Pencarian

Darah Perawan Suci 3

Pendekar Naga Putih 43 Darah Perawan Suci Bagian 3


Ki Ganda Buana yang sudah duduk di dekat pu-
tri dan keponakannya itu menatap Panji dengan mata
menuntut jawaban. Ki Sangaji dan Ki Bawung Sati ju-
ga telah duduk di dekat pemuda itu. Mereka sama-
sama memandang dan menunggu keterangan Pende-
kar Naga Putih sehubungan dengan peristiwa yang ba-
ru mereka saksikan tadi.
"Tidak perlu cemas, Paman. Ketika aku tengah
mengejar Cakar Setan dan kawannya, tiba-tiba saja
manusia licik itu berbalik dan langsung menaburkan
bubuk beracun yang sangat ganas ke tubuhku. Tenaga
saktiku yang biasanya mampu memusnahkan segala
jenis racun rupanya belum terbiasa dengan racun yang amat ganas itu. Sehingga,
untuk memusnahkannya,
aku membutuhkan waktu yang cukup lama. Aku pun
sedikit tersiksa tadi. Hehh..." untunglah bahaya sudah lewat..." desah Panji,
lega. Ki Ganda Buana, Ki Sangaji, dan Ki Bawung Sati
mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar ke-
terangan Pendekar Naga Putih. Meskipun tidak begitu
paham akan keterangan Panji, setidaknya mereka te-
lah dapat meraba, apa yang telah menimpa pemuda
itu. "Panji, tadi aku melihat mayat orang berpakaian putih meleleh hancur hingga
tubuhnya hanya tinggal
berupa cairan hijau berbau busuk dan seonggok tu-
lang. Kami pun tidak mengerti dengan kejadian itu,"
ujar Ki Ganda Buana.
"Yahhh...," racun itu pulalah yang telah ditebar-
kan ke tubuhku oleh si Cakar Setan...," desah Panji, agak kecewa.
"Lebih baik kita kembali saja ke desa sekarang.
Kita pikirkan langkah berikutnya...."
Akhirnya Ki Sangaji, yang semenjak tadi hanya
diam mendengarkan, membuka suara dengan nada
mengingatkan. Semua orang yang berada di tempat itu
langsung saja menyetujuinya. Mereka tentu saja ingin menghilangkan rasa tegang
setelah mengetahui kejadian yang mengerikan itu.
Panji merangkul tubuh Wulandari yang masih sa-
ja tidak mau melepaskan pelukannya. Keduanya pun
melangkah sambil berangkulan. Sebentar kemudian,
tempat itu pun kembali sunyi.
*** 7 Seorang pemuda bertubuh tegap melangkah lam-
bat menyusuri tanah berumput tebal. Kepalanya tam-
pak tertunduk dengan ayunan langkah lesu. Sesekali
tangannya mengambil batu-batu kecil di bawah ka-
kinya. Dengan hentakan napas berat, dilontarkannya
batu itu sejauh-jauhnya. Ia seolah-olah ingin melon-
tarkan perasaan gundah di hatinya.
Setibanya di tepian sungai, pemuda itu meng-
hempaskan tubuhnya di bawah pohon rindang. Bebe-
rapa orang gadis yang tengah mencuci menoleh ke
arahnya sambil tersenyum-senyum genit. Jelas bahwa
mereka telah mengenal baik pemuda itu. Bahkan, be-
berapa di antara gadis itu tampak saling berbisik
membicarakannya.
Ketika matahari sudah beranjak naik, gadis-gadis
yang telah menyelesaikan pekerjaannya segera berge-
gas naik ke atas sungai. Rupanya mereka hendak pu-
lang. Pada saat lewat di dekat pemuda tampan bertu-
buh tegap itu, mereka menoleh dan mengangguk hor-
mat, kemudian berlalu cepat-cepat seraya tertawa-
tawa genit. Tapi, tampaknya pemuda itu sama sekali
tidak peduli. Setelah membalas anggukan gadis-gadis
yang hendak kembali ke desa itu, pandangannya kem-
bali beralih ke sungai.
Di pinggiran sungai masih ada empat gadis lagi
yang tengah mencuci. Dua di antaranya kemudian
bergerak bangkit dan meninggalkan sungai. Tidak be-
rapa lama setelah itu, dua gadis yang lainnya bergegas pula hendak meninggalkan
sungai. Pemuda tegap berwajah tampan itu bergerak
bangkit ketika melihat dua gadis terakhir hendak be-
rangkat pulang.
"Sumi...," panggil pemuda itu kepada salah seo-
rang dari kedua gadis yang lewat dan mengangguk
hormat kepadanya.
Gadis berwajah manis berkulit kuning langsat
yang dipanggil dengan nama Sumi menoleh tersipu.
"Aku duluan, Sumi. Mari, Kakang Gutawa...."
Gadis yang satunya lagi, yang merasa tidak diper-
lukan, segera berpamitan kepada keduanya. Kemudian
Kakinya berlari-lari kecil agar dapat menyusul teman-temannya.
"Kau takut tinggal di sini bersamaku, Sumi...?"
tanya pemuda tegap yang ternyata adalah Gutawa, pu-
tra Kepala Desa Pegatan.
Pertanyaan Gutawa terlontar ketika melihat gadis
itu tampak tertunduk malu. Sumi mengangkat wajah-
nya agak pucat, sehingga senyumnya terlihat agak
hambar. Rupanya Sumi dilanda ketegangan.
Gutawa pun sesungguhnya tidak tahu akan pe-
rasaan gadis manis itu. Sebab, tidak sedikit gadis Desa Pegatan yang
mengincarnya dan mencari kesempatan
berdekatan dengan pemuda tampan yang gagah itu.
Namun, selama ini Gutawa tidak pernah melade-
ni tawa genit atau pun senyum menggoda dari gadis
yang diam-diam menyukainya.
Kini, entah kenapa Gutawa tiba-tiba saja ingin
mendekati gadis yang diam-diam menaruh hati kepa-
danya. Dan salah satunya adalah Sumi, gadis berwa-
jah manis dan berkulit kuning langsat yang sekarang berdiri di hadapannya. Tapi,
Gutawa berpura-pura bodoh ketika melihat wajah gadis desa manis itu tertunduk.
Rupanya ia mencoba untuk mengetahui isi hati
gadis manis itu yang sesungguhnya.
Sumi hanya menjawab pertanyaan Gutawa den-
gan gelengan kepala perlahan. Kemudian wajahnya
kembali menunduk sambil menyembunyikan senyum
malu. "Apa artinya gelenganmu itu, Sumi" Kalau kau
memang takut berada berdua di tempat sepi ini ber-
samaku, ayo, aku antar kau pulang," ujar Gutawa,
memancing perasaan hati gadis manis itu.
Sumi mengangkat kepalanya dengan tatapan ce-
mas. Tampaknya ia takut kalau pemuda itu sampai
membuktikan ucapannya.
"Tidak, Kakang. Aku tidak takut. Aku percaya
kepada Kakang...," tukas Sumi, yang tanpa sadar me-
nunjukkan rasa khawatirnya kalau-kalau pemuda itu
akan mengantarkannya pulang.
Tentu saja Sumi lebih suka tinggal bersama Gu-
tawa di tempat yang paling sepi sekalipun.
"Benar kau tidak takut.." tanya Gutawa lagi,
meminta ketegasan.
"Tidak, Kakang...," sahut gadis itu, yang kini ti-
dak lagi menundukkan kepalanya.
Sumi bahkan mulai berani membalas tatapan
mata pemuda itu. Sebab, hal seperti ini memang sudah lama diimpikan oleh Sumi
ataupun gadis-gadis lainnya. Tentu saja ia tidak menyia-nyiakan kesempatan
baik ini. Gutawa tersenyum mendengar jawaban tegas ga-
dis manis itu. Tanpa ragu lagi, tangannya segera terulur. Digenggamnya jemari
tangan Sumi yang terasa
agak bergetar karena hatinya memang sedang berde-
bar diliputi perasaan bangga dan bahagia.
Dengan perlahan, Gutawa membimbing Sumi,
gadis desa yang lugu dan menaruh kepercayaan penuh
kepada pemuda itu. Sumi tidak takut kalau-kalau Gu-
tawa akan berbuat macam-macam. Karena, pemuda
itu telah dikenalnya semenjak kecil. Dan, selama dikenalnya, tidak pernah
sekalipun Sumi melihat atau
mendengar Gutawa mempermainkan gadis-gadis yang
menaruh hati padanya. Meskipun, kalau pemuda itu
mau, akan banyak kesempatan baginya. Pemuda itu
selama ini tetap tenang dan ramah. Semua itulah yang membuat Sumi tidak merasa
khawatir. Sumi sama sekali tidak menolak ketika Gutawa
mengajaknya duduk di bawah pohon rindang di tepi
sungai, yang agak tersembunyi dan tidak mudah terli-
hat orang lain. Bahkan, ketika pemuda itu merebah-
kan kepala Sumi ke dalam pelukannya, gadis manis
itu malah merangkulkan tangannya. Dia tampaknya
takut kalau pemuda itu sampai berubah pikiran dan
melepaskan pelukannya.
Gutawa semakin mengembangkan senyumnya
melihat betapa gadis manis itu menyambutnya dengan
hangat Ketika pemuda itu mencoba mencium bibir
Sumi, gadis itu pun membalas dengan tidak kalah
hangatnya. Baru ketika hari semakin bergeser, Gutawa mengajak Sumi meninggalkan
tempat itu. "Nanti ayah dan ibumu mencari-cari...," kata Gu-
tawa ketika melihat Sumi seperti masih enggan me-
ninggalkan tempat itu. Gadis manis itu tampaknya
khawatir kalau-kalau pertemuan ini tidak berlanjut la-gi. "Tentu, setelah hari
ini, Kakang akan melupa-
kanku. Sebab, masih banyak gadis yang lebih cantik
dari aku. Mereka pun akan menyambut apabila Ka-
kang mengajak...," ujar Sumi, mengungkapkan pera-
saan khawatirnya.
Gutawa tersenyum mendengar kekhawatiran
Sumi. Dipeluknya tubuh sintal itu, lalu dikecupnya bibir yang cemberut itu
lembut-lembut. "Jangan berpikiran yang tidak-tidak, Sumi. Se-
mua itu hanya membuat hatiku sakit. Sebaiknya kita
pulang sekarang. Hari esok masih banyak waktu un-
tuk kita...," bujuk Gutawa sambil memeluk erat tubuh sintal berkuning langsat
itu. Sumi pun tersenyum manis. Tampaknya ia termakan rayuan Gutawa. Kemu-
dian, sambil berangkulan, keduanya meninggalkan te-
pian sungai. *** "Gutawa, dari mana saja, kau..." Beberapa hari
ini kulihat kau selalu bepergian tanpa pamit. Apa se-
benarnya yang terjadi denganmu?" Ki Sangaji langsung menegur putranya ketika
pemuda itu datang dengan
wajah kuyu. "Aku sudah besar, Ayah. Apakah masih perlu
pamit hanya untuk bermain dengan kawan-kawanku?"
bantah Gutawa sambil bergegas hendak memasuki
kamarnya. "Tunggu dulu, aku belum selesai bicara...! ujar
orang tua itu dengan hati jengkel melihat Gutawa hendak memasuki kamarnya pada
saat ia masih hendak
berbicara. "Aku ingin beristirahat, Ayah. Apa lagi yang hen-
dak ayah bicarakan...?" tukas Gutawa, yang telah
membalikkan tubuhnya menatap wajah Ki Sangaji
dengan kilatan aneh.
"Hm..., beginikah sikapmu apabila berhadapan
dengan orang" tua" Ke mana saja kau seharian, hingga sepagi ini baru pulang...?"
tanya Ki Sangaji sambil menarik tubuh pemuda itu dan mendudukannya ke kur-
si. Gutawa sama sekali tidak menjawab. Pemuda itu
membisu seraya menantang tatapan ayahnya. Tentu
saja sikap ini membuat Ki Sangaji semakin marah. Se-
hingga, tanpa berpikir panjang, orang tua gagah itu
langsung mengayunkan tangannya. Dan....
Plakkk...! "Uuuhhh...!"
Tubuh Gutawa langsung terjungkal terkena tam-
paran keras Ki Sangaji. Dari sudut bibirnya mengalir darah segar. Gutawa bangkit
dan menghapus darah
itu dengan sepasang mata yang tak lepas menatap wa-
jah ayahnya. Kemudian, tanpa berkata sepatah pun,
pemuda itu langsung melarikan diri.
"Gutawa, kembali...!"
Ki Sangaji membentak keras untuk mencegah
kepergian putranya. Namun, pemuda itu tidak mem-
pedulikan lagi panggilan ayahnya. Gutawa terus berla-ri, hingga bayangannya
lenyap di kejauhan.
Ki Sangaji berdiri bengong melihat kelakuan Gu-
tawa. Orang tua itu tidak mengerti, mengapa sikap putranya tahu-tahu berubah.
Padahal, selama ini Gutawa sangat penurut dan tidak pernah berani melawannya.
Ki Sangaji sendiri memang tidak pernah mengatur ke-
hidupan pemuda itu. Tapi, sekarang....
"Ki...."
Teguran halus membuyarkan lamunan Ki Sanga-
ji. Lelaki gagah itu menoleh ke arah asal suara. Dilihatnya Ki Bawung Sati, Ki
Ganda Buana, Panji, dan
Wulandari tengah berdiri di halaman depan rumahnya.
Ki Sangaji merasa agak malu. Karena, mungkin saja
keempat orang itu melihatnya tadi dan mungkin juga
telah lama berdiri menyaksikan tingkahnya.
"Tadi aku melihat Tuan Muda Gutawa berlari ba-
gaikan orang kesetanan. Apa yang terjadi dengannya,
Ki" Akhir-akhir ini kulihat sikapnya tampak aneh," ka-ta Ki Bawung Sati.
Ki Sangaji diam saja. Tampaknya kemarahan ke-
pada putranya belum benar-benar reda. Kemudian ia
memberi isyarat dengan tangan kepada tamu-tamunya
untuk memasuki ruang dalam. Sedangkan Ki Bawung
Sati masih menunggu beberapa saat sebelum menya-
takan keperluan sebenarnya hingga mereka datang ke
rumah ini. "Aku mendapat laporan dari seseorang warga de-
sa, Ki. Seorang anak gadisnya yang bernama Sumi be-
lum kembali sejak kemarin. Teman-temanya mengata-
kan bahwa kemarin siang Sumi menemani Gutawa di
tepian sungai. Tapi, ketika tadi pagi kutanyakan kepa-
da Tuan Muda Gutawa, menurutnya gadis itu sudah
diantarkan ke rumahnya. Katanya saat itu di rumah
Sumi tidak ada orang, sehingga Tuan Muda Gutawa
langsung pamit setelah mengantarkan Sumi sampai di
depan pintu. Anehnya, tak seorang pun yang melihat


Pendekar Naga Putih 43 Darah Perawan Suci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadis itu pulang sejak kemarin..." lapor Ki Bawung Sa-ti.
Tentu saja Ki Sangaji terkejut mendengar kete-
rangan itu. "Hhhh..., Gutawa sendiri baru saja kembali sejak
kemarin. Entah ke mana saja anak itu pergi. Ketika
kutanyakan, ia bungkam dan memilih kabur...," jawab
Ki Sangaji, tanpa mengatakan bahwa mereka sempat
bertengkar dan bahkan Ki Sangaji sempat menampar
wajah putranya. "Tapi, apakah mungkin tingkah anak-
ku itu berhubungan dengan hilangnya Sumi" Aku ra-
sa, gadis itu telah menjadi korban si Cakar Setan seperti yang sudah-sudah."
"Hm..., aku baru saja kembali menyelidiki ke de-
sa tetangga kita. Dan, menurut apa yang kudengar,
mereka pun mengalami musibah yang serupa dengan
kita. Bahkan, korbannya sudah banyak. Dan, persis
dengan yang terjadi di sini, yang lenyap dan terbunuh adalah gadis-gadis
muda...," ujar Panji, menjelaskan apa yang diketahuinya. Sesungguhnya, kepergian
Panji ke desa tetangga memang atas usul mereka bersama
setelah terjadinya peristiwa itu.
"Lalu, apa yang mereka lakukan" Dan, keteran-
gan apa lagi yang kau dapat dari Desa Kawung, Pende-
kar Naga Putih...?"
Ki Sangaji ingin tahu lebih jelas tentang penyeli-
dikan Panji ke Desa Kawung, yang letaknya hanya se-
hari perjalanan dari Desa Pegatan. Tapi, tentu saja tidak selama itu ketika
Panji yang melakukan perjala-
nan. Panji menempuh jarak sejauh itu hanya dalam
waktu beberapa jam.
"Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, me-
nurut nya, pembunuh keji itu sangat sakti dan tak ada seorang pun sanggup
melawannya. Bahkan, Kepala
Desa Kawung hampir tewas ketika sempat bertarung
menghadapinya. Jadi, aku putuskan untuk singgah
dan mencoba mengobati luka kepala desa itu. Syukur-
lah keadaannya masih belum terlalu parah, sehingga
ada kemungkinan ia bisa sembuh...," jelas Panji.
"Hm..., apakah di Desa Kawung pun terdapat ga-
dis-gadis muda yang tewas dengan tubuh kering keha-
bisan darah...," tanya Ki Sangaji, yang memang belum mendengar tentang kejadian
di Desa tetangganya.
"Benar, Ki. Dan, satu hal lagi, putramu yang ber-
nama Gutawa itu kabarnya juga pernah membawa be-
berapa orang gadis Desa Kawung. Dan, gadis-gadis itu pun lenyap tanpa jejak...,"
ujar Panji. Pendekar Naga Putih tampak sedikit ragu saat
menyampaikan berita itu. Sebab, dia tidak ingin hati Ki Sangaji terpukul
mendengarnya. "Apa...!" Ini pasti fitnah, Pendekar Naga Putih!
Aku... aku tidak percaya...!" bentak Ki Sangaji benar-benar terpukul. Orang tua
itu tidak segera memper-
cayai kata-kata Pendekar Naga Putih, bahkan kemara-
hannya sempat terbangkit.
"Lalu, ke mana gadis bernama Sumi yang kema-
rin bersama Gutawa seharian" Apakah kawan-kawan
Sumi yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri
itu juga telah menyebar fitnah" Dan, ke manakah Gu-
tawa seharian kemarin" Mengapa ia tidak bicara, dan
bahkan malah melarikan diri" Pikirkanlah dengan ke-
pala dingin, Ki. Aku pun belum mempercayai hal ini
sepenuhnya. Tapi aku berjanji akan menyelidikinya,"
desak Panji sambil bangkit berdiri menatap pandang
mata Ki Sangaji yang wajahnya kelihatan agak pucat.
Panji dapat melihat bahwa Ki Sangaji sebenarnya
mulai meragukan tingkah putranya. Tapi, karena me-
rasa malu, orang tua itu masih mencoba membela pu-
tra tunggalnya.
"Hhhh...."
Ki Sangaji terduduk lesu disertai helaan napas
berat yang berkepanjangan.
"Apa sebenarnya yang telah menimpa putraku"
Mungkinkah dia tega mencoreng muka ayahnya" Men-
gapa beberapa hari belakangan ini dia begitu beru-
bah...?" desah Ki Sangaji, seperti berkata pada dirinya sendiri.
"Bersabarlah, Ki. Aku berjanji akan menyelidiki
hal ini. Aku pun tidak akan bertindak sebelum menge-
tahui keadaan sebenarnya secara jelas. Dan, ada satu hal yang belum kusampaikan
kepada kalian. Meskipun
hal ini hanya berupa dugaan, aku mencurigai pendeta-
pendeta yang membangun tempat ibadat di ujung de-
sa," ujar Panji dengan suara yang agak pelan.
Pendekar Naga Putih tampak terdiam beberapa
saat, seolah-olah menanti pendapat dari ketiga lelaki tua gagah itu.
"Gila...!"
Hampir bersamaan, Ki Sangaji dan Ki Bawung
Sati berseru sampai terbangkit dari kursinya. Sedangkan Ki Ganda Buana hanya
menatap Panji dengan
kening berkerut. Hanya Wulandari yang tampak per-
caya sepenuhnya pada Panji.
"Itu memang sebuah pikiran gila. Tapi, tidak be-
rarti bahwa kecurigaanku mustahil, bukan?" ujar Panji lagi dengan suara dan
wajah tetap tenang. Sehingga,
baik Ki Sangaji maupun Ki Bawung Sati kembali ke
kursinya masing-masing.
"Pendekar Naga Putih, mereka tinggal di desa ini
hanya untuk sementara dan ingin menyebarkan aga-
ma. Untuk itulah mereka membangun sebuah rumah
ibadat. Tujuan mereka sudah jelas. Penduduk Desa
Pegatan tertarik dengan agama mereka bisa beribadah
di tempat itu, kelak apabila mereka telah pergi. Jadi, maaf kalau aku tidak
sependapat denganmu," ujar Ki
Sangaji dengan wajah agak kecewa, karena Pendekar
Naga Putih telah menuduh pendeta-pendeta yang di-
anggapnya sebagai orang suci itu.
"Hm..., tahukah kalian dari mana mereka sebe-
lum singgah dan membangun rumah ibadat di Desa
Pegatan...?" tanya Panji.
Tentu saja tidak ada yang bisa menjawab perta-
nyaan Pendekar Naga Putih. Setelah menunggu bebe-
rapa saat tapi tak ada seorangpun yang berbicara,
Panji segera melanjutkan kata-katanya.
"Ketahuilah. Sebelum pindah ke Desa Pegatan,
mereka lebih dahulu menetap di Desa Kawung. Dan,
peristiwanya pun persis. Mereka meminta izin untuk
membuat rumah ibadat. Lalu pendeta-pendeta itu me-
netap beberapa lama di Desa Kawung, menyebarkan
agama dan memberi nasihat yang baik-baik. Kemu-
dian, pendeta-pendeta itu mengadakan upacara agama
untuk mengusir setan yang menurut mereka telah me-
lakukan perbuatan-perbuatan keji di Desa Kawung.
Setelah itu, memang tidak ada kejadian lagi, karena
orang-orang itu telah pindah ke desa lain, yaitu Desa Pegatan," tandas Panji.
Sehingga, ketiga tokoh yang
mendengarkan keterangannya sama-sama membela-
lakkan mata dengan wajah setengah tak percaya.
"Betulkah itu, Panji...?" tanya Ki Ganda Buana
yang masih saja tampak terkejut mendengar penjela-
san keponakannya.
"Mungkin dugaanmu ada benarnya, Pendekar
Naga Putih. Sebab, pada bulan ketiga tepat di malam
purnama nanti, mereka telah meminta izin kepadaku
untuk membuat upacara agama besar-besaran. Dan,
menurut kepala pendeta itu, gunanya untuk mengusir
musibah yang dilakukan setan-setan jahat...," ujar Ki Sangaji.
Kepala Desa Pegatan akhirnya teringat bahwa
utusan pendeta pernah menyampaikan hal itu kepa-
danya. Hal ini baru diingatnya setelah Panji menyinggung-nyinggung soal upacara
agama. "Hm..., kalau begitu, mereka telah bersiap-siap
untuk pindah ke desa lain. Kita harus cepat bertindak mencegahnya. Kalau tidak,
mereka akan terus melakukan kebiadaban di desa-desa yang akan mereka
singgahi nanti..., usul Panji, yang kini mulai merasa semakin yakin setelah
mendengar ucapan Ki Sangaji.
"Nanti dulu, Pendekar Naga Putih...," tukas Ki
Bawung Sati tiba-tiba, "Seingatku, peristiwa yang menimpa desa ini telah terjadi
beberapa hari sebelum pa-ra pendeta itu datang. Jadi, mana mungkin mereka
yang melakukannya jika mereka sendiri belum tiba di
Desa Pegatan ini...?" lanjut Ki Bawung Sati.
Perkataan Ki Bawung Sati membuat Ki Ganda
Buana dan Ki Sangaji menatap Panji dalam-dalam. Me-
reka ingin mendengar pendapat pemuda sakti itu.
"Menurutku, mereka sengaja menyamarkannya.
Dengan demikian, tak akan ada seorang pun yang
menduga kalau merekalah yang sesungguhnya telah
membuat bencana ini. Untuk membuktikan hal itu,
nanti malam aku akan menyelidiki tempat ibadah itu,"
ujar Panji lagi.
Ketiga tokoh Desa Pegatan kembali bertukar
pandang satu sama lain.
"Aku ikut, Kakang...!"
Tiba-tiba Wulandari, yang semenjak tadi hanya
diam mendengarkan, langsung menyahuti ucapan Pan-
ji. Tentu saja Pendekar Naga Putih terkejut
"Tidak, Adikku. Kali ini aku akan melakukannya
sendiri. Sebab, aku sama sekali belum tahu sampai
seberapakah kekuatan lawan. Untuk itu, ku mohon
agar kalian semua tetap bertindak seperti biasa. Dan, kalau sampai besok pagi
aku belum kembali, itu tan-danya aku menemui bahaya. Maka, kalian pun harus
segera mendatangi tempat ibadat itu. Bagaimana...?"
ujar Panji menahan niat Wulandari sekaligus meminta
pendapat ketiga tokoh Desa Pegatan.
"Baiklah. Tapi, kau harus berhati-hati...," ujar Ki
Ganda Buana, setelah melihat Ki Sangaji dan Ki Ba-
wung Sati sama-sama menganggukkan kepala menye-
tujui usul Panji.
Tak berapa lama kemudian, Ki Ganda Buana,
Panji, dan Wulandari pun berpamitan. Ketiganya be-
ranjak meninggalkan tempat kediaman Kepala Desa
Pegatan. *** 8 Rembulan telah cukup lama muncul saat Panji
keluar dari dalam rumah kediaman Ki Ganda Buana.
Begitu melesat keluar, kegelapan malam langsung me-
nyergap tubuh pemuda tampan berjubah putih itu.
Pendekar Naga Putih, yang berniat menyelidiki kuil di ujung Desa Pegatan,
langsung saja bergerak melintasi
kegelapan. Jarak yang sebenarnya cukup jauh bagi orang
biasa ternyata tidak begitu lama ditempuh pemuda itu.
Dengan ilmu kepandaiannya yang telah mencapai titik
kesempurnaan, Panji dapat melesat secepat terbang.
Sehingga, dalam waktu yang tidak terlalu lama, sosoknya pun sudah tiba di daerah
yang ditujunya.
Dengan menyembunyikan sosoknya di antara ke-
gelapan bayang pepohonan, tubuh Panji bergerak me-
nyelinap mendekati sebuah anak bukit. Di atas anak
bukit itulah berdiri sebuah kuil yang belum lama di-
bangun. Diam-diam hati pemuda itu merasa kagum
melihat bangunan yang hampir sempurna itu. Ru-
panya tempat yang pada mulanya adalah sebuah ban-
gunan kuno yang tak terpakai lagi itu hanya diperbaiki beberapa bagiannya.
Pendekar Naga Putih melangkah hati-hati men-
dekati kuil yang cukup besar itu. Beberapa buah obor yang terpancang di hampir
setiap sudut kuil dihindarinya, agar dirinya tidak tertangkap basah.
"Uuuhhh...!"
Tiba-tiba tubuh Panji tersentak mundur saat
hampir mendekati tembok kuil itu. Dengan perasaan
heran, pemuda itu menatapi sekelilingnya dalam kea-
daan merunduk. "Aneh..." Sepertinya ada yang mendorongku ba-
rusan...?" desis panji yang menjadi heran bukan main ketika tidak menemukan satu
makhluk pun di sekeliling dirinya.
Setelah beberapa saat memperhatikan, pemuda
itu kembali bergerak maju. Dan....
"Aaakkhhh...!"
Untuk kedua kalinya, tubuh Panji tersentak ke
belakang. Bahkan, kali ini dorongnya jauh lebih kuat.
Sehingga, tubuh pemuda itu hampir terguling dibuat-
nya. Untunglah Panji bertindak sigap dengan mena-
namkan kuda-kudanya ke tanah. Meskipun demikian,
pemuda itu merasakan adanya suatu keanehan pada
tubuhnya. Ya, dadanya memang agak terasa sesak
akibat dorongan itu.
Dengan keheranan yang semakin memuncak,
Pendekar Naga Putih akhirnya berdiri tegak tanpa ta-
kut akan ada yang melihatnya. Ditatapinya daerah se-
keliling dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam-
nya. Sehingga, sepasang mata pemuda itu menyala
kemerahan bagaikan sorot mata naga di kegelapan.
Lagi-lagi pemuda itu harus kecewa dan geram. Karena, di sekelilingnya tetap tak
tampak satu makhluk pun.
"Kurang ajar...! Mungkinkah ada orang yang
mempermainkan aku?" batin Pendekar Naga Putih.
Hati Panji benar-benar jengkel setelah dua kali
dibuat hampir terbanting, tanpa tahu siapa yang melakukannya. Terbawa oleh rasa
penasaran, akhirnya
pemuda itu melangkah lambat-lambat mendekati dind-
ing kuil yang berjarak kira-kira dua tombak di depannya. "Uuuhh...!?"
Panji kembali terkejut. Heran benar hati pemuda
itu ketika ia merasakan adanya sebuah dinding yang
tak tampak oleh mata. Dan, baru sekaranglah hal itu
baru dirasakannya. Semua itu dapat diketahuinya ka-
rena Pendekar Naga Putih maju dengan langkah perla-
han-lahan, sehingga keberadaan dinding yang seperti
membentengi daerah di sekitar kuil benar-benar tera-
sa. "Gila! Apa yang telah mereka lakukan hingga
mampu membuat dinding gaib seperti ini...?" desis
Panji sambil meraba-raba dengan tangannya. Pemuda
itu semakin terkejut ketika mengetahui bahwa dinding itu ternyata mengitari
bangunan kuil.

Pendekar Naga Putih 43 Darah Perawan Suci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panji terpaksa melangkah mundur. Otaknya be-
kerja keras agar bisa masuk melewati dinding gaib itu.
Namun, semuanya sia-sia belaka. Sebab, Panji sama
sekali tidak berpengalaman dalam masalah ilmu gaib
ataupun ilmu sihir. Pemuda itu pun hanya bisa mere-
nung tanpa tahu apa yang harus dilakukannya untuk
dapat menembus dinding gaib itu.
"Cucuku, dalam dunia ini banyak terdapat ilmu
gaib yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia. Kebanyakan ilmu seperti itu
dimiliki oleh para pertapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai, ataupun pa-
ra pendeta, baik yang sesat maupun yang berjalan di
jalur putih...."
Tiba-tiba saja di telinga Panji terngiang kembali
wejangan gurunya, si Malaikat Petir Eyang Tirta Yasa.
Cepat-cepat pemuda itu mencoba untuk mengingat
semua wejangan tentang ilmu yang pernah dikatakan
oleh gurunya. "Untuk mendapatkan ilmu-ilmu seperti itu, para
pertapa maupun pendeta-pendeta suci melakukannya
dengan jalan bersemadi selama bertahun-tahun. Dan,
kadang-kadang mereka menjalaninya dengan jalan
berpuasa untuk menguatkan batin. Sedangkan para
pendeta-pendeta sesat melakukannya dengan berbagai
cara. Kebanyakan dari mereka menggunakan darah
dan mantera-mantera suci. Tapi, ilmu-ilmu mereka
memiliki kelemahan, karena digunakan pada jalur
yang salah...."
"Darah perawan suci...," desis Panji, teringat
akan kejadian-kejadian yang menimpa gadis-gadis
muda yang mati tanpa setitik pun darah yang tersisa di tubuhnya. Jelas sekarang
bagi Panji bahwa para
pendeta itulah yang telah melakukan perbuatan-
perbuatan biadab selama ini.
Pemuda itu berdiri tegak dengan kening berkerut.
Kini ia mulai mengerti, apa yang telah menghalanginya mendekati bangunan kuil
itu. "Hm..., sekeliling kuil ini pasti disirami darah
yang telah dimanterai. Rupanya inilah salah satu ke-
gunaan darah-darah perawan suci itu...," desah Panji, bergumam seorang diri.
"Hhh..., sayang Eyang tidak pernah menjelaskan,
bagaimana cara memusnahkan ilmu-ilmu gaib yang
sesat itu...," desah Panji, agak kecewa.
Namun, sesaat kemudian, Pendekar Naga Putih
tiba-tiba teringat akan tenaga gaib yang tersimpan di dalam tubuhnya.
"Ya, mengapa aku tidak mencobanya," gumam
Panji dengan penuh harap.
Begitu teringat akan 'Tenaga Sakti Inti Panas
Bumi' yang memang gaib itu, segera saja Pendekar Na-
ga Putih mengerahkan ilmu tenaga dalamnya. Seben-
tar kemudian, Panji pun mulai merasakan adanya ha-
wa panas di sekujur tubuhnya, lalu, muncullah sinar
kuning keemasan yang menyelimuti tubuhnya.
Kini, sambil terus mengerahkan 'Tenaga Sakti In-
ti Panas Bumi', Panji bergerak maju melewati dinding gaib itu. Dan... betapa
leganya hati pemuda itu ketika ia tidak merasakan ada dinding yang
menghalanginya lagi. Segera saja ditariknya tenaga sakti itu setelah dirinya berada di dalam
lingkaran dinding gaib.
Cepat bagaikan kilat, Panji melenting melewati
tembok batu kuno, lalu mendaratkan kakinya di sebe-
lah bangunan tanpa ada yang melihatnya. Panji terus
bergerak menyelinap ke dalam bangunan kuil. Pende-
kar muda itu memeriksa ruangan demi ruangan den-
gan hati-hati dan berusaha untuk tidak menimbulkan
suara yang mencurigakan.
"Gutawa...!"
Panji mendesah terkejut melihat Gutawa, putra
Ki Sangaji, berada di salah satu ruangan yang cukup
besar. Ruangan itu mengingatkan Panji akan upacara-
upacara pemujaan seperti yang pernah didengar dan
disaksikannya selama bertualang. Cepat pemuda itu
menahan napasnya saat melihat seorang kakek tua
berjubah merah tengah bersila di depan Gutawa.
Kakek yang kira-kira berusia sekitar delapan pu-
luh tahun itu tampak mengangguk-anggukkan kepa-
lanya saat mendengarkan kata-kata Gutawa. Rupanya
putra kepala Desa Pegatan itu telah tersesat jauh, karena merasa telah tersaingi
oleh Panji dalam merebut hati Wulandari. Panji tahu akan perasaan pemuda itu.
Namun, ia menyayangkan bahwa hanya karena cem-
buru, Gutawa membencinya dan bahkan berpaling da-
ri kebenaran. "Hm...,kalau memang ingin masuk, mengapa ha-
rus bersembunyi di luar" Masuklah. Aku tahu akan
kedatanganmu...."
Suara itu terdengar jelas di telinga Panji. Dada
Pendekar Naga Putih pun berdebar keras. Ditatapnya
kakek itu. Dan, yakinlah dia bahwa pendeta tua itulah yang mengirimkan suara
untuknya. "Pendeta palsu, jangan kau kira aku tidak men-
getahui kebusukan mu! Rahasiamu sudah terbongkar.
Jadi, tidak perlu lagi kau berpura-pura baik. Malam
ini, aku akan mengakhiri kebiadaban pendeta-pendeta
palsu di kuil mesum ini...!" ujar Panji dengan suara dingin sambil melangkah
memasuki ruangan lebar itu.
Tak sedikit pun terlihat kegentaran pada wajah
Pendekar Naga Putih. Jelas, hati Panji sudah mantap
untuk menghentikan kejahatan pendeta-pendeta sesat
itu. "Pendekar Naga Putih...!?"
Gutawa bangkit dengan penuh kebencian. Dica-
butnya pedang yang tergantung di pinggangnya. Lalu, diterjangnya Panji dengan
serangan-serangan ganas.
Beeet! Beeet! Beeet!
Panji bergerak ke kiri dan ke kanan dengan te-
nang. Dihindarinya serangan Gutawa yang bertubi-
tubi. Pendekar muda itu tetap tidak berusaha memba-
las meskipun serangan Gutawa terlihat semakin ga-
nas. Dan, setelah melewati sepuluh jurus, baru Panji memberikan pelajaran kepada
pemuda itu. "Sadarlah dari kesesatan mu, Gutawa...," ujar
Panji sambil menghantamkan telapak tangannya ke
bahu pemuda itu.
Plakkk...! "Aakkhhh...!"
Gutawa langsung jatuh terguling terkena tampa-
ran keras Pendekar Naga Putih. Pemuda tegap putra
kepala desa itu bergerak bangkit meskipun tangan ka-
nannya terasa lumpuh. Seringai di wajahnya menan-
dakan bahwa pemuda itu menderita rasa nyeri yang
menyakitkan. Hampir bersamaan dengan jatuhnya tubuh Gu-
tawa, di ruangan itu bermunculan belasan orang ber-
pakaian merah. Dua di antaranya berdiri tidak jauh
dari Panji. Salah satu dari kedua pendeta itu menggunakan cakar baja pada jari-
jarinya. Tahulah Panji,
pendeta itulah yang selama ini melakukan pemban-
taian terhadap gadis-gadis muda yang tak berdosa.
Sedangkan yang seorang lagi pastilah pembunuh ber-
muka merah, pikir Panji sambil menatap tajam pada
kedua orang yang berdiri paling dekat di hadapannya.
"Hm..., rupanya kau telah tersasar hingga kema-
ri, Pendekar Naga Putih. Bagus. Jadi, kau sengaja datang untuk mengantarkan
nyawa...!" geram Cakar Se-
tan dengan tatapan penuh dendam.
"Kalpa Wira, Walung, minggirlah. Pemuda ini bu-
kan lawan kalian. Dari cara ia melewati 'Benteng Gaib'
kita, aku sudah dapat menilai kemampuannya...," ujar kakek yang rupanya pemimpin
para pendeta di kuil itu ketika Cakar Setan dan Walung hendak menggempur
Panji. "Mari kita keluar...," lanjut kakek itu seraya menoleh ke arah Panji.
Tanpa merasa ragu sedikit pun, Panji segera
mengikuti langkah para pendeta berjubah merah itu
keluar dari bangunan kuil. Pemuda itu berdiri tegak di halaman depan dengan
kedua kaki terpentang. Jelas
bahwa Pendekar Naga Putih telah siap bertarung mati-
matian menegakkan kebenaran di atas bumi ini.
"Hm...."
Pendeta tua berjubah merah itu bergumam me-
natap sosok Pendekar Naga Putih.
"Sudah kuduga, akhirnya kau pasti akan menge-
tahui rahasia ini. Semenjak Kalpa Wira mengatakan
tentang adanya Pendekar Naga Putih di desa ini, aku
sudah dapat merabanya bahwa kau pasti akan dapat
menyingkap rahasia pembunuhan gadis-gadis di desa
ini," lanjut kakek itu, tenang.
Dari sorot mata pendeta tua berjubah merah
yang tajam mencorong, Panji pun dapat mengetahui,
betapa hebatnya tenaga dalam yang dimilikinya.
"Tidak perlu banyak bicara lagi! Aku datang bu-
kan untuk berbincang denganmu. Tapi, justru ingin
melenyapkan manusia-manusia sesat sepertimu, Pen-
deta Palsu. Bersiaplah...!" desis Panji.
Pendekar Naga Putih memejamkan matanya un-
tuk memusatkan kekuatan batin. Sebentar kemudian,
tampaklah sebilah pedang tergenggam di tangannya.
"Pedang Naga Langit...!?"
Pendeta tua berjubah merah berseru kaget den-
gan wajah agak pucat. Jelas bahwa kakek itu telah
mengetahui keampuhan Pedang Naga Langit. Hal ini
dapat terbaca pada wajahnya yang kelihatan cemas.
"Benar, inilah Pedang Naga Langit. Jadi, percuma
saja kalau kau menggunakan racun ataupun ilmu sihir
mu menghadapiku," sahut Panji sambil mengibaskan
pedangnya dengan kekuatan penuh. Kilatan sinar kun-
ing keemasan pun tampak bergulung-gulung menyi-
laukan mata. "Bunuh pemuda itu! Rebut pedang di tangannya!"
perintah pendeta tua berjubah merah dengan suara
yang sangat keras. Tampaknya ia gentar melihat pe-
dang mukjizat yang tergenggam di tangan Pendekar
Naga Putih. Tanpa diperintah dua kali, Kalpa Wira, Walung,
Gutawa, dan belasan pendeta berjubah merah lainnya
langsung bergerak mengepung Panji. Mereka yang
memang merasa geram dan menunggu-nunggu perin-
tah itu tentu saja tak ragu-ragu lagi untuk menyerang begitu mendengar perintah
pendeta berjubah merah.
Dengan disertai seruan-seruan marah, para pengepung
itu pun bergerak menyerbu Pendekar Naga Putih.
Panji sendiri memang sudah memperhitungkan
semua itu. Sehingga, ia tidak terkejut lagi ketika mendengar pendeta tua
berjubah merah menyuruh para
pengikutnya untuk mengeroyok dirinya. Maka dengan
Pedang Naga Langit di tangannya, Panji pun bergerak
menyambut serbuan lawan.
Belasan batang pedang yang datang mengancam
dari segala penjuru sama sekali tak membuat Panji gugup. Dengan tenang, pemuda
itu menggerakkan pe-
dang sambil mengerahkan 'Ilmu Pedang Naga Sakti'.
"Heeaattt...!"
Trannng! Trakkk!
Enam bilah pedang yang tiba lebih dulu langsung
terpental dalam keadaan patah. Sedangkan pedang
Panji terus bergerak melingkar menyambar tubuh para
pengeroyoknya. Akibatnya....
"Aaaa...!"
"Wuuaaa...!"
Delapan orang pendeta berjubah merah langsung
terguling roboh tersambar pedang di tangan Pendekar
Naga Putih. Mereka langsung tewas dengan tubuh
bermandikan darah. Tentu saja kenyataan itu mem-
buat pendeta yang lainnya bergerak mundur.
"Haaiittt...!"
"Yiiaattt...!"
Kalpa Wira atau yang dikenal Panji sebagai Cakar
Setan berseru nyaring sambil menggerakkan cakar-
cakar bajanya ke tubuh Pendekar Naga Putih. Berba-
rengan dengan itu, Walung juga telah menggunakan
bandul berdurinya datang menerjang.
Begitu serangan datang, cepat bagaikan samba-
ran kilat, tubuh Panji menyelinap di antara kedua senjata lawan-lawannya.
Kemudian, pendekar muda itu
membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyat-
nya. "Hiiaattt...!"
Tranggg! Tranggg!
Cakar Setan, yang menyambut serangan pedang
Panji dengan sambaran cakar bajanya, merasa terkejut bukan main. Upaya
penyelamatan dirinya dengan me-nangkis pedang Pendekar Naga Putih tentu saja
bera- kibat cukup parah. Tubuh lelaki tegap itu langsung
terpental hingga sejauh dua batang tombak. Wajahnya
tampak menyeringai merasakan linu pada jari-jari tangannya.
Sementara itu Gutawa, yang sadar akan kepan-
daiannya masih kalah jauh dibanding Panji, hanya se-
sekali menyerang di saat pendekar muda itu mengha-
dapi Kalpa Wira dan Walung. Sayangnya, usaha putra
kepala desa itu selalu saja gagal. Sebab, untuk mengikuti gerakan Panji memang
jelas sangat sulit baginya, sehingga dia terpaksa menelan kejengkelannya.
"Heeaaattt...!"
Pada saat Panji telah kembali bertarung dengan
Kalpa Wira, Walung, Gutawa, dan belasan orang pen-
deta, terdengar teriakan nyaring yang menggetarkan
jantung. Seiring dengan teriakan itu, tampak sosok
bayangan merah melesat cepat dengan sepasang tan-
gan terulur lurus ke aras Pendekar Naga Putih. Dan....
Blakkk! "Huukkhhh...!"
Seketika itu juga, tubuh Panji langsung terpental
ke belakang sejauh dua batang tombak lebih. Untun-
glah hantaman telak dari sosok bayangan merah itu
sanggup diredam oleh lapisan kabut putih yang mem-
bentengi tubuh Pendekar Naga Putih. Kalau tidak,


Pendekar Naga Putih 43 Darah Perawan Suci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin Panji bisa lumpuh seketika. Atau paling ti-
dak, pemuda itu akan mengalami luka dalam yang
sangat parah. "Licik...!"
Geram Panji ketika mengetahui bahwa penye-
rangnya adalah pendeta berjubah merah.
Tentu saja terjunnya tokoh sesat yang sakti itu
membuat keadaan berbalik. Kini Panjilah yang terde-
sak oleh keroyokan lawan-lawannya.
"Heeaaattt...!"
Pada saat Pendekar Naga Putih sedang dalam
keadaan terdesak hebat, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring melengking tinggi.
Seiring dengan teriakan itu, muncullah sesosok bayangan hijau yang langsung me-
nerjunkan dirinya ke kancah pertempuran. Tentu saja
kehadiran sosok bayangan hijau itu membuat para
pengeroyok Panji terkejut setengah mati.
Breettt! Breettt!
Begitu tiba dalam kancah pertempuran, sosok
berpakaian hijau langsung mengibaskan pedangnya ke
kiri dan ke kanan. Terdengar jeritan kematian yang
disusul dengan robohnya beberapa orang pengeroyok
dengan tubuh bermandikan darah. Tentu saja perbua-
tan sosok bayangan hijau membuat pertempuran tam-
pak kacau. Cakar Setan dan Walung, yang semula menge-
royok Panji, segera saja melesat untuk mencegah sosok bayangan hijau agar tak
menjatuhkan lebih banyak
korban lagi. Keduanya langsung menghadapi sosok
bayangan hijau dengan serangan-serangan yang ga-
nas. Namun, kepandaian sosok bayangan hijau ter-
nyata tidak bisa dipandang ringan. Dengan pedang
yang mengeluarkan sinar putih keperakan, sosok
bayangan hijau ternyata mampu melayani kedua la-
wannya dengan baik. Pertarungan terpecah menjadi
dua. Dan para pengikut pendeta berjubah merah men-
jadi bingung, tidak tahu harus membantu yang mana.
Panji sendiri merasa lega melihat kehadiran so-
sok bayangan hijau yang membantunya itu. Meskipun
ia tidak dapat melihat wajahnya, Pendekar Naga Putih dapat mengetahui, siapa
sosok bayangan hijau yang
membantunya itu.
"Hm..., kini tinggal kita berdua, Pendeta Palsu.
Jangan harap kau dapat lolos lagi dariku...!" geram
Panji seraya memutar pedangnya sedemikian rupa.
"Keparat...! Kau pikir Pendeta Jubah Merah takut
menghadapimu, hah!" desis pendeta berjubah merah
yang segera melompat mundur jauh ke belakang. Se-
kejap kemudian, di tangannya telah tergenggam seba-
tang tongkat hitam berkepala ular.
Whuukkk! Whuukkk!
Tongkat hitam berkepala ular itu langsung dipu-
tarnya di depan dada hingga menimbulkan angin men-
deru. Orang-orang yang bertempur di dekatnya pun
langsung menjauhkan diri. Karena, putaran tongkat
itu membuat daerah sekitarnya bagaikan terkena an-
gin ribut. "Heeaaattt. .!"
Disertai putaran pedangnya yang mengaung ta-
jam, Panji segera melesat menerjang lawannya. Tam-
pak gulungan sinar kuning bergerak turun-naik den-
gan cepatnya bagaikan tubuh seekor naga yang tengah
mengamuk. Tentu saja serangan itu langsung disam-
but Pendeta Jubah Merah dengan sambaran tongkat-
nya. Sebentar saja pertempuran pun berlangsung den-
gan dahsyatnya.
Sebenarnya, kalau saja Panji tidak memiliki Pe-
dang Naga Langit, pemuda itu belum tentu mampu
menghadapi Pendeta Jubah Merah lebih dari seratus
jurus. Tapi, dengan adanya pedang mukjizat itu, tentu saja Pendeta Jubah Merah
yang lebih banyak memiliki
ilmu gaib itu bagaikan mati kutu. karena, Pedang Naga Langit dapat memusnahkan
seluruh ilmu gaib yang
dimiliki pendeta tua itu. Dengan demikian, baik keke-balan yang dimilikinya
maupun ilmu sihirnya yang
tinggi, benar-benar tidak bisa digunakan untuk meng-
hadapi Pendekar Naga Putih.
"Hiaaahhh...!"
Pertarungan kedua tokoh sakti itu semakin ber-
tambah sengit. Jurus demi jurus mereka lewati dengan kekuatan yang tampak
berimbang. Dan, ketika memasuki jurus ketujuh puluh, Pendeta Jubah Merah mem-
bentak nyaring disertai tenaga sihirnya. Tentu saja
pengaruh itu sangat luar biasa. Sampai-sampai sosok
bayangan hijau yang datang membantu Panji untuk
menghadapi keroyokan tadi terjajar limbung agak di
kejauhan sambil memegangi kepalanya yang terasa
hendak pecah. Panji tampak sangat cemas melihat
keadaan sosok bayangan hijau.
"Yeaaa...!"
Pendekar Naga Putih membentak nyaring sambil
memutar pedangnya dengan sekuat tenaga. Suara
mengaung yang laksana dengungan ratusan lebah me-
rah langsung melenyapkan kekuatan sihir yang digu-
nakan Pendeta Jubah Merah. Sehingga, Panji dapat
menarik napas lega melihat sosok bayangan hijau su-
dah bisa menghadapi lawan-lawannya lagi.
Namun, pada saat itu juga, ujung tongkat Pende-
ta Jubah Merah terlihat meluncur deras dari atas
mengancam batok kepala Pendekar Naga Putih.
Whuuukkk! Panji yang memang tidak pernah meninggalkan
kewaspadaannya segera bergerak ke samping, lalu
langsung melakukan serangan balas dengan tusukan
lurus ke jantung lawan.
Whuuttt..! Pendeta tua itu ternyata sangat gesit Tusukan
ujung pedang yang menimbulkan sinar menyilaukan
itu dapat dihindarinya dengan lompatan panjang ke
samping. Kemudian, ujung tongkatnya ditudingkan ke
arah Panji. Dan....
Seerrr...! Seerrr...!
Seketika itu juga, meluncurlah jarum-jarum ha-
lus menebarkan bau wangi memabukkan.
"Licik...!" desis Panji begitu melihat ratusan ja-
rum halus mengancam sekujur tubuhnya.
Pendekar Naga Putih segera menambah kekuatan
putaran pedangnya. Dan, jarum-jarum halus itu pun
langsung terserap melekat di badan Pedang Naga Lan-
git Semua ini dilakukan Panji agar jarum-jarum itu tidak melukai orang lain yang
berada di sekitarnya. Ta-pi, bukan keselamatan pengikut pendeta sesat itu
tentunya yang dikhawatirkan Panji. Karena, menurut du-
gaannya, para pengikut pendeta sesat sudah kebal
terhadap racun-racun mereka. Keselamatan bayangan
hijaulah yang dicemaskan oleh pendekar muda itu. Se-
telah gagal melakukan penyerangan dengan jarum-
jarum beracunnya, Pendeta Jubah Merah terlihat ber-
diri tegak dengan mulut berkomat-kamit. Sebentar
kemudian, terdengarlah suaranya yang bergetar dan
mengandung kekuatan gaib yang sangat mengerikan.
"Pendekar Naga Putih! Kau adalah seekor anjing
yang setia! Maka menyalaklah seperti seekor anjing ke-laparan...!"
Suara menggetarkan yang mengandung kekuatan
sihir tingkat tinggi itu bergema, hingga mempengaruhi semua orang yang berada di
sekitar lingkungan kuil.
Panji sendiri sempat tergoyah kuda-kudanya be-
gitu mendengar suara Pendeta Jubah Merah. Ada se-
suatu kekuatan aneh yang memaksa kedua kakinya
untuk menekuk dan merangkak serta menyalak seperti
seekor anjing. Tapi, tidak percuma Pedang Naga Langit berada di tangannya.
Sebab, seketika itu juga, sinar kuning keemasan yang semula berpendar di badan
pe- dang langsung menebar dan menyelimuti sekujur tu-
buh Panji. Semua itu membuat Pendekar Naga Putih
kembali tersadar dari pengaruh jahat.
"Hhhh...," benar-benar keji iblis itu..." desis Panji saat melihat sosok
bayangan hijau serta orang-orang
lainnya tengah merangkak sambil menyalak sekeras-
kerasnya. Jelas, semua orang itu telah terkena pengaruh sihir jahat Pendeta
Jubah Merah. Dalam kemarahannya, Panji segera menarik pe-
dangnya menyilang dengan kuda-kuda rendah. Pemu-
da itu siap melontarkan jurus terampuhnya, 'Naga
Sakti Meluruk ke Dalam Bumi'.
"Yeaattt..!"
Seiring dengan suara Pendekar Naga Putih yang
menggetarkan, lenyaplah pengaruh sihir pendeta sesat itu. Sedangkan tubuh Panji
sendiri telah meluncur ke arah lawannya.
Whuukkk! Whuukkk!
Pedang Naga Langit di tangan Pendekar Naga Pu-
tih berdesing mencicit dan mengaung-ngaung tajam.
Sebuah lingkaran pendaran sinar kekuningan yang
menyilaukan mata membuat Pendeta Jubah Merah
terkejut menyaksikannya. Kilatan-kilatan ujung pe-
dang yang sesekali muncul dari dalam lingkaran sinar kekuningan itu membuatnya
terdesak hebat Sibuklah
dia menahan serbuan pedang lawannya.
Panji sendiri tidak sekalipun menghentikan se-
rangannya kali ini. Pedang di tangannya yang seakan-
akan menimbulkan badai angin ribut benar-benar
membuat Pendeta Jubah Merah harus mengakui ke-
hebatan pendekar muda itu. Maka, setelah melewati
seratus lima puluh jurus, pendeta sesat itu pun tidak mampu lagi untuk
menyelamatkan dirinya dari kedah-syatan 'Ilmu Naga Sakti' Panji.
"Yeaattt..!".
"Aaahhh...!"
Pendeta Jubah Merah terpekik kaget ketika tahu-
tahu saja ujung pedang lawan telah muncul di depan
tubuhnya. Pendaran sinar keemasan yang menyilau-
kan mata itu membuat Pendeta Jubah Merah harus
bertekuk lutut di hadapan lawannya. Dan....
Craattt! Craattt!
"Aarrrkkhhh...!"
Pendeta Jubah Merah yang selama ini kebal ter-
hadap segala jenis senjata akibat kehebatan ilmu-ilmu hitamnya ternyata tak
mampu melindungi tubuhnya
dari ketajaman Pedang Naga Langit. Ketika ujung pe-
dang lawan merobek-robek tubuhnya, pendeta sesat
itu pun langsung meraung dahsyat Darah segar me-
nyembur keluar dari luka-lukanya. Sedangkan tubuh-
nya yang tengah limbung, langsung jatuh terjungkal
mencium tanah ketika Panji melontarkan sebuah ten-
dangan keras yang menyusuli sambaran Pedang Naga
Langit. Deesss...! "Huaakkhhh!"
Diiringi semburan darah segar yang memercik
mengotori tanah, tubuh kakek itu terbanting hingga
menjebol dinding kuno yang menjadi pagar kuil.
Tanpa ampun lagi, tubuh Pendeta Jubah Merah
ambruk dengan sekujur tubuh dipenuhi darah segar.
Kepala botak kakek itu tampak retak akibat benturan
keras dengan dinding batu kuno tadi. Rupanya keke-
balannya benar-benar musnah terkena pedang mukji-
zat di tangan Panji. Pendeta Jubah Merah akhirnya tewas di tangan Pendekar Naga
Putih. "Kenanga..., jangan...!"
Panji berseru ketika melihat sosok bayangan hi-
jau hendak membunuh pemuda tegap yang telah tak
berdaya. Pemuda tegap itu sendiri tengah rebah mene-
lentang di atas tanah, seolah-olah menunggu ujung
pedang gadis berpakaian hijau itu menembus dadanya.
Bersamaan dengan itu, terdengarlah suara ribut-
ribut agak jauh di luar kuil. Sebentar kemudian, tampaklah Ki Ganda Buana, Ki
Sangaji, Ki Bawung Sati
dan para penjaga keamanan desa datang memasuki
halaman kuil. Panji sendiri telah mengangkat bangkit tubuh
Gutawa, pemuda tegap yang hendak dibunuh Kenan-
ga, sosok berpakaian hijau itu. Kemudian dibawanya
tubuh putra kepala desa itu menghadap Ki Sangaji.
Sedangkan Cakar Setan dan Walung sudah sejak tadi
menggeletak dengan tubuh bermandi darah. Keduanya
telah tewas di tangan Kenanga.
"Gutawa...!" seru Ki Sangaji yang merasa terkejut
melihat putranya berada di tempat itu. Wajah orang
tua itu berkerut saat melihat wajah Gutawa yang tam-
pak dipenuhi luka bekas pukulan.
"Lebih baik kita kembali ke desa. Rupanya Guta-
wa masih terkena pengaruh sihir. Mudah-mudahan
aku masih bisa mengobatinya...," ujar Panji dengan
suara merendah.
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Sangaji langsung
memerintahkan orang-orangnya untuk segera me-
nangkap sisa pendeta yang tinggal sepuluh orang. Ke-
mudian rombongan, itu pun berangkat meninggalkan
kuil. "Kenanga, bagaimana kau bisa berada di tempat ini" Apakah kau sudah pamit
kepada bibimu?" tanya
Panji saat keduanya berjalan di barisan paling bela-
kang. "Aku bosan hidup dalam lingkungan Kadipaten,
Kakang. Lagi pula, Kakang terlalu lama pergi. Jadi,
aku putuskan untuk menyusul. Ketika tiba di tempat
Ki Ganda Buana, Pamanmu itu mengatakan bahwa
kau pergi menyelidik ke sebuah kuil di ujung desa ini.
Ya..., langsung saja aku menyusul..., jawab Kenanga
sambil tersenyum dengan sinar mata penuh kerin-
duan. Panji tersenyum seraya merangkul kekasihnya. Ia memang telah berjanji
kepada Kenanga untuk kembali
menemui gadis itu, yang tinggal bersama bibinya, istri seorang perwira
kadipaten. Beberapa hari lalu Kenanga memang diminta oleh bibinya, yang telah
lama tidak berjumpa dengannya, untuk tinggal sementara waktu


Pendekar Naga Putih 43 Darah Perawan Suci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di kadipaten. Panji, yang tidak ingin mengganggu pertemuan itu, pamit untuk
mengunjungi pamannya di
Desa Pegatan dan berjanji akan kembali dalam waktu
dekat. Rupanya Kenanga tidak sabar, karena Panji terlalu lama pergi. Gadis
jelita itu nekat menyusul,
meskipun ia harus tiba di Desa Pegatan saat hari telah lewat tengah malam.
Kedatangan gadis jelita itu sendiri, justru tepat pada saat Panji sangat
memerlukan bantuannya. "Kakang sendiri kapan hendak melanjutkan pe-
tualangan...?" tanya Kenanga, memecah kesunyian di
antara mereka. "Setelah Gutawa sembuh, kita langsung berpami-
tan dan melakukan petualangan bersama-sama seperti
biasa...," jawab Panji seraya tersenyum, membuat wa-
jah gadis jelita itu terlihat lega.
Beberapa hari kemudian, Gutawa telah pulih ke-
sehatannya. Putra kepala desa itu menceritakan bah-
wa sebelum masuk menjadi pengikut, ia diperbolehkan
untuk menyaksikan upacara-upacara para pendeta
itu, yang antara lain mengorbankan wanita muda se-
bagai persembahan. Beberapa di antara wanita-wanita
muda itu ada pula yang dijadikan sebagai pelampiasan nafsu binatang mereka,
untuk kemudian dibunuh setelah mereka bosan.
"Apakah Sumi telah mereka bunuh juga...?" Ki
Sangaji langsung menanyakan warga desanya yang
pernah dibawa oleh putranya itu.
"Sumi... Sumi...," bibir Gutawa menggerimit men-
gucapkan nama itu, "Ya..., ada samar-samar kuingat
nama itu. Sayang..., semua gadis itu telah dibunuh,
termasuk juga Sumi...."
Ki Sangaji dan orang-orang lainnya yang men-
dengar keterangan Gutawa hanya bisa menghela napas
berat. Tidak berapa lama kemudian, suasana pun hen-
ing. Semua orang yang berada di tempat itu seperti
sengaja membiarkan diri terbawa alam pikiran masing-
masing. Sementara itu, Pendekar Naga Putih dan Ke-
nanga tampak telah siap melanjutkan petualangan me-
reka. SELESAI Scan: Clickers Juru Edit: Culan Ode
PDF: Abu Keisel
Document Outline
1 *** *** 2 *** *** 3 *** *** 4 *** *** 5 *** 6 *** *** 7 *** *** 8 SELESAI Terbang Harum Pedang Hujan 1 Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas 4 Warriors Karya Wen Rui An Si Penakluk Dewa Iblis 2
^