Pencarian

Ki Ageng Tunggul Akhirat 3

Wiro Sableng 070 Ki Ageng Tunggul Akhirat Bagian 3


kaki kuda mendatangi tempat ini?" bisik Supit Jagal. "Lihat ke sana...."
Supit Jagal menunjuk ke depan. Supit Ireng mengikuti arah yang ditunjuk
kakaknya itu. Di antara pepohonan tampak seorang penunggang kuda berpakaian dan
berikat kepala putih muncul. Orang ini menghentikan kudanya di antara dua batang
pohon sambil memandang tajam ke arah pondok. Lalu dia mengarahkan
pandangannya ke danau Merak Biru.
"Aneh, semua serba sepi. Seharusnya di danau ada sebuah perahu...." Orang di
atas kuda membatin Lalu perlahan-lahan dia majukan kudanya sampai sejarak dua
tombak dari pondok kayu. Di sini dia melompat turun dan melangkah ke pintu.
Dari balik rerumpunan pohon bambu, Supit Jagal dan Supti Ireng saling
pandang. "Rejeki kita ternyata besar sekali hari ini. Kita tidak perlu bersusah payah!
Orang yang kita cari ternyata datang sendiri!" kata Supit Jagal.
"Tunggu apalagi! Ayo kita cabut nyawanya! Aku ingin mencoba pukulan sakti
Telapak Merapi yang diberikan Pangeran Matahari itu!" kata Supit Ireng. Tenaga
dalamnya segera dialirkan ke tangan kanan.
BASTIAN TITO 37 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH Pemuda berpakaian putih mendorong pintu pondok yang tidak terkunci. Bagian
dalam diselimuti kegelapan. "Empu Pamenang, kau ada di dalam....?"
Baru saja dia bertanya begitu tiba-tiba ada suara mendesisi disertai
menggebubunya hawa panas luar biasa. Pemuda di depan pintu serta merta
menjatuhkan dirinya ke tanah dan berguling menjauhi pondok. Ketika dia bangki
kembali dilihatnya pondok Empu Pamenang telah disabung asap dan ada api menyala
di balik asap itu. Memandang ke kiri dilihatnya dua sosok tubuh bercadar tegak
di bawah kegelapan rerumpunan pohon bambu.
"Pembokong pengecut! Siapa kalian"!" bentak si pemuda. Meskipun dia tidak
dapat memastikan namun dari potongan tubuh kedua orang itu dia bisa menduga-duga
siapa adanya. "Aneh, kalau memang mereka, bukankah keduanya sudah mampus"
Satu dibantai di tepi pantai satunya lagi tenggelam di dalam laut Teluk Burung?"
Dua orang di depan sana keluarkan tawa mengekeh.
Yang di sebelah kanan berkata. "Agar kau tambah terkejut biar kubuka kain
penutup wajahku!" Lalu orang ini pergunakan tangan kanannya untuk menanggalkan
kain hitam yang menutupi mukanya.
"Supit Ireng! Memang kau rupanya atau setanmu yang sedang gentayangan!"
Supit Ireng tertawa. Sambil tangan kanan bertolak pinggang dia berkata "Yang
kau lihat memang setan Supit Ireng! Aku gentayangan untuk mencarimu. Sebentar
lagi nyawamu akan kutarik amblas dari tubuhmu! Roh busukmu bisa bertemu dengan
roh busuk Empu Pamenang di alam baka!"
Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede jadi terkejut.
"Apa maksudmu manusia muka setan"!" bentak Wiro.
"Tua bangka sahabatmu itu sudah kami bunuh! Mayatnya bisa nanti kau temui
di dasar danau!" Yang menjawab adalah Supit Jagal.
"Bedebah kurang ajar....!" Wiro melompat ke muka.
"Tunggu dulu!" teriak Supit Jagal. "Kami membawa tugas untuk
membunuhmu! Tetapi jika kita bisa berunding mungkin selembar nyawa anjingmu
akan kuampuni!"
"Setan alas! Kalian sudah membunuh Empu Pamenang, berarti hanya
kematian bagi kalian berdua!"
"Jangan bicara takabur dulu...."
"Keparat! Siapa yang menyuruh kalian membunuhku"!" hardik Wiro.
"Siapa orangnya tak perlu kami katakan cepat-cepat. Kami ingin berunding
dulu mengenai pengampunan jiwamu! Jika kau mau mengatakan di mana gadis
bernama Ning Larasati itu berada, kau akan kami selamatkan. Hanya gadis itu yang
bisa menyelamatkan kau dari kematian!"
"Kalian dua tua bangka tidak tahu diri! Setan neraka sekalipun tidak akan mau
bergaul dengan kalian. Apalagi seorang puteri raja secantik Larasati! Manusia-
manusia edan!"
"Ah, kalau begitu biar tubuhmu kami panggang sampai matang! Diberi
pengampunan minta mampus!" kata Supit Jagal. Dia melirik pada adiknya, memberi
isyarat. Supit Ireng angkat tangan kanannya ke atas. Supit Jagal mengangkat kedua
tangannya sekaligus. Masing0masing telapak tangan tampak bergetar dan diarahkan
BASTIAN TITO 38 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
pada Wiro Sableng. Lalu terdengar suara mendesis tajam. Angin panas menyambar
ganas. "Pukulan Telapak Merapi!" teriak Wiro kaget luar biasa lalu membuang diri
ke samping sambil lepaskan pukulan tangan kosong mengandung aji kesaktian
Benteng Topan Melanda Samudra. Segulung angin dahsyat menderu ke depan
memapas tiga pukulan Telapak Merapi yang dilepaskan Supit Jagal dan Supit Ireng.
Tiga larik pukulan sakti yang dilepaskan dua bersaudara Supit saling bertabrakan
dengan pukulan sakti yang dilepaskan Wiro. Akibatnya bentrokan dahsyat ini
terdengar suara letusan keras. Debu dan pasir beterbangan. Air danau
bergelombang keras. Pendekar 212 terpental sampai satu tombak. Tubuhnya bergetar keras dan
ada hawa panas menyengat jangatnya. Ini satu pertanda bahwa kekuatan serangan lawan
berada di atas tingkat kekuatan pukulan saktinya!
"Celaka! Bagaimana dua manusia keparat ini menguasai dan membekal ilmu
pukulan yang dimiliki Pangeran Matahari itu"!" membatin Wiro dengan perasaan
tegang. DI depannya dilihatnya Supit Jagal dan Supit Ireng hanya terpental
beberapa langkah lalu bangkit dengan cepat dan tampang garang! Keduanya maklum kalau
pukulan Telapak Merapi yang tadi mereka lepaskan telah menggetarkan pemuda
berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu.
"Kematian sudah di depan mata! Tapi kami masih bersedia memberi
pengampunan. Lekas beri tahu di mana Ning Larasati berada!" kata Supit Jagal
seraya maju satu langkah.
Tiba-tiba terdengar suara mencuatnya air danau. Dalam udara yang mulai
gelap itu melesat keluar sesosok tubuh dalam selempang kain putih yang basah
kuyup. Seorang kakek bungkuk sesaat kemudian sudah tegak di depan Supit Jagal dan Supit
Ireng. "Edan! Bukankah kau sudah mampus dan jadi mayat pendekam dasar
danau"!" teriak Supit Jagal kaget ketika mengenali kakek bungkuk di depannya
ternyata adalah Empu Pamenang.
Orang tua itu mendongak ke langit lalu berucap. "Jika kalian berdua masih
hidup, seharusnya bisa menyadari kebesaran Tuhan dan bertobat untuk jadi orang
baik! Sekarang malah kalian berdua muncul membawa dosa baru!"
"Tua bangka buruk! Jangan berkhotbah di hadapanku!" hardik Supit Ireng.
Tangan kanannya bergerak. Untuk kesekian kalinya dia lepaskan pukulan Telapak
Merapi. "Empu awas!" teriak Wiro memberi ingat.
Empu Pamenang menyambar ujung kain putih basah yang menyelempang
dadanya. Kain ini dikibaskan ke arah datangnya angin pukulan. Terdengar suara
dess...! Asap putih menggebubu ke udara. Orang tua itu tampak terhuyung-huyung
lalu jatuh berlutut di tanah. Ujung pakaian putihnya kelihatan hangus. Mukanya
yag klimis merah menggelap. Dadanya berdenyut.
"Aneh, bagaimana dua manusia iblis ini masih hidup. Dari mana pula mereka
mendapatkan kesaktian sehebat ini?" ujar Empu Pamenang dalam hati. Perlahan-
lahan dia mencoba bangkit.
Di depannya Supit Jagal dan Supit Ireng saling berbisik. "Kalau satu pukulan
saja sanggup menjatuhkannya, mari kita menghantam berbarengan. Pasti dia
mampus!" Lalu Supit Jagal segera angkat kedua tangannya.
Melihat hal ini Pendekar 212 Wiro Sableng segera kerahkan tenaga dalam ke
tangan kanan. Lengannya sampai ke ujung jari serta merta berubah putih seperti
perak dan memijarkan cahaya angker. Ini satu pertanda dia siap melepaskan pukulan
Sinar Matahari. BASTIAN TITO 39 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Di depan sana Supit Jagal dan Supit Ireng sudah lebih dulu menggerakkan
tangan menghantam. Serangan balasan yang dilancarkan Pendekar 212 dan Empu
Pamenang terlambat. Sinar silau panas pukulan Sinar Matahari terpukul membalik
ke arah Wiro dan sang Empu. Ditambah dengan tiga larik pukulan Telapak Merapi maka
tempat itu berubah bagai neraka bagi Wiro dan Empu Pamenang!
Sekejap lagi Pendekar 212 dan Empu Pamenang akan disapu lumat oleh
pukulan-pukulan lawan tiba-tiba satu sinar merah menjulang laksana jatuh dari
langit, menghantam ke bawah!
Keadaan di tepi danau itu seperti dihantam goncangan gempa maha dahsyat
disertai letupan-letupan keras seolah merobek langit dan dibarengi pula dengan
cahaya-cahaya menyilaukan.
Empat orang berjatuhan ke tanah. Dada masing-masing terasa berdenyut sakit.
Telinga laksana tuli beberapa saat lamanya.
Pendekar 212 jatuh terduduk. Nafasnya mendadak menyesak dan dadanya
terasa sakit. Di sebelah depannya Empu Pamenang berlutut tergontai-gontai. Ada
cairan darah kelihatan di sela bibirnya. Di bgian lain dua bersaudara Supit
Jagal dan Supit Ireng terkapar saling tindih. Muka setan mereka sesaat tampak pucat
seperti tidak berdarah. Tangan masing-masing bergetar kaku dan sakit seperti ditusuk-
tusuk. Di antara empat orang yang berkaparan di tanah itu tampak tegak seorang
lelaki berpakaian biru gelap mengenakan blangkon. Dalam udara yang samakin gelap
wajahnya masih bisa terlihat jelas. Dan tampang manusia ini ternyata tidak kalah
seram dengan tampang Supit Jagal ataupun Supit Ireng. Pada pipi kirinya ada
cacat panjang sampai ke mata yang membuat mata kirinya mencuat keluar merah
mengerikan dan selalu basah. Mulutnya pencong akibat tarikan daging muka yang
cacat. Supit Jagal dan Supit Ireng sama-sama melompat kaget.
BASTIAN TITO 40 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN Supit Jagal sempat maju dua langkah lalu berhenti. "Kau!" katanya dengan suara
agak kelu karena rasa tak percaya. "Kau Ki Ageng Tunggul Keparat! Jadi kau masih
hidup"! Bedebah!"
Orang berpakaian biru dan mengenakan blangkon itu tertawa bergelak. Baik
Wiro maupun Empu Pamenang ikut heran. Sebelumnya mereka telah menyaksikan
bahwa manusia bernama Ki Ageng Tunggul Bayana alias Ki Ageng Tunggul Keparat
itu telah tewas. Mayatnya terkapar di antara belasan mayat di Teluk Burung tempo
hari. Bagaimana mungkin kini dia bisa hidup dan muncul di sini. Bahkan lebih
mengherankan lagi, dia pula tadi yang membuat kejutan dengan menerobos jalur-
jalur pukulan sakti yang saling bentrokaan sehingga sempat menyelamatkan Wiro dan
Empu Pamenang dari malapetaka. Bagaimana dia tiba-tiba bisa sehebat ini dan
berhasil memusnahkan semua pukulan sakti tanpa diri sendiri cidera sedikitpun"!"
"HA...ha! Kalian masih ingat wajah ini! Ketahuilah aku bukan Ki Ageng
Tunggul Keparat....." kata orang berblangkon itu.
"Lalu kau siapa" Setannya"! Rohnya yang gentayangan"!" tanya Supit Ireng.
"Aku saudara kembarnya. Aku Ki Ageng Tunggul Akhirat! Kalian berdua
telah membunuh saudara kembarku itu! Sekarang saatnya kalian menebus dosa
dengan nyawa masing-masing!"
"Lagakmu keren amat! Manusia sombong memang harus lekas-lekas
disingkirkan!"
Habis berkata begitu Supit Jagal hantamkan kedua tangannya. Supit Ireng ikut
memukul dengan tangan kanan. Masing-masing mereka kembali lepaskan pukulan
sakti Telapak Merapi.
Ki Ageng Tunggul Akhirat membentak garang. Kedua tangannya dipalangkan
di depan kepala. Sekujur badannya bergetar. Dari sela bibirnya terdengar suara.
"Eyang, hajar kedua manusia ini!"
Kedua tangan Ki Ageng Tunggul Akhirat tiba-tiba menyentak ke depan. Baik
Supit Jagal maupun adiknya sama-sama terkejut katika mereka tiba-tiba melihat
sepasang tangan Ki Ageng Tunggul Akhirat berubah menjadi dua bauh tangan raksasa
yang memiliki kuku panjang dan hitam runcing. Mereka lanjutkan menghantam
karena yakin pukulan Telapak Merapi yang mereka lepaskan tak akan sanggup di
tahan oleh lawan. Namun keduanya salah sangka. Sebelum pukulan Telapak Merapi
sempat mereka lepaskan, tangan-tangan berkuku panjang itu telah menyambar lebih
dulu. "Breet....breet....breetttt!"
Sepasang lengan pakaian Supit Jagal robek besar. Daging lengannya
terkelupas berbusaian. Orang ini menjerit setinggi langit. Hal yang sama terjadi
dengan Supit Ireng. Tangan kanannya mengucurkan darah dari luka-luka yang
mencabik dagingnya. Orang ini meraung sambil muncur.
"Jagal, manusia satu ini bukan lawan kita. Berat dugaanku dia punya ilmu
hitam. Lebih baik kita segera melarikan diri!" bisik Supit Ireng. Supit Jagal
yang berada dalam keadaan kesakitan setengah mati dan juga diam-diam merasa takut
keluarkan sebuah benda hitam bulat sebesar tinju dari balik pinggangnya.
"Bangsat! Kalian mau lari ke mana"!" kertak Ki Ageng Tunggul Akhirat yang
sudah tahu gelagat orang lalu melompat hendak menyergap. Supit Jagal bergerak
lebih cepat. Benda di tangannya dilemparkan ke tanah. Terdengar satu letusan
keras. BASTIAN TITO 41 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Disusul dengan menggebubunya asap hitam menutup pemandangan sampai sejarak
beberapa tombak. Ketika asap itu sirna dua bersaudara Supit sudah lenyap dari
tempat itu. Ki Ageng Tunggul Akhirat menggembor marah. "Kalian berdua boleh lari ke
ujung dunia. Tak akan kalian bisa lolos dari kematian di tanganku!" Dia hendak
berkelebat mengejar namun ingat pada dua orang di sebelah sana. Dia berpaling
dan memandang tajam pada Wiro serta Empu Pamenang.
Saat itu Wiro dan si orang tua sudah berdiri. Sambil terbungkuk-bungkuk
Empu Pamenang berkata."Terima kasih. Kau telah menyelamatkan kami dari
serangan maut dua manusia keparat itu!"
"Aku juga berterima kasih dan berhutang nyawa padamu," kata Wiro pula.
"Kalian punya sangkut paut apa dengan kedua orang itu?" Ki Ageng Tunggul
Akhirat ajukan pertanyaan.
"Yang bernama Supit Jagal pernah membunuh tiga orang muridku,"
menerangkan Empu Pamenang. "Beberapa waktu lalu kami telah membantai mereka
tapi adalah aneh tahu-tahu mereka masih hidup dan muncul hendak membalaskan
dendam! Ternyata mereka kini memiliki satu pukulan sakti luar biasa!"
"Hemmm.... Untung kalian berdua bukan sahabat mereka. Kalau tidak nyawa
kalian tak bakal aku ampuni...."
"Apa betul kau saudara kembarnya Ki Ageng Tunggul?" bertanya Empu
Pamenang. Ki Ageng Tunggul Akhirat tidak menjawab. Dia keluarkan suara mendengus
lalu berkelebat lenyap dari tempat itu. Empu Pamenang termangu sedang Pendekar
212 hanya bisa garuk-garuk kepala.


Wiro Sableng 070 Ki Ageng Tunggul Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dunia persilatan semakin kusut rupanya...." kata Empu Pamenang.
"Tang saya tidak habis pikir," menyahuti Wiro. "Bagaimana dua manusia
setan itu bisa memiliki ilmu pukulan Telapak Merapi. Pukulan sakti itu hanya
dimiliki oleh Pangeran Matahari!"
"Ada hal-hal sanling terkait...." ujar Empu Pamenang. "Siapa tahu Pangeran
Matahari kini talh membentuk satu komplotan terdiri dari manusia-manusia jahat
seperti dua bersaudara Supit itu. Merka sengaja dibekali satu dua macam ilmu
kepandaian yang sulit ditandingi....."
"Mungkin kau benar Empu.Supit Jagal tadi sesumbar mengatakan bahwa dia
membawa tugas untuk membunuhku. Tapi dia tidak mau mengatakan siapa yan
gmenyuruhnya....."
"Aku punya dugaan berat si penyuruh adalah Pangeran Matahari sendiri. Itu
sebabbnay dia membekali kedua setan itu dengan pukulan sakti. Agaknya kau ada
silang sengketa dendam kesumat dengan Pangeran Matahari gila itu?"
"Orang jahat seprti Pangeran Matahari memang banyak musuhnya. Salah satu
di antaranya adalah saya. Kami pernah bentrokan beberapa kali. Dia selalu gagal
membunuh saya. Saya sendiri sampai saat ini belum dapat menundukkannya," kata
Wiro pula. "Saya ingat akan maksud bejat dua bersaudara Supit. Mereka datang dengan
dua maksud. Pertama hendak membunuh Empu. Kedua hendak menculik Ning
Larasati. Mungkin saya akan ke Kotaraja. Gadis itu harus diberi tahu bahwa ada
bahaya mengancam dirinya....."
Empu Pamenang mengangguk. "Itu memang hal yang terbaik yang harus kau
lakukan. Ada satu hal yang harus kau perhatikan. Manusia bernama Ki Ageng
Tunggul Akhirat itu. Meski dia telah menyelamatkan kita dari serangan maut dua
bersaudara Supit, namun jangan mengharap bahwa dia adalah jenis manusia yan
gbisa BASTIAN TITO 42 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dijadikan sahabat. Saudara kembarnya memiliki ilmu hitam. Dia aku yakin sekali
pasti juga memiliki ilmu hitam. Kau harus berhati-hati terhadapnya Wiro."
"Terima kasih atas peringatan Empu," kata Pendekar 212.
Empu Pamenang membetulkan letak selempang kainnya yan gmasih basah.
Sekali dia berkelebat tubuhnya melayang lalu laksana seekor burung dia hinggap
di cabang sebuah pohon besar.
BASTIAN TITO 43 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEMBILAN Sepanjang malam itu Supit Jagal dan Supit Ireng lari terus ke arah Timur.
Menjelang dini hari baru keduanya berhenti dan menggulingkan diri di dalam
sebuah dangau yang terletak di tepi daerah pesawahan.
"Tubuhku terasa panas. Jangan-jangan cakar manusia setan itu mengandung
racun....." kata Supit Jagal.
"Tubuhku juga panas," menyahuti Supit Ireng. Dia merogoh ke dalam saku
pakaiannya. Tak lama kemudian dikeluarkannya sebuah kantong kecil. Dalam
kentong ini terdapat sejenis bubuk yang merupakan obat luka ampuh.
"Bubuk obat ini akan menyelamatkan kita kalau cakar si iblis itu memang
mengandung racun. Kau bisa usapkan bubuk ini di kedua lenganmu. Tapi tolong dulu
aku....." Setelah menggosokkan bubuk obat pada luka di lengan masing-masing kedua
orang ini merasa agak tenang. Apalagi jelas mereka rasakan hawa panas di tubuh
mereka kini mulai berkurang.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang Jagal?" tanya Supit Ireng.
"Kita telah gagal membunuh Pendekar 212. Jika Pangeran Matahari sempat
mengetahui pasti dia akan marah besar...."
"Sekali memang kita gagal. Itupun gara-gara munculnya jahanam
yangmengaku bernama Ki Ageng Tunggul Akhirat. Kalau dia tidak ada pasti kita
sudah menghabisi pemuda itu dan si tua bangka Empu Pamenang. Kita harus mencari
kedua orang itu kembali. Aku yakin Empu Pamenang tidak akan berada jauh dari
danau Merak Biru. Soal Pendekar 212 kita pasti akan menemuinya. Jika bertemu
untuk kedua kali, nyawanya tak akan tertolong lagi!" Supit Ireng mengusap
mukanya beberapa kali. "Aku berpikir-pikir, buat apa kita bersusuah payah mencari dan membunuh
kedua orang itu. Bagaimana kalau sementara mereka kita lupakan saja. Yang
penting adalah mengambil peti berisi harta dan uang yang ada di belakang rumah Ki Ageng
Tunggul Bayana alias Tunggul Keparat di Pasirginting. Bila empat peti itu sudah
kita dapat, kita bawa pergi jauh-jauh ke Timur atau ke Barat. Lupakan dunia kita yang
sekarang ini. Kita hidup mewah sebagai orang kaya raya...."
"Apa kau kira Pangeran Matahari tidak akan menyatroni kita" Sekali dia
menemui kita tamatlah riwayat kita." Supit Ireng berkata dengan nada meragu.
"Kalau kau takut tinggal di tanah jawa ini kau boleh pergi ke seberang di
mana tidak seorangpun tahu siapa dirimu."
"Tapi jangan lupa Jagal. Tampang-tampang kita ini akan mudah menarik
perhatian orang," kata Supit Ireng pula.
"Terserah padamu Supit Ireng. Aku akan ke Pasirginting. Aku akan
mengambil dua dari empat peti itu lalu memlenyapkan diri. Persetan dengan
Pangeran Matahari. Persetan dengan Empu Pamenang serta Pendekar 212 Wiro Sableng. Aku
ingin hidup senang sebelum masuk liang kubur!" Habis berkata begitu Supit Jagal
bangkit dari tidurnya.
"Heh, kau mau ke mana?" tanya sang adik.
"Aku akan ke Pasirginting sekarang juga. Jika aku bisa mendapatkan kuda
paling tidak dua hari di muka aku sudah sampai di sana!" Supit Jagal melompat
turun dari atas dangau. "Kau ikut?" tanyanya pada adiknya.
BASTIAN TITO 44 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Supit Ireng tampak bimbang. Tapi ketika kakaknya melangkah pergi, dia
bergerak pula mengikuti. Hanya sesaat setelah kedua orang itu lenyap, dari balik
sebatang pohon besar tak berapa jauh dari dangau keluar satu sosok tinggi besar.
Dia memandang ke jurusan perginya Supit Jagal dan Supit Ireng. Seringai bermain di
mulutnya. Rambutnya yang menjulai gondrong di belakang tengkuk melambai-lambai
ditiup angin. Sekali berkelebatt orang ini lenyap ke arah yang sama yang dituju
Supit Jagal danSupit Ireng.
Tidak sulit mencari rumah bekas kediaman Ki Ageng Tunggul Bayana alias
Ki Ageng Tunggul Keparat yang pernah menjadi Kepala Desa Pasirginting itu.
Rumah besar di tengah desa itu kelihatan gelap. Biasanya selalu ada beberapa
pengawal berjaga-jaga di sana. Tapi sejak jabatan Kepala Desa diambil alih oleh
orang lain rumah itu menjadi sunyi sepi. Penghuninya yaitu istri muda Ki Ageng
Tunggul Bayana yang kini menjadi janda saat itu tertidur lelap dalam pelukan
seorang pemuda desa yang diam-diam dijadikannya teman hidupnya. Pemuda ini selalu datang
pada malam hari. Menjelang dini hari dia meninggalkan rumah kembali ke tempat
kediamannya di pinggir desa sebelah Selatan.
Dua buah gerobak memasuki desa hampir tanpa suara lalu berhenti di depan
rumah besar itu.
"Kita langsung saja ke halaman belakang," bisik kusir gerobak yang sebelah
kanan yaitu Supit Jagal. Dua buah gerobak bergerak ke halaman belakang rumah
besar. Supit Jagal melompat dari gerobak lalu dengan cepat mengambil sebuah
pacul dan linggis. Linggis diberikannya pada Supit Ireng seraya berkata." Aku akan
macul, kau bantu dengan linggis. Kita harus bekaerja cepat sebelum pagi tiba."
Supit Ireng mengangguk. Lalu dia turun pula dari atas gerobaknya. Supit Jagal
sesaat memandangi halaman belakang yang cukup luas itu. Lalu dia mulai memacul.
Adiknya memegang linggis dengan tangan kanannya. Dengan benda ini dia menusuk
tanah yang dipaculi kakaknya. Setelah memacul cukup lama dan hampir sebagian
halaman belakang itu terkikis, benda yang mereka cari masih belum ditemukan.
"Aku kawatir, ucapan tunggul Bayana pada Lor Paregreg yang sempat kau
dengar tempo hari hanya dusta belaka," kata Supit Ireng.
Supit Jagal berhenti memacul. Sekujur tubuh dan pakaiannya basah oleh
keringat. Dia memandang berkeliling. "Orang yang mati ketakutan dan ingin hidup
tak mungkin berdusta!" jawab Supit Jagal. Tapi hatinya mulai mendua. Dia
memandang berkeliling. Pandangannya membentur pada sederetan pohon-pohon
pisang yang tumbuh dekat pagar batas halaman di sebelah kiri. Supit Jagal
memberi isyarat. Lalu dia melangkah ke arah pohon-pohon pisang itu. Di sini dia mulai
menggali. Dan Supit Ireng kembali menusuk-menusuk tanah bekas galian dengan
linggis. "Dukkk!"
Terdengar suara keras tanda ujung linggis membentur sebuah benda. Abang
dan adik itu saling berpandangan sesaat. "Gali lagi! Pacul! Cepat Jagal......"
bisik Supit Ireng seraya memegang erat-erat linggis yang menancap di tanah.
Seperti mendapat tenaga baru, penuh semangat Supit Jagal memacul tanah di
sekitar linggis. Pada jarak tiga jengkal kedalam paculnya tertahan oleh sebuah
benda keras. Supit Jagal lepaskan pacul. Dia berlutut dan pergunakan kedua tangannya
untuk mengangkat tanah. Sesaat kemudian dalam gelap dia melihat sebuah papan
melintang. "Ireng.....!" desis Supit Jagal. "Kita menemukan peti-peti itu!" Seperti
kesetanan kedua kakak beradik itu memacul dan menggali sampai akhirnya sosok
BASTIAN TITO 45 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
sebuah peti muncul dalam lobang di tanah. Dengan susah payah peti besar itu
dikeluarkan dari dalam tanah. Lalu dengan ujung linggis Supit Jagal mendongkel
papan penutupnya. Begitu papan terkuak kelihatanlah isinya. Supit Jagal dan
Supit Ireng seperti hendak bersorak ketika mereka melihat isi peti itu. Sejumlah
perhiasan, uang emas dan perak serta ukiran-ukiran perunggu yang tak terkira nilainya.
"Bantu aku menaikkannya ke gerobak...." kata Supit Jagal. Karena Supit Ireng
hanya punya satu tangan, cukup susah juga bagi keduanya menaikkan peti besar itu
ke atas gerobak. "Baru satu peti Ireng. Masih ada tiga lagi!" bisik Supit Jagal.
Kedua kakak beradik ini kembali bekerja keras. Dalam waktu singkat mereka
berhasil menemukan peti yang kedua. Peti ini lalu dinaikkan pula ke atas gerobak
pertama yaitu gerobak yang tadi di bawa oleh Supit Jagal. Kini kedua orang itu
menggali peti yang ketiga.
Di dalam rumah, Suniarsih jada Ki Ageng Tunggl Bayana menggeliat dan
terbangun dari tidurnya. Gerakan kaki perempuan ini membuat terbangun pula sang
kekasih, pemuda bernama Pintoro.
"Aku tidak tahu kalau ketiduran...." kata Suniarsih seraya merangkul Pintoro
dengan tangan dan kakinya.
"Sebenarnya aku ingin membangunkanmu, tapi aku kawatir kau keletihan,"
jawab si pemuda dan tangannya mengusapi punggung telanjang Suniarsih, membuat
janda ini terangsang dan menyelinapkan tangannya. Gerakan tangan sang janda
membuat Pintoro tesentak dan terbakar kejantanannya.
"Kau selalu membuat aku seperti kesetanan Arsih...." bisik Pintoro.
"Justru aku suka kalau kau sudah kesetanan. Ayo Pintoro.....lakukanlah.....!"
Suniarsih menarik tubuh kuat pemuda itu. Sesaat ketika gerakan pemuda ini
seperti tertahan. "Ada apa....?" tanya sang janda.
"Aku mendengar suara...."
"Suara apa?"
"Entahlah. Tak dapat kupastikan...."
"Ah itu mungkin hanya suara angin. Atau suara binatang malam. Mungkin
juga tikus atau kucing. Mengapa diperdulikan" Ayolah Pintoro. Jangan siksa
aku....." Lalu Suniarsih tekan pinggang pemuda itu. Tapi Pintoro yang elisah justru turun
dari tempat tidur. "Kau mau kemana?"
"Aku kawatir orang-orang desa melakukan pengintaian. Kalau mereka
menangkap basah kita di kamar ini...."
Mendengar ucapan si pemuda Suniarsih jadi kecut. "Kalau begitu coba kita
intai....." Kini janda itu yang mengajak.
"Suara itu datangnya dari halaman belakang. Seperti suara orang menggali
tanah," bisik Pintoro.Pemuda ini cepat mengenakan celana panjangnya sedang
Suniarsih melangkah mengikuti sambil menggelungkan kain panjang ke tubuhnya.
Kedua orang ini setengah berjingkat-jingkat menuju ke bagian belakang rumah.
Karena dinding belakang rumah terbuat dari gedek dengan mudah Pintoro membuat
sebuah lobang lalu mengintai.
"Ada dua buah gerobak. Yang satu berisi dua peti besar. Satunya lagi satu peti
besar. Ada dua orang tengah menggali tanah dekat pohon-pohon pisang...." Pintoro
menceritakan apa yang dilihatnya, lalu menyuruh Suniarsih mengintai sendiri.
"Astaga, siapa orang-orang itu....." bisik sang janda. "Apa isi peti-peti itu.
Mereka pasti pencuri. Maling! Kau harus melakukan sesuatu Pintoro. Ambil
parang!" BASTIAN TITO 46 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Tidak, mereka bukan pencuri atau maling. Mereka bukan penjahat biasa,"
jawab Pintoro. "Apa yang mereka lakukan adalah satu pekerjaan rahasia...."
"Jangan-jangan peti-peti itu berisi barang-barang berharga. Mungkin sekali
kepunyaan mendiang suamiku.... Lekas ambil parang, Pintoro. Atau aku akan
berteriak maling saja?"
"Jangan...."
"Kau pengecut!"
Kedua orang itu jadi terlibat dalam pertengkaran. Di halaman belakang Supit
Jagal dan Supit Ireng sedang menggotong peti keempat. Di dalam rumah karena
bertengkar, tak sengaja tangan Suniarsih menyentuh sebuah kendi yang terletak di
meja. Kendi ini jatuh ke lantai mengeluarkan suara berisik.
"Supit Jagal dan Supit Ireng terkejut dan sama memandang ke arah rumah.
Pada saat itu mereka melihat pintu rumah terbuka dan dua orang keluar.
"Kita ketahuan Ireng. Habisi kedua orang itu!" kata Supit Jagal.
Supit Ireng segera melompat ke hadapan dua orang yang barusan keluar dari
dalam rumah yakni Pintoro dan Suniarsih.
"Siapa kalian"!" bentak Pintoro. Parang di tangannya diangkat tinggi-tinggi,
siap untuk membacok. Tapi nyalinya jadi meleleh ketika melihat wajah setan Supit
Ireng. "Kau....kau hantu...."!"
Ucapan Pintoro hanya sampai di situ. Tangan kiri Supit Ireng bergerak.
Praaakk! Pintoro terpental sampai lima langkah. Tubuhnya tergelimpang di dekat
roda gerobak, mati dengan muka rengkah.
Suniarsih menjerit keras. Tapi Supit Jagal yang sudah ada di dekat situ segera
menutup mulut perempuan ini. Suniarsih coba meronta berusaha melepaskan diri.
Namun yang lepas justru kain panjang yang menutupi tubuhnya. Tak ampun lagi
perempuan ini kini berada dalam keadaan bugil. Melihat tubuh putih telanjang
seperti

Wiro Sableng 070 Ki Ageng Tunggul Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu terbakarlah bafsu Supit Jagal. Supit Irengpun tampak terkesiap. Mata
kanannya membeliak besar. Nafasnya langsung memburu.
"Heh, kau mau bawa ke mana perempuan itu"!" seru Supti Ireng ketika
dilihatnya kakaknya menggotong Suniarsih ke arah pintu balakang rumah.
"Berminggu-minggu aku tak pernah menyentuh tubuh perempuan Ireng!
Pantas kalau aku pergunakan kesempatan untuk bersenang-senang. Kau tunggu saja.
Aku tak akan lama. Kalau aku sduah selesai kau bakal dapat giliran!" Supit Jagal
tertawa mengekeh.
"Kau gila! Tolol! Jangan cari penyakit! Kalau kau mau bawa saja! Naikkan ke
atas gerobak!" kata Supit Ireng.
Supit Jagal tidak menajwab. Dia melangkah terus menuju pintu.
Justru saat itu ada suara lain yang menyahuti ucapan Supit Ireng tadi.
BASTIAN TITO 47 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEPULUH Kau benar Supit Ireng! Kakakmu itu bukan saja cari penyakit tapi juga tolol dan
gila!" Supit Jagal serta merta hentikan langkahnya ketika mendengar suara itu lalu
berpaling. Supit Ireng telah lebih dulu memutar kepala ke arah datangnya suara
tadi. Wajah setan kedua orang ini mendadak sontak berubah. Lutut masing-masing terasa
bergetar. "Pangeran Matahari....!" desis Supit Jagal.
Pemuda tinggi besar berjubah hitam itu mendongak ke langit gelap lalu
terdengar suara tawanya mengekeh. Kekehan iniperlahan saja namun seperti
mencucuk liang telinga terasa oleh Supit Jagal dan Supit Ireng.
"Perempuan itu tak pantas berada dalam dukunganmu Supit Jagal. Lepaskan
tekapanmu pada mulutnya. Turunkan tubuhnya dan suruh dia melangkah ke
hadapanku!"
"Akan.....akan saya lakukan Pangeran...." kata Supit Jagal pula. Degnan hati-
hati diturunkannya tubuh tanpa pakaian itu ke tanah. Berdiri di samping Supit
Jagal janda muda itu kini dapat melihat pemuda yang tegak beberapa langkah di
depannya. Seorang pemuda bertubuh tinggi kekar, bertampang gagah, jauh lebih gagah dari
Pintoro yang sudah jadi mayat itu.
"Lepaskan tekapanmu dari mulutnya!" perintah Pangeran Matahari ketika
dilihatnya Supit Jagal masih menekap mulut perempuan itu dengan tangan kirinya.
"Saya kawatir dia akan berteriak, Pangeran. Orang sedesa bisa bangun dan
mendatangi tempat ini...."
Pangeran Matahari menyeringai mendengar kata-kata Supit Jagal itu.
"Kau takut perempuan itu berteriak. Kau takut orang satu desa datang ke mari.
Tapi kau tidak takut mendustai dan menipu aku. Menipu Pangeran Matahari yang
telah menyelamatkan kau dari kematian!" Pangeran Matahari melirik pada Supit
Ireng. "Kau juga tidak takut bukan?"
Baik Supit Jagal dan Supit Ireng tak ada yang menjawab. Pangeran Matahari
kembali tertawa mengekeh. Suara tawanya lenyap. Dia memandang dengan
tersenyum pada Suniarsih lalu membentak pada Supit Jagal.
"Lepaskan tekapanmu! Perempua itu tidak akan menjerit!"
Perlahan-lahan Supit Jagal lepaskan tekapannya pada mulut Suniarsih.
Ternyata sang janda memang tidak berteriak. Pangeran Matahari melambaikan
tangannya. "Mari, melangkahlah dan datang ke dekatku. Kau tak pantas dekat-dekat
dengan setan itu!" kata sang Pangeran pula.
Ternyata Suniarsih mengikuti ucapan Pangeran Matahari. Memang kalau
dilihat tampang dan perawakan tentu saja setiap perempuan akan memilih atau
lebih suka berada di dekat sang Pangeran dari pada Supit Jagal. Suniarsih lalu
melangkah ke dekat Pangeran Matahari. Bagitu perempuan ini berada di hadapannya, sang
Pangeran langsung merangkul dan mencium lehernya. Tubuh Suniarsih diputarnya
hingga punggung perempuan ini menempel ke dadanya. Tangan kiri Pangeran
Matahari menyelinap ke bawah ketiak kiri Suniarsih. Pemandangan ini membuat
tenggorokan Supit Jagal dan Supit Ireng jadi turun naik
. "Tak usah takut. Kau aman bersamaku....." bisik Pangeran Matahari yang
mulai terangsang merangkulinya, sedang wajah Suniarsih walaupun hanya seorang
BASTIAN TITO 48 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
perempuan desa tetapi kecantikannya sanggup memikat lelaki manapun, termasuk
sang Pangeran. Sang Pangeran kembali mencium kuduk jada itu. "Siapa namamu....?"
"Suni....Suniarsih. Saya.....saya takut pada dua orang itu. Tolong saya bawa
saya ke tempat yang aman...."
"Tak usah takut. Dua setan itu akan segera kuhabisi," bisik Pangeran Matahari,
sedang dua matanya memandang berkeliling. Dia memperhatikan dua buah gerobak
yang masing-masing berisi dua buah peti besar itu. Lalu pandangannya kembali di
arahkan pada Supit Jagal dan Supit Ireng.
"Kalian berdua memang manusia setan! Terlalu serakah. Terlalu ingin kaya
sendiri! Untuk itu kalian sengaja mendustaiku. Menipuku! Mengatakan tidak tahu
menahu tentang empat peti itu! Dulu kutolong nyawamu dari kematian, kini biar
aku sendiri yang akan membetot nyawa busuk kalian dari tubuh-tubuh anjing kalian!"
"Pangeran," kataSupit Jagal cepat. "Jangan salah duga. Waktu di goa tempo
hari, ketika kau menanyakan tentang empat peti itu, kami memang belum tahu apa-
apa. Tapi beberapa hari lalu kami berhasil mendapatkan rahasia peti-peti ini
dari Empu Pamenang sebelum kami membunuhnya dan membuang mayatnya ke dalam
danau Merak Biru......"
"Hemm....Betul begitu?" tanya Pangeran Matahari.
"Apa yang dikatakan Supit Jagal memang betul Pangeran!" berkata Supit
Ireng. "Apakah kalian juga sudah menjalankan tugas, membunuh Pendekar Kapak
Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng"!" tanya Pangeran Matahari pula dengan seringai
di bibir. "Tugas dari Pangeran memang sudah kami laksanakan. Kebetulan Wiro
Sableng muncul di danau Merak Biru. Tetapi sebelum dia sempat kami bunuh,
seorang berkepandaian tinggi yang menguasai ilmu hitam tiba-tiba muncul! Dia
mengaku sebagai saudara kembar Ki Ageng Tunggul Keparat. Dia mengaku bernama
Ki Ageng Tunggul Akhirat!"
Sampai di sini Supit Ireng meneruskan keterangan kakaknya. "Kami
menghantam mereka dengan pukulan Telapak Merapi. Tapi pukulan yang dilepaskan
manusia bernama Ki Ageng Tunggul Akhirat itu membuyarkan pukulan-pukulan
kami. Bahkan kalau kami tidak segera membuang bola asap mungkin kami berdua
sudah celaka!"
"Hebat sekali cerita kalian!" kata Pangeran Matahari pula. "Lalu empat buah
peti ini hendak kalian bawa ke mana?"
"Tentu saja hendak kami serahkan pada Pangeran!" jawab Supit Jagal.
Pangeran Matahari tertawa tergelak-gelak. "Kalian sungguh setan-setan yang
mencoba berbudi seperti manusia. Untuk itu kalian akan kuberi pengampunan...."
"Terima kasih Pangeran...." kata Supit Jagal.
"Diam! Ucapanku belum selesai!" bentak Pangeran Matahari. "Tadinya aku
sudah merencanakan hendak membunh kalian sampai daging dan tulang belulang
kalian cerai berai. Tapi mendengar ucapan kalian tadi, aku beri pengampunan dan
kalian bisa meregang nyawa dengan tubuh tetap utuh!"
Berubahlan paras Supit Jagal dan Supit Ireng.
"Pangeran....."kata Supit Ireng dengan suara bergetar.
"Tutup mulutmu bangsat! Bersiap saja menerima kematian!" hardik Pangeran
Matahari. Lalu tangannya kiri kanan diangkat ke atas.
Melihat hal itu Supit Jagal dan Supit Ireng tak bisa berbuat apa-apa selain
melompat ke samping seraya mendahului menyerang. Keduanya sengaja melepaskan
pukulan sakti Telapak Merapi yang didapatnya dari sang Pangeran. Dua pukulan ini
BASTIAN TITO 49 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dilakukan dengan mengandalkan tenaga dalam penuh! Didahului dua desisan keras,
dua larik angin panas menyambar ke arah Pangeran Matahari yang di depannya masih
tegak berdiri Suniarsih dalam keadaan tanpa pakaian itu!
Tampang Pangeran Matahari tampak membesi. Rahangnya menggebung.
Pelipisnya bergerak-gerak. Cuping hidungnya mengembang. Kedua tangannya
didorongkan ke depan.
"Wuss! Wuss!"
Dua gelombang angin sedahsyat topan prahara menyambar dari telapak tangan
kiri kanan Pangeran Matahari. Dau larik angin pukulan Supit Jagal dan Supit
Ireng serta merta terbabat musnah. Dua kakak beradik ini berteriak keras.
"Pangeran! Ampuni kami!" teriak Supit Jagal.
"Pangeran! Jangan bunuh diriku!" jerit Supit Ireng.
Namun pekik jerit itu tak ada gunanya lagi. Dua pukulan Telapak Merapii
yang dilepaskan sang Pangeran datang menyambar dengan ganas!
BASTIAN TITO 50 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEBELAS Sesaat lagi sosok tubuh Supit Jagal dan Supit Ireng akan terpanggang hangus oleh
pukulan Telapak Merapi yang dilepaskan Pangeran Matahari, tiba-tiba mencuat satu
sinar merah, merambas ke bawah menghantam pukulan sakti sang Pangeran. Tanah
bergoncang laksana dilanda gempa bumi. Hawa panas menyungkup dan dentuman
keras terdengar sampai dua kali berturut-turut.
Dua ekor kuda penarik gerobak meringkik keras lalu lari manjauh ke halaman
samping. Seruan keras keluar dari mulut Pangeran Matahari. Bukan saja karena kaget
menyaksikan bagaimana dua larik pukulan saktinya musnah tetapi juga karena saat
itu dia merasakan kedua tangannya bergetar keras sedang dadanya berdenyut sakit.
Wajahnya jelas agak pucat.
Bersamaan dengan seruan Pangeran Matahari tadi, Suniarsih juga menjerit
ketakutan. Pangeran Matahari cepat merangkul janda muda itu lalu melompat jauh
ke belakang. "Berlindung di balik pohon sana," kata Pangeran Matahari lalu mendorong
Suniarsih ke arah sebuah pohon besar. Setelah getaran di dadanya lenyap dengan
mengatur aliran darah serta nafasnya Pangeran Matahari maju tiga langkah. Dia
tidak memperdulikan Supit Jagal dan Supit Ireng yang jatuh bergelimpangan di tanah
sambil mengeluh kesakitan. Kedua matanya memandang tak berkesip dan membeliak
pada seorang kakek berpakaian serba biru, mengenakan blangkon dan bertampang
seangker setan!
Saat itu beberapa penduduk yang tinggal di sekitar situ tersentak bangun dari
tidur masing-masing. Mereka berlarian ke luar. Mereka mendatangi rumah bekas
Kepala Desa itu. Namun ketika mereka melihat wajah-wajah setan yang ada di situ,
semuanya serta merta melarikan diri karena menyangka setan betulan sedang
mengamuk di malam buta itu!
"Iblis siapa kau"!" hardik Pangeran Matahari.
"Pangeran!" Tiba-tiba Supit Jagal berkata sambil berdiri. "Ini makhluk yang
menghalangi kami membunuh Pendekar 212!"
"Hemmm....Siapa namamu" Apa kau menusia betulan atau sebangsa dedemit
jejadian"!"
Orang yang ditanya, yang tentunya sudah dapat diterka yaitu Ki Ageng
Tunggul Akhirat tertawa bergelak.
"Aku Ki Ageng Tunggul Akhirat! Apakah aku manusia betulan atau sebangsa
dedemit terserah kau menilai sendiri!"
"Lagakmu sombong amat!" tukas Pangeran Matahari merasa tersinggung.
"Kau tahu berhadapan dengan siapa saat ini"!"
"Siapa dirimu aku tidak merasa ingin mengetahui. Aku hanya tahu satu hal!
Dua bangsat bermuka iblis itu nyawanya adalah milikku. Kalau dia mampus maka
aku yang berhak membunuhnya! Tidak percuma aku bernama Tunggul Akhirat!"
Ucapan Ki Ageng Tunggul Akhirat itu benar-benar membuat marah Pangeran
Matahari. Tapi dia bukan sang Pangeran namanya kalau tidak bisa menahan diri dan
berlaku cerdik. Akalnya berjalan, kelicikannya muncul. Dia dapat melihat adanya
getaran yang menyungkup sekujur tubuh orang di depannya itu. Satu pertanda bahwa
orang ini memang meiliki ilmu hitam seperti yang dikatakan Supit Jagal. Sambil
menyeringai Pangeran Matahari berkata.
BASTIAN TITO 51 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kalau kau memang ada sangkut paut dendam kesumat dengan dua keparat
itu , silakan kau selesaikan dulu urusan dengan mereka. Aku bisa sabar menunggu!
Aku tidak merasa rugi kalau kau memang mampu membunuh mereka!"
Ki Ageng Tunggul Akhirat membalas seringai Pangeran Matahari dengan
tawa dingin. Dia memutar tubuh berpaling pada Supit Jagal dan Supit Ireng yang
saat itu berada dalam keadaan setengah mati.
"Pangean! Tolong kami!" teriak Supit Jagal.
"Setan keparat! Tak satu orangpun bisa menolong dirimu dan saudaramu!"
bentak Ki Ageng Tunggul Akhirat. Tubuhnya bergetar keras.
Supit Jagal dan Supit Ireng yang sudah putus nyali melompat ke jurusan yang
berlainan. Masing-masing berusaha melarikan diri.
"Mana bisa kalian lari dariku!" teriak Ki Ageng Tunggul Akhirat. Kedua
tangannya diangkat ke atas. Selagi dia siap untuk menghantam, tanpa diketahuinya
dari belakang dengan licik Pangeran Matahari melepaskan satu pukulan mau bernama
Gerhana Matahari. Pukulan sakti ini memancarkan sinar kuning, hitam dan merah!
Sekalipun Ki Ageng Tunggul Akhirat memiliki ilmu hitam, namun dibokong dari
belakang seperti itu tipis harapan nyawanya akan selamat.
Pada saat itulah tiba-tiba ada suara orang berseru menggelegar dalam
kegelapan malam.
"Ki Ageng! Awas serangan di belakangmu!"
Ki Ageng Tunggul Akhirat menggembor marah. Dia membalikkan tubuh dan
masih sempat melihat tiga larik sinar pukulan maut yang dilepaskan Pangeran
Matahari menderu ke arahnya!
"Eyang, bunuh manusia itu!" Mulut Ki Ageng Tunggul Akhirat berucap.
Kedua tangannya dipukulkan ke depan. Dua larik sinar merah berkiblat. Halaman
belakang itu laksana dihantam halilintar. Tiga letusan menggeletarkan bumi dan
seperti merobek langit. Ki Ageng Tunggul Akhirat merasakan kedua kakinya seperti
disapu dari tanah yang dipijaknya. Atubuhnya mengapung sampai setengah tombak.
Ketika dia jatuh ke tanah kembali sekujur tubuhnya bergelegar keras. Dia masih
sanggup berdiri meski kedua kakinya terasa goyah.
Di depan sana Pangeran Matahari tampak terhuyung-huyung. Mukanya pucat
seperti kain kafan. Dari sela bibirnya kelihatan ada darah mengucur. Tiba-tiba
seperti ada kekuatan baru masuk ke dalam tubuhnya, dia maju sampai tiga langkah ke
hadapan Ki Ageng Tunggul Akhirat. Tangan kanannya yang membentuk tinju
diangkat tinggi-tinggi ke atas. Dia siap melepaskan pukulan sakti paling
diandalkannya yaitu pukulan Merapi Meletus. Namun belum sempat tangan itu
bergeak lebih jauh dari arah kegelapan terdengar suara bersiur, disusul dengan
berkiblatnya sinar berwarna perak menyilaukan disertai hawa panas luar biasa.
Pangeran Matahari tersentak kaget. "Pukulan Sinar Matahari," desisnya
tegang. Dalam saat-saat sangat menegangkan dan menentukan begitu rupa saat
pangeran masih sempat memutar otaknya. Dia melompat empat tombak ke belakang,
sebatas jarak jangkauan pukulan sakti Sinar Matahari. Dari tempatnya berdiri
dengan pengerahan tenaga dalam penuh Pangeran Matahari membuat gerakan seperti


Wiro Sableng 070 Ki Ageng Tunggul Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendorong. Terjadilah hal yang hebat. Pukulan Sinar Matahari laksana terbendung
lalu ketika dia memukulkan kedua telapak tangannya dengan keras, pukulan Sinar
Matahari dan sekaligus pukulan Merapi Meletus miliknya sendiri membalik
menghantam ke arah Ki Ageng Tunggul Akhirat yang tengah berkomatkamit
memanggil Eyang di alam gaib. Namun sekali ini sang Eyang tidak mampu melawan
serangan balik yang datang sangat cepat dan tidak terduga.
BASTIAN TITO 52 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Ki Ageng Tunggul Akhirat menjerit keras. Tubuhnya terlempar sampai
bebrapa tombak. Ketika tubuh itu berhenti menggelinding kelihatan sekujur
dagingnya merah laksana dipanggang bahkan di beberapa bagian tulang belulangnya
menguak putih mengerikan.
Dari dalam gelap satu bayangan melompat, memburu ke arah Ki Ageng
Tunggul Akhirat. Sungguh luar biasa. Walau keadaan tubuhnya leleh mengerikan
ternyata dia tidak segera mati. Bahkan salah satu matanya masih bisa melihat
sosok tubuh orang yang berdiri di sampingnya.
"Pendekar 212....." suara Ki Ageng Tunggul Akhirat sember dalam sekarat.
"Terima kasih kau berusaha menolongku. Aku...." Ucapan Ki Ageng Tunggul Akhirat
terputus sampai di situ. Kepalanya sesaat seperti hendak bergerak bangkit. Namun
terhempas kembali ke tanah. Bersamaan dengan itu nyawanya pun melayang.
Wiro palingkan kepala ketika telinga kirinya menangkap suara mengerang di
samping kiri. Dilihatnya Pangeran Matahari melangkah tertatih-tatih. Murid Eyang
Sinto Gendeng segera mengjar dan menghadang musuh besarnya itu. Sekujur tubuh
dan pakaian sang Pangeran tampak hangus. Dari mulutnya masih terus mengucur
darah. Tubuhnya di sebelah dalam terluka parah.
Pangeran Matahari hentikan langkahnya. Kedua matanya tampak membersit
sinar ganas. Tapi hanya sebentar. Sesaat kemudian terdengar dia berkata.
"Antara kita memang ada jurang permusuhan yang dalam. Saat ini aku dalam
keadaan tak berdaya! Sebagai orang persilatan apakah kau akan membunuh diriku"!"
"Manusia licik! Kau pergunakan keadaanmu yang tak berdaya untuk belas
kasihan!" Sang Pangeran tertawa dingin. "Siapa minta belas kasihanmu Pendekar 212!
Jika kau ingin membunuhku silahkan! Aku tidak akan melawan!"
"Sialan!" maki Wiro dalam hati. "Keparat busuk licik ini tahu betul kalau aku
tidak akan mau membunuhnya dalam keadaan seprti ini!"
"Ayo, kau tunggu apa lagi"! Lekas bunuh diriku! Hantam dengan pukulan
mataharimu! Atau cabut Kapak Naga Genimu!" teriak Pangeran Matahari.
Saking geramnya murid Eyang Snito Gendeng maju lebih dekat lalu "Plaak!"
Tamparannya mendarat di pipi kiri Pangeran Mtahari. Sang Pangeran terpuntir
keras lalu jatuh berlutut. Darah semakin banyak keluar dari mulutnya apalagi tamparan
Wiro tadi telah merobek pinggiran bibirnya. Wiro cekal leher pakaian Pangeran
Matahari yang hangus lalu meraiknya ke atas dengan satu sentakan hingga orang
ini tertegak. Begitu berdiri Wiro dorong tubuhnya sampai terhuyung-huyung ke depan.
"Kau boleh pergi membawa nyawa busukmu. Lain kali jangan harap aku mau
membiarkanmua pergi dengan nyawa masih di badan!"
Sepasang mata Pangeran Matahari memandang tak berkesip pada Wiro.
"Pendekar 212....." katanya dengan suara bergetar. "Kelak kau akan menyesal
seumur hidup karena tidak membunuhku saat ini!"
"Setan! Tak perlu bicara ngaco!" hardik Wiro. Kaki kirinya bergerak dan
"Bukk!" Dia tendang pantat sang Pangeran. Terbungkuk-bungkuk menahan sakit
akibat luka dalam yang parah Pangeran Matahari akhirnya tinggalkan tempat itu.
Wiro seperti tersentak ketika sudut matanya melihat dua bayangan melompat
ke atas dua buah gerobak yang masing-masing berisi dua peti besar. Kedua orang
ini siap menggebrak kuda-kuda penarik gerobak.
"Setan-setan edan!" teriak Wiro. "Sebenarnya tadi kalian bisa melarikan diri
cari selamat! Tapi kalian lebih sayang harta dari pada nyawa!"
Wiro melompat ke atas gerobak di sebelah kanan. Kaki kirinya bergerak
menghantam dada Supit Jagal yang berusaha mencabut golok dan menusukkan
BASTIAN TITO 53 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
senjata ini ke perut Pendekar 212. Supit Jagal terlempar ke tanah. Malang
baginya, saat itu pula gerobak yang dilarikan Supit Ireng lewat dan menggilas lehernya!
Tubuh Supit Jagal tampak menggeliat beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi.
"Keparat haram jadah! Terma kematianmu!"teriak Supit Ireng. Dengan tangan
kanannya dia lepaskan pukulan Telapak Merapi yang dipelajarinya dari Pangeran
Matahari. Wiro sudah maklum kehebatan ilmu pukulan itu. Dia tak mau menunggu
lebih lama dan segera mendahului serangan lawan. Tangan kanannya bergerak ke
pinggang. Sesaat kemudian satu sinar menyilaukan membelah kegelapan malam
disertai suara seperti ribuan tawon mengamuk.
"Crass!"
Tangan kanan Supit Ireng yang hendak melepaskan pukulan sakti putus!
Jeritan manusia muka setan ini setinggi langit. Tapi suara jeritan itu tertahan
ketika untuk kedua kalinya Kapak Maut Naga Geni 212 berkelebat dan kali ini menetak
tepat di ubun-ubunnya.
Tidak mudah bagi Wiro untuk menenangkan dua ekor kuda penarik gerobak.
Dengan susah payah akhirnya dia berhasil menggandengkan kuda yang satu dengan
bagian belakang gerobak. Wiro tahu pasti bahwa empat bau peti berisi barang-
barang berharga serta uang itu adalah milik Kerajaan yaitu yang dirampok komplotan Lor
Paregreg beberapa waktu lalu. Berarti dia punya kewajiban untuk mengembalikan
keempat peti itu ke Istana Sultan di Kotaraja. Wiro siap menggebrak kuda penarik
gerobak sebelah depan ketika tiba-tiba terdengar suara perempuan memanggil.
"Saudara! Hai! Jangan tinggalkan diriku! Tolong!"
Murid Eyang Sinto Gendeng tertegun sesaat. Dia hentikan kudanya."Ah,
mungkin aku salah pendengaran. Suara angin kukira suara orang memanggil....."
Wiro tarik tali kekang kuda.
"Saudara! Tunggu....! Tolong aku... Aku takut!"
"Eh.... Itu suara manusia beneran..." ujar Wiro. Dia memandang ke belakang,
ke arah sebatang pohon besar. Suara perempuan yang memanggil itu datang dari
balik pohon. Meskipun hatinya agak meragu dia turun juga dari atas gerobak lalu
melangkah mendekati pohon besar dari mana datangnya suara yang memanggil tadi.
Begitu dia sampai di balik pohon, sang pendekar kita jadi tergagau kaget dan
mundur beberapa langkah. Bagaimana kan tidak. Tak pernah dia menduga bakal melihat satu
sosok tubuh perempuan dalam keadaan bugil dengan muka pucat dan rambut riap-
riapan. "Kau....kau setan...." Wiro tergagap-gagap.
"Bukan....Bukan! Aku Suniarsih! Janda Kepala Desa Pasirginting!
Tolong....aku takut. Orang-orang yang kau bunuh itu sebelumnya hendak menculik
diriku...."
"Aku tidak percaya," kata Wiro dengan mata membelalak memandang mulai
dari atas sampai ke bawah, :Jangan-jangan kau kuntil anak...."
"Aku bukan kuntil anak! Kalau tidak percaya lihat! Punggungku tidak
bolong!" Lalu perempuan bugil itu membalikkan tubuhnya memperlihatkan
punggungnya, Tapi mata murid Sinto Gendeng bukannya melihat ke punggung
melainkan ke bagian bawah pinggang!
Suniarsih membalikkan tubuhnya kembali. Kali ini seperti baru sadar akan
keadaannya perempuan ini berusaha menutupi auratnya dengan kedua tangannya
sedapat-dapatnya.
"Aku...aku percaya kau memang bukan setan. Bukan kuntil anak. Tapi dalam
keadaan begini pertolongan apa yang bisa kulakukan..."
BASTIAN TITO 54 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Itu rumahku... Tolong antarkan aku mau mengambil pakaianku. Setelah itu
aku akan ikut ke mana kau pergi. Aku tak akan mau lagi tinggal di rumah ini! Aku
takut!" Belum sempat Wiro mengatakan atau berbuat sesuatu tiba-tiba Suniarsih
melompat dan merangkul tubuhnya. Kedua kakinya digelungkan ke pinggang Wiro
seperti anak kecil minta dukung. Pendekar 212 merasakan jantungnya seolah
berhenti berdetak. Tapi hanya sebentar. Sesaat kemudian tubuhnya terasa panas. Sambil
melangkah tidak karuan dalam hatinya pendekar ini berkata. "Mungkin ini pahala
bagiku karena tidak punya maksud jahat melarikan empat peti berharga milik
Kerajaan itu!"
.TAMAT BASTIAN TITO 55 Pembunuh Berdarah Dingin 2 Pendekar Rajawali Sakti 4 Kitab Tapak Geni Bende Mataram 36
^