Pencarian

Halilintar Di Singosari 2

Wiro Sableng 067 Halilintar Di Singosari Bagian 2


orang KARYA 30 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
lain apa lagi mengkhianati. Diam-diam sang patih menjadi sangat sedih.
Karenanya dia memutuskan untuk tidak membuka mulut lagi.
Sang Prabu berpaling pada Argajaya. "Panglima, apakah kau tidak akan mengatakan
sesuatu?" Panglima Pasukan Kerajaan ini sesaat tampak meragu.
Dia melirik pada Patih Ragantha. Dia merasa hiba terhadap orang tua itu. Dengan
maksud hendak membelanya maka diapun berkata.
"Memang ada yang hendak saya laporkan, Sang
Prabu. Itu jika Sang Prabu berkenan
mendengarnya..."
"Apakah ada sangkut pautnya dengan kejadian siang tadi?" tanya Raja pula.
"Saya tidak berani mengatakan begitu," sahut Argajaya karena dia kawatir dirinya
akan ditempelak seperti Patih Raganatha "Yang ingin saya sampaikan ialah
menyangkut keadaan dan keamanan negeri. Sesuai dengan tugas dan kewajiban saya
menjaga Kerajaan."
"Kalau begitu katakanlah," perintah Sang Prabu.
"Daulat Sang Prabu. Sang Prabu ingat sewaktu utusan Raja Cina keturunan Mongol
Kubilai Khan datang ke Singosari beberapa waktu lalu?"
"Saya ingat. Semua kita di sini pasti ingat hal itu." jawab Sang Prabu pula.
"Kejadian dimana kita mengusir utusan itu setelah terlebih dahulu membuat cacat
muka pemimpin mereka tidak dapat tidak akan membuat murka Raja Cina. Saya
kawatir kalau Raja Cina sewaktu-waktu memerintahkan balatentaranya untuk
menyerbu kemari."
Sri Baginda tertawa gelak-gelak mendengar ucapan Panglima Pasukannya itu.
"Orang asing kalau diberi hati, mereka akan menginjak kita. Apalagi kalau kita
memperlihatkan sikap takut! Ingat hal itu baik-baik bagi semua yang ada di
sini!" Sri Baginda memandang satu persatu wajah-wajah di hadapannya. "Mengenai
penghinaan yang kita lakukan terhadap pimpinan utusan Raja Cina itu, apakah
kalian tidak melihat bahwa itu adalah lebih ringan dibanding dengan penghinaan
yang mereka lemparkan pada kita. Mereka meminta agar kita tunduk kepada Kerajaan
Cina!" Pelipis Sang prabu tampak bergerak-gerak tanda dia menahan kemarahan
besar. "Kubilai Khan boleh mengirim serdadunya kemari. Raja Cina itu boleh
menyerbu Singosari. Kita akan memukul mereka sampai hancur. Tidak ada satu
Kerajaanpun mampu menundukkan Kerajaan lain yang terpisah jauh. Mereka mungkin
bisa KARYA 31 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
menang, tapi hanya sesaat. Begitu jalur perbekalan mereka putus, mereka akan
jadi sasaran hantu kelaparan atau senjata lawan!"
Panglima Argajaya dalam hati mengagumi kecerdikan jalan pikiran Sang
Prabu.Tetapi bagaimana kalau Adipati Wira Seta mempergunakan kesempatan.
Bergabung dengan pasukan Cina untuk menyerbu Singosari" Rasa-rasanya Singosari
hanya akan sanggup bertahan satu hari satu malam. Setelah itu...
Hal itulah yang dikawatirkan oleh Argajaya dan juga diketahui oleh Patih
Raganatha. Bahkan para Pendeta yang hadir di situ saat itu juga dapat meraba jalan pikiran
kedua orang tokoh Kerajaan tersebut. Namun tidak satupun yang berani
mengemukakannya karena takut dituduh yang bukan-bukan.
Melihat Argajaya diam saja Sang Prabu lantas bertanya.
"Masih ada lagi yang hendak mengemukakan sesuatu" Kalau tidak pertemuan ditutup
sampai di sini."
Patih Raganatha melirik kepada Argajaya. Panglima Pasukan Singosari yang
mengerti arti lirikan ini membungkuk dalam-dalam dan berkata.
"Izinkan saya menyampaikan sesuatu Sang Prabu."
Sang Prabu mengangguk.
"Ada seorang pelapor memberi tahu tentang pertemuan rahasia antara Adipati Wira
Seta dengan penguasa di Kediri."
"Maksudmu Raden Adikatwang?"
"Betul sekali Sang Prabu."
"Apa yang dilaporkan orang itu?" tanya Sang Prabu.
Lalu panglima Argajaya menceritakan pertemuan rahasia antara Adipati Wira Seta
dengan Adikatwang beberapa waktu lalu di sebuah hutan tak berapa jauh dari Kali
Brantas. "Ini cerita baru yang sungguh tidak enak didengar. Bahkan mengejutkan!" kata
Raja pula. "Tetapi saya lagi-lagi sulit mempercayainya. "Saya tahu betul selama ini
Adikatwang menghambakan dirinya penuh kejujuran dan kesetiaan pada Singosari.
Itu sebabnya kita memberikan kekuasaan di Gelang-gelang kepadanya. Upetinya
tidak pernah putus. Apakah orang sebaik itu bisa dipercaya akan melakukan
pemberontakan" Dan kawan pemberontaknya adalah Wira Seta yang juga mengabdi
begitu baik terhadap Kerajaan?"
KARYA 32 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Orang-orang yang ada di tempat itu, terutama Patih Raganatha dan Panglima
Argajaya merasa putus asa dan sangat kecewa atas tanggapan yang diberikan oleh
Raja mereka. Sang Prabu rupanya memaklumi hal ini. Maka diapun bertanya.
"Siapa pelapor yang kau katakan itu Panglima?"
"Seorang pemuda bernama Wiro."
"Dia orang Singosari?"
"Dia mengaku dari Barat. Dari Gunung Gede." Jawab Argajaya.
"Ahhhh...Orang dari Barat!" ajar Sang Prabu sambil menarik napas panjang. "Bukan
mustahil dia adalah sisa-sisa turunan orang-orang Tarumanegara atau Pajajaran
yang kita semua tahu bahwa mereka tidak punya hubungan baik dengan Singosari
sejak jaman nenek moyang kita."
Mendengar ucapan Raja mereka itu Argajaya apalagi Patih Raganatha tidak bisa
berbuat apa-apa selain berdiam diri.
"Orang bernama Wiro itu, di mana dia sekarang" Apakah kita bisa menanyainya
secara lebih seksama?"
Mendengar pertanyaan Sang Prabu itu Argajaya segera menjawab. "Jika Sang Prabu
berkenan menemuinya, saya bisa menyuruhnya panggil saat ini juga."
"Bawa dia ke mari," kata Sri Baginda.
Argajaya berdiri dan meninggalkan ruangan itu dengan cepat. Dia menemui dua
orang pengawal. Kedua pengawal itu lalu bergegas menuruni tangga Keraton,
berjalan menuju ke tembok bagian Timur di mana terletak sebuah bangunan yang
dipergunakan sebagai tempat bermalam para pengawal. Tak lama kemudian kedua
pengawal itu muncul kembali bersama sebrang pemuda berpakaian putih-putih dan
berambut gondrong. Dia melangkah diapit dua pengawal sambil senyum-senyum.
Ketika pemuda itu sampai di hadapan Sang Prabu, dia segera menjura memberi
penghormatan tetapi masih tetap sambil senyum-senyum. Hal ini mendatangkan rasa
tidak enak di hati Sang Prabu.
Sikapnya cukup hormat tapi rasanya ada sesuatu yang tidak beres dengan pemuda
ini, kata SriBaginda dalam hati.
"Orang muda, namamu Wiro?" tanya Raja.
KARYA 33 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
"Betul Sang Prabu."
"Kau keturunan orang-orang Tarumanegara atau Pajajaran?"
Wiro garuk-garuk kepalanya, kurang mengerti maksud pertanyaan itu. "Kalau soal
keturunan, saya kurang jelas. Saya dibesarkan di puncak Gunung Gede. Hanya itu
yang saya tahu."
"Panglimaku melaporkan bahwa kau mengetahui adanya pertemuan rahasia antara
Raden Adikatwang dari Kediri dengan Adipati Wira Seta di Sumenep. Betul?"
"Betul sekali Sang Prabu," jawab Wiro.
"Di mana pertemuan itu diadakan. Kapan?"
"Tiga hari lalu. Dekat Kali Brantas. Tak jauh dari pohon cempedak yang batangnya
melintang di atas kali. Waktu itu saya sedang enak-enak makan cempedak di atas
pohon. Lalu..." "Hal itu tidak perlu diceritakan," memotong Argajaya yang jadi risih mendengar
Wiro menccritakan hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan pertanyaan Raja.
Sang Prabu melirik pada Panglima Argajaya lalu geleng-gelengkan kepala. Argajaya
seperti tak bisa bernafas melihat sikap dan cara Wiro memberi keterangan.
Seolah-olah Sang Prabu adalah temannya, bukan dianggap sebagai Raja.
"Laporanmu tidak bisa dipercaya. Kecuali kalau bisa memberikan bukti-bukti. Kau
bisa menunjukkan bukti-bukti tentang adanya pertemuan itu?" tanya Raja Sri
Baginda. Wiro jadi garuk-garuk kepala mendengar perfanyaan itu. Lalu dia ingat akan
peristiwa di kali. "Saya bisa memberikan bukti yang Sang Prabu minta," berkata
Wiro. "Bisa ditanyakan pada delapan orang perajurit Kediri yang sempat saya
telanjangi di sungai!"
Patih Raganatha dan Panglima Argajaya jadi berubah paras mereka. Para Pendeta
tundukkan kepala, beberapa di antaranya senyum-senyum.
"Cukup!" Sri Baginda berdiri dad duduknya. "Kau tidak bisa memberikan bukti.
Malah bicara ngawur!"
Wiro jadi jengkel.
"Sang Prabu, kewajiban saya hanya melapor. Karena saya merasa Singosari dalam
bahaya. Bukan tugas saya memberikan bukti-bukti. Itu adalah tugas orang-orang
Singosari sendiri untuk menyelidiki kebenarannya. Saya bicara apa adanya. Jika
saya berkata dusta saya KARYA
34 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
bersedia dihukum!"
"Orang muda!" bentak Argajaya. "Kau tidak layak mengajari Sang Prabu!"
Wiro menatap wajah Panglima Singosari itu, sesaat lalu berkata, "Saya yang tolol
mana berani mengajari Raja. Jika tidak dipercaya sebaiknya saya pergi saja dari
sini." Wiro hendak memutar tubuhnya.
"Kau kutuduh memberi keterangan palsu dan fitnah! Siapa dirimu harus
diselidiki!"
Ucapan Raja Singosari itu membuat Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan langkahnya.
"Tangkap pemuda gondrong ini!" perintah Sang Prabu.
Wiro terkejut karena tak menyangka akan diperlakukan seperti itu. Enam perajurit
berbadan kukuh segera melompat dan mencekal kedua tangannya lalu ditelikungkan
ke punggung. Wiro sampai mengerenyit karena kesakitan. Sebuah belenggu besi segera hendak
dikatupkan pada kedua pergelangannya.
Murid nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini menjadi kalap. Kaki kanan
dan kedua tangannya bergerak dengan cepat.
Tiga perajurit terpekik lalu terjengkang di lantai di hadapan Sang Prabu. Tiga
lainnya tegak memaing kaku dalam keadaan tertotok!
*** KARYA 35 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
6 SEMUA orang yang ada di ruangan pertemuan terkejut sekali menyaksikan kejadian
itu. Tidak sembarang orang mampu melumpuhkan enam orang penyerang sekaligus dalam
satu gerakan kilat yang hampir tidak terlihat. Panglima Argajaya dalam hati
harus mengakui bahwa dia bahkan Patih Raganatha, mungkin tidak bakal mampu
melakukan hal itu. Pemuda yang mengaku bernama Wiro ini memiliki ilmu silat
tinggi. Apakah dia juga mempunyai tenaga dalam dan kesaktian yang hebat"
Berpikir Argajaya dan juga Raganatha. Sementara para Pendeta yang duduk tidak
bergerak di tempat masing-masing dan tidak dapat menyembunyikan air muka rasa
kagum mereka. Sri Baginda tidak ingin orang-orang yang ada di situ sempat terpengaruh oleh kehebatan yang barusan diperlihatkan pemuda berambut gondrong itu.
Maka diapun berkata dengan suara keras.
"Kalian saksikan sendiri! Dia muncul dengan sikap berpura-pura seperti orang
dungu. Tapi nyatanya memiliki kepandaian tinggi. Jelas dia membekal maksud yang tidak
baik. Apa kalian masih be1um percaya kalau dia sebenarnya seorang mata-mata
pihak yang mempunyai maksud jahat terhadap Singosari"!"
Tidak ada yang membuka suara. Panglima Argaraya melangkah mendekati Sang Prabu
lalu berbisik. "Maafkan saya Sang Prabu. Jika dia memang nemiliki ilmu tinggi,
bukankah lebih baik memanfaatkannya untuk kepentingan Kerajaan?"
Sri Baginda memandang pada Panglimanya dengan wajah beringas. "Kenapa kau bicara
tolol Panglima" Kau ingin kita memelihara anak harimau. Kalau pada suatu hari
dia akan menerkam kita"!"
Argajaya terdiam, tak bisa berkata apa-apa lagi. Saat itu terdengar suara Raja
keras sekali. "Panglima Argajaya! Aku perintahkan kau meringkus pemuda itu!"
"Tapi Sang Prabu..."
"Kau berani menolak perintahku, Panglima?" Kedua mata Sri Baginda membelalak.
"Siap Sang Prabu!" jawab Argajaya. Lalu Panglima Kerajaan ini melompat ke
hadapan KARYA 36 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Wiro. "`Serahkan dirimu secara baik-baik. Kecuali kalau kau ingin kugasak sampai
remuk!" Wiro menatap wajah Panglima itu dengan sinis. "Panglima," katanya. "Saya tahu
kau hanya menjalankan perintah walau hati kecilmu menentangnya.
Tetapi jika kau sampai menangkap diriku, itu adalah kesalahan yang keterlaluan.
Kau tahu aku tidak punya salah apa-apa..."
"Tutup mulutmu! Aku tidak segan-segan membunuhmu di hadapan Sang Prabu!" hardik
Panglima Argajaya.
Dada murid Eyang Sinto Gendeng seperti terbakar mendengar ucapan Argajaya itu.
Sebelumnya dia percaya penuh pada keterangan tentang pertemuan rahasia antar
Raden Adikatwang dan Wira Seta. Itu sebabnya aku mau disuruhnya menunggu sampai
ada kesempatan untuk menemui Raja. Kini dia berubah. Jangankan membela,
membunuhpun dia mau! Panglima tak bisa dipercaya. Panglima ular kepala dua!
"Kalau kau hendak menangkapku silakan. Aku, orang Gunung yang tidak punya daya!"
kata Wiro. Lalu dia tegak dengan kaki dikembangkan dan bahu merunduk. Tangan
kanannya bergetar karena ada tenaga dalam yang dialirkan ke situ.
Saat itu Wiro tiba-tiba mendengar ada suara mengiang di kedua telinganya.
"Anak muda, walau hatimu terbakar tapi jangan unjukkan kekuatan di tempat ini.
Aku percaya kau bisa merobohkan Panglima Argajaya dalam dua tiga kali gerakan.
Tapi apakah itu perlu" Serahkan saja dirimu baik-baik. Mengalah secara kesatria
tidak ada celanya. Ada saatnya kau bisa membebaskan diri. Itu harus kau lakukan
pada saat yang tepat. Jika kau melawan dan mempergunakan kekerasan semakin kuat
dugaan Sang Prabu bahwa kau adalah mata-mata musuh. Lagi pula betapapun
kepandaian yang kau miliki, jika Raja mengerahkan seluruh orang pandai dalam
Istana kau pasti akan mengalami kesulitan."
Wiro memandang pada orang-orang yang ada di ruangan itu. Sulit baginya untuk
menduga siapa yang barusan mengeluarkan ucapan itu dengan nempergunakan ilmu
mengirimkan suara yang tidak terdengar oleh orang lain, kecuali orang yang
dituju. Yang bicara pasti bukan Argajaya atau Patih Raganatha, apalagi Sang
Prabu. Wiro memandang ke jurusan para Pendeta. Mereka duduk dengan sikap tenang
dan balas memandang dengan air muka yang agak berubah.
Aku yakin salah seorang dari mereka yang barusan mengirimkan ucapan jarak jauh
itu. KARYA 37 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Tapi yang mana ..." Wiro menatap wajah Pendeta Mayana. Pandangannya dipusatkan
pada kedua mata sang pendeta yang sangat bening. Hatinya berdetak, Pendeta satu


Wiro Sableng 067 Halilintar Di Singosari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

inilah yang diduganya mengeluarkan peringatan itu. Memikir bahwa petunjuk yang
disampaikan lewat suara tadi benar adanya maka Wiro batalkan niatnya untuk
melakukan perlawanan. Dia berpaling pada Panglima Argajaya.
"Saya tidak punya salah, tidak punya dosa. Jika setetes kebajikan yang hendak
saya berikan pada Singosari dianggap satu kesalahan besar, Panglima boleh saja
menangkap saya.
Namun kelak Panglima in melihat kenyataan bahwa apa yang dilakukan adalah
keliru. Saat ini saya yakin ada beberapa orang dari yang hadir di sini mempunyai
pendapat yang sama dengan apa yang saya katakan. Tetapi mereka tidak bersedia
mengatakan secara terus terang."
Wiro tersenyum ketika melihat para Pendeta yang ada di ruangan itu sama
menundukkan kepala. Murid Sinto Gendeng itu lalu ulurkan kedua tangannya.
Seorang perajurit cepat membelenggu kedua pergelangan tangan Wiro dengan
belenggu besi sementara beberapa orang perajurit lainnya sibuk menolong enam
kawan mereka yang cidera.
"Bawa tawanan ini ke penjara di tembok Timur Keraton. Jangan lepaskan
belenggunya. Dua orang harus selalu mengawal pintu penjara siang malam." Kata Panglima
Argajaya pada bawahannya.
Sepuluh orang perajurit segera menggiring Wiro meninggalkan ruangan itu. Sebelum
melangkah pergi, Pendekar 212 berhenti di depan Argajaya. Dia keluarkan suara
bersiul lalu berkata, "Terimakasih atas perlakuan yang sangat mengesankan ini.
Saya merasa sebagai tahanan terhormat. Bukan maling bukan pencuri, juga bukan
perampok. Kau tak usah kawatir saya akan melarikan diri. Karena itu saya tidak
memerlukan belenggu besi ini!"
Wiro salurkan tenaga dalam dan hawa panas dari perutnya. Kedua tangannya
bergetar dan tampak berubah warna menjadi putih seperti perak. Sang pendekar
telah merapal aji kesaktian ilmu pukulan matahari.
Belenggu besi tampak seperti leleh. Lalu traakk!
Belenggu itu terbelah dua. Selagi semua orang terkesiap menyaksikan kejadian itu
Wiro berpaling ke arah Sang Prabu. Dia menjura dengan sikap mengejek lalu
melangkah ke arah pintu. Ketika melewati Pendeta Mayana murid Sinto Gendeng ini
tersenyum polos. Kedipkan matanya dan berbisik, "Terima kasih atas petunjuk
tadi..." KARYA 38 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Pendeta Mayana hanya diam saja. Tidak mau memberikan reaksi apa-apa karena
kawatir sikapnya akan menimbulkan rasa curiga dalam diri Sang Prabu dan dapat
memperburuk suasana.
Pada saat Wiro mencapai pintu ruangan digiring oleh para pengawal tiba-tiba
terdengar satu suitan nyaring yang membuat semua orang terkesiap. Wiro hentikan
langkahnya. Dia mendengar suara berdering.
Entah dari mana munculnya sebuah benda melesat dan menancap di tiang kayu jati
besar di tengah ruangan. Ketika semua orang memperhatikan benda itu ternyata
adalah sebuah tusuk kundai yang terbuat dari perak. Pendekar 212 Wiro Sableng
terkejut etika dia mengenali benda itu. Tusuk kundai tersebut adalah perhiasan
yang biasa dipakai gurunya di kepala. Eyang, katanya dalam hati. Kau ada di
sini... Pada ujung tusuk konde yang berbentuk gelungan, tersisip segulungan daun lontar
kering. Semua orang yang ada di situ memandang pada Sang Prabu, seolah menunggu isyarat
atau perintah apa yang harus mereka lakukan.
"Ada orang berkepandaian tinggi mengirimkan pesan. Punya ilmu tapi tidak punya
nyali untuk unjukkan diri!" kata Sang Prabu pula. Dia memandang berkeliling.
Semua orang, termasuk Wiro melakukan hal yang sama. Namun tidak satupun melihat
orang yang melemparkan tusuk kundai itu tadi. Bahkan bayangannya pun tidak.
Sang Prabu akhirnva memandang Panglima Argaraja.
"Panglima, ambil tusuk kindai itu!" perintah sang Prabu.
Panglima Argajaya segera melangkah ke tiang besar lalu mencabut tusuk kundai
yang menancap di situ. Tusuk kundai serta daun lontar yang tersisip
diperhatikannya seketika lalu diserahkannya pada Raja. Sri Baginda membuka
gulungan daun lontar. Di situ ternyata ada sederetan tulisan berbunyi :
Jika seseorang membuat muridku menderita tanpa salah, maka penderitaan akan
menimpa orang itu lebih parah.
Wiro merasa tidak enak ketika Sri Baginda memandang dengan wajah membesi ke
arahnya. Dilihatnya Sang Prabu menyerahkan daun lontar pada Panglima Argajaya.
Argajaya membaca apa yang tertulis di situ lalu memberikan daun itu pada Patih
Raganatha. KARYA 39 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
"Kecurigaanku tidak melesetl Orang yang mengaku guru pemuda itu ternyata ada di
sini. Apa lagi yang mereka lakukan kalau bukan sama-sama berkomplot dengan musuh
Singosari! Murid dan guru sama saja kurang ajarnya. Berani dia memberi teguran dengan cara
seperti itu!" Sehabis berkata begitu Sri Baginda bantingkan tusuk kundai perak
yang dipegangnya ke lantai. Benda ini menancap sampai setengahnya ke dalam
lantai batu yang keras. Lalu Raja Singosari ini berpaling pada Patih Raganatha.
"Besok siapkan sidang pengadilan kilat bagi pemuda itu. Tapi satu hal sudah
jelas. Dia harus dijatuhi hukuman mati!"
"Daulat Sang Prabu," jawab Patih Raganatha.
Paras Wiro jadi berubah mendengarkan kata-kata dari Baginda itu. Tak ada jalan
1ain. Dia harus melarikan diri saat itu juga. Ketika dia siap hendak melakukan
hal itu tiba-tiba ada sambaran angin di belakangnya. Murid Eyang Sinto Gendeng
cepat memutar tubuh seraya menghantamkan tangan kanannya.
Bukk! Jotosannya tepat menghantam dada orang. Orang yang menyerang ini terpental tiga
langkah dan jatuh tergelimpang di lantai. Dari mulutnya terdengar suara erang
kesakitan. Di saat yang sama ketika jotosannya mengenai orang Wiro sendiri
merasakan satu totokan melanda dadanya dengan telak hingga saat itu juga sekujur
tubuhnya menjadi kaku tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Di dapannya Panglima
Argajaya berusaha bangkit dengan tubuh terhuyung-huyung. Di sela bibirnya ada
lelehan darah. Pukulan Wiro telah membuat Panglima Singosari ini terluka dalam
yang cukup parah!
Wiro digotong empat orang prajurit menuju halaman belakang Keraton. Di tembok
sebelah Timur rombongan ini membelok ke kanan melewati arah pintu. Dari sini
mereka akan menyeberangi sebuah jalan besar yang mengelilingi Keraton. Di
seberang jalan ada sebuah bangunan batu berbentuk panjang. Ke bangunan inilah
Pendekar 212 akan dibawa.
Ketika rombongan itu baru saja hendak menyeberangi jalan seorang penunggang kuda
melintas dengan cepat. Di belakangnya ada dua orang pengawal mengikuti. Tiba-
tiba penunggang kuda di sebelah depan membalik ke arah rombongan yang tengah
menyeberang. Orang di atas kuda itu ternyata adalah seorang gadis remaja berparas cantik
sekali. Dia mengenakan pakaian ringkas. Rambutnya yang panjang hitam dijalin
satu lalu digelung di atas KARYA
40 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
kepala. Dua orang penunggang kuda yang bertindak sebagai pengawal segera
bertanya. "Raden Ayu Gayatri, mengapa kita berhenti?"
Gadis di atas kuda tidak perdulikan pertanyaan pengawalnya. Dia membawa kudanya
ke depan rombongan yang tengah menggotong Wiro. Empat orang perajurit yang
menggotong langsung meletakkan Wiro begitu saja di tanah. Bersama enam oran
perajurit lainnya mereka membungkuk menghatur sembah.
Dalam keadaan tertelentang di tanah Pendek. 212 Wiro Sableng jadi tercengang
ketika melihat semua perajurit yang mengawalnya memberi penghormatan seperti itu
terhadap si gadis. Dalam hati dia berkata. Ah, dia rupanya. Siapa gadis
sebenarnya" Mengapa semua perajurit menghormat seperti sikap menghormat seorang
Raja" Dulu waktu kutanya dia tidak mau memberi tahu nama, juga tidak di mana dia
tinggal Gadis cantik berpakaian ringkas tidak perdulikan pertanyaan pengawalnya
tadi. Dia memperhatikan Wiro yang tertelentang di tanah, tidak bergerak tidak
bersuara. Hanya bola matanya saja yang berputar-putar.
Apa yang terjadi dengan dirinya" Tangan dan kakinya tidak bergerak. Sekujur
tubuhnya seperti kaku. Bersuarapun dia tidak bisa. Keadaannya seperti orang
ditotok. Gadis itu melompat turun dari kudanya.
"Siapa pimpinan dalam rombongan ini?" Si gadis ajukan pertanyaan.
Seorang perajurit maju ke depan. "Hamba Den Ayu..."
"Mau dibawa kemana orang ini?"
"Atas perintah Sang Prabu tawanan ini hendak dijebloskan ke dalam penjara."
"Tawanan" Hendak dijebloskan ke dalam penjara"!" Paras si gadis tampak berubah.
Dia memandang pada Wiro. Lalu kembali bertanya pada si pengawal. "Apa
kesalahannya?"
Pengawal menjawab. "Dia mata-mata musuh."
Si gadis kembali memandang ke arah Wiro. Dia mata-mata musuh" Benarkah" Tidak
mungkin. Aku tak percaya. Kalau bukan karena dia diriku...
"Dia bukan mata-mata. Aku tahu betul hal itu. Harap kalian segera melepaskan
dirinya. Biarkan dia pergi dari sini!"
Semua orang yang ada di jalanan itu tentu saja sangat terkejut mendengar ucapan
si gadis sementara Pendekar 212 hanya bisa menatap.
KARYA 41 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
"Kami menghormati Raden Ayu dengan segala ucapannya," kata perajurit yang jadi
pimpinan. "Tetapi mana mungkin kami menyalahi perintah Sang Prabu. Mohon Raden
Ayu mengerti dan memaafkan."
"Katakan di mana Sang Prabu berada saat ini?" tanya gadis yang dipanggil dengan
sebutan Raden Ayu Gayatri itu.
"Sang Prabu ada di ruangan pertemuan Keraton bersama Patih dan Panglima serta
para Pendeta."
Gadis cantik itu berpaling pada dua orang yang mengawalnya dan berkata. "Latihan
menunggang kuda cukup sampai di sini dulu." Lalu gadis ini melompat ke atas
kudanya dan membedal binatang ini memasuki halaman Timur Keraton. Empat orang
perajurit meneruskan menyeberangi jalan, menggotong Wiro menuju bangunan
penjara. Pertemuan di dalam keraron segera akan berakhir ketika Raden Ayu Gayatri
memasuki ruangan. Kecuali Sang Prabu semua orang yang ada di situ menjura
memberikan penghormatan.
"Gayatri, kau tidak berlatih menunggang kud hari ini?" tanya Sri Baginda.
"Sudah tapi tidak sampai selesai. Ananda harap kedatangan Ananda tidak
mengganggu Ayahanda." kata Gayatti pu1a. Ternyata dia adalah anak Sang Prabu.
Gayatri bungsu dari empat orang puteri bersaudara.
"Kau tidak mengganggu. Pertemuan baru saja selesai," jawab Sang Prabu. Dia
menatap pada puterinya sesaat, lalu bertanya, "Ada apa Gayatri. Agaknya ada
sesuatu yang penting?"
Gayatri menggangguk.
"Katakanlah. Atau kau ingin hanya kita berdua saj di ruangan ini" Jika itu
maumu, Ayahada akan minta semua orang yang ada di sini untuk pergi..."
"Tidak perlu. Biarkan semuanya tetap di sini agar bisa ikut mendengar," jawab
Puteri Raja pula. Sang Prabu Singosari menjadi agak heran mendengar kata-kata
puterinya itu. "Ada apakah sebenarnya Gayatri?"
"Di jalan saya berpapasan depgan perajurit yang tengah menggotong seorang pemuda
ke penjara."
"Hemmm, kau melihat rombongan itu rupanya."
"Ananda minta agar pemuda itu dilepaskan." Kalau ada ledakan keras yang KARYA
42 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
menghancurkan ruangan itu mungkin tidak sedemikian terkejutnya Sang Prabu, Patih
dan Panglima Singosari sementara para Pendeta tegak tak bergerak tanpa dapat
menyembunyikan air muka mereka yang menunjukkan rasa heran.
"Kau minta tawanan itu dilepaskan, Gayatri?" tanya Sang Prabu. Ketika puterinya
mengangguk, Raja Singosari ini lanjutkan pertanyaannya. "Katakan apa sebabnya."
"Dia bukan mata-mata musuh. Bukan orang jahat."
"Rupanya kau sudah mengenal pemuda asing itu sebelumnya. Anakku, katakan apa
hubunganmu dengani pemuda itu. Jangan kau berani memberi malu keluarga Istana
Singosari!"
"Kalau bukan karena dia ananda saat ini sudah tidak ada lagi."
"Apa maksudmu Gayatri?" kejut Sang Prabu Singosari. "Apa yang telah terjadi
dengan dirimu"!"
"Tadinya Ananda sengaja merahasiakan apa yang telah terjadi sekitar sepuluh hari
lalu. Tapi saat ini Ananda harus memutuskan untuk rnenceritakannya. Agar Ayahanda
bersedia memenuhi permintaan Ananda membebaskan pemuda itu." Lalu Raden Ayu
Gayatri menuturkan suatu peristiwa yang selama ini tidak diketahui oleh Sang
Prabu maupun Permaisuri.
*** KARYA 43 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
7 PAGI itu ketika seorang pengasuh di Kaputren memberi tahu bahwa dua orang
pengawal yang biasa melatihnya menunggang kuda siap menunggu, puteri bungsu Sang
Prabu mengatakan bahwa dirinya kurang sehat. Latihan hari itu ditunda saja
sampai besok. Sebenarnya Gayatri punya rencana sendiri yang sudah sejak lama
ingin dilakukannya.
Di sebuah hutan kecil di Timur Laut Singosari, tak berapa jauh dari Gunung Bromo
sejak lama diketahui orang banyak terdapat kupu-kupu dari berbagai jenis ukuran
dan bentuk. Warnanya juga macam-macam dan sangat menarik hati. Raden Ayu Ciayatri ingin
sekali pergi ke sana untuk melihat dan menangkap binatang-binatang itu lalu
mengawetkannya dan menjadikannya benda pajangan. Namun sebagai seorang puteri
Raja hal itu tidak mungkin dilakukannya. Paling tidak harus ada pengawal
mendampinginya. Hal inilah yang tidak disukai sang puteri. Dia merasa seperti
terkekang dan dibatas gerak-geriknya kalau ke mana-mana selalu dikawal, Karena
itu secara diam-diam dia mempersiapkan tangguk dan kantong besar untuk menangkap
kupu kupu itu. Dia akan pergi seorang diri dengan menunggang kuda.
Dia merasa sudah cukup mahir menunggang kuda tanpa pengawal atau pelatih. Kini
tinggal menunggu kesempatan saja. Dan hari itu dirasakannya adalah hari yang
paling tepat karena diketahuinya Sang Prabu bersama Patih dan Panglima Kerajaan
akan melakukan perjalanan ke Selatan.
Setelah dua orang pelatih yang merangkap pengawal meninggalkan Kaputeran dan
pengasuh berlalu, Gayatri segera mengganti pakaiannya dengan celana dan baju
ringkas. Rambutnya diikat dengan sehelai sapu tangan kuning. Jaring dan tangguk penangkap
kupu-kupu diambilnya dari balik sebuah lemari besar. Sebilah golok pendek
diselipkannya di pinggang. Lalu tanpa setahu siapapun dia menyelinap ke kandang
kuda di belakang Kaputren.
Tak lama kemudian puteri bungsu Raja Singosari ini tampak membalap kudanya
meninggalkan Tumapel ke arah Timur Laut.
Sebagai seorang Puteri Raja Gayatri tidak pernah pergi jauh meninggalkan
Keraton. Kalaupun pergi dia selalu dikawal. Hal ini menyebabkan dia tidak banyak tahu
seluk beluk di KARYA
44 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
luar Keraton dan akibatnya dalam perjalanan menuju hutan yang banyak kupu-
kupunya itu gadis ini tersesat ke sebuah hutan lain yang juga terletak di Timur
Laut, dipisahkan dengan hutan kupu-kupu oleh sebuah kali dangkal.
Setelah cukup lama berada dalam hutan yang salah itu, Gayatri merasa heran
karena dia sama sekali tidak menemukan seekor kupu-kupupun. Keadaan hutan


Wiro Sableng 067 Halilintar Di Singosari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilihatnya aneh.
Pepohonannya lebat dan tua tetapi di mana-mana terdapat bebatuan dan jurang-
jurang kecil. "Jangan-jangan kupu-kupu itu hanya cerita dusta aja," membatin Gayatri. Dalam
keadaan letih gadis ini akhirnya memutuskan untuk kembali pulang saja. Malangnya
dia tidak berhasil mencari jalan pulang ialah berputar-putar dalam rimba itu
sampai akhirnya matahari condong ke Barat. Rasa takut dan menyesal telah
melakukan perjalanan itu seorang itu mulai muncul dalam dirinya. Sementara itu
yang membuatnya tambah gelisah ialah karena kuda tunggangannya sebentar-sebentar
mengeluarkan suara meringkik. Seolah-olah ada sesuatu yang ditakutkan binatang
ini. "Tenang.... Tenanglah Grudo," kata Gayatri sambil mengelus kuduk kudanya. "Aku
tahu kau tentu letih. Tapi kita harus segera keluar dari hutan ini. Kita harus
dapat mencari jalan pulang. Ayo Grudo, jalan terus, kita harus pulang sebelum
malam tiba..."
Tapi binatang dan tuannya itu tidak mampu keluar dari rimba belantara itu. Di
sebuah mata air kecil Gayatri membiarkan kudanya minum. Dia sendiri tidak berani
meneguk mata air itu. Tiba-tiba Grudo mengangkat kepalanya lalu meringkik keras-
keras sambil menaikkan kaki tinggi-tinggi, membuat Gayatri hampir jatuh
terbanting ke tanah. Kuda itu kelihatan seperti ketakutan.
"Grudo, tenang. Tak ada apa-apa..." kata Gayatri coba menenangkan kuda dan juga
dirinya sendiri. Baru saja gadis ini berkata begitu tiba-tiba di belakangnya
terdengar suara menggereng. Gayatri berpaling. Nyawanya seperti lepas ketika
hanya sepuluh langkah di belakangnya, dekat sebatang pohon besar tegak merunduk
seekor harimau besar hitam belang kuning.
Harimau sebesar anak sapi itu tiba-tiba mengaum. Aumannya laksana guntur.
Jantung Gayatri seperti mau copot. Grudo, kuda tunggangannya meringkik keras
lalu menghambur lari sekencang-kencangnya. Gayatri jatuhkan diri sama rata di
atas punggung binatang itu, memagut leher kudanya kuat-kuat. Sekali dia
berpaling ke belakang. Wajah gadis ini menjadi KARYA
45 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
pucat pasi ketika ternyata dilihatnya harimau besar itu mengejar dan sangat
dekat di belakangnya.
"Lari yang kencang Grudo! Lari yang kencang!" teriak Gayatri sambil memukul
terus menerus pinggul kudanya dengan tangan kanan. Tiba-tiba di sebelah depan
tidak terduga, di antara kerapatan pepohonan menghadang sebuah batu besar Grudo
coba menghindari dengan membelok ke kiri. Tapi di belokan yang tajam dan sangat
tiba-tiba itu membuat tubuh Gayatri terbanting keras ke kanan. Pegangannya pada
leher kuda terlepas. Tubuh gadis itu terlempar.
Masih untung dia jatuh di atas rerumpunan semak belukar hingga tidak mengalami
cidera berat. Hanya pakaiannya saja yang robek dan kulitnya tergurat di beberapa
tempat. Gayatri cepat turun dari semak-semak itu. Namun baru saja kakinya menginjak
tanah harimau besar itu tahu-tahu sudah berada tujuh langkah di hadapannya!
Binatang ini rundukkan tengkuknya tanda dia siap menerkam mangsanya. Ketakutan
setengah mati Gayatri gerakan tangan ke pinggang. Maksudnya hendak mengambil
golok yang diselipkannya. Tapi senjata itu tak ada lagi di pinggangnya. Telah
mencelat mental entah ke mana sewaktu tadi dia jatuh dari kuda.
Untuk melarikan did tidak mungkin. Melawanpun tebih tidak mungkin. Dalam keadaan
tidak berdaya begitu rupa yang bisa dilakukan Gayatri hanyalah berteriak minta
tolong. Tapi siapakah yang akan menolongnya dalam rimba belantara yang sunyi
itu" Harimau besar itu mengaum dahsyat. Tubuhnya menerkam ke depan. Dua kaki depannya
siap membeset ke arah dada sedang mulutnya yang terbuka lebar mencari sasaran di
leher Gayatri! Hanya sesaat lagi binatang buas itu akan melahap mangsanya, tiba-tiba dari balik
sebatang pohon menderu satu sambaran angin yang sangat deras. Angin ini
menghantam tubuh harimau itu hingga terpental beberapa tombak, terkapar di
tanah, bangun terhuyung-huyung. Kepalanya digelenggelengkan. Lalu terdengar
aumannya yang menggetarkan rimba belantara. Untuk beberapa saat lamanya binatang
ini hanya mengaum saja. Rupanya hantaman angin keras tadi walau tidak
mendatangkan cidera tapi cukup membuatnya nanar. Saat itu Gayatri terduduk di
tanah dengan muka pucat. Dia tidak mampu lagi berteriak, apalagi beranjak
menyelamatkan diri. Di saat gadis ini seperti pasrah menerima kematian di tangan
harimau itu, tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat di depannya. Lalu dia melihat
seorang pemuda berambut gondrong KARYA
46 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
tegak membelakangi antara dia dan harimau.
"Raja hutan!" terdengar pemuda itu berkata. "Aku tidak ingin membunuhmu. Tapi
aku juga tidak suka kau membunuh gadis ini. Lekas tinggalkan tempat ini!"
Harimau besar seperti mengerti ucapan orang keluarkan suara menggereng marah.
Tubuhnya merunduk tanda dia siap menerkam pemuda berambut gondrong itu.
"Ah, jadi kau tak mau diajak berunding...." Ucapan si pemuda terputus ketika
harimau di depannya melompat menerkam. Dengan cepat pemuda itu merunduk. Sambil
merunduk tangan kanannya menjotos ke atas.
Bukk! Harimau besar itu terpental satu tombak ke kiri. Raungannya menggetarkan hutan.
Dua tulang iganya patah. Tapi begitu menjejakkan kaki di tanah binatang ini
cepat berputar dan kembali menerkam si pemuda.
"Binatang tolol! Dikasihani malah minta digebuk!" Dengan gerakan cepat pemuda
itu melompat ke samping menghindari serangan harimau. Begitu serangan lewat
tangan kirinya menghantam ke depan. Kembali terdengar suara bergedebuk. Harimau
besar itu melintir di udara lalu jatuh tergelimpang tanah. Pipinya remuk. Mata
kanannya mengeluarkan darah.
Binatang ini meraung keras dan menggapai-gapaikan kedua kaki depannya lalu
dengan tubuh huyung dia mencoba berdiri. Si pemuda menghantam kalau binatang ini
menyerang kembali.
Tapi ternyata harimau itu melangkah mundur lalu membalikkan tubuh dan lari
meninggalkan tempat itu.
Sadar kalau dirinya baru raja terlepas bahaya maut Gayatri sandarkan diri ke
batang pohon lalu menangis keras sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Pemuda berambut gondrong melangkah mendekati seraya berkata.
"Gadis berani, harimau itu sudah kabur. Bahaya sudah berlalu...."
Gadis berani" Aku dikatakannya gadis berani, membatin Gayatri. Aku ketakutan
setengah mati, malah bilang aku gadis berani!
Perlahan-lahan gadis itu turunkan kedua tangan. Si pemuda terkesiap ketika
melihat wajah sang dara.
Wajahnya cantik sekali. Sepasang matanya bening kaca.
"Saya... saya bukan gadis berani. Tadi saya ketakutan setengah mati..." kata
Gayatri KARYA 47 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
polos. "Ah, ternyata kau bukan saja pemberani tapi juga jujur. Kau tahu hanya gadis
yang berani yang mau masuk ke dalam hutan seorang diri sepertimu."
"Sebenarnya saya tersesat. Tujuan saya bukan hutan ini."
"Apapun tujuanmu adalah sangat berbahaya mengadakan perjalanan seorang did.
Apalagi memasuki hutan. Apa yang kau lakukan dalam hutan ini?"
"Saya mencari kupu-kupu," jawab Gayatri.
"Kupu-kupu" Ah, di sini mana ada kupu-kupu. Hutan yang banyak kupu-kupunya
terletak di sebelah Timur."
"Itu sebabnya saya katakan saya tersesat. Kau tinggal di sekitar sini?"
"Agak jauh dari sini...."
"Saya Wiro. Kau siapa?"
"Saya...." Gayatri sadar dia tak mungkin memberi tahu namanya. "Maaf.... saya
tidak bisa memberi tahu nama."
Wiro tersenyum. Berani masuk hutan tapi takut memberi tahu nama. Pasti ada satu
rahasia yang coba disembunyikannya.
"Saya berhutang nyawa padamu. Kau telah menyelamatkan saya dari raja hutan
tadi..." Wiro garuk-garuk kepala. "Hutang uang memang ada. Kalau hutang nyawa mana ada?"
katanya. "Ucapan itu lebih pantas dari pada menyebut segala hutang nyawa," kata Wiro
pula. "Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Kita harus meninggalkan hutan ini."
"Ya, saya harus segera pulang. Tapi saya tak mungkin pulang tanpa Grudo."
"Grudo" Siapa Grudo?" tanya Wiro.
"Kuda saya. Saya kehilangan binatang itu. Dia lenyap entah ke mana ketika
dikejar harimau."
"Apakah kudamu seekor kuda betina. Berwarna coklat, ada warna putih di atas
mulutnya?"
"Benar, bagaimana kau tahu?"
"Saya sempat melihatnya. Saya akan memanggilnya agar datang kemari."
"Kau bisa memanggil kuda" Kau bergurau..."
KARYA 48 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
"Lihat saja!"
Wiro lalu mendongak ke atas. Dia mengerahkan sedikit tenaga dalamnya ke dada
lalu ke leher. Kedua iangannya diletakkan di samping kepala. Masing-masing ibu
jari menutupi liang telinga dan empat jari lainnya digerak-gerakkan. Gayatri
hampir tak dapat menahan ketawa melihat sikap pemuda ini. Dari mulut Wiro
kemudian, terdengar suara keras seperti ringkikan kuda jantan. Si gadis sampai
menekap telinganya saking kerasnya ringkikan itu. Wiro membuat suara meringkik
itu tiga kali lalu diam sebentar. Sesaat kemudian dia mengulangnya lagi. Begitu
sampai empat kali berturut-turut.
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara ringkikan kuda seolah membalas ringkikan
yang dibuat Wiro.
"Itu suara Grudo!" seru Gayatri. Dia memandang ke arah kejauhan dari arah mana
kemudian terdengar suara langkah-langkah kaki kuda mendatangi.
Wiro kembali meringkik.
Tak selang beberapa lama seekor kuda betina oklat muncul dari balik pepohonan.
"Grudo!" pekik Gayatri lalu lari dan memeluk kuda betina itu. Ketika Wiro datang
mendekat Gayatri bertanya. "Saya belum pernah bertemu dengan orang sepertimu.
Mampu berkelahi dengan harimau. Menyelamatkan nyawa saya dari bahaya naut. Lalu
pandai memanggil kuda...."
Wiro tertawa lebar mendengar kata-kata Gayatri itu. "Tidak ada yang hebat,"
katanya. "Aku hanya menirukan suara ringkikan kuda jantan. Kuda betinamu mendengar lalu
mendatangi. Kuda begitu rupanya. Betina mencari jantan. Manusia pemuda mencari
gadis. Ha... ha... ha...."
Diam-diam dalam hatinya Gayatri suka sekali pada pemuda ini. Tapi saat itu dia
harus segera pulang. Dia memandang pada Wiro lalu berkata. "Saya tidak tahu
bagaimana membalas budi baikmu. Saya benar-benar berterima kasih. Saya harus
pergi sekarang...."
Wiro mengangguk. "Saya akan mengantar kanmu sampai ke tepi hutan."
"Kau baik sekali. Tapi kita tidak bisa menunggangi kuda ini berdua."
"Asal kau tidak memacu binatang itu secepat kau membedalnya sewaktu dikejar
harimau, saya pasti dapat mengikutimu," kata Wiro pula.
Gayatri tertawa lepas. Ditepuknya pinggang Grudo. Kuda ini mulai bergerak. Mula-
mula KARYA 49 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
perlahan. Wiro berlari mengikuti dari belakang sambil sekali-sekali memberi tahu
arah mana yang harus diambil. Gayatri mempercepat lari kudanya sambil sesekali
melirik ke belakang.
Setiap dia berpaling dilihatnya pemuda itu tetap berada dalam jarak yang sama
dari kudanya. Dicobanya lebih mempercepat lari Grudo lalu dia melirik lagi. Tetap saja Wiro
dilihatnya berada dalam jarak yang sama.
Pemuda ini bukan orang sembarangan. Dia pasti murid seorang sakti. Ah, kalau dia
mau membaktikan diri di Keraton, niscaya Ayahanda mau memberikan jabatan cukup
tinggi padanya. Begitu Gayatri berpikir sambil menunggangi kudanya.
Di tepi hutan gadis itu hentikan kudanya.
"Wiro, terima kasih kau telah mengantarkan saya sampai di sini. Saya akan
pulang. Kita berpisah di sini. Saya berharap bisa bertemu denganmu lagi!"
Wiro seka keringat yang membasahi keningnya.
"Saya juga berharap begitu. Hanya sayang kau tidak memberi tahu nama. Rumahmupun
saya tidak ahu."
"Jangan berkecil hati Wiro. Kelak kau akan kuberi tahu. Atau ada orang yang akan
memberi tahu." Gadis itu terdiam sesaat. Lalu tangannya bergerak menanggalkan
sebuah peniti di dada pakaiannya. Benda itu diserahkannya pada Wiro seraya
berkata. "Saya berikan dengan hati tulus. Terimalah Wiro tak berani menyambuti.
Tapi si gadis nemaksa. Begitu peniti berpindah tangan Gayatri segera memacu
Grudo meninggalkan tempat Itu. Wiro memperhatikan sampai si gadis lenyap di
kejauhan. Lalu diperhatikannya benda yang ada dalam genggamannya.
"Astaga, ini peniti emas. Pasti mahal sekali harganya!" kata Wiro. Pada bagian
atas peniti yang agak lebar terdapat tulisan dalam bahasa Jawa kuna yang tidak
dimengerti Wiro. Sambil memandang ke arah lenyapnya Gayatri tadi, Wiro masukkan
peniti emas itu ke dalam saku pakaiannya.
*** KARYA 50 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
8 SEMUA orang yang ada di ruang pertemuan itu termasuk Sang Prabu terdiam
mendengar penuturan Raden Ayu Gayatri.
"Ada yang ingin menyampaikan sesuatu?" Sang Prabu akhirnya membuka mulut
bertanya. "Kalau diperkenankan, saya ingin mengatakan sesuatu," Patih Raganatha berkata.
Ketika Sang Prabu mengangguk diapun meneruskan bicaranya. Mohon maaf Sang Prabu,
mungkin saya salah. Turut apa yang diceritakan Puteri Sang Prabu saya menaruh
kesimpulan bahwa mungkin sekali pemuda dari Gunung Gede itu memang bukan mata-
mata." "Hemm..." Raja bergumam. "Ada alasan kuat Mamanda Patih mengatakan begitu?"
"Jika dia berada di pihak yang menyeterui Singosari pasti dia telah menculik
Puteri Gayatri waktu di hutan itu," jawab Patih Raganatha.
"Dia tidak melakukan itu karena saat berada di hutan dia tidak tahu siapa
sebenarnya Puteriku," kata Sang Prabu pula mementahkan pendapat Sang Patih.
Patih Kerajaan terdiam.
Tak ada yang bicara. Sang Prabu kemudian bertanya, "Ada lagi yang ingin
menyampaikan sesuatu" Saran, permintaan?"
Tak ada yang menjawab. Sang Prabu berpaling pada puterinya. "Ananda Gayatri, kau
tetap pada pendirianmu agar pemuda itu dibebaskan?"
Gayatri mengangguk. Maka Sang Prabupun berkata. "Gayatri, sesungguhnya kau telah
membuat beberapa kesalahan yang bisa mencemarkan nama baik keluarga Keraton
Singosari."
Puteri bungsu terkejut dan memandang tak mengerti pada Ayahandanya.
"Pertama, kau meninggalkan Keraton tanpa meminta izin atau memberi tahu
siapapun. Kedua kau pergi ke tempat yang berbahaya tanpa pengiring atau pengawal sama
sekali. Ketiga kau berada di hutan berdua-duaan dengan seorang pemuda asing yang
dicurigai mempunyai maksud jahat terhadap Singosari. Kesalahan keempat, kau
malah meminta agar pemuda asing itu dilepaskan!"
Untuk beberapa saat lamanya Gayatri tidak dapat berkata apa-apa mendengar ucapan
KARYA 51 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Ayahandanya itu. Semua orang memandang padanya. Para Pendeta diam-diam merasa
hiba.

Wiro Sableng 067 Halilintar Di Singosari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebetulnya Gayatri ingin segera berlalu dari tempat itu. Dia tahu kalau
Ayahandanya punya sifat tidak suka dibantah. Namun hati kecilnya merasa tidak
enak kalau semua kesalahan harus dituduhkan pada dirinya. Maka puteri bungsu ini
akhirnya memutuskan untuk bicara.
"Ayahanda, untuk hal pertama dan kedua Ananda mengaku salah dan bersedia
menerima hukuman. Namun untuk hal ketiga dan keempat sulit bagi Ananda
menerimanya. Pertemuan itu sama seka tidak direncanakan. Pemuda asing itu
seolah-olah dimunculkan oleh Bathara Agung ketika Ananda berada dalam bahaya
maut. Siapapun dia adanya dia telah menyelamatkan Ananda. Karena dia orang
kebanyakan mungkin kita tidak perlu ingat apalagi membalas budi jasanya itu.
Tetapi jika kemudian kita menuduhnya sebagai orang yang punya niat jahat
terhadap Singosari, mata-mata musuh... entah tuduhan apa lagi, Ananda rasa itu
sungguh sangat bertentangan dengan pikiran bijaksana dan peri keadilan. Semoga
para Dewa mengampuni kekeliruan kita."
Habis berkata begitu Gayatri haturkan sembah lalu melangkah cepat ke pintu.
Paras Sang Prabu tampak merah padam. "Gayatri!" teriaknya.
Puteri bungsu itu hentikan langkah dan berpaling.
"Sebagai anak kau tidak layak berkata seperti itu! Urusan Kerajaan aku yang
mengendalikan bersama tiga orang Maha Menteri yaitu Patih, Panglima dan Pendeta!
Aku terpaksa menjatuhkan hukuman padamu. Mulai saat ini kau tidak diperkenankan
meninggalkan Kaputeran. Berapa lamanya sampa ada keputusan lebih lanjut!"
Kedua mata Gayatri membesar. Ada air mata merebak di kedua matanya. Gadis ini
cepat menggigit bibirnya keras-keras hingga berdarah. Rasa sakit membuat dia
mampu menahan tangis. Dia melangkah meninggalkan ruangan itu dengan menguatkan
diri, membusungkan dada menegakkan kepala. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahan
jiwa pada orang-orang yang ada di situ, terutama Ayahandanya. Tapi di ambang
pintu tiba-tiba Gayatri hentikan langkahnya dan berpaling. Lalu terdengar gadis
ini berkata. "Saya ingat pada kisah yang ditulis dalam sebuah kitab kuna. Seekor pelanduk
yang lari ketakutan di tengah hutan ditangkap oleh Penguasa Rimba. Dituduh
mencuri makanan.
Ternyata tuduhan itu kemudian tidak pernah terbukti. Karena tidak pernah
diperiksa apa yang KARYA
52 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
sebenarnya menyebabkan si pelanduk melarikan diri. Padahal dia melarikan diri
karena ketakutan dikejar babi hutan dan srigala yang berlomba hendak
memangsanya. Seorang pemuda yang tidak diketahui kesalahannya ditangkap.
Dijebloskan ke dalam penjara.
Mengapa tidak seorangpun yang memikirkan untuk menyelidiki Raden Adikatwang dan
Adipati Wira Seta" Saya tidak memerlukan jawaban karena karena saya tahu semua
orang yang ada disini adalah orang-orang pandai yang tidak layak diajari..."
"Gayatri!" hardik Sang Prabu dengan muka anerah padam dan marah sekali. "Keluar
kau dari ruangan ini!"
Puteri Sang Prabu haturkan sembah lalu membalik dan berlalu dari ambang pintu
dengan cepat. Pendeta Mayana menarik nafas lalu berkata. "Sang Prabu, mohon maafmu. "Mungkin
kita memang perlu untuk mengusut langsung dua orang yang tadi disebutkan Puteri
Gayatri yaitu Raden Adikatwang dan Adipati Wira Seta."
Kalau saja yang bicara itu bukan Pendeta Mayana orang tertua yang paling
dihormati Paduka, pastilah Raja Singosari ini akan membentaknya. Sang Prabu
duduk kembali ke tempatnya. Sambil mengusap-usap dagunya dia berkata perlahan.
"Saya akan pikirkan hal itu Mamanda Patih."
Namun nyatanya Sang Prabu tidak pernah memikirkan hal itu, apalagi memerintahkan
melakukan penyelidikan. Kelak hal ini akan menjadikan penyesalan harus dibawanya
bersama ajalnya.
*** RUANGAN di mana Pendekar 212 Wiro Sableng dikurung adalah sebuah ruangan batu
yang terletak di bagian bawah bangunan panjang. Pintunya terbuat dari besi yang
bagian atasnya berbentuk jeruji-jeruji sebesar pergelangan tangan.
Di luar pintu yang digembok itu, dua orang pengawal melakukan penjagaan di bawah
penerangan sebuah obor yang dikaitkan di dinding. Ketika malam tiba keadaan di
dalam dan di luar bangunan sepi sekali. Angin malam sesekali bertiup dingin.
Dari arah tembok Keraton sebelah Utara kelihatan sesosok tubuh berjalan cepat
dalam KARYA 53 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
kegelapan malam. Orang ini ternyata menuju ke arah bangunan berbentuk panjang.
Dia mengenakan jubah ahu-abu yang bagian lehernya di lengkapi sebuah topi
berbentuk kerudung.
Bentuk kerudung ini menyembunyikan hampir keseluruhan wajahnya hingga mukanya
tidak dapat dilihat dan sulit dikenall.
Di pintu depan bangunan dua orang pengawal segera mendatangi. Orang berjubah
mengeluarkan secarik kertas. Begitu melihat kertas tersebut dua pengawal tampak
menjura lalu memberi jalan bagi orang berkerudung untuk masuk ke dalam bangunan.
Orang ini langsung menuju tangga yang membawanya ke sebuah lorong batu pendek.
Di ujung lorong ada sebuah pintu besi dijaga oleh dua orang pengawal. Seperti
tadi orang berkerudung ini keluarkan kertas dan memperlihatkannya pada kedua
pengawal. Namun kali ini dia mendapat kesulitan.
"Kami mendapat pesan, kalau bukan Patih atau Panglima Kerajaan yang datang, kami
tidak boleh membuka pintu ini." berkata salah seorang pengawal.
Orang berkerudung tampak kurang senang mendengar ucapan pengawal pintu penjara.
Tapi dengan sabar dia berkata, "Kau lihat sendiri. Surat itu dibubuhi Cap
Kerajaan. Berarti adalah perintah Prabu Singosari."
"Kami memang melihatnya, namun kami tetap berpegang pada perintah yang telah
diberikan."
"Berarti kalian berani menyanggah perintah Raja?" orang berkerudung menggertak.
Tapi dua pengawal itu tidak mempan digertak. Yang satu berkata, "Mana kami
berani membangkang perintah Raja. Asalkan Panglima atau Patih Kerajaan bisa
hadir di sini, kami tentu akan membuka pintu penjara."
Pengawal yang satu lagi malah menyambung dengan berucap, "Harap dimaatkan. Siapa
di situ sebenarnya kamipun tidak mengenali. Mengapa menutupi wajah dengan
kerudung?"
"Kalian berdua telah melihat Cap Kerajaan. Tapi masih berani menolak perintah.
Kalian berdua akan mendapat hukuman berat!"
Baru saja orang berkerudung berkata begitu tiba-tiba di ujung lorong terdengar
suara orang berkata.
"Aku datang membawa Surat Perintah dengan Cap Kerajaan yang asli! Kalian harus
membebaskan tahanan itu!"
KARYA 54 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
Dua pengawal dan orang berkerudung sama-sama terkejut. Ketiganya berpaling ke
arah ujung lorong. Semuanya lebih terkejut lagi ketika mengenali siapa yang
datang. *** KARYA 55 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
9 BEGITU orang yang barusan bicara sampai di depan pintu ketiga orang itu segera
membungkuk memberi penghormatan. Lalu salah seorang pengawal cepat bertanya.
"Raden Ayu Gayatri, Putri Prabu Singosari, ada keperluan apakah hingga
menyempatkan diri dan sudi datang ke tempat ini?"
"Saya datang membawa Surat Perintah dari Sang Prabu untuk membebaskan tawanan
bernama Wiro," jawab orang yang barusan datang yang ternyata adalah puteri
bungsu Raja Singosari sendiri yaitu Gayatri. Gadis ini mengenakan pakaian
ringkas sderhana seperti pakaian berlatih menunggang kua. Dengan tangan kirinya
dia menyodorkan sehelai kertas yang dibubuhi Stempel Kerajaan. Surat itu berisi
atas perintah Raja Singosari, tahanan bernama Wiro harus segera dibebaskan.
Pengawal pintu yang membaca surat tersebut membungkuk dua kali lalu berkata.
"Raden Ayu, mohon dimaafkan. Kami tidak bisa membebaskan tahanan. Tadipun orang
ini menunjukkan surat yang sama..."
"Aneh!" kata Gayatri sambil memandang tajam pada orang berkerudung. Dia tidak
mengenali siapa adanya orang ini. "Coba tunjukkan surat yang kau bawa!"
Orang berkerudung menyerahkan surat yang dipegangnya. Gayatri memperhatikannya
sebentar lalu berkata. "Palsu! Surat ini palsu! Yang aku bawa adalah yang asli!
Lepaskan tahanan itu, cepat!"
"Maaf Raden Ayu, asli atau tidaknya surat itu kami tidak bisa memenuhi
permintaan Raden Ayu.. Kecuali jika Panglima atau Patih Kerajaan sendiri ada di
sini. Mohon maaf dari Raden Ayu...."
Mendengar ucapan si pengawal puteri Raja Singosari itu menjadi marah. "Lalu apa
kau menganggap aku ini lebih rendah dari Panglima atau Patih Kerajaan"!" Gayatri
membentak. Dua perajurit tampak pucat dan cepat-cepat membungkuk.
"Maafkan kami Raden Ayu. Kami hanya perajurit-perajurit rendah yang menjalankan
perintah...."
KARYA 56 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
"Kalian perajurit-perajurit dungu!"
Dua perajurit tundukkan kepala tidak berani menatap wajah puteri raja itu.
Gayatri berpaling pada orang berkerudung di sebelahnya.
"Siapa kau" Mengapa mereyeinbunyikan rupa di balik kerudung?"
Pertanyaan si gadis membuat orang berkerudung menjadi gugup dan tidak segera
menjawab. Dalam hati dia berkata. Aku tak perlu takut. Maksudku dan maksudnya
sama. Maka orang inipun segera membuka mulut untuk mengatakan siapa dirinya. Tapi
tiba-tiba saat itu ada satu bayangan berkelebat. Tahu-tahu seorang nenek bungkuk
telah berdiri di depan ke empat orang itu. Bentuk tubuh dan tampangnya yang
angker membuat semua orang ada di situ jadi terkesiap dan kecut.
Si nenek bertubuh tinggi kurus. Kulitnya sangat hitam, tipis keriputan seolah
hanya tinggal kulit pembalut tulang. Kedua pipi dan rongga matanya cekung hingga
jika memandang kelihatan menggidikkan. Sepasang alis dan rambutnya yang jarang
berwarna putih. Pada kepalanya ada lima buah tusuk kundai perak berkilat.
Rambutnya yang jarang tidak memungkinkan tusuk kundai itu disisipkan. Dan
nyatanya kelima tusuk kundai itu disisipkan pada kulit kepalanya! Nenek seram
ini mengenakan kebaya lusuh gombrong dan sehelai kain panjang dekil sebatas
betis. Mulutnya yang perot kelihatan menyeringai.
"Orang-orang tolol meributkan Surat dan Cap Kerajaan. Padahal aku yang datang
membawa Cap yang asli! Ini!" Si nenek berkata sambil acungkan tinjunya.
"Nenek, kau siapa?" tanya salah seorang pengawal pintu memberanikan diri.
Sementara itu orang berkerudung memperhatikan perempuan tua ini dengan mata
tidak berkesiap. Melihat kepada tusuk kundainya, tak salah lagi pasti dia. Tapi
apakah keadaannya benar-benar sudah setua ini" Ah, apakah dia masih mengenaliku"
Orang berkerudung ini sesaat membayangkan masa beberapa puluh tahun yang silam.
Namun bayangan itu menjadi buyar ketika si nenek membentak perajurit di
hadapannya. "Kacoak macammu tidak perlu bertanya siapa diriku!" Lalu nenek ini melangkah ke
depan, pintu besi. Sekali tangannya mengantam gembok besar dari besi yang ada di
pintu tanggal berantakan.
Dua perajurit sampai tersurut mundur saking kagetnya. Gayatri dan orang
berkerudung terperangah. Tidak dapat dipercaya tangan yang kurus kering seperti
tangan jerangkong itu KARYA
57 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
mamp memukul hancur gembok besi begitu rupa.
Dewa Bathara, kata orang berkerudung dalam hati. Aku yakin kini memang dia.
Hanya dia yang punya kesaktian melakukan hal itu!
Dua pengawal pintu yang tiba-tiba sadar akan tugas dan kewajiban mereka segera
melompat ke hadapan si nenek sambil menghunus senjata.
"Nenek tua! Kau berani melakukan perusakan! Kami terpaksa menangkapmu!"
"Baik!" jawab si nenek. Lalu, dia tertawa mengekeh. "Tapi kau coba dulu Cap
Kerajaan ini!"
Dua tangan si nenek melesat ke depan.
Bukk! Bukk! Dua pengawal jatuh ke lantai tak sadarkan diri lagi. Di kening masing-masing
kelihatan benjut sebesar telor ayam!
Nenek angker itu kembali perdengarkan suara tertawa menggidikkan. Lalu sekali
kakinya bergerak pintu besi ruangan penjara jebol terpentang lebar.
Di dalam ruangan batu itu tampak sosok Pendekar 212 Wiro Sableng terbujur
menelentang di lantai dalam keadaan tidak bergerak karena masih di bawah
pengaruh totokan yang dibuat oleh Argajaya.
"Anak bandel! Ini akibat kau tidak menuruti petunjukku! Di suruh ke Barat malah
ngeluyur ke Timur!" si nenek terdengar mengumpat. Lalu enak saja kakinya
menendang. Bukk! Tubuh Wiro terpental. Ternyata tendangan itu bukan tendangan sembarangan. Karena
begitu ditendang totokan yang menguasai Wiro serta-merta buyar terlepas!
Dapatkan dirinya bebas dari totokan, bisa bergerak dan bicara kembali, Wiro
Sableng segera menjura menghormat pada si nenek lalu berkata.
"Eyang, murid mohon maafmu karena tidak mengikuti petunjuk. Murid tersesat ke
Singosari karena maksud baik hendak berbakti memberi tahu adanya bahaya yang
mengancam Kerajaan. Tapi...."
"Itulah ketololanmu! Berbakti bukan pada orang-orang yang tidak tahu berterima
kasih. Aku tahu kau tidak mengharapkan imbalan atau menyimpan rasa pamrih. Tapi apakah
bukan KARYA 58 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
sialan namanya kalau maksudmu menolong malah kau kini yang digolong" Lekas
keluar dari tempat celaka ini. Ikuti aku!"
Jadi pemuda itu ternyata adalah muridnya. Berarti benar guru dan murid ini
berada di Singosari. Orang berkerudung hendak maju mendekati tapi Gayatri lebih
cepat mendatangi.
"Pemuda itu tidak boleh kemana-mana. Dia harus ikut bersama saya!"
Si nenek menatap wajah Gayatri sejurus lalu menyeringai. "Kau rupanya naksir
pada muridku. Sampai-sampai membuat Surat Perintah palsu. Dari mana kau dapat
Cap Kerajaan itu, gadis jelita?"
Paras Gayatri tampak kemerahan.
Di saat yang sama orang berkerudung berkata. "Pemuda itu tidak akan ikut satupun
di antara kalian. Aku yang akan membawanya keluar dari tempat ini. Anak muda,
ayo ikut aku!"
Si nenek tertawa cekikikan.
"Muridku laris rupanya. Banyak orang yang menginginkan dirinya. Manusia-manusia
keblinger! Aku gurunya lebih berhak dari pada kalian! Menyingkir dari sini atau
terpaksa kalian kugebuk satu persatu!
Gayatri menjadi bimbang. Kalau nenek ini memang guru pemuda yang hendak
dilepaskannya berarti maksudnya untuk menolong sudah kesampaian walau orang lain
yang melakukan. Lain halnya dengan lelaki berjubah dan berkerudung. Dia
melangkah cepat mendekati Wiro seraya berkata. "Sekarang bukan saatnya kau harus
mengikuti gurumu. Cepat ikuti aku! Apa kalian tidak tahu kalau diri kalian dalam
bahaya"!"
Si nenek cepat bergerak memotong jalan orang berkerudung. Sepasang mata mereka
saling bentrokan. Ada satu perasaan aneh yang membuat kedua orang ini jadi
bergetar hati masing-masing.
"Orang berkerudung siapa kau ini" Harap buka kerudungmu. Perlihatkan wajahmu
agar kukenali, "kata Wiro.
"Waktu kita singkat sekali. Sebentar lagi pengawal-pengawal pengganti akan
datang. Kalau sampai ada yang melihat apa yang terjadi di sini, kau bias menemui
kesulitan lebih besar. Mungkin sebelum matahari terbit kau sudah digantung!"


Wiro Sableng 067 Halilintar Di Singosari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku mau lihat siapa yang berani menggantung muridku!" kata si nenek. Lalu ujung
jari telunjuk tangan kanannya diluruskan dan didorongkan ke arah dada orang
berkerudung. KARYA 59 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
"Menyingkir dari hadapanku!"
Orang berkerudung terkejut ketika merasakan bagaimana jari yang kurus kecil si
nenek laksana sepotong besi mendorong dadanya dengan kuat. Dia berusaha bertahan
tapi dadanya jadi mendenyut sakit dan perlahan-lahan tubuhnya terdorong. Dia
akan segera terjengkang kalau tidak cepat mengerahkan tenaga dalam ke bagian
dada. Tenaga dalam yang dikerahkannya berbentuk satu tenaga lembut tetapi yang
punya kesanggupan menahan tekanan berat.
Si nenek terkesiap ketika merasakan bagaimana daya dorongnya yang kuat seolah-
olah amblas masuk ke dalam permukaan selembut kapas. Matanya cepat menatap mata
orang berkerudung di depannya. Aku seperti pernah melihat mata ini. Tapi lupa di
mana dan kapan.
Aku tak punya waktu untuk memikirkannya saat ini. Si nenek tarik pulang
tangannya dan berpaling pada muridnya. Namun sebelum dia sempat mengatakan
sesuatu pada Wiro tiba-tiba di dengarnya orang berkerudung di depannya berkata
perlahan hingga hanya dia saja yang mendengar.
"Sinto Weni, lekas tinggalkan tempat ini. Aku tunggu kau di sebuah pondok di
Lembah Bulan Sabit...." Habis berkata begitu orang berkerudung putar tubuhnya
dan cepat sekali dia sudah berada di ujung lorong lalu lenyap di balik tembok
batu. Nenek kurus jangkung tampak berubah wajahnya yang angker. Kedua matanya seperti
hendak melompat oleh rasa terkejut. Selama puluhan tahun hidup hanya beberapa
orang saja yang tahu nama aslinya itu. Dia dikenal dengan sebutan nenek angker
Sinto Gendeng dari Gunung Gede.
Orang berkerudung itu! Siapa dia"! Bagaimana dia bisa tahu nama asliku"! Hanya
ada satu jawaban. Dia pasti salah satu dari orang-orang yang kukenal di masa
muda! Aku harus mengejarnya! Aku harus mencari tahu siapa dia adanya!
Sinto Gendeng berpaling pada muridnya "Anak gendeng, lekas kau pergi dari sini.
Aku tidak melarang kau melakukan kebaikan dan kebajikan. Tapi jika itu hanya
akan menyulitkan dirimu, jangan harap aku bakal menolongmu lagi!"
"Eyang, saya... " Wiro tidak teruskan ucapannya. Sang guru sudah berkelebat dan
lenyap dari , hadapannya. Wiro garuk-garuk kepala lalu berpaling pada gadis di
sebelahnya. "Saya tidak menduga kalau kau adalah puteri Raja Singosari." Lalu Wiro
membungkuk KARYA
60 BASTIAN TITO SERIAL WIRO SABLENG Created by syauqy_arr@yahoo.co.id Halilintar di Singosari
memberi penghormatan.
"Saya tidak perlu segala macam peradatan seperti itu."
"Kau telah menolongku...."
"Bukan saya, tapi gurumu sendiri." Jawab Gayatri.
Bloon Cari Jodoh 18 Pendekar Hina Kelana 30 Dendam Gila Dari Kubur Sengketa Ahli Sihir 2
^