Misteri Si Cadar Berdarah 2
Pedang Siluman Darah 24 Misteri Si Cadar Berdarah Bagian 2
"Aku ada di belakangmu, Bergola!"
Raja Bergola segera balikkan tubuh ke
arah suara Jaka, namun tiba-tiba Jaka telah me-
nyambutinya dengan hantaman ajian Bledek Se-
wunya. "Terimalah ajian Bledek Sewu. Hiat...!"
"Bletar! Bletar! Bletar!"
Ledakan-ledakan halilintar menggema ber-
saut-sautan, menghantam tubuh Raja Bergola.
Raja Bergola seketika goyah, namun tubuhnya
tak mengalami apa-apa. Malah kini Raja Bergola
nampak beringas, dan dengan ganas diporak-
porandakannya rumah bilik itu. Rupanya leda-
kan-ledakan petir telah mampu membuatnya bi-
sing, sehingga Raja Bergola pun akhirnya marah.
"Gusti Allah, ternyata ajian Bledek Sewu
tak mempan!" keluh Jaka.
"Wuut...!"
Jaka tersentak, lemparkan tubuh ke bela-
kang manakala tangan Raja Bergola kembali me-
nyerang ke arahnya.
"Jangan lari, Bocah! Nyawamu harus men-
jadi budakku!"
"Hua, ha, ha...! Enak saja kau ngomong,
Bergola!" Jaka tertawa bergelak-gelak, berkata dengan penuh sinis. "Kaulah yang
seharusnya menjadi budakku, sebab kau pantas untuk men-
gawal diriku bila aku bepergian ke mana-mana.
Tubuhmu besar, cukup dapat diandalkan, Bergo-
la!" "Kurang ajar!"
"Eh, rupanya kau membandel!" Jaka terus
mengeluarkan kendablegannya. "Kau membandel,
maka jangan salahkan aku akan menghajarmu.
Nah, terimalah ini. Tapak Bahana. Hiat...!"
Berbarengan dengan tangan Raja Bergola
menyerangnya, segera Jaka berkelebat menghin-
dar dan langsung melayang menuju ke muka Raja
Bergola. Tangan Jaka yang telah membara, sece-
pat kilat menghantam.
"Duar...!" kembali terdengar ledakan.
"Hua, ha,ha ...! Keluarkan segala ilmu yang
engkau miliki, Anak muda!" Raja Bergola bergelak sombong, merasa dirinya mampu
menandingi il-mu Jaka Ndableg. "Keluarkan semua ilmumu,
Anak muda. Aku Raja Bergola tak akan mundur!"
"Jangan senang dulu, Bergola."
Habis berkata begitu, segera Jaka melom-
pat mundur menjauh. Jaka dengan segera duduk
bersilah, heningkan cipta merapalkan sebuah
ajiannya yang sangat dahsyat. Melihat hal terse-
but, Raja Bergola tertawa terpingkal-pingkal.
"Hua, ha, ha, ha...! Sedang apa kau, Anak
muda"!"
Namun belum juga ucapan Raja Bergola
habis, tiba-tiba tubuh Jaka telah membesar dan
makin bertambah besar. Tubuh Jaka kini telah
jauh melebihi besarnya Raja Bergola. Raja Bergola
tersentak kaget seraya melompat mundur, mana-
kala melihat apa yang kini berdiri di hadapannya.
"Hua, ha, ha, ha...! Bergola, majulah kau!
Biar aku dengan segera mematahkan tubuhnya
dan memangsamu. Hua, ha, ha...!"
"Siapa kau, Buto"!" Raja Bergola bertanya dengan nada agak takut. Tubuhnya yang
tadinya nampak besar, kini bagaikan tiada setengahnya
tubuh Buto Dewa Wisnu.
"Raja Bergola, akulah Buto Dewa Wisnu.
Akulah yang akan membuatmu harus menyingkir
dari dunia ini! Hua, ha, ha, ha...!"
Raja Bergola yang merasa tak akan unggu-
lan berusaha kabur meninggalkan Buto Dewa
Wisnu. Tetapi dengan cepat tangan Buto Dewa
Wisnu telah mencekalnya. Dibantingnya tubuh
Raja Bergola, sehingga terdengar bunyi bergedu-
bug. Bumi seketika bagaikan digoncang hebat,
goyang laksana gempa.
"Modar...!"
"Tobat...!"
"Jangan kau mengeluh, Bergola!"
Kembali dengan keras dibantingnya tubuh
Raja Bergola, sehingga kembali Raja Bergola men-
jerit. Tak hanya sampai di situ, Raja Bergola seketika diinjaknya hingga amblas
ke dalam bumi. "Dinda...! Tolong aku...!" Raja Bergola memekik, tubuhnya masuk amblas ke dalam
tanah. "Nyai...! Tolong aku...!"
Dari kejauhan, tepatnya dari puncak Gu-
nung Kawi, sebuah bayangan berkelebat terbang
menyerang Buto Dewa Wisnu. Bayangan tersebut
tak lain Wewe adanya, istrinya Raja Bergola. Mata
Ni Wewe nampak menyala merah, manakala me-
lihat suaminya terpendam dalam tanah.
"Kau harus mati, Raksasa!"
"Huah... ternyata kau istrinya. Hem, biar-
lah sekalian saja kalian aku kubur!" Buto Dewa Wisnu segera kebatkan tangannya.
Maka dari ke-batan tangan besar itu keluar angin besar, men-
deru menyerang Ni Wewe. Tak ayal lagi, tubuh Ni
Wewe seketika oleng. Hal tersebut tidak disia-
siakan oleh Buto Dewa Wisnu, yang dengan sege-
ra tangkap Ni Wewe.
"Hua, ha, ha...! Kau akan menemani sua-
mimu di dasar tanah sana! Dan kalian tak akan
dapat hidup bebas. Kalian telah terhimpit oleh
Sekat Gaib! Hua, ha, ha...!"
"Tobat...! Ampunilah aku," rengek Ni Wewe.
Buto Dewa Wisnu tak perduli. Ditaruhnya
tubuh Ni Wewe di bawah, lalu dengan kuat diin-
jaknya tubuh tersebut hingga amblas ke tanah.
"Aaan...! Anakku...! Tolong...!" terdengar seruan seorang wanita bukan Ni Wewe,
menyebut- nyebut nama anaknya untuk sesaat sebelum ak-
hirnya hilang. Jaka yang telah melihat kematian dua mu-
suhnya, dengan segera kembali melakukan tiwi-
krama. Perlahan-lahan tubuhnya mengecil, lama
kelamaan akhirnya kembali pada bentuk semula.
Setelah dirasa tak ada yang memperhatikannya,
segera Jaka berkelebat pergi menghilang.
Esok paginya seluruh desa geger tentang
hilangnya juragan mereka. Beruntung ada seo-
rang yang memberitahukan bahwa juragan mere-
ka tak lain pemelihara Buto. Mereka tak ada yang
membantah, sebab setelah dikait-kaitkan dengan
segala kejadian ternyata benar adanya. Apalagi
setelah orang tersebut menceritakan bahwa yang
menginjak dua orang juragan mereka tak lain Ja-
ka Ndableg, semuanya pun seketika percaya.
"Bukankah Jaka seorang Pendekar pembela ke-
benaran?" begitulah pertanyaan hati mereka,
yang menjadikan mereka harus percaya bahwa
juragan mereka memang seorang pengipri Buto.
Dengan berbondong-bondong, mereka pun berda-
tangan ke rumah juragan mereka. Bagaikan orang
baru terjaga dari mimpi, mereka mengamuk seja-
di-jadinya. Maka dalam sekejap saja rumah Pri-
kadayu hancur berantakan, diamuk oleh seluruh
warga desa yang tak lagi mampu membendung
amarahnya. *** 4 "Aku akan mencari Pendekar Pedang Silu-
man Darah, Guru," Sugangga berkata dengan
emosinya yang meluap-luap. Dendamnya pada
Jaka Ndableg, berkobar-kobar laksana api. Den-
dam seorang anak yang ingin menunjukkan bak-
tinya pada kedua orang tuanya, yang telah mati di
tangan seorang pendekar pembela kebenaran dan
keadilan yang tak lain Pendekar Pedang Siluman
Darah. "Dia telah membunuh kedua orang tuaku."
"Aku tahu. Namun kau, apakah telah tahu
asal mulanya?" tanya sang guru, nadanya seakan tidak menyetujui akan apa rencana
muridnya. Ia tahu benar siapa adanya Jaka Ndableg. Dan ia
tahu benar apa yang sebenarnya telah terjadi pa-
da kedua orang tua muridnya.
"Sudah, Guru," Sugangga nampak men-
dengus penuh amarah, yang menjadikan sang
guru hanya mampu mendesah panjang. Sebenar-
nya sang guru tidak menghendaki murid satu-
satunya itu harus bermusuhan dengan Jaka
Ndableg, namun nampaknya suratan menghen-
daki lain. Muridnya adalah anak sepasang tokoh
aliran sesat. Ayahnya bernama Prikadayu, se-
dangkan ibunya yang juga sealiran dengan sua-
minya bernama Dripadini.
"Tapi kedua orang tuamu yang salah dalam
hal ini. Bagaimana, Gangga?"
"Memang kedua orang tuaku yang salah,"
Sugangga hela napas.
"Nah, mengapa engkau mesti memperun-
cingnya?" "Sebagai seorang anak yang berbakti, ten-
tunya aku harus membela kedua orang tuaku,"
Sugangga berkata masih dengan emosi yang me-
luap-luap. "Walau itu tindakan yang salah?"
"Ya!"
"Ooh...." sang guru mendesah panjang, gelengkan kepalanya seakan hendak membuang
be- ban berat. "Sungguh kau tidak memikirkan aki-
batnya, Gangga."
"Aku sudah memikirkannya, Guru," Su-
gangga ketus berkata. "Aku sudah memper-
siapkan segala resikonya yang bakal aku hadapi."
"He, kau memang pemberani, tetapi kebe-
ranianmu tidak pada tempatnya," sang guru
menggumam. "Seharusnya kau bersyukur ayah
dan ibumu dapat mati dengan sempurna. Kalau
tanpa bantuan Pendekar Pedang Siluman Darah,
tentunya kedua orang tuamu akan menjadi ham-
ba setan untuk selamanya."
"Guru membela dia?"
Sang guru kembali menarik napas panjang.
Ucapan muridnya seakan menusuk tajam, meng-
hunjam di lubuk hatinya. Kini ia berdiri dalam
posisi yang salah, padahal ia memperingati mu-
ridnya karena ia tak ingin muridnya menjadi kor-
ban Pendekar Pedang Siluman Darah selanjutnya.
Cukuplah dengan adik seperguruannya saja yang
jadi korbannya. Sebenarnya ia pun mendendam
pada pendekar tersebut, namun bila dirasa, den-
dam tak akan pernah habis-habisnya, bahkan
dendam akan selalu bertumpah darah. Bila ingat
dan sadar akan hal itu, maka ia pun segera men-
guburkannya dalam-dalam. Kini ia kembali diin-
gatkan pada masalah adik seperguruannya, yang
mati di tangan pendekar tersebut. Tetapi seperti
kedua orang tua muridnya, adiknya pun merupa-
kan tokoh aliran sesat. Ya, Datuk Raja Beracun
adalah orang sesat, maka sewajarnyalah kalau
pendekar tersebut menumpasnya. Sebenarnya
bukannya dia takut terhadap pendekar muda itu,
tapi percuma saja. Bukan kemenangan yang akan
diperolehnya, bahkan kematian tragis dengan da-
rah terhisap habis oleh Pedang Siluman Darah.
Jangankan manusia macamnya, para iblis dan si-
luman pun akan keder bila harus meng-hadapi
Pendekar Jaka Ndableg bila telah memegang sen-
jatanya. "Aku bukan membelanya, Gangga," sang
guru akhirnya berkata dengan nada lemah. Ia sa-
dar, bahwa muridnya bukanlah seorang anak-
anak lagi. Muridnya kini telah dewasa, yang ber-
hak menentukan perjalanan hidupnya. Tapi bila
sang murid harus menghadapi bencana, apakah
ia harus diam diri begitu saja" Guru macam apa-
kah ia" "Aku hanya ingin mengingatkan padamu
siapa dan apa sebenarnya Jaka Ndableg tersebut."
Sugangga terdiam mendengar ucapan gu-
runya, seakan ucapan sang guru menyentakkan
dirinya untuk kembali berpikir. Memang kalau
dipikir secara benar-benar, kedua orang tuanya
yang salah dalam hal ini. Kedua orang tuanyalah
yang telah menjadikan Pendekar Pedang Siluman
Darah melakukan tindakan tersebut, sebab bila
tidak maka bencanalah yang akan diterima ma-
nusia. Kedua orang tuanya telah bersekutu den-
gan iblis yang mampu memberikan kehidupan
yang serba mencukupi atau dengan kata lain ke-
dua orang tuanya telah Nyupang Buto Ijo. Sebuah
persekutuan dengan iblis yang saling keterkaitan.
Kedua orang tuanya harus selalu menyediakan
korban yang disebut wadal untuk sang Buto. Se-
mentara kedua orang tuanya pun men-dapatkan
timbal balik, yaitu harta kekayaan yang datang
sendiri bila telah memberikan wadal tersebut. Bila hal itu berjalan terus
menerus, kekayaan orang
tuanya makin menumpuk, sementara manusia
akan makin berkurang saja karena habis untuk
wadal. Dan sebenarnya bila Sugangga berpikir
Pedang Siluman Darah 24 Misteri Si Cadar Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jauh, bukankah adiknya juga telah dijadikan
wadal pertama" Wadal untuk menentukan kuat
tidaknya kedua orang tuanya menghadapi tan-
tangan. Wadal untuk menjadikan kedua orang
tuanya tak akan hiraukan pekik kematian tetang-
ganya, atau anaknya yang menjerit-jerit manakala
dijadikan mangsa sang Buto. Bila mengingat itu
semua, seketika Gangga menangis. Menangis me-
ratapi kesesatan yang dilakukan oleh kedua orang
tuanya. "Tapi mereka melakukan juga karena aku,"
gumam Sugangga dalam hati. "Ya, karena akulah kedua orang tuaku harus
menyelimpang dari
keadaan sebenarnya. Aku memang yang mengin-
ginkan kedua orang tuaku kaya. Aku malu, bila
mendengar segala cemooh dari tetangga yang ti-
dak menginginkan aku main dengan anak-
anaknya karena aku miskin. Oh...!"
"Sepertinya engkau mengenang sesuatu,
Gangga?" sang guru yang melihat perubahan di
wajah muridnya bertanya. "Apa yang tengah engkau pikirkan?"
Sugangga tersentak kaget, sehingga dengan
secara tidak sengaja matanya memandang ke raut
tua di hadapannya. Raut tua yang sepertinya
mengandung ribuan goresan perjalanan hidup,
baik yang senang maupun yang susah. Seraut
wajah gurunya, yang terselubung dengan kemis-
terian. Ya! Sampai sekarang pun Sugangga belum
mengenal siapa adanya gurunya. Nama sang
guru, seakan tiada melekat. Aneh memang. Sela-
ma lima belas tahun ia berguru pada lelaki tua
renta berambut serba putih itu, ia tidak pernah
sekalipun mengetahui siapa adanya sang guru.
Sepertinya sang guru menyembunyikan dirinya,
atau ada rasa takut menyelimuti diri gurunya.
Kalau memang ada rasa takut, pada siapakah gu-
runya takut" Sugangga tahu bahwa gurunya be-
rilmu tinggi, mengapa mesti takut pada musuh"
"Guru, apakah aku bersalah bila membela
orang tuaku?" akhirnya Sugangga bertanya.
"Apakah aku salah bila mendendam pada orang
yang telah membinasakan kedua orang tuaku.
Bukankah sebagai seorang anak ia harus membe-
la nama baik kedua orang tuanya" Walau aku ta-
hu, bahwasanya kedua orang tuaku memang te-
lah berlaku jahat, tetapi semua itu demi untukku.
Bahkan adikku pun dijadikan wadal, manakala
pertama kali kedua orang tuaku melakukan per-
sekutuan dengan Buto Ijo tersebut. Akulah yang
memintanya, sebab aku sudah tak tahan mene-
rima hinaan dari teman-temanku."
Sang guru kembali tercenung diam. Ha-
tinya seketika menjerit, demi mendengar penutu-
ran muridnya. Betapa ia telah mengangkat seo-
rang manusia jahat menjadi muridnya. Manusia
yang tega menjerumuskan kedua orang tuanya
untuk melangkah di jalan kesesatan. Manusia
egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri,
walau saudaranya harus menjadi korban.
"Ooh...." sang guru mengeluh, keluh dalam hati.
Tak disadari, air matanya meleleh deras memba-
sahi pipinya. Segala ingatannya pada adik seper-
guruannya yaitu Datuk Raja Beracun kembali
tumbuh, menguak kalbu tuanya yang sudah ra-
puh untuk mengenang segala kejadian demi keja-
dian. Kini kenangan harus terulang. Apakah
mungkin muridnya juga seperti adik sepergu-
ruannya, yang menyimpang dari ajaran Tuhan
yang karena mendendam dan merasa harga di-
rinya terinjak-injak" Dan apakah sang murid
hanya akan menjalankan niatnya demi ambisi se-
perti Datuk Raja Beracun"
"Memang kau bersalah. Tetapi kesalahan-
mu ada pada segala tindakanmu yang hanya me-
nuruti hawa nafsu setan belaka." ucap sang guru tandas. "Coba kalau engkau tidak
merengek-rengek agar kedua orang tuamu kaya, tentunya
keadaan tidak serunyam begini. Tapi nasi sudah
menjadi bubur, maka segalanya kembali aku pa-
srahkan padamu juga. Kaulah yang berhak me-
nentukannya, sebab bila aku melarangmu, paling
tidak kau akan mengecapku sebagai seorang guru
yang tidak mengerti. Tetapi bila aku membela dan
mendorong dirimu, tentu aku juga salah besar."
Sugangga memaku hening, tiada dapat
berkata apa-apa. Harapannya agar sang guru
mau membelanya dan membantunya menghadapi
Jaka Ndableg, seketika pupus sudah. Tapi ia tak
mau putus asa. Ia akan mencoba, mencoba
menghadapi Jaka Ndableg. "Ah, apakah mungkin
guru akan membiarkan diriku sendiri?" gumam
hati Gangga meragu. "Tidak! Guru tentunya akan menolongku."
"Apakah guru mengijinkan aku menca-
rinya?" "Maksudmu, Gangga?" tanya sang guru belum mengerti.
"Apakah guru mengijinkan aku menuntut
balas pada Jaka Ndableg" Dan apakah guru akan
sudi membantuku?"
Sang guru untuk sekian kalinya menarik
napas panjang. Berat rasanya untuk menjawab
pertanyaan sang murid. Dirinya serba terjepit. Ke
mana ia melangkah, jelas akan mendapatkan ke-
salahan. Membela muridnya, jelas dan pasti ia
akan menghadapi kesalahan besar yang buntut-
nya pasti harus berhadapan dengan Pendekar Ja-
ka Ndableg. Bila diam saja, apa artinya seorang
guru yang membiarkan muridnya harus mengha-
dapi segala masalah hidupnya sendiri.
"Bagaimana, Guru?" Sugangga mendesak.
"Apakah tidak ada jalan lain, Gangga?" "
"Tidak ada."
"Hem...." sang guru mendengus. "Rupanya kau hanya berpikir pada satu jalan,
Muridku. Aku kira, ada jalan lain agar kita tidak harus bentrok dengannya."
"Yang guru maksudkan, kita damai?" Su-
gangga menerka.
"Ya!" jawab sang guru.
"Ah...!"
"Kenapa, Gangga?"
"Tidak! Aku tidak mau!"
"Lalu apa yang kau mau, Gangga"!"
"Kematian! Dia atau aku yang harus mati,"
Sugangga menyeringai, sepertinya tengah membe-
rikan tanda pada gurunya bahwa dia telah siap
segala-galanya. "Bagaimana, Guru?"
"Ah...."
"Rupanya guru takut menghadapinya,"
sindir Sugangga dengan nada sinis. "Hem, tidak aku sangka kalau guruku
sepengecut ini."
"Gangga! Lancang kau bicara!" sang guru
membentak marah.
Sugangga hanya cibirkan bibirnya, seakan
ia memang benar-benar ingin mengejek kenya-
taan gurunya yang penakut. Sugangga benar-
benar tidak menyangka kalau gurunya sepenge-
cut itu. Gurunya yang telah dianggapnya orang
paling sakti, ternyata takut menghadapi Jaka
Ndableg. "Aku bicara benar, Guru! Kalau memang
guru tidak mau dianggap pengecut, tentunya
guru mau membantuku."
"Bukankah aku selama lima belas tahun
telah membantumu?"
"Mendidik maksudmu?" Sugangga kembali
mencibir. "Ya...!"
"Itu sudah sebuah kewajiban. Kewajiban
sebagai seorang guru yang harus mendidik mu-
ridnya!" Sugangga nampak ngotot bicara, seakan ia sudah tak memperdulikan siapa
dia dan siapa orang yang berada di hadapannya yang kini ten-
gah diajak ngomong. "Dan bukankah kau telah
dibayar untuk itu?"
Tersentak kaget sang guru mendengar
ucapan muridnya yang telah membuka segalanya.
Hatinya kini terbakar emosi, emosi yang sengaja
dinyalakan oleh Sugangga muridnya. Mata sang
guru memandang tajam pada Sugangga, seper-
tinya hendak menelan bulat-bulat tubuh sang
murid. Napasnya mendesah berat, sesak mengge-
ledak di dadanya. Sebagai seorang guru, jelas ia
tidak mau menerima hinaan seperti itu oleh mu-
ridnya. "Bagaimana" Apakah engkau masih me-
mungkiri?" Gangga masih menyibir sinis.
Makin terasa menyesak saja dada sang
guru mendengar ucapan Sugangga. Memang ia
dibayar dengan mahal untuk mendidik Sugangga,
tetapi itu pun atas kemauan orang tua Sugangga,
bukan kemauan dirinya sendiri. Kalau Sugangga
telah membuatnya harus marah, jelas karena Su-
gangga telah mengungkit-ungkit apa yang telah
diterima-nya dengan pengorbanannya. Pengorba-
nan untuk mendidik Sugangga menjadi seorang
pemuda yang memiliki ilmu tinggi.
"Murid celaka! Kau rupanya tak ubahnya
seperti Iblis!"
"Kaulah yang tidak tahu balas budi!" Su-
gangga tak mau mengalah dengan gurunya. "Kau
telah mendapatkan segalanya dari kedua orang
tuaku, namun ternyata kau tidak mau mengerti."
"Sekali lagi kau ngomong begitu, maka aku
akan menghajarmu, Gangga!" sang guru mengan-
cam, hatinya telah begitu marah mendengar se-
mua ucapan muridnya yang dirasa sangat men-
jengkelkan. "Kalau engkau mau menghajarku, laku-
kanlah bila engkau berani!" Sugangga menantang.
"Iblis!"
"Hem, kau tak berani bukan?" sinis Su-
gangga berkata, melihat gurunya yang sudah
mengangkat tangan urung menghajarnya.
"Kau telah menantangku, Gangga!"
"Huh, kaulah yang mendahului!"
Sang guru makin tak dapat menahan ama-
rahnya. Napasnya makin memburu saja, sewot
dan kesal melanda hatinya. Mata tuanya kini
nampak menyala merah, seakan mata itu hendak
menghunjam dalam, sedalam kalbu Sugangga.
"Minggat kau dari sini!" Kini sang guru benar-benar tak dapat menahan amarahnya.
"Ming- gat...!" sang guru menyerukan suaranya demi melihat Sugangga masih tersenyum
sambil cibirkan
bibirnya. Kedua murid dan guru kini telah sama-
sama berdiri, sama-sama menggambarkan wajah
ketegangan. Mata keduanya tajam, seakan tak
seorang pun yang mau mengalah untuk menyu-
dahi segala perselisihan. Sugangga yang merasa
dirinya telah mampu dan menjadi seorang pende-
kar, kini seperti merendahkan gurunya yang telah
selama lima belas tahun membimbing dan mendi-
diknya. "Kau yang harus minggat!" balik memben-
tak Sugangga. "Apa hakmu, Anak Iblis!"
"Hua, ha, ha...! Bukankah padepokan ini
kedua orang tuaku yang mendirikan" Dan bu-
kankah engkau datang dari Andalas tanpa mem-
bawa selembar bekal pun!" Sugangga benar-benar sudah dirasuki Iblis. "Kalau
engkau tidak minggat secepatnya, maka jangan salahkan aku menu-runkan tangan
jahatku!" Gusar dan marahnya sang guru mendengar
ucapan muridnya yang telah dirasa kurang ajar.
Ia sebagai seorang guru, apalagi sebagai orang
tua jelas tidak mau diperlakukan begitu rupa,
yang dirasakan telah menginjak-injak kehorma-
tannya sekaligus harga dirinya
"Kalau aku tak mau, kau mau apa, Murid
durhaka!" Sugangga tersenyum sinis, lalu dengan
membalikkan tubuh ia berkata: "Kematian un-
tukmu, Tua bangka rewel!"
Tersentak sang guru, manakala Sugangga
mencabut pedang yang tergantung di dinding pa-
depokan. Pedang Dewa Naga milik sang guru yang
merupakan pedang pusaka itu, kini tengah diti-
mang-timang di atas tangan Sugangga.
"Kau...!"
"Ya! Kau boleh milih, menurut dengan aku,
atau selembar nyawamu harus melayang dari tu-
buh tuamu yang telah bau tanah!"
Sang guru melompat mundur, ketika Pe-
dang Pusaka Dewa Naga diacungkan ke arahnya.
Matanya nampak membeliak, sepertinya mata tua
tersebut menyiratkan rasa takut yang teramat
sangat. Bayang-bayang kematian akibat Pedang
Dewa kembali menggambar di pelupuk matanya.
Pedang Dewa itu, kalau sudah keluar dari sarung-
nya, mau tidak mau harus mengambil nyawa.
Sang guru terus menyurut mundur, di telinganya
terdengar seruan seseorang yang jelas-jelas ia
kenal. Suara itu seperti mengejeknya, suara itu
Pedang Siluman Darah 24 Misteri Si Cadar Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adalah suara Daeng Susukan, seorang Daeng ali-
ran lurus yang dibunuhnya manakala dirinya ma-
sih dalam kesesatan.
"Dato Pramunu, bukankah pembalasan itu
akhirnya datang juga" Beruntung kini engkau te-
lah lurus, kalau tidak. Pastilah engkau akan men-
jadi orang celaka di alam sana. Alam di mana kini
aku pun berada. Terimalah segalanya, Dato. Se-
bab memang segalanya berjalan dengan semes-
tinya, sebagaimana aku menerima kematianku di
ujung Pedang Dewa Naga milikmu."
Dato Pramunu nampak masih ketakutan,
mundur setapak demi setapak menjauhi pedang
tersebut. Dan manakala ia hampir sampai di pin-
tu, dengan segara Dato Pramunu melompatkan
diri berlari ke luar.
Namun ternyata Sugangga tak mau mem-
biarkannya begitu saja. Maka Sugangga pun sege-
ra melompat mengejar. Kejar mengejar antara
guru dan murid pun terjadi, meninggalkan pade-
pokan. "Mau lari ke mana, kau!" Sugangga dengan pedang Dewa Naga di tangannya
terus mengejar.
"Ke mana pun engkau lari, aku akan terus mem-
burumu!" Dato Pramunu terus saja berlari tanpa hi-
raukan ucapan Sugangga. Karena ia tak melihat
ke depan, maka manakala sebuah batu besar ada
di depannya, tanpa dapat dicegah menyandung
kakinya yang tengah berlari. Saat itu juga, tubuh
tua renta milik Dato Pramunu jatuh.
"Gedebug...!"'
"Hua, ha, ha...! Kini kematian sudah di
ambang pintu, Tua bangka!" Sugangga tertawa
bergelak. Pedang pusaka Dewa Naga menggan-
tung di kedua tangannya, siap menghunjam pada
tubuh Dato Pramunu. Namun pedang itu terus
menggantung, seakan ada sesuatu kebimbangan
di hati Sugangga.
"Jangan lakukan itu, Gangga. Kau berdosa
bila melakukannya, sebab dia adalah gurumu,"
sebuah suara berkata melarang Sugangga agar
jangan melakukan pembunuhan pada gurunya.
"Ingat, Gangga, segala tindakan pasti ada bala-sannya."
"Bodoh! Bila engkau tidak melakukannya,
pastilah niatmu akan selalu dihalanginya. Dia
manusia tiada guna bagimu. Dia hanya akan me-
repotkanmu saja. Bunuh dia... bunuh, Gangga!"
suara lain menggema menyeretnya. Dan...!
"Wuuut...!"
Desingan pedang terseret tangan mengge-
ma, menjadikan Dato Pramunu palingkan muka
menghadap. Seketika matanya mendelik, mana-
kala pedang tersebut deras menghunjam ke
punggungnya. "Aaah...!" memekik seketika Dato Pramunu.
"Kau... kau... kau tak... lebihnya Iblis! Kau... nanti... pun... mati oleh...
pe... dang... ini...." terkulai lemas tubuh Dato Pramunu, mati seketika.
Tersentak Sugangga manakala sadar, seke-
tika itu pula ia menjerit: "Guru...! Guru...! Ampunilah aku, Guru. Ampunilah
aku...!" Dicabutnya pedang pusaka Dewa Naga, la-
lu dengan terisak Sugangga menangisi tubuh gu-
runya yang telah kaku. Tengah ia menangis,
sayup-sayup terdengar suara gurunya yang diba-
rengi munculnya asma sang guru berkata kemba-
li. "Gangga, aku telah bebas dari segala ikatan
kehidupan. Tapi ternyata semuanya berlaku ha-
rus sebagaimana suratan yang telah tergaris. Du-
lu aku pun telah membunuh seorang Daeng den-
gan pedang tersebut yang ada di tanganmu, dan
aku telah menerimanya. Kelak bila kau memang
menghadapi Pendekar Pedang Siluman Darah,
mukamu akan rusak oleh hantaman ajiannya
yang bernama Petir Sewu. Ingat itu, Gangga! Mu-
kamu akan rusak oleh ajian miliknya, tetapi kau
tak akan mati. Kau akan mati bila engkau telah
bertemu dengan Pendekar Pedang Siluman Darah
untuk yang kedua kalinya. Walau mukamu rusak
dan mengeluarkan darah, sehingga engkau akan
malu, tapi kau tak akan mati. Darah itu tak akan
kering, selalu menetes...! Ingat! Aku menunggumu
untuk saling mengadakan perhitungan denganmu
di alam kelanggengan!"
"Guru...!" Sugangga memekik, namun
bayangan gurunya yaitu Dato Pramunu telah le-
nyap menghilang. "Tidak...! Aku tidak mau menerimanya, aku tidak mau...!"
Bagaikan orang gila, Sugangga berlari den-
gan tangan menggenggam pedang Pusaka Naga
Dewa. Sugangga seperti terpukul mendengar ku-
tukan gurunya yang telah mati. Ia menjerit, dan
terus berlari mencoba melupakannya. Namun
sungguh malang, sebab semakin Sugangga beru-
saha melupakan, semakin deras saja kutukan itu
berbicara. *** 5 "Hiat...!"
"Hiat...!"
Dari balik bebatuan yang mengitari jalan di
mana saat itu Jaka Ndableg berjalan, melompat
beberapa orang menghadang langkahnya. Wajah
orang-orang tersebut rapat tertutup oleh topeng,
dan hanya matanya saja yang nampak.
Jaka sapukan mata, memandang satu per-
satu ke arah mereka. Setelah memandang orang-
orang yang menghadangnya, Jaka pun tampak
sunggingkan senyum. Perlahan kakinya digeser
ke belakang, sedangkan tangan kanannya telah
terkepal siap untuk menghadapi apa yang bakal
terjadi. Jaka maklum. Sebaik apa pun dirinya,
tentulah banyak pula orang yang tidak suka.
"Kaukah yang bernama Jaka Ndableg?"
terdengar seorang berkedok hitam menanya.
"Ya! Memang akulah orangnya," jawab Jaka masih berusaha tenang. Perlahan kakinya
terus bergeser ke belakang, menjadikan orang-orang
tersebut mengikuti langkahnya. "Siapa kalian semua!" "Kami...?" orang berkedok
hitam kembali angkat bicara. "Kami adalah orang-orang yang diutus oleh seseorang
untuk menghadangmu agar
jangan sampai engkau menemukan di mana
adanya Wujud Raga berada."
"Hem, kalau begitu kalian tentunya anak
buah Wujud Raga"!"
"Tepat dugaanmu, Jaka."
"Aku tak memerlukan kalian, tetapi yang
aku perlukan adalah ketua kalian."
"Sama saja," yang angkat bicara kedok merah. "Ketua kami telah menyuruh kami
untuk menangkapmu, hidup atau mati."
"Begitu?" tanya Jaka sinis.
"Ya!" jawab kedok merah. "Apakah kau telah siap?"
"Wuah! Lagakmu seperti seorang pendekar
saja. Seharusnya akulah yang bertanya, apakah
kalian telah mampu untuk melakukan penangka-
pan terhadap diriku" Aku yakin, kalian akan me-
rasakan bagaimana sulitnya bila kalian harus
menangkap kodok bangkong dengan mata tertu-
tup sebelah."
"Sombong kau, Anak muda!" bentak Kedok
Hitam. "Aku tidak sombong, dan tidak ingin mengaku-aku sombong. Aku hanya
berkata apa adanya." Jaka berkilah menggoda, menjadikan
kesepuluh orang berkedok warna warni sesuai
dengan pakaian mereka nampak menggeretak pe-
nuh kemarahan. "Jangan menyesal nantinya, Jaka!" kembali Kedok Hitam membentak. "Lebih baik kau
menyerah saja, biar kami tidak kelewat telengas menu-
runkan tangan padamu, Jaka."
"Heh, apakah kalian mengira diri kalian
seorang raja, yang segala aturannya harus aku
turuti?" Jaka menyibir. "Aku sekali lagi katakan, aku tak memerlukan kalian,
tetapi aku memerlukan ketua kalian! Suruh dia keluar!"
"Ketua kami tidak ada!"
"Wah! Kalian ternyata pengikut setia Wujud
Raga! Sayang!" Jaka berkata bagaikan tak menga-rah pada mereka. Ucapannya
seperti tak menen-
tu, menyimpang dari hal sebenarnya yang tengah
mereka hadapi. "Sayang! Mengapa kesetiaan ka-
lian bukan pada tempatnya?"
"Bedebah! Kami tidak butuh kotbahmu,
Jaka!" Kedok Hitam membentak marah. "Sekarang kau mau menuruti kami, atau
terpaksa kami melakukan kekerasan."
Jaka terdiam, sepertinya tengah berpikir
sesuatu. Matanya masih memandang tajam pada
kesepuluh orang berkedok yang kini berdiri
menghadangnya. Sekali kakinya bergeser, sekali
itu tampak goresan bekas kakinya. Semua orang
berkedok itu seketika tersentak, manakala meli-
hat goresan kaki Jaka. Ternyata goresan kaki itu
bukan goresan kaki selayaknya, tetapi goresan
yang menjadikan sebuah tulisan.
"Kalian pergilah, jangan sampai kalian
menjadi korban orang yang kini mengintai! Kalian
tahu, bahwa orang tersebut mengintai kalian di
atas sana!" begitulah bunyi tulisan yang digores oleh kaki Jaka.
Mata kesepuluh orang berkedok seketika
melotot kaget, manakala melihat tulisan itu. Mata
mereka kemudian beralih memandang pada Jaka,
sepertinya hendak meminta kepastian bahwa Ja-
ka menulis hal tersebut bukanlah untuk bercan-
da. Jaka terus menyurut mundur. Kakinya
kembali menggores pasir hingga menjadi tulisan
kembali. "Kalian lihatlah ke atas sana, pasti kalian akan melihat seorang lelaki
dengan mata be-
ringas penuh dendam memandang ke mari."
"Kau jangan bercanda, Jaka"!" Kedok Hi-
tam nampak tak puas dengan segala apa yang di-
lakukan oleh Jaka. "Kalau ternyata kau telah me-nipuku, jangan harap kau akan
dapat lolos!"
Jaka nampak tersenyum, hatinya seketika
berkata: "Hem, sebenarnya aku tidak memerlukan mereka. Aku tahu, mereka
sebenarnya hanyalah
utusan belaka. Hem, biarlah aku pergi."
Dan manakala kesepuluh orang yang
menghadangnya menengadahkan muka meman-
dang ke arah di mana tertulis oleh Jaka, secepat
kilat Jaka berkelebat laksana terbang.
"Tak ada...!" rungut Kedok Merah.
"Mana dia..."!" Kedok Hitam seketika tersentak, demi melihat Jaka sudah tak ada
di situ. "Heh, apakah kalian tidak mengetahui ke mana ia pergi?" "Aneh! Baru sekejap saja
kita lengah, masak dengan cepat dia bisa berlari?" Kedok Biru melenguh. Ia
sangat takjub mendapatkan kenyataan itu. "Hem, sungguh bukan pendekar semba-
rangan. Kalau dia mau, dia akan mudah menja-
tuhkan kami," gumam Kedok Biru dalam hati.
"Cari dia...!" Kedok Hitam selaku ketuanya berseru memerintah. Namun belum juga
kesembilan anak buahnya pergi, terdengar suara Jaka
tergelak tawa. "Hua, ha, ha...! Bukankah itu suatu bukti
bahwa kalian tak mampu menangkapku" Bukan-
kah kalian ibarat menangkap kodok bangkong
yang sudah ada di depan kalian, eh kalian meme-
jamkan mata. Nah, karena aku tak ada waktu un-
tuk mengurusi kalian, maka untuk kali ini aku
pergi dulu. Kalau kalian memang penasaran, ka-
lian boleh mencariku...!"
"Jaka, jangan kau lari!" Kedok Hitam berseru. "Mana buktimu sebagai seorang
pendekar yang kesohor namanya" Mana..."!"
Tak ada jawaban, yang ada hanya hembu-
san angin gunung menerpa suara mereka yang
seketika itu lenyap.
* * * Jaka terus berlari meninggalkan gunung
Bromo, di mana kesepuluh orang berkedok baru
saja menghadangnya. Langkahnya begitu cepat,
sehingga Jaka kini melesat bagaikan terbang. Ja-
ka yang telah memburu waktu agar dapat segera
menemukan markas Karang Segara tampak ba-
gaikan tak menghiraukan segalanya.
"Aku harus cepat menemukan markas me-
reka!" Jaka menggeretak dalam hati. "Kalau tidak, tentunya mereka akan makin
menjadi-jadi tinda-kannya."
Tengah Jaka berlari dengan cepatnya hing-
ga tak hiraukan sekeliling, tiba-tiba seseorang
tampak berjalan dengan tenangnya setujuan den-
gan Jaka. Jaka tak perduli, malah kini makin di-
percepatnya langkah kakinya.
"Maaf, aku terpaksa," sapa Jaka manakala melintasi orang tersebut.
"Hei, siapa kau"!" orang yang tersentak kaget karena Jaka nyelonong begitu saja
bertanya seraya kelitkan tubuh menghindari tabrakan den-
gan Jaka. "Siapakah engkau adanya?"
Melihat Jaka tak menjawab, segera orang
tersebut yang tidak lain Sugangga adanya tak
mau tinggal diam. Dengan berlari mengandalkan
ilmu meringankan tubuhnya, Sugangga berusaha
Pedang Siluman Darah 24 Misteri Si Cadar Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengejar orang yang berlari.
"Berhenti! Berhenti kau!" Sugangga berteriak-teriak.
Merasa ada seseorang yang berseru me-
manggilnya, Jaka lambatkan larinya. Tak lama
kemudian, Sugangga yang mengejarnya mampu
menyusul. "Ada apakah Ki Sanak berteriak-teriak?"
tanya Jaka masih memalingkan mukanya ke tu-
juan semula. "Apakah Ki Sanak memanggil diri-
ku?" Sugangga yang belum tahu bagaimana
adanya rupa Jaka Ndableg, nampak senyum-
senyum. Kakinya melangkah, berputar dan
menghadang tubuh Jaka.
"Ki Sanak, larimu begitu cepat. Aku jadi
kagum dengan ilmu lari yang engkau miliki," Su-
gangga memuji, menjadikan Jaka Ndableg geleng-
kan kepala sembari tersenyum. "Kalau boleh aku bertanya" Dapatkah Ki Sanak
menunjukkan di mana aku dapat menemui Jaka Ndableg?"
Jaka tak segera menjawab, matanya me-
mandang penuh selidik pada Sugangga. Bibir Ja-
ka seketika terurai senyum, sepertinya ada sesua-
tu di balik uraian senyum tersebut.
"Siapakah adanya engkau, Ki Sanak" Dan
ada keperluan apakah engkau hendak mencari
pendekar muda itu?" Jaka bertanya, sepertinya ia tak mengenali diri. Hal itu
menjadikan Sugangga
yang memang belum tahu persis wajah Jaka, se-
ketika itu kembali berkata menerangkan.
"Aku Sugangga. Aku mencari Jaka- Ndab-
leg karena ia telah membunuh kedua orang tua-
ku." "Siapakah kedua orang tuamu, Ki Sanak?"
Jaka kembali bertanya, menjadikan Sugangga ke-
rutkan kening ditanya begitu rupa oleh Jaka.
"Siapa engkau sebenarnya?" tanya Sugang-
ga, kaget mendengar pertanyaan Jaka yang me-
nanyakan nama orang tuanya. "Apakah engkau
yang bernama Jaka?"
Jaka Ndableg sudah dapat membaca gela-
gat. Kini ia tahu siapa adanya Sugangga setelah
sekian lama ia tercenung mengingat-ingat keja-
dian-kejadian yang telah ia alami. "Hem, tak salah. Pemuda ini mungkin anaknya
orang India itu. Ya, wajahnya mirip orang keturunan India
yang aku kubur hidup-hidup saat menjadi Buto
Ijo," gumam Jaka dalam hati. Matanya terus me-
mandang tajam dengan penuh kepastian meman-
dang ke arah Sugangga.
"Kalau kau memang orang yang aku cari,
sungguh kebetulan."
Jaka masih tersenyum tenang, lalu dengan
suara pelan ia pun berkata. "Apa yang sebenarnya menjadi tujuanmu mencariku, Ki
Sanak?" "Jadi kaukah yang bernama Jaka Ndab-
leg?" "Ya! Itu namaku."
"Kalau begitu kau harus mampus. Hiat...!"
Tersentak Jaka seketika, manakala dengan
cepat Sugangga tanpa menerangkan duduk per-
soalannya langsung menyerangnya. Jaka segera
melompat mundur, berkelit dengan tubuh ber-
jumpalitan. Dan dengan berusaha menangkis se-
rangan yang dilancarkan Sugangga, Jaka terus
berusaha menyadarkan musuhnya. "Ki Sanak,
apa kesalahan yang pernah aku alami hingga
engkau begitu bernafsu menghendaki nyawaku?"
"Bangsat! Masih kau ingin mungkir!" Su-
gangga menggeretak marah. Dan dengan mengge-
ram, kembali Sugangga hantamkan tangannya
menyerang dengan jurus Pusaran Air Toba.
"Wuut! Wuuut! Wuuut!"
"Eit! Sungguh bahaya seranganmu, Ki Sa-
nak! Apakah tidak sebaiknya engkau lakukan la-
tihan lagi di Danau Toba?" Jaka berseloroh dengan terus berusaha menangkis
pukulan Pusaran
Air Toba yang dilancarkan Sugangga. "Kurang cepat menggerakannya, Ki Sanak.
Jurus Pusaran Air Toba, harus dilakukan dengan ketenangan ba-
tin. Kalau engkau melakukannya setengah-
setengah, niscaya engkau sendiri yang akan cela-
ka." "Monyet! Jangan banyak bacot!" bentak Sugangga marah, ia merasa jurusnya
telah dipa-hami benar oleh Jaka. Hatinya ragu untuk terus
menyerang, bertanya-tanya tak mengerti, "Dari mana ia tahu nama jurusku?"
"Kau rupanya kaget, Sugangga. Wah, sung-
guh kau telah ketinggalan jaman. Jurus Tahi Ko-
tok engkau masih gunakan. Bukankah engkau
pelajari dari Dato Pramunu, kakak Datuk Raja
Beracun?" Makin kaget saja Sugangga mendengar
penjelasan Jaka yang menguraikan siapa-siapa
pemilik jurus silatnya. Segera Sugangga rubah ju-
rusnya, setelah terlebih dahulu melompat ke be-
lakang. Dengan didahului memekik keras, Su-
gangga kembali menyerang Jaka yang masih be-
rusaha menghindar belaka, tak sekali pun Jaka
berusaha membalas menyerang.
"Mampus kau, Monyet?" Sugangga han-
tamkan pukulan ke arah dada Jaka. Namun ba-
gaikan menghantam angin belaka, Sugangga ter-
huyung ke muka. Tanpa dapat dicegah, tubuh
Sugangga seketika itu terjerembab.
"Hua, ha, ha...! Mengapa engkau memakai
sepatu yang telah licin, Gangga"!" Jaka bergelak meledek. "Itulah akibatnya kau
tak mau ganti-ganti sepatumu. Wah, sayang sekali. Bukankah
kau anak orang berada" Ya, walau kedua orang
tuamu mendapatkan segala kekayaan dengan ja-
lan pintas."
"Bangsat!" Sugangga yang terjatuh men-
cium tanah segera bangkit dengan segala amarah.
Hatinya meledak-ledak mendengar ucapan Jaka
yang telah membuka rahasia siapa adanya kedua
orang tuanya. "Kubunuh kau, Anak edan!"
"Wah, galak banget...?" kendablegan Jaka mulai kumat. "Eh, bukankah kau sendiri
yang edan" Kalau kau tak edan, manalah mungkin te-
ga menjerumuskan kedua orang tuanya?"
Makin tersentak kaget saja Sugangga men-
dengar ucapan Jaka yang dirasakan benar
adanya. Memang dialah yang menjerumuskan ke-
dua orang tuanya, sehingga kedua orang tuanya
akhirnya nyupang bersekutu dengan Raja Bergo-
la. Dan sebagai perjanjianya, maka adiknyalah
yang menjadi korban.
"Kau terdiam, bukan" Rupanya kau tengah
menyesali diri."
"Bangsat! Jangan kira aku mau mengalah
padamu," Sugangga yang benar-benar sudah di-
landa amarah nampak kalap. Dengan segera di-
cabutnya Pedang Naga Dewa dari sarungnya. Kini
Sugangga benar-benar sudah kalap, lupa pada
apa yang telah dijadikan kutuk oleh gurunya se-
belum mati. Kutukan gurunya berlaku dua kali,
yang pertama dia akan menerima azab sengsara
dengan muka rusak dan darah yang tak akan ke-
ring selamanya. Kutukan yang kedua, dia baru
akan mati setelah menderita azab tersebut sekian
lama. Dan dia akan mati oleh Pedang Naga Dewa.
Jaka tersentak kaget, lemparkan tubuh ke
belakang manakala Sugangga telah berkelebat
dengan pedang pusaka tersebut. Jaka telah tahu
kehebatan pedang pusaka milik Dato Pramunu.
Namun ia tak ada kesempatan untuk berpikir la-
gi, sebab Sugangga telah mencercanya terus me-
nerus dengan pedang tersebut. Yang dapat dila-
kukan Jaka hanyalah berkelit dan berkelit dari
sabetan dan tusukan pedang.
"Wadauw...! Mengapa engkau main-main
dengan pedang pusaka itu, Sugangga?" Jaka wa-
lau dalam keadaan terdesak masih terus meledek
dengan ucapannya yang konyol. "Aku harap, sim-panlah pedang itu."
"Kau rupanya takut, Anak sinting"!"
Sugangga yang menyangka Jaka benar-
benar takut dengan Pedang Naga Dewa, terus
mencerca. Sedikit demi sedikit Jaka terdesak ke
belakang. Kakinya terseret, seakan hendak mem-
buat sebuah lompatan seketika dilihatnya jurang
hanya beberapa tombak lagi di belakangnya.
"Hua, ha ha...! Akhirnya kau harus mati di
sini, Jaka!" bergelak Sugangga menyombong, merasa bahwa dirinya telah mampu
mendesak pen- dekar yang namanya kondang. "Akhir segala ke-
jayaanmu, mati dalam jurang atau di ujung pe-
dangku ini."
Jaka tersenyum sinis mendengar ucapan
sombong Sugangga. Hatinya kini dihadapkan pa-
da dua pilihan. Mengalah, atau melawan dengan
ajiannya. "Hem, bagaimana aku ini" Haruskah
tanganku terkotori darah lagi" Darah seorang
pemuda yang mendendamku karena aku telah
membunuh kedua orang tuanya yang telah ber-
buat dosa pada sesamanya juga pada Tuhan" Ke-
napa orang-orang selalu mementingkan diri me-
reka sendiri?"
Tengah Jaka terdiam bimbang, tiba-tiba
terdengar suara halus berkata yang sebenarnya
ditujukan pada Sugangga. Seketika itu Sugangga
nampak pucat ketakutan, seakan suara itu ada-
lah suara seorang Malaikat. "Gangga, kutukku
yang pertama akan berjalan. Kau akan mengala-
minya sebentar lagi. Kau akan mengalaminya...
kau akan mengalaminya, Gangga!"
Entah perasaan apa dan tenaga apa yang
bersarang, tiba-tiba Jaka yang tadinya sudah ter-
desak memekik dengan ajiannya Petir Sewu.
"Petir Sewu. Hiat...!"
"Tidak...!"
Bersamaan dengan jeritan Sugangga, seke-
tika petir membahana ke luar dari telapak tangan
Jaka Ndableg. "Duar! Bletar! Bletar! Bletar!"
"Aaah...!" Sugangga menjerit, berlari sambil menutupi mukanya yang terhantam
oleh petir"
ciptaan Jaka Ndableg. Darah mengucur deras dari
wajahnya. Sesaat Sugangga berbalik memandang
ke arah Jaka. Dan manakala mukanya dibuka,
saat itu juga Jaka melompat mundur kaget. Muka
Sugangga sangat mengerikan, brodal-bradil den-
gan darah yang terus menetes.
"Kau...! Tunggulah pembalasanku, Jaka!"
"Itu sudah nasibmu, Gangga?" terdengar
suara Dato Pramunu penuh ejekan. "Itulah kutu-
kanku! Kutukan seorang guru yang telah engkau
khianati!"
"Aku tak perduli! Aku tak percaya dengan
ucapanmu, Iblis!" Sugangga memaki-maki pada
suara gurunya, yang kemudian terdengar berge-
lak tawa. "Hua, ha, ha...! Betapa pedihnya, Gangga.
Pedih, bukan?"
"Bangsat! Tunjukkan dirimu, Pramunu!
Tunjukkan!" Sugangga terus memekik penuh
amarah, sepertinya ia tak sadar lagi dengan sakit
yang dideritanya. Bayangan Dato Pramunu kini
melekat pada diri Jaka Ndableg, sehingga dengan
penuh marah Sugangga dengan Pedang Naga De-
wanya berkelebat menyerang diikuti dengan peki-
kan yang membahana.
"Kubunuh kau dua-duanya, Bangsat!
Hiat...!" Jaka tersentak kaget, secepat kilat ia pun
berkelebat menghindar. Hal itu menjadikan Su-
gangga yang kesetanan tak mampu menghentikan
laju larinya. Tanpa ampun, tubuh Sugangga pun
dengan deras terjun ke dalam jurang. "Aaah...!"
"Tragis," lenguh Jaka.
Sesaat Jaka. pandangi bawah jurang yang
gelap, pekat bagaikan tak berpenghuni. Setelah
dirasa tak bakalan dia mampu melihat ke dalam
jurang, segera Jaka pun tinggalkan tempat itu
untuk kembali menemui Wujud Raga yang telah
membuat kerusuhan. Tugasnya hanya satu, me-
nangkap hidup atau mati Wujud Raga ketua ge-
rombolan Karang Segara.
6 "Wujud Raga, keluar kau!"
Wujud Raga yang saat itu tengah berkum-
pul dengan kesepuluh anak buahnya juga seo-
rang putrinya tersentak demi mendengar seruan
seseorang yang berada di luar rumahnya. Mata
mereka seketika saling pandang, lalu segera kese-
puluh orang yang dikenal dengan Kedok Berwar-
na berkelebat menuju ke luar diikuti oleh anak
Wujud Raga. "Bujur buset! Rupanya kalian juga telah
ada di sini," pemuda itu sunggingkan senyum, menjadikan gadis putri Wujud Raga
tersipu malu. "Jaka, ternyata kau datang juga," Kedok
Hitam silangkan tangan ke depan dada. "Sungguh kebetulan. Apakah engkau datang
ke mari hanya sekedar menyerahkan diri?"
"Enak saja kalian ngomong," Jaka masih
Pedang Siluman Darah 24 Misteri Si Cadar Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cengengesan. "Mana ketua kalian. Suruh dia keluar!" "Ayah tak ada!" gadis itu
angkat bicara. "Oh, rupanya kau putri Wujud Raga. Nona,
kau janganlah berdusta. Kau anak manis, se-
layaknya kau harus manis pula dalam bertutur
kata. Anak manis tak boleh berbohong."
"Cuih! Rayuan gombal!"
"Eh, aku tidak merayumu, Nona. Untuk
apa aku mesti merayu-rayu kamu?" Jaka sewot
juga dihina seperti itu oleh anak Wujud Raga.
"Kalau aku mau, banyak wanita cantik melebihi
dirimu yang mencintaiku."
"Tak sudi!" balik si gadis sewot.
"Wuah, galak amat," Jaka masih konyol
berkelakar. "Eh, kalian sepuluh Kedok Butut!
Apakah kalian masih tetap berusaha menyembu-
nyikan ketua kalian?"
"Apa yang engkau mau, Jaka"!" Kedok Hi-
tam kembali angkat bicara. "Kami sebagai wakilnya, maka selayaknyalah kau mau
berterus te- rang pada kami mengapa engkau memburu ke-
tua." Jaka garuk-garuk kepalanya yang tak gat-al. Sebenarnya hal itu sengaja ia
lakukan untuk mengganggu si gadis yang nampaknya melototkan
mata marah. Namun di balik kemarahan si gadis,
nampak jelas tersembunyi sebuah perasaan yang
dalam. Perasaan layaknya seorang gadis yang
menginjak masa puber pertama.
"Waduh! Karena nona, aku jadi lupa. Eh,
tadi kalian ngomong apa padaku, Kedok Butut?"
Jaka masih berlaku ndableg.
Kalau orang lain yang belum tahu siapa
adanya Jaka, tentulah mereka akan marah dikata
Kedok Butut. Tetapi kesepuluh Kedok Berwarna
merupakan orang-orang persilatan yang bukan
kelas kroco. "Jaka, kalau kau ingin menemui ketua,
maka kau harus berhadapan dengan pagarnya
dulu." Jaka kembali garuk kepala, sepertinya tengah memikirkan jalan keluar.
Sebenarnya bisa sa-
ja Jaka menjatuhkan kesebelas orang yang berdiri
di hadapannya, namun semua tidak ia lakukan.
Ia tahu bahwa sebenarnya kesepuluh Kedok Ber-
warna tak tahu menahu masalahnya. "Setan! Wu-
jud Raga memang benar-benar setan!" gerutu hati Jaka sewot. Bagaimanapun, Jaka
tahu bahwa Wujud Raga telah memberikan berita-berita bo-
hong pada Kesepuluh Pendekar Kedok Berwarna,
sehingga kesepuluh pendekar itu mau saja dijadi-
kan umpan. "Saudara-saudara, Sepuluh Kedok Butut,
aku mengharapkan kalian mau sadar. Kalian
hanya terpedaya hasutan Wujud Raga."
"Wuah! Makin ngelantur saja omongan bo-
cah ini, Kakang," Kedok Kuning yang tadi diam ikut bicara.
"Benar! Anak ndableg ini ngelantur! Mung-
kin dia hendak mencari jalan lagi untuk mengela-
bui kita. Hem, jangan harap!" bisik Kedok Hitam.
"Kita serang, mulai!"
Dengan segera kesepuluh Pendekar Kedok
Berwarna bergerak mengurung Jaka. Tersentak
Jaka Ndableg, digaruknya kepala sembari meng-
geleng. "Wuah, rupanya kalian mau main petak ji-dor! Baik, mari kita mulai."
Jaka segera gunakan ilmu meringankan
tubuhnya, berkelebat-kelebat laksana burung.
Sementara kesepuluh Pendekar Berkedok itu tak
mau tinggal diam, segera mereka pun merang-
seknya. Maka dalam sekejap saja, mereka segera
terlibat pertarungan.
"Wah, jurus kalian terlalu lemah!"
"Kau semakin sombong, Jaka!" Kedok Hi-
tam menggeram, lalu dengan cepat tangannya
mencengkeram ke arah Jaka. Diserang begitu,
Jaka segera putar tubuh menjadi gasing.
"Aku ingin melihat sampai di mana kau
bertahan, Jaka!" seru Kedok Merah.
Jaka terus berputar cepat, lalu tanpa se-
pengetahuan pengeroyoknya Jaka telah berkele-
bat terbang. Terbengong seketika kesepuluh pen-
geroyoknya, manakala melihat Jaka tiba-tiba te-
lah berada di atas genting rumah.
"Nah, akhirnya aku mampu lolos dari ka-
lian. Aku akan segera mengurusi pimpinan ka-
lian, lalu kita pun berpisah." Jaka segera melorot masuk, membongkar beberapa
genting dengan paksa. Tersentak seorang tua berjanggut panjang
hitam, yang duduk membelakangi Jaka. Namun
manakala Jaka hendak melangkah menuju ke
orang tersebut, tiba-tiba selarik sinar keluar dari tangan orang yang
membelakanginya.
"Bangsat! Rupanya kau hendak mencela-
kakanku, Wujud!"Jaka menggeretak marah, lem-
parkan tubuhnya ke udara menghindari serangan
gelap tersebut.
"Dalam keadaan apapun, semua boleh di-
lakukan, bukan?" terdengar suara orang tua itu berkata. "Kau adalah musuhku,
maka akupun akan berusaha menjatuhkanmu."
"Aku hanya menjalankan tugas?" Jaka
membentak marah. "Kalau kau mau aku tangkap,
maka hukumanmu akan ringan, Wujud!"
"Hua, ha, ha,..! Sama saja, Jaka!" Wujud Raga kembali hantamkan pukulannya.
"Wuuuus...!"
"Duar...!"
Beruntung Jaka segera melompat ke samp-
ing. Kalau tidak, tentunya tubuhnyalah yang
mengalami kehancuran seperti apa yang terjadi
pada betonan rumah tersebut.
"Edan! Kau rupanya memaksaku, Wujud!"
Jaka benar-benar menggeretak marah. "Jangan
salahkan akhirnya aku menghajarmu!"
"Lakukan bila kau berani, Jaka!" Wujud
Raga menantang. "Dengan kau menggunakan
ajianmu, maka kau tak akan mendapatkan tu-
buhku yang utuh! Kau akan kehilangan peta ter-
sebut." Jaka mikir, seakan benar apa yang dikatakan oleh Wujud Raga. Kalau
dirinya mengguna-
kan ajian, maka tak ayal lagi peta yang dicuri Wu-
jud Raga akan turut lebur bersama tubuh Wujud
Raga. "Tapi, aku tidak yakin kalau Wujud Raga menyimpan peta tersebut dalam
bajunya." Jaka
membatin, bimbang harus bagaimana.
Belum juga Jaka mampu berbuat, tiba-tiba
dari luar berkelebat sepuluh orang berkedok ba-
reng menyerangnya. Kini tak ada jalan lain untuk
Jaka meloloskan diri. Jalan satu-satunya meng-
hadang serangan mereka.
"Menyerahlah, Jaka!"
"Jangan kalian bermimpi! Hiat...!"
Jaka Ndableg dengan segera melompat me-
nyerang kesepuluh orang berkedok. Kesepuluh
orang tersebut tersentak kaget, sebab mereka te-
lah tahu apa yang kini dikeluarkan oleh Jaka. Ja-
ka Ndableg dengan tidak sungkan-sungkan men-
geluarkan jurus Elang Mematok Cobra yang dipe-
lajari dari pertarungan burung elang dengan co-
bra yang ia pelajari secara tidak sengaja.
"Wuut...!" Angin pukulannya menderu.
"Awas...!" Kedok Hitam menjerit, mempe-
ringatkan pada kesembilan rekannya, yang den-
gan segera melompat menghindar. Pukulan yang
dilontarkan Jaka terus menderu, menghantam
betonan tiang penyangga. Tak ayal lagi, tembok
betonan penyangga itu pun hancur berantakan.
Pertarungan terus berjalan, nampaknya
Jaka sudah tidak mau main-main lagi. Jaka terus
mencerca mereka, menjadikan kesepuluh orang
berkedok itu benar-benar dibuat kalang kabut.
"Lebih baik kalian menyingkirlah!" Jaka
kembali memperingatkan. "Kalian keluarlah, dan biarkan pencuri ini sendiri."
Wujud Raga seketika bergelak tawa demi
mendengar ucapan Jaka. "Hua, ha, ha...! Jangan kira aku takut menghadapimu,
Jaka! Ayo kita buktikan." Setelah berkata begitu, secepat kilat Wujud Raga kembali hantamkan
pukulannya. Mau tak mau Jaka pun harus berusaha
menghindari serangan yang dilancarkan berba-
rengan tersebut. Dua belas larikan sinar warna
warni berkelebat terarah ke arahnya. Tersentak
Jaka, lalu dengan sedapat mungkin tubuhnya
menjebol genteng rumah tersebut.
"Mau lari ke mana, Jaka!" Wujud Raga dan kesebelas anak buahnya termasuk anaknya
segera memburu ke luar. "Kemanapun kau lari, jelas kau masih dalam kandang
kami!" "Aku tidak lari, Wujud! Aku hanya me-
nyayangkan rumahmu yang dapat jebol!" Jaka balik berseru. "Aku menunggu kalian
di luar!" Dua belas orang musuhnya terus berham-
buran ke luar. Namun sebelum semuanya sam-
pai, Jaka telah mendahuluinya dengan hantaman
Dewa Topan Melanda Karang.
"Wuuut...!"
Angin pukulan yang dilontarkan Jaka
menderu, menjadikan kedua belas orang tersebut
seketika lemparkan tubuh masing-masing untuk
menghindari kalau memang tidak menghendaki
tubuhnya mental terbawa hempasan angin.
"Bedebah! Rupanya kau curang, Jaka!"
menggeretak Wujud Raga marah. Segera ia papaki
serangan Jaka dengan ajiannya, Bayu Pitu.
"Wuuut...!"
"Duar...!" terdengar ledakan, manakala dua kekuatan bertemu dan saling
menggempur. "Bagaimana, Jaka" Apakah engkau masih
bersikeras?" Wujud Raga cibirkan senyum. Ia merasa bahwa dirinya telah mampu
mengimbangi ilmu yang dimiliki oleh Jaka, seorang pendekar
yang namanya telah kondang.
"Jangan bangga dulu, Wujud! Apapun resi-
konya, aku harus dapat menangkapmu," Jaka
nampak terdiam hening. Matanya menatap satu
persatu pada kedua belas orang yang telah berdiri
di hadapannya. Perlahan kakinya melangkah, se-
pertinya merasakan berat. "Wujud Raga, hari ini juga kau harus menurut padaku.
Kalau tidak, ma-ka aku tak akan segan-segan menghukum-
mu!" "Hua, ha, ha...! Jaka Ndableg, rupanya kau tengah bermimpi. Jangankan
menangkapku, mengalahkan ilmukupun engkau tak akan mung-
kin Jaka"!"
Jaka kerutkan mukanya, seperti ada se-
buah kekesalan yang tak dapat lagi ditahan. Na-
pasnya mendengus, matanya menatap liar, tajam
setajam mata elang. Bersamaan dengan dengus-
nya napas Jaka memburu, seketika dari mulut-
nya ke luar seruan yang mengejutkan kedua belas
orang musuhnya.
"Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!"
"Pedang Siluman Darah...." kedua belas
orang di hadapannya seketika membeliakkan ma-
ta kaget. Mata mereka tak berkedip, memandang,
memaku pada pedang yang tiba-tiba telah berada
di tangan Jaka. Dari ujung pedang, nampak mele-
leh darah membasahi batangnya.
"Wujud Raga, apakah engkau masih terus
membandel?" Jaka masih diam di tempatnya, bertanya: "Kalau kau masih membandel,
maka jan- gan salahkan aku bertindak, Wujud!"
"Hua, ha, ha...! Orang lain mungkin takut
melihat senjatamu yang sudah terkenal itu, Jaka!
Tapi aku, tidak!" Wujud Raga masih terus mencibir, merendahkan apa yang ada pada
diri Jaka. Belum ada orang yang berani menantang Pedang
Siluman Darah. Tapi kini Wujud Raga telah bera-
ni menantangnya.
"Hem, baiklah kalau begitu. Bersiaplah,
Wujud!" Setelah berkata begitu, serta merta Jaka
pun berkelebat dengan Pedang Siluman Darah di
tangannya menyerang Wujud Raga dan kambrat-
nya. Wujud Raga dan kesebelas anak buahnya
tersentak kaget. Ternyata apa yang digembar-
gemborkan para tokoh persilatan bukanlah
omong kosong. Pedang Siluman Darah memang
bukanlah pedang sembarangan. Hawa samberan-
nya saja sudah begitu panasnya, apalagi bila ter-
kena. "Wujud Raga, menyerahlah!" Jaka memekik, sebab pengaruh Pedang Siluman
Darah telah benar-benar merasuk dalam jiwanya. Mata Jaka
merah laksana mengandung api. Tangannya yang
berusaha mempertahankan nampak gemetaran.
"Wujud! Jangan sampai Ratu Siluman Darah
menghisap darahmu!"
"Aku tidak takut, Jaka!" Wujud Raga balik berang. Sementara kesebelas anak
buahnya, nampak hanya terbengong bagaikan terkena sihir
yang keluar dari Pedang Siluman Darah. Mereka
terdiam bengong, mata mereka memandang pe-
nuh rasa takut dan was-was.
"Kalau itu yang kau mau, jangan salahkan
Pedang Siluman Darah 24 Misteri Si Cadar Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku. Hiat...!"
"Lakukan bila engkau mampu, Jaka.
Hiat...!" Dua tubuh berkelebat dengan cepat. Dua
tubuh itu melayang bagaikan terbang. Jaka kib-
latkan Pedang Siluman Darahnya ke arah lajunya
tubuh Wujud Raga. Setelah mereka mendekat,
segera Jaka Ndableg tebaskan pedang tersebut.
"Wuut...!"
"Crass...!"
"Aaah...!" memekik seketika Wujud Raga,
tubuhnya terpotong buntung menjadi dua. Da-
rahnya kering, habis terhisap oleh Pedang Silu-
man Darah. "Ayah...!"
Anak gadis Wujud Raga memekik, lalu
dengan tanpa hiraukan semuanya yang hanya
terdiam mematung, gadis itu segera memburu di
mana tubuh ayahnya tergeletak.
"Bajingan! Kau telah membunuh ayahku!"
"Terpaksa! Ayahmu telah membuat sega-
lanya. Ayahmu telah merongrong pemerintahan."
Jaka menjawab dengan suara parau. Seperti da-
lam nada ucapannya Jaka merasakan kepedihan.
Sebenarnya ia pun tak ingin Pedang di tangannya
harus berlumur darah, tetapi keadaanlah yang
harus memaksanya.
"Kau kejam! Kau kejam!" gadis itu menjerit.
Dipukulinya dada Jaka yang hanya terpaku diam,
lalu setelah puas gadis itupun berlari pergi me-
ninggalkan semuanya yang seketika terbengong.
"Jaka! Tunggulah pembalasanku...!"
Jaka hanya mampu menarik napas, berat
dan serak. "Apakah kehidupahku hanya akan di-
war-nai dengan dendam dan dendam" Apakah
aku harus selamanya bertualang untuk mem-
basmi kejahatan, yang akhirnya menjadikan mata
rantai cerita manusia"!" Jaka bertanya-tanya pa-da diri sendiri.
"Kedok Hitam, tunjukkan di mana peta ter-
sebut ketuamu simpan," Jaka akhirnya berkata setelah untuk sekian lama terdiam
membisu, menghayati arti kehidupannya. "Cepat, Kedok!"
"Ba... baik!"
Dengan dibantu oleh Kesepuluh Tokoh Ke-
dok Berwarna, Jaka pun tak lama untuk mencari
peta tersebut. Peta itu masih utuh, peta milik ke-
rajaan yang memuat tempat-tempat para pembe-
rontak berada. Setelah memeriksa kembali kea-
daan peta tersebut, segera Jakapun berkelebat
pergi meninggalkan mereka yang hanya terben-
gong-bengong kagum dan heran melihat keleba-
tan Jaka yang begitu cepat laksana terbang. Dan
dalam sekejap saja tubuh Jaka telah menghilang
entah ke mana, lenyap dalam sekejap.
*** 7 "Hua, ha, ha...!"
Tersentak kesepuluh Pendekar Kedok Ber-
warna demi mendengar suara gelak tawa yang
membahana, menyentakkan mereka dari lamu-
nannya. Bersamaan dengan habisnya suara gelak
tawa tersebut, tiba-tiba di hadapan mereka berdiri
sesosok tubuh dengan muka tertutup rapat kain
hitam. Kain itu nampak bercak-bercak darah. Se-
pertinya darah itu belum mengering, menetes de-
ras membasahi muka dan cadar.
"Kalian tahu ke mana larinya Pendekar Pe-
dang Siluman Darah?" tanya orang bercadar pada kesepuluh orang berkedok.
"Siapakah engkau, Ki Sanak?" Kedok Hitam yang bertanya.
"Aku...?" orang bercadar dengan darah menetes itu mengulang tanya. "Aku adalah
musuh- nya. Akulah yang akan mengakhiri ketenaran
namanya. Akulah si Cadar Berdarah. Hua, ha,
ha...!" "Cadar Berdarah..."!" kesepuluh orang berkedok memekik.
"Ya! Sekarang tunjukkan padaku, ke mana
Jaka pergi!"
Kesepuluh orang berkedok itu tak langsung
menjawab. Mereka saling pandang antar sesa-
manya. Hal ini menjadikan si Cadar Berdarah
marah. "Bedebah! Kalian rupanya tak hiraukan
aku! Kalian harus mati. Hiat...!"
Tersentak kesepuluh orang berkedok yang
terkenal dengan nama Pendekar Kedok Berwarna,
demi diserang begitu tiba-tiba oleh si Cadar Ber-
darah. Mereka serempak menghambur, menye-
rang balik dengan makian marah.
"Orang sinting! Kenapa tiba-tiba engkau
menyerang kami" Apa salah kami, Hah!" Kedok
Hitam selaku kedok tertua, nampak gusar. "Ru-
panya engkau hendak mencari mati, Orang sint-
ing!" Si Cadar Berdarah tak hiraukan omelan
dan makian Kedok Hitam, ia terus mencerca ke-
sepuluh Pendekar Kedok Berwarna dengan seran-
gan-serangan maut. Serangannya begitu cepat,
seakan gerakannya sukar untuk diikuti.
"Bedebah! Rupanya kau memang orang
sinting!" kini Kedok Merah yang membentak ma-
rah. Dengan nekad Kedok Merah menghambur,
lalu dengan tanpa pikir panjang ia hantamkan
pukulannya. Namun sungguh tidak disangka, se-
buah pedang telah berkelebat menghantam tan-
gannya. Pedang Naga Dewa telah menjadikan tan-
gan Kedok Merah buntung, membawa jeritan Ke-
dok Merah menyayat menahan sakit.
"Aaah...!"
"Bedebah! Kami akan mengadu jiwa den-
ganmu. Hiat...!"
Dengan dikomando oleh Kedok Hitam, ke-
delapan kedok lainnya bergerak menyerang ba-
reng. Namun sepertinya serangan mereka tak
membawa hasil. Setiap kali mereka merangsek,
setiap kali itu si Cadar Berdarah mampu menge-
lakkannya. Bahkan dengan cepat membalas me-
nyerang mereka.
Dalam berapa gebrakan saja, kesembilan
pendekar Kedok Berwarna dapat dijatuhkan. Se-
telah melihat kesembilan Kedok Berwarna tak
berdaya, dengan gelak tawa si Cadar Berdarah
berkelebat pergi meninggalkan tubuh mereka.
"Katakan bila kalian menjumpai Jaka
Ndableg, aku si Cadar Berdarah mencarinya. Hua,
ha, ha...!"
Kesembilan Kedok Berwarna hanya dapat
terdiam bisu. Mereka nampaknya termangu, he-
ran tak mengerti mengapa dalam sehari itu mere-
ka harus berhadapan dengan dua orang pendekar
sakti. Beruntung kedua pendekar itu tak menu-
runkan tangan jahat. Namun yang menjadi mere-
ka heran, mengapa si Cadar Berdarah mencari
Jaka Ndableg" Apa yang sebenarnya terjadi di ba-
lik cadar yang mengeluarkan darah"
Mereka tak dapat menjawab, mereka tak
mengerti harus bagaimana" Nah, untuk kali ini,
Misteri Cadar Berdarah saya cukupkan sampai di
sini. Bila anda ingin mengikuti bagaimana Jaka
selanjutnya. Dan bagaimana tindakan si Cadar
Berdarah, serta anak Wujud Raga, silahkan anda
ikuti kisah Pendekar Pedang Siluman Darah beri-
kutnya!!!! TAMAT Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 11 Dewi Ular 47 Mahluk Seberang Zaman Mutiara Hitam 13
"Aku ada di belakangmu, Bergola!"
Raja Bergola segera balikkan tubuh ke
arah suara Jaka, namun tiba-tiba Jaka telah me-
nyambutinya dengan hantaman ajian Bledek Se-
wunya. "Terimalah ajian Bledek Sewu. Hiat...!"
"Bletar! Bletar! Bletar!"
Ledakan-ledakan halilintar menggema ber-
saut-sautan, menghantam tubuh Raja Bergola.
Raja Bergola seketika goyah, namun tubuhnya
tak mengalami apa-apa. Malah kini Raja Bergola
nampak beringas, dan dengan ganas diporak-
porandakannya rumah bilik itu. Rupanya leda-
kan-ledakan petir telah mampu membuatnya bi-
sing, sehingga Raja Bergola pun akhirnya marah.
"Gusti Allah, ternyata ajian Bledek Sewu
tak mempan!" keluh Jaka.
"Wuut...!"
Jaka tersentak, lemparkan tubuh ke bela-
kang manakala tangan Raja Bergola kembali me-
nyerang ke arahnya.
"Jangan lari, Bocah! Nyawamu harus men-
jadi budakku!"
"Hua, ha, ha...! Enak saja kau ngomong,
Bergola!" Jaka tertawa bergelak-gelak, berkata dengan penuh sinis. "Kaulah yang
seharusnya menjadi budakku, sebab kau pantas untuk men-
gawal diriku bila aku bepergian ke mana-mana.
Tubuhmu besar, cukup dapat diandalkan, Bergo-
la!" "Kurang ajar!"
"Eh, rupanya kau membandel!" Jaka terus
mengeluarkan kendablegannya. "Kau membandel,
maka jangan salahkan aku akan menghajarmu.
Nah, terimalah ini. Tapak Bahana. Hiat...!"
Berbarengan dengan tangan Raja Bergola
menyerangnya, segera Jaka berkelebat menghin-
dar dan langsung melayang menuju ke muka Raja
Bergola. Tangan Jaka yang telah membara, sece-
pat kilat menghantam.
"Duar...!" kembali terdengar ledakan.
"Hua, ha,ha ...! Keluarkan segala ilmu yang
engkau miliki, Anak muda!" Raja Bergola bergelak sombong, merasa dirinya mampu
menandingi il-mu Jaka Ndableg. "Keluarkan semua ilmumu,
Anak muda. Aku Raja Bergola tak akan mundur!"
"Jangan senang dulu, Bergola."
Habis berkata begitu, segera Jaka melom-
pat mundur menjauh. Jaka dengan segera duduk
bersilah, heningkan cipta merapalkan sebuah
ajiannya yang sangat dahsyat. Melihat hal terse-
but, Raja Bergola tertawa terpingkal-pingkal.
"Hua, ha, ha, ha...! Sedang apa kau, Anak
muda"!"
Namun belum juga ucapan Raja Bergola
habis, tiba-tiba tubuh Jaka telah membesar dan
makin bertambah besar. Tubuh Jaka kini telah
jauh melebihi besarnya Raja Bergola. Raja Bergola
tersentak kaget seraya melompat mundur, mana-
kala melihat apa yang kini berdiri di hadapannya.
"Hua, ha, ha, ha...! Bergola, majulah kau!
Biar aku dengan segera mematahkan tubuhnya
dan memangsamu. Hua, ha, ha...!"
"Siapa kau, Buto"!" Raja Bergola bertanya dengan nada agak takut. Tubuhnya yang
tadinya nampak besar, kini bagaikan tiada setengahnya
tubuh Buto Dewa Wisnu.
"Raja Bergola, akulah Buto Dewa Wisnu.
Akulah yang akan membuatmu harus menyingkir
dari dunia ini! Hua, ha, ha, ha...!"
Raja Bergola yang merasa tak akan unggu-
lan berusaha kabur meninggalkan Buto Dewa
Wisnu. Tetapi dengan cepat tangan Buto Dewa
Wisnu telah mencekalnya. Dibantingnya tubuh
Raja Bergola, sehingga terdengar bunyi bergedu-
bug. Bumi seketika bagaikan digoncang hebat,
goyang laksana gempa.
"Modar...!"
"Tobat...!"
"Jangan kau mengeluh, Bergola!"
Kembali dengan keras dibantingnya tubuh
Raja Bergola, sehingga kembali Raja Bergola men-
jerit. Tak hanya sampai di situ, Raja Bergola seketika diinjaknya hingga amblas
ke dalam bumi. "Dinda...! Tolong aku...!" Raja Bergola memekik, tubuhnya masuk amblas ke dalam
tanah. "Nyai...! Tolong aku...!"
Dari kejauhan, tepatnya dari puncak Gu-
nung Kawi, sebuah bayangan berkelebat terbang
menyerang Buto Dewa Wisnu. Bayangan tersebut
tak lain Wewe adanya, istrinya Raja Bergola. Mata
Ni Wewe nampak menyala merah, manakala me-
lihat suaminya terpendam dalam tanah.
"Kau harus mati, Raksasa!"
"Huah... ternyata kau istrinya. Hem, biar-
lah sekalian saja kalian aku kubur!" Buto Dewa Wisnu segera kebatkan tangannya.
Maka dari ke-batan tangan besar itu keluar angin besar, men-
deru menyerang Ni Wewe. Tak ayal lagi, tubuh Ni
Wewe seketika oleng. Hal tersebut tidak disia-
siakan oleh Buto Dewa Wisnu, yang dengan sege-
ra tangkap Ni Wewe.
"Hua, ha, ha...! Kau akan menemani sua-
mimu di dasar tanah sana! Dan kalian tak akan
dapat hidup bebas. Kalian telah terhimpit oleh
Sekat Gaib! Hua, ha, ha...!"
"Tobat...! Ampunilah aku," rengek Ni Wewe.
Buto Dewa Wisnu tak perduli. Ditaruhnya
tubuh Ni Wewe di bawah, lalu dengan kuat diin-
jaknya tubuh tersebut hingga amblas ke tanah.
"Aaan...! Anakku...! Tolong...!" terdengar seruan seorang wanita bukan Ni Wewe,
menyebut- nyebut nama anaknya untuk sesaat sebelum ak-
hirnya hilang. Jaka yang telah melihat kematian dua mu-
suhnya, dengan segera kembali melakukan tiwi-
krama. Perlahan-lahan tubuhnya mengecil, lama
kelamaan akhirnya kembali pada bentuk semula.
Setelah dirasa tak ada yang memperhatikannya,
segera Jaka berkelebat pergi menghilang.
Esok paginya seluruh desa geger tentang
hilangnya juragan mereka. Beruntung ada seo-
rang yang memberitahukan bahwa juragan mere-
ka tak lain pemelihara Buto. Mereka tak ada yang
membantah, sebab setelah dikait-kaitkan dengan
segala kejadian ternyata benar adanya. Apalagi
setelah orang tersebut menceritakan bahwa yang
menginjak dua orang juragan mereka tak lain Ja-
ka Ndableg, semuanya pun seketika percaya.
"Bukankah Jaka seorang Pendekar pembela ke-
benaran?" begitulah pertanyaan hati mereka,
yang menjadikan mereka harus percaya bahwa
juragan mereka memang seorang pengipri Buto.
Dengan berbondong-bondong, mereka pun berda-
tangan ke rumah juragan mereka. Bagaikan orang
baru terjaga dari mimpi, mereka mengamuk seja-
di-jadinya. Maka dalam sekejap saja rumah Pri-
kadayu hancur berantakan, diamuk oleh seluruh
warga desa yang tak lagi mampu membendung
amarahnya. *** 4 "Aku akan mencari Pendekar Pedang Silu-
man Darah, Guru," Sugangga berkata dengan
emosinya yang meluap-luap. Dendamnya pada
Jaka Ndableg, berkobar-kobar laksana api. Den-
dam seorang anak yang ingin menunjukkan bak-
tinya pada kedua orang tuanya, yang telah mati di
tangan seorang pendekar pembela kebenaran dan
keadilan yang tak lain Pendekar Pedang Siluman
Darah. "Dia telah membunuh kedua orang tuaku."
"Aku tahu. Namun kau, apakah telah tahu
asal mulanya?" tanya sang guru, nadanya seakan tidak menyetujui akan apa rencana
muridnya. Ia tahu benar siapa adanya Jaka Ndableg. Dan ia
tahu benar apa yang sebenarnya telah terjadi pa-
da kedua orang tua muridnya.
"Sudah, Guru," Sugangga nampak men-
dengus penuh amarah, yang menjadikan sang
guru hanya mampu mendesah panjang. Sebenar-
nya sang guru tidak menghendaki murid satu-
satunya itu harus bermusuhan dengan Jaka
Ndableg, namun nampaknya suratan menghen-
daki lain. Muridnya adalah anak sepasang tokoh
aliran sesat. Ayahnya bernama Prikadayu, se-
dangkan ibunya yang juga sealiran dengan sua-
minya bernama Dripadini.
"Tapi kedua orang tuamu yang salah dalam
hal ini. Bagaimana, Gangga?"
"Memang kedua orang tuaku yang salah,"
Sugangga hela napas.
"Nah, mengapa engkau mesti memperun-
cingnya?" "Sebagai seorang anak yang berbakti, ten-
tunya aku harus membela kedua orang tuaku,"
Sugangga berkata masih dengan emosi yang me-
luap-luap. "Walau itu tindakan yang salah?"
"Ya!"
"Ooh...." sang guru mendesah panjang, gelengkan kepalanya seakan hendak membuang
be- ban berat. "Sungguh kau tidak memikirkan aki-
batnya, Gangga."
"Aku sudah memikirkannya, Guru," Su-
gangga ketus berkata. "Aku sudah memper-
siapkan segala resikonya yang bakal aku hadapi."
"He, kau memang pemberani, tetapi kebe-
ranianmu tidak pada tempatnya," sang guru
menggumam. "Seharusnya kau bersyukur ayah
dan ibumu dapat mati dengan sempurna. Kalau
tanpa bantuan Pendekar Pedang Siluman Darah,
tentunya kedua orang tuamu akan menjadi ham-
ba setan untuk selamanya."
"Guru membela dia?"
Sang guru kembali menarik napas panjang.
Ucapan muridnya seakan menusuk tajam, meng-
hunjam di lubuk hatinya. Kini ia berdiri dalam
posisi yang salah, padahal ia memperingati mu-
ridnya karena ia tak ingin muridnya menjadi kor-
ban Pendekar Pedang Siluman Darah selanjutnya.
Cukuplah dengan adik seperguruannya saja yang
jadi korbannya. Sebenarnya ia pun mendendam
pada pendekar tersebut, namun bila dirasa, den-
dam tak akan pernah habis-habisnya, bahkan
dendam akan selalu bertumpah darah. Bila ingat
dan sadar akan hal itu, maka ia pun segera men-
guburkannya dalam-dalam. Kini ia kembali diin-
gatkan pada masalah adik seperguruannya, yang
mati di tangan pendekar tersebut. Tetapi seperti
kedua orang tua muridnya, adiknya pun merupa-
kan tokoh aliran sesat. Ya, Datuk Raja Beracun
adalah orang sesat, maka sewajarnyalah kalau
pendekar tersebut menumpasnya. Sebenarnya
bukannya dia takut terhadap pendekar muda itu,
tapi percuma saja. Bukan kemenangan yang akan
diperolehnya, bahkan kematian tragis dengan da-
rah terhisap habis oleh Pedang Siluman Darah.
Jangankan manusia macamnya, para iblis dan si-
luman pun akan keder bila harus meng-hadapi
Pendekar Jaka Ndableg bila telah memegang sen-
jatanya. "Aku bukan membelanya, Gangga," sang
guru akhirnya berkata dengan nada lemah. Ia sa-
dar, bahwa muridnya bukanlah seorang anak-
anak lagi. Muridnya kini telah dewasa, yang ber-
hak menentukan perjalanan hidupnya. Tapi bila
sang murid harus menghadapi bencana, apakah
ia harus diam diri begitu saja" Guru macam apa-
kah ia" "Aku hanya ingin mengingatkan padamu
siapa dan apa sebenarnya Jaka Ndableg tersebut."
Sugangga terdiam mendengar ucapan gu-
runya, seakan ucapan sang guru menyentakkan
dirinya untuk kembali berpikir. Memang kalau
dipikir secara benar-benar, kedua orang tuanya
yang salah dalam hal ini. Kedua orang tuanyalah
yang telah menjadikan Pendekar Pedang Siluman
Darah melakukan tindakan tersebut, sebab bila
tidak maka bencanalah yang akan diterima ma-
nusia. Kedua orang tuanya telah bersekutu den-
gan iblis yang mampu memberikan kehidupan
yang serba mencukupi atau dengan kata lain ke-
dua orang tuanya telah Nyupang Buto Ijo. Sebuah
persekutuan dengan iblis yang saling keterkaitan.
Kedua orang tuanya harus selalu menyediakan
korban yang disebut wadal untuk sang Buto. Se-
mentara kedua orang tuanya pun men-dapatkan
timbal balik, yaitu harta kekayaan yang datang
sendiri bila telah memberikan wadal tersebut. Bila hal itu berjalan terus
menerus, kekayaan orang
tuanya makin menumpuk, sementara manusia
akan makin berkurang saja karena habis untuk
wadal. Dan sebenarnya bila Sugangga berpikir
Pedang Siluman Darah 24 Misteri Si Cadar Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jauh, bukankah adiknya juga telah dijadikan
wadal pertama" Wadal untuk menentukan kuat
tidaknya kedua orang tuanya menghadapi tan-
tangan. Wadal untuk menjadikan kedua orang
tuanya tak akan hiraukan pekik kematian tetang-
ganya, atau anaknya yang menjerit-jerit manakala
dijadikan mangsa sang Buto. Bila mengingat itu
semua, seketika Gangga menangis. Menangis me-
ratapi kesesatan yang dilakukan oleh kedua orang
tuanya. "Tapi mereka melakukan juga karena aku,"
gumam Sugangga dalam hati. "Ya, karena akulah kedua orang tuaku harus
menyelimpang dari
keadaan sebenarnya. Aku memang yang mengin-
ginkan kedua orang tuaku kaya. Aku malu, bila
mendengar segala cemooh dari tetangga yang ti-
dak menginginkan aku main dengan anak-
anaknya karena aku miskin. Oh...!"
"Sepertinya engkau mengenang sesuatu,
Gangga?" sang guru yang melihat perubahan di
wajah muridnya bertanya. "Apa yang tengah engkau pikirkan?"
Sugangga tersentak kaget, sehingga dengan
secara tidak sengaja matanya memandang ke raut
tua di hadapannya. Raut tua yang sepertinya
mengandung ribuan goresan perjalanan hidup,
baik yang senang maupun yang susah. Seraut
wajah gurunya, yang terselubung dengan kemis-
terian. Ya! Sampai sekarang pun Sugangga belum
mengenal siapa adanya gurunya. Nama sang
guru, seakan tiada melekat. Aneh memang. Sela-
ma lima belas tahun ia berguru pada lelaki tua
renta berambut serba putih itu, ia tidak pernah
sekalipun mengetahui siapa adanya sang guru.
Sepertinya sang guru menyembunyikan dirinya,
atau ada rasa takut menyelimuti diri gurunya.
Kalau memang ada rasa takut, pada siapakah gu-
runya takut" Sugangga tahu bahwa gurunya be-
rilmu tinggi, mengapa mesti takut pada musuh"
"Guru, apakah aku bersalah bila membela
orang tuaku?" akhirnya Sugangga bertanya.
"Apakah aku salah bila mendendam pada orang
yang telah membinasakan kedua orang tuaku.
Bukankah sebagai seorang anak ia harus membe-
la nama baik kedua orang tuanya" Walau aku ta-
hu, bahwasanya kedua orang tuaku memang te-
lah berlaku jahat, tetapi semua itu demi untukku.
Bahkan adikku pun dijadikan wadal, manakala
pertama kali kedua orang tuaku melakukan per-
sekutuan dengan Buto Ijo tersebut. Akulah yang
memintanya, sebab aku sudah tak tahan mene-
rima hinaan dari teman-temanku."
Sang guru kembali tercenung diam. Ha-
tinya seketika menjerit, demi mendengar penutu-
ran muridnya. Betapa ia telah mengangkat seo-
rang manusia jahat menjadi muridnya. Manusia
yang tega menjerumuskan kedua orang tuanya
untuk melangkah di jalan kesesatan. Manusia
egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri,
walau saudaranya harus menjadi korban.
"Ooh...." sang guru mengeluh, keluh dalam hati.
Tak disadari, air matanya meleleh deras memba-
sahi pipinya. Segala ingatannya pada adik seper-
guruannya yaitu Datuk Raja Beracun kembali
tumbuh, menguak kalbu tuanya yang sudah ra-
puh untuk mengenang segala kejadian demi keja-
dian. Kini kenangan harus terulang. Apakah
mungkin muridnya juga seperti adik sepergu-
ruannya, yang menyimpang dari ajaran Tuhan
yang karena mendendam dan merasa harga di-
rinya terinjak-injak" Dan apakah sang murid
hanya akan menjalankan niatnya demi ambisi se-
perti Datuk Raja Beracun"
"Memang kau bersalah. Tetapi kesalahan-
mu ada pada segala tindakanmu yang hanya me-
nuruti hawa nafsu setan belaka." ucap sang guru tandas. "Coba kalau engkau tidak
merengek-rengek agar kedua orang tuamu kaya, tentunya
keadaan tidak serunyam begini. Tapi nasi sudah
menjadi bubur, maka segalanya kembali aku pa-
srahkan padamu juga. Kaulah yang berhak me-
nentukannya, sebab bila aku melarangmu, paling
tidak kau akan mengecapku sebagai seorang guru
yang tidak mengerti. Tetapi bila aku membela dan
mendorong dirimu, tentu aku juga salah besar."
Sugangga memaku hening, tiada dapat
berkata apa-apa. Harapannya agar sang guru
mau membelanya dan membantunya menghadapi
Jaka Ndableg, seketika pupus sudah. Tapi ia tak
mau putus asa. Ia akan mencoba, mencoba
menghadapi Jaka Ndableg. "Ah, apakah mungkin
guru akan membiarkan diriku sendiri?" gumam
hati Gangga meragu. "Tidak! Guru tentunya akan menolongku."
"Apakah guru mengijinkan aku menca-
rinya?" "Maksudmu, Gangga?" tanya sang guru belum mengerti.
"Apakah guru mengijinkan aku menuntut
balas pada Jaka Ndableg" Dan apakah guru akan
sudi membantuku?"
Sang guru untuk sekian kalinya menarik
napas panjang. Berat rasanya untuk menjawab
pertanyaan sang murid. Dirinya serba terjepit. Ke
mana ia melangkah, jelas akan mendapatkan ke-
salahan. Membela muridnya, jelas dan pasti ia
akan menghadapi kesalahan besar yang buntut-
nya pasti harus berhadapan dengan Pendekar Ja-
ka Ndableg. Bila diam saja, apa artinya seorang
guru yang membiarkan muridnya harus mengha-
dapi segala masalah hidupnya sendiri.
"Bagaimana, Guru?" Sugangga mendesak.
"Apakah tidak ada jalan lain, Gangga?" "
"Tidak ada."
"Hem...." sang guru mendengus. "Rupanya kau hanya berpikir pada satu jalan,
Muridku. Aku kira, ada jalan lain agar kita tidak harus bentrok dengannya."
"Yang guru maksudkan, kita damai?" Su-
gangga menerka.
"Ya!" jawab sang guru.
"Ah...!"
"Kenapa, Gangga?"
"Tidak! Aku tidak mau!"
"Lalu apa yang kau mau, Gangga"!"
"Kematian! Dia atau aku yang harus mati,"
Sugangga menyeringai, sepertinya tengah membe-
rikan tanda pada gurunya bahwa dia telah siap
segala-galanya. "Bagaimana, Guru?"
"Ah...."
"Rupanya guru takut menghadapinya,"
sindir Sugangga dengan nada sinis. "Hem, tidak aku sangka kalau guruku
sepengecut ini."
"Gangga! Lancang kau bicara!" sang guru
membentak marah.
Sugangga hanya cibirkan bibirnya, seakan
ia memang benar-benar ingin mengejek kenya-
taan gurunya yang penakut. Sugangga benar-
benar tidak menyangka kalau gurunya sepenge-
cut itu. Gurunya yang telah dianggapnya orang
paling sakti, ternyata takut menghadapi Jaka
Ndableg. "Aku bicara benar, Guru! Kalau memang
guru tidak mau dianggap pengecut, tentunya
guru mau membantuku."
"Bukankah aku selama lima belas tahun
telah membantumu?"
"Mendidik maksudmu?" Sugangga kembali
mencibir. "Ya...!"
"Itu sudah sebuah kewajiban. Kewajiban
sebagai seorang guru yang harus mendidik mu-
ridnya!" Sugangga nampak ngotot bicara, seakan ia sudah tak memperdulikan siapa
dia dan siapa orang yang berada di hadapannya yang kini ten-
gah diajak ngomong. "Dan bukankah kau telah
dibayar untuk itu?"
Tersentak kaget sang guru mendengar
ucapan muridnya yang telah membuka segalanya.
Hatinya kini terbakar emosi, emosi yang sengaja
dinyalakan oleh Sugangga muridnya. Mata sang
guru memandang tajam pada Sugangga, seper-
tinya hendak menelan bulat-bulat tubuh sang
murid. Napasnya mendesah berat, sesak mengge-
ledak di dadanya. Sebagai seorang guru, jelas ia
tidak mau menerima hinaan seperti itu oleh mu-
ridnya. "Bagaimana" Apakah engkau masih me-
mungkiri?" Gangga masih menyibir sinis.
Makin terasa menyesak saja dada sang
guru mendengar ucapan Sugangga. Memang ia
dibayar dengan mahal untuk mendidik Sugangga,
tetapi itu pun atas kemauan orang tua Sugangga,
bukan kemauan dirinya sendiri. Kalau Sugangga
telah membuatnya harus marah, jelas karena Su-
gangga telah mengungkit-ungkit apa yang telah
diterima-nya dengan pengorbanannya. Pengorba-
nan untuk mendidik Sugangga menjadi seorang
pemuda yang memiliki ilmu tinggi.
"Murid celaka! Kau rupanya tak ubahnya
seperti Iblis!"
"Kaulah yang tidak tahu balas budi!" Su-
gangga tak mau mengalah dengan gurunya. "Kau
telah mendapatkan segalanya dari kedua orang
tuaku, namun ternyata kau tidak mau mengerti."
"Sekali lagi kau ngomong begitu, maka aku
akan menghajarmu, Gangga!" sang guru mengan-
cam, hatinya telah begitu marah mendengar se-
mua ucapan muridnya yang dirasa sangat men-
jengkelkan. "Kalau engkau mau menghajarku, laku-
kanlah bila engkau berani!" Sugangga menantang.
"Iblis!"
"Hem, kau tak berani bukan?" sinis Su-
gangga berkata, melihat gurunya yang sudah
mengangkat tangan urung menghajarnya.
"Kau telah menantangku, Gangga!"
"Huh, kaulah yang mendahului!"
Sang guru makin tak dapat menahan ama-
rahnya. Napasnya makin memburu saja, sewot
dan kesal melanda hatinya. Mata tuanya kini
nampak menyala merah, seakan mata itu hendak
menghunjam dalam, sedalam kalbu Sugangga.
"Minggat kau dari sini!" Kini sang guru benar-benar tak dapat menahan amarahnya.
"Ming- gat...!" sang guru menyerukan suaranya demi melihat Sugangga masih tersenyum
sambil cibirkan
bibirnya. Kedua murid dan guru kini telah sama-
sama berdiri, sama-sama menggambarkan wajah
ketegangan. Mata keduanya tajam, seakan tak
seorang pun yang mau mengalah untuk menyu-
dahi segala perselisihan. Sugangga yang merasa
dirinya telah mampu dan menjadi seorang pende-
kar, kini seperti merendahkan gurunya yang telah
selama lima belas tahun membimbing dan mendi-
diknya. "Kau yang harus minggat!" balik memben-
tak Sugangga. "Apa hakmu, Anak Iblis!"
"Hua, ha, ha...! Bukankah padepokan ini
kedua orang tuaku yang mendirikan" Dan bu-
kankah engkau datang dari Andalas tanpa mem-
bawa selembar bekal pun!" Sugangga benar-benar sudah dirasuki Iblis. "Kalau
engkau tidak minggat secepatnya, maka jangan salahkan aku menu-runkan tangan
jahatku!" Gusar dan marahnya sang guru mendengar
ucapan muridnya yang telah dirasa kurang ajar.
Ia sebagai seorang guru, apalagi sebagai orang
tua jelas tidak mau diperlakukan begitu rupa,
yang dirasakan telah menginjak-injak kehorma-
tannya sekaligus harga dirinya
"Kalau aku tak mau, kau mau apa, Murid
durhaka!" Sugangga tersenyum sinis, lalu dengan
membalikkan tubuh ia berkata: "Kematian un-
tukmu, Tua bangka rewel!"
Tersentak sang guru, manakala Sugangga
mencabut pedang yang tergantung di dinding pa-
depokan. Pedang Dewa Naga milik sang guru yang
merupakan pedang pusaka itu, kini tengah diti-
mang-timang di atas tangan Sugangga.
"Kau...!"
"Ya! Kau boleh milih, menurut dengan aku,
atau selembar nyawamu harus melayang dari tu-
buh tuamu yang telah bau tanah!"
Sang guru melompat mundur, ketika Pe-
dang Pusaka Dewa Naga diacungkan ke arahnya.
Matanya nampak membeliak, sepertinya mata tua
tersebut menyiratkan rasa takut yang teramat
sangat. Bayang-bayang kematian akibat Pedang
Dewa kembali menggambar di pelupuk matanya.
Pedang Dewa itu, kalau sudah keluar dari sarung-
nya, mau tidak mau harus mengambil nyawa.
Sang guru terus menyurut mundur, di telinganya
terdengar seruan seseorang yang jelas-jelas ia
kenal. Suara itu seperti mengejeknya, suara itu
Pedang Siluman Darah 24 Misteri Si Cadar Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adalah suara Daeng Susukan, seorang Daeng ali-
ran lurus yang dibunuhnya manakala dirinya ma-
sih dalam kesesatan.
"Dato Pramunu, bukankah pembalasan itu
akhirnya datang juga" Beruntung kini engkau te-
lah lurus, kalau tidak. Pastilah engkau akan men-
jadi orang celaka di alam sana. Alam di mana kini
aku pun berada. Terimalah segalanya, Dato. Se-
bab memang segalanya berjalan dengan semes-
tinya, sebagaimana aku menerima kematianku di
ujung Pedang Dewa Naga milikmu."
Dato Pramunu nampak masih ketakutan,
mundur setapak demi setapak menjauhi pedang
tersebut. Dan manakala ia hampir sampai di pin-
tu, dengan segara Dato Pramunu melompatkan
diri berlari ke luar.
Namun ternyata Sugangga tak mau mem-
biarkannya begitu saja. Maka Sugangga pun sege-
ra melompat mengejar. Kejar mengejar antara
guru dan murid pun terjadi, meninggalkan pade-
pokan. "Mau lari ke mana, kau!" Sugangga dengan pedang Dewa Naga di tangannya
terus mengejar.
"Ke mana pun engkau lari, aku akan terus mem-
burumu!" Dato Pramunu terus saja berlari tanpa hi-
raukan ucapan Sugangga. Karena ia tak melihat
ke depan, maka manakala sebuah batu besar ada
di depannya, tanpa dapat dicegah menyandung
kakinya yang tengah berlari. Saat itu juga, tubuh
tua renta milik Dato Pramunu jatuh.
"Gedebug...!"'
"Hua, ha, ha...! Kini kematian sudah di
ambang pintu, Tua bangka!" Sugangga tertawa
bergelak. Pedang pusaka Dewa Naga menggan-
tung di kedua tangannya, siap menghunjam pada
tubuh Dato Pramunu. Namun pedang itu terus
menggantung, seakan ada sesuatu kebimbangan
di hati Sugangga.
"Jangan lakukan itu, Gangga. Kau berdosa
bila melakukannya, sebab dia adalah gurumu,"
sebuah suara berkata melarang Sugangga agar
jangan melakukan pembunuhan pada gurunya.
"Ingat, Gangga, segala tindakan pasti ada bala-sannya."
"Bodoh! Bila engkau tidak melakukannya,
pastilah niatmu akan selalu dihalanginya. Dia
manusia tiada guna bagimu. Dia hanya akan me-
repotkanmu saja. Bunuh dia... bunuh, Gangga!"
suara lain menggema menyeretnya. Dan...!
"Wuuut...!"
Desingan pedang terseret tangan mengge-
ma, menjadikan Dato Pramunu palingkan muka
menghadap. Seketika matanya mendelik, mana-
kala pedang tersebut deras menghunjam ke
punggungnya. "Aaah...!" memekik seketika Dato Pramunu.
"Kau... kau... kau tak... lebihnya Iblis! Kau... nanti... pun... mati oleh...
pe... dang... ini...." terkulai lemas tubuh Dato Pramunu, mati seketika.
Tersentak Sugangga manakala sadar, seke-
tika itu pula ia menjerit: "Guru...! Guru...! Ampunilah aku, Guru. Ampunilah
aku...!" Dicabutnya pedang pusaka Dewa Naga, la-
lu dengan terisak Sugangga menangisi tubuh gu-
runya yang telah kaku. Tengah ia menangis,
sayup-sayup terdengar suara gurunya yang diba-
rengi munculnya asma sang guru berkata kemba-
li. "Gangga, aku telah bebas dari segala ikatan
kehidupan. Tapi ternyata semuanya berlaku ha-
rus sebagaimana suratan yang telah tergaris. Du-
lu aku pun telah membunuh seorang Daeng den-
gan pedang tersebut yang ada di tanganmu, dan
aku telah menerimanya. Kelak bila kau memang
menghadapi Pendekar Pedang Siluman Darah,
mukamu akan rusak oleh hantaman ajiannya
yang bernama Petir Sewu. Ingat itu, Gangga! Mu-
kamu akan rusak oleh ajian miliknya, tetapi kau
tak akan mati. Kau akan mati bila engkau telah
bertemu dengan Pendekar Pedang Siluman Darah
untuk yang kedua kalinya. Walau mukamu rusak
dan mengeluarkan darah, sehingga engkau akan
malu, tapi kau tak akan mati. Darah itu tak akan
kering, selalu menetes...! Ingat! Aku menunggumu
untuk saling mengadakan perhitungan denganmu
di alam kelanggengan!"
"Guru...!" Sugangga memekik, namun
bayangan gurunya yaitu Dato Pramunu telah le-
nyap menghilang. "Tidak...! Aku tidak mau menerimanya, aku tidak mau...!"
Bagaikan orang gila, Sugangga berlari den-
gan tangan menggenggam pedang Pusaka Naga
Dewa. Sugangga seperti terpukul mendengar ku-
tukan gurunya yang telah mati. Ia menjerit, dan
terus berlari mencoba melupakannya. Namun
sungguh malang, sebab semakin Sugangga beru-
saha melupakan, semakin deras saja kutukan itu
berbicara. *** 5 "Hiat...!"
"Hiat...!"
Dari balik bebatuan yang mengitari jalan di
mana saat itu Jaka Ndableg berjalan, melompat
beberapa orang menghadang langkahnya. Wajah
orang-orang tersebut rapat tertutup oleh topeng,
dan hanya matanya saja yang nampak.
Jaka sapukan mata, memandang satu per-
satu ke arah mereka. Setelah memandang orang-
orang yang menghadangnya, Jaka pun tampak
sunggingkan senyum. Perlahan kakinya digeser
ke belakang, sedangkan tangan kanannya telah
terkepal siap untuk menghadapi apa yang bakal
terjadi. Jaka maklum. Sebaik apa pun dirinya,
tentulah banyak pula orang yang tidak suka.
"Kaukah yang bernama Jaka Ndableg?"
terdengar seorang berkedok hitam menanya.
"Ya! Memang akulah orangnya," jawab Jaka masih berusaha tenang. Perlahan kakinya
terus bergeser ke belakang, menjadikan orang-orang
tersebut mengikuti langkahnya. "Siapa kalian semua!" "Kami...?" orang berkedok
hitam kembali angkat bicara. "Kami adalah orang-orang yang diutus oleh seseorang
untuk menghadangmu agar
jangan sampai engkau menemukan di mana
adanya Wujud Raga berada."
"Hem, kalau begitu kalian tentunya anak
buah Wujud Raga"!"
"Tepat dugaanmu, Jaka."
"Aku tak memerlukan kalian, tetapi yang
aku perlukan adalah ketua kalian."
"Sama saja," yang angkat bicara kedok merah. "Ketua kami telah menyuruh kami
untuk menangkapmu, hidup atau mati."
"Begitu?" tanya Jaka sinis.
"Ya!" jawab kedok merah. "Apakah kau telah siap?"
"Wuah! Lagakmu seperti seorang pendekar
saja. Seharusnya akulah yang bertanya, apakah
kalian telah mampu untuk melakukan penangka-
pan terhadap diriku" Aku yakin, kalian akan me-
rasakan bagaimana sulitnya bila kalian harus
menangkap kodok bangkong dengan mata tertu-
tup sebelah."
"Sombong kau, Anak muda!" bentak Kedok
Hitam. "Aku tidak sombong, dan tidak ingin mengaku-aku sombong. Aku hanya
berkata apa adanya." Jaka berkilah menggoda, menjadikan
kesepuluh orang berkedok warna warni sesuai
dengan pakaian mereka nampak menggeretak pe-
nuh kemarahan. "Jangan menyesal nantinya, Jaka!" kembali Kedok Hitam membentak. "Lebih baik kau
menyerah saja, biar kami tidak kelewat telengas menu-
runkan tangan padamu, Jaka."
"Heh, apakah kalian mengira diri kalian
seorang raja, yang segala aturannya harus aku
turuti?" Jaka menyibir. "Aku sekali lagi katakan, aku tak memerlukan kalian,
tetapi aku memerlukan ketua kalian! Suruh dia keluar!"
"Ketua kami tidak ada!"
"Wah! Kalian ternyata pengikut setia Wujud
Raga! Sayang!" Jaka berkata bagaikan tak menga-rah pada mereka. Ucapannya
seperti tak menen-
tu, menyimpang dari hal sebenarnya yang tengah
mereka hadapi. "Sayang! Mengapa kesetiaan ka-
lian bukan pada tempatnya?"
"Bedebah! Kami tidak butuh kotbahmu,
Jaka!" Kedok Hitam membentak marah. "Sekarang kau mau menuruti kami, atau
terpaksa kami melakukan kekerasan."
Jaka terdiam, sepertinya tengah berpikir
sesuatu. Matanya masih memandang tajam pada
kesepuluh orang berkedok yang kini berdiri
menghadangnya. Sekali kakinya bergeser, sekali
itu tampak goresan bekas kakinya. Semua orang
berkedok itu seketika tersentak, manakala meli-
hat goresan kaki Jaka. Ternyata goresan kaki itu
bukan goresan kaki selayaknya, tetapi goresan
yang menjadikan sebuah tulisan.
"Kalian pergilah, jangan sampai kalian
menjadi korban orang yang kini mengintai! Kalian
tahu, bahwa orang tersebut mengintai kalian di
atas sana!" begitulah bunyi tulisan yang digores oleh kaki Jaka.
Mata kesepuluh orang berkedok seketika
melotot kaget, manakala melihat tulisan itu. Mata
mereka kemudian beralih memandang pada Jaka,
sepertinya hendak meminta kepastian bahwa Ja-
ka menulis hal tersebut bukanlah untuk bercan-
da. Jaka terus menyurut mundur. Kakinya
kembali menggores pasir hingga menjadi tulisan
kembali. "Kalian lihatlah ke atas sana, pasti kalian akan melihat seorang lelaki
dengan mata be-
ringas penuh dendam memandang ke mari."
"Kau jangan bercanda, Jaka"!" Kedok Hi-
tam nampak tak puas dengan segala apa yang di-
lakukan oleh Jaka. "Kalau ternyata kau telah me-nipuku, jangan harap kau akan
dapat lolos!"
Jaka nampak tersenyum, hatinya seketika
berkata: "Hem, sebenarnya aku tidak memerlukan mereka. Aku tahu, mereka
sebenarnya hanyalah
utusan belaka. Hem, biarlah aku pergi."
Dan manakala kesepuluh orang yang
menghadangnya menengadahkan muka meman-
dang ke arah di mana tertulis oleh Jaka, secepat
kilat Jaka berkelebat laksana terbang.
"Tak ada...!" rungut Kedok Merah.
"Mana dia..."!" Kedok Hitam seketika tersentak, demi melihat Jaka sudah tak ada
di situ. "Heh, apakah kalian tidak mengetahui ke mana ia pergi?" "Aneh! Baru sekejap saja
kita lengah, masak dengan cepat dia bisa berlari?" Kedok Biru melenguh. Ia
sangat takjub mendapatkan kenyataan itu. "Hem, sungguh bukan pendekar semba-
rangan. Kalau dia mau, dia akan mudah menja-
tuhkan kami," gumam Kedok Biru dalam hati.
"Cari dia...!" Kedok Hitam selaku ketuanya berseru memerintah. Namun belum juga
kesembilan anak buahnya pergi, terdengar suara Jaka
tergelak tawa. "Hua, ha, ha...! Bukankah itu suatu bukti
bahwa kalian tak mampu menangkapku" Bukan-
kah kalian ibarat menangkap kodok bangkong
yang sudah ada di depan kalian, eh kalian meme-
jamkan mata. Nah, karena aku tak ada waktu un-
tuk mengurusi kalian, maka untuk kali ini aku
pergi dulu. Kalau kalian memang penasaran, ka-
lian boleh mencariku...!"
"Jaka, jangan kau lari!" Kedok Hitam berseru. "Mana buktimu sebagai seorang
pendekar yang kesohor namanya" Mana..."!"
Tak ada jawaban, yang ada hanya hembu-
san angin gunung menerpa suara mereka yang
seketika itu lenyap.
* * * Jaka terus berlari meninggalkan gunung
Bromo, di mana kesepuluh orang berkedok baru
saja menghadangnya. Langkahnya begitu cepat,
sehingga Jaka kini melesat bagaikan terbang. Ja-
ka yang telah memburu waktu agar dapat segera
menemukan markas Karang Segara tampak ba-
gaikan tak menghiraukan segalanya.
"Aku harus cepat menemukan markas me-
reka!" Jaka menggeretak dalam hati. "Kalau tidak, tentunya mereka akan makin
menjadi-jadi tinda-kannya."
Tengah Jaka berlari dengan cepatnya hing-
ga tak hiraukan sekeliling, tiba-tiba seseorang
tampak berjalan dengan tenangnya setujuan den-
gan Jaka. Jaka tak perduli, malah kini makin di-
percepatnya langkah kakinya.
"Maaf, aku terpaksa," sapa Jaka manakala melintasi orang tersebut.
"Hei, siapa kau"!" orang yang tersentak kaget karena Jaka nyelonong begitu saja
bertanya seraya kelitkan tubuh menghindari tabrakan den-
gan Jaka. "Siapakah engkau adanya?"
Melihat Jaka tak menjawab, segera orang
tersebut yang tidak lain Sugangga adanya tak
mau tinggal diam. Dengan berlari mengandalkan
ilmu meringankan tubuhnya, Sugangga berusaha
Pedang Siluman Darah 24 Misteri Si Cadar Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengejar orang yang berlari.
"Berhenti! Berhenti kau!" Sugangga berteriak-teriak.
Merasa ada seseorang yang berseru me-
manggilnya, Jaka lambatkan larinya. Tak lama
kemudian, Sugangga yang mengejarnya mampu
menyusul. "Ada apakah Ki Sanak berteriak-teriak?"
tanya Jaka masih memalingkan mukanya ke tu-
juan semula. "Apakah Ki Sanak memanggil diri-
ku?" Sugangga yang belum tahu bagaimana
adanya rupa Jaka Ndableg, nampak senyum-
senyum. Kakinya melangkah, berputar dan
menghadang tubuh Jaka.
"Ki Sanak, larimu begitu cepat. Aku jadi
kagum dengan ilmu lari yang engkau miliki," Su-
gangga memuji, menjadikan Jaka Ndableg geleng-
kan kepala sembari tersenyum. "Kalau boleh aku bertanya" Dapatkah Ki Sanak
menunjukkan di mana aku dapat menemui Jaka Ndableg?"
Jaka tak segera menjawab, matanya me-
mandang penuh selidik pada Sugangga. Bibir Ja-
ka seketika terurai senyum, sepertinya ada sesua-
tu di balik uraian senyum tersebut.
"Siapakah adanya engkau, Ki Sanak" Dan
ada keperluan apakah engkau hendak mencari
pendekar muda itu?" Jaka bertanya, sepertinya ia tak mengenali diri. Hal itu
menjadikan Sugangga
yang memang belum tahu persis wajah Jaka, se-
ketika itu kembali berkata menerangkan.
"Aku Sugangga. Aku mencari Jaka- Ndab-
leg karena ia telah membunuh kedua orang tua-
ku." "Siapakah kedua orang tuamu, Ki Sanak?"
Jaka kembali bertanya, menjadikan Sugangga ke-
rutkan kening ditanya begitu rupa oleh Jaka.
"Siapa engkau sebenarnya?" tanya Sugang-
ga, kaget mendengar pertanyaan Jaka yang me-
nanyakan nama orang tuanya. "Apakah engkau
yang bernama Jaka?"
Jaka Ndableg sudah dapat membaca gela-
gat. Kini ia tahu siapa adanya Sugangga setelah
sekian lama ia tercenung mengingat-ingat keja-
dian-kejadian yang telah ia alami. "Hem, tak salah. Pemuda ini mungkin anaknya
orang India itu. Ya, wajahnya mirip orang keturunan India
yang aku kubur hidup-hidup saat menjadi Buto
Ijo," gumam Jaka dalam hati. Matanya terus me-
mandang tajam dengan penuh kepastian meman-
dang ke arah Sugangga.
"Kalau kau memang orang yang aku cari,
sungguh kebetulan."
Jaka masih tersenyum tenang, lalu dengan
suara pelan ia pun berkata. "Apa yang sebenarnya menjadi tujuanmu mencariku, Ki
Sanak?" "Jadi kaukah yang bernama Jaka Ndab-
leg?" "Ya! Itu namaku."
"Kalau begitu kau harus mampus. Hiat...!"
Tersentak Jaka seketika, manakala dengan
cepat Sugangga tanpa menerangkan duduk per-
soalannya langsung menyerangnya. Jaka segera
melompat mundur, berkelit dengan tubuh ber-
jumpalitan. Dan dengan berusaha menangkis se-
rangan yang dilancarkan Sugangga, Jaka terus
berusaha menyadarkan musuhnya. "Ki Sanak,
apa kesalahan yang pernah aku alami hingga
engkau begitu bernafsu menghendaki nyawaku?"
"Bangsat! Masih kau ingin mungkir!" Su-
gangga menggeretak marah. Dan dengan mengge-
ram, kembali Sugangga hantamkan tangannya
menyerang dengan jurus Pusaran Air Toba.
"Wuut! Wuuut! Wuuut!"
"Eit! Sungguh bahaya seranganmu, Ki Sa-
nak! Apakah tidak sebaiknya engkau lakukan la-
tihan lagi di Danau Toba?" Jaka berseloroh dengan terus berusaha menangkis
pukulan Pusaran
Air Toba yang dilancarkan Sugangga. "Kurang cepat menggerakannya, Ki Sanak.
Jurus Pusaran Air Toba, harus dilakukan dengan ketenangan ba-
tin. Kalau engkau melakukannya setengah-
setengah, niscaya engkau sendiri yang akan cela-
ka." "Monyet! Jangan banyak bacot!" bentak Sugangga marah, ia merasa jurusnya
telah dipa-hami benar oleh Jaka. Hatinya ragu untuk terus
menyerang, bertanya-tanya tak mengerti, "Dari mana ia tahu nama jurusku?"
"Kau rupanya kaget, Sugangga. Wah, sung-
guh kau telah ketinggalan jaman. Jurus Tahi Ko-
tok engkau masih gunakan. Bukankah engkau
pelajari dari Dato Pramunu, kakak Datuk Raja
Beracun?" Makin kaget saja Sugangga mendengar
penjelasan Jaka yang menguraikan siapa-siapa
pemilik jurus silatnya. Segera Sugangga rubah ju-
rusnya, setelah terlebih dahulu melompat ke be-
lakang. Dengan didahului memekik keras, Su-
gangga kembali menyerang Jaka yang masih be-
rusaha menghindar belaka, tak sekali pun Jaka
berusaha membalas menyerang.
"Mampus kau, Monyet?" Sugangga han-
tamkan pukulan ke arah dada Jaka. Namun ba-
gaikan menghantam angin belaka, Sugangga ter-
huyung ke muka. Tanpa dapat dicegah, tubuh
Sugangga seketika itu terjerembab.
"Hua, ha, ha...! Mengapa engkau memakai
sepatu yang telah licin, Gangga"!" Jaka bergelak meledek. "Itulah akibatnya kau
tak mau ganti-ganti sepatumu. Wah, sayang sekali. Bukankah
kau anak orang berada" Ya, walau kedua orang
tuamu mendapatkan segala kekayaan dengan ja-
lan pintas."
"Bangsat!" Sugangga yang terjatuh men-
cium tanah segera bangkit dengan segala amarah.
Hatinya meledak-ledak mendengar ucapan Jaka
yang telah membuka rahasia siapa adanya kedua
orang tuanya. "Kubunuh kau, Anak edan!"
"Wah, galak banget...?" kendablegan Jaka mulai kumat. "Eh, bukankah kau sendiri
yang edan" Kalau kau tak edan, manalah mungkin te-
ga menjerumuskan kedua orang tuanya?"
Makin tersentak kaget saja Sugangga men-
dengar ucapan Jaka yang dirasakan benar
adanya. Memang dialah yang menjerumuskan ke-
dua orang tuanya, sehingga kedua orang tuanya
akhirnya nyupang bersekutu dengan Raja Bergo-
la. Dan sebagai perjanjianya, maka adiknyalah
yang menjadi korban.
"Kau terdiam, bukan" Rupanya kau tengah
menyesali diri."
"Bangsat! Jangan kira aku mau mengalah
padamu," Sugangga yang benar-benar sudah di-
landa amarah nampak kalap. Dengan segera di-
cabutnya Pedang Naga Dewa dari sarungnya. Kini
Sugangga benar-benar sudah kalap, lupa pada
apa yang telah dijadikan kutuk oleh gurunya se-
belum mati. Kutukan gurunya berlaku dua kali,
yang pertama dia akan menerima azab sengsara
dengan muka rusak dan darah yang tak akan ke-
ring selamanya. Kutukan yang kedua, dia baru
akan mati setelah menderita azab tersebut sekian
lama. Dan dia akan mati oleh Pedang Naga Dewa.
Jaka tersentak kaget, lemparkan tubuh ke
belakang manakala Sugangga telah berkelebat
dengan pedang pusaka tersebut. Jaka telah tahu
kehebatan pedang pusaka milik Dato Pramunu.
Namun ia tak ada kesempatan untuk berpikir la-
gi, sebab Sugangga telah mencercanya terus me-
nerus dengan pedang tersebut. Yang dapat dila-
kukan Jaka hanyalah berkelit dan berkelit dari
sabetan dan tusukan pedang.
"Wadauw...! Mengapa engkau main-main
dengan pedang pusaka itu, Sugangga?" Jaka wa-
lau dalam keadaan terdesak masih terus meledek
dengan ucapannya yang konyol. "Aku harap, sim-panlah pedang itu."
"Kau rupanya takut, Anak sinting"!"
Sugangga yang menyangka Jaka benar-
benar takut dengan Pedang Naga Dewa, terus
mencerca. Sedikit demi sedikit Jaka terdesak ke
belakang. Kakinya terseret, seakan hendak mem-
buat sebuah lompatan seketika dilihatnya jurang
hanya beberapa tombak lagi di belakangnya.
"Hua, ha ha...! Akhirnya kau harus mati di
sini, Jaka!" bergelak Sugangga menyombong, merasa bahwa dirinya telah mampu
mendesak pen- dekar yang namanya kondang. "Akhir segala ke-
jayaanmu, mati dalam jurang atau di ujung pe-
dangku ini."
Jaka tersenyum sinis mendengar ucapan
sombong Sugangga. Hatinya kini dihadapkan pa-
da dua pilihan. Mengalah, atau melawan dengan
ajiannya. "Hem, bagaimana aku ini" Haruskah
tanganku terkotori darah lagi" Darah seorang
pemuda yang mendendamku karena aku telah
membunuh kedua orang tuanya yang telah ber-
buat dosa pada sesamanya juga pada Tuhan" Ke-
napa orang-orang selalu mementingkan diri me-
reka sendiri?"
Tengah Jaka terdiam bimbang, tiba-tiba
terdengar suara halus berkata yang sebenarnya
ditujukan pada Sugangga. Seketika itu Sugangga
nampak pucat ketakutan, seakan suara itu ada-
lah suara seorang Malaikat. "Gangga, kutukku
yang pertama akan berjalan. Kau akan mengala-
minya sebentar lagi. Kau akan mengalaminya...
kau akan mengalaminya, Gangga!"
Entah perasaan apa dan tenaga apa yang
bersarang, tiba-tiba Jaka yang tadinya sudah ter-
desak memekik dengan ajiannya Petir Sewu.
"Petir Sewu. Hiat...!"
"Tidak...!"
Bersamaan dengan jeritan Sugangga, seke-
tika petir membahana ke luar dari telapak tangan
Jaka Ndableg. "Duar! Bletar! Bletar! Bletar!"
"Aaah...!" Sugangga menjerit, berlari sambil menutupi mukanya yang terhantam
oleh petir"
ciptaan Jaka Ndableg. Darah mengucur deras dari
wajahnya. Sesaat Sugangga berbalik memandang
ke arah Jaka. Dan manakala mukanya dibuka,
saat itu juga Jaka melompat mundur kaget. Muka
Sugangga sangat mengerikan, brodal-bradil den-
gan darah yang terus menetes.
"Kau...! Tunggulah pembalasanku, Jaka!"
"Itu sudah nasibmu, Gangga?" terdengar
suara Dato Pramunu penuh ejekan. "Itulah kutu-
kanku! Kutukan seorang guru yang telah engkau
khianati!"
"Aku tak perduli! Aku tak percaya dengan
ucapanmu, Iblis!" Sugangga memaki-maki pada
suara gurunya, yang kemudian terdengar berge-
lak tawa. "Hua, ha, ha...! Betapa pedihnya, Gangga.
Pedih, bukan?"
"Bangsat! Tunjukkan dirimu, Pramunu!
Tunjukkan!" Sugangga terus memekik penuh
amarah, sepertinya ia tak sadar lagi dengan sakit
yang dideritanya. Bayangan Dato Pramunu kini
melekat pada diri Jaka Ndableg, sehingga dengan
penuh marah Sugangga dengan Pedang Naga De-
wanya berkelebat menyerang diikuti dengan peki-
kan yang membahana.
"Kubunuh kau dua-duanya, Bangsat!
Hiat...!" Jaka tersentak kaget, secepat kilat ia pun
berkelebat menghindar. Hal itu menjadikan Su-
gangga yang kesetanan tak mampu menghentikan
laju larinya. Tanpa ampun, tubuh Sugangga pun
dengan deras terjun ke dalam jurang. "Aaah...!"
"Tragis," lenguh Jaka.
Sesaat Jaka. pandangi bawah jurang yang
gelap, pekat bagaikan tak berpenghuni. Setelah
dirasa tak bakalan dia mampu melihat ke dalam
jurang, segera Jaka pun tinggalkan tempat itu
untuk kembali menemui Wujud Raga yang telah
membuat kerusuhan. Tugasnya hanya satu, me-
nangkap hidup atau mati Wujud Raga ketua ge-
rombolan Karang Segara.
6 "Wujud Raga, keluar kau!"
Wujud Raga yang saat itu tengah berkum-
pul dengan kesepuluh anak buahnya juga seo-
rang putrinya tersentak demi mendengar seruan
seseorang yang berada di luar rumahnya. Mata
mereka seketika saling pandang, lalu segera kese-
puluh orang yang dikenal dengan Kedok Berwar-
na berkelebat menuju ke luar diikuti oleh anak
Wujud Raga. "Bujur buset! Rupanya kalian juga telah
ada di sini," pemuda itu sunggingkan senyum, menjadikan gadis putri Wujud Raga
tersipu malu. "Jaka, ternyata kau datang juga," Kedok
Hitam silangkan tangan ke depan dada. "Sungguh kebetulan. Apakah engkau datang
ke mari hanya sekedar menyerahkan diri?"
"Enak saja kalian ngomong," Jaka masih
Pedang Siluman Darah 24 Misteri Si Cadar Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cengengesan. "Mana ketua kalian. Suruh dia keluar!" "Ayah tak ada!" gadis itu
angkat bicara. "Oh, rupanya kau putri Wujud Raga. Nona,
kau janganlah berdusta. Kau anak manis, se-
layaknya kau harus manis pula dalam bertutur
kata. Anak manis tak boleh berbohong."
"Cuih! Rayuan gombal!"
"Eh, aku tidak merayumu, Nona. Untuk
apa aku mesti merayu-rayu kamu?" Jaka sewot
juga dihina seperti itu oleh anak Wujud Raga.
"Kalau aku mau, banyak wanita cantik melebihi
dirimu yang mencintaiku."
"Tak sudi!" balik si gadis sewot.
"Wuah, galak amat," Jaka masih konyol
berkelakar. "Eh, kalian sepuluh Kedok Butut!
Apakah kalian masih tetap berusaha menyembu-
nyikan ketua kalian?"
"Apa yang engkau mau, Jaka"!" Kedok Hi-
tam kembali angkat bicara. "Kami sebagai wakilnya, maka selayaknyalah kau mau
berterus te- rang pada kami mengapa engkau memburu ke-
tua." Jaka garuk-garuk kepalanya yang tak gat-al. Sebenarnya hal itu sengaja ia
lakukan untuk mengganggu si gadis yang nampaknya melototkan
mata marah. Namun di balik kemarahan si gadis,
nampak jelas tersembunyi sebuah perasaan yang
dalam. Perasaan layaknya seorang gadis yang
menginjak masa puber pertama.
"Waduh! Karena nona, aku jadi lupa. Eh,
tadi kalian ngomong apa padaku, Kedok Butut?"
Jaka masih berlaku ndableg.
Kalau orang lain yang belum tahu siapa
adanya Jaka, tentulah mereka akan marah dikata
Kedok Butut. Tetapi kesepuluh Kedok Berwarna
merupakan orang-orang persilatan yang bukan
kelas kroco. "Jaka, kalau kau ingin menemui ketua,
maka kau harus berhadapan dengan pagarnya
dulu." Jaka kembali garuk kepala, sepertinya tengah memikirkan jalan keluar.
Sebenarnya bisa sa-
ja Jaka menjatuhkan kesebelas orang yang berdiri
di hadapannya, namun semua tidak ia lakukan.
Ia tahu bahwa sebenarnya kesepuluh Kedok Ber-
warna tak tahu menahu masalahnya. "Setan! Wu-
jud Raga memang benar-benar setan!" gerutu hati Jaka sewot. Bagaimanapun, Jaka
tahu bahwa Wujud Raga telah memberikan berita-berita bo-
hong pada Kesepuluh Pendekar Kedok Berwarna,
sehingga kesepuluh pendekar itu mau saja dijadi-
kan umpan. "Saudara-saudara, Sepuluh Kedok Butut,
aku mengharapkan kalian mau sadar. Kalian
hanya terpedaya hasutan Wujud Raga."
"Wuah! Makin ngelantur saja omongan bo-
cah ini, Kakang," Kedok Kuning yang tadi diam ikut bicara.
"Benar! Anak ndableg ini ngelantur! Mung-
kin dia hendak mencari jalan lagi untuk mengela-
bui kita. Hem, jangan harap!" bisik Kedok Hitam.
"Kita serang, mulai!"
Dengan segera kesepuluh Pendekar Kedok
Berwarna bergerak mengurung Jaka. Tersentak
Jaka Ndableg, digaruknya kepala sembari meng-
geleng. "Wuah, rupanya kalian mau main petak ji-dor! Baik, mari kita mulai."
Jaka segera gunakan ilmu meringankan
tubuhnya, berkelebat-kelebat laksana burung.
Sementara kesepuluh Pendekar Berkedok itu tak
mau tinggal diam, segera mereka pun merang-
seknya. Maka dalam sekejap saja, mereka segera
terlibat pertarungan.
"Wah, jurus kalian terlalu lemah!"
"Kau semakin sombong, Jaka!" Kedok Hi-
tam menggeram, lalu dengan cepat tangannya
mencengkeram ke arah Jaka. Diserang begitu,
Jaka segera putar tubuh menjadi gasing.
"Aku ingin melihat sampai di mana kau
bertahan, Jaka!" seru Kedok Merah.
Jaka terus berputar cepat, lalu tanpa se-
pengetahuan pengeroyoknya Jaka telah berkele-
bat terbang. Terbengong seketika kesepuluh pen-
geroyoknya, manakala melihat Jaka tiba-tiba te-
lah berada di atas genting rumah.
"Nah, akhirnya aku mampu lolos dari ka-
lian. Aku akan segera mengurusi pimpinan ka-
lian, lalu kita pun berpisah." Jaka segera melorot masuk, membongkar beberapa
genting dengan paksa. Tersentak seorang tua berjanggut panjang
hitam, yang duduk membelakangi Jaka. Namun
manakala Jaka hendak melangkah menuju ke
orang tersebut, tiba-tiba selarik sinar keluar dari tangan orang yang
membelakanginya.
"Bangsat! Rupanya kau hendak mencela-
kakanku, Wujud!"Jaka menggeretak marah, lem-
parkan tubuhnya ke udara menghindari serangan
gelap tersebut.
"Dalam keadaan apapun, semua boleh di-
lakukan, bukan?" terdengar suara orang tua itu berkata. "Kau adalah musuhku,
maka akupun akan berusaha menjatuhkanmu."
"Aku hanya menjalankan tugas?" Jaka
membentak marah. "Kalau kau mau aku tangkap,
maka hukumanmu akan ringan, Wujud!"
"Hua, ha, ha,..! Sama saja, Jaka!" Wujud Raga kembali hantamkan pukulannya.
"Wuuuus...!"
"Duar...!"
Beruntung Jaka segera melompat ke samp-
ing. Kalau tidak, tentunya tubuhnyalah yang
mengalami kehancuran seperti apa yang terjadi
pada betonan rumah tersebut.
"Edan! Kau rupanya memaksaku, Wujud!"
Jaka benar-benar menggeretak marah. "Jangan
salahkan akhirnya aku menghajarmu!"
"Lakukan bila kau berani, Jaka!" Wujud
Raga menantang. "Dengan kau menggunakan
ajianmu, maka kau tak akan mendapatkan tu-
buhku yang utuh! Kau akan kehilangan peta ter-
sebut." Jaka mikir, seakan benar apa yang dikatakan oleh Wujud Raga. Kalau
dirinya mengguna-
kan ajian, maka tak ayal lagi peta yang dicuri Wu-
jud Raga akan turut lebur bersama tubuh Wujud
Raga. "Tapi, aku tidak yakin kalau Wujud Raga menyimpan peta tersebut dalam
bajunya." Jaka
membatin, bimbang harus bagaimana.
Belum juga Jaka mampu berbuat, tiba-tiba
dari luar berkelebat sepuluh orang berkedok ba-
reng menyerangnya. Kini tak ada jalan lain untuk
Jaka meloloskan diri. Jalan satu-satunya meng-
hadang serangan mereka.
"Menyerahlah, Jaka!"
"Jangan kalian bermimpi! Hiat...!"
Jaka Ndableg dengan segera melompat me-
nyerang kesepuluh orang berkedok. Kesepuluh
orang tersebut tersentak kaget, sebab mereka te-
lah tahu apa yang kini dikeluarkan oleh Jaka. Ja-
ka Ndableg dengan tidak sungkan-sungkan men-
geluarkan jurus Elang Mematok Cobra yang dipe-
lajari dari pertarungan burung elang dengan co-
bra yang ia pelajari secara tidak sengaja.
"Wuut...!" Angin pukulannya menderu.
"Awas...!" Kedok Hitam menjerit, mempe-
ringatkan pada kesembilan rekannya, yang den-
gan segera melompat menghindar. Pukulan yang
dilontarkan Jaka terus menderu, menghantam
betonan tiang penyangga. Tak ayal lagi, tembok
betonan penyangga itu pun hancur berantakan.
Pertarungan terus berjalan, nampaknya
Jaka sudah tidak mau main-main lagi. Jaka terus
mencerca mereka, menjadikan kesepuluh orang
berkedok itu benar-benar dibuat kalang kabut.
"Lebih baik kalian menyingkirlah!" Jaka
kembali memperingatkan. "Kalian keluarlah, dan biarkan pencuri ini sendiri."
Wujud Raga seketika bergelak tawa demi
mendengar ucapan Jaka. "Hua, ha, ha...! Jangan kira aku takut menghadapimu,
Jaka! Ayo kita buktikan." Setelah berkata begitu, secepat kilat Wujud Raga kembali hantamkan
pukulannya. Mau tak mau Jaka pun harus berusaha
menghindari serangan yang dilancarkan berba-
rengan tersebut. Dua belas larikan sinar warna
warni berkelebat terarah ke arahnya. Tersentak
Jaka, lalu dengan sedapat mungkin tubuhnya
menjebol genteng rumah tersebut.
"Mau lari ke mana, Jaka!" Wujud Raga dan kesebelas anak buahnya termasuk anaknya
segera memburu ke luar. "Kemanapun kau lari, jelas kau masih dalam kandang
kami!" "Aku tidak lari, Wujud! Aku hanya me-
nyayangkan rumahmu yang dapat jebol!" Jaka balik berseru. "Aku menunggu kalian
di luar!" Dua belas orang musuhnya terus berham-
buran ke luar. Namun sebelum semuanya sam-
pai, Jaka telah mendahuluinya dengan hantaman
Dewa Topan Melanda Karang.
"Wuuut...!"
Angin pukulan yang dilontarkan Jaka
menderu, menjadikan kedua belas orang tersebut
seketika lemparkan tubuh masing-masing untuk
menghindari kalau memang tidak menghendaki
tubuhnya mental terbawa hempasan angin.
"Bedebah! Rupanya kau curang, Jaka!"
menggeretak Wujud Raga marah. Segera ia papaki
serangan Jaka dengan ajiannya, Bayu Pitu.
"Wuuut...!"
"Duar...!" terdengar ledakan, manakala dua kekuatan bertemu dan saling
menggempur. "Bagaimana, Jaka" Apakah engkau masih
bersikeras?" Wujud Raga cibirkan senyum. Ia merasa bahwa dirinya telah mampu
mengimbangi ilmu yang dimiliki oleh Jaka, seorang pendekar
yang namanya telah kondang.
"Jangan bangga dulu, Wujud! Apapun resi-
konya, aku harus dapat menangkapmu," Jaka
nampak terdiam hening. Matanya menatap satu
persatu pada kedua belas orang yang telah berdiri
di hadapannya. Perlahan kakinya melangkah, se-
pertinya merasakan berat. "Wujud Raga, hari ini juga kau harus menurut padaku.
Kalau tidak, ma-ka aku tak akan segan-segan menghukum-
mu!" "Hua, ha, ha...! Jaka Ndableg, rupanya kau tengah bermimpi. Jangankan
menangkapku, mengalahkan ilmukupun engkau tak akan mung-
kin Jaka"!"
Jaka kerutkan mukanya, seperti ada se-
buah kekesalan yang tak dapat lagi ditahan. Na-
pasnya mendengus, matanya menatap liar, tajam
setajam mata elang. Bersamaan dengan dengus-
nya napas Jaka memburu, seketika dari mulut-
nya ke luar seruan yang mengejutkan kedua belas
orang musuhnya.
"Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!"
"Pedang Siluman Darah...." kedua belas
orang di hadapannya seketika membeliakkan ma-
ta kaget. Mata mereka tak berkedip, memandang,
memaku pada pedang yang tiba-tiba telah berada
di tangan Jaka. Dari ujung pedang, nampak mele-
leh darah membasahi batangnya.
"Wujud Raga, apakah engkau masih terus
membandel?" Jaka masih diam di tempatnya, bertanya: "Kalau kau masih membandel,
maka jan- gan salahkan aku bertindak, Wujud!"
"Hua, ha, ha...! Orang lain mungkin takut
melihat senjatamu yang sudah terkenal itu, Jaka!
Tapi aku, tidak!" Wujud Raga masih terus mencibir, merendahkan apa yang ada pada
diri Jaka. Belum ada orang yang berani menantang Pedang
Siluman Darah. Tapi kini Wujud Raga telah bera-
ni menantangnya.
"Hem, baiklah kalau begitu. Bersiaplah,
Wujud!" Setelah berkata begitu, serta merta Jaka
pun berkelebat dengan Pedang Siluman Darah di
tangannya menyerang Wujud Raga dan kambrat-
nya. Wujud Raga dan kesebelas anak buahnya
tersentak kaget. Ternyata apa yang digembar-
gemborkan para tokoh persilatan bukanlah
omong kosong. Pedang Siluman Darah memang
bukanlah pedang sembarangan. Hawa samberan-
nya saja sudah begitu panasnya, apalagi bila ter-
kena. "Wujud Raga, menyerahlah!" Jaka memekik, sebab pengaruh Pedang Siluman
Darah telah benar-benar merasuk dalam jiwanya. Mata Jaka
merah laksana mengandung api. Tangannya yang
berusaha mempertahankan nampak gemetaran.
"Wujud! Jangan sampai Ratu Siluman Darah
menghisap darahmu!"
"Aku tidak takut, Jaka!" Wujud Raga balik berang. Sementara kesebelas anak
buahnya, nampak hanya terbengong bagaikan terkena sihir
yang keluar dari Pedang Siluman Darah. Mereka
terdiam bengong, mata mereka memandang pe-
nuh rasa takut dan was-was.
"Kalau itu yang kau mau, jangan salahkan
Pedang Siluman Darah 24 Misteri Si Cadar Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku. Hiat...!"
"Lakukan bila engkau mampu, Jaka.
Hiat...!" Dua tubuh berkelebat dengan cepat. Dua
tubuh itu melayang bagaikan terbang. Jaka kib-
latkan Pedang Siluman Darahnya ke arah lajunya
tubuh Wujud Raga. Setelah mereka mendekat,
segera Jaka Ndableg tebaskan pedang tersebut.
"Wuut...!"
"Crass...!"
"Aaah...!" memekik seketika Wujud Raga,
tubuhnya terpotong buntung menjadi dua. Da-
rahnya kering, habis terhisap oleh Pedang Silu-
man Darah. "Ayah...!"
Anak gadis Wujud Raga memekik, lalu
dengan tanpa hiraukan semuanya yang hanya
terdiam mematung, gadis itu segera memburu di
mana tubuh ayahnya tergeletak.
"Bajingan! Kau telah membunuh ayahku!"
"Terpaksa! Ayahmu telah membuat sega-
lanya. Ayahmu telah merongrong pemerintahan."
Jaka menjawab dengan suara parau. Seperti da-
lam nada ucapannya Jaka merasakan kepedihan.
Sebenarnya ia pun tak ingin Pedang di tangannya
harus berlumur darah, tetapi keadaanlah yang
harus memaksanya.
"Kau kejam! Kau kejam!" gadis itu menjerit.
Dipukulinya dada Jaka yang hanya terpaku diam,
lalu setelah puas gadis itupun berlari pergi me-
ninggalkan semuanya yang seketika terbengong.
"Jaka! Tunggulah pembalasanku...!"
Jaka hanya mampu menarik napas, berat
dan serak. "Apakah kehidupahku hanya akan di-
war-nai dengan dendam dan dendam" Apakah
aku harus selamanya bertualang untuk mem-
basmi kejahatan, yang akhirnya menjadikan mata
rantai cerita manusia"!" Jaka bertanya-tanya pa-da diri sendiri.
"Kedok Hitam, tunjukkan di mana peta ter-
sebut ketuamu simpan," Jaka akhirnya berkata setelah untuk sekian lama terdiam
membisu, menghayati arti kehidupannya. "Cepat, Kedok!"
"Ba... baik!"
Dengan dibantu oleh Kesepuluh Tokoh Ke-
dok Berwarna, Jaka pun tak lama untuk mencari
peta tersebut. Peta itu masih utuh, peta milik ke-
rajaan yang memuat tempat-tempat para pembe-
rontak berada. Setelah memeriksa kembali kea-
daan peta tersebut, segera Jakapun berkelebat
pergi meninggalkan mereka yang hanya terben-
gong-bengong kagum dan heran melihat keleba-
tan Jaka yang begitu cepat laksana terbang. Dan
dalam sekejap saja tubuh Jaka telah menghilang
entah ke mana, lenyap dalam sekejap.
*** 7 "Hua, ha, ha...!"
Tersentak kesepuluh Pendekar Kedok Ber-
warna demi mendengar suara gelak tawa yang
membahana, menyentakkan mereka dari lamu-
nannya. Bersamaan dengan habisnya suara gelak
tawa tersebut, tiba-tiba di hadapan mereka berdiri
sesosok tubuh dengan muka tertutup rapat kain
hitam. Kain itu nampak bercak-bercak darah. Se-
pertinya darah itu belum mengering, menetes de-
ras membasahi muka dan cadar.
"Kalian tahu ke mana larinya Pendekar Pe-
dang Siluman Darah?" tanya orang bercadar pada kesepuluh orang berkedok.
"Siapakah engkau, Ki Sanak?" Kedok Hitam yang bertanya.
"Aku...?" orang bercadar dengan darah menetes itu mengulang tanya. "Aku adalah
musuh- nya. Akulah yang akan mengakhiri ketenaran
namanya. Akulah si Cadar Berdarah. Hua, ha,
ha...!" "Cadar Berdarah..."!" kesepuluh orang berkedok memekik.
"Ya! Sekarang tunjukkan padaku, ke mana
Jaka pergi!"
Kesepuluh orang berkedok itu tak langsung
menjawab. Mereka saling pandang antar sesa-
manya. Hal ini menjadikan si Cadar Berdarah
marah. "Bedebah! Kalian rupanya tak hiraukan
aku! Kalian harus mati. Hiat...!"
Tersentak kesepuluh orang berkedok yang
terkenal dengan nama Pendekar Kedok Berwarna,
demi diserang begitu tiba-tiba oleh si Cadar Ber-
darah. Mereka serempak menghambur, menye-
rang balik dengan makian marah.
"Orang sinting! Kenapa tiba-tiba engkau
menyerang kami" Apa salah kami, Hah!" Kedok
Hitam selaku kedok tertua, nampak gusar. "Ru-
panya engkau hendak mencari mati, Orang sint-
ing!" Si Cadar Berdarah tak hiraukan omelan
dan makian Kedok Hitam, ia terus mencerca ke-
sepuluh Pendekar Kedok Berwarna dengan seran-
gan-serangan maut. Serangannya begitu cepat,
seakan gerakannya sukar untuk diikuti.
"Bedebah! Rupanya kau memang orang
sinting!" kini Kedok Merah yang membentak ma-
rah. Dengan nekad Kedok Merah menghambur,
lalu dengan tanpa pikir panjang ia hantamkan
pukulannya. Namun sungguh tidak disangka, se-
buah pedang telah berkelebat menghantam tan-
gannya. Pedang Naga Dewa telah menjadikan tan-
gan Kedok Merah buntung, membawa jeritan Ke-
dok Merah menyayat menahan sakit.
"Aaah...!"
"Bedebah! Kami akan mengadu jiwa den-
ganmu. Hiat...!"
Dengan dikomando oleh Kedok Hitam, ke-
delapan kedok lainnya bergerak menyerang ba-
reng. Namun sepertinya serangan mereka tak
membawa hasil. Setiap kali mereka merangsek,
setiap kali itu si Cadar Berdarah mampu menge-
lakkannya. Bahkan dengan cepat membalas me-
nyerang mereka.
Dalam berapa gebrakan saja, kesembilan
pendekar Kedok Berwarna dapat dijatuhkan. Se-
telah melihat kesembilan Kedok Berwarna tak
berdaya, dengan gelak tawa si Cadar Berdarah
berkelebat pergi meninggalkan tubuh mereka.
"Katakan bila kalian menjumpai Jaka
Ndableg, aku si Cadar Berdarah mencarinya. Hua,
ha, ha...!"
Kesembilan Kedok Berwarna hanya dapat
terdiam bisu. Mereka nampaknya termangu, he-
ran tak mengerti mengapa dalam sehari itu mere-
ka harus berhadapan dengan dua orang pendekar
sakti. Beruntung kedua pendekar itu tak menu-
runkan tangan jahat. Namun yang menjadi mere-
ka heran, mengapa si Cadar Berdarah mencari
Jaka Ndableg" Apa yang sebenarnya terjadi di ba-
lik cadar yang mengeluarkan darah"
Mereka tak dapat menjawab, mereka tak
mengerti harus bagaimana" Nah, untuk kali ini,
Misteri Cadar Berdarah saya cukupkan sampai di
sini. Bila anda ingin mengikuti bagaimana Jaka
selanjutnya. Dan bagaimana tindakan si Cadar
Berdarah, serta anak Wujud Raga, silahkan anda
ikuti kisah Pendekar Pedang Siluman Darah beri-
kutnya!!!! TAMAT Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 11 Dewi Ular 47 Mahluk Seberang Zaman Mutiara Hitam 13