuat satu kebenaran atau
kebaikan, tidak ada orang yang mengingatnya. Tapi bilamana dia berbuat kealpaan
atau kesalahan, tidak ada orang yang melupakannya. Nah, kau ingat hal itu baik-
baik agar kau hidup mawas diri dan mandiri!"
"Saya akan mengingatnya baik-baik Eyang. Saya mengucapkan terima kasih
atas budi baik Eyang menyampaikan pegangan hidup ini."
"Bagus! Tetaplah mengasah otak. Tapi juga jangan lupa mengasah hati!" habis
berkata begitu Sinto Gendeng berkelebat dan di lain saat tubuhnya sudah lenyap
dari persimpangan itu.
Untuk beberapa lamanya tempat itu diselimuti kesunyian. Tak ada yang
bergerak, tak ada yang bersuara. Akhirnya Patih Sagara Wisamala melangkah
mendekati Soltan Ramada.
"Aku tahu kau bukan Ketua Serikat Candu Iblis. Sekarang katakan pada kami
siapa pemimpinmu dan tunjukkan di mana markasnya!"
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
"Aku... aku tidak tahu. Aku tidak pernah bertemu dengannya. Apalagi tahu di
mana markasnya..." jawab si kate.
Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah ke hadapan si katai. "Begitu
katamu...?" Dia memandang berkeliling lalu berteriak. "Tanggalkan seluruh pakaian
kecoak ini! Cari tali! Dia pantas diperlakukan sama seperti si gendut Sentiko!"
Mendengar teriakan Wiro itu lumerlah nyali si katai. Dia segera meratap.
"Jangan... jangan diikat anuku! Akan aku katakan. Aku tidak tahu namanya. Ketua
Serikat Candu Iblis menyebut dirinya dengan Pangeran..."
"Pangeran?" ujar Patih Sagara Wisamala.
Wiro sendiri merasakan darahnya berdesir mendengar sebutan Pangeran itu.
"jangan-jangan si keparat itu..." katanya dalam hati.
"Betul. Pangeran. Begitu aku memanggilnya. Aku akan tunjukkan tempat
kediamannya... Tapi jangan anuku diapa-apakan... Kalian boleh pukul aku sampai
babak belur. Tapi anuku itu... jangan...!"
Wiro menyeringai. Dia tarik leher jubah hitam Soltan Ramada. Lalu orang
yang masih berada dalam keadaan tertotok ini dilemparkannya ke dalam sebuah
gerobak. Dengan petunjuk Soltan Ramada, pepohonan dan semak belukar yang
menutupi mulut goa berhasil disingkirkan. Namun batu besar yang menghalang di
sebelah dalam menjadi persoalan karena Soltan tidak tahu bagaimana cara
membukanya. Patih Sagara Wisamala sesaat meragu. Apakah dia terpaksa memperlihatkan
kehebatannya membobol batu itu. Bagaimana kalau ternyata kesaktiannya tidak
mampu menghancurkan batu. Atau akan dimintanya saja Pendekar 212 untuk
melakukannya"
Wiro yang melihat sang patih ragu-ragu segera angkat tangan kanannya.
Kedua kakinya terpentang. Perutnya mengempis. Tangan kanannya bergetar hebat
tanda seluruh tenaga dalam yang ada di perut tengah dialirkannya ke tangan.
Perlahan-lahan tangan itu mulai berubah menjadi putih berkilat seperti perak.
Patih Sagara Wisamala memperhatikan tak berkedip. Dia tahu pukulan sakti
apa yang hendak dikeluarkan Wiro guna menghantam batu, "Pukulan Sinar
Matahari." Selama ini dia hanya mendengar saja tentang kehebatan pukulan itu.
Kini Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
dia akan menyaksikannya sendiri. Orang-orang lainnya yang berjumlah hampir
seratus, menunggu dengan tegang.
Pendekar 212 membentak keras. Bersamaan dengan itu tangan kanannya
dipukulkan ke depan. Sinar putih menyilaukan membersit disertai menghamparnya
hawa panas luar biasa, membuat semua orang yang ada di situ cepat menjauh.
Terdengar suara berdentum. Batu besar yang menutup mulut goa di sebelah
dalam hancur berantakan. Jalan masuk ke dalam goa kini terbuka lebar. Semua
orang leletkan lidah. Patih kerajaan sendiri tak habis kagumnya menyaksikan pukulan
sakti yang tadi dilepaskan Wiro itu.
Pendekar 212 melompat masuk ke dalam goa. Untuk beberapa lamanya
Pukulan Sinar Matahari masih disiapkannya karena khawatir akan menemui hal-hal
yang tak terduga di dalam sana. Patih Sagara menyusul masuk sambil menyeret
Sultan Ramada. Seluruh ruangan dalam goa diperiksa, termasuk kamar di mana
biasanya perempuan gemuk bernama Ramini menunggu kedatangan kekasihnya yaitu
Soltan Ramada. Atas petunjuk Soltan Ramada, semua peralatan rahasia yang ada dalam goa itu
diperiksa dan dilumpuhkan. Ternyata goa itu kosong. Tak ada seorang pun ditemui
di tempat itu. Tidak juga orang yang dipanggil dengan sebutan Pangeran itu.
"Goa ini kosong! Jangan-jangan kau mengadali kami!" Patih Sagara Wisamala
menggeram dan memandang mendelik pada Soltan Ramada. Tangannya bergerak
mencekik leher jubah si katai ini.
"Saya tidak berdusta. Sekali ini saya tidak berdusta. Pangeran itu pasti telah
melarikan diri..." kata Soltan Ramada dengan suara ketakutan.
"Awas ada benda jatuh!" satu dari dua perwira tinggi Kerajaan yang ada di
dalam goa berteriak memberi peringatan. Mengira ada senjata rahasia yang
menyerang Wiro dan Patih Sagara siap hendak menghantam. Ternyata yang melayang
jatuh adalah sehelai kertas putih yang rupanya sebelumnya memang sengaja
ditempelkan di langit-langit goa lalu terlepas dan jatuh ke bawah.
Wiro cepat menangkap kertas itu.
"Ada tulisan di sebelah belakang!" seorang prajurit memberi tahu.
Wiro membalikkan kertas itu. Keningnya mengernyit.
"Sialan keparat!" maki Wiro kemudian. Kertas itu hendak dirobeknya tapi
cepat diambil oleh Patih Sagara lalu membaca apa yang tertulis di atas kertas
itu. Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Serikat Candu Iblis
Pendekar 212! Jangan kau merasa menang. Bagaimana pun juga aku sempat
mempermainkanmu. Dan kau sampai saat ini masih belum bisa
menangkapku. Selama siang selalu berganti dengan malam, selama
itu pula aku akan tetap menjadi musuh bebuyutanmu. Serikat
Candu Iblis boleh musnah. Tetapi Pangeran Matahari tetap tak
bisa kau kalahkan! Kita pasti akan bertemu lagi dan kau tetap
berada di pihak yang kalah. Ingat hal itu baik-baik. Ha..ha...ha...!
Pangeran Matahari
"Pangeran keparat!" terdengar Pendekar 212 memaki. "Dia rupanya yang jadi
biang racun...! Ketua Serikat Candu Iblis! Bangsat! Satu ketika kelak lehernya
pasti akan kupuntir!"
TAMAT Jejak Telapak Iblis 1 Pendekar Naga Putih 97 Pembalasan Topeng Tengkorak Pendekar Sakti 17
^