Pencarian

Makam Tanpa Nisan 2

Wiro Sableng 061 Makam Tanpa Nisan Bagian 2


dapat dilihat. Tapi telinga Nyanyuk Amber sudah dapat mendengar ada sesuatu yang
melesat ke arahnya dalam kegelapan malam.
Pada saat tubuhnya dihantam angin dahsyat tadi dan menyadari bahwa dirinya tak
bisa bertahan, begitu tubuhnya kena disapu, dengan cerdik orang tua ini lipat
tubuhnya lalu gulingkan dirinya ke belakang. Tangan dan kakinya yang buntung
membuat tubuhnya bisa mengkerut menjadi bulat laksana sebuah bola. Hal ini
membuat daya gulingnya jadi berlipat ganda. Selagi dia bergulingan itulah dia
mendengar ada benda melesat ke arah kepalanya!
Nyanyuk Amber tundukkan kepalanya ke bahu kanan.
Mulutnya menarik sebatang senjata rahasia berbentuk anak panah kecil yang
tersisip di saku jubah pendek yang dikenakannya. Lalu dengan mengerahkan tenaga
dalamnya ke tenggorokan, orang tua ini meniup keras-keras.
Anak panah perak itu melesat dalam kegelapan malam, memapas ke arah datangnya
suara berdesing. Sesaat kemudian terdengar suara berdentingan. Anak panah
Nyanyuk Amber berhasil menghantam benda bulat yang menyambar di udara. Walaupun
anak panah perak itu patah berantakan namun benda yang dihantamnya mental jauh
hingga si orang tua selamat dari hantaman senjata rahasia lawan yang diarahkan
ke keningnya! Nyanyuk Amber dengan cepat terus menggulingkan dirinya sehingga
akhirnya dia sampai di tepi pasir.
Dengan mengeluarkan suara menggereng geram si
tinggi besar mengejar. Dia mengeruk lagi kantong di pinggang kirinya lalu sambil
lari dia hantamkan senjata rahasianya. Untuk kedua kalinya pula Nyanyuk Amber
menangkis dengan panah peraknya. Namun sekali ini
tangkisannya meleset. Senjata rahasia lawan berdesing ke arah kepalanya. Dalam
saat yang sangat berbahaya itu bahu Nyanyuk Amber menyerempet gundukan batu.
Dengan cepat orang tua ini memutar tubuhnya lalu jatuhkan diri di balik gundukan
batu itu. Dia selamat. Senjata rahasia lawan Iewat seujung kuku di atas
kepalanya! Tanpa menunggu lebih lama lagi orang tua ini kembali gulingkan diri
di atas pasir. Saringgih yang menunggu di atas perahu berteriak
keras. "Nyanyuk! Ambo di sini!"
Teriakan ini sudah cukup bagi Nyanyuk Amber untuk mengetahui arah di mana
pembantunya berada. Orang tua ini lipat tubuhnya lebih dalam. Lalu tubuh itu
melenting dan mencelat di udara, jatuh tepat diatas perahu. Seringgih serta
merta mendayung perahu itu cepat-cepat ke tengah lautan.
Orang tinggi besar menggeram keras. Dia berusaha iari mengejar masuk ke dalam
laut sampai tubuhnya tenggelam sebatas pinggang. Namun perahu yang dikayuh
Saringgih telah jauh ditengah. Dengan geram orang ini masih berusaha melepaskan
lagi satu senjata rahasia.
Namun senjata rahasianya itu hanya sempat menghantam bagian belakang perahu dan
menancap di kayu perahu itu.
Kembali orang ini menggeram.
"Kakek cacat itu ternyata memiliki kepandaian hebat.
Baru dia seorang yang sanggup menangkis serangan
senjata rahasiaku! Aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Tapi dari ciri-
cirinya... Jangan-jangan dia adalah Nyanyuk Amber, tokoh silat dari puncak
Singgalang, bekas guru Raja Rencong Dari Utara! Kurang ajar! Mengapa tadi aku
tidak menghantamnya dengan lima senjata rahasia sekaligus! Kalau dia berani
muncul lagi, tak akan kuberi ampun bangsat tua itu!" Lalu sambil mengepalkan
kedua tinjunya orang ini memutar tubuh dan lenyap dalam kegelapan malam.
Sementara itu di atas perahu.
"Manusia itu luar biasa... Serangahnya ganas memati-kan! Hampir saja aku benar-
benar hendak dibuatnya jadi bangkai!" kata Nyanyuk Amber seraya berusaha duduk
sementara perahu meluncur denan cepat. "Kita sudah cukup jauh ke tengah. Manusia
itu pasti tidak dapat lagi melihat kita. Sekarang putar arah perahu ini,
Saringgih!"
Tentu saja si pembantu menjadi heran.
"Di putar kemana Nyanyuk" Bukankah kita kembali ke pulau besar?"
"Tidak. Kita kembali ke pulau itu!"
Saringgih tersentak kaget dan hentikan mendayung
perahu. "Ambo yang salah dengar atau Nyanyuk yang salah ucap"!"
"Kau tidak salah dengar! Aku tidak salah ucap! Kita kembali ke pulau menyelinap
lewat arah selatan pada bagian yang berbatu-batu barang..."
"Nyanyuk! Kau barusan saja lepas dari maut! Sekarang malah hendak kembali ke
tempat cilaka itu!"
"Saringgih tugasku menyelidiki kematian sahabatku Tua Gila. Aku merasa ada
sesuatu yang aneh di balik kematiannya itu. Jika kau takut kembali ke pulau,
antarkan saja aku sampai di pantai selatan. Biar aku naik ke pulau seorang diri.
Kau boleh kembali ke Gunung Singgalang!"
Saringgih jadi merasa tidak enak mendengar kata-kata itu. maka diapun menyahuti.
"Nyanyuk, kita pergi sama-sama. Pulangpun harus sama-sama..."
Nyanyuk Amber tersenyum lalu rebahkan tubuhnya di lantai perahu.
*** WIRO SABLENG MAKAM TANPA NISAN
6 arena pulau itu tidak terlalu besar maka dalam
waktu tak selang berapa lama perahu yang dikayuh
KSaringgih telah sampai di bagian barat yaitu bagian yang pantainya penuh dengan
batu-batu karang tinggi diseling batu-batu cadas hitam. Saat itu tengah terjadi
pasang naik sehingga mereka bisa masuk jauh ke daratan.
Angin laut menerpa bebatuan di sepanjang pantai menimbulkan suara aneh di
telinga Saringgih.
"Ceritakan padaku keadaan di sekitar sini." kata Nyanyuk Amber begitu dia merasa
perahu mulai meluncur perlahan.
"Air laut sedang pasang naik Nyanyuk. kita bisa masuk terus ke pedalaman pulau.
Pesisir di sini penuh dengan batu-batu karang menjulang tinggi serta batu-batu
cadas hitam..."
"Bagus, berarti kita sampai di arah yang tepat. Di bagian belakang kawasan makam
Tua Gila. Kau harus menyembunyikan perahu ini. Cari tempat yang baik untuk kita.
Dan jangan meninggalkan jejak atau tanda-tanda sedikitpun!"
Di celah batu-batu besar hitam Saringgih menghentikan perahunya, lalu dia
mendukung Nyanyuk Amber turun ke darat.
"Nyanyuk, ambo melihat ada lengkungan dalam salah satu dinding karang. Mungkin
sekali goa..."
"Bawa dan tinggalkan aku disana. Lalu kau lekas cari tempat yang baik untuk
menyembunyikan perahu." kata Nyanyuk Amber pula.
Saringgih mendukung orang tua itu menuju lengkungan batu. Ternyata lengkungan
itu bukan sebuah goa melain-kan lengkungan biasa saja namun cukup besar untuk
mereka berdua. Sebelum Saringgih pergi mencari tempat untuk me-
nyembunyikan perahu Nyanyuk Amber meminta agar pembantunya itu mencari ranting-
ranting dan semak belukar sebanyak mungkin untuk menutupi bagian terbuka
ruangan batu yang akan mereka jadikan tempat ber-
sembunyi sekaligus guna menghalangi kerasnya tiupan angin dari laut.
"Nyanyuk, apa kita benar-benar akan menuju makam Tua Gila malam ini juga?"
bertanya Saringgih sambil menancapkan ranting-ranting, serta belukar di depan
legukan batu karang.
"Aku sudah memikirkan hal itu kembali. Malam ini kita tetap di sini saja. Kau
tentu letih, perlu istirahat dan tidur,"
jawab Nyanyuk Amber, "Besok saja, kalau matahari telah terbit kita kembali ke
lapangan yang ada dua makam itu..."
Paginya ketika matahari muncul dan pasang telah turun ternyata tempat mereka
berada cukup jauh dari pantai.
Dari situ mereka dapat melihat pantai dengan jelas. Sebaliknya seseorang yang
datang dari arah pantai agak sulit melihat mereka karena ada sebuah batu karang
cukup tinggi menghalangi pemandangan.
"Nyanyuk, kau ingin ambo mencari ikan dan membakar-nya untuk sarapan pagi?"
bertanya Saringgih.
"Jangan jadi orang tolol! Aku tak ingin mahluk yang katanya kini menguasai pulau
ini melihatmu. Membakar ikan sama saja mengundang kedatangan mahluk celaka itu
kemari!" Saringgih terdiam menyadari ketololannya sendiri.
Dalam hati dia berkata " Alamat akan kosong perutku pagi ini."
"Ada hal lebih penting yang harus kita lakukan..."
"Hal apa Nyanyuk?"
"Dukung aku ke tempat kau menyembunyikan perahu."
Begitu sampai di tempat perahu disembunyikan, yaitu dibalik sebuah batu karang
lancip orang tua itu minta diturunkan lalu pada pembantunya dia berkata.
"Malam tadi salah sebuah senjata rahasia yang dilemparkan ke arah kita mengenai
bagian belakang perahu.
Senjata rahasia itu pasti masih menancap disana. Coba kau periksa!"
Saringgih melakukan apa yang diperintahkan Nyanyuk Amber. Sesaat kemudian
terdengar pembantu ini berkata.
"Kau betul Nyanyuk. Ada bagian kayu perahu yang ber-lobang tetapi tidak sampai
tembus. Sebuah benda bulat menancap di dalamnya. Ambo sudah berusaha mencungkil,
tapi sulit sekali..."
"Kalau kau cungkil dengan mulut atau jari tanganmu tentu saja sulit, Saringgih.
Pergunakan ujung kerismu!"
"Nyanyuk, keris Pusako Dewa milikku bukan senjata sembarangan. Masakan dipakai
untuk mencungkil..."
Nyanyuk Amber cepat memotong kata-kata pembantu-
nya itu. "Benda yang hendak kau cungkil juga bukan senjata sembarangan
Saringgih! Paling tidak senjata seperti itu telah menewaskan empat tokoh yang
kau lihat telah jadi mayat itu! Bahkan nyaris membunuhku! Keluarkan kerismu dan
cungkil senjata rahasia itu dengan hati-hati!"
Saringgih tak bisa berkata apa-apa lagi. Dikeluarkannya keris pusaka yang
terselip di pinggangnya lalu dengan ujung senjata ini dia mulai mencungkil benda
yang menancap di kayu belakang perahu. Setelah beberapa lama terdengar suara
pembantu itu berkata.
"Ambo berhasil mencungkil senjata rahasia ini, Nyanyuk! Bentuknya seperti
kelereng..."
"Kelereng...?" mengulang Nyanyuk Amber.
Dengan tangan gemetar si pembantu menggenggamnya
lalu memegang-megang benda bulat itu dengan ujung jarinya. Benda bulat terasa
licin dan besarnya seujung jari kelingking.
"Hemmm..." Nyanyuk Amber bergumam, Otaknya bekerja keras untuk menerka senjata
rahasia yang dikatakan Saringgih itu. Lalu dia bertanya. "Saringgih, katakan
padaku apa warna benda bulat yang besarnya lebih kecil dari kelereng ini?"
"Hitam legam. Mengeluarkan sinar redup menggidikkan!" sahut Saringgih.
Paras orang tua bermata buta itu berubah.
"Mutiara Setan..." desisnya. "Pasti ini Mutiara Setan!
Senjata ini tidak beracun. Tetapi sekali menancap di tubuh manusia dia akan
bergerak menutup jalan darah, menembus dan menghancurkan urat-urat besar hingga
korban tak mungkin ditolong. Apalagi kalau sampai menembus kepala. Korban pasti
akan mati seketika! Itulah yang terjadi dengan empat tokoh silat yang sekarang
telah menjadi mayat!"
"Nyanyuk, kalau kau sudah tahu nama senjata rahasia itu berarti kau juga tahu
siapa pemiliknya," berkata Saringgih.
Si orang tua mengangguk. "Kita harus hati-hati. Sangat hati-hati. Manusia yang
kita hadapi saat ini sejahat iblis selicik setan!"
"Siapa orangnya. Nyanyuk?" tanya Saringgih ingin tahu.
"Nanti saja kau lihat sendiri. Kita berangkat sekarang!"
Walaupun masih ingin berlama-lama di tempat itu
namun Saringgih tak bisa membantah, Dia jongkok di hadapan si orang tua. Ketika
dia siap untuk mendukung tiba-tiba Saringgih melihat sesuatu di tengah taut.
"Nyanyuk, ada perahu sedang menuju ke arah pulau..."
"Pasti sahabat yang hendak menziarahi makam Tua Gila. Ada beberapa orang kau
lihat di atas perahu?"
"Masih terlalu jauh. Kurang jelas. Tapi ambo kira cuma satu orang..."
"Tunggu saja beberapa saat lagi. Begitu perahu mendarat kau lekas katakan ciri-
ciri orang yang datang."
Saringgih menunggu. Sesaat demi sesaat perahu di
tengah taut semakin mendekat ke pulau dan akhirnya berhenti tertahan di pasir
pantai. Penumpangnya melompat turun ke pasir lalu menyeret perahunya ke dekat
sebuah batu. Seutas tali yang terikat pada ujung perahu dilibat-libatkannya ke
batu dan dibuhulnya kuat-kuat. Orang ini tampak mengangkat kedua tangannya
tinggi-tinggi lalu menggeliat beberapa kali. Sambil bersiul-siul dia melangkah
meninggalkan pantai.
"Saringgih lekas katakan siapa orang yang barusan datang itu! Dan tengah menuju
ke mana dia!"
"Ambo tak kenal. Belum pernah melihatnya sebelumnya. Orangnya masih muda
Nyanyuk. Berpakaian serba putih. Ikat kepalanya juga putih. Rambutnya menjulai
gondrong. Dia melangkah seenaknya. Sambil bersiul-siul.
Agaknya dia tidak tahu malapetaka apa yang bisa menimpa dirinya di pulau ini!
Saat ini dia melangkah terus memasuki pulau. Dia melompati batu-batu besar
dengan gerakan enteng"
"Pakaian putih ikat kepala putih. Rambut gondrong. Berjalan seenaknya malah
sambil bersiul-siul!" Nyanyuk Amber mengulangi ucapan pembantunya tadi. Otaknya
bekerja keras mengingat-ingat. Dan tiba-tiba saja dia ingat. Mulutnya yang
kempot tersenyum. Lalu orang tua ini segera hendak berteriak menyebut nama orang
itu. Namun begitu dia sadar terlakannya pasti akan didengar orang tinggi besar
di dalam pulau, Nyanyuk Amber segera kancingkan mulutnya rapat-rapat.
"Lekas kita susul pemuda itu!" katanya pada pembantunya.
Namun saat itu tiba-tiba saja angin bertiup sangat kencang. Langit di atas pulau
dan taut di sekitarnya ditutup gumpalan awan kelabu kehitaman. Udara serta merta
menjadi gelap. Lalu terdengar guntur menyambar. Di tengah laut kilat bersabung
sambar menyambar.
"Celaka Nyanyuk! Badai menyerang pulau ini!" teriak Saringgih lalu cepat-cepat
berpegangan pada dinding batu di samping agar tidak terpental di hantam angin.
"Siapa takutkan badai. Lekas dukung aku dan susul pemuda tadi!" kata Nyanyuk
Amber keras-keras di antara deru angin yang menggelegar.
Saringgih terpaksa segera mendukung orang tua itu.
Namun ketika dia baru saja melangkah keluar dari legukan batu, satu sambaran
angin melabrak dengan keras.
Saringgih dan Nyanyuk Amber terpelanting ke dalam legukan lalu sama-sama jatuh
ke tanah. Nyanyuk Amber terdengar menyerapah sedang Saringgih meringis kesakitan
sambil memegangi baglan keningnya yang benjol terantuk dinding batu.
*** WIRO SABLENG MAKAM TANPA NISAN
7 endekar 212 Wiro Sableng lunjurkan kedua kakinya
di lantai perahu, berhenti mendayung dan mem-
Pbiarkan perahu itu meluncur dihanyutkan gelombang ke arah pantai. Semakin dekat
ke pantai pulau semakin jelas kelihatan barisan batu-batu karang dan batu-batu
cadas di tepi pasir. Sepasang mata murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini
memandang tak berkesip pada dua buah batu karang yang menjulang lancip ke udara
dan paling tinggi diantara batu-batu karang yang terdapat di teluk sempit di
pulau itu. Ingatannya kembali pada masa beberapa tahun silam ketika dia
digembleng secara ganas oleh kakek sakti bergelar Tua Gila.
Waktu itu sore hari. Air laut sedang pasang naik. Dia dibawa ke teluk. Tubuhnya
diikat dengan sejenis benang sakti berwarna putih yang disebut Benang Kayangan.
Lalu dia disuruh memanjat naik ke puncak salah satu batu karang yang tinggi
terjal itu. Tua Gila sendiri kemudian naik ke atas batu karang yang satu lagi.
Berulang kali tubuh Pendekar 212 mencelat mental dihantam ombak. Setiap kali
tubuhnya terlempar Tua Gila menyentakkan benang sakti yang dipegangnya hingga
Wiro kembali terlempar ke puncak karang. Dengan susah payah akhirnya Wiro
berhasil tegak di atas batu karang itu namun saat itu dia sudah sampai pada
batas kekuatannya. Darah keluar dari mata, hidung dan telinganya dan akhirnya
pendekar ini jatuh pingsan tidak sadarkan diri lagi. Dikemudian hari Wiro baru
maklum bahwa apa yang dilakukan Tua Gila atas dirinya menjadi dasar ilmu silat
tangguh yang tak ada tandingannya yang kemudian diajarkan kepadanya yaitu Ilmu
Silat Orang Gila.
Kini setelah bertahun-tahun dari kejauhan dia dapat melihat dua puncak karang
tidak beds seperti keadaannya dulu. Luapan rasa gembira tercermin di wajah sang
pendekar. Sebentar lagi dia akan bertemu dengan Tua Gila, manusia aneh bermulut


Wiro Sableng 061 Makam Tanpa Nisan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kasar tetapi berhati polos. Rupanya dia tidak tahu kalau sesuatu telah terjadi
dengan orang tua itu.
Begitu bagian bawah perahu bergeser dengan pasir
Wiro segera melompat turun. Perahu itu diseretnya ke darat lalu dilkatkannya ke
sebuah batu. Di tepi pantai Wiro tegak sejenak, mengangkat kedua tangannya
tinggi-tinggi menghirup Wars dalam-dalam dan menggeliatkan badannya beberapa
kali. Lalu dengan setengah berlari dia masuk kebagian
dalam pulau melewati daerah berbatu-batu. Pada saat itulah udara tiba-tiba
menjadi gelap. Mendung tebal menyungkup pulau. Angin kencong bertiup dahsyat.
Guruh menggelegar dan kilat sabung menyabung.
"Badai celaka!" maki Pendekar 212 Wiro Sableng dan terus lari bahkan kini sambil
berteriak. "Tua Gila! Aku dating! Tua Gila! Aku Wiro Sableng datang menyambangi-
mu!" Namun suara teriakan Wiro itu tenggelam diteIan
gelegar guntur dan deru badai yang amat keras. Pendekar itu berjalan terus
walaupun tersaruk-saruk karena gelapnya udara yang tidak beda dengan kepekatan
malam. "Tua Gila! Aku Wiro Sableng datang! Tua Gila!" kembali Wiro berteriak. Dia
bergerak di antara lamping-lamping batu karang tinggi, memanjat batu-batu cadas
besar dan akhirnya sampal di satu tempat terbuka yaitu lapangan kecil di mana
terletak dua makam.
Murid Sinto Gendeng ini hendak berteriak kembali memanggil Tua Gila namun
mulutnya serta merta terkunci ketika tiba-tiba di bawah hujan lebat dan tiupan
angin keras serta gelapnya udara dia melihat empat sosok tubuh yang telah jadi
mayat dan sangat rusak terikat pada empat tiang kayu.
"Astaga! Aku belum sampal ke neraka! Mengapa pemandangan mengerikan begini bisa
ada dl pulau ini! Gila dan aneh! Mayat rusak begitu mengapa tidak berbau busuk?"
Tentu saja sang pendekar tidak tahu kalau Nyanyuk Amber telah meneteskan sejenis
cairan yang mampu melenyapkan bau busuk untuk beberapa waktu
lamanya. Belum habis keterkejutan murid Eyang Sinto Gendeng itu, pandangan
matanya kemudian membentur duo buah makam yang terletak di depan tiang-tiang
kematian! "Eh, kuburan siapa ini...?" bertanya Pendekar 212
dalam hati. Mendadak saja dia menjadi merasa tidak enak.
"Jangan-jangan orang tua itu..."
Wiro melompat ke hadapan makam bernisan batu
hitam. Dia berputar untuk dapat melihat guratan tulisan yang ada dibatu itu.
"Tua Gila...!" desis Wiro ketika samar-samar dia dapat membaca tulisan yang
tergurat di atas batu nisan. Tubuhnya terasa lemas dan pendekar ini langsung
jatuh berlutut di samping makam. Kedua matanya berkaca-kaca. "Orang tua...
Kenapa kau pergi begitu cepat..." Wiro menutup mukanya dengan kedua tangan lalu
mengusap wajahnya yang basah berulang kali. Sambil liiemegangi batu nisan hitam
murid Sinto Gendeng memandang berkeliling. Kini baru disadarinya bahwa tanah
makam itu masih merah.
Begitu juga tanah kubur yang disebelahnya. Lalu dia melihat pula keanehan lain
itu. "Mengapa kubur yang satu ini tidak ada batu nisan"
Kubur siapa pula ini.?" Wiro coba menduga-duga. Dia ingat pada anak kecil
berusia dua tahun lalu yang kemudian diambil murid oleh Tua Gila.
Jika anak itu masih hidup uslanya sekarang sekitar enam tahun. Dimana anak Itu
kini" Apakah kubur yang satu ini kuburannya"
"Tanah kubur masih merah. Berarti duo jenazah yang ada di sini belum lama
dimakamkan. Lalu siapa yang menguburkan mereka?"
Wiro menatapi kedua makam itu lama-lama. Kemudian dia melihat ada kabut tipis di
sekitar makam. "Aneh, setahuku tak pernah ada kabut di pulau inil"
Hujan menders deras. Apa yang disangkakan Wiro
sebagai kabut itu lenyap. Kini tinggal bau sesuatu yang merasuk hidungnya.
"Sepertinya yang kulihat tadi bukan kabut. Tapi asap... Ada bau rokok sekitar
tempat init" Wiro memandang berkeliling. "Aneh... Setan atau jin lautkah yang
merokok.. . "?
Tak lama setelah asap lenyap, bau rokokpun ikut sirna.
Lalu lapat-lapat, seolah-olah datang dari suatu terowongan jauh di perut bumi
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Wiro Sableng mendengar suara ketukan-ketukan sangat halus. Semula dia menyangka
telinganya salah dengar.
Namun ketika diperhatikannya baik-baik, diantara deru badai memang ada suara
ketukan halus terdengar beberapa kali. Lenyap sebentar lalu terdengar lagi.
Murid Sinto Gendeng menggeser tubuhnya lebih dekat ke makam. Lalu perlahan-lahan
telinga kirinya didekatkan ke batu nisan hitam. Kembali terdengar suara ketukan.
Lewat batu nisan itu kini matah ketukan itu terdengar lebih jelas. Wiro mengorek
sebuah batu kecil. Dengan batu itu dia mengetuk batu nisan hitam beberapa kali. Suara ketukan yang tadi lenyap kini
terdengar lagi. Lalu diam.
Wiro mengetuk lebih keras. Seperti dibalas dia mendengar jawaban suara ketukan.
Ketika Wiro hendak mengetuk sekali lagi, saat itulah dia melihat dalam kegelapan
sepasang kaki berkasut kulit sampai sebatas lutut melangkah di atas tanah yang
becek. Setiap langkah yang dibuatnya menimbulkan getaran di tanah. Wiro angkat
kepala Pendekar 212 melengak kaget ketika melihat satu sosok tubuh tinggi besar
bermantel hitarri tahu-tahu sudah tegak di hadapannya. Orang ini bermuka panjang
yang tertutup kumis dan berewokan liar, mengenakan topi tinggi.
Sepasang matanya sangat besar. Desauan nafas yang keluar dari mulutnya seperti
suara gerengan harimau. Di ketiak kirinya orang tinggi besar ini mengepit sebuah
benda hitam. Tiba-tiba orang ini menyeringai. Mulutnya terbuka.
Kelihatan gigi-giginya yang besar serta taring seperti harimau. Seringai lenyap.
Dari mulut orang ini kini keluar suara tawa berkakakan.
"Manusia kutuk sumpah! Akhirnya kau datang juga!
Ha... ha... ha .... Sahabatmu Tua Gila memang sudah lama menunggu! Ha... ha...
ha...!" Perlahan-lahan Wiro bangkit berdiri.
"Siapa kau"!" Wiro membentak.
Yang ditanya menjawab dengan tawa bergelak. Lalu
benda hitam yang sejak tadi di kempitnya diturunkan dan secepat kilat
ditancapkannya di bagian kepala makam di samping makam Tua Gila. Ternyata benda
yang ditancapkannya itu adalah sebuah batu nisan yang bentuk dan ukurannya sama
dengan nisan yang ada di makam Tua Gila!
Menurut taksiran Wiro batu hitam itu beratnya puluhan kati. Orang bermantel
sanggup menancapkannya sampai setengahnya berarti dia memiliki kekuatan luar
biasa! Makam yang tadi tidak bernisan itu kini lengkap sudafi dengan batu nisannya!
Sepasang mata Pendekar 212 membelalak ketika
melihat nama yang tergurat di atas batu nisan. Ternyata itu adalah namanya
sendiri. Wiro Sablengt Berarti makam itu adalah kuburannya sendiri!
Orang bermantel hitam masih tertawa panjang. Tiba-tiba tawanya berhenti dan
terdengar ucapannya "Bagus, kau telah datang untuk melihat makammu sendiri!"
Dengan kaki kirinya yang berkasut kulit orang ini menginjak sebuah batu yang
menonjol di dekat kepala nisan. Terdengar suara berdesir. Lalu terjadilah hal
yang aneh. Tanah kuburan yang baru ditancapi batu nisan perlahan- lahan
kelihatan terangkat. Ternyata tanah merah itu di bagian bawahnya adalah sebuah
batu tebal empat persegi panjang yang tidak beda dengan sebuah pintu penutup!
Ketika besi penutup terbuka lebar Wiro melirik ke bawah. Dalam gelap dia dapat
melihat lobang kosong itu berdinding dan bertantai batu tebal. Sebuah pipa kecil
aneh terdapat dibagian bawah besi penutup.
"Liang kuburmu sudah kusediakan Pendekar 212! Kau mau masuk secara baik-baik
atau perlu aku bantu meng-gotongmu ke dalam"!"
"Bangsat keparat ini tidak bersenda gurau!" kata Wiro dalam hati. Dia melirik ke
makam di sebelah kiri. Rahangnya menggembung. "Berarti kau juga yang telah
memasukkan sahabatku Tua Gila ke dalam makam yang satu ini!"
katanya menuduh.
"Ha ...ha... ha...! Dugaanmu tepat..."
"Di mana murid Tua Gila yang berusia enam tahun" Apa kau pendam juga di makam
ini"!"
"Untuk sementara anak itu ada di bawah kekuasaanku.
Nyawanya tergantung pada gurunya si Tua Gila. Ha... ha...
ha... Silahkan masuk Pendekar 212. Tapi serahkan dulu senjata mustika Kapak Maut
Naga Geni 212 padaku.
Lemparkan senjata itu kehadapanku. Juga berikan padaku buku Seribu Macam Ilmu
Pengobatan. Jangan coba mem-bangkang apa lagi melawan. Aku bisa membunuhmu
secepat aku membalikkan telapak tangan! kapak dan buku itu! Lekas!"
"Hujan begini deras. Badai melanda begini hebat! Tapi belum pernah aku melihat
orang yang gilanya sehebatmu!
Kau memendam sahabatku Tua Gila! Kau menculik muridnya! Kini menyuruh aku masuk
ke dalam liang kubur!
Malah mengemis dulu minta senjata dan buku!"
"Mulutmu pandai bicara! Aku mau lihat apa kau masih bisa bicara kalu mulutmu itu
sudah kurobek!"
Tiba-tiba orang bermantel putar tubuhnya sambil me-mukulkan kedua tangannya
sekaligus ke depan. Dua
gelombang angin yang sangat keras melabrak murid Sinto Gendeng. Tubuh pendekar
ini terdorong ke arah lobang kubur.
Wiro membentak keras lalu cepat menghantam dengan pukulan Tameng sakti menerpa
hujan. *** WIRO SABLENG MAKAM TANPA NISAN
8 RANG bertopi tinggi berseru kaget ketika melihat
bagaimana serangan balasan lawan bukan saja
0membuyarkan hantamannya tetapi juga membuat
kedua kakinya goyang bergetar. Dia menyeka mukanya yang basah oleh air hujan
dengan tangan kiri lalu mencoba menyergap Wiro dengan satu lompatan.
Pendekar 212 sambut serangan lawan dengan jotosan ke arah perut. Jotosan itu
mendarat di sasarannya dengan telak tapi si tinggi besar tidak bergeming
sedikitpun. Malah dia menyeringai memperlihatkan taringnya. Wiro membuat gerakan
berputar setengah lingkaran. Laksana kilat kaki kanannya melesat ke atas.
Bukkk! Kaki kanan itu menghantam rahang lawan dengan
keras, membuat orang itu terpelanting dan jatuh terbanting di tanah yang becek.
Paling tidak pasti tulang rahangnya pecah, begitu Wiro berpikir. Tapi murid
Sinto Gendeng ini jadi tercengang ketika dilihatnya orang itu berdiri kembali
tanpa menunjukkan rasa sakit apalagi cidera. Hanya topi tingginya yang lepas dan
jatuh ke tanah. Kelihatan rambutnya yang panjang lebat riap-riapan, dan basah
oleh air hujan.
Dengan tenang dia mengambil topinya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro untuk
menendang ke arah kepala.
Dari mulut si tinggi besar terdengar suara menggereng.
Lalu tangan kirinya bergerak cepat menangkap per-
gelangan kaki Wiro yang menendang. Begitu tertangkap orang ini membuat gerakan
aneh dan tahu-tahu tubuh Pendekar 212 sudah terangkat ke atas lalu dibantingkan
ke bawah. Tubuh pendekar itu jatuh tepat di dalam liang kubur.
Sambil menyeringai si tinggi besar melompat hendak menekan batu di kepala makam.
Maksudnya segera
hendak menurunkan batu tebal penutup kuburan. Wiro yang tahu apa artinya kalau
dia sampai terperangkap di datam liang kubur itu segerar melompat sambil
lepaskan pukulan yang dipelajarinya dari Tua Gila yaitu Kincir padi Berputar.
Tangan kanannya menabas pergelangan kaki lawan yang hendak menekan batu rahasia.
Melihat serangan yang bisa memutus kakinya itu si tinggi besar cepat melompat selamatkan
diri. Kesempatan ini segera dipergunakan oleh Wiro untuk melompat keluar dari
dalam kuburan. Di bawah hujan lebat dan badai kedua orang itu
kembali berhadap-hadapan. Sesast keduanya berputar-putar. Wiro membuka serangan
dengan jurus kepala naga menyusup awan. L.engan kanannya berkelebat ke atas-
seperti hendak menghajar dagu tetapi disaat yang sama jotosan kanan menyusup ke
arah dada lawan.
Yang diserang keluarkan suara mendengus. TUbuhnya berkelebat ke kiri. Dua
tangannya disilangkan. Begitu silangan dibuka maka tangan kanan Wiro terjepit
diantara kedua lengannya laksana jepitan besi! Selagi Pendekar 212 berusaha
melepaskan jepitan itu kaki kanan lawan menderu menghantam perutnya.
Murid Sinto Gendeng mengeluh tinggi. Tubuhnya mencelat sampai dua tombak.
Sebelum dia bisa berdiri dengan benar, dua jotosan melanda mukanya. Kembali
pendekar ini terpental. Hidungnya mengucurkan darah sedang mata kirinya lebam
membiru. Si tinggi besar keluarkan suara tawa bergerak dan mendekati Wiro dengan kedua
tangan terpentang. Baru lawan sempat maju dua langkah Wiro segera sambut dengan
jurus segulung ombak menerpa karang. Serangan ini dibuka dengan satu tendangan
tipuan, ketika lawan mengelak Wiro susul dengan satu lompatan seraya tangan kiri
membabat ke leher.
"Serangan tak berguna! Terima pukulanku!" ejek lawan lalu cepat sekali tangan
kanannya melesat ke dada Wiro.
Murid Sinto Gendeng cepat menangkis tapi luput. Jotosan lawan menghantam dadanya
dengan telak. Pendekar 212
terbanting jatuh punggung di tanah. Dari mulutnya kelihatan ada darah keluar.
Tulang-tulangnya serasa berantakan. Ketika lawan datang hendak menendangnya wiro
segera menimbun seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan. Tangan itu sebatas
lengan sampal ke ujung-ujung jari berubah menjadi putih perak menyilaukan. Udara
yang tadi dingin berubah menjadi panas.
Si tinggi besar mengekeh.
"Aku mau lihat pukulan sinar matahari yang terkenal itu!" katanya mengejek lalu
tegak berkacak pinggang.
"Leleh tubuhmu!" teriak Wiro seraya menghantam.
Sinar putih berkilat. Hawa panas menghampar. Si tinggi besar masih tegak
bertolak pinggang. Malah kini kembali keluarkan suara tawa bergelak. Tiba-tiba
dia menggerakkan kedua tangannya. Dua telapak tangan menghadap ke depan dan
didorongkan perlahan saja. Ada hawa aneh yang memancarkan sinar hitam redup
menyongsong pukulan sinar malahari. Lalu bummmm!
Satu ledakan keras berdentum laksana merobek langit.
Pukulan sinar matahari buyar berantakan. Pendekar 212
Wiro Sableng keluarkan seruan kaget. Tubuhnya terguling beberapa langkah. Dari
mulutnya kelihatan lebih banyak darah keluar. Di bagian lain lawannya tampak
mengerenyit. Pakaian kuning yang dikenakannya di bawah mantel
hangus hitam sebagian tetapi tubuhnya sendiri tidak apa-apa, begitu juga mantel
hitam yang dikenakannya!
"Saatmu untuk masuk ke liang kubur Pendekar 212!"
kata si tinggi besar. Lalu kaki kanannya ditendangkan ke tubuh Wiro.
Dalam keadaan terluka seperti itu Pendekar 212 masih sempat menghindar dengan
menggulingkan diri lalu cepat berdiri. Baru tegak dan belum sempat memasang
kuda-kuda lawannya sudah menyerbu dengan serangan-
serangan tangan kosong yang ganas. Wiro keluarkan jurus-jurus silat Tua Gila
yang didapatnya Tua Gila. Tapi lawan menyambut dengan taws mengejek.
"Keluarkan seluruh jurus silat orang Gila! kalau penciptanya saja bisa kuhajar
apalagi kau yang cuma cecunguknya!"
Lalu serangan lawan datang menghantam susul
menyusul. Semua gerak silat orang Gila yang selama ini tidak ada duanya dibuat
mentah. Wiro terdesak hebat dan mundur terus. Tanpa disadari dia mundur
membelakangi liang kubur yang menganga. Tiba-tiba lawan membuka mantel hitamnya
lalu mengebutkan mantel ini ke arah Wiro.
Murid Sinto Gendeng seperti mendengar gemuruh suara air bah. Angin sedahsyat
topan keluar dari mantel yang dikebutkan menyapu tubuhnya. Wiro membentak dan
lindungi diri dengan pukulan sakti benteng topan melanda samudera! Tapi tak ads
gunanya. Tubuhnya telah terjengkang lebih dahulu, lalu tersapu mental. Kapak
Muat Naga Geni 212 yang terselip di pinggangnya ikut tersapu ke udara. Wiro
berusaha melompat untuk menggapai senjata mustika itu. Namun di depan sana lawan
kembali kebutkan mantelnya. Tak ampun lagi murid Eyang Sinto Gendeng itu
mencelat masuk ke dalam Hang kubur. Kepalanya
membentur dinding makam yang terbuat dari batu tebal.
Pemandangannya seperti gelap. Di saat itu pula si tinggi besar meiompat.


Wiro Sableng 061 Makam Tanpa Nisan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tangannya menempel pada batu yang menyembul dl kepala makam.
"Pendekar 212! Sebelum meregang nyawa kau dengar baik-baik. Beberapa tahun lalu
kau telah membunuh adikku Datuk Sipatoka di bukit Tambun Tulang! Hari ini kau
terima pembalasan dariku. Kau hanya bisa bertahan empat hari dalam liang kubur
ini. Tapi jika kau mau memberi tahu di mana kau menyimpan buku Seribu Macam limu
Pengobatan, nyawamu akan kuselamatkan. Beri tanda dengan tiga ketukan pada batu
penutup makam! Kalau kau keras kepala dan tak mau memberi tahu, kau akan jadi
bangkai secara perlahan-lahan dalam makam itu! Ha...
ha... ha ...!"
Orang yang mengaku kakak Datuk Sipatoka itu tertawa bergelak lalu tekan batu
yang menyembul di kepala makam. Batu tebal penutup makam serta merta jatuh ke
bawah. Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 yang berada dalam keadaan antara sadar
dan tiada terpendam di dalamnya!
Sesaat sebelum penutup batu itu jatuh mendadak terdengar seseorang berteriak.
"Wiro!"
Manusia tinggi besar tersentak kaget. Dia cepat menyambar Kapak Maut Naga Geni
212 yang tercampak di tanah lalu memandang berkeliling.
Saat itu badai dan hujan telah mereda. Udara beralih terang sedikit demi
sedikit. Sepasang mata lebar si tinggi besar jelalatan kian kemari. Tapi dia
tidak berhasil melihat dimana adanya orang yang barusan berteriak menyebut nama
Pendekar 212. Maka diapun membentak.
"Siaps yang berteriak! Lekas unjukkan diri!"
Tak ads jawaban. Dia memandang pada senjata
mustika yang ada dalam genggamannya. Perlahan-lahan disalurkan tenaga dalam ke
tangan kanan. Lalu Kapak Maut Naga Geni 212 dibabatkannya beberapa kall. Sinar
menyilaukan berkelibat disertai suara seperti lebah mengamuk dan menclerunya
haws panas. Pohon-pohon
berderak patah dan hangus. Semak belukar rambas dan mengepulkan asap. Batu-batu
karang dan batu-batu cadas yang kena hantaman sinar senjata mustika itu retak
lalu mental berkeping-keping.
"Senjata luar biasal" kata si tinggi besar dalam hati. Dia memandang
berkeliling. Tempat itu kini sunyi senyap.
Hanya debur ombak terdengar di kejauhan. Dan dia masih belum dapat mengetahui
siapa atau di mana orang yang tadi berteriak.
"Suara yang berteriak tadi jelas suara perempuan... Atau mungkin telingaku
keliru menangkap bunyi suara..."!" Dia memandang sekali lagi berkeliling lalu
berteriak, "Hantu atau jin perempuan! Kau tak berani unjukkan diri! Jangan kira
kau bisa bersembunyi! Aku akan menemukanmu!
Masih banyak tiang-tiang kosong mengikat bangkaimu di tempat ini!"
Habis berteriak begitu orang ini cepat berkelebat dan tubuhnya yang tinggi besar
kemudian lenyap di celah antara dua batu karang.
*** WIRO SABLENG MAKAM TANPA NISAN
9 iapakah sebenarnya orang tinggi besar yang memiliki ilmu silat hebat serta
kesaktian luar biasa itu" Yang S sanggup menghajar Pendekar 212 sampai babak
belur bahkan memendamnya di liang makam yang agaknya memang telah sejak lama
disiapkan. Untuk menjawab hal ini kita kembali pada masa be-
berapa tahun silam ketika Pendekar 212 Wiro Sableng mengarungi laut Jawa untuk
sempai ke pulau Andalas.
Seorang tokoh silat dari pulau Madura bernama Kiai Bangkalan ditemui mati
terbunuh di tempat kediamannya di Goa Belerang. Dari penyelidikan yang dilakukan
Wiro, diketahui bahwa pembunuhnya adalah Datuk Sipatoka seorang tokoh silat
jahat di pulau Andalas yang diam di Bukit Tambun Tulang.
Wiro segera berlayar ke pulau Andalas untuk mencari si pembunuh. Ternyata Datuk
Sipatoka bukan saja membunuh Kiai Bangkalan tetapi juga mencuri sebuah kitab,
langka berjudul Seribu Macam Ilmu Pengobatan.
Dalam pelayaran perahu yang ditumpangi Wiro diserang badai hingga terbalik. Wiro
berhasil menyelamatkan diri dengan sebuah papan. Selagi terkatung-katung di
tengah laut yang diamuk gelombang besar dia melihat seorang anak kecil timbul
tenggelam dipermainkan ombak. Ternyata anak itu masih hidup dan segera
diikatkannya ke papan. Dia sendiri tidak memikirkan keselamatannya lagi.
Sesaat sebetum Wiro tenggelam ditelan gelombang tiba-tiba muncul sebuah perahu
berpenumpang kakek aneh.
Orang tua ini menyelamatkan Wiro dan anak kecil tadi.
Ternyata kakek itu adalah seorang tokoh silat sakti mandraguna yang diam di
sebuah pulau dan dikenal
dengan nama Tua Gila. Dari orang tua ini Wiro kemudian mendapat pelajaran
beberapa jurus ilmu silat langka yaitu Ilmu Silat Orang Gila sedang si anak
kecil diambil jadi muridnya.
Berkat beberapa petunjuk yang diberikan Tua Gila Wiro akhirnya sampal di sarang
Datuk Sipatoka. Ternyata sang datuk memang bukan manusia sembarangan. Selain
tinggi ilmu silatnya orang ini juga memiliki berbagai pukulan sakti. Untung saja
saat itu Tua Gila muncul. Bersama-sama mereka kemudian menumpas manusia jahat
itu. Datuk Sipatoka terbunuh dan buku Seribu Macam Ilmu
Pengobatan ditemukan oleh Tua Gila lalu diberikan pada Pendekar 212 Wiro
Sableng. Kematian Datuk Sipatoka dan hancurnya sarang
manusia jahat itu ternyata tidak habis sampai disitu saja.
Kematian Datuk Sipatoka menimbulkan dendam kesumat pada seorang sakti dan jahat
yaitu kakak kandung sang Datuk bernama Datuk Tinggi Raja Di Langit yang diam di
Kepulauan Pagai.
Namun ketika mengetahui bahwa adiknya terbunuh
oleh Tua Gila dan Pendekar Kapak Maut naga Geni 212
yang merupakan orang-orang dunia persilatan dengan name besar maka Datuk Tinggi
terpaksa menahan hati dan bersabar. Die maklum tak bakal menang menghadapi
kedua lawan yang berkepandaian tinggi itu. Maka dia menyusun satu rencana sambil
memperdalam ilmu
kepandalannya sendiri. Dia mempelajari pula ilmu silat Orang Gila ciptaan Tub
Gila tetapi khusus menekuni kelemahan-kelemahannya. Dengan care begitu jika
kelak dia berhadapan dengan musuh besarnya itu dia akan mudah menentukan segala
serangannya. Untuk menghdapai Pendekar 212 Wlro Sableng. Datuk Tinggi Raja Di langit
menggembleng tenaga dalamnya dan membuat sebuah mantel hitam yang kelak akan
menjadi senjata yang dapat diandalkannya. Di samping itu sang datuk telah
menciptakan pula semacam senjata rahasia yang bakal menggemparkan dunia
persllahn, yang terbuat dari mutiara hitam dan kelak oleh orang-orang persilatan
disebut sebagal Mutiara Setan.
Setelah empat tahun menyiapkan diri, diam-diam Datuk Tinggi Raja Di Langit
berangkat ke pulau kediaman Tua Gila. Dalam perjalanan dia menyebar kabar bahwa
Tua Gila telah meninggal dunia. Hal ini untuk mengundang para sahabat Tua Gila
datang ke pulau itu untuk berziarah.
Datuk Tinggi ternyata bukan saja mendendam untuk membunuh Tua Gila, tetapi juga
semua sahabat orang tua itu akan dilenyapkannya. Dan tujuan utamanya menyebar
berita palsu itu adalah agar Pendekar 212 Wiro Sableng yang menjadi musuh
utamanya muncul pula di pulau itu untuk dihabisinya. Di samping itu Datuk Tinggi
Raja Di Langit juga sangat berminat untuk memiliki Benang Kayangan milik Tua
Gila, Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro serta mencari tahu di mana kitab
Seribu Macam Ilmu Pengobatan yang dulu pernah dimiliki adiknya Datuk Sipatoka.
Ketika Datuk Tinggi sampai di pulau kediaman Tua Gila ternyata orang tua itu
belum kembali dari suatu perjalanan jauh. Dia hanya menemukan murid Tua Gila,
seorang anak lelaki yang baru berusia enam tahun. Dengan mudah Datuk Tinggi
meringkus anak ini, mengikatnya dan membawanya ke sebuah goa sempit di antara
celah-celah batu karang dimana dia bersembunyi.
Datuk Tinggl kemudian menggeledah gubuk kayu
kediaman Tua Gila. Benda yang dicarinya yaitu buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan
tidak ditemukan.
"Berarti benar kabar yang kuterima di luaran, Kitab Itu telah diberikan dan
berada di tangan Pendekar Kapak maut Naga Geni 212!" kata Datuk Tinggi dalam
hati. Lalu cepat-cepat dia meninggalkan gubuk tersebut.
Sambil menunggu kedatangan Tua Gila, Datuk Tinggi pergunakan kesempatan untuk
melakukan sesuatu sesuai dengan rencananya. Dia membuat dua buah makam yang
diberi peralatan rahasia. Bagian atas makam dilapisi batu yang bisa dibuka dan
ditutup jika sebuah batu pada masing-masing kepala makam di tekan. Lantai dan
dinding makam juga dilapisi dengan batu-batu tebal. Di kedua makam ini kelak dia
akan menjebloskan dan mendekam Tua Gila serta Pendekar 212 Wiro Sableng sampai
kedua orang itu menemui ajal secara perlahan-lahan. Dua buah batu nisan hitam
bertuliskan nama Tua gila dan Wiro Sableng tak lupa disiapkannyal
Setelah menunggu hampir satu minggu akhirnya Tua
Gila muncul pada suatu malam. Dia langsung menuju ke tempat kediamannya sebuah
gubuk kayu di bagian
tenggara pulau. Ada dua hal yang membuat Tua Gila terkejut begitu memasuki
gubuk. Pertama isi gubuknya kelihatan berantakan seperti ada yang membongkar
setiap sudut tempat itu. Hal kedua dia tidak menemukan muridnya, anak lelaki
yang baru berusia enam tahun itu.
"Heran, ke mana anak itu" Kalau masih siang pasti dia tengah bermain-main di
hutan kecil atau di lapangan. Atau di tepi pantai. Tapi malam-malam begini...?"
membatin Tua Gila. Maka diapun keluar gubuk mulal mencari sambil tiada hentinya
berteriak memanggil muridnya itu.
"Malin... Malin Sati! Di mana kau...?"
Mula-mula Tua Gila mencari sepanjang tepi pantai
terdekat. Ketika sang murid tidak dijumpai orang tua ini kembali memasuki pulau
dan akhirnya sampai di lapangan kecil. Disini dua menghentikan langkah sambil
memandang terheran-heran. Ada dua gundukan tanah dilihatnya di ujung lapangan.
"Dua buah kuburan..." desis tua Gila. "Kuburan siapa..."
Satu berbatu nisan. Satunya tidak..."
Tua Gila bergegas mendatangi. Dihadapan makam bernisan langkahnya tertahan.
Meskipun malam gelap namun matanya masih dapat membaca nama yang tertulis di
atas batu itu. Tua Gila! Namanya sendiri!
Tua Gila menyeringai.
"Siapa pula yang bercanda dengan segala kegilaan ini?"
katanya dalam hati. Namun sesaat kemudian seringainya lenyap. Parasnya berubah.
"Mungkin ini bukan senda gurau... " Dia berjalan mengelilingi kedua makam itu.
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara raungan anjing.
Tua Gila terkesiap.
"Puluhan tahun hidup di pulau ini baru kali ini aku mendengar suara lolongan
anjing! Tak pernah ada anjing di pulau ini. Atau itu suara hantu laut" Mungkin
juga binatang jadi-jadian...?" Tua Gila memandang berkeliling. Orang tua sakti
ini kemudian menyadari, walau dia belum melihat sosok tubuh lain di tempat itu
tapi dia merasa pasti ada seseorang yang tengah memperhatikan gerak geriknya
saat itu. Perlahan-lahan Tua Gila menatap tajam setiap sudut gelap yang ada
disekitarnya. Tiba-tiba dia menghantam ke arah celah dua batu karang di depan
sana. Serangkum gelombang angin menderu. Dua batu
karang bergetar. Tua Gila hendak menghantam sekali lagi.
Pada saat itulah dari celah batu karang muncul melompat sesosok tubuh tinggi
besar yang langsung menyergapnya.
Tua Gila cepat menyingkir seraya memukul. Tapi
serangannya hanya mengenai tempat kosong karena yang diserang tahu-tahu sudah
melompat ke samping dan dari samping lepaskan satu pukulan mengandung gelombang
angin yang hebat sehingga Tua Gila terhuyung-huyung hampir jatuh!
"Tenaga dalam dan pukulan orang ini luar biasa sekali!"
kata Tua Gila lalu dia melompat mundur seraya membentak. "Penyerang tak
dikenal!" Kau mencari mati berani menginjakkan kaki di pulauku! Katakan siapa
dirimu!" Yang ditanya menjawab dengan suara tawa bergelak.
Orang ini bertubuh tinggi besar. Mengenakan baju kuning yang disebelah luar
dilapisi mantel dalam berwarna hitam.
Dia memakai kasut kulit sampai sebatas lutut. Di Kepalanya ada sebuah topi
tinggi. Mukanya tertutup kumis dan berewok sedang sepasang matanya besar sekali.
"Mulutmu busuk, taringmu seperti harimau! Jangan tertawa keras-keras di
hadapanku! Pasti kau binatangnya yang telah mengobrak-abrik isi gubukku...!"
Suara tawa orang tinggi itu semakin keras.
Tua gila ingat pada Malin Sati. Rahang dan pelipis orang tua ini langsung
mengembung. Mukanya yang hanya
tinggal kulit pembalut tengkorak nampak berubah.
"Pasti kau juga telah menculik muridku! Lekas kembalikan Malin Sati! Jika anak
itu sampai tergores saja kulitnya akan kupatahkan batang lehermu!"
"Memang aku yang membongkar isi rumahmu. Aku juga yang menculik muridmu..."
Mendengar pengakuan si tinggi itu, Tua Gila meng-
gembor marah. Tubuhnya melayang sebat, tangan
kanannya bergerak membabat ke arah batang leher orang.
Si tinggi besar cepat membungkuk lalu balas meng-
hantam ke arah perut Tua Gila. Orang tua ini terkesiap, cepat berkelit. Setelah
itu dia kembali menyerbu dengan mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat orang gila.
Tubuhnya gerabak gerubuk seperti orang mabok. Tapi setiap tangan atau kakinya
bergerak, itu adalah gerakan menyerang yang sulit diduga dan sangat berbahaya.
"Ilmu silat orang gila!" seru si tinggi bermantel hitam.
"Dulu memang ditakuti orang! Tapi bagiku ilmu silatmu tidak lebih dari gerakan
seekor ayam yang tertelan karet!"
Habis berkata begitu orang bermantel itu lalu menghadapi Tua Gila dengan jurus-
jurus tak kalah anehnya.
Tua Gila terkesiap ketika melihat jurus-jurus yang di-mainkan lawannya adalah
kebalikan dari setiap gerakan ilmu silatnya. Dengan sendirinya jurus apapun yang
di-keluarkannya untuk menyerang, dengan sangat mudah dapat dimentahkan lawan.
Melihat Tua Gila terkesiap orang tinggi itu tertawa bergelak. Dia melangkah ke
kepala makam di sebelah kiri di mana terdapat sebuah batu sebesar kepalan. Batu
ini ternyata dibenamkan ke tanah dan dihubungan dengan sebuah alat rahasia.
Ketika batu di tekan terdengar suara berdesir lalu secara aneh bagian atas
kuburan sebelah kiri yang bertanah merah bergerak ke atas. Di sebelah bawah
tanah merah ini terdapat lapisan batu sangat tebal. Kini Tua Gila dapat melihat
bagian dalam makam. Dinding dan lantainya berlapiskan batu tebal. Makanr itu
hampir dua tombak lebih dalamnya.
"Sudah saatnya aku mengucapkan selamat jalan padamu Tua Gila!"
"Eh, setan ini tahu namaku!" rutuk Tua Gila.
"Kau kaget aku tahu siapa dirimu"! Tua Gila, dengar baik-baik. Kematianmu tak
dapat dihindari. Liang kubur sudah kusediakan. Aku tadinya ingin membunuh dan
mencincang tubuhmu sampai lumat. Tapi aku mau berbaik hati agar kau bisa mati
wajar-wajar saja. Untuk itu kau harus menyerahkan padaku senjatamu berupa benang
sakti Benang Kayangan..."
"Manusia kadal! Jadi itu maksudmu datang ke pulau ini"!"
"Bukan itu saja Tua Gila! Di luaran aku telah menyebar kabar bahwa kau telah
meninggal dunia! Berarti akan banyak tokoh silat para sahabatmu berdatangan
kemari. Mereka termasuk manusia-manusia yang kena kutukku!
Siapapun sahabatmu akan kubunuh mati ditempat ini!"
"Gilal" teriak Tua Gila.
"Tidak... Aku belum gila!"
"Kalau tidak gila apa alasanmu membunuh orang-orang yang tidak ada dosa
kesalahan itu"!"
"Apa alasanku akan kukatakan nanti. Kau harus dengar dulu maksudku yang lain
datang ke tempat ini. Aku minta kau juga menyerahkan kitab Seribu Macam Ilmu
Pengobatan!"
Tua Gila tertawa mengekeh.
"Rupanya kau jenis pencuri tengik!" ejek Tua Gila. "Buku yang kau cari tidak ada
padaku. Kalau pun ada masakan aku mau memberikannya padamu!"
"Bagus, pengakuanmu itu menyatakan bahwa kitab tersebut memang benar berada di
tangan Pendekar 212
Wiro Sableng! Tapi masih harus kita buktikan. Muridmu itu pasti akan segera pula
muncul di sini begitu mendengar kabar kematianmu!"
"Dia bukan muridku! Aku hanya mengajarkan beberapa jurus ilmu silat padanya!"
Si tinggi besar tertawa bergumam.
"Sekarang kukatakan padamu mengapa aku menginginkan jiwamu! Juga ingin
menghabisi siapa saja yang menjadi sahabatmu, termasuk dan terutama sekali
Pendekar 212 Wiro Sableng!"
"Hebat! Lekas kau katakan!"
"Beberapa tahun yang lalu kau bersama Pendekar 212


Wiro Sableng 061 Makam Tanpa Nisan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rnenyerbu bukit Tambun Tulang, menghancurkan tempat itu dan membunuh Datuk
Sipatoka! Betul begitu atau kau berani berdusta"!"
"Iblis! Seumur hidup aku tidak pernah berdusta!
Memang benar aku membantu Pendekar 212 membunuh
Datuk Sipatoka penguasa bukit Tambun tulang! Manusia keji itu pantas untuk
disingkirkan dari muka bumii"
Orang berbadan tinggi besar keluarkan suara seperti menggereng.
"Karena kau penyebab kematian Datuk Sipatoka, make hari ini aku membalaskan
dendam kesumat sakit hati kematiannya! Aku adalah kakak kandung Datuk Sipatoka,
bergelar Datuk Tinggi Raja Di Langit!"
"Aha... Raja di langit sudah turun ke bumi mencari penyakit!" teriak Tua Gila
mengejek. "Sebelum kau ku pendam dalam makam batu itu, lekas serahkan Benang Kayangan
padaku!" Datuk Tinggi berkata sambil mengulurkan tangan kanannya.
"Kau inginkan benang sakti itu. kau terimalah!" kata Tua Gila sambil menggerakan
tangan ke balik pakaian putih-nya. Ketika tangan itu keluar dari balik pakaian
tiba-tiba melesat sebuah benda putih berbuntal-buntal hendak menggelung tangan
kanan Datuk Tinggi. Orang yang sudah mengetahui sekali kehebatan benang putih
itu cepat menarik pulang tangannya. Sekali terlambat dan sampai lengannya
digulung Benang Kayangan pasti tanggal
anggota tubuhnya itu!
Sambil menghindar Datuk Tinggi Raja Di Langit pukulkan tangan kiri. Tua Gila
terkejut besar ketika melihat bagaimana angin pukulan lawan sanggup membuat
benang saktinya tergoyang-goyang dan tak berhasil menyambar apalagi menggulung
tangan kanan lawan. Dia gerakkan tangan yang memegang benang. Ujung benang
melesat dan menyambar ganas ke arah leher Datuk Tinggi Raja Di Langit.
Kini sang datuklah yang jadi terkejut. Sambil keluarkan seruan keras manusla
tinggi besar itu jatuhkan diri ke tanah, lalu dengan satu gerakan sangat cepat
dia membuka mantel hitamnya. Sambil menyeringai dia bertanya.
"Kau mau memberikan Benang kayangan itu atau tidak, Tua Gila"!"
Sebagai jawaban Tua Gila kembali menggerakkan
tangan kanannya. Benang Kayangan kelihatan berkilauan tanda prang tua itu telah
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Senjata ini melesat ke arah mulut Datuk
Tinggi, siap untuk menggulung lidahnya. Begitu tergulung, sekali sentak saja
lidah orang itu akan terbetot tanggal!
Tapi lebih cepat dari datangnya sambaran Benang
Kayangan, Datuk Tinggi Raja Di Langit sudah kebutkan mantel hitamnya.
Tua Gila mendengar seperti air bah bergulung ke arahnya. Lalu ada angin sangat
dahsyat badai menyambar ke arahnya. Tubuh dan kedua kakinya serta merta
bergoyang sedang Benang Kayangan membalik seperti menyerang ke arah dirinya
sendiri. Tua Gila menggeram. Tangan kirinya lepaskan pukulan sakti yang juga mengeluarkan
angin dahsyat. Datuk Tinggi Raja Di langit tersenyum mengejek.
"Pukulan Dewa Topan menggusur gunung! Apa hebatnya!"
katanya., mantel di tangannya berkelebat.
Wusss! Tua Gila berteriak keras. Tubuhnya tersapu angin
serangan lawan. Dia berusaha bertahan tapi sia-sia saja.
Orang tua itu terlempar masuk ke dalam liang kubur berlantai dan berdinding
batu. Dia cepat hendak melompat keluar tapi tubuhnya terasa lemas. Darah
mengucur dari hidungnya.
Datuk Tinggi Raja Di Langit tertawa mengekeh dan
tegak di tepi makam.
"Berikan Benang Kayangan itu padaku Tua Gilal"
"Iblisl kau ambillah sendiri!" jawab Tua Gila. Orang tua ini buka mulutnya
lebar-lebar lalu benang putih yang menjadi senjatanya itu dibuntalnya dan
dimasukkan ke dalam mulut lalu cepat-cepat ditelannya! Sambil
memegang-megang perutnya Tua Gila berkata, "Kau harus membelah perutku lebih
dahulu untuk mendapatkan
benang sakti itul"
Datuk tinggi mendengus geram. Dia menjawab. "Aku tidak telalu terburu-buru.
Bagaimanapun juga aku akan mendapatkan benang itu. Kelak kau sendiri yang akan
memuntahkan dan memberikannya padakut Ingat, kau
hanya bisa bertahan selama tujuh hari Tua Gila! Ketuk batu penutup makammu jika
kau memang kepingin hidup!
Jangan lupa, muridmu berada di tanganku!'
Lalu dengan gerakan sangat cepat Datuk tinggi Raja Di Langit diinjak batu hitam
yang menonjol di belakang kepala makam. Tanah msnh yang berlapiskan batu tebal
jatuh dengan keras Tua Gila coba menahan batu itu dengan kakinya, tapi
terlambat. Orang tua ini masih sempat mendengar suara tawa bekakakan Datuk
Tinggi sebelum dirinya terpendam dalam liang kubur batu itu!
*** WIRO SABLENG MAKAM TANPA NISAN
10 ADA saat badai mulai melanda pulau kecil itu,
dibagian pantai sebelah timur, sebuah biduk tampak Pdiombang-diambingkan ombak
yang bergulung menggemuruh. DI atas biduk kecil in!, penumpangnya seorang dara berpakaian ungu
yang menutupi wajahnya dengan cadar ungu sedang rambut hitam panjang tergerai
lepas melambai-lambai di tiup angin mendayung inati-matian agar biduknya jangan
sampai tenggelam. Namun beberapa ratus langkah sebelum mencapai pasir pantai,
biduk itu akhirnya terbalik.
Biduk dan penumpang lenyap dilamun ombak. Tak lama kemudian baru kelihatan
kepala gadis itu menyembul.
Cadarnya terlepas dari wajahnya. kini tampak wajahnya yang jelita, beralis hitam
lengkung dan berhidung mancung.
Wajah cantik ini nampak tegang. Dia menghitung jarak, menduga-duga apakah dia
akan sanggup berenang
mencapai pantai.
Ombak raksasa kembali bergulung menghantam gadis
berpakaian ungu. Kembali sosok tubuh itu lenyap. Lalu timbul lagi untuk kemudian
dihempaskan ombak. Ketika dia hendak mulai mencoba berenang, dara ini tiba-tiba
sadar. Berenang melawan ombak yang menggila seperti itu hanya akan menghabiskan
tenaga. Bukankah lebih balk mengambangkan tubuh saja, membiarkan ombak
Badai Laut Selatan 11 Pendekar Slebor 47 Malaikat Bukit Pasir Hina Kelana 6
^