Dewi Ular 2
Wiro Sableng 082 Dewi Ular Bagian 2
Ipong Nalakudra serta semua yang ada di situ melihat seorang perempuan tegak di
tempat agak ketinggian. Dialah yang telah merampas kitab berharga itu karena
kini kitab itu tampak berada dalam kepitan tangan kirinya.
Perempuan ini tidak bisa disebut muda lagi. Namun walau masih berusia agak
lanjut, wajahnya menyatakan bahwa di masa muda, paling tidak sampai beberapa
tahun sebelumnya, dia memiliki paras yang sangat cantik. Dia tegak dengan
menyeringai. Barisan giginya tampak rata dan bercahaya. Dia mengenakan pakaian
berbentuk kemben terbuat dari kain halus. Dadanya yang besar menggembung,
seharusnya tampak putih menggairahkan. Tetapi tidak bagi semua mata laki-laki
yang ada di tempat itu.
Penyebabnya karena di lehernya yang jenjang bergelung seekor ular berwarna hitam
belang kuning. Di kepalanya dia mengenakan sebentuk mahkota terbuat dari sosok
ular hijau yang telah dikeringkan.
" Ratu Ular! " seru Ki Sepuh Dulantara dengan suara bergetar begitu mengenali
siapa adanya perempuan di hadapannya. Mendengar nama yang disebutkan itu, yang
lain-lain jadi tercekat. Lodaya Surakali melirik pada Pangeran Ipong lalu
memberi tanda bahwa kemunculan Ratu Ular di tempat itu membawa satu bahaya
besar. Yang jelas, dia sudah merampas Kitab Seribu Petunjuk Kuna .
Perempaun di hadapan Ki Sepuh Dulantara tersenyum. " Bertemu cuma satu kali, itu
pun sepuluh tahun silam. Ternyata kau masih mengenali diriku! "
" Orang hebat berkepandaian tinggi, menggetarkan tujuh penjuru angin, siapa yang
tak kenal padamu Ratu Ular" " sahut Ki Sepuh Dulantara.
Ratu Ular tertawa tinggi. Dia melirik pada Lodaya Surakali dan Pangeran Ipong
Nalakudra lalu berkata.
" Seorang pangeran sampai jauh-jauh berada di tempat ini, tentu ada sesuatu yang
luar biasa dan sangat penting. Ki Sepuh Dulantara, bisakah kau menerangkan
mengapa kalian berada di sini" "
" Ah, Ratu Ular bicara jumawa. Sebagai orang berkepandaian tinggi, tentu kau
sudah menyerap kabar dan tahu apa sebab kami berada di sini. Nyatanya kau
sendiri berada di sini... "
" Orang tua, aku suka sikap bicaramu. Tapi aku tidak suka menyembunyikan
sesuatu. Aku kemari untuk mencari jejak muridku Dewi Ular. Dia tidak kutemukan.
Tapi aku merasa bersyukur karena sekali pun tidak bertemu muridku namun bisa
mendapatkan kitab hebat ini... "
sahut Ratu Ular pula.
Pangeran Ipong melihat gelagat yang kurang baik ini cepat memasuki pembicaraan.
" Kami di sini dalam rangka mencari sejenis obat yang kabarnya mampu
menyembuhkan kedua kakiku yang lumpuh... "
" Oh, begitu..." " Ratu Ular memperhatikan sepasang kaki Pangeran Ipong yang
tertutup jubah merah. "
Sayang sekali aku tak bisa membantu menemukan obat itu. Sayang juga aku tidak
punya banyak waktu. Aku harus pergi sekarang. Terima kasih untuk buku yang kau
berikan ini! "
Page 19 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Ratu Ular, tunggu! " berseru Ki Sepuh Dulantara.
Perempuan berkemben kain halus itu berpaling. " Orang tua, ada sesuatu yang
hendak kau sampaikan" "
" Kitab itu, aku tidak merasa pernah memberikannya padamu! "
" Ah, begitu" Mungkin kau lupa" "
" Ki Sepuh Dulantara benar! " berkata Pangeran Ipong dari atas tandu. " Kami
semua di sini tahu dan melihat. Dia tidak pernah memberikan kitab itu padamu.
Kau merampasnya! "
" Oh, begitu"! Aku merampasnya"! " ujar Ratu Ular, lalu tertawa panjang. " Bukan
main! Kalau begitu betapa jahatnya diriku! Padahal aku sebenarnya sudah sangat
berbaik hati pada tua bangka buruk rambut kelabu ini! "
Paras Ki Sepuh Dulantara tampak berubah. Kalau orang lain bicara begitu padanya
pasti sudah dilabraknya. Tapi maklum kalau dia berhadapan dengan orang
berkepandaian sangat tinggi dan terkenal ganas, maka dia berusaha bersikap
sabar. " Berbaik hati bagaimana maksudmu Ratu Ular" "
" Berbaik hati karena aku hanya merampas kitabmu, tidak ikut merampas nyawamu! "
Ki Sepuh Dulantara sampai tersurut satu langkah mendengar ucapan Ratu Ular. Di
atas tandu, PAngeran Ipong memberi tanda pada Lodaya Surakali. Lelaki separuh
baya berpedang pendek ini segera maju ke hadapan Ratu Ular. " Ratu Ular,
Pangeran meminta padamu agar segera mengembalikan kitab itu... "
" Hemmm... siapa kau" " tanya Ratu ULar dengan sikap memandang rendah walau
hatinya tertarik juga melihat kegagahan wajah lelaki ini.
" Aku Lodaya Surakali. Biasa dipanggil dengan gelar Pendekar Pedang Pendek. Aku
bekerja untuk Pangeran Ipong. "
" Jadi kau orang keraton. Bagus, katakan pada pengeranmu mengapa dia tidak bisa
bicara sendiri padaku meminta kitab ini" "
" Sudahlah, mengapa hal itu menjadi urusan. Aku mohon kitab itu diserahkan
padaku. Itu merupakan salah satu benda pusaka keraton. "
" Kalau ini merupakan benda pusaka keraton, mengapa bisa berkeliaran di luar.
Jangan-jangan pangeranmu telah mencurinya untuk kepentingan sendiri! "
" Ratu Ular! " teriak Pangeran Ipong dari atas tandu. " Kau tak layak tahu
tentang segala hal menyangkut kitab itu. Yang penting lekas serahkan pada
orangku lalu angkat kaki dari sini... "
" Pangeran lumpuh! Kalau aku tidak mengembalikan kitab ini kau mau berbuat apa"!
" tanya Ratu Ular dengan wajah mengejek.
" Jangan terlalu sombong Ratu Ular. Aku bisa memerintahkan penangkapan atas
dirimu. Jangan sampai kau menyesal seumur-umur! " jawab Pangeran Ipong sementara
Ki Sepuh Dulantara yang telah banyak siapa adanya Ratu Ular tampak berdiri
gelisah. Page 20 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Ratu Ular tertawa panjang mendengar kata-kata sang pangeran. Pangeran Ipong jadi
habis kesabarannya. " Lodaya! Ambil kitab itu, kalau dia melawan, bunuh! "
Dalam hati Ki Sepuh Dulantara mengeluh cemas. " Pangeran belum tahu tingginya
tingkat kepandaian perempuan itu. Juga belum tahu keganasannya. Aku harus cepat
mencegah sambil mengatur siasat... "
Orang tua berambut kelabu cepat bergerak mendekati LOdaya Surakali. Tapi orang
yang berjuluk Pendekar Pedang Pendek sudah keburu berkelebat. Tubuhnya berubah
menjadi bayangan hijau warna pakaiannya. Tangan kirinya mendorong ke arah bahu
Ratu Ular sedang tangan kanan menyambar ke arah kitab dalam kepitan tangan kiri.
Ratu Ular keluarkan tawa melengking. Dia hanya tegak bertolak pinggang. Sedikit
pun tidak bergerak.
Yang membuat gerakan justru ular besar belang hitam kuning yang bergelung di
lehernya. Binatang ini mendesis keras lalu gelungannya terlepas dan tubuhnya
menyambar ke arah Lodaya Surakali. Kepalanya mematuk cepat ke arah muka lelaki
berjuluk Pendekar Pedang Pendek ini.
Semua orang yang menyaksikan melengak tegang. Mereka melihat bagaimana patukan
ular datang lebih cepat dari gerakan dua tangan Lodaya Surakali yang berusaha
memukul bahu lawan dan merampas kitab.
" Binatang jahanam! " maki Lodaya. Dia terpaksa mencari selamat. Sambil
merunduk, tangan kanannya bergerak cepat mencabut pedang pendek di pinggang.
Lalu " Wuuuuttt! " sinar putih pedang yang terbuat dari besi bercampur perak
murni menyambar disertai deru angker. Sekejap lagi putuslah leher ular hitam
belang kuning itu.
Tapi apa lacur. Yang terjadi malah kebalikannya. Bukan ular itu yang celaka,
namun Lodaya Surakali yang terdengar menjerit keras. Pedang perak terlepas dari
genggamannya. Kedua tangannya kini dipergunakan untuk menekap mata kiri yang
kini telah jebol mengucurkan darah akibat patukan ular besar. Sekali lagi orang
ini menjerit lalu lututnya menekuk. Sesaat kemudian tubuhnya roboh tergelimpang.
Kulit di sekujur tubuhnya, mulai dari muka hingga ke ujung kaki kelihatan
menghitam akibat racun ular!
Ratu Ular menyeringai, memandang pada Pengeran Ipong lalu pada Ki Sepuh
Dulantara. Kitab masih berada dalam kepitan tangan kiri, sedang tangan kanan
dipergunakan untuk mengusap-usap kepala ular besar yang saat itu kembali
bergelung di lehernya. " Ada lagi yang kepingin cepat-cepat menghadap Raja
Akhirat"! " tanyanya. Tak ada yang berani menjawab. Juga tak ada yang berani
bergerak. Hujan turun rintik-rintik tak lama setelah Wiro Sableng dan Anggini tiba di
dangau di kaki bukit batu. "
Kurasa ada keanehan ketika Dewi Ular jatuh ke dalam jurang batu... " Wiro
membuka pembicaraan sambil memperhatikan pakaian yang dikenakannya, yaitu
pakaian perempuan yang didapatnya sewaktu menyelamatkan diri dari tempat
kediaman Dewi Ular.
" Keanehan apa maksudmu" " tanya Anggini.
" Jurang batu itu dari atas kelihatannya cuma sedalam enampuluh kaki. Tapi
pandangan mata bisa salah karena sebenarnya dasar jurang lebih seratus kaki... "
" Itu keanehan yang kau maksudkan" "
Page 21 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Wiro menggeleng. " Waktu perempuan itu jatuh dia menjerit keras. Namun suara
jeritannya mendadak lenyap pada kedalaman yang aku yakin belum mencapai dasar
jurang. Sesuatu terjadi dengan dirinya... "
" Bisa saja dia jatuh pingsan selagi melayang jatuh. Atau kepalanya membentur
batu jurang... "
kata murid Dewa Tuak pula.
" Dugaanmu yang pertama mungkin saja. Dugaan kedua kurasa tidak, karena dinding
jurang lurus sampai ke dasar. Aku khawatir kalau sesuatu terjadi dengan
dirinya... "
" Hemmm, kau mengkhawatirkan dirinya. Justru itu yang aneh! "
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. " Bukan khawatir apa. Yang aku khawatir kalau-
kalau dia tidak mati. Ada yang menolong... "
" Hantu atau setan jurang" "
Wiro tak bisa menjawab. Dalam hati dia tetap saja merasakan ada sesuatu.
" Daripada membicarakan perempuan itu, lebih bagus kau menceritakan padaku
bagaimana kau bisa mengenakan pakaian perempuan seperti ini" "
" Ah! Ini... " Wiro tertawa lebar dan kembali garuk-garuk kepala. Dia merasa
tidak ada perlunya menyembunyikan apa yang terjadi antara dia dan Dewi Ular di
bangunan batu pualam. Anggini mendengarkan dengan wajah bersemu merah.
" Gila! Itu pekerjaan yang paling berat dalam hidupku! Kalau aku tidak dibebani
tugas mahabesar, mungkin bukan paku emas itu yang aku tancapkan pada tubuhnya! "
Anggini memalingkan wajahnya mendengar kata-kata Pendekar 212. Dalam hati dia
berkata. "
Tabiatnya masih tidak berubah sejak dulu. Bicara seenaknya... "
" Eh, mengapa kau memalingkan muka dan tiba-tiba jadi diam saja" " tanya Wiro
sambil mengulum senyum.
" Kau masih untung... " sahut Anggini.
" Untung bagaimana" "
" Waktu gurumu meledakkan sarang Dewi Ular, kau masih bisa menemukan pakaian
walau pakaian perempuan. Kalau di sana tak ada pakaian kau bisa memperkirakan
bagaimana keadaanmu saat ini... "
Wiro terdiam lalu tertawa tergelak. " Kau betul! Aku masih untung walau jadi
seperti banci begini!
Tapi sudahlah, mengapa kita harus membicarakan perempuan ular itu. Kukira ada
baiknya kita membicarakan hubungan kita... "
Anggini menatap paras si pemuda dengan hati bergetar.
" Selama ini kau mendesakku agar kita membicarakan soal perjodohan itu. Aku
berpikir-pikir sebaiknya kita mempertemukan saja guru-guru kita, biar mereka
bicara langsung... "
Page 22 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Mempertemukan mereka bukan soal gampang. Kalaupun bisa dipertemukan, dua kakek
nenek itu bisa saja melantur bicara yang lain-lain... "
" Mereka semakin tua, tentu ada perubahan dalam hati dan jalan pikiran. Kurasa
ada baiknya kau pergi menemui Dewa Tuak, aku menemui Eyang Sinto Gendeng lalu
kita atur waktu dan tempat pertemuan bagi mereka. Kita ikut hadir di sana... "
" Aku menurut saja, " jawab Anggini.
Wiro tatap paras gadis itu lekat-lekat. Seolah baru menyadari betapa paras
Anggini begitu cantik. dihias sepasang mata yang bagus dan bening. Perlahan-
lahan tangan kanannya diulurkan untuk membelai rambut si gadis. " Mungkin selama
ini aku begitu saja melupakannya. Menyia-nyiakannya...
Mungkin sudah saatnya aku harus lebih dekat dengannya. Aku tahu betul dia sangat
mencintaiku dan gurunya Dewa Tuak menginginkan diriku jadi suaminya... "
" Apa yang kau pikirkan..." " bisik Anggini bertanya sambil pegang dan mengusap
lengan pemuda itu.
" Ada serombongan orang yang mendatangi... "
" Hah! Apa"! " kejut Anggini karena lain yang ditanya lain yang dijawab. Dia
mengikuti pandangan pemuda itu lalu berpaling ke jurusan yang dilihat Wiro.
Dari arah kaki bukit batu pualam sebelah timur, di bawah hujan rintik-rintik
Anggini melihat empat orang prajurit berlari menggotong sebuah tandu. Di atas
tandu duduk seorang lelaki berjubah merah. Empat prajurit lagi berlari di
samping tandu. Lalu di sebelah belakang mengikuti seorang tua berambut dan
berjanggut serba kelabu.
Dalam waktu singkat rombongan itu sampai di depan dangau. Empat prajurit
turunkan tandu lalu bersama empat kawannya yang lain mereka segera mengurung
dangau sementara orang tua rambut kelabu tegak rangkapkan tangan di depan dada
sambil menatap tajam pada Anggini dan Wiro. Sepasang muda-mudi di atas dangau
lepaskan rangkulan masing-masing.
" Siapa mereka" " tanya Anggini.
" Belum bisa kuduga. Kau tetap di sini. " Lalu Wiro melompat turun dari atas
dangau. " Rombongan dari mana datang ke sini" Apa hendak berbagi tempat berteduh"
Silakan naik ke atas dangau. Tapi karena dangau kecil, tidak semua kalian bisa
naik... " Wiro menegur sambil matanya ditujukan pada orang bermuka pucat
berjubah merah di atas tandu. Dia telah melihat perhiasan emas yang tersemat di
dada kiri orang ini yang menandakan bahwa dirinya seorang pejabat tinggi atau
penguasa kerajaan.
Orang tua berambut kelabu angkat tangan kanannya. " Kami rombongan Pangeran
Ipong Nalakudra dari Kotaraja, " katanya. " Kami datang untuk mendapatkan
keterangan kapan Bintang Kelimukus muncul! "
" Eh"! Apa-apaan ini"! " ujar Wiro heran lalu berpaling pada Anggini. " Sejak
kapan aku jadi ahli perbintangan"! "
" Pendekar 212 Wiro Sableng dan kau juga murid Dewa Tuak Anggini, jangan coba
Page 23 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
menyembunyikan apa yang kau ketahui! " kata orang tua berambut kelabu yang bukan
lain adalah Ki Sepuh Dulantara.
" Astaga Anggini! Mereka tahu siapa kita! " ujar Wiro lagi-lagi sambil berpaling
pada Anggini dan kini malah sambil garuk-garuk kepala.
" Pendekar 212... " Pangeran Ipong yang duduk di atas tandu ikut bicara. "
Karena menguntit kalian, kami telah kehilangan seorang anggota! Mati dibunuh
Ratu Ular! Jadi kuharap kau segera saja memberi keterangan! Aku memerlukan
penjelasan mengenai Bintang Kelimukus itu! "
" Siapa suruh kalian menguntit kami"! Kalau ada anggota kalian yang menemui
ajal, itu tanggung jawab kalian sendiri! " Dari atas dangau Anggini mendamprat.
" Murid Dewa Tuak! " membentak Ki Sepuh Dulantara. " Jaga mulutmu! Kau bicara
dengan Pangeran Ipong Nalakudra dari keraton! "
Anggini jadi sewot. Dia hendak mendamprat kembali tapi Wiro memberi isyarat. Dia
berpaling pada orang yang duduk di atas tandu. " Harap maafkan sahabatku itu. Kalian muncul secara tiba-tiba,
mengatakan telah menguntit kami! Bicara tentang anggota yang mati di tangan Ratu
Ular. Lalu menanyakan Bintang kelimukus. Terus terang saja, bisa dikatakan
kalian muncul tidak tahu juntrungannya. Tentu saja kami jadi heran. Coba bicara
baik-baik biar tidak terjadi salah paham... "
Melihat Wiro bicara lunak, kejengkelan Pangeran Ipong dan Ki Sepuh Dulantara
jadi mengendur. Orang tua ini lantas berikan keterangan. " Kami mendapat
petunjuk dan berhasil menyerap kabar bahwa di dasar jurang batu pualam
tersembunyi sepasang keris sakti bernama Nagasona. Satu betina satunya jantan.
Menurut catatan kuna dan silsilah yang ada di keraton, sepasang senjata itu
berasal dari tua-tua kerajaan beberapa puluh tahun lalu yakni dari Kerajaan
Singosari.. Selain kedua keris itu adalah milik sah kerajaan, juga mempunyai
daya pengobatan luar biasa.
Pangeran Ipong Nalakudra menderita lumpuh sejak usia limabelas tahun. Hanya
sepasang keris itu yang bisa mengobati kelumpuhannya... "
" Lalu apa hubungan sepasang keris Nagasoma dengan kami" " tanya Wiro.
" Kami yakin kalian mengetahui kapan munculnya Bintang Kelimukus. Karena pada
Wiro Sableng 082 Dewi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saat bintang itu muncul di langit, pada saat itu pula ada petunjuk di mana letak
tepatnya dua bilah keris mustika itu... "
" Walah! " Wiro berusaha menahan tawa dan garuk-garuk kepala, sementara Anggini
sambil senyum-senyum geleng-gelengkan kepala.
" Pangeran Ipong, keyakinan kalian tidak berdasar. Kami berdua tidak tahu menahu
soal keris Nagasona itu. Kami... "
" Tapi! " memotong Pangeran Ipong dengan cepat. " Kalian berdua kami ketahui
berada di tepi jurang batu pualam. Kalau tidak ada sangkut pautnya dengan
senjata-senjata sakti itu, apa perlunya kalian jauh-jauh tersesat ke sana..."! "
" Pangeran, apakah kau pernah mendengar nama Dewi Ular" " bertanya Wiro.
" Apa sangkut paut perempuan jahat itu dengan urusan ini"! " bentak Ki Sepuh
Dulantara. Page 24 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Justru Ratu Ular, guru Dewi Ular yang telah membunuh salah satu anggota kami!
" tukas Pangeran Ipong pula.
" Sudahlah, sekalipun kita bertengkar sampai pagi dan pagi lagi tak ada gunanya.
Dengan jujur aku katakan aku tidak tahu menahu tentang sepasang keris Nagasona.
Juga tidak tahu kapan munculnya Bintang Kelimukus! "
" Dia berdusta Pangeran! " kata Ki Sepuh Dulantara.
Pangeran Ipong mengangguk. " Siapa percaya pada pemuda sableng yang mengenakan
pakaian perempuan ini! Paksa dia bicara! Kalau tidak mau memberi keterangan,
hajar! Kalau perlu sampai mampus! "
Mendengar ucapan Pangeran Ipong, Anggini langsung melompat dari atas dangau. Ki
Sepuh Dulantara maju selangkah lalu berkata. " Kalian membangkang terhadap
permintaan pangeran! Berarti kalian membangkang terhadap kerajaan! Dengar dua
anak muda. Aku akan menangkap kalian secara baik-baik. Tapi jika tidak mungkin,
jangan menyesal kalau kami menjatuhkan tangan kasar! "
Orang tua ini lantas berikan isyarat pada delapan orang prajurit. Serta merta
mereka yang sejak tadi memang telah mengurung maju mendekat lalu menyergap.
" Kasihan! Kalian hanya jadi korban perintah pangeran tolol! " teriak Anggini.
Murid Dewa Tuak berkelebat. Tangan dan kakinya bergerak. Pendekar 212 tidak
ketinggalan. Dia tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Tapi dua tangannya
lepaskan dua pukulan kosong.
Enam jeritan mengumandang. Enam orang prajurit berpelantingan dan bergelimpangan
di tanah. Tiga kelihatan pegangi perut, dua menutupi mata yang bengkak sedang
satunya lagi melompat-lompat kesakitan sambil pegangi tulang keringnya yang kena
tendang Anggini dan serasa mau patah!
Dua prajurit yang tidak sempat kena hantaman serta merta mencabut pedang masing-
masing. Yang diserang cepat merunduk lalu menyusup di bawah sambaran pedang
sambil menghantam. Kembali terdengar jeritan keras. Dua prajurit mencelat
mental. Yang satu muntah darah, satunya lagi menjerit berguling-guling karena
sambungan siku tangan kanannya hancur dikepruk Wiro Sableng.
Di atas tandu Pangeran Ipong kertakkan rahang. Tangan kanannya bergerak ke
samping. Ternyata di atas bangku tandu ada sebuah busur kecil serta selusin anak
panah. Dengan gerakan cepat Pangeran Ipong mengambil busur itu dan merentang dua
anak panah sekaligus! Gerakannya cepat sekali.
Tahu-tahu dua anak panah melesat di udara. Hebatnya walau lepas dari satu busur
yang sama namun dua anak panah itu mampu melesat pada dua sasaran yakni Wiro dan
Anggini! " Anggini awas panah! " teriak Wiro memberitahu. Murid Dewa Tuak tanggalkan
selendang sutera ungu yang melilit di lehernya. Sekali selendang ini dikebutkan,
kekuatannya berubah seperti sepotong besi.
" Traakk! "
Anak panah yang menyerang Anggini hancur berkeping-keping. Anak panah kedua yang
melesat ke arah Pendekar 212 tiba-tiba berbalik dan menghantam ke arah Pangeran
Ipong begitu murid Eyang Sinto Gendeng lepaskan pukulan tangan kosong mengandung
tenaga dalam tinggi. Pangeran ini terkejut bukan main. Dengan cepat dia gerakkan
tangan kanannya yang masih memegang busur.
Page 25 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Traakk! Traakk! "
Busur dan anak panah sama-sama patah tapi sang pangeran sendiri selamat dari
senjata makan tuan!
" Pendekar 212 bukan nama kosong! " ujar Pangeran Ipong. " Aku mau lihat apa kau
juga mampu menerima serangan ini! " lalu dari atas bangku tandu diambilnya
sekaligus delapan buah anak panah.
Dengan gerakan luar biasa cepat ke delapan anak panah itu dilemparkannya ke arah
Wiro. Delapan anak panah menyerang di delapan bagian tubuh Pendekar 212. Dua di
antaranya di bagian kepala dan satu mengarah leher.
" Ganas sekali! " kertak Wiro. Dia melompat ke samping kiri seraya menghantamkan
dua tangan sekaligus. Meski enam anak panah sanggup dibuat mental namun anak
panah ke tujuh menyusup di bahu kiri pakaiannya. Terasa perih tanda ujung panah
sempat mengiris daging bahunya. Anak panah ke delapan yang mengarah pinggang tak
sempat dielakkan sang pendekar. Sebelum senjata itu menancap telak di tubuhnya
dari samping Anggini kebutkan selendang ungunya. Ujung selendang menghantam
panah hingga patah bermentalan.
Pangeran Ipong berteriak marah. Dua anak panah yang masih ada di bangku segera
dilemparkan ke arah Anggini. Si gadis tak kalah marahnya Dia keluarkan jurus
"selendang dewa memagut naga menghancurkan matahari."
Selendang ungu di tangan Anggini memukul lurus ke depan. Bukan saja senjata
andalannya ini mampu membuat mental dan hancur dua buah anak panah yang datang
menyerang namun di lain kejap hampir tidak terlihat oleh Pangeran Ipong tahu-
tahu selendang ungu itu telah menggelung lehernya!
" Kau boleh membuat gerakkan konyol apa saja Pangeran! sekali aku menyentakkan
tangan tulang lehermu akan remuk! "
Murid Dewa Tuak memang tidak punya maksud membunuh pangeran berkaku lumpuh itu.
Maklum kalau si gadis tidak akan mencelakainya maka Pangeran Ipong berteriak
pada Ki Sepuh Dulantara. "
Kau tunggu apa lagi"! Kau harus dapatkan keterangan dari meeka Bagaimana caranya
terserah! " Ki Sepuh Dulantara memandang tak berkesip pada Anggini, melirik ke arah Wiro.
Dia sudah lama mendengar kehebatan pemuda ini dan juga tindakan-tindakannya yang
menjurus pada kekurangajaran.
Walau dia menganggap tingkat kepandaian Wiro masih di bawah Ratu Ular namun
untuk mencari perkara dengan pemuda ini dia harus pikir dua kali. Apalagi
disaksikannya sendiri bagaimana tadi Wiro dan Anggini menghajar delapan prajurit
hingga babak belur. Namun sebagai orang yang tunduk pada perintah Pangeran Ipong
kalau dia tidak berbuat apa-apa pasti sang pangeran akan marah besar
terhadapnya. " Pendekar 212, kami telah meminta secara baik-baik padamu agar memberi tahu apa
yang kau ketahui tentang kemunculan bintang Kalimukus.... "
" Meminta baik-baik dengan menyuruh delapan prajurit itu menyerang kami"! "
tukas Wiro. Anggini menimpali. " Pangeranmu malah menyerang kami dengan selusin panah! "
" Kami masih mau menyelesaikan urusan ini secara kekeluargaan. Jika kau membuat
jasa pada Pangeran Ipong masakan kerajaan tidak akan mengingat dan membalas
kebajikanmu itu... " ujar Page 26
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Ki sepuh Dulantara pula.
" Kalian telah menjatuhkan tangan jahat! Mana kami mau percaya! Jika mau
menganggap urusan selesai sebaiknya kau gotong pangeramu itu cepat-cepat
meninggalkan tempat ini! "
" Ki Sepuh! Lekas kau beri pelajaran pada pemuda kurang ajar itu! " teriak
Pangeran Ipong. Tak perduli walaupun lehernya masih dijerat selendang dia
gerakkan tangan kanannya ke balik jubah merah.
Begitu tangan keluar Anggini melihat sang pangeran menggenggam beberapa buah
benda berbentuk bintang kepala enam, terbuat dari besi tipis hitam. Senjata
rahasia! Dari warnanya yang hitam jelas bintang besi itu mengandung racun.
" Pangeran apa yang hendak kau lakukan...." " tanya Anggini
" Kau bertanya! Kau boleh mendapatnya lebih dulu! " jawab Pangeran Ipong. Lalu
tangan kanannya bergerak ke arah kepala Anggini. Maksudnya tentu saja hendak
melemparkan senjata rahasianya itu pada si gadis. Tapi Anggini yang dari tadi
sudah bersikap waspada, apalagi selendangnya masih melilit di leher sang
pangeran tentu saja mampu bergerak lebih cepat. Begitu ujung dua jari tangan
kirinya menusuk punggung lelaki lumpuh itu, tubuh Pangeran Ipong serta merta
kaku. Dia seolah berubah jadi patung dengan tampang mengerenyit sedang tangan
kanan terangkat ke atas.
" Anak gadis! Kau melakukan kesalahan besar! " teriak Ki Sepuh Dulantara. Orang
tua ini melompat ke arah Anggini. Selagi tubuhnya melayang di udara tangan
kanannya sudah bergerak mengirimkan serangan tangan kosong mengandung tenaga
dalam tinggi. Yang diserang tak tinggal diam. Apa yang dilakukan murud Dewa Tuak membuat Ki
Sepuh Dulantara berteriak kaget. Dia cepat tarik serangannya tapi terlambat.
Pukulan tangan kosong yang dilepaskan orang tua berambut kelabu itu menghantam
dada Pangeran Ipong yang tubuh kakunya diangkat oleh Anggini dan dijadikan
tameng untuk melindungi dirinya!
Meski dalam keadaan kaku akibat totokan Anggini namun begitu hebatnya hantaman
pukulan yang dilepaskan Ki Sepuh Dulantara tubuh Pangeran Ipong tampak
menggeliat. Mulutnya menganga mengeluarkan darah!
" Jahanam! Kau membunuh pangeran kami! " teriak Ki Sepuh Dulantara marah sekali.
Padahal sang pangeran hanya pingsan. Tidak tunggu lebih lama dia segera menyerbu
Anggini. Murid Dewa Tuak siap menyambut serangan si orang tua namun dari samping
saat itu tiba-tiba saja Pendekar 212 memotong gerakannya. Melihat ada yang
berusaha menghalangi serangannya Ki Sepuh Dulantara berbalik dan memukul.
Wiro angkat tangan dan menangkis.
" Bukkk! "
Dua lengan saling beradu. Orang tua rambut kelabu mengeluh tinggi dan
terbungkuk-bungkuk sambil pegangi tangannya yang sakit laksana dihantam
pentungan besi. Sebaliknya Wiro sendiri terjajar dua langkah. Ketika diperiksa
ternyata lengan kanannya tampak bengkak membiru. Sambil mengurut-urut lengannya
yang bengkak Wiro perhatikan Ki Sepuh Dulantara yang masih terbungkuk-bungkuk
kesakitan. Pada saat itulah selintas pikiran muncul dibenakknya. Meskipun sudah
lanjut usia namun orang tua ini masih memiliki tubuh kokoh dengan perawakan sama
besar seperti Wiro.
Page 27 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Tinggi sama. Besar dadanya juga sama denganku. Pasti ukuran pakaiannya ...
Hemmm...Mengapa tidak kulakukan" " Memikir sampai di situ murid Sinto Gendeng
dari Gunung Gede itu segera dekati Ki Sepuh Dulantara sambil tersenyum-senyum.
" Orang tua, apakah kau akan meneruskan perkelahian"! " Wiro bertanya.
Merasa diejek dengan pertanyaan itu, apalagi Wiro bicara sambil mengulum senyum
Ki sepuh Dulantara jadi marah sekali. Anggini sendiri terheran-heran melihat
sikap pemuda itu. " Apa yang ada dibenak si konyol itu, " pikirnya.
" Jahanam! Makan tanganku! " teriak si orang tua lalu hantamkan satu jotosan ke
kepala Wiro. Yang diserang cepat menghindar. Begitu tangan si orang tua lewat didepannya Wiro
segera susupkan satu totokan ke ketiak lawan. Tapi Ki Sepuh ternyata cukup
gesit. Begitu berhasil menghindari totokan yang bisa melumpuhkan sekujur
tubuhnya itu, si orang tua lancarkan serangan kilat berupa pukulan tangan kiri
kanan. Demikian cepatnya serangan ini hingga yang terdengar hanya suara bak-buk-
bak-buk. Tubuh pendekar 212 terguncang keras beberapa kali lalu terpelanting dan jatuh
duduk di tanah. Dadanya mendenyut sakit. Selagi dia mencoba bangkit kaki kanan
Ki Sepuh Dulantara datang menyambar.
" Orang tua, sekarang giliranku! " teriak Wiro. Dengan salah satu kaki dia
menghantam tulang kering kaki kiri Ki Sepuh Dulantara yang berpijak di tanah.
" Patah! " teriak murid Sinto Gendeng.
" Bukkk! "
Tendangan Wiro mendarat tepat di tulang kering kaki Ki Sepuh Dulantara. Tapi
kaki itu tidak patah. Dia hanya terhuyung-huyung sedikit. Malah yang membuat
Wiro jadi geram ialah sewaktu dilihatnya Ki Sepuh Dulantara memandang padanya
dengan seringai penuh ejek.
" Gila! Ilmu apa yang dimiliki tua bangka ini" " ujar Wiro dalam hati. " Tadi
waktu bentrokkan lengan jelas dia kesakitan. Rupanya kini dia mengeluarkan ilmu
kebal aneh! " Selagi lawan masih terhuyung-huyung dia cepat menyergap dan
hantamkan empat jotosan di dada orang. Lagi-lagi Wiro jadi terperangah ketika
dia merasa bagaimana empat kali dia menjotos dada empat kali dia seperti
menghantam tumpukan kapas empuk! Penasaran Wiro lancarkan lagi pukulan keras
berulang kali. Kini yang dihantamnya adalah perut orang tua itu. Lama-lama
tangannya seperti kesemutan. Dengan muka keringatan dan nafas mengengah Wiro
hentikan serangannya,menatap si orang tua dengan pandangan heran.
" Nama besar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ternyata hanya nama kosong
belaka! Aku mau lihat sampai dimana kekuatan tulang belulangmu! " Ki Sepuh
Dulantara tutup ucapannya dengan satu gerakan kilat. Tangan kiri mencekal
tengkuk sang pendekar sedang tangan kanan mencengkeram pinggang pakaiannya.
Tubuh Wiro diangkatnya ke atas diputarnya beberapa kali lalu dilemparkannya ke
arah danau. " Brakkk! "
Dua buah tiang dangau yang terbuat dari bambu patah karena hantaman tubuh Wiro
hingga bangunan yang memang sudah agak lapuk itu roboh berantakan.
Wiro tentu saja menderita kesakitan sekujur badannya terutama pada pinggang.
Namun yang berteriak Page 28
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
justru orang tua berambut kelabu itu. Apa yang terjadi" Ketika tubuhnya diangkat
ke atas dan diputar-putar beberapa kali, sebelum dilemparkan ke danau Wiro
susupkan dua tangannya mencengkeram bahu baju yang dikenakan Ki Sepuh Dulantara.
Begitu tubuhnya dilempar dia cepat merenggut. Akibatnya baju tak berkancing yang
melekat ditubuh orang tua terlepas tanggal! Kini Ki Sepuh Dulantara tegak dalam
keadaan setengah telanjang dan memaki panjang pendek.
Tenang saja malah sambil senyum-senyum Wiro bangkit berdiri lalu cepat kenakan
baju yang berhasil dirampasnya itu.
" Bangsat kau benar-benar mencari mati berani menghinaku! Lekas kembalikan
bajuku! " teriak Ki Sepuh Dulantara marah.
" Kalau kau punya kemampuan silahkan ambil sendiri! " sahut Wiro. Lalu dia
melompat dan lancarkan tendangan ke arah kaki lawan. Dalam marahnya Ki Sepuh
Dulantara bukannya menghindar tapi malah angkat kaki kanannya menyongsong
tendangan dengan tendangan!
" Pasti dia akan mengandalkan ilmu empuk-empuk itu! " pikir Wiro. " Silahkan
saja! Kali ini dia akan kutipu! "
Begitu kaki kanan Ki Sepuh Dulantara melesat ke atas Wiro berkelebat ke samping.
Dari samping dia gunakan tangan kanan untuk mengangkat tumit lawan tinggi-tinggi
sambil tangan kirinya mendorong ke arah yang berlawanan.
Akibatnya tak ampun lagi Ki Sepuh Dulantara jatuh tertelentang di tanah. Selagi
orang tua itu terhenyak nanar, Wiro pergunakan kesempatan untuk mencengkeram
kaki celana panjang yang dikenakan orang tua ini lalu membetotnya dengan sekuat
tenaga. " Kurang ajar! Hai! "
Apa yang terjadi dapat dibayangkan. Kalau tadi Ki Sepuh Dulantara hanya setengah
telanjang kini orang tua itu benar-benar bugil karena ternyata dibawah celananya
itu dia sama sekali tidak mengenakan apa-apa.
Wiro lambaikan celana milik Ki Sepuh Dulantara pada Anggini yang masih tegak
dekat tandu lalu berkelebat ke balik runtuhan dangau. Anggini yang mengerti
isyarat Wiro segera pula berkelebat mengikuti.
" Bangsat, jahanam! " teriak Ki Sepuh Dukantara. " Kembalikan pakaianku! Hei!
Kembalikan pakaianku! "
" Aku akan perintahkan pasukan mencari kalian! sekali tertangkap kalian akan
tahu rasa"
berteriak Pangeran Ipong.
Wiro tidak perdulikan teriakan kedua orang itu. Sambil memegang lengan Anggini
dia terus berlari. "
Lumayan dapat pakaian. Sekarang aku tidak seperti banci lagi. Mengenakan pakaian
perempuan... "
" Bagusnya pakaian itu kau cuci dulu. Siapa tahu dia mengidap penyakit kulit.
Kau bisa budukan! " kata Anggini pula lalu tertawa cekikikan.
Seratus lima puluh hari setelah jatuhnya Dewi Ular dan manusia paku Sandaka ke
dalam jurang batu Page 29
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
pualam....
Wiro Sableng 082 Dewi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saat itu menjelang sang surya akan tenggelam ke ufuk barat. Di dinding timur
jurang yang mulai redup temaram kelihatan satu cahaya kuning bergerak sebat kian
kemari seolah seekor kunang-kunang yang terbang melayang. Namun sesekali cahaya
itu tampak melesat panjang disertai suara bersiur dan membersitnya hawa dingin.
" Bagus sekali! Hebat! Dasar tenaga dalammu jauh lebih kuat dari pertama kali
dulu kau menginjakkan kaki di tempat ini! Tidak percuma aku menggemblengmu.
Walau kurang dari setengah tahun tapi aku sudah bisa yakin kau bakal dapat
menggusur kakek keparat di jurang barat sana! sekarang aku perlu menjajalmu
untuk terakhir kali! Kau sudah siap Dewi Ular"! "
Yang bicara adalah si nenek gendut Kunti Rao berjuluk Iblis Daun Setan.
" Nenek guru, tentu saja saya sudah siap! Siapa nyangka berkat ketekunanmu paku
emas yang tadinya sudah butut menghitam kau asah ujungnya hingga kembali ke
bentuknya yang asli.
Kuning emas berkilat! " Terdengar suara menjawab. Ini adalah suara kunti Ambiri
alias Dewi Ular. Saat itu kedua perempuan tersebut berada di depan goa batu, di
lereng barat jurang batu pualam. Demikian terjalnya dinding jurang jangankan
bergerak dan membuat gerakan-gerakan silat, berdiri saja sangat berbahaya.
Sekali seseorang tergelincir pasti akan disambut maut di dasar jurang yang ada
kawah mendidih serta puluhan batu-batu lancip. Tapi luar biasanya Dewi Ular
justru bergerak kian kemari, memainkan jurus-jurus ilmu silat yang dipelajarinya
sejak seratus lima puluh hari lalu dari Kunti Rao.
Gerak dan jurus-jurus yang dimainkan Dewi Ular memang merupakan ilmu silat
langka. Namun yang lebih luar biasa adalah paku hitam yang berada dalam
genggaman tangan kanannya.
Paku hitam itu dulu adalah paku emas yang ditancapkan Pendekar 212 Wiro Sableng
ke pusar Dewi Ular hingga perempuan setengah manusia setengah iblis ini musnah
ilmu kesaktiannya yang ganas. Selama puluhan hari Kunti Rao mengasah paku itu ke
dinding batu di sekitarnya, berusaha mengembalikan ke bentuk asalnya kuning
emas. Namun dia hanya mampu mengikis lapisan hitam pada ujung runcing paku.
Itupun hanya setengah panjang kuku jari kelingking. Tetapi kesaktian yang keluar
dari ujung yang secuil itu sungguh luar biasa!
Dewi ular memegang paku pada bagian kepalanya. Seutas tali diikatkan pada bagian
bawah kepala paku. Selanjutnya ujung lain diikatkan ke lengan perempuan itu
hingga dalam keadaan bagaimanapun paku itu sulit terlepas dari tangannya.
" Dewi Ular! harap kau simpan dulu paku hitam berujung emas itu. Aku akan
menjajal tenaga luarmu, gabung dengan tenaga dalam. Keluarkan ilmu baru yang
kuajarkan. "
" Saya siap guru! " kata Dewi Ular. Dia cepat menyimpan paku hitamnya lalu tegak
memasang kuda-kuda.
" Lihat serangan! " teriak Kunti Rao. Tubuhnya yang gemuk menyergap ke depan.
Rambutnya yang acak-acakan berakibat sebat. Dua tangannya menghantam
berbarengan. Dewi Ular geser sedikit ke dua kakinya ke samping. Lalu dengan gerakan tak kalah
cepat dia songsong serangan dua tinju si nenek dengan balas menyerang,
mempergunakan ke dua tinjunya pula. Terjadilah hal yang hebat. Empat jotosan
saling berada menimbulkan suara keras. Bukan cuma satu kali. Tapi berulang kali
dan dalam gerakan sangat cepat. Dalam waktu singkat saja terjadi saling adu
jotos sebanyak seratus kali!
" Bagus! " seru Kunti Rao seraya mundur. Dia perhatikan jari-jari tangannya yang
kelihatan merah. Hal Page 30
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
yang sama juga terjadi dengan jari-jari Dewi Ular. Meskipun merah namun sama
sekali tidak cedera.
Lecet sajapun tidak.
" Kau boleh ikatkan paku hitam itu kembali ke pergelangan tanganmu, " kata Kunti
Rao. " Dan siap dengan ujian berikutnya! "
Dewi Ular keluarkan paku hitam dari balik pakaiannya lalu mengikatkan tali paku
ke pergelangan tangannya sebelah kanan.
" Lihat serangan! " Kunti Rao kembali berteriak keras.
Tangan kanannya dipukulkan ke arah dada Dewi Ular. Serangan yang dilancarkan
perempuan gemuk berambut merah acak-acakan dan mengaku berusia lebih enam puluh
tahun itu bukan serangan main-main. Jangankan tubuh manusia, dinding batu
sekalipun sanggup dihantamnya sampai hancur.
Dewi Ular selaku orang yang diserang bukan tidak tahu kalau bahaya maut
mengancam jiwanya. Tapi penuh percaya diri dia bersikap diam. Dia sengaja
menunggu. Begitu jotosan Kunti Rao hanya tinggal satu jengkal dari dadanya baru
dia gerakkan tangan kanan yang memegang paku hitam yang ujung lancipnya berwarna
kuning keemasan.
Satu sinar kuning menyilaukan menyambar disertai deru dan menghamparkan hawa
dingin menggidikkan.
Kunti Rao merasa tangan kanannya mulai dari bahu sampai ke ujung-ujung jari
laksana kesemutan.
Tangannya tak bisa maju lagi. Berarti serangannya tak mampu mencapai sasaran
yaitu dada Dewi Ular.
Kunti Rao coba memaksa. Sekujur tubuhnya bergetar. Mukanya yang gembrot basah
oleh keringat dan kelihatan sangat merah. Rasa kesemutan lenyap tapi
bagaimanapun ia mengerahkan tenaga luar dalam tetap saja dia tidak mampu
menghantam Dewi Ular.
Di hadapannya Dewi Ular walaupun di luar tampak tenang namun sebelah dalam
tubuhnya terasa seperti diremas-remas. Rahangnya dikatupkan kencang-kencang
menahan rasa sakit aneh yang seperti hendak meluluhlantakkan sekujur auratnya.
Keringat membasahi badannya.
" Luar biasa! Aku tak sanggup bertahan! " keluh Dewi Ular dalam hati. Dia segera
pegang kepala paku hitam. Ujungnya ia arahkan pada Kunti Rao. Ketika tenaga
dalamnya disalurkan ke paku hitam itu, ujungnya yang berwarna kuning emas
mengeluarkan sinar terang menyilaukan. Bersamaan dengan itu terdengar suara
seperti angin menderu dibarengi menebarnya hawa dingin menggidikkan.
Kunti Rao menjerit keras ketika sinar kuning yang keluar dari ujung lancip paku
menyambar tangannya yang masih terpentang dalam sikap memukul. Hawa dingin
menyerang sekujur badannya. Bersamaan dengan itu tubuh gemuk berbobot puluhan
kati itu terpental, terbanting keras ke dinding goa batu. Kunti Rao mengeryit
menahan sakit. Dadanya yang besar berguncang turun naik. Dia cepat duduk bersila
di lantai batu, atur jalan nafas dan peredaran darah. Sepasang matanya yang
sipit terpejam.
" Kau berhasil menguasai ilmu itu Dewi Ular! Kau hebat! Aku puas.... Tapi jangan
lengah! lihat serangan! " Tiba-tiba si gendut berteriak. Tubuhnya yang tadi
duduk seperti membal ke atas. Bersamaan dengan itu tangannya bergerak mencabut
empat helai daun besar yang menutupi auratnya.
" Wuttt! Wuuuttt! Wuttt! Wutttt! "
Empat lembar daun lontar mengarah ke arah Dewi Ular. Suaranya laksana elang
menyambar. " Bettt!
Bettt! Betttt! Bettt! " Dewi Ular acungkan tangan kanannya yang memegang paku.
Paku hitam itu kemudian digoyangkan dalam gerakan berputar. Empat lembar daun
lontar yang menyerang tampak ikut Page 31
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
berputar di udara lalu berpelanting ke empat penjuru.
"Clep! Clep! Clep! Clep!"
Empat lembar daun itu menancap sampai setengahnya pada dinding batu goa!
Dewi Ular rasakan tengkuknya menjadi dingin. " Dia tidak main-main mengujiku!
Terlambat aku menangkis pasti saat itu aku sudah menjadi mayat! "
" Bagus! Aku senang! tidak sia-sia aku menggemblengmu. Walau dalam waktu singkat
tapi kau dapat menguasai semua ilmu! Dengan kepandaian itu kau bisa membantuku
menamatkan riwayat Datuk Sipatoka. Dia akan tahu rasa nanti! "
Dewi Ular ikut duduk dihadapan si gemuk Kunti Rao.
" Guru saya sangat berterimakasih padamu. Bukan saja karena kau telah
mengajarkan ilmu kepandaian yang hebat.Tapi lebih dari itu kau telah
mengembalikan hasrat untuk hidup dalam diriku.... "
Kunti Rao tertawa lebar. " Kau harus hidup, kau harus percaya diri. Bukan saja
karena aku perlu bantuanmu tapi bukankah kau juga ingin membalaskan dendam
kesumatmu pada dua orang pemuda itu..." "
Dewi Ular mengangguk. " Saya tidak akan lupakan dua manusia jahanam itu.
Sandaka.... Pendekar 212. Tunggu pembalasanku. Kalian akan kubikin lumat! Kalian akan mati
hancur, luluh dan tanpa kubur! "
" Satu hal lagi jangan dilupakan. Justru ini yang paling penting! Kita harus
mendapatkan sepasang keris sakti Nagasona itu! Itu lambang kekuasaan dunia yang
tidak ada duanya! "
Dewi Ular mengangguk. " Jangan khawatir guru. Bila tiba saat datangnya petunjuk
itu, saya rela mengorbankan nyawa turun ke dasar jurang. Menyelam ke dalam kawah
mendidih.... "
Kunti Rao tertawa panjang. Dia pegang bahu Dewi Ular dan menepuknya beberapa
kali. " Kau murid baik! Baik dan hebat! "
Dewi Ular menggeser duduknya lebih dekat kehadapan sang guru. Kepalanya
ditundukkan seolah-olah hendak memberikan penghormatan sebagai ucapan terima
kasih. Tetapi tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak ke atas. Perutnya
mengempis. Nafasnya sesaat ditahan. Inilah satu pertanda bahwa dia tengah
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Ujung paku yang berada dalam pegangan Dewi Ular memancarkan sinar kuning terang
menyilaukan. Kunti Rao tidak tahu apa yang hendak dilakukan muridnya itu. Mendadak sontak
paku hitam telah menancap ditenggorokannya!
" Dew.... Dewi Ular... Apa yang kau lakukan ini"! Perempuan Jahanam! Dasar
manusia berhati ular...! " tampak meringis ganas. Tangannya yang memegang paku
ditekannya hingga paku itu menancap Page 32
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
semakin dalam ke batang leher Kunti Rao. Darah mengucur membasahi leher dan
tubuh sebelah atas si nenek gendut itu, juga membasahi tangan Dewi Ular sampai
ke siku. " Jahanam penghianat! " teriak Kunti Rao. Tangan kanannya diangkat tapi dia tak
mampu melakukan pukulan. Sepasang matanya yang sipit kelihatan membesar sedikit
dan berwarna kemerahan. Mulutnya dibuka. Lidahnya terjulur. Nafasnya mulai
sesak. Dewi Ular terus mengumbar tawa. " Kunti Rao... " katanya langsung menyebut nama
orang yang biasanya dipanggilnya dengan sebutan nenek atau guru itu. " Kau
manusia sakti paling bodoh di dunia.
Setelah tahu apa yang terpendam di dasar jurang ini, apa kau kira cuma kau
seorang yang ingin memilikinya" Apa cuma kau seorang yang ingin jadi raja di
raja dunia persilatan" Semua orang menginginkan kedudukan itu. Termasuk aku!
Hik...hik...hik! "
" Jahanam! Perempuan jahanam! " maki Kunti Rao. Tapi suaranya mendadak jadi
perlahan bahkan menghilang. Matanya yang sipit semakin merah, bergerak liar.
Lidahnya ikut bergerak. Lalu semuanya itu berhenti bergerak. Dadanya yang tadi
turun naik kini diam. Sesaat kemudian kepalanya terkulai ke kiri.
Dewi Ular tersenyum. Perlahan-lahan paku hitam dicabutnya dari tenggorokan
perempuan gemuk itu.
Asap biru keluar mengepul dari luka bekas tusukan. Dewi Ular mengumbar tawa lalu
bangkit berdiri, keluar dari dalam goa.
Di depan goa Dewi Ular menghirup udara segar dalam-dalam. Saat itu senja telah
memasuki malam.
Udara di dalam jurang batu terasa sangat sejuk. Dewi Ular timang-timang paku
yang tergantung di pergelangan tangan kanannya. Dalam hati dia berkata. " Aku
hanya tinggal menunggu munculnya bintang Kalimukus itu. Kunti Rao bicara banyak
tentang bintang dan sepasang keris di dasar jurang. Aku pasti mampu mendapatkan
dua senjata mustika itu. Hemm... begitu aku mendapatkannya pertama sekali akan
kucari dua manusia terkutuk itu. Pendekar 212 Wiro Sableng, Sandaka... kalian
tak bakal bisa lolos dari tanganku! "
Dewi Ular goyangkan paku hitam di tangan kanannya. Selarik sinar kuning melesat
menyilaukan lalu lenyap dalam kegelapan malam.
Lalu dia ingat pada mayat Kunti Rao yang ada dalam goa. " Mayat itu harus
disingkirkan dulu sebelum busuk! " Dewi Ular cepat masuk ke dalam goa. Dia
membungkuk untuk mencekal kaki perempuan gemuk itu lalu menyeretnya ke luar goa.
Tapi baru saja ia memegang kaki sebelah kiri tiba-tiba kaki kanan Kunti Rao
melesat. " Bukkk! "
Dewi Ular terpekik tubuhnya terpelanting ke pintu goa. " Keparat! Belum mati dia
rupanya! "
Sambil menahan sakit di dada kirinya yang kena tendangan, Dewi Ular masuk
kembali ke dalam goa.
Saat itu dilihatnya Kunti Rao berusaha bangkit berdiri.
" Kau boleh punya tujuh nyawa! Tapi ini akan menamatkan riwayatmu! " Dewi Ular
putar paku hitam di tangannya. Ujungnya yang lancip ditusukkan ke kening Kunti
Rao. Perempuan gemuk ini menjerit keras. Darah mengucur deras membasahi mukanya
yang gembrot hingga wajahnya menyeramkan seperti muka setan. Sebelum tubuhnya
jatuh terkapar tangan kanannya masih bisa bergerak mencabut dua lembar daun
lontar. Lalu " bet...bet! " Dua lembar daun itu laksana lempengan besi menyambar
ke perut dan kaki Dewi Ular.
" Benar-benar jahanam! " maki Dewi Ular. Paku hitam ditusukkan ke depan. Satu
larik cahaya kuning Page 33
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
terang menyambar. Dua daun lontar yang menyerang ke arahnya mental dan hancur
berantakan. Hancuran daun itu laksana kepingan besi menancap di dinding goa.
Sosok Kunti Rao kembali kelihatan berusaha bangkit. Kali ini Dewi Ular tak mau
memberi kesempatan.
Sambil melompat dia kembali hujamkan paku hitam di tangannya. Sinar kuning
kembali berkiblat. Paku hitam kembali menancap di dada kiri Kunti Rao, tepat di
detak jantungnya! Kali ini bagaimanapun sakit dan kuatnya perempuan bergelar
Iblis Daun Setan itu, ketika jantungnya pecah tak ampun lagi nyawanya lepas
meninggalkan tubuh!
Di dinding barat jurang batu pualam Datuk Sipatoka sedang berada di depan goa
ketika tiba-tiba di arah timur dia melihat ada cahaya kuning menyambar ke
sebelah atas jurang lalu lenyap dalam kegelapan.
Orang tua berkepala botak biru ini berpaling ke samping.
" Sandaka kau lihat sinar kuning tadi"! "
Di sebelah si kakek tegak seorang pemuda berpakaian kotor. Pakaian ini pemberian
Datuk Sipatoka hingga dia kini tidak lagi mengenakan cawat. Tubuhnya yang penuh
tancapan paku kini tertutup namun kepala dan mukanya tidak bisa disembunyikan
dari paku-paku yang dipantekkan Datuk Bululawang beberapa waktu lalu. Pemuda ini
adalah Sandaka yang sejak seratus lima puluh hari lalu berada bersama si kakek
di tempat itu. " Aku melihat. Sinarnya terang sekali lalu lenyap, " jawab Sandaka.
" Aneh selama puluhan hari jurang sebelah timur itu sunyi senyap. Tak terdengar
suara apapun. Lalu malam ini tiba-tiba ada sambaran sinar kuning. Aku yakin sinar itu muncul
dari arah depan goa kediaman si kuda nil Kunti Rao. Jangan-jangan dia telah
menemukan satu ilmu baru. "
" Kalau memang begitu berarti kesempatan bagiku untuk menjajal ilmu kesaktian
yang telah kau ajarkan selama ini, " ujar Sandaka pula.
Datuk Sipatoka terdiam. Beberapa lama dia melangkah mondar-mandir di dalam goa.
" Datuk, lupakan apa yang kita lihat tadi. Bukankah kau sudah berjanji malam ini
kita akan mengadakan latihan sampai pagi" "
" Mungkin tak jadi. Hatiku tiba-tiba saja kacau balau.... Hai! Kau dengan suara
sesuatu Sandaka" " tanya Datuk Sipatoka seraya memandang ke arah timur jurang.
" Seperti suara jeritan... "
Datuk Sipatoka mengangguk. " Jeritan perempuan. Malam celaka! Aku tak bisa
melihat apa yang terjadi di sana! "
" Kalaupun siang sama saja. Sejak beberapa minggu ini jurang tertutup kabut
tebal. Kita tidak bisa melihat apa-apa, " kata Sandaka.
Selagi dua orang itu terdiam dan kesunyian mencekam mendadak lapat-lapat di
kejauhan terdengar suara sesuatu.
" Sandaka! Dengar! Ada sesuatu yang jatuh ke dasar jurang! "
" Tubuh manusia! Aku yakin tubuh manusia! " kata Sandaka seraya mementang mata
berusaha Page 34
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
menembus kegelapan malam.
Sesaat kemudian jauh di bawah sana, dalam kegelapan terdengar suara sebuah benda
mencebur ke dalam air jurang yang mendidih laksana air kawah gunung berapi.
" Bagaimana kau bisa yakin itu tubuh manusia..." " Datuk Sipatoka ajukan
pertanyaan. " Kalau batu pasti akan menimbulkan suara berdentang dan gaung keras serta
Wiro Sableng 082 Dewi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panjang di dasar jurang. Jadi tak bisa tidak yang barusan jatuh itu adalah tubuh
manusia.... "
" Otakmu cerdas! Aku sependapat denganmu. Tapi... " Datuk Sipatoka usap-usap
kepala botaknya.
" Menurutmu siapa yang jatuh ke dasar jurang itu" Si kuda nil Kunti Rao" "
" Di jurang sebelah timur sana cuma ada satu manusia. Kunti Rao. Lantas apa
mungkin ada orang lain" "
Datuk Sipatoka lama termenung. Akhirnya dia berkata. " Sebentar lagi kita akan
tahu siapa yang barusan kecebur ke dasar jurang! "
Lalu kakek botak ini melangkah ke dekat tubir jurang. Memandang tepat-tepat ke
arah dinding jurang sebelah timur dan berteriak sambil kerahkan tenaga dalamnya.
" Kunti Rao! Puluhan hari kau mendekam membisu! Apa kau masih hidup"! " Teriakan
Datuk Sipatoka bergaung melantun beberapa kali di dinding jurang. Lalu sunyi.
" Tak ada jawaban... " katanya perlahan pada Sandaka. " Jangan-jangan perempuan
itu memang sudah jadi bangkai di dasar jurang! "
" Biar aku yang memanggil" berucap Sandaka. Pemuda ini segera kerahkan tenaga
dalam dan berteriak. Suara teriakannya menggelegar dalam kegelapan malam di
jurang angker itu, membuat Datuk Sipatoka sendiri terkesima kagum.
" Kunti Rao! Orang memanggil mengapa tidak menjawab" Apa tiba-tiba kau menjadi
tuli atau bisu" Atau rohmu sudah gentayangan saat ini di alam akhirat"! Atau kau
ikut menghadapi kenyataan bahwa Datuk Sipatoka musuh bebuyutanmu masih ada di
tempat ini"! "
" Bagus teriakanmu pasti akan membuatnya marah. Kalau manusia bertubuh kuda nil
itu masih hidup pasti dia akan menjawab garang! " kata Datuk Sipatoka sambil
senyum-senyum. Di dinding jurang batu pualam sebelah timur Dewi Ular yang baru saja melemparkan
mayat Kunti Rao ke dalam jurang pasang telinga, kerenyitkan kening.
" Menurut Kunti Rao di sebelah barat sana memang ada seorang kakek musuh
bebuyutannya bernama Datuk Sipatoka. Tapi barusan aku jelas mendengar teriakan
dari dua suara yang berbeda. Berarti ada dua orang di tempat itu. "
Di dinding barat Datuk Sipatoka memandang pada Sandaka. " Tak ada jawaban... "
katanya. " Berarti memang perempuan itu sudah menemui ajal! Mati di dasar
jurang... "
" Perlu kita uji dulu Datuk... " jawab Sandaka. Lalu pemuda itu melangkah lebih
dekat ke pinggir jurang. Kedua kakinya dikembangkan. Aneh, sesaat kemudian
bagian perutnya seperti ada cahaya.
Page 35 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Goa di dinding timur itu terlalu jauh Sandaka. Bagaimanapun hebatnya kesaktian
paku dan tingginya tenaga dalammu, kau tak bakal mampu.... "
" Kita coba dulu Datuk. Paling tidak untuk membuat perempuan itu kaget! " sahut
Sandaka pula. Habis berkata begitu dia hentakkan kaki kanannya. Batu di sepanjang pinggiran
sungai bergetar keras.
Bersamaan dengan itu dari selangkangan Sandaka melesat sinar kuning menyilaukan,
berkelebat ke arah jurang sebelah timur di mana Dewi Ular berada. Perempuan ini
terkejut sewaktu belum lama dia melihat sinar di kejauhan tiba-tiba sinar itu
sudah menyambar di samping kiri goa, membuatnya cepat menyingkir ke kiri.
Dinding batu yang barusan kena sambaran cahaya kuning kelihatan biasa-biasa
saja. Tidak berubah warna ataupun bentuknya. Tapi ketika dia mengulurkan tangan
meraba bagian yang terkena sambaran cahaya tadi, Dewi Ular jadi berdebar.
Lapisan luar dinding batu itu ternyata telah gugus, hancur menjadi pasir.
" Kunti Rao! Sayang kau sudah mampus rupanya! "
Dewi Ular melengak ketika kembali dari arah dinding jurang sebelah barat
terdengar suara teriakan.
Perempuan ini tak bisa lagi menahan hatinya. Maka diapun kerahkan tenaga dalam
dan berteriak. " Datuk keparat! Jadi kau masih hidup! Kukira sudah dimakan cacing batu! Hik...
hik... hik....! "
" Ada suara teriakan! " ujar Sandaka.
" Betul! Tapi itu bukan suara Kunti Rao! " kata Datuk Sipatoka terheran-heran.
" Berarti disana juga ada dua orang..." kata Sandaka.
" Kau bukan Kunti Rao! Mana perempuan itu! Aku hanya mau bicara dengannya! "
teriak Datuk Sipatoka.
" Manusia sepertimu tidak layak bicara dengan dia! Segala urusanmu cukup
sampaikan padaku! "
" Sialan! " maki Datuk Sipatoka sambil memandang pada Sandaka. Lalu dia
berteriak. " Aku tidak kenal perempuan kecoak macammu! Memangnya kau siapa"! "
" Aku Dewi Ular bekas murid Kunti Rao alias Iblis Daun Setan! "
Datuk Sipatoka dan Sandaka langsung melengak kaget. Keduanya sampai tersurut
satu langkah dan saling pandang dengan mata melotot.
" Dewi Ular..." desis Sandaka.
" Dewi Ular..." ujar Datuk Sipatoka.
" Tidak mungkin! Mustahil! Benar-benar tidak masuk akal! " kata Sandaka sambil
kepalanya dipalingkan ke arah dinding timur jurang batu pualam. " Aku membacok
tubuhnya dua kali dengan Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro Sableng. Aku juga
yang menendangnya masuk ke dalam jurang! Aneh kalau sekarang dia masih hidup dan
ada di dinding jurang di sebelah sana! "
" Jangan-jangan ini tipu daya Kunti Rao! Mengaku-ngaku sebagai Dewi Ular.
Sengaja hendak menyiasati kita..." Kata Datuk Sipatoka pula.
Page 36 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Sandaka menggeleng. " Aku kenal benar suara tadi. Itu memang suara Kunti Arimbi
alias Dewi Ular.... Manusia jahanam itu kalau memang dia masih hidup aku bersumpah
akan membunuhnya untuk yang kedua kali! "
Datuk Sipatoka usap-usap kepala botaknya yang berwarna biru. Tampaknya dia
tengah berpikir keras.
" Kita harus mampu menyingkap keanehan ini. Apa yang terjadi dengan Kunti Rao"
Bagaimana Dewi Ular tahu-tahu ada di sana.... "
" Memang sulit dipercaya. Jangan-jangan waktu dia kutendang jatuh ke dalam
jurang ada yang menolongnya.... "
" Kunti Rao..." " Datuk Sipatoka kembali usap-usap kepala botaknya.
" Biar aku bicara padanya! Biar dia tahu kalau aku musuh besarnya berada di
tempat ini! " kata Sandaka.
" Jangan! Kurasa ada baiknya kau merahasiakan keberadaanmu di tempat ini, " kata
Datuk Sipatoka cepat. " Biar aku saja yang bicara! " Lalu Datuk Sipatoka
berteriak. Teriakannya diarahkan ke dinding jurang sebelah timur. " Kunti Rao
jangan kau mengaku-ngaku sebagai Dewi Ular! Apa kau kira aku takut padamu" Atau
kau sengaja menyiasatiku karena sadar tak bakal lolos dari tangaku"! "
Di dinding timur jurang batu pualam terdengar suara tertawa melengking.
" Dewi Ular tidak pernah memalsu diri! Kalau kau punya kemampuan silahkan datang
ke sini! "
" Sialan! " maki Datuk Sipatoka . Tentu saja dia tidak mungkin datang ke tempat
Dewi Ular berada.
Di samping Sandaka berkata. " Tadi dia menyebut dirinya sebagai bekas murid
Kunti Rao. Tanyakan apa maksudnya..."
Datuk Sipatoka lantas berteriak menanyakan. " Aku Datuk Sipatoka tidak percaya
kalau kau adalah Dewi Ular! Goa di dinding timur itu hanya dihuni oleh Kunti
Rao! Lagi pula apa maksudmu menyebut diri sebagai bekas murid Kunti Rao"! "
" Itu bagus! Orang tolol semacammu musti banyak bertanya agar tidak buta
keadaan! " sahut Dewi Ular yang membuat Datuk Sipatoka jadi bergerak-gerak
pelipisnya dan menggembung rahangnya saking marah. " Kunti Rao sudah tidak ada
lagi di dunia ini! Tubuh kasarnya mendekam di dasar jurang! Kalau kau untung
rohnya mungkin akan menemuimu! Hik...hik...hik...! "
" Apa yang terjadi dengan perempuan itu"! " Tanya Datuk Sipatoka berteriak.
" Aku telah membunuhnya! " jawab Dewi Ular yang membuat sangat terkejut sang
Datuk dan Sandaka.
" Ilmumu memang tinggi. Tapi untuk mampu membunuh Kunti Rao aku tidak percaya! "
teriak Datuk Sipatoka. Bagaimanapun juga kalau Kunti Rao sampai mati maka dia
ingin musuh bebuyutannya itu mati di tangannya.
Di jurang sebelah timur kembali terdengar tawa panjang Dewi Ular. " Tidak
percaya itu urusanmu Page 37
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
sendiri! Aku tahu banyak tentang permusuhanmu dengan Kunti Rao. Aku juga tahu
banyak tentang sepasang keris sakti Nagasona yang terpendam di dasar jurang ini!
Pahlawan Dan Kaisar 11 Pendekar Mabuk 054 Kipas Dewi Murka Misteri Si Cadar Berdarah 2
Ipong Nalakudra serta semua yang ada di situ melihat seorang perempuan tegak di
tempat agak ketinggian. Dialah yang telah merampas kitab berharga itu karena
kini kitab itu tampak berada dalam kepitan tangan kirinya.
Perempuan ini tidak bisa disebut muda lagi. Namun walau masih berusia agak
lanjut, wajahnya menyatakan bahwa di masa muda, paling tidak sampai beberapa
tahun sebelumnya, dia memiliki paras yang sangat cantik. Dia tegak dengan
menyeringai. Barisan giginya tampak rata dan bercahaya. Dia mengenakan pakaian
berbentuk kemben terbuat dari kain halus. Dadanya yang besar menggembung,
seharusnya tampak putih menggairahkan. Tetapi tidak bagi semua mata laki-laki
yang ada di tempat itu.
Penyebabnya karena di lehernya yang jenjang bergelung seekor ular berwarna hitam
belang kuning. Di kepalanya dia mengenakan sebentuk mahkota terbuat dari sosok
ular hijau yang telah dikeringkan.
" Ratu Ular! " seru Ki Sepuh Dulantara dengan suara bergetar begitu mengenali
siapa adanya perempuan di hadapannya. Mendengar nama yang disebutkan itu, yang
lain-lain jadi tercekat. Lodaya Surakali melirik pada Pangeran Ipong lalu
memberi tanda bahwa kemunculan Ratu Ular di tempat itu membawa satu bahaya
besar. Yang jelas, dia sudah merampas Kitab Seribu Petunjuk Kuna .
Perempaun di hadapan Ki Sepuh Dulantara tersenyum. " Bertemu cuma satu kali, itu
pun sepuluh tahun silam. Ternyata kau masih mengenali diriku! "
" Orang hebat berkepandaian tinggi, menggetarkan tujuh penjuru angin, siapa yang
tak kenal padamu Ratu Ular" " sahut Ki Sepuh Dulantara.
Ratu Ular tertawa tinggi. Dia melirik pada Lodaya Surakali dan Pangeran Ipong
Nalakudra lalu berkata.
" Seorang pangeran sampai jauh-jauh berada di tempat ini, tentu ada sesuatu yang
luar biasa dan sangat penting. Ki Sepuh Dulantara, bisakah kau menerangkan
mengapa kalian berada di sini" "
" Ah, Ratu Ular bicara jumawa. Sebagai orang berkepandaian tinggi, tentu kau
sudah menyerap kabar dan tahu apa sebab kami berada di sini. Nyatanya kau
sendiri berada di sini... "
" Orang tua, aku suka sikap bicaramu. Tapi aku tidak suka menyembunyikan
sesuatu. Aku kemari untuk mencari jejak muridku Dewi Ular. Dia tidak kutemukan.
Tapi aku merasa bersyukur karena sekali pun tidak bertemu muridku namun bisa
mendapatkan kitab hebat ini... "
sahut Ratu Ular pula.
Pangeran Ipong melihat gelagat yang kurang baik ini cepat memasuki pembicaraan.
" Kami di sini dalam rangka mencari sejenis obat yang kabarnya mampu
menyembuhkan kedua kakiku yang lumpuh... "
" Oh, begitu..." " Ratu Ular memperhatikan sepasang kaki Pangeran Ipong yang
tertutup jubah merah. "
Sayang sekali aku tak bisa membantu menemukan obat itu. Sayang juga aku tidak
punya banyak waktu. Aku harus pergi sekarang. Terima kasih untuk buku yang kau
berikan ini! "
Page 19 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Ratu Ular, tunggu! " berseru Ki Sepuh Dulantara.
Perempuan berkemben kain halus itu berpaling. " Orang tua, ada sesuatu yang
hendak kau sampaikan" "
" Kitab itu, aku tidak merasa pernah memberikannya padamu! "
" Ah, begitu" Mungkin kau lupa" "
" Ki Sepuh Dulantara benar! " berkata Pangeran Ipong dari atas tandu. " Kami
semua di sini tahu dan melihat. Dia tidak pernah memberikan kitab itu padamu.
Kau merampasnya! "
" Oh, begitu"! Aku merampasnya"! " ujar Ratu Ular, lalu tertawa panjang. " Bukan
main! Kalau begitu betapa jahatnya diriku! Padahal aku sebenarnya sudah sangat
berbaik hati pada tua bangka buruk rambut kelabu ini! "
Paras Ki Sepuh Dulantara tampak berubah. Kalau orang lain bicara begitu padanya
pasti sudah dilabraknya. Tapi maklum kalau dia berhadapan dengan orang
berkepandaian sangat tinggi dan terkenal ganas, maka dia berusaha bersikap
sabar. " Berbaik hati bagaimana maksudmu Ratu Ular" "
" Berbaik hati karena aku hanya merampas kitabmu, tidak ikut merampas nyawamu! "
Ki Sepuh Dulantara sampai tersurut satu langkah mendengar ucapan Ratu Ular. Di
atas tandu, PAngeran Ipong memberi tanda pada Lodaya Surakali. Lelaki separuh
baya berpedang pendek ini segera maju ke hadapan Ratu Ular. " Ratu Ular,
Pangeran meminta padamu agar segera mengembalikan kitab itu... "
" Hemmm... siapa kau" " tanya Ratu ULar dengan sikap memandang rendah walau
hatinya tertarik juga melihat kegagahan wajah lelaki ini.
" Aku Lodaya Surakali. Biasa dipanggil dengan gelar Pendekar Pedang Pendek. Aku
bekerja untuk Pangeran Ipong. "
" Jadi kau orang keraton. Bagus, katakan pada pengeranmu mengapa dia tidak bisa
bicara sendiri padaku meminta kitab ini" "
" Sudahlah, mengapa hal itu menjadi urusan. Aku mohon kitab itu diserahkan
padaku. Itu merupakan salah satu benda pusaka keraton. "
" Kalau ini merupakan benda pusaka keraton, mengapa bisa berkeliaran di luar.
Jangan-jangan pangeranmu telah mencurinya untuk kepentingan sendiri! "
" Ratu Ular! " teriak Pangeran Ipong dari atas tandu. " Kau tak layak tahu
tentang segala hal menyangkut kitab itu. Yang penting lekas serahkan pada
orangku lalu angkat kaki dari sini... "
" Pangeran lumpuh! Kalau aku tidak mengembalikan kitab ini kau mau berbuat apa"!
" tanya Ratu Ular dengan wajah mengejek.
" Jangan terlalu sombong Ratu Ular. Aku bisa memerintahkan penangkapan atas
dirimu. Jangan sampai kau menyesal seumur-umur! " jawab Pangeran Ipong sementara
Ki Sepuh Dulantara yang telah banyak siapa adanya Ratu Ular tampak berdiri
gelisah. Page 20 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Ratu Ular tertawa panjang mendengar kata-kata sang pangeran. Pangeran Ipong jadi
habis kesabarannya. " Lodaya! Ambil kitab itu, kalau dia melawan, bunuh! "
Dalam hati Ki Sepuh Dulantara mengeluh cemas. " Pangeran belum tahu tingginya
tingkat kepandaian perempuan itu. Juga belum tahu keganasannya. Aku harus cepat
mencegah sambil mengatur siasat... "
Orang tua berambut kelabu cepat bergerak mendekati LOdaya Surakali. Tapi orang
yang berjuluk Pendekar Pedang Pendek sudah keburu berkelebat. Tubuhnya berubah
menjadi bayangan hijau warna pakaiannya. Tangan kirinya mendorong ke arah bahu
Ratu Ular sedang tangan kanan menyambar ke arah kitab dalam kepitan tangan kiri.
Ratu Ular keluarkan tawa melengking. Dia hanya tegak bertolak pinggang. Sedikit
pun tidak bergerak.
Yang membuat gerakan justru ular besar belang hitam kuning yang bergelung di
lehernya. Binatang ini mendesis keras lalu gelungannya terlepas dan tubuhnya
menyambar ke arah Lodaya Surakali. Kepalanya mematuk cepat ke arah muka lelaki
berjuluk Pendekar Pedang Pendek ini.
Semua orang yang menyaksikan melengak tegang. Mereka melihat bagaimana patukan
ular datang lebih cepat dari gerakan dua tangan Lodaya Surakali yang berusaha
memukul bahu lawan dan merampas kitab.
" Binatang jahanam! " maki Lodaya. Dia terpaksa mencari selamat. Sambil
merunduk, tangan kanannya bergerak cepat mencabut pedang pendek di pinggang.
Lalu " Wuuuuttt! " sinar putih pedang yang terbuat dari besi bercampur perak
murni menyambar disertai deru angker. Sekejap lagi putuslah leher ular hitam
belang kuning itu.
Tapi apa lacur. Yang terjadi malah kebalikannya. Bukan ular itu yang celaka,
namun Lodaya Surakali yang terdengar menjerit keras. Pedang perak terlepas dari
genggamannya. Kedua tangannya kini dipergunakan untuk menekap mata kiri yang
kini telah jebol mengucurkan darah akibat patukan ular besar. Sekali lagi orang
ini menjerit lalu lututnya menekuk. Sesaat kemudian tubuhnya roboh tergelimpang.
Kulit di sekujur tubuhnya, mulai dari muka hingga ke ujung kaki kelihatan
menghitam akibat racun ular!
Ratu Ular menyeringai, memandang pada Pengeran Ipong lalu pada Ki Sepuh
Dulantara. Kitab masih berada dalam kepitan tangan kiri, sedang tangan kanan
dipergunakan untuk mengusap-usap kepala ular besar yang saat itu kembali
bergelung di lehernya. " Ada lagi yang kepingin cepat-cepat menghadap Raja
Akhirat"! " tanyanya. Tak ada yang berani menjawab. Juga tak ada yang berani
bergerak. Hujan turun rintik-rintik tak lama setelah Wiro Sableng dan Anggini tiba di
dangau di kaki bukit batu. "
Kurasa ada keanehan ketika Dewi Ular jatuh ke dalam jurang batu... " Wiro
membuka pembicaraan sambil memperhatikan pakaian yang dikenakannya, yaitu
pakaian perempuan yang didapatnya sewaktu menyelamatkan diri dari tempat
kediaman Dewi Ular.
" Keanehan apa maksudmu" " tanya Anggini.
" Jurang batu itu dari atas kelihatannya cuma sedalam enampuluh kaki. Tapi
pandangan mata bisa salah karena sebenarnya dasar jurang lebih seratus kaki... "
" Itu keanehan yang kau maksudkan" "
Page 21 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Wiro menggeleng. " Waktu perempuan itu jatuh dia menjerit keras. Namun suara
jeritannya mendadak lenyap pada kedalaman yang aku yakin belum mencapai dasar
jurang. Sesuatu terjadi dengan dirinya... "
" Bisa saja dia jatuh pingsan selagi melayang jatuh. Atau kepalanya membentur
batu jurang... "
kata murid Dewa Tuak pula.
" Dugaanmu yang pertama mungkin saja. Dugaan kedua kurasa tidak, karena dinding
jurang lurus sampai ke dasar. Aku khawatir kalau sesuatu terjadi dengan
dirinya... "
" Hemmm, kau mengkhawatirkan dirinya. Justru itu yang aneh! "
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. " Bukan khawatir apa. Yang aku khawatir kalau-
kalau dia tidak mati. Ada yang menolong... "
" Hantu atau setan jurang" "
Wiro tak bisa menjawab. Dalam hati dia tetap saja merasakan ada sesuatu.
" Daripada membicarakan perempuan itu, lebih bagus kau menceritakan padaku
bagaimana kau bisa mengenakan pakaian perempuan seperti ini" "
" Ah! Ini... " Wiro tertawa lebar dan kembali garuk-garuk kepala. Dia merasa
tidak ada perlunya menyembunyikan apa yang terjadi antara dia dan Dewi Ular di
bangunan batu pualam. Anggini mendengarkan dengan wajah bersemu merah.
" Gila! Itu pekerjaan yang paling berat dalam hidupku! Kalau aku tidak dibebani
tugas mahabesar, mungkin bukan paku emas itu yang aku tancapkan pada tubuhnya! "
Anggini memalingkan wajahnya mendengar kata-kata Pendekar 212. Dalam hati dia
berkata. "
Tabiatnya masih tidak berubah sejak dulu. Bicara seenaknya... "
" Eh, mengapa kau memalingkan muka dan tiba-tiba jadi diam saja" " tanya Wiro
sambil mengulum senyum.
" Kau masih untung... " sahut Anggini.
" Untung bagaimana" "
" Waktu gurumu meledakkan sarang Dewi Ular, kau masih bisa menemukan pakaian
walau pakaian perempuan. Kalau di sana tak ada pakaian kau bisa memperkirakan
bagaimana keadaanmu saat ini... "
Wiro terdiam lalu tertawa tergelak. " Kau betul! Aku masih untung walau jadi
seperti banci begini!
Tapi sudahlah, mengapa kita harus membicarakan perempuan ular itu. Kukira ada
baiknya kita membicarakan hubungan kita... "
Anggini menatap paras si pemuda dengan hati bergetar.
" Selama ini kau mendesakku agar kita membicarakan soal perjodohan itu. Aku
berpikir-pikir sebaiknya kita mempertemukan saja guru-guru kita, biar mereka
bicara langsung... "
Page 22 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Mempertemukan mereka bukan soal gampang. Kalaupun bisa dipertemukan, dua kakek
nenek itu bisa saja melantur bicara yang lain-lain... "
" Mereka semakin tua, tentu ada perubahan dalam hati dan jalan pikiran. Kurasa
ada baiknya kau pergi menemui Dewa Tuak, aku menemui Eyang Sinto Gendeng lalu
kita atur waktu dan tempat pertemuan bagi mereka. Kita ikut hadir di sana... "
" Aku menurut saja, " jawab Anggini.
Wiro tatap paras gadis itu lekat-lekat. Seolah baru menyadari betapa paras
Anggini begitu cantik. dihias sepasang mata yang bagus dan bening. Perlahan-
lahan tangan kanannya diulurkan untuk membelai rambut si gadis. " Mungkin selama
ini aku begitu saja melupakannya. Menyia-nyiakannya...
Mungkin sudah saatnya aku harus lebih dekat dengannya. Aku tahu betul dia sangat
mencintaiku dan gurunya Dewa Tuak menginginkan diriku jadi suaminya... "
" Apa yang kau pikirkan..." " bisik Anggini bertanya sambil pegang dan mengusap
lengan pemuda itu.
" Ada serombongan orang yang mendatangi... "
" Hah! Apa"! " kejut Anggini karena lain yang ditanya lain yang dijawab. Dia
mengikuti pandangan pemuda itu lalu berpaling ke jurusan yang dilihat Wiro.
Dari arah kaki bukit batu pualam sebelah timur, di bawah hujan rintik-rintik
Anggini melihat empat orang prajurit berlari menggotong sebuah tandu. Di atas
tandu duduk seorang lelaki berjubah merah. Empat prajurit lagi berlari di
samping tandu. Lalu di sebelah belakang mengikuti seorang tua berambut dan
berjanggut serba kelabu.
Dalam waktu singkat rombongan itu sampai di depan dangau. Empat prajurit
turunkan tandu lalu bersama empat kawannya yang lain mereka segera mengurung
dangau sementara orang tua rambut kelabu tegak rangkapkan tangan di depan dada
sambil menatap tajam pada Anggini dan Wiro. Sepasang muda-mudi di atas dangau
lepaskan rangkulan masing-masing.
" Siapa mereka" " tanya Anggini.
" Belum bisa kuduga. Kau tetap di sini. " Lalu Wiro melompat turun dari atas
dangau. " Rombongan dari mana datang ke sini" Apa hendak berbagi tempat berteduh"
Silakan naik ke atas dangau. Tapi karena dangau kecil, tidak semua kalian bisa
naik... " Wiro menegur sambil matanya ditujukan pada orang bermuka pucat
berjubah merah di atas tandu. Dia telah melihat perhiasan emas yang tersemat di
dada kiri orang ini yang menandakan bahwa dirinya seorang pejabat tinggi atau
penguasa kerajaan.
Orang tua berambut kelabu angkat tangan kanannya. " Kami rombongan Pangeran
Ipong Nalakudra dari Kotaraja, " katanya. " Kami datang untuk mendapatkan
keterangan kapan Bintang Kelimukus muncul! "
" Eh"! Apa-apaan ini"! " ujar Wiro heran lalu berpaling pada Anggini. " Sejak
kapan aku jadi ahli perbintangan"! "
" Pendekar 212 Wiro Sableng dan kau juga murid Dewa Tuak Anggini, jangan coba
Page 23 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
menyembunyikan apa yang kau ketahui! " kata orang tua berambut kelabu yang bukan
lain adalah Ki Sepuh Dulantara.
" Astaga Anggini! Mereka tahu siapa kita! " ujar Wiro lagi-lagi sambil berpaling
pada Anggini dan kini malah sambil garuk-garuk kepala.
" Pendekar 212... " Pangeran Ipong yang duduk di atas tandu ikut bicara. "
Karena menguntit kalian, kami telah kehilangan seorang anggota! Mati dibunuh
Ratu Ular! Jadi kuharap kau segera saja memberi keterangan! Aku memerlukan
penjelasan mengenai Bintang Kelimukus itu! "
" Siapa suruh kalian menguntit kami"! Kalau ada anggota kalian yang menemui
ajal, itu tanggung jawab kalian sendiri! " Dari atas dangau Anggini mendamprat.
" Murid Dewa Tuak! " membentak Ki Sepuh Dulantara. " Jaga mulutmu! Kau bicara
dengan Pangeran Ipong Nalakudra dari keraton! "
Anggini jadi sewot. Dia hendak mendamprat kembali tapi Wiro memberi isyarat. Dia
berpaling pada orang yang duduk di atas tandu. " Harap maafkan sahabatku itu. Kalian muncul secara tiba-tiba,
mengatakan telah menguntit kami! Bicara tentang anggota yang mati di tangan Ratu
Ular. Lalu menanyakan Bintang kelimukus. Terus terang saja, bisa dikatakan
kalian muncul tidak tahu juntrungannya. Tentu saja kami jadi heran. Coba bicara
baik-baik biar tidak terjadi salah paham... "
Melihat Wiro bicara lunak, kejengkelan Pangeran Ipong dan Ki Sepuh Dulantara
jadi mengendur. Orang tua ini lantas berikan keterangan. " Kami mendapat
petunjuk dan berhasil menyerap kabar bahwa di dasar jurang batu pualam
tersembunyi sepasang keris sakti bernama Nagasona. Satu betina satunya jantan.
Menurut catatan kuna dan silsilah yang ada di keraton, sepasang senjata itu
berasal dari tua-tua kerajaan beberapa puluh tahun lalu yakni dari Kerajaan
Singosari.. Selain kedua keris itu adalah milik sah kerajaan, juga mempunyai
daya pengobatan luar biasa.
Pangeran Ipong Nalakudra menderita lumpuh sejak usia limabelas tahun. Hanya
sepasang keris itu yang bisa mengobati kelumpuhannya... "
" Lalu apa hubungan sepasang keris Nagasoma dengan kami" " tanya Wiro.
" Kami yakin kalian mengetahui kapan munculnya Bintang Kelimukus. Karena pada
Wiro Sableng 082 Dewi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saat bintang itu muncul di langit, pada saat itu pula ada petunjuk di mana letak
tepatnya dua bilah keris mustika itu... "
" Walah! " Wiro berusaha menahan tawa dan garuk-garuk kepala, sementara Anggini
sambil senyum-senyum geleng-gelengkan kepala.
" Pangeran Ipong, keyakinan kalian tidak berdasar. Kami berdua tidak tahu menahu
soal keris Nagasona itu. Kami... "
" Tapi! " memotong Pangeran Ipong dengan cepat. " Kalian berdua kami ketahui
berada di tepi jurang batu pualam. Kalau tidak ada sangkut pautnya dengan
senjata-senjata sakti itu, apa perlunya kalian jauh-jauh tersesat ke sana..."! "
" Pangeran, apakah kau pernah mendengar nama Dewi Ular" " bertanya Wiro.
" Apa sangkut paut perempuan jahat itu dengan urusan ini"! " bentak Ki Sepuh
Dulantara. Page 24 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Justru Ratu Ular, guru Dewi Ular yang telah membunuh salah satu anggota kami!
" tukas Pangeran Ipong pula.
" Sudahlah, sekalipun kita bertengkar sampai pagi dan pagi lagi tak ada gunanya.
Dengan jujur aku katakan aku tidak tahu menahu tentang sepasang keris Nagasona.
Juga tidak tahu kapan munculnya Bintang Kelimukus! "
" Dia berdusta Pangeran! " kata Ki Sepuh Dulantara.
Pangeran Ipong mengangguk. " Siapa percaya pada pemuda sableng yang mengenakan
pakaian perempuan ini! Paksa dia bicara! Kalau tidak mau memberi keterangan,
hajar! Kalau perlu sampai mampus! "
Mendengar ucapan Pangeran Ipong, Anggini langsung melompat dari atas dangau. Ki
Sepuh Dulantara maju selangkah lalu berkata. " Kalian membangkang terhadap
permintaan pangeran! Berarti kalian membangkang terhadap kerajaan! Dengar dua
anak muda. Aku akan menangkap kalian secara baik-baik. Tapi jika tidak mungkin,
jangan menyesal kalau kami menjatuhkan tangan kasar! "
Orang tua ini lantas berikan isyarat pada delapan orang prajurit. Serta merta
mereka yang sejak tadi memang telah mengurung maju mendekat lalu menyergap.
" Kasihan! Kalian hanya jadi korban perintah pangeran tolol! " teriak Anggini.
Murid Dewa Tuak berkelebat. Tangan dan kakinya bergerak. Pendekar 212 tidak
ketinggalan. Dia tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Tapi dua tangannya
lepaskan dua pukulan kosong.
Enam jeritan mengumandang. Enam orang prajurit berpelantingan dan bergelimpangan
di tanah. Tiga kelihatan pegangi perut, dua menutupi mata yang bengkak sedang
satunya lagi melompat-lompat kesakitan sambil pegangi tulang keringnya yang kena
tendang Anggini dan serasa mau patah!
Dua prajurit yang tidak sempat kena hantaman serta merta mencabut pedang masing-
masing. Yang diserang cepat merunduk lalu menyusup di bawah sambaran pedang
sambil menghantam. Kembali terdengar jeritan keras. Dua prajurit mencelat
mental. Yang satu muntah darah, satunya lagi menjerit berguling-guling karena
sambungan siku tangan kanannya hancur dikepruk Wiro Sableng.
Di atas tandu Pangeran Ipong kertakkan rahang. Tangan kanannya bergerak ke
samping. Ternyata di atas bangku tandu ada sebuah busur kecil serta selusin anak
panah. Dengan gerakan cepat Pangeran Ipong mengambil busur itu dan merentang dua
anak panah sekaligus! Gerakannya cepat sekali.
Tahu-tahu dua anak panah melesat di udara. Hebatnya walau lepas dari satu busur
yang sama namun dua anak panah itu mampu melesat pada dua sasaran yakni Wiro dan
Anggini! " Anggini awas panah! " teriak Wiro memberitahu. Murid Dewa Tuak tanggalkan
selendang sutera ungu yang melilit di lehernya. Sekali selendang ini dikebutkan,
kekuatannya berubah seperti sepotong besi.
" Traakk! "
Anak panah yang menyerang Anggini hancur berkeping-keping. Anak panah kedua yang
melesat ke arah Pendekar 212 tiba-tiba berbalik dan menghantam ke arah Pangeran
Ipong begitu murid Eyang Sinto Gendeng lepaskan pukulan tangan kosong mengandung
tenaga dalam tinggi. Pangeran ini terkejut bukan main. Dengan cepat dia gerakkan
tangan kanannya yang masih memegang busur.
Page 25 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Traakk! Traakk! "
Busur dan anak panah sama-sama patah tapi sang pangeran sendiri selamat dari
senjata makan tuan!
" Pendekar 212 bukan nama kosong! " ujar Pangeran Ipong. " Aku mau lihat apa kau
juga mampu menerima serangan ini! " lalu dari atas bangku tandu diambilnya
sekaligus delapan buah anak panah.
Dengan gerakan luar biasa cepat ke delapan anak panah itu dilemparkannya ke arah
Wiro. Delapan anak panah menyerang di delapan bagian tubuh Pendekar 212. Dua di
antaranya di bagian kepala dan satu mengarah leher.
" Ganas sekali! " kertak Wiro. Dia melompat ke samping kiri seraya menghantamkan
dua tangan sekaligus. Meski enam anak panah sanggup dibuat mental namun anak
panah ke tujuh menyusup di bahu kiri pakaiannya. Terasa perih tanda ujung panah
sempat mengiris daging bahunya. Anak panah ke delapan yang mengarah pinggang tak
sempat dielakkan sang pendekar. Sebelum senjata itu menancap telak di tubuhnya
dari samping Anggini kebutkan selendang ungunya. Ujung selendang menghantam
panah hingga patah bermentalan.
Pangeran Ipong berteriak marah. Dua anak panah yang masih ada di bangku segera
dilemparkan ke arah Anggini. Si gadis tak kalah marahnya Dia keluarkan jurus
"selendang dewa memagut naga menghancurkan matahari."
Selendang ungu di tangan Anggini memukul lurus ke depan. Bukan saja senjata
andalannya ini mampu membuat mental dan hancur dua buah anak panah yang datang
menyerang namun di lain kejap hampir tidak terlihat oleh Pangeran Ipong tahu-
tahu selendang ungu itu telah menggelung lehernya!
" Kau boleh membuat gerakkan konyol apa saja Pangeran! sekali aku menyentakkan
tangan tulang lehermu akan remuk! "
Murid Dewa Tuak memang tidak punya maksud membunuh pangeran berkaku lumpuh itu.
Maklum kalau si gadis tidak akan mencelakainya maka Pangeran Ipong berteriak
pada Ki Sepuh Dulantara. "
Kau tunggu apa lagi"! Kau harus dapatkan keterangan dari meeka Bagaimana caranya
terserah! " Ki Sepuh Dulantara memandang tak berkesip pada Anggini, melirik ke arah Wiro.
Dia sudah lama mendengar kehebatan pemuda ini dan juga tindakan-tindakannya yang
menjurus pada kekurangajaran.
Walau dia menganggap tingkat kepandaian Wiro masih di bawah Ratu Ular namun
untuk mencari perkara dengan pemuda ini dia harus pikir dua kali. Apalagi
disaksikannya sendiri bagaimana tadi Wiro dan Anggini menghajar delapan prajurit
hingga babak belur. Namun sebagai orang yang tunduk pada perintah Pangeran Ipong
kalau dia tidak berbuat apa-apa pasti sang pangeran akan marah besar
terhadapnya. " Pendekar 212, kami telah meminta secara baik-baik padamu agar memberi tahu apa
yang kau ketahui tentang kemunculan bintang Kalimukus.... "
" Meminta baik-baik dengan menyuruh delapan prajurit itu menyerang kami"! "
tukas Wiro. Anggini menimpali. " Pangeranmu malah menyerang kami dengan selusin panah! "
" Kami masih mau menyelesaikan urusan ini secara kekeluargaan. Jika kau membuat
jasa pada Pangeran Ipong masakan kerajaan tidak akan mengingat dan membalas
kebajikanmu itu... " ujar Page 26
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Ki sepuh Dulantara pula.
" Kalian telah menjatuhkan tangan jahat! Mana kami mau percaya! Jika mau
menganggap urusan selesai sebaiknya kau gotong pangeramu itu cepat-cepat
meninggalkan tempat ini! "
" Ki Sepuh! Lekas kau beri pelajaran pada pemuda kurang ajar itu! " teriak
Pangeran Ipong. Tak perduli walaupun lehernya masih dijerat selendang dia
gerakkan tangan kanannya ke balik jubah merah.
Begitu tangan keluar Anggini melihat sang pangeran menggenggam beberapa buah
benda berbentuk bintang kepala enam, terbuat dari besi tipis hitam. Senjata
rahasia! Dari warnanya yang hitam jelas bintang besi itu mengandung racun.
" Pangeran apa yang hendak kau lakukan...." " tanya Anggini
" Kau bertanya! Kau boleh mendapatnya lebih dulu! " jawab Pangeran Ipong. Lalu
tangan kanannya bergerak ke arah kepala Anggini. Maksudnya tentu saja hendak
melemparkan senjata rahasianya itu pada si gadis. Tapi Anggini yang dari tadi
sudah bersikap waspada, apalagi selendangnya masih melilit di leher sang
pangeran tentu saja mampu bergerak lebih cepat. Begitu ujung dua jari tangan
kirinya menusuk punggung lelaki lumpuh itu, tubuh Pangeran Ipong serta merta
kaku. Dia seolah berubah jadi patung dengan tampang mengerenyit sedang tangan
kanan terangkat ke atas.
" Anak gadis! Kau melakukan kesalahan besar! " teriak Ki Sepuh Dulantara. Orang
tua ini melompat ke arah Anggini. Selagi tubuhnya melayang di udara tangan
kanannya sudah bergerak mengirimkan serangan tangan kosong mengandung tenaga
dalam tinggi. Yang diserang tak tinggal diam. Apa yang dilakukan murud Dewa Tuak membuat Ki
Sepuh Dulantara berteriak kaget. Dia cepat tarik serangannya tapi terlambat.
Pukulan tangan kosong yang dilepaskan orang tua berambut kelabu itu menghantam
dada Pangeran Ipong yang tubuh kakunya diangkat oleh Anggini dan dijadikan
tameng untuk melindungi dirinya!
Meski dalam keadaan kaku akibat totokan Anggini namun begitu hebatnya hantaman
pukulan yang dilepaskan Ki Sepuh Dulantara tubuh Pangeran Ipong tampak
menggeliat. Mulutnya menganga mengeluarkan darah!
" Jahanam! Kau membunuh pangeran kami! " teriak Ki Sepuh Dulantara marah sekali.
Padahal sang pangeran hanya pingsan. Tidak tunggu lebih lama dia segera menyerbu
Anggini. Murid Dewa Tuak siap menyambut serangan si orang tua namun dari samping
saat itu tiba-tiba saja Pendekar 212 memotong gerakannya. Melihat ada yang
berusaha menghalangi serangannya Ki Sepuh Dulantara berbalik dan memukul.
Wiro angkat tangan dan menangkis.
" Bukkk! "
Dua lengan saling beradu. Orang tua rambut kelabu mengeluh tinggi dan
terbungkuk-bungkuk sambil pegangi tangannya yang sakit laksana dihantam
pentungan besi. Sebaliknya Wiro sendiri terjajar dua langkah. Ketika diperiksa
ternyata lengan kanannya tampak bengkak membiru. Sambil mengurut-urut lengannya
yang bengkak Wiro perhatikan Ki Sepuh Dulantara yang masih terbungkuk-bungkuk
kesakitan. Pada saat itulah selintas pikiran muncul dibenakknya. Meskipun sudah
lanjut usia namun orang tua ini masih memiliki tubuh kokoh dengan perawakan sama
besar seperti Wiro.
Page 27 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Tinggi sama. Besar dadanya juga sama denganku. Pasti ukuran pakaiannya ...
Hemmm...Mengapa tidak kulakukan" " Memikir sampai di situ murid Sinto Gendeng
dari Gunung Gede itu segera dekati Ki Sepuh Dulantara sambil tersenyum-senyum.
" Orang tua, apakah kau akan meneruskan perkelahian"! " Wiro bertanya.
Merasa diejek dengan pertanyaan itu, apalagi Wiro bicara sambil mengulum senyum
Ki sepuh Dulantara jadi marah sekali. Anggini sendiri terheran-heran melihat
sikap pemuda itu. " Apa yang ada dibenak si konyol itu, " pikirnya.
" Jahanam! Makan tanganku! " teriak si orang tua lalu hantamkan satu jotosan ke
kepala Wiro. Yang diserang cepat menghindar. Begitu tangan si orang tua lewat didepannya Wiro
segera susupkan satu totokan ke ketiak lawan. Tapi Ki Sepuh ternyata cukup
gesit. Begitu berhasil menghindari totokan yang bisa melumpuhkan sekujur
tubuhnya itu, si orang tua lancarkan serangan kilat berupa pukulan tangan kiri
kanan. Demikian cepatnya serangan ini hingga yang terdengar hanya suara bak-buk-
bak-buk. Tubuh pendekar 212 terguncang keras beberapa kali lalu terpelanting dan jatuh
duduk di tanah. Dadanya mendenyut sakit. Selagi dia mencoba bangkit kaki kanan
Ki Sepuh Dulantara datang menyambar.
" Orang tua, sekarang giliranku! " teriak Wiro. Dengan salah satu kaki dia
menghantam tulang kering kaki kiri Ki Sepuh Dulantara yang berpijak di tanah.
" Patah! " teriak murid Sinto Gendeng.
" Bukkk! "
Tendangan Wiro mendarat tepat di tulang kering kaki Ki Sepuh Dulantara. Tapi
kaki itu tidak patah. Dia hanya terhuyung-huyung sedikit. Malah yang membuat
Wiro jadi geram ialah sewaktu dilihatnya Ki Sepuh Dulantara memandang padanya
dengan seringai penuh ejek.
" Gila! Ilmu apa yang dimiliki tua bangka ini" " ujar Wiro dalam hati. " Tadi
waktu bentrokkan lengan jelas dia kesakitan. Rupanya kini dia mengeluarkan ilmu
kebal aneh! " Selagi lawan masih terhuyung-huyung dia cepat menyergap dan
hantamkan empat jotosan di dada orang. Lagi-lagi Wiro jadi terperangah ketika
dia merasa bagaimana empat kali dia menjotos dada empat kali dia seperti
menghantam tumpukan kapas empuk! Penasaran Wiro lancarkan lagi pukulan keras
berulang kali. Kini yang dihantamnya adalah perut orang tua itu. Lama-lama
tangannya seperti kesemutan. Dengan muka keringatan dan nafas mengengah Wiro
hentikan serangannya,menatap si orang tua dengan pandangan heran.
" Nama besar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ternyata hanya nama kosong
belaka! Aku mau lihat sampai dimana kekuatan tulang belulangmu! " Ki Sepuh
Dulantara tutup ucapannya dengan satu gerakan kilat. Tangan kiri mencekal
tengkuk sang pendekar sedang tangan kanan mencengkeram pinggang pakaiannya.
Tubuh Wiro diangkatnya ke atas diputarnya beberapa kali lalu dilemparkannya ke
arah danau. " Brakkk! "
Dua buah tiang dangau yang terbuat dari bambu patah karena hantaman tubuh Wiro
hingga bangunan yang memang sudah agak lapuk itu roboh berantakan.
Wiro tentu saja menderita kesakitan sekujur badannya terutama pada pinggang.
Namun yang berteriak Page 28
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
justru orang tua berambut kelabu itu. Apa yang terjadi" Ketika tubuhnya diangkat
ke atas dan diputar-putar beberapa kali, sebelum dilemparkan ke danau Wiro
susupkan dua tangannya mencengkeram bahu baju yang dikenakan Ki Sepuh Dulantara.
Begitu tubuhnya dilempar dia cepat merenggut. Akibatnya baju tak berkancing yang
melekat ditubuh orang tua terlepas tanggal! Kini Ki Sepuh Dulantara tegak dalam
keadaan setengah telanjang dan memaki panjang pendek.
Tenang saja malah sambil senyum-senyum Wiro bangkit berdiri lalu cepat kenakan
baju yang berhasil dirampasnya itu.
" Bangsat kau benar-benar mencari mati berani menghinaku! Lekas kembalikan
bajuku! " teriak Ki Sepuh Dulantara marah.
" Kalau kau punya kemampuan silahkan ambil sendiri! " sahut Wiro. Lalu dia
melompat dan lancarkan tendangan ke arah kaki lawan. Dalam marahnya Ki Sepuh
Dulantara bukannya menghindar tapi malah angkat kaki kanannya menyongsong
tendangan dengan tendangan!
" Pasti dia akan mengandalkan ilmu empuk-empuk itu! " pikir Wiro. " Silahkan
saja! Kali ini dia akan kutipu! "
Begitu kaki kanan Ki Sepuh Dulantara melesat ke atas Wiro berkelebat ke samping.
Dari samping dia gunakan tangan kanan untuk mengangkat tumit lawan tinggi-tinggi
sambil tangan kirinya mendorong ke arah yang berlawanan.
Akibatnya tak ampun lagi Ki Sepuh Dulantara jatuh tertelentang di tanah. Selagi
orang tua itu terhenyak nanar, Wiro pergunakan kesempatan untuk mencengkeram
kaki celana panjang yang dikenakan orang tua ini lalu membetotnya dengan sekuat
tenaga. " Kurang ajar! Hai! "
Apa yang terjadi dapat dibayangkan. Kalau tadi Ki Sepuh Dulantara hanya setengah
telanjang kini orang tua itu benar-benar bugil karena ternyata dibawah celananya
itu dia sama sekali tidak mengenakan apa-apa.
Wiro lambaikan celana milik Ki Sepuh Dulantara pada Anggini yang masih tegak
dekat tandu lalu berkelebat ke balik runtuhan dangau. Anggini yang mengerti
isyarat Wiro segera pula berkelebat mengikuti.
" Bangsat, jahanam! " teriak Ki Sepuh Dukantara. " Kembalikan pakaianku! Hei!
Kembalikan pakaianku! "
" Aku akan perintahkan pasukan mencari kalian! sekali tertangkap kalian akan
tahu rasa"
berteriak Pangeran Ipong.
Wiro tidak perdulikan teriakan kedua orang itu. Sambil memegang lengan Anggini
dia terus berlari. "
Lumayan dapat pakaian. Sekarang aku tidak seperti banci lagi. Mengenakan pakaian
perempuan... "
" Bagusnya pakaian itu kau cuci dulu. Siapa tahu dia mengidap penyakit kulit.
Kau bisa budukan! " kata Anggini pula lalu tertawa cekikikan.
Seratus lima puluh hari setelah jatuhnya Dewi Ular dan manusia paku Sandaka ke
dalam jurang batu Page 29
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
pualam....
Wiro Sableng 082 Dewi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saat itu menjelang sang surya akan tenggelam ke ufuk barat. Di dinding timur
jurang yang mulai redup temaram kelihatan satu cahaya kuning bergerak sebat kian
kemari seolah seekor kunang-kunang yang terbang melayang. Namun sesekali cahaya
itu tampak melesat panjang disertai suara bersiur dan membersitnya hawa dingin.
" Bagus sekali! Hebat! Dasar tenaga dalammu jauh lebih kuat dari pertama kali
dulu kau menginjakkan kaki di tempat ini! Tidak percuma aku menggemblengmu.
Walau kurang dari setengah tahun tapi aku sudah bisa yakin kau bakal dapat
menggusur kakek keparat di jurang barat sana! sekarang aku perlu menjajalmu
untuk terakhir kali! Kau sudah siap Dewi Ular"! "
Yang bicara adalah si nenek gendut Kunti Rao berjuluk Iblis Daun Setan.
" Nenek guru, tentu saja saya sudah siap! Siapa nyangka berkat ketekunanmu paku
emas yang tadinya sudah butut menghitam kau asah ujungnya hingga kembali ke
bentuknya yang asli.
Kuning emas berkilat! " Terdengar suara menjawab. Ini adalah suara kunti Ambiri
alias Dewi Ular. Saat itu kedua perempuan tersebut berada di depan goa batu, di
lereng barat jurang batu pualam. Demikian terjalnya dinding jurang jangankan
bergerak dan membuat gerakan-gerakan silat, berdiri saja sangat berbahaya.
Sekali seseorang tergelincir pasti akan disambut maut di dasar jurang yang ada
kawah mendidih serta puluhan batu-batu lancip. Tapi luar biasanya Dewi Ular
justru bergerak kian kemari, memainkan jurus-jurus ilmu silat yang dipelajarinya
sejak seratus lima puluh hari lalu dari Kunti Rao.
Gerak dan jurus-jurus yang dimainkan Dewi Ular memang merupakan ilmu silat
langka. Namun yang lebih luar biasa adalah paku hitam yang berada dalam
genggaman tangan kanannya.
Paku hitam itu dulu adalah paku emas yang ditancapkan Pendekar 212 Wiro Sableng
ke pusar Dewi Ular hingga perempuan setengah manusia setengah iblis ini musnah
ilmu kesaktiannya yang ganas. Selama puluhan hari Kunti Rao mengasah paku itu ke
dinding batu di sekitarnya, berusaha mengembalikan ke bentuk asalnya kuning
emas. Namun dia hanya mampu mengikis lapisan hitam pada ujung runcing paku.
Itupun hanya setengah panjang kuku jari kelingking. Tetapi kesaktian yang keluar
dari ujung yang secuil itu sungguh luar biasa!
Dewi ular memegang paku pada bagian kepalanya. Seutas tali diikatkan pada bagian
bawah kepala paku. Selanjutnya ujung lain diikatkan ke lengan perempuan itu
hingga dalam keadaan bagaimanapun paku itu sulit terlepas dari tangannya.
" Dewi Ular! harap kau simpan dulu paku hitam berujung emas itu. Aku akan
menjajal tenaga luarmu, gabung dengan tenaga dalam. Keluarkan ilmu baru yang
kuajarkan. "
" Saya siap guru! " kata Dewi Ular. Dia cepat menyimpan paku hitamnya lalu tegak
memasang kuda-kuda.
" Lihat serangan! " teriak Kunti Rao. Tubuhnya yang gemuk menyergap ke depan.
Rambutnya yang acak-acakan berakibat sebat. Dua tangannya menghantam
berbarengan. Dewi Ular geser sedikit ke dua kakinya ke samping. Lalu dengan gerakan tak kalah
cepat dia songsong serangan dua tinju si nenek dengan balas menyerang,
mempergunakan ke dua tinjunya pula. Terjadilah hal yang hebat. Empat jotosan
saling berada menimbulkan suara keras. Bukan cuma satu kali. Tapi berulang kali
dan dalam gerakan sangat cepat. Dalam waktu singkat saja terjadi saling adu
jotos sebanyak seratus kali!
" Bagus! " seru Kunti Rao seraya mundur. Dia perhatikan jari-jari tangannya yang
kelihatan merah. Hal Page 30
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
yang sama juga terjadi dengan jari-jari Dewi Ular. Meskipun merah namun sama
sekali tidak cedera.
Lecet sajapun tidak.
" Kau boleh ikatkan paku hitam itu kembali ke pergelangan tanganmu, " kata Kunti
Rao. " Dan siap dengan ujian berikutnya! "
Dewi Ular keluarkan paku hitam dari balik pakaiannya lalu mengikatkan tali paku
ke pergelangan tangannya sebelah kanan.
" Lihat serangan! " Kunti Rao kembali berteriak keras.
Tangan kanannya dipukulkan ke arah dada Dewi Ular. Serangan yang dilancarkan
perempuan gemuk berambut merah acak-acakan dan mengaku berusia lebih enam puluh
tahun itu bukan serangan main-main. Jangankan tubuh manusia, dinding batu
sekalipun sanggup dihantamnya sampai hancur.
Dewi Ular selaku orang yang diserang bukan tidak tahu kalau bahaya maut
mengancam jiwanya. Tapi penuh percaya diri dia bersikap diam. Dia sengaja
menunggu. Begitu jotosan Kunti Rao hanya tinggal satu jengkal dari dadanya baru
dia gerakkan tangan kanan yang memegang paku hitam yang ujung lancipnya berwarna
kuning keemasan.
Satu sinar kuning menyilaukan menyambar disertai deru dan menghamparkan hawa
dingin menggidikkan.
Kunti Rao merasa tangan kanannya mulai dari bahu sampai ke ujung-ujung jari
laksana kesemutan.
Tangannya tak bisa maju lagi. Berarti serangannya tak mampu mencapai sasaran
yaitu dada Dewi Ular.
Kunti Rao coba memaksa. Sekujur tubuhnya bergetar. Mukanya yang gembrot basah
oleh keringat dan kelihatan sangat merah. Rasa kesemutan lenyap tapi
bagaimanapun ia mengerahkan tenaga luar dalam tetap saja dia tidak mampu
menghantam Dewi Ular.
Di hadapannya Dewi Ular walaupun di luar tampak tenang namun sebelah dalam
tubuhnya terasa seperti diremas-remas. Rahangnya dikatupkan kencang-kencang
menahan rasa sakit aneh yang seperti hendak meluluhlantakkan sekujur auratnya.
Keringat membasahi badannya.
" Luar biasa! Aku tak sanggup bertahan! " keluh Dewi Ular dalam hati. Dia segera
pegang kepala paku hitam. Ujungnya ia arahkan pada Kunti Rao. Ketika tenaga
dalamnya disalurkan ke paku hitam itu, ujungnya yang berwarna kuning emas
mengeluarkan sinar terang menyilaukan. Bersamaan dengan itu terdengar suara
seperti angin menderu dibarengi menebarnya hawa dingin menggidikkan.
Kunti Rao menjerit keras ketika sinar kuning yang keluar dari ujung lancip paku
menyambar tangannya yang masih terpentang dalam sikap memukul. Hawa dingin
menyerang sekujur badannya. Bersamaan dengan itu tubuh gemuk berbobot puluhan
kati itu terpental, terbanting keras ke dinding goa batu. Kunti Rao mengeryit
menahan sakit. Dadanya yang besar berguncang turun naik. Dia cepat duduk bersila
di lantai batu, atur jalan nafas dan peredaran darah. Sepasang matanya yang
sipit terpejam.
" Kau berhasil menguasai ilmu itu Dewi Ular! Kau hebat! Aku puas.... Tapi jangan
lengah! lihat serangan! " Tiba-tiba si gendut berteriak. Tubuhnya yang tadi
duduk seperti membal ke atas. Bersamaan dengan itu tangannya bergerak mencabut
empat helai daun besar yang menutupi auratnya.
" Wuttt! Wuuuttt! Wuttt! Wutttt! "
Empat lembar daun lontar mengarah ke arah Dewi Ular. Suaranya laksana elang
menyambar. " Bettt!
Bettt! Betttt! Bettt! " Dewi Ular acungkan tangan kanannya yang memegang paku.
Paku hitam itu kemudian digoyangkan dalam gerakan berputar. Empat lembar daun
lontar yang menyerang tampak ikut Page 31
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
berputar di udara lalu berpelanting ke empat penjuru.
"Clep! Clep! Clep! Clep!"
Empat lembar daun itu menancap sampai setengahnya pada dinding batu goa!
Dewi Ular rasakan tengkuknya menjadi dingin. " Dia tidak main-main mengujiku!
Terlambat aku menangkis pasti saat itu aku sudah menjadi mayat! "
" Bagus! Aku senang! tidak sia-sia aku menggemblengmu. Walau dalam waktu singkat
tapi kau dapat menguasai semua ilmu! Dengan kepandaian itu kau bisa membantuku
menamatkan riwayat Datuk Sipatoka. Dia akan tahu rasa nanti! "
Dewi Ular ikut duduk dihadapan si gemuk Kunti Rao.
" Guru saya sangat berterimakasih padamu. Bukan saja karena kau telah
mengajarkan ilmu kepandaian yang hebat.Tapi lebih dari itu kau telah
mengembalikan hasrat untuk hidup dalam diriku.... "
Kunti Rao tertawa lebar. " Kau harus hidup, kau harus percaya diri. Bukan saja
karena aku perlu bantuanmu tapi bukankah kau juga ingin membalaskan dendam
kesumatmu pada dua orang pemuda itu..." "
Dewi Ular mengangguk. " Saya tidak akan lupakan dua manusia jahanam itu.
Sandaka.... Pendekar 212. Tunggu pembalasanku. Kalian akan kubikin lumat! Kalian akan mati
hancur, luluh dan tanpa kubur! "
" Satu hal lagi jangan dilupakan. Justru ini yang paling penting! Kita harus
mendapatkan sepasang keris sakti Nagasona itu! Itu lambang kekuasaan dunia yang
tidak ada duanya! "
Dewi Ular mengangguk. " Jangan khawatir guru. Bila tiba saat datangnya petunjuk
itu, saya rela mengorbankan nyawa turun ke dasar jurang. Menyelam ke dalam kawah
mendidih.... "
Kunti Rao tertawa panjang. Dia pegang bahu Dewi Ular dan menepuknya beberapa
kali. " Kau murid baik! Baik dan hebat! "
Dewi Ular menggeser duduknya lebih dekat kehadapan sang guru. Kepalanya
ditundukkan seolah-olah hendak memberikan penghormatan sebagai ucapan terima
kasih. Tetapi tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak ke atas. Perutnya
mengempis. Nafasnya sesaat ditahan. Inilah satu pertanda bahwa dia tengah
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Ujung paku yang berada dalam pegangan Dewi Ular memancarkan sinar kuning terang
menyilaukan. Kunti Rao tidak tahu apa yang hendak dilakukan muridnya itu. Mendadak sontak
paku hitam telah menancap ditenggorokannya!
" Dew.... Dewi Ular... Apa yang kau lakukan ini"! Perempuan Jahanam! Dasar
manusia berhati ular...! " tampak meringis ganas. Tangannya yang memegang paku
ditekannya hingga paku itu menancap Page 32
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
semakin dalam ke batang leher Kunti Rao. Darah mengucur membasahi leher dan
tubuh sebelah atas si nenek gendut itu, juga membasahi tangan Dewi Ular sampai
ke siku. " Jahanam penghianat! " teriak Kunti Rao. Tangan kanannya diangkat tapi dia tak
mampu melakukan pukulan. Sepasang matanya yang sipit kelihatan membesar sedikit
dan berwarna kemerahan. Mulutnya dibuka. Lidahnya terjulur. Nafasnya mulai
sesak. Dewi Ular terus mengumbar tawa. " Kunti Rao... " katanya langsung menyebut nama
orang yang biasanya dipanggilnya dengan sebutan nenek atau guru itu. " Kau
manusia sakti paling bodoh di dunia.
Setelah tahu apa yang terpendam di dasar jurang ini, apa kau kira cuma kau
seorang yang ingin memilikinya" Apa cuma kau seorang yang ingin jadi raja di
raja dunia persilatan" Semua orang menginginkan kedudukan itu. Termasuk aku!
Hik...hik...hik! "
" Jahanam! Perempuan jahanam! " maki Kunti Rao. Tapi suaranya mendadak jadi
perlahan bahkan menghilang. Matanya yang sipit semakin merah, bergerak liar.
Lidahnya ikut bergerak. Lalu semuanya itu berhenti bergerak. Dadanya yang tadi
turun naik kini diam. Sesaat kemudian kepalanya terkulai ke kiri.
Dewi Ular tersenyum. Perlahan-lahan paku hitam dicabutnya dari tenggorokan
perempuan gemuk itu.
Asap biru keluar mengepul dari luka bekas tusukan. Dewi Ular mengumbar tawa lalu
bangkit berdiri, keluar dari dalam goa.
Di depan goa Dewi Ular menghirup udara segar dalam-dalam. Saat itu senja telah
memasuki malam.
Udara di dalam jurang batu terasa sangat sejuk. Dewi Ular timang-timang paku
yang tergantung di pergelangan tangan kanannya. Dalam hati dia berkata. " Aku
hanya tinggal menunggu munculnya bintang Kalimukus itu. Kunti Rao bicara banyak
tentang bintang dan sepasang keris di dasar jurang. Aku pasti mampu mendapatkan
dua senjata mustika itu. Hemm... begitu aku mendapatkannya pertama sekali akan
kucari dua manusia terkutuk itu. Pendekar 212 Wiro Sableng, Sandaka... kalian
tak bakal bisa lolos dari tanganku! "
Dewi Ular goyangkan paku hitam di tangan kanannya. Selarik sinar kuning melesat
menyilaukan lalu lenyap dalam kegelapan malam.
Lalu dia ingat pada mayat Kunti Rao yang ada dalam goa. " Mayat itu harus
disingkirkan dulu sebelum busuk! " Dewi Ular cepat masuk ke dalam goa. Dia
membungkuk untuk mencekal kaki perempuan gemuk itu lalu menyeretnya ke luar goa.
Tapi baru saja ia memegang kaki sebelah kiri tiba-tiba kaki kanan Kunti Rao
melesat. " Bukkk! "
Dewi Ular terpekik tubuhnya terpelanting ke pintu goa. " Keparat! Belum mati dia
rupanya! "
Sambil menahan sakit di dada kirinya yang kena tendangan, Dewi Ular masuk
kembali ke dalam goa.
Saat itu dilihatnya Kunti Rao berusaha bangkit berdiri.
" Kau boleh punya tujuh nyawa! Tapi ini akan menamatkan riwayatmu! " Dewi Ular
putar paku hitam di tangannya. Ujungnya yang lancip ditusukkan ke kening Kunti
Rao. Perempuan gemuk ini menjerit keras. Darah mengucur deras membasahi mukanya
yang gembrot hingga wajahnya menyeramkan seperti muka setan. Sebelum tubuhnya
jatuh terkapar tangan kanannya masih bisa bergerak mencabut dua lembar daun
lontar. Lalu " bet...bet! " Dua lembar daun itu laksana lempengan besi menyambar
ke perut dan kaki Dewi Ular.
" Benar-benar jahanam! " maki Dewi Ular. Paku hitam ditusukkan ke depan. Satu
larik cahaya kuning Page 33
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
terang menyambar. Dua daun lontar yang menyerang ke arahnya mental dan hancur
berantakan. Hancuran daun itu laksana kepingan besi menancap di dinding goa.
Sosok Kunti Rao kembali kelihatan berusaha bangkit. Kali ini Dewi Ular tak mau
memberi kesempatan.
Sambil melompat dia kembali hujamkan paku hitam di tangannya. Sinar kuning
kembali berkiblat. Paku hitam kembali menancap di dada kiri Kunti Rao, tepat di
detak jantungnya! Kali ini bagaimanapun sakit dan kuatnya perempuan bergelar
Iblis Daun Setan itu, ketika jantungnya pecah tak ampun lagi nyawanya lepas
meninggalkan tubuh!
Di dinding barat jurang batu pualam Datuk Sipatoka sedang berada di depan goa
ketika tiba-tiba di arah timur dia melihat ada cahaya kuning menyambar ke
sebelah atas jurang lalu lenyap dalam kegelapan.
Orang tua berkepala botak biru ini berpaling ke samping.
" Sandaka kau lihat sinar kuning tadi"! "
Di sebelah si kakek tegak seorang pemuda berpakaian kotor. Pakaian ini pemberian
Datuk Sipatoka hingga dia kini tidak lagi mengenakan cawat. Tubuhnya yang penuh
tancapan paku kini tertutup namun kepala dan mukanya tidak bisa disembunyikan
dari paku-paku yang dipantekkan Datuk Bululawang beberapa waktu lalu. Pemuda ini
adalah Sandaka yang sejak seratus lima puluh hari lalu berada bersama si kakek
di tempat itu. " Aku melihat. Sinarnya terang sekali lalu lenyap, " jawab Sandaka.
" Aneh selama puluhan hari jurang sebelah timur itu sunyi senyap. Tak terdengar
suara apapun. Lalu malam ini tiba-tiba ada sambaran sinar kuning. Aku yakin sinar itu muncul
dari arah depan goa kediaman si kuda nil Kunti Rao. Jangan-jangan dia telah
menemukan satu ilmu baru. "
" Kalau memang begitu berarti kesempatan bagiku untuk menjajal ilmu kesaktian
yang telah kau ajarkan selama ini, " ujar Sandaka pula.
Datuk Sipatoka terdiam. Beberapa lama dia melangkah mondar-mandir di dalam goa.
" Datuk, lupakan apa yang kita lihat tadi. Bukankah kau sudah berjanji malam ini
kita akan mengadakan latihan sampai pagi" "
" Mungkin tak jadi. Hatiku tiba-tiba saja kacau balau.... Hai! Kau dengan suara
sesuatu Sandaka" " tanya Datuk Sipatoka seraya memandang ke arah timur jurang.
" Seperti suara jeritan... "
Datuk Sipatoka mengangguk. " Jeritan perempuan. Malam celaka! Aku tak bisa
melihat apa yang terjadi di sana! "
" Kalaupun siang sama saja. Sejak beberapa minggu ini jurang tertutup kabut
tebal. Kita tidak bisa melihat apa-apa, " kata Sandaka.
Selagi dua orang itu terdiam dan kesunyian mencekam mendadak lapat-lapat di
kejauhan terdengar suara sesuatu.
" Sandaka! Dengar! Ada sesuatu yang jatuh ke dasar jurang! "
" Tubuh manusia! Aku yakin tubuh manusia! " kata Sandaka seraya mementang mata
berusaha Page 34
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
menembus kegelapan malam.
Sesaat kemudian jauh di bawah sana, dalam kegelapan terdengar suara sebuah benda
mencebur ke dalam air jurang yang mendidih laksana air kawah gunung berapi.
" Bagaimana kau bisa yakin itu tubuh manusia..." " Datuk Sipatoka ajukan
pertanyaan. " Kalau batu pasti akan menimbulkan suara berdentang dan gaung keras serta
Wiro Sableng 082 Dewi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
panjang di dasar jurang. Jadi tak bisa tidak yang barusan jatuh itu adalah tubuh
manusia.... "
" Otakmu cerdas! Aku sependapat denganmu. Tapi... " Datuk Sipatoka usap-usap
kepala botaknya.
" Menurutmu siapa yang jatuh ke dasar jurang itu" Si kuda nil Kunti Rao" "
" Di jurang sebelah timur sana cuma ada satu manusia. Kunti Rao. Lantas apa
mungkin ada orang lain" "
Datuk Sipatoka lama termenung. Akhirnya dia berkata. " Sebentar lagi kita akan
tahu siapa yang barusan kecebur ke dasar jurang! "
Lalu kakek botak ini melangkah ke dekat tubir jurang. Memandang tepat-tepat ke
arah dinding jurang sebelah timur dan berteriak sambil kerahkan tenaga dalamnya.
" Kunti Rao! Puluhan hari kau mendekam membisu! Apa kau masih hidup"! " Teriakan
Datuk Sipatoka bergaung melantun beberapa kali di dinding jurang. Lalu sunyi.
" Tak ada jawaban... " katanya perlahan pada Sandaka. " Jangan-jangan perempuan
itu memang sudah jadi bangkai di dasar jurang! "
" Biar aku yang memanggil" berucap Sandaka. Pemuda ini segera kerahkan tenaga
dalam dan berteriak. Suara teriakannya menggelegar dalam kegelapan malam di
jurang angker itu, membuat Datuk Sipatoka sendiri terkesima kagum.
" Kunti Rao! Orang memanggil mengapa tidak menjawab" Apa tiba-tiba kau menjadi
tuli atau bisu" Atau rohmu sudah gentayangan saat ini di alam akhirat"! Atau kau
ikut menghadapi kenyataan bahwa Datuk Sipatoka musuh bebuyutanmu masih ada di
tempat ini"! "
" Bagus teriakanmu pasti akan membuatnya marah. Kalau manusia bertubuh kuda nil
itu masih hidup pasti dia akan menjawab garang! " kata Datuk Sipatoka sambil
senyum-senyum. Di dinding jurang batu pualam sebelah timur Dewi Ular yang baru saja melemparkan
mayat Kunti Rao ke dalam jurang pasang telinga, kerenyitkan kening.
" Menurut Kunti Rao di sebelah barat sana memang ada seorang kakek musuh
bebuyutannya bernama Datuk Sipatoka. Tapi barusan aku jelas mendengar teriakan
dari dua suara yang berbeda. Berarti ada dua orang di tempat itu. "
Di dinding barat Datuk Sipatoka memandang pada Sandaka. " Tak ada jawaban... "
katanya. " Berarti memang perempuan itu sudah menemui ajal! Mati di dasar
jurang... "
" Perlu kita uji dulu Datuk... " jawab Sandaka. Lalu pemuda itu melangkah lebih
dekat ke pinggir jurang. Kedua kakinya dikembangkan. Aneh, sesaat kemudian
bagian perutnya seperti ada cahaya.
Page 35 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Goa di dinding timur itu terlalu jauh Sandaka. Bagaimanapun hebatnya kesaktian
paku dan tingginya tenaga dalammu, kau tak bakal mampu.... "
" Kita coba dulu Datuk. Paling tidak untuk membuat perempuan itu kaget! " sahut
Sandaka pula. Habis berkata begitu dia hentakkan kaki kanannya. Batu di sepanjang pinggiran
sungai bergetar keras.
Bersamaan dengan itu dari selangkangan Sandaka melesat sinar kuning menyilaukan,
berkelebat ke arah jurang sebelah timur di mana Dewi Ular berada. Perempuan ini
terkejut sewaktu belum lama dia melihat sinar di kejauhan tiba-tiba sinar itu
sudah menyambar di samping kiri goa, membuatnya cepat menyingkir ke kiri.
Dinding batu yang barusan kena sambaran cahaya kuning kelihatan biasa-biasa
saja. Tidak berubah warna ataupun bentuknya. Tapi ketika dia mengulurkan tangan
meraba bagian yang terkena sambaran cahaya tadi, Dewi Ular jadi berdebar.
Lapisan luar dinding batu itu ternyata telah gugus, hancur menjadi pasir.
" Kunti Rao! Sayang kau sudah mampus rupanya! "
Dewi Ular melengak ketika kembali dari arah dinding jurang sebelah barat
terdengar suara teriakan.
Perempuan ini tak bisa lagi menahan hatinya. Maka diapun kerahkan tenaga dalam
dan berteriak. " Datuk keparat! Jadi kau masih hidup! Kukira sudah dimakan cacing batu! Hik...
hik... hik....! "
" Ada suara teriakan! " ujar Sandaka.
" Betul! Tapi itu bukan suara Kunti Rao! " kata Datuk Sipatoka terheran-heran.
" Berarti disana juga ada dua orang..." kata Sandaka.
" Kau bukan Kunti Rao! Mana perempuan itu! Aku hanya mau bicara dengannya! "
teriak Datuk Sipatoka.
" Manusia sepertimu tidak layak bicara dengan dia! Segala urusanmu cukup
sampaikan padaku! "
" Sialan! " maki Datuk Sipatoka sambil memandang pada Sandaka. Lalu dia
berteriak. " Aku tidak kenal perempuan kecoak macammu! Memangnya kau siapa"! "
" Aku Dewi Ular bekas murid Kunti Rao alias Iblis Daun Setan! "
Datuk Sipatoka dan Sandaka langsung melengak kaget. Keduanya sampai tersurut
satu langkah dan saling pandang dengan mata melotot.
" Dewi Ular..." desis Sandaka.
" Dewi Ular..." ujar Datuk Sipatoka.
" Tidak mungkin! Mustahil! Benar-benar tidak masuk akal! " kata Sandaka sambil
kepalanya dipalingkan ke arah dinding timur jurang batu pualam. " Aku membacok
tubuhnya dua kali dengan Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro Sableng. Aku juga
yang menendangnya masuk ke dalam jurang! Aneh kalau sekarang dia masih hidup dan
ada di dinding jurang di sebelah sana! "
" Jangan-jangan ini tipu daya Kunti Rao! Mengaku-ngaku sebagai Dewi Ular.
Sengaja hendak menyiasati kita..." Kata Datuk Sipatoka pula.
Page 36 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Sandaka menggeleng. " Aku kenal benar suara tadi. Itu memang suara Kunti Arimbi
alias Dewi Ular.... Manusia jahanam itu kalau memang dia masih hidup aku bersumpah
akan membunuhnya untuk yang kedua kali! "
Datuk Sipatoka usap-usap kepala botaknya yang berwarna biru. Tampaknya dia
tengah berpikir keras.
" Kita harus mampu menyingkap keanehan ini. Apa yang terjadi dengan Kunti Rao"
Bagaimana Dewi Ular tahu-tahu ada di sana.... "
" Memang sulit dipercaya. Jangan-jangan waktu dia kutendang jatuh ke dalam
jurang ada yang menolongnya.... "
" Kunti Rao..." " Datuk Sipatoka kembali usap-usap kepala botaknya.
" Biar aku bicara padanya! Biar dia tahu kalau aku musuh besarnya berada di
tempat ini! " kata Sandaka.
" Jangan! Kurasa ada baiknya kau merahasiakan keberadaanmu di tempat ini, " kata
Datuk Sipatoka cepat. " Biar aku saja yang bicara! " Lalu Datuk Sipatoka
berteriak. Teriakannya diarahkan ke dinding jurang sebelah timur. " Kunti Rao
jangan kau mengaku-ngaku sebagai Dewi Ular! Apa kau kira aku takut padamu" Atau
kau sengaja menyiasatiku karena sadar tak bakal lolos dari tangaku"! "
Di dinding timur jurang batu pualam terdengar suara tertawa melengking.
" Dewi Ular tidak pernah memalsu diri! Kalau kau punya kemampuan silahkan datang
ke sini! "
" Sialan! " maki Datuk Sipatoka . Tentu saja dia tidak mungkin datang ke tempat
Dewi Ular berada.
Di samping Sandaka berkata. " Tadi dia menyebut dirinya sebagai bekas murid
Kunti Rao. Tanyakan apa maksudnya..."
Datuk Sipatoka lantas berteriak menanyakan. " Aku Datuk Sipatoka tidak percaya
kalau kau adalah Dewi Ular! Goa di dinding timur itu hanya dihuni oleh Kunti
Rao! Lagi pula apa maksudmu menyebut diri sebagai bekas murid Kunti Rao"! "
" Itu bagus! Orang tolol semacammu musti banyak bertanya agar tidak buta
keadaan! " sahut Dewi Ular yang membuat Datuk Sipatoka jadi bergerak-gerak
pelipisnya dan menggembung rahangnya saking marah. " Kunti Rao sudah tidak ada
lagi di dunia ini! Tubuh kasarnya mendekam di dasar jurang! Kalau kau untung
rohnya mungkin akan menemuimu! Hik...hik...hik...! "
" Apa yang terjadi dengan perempuan itu"! " Tanya Datuk Sipatoka berteriak.
" Aku telah membunuhnya! " jawab Dewi Ular yang membuat sangat terkejut sang
Datuk dan Sandaka.
" Ilmumu memang tinggi. Tapi untuk mampu membunuh Kunti Rao aku tidak percaya! "
teriak Datuk Sipatoka. Bagaimanapun juga kalau Kunti Rao sampai mati maka dia
ingin musuh bebuyutannya itu mati di tangannya.
Di jurang sebelah timur kembali terdengar tawa panjang Dewi Ular. " Tidak
percaya itu urusanmu Page 37
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
sendiri! Aku tahu banyak tentang permusuhanmu dengan Kunti Rao. Aku juga tahu
banyak tentang sepasang keris sakti Nagasona yang terpendam di dasar jurang ini!
Pahlawan Dan Kaisar 11 Pendekar Mabuk 054 Kipas Dewi Murka Misteri Si Cadar Berdarah 2