Pencarian

Kepala Iblis Nyi Gandasuri 2

Wiro Sableng 077 Kepala Iblis Nyi Gandasuri Bagian 2


darah dan gigitan di sekujur tubuhmu! Oleskan minyak ini, kau akan kembali
mulus." Mula-mula Nyi Gandasuri agak ragu-ragu. Namun akhirnya diambilny juga
tabung bambu itu. minyak berbau harum yang ada di dalam tabung dioleskannya ke
seluruh bagian tubuhnya yang bernoda darah serta ada bekas gigitan. Sungguh
ajaib. Semua noda dan bekas gigitan itu lenyap seketika! Nyi Gandasuri kembalikan
tabung minyak aneh itu lalu cepat-cepat mengenakan pakaiannya.
Sambil mengenakan pakaiannya perempuan muda ini mengingat-ingat apa
yang telah terjadi atas dirinya. Bulu kuduknya merinding. Dalam hati dia merutuk
habis-habisan. "Manusia iblis! Bagaimana mungkin ada perempuan seperti dia"!
Wajah dan keadaan tubuh berlainan. Menggauli diriku yang sama perempuannya
seperti dia..... Mahluk jahanam! Terkutuk kau sampai hari kiamat! Kalau tidak
ingat pada tujuan semula mau rasanya aku bunuh diri saat ini juga!"
Begitu selesai berpakaian Nyi Gandasuri cepat melangkah ke pintu.
"Eitt! Tunggu dulu!"
Nyi Gandasuri hentikan langkahnya seraya berpaling. "Ada apa lagi
Maharatu" Bukankah kau tadi memperbolehkan saya pergi.....?"
"Betul. Tapi dengan muka pucat dan rambut awut-awutan seperti itu apa kau
kira Maharaja Langit Darah akan suka melihatmu?"
"Apa maksudmu Maharatu?" tanya Nyi Gandasuri.
Manusia berwajah nenek tapi berbadan seperti gadis yang sedang mekar itu
tertawa panjang. Dililitkannya selendang merahnya ke badan lalu berkata. "Apa
kau lupa perjanjian" Setelah melayani diriku kau harus melayani Maharaja Langit
Darah"!"
Langsung Nyi Gandasuri merasakan tubuhnya bergetar. Lututnya goyah.
Kalau tidak berpegangan pada tiang di kepala tempat tidur mungkin dia sudah
jatuh terduduk. "Sisir rambutmu, bedaki wajahmu! Kalau Maharaja Langit Darah puas dengan
pelayananmu, pasti dia bisa memepercepat semua yang menjadi keinginanmu...."
"Rasanya aku lebih baik mati saja saat ini!" batin istri Pangeran Sampurno ini
menugucap seperti itu. dia memandang ke pintu.
BASTIAN TITO 21 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kau telah melanggar peraturan satu kali Nyi Gandasuri! Ingat, aku tidak akan
mengampuni dirimu sampai dua kali!"
Mau tak mau Nyi Gandasuri akhirnya berdandan juga. Selesai menyisir
rambutnya didapatinya Maharatu Langit Darah tak ada lagi di tempat itu. bergegas
dia menuju ke pintu dan membukanya. Begitu pintu terbuka perempuan ini hampir
menjerit karena kagetnya. Di hadapannya berdiri Maharaja Langit Darah berkacak
pinggang sambil sunggingkan seringai menggidikkan. Sepasang matanya menatap
Nyi Gandasuri berkilat-kilat.
"Dua hari dua malam aku menunggumu! Kalau pagi ini kau tidak juga keluar
pasti sudah kudobrak pintu dan kulempar keluar Maharatu itu...."
"Maharaja...... Saya sangat letih. Mungkin sakit. Izinkan saya...."
Maharaja Langit Darah tertawa gelak-gelak. Air liurnya yang berwarna merah
sampai bercucuran.
"Jangan kawatir. Aku tahu bagaimana caranya melenyapkan keletihanmu.
Bagaimana menyembuhkan penyakitmu...." Tiba-tiba Maharaja Langit Darah
memeluk Nyi Gandasuri lalu penuh nafsu dikecupnya bibir perempuan itu hingga Nyi
Gandasuri menggeliat ngeri dan jijik!
Maharaja Langit Darah kembali tertawa bergelak. Tiba-tiba ditangkapnya
tubuh Nyi Gandasuri, digotongnya lalu dilarikannya memasuki sebuah kamar.
BASTIAN TITO 22 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ENAM Kuda coklat yang ditunggangi Pendekar 212 Wiro Sableng berlari tersendat-
sendat. Saat itu dia berada di satu pedataran yang penuh ditumbuhi alang-alang
setinggi dada. Tak jauh di sebelah Timur tempat kediaman Pangeran Sampurno.
Jalan kecil berbatu-batu yang membujur dari timur ke arah barat memang sulit untuk
dilewati. Namun murid Sinto Gendeng ini segera maklum kalau larinya kuda yang
tersendat-sendat bukan karena jalan yang kecil dan berbatu-batu.
"Kuda..... jika kau mencium bahaya, hentikan larimu," kata Wiro sambil usap
leher kuda itu.
Seperti mengerti ucapan penunggangnya kuda coklat hentikan lari. Kepalanya
ditundukkan menusup alang-alang. Dari mulutnya keluar suara menggembor sedang
ekornya berputar-putar tak bisa diam.
Wiro memandang berkeliling. Sunyi dan kelam. Ujung alang-alang kelihatan
bergerak-gerak seperti ombak oleh tiupan angin. Di empat tempat gerakan alang-
alang itu seperti terbelah. Murid Sinto Gendeng serta merta berlaku waspada.
Telinganya tak dapat menangkap suara apa-apa namun matanya tak bisa ditipu.
Belahan alang-alang di empat tempat hanya bisa terjadi kalau ada sesuatu yang
bergerak. "Mungkin binatang, mungkin juga manusia," membatin Wiro.
"Jika manusia berarti memiliki kepandaian tinggi. Suara gerakannya tidak
kedengaran. Ada empat orang. Hemmmm......"
"Kuda, ada empat mahluk hendak mencari kenal. Sebaiknya kau jangan iktu
campur! Cepat lari dari sini. Ikuti terus jalan di depanmu. Tunggu aku di ujung
jalan!" habis berbisik di telinga kuda, Wiro melompat turun lalu menepuk pinggul kanan
binatang itu. Kuda coklat dongakkan kepalanya sesaat. Setelah itu binatang ini
menghambur sepanjang jalan kecil berbatu-batu.
Dari tempat berdiri Wiro bisa melihat bahwa empat belahan di pedataran
beralang-alang itu semakin menyempit dan membentuk kotak. Dan dirinya di tengah-
tengah kotak itu!
"Jelas ini pekerjaan manusia-manusia bermaksud jahat!" pikir Wiro. "Mereka
hendak memantekku di tengah pedataran alang-alang lalu menghantam. Cerdik juga
tapi masih ada tololnya!" Wiro segera tinggalkan jalan kecil, menyelinap ke
dalam kawasan alang-alang. Di satu tempat dia berhenti dan merunduk serendah mungkin.
Tenaga dalam disalurkan ke tangan yang diluruskan. Perlahan-lahan Wiro gerakkan
tangan kanannya seperi orang melambai. Dari ujung-ujung jarinya melesat keluar
serangkum angin. Membelah dan menggoyang alang-alang. Gerakan alang-alang
seolah ada seseorang melewati mengendap-endap. Wiro melambai terus sambil
memasang telinga dan mata. Dalam hati dia berharap tipuannya ini akan berhasil.
Tiba-tiba dari balik alang-alang di empat penjuru melesat keluar empat sosok
hitam. Dari ketinggian sepuluh kaki empat sosok ini kemudian menukiki ke bawah,
kearah ujung alang-alang yang bersibak oleh lambaian tangan Wiro. Sambil menukik
mereka menghantam dengan pukulan tangan kosong.
"Mati!" Empat mulut berteriak bersamaan.
Bummmmm! Empat pukulan mengandung tenaga dalam tinggi mendarat di tanah secara
berbarengan. Tanah muncrat ke atas. Alang-alang terbongkar dan berhamburan ke
BASTIAN TITO 23 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
udara. Empat sosok yang barussan melepaskan pukulan melayang turun. Mereka
tersentak kaget dan saling pandang.
"Tidak ada!" salah seorang di antara mereka berteriak keheranan. Tiga
temannya juga merasa aneh. Apapun yang mereka hantam pasti mahluk bergerak dan
hidup. Tapi mengapa mereka tidak menemukan apa-apa di tempat itu selain tanah
dan alang-alang yang terbongkar"
Empat orang yang ada di tempat itu mengenakan pakaian berbentuk jubah
berwarna hitam. Pada bagian dada dan punggung jubah tertera angka-angka putih
yaitu 15, 16, 17 dan 18. Keempatnya memakai topi berbentuk kerucut. Pada sebelah
depan topi ada gambar kelelawar bermata besar merentangkan sayap. Tampang
keempat orang ini tampak ganas garang. Apalagi semuanya memelihara cambang
bawuk lebat dan kumis tebal melintang. Tak dapat memecahkan keanehan di tempat
itu keempat orang ini sama-sama alihkan pandangan ke kiri dari jurusan mana tadi
tampak mulai bergerak dan bersibaknya alang-alang.
"Lihat!" teriak orang yang berdiri paling depan seraya menunjuk.
"Dia masih hidup!"
"Di sana!"
"Lekas buat gerakan Jala Darah! "
Empat lelaki berjubah lalu keluarkan suitan keras. Selagi suara suitan itu
masih menggema dalam udara malam, tubuh mereka sudah lebih dulu berkelebat
lenyap. Di depan sana Wiro Sableng yang tadi sempat terlihat cepat bergerak.
Berkelebat ke kiri lalu lenyap dalam kerapatan alang-alang. Dia jongkok mendekam
sambil memasang telinga. Tidak terdengar suara apa-apa kecuali kerisik alang-
alang tertiup angin malam.
"Mungkin mereka sudah pergi...." Pikir Wiro. Perlahan-lahan dia bangkit
berdiri. Tiba-tiba empat bayangan berkelebat. Tahu-tahu empat orang berpakaian
hitam berada di depan belakang kiri dan kanannya. Masing-masing orang ini
ulurkan tangan ke arah teman di hadapan mereka. Murid Sinto Gendeng jadi terkejut ketika
menyadari bahwa saat itu empat pasang lengan berwarna merah dan basah yang
saling bersilangan dengan kokoh telah menjerat lehernya.
"Berani begerak patah lehermu"
"Tanggal kepalamu!"
Dua bentakan berturut-turut menggeledek di telinga Wiro. Wiro sadar bahaya
yang dihadapinya. Empat pasang lengan itu demikian kokoh menjepit lehernya
hingga jika keempat orang itu serempak menggerakkan lengan mereka, lehernya bisa remuk,
kepalanya benar-benar bisa copot!
Inilah yang disebut gerakan Jala Darah!
Untuk beberapa lamanya Wiro hanya bisa tertegak diam. Bahkan bernafaspun
dia seperti hati-hati.
Sebenarnya dua tangannya bisa digerakkan untuk menghantam lawan. Tapi
kalau dia tidak dapat mendahului keempat lawan yang tengah menjepit lehernya
maka dia bisa celaka sendiri
Salah seorang dari empat manusia berjubah hitam berkata. "Maharaja
meminta kita membawa orang ini hidup atau mati! Dari pada repot-repot mengurusi
lebih baik kita tanggalkan saja kepalanya saat ini juga!"
"Tunggu dulu! Ingat pesan khusus Maharatu padaku!" kata orang berjubah di
sebelah belakang. "Beliau ingin manusia satu ini dibawa hidup-hidup!"
BASTIAN TITO 24 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Di Istana Langit Darah yang berkuasa adalah Maharaja Langit Darah!
Kenapa kalian harus bertengkar"! Aku setuju kita habiskan saja bangsat ini saat
ini juga. Kalau tidak besok-besok dia bisa membuat kita celaka!" Orang di sebelah
kanan membuka mulut. Wiro melirik ke kanan memperhatikan orang ini sambil menyumpah
dalam hati. "Kalau begitu cepat kita lakukan sekarang!" kata orang di sebelah kiri Wiro.
"Tunggu dulu!" Wiro tiba-tiba berucap kereas. "Siapa kalian"! Siapa
Maharaja dan Maharatu itu"!"
"Keparat! Kau tak layak bicara atau minta apapun pada kami!"
"Aku tidak meminta. Malah mau memberi!" jawab Wiro.
"Mau memberi apa"!" bentak orang di sebelah depan.
"Jika kalian mau membebaskan diriku, kalian boleh mengambil empat tail
emas yang ada di kantong bajuku sebelah kiri dan sebelah kanan."
Empat orang yang mengurung Pendekar 212 terdiam. Tapi antara mereka
tampak saling pandang.
"Pemuda miskin sepertimu mengaku membawa empat tail emas di saku
pakaian! Puah! Kau kira bisa menipu kami"!"
"Kalau tidak percaya silahkan periksa kedua kantong bajuku!"
Empat orang bertampang garang itu jadi meragu. Mereka tidak dapat melihat
kedua saku pakaian Wiro karena terlindung oleh ketinggian alang-alang. Namun
mereka sudah bisa menduga-duga di sebelah mana kira-kira letak kedua kantong
itu. selain itu terhadap kawan masing-masing ada rasa kurang percaya hingga saling
curiga mengawasi. Masing-masing merasa kawatir ada yang berlaku curang lalu
bertindak labih dulu hingga nanti ada yang tidak kebagian.
"Kenapa jadi tolol!" tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata. "Kalaupun
dia kita bunuh, emas itu tak akan kemana. Kita bagi empat. Masing-masing dapat
satu tail!" Namun keserakahan diam-diam mempengaruhi lelaki di sebelah kiri yaitu
yang pada pakaiannya tertera angka 15 dan bertindak selaku pimpinan dalam
rombongan yang menyergap Wiro itu. dia turunkan tangannya ke bawah. Tangan
yang turun ini lalu meluncur cepat ke saku baju sebelah kiri si pemuda.
Inilah yang ditunggu Wiro. Turunnya satu lengan berarti kurangnya daya
menjepit sisa lengan-lengan lainnya. Apa lagi ketiga orang itu jadi tersita
perhatian mereka pada gerakan tangan teman mereka. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan
untuk selamat murid Sinto Gendeng membentak keras. Lututnya ditekuk. Tubuhnya
dijatuhkan ke bawah. Bersamaan dengan itu kedua tangannya bergerak memukul.
Dua orang berjubah hitam terpental lalu jatuh di antara alang-alang. Tapi segera
bangkit seolah jotosan-jotosan Wiro tadi yang mengenai dada masing-masing tidak
terasa apa-apa.
Sementara itu leher dan kepala Wiro walaupun selamat namun kening serta
pelipisnya masih sempat terkikis dua buah lengan hingga waktu menjatuhkan diri
ke bawah kepalanya sempat terpuntir dan lecet di kening serta pelipisnya!
Dua orang yang masih berada di dekat Wiro yakni yang berangka 16 dan 17
pada jubahnya hujamkan kaki untuk menendang perut serta muka sang pendekar.
Tendangan mengarah perut berhasil dihindarkan Wiro dengan berguling ke samping.
Sedang kaki yang menendang ke jurusan kepalanya dapat ditangkap lalu dipuntirnya
kuat-kuat hingga si penendang terbanting ke tanah dan untuk beberapa lamanya
terkapar nanar.
Dua orang berjubah yang tadi dipukul mental saat itu telah bangkit berdiri dan
kembali menyerbu.
BASTIAN TITO 25 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Gila! Pukulan tadi telak sekali! Tapi keduanya seperti tidak cidera
sedikitpun! Siapa semua keparat-keparat berjubah dan bertopi aneh ini" Mengapa
mereka ingin membunuhku"!"
Sementara itu tiga orang lawan kembali menyerbu. Bahkan satu lagi yang tadi
terkapar nanar akibat bantingan kini sudah bangun dan ikut menyerang kembali.
Lima jurus berlalu dengan cepat. Walau dikeroyok empat namun murid Sinto
Gendeng masih bisa menghadapi dan berkali-kali tendangan atau jotosannya
berhasil mendarat di tubuh atau muka lawan.
Akan tetapi keempat orang itu seperti memiliki ilmu kebal. Walupun muka
dan tubuh juga pakaian mereka tampak babak belur sementara topi-topi mereka yang
berbentuk kerucut bercampakan di tanah tetap saja mereka menyerbu kembali.
"Manusia-manusia aneh!" pikir Wiro. "Makin digebuk makin kuat!" Dia
mulai berpikir untuk mengerahkan tenaga dalam dan lepaskan salah satu dari


Wiro Sableng 077 Kepala Iblis Nyi Gandasuri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pukulan saktinya. "Siapkan serangan Lidah Darah! " tiba-tiba orang dengan jubah berangka 15
berteriak. Murid Sinto Gendeng cepat mengawasi. "Serangan Lidah Darah! Ilmu apa
pula ini!" pikirnya.
Empat orang berjubah secara berbarengan keluarkan suitan keras. Di balik
alang-alang mereka tegak rentangkan kaki. Kedua tangan diangkat ke atas. Dari
mulut mereka keluar suara meracau.
"Eh, empat setan alas ini tengah meracau mantera atau mulai kesurupan....."
pikir Wiro. Lalu dilihatnya dari mulut orang-orang itu mengucur keluar cairan
merah. Darah! Murid Sinto Gendeng tak mau berlaku ayal. Dia segera alirkan tenaga dalam
ke tangan kanan. Dia yakin keempat orang itu akan menyerangnya dengan ilmu
siluman. Empat tenggorokan keluarkan suara seperti orang mendengkur. Lalu empat
mulut tiba-tiba terbuka lebar dan! Astaga! Dari keempat mulut orang itu melesat
keluar lidah berbentuk aneh. Selain panjang dan berlumuran darah juga
membersitkan hawa panas! Wiro segera angkat tangannya untuk menghantam lebih dulu. Tapi cepat
sekali empat lidah panjang datang menyambar. Dua lidah menyambar ke arah
tenggorokan Wiro, satu menderu ke arah perut dan lidah keempat melesat ke tangan
kanannya. Sebelum Wiro sempat memukul, lengannya sudah lebih dahulu digelung
lidah berdarah dan panas itu! lengannya seperti disengat bara panas! Wiro
berteriak keras karena kesakitan dan juga marah! Tangan kanannya diputar demikian rupa.
Sambil menahan sakit dia berhasil mencengkeram lidah yang menggelung lalu
dengan cepat menyentakkannya kuat-kuat. Orang yang lidahnya dibetot tersungkur
amblas masuk ke dalam alang-alang.
Dessss! Lidah berdarah putus! Wiro bantingkan lidah itu ke dalam alang-alang degnan
tengkuk merinding. Pada saat itulah serangan tiga buah lidah sampai. Dua
mencekik lehernya dan satu menyambar perutnya.
Hantaman lidah berdarah pada perutnya membuat tubuhnya terpental tapi
tertahan oleh cekikan dua lidah pada lehernya. Murid Sinto Gendeng mengeluh
tinggi. Lehernya serasa remuk dan kepalanya seolah tanggal.
"Tamat riwayatku!" keluh Wiro. Matanya mendelik dan lidahnya mulai
terjulur. Dia coba pergunakan tangan kanannya untuk mengambil Kapak Maut Naga
Geni 212 tapi tak berhasil karena potongan lidah panjang tadi sempat menggulung
lengannya telah membuat lengan itu menjadi berat dan kaku. Di samping itu
perutnya BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
yang kena dihantam lidah berdarah terasa sakit bukan kepalang. Tak ada jalan
lain. Dia segera merapal ilmu kesaktian "pukulan sinar matahari" Hawa panas menjalar
ke tangan kirinya. Tangan sampai ke lengan tampak menjadi seputih perak
menyilaukan. Tidak tunggu lebih lama Wiro segera menghantam ke arah dua orang berjubah yang
dua lidah mereka menjerat lehernya.
Wussss! Sinar putih menyambar dahsyat. Sebelum menghantam dua orang berjubah
sinar putih panas pukulan sinar matahari merambas alang-alang dan serta merta
terbakar menjadi kobaran api!
Dua lidah darah yang menjerat leher Wiro meleleh musnah. Namun bekas
jeratan meninggalkan tanda merah berdarah pada leher sang pendekar.
Dua suitan keras melengking di udara malam. Di bawah terangnya kobaran
api Wiro melihat dua sosok hitam berterbangan seperti burung raksasa di
permukaan alang-alang! Ternyata adalah dua orang berjubah hitam lainnya. Yang satu sambil
melayang melesatkan lidahnya ke arah kepala Wiro. Satunya lagi tiba-tiba membuat
gerakan jurngkir balik di atas alang-alang lalu tidak terduga sama sekali dia
sudah berada di atas kepala Wiro. Dia adalah orang yang tadi lidahnya dibetot lepas.
Ternyata kini dalam mulutnya ada lidah baru. Lidah ini menyambar ke ubun-ubun
Pendekar 212. Jadi dua lidah menyerang kepala Pendekar 212 sekaligus!
Murid Sinto Gendeng tenggelamkan tubuhnya ke dalan alang-alang. Serangan
lidah yang menyambar dari depan lewat di atas kepalanya. Namun yang menghantam
dari atas ke arah ubun-ubunnya tak bisa dikelit. Karenanya untuk kedua kalinya
Wiro lepaskan pukulan sinar matahari.
Jeritan orang berjubah di sebelah atas sana terdengar keras menggidikkan
ketika tubuhnya dihantam pukulan sakti tiu. Tubuh itu tampak mencelat tinggi
sekali dalam keadaan hangus!
Wiro cepat putar tubuhnya untuk menghantam lawan keempat. Namun orang
ini sudah menyelinap ke dalam alang-alang lalu kabur cari selamat.
Wiro tarik nafas lega. Dirabanya lehernya. Terasa basah. Ketika
diperhatikannya tangannya, tangan itu bergelimang darah, membuatnya jadi
bergidik dan juga memaki. Kobaran api semakin besar membakar alang-alang. Wiro bergerak
ke arah jalan kecil berbatu-batu. Dia segera menuju ke ujung jalan kecil di mana
kudanya menunggu. Di satu tempat dia melihat dia buah benda hitam mengepulkan
asap menyangsrang di alang-alang. Ketika didekati dan ditelitinya ternyata dua
buah jubah hitam masing-masing berangka 16 dan 18.
"Aneh.... Kenapa cuma ada pakaiannya" Mana tubuhnya"!" pikir Wiro. "tak
mungkin dua keparat itu masih hidup! Kalaupun kabur mengapa jubahnya
ketinggalan di sini"!" Murid Sinto Gendeng garuk-garukkepala karena tak dapat
memecahkan keanehan itu. dia kembali ke pertengahan alang-alang tempat jatuhnya
lawan ketiga yang tadi juga dihantamnya dengan pukulan sinar matahari. Di sini,
di antara alang-alang lagi-lagi dia hanya menemukan sehelai jubah berangka 17!
Murid Sinto Gendeng gelengkan kepala. "Empat orang tadi jangan-jangan mahluk siluman.
Mereka menyebut Maharaja dan Maharatu. Agaknya mereka adalah kaki tangan
Maharaja dan Maharatu itu..... Mereka menginginkan nyawaku. Mengapa" Mungkin
ada sangkut pautnya dengan kedatanganku ke tempat Pangeran Sampurno" Jangan-
jangan mereka mahluk-mahluk peliharaan sang Pangeran!"
Wiro segera tinggalkan tempat itu. di kejauhan terdengar suara kentongan di
beberapa tempat. Pertanda penduduk di sekitar situ telah melihat kobaran api
yang membakar pedataran alang-alang.
BASTIAN TITO 27 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Ketika sampai di ujung jalan Wiro tidak menemukan kuda coklatnya. "Sialan!
Binatang itu pasti sudah kabur entah kamana!" katanya. Dia memandang berkeliing
masih berusaha mencari-cari. Di bawah sebatang pohon besar tiba-tiba dia melihat
sebuah benda besar hitam. Dia segera mendekati. Wiro jadi tertegun. Benda besar
hitam yang dilihatnya tadi ternyata adalah sosok kuda coklatnya. Binatang ini
terkapar di tanah tanpa nyawa lagi. Pada kepalanya kelihatan sebuah lobang besar
yang masih mengucurkan darah!
"apa yang terjadi dengan binatang ini"!" pikir Wiro. Tengkuknya tiba-tiba
menjadi dingin. Saat itulah telinganya mendengar suara mendesir di atasnya. Dia
mendongak. Sebuah benda aneh dilihatnya melayang turun dari atas pohon dengan
deras. Dalam kegelapan malam sulit untuk melihat jelas benda apa itu adanya.
Namun ketika benda itu hanya tinggal sepuluh jengkal dari kepalanya murid Sinto
Gendeng jadi melengak kaget dan berseru keras!
BASTIAN TITO 28 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH Ki Ageng Bantoro mendorong pintu kamar yang tidak terkunci. "Kalian tunggu di
sini," katanya pada dua orang pengawal yang memapah Pangeran Sampurno Tjokro
Adiningrat. Lalu dia memegang lengan kiri sang Pangeran dan membantunya masuk
ke dalam kamar.
Saat itu di atas tempat tidur besar tampak terbaring tidur sesosok tubuh
perempuan, membelakangi menghadap dinding. Walau nyala lampu di ruangan tidak
seberapa terang namun Ki Ageng Bantoro masih bisa melihat jelas bahwa perempuan
yang ada di atas tempat itdur tidak mengenakan apa-apa kecuali sehelai kain
panjang yang merosot ke bawah dan hanya menutupi auratnya sampai setinggi betis.
Ki Ageng Bantoro telah sering melihat kebagusan tubuh perempuan cantik
istri Pangeran Sampurno itu. Namun baru sekali ini dia melihat perempuan itu
dalam keadaan polos seperti itu walaupun hanya dari belakang. Jantung orang tua ini
seolah berhenti berdetak. Otak kotornya muncul membuat hatinya bicara. "Sayang hanya
dari belakang. Kalau aku bisa melihat dari depan....."
Baru saja Ki Ageng Bantoro membatin begitu tiba-tiba sosok telanjang di atas
tempat tidur menggeliat lalu berbalik.
"Ki Ageng, lekas berlalu dari sini!"
Kepala pengawal itu tersentak oleh suara keras Pangeran Sampurno yang
mendadak menjadi marah ketika melihat bagaimana sepsang mata orang tua yang
memapahnya itu membeliak tak berkesip memperhatikan tubuh istrinya.
"Maafkan saya Pangeran," kata Ki Ageng Bantoro pula. Pegangannya pada
lengan Pangeran Sampurno dilepaskan lalu memutar tubuh dan cepat-cepat
melangkah ke pintu. Di ambang pintu si orang tua berhenti. Dia coba berpaling
sedikit lalu berkata. "Cidera pada siku kanan Pangeran perlu segera mendapat perawatan.
Saya akan panggilkan ahli urut dari Krasak....."
"Keluar dari kamar ini Ki Ageng! Dan jangan lupa tutup pintu itu! Aku tahu
mengobati cidera sialan ini!"
Begitu didengarnya suara pitu ditutup Pangeran ini melangkah terhuyung-
huyung lalu jatuhkan diri di atas tempat tidur. Perempuan yang barusan
menggeliat dan membalikkan tubuh, dalam keadaan setengah tidur setengah jaga membuka kedua
matanya. "Mas Sampurno....." Perempuan itu hendak bertanya gerangan dari mana
barusan adanya sang Pangeran dan mengapa menjatuhkan diri ke atas tempat tidur
seperti itu. Pertanyaannya tertahan ketika dia mendengar erangan keluar dari
mulut Pangeran Sampurno. Serta merta dia bangkit dan duduk di atas tempat tidur. "Mas
Sampurno ada apa dengan dirimu...." Kau demam Mas?" dengan telak tangan kirinya
perempuan itu memegang kening sang Pangeran. Dia menyangka lelaki itu tiba-tiba
diserang demam. Tapi kening itu bukan terasa panas melainkan dingin dan
berkeringat. "Mas....."
Pangeran Sampurno berteriak kesakitan ketika perempuan itu memegang
lengan kanannya.
"Gusti Allah! Apa yang terjadi mas"!"
"Tangan kananku Nyi Ganda! Jangan dipegang!"
Istri Pangeran Sampurno itu memperhatikan tangan kanan suaminya dengan
mata dibesarkan. "Memangnya ada apa dengan tangan kananmu Mas?"
BASTIAN TITO 29 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Seorang pemuda sinting muncul malam-malam buta ke tempat kita! Ketika
aku keluar ternyata dia sudah betrokan dengan para pengawal. Bahkan ada yang
mati akibat ulahnya!"
"Siapa pemuda itu" Perampok" Garong....?"
"Namanya Wiro Sableng. Murid seorang nenek sakti di Gunung Gede yang
pernah bersahabat dengan Kerajaan......"
"Wiro Sableng....?" Mengulang sang istri dengan suara bergetar.
"Kau kenal pemuda sinting itu?" tanya Pangeran Sampurno pula.
Nyi Gandasuri menggeleng. Lalu dia berkata.
"Kalau gurunya bersahabat dengan Kerajaan berarti muridnya juga menjadi
sahabat Kerajaan. Lalu mengapa bentrokan dengan para pegawal, sampai membunuh
segala"!"
"Manusia edan itu memuntir sambungan siku tangan kananku sampai lepas!
Jahanam betul!"
Paras Nyi Gandasuri, istri Pangeran Sampurno, jadi berubah.
"Sejak sore tadi sebenarnya saya sudah punya firasat kurang baik," kata Nyi
Gandasuri pula. "Rupanya inilah kejadiannya. Tapi Mas Sampurno, pasal lantaran
apa pemuda yang katamu sinting itu berani mencideraimu?"
"Aku menjadi kalap ketika mulut busuknya berani memfitnah dirimu...."
"Memfitnah diri saya...." Sungguh luar biasa! Katakan apa yang
diucapkannya padamu Mas Sampurno. Bahwa saya main gila dengan lelaki lain"
Saya berani bersumpah....." Nyi Gandasuri tidak meneruskan ucapannya. Sang
Pangeran melihat seperti ada kilatan sinar aneh dalam mata istrinya itu.
kemudian digelengkan kepalanya perlahan.
"Katakan Mas.... Fitnah apa yang diucapkan pemuda bernama Wiro Sableng
itu padamu."
"Sudahlah.... Ucapan seorang gila apa perlunya dipercaya."
"Tapi Mas, saya merasa risih bahkan tidak senang kalau Mas tidak
mengatakan. Orang gila tidak mungkin memfitnah sekaligus menciderai Mas
Sampurno dan membunuh para pengawal.... Saya minta Mas Sampurno tidak
menyembunyikan apapun pada saya. Atau saya akan keluar dan menanyakan pada
para pengawal. Pada Ki Ageng Bantoro. Meerka pasti ikut mendengar fitnah yang
diucapkan pemuda itu...."
"Jangan. Kau tak usah keluar. Jika kau memang mau mendengar dari mulutku
sendiri, baik. Akan kukatakan. Pemuda gila itu mengatakan ada seorang perempuan
hendak membunuhku...."
"Seorang perempuan hendak membunuhmu"!" belalak Nyi Gandasuri. Lalu
senyum lebar menyeruak di mulutnya, disusul oleh suara tertawa bergelak.
"Kalau itu dikatakannya memang benar pemuda itu sinting edan! Perempuan
mana pula yang akan membunuhmu! Mungkin bekas kekasihmu di masa muda yang
cemburu dan dendam karena Mas Sampurno mengambil saya jadi istri dan bukannya
dia. Sungguh lucu....!"
Pangeran Sampurno terdiam sesaat. Sambungan sikunya yang tanggal
mendenyut sakit hingga dia mengeluh tinggi. Nyi Gandasuri rupanya tidak lagi
memperhatikan cidera yang didera suaminya melainkan ajukan pertanyaan. "Apa lagi
yang dikatakan pemuda gila itu?"
"Mmmmmmmm..... katanya perempuan itu seorang yang sangat dekat dengan
diriku...."
"Siapa" Ibu Mas Sampurno yang sudah lumpuh itu" Nah, nah, nah!
Bagaimana mungkin...."
BASTIAN TITO 30 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Dia menyebutkan sebuah nama Nyi Ganda....."
"Kalau begitu Mas Sampurno sudah tahu....."
Pangeran itu mengangguk perlahan. "Katanya perempuan itu berada dalam


Wiro Sableng 077 Kepala Iblis Nyi Gandasuri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah ini. Lalu dia menyebut sebuah nama. Namamu. Jelas-jelas dia berkata bahwa
seorang bernama Nyi Gandasuri yang akan membunuhku...."
Nyi Gandasuri terpekik. Tubuhnya melejang. Pangeran Sampurno melihat satu
kejadian aneh. Tubuh istrinya seperti terangkat ke atas da hampir menyentuh
langit- langit kamar. Lelaki ini sampai berseru melihat kejadian itu. Perlahan-lahan
tubuh itu turun kembali. "Istriku, apa yang terjadi dengan dirimu" Barusan kulihat tubuhmu melayang.
Kau seperti seorang memiliki kesaktian...."
"Saya tidak memiliki ilmu kesaktian apapun Mas Sampurno. Apa yang saya
dengar dari mulutmu membuat saya seperti mau meledak! Saya akan cari pemuda
kurang ajar itu...."
"Ki Ageng Bantoro dananak buahku yang lain pasti tidak tinggal diam.
Biarkan mereka yang mencari manusia itu. Sekarang yang penting adalah mencari
tabib atau tukang urut untuk menyambung tulang siku-ku...."
"Tidak perlu...."
"Eh, apa maksudmu tidak perlu?" tanya Pangeran Sampurno yang serta merta
menjadi beringas dan hendak bangkit. Dia lupa keadaan tangan kanannya. Langsung
saja jeritan keluar dari mulutnya ketika dia coba mempergunakan kedua tangan
untuk bertopang pada permukaan tempat tidur.
"Tidak perlu memanggil tabib atau tukang urut! Saya sanggup menolong
cidera Mas Sampurno," kata Nyi Gandasuri pula.
"Kau?" kening sang Pangeran jadi berkerut dan kedua matanya mengecil.
"Kau bisa menyembuhkan tanganku yang sakit" Eh, sejak kapan kau memiliki ilmu
kepandaian dalam pengobatan?"
Nyi Gandasuri tidak menjawab. Tubuhnya yang telanjang bergerak mendekati
suaminya. Tangan kirinya diulurkan ke arah bahu kanan Pangeran Sampurno. Tiba-
tiba tangan itu mendorong dengan keras hingga Pangeran Sampurno seperti
dihenyakkan ke tempat tidur. Bersamaan dengan itu, dalam keadaan tangan kiri
masih menekan bahu kanan suaminya, Nyi Gandasuri pergunakan tangan kanan untuk
menarik tangan kanan Pangeran Sampurno sekuat-kuatnya.
Trakkkkk! Pangeran Sampurno menjerit keras lalu tergeletak tak bergerak lagi di atas
tempat tidur. Pingsan! Perlahan-lahan Nyi Gandasuri bangkit berdiri. Dia turun
dari atas tempat tidur dan tegak di samping sosok suaminya. Kedua tangannya diangkat
ke atas dikembangkan. Lehernya ditegakkan lalu mulutnya dibuka sedikit demi
sedikit. Tiba-tiba ada satu suara mengiang di telinganya. Nyi Gandasuri, ingat apa
yang sudah kami atur. Setiap korban harus berada dalam keadaan sadar. Setiap
korban harus melihat apa yang terjadi dengan dirimu dan apa yang kau lakukan!
Perhatikan wajah korbanmu pada saat-saat terakhirnya menuju kematian. Darah
orang yang mati dalam keadaan ketakutan lebih nikmat dari pada segala macam
darah! Perlahan-lahan Nyi Gandasuri tundukkan kepala lalu turunkan kedua
tangannya. Sesaat dia menatap sosok suaminya. Lalu diambilnya sehelai baju malam
berbentuk aneh berwarna hitam. Kerah jubah ini mencuat tegak ke atas, menutupi
seluruh kepala bagian belakang. Tanpa suara dia melangkah ke pintu. Di pintu dia
tegak sesaat. Perlahan-lahan kedua matanya dipejamkan. Tanpa suara dia membuka
pintu itu lalu melangkah keluar. Jika ada yang melihat pasti akan terheran-heran
BASTIAN TITO 31 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
karena saat itu Nyi Gandasuri berjalan dengan mata tertutup tidak beda seperti
orang berjalan dalam tidur!
Setelah apa yang terjadi di rumah besar itu sebelumnya maka Ki Ageng
Bantoro telah memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjaggan ketat. Pada
saat-saat tertentu dia sendiri ikut berkeliling guna memeriksa keadaan. Pengawal
bertebaran di mana-mana. Namun anehnya mereka sama sekali tidak melihat sosok
Nyi Gandasuri yang berjalan tidur itu. Perempuan ini melangkah sepanjang teras
samping kiri bangunan. Turun dari teras lalu melangkah di tanah berumput. Baru
berhenti begitu diasampai di bawah sebatang pohon berdaun sangat rindang.
"Maharaja dan Maharatu, saya Nyi Gandasuri siap untuk mencari pemuda
bernama Wiro Sableng itu! Kalau dia tidak segera dibunuh bisa-bisa mendatangkan
bencana bagi kita! Lagi pula bukankah itu tugas yang Maharaja dan Maharatu
berikan pada saat saya dilepas pergi dari Istana Langit Darah......?"
Ada sesiur angin menyambar puncak pohon di bawah mana Nyi Gandasuri
berada. Lalu terdengar satu suara laki-laki.
"Nyi Gandasuri, kau seorang anggota yang baik. Penuh tanggung jawab.
Pemuda yang kau sebutkan namanya tadi memang sudah ditakdirkan mati di
tanganmu! Menurut penglihatanku dia belum pergi jauh. Bunuh dia, bawa mayatnya
ke hadapanku!"
"Ah, Maharaja sudah hadir dan mendengar rupanya," ujar Nyi Gandasuri.
"Jika kau berhasil membawa mayatnya ke hadapanku tabungan kebajikanmu
akan menjadi luar biasa besar. Kejadian itu kelak harus kita rayakan. Kau akan
kuundang bersenang-senang di dalam kamarku selama satu minggu. Setelah itu aku
akan membantu dengan segala cara agar kau dapat mencapai tujuanmu. Menjadi
permaisuri Sri Baginda."
"Saya menghaturkan terima kasih Maharaja. Saya minta izin untuk bertindak
sekarang juga. Mencari pemuda itu, membunuhnya lalu membawanya ke hadapan
Maharaja Langit Darah."
"Bagus. Namun kau tidak perlu buru-buru. Pemuda itu tak akan lari jauh.
Ketahuilah sudah sejak beberapa hari belakangan ini aku ingat dan rindu padamu.
Ingin melihat wajah dan tubuhmu. Darahku menjadi panas jika mengingat-ingat
saat- saat kau berada di atas ranjang bersamaku tempo hari. Sekarang, sebelum
menjalankan tugas itu, aku ingin kau menghibur diriku dulu. Tanggalkan jubah
hitam yang kau pakai itu. Aku bisa melihat dirimu dari tempatku berada. Biar mataku
melihat auratmu yang bagus. Dengan begitu nafsu birahiku bisa terlipur....."
Nyi Gandasuri memandang berkeliling. Hatinya bimbang. Tapi akhirnya apa
yang diperintahkan dilakukannya juga. Jubah hitam berleher tinggi dibukanya,
dijatuhkan ke tanah.
Terdengar suara orang menarik nafas panjang.
Lalu ada suara tawa cekikikan. Menyusul suara perempuan. "Nyi Gandasuri,
kecantikan wajah dan tubuhmu bukan cuma untuk Maharaja Langit Darah. Tapi juga
menjadi bagian Maharatu Langit darah. Kalau urusanmu dalam kamar Maharaja
Langit Darah selesai kau harus mampir ke kamarku. Kau dengar itu Nyi Gandasuri"'
"Saya dengar Maharatu," jawab Nyi Gandasuri pula. "Sekarang bolehkah saya
mengenakan pakaian kembali"'
"Kau boleh pergi. Bawa mayat pemuda bernama Wiro Sableng itu ke
hadapanku!" jawab suara tanpa ujud.
Nyi Gandasuri membungkuk. Terdengar suara nafas memburu. Selesai
mengenakan jubah hitam berleher tinggi perempuan itu jingkatkan kedua kakinya.
Sepasang tangannya diangkat ke atas. Mulutnya dibuka. Lalu dia menghembus.
BASTIAN TITO 32 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Settttt! Terdengar seperti suara angin berdesir. Sosok tubuh Nyi Gandasuri lenyap
ditelan malam seolah amblas ke dalam tanah!
Di balik serumpunan semak belukar dua orang yang sejak tadi merasakan
sesak dada mereka menyaksikan apa yang terjadi untuk sesaat lamanya saling
pandang tanpa bisa mengeluarkan suara. Yang satu akhirnya berkata dengan suara
bergetar. "Ki Ageng Bantoro apa yang barusan kita saksikan adalah hal luar
biasa. Aneh di atas aneh. Kita harus memberi tahu Pangeran Sampurno."
Yang diajak bicara yaitu Ki Ageng Bantoro kepala pengawal gedung
kediaman Pangeran Sampurno menggeleng. "Mungkin kita harus merahasiakannya
dulu sampai beberapa waktu. Aku mencium dibalik keanehan ini ada hal yang
mengerikan....."
Baru saja Ki Ageng Bantoro berkata begitu tiba-tiba dari atas pohon melesat
sebuah benda. Benda ini bergerak cepat sekali hingga kedua orang itu tidak bisa
memastikan benda apa adanya. Kemudian terdengar dua jeritan keras. Pengawal yang
ada di tempat kediaman Pangeran Sampurno jadi tercekat. Mereka masih berada di
bawah pengaruh kejadian munculnya Wiro tadi. Kini terdengar dua suara jeritan
yang menggidikkan. Beramai-ramai para pengawal ini menuju pintu gerbang gedung, terus
keluar ke arah sebatang pohon besar dari arah mana tadi terdengar suara jeritan.
Hanya beberapa langkah dari pohon besar itu semua pengawal tersurut
menggigil. Di tanah mereka melihat dua sosok tubuh terkapar dengan kepala
berlumuran darah. Ubun-ubun kedua orang itu tampak berlobang besar! Jelas
keduanya sudah jadi mayat. Mulut menganga mata mencelet!
BASTIAN TITO 33 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN Benda yang melayang turun dari atas pohon besar itu ternyata adalah potongan
kepala seorang perempuan tua. Rambutnya yang panjang hitam riap-riapan menebar
bau kembang di pekuburan! Wajahnya sangat putih. Sepasang alisnya mencuat tebal
dan hitam. Kedua matanya memancarkan sinar kemerahan. Di sudut-sudut bibirnya
tersembul taring terbungkus cairan darah! Dari mulutnya yang terbuka dan
melelehkan darah kelihatan menjorok keluar lidahnya yang berbentuk aneh. Lidah
ini seolah terbuat dari besi hitam, berbentuk corong lancip dan pada ujungnya ada
lobang seujung jari kelingking.
"Gusti Allah! Mahluk apa ini!" ujar Pendekar 212 dalam hati.
Kepala perempuan dengan rambut awut-awutan dan wajah mengerikan itu
melesat ke arah kepala Wiro. Lidah besinya bergerak, mencari sasaran di ubun-
ubun. Murid Sinto Gendeng cepat berkelebat menyingkir sambil memukul.
Brerttt! Potongan kepala berputar aneh. Pukulan Wiro mengenai tempat kosong.
Sebaliknya walau dia sudah berusaha menghindar dengan cepat namun lidah besi
masih sempat menggaruk bahu bajunya hingga robek besar. Wiro merasakan
tubuhnya jadi dingin. Dia ingat pada kudanya yang ditemuinya telah jadi mayat
dengan kepala bolong. "Jangan-jangan mahluk jahanam ini juga yang membunuh
kuda itu!" pikir Wiro. Dia merasa belum sempat menarik tangannya yang terdorong
ke depan tahu-tahu potongan kepala itu membalik lalu melesat ke atas. Dari
ketinggian satu tombak kepala itu menukik ke bawah. Lidah besi kembali mencari
sasaran di batok kepala murid Sinto Gendeng. Gerakan serangan kepala ini sungguh
luar biasa cepatnya.
Untuk kedua kalinya Wiro dipaksa harus melompat mencari selamat. Setelah
melompat dia jatuhkan diri di tanah lalu berguling.
Potongan kepala perempuan menyeringai. Darah berlelehan dari mulutnya.
Lidah besinya bergerak-gerak. Tiba-tiba didahului oleh suara pekikan
menggidikkan kepala ini kembali menyerang. Kali ini karena bukan datang dari atas, Wior punya
kesempatan untuk menghantam langsung dengan jotosan tangan kanan.
Bukkk! Potongan kepala itu mencelat mental begitu jotosan tangan kanan Wiro
menghantam pipi kirinya dengan telak.
"Pecah kepalamu! Tamat riwayatmu!" ujar Wiro seraya melompat bangkit.
Tapi dia jadi melongo ketika pukulan tangan kosong yang disertai tenaga dalam
itu ternyata jangankan memecahkan potongan kepala, cidera sedikitpun tidak!
Sambil keluarkan suara pekik panjang potongan kepala berputar-putar di udara.
Rambutnya riap-riapan menebar cairan merah. Darah juga menyembur-nyembur dari
mulutnya. Lidah besinya bergerak tiada henti. Ketika potongan kepala ini kembali
melesat Wiro kerahkan seluruh tenaga dalamnya lalu menghantam dengan pukulan
sakti "kunyuk melempar buah"
Satu gelombang angin yang amat keras, laksana batu raksasa menggelinding,
menderu dahsyat kearah potongan kepala. Meski tahu dirinya terancam serangan
mematikan tapi potongan kepala tak berusaha menghindar. Malah menyeringai dan
memekik tinggi.
Sesaat kemudian tak ampun lagi kepala tanpa badan itu dilabrak pukulan sakti
yang dilepaskan Pendekar 212. Sinar terang aneh berkiblat sewaktu potongan
kepala BASTIAN TITO 34 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
kena ditumbuk pukulan "kunyuk melempar buah" kepala mencelat tinggi seolah
hendak menembus langit.
"Astaga!" Pendekar 212 berseru kaget dan mendadak saja tengkuknya menjadi
dingin ketika sesaat kemudian seolah meluncur turun dari langit potongan kepala
tahu-tahu hanya tinggal satu tombak saja di atas kepalanya.
Wusss! Lidah besi mahluk kepala tanpa badan menderu tipis di samping kepala
Pendekar 212. Terdengar jerit sang pendekar ketika tambut hitam yang riap-riapan
mendera pipi kirinya. Murid Sinto Gendeng terbanting ke tanah. Empat buah
guratan panjang disertai lelehan darah kelihatan di pipi Wiro.
"Kepala pelesit jahanam!" maki Wiro sambil mengusap pipinya yang luka.
Dia berusaha bangkit. Tapi baru pantatnya lepas dari tanah potongan kepala
kembali menyerangnya.
"Setan alas! Makan pencarianmu!" teriak Wiro. Kini tidak kepalang tanggung
dia lepaskan pukulan sakti yang paling menggegerkan dunia persilatan yaitu
"pukulan sinar matahari"
Sinar putih menyilaukan seolah membelah langit malam. Sinar sangat panas
menerpa ke arah potongan kepala. Seperti waktu dihantam dengan pukulan "kunyuk
melempar buah" tadi, mahluk ini sama sekali tidak berusaha menghindar. Malah
lidah besinya kelihatan dijulurkan lebih panjang. Lalu mulut itu meniup.
Werrrrrr! Darah merah dan kental menyembur dari mulut dan lobang lidah besi,
menembus sinar putih pukulan sinar matahari.
Bummmmm! Ledakan keras menggetarkan udara dan tanah.
Wiro berseru kaget ketika darah yang disemburkan potongan kepala mampu
menembus sinar pukulan saktinya. Semburan darah terus menyambar ke arah
kepalanya. Kalau tidak cepat mengelak semburandarah yang kemudian berubah
menjadi tetesan-tetesan darah itu amblas menembus batang pohon di dekatnya!
Begitu menyemburkan darah potongan kepala melesat lurus ke atas. Lalu
selagi Wiro masih terkesiap melihat tetesan-tetesan darah menghantam pohon,
potongan kepala didahului jeritan melengking melesat ke bawah. Lagi-lagi mahluk
ini coba menusukkan lidah besinya di kepala Wiro. Yang diarah selalu bagian ubun-
ubun. "Edan!" maki Pendekar 212. Tanpa menunggu lebih lama dia segera cabut
Kapak Maut Naga Geni 212. Cahaya sakti yang keluar dari dua mata kapak mustika
ini menerangi tempat angker itu. Tapi potongan kepala tidak takut. Malah
pekiknya semakin keras. Wiro menghantam.
Wuttt! Sinar terang berkiblat. Suara seperti ratusan tawon mengamuk berkumandang.
Kali ini kepala tanpa badan itu seperti agak jerih untuk melakukan bentrokan.
Cepat-

Wiro Sableng 077 Kepala Iblis Nyi Gandasuri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat dia melenceng lurus ke kiri, membelok ke kanan lalu tahu-tahu sudha berada
di belakang kepala Wiro.
Pendekar 212 babatkan kapaknya seputar kepala. Sinat terang membuntal-
buntal. Potongan kepala keluarkan jeritan berulang-ulang. Wiro menyangka mahluk
itu ketakutan dan mungkin hendak kabur. Tapi sangkaannya meleset. Karena tiba-
tiba saja potongan kepala itu membuat gerakan-gerakan aneh yaitu membeset lurus ke
kiri, lalu melesat ke kanan, membalik lurus ke depan, berputar lalu meluncu lagi lurus
ke kanan, naik ke atas dan diakhiri dengan menukik ke bawah, berusaha menusukkan
lidah besinya ke batok kepala sang pendekar.
BASTIAN TITO 35 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Celaka! Aku tak bia mengelak erus-terusan! Kapak Naga Geni 212 seolah
tidak mampu menghadapi mahluk jahanam itu! Apalagi pukulan-pukulan sakti! Apa
yang harus kulakukan!" dalam hatinya terniat untuk segera mengeluarkan batu
hitam pasangan kapak mustika. Dia hendak menggempur potongan kepala dengan semburan
api sakti. Tapi pukulan matahari yang begitu panas sanggup ditahan oleh lawan,
hatinya merasa ragu apakah api sakti akan sanggup menciderai. Dalam keadaan
bimbang seperti itu, tidak sengaja salah satu jarinya menekan salah satu dari
dua mata ukiran kepala naga yang merupakan bagian gagang dari Kapak Maut Naga Geni 212.
Mata ukiran kepala naga itu justru adalah picu untuk mengeluarkan jarum-jarum
putih halus yang ada dalam rongga gagang dan merupakan senjata rahasia yang sangat
berbahaya. Selama ini jarang sekali Wiro mempergunakan senjata rahasia dalam
badan kapak mustika itu. Tapi ketidak sengajaan itu justru membuatnya terheran-
heran karena begitu selusin jarum bertabur berkilauan di dalam gelapnya udara
malam, dari mulut potongan kepala terdengar suara menggeru. Potongan kepala ini
berputar sebentar lalu melesat ke kiri. Wiro memburu. Dia acungkan senjata sakti itu
sambil menekan lagi mata kepala naga. Selusin jarum putih kembali melesat keluar dari
gagang kapak yaitu dari bagian mulut ukiran naga. Di sebelah sana terdengar
mahluk potongan kepala menjerit aneh. Tampangnya yang angker kelihatan seperti sangat
takut. Lalu potongan kepala ini berputar keras sambil melesat ke arah timur dan
dalam waktu sangat cepat lenyap di kegelapan malam.
"Aneh...." Kata Wiro sambil memperhatikan senjata mustikanya. "Mahluk
jahanam itu sepertinya takut pada jarum-jarum putihku. Tapi apa yang
ditakutinya"
Pukulan sakti dan Kapak Maut Naga Geni 212 sanggup dihadangnya. Masakan
dengan jarum-jarum halus malah dia ketakutan dan kabur. Pasti ada rahasinya. Aku
harus mencari kelemahannya. Bukan mustahil mahluk tadi ada sangkut pautnya
dengan manusia-manusia berpeci kerucut yang menyerangku di pedataran alang-
alang....." Wiro tarik nafas panjang. Otak dan suara hatinya masih terus berkerja.
"Potongan kepala itu, bisa berputar. Rambutnya dan darah yang keluar dari
mulutnya merupakan senjata berbahaya. Bergerak lurus-lurus.... Hemmmmm, mungkin itu
salah satu kelemahannya. Aku harus berhati-hati. Bukan mustahil dia akan muncul
lagi..... Ah, kenapa jadi banyak mahluk aneh muncul mau membunuhku" Apa ini ada
sangkut pautnya dengan tugas yang diberikan Eyang Sinto Gendeng" Memberi ingat
Pangeran Sampurno bahwa istrinya akan membunuhnya" Pangeran sialan! Kalau
sudah diberi tahu tidak percaya perlu apa aku susah-sush memberi ingat!" Wiro
garuk-garuk kepala dan tinggalkan tempat itu dengan mata dan telinga dipasang
untuk mewaspadai keadaan sekitarnya.
BASTIAN TITO 36 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEMBILAN Di luar gedung besar kediaman Pangeran Sampurno Tjokro Adiningrat udara
malam terasa dingin. Hujan turun rintik-rintik dan angin beritup kencang. Kalau
para pengawal yang bertugas di luar saat itu merasa kedinginan maka di dalam kamar
sang Pangeran dan istrinya saling rangkul di atas ranjang, asyik berhangat-hangat.
"Bagaimana keadaan tangan kananmu Mas Sampurno?" tanya sang istri.
"Aku sungguh tak percaya. Kau ternyata seorang ahli uut. Memang masih
terasa linu sedikit tapi aku sudah bisa menggerakkannya tanpa rasa sakit lagi...."
Jawab Pangeran Sampurno lalu mencium leher istrinya. Dia mendengar perempuan tu
mengeluarkan suara lirih.
Nyi Gandasuri menggeliat lalu berkata. "Tolong lampunya dibesarkan...."
"Eh, aneh sekali ini. biasanya kau selalu ilang tak bisa tidur kalau lampu
terang. Kau tak bisa terangsang kalau lampu menyala besar. Sekarang malah minta
lampu dibesarkan. Memangnya ada apa istriku?" ujar Pangeran Sampurno pula.
Nyi Gandasuri tersenyum lebar. Dengan tanagn kanannya ditariknya tubuh
suaminya hingga berada di atas badannya. "Saya ingin memperlihatkan sesuatu
padamu. Kau sering-sering berkata saya seperti perempuan dingin. Kau lihat saja
sebentar lagi. Saya akan melayani dan membahagiakan dirimu Mas Sampurno. Kau
akan merasakan nikmat mulai dari kapala sampai ujung kaki...."
Pangeran Sampurno hampir tertawa membahak. Tapi ketika dilihatnya wajah
istrinya yang cantik penuh kesungguhan, sambil turun dari atas tempat tidur dia
berkata. "Luar biasa sekali kau malam ini Nyi Ganda. Biasanya kau selalu malu-
malu walau hemmmmmm aku tahu sebenarnya hasratmu manyala-nyala...."
Sang istri tertawa perlahan lalu bangkit dari berbaringnya.
Pangeran sampurno melangkah ke tengah kamar di mana tergantung lampu
minyak. Dia berjingkat untuk mencapai putaran lampu. Api lampu membesar. Kamar
kini menjadi terang benderang. Lelaki itu membalik ke arah tempat tidur.
Di atas tempat tidur dilihatnya Nyi Gandasuri duduk bersandar ke dinding.
Saat itu dia tidak mengenakan apa-apa lagi. Tubuhnya polos putih dan seperti
memantulkan cahaya berkilat terkena sinar lampu. Dia duduk dengan kaki
terkembang. Membuat semakin panas darah di tubuh sang Pangeran dan semakin
membakar hasratnya yang sejak tadi mendadak jadi berkobar-kobar karena sikap dan
ucapan-ucapan sang istri yang tidak seperti biasanya. Rupanya ketika dia
membesarkan nyala lampu minyak tadi dengan cepat Nyi Gandasuri telah membuka
seluruh pakaian di tubuhnya. Padahal biasanya kalau tidak dia yang menanggalkan
pakaian sang istri, Nyi Gandasuri lebih banyak bersikap diam saja.
Dengan nafas memburu Pangeran Sampurno segera saja hendak melompat ke
atas tempat tidur. Namun tiba-tiba saja gerakannya tertahan.
Di atas tempat tidur dilhatnya sang istri tersenyu aneh padanya. Bukan hal ini
yang membuat Pangeran Sampurno berhenti melangkah. Melainkan oleh satu tanda
merah yang tiba-tiba saja dilihatnya melingkari leher istrinya. Tanda itu
semakin lama semakin besar. Lalu tanda itu berubah menjadi sebuah koyakan luka yang aneh
mengerikan. Dari luka melingkar mulai mengucur darah. Kucuran darah mengalir
turun pada kedua bahunya terus membasahi sepasang payudaranya yang putih dan
kencang. Dari sini darah terus mengalir ke perutnya yang polos hingga akhinya
membasahi alas tempat tidur.
"Nyi Ganda!" seru Pangeran Sampurno terbelalak. "Lehermu!"
BASTIAN TITO 37 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kalau sang suami demikian kagetnya melihat apa yang terjadi tapi sang istri
justru tenang-tenang saja. Malah senyum Nyi Gandasuri semakin lebar. Kedua
matanya dikedip-kedipkan sedang mulutnya perlahan-lahan dibuka. Mulut itu
bergerak-gerak seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi dari mulut itu sama
sekali tidak keluar sepotong suarapun. Malah kini yang keluar adalah lidah merahnya.
Lidah itu dijulur-julurkan dan diputar-putarnya demikian rupa. Kalau saja tidak ada
luka aneh di selingkar lehernya pastilah Pangeran Sampurno akan terangsang hebat dan
mengecup mulut serta lidah istrinya itu.
"Nyi Ganda, apakah kau tidak mendengar ucapanku tadi" Lehermu! Ada luka
melingkar. Ada darah menetes.....! Pegang lehermu, lihat dada dan perutmu!"
Nyi Gandasuri tidak menjawab. Matanya memandang tak berkesip pada
suaminya. Sang Pangeran tiba-tiba saja menyadari bahwa dua mata istrinya telah
berubah kemerah-merahan. Lalu wajahnya yang cantik menjadi sangat pucat.
"Istriku, apa sebenarnya yang terjadi dengan dirimu! Ya Tuhan! Nyi Ganda!"
Pangeran Sampurno maju dua langkah. Tapi tepat di pinggiran tempat tidur kembali
langkahnya tertahan dan matanya membelalak. Sang istri menyeringai. Lalu.
Astaga! Sedikit demi sedikit dari sudut bibir Nyi Gandasuri sebelah atas muncul keluar
sepasang taring besar runcing mengerikan.
"Gusti Allah!" seru Pangeran Sampurno. Dia mundur dengan sekujur tubuh
bergidik. Lidah istrinya yang terjulur merah tiba-tiba berubah warna dan bentuk.
Lidah yang tadinya bergerak-gerak lentur sekarang tampak kaku keras seprti besi.
Bagian ujungnya meruncing. Dan pada ujung yang runcing itu ada sebuah lobang!
"Nyi Ganda....!" Suara Pangeran Sampurno bergetar. Kembali dia membuat
langkah mundur.
Di atas tempat tidur Nyi Gandasuri menyeringai. Mulutnya seperti
menghembus. Dari lidah besi berbentuk corong yang keluar bukannya angin tetapi
darah merah kental!
"Pangeran suamiku..... Mengapa takut" Bukankah kita akan bersenang-senang.
Aku akan membahagiakanmu Mas Sampurno...."
Tubuh polos di atas tempat tidur kini berjongkok lalu beringsut ke pinggir.
"Mas Sampurno....."
"Nyi Ganda. Jadi .....sebenarnya kau manusia jejadian.....!"
"Aku manusia biasa. Istrimu.... Hik...hik....hik!" Nyi Gandasuri tertawa
tinggi. Tiba-tiba bagian leher di bawah dagu tepat di bagian luka melingkar,
melesat ke atas! Pangeran Sampurno berteriak melihat kepala yang tanggal dari leher itu
melayan ke atas sementara bagian tubuh yang telanjang masih berjongkok di epi
tempat tidur. "Demi Tuhan Nyi Ganda! Mengapa kau bisa jadi begini"!" teriak Pangeran
Sampurno. Lalu ketakutannya jadi berlipat ganda sewaktu dilihatnya bagaimana
muka cantik tapi pucat itu perlahan-lahan berubah menjadi wajah tua keriputan. Wajah
seorang nenek yang menyeramkan.
Pangeran Sampurno putus nyalinya. Dia lari ke pintu. Tapi kalah cepat.
Potongan kepala iblis Nyi Gandasuri menukik ke arah batok kepalanya. Teriak sang
Pangeran terpotong.
Crasss! Ubun-ubun Pangeran Sampurno jebol. Sepasang mata merah membelalak
besar. Muka nenek yang menyeramkan itu menyeringai. Lalu terdengar suara seperti
air menggelegak ketika potongan kepala itu menyedot dengan lidah besinya. Darah
membasahi kepala dan muka Pangeran Sampurno.
BASTIAN TITO 38 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Di pintu tiba-tiba terdengar suara ketukan-ketukan keras. Disertai suara orang
berseru. "Pangeran! Pangeran Sampurno! Ada apa di dalam sana"! Kami mendengar
suara jeritan!"
Itu adalah suara seorang pengawal yang bertugas di bagian dalam ruah besar
kediaman sang Pangeran. Karena tak ada jawaban dari dalam kawan di sebelahnya
berkata. "Buka paksa saja...."
Pintu dibuka paksa. Dua pengawal melompat masuk ke dalam kamar yang
terang benderang itu. Satu memegang tombak, satunya menghunus golok. Lalu
mendadak saja keduanya menjadi kaku ketakutan ketika menyaksikan apa yang
terjadi di dalam kamar besar itu.
Pangeran Sampurno terkapar di lantai kamar. Mukanya tertutup darah dan di
kepalanya ada sebuah lobang besar mengerikan. Di atas tempat tidur ada satu
sosok tubuh perempuan telanjang tapi tanpa kepala. Dari lehernya yang kutung ada
cairan darah seperti mendidih lalu mengalir membasahi tubuhnya. Lalu di mana kepalanya,
pikir kedua pengawal di dalam kamar.
Tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. Nyawa dua pengawal seperti
terbang ketika mereka mendongak ke atas. Di salah satu sudut langit-langit kamar
mereka melihat potongan kepala berambut riap-riapan, bermuka nenek menyeramkan
dan mulutnya memiliki lidah aneh berlumuran darah.
"Setan kepala!" teriak pengawal yng memegang tombak.
"Pelesit kudung!" seru temannya dengan muka pucat.
Serentak kedua orang ini menghambur ke arah pintu yang terbuka. Namun
seperti ada tangan yang mendorong pintu kayu jati itu terbating keras dan
tertutup. Dua pengawal tak mampu dan kelabakan berusaha membukanya. Dari sudut kamar
suara cekikikan semakin mengumbar. Lalu potongan kepala itu menukik ke arah
pengawal yang memegang tombak. Orang ini hanya keluarkan pekikan pendek.
Tombaknya terlepas, tubuhnya roboh ke tanah. Ada lobang besar di kepalanya.
Pengawal satunya sambil menjerit ketakutan berusaha membabatkan goloknya
ke arah kepala iblis Nyi Gandasuri yang datang menyerangnya. Tapi bacokannya
meleset. Di lain saat terdengar jerit kematiannya.
Ketika malam itu selusin pengawal masuk ke dalam kamar mereka melihat
Nyi Gandasuri menaangis menjerit-jerit di sudut kamar.
"Tolong....tolong...." teriaknya memelas. Lalu tubuhnya yang kini sudah
tertutup pakaian itu roboh pingsan ke lantai.
BASTIAN TITO 39 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEPULUH Di puncak Gunung Gede seorang nenek bermuka jelek bertubuh kurus seperti
jerangkong tersentak dari tidurnya. Dia duduk di tepi balai-balai kayu beralas
tikar jerami kering. Di kepalanya yang berambut jarang ada lima buah tusuk kundai
terbuat dari perak. Tusuk kundai itu tidak disisipkan pada rambutnya melainkan
ditancapkan di kulit kepalanya!
Sepasang amta di nenek yang cekung menatap ke arah pintu gubuk kayu yang
terbuka. Di luar sana kelam bukan main angin malam berhembus dingin.
"Mimpi buruk...." Si nenek berkata pada dirinya sendiri. "Jangan-jangan anak
setan itu gagal menjalankan tugasnya!" Si nenek berdiri. Sebelum keluar dari
gubuk kayu diambilnya sebatang tongkat kayu yang tersandar dekat pintu.
Di luar udara dinginnya bukan main. Tapi si nenek tenang saja seolah tidak
merasa apa-apa. Memandang berkeliling dia hanya melihat kegelapan.
"Di mana tua bangka itu?" dia kembali bicara sendirian. "Aku mendengar
suara ngoroknya tapi sosok bobroknya tidak kelihatan!"
Walaupun memegang tongkat dan tubuhnya bungkuk sekali, tapi nenek
berwajah seram itu tidak pergunakan tongkat kayunya untuk membantunya berjalan.
Malah tongkat kayu itu dibolang-balingkannya kian kemari. Dia melangkah ke arah
sebuah batu besar dari arah mana terdengar suara orang mendengkur. Tapi begitu
sampai di belakang batu dia sama sekali tidak menemukan orang yang dicarinya
itu. "Ah! Keparat sialan tua bangka itu! Dia menipuku dengan ilmu memindahkan


Wiro Sableng 077 Kepala Iblis Nyi Gandasuri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara! Wong edan! Suara ngoroknyapun dipindah-pindah! Rupanya dia takut
dibokong orang!" saking kesalnya si nenek ketok batu itu dengan ujung tongkat.
Braakk! Batu hitam atos itu gompal dan murak pada bagian yang terkena pukulan.
Si nenek keluar dari balik batu. Dia memandang lagi berkeliling. Matanya
membentur sosok pohon besar sejarak dua puluh langkah di sebelah kirinya.
Memandang ke pohon yang menghitam dalam kegelapan itu si nenek ingat pada masa
belasan tahun lalu. Ketika dia masih menggembleng muridnya di puncak Gunung
Gede itu. Sang murid sering dilemparkannya ke atas pohon itu. Mukanya yang seram
dan mulutnya yang perot tampak tersenyum. Lalu dia mulai melangkah ke arah
pohon. Sampai di bawah pohon dia tegak berdiam sebentar. Seluruh pohon sehening
di pekuburan. Malah lagi-lagi dari arah balik batu besar kembali terdengar suara
orang mendengkur. Si nenek menyeringai.
"Sekali ini kau tak bisa menipuku tua bangka rongsokan!" lalu si nenek
tempelkan tongkat kayunya ke batang pohon. Sesaat kemudian tongkat itu bergetar
aneh. Getaran merambat ke batang pohon, menjalar ke atas. Di atas pohon , di
sebuah cabang besar satu sosok tubuh yang sedang tidur nyenyak tampak terguncang-
guncang. "Hai! Gempa bumi atau sudah kiamat dunia ini"! Sialan betul!" orang yang
tidur terbangun langsung menyumpah.
Kepalanya ditukikkan ke bawah. Lalu dia berseru. "Sinto Gendeng! Pasti kau
yang usil mengganggu tidurku!"
"Tua bangka rongsokan! Kau turunlah sebentar! Aku mau bicara!" Si nenek di
bawah pohon berteriak. Ternyata dia adalah si nenek sakti Eyang Sinto Gendeng,
guru Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng, satu dari sedikit tokoh
utama dunia persilatan pada masa itu.
BASTIAN TITO 40 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Bicara malam-malam begini"! Uh! Ada-ada saja kau ini! Apa tidak bisa
menunggu sampai besok pagi?"
"Kerjamu selama satu minggu di sini tidur melulu. Apa kau kira tempatku ini
tempat orang mendengkur dari pagi sampai malam sampai pagi lagi"!"
"Eh Sinto kau tahu sendiri. Kerjaku jalan melulu. Sepanjang tahun kalau
dikumpulkan tidurku mungkin hanya belasan hari saja! Apa salahnya kalau sekali
ini aku berleha-leha molor terus di tempat teman..... Itu gunannya teman. Lagi pula
aku tidur di pohon. Kau mana mungkin menyediakan ranjang bagus dan bantal empuk
untukku! Ha...ha....ha....!"
"Sudah! Jangan bicara ngaco! Lekas turun! Atau aku yang naik ke atas sana.
Menjewer telingamu dan menyeretmu ke bawah sini"!"
"Huahhhh!" Orang di atas pohon menguap lebar-lebar. Lalu dala kegelapan
malam dari atas pohon melayang turun sebuah benda. Mula-mula kelihatan sebuah
caping lebar terbuat dari bambu. Di atas caping ini menyusul tampak sepasang
kaki jelek keriput duduk bersila. Setelah itu baru kelihatan sosok badan dan kepala.
Orang yang melayang turun sambil duduk di atas caaping bambu itu ternyata seorang
kakek berpakaian rombeng penuh tambalan seperti seorang pengemis. Rambutnya sudah
putih semua. Kedua matanya dipejamkan seperti tidur. Di ketiak kirinya terkepit
sebatang tongkat kayu. Di bahunya ada sebuah bantalan. Di tangan kanannya dia
memegang sebuah kaleng rombeng. Sambil melayang turun dia menggoyang-
goyangkan kaleng bututnya itu. maka terdengarlah suara berkerontangan yang
menusuk telinga di malam buta itu.
"Berisik! Hentikan perbuatan edanmu itu atau kurampas kaleng rombengmu
dan kubuang ke jurang!" si nenek mengancam sambil tekap kedua telinganya yang
terasa seperti dicucuk oleh suara kerontangan kaleng.
Kakek yang melayang turun tertawa gelak-gelak. Beberapa saat lagi
capingnya akan menyentuh tanah dia melompat turun. Caping disambarnya langsung
Lima Utusan Akherat 1 Pendekar Bodoh 9 Sengketa Ahli Sihir Pendekar Pedang Pelangi 11
^