Neraka Krakatau 2
Wiro Sableng 063 Neraka Krakatau Bagian 2
Hari ini menyusul anak yang bungsu
Kubur di Pulau sudah menunggu
Belum habis kejut Raden Sabrang dan Wini Kantili, tiba-tiba sesosok tubuh
nenek berwajah angker sudah tegak di depan mereka.
"Hik...hik...hik! Kalian pandai menyamar. Tapi jangan kira aku bisa ditipu!
Sumpah sudah jatuh! Seluruh turunan Giri Arsana harus mati di tanganku! Kecuali
manusia biang racun itu muncul unjukkan diri menerima kematian!"
Raden Sabrang cepat memegang bahu istrinya dan menyuruh Wini Kantili
berdiri di depannya. Dia lalu menghadapi si nenek. Lelaki ini sudah dapat
menduga siapa adanya nenek bermuka tengkorak di hadapannya itu.
"Kau pasti manusia yang berjuluk Sepuluh Kuku Iblis! Si pembunuh kejam
orang-orang tak berdosa! Kau telah membunuh kakak Sampan Gayana dan ibu
mertuaku! Sekarang kau menginginkan jiwa istriku! Sungguh keji! Apa salah kami
semua"!"
Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis kembali tertawa panjang. "Kalian
memang tidak punya dosa. Tapi kalian menanggung dosa turunan! Dosa bapak
moyangny yang bernama Giri Arsana itu!"
Dua bayangan berkelebat. Disusul dengan gerakan-gerakan cepat. Lebih dari
sepuluh orang pengawal mengurung si nenek dan di kiri kanannya tegak dua orang
tokoh silat Istana. Salah seorang dari tokoh ini membentak.
"Perempuan sedeng! Lekas minggat dari sini atau kupatahkan batang lehermu
saat ini juga!"
Sepuluh Kuku Iblis mendongak lalu kembali tertawa panjang. Perlahan-lahan
bersamaan dengan sirapnya suara tawanya dia palingkan kepala pada orang yang
barusan menghardiknya. Telunjuk kirinya ditudingkan tepat-tepat ke muka tokoh
silat itu. "Lelaki jelek! Aku tahu siapa dirimu! Bukankah kau kunyuk yang bernama
Camar Wungu, manusia sombong bergelar Si Tanagn Besi"! Hi...hik...hik. Aku mau
lihat bagaimana sepasang tangan besimu hendak mematahkan batang leherku!"
Lalu si nenek melangkah ke hadapan tokoh silat Istana itu sambil sorongkan
kepalanya. Camar Wungu jadi kaget sekaligus merasa marah ditantang begitu rupa.
Kedua tangannya seta merta tampak berubah menjadi kecoklat-coklatan dan keras
laksana batang besi.
"Manusia keparat! Kau memang minta mampus!" Dua tangan Camar Wungu
bergerak laksana kilat. Dalam sekejapan saja sepuluh jari tangannya sudah
mencengkeram batang leher si nenek dan mematahkannya!
Yang terdengar kemudian bukan jeritan si nenek melainkan jeritan Camar
Wungu. Cekikannya terlepas. Kedua matanya mendelik dan tubuhnya terhuyunghuyung.
Wini kantili menjerit sewaktu menyaksikan apa yang terjadi dengan tokoh
silat Istana itu. Perutnya robek besar. Darah muncrat dan ususnya membusai
mengerikan. Nyawanya tidak tertolong lagi!
"Manusia jahanam!" teriak tokoh silat yang satu lagi. Dia hunus senjatanya
yaitu sebilah pedang pendek. Lalu menyerang. Beberapa orang pengawal ikut
melompat dengan senjata di tangan.
Si nenek menyambut serangan itu dengan tawa melengking. Tubuhnya
berkelebat. Lima jari tangannya melesat ke depan. Lalu pekik terdengar susul
menyusul. Lima orang berkapar di tanah. Salah satu diantaranya tokoh silat tadi.
Mereka yang masih hidup menjadi leleh nyalinya dan tertegun tak berani bergerak.
BASTIAN TITO 20 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kesempatan ini dipergunakan Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis
berkelebat menyambar tubuh Wini Kantili. Suaminya coba menghalangi dengan
berusaha menjambak rambut nenek itu. Tapi satu pukulan pada perutnya membuat dia
terlipat lalu roboh ke tanah. Di lain saat terdengar jeritan Wini Kantili. Muka
dan dadanya berlumuran darah oleh lima guratan luka yang dalam!
Raden Sabrang cepat bangkit dan berusaha mengejar ketika dilihatnya si
nenek hendak melarikan istrinya. Tapi lagi-lagi hantaman si nenek memebuatnya
jatuh tergelimpang ke tanah. Kali ini tak bangkit lagi karena tulang dadanya
melesat remuk dan dia mengalami kesulitan bernafas.
"Win.... Wini....!" Memanggil Raden Sabrang. Dia berusaha berdiri mengejar
tapi roboh lagi.
Sepuluh Kuku Iblis tertawa melengking. Tubuh Wini Kantili yang berada
dalam keadaan luka parah dan sekarat dipanggulnya di bahu kiri. Dia memandang
berkeliling lalu melompat ke arah matahari tenggelam. Namun gerakannya tertahan.
Ada dorongan angin dahsyat datang dari depan yang membuat tubuhnya
terhuyunghuyung. Tubuh Wini Kantili yang ada di panggulannya hampir terlepas. Si
neenk berseru marah sambil melompat ke kiri. Dia balas menghantam. Tapi ketika meliha
wajah orang yang menghadangnya, kedua matanya jadi terbeliak, hatinya berdenyut
penuh rasa tidak percaya. Dia membatin. "Apakah ini hanya satu kebetulan atau
manusia keparat itu memang hidup kembali" Tapi bagaimana bisa semuda ini"!"
"Perempuan jahat! Jangan harap kali ini kau bisa membunuh dan kabur
seenaknya! Turunkan puteri Patih itu cepat!" Pemuda di depan si nenek membentak.
"Siapa kau"!" si nenek balas menghardik.
"Aku utusan dari neraka yang datang untuk mengambil nyawa busukmu!"
jawab si pemuda.
"Gila!" kata si nenek lagi dalam hati. "Ucap dan lagaknya persis sama dengan
si keparat itu! Bagaimana ada dua menusia bisa mirip satu sama lain"!"
"Jangan kau berani bergurau di hadapan nenek moyangmu! Lekas menyingkir
atau kau jadi korbanku berikutnya saat ini juga!"
Yang diancam garuk-garuk kepala dan menyeringai lalu maju selangkah. Si
nenek angkat tangan kanannya siap untuk menghantam. Tapi entah mengapa tiba-tiba
saja ada rasa tidak enak dalam hatinya. Tangannya diturunkan kembali. Kesempatan
ini dipergunakan si pemuda untuk melompat coba merampas tubuh Wini Kantili. Kali
ini si nenek tidak bisa berbuat lain. Dia cepat mengelak ke kiri lalu kirimkan
tendangan kaki kanan. Tapi luput karena yang diserang sudah lebih dulu mengelak
dan membalas dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Sepuluh Kuku Iblis keluarkan pekik melengking. Tubuhnya lenyap. Tangan
kanannya mencakar ke depan. Namun aneh, sekali ini dia tidak keluarkan kuku-kuku
iblisnya. Hanya saja serangannya ini kini mengerahkan lebih dari separuh tenaga
dalamnya. Akibatnya si pemuda merasa seperti disambar angin topan. Tubuhnya
terpental. Dada pakaiannya robek. Selagi dia mencoba mengimbangi diri agar tidak
jatuh, nenek berwajah tengkorak itu kembali menyerbu dengan cakaran ke wajah
lawan, tapi lagi-lagi dia tidak keluarkan kuku-kuku iblisnya.
Dalam keadaan terdesak si pemuda menghantam sambil kerahkan tenaga
dalam. Terdengar suara angin menderu dahsyat. Si nenek terkejut dan berseru.
"Jurus dibalik gunung memukul halilintar!" Lalu dia cepat batalkan serangannya dan
menyingkir mundur dengan mata mendelik.
Si pemuda yang tentunya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng jadi terkejut
ketika mendengar lawan menyebut dengan tepat jurus ukulan yang dilancarkannya.
BASTIAN TITO 21 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Jadi kau..... Jadi kau manusia yang berjuluk Pendekar 212 itu!" kata si nenek
dengan mata masih melotot. Dalam hati dia lagi-lagi membatin. "Ah, mengapa
wajahnya begitu sama. Kepandaiannyapun tak kusangka begini hebat! Dia bisa
berbahaya. Tapi bagaimana ini! Aku tidak tega mencelakainya! Lebih baik aku
lekas pergi dari sini!"
Si nenek keruk saku pakaiannya mengeluarkan sebuah benda berwarna hitam.
Murid Eyang Sinto Gendeng yang sudah punya banyak pengalaman segera tahu
benda apa yang ada di tangan si nenek. Dia coba merampas tapi terlambat. Benda
itu telah lebih dulu dibantingkan Sepuluh Kuku Iblis ke tanah. Terdengar letupan
halus. Lalu asap tebal menggebubu menutup pemandangan sejarak tiga tombak persegi.
Wiro batuk-batuk dan cepat menyingkir. Ketika asap tebal lenyap, si nenek
bersama sosok Wini Kantili yang dipanggulnya tidak kelihatan lagi di tempat itu!
Pendekar 212 cepat mendatangi sosok Raden Sabrang yang sedang sekarat
terkapar di tanah.
"Raden...."
"Kejar..... Kejar perempuan iblis itu. Dia melarikan Wini. Tolong istriku....."
"Terlambat. Tak mungkin dikejar. Kecuali ada yang tahu kemana perempuan
itu membawa istri Raden," jawab Wiro lalu dia menotok tubuh Raden Sabrang di
beberapa tempat. Totokan ini tak mungkin menyelamatkan jiwa putra Patih Kerajaan
itu. Namun paling tidak dapat mengurangi rasa sakit yang dideritanya.
"Aku...aku mendengar dia menyebut-nyebut Pulau....." kata Raden Sabrang.
Pemandangannya mulai berkunang dan gelap.
"Pulau apa..." Pulau apa Raden" Katakan cepat!"
"Dia hanya menyebut Pulau. Tidak tahu...." Ucapan Raden Sabrang terputus.
Kepalanya terkulai. Nyawa lepas sudah.
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Dia memandang ke arah matahari yang
akan segera tenggelam. "Pulau...." Pulau apa" Ada banyak pulau di pantai Utara.
Sau yang terbesar Pulau Rakata. Mungkin nenek itu membawa korbannya ke sana" Tapi
untuk apa..."
Selagi Pendekar 212 berpikir-pikir tiba-tiba dari arah Barat terdengar gemuruh
suara derap kaki kuda banyak sekali. Murid Eyang Sinto Gendeng cepat palingkan
kepala. Lalu dia melihat rombongan orang-orang itu. Di sebelah depan adalah
Patih Ganda Ariawisesa. Di sebelahnya Cemani Tanduwisoka. Di sebelah belakang
menyusul Brambang Santika bersama dua orang tokoh silat Istana. Lalu di sebelah
belakang lagi puluhan perajurit Kerajaan.
Zmelihat Wiro berdiri di tempat itu Patih Kerajaan mengangkat tangan
memberi tanda agar rombaongan berhenti. Dia hendak mengaakan sesuatau pada
Wiro namun berteriak keras ketika melihat mayat-mayat yang berkaparan, dua
diantaranya adalah tokoh silat Istana yang ditugaskan untuk mengawal putera dan
menantunya. Di sebelah sana malah tampak pula sosok tubuh Raden Sabrang terkapar
tak bergerak lagi.
"Gusti Allah! Apa yang terjadi"!" teiak Patih Ganda Araiwisesa lalu
melompat turun dari kuda.
Tubuh Patih Kerajaan ini bergetar keras menyaksikan kematian puteranya itu.
Dia duduk bersimpuh di tanah dan meletakkan kepala Raden Sabrang dia tas
pangkuannya sambil menangis terisak.
"Mana Wini menantuku"!" teriaknya Sang Patih kemudian.
"Perempuan berjuluk Sepuluh Kuku Iblis yang menculiknya," menerangkan
Wiro. BASTIAN TITO 22 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Ya Tuhan..." Patih Ganda Ariawisesa merasakan sekujur tubuhnya menjadi
lemas. Tubuhnya terhuyung-huyung dan hampir jatuh kalau tidak lekas dipegang
oleh Wiro. "Wini... Ya Tuhan.... Tolong dia. Selamatkan dia..."
Brambang Santika saat itu telah pula turun dari kudanya. Sambil memegang
bahu sang Patih dia berkata "Ada pengkhianat di antara kita. Kalau tidak
bagaimana mungkin Sepuluh Kuku Iblis mengetahui menantu dan puteramu berada di tempat
ini!" Sang Patih turunkan kedua tangannya. Sepasang matanya tampak merah.
"Kau benar sahabatku. Ada pengkhianat di antara kia. Tapi siapa"!"
"Kelak musuh dalam selimut itu akan kita ketahui juga. Dia tidak bakalan
lolos! Saya berjanji akan mengorek jantungnya dengan tangan saya sendiri!" kata
Brambang Santika pula sambil mengepalkan tinju kanan.
Wakil Kepala Pasukan Kerajaan yang masih tetap berada di atas punggung
kudanya berkata untuk pertama kali. "Paman Patih, kau harap di sini saja. Biar
kami yang meneruskan pengejaran terhadap Pagar Paregreg selagi dia masih belum jauh."
"Tidak! Aku tetap akan mengejar si Pengkhianat itu!" jawab Patih Ganda
Ariawisesa lalu berpaling pada Wiro. "Pendekar 212. Harap kau suka membantu
mengurus jenazah puteraku dan yang lain-lainnya."
Wiro garuk-garuk kepala lalu mengangguk.
BASTIAN TITO 23 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH S riti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis duduk termenung di tepi kawah
Gunung Krakatau. Di atasnya tujuh buah batang kelapa kini tiga di antaranya
telah berisi mayat yang diawetkan. Yang pertama istri Giri Arsana. Yang kedua mayat
anak lelakinya yaitu anak yang keempat dan yang ketiga anak bungsunya yaitu Wini
Kantili. Yang dipikirkan si nenek kini bukan meneruskan rencananya mencari turunan
Giri Arsana yang lain guna memancing orang yang paling dibencinya itu keluar
dari persembunyiannya. Pikiran dan ingatan serta kenangan si nenek kini justru pada
murid Eyang Sinto Gendeng Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Sulit! Gila dan tidak dapat dipercaya!" katanya brulang kali dalam hati.
"Bagaimana ada kenyataan bahwa wajah pemuda itu persisi sama dengan wajah Giri
Arsana sewaktu dia masih muda" Bukan cuma wajah, lagak dan cara dia bicarapun
begitu mirip. Kalau saja aku masih muda...." Sesaat wajah si nenek tampak menjadi
merah. Dia mengusap muka tengkoraknya berulang kali. Menyadari keadaan dirinya
kedua matanya tampak berkaca-kaca. "Gila!" dia memaki lagi dalam hati. "Tak
mungkin aku harus jatuh cinta pada pemuda itu! Usiaku paling tidak tiga kali
usianya. Lalu wajahku yang begini angker! Tubuhku yang kurus kering rongsokan! Tapi gila!
Mengapa aku terus teringat padanya! Ketinggian ilmu silat dan kesaktiannya
membahayakan diriku! Bisa-bisa aku celaka di tangannya sebelum sempat menuntut
balas terhadap Giri Arsana! Dan lebih celaka lagi mengapa aku seperti tidak tega
menjatuhkan tangan keras terhadapnya. Apa lagi membunuhnya! Aku harus
menghindari pemuda itu. Lain halnya kalau Giri Arsana sudah mampus di tanganku.
Mungkin aku bisa mencari seseorang yang bisa merubah raut wajah dan keadaan
tubuhku. Lalu kucari pemuda itu. Akan kucintai dia seperti ketika aku mencintai
Giri Arsana di waktu muda! Gila! Tidak! Aku tidak akan menyamakan dirinya dengan
Giri Arsana. Pemuda ini pasti jauh lebih baik. Buktinya dia berusaha
menyelamatkan anak dan menantu Giri Arsana. Ah, mengapa aku dilahirkan terlalu cepat ke dunia
ini...." Sepanjang malam itu si nenek duduk merenung di tepi kawah Gunung
Krakatau. Dia bahkan tertidur di situ sampai pagi. Ketika sinar sang surya
menghangati wajah dan tubuhnya baru dia terbangun. Begitu bangun ingatannya
kembali tertuju pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Perlahan-lahan si nenek
melangkah mendaki lereng kawah, naik ke atas. Sinar matahari pagi tepat jatuh di kedua
matanya sehingga pemandangannya silau terganggu. Namun ketika dia mencapai bagian atas
kawah, meskipun dalam keadaan silau kedua matanya masih dapat melihat ada
seseorang tegak di hadapan deretan tujuh batang kelapa berlubang. Si nenek
lindungi matanya dengan telapak tangan menghindari silaunya sinar matahari. Kini dia
dapat melihat siapa adanya orang itu dan dia jadi terkejut hingga berseru.
"Kau!"
Orang yang tegak di depan deretan batang kelapa itu tampak tenang-tenang
Wiro Sableng 063 Neraka Krakatau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja. Sesaat kemudian baru dia menjawab.
"Akhirnya kutemui juga kau! Tidak meleset dugaanku kalau kau memang
berada di Pulau Rakata ini. Yang aku cuma heran mengapa kau melakukan semua
kegilaan ini"!"
"Pendekar 212, apapun yang kulakukan adalah urusanku sendiri. Bukan
urusanmu ataupun urusan orang lain!"
BASTIAN TITO 24 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Murid Eyang Sinto Gendeng gelengkan kepala. "Jika pembunuhan terjadi atas
diri orang-orang tak berdosa, apalagi sampai menyangkut kematian menantu dan
putera Patih Kerajaan maka urusan menjadi urusan semua orang. Menjadi urusan
orang-orang rimba persilatan!"
"Kentut busuk!" teriak si nenek muka tengkorak. "Apakah kalian orang-orang
persilatan juga mau tahu apa yang dilakukan orang terhadap diriku" Derita
sengsara apa yang kualami selama hidupku!"
"Harap maafkan. Kalau kau menyebut hal itu aku mana tahu. Orang lain juga
tidak mau tahu menyangkut urusan pribadimu..."
Si nenek tersenyum. "Pasti...Memang selalu begitu akan kudengar ucapan
orang! Munafik! Semua munafik!"
"Nenek....Coba kau terangkan mengapa kau membunuh ke tiga orang ini, lalu
menculiknya. Mengawetkan tubuh mereka lalu memasukkannya ke dalam lobanglobang
batang kelapa ini!" bertanya Wiro.
"apa perdulimu! Justru kau yang harus menjawab pertanyaanku! Ada perlu
apa kau datang ke tempat ini" Menyelidik dan mengejarku"! Kau tahu Gunung
Krakatau adalah daerah kekuasaanku. Neraka bagi siapa saja yang berani datana
kemari. Menginjakkan kaki di sini berarti mati! Termasuk aku!"
Wiro menatap wajah tengkorak sesaat. Hal ini membuat dada si nenek jadi
berdebar. Kenangan lama di masa muda membuat dirinya seolah terbakar.
Perlahanlahan dia alihkan pandangan matanya ke tempat lain. Seperti dia tidak
kuasa balas menatap pandangan mata pemuda di hadapannya itu.
"Terus terang aku memang menyelidik dan mengejarmu. Penyelidikan dan
pengejaranku berakhir sampai di tepi kawah ini. Sekarang aku meminta padamu agar
menghentikan semua kegilaan ini! Jika kau punya dendam kesumat terhadap
seseorang, bukan begini caranya membalas sakit hati!"
"Hemm... ucapanmu terdengarnya bagus sekali. Kau punya hati kemanusiaan
yang tinggi! Tapi dengan caramu itu kau membela orang lain dan mencelakai
diriku!" "Aku tidak mencelakakan siapa-siapa. Aku akan segera meninggalkan tempat
ini tapi dengan membawa ketiga mayat ini. Kau harus menolongku menggotongnya
ke pantai dan memasukkannya ke dalam perahu."
Si nenek melongo lalu tertawa mengekek. "Aku bukan kacungmu! Jika kau
inginkan ketiga mayat itu silahkan ambil! Tapi jangan lupa. Tinggalkan dulu
nyawamu di Pulau Rakata ini!"
"Ini pembicaraan dan urusan gila tidak akan habis-habisnya!" kata Wiro masih
bisa menyeringai. "Kau mau menolongku membawa mayat-mayat ini ke pantai"
Cukup dengan menyeret batang kelapanya saja"
"Aku ingin membunuhmu!" jawab si nenek. Kata-kata itu diucapkannya
dengan hati perih karena di lubuk hatinya dia tidak tega membunuh pemuda ini.
Wiro yang sadar bahwa perkelahian tak mungkin dihindari lagi segera
memasang kuda-kuda. Begitu si nenek menyerbu dia menghantam dengan pukulan
"segulung ombak menerpa karang"
Si nenek yang sudah tahu kehebatan lawannya tidak mau kalah. Dia
dorongkan kedua tangannya ke arah Wiro. Dua gulung angin melesat didahului oleh
suara keras. Sedang dari mulutnya nenek muka tengkorak itu keluarkan suara
seperti lolongan srigala yang menggidikkan.
Pendekar 212 tersentak kaget ketika melihat bagaimana pukulan saktinya
musnah dihantam dua gelombang angin serangan lawan. Pemuda ini cepat
menghantam dengan dua serangan sekaligus.Tangan kiri melepas pukulan "kunyuk
BASTIAN TITO 25 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
melempar buah" sedang tangan kanan menghantamkan pukulan "kilat menyambar
puncak gunung!"
Sepuluh Kuku Iblis berteriak keras. Tubuhnya lenyap dari pemandangan. Di
lain saat Wiro melihat ada lima larik sinar hitam membabat ke arahnya! Si nenek
rupanya sudah keluarkan ilmu kesaktian yang paling diandalkannya yaitu kuku-kuku
iblis! Wiro cepat menyingkir. Tapi breeeettt! Baju putihnya masih sempat disambar
hingga robek besar di bagian dadanya. Selagi dia terkesiap kaget begitu rupa si
nenek kembali menyambar dengan lima kuku mautnya. Kali ini Wiro tidak berkesempatan
untuk menghindar. Sesaat lagi lima kuku itu akan merobek muka Pendekar 212 si
nenek tiba-tiba tarik pulang tangannya. Rasa cintanya yang aneh membuat dai
tidak tega meneruskan serangannya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Wiro.
Murid Eyang Sinto Gendeng cepat melompat ke depan dan susupkan satu
pukulan keras ke dada si nenek. Sepuluh Kuku Iblis menjerit setinggi langit.
Salah satu tulang iganya remuk. Tubuhnya terpental ke tepi kawah. Darah kelihatan
mengucur di sela bibirnya. Tapi hebatnya perempuan tua ini bangkit berdiri
dengan cepat. Sepasang matanya seperti menyala.
"Bodoh! Terlalu bodoh aku menenmkan rasa suka terhadap pemuda ini! Aku
menyukainya tapi dia inginkan nyawaku! Lebih baik mati sama-sama!" kata Sepuluh
Kuku Iblis dalam hati. Dia ulurkan kedua tangannya. Sepuluh kuku ini tampak
mencuat mengerikan ke arah Wiro. Perlahan-lahan si nenek melangkah mendekati
Wiro. Mulutnya komati kamit membaca mantera. Tiba-tiba dia menghantam ke depan.
Sepuluh larik cahaya hitam menyambar. Wiro yang sudah menunggu membalas
serangan lawan dengan "pukulan sinar matahari." Cahaya putih panas dan
menyilaukan berkiblat.
Si nenek terdengar elengking tinggi. Tubuhnya lenyap. Pukulan sinar
matahari menghantam pinggiran kawah hingga tanah kawah hancur terbang sampai
setinggi lima tombak. Wiro merasakan ada angin menyambar di belakangnya. Dia
cepa berpaling. Tapi terlambat. Satu dorongan angin yang sangat deras menghantam
dadanya. Tak ampun lagi tubuhnya erpental dan jatuh ke dalam kawah!
Si nenek berseru kaget. Menyesal menyaksikan bagaimana pukulan sakti yang
dilepaskannya tadi dengan mengandalkan seluruh tenaga dalamnya itu membuat
mental si pemuda begitu rupa. Dia melompat memburu sambil ulurkan tangan
kanannya. Berusaha menangkap pergelangan kaki kiri Wiro. Namun terlambat tak ada
gunanya. Tubuh murid Eyang Sinto Gendeng itu telah melayang jatuh menuju kawah
Gunung Krakatau yang mendidih!
Si nenek hanya bisa tertegun di tepi kawah. Tubuhnya lemas. Kedua matanya
dipejamkan. Perlahan-lahan dia terduduk di tepi kawah dengan sepasang mata
berkaca-kaca. "Aku begitu menyukainya. Tapi dia keliwat memaksa. Menyesal aku
menurunkan tangan keras padanya. Lebih baik aku mati saja menysulnya!" Sriti
Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis tiba-tiba berdiri dan siap hendak melompat
menghambur kawah Gunung Krakatau. Namun seperti ada suara yang mengiang di
telinganya. "Tak ada gunanya mati bagimu! Kematianmu hanya akan memberi
peluang bagi orang yang sangat kau benci itu bisa kembali hidaup bebeas di dunia
ini! Jangan jadi orang tolol!"
"Keparat!" si nenek memaki. "Hampir aku tertipu oleh kebodohanku sendiri!"
Dia menatap ke arah kawah di kejauhan sana. Lalu perlahan-lahan diputarnya
tubunya. "Tiga nyawa sudah kukirim ke neraka. Menyusul kini nyawa ke empat, kelima dan
BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ketujuh! Masakan keparat itu tidak akan keluar dari persembunyiannya! Manusia
busuk! Lalaki pengecut!"
BASTIAN TITO 27 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN G oa itu terletak di kaki timur Gunung Karang. Bagi orang yang tidak
tahu seluk beluk daerah sunyi dan jarang didatangi manusia itu pasti tidak akan
mengetahui kalau di situ terdapat sebuah goa. Apalagi goa ini terlindung oleh
sederetan pohon jati tua dan mulutnya tertutup oleh semak belukar lebat.
Di kawasan kaki gunung yang sunyi senyap itu tiba-tiba menggelegar suara
auman binatang buas. Seekor harimau raksasa berwarna kuning belang hitam,
mendekam di tanah. Tengkuknya merunduk, mulutnya terbuka lebar memperlihatkan
gigi dan taring-taringnya yang besar runcing mengerikan. Binatang ini siap
melompati sesosok tubuh yang tegak di hadapannya. Orang yang bakal menjadi mangsa raja
rimba itu adalah seorang nenek bertubuh kurus dan berkulit sangat hitam. Sekujur
daging tubuhnya hanya tinggal kulit pembalut tulang. Termasuk kulit mukanya
hingga wajahnya tidak beda seperti tengkorak hidup. Sepintas dia kelihatan
seperti Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis. Tapi jika diperhatikan banyak
kelainannya. Nenek satu yang ada di rimba belantara ini menghiasi kepalanya dengan lima buah
tusuk kundai dari perak. Kelima tusuk kundai itu tidak mungkin disisipkan pada
rambut putihnya yang sangat jarang. Karenanya benda-benda itu disusupkan oada
kulit kepalanya! Sepasang alisnya berwarna putih. Ongga mata dan kedua pipinya
sangat cekung hingga wajahnya jelas jauh lebih angker dari nenek yang bergelar
Sepuluh Kuku Iblis!
Menghadapi harimau raksasa yang siap menerkamnya si nenek tegak
tenang-tenang saja. Malah sambil menyeringai dia bolang balingkan tongkat kayu
di tangan kanannya. Gerakan tongkat ini diikuti dengan pandangan mata liar harimau
besar di hadapannya. Binatang ini menggereng lalu mengaum keras membuat rimba
belantara itu seperti bergetar.
Si nenek bukannya takut malah tertawa mengekeh.
"Raja rimab!" katanya berseru. "Apa untungnya menerkam diri tua bangka
ini! Tubuhku tak berdaging lagi! Tulangku keras dan a lot! Kau cari saja mangsa
yang lain!" Raja hutan kembali mengaum seolah tahu apa ang diucapkan si nenek.
Kedua kaki depannya dicakar-cakarkan ke tanah. Mulutnya dibuka lebar-lebar.
"Kalau kau tidak mau mendengar ucapanku, kau bakal menyesal!" seru si
nenek lagi. Lalu tonglat yang dipegangnya dilemparkan ke arah binatang buas itu.
Aneh, begitu dilempar tongkat ini langsung memukul ke arah kepala harimau besar.
Pukulan yang cukup keras itu membuat sang harimau kesakitan dan mangaum marah.
Sesaat dia jadi bingung apakah akan terus menrkam si nenek atau menerkam
tongkat. Selagi dia kebingungan seperti itu tongkat kembali menghantam kepalanya berulang
kali. Pinggiran matanya sebelah kiri robek dan mengucurkan darah. Tak tahan
menderita sakit apalagi tidak mempu berbuat apa terhadap tongkat itu harimau
besar ini akhirnya melarikan diri masuk ke dalam rimba belantara.
Si nenek ulurkan tangannya.tongkat melayang masuk ke dalam
genggamannya. Sambil meneyeringai dia memandang berkeliling. Lama dia
memperhatikan deretan pohon-pohon jati yang berusia puluhan tahun di
sekelilingnya. "Goa itu seharusnya berada di sekitar sini. Aneh....kenapa tidak kelihatan
lagi" Tak mungkin lenyap begitu saja!" si nenek berkata dalam hati. Kesal
mencaricari dan apa yang dicari tidak bertemu akhirnya kembali perempuan tua ini
pergunakan tongkatnya untuk melakukan hal yang mustahil mampu diperbuat oleh
BASTIAN TITO 28 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
orang lain. Tongkat di tangannya perlahan-lahan berubah jadi lebih panjang.
Dengan benda ini dia menerabas kian kemari. Dalam sekejapan mata saja semak belukar di
sekitar itu habis rambas dibuatnya. Tak lama kemudian terdengar suaranya
berrseru. "Ooooooo...ooo! Itu dia! Ternyata memang tidak lenyap!" Si nenek
melompat kehadapan mulut goa yang kini kelihatan jelas setelah semak belukar
yang menutupinya dibabat habis dengan tongkatnya tadi.
Sesaat si nenek tegak di depan mulut goa. Kepalanya didongakkan sedikit
lalu dia menghirup dalam-dalam. Mulutnya menyeringai. Kemudian terdengar
tawanya mengekeh.
"Aku mencium baumu tua bangka jelek!" si nenek berteriak. "Dewa
Berpayung Hitam! Aku tahu kau ada di dalam!"
Suara teriakan si nenek bergema masuk ke dalam goa lalu muncul lagi di
mulut goa secara aneh dan keras disertai deru angin membuat si nenek tersentak.
"Kau tak mau menjawab! Jangan coba menipuku! Kalau ku sulut api ke
dalam goa kau bakal jadi tulang belulang gosong! Beginikah sambutanmu menerima
tamu yang datang dari jauh"!"
Dari dalam goa tiba-tiba terdengar gema suara tawa mengekeh.
"Tamu yang banyak mulut! Aku belum melihat tampangmu, belum tahu
siapa kamu! Tapi silahkan masuk! Sudah enam bulan lebih memang aku tidak pernah
melihat manusia!"
Nenek di mulut goa batuk-batuk lalu menerobos masuk ke dalam. Goa ini
ternyata cukup dalam dan berkelok-kelok. Tapi anehnya semakin ke dalam semakin
terang. Akhirnya dia sampai di sebuah mata air.
"Aneh, bagaimana bisa ada mata air dalam goa ini!" kata si nenek. Dia
menengadah ke atas. Di langit-langit goa ada sebuah celah kecil. Dari sinilah
cahaya matahari masuk menerangi bagian dalam goa!
Nenek itu turunkan kepalanya kembali. Pandangannya langsung tertuju ke
seberang mata air dimana kelihatan sebuah payung hitam lebar dan keadaan
terbuka, terletak di lantai batu.
"Konyol!" si nenek memaki. "Sudah diketahui orang kau berada di sini
masih saja coba sembunyi di balik payung! Kalau tidak lekas kau singkirkan
payung itu jangan menyesal kalau kurobek-robek!" Si nenek lalu angkat tangannya yang
memegang tongkat.
Dari balik payung terdengar suara tawa mengekeh. Payung hitam lebar itu
perlahan-lahan menciut kuncup.
BASTIAN TITO 29 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEMBILAN D i balik payung itu kini tampak duduk bersila seorang kakek berwajah
putih klimis, bermata cekung dan berpipi kempot. Dia mengenakan jubah putih dan
di bahu serta dadanya diselempangkan sehelai kain hitam, sehitam warna payungnya.
Orang ini memandang tersenyum pada si nenek. Tangannya bergerak menyandarkan
payung hitam yang baru ditutupnya ke dinding goa.
"Ternyata kau tidak kalah jelek dengan diriku!" kata si nenek lalu tertawa
mengekeh. Kakek di seberang mata air ikut-ikutan tertawa hingga goa itu jadi
bising dan bergetar oleh suara tertawa kakek nenek ini.
"Giri Arsana! Kau...."
Wiro Sableng 063 Neraka Krakatau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tunggu dulu!" si kakek memotong ucapan si nenek. "Sebagai tuan rumah
aku mungkin tidak bisa bersikap ramah. Juah-jauh datang kemari kau tentu haus!
Jika ingin minum silahkan ambil sendiri! Maksudku minum dari telaga itu!"
"Sialan kau!" memaki si nenek. "Nyawamu terancam dan kau masih saja
bisa bicara ngacok!"
"Sinto Gendeng, ada apa kau datang jauh-jauh dari gunung gede ke goaku
ini"!" bertanya si kakek.
Ternyata si nenek adalah Eyang Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro
Sableng sedang si kakek bukan lain adalah Giri Arsana alias Dewa Berpayung Hitam
yang selama enam bulan terakhir ini melenyapkan diri dari dunia persilatan tak
tahunya sembunyi di dalam goa di kaki Gunung Karang.
"Kau melakukan tindakan pengecut yang memalukan tokoh-tokoh silat
seangkatan! Apa kau sada melakukan hal itu!"
"Tentu saja aku sadar Sinto. Tapi tindakanku bukan pengecut!"
Sinti Gendeng tertawa membahak. "Kau bersembunyi di sini! Kau bilang
bukan pengecut! Kau tahu apa yang terjadi di luar sana" Istrimu telah dibunuh
oleh Sriti Gandini. Anak lelakimu yang keempat juga mati di tangannya. Belum lama
berselang puterimu yang kawin dengan putera Paih Kerajaan juga telah dibunuh!
Ketiga mayat mereka tidak ditemukan!"
Kakek berwajah klimis tundukkan kepala. Lalu terdengar dia menghela
nafas panjang. "Aku tahu kemana Sriti Gandini membawa mayat-mayat anak
istriku...."
"Kalau kau sudah tahu apa yang terjadi mengapa masih tega-teganya
sembunyi di goa ini"!" sentak Sinto Gendeng. "Apa kau ingin melihat seluruh
turunanmu dihabisi orang"!"
"Mungkin sudah saatnya aku keluar goa ini dan berhadapan dengan
perempuan sesat itu!"
"Enak saja mulutmu berkata begitu! Lelaki selalu menuduh perempuan
sesat! Aku tanya kau atau dia yang sesat?" bentak Sinto Gendeng sambil
melototkan mata. "Yah.... Mungkin aku yang sesat...."
"Bukan mungkin. Tapi jelas-jelas kau memang sesat!"
"Ya....ya! Kami berdua sama sesatnya!"
"Nah itu lebih baik dan lebih adil!" ujar Sinto Gendeng pula. 'Lebih cepat
kau keluar dari sini lebih baik! Lebih cepat kau membuat perhitungan dengan
perempuan itu akan lebih baik hingga kami orang-orang di dunia persilatan bisa
BASTIAN TITO 30 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
terhindar dari rasa memihak. Eh, kakek peot, apa yang menyebabkan kau sampai
kabur dan mendekam ke tempat ini?"
Giri Arsana tak mau menjawab.
"Kau merahasiakan sesuatu?"
"Tadinya memang. Tapi biarlah aku katakan padamu. Aku tengah
mengamalkan ilmu baru. Guna dapat menghadapi Sriti Gandini..."
"Ilmu apa" Sudah tua bangka dan hampir masuk liang kubur ini kau masih
hendak menciptakan ilmu baru" Luar biasa! Aku kagum padamu. Tapi apa tidak
terlambat?"
"Memang terlambat! Rasanya aku tidak siap. Ku tidak bakal mampu
menghadapi perempuan itu. Dia telah mengetahui kelemahan dan cara mengalahkan
diriku. Aku tangah berusaha mencari penangkalnya, tapi rasanya tidak bakalan
dapat...." Wajah si kakek sesaat tampak sedih.
"Giri....Giri....Itulah akibat kalau diwaktu muda terlalu mengumbar nafsu.
Perempuan mana yang tidak bakal jadi nekad dan ingin membunuhmu. Selagi muda
kau jadikan Sriti Gandini sebagai kekasihmu. Pasti kau sudah tidur-tidur dengan
dia!" Sinto Gendeng melihat wajah si kakek merah sesaat. Lalu dia meneruskan
ucapannya. "Setelah kau berpuas-puas dengan dirinya lalu kau cari kekasih lain. Kau
tinggalkan dia. Tapi kemudian tiba-tiba kau muncul lagi menemuinya. Merayunya dan berjanji
akan mengawininya. Hal itu terjadi berulang kali. Yang paling menyakitkan
hatinya adalah ketika akhirnya kau mengawini adiknya. Tapi selagi perempuan itu
menghamili anaknya yang pertama kau tinggal kabur. Syukur si anak mati ketika
lahir hingga dia tidak ikut menerima malu dan derita hidup karena kelakuan bapaknya
yang gila sepertimu! Ketika istrimu itu meninggal karena sakit, kau kembali menemui
Sriti Gandini. Perempuan itu karena cintanya padamu masih mau berbuat ketololan
menerimamu. Tapi kemudian lagi-lagi kau tingalkan dirinya. Kau pergi ke seberang
memboyong seorang perempuan lain yang kau jadikan istri hingga kau mendapatkan
lima orang anak. Dua anakmu sudah mati di tangan Sriti Gandini. Juga istrimu!
Sekarang kau rasakan sendiri pembalasan sakit hatinya."
"Yang aku sayangkan..." kata Giri Arsana pula. "mengapa dia
melakukannya ketika kita sudah tua bangka begini rupa" Kenapa dia tidak
membunuhku saja sejak dulu-dulu!"
Sinto Gendeng mendengus. "Dendam kesumat tidak mengenal waktu Giri.
Aku yakin perempuan itu sengaja menunggu sampai mengetahui dimana letak
kelemahanmu..."
"Kau benar," kata Giri Arsana. Dia tampak termenung. Lalu terdengar dia
berucap. "Di usia setua ini seharusnya hidupku dalam ketentraman. Tapi apa mau
dikata..."
"Apa mau dikata," menyambung Sinto Gendeng, "Nasi sudah menjadi bubur.
Sekarang silahkan kau makan sendiri buburnya." Sinto Gendeng lalu tertawa
gelakgelak. Dia bolang-balingkan tongkatnya beberapa kali. "Aku pergi duluan
Giri. Aku menyesal tidak dapat membantumu..... Hanya kau sendiri yang bisa menyelamatkan
tiga orang anakmu yang masih hidup dan memebersihkan dirimu dari lumpur
dendam." "Bagaimanapun kau telah melakukan sesuatu yang sangat berharga bagiku,
Sinto. Mungkin kita tidak akan berjmupa lagi...."
Sinto Gendeng sesaat tampak terharu. Sebelum dia lebih jauh tenggelam
dalan perasaannya cepat-cepat dia tinggalkan tempat itu. Tak lama setelah si
nenek pergi, Giri Arsana yang bergelar Dewa Berpayung Hitam berkelebat pula
meninggalkan goa.Dia tahu dia bakal menghadapi kematian cepat atau lambat. Dulu
BASTIAN TITO 31 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dia merasa takut memikirkan hal itu. Namun kini ada rasa tegar dalam dadanya
untuk menghadapi kenyataan yang bakal terjadi dengan tabah.
BASTIAN TITO 32 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEPULUH P atih Ganda Ariawisesa memimpin sendiri pengejaran terhadap gembong-
gembong pemberontak yang dipimpin oleh Pager Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan.
Sebelumnya para pemberontak dengan sengaja telah menimbulkan kebakaran di
Kotaraja dengan maksud mengalihkan perhatian orang-orang Istana. Namun gelagat
yang tidak baik ini sudah tercium oleh Patih Ganda Ariawisesa. Sang Prabu
bersama permaisuri dan putera-puteri mereka yang masih kecil-kecil segera diungsikan ke
satu tempat rahasia. Di Istana terjadi pertempuran seru antaa pemberontak dengan
mereka yang setia pada Kerajaan. Pertempuran ini hanya berlangsung sebentar karena
setelah diberi aba-aba oleh Pagar Paregreg, pihak pemberontak segera kabur meniggalkan
Istana. Langsung saja Patih dan Wakil Kepala Pasukan serta Brambang Santika dan
puluhan perajurit melakukan pengejaran. Dalam pengejaran inilah Patih Kerajaan
mendapat pukulan berat atas kematian putera dan lenyapnya menantunya akibat ulah
jahat Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis.
Setelah mempercayakan jenazah pada Pendekar 212 Wiro Sableng, Patih
Kerajaan bersama rombongannya meneruskan melanjutkan pengejaran.
Pihak yang dikejar melarikan diri ke arah Barat menyusuri rimba belantara di
sebuah kaki bukit.
"Paman Patih," berkata Cemani Tanduwisoka yaitu Wakil Kepala Pasukan
Kerajaan dengan suara keras-keras agar terdengar di antara derap kaki kuda yang
bergemuruh. "Di depan sana adalah salah satu daerah pemusatan pasukan
pemberontak. Jika kita terus mengejar jangan-jangan mereka sengaja menjebak
kita!" Patih Ganda Ariawisesa yang masih dipengaruhi hawa amarah akibat
kematian putera yang kehilangan menantunya tanpa terpikir menjawab dengan suara
lantang. "Percepat saja lari kudamu!" Sebentar lagi kita akan berhasil mengejar
mereka!" Saat itu memang jarak antara pihak yang melarikan diri dengan yang mengejar
hanya terpisah sekitar dua puluh tombak. Di jalan yang agak mendaki Patih
Kerajaan mengharapkan akan dapat mengejar Pagar Paregreg dan kawan-kawannya. Namun
baru saja Patih Ganda Ariawisesa mengeluarkan ucapan tadi, tiba-tiba dua batang
pohon di kiri kanan jalan tumbang bergemuruh. Bersamaan dengan itu dari manamana
berlesatan berbagai macam senjata rahasia. Dalam keadaan seperti itu tanah di
depan pihak pengejar mendadak bergerak secara aneh. Rupanya tanah ini sebelumnya
ditutupi dengan papan-papan tebal yang bisa ditarik ke pinggir jalan dan kini
terbentang sebuah lobang besar yang bagian dalamnya ditancapi bambu-bambu
runcing sedang di dasarnya belasan ekor ular berbisa tampak bekeliaran kian
kemari! Terjadilah neraka bagi pihak pengejar.
Belasan perajurit menemui ajalnya. Ada yang tertimpa pohon yang sebelumna
telah ditebang dan sengaja ditumbangkan. Ada yang ditembus berbagai senjata
rahasia dan banyak pula yang menemui kematian tertancap bambu-bambu runcing
yang mencuat di dalam lobang! Pekik jerit kematian dan suara ringkikan kuda
bergabung jadi satu terdengar mengerikan.
Dua tokoh silat Istana yang ikut melakukan pengejaran berhasil
menyelamatkan diri dari hantaman tumbangan pohon, namun keduanya menderita
luka-luka cukup parah disambar beberapa senjata rahasia. Salah seorang dari
mereka berhasil melompat menghindar dari jatuh ke dalam lobang maut. Namun ketika dia
berusaha menolong kawannya yang telah lebih dulu terbanting jatuh ke dalam
lobang, BASTIAN TITO 33 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
satu tendangan menghantam punggungnya, membuat orang ini tak ampun lagi
bersama kawan yang hendak ditolongnya jatuh masuk ke dalam lobang. Yang satu
menemui ajal begitu perutnya ditembus batangan bambu runcing. Satunya lagi hanya
bisa menjerit-jerit diserang dan dipatuki ular berbisa.
Siapakah yang tadi telah menendang tokoh silat Istana" Tidak seorangpun
sempat memperhatikan.
Patih Ganda Ariawisesa dan Cemani Tanduwisoka dengan kepandaian
masing-masing berhasil menghindar dan menangkis serangan belasan senjata
rahasia. Mereka juga selamat dari tertimpa tumbangan dua buah pohon besar. Akan tetapi
tubuh mereka yang terpental dari atas kuda celakanya jatuh terlempar ke arah
lobang jebakan yang penuh dengan tancapan bambu-bambu runcing serta ada belasan ular
berbisanya! Kuda tunggangan Cemani terjerumus jatuh masuk ke dalam lobang, meringkik
keras kelojotan ketika bambu-bambu runcing menembus tubuhnya. Naisb baik bagi
Waki Kepala Pasukan Kerajaan ini karena dia bisa jatuh berdiri tepat di atas
tubuh kuda yang tengah sekarat, tegak diantara tiga batang bambu.
Sebaliknya Patih Ganda Ariawisesa bernasib lebih malang. Dirinya terjerumus
ke dasar lobang, terjepit di antara batang bambu. Begitu kakinya menempel di
tana lobang, belasan ular berbisa segera menyerbu. Patih ini keluarkan kesaktiannya,
menghantam dengan pukulan-pukulan mengandung hawa panas. Beberapa ekor ular
mati berkaparan seperti kena panggang. Namun lebih banyak lagi yang datang,
membuat Sang Patih terpaksa memanjat bambu untuk selamatkan diri.
Selagi Ganda Ariawisesa berjuang selamatkan nyawanya dia melihat satu hal
yang tidak bisa dipercaya dan membuatnya marah luar biasa!
Saat itu Cemani Tanduwisoka tengah berusaha mencapai tepi lobang untuk
selamatkan diri. Ketika dilihatnya Brambang Santika berdiri di tepi lobang, dia
segera mengulurkan tangan minta bantuan. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh tidak
terduga. Brambang Santika yang merupakan tangan kanan kepercayaan Patih Ganda
Ariawisesa bukan menolong Wakil Kepala Pasukan Kerajaan itu melainkan malah
menendang dadanya dengan keras sehingga Cemani terpental. Dia berusaha bergayut
pada salah satu bambu namun pegangannya terlepas. Tak ampun lagi tubuhnya
terjerumus masuk ke dasar lobang. Saat itu juga belasan ular menyerangnya. Suara
jeritan Cemani Tanduwisoka sungguh menggidikkan!
"Dimas Brambang!" teriak Patih Ganda Ariawisesa melihat kejadian itu. Saat
itu dia sampai terlupa meneruskan memanjat bambu untuk selamatkan diri. "Apa
yang telah kau lakukan"!"
Tambah terkejut Sang Patih ketika dilihatnya pembantu yang sangat
dipercayanya itu tertawa bergelak. "Patih Kerajaan! Kau terlalu picik untuk
melihat kenyataan!"
"Apa maksudmu"!" bentak Sang Patih. Saat itu seekor ular menjalar di bambu
dimana dia berada, berusaha mematuknya. Ganda Ariawisesa memukul ke bawah.
Ular itu terpental jatuh dan mati tetapi bambu tempat dia bergantung patah.
Secepat kilat Ganda melompat ke bambu di sebelahnya.
"Sobatku Brambang Santika! Biar aku yang menjawab pertanyaan Patih tolo
itu!" satu suara terdengar. Diiringi beberapa tokoh silat Istana dan puluhan
perajurit, di tepi jalan muncul Pagar Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan pengkhianat yang
jadi pucuk pimpinan kaum pemberontak.
Tentu saja kejut Patih Ganda Ariawisesa bukan alang kepalang. Matanya
memandang melotot berganti-ganti ke arah Pagar Paregreg dan Brambang Santika.
BASTIAN TITO 34 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Pagar Paregreg maju selangkah ke tepi lobang. "Patih Kerajaan, sahabatmu
Brambang Santika adalah orangku. Apa itu masih belum jelas bagimu"!"
"Manusia pengkhianat terkutuk!" teriak Patih Ganda Ariawisesa. "Berarti kau
juga yang bocorkan rahasia penyamaran anak dan menantuku! Manusia kotor!"
Sambil bergantung ke bambu dengan tangn kirinya, patih menghantam ke arah
Brambang Santika dengan tangan kanannya.
Wuuttt! Selarik angin deras mengandung hawa panas menyambar ke arah Brambang
Santika. Orang ini cepat menunduk lalu balas lepaskan pukulan tangan kosong yang
tak kalah dahsyatnya. Dalam keadaan seperti itu tak ada kemungkinan bagi Ganda
Ariawisesa untuk mengelak. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri adalah
menangkis pukulan lawan dengan pukulan pula.
Dalam hal tenaga dalam memang Sang Patih mempunyai kemampuan lebih
tinggi dari Brambang Santika. Namun dia kalah cepat dalam bergerak. Pukulan
Wiro Sableng 063 Neraka Krakatau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawan sampai lebih dulu hingga tubuhnya bergetar hebat sementara batang bambu
tempatnya bergantung berderak-derak lalu pecah! Tak ampun lagi Ganda Ariawisesa
jatuh terjerumus ke dalam lobang. Di bawahnya enam ekor ular sama-sama
meluruskan kepala menunggu jatuhnya tubuh Patih Kerajaan itu. Dengan susah payah
Ganda Ariawisesa berusaha menggapai tiang bambu terdekat. Namun saat itu Pagar
Paregreg tampak mengangkat mayat seorang perajurit Kerajaan, lalu sosok mayat
itu dilemparkannya ke arah Ganda Ariawisesa. Diberati timpaan tubuh seperti itu
jelas Patih Kerajaan tak akan mempu menyelamatkan diri. Tubuhnya akan terjatuh ke
dasar lobang, diambut oleh belasan ular berbisa!
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring. Sebuah tongkat
menyusup ke bawah ketiak kanan Patih Ganda Ariawisesa. Sebelum dia tahu apa
yang terjadi, tubuhnya terangkat dengan keras ke atas. Lalu seperti sebuah benda
membal yang disentakkan ke atas tubuh Patih Kerajaan itu melayang ke udara,
untuk kemudian jatuh sekitar tiga tombak dari tepi lobang maut. Dalam keadaan seperti
itu Sang Patih masih mampu jatuh ke tanah dengan kedua kaki menjejak lebih dulu. Dia
cepat membalik, tepat pada saat semua orang yang ada di situ sama-sama dilanda
rasa kejut. Di tepi lobang sebelah kiri, berdiri seorang nenek hitam tinggi. Mukanya
seangker setan dan kepalanya ada lima tusuk kundai perak. Tangan kanannya
memegang sebuah tongkat kayu buruk. Dengan benda inilah tadi dia mengait ketiak
Patih Kerajaan dan menyelamatkannya.
"Eyang Sinto Gendeng!" seru Patih Ganda Ariawisesa begitu dia mengenali si
nenek. Yang dipanggil namanya tidak berpaling ataupun menjawab. Sinto Gendeng
tegak tak bergerak. Hanya kedua matanya yang menyeramkan memandang tak
berkesip ke arah Kepala Pasukan Kerajaan yang berkhianat, lalu pada Brambang
Santika. Ketika dia melihat pada beberapa tokoh silat sesat yang mau-mauan iktu
membantu pihak pemberontak, Sinto Gendeng unjukkan tampang angker dan berkata
"Dunia persilatan sedang kisruh. Kalian bukannya ambil bagian untuk mencari
perbaikan, malah kini masuk ke dalam kubangan lumpur, mengotori diri dengan jadi
kaki tangan pemberontak! Pangkat dan bayaran berapa yang dijanjikan untuk
kalian"!"
Jika saja yang bicara itu bukan Sinto Gendeng beberapa tokoh silat Istana
yang bergabung dengan Pagar Paregreg pasti sudah menyerbu dab menghantam
habis-habisan. Namun karena tahu siapa adanya nenek tinggi hitam ini, mereka
BASTIAN TITO 35 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
terpaksa menahan diri dan menunggu sampai Pagar Paregreg bergerak atau
memberikan perintah.
Lain halnya dengan Brambang Santika. Orang ini memang tahu betul
kehebatan Sinto Gendeng. Tapi jika dia bersama Pagar Paregreg dan beberapa tokoh
silat itu mengeroyok si nenek, mana mungkin mereka akan kalah. Maka diapun
keluarkan ucapan mengejek.
"Perempuan tua! Apakah yang kau ketahui tentang urusan Kerajaan. Jangan
campur adukkan soal Kerajaan dengan soal dunia persilatan. Kau sebaiknya bertapa
saja di Gunung Gede!"
Darah Sinto Gendeng seperti mendidih mendengar kata-kata Brambang
Santika itu. Namun si nenek masih bisa sunggingkan senyum malah tertawa
melengking. "Bocah jelek! Kau tentu dijanjikan jabatan tinggi oleh para pengkhianat!
Selama ini kau banyak berhubungan dengan orang-orang persilatan. Namun ternyaa
kau tidak banyak mengenal kehidupan kami. Dalam rimba persilatan manusia ular
kepala dua sepertimu dihabisi lebih dulu!"
Habis berkata begitu Sinto Gendeng lemparkan tongkatnya ke arah Brambang
Santika. Benda ini kelihatan menjadi tambah panjang dan lentur hingga tak
obahnya seperti seutas tali yang siap menjirat leher Brambang. Melihat orang telah mulai
menyerang Pagar Paregreg cepat angkat tangannya. Kepala Pasukan Kerajaan yang
berkhianat itu tahu betul kehebatan Sinto Gendeng segera angkat tangan kanannya
memberi tanda. Melihat isyarat ini tiga orang tokoh silat Istana yang ikut memberontak segera
menerjang masuk ke dalam kalangan pertempuran terus menyerbuke arah Sinto
Gendeng. Menghadapi keroyokan tiga musuh ini si nenek dengan memaki terpaksa
tarik pulang serangan tongkatnya yang hampir dapat menjirat batang leher
Brambang Santika. Dengan geram Sinto Gendeng sabatkan tongkatnya sedang tangan kiri
lepaskan satu pukulan sakti.
Dua tokoh silat yang mengeroyok berhasil menghindar dari hantaman pukulan
dan sambaran tongkat. Tapi tokoh silat ketiga berlaku ayal. Jeritannya
menggidikkan ketika tongkat Sinto Gendeng menggebuk batok kepalanya dengan keras hingga
tubuhnya terbanting ke tanah dan mati di situ juga!
Brambang Santika dan dua tokoh silat menjadi marah besar melihat kematian
kawan mereka. Sama-sama membentak kaetiganya kembali menggempur si nenek.
Diperlakukan seperti itu si nenek justru malah jadi nekad. Tangan kanannya
membabatkan tongkat di depan dada, menahan serangan lawan yang datang laksana
gelombang. Bersamaan dengan itu tangan kirinya mencabut tusuk kundai perk di
kepalanya lalu secepat kilat dilemparkannya ke arah lawan di ujung kanan yakni
tokoh silat Istana yang kedua. Demikian cepatnya lemparan tusuk kundai orang
yang diserang tidak mampu selamatkan diri. Jeritannya terdengar menggidikkan sewaktu
tusuk kundai perak itu menancap dan menmbus lehernya!
Mau tak mau Pagar Paregreg jadi tercekat juga melihat dua korban telah jatuh
di pihaknya. Brambang Santika dan tokoh silat yang masih hidup tidak akan mampu
menghadapi Sinto Gendeng, maka dia keluarkan suitan keras. Dari dalam rimba di
tepi jalan muncul tiga orang bertubuh tinggi besar bertampang garang dan
bersenjatakan golok. Ketiga orang ini adalah tiga pimpinan rampok berkepandaian
tinggi yang menguasai tiga wilayah di Jawa Barat. Mereka terkenal kejam dan
memiliki kepandaian tinggi. Tanpa banyak cerita lagi ketiga langsung menyerbu
masuk ke dalam kalangan pertempuran! Berarti kini lima orang yang mengeroyok si
nenek sakti. BASTIAN TITO 36 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Melihat hal ini Patih Ganda Aiawisesa cepat menyambar sebilah golok yang
tergeletak di tanah lalu melompat ke samping Sinto Gendeng.
Si nenek menyeringai. "Patih Kerajaan mari kita berebut pahala mencabut
nyawa manusia-manusia pengkhianat ini!"
Dua orang itu menyambut serangan lima pengeroyok. Pertempuran
berlangsung dengan seru. Sementara itu Pagar Paregreg diam-diam mengeruk saku
pakaiannya mengeluarkan jarum-jarum halus beracun. Jika melesat di udara senjata
ini sulit dilihat. Hanya orang berkepandaian tinggi saja yang mampu merasakan
sambaran anginnya!
Dari tempatnya berdiri Pagar Paregreg sengaja mencari kesempatan untuk
dapat melepaskan senjata rahasianya secara licik yaitu ketika Sinto Gendeng
dalam kedudukan membelakangi dirinya.
"Awas, pukulan dinar matahari!" Brambang Santika berteriak keras ketika
dilihatnya tangan kiri Sinto Gendeng berubah menjadi putih perak menyilaukan.
Sianr putih panas luar biasa berkiblat.
Bummm! Dua lelaki tinggi besar bersenjata golok menjerit. Tubuhnya mereka terguling
jauh dalam keadaan hangus. Brambang Santika dan lain-lainnya masih sempat
menyingkir walau jantung mereka terasa bergetar keras. Sinto Gendeng tertawa
mengekeh tanpa menyadari saat itu dua puluh jarum halus beracun yang dilepaskan
Pagar Paregreg melesat ke arah punggung dan kepalanya sebelah belakang!
"Sinto! Awas senjata rahasia di belakangmu!" Satu teriakan keras
memperingatkan menyusul berkelebatnya satu benda hitam lebar berputar dan
des...des...des... Puluhan jarum beracun amblas tertahan benda itu yang bukan lain
adalah sebuah payung hitam terkembang!
BASTIAN TITO 37 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEBELAS A h, Giri Arsana! Kau rupanya! Terima kasih kau telah menyelamatkan
jiwaku! Menolong kepalang tanggung, mengapa tidak terus menghajar si pembokong
licik itu"!" ujar Sinto Gendeng ketika melihat siapa yang muncul dan berdiri di
sebelahnya. Patih Ganda Ariawisesa terkejut sekali ketika melihat siapa yang muncul di
tempat itu. Orang ini adalah Giri Arsana yang bergelar Dewa Berpayung Hitam dan
bukan lain adalah besannya sendiri yaitu ayah mertua dari Raden Sabrang
puteranya yang terbunuh di tangan Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis!
Dewa Berpayung Hitam tertawa mengekeh. "Langka pertemuan memang
tidak bisa diduga!" katanya. Lalu dia menyambung. "Sinto, urusanku sendiri belum
selesai. Kalau tidak memandang dirimu yang jelek tidak akan aku ikut-ikutan
mencemplungkan diri dalam pertempuran gila ini!"
Si nenek balas tertawa. "Dua orang kakek nenek jelek ditambah seorang Patih
Kerajaan menumpas manusia-manusia keji pemberontak! Apakah itu bukan berarti
mencari pahala" Paling tidak hitung-hitung bisa mengurangi dosa kita selama
hidup di dunia celaka ini!"
Dua kakek nenek itu lalu sama-sama tertawa terpingkal-pingkal sedang Patih
Ganda Ariawisesa hanya bisa tertegak seperti orang bengong.
Di lain pihak Pagar Paregreg telah saling memberi isyarat dengan Brambang
Santika. Kedua orang gembong pemberontak ini sudah sama maklum bahwa keadaan
kini sangat sulit bagi mereka. Menghadapi Sinto Gendeng dan Patih Kerajaan saja
mereka belum tentu menang sekalipun masih dibantu oleh beberapa orang
berkepandaian tinggi dan puluhan perajurit. Apalagi kini muncul pula kakek
berjuluk Dewa Berpayung Hitam itu. Sebelum mendapat celaka lebh baik mereka menyingkir.
Pagar Paregreg kembali lemparkan puluhan jarum putihnya ke arah tiga
lawannya. Di saat yang sama dia memberi perintah agar para pengikutnya menyerbu.
Lalu bersamaan dengan itu Brambang Santika lemparkan sebuah benda berbentuk
bola hitam ke udara. Begitu melayang jauh bola ini meletus keras dan asap hitam
yang sangat tebal menyungkupi daerah itu!
"Keparat licik!" teriak Sinto Gendeng.
"Kalian mau lari kemana"!" ikut berteriak Dewa Berpayung Hitam. Dia
menangkis dengan payung terkembangnya. Puluhan jarum putih lagi-lagi terbendung
oleh payung sakti itu. Begitu jarum menancap amblas di kain payung, si kakek
pukul pegangan payung, puluhan jarum yang menancap di payung serta merta melesat ke
depan, kearah Brambang Santika dan Pagar Paregreg yang saat itu sudah tidak
kelihatan lagi dari pemandangan karena terlindung oleh tebalnya asap hitam.
Sempat terdengar satu jeritan tanda salah seorang dari mereka terkena serangan balik
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 7 Duri Bunga Ju Karya Gu Long Pangeran Iblis 2
Hari ini menyusul anak yang bungsu
Kubur di Pulau sudah menunggu
Belum habis kejut Raden Sabrang dan Wini Kantili, tiba-tiba sesosok tubuh
nenek berwajah angker sudah tegak di depan mereka.
"Hik...hik...hik! Kalian pandai menyamar. Tapi jangan kira aku bisa ditipu!
Sumpah sudah jatuh! Seluruh turunan Giri Arsana harus mati di tanganku! Kecuali
manusia biang racun itu muncul unjukkan diri menerima kematian!"
Raden Sabrang cepat memegang bahu istrinya dan menyuruh Wini Kantili
berdiri di depannya. Dia lalu menghadapi si nenek. Lelaki ini sudah dapat
menduga siapa adanya nenek bermuka tengkorak di hadapannya itu.
"Kau pasti manusia yang berjuluk Sepuluh Kuku Iblis! Si pembunuh kejam
orang-orang tak berdosa! Kau telah membunuh kakak Sampan Gayana dan ibu
mertuaku! Sekarang kau menginginkan jiwa istriku! Sungguh keji! Apa salah kami
semua"!"
Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis kembali tertawa panjang. "Kalian
memang tidak punya dosa. Tapi kalian menanggung dosa turunan! Dosa bapak
moyangny yang bernama Giri Arsana itu!"
Dua bayangan berkelebat. Disusul dengan gerakan-gerakan cepat. Lebih dari
sepuluh orang pengawal mengurung si nenek dan di kiri kanannya tegak dua orang
tokoh silat Istana. Salah seorang dari tokoh ini membentak.
"Perempuan sedeng! Lekas minggat dari sini atau kupatahkan batang lehermu
saat ini juga!"
Sepuluh Kuku Iblis mendongak lalu kembali tertawa panjang. Perlahan-lahan
bersamaan dengan sirapnya suara tawanya dia palingkan kepala pada orang yang
barusan menghardiknya. Telunjuk kirinya ditudingkan tepat-tepat ke muka tokoh
silat itu. "Lelaki jelek! Aku tahu siapa dirimu! Bukankah kau kunyuk yang bernama
Camar Wungu, manusia sombong bergelar Si Tanagn Besi"! Hi...hik...hik. Aku mau
lihat bagaimana sepasang tangan besimu hendak mematahkan batang leherku!"
Lalu si nenek melangkah ke hadapan tokoh silat Istana itu sambil sorongkan
kepalanya. Camar Wungu jadi kaget sekaligus merasa marah ditantang begitu rupa.
Kedua tangannya seta merta tampak berubah menjadi kecoklat-coklatan dan keras
laksana batang besi.
"Manusia keparat! Kau memang minta mampus!" Dua tangan Camar Wungu
bergerak laksana kilat. Dalam sekejapan saja sepuluh jari tangannya sudah
mencengkeram batang leher si nenek dan mematahkannya!
Yang terdengar kemudian bukan jeritan si nenek melainkan jeritan Camar
Wungu. Cekikannya terlepas. Kedua matanya mendelik dan tubuhnya terhuyunghuyung.
Wini kantili menjerit sewaktu menyaksikan apa yang terjadi dengan tokoh
silat Istana itu. Perutnya robek besar. Darah muncrat dan ususnya membusai
mengerikan. Nyawanya tidak tertolong lagi!
"Manusia jahanam!" teriak tokoh silat yang satu lagi. Dia hunus senjatanya
yaitu sebilah pedang pendek. Lalu menyerang. Beberapa orang pengawal ikut
melompat dengan senjata di tangan.
Si nenek menyambut serangan itu dengan tawa melengking. Tubuhnya
berkelebat. Lima jari tangannya melesat ke depan. Lalu pekik terdengar susul
menyusul. Lima orang berkapar di tanah. Salah satu diantaranya tokoh silat tadi.
Mereka yang masih hidup menjadi leleh nyalinya dan tertegun tak berani bergerak.
BASTIAN TITO 20 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kesempatan ini dipergunakan Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis
berkelebat menyambar tubuh Wini Kantili. Suaminya coba menghalangi dengan
berusaha menjambak rambut nenek itu. Tapi satu pukulan pada perutnya membuat dia
terlipat lalu roboh ke tanah. Di lain saat terdengar jeritan Wini Kantili. Muka
dan dadanya berlumuran darah oleh lima guratan luka yang dalam!
Raden Sabrang cepat bangkit dan berusaha mengejar ketika dilihatnya si
nenek hendak melarikan istrinya. Tapi lagi-lagi hantaman si nenek memebuatnya
jatuh tergelimpang ke tanah. Kali ini tak bangkit lagi karena tulang dadanya
melesat remuk dan dia mengalami kesulitan bernafas.
"Win.... Wini....!" Memanggil Raden Sabrang. Dia berusaha berdiri mengejar
tapi roboh lagi.
Sepuluh Kuku Iblis tertawa melengking. Tubuh Wini Kantili yang berada
dalam keadaan luka parah dan sekarat dipanggulnya di bahu kiri. Dia memandang
berkeliling lalu melompat ke arah matahari tenggelam. Namun gerakannya tertahan.
Ada dorongan angin dahsyat datang dari depan yang membuat tubuhnya
terhuyunghuyung. Tubuh Wini Kantili yang ada di panggulannya hampir terlepas. Si
neenk berseru marah sambil melompat ke kiri. Dia balas menghantam. Tapi ketika meliha
wajah orang yang menghadangnya, kedua matanya jadi terbeliak, hatinya berdenyut
penuh rasa tidak percaya. Dia membatin. "Apakah ini hanya satu kebetulan atau
manusia keparat itu memang hidup kembali" Tapi bagaimana bisa semuda ini"!"
"Perempuan jahat! Jangan harap kali ini kau bisa membunuh dan kabur
seenaknya! Turunkan puteri Patih itu cepat!" Pemuda di depan si nenek membentak.
"Siapa kau"!" si nenek balas menghardik.
"Aku utusan dari neraka yang datang untuk mengambil nyawa busukmu!"
jawab si pemuda.
"Gila!" kata si nenek lagi dalam hati. "Ucap dan lagaknya persis sama dengan
si keparat itu! Bagaimana ada dua menusia bisa mirip satu sama lain"!"
"Jangan kau berani bergurau di hadapan nenek moyangmu! Lekas menyingkir
atau kau jadi korbanku berikutnya saat ini juga!"
Yang diancam garuk-garuk kepala dan menyeringai lalu maju selangkah. Si
nenek angkat tangan kanannya siap untuk menghantam. Tapi entah mengapa tiba-tiba
saja ada rasa tidak enak dalam hatinya. Tangannya diturunkan kembali. Kesempatan
ini dipergunakan si pemuda untuk melompat coba merampas tubuh Wini Kantili. Kali
ini si nenek tidak bisa berbuat lain. Dia cepat mengelak ke kiri lalu kirimkan
tendangan kaki kanan. Tapi luput karena yang diserang sudah lebih dulu mengelak
dan membalas dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Sepuluh Kuku Iblis keluarkan pekik melengking. Tubuhnya lenyap. Tangan
kanannya mencakar ke depan. Namun aneh, sekali ini dia tidak keluarkan kuku-kuku
iblisnya. Hanya saja serangannya ini kini mengerahkan lebih dari separuh tenaga
dalamnya. Akibatnya si pemuda merasa seperti disambar angin topan. Tubuhnya
terpental. Dada pakaiannya robek. Selagi dia mencoba mengimbangi diri agar tidak
jatuh, nenek berwajah tengkorak itu kembali menyerbu dengan cakaran ke wajah
lawan, tapi lagi-lagi dia tidak keluarkan kuku-kuku iblisnya.
Dalam keadaan terdesak si pemuda menghantam sambil kerahkan tenaga
dalam. Terdengar suara angin menderu dahsyat. Si nenek terkejut dan berseru.
"Jurus dibalik gunung memukul halilintar!" Lalu dia cepat batalkan serangannya dan
menyingkir mundur dengan mata mendelik.
Si pemuda yang tentunya adalah Pendekar 212 Wiro Sableng jadi terkejut
ketika mendengar lawan menyebut dengan tepat jurus ukulan yang dilancarkannya.
BASTIAN TITO 21 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Jadi kau..... Jadi kau manusia yang berjuluk Pendekar 212 itu!" kata si nenek
dengan mata masih melotot. Dalam hati dia lagi-lagi membatin. "Ah, mengapa
wajahnya begitu sama. Kepandaiannyapun tak kusangka begini hebat! Dia bisa
berbahaya. Tapi bagaimana ini! Aku tidak tega mencelakainya! Lebih baik aku
lekas pergi dari sini!"
Si nenek keruk saku pakaiannya mengeluarkan sebuah benda berwarna hitam.
Murid Eyang Sinto Gendeng yang sudah punya banyak pengalaman segera tahu
benda apa yang ada di tangan si nenek. Dia coba merampas tapi terlambat. Benda
itu telah lebih dulu dibantingkan Sepuluh Kuku Iblis ke tanah. Terdengar letupan
halus. Lalu asap tebal menggebubu menutup pemandangan sejarak tiga tombak persegi.
Wiro batuk-batuk dan cepat menyingkir. Ketika asap tebal lenyap, si nenek
bersama sosok Wini Kantili yang dipanggulnya tidak kelihatan lagi di tempat itu!
Pendekar 212 cepat mendatangi sosok Raden Sabrang yang sedang sekarat
terkapar di tanah.
"Raden...."
"Kejar..... Kejar perempuan iblis itu. Dia melarikan Wini. Tolong istriku....."
"Terlambat. Tak mungkin dikejar. Kecuali ada yang tahu kemana perempuan
itu membawa istri Raden," jawab Wiro lalu dia menotok tubuh Raden Sabrang di
beberapa tempat. Totokan ini tak mungkin menyelamatkan jiwa putra Patih Kerajaan
itu. Namun paling tidak dapat mengurangi rasa sakit yang dideritanya.
"Aku...aku mendengar dia menyebut-nyebut Pulau....." kata Raden Sabrang.
Pemandangannya mulai berkunang dan gelap.
"Pulau apa..." Pulau apa Raden" Katakan cepat!"
"Dia hanya menyebut Pulau. Tidak tahu...." Ucapan Raden Sabrang terputus.
Kepalanya terkulai. Nyawa lepas sudah.
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Dia memandang ke arah matahari yang
akan segera tenggelam. "Pulau...." Pulau apa" Ada banyak pulau di pantai Utara.
Sau yang terbesar Pulau Rakata. Mungkin nenek itu membawa korbannya ke sana" Tapi
untuk apa..."
Selagi Pendekar 212 berpikir-pikir tiba-tiba dari arah Barat terdengar gemuruh
suara derap kaki kuda banyak sekali. Murid Eyang Sinto Gendeng cepat palingkan
kepala. Lalu dia melihat rombongan orang-orang itu. Di sebelah depan adalah
Patih Ganda Ariawisesa. Di sebelahnya Cemani Tanduwisoka. Di sebelah belakang
menyusul Brambang Santika bersama dua orang tokoh silat Istana. Lalu di sebelah
belakang lagi puluhan perajurit Kerajaan.
Zmelihat Wiro berdiri di tempat itu Patih Kerajaan mengangkat tangan
memberi tanda agar rombaongan berhenti. Dia hendak mengaakan sesuatau pada
Wiro namun berteriak keras ketika melihat mayat-mayat yang berkaparan, dua
diantaranya adalah tokoh silat Istana yang ditugaskan untuk mengawal putera dan
menantunya. Di sebelah sana malah tampak pula sosok tubuh Raden Sabrang terkapar
tak bergerak lagi.
"Gusti Allah! Apa yang terjadi"!" teiak Patih Ganda Araiwisesa lalu
melompat turun dari kuda.
Tubuh Patih Kerajaan ini bergetar keras menyaksikan kematian puteranya itu.
Dia duduk bersimpuh di tanah dan meletakkan kepala Raden Sabrang dia tas
pangkuannya sambil menangis terisak.
"Mana Wini menantuku"!" teriaknya Sang Patih kemudian.
"Perempuan berjuluk Sepuluh Kuku Iblis yang menculiknya," menerangkan
Wiro. BASTIAN TITO 22 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Ya Tuhan..." Patih Ganda Ariawisesa merasakan sekujur tubuhnya menjadi
lemas. Tubuhnya terhuyung-huyung dan hampir jatuh kalau tidak lekas dipegang
oleh Wiro. "Wini... Ya Tuhan.... Tolong dia. Selamatkan dia..."
Brambang Santika saat itu telah pula turun dari kudanya. Sambil memegang
bahu sang Patih dia berkata "Ada pengkhianat di antara kita. Kalau tidak
bagaimana mungkin Sepuluh Kuku Iblis mengetahui menantu dan puteramu berada di tempat
ini!" Sang Patih turunkan kedua tangannya. Sepasang matanya tampak merah.
"Kau benar sahabatku. Ada pengkhianat di antara kia. Tapi siapa"!"
"Kelak musuh dalam selimut itu akan kita ketahui juga. Dia tidak bakalan
lolos! Saya berjanji akan mengorek jantungnya dengan tangan saya sendiri!" kata
Brambang Santika pula sambil mengepalkan tinju kanan.
Wakil Kepala Pasukan Kerajaan yang masih tetap berada di atas punggung
kudanya berkata untuk pertama kali. "Paman Patih, kau harap di sini saja. Biar
kami yang meneruskan pengejaran terhadap Pagar Paregreg selagi dia masih belum jauh."
"Tidak! Aku tetap akan mengejar si Pengkhianat itu!" jawab Patih Ganda
Ariawisesa lalu berpaling pada Wiro. "Pendekar 212. Harap kau suka membantu
mengurus jenazah puteraku dan yang lain-lainnya."
Wiro garuk-garuk kepala lalu mengangguk.
BASTIAN TITO 23 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TUJUH S riti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis duduk termenung di tepi kawah
Gunung Krakatau. Di atasnya tujuh buah batang kelapa kini tiga di antaranya
telah berisi mayat yang diawetkan. Yang pertama istri Giri Arsana. Yang kedua mayat
anak lelakinya yaitu anak yang keempat dan yang ketiga anak bungsunya yaitu Wini
Kantili. Yang dipikirkan si nenek kini bukan meneruskan rencananya mencari turunan
Giri Arsana yang lain guna memancing orang yang paling dibencinya itu keluar
dari persembunyiannya. Pikiran dan ingatan serta kenangan si nenek kini justru pada
murid Eyang Sinto Gendeng Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Sulit! Gila dan tidak dapat dipercaya!" katanya brulang kali dalam hati.
"Bagaimana ada kenyataan bahwa wajah pemuda itu persisi sama dengan wajah Giri
Arsana sewaktu dia masih muda" Bukan cuma wajah, lagak dan cara dia bicarapun
begitu mirip. Kalau saja aku masih muda...." Sesaat wajah si nenek tampak menjadi
merah. Dia mengusap muka tengkoraknya berulang kali. Menyadari keadaan dirinya
kedua matanya tampak berkaca-kaca. "Gila!" dia memaki lagi dalam hati. "Tak
mungkin aku harus jatuh cinta pada pemuda itu! Usiaku paling tidak tiga kali
usianya. Lalu wajahku yang begini angker! Tubuhku yang kurus kering rongsokan! Tapi gila!
Mengapa aku terus teringat padanya! Ketinggian ilmu silat dan kesaktiannya
membahayakan diriku! Bisa-bisa aku celaka di tangannya sebelum sempat menuntut
balas terhadap Giri Arsana! Dan lebih celaka lagi mengapa aku seperti tidak tega
menjatuhkan tangan keras terhadapnya. Apa lagi membunuhnya! Aku harus
menghindari pemuda itu. Lain halnya kalau Giri Arsana sudah mampus di tanganku.
Mungkin aku bisa mencari seseorang yang bisa merubah raut wajah dan keadaan
tubuhku. Lalu kucari pemuda itu. Akan kucintai dia seperti ketika aku mencintai
Giri Arsana di waktu muda! Gila! Tidak! Aku tidak akan menyamakan dirinya dengan
Giri Arsana. Pemuda ini pasti jauh lebih baik. Buktinya dia berusaha
menyelamatkan anak dan menantu Giri Arsana. Ah, mengapa aku dilahirkan terlalu cepat ke dunia
ini...." Sepanjang malam itu si nenek duduk merenung di tepi kawah Gunung
Krakatau. Dia bahkan tertidur di situ sampai pagi. Ketika sinar sang surya
menghangati wajah dan tubuhnya baru dia terbangun. Begitu bangun ingatannya
kembali tertuju pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Perlahan-lahan si nenek
melangkah mendaki lereng kawah, naik ke atas. Sinar matahari pagi tepat jatuh di kedua
matanya sehingga pemandangannya silau terganggu. Namun ketika dia mencapai bagian atas
kawah, meskipun dalam keadaan silau kedua matanya masih dapat melihat ada
seseorang tegak di hadapan deretan tujuh batang kelapa berlubang. Si nenek
lindungi matanya dengan telapak tangan menghindari silaunya sinar matahari. Kini dia
dapat melihat siapa adanya orang itu dan dia jadi terkejut hingga berseru.
"Kau!"
Orang yang tegak di depan deretan batang kelapa itu tampak tenang-tenang
Wiro Sableng 063 Neraka Krakatau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja. Sesaat kemudian baru dia menjawab.
"Akhirnya kutemui juga kau! Tidak meleset dugaanku kalau kau memang
berada di Pulau Rakata ini. Yang aku cuma heran mengapa kau melakukan semua
kegilaan ini"!"
"Pendekar 212, apapun yang kulakukan adalah urusanku sendiri. Bukan
urusanmu ataupun urusan orang lain!"
BASTIAN TITO 24 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Murid Eyang Sinto Gendeng gelengkan kepala. "Jika pembunuhan terjadi atas
diri orang-orang tak berdosa, apalagi sampai menyangkut kematian menantu dan
putera Patih Kerajaan maka urusan menjadi urusan semua orang. Menjadi urusan
orang-orang rimba persilatan!"
"Kentut busuk!" teriak si nenek muka tengkorak. "Apakah kalian orang-orang
persilatan juga mau tahu apa yang dilakukan orang terhadap diriku" Derita
sengsara apa yang kualami selama hidupku!"
"Harap maafkan. Kalau kau menyebut hal itu aku mana tahu. Orang lain juga
tidak mau tahu menyangkut urusan pribadimu..."
Si nenek tersenyum. "Pasti...Memang selalu begitu akan kudengar ucapan
orang! Munafik! Semua munafik!"
"Nenek....Coba kau terangkan mengapa kau membunuh ke tiga orang ini, lalu
menculiknya. Mengawetkan tubuh mereka lalu memasukkannya ke dalam lobanglobang
batang kelapa ini!" bertanya Wiro.
"apa perdulimu! Justru kau yang harus menjawab pertanyaanku! Ada perlu
apa kau datang ke tempat ini" Menyelidik dan mengejarku"! Kau tahu Gunung
Krakatau adalah daerah kekuasaanku. Neraka bagi siapa saja yang berani datana
kemari. Menginjakkan kaki di sini berarti mati! Termasuk aku!"
Wiro menatap wajah tengkorak sesaat. Hal ini membuat dada si nenek jadi
berdebar. Kenangan lama di masa muda membuat dirinya seolah terbakar.
Perlahanlahan dia alihkan pandangan matanya ke tempat lain. Seperti dia tidak
kuasa balas menatap pandangan mata pemuda di hadapannya itu.
"Terus terang aku memang menyelidik dan mengejarmu. Penyelidikan dan
pengejaranku berakhir sampai di tepi kawah ini. Sekarang aku meminta padamu agar
menghentikan semua kegilaan ini! Jika kau punya dendam kesumat terhadap
seseorang, bukan begini caranya membalas sakit hati!"
"Hemm... ucapanmu terdengarnya bagus sekali. Kau punya hati kemanusiaan
yang tinggi! Tapi dengan caramu itu kau membela orang lain dan mencelakai
diriku!" "Aku tidak mencelakakan siapa-siapa. Aku akan segera meninggalkan tempat
ini tapi dengan membawa ketiga mayat ini. Kau harus menolongku menggotongnya
ke pantai dan memasukkannya ke dalam perahu."
Si nenek melongo lalu tertawa mengekek. "Aku bukan kacungmu! Jika kau
inginkan ketiga mayat itu silahkan ambil! Tapi jangan lupa. Tinggalkan dulu
nyawamu di Pulau Rakata ini!"
"Ini pembicaraan dan urusan gila tidak akan habis-habisnya!" kata Wiro masih
bisa menyeringai. "Kau mau menolongku membawa mayat-mayat ini ke pantai"
Cukup dengan menyeret batang kelapanya saja"
"Aku ingin membunuhmu!" jawab si nenek. Kata-kata itu diucapkannya
dengan hati perih karena di lubuk hatinya dia tidak tega membunuh pemuda ini.
Wiro yang sadar bahwa perkelahian tak mungkin dihindari lagi segera
memasang kuda-kuda. Begitu si nenek menyerbu dia menghantam dengan pukulan
"segulung ombak menerpa karang"
Si nenek yang sudah tahu kehebatan lawannya tidak mau kalah. Dia
dorongkan kedua tangannya ke arah Wiro. Dua gulung angin melesat didahului oleh
suara keras. Sedang dari mulutnya nenek muka tengkorak itu keluarkan suara
seperti lolongan srigala yang menggidikkan.
Pendekar 212 tersentak kaget ketika melihat bagaimana pukulan saktinya
musnah dihantam dua gelombang angin serangan lawan. Pemuda ini cepat
menghantam dengan dua serangan sekaligus.Tangan kiri melepas pukulan "kunyuk
BASTIAN TITO 25 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
melempar buah" sedang tangan kanan menghantamkan pukulan "kilat menyambar
puncak gunung!"
Sepuluh Kuku Iblis berteriak keras. Tubuhnya lenyap dari pemandangan. Di
lain saat Wiro melihat ada lima larik sinar hitam membabat ke arahnya! Si nenek
rupanya sudah keluarkan ilmu kesaktian yang paling diandalkannya yaitu kuku-kuku
iblis! Wiro cepat menyingkir. Tapi breeeettt! Baju putihnya masih sempat disambar
hingga robek besar di bagian dadanya. Selagi dia terkesiap kaget begitu rupa si
nenek kembali menyambar dengan lima kuku mautnya. Kali ini Wiro tidak berkesempatan
untuk menghindar. Sesaat lagi lima kuku itu akan merobek muka Pendekar 212 si
nenek tiba-tiba tarik pulang tangannya. Rasa cintanya yang aneh membuat dai
tidak tega meneruskan serangannya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Wiro.
Murid Eyang Sinto Gendeng cepat melompat ke depan dan susupkan satu
pukulan keras ke dada si nenek. Sepuluh Kuku Iblis menjerit setinggi langit.
Salah satu tulang iganya remuk. Tubuhnya terpental ke tepi kawah. Darah kelihatan
mengucur di sela bibirnya. Tapi hebatnya perempuan tua ini bangkit berdiri
dengan cepat. Sepasang matanya seperti menyala.
"Bodoh! Terlalu bodoh aku menenmkan rasa suka terhadap pemuda ini! Aku
menyukainya tapi dia inginkan nyawaku! Lebih baik mati sama-sama!" kata Sepuluh
Kuku Iblis dalam hati. Dia ulurkan kedua tangannya. Sepuluh kuku ini tampak
mencuat mengerikan ke arah Wiro. Perlahan-lahan si nenek melangkah mendekati
Wiro. Mulutnya komati kamit membaca mantera. Tiba-tiba dia menghantam ke depan.
Sepuluh larik cahaya hitam menyambar. Wiro yang sudah menunggu membalas
serangan lawan dengan "pukulan sinar matahari." Cahaya putih panas dan
menyilaukan berkiblat.
Si nenek terdengar elengking tinggi. Tubuhnya lenyap. Pukulan sinar
matahari menghantam pinggiran kawah hingga tanah kawah hancur terbang sampai
setinggi lima tombak. Wiro merasakan ada angin menyambar di belakangnya. Dia
cepa berpaling. Tapi terlambat. Satu dorongan angin yang sangat deras menghantam
dadanya. Tak ampun lagi tubuhnya erpental dan jatuh ke dalam kawah!
Si nenek berseru kaget. Menyesal menyaksikan bagaimana pukulan sakti yang
dilepaskannya tadi dengan mengandalkan seluruh tenaga dalamnya itu membuat
mental si pemuda begitu rupa. Dia melompat memburu sambil ulurkan tangan
kanannya. Berusaha menangkap pergelangan kaki kiri Wiro. Namun terlambat tak ada
gunanya. Tubuh murid Eyang Sinto Gendeng itu telah melayang jatuh menuju kawah
Gunung Krakatau yang mendidih!
Si nenek hanya bisa tertegun di tepi kawah. Tubuhnya lemas. Kedua matanya
dipejamkan. Perlahan-lahan dia terduduk di tepi kawah dengan sepasang mata
berkaca-kaca. "Aku begitu menyukainya. Tapi dia keliwat memaksa. Menyesal aku
menurunkan tangan keras padanya. Lebih baik aku mati saja menysulnya!" Sriti
Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis tiba-tiba berdiri dan siap hendak melompat
menghambur kawah Gunung Krakatau. Namun seperti ada suara yang mengiang di
telinganya. "Tak ada gunanya mati bagimu! Kematianmu hanya akan memberi
peluang bagi orang yang sangat kau benci itu bisa kembali hidaup bebeas di dunia
ini! Jangan jadi orang tolol!"
"Keparat!" si nenek memaki. "Hampir aku tertipu oleh kebodohanku sendiri!"
Dia menatap ke arah kawah di kejauhan sana. Lalu perlahan-lahan diputarnya
tubunya. "Tiga nyawa sudah kukirim ke neraka. Menyusul kini nyawa ke empat, kelima dan
BASTIAN TITO 26 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ketujuh! Masakan keparat itu tidak akan keluar dari persembunyiannya! Manusia
busuk! Lalaki pengecut!"
BASTIAN TITO 27 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DELAPAN G oa itu terletak di kaki timur Gunung Karang. Bagi orang yang tidak
tahu seluk beluk daerah sunyi dan jarang didatangi manusia itu pasti tidak akan
mengetahui kalau di situ terdapat sebuah goa. Apalagi goa ini terlindung oleh
sederetan pohon jati tua dan mulutnya tertutup oleh semak belukar lebat.
Di kawasan kaki gunung yang sunyi senyap itu tiba-tiba menggelegar suara
auman binatang buas. Seekor harimau raksasa berwarna kuning belang hitam,
mendekam di tanah. Tengkuknya merunduk, mulutnya terbuka lebar memperlihatkan
gigi dan taring-taringnya yang besar runcing mengerikan. Binatang ini siap
melompati sesosok tubuh yang tegak di hadapannya. Orang yang bakal menjadi mangsa raja
rimba itu adalah seorang nenek bertubuh kurus dan berkulit sangat hitam. Sekujur
daging tubuhnya hanya tinggal kulit pembalut tulang. Termasuk kulit mukanya
hingga wajahnya tidak beda seperti tengkorak hidup. Sepintas dia kelihatan
seperti Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis. Tapi jika diperhatikan banyak
kelainannya. Nenek satu yang ada di rimba belantara ini menghiasi kepalanya dengan lima buah
tusuk kundai dari perak. Kelima tusuk kundai itu tidak mungkin disisipkan pada
rambut putihnya yang sangat jarang. Karenanya benda-benda itu disusupkan oada
kulit kepalanya! Sepasang alisnya berwarna putih. Ongga mata dan kedua pipinya
sangat cekung hingga wajahnya jelas jauh lebih angker dari nenek yang bergelar
Sepuluh Kuku Iblis!
Menghadapi harimau raksasa yang siap menerkamnya si nenek tegak
tenang-tenang saja. Malah sambil menyeringai dia bolang balingkan tongkat kayu
di tangan kanannya. Gerakan tongkat ini diikuti dengan pandangan mata liar harimau
besar di hadapannya. Binatang ini menggereng lalu mengaum keras membuat rimba
belantara itu seperti bergetar.
Si nenek bukannya takut malah tertawa mengekeh.
"Raja rimab!" katanya berseru. "Apa untungnya menerkam diri tua bangka
ini! Tubuhku tak berdaging lagi! Tulangku keras dan a lot! Kau cari saja mangsa
yang lain!" Raja hutan kembali mengaum seolah tahu apa ang diucapkan si nenek.
Kedua kaki depannya dicakar-cakarkan ke tanah. Mulutnya dibuka lebar-lebar.
"Kalau kau tidak mau mendengar ucapanku, kau bakal menyesal!" seru si
nenek lagi. Lalu tonglat yang dipegangnya dilemparkan ke arah binatang buas itu.
Aneh, begitu dilempar tongkat ini langsung memukul ke arah kepala harimau besar.
Pukulan yang cukup keras itu membuat sang harimau kesakitan dan mangaum marah.
Sesaat dia jadi bingung apakah akan terus menrkam si nenek atau menerkam
tongkat. Selagi dia kebingungan seperti itu tongkat kembali menghantam kepalanya berulang
kali. Pinggiran matanya sebelah kiri robek dan mengucurkan darah. Tak tahan
menderita sakit apalagi tidak mempu berbuat apa terhadap tongkat itu harimau
besar ini akhirnya melarikan diri masuk ke dalam rimba belantara.
Si nenek ulurkan tangannya.tongkat melayang masuk ke dalam
genggamannya. Sambil meneyeringai dia memandang berkeliling. Lama dia
memperhatikan deretan pohon-pohon jati yang berusia puluhan tahun di
sekelilingnya. "Goa itu seharusnya berada di sekitar sini. Aneh....kenapa tidak kelihatan
lagi" Tak mungkin lenyap begitu saja!" si nenek berkata dalam hati. Kesal
mencaricari dan apa yang dicari tidak bertemu akhirnya kembali perempuan tua ini
pergunakan tongkatnya untuk melakukan hal yang mustahil mampu diperbuat oleh
BASTIAN TITO 28 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
orang lain. Tongkat di tangannya perlahan-lahan berubah jadi lebih panjang.
Dengan benda ini dia menerabas kian kemari. Dalam sekejapan mata saja semak belukar di
sekitar itu habis rambas dibuatnya. Tak lama kemudian terdengar suaranya
berrseru. "Ooooooo...ooo! Itu dia! Ternyata memang tidak lenyap!" Si nenek
melompat kehadapan mulut goa yang kini kelihatan jelas setelah semak belukar
yang menutupinya dibabat habis dengan tongkatnya tadi.
Sesaat si nenek tegak di depan mulut goa. Kepalanya didongakkan sedikit
lalu dia menghirup dalam-dalam. Mulutnya menyeringai. Kemudian terdengar
tawanya mengekeh.
"Aku mencium baumu tua bangka jelek!" si nenek berteriak. "Dewa
Berpayung Hitam! Aku tahu kau ada di dalam!"
Suara teriakan si nenek bergema masuk ke dalam goa lalu muncul lagi di
mulut goa secara aneh dan keras disertai deru angin membuat si nenek tersentak.
"Kau tak mau menjawab! Jangan coba menipuku! Kalau ku sulut api ke
dalam goa kau bakal jadi tulang belulang gosong! Beginikah sambutanmu menerima
tamu yang datang dari jauh"!"
Dari dalam goa tiba-tiba terdengar gema suara tawa mengekeh.
"Tamu yang banyak mulut! Aku belum melihat tampangmu, belum tahu
siapa kamu! Tapi silahkan masuk! Sudah enam bulan lebih memang aku tidak pernah
melihat manusia!"
Nenek di mulut goa batuk-batuk lalu menerobos masuk ke dalam. Goa ini
ternyata cukup dalam dan berkelok-kelok. Tapi anehnya semakin ke dalam semakin
terang. Akhirnya dia sampai di sebuah mata air.
"Aneh, bagaimana bisa ada mata air dalam goa ini!" kata si nenek. Dia
menengadah ke atas. Di langit-langit goa ada sebuah celah kecil. Dari sinilah
cahaya matahari masuk menerangi bagian dalam goa!
Nenek itu turunkan kepalanya kembali. Pandangannya langsung tertuju ke
seberang mata air dimana kelihatan sebuah payung hitam lebar dan keadaan
terbuka, terletak di lantai batu.
"Konyol!" si nenek memaki. "Sudah diketahui orang kau berada di sini
masih saja coba sembunyi di balik payung! Kalau tidak lekas kau singkirkan
payung itu jangan menyesal kalau kurobek-robek!" Si nenek lalu angkat tangannya yang
memegang tongkat.
Dari balik payung terdengar suara tawa mengekeh. Payung hitam lebar itu
perlahan-lahan menciut kuncup.
BASTIAN TITO 29 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEMBILAN D i balik payung itu kini tampak duduk bersila seorang kakek berwajah
putih klimis, bermata cekung dan berpipi kempot. Dia mengenakan jubah putih dan
di bahu serta dadanya diselempangkan sehelai kain hitam, sehitam warna payungnya.
Orang ini memandang tersenyum pada si nenek. Tangannya bergerak menyandarkan
payung hitam yang baru ditutupnya ke dinding goa.
"Ternyata kau tidak kalah jelek dengan diriku!" kata si nenek lalu tertawa
mengekeh. Kakek di seberang mata air ikut-ikutan tertawa hingga goa itu jadi
bising dan bergetar oleh suara tertawa kakek nenek ini.
"Giri Arsana! Kau...."
Wiro Sableng 063 Neraka Krakatau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tunggu dulu!" si kakek memotong ucapan si nenek. "Sebagai tuan rumah
aku mungkin tidak bisa bersikap ramah. Juah-jauh datang kemari kau tentu haus!
Jika ingin minum silahkan ambil sendiri! Maksudku minum dari telaga itu!"
"Sialan kau!" memaki si nenek. "Nyawamu terancam dan kau masih saja
bisa bicara ngacok!"
"Sinto Gendeng, ada apa kau datang jauh-jauh dari gunung gede ke goaku
ini"!" bertanya si kakek.
Ternyata si nenek adalah Eyang Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro
Sableng sedang si kakek bukan lain adalah Giri Arsana alias Dewa Berpayung Hitam
yang selama enam bulan terakhir ini melenyapkan diri dari dunia persilatan tak
tahunya sembunyi di dalam goa di kaki Gunung Karang.
"Kau melakukan tindakan pengecut yang memalukan tokoh-tokoh silat
seangkatan! Apa kau sada melakukan hal itu!"
"Tentu saja aku sadar Sinto. Tapi tindakanku bukan pengecut!"
Sinti Gendeng tertawa membahak. "Kau bersembunyi di sini! Kau bilang
bukan pengecut! Kau tahu apa yang terjadi di luar sana" Istrimu telah dibunuh
oleh Sriti Gandini. Anak lelakimu yang keempat juga mati di tangannya. Belum lama
berselang puterimu yang kawin dengan putera Paih Kerajaan juga telah dibunuh!
Ketiga mayat mereka tidak ditemukan!"
Kakek berwajah klimis tundukkan kepala. Lalu terdengar dia menghela
nafas panjang. "Aku tahu kemana Sriti Gandini membawa mayat-mayat anak
istriku...."
"Kalau kau sudah tahu apa yang terjadi mengapa masih tega-teganya
sembunyi di goa ini"!" sentak Sinto Gendeng. "Apa kau ingin melihat seluruh
turunanmu dihabisi orang"!"
"Mungkin sudah saatnya aku keluar goa ini dan berhadapan dengan
perempuan sesat itu!"
"Enak saja mulutmu berkata begitu! Lelaki selalu menuduh perempuan
sesat! Aku tanya kau atau dia yang sesat?" bentak Sinto Gendeng sambil
melototkan mata. "Yah.... Mungkin aku yang sesat...."
"Bukan mungkin. Tapi jelas-jelas kau memang sesat!"
"Ya....ya! Kami berdua sama sesatnya!"
"Nah itu lebih baik dan lebih adil!" ujar Sinto Gendeng pula. 'Lebih cepat
kau keluar dari sini lebih baik! Lebih cepat kau membuat perhitungan dengan
perempuan itu akan lebih baik hingga kami orang-orang di dunia persilatan bisa
BASTIAN TITO 30 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
terhindar dari rasa memihak. Eh, kakek peot, apa yang menyebabkan kau sampai
kabur dan mendekam ke tempat ini?"
Giri Arsana tak mau menjawab.
"Kau merahasiakan sesuatu?"
"Tadinya memang. Tapi biarlah aku katakan padamu. Aku tengah
mengamalkan ilmu baru. Guna dapat menghadapi Sriti Gandini..."
"Ilmu apa" Sudah tua bangka dan hampir masuk liang kubur ini kau masih
hendak menciptakan ilmu baru" Luar biasa! Aku kagum padamu. Tapi apa tidak
terlambat?"
"Memang terlambat! Rasanya aku tidak siap. Ku tidak bakal mampu
menghadapi perempuan itu. Dia telah mengetahui kelemahan dan cara mengalahkan
diriku. Aku tangah berusaha mencari penangkalnya, tapi rasanya tidak bakalan
dapat...." Wajah si kakek sesaat tampak sedih.
"Giri....Giri....Itulah akibat kalau diwaktu muda terlalu mengumbar nafsu.
Perempuan mana yang tidak bakal jadi nekad dan ingin membunuhmu. Selagi muda
kau jadikan Sriti Gandini sebagai kekasihmu. Pasti kau sudah tidur-tidur dengan
dia!" Sinto Gendeng melihat wajah si kakek merah sesaat. Lalu dia meneruskan
ucapannya. "Setelah kau berpuas-puas dengan dirinya lalu kau cari kekasih lain. Kau
tinggalkan dia. Tapi kemudian tiba-tiba kau muncul lagi menemuinya. Merayunya dan berjanji
akan mengawininya. Hal itu terjadi berulang kali. Yang paling menyakitkan
hatinya adalah ketika akhirnya kau mengawini adiknya. Tapi selagi perempuan itu
menghamili anaknya yang pertama kau tinggal kabur. Syukur si anak mati ketika
lahir hingga dia tidak ikut menerima malu dan derita hidup karena kelakuan bapaknya
yang gila sepertimu! Ketika istrimu itu meninggal karena sakit, kau kembali menemui
Sriti Gandini. Perempuan itu karena cintanya padamu masih mau berbuat ketololan
menerimamu. Tapi kemudian lagi-lagi kau tingalkan dirinya. Kau pergi ke seberang
memboyong seorang perempuan lain yang kau jadikan istri hingga kau mendapatkan
lima orang anak. Dua anakmu sudah mati di tangan Sriti Gandini. Juga istrimu!
Sekarang kau rasakan sendiri pembalasan sakit hatinya."
"Yang aku sayangkan..." kata Giri Arsana pula. "mengapa dia
melakukannya ketika kita sudah tua bangka begini rupa" Kenapa dia tidak
membunuhku saja sejak dulu-dulu!"
Sinto Gendeng mendengus. "Dendam kesumat tidak mengenal waktu Giri.
Aku yakin perempuan itu sengaja menunggu sampai mengetahui dimana letak
kelemahanmu..."
"Kau benar," kata Giri Arsana. Dia tampak termenung. Lalu terdengar dia
berucap. "Di usia setua ini seharusnya hidupku dalam ketentraman. Tapi apa mau
dikata..."
"Apa mau dikata," menyambung Sinto Gendeng, "Nasi sudah menjadi bubur.
Sekarang silahkan kau makan sendiri buburnya." Sinto Gendeng lalu tertawa
gelakgelak. Dia bolang-balingkan tongkatnya beberapa kali. "Aku pergi duluan
Giri. Aku menyesal tidak dapat membantumu..... Hanya kau sendiri yang bisa menyelamatkan
tiga orang anakmu yang masih hidup dan memebersihkan dirimu dari lumpur
dendam." "Bagaimanapun kau telah melakukan sesuatu yang sangat berharga bagiku,
Sinto. Mungkin kita tidak akan berjmupa lagi...."
Sinto Gendeng sesaat tampak terharu. Sebelum dia lebih jauh tenggelam
dalan perasaannya cepat-cepat dia tinggalkan tempat itu. Tak lama setelah si
nenek pergi, Giri Arsana yang bergelar Dewa Berpayung Hitam berkelebat pula
meninggalkan goa.Dia tahu dia bakal menghadapi kematian cepat atau lambat. Dulu
BASTIAN TITO 31 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dia merasa takut memikirkan hal itu. Namun kini ada rasa tegar dalam dadanya
untuk menghadapi kenyataan yang bakal terjadi dengan tabah.
BASTIAN TITO 32 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEPULUH P atih Ganda Ariawisesa memimpin sendiri pengejaran terhadap gembong-
gembong pemberontak yang dipimpin oleh Pager Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan.
Sebelumnya para pemberontak dengan sengaja telah menimbulkan kebakaran di
Kotaraja dengan maksud mengalihkan perhatian orang-orang Istana. Namun gelagat
yang tidak baik ini sudah tercium oleh Patih Ganda Ariawisesa. Sang Prabu
bersama permaisuri dan putera-puteri mereka yang masih kecil-kecil segera diungsikan ke
satu tempat rahasia. Di Istana terjadi pertempuran seru antaa pemberontak dengan
mereka yang setia pada Kerajaan. Pertempuran ini hanya berlangsung sebentar karena
setelah diberi aba-aba oleh Pagar Paregreg, pihak pemberontak segera kabur meniggalkan
Istana. Langsung saja Patih dan Wakil Kepala Pasukan serta Brambang Santika dan
puluhan perajurit melakukan pengejaran. Dalam pengejaran inilah Patih Kerajaan
mendapat pukulan berat atas kematian putera dan lenyapnya menantunya akibat ulah
jahat Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis.
Setelah mempercayakan jenazah pada Pendekar 212 Wiro Sableng, Patih
Kerajaan bersama rombongannya meneruskan melanjutkan pengejaran.
Pihak yang dikejar melarikan diri ke arah Barat menyusuri rimba belantara di
sebuah kaki bukit.
"Paman Patih," berkata Cemani Tanduwisoka yaitu Wakil Kepala Pasukan
Kerajaan dengan suara keras-keras agar terdengar di antara derap kaki kuda yang
bergemuruh. "Di depan sana adalah salah satu daerah pemusatan pasukan
pemberontak. Jika kita terus mengejar jangan-jangan mereka sengaja menjebak
kita!" Patih Ganda Ariawisesa yang masih dipengaruhi hawa amarah akibat
kematian putera yang kehilangan menantunya tanpa terpikir menjawab dengan suara
lantang. "Percepat saja lari kudamu!" Sebentar lagi kita akan berhasil mengejar
mereka!" Saat itu memang jarak antara pihak yang melarikan diri dengan yang mengejar
hanya terpisah sekitar dua puluh tombak. Di jalan yang agak mendaki Patih
Kerajaan mengharapkan akan dapat mengejar Pagar Paregreg dan kawan-kawannya. Namun
baru saja Patih Ganda Ariawisesa mengeluarkan ucapan tadi, tiba-tiba dua batang
pohon di kiri kanan jalan tumbang bergemuruh. Bersamaan dengan itu dari manamana
berlesatan berbagai macam senjata rahasia. Dalam keadaan seperti itu tanah di
depan pihak pengejar mendadak bergerak secara aneh. Rupanya tanah ini sebelumnya
ditutupi dengan papan-papan tebal yang bisa ditarik ke pinggir jalan dan kini
terbentang sebuah lobang besar yang bagian dalamnya ditancapi bambu-bambu
runcing sedang di dasarnya belasan ekor ular berbisa tampak bekeliaran kian
kemari! Terjadilah neraka bagi pihak pengejar.
Belasan perajurit menemui ajalnya. Ada yang tertimpa pohon yang sebelumna
telah ditebang dan sengaja ditumbangkan. Ada yang ditembus berbagai senjata
rahasia dan banyak pula yang menemui kematian tertancap bambu-bambu runcing
yang mencuat di dalam lobang! Pekik jerit kematian dan suara ringkikan kuda
bergabung jadi satu terdengar mengerikan.
Dua tokoh silat Istana yang ikut melakukan pengejaran berhasil
menyelamatkan diri dari hantaman tumbangan pohon, namun keduanya menderita
luka-luka cukup parah disambar beberapa senjata rahasia. Salah seorang dari
mereka berhasil melompat menghindar dari jatuh ke dalam lobang maut. Namun ketika dia
berusaha menolong kawannya yang telah lebih dulu terbanting jatuh ke dalam
lobang, BASTIAN TITO 33 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
satu tendangan menghantam punggungnya, membuat orang ini tak ampun lagi
bersama kawan yang hendak ditolongnya jatuh masuk ke dalam lobang. Yang satu
menemui ajal begitu perutnya ditembus batangan bambu runcing. Satunya lagi hanya
bisa menjerit-jerit diserang dan dipatuki ular berbisa.
Siapakah yang tadi telah menendang tokoh silat Istana" Tidak seorangpun
sempat memperhatikan.
Patih Ganda Ariawisesa dan Cemani Tanduwisoka dengan kepandaian
masing-masing berhasil menghindar dan menangkis serangan belasan senjata
rahasia. Mereka juga selamat dari tertimpa tumbangan dua buah pohon besar. Akan tetapi
tubuh mereka yang terpental dari atas kuda celakanya jatuh terlempar ke arah
lobang jebakan yang penuh dengan tancapan bambu-bambu runcing serta ada belasan ular
berbisanya! Kuda tunggangan Cemani terjerumus jatuh masuk ke dalam lobang, meringkik
keras kelojotan ketika bambu-bambu runcing menembus tubuhnya. Naisb baik bagi
Waki Kepala Pasukan Kerajaan ini karena dia bisa jatuh berdiri tepat di atas
tubuh kuda yang tengah sekarat, tegak diantara tiga batang bambu.
Sebaliknya Patih Ganda Ariawisesa bernasib lebih malang. Dirinya terjerumus
ke dasar lobang, terjepit di antara batang bambu. Begitu kakinya menempel di
tana lobang, belasan ular berbisa segera menyerbu. Patih ini keluarkan kesaktiannya,
menghantam dengan pukulan-pukulan mengandung hawa panas. Beberapa ekor ular
mati berkaparan seperti kena panggang. Namun lebih banyak lagi yang datang,
membuat Sang Patih terpaksa memanjat bambu untuk selamatkan diri.
Selagi Ganda Ariawisesa berjuang selamatkan nyawanya dia melihat satu hal
yang tidak bisa dipercaya dan membuatnya marah luar biasa!
Saat itu Cemani Tanduwisoka tengah berusaha mencapai tepi lobang untuk
selamatkan diri. Ketika dilihatnya Brambang Santika berdiri di tepi lobang, dia
segera mengulurkan tangan minta bantuan. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh tidak
terduga. Brambang Santika yang merupakan tangan kanan kepercayaan Patih Ganda
Ariawisesa bukan menolong Wakil Kepala Pasukan Kerajaan itu melainkan malah
menendang dadanya dengan keras sehingga Cemani terpental. Dia berusaha bergayut
pada salah satu bambu namun pegangannya terlepas. Tak ampun lagi tubuhnya
terjerumus masuk ke dasar lobang. Saat itu juga belasan ular menyerangnya. Suara
jeritan Cemani Tanduwisoka sungguh menggidikkan!
"Dimas Brambang!" teriak Patih Ganda Ariawisesa melihat kejadian itu. Saat
itu dia sampai terlupa meneruskan memanjat bambu untuk selamatkan diri. "Apa
yang telah kau lakukan"!"
Tambah terkejut Sang Patih ketika dilihatnya pembantu yang sangat
dipercayanya itu tertawa bergelak. "Patih Kerajaan! Kau terlalu picik untuk
melihat kenyataan!"
"Apa maksudmu"!" bentak Sang Patih. Saat itu seekor ular menjalar di bambu
dimana dia berada, berusaha mematuknya. Ganda Ariawisesa memukul ke bawah.
Ular itu terpental jatuh dan mati tetapi bambu tempat dia bergantung patah.
Secepat kilat Ganda melompat ke bambu di sebelahnya.
"Sobatku Brambang Santika! Biar aku yang menjawab pertanyaan Patih tolo
itu!" satu suara terdengar. Diiringi beberapa tokoh silat Istana dan puluhan
perajurit, di tepi jalan muncul Pagar Paregreg, Kepala Pasukan Kerajaan pengkhianat yang
jadi pucuk pimpinan kaum pemberontak.
Tentu saja kejut Patih Ganda Ariawisesa bukan alang kepalang. Matanya
memandang melotot berganti-ganti ke arah Pagar Paregreg dan Brambang Santika.
BASTIAN TITO 34 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Pagar Paregreg maju selangkah ke tepi lobang. "Patih Kerajaan, sahabatmu
Brambang Santika adalah orangku. Apa itu masih belum jelas bagimu"!"
"Manusia pengkhianat terkutuk!" teriak Patih Ganda Ariawisesa. "Berarti kau
juga yang bocorkan rahasia penyamaran anak dan menantuku! Manusia kotor!"
Sambil bergantung ke bambu dengan tangn kirinya, patih menghantam ke arah
Brambang Santika dengan tangan kanannya.
Wuuttt! Selarik angin deras mengandung hawa panas menyambar ke arah Brambang
Santika. Orang ini cepat menunduk lalu balas lepaskan pukulan tangan kosong yang
tak kalah dahsyatnya. Dalam keadaan seperti itu tak ada kemungkinan bagi Ganda
Ariawisesa untuk mengelak. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri adalah
menangkis pukulan lawan dengan pukulan pula.
Dalam hal tenaga dalam memang Sang Patih mempunyai kemampuan lebih
tinggi dari Brambang Santika. Namun dia kalah cepat dalam bergerak. Pukulan
Wiro Sableng 063 Neraka Krakatau di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawan sampai lebih dulu hingga tubuhnya bergetar hebat sementara batang bambu
tempatnya bergantung berderak-derak lalu pecah! Tak ampun lagi Ganda Ariawisesa
jatuh terjerumus ke dalam lobang. Di bawahnya enam ekor ular sama-sama
meluruskan kepala menunggu jatuhnya tubuh Patih Kerajaan itu. Dengan susah payah
Ganda Ariawisesa berusaha menggapai tiang bambu terdekat. Namun saat itu Pagar
Paregreg tampak mengangkat mayat seorang perajurit Kerajaan, lalu sosok mayat
itu dilemparkannya ke arah Ganda Ariawisesa. Diberati timpaan tubuh seperti itu
jelas Patih Kerajaan tak akan mempu menyelamatkan diri. Tubuhnya akan terjatuh ke
dasar lobang, diambut oleh belasan ular berbisa!
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring. Sebuah tongkat
menyusup ke bawah ketiak kanan Patih Ganda Ariawisesa. Sebelum dia tahu apa
yang terjadi, tubuhnya terangkat dengan keras ke atas. Lalu seperti sebuah benda
membal yang disentakkan ke atas tubuh Patih Kerajaan itu melayang ke udara,
untuk kemudian jatuh sekitar tiga tombak dari tepi lobang maut. Dalam keadaan seperti
itu Sang Patih masih mampu jatuh ke tanah dengan kedua kaki menjejak lebih dulu. Dia
cepat membalik, tepat pada saat semua orang yang ada di situ sama-sama dilanda
rasa kejut. Di tepi lobang sebelah kiri, berdiri seorang nenek hitam tinggi. Mukanya
seangker setan dan kepalanya ada lima tusuk kundai perak. Tangan kanannya
memegang sebuah tongkat kayu buruk. Dengan benda inilah tadi dia mengait ketiak
Patih Kerajaan dan menyelamatkannya.
"Eyang Sinto Gendeng!" seru Patih Ganda Ariawisesa begitu dia mengenali si
nenek. Yang dipanggil namanya tidak berpaling ataupun menjawab. Sinto Gendeng
tegak tak bergerak. Hanya kedua matanya yang menyeramkan memandang tak
berkesip ke arah Kepala Pasukan Kerajaan yang berkhianat, lalu pada Brambang
Santika. Ketika dia melihat pada beberapa tokoh silat sesat yang mau-mauan iktu
membantu pihak pemberontak, Sinto Gendeng unjukkan tampang angker dan berkata
"Dunia persilatan sedang kisruh. Kalian bukannya ambil bagian untuk mencari
perbaikan, malah kini masuk ke dalam kubangan lumpur, mengotori diri dengan jadi
kaki tangan pemberontak! Pangkat dan bayaran berapa yang dijanjikan untuk
kalian"!"
Jika saja yang bicara itu bukan Sinto Gendeng beberapa tokoh silat Istana
yang bergabung dengan Pagar Paregreg pasti sudah menyerbu dab menghantam
habis-habisan. Namun karena tahu siapa adanya nenek tinggi hitam ini, mereka
BASTIAN TITO 35 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
terpaksa menahan diri dan menunggu sampai Pagar Paregreg bergerak atau
memberikan perintah.
Lain halnya dengan Brambang Santika. Orang ini memang tahu betul
kehebatan Sinto Gendeng. Tapi jika dia bersama Pagar Paregreg dan beberapa tokoh
silat itu mengeroyok si nenek, mana mungkin mereka akan kalah. Maka diapun
keluarkan ucapan mengejek.
"Perempuan tua! Apakah yang kau ketahui tentang urusan Kerajaan. Jangan
campur adukkan soal Kerajaan dengan soal dunia persilatan. Kau sebaiknya bertapa
saja di Gunung Gede!"
Darah Sinto Gendeng seperti mendidih mendengar kata-kata Brambang
Santika itu. Namun si nenek masih bisa sunggingkan senyum malah tertawa
melengking. "Bocah jelek! Kau tentu dijanjikan jabatan tinggi oleh para pengkhianat!
Selama ini kau banyak berhubungan dengan orang-orang persilatan. Namun ternyaa
kau tidak banyak mengenal kehidupan kami. Dalam rimba persilatan manusia ular
kepala dua sepertimu dihabisi lebih dulu!"
Habis berkata begitu Sinto Gendeng lemparkan tongkatnya ke arah Brambang
Santika. Benda ini kelihatan menjadi tambah panjang dan lentur hingga tak
obahnya seperti seutas tali yang siap menjirat leher Brambang. Melihat orang telah mulai
menyerang Pagar Paregreg cepat angkat tangannya. Kepala Pasukan Kerajaan yang
berkhianat itu tahu betul kehebatan Sinto Gendeng segera angkat tangan kanannya
memberi tanda. Melihat isyarat ini tiga orang tokoh silat Istana yang ikut memberontak segera
menerjang masuk ke dalam kalangan pertempuran terus menyerbuke arah Sinto
Gendeng. Menghadapi keroyokan tiga musuh ini si nenek dengan memaki terpaksa
tarik pulang serangan tongkatnya yang hampir dapat menjirat batang leher
Brambang Santika. Dengan geram Sinto Gendeng sabatkan tongkatnya sedang tangan kiri
lepaskan satu pukulan sakti.
Dua tokoh silat yang mengeroyok berhasil menghindar dari hantaman pukulan
dan sambaran tongkat. Tapi tokoh silat ketiga berlaku ayal. Jeritannya
menggidikkan ketika tongkat Sinto Gendeng menggebuk batok kepalanya dengan keras hingga
tubuhnya terbanting ke tanah dan mati di situ juga!
Brambang Santika dan dua tokoh silat menjadi marah besar melihat kematian
kawan mereka. Sama-sama membentak kaetiganya kembali menggempur si nenek.
Diperlakukan seperti itu si nenek justru malah jadi nekad. Tangan kanannya
membabatkan tongkat di depan dada, menahan serangan lawan yang datang laksana
gelombang. Bersamaan dengan itu tangan kirinya mencabut tusuk kundai perk di
kepalanya lalu secepat kilat dilemparkannya ke arah lawan di ujung kanan yakni
tokoh silat Istana yang kedua. Demikian cepatnya lemparan tusuk kundai orang
yang diserang tidak mampu selamatkan diri. Jeritannya terdengar menggidikkan sewaktu
tusuk kundai perak itu menancap dan menmbus lehernya!
Mau tak mau Pagar Paregreg jadi tercekat juga melihat dua korban telah jatuh
di pihaknya. Brambang Santika dan tokoh silat yang masih hidup tidak akan mampu
menghadapi Sinto Gendeng, maka dia keluarkan suitan keras. Dari dalam rimba di
tepi jalan muncul tiga orang bertubuh tinggi besar bertampang garang dan
bersenjatakan golok. Ketiga orang ini adalah tiga pimpinan rampok berkepandaian
tinggi yang menguasai tiga wilayah di Jawa Barat. Mereka terkenal kejam dan
memiliki kepandaian tinggi. Tanpa banyak cerita lagi ketiga langsung menyerbu
masuk ke dalam kalangan pertempuran! Berarti kini lima orang yang mengeroyok si
nenek sakti. BASTIAN TITO 36 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Melihat hal ini Patih Ganda Aiawisesa cepat menyambar sebilah golok yang
tergeletak di tanah lalu melompat ke samping Sinto Gendeng.
Si nenek menyeringai. "Patih Kerajaan mari kita berebut pahala mencabut
nyawa manusia-manusia pengkhianat ini!"
Dua orang itu menyambut serangan lima pengeroyok. Pertempuran
berlangsung dengan seru. Sementara itu Pagar Paregreg diam-diam mengeruk saku
pakaiannya mengeluarkan jarum-jarum halus beracun. Jika melesat di udara senjata
ini sulit dilihat. Hanya orang berkepandaian tinggi saja yang mampu merasakan
sambaran anginnya!
Dari tempatnya berdiri Pagar Paregreg sengaja mencari kesempatan untuk
dapat melepaskan senjata rahasianya secara licik yaitu ketika Sinto Gendeng
dalam kedudukan membelakangi dirinya.
"Awas, pukulan dinar matahari!" Brambang Santika berteriak keras ketika
dilihatnya tangan kiri Sinto Gendeng berubah menjadi putih perak menyilaukan.
Sianr putih panas luar biasa berkiblat.
Bummm! Dua lelaki tinggi besar bersenjata golok menjerit. Tubuhnya mereka terguling
jauh dalam keadaan hangus. Brambang Santika dan lain-lainnya masih sempat
menyingkir walau jantung mereka terasa bergetar keras. Sinto Gendeng tertawa
mengekeh tanpa menyadari saat itu dua puluh jarum halus beracun yang dilepaskan
Pagar Paregreg melesat ke arah punggung dan kepalanya sebelah belakang!
"Sinto! Awas senjata rahasia di belakangmu!" Satu teriakan keras
memperingatkan menyusul berkelebatnya satu benda hitam lebar berputar dan
des...des...des... Puluhan jarum beracun amblas tertahan benda itu yang bukan lain
adalah sebuah payung hitam terkembang!
BASTIAN TITO 37 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
SEBELAS A h, Giri Arsana! Kau rupanya! Terima kasih kau telah menyelamatkan
jiwaku! Menolong kepalang tanggung, mengapa tidak terus menghajar si pembokong
licik itu"!" ujar Sinto Gendeng ketika melihat siapa yang muncul dan berdiri di
sebelahnya. Patih Ganda Ariawisesa terkejut sekali ketika melihat siapa yang muncul di
tempat itu. Orang ini adalah Giri Arsana yang bergelar Dewa Berpayung Hitam dan
bukan lain adalah besannya sendiri yaitu ayah mertua dari Raden Sabrang
puteranya yang terbunuh di tangan Sriti Gandini alias Sepuluh Kuku Iblis!
Dewa Berpayung Hitam tertawa mengekeh. "Langka pertemuan memang
tidak bisa diduga!" katanya. Lalu dia menyambung. "Sinto, urusanku sendiri belum
selesai. Kalau tidak memandang dirimu yang jelek tidak akan aku ikut-ikutan
mencemplungkan diri dalam pertempuran gila ini!"
Si nenek balas tertawa. "Dua orang kakek nenek jelek ditambah seorang Patih
Kerajaan menumpas manusia-manusia keji pemberontak! Apakah itu bukan berarti
mencari pahala" Paling tidak hitung-hitung bisa mengurangi dosa kita selama
hidup di dunia celaka ini!"
Dua kakek nenek itu lalu sama-sama tertawa terpingkal-pingkal sedang Patih
Ganda Ariawisesa hanya bisa tertegak seperti orang bengong.
Di lain pihak Pagar Paregreg telah saling memberi isyarat dengan Brambang
Santika. Kedua orang gembong pemberontak ini sudah sama maklum bahwa keadaan
kini sangat sulit bagi mereka. Menghadapi Sinto Gendeng dan Patih Kerajaan saja
mereka belum tentu menang sekalipun masih dibantu oleh beberapa orang
berkepandaian tinggi dan puluhan perajurit. Apalagi kini muncul pula kakek
berjuluk Dewa Berpayung Hitam itu. Sebelum mendapat celaka lebh baik mereka menyingkir.
Pagar Paregreg kembali lemparkan puluhan jarum putihnya ke arah tiga
lawannya. Di saat yang sama dia memberi perintah agar para pengikutnya menyerbu.
Lalu bersamaan dengan itu Brambang Santika lemparkan sebuah benda berbentuk
bola hitam ke udara. Begitu melayang jauh bola ini meletus keras dan asap hitam
yang sangat tebal menyungkupi daerah itu!
"Keparat licik!" teriak Sinto Gendeng.
"Kalian mau lari kemana"!" ikut berteriak Dewa Berpayung Hitam. Dia
menangkis dengan payung terkembangnya. Puluhan jarum putih lagi-lagi terbendung
oleh payung sakti itu. Begitu jarum menancap amblas di kain payung, si kakek
pukul pegangan payung, puluhan jarum yang menancap di payung serta merta melesat ke
depan, kearah Brambang Santika dan Pagar Paregreg yang saat itu sudah tidak
kelihatan lagi dari pemandangan karena terlindung oleh tebalnya asap hitam.
Sempat terdengar satu jeritan tanda salah seorang dari mereka terkena serangan balik
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 7 Duri Bunga Ju Karya Gu Long Pangeran Iblis 2