Pencarian

Ki Ageng Tunggul Akhirat 2

Wiro Sableng 070 Ki Ageng Tunggul Akhirat Bagian 2


"Maafkan kami," kata Sindak Bumi cepat-cepat."Kami tidak tahu kalau
berhadapan dengan orang pandai. Kami memang tidak berkepentingan dengan dua
mayat itu. Kau mau mengapakannya silahkan saja. Kami menunggu di luar....."
"Tak usah pakai keluar segala. Kalian boleh lihat sendiri apa yang bakal aku
lakukan!" Orang tua berambut putih rapi dan berwajah klimis itu melangkah mendekati
tubuh Supit Ireng yang tergeletak di atas balai-balai kayu sebelah kanan. Dia
memperhatikan keadaan orang ini beberapa lama. Tiba-tiba bret....bret! Dia
merobek baju yang dikenakan Supit Ireng hingga dadanya terpentang lebar. Dengan hati-
hati BASTIAN TITO 18 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
orang ini kemudian menempelkan kedua telapak tangannya di atas dada Supit Ireng.
Lalu dia mulai mengerahkan tenaga dalam yang berpusat di perut. Wajahnya yang
klimis tampak menjadi kemerahan. Tubuh dan terutama kedua tangannya kelihatan
bergetar. Keringat memrcik di keningnya.
Kaki kanan Supit Ireng tampak bergerak. Menyusul kaki kirinya. Perlahan-
lahan kedua matanya terbuka. Merah mengerikan. Tiba-tiba tubuh Supit Ireng
bergerak bangkit seperti mau duduk. Kakek Pungku dan dua cucunya tersirap ngeri
dan mundur ke dinding gubuk. Tapi Supit Ireng hanya tertegak sesaat lalu
tubuhnya jatuh lagi terbanting ke balai-balai kayu. Kedua matanya terpejam kembali. Dia
pingsan lagi! Kakek berambut putih geleng-gelengkan kepala. Sambil menarik nafas
panjang dia lepaskan kedua tangannya dari dada Supit Ireng. "Keadaannya parah
sekali......" kata orang tua ini dalam hati. "Lika di lengan dan di lehernya
yang jadi penyebab. Orang lain mungkin sudah menemui ajal. Benda apa yang telah
menghantamnya sampai keadaannya parah seperti ini?"
Dia melirik pada sosok Supit Jagal. "Kalau yang satu inipun tidak bisa kubuat
sadar, sia-sia saja aku datang jauh-jauh ke sini....!" Lalu orang tua ini
berpindah ke samping kiri balai-balai. Seperti tadi, kali ini dia juga merobnek baju yang
dikenakan Supit Jagal. Dia menyeka keningnya yang basah keringatan lalu kedua telapak
tangannya ditempelkan ke dada Supit Jagal. Perlahan-lahan dia mengeluarkan
tenaga dalamnya menghangati peredaran darah dan sekujur tubuh Supit Jagal. Hatinya
mulai cemas setelah menunggu beberapa saat tidak tampak tanda-tanda Supit Jagal akan
siuman dari pingsannya.
"Celaka!" keluh orang tua berambut putih itu. Digesernya sedikit telapak
tangan kanannya hinnga kini tepat berada di arah jantung Supit Jagal. Lalu dia
mulai mengerahkan lagi tenaga dalamnya dengan segala daya yang dimilikinya.
Tiba-tiba terdengar suara erangan halus. Yang mengerang adalah Supit Jagal.
Si orang tua kerahkan seluruh sisa tenaganya. Suara erangan itu semakin keras
dan jelas. "Air....air?"
"Ambilkan air! Cepat!" perintah orang tua rambut putih pada Pungku. Pungku
memberi isyarat pada salah satu cucunya. Kudo Aru keluar dari dalam gubuk. Tak
lama kemudian dia muncul lagi membawa air dalam mengkok tanah yang pecah salah
satu pinggirannya. Air dalam mangkok tanah itu dikucurkan ke mulut Supit Jagal.
Orang tua berambut putih salurkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya lalu dia
lepaskan tempelan dua telapak tangannya dan tertegak dengan nafas memburu. Di
atas balai-balai kayu Supit Jagal tampak telah membuka mata. Pandangannya
mengerikan apalagi mukanya sendiri saat itu hancur babak belur.
"Tol.....tolong. Di mana aku...." Supit Jagal berucap di antara erangannya.
Melihat hal ini si orang tua segera letakkan tangan kanannya di atas kening
Supit Jagal. Kalau tadi dia mengerahkan tenaga dalam yang mengeluarkan hawa
panas, kini dia ganti dengan tenaga dalam yang memancarkan hawa sejuk. Supit
Jagal merasakan rasa sakit di sekujur tubuhnya berkurang sedikit. Pemandangannya lebuh
jelas tapi tetap saja dia tidak mengenali orang tua yang tegak di sampingnya.
"Kau siapa.... DI mana aku saat ini?" tanyanya. Suaranya lebih keras dan lebih
jelas. "Siapa aku tidak penting. Paling penting adalah menyelamatkan nyawamu saat
inijuga. Kau masinh ingin hidup.....?"
"Aku....." Supit Jagal merasakan lehernya seperti tercekik. Orang tua tadi
cepat-cepat kerahkan lagi tanaga dalam yang mengandung hawa sejuk.
BASTIAN TITO 19 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Dengar....." Si orang tua kini berlutut di samping balai-balai kayu. Mulutnya
didekatkan ke telinga kanan Supit Jagal. "Aku akan menyelamatkan nyawamu. Juga
saudaramu. Tapi dengan satu perjanjian! Dengan satu syarat!"
"Keparat....." terdengar serapah Supit Jagal. "Kau menolong karena
mengharapkan sesuatu! Bangsat!"
Orang tua tak dikenal berambut putih itu menyeringai. "Jaman sekarang mana
ada pertolongan diberikan Cuma-Cuma. Apalagi pertolongan menyangkut nyawa!"
"Apa yang kau harapkan dariku?" tanya Supit Jagal.
"Aku yakin kau mengetahui di mana bekas sobatmu Tunggul Bayana alias Ki
Ageng Tunggul menyembunyikan empat buah peti berisi uang dan harta perhiasan
itu!" "Setan alas! Jadi itu yang ingin kau ketahui....." kembali Supit Jagal merutuk.
"Kau tanyakan saja pada setan dan dedemit!"
"Kau lebih sayang uang dan harta dari pada nyawamu sendiri dan nyawa
saudaramu!"
"Aku tidak perlu pertolongan manusia macam kau! Aku lebih suka mampus
dari pada memberi tahu!"
"Bagus sekali kalau begitu!" kata si orang tua lalu berdiri. "Selamat mampus!
Sampaikan salamku pada iblis-iblis akhirat!" Lalu dia membalik dan melangkah
cepat menuju pintu. "Tunggu!" Supit Jagal memanggil.
Orang tau itu berhenti di ambang pintu dan membalik. Lalu bertanya "kau
belum pasrah untuk mampus"!"
"Aku mau membuat perjanjian denganmu. Tapi jangan serakah!"
Si orang tua mendekati balai-balai kayu. "Apa perjanjianmu?" tanyanya.
"Kau selamatkan nyawaku dan nyawa saudaraku. Empat peti itu kita bagi dua.
Kau dapat dua, aku dapat dua...."
Orang tua itu tampak seperti berpikir-pikir. Sesaat kemudian dia berkata.
"Baik. Aku setuju. Sekarang lekas katakan di mana beradanya empat peti itu!"
"Sabar dulu. Bagaimana aku tahu kau tidak akan menipuku?" tenya Supit
Jagal pula. Si orang tua tersenyum. "Kalau kau memang tidak percaya, buat apa
mengadakan perjanjian"!" tukasnya. Dia seperti hendak bergerak pergi.
Supit Jagal masih diam beberapa ketika. Akhirnya dia berkata. "Mendekatlah,
aku akan beritahu...."
Si orang tua mendekat. Seperti tadi dia berlutut di samping balai-balai kayu
dimana Supit Jagal tergeletak menelentang.
"Empat peti berharga itu ditanam di...."
Belum sempat Supit Jagal menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba di dalam
gubuk melesat satu sosok tubuh. Sambil melesat ke dalam dia melepaskan satu
pukulan jarak jauh yang ampuh. Orang tua yang sedang berlutut di samping balai-
balai kayu berseru kaget. Tubuhnya terpental begitu angin pukulan menghantamnya!
"Penyerang gelap kurang ajar! Siapa kau!" teriak orang tua berambut putih
sambil pegangi dadanya yang masih berdenyut sakit.
Terdengar suara tawa mengekeh.
BASTIAN TITO 20 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA Di tengah gubuk, di ujung kanan balai-balai kayu kini tampak berdiri seorang
lelaki muda bertubuh tinggi tegap. Rambutnya sangat hitam, keningnya menonjol
sedang dagu dan rahangnya tampak kukuh. Walaupun parasnya gagah tapi jelas
membayangkan sifat sombong angkuh dan kecongkakan. Sehelai ikat kepala warna
merah melintang di atas keningnya. Dia mengenakan pakaian hitam atas bawah.
Dengan adanya orang ini di tempat itu, gubuk kecil itu jadi semakin sempit. Kini
ada lima orangdi situ, ditambah dengan Supit Jagal dan Supit Irang yang masih
tergeletak di atas balai-balai.
Kakek Pungku yang memegang obor berbisik pada dua cucunya, bertanya
kalau-kalau mereka mengenali siapa adanya pemuda itu. Tapi Sindak Bumi dan Kudo
Aru sama menggelengkan kepala.
"Siapa kau"!" bentak orang tua berambut putih dengan geram karena barusan
telah diserang secara mendadak.
Pemuda yang ditanya mendongak lalu kembali keluarkan tawa mengekeh.
"Dunia ini terlalu luas rupanya hingga kau tidak tahu siapa tuan besarmu ini!"
"Kurang ajar! Jawab pertanyaanku, jangan bicara bertele-tele!"
"Orang tua jelek bergelar Sepuluh Cakar Setan, apakah kau tidak mengenali
gambar di bajuku ini"!"
Orang tua bermbut putih terkejut mendengar orang mengenali dan menyebut
namanya. Namun dia lebih terkejut lagi sewaktu melihat gambar yang terpampang di
baju hitam yang dikenakan si pemuda. Yaitu gambar Gunung Merapi berwarna
kebiruan dengan latar belakang sang surya berwarna merah lengkap dengan garis-
garis cahaya juga berwarna merah.
"Pangeran Matahari!" seru si orang tua dengan wajah berubah. Siapa adanya
orang di dunia persilatan yang tidak kenal dengan Pangeran Matahari, tokoh silat
sakti madraguna yang juga dikenal dengan julukan Pendekar Segala Cerdik, Segala Akal,
Segala Ilmu, Segala Licik dan Segala Congkak.
Pemuda di tengah gubuk kembali tertawa. Kepalanya yang sejak tadi
mendongak kini diturunkan. Kedua matanya memandang lekat-lekat pada orang tua
yang bergelar Sepuluh Cakar Setan itu.
"Aku menganggap kau tidak punya kepentingan apa-apa lagi di sini.
Karenanya lekas angkat kaki dari sini!" kata Pangeran Matahari dengan suara
keras membentak. "Siapa bilang aku tidak punya kepentingan! Apa pula kepentinganmu berada
di sini"!" membentak Sepuluh Cakar Setan.
"Aku datang untuk mengambil dua orang di atas balai-balai kayu iotu!" jawab
Pangeran Matahari. "Itu kepentingan pertama. Kepentingan kedua ialah
membunuhmu jika kau terlalu banyak tingkah di depan tuan besarmu ini!"
"Manusia sombong! Namamu memang besar. Tapi apa kau kira aku takut
padamu"!" hardik Sepuluh Cakar Setan. Jari-jari tangannya tampak bergetar tanda
diam-diam dia telah bersiap-siap mengerahkan tenaga dalamnya.
Hal ini bukan tidak diketahui oleh Pangeran Matahari. Sambil menyeringai dia
menjawab. "Soal takut atau tidak takut tidak menjadi masalah. Yang aku ingin
tanya apakah kau punya nyawa rangkap atau nyawa cadangan hingga berani-beranian
menentang tuan besarmu ini"!"
BASTIAN TITO 21 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Manusia congkak! Ternyata kau juga punya maksud hendak merampas uang
dan harta yang tersembunyi itu! Kau tidak lebih dari seorang maling. Pencuri!"
"Lalu apakah kau lebih baik dariku"!" bentak Pangeran Matahari. Pelipisnya
tampak bergerak-gerak sedang rahangnya menggembung. Ini satu pertanda bahwa dia
mulai kehilangan kesabarannya. "Dengar tua bangka buruk. Kau mau angkat kaki
dari sini atau ingin mampus dalam gubuk ini"!"
Sepuluh Cakar Setan mendengus. Kedua tangannya disilangkan di depan dada.
"Kau akan jadi mayat lebih dulu!" katanya. Dua tangannya yang bersilang bergerak
ke samping. Terdengar siuran angin. Sepuluh cahaya putih berkiblat. Sepuluh kuku
panjang tiba-tiba menyambar ke arah wajah Pangeran Matahari!
Pangeran Matahari yang sudah cukup lama mendengar kehebatan Sepuluh
Cakar Setan degnan sigap melompat hindarkan serangan. Begitu berhasil berkelit
dia bukannya balas menyerang tapi tiba-tiba menyambar obor yang dipegang kakek
Pungku. Sekali dia meniup, obor kecil itupun padam. Gubuk serta merta berada
dalam keadaan gelap gulita. Lalu terdengar suara bergedebukan disusul seperti suara
tulang- tulang berpatahan, dibarengi oleh suara pekik kakek rambut putih berjuluk
Sepuluh Cakar Setan. Tak lama kemudian menyusul suara jebolnya dinding gubuk di sebelah
belakang. Lalu sunyi.
Kakek Pungku dan dua cucunya saat itu terpuruk di sudut gubuk setengah
mati ketakutan. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi karena keadaan dalam
gubuk sangat gelap. Setelah menunggu beberapa saat Sindak Bumi memberanikan berbisik.
"Sebaiknya lekas tinggalkan tempat ini. Melangkah hati-hati ke arah pintu...."
Perlahan-lahan kakek dan dua cucunya itu bangkit berdiri. Dalam gelap
mereka berusaha mencari pintu. Kudo Aru menginjak sesuatu. Dia berbisik pada
saudaranya. "Aku menginjak sesuatu. Seperti bambu obor...."
"Ambil, nyalakan cepat," menyahuti Sindak Bumi.
Kudo Aru lalu membungkuk. Benda yang diinjaknya itu memang ternyata
obor yang rupanya telah dicampakkan oleh Pangeran Matahari. Benda itu segera
dinyalakannya. Begitu keadaan gubuk menjadi terang, kakek dan dua cucunya itu
sama-sama melengak kaget.
Kakek berambut putih bergelar Sepuluh Cakar Setan kelihatan tergelimpang di
lantai gubuk. Mukanya hancur. Sepuluh jari tangannya tampak patah-patah!
"Dia sudah jadi mayat...." kata kakek Pungku.
Kudo Aru mangangkat obornya lebih tinggi. Balai-balai di atas mana
sebelumnya Supit Jagal dan Supit Ireng tergeletak kini terbalik kosong
melompong. Lalu di sebelah sana, dinding gubuk tampak jenol.
"Orang yang dipanggil dengan nama Pageran Matahari itu, pasti dia yang
melarikan dua sosok tubuh di atas balai-balai!" kata Sindak Bumi.
"Aku kawatir akan terjadi lagi hal-hal yang mengerikan. Mari kita tinggalkan
tempat celaka ini!" kata Kudo Aru. Dia memandang pada kakeknya lalu berkata.
"Ini gara-garamu kek. Kalau kau tidak membawa dua orang tak dikenal itu ke sini,
tidak akan terjadi segala keanehan yang mengerikan ini!"
Kakek Pungku diam saja. Dia mendahului melangkah ke luar gubuk yang
nyaris porak poranda itu.
Manusia bermuka setan, kakak kembar Ki Ageng Tunggul Bayana tegak di
depan makam adiknya. Saat itu matahari telah redup tanda sebentar lagi akan
segera tenggelam. "Tunggul sekarang kau bisa istirahat dengan tenang. Aku telah bersumpah
untuk menuntut balas kematianmu. Semua orang yang menjadi pangkal sebab
BASTIAN TITO 22 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
kematianmu akan menerima balasan!" Habis berkata begitu orang ini lalu mundur
tiga langkah dari hadapan kuburan. Mulutnya berkomat kamit sedang kedua tangannya


Wiro Sableng 070 Ki Ageng Tunggul Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diletakkan di atas kepala. Sepasang matanya dipejamkan. Tiba-tiba terjadi hal
yang aneh. Sekujur tubuh itu bergetar keras dan dari mulutnya terdengar suara seperti
menggereng terus menerus.
"Eyang..... di alam gaib. Aku mohon kehadiranmu. Aku butuh petunjuk...."
orang ini berucap.
Sayup-sayup terdengar suara seperti tiupan angin. Lalu laksana datang dari
sebuah lobang yang dalam dan bergema, terdengar suara jawaban.
"Aku sudah ada di hadapanmu Tunggul, apa keperluanmu"!"
"Eyang, aku mohon petunjuk. Dari mana aku harus memulai mencari para
pembunuh adikku Ki Ageng Tunggul Bayana...." Saat itu sekujur tubuhnya masih
terus bergetar.
"Katakan dulu apa tujuanmu"!" tanya suara yang orangnya tak kelihatan itu.
"Dengan izinmu aku hendak menuntut balas kematian adikku, Eyang...."
"Bagus! Kau memang saudara kembar yang baik. Petunjukku, kembalilah ke
Teluk Burung. Cari sebuah gubuk. Di sana kau akan menemukan jawabannya. Tapi
kau harus bertindak cepat. Aku kawatir ada orang lain yang bakal mendahuluimu."
"Kalau begitu aku pergi sekarang juga Eyang...."
"Baik, kau boleh pergi. Tapi dengar dulu ucapanku. Kini kau yang mewakili
rohnya di atas dunia ini. Kau layak memakai nama yang menyerupai namanya.....
Kau bersedia?"
"Tentu aku bersedia Eyang."
"Mulai saat ini namamu adalah Ki Ageng Tunggul Akhirat. Tugasmu
mengirim ke akhirat orang-orang yang menjadi sebab kematian adikmu. Kau dengar
dan mengerti?"
"Aku dengar dan mengerti Eyang."
"Bagus. Satu hal aku ingatkan. Saat untuk memberikan tumbal hanya tinggal
lima belas hari saja. Jangan kau sampai lupa melaksanakannya."
"Hal itu tidak akan aku lupakan Eyang."
"Aku pergi sekarang!"
Orang itu cepat menjura.
Terdengar suara aingin bersiur. Untuk sesaat lamanya sekujur tubuh orang itu
masih bergetar. Lalu perlahan-lahan getaran itu berhenti. Dia buka kembali kedua
matanya dan turunkan kedua tangan yang diletakkan di atas kepala. Disekanya
keringat yang memercik di keningnya. Lalu dia melangkah ke tempat di mana dia
menambatkan kudanya. Binatang ini dipacunya ke arah Teluk Burung secepat yang
bisa dilakukannya sementara matahari mulai tenggelam dan malam akan segera
datang. Karena gubuk yang dikatakan suara gaib itu merupakan satu-satunya
bangunan di Teluk Burung, tidak sulit bagi Ki Ageng Tunggul Akhirat untuk
menemukannya. Namun seperti yang dikawatirkan oleh suara gaib, dia datang
terlambat. Ketika dia sampai di depan gubuk dilihatnya tiga orang tengah
melangkah ke luar. Satu di antaranya membawa obor. Ki Ageng Tunggul Akhirat melompat dari
kudanya dan menghadang.
"Berhenti!" hardiknya yang membuat kakek Pungku dan dua cucunya menjadi
terkejut dan kecut begitu menyaksikan mengerikannya tampang manusia yang tiba-
tiba muncul melompat dari kudanya itu. "Kalian bertiga siapa"! Kulihat kalian
barusan keluar dari dalam gubuk!"
"Kau....kau sendiri siapa?" Kudo Aru beranikan diri bertanya.
BASTIAN TITO 23 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Ki Ageng Tunggul Akhirat langsung membentak marah. "Haram jadah!
Ditanya malah bertanya. Apa aku harus menggebuk dlu salah satu dari kalian
sampai mampus dan baru kalian memberi tahu"!"
Kakek Pungku cepat berkata. ?"Maafkan cucuku. Kami baru saja mengalami
satu peristiwa yang mengerikan. Sesuatu terjadi di dalam sana....." Orang tua itu
menunjuk ke arah gubuk.
"Aku akan memeriksa ke dalam gubuk itu. Kalian bertiga tetap di sini. Berani
lari akan kubunuh kalian semua!" Lalu Ki Ageng Tunggul Akhirat menyambar obor
di tangan Kudo Aru dan lari ke arah gubuk. Begitu masuk ke dalam gubuk yang
salah satu dindingnya sudah jebol itu, sesaat dia jadi tercekat. Di balik balai-balai
kayu dia menemukan sesosok tubuh manusia yang sudah jadi mayat. Mukanya hancur tak
mungkin dikenali. Namun dari jari-jarinya yang panjang serta gambar telapak
tangan berkuku panjang di dada bajunya Ki Ageng Tunggul Akhirat dapat menduga siapa
adanya orang itu.
"Sepuluh Cakar Setan. Siapa gerangan yang membunuhnya....?" Ki Ageng
Tunggul Akhirat membatin. Dia memandang seputar gubuk, akhirnya keluar dan
menemui tiga orang yang tetap berada di tempatnya, tak berani beranjak saking
takutnya. "Ceritakan apa yang terjadi di gubuk sana sebelumnya!" membentak Ki
Ageng Tunggul Akhirat.
Kakek Pungku menerangkan walaupun dengan ucapan terputus-putus.
"Orang yang dipanggil dengan nama Pangeran Matahari itu, apakah dia
mengenakan pakaian hitam, berikat kepala kain merah dan bertubuh tinggi kekar?"
Kakek Pungku mengangguk. "Kalian tahu mengapa dia menginginkan dua
orang yang berada dalam keadaan pingsan itu?"
"Kami tidak tahu," jawab kakek Pungku.
"Juga tidak tahu mengapa orang berjuluk Sepuluh Cakar Setan itu berusaha
menolong orang-orang pingsan"!"
"Kami mendengar dia menanyakan sesuatu. Tapi tidak begitu jelas...." kata
Sindak Bumi. "Apa yang ditanyakannya" Pada siapa"!"
"Pada salah seorang yang pingsan. Dia berusaha membuatnya sadar lalu
menanyakan sesuatu. Kalau tidak salah menyangkut uang dan harta perhiasan...."
Ki Ageng Tunggul Akhirat tampak berubah dan tegang wajah setannya. "Apa
dia mendapatkan jawaban"!" tanyanya pada Sindak Bumi.
"Orang yang pingsan hendak mengatakan sesuatu. Tapi terputus sewaktu
Pangeran Matahari menerobos masuk....."
Ki Ageng Tungul Akhirat terdiam.
"Kalau tak ada pertanyaan lagi, izinkan kami pergi....." kata Kudo Aru pula.
"Tunggu! Kalian tahu kemana Pangeran Matahari membawa kedua orang
yang diculiknya itu"!"
Kakek Pungku dan dua cucunya menggeleng.
Ki Ageng Tunggul Akhirat memandang pada kakek Pungku yang membuat
orang tua ini seperti terbang nyawanya saking ngerinya. "Orang tua.... Tadi kau
bilang kau menemukan dua manusia yang masih hidup itu di antara tebaran mayat di pantai
Teluk Burung.....?"
"Betul..... Tapi aku tidak tahu siapa mereka. Aku menolong karena meliohat
hanya mereka berdua yang masih hidup....."
"Kalian boleh pergi." Kata Ki Ageng Tungul Akhirat pula. Lalu dia melompat
ke punggung kudanya, memacu binatang itu menuju Teluk Burung. Di pantai dia
menunggu sampai hari siang. Begitu paginya sang surya muncul dan pantai menjadi
BASTIAN TITO 24 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
terang dia memeriksa tebaran mayat yang malang melintang di tempat itu. Setelah
memastikan bahwa yang lenyap dari tempat itu adalah sosok tubuh Supit Jagal dan
Supit Ireng, Ki Ageng Tunggul Akhirat segera tinggalkan tempat itu. Sementara
burung-burung pemakan mayat mulai tampak terbang berputar-putar di atas teluk.
BASTIAN TITO 25 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TIGA Malam gelap sekali. Langit hitam pekat tanpa bintang tanpa rembulan. Gerobak
itu meluncur melewati jalan yang mendaki hingga akhirnya sampai di puncak sebuah
bukit terjal. Di bawah bukit terbentang sebuah jurang batu. Lapat-lapat dari
dasar jurang yang gelap terdengar suara aliran air tanda di situ terdapat sebuah
sungai. Orang yang menjadi sais gerobak hentikan kendaraannya di tepi jurang. Wajahnya
yang seram seperti setan menjadi pertanda bahwa dia bukan lain adalah Ki Ageng
Tunggul Akhirat, kakak kembar Ki Ageng Tunggul Keparat yang mati dibunuh Supit
Jagal dan Supit Ireng.
Di tepi jurang Ki Ageng Tunggul Akhirat sesaat tegak berdiam diri. Kedua
matanya, yang satu menyembul merah mengerikan memandang ke dalam jurang yang
gelap hitam. Lalu dia mendongak. Mulutnya komat kamit. Kedua tangannya di
letakkan di atas kepala. Tak lama kemudian tubuh itu mulai tampak bergetar.
Dalam kesunyian malam lalu terdenagr suara Ki Ageng Tunggul Akhirat.
"Eyang, mohon kau segera muncul. Aku datang untuk melaksanakan
perjanjian. Membawa tumbal yang kau minta......"
Sunyi sesaat. Suara Ki Ageng Tunggul seperti bergema, memantul dari dasar
jurang. Lalu ada suara siurang angin. Tak lama kemudian terdengar suara seolah
keluar dari dalam jurang dan bergaung angker.
"Aku sudah berada di hadapanmu. Jika kau memang sudah membawa tumbal,
lekas laksanakan perjanjian!"
Ki Ageng Tunggul Akhirat menjura. Lalu dia memutar tubuh, melangkah ke
arah gerobak. Dari atas kendaraan ini dikeluarkannya sesosok tubuh perempuan
muda dalam keadaan hamil besar dan dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tubuh itu
dipanggulnya dibawa ke tepi jurang.
"Eyang, satu tubuh dua nyawa siap dijadikan tumbal!" berseru Ki Ageng
Tunggul Akhirat. "Apakah Eyang sudah siap emnerima?"
"Aku siap menerima. Lemparkan tumbal itu ke dalam jurang!"
Ki Ageng Tunggul Akhirat pegang tubuh perempuan hamil pada bagian
pinggang dan lehernya. Ketika dia hendak melemparkan sosok tubuh itu ke dalam
jurang yang gelap, tiba-tiba dari kiri kanan terdengar bentakan-bentakan keras.
"Manusia keparat! Kali ini kami menangkap basah kamu!"
"Turunkan tubuh perempuan itu ke tanah! Kalau tidak kutabas batang
lehermu!" Sebuah benda tajam tiba-tiba menempel dingin di tengkuk Ki Ageng
Tunggul Akhirat.
Bentakan ketiga menyusul. "Nyawa anjingmu tidak tertolong lagi! Bebaskan
perempuan hamil itu! Letakkan perlahan-lahan di tanah!"
Ki Ageng Tunggul Akhirat memandang ke bawah. Sebuah celurit besar
menempel di lambungnya. Sekujur tubuhnya yang gemeteran langsung tertegun kaku.
Mulutnya berkomat kamit, siap untuk memanggil sang Eyang. Tapi makhluk gaib itu
telah lenayp bersamaan dengan putusnya getaran di tubuh Ki Ageng Tunggul.
"Kalian siapa"! Mengapa mencampuri urusanku"!" Ki Ageng Tunggul
Akhirat membentak. Rupanya dia memang bukan jenis manusia penakut.
"Aku Jelamat Kuru Seta, dari Kotaraja mewakili Kerajaan!" Orang yang
menekankan golok ke tengkuk Ki Ageng Tunggul Akhirat menjawab.
BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Aku Tubagus Gamyang, berjuluk Clurit Hantu dari Barat!" Orang kedua
perkenalkan diri. Dialah yang menyorongkan clurit besar ke perut Ki Ageng
Tunggul Akhirat. Orang ketiga menyusul membuka mulut. Aku Gambir Seloka dari Timur.
Kami bertiga mewakili orang-orang persilatan untuk menamatkan riwayatmu!
Menamatkan pekerjaan iblismu!"
"Jika kalian orang-orang persilatan mengapa kalian mengeroyok kawan
sendiri"!" tukas Ki Ageng Tunggul Akhirat.
"Cis! Siapa menganggapmu sebagai kawan! Pekerjaanmu terkutuk sepanjang
usiamu! Kau mengandalkan ilmu hitam dengan mengorbankan perempuan hamil
sebagai tumbal! Kau tidak beda dengan binatang berhati iblis! Budak ilmu hitam
terkutuk!" kata Jelamat Kuru Seta.
"Kalian tidak bijaksana! Menuntut ilmu bisa dengan berbagai cara! Lekas
kalian pergi dari sini!"
"Dengan manusia laknat macam kalain tidak perlu segala kebijaksanaan!"
jawab Tubagus Gamyang.
"Bersiaplah untuk mampus. Tapi turunkan dulu perempuan hamil itu!" berkata
Gambir Seloka. Ki Ageng Tunggul Akhirat tertawa perlahan.
"Kalau kalian mau perempuan hamil ini silahkan ambil sendiri! Tapi dengar!
Sedikit saja kalian berani bergerak, kupatahkan batang leher perempuan ini!"
"Tubagus Gamyang, bagaimana pendapatmu"!" bertanya Gambir Seloka.
"Sekali ini biar kita mengepit kepala harimau. Satu korban tidak jadi apa.
Sekali bengsat keparat ini mampus berarti kita menyelamatkan puluhan perempuan
hamil lainnya!" jawab Tubagus Gamyang sambil mempererat pegangannya pada hulu
Clurut Hantunya.
"Kau dengar sendiri manusia iblis! Kematian sudah di depan mata!" kata
Gambir Seloka pula.
Dua senjata bergerak. Satu jotosan keras menderu ke arah jantung. Namun
sesaat sebelum semua gerakan itu terjadi, dengan nekad Ki Ageng Tunggul Akhirat
membuang dirinya ke dalam jurang. Kedua tangannya yang memegang tubuh
perempuan hamil itu secara serentak melemparkan tubuh itu ke dalam jurang.
"Brett!"
Clurit Tubagus Gamyang masih sempat merobek pakaian dan melukai perut
Ki Ageng Tunggul Akhirat. Darah mengucur. Tapi dia selamat dari tabasan golok
dan jotosan maut. Dalam gelap tubuhnya jatuh ke bawah jurang.
Dalam keadaan seperti itu Ki Ageng Tunggul Akhirat letakkan kedua
tangannya di atas kepala. Matanya dipejamkan dan mulutnya komat kamit dengan
cepat. "Eyang, aku dalam bahaya! Aku butuh pertolonganmu!" teriak Ki Ageng
Tunggul Akhirat. Sekujur tubuhnya kini bergetar keras.
Sesiur angin menerpa. Lalu Ki Ageng Tunggul Akhirat merasa ada dua tangan
yang tidak kelihatan yang menangkap tubuhnya. Seperti diajak melayang, tubuh
lelaki ini meluncur ke bagian Timur jurang sementara tubuh perempuan hamil tadi jatuh
terhempas di dasar jurang, disambut oleh batu-batu besar.
Ki Ageng Tunggul merasakan dua tangan yang tidak kelihatan
membaringkannya di tanah, di tepi jurang.
"Terima kasih Eyang, kau menyelamatkanku....." kata Ki Ageng Tunggul
Akhirat, lalu dia cepat bangkit dan menjura dalam.
BASTIAN TITO 27 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Tugasmu sekarang adalah membunuh ketiga orang itu Ki Ageng! Lakukan
cepat! Manusia-manusia pengacau seperti itu bisa menyusahkanmu dan aku jika
tidak segera dihabisi!"
"Akan saya lakukan Eyang. Mohon Eyang menolong luka di perutku ini.
Darahnya masih mengucur!"
"Hanya luka kecil saja mengapa harus ditakutkan!"
Ki Ageng Tunggul Akhirat merasakan satu tangan yang tidak kelihatan
mengusap luka bekas sambaran clurit di lambungnya. Aneh! Begitu diusap luka itu
sembuh bahkan hampir tanpa bekas sama sekali!
Ki Ageng Tunggul Akhirat menjura kembali seraya mengucapkan terima
kasih. Lalu dia berdiri dan bepaling ke arah Barat jurang di mana tiga orang
yang tadi hendak membunuhnya berada.
Sementara itu di tepi jurang sebelah Barat, Jelamat Kuru Seta dan dua orang
kawannya sama-sama kaget dan tak menduga. Mereka memandang ke arah jurang
yang dalam gelap. Mereka tidak mampu menembus kegelapan malam dan tak dapat
melihat apa yang terjadi di bawah sana.
"Iblis nekad!" kata Jelamat Kuru Seta bergumam.


Wiro Sableng 070 Ki Ageng Tunggul Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Keparat itu pasti sudah hancur di dasar jurang!" kata Tubagus Gamyang pula
yang merasa agak puas karena sebelumnya masih sempat menorehkan cluritnya.
"Aku yakin dia sudah mampus di dasar jurang. Hanya sayang kita tidak
sempat menyelamatkan perempuan hamil yang dijadikan tumbal ilmu hitamnya!"
Ketiganya diam sejenak.Akhirnya Tubagus Gamyang mengajak kedua
kawannya meninggalkan tampat itu. Mereka hendak menyelinap ke tempat
sebelumnya mereka menyembunyikan kuda masing-masing. Namun belum sempat
bergerak tiba-tiba satu sosok tubuh menghadang. Laksana melihat setan begitulah
kagetnya tiga orang ini.
"Kau!" seru Gambir Seloka.
"Jadi kau belum mampus di dasar jurang sana!" ujar Jelamat Kuru Seta.
Tubagus Gamyang maju selangkah untuk memastikan. "Kalau kau punya
nyawa setan, saat ini juga aku akan mengakhiri kebejatanmu!" Dia cabut cluritnya
yang masih berdarah lalu menerjang sambil menabaskan senjata itu ke leher Ki
Ageng Tunggul Akhirat. Dua kawannya tidak tinggal diam. Ikut menyerbu!
BASTIAN TITO 28 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
EMPAT Begitu clurit bedar di tangan Tubagus Gamyang menyambar ke leher, golok dalam
genggaman Jelamat Kuru Seta menyusul menderu ke arah dada. Dari jurusan lain
Gambir Seloka yang mengandalkan tangan kosong, menghantamkan satu jotosan ke
batok kepala Ki Ageng Tunggul Akhirat!
Yang diserang keluarkan tawa bergelak. Dia letakkan kedua tangan di atas
kepala. Mulutnya berkomat kamit. Dalam hatinya dia membatin. "Eyang tolong
diriku menghadapi tiga manusia keparat ini!" Sekujur tubuh Ki Ageng Tunggul Akhirat
bergetar. Lalu tubuh itu membuat gerakan luar biasa cepatnya hingga tiga
penyerang hanya seperti melihat bayang-bayang dalam kegelapan malam. Tiga serangan
mengenai tempat kosong. Golok dan clurit malah sempat saling bentrokan. Ketiga
orang itu terkejut dan sama bersurut. Saat itulah terjadi neraka bagi ketiganya.
Gambir Seloka menjerit keras sewaktu satu tendangan menghantam perutnya.
Tubuhnya mencelat sejauh dua tombak lalu terkapar di tanah. Anggota badannya
tersentak-sentak. Tubhnya di bagian dalam terluka parah.
Tubagus Gamyang berusaha membabatkan cluritnya ke arah bayang-bayang
Ki Ageng Tunggul Akhirat yang dilhatnya di sebelah depan. Namun saat itu terasa
ada sambaran angin di samping kanannya. Lalu tahu-tahu tangan kanannya
ditelikung orang ke belakang. Bagaimanapun dia berusaha melepaskan diri namun sia-sia saja.
"Kraakk!"
Sambungan bahu Tubagus Gamyang berdrak tanggal. Tokoh silat dari barat
ini menjerit setinggi langit. Suara jeritannya menggema sampai ke dasar jurang.
Clurit besar lepas dari pegangannya. Selagi dia terhuyung-huyung kesakitan setengah
mati tiba-tiba tubuhnya terasa diangkat orang lalu dilemparkan ke depan, tepat pada
saat mana golok di tangan Jelamat Kuru Seta berkelebat!
Tubagus Gamyang berteriak keras. Jelamat Kuru Seta berseru tegang dan
berusaha menarik tangannya namun serangannya terlalu deras. Goloknya tanpa bisa
ditahan membacok tepat di pangkal leher teman sendiri. Raungan Tubagus Gamyang
mengerikan. Darah muncrat dari lehernya yang nyaris putus. Tubuhnya terhuyung
sesaat lalu roboh.
"Jahanam!" teriak Jelamat Kuru Seta. Dengan golok berdarah dia membacok
ke arah sosok tubuh Ki Ageng Tunggul Akhirat. "Mampus kau!" teriak orang
Kerajaan ini. Dia yakin goloknya akan membuat luka dalam pinggang lawan. Tetapi
astaga! Kejutnya bukan alang kepalang. Dia seperti membacok air atau membabat
bayang-bayang. Goloknya lewat dengan suara menderu. Bayangan Ki Ageng
Tunggultampak berputar dalam gelap. Lalu terdengar tawa bergelak. Di lain kejap
tahu-tahu batang lehernya dicengkeram keras. Dengan kalap Jelamat Kuru Seta
membacokkan goloknya pulang balik. Dia hanya membabat angin. Cekikan di
lehernya mengencang hingga lidahnya terjulur dan sepasang matanya mencelat ke
luar. Tubuhnya tiba-tiba terangkat lalu, "Kreeeekkkk!" Dalam keadaan terangkat
batang lehernya dipuntir. Tulang lehernya berderak patah. Jelamat Kuru Seta
sudah lepas nyawanya sebelum tubuhnya roboh tergelimpang di tanah.
Bayangan tubuh Ki Ageng Tunggul Akhirat kelihatan utuh dan nyata kembali.
Dia bergerak menghampiri mayat Tubagus Gamyang dan Jelamat Kuru Seta. Satu
demi datu sosok tanpa nyawa itu ditendangnya hingga terjungkal masuk kedalam
jurang. Sewaktu dia menghampiri sosok Gambir Seloka, terdengar orang ini
berteriak. "Jangan! Jangan tendang diriku!"
BASTIAN TITO 29 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Dalam gelap tampang Ki Ageng Tunggul Akhirat tampak menyeringai.
"Belum mampus kau rupanya!" Dia melangkah lebih dekat.
"Jangan bunuh diriku Ki Ageng! Jangan.....!" teriak Gambir Seloka ketakutan
setengah mati. "Jangan takut. Kau memang kubiarkan hidup! Untuk menjaga dua mayat
temanmu dalam jurang sana! Nah kau susullah mereka!"
Kaki kanan Ki Ageng Tunggul Akhirat menendang.
"Dukk!"
Tubuh Gambir Seloka mencelat dalam gelap. Suara jeritannya menggidikkan
ketika tubuhnya melayang ke dasar jurang yang kelam pekat!
"Eyang....." desis Ki Ageng Tunggul Akhirat "Terima kasih kau telah
menolongku!" Tubuhnya yang keringatan tampak berhenti bergetar. Seperti orang
yang baru sadar apa yang telah dilakukannya dia memandang berkeliling, mengusap
mukanya beberapa kali lalu melangkah menuju gerobak yang ditinggalkannya tak
jauh dari tepi jurang.
BASTIAN TITO 30 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
LIMA Dua orang kakek berwajah cacat mengerikan itu bersujud di depan Pangeran
Matahari yang duduk di atas sebuah gundukan batu berwarna merah kecoklatan dalam
goa di pantai Selatan.
"Kalian boleh duduk kembali!" berkata Pangeran Matahari.
Supit Jagal dan Supit Ireng lantas bangkit dan duduk bersila di depan sang
Pangeran. "Kalian sudah tahu berada di mana, sudah tahu siapa aku, sudah mendengar
ceritaku apa yang telah terjadi dengan diri kalian kakak adik. Sebelum aku
melanjutkan bicara apakah kalian ingin bertanya atau mengatakan sesuatu?"
Supit Ireng berpaling pada kakaknya yaitu Supit Jagal. "Kau saja yang
bicara," katanya perlahan.
Supit Jagal mendehem beberapa kali lalu membuka mulut. "Kami sudah
mendengar apa yang terjadi. Sudah tahu apa yang Pangeran lakukan terhadap kami.
Kami tentu saja merasa berhutang budi dan nyawa. Karena itu kami berdua kakak
dan adik pantas tunduk menyerahkan diri pada Pangeran...."
"Bagus, kalian adalah tua bangka yang tahu diri!" kata Pangeran Matahari
pula. Pada keadaan yang berbeda, disebut sebagai tua bangka dua kakek berwajah
setan itu pasti akan marah, mungkin mengamuk. Namun terhadap sang Pangeran yang
telah menyelamatkan nyawa mereka, keduanya bersikap tunduk.
"Penyerahan diri dan sikap tunduk kalian sudah sepantasnya. Aku menerima
hal itu. Namun aku tak ingin hanya sampai di situ!" kata Pangeran Matahari pula.
"Apapun yang Pangeran minta dari kami akan kami berikan. Nyawa
sekalipun!" kata Supit Ireng.
Pangeran Matahari mendongak lalu terdengar tawanya bergema dalam goa
batu itu. "Aku menolong kalian agar bisa hidup. Sesudah hidup masakan aku akan
meminta nyawa kalian kembali" Jangan bersikap dan bicara tolol. Aku tidak suka
pada manusia-manusia tolol!"
"Maafkan kami Pangeran," kata Supit Jagal dan Supit Ireng hampir
berbarengan . "Aku menyirap kabar bahwa seorang penjahat bernama Ki Ageng Tunggul
menyembunyikan bebrapa peti hasil rampasan berisi harta perhiasan dan uang emas
tak ternilai harganya. Kalian pernah tahu siapa adanya manusia itu?"
Dalam hati Supit Jagal dan Supit Ireng merasa heran bagaimana sang
Pangeran tahu tentang empat peti yang berisi barang serta uang itu.
"Kami memang kenal orang itu, Pangeran," menjawab Supit Ireng. "Manusia
itu sudah menemui ajal. Tewas di tangan kami berdua...."
"Sayang.....sayang sekali," ujar sang Pangeran. "Tetapi apakah kalian tahu di
mana dia menyembunyikan harta kekayaan itu?"
"Harap dimaafkan. Kalau soal harta perhiasan dan uang emas sebanyak empat
peti itu kami tidak tahu menahu," jawab Supit Jagal.
"Hemmm....." Pengeran Matahari usap-usap dagunya yang kokoh. "Kalian
tidak berdusta padaku?" Pandangan mata Pangeran Matahari yang tajam seperti
menusuk membuat dua kakek itu diam-diam jadi berdebat juga. Akhirnya Supit Irang
membuka mulut menjawab.
BASTIAN TITO 31 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Pangeran telah menyelamatkan kami. Masakan kami berani berbohong?"
Pangeran Matahari mengangguk-angguk. "Kalian sebentar lagi boleh pergi
dengan bebas. Namun ada satu tugas yang harus kalian lakukan untukku!"
"Kami berdua siap menerima dan menjalankan tugas itu. Pangeran tinggal
menyebutkan saja," kata Supit Jagal pula.
"Tugasmu cukup berat. Karena itu aku akan memberikan kekuatan tenaga
dalam tambahan paa kalian serta ilmu pukulan Telapak Merapi. Walau kalian hanya
mempelajari dalam satu minggu namun dengan pengalaman serta tambahan tenaga
dalam kalian pasti bisa mempergunakannya."
"Terima kasih Pangeran mau dan percaya memberikan tugas pada kami. Kami
menunggu...." kata Supit Jagal.
"Kalian berdua aku tugaskan untuk mencari dan membunuh seorang pemuda
bernama Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, murid
seorang nenek sakti dari Gunung Gede....."
Supit Jagal dan Supit Ireng sama-sama saling pandang.
"Ada apa"!" menegur Pangeran Matahari.
Yang menjawab Supit Jagal. "Justru pemuda satu itu adlah musuh besar yang
memang hendak kami singkirkan dari muka bumi. Lihat luka di leher adikku, juga
tangan kirinya yang buntung. Pemuda edan itulah yang jadi pangkal bahala!"
Pangeran Matahari tersenyum lebar.
"Apa kalian punya musuh-musuh lain?"
"Betul, memang ada Pangeran. Seorang kakek sakti bernama Empu Pamenang.
Degnan izin Pangeran kami berniat untuk membunuhnya! Kakek ini punya hubungan
cukup dekat dengan Wiro. Wiro sendiri tidak mudah untuk dicari karena selalu
gentayangan kian ke mari. Kami mohon petunjuk Pangeran lebih lanjut."
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 memang sulit dicari karena tidak pernah
diam di satu tempat. Tetapi dengan sedikit akal kita bisa memancingnya keluar.
Kau bunuh dulu Empu Pamenang. Dalam waktu singkat dia pasti akan muncul!"
Supit Jagal dan Supit Ireng mengangguk-angguk. Mereka menyatakan pujian
atas kecerdikan sang Pangeran.
"Kalian berdua boleh pergi," kata Pangeran Matahri pula seraya berdiri. Supit
Jagal dan Supit Ireng bersujud di depan kaki Pangeran Matahari. Ketika mereka
mengangkat kepala kembali tenyata Pangeran itu tidak ada lagi di dalam goa!
"Dulu aku sering merasa sebagai orang paling jago di dunia. Ternyat di depan
Pangeran Matahari aku merasa kecil sekali."
Supit Jagal tertawa mendengar ucapan adiknya itu. Sambil memegang bahu
Supit Jagal dia berkata "Ada satu ujar-ujar yang mengatakan bahwa di atas langit
ada langit lagi!"
Keduanya sampai di luar goa.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Supit Ireng.
"Berjalan saja terus. Kalau sudah jauh dari goa baru kita bicara lagi," jawab
Supit Jagal. "Hemmm..... kau mengkhawatirkan sesuatu, Jagal?"
"Setan! Kataku nanti saja kita bicara kalau sudah jauh dari goa!" Supit Jagal
mendamprat marah lalu mulai berlari. Sang adik jadi diam. Dia segera berlari
pula menysul kakaknya.
Setelah meninggalkan goa cukup jauh, begitu memasuki rimba belantara Supit
Ireng ajukan pertanyaan. "Apa di sini kau rasa masih kurang aman untuk bicara?"
Supit Jagal hentikan larinya. Sambil melangkah dia berkata.
BASTIAN TITO 32 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Ingat ucapan Pangeran Matahri tadi" Dia tidak suka pada orang-orang tolol!
Apa dia menyangka kita ini memang tolol"!"
"Apa maksudmu Supit Jagal?"
"Tentang empat buah peti berisi harta perhiasan dan uang itu," jawab Supit
Jagal. "Kita berhasil mengelabuhinya dengan mengatakan tidak tahu menahu tentang
barang-barang itu. Dan dia percaya saja. Siapa yang tolol. Dia atau kita"!" Dua
kakek muka setan kakak beradik itu tertawa gelak-gelak.
Tapi Supit Ireng segera hentikan tawanya dan berkata. "Apa bisa dijamin
bahwa Pangeran Matahari benar-benar percaya pada keterangan kita. Bahwa kita
tidak tahu menahu tentang empat peti itu?"
"Eh, apa maksudmu?" tanya Supit Jagal.
"Manusia satu itu berotak cerdik, licin, berilmu tinggi dan panjang akal. Kita
harus hati-hati. Wajahnya bisa saja tampak tersenyum tetapi hatinya menjanjikan
kematian!"
"Kalau begitu berarti kita harus segera ke Pasirginting," kata Supit Jagal.
Supit Ireng menggeleng.
"Sialan! Apa maksudmu dengan gelengan itu?"
"Aku kawatir Pangeran Matahri sengaja melepas kita pergi. Lalu diam-diam
menguntit. Kalau kita langusng menuju Pasirginting dan mengambil peti-peti
berharga itu lalau dia memergoki, tamatlah riwayat kita!"
Supit Jagal terdiam sesaat. "Kupikir-pikir kita berdua dia sendiri. Ilmunya
malah diberikannya pada kita. Apa kau kira kita tidak bisa mengalahkannya?"
"Bagaimanpun kita berhutang nyawa padanya Jagal. Jangan lupakan hal itu!"
"Hutang nyawa itu tentu tidak kita lupakan. Itu sebab kita berdua mau
menjalankan tugas yang diberikannya. Membunuh Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212! Nah itu balasan dari kita. Kurasa sudah lebih dari cukup. Lalu apakah kita
juga harus menyerahkan empat peti harta itu padanya" Jangan jadi orang tolol Supit
Ireng!" "Aku tetap tidak setuju kalau kita langsung ke Pasirginting. Empat peti itu
aman di sana karena tidak ada yang tahu. Aku ingin kita mencari Empu Pamenang
lebih dulu! Ingat gadis cantik yang ikut bersamanya?" Supit Ireng membasahi
bibirnya dengan ujung lidah.
"Aku lebih tua.Aku kakakmu. Jika gadis itu kita temui, aku yang harus
menikmati tubuhnya lebih dulu! Ingat itu Supit Ireng!"
"Kau kakak sialan!" maki Supit Ireng lalu lari meninggalkan Supit Jagal di
belakang. BASTIAN TITO 33 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ENAM Di dalam pondok di pinggir danau Merak Biru Pendekar 212 menyerahkan surat
yang dibawanya pada Empu Pamenang disaksikan oleh dua muridnya yaitu Ning


Wiro Sableng 070 Ki Ageng Tunggul Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Larasati dan Jakawulung.
"Seorang kepercayaan Sultan meminta saya menyampaikan ini pada Empu,"
menerangkan Wiro.
Orang tua bungkuk berpakaian selempang kain putih itu menerima surat
dengan tenang. Justru Ning Larasati yang puteri Sultan itu tampak tegang
sementara Jakawulung bersikap menunggu.
Empu Pamenang membaca isi surat dengan cepat. Selesai membaca surat itu
dilipatnya kembali lalu dia berpaling pada Ning Larasati.
"Muridku, ayahandamu sedang sakit. Sakitnya sakit biasa saja. Namun
kerinduannya padamu bisa-bisa membuat sakitnya jadi berat. Kuminta kau segera
berangkat ke Kotaraja. Tunggui dan rawat ayahandamu. Bila beliau sudah sembuh
baru kau boleh kembali ke mari lagi melanjutkan ilmu pelajaran."
Ning Larasati berpaling pada Jakawulung, saudara seperguruan dan juga
kekasihnya. Jakawulung yang maklum akan arti pandangan ini cepat berkata "Dengan
izin Empu saya akan mengantarkan Larasati ke Kotaraja."
Empu Pamenang mengangguk.
"Kalau begitu saya akan segera bersiap-siap," kata Larasati seraya berdiri. Dia
masuk ke dalam sebuah kamar. Tak lama kemudian dia keluar lagi mengenakan
pakaian ringkas baju dan celana putih. Rambutnya yang panjang telah disanggul
dan ditutup dengan sehelai kain hitam. Sepintas lalu orang akan menyangkanya sebagai
seorang pemuda berwajah tampan dan halus.
"Kalau para sahabat di sini sudah siap berangkat sayapun ingin minta diri.
Tugas saya sudah selesai...." kata Wiro pula.
Empu Pamenang tersenyum. "Sebetulnya ada hal-hal dalam dunia persilatan
yang ingin aku bicarakan denganmu anak muda. Namun tidak terlalu penting. Lain
hari saja kalau kita bertemu kita ngobrol panjang lebar. Aku tahu orang
sepertimu tentu banyak urusan di luar sana."
Empu Pamenang mengantarkan ketiga orang muda itu sampai di pintu.
Mereka meninggalkan Danau Merak Biru dengan menunggang kuda. Setelah
ketiganya lenyap di kejauhan Empu Pamenang melangkah ke tepi danau. Saat itu
matahari baru saja menggelincir ke arah Barat. Udara siang yang tadi terasa
panas kini agak sejuk sedikit. Apalagi angin bertiup cukup banyak.
Di tengah danau saat itu ada sebuah perahu terapung-apung dimainkan
ombak-ombak kecil. Jarak antara tepian tempat Empu Pamenang berdiri sampai ke
perahu sekitar dua puluh tombak. Di samping Empu Pamenang berdiri terdapat
serumpun pohon bambu. Orang tua bungkuk ini memilih salah satu batang bambu
yang paling lentur lalu digoyang-goyangkan. Makin lama makin kencang. Pada
puncaknya kekencangan Empu Pamenang angkat kedua kakinya. Bersamaan dengan
itu dia mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sekejap kemudian kelihatan sosok
bungkuk berselempang kain putih itu melesat ke tengah danau lalu jatuh tepat di
atas perahu yang terapung-apung di air. Sesaat perahu tampak agak oleng sedikit lalu
diam tak bergerak lagi.
Perlahan-lahan Empu Pamenang mendudukkan dirinya di atas perahu. Kedua
tangannya dirangkapkan di atas dada. Dia mendongak ke atas. Ketika kepalanya
BASTIAN TITO 34 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
diturunkan kedua matanya telah terpejam. Lalu orang tua inipun tenggelam dalam
semedi yang khusuk. Semua panca inderanya berhenti bekerja. Bagi Empu Pamenang
danau yang sunyi, udara yang segar adalah tempat yang baik untuk melakukan
semedi di tengah alam terbuka. Tidak seperti orang pandai lainnya yang suka melakuka
semedi dalam goa tertutup. Biasanya kalau bersemedi di atas perahu seperti itu
Empu Pamenang bisa tahan samapi berhari-hari. Selesai bersemedi dia merasakan
tubuhnya lebih segar, pendengaran dan penglihatannya lebih tajam.
Kita kembali pada tiga orang pemuda yang tengah melakukan perjalanan
menuju Kotaraja.di satu tempat, dekat sebuah simpang tiga di dataran rendah di
bawah lamping sebiah bukit. Pendekar 212 Wiro Sableng hentikan kudanya. Dia
berpaling pada Ning Larasati dan Jakawulung lalu berkata.
"Para sahabat, kita seiring sampai di sini. Untuk ke Kotaraja kalian berdua
harus membelok ke kanan. Aku akan mengambil jalan ke kiri. Bila umur sama
panjang kita pasti akan bertemu lagi."
"Wiro, aku mengucapkan terima kasih. Kau telah bersusah payah
mengantarkan surat dari ayahanda....." kata Ning Larasati.
Wiro tertawa lebar. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi urung. Saat itu di
sebuah jalan yang terletak di atas lereng bukit kelihatan dua orang penunggang
kuda. Selain jarak mereka terpisah cukup jauh, kedua orang itu tampak menutupi wajah
masing-masing dengan sehelai kain sampai sebatas mata hingga sulit dikenali
siapa mereka adanya. Entah mengapa Pendekar 212 mendadak saja merasa tidak enak
melihat kemunculan kedua orang itu. Dua penunggang kuda tersebut tampak hentikan
kuda masign-masing dan saling bicara beberapa lamanya. Karena tempat Wiro dan
dua kawannya berhenti berada di bawah lindungan sebatang pohon besar berdaun
rimbun, dua penunggang kuda di lereng bukit tak dapat melihat mereka.
Larasati dan Jakawulung rupanya juga telah melihat dua penunggang kuda di
atas sana. "Siapa mereka.....?" tanya Larasati.
"Tampaknya bukan orang baik-baik. Kalau tidak mengapa mereka sengaja
menutupi wajah dengan kain?" ujar Jakawulung pula.
"Kalian berdua teruskan saja perjalanan. Tidak usah memperdulikan dua
orang di atas bukit sana," kata Wiro.
Jakawulung mengangguk lalu memberi isyarat pada Larasati. Kedua orang ini
segera melanjutkan perjalanan menuju Kotaraja. Setelah Larasati dan Jakawulung
lenyap di kejauhan Wiro kembail memandang ke arah lereng bukit. Dua penunggang
kuda bertopeng tadi ternyata tidak ada lagi di situ. Pendekar 212 berpikir
sejenak. Akhirnya diarahkannya kudanya menuju lereng bukit itu. Sampai di atas dia
memandang berkeliling. Di kejauhan di sebelah Timur tampak sepintas sosok
Larasati dan Jakawulung. Tapi dua penunggang kuda tadi sama sekali tidak kelihatan. Wiro
memperhatikan tanah di lereng bukit. Jejak-jejak kaki kuda tunggangan kedua
orang tak dikenal tadi jelas kelihatan. Wiro bergerak mengikuti jejak ini. Namun di
satu tempat jejak-jejak itu lenyap.
Dua penunggang kuda yang wajahnya ditutup kain hitam sampai di tepi Timur
Danau Merak Biru. Perhatian mereka serta merta tertuju pada satu-satunya
bangunan yang ada di situ.
"Pasti ini tempat kediaman tua bangka bernama Empu Pamenang itu," kata
penunggang kuda di sebelah kanan. Dia bukan lain adalah Supit Jagal kakek iblis
berbaju tambalan, berkuping sumplung dan memiliki cacat panjang serta dalam di
wajahnya. Dia melompat turun dari kudanya. Orang kedua mengikuti gerakannya. Dia
tentu saja adalah adik Supit Jagal yaitu Supit Ireng, manusia yang memiliki
wajah BASTIAN TITO 35 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
seangker setan karena tampangnya yang cekung itu dihias dengan rongga bolong
besar pada mata kiri sedang mata kanan membeliak merah dan besar.
Karena pintu pondok tidak terkunci mereka masuk dengan mudah. Setelah
menggeledah seisi pondok dan tidak menemukan seorang di situ, Supit Ireng
berkata. "Kosong, Tak satu orangpun ada di sini. Tidak si tua bangka itu, tidak pula
gadis jelita yang membakar mafsuku itu! Bagaimana" Kita tunggu saja sampai
mereka kembali?"
"Agar mereka lekas muncul, biar bangunan ini kita bakar saja!" jawab Supit
Jagal. Dia keluar untuk mencari kayu pembakar. Namun sewaktu sampai di pintu dan
matanya tak sengaja memandang ke arah danau, langkahnya tertahan.
"Ireng! Lekas ke mari!" serunya.
Supit Ireng melompat ke samping kakaknya lalu memandang ke arah yang
ditunjuk Supti Jagal yaitu perahu di tengah danau. "Memang dia! Apa yang
dikerjakannya di sana!"
"Tampaknya seperti tengah bersemedi..... Tak ada perahu lain. Kita harus
berenang untuk mendatanginya."
"Terlalu berbahaya. Aku dengar tua bangka itu raja diraja dalam air. Dia
sanggup menyelam dan mendekam dalam air seperti ikan. Satu-satunya jalan ialah
menghancurkan perahunya, memancing kemarahan dan membuat dia datang ke
daratan sini."
"Kau benar!" kata Supit Jagal. Dia melangkah ke arah rumunan pohon bambu.
"Bambu-bambu ini bisa menolong!" Lalu dia mengeluarkan sebilah golok. Dengan
senjata ini dia memotong empat batang bambu yang kemudian dipotong-potong
dibuat runcing salah satu ujungnya. Kedua kakak beradik itu kembali ke tepi
danau. Masing-masing mereka memasukkan sebatang potongan bambu ke dalam air. Bagian
yang runcing di arahkan ke perahu di tengah danau.
"Kau duluan Jagal!" kata Supit Ireng.
Supit Jagal menyeringai. Dengan tangan kanannya dia menepuk bagian
belakang potongan bambu. Karena pukulan itu disertai tenaga dalam yang tinggi
maka laksana anak panah, potongan bambu yang runcing menghantam tepat di
lambung perahu sebelah kanan, menghancurkan papan dan menimbulkan lobang
besar. Sesaat perahu tampak bergoyang lalu diam kembali. Namun air mulai
mengucur masuk ke lantai perahu. Di atas perahu orang tua bungkuk tetap saja
duduk tenang seolah apa yang terjadi tidak mengganggu semedinya.
Supit Ireng tak mau kalah. Dia mengarahkan bambu runcingnya ke bagian kiri
perahu. Sekali menggubuk potongan bambu itu melesat. Sesaat kemudian tedengar
suara braak! Lambung perahu sebelah kiri hancur berkeping-keping, menimbulkan
lubang yang lebih besar dari yang di sebelah kanan. Air danau masuk dengan
cepat. Separuh dari lantai perahu telah terisi air dan merendam kedua kaki Empu
Pamenang yang duduk bersila. Baigan depan perahu mulai tenggelam ke bawah. Tetapi aneh
dan hebatnya si orang tua bungkuk masih saja tampak duduk tak bergerak. Kedua tangan
masih dirangkapkan di atas dada bahkan sepasang matanya tidak bergeming apa lagi
terbuka sedikitpun!
"Tua bangka itu kebal juga rupanya!" kata Supit Jagal. Dia menurunkan
sebatang bambu ke dalam air danau. Kali ini bambu diarahkannya ke bagian depan
perahu. Tangan kanannya bergetar tanda dia mengeluarkan seluruh tenaga dalamnya.
Lalu tangan itu menghantam dengan keras. Batangan bambu melesat di permukaan air
danau dan menghantam bagian depan perahu.
"Braak!"
BASTIAN TITO 36 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kali ini bagian depan perahu tanggal berantakan. Air danau menggebubu
masuk. Perahu menungging ke depan, lalu prlahan-lahan tenggelam ke dalam air
danau. Empu Pamenang yang masih duduk bersemedi ikut tenggelam. Air mencapai
pinggul, naik ke pinggang, terus ke dada. Perahu semakin dalam amblasnya. Air
kini mencapai leher si orang tua. Hebatnya orang tua ini masih saja tetap tidak
bergerak. Kedua matanya masih terus terpejam. Air kini mencapai dagunya. Lalu cepat sekali
seluruh kepalanya amblas. Perahu dan sosok tubuh si orang tua tenggelam, lenyap
dari pemukaan air danau yang hanya meninggalkan riak-riak berbentuk lingkaran!
"Manusia gila!" teriak Supit Jagal.
"Seharusnya tadi bambu itu kita arahkan ke tubuh atau kepalanya biar dia
langusng mampus!" kta Supit Ireng sambil kepalkan tinju kanannya. "Apa yang
harus kita lakukan sekarang"!"
"Tunggu saja sampai dia muncul di permukaan air. Langsung kita hantam
dengan bambu runcing!" kata Supit Jagal pula.
"Tapi tua bangka itu punya ilmu yang membuat dia mampu mendekam dalam
air sampai lama!" ujar Supit Ireng dengan gemas dan pelipis bergerak-gerak.
"Tak ada jalan lain. Bagaimanapun kita harus menunggu sampai dia muncul.
Kalau dia masih hidup langsung kita bunuh. Kalau dia sudah jadi mayat itu lebih
baik!" Saat itu sang surya sudah sangat condong ke Barat tanda sebentar lagi akan
tenggelam. Keadaan di sekitar danau mulai redup dan meremang gelap. Di tengah
danau sama sekali tak ada gerakan. Tak ada suara!
"Setan! Pekerjaan gila macam apa yang kita lakukan ini!" rutuk Supit Ireng
sambil mengusap-usap mata kain penutup wajahnya di bagian mata kirinya yang
hanya merupakan rongga bolong.
Baru saja dia merutuk seperti itu, Supit Jagal tiba-tiba memegang lengan
kirinya yang buntung.
"Ada apa....?" tanya Supit Ireng.
"Sssst..... Jangan bicara keliwat keras. Apa kau tidak mendengar suara kaki-
Pedang Pelangi 14 Pendekar Mabuk 016 Mustika Serat Iblis Petualang Asmara 24
^