Pencarian

Makam Tanpa Nisan 1

Wiro Sableng 061 Makam Tanpa Nisan Bagian 1


BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG MAKAM TANPA NISAN
Sumber: Kitab 212 (Bastian Tito)
EBook: syauqy_arr@yahoo.co.id
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
WIRO SABLENG MAKAM TANPA NISAN
1 ATAHARI belum lama tenggelam. Namun pulau
kecil di pantai barat pesisir Andalas itu telah ter-Mbungkus kegelapan.
Kesunyian yang mencengkam
dibayang-bayangi oleh deru angin laut dan debur ombak yang memecah di pasir
pulau. Sesekali kunang-kunang be-terbangan di udara, sesaat menjadi titik-titik
terang yang tak ada artinya lalu menghilang lenyap dan kembali kegelapan kelam
menghantu. Sesosok tubuh berjalan terbungkuk-bungkuk dalam kegelapan. Gerakan kedua kakinya
enteng dan hampir tidak terdengar. Namun binatangbinatang melata yang ber-
telinga tajam dan ada disekitar situ masih dapat mendengar gerakan langkah kaki
orang ini lalu cepat-cepat melarikan diri menjauh.
Di samping serumpun pohon bakau orang ini hentikan langkahnya. Telinganya
dipasang tajamtajam. Kedua matanya memandang tak berkesip ke muka. Di depannya
dalam kegelapan dia melihat, ada mata air kecil jernih, yang membentuk sebuah
parit dangkal. Dia mengikuti parit itu ke arah seberang sana hingga pandangan
matanya tertumbuk pada akar sebuah pohon yang sangat besar.
Lama orang ini menatap pohon besar yang tegak
menyeramkan sejarak dua puluh langkah dari tempatnya berdiri. Matanya memandang
ke arah batang pohon yang besarnya lebih dari tiga pemelukan tangan manusia itu.
Lalu dia menyeringai dan gelengkan kepala. Dari mulutnya terdengar ucapan
perlahan. "Di saat orang hendak melakukan kebaikan, menjenguk sahabat yang berpulang,
masih saja ada makhluk-makhluk lain hendak berbuat kejahatan."
Orang ini kembali memandang ke arah pohon, lalu dia berseru. "Manusia dibalik
pohon! Apa maksudmu sengaja sembunyi disitul Hendak menghadang dan membokong"!"
Tak ada sahutan.
Angin laut bertiup kencang. Semak-semak dan daun-
daun pepohonan terdengar bergemerisik. Seekor kadal hutan melintas cepat di
depan kaki orang yang tegak dekat mata air.
"Ah, dia tak mau menjawab..." kata orang yang barusan bicara. "Kalau begitu
terpaksa aku harus meneruskan langkah." Dengan tangan kanannya dia mematahkan
sebuah ranting kecil di samping. Lalu bertongkatkan ranting ini, orang itu
meneruskan langkahnya. Melompati parit kecil di depannya. Sesaat kemudian dia
telah sampai di hadapan pohon besar. Sosok tubuhnya masih saja tetap terbungkuk-
bungkuk seperti tadi. Namun sepasang mata dan telinganya dipasang benar-benar.
Satu langkah dia akan melewati pohon besar, tiba-tiba laksana setan keluar dari
sarangnya satu bayangan putih melompat keluar dari balik pohorl. Sebuah benda
berbentuk tombak yang memiliki dua mata menderu ke arah kepalanya!
"Membokong adalah pekerjaan pengecut!" seru orang yang diserang. tangan kanannya
yang memegang ranting digerakkan dengan sebat ke atas. Orang ini tahu sekali
bahwa ranting yang dipegangnya tidak akan menang
melawan tombak besi yang menghantam ke arahnya.
Karena itu dia sengaja tidak mau menangkis tetapi berusaha memukul lengan yang
memegang tombak bermata dua itu.
Si penyerang gelap rupanya tahu apa yang hendak di-perbuat lawan. Sambil
menggeser kakinya dan miringkan tubuh ke kanan, tombaknya yang tadi mengemplang
kini ditusukkan ke dada. Tak ada jalan lain. Mau tak mau yang diserang sekarang
terpaksa pergunakan rantingnya untuk menangkis. Ranting kecil itu menyelusup ke
depan, masuk di antara dua mata tombak.
Orang memegang tombak terkejut ketika merasakan
bagaimana tombak besinya laksana ditahan satu kekuatan dahsyat membuatnya tidak
mampu untuk mendorong
walau sudah kerahkan seluruh tenaganya. Dengan nekad kalau tadi dia hanya
andalkan tenaga luar, orang ini kerahkan tenaga dalam lalu sambil mendorong dia
keluarkan bentakan keras.
Kraaakkkk! Ranting kayu berderak patah. Tapi tongkat bermata dua terpelanting ke kiri,
nyaris terlepas. Si pemilik tombak mundur tiga langkah, matanya memandang ke
depan, coba menembus kegelapan untuk dapat melihat wajah orang yang gagal
diserangnya itu. Tapi sia-sia saja. kegelapan malam begitu pekat sehingga walau
berada cukup dekat dia tidak bisa melihat wajah orang itu, apalagi mengenali-
nya. Maka diapun bertanya membentak. "Siapa di situ"!"
Jawaban yang didapatnya justru bentakan pula. "Kau yang menghadang dan
menyerang! Aku yang lebih layak menanyakan siapa dirimu!"
Orang dibalik pohon keluarkan suara mendengus.
"Aku Kiyai Surah Ungu dari Banten! Katakan siapa dirimu"!"
"Kiyai Surah Ungu dari Banten...?" mengulang orang yang masih memegang patahan
ranting. "Ah... ah... ah!
Bukankah kau orangnya yang bergelar Pangeran Tanpa Mahkota, yang menjauhkan diri
dari Kesultanan karena tidak suka dengan kehidupan Keraton yang menurutmu
menjijikkan?"
Dalam gelap berubahlah paras orang dibalik pohon.
Rasa terkejut membuat dia mengeluarkan seruan tertahan.
"Kau telah mengetahui siapa diriku, lalu kau sendiri siapa adanya"!" tanya Kiyai
Surah Ungu. "Aku belum mau memberi tahu sebelum aku men-
dengar apa keperluanmu jauh-jauh datang ke pulau
terpencil ini!"
"Kau keliwat mendesak. Tapi tak jadi apa karena kau ada di atas angin. Aku
kemari untuk melayat seorang kawan yang kabarnya meninggal beberapa waktu lalu
dan dimakamkan di pulau ini! Nah aku sudah mengatakan yang sebetulnya padamu,
sekarang giliranmu memberi tahu siapa dirimu dan apa pula keperluanmu
gentayangan di tempat ini!"
Orang yang ditanya tertawa pendek. "Belum.... Belum Kiyai. Aku belum akan
menjawab pertanyaanmu. Masih ads pertanyaan-pertanyaan lain yang perlu
kuajukan.... ' "Kau membuat aku jadi jengkel dan marah! Apa kau kira diriku ini seorang
pesakitan yang tengah diperiksa dan perlu ditanyai segala-galanya"!"
"Jangan cepat jengkel, apalagi marah Kiyai Surah Ungu.
Di malam yang gelap begini dimana kita tidak dapat melihat wajah satu sama lain,
tipu menipu bisa saja terjadi!"
"Apa maksudmu dengan kata-kata itu"!" tanya Kiyai Surah Ungu.
?"Lupakan saja ucapanku tadi. Aku ingin tahu siapa sahabat yang kau katakan
meninggal dan dimakamkan di pulau ini..."
"Kau pasti kenal. Dia seorang tokoh silat nomor satu di kawasan Andalas ini,
Pernah membuat nama besar dan menggegerkan seantero tanah Jawa beberapa puluh
tahun lalu. Dia pernah menyandang gelar Pendekar Gila Patah Hati. Adapula yang
memberinya julukan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Namun di kalangan golongan putih
dia lebih dikenal dengan panggilan Si Tua Gila. Nah sekarang apakah kau sudah
puas atau masih hendak merahasiakan dirimu
sendiri"!"
"Ah, rupanya kita mempunyai tujuan yang sama!"
Kiyai Surah Ungu merasa heran. Tujuan yang sama
belum tentu berarti hati yang sama! ?"Katakan apa maksudmu...?"
"Aku merasa kau ikuti sejak aku menjejakkan kaki di pulau ini. Kecurigaan
membuatku sengaja menghadangmu di balik pohon ini. "
"Begitu...?" Orang itu batuk-batuk beberapa kali.
"Kita ternyata adalah dua sahabat lama yang puluhan tahun tak pernah bertemul"
Kiyai Surah Ungu maju dua langkah.
"Aku memang rasa-rasa pernah mendengar suaramu.
Rasa-rasa mengenali. Tapi...Ah! Otakku sudah agak pikun.
Sulit bagiku menerka kalau kau tidak segera memberi tahu slapa dirimul"
"Aku Ramadi Watampone dari Bugis!"
"Astaga! Betul kiranya aku berhadapan dengan kawan sendiri! Bukankah kau yang di
timur dikenal dengan nama besar Pendekar Badik Emas"!"
Orang yang mengaku bernama Ramadi Watampone
tertawa perlahan. "Ulah manusia memang banyak, aku kebagian menerima ulah dalam
bentuk gelar seperti itu!"
Kiyai Surah Ungu sisipkan tombak pendeknya di
pinggang. Dia menyalami Ramadi Watampone. Kedua
orang ini kemudian malah saling berangkulan.
"Puluhan tahun tidak bertemu. Sekali bertemu di tempat gelap di pulau terpencil
begini! Siapa yang tidak saling curiga!" kata Kiyai dari Banten itu. "Nah,
kukira kehadiranmu disini tentulah juga untuk melayat sahabat yang mendahului
kita." "Kau betul Kiyai Surah. Hanya sayang, kita sama-sama tidak sempat melihat wajah
Tua Gila penghabisan kali sebelum dikubur..."
"Ada baiknya kita segera sama-sama menuju ke makam sahabat kita itu. Biar aku
berjalan duluan..."
"Kalau begitu aku mengikuti dari belakang," kata Ramadi Watampone.
Dalam gelap kedua orang yang sama-sama berusia
hampir tujuh puluh tahun itu berjalan beriringan menuju bagian pulau sebelah
timur. Tak berapa lama kemudian mereka keluar dari kerapatan pepohonan dan
sampai pada sebuah lapangan kecil yang dikelitingi oleh batu-batu karang runcing
diseling oleh batu-batu cadas membentuk dinding setengah lingkaran.
Karena tempat ini agak terbuka maka kepekatan
malam masih bisa ditembus pandangan mata. Di ujung depan, di sebelah tengah
lapangan tampak dua gundukan tanah kuburan yang masih merah.
Dari dua makam itu hanya satu yang memiliki batu
nisan. Kiyai Surah Ungu dan Ramadi Watampone melangkah
ke arah makam namun di tengah lapangan langkah kedua orang ini mendadak
tertahan. Ada dua sosok tubuh meng-geletak tak berapa jauh dari makam. Ketika
diperiksa keduanya ternyata tidak bernyawa lagi. Wajah mereka tertutup darah
yang mulai mengering. Pada kening masing-masing kelihatan sebuah lobang sebesar
kuku ibu jari. Dari lobang inilah darah sebelumnya mengucur.
"Kiyai Surah... Kau mengenali siapa adanya mayat-mayat ini"!"
Yang ditanya menggeleng. Malah balik bertanya
"Kau...?"
"Tak pernah kulihat wajah keduanya sebelumnya. Tapi dari dandanan mereka pasti
yang seorang dari dunia persilatan dan satu lagi yang masih menggenggam keris
seperti orang bangsawan. Mungkin juga pejabat dari sebuah kerajaan..."
Kiyai Surah mengambil keris dari genggaman mayat.
Meneliti badan dan hulu senjata itu lalu berkata, "Gagang keris menunjukkan
senjata ini berasal dari Istana Gading di selatan..."
"Kita menghadapi satu peristiwa pembunuhan, Kiyai!"
kata Ramadi Watampone alias Pendekar Badik Emas.
"Itulah yang ada dibenakku..." jawab Kiayi Surah Ungu seraya memandang
berkeliling. Hanya pepohonan dan batu-batu cadas serta batu-batu karang yang
tampak menghitam dalam kegelapan.
"Sulit, dipercaya, pada saat kita hendak menyambangi makam seorang sahabat,
tahu-tahu dihadapkan pada
peristiwa seperti ini. Siapa yang dibunuh dan siapa yang membunuh"'
Ramadi Watampone memegang tubuh salah satu mayat
lalu berkata, "Meski darah di mukanya mulai mengering tapi tubuhnya masih agak
hangat. Pertanda orang ini belum lama menemui kematian..."
"Jangan-jangan pembunuhnya masih berada di sekitar sini... " ujar Kiyai Surah
lalu memandang berkeliling sekali lagi. Kemudian dia berpaling pada Ramadi dan
berkata, "Sahabatku, ingat waktu kukatakan padamu ada seseorang yang mengikutiku sejak
aku menjejakkan kaki di pulau ini" Aku tadinya menduga kau yang menguntit.
Sekarang aku punya dugaan lain. Mungkin sekali pembunuh itulah yang
mengikutiku...!"
*** WIRO SABLENG MAKAM TANPA NISAN
2 ntuk beberapa lamanya kedua orang tua itu sama-
sama jongkok dan saling pandang dengan perasaan
U tidak enak. "Aku punya firasat ada orang lain tengah memperhatikan gerak gerik
kita saat ini..." berbisik Kiayi Surah Ungu.
Ramadi Watampone jadi merasa tidak enak mendengar kata-kata itu. Tengkuknya
seperti dihembus angin dingin.
Setelah berdiam sesaat dia lalu berkata, "Apapun yang terjadi di tempat ini
harus kita lupakan dulu. Maksud utama kita kemari adalah untuk berziarah melihat
makam sahabat kita Tua Gila. Mari kita ke makam sana ..."
"Tunggu dulu sahabat," berkata Kiyai Surah seraya memegang lengan Ramadi. "Kalau
kita berada di makam, punggung kita harus membelakangi dinding batu-batu cadas
dan batu-batu karang. Dengan begitu kita tak mungkin dibokong orang. Siapapun
yang hendak membunuh kita pasti akan muncul di arah depan..."
"Kau betul. Kita harus berhati-hati..." kata Ramadi pula.
"Sebaiknya melangkah mundur."
Kedua orang itu kemudian mendekati dua buah makam dan melangkah mundur dalarn
gelap. Begitu sampai
keduanya mengambil kedudukan di belakang batu nisan.
Mereka memperhatikan keadaan sekeliling beberapa saat.
"Aneh..." kata Ramadi Watampone. "Mengapa ada dua makam di tempat ini?"
"Keanehan itu sudah kupertanyakan dalam hati sejak pertama kali aku melihat dua
makam ini tadi," menyahuti Kiyai Surah Ungu. "Yang satu ada nisannya. Terbuat
dari batu hitam. Di sini digurat nama Tua Gila. Tapi makam satu di sebelahnya
ini sama sekali tidak memiliki batu nisan..."
"Apakah sahabat kita Tua Gila mempunyai istri?" tanya Ramadi Watampone.
Kiayl Surah menggeleng. "Setahuku kakek-kakek itu tak pernah punya istri...
Kalaupun ini makam istrinya, lalu mengapa tidak ada batu nisannya?"
"Hemmm, sulit diduga makam siapa yang satu ini,"
berkata Pendekar Badik Emas.
"Ada satu keanehan lagi..." ujar Kiyai Surah.
"Apa?"
"Kedua kuburan ini sama-sama masih merah tanahnya.
Berarti siapapun yang dimakamkan di dua kubur ini waktunya tidak berbeda
banyak ..."
"Kau benar," kata Ramadi dan hatinya merasa tidak enak. lalu setengah berbisik
dia bertanya: "Apakah kau mencium bau sesuatu...?"
Kiayi Surah Ungu menatap Ramadi sesaat lalu meng-
hirup udara malam dalam-dalam, coba membaui sesuatu yang dimaksudkan Ramadi
Watampone. "Memang ada bau sesuatu. Tapi sulit kuterka bau apa..." kata sang Kiayi
kemudian. "Bau apa yang tercium oleh hidungmu, Pendekar Badik Emas?"
"Seperti bau asap..." jawab Ramadi pula. "Baunya ada tapi bentuknya tidak
kelihatan."
"Sudahlah. Mari kita membaca doa dan apa saja untuk almarhum sahabat kita Tua
Gila. Mudahmudahan dia diberikan tempat yang paling baik oleh Yang Maha Kuasa."
Ramadi mengangguk. Kedua orang tua itu lalu mem-
baca berbagai surat suci dan memanjatkan doa panjang bag! Tua Gila. Menjelang
dini hari baru mereka selesai.
Ramadi Watampone memandang pada sang Kiyai lalu bertanya apa yang akan mereka
lakukan sekarang.
"Sesudah menengok makam Tua Gila sebenarnya kita bisa saja segera meninggalkan
pulau ini. Tetapi tidak pantas rasanya kalau kita tidak mengurusi jenazah kedua
orang ini..." berkata Kiyai Surah.
"Kalau begitu kita terpaksa menunggu sampai pagi."
"Kita tidak punya peralatan cukup untuk menggali kubur dan menanam jenazah
mereka. Aku punya cara yang lebih gampang. Kita memanggul masing-masing seorang
dari keduanya. Membawanya ke atas perahu. Lalu membuang-nya di tengah lautan.
Itu lebih balk dari pada meninggalkan mereka membusuk atau dirusak binatang di
tempat ini."
Baru saja Kiyai Surah berkata begitu tiba-tiba dikejauhan terdengar suara
raungan anjing, panjang meng-


Wiro Sableng 061 Makam Tanpa Nisan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gidikkan. Kiyai Surah merapatkan kerah jubahnya. "Aneh... Di pulau seperti ini ada
anjing..:" katanya.
"Makin lama berada di pulau ini semakin tidak enak perasaanku," berucap Ramadi
Watampone berterus-terang.
"Kita berangkat sekarang?"
Kiyai Surah mengangguk.
Kedua orang itu lalu membungkuk, untuk memanggul
masing-masing satu jenazah. Namun belum sempat
mereka menyentuh tubuh-tubuh tak bernyawa itu tiba-tiba keduanya merasa ada
seseorang bergerak di belakang mereka.
Kiyai Surah dan Ramadi Watampone segera membalik.
Keduanya sama melengak kaget. Hanya delapan langkah di hadapan mereka tegak
sesosok tubuh tinggi besar.
Selain pakaian warna kuning yang dikenakannya, orang ini juga bermantel hitam
dalam sebatas lutut. Wajahnya ter-lindung oleh kepekatan malam hingga tak bisa
dikenali. Di kepalanya bertengger sebuah topi tinggi
"Hati-hati... Mungkin sekali kita tengah berhadapan dengan pembunuh kedua orang
itu, Ramadi ..." bisik Kiyai Surah.
"Aku malah memastikan orang di depan kita ini pembunuh kedua orang ini," sahut
Ramadi Watampone. Lalu tangannya digeser ke letak dimana senjatanya terselip
yaitu sebilah badik berbadan dan bergagang emas.
Kiyai Surah Ungu melakukan hal yang sama. Berjaga-jaga dengan mendekatkan tangan
kanannya pada tombak bermata dua yang tersisip di pinggangnya.
"Kalian mau bawa ke mana dua mayat itu"!" Tiba-tiba sosok yang tegak di depan
sana bertanya. Suaranya garang dan keras.
"Kami bermaksud mengurus jenazah-jenazah ini. Mem-buangnya di tengah laut,"
menjawab Kiyai Surah.
"Kalian tidak akan sempat melakukan itu!" Orang tinggi besar berkata.
"Kenapa tidak"!" tanya Ramadi Watampone.
"Karena kutuk telah jatuh terhadap siapa saja yang menjejakkan kaki di pulau
ini. terhadap siapa saja yang Menziarahi makam Tua Gila! Dalam beberapa saat
kalian berdua akan menemui kematian seperti kedua orang itu!"
Terkejutlah Kiyal Surah dan Pendekar Badik Emas.
"Jadi kau yang membunuh kedua orang itu"!" tanya Kiyai Surah puia. Tangannya
telah memegang batang tombak erat-erat.
"Kamu sudah tahu kenapa bertanya"!"
"Katakan siapa kau adanya!" tanya Ramadi.
"Kalian tak layak bertanya! Manusia-manusia sahabat Tua Gila sudah kusumpah
untuk mati di tempat inil Di depan makam Tua Gila sendiri!"
"Kita tidak bersilang sengketa, mengapa menginginkan jiwa kami"!" tanya Kiyai
Surah. Si tinggi tertawa pendek. "Kematian memang tidak selalu disebabkan oleh silang
sengketa. Tetapi Tua Gila telah menanam bahala dan silang sengketa beberapa
tahun yang silam. Dan aku telah bersumpah siapa saja sahabat Tua Gila yang
muncul di sini akan kuhabisi nyawanya. Termasuk kalian berdua!"
Sehabis berkata begitu orang tinggi besar itu melompat ke depan. Kedua tangannya
membuat gerakan aneh dan menimbulkan angin deras. Kedua kakinya yang melompat
menimbulkan getaran sewaktu menjejak di tanah.
Kiyai Surah dan Ramadi yang sejak tadi memang sudah berjaga-jaga cepat
menghindar ke samping. Dari kiri kanan mereka lalu balas menyerang.
Tapi angin yang menyambar dari kedua tangan orang tinggi besar itu membuat dua
orang tua ini terhuyung-huyung.
Pendekar Badik Emas dan Kiyai Surah Ungu serta merta kerahkan seluruh tenaga
dalam yang mereka miliki lalu menghantam secara bersamaan.
Orang yang diserang jadi terkejut juga. Dari mulutnya keluar suara seperti
menggereng. Kernbali kedua tangannya bergerak untuk menangkis serangan kedua
lawannya. Bukkk! Bukkk! Terdengar dua kali suara bergedebuk begitu tangan masing-masing beradu keras.
Kiyai Surah Ungu terpental empat langkah. Lengannya seperti dihantam potongan
besi. Paras sang Kiyai berubah pucat. Pendekar Badik Emas mengalami hal yang
sama. Tubuhnya mencelat tiga langkah dan dari mulutnya terdengar seruan
kesakitan. Si tinggi besar tertawa bergelak.
"Aku senang melihat manusia-manusia seperti kalian.
Walau ilmu kepandaian cuma sejengkal tapi berani menantang!"
Bukan main panasnya hati Kiayi Surah Ungu dan
Pendekar Badik Emas. Mereka telah mendalami ilmu silat, tenaga dalam bahkan
kesaktian selama bertahun-tahun.
Dalam dunia persilatan mereka dihormati dan menjadi dua tokoh yang disegani.
Kini seorang tak dikenal enak saja mengejek kepandaian mereka!
"Manusia sombong! Lekas beri tahu siapa kau sebenarnya"!" membentak Ramadi
Watampone alias Pendekar Badik Emas.
Yang dibentak malah tertawa.
"Bukankah kau manusianya yang bergelar Pendekar Badik Emas dan kawanmu itu Si
Pangeran Tanpa Mahkota?" Kiyai Surah Ungu dan Ramadi Watampone sama-sama
terkesiap mendengar kata-kata itu. Dan si tinggi besar me-lanjutkan kata-
katanya. "Memandang nama besar kalian, aku memberi ke-longgaran memperpanjang sedikit
seat kematian kalian.
Kalian berdua kupersilahkan mengeluarkan senjata
masing-masing. Perlihatkan Tombak Dwi Sula-mu Kiyai Surah Ungu. Dan kau Pendekar
Badik Emas, bukankah kau datang dari jauh" Sangat sayang kalau aku sampai tidak
melihat senjata mustikamu. Tunjukkan padaku kehebatan badik emasmu!"
Dua orang tua kembali terkesiap karena orang yang tidak mereka kenal itu
ternyata tahu banyak tentang diri mereka, termasuk senjata-senjata yang mereka
miliki. Namun merasa diejek dan dianggap remeh bahkan
ditantang maka baik Kiyai Surah maupun Pendekar Badik Emas ini tidak merasa
sungkan lagi. Keduanya keluarkan senjata masing-masing. Sesaat
kemudian sebilah badik emas sudah tergenggam di tangan Ramadi Watampone yang
bergelar Pendekar Badik Emas sedang sebatang tombak bermata dua tampak menyilang
di depan dada Kiayi Surah Ungu yang dijuluki Pangeran Tanpa Mahkota.
"Bagus...! Kalian boleh maju berbarengan!"
Dua orang tua itu menunggu sesaat. Ketika si tinggi besar tidak tampak
mengeluarkan senjatanya maka kedua orang itupun serta merta menyerbu. Badik emas
berkiblat menaburkan sinar kekuning-kuningan dalam kegelapan malam. Tombak Dwi
Sula menderu mencari sasaran di tenggorokan lawan.
Serangan dua tokoh silat kelas tinggi itu bukan
serangan main-main. Siapapun lawan pastilah nyawanya akan sangat terancam jika
diserang demikian rupa. Tapi lagi-lagi si tinggi besar keluarkan suara tertawa.
Lalu dia gerakkan tangannya kiri kanan.
Dua benda hitam sebesar ujung jari kelingking berbentuk bulat melesat dalam
kegelapan malam. Baik Kiyai Surah Ungu maupun Ramadi Watampone hanya mendengar
suara berdesing tapi tidak melihat bendanya.
Ketika mereka kemudian menyadari ada benda yang
melesat ke arah mereka, Kiyai Surah sapukan tombak bermata duanya ke atas.
Ramadi Watampone babatkan badiknya di udara. Namun gerakan kedua orang ini sudah
sangat terlambat.
Di lain kejap terdengar jeritan mereka merobek
kegelapan malam hampir bersamaan.
Tubuh kedua jago tua ini terkapar di tanah di hadapan dua buah makam. Satu di
belakang makam Tua Gila,
satunya di belakang makam tanpa nisan! Keduanya
menemui ajal dengan mata membeliak!
Di kening masing-masing tampak sebuah lubang
mengerikan sebesar ujung ibu jari tangan. Dari lubang ini mengalir keluar darah
yang segera saja membasahi wajah dan mata mereka!
Begitu kedua orang itu meregang nyawa sosok tinggi tadi menyelinap dan lenyap di
celah antara batu karang dan batu cadasl Tak lama kemudian dikejauhan kembali
ter-dengar suara panjang lolongan anjing.
Angin malam bertiup tambah keras dan tambah dingin.
Ombak di pantai pulau berdebar semakin keras.
*** WIRO SABLENG MAKAM TANPA NISAN
3 UNCAK Gunung Singgalang disaput awan kelabu
sejak pagi. Semakin lama awan kelabu ini semakin
Ptebal dan akhirnya membuat suasana mendung
menutupi daerah luas sekitar gunung. Namun sampai siang hujan tak kunjung turun.
Di lereng barat Gunung Singgalang, seorang tua duduk termenung di ruang depan
rumah kayu berkolong tinggi. Di halaman seorang lelaki tengah asyik membakar
seekor ikan besar sambil menyanyi dan sekali-kali melirik ke arah orang tua di
atas rumah. Bau sedap ikan panggang ini menebar kemana-mana.
Orang yang membakar ikan untuk kesekian kalinya memandang ke arah orang tua di
atas rumah. Dalam hatinya dia berkata, "Kasihan orang tua Itu. Sulit diduga
sudah berapa tahun uslanya. Kelihatannya dia sudah pasrah untuk meninggalkan
dunia. Tapi Yang Kuasa masih belum Jugs mengutus mataikat maut..."
Bagi orang yang baru pertama kali melihat orang tua di atas rumah, mungkin bisa
serasa terbang nyawanya oleh rasa takut. Tapi si pembakar ikan yang sudah
bertahun-tahun tinggal bersamanya menjadi kawan dan pembantu, tidak lagi merasa
ngeri melihat wajah itu.
Wajah dan keadaan tubuh orang tua tersebut memang menyeramkan untuk dipandang.
Mukanya pucat berkerut dan sangat cekung. Kedua matanya hanya merupakan
sepasang rongga besar yang menggidikan. Salah satu telinganya sumplung.
Dimulutnya tak sepotong gigipun bersisa. Kedua tangannya kiri kanan buntung
sebatas pergelangan.
"Saringgih...." tiba-tiba terdengar suara orang tua itu.
Halus melengking.
"Ambo Nyanyuk..." menyahuti lelaki yang membakar Man. Dia berhenti mengipas bara
api pemanggang ikan.
"Akan lamakah pekerjaanmu itu selesai?"
"Ah, Nyanyuk sudah lapar sekali rupanya!" Orang tua bermata seperti setan
gelengkan kepala.
"Aku belum ingin makan Saringgih. Ada sesuatu yang aku pikirkan."
"Ah, pantas sejak tadi ambo lihat Nyanyuk duduk termenung- menung:
"Aku merasa kita harus segera meninggalkan Gunung Singgalang ini."
Singgih tercenung mendengar ucapan orang tua itu.
Kipas bambu diletakkannya di tanah lalu die melangkah ke dekat tangga. "Angan-
angan apa yang ada di pikiran Nyanyuk?"
"Nyanyuk Amber tidak pernah berangan-angan. Aku mendapat firasat yang tidak
enak. Juga ada isyarat mimpi yang kuterima malam tadi..." Jawab orang tua itu
sementara angin meniup-niup rambutnya yang putih
jarang. "Kalau begitu ceritakanlah pada ambo mimpi Nyanyuk itu," kata Saringgih lalu
menaiki tangga dan duduk di hadapan orang tua bernama Nyanyuk Amber.
"Malam tadi aku mimpi melihat udara hitam kelam di pantai pulau ini. Paginya
ketika aku terjaga entah mengapa aku tiba-tiba saja teringat pada seorang
sahabat lama yang tinggal di sebuah pulau di barat Andalas. Aku berpikir,
jangan-jangan ada sesuatu terjadi atas dirinya. Usianya lebih tua dariku. Sudah
sakit-sakitan. Sejak beberapa tahun berselang aku tidak pernah mendengar kabar
berita-nya. Kau sendiri sudah beberapa lama tidak pernah turun gunung untuk
menyirap kabar dan segala kejadian yang ada di luaran. Aku khawatir kalau-kalau
sesuatu terjadi atas dirinya..."
"Jalan pikiran Nyanyuk selama ini biasanya tidak pernah meleset," kata
Saringgih. "Jadi akan berangkatkah kita hari ini, Nyanyuk?"
"Tidak... Tidak hari ini Saringgih, Tapi sekarang!"
"Sekarang Nyanyuk" Ah, kenapa secepat itu?"
"Kau tahu perjsianan ke sana sangat jauh. Kau harus membawaku melalul perjalanan
darat paling tidak selama dua hari: Lalu mengarungi laut hari. Kalau
keberangkatan ditunda-tunda, kapan akan sampainya di sana Saringgih"'
"Kalau begitu Nyanyuk bilang, ambo hanya mengikut saja. Tapi biar saya
selesaikan panggangan ikan Itu. Kita makan dulu baru berangkat. Begitu kan
Nyanyuk?" "Tidak, tidak begitu Saringgih. Ikan bakarmu sudah cukup matang. Bungkus dan
kita makan di perjalanan..."
Saringgih ternganga, garuk-garuk kepala namun akhirnya hanya bisa mengangkat
bahu. "Selesal kau membungkus ikan itu, siapkan jubah hitamku Saringgih," terdengar
Nyanyuk Amber berkata.
"Jubah hitam katamu Nyanyuk?"
"Kau sudah dengar dan aku tidak perlu mengatakannya sampai dua kaIi!"
"Agaknya kita akan menghadapi urusan besar lagi kali ini Nyanyuk?" tanya
Saringgih. "Betul. Urusan besar. Mungkin sangat besar dalam hidupku. Karenanya kau juga
kupinta menyiapkan diri dengan kerismu yang bernama Pusaka Dewa itu..."
"Balk Nyanyuk, saya akan membungkus ikan bakar itu.
Menyiapkan baju hitammu dan membekal keris Pusako Dewa." Lalu Saringgih bergegas
menuruni tangga. Dengan selembar daun pisang dibungkusnya ikan besar yang
barusan dibakarnya.
Lalu dia naik atas rumah, masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil sebilah keris.
Setelah Itu dia masuk ke dalam kamar Tdyanyuk Amber dan mengambil sehelai baju
hitam lengan panjang terbuat dari kain sangat tebai. Baju yang berupa jubah
pendekar ini dikenakannya ke tubuh Nyanyuk Amber.
Pada bagian bahu kiri kanan baju hitam ini terdapat sebuah saku. Dan pada
masing-masing saku tersisip selusin senjata berbentuk anak panah kecil sepanjang
seterrgah jengkal, terbuat dari perak putih.
"Kau sudah siap Saringgih?"
"Siap Nyanyuk?"
"Tak ada yang ketinggalan?"
Saringgih berpikir sejenak lalu menjawab. "Rasanya tidak ada Nyanyuk."
"Bagus kalau begitu. Jangan lupa ikan bakarmu. Bisa-bisa kita kelaparan di
tengah jalan."
Saringgih mengangguk lalu jongkok di hadapan orang tua yang sejak tadi duduk
saja di lantai. Ketika si pembantu ini mendukung Nyanyuk Amber di punggungnya
kelihatanlah kini keadaan tubuhnya di sebelah sepasang tangan buntung tetapi
kedua kakinyapun juga bunting!
Siapakah sebenarnya orang tua yang memiliki banyak cacat ini"
Nyanyuk Amber adalah salah satu dari beberapa tokoh silat tingkat tinggi yang
paling disegani di pulau Andalas.
Dia memiliki seorang murid yang kemudian dijuluki Raja Rencong Dari Utara.
Celakanya sang murid tergoda oleh nafsu hendak menguasai dunia persilatan. Cara
yang ditempuhnya adalah sesat dan keji yaitu mengundang semua tokoh persilatan
di pulau Andalas untuk datang ke tempat kediamannya, lalu membunuh mereka secara
masal! Sebagaf seorang guru tentu saja Nyanyuk Amber menghalangi maksud jahat muridnya
itu. Ternyata kesetanan Raja Rencong sudah sedemikian jauhnya sehingga dia
kemudlan tega membuat buta kedua mata Nyanyuk Amber, memotong tangan dan kaki
orang tua itu. Meskipun dalam usia tua dan tidak berdaya seperti itu, namun
kemudian Nyanyuk Amber bersama-sama Pendekar 212 Wiro
Sableng berhasil menumpas dan menamatkan riwayat Raja Rencong Dad Utara. (Baca
serial Wiro Sableng berjudul Raja Rencong Dari Utara).
Setelah dua hari menempuh perjalanan darat akhirnya Saringgih dan Nyanyuk Amber
sampai di pantal barat pulau Andalas. Saringgih segera mencarl perahu yang bisa
meng-angkut mereka ke tempat tujuan yaitu sebuah pulau tak jauh dari pesisir
barat. Tapi ternyata tak ada seorang pemilik perahupun yang mau mengantarkan
mereka. "Aneh!" kata Nyanyuk Amber. "Apakah mereka takut melihat tampangku atau mungkin
pemilik perahu itu sudah kebanyakan uang sehingga tak mau lagi bekerja.
Saringgih, kau tahu mengapa mereka tidak mau mengantarkan kita ke pulau?"
"Mereka tidak mau mengatakan, Nyanyuk. Tapi dari gelagat ambo kira orang-orang
itu merasa kawatir..." jawab Saringgih.
"Apa yang mereka kawatirkan" Temui salah seorang dari mereka. Katakan kita akan


Wiro Sableng 061 Makam Tanpa Nisan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membayar dua kali lipat."
"Ambo justru menjanjikan bayaran tiga kali lipat Nyanyuk. Tapi semua mereka
tetap menggeleng."
"Kalau begitu kita sewa perahu saja dan. Kau terpaksa jadi tukang kayuh,"
"Ambo tak keberatan Nyanyuk. Cuma disewapun
mereka tidak mau!"
"Kapuyuak!" mengomel Nyanyuk Amber. "Apa pun alasan mereka kali ini?"
"Salah seorang memberitahu, ada empat kawan mereka yang telah menyewakan perahu.
Tujuan para penyewa itu sama dengan tujuan kita yaitu ke pulau. Tapi sampal hari
ini keempat penyewa itu tak pernah kembali. Perahu mereka itu lenyap! Orangorang
di pantai menduga keras ada malapetaka yang telah menimpa keempat penyewa perahu
itu!" Nyanyuk Amber yang didudukkan Saringgih di bawah sebatang pohon tampak termenung
sambil mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut tipis putih.
"Mereka tak mau mengantar, Mereka juga tak mau kita sewa perahu mereka. Sudah,
kalau begitu kita beli saja satu! Habis perkaral Bukankah kau cukup membawa
uang, Saringgih?"
"Kira-kira begitu. Tapi seandainya tidak cukup bagaimana Nyanyuk?"
"Mudah saja! Gadaikan keris Pusako Dewa milikmu!"
sahut Nyanyuk Amber.
"Apa..." Ini bukan senjata sembarangan Nyanyuk. Tapi senjata pusaka tujuh turunan.
Dan Nyanyuk sendiri sudah ikut menambahkan tuahnya!"
"Kita dalam kesulitan Saringgih. Kau boleh pilih. Gadaikan keris itu atau kau
gadaikan kepalamu..." habis berkata begitu Nysnyuk Amber tertawa terkekeh-kekeh
hingga kelihatan gusinya yang tidak bergigi sama sekali.
Saringgih geleng-geleng kepala. Dia menggaruk seluruh saku pakaiannya, mengambii
semua uang yang dibawanya Ialu menghitung.
"Mudah-mudahan uang ini cukup. Dari pada menggadai-kan keris atau kepala!
Bagusnya si tua ini saja yang di-gadaikan! Tapi... siapa pula yang mau menerima
kepala setan itu...!" kata Saringgih mengomel sendirian.
"Kepala si tua siapa yang kau maksudkan itu
Saringgih?" Rupanya ucapan pembantunya tadi terdengar oleh Nyanyuk Amber.
"Ah, tidak. Anu Nyanyuk. Bukan kepala siapa-siapa. Tapi kepala ambo yang
dibawa..." jawab Saringgih lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu sambil
tersenyum-senyum.
*** WIRO SABLENG MAKAM TANPA NISAN
4 enjelang matahari tenggelam perahu yang di-
dayung Saringgih sampal di pulau tujuan. Di
Mbagian air lout yang dangkal pembantu itu
melompat turun lalu mendorong perahu ke pasir pantai.
"Kita sudah sampai Nyanyuk... "
"Aku tahu. Apa yang kau lihat sekitar tempat ini, Saringgih?"
Si pembantu memandang berkeliling. "Laut, pantai, sang surya yang hendak
tenggelam, pepohonan, batu-batu karang..."
"Hanya itu..."!" ujar Nyanyuk Amber. "Kedua mataku tidak melihat karena buta.
Tapi kau tidak melihat sesuatu yang penting dan kau tidak buta! Jangan tolol
Saringgih! Buka matamu lebar-lebar!"
Saringgih memandang lagi berkeliling. "Ah, orang tua ini memang benar, mengapa
aku sampai tidak melihatnya tadi," kata pembantu itu dalam hati. "Saya memang
melihat sesuatu Nyanyuk. Ada tiga... Tidak... Bukan tiga tapi ada empat buah
perahu kecil jauh di sebelah sana..."
Nyanyuk Amber usap-usap dagunya. "Ada empat perahu di pantai sini. Berarti
keempat penyewa perahu itu memang telah sampal di sini. Tapi tak pernah kembali
ke pulau besar. Mereka raib secara aneh."
"Kita perlu berhati-hati Nyanyuk..."
"Betul. Karena itu buka matamu lebar-lebar. Apakah kau ada melihat jejak-jejak
kaki di pasir pantai?"
"Tak dapat saya pastikan Nyanyuk. Kita harus menyelidiki ke dekat empat perahu
itu..." "Dukung aku ke sana!"
Saringgih lalu mendukung Nyanyuk Amber di punggungnya melangkah ke tempat empat
perahu yang berada di tempat pasir pulau.
"Nah sekarang katakan apa yang kau lihat!"
"Ada empat perahu di bagian pulau ini, Nyanyuk. Yang dua di depan kita, dua
lainnya tak jauh di sebelah sana."
"Berarti, dua perahu yang pertama datang bersamaan.
Dua perahu lainnya berbeda waktu... Apa lagi Saringgih?"
"Di atas pasir memang kelihatan ada legukan-legukan.
Tapi tidak begitu jelas apakah bekas jejak manusia atau jejak kaki binatang..."
Nyanyuk Amber mengangguk. Dia mendongak ke langit beberapa saat. Hidungnya
menghirup udara laut dalam-dalam. Tercium udara yang mengandung garam. Namun
indera yang tajam dari orang tua ini juga membaui sesuatu.
Dia berpaling ke deretan pohon-pohon lalu barkata, "Kita masuk ke dalam pulau
Saringgih. Melangkah saja lurus-lurus ke depan. Jangan membelok. Jangan berhenti
sebelum aku memberi tanda..."
"Tidakkah sebaiknya kita makan dulu di sini Nyanyuk"
Persediaan makanan kita masih banyak..."
"Pikiranmu tidak lain ke perut saja Saringgih. Dasar gadang lambuang! kau boleh
makan sambil mendukung-ku!" kata Nyanyuk Amber pula.
Makin jauh mereka masuk ke dalam pulau kecil itu
semakin berkurang kencangnya tiupan angin laut. Udara pun tidak mengandung garam
lagi. Namun ada sesuatu yang mencucuk liang hidung dan rongga pernafasan kedua
orang itu. "Kau mencium bau sesuatu Saringgih?" bertanya Nyanyuk Amber.
"Betul Nyanyuk. Bau busuk... " jawab si pembantu. Saat itu sebenarnya dia sudah
keletihan mendukung orang tua itu di punggungnya tapi dia tak berani mengatakan.
"Bau busuk yang berasal dari apa menurutmu Saringgih?" bertanya lagi Nyanyuk
Amber. "Sulit diterka, Nyanyuk. Mungkin itu berasal dari bangkai binatang..."
"Kau betul," berkata Nyanyuk Amber. "Itu memang bau bangkai binatang. Binatang
berkaki dua!"
"Maksud Nyanyuk...?"
"Maksudku adalah bau bangkai manusia! Kau tahu, bangkai manusia adalah yang
paling busuk dari segala bangkai yang ada di dunia ini!"
Saringgih hentikan langkahnya.
"Jangan-jangan itu adalah bangkai orang-orang yang menyewa perahu..."
"Kukira begitu. Jalan terus Saringgih. Kita akan segera melihat sesuatu. Agaknya
hari mulai gelap. Buka matamu lebar-lebar. Jangan sampai terserandung. Aku tak
mau tersungkur ke tanah karena ketololanmu!"
Saringgih melangkah terus sambil mendukung si orang tua di punggungnya. Dia
melewati sebuah mata air jernih dan sejuk. Tenggorokannya yang kering membuat
dia ingin sekali berhenti sebentar, meneguk air membasahi
rangkungan dan juga membasahi mukanya yang saat itu terasa tebal akibat seharian
penuh disapu angin laut.
"Jalan terus Saringgih! Kalau aku tidak bilang berhenti, jangan berani
berhenti!"
Terdengar suara Nyanyuk Amber dekat telinga Saringgih. Pembantu ini diam-diam
mengomel dalam hati. "Orang tua ini seperti bisa membaca apa yang ada dalam
benakku!" Melanjutkan perjalanan di sela-sela pepohonan dan semak belukar
sekitar seratus langkah lebih di mana bau busuk tercium semakin santar sementara
keadaan tambah gelap, mendadak sontak Saringgih hentikan langkahnya.
Orang tua yang dipunggungnya hampir terlepas dari pegangannya.
"Saringgih! Kau berhenti melangkah tanpa perintahku!
Dadamu berdebar keras. Kedua lututmu terasa goyah.
Kudukmu terasa dingin. Apa yang kau lihat di depan matamu"!" Nyanyuk Amber cepat
ajukan pertanyaan.
Saat itu memang Saringgih merasakan jantungnya berdebar keras, sepasang lutut
goyah dan tengkuk, merinding dingin sedang sepasang matanya membeliak kasar. Dia
hendak menjawab namun sesaat lidahnya terasa kelu.
"Cepat katakan apa yang kau lihat Saringgih!
Keselamatan kita di tempat asing ini banyak tergantung dari cepat lambatnya kau
memberi tahu aku!"
"Nyanyuk... di depan kita ada lapangan kecil..."
"Kantuik! Persetan dengan tanah lapang itu! Pasti ada hal lain yang lebih
penting dari tanah lapang sialan itu!"
"Kau... kau benar Nyanyuk. Di ujung lapangan ada dua buah kuburan. Satu pakai
batu nisan hitam, satunya tidak.
Tapi... di samping kiri dan kanan kedua makam itu ada masing-masing lima tiang
kayu. Pada empat tiang, dua di kiri dua di kanan terikat sesosok mayat. Rusak,
busuk, mulai berbelatungan..."
"Ada yang kau kenali diantara keempat mayat itu?"
"Sulit Nyanyuk. Wajah mereka tertutup darah mengering dan sudah sangat rusak..:"
"Melangkah lebih dekat. Perhatikan apa yang me-nyebabkan kematian mereka.
Diracun, ditusuk senjata tajam atau terkena pukulan sakti..."
Sambil mendukung Nyanyuk Amber, Saringgih me-
langkah lebih dekat ke arah kedua makam. Dibukanya matanya besar-besar. Selain
sulit untuk meneliti sebab kematian keempat orang diikat tegak ketiang kayu itu,
juga saat itu hari bertambah gelap.
"Keempat orang ini agaknya menemui kematian dalam cara yang sama Nyanyuk. Muka
mereka bersimbah
darah..." "Berarti sebab musabab kematian ada pada bagian kepala. Ayo kau perhatikan lagi
lebih teliti..."
Untuk bisa melihat lebih jelas terpaksa Saringgih maju lagi dua langkah padahal
saat itu perutnya sudah mau meledak muntah dan hidungnya tak sanggup lagi didera
bau busuk yang luar biasa.
"Nyanyuk... Ambo melihat ada lobang kecil sebesar ujung jari pada setiap kening
mayat..." kata Saringgih ketika pada akhirnya dia melihat lobang-lobang aneh dalam
ukuran dan bentuk yang bersamaan pada kening masing-masing mayat!
"Bagus Saringgih. Sekarang coba kau perhatikan ciri-ciri keempat orang itu,
termasuk pakaiannya lalu katakan padaku. Siapa tahu aku bisa menduga siapa-siapa
mereka yang menemui ajal secara aneh di pulau ini!"
"Sulit diberi tahu Nyanyuk. Soalnya keempat mayat sudah sangat rusak. Pakaian
merekapun sudah tidak karuan lagi. Tapi, ambo melihat ada tiga buah senjata ter-
geletak di tanah. Kelihatannya bukan senjata-senjata sembarangan."
"Coba kau ceritakan senjata apa yang kau lihat itu!"
"Yang di sebelah kanan terletak di depan kaki mayat, berupa sebuah tombak pendek
bermata dua..."
menerangkan Saringgih.
"Tongkat pendek bermata dua... Hemmmmmm." ber-guman Nyanyuk Amber. "Bagian bawah
tempat pegangannya dilapisi kulit..."
"Betul Nyanyuk..."
"Itu adalah Tombak Dwi Sula dari Banten! Berarti mayat di depan senjata ini
adalah mayat Kiyai Surah Ungu!
Seorang Pangeran Banten yang menyingkir dari keraton!"
Nyanyuk Amber terdiam sesaat lalu, "Ceritakan tentang senjata yang kedua..."
katanya. "Sebilah badik Nyanyuk. Berwarna kuning legam.
Mungkin terbuat dari emas..."
"Kuning sampai ke hulunya?" tanya Nyanyuk Amber.
Ketika Saringgih membenarkan, wajah tua cekung itu nampak menjadi kelam.
"Pendekar Badik Emas dari Bugis ternyata telah jadi korban pula," kata si orang
tua perlahan. "Lalu apa senjata yang ke tiga Saringgih?"
"Sebilah keris bergagang gading..."
"Hemm... Tak bisa kuduga siapa pemiliknya. Tapi senjata ini biasanya merupakan
senjata andalan orang-orang penting Istana Gading di pesisir selatan! Sulit
diduga apa sebenarnya yang terjadi di pulau ini. Saringgih, tadi kau bilang ada
dua makam di ujung lapangan."
"Benar Nyanyuk..."
"Satu ada batu nisan hitam. Satunya tanpa nisan..."
"Betul Nyanyuk."
"Apa yang tertulis pada makam yang ada batu nisannya?" bertanya lagi Nyanyuk
Amber. Saringgih majukan kepalanya sedikit untuk dapat membaca guratan pada batu nisan.
"Disini hanya tertulis Tua Gila. Tak ada tulisan lain ..."
"Ada... bagiku itu sudah cukup. Ternyata benar telah terjadi sesuatu atas diri
sabahatku. Tua Gila aku tidak menyangka kau bakal mendahuluiku..." Untuk beberapa
lamanya Nyanyuk Amber termenung larut dalam kesedih-an. "Tak ada tanda-tanda
pada makam yang katamu tidak bernisan itu, Saringgih?" Si orang tua kemudian
ajukan pertanyaan.
"Sama sekali tidak ada. Namun seperti kuburannya Tua Gila, kubur satu inipun
tanahnya masih merah..."
"Aneh. Siapa yang dikubur disamping kuburnya Tua Gila" Istrinya..." Setahuku dia
tidak beristri! Muridnya"
Hemmm..." Aku memang pernah mendengar Tua Gila
mengambil seorang murid. Tapi masih sangat kecil. Paling tidak usia muridnya itu
baru sekitar enam tahun. Lalu di mana anak itu" Di dalam kubur yang satu ini..."
Saringgih, kubur tanpa nisan itu apakah sama besar dengan makam Tua Gila" Atau
lebih kecil?"
"Sama besar Nyanyuk..." sahut Saringgih.
"Berarti ini makam orang gede! Ah, sulit kuduga siapa yang dikubur disini..."
kata Nyanyuk Amber lalu setelah diam sesaat orang tua ini berkata.
"Saringgih kau ambil obat pelawan bau pusuk yang ada dalam saku baju celanaku
sebelah kanan. Teteskan cairan yang ada di dalamnya ke kaki setiap mayat.
Setelah itu kembalikan obat itu padaku..."
Si pembantu merogoh saku kanan Nyanyuk Amber. Di
saku ini ditemuinya sebuah botol kecil. Botol ini berisi cairan berwarna coklat.
"Kau pergi teteskan obat itu. Tapi lebih dahulu dudukkan aku di depan makam Tua
Gila. Aku ingin
mengheningkan cipta dan berdoa..."
"Nyanyuk terus terang sejak menginjakkan kaki di pulau ini hatiku merasa tidak
enak. Begitu selesai Nyanyuk berdoa sebaiknya lekas-lekas saja kita tinggalkan
tempat ini." Nyanyuk Amber tidak berkata apa-apa. Saringgih me-nundukkan mukanya
di depan makam Tua Gila lalu
melangkah mendekati mayat- mayat yang diikat di tiang.
Dengan tengkuk merinding ketakutan setengah mati dan sambil menekap hidung
pembantu ini teteskan cairan di dalam botol masing-masing satu tetes ke setiap
kaki mayat yang membusuk itu.
Begitu cairan menyentuh kaki mayat, terdengar
letupan.... Lalu mengepul asap coklat yang perlahan-lahan naik ke atas menutupi
sosok mayat. Sesaat kemudian asap itu menipis dan akhirnya lenyap sama sekali.
Bersamaan dengan lenyapnya asap coklat, bau busuk yang menghampar di tempat
itupun sirna perlahan-lahan.
"Obat aneh..." kata Saringgih dalam hati sambil menutup botol kecil itu kembaii.
Pembantu ini tahu bahwa walaupun mempunyai daya pemusnah bau busuk yang
ampuh namun kekuatan obat itu hanya mampu bertahan selama satu hari satu malam.
Setelah itu bau busuk pasti akan muncul kembali.
Setelah pembantunya memasukkan botol obat kembali itu dalam saku celananya,
Nyanyuk Amber mulai berdoa untuk arwah Tua Gila. Dalam berdoa seperti itu dia
tiba-tiba mencium bau sesuatu. Bau asap rokok. Meskipun hatinya kini menjadi
tidak tenang namun orang tua ini meneruskan juga membaca doa sampai selesai.
Begitu selesai dia bertanya. "Saringgih...! Aku tahu kau tidak merokok. Tetapi
aneh, aku mencium bau asap di tempat ini..."
"Ambo juga menciumnya Nyanyuk," menyahuti si pembantu sambil memandang
berkeliling. Tengkuknya terasa lebih dingin.
"Aku merasa ada mahluk bernafas disekitar tempat ini."
kata Nyanyuk Amber yang membuat Saringgih tambah merinding. "Aku juga mendengar
ada suara ketukarr-ketukan sangat halus. Seolah-olah datang dari perut pulau..."
"Nyanyuk, bukankah lebih baik kita segera pergi saja dari sini?" kata Saringgih
pula. "Diam Saringgih... Aku mendengar ada suara sesuatu di kejauhan... Seperti suara
langkahlangkah kaki!"
Tiba-tiba kedua orang itu sama-sama tercekat. Saringgih malah sampai tersentak
saking kagetnya. Suara raungan anjing memecah kesunyian. Panjang dan


Wiro Sableng 061 Makam Tanpa Nisan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggidikkan. "Suara anjing di pulau sekecil ini. Sungguh aneh..." kata Nyanyuk Amber seraya
memutar kepalanya ke kiri dan ke kanan.
"Nyanyuk..." kata Saringgih dengan suara bergetar.
"Ambo bisa kencing di celana kalau masih terus berada di tempat ini..."
"Kita akan segera pergi. Tapi tunggu sampai aku memastikan bahwa yang kudengar
sebelum raungan anjing tadi adalah benar-benar suara kaki manusia..."
Kalau saja bukan orang tua itu yang harus dijaga dan diikuti ucapannya mungkin
saat itu Saringgih sudah melompat dan lari meninggalkan tempat itu.
"Tak ada suara apa-apa Nyanyuk. Pastilah...! Mungkin suara desau angin laut atau
gemerisik pepohonan yang tadi kau dengar... Bukan suara langkah kaki..."
"Aneh, aku seperti yakin itu adalah suara langkah kaki.
Telapaknya bergerak sangat perlahan. Disengaja agar di-miringkan. Telinganya
dipasang baik-baik."
Saringgih kembali memandang berkeliling. Pertama
sekali ke arah pepohonan dan semak belukar dari jurusan mana tadi mereka datang.
Tak kelihatan apa-apa. Lalu pembantu ini mengalihkan pandangannya ke arah
batubatu cadas hitam dan batu-batu karang tinggi yang membentuk dinding setengah
lingkaran di sebelah kiri. Tepat ketika dia memandang di sebuah celah antara dua
batu karang tinggi mendadak dia melihat bayangan hitam besar bergerak.
"Nyanyuk..." suara pembantu flu tersendat dan tercekat.
"Ada apa Saringgih?"
"Ambo melihat sesuatu. Ada sosok bayangan besar di celah batu karang di kiri
kita ...."
"Itu bayangan batu-batu karang saja agaknya Saringglh.
Kenapa kau musti merasa takut?"
"Tidak Nyanyuk. Bayangan batu pasti diam. Tapi bayangan yang saya lihat bergerak
perlahan-lahan!
Nyanyuk! Ada orang tinggi besar melangkah keluar dari celah batu karang!" seru
Saringgih dengan muka pucat.
*** WIRO SABLENG MAKAM TANPA NISAN
5 yanyuk Amber meskipun terkejut mendengar
ucapan pembantunya itu namun tetap berlaku
Ntenang dan berkata. "Jangan takut. Tenang saja.
Lekas beri tahu aku ciri-ciri orang itu... Kalau dia memang manusia, bukannya
setan!" Kedua mata Saringgih terpentang lebar kearah celah batu karang. Bayangan besar
pada batu bergerak terus.
Perlahan tapi pasti. Lalu bayangan itu lenyap dan kini sebagal gantinya muncul
sesosok tubuh tinggi besar. Orang ini berewokan, mengenakan baju kuning serta
sehelai mantel panjang berwarna hitam. Di kepalanya ada sebuah topi tinggi.
"Apa yang kau lihat Saringgih... Lekas katakan padaku!"
desis Nyanyuk Amber. Dengan suara tersendat-sendat pembantu itu segera
mengatakan ciri-ciri orang tinggi besar yang melangkah mendatangi itu. Dalam
takutnya Saringgih melangkah ke dekat Nyanyuk Amber. tiba-tiba sosok di depan
sana keluarkan suara membentak garang dan
keras. "Jangan ada yang berani bergerak!"
Gerak langkah Saringgih tertahan.
"Si... siapa kau...?" Saringgih beranikan diri bertanya walau suaranya gagap.
"Budak! Kau tak layak bertanya!" si tinggi besar membentak. Tujuh langkah dari
hadapan makam dia berhenti.
Lalu dia berpaling pada Nyanyuk Amber yang masih duduk bersila di kaki makam Tua
Gita. "Kakek buta! Apakah kau sudah selesai berdoa"!"
Ditanya sekasar itu Nyanyuk Amber batuk-batuk be-
berapa kali lalu balik bertanya, "Siapa tanya siapa"!"
"Kurang ajar! Aku tuan rumah di pulau ini! Aku yang layak bertanya!"
"Hemm, aku tidak tahu kalau kau tuan rumah di pulau ini. Setahuku sahabatku Tua
Gila yang tinggal di sini..."
"Jadi... Tua Gila sahabatmu, hah" Apakah kacungmu ini tidak mengatakan bahwa di
sini ada makam Tuan Gila yang menyatakan bahwa sahabatmu itu sudah mampus dan
dikubur"!"
Nyanyuk Amber sunggingkan senyum. "Sebagai tuan rumah rupanya kau tidak pandai
bicara sopan dan lunak..."
"Pertu apa bicara dengan manusia-manusia yang sebentar lagi akan jadi bangkai!"
sentak si tinggi besar. Dia bergerak maju satu langkah.
Nyanyuk Amber tertawa mengekeh. Sebaliknya Saringgih menyumpah dalam hati.
"Gila!! Dalam keadaan seperti ini dia masih bisa tertawa seenaknya!"
"Semua manusia pasti akan jadi bangkai. Itu sudah ketentuan Tuhan. Tapi bukan
berarti manusia bisa
mendahului Tuhan, mencabut nyawa manusia sesamanya!
Cakapmu yang sombong menyatakan bahwa kaulah yang telah membunuh keempat orang
itu, lalu mayatnya kau ikat di tiang!"
"Ha ...ha...ha! Matamu buta tapi banyak melihat! Apakah kau sadar kalau sebentar
lagi jumlah mayat akan bertambah menjadi enam" Kau dan kacungmu itu lalu akan
kuikat ke tiang-tiang kayu sana!"
"Bagus kau telah memberi tahu!" sahut Nyanyuk Amber seenaknya. "Tua bangka
sepertiku memang tidak berguna lagi hidup di dunia. Tubuhku sudah karatan. Lalu
apa yang ditakutkan menemui kematian"!"
Mendengar ucapan Nyanyuk Amber itu kembali Saringgih menyumpah dalam hati. "Kau
tidak takut mati! Tapi aku masih kepingin hidup!"
"Kalau kau memang sudah siap untuk mati berarti aku tidak terlalu susah payah
membunuhmu!" kata orang tinggi besar bertopi dan bermantel hitam.
"Tidak... Kau tidak akan susah membunuh tua bangka sepertiku. Hanya saja sebelum
mati aku kepingin tahu mengapa kau menginginkan nyawaku" Juga nyawa keempat
orang yang kau bunuh terdahu!u!"
"Jawabnya mudah dan singkat! Kutuk telah jatuh bahwa semua sahabat Tua Gila yang
menginjakkan kakinya di tempat ini akan menemui kematian! Mati di tanganku!"
"Ah... Kau ini malaikat maut jadi-jadian rupanya!" ujar Nyanyuk Amber. "Tapi
hari ini kau berhadapan dengan aku raja diraja segala malaikat jadi-jadian!
Lekas berlutut di hadapanku, terangkan siapa dirimu. Minta ampun dan bunuh
diri!" Merah padam wajah si tinggi besar bermantel hitam itu.
Tangan kanannya dipukulkan ke arah Nyanyuk Amber.
Serangkum angin menderu menghajar orang tua itu.
Saringgih berseru memberi ingat.
Orang tua bermata buta, bertangan dan berkaki
buntung itu gerakkan bahu kanannya. Gerakan ini
menyentakkan lengan panjang jubah yang dikenakannya.
Dari ujung lengan jubah itu melesat keluar satu gelombang angin yang
mengeluarkan suara bersiuran. Dua angin dahsyat saling tabrak di udara.
Saringgih melihat bagaimana bentrokan angin pukulan mengandung tenaga dalam
tinggi itu membuat Nyanyuk Amber terbanting jatuh punggung di tanah. Sebaliknya
orang bermantel hitam terjajar jauh ke belakang dan tersandar ke dinding karang.
"Kurang ajar1 Tingkat tenaga dalam tua bangka buruk itu tidak rendah. Kalau
tidak segera kuhantam dengan pukulan melumpuhkan, bisa-bisa aku mendapat celaka
sebelum menghabisi nyawanya!"
Orang ini lalu menanggalkan mantelnya. Saringgih yang saat itu sudah melompat ke
dekat Nyanyuk Amber segera memberitahu apa yang dilihatnya.
"Saringgih, kau menjauhlah. Cari perlindungan di balik pohon atau batu..."
"L.ebih baik Nyanyuk saya dukung dan larikan dari sini saat ini juga!" kata
Saringgih. "Kalau kau mau selamat ikuti ucapanku!" si orang tua membentak halus. Mendengar
itu Saringgih tak berlaku ayal lagi. Dia melompat ke balik sebuah pohon.
Tepat pada saat dia sampai dibaJik pohon, di depan sana orang bertubuh tinggi
besar kebutkan mantel
hitamnya. Terdengarnya suara menggemuruh laksana ads tanah longsor. Bersamaan
dengan itu satu gelombang angin laksana hantaman topan menghampar ganas menebar
hawa panas. Batu pasir berhamburan. Semak
belukar rambas. Tanah bergetar dan daun-daun pepohonan jatuh luruh, batang dan
cabang-cabangnya berderak-derak!
Nyanyuk Amber berseru keras. Dia kerahkan tenaga
dalam penuh lalu goyangkan bahunya kiri kanan. Dua gelombang angin melesat
menyongsong gemuruh angin lawan. Namun sambaran angin yang keluar dari mantel
hitam lawan ternyata lebih dahsyat, membuat orang tua cacat ini tak bisa
bertahan. Dengan tubuh mandi keringat karena berusaha menahan serangan lawan
akhirnya Nyanyuk Amber terdorong lalu terseret mental beberapa jauh.
Nyanyuk Amber kini dapat membaca keadaan.
Dia segera berteriak pada pembantunya.
"Saringgih! Lekas lari ke perahu!"
"Nyanyuk! Kau sendiri bagaimana... Ambo akan dukung kau. Kita lari sama-sama!"
kata pembantu yang setia itu.
Sambil berguling-guling si orang tua berteriak. "Lakukan apa yang aku bilang!
Tunggu aku diperahu!"
Mendengar ini Saringgih segera tancap diri, lari
sekencang yang bisa dilakukannya menuju perahu di tepi pantai.
Ketika melihat lawan tersapu jauh oleh pukulan angin mantel hitamnya, si tinggi
besar gerakkan tangannya ke sebuah kantong di pinggang kiri. Ketika tangan itu
digerakkan ke depan, melesatlah dua buah benda hitam sebesar ujung jari
kelingking. Dalam gelapnya malam senjata rahasia berwarna hitam ini sulit untuk
Suramnya Bayang Bayang 34 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam Pukulan Si Kuda Binal 1
^