Pencarian

Neraka Krakatau 3

Wiro Sableng 063 Neraka Krakatau Bagian 3


jarumjarum beracun itu. Namun sewaktu asap musnah, kedua orang itu telah lenyap.
Para pengikut mereka yang tahu kalau kedua pemimpin mereka sudah kabur, tanpa pikir
panjang lagi segera pula lari berserabutan!
"Maafkan, saya harus mengejar kedua orang itu!" kata Patih Ganda
Ariawisesa pada besannya. Lalu dia melompat ke punggung seekor kuda yang ada di
dekatnya. Sebelum pergi Sang Patih masih sempat memerintahkan pada sisa-sisa
perajurit Kerajaan yang ada di situ agar mengurus jenazah Cemani Tanduwisoka
yang ada dalam lobang.
BASTIAN TITO 38 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Dewa Berpayung Hitam berpaling pada Sinto Gendeng. Si nenek yang
maklum arti pandangan ini gelengkan kepala lalu berkata. "Sekali ini aku tidak
akan ikut mengejar mereka. Kau dan besanmu itu selesaikan urusan sendiri!"
Giri Arsana tampak cemberut. Namun dia tidak bisa berbuat apa. Payung
hitamnya dikuncupkan. Beberapa langkah di samping kirinya ada seekor kuda besar
bekas tunggangan Cemani Tanduwisoka. Sebelum kakek ini berlalu Sinto Gendeng
berkata. "Ada satu hal yang ingin aku beritahupadamu Giri. Wajahmu di waktu muda
mirip sekali dengan muridku Wiro Sableng."
Si kakek terdiam sesaat. "Syukur kalau begitu. Berarti tampang jelek ini bukan
cuma satu di dunia. Kalau saja aku dapat bertemu dengan muridmu itu tentu aku
merasa senang melihat keanehan ini!"
"Kau pasti akan bertemu dengan dia," jawab Sinto Gendeng pula.
Dewa Berpayung Hitam tarik tali kekang kudanya. Sesaa kemudian dia telah
lenyap dari tempat itu.
Satu hari satu malam melakukan pengejaran, dari jejak-jejak yang dilihat
Ganda Ariawisesa kedua orang buronannya melarikan diri ke tepi pantai. Patih
Kerajaan ini memang mempunyai keahlian dalam menyimak jejak. Tak beberapa jauh
di sebelah belakang Giri Arsana alias Dewa Berpayung Hitam semula hendak
memutuskan tidak mengikuti apa yang dilakukan Patih itu. Namun ketika dilihatnya
pengejaran itu berlangsung ke arah pantai dia seperti mendapat dorongan untuk
bergabung saja dengan Ganda Ariawisesa. Dalam hati dia berkata "Sulit mencari
tahu dimana perempuan itu berada kalau dia lagi berkeliaran. Tapi yang pasti suatu
saat dia akan berada di Krakatau. Aku ingat. Sepuluh tahun silam dia pernah mengumbar
sumpah akan menjadikan Krakatau neraka bagiku dan anak istri. Lalu dia lenyap
begitu saja. Kini tahu-tahu muncul melakukan pembalasan sakit hati secara
nekad!" Begitulah kakek sakti itu lalu bergabung bersama Patih Kerajaan melakukan
pengejaran terhadap Pagar Paregreg dan Brambang Santika. Keduanya akhirnya
mencapai tepi pantai, tak berapa jauh dari sebuah desa nelayan. Di situ ditemui
dua ekor kuda yang berkeliaran tanpa pemilik.
"Pasti itu kuda-kuda bekas tunggangan keua manusia keparat itu!" kata Patih
Ganda Ariawisesa pula. Lalu dia menunjuk ke tepi pasir dimana jelas terlihat
bekasbekas kaki manusia. Di tepi pantai ditemui dua buah biduk dan sebuah
perahu. Dua biduk dan perahu ini berada dalam keadaan hancur bernatakan.
"Mereka sengaja merusak biduk dan perahu ini agar kita tidak dapat
mengejar!" kata Giri Arsana pula dengan geram. "Tak ada jalan lain, kita harus
memperbaiki perahu ini. Paling tidak akan makan waktu setengah hari."
Kedua orang itu lalu memperbaiki perahu yang rusak. Menjelang rembang
petang mereka berhasil melakukannya lalu turun ke laut.
"Tujuan ki Pulau Rakata. Kedua orang itu pasti kabur ke sana....." berkata
Patih Kerajaan.
"Saya juga sudah menduga mereka pasti kabur ke sana. Kebetulan! Saya juga
punya urusan yang harus diselesaikan di Gunung Krakatau sebelum tempat itu
menjadi neraka. Atau ah..... Mungkin tempat itu memang sudah jadi neraka bagi
turunannku. Termasuk diriku sendiri...."
"Apa maksudmu besan yang terhormat?" tanya Patih Ganda Ariawisesa.
"Kawah Gunung Krakatau tempat mendekamnya Sriti Gandini alias Sepuluh
Kuku Iblis. Nenek yang telah membunuh anak istriku dan menculik mayat-mayat
mereka!" BASTIAN TITO 39 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kalau begitu dua urusan besar bisa diselesaikan sekaligus! Tapi ingat, nenek
keparat itu adalah bagianku!"
"Tidak bisa! Dia membunuh istri dan dua anakku! Dia harus mampus di
tanganku!" jawab Dewa Berpayung Hitam.
"Si keparat itu membunuh puteraku dan juga menantuku!" menukas Patih
Kerajaan. "Dia harus mati di tanganku!"
Kedua orang itu saling melotot dan hampir bertengkar. Akhirnya Giri Arsana
mengalah."Kita belum sampai ke sana, mengapa berlaku tolol saling ngotot. Mari
kita berangkat sekarang juga!"
Begitulah keduanya mulai melayari Selata Sunda. Kalau Sang Patih
pergunakan pendayung untuk mengayuh perahu maka si kakek sambil tertawa-tawa
duduk di bagian belakang perahu dan putar payung hitamnya. Gelombang angin yang
ditimbulkan oleh putaran payung membuat perahu terdorong ke depan dan melesat
membelah air laut hingga dalam waktu cepat kedua orang itu telah melihat Pulau
Rakata dengan Gunung Krakataunya.
BASTIAN TITO 40 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA BELAS P erkara mati memang bukan kuasanya manusia. Hal ini dialami oleh
Pendekar 212 Wiro Sableng. Seperti telah dituturkan sebelumnya dalam perkelahian
dengan Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis, satu hantaman yang berkekuatan
tenaga dalam penuh yang dilancarkan si nenek telah membuat murid Eyang Sinto
Gendeng itu terpental lalu melayang jatuh ke bawah Gunung Krakatau.
Wiro sendiri hanya sempat menyadari keadaan dirinya sekejapan saja. Dia tak
bisa menolong dirinya dari kematian dan juga tidak ada manusia lain yang mampu
menyelamatkannya. Dalam keadaan seperti itu dia keluarkan satu jeritan keras
yang mengumandang di seantero kawah. Lalu pemuda ini jatuh pingsan dan tubuhnya
melayang cepat menuju kawah!
Hanya beberapa saat lagi tubuh Wiro akan amblas masuk ke dalam kawah
yang mendidih, tiba-tiba dari lamping kawah sebelah timur, dari baliksebuah
gundukan batu melesat keluar sebuah benda halus bewarna putih berkilauan. Benda
yang melesat ternyata adalah untaian panjang benang aneh yang dengan cepat
menggulung kedua kaki Wiro, terus ke pinggang dan baru berhenti melibat di batas
dada. Sesaar tubuh Pendekar 212 masih ampak melesat deras ke bawah. Tinggal tiga
jengkal lagi dari permukaan kawah tiba-tiba benang aneh itu menyentak keras.
Tubuh Wiro terbetot ke samping lalu melayang berputar beberapa kali sampai daya berat
jatuh ke bawah diredam lenyap. Perlahan-lahan, seperti sebuah layang-layang yang
siap diturunkan dari udara, tubuh Wiro tertarik ke arah lamping kawah, lenyap di
balik gundukan batu.
Sang pendekar siuman dari pingsannya beberapa saat kemudian ketika ada
suara tawa mengekeh menusuk telinganya. Perlahan-lahan dibukanya kedua matanya.
Apa yang dilihatnya sungguh aneh. Yang tampak di depannya adalah seorang gadis
berwajah cantik berambut panjang sebahu. Gadis ini mengenakan baju hitam
membuat wajahnya yang putih lebih menonjol kejelitaannya. Si gadis menatapnya
dan sama sekali tidak kelihatan tertawa. Kalaupun dia memang tertawa tak mungkin
suara tawanya seperti orang tua. Mana ada orang tertawa mengekeh tanpa kelihatan
mulutnya terbuka. Lalu siapa yang barusan didengarnya tertawa bergelak itu"
Saat itu didapatinya dirinya duduk tersandar ke dinding batu. Jauh di
bawahnya kelihatan kawah Gunung Krakatau. Wiro kembali memandang paras cantik
itu sambil membayangi apa yang telah dialaminya. Dia berkelahi dengan Sepuluh
Kuku Iblis. Tubuhnya dihantam mental dan melayang jatuh ke dalam kawah. Dia
berteriak lalu tak ingat apa-apa lagi. Kenapa kini dia berada di tempat itu"
"Saudari, kau siapa?" Wiro bertanya. Yang ditanya tidak menjawab.
Berkedippun tidak. "Eh, apakah aku ini berada di alam kematian atau kalau aku
masih hidup apakah kau bidadarinya yang telah menyelamatkan diriku?" Wiro perhatikan
dirinya sendiri. Keadaan tubuhnya utuh tak kurang suatu apa. Hanya pakaiannya
saja yang tampak kotor dan robek serta ada noda darah di bagian dada. Lalu terasa
dadanya mendenyut sakit. Bekas hantaman si nenek berjuluk Sepuluh Kuku Iblis
rupanya telah membuat dadanya sakit di sebelah dalam dan sewaktu pingsan rupanya
dia sempat mengeluarkan darah dari mulut. Wiro memandang lagi ke depan. Jelas
dilihatnya kawah Gunung Krakatau. Si gadis di dekatnya tak kunjung membuka
mulut. Sang pendekar angkat tangan kirinya, mulai menggaruk kepalanya. Saat
itulah didengarnya ada suara orang batuk-batuk. Wiro cepat berpaling ke kiri. Astaga!
BASTIAN TITO 41 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Hanya lima langkah di samping kirinya, di atas sebuah batu duduk seorang
kakek berpakaian putih. Rambutnya yang putih terliaht jarang. Kumis dan
janggutnya juga berwarna putih. Matanya lebar tapi cekung. Wajahnya hanya berupa kulit
tipis pemutup tengkorak dan berwarna sangat pucat.
Begitu melihat dan mengenali orang tua ini Pendekar 212 Wiro Sableng
segera bangkit lalu jatuhkan diri berlutut.
"Kakek Tua Gila! Jadi kau rupanya yang menolong saya. Saya sangat
berterima kasih padamu. Hutnag jiwa yang dulu-dulu belum sempat saya bayar.
Kini....."
Si kakek tertawa gelak-gelak. "Berterima kasih pada Tuhan. Dia yang
menyelamatkan dirimu Wiro. Kulihat kau ada urusan sulit sampai tersesat ke kawah
Gunung Krakatau ini. Apakah kau sengaja bunuh diri hendak emncebur masuk ke
dalam kawah?"
"Siapa yang mau bunuh diri kek"!! Tukas Wiro. "Seorang menghantam saya
hingga terpental dan melayang jatuh ke dalam kawah. Heh, pasti kakek menolong
saya dengan benang kayangan!"
Kembali kakek itu tertawa gelak-gelak. Siapakah sebenarnya orang ini"
Namanya Tua Gila. Dalam dunia persilatan dia dikenal dengan julukan Iblis Gila
Pencabut Jiwa. Ada juga yang memberinya gelar Pendekar Gila Patah Hati. Puluhan
tahun lau, dalam usia muda dia pernah jatuh cinta pada Sinto Gendeng. Ketika
cintanya ditolak dia menjadi sangat terpukul dan patah hati. Demikian paahnya
keadaannya hingga dia seperti kurang waras dadn malang melintang di rimba
persilatan membunuh siapa saja seenak perutnya. Di usia tua, sifat kejamnya
berubah. Malah dia pernah memperlakukan Wiro sebagai murid dan mengajarkan ilmu silat
langka kepada pemuda itu.
"Kek, saya tidak menyangka bakal bertemu denganmu di sini. Sapa yang
tengah kakek lakukan di tempat ini" Dan siapa gadis ini...?"
"Ah pertanyaanmu banyak amat. Biar kujawab satu persatu dulu,"jawab Tua
Gila. "Pertama aku berada si sini ingin mengasingkan diri sambil menyempurnakan
ilmu-ilmu yang kumiliki. Kedua tentang gadis ini, dia bernama Minaratih. Dia
adalah calon muridu. Aku tengah mengujinya di tempat ini apakah dia cukup pantas untuk
kujadikan murid. Bagaimana penglihatanmu, apakah kau naksir padanya?"
Wiro garuk-garuk kepala sebaliknya si gadis kelihatan merah rona wajahnya.
Tua Gila lagi-lagi tertawa mengekeh.
"Urusan taksir menaksir ini biar kita bicarakan nanti," jawab Wiro sambil
garuk kepla dan membuat Minaratih semakin merah wajahnya. "Saya harus
meninggalkan tempat ini dengan segera. Ada urusan besar di atas kawan sana.
Seorang nenek gila melakukan pembunuhan atas istri dan anak-anak kakek sakti
berjuluk Dewa Berpayung Hitam. Korban-korban yang sudah dibunuh dijejerkannya
mayatnya dalam lobang pohon kelapa. Diberi cairan pengawet!"
Tua Gila usap janggutnya. "Aku memang sudah lama mendengar. Urusan di
kala muda itu rupanya delum jua terselesaikan. Kalau memang begitu kau pergilah
cepat ke atas sana. Aku dan muridku biar tetap di sini. Aku sudah tidak begitu
senang mengurusi masalah dunia. Apalagi masalah orang-orang tolol seperti urusan
Sepuluh Kuku Iblis dengan Dewa Berpayung Hitam itu!"
Wiro menjura da;lam-dalam lalu menyalami Tua Gila dan mencium tangan
orang tua itu. Pada Minaratih dia tersenyum mengangguk seraya berkata "Saya
senang bertemu denganmu. Saya berharap bisa bertemu lagi...."
Si gadis tak menjawab. Tapi ketika Wiro melangkah pergi dia bangkit dari
duduknya dan mengikuti kepergian si pemuda memnajat tebing kawah dengan
BASTIAN TITO 42 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
pandangan matanya sampai akhirnya lenyap di kejauhan. Di belakangnya terdengar
suara Tua Gila batuk-batuk
"Rupanya kau menaksir juga pada pemuda itu Mina..."
Si gadis berpaling pada Tua Gila.
"Tapi hati-hati nak," kata si kakek pula. "Dia emmang orang baik cuma
sering-sering dia bertindak dan beruacp konyol seperti orang ini!" Lalu Tua Gila
menggaris keningnya dengan telunjuk kiri. Si gadis hanya bisa tersenyum.
BASTIAN TITO 43 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TIGA BELAS S riti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis duduk di atas batang kelapa berisi
mayat Wini Kantili. Kedua matanya memandang jauh ke aah pantai. Saat itu dia
masih saja mengingat-ingat pemuda yang dipukulnya jatuh masuk ke dalam kawah.
Hatinya tiada henti dirundung penyesalan. "Mengapa aku harus memukulnya begitu
keras. Ah.....Kalau dia masih hidup mungkin dirinya bisa mwmbuat aku menjadi
orang baik. Tidak nekad tidak gila membunuhi orang...." Ingatan si nenek lalu
tertuju pada Giri Arsana, manusia yang paling dibencinya.
Selagi dia duduk termemung-menung dan mengingat-ingat seperti itu, tibatiba di
pantai dilihatnya mendarat sebuah perahu. Fua orang penumpang turun ke
pasir. "Hemmmm...." Sriti Gandini bangkit dari duduknya. Kedua matanya
membesar. "Ada lagi dua orang yang minta mampus. Berani menginjakkan kaki di
Pulau Rakata daerah kekuasaanku!"
Si nenek membungkuk mangambil sekaligus diu buah pecahan batu gunung.
Sekali melempar kedua batu itu melesat ke arah pantai. Jarak antara tempat si
nenek berada dengan pantai jauh sekali. Namun lemparan batu itu melesat membelah udara
dan meluncur ke arah dua orang yang barusan turun dari perahu. Dari hal ini saja
sudah dapat dilihat bagaimana ketinggian ilmu Sriti Gnadini.
Di tepi pantai dua orang yang barusan mendarat adalah Pagar Paregreg, bekas
Kepala Pasukan Kerajaan yang melarika diri bersama Brambang Santika. Pagar yang
melihat datanya dua buah benda melayang ke arah mereka segera berteriak memberi
tahu. "Awas! Ada benda menghantam ke arah kita!" Pagar Paregreg jatuhkan diri ke
pasir sedang Brambang Santika yang kurang cepat bergerak, ketika melompat
kesamping bahu kirinya masih sempat disambar benda yang melayang dari puncak
kawah itu. Bajunya robek. Daging bahunya yang terserempet sakit bukan main


Wiro Sableng 063 Neraka Krakatau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena sebelumnya di bagian itu pula salah satu jarum putih milik Pagar Paregreg yang
dibuat mental oleh payung Giri Arsana sempat membalik menancap di bahunya.
Pagar Paregreg waktu itu cepat mencabut jarum tersebut dan memberikan obat
penangkal racun pada kawannya tiu. Kalau tidak nyawa Brambang Santika mungkin
tak bisa diselamatkan dari kematian akibat racun jarum yang jahat.
Sambil meringis kasakitan Brambang Santika memandang ke arah puncak
kawah Gunung Krakatau. "Aku melihat ada seseorang di puncak sana! Agaknya kita
datang ke tempat yang salah, Pagar....."
"Sebelumnya kau sudah bilang sebaiknya kita tidak melarikan diri ke pulau
celaka ini! Padahal banyak pulau-pulau lain di Selat yang lebih dekat..."
"Sekarang sudah terlambat!" kata Brambang Santika. "Tak ada gunanya
menggerutu."
"Lihat! Ada satu orang lagi muncul di atas sana!" kat Brambang Santika.
Paga Paregreg memandang ke arah puncak kawah. Betul, memang saat itu
dilihatnya ada satu orang lagi tiba-tiba muncul di tebing puncak kawah Gunung
Krakatau. "Bagaimana kalau kita kembali naik ke perahu, cari pulau lain yang ebih
aman..." mengusulkan Brambang Santika.
BASTIAN TITO 44 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Aku setuju!" jawab Pagar Paregreg. "Aku punya firasat tidak enak. Aku ingat
sesuatu. Bukankah Sepuluh Kuku Iblis yang punya dendam kesumat terhadap Dewa
Berpayung Hitam kabarnya telah menjadikan pulau ini sebagai markasnya?"
Paras Brambang Santika menjadi berubah. "Astaga. Berarti kita mencari
bencana baru pergi ke tempat ini! Mari cepat.... Tak lama lagi matahari akan
tenggelam. Mungkin gelapnya malam bisa membantu kita melarikan diri!"
Kedua orang itu segera memutar tubuh dan lari ke arah tempat mereka
meninggalkan perahu. Naumn terlambat. Dari atas puncak kawah salah satu dari dua
orang di atas sana tiba-tiba lari ke bawah. Begitu cepatnya dia berlari hingga
debu dan pasir berterbangan di belakangnya. Dan dalam waktu beberapa kejapan saja orang
ini sudah berada di tepi pasir, mencegat tepat di depan perahu yang hendak dicapai
Pagar Paregreg dan Brambang Santika.
Orang ini adalah seorang nenek berwajah angker dan tegak memandang
bengis sambil bertolak pinggang.
"Kau benar Pagar," bisik Brambang. "Orang di depan kita ini adalah Sepuluh
Kuku Iblis!"
Sebelum dituturkan apa yang segera akan terjadi di tempat itu mari kita
ketahui dulu apa sebelumnya yang terjadi di peuncak kawah.
Sehabis melemparkan dua buah pecahan batu Sritit Gandini sebenarnya segera
hendak lari menuruni puncak kawah guna mendatangi dua orang yang barusan
mendarat di pantai. Namun langkahnya tertahan ketika tiba-tiba sebuah kepala, di
susul satu sosok tubuh muncul dari balik tebing kawah. Lalu pemuda itu tahu-tahu
sudah tegak di hadapannya.
"Kau!" teriak si nenek muka tengkorak begitu mengenali siapa adanya
pemuda di depannya yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Hatinya
gembira sekali melihat kemunculan pemuda yang sejak satu hari belakangan ini
selalu diingat-ingatnya. Namun rasa kejut dan herannya saat itu mengalahi rasa
gembira. "Kau.... Bukankah kau sudah mati jatuh ke dalam kawah mendidih di bawah
sana"!" tanya si nenek.
Wiro menyeringai.
"Urusan mati, urusan nyawa manusia adalah kekuasaannya Tuhan Yang Maha
Kuasa..." "Kentut busuk!" teriak si nenek. "Aku bisa membikin mati siapa saja setiap
saat!" "Kaau begitu Tuhanmu dan Tuhanku berbeda. Atau kau merasa sudah jadi
Tuhan?" ujar Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
Si nenek sesaat terdiam. "Jangan-jangan kau bukan pemuda itu sungguhan.
Tapi setannya yang keluar dari dalam kawah!" Lalu Sepuluh Kuku Iblis melangkah
mengelilingi Wiro, memperhatikannya dengan seksama pemuda itu mulai dari ujung
rambut sampai ke ujung kaki.
"Naah apa kau lihat kedua kakiku tidak menginjak tanah atau punggungku ada
lobang?" ujar Wiro.
Si nenek hentikan langkahnya. "Tunggu dulu, mungkin kau memang bukan
setan atau hantu. Tapi.... Biar aku periksa sekali lagi!"
"Kau boleh periksa asal jangan suruh aku tanggalkan pakaian bertelanjang!"
ujar Wiro mulai konyol padahal yang dihadapinya adalah seorang manusia yang
setiap saat bisa membunuh manusia lainnya semudah dia membalikkan telapak
tangan. BASTIAN TITO 45 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sepuluh Kuku Iblis melangkah kembali memutari tubuh Wiro. Ketika dia
sampai di belakang pemuda itu, tiba-tiba secepat kilat dua jari tangan kanannya
melesat ke depan.
Dess! Wiro tersentak kaget dan cepat membalik sambil memukul. Tapoi tangannya
tak bisa digerakkan. Sekujur tubuhnya kaku!
"Keparat licik!" teriak Wiro begitu menyadari bahwa dirinya kena tertipu dan
kini berada dalam keadaan tertotok.
Sepuluh Kuku Iblis tertawa gelak-gelak.
"Anak muda! Kau masih harus banyak belajar tentang kelicikan manusia dan
dunia ini! Untung saja aku ada rasa suka terhadapmu! Kalau tidak sudah ku bunuh
kau sejak tadi!"
"Rasa suka padaku" Sialan!" maki Wiro dalam hati.
"Tua bangka genit! Sudah bau tanah masih mau bicara bersuka-suka! Pantas
Dewa Berpayung Hitam tidak sudi kawin denganmu!"
Plaaakkk! Si nenek tampar muka Pendekar 212 hingga salah satu pinggiran bibir pemuda
ini luka dan mengeluarkan darah.
"Ah... Maafkan aku...." Kata si nenek lalu cepat-cepat menyeka darah di
mulut Wiro. Dengan belakang telapak tangannya dia mengusap luka di mulut. Aneh.
Begitu diusap luka itu segera sembuh dan tidak berbekas sama sekali.
"Pendekar 212, kau tunggulah di sini. Aku akan turun ke pantai mengurusi
dua ekor monyet di bawah sana. Seperti aku bilang, Krakatau adalah kawasan
kekuasaanku. Siapa saja yang berani menginjakkan kaki di sini pasti kubunuh!"
Wiro hendak mengatakan bahwa sebenarnya sudah ada dua orang lain
mendekam di tebing kawah yaitu Tua Gila dan Minaratih. Namun pemuda ini
memutuskan untuk diam saja. Si nenek berkelebat lalu lari menyususri lereng
kawah menuju ke pantai.
Dalam waktu singkat si nenek sudah sampai di pantai dan langsung
menghadang Pagar Paregreg serta Brambang Santika di depan perahu mereka. Dua
bola mata si neenk berputar angker.
"Hemmm... Yang satu ini kalau aku tidak salah adalah Kepala Pasukan
Kerajaan. Namamu Pagar Paregeg. Betul hah!"
"Kau betul nek, aku memang Pagar Paregreg."
"Tampangmu sembrawuran! Pakaianmu lecak! Ada apa Kepala Pasukan
Kerajaan sampai menginjakkan kaki di Pulau Rakata ini"!"
'Kami ada urusan di tempat lain. Karena cuaca di laut buruk terpaksa
mendarat dulu di sini..." jawab Pagar Paregreg.
S nenek tertawa. "Aku tahu kau berdusta! Tapi tidak jadi apa! Berdusta
sebelum mati masih bisa dimaafkan. Dan kau!" Si nenek menunjuk tepat-tepat ke
hidung Brambang Santika. "Aku lupa namamu! Kau manusianya yang bekerja di
Istana, punya banyak hubungan dengan orang-orang persilatan!"
"Nama saya Brambang Santika, nek. Nenek sendiri bukankah orang sakti yang
berjuluk Sepuluh Kuku Iblis itu" Kami gembira dengan pertemuan yang tidak diduga
ini. Kami tidak ingin mengganggu lebih lama. Izinkan kami minta diri..."
"Minta diri...?" Sepuluh Kuku Iblis tertawa mengekeh.
"Ada semacam kutukan di pulau ini! Siapa yang berani menginjakkan kakinya
di sini berarti sudah siap menerima kematian!"
Berubahlah paras Pagar Paregreg dan Brambang Santika.
BASTIAN TITO 46 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Berberapa hari lalu ada dua penyusup muncul di sini. Keduanya tokoh silat
bernama Tubagus Singagarang dan Supit Jagal..."
"Kami kebetulan kenal mereka," kata Brambang Santika.
"Ah, bagus sekali! Apakah kalian berdua tahu kalau orang-orang itu memang
sudah lama menunggu-nunggu kalian?"
"Menunggu kami" Untuk keperluan apa?" tanya Pagar Paregreg pula.
"Unutk duajak bergabung jadi mayat!" jawab si nenek lalu tertawa aneh
seperti lolongan srigala.
Pagar Paregreg memberi isyarat pada kawannya. "Nek, kami tidak punya
waktu lama. Kami minta diri sekarang juga!" katanya. Lalu Pagar Paregreg dan
Brambang Santika cepat berbalik hendak tinggalkan tempat itu. Namun si nenek
membentak. "Neraka Krakatau adalah bagian kalian berdua!" Lalu tanpa banyak cerita lagi
Sepuluh Kuku Iblis segera menyerang dua orang di hadapannya.
Melarikan diri tidak mungkin. Tak ada jalan lain. Pagar Paregreg dan
Brambang Santika terpaksa menyabut serangan si nenek. Perkelaihan seru segera
pecah di tempat itu.
Seperti diketahui baik Pagar Paregreg maupun Brambang Santika adalah
orang-orang berkepandaian tinggi. Namun mereka menyadari bahwa si nenek bukan
seorang yang mudah untuk dikalahkan sekalipun dikeroyok dua. Karenanya begitu
memasuki jurus pertama kedua orang itu langsung menghanam dengan pukulanpukulan
sakti, menyerang dengan jurus-jurus terhebat ilmu silat yang mereka miliki.
Lima jurus berkelahi si nenek tampak tenang-tenang saja. Malah berkelahi
sambil tertawa-tawa walaupun saat itu dirinya agak terdesak.
Meskipun mampu mendesak lawan namun sampai jurus kesepuluh baik Pagar
Paregeg dan Brambang Santika masih belum mampu menggebuk si nenek. Beberapa
kali lengan mereka saling beradu. Setiap terjadi bentrokan tangan kedua lelaki
itu merasakan lengan mereka sakit bukan main. Memasuki jurus ke dua belas akhirnya
kedua orang ini keluarkan senjata. Pagar Paregreg hunus sebuah golok besar yang
bagian tajamnya bergerigi sedang Brambang Santika mencabut sepasang belati besar
berwarna hijau!
Melihat lawan keluarkan senjata si nenek seperti kesetanan. Dia berteriak tiada
henti dan hadapi serangan senjata lawan dengan gerakan-gerakan kilat disusul
dengan serangan balasan tidak terduga.
Breeettt! Ujung golok di tangan Pagar Paregreg berhasil merobek baju hijau yang
dikenakan si nenek. Marahlah Sepuluh Kuku Iblis. Dari mulutnya keluar suara
lolongan seperti lolongan srigala. Kedua tangannya diulurkan ke depan. Sepuluh
kuku hitam mencua keluar dari ujung-ujung jarinya, runcing panjang mengerikan!
Pagar Paregreg dan Brambang Santika terkesiap bergidik. Tapi hanya sesaat.
Mereka kemusian kembali menyerbu. Serangan senjata mereka kini ditujukan pada
kedua tangan si nenek.
Trang.....trak!
Golok di tangan Pagar Paregreg beradu keras dengan jari-jari berkuku panjang.
Senjata itu mental patah dua! Membuat Pagar Paregreg terkejut dan melompat
mundur. Di sebelahnya Brambang Santika keluarkan seruan tertahan sewaktu pisau
belatinya di sebelah kiri mental dipukul tangan si nenek. Dia menusuk dengan
pisau belati besar di tangan kanan. Si nenek tahan tusukan itu dengan elapak tangan
kirinya lalu secepat kilat tangan itu berputar tahu-tahu senjata Brambang Santika sudah
BASTIAN TITO 47 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dirampas. Belum lagi habis kejut lelaki ini, si nenek sudah lemparkan pisau
hijau itu ke arah pemiliknya!
Brambang Santika menjerit keras. Pisau miliknya sendiri amblas masuk ke
perutnya sampai sebatas gagang! Selagi dia terhuyung-huyung pegangi perutnya
yang bobol si nenek melompat ke hadapannya sambil mencakar dengan tangan kanan.
Untuk kedua kalinya Brambang Santika menjerit. Mukanya robek mengerikan.
Kedua kakinya hanya sanggup bertahahn singkat. Lalu tubuhnya tergelimpang roboh
tak berkutik lagi!
Pagar Paregreg tidak kuasa menahan rasa takutnya. Nyalinya telah leleh.
Secepat kilat dia memutar tubuh melarikan diri. Tapi dari belakang, dengan
sekali lompat saja si nenek mengejar. Lima jari tangan kirinya mencakar ke arah
punggung bekas Kepala Pasukan Kerajaan itu. Kini ganti raungan Pagar Paregreg yang
terdengar. Sekujur daging punggungnya tergurat robek. Darah mengucur deras.
Dalam takut dan sakit yang amat sangat bekas Kepala Pasukan Kerajaan ini
menghambur masuk ke dalam laut tanpa ingat bahwa dia tidak bisa berenang.
Tubuhnya mulai di seret ombak.... Dia menjerit minta tolong namun perlahan-lahan
tubuhnya mulai tenggelam ditelan laut dan tubuh Pagar Paregreg tidak kelihatan
lagi! Sepuluh Kuku Iblis menyeringai angker. Dia melangkah ke tempat Brambang
Santika tergeletak. Sekali tendang saja sosok tubuh orang itu lenyap pula
digulung ombak, diseret air ke dasar laut!
BASTIAN TITO 48 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
EMPAT BELAS B egitu si nenek sampai ke hadapannya Pendekar 212 Wiro Sableng ajukan
pertanyaan. "Siapa yang barusan kau bunuh di pantai sana?" Wiro kawatir yang jadi
korban kini adalah tokoh-tokoh silat sahabatnya atau orang lain yang tidak
berdosa. Sepuluh Kuku Iblis menyeringai. "Rupanya kau memperhatikan juga. Ada dua
orang yang ku kirim ke dasar laut. Yang pertama adalah Pagar Paregreg..."
"Kepala Pasukan Kerajaan?" tanya Wiro.
"Siapa lagi kalau bukan dia! Eh, kau menyesal mengetahui kematiannya?"
"Tidak," sahut Wiro. "Dia memberontak pada kerajaan. Kematiannya seperti
itu sudah cukup pantas baginya!"
Si nenek tertawa dan tepuk-tepuk bahu Wiro. "Jadi kau juga benci padanya
eh?" "Siapa korbanmu satu lagi?" tanya Wiro masih kurang enak.
"Brambang Santika. Orang kepercayaan Patih Kerajaan yang selama ini
menjadi penghubung antara Istana dengan rimba persilatan...."
"Hemmm.... Pengkhianat satu itu mampus juga akhirnya," kata Wiro
perlahan."
"Jadi aku tidak membunuh sahabatmu bukan?" ujar si nenek.
"Dua orang itu memang bukan, tapi bagaimana dengan mayat-mayat dalam
lobang kelapa itu" Mereka tidak punya dosa kesalahan apapun. Kau telah
membunuhnya secara kejam dan memperlakukan jenazah mereka secara biadab!"
"Anak muda, apakah di dunia ini masih ada apa yang disebut biadab itu"
Tunjukkan padaku siapa manusia-manusianya yang kau anggap tidak beradab!"
Wiro memaki dalam hati. Dia tidak bisa menjawab.
"Pendekar 212, kematian ketiga orang itu tidak ada sangkut pautnya dengan


Wiro Sableng 063 Neraka Krakatau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirimu. Mereka bukan sanak bukan kadangmu! Nah mulai saat ini mari kita
bersahabat!"
"Siapa sudi bersahabt denganmu!"
"Karena aku jelek, sudah tua keriput?" tanya si nenek.
"Aku bersahabat dengan siapa saja. Aku tidak memilih-milih untuk bersahabat.
Tapi manusia-manusia jahat yang beraja di hati dan bersutan di mata sepertimu
ini apakah pantas dijadikan sahabat?"
"Kalau kulepaskan totokanku apakah kau mau bersahabat denganku?"
Wiro memaki panjang pendek si nenek. Namun akhirnya dia hanya ajukan
pertanyaan. "Mengapa kau ingin bersahabat denganku?"
"Karena wajahmu sama dengan seorang lelaki yang pernah kucintai di musa
mudaku!" jawab Sriti Gandini polos tanpa malu-malu. Sebaliknya paras murid Eyang
Sinto Gendeng tampak menjadi merah.
"Jadi saat ini kau berniat hendak bercinta denganku" Mengambilku jadi
kekasihku?" tanya Wiro dengan mata mendelik. "Kalau tua bangka peot ini menjawab
ya, mati aku!" kata Wiro dalam hati. "Aku berada dalam kekuasaannya.
Ditelanjanginya pun aku tidak bisa berbuat apa-apa!"
Si nenek tampak termenung sesaat. Wajahnya yang angker kelihatan redup.
Lalu terdenga suaranya perlahan, agak sendu. "Aku cukup tahu diri. Kita tak
mungkin bercinta. Hanya kalau kau mau bersahabat dan aku dapat sering-sering melihatmu
itu sudah cukup. Itu mungkin juga bisa membantuku untuk keluar dari kesesatan. Aku
BASTIAN TITO 49 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
hanya manusia biasa tidak luput dari kekhilafan..." Nenek ini terdiam sesaat. Wiro
melihat kedua matanya yang angker itu kini berkaca-kaca basah oleh air mata.
Lalu si nenek melangkah mendekatinya. "Aku telah memukulmu hingga jatuh ke dalam
kawah. Tapi kau ternyata masih hidup. Aku tak perlu bertanya bagaimana hal itu
bisa terjadi. Pasti ada seorang sakti menolongmu. aKu tahu kini kalau di tempat ini,
yang kuanggap menjadi kekuasaanku ada orang lain telah lebih dulu berada di sini. Kau
tentu mendendam terhadapku. Tidak jadi apa. Aku akan melepaskan totokan di
punggungmu. Kalau kau sudah bebas kau mau menghukumku aku sudah pasrah!"
Lalu Sepuluh Kuku Iblis melangkah ke belakang Wiro dan menekan
punggung pemuda ini. Serta merta totokan yang membuat kaku tubuh Pendekar 212
punah. Wiro berbalik. Kini dia berhadap-hadapan denga si nenek itu. Entah
mengapa hati sang pendekar menjadi kasihan melihat si nenek. Untuk beberapa lamanya Wiro
pandangi orang tua itu yang tegak menundukkan kepala.
"Kau ingin membunuhku, aku tak akan melawan. Aku merasa bahagia kalau
dapat mati di tanganmu, anak muda," terdengar si nenek berujar.
Wiro tarik nafas dalam dan garuk-garuk kepalanya.
"Tuhanpun tidak akan menghukum orang yang sudah bertobat. Kadal jelek
semacamku apa mau melebihi Tuhan....?"
Ucapan murid Eyang Sinto Gendeng itu membuat Sriti Gandini perlahanlahan angkat
kepalanya. Mukanya tampak pilu sekali. Susah payah dia berusaha
menahan tangis tapi tidak bisa. Suara isakannya mengharukan.
"Nek, kau lebih biaik cepat-cepat pergi dari sini. Sebelum muncul orang-orang
yang hendak meminta pertanggung jawabmu. Tiga mayat dalam lobang kelapa itu
biar aku yang mengurus."
"Ah... Kau baik sekali, anak muda. Beruntung gadis yang bisa menjadi
istrimu. Dia dulu juga segagah dan sebaikmu ini. Tapi dia banyak tergoda oleh
dunia dan nafsunya sendiri."
"Maksudmu Giri Arsana alias Dewa Berpayung Hitam?" tanya Wiro.
"Ah, jadi kau sudah tahu ceritanya...?" balik bertanya si nenek.
Wiro mengangguk. "Dari guruku...." Jawabnya. "Nah, apakah kau belum mau
pergi dari sini...?"
"Aku menykaimu, aku akan menurut apa yang kau kaakan. Sekalipun kau
suruh aku menghambur masuk ke dalam kawah sana..." kata Sriiti Gandini pula.
Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya.
"Pergilah cepat...." Kata Wiro.
"Ya, aku segera pergi. Selamat tinggal Wiro. Aku akan mengenang dirimu
selama sisa hidupku..." Si nenek memegang jari-jari tangan pemuda itu.
"Kau nenek cantik yang pernah aku lihat..." kata Wiro pula.
Sriti Gandini tersipu-sipu. Lalu dia membalikkan diri hendak pergi. Namun
dua orang yang tiba-tiba muncul di ujung kawah sebelah timur membuat dia
hentikan langkahnya. Kedua matanya terbuka lebar. Wiro yang juga sudah melihat kedatangan
kedua orang itu juga sama terkejut. "Ah,, si nenek ini terlambat...." Keluhnya
dalam hati. Sesaat kemudian kedua orang itu sudah berdiri di hadapan Sriti Gandini. Tiga
pasang mata saling memandang seperti dikobari nyala api. Dendam kesumat
menggantung di udara. Di sebelah Barat sang surya kelihatan laksana bola api,
siap tenggelam. BASTIAN TITO 50 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
LIMA BELAS S epasang mata Sriti Gandini memandang membara pada Giri Arsana alias
Dewa Berpayung Hitam. Dia melirik sesaat pada Patih Ganda Ariawisesa lalu
kembali berpaling pada orang yang paling dibencinya itu.
"Dicari-cari bersembunyi. Sekarang malah unjukkan diri!" kata si nenek.
"Sriti! Apa yang telah kau lakukan terhadap anak istriku"!" bentak Giri
Arsana sambil tancapkan payung hitamnya ke tanah.
Si nenek menyeringai. "Lihat saja sendiri!" jawabnya. "Mereka ada di sebelah
sana. Mereka aku rawat baik-baik...!" Lalu si nenek tertawa panjang.
Giri Arsana berpaling ke belakang. Dia melihat ada deretan tujuh buah
batangbatang kelapa. Tiga yang paling ujung berisi sesuatu. Darahnya tersirap.
Dua kali lompat saja Dewa Berpayung Hitam sudah berdiri di depan deretan batang-batang
kelapa itu. Ketika melihat apa yang ada di dalam tiga lonbang batang kelapa maka
meraunglah kakek itu. Tubuhnya melosoh ke tanah. Sambil bergayut pada batang
kelapa di mana terbaring jenazah istrinya kakek ini berkata disela isak
tangisnya. Saat itu Patih Kerajaan sudah tegak pula di samping Giri Arsana. Sang
Patihpun tak kuasa menahan diri melihat mayat menantunya terbujur dalam lobang
batang kelapa itu. Sekujur tubuhnya bergetar. Amarahnya mendidih. Apalagi kalau
dia ingat kematian puteranya.
"Istriku.... Anak-anakku... Aku akan membalaskan sakit hati kematian kalian.
Akan kucincang manusia jahanam itu!" Sekali lagi Giri Arsana berteriak. Lalu dia
bangkit dengan gerakan cepat. Dia memandang sesaat pada Sriti Gandini.
Gerahamnya terdengar bergemeletukan.
"Sriti! Aku tidak terima perbuatan biadabmu ini! Kau harus mampus saat ini
juga!" tariak Giri Arsana. Lalu dia melompat ke hadapan si nenek sambil tusukkan
ujung payungnya yang runcing.
Si nenek mendengus. Dia melompat ke samping sambil tendang badan payung.
Giri Arsana tidak tinggal diam. Payungnya diangkat ke atas dan kini dipakai
untuk menggebuk pinggang lawan.
Saat itu pula Patih Kerajaan melompat ke dalam kalangan perkelahian seraya
berteriak. "Sahabatku Giri Arsana! Harap kau mundur! Aku yang berhak membunuh
perempuan celaka ini! Dia telah membunuh Sabrang putera tunggalku!" Sang Patih
lalu dorong tubuh Giri Arsana hingga terhuyung lalu masuk ke dalam kelangan
perkelahian dan langsung menyerang si nenek dengan pukulan tangan kosong yang
mematikan. "Patih! Jangan kau berani macam-macam! Aku lebih berhak membunuh
bangsat tua ini! Dia telah membunuh istri dan dua anakku! Apa kau masih merasa
lebih berhak dariku"!" Giri Arsana balas mendorong tubuh Patih Kerajaan hingga
terjajar beberapa langkah. Kedua orang ini jadi bertengkar perang mulut dan
saling dorong mendorong.
"Hentikan ketololan ini!" teriak Giri Arsana tiba-tiba. "Jika kita sama-sama
merasa berhak membunuhnya, mari kita menghajarnya. Kita hanya berebut cepat!
Siapa yang sanggup membunuhnya lebih dulu itu lebih baik!"
Ucapan si kakek ada benarnya juga terasa oleh Ganda Ariawisesa. Maka tanpa
banyak bicara lagi diapun menyerbu bersama si kakek. Diserang dua lawan berat
BASTIAN TITO 51 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
seperti itu Sriti Gandini tidak merasa jerih. Dia sudah bertekad bulat untuk
membunuh Giri Arsana lebih dulu. Soal Patih Kerajaan itu bisa diselesaikannya kemudian.
Payung di tangan Giri Arsana tiba-tiba berkembang. Satu sambaran angin
menerpa membuat serangan si nenek jadi terbendung. Betapapun dia coba merangsak
ke depan tetap saja dia tidak bisa menembus pertahanan lawan yang dibentengi
dengan payung sakti itu. Ketika Giri Arsana mulai memutar-mutar payung hitamnya
si nenek merasakan tubuhnya seperti digulung ombak yang dahsyat. Dia kerahkan
tenaga dalam sepenuhnya dan acungkan kedua tangannya ke depan. Sepuluh kuku
hitam mencuat. Giri Arsana jadi bergeming. Dia pegang payung kaitnya kuat-kuat
dan memutar lebih sebat. Sementara itu Ganda Ariawisesa melancarkan serangan dari
samping bertubi-tubi hingga si nenek merasa sangat terganggu dan tidak bisa
memusatkan perhatiannya pada Giri Arsana.
"Patih keparat! Kau mengasohlah dulu!" teriak si nenek. Lalu mulutnya
menyembur. Segulung asap kelabu keluar membuntal.
"Patih, lekas tutup penciumanmu!" teriak Giri Arsana. Tapi terlambat. Patih
Kerajaan keburu mencium asap kelabu yang menyembur dari mulut si nenek.
Akibatnya dia merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas sedang pemandangannya
berkunag-kunang. Jika lawannya menghantam saat seperti itu celakalah dirinya.
Memikir begitu Patih ini cepat jauhkan diri dari kalangan perkelahian. Dia
segera mengatur jalan nafas dan peredaran darah. Sesaat kemudian dia tampak
muntahmuntah. Muntahnya bercampur darah. Namun setelah muntah keadaannya jadi
membaik. Sriti Gandini kini lebih dapat memusatkan serangannya pada Giri Arsana.
Tubuhnya berkelebat capat laksana bayang-bayang. Sepuluh kuku jarinya
mengeluarkan sinar hitam menggaris udara dalam sepuluh larik yang mengerikan.
Dengan gigih di nenek kirimkan serangan susul menyusul. Namun payung hitam di
tangan lawan benar-benar membuatnya mati kutu. Satu kali dia sempat menghantam
payung itu dengan lima cakaran ganas. Tapi kain payung jangankan robek, tergurat
sajapun tidak! Giri Arsana pukul gagang payung dengan tangan kiri. Angin dahsya
menggebubu. Si nenek coba bertahan tapi gagal. Tubuhnya tersungkur jatuh duduk!
Sambil memaki panjang pendek si nenek bangkit berdiri. Tangan kanannya
menyusup ke balik pakaian hijaunya. Ketika keluar tampak di tangan itu
tergenggam sebatang ranting sirih lengkap dengan tiga helai daunnya. Melihat daun sirih
itu, berubahlah paras Giri Arsana.
"Benar rupanya dia telah mengetahui kelemahanku!" kata si kakek dalam hati.
"Sekarang aku hanya tinggal pasrah!"
"Kau lihat benda ini, Giri Arsana?" tanya si nenek lalu tertawa panjang seperti
lolongan srigala. Dia mendongak ke langit. Dari mulutnya kemudian terdengar
suara nyanyian. Sang istri sudah kudapat
Begitu juga anak bungsu dan anak ke empat
Menyusul sekarang Bapak yang culas
Dendam kesumat segera terbalas
"Tua bangka gila! Kau telah menyanyikan lagu pengiring kematianmu
sendiri!" teriak Patih Kerajaan. Rupanya keadaannya sudah pulih. Habis membentak
begitu dia segera menyerbu. Namun dari samping Wiro yang sejak tadi diam saja
menghadang serangannya.
"Biarkan mereka menyelesaikan urusan.... Biar kita menjadi penonton yang
baik saja, paman Patih."
"Pendekar 212! Kau!" teriak Patih Ganda Ariawisesa.
BASTIAN TITO 52 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Kau kini berbalik membela perempuan itu" Kau sudah gila rupanya!"
"Dunia ini memang banyak orang gilanya, Patih. Tapi sekali ini saya belum
gila. Saya bilang biarkan kakek-nenek itu menyelesaikan urusan mereka!"
"Kurang ajar! Kau telah bersekutu dengan perempuan iblis itu!" teriak Patih
Ganda Ariawisesa. Dengan marah dia langsung menyerang Wiro. Perkelahian seri
terjadi hanya lima jurus. Di jurus keenam Wiro berhasil menotok tubuh Sang Patih
hingga terguling jatuh di tanah dan tak bisa bergerak lagi. Hanya mulutnya saja
yang berteriak memaki tiada henti.
Begitu Sang Patih jatuh ke tanah, Wiro cepat melompat ke tempat perkelahian
antara Sriti Gandini dan Gairi Arsana. Saat itu dengan setangkai daun sirih di
tangan si nenek melancarkan serangan. Giri Arsana muncur terus sambil melepaskan
serangan-serangan balasan dengan payungnya. Tapi nyatanya kini setiap serangan
ataupun angin pukulan sakti yang keluar dari payung, hanya dengan melambaikan
daun sirih saja, semau serangan si kakek dapat dimusnahkan oleh si nenek!
"Celaka!" keluh Giri Arsana. Mukanya tampak pucat.
"Ajalmu sudah dekat Giri!" kata si nenek sambil lontarkan seringai maut.
Daun sirih di tangannya dihantamkan ke depan. Giri Arsana kembali membentengi
dirinya dengan payung saktinya. Namun kali ini kekebalan payung hitam itu tidak
sanggup bertahan terhadap setangkai daun sirih.
Breeettt...! Trakk! Trakk! Kain payung robek besar. Tiang-tiangnya yang terbuat dari kayu berpatahan.
Giri Arsana merasakan seperti ada aliran panas menjalar ke tubuhnya. Cepat-cepat
orang tua ini buang payungnya lalu melangkah mundur.
"Jangan harap kau bisa lari Giri! Hanya nyawamu yang bisa membalas segala
sakit hati dendam berkarat!"
"Aku tidak bakalan lari Sriti! Kau ingin membunuhku dilahkan! Lakukan
cepat! Aku memang orang berdosa!" kata Giri Arsana pula.
Si nenek tertawa."Akhirnya kau menyadari kesalahanmu manusia budak nafsu.
Penyesalanmu datang terlambat...!" Si nenek melompat dan pukulan sirih yang
dipegangnya ke kepala Giri Arsana. Inilah kelemahan Dewa Berpayung Hitam.
Kesaktian, kekebalan dan semua ilmu yang dimilikinya akan musnah oleh pukulan
daun sirih. Hal ini rupanya diketahui Sriti Gandini setelah puluhan tahun
berusaha membongkar rahasia kehebatan si kakek.
Sesaar lagi setangkai daun sirih itu akan mempu menghancurkan batok kepala
Giri Arsana, tiba-tiba dari samping berkelebat satu bayangan dan srettt! Tahu-
tahu tangkai dan daun sirih di tangan si nenek terbetot lepas.
Sriti Gandini menjerit keras.
"Pemuda kurang ajar!" teriak si nenek ketika dilihatnya Pendekar 212 Wiro
Sableng berdiri tegak sambil senyum-senyum dan kipas-kipaskan daun-daun sirih
itu di depan dadanya. "Kembalikan daun sirih itu padaku! Cepat!"
"Pendekar 212....!" Seru Giri Arsana. Lalu dia terdiam. Baru dia menyadari
bahwa memang betul wajah pemuda itu memang mirip sekali dengan parasnya


Wiro Sableng 063 Neraka Krakatau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sewaktu muda! Namun saat itu dia tidak bisa memikirkan hal itu lebih lama. Dia
berkata "Pendekar 212, serahkan daun sirih itu padanya. Aku sudah pasrah mati.
Dosaku terlalu besar padanya...."
"Kalian berdua sama-sama tua, seharusnya bisa bersabar. Jika silang sengketa
antara kalian bisa diselesaikan dengan damai mengapa tidak berusaha
melakukannya?"
BASTIAN TITO 53 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Damai"!" sentak Sriti Gandini. "Puluhan tahun dia menyakiti diriku. Datang
pergi datang pergi dan kawin! Saudara perempuanku ikut jadi korbannya..."
"Sudah Sriti, kau mau membunuh aku lakukan saja. Jangan sebut-sebut lagi
kejadian di masa lampau itu..." kata si kakek dengan hati pilu. Lalu perlahan-
lahan dia duduk di tepi kawah, bersila pejamkan mata. Menunggu dirinya untuk dibunuh.
Si nenek melangkah. Tapi Pendekar 212 cepat menghadang jalannya.
"Apa yang hendak kau lakukan?" tanya Wiro pada si nenek sambil menatap
dengan tajam. "Apa perlu kau tanya lagi"!" membentak Sriti Gandini. "Berikan sirih itu
padaku!" "Baik! Sirih ini akan aku berikan padamu1 Kau bisa membunuhnya dengan
mudah! Tapi apakah setelah dia mati kau akan merasa lepas dari segala dendam
kesumat"! Istri dan dua anaknya sudah kau bunuh! Apa itu belum cukup!"
"Tentu saja belum! Dendam sakit hatiku selama puluhan tahun tidak akan
terkikis sebelum dia kuhabisi!"
Wiro ulurkan tangannya yang memegang daun sirih. "Kakek itu sudah
mengakui dosanya. Sudah pasrah menerima kematian dalam penyesalan yang
mendalam. Jika kau hendak membunuhnya silahkan. Tapi ingat, jangan harap aku
mau bersahabat lagi denganmu!"
Si nenek tersurut.
Giri Arsana terheran-heran mendengar ucapan Pendekar 212 yang membua si
nenek seperti ketakutan.
"Kau manusia jahat!" jerit Sriti Gandini. Lalu dirampasnya setangkai daun
sirih itu dari tangan Pendekar 212. Tapi dia tidak menghantamkan daun sirih itu
pada Giri Arsana. Dari mulutnya terdengar suara memelas perlahan. "Mungkin memang
sudah begini takdir jalan hidupku. Kalau saja aku bisa mati lebih cepat itu akan
lebih baik. Apa artinya lagi hidup ini..."
Sriti Gandini campakkan setangkai daun sirih itu ke tanah. Lalu tiba-tiba
sekali tanpa satu orangpun bisa mencegahnya nenek ini membuang dirinya ke dalam
kawah. "Sriti!" teriak Giri Arsana. Dia coba mengejar tapi terlambat. Tubuh si nenek
sudha jauh melayang ke arah kawah. Giri Arsana terduduk di tebing kawah. Kakek
ini mulai manangis sesenggukan.
Saat itu matahari mulai tergelincir tenggelam seolah-olah meluncur masik ke
dalam laut. Di bawah sinar mentari yang merah keemasan itu, dari bawah kawah
kelihatan ada dua orang bergerak mendaki ke atas. Yang satu seorang kakek
berpakaian putih, mendaki sambil memanggul sesosok tubuh berpakaian hijau. Di
sebelahnya berjalan seorang gadis berwajah jelita. Rambutnya yang hitam sebahu
melambai-lambai tertiup angin.
Makin tinggi keua orang ini naik ke atas tebing kawah. Semakin melotot
kedua mata Wiro dan Giri Arsana. Begitu kedua orang itu sampai di depan mereka,
Wiro garuk-garuk kepalanya.
"Tuhan Maha Besar!" seru Pendekar 212. "Kakek Tua Gila, lagi-lagi kau
menyelamatkan orang dari kematian!"
Tua Gila yang memanggul tubuh Sriti Gandini yang saat itu mulai siuman,
menurunkan tubuh si nenek lalu membaringkannya di tanah di hadapan Giri Arsana.
Si kakek menjerit keras lalu merangkul tubuh orang yang pernah jadi
kekasihnya itu. Dia tidak malu-malu membisikkan ratapan. "Sriti, jika kau mau
memaafkan aku. Aku berjanji akan memeliharamu baik-baik di sisa usiaku yang
tidak seberapa lama lagi ini...."
BASTIAN TITO 54 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Si nenek tidak menjawab. Kedua matanya yang sempat hendak dibuka kini
dipejamkannya kembali.
Pendekar 212 tersenyum dan berkata. "Hai nek! Ayo jawab ucapan orang!
Apa kau tidak mendengar apa yang tadi dikatakan si kakek"!"
Si nenek yang sadar kalau orang sudah tahu bahwa dia berpura-pura pingsan
terus akhirnya buka kedua matanya dan perlahan-lahan bangkit berdiri. Sesaat dia
memandang dengan mata melotot pada Wiro. Wiro membalas dengan senyum
dikulum sambil kedipkan mata dan goyangkan kepalanya ke arah Giri Arsana.
"Kakek itu akan duduk bersila di situ sampai jadi batu. Kecuali kalau kau mau
menolongnyaa berdiri! Tolong dia. Fia akan ikut kemana kau pergi. Kalian berdua
akan bahagia selama-lamanya!"
Diperlakukan seperti itu Sriti Gandini jadi serba salah. Akhirnya diulurkannya
juga tangan kanannya. Si kakek menatap paras nenek itu dengan air mata
bercucuran. Si nenekpun mulai menangis sesenggukan. Keduanya saling berpegangan tangan dan
perlahan-lahan Giri Arsana bangkit berdiri. Saat itu juga tempat itu dipenuhi
tepuk bersorak Wiro, Tua Gila dan Mirantih.
"Sebaiknya kita yang tak punya kepentingan tidak perlu berlama-lama di
tempat ini....." kata Wiro pula.
Tua Gila batuk-batuk. "Kau betul Pendekar 212. Mari kita pergi."
Wiro mendekati Patih Ganda Ariawisesa terlebih dulu untuk melepaskan
totokan di tubuh orang itu. Semula dia menyangka Sang Patih akan menghantamnya,
paling tidak mencaci makinya. Ternyata tidak. Sang Patih menarik nafas dalam dan
terdengar berucap. "Aku sudah saksikan semua yang terjadi. Mungkin ini semua
sudah takdir dari Yang Kuasa. Kita manusia hanya bisa menerima kenyataan..."
"Saya merasa bersyukur Paman Patih berkata begitu...." Kata Wiro girang.
Lalu dia memberi isyarat pada Tua Gila dan Mirantih. "Mari kita pergi. Jenazah
di dalam batang kelapa serahkan saja pada mereka untuk mengurusi." Ketiga orang itu
segera hendak melangkah pergi. Tiba-tiba terdengar Patih Kerajaan berkata
"tunggu dulu! Apakah kalian melihat dua orang berada di pulau ini?"
"Maksud Paman Patih Pagar Paregreg Kepala Pasukan Kerajaan yang jadi
pimpinan pemberontak itu dan cecunguk kawannya yang bernama Brambang
Santika"!" ujar Wiro.
"Ah, jadi kau sudah melihat mereka!"
"Keduanya tak perlu diurusi. Sudah ada yang mengurus sendiri. Ikan-ikan di
dalam laut sana!" kata Wiro seraya menunjuk ke tengah laut. Selagi Patih
Kerajaan terheran-heran tak mengerti Pendekar 212 melanjutkan keterangannya. "Kedua orang
itu sudah dihajar habis-habisan oleh nenek itu. Mayatnya ditendang mental dan
masuk ke dalam laut!"
Patih Kerajaan meepaskan nafas legaa. Wiro, Tua Gila dan Minaratih
melangkah pergi. Namun lagi-lagi ada suara menahannya pergi. Kali ini seruan
Sriti Gandini. "Pendekar 212! Aku tahu sekarang! Kau sudah dapat sahabat baru gadis cantik
itu! Pantas kau tidak mau bersahabat denganku!"
Wiro tertawa gelak-gelak. "Siapa bilang saya tidak suka bersahabat dengamu
Nek. Bukankah sudah saya katakan kau ini nenek paling cantik di dunia"!" Lalu
pada Giri Arsana dia berkata. "Kek, kau jaga baik-baik sahaba yang cantik itu!"
Semua orang yang ada di puncak kawah Gunung Krakatau itu termasuk Giri
Arsana tertawa gelak-gelak. Si nenek tampak cemberut. Tapi cuma sebentar Sesaat
kemudian terdengar pula suara tawanya. Malah lebih keras dari tawa yang lain
TAMAT BASTIAN TITO 55 Prahara Di Laut Selatan 2 Naga Sakti Sungai Kuning Huang Ho Sin-liong Karya Kho Ping Hoo Tusuk Kondai Pusaka 2
^