Dendam Manusia Paku 1
Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku Bagian 1
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Dendam Manusia Paku
GEROBAK yang ditarik kuda cokelat tinggi besar itu meluncur kencang di jalan
kecil menurun berbatu-batu. Lelaki berewok bertelanjang dada berbadan kokoh penuh otot
dan memiliki cuma satu mata, menarik tali kekang kuda kuat-kuat. Tapi kuda itu tidak
bisa dikendalikan lagi. Semakin ditahan tali kekang, semakin kencang kuda
menggerakkan kakinya. Di sebuah tikungan, gerobak hampir terbalik, pengemudinya nyaris
terlempar. "Kuda jahanam! Aku memang ingin cepat sampai! Tapi tidak mau celaka!" teriak
lelaki bermata satu. Kembali dia tarik tali kekang. Kepala kuda penarik gerobak
tersentak ke belakang. Dari hidungnya dan mulutnya keluar cairan berbusa. Binatang ini
meringkik keras.
Tapi sama sekali tidak berhenti.
Di balik tikungan, jalan semakin menurun, tambah sempit dan batu-batu besar
bergelimpangan menyembul ke permukaan tanah. Beberapa puluh tombak di bawah
tampak Waduk Selorejo. Dalam musim kemarau panjang. Dalam musim kemarau panjang waduk
itu tak lebih dari sebuah lembah dalam berlumpur ditumbuhi semak belukar dan
pepohonan liar serta tebing batu.
"Binatang jahannam ini benar-benar tidak mau berhenti! Sebentar lagi gerobak
pasti meluncur ke lembah. Aku tidak mau celaka, edan!"
Lelaki di atas gerobak pergunakan tangan kiri membuka tali yang mengikat sebuah
peti besi ke tiang gerobak. Hanya sesaat lagi gerobak itu akan mencebur ke dalam waduk,
dia menyambar peti besi lalu melompat dari atas gerobak. Peti besi yang dipegang
dengan tangan kirinya cukup berat. Tapi hebatnya, begitu melompat ke udara dia mampu membuat
gerakan jungkir balik dan ketika turun kedua kakinya tepat menjejak sebuah batu besar di
bibir waduk. Dari atas batu itu dia melihat kuda dan gerobak menghambur masuk ke waduk. Salah
satu rodanya mental, meloncat ke udara di hantam batu besar. Kuda besar itu meringkik
keras beberapa kali lalu amblas ke dalam lumpur di dasar lembah. Hanya sesaat kakinya
tersembul melejang-lejang, sebelum akhirnya lenyap dari pandangan!
Lelaki brewokan yang mata kirinya picak itu geleng-geleng kepala. Setelah
menarik nafas panjang peti besi diletakannya di batu lalu dia duduk di atas peti itu.
"Pemandangan hebat!" tiba-tiba ada orang berucap di belakang si brewok. Lalu
terdengar tawa mengekeh. Dia cepat berpaling dan cepat melengak kaget. Dia memiliki
kepandaian luar
biasa tinggi, bagaimana mungkin dia tidak mengetahui kemunculan orang ini"
Jawabnya hanya satu. Orang itu pasti memiliki kepandaian lebih tinggi! Lelaki
bertelanjang dada ini
segera berdiri.
"Aku sudah menunggu lama! Kukira kau tidak muncul! Turunlah dari atas batu! Aku
tidak suka berbicara mendongak terus-terusan. Lama-lama leherku bisa salah urat
nanti!" orang
yang bicara kembali tertawa mengekeh. Dia adalah kakek bermata juling yang
selalu berputar
liar kian kemari. Tubuhnya pendek dan pada punggung dekat leher ada sebuah
punuk. Kakek ini mengenakan jubah merah menjela tanah. Rambut kumis dan janggutnya putih
awutawutan. Pada keningnya terikat secarik kain merah. Di tangan kirinya dia
memega ng sebuah
kantong kain tebal yang isinya cukup berat karena kantong itu tampak membuyut ke
bawah. Lelaki di atas batu melompat turun, tapi dia tidak mau terlalu jauh dari peti
besi yang diletakkan di atas batu itu. "Apakah aku berhadapan dengan kakek sakti penguasa
tunggal kawasan timur yang biasa disebut dengan panggilan Yang Mulia Datuk Bululawang
dari Gunung Welirang?"
Si kekek mata juling menyeringai. "Kalau sudah tahu kenapa tidak segera
memberikan penghormatan pada Yang Mulia?" ujarnya.
"Ah!" lelaki bertelanjang dada menyeringai. Dia usap berewoknya lalu memberikan
penghormatan. Kakek yang dipanggil Yang Mulia Datuk Bululawang itu tertawa panjang. Mata
julingnya berputar-putar. "Aku sendiri apakah sedang berhadapan dengan raja diraja rampok
besar kawasan utara selatan bergelar Warok Patiraja Penguasa Rimba Belantara Utara
Selatan"!"
Lelaki mata picak menyerangai. "Nama yang barusan kau sebut itu memang aku
orangnya yang Mulia!"
"Ah! Akhirnya kita bertemu juga. Kabarnya matamu yang tinggal satu punya
kesaktian yang tiada tandingan. Mampu melelehkan besi dan menghancurkan batu! Apakah kau bisa
mempertunjukkan kehebatanmu di hadapanku"!"
"Yang Mulia Datuk Bululawang, waktu kita sempit sekali, Mengapa membuang percuma
dengan segala pertunjukan yang tidak-tidak"!"
"Kau betul Warok Patiraja! Tapi bagaimana aku bisa tahu bahwa yang dihadapanku
ini benar-benar adalah Warok Patiraja, orang yang membuat perjanjian denganku akan
menyerahkan sejumlah batang emas untuk sesuatu yang aku miliki dan tengah
menjadi incaran puluhan tokoh dunia persilatan!?" Pada akhir ucapannya, si kakek
gerakkan sedikit
tangan kirinya yang memegang kantong tebal.
Si mata picak menggerendeng dalam hati. Tapi memang si kakek itu betul. Maka
diapun berkata. "Kalau itu maumu, harap lihat batu di seberang sana..." katanya sambil
menunjuk ke arah sebuah batu besar di pinggiran waduk sebelah kiri. Batu itu terletak
sekitar tiga tombak dari tempat mereka berdiri.
Kakek bermata juling putar kepalanya ke arah batu besar. Perlahan-lahan lelaki
bertelanjang dada arahkan pandangan mata kanannya pada batu besar itu. Bibirnya tampak
bergetar. Mata kanan itu keluarkan suatu kilauan aneh. Terdengar suara "Wusss" disertai
membersitnya sebuah sinar berwarna hitam. "Kraaakk! Byaaarr!"
Batu besar di sebelah sana retak di sembilan tempat lalu hancur berkeping-
keping. "Luar
biasa! Benar-benar luar biasa! Tak percuma kau jadi raja diraja rampok utara
selatan!" si
kakek memuji sambil geleng-geleng kepala.
"Sekarang giliranku. Buktikan bahwa kau memang Yang Mulia Datuk Bululawang.
Manusia sakti yang mampu menjebol tembok batu dengan tangan kosong!"
Si kakek tertawa panjang mendengar kata-kata Warok Patiraja itu. "Rupanya kau
masih kurang percaya kalau aku memang Yang Mulia Datuk Bululawang!" katanya. Lalu
terbungkuk-bungkuk
tubuh pendek berpunuk itu melangkah mendekati sebuah batu besar yang tingginya
hampir sama dengan tinggi kepalanya.
"Perhatikan baik-baik apa yang akan aku lakukan!" kata si kakek. "aku tidak akan
mengulang kedua kali. Apapun yang akan aku lakukan ini jarang kuperbuat dan
berlangsung hanya sekejapan mata!" Habis berkata begitu sampai di depan batu tinggi, si
kakek gerakkan tangan kanannya. Terdengar suara "rrrrtttt." Tangan kanan kanan si kakek amblas
masuk ke dalam batu. Ketika tangan itu ditarik kembali pada batu tinggi kelihatan lobang
besar yang tembus dari satu sisi ke sisi lainnya!
"Hebat sekali!" memuji Warok Patiraja. Dia lalu menunjuk pada peti besi di atas
batu di sampingnya. "Sesuai perjanjian, aku sudah membawa barang untukmu. Apakah isi
kantong itu barang untukku"!"
Datuk Bululawang telan ludahnya lalu mengangguk. "Boleh aku melihat isi peti
ini?" tanya si
kakek. Warok Patiraja cepat membuka dua buah grendel besar pengunci peti. Begitu pintu
besi dibuka, membersitlah sinar kekuningan dari batangan-batangan emas yang ada di
dalam peti. "Semua berjumlah duapuluh batang..." berkata Warok Patiraja. Datuk Bululawang
menyeringai. Mata julingnya memandang sekilas ke dalam peti. Lidahnya berulang
kali dijulurkan membasahi bibir.
Warok Patiraja tutup peti dan memasang grendelnya kembali. "Boleh aku melihat
isi kantong itu?" tanyanya.
"Silahkan lihat sendiri!" ujar si kakek. Kantong kain tebal di tangan kirinya
dilemparkannya pada Warok. Lelaki itu cepat menyambuti lalu membuka ikatan tali yang melilit
kantong. Begitu kantong dibuka, dia melihat setumpuk paku besar panjang lebih dari
setengah sejengkal. Paku-paku ini terbuat dari baja yang mengeluarkan sinar putih
benderang. "ada
tiga puluh paku didalam kantong itu. Kau sudah melihat. Apakah kau kini percaya
dan puas "!" tanya Datuk Bululawang seraya melangkah mendekati.
Warok Patiraja mengangguk. "Aku ambil paku-paku ini, kau boleh ambil emas dalam
peti!" katanya. Si kakek mengangguk. "Sekarang kau baru jadi raja diraja rampok utara selatan.
Kelak jika kau sudah menjadi raja diraja rimba persilatan, kuharap saja kau tidak lupa
padaku!" katanya sambil menyeringai dan mata julingnya berputar-putar. "Sekarang bantu
aku menurunkan peti itu. Kau meletakkannya terlalu tinggi di atas batu!"
Warok Patiraja ikat tali penutup kantong berisi paku lalu mengikatkan benda itu
ke sabuk besar di pinggangnya. Dengan dua tangannya yang kukuh, ditariknya peti besi
berisi duapuluh batangan emas. Untuk menarik peti, Warok terpaksa membelakangi si kakek. Pada
saat itulah tiba-tiba tangan kanan Datuk Bululawang melesat ke pinggangnya.
Warok Patiraja menjerit dahsyat ketika tangan kanan Datuk Bululawang
menghancurkan tulang pinggangnya terus menembus perut. Ketika tangan itu ditarik, sebagian
usus besar Warok ikut terbetot dan menyembul di bagian belakang tubuhnya bersamaan dengan
kucuran darah! Si kakek tertawa tinggi. "Manusia tidak tahu diuntung! Manusia jelek sepertimu
bercita-cita gila hendak jadi raja diraja dunia persilatan! Huh!" Dia meludah ke tanah, lalu
sekali renggut saja dia rampas kantong berisi paku yang tergantung di sabuk Warok.
Benda ini cepat
disimpannya di balik jubah merahnya. Kemudian sekali berkelebat dia sudah berada
di atas batu. Peti besi yang berat itu, seperti menjinjing keranjang kosong dengan mudah
ditentengnya. Sebelum melompat turun, dia berpaling pada Warok dan mengumbar
tawa mengekeh. "Dasar tolol! Mana ada rampok yang menjadi penguasa tunggal dunia persilatan!
Ha... ha... ha...! Selamat tinggal Patiraja! Selamat menghadap penguasa akhirat! Mungkin di
situ kau bisa jadi raja diraja akhirat! Ha... ha... ha...!"
Saat itu Warok berada dalam keadaan sekarat. Tubuhnya bersimbah darah dan isi
perutnya semakin banyak membusai lewat lobang besar di pinggang dan di perutnya.
Tersandar pada sebuah batu di belakangnya, dia masih bisa keluarkan ucapan. "Datuk keparat...
Kau kira kau bisa kabur begitu saja..."
Mata kanan Warok Patiraja keluarkan kilauan aneh. Mata itu memandang lurus-lurus
ke arah sosok Datuk Bululawang yang meninggalkan tempat itu dengan cepat. Sang datuk
rupanya tidak bodoh. Dia sengaja mengambil jalan lari begitu rupa hingga satu garis
lurus dengan batu-batu besar yang ada di tempat itu. Dengan demikian tubuhnya terhalang dari
pandangan mata Warok yang berbahaya itu. Akan tetapi di satu tempat Warok masih sempat
melihat sosok kiri si kakek keluar dari garis lurus yang menghalangi dirinya dari batu-
batu besar. Bibirnya bergetar. "Wusss!" sinar hitam melesat.
Di depan sana terdengar jeritan Datuk Bululawang. Bahu kirinya hancur disambar
sinar sakti yang keluar dari mata kanan Warok. Tangan kirinya putus dan hancur berantakan di
udara. Kakek ini jatuhkan diri ke tanah, mengerang kesakitan, sementara darah mulai
membasahi jubah merahnya. Sekujur tubuhnya mengginggil dan mulai terasa panas. Dengan dua
jari tangan kanannya, Datuk Bululawang cepat menotok dada kirinya. Lalu terseok-seok
dia tinggalkan tempat itu. Peti besi dijinjingnya erat-erat di tangan kanan.
Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nafasnya tak karuan.
Di tepi waduk, Warok Patiraja berusaha mencari sosok si kakek dengan pandangan
mata kanannya. Dia maju beberapa langkah, namun tak bisa berbuat banyak. Di satu
tempat lututnya menekuk. Tubuhnya ambruk ke bawah lalu tergelimpang di tebing waduk
Selorejo. Gadis berpakaian ringkas warna ungu itu memacu kudanya sepanjang pesisir selatan
lalu membelok tajam memasuki kawasan luas ditumbuhi pohon kelapa. Pita ungu di atas
kepala dan selendang ungu yang melingkar di lehernya melambai-lambai ditiup angin. Jauh
didepannya membujur deretan bukit-bukit. Tujuannya adalah salah satu dari puncak
bukit itu. Agaknya dia tidak akan sampai ke tujuan dalam waktu dekat. Kuda tunggangannya
sudah terkuras seluruh tenaganya karena dipacu sejak pagi buta tadi.
Semakin jauh dia masuk ke pedalaman semakin tak terdengar deru ombak yang
memecah di pantai. Udara pesisir yang tadinya panas menyengat kini mulai menyejuk karena
hembusan angin dari bebukitan. Semakin dekat ke arah bukit-bukit itu, udara terasa lebih
sejuk. Menjelang rembang petang, kuda dan penunggangnya akhirnya sampai juga di kaki
bebukitan. Namun justru di situlah kuda itu melepas sisa tenaganya yang
terakhir. Dia tak
sanggup lagi berlari. Langkah keempat kakinya gemetaran. Sebelum binatang itu
tersungkur, gadis berbaju ungu melompat. Dia cepat pegang leher kuda agar tidak terjerembab
keras. "Binatang hebat! Aku tak akan memaksamu naik ke atas puncak bukit sana. Aku
terpaksa meninggalkanmu di tempat ini. Aku dikejar waktu..." si gadis memandang
berkeliling. Hatinya merasa lega ketika dia melihat tak jauh dari sana ada sebuah telaga.
Walau airnya tidak terlalu bening, namun cukup menolong kuda yang sudah setengah mati
kepayahan itu. Dipetiknya beberapa helai daun, dengan cepat dibentuknya seperti panci kecil.
Lalu dengan benda itu diciduknya air telaga dan disiramkannya ke mulut serta kepala kuda
yang terbujur di tanah. Sampai delapan kali memberi minum baru si gadis berhenti.
"Aku harus pergi sekarang... Kuharap kau mau menunggu di sini barang satu
malaman..."
setelah mengusap leher dan kepala binatang itu beberapa kali, gadis berpakaian
serba ungu ini segera berkelebat tinggalkan tempat itu.
Tepat pada saat matahari tenggelam, gadis ini sampai di puncak bukit. Dalam
keremangan, dia berlari menuju bagian timur hingga akhirnya tiba di sebuah bangunan batu
yang pintunya tertutup oleh sejenis pohon merambat. Si gadis tak berani menyibakkan daun-daun
pepohonan itu, apalagi masuk ke dalam. Setelah menarik nafas panjang, dia berseru. "Guru,
saya datang! " Tak ada sahutan. "Guru, saya Anggini muridmu datang sesuai pesan!" ia berseru
lebih keras. Dari dalam bangunan batu terdengar suara batuk-batuk beberapa kali. "Jangan-
jangan orang tua itu sedang sakit," pikir si gadis. Dia beranikan diri melangkah mendekati
pintu bangunan.
Tiba-tiba ada suara seperti orang menyembur dari dalam bangunan. Bersamaan
dengan itu menebar bau tuak harum sekali. Gadis baju ungu hentikan langkahnya.
"Ah, dia ada di dalam rupanya," kata si gadis lega, dan kini tampak tersenyum.
Kembali dia melangkah maju. Mendadak, "Wusss!" Ada kilatan api. Lalu daun-daun pohon jalar
yang bergelantungan menutupi pintu bangunan batu tenggelam dalam kobaran api.
"Muridku, masuklah! Aku memang sudah lama dan penat menunggumu!
" Anggini sang murid tentu saja jadi terkesiap. Bagaimana dia bisa masuk dalam
bangunan sementara satu-satunya jalan masuk tertutup oleh kobaran api" "Hai! Apakah kau
sudah tuli anggini"! Tak kau dengar aku menyuruhmu masuk"!" terdengar suara orang di dalam
bangunan agak gusar.
"Guru..."
"Jangan bicara saja, masuklah!" orang di dalam bangunan batu akhirnya membentak
hilang kesabaran. Sesaat si gadis masih terkesima. Namun di lain kejap dia gerakkan
tangan ke leher
membuka gelungan selendang ungu lalu melompat ke arah pintu seraya mengibaskan
selendang tiga kali berturut-turut.
Tiga gelombang angin menderu dahsyat, menerbangkan pasir dan batu-batu kecil.
Melabrak daun-daun pohon jalar yang dikobari api. Api yang membakar pohon serta merta
padam sementara pohonnya sendiri tidak patah atau remuk dihantam tiga gelombang angin
tadi. Ketika sang dara melompat masuk ke dalam, selendang ungunya sudah melingkar
kembali di lehernya. Di dalam bangunan kini terdengar suara tawa bergelak. Lalu, "gluk-gluk-gluk"
menyusul suara seperti seseorang tengah meneguk minuman dengan lahap. Di dalam bangunan,
Anggini sempat terkesiap. "Ah, belum berubah juga dia rupanya..." lalu gadis ini cepat-
cepat menjura lalu duduk bersimpuh di lantai.
"Hebat...! Jurus Selendang Dewa Memagut Naga Membungkam Matahari yang kau
mainkan tadi sungguh sempurna! Kalau tidak kubegitukan tadi, mana kau mau memperlihatkan
kepandaianmu! Ha...ha...ha...!"
"Guru, harap maafkan murid. Saya tak tahu kalau guru bermaksud menjajal
kepandaian saya yang rendah!"
Orang di hadapan si gadis tertawa mengekeh. Lalu, "gluk-gluk-gluk" enak saja dia
meneguk sejenis minuman keras yang harum dari bibir sebuah tabung bambu. Orang ini
adalah seorang tua berambut putih yang janggutnya menjulai sampai ke dada. Pakaiannya selempang
kain biru. Saat itu dia duduk di atas sebuah bumbung bambu yang ditegakkan di lantai
sambil uncang-uncang kaki. Di pangkuannya melintang sebuah tabung bambu lagi. Bumbung
ini berisi tuak murni luar biasa harumnya yang disebut dengan Tuak Kayangan. Dan si
orang tua ini tak lain adalah Dewa Tuak, salah seorang dedengkot rimba persilatan di masa
itu! "Guru, apakah kau selama ini sehat-sehat dan baik-baik saja?" Anggini bertanya.
"Ya.. ya Aku selalu sehat dan baik-baik saja. Berkat ini!" jawab Dewa Tuak
sambil menepuk bumbung-bumbung bambu di pangkuannya.
"Saya gembira mendengar hal itu...." kata sang murid. Dia diam sesaat lalu baru
meneruskan ucapannya. "Sesuai pesan yang saya terima, saya sudah datang dan berada di
hadapan guru. Gerangan apakah guru memanggil saya?"
"Ah, kau rupanya tak mau berbasa-basi. Ingin langsung pada tujuan." Dewa Tuak
tersenyum lebar. Dia usap-usap janggut putihnya beberapa kali baru teruskan
ucapan. "Baiklah, aku memang perlu bicara padamu. Anggini muridku, ketahuilah dunia
persilatan dalam waktu dekat ini akan dilanda malapetaka besar kalau orang-orang tua buruk
sepertiku ini tidak lekas-lekas mengambil tindak pencegahan...
" "Rupanya ada tokoh-tokoh sesat golongan hitam hendak berbuat ulah?" tanya
Anggini. "Bisa dikatakan begitu. Tapi pangkal bahayanya adalah seperti yang akan aku
tuturkan padamu... " Puncak Gunung Kelud. Langit tampak mendung sejak pagi. Sang surya sama sekali
tidak kelihatan menyembul. Keadaan saat itu seolah menjelang malam hari. Sementara
hujan turun rintik-rintik dan udara terasa sangat dingin.
Di tempat persemadiannya Eyang Gusti Kelud Agung duduk bersila di lantai, hanya
beralaskan sehelai kulit kambing. Kedua tangannya diletakkan di atas paha. Mata
terpejam, tubuh tak bergerak barang sedikit pun. Kalau saja tidak ada hembusan nafas yang
menimbulkan asap tipis akibat dinginnya udara, orang tua berusia hampir seratus
tahun ini tidak beda seperti sebuah patung. Walau usia sudah lanjut begitu rupa, tapi dia
masih memiliki tubuh tegap dan wajah segar. Semua ini akibat latihan jasmani dan
kekuatan rohani
serta hawa sakti yang sudah mencapai tingkat tinggi dan jarang orang
menguasainya. Di hadapan Eyang Gusti Kelud saat itu duduk seorang lelaki berusia 30 tahun. Dia
hanya mengenakan sehelai cawat sehingga kelihatan tubuhnya yang kukuh penuh otot. Pada
leher dan dadanya terdapat banyak tanda-tanda kemerahan seolah bekas gigitan. Lelaki
muda ini tidak hitam ataupun coklat tetapi berwarna kehijau hijauan membersitkan sinar
aneh kalau tak dikatakan menggidikkan. Lelaki ini menatap pada kakek yang ada di hadapannya.
Dia sudah berada di tempat itu sejak malam tadi. Dan Eyang Gusti Kelud masih saja
bersemadi. Sampai
kapan dia harus menunggu" Kalau dengan orang lain mungkin dia berani mengganggu
semadi itu atau meninggalkan si kakek begitu saja. Tapi terhadap sang guru tentu saja
dia tak berani berbuat begitu.
Waktu berjalan terus. Siang pun datang. Udara terang sedikit tetapi sang surya
masih belum kelihatan. Sepasang mata hijau lelaki muda itu melihat gerakan pada urat nadi di
leher Eyang Gusti Kelud Agung. Hatinya menjadi lega. Ini satu pertanda bahwa si kakek akan
mengakhiri semadinya. Benar saja. Tak lama kemudian terlihat getaran-getaran teratur pada
bagian dada orang tua itu. Setelah itu kepalanya bergerak sedikit. Menyusul dengan
terbukanya kedua
matanya sedikit demi sedikit.
Begitu melihat mata sang guru membuka, pemuda tadi segera membungkuk dalam-
dalam. Kepalanya hampir menyentuh kaki si kakek. Dan dia tetap dalam keadaan seperti
itu sampai dia mendengar suara Eyang Gusti Kelud Agung berkata. "Sandaka Arto Gampito, kau
boleh mengangkat tubuhmu."
Lelaki muda itu cepat angkat tubuhnya, duduk dengan sikap tegak dan memandang
pada orang tua di hadapannya. Dua mata bening Eyang Gusti Kelud Agung serta merta
melihat perubahan besar telah terjadi dengan diri muridnya. Hatinya memelas sedih.
"Dua puluh tahun lebih aku mendidiknya untuk menjadi manusia berbudi pendekar
sejati. Ternyata semua itu sia-sia belaka. Ya Tuhan, apa dosaku pada-Mu hingga kau
turunkan malapetaka ini pada muridku" Jika dia yang berdosa biar aku yang menampung semua
dosanya. Jangan dia. Diriku akan segera datang menghadap-Mu, tapi dia masih
muda, jalan hidupnya masih panjang. Ya Tuhan, aku mohon petunjuk-Mu..."
"Eyang, saya datang menghadap Eyang. Semoga kedatangan saya berkenan di hati
Eyang..." "Sandaka, aku senang melihat kau datang. Tapi hatiku juga sangat sedih melihat
keadaanmu seperti ini..." berucap Eyang Gusti Kelud Agung dengan suara tersendat.
"Saya tahu bagaimana perasaan Eyang, namun mungkin semua ini sudah jalan nasib
saya. Semua yang terjadi adalah kelalaian dan kesalahan saya. Biarlah kelak saya yang
menanggung hukuman atas segala dosa..."
"Sandaka, apa yang sudah terjadi memang sudah tidak bisa diperbaiki lagi.
Mungkin suatu ketika ada suatu kekuatan atau mukjizat yang bisa mengembalikan dirimu seperti
dulu lagi. Namun yang sangat aku sesalkan adalah karena kau tidak mendengarkan nasihatku.
Ketika kau kulepas tahun lalu aku sudah berpesan, jangan sekali-sekali kau dekati
apalagi berhubungan dengan Kunti Ambiri perempuan jahat bergelar Dewi Ular itu. Sejak
kau berada di sini, aku tahu secara diam-diam dia datang mengintai dan memperhatikan
dirimu. Dia terpikat pada dirimu. Ternyata kau bukan saja masuk pada perangkapnya tapi
juga jatuh cinta padanya...!"
"Eyang, saya tahu dosa dan kesalahan saya. Ketika Eyang melepas saya setahun
lalu walau memiliki kepandaian tinggi tapi saya masih buta pengalaman. Dunia luar serba
asing bagi saya. Sampai akhirnya saya masuk dalam perangkap Dewi Ular... Saya tidak mampu
mencegahnya. Saya berada di bawah kekuasaannya, tak mampu keluar dari
genggamannya..."
Orang tua di hadapan Sandaka menarik nafas panjang. "Jangankan kau, orang yang
berkepandaian tinggi seratus kali darimu pun sekali melakukan hubungan badan
dengan Dewi Ular, seumur hidup tak akan sanggup membebaskan diri dari cengkeramannya.
Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seumur hidup akan jadi budak nafsunya. Cairan dalam tubuh Dewi Ular telah mengalir
dalam darahmu. Tak mungkin dibersihkan lagi...!"
Lama Sandaka termenung mendengar kata-kata gurunya itu. Apa yang diucapkan orang
tua itu memang benar adanya. Sejak dia terpikat dengan Dewi Ular dan melakukan
hubungan badan sampai beberapa kali, sejak itu pula dia tak mampu membebaskan diri dari
kekuasaan perempuan itu. Dia melakukan apa saja yang diperintahkan tanpa berpikir apakah
hal itu baik atau buruk. "Eyang, kalau memang begini keadaan saya, saya bersedia menerima hukuman apa
pun. " "Hukuman bisa saja dilakukan atas dirimu. Tidak olehku, mungkin oleh orang lain.
Mungkin juga oleh dirimu sendiri...
" "Maksud Eyang, saya sebaiknya bunuh diri saja?" tanya Sandaka.
Orang tua itu tersenyum pahit. Dia melihat ada kilatan aneh pada sepasang mata
muridnya. "Aku tidak menganjurkan kau melakukan bunuh diri. Ketahuilah, tidak suatu
kekuatan pun di
dunia ini yang sanggup membunuhmu! Kecuali kekuatan Tuhan atau atas petunjuk
dari-Nya. Cuma, aku melihat masih ada satu jalan. Ada penyakit dalam tubuhmu. Untuk
mengobatinya, harus melenyapkan sumbernya...
" "Maksud Eyang"
" "Sanggupkah kau membunuh Dewi Ular"
" Paras Sandaka Arto Gampito tidak berubah. Tapi sang guru lagi-lagi melihat ada
kilatan cahaya menggidikkan di kedua mata muridnya. "Sandaka, coba kau perhatikan
dirimu. Pakaianmu hanya selembar cawat seolah kau hidup di zaman manusia tidak beradab.
Pengaruh cairan tubuh beracun Dewi Ular membuatmu hanya bisa tidur satu tahun
sekali. Itu pun tidak bisa lama dan tak diketahui kapan kau bisa tidur. Dua bola matamu
hijau juga akibat pengaruh cairan dari tubuh Dewi Ular. Di situ kekuatanmu terpusat. Kau
dijadikan hamba sahayanya bukan cuma sebagai pemuas nafsu tapi juga untuk melakukan apa
saja yang dimintanya. Coba kau ingat, sudah berapa banyak orang-orang persilatan yang
menjadi korbanmu atas perintah Dewi Ular...
" Eyang Gusti Kelud Agung hentikan ucapannya. Dia melihat tubuh muridnya bergetar
lalu kulit tubuh sampai ke leher terus ke muka perlahan-lahan berubah kehijau-
hijauan. Di dalam
diri Sandaka, tiba-tiba saja ada suara iblis menggelegar. "Orang tua ini harus
kubunuh! Harus kubunuh! Tapi dia guruku! Dia guruku! Persetan siapapun dia adanya! Harus
kubunuh sekarang juga!
" Sandaka berdiri. "Kau mau ke mana muridku?" Tanya Eyang Gusti Kelud Agung.
"Saya terpaksa harus mem..." Sandaka tidak teruskan ucapannya, agaknya dia masih
bisa menguasai diri. "Saya harus pergi sekarang juga Eyang" Dia putar tubuhnya cepat-
cepat. "Tunggu dulu Sandaka. Masih ada satu hal yang mau aku bicarakan. Ini sangat
penting karena masih menyangkut kehidupan masa depanmu...
" "Saya sudah tidak punya masa depan Eyang...." Sandaka segera hendak beranjak
pergi. "Dengarkan dulu apa yang akan kukatakan, baru kau boleh pergi...
" "Jika Eyang memaksa, saya terpaksa...
" "Membunuhku?" ujar si orang tua dengan senyum kecut. "Kau boleh membunuhku
setelah mendengar penuturanku...
" Warna kulit dan bola mata Sandaka semakin menghijau. Badannya menggeletar tanda
dia berusaha keras menahan gejolak keinginan untuk membunuh yang membakar dirinya.
"Kalau begitu katakan saja cepat Eyang apa yang mau kau bilang...!"
"Sembilan puluh tahun yang lalu ketika aku masih kecil, guruku pernah bercerita
tentang tigapuluh buah paku sakti terbuat dari baja murni. Paku ini dibuat oleh seorang
syekh sakti yang bermukim di daratan Tiongkok selatan. Konon paku ini punya kekuatan daya
penyembuhan luar biasa. Aku mempunyai firasat paku sakti itulah yang sanggup
membersihkan darah dalam tubuhmu. Caranya, tigapuluh buah paku itu haru s
dipantekkan ke tubuhmu. Mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki. Namun ada satu akibat yang
tidak dapat dielakkan. Walau pengaruh Dewi Ular akan pupus dari dirimu, tetapi kau kelak
akan berada di bawah kekuasaan baru yang mungkin lebih dahsyat..."
Ucapan Eyang Gusti Kelud Agung terhenti ketika tiba-tiba ruangan semadi itu
bergetar oleh berkelebatnya suatu bayangan hijau yang mengeluarkan angin mengandung hawa aneh.
Lalu terdengar suara orang berkata. "Sandaka! Lama aku mencarimu! Tak tahunya kau
berada di sini, bicara segala isapan jempol pepesan kosong!"
Seorang perempuan muda berwajah cantik luar biasa, mengenakan pakaian panjang
terbuat dari sutera halus berwarna hijau, tiba-tiba tegak di samping Eyang Gusti Kelud
Agung. Bau tubuhnya yang harum, menebar di ruangan itu. Di atas kepala yang rambutnya di
konde besar di sebelah belakang ada sebuah mahkota kecil berbentuk kepala ular terbuat dari
emas, memiliki sepasang mata terbuat dari permata berwarna hijau.
"Dewi...!" seru Sandaka lalu cepat bangkit mendatangi perempuan itu.
"Kekasihku...!" jawab Dewi Ular seraya mengembangkan kedua tangannya. Begitu
Sandaka sampai di hadapannya, langsung dirangkulnya. Sandaka membalas penuh nafsu. Dewi
Ular julurkan lidahnya. Sandaka hisap lidah itu sampai mengeluarkan suara keras.
Tidak hanya sampai di situ. Seolah mereka hanya berdua saja yang ada di situ, keduanya
baringkan diri di
lantai, berguling-guling sambil terus berpelukan dan berciuman.
Wajah Eyang Gusti Kelud Agung tampak merah mengelam. Dia membentak marah.
"Manusia-manusia kotor! Keluar kalian dari tempat ini! Jangan kalian berani lagi
menginjak puncak Gunung Kelud ini!
" Dewi Ular tertawa tinggi. Digigitnya leher Sandaka penuh nafsu hingga
meninggalkan tanda
merah. Lalu dia melompat bangkit, Sandaka ikut berdiri. Sambil merangkul lengan
lelaki itu, Dewi Ular berkata. "Sandaka kekasihku, kau tadi mendengar segala macam
ucapannya! Betul..." " "Aku memang mendengar Dewi, tapi aku tidak peduli!
" Dewi Ular kembali tertawa panjang. "Kurasa tua bangka ini hanya satu rongsokan
tak berguna. Apa pendapatmu Sandaka"
" "Memang aku juga merasa begitu..." jawab Sandaka.
Wajah Eyang Gusti Kelud Agung kaku membesi. "Sandaka! Sebut nama Tuhanmu!
Bebaskan dirimu dari pengaruh jahat perempuan iblis ini!
" Dewi Ular cuma ganda tertawa mendengar ucapan orang tua itu. "Apa tindakan kita
terhadap manusia-manusia tidak berguna di atas dunia ini Sandaka?" Dewi Ular kembali
berucap. "Harus dibasmi. Harus disingkirkan karena Bumi tidak layak dihuni oleh orang-
orang semacam dia! " "Sandaka!" seru Eyang Gusti Kelud Agung.
"Kekasihku, aku senang mendengar ucapanmu! Sekarang lakukan apa yang harus kau
lakukan! Bunuh tua bangka tak berguna itu!
" Eyang Gusti Kelud Agung cepat berdiri ketika dilihatnya Sandaka Arto Gampito
maju dua langkah mendekatinya. Dua bola matanya menjadi sangat hijau. Ketika lelaki ini
mengedipkan kedua matanya itu, dua larik sinar hijau menderu menyambar ke arah
kepala dan dada sang guru.
Orang tua itu membentak keras. Sambil menyingkir ke samping, dia cepat
membentengi diri
dengan dua buah pukulan tangan kosong mengandung hawa sakti. Angin yang keluar
dari dua telapak tangan Eyang Gusti Kelud Agung itu laksana deru topan dan mengeluarkan
sinar kelabu. "Bummmmmm!Bummmmm!"
Dua ledakan menggelegar. Asap kelabu dan hijau menutupi pemandangan. Atap dan
dinding ruangan runtuh. Lantai mencuat hancur berantakan. Sandaka dan Dewi Ular
terlempar jauh,
lalu jatuh di tanah saling menindih. Ketika asap hijau dan kelabu pupus,
kelihatanlah tubuh
Eyang Gusti Kelud Agung terkapar di antara reruntuhan bangunan. Kepalanya hancur
dan sekujur badannya remuk. Seluruh sosoknya kelihatan hijau gelap.
Sandaka merasakan dadanya mendenyut sakit. Nafasnya memburu. "Kau tak apa-
apa..." " bisik Dewi Ular.
"Hanya merasa sesak sedikit..." jawab Sandaka. Dia memandang ke arah mayat
gurunya, lalu berkata, "Guruku... dia tewas...
" "Orang tua itu bukan gurumu!" tukas Dewi Ular. "Dia tak lebih dari seorang tua
bangka tolol! Tak ada gunanya! Kau telah melakukan sesuatu yang betul. Membunuhnya! Aku
bangga punya kekasih sepertimu!" Dewi Ular lalu merangkul dan menciumi Sandaka.
Keduanya berguling-guling di tanah. "Tempat ini terlalu dingin..." bisik Dewi
Ular. "Dalam
perjalanan ke sini aku melihat ada sebuah pondok kayu...
" "Kalau begitu, kita segera menuju ke sana..." jawab Sandaka.
"Ya... memang itu mauku. Tapi apakah kau tidak mau menggeluti dadaku terlebih
dulu" " Habis berkata begitu, Dewi Ular buka lebar-lebar baju suteranya hingga
payudaranya yang
besar dan putih menyembul menantang, membuat Sandaka seperti mau gila dan
langsung saja mendekapkan kepalanya ke dada perempuan itu.
Selagi Anggini masih termangu mendengarkan penuturan gurunya, Dewa Tuak kembali
teguk dengan lahap tuak dalam bumbung bambu sampai mulut dan dagunya berselomotan.
"Apa yang ada dalam benakmu Anggini"
" "Penuturanmu mengerikan sekali guru," jawab Anggini. "Kalau Sandaka bisa
membunuh gurunya sendiri semudah membalik telapak tangan, apa lagi membunuh orang lain!
" "Justru itulah yang ditakutkan orang rimba persilatan. Belasan tokoh tingkat
tinggi dalam dunia persilatan telah dihabisinya. Pada saatnya mungkin aku juga akan menjadi
korbannya... Aku dan kawan-kawan sudah siap menjaga segala kemungkinan. Di luar
terdengar kabar bahwa paku baja putih dikuasai seorang kakek sakti yang terkenal
dengan nama Yang Mulia Datuk Bululawang. Orang ini kabarnya diam di Gunung Welirang.
Celakanya kakek Bululawang mencari kesempatan dalam kesulitan. Dia gunakan paku-
paku itu untuk kepentingannya sendiri. Kenyataannya dia telah berhasil mengumpulkan
sebagian besar harta kekayaan dan membunuh tokoh yang menginginkan paku itu. Di luaran
tersiar kabar bahwa siapa pun yang berhasil menguasai Sandaka Arto Gampito maka ia akan
menguasai rimba persilatan...
" "Berarti kejahatan akan berlangsung terus...
" "Mungkin begitu muridku. Namun siapa pun yang menguasai Sandaka akan lebih baik
dari pada saat ini dia dikuasai Dewi Ular. Lagi pula orang lain itu mungkin lebih
bisa ditumpas dari pada Dewi Ular.
" "Saya teringat pada senjata rahasia yang dulu guru berikan," kata Anggini sambil
meraba pinggang pakaiannya di mana tergantung sebuah kantong berisi senjata rahasia
berbetuk paku terbuat dari perak. "Justru benda itu yang menjadi salah satu alasan aku
memanggilmu ke mari. Ada selentingan bahwa beberapa tokoh silat menganggap paku itu adalah paku
sakti keramat yang bisa melumpuhkan Sandaka lalu menguasainya. Berarti kau harus hati-
hati Anggini. Salah duga bisa menjadi malapetaka bagimu.
"
Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ucapan Dewa Tuak membuat Anggini merasa tidak enak. "Lalu apa yang harus
diperbuat guru?" tanya gadis itu.
"Aku minta kau segera mencari pendekar 212 Wiro Sableng..." Dewa Tuak
menghentikan katra-katanya ketika dilihatnya wajah sang murid tiba-tiba memerah.
"Eh, ada sesuatu dalam benakmu"
" "Dewa Tuak, saya lebih suka kau menyuruh aku lakukan sesuatu yang lain dari pada
mencari pemuda itu..."
"Hem... aku tahu mengapa kau bicara begitu," kata Dewa Tuak sambil tertawa-tawa
gelakgelak. "Kau kecewa padanya karena baik dia maupun gurunya belum selesai
membahas soal perjodohan kalian."
"Saya tidak pernah kecewa!" jawab Anggini tegas walau diam-diam hati sanubarinya
memelas. "Saya hanya ingin mengatakan ini kepadamu guru. Jika orang tidak suka,
mengapa harus memaksa?"
"Hemm..." Dewa Tuak bergumam sambil mengelus-elus bumbung di pangkuannya. "Tidak
ada yang tidak suka. Tidak ada yang memaksa. Tapi... sudahlah. Urusan
perjodohanmu sudah kubicarakan lagi dengan Sinto Gendeng beberapa waktu lalu sewaktu aku
menyambanginya di puncak Gunung Gede. Urusan sekarang yang lebih penting adalah
soal Sandaka. Sudah diketahui bahwa hanya paku baja putih itu yang sanggup
melumpuhkannya.
Di tangan siapa paku itu sekarang juga sudah diketahui. Yang belum diketahui
adalah kapan Sandaka tidur. Dia hanya mampu ditundukkan pada saat tidur. Dalam setahun
tidurnya hanya sekali. Itupun tidak lama. Jadi kau harus mencari tahu kapan dan di mana
tidurnya. Kau juga harus mendapatkan paku sakti itu agar tidak ke jatuh ke tangan orang
yang sama brengseknya seperti Dewi Ular..."
"Saya seperti mencari sebutir kelapa di tengah samudera luas..." Dewa Tuak tertawa
mendengar jawaban muridnya. "Itu sebabnya aku minta kau segera mencari Pendekar
212. Kalau sudah ketemu, segera hubungi Kakek Segala Tahu, pasti orang tua itu bisa
menjelaskan yang kau perlukan."
"Kalau begitu pesan guru segera saya lakukan. Bolehkah saya minta diri
sekarang?"
"Tentu saja, tapi tidak perlu buru-buru. Kita masih ada sedikit waktu untuk
berbincangbincang. Apa kau tidak ingin menikmati tuak kayangan ini beberapa
teguk?" Si kakek tutup ucapannya dengan melemparkan bumbung bambu ke arah muridnya.
Lemparan itu bukan sembarang lemparan karena ujung bumbung bambu melesat
menyambar ke arah dada Anggini. Maklum sang guru lagi-lagi sedang menjajaki kemampuan
Anggini. Anggini cepat menggeser kaki, dan tubuhnya dimiringkan ke kanan, tangan kirinya
diangkat sedikit. Dan di lain kejap, bumbung yang dilempar Dewa Mabuk sudah di tangan
kirinya! *** Sosok dalam gelap itu menyelinap mendekati pintu bangunan di puncak bukit. Tanpa
suara seperti setan bergerak. Sesaat dia berhenti. Ada keraguan dalam hatinya.
"Jangan-jangan dia
tidak berada di sini. Bagaimana aku harus menyampaikan pesan" Di tengah jalan
ada seekor kuda hampir mati kecapaian. Pasti ada orang yang baru datang berkunjung sebelum
aku ke tempat ini. Berarti ada satu atau dua orang dalam bangunan batu itu. Tapi
mengapa keadaan
sunyi" Tak ada lampu menyala. Aku tahu betul kebiasaan orang tua itu. Tidak bisa
tidur kalau tidak ada lampu..."
Baru saja orang di depan pintu bangunan batu membatin seperti itu, tiba-tiba ada
suara menegur. "Hanya manusia jahat biasanya menyelinap ke tempat orang!" Lalu,
"Wutt!!"
orang di depan pintu merasakan sambaran angin di bagian belakang kepalanya.
"Hemm... hanya manusia licik yang menyerang dari belakang!" Orang ini membalik
dengan cepat seraya angkat tangannya melidungi kepala. "Bukk" Dua lengan beradu keras
dalam kegelapan. Si penyerang terpental sampai tiga langkah dan keluarkan pekikan
keras. Yang menangkis terjajar satu langkah.
"Aku seperti mengenali suara itu!" kata penangkis sambil menahan bahu kanannya
yang terasa mendenyut. Dia besarkan kedua matanya. Tapi malam begitu gelap. Dia tidak
bisa mengenali wajah itu. Yang jelas suaranya adalah suara perempuan. Dia tidak bisa
berpikir panjang-panjang karena sosok di depannya kembali menyerang dengan cepat.
"Gila! jurus-jurus serangannya ganas dan menyerang bagian yang mematikan!"
membatin yang diserang. Karena mengalah dan hanya mengambil sikap bertahan, beberapa
serangan lawan berhasil mendarat di tubuh dan lengannya. Dari pada lebih celaka orang ini
berseru. "Hentikan serangan. Antara kita mungkin sudah saling kenal!
" "Seorang kenalan tidak akan menyusup seperti seorang pencuri!
" "Hai aku bukan pencuri!
" "Kalau begitu maling!
" "Juga bukan. Aku ke mari mencari seseorang!
" "Lalu kau siapa"
" "Katakan dulu siapa kau"
" "Kurang ajar!" si perempuan memaki lalu kembali hendak menyerbu. Kali ini dia
melepaskan benda di leher yang sejak tadi melilitnya. Hal ini dilihat orang di
hadapannya. Sehelai selendang!
"Astaga! Benar dugaanku! Kau pasti Anggini! Murid tokoh silat Dewa Tuak yang aku
segani!" Si penyerang terkesiap. Bukan saja menghentikan serangan tapi malah
mundur beberapa langkah sambil memandang dengan mata dibesarkan, berusaha mengenal
orang di depannya. "Wiro...! " "Anggini..!
" Dari dalam bangunan terdengar suara tawa mengekeh disusul... "gluk... gluk...gluk"
suara orang minum dengan lahap. Tidak lama kemudian keluarlah sosok tubuh orang tua
berjanggut putih. "Dewa Tuak..." Orang di depan Anggini memanggil lalu memberi hormat.
Dewa Tuak tertwa tergelak-gelak sambil bolang-balingkan bumbung bambu berisi
tuak di depan dadanya, sementara Anggini tegak tidak bergerak dengan hati diliputi
berbagai rasa. "Pendekar 212 sableng! Kau datang pada saat yang tepat! Hingga muridku tidak
susah mencarimu!" kata Dewa Tuak sambil berpaling kepada muridnya lalu berkata. "Aneh,
kenapa kau seperti patung dan gagu" Apakah kau tidak gembira ketemu dengan kakakmu ini,
Anggini" " Kalau saja tidak gelap, Wiro dan kakek Dewa Tuak niscaya melihat pipi Anggini
yang bersemu merah karena jengah.
"Tentu... tentu saja kami bergembira guru. Lama sekali kami tidak bertemu...." ujar
Anggini. "Betul...,"sahut murid Eyang Sinto Gendeng. "Kalau tidak salah hampir tiga
tahunan.... " "Rejeki..., pertemuan, maut dan langkah, memang bukan maunya manusia. Itu semua
kekuasaan Gusti Allah. Tapi kalau aku boleh nanya, gerangan apa yang membawamu
ke mari Wiro?" habis bertanya, kakek mendekatkan bibir ke bumbung dan mendongak..
. "Gluk... Gluk... Gluk...!" Lahap sekali dia meneguk tuak kayangan yang beraroma harum
itu. "Saya diminta Eyang Sinto menemuimu.
" "Hemmm, pesan apa yang kau bawa anak muda"
" "Menyangkut masalah besar yang kini tengah berlangsung di rimba persilatan di
tanah Jawa ini... Munculnya pemuda berkesaktian luar biasa bernama Sandaka Arto Gampito,
hamba sahaya dan budak nafsu Dewi Ular.
" "Apa saja yang diketahui gurumu tentang orang itu"
" "Dewi Ular akan mempergunakan Sandaka untuk menguasai rimba persilatan. Beberapa
tokoh silat tingkat tinggi telah dihabisinya secara keji. Di puncak Merapi
beberapa waktu lalu pendekar silat dari timur bergabung dengan jago dari selatan. Mereka
berjumlah empat
belas orang. Mereka berhasil menjebak dan mengurung Sandaka di sebuah lereng.
Namun semua disapu habis! Sulit dipercaya ada orang memiliki kepandaian seperti itu....
" "Sandaka bukanlah manusia lagi," kata Dewa Tuak. "Dia berubah menjadi mahluk
setengah iblis setengah dewa! Sulit mengalahkannya. Pengaruh cairan Dewi Ular yang
mengalir dalam tubuhnya begitu hebat hingga tidak mempan pukulan maupun senjata tajam.
Selama tidak bisa dibersihkan dari pengaruh cairan itu, selama itu pula dia akan
merajalela menuruti perintah Dewi Ular...."
"Saya dengar dia bahkan sudah membunuh gurunya sendiri Eyang Gusti Kelud
Agung..." Dewa Tuak mengangguk membenarkan ucapan Pendekar 212 itu. "Siang tadi aku baru
menceritakannya kepada Anggini. Rimba persilatan benar-benar dalam cengkeraman
mengerikan. Kau tahu apa yang dilakukan pemuda sesat itu di puncak Gunung Kelud
setelah membunuh gurunya sendiri" Dia berzina dengan Dewi Ular di hadapan mayat
gurunya!" Sesaat tempat dekat bangunan itu dalam kesunyian itu lalu terdengar suara Wiro
bertanya. "Menurutmu kek, apakah ada satu cara menghentikan malapetaka besar ini"
" "Saat ini aku hanya mengetahui satu cara. Sandaka bisa dilumpuhkan dengan jalan
memantek tubuhnya dengan 30 paku sakti terbuat dari baja putih murni. Benda itu
kini justru menjadi rebutan di kalangan persilatan. Yang bisa memaku Sandaka akan menguasai
dirinya. Kalau dia dari golongan hitam, kejadian buruk akan terulang. Seperti
Dewi Ular, orang itu akan menguasai Sandaka untuk berbuat apa saja. Hanya saja Sandaka
tidak akan sehebat berada dibawah pengaruh cairan Dewi Ular...
" "Berabe juga urusannya," ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala. "Kek apakah sudah
diketahui siapa pemilik paku sakti itu atau di mana beradanya"
" "Tiga puluh paku baja putih murni itu berada di tangan seorang pendekar yang
berjuluk Yang Mulia Datuk Bululawang dari gunung Welirang...
" "Datuk Bululawang?" mengulang Wiro.
"Ya, kau kenal dia"
" "Siapa tidak kenal dia. Datuk cabul yang suka melakukan hubungan tidak senonoh
dengan sesama jenisnya!" sahut Wiro.
Dewa Tuak tertawa terkekeh. "Sulit aku bayangkan apa yang sebenarnya terjadi
dalam rimba persilatan ini," kata kakek tua sambil menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu, sang Datuk harus dikuasai lebih dahulu, dirampas paku sakti itu
dari tangannya..." berkata Anggini.
Dewa Tuak mengangguk-angguk. "Itu benar. Caranya memang musti ke situ. Tapi
tentu saja tidak mudah menyiasati Datuk Bululawang. Di samping puluhan orang lain juga
menghendaki paku itu, sudah belasan orang mati sebelum maksud mereka kesampaian.
Kalaupun paku bisa dikuasai, tidak gampang memantek tubuh Sandaka. Ada kabar
pemuda itu tidur hanya sekali dalam setahun. Pada saat itulah pemantekan bisa
dilakukan. Tapi
gilanya, siapa yang tahu kapan dan di mana dia tidur"
" "Memang banyak sekali sulit dan bahayanya. Itu sebabnya Eyang Sinto berpesan,
sehabis dari sini harus mencari Kakek Segala Tahu...
" "Ah, tua bangka sahabatku itu! Lama aku tidak mendengar ihwalnya, apakah dia
masih hidup atau bagaimana" Kalian harus mencarinya.
" Wiro melirik ke Anggini. "Apakah yang dimaksud kakek dengan kalian adalah aku
dan Anggini" " "Ya betul, kau dan Anggini harus segera pergi mencari tua bangka satu itu. Harus
cepat agar tidak terlambat!
"
Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku sih mau-mau saja...," kata Wiro dalam hati. "Tapi aku lihat gadis itu biasa-
biasa saja dan sikapnya acuh tak acuh. Tadi dia bilang senang bertemu denganku. Mulutnya
bilang begitu, hatinya dia mendekam satu ganjalan. Dia seperti benci kepadaku....
" "Hai," seru Dewa Tuak. "Kalian berdua mengapa berdiam saja" Tidak dengar aku
bilang apa" " "Saya dengar kek, dan saya akan lakukan pesanmu itu," kata Wiro.
"Anggini"!" ujar si kakek tanpa berpaling pada muridnya.
"Saya juga dengar guru, saya juga akan lakukan pesanmu!
" "aku gembira mendengar ucapan kalian berdua. Nah sekarang kalian tunggu apa
lagi" " "Maksud kakek?" tanya Wiro dan Anggini.
"Kalian berdua sama tololnya! Cepat tinggalkan tempat ini dan cari si tua bangka
Segala Tahu itu! " Anggini melengak tapi tidak berani buka mulut. Sebaliknya Wiro langsung berkata.
"Pergi malam-malam begini kek"
" "Lalu apa menunggu pagi baru berangkat?" sentak Dewa Tuak.
"Maksud saya mungkin kau masih kangen dengan muridmu dan ingin ngobrol...
" "Obrolanku sudah habis. Sekarang kalian saja yang ngobrol satu sama lain dalam
perjalanan. Lagian kalian kan sudah lama tidak bertemu. Tentu banyak yang harus
kalian bicarakan. Aku mau tidur..." Dewa Tuak teguk lagi minuman dalam bumbung bambu itu
lalu tanpa peduli lagi dia berpaling lalu melangkah menuju pintu bangunan batu.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Wiro pada Anggini.
"Kalau guruku sudah bilang begitu, tidak satu pun yang bisa berubah! Dia suka
kita segera pergi! " Wiro garuk kepala. "Mungkin ucapan gurumu benar. Dia menyuruh kita segera pergi
dan ngobrol dalam perjalanan...
" Maksud Dewa Tuak meminta kedua muda mudi itu lekas pergi dan melakukan
perjalanan bersama, selain memang untuk mencari kakek Segala Tahu, sebenarnya ada tujuan
tersembunyi dari si orang tua. Seperti diketahui, sejak lama Dewa Tuak ingin
menjodohkan Anggini dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Malah sudah beberapa kali permintaan
itu sudah disampaikan kepada Eyang Sinto Gendeng.
Namun baik guru sang pendekar maupun Wiro sendiri tidak terlalu tertarik. Sinto
Gendeng pernah bilang biar urusan jodoh itu anak-anak sendiri yang mengatur. Jika mereka
suka sama suka tentu ikatan jodoh itu akan terjalin dengan sendirinya.
Di pihak Anggini memang diam-diam mencintai Wiro, namun sebaliknya si Wiro lebih
menganggap si gadis sebagai adiknya sendiri, walau terus terang dia sangat
mengagumi kebaikan perilaku dan hati si gadis, di samping wajahnya yang cantik.
Tidak seperti yang diinginkan Dewa Tuak ataupun dua muda mudi itu, ternyata
dalam perjalanan menuruni bukit mereka lebih suka diam membisu. Wiro yang lama-lama
salah tingkah akhirnya membuka pembicaraan. "Lama kita tidak bertemu. Apakah kau
selama ini baik-baik saja Anggini?"
"Yah, mau dibilang baik kenyataannya semua kesulitan kuhadapi, walau semua bisa
kulalui. Yang jelas aku bisa melihat dunia ini apa adanya dan tambah pengalaman. Kau
sendiri bagaimana?" balik bertanya sang dara.
"Tidak beda dengan kau. Kesulitan dan bahaya menghadang di mana-mana. Buktinya
sekarang ini kita menghadapi kesulitan besar. Selain kita mencari Kakek Segala
Tahu, menurutmu apa yang harus kita lakukan?"
"Kau lebih berpengalaman dan pandai. Ilmumu lebih tinggi dariku. Seharusnya kau
yang mencari jalan," jawab Anggini.
"Aku rasa kita perlu membagi pekerjaan... waktu kita sempit sekali."
"Hemm... membagi pekerjaan bagaimana?" tanya Anggini.
"Kau mencari tahu di mana sarangnya Dewi Ular. Jika kau merasa sanggup
menghadapi sendiri lakukanlah, kalau tidak, minta bantuan sahabat dari golongan putih.
Apapu n yang kau lakukan, paling tidak sudah diketahui keberadaan perempuan itu..."
"Lalu kau sendiri melakukan apa?"
"Aku akan mencari Datuk Bululawang, berusaha merampas paku sakti itu dari
tangannya. Aku juga mencari Kakek Segala Tahu..."
Anggini yang berjalan cepat di samping Wiro berpikir sejenak. Kemudian dia
berkata. "Bagaimana kalau diatur begini. Aku yang mencari kakek Segala Tahu dan Datuk
Bululawang, kau yang mencari Dewi Ular..."
"Heh!" Wiro agak tercekat mendengar ucapan Anggini. Dia berjalan lebih cepat
hingga selangkah di depan Anggini. Dia berpaling dan perhatikan wajah gadis itu.
Dilihatnya sang
dara tersenyum. Senyum yang sulit diartikan Wiro.
"Setahuku Datuk Bululawang memiliki kemampuan tinggi dan berhati sejahat iblis.
Aku tidak merendahkan kepandaianmu sendiri, namun rasanya lebih baik...
" "Rupanya kau takut bertemu dan menghadapi Dewi Ular?" memotong Anggini lalu
tertawa lebar. "Dia hanya seorang perempuan cantik, apa yang ditakutkan" Lagi pula,
siapapun dia, aku yakin tidak akan bisa mengalahkanmu.
" "Ah, dia memojokkanku.." ujar Wiro dalam hati. "Atau sengaja menjebakku. Tapi
kenapa" Karena aku tidak pernah memberikan jawaban atas perjodohan itu?" dia melangkah
terus. "Bagaimana?" Anggini bertanya. "Jadi betul kau mau mencari Kakek Segala Tahu dan
Datuk Bululawang karena takut menghindari pertemuan dengan si cantik Dewi Ular
itu" " "Siapa takut padanya!" Wiro jengkel dan menjawab agak keras.
"Bagus! Pekerjaan sudah dibagi, di kaki bukit kita berpisah. Kau mencari Dewi
Ular, aku mencari Kakek Segala Tahu dan Datuk Bululawang...
" "Hemmm.." Wiro garuk-garuk kepala. "Kalau begitu maumu aku terpaksa mengikut
saja... " "Jangan bilang terpaksa. Katakan iya atau tidak. Itu saja!
" Dalam gelap, sambil berjalan cepat, Pendekar 212 palingkan kepala menatap wajah
Anggini. Gadis itu balas memandang. "Ucapannya tegas dan air mukanya keras. Ada apa
sebenarnya dengan gadis ini?" dalam hati Wiro bertanya. "Anggini kau tidak suka padaku..."
Wiro akhirnya bertanya.
Si gadis tertawa kecil. "Kenapa kau bertanya begitu?" Wiro lagi-lagi terpojok.
Tapi karena hatinya mulai panas, maka dia bicara apa adanya saja. "Mungkin soal perjodohan
itu...?" Anggini mendongak ke atas. Rambutnya tergerai panjang ke bahu. Dalam bayangan
kegelapan malam, wajahnya tampak anggun sekali. "Apa perlunya menyebut dan
menghubung-hubungkan hal itu. Kalau tidak suka, siapa yang bisa memaksa!"
Mendengar kata-kata itu Wiro hentikan langkahnya sementara sang dara berjalan
terus. "Anggini tunggu! Mungkin kau salah menduga...." Gadis itu berjalan terus. Wiro
cepat menyusul dan memegang lengannya. "Anggini kita perlu bicara agar tidak ada lagi
ganjalan di hati kita masing-masing...
" Tapi gadis itu menarik tangannya kuat-kuat hingga terlepas dari pegangan Wiro.
"Aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan. Semua sudah jelas. Para guru kita juga sama
tahu. Ada ganjalan atau tidak, bagiku tidak ada masalah.
" "Dengar Anggini, kita harus bicara dulu dengan tenang," Wiro berusaha membujuk
sambil memegang bahu setengah memeluk.
Anggini mendorong tubuhnya dengan halus. "Ingat kita sedang menghadapi urusan
besar! Jangan habiskan waktu dengan pembicaraan yang tidak ada artinya....
" "Katamu tidak ada artinya. Bagiku sangat berarti!"jawab Wiro.
"Kalau bagimu sangat berarti, apa saja yang sudah kau lakukan pada diriku"
Adakah kau memberi sedikit saja kejelasan pada guru ataupun padaku"
" "Ah, kau memang mempersoalkan masalah jodoh itu. Aku minta maaf. Mungkin aku dan
guruku Eyang Sinto Gendeng berlaku alpa dan buta...
" "Kalian orang-orang pandai yang tidak pernah alpa dan buta. Bukankah begitu"
Sebaliknya aku dan guruku adalah manusia biasa yang alpa dan buta! Tidak tahu diri! Tidak
tahu malu!" tukas Anggini.
Wiro merasa dadanya mendenyut seperti tertusuk mendengar ucapan murid Dewa Tuak.
"Anggini.. masalah ini bisa kita selesaikan secara baik...
" "Jadi benar kataku tidak perlu dibicarakan saat ini!
" Langkah Wiro kembali terhenti. Anggini berjalan terus. Pendekar 212 menarik
nafas panjang. Dadanya teras bergolak. Dia melompat mengejar, sampai di hadapan gadis itu dia
berkata. "Kau kubebaskan dari segala urusan. Biar aku sendiri yang mencari Kakek Segala
Tahu, Datuk dan Dewi Ular!" kata Wiro dengan suara keras.
Tak kalah lantangnya Anggini menyahut. "Baik, lakukan semua itu olehmu karena
kau seorang pendekar hebat! Aku akan mencari Arto Gempito!" habis berkata begitu
Anggini memutar tubuhnya dan berkelebat pergi.
Wiro jadi terkesima. "Gila! Kenapa urusan jadi kapiran begini"!" ujarnya. Dia
bantingkan kaki kanannya ke tanah, lalu berkelabat ke jurusan lain. Tapi setelah beberapa
lama berlalu dia hentikan langkahnya, berputar ke arah tadi dia datang. "Gadis itu, ah,
bagaimana ini"
Biar kubujuk dia sekali lagi. Kalau tidak mau, ya sudah!" Wiro segera mengejar
ke jurusan perginya Anggini.
Setelah lari dalam gelap menuruni lereng bukit beberapa waktu lamanya, selintas
pikiran muncul dalam benak gadis itu. Hatinya ikut berkata-kata. "Hampir tiga tahun aku
tidak melihatnya. Setelah bertemu, mengapa aku bersikap begitu kasar padanya" Aku
telah berlaku bodoh. Memojokkannya soal perjodohan itu. Mungkin semua itu bukan salahnya! Kini
dia memikul beban berat mencari Datuk Bululawang, Kakek Segala Tahu dan Dewi Ular.
Bagaimana kalau dia juga sampai jatuh ke tangan perempuan iblis itu?"
Karena pikirannya kacau balau, Anggini hentikan larinya. Sesaat dia tegak
terdiam termangumangu. Di depannya ada sebuah pohon besar dengan beberapa cabang
menjulur kokoh. "Sebaiknya aku duduk saja dulu di atas pohon sana, menunggu sampai hari pagi.
Tiba-tiba saja tubuhku terasa letih, aku perlu istirahat. Mungkin tidur beberapa saat."
Berpikir sampai di situ, murid Dewa Tuak itu segera melesat ke atas pohon. Dia
merebahkan tubuhnya di atas salah satu cabang besar. Tapi sulit baginya untuk segera
memicingkan mata.
Ingatannya masih tertuju pada Pendekar 212. Lalu dia sadar akan apa yang
dikatakannya pada
pemuda itu, bahwa dia akan mencari Sandaka Arto Gampito. "sungguh aku telah
berlaku tolol!" katanya dalam hati. "Kalau guru tahu apa yang terjadi ini, pasti dia
akan marah besar, Uh...!"
Selagi gadis ini berpikir dan berkata-kata dalam hati seperti itu, telingan
tiba-tiba menangkap suara sesuatu di bawah pohon. Suara langkah-langkah kaki
yang sangat perlahan. "Wiro...?"
ujar Anggini lalu memandang ke bawah.
Pada saat yang sama, dua bayangan berkelebat dalam kegelapan. Di lain kejap dua
sosok tubuh melayang ke atas pohon. Yang pertama langsung tegak di atas cabang tempat
dia berbaring. Satunya berdiri di cabang sebelah atas. Meski di atas pohon begitu
gelap, tapi karena sangat dekat, Anggini masih dapat melihat siapa adanya dua orang itu.
Yang berdiri di atas cabang pohon tempatnya berbaring adalah seorang kakek
berpakaian rombeng bermuka aneh celemongan belang belentong. Entah dibedaki entah dicat.
Wajah keriputan itu tertutup oleh warna merah, hitam, putih dan kuning. Di ketiak
kirinya, si kakek
Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengepit sebuah tongkat aneh yang ketika diperhatikan ternyata adalah seekor
ular kuning hitam yang telah dikeringkan. Kakek aneh ini memandang kepadanya sambil tiada
hentinya tersenyum-senyum.
Anggini melirik ke atas. Pada cabang di atas kepalanya duduk berjuntai seorang
pemuda. Seperti si kakek, dia juga mengenakan pakaian rombeng penuh tambalan. Wajahnya
bulat dan mulutnya tiada henti menyunggingkan tawa. Murid Dewa Tuak mencium bahaya. Dengan
cepat dia bangkit dan tegak di atas cabang pohon.
"Kalian siapa"!" Anggini bertanya. Sepasang alis si kakek naik ke atas. Alis ini
sebelah kiri dicat putih sedang sebelah kanan berwarna kuning. "Mangar!" si kakek membuka
mulut sambil melambaikan tangannya pada pemuda ynag duduk menjuntai di cabang pohon
sebelah atas. "Dia bisa bicara! Kau dengar tidak"!"
Pemuda di atas pohon tertawa lebar lalu menjawab. "Tentu saja aku dengar kek!
Suaranya merdu! Ha... ha... ha!"
"Suara merdu, paras cantik! Apa lagi"!" si pemuda lalu uncang-uncangkan kedua
kakinya. "Dua orang gila rupanya! Kakek dan cucunya!" ujar Anggini dalam hati.
"Kau tak salah memilihkan jodoh untukku, Kek!" kata si pemuda lagi. Si orang tua
tertawa mengekeh, sementara Anggini seperti disentakkan mendengar ucapan pemuda itu.
"Kalian ini siapa dan bicara apa"!" bentak Anggini. "Jangan membuat aku jadi
marah! " "Aih! Gadis cantik rupanya bisa juga marah! Coba marah! Aku mau lihat!" berkata
si kakek. "Pasti tambah cantik," ujar si anak muda pula.
Anggini hilang sabarnya. "Manusia-manusia edan! Lekas turun dari atas pohon ini!
Kalau tidak jangan salahkan kau aku gebuk!
" "Aduh, tidak sangka calon istrimu ini galak juga rupanya Mangar!" kata si kakek
sanbil geleng-geleng kepala dan tertawa-tawa.
"Kurang ajar!" teriak Anggini marah. Dia loloskan selendang sutera ungu yang
melilit di lehernya. Melihat ini, kakek bermuka celemongan cepat angkat kedua tangannya seraya
berkata. "Tunggu, sabar dulu anak gadis. Aku kenal kau sejak lama. Namamu Anggini dan kau
adalah muridnya kakek sakti bergelar Dewa Tuak, betul kan...?"
Diam-diam Anggini jadi heran bagaimana orang tua tidak dikenal ini tahu akan
dirinya. "Orang tua muka belang! Kalau kau tidak segera memberi tahu siapa dirimu dan
mengatakan apa keperluanmu, aku benar-benar akan menghajarmu!"
"Kau mengancam! Baiklah aku jelaskan. Namaku tidak perlu kau tahu. Aku bergelar
Pemgemis Sinting Muka Belang. Pemuda itu bernama Mangar, dia muridku dan belum
punya gelar. Ha... ha ...ha..! Ketahuilah, aku mencarimu dan sengaja membawa serta
muridku karena aku ingin menjodohkan kau dengan dia...!"
"Gila! Kalian berdua benar-benar sinting!"
"Boleh-boleh saja kau berkata begitu adikku cantik!" pemuda bernama Mangar
menyeletuk. "Sikap dan tutur bicaramu membuat aku ingin segera menikahimu! Kek, bagaimana
ini" Aku sudah tidak tahan mau cepat-cepat kawin dan tidur dengan calon istriku ini!"
"Kurang ajar!" teriak Anggini marah. Selendang ungu di tangan kanannya
berkelebat ke atas. "Wuttt!" "Kraak!"
Cabang pohon tempat pemuda berpakaian rombeng tambalan itu patah. Tubuhnya tak
Darah Perawan Suci 3 Serigala Dari Kunlun Long Cu Ya Sim Karya Kwao La Yen Pendekar Jembel 16
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Dendam Manusia Paku
GEROBAK yang ditarik kuda cokelat tinggi besar itu meluncur kencang di jalan
kecil menurun berbatu-batu. Lelaki berewok bertelanjang dada berbadan kokoh penuh otot
dan memiliki cuma satu mata, menarik tali kekang kuda kuat-kuat. Tapi kuda itu tidak
bisa dikendalikan lagi. Semakin ditahan tali kekang, semakin kencang kuda
menggerakkan kakinya. Di sebuah tikungan, gerobak hampir terbalik, pengemudinya nyaris
terlempar. "Kuda jahanam! Aku memang ingin cepat sampai! Tapi tidak mau celaka!" teriak
lelaki bermata satu. Kembali dia tarik tali kekang. Kepala kuda penarik gerobak
tersentak ke belakang. Dari hidungnya dan mulutnya keluar cairan berbusa. Binatang ini
meringkik keras.
Tapi sama sekali tidak berhenti.
Di balik tikungan, jalan semakin menurun, tambah sempit dan batu-batu besar
bergelimpangan menyembul ke permukaan tanah. Beberapa puluh tombak di bawah
tampak Waduk Selorejo. Dalam musim kemarau panjang. Dalam musim kemarau panjang waduk
itu tak lebih dari sebuah lembah dalam berlumpur ditumbuhi semak belukar dan
pepohonan liar serta tebing batu.
"Binatang jahannam ini benar-benar tidak mau berhenti! Sebentar lagi gerobak
pasti meluncur ke lembah. Aku tidak mau celaka, edan!"
Lelaki di atas gerobak pergunakan tangan kiri membuka tali yang mengikat sebuah
peti besi ke tiang gerobak. Hanya sesaat lagi gerobak itu akan mencebur ke dalam waduk,
dia menyambar peti besi lalu melompat dari atas gerobak. Peti besi yang dipegang
dengan tangan kirinya cukup berat. Tapi hebatnya, begitu melompat ke udara dia mampu membuat
gerakan jungkir balik dan ketika turun kedua kakinya tepat menjejak sebuah batu besar di
bibir waduk. Dari atas batu itu dia melihat kuda dan gerobak menghambur masuk ke waduk. Salah
satu rodanya mental, meloncat ke udara di hantam batu besar. Kuda besar itu meringkik
keras beberapa kali lalu amblas ke dalam lumpur di dasar lembah. Hanya sesaat kakinya
tersembul melejang-lejang, sebelum akhirnya lenyap dari pandangan!
Lelaki brewokan yang mata kirinya picak itu geleng-geleng kepala. Setelah
menarik nafas panjang peti besi diletakannya di batu lalu dia duduk di atas peti itu.
"Pemandangan hebat!" tiba-tiba ada orang berucap di belakang si brewok. Lalu
terdengar tawa mengekeh. Dia cepat berpaling dan cepat melengak kaget. Dia memiliki
kepandaian luar
biasa tinggi, bagaimana mungkin dia tidak mengetahui kemunculan orang ini"
Jawabnya hanya satu. Orang itu pasti memiliki kepandaian lebih tinggi! Lelaki
bertelanjang dada ini
segera berdiri.
"Aku sudah menunggu lama! Kukira kau tidak muncul! Turunlah dari atas batu! Aku
tidak suka berbicara mendongak terus-terusan. Lama-lama leherku bisa salah urat
nanti!" orang
yang bicara kembali tertawa mengekeh. Dia adalah kakek bermata juling yang
selalu berputar
liar kian kemari. Tubuhnya pendek dan pada punggung dekat leher ada sebuah
punuk. Kakek ini mengenakan jubah merah menjela tanah. Rambut kumis dan janggutnya putih
awutawutan. Pada keningnya terikat secarik kain merah. Di tangan kirinya dia
memega ng sebuah
kantong kain tebal yang isinya cukup berat karena kantong itu tampak membuyut ke
bawah. Lelaki di atas batu melompat turun, tapi dia tidak mau terlalu jauh dari peti
besi yang diletakkan di atas batu itu. "Apakah aku berhadapan dengan kakek sakti penguasa
tunggal kawasan timur yang biasa disebut dengan panggilan Yang Mulia Datuk Bululawang
dari Gunung Welirang?"
Si kekek mata juling menyeringai. "Kalau sudah tahu kenapa tidak segera
memberikan penghormatan pada Yang Mulia?" ujarnya.
"Ah!" lelaki bertelanjang dada menyeringai. Dia usap berewoknya lalu memberikan
penghormatan. Kakek yang dipanggil Yang Mulia Datuk Bululawang itu tertawa panjang. Mata
julingnya berputar-putar. "Aku sendiri apakah sedang berhadapan dengan raja diraja rampok
besar kawasan utara selatan bergelar Warok Patiraja Penguasa Rimba Belantara Utara
Selatan"!"
Lelaki mata picak menyerangai. "Nama yang barusan kau sebut itu memang aku
orangnya yang Mulia!"
"Ah! Akhirnya kita bertemu juga. Kabarnya matamu yang tinggal satu punya
kesaktian yang tiada tandingan. Mampu melelehkan besi dan menghancurkan batu! Apakah kau bisa
mempertunjukkan kehebatanmu di hadapanku"!"
"Yang Mulia Datuk Bululawang, waktu kita sempit sekali, Mengapa membuang percuma
dengan segala pertunjukan yang tidak-tidak"!"
"Kau betul Warok Patiraja! Tapi bagaimana aku bisa tahu bahwa yang dihadapanku
ini benar-benar adalah Warok Patiraja, orang yang membuat perjanjian denganku akan
menyerahkan sejumlah batang emas untuk sesuatu yang aku miliki dan tengah
menjadi incaran puluhan tokoh dunia persilatan!?" Pada akhir ucapannya, si kakek
gerakkan sedikit
tangan kirinya yang memegang kantong tebal.
Si mata picak menggerendeng dalam hati. Tapi memang si kakek itu betul. Maka
diapun berkata. "Kalau itu maumu, harap lihat batu di seberang sana..." katanya sambil
menunjuk ke arah sebuah batu besar di pinggiran waduk sebelah kiri. Batu itu terletak
sekitar tiga tombak dari tempat mereka berdiri.
Kakek bermata juling putar kepalanya ke arah batu besar. Perlahan-lahan lelaki
bertelanjang dada arahkan pandangan mata kanannya pada batu besar itu. Bibirnya tampak
bergetar. Mata kanan itu keluarkan suatu kilauan aneh. Terdengar suara "Wusss" disertai
membersitnya sebuah sinar berwarna hitam. "Kraaakk! Byaaarr!"
Batu besar di sebelah sana retak di sembilan tempat lalu hancur berkeping-
keping. "Luar
biasa! Benar-benar luar biasa! Tak percuma kau jadi raja diraja rampok utara
selatan!" si
kakek memuji sambil geleng-geleng kepala.
"Sekarang giliranku. Buktikan bahwa kau memang Yang Mulia Datuk Bululawang.
Manusia sakti yang mampu menjebol tembok batu dengan tangan kosong!"
Si kakek tertawa panjang mendengar kata-kata Warok Patiraja itu. "Rupanya kau
masih kurang percaya kalau aku memang Yang Mulia Datuk Bululawang!" katanya. Lalu
terbungkuk-bungkuk
tubuh pendek berpunuk itu melangkah mendekati sebuah batu besar yang tingginya
hampir sama dengan tinggi kepalanya.
"Perhatikan baik-baik apa yang akan aku lakukan!" kata si kakek. "aku tidak akan
mengulang kedua kali. Apapun yang akan aku lakukan ini jarang kuperbuat dan
berlangsung hanya sekejapan mata!" Habis berkata begitu sampai di depan batu tinggi, si
kakek gerakkan tangan kanannya. Terdengar suara "rrrrtttt." Tangan kanan kanan si kakek amblas
masuk ke dalam batu. Ketika tangan itu ditarik kembali pada batu tinggi kelihatan lobang
besar yang tembus dari satu sisi ke sisi lainnya!
"Hebat sekali!" memuji Warok Patiraja. Dia lalu menunjuk pada peti besi di atas
batu di sampingnya. "Sesuai perjanjian, aku sudah membawa barang untukmu. Apakah isi
kantong itu barang untukku"!"
Datuk Bululawang telan ludahnya lalu mengangguk. "Boleh aku melihat isi peti
ini?" tanya si
kakek. Warok Patiraja cepat membuka dua buah grendel besar pengunci peti. Begitu pintu
besi dibuka, membersitlah sinar kekuningan dari batangan-batangan emas yang ada di
dalam peti. "Semua berjumlah duapuluh batang..." berkata Warok Patiraja. Datuk Bululawang
menyeringai. Mata julingnya memandang sekilas ke dalam peti. Lidahnya berulang
kali dijulurkan membasahi bibir.
Warok Patiraja tutup peti dan memasang grendelnya kembali. "Boleh aku melihat
isi kantong itu?" tanyanya.
"Silahkan lihat sendiri!" ujar si kakek. Kantong kain tebal di tangan kirinya
dilemparkannya pada Warok. Lelaki itu cepat menyambuti lalu membuka ikatan tali yang melilit
kantong. Begitu kantong dibuka, dia melihat setumpuk paku besar panjang lebih dari
setengah sejengkal. Paku-paku ini terbuat dari baja yang mengeluarkan sinar putih
benderang. "ada
tiga puluh paku didalam kantong itu. Kau sudah melihat. Apakah kau kini percaya
dan puas "!" tanya Datuk Bululawang seraya melangkah mendekati.
Warok Patiraja mengangguk. "Aku ambil paku-paku ini, kau boleh ambil emas dalam
peti!" katanya. Si kakek mengangguk. "Sekarang kau baru jadi raja diraja rampok utara selatan.
Kelak jika kau sudah menjadi raja diraja rimba persilatan, kuharap saja kau tidak lupa
padaku!" katanya sambil menyeringai dan mata julingnya berputar-putar. "Sekarang bantu
aku menurunkan peti itu. Kau meletakkannya terlalu tinggi di atas batu!"
Warok Patiraja ikat tali penutup kantong berisi paku lalu mengikatkan benda itu
ke sabuk besar di pinggangnya. Dengan dua tangannya yang kukuh, ditariknya peti besi
berisi duapuluh batangan emas. Untuk menarik peti, Warok terpaksa membelakangi si kakek. Pada
saat itulah tiba-tiba tangan kanan Datuk Bululawang melesat ke pinggangnya.
Warok Patiraja menjerit dahsyat ketika tangan kanan Datuk Bululawang
menghancurkan tulang pinggangnya terus menembus perut. Ketika tangan itu ditarik, sebagian
usus besar Warok ikut terbetot dan menyembul di bagian belakang tubuhnya bersamaan dengan
kucuran darah! Si kakek tertawa tinggi. "Manusia tidak tahu diuntung! Manusia jelek sepertimu
bercita-cita gila hendak jadi raja diraja dunia persilatan! Huh!" Dia meludah ke tanah, lalu
sekali renggut saja dia rampas kantong berisi paku yang tergantung di sabuk Warok.
Benda ini cepat
disimpannya di balik jubah merahnya. Kemudian sekali berkelebat dia sudah berada
di atas batu. Peti besi yang berat itu, seperti menjinjing keranjang kosong dengan mudah
ditentengnya. Sebelum melompat turun, dia berpaling pada Warok dan mengumbar
tawa mengekeh. "Dasar tolol! Mana ada rampok yang menjadi penguasa tunggal dunia persilatan!
Ha... ha... ha...! Selamat tinggal Patiraja! Selamat menghadap penguasa akhirat! Mungkin di
situ kau bisa jadi raja diraja akhirat! Ha... ha... ha...!"
Saat itu Warok berada dalam keadaan sekarat. Tubuhnya bersimbah darah dan isi
perutnya semakin banyak membusai lewat lobang besar di pinggang dan di perutnya.
Tersandar pada sebuah batu di belakangnya, dia masih bisa keluarkan ucapan. "Datuk keparat...
Kau kira kau bisa kabur begitu saja..."
Mata kanan Warok Patiraja keluarkan kilauan aneh. Mata itu memandang lurus-lurus
ke arah sosok Datuk Bululawang yang meninggalkan tempat itu dengan cepat. Sang datuk
rupanya tidak bodoh. Dia sengaja mengambil jalan lari begitu rupa hingga satu garis
lurus dengan batu-batu besar yang ada di tempat itu. Dengan demikian tubuhnya terhalang dari
pandangan mata Warok yang berbahaya itu. Akan tetapi di satu tempat Warok masih sempat
melihat sosok kiri si kakek keluar dari garis lurus yang menghalangi dirinya dari batu-
batu besar. Bibirnya bergetar. "Wusss!" sinar hitam melesat.
Di depan sana terdengar jeritan Datuk Bululawang. Bahu kirinya hancur disambar
sinar sakti yang keluar dari mata kanan Warok. Tangan kirinya putus dan hancur berantakan di
udara. Kakek ini jatuhkan diri ke tanah, mengerang kesakitan, sementara darah mulai
membasahi jubah merahnya. Sekujur tubuhnya mengginggil dan mulai terasa panas. Dengan dua
jari tangan kanannya, Datuk Bululawang cepat menotok dada kirinya. Lalu terseok-seok
dia tinggalkan tempat itu. Peti besi dijinjingnya erat-erat di tangan kanan.
Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nafasnya tak karuan.
Di tepi waduk, Warok Patiraja berusaha mencari sosok si kakek dengan pandangan
mata kanannya. Dia maju beberapa langkah, namun tak bisa berbuat banyak. Di satu
tempat lututnya menekuk. Tubuhnya ambruk ke bawah lalu tergelimpang di tebing waduk
Selorejo. Gadis berpakaian ringkas warna ungu itu memacu kudanya sepanjang pesisir selatan
lalu membelok tajam memasuki kawasan luas ditumbuhi pohon kelapa. Pita ungu di atas
kepala dan selendang ungu yang melingkar di lehernya melambai-lambai ditiup angin. Jauh
didepannya membujur deretan bukit-bukit. Tujuannya adalah salah satu dari puncak
bukit itu. Agaknya dia tidak akan sampai ke tujuan dalam waktu dekat. Kuda tunggangannya
sudah terkuras seluruh tenaganya karena dipacu sejak pagi buta tadi.
Semakin jauh dia masuk ke pedalaman semakin tak terdengar deru ombak yang
memecah di pantai. Udara pesisir yang tadinya panas menyengat kini mulai menyejuk karena
hembusan angin dari bebukitan. Semakin dekat ke arah bukit-bukit itu, udara terasa lebih
sejuk. Menjelang rembang petang, kuda dan penunggangnya akhirnya sampai juga di kaki
bebukitan. Namun justru di situlah kuda itu melepas sisa tenaganya yang
terakhir. Dia tak
sanggup lagi berlari. Langkah keempat kakinya gemetaran. Sebelum binatang itu
tersungkur, gadis berbaju ungu melompat. Dia cepat pegang leher kuda agar tidak terjerembab
keras. "Binatang hebat! Aku tak akan memaksamu naik ke atas puncak bukit sana. Aku
terpaksa meninggalkanmu di tempat ini. Aku dikejar waktu..." si gadis memandang
berkeliling. Hatinya merasa lega ketika dia melihat tak jauh dari sana ada sebuah telaga.
Walau airnya tidak terlalu bening, namun cukup menolong kuda yang sudah setengah mati
kepayahan itu. Dipetiknya beberapa helai daun, dengan cepat dibentuknya seperti panci kecil.
Lalu dengan benda itu diciduknya air telaga dan disiramkannya ke mulut serta kepala kuda
yang terbujur di tanah. Sampai delapan kali memberi minum baru si gadis berhenti.
"Aku harus pergi sekarang... Kuharap kau mau menunggu di sini barang satu
malaman..."
setelah mengusap leher dan kepala binatang itu beberapa kali, gadis berpakaian
serba ungu ini segera berkelebat tinggalkan tempat itu.
Tepat pada saat matahari tenggelam, gadis ini sampai di puncak bukit. Dalam
keremangan, dia berlari menuju bagian timur hingga akhirnya tiba di sebuah bangunan batu
yang pintunya tertutup oleh sejenis pohon merambat. Si gadis tak berani menyibakkan daun-daun
pepohonan itu, apalagi masuk ke dalam. Setelah menarik nafas panjang, dia berseru. "Guru,
saya datang! " Tak ada sahutan. "Guru, saya Anggini muridmu datang sesuai pesan!" ia berseru
lebih keras. Dari dalam bangunan batu terdengar suara batuk-batuk beberapa kali. "Jangan-
jangan orang tua itu sedang sakit," pikir si gadis. Dia beranikan diri melangkah mendekati
pintu bangunan.
Tiba-tiba ada suara seperti orang menyembur dari dalam bangunan. Bersamaan
dengan itu menebar bau tuak harum sekali. Gadis baju ungu hentikan langkahnya.
"Ah, dia ada di dalam rupanya," kata si gadis lega, dan kini tampak tersenyum.
Kembali dia melangkah maju. Mendadak, "Wusss!" Ada kilatan api. Lalu daun-daun pohon jalar
yang bergelantungan menutupi pintu bangunan batu tenggelam dalam kobaran api.
"Muridku, masuklah! Aku memang sudah lama dan penat menunggumu!
" Anggini sang murid tentu saja jadi terkesiap. Bagaimana dia bisa masuk dalam
bangunan sementara satu-satunya jalan masuk tertutup oleh kobaran api" "Hai! Apakah kau
sudah tuli anggini"! Tak kau dengar aku menyuruhmu masuk"!" terdengar suara orang di dalam
bangunan agak gusar.
"Guru..."
"Jangan bicara saja, masuklah!" orang di dalam bangunan batu akhirnya membentak
hilang kesabaran. Sesaat si gadis masih terkesima. Namun di lain kejap dia gerakkan
tangan ke leher
membuka gelungan selendang ungu lalu melompat ke arah pintu seraya mengibaskan
selendang tiga kali berturut-turut.
Tiga gelombang angin menderu dahsyat, menerbangkan pasir dan batu-batu kecil.
Melabrak daun-daun pohon jalar yang dikobari api. Api yang membakar pohon serta merta
padam sementara pohonnya sendiri tidak patah atau remuk dihantam tiga gelombang angin
tadi. Ketika sang dara melompat masuk ke dalam, selendang ungunya sudah melingkar
kembali di lehernya. Di dalam bangunan kini terdengar suara tawa bergelak. Lalu, "gluk-gluk-gluk"
menyusul suara seperti seseorang tengah meneguk minuman dengan lahap. Di dalam bangunan,
Anggini sempat terkesiap. "Ah, belum berubah juga dia rupanya..." lalu gadis ini cepat-
cepat menjura lalu duduk bersimpuh di lantai.
"Hebat...! Jurus Selendang Dewa Memagut Naga Membungkam Matahari yang kau
mainkan tadi sungguh sempurna! Kalau tidak kubegitukan tadi, mana kau mau memperlihatkan
kepandaianmu! Ha...ha...ha...!"
"Guru, harap maafkan murid. Saya tak tahu kalau guru bermaksud menjajal
kepandaian saya yang rendah!"
Orang di hadapan si gadis tertawa mengekeh. Lalu, "gluk-gluk-gluk" enak saja dia
meneguk sejenis minuman keras yang harum dari bibir sebuah tabung bambu. Orang ini
adalah seorang tua berambut putih yang janggutnya menjulai sampai ke dada. Pakaiannya selempang
kain biru. Saat itu dia duduk di atas sebuah bumbung bambu yang ditegakkan di lantai
sambil uncang-uncang kaki. Di pangkuannya melintang sebuah tabung bambu lagi. Bumbung
ini berisi tuak murni luar biasa harumnya yang disebut dengan Tuak Kayangan. Dan si
orang tua ini tak lain adalah Dewa Tuak, salah seorang dedengkot rimba persilatan di masa
itu! "Guru, apakah kau selama ini sehat-sehat dan baik-baik saja?" Anggini bertanya.
"Ya.. ya Aku selalu sehat dan baik-baik saja. Berkat ini!" jawab Dewa Tuak
sambil menepuk bumbung-bumbung bambu di pangkuannya.
"Saya gembira mendengar hal itu...." kata sang murid. Dia diam sesaat lalu baru
meneruskan ucapannya. "Sesuai pesan yang saya terima, saya sudah datang dan berada di
hadapan guru. Gerangan apakah guru memanggil saya?"
"Ah, kau rupanya tak mau berbasa-basi. Ingin langsung pada tujuan." Dewa Tuak
tersenyum lebar. Dia usap-usap janggut putihnya beberapa kali baru teruskan
ucapan. "Baiklah, aku memang perlu bicara padamu. Anggini muridku, ketahuilah dunia
persilatan dalam waktu dekat ini akan dilanda malapetaka besar kalau orang-orang tua buruk
sepertiku ini tidak lekas-lekas mengambil tindak pencegahan...
" "Rupanya ada tokoh-tokoh sesat golongan hitam hendak berbuat ulah?" tanya
Anggini. "Bisa dikatakan begitu. Tapi pangkal bahayanya adalah seperti yang akan aku
tuturkan padamu... " Puncak Gunung Kelud. Langit tampak mendung sejak pagi. Sang surya sama sekali
tidak kelihatan menyembul. Keadaan saat itu seolah menjelang malam hari. Sementara
hujan turun rintik-rintik dan udara terasa sangat dingin.
Di tempat persemadiannya Eyang Gusti Kelud Agung duduk bersila di lantai, hanya
beralaskan sehelai kulit kambing. Kedua tangannya diletakkan di atas paha. Mata
terpejam, tubuh tak bergerak barang sedikit pun. Kalau saja tidak ada hembusan nafas yang
menimbulkan asap tipis akibat dinginnya udara, orang tua berusia hampir seratus
tahun ini tidak beda seperti sebuah patung. Walau usia sudah lanjut begitu rupa, tapi dia
masih memiliki tubuh tegap dan wajah segar. Semua ini akibat latihan jasmani dan
kekuatan rohani
serta hawa sakti yang sudah mencapai tingkat tinggi dan jarang orang
menguasainya. Di hadapan Eyang Gusti Kelud saat itu duduk seorang lelaki berusia 30 tahun. Dia
hanya mengenakan sehelai cawat sehingga kelihatan tubuhnya yang kukuh penuh otot. Pada
leher dan dadanya terdapat banyak tanda-tanda kemerahan seolah bekas gigitan. Lelaki
muda ini tidak hitam ataupun coklat tetapi berwarna kehijau hijauan membersitkan sinar
aneh kalau tak dikatakan menggidikkan. Lelaki ini menatap pada kakek yang ada di hadapannya.
Dia sudah berada di tempat itu sejak malam tadi. Dan Eyang Gusti Kelud masih saja
bersemadi. Sampai
kapan dia harus menunggu" Kalau dengan orang lain mungkin dia berani mengganggu
semadi itu atau meninggalkan si kakek begitu saja. Tapi terhadap sang guru tentu saja
dia tak berani berbuat begitu.
Waktu berjalan terus. Siang pun datang. Udara terang sedikit tetapi sang surya
masih belum kelihatan. Sepasang mata hijau lelaki muda itu melihat gerakan pada urat nadi di
leher Eyang Gusti Kelud Agung. Hatinya menjadi lega. Ini satu pertanda bahwa si kakek akan
mengakhiri semadinya. Benar saja. Tak lama kemudian terlihat getaran-getaran teratur pada
bagian dada orang tua itu. Setelah itu kepalanya bergerak sedikit. Menyusul dengan
terbukanya kedua
matanya sedikit demi sedikit.
Begitu melihat mata sang guru membuka, pemuda tadi segera membungkuk dalam-
dalam. Kepalanya hampir menyentuh kaki si kakek. Dan dia tetap dalam keadaan seperti
itu sampai dia mendengar suara Eyang Gusti Kelud Agung berkata. "Sandaka Arto Gampito, kau
boleh mengangkat tubuhmu."
Lelaki muda itu cepat angkat tubuhnya, duduk dengan sikap tegak dan memandang
pada orang tua di hadapannya. Dua mata bening Eyang Gusti Kelud Agung serta merta
melihat perubahan besar telah terjadi dengan diri muridnya. Hatinya memelas sedih.
"Dua puluh tahun lebih aku mendidiknya untuk menjadi manusia berbudi pendekar
sejati. Ternyata semua itu sia-sia belaka. Ya Tuhan, apa dosaku pada-Mu hingga kau
turunkan malapetaka ini pada muridku" Jika dia yang berdosa biar aku yang menampung semua
dosanya. Jangan dia. Diriku akan segera datang menghadap-Mu, tapi dia masih
muda, jalan hidupnya masih panjang. Ya Tuhan, aku mohon petunjuk-Mu..."
"Eyang, saya datang menghadap Eyang. Semoga kedatangan saya berkenan di hati
Eyang..." "Sandaka, aku senang melihat kau datang. Tapi hatiku juga sangat sedih melihat
keadaanmu seperti ini..." berucap Eyang Gusti Kelud Agung dengan suara tersendat.
"Saya tahu bagaimana perasaan Eyang, namun mungkin semua ini sudah jalan nasib
saya. Semua yang terjadi adalah kelalaian dan kesalahan saya. Biarlah kelak saya yang
menanggung hukuman atas segala dosa..."
"Sandaka, apa yang sudah terjadi memang sudah tidak bisa diperbaiki lagi.
Mungkin suatu ketika ada suatu kekuatan atau mukjizat yang bisa mengembalikan dirimu seperti
dulu lagi. Namun yang sangat aku sesalkan adalah karena kau tidak mendengarkan nasihatku.
Ketika kau kulepas tahun lalu aku sudah berpesan, jangan sekali-sekali kau dekati
apalagi berhubungan dengan Kunti Ambiri perempuan jahat bergelar Dewi Ular itu. Sejak
kau berada di sini, aku tahu secara diam-diam dia datang mengintai dan memperhatikan
dirimu. Dia terpikat pada dirimu. Ternyata kau bukan saja masuk pada perangkapnya tapi
juga jatuh cinta padanya...!"
"Eyang, saya tahu dosa dan kesalahan saya. Ketika Eyang melepas saya setahun
lalu walau memiliki kepandaian tinggi tapi saya masih buta pengalaman. Dunia luar serba
asing bagi saya. Sampai akhirnya saya masuk dalam perangkap Dewi Ular... Saya tidak mampu
mencegahnya. Saya berada di bawah kekuasaannya, tak mampu keluar dari
genggamannya..."
Orang tua di hadapan Sandaka menarik nafas panjang. "Jangankan kau, orang yang
berkepandaian tinggi seratus kali darimu pun sekali melakukan hubungan badan
dengan Dewi Ular, seumur hidup tak akan sanggup membebaskan diri dari cengkeramannya.
Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seumur hidup akan jadi budak nafsunya. Cairan dalam tubuh Dewi Ular telah mengalir
dalam darahmu. Tak mungkin dibersihkan lagi...!"
Lama Sandaka termenung mendengar kata-kata gurunya itu. Apa yang diucapkan orang
tua itu memang benar adanya. Sejak dia terpikat dengan Dewi Ular dan melakukan
hubungan badan sampai beberapa kali, sejak itu pula dia tak mampu membebaskan diri dari
kekuasaan perempuan itu. Dia melakukan apa saja yang diperintahkan tanpa berpikir apakah
hal itu baik atau buruk. "Eyang, kalau memang begini keadaan saya, saya bersedia menerima hukuman apa
pun. " "Hukuman bisa saja dilakukan atas dirimu. Tidak olehku, mungkin oleh orang lain.
Mungkin juga oleh dirimu sendiri...
" "Maksud Eyang, saya sebaiknya bunuh diri saja?" tanya Sandaka.
Orang tua itu tersenyum pahit. Dia melihat ada kilatan aneh pada sepasang mata
muridnya. "Aku tidak menganjurkan kau melakukan bunuh diri. Ketahuilah, tidak suatu
kekuatan pun di
dunia ini yang sanggup membunuhmu! Kecuali kekuatan Tuhan atau atas petunjuk
dari-Nya. Cuma, aku melihat masih ada satu jalan. Ada penyakit dalam tubuhmu. Untuk
mengobatinya, harus melenyapkan sumbernya...
" "Maksud Eyang"
" "Sanggupkah kau membunuh Dewi Ular"
" Paras Sandaka Arto Gampito tidak berubah. Tapi sang guru lagi-lagi melihat ada
kilatan cahaya menggidikkan di kedua mata muridnya. "Sandaka, coba kau perhatikan
dirimu. Pakaianmu hanya selembar cawat seolah kau hidup di zaman manusia tidak beradab.
Pengaruh cairan tubuh beracun Dewi Ular membuatmu hanya bisa tidur satu tahun
sekali. Itu pun tidak bisa lama dan tak diketahui kapan kau bisa tidur. Dua bola matamu
hijau juga akibat pengaruh cairan dari tubuh Dewi Ular. Di situ kekuatanmu terpusat. Kau
dijadikan hamba sahayanya bukan cuma sebagai pemuas nafsu tapi juga untuk melakukan apa
saja yang dimintanya. Coba kau ingat, sudah berapa banyak orang-orang persilatan yang
menjadi korbanmu atas perintah Dewi Ular...
" Eyang Gusti Kelud Agung hentikan ucapannya. Dia melihat tubuh muridnya bergetar
lalu kulit tubuh sampai ke leher terus ke muka perlahan-lahan berubah kehijau-
hijauan. Di dalam
diri Sandaka, tiba-tiba saja ada suara iblis menggelegar. "Orang tua ini harus
kubunuh! Harus kubunuh! Tapi dia guruku! Dia guruku! Persetan siapapun dia adanya! Harus
kubunuh sekarang juga!
" Sandaka berdiri. "Kau mau ke mana muridku?" Tanya Eyang Gusti Kelud Agung.
"Saya terpaksa harus mem..." Sandaka tidak teruskan ucapannya, agaknya dia masih
bisa menguasai diri. "Saya harus pergi sekarang juga Eyang" Dia putar tubuhnya cepat-
cepat. "Tunggu dulu Sandaka. Masih ada satu hal yang mau aku bicarakan. Ini sangat
penting karena masih menyangkut kehidupan masa depanmu...
" "Saya sudah tidak punya masa depan Eyang...." Sandaka segera hendak beranjak
pergi. "Dengarkan dulu apa yang akan kukatakan, baru kau boleh pergi...
" "Jika Eyang memaksa, saya terpaksa...
" "Membunuhku?" ujar si orang tua dengan senyum kecut. "Kau boleh membunuhku
setelah mendengar penuturanku...
" Warna kulit dan bola mata Sandaka semakin menghijau. Badannya menggeletar tanda
dia berusaha keras menahan gejolak keinginan untuk membunuh yang membakar dirinya.
"Kalau begitu katakan saja cepat Eyang apa yang mau kau bilang...!"
"Sembilan puluh tahun yang lalu ketika aku masih kecil, guruku pernah bercerita
tentang tigapuluh buah paku sakti terbuat dari baja murni. Paku ini dibuat oleh seorang
syekh sakti yang bermukim di daratan Tiongkok selatan. Konon paku ini punya kekuatan daya
penyembuhan luar biasa. Aku mempunyai firasat paku sakti itulah yang sanggup
membersihkan darah dalam tubuhmu. Caranya, tigapuluh buah paku itu haru s
dipantekkan ke tubuhmu. Mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki. Namun ada satu akibat yang
tidak dapat dielakkan. Walau pengaruh Dewi Ular akan pupus dari dirimu, tetapi kau kelak
akan berada di bawah kekuasaan baru yang mungkin lebih dahsyat..."
Ucapan Eyang Gusti Kelud Agung terhenti ketika tiba-tiba ruangan semadi itu
bergetar oleh berkelebatnya suatu bayangan hijau yang mengeluarkan angin mengandung hawa aneh.
Lalu terdengar suara orang berkata. "Sandaka! Lama aku mencarimu! Tak tahunya kau
berada di sini, bicara segala isapan jempol pepesan kosong!"
Seorang perempuan muda berwajah cantik luar biasa, mengenakan pakaian panjang
terbuat dari sutera halus berwarna hijau, tiba-tiba tegak di samping Eyang Gusti Kelud
Agung. Bau tubuhnya yang harum, menebar di ruangan itu. Di atas kepala yang rambutnya di
konde besar di sebelah belakang ada sebuah mahkota kecil berbentuk kepala ular terbuat dari
emas, memiliki sepasang mata terbuat dari permata berwarna hijau.
"Dewi...!" seru Sandaka lalu cepat bangkit mendatangi perempuan itu.
"Kekasihku...!" jawab Dewi Ular seraya mengembangkan kedua tangannya. Begitu
Sandaka sampai di hadapannya, langsung dirangkulnya. Sandaka membalas penuh nafsu. Dewi
Ular julurkan lidahnya. Sandaka hisap lidah itu sampai mengeluarkan suara keras.
Tidak hanya sampai di situ. Seolah mereka hanya berdua saja yang ada di situ, keduanya
baringkan diri di
lantai, berguling-guling sambil terus berpelukan dan berciuman.
Wajah Eyang Gusti Kelud Agung tampak merah mengelam. Dia membentak marah.
"Manusia-manusia kotor! Keluar kalian dari tempat ini! Jangan kalian berani lagi
menginjak puncak Gunung Kelud ini!
" Dewi Ular tertawa tinggi. Digigitnya leher Sandaka penuh nafsu hingga
meninggalkan tanda
merah. Lalu dia melompat bangkit, Sandaka ikut berdiri. Sambil merangkul lengan
lelaki itu, Dewi Ular berkata. "Sandaka kekasihku, kau tadi mendengar segala macam
ucapannya! Betul..." " "Aku memang mendengar Dewi, tapi aku tidak peduli!
" Dewi Ular kembali tertawa panjang. "Kurasa tua bangka ini hanya satu rongsokan
tak berguna. Apa pendapatmu Sandaka"
" "Memang aku juga merasa begitu..." jawab Sandaka.
Wajah Eyang Gusti Kelud Agung kaku membesi. "Sandaka! Sebut nama Tuhanmu!
Bebaskan dirimu dari pengaruh jahat perempuan iblis ini!
" Dewi Ular cuma ganda tertawa mendengar ucapan orang tua itu. "Apa tindakan kita
terhadap manusia-manusia tidak berguna di atas dunia ini Sandaka?" Dewi Ular kembali
berucap. "Harus dibasmi. Harus disingkirkan karena Bumi tidak layak dihuni oleh orang-
orang semacam dia! " "Sandaka!" seru Eyang Gusti Kelud Agung.
"Kekasihku, aku senang mendengar ucapanmu! Sekarang lakukan apa yang harus kau
lakukan! Bunuh tua bangka tak berguna itu!
" Eyang Gusti Kelud Agung cepat berdiri ketika dilihatnya Sandaka Arto Gampito
maju dua langkah mendekatinya. Dua bola matanya menjadi sangat hijau. Ketika lelaki ini
mengedipkan kedua matanya itu, dua larik sinar hijau menderu menyambar ke arah
kepala dan dada sang guru.
Orang tua itu membentak keras. Sambil menyingkir ke samping, dia cepat
membentengi diri
dengan dua buah pukulan tangan kosong mengandung hawa sakti. Angin yang keluar
dari dua telapak tangan Eyang Gusti Kelud Agung itu laksana deru topan dan mengeluarkan
sinar kelabu. "Bummmmmm!Bummmmm!"
Dua ledakan menggelegar. Asap kelabu dan hijau menutupi pemandangan. Atap dan
dinding ruangan runtuh. Lantai mencuat hancur berantakan. Sandaka dan Dewi Ular
terlempar jauh,
lalu jatuh di tanah saling menindih. Ketika asap hijau dan kelabu pupus,
kelihatanlah tubuh
Eyang Gusti Kelud Agung terkapar di antara reruntuhan bangunan. Kepalanya hancur
dan sekujur badannya remuk. Seluruh sosoknya kelihatan hijau gelap.
Sandaka merasakan dadanya mendenyut sakit. Nafasnya memburu. "Kau tak apa-
apa..." " bisik Dewi Ular.
"Hanya merasa sesak sedikit..." jawab Sandaka. Dia memandang ke arah mayat
gurunya, lalu berkata, "Guruku... dia tewas...
" "Orang tua itu bukan gurumu!" tukas Dewi Ular. "Dia tak lebih dari seorang tua
bangka tolol! Tak ada gunanya! Kau telah melakukan sesuatu yang betul. Membunuhnya! Aku
bangga punya kekasih sepertimu!" Dewi Ular lalu merangkul dan menciumi Sandaka.
Keduanya berguling-guling di tanah. "Tempat ini terlalu dingin..." bisik Dewi
Ular. "Dalam
perjalanan ke sini aku melihat ada sebuah pondok kayu...
" "Kalau begitu, kita segera menuju ke sana..." jawab Sandaka.
"Ya... memang itu mauku. Tapi apakah kau tidak mau menggeluti dadaku terlebih
dulu" " Habis berkata begitu, Dewi Ular buka lebar-lebar baju suteranya hingga
payudaranya yang
besar dan putih menyembul menantang, membuat Sandaka seperti mau gila dan
langsung saja mendekapkan kepalanya ke dada perempuan itu.
Selagi Anggini masih termangu mendengarkan penuturan gurunya, Dewa Tuak kembali
teguk dengan lahap tuak dalam bumbung bambu sampai mulut dan dagunya berselomotan.
"Apa yang ada dalam benakmu Anggini"
" "Penuturanmu mengerikan sekali guru," jawab Anggini. "Kalau Sandaka bisa
membunuh gurunya sendiri semudah membalik telapak tangan, apa lagi membunuh orang lain!
" "Justru itulah yang ditakutkan orang rimba persilatan. Belasan tokoh tingkat
tinggi dalam dunia persilatan telah dihabisinya. Pada saatnya mungkin aku juga akan menjadi
korbannya... Aku dan kawan-kawan sudah siap menjaga segala kemungkinan. Di luar
terdengar kabar bahwa paku baja putih dikuasai seorang kakek sakti yang terkenal
dengan nama Yang Mulia Datuk Bululawang. Orang ini kabarnya diam di Gunung Welirang.
Celakanya kakek Bululawang mencari kesempatan dalam kesulitan. Dia gunakan paku-
paku itu untuk kepentingannya sendiri. Kenyataannya dia telah berhasil mengumpulkan
sebagian besar harta kekayaan dan membunuh tokoh yang menginginkan paku itu. Di luaran
tersiar kabar bahwa siapa pun yang berhasil menguasai Sandaka Arto Gampito maka ia akan
menguasai rimba persilatan...
" "Berarti kejahatan akan berlangsung terus...
" "Mungkin begitu muridku. Namun siapa pun yang menguasai Sandaka akan lebih baik
dari pada saat ini dia dikuasai Dewi Ular. Lagi pula orang lain itu mungkin lebih
bisa ditumpas dari pada Dewi Ular.
" "Saya teringat pada senjata rahasia yang dulu guru berikan," kata Anggini sambil
meraba pinggang pakaiannya di mana tergantung sebuah kantong berisi senjata rahasia
berbetuk paku terbuat dari perak. "Justru benda itu yang menjadi salah satu alasan aku
memanggilmu ke mari. Ada selentingan bahwa beberapa tokoh silat menganggap paku itu adalah paku
sakti keramat yang bisa melumpuhkan Sandaka lalu menguasainya. Berarti kau harus hati-
hati Anggini. Salah duga bisa menjadi malapetaka bagimu.
"
Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ucapan Dewa Tuak membuat Anggini merasa tidak enak. "Lalu apa yang harus
diperbuat guru?" tanya gadis itu.
"Aku minta kau segera mencari pendekar 212 Wiro Sableng..." Dewa Tuak
menghentikan katra-katanya ketika dilihatnya wajah sang murid tiba-tiba memerah.
"Eh, ada sesuatu dalam benakmu"
" "Dewa Tuak, saya lebih suka kau menyuruh aku lakukan sesuatu yang lain dari pada
mencari pemuda itu..."
"Hem... aku tahu mengapa kau bicara begitu," kata Dewa Tuak sambil tertawa-tawa
gelakgelak. "Kau kecewa padanya karena baik dia maupun gurunya belum selesai
membahas soal perjodohan kalian."
"Saya tidak pernah kecewa!" jawab Anggini tegas walau diam-diam hati sanubarinya
memelas. "Saya hanya ingin mengatakan ini kepadamu guru. Jika orang tidak suka,
mengapa harus memaksa?"
"Hemm..." Dewa Tuak bergumam sambil mengelus-elus bumbung di pangkuannya. "Tidak
ada yang tidak suka. Tidak ada yang memaksa. Tapi... sudahlah. Urusan
perjodohanmu sudah kubicarakan lagi dengan Sinto Gendeng beberapa waktu lalu sewaktu aku
menyambanginya di puncak Gunung Gede. Urusan sekarang yang lebih penting adalah
soal Sandaka. Sudah diketahui bahwa hanya paku baja putih itu yang sanggup
melumpuhkannya.
Di tangan siapa paku itu sekarang juga sudah diketahui. Yang belum diketahui
adalah kapan Sandaka tidur. Dia hanya mampu ditundukkan pada saat tidur. Dalam setahun
tidurnya hanya sekali. Itupun tidak lama. Jadi kau harus mencari tahu kapan dan di mana
tidurnya. Kau juga harus mendapatkan paku sakti itu agar tidak ke jatuh ke tangan orang
yang sama brengseknya seperti Dewi Ular..."
"Saya seperti mencari sebutir kelapa di tengah samudera luas..." Dewa Tuak tertawa
mendengar jawaban muridnya. "Itu sebabnya aku minta kau segera mencari Pendekar
212. Kalau sudah ketemu, segera hubungi Kakek Segala Tahu, pasti orang tua itu bisa
menjelaskan yang kau perlukan."
"Kalau begitu pesan guru segera saya lakukan. Bolehkah saya minta diri
sekarang?"
"Tentu saja, tapi tidak perlu buru-buru. Kita masih ada sedikit waktu untuk
berbincangbincang. Apa kau tidak ingin menikmati tuak kayangan ini beberapa
teguk?" Si kakek tutup ucapannya dengan melemparkan bumbung bambu ke arah muridnya.
Lemparan itu bukan sembarang lemparan karena ujung bumbung bambu melesat
menyambar ke arah dada Anggini. Maklum sang guru lagi-lagi sedang menjajaki kemampuan
Anggini. Anggini cepat menggeser kaki, dan tubuhnya dimiringkan ke kanan, tangan kirinya
diangkat sedikit. Dan di lain kejap, bumbung yang dilempar Dewa Mabuk sudah di tangan
kirinya! *** Sosok dalam gelap itu menyelinap mendekati pintu bangunan di puncak bukit. Tanpa
suara seperti setan bergerak. Sesaat dia berhenti. Ada keraguan dalam hatinya.
"Jangan-jangan dia
tidak berada di sini. Bagaimana aku harus menyampaikan pesan" Di tengah jalan
ada seekor kuda hampir mati kecapaian. Pasti ada orang yang baru datang berkunjung sebelum
aku ke tempat ini. Berarti ada satu atau dua orang dalam bangunan batu itu. Tapi
mengapa keadaan
sunyi" Tak ada lampu menyala. Aku tahu betul kebiasaan orang tua itu. Tidak bisa
tidur kalau tidak ada lampu..."
Baru saja orang di depan pintu bangunan batu membatin seperti itu, tiba-tiba ada
suara menegur. "Hanya manusia jahat biasanya menyelinap ke tempat orang!" Lalu,
"Wutt!!"
orang di depan pintu merasakan sambaran angin di bagian belakang kepalanya.
"Hemm... hanya manusia licik yang menyerang dari belakang!" Orang ini membalik
dengan cepat seraya angkat tangannya melidungi kepala. "Bukk" Dua lengan beradu keras
dalam kegelapan. Si penyerang terpental sampai tiga langkah dan keluarkan pekikan
keras. Yang menangkis terjajar satu langkah.
"Aku seperti mengenali suara itu!" kata penangkis sambil menahan bahu kanannya
yang terasa mendenyut. Dia besarkan kedua matanya. Tapi malam begitu gelap. Dia tidak
bisa mengenali wajah itu. Yang jelas suaranya adalah suara perempuan. Dia tidak bisa
berpikir panjang-panjang karena sosok di depannya kembali menyerang dengan cepat.
"Gila! jurus-jurus serangannya ganas dan menyerang bagian yang mematikan!"
membatin yang diserang. Karena mengalah dan hanya mengambil sikap bertahan, beberapa
serangan lawan berhasil mendarat di tubuh dan lengannya. Dari pada lebih celaka orang ini
berseru. "Hentikan serangan. Antara kita mungkin sudah saling kenal!
" "Seorang kenalan tidak akan menyusup seperti seorang pencuri!
" "Hai aku bukan pencuri!
" "Kalau begitu maling!
" "Juga bukan. Aku ke mari mencari seseorang!
" "Lalu kau siapa"
" "Katakan dulu siapa kau"
" "Kurang ajar!" si perempuan memaki lalu kembali hendak menyerbu. Kali ini dia
melepaskan benda di leher yang sejak tadi melilitnya. Hal ini dilihat orang di
hadapannya. Sehelai selendang!
"Astaga! Benar dugaanku! Kau pasti Anggini! Murid tokoh silat Dewa Tuak yang aku
segani!" Si penyerang terkesiap. Bukan saja menghentikan serangan tapi malah
mundur beberapa langkah sambil memandang dengan mata dibesarkan, berusaha mengenal
orang di depannya. "Wiro...! " "Anggini..!
" Dari dalam bangunan terdengar suara tawa mengekeh disusul... "gluk... gluk...gluk"
suara orang minum dengan lahap. Tidak lama kemudian keluarlah sosok tubuh orang tua
berjanggut putih. "Dewa Tuak..." Orang di depan Anggini memanggil lalu memberi hormat.
Dewa Tuak tertwa tergelak-gelak sambil bolang-balingkan bumbung bambu berisi
tuak di depan dadanya, sementara Anggini tegak tidak bergerak dengan hati diliputi
berbagai rasa. "Pendekar 212 sableng! Kau datang pada saat yang tepat! Hingga muridku tidak
susah mencarimu!" kata Dewa Tuak sambil berpaling kepada muridnya lalu berkata. "Aneh,
kenapa kau seperti patung dan gagu" Apakah kau tidak gembira ketemu dengan kakakmu ini,
Anggini" " Kalau saja tidak gelap, Wiro dan kakek Dewa Tuak niscaya melihat pipi Anggini
yang bersemu merah karena jengah.
"Tentu... tentu saja kami bergembira guru. Lama sekali kami tidak bertemu...." ujar
Anggini. "Betul...,"sahut murid Eyang Sinto Gendeng. "Kalau tidak salah hampir tiga
tahunan.... " "Rejeki..., pertemuan, maut dan langkah, memang bukan maunya manusia. Itu semua
kekuasaan Gusti Allah. Tapi kalau aku boleh nanya, gerangan apa yang membawamu
ke mari Wiro?" habis bertanya, kakek mendekatkan bibir ke bumbung dan mendongak..
. "Gluk... Gluk... Gluk...!" Lahap sekali dia meneguk tuak kayangan yang beraroma harum
itu. "Saya diminta Eyang Sinto menemuimu.
" "Hemmm, pesan apa yang kau bawa anak muda"
" "Menyangkut masalah besar yang kini tengah berlangsung di rimba persilatan di
tanah Jawa ini... Munculnya pemuda berkesaktian luar biasa bernama Sandaka Arto Gampito,
hamba sahaya dan budak nafsu Dewi Ular.
" "Apa saja yang diketahui gurumu tentang orang itu"
" "Dewi Ular akan mempergunakan Sandaka untuk menguasai rimba persilatan. Beberapa
tokoh silat tingkat tinggi telah dihabisinya secara keji. Di puncak Merapi
beberapa waktu lalu pendekar silat dari timur bergabung dengan jago dari selatan. Mereka
berjumlah empat
belas orang. Mereka berhasil menjebak dan mengurung Sandaka di sebuah lereng.
Namun semua disapu habis! Sulit dipercaya ada orang memiliki kepandaian seperti itu....
" "Sandaka bukanlah manusia lagi," kata Dewa Tuak. "Dia berubah menjadi mahluk
setengah iblis setengah dewa! Sulit mengalahkannya. Pengaruh cairan Dewi Ular yang
mengalir dalam tubuhnya begitu hebat hingga tidak mempan pukulan maupun senjata tajam.
Selama tidak bisa dibersihkan dari pengaruh cairan itu, selama itu pula dia akan
merajalela menuruti perintah Dewi Ular...."
"Saya dengar dia bahkan sudah membunuh gurunya sendiri Eyang Gusti Kelud
Agung..." Dewa Tuak mengangguk membenarkan ucapan Pendekar 212 itu. "Siang tadi aku baru
menceritakannya kepada Anggini. Rimba persilatan benar-benar dalam cengkeraman
mengerikan. Kau tahu apa yang dilakukan pemuda sesat itu di puncak Gunung Kelud
setelah membunuh gurunya sendiri" Dia berzina dengan Dewi Ular di hadapan mayat
gurunya!" Sesaat tempat dekat bangunan itu dalam kesunyian itu lalu terdengar suara Wiro
bertanya. "Menurutmu kek, apakah ada satu cara menghentikan malapetaka besar ini"
" "Saat ini aku hanya mengetahui satu cara. Sandaka bisa dilumpuhkan dengan jalan
memantek tubuhnya dengan 30 paku sakti terbuat dari baja putih murni. Benda itu
kini justru menjadi rebutan di kalangan persilatan. Yang bisa memaku Sandaka akan menguasai
dirinya. Kalau dia dari golongan hitam, kejadian buruk akan terulang. Seperti
Dewi Ular, orang itu akan menguasai Sandaka untuk berbuat apa saja. Hanya saja Sandaka
tidak akan sehebat berada dibawah pengaruh cairan Dewi Ular...
" "Berabe juga urusannya," ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala. "Kek apakah sudah
diketahui siapa pemilik paku sakti itu atau di mana beradanya"
" "Tiga puluh paku baja putih murni itu berada di tangan seorang pendekar yang
berjuluk Yang Mulia Datuk Bululawang dari gunung Welirang...
" "Datuk Bululawang?" mengulang Wiro.
"Ya, kau kenal dia"
" "Siapa tidak kenal dia. Datuk cabul yang suka melakukan hubungan tidak senonoh
dengan sesama jenisnya!" sahut Wiro.
Dewa Tuak tertawa terkekeh. "Sulit aku bayangkan apa yang sebenarnya terjadi
dalam rimba persilatan ini," kata kakek tua sambil menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu, sang Datuk harus dikuasai lebih dahulu, dirampas paku sakti itu
dari tangannya..." berkata Anggini.
Dewa Tuak mengangguk-angguk. "Itu benar. Caranya memang musti ke situ. Tapi
tentu saja tidak mudah menyiasati Datuk Bululawang. Di samping puluhan orang lain juga
menghendaki paku itu, sudah belasan orang mati sebelum maksud mereka kesampaian.
Kalaupun paku bisa dikuasai, tidak gampang memantek tubuh Sandaka. Ada kabar
pemuda itu tidur hanya sekali dalam setahun. Pada saat itulah pemantekan bisa
dilakukan. Tapi
gilanya, siapa yang tahu kapan dan di mana dia tidur"
" "Memang banyak sekali sulit dan bahayanya. Itu sebabnya Eyang Sinto berpesan,
sehabis dari sini harus mencari Kakek Segala Tahu...
" "Ah, tua bangka sahabatku itu! Lama aku tidak mendengar ihwalnya, apakah dia
masih hidup atau bagaimana" Kalian harus mencarinya.
" Wiro melirik ke Anggini. "Apakah yang dimaksud kakek dengan kalian adalah aku
dan Anggini" " "Ya betul, kau dan Anggini harus segera pergi mencari tua bangka satu itu. Harus
cepat agar tidak terlambat!
"
Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku sih mau-mau saja...," kata Wiro dalam hati. "Tapi aku lihat gadis itu biasa-
biasa saja dan sikapnya acuh tak acuh. Tadi dia bilang senang bertemu denganku. Mulutnya
bilang begitu, hatinya dia mendekam satu ganjalan. Dia seperti benci kepadaku....
" "Hai," seru Dewa Tuak. "Kalian berdua mengapa berdiam saja" Tidak dengar aku
bilang apa" " "Saya dengar kek, dan saya akan lakukan pesanmu itu," kata Wiro.
"Anggini"!" ujar si kakek tanpa berpaling pada muridnya.
"Saya juga dengar guru, saya juga akan lakukan pesanmu!
" "aku gembira mendengar ucapan kalian berdua. Nah sekarang kalian tunggu apa
lagi" " "Maksud kakek?" tanya Wiro dan Anggini.
"Kalian berdua sama tololnya! Cepat tinggalkan tempat ini dan cari si tua bangka
Segala Tahu itu! " Anggini melengak tapi tidak berani buka mulut. Sebaliknya Wiro langsung berkata.
"Pergi malam-malam begini kek"
" "Lalu apa menunggu pagi baru berangkat?" sentak Dewa Tuak.
"Maksud saya mungkin kau masih kangen dengan muridmu dan ingin ngobrol...
" "Obrolanku sudah habis. Sekarang kalian saja yang ngobrol satu sama lain dalam
perjalanan. Lagian kalian kan sudah lama tidak bertemu. Tentu banyak yang harus
kalian bicarakan. Aku mau tidur..." Dewa Tuak teguk lagi minuman dalam bumbung bambu itu
lalu tanpa peduli lagi dia berpaling lalu melangkah menuju pintu bangunan batu.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Wiro pada Anggini.
"Kalau guruku sudah bilang begitu, tidak satu pun yang bisa berubah! Dia suka
kita segera pergi! " Wiro garuk kepala. "Mungkin ucapan gurumu benar. Dia menyuruh kita segera pergi
dan ngobrol dalam perjalanan...
" Maksud Dewa Tuak meminta kedua muda mudi itu lekas pergi dan melakukan
perjalanan bersama, selain memang untuk mencari kakek Segala Tahu, sebenarnya ada tujuan
tersembunyi dari si orang tua. Seperti diketahui, sejak lama Dewa Tuak ingin
menjodohkan Anggini dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Malah sudah beberapa kali permintaan
itu sudah disampaikan kepada Eyang Sinto Gendeng.
Namun baik guru sang pendekar maupun Wiro sendiri tidak terlalu tertarik. Sinto
Gendeng pernah bilang biar urusan jodoh itu anak-anak sendiri yang mengatur. Jika mereka
suka sama suka tentu ikatan jodoh itu akan terjalin dengan sendirinya.
Di pihak Anggini memang diam-diam mencintai Wiro, namun sebaliknya si Wiro lebih
menganggap si gadis sebagai adiknya sendiri, walau terus terang dia sangat
mengagumi kebaikan perilaku dan hati si gadis, di samping wajahnya yang cantik.
Tidak seperti yang diinginkan Dewa Tuak ataupun dua muda mudi itu, ternyata
dalam perjalanan menuruni bukit mereka lebih suka diam membisu. Wiro yang lama-lama
salah tingkah akhirnya membuka pembicaraan. "Lama kita tidak bertemu. Apakah kau
selama ini baik-baik saja Anggini?"
"Yah, mau dibilang baik kenyataannya semua kesulitan kuhadapi, walau semua bisa
kulalui. Yang jelas aku bisa melihat dunia ini apa adanya dan tambah pengalaman. Kau
sendiri bagaimana?" balik bertanya sang dara.
"Tidak beda dengan kau. Kesulitan dan bahaya menghadang di mana-mana. Buktinya
sekarang ini kita menghadapi kesulitan besar. Selain kita mencari Kakek Segala
Tahu, menurutmu apa yang harus kita lakukan?"
"Kau lebih berpengalaman dan pandai. Ilmumu lebih tinggi dariku. Seharusnya kau
yang mencari jalan," jawab Anggini.
"Aku rasa kita perlu membagi pekerjaan... waktu kita sempit sekali."
"Hemm... membagi pekerjaan bagaimana?" tanya Anggini.
"Kau mencari tahu di mana sarangnya Dewi Ular. Jika kau merasa sanggup
menghadapi sendiri lakukanlah, kalau tidak, minta bantuan sahabat dari golongan putih.
Apapu n yang kau lakukan, paling tidak sudah diketahui keberadaan perempuan itu..."
"Lalu kau sendiri melakukan apa?"
"Aku akan mencari Datuk Bululawang, berusaha merampas paku sakti itu dari
tangannya. Aku juga mencari Kakek Segala Tahu..."
Anggini yang berjalan cepat di samping Wiro berpikir sejenak. Kemudian dia
berkata. "Bagaimana kalau diatur begini. Aku yang mencari kakek Segala Tahu dan Datuk
Bululawang, kau yang mencari Dewi Ular..."
"Heh!" Wiro agak tercekat mendengar ucapan Anggini. Dia berjalan lebih cepat
hingga selangkah di depan Anggini. Dia berpaling dan perhatikan wajah gadis itu.
Dilihatnya sang
dara tersenyum. Senyum yang sulit diartikan Wiro.
"Setahuku Datuk Bululawang memiliki kemampuan tinggi dan berhati sejahat iblis.
Aku tidak merendahkan kepandaianmu sendiri, namun rasanya lebih baik...
" "Rupanya kau takut bertemu dan menghadapi Dewi Ular?" memotong Anggini lalu
tertawa lebar. "Dia hanya seorang perempuan cantik, apa yang ditakutkan" Lagi pula,
siapapun dia, aku yakin tidak akan bisa mengalahkanmu.
" "Ah, dia memojokkanku.." ujar Wiro dalam hati. "Atau sengaja menjebakku. Tapi
kenapa" Karena aku tidak pernah memberikan jawaban atas perjodohan itu?" dia melangkah
terus. "Bagaimana?" Anggini bertanya. "Jadi betul kau mau mencari Kakek Segala Tahu dan
Datuk Bululawang karena takut menghindari pertemuan dengan si cantik Dewi Ular
itu" " "Siapa takut padanya!" Wiro jengkel dan menjawab agak keras.
"Bagus! Pekerjaan sudah dibagi, di kaki bukit kita berpisah. Kau mencari Dewi
Ular, aku mencari Kakek Segala Tahu dan Datuk Bululawang...
" "Hemmm.." Wiro garuk-garuk kepala. "Kalau begitu maumu aku terpaksa mengikut
saja... " "Jangan bilang terpaksa. Katakan iya atau tidak. Itu saja!
" Dalam gelap, sambil berjalan cepat, Pendekar 212 palingkan kepala menatap wajah
Anggini. Gadis itu balas memandang. "Ucapannya tegas dan air mukanya keras. Ada apa
sebenarnya dengan gadis ini?" dalam hati Wiro bertanya. "Anggini kau tidak suka padaku..."
Wiro akhirnya bertanya.
Si gadis tertawa kecil. "Kenapa kau bertanya begitu?" Wiro lagi-lagi terpojok.
Tapi karena hatinya mulai panas, maka dia bicara apa adanya saja. "Mungkin soal perjodohan
itu...?" Anggini mendongak ke atas. Rambutnya tergerai panjang ke bahu. Dalam bayangan
kegelapan malam, wajahnya tampak anggun sekali. "Apa perlunya menyebut dan
menghubung-hubungkan hal itu. Kalau tidak suka, siapa yang bisa memaksa!"
Mendengar kata-kata itu Wiro hentikan langkahnya sementara sang dara berjalan
terus. "Anggini tunggu! Mungkin kau salah menduga...." Gadis itu berjalan terus. Wiro
cepat menyusul dan memegang lengannya. "Anggini kita perlu bicara agar tidak ada lagi
ganjalan di hati kita masing-masing...
" Tapi gadis itu menarik tangannya kuat-kuat hingga terlepas dari pegangan Wiro.
"Aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan. Semua sudah jelas. Para guru kita juga sama
tahu. Ada ganjalan atau tidak, bagiku tidak ada masalah.
" "Dengar Anggini, kita harus bicara dulu dengan tenang," Wiro berusaha membujuk
sambil memegang bahu setengah memeluk.
Anggini mendorong tubuhnya dengan halus. "Ingat kita sedang menghadapi urusan
besar! Jangan habiskan waktu dengan pembicaraan yang tidak ada artinya....
" "Katamu tidak ada artinya. Bagiku sangat berarti!"jawab Wiro.
"Kalau bagimu sangat berarti, apa saja yang sudah kau lakukan pada diriku"
Adakah kau memberi sedikit saja kejelasan pada guru ataupun padaku"
" "Ah, kau memang mempersoalkan masalah jodoh itu. Aku minta maaf. Mungkin aku dan
guruku Eyang Sinto Gendeng berlaku alpa dan buta...
" "Kalian orang-orang pandai yang tidak pernah alpa dan buta. Bukankah begitu"
Sebaliknya aku dan guruku adalah manusia biasa yang alpa dan buta! Tidak tahu diri! Tidak
tahu malu!" tukas Anggini.
Wiro merasa dadanya mendenyut seperti tertusuk mendengar ucapan murid Dewa Tuak.
"Anggini.. masalah ini bisa kita selesaikan secara baik...
" "Jadi benar kataku tidak perlu dibicarakan saat ini!
" Langkah Wiro kembali terhenti. Anggini berjalan terus. Pendekar 212 menarik
nafas panjang. Dadanya teras bergolak. Dia melompat mengejar, sampai di hadapan gadis itu dia
berkata. "Kau kubebaskan dari segala urusan. Biar aku sendiri yang mencari Kakek Segala
Tahu, Datuk dan Dewi Ular!" kata Wiro dengan suara keras.
Tak kalah lantangnya Anggini menyahut. "Baik, lakukan semua itu olehmu karena
kau seorang pendekar hebat! Aku akan mencari Arto Gempito!" habis berkata begitu
Anggini memutar tubuhnya dan berkelebat pergi.
Wiro jadi terkesima. "Gila! Kenapa urusan jadi kapiran begini"!" ujarnya. Dia
bantingkan kaki kanannya ke tanah, lalu berkelabat ke jurusan lain. Tapi setelah beberapa
lama berlalu dia hentikan langkahnya, berputar ke arah tadi dia datang. "Gadis itu, ah,
bagaimana ini"
Biar kubujuk dia sekali lagi. Kalau tidak mau, ya sudah!" Wiro segera mengejar
ke jurusan perginya Anggini.
Setelah lari dalam gelap menuruni lereng bukit beberapa waktu lamanya, selintas
pikiran muncul dalam benak gadis itu. Hatinya ikut berkata-kata. "Hampir tiga tahun aku
tidak melihatnya. Setelah bertemu, mengapa aku bersikap begitu kasar padanya" Aku
telah berlaku bodoh. Memojokkannya soal perjodohan itu. Mungkin semua itu bukan salahnya! Kini
dia memikul beban berat mencari Datuk Bululawang, Kakek Segala Tahu dan Dewi Ular.
Bagaimana kalau dia juga sampai jatuh ke tangan perempuan iblis itu?"
Karena pikirannya kacau balau, Anggini hentikan larinya. Sesaat dia tegak
terdiam termangumangu. Di depannya ada sebuah pohon besar dengan beberapa cabang
menjulur kokoh. "Sebaiknya aku duduk saja dulu di atas pohon sana, menunggu sampai hari pagi.
Tiba-tiba saja tubuhku terasa letih, aku perlu istirahat. Mungkin tidur beberapa saat."
Berpikir sampai di situ, murid Dewa Tuak itu segera melesat ke atas pohon. Dia
merebahkan tubuhnya di atas salah satu cabang besar. Tapi sulit baginya untuk segera
memicingkan mata.
Ingatannya masih tertuju pada Pendekar 212. Lalu dia sadar akan apa yang
dikatakannya pada
pemuda itu, bahwa dia akan mencari Sandaka Arto Gampito. "sungguh aku telah
berlaku tolol!" katanya dalam hati. "Kalau guru tahu apa yang terjadi ini, pasti dia
akan marah besar, Uh...!"
Selagi gadis ini berpikir dan berkata-kata dalam hati seperti itu, telingan
tiba-tiba menangkap suara sesuatu di bawah pohon. Suara langkah-langkah kaki
yang sangat perlahan. "Wiro...?"
ujar Anggini lalu memandang ke bawah.
Pada saat yang sama, dua bayangan berkelebat dalam kegelapan. Di lain kejap dua
sosok tubuh melayang ke atas pohon. Yang pertama langsung tegak di atas cabang tempat
dia berbaring. Satunya berdiri di cabang sebelah atas. Meski di atas pohon begitu
gelap, tapi karena sangat dekat, Anggini masih dapat melihat siapa adanya dua orang itu.
Yang berdiri di atas cabang pohon tempatnya berbaring adalah seorang kakek
berpakaian rombeng bermuka aneh celemongan belang belentong. Entah dibedaki entah dicat.
Wajah keriputan itu tertutup oleh warna merah, hitam, putih dan kuning. Di ketiak
kirinya, si kakek
Wiro Sableng 081 Dendam Manusia Paku di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengepit sebuah tongkat aneh yang ketika diperhatikan ternyata adalah seekor
ular kuning hitam yang telah dikeringkan. Kakek aneh ini memandang kepadanya sambil tiada
hentinya tersenyum-senyum.
Anggini melirik ke atas. Pada cabang di atas kepalanya duduk berjuntai seorang
pemuda. Seperti si kakek, dia juga mengenakan pakaian rombeng penuh tambalan. Wajahnya
bulat dan mulutnya tiada henti menyunggingkan tawa. Murid Dewa Tuak mencium bahaya. Dengan
cepat dia bangkit dan tegak di atas cabang pohon.
"Kalian siapa"!" Anggini bertanya. Sepasang alis si kakek naik ke atas. Alis ini
sebelah kiri dicat putih sedang sebelah kanan berwarna kuning. "Mangar!" si kakek membuka
mulut sambil melambaikan tangannya pada pemuda ynag duduk menjuntai di cabang pohon
sebelah atas. "Dia bisa bicara! Kau dengar tidak"!"
Pemuda di atas pohon tertawa lebar lalu menjawab. "Tentu saja aku dengar kek!
Suaranya merdu! Ha... ha... ha!"
"Suara merdu, paras cantik! Apa lagi"!" si pemuda lalu uncang-uncangkan kedua
kakinya. "Dua orang gila rupanya! Kakek dan cucunya!" ujar Anggini dalam hati.
"Kau tak salah memilihkan jodoh untukku, Kek!" kata si pemuda lagi. Si orang tua
tertawa mengekeh, sementara Anggini seperti disentakkan mendengar ucapan pemuda itu.
"Kalian ini siapa dan bicara apa"!" bentak Anggini. "Jangan membuat aku jadi
marah! " "Aih! Gadis cantik rupanya bisa juga marah! Coba marah! Aku mau lihat!" berkata
si kakek. "Pasti tambah cantik," ujar si anak muda pula.
Anggini hilang sabarnya. "Manusia-manusia edan! Lekas turun dari atas pohon ini!
Kalau tidak jangan salahkan kau aku gebuk!
" "Aduh, tidak sangka calon istrimu ini galak juga rupanya Mangar!" kata si kakek
sanbil geleng-geleng kepala dan tertawa-tawa.
"Kurang ajar!" teriak Anggini marah. Dia loloskan selendang sutera ungu yang
melilit di lehernya. Melihat ini, kakek bermuka celemongan cepat angkat kedua tangannya seraya
berkata. "Tunggu, sabar dulu anak gadis. Aku kenal kau sejak lama. Namamu Anggini dan kau
adalah muridnya kakek sakti bergelar Dewa Tuak, betul kan...?"
Diam-diam Anggini jadi heran bagaimana orang tua tidak dikenal ini tahu akan
dirinya. "Orang tua muka belang! Kalau kau tidak segera memberi tahu siapa dirimu dan
mengatakan apa keperluanmu, aku benar-benar akan menghajarmu!"
"Kau mengancam! Baiklah aku jelaskan. Namaku tidak perlu kau tahu. Aku bergelar
Pemgemis Sinting Muka Belang. Pemuda itu bernama Mangar, dia muridku dan belum
punya gelar. Ha... ha ...ha..! Ketahuilah, aku mencarimu dan sengaja membawa serta
muridku karena aku ingin menjodohkan kau dengan dia...!"
"Gila! Kalian berdua benar-benar sinting!"
"Boleh-boleh saja kau berkata begitu adikku cantik!" pemuda bernama Mangar
menyeletuk. "Sikap dan tutur bicaramu membuat aku ingin segera menikahimu! Kek, bagaimana
ini" Aku sudah tidak tahan mau cepat-cepat kawin dan tidur dengan calon istriku ini!"
"Kurang ajar!" teriak Anggini marah. Selendang ungu di tangan kanannya
berkelebat ke atas. "Wuttt!" "Kraak!"
Cabang pohon tempat pemuda berpakaian rombeng tambalan itu patah. Tubuhnya tak
Darah Perawan Suci 3 Serigala Dari Kunlun Long Cu Ya Sim Karya Kwao La Yen Pendekar Jembel 16