Halilintar Di Singosari 1
Wiro Sableng 067 Halilintar Di Singosari Bagian 1
SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
1 ARUS Kali Brantas mengalun tenang
di pagi yang cerah itu. Sebuah perahu
kecil meluncur perlahan melawan
arus dari arah Trowulan. Di atasnya
Ada dua orang penumpang
berpakaian seperti petani. Yang satu
berusia hampir setengah abad.
Rambutnya yang disanggul di sebelah
atas sebaglan nampak putih. Raut
wajahnya yang terlindung oleh
caping lebar jauh lebih tua dari usia
sebenarnya. Kumis dan janggutnya
lebat. Tetapi jika orang berada dekat-
dekat padanya dan memperhatikan wajahnya dengan seksama akan ketahuan bahwa
kumis dan janggut lebat itu adalah palsu.
Orang bercaping itu duduk di sebelah depan perahu. Kedua matanya memandang
lurus-lurus ke muka. Sesekali tangan kanannya meraba sebilah keris yang terselip
di pinggang, tersembunyi di balik pakaian hitamnya. Orang kedua adalah pemuda
berbadan kekar.
Pakaiannya lecek dan basah oleh keringat. Sehelai kain putih terikat di
keningnya. Rambutnya yang panjang tidak disanggul di atas kepala, tapi dibiarkan
terlepas menjela pundak.
"Gandita, aku sudah dapat melihat pohon cempedak miring di tepi kali di ujung
sana," berkata lelaki yang lebih tua.
Gandita, pemuda yang mendayung perahu, meninggikan lehernya sedikit dan
memandang jauh ke muka, Memang diapun dapat melihat pohon cempedak yang
dikatakan orang itu tadi.
Pohon cempedak itu tumbuh di tepi kali dalam keadaan miring. Lebih dari separuh
batangnya sampai ke puncak pohon membelintang di atas Kali Brantas.
KARYA 1 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
"Saya juga dapat melihatnya dari sini Adipati," ujar Gandita. "Sebentar lagi
kita akan sampai. Menurut Adipati apakah orang-orang Kedri itu akan datang?"
"Manusia bernama Adikatwang itu tidak pernah tidak menepati janji. Dia pasti
datang. Kalau dia tidak datang berarti dia telah bertindak tolol. Kesempatan hanya ada
satu kali. Sekali lewat jangan harap bakal muncul lagi."
Gandita mendayung, perahu meluncur perlahan. Da1am hati dia berkata. Kalau
orang-orang Kediri tidak muncul, sungguh gila jauh-jauh datang dari Madura
seperti ini! Saat demi saat perahu semakin dekat ke pohon cempedak miring. Tepat di bawah
batangnya yang membelintang di atas kali Gandita merapatkan perahu ke tebing.
"Tidak kelihatan siapapun," kata orang yang dipanggil dengan sebutan Adipati.
Dia bernama Wira Seta dan dia memang adalah seorang Adipati dari Madura.
"Saatnya kita mengeluarkan tanda rahasia," kata Wira Seta.
Gandita mengangguk. Dia bangkit dan berdiri di atas perahu. Sesaat pemuda ini
memandang berkeliling. Lalu kedua tangannya dibulatkan dan diletakkan di depan
bibir. Dari mulut Gandita keluar suara seperti bunyi burung tekukur. Lalu sunyi.
Kedua orang dalam perahu menunggu dengan air muka tampak tegang.
"Aneh, tak ada sahutan..." kata Wira Seta. "Mungkin mereka belum sampai di
sini?" Gandita tidak menyahut.
"Coba sekali lagi," kata Wira Seta.
Kembali pemuda itu menirukan suara burung tekukur. Lalu sunyi lagi. Tiba-tiba
ada suara suitan merobek kesunyian. Disusul oleh suara burung tekukur.
Wira Seta tampak lega. "Mereka sudah ada di sini. Sebaiknya kita naik ke darat."
Kedua orang itu keluar dari perahu, melompat ke tebing kali lalu naik ke darat.
Pada saat itu rerumpunan semak belukar di sebelah kanan nampak tersibak. Dua
orang berpakaian perajurit Kediri muncul. Keduanya membawa panah dan saat itu
keduanya telah merentang busur, membidikkan anak panah ke arah Wira Seta dan
Gandita. Panah beracun, kata Gandita dalam hati begitu melihat ujung panah yang terbuat
dari besi berwarna sangat hitam. Baik dia maupun Wira Seta tetap berlaku tenang.
"Prajurit-prajurit Kediri, mana pemimpin kalian?" tanya Wira Seta.
Salah seorang perajurit menjawab. "Kami dipesan agar melihat benda tanda
jatidiri lebih KARYA
2 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
dahulu sebelum membawa pada pemimpin kami."
Gandita berpaling pada Wira Seta. Adipati ini keluarkan keris yang terselip di
pinggangnya lalu memperlihatkannya pada perajurit yang masih tegak dengan
membidikkan panah beracun tepat ke arah jantungnya. Keris ini gagang dan
sarungnya terbuat dari perak murni. Pada bagian-bagian tertentu dilapisi emas
serta beberapa buah permata. Pada badan sarung dan gagang keris terdapat ukiran
kepala singa dengan badan berbentuk manusia. Inilah keris Narasinga, salah satu
senjata pusaka Keraton Kediri yang berasal dari sesepuh dan pendiri Kerajaan
yaitu Sang Prabu Kameswara.
Kedua perajurit Kediri itu segera mengenali keris Narasinga. Mereka mengangguk
lalu menurunkan busur masing-masing. Yang satu berkata, "Ikuti kami."
Setelah melewati beberapa kelompok rerumpunan semak belukar, di satu tempat yang
agak terbuka kelihatan sepuluh orang perajurit berkuda. Salah seorang dari
mereka, yang bertindak sebagai pemimpin segera turun dari kuda. Beberapa saat
dia memandangi lelaki bercaping, berkumis dan berjanggut tebal itu seperti
tengah meneliti. Kemudian cepat dia memberi penghormatan seraya berkata,
"Harap maafkan, saya tidak mengenali Adipati dalam penyamaran ini!" perajurit-
perajurit lainnya segera pula memberi penghormatan.
Wira Seta membalas penghormatan itu dan memandang berkeliling lalu bertanya,
"Mana pemimpin kalian?"
"Beliau segera datang. Harap Adipati suka bersabar sesaat." Jawab perajurit yang
ditanya. Tak lama kemudian seekor kuda nitam besar muncul ditunggangi seorang lelaki
berusia hampir enam puluh tahun, berpakaian sederhana. Rambutnya hitam tebal
disanggul di atas kepala. Orang ini turun dari kudanya, berjalan mendekati Wira
Seta lalu tersenyum.
"Penyamaran Adimas Wira Seta rapi sekali. Bertemu di tempat lain sulit bagiku
mengenali."
Di antara kedua orang sahabat itu Wira Seta memang beberapa tahun lebih muda.
Karena itulah orang dihadapannya memanggilnya dengan sebutan Adimas.
Wira Seta membuka capingnya. Kedua orang itu lalu saling berpelukan.
"Jauh-jauh dari Sumenep Dimas tentu letih sekali. Aku ingin membawa Dimas ke
Gelang-gelang. Tetapi keadaan kurang mengizinkan. Harap Dimas maklum."
KARYA 3 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Adipati Wira Seta mengangguk. "Suatu ketika akan tiba saatnya kita dapat
berkumpul bersama-sama secara terbuka, tanpa rasa takut. Kangmas Adikatwang,
apakah kau ada baik-baik saja?"
"Para Dewa memberkahi serta melindungiku dan keluarga. Walau hidup di bawah
Singosari penuh tekanan tapi kita terpaksa pasrah. Sudah untung Sang Prabu masih
mau memberikan daerah Gelang-Gelang kepadaku."
Adipati Wira Seta mernegang bahu Adikatwang, putera Sri Baginda Kertajaya yang
pemah berkuasa di Kediri sebelum Kerajaan itu diserbu dan ditunduk kan oleh
Singosari dibawah pimpinan Ken Arok yang bergelar Ranggah Rajasa belasan tahun
yang silam, "Siapa yang bisa hidup tenang dan leluasa saat ini Kangmas Adi," kata Adipati
Wira Seta pula. "Lihat saja dengan diri saya. pengabdian dan jasa apa yang tidak
saya lakukan untuk Kerajaan. Saya tidak mengharapkan dianggap sebagai pahlawan
besar. Jalan pikiran saya dicurigai, perlakuan terhadap diri saya sungguh
menyakitkan. Saya dipaksa menerima nasib ditendang dari Kotaraja. Dikucilkan
jadi Adipati di Madura yang gersang! Dengan kata lain saya disuruh makan garam
banyak-banyak agar cepat mati!" Wira Seta masih bisa tertawa dalam mengutarakan
uneg-unegnya. "Aku mengerti kekecewaan Dimas Wira Seta," kata Adikatwang.
"Kekecewaan, tekanan dan penghinaan yang kita terima tidak akan berjalan lama.
Saya percaya waktunya untuk Kangmas memegang tampok kekuasaan akan segera
datang." Adikatwang memandang sejurus pada pemuda yang berdiri di samping Wira Seta lalu
bertanya, "Dimas, siapakah pemuda yang tampan ini?"
"Namanya Gandita. Dia murid seorang sakti di puncak Gunung Kelud. Dia orang
kepercayaan saya yang bakal banyak memberikan bantuan dalam rencana kita."
Gandita memberi penghormatan pana Adikatwang lalu kembali tegak dengan sikap
siap seorang perajurit.
"Aku senang kau membantu Adipati Wira Seta. Pemuda-pemuda gagah sepertimu memang
bakal banyak diperlukan."
"Terima kasih Adipati," kata Gandita seraya membungkuk.
"Kangmas Adi, sekarang kita perlu bicara empat mata. Mari kita cari tempat yang
baik." Raden Adikatwang mengangguk. "Kalian tetap di sini," katanya pada para
pengawalnya. KARYA 4 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
lalu kedua sahabat ini melangkah ke arah tepian Kali Brantas. Di balik
serumpunan semak belukar tak berapa jauh dari pohon cempedak hutan yang tumbuh
miring, mereka memilih tempat yang baik dan duduk di tanah meneruskan
pembicaraan. "Saya dan beberapa kawan telah siap menjalankan apa yang jadi rencana. Kami
hanya menunggu keputusan Kangmas saja."
"Berapa kekuatan orang Adimas keseluruhannya?" tanya Adikatwang.
"Sekitar dua ribu orang. Semua mereka merupakan perajurit-perajurit terlatih dan
berpengalaman. Semangat mereka tinggi. Mereka rela mengorbankan darah dan nyawa
demi berdirinya kembali Kerajaan Kediri."
Untuk beberapa lamanya Adikatwang berdiam diri seperti merenung. Dalam dirinya
terjadi pergolakan. Hati kecilnya menyuarakan hal yang berbeda dengan otaknya.
Sebenarnya aku sudah cukup pasrah menerima keadaan. Jika pecah lagi peperangan
yang jadi korban dan banyak menderita pastilah rakyat.
"Apa Yang Kangmas pikirkan?" bertanya Adipati Wira Seta.
"Kekuatan kita agaknya memang meyakinkan," berkata Adikatwang,
"Belum terhitung orang-orang seperti Gandita. Lalu orang-orang dari dunia
persilatan. Para pemuka agamapun menyokong perjuangan kita mendirikan Kediri kembali."
"Apakah aku harus memberi keputusan sekarang Dimas Wira Seta?"
"Bukankah untuk maksud itu saya datang jauh-jauh dari Madura?" sahut Wira Seta.
Kembali Adikatwang tampak termenung.
Melihat hal ini Wira Seta berusaha membakar hati sahabatnya itu dengan
mengungkit peristiwa lama.
"Kangmas, apakah kau akan melupakan begitu saja perbuatan jahat orang-orang
Singosari" Mereka menyerbu dan menghancurluluhkan negeri kita. Merampas harta
kekayaan rakyat kita. Membunuh ratusan rakyat. Salah satu korban mereka yang
terbesar adalah Sang Prabu Kertajaya, ayahanda Kangmas sendiri. Apakah perkiraan
Kangmas arwah ayahanda Kangmas akan berada dalam keadaan tenteram di swarga loka
sebelum dia melihat kita menuntut balas atas kejahatan dan kekejaman musuh"
Mohon maafmu Kangmas, sebagai seorang sahabat saya akan terpaksa berkata. Kalau
Kangmas mundur dengan rencana ini, saya dan kawan-kawan akan tetap
melaksanakannya. Kediri harus bangun kembali. Tugas dan KARYA
5 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
tanggung jawab itu ada di pundak orang-orang seperti kita. Apalagi mengingat
Kangmas adalah pewaris tunggal dan syah dari tahta Kerajaan Kediril"
Raden Adikatwang menarik nafas panjang. Setelah berdiam diri sesaat akhirnya dia
berkata. "Kita tetap sama-sama menjalankan rencana besar ini Dimas. Bagaimana
persiapan pasukan?"
"Mereka sudah lama siap. Tindakan saya yang pertama dalam waktu dekat ini ialah
membawa mereka ke Canggu. Dari sini pasukan akan disebar dalam dua arah. Yang
pertama ke Utara Singosari, sebagian lagi ke arah Selatan sekitar Badud dan
Jago." "Kalau begitu kita tentukan saja sekarang hari dan saat penyerangan agar pasukan
dari Gelang-Gelang bisa bergabung dalam waktu yang tepat," kata Adikatwang.
"Itu satu hal yang sangat bagus. Saya mengusulkan agar pasukan Kangmas
memperkuat pasukan yang di Selatan. Saya sudah menyusun satu tipuan yang bakal
menghancurkan Singosari dalam waktu singkat."
Lalu Adipati Wira Seta memberi tahu rencananya itu.
"Aku sangat setuju Dimas. Kau memang seorang Panglima Perang yang cerdik. Sang
Prabu kelak akan menyesal seumur hidup telah menyia-nyiakan dirimu."
Wira Seta tersenyum. Tapi tiba-tiba Adikatwang melihat air muka sahabatnya itu
berubah. "Ada apa Dimas?" tanya Adikatwang.
"Saya mencium bau yang sangat tajam. Bau apa ini?" Wira Seta memandang
berkeliling. Adikatwang mendongak dan menghirup udara dalam-dalam. Dia mengenali bau yang
diciumnya itu. "Bau buah cempedak," katanya. "Cempedak hutan!"
Wira Seta cepat berdiri lalu melangkah ke arah ka1i. Adikatwang mengikuti dari
belakang. Mereka bergerak ke jurusan pohon cempedak yang tumbang melintang di
atas kali. Di satu tempat Wira Seta yang berada di sebelah depan hentikan langkah, memberi
tanda pada Adikatwang lalu menunjuk ke arah pohon cempedak.
"Lihat..." bisiknya. "Ada orang di atas sana."
Adikatwang memandang ke atas pohon. "Bukankah itu Gandita, pemuda
kepercayaanmu?" kata Adikatwang pula.
"Warna pakaiannya dan ikat kepalanya memang sama. Rambutnya juga sama panjang.
Tapi itu bukan Gandita," jawab Adipati Wira Seta.
KARYA 6 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
"Jangan-jangan kita telah kecolongan, Dimas. Bukan mustahil pemuda gondrong di
atas pohon itu adalah mata-mata Singosari. Celaka kita kalau dia telah mendengar
semua pembicaraan kita!"
"Saya meragukan hal itu Kangmas. Lihat caranya duduk berjuntai di batang pohon.
Makan cempedak sambil menggoyang-goyangkan kaki. Seorang mata-mata tidak akan
melakukan hal itu."
"Siapapun dia kita harus menyelidiki. Aku akan memberi tahu para pengawal.
Tempat ini harus segera dikurung. Jangan orang itu sampai melarikan diri. Kau
tunggu di sini. Awasi dia.
"Cepatlah!" kata Wira Seta. "Suruh Gandita kemari!"
*** KARYA 7 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
2 ORANG yang duduk di batang pohon sambil memangku buah cempedak matang dan harum
sepertinya tidak tahu kalau dirinya diawasi. Dia terus saja menyantap buah itu
sambil duduk berjuntai goyang-goyangkan kedua kakinya. Kulit cempedak dan juga
biji buah itu dibuangnya seenaknya ke bawah. Beberapa potongan kulit dan biji
malah ada yang jatuh ke dalam perahu milik Wira Seta yang ditambatkan di tepi
kali. Jengkelnya Adipati Sumenep itu bukan kepalang. Namun dia tidak mau
bertindak gegabah. Dia maklum, hanya orang-berkepandaian tinggi yang
kehadirannya tidak diduga seperti itu. Lalu bukan sembarang orang bisa duduk
berjuntai di batang pohon sambil menyantap buah dengan cara begitu.
Wiro Sableng 067 Halilintar Di Singosari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil menikmati buah cempedak yang harum itu si pemuda berambut gondrong
sesekali terdengar menyanyi-nyanyi kecil. Kadang-kadang tangan kirinya tampak
mengusap-usap perut seolah mengukur-ukur apakah dia sudah cukup kenyang.
Sesekali tangannya yang lengket oleh getah buah itu enak saja dipakai untuk
menggaruk-garuk kepalanya yang berambut gondrong.
Adikatwang dan para pengawal muncul di tempat itu bersama Gandita. Tanpa suara
mereka segera mengurung tempat tersebut. Di atas pohon si pemuda masih terus
saja enak-enakan menyantap buah cempedak. Wira Seta memberi isyarat pada
Gandita. Pemuda ini melangkah mendekati pohon cempedak lalu berseru.
"Ki sanak di atas pohon! Turunlah sebentar! Kami ingin bertanya!"
Pemuda di atas pohon menoleh ke bawah.
Wira Seta berbisik pada Adikatwang. "Lihat, dia tidak terkejut ketika diteriaki.
Berarti secara diam-diam sebenarnya dia sudah mengetahui kehadiran kita di sini.
Tapi bersikap tidak perduli."
Setelah memandang ke arah Gandita sesaat, orang di atas pohon kembali meneruskan
makan buah cempedaknya tanpa menjawab seruan orang.
Gandita berteriak sekall lagi. Lebih keras. "Ki sanak! Aku yakin kau mendengar
seruanku. Harap turun sebentar. Kami ingin bertanya!"
8 KARYA BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Pemuda di atas cabang pohon muntahkan biji cempedak dari mulutnya. Biji cempedak
ini jatuh dan masuk ke dalam perahu. Gandita melirik. Ternyata perahu itu sudah
penuh dikotori biji dan kulit buah cempedak.
"Ki sanak!" teriak Gandita mulai berang. "Apa kau tuli" Tidak mendengar orang
memanggil"!"
"Tidak! Aku tidak tuli!" tiba-tiba orang di atas pohon menjawab. Suaranya parau
karena dia menjawab sambil mengunyah cempedak. Waktu menjawab kepalanya tidak
dipalingkan ke arah Gandita, membuat pembantu Wira Seta ini menjadi tambah
jengkel. "Kalau tidak tuli mengapa orang bertanya kau tidak menjawab"!" Teriak Gandita.
"Soalnya aku ingin tahu dulu siapa yang bertanya!"
Gandita hendak menyahuti. Tetapi Adikatwang cepat memegang bahunya dan
mendahului menjawab.
"Kami penguasa Kediri! Kau berada di wilayah kekuasaan kami! Jadi kami berhak
menyelidik siapa dirimu!"
"Yang jelas aku bukan penjahat! Tapi aku memang mencuri cempedak ini. Cempedak
dalam hutan tak bertuan, jika kuambil apakah itu namanya mencuri?"
"Ki sanak kami minta kau turun dulu baru bicara! Sikapmu seperti orang tidak
tahu aturan!" Gandita berteriak.
"Ki sanak, apakah kau orang yang tahu aturan" Mengganggu orang yang sedang
makan" Jika kau sedang enak-enakan makan apakah kau mau diganggu?"
Adikatwang memegang bahu Wira Seta. "Jangan-jangan pemuda di atas sana seorang
yang kurang waras. Lebih baik kita tinggalkan saja dia."
"Tidak Kangmas. Saya berkeyaklnan pemuda itu bukan orang gila. Kita akan lihat!"
Wira Seta lalu ganti berteriak. "Orang muda, jika kau tidak mau turun untuk kami
tanyai, jangan menyesal kalau kami terpaksa menurunkan tangan keras!"
"Jika memang ada hal penting yang kalian ingin tanyakan, berteriak saja dari
bawah. Apa susahnya?"
Jawaban itu membuat marah Wira Seta. Dia memberi isyarat pada Gandita.
"Beri dia pelajaran!"
Gandita melangkah lebih dekat ke pohon yang lumbuh di tebing kali itu. Sekali
dia 9 KARYA BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
berkelebat tubuhnya melayang ke atas pohon dan kedua kakinya menjejak pada
cabang, tepat di mana pemuda berambut gondrong duduk uncang-uncang kaki sambil
menikmati buah cempedak.
"Hai! Kau mau cempedak"!" si gondrong menawari.
Plaaak! Satu tamparan keras dilayangkan Gandita. Tepat mendarat di pipi kanan pemuda
yang tengah mengunyah cempedak. Buah berikut biji yang ada di dalam mulutnya
menyembur keluar bersama ludah ke muka Gandita!
"Kurang ajar!" Gandita marah sekali. Kalau tadi tamparan yang dilayangkannya
kini satu jotosan segera dihantamkannya. Saat si pemuda telah terbanting akibat
tamparan keras tadi.
Tubuhnya tersentak dan jatuh ke belakang. Tapi kedua kakinya dengan cekatan
menggelung batang pohon hingga tubuhnya tidak jatuh ke bawah melainkan hanya
berputar satu kali pada batang cempedak. Meskipun pipinya sakit dan bertanda
merah namun si gondrong itu memandang menyeringai kepada Gandita.
Merasa seperti dipermainkan pembantu kepercayaan Adipati Wira Seta ini lepaskan
satu jotosan. Bukk! Jotosan keras itu mendarat di dada membuat tak ampun lagi yang dijotos
terjengkang. Buah cempedak besar yang tinggal setengah terlepas dari tangannya jatuh ke
bawah. Tubuhnya sendiri menyusul melayang jatuh!
Anehnya setelah ditunggu sekian lama tidak ada suara tubuh yang jatuh bergedebuk
di tebing sungai atau suara orang jatuh ke dalam air kali. Gandita memandang ke
bawah. Wira Seta dan Adikatwang serta beberapa orang perajurit melompat ke tepi
kali. Apa yang mereka saksikan"
Pemuda gondrong yang tadi kena jotosan Gandita enak-enak duduk setengah
berbaring di dalam perahu milik Wira Seta. Di atas perutnya dia memegang buah
cempedak dan mulutnya saat itu sudah mengunyah buah itu kembali!
Tentu saja semua orang terkejut melihat hal itu. Bagaimana tubuh seseorang bisa
jatuh ke atas perahu tanpa mengeluarkan suara, bahkan kelihatannya perahu itu
hampir tidak bergoyang. Air Kali Brantaspun tidak tampak beriak!
10 KARYA BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Di atas pohon Gandita marah bukan main. Dia benar-benar merasa dipermainkan di
hadapan orang banyak. Segera dia melompat ke bawah ke arah perahu. Sambil
melayang turun kaki kanannya ditendangkan ke kepala pemuda yang duduk di dalam
perahu itu. Sekali ini si gondrong rupanya jadi merasa jengkel juga diserang terus-terusan
begitu rupa. Kaki kanannya diinjakkan ke kayu pendayung di lantai perahu.
Pendayung ini melesat ke atas, melayang ke arah Gandita.
Gandita menggeram marah. Tendangannya yang seharusnya mengenai kepala pemuda
itu, kini terhalang oleh kayu pendayung.
Praakk! Kayu pendayung patah dua, mencelat ke udara lalu jatuh ke dalam Kali Brantas.
Gandita membuat gerakan jungkir balik agar tubuhnya tidak salah jatuh ke dalam
air. Sesaat kemudian kedua kakinya sudah menginjak tepian kali. Ketika dia
kembali hendak menyerang pemuda yang masih duduk di atas perahu itu, Wira Seta
cepat memegang bahunya. "Gandita, kau mundurlah. Biar aku yang mengurus pemuda
ini," kata Adipati Sumenep itu. Sekali dia bergerak tubuhnya melayang dan masuk
ke dalam perahu, duduk berhadap-hadapan dengan si pemuda.
"Anak muda, maafkan kalau orangku tadi bertindak tidak pada tempatnya. Ternyata
kau bukan pemuda biasa."
Pemuda di hadapan Wira Seta angkat kepala. Dia menatap lelaki itu sesaat. "Ah,
kau ternyata lebih sopan sedikit dari sobat mudamu itu. Kau mau kubagi buah
cempedak ini?"
"Terima kasih. Aku berpantang makan yang nnanis-manis," jawab Wira Seta.
"Kepandaian seperti yang kau miliki membuat aku kagum. Pemuda sepertimu sangat
dibutuhkan oleh Kerajaan. Apakah kau mau berbakti pada Kerajaan?" Tanya Wira
Seta kemudian. "Kerajaan yang mana" Kediri atau Singosari?"
Wira Seta sesaat terkesiap oleh pertanyaan itu. "Bukan Kediri bukan Singosari.
Tapi satu Kerajaan baru yang kelak akan muncul. Namanya Kediri baru."
"Maafkan aku orang tua. Aku tidak tertarik," jawab si pemuda lalu kelihatan dia
senyum-senyum. "Kenapa kau tertawa?" tanya Adipati Sumenep itu kurang senang.
11 KARYA BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
"Orang tua, apakah kau ini anggota wayang orang atau pemain sandiwara keliling?"
Paras Wira Seta menjadi merah.
"Aku jauh lebih tua darimu. Tidak pantas kau ajak bergurau!"
"Siapa bergurau" Aku tanya yang wajar-wajar saja. Kalau kau bukan seorang pemain
sandiwara mengapa memakai kumis dan janggut palsu?"
"Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu. Tapi kau harus menjawab pertanyaanku!
Katakan siapa dirimu dan apa yang kau kerjakan di tempat ini."
"Pertanyaan mudah. Jawabnya juga mudah. Namaku Wiro. Aku di sini tengah makan
cempedak. Nah, kau puas orang tua?"
"Tidak, aku tidak puas." Jawab Wira Seta. "Aku punya kecurigaan kau adalah
seorang mata-mata yang tengah mengintai kami."
Si gondrong yang adalah Wiro Sableng murid nenek sakti Eyang Sinto Gendeng dari
Gunung Gede yang dalam dunia persilatan dikenal dengan julukan Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212 menyeringai.
"Tuduhanmu tidak beralasan orang tua, tapi apa yang barusan kau ucapkan justru
menimbulkan kecurigaan dalam hatiku!"
"Adipati, biar saya menghajar orang ini. Mulutnya terlalu lancang dan sikapnya
sangat kurang ajar!" terdengar suara Gandita.
Wira Seta mengangkat tangan memberi tanda agar pembantunya itu tetap berada di
tempatnya. Lalu dia berpaling pada pemuda yang duduk dalam perahu di hadapannya.
"Apa maksudmu" Apa yang kau curigai dan siapa yang kau curigai?" suara Wira Seta
menyentak. "Jika kau tidak menyimpan satu rahasia mengapa harus mencurigai orang dan
menuduh aku mata-mata!?"
"Lalu mengapa kau tahu-tahu muncul di tempat ini. Kau pasti sengaja mencuri
dengar apa yang kami bicarakan di sini!" sergah Wira Seta.
"Orang tua, kau memang kelewatan. Sebelum kau dan orang-orang itu muncul, aku
sudah sejak pagi berada di tempat ini. Bagaimana kalau kubalik. Justru kaulah
sebenarnya yang tengah memata-matai diriku!"
Raden Adiatwang maju ke tepi kali. "Dimas, pemuda ini membuat aku mual. Aku akan
12 KARYA BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
perintahkan pengawal menangkapnya. Aku akan bawa dia ke Gelang-Gelang dan
diperiksa di sana! Kalau dia ternyata memang seorang pemuda kurang waras, aku
akan lepaskan dia."
"Aku punya dugaan dia sengaja bersikap dan bicara konyol seperti orang tidak
waras untuk menutupi sesuatu." Wira Seta melompat keluar dari dalam perahu
seraya berseru, "Para pengawal! Tangkap orang ini!"
"Hajar kalau melawan!" menimpali Adikatwang.
Enam orang perajurit Kediri melompat ke dalam perahu. Dua lainnya turun ke dalam
air, mencegat di samping kiri perahu untuk mencegah si pemuda yang hendak
ditangkap agar jangan sampai melarikan diri.
Perahu kecil dijejali enam orang pengawal, tujuh dengan Wiro tentu saja tidak
dapat menampung orang sebanyak itu. Perahu ini langsung amblas terbalik. Semua
orang yang ada diatasnya jatuh masuk ke dalam air, tidak terkecuali Wiro.
Semua orang di tepi kali kemudian terkejut ketika mereka mendengar suara
teriakan-teriakan delapan perajurit yang ada di dalam kali. Satu demi satu tubuh
mereka seperti ditarik ke dalam air. Ketika mereka akhimya muncul kembali
suasana di tepi Kali Brantas itu menjadi heboh. Tidak satupun lagi dari ke
delapan perajurit Kediri yang keluar dari kali itu kini mengenakan celana! Dalam
keadaan tubuh setengah telanjang pada bagian yang paling rawan itu, mereka
kalang kabut berusaha menutupi aurat!
Dalam keadaan seperti itu di seberang kali terdengar suara tertawa mengakak.
Semua orang di tepi Barat kali memandang ke seberang. Di tepi Timur Kali Brantas
kelihatan pemuda berambut gondrong itu tegak sambil tertawa terpingkal-pingkal.
Di kedua tangannya dia memegang delapan helai celana panjang yang sebelumnya
dikenakan oleh delapan perajurit.
Satu demi satu celana itu dilemparkannya ke dalam kali, hanyut dibawa arus ke
hilir. "Penghinaannya sudah keterlaluan!" geram Adikatwang sambil mengepalkan tinju.
"Lepaskan panah beracun!" teriaknya. Tiga orang anak buahnya segera menyiapkan
busur dan panah beracun. Tetapi ketika tiga panah itu melesat ke seberang kali,
Pendekar 212 Wiro Sableng sudah lenyap. Hanya suara tertawanya yang masih
kedengaran di kejauhan.
"Manasia itu tidak gila!" kata Adikatwang.
"Kalau dia memang sempat mendengar pembicaraan kita, keadaan bisa sangat
berbahaya," ujar Wira Seta pula. Air mukanya tampak jadi gelisah.
13 KARYA BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
"Aku akan sebar orang untuk mencari jejaknya." Adikatwang juga tampak tidak
tenang. Yang paling terpukul adalah Gandita. Pemuda itu berulang kali kelihatan
mengepalkan kedua tinjunya bahkan membanting-banting kaki. Dia memisahkan diri
dari orang-orang di tepi kali itu. Dalam hatinya dia tidak habis pikir.
Tamparanku seharusnya sudah cukup membuat pemuda itu cedera berat. Tapi bahkan
jotosanku seperti tidak ada apa-apanya! Aku malu sekali! Dimana mukaku hendak
kuletakkan. Apa kata Adipati Wira Seta nantinya. Juga bagaimana pula pandangan
Raden Adikatwang. Padahal dia baru saja memujiku. Aku murid orang sakti dari
Gunung Kelud. Digembleng selama bertahun-tahun. Tapi ternyata tidak mampu
menghadapi anak desa tadi. Wiro... Namanya Wiro. Belum pernah aku mendengar
seorang pendekar dengan nama itu. Siapa dia sebenarnya" Aku harus mencarinya.
Aku harus menantangnya. Berkelahi sampai seratus bahkan seribu jurus kalau
perlu. Aku harus menghajarnya dan membuatnya bertekuk lutut! Hanya itu satu-
satunya cara untuk mengem-balikan kepercayaan Adipati Wira Seta dan Raden
Adikatwang. Untuk melepaskan rasa geram dan amarah yang seperti membakar dadanya Gandita
memukul batang pohon yang ada di depannya.
Braaak! Kulit pohon pecah, bagian dalamnya hancur. Terdengar suara bergemuruh ketika
pohon itu patah dan tumbang.
Satu tangan memegang bahu Gandita. Pemuda ini mengira orang itu adalah pemuda
gondrong yang telah mempermalukannya. Cepat dia membalik seraya menghantamkan
tinju dengan kekuatan tenaga dalam penuh! Angin pukulannya terdengar
menggidikkan. Tapi Gandita cepat menarik pulang tangannya ketika melihat siapa yang berdiri di
hadapannya. Pemuda ini jatuhkan diri dan berkata.
"Adipati, maafkan saya. Saya kira...."
Adipati Wira Seta mengangguk. "Aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini Gandita."
"Saya tidak berguna jadi pembantu Adipati," berterus terang pemuda itu.
"Jangan berkata begitu anak muda. Hidup ini penuh cobaan dan tantangan. Apapun
yang telah terjadi hanya satu pengalaman agar dimasa mendatang kita harus
belajar lebih banyak.
Aku tetap percaya kau adalah pembantuku yang terbaik. Berdirilah. Kita akan
segera kembali ke Sumenep."
14 KARYA BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Sambil mengusap mukanya Gandita bangkit berdiri. Apapun yang dikatakan oleh sang
Adipati tidak membuat rasa sakit hatinya terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng jadi
berkurang. *** 15 KARYA
Wiro Sableng 067 Halilintar Di Singosari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
3 SEBATANG panah beracun yang dibidikkan dari seberang Kali Brantas menancap di
batang pohon. Kulit pohon ini kelihatan menghitam pertanda betapa jahat dan
berbahayanya racun panah. Pendekar 212 sendiri saat itu sudah jauh meninggalkan
tepi Timur Kali Brantas tapi dia masih saja tertawa terpingkal-pingkal. Ketika
dadanya terasa agak sesak dan perutnya sakit karena terus-terusan tertawa
akhirnya dia duduk di gundukan akar sebuah pohon besar.
Tawanya sesaat berhenti. Dibukanya bajunya yang basah lalu diperasnya sampai
sekering mungkin. Ketika dia ingat lagi akan apa yang dilakukannya terhadap
prajurit-prajurit Kediri itu, Wiro tak dapat menahan diri. Kembali dia tertawa
gelak-gelak. Tetapi saat itu ternyata dia tidak tertawa sendirian. Ada orang
lain yang ikut tertawa bersamanya.
Tertawa itu demikian keras dan hebatnya sehingga murid Eyang Sinto Gendeng
merasakan akar pohon yang didudukinya ikut bergetar. Wiro hentikan tawanya.
Orang lain itu masih terus tertawa. Akhirnya Wiro juga ikut-ikutan tertawa
kembali. Sambil tertawa dan garuk-garuk kepala dia memandang berkeliling. Mencari dimana
dan siapa gerangan orang yang tertawa itu. Suara tawanya keras tanda pasti
orangnya berada di dekat-dekat situ. Tiba-tiba ada air mengucur dari atas. Air
yang terasa agak hangat ini jatuh di pundak Wiro. Wiro mengusapnya lalu
hidungnya membaui sesuatu.
"Kurang ajar! Air kencing!" teriak Pendekar 212 sewaktu dia membaui pesingnya
air yang jatuh di badannya. Dia melompat dari duduknya dan mendongak ke atas
pohon. Mata Wiro Sableng jadi mendelik.
Di atas pohon itu pada sebuah cabang yang tidak seberapa besar dilihatnya duduk
seorang lelaki bertubuh luar biasa gemuknya. Dia duduk sambil tertawa-tawa yang
membuat tubuhnya terguncang-guncang. Orang ini mengenakan celana hitam dan
sehelai baju putih yang tak bisa dikancingkan karena kesempitan. Rambutnya
disanggul ke atas. Dadanya yang gembrot dan perutnya yang berlemak tersembul.
Kedua matanya yang sangat sipit sampal basah karena tertawa. Tapi bukan matanya
saja yang basah. Ternyata bagian bawah perutnya juga ikut basah lalu tiris ke
bawah. Air KARYA
16 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
kencingnya inilah yang mengucur jatuh menimpa Pendekar 212 yang saat itu duduk
dibawah pohon! Wiro usap bahunya yang terkena air kencing dengan baju yang barusan diperasnya.
Dia hendak memaki habis-habisan, tetapi otaknya bekerja cepat.
Dalam hatinya dia berkata. Kerbau bunting di atas pohon itu bukan manusia
sembarangan. Beratnya pasti lebih dari dua ratus kati. Tapi lihat, dia bisa
duduk di cabang pohon yang begitu kecil! aku lngat pada sahabatku Raja Penidur
yang luar biasa gemuknya.
Tapi kerbau bunting di atas pohon ini jauh lebih gemuk!
Wiro menunggu sampal orang itu berhenti tertawa. Tapi nyatanya si gemuk ini
tawanya semakin menjadi-jadi. Air kencingnya juga maslh terus tiris ke bawah
membuat Wiro terpaksa menjauh dari pohon.
Setelah ditunggu-tunggu dan tawanya tidak juga berhenti, Wiro jadi kesal. Dia
berteriak. "Kerbau Bunting di atas pohon! Berhenti tertawa! Kau telah mengencingiku!"
Suara tawa sirap. Di atas pohon orang gemuk itu tampak berpaling ke kiri dan ke
kanan. "Kerbau Bunting" Ada yang menyebut aku Kerbau Bunting" Lucu sekali! Hidup
seratus lima puluh tahun baru hari ini ada yang memanggil diriku Kerbau Bunting!
Ha...ha...ha...ha...haaaa!" Tubuh si gemuk berguncang-guncang dan suara tawanya
kembali menguncang.
"Sialan!" maki Wiro. Dia memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya melihat seekor
Ular Keket hijau besar menempel di atas sehelai daun dekat rumpunan semak
belukar. "Hemmmm...." Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Aku mau lihat apakah kau masih bisa tertawa kalau mulutmu kujejali binatang
ini!" Meskipun agak geli-geli Wiro mengangkat Ular Keket dari atas daun lalu
dilemparkannya ke atas pohon.
Si gemuk di atas pohon yang masih terus tertawa gelak-gelak tampak kaget ketika
sebuah benda hijau bergelung melesat ke arah mulutnya yang terbuka lebar. Cepat
dia meniup ke bawah. Ular Keket itu mental tetapi kini justru jatuh dan menempel
di perutnya yang tersembul di sela baju yang tidak terkancing!
"Wadauuuuw....! Ular! Ular Keket...! Tolong..!"
"Tolong!"
KARYA 17 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Sekujur tubuh si gemuk menggigil. Mukanya yang tadi merah karena tertawa terus-
terusan kini menjadi pucat pasi.
Ternyata dia takut sekali pada Ular Keket yang kini menempel di perutnya yang
gendut berlemak itu. Kedua kakinya digoyang-goyangkan. Kedua tangannya bergerak
kian kemari kalang kabut. Dia coba pergunakan tangan untuk menjentik binatang
itu tepi tak jadi karena merasa sangat jijik. Saking bingungnya dia melompat ke
cabang pohon yang lain.
Bergelantungan sambil melejang-lejangkan kedua kakinya.
"Tolong! Wadauwww.... Ular.... Tolong!" teriak si gendut lagi.
Di bawah pohon Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa terpingkal- pingkal.
"Rasakan olehmu sekarang! Masih untung binatang itu tidak nyemplung ke dalam
mulutmu! "Tolong! Aduh! Bagaimana ini! Tolongggg.... !" Dari atas pohon kini kelihatan
makin deras air kencing yang mengucur ke bawah.
"Gila! Berapa gentong air yang tersimpan dalam perut Kerbau Bunting itu.
Kencingnya tak habis-habis!"
"Tolong...! Aduh...! Ampunnnn! Tolong! Ada Ular Keket di perutku! Batara Dewa
Tolong diriku.... !" Lama-lama Wiro jadi kasihan juga melihat si gemuk itu.
Dia patahkan sebuah ranting lalu melompat melesat ke atas pohon tempat di mana
si gemuk bergelantung ketakutan setengah mati.
Dengan ujung ranting disingkirkannya Ular Kaket hijau besar yang menempel di
perut si gendut lalu dia melayang turun ke tanah kembali.
Di atas pohon jeritan ketakutan si gemuk langsung berhenti. Tubuhnya mandi
keringat. "Terima kasih...! Terima kasih! Heh, siapa yang menolongku"!" Si gendut
memandang ke kanan dan ke kiri.
"Hai! Aku di bawah sini!" terlak Wiro. "Kerbau Bunting itu pasti sudah tahu aku
berada di sini. Tapi dia berpura-pura saja!"
Si gendut memandang ke bawah. Dagunya tertahan oleh dadanya yang gembrot. Tapi
dia bias melihat Wiro di bawah sana.
"Ah, kau di situ rupanya!" Lalu si gendut lepaskan pegangannya pada cabang
pohon. Tubuhnya melayang jatuh ke bawah. Sebuah batu kecil saja kalau jatuh ke tanah
pasti akan KARYA
18 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
mengeluarkan suara berdebuk. Tapi ketika kedua kaki si gendut yang beratnya
lebih dari dua ratus kali itu menginjak tanah Wiro memperhatikan dan tidak
mendengar ada sedikit suarapun! Kerbau Bunting ini benar-benar manusia luar
biasa, kata Wiro dalam hati.
Di hadapan Wiro si gemuk menjura lucu seraya berkata, "Sobatku Muda. Terima
kasih. Kau telah menolong aku dari binatang celaka itu!"
Wiro tertawa gelak-gelak. Si gemuk ikut-ikutan tertawa. Tapi tiba-tiba dia
hentikan tawanya dan bertanya.
"Eh, Sobatku Muda. Mengapa kau tertawa" Apa Ada yang lucu pada diriku?"
"Jelas tubuhmu dari ujung rambut sampal ujung jempol sangat lucu!"
"Apakah kau tadi yang memanggil aku dengan sebutan Kerbau Bunting?"
"Betul." sahut Wiro dan menyangka si gendut itu akan marah. Tapi justru orang di
depannya malah tertawa gelak-gelak sampai sekujur tubuhnya berguncang-guncang.
"Lucu... Lucu sekali sebutan itu. Seratus lima puluh tahun hidup malang-
melintang dimuka bumi, baru sekali ini ada yang memberikan nama lucu begitu
padaku. Terima kasih sobatku muda!"
Wiro jadi melongo mendengar kata-kata itu.
"Heh, tadi aku bertanya kenapa kau tertawa waktu aku bilang terima kasih.
Bukankah kau yang telah menolongku menyingkirkan Ular Keket celaka itu?"
"Benar Sobatku Gendut."
"Sobatku Gendut" Ah, sekarang kau menyebut aku dengan nama itu! Kau seorang
sahabat yang benar-benar lucu!" Si gendut lalu tertawa gelak-gelak sampai ke dua
matanya basah. "Terima kasih. Kau telah menolongku. Aku benar-benar takut pada binatang seperti
itu. Cuma kenapa kau belum menjawab pertanyaanku. Mengapa kau tertawa waktu aku
bilang terima kasih?"
"Kau tidak tahu! Sebetulnya akulah yang tadi melemparkan binatang itu ke
padamu!" jawab Wiro polos.
Si gemuk tampak terkejut. "Kau... Kau yang melemparkannya?" tanyanya.
Wah, kali ini Kerbau Bunting ini pasti marah besar! Membatin Pendekar 212. Lalu
dia mengangguk. "Ya, aku yang melemparkannya!" Wiro lalu berjaga-jaga kalau-
kalau si gendut itu menjadi marah dan menghantamnya.
KARYA 19 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
"Kau...?" Kening si gendut tampak mengerenyit.
Matanya yang sangat sipit seperti mau mendelik tapi tidak bisa dan tetap saja
sipit. Tiba-tiba dari mulutnya meledak keluar suara tawa mengakak.
Lucu, aku sangka dia bakalan marah. Ternyata tidak. Malah tertawa gelak-gelak.
Mahluk aneh macam apa dia ini sebenarnya!
Seperti tahu apa yang dipikirkan Wiro si gemuk hentikan tawanya dan berkata.
"Aku tertawa dan aku tidak marah. Karena kau orang jujur dan bicara polos!" Si
gendut pegang kedua bahu Wiro lalu mengguncang-guncangnya dengan keras hingga
Pendekar 212 merasa tubuhnya seperti diguncang gempa yang dahsyat. Tapi diam-
diam dia merasakan ada hawa aneh yang mengalir lewat kedua bahunya. lubuhnya
mendadak terasa enteng!
Astaga! Orang ini seperti sengaja mengalirkan semoga aneh ke dalam tubuhku! Kata
Wiro dalam hati begitu menyadari tubuhnya menjadi lebih enteng.
"Sobatku muda, aku mau tanya," berkata si gendut. "Mengapa kau tadi melemparkan
Ular Keket itu padaku?"
"Karena kau mengencingi aku!" jawab Wiro.
"Hah"! Aku mengencingimu"!" Si gendut bermata sipit itu seperti terkejut.
"Bagaimana mungkin?" Lalu dia memperhatikan bagian bawah celana hitamnya.
Dipegangnya selangkangan-nya. Terasa basah. Lalu tangannya yang tadi memegang
celananya yang basah disapukan di depan hidung. Bau pesing. "Gila! Aku memang
kencing rupanya!" kata si gendut ini. Dia diam sebentar lalu tertawa gelak-
gelak. "Kalau aku mengencingi itu bukan disengaja Sobatku Muda!" kata si gemuk itu
sambil mengusap kedua matanya yang basah. "Ada sebab yang membuatku terkencing-
kencing. Aku tadi tertawa terpingkal-pingkal dan kau kebetulan ada dibawah
pohon! Walaupun begitu kuharap kau sudi memaafkan diriku!"
Wiro diam saja. Sesaat kemudian dia bertanya.
"Apa yang membuatmu tertawa terpingkal-pingkal?" "Aku melihat satu kejadian lucu
di tepi Kali Brantas!"
"Kejadian apa?" Wiro menyambung pertanyaannya.
"Aku melihat...ha...ha...ha..." Si gendut belum sempat meneruskan ucapannya dia
sudah keburu tertawa. "Aku melihat... Ha... ha.., ha... ha... Ada...ada... ada
delapan orang perajudt KARYA
20 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Kediri dipreteli orang celananya hingga waktu mereka keluar darl air dalam
keadaan bugil! Anunya pada bergelantungan kemana-mana....! He...ha...ha! Apakah itu menurutmu
tidak lucu" Mereka kelabakan! Berusaha menutupi anu mereka! Lucu....! Ha....
he ...ha..." Tiba-tiba suara tawanya berhenti. Kedua matanya yang sipit
memandang lekat-lekat kepada Wiro Sableng.
Apa yang ada dalam pikiran si gendut ini, Wiro bertanya dalam hati.
"Heh?" Bukankah... Bukankah kau orangnya yang menelanjangi delapan perajurit
Kediri itu"!" Wiro tertawa lebar. Sambil garuk-garuk kepalanya dia mengangguk
dan berkata. "Memang. Aku yang menelanjangi mereka. Mereka hendak menangkapku!"
Si gemuk tertawa mengekeh. "Kau ternyata pemuda jahil! Lain kali kalau mau
menelanjangi orang, jangan orang lelaki, tapi cari orang perempuan! Ha... ha...
ha... ha...!"
Wiro jadi ikut-ikutan tertawa.
"Mengapa mereka hendak menangkapmu?"
"Karena aku makan cempedak." Jawab Wiro.
Lalu dia bertanya. "Apakah seseorang bisa ditangkap karena makan cempedak?"
"Mana ada pasalnya orang ditangkap makan cempedak. Kecuali kalau cempedak itu
buah curian. Atau kau makan sambil berpelukan dengan bini orang!
Ha...ha...ha...ha...!"
Wiro geleng-geleng kepala. Seumur hidup belum pernah dia bertemu dengan orang
seperti ini. Gemuk luar biasa dan juga lucu luar biasa.
"Hari sudah siang! Aku masih punya keperluan lain. Sobatku Muda, aku mau pergi
sekarang." berkata si gendut.
"Ke mana tujuanmu sebenarnya?"
"Ah, hal itu tidak bisa kukatakan padamu. Jangan marah. Ha...ha...ha..."
"Aku mengucapkan terima kasih padamu. Kau telah menanam budi baik padaku."
"Eh, kau ini bicara apa Sobatku Muda?" tanya si gendut.
"Kau berpura-pura Sobatku Gendut. Waktu memegang kedua bahuku tadi, kau diam-
diam mengalirkan hawa aneh ke dalam tubuhku. Lalu aku merasa tubuhku lebih
ringan dari sebelumnya."
Si gendut tertawa gelak-gelak. "Anggap saja itu sebagai pembayar dosaku
mengencingimu! Ha.... ha... ha...!" Habis berkata begitu dia masukkannya dua
jari tangan KARYA
21 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
kanannya ke mulut. Lalu terdengar suara suitan. Dari balik semak belukar
menyeruak keluar seekor keledai, kecil pendek dan kurus.
"Tungganganku sudah datang menjemput. Aku pergi. Selamat tinggal Sobatku Muda!"
Wiro terkejut. "Kau... Kau hendak menunggangi keledai sekecil itu?" tanya Wiro
heran. "Memangnya kenapa?" balik bertanya si gendut.
"Tubuhmu besar dan berat! Baru berjalan lima langkah keledai itu akan jadi
mejret!" Si gendut tertawa gelak-gelak. "Kau saksikan saja nanti apakah binatang ini
mejret atau tidak!" Si gendut melompat. Sekali lompat saja dia sudah duduk di
punggung keledai kurus itu. "Ayo jalan!" seru si gendut seraya menepuk pinggul
binatang tunggangannya. Keledai itu melangkah. Ternyata jalannya cepat sekali.
Setelah lewat sepuluh langkah si gendut berpaling.
"Apakah kau lihat keledai ini mejret"!" teriaknya. Lalu dia tertawa mengekeh.
Wiro garuk-garuk kepala. Kedua matanya memperhatikan. Lalu. Astaga! Keledai itu
ternyata berkaki enam. Yang dua adalah kaki si gendut sendiri! Kedua kakinya
ternyata menjejak tanah dana berjalan seperti biasa. Hanya pantatnya saja
rupanya yang menumpang duduk di punggung si keledai. Itupun tidak sampai menekan
tubuh tunggangannya karena sebenarnya dia berjalan kaki seperti biasa!
Wiro tertawa gelak-gelak. "Hai Sobat!" teriak Wiro. "Sebelum pergi kau mau
memberi tahu siapa namamu"!"
"Selama seratus lima puluh tahun hidup, aku tidak pernah memakai namaku. Kini
aku jadi lupa apakah aku punya nama atau tidak. Tapi orang- orang menggelariku
Dewa Ketawa!
Wiro Sableng 067 Halilintar Di Singosari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gelaran lucu! Ha...ha..ha...! Tapi mungkin mereka betul! Mungkin gelar itu cocok
bagiku!" Si gendut lalu menepuk pinggul keledai kurusnya. Binatang ini melangkah
lebih cepat. Kedua kaki si gendut juga bergerak lebih cepat. Sesaat kemudian
orang dan tunggangannya itu lenyap di balik kerapatan pepohonan dan semak
belukar. Wiro masih tertegak di tempatnya semula. Dewa Ketawa. Belum pernah aku mendengar
nama itu sebelumnya. Dia mungkin seumur dengan Dewa Tuak. Aku tidak mengerti
mengapa dia mengalirkan hawa aneh ke dalam tubuhku. Sayang aku menyelidiki
apakah dia orang Kediri atau orang Singosari. Dia sendiri rupanya tidak kepingin
tahu namaku. Kerbau Bunting yang aneh... Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya lalu
tinggalkan tempat itu.
*** KARYA 22 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
4 SETELAH Adipati Wira Seta dan Gandita meninggalkan tempat pertemuan rahasia di
tepi Kali Brantas itu, Raden Adikatwang dan rombongannya segera kembali ke
Gelang-gelang yang dijadikan pusat Kerajaan Kediri pada masa itu. Rombongan ini
sengaja menempuh rimba belantara untuk menghindari pertemuan dengan pihak-pihak
yang tidak diinginkan dan bisa membocorkan rahasia.
Dalam perjalanan kembali ini Adikatwang lebih banyak berdiam diri. Suara hatinya
berkata tiada henti. Apakah memang dia harus mengangkat senjata bersama Wira
Seta, memberontak terhadap kekuasaan Singosari. Mustikah Sang Prabu dihabisi
riwayatnya"
Haruskah semua itu dicapai dengan pertumpahan darah" Bukankah nantinya bakal
banyak rakyat yang menderita" Kalau aku menang apakah aku memang layak memegang
tampuk kekuasaan" Memerintah dikelilingi oleh orang-orang Singosari yang
tentunya akan menanam dendam sakit hati pula atas kekalahan mereka, atas
kematian teman dan keluarga mereka"
Ketika suara hati Adikatwang berkata begitu, telinganya seperti mengiang suara
jawaban yang lebih keras dan menggetarkan.
Adikatwang kau adalah turunan dan pewaris syah singgasana Kediri. Dulu orang-
orang Singosari merebut kekuasaan dan merampas tahta Kerajaan Kediri dari
moyangmu! Sekarang saatnya untuk membalaskan segala sakit hati! Sekarang saatnya untuk
mengangkat senjata. Kau tidak sendirian. Dimana-mana orang akan mendukung
perjuanganmu. Ada ribuan perajurit yang bersedia mengorbankan darah dan jiwa
raganya demi berdirinya kembali Kerajaan Kediri. Kesempatan hanya datang satu
kali. Kalau kau mengabaikannya kau akan tetap menjadi hamba sahaya di bawah
tekanan Singosari!
Adikativang mengusap wajahnya. Sikapnya yang berdiam diri Itu bukan tidak
diperhatikan oleh para perajurit yang mengawalnya. Namun tak ada satu orangpun
dari mereka yang berani mengatakan resuatu. Rombongan itu bergerak dalam
kesunyian lanpa ada yang bicara.
Di satu tempat telinga Adikatwang mendengar sesuatu. Dia hentikan kudanya dan
KARYA 23 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
memandang berkeliling.
"Ada apakah Sri Baginda?" tanya seorang pengawal. Para pengikut Adikatwang yang
setia selalu memanggil Adikatwang dengan sebutan Sri Baginda. Walaupun pemimpin
mereka itu tidak lebih dari seorang raja kecil yang tiada berdaya di satu
wilayah yang kecil pula, namun mereka tetap menganggap Adikatwang adalah raja
mereka, Raja Kediri.
"Aku mendengar sesuatu..." Jawab Adikatwang.
Sepuluh pengawal memasang telinga. Mereka saling pandang. Beberapa saat kemudian
salah seorang dari mereka" berkata. "Kami tidak, mendengar suara apa-apa."
Tentu saja para perajurit itu tidak atau belum mampu mendengar suara yang
datangnya sangat sayup-sayup di kejauhan di dalam rimba belantar itu. Karena
kesaktiannya Adikatwang bisa mendengar suara itu yang tidak mampu didengar oleh
para pengikutnya.
"Ikuti aku... Tapi harap kalian waspada. Tangan kalian jangan jauh di senjata."
kata Adikatwang. Maka sepuluh perajurit itu segera menempelkan tangan pada
senjata masing-masing. Mereka bergerak mengikuti Adikatwang.
Tak selang berapa lama Adikatwang kembali hentikan kudanya dan berkata. "Suara
itu semakin jelas. Apakah kalian bisa mendengarnya sekarang?"
"Ya... Kami dapat mendengarnya sekarang," jawab beberapa perajurit bersamaan.
"Apa yang kalian dengar?" Adikatwang mengulangi.
"Itu... suara...suara orang sesenggukan. Suara orang menangis." jawab perajurit
di samping Adikatwang.
Adikatwang mengangguk. "Tidakkah aneh ada ingin menangis di dalam rimba
belantara seperti" Mari kita bergerak ke arah suara. Kita akan lihat siapa
adanya orang yang menangis itu."
Kembali sepuluh perajurit mengikuti pimpinan mereka bergerak ke arah kanan yaitu
dari mana datangnya suara orang menangis terisak-isak. Berapa puluh langkah
menunggangi kuda, di suatu tempat yang agak terbuka, duduk di atas sebatang kayu
yang sudah lapuk tampak seorang kakek berkulit hitam tengah menangis. Tangisnya
sedih sekali dan setiap saat dia mengusap kedua matanya yang basah dengan ujung
kaln putih yang diselempangkan di dada.
Melihat kepada rambutnya yang digelung di atas kepala serta pakaiannya,
tampaknya kakek hitam ini adalah seorang Resi. Tetapi Adikatwang yang mengenali
orang tua itu tahu betul KARYA
24 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
kalau kakek itu bukanlah seorang Resi atau Brahmana.
"Dewa Sedih! Sungguh suatu rahmat dari para dewa kalau saat ini aku bisa
menemuimu! Aku memang sudah lama mencarimu. Dicari-cari tidak ketemu tahu-tahu muncul
sendiri!" Kakek yang dipanggil dengan julukan Dewa Sedih itu turunkan kedua tangannya.
Melihat wajahnya, sekalipun dia tidak menangis, orang akan menyaksikan satu
wajah yang selalu membayangkan kesedihan. Kedua alis matanya yang hitam menjulai
bawah. Mulutnya mengkerut. Sekalipun dia tersenyum maka mimik wajah itu tetap
saja menunjukkan kesedihan.
Begitu melihat Adikatwang, orang tua ini berkata perlahan, "Raden..." Lalu
kembali dia menangis terisak-isak. Siapa yang mendengarkan pasti akan merasa
sedih. Adikatwang yang sudah tahu sifat orang tua ini hanya bisa tersenyum. "Dewa
Sedih, kau berada jauh dalam hutan begini. Menangis sedih sekali. Apakah pasal
sebabnya?"
Dewa Sedih geleng-geleng kepala. Dia mengusap muka dan wajahnya berulang kali.
"Aku... Aku melihat sesuatu di telapak tangan kiriku..." katanya lalu kemball
menggerung seperti anak kecil.
"Mana coba kulihat telapak tangan kirimu..." kata Adikatwang pula.
Orang tua itu kembangkan telapak tangan kirinya di hadapan Adikatwang.
"Lihat sendiri," katanya. "Lihat, sesuatu akan terjadi sesuatu peristiwa besar
yang sangat menyedihkan..." Dewa Sedih meneruskan tangisnya.
"Aku tidak melihat apa-apa," kata Adikatwang sambil tersenyum. Tapi diam-diam
hatinya berdetak. Walaupun bersifat aneh dan terkadang menjengkelkan, setiap
ucapan orang tua ini tidak boleh dianggap sepi. Dia mengatakan satu peristiwa
besar yang sangat menyedihkan akan terjadi. Apakah dia sudah punya firasat
kalau..." "Mata Raden buta rupanya!" terdengar Dewa Sedih berkata setengah memaki.
"Masakan gambar yang begini jelas di telapak tanganku Raden tidak melihat?"
"Kau betul Dewa Sedih. Mata orang tolol sepertiku mana punya kemampuan melihat
sehebat kedua mata yang kau miliki. Coba kau ceritakan dengan jelas, apa yang
kau lihat di telapak tanganmu."
Sambil sesenggukan Dewa Sedih kembangkan talapak tangannya dan memperhatikan
lekat-lekat. Sesenggukannya berubah menjadi tangisan keras. Di antara tangisnya
terdengar KARYA
25 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
ucapannya. "Perang... ada perang. Darah di mana-mana... Mayat di mana-mana.
Sedih... menyedihkan sekali. Dewa Batara kasihani mereka. Tolong mereka... Jauhkan
malapetaka itu.
Hik...hik...hik..."
Paras Adikatwang jadi berubah. Begitu juga sepuluh orang prajurit yang ada di
tempat itu. Mereka saling pandaug bahkan ada yang mulai berbisik-bisik Orang tua ini sungguh
luar biasa kesaktiannya. Dia mampu melihat apa yang bakal terjadi dalam waktu
dekat ini. Kalau apa yang ditetahuinya itu diberitahukannya pada orang iain,
bisa celaka... "Dewa Sedih, dari pada kau menangis di rimba belantara ini, lebih baik ikut
bersamaku ke Gelang-gelang. Aku memerlukan bantuanmu. Ada pekerjaan besar
menunggumu. Imbalannya tentu saja besar pula."
"Aku tak mau hidup terikat ikut dengan orang lain. Biarkan aku sendirian di
sini. Tangisku belum selesai." Lalu kembali Dewa Sedih menangis tersedu-sedu.
"Dewa Sedih, jangan kau salah kira. Aku atau siapapun tidak ada yang akan
mengikatmu. Di Gelang-gelang kau bebas mau pergi kemana, mau melakukan apa. Bahkan menangis
di sana akan lebih nikmat..."
"Maksudmu?" tanya Dewa Sedih. Tangisnya terhenti.
"Di sana kau bisa menangis dengan diiringi gamelan. Apa tidak hebat"!"
"Menangis diiringi gamelan?"
"Betul." Jawab Adikatwang sungguh-sungguh.
"Ah... Aku jadi lebih sedih. Kasihan pemain-pemain gamelan itu nantinya. Mereka
tidak akan mampu mengikuti suara orang menangis... Pergilah kalian. Aku mau
menangis sampai mati."
"Kalau kau memang mau mati, tidak usah menunggu lama. Di hutan ini banyak
binatang buas dan binatang berbisa. Kau tinggal memilih mati cara bagaimana.
Diterkam harimau. Atau dipagut ular berbisa!"
Mendengar kata-kata Adikatwang itu paras Dewa Sedih berubah. Dia seperti
ketakutan tetapi anehnya air mukanya justru kelihatan kuyu sedih.
"Kalau begitu biar aku ikut bersama Raden," kata Dewa Sedih dan cepat bangkit
berdiri. "Ikut aku itu sudah pasti Dewa Sedih. Tapi aku mau tahu di mana saudara mudamu
yang berjuluk Dewa Ketawa itu" Sebenarnya aku ingin dia ikut bergabung bersama
kami." KARYA 26 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
"Ah si kentut gendut Dewa Ketawa itu aku tidak mengaku saudara padanya. Aku
selalu diejeknya, dihina dan ditertawai."
"Itu urusanku nanti kalau dia masih begitu terhadapmu. Yang penting kau tahu di
mana kita bias menemukannya?" tanya Adikatwang.
Dewa Sedih Menggeleng.
"Coba lihat di telapak tanganmu," kata Adikatwang pula.
"Ah, kau betul Raden. Aku baru ingat..." Masih sesenggukan dan wajah menunjukkan
kesedihan mendalam Dewa Sedih kembangkan lebar-lebar telapak tangan kirinya.
Lalu memperhatikan tanpa berkesip. Beberapa saat kemudian dia mengangkat
kepalanya, memandang kepada Adikatwang.
"Gajah buduk itu sebelumnya berada di tepi Kali Brantas sebelah Tenggara. Kini
kulihat dia menunggangi keledai bobroknya menuju ke Barat. Jangan-jangan dia
dalam perjalanan menuju Tumapel di Singosari."
Adikatwang merasa tidak enak mendengar ramalan Dewa Sedih itu. "Dewa Sedih,
apakah kau bisa memanggil adikmu itu lalu sama-sama membantu di Kediri."
Dewa Sedih menggelengkan kepala. "Orang sedih dia mana bisa disatukan dengan
orang ketawa. Raden harus memilih. Percaya padaku atau lebih suka padanya. Yang
jelas kami berdua tidak bisa seiring sejalan."
Adikatwang mengusap dagunya. "Baiklah," katanya.
"Kalau begitu kau yang akan kuambil. Hentikan tangismu dan jangan terlalu
cengeng." "Aku tidak cengeng! Aku hanya sedih!" kata Dewa Sedih hampir berteriak. Marah
dia rupanya. Tapi walaupun begitu tampangnya tetap saja murung.
"Aku tahu... Aku tahu..." kata Adikatwang. "Aku juga sedih."
"Raden juga sedih" Jadi kita sama-sama sedih. Kalau begitu mari kita sama-sama
menangis!"
Manusia geblek! Maki Adikatwang dalam hati. Kalau bukan karena kesaktianmu
jangan harap aku mau membawa manusia gila sepertimu.
*** KARYA 27 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
5 SIANG itu langit cerah. Diiringi oleh para pengawal, bersama-sama Patih
Raganatha, beberapa orang Pendeta dan Panglima Perang Kerajaan Aruajaya, Sang
Prabu melangkah menuruni tangga Candi Jago yang terletak di sebelah Selatan
Tumapel. Raja Singosari itu baru saja melakukan upacara keagamaan. Candi Jago
sengaja didirikan oleh Sang Prabu sebagai tempat pemujaan terhadap ayahandanya
yaitu mendiang Wisnu Wardhana. Seorang hamba sahaya membawa payung kuning
berumbai-umbai merah untuk melindungi Sri Baginda dari sengatan matahari.
Ketika kaki kiri Sang Prabu Singosari menginjak anak tangga terakhir di bagian
depan Candi, tiba-tiba di langit petir menyambar terang benderang. Bersamaan
dengan itu menggelegar suara guntur. Bumi berguncang, Langit laksana terbelah.
Semua orang yang ada di depan Candi Jago tampak terhuyung. Getaran yang dahsyat
terasa sampai ke jantung mereka. Wajah mereka termasuk Sang Prabu tampak berubah
pucat oleh rasa kejut yang bukan alang kepalang.
"Petir di tengah hari..." desis Sri Baginda seraya memandang pada Patih
Raganatha sementara para Pendeta tampak menundukkan kepala sambil merapal
bacaan-bacaan suci.
"Apakah artinya ini Mamanda Patih?"
"Saya tidak dapat menjawabnya saat ini Sang Prabu. Sebaiknya kita kembali cepat-
cepat ke Tumapel." Menjawab Patih Raganatha. "Memang kita perlu mengkaji apa
arti petunjuk para Dewa yang diberikan melalui kejadian tadi."
Sri Baginda mengangguk. Wajahnya agak murung. Dia maklum petir dan guntur tadi
merupakan suatu pertanda yang tidak baik. Mungkin tidak baik bagi dirinya,
mungkin sekali bagi Kerajaan. Ya Dewa Bhatara, hal apakah yang akan terjadi di
Singosari ini" Berucap Sri Baginda dalam hatinya.
Sang Prabu naik ke atas kereta. Rombongan yang baru saja melakukan upacara
keagamaan itu bergerak cepat menuju Keraton Tumapel. Di tengah jalan, Patih
Raganatha yang duduk di samping Sri Baginda berkata. "Sang Prabu, jika saya
boleh mengusulkan, KARYA
28 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
begitu sampai di Keraton sebaiknya kita mengadakan pertemuan. Sebenarnya hal ini
sudah agak lama kami inginkan. Pertanda di Candi Jago tadi membuat saya
merasakan pertemuan itu sebagai suatu yang mendesak."
Sang Prabu termenung mendengar kata-kata patihnya itu. Namun akhirnya dia
menganggukkan kepala. "Beritahu yang lain-lain," katanya.
Begitu sampai di Keraton Sang Prabu langsung masuk ke sebuah ruangan yang biasa
dipergunakan untuk pertemuan-pertemuan penting dan mendadak.
Patih dan Panglima serta beberapa Pendeta mengikuti.
Setelah semua orang duduk di tempat masing-masing berkatalah Sang Prabu.
"Mamanda Patih, sekarang coba Mamanda memberikan penjelasan, apakah kejadian di
Candi Jago siang tadi merupakan suatu pertanda" Jika benar pertanda apakah"
Buruk atau baik?"
Patih Rapanatha menghaturkan sembah terlebih dahulu baru menjawab.
"Daulat Sang Prabu. Saya hanya tahu sedikit soal tanda-tanda ciptaan para Dewa.
Saya takut mengemukakannya kalau-kalau keliru. Saya merasa sebaiknya kita
meminta orang tertua di antara kita saja yang bicara. Yaitu Pendeta Mayana."
Wiro Sableng 067 Halilintar Di Singosari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua orang menyetujui ucapan Patih KerajaaniItu. Sang Prabu berpaling pada
orang tua berambut sangat putih seperti kapas, bermata bening yang duduk di
samping Panglima Argajaya. Dialah Pendeta Mayana.
"Terima kasih kalau Sang Prabu mempercayai dan mau mendengar petunjuk dari
kami," kata sang Pendeta pula setelah membungkuk terlebih dahulu. "Petir dan guntur di
siang hari ketika tidak ada hujan adalah suatu petunjuk jelas akan terjadi
sesuatu besar di bumi Singosari.
Sesuatu itu mungkin mendatangkan kebaikan, namun sebaliknya bisa juga membawa
malapetaka..."
"Saya tidak percaya kalau kejadian tadi merupakan pertanda akan datangnya
malapetaka,"
berkata Sang Prabu. "Kita orang-orang Singosari saat ini berada dalam keadaan
berkecukupan. Hasil sawah ladang dan ternak melimpah ruah. Keadaan Kerajaan aman tenteram.
Semua karena, perlindungan dan anugerah para Dewa. Kita orang-orang Singosari
selalu taat pada agama. Selalu mengingat dan menghaturkan doa sembah kepada para
leluhur. Jadi tidak mungkin Para Dewa akan menjatuhkan malapetaka di Kerajaan
ini. Sulit bagi saya menerima KARYA
29 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
begitu saja artian yang Pendeta Mayana barusan sampaikan."
"Mohon dimaafkan kalau ucapan kami tidak berkenan di hati Sang Prabu. Kita semua
di sini tentu saja memohon pada Dewata agar negeri kita dijauhi dari segala
malapetaka maupun bencana dalam bentuk apapun. Kami hanya sekedar mengingatkan
bahwa yang buruk dan yang baik itu bisa saja terjadi tanpa terduga. Namun apakah
Sang Prabu berkenan mendengarkan beberapa petunjuk lainnya yang berkaitan dengan
kejadian siang tadi di Candi Jago?"
"Beberapa petunjuk apa maksud Pendeta Mayana?" tanya Raja pula.
"Untuk itu biarlah kami minta Panglima Argajaya atau Patih Raganatha yang
memberikan penjelasan," kata Pendeta Mayana.
Sang Prabu menganggukkan kepalanya ke arah Patih Raganatha. Sang Patih lalu
membuka mulut. "Orang kita di Madura melaporkan ada tanda-tanda hahwa Adipati
Wira Seta telah menambah kekuatan pasukan Kadipaten. Berkali-kali terlihat
adanya latihan perang-perangan. Setahu saya, kita tidak pernah meminta Sumenep
untuk melakukan hal itu. Lalu mengapa Adipati Wira Seta berbuat demikhian"
Jawabnya hanya satu yaitu bahwa dia mempunyai suatu rencana. Dan rencana itu
tidak sulit untuk diterka. Dia tengah menyusun kekuatan untuk memberontak pada
Singosari."
Alis mata Sang Prabu nampak naik ke atas. Keningnya berkerut. "Wira Seta hendak
memberontak" Tak masuk akal! Bukankah dia sekarang inenjadi Raja Kecil di
Madura" Lebih tinggi kedudukannya dari pada di Tumapel ini. Sikapnya selama ini
tidak menunjukkan perubahan sedikitpun. Dia mensyukuri jabatan dan tugas yang
diberikan. Bagaimana sekarang tahu-tahu Mamanda Patih mengatakan dia menyusun
kekuatan hendak berontak" Bukankah latihan perang-perangan suatu hal biasa saja
bagi suatu Kerajaan sebesar Singosari ini"
Apalagi Madura dipisahkan oleh laut dengan tanah Jawa. Patut dia memperkuat diri
untuk berjaga-jaga terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Sesungguhnya apakah
yang terjadi di Keraton Tumapel ini" Saya mencium ada orang-orang yang tidak
suka terhadap Adipati Wira Seta."
Paras Patih Raganatha tampak berubah merah. Dalam hati dia merasa sangat
menyesal telah mengeluarkan kata-kata tadi.
Padahal apa yang diucapkannya adalah sejujurnya tidak ada niatan memburukkan
Kisah Si Naga Langit 7 Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian Pendekar Pedang Dari Bu Tong 3
SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
1 ARUS Kali Brantas mengalun tenang
di pagi yang cerah itu. Sebuah perahu
kecil meluncur perlahan melawan
arus dari arah Trowulan. Di atasnya
Ada dua orang penumpang
berpakaian seperti petani. Yang satu
berusia hampir setengah abad.
Rambutnya yang disanggul di sebelah
atas sebaglan nampak putih. Raut
wajahnya yang terlindung oleh
caping lebar jauh lebih tua dari usia
sebenarnya. Kumis dan janggutnya
lebat. Tetapi jika orang berada dekat-
dekat padanya dan memperhatikan wajahnya dengan seksama akan ketahuan bahwa
kumis dan janggut lebat itu adalah palsu.
Orang bercaping itu duduk di sebelah depan perahu. Kedua matanya memandang
lurus-lurus ke muka. Sesekali tangan kanannya meraba sebilah keris yang terselip
di pinggang, tersembunyi di balik pakaian hitamnya. Orang kedua adalah pemuda
berbadan kekar.
Pakaiannya lecek dan basah oleh keringat. Sehelai kain putih terikat di
keningnya. Rambutnya yang panjang tidak disanggul di atas kepala, tapi dibiarkan
terlepas menjela pundak.
"Gandita, aku sudah dapat melihat pohon cempedak miring di tepi kali di ujung
sana," berkata lelaki yang lebih tua.
Gandita, pemuda yang mendayung perahu, meninggikan lehernya sedikit dan
memandang jauh ke muka, Memang diapun dapat melihat pohon cempedak yang
dikatakan orang itu tadi.
Pohon cempedak itu tumbuh di tepi kali dalam keadaan miring. Lebih dari separuh
batangnya sampai ke puncak pohon membelintang di atas Kali Brantas.
KARYA 1 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
"Saya juga dapat melihatnya dari sini Adipati," ujar Gandita. "Sebentar lagi
kita akan sampai. Menurut Adipati apakah orang-orang Kedri itu akan datang?"
"Manusia bernama Adikatwang itu tidak pernah tidak menepati janji. Dia pasti
datang. Kalau dia tidak datang berarti dia telah bertindak tolol. Kesempatan hanya ada
satu kali. Sekali lewat jangan harap bakal muncul lagi."
Gandita mendayung, perahu meluncur perlahan. Da1am hati dia berkata. Kalau
orang-orang Kediri tidak muncul, sungguh gila jauh-jauh datang dari Madura
seperti ini! Saat demi saat perahu semakin dekat ke pohon cempedak miring. Tepat di bawah
batangnya yang membelintang di atas kali Gandita merapatkan perahu ke tebing.
"Tidak kelihatan siapapun," kata orang yang dipanggil dengan sebutan Adipati.
Dia bernama Wira Seta dan dia memang adalah seorang Adipati dari Madura.
"Saatnya kita mengeluarkan tanda rahasia," kata Wira Seta.
Gandita mengangguk. Dia bangkit dan berdiri di atas perahu. Sesaat pemuda ini
memandang berkeliling. Lalu kedua tangannya dibulatkan dan diletakkan di depan
bibir. Dari mulut Gandita keluar suara seperti bunyi burung tekukur. Lalu sunyi.
Kedua orang dalam perahu menunggu dengan air muka tampak tegang.
"Aneh, tak ada sahutan..." kata Wira Seta. "Mungkin mereka belum sampai di
sini?" Gandita tidak menyahut.
"Coba sekali lagi," kata Wira Seta.
Kembali pemuda itu menirukan suara burung tekukur. Lalu sunyi lagi. Tiba-tiba
ada suara suitan merobek kesunyian. Disusul oleh suara burung tekukur.
Wira Seta tampak lega. "Mereka sudah ada di sini. Sebaiknya kita naik ke darat."
Kedua orang itu keluar dari perahu, melompat ke tebing kali lalu naik ke darat.
Pada saat itu rerumpunan semak belukar di sebelah kanan nampak tersibak. Dua
orang berpakaian perajurit Kediri muncul. Keduanya membawa panah dan saat itu
keduanya telah merentang busur, membidikkan anak panah ke arah Wira Seta dan
Gandita. Panah beracun, kata Gandita dalam hati begitu melihat ujung panah yang terbuat
dari besi berwarna sangat hitam. Baik dia maupun Wira Seta tetap berlaku tenang.
"Prajurit-prajurit Kediri, mana pemimpin kalian?" tanya Wira Seta.
Salah seorang perajurit menjawab. "Kami dipesan agar melihat benda tanda
jatidiri lebih KARYA
2 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
dahulu sebelum membawa pada pemimpin kami."
Gandita berpaling pada Wira Seta. Adipati ini keluarkan keris yang terselip di
pinggangnya lalu memperlihatkannya pada perajurit yang masih tegak dengan
membidikkan panah beracun tepat ke arah jantungnya. Keris ini gagang dan
sarungnya terbuat dari perak murni. Pada bagian-bagian tertentu dilapisi emas
serta beberapa buah permata. Pada badan sarung dan gagang keris terdapat ukiran
kepala singa dengan badan berbentuk manusia. Inilah keris Narasinga, salah satu
senjata pusaka Keraton Kediri yang berasal dari sesepuh dan pendiri Kerajaan
yaitu Sang Prabu Kameswara.
Kedua perajurit Kediri itu segera mengenali keris Narasinga. Mereka mengangguk
lalu menurunkan busur masing-masing. Yang satu berkata, "Ikuti kami."
Setelah melewati beberapa kelompok rerumpunan semak belukar, di satu tempat yang
agak terbuka kelihatan sepuluh orang perajurit berkuda. Salah seorang dari
mereka, yang bertindak sebagai pemimpin segera turun dari kuda. Beberapa saat
dia memandangi lelaki bercaping, berkumis dan berjanggut tebal itu seperti
tengah meneliti. Kemudian cepat dia memberi penghormatan seraya berkata,
"Harap maafkan, saya tidak mengenali Adipati dalam penyamaran ini!" perajurit-
perajurit lainnya segera pula memberi penghormatan.
Wira Seta membalas penghormatan itu dan memandang berkeliling lalu bertanya,
"Mana pemimpin kalian?"
"Beliau segera datang. Harap Adipati suka bersabar sesaat." Jawab perajurit yang
ditanya. Tak lama kemudian seekor kuda nitam besar muncul ditunggangi seorang lelaki
berusia hampir enam puluh tahun, berpakaian sederhana. Rambutnya hitam tebal
disanggul di atas kepala. Orang ini turun dari kudanya, berjalan mendekati Wira
Seta lalu tersenyum.
"Penyamaran Adimas Wira Seta rapi sekali. Bertemu di tempat lain sulit bagiku
mengenali."
Di antara kedua orang sahabat itu Wira Seta memang beberapa tahun lebih muda.
Karena itulah orang dihadapannya memanggilnya dengan sebutan Adimas.
Wira Seta membuka capingnya. Kedua orang itu lalu saling berpelukan.
"Jauh-jauh dari Sumenep Dimas tentu letih sekali. Aku ingin membawa Dimas ke
Gelang-gelang. Tetapi keadaan kurang mengizinkan. Harap Dimas maklum."
KARYA 3 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Adipati Wira Seta mengangguk. "Suatu ketika akan tiba saatnya kita dapat
berkumpul bersama-sama secara terbuka, tanpa rasa takut. Kangmas Adikatwang,
apakah kau ada baik-baik saja?"
"Para Dewa memberkahi serta melindungiku dan keluarga. Walau hidup di bawah
Singosari penuh tekanan tapi kita terpaksa pasrah. Sudah untung Sang Prabu masih
mau memberikan daerah Gelang-Gelang kepadaku."
Adipati Wira Seta mernegang bahu Adikatwang, putera Sri Baginda Kertajaya yang
pemah berkuasa di Kediri sebelum Kerajaan itu diserbu dan ditunduk kan oleh
Singosari dibawah pimpinan Ken Arok yang bergelar Ranggah Rajasa belasan tahun
yang silam, "Siapa yang bisa hidup tenang dan leluasa saat ini Kangmas Adi," kata Adipati
Wira Seta pula. "Lihat saja dengan diri saya. pengabdian dan jasa apa yang tidak
saya lakukan untuk Kerajaan. Saya tidak mengharapkan dianggap sebagai pahlawan
besar. Jalan pikiran saya dicurigai, perlakuan terhadap diri saya sungguh
menyakitkan. Saya dipaksa menerima nasib ditendang dari Kotaraja. Dikucilkan
jadi Adipati di Madura yang gersang! Dengan kata lain saya disuruh makan garam
banyak-banyak agar cepat mati!" Wira Seta masih bisa tertawa dalam mengutarakan
uneg-unegnya. "Aku mengerti kekecewaan Dimas Wira Seta," kata Adikatwang.
"Kekecewaan, tekanan dan penghinaan yang kita terima tidak akan berjalan lama.
Saya percaya waktunya untuk Kangmas memegang tampok kekuasaan akan segera
datang." Adikatwang memandang sejurus pada pemuda yang berdiri di samping Wira Seta lalu
bertanya, "Dimas, siapakah pemuda yang tampan ini?"
"Namanya Gandita. Dia murid seorang sakti di puncak Gunung Kelud. Dia orang
kepercayaan saya yang bakal banyak memberikan bantuan dalam rencana kita."
Gandita memberi penghormatan pana Adikatwang lalu kembali tegak dengan sikap
siap seorang perajurit.
"Aku senang kau membantu Adipati Wira Seta. Pemuda-pemuda gagah sepertimu memang
bakal banyak diperlukan."
"Terima kasih Adipati," kata Gandita seraya membungkuk.
"Kangmas Adi, sekarang kita perlu bicara empat mata. Mari kita cari tempat yang
baik." Raden Adikatwang mengangguk. "Kalian tetap di sini," katanya pada para
pengawalnya. KARYA 4 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
lalu kedua sahabat ini melangkah ke arah tepian Kali Brantas. Di balik
serumpunan semak belukar tak berapa jauh dari pohon cempedak hutan yang tumbuh
miring, mereka memilih tempat yang baik dan duduk di tanah meneruskan
pembicaraan. "Saya dan beberapa kawan telah siap menjalankan apa yang jadi rencana. Kami
hanya menunggu keputusan Kangmas saja."
"Berapa kekuatan orang Adimas keseluruhannya?" tanya Adikatwang.
"Sekitar dua ribu orang. Semua mereka merupakan perajurit-perajurit terlatih dan
berpengalaman. Semangat mereka tinggi. Mereka rela mengorbankan darah dan nyawa
demi berdirinya kembali Kerajaan Kediri."
Untuk beberapa lamanya Adikatwang berdiam diri seperti merenung. Dalam dirinya
terjadi pergolakan. Hati kecilnya menyuarakan hal yang berbeda dengan otaknya.
Sebenarnya aku sudah cukup pasrah menerima keadaan. Jika pecah lagi peperangan
yang jadi korban dan banyak menderita pastilah rakyat.
"Apa Yang Kangmas pikirkan?" bertanya Adipati Wira Seta.
"Kekuatan kita agaknya memang meyakinkan," berkata Adikatwang,
"Belum terhitung orang-orang seperti Gandita. Lalu orang-orang dari dunia
persilatan. Para pemuka agamapun menyokong perjuangan kita mendirikan Kediri kembali."
"Apakah aku harus memberi keputusan sekarang Dimas Wira Seta?"
"Bukankah untuk maksud itu saya datang jauh-jauh dari Madura?" sahut Wira Seta.
Kembali Adikatwang tampak termenung.
Melihat hal ini Wira Seta berusaha membakar hati sahabatnya itu dengan
mengungkit peristiwa lama.
"Kangmas, apakah kau akan melupakan begitu saja perbuatan jahat orang-orang
Singosari" Mereka menyerbu dan menghancurluluhkan negeri kita. Merampas harta
kekayaan rakyat kita. Membunuh ratusan rakyat. Salah satu korban mereka yang
terbesar adalah Sang Prabu Kertajaya, ayahanda Kangmas sendiri. Apakah perkiraan
Kangmas arwah ayahanda Kangmas akan berada dalam keadaan tenteram di swarga loka
sebelum dia melihat kita menuntut balas atas kejahatan dan kekejaman musuh"
Mohon maafmu Kangmas, sebagai seorang sahabat saya akan terpaksa berkata. Kalau
Kangmas mundur dengan rencana ini, saya dan kawan-kawan akan tetap
melaksanakannya. Kediri harus bangun kembali. Tugas dan KARYA
5 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
tanggung jawab itu ada di pundak orang-orang seperti kita. Apalagi mengingat
Kangmas adalah pewaris tunggal dan syah dari tahta Kerajaan Kediril"
Raden Adikatwang menarik nafas panjang. Setelah berdiam diri sesaat akhirnya dia
berkata. "Kita tetap sama-sama menjalankan rencana besar ini Dimas. Bagaimana
persiapan pasukan?"
"Mereka sudah lama siap. Tindakan saya yang pertama dalam waktu dekat ini ialah
membawa mereka ke Canggu. Dari sini pasukan akan disebar dalam dua arah. Yang
pertama ke Utara Singosari, sebagian lagi ke arah Selatan sekitar Badud dan
Jago." "Kalau begitu kita tentukan saja sekarang hari dan saat penyerangan agar pasukan
dari Gelang-Gelang bisa bergabung dalam waktu yang tepat," kata Adikatwang.
"Itu satu hal yang sangat bagus. Saya mengusulkan agar pasukan Kangmas
memperkuat pasukan yang di Selatan. Saya sudah menyusun satu tipuan yang bakal
menghancurkan Singosari dalam waktu singkat."
Lalu Adipati Wira Seta memberi tahu rencananya itu.
"Aku sangat setuju Dimas. Kau memang seorang Panglima Perang yang cerdik. Sang
Prabu kelak akan menyesal seumur hidup telah menyia-nyiakan dirimu."
Wira Seta tersenyum. Tapi tiba-tiba Adikatwang melihat air muka sahabatnya itu
berubah. "Ada apa Dimas?" tanya Adikatwang.
"Saya mencium bau yang sangat tajam. Bau apa ini?" Wira Seta memandang
berkeliling. Adikatwang mendongak dan menghirup udara dalam-dalam. Dia mengenali bau yang
diciumnya itu. "Bau buah cempedak," katanya. "Cempedak hutan!"
Wira Seta cepat berdiri lalu melangkah ke arah ka1i. Adikatwang mengikuti dari
belakang. Mereka bergerak ke jurusan pohon cempedak yang tumbang melintang di
atas kali. Di satu tempat Wira Seta yang berada di sebelah depan hentikan langkah, memberi
tanda pada Adikatwang lalu menunjuk ke arah pohon cempedak.
"Lihat..." bisiknya. "Ada orang di atas sana."
Adikatwang memandang ke atas pohon. "Bukankah itu Gandita, pemuda
kepercayaanmu?" kata Adikatwang pula.
"Warna pakaiannya dan ikat kepalanya memang sama. Rambutnya juga sama panjang.
Tapi itu bukan Gandita," jawab Adipati Wira Seta.
KARYA 6 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
"Jangan-jangan kita telah kecolongan, Dimas. Bukan mustahil pemuda gondrong di
atas pohon itu adalah mata-mata Singosari. Celaka kita kalau dia telah mendengar
semua pembicaraan kita!"
"Saya meragukan hal itu Kangmas. Lihat caranya duduk berjuntai di batang pohon.
Makan cempedak sambil menggoyang-goyangkan kaki. Seorang mata-mata tidak akan
melakukan hal itu."
"Siapapun dia kita harus menyelidiki. Aku akan memberi tahu para pengawal.
Tempat ini harus segera dikurung. Jangan orang itu sampai melarikan diri. Kau
tunggu di sini. Awasi dia.
"Cepatlah!" kata Wira Seta. "Suruh Gandita kemari!"
*** KARYA 7 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
2 ORANG yang duduk di batang pohon sambil memangku buah cempedak matang dan harum
sepertinya tidak tahu kalau dirinya diawasi. Dia terus saja menyantap buah itu
sambil duduk berjuntai goyang-goyangkan kedua kakinya. Kulit cempedak dan juga
biji buah itu dibuangnya seenaknya ke bawah. Beberapa potongan kulit dan biji
malah ada yang jatuh ke dalam perahu milik Wira Seta yang ditambatkan di tepi
kali. Jengkelnya Adipati Sumenep itu bukan kepalang. Namun dia tidak mau
bertindak gegabah. Dia maklum, hanya orang-berkepandaian tinggi yang
kehadirannya tidak diduga seperti itu. Lalu bukan sembarang orang bisa duduk
berjuntai di batang pohon sambil menyantap buah dengan cara begitu.
Wiro Sableng 067 Halilintar Di Singosari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil menikmati buah cempedak yang harum itu si pemuda berambut gondrong
sesekali terdengar menyanyi-nyanyi kecil. Kadang-kadang tangan kirinya tampak
mengusap-usap perut seolah mengukur-ukur apakah dia sudah cukup kenyang.
Sesekali tangannya yang lengket oleh getah buah itu enak saja dipakai untuk
menggaruk-garuk kepalanya yang berambut gondrong.
Adikatwang dan para pengawal muncul di tempat itu bersama Gandita. Tanpa suara
mereka segera mengurung tempat tersebut. Di atas pohon si pemuda masih terus
saja enak-enakan menyantap buah cempedak. Wira Seta memberi isyarat pada
Gandita. Pemuda ini melangkah mendekati pohon cempedak lalu berseru.
"Ki sanak di atas pohon! Turunlah sebentar! Kami ingin bertanya!"
Pemuda di atas pohon menoleh ke bawah.
Wira Seta berbisik pada Adikatwang. "Lihat, dia tidak terkejut ketika diteriaki.
Berarti secara diam-diam sebenarnya dia sudah mengetahui kehadiran kita di sini.
Tapi bersikap tidak perduli."
Setelah memandang ke arah Gandita sesaat, orang di atas pohon kembali meneruskan
makan buah cempedaknya tanpa menjawab seruan orang.
Gandita berteriak sekall lagi. Lebih keras. "Ki sanak! Aku yakin kau mendengar
seruanku. Harap turun sebentar. Kami ingin bertanya!"
8 KARYA BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Pemuda di atas cabang pohon muntahkan biji cempedak dari mulutnya. Biji cempedak
ini jatuh dan masuk ke dalam perahu. Gandita melirik. Ternyata perahu itu sudah
penuh dikotori biji dan kulit buah cempedak.
"Ki sanak!" teriak Gandita mulai berang. "Apa kau tuli" Tidak mendengar orang
memanggil"!"
"Tidak! Aku tidak tuli!" tiba-tiba orang di atas pohon menjawab. Suaranya parau
karena dia menjawab sambil mengunyah cempedak. Waktu menjawab kepalanya tidak
dipalingkan ke arah Gandita, membuat pembantu Wira Seta ini menjadi tambah
jengkel. "Kalau tidak tuli mengapa orang bertanya kau tidak menjawab"!" Teriak Gandita.
"Soalnya aku ingin tahu dulu siapa yang bertanya!"
Gandita hendak menyahuti. Tetapi Adikatwang cepat memegang bahunya dan
mendahului menjawab.
"Kami penguasa Kediri! Kau berada di wilayah kekuasaan kami! Jadi kami berhak
menyelidik siapa dirimu!"
"Yang jelas aku bukan penjahat! Tapi aku memang mencuri cempedak ini. Cempedak
dalam hutan tak bertuan, jika kuambil apakah itu namanya mencuri?"
"Ki sanak kami minta kau turun dulu baru bicara! Sikapmu seperti orang tidak
tahu aturan!" Gandita berteriak.
"Ki sanak, apakah kau orang yang tahu aturan" Mengganggu orang yang sedang
makan" Jika kau sedang enak-enakan makan apakah kau mau diganggu?"
Adikatwang memegang bahu Wira Seta. "Jangan-jangan pemuda di atas sana seorang
yang kurang waras. Lebih baik kita tinggalkan saja dia."
"Tidak Kangmas. Saya berkeyaklnan pemuda itu bukan orang gila. Kita akan lihat!"
Wira Seta lalu ganti berteriak. "Orang muda, jika kau tidak mau turun untuk kami
tanyai, jangan menyesal kalau kami terpaksa menurunkan tangan keras!"
"Jika memang ada hal penting yang kalian ingin tanyakan, berteriak saja dari
bawah. Apa susahnya?"
Jawaban itu membuat marah Wira Seta. Dia memberi isyarat pada Gandita.
"Beri dia pelajaran!"
Gandita melangkah lebih dekat ke pohon yang lumbuh di tebing kali itu. Sekali
dia 9 KARYA BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
berkelebat tubuhnya melayang ke atas pohon dan kedua kakinya menjejak pada
cabang, tepat di mana pemuda berambut gondrong duduk uncang-uncang kaki sambil
menikmati buah cempedak.
"Hai! Kau mau cempedak"!" si gondrong menawari.
Plaaak! Satu tamparan keras dilayangkan Gandita. Tepat mendarat di pipi kanan pemuda
yang tengah mengunyah cempedak. Buah berikut biji yang ada di dalam mulutnya
menyembur keluar bersama ludah ke muka Gandita!
"Kurang ajar!" Gandita marah sekali. Kalau tadi tamparan yang dilayangkannya
kini satu jotosan segera dihantamkannya. Saat si pemuda telah terbanting akibat
tamparan keras tadi.
Tubuhnya tersentak dan jatuh ke belakang. Tapi kedua kakinya dengan cekatan
menggelung batang pohon hingga tubuhnya tidak jatuh ke bawah melainkan hanya
berputar satu kali pada batang cempedak. Meskipun pipinya sakit dan bertanda
merah namun si gondrong itu memandang menyeringai kepada Gandita.
Merasa seperti dipermainkan pembantu kepercayaan Adipati Wira Seta ini lepaskan
satu jotosan. Bukk! Jotosan keras itu mendarat di dada membuat tak ampun lagi yang dijotos
terjengkang. Buah cempedak besar yang tinggal setengah terlepas dari tangannya jatuh ke
bawah. Tubuhnya sendiri menyusul melayang jatuh!
Anehnya setelah ditunggu sekian lama tidak ada suara tubuh yang jatuh bergedebuk
di tebing sungai atau suara orang jatuh ke dalam air kali. Gandita memandang ke
bawah. Wira Seta dan Adikatwang serta beberapa orang perajurit melompat ke tepi
kali. Apa yang mereka saksikan"
Pemuda gondrong yang tadi kena jotosan Gandita enak-enak duduk setengah
berbaring di dalam perahu milik Wira Seta. Di atas perutnya dia memegang buah
cempedak dan mulutnya saat itu sudah mengunyah buah itu kembali!
Tentu saja semua orang terkejut melihat hal itu. Bagaimana tubuh seseorang bisa
jatuh ke atas perahu tanpa mengeluarkan suara, bahkan kelihatannya perahu itu
hampir tidak bergoyang. Air Kali Brantaspun tidak tampak beriak!
10 KARYA BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Di atas pohon Gandita marah bukan main. Dia benar-benar merasa dipermainkan di
hadapan orang banyak. Segera dia melompat ke bawah ke arah perahu. Sambil
melayang turun kaki kanannya ditendangkan ke kepala pemuda yang duduk di dalam
perahu itu. Sekali ini si gondrong rupanya jadi merasa jengkel juga diserang terus-terusan
begitu rupa. Kaki kanannya diinjakkan ke kayu pendayung di lantai perahu.
Pendayung ini melesat ke atas, melayang ke arah Gandita.
Gandita menggeram marah. Tendangannya yang seharusnya mengenai kepala pemuda
itu, kini terhalang oleh kayu pendayung.
Praakk! Kayu pendayung patah dua, mencelat ke udara lalu jatuh ke dalam Kali Brantas.
Gandita membuat gerakan jungkir balik agar tubuhnya tidak salah jatuh ke dalam
air. Sesaat kemudian kedua kakinya sudah menginjak tepian kali. Ketika dia
kembali hendak menyerang pemuda yang masih duduk di atas perahu itu, Wira Seta
cepat memegang bahunya. "Gandita, kau mundurlah. Biar aku yang mengurus pemuda
ini," kata Adipati Sumenep itu. Sekali dia bergerak tubuhnya melayang dan masuk
ke dalam perahu, duduk berhadap-hadapan dengan si pemuda.
"Anak muda, maafkan kalau orangku tadi bertindak tidak pada tempatnya. Ternyata
kau bukan pemuda biasa."
Pemuda di hadapan Wira Seta angkat kepala. Dia menatap lelaki itu sesaat. "Ah,
kau ternyata lebih sopan sedikit dari sobat mudamu itu. Kau mau kubagi buah
cempedak ini?"
"Terima kasih. Aku berpantang makan yang nnanis-manis," jawab Wira Seta.
"Kepandaian seperti yang kau miliki membuat aku kagum. Pemuda sepertimu sangat
dibutuhkan oleh Kerajaan. Apakah kau mau berbakti pada Kerajaan?" Tanya Wira
Seta kemudian. "Kerajaan yang mana" Kediri atau Singosari?"
Wira Seta sesaat terkesiap oleh pertanyaan itu. "Bukan Kediri bukan Singosari.
Tapi satu Kerajaan baru yang kelak akan muncul. Namanya Kediri baru."
"Maafkan aku orang tua. Aku tidak tertarik," jawab si pemuda lalu kelihatan dia
senyum-senyum. "Kenapa kau tertawa?" tanya Adipati Sumenep itu kurang senang.
11 KARYA BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
"Orang tua, apakah kau ini anggota wayang orang atau pemain sandiwara keliling?"
Paras Wira Seta menjadi merah.
"Aku jauh lebih tua darimu. Tidak pantas kau ajak bergurau!"
"Siapa bergurau" Aku tanya yang wajar-wajar saja. Kalau kau bukan seorang pemain
sandiwara mengapa memakai kumis dan janggut palsu?"
"Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu. Tapi kau harus menjawab pertanyaanku!
Katakan siapa dirimu dan apa yang kau kerjakan di tempat ini."
"Pertanyaan mudah. Jawabnya juga mudah. Namaku Wiro. Aku di sini tengah makan
cempedak. Nah, kau puas orang tua?"
"Tidak, aku tidak puas." Jawab Wira Seta. "Aku punya kecurigaan kau adalah
seorang mata-mata yang tengah mengintai kami."
Si gondrong yang adalah Wiro Sableng murid nenek sakti Eyang Sinto Gendeng dari
Gunung Gede yang dalam dunia persilatan dikenal dengan julukan Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212 menyeringai.
"Tuduhanmu tidak beralasan orang tua, tapi apa yang barusan kau ucapkan justru
menimbulkan kecurigaan dalam hatiku!"
"Adipati, biar saya menghajar orang ini. Mulutnya terlalu lancang dan sikapnya
sangat kurang ajar!" terdengar suara Gandita.
Wira Seta mengangkat tangan memberi tanda agar pembantunya itu tetap berada di
tempatnya. Lalu dia berpaling pada pemuda yang duduk dalam perahu di hadapannya.
"Apa maksudmu" Apa yang kau curigai dan siapa yang kau curigai?" suara Wira Seta
menyentak. "Jika kau tidak menyimpan satu rahasia mengapa harus mencurigai orang dan
menuduh aku mata-mata!?"
"Lalu mengapa kau tahu-tahu muncul di tempat ini. Kau pasti sengaja mencuri
dengar apa yang kami bicarakan di sini!" sergah Wira Seta.
"Orang tua, kau memang kelewatan. Sebelum kau dan orang-orang itu muncul, aku
sudah sejak pagi berada di tempat ini. Bagaimana kalau kubalik. Justru kaulah
sebenarnya yang tengah memata-matai diriku!"
Raden Adiatwang maju ke tepi kali. "Dimas, pemuda ini membuat aku mual. Aku akan
12 KARYA BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
perintahkan pengawal menangkapnya. Aku akan bawa dia ke Gelang-Gelang dan
diperiksa di sana! Kalau dia ternyata memang seorang pemuda kurang waras, aku
akan lepaskan dia."
"Aku punya dugaan dia sengaja bersikap dan bicara konyol seperti orang tidak
waras untuk menutupi sesuatu." Wira Seta melompat keluar dari dalam perahu
seraya berseru, "Para pengawal! Tangkap orang ini!"
"Hajar kalau melawan!" menimpali Adikatwang.
Enam orang perajurit Kediri melompat ke dalam perahu. Dua lainnya turun ke dalam
air, mencegat di samping kiri perahu untuk mencegah si pemuda yang hendak
ditangkap agar jangan sampai melarikan diri.
Perahu kecil dijejali enam orang pengawal, tujuh dengan Wiro tentu saja tidak
dapat menampung orang sebanyak itu. Perahu ini langsung amblas terbalik. Semua
orang yang ada diatasnya jatuh masuk ke dalam air, tidak terkecuali Wiro.
Semua orang di tepi kali kemudian terkejut ketika mereka mendengar suara
teriakan-teriakan delapan perajurit yang ada di dalam kali. Satu demi satu tubuh
mereka seperti ditarik ke dalam air. Ketika mereka akhimya muncul kembali
suasana di tepi Kali Brantas itu menjadi heboh. Tidak satupun lagi dari ke
delapan perajurit Kediri yang keluar dari kali itu kini mengenakan celana! Dalam
keadaan tubuh setengah telanjang pada bagian yang paling rawan itu, mereka
kalang kabut berusaha menutupi aurat!
Dalam keadaan seperti itu di seberang kali terdengar suara tertawa mengakak.
Semua orang di tepi Barat kali memandang ke seberang. Di tepi Timur Kali Brantas
kelihatan pemuda berambut gondrong itu tegak sambil tertawa terpingkal-pingkal.
Di kedua tangannya dia memegang delapan helai celana panjang yang sebelumnya
dikenakan oleh delapan perajurit.
Satu demi satu celana itu dilemparkannya ke dalam kali, hanyut dibawa arus ke
hilir. "Penghinaannya sudah keterlaluan!" geram Adikatwang sambil mengepalkan tinju.
"Lepaskan panah beracun!" teriaknya. Tiga orang anak buahnya segera menyiapkan
busur dan panah beracun. Tetapi ketika tiga panah itu melesat ke seberang kali,
Pendekar 212 Wiro Sableng sudah lenyap. Hanya suara tertawanya yang masih
kedengaran di kejauhan.
"Manasia itu tidak gila!" kata Adikatwang.
"Kalau dia memang sempat mendengar pembicaraan kita, keadaan bisa sangat
berbahaya," ujar Wira Seta pula. Air mukanya tampak jadi gelisah.
13 KARYA BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
"Aku akan sebar orang untuk mencari jejaknya." Adikatwang juga tampak tidak
tenang. Yang paling terpukul adalah Gandita. Pemuda itu berulang kali kelihatan
mengepalkan kedua tinjunya bahkan membanting-banting kaki. Dia memisahkan diri
dari orang-orang di tepi kali itu. Dalam hatinya dia tidak habis pikir.
Tamparanku seharusnya sudah cukup membuat pemuda itu cedera berat. Tapi bahkan
jotosanku seperti tidak ada apa-apanya! Aku malu sekali! Dimana mukaku hendak
kuletakkan. Apa kata Adipati Wira Seta nantinya. Juga bagaimana pula pandangan
Raden Adikatwang. Padahal dia baru saja memujiku. Aku murid orang sakti dari
Gunung Kelud. Digembleng selama bertahun-tahun. Tapi ternyata tidak mampu
menghadapi anak desa tadi. Wiro... Namanya Wiro. Belum pernah aku mendengar
seorang pendekar dengan nama itu. Siapa dia sebenarnya" Aku harus mencarinya.
Aku harus menantangnya. Berkelahi sampai seratus bahkan seribu jurus kalau
perlu. Aku harus menghajarnya dan membuatnya bertekuk lutut! Hanya itu satu-
satunya cara untuk mengem-balikan kepercayaan Adipati Wira Seta dan Raden
Adikatwang. Untuk melepaskan rasa geram dan amarah yang seperti membakar dadanya Gandita
memukul batang pohon yang ada di depannya.
Braaak! Kulit pohon pecah, bagian dalamnya hancur. Terdengar suara bergemuruh ketika
pohon itu patah dan tumbang.
Satu tangan memegang bahu Gandita. Pemuda ini mengira orang itu adalah pemuda
gondrong yang telah mempermalukannya. Cepat dia membalik seraya menghantamkan
tinju dengan kekuatan tenaga dalam penuh! Angin pukulannya terdengar
menggidikkan. Tapi Gandita cepat menarik pulang tangannya ketika melihat siapa yang berdiri di
hadapannya. Pemuda ini jatuhkan diri dan berkata.
"Adipati, maafkan saya. Saya kira...."
Adipati Wira Seta mengangguk. "Aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini Gandita."
"Saya tidak berguna jadi pembantu Adipati," berterus terang pemuda itu.
"Jangan berkata begitu anak muda. Hidup ini penuh cobaan dan tantangan. Apapun
yang telah terjadi hanya satu pengalaman agar dimasa mendatang kita harus
belajar lebih banyak.
Aku tetap percaya kau adalah pembantuku yang terbaik. Berdirilah. Kita akan
segera kembali ke Sumenep."
14 KARYA BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Sambil mengusap mukanya Gandita bangkit berdiri. Apapun yang dikatakan oleh sang
Adipati tidak membuat rasa sakit hatinya terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng jadi
berkurang. *** 15 KARYA
Wiro Sableng 067 Halilintar Di Singosari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
3 SEBATANG panah beracun yang dibidikkan dari seberang Kali Brantas menancap di
batang pohon. Kulit pohon ini kelihatan menghitam pertanda betapa jahat dan
berbahayanya racun panah. Pendekar 212 sendiri saat itu sudah jauh meninggalkan
tepi Timur Kali Brantas tapi dia masih saja tertawa terpingkal-pingkal. Ketika
dadanya terasa agak sesak dan perutnya sakit karena terus-terusan tertawa
akhirnya dia duduk di gundukan akar sebuah pohon besar.
Tawanya sesaat berhenti. Dibukanya bajunya yang basah lalu diperasnya sampai
sekering mungkin. Ketika dia ingat lagi akan apa yang dilakukannya terhadap
prajurit-prajurit Kediri itu, Wiro tak dapat menahan diri. Kembali dia tertawa
gelak-gelak. Tetapi saat itu ternyata dia tidak tertawa sendirian. Ada orang
lain yang ikut tertawa bersamanya.
Tertawa itu demikian keras dan hebatnya sehingga murid Eyang Sinto Gendeng
merasakan akar pohon yang didudukinya ikut bergetar. Wiro hentikan tawanya.
Orang lain itu masih terus tertawa. Akhirnya Wiro juga ikut-ikutan tertawa
kembali. Sambil tertawa dan garuk-garuk kepala dia memandang berkeliling. Mencari dimana
dan siapa gerangan orang yang tertawa itu. Suara tawanya keras tanda pasti
orangnya berada di dekat-dekat situ. Tiba-tiba ada air mengucur dari atas. Air
yang terasa agak hangat ini jatuh di pundak Wiro. Wiro mengusapnya lalu
hidungnya membaui sesuatu.
"Kurang ajar! Air kencing!" teriak Pendekar 212 sewaktu dia membaui pesingnya
air yang jatuh di badannya. Dia melompat dari duduknya dan mendongak ke atas
pohon. Mata Wiro Sableng jadi mendelik.
Di atas pohon itu pada sebuah cabang yang tidak seberapa besar dilihatnya duduk
seorang lelaki bertubuh luar biasa gemuknya. Dia duduk sambil tertawa-tawa yang
membuat tubuhnya terguncang-guncang. Orang ini mengenakan celana hitam dan
sehelai baju putih yang tak bisa dikancingkan karena kesempitan. Rambutnya
disanggul ke atas. Dadanya yang gembrot dan perutnya yang berlemak tersembul.
Kedua matanya yang sangat sipit sampal basah karena tertawa. Tapi bukan matanya
saja yang basah. Ternyata bagian bawah perutnya juga ikut basah lalu tiris ke
bawah. Air KARYA
16 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
kencingnya inilah yang mengucur jatuh menimpa Pendekar 212 yang saat itu duduk
dibawah pohon! Wiro usap bahunya yang terkena air kencing dengan baju yang barusan diperasnya.
Dia hendak memaki habis-habisan, tetapi otaknya bekerja cepat.
Dalam hatinya dia berkata. Kerbau bunting di atas pohon itu bukan manusia
sembarangan. Beratnya pasti lebih dari dua ratus kati. Tapi lihat, dia bisa
duduk di cabang pohon yang begitu kecil! aku lngat pada sahabatku Raja Penidur
yang luar biasa gemuknya.
Tapi kerbau bunting di atas pohon ini jauh lebih gemuk!
Wiro menunggu sampal orang itu berhenti tertawa. Tapi nyatanya si gemuk ini
tawanya semakin menjadi-jadi. Air kencingnya juga maslh terus tiris ke bawah
membuat Wiro terpaksa menjauh dari pohon.
Setelah ditunggu-tunggu dan tawanya tidak juga berhenti, Wiro jadi kesal. Dia
berteriak. "Kerbau Bunting di atas pohon! Berhenti tertawa! Kau telah mengencingiku!"
Suara tawa sirap. Di atas pohon orang gemuk itu tampak berpaling ke kiri dan ke
kanan. "Kerbau Bunting" Ada yang menyebut aku Kerbau Bunting" Lucu sekali! Hidup
seratus lima puluh tahun baru hari ini ada yang memanggil diriku Kerbau Bunting!
Ha...ha...ha...ha...haaaa!" Tubuh si gemuk berguncang-guncang dan suara tawanya
kembali menguncang.
"Sialan!" maki Wiro. Dia memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya melihat seekor
Ular Keket hijau besar menempel di atas sehelai daun dekat rumpunan semak
belukar. "Hemmmm...." Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Aku mau lihat apakah kau masih bisa tertawa kalau mulutmu kujejali binatang
ini!" Meskipun agak geli-geli Wiro mengangkat Ular Keket dari atas daun lalu
dilemparkannya ke atas pohon.
Si gemuk di atas pohon yang masih terus tertawa gelak-gelak tampak kaget ketika
sebuah benda hijau bergelung melesat ke arah mulutnya yang terbuka lebar. Cepat
dia meniup ke bawah. Ular Keket itu mental tetapi kini justru jatuh dan menempel
di perutnya yang tersembul di sela baju yang tidak terkancing!
"Wadauuuuw....! Ular! Ular Keket...! Tolong..!"
"Tolong!"
KARYA 17 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Sekujur tubuh si gemuk menggigil. Mukanya yang tadi merah karena tertawa terus-
terusan kini menjadi pucat pasi.
Ternyata dia takut sekali pada Ular Keket yang kini menempel di perutnya yang
gendut berlemak itu. Kedua kakinya digoyang-goyangkan. Kedua tangannya bergerak
kian kemari kalang kabut. Dia coba pergunakan tangan untuk menjentik binatang
itu tepi tak jadi karena merasa sangat jijik. Saking bingungnya dia melompat ke
cabang pohon yang lain.
Bergelantungan sambil melejang-lejangkan kedua kakinya.
"Tolong! Wadauwww.... Ular.... Tolong!" teriak si gendut lagi.
Di bawah pohon Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa terpingkal- pingkal.
"Rasakan olehmu sekarang! Masih untung binatang itu tidak nyemplung ke dalam
mulutmu! "Tolong! Aduh! Bagaimana ini! Tolongggg.... !" Dari atas pohon kini kelihatan
makin deras air kencing yang mengucur ke bawah.
"Gila! Berapa gentong air yang tersimpan dalam perut Kerbau Bunting itu.
Kencingnya tak habis-habis!"
"Tolong...! Aduh...! Ampunnnn! Tolong! Ada Ular Keket di perutku! Batara Dewa
Tolong diriku.... !" Lama-lama Wiro jadi kasihan juga melihat si gemuk itu.
Dia patahkan sebuah ranting lalu melompat melesat ke atas pohon tempat di mana
si gemuk bergelantung ketakutan setengah mati.
Dengan ujung ranting disingkirkannya Ular Kaket hijau besar yang menempel di
perut si gendut lalu dia melayang turun ke tanah kembali.
Di atas pohon jeritan ketakutan si gemuk langsung berhenti. Tubuhnya mandi
keringat. "Terima kasih...! Terima kasih! Heh, siapa yang menolongku"!" Si gendut
memandang ke kanan dan ke kiri.
"Hai! Aku di bawah sini!" terlak Wiro. "Kerbau Bunting itu pasti sudah tahu aku
berada di sini. Tapi dia berpura-pura saja!"
Si gendut memandang ke bawah. Dagunya tertahan oleh dadanya yang gembrot. Tapi
dia bias melihat Wiro di bawah sana.
"Ah, kau di situ rupanya!" Lalu si gendut lepaskan pegangannya pada cabang
pohon. Tubuhnya melayang jatuh ke bawah. Sebuah batu kecil saja kalau jatuh ke tanah
pasti akan KARYA
18 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
mengeluarkan suara berdebuk. Tapi ketika kedua kaki si gendut yang beratnya
lebih dari dua ratus kali itu menginjak tanah Wiro memperhatikan dan tidak
mendengar ada sedikit suarapun! Kerbau Bunting ini benar-benar manusia luar
biasa, kata Wiro dalam hati.
Di hadapan Wiro si gemuk menjura lucu seraya berkata, "Sobatku Muda. Terima
kasih. Kau telah menolong aku dari binatang celaka itu!"
Wiro tertawa gelak-gelak. Si gemuk ikut-ikutan tertawa. Tapi tiba-tiba dia
hentikan tawanya dan bertanya.
"Eh, Sobatku Muda. Mengapa kau tertawa" Apa Ada yang lucu pada diriku?"
"Jelas tubuhmu dari ujung rambut sampal ujung jempol sangat lucu!"
"Apakah kau tadi yang memanggil aku dengan sebutan Kerbau Bunting?"
"Betul." sahut Wiro dan menyangka si gendut itu akan marah. Tapi justru orang di
depannya malah tertawa gelak-gelak sampai sekujur tubuhnya berguncang-guncang.
"Lucu... Lucu sekali sebutan itu. Seratus lima puluh tahun hidup malang-
melintang dimuka bumi, baru sekali ini ada yang memberikan nama lucu begitu
padaku. Terima kasih sobatku muda!"
Wiro jadi melongo mendengar kata-kata itu.
"Heh, tadi aku bertanya kenapa kau tertawa waktu aku bilang terima kasih.
Bukankah kau yang telah menolongku menyingkirkan Ular Keket celaka itu?"
"Benar Sobatku Gendut."
"Sobatku Gendut" Ah, sekarang kau menyebut aku dengan nama itu! Kau seorang
sahabat yang benar-benar lucu!" Si gendut lalu tertawa gelak-gelak sampai ke dua
matanya basah. "Terima kasih. Kau telah menolongku. Aku benar-benar takut pada binatang seperti
itu. Cuma kenapa kau belum menjawab pertanyaanku. Mengapa kau tertawa waktu aku
bilang terima kasih?"
"Kau tidak tahu! Sebetulnya akulah yang tadi melemparkan binatang itu ke
padamu!" jawab Wiro polos.
Si gemuk tampak terkejut. "Kau... Kau yang melemparkannya?" tanyanya.
Wah, kali ini Kerbau Bunting ini pasti marah besar! Membatin Pendekar 212. Lalu
dia mengangguk. "Ya, aku yang melemparkannya!" Wiro lalu berjaga-jaga kalau-
kalau si gendut itu menjadi marah dan menghantamnya.
KARYA 19 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
"Kau...?" Kening si gendut tampak mengerenyit.
Matanya yang sangat sipit seperti mau mendelik tapi tidak bisa dan tetap saja
sipit. Tiba-tiba dari mulutnya meledak keluar suara tawa mengakak.
Lucu, aku sangka dia bakalan marah. Ternyata tidak. Malah tertawa gelak-gelak.
Mahluk aneh macam apa dia ini sebenarnya!
Seperti tahu apa yang dipikirkan Wiro si gemuk hentikan tawanya dan berkata.
"Aku tertawa dan aku tidak marah. Karena kau orang jujur dan bicara polos!" Si
gendut pegang kedua bahu Wiro lalu mengguncang-guncangnya dengan keras hingga
Pendekar 212 merasa tubuhnya seperti diguncang gempa yang dahsyat. Tapi diam-
diam dia merasakan ada hawa aneh yang mengalir lewat kedua bahunya. lubuhnya
mendadak terasa enteng!
Astaga! Orang ini seperti sengaja mengalirkan semoga aneh ke dalam tubuhku! Kata
Wiro dalam hati begitu menyadari tubuhnya menjadi lebih enteng.
"Sobatku muda, aku mau tanya," berkata si gendut. "Mengapa kau tadi melemparkan
Ular Keket itu padaku?"
"Karena kau mengencingi aku!" jawab Wiro.
"Hah"! Aku mengencingimu"!" Si gendut bermata sipit itu seperti terkejut.
"Bagaimana mungkin?" Lalu dia memperhatikan bagian bawah celana hitamnya.
Dipegangnya selangkangan-nya. Terasa basah. Lalu tangannya yang tadi memegang
celananya yang basah disapukan di depan hidung. Bau pesing. "Gila! Aku memang
kencing rupanya!" kata si gendut ini. Dia diam sebentar lalu tertawa gelak-
gelak. "Kalau aku mengencingi itu bukan disengaja Sobatku Muda!" kata si gemuk itu
sambil mengusap kedua matanya yang basah. "Ada sebab yang membuatku terkencing-
kencing. Aku tadi tertawa terpingkal-pingkal dan kau kebetulan ada dibawah
pohon! Walaupun begitu kuharap kau sudi memaafkan diriku!"
Wiro diam saja. Sesaat kemudian dia bertanya.
"Apa yang membuatmu tertawa terpingkal-pingkal?" "Aku melihat satu kejadian lucu
di tepi Kali Brantas!"
"Kejadian apa?" Wiro menyambung pertanyaannya.
"Aku melihat...ha...ha...ha..." Si gendut belum sempat meneruskan ucapannya dia
sudah keburu tertawa. "Aku melihat... Ha... ha.., ha... ha... Ada...ada... ada
delapan orang perajudt KARYA
20 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Kediri dipreteli orang celananya hingga waktu mereka keluar darl air dalam
keadaan bugil! Anunya pada bergelantungan kemana-mana....! He...ha...ha! Apakah itu menurutmu
tidak lucu" Mereka kelabakan! Berusaha menutupi anu mereka! Lucu....! Ha....
he ...ha..." Tiba-tiba suara tawanya berhenti. Kedua matanya yang sipit
memandang lekat-lekat kepada Wiro Sableng.
Apa yang ada dalam pikiran si gendut ini, Wiro bertanya dalam hati.
"Heh?" Bukankah... Bukankah kau orangnya yang menelanjangi delapan perajurit
Kediri itu"!" Wiro tertawa lebar. Sambil garuk-garuk kepalanya dia mengangguk
dan berkata. "Memang. Aku yang menelanjangi mereka. Mereka hendak menangkapku!"
Si gemuk tertawa mengekeh. "Kau ternyata pemuda jahil! Lain kali kalau mau
menelanjangi orang, jangan orang lelaki, tapi cari orang perempuan! Ha... ha...
ha... ha...!"
Wiro jadi ikut-ikutan tertawa.
"Mengapa mereka hendak menangkapmu?"
"Karena aku makan cempedak." Jawab Wiro.
Lalu dia bertanya. "Apakah seseorang bisa ditangkap karena makan cempedak?"
"Mana ada pasalnya orang ditangkap makan cempedak. Kecuali kalau cempedak itu
buah curian. Atau kau makan sambil berpelukan dengan bini orang!
Ha...ha...ha...ha...!"
Wiro geleng-geleng kepala. Seumur hidup belum pernah dia bertemu dengan orang
seperti ini. Gemuk luar biasa dan juga lucu luar biasa.
"Hari sudah siang! Aku masih punya keperluan lain. Sobatku Muda, aku mau pergi
sekarang." berkata si gendut.
"Ke mana tujuanmu sebenarnya?"
"Ah, hal itu tidak bisa kukatakan padamu. Jangan marah. Ha...ha...ha..."
"Aku mengucapkan terima kasih padamu. Kau telah menanam budi baik padaku."
"Eh, kau ini bicara apa Sobatku Muda?" tanya si gendut.
"Kau berpura-pura Sobatku Gendut. Waktu memegang kedua bahuku tadi, kau diam-
diam mengalirkan hawa aneh ke dalam tubuhku. Lalu aku merasa tubuhku lebih
ringan dari sebelumnya."
Si gendut tertawa gelak-gelak. "Anggap saja itu sebagai pembayar dosaku
mengencingimu! Ha.... ha... ha...!" Habis berkata begitu dia masukkannya dua
jari tangan KARYA
21 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
kanannya ke mulut. Lalu terdengar suara suitan. Dari balik semak belukar
menyeruak keluar seekor keledai, kecil pendek dan kurus.
"Tungganganku sudah datang menjemput. Aku pergi. Selamat tinggal Sobatku Muda!"
Wiro terkejut. "Kau... Kau hendak menunggangi keledai sekecil itu?" tanya Wiro
heran. "Memangnya kenapa?" balik bertanya si gendut.
"Tubuhmu besar dan berat! Baru berjalan lima langkah keledai itu akan jadi
mejret!" Si gendut tertawa gelak-gelak. "Kau saksikan saja nanti apakah binatang ini
mejret atau tidak!" Si gendut melompat. Sekali lompat saja dia sudah duduk di
punggung keledai kurus itu. "Ayo jalan!" seru si gendut seraya menepuk pinggul
binatang tunggangannya. Keledai itu melangkah. Ternyata jalannya cepat sekali.
Setelah lewat sepuluh langkah si gendut berpaling.
"Apakah kau lihat keledai ini mejret"!" teriaknya. Lalu dia tertawa mengekeh.
Wiro garuk-garuk kepala. Kedua matanya memperhatikan. Lalu. Astaga! Keledai itu
ternyata berkaki enam. Yang dua adalah kaki si gendut sendiri! Kedua kakinya
ternyata menjejak tanah dana berjalan seperti biasa. Hanya pantatnya saja
rupanya yang menumpang duduk di punggung si keledai. Itupun tidak sampai menekan
tubuh tunggangannya karena sebenarnya dia berjalan kaki seperti biasa!
Wiro tertawa gelak-gelak. "Hai Sobat!" teriak Wiro. "Sebelum pergi kau mau
memberi tahu siapa namamu"!"
"Selama seratus lima puluh tahun hidup, aku tidak pernah memakai namaku. Kini
aku jadi lupa apakah aku punya nama atau tidak. Tapi orang- orang menggelariku
Dewa Ketawa!
Wiro Sableng 067 Halilintar Di Singosari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gelaran lucu! Ha...ha..ha...! Tapi mungkin mereka betul! Mungkin gelar itu cocok
bagiku!" Si gendut lalu menepuk pinggul keledai kurusnya. Binatang ini melangkah
lebih cepat. Kedua kaki si gendut juga bergerak lebih cepat. Sesaat kemudian
orang dan tunggangannya itu lenyap di balik kerapatan pepohonan dan semak
belukar. Wiro masih tertegak di tempatnya semula. Dewa Ketawa. Belum pernah aku mendengar
nama itu sebelumnya. Dia mungkin seumur dengan Dewa Tuak. Aku tidak mengerti
mengapa dia mengalirkan hawa aneh ke dalam tubuhku. Sayang aku menyelidiki
apakah dia orang Kediri atau orang Singosari. Dia sendiri rupanya tidak kepingin
tahu namaku. Kerbau Bunting yang aneh... Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya lalu
tinggalkan tempat itu.
*** KARYA 22 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
4 SETELAH Adipati Wira Seta dan Gandita meninggalkan tempat pertemuan rahasia di
tepi Kali Brantas itu, Raden Adikatwang dan rombongannya segera kembali ke
Gelang-gelang yang dijadikan pusat Kerajaan Kediri pada masa itu. Rombongan ini
sengaja menempuh rimba belantara untuk menghindari pertemuan dengan pihak-pihak
yang tidak diinginkan dan bisa membocorkan rahasia.
Dalam perjalanan kembali ini Adikatwang lebih banyak berdiam diri. Suara hatinya
berkata tiada henti. Apakah memang dia harus mengangkat senjata bersama Wira
Seta, memberontak terhadap kekuasaan Singosari. Mustikah Sang Prabu dihabisi
riwayatnya"
Haruskah semua itu dicapai dengan pertumpahan darah" Bukankah nantinya bakal
banyak rakyat yang menderita" Kalau aku menang apakah aku memang layak memegang
tampuk kekuasaan" Memerintah dikelilingi oleh orang-orang Singosari yang
tentunya akan menanam dendam sakit hati pula atas kekalahan mereka, atas
kematian teman dan keluarga mereka"
Ketika suara hati Adikatwang berkata begitu, telinganya seperti mengiang suara
jawaban yang lebih keras dan menggetarkan.
Adikatwang kau adalah turunan dan pewaris syah singgasana Kediri. Dulu orang-
orang Singosari merebut kekuasaan dan merampas tahta Kerajaan Kediri dari
moyangmu! Sekarang saatnya untuk membalaskan segala sakit hati! Sekarang saatnya untuk
mengangkat senjata. Kau tidak sendirian. Dimana-mana orang akan mendukung
perjuanganmu. Ada ribuan perajurit yang bersedia mengorbankan darah dan jiwa
raganya demi berdirinya kembali Kerajaan Kediri. Kesempatan hanya datang satu
kali. Kalau kau mengabaikannya kau akan tetap menjadi hamba sahaya di bawah
tekanan Singosari!
Adikativang mengusap wajahnya. Sikapnya yang berdiam diri Itu bukan tidak
diperhatikan oleh para perajurit yang mengawalnya. Namun tak ada satu orangpun
dari mereka yang berani mengatakan resuatu. Rombongan itu bergerak dalam
kesunyian lanpa ada yang bicara.
Di satu tempat telinga Adikatwang mendengar sesuatu. Dia hentikan kudanya dan
KARYA 23 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
memandang berkeliling.
"Ada apakah Sri Baginda?" tanya seorang pengawal. Para pengikut Adikatwang yang
setia selalu memanggil Adikatwang dengan sebutan Sri Baginda. Walaupun pemimpin
mereka itu tidak lebih dari seorang raja kecil yang tiada berdaya di satu
wilayah yang kecil pula, namun mereka tetap menganggap Adikatwang adalah raja
mereka, Raja Kediri.
"Aku mendengar sesuatu..." Jawab Adikatwang.
Sepuluh pengawal memasang telinga. Mereka saling pandang. Beberapa saat kemudian
salah seorang dari mereka" berkata. "Kami tidak, mendengar suara apa-apa."
Tentu saja para perajurit itu tidak atau belum mampu mendengar suara yang
datangnya sangat sayup-sayup di kejauhan di dalam rimba belantar itu. Karena
kesaktiannya Adikatwang bisa mendengar suara itu yang tidak mampu didengar oleh
para pengikutnya.
"Ikuti aku... Tapi harap kalian waspada. Tangan kalian jangan jauh di senjata."
kata Adikatwang. Maka sepuluh perajurit itu segera menempelkan tangan pada
senjata masing-masing. Mereka bergerak mengikuti Adikatwang.
Tak selang berapa lama Adikatwang kembali hentikan kudanya dan berkata. "Suara
itu semakin jelas. Apakah kalian bisa mendengarnya sekarang?"
"Ya... Kami dapat mendengarnya sekarang," jawab beberapa perajurit bersamaan.
"Apa yang kalian dengar?" Adikatwang mengulangi.
"Itu... suara...suara orang sesenggukan. Suara orang menangis." jawab perajurit
di samping Adikatwang.
Adikatwang mengangguk. "Tidakkah aneh ada ingin menangis di dalam rimba
belantara seperti" Mari kita bergerak ke arah suara. Kita akan lihat siapa
adanya orang yang menangis itu."
Kembali sepuluh perajurit mengikuti pimpinan mereka bergerak ke arah kanan yaitu
dari mana datangnya suara orang menangis terisak-isak. Berapa puluh langkah
menunggangi kuda, di suatu tempat yang agak terbuka, duduk di atas sebatang kayu
yang sudah lapuk tampak seorang kakek berkulit hitam tengah menangis. Tangisnya
sedih sekali dan setiap saat dia mengusap kedua matanya yang basah dengan ujung
kaln putih yang diselempangkan di dada.
Melihat kepada rambutnya yang digelung di atas kepala serta pakaiannya,
tampaknya kakek hitam ini adalah seorang Resi. Tetapi Adikatwang yang mengenali
orang tua itu tahu betul KARYA
24 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
kalau kakek itu bukanlah seorang Resi atau Brahmana.
"Dewa Sedih! Sungguh suatu rahmat dari para dewa kalau saat ini aku bisa
menemuimu! Aku memang sudah lama mencarimu. Dicari-cari tidak ketemu tahu-tahu muncul
sendiri!" Kakek yang dipanggil dengan julukan Dewa Sedih itu turunkan kedua tangannya.
Melihat wajahnya, sekalipun dia tidak menangis, orang akan menyaksikan satu
wajah yang selalu membayangkan kesedihan. Kedua alis matanya yang hitam menjulai
bawah. Mulutnya mengkerut. Sekalipun dia tersenyum maka mimik wajah itu tetap
saja menunjukkan kesedihan.
Begitu melihat Adikatwang, orang tua ini berkata perlahan, "Raden..." Lalu
kembali dia menangis terisak-isak. Siapa yang mendengarkan pasti akan merasa
sedih. Adikatwang yang sudah tahu sifat orang tua ini hanya bisa tersenyum. "Dewa
Sedih, kau berada jauh dalam hutan begini. Menangis sedih sekali. Apakah pasal
sebabnya?"
Dewa Sedih geleng-geleng kepala. Dia mengusap muka dan wajahnya berulang kali.
"Aku... Aku melihat sesuatu di telapak tangan kiriku..." katanya lalu kemball
menggerung seperti anak kecil.
"Mana coba kulihat telapak tangan kirimu..." kata Adikatwang pula.
Orang tua itu kembangkan telapak tangan kirinya di hadapan Adikatwang.
"Lihat sendiri," katanya. "Lihat, sesuatu akan terjadi sesuatu peristiwa besar
yang sangat menyedihkan..." Dewa Sedih meneruskan tangisnya.
"Aku tidak melihat apa-apa," kata Adikatwang sambil tersenyum. Tapi diam-diam
hatinya berdetak. Walaupun bersifat aneh dan terkadang menjengkelkan, setiap
ucapan orang tua ini tidak boleh dianggap sepi. Dia mengatakan satu peristiwa
besar yang sangat menyedihkan akan terjadi. Apakah dia sudah punya firasat
kalau..." "Mata Raden buta rupanya!" terdengar Dewa Sedih berkata setengah memaki.
"Masakan gambar yang begini jelas di telapak tanganku Raden tidak melihat?"
"Kau betul Dewa Sedih. Mata orang tolol sepertiku mana punya kemampuan melihat
sehebat kedua mata yang kau miliki. Coba kau ceritakan dengan jelas, apa yang
kau lihat di telapak tanganmu."
Sambil sesenggukan Dewa Sedih kembangkan talapak tangannya dan memperhatikan
lekat-lekat. Sesenggukannya berubah menjadi tangisan keras. Di antara tangisnya
terdengar KARYA
25 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
ucapannya. "Perang... ada perang. Darah di mana-mana... Mayat di mana-mana.
Sedih... menyedihkan sekali. Dewa Batara kasihani mereka. Tolong mereka... Jauhkan
malapetaka itu.
Hik...hik...hik..."
Paras Adikatwang jadi berubah. Begitu juga sepuluh orang prajurit yang ada di
tempat itu. Mereka saling pandaug bahkan ada yang mulai berbisik-bisik Orang tua ini sungguh
luar biasa kesaktiannya. Dia mampu melihat apa yang bakal terjadi dalam waktu
dekat ini. Kalau apa yang ditetahuinya itu diberitahukannya pada orang iain,
bisa celaka... "Dewa Sedih, dari pada kau menangis di rimba belantara ini, lebih baik ikut
bersamaku ke Gelang-gelang. Aku memerlukan bantuanmu. Ada pekerjaan besar
menunggumu. Imbalannya tentu saja besar pula."
"Aku tak mau hidup terikat ikut dengan orang lain. Biarkan aku sendirian di
sini. Tangisku belum selesai." Lalu kembali Dewa Sedih menangis tersedu-sedu.
"Dewa Sedih, jangan kau salah kira. Aku atau siapapun tidak ada yang akan
mengikatmu. Di Gelang-gelang kau bebas mau pergi kemana, mau melakukan apa. Bahkan menangis
di sana akan lebih nikmat..."
"Maksudmu?" tanya Dewa Sedih. Tangisnya terhenti.
"Di sana kau bisa menangis dengan diiringi gamelan. Apa tidak hebat"!"
"Menangis diiringi gamelan?"
"Betul." Jawab Adikatwang sungguh-sungguh.
"Ah... Aku jadi lebih sedih. Kasihan pemain-pemain gamelan itu nantinya. Mereka
tidak akan mampu mengikuti suara orang menangis... Pergilah kalian. Aku mau
menangis sampai mati."
"Kalau kau memang mau mati, tidak usah menunggu lama. Di hutan ini banyak
binatang buas dan binatang berbisa. Kau tinggal memilih mati cara bagaimana.
Diterkam harimau. Atau dipagut ular berbisa!"
Mendengar kata-kata Adikatwang itu paras Dewa Sedih berubah. Dia seperti
ketakutan tetapi anehnya air mukanya justru kelihatan kuyu sedih.
"Kalau begitu biar aku ikut bersama Raden," kata Dewa Sedih dan cepat bangkit
berdiri. "Ikut aku itu sudah pasti Dewa Sedih. Tapi aku mau tahu di mana saudara mudamu
yang berjuluk Dewa Ketawa itu" Sebenarnya aku ingin dia ikut bergabung bersama
kami." KARYA 26 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
"Ah si kentut gendut Dewa Ketawa itu aku tidak mengaku saudara padanya. Aku
selalu diejeknya, dihina dan ditertawai."
"Itu urusanku nanti kalau dia masih begitu terhadapmu. Yang penting kau tahu di
mana kita bias menemukannya?" tanya Adikatwang.
Dewa Sedih Menggeleng.
"Coba lihat di telapak tanganmu," kata Adikatwang pula.
"Ah, kau betul Raden. Aku baru ingat..." Masih sesenggukan dan wajah menunjukkan
kesedihan mendalam Dewa Sedih kembangkan lebar-lebar telapak tangan kirinya.
Lalu memperhatikan tanpa berkesip. Beberapa saat kemudian dia mengangkat
kepalanya, memandang kepada Adikatwang.
"Gajah buduk itu sebelumnya berada di tepi Kali Brantas sebelah Tenggara. Kini
kulihat dia menunggangi keledai bobroknya menuju ke Barat. Jangan-jangan dia
dalam perjalanan menuju Tumapel di Singosari."
Adikatwang merasa tidak enak mendengar ramalan Dewa Sedih itu. "Dewa Sedih,
apakah kau bisa memanggil adikmu itu lalu sama-sama membantu di Kediri."
Dewa Sedih menggelengkan kepala. "Orang sedih dia mana bisa disatukan dengan
orang ketawa. Raden harus memilih. Percaya padaku atau lebih suka padanya. Yang
jelas kami berdua tidak bisa seiring sejalan."
Adikatwang mengusap dagunya. "Baiklah," katanya.
"Kalau begitu kau yang akan kuambil. Hentikan tangismu dan jangan terlalu
cengeng." "Aku tidak cengeng! Aku hanya sedih!" kata Dewa Sedih hampir berteriak. Marah
dia rupanya. Tapi walaupun begitu tampangnya tetap saja murung.
"Aku tahu... Aku tahu..." kata Adikatwang. "Aku juga sedih."
"Raden juga sedih" Jadi kita sama-sama sedih. Kalau begitu mari kita sama-sama
menangis!"
Manusia geblek! Maki Adikatwang dalam hati. Kalau bukan karena kesaktianmu
jangan harap aku mau membawa manusia gila sepertimu.
*** KARYA 27 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
5 SIANG itu langit cerah. Diiringi oleh para pengawal, bersama-sama Patih
Raganatha, beberapa orang Pendeta dan Panglima Perang Kerajaan Aruajaya, Sang
Prabu melangkah menuruni tangga Candi Jago yang terletak di sebelah Selatan
Tumapel. Raja Singosari itu baru saja melakukan upacara keagamaan. Candi Jago
sengaja didirikan oleh Sang Prabu sebagai tempat pemujaan terhadap ayahandanya
yaitu mendiang Wisnu Wardhana. Seorang hamba sahaya membawa payung kuning
berumbai-umbai merah untuk melindungi Sri Baginda dari sengatan matahari.
Ketika kaki kiri Sang Prabu Singosari menginjak anak tangga terakhir di bagian
depan Candi, tiba-tiba di langit petir menyambar terang benderang. Bersamaan
dengan itu menggelegar suara guntur. Bumi berguncang, Langit laksana terbelah.
Semua orang yang ada di depan Candi Jago tampak terhuyung. Getaran yang dahsyat
terasa sampai ke jantung mereka. Wajah mereka termasuk Sang Prabu tampak berubah
pucat oleh rasa kejut yang bukan alang kepalang.
"Petir di tengah hari..." desis Sri Baginda seraya memandang pada Patih
Raganatha sementara para Pendeta tampak menundukkan kepala sambil merapal
bacaan-bacaan suci.
"Apakah artinya ini Mamanda Patih?"
"Saya tidak dapat menjawabnya saat ini Sang Prabu. Sebaiknya kita kembali cepat-
cepat ke Tumapel." Menjawab Patih Raganatha. "Memang kita perlu mengkaji apa
arti petunjuk para Dewa yang diberikan melalui kejadian tadi."
Sri Baginda mengangguk. Wajahnya agak murung. Dia maklum petir dan guntur tadi
merupakan suatu pertanda yang tidak baik. Mungkin tidak baik bagi dirinya,
mungkin sekali bagi Kerajaan. Ya Dewa Bhatara, hal apakah yang akan terjadi di
Singosari ini" Berucap Sri Baginda dalam hatinya.
Sang Prabu naik ke atas kereta. Rombongan yang baru saja melakukan upacara
keagamaan itu bergerak cepat menuju Keraton Tumapel. Di tengah jalan, Patih
Raganatha yang duduk di samping Sri Baginda berkata. "Sang Prabu, jika saya
boleh mengusulkan, KARYA
28 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
begitu sampai di Keraton sebaiknya kita mengadakan pertemuan. Sebenarnya hal ini
sudah agak lama kami inginkan. Pertanda di Candi Jago tadi membuat saya
merasakan pertemuan itu sebagai suatu yang mendesak."
Sang Prabu termenung mendengar kata-kata patihnya itu. Namun akhirnya dia
menganggukkan kepala. "Beritahu yang lain-lain," katanya.
Begitu sampai di Keraton Sang Prabu langsung masuk ke sebuah ruangan yang biasa
dipergunakan untuk pertemuan-pertemuan penting dan mendadak.
Patih dan Panglima serta beberapa Pendeta mengikuti.
Setelah semua orang duduk di tempat masing-masing berkatalah Sang Prabu.
"Mamanda Patih, sekarang coba Mamanda memberikan penjelasan, apakah kejadian di
Candi Jago siang tadi merupakan suatu pertanda" Jika benar pertanda apakah"
Buruk atau baik?"
Patih Rapanatha menghaturkan sembah terlebih dahulu baru menjawab.
"Daulat Sang Prabu. Saya hanya tahu sedikit soal tanda-tanda ciptaan para Dewa.
Saya takut mengemukakannya kalau-kalau keliru. Saya merasa sebaiknya kita
meminta orang tertua di antara kita saja yang bicara. Yaitu Pendeta Mayana."
Wiro Sableng 067 Halilintar Di Singosari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua orang menyetujui ucapan Patih KerajaaniItu. Sang Prabu berpaling pada
orang tua berambut sangat putih seperti kapas, bermata bening yang duduk di
samping Panglima Argajaya. Dialah Pendeta Mayana.
"Terima kasih kalau Sang Prabu mempercayai dan mau mendengar petunjuk dari
kami," kata sang Pendeta pula setelah membungkuk terlebih dahulu. "Petir dan guntur di
siang hari ketika tidak ada hujan adalah suatu petunjuk jelas akan terjadi
sesuatu besar di bumi Singosari.
Sesuatu itu mungkin mendatangkan kebaikan, namun sebaliknya bisa juga membawa
malapetaka..."
"Saya tidak percaya kalau kejadian tadi merupakan pertanda akan datangnya
malapetaka,"
berkata Sang Prabu. "Kita orang-orang Singosari saat ini berada dalam keadaan
berkecukupan. Hasil sawah ladang dan ternak melimpah ruah. Keadaan Kerajaan aman tenteram.
Semua karena, perlindungan dan anugerah para Dewa. Kita orang-orang Singosari
selalu taat pada agama. Selalu mengingat dan menghaturkan doa sembah kepada para
leluhur. Jadi tidak mungkin Para Dewa akan menjatuhkan malapetaka di Kerajaan
ini. Sulit bagi saya menerima KARYA
29 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
begitu saja artian yang Pendeta Mayana barusan sampaikan."
"Mohon dimaafkan kalau ucapan kami tidak berkenan di hati Sang Prabu. Kita semua
di sini tentu saja memohon pada Dewata agar negeri kita dijauhi dari segala
malapetaka maupun bencana dalam bentuk apapun. Kami hanya sekedar mengingatkan
bahwa yang buruk dan yang baik itu bisa saja terjadi tanpa terduga. Namun apakah
Sang Prabu berkenan mendengarkan beberapa petunjuk lainnya yang berkaitan dengan
kejadian siang tadi di Candi Jago?"
"Beberapa petunjuk apa maksud Pendeta Mayana?" tanya Raja pula.
"Untuk itu biarlah kami minta Panglima Argajaya atau Patih Raganatha yang
memberikan penjelasan," kata Pendeta Mayana.
Sang Prabu menganggukkan kepalanya ke arah Patih Raganatha. Sang Patih lalu
membuka mulut. "Orang kita di Madura melaporkan ada tanda-tanda hahwa Adipati
Wira Seta telah menambah kekuatan pasukan Kadipaten. Berkali-kali terlihat
adanya latihan perang-perangan. Setahu saya, kita tidak pernah meminta Sumenep
untuk melakukan hal itu. Lalu mengapa Adipati Wira Seta berbuat demikhian"
Jawabnya hanya satu yaitu bahwa dia mempunyai suatu rencana. Dan rencana itu
tidak sulit untuk diterka. Dia tengah menyusun kekuatan untuk memberontak pada
Singosari."
Alis mata Sang Prabu nampak naik ke atas. Keningnya berkerut. "Wira Seta hendak
memberontak" Tak masuk akal! Bukankah dia sekarang inenjadi Raja Kecil di
Madura" Lebih tinggi kedudukannya dari pada di Tumapel ini. Sikapnya selama ini
tidak menunjukkan perubahan sedikitpun. Dia mensyukuri jabatan dan tugas yang
diberikan. Bagaimana sekarang tahu-tahu Mamanda Patih mengatakan dia menyusun
kekuatan hendak berontak" Bukankah latihan perang-perangan suatu hal biasa saja
bagi suatu Kerajaan sebesar Singosari ini"
Apalagi Madura dipisahkan oleh laut dengan tanah Jawa. Patut dia memperkuat diri
untuk berjaga-jaga terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Sesungguhnya apakah
yang terjadi di Keraton Tumapel ini" Saya mencium ada orang-orang yang tidak
suka terhadap Adipati Wira Seta."
Paras Patih Raganatha tampak berubah merah. Dalam hati dia merasa sangat
menyesal telah mengeluarkan kata-kata tadi.
Padahal apa yang diucapkannya adalah sejujurnya tidak ada niatan memburukkan
Kisah Si Naga Langit 7 Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian Pendekar Pedang Dari Bu Tong 3