Pencarian

Pendekar Gunung Fuji 2

Wiro Sableng 078 Pendekar Gunung Fuji Bagian 2


" Kunio tetap yakin bahwa kau yang mencuri kitab pelajaran Kendo milik guru.
Jika kau jujur, maukah kau mengatakan bahwa kau tidak mencari buku pelajaran
ilmu pedang yang langka itu"
" " Siapa dewa yang paling kamu hormati, Akiko" " tanya Wiro.
" Dewa matahari..., " jawab sang dara.
" Nah, demi dewamu itu, aku bersumpah tidak mencuri buku atau apapun di tempat
kediaman gurumu! "
" Sumpahmu tak ada harganya! " kata Akiko pula.
" Eh, kenapa begitu" " tanya Wiro heran.
" Kepercayaanmu dan kepercayaanku berlainan. Bagaimana mungkin kau mengangkat sumpah dengan
kepercayaan orang lain!" "
" Ah begitu" Kau mungkin benar, " kata Wiro sambil menggaruk-garuk kepalanya. "
Kalau begitu aku bersumpah atas nama persahabatan kita! Bisa kau terima sumpahku
sekarang" "
" Masih belum. "
" Kenapa" "
" Soalnya kita belum tentu bersahabat. Aku belum tahu siapa dirimu sebenarnya.
Muncul di sini entah membawa niat jahat atau apa... "
" Ah... " Wiro geleng-geleng kepala.
Page 23 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Kau keliru Akiko. Jika kau sengaja mencariku dan menginginkan pertemuan ini,
berarti kau telah menunjukkan rasa persahabatan. Kalau kau tidak percaya dirimu,
apa perlunya mencari diriku dan menyamar segala! "
" Aku menyamar agar tidak ketahuan orang-orang Lembah Hozu dan Kunio. Kunio
mengancam membunuhku jika aku menemuimu, " Akiko menutup wajahnya seperti
menahan tangis.
Wiro dekati gadis itu dan pegang bahunya. " Maafkan kalau aku membuatmu menjadi
marah dan bingung. Tapi aku betul-betul tidak mencuri sesuatu pun. Justru aku
ingin menyelidiki pencuri itu dan menemukannya kembali. "
Perlahan-lahan Akiko turunkan kedua tangannya. Sepasang mata bening gadis ini
menatap ke bola mata pendekar 212. " Betulkah kau hendak membantu menemukan buku
itu kembali" " Tanya sang dara.
Wiro mengangguk. " Tadi kau hendak merundingkan beberapa urusan. Urusan apa" "
" Urusan pertama tentang kitab yang hilang. Terima kasih kamu bersedia membantu.
Yang kedua, ini yang penting. Cara menghadapi orang-orang Lembah Hozu. Kau telah
mengancam dan memberi waktu tujuh hari kepada mereka. Bisa saja sesuatu terjadi
kepada mereka. Bagaimana membuktikan ancamanmu" Kau tidak bisa menghadapi mereka seorang diri.
Aku mendengar orang-orang Lembah Hozu meminta bantuan nenek Arashi. "
" Siapa nenek yang memiliki nama begitu hebat" Nenek Topan" " tanya Wiro.
" Seorang jago sihir kawakan. Dia bisa mencabut pohon dengan akarnya lalu
melemparkan ke arahmu! " jawab Akiko.
Wiro keluarkan suara berdecak. " Belum pernah aku mendengar kehebatan seperti
itu, aku ingin sekali melihatnya! "
" Jangan bicara takabur Wiro-san... "
" Hanya itulah urusan yang ingin kau bicarakan" " tanya Wiro kemudian.
" Masih ada yang lainnya. "
" Apa itu" "
" Bagaimana kita bisa menyelamatkan Kenichi" "
" Itu memang bukan urusan mudah. Orang-orang Lembah Hozu itu memang menjaga
Kenichi secara ketat. Kau tak usah memikirkan.... "
" Dia saudara seperguruanku. Bagaimana mungkin aku tidak memikirkannya"! "
" Jangan salah sangka dulu Akiko. Bicaraku tadi belum selesai. Urusan Kenichi
biar aku yang mengatur asal kau mau membantu... "
" Aku sendiri hanya punya kemampuan terbatas.... " kata Akiko.
" Ah, kau terlalu merendah. Buktinya kau tadi menunjukkan kehebatanmu dengan
melempar Page 24
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
senjata rahasia serta sebilah katana! "
Merahlah paras Akiko Bessho. " Yang kulakukan tadi bukan mencelakaimu. Itu untuk
membuktikan bahwa kau seorang yang bisa diandalkan. Apa yang dikatakan sensei
bukan cerita kosong... "
Wiro tertawa lebar, " Kau tahu Akiko, di negeriku banyak sekali orang yang
pandai bicara. Tapi perempuan di sana bersikap diam. Tidak ada yang pandai
bicara, apalagi berkelit lidah sepertimu saat ini... Kalau tadi pedangmu sempat
menembus jantungku, tentu aku tidak akan pernah mendengar alasan yang kau
katakan, iya kan ?"
" Nah, sudah selesaikah urusan ini atau ada urusan lain" "
" Masih ada satu lagi. Ini yang terakhir. "
" Katakanlah! "
" Sebenarnya aku malu menyampaikannya... "
" Katakan saja Akiko, " ujar Wiro.
Akiko Bessho diam sesaat. Tampaknya seperti ragu. " Ah, baiknya kubatalkan saja
mengatakannya kepadamu, " kata gadis ini.
Wiro menggeleng. " Memendam sesuatu tidak baik... Kau tidak percaya padaku. Atau
malu. Bukankah kita bersahabat" " ujar Wiro seraya mengambil topi jerami lebar dari
tangan Akiko lalu mengenakannya di kepalanya. " Tampangku pasti seperti pengemis
beneran! " kata Wiro, yang membuat Akiko tertawa geli. " Sekarang apakah kau
tidak akan mengatakannya" "
" Baiklah, aku akan terus terang saja, " jawab Akiko. " Ini menyangkut pesan
gurumu dalam surat yang dulu kau bawa untuk sensei. Apakah kau masih bersedia
mengajarkan ilmu pukulan sakti bernama Pukulan Sinar Matahari itu?"
" Ah..! Itu rupanya! " kata Wiro seraya tertawa lebar dan garuk-garuk kepala. "
Untukmu pintu selalu terbuka, Akiko. Bagaimana dengan saudara-saudara
seperguruanmu yang lain" "
" Ichiro sebenarnya ingin juga mempelajari kesaktian itu. Tetapi dia merasa malu
karena sudah terlanjur mengejekmu. Kenichi tak masuk hitungan karena masih
berada dalam sekapan orang-orang Lembah Hozu. Tinggal Kunio. Dia pasti akan
membunuhku jika tahu aku menemuimu, apalagi sampai belajar padamu. "
" Hemmmm, begitu" Kau sungguhan ingin mempelajari Pukulan Sinar Matahari" "
Akiko mengangguk. " Aku ingin pada saat kau mendatangi Lembah Hozu pada hari
kedelapan, aku sudah menguasai ilmu itu. "
" Semua itu tergantung pada tingkat tenaga dalam yang kau miliki dan kemampuanmu
menghapal bacaan tertentu secara cepat... "
Page 25 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Aku akan belajar sungguh-sungguh, siang malam...! "
" Bukan itu saja masalahnya Akiko. Tapi ada satu hal yang sangat berat dan
kurasa tak mungkin kau lakukan... "
" Apakah itu" Apa yang harus aku lakukan" "
" Orang yang akan mempelajari pukulan sakti tersebut harus dalam keadaan tanpa
pakaian... "
" Apa"! " Akiko Bessho tersentak. " Gila! Aku harus telanjang"! Ilmu macam apa
itu! Persetan dengan ilmu itu! Lebih baik aku tak mendapatkannya! " sang dara
tampak berang dan membalik membelakangi Wiro.
Pendekar 212 tertawa mengekeh. Akiko cepat membalik. " Mengapa kau tertawa"! "
tanya Akiko gusar.
" Kau seperti anak kecil! Percaya saja apa yang kukatakan tadi! "
" Jadi... Apa maksudmu sebenarnya" "
" Untuk belajar pukulan sakti itu tidak perlu harus telanjang segala! Aku hanya
bergurau! Senang melihat pipimu merah kalau marah! "
" Gaijin kurang a... " Akiko tidak teruskan ucapannya.
Di hadapannya Wiro memberi isyarat. Ketika Wiro melangkah keluar dari puri,
Akiko mengikuti. Di salah satu halaman Puri Nanzen terdapat dua buah batu yang
masing-masing hampir dua kali besar kepala manusia. Wiro menunjuk pada batu
sebelah kanan. " Alirkan tenaga dalammu ke tangan sebelah kanan, lalu pukul batu
itu. " " Kau hendak menguji atau bagaimana" "
" Terserah kau mau bilang apa. Tapi aku harus melihat dulu tingkat tenaga
dalammu. Aku percaya kau pasti sudah memiliki tingkat yang tinggi, nah
cobalah...! "
Perut Akiko tampak mengempis, bibirnya terkatup rapat. Kedua kakinya menekuk dan
tubuhnya turun perlahan. Tangan kanan diangkat ke atas. Lalu terdengar bentakan
keras keluar dari mulutnya.
Bersamaan dengan itu tangan kanannya memukul. " Praaakkk! " Batu hitam di
sebelah kanan yang jadi sasaran hancur berantakan.
" hebat! " memuji Wiro. Dia membungkuk dan memungut serta memperhatikan pecahan-
pecahan batu. " Kau mempunyai dasar tenaga dalam yang baik. Malam nanti kita mulai latihan...
" " Terima kasih, " kata Akiko, seraya menjura beberapa kali. Lalu gadis itu
bertanya, " Sebagai imbalan, apakah yang harus kulakukan untukmu" "
Murid Sinto Gendeng menatap wajah bulat di depannya beberapa saat. Lalu senyum
menyeruak di mulutnya. Akiko jadi curiga. Buru-buru gadis ini berkata, " Jangan
kau berani meminta yang bukan-bukan...! "
" Aku ingat pada kepandaianmu mengubah suara tadi. Maukah kau mengajarkannya
padaku" "
Page 26 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Tiba-tiba Wiro mendengar suara berucap, " Wiro-san, gurumu jelas-jelas dalam
suratnya mengatakan tidak ada pamrih. Mengapa sekarang kau justru meminta
imbalan..." "
" Astaga! Itu suara Hiroto Yamazaki! " ujar Wiro dalam hati. Terkesima tapi juga
tampak merah mukanya, pemuda ini berpaling ke kiri dari arah mana tadi dia
mendengar suara itu datang.
" Kau mencari siapa" " tanya Akiko dengan senyum di bibir.
" Aku barusan mendengar... " Wiro tak meneruskan ucapannya. Di hadapannya, Akiko
tampak berusaha menahan tawa. Kini Wiro sadar apa yang telah terjadi. Akiko tadi
pasti telah mempergunakan kepandaian berbicara dengan perutnya, meniru suara
mendiang gurunya! Mau tak mau Wiro hanya bisa menyengir.
Sambil garuk kepala, pemuda ini serahkan topi jerami kembali pada Akiko. Belum
sempat topi itu disentuh si gadis, tiba-tiba terdengar suara berdesing. Wiro
berteriak memberi peringatan. Akiko melompat ke samping kanan, Wiro ke arah
kiri. Dua bilah golok pendek menderu dan menancap ditopi jerami yang masih
berada dalam genggaman Pendekar 212.
Pada saat itu pulalimaorang berpakaian merah melayang turun dari atas dua buah
pohon besar yang ada di taman Puri Nanzen. Akiko keluarkan seruan kaget. "
Komplotan pembunuh bayaran Teruko! "
Limaorang berpakaian serba merah menyebar mengurung Akiko dan Wiro. Mereka
terdiri dari empat orang laki-laki yang wajahnya dilumuri pupur berwarna merah
sedang rambut dicukur pendek berdiri dan juga berwarna merah. Orang kelima
ternyata seorang nenek berpipi cekung tetapi masih memiliki rambut hitam lebat
disanggul rapi. Mukanya celemongan tidak karuan.
Meski jelas kelima orang itu tidak bermaksud baik, namun murid Sinto Gendeng
masih bisa bergurau. "
Kalian ini para pemain sandiwara kabuki (semacam sandiwara tradisional Jepang)
mengapa bisa kesasar ke mari..."! "
" Pemuda asing gila! Apa dia tidak tahu gelagat tengah menghadapi siapa! " Akiko
Bessho memaki dalam hati. Gadis ini gerakkan kedua kakinya membuat kuda-kuda.
Tangan kanannya tergantung sedemikian rupa, siap untuk mencabut katana yang
tersembunyi di punggung pakaiannya.
Empat lelaki berambut merah keluarkan suara mendengus marah mendengar ucapan
Wiro tadi. Sebaliknya si nenek malah keluarkan suara tertawa cekikikan! Dia mengerling
genit ke arah Wiro lalu berpaling pada Akiko. " Mendiang Hiroto Yamazaki pasti
tidak tenteram di akhirat melihat murid perempuannya bersuka-sukaan dengan
seorang pemuda asing! "
" Tua bangka kurang ajar! Tampangmu jelek, mulutmu kotor! " teriak Akiko marah.
Tangan kanannya mulai bergerak ke arah punggung.
Perempuan berwajah celemongan ganda tertawa. " Mukaku memang jelek, mulutku suka
usil! Hikk... hik...hik..! " jawab si nenek. Lalu sambungnya, " Tapi banyak lelaki
suka padaku, Hikk...
hik...hik...! "
" Aku tidak heran! " menyahuti Akiko. " Siapa yang tidak kenal dengan nenek
Teruko! Perempuan binal yang sudah jadi pelacur sejak usia empatbelas tahun! "
" Anak perawan! Mulutmu sudah kelewatan! Anak-anak, bunuh dia! " perintah Teruko
pada Page 27 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
keempat anak buahnya. " Sreet...! " empat bilah katana pendek dicabut
berbarengan. Empat lelaki bermuka dan berambut merah itu langsung mengurung
Akiko. Si nenek sendiri sambil tertawa-tawa melangkah mendekati Wiro, kedipkan
matanya dan berkata, " Pemuda asing, tampangmu cukup menawan. Jika malam ini kau
mau menginap di rumahku, aku akan ampunkan kau punya nyawa.
Siapa namamu sayang..." "
Sambil berkata begitu enak saja dan cepat sekali si nenek mencuil dagu Wiro.
Murid Sinto Gendeng merasakan tengkuknya merinding. " Kau ini siapa" Kenal pun
baru kali ini, mengapa enak saja bicara soal pengampunan nyawaku" " tanya Wiro.
Si nenek tertawa dan kedipkan lagi matanya. " Namaku Teruko. Aku ketua komplotan
Teruko yang bisa disewa untuk melakukan apa saja! Saat ini aku mendapat
pekerjaan untuk membunuhmu dan gadis itu! Apa kau tidak berterima kasih kalau
aku kini mengampunimu" "
" Perlu apa mengampuni diriku" Apa aku punya kesalahan padamu" "
" Oooo... " Wiro ikut-ikutan runcingkan mulut. " Siapa yang menyewa kalian" "
" Itu rahasiaku! Tapi di atas ranjang malam ini mungkin aku akan mengatakannya!
" jawab si nenek lalu tertawa tersipu-sipu.
"Tidak kau katakan pun aku sudah tahu. Pasti orang-orang Lembah Hozu!"
" Ah, ternyata otakmu cerdas. Aku suka pemuda-pemuda cerdas sepertimu... " kata
nenek Teruko pula.
Sata itu terjadi perkelahian antara Akiko dengan empat anak buah Teruko. Seperti
diketahui, Akiko adalah satu-satunya murid pewaris ilmu pedang paling pintar
dari Hiroto Yamazaki. Katana yang tergenggam di kedua tangannya menderu ganas
menghadapi empat pedang pendek keempat pengeroyoknya.Parapengeroyok yang tidak
menyangka bakal mendapatkan perlawanan keras, sambil berteriak-teriak memperapat
kurungan dan lancarkan serangan-serangan berantai.
Untuk beberapa lamanya Akiko sanggup membendung serangan empat lawannya, tetapi
setelah berkelahi lebih dari sepuluh jurus, walaupun sempat melukai lengan salah
seorang pengeroyok, pada akhirnya gadis ini mulai terdesak. Keselamatannya
terancam. " Hentikan serangan kalian! Jangan main keroyok! " teriak Wiro. Masih dengan
memegang topi jerami yang ditancapi dua bilah golok, Wiro segera melompat ke
tengah pertarungan. Namun ada seorang menarik pinggang celananya. Ketika dia
berpaling, ternyata nenek Teruko yang melakukan!
Nenek itu tersenyum dan lagi-lagi kedipkan mata!
" Tua bangka sialan! " maki Wiro dalam hati. Lalu dia membentak, " Perintahkan
empat anak buahmu menghentikan pengeroyokan! Lalu cepat pergi dari sini! " Dalam
keadaan marah Wiro hampir tidak sadar kalau tangan si nenek masih memegangi
pinggang celananya. Tiba-tiba tangan itu cepat sekali menyusup ke dalam celana
Wiro. Pendekar 212 tergagap kaget. Hampir saja anggota terlarangnya disentuh jari-jari
tangan kurang ajar nenek Teruko. Saking marahnya, Wiro langsung gebukkan topi
jerami di tangan kanannya ke muka Teruko! Perempuan tua itu tertawa cekikikan.
Dia terpaksa menarik tangan kanannya yang jahil. Sambil mundur dua langkah, dia
silangkan lengan kiri untuk menangkis gebukan topi jerami.
Page 28 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Braakkk! " Topi jerami milik Akiko itu hancur berantakan. Dua bilah golok yang
tadi menancap di topi mencelat ke udara. Begitu senjata itu jatuh ke bawah,
nenek Teruko melompat keatas. Di lain kejap, kedua golok itu sudah berada dalam
genggaman si nenek! Dan hebatnya, sesaat kemudian senjata itu telah
dilemparkannya ke arah Akiko Bessho, padahal saat itu si gadis berada dalam
keadaan terdesak hebat!
Akiko bukannya tidak melihat kedatangan dua golok yang menyebar ke arahnya. Dia
tidak bisa berbuat apa-apa karena saat itu empat lawan menyerbu dengan dahsyat!
Kalau pedangnya dipakai untuk menangkis dua golok, tubuhnya tidak terlindung


Wiro Sableng 078 Pendekar Gunung Fuji di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi dari gempuran pedang para pengeroyok!
Dalam keadaan genting seperti itu, tiba-tiba terdengar suara teriakan Pendekar
212. " Akiko! Tangkis dua golok terbang! " Bersamaan dengan itu, murid Eyang
Sinto Gendeng dorongkan kedua tangannya ke arah empat pengeroyok yang berpakaian
dan berwajah serta berambut merah. Dua gelombang pukulan sakti bernama"Dewa
Topan Menggusur Gunung" yang didapatnya dari Tua Gila, seorang sakti dari pulau
Andalas, menghantam dahsyat. Empat orang murid nenek Teruko berteriak kaget saat
menyadari tubuhnya laksana terseret badai. Mereka berusaha bertahan sambil
mengejar Akiko dengan ujung senjata masing-masing.
Tapi, " Wusssss! " Keempat lelaki itu mencelat mental, bergulingan di tanah dan
untuk beberapa saat tergeletak dengan muka merah mereka tampak babak belur!
Salah seorang mencoba berdiri, tapi terhuyung-huyung dan batuk beberapa kali.
Dari mulutnya meleleh darah, lalu lelaki itu roboh kembali.
" Trang... trang...! " Seperti yang diteriakkan Wiro, Akiko kini mampu
mempergunakan pedangnya untuk menghantam mental dua golok pendek yang tadi
dilemparkan nenek Teruko. Selamatkan gadis ini dari serangan maut. Akan halnya
nenek Teruko si kepala komplotan kegetnya bukan kepalang. Dia memang gusar
melihat Akiko lolos dari kematian. Namun yang membuatnya tersirap adalah pukulan
sakti yang dilepaskan Pendekar 212, yang sempat membuat empat anak buahnya
terpental dan babak belur terkapar di halaman puri.
" Pemuda asing ini luar biasa! Ilmu pukulannya tidak kalah dengan nenek Arashi.
Ada hubungan apa pemuda ini dengan nenek sihir itu! Ah, aku benar-benar bisa
jadi hitome bore (cinta pada pandangan pertama) padanya! Jika aku bisa
memanfaatkan dirinya, tidak sulit menjadi orang nomor satu di negeri ini!"
Nenek Teruko maju dua langkah mendekati Pendekar 212. Tanpa pedulikan lagi empat
anak buahnya yang cedera, si nenek berkata, " Anak muda, ternyata kau memiliki
pukulan sakti sehebat badai.
Apa sangkut pautmu dengan nenek Arashi" "
Wiro yang pernah mendengar nama nenek tukung sihir itu menjawab, " Aku tidak ada
sangkut paut dengan segala macam nenek-nenek, termasuk denganmu! "
" Ah, jangan begitu anak muda. Dengar... aku bersedia menjadikan kau sebagai
wakilku. Kita bekerja sama, gajimu enam tail perak sebulan! Pasti kau mau
menerima! "
" Wiro-san! Jangan terpancing! " teriak Akiko.
" Pasti aku menolak! " sahut Wiro, membuat si nenek terperangah.
" Anak bodoh, setahun bekerja denganku, kau bisa membangun puri sebagus puri
Nanzen ini! Apa itu tidak hebat" "
Page 29 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Aku tidak suka jadi orang hebat. Nenek, aku minta kau meninggalkan tempat ini
dan jangan ganggu kami lagi! " kata Wiro.
" Enak saja kau berucap begitu...! "
" Lalu maumu apa" "
" Kuberi susu kau minta jelaga. Kuberi madu kau minta racun! Sekarang bersiaplah
untuk mati! "
kata nenek Teruko. Lalu dari balik pakaiannya dia mengeluarkan senjata tombak
aneh. Ujung satunya berupa sebilah pedang pedek, sedang ujung lainnya berbentuk
bulat penuh dengan lobang kecil.
Melihat ini, Akiko segera mendekati Wiro dan berbisik. " Hati-hati dengan ujung
tombak berbentuk bulat. Di dalamya tersimpan racun yang bisa membuat mata buta
serta menutup jalan nafas! "
" Terima kasih, kalau begitu lekas kita tutup jalan nafas dan kau berdiri dekat
pohon sana !" kata Wiro. Sebagai pendekar yang sudah kebal terhadap segala jenis
racun, sebenarnya Wiro tidak khawatir.
Namun murid Sinto Gendeng tidak mau menganggap rendah orang.
" Wutttt! " Nenek Teruko kiblatkan senjatanya. Dari lobang kecil pada ujung
berbentuk bola serta merta menebar benda berbentuk butir pasir halus. Begitu
menyentuh udara meletus dan berubah menjadi asap hitam yang baunya busuk luar
biasa, membuat jalan pernafasan sesak dan mata perih. Selagi asap menutup
pemandangan, si nenek pergunakan kesempatan tusukkan ujung pedang ke arah perut
lawan! Pendekar 212 berseru keras. Tubuhnya melesat ke udara setinggi satu setengah
tombak. Dari atas dia langsung melepas pukulan kosong. Tapi cepat sekali nenek
menyambar ke arah pergelangan tangannya.
Selagi Wiro menarik kembali serangannya, senjata lawan sudah menyemburkan asap
lagi. Wiro merasakan jalan pernafasannya sesak. Kaki kirinya melesat mencari sasaran
nenek Teruko. Si nenek cepat sekali menundukkan kepala dan tiba-tiba tombak
dengan cepat menusuk ke atas selangkangan Wiro. " Nenek gila, gerakannya cepat
sekali, " maki Wiro. Mau tidak mau dia membuang diri ke samping. Untuk
menghindari serangan, dia langsung melepas serangan"Kunyuk Melempar Buah" .
Nenek Teruko gusar besar melihat serangannya yang susul menyusul mampu dielakkan
lawan. Asap beracunnya tidak berhasil mencelakakan pemuda itu. Dan kini dari
atas kini dia merasakan ada gundukan batu raksasa yang siap menimbunnya. Sambil
memutar tombaknya, nenek melompat mundur. Tangan kirinya dipukulkan ke atas. Dia
memang memiliki pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi. Tapi begitu
pukulannya bertemu dengan pukulan lawan, menjeritlah wanita tua bermuka
celemongan ini.
Tangan kirinya terkulai lemas, lalu terbanting di tanah. Dia tidak lagi bisa
menggerakkannya!
" Celaka! Apa yang terjadi dengan tanganku ini! " si nenek mengeluh dalam hati.
Selagi kebingungan seperti itu, tendangan Wiro sampai di badan tombak yang ada
di tangan kanannya. Tak pelak lagi, pedang itu terpental jatuh di atas rumput
taman puri Nanzen dalam keadaan bengkok!
Nenek Teruko berseru tegang. Empat anak buahnya terkesiap kaget. Saat itu
Pendekar 212 telah menjejakkan kedua kakinya di atas tanah kembali sambil
bertolak pinggang dan berkata. " Kalau pelajaranku tadi belum membuatmu kapok,
bersiaplah menerima pelajaran susulan! "
Wajah nenek Teruko membesi. Pandangan matanya garang sekali. Dia berteriak
keras. Tangan kanannya sesaat kemudian bergerak ke punggung dan memegang sebilah
katana . " Kalau kau mampu mengalahkanku dalam ilmu kendo, baru aku mengaku
kalah! Keluarkan senjatamu! "
Page 30 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Wiro memberi isyarat kepada Akiko yang tegak dekat pohon. " Biar aku yang
melayani nenek buruk itu" ujar sang dara sambil cabut pedangnya. " Pinjami aku
katana-mu, " ujar Wiro. Meski tidak senang karena ingin sekali mencoba kehebatan
nenek Teruko, akhirnya Akiko lemparkan juga pedangnya pada Wiro.
" Kau akan menerima pelajaran berikutnya dariku nenek Teruko... " kata Wiro
sambil menyeringai, begitu katana ada dalam genggaman tangannya. Tidak seperti
orang-orang Jepang, Wiro memegang pedang hanya dengan sebelah tangan. Si nenek
balas menyeringai. Melihat Wiro hanya memegang pedang dengan sebelah tangan,
perempuan tua ini merasa dihinakan sekali. Padahal Wiro memang tidak bisa
memegang pedang dengan dua tangan!
Didahului jeritan keras, nenek Teruko memulai serangan. Pedangnya membabat
setengah lingkaran.
Wiro menyeruduk maju. Gerakannya jelas sangat berbahaya karena senjata lawan
dapat memenggal leher dan pinggang saat itu juga. Tapi saat pedang lawan hendak
menyentuh tubuhnya, tiba-tiba Wiro terhuyung ke kiri dan menyeruduk ke kanan.
Gerakan-gerakan itu seperti orang mabuk. Tapi anehnya, dua kali serangan nenek
Teruko dapat dielakkannya! Inilah kehebatan silat yang dipelajari dari Tua Gila.
" Iblis! Aku lebih baik melakukan harakiri (bunuh diri) jika tidak bisa
mencincang tubuhmu! "
teriak nenek Teruko marah. Dari mulutnya keluar jeritan tinggi. Senjata di
tangannya kembali membabat.
Pendekar 212 membuat gerakan aneh. Lalu tangan kanannya yang memegang pedang
tampak menggebrak ke depan, memotong arah sambaran senjata lawan. Sesaat pedang
akan beradu, si nenek tiba-tiba meluncurkan pedangnya ke bawah!
Wiro kaget melihat gerakan tidak terduga ini. Cepat dia melompat ke belakang.
Tapi ujung pedang nenek masih sempat menyambar lengan baju sebelah kanan! "
Breet! " Lengan baju itu robek besar.
Si nenek keluarkan suara tertawa nyaring. " Sekarang baru bajumu! Sebentar lagi
perutmu yang robek, " kata si nenek sesumbar.
Wiro mencibir. " Lihat pedang! " teriaknya, lalu memainkan jurus-jurus langka
dari ilmu silat orang gila.
Sambil berkelahi dari mulutnya muncul suara siulan!
" Bagus, Menyanyilah terus! Nyanyianmu itu adalah nyanyian kematian yang
mengantarkanmu ke pintu kematian, " kata nenek Teruko pula.
Tapi nenek malah keluarkan seruan keras ketika ujung pedang lawan menyambar
tepat di depan hidungnya! Tengkuknya terasa dingin. Dia tahu betul, kalau mau,
pemuda itu bisa membuat hidungnya sumplung! Hati nenek Teruko mulai mendua.
Dia putar katana -nya dengan sebat. Suara pedang menderu-deru laksana titiran
menggempur ke arah lawan. Tiba tiba nenek sadar bahwa gempurannya tidak akan
menghasilkan apa-apa, karena lawannya sudah tidak ada lagi di depannya!
" Jangan lari! " teriak nenek Teruko.
" Siapa yang lari nek! aku di sini! "
Nenek Teruko berpaling. " Keparat! " pemuda lawannya sedang duduk enak-enakan di
atas batu di taman yang berumput sambil meneguk sebotol sake!
Page 31 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Dengan pedang di tangan nenek Teruko melompat ke arah Wiro, sementara Wiro
dengan tenang menutup kembali botol minumannya. Saat itulah pedang di tangan
nenek Teruko menyambar. Wiro lemparkan botol sake ke udara. Dia jatuhkan diri ke
atas batu. Begitu senjata lawan lewat, dia cepat melompat menyambut botol dan
membabatkan pedangnya ke bawah.
Dari tempatnya berdiri, Akiko berdecak kagum dan geleng-geleng kepala melihat
akrobat maut Wiro.
Kekagumannya ternyata tidak hanya sampai di situ. Tiba-tiba, untuk pertama
kalinya, Wiro benar-benar melakukan serangan. Pedang di tangan pemuda itu lenyap
berubah menjadi sinar putih dan mengeluarkan suara bersiuran. Nenek Teruko
mundur morat-marit.
" Wuuuut! " Pedang Wiro menyambar gulungan konde di kepala. Konde itu terlepas
mental! Kini kelihatanlah rambut asli yang tadi tertutup di bawah konde itu.
Ternyata rambut si nenek sudah putih semua! Wiro tertawa tergelak-gelak melihat
rambut palsu nenek terpental, sementara rambut aslinya yang putih tergerai awut-
awutan. Sebaliknya wajah nenek Teruko tampak kelam membesi. Kuduknya basah oleh keringat
dingin. Sepasang matanya membara. Mimiknya seperti seekor ular yang hendak menerkam
mangsanya. Nenek Teruko maju dua langkah. Tiba-tiba nenek tua itu menjatuhkan
dirinya, berlutut lalu membungkuk dalam-dalam seraya berkata, " Aku mengaku
kalah! " lalu laksana kilat kedua tanganya yang memegang pedang menghujamkan
senjata itu ke perutnya!
" Trangg! " Hanya seujung kuku pedang itu akan menembus perut si nenek, Pendekar
212 lemparkan pedang di tangannya. Senjata itu berhasil menghantam lepas pedang
yang hendak dipakai harakiri oleh nenek.
Nenek Teruko angkat kepalanya. Sepasang matanya memandang tidak berkedip ke arah
Wiro. Jelas perempuan tua ini berusaha sekuat-kuatnya tidak mengeluarkan air
mata. Perlahan-lahan dia kemudian berdiri. " Terima kasih! Aku benar-benar tidak
akan melupakan pelajaran darimu! " lalu dia membungkuk dalam-dalam.
" Tunggu dulu! " seru pendekar 212 ketika si nenek meninggalkan tempat sambil
mengajak anak buahnya. Nenek Teruko menghentikan langkahnya dan berpaling pada
Wiro. " Aku dan Akiko tahu sesungguhnya kau bukan wanita jahat. Aku perlu
bantuanmu....! "
Si nenek menjura. " Aku berhutang budi dan nyawa padamu. Bantuan apa yang kau
inginkan, silakan katakan! " Wiro lalu mengajak nenek mendekat pohon tempat
Akiko berdiri. Ketiga orang itu tampak membicarakan sesuatu dengan serius.
Lembah Hozu berada dalam keadaan gelap, sunyi dan dingin. Nenek Teruko mendorong
tubuh Akiko yang terikat kedua tanganya dan ditekuk di belakang punggung. Di
sampingnya, berjalan seorang anak buahnya yang berpakaian serba merah, muka
dilumuri pupur merah sedangkan rambutnya juga berwarna merah. Di tengah lembah
si nenek berhenti melangkah. Dia memandang berkeliling. Di balik kerapatan
pepohonan tampak bangunan tanpa dinding. Namun dia tidak melihat seorang pun.
" Aneh..., " kata si nenek perlahan tapi cukup terdengar oleh Akiko. " Tidak ada
obor, bangunan itu kosong melompong, tak satu pun kelihatan. Apa yang terjadi"!
" Akiko berpaling pada perempuan tua itu. Lalu sunggingkan senyum dan berkata, "
Tidak ada yang aneh! Hari ini adalah hari kedelapan. Hari terakhir jatuhnya
ancaman pemuda asing yang oleh guruku dijuluki Pendekar Gunung Fuji ! Orang-
orang Lembah Hozu yang membayarmu pasti sudah pagi-pagi kabur ketakutan!
Ternyata mereka manusia pengecut!"
Page 32 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Baru saja gadis itu berkata demikian tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring
disusul melayangnya beberapa sosok tubuh dari pepohonan. Dan enam orang
bersenjatakan panah sudah mengepung nenek Teruko, Akiko dan anak buah nenek.
Masing-masing mengarahkan sebatang anak panah beracun ke ketiga orang itu.
Lalu terdengar satu suara. " Orang-orang Lembah Hozu tidak ada yang pengecut!
Lidahmu pantas dicabut nona Akiko! " Bersamaan dengan itu muncul sosok
berpakaian putih berikat pinggang dan kepala kain merah. Orang ini adalah
Masashigi Sakaji, salah seorang pembunuh Hiroto Yamazaki.
Begitu melihat pembunuh gurunya, Akiko berteriak marah dan dalam keadaan tangan
terikat kebelakang ia berusaha mendekati Masashigi Sakaji. Tapi nenek Teruko
cepat mencekal leher pakaiannya. "
Manusia banci! Kau mengeroyok dan membunuh guruku! Aku menantangmu bermain
pedang sampai seratus jurus! Mana kawanmu satu lagi"! "
Sakaji tertawa terkekeh. Dia mendekati si gadis lalu, " Plaaak! " Tamparannya
melayang ke pipi Akiko.
Gadis itu terpekik dan dari pipinya mengucurkan darah. " Pengecut busuk! "
teriak Akiko lalu meludahi muka Sakaji dengan ludah bercampur darah.
Masashigi Sakaji, orang kedua di Lembah Hozu seperti dipanggang rasa marah.
Setelah membersihkan mukanya dengan lengan pakaian langsung saja dia mencabut
katana . " Tunggu! " ujar nenek Teruko seraya maju ke depan.
" Apa maumu Teruko, " sentak Masashigi. " Gadis ini berada dalam kekuasaanku.
Jika kau melunasi sisa pembayaranku, silakan mau berbuat apa saja padanya! "
" Tua bangka tidak tahu diri! Datang tidak memberi laporan apa-apa sekarang
minta bayaran! Apa hasilmu memata-matai murid Yamazaki dan pemuda asing itu"! "
" Tiga anak buahku tewas. Masih untung aku bisa menangkap hidup-hidup gadis ini
sebagai imbalan! Sekarang kau menyerapah tidak karuan! Aku mau bicara dengan
Minoru Shirota dan Sumio Matsuura! Antarkan aku kepadanya! " nenek Teruko
memandang beringas kepada Masashigi Sakaji.
Ingin sekali Sakaji mengepruk kepala nenek bermuka celemongan itu. Tapi
mengingat ada hubungan sangat akrab dengan orang-orang Lembah Hozu, yaitu Sumio
Matsuura, lagi pula nenek menerima tugas langsung dari Sumio, maka Sakaji
menahan diri. Dia menggoyangkan kepala memberi tanda. Orang yang membawa panah
menurunkan busur masing-masing. Dengan muka masam Masashigi memberi isyarat
nenek mengikutinya.
Dalam gelap malam, rombongan itu melangkah memasuki hutan cukup jauh, akhirnya
tampak nyala lampu di sebelah depan. Lalu kelihatan beberapa buah bangunan.
Sayup-sayup terdengar suara pedang beradu. Begitu mendekati bangunan di rimba
pinus itu, terkejutlah Akiko melihat apa yang telah berlangsung di halaman
samping salah satu bangunan. Kenichi Asano, saudara seperguruannya sedang
melatih orang-orang Lembah Hozu ilmu pedang kendo yang jelas-jelas ciptaan dari
Hiroto Yamazaki.
Lebih mengejutkan lagi, sesekali Kenichi melihat buku yang terletak di atas
batu. Lalu melanjutkan latihan lagi. Dan buku di atas batu itu adalah milik
Yamazaki yang hilang! Apa sesungguhnya yang terjadi"
Bukankah Kenichi menjadi tawanan orang-orang Lembah Hozu" Mengapa justru dia
yang melatih dan memberikan ilmu pedang bersama-sama" Lebih dari itu bagaimana
buku berharga itu bisa sampai di Page 33
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
tempat itu"
" Kenichi! " teriak Akiko tidak tahan dan tidak sabar lagi. Kenichi yang sedang
latihan pedang terkejut dan berpaling. Wajahnya mendadak berubah pucat. Suaranya
bergetar. " Akiko... apa yang terjadi atas dirimu" Bagaimana kau bisa ke tempat ini" "
Akiko menatap wajah saudara seperguruannya itu beberapa saat lalu menjawab. "


Wiro Sableng 078 Pendekar Gunung Fuji di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apa yang terjadi atas diriku dan bagaimana aku bisa sampai di tempat ini tidak
penting Kenichi! Justru aku ingin meminta penjelasanmu! Apa yang kau lakukan di
tempat ini" Bukankah kau tawanan orang-orang Lembah Hozu"! Kau juga harus
menjelaskan bagaimana buku milik sensei berada di tempat ini! "
" Di sini bukan tempat dan saatnya bertutur cakap! " satu suara dari balik
bangunan. Tiga orang muncul dari balik kegelapan. Di sebelah depan adalah Sumio
Matsuura, pemimpin orang-orang Lembah Hozu. Di belakangnya mengikuti Minoru
Shirota, orang ketiga dalam komplotan.
Di samping kiri Sumio melangkah terbungkuk-bungkuk seorang perempuan tua, jauh
lebih tua dari nenek Teruko, mengenakan pakaian aneh karena diganduli tabung
bambu sepanjang sejengkal. Nenek itu juga memiliki tongkat bambu berwarna aneh,
setengah biru setengah merah. Sepasang mata perempuan tua ini tidak bisa diam,
selalu berputar-putar dan jelalatan kesanake mari. Inilah orang yang disebut
nenek Arashi alias nenek Topan atau nenek Badai. Sejak bentrok dengan Pendekar
212, orang-orang Lembah Hozu meminta nenek ahli sihir itu membantu menjaga
segala kemungkinan.
Sumio berpaling ke nenek Teroko dan menegur. " Sahabatku Teruko! Kau datang
membawa tawanan berwajah cantik. Kalau tidak salah, bukankah dia murid perempuan
satu-satunya dari Hiroto" "
" Kau betul Sumio. Untuk dapat menangkapnya harus mengorbankan tiga anak buahku!
" " Hemmmm......, begitu..." " ujar Sumio. Sepasang matanya menatap tidak bergesip ke
arah anak buah nenek Teruko yang berambut dan bermuka merah. " Apa yang kau
lakukan terhadap gadis ini" "
tanya Sumio. " Kalau kau membayar lunas saja bayaranku, gadis ini jadi milikmu! Terserah mau
kau jadikan apa! Menjadi gundikmu atau membunuhnya! "
" Jangan melakukan hal yang bukan-bukan terhadap adik seperguruanku! " satu
suara menegur dengan keras. Yang berkata ternyata Kenichi Asano.
Minoru Shirota mendehem beberapa kali. " Asano-san, sejak kau menjadi bagian
dari kami, lupakan sebutan dan hubungan adik-kakak seperguruan! "
" Tapi..." memotong Kenichi.
" Tidak ada tapi-tapian! Tugasmu di sini adalah melatih ilmu pedang, tidak
mencampuri dalam urusan kami lainnya! "
" Kenichi... Jadi kau..." ujar Akino tidak bisa melanjutkan ucapannya karena tiba-
tiba dipotong oleh Sumio.
Page 34 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
" Dugaanmu benar nona Akiko. Saudara seperguruanmu telah menjadi saudara
seperguruan kami. Dia mengajarkan ilmu pedang ciptaan gurumu! "
Mata Akiko terbelalak memandang ke arah Kenichi. Yang dipandang menoleh ke
jurusan lain. "
Kenichi, jadi kau yang mencuri buku guru. Lalu bergabung dengan manusia jahat
Lembah Hozu! Malah kau gunakan buku itu sebagai dasar untuk melatih! Kau benar-benar
pengkhianat busuk paling keji di dunia ini! Terkutuk! "
Paras Kenichi seputih kertas. Tubuhnya bergetar. Sesaat pemuda itu tampak
bimbang. Lalu dia berkata kepada Misuo, " Saya minta kebebasan bagi Akiko. Kalau kalian
mencelakainya, aku tidak akan teruskan pelajaran ilmu silatnya. Buku itu akan
kubawa dan aku akan tinggalkan tempat ini! "
Baik Sumio, Minoru dan Sakaji sama-sama tertawa mendengar ucapan Kenichi. " Kami
membayarmu besar untuk bergabung bersama kami dan membawa buku pedang itu. Jika
kau berniat pergi silakan. Tapi terpaksa kau harus meninggalkan sesuatu di sini,
nyawamu! " kata Sumio.
" Tidak ada satu orang pun di sini bisa memaksaku! Kalau kau mencelakaiku dan
juga gadis itu, kalian tidak akan mendapatkan ilmu pedang ciptaan mendiang
guruku itu seutuhnya! "
" Apa maksudmu"! " tanya Sumio keras. " Sebelum ke mari, aku telah merobek
sebagian dari buku itu. Yang separoh bagian belakang aku sembunyikan di suatu
tempat, separuhnya lagi itulah yang aku bawa ke mari! "
" Hemm... bagus sekali perbuatanmu Kenichi! " kata Sumio. Tampangnya menunjukkan
kemarahan. " Kamu mengkhianati ke kiri dan ke kanan! Silakan ambil buku itu dan minggat
dari sini! Tapi seperti kataku tadi, nyawamu tinggal di sini! "
Tiba-tiba ada suara berteriak. " Ada penyusup di atap!"
Suara suitan terdengar bersahut-sahutan. Belasan orang-orang Lembah Hozu dengan
berbagai macam senjata segera mengurung bangunan di sebelah kiri di mana tampak
dua sosok tubuh merayap di atas atap. Minoru Shirota dan Masashigi Sakaji ikut
berkelebat mendekati bangunan. Sedang Sumio dan nenek Arashi tetap di tempat
masing-masing. Dalam gelapnya malam Akiko tidak mengenali siapa adanya kedua orang itu. Namun
setelah memandang dengan seksama, kagetlah gadis ini. Dua orang di atas
atapsanabukan lain Ichiro Ioki dan Kunio Ota. " Ichiro... Kunio... " desis
Akiko. " Kenapa kalian senekad itu"! "
" Manusia-manusia tolol! " di samping Akiko nenek Teruko ikut menyerapah. Lalu
sambungnya, "
Nona Akiko, sesuai perjanjian, tugasku hanya sampai di sini. Hidup matimu
sekarang ada di tangan sendiri! "
Setelah berkata begitu nenek Teruko langsung hendak berkelebat pergi. Tapi tahu-
tahu nenek Arashi sudah mencegatnya sambil tertawa mengekeh. " Mau lari ke mana
kau Teruko" Sumio mungkin tidak mendengar, tapi aku tidak tuli. Ucapanmu tadi
cukup jelas mampir di kedua telingaku! "
" Aku tidak mengerti maksud ucapanmu! " kata nenek Teruko, padahal wajahnya
tampak berubah.
Nenek Arashi tertawa panjang. " Kau dibayar bukan untuk berkhianat! Kau layak
mampus duluan Page 35
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Teruko! " Nenek Arashi menghembus kuat-kuat ke depan.
" Wusss! " Asap hitam mendadak menebar di tempat itu, kemudian bergulung dan
sesaat kemudian berubah membentuk sepasang tangan hitam panjang yang laksana
kilat menyambar ke arah batang leher nenek Teruko!
" Sepasang Tangan Iblis! " teriak nenek Teruko ketika mengenali ilmu sihir yang
dikeluarkan nenek Arashi. Cepat-cepat ia jatuhkan diri ke tanah, cabut katana
yang ada di balik punggungnya, lalu sambil bergulingan di tanah, perempuan tua
ini sapukan pedangnya membabat sepasang kaki nenek Arashi!
" Wusss! " Untuk kedua kalinya mengebu asap dari mulutnya. Kali ini asap
berwarna putih. Ketika nenek Teruko melihat ke depan, tersiraplah darah
perempuan tua ini. Asap putih tadi telah berubah membentuk sosok tubuh perempuan
tua yang jelas mirip sekali dengan dirinya! Jalan pikiran nenek Teruko serta
merta menyangka bahwa dia tengah menyerang dirinya sendiri.
Cepat dia tahan serangan pedangnya. Justru saat itu nenek Arashi kirimkan satu
tendangan ke arah kepala. Yang terakhir ini tidak punya kesempatan lagi untuk
berkelit selamatkan kepalanya!
Sementara itu di atas atap, dalam keadaan gugup karena penyusupannya diketahui,
Ichiro dan Kunio segera menyulut api untuk membakar bangunan. Baru saja api
menyala dan mulai membakar atap, dari bawah enam anak panah beracun melesat ke
atas atap. " Awas panah beracun! " teriak Ichiro yang mendengar lebih dulu suara
desingan anak-anak panah itu lalu cepat-cepat jatuhkan diri sama rata dengan
atap. Akan halnya Kunio, pemuda ini juga sempat jatuhkan diri tapi kakinya terpeleset.
Tak ampun lagi, Kunio menggelinding ke bagian atap sebelah bawah. Pemuda ini
jungkir balik dua kali berturut-turut lalu turun di tanah dengan kaki lebih
dulu. Namun begitu menginjak tanah, tiga ujung katana tiba-tiba menuding di
depan hidung, pelipis kiri dan kepala bagian belakangnya!
Yang memegang pedang di sebelah depan bukan lain Masashigi. " Murid Yamazaki,
aku hargai keberanianmu menyusup ke tempat kami! Tapi untuk itu kau harus
membayar mahal! " Masashigi putar pergelangan tangannya.
" Craass! " Ujung katana merobek pipi kiri Kunio. Darah mengucur, tapi pemuda
ini berusaha keras untuk tidak menjerit. Tangannya bergerak hendak menghunus
pedangnya, namun pengurung di samping kiri babatkan senjatanya, membuat Kunio
terpaksa tarik pulang tangannya kembali. Sekarang pemuda ini sama sekali tak
berdaya di bawah ancaman tiga pedang maut!
Ketika nenek Teruko hendak berkelebat pergi, Akiko Bessho cepat dan dengan mudah
membuka ikatan tangannya yang memang ikatan bohongan. Dara ini langsung mencabut
katana -nya dan menyerbu ke tempat di mana Kunio tegak dalam keadaan tidak
berdaya. Masashigi merasakan ada angin dingin menyambar punggungnya. Katana yang
ditudingkannya di depan hidung Kunio segera diputar dengan gerakan membabat ke
belakang. " Trang! " Katana milik Masashigi saling bentrokan dengan katana di
tangan Akiko. Gadis ini melompat ke kiri sambil berteriak keras.
Pedangnya berkiblat. Orang yang memegang pedang dan menudingkan ke bagian
belakang kepala Kunio menjerit. Pinggang kirinya sampai ke perut robek besar.
Orang ini langsung roboh, menggeliat beberapa kali lalu tewas!
Ilmu pedang matahari yang sudah diwarisi Akiko dari Hiroto Yamazaki memang luar
biasa hebat dan ganasnya. Jika saja saat itu dia bukan berhadapan dengan tokoh-
tokoh Lembah Hozu, mungkin dalam Page 36
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
beberapa gembarakan saja dia akan berhasil membereskan lawan-lawannya.
Namun Masashigi Sakaji dan Minoru Shirota bukan orang-orang sembarangan.
Walaupun dengan cara mengeroyok, kedua orang ini telah berhasil merobohkan dan
menewaskan Hiroto Yamazaki yang dikenal dengan julukan Pendekar Pedang Matahari.
Padahal selama bertahun-tahun Yamazaki menjadi tokoh nomor satu dalam kendo di
seluruh kawasan Jepang.
Kita kembali pada perkelahian antara dua nenek, yaitu Teruko dan Arashi. Saat
itu nyawa nenek Teruko terancam oleh tendangan maut yang dilancarkan nenek
Arashi ke arah kepalanya tanpa dia mampu menangkis atau berkelit.
Dalam keadaan yang sangat kritis itu tiba-tiba dari samping melesat satu
bayangan merah. angin deras bersiur dan tubuh nenek Arashi tergontai keras lalu
terjajar ke samping. Tendangannya hanya mengapung di udara. Nenek Arashi
terkejut besar ketika melihat yang barusan mendorongnya hingga terjajar begitu
rupa adalah anak buah nenek Teruko yang berpakaian serba merah, bermuka serta
berambut merah.
Sumio Matsuura tak kalah kagetnya menyaksikan hal ini. Dia tahu betul Teruko
memiliki empat orang anak buah yang berkepandaian tinggi. Namun kepandaiannya
itu tidak cukup ampuh untuk dapat membuat nenek Arashi terpelanting begitu rupa!
Maka kedua orang itu pun menjadi curiga. " Bangsat!
Siapa kau sebenarnya"! " sentak Sumio Matsuura.
Sepasang mata nenek Arashi berputar-putar dan berkilat-kilat saking marahnya. "
Setahuku, anak buah perempuan kampret ini mememiliki rambut merah pendek! Yang
satu ini mengapa berambut gondrong!" "
Terdengar tawa nenek Teruko. Sambil bangkit berdiri perempuan tua ini berkata, "
Mata kalian cukup tajam! Gaijin, perlihatkan dirimu yang asli! "
Si"anak buah" lalu buka baju dan pakaian merahnya. Di balik pakaian merah itu
ternyata ada sehelai pakaian putih. Baju yang tidak terkancing memperlihatkan
dada penuh otot. Di dada itu terpampang rajah tiga buah angka. Orang ini
pergunakan baju merah yang barusan dibukanya untuk menyeka wajahnya yang
berlumuran pupur merah dan juga membersihkan rambutnya. Kelihatan kini wajahnya,
ternyata wajah seorang pemuda asing!
Walau wajah itu bersih dan kelihatan jelas kini, namun baik Sumio maupun nenek
Arashi tetap tidak mengenali karena sebelumnya mereka memang belum pernah
melihat orang ini. Namun sesaat kemudian nenek Arashi mulai dapat menduga-duga.
" Kau yang jadi pimpinan orang-orang Lembah Hozu"! " tiba-tiba pemuda itu maju
satu langkah ke hadapan Sumio dan ajukan pertanyaan.
Meledaklah amarah Sumio Matsuura. Tangannya bergerak hendak mencabut pedang tapi
nenek Arashi memberi isyarat. Perempuan ini lalu maju ke hadapan si pemuda lalu
menegur, " Apakah kau orangnya yang digembar-gemborkan sebagai Penguasa Gunung
Fuji ?" " Kau memang tengah berhadapan dengan Pendekar Gunung Fuji , Arashi!" yang
menjawab adalah nenek Teruko.
" Bangsat tua! Diam! " hardik Arashi. " aku tidak bertanya padamu! " lalu dia
berpaling pada si pemuda, " Jawab pertanyaanku! "
Page 37 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Yang ditanya menyeringai. " Siapapun diriku tidak perlu dipersoalkan! Jika
kalian semua mau selamat, bebaskan Kenichi, serahkan dua pembunuh Hiroto
Yamazaki. Setelah itu kalian boleh pergi dari sini! "
Nenek Arashi pelototkan matanya lalu tertawa bergelak. Sumio Matsuura juga ikut
tertawa bekakakan.
" Seekor rubah kesasar yang masih bau apak mau jual lagak di depanku! " mengejek
nenek Arashi. " Jauh-jauh kesasar ke mari hanya untuk mengantar nyawa! " menimpali Sumio.
" Perlihatkan kehebatanmu padaku! " tantang Arashi.
" Kau meminta! Aku mengabulkan! " sahut si pemuda. Laksana kilat tangannya
menyelinap ke pinggang. Lalu berkilatlah sinar putih panas menyilaukan. Hanya
sesaat, karena sesaat kemudian pemuda itu lenyap dari hadapan Sumio dan Arashi.
Lalu terdengar suara menderu dahsyat laksana ribuan tawon mengamuk. Menyusul
terdengar suara jeritan dua orang Lembah Hozu yang bersama-sama dengan Masashigi
tengah mengancam Kunio Ota dengan pedang.
Kedua orang itu roboh ke tanah mandi darah, sedang Masashigi Sakaji masih untung
sempat melompat.
Tapi wajahnya tampak seputih kain kafan ketika melihat bagaimana pakaiannya di
bagian dada robek besar disambar senjata, entah senjata apa!
Semua orang Lembah Hozu yang ada di tempat situ sama terkesiap dan ternganga.
Mereka memandang pada pemuda asing berambut gondrong yang tegak sambil memegang
sebilah senjata berupa kapak bermata dua! Tiba-tiba Sumio sadar. Dia tiba-tiba
berteriak pada orang-orang yang ada disana. "
Jangan diam saja, cincang pemuda asing ini! "
Lalu Sumio mencabut pedangnya. Masashigi yang barusan lolos dari maut sesaat
tampak ragu. Namun kemudian segera maju mendekati si pemuda dengan pedang di
tangan. Minoru Shirota datang dari jurusan lain juga membekal sebilah katana .
Lalu ada enam orang lainnya yang ikut mengurung lawan tunggal itu, sementara
Sumio kembali berteriak. " Kalian tunggu apa lagi, cincang dia! "
" Tunggu! " tiba-tiba nenek Arashi keluarkan suara. Tubuhnya yang bungkuk
melangkah, sengaja mengelilingi pemuda di hadapannya beberapa kali. " Cuma orang
begini, kenapa kalian capaikan diri turun tangan. Biar aku yang membereskannya!
" Habis berkata begitu, nenek Arashi pukulkan tongkat bambu merah biru ke arah si
pemuda. Terdengar letupan halus disertai munculnya dua sinar terang, satu biru
dan lainnya merah. Dua sinar ini terpecah menjadi masing-masing selusin. Nenek
Arashi kembali pukulkan tongkatnya. Duapuluh empat sinar tiba-tiba berubah jadi
potongan-potongan tangan berkuku panjang yang secara serentak menyerbu si
pemuda. Yang mengerikan, potongan-potongan tangan itu di bagian pergelangannya
tampak seperti terpotong dan mengeluarkan darah!
" Ilmu iblis apa ini! " maki si pemuda yang tentunya Pendekar 212 Wiro Sableng
adanya. Dia membabat dengan Kapak Maut Naga Geni 212. Sinar putih berkiblat.
Suara seperti tawon menderu dan hawa panas menghampar! Tetapi duapuluh empat
potongan tangan merah biru itu secara aneh melesat kian kemari menghindari
serangan kapak. Lalu belasan di antaranya mulai berkelebat ke arah Wiro.
Mencakar, membetot, menusuk ke bagian kepala, dada, perut, bahkan
selangkangannya! "
Breett...breett...breett! "
Pakaian Wiro robek di tiga bagian. Pendekar ini berteriak kaget lalu cepat-cepat
melompat mundur sambil kembali sapukan senjata mustikanya. Dua buah tangan
sempat kena bacok tapi tidak mempan, Page 38
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
hanya terpental beberapa jengkal! " Edan! " maki Wiro. Entah mengapa tengkuknya
mulai dingin. " Bunuh! Bunuh! Cakar! Korek matanya! Korek jantungnya! Betot hatinya! Copot
kemaluannya! "
terdengar suara nenek Arashi lalu perempuan tua itu tertawa mengekeh.
Seperti kesetanan, murid Sinto Gendeng ayunkan kapaknya kian kemari. Tetapi
serangan tangan-tangan aneh itu tidak bisa terbendung. Malah kini satu cakaran
sempat menggapai pipi kirinya. Meskipun serangan itu tidak begitu telak, namun
pipi Wiro tampak tergurat lalu mengucurkan darah!
" Iblis! Perempuan iblis! " rutuk Pendekar 212. Lalu dia ingat. Segala macam
ilmu sihir tidak akan berdaya terhadap api. maka cepat-cepat Wiro keluarkan batu
hitam pasangan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pinggangnya. Batu hitam ini
diadukannya kuat-kuat ke salah satu mata kapak. Wuusss!
Lidah api menderu, menyambar ke arah potongan-potongan tangan. Tapi ternyata


Wiro Sableng 078 Pendekar Gunung Fuji di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semburan api itu tidak beda laksana tiupan angin saja. Tidak mampu memusnahkan
duapuluh empat potongan tangan berkuku panjang! Penasaran, Pendekar 212 simpan
batu apinya kembali, pindahkan kapak ke tangan kiri lalu tangan kanannya dialiri
tenaga dalam penuh! Tangan itu sampai ke lengan berubah putih laksana perak.
Wiro memukul. " Buummm! "
Lembah Hozu bergetar ketika pukulan sinar matahari dengan kekuatan tenaga dalam
penuh melabrak ke depan. Orang-orang lembah cepat menyingkir ketika merasakan
adanya hawa sangat panas menyambar dari sinar pukulan yang menyilaukan.
Tapi si nenek Arashi hanya ganda tertawa. Pukulan sinar matahari lewat lalu
menghantam bangunan di belakangsanahingga hancur porak poranda. Tapi duapuluh
empat potongan tangan tidak satu pun yang musnah! Malah kini mereka kembali
menyerbu, memaksa Pendekar 212 mundur terus dan kucurkan keringat dingin.
" Bunuh! Bunuh! Cakar! Cakar! Korek matanya! Korek jantungnya! Betot hatinya!
Copot kemaluannya! " kembali terdengar suara nenek Arashi yang disusul tawa
kekehnya. Selagi semua orang menyaksikan bagaimana nenek Arashi hendak mencelakakan Wiro
dengan ilmu sihirnya, kesempatan ini dipergunakan oleh Kenichi Asano untuk
mengambil buku ilmu pedang yang diletakkannya di atas batu waktu melatih tadi.
Namun baru saja buku itu berada dalam genggamannya, tiba-tiba Masashigi Sakaji
dan Minoru Shirota sudah melompat ke hadapannya. Terpaksa murid Yamazaki yang
culas ini cabut pedangnya.
Perkelahian dua lawan satu terjadi. Dalam beberapa kali gebrakan saja Kenichi
sudah terdesak hebat!
Melawan salah satu saja dari dua tokoh Lembah Hozu itu Kenichi belum tentu
menang, apalagi dikeroyok dua begitu.
" Dua bangsat pembunuh guru! Serahkan batang leher kalian padaku! " satu
teriakan menggeledek disertai menderunya pedang menyambar ke arah leher Minoru
Shirota. Yang masuk ke arana pertempuran ternyata Akiko Bessho.
" Akiko Bessho! Jangan kira aku tidak tega mencincang tubuhmu yang bagus! "
teriak Minoru marah seraya menangkis serangan si gadis. Di saat yang sama, Kunio
Ota yang mukanya berlumuran darah, serta Ichiro Ioki yang baru saja melompat
turun dari atas atap bangunan yang terbakar setelah lebih dahulu merobohkan
seorang lawan, ikut terjun ke arena perkelahian. Kini pertarungan menjadi empat
melawan dua! Page 39 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Mula-mula kelompok Akiko tampak menguasai perkelahian, bahkan mendesak dua tokoh
Lembah Hozu itu, Kenichi bertempur mati-matian seolah-olah ingin menebus
dosanya. Namun dua lawan yang lebih banyak pengalaman itu secara perlahan tapi
pasti balas mendesak. Ketika dua orang Lembah Hozu masuk membantu dan di bagian
lain empat orang lagi mulai menghujani kelompok Akiko dengan panah-panah
beracun, maka kacau balaulah keadaan ke empat murid Hiroto Yamazaki itu!
Kunio Ota mengeluh tinggi ketika sebatang anak panah menembus punggungnya.
Ichiro Ioki terpaksa melompat mundur ketika senjata salah seorang lawan berhasil
memapas bahunya dan darah membasahi pakaiannya. Sekujur badannya bergetar
kesakitan! Murid Sinto Gendeng tidak tahu apa yang harus dilakukannya lagi. Kapak Naga Geni
212 tidak mempan. Pukulan-pukulan saktinya tidak sanggup membendung serbuan
duapuluh empat potongan tangan! Dalam keadaan pakaian penuh robek, wajah terluka
serta dada dan bahu berkelukuran, Wiro terpaksa mundur terus. Sesekali dia harus
melompat kian ke mari untuk menghindari serangan tangan-tangan sihir yang ganas
itu. " Celaka! Aku tak bisa mundur terus! Tak bisa menghindar terus! " keluh Wiro. Di
depansana, dilihatnya Akiko dan saudara-saudara seperguruannya didesak hebat
oleh kelompok Sumio Matsuura.
Semakin kacau pendekar ini jadinya.
Untuk kesekian kalinya baju pendekar ini robek besar disambar cakaran sebuah
tangan. Kulit di bawah pakaian yang robek itu terasa perih tanda dagingnya ikut
kena cakar. Masih untung kuku-kuku yang mencakar itu tidak mengandung racun.
Walaupun demikian, bukan berarti dirinya akan terlepas dari cengkeraman maut!
" Gila! Apa lagi yang harus kulakukan! " Wiro hampir sampai di titik
keputusasaan. Kedua matanya mencari-cari di mana beradanya nenek Arashi. Otaknya
coba berpikir keras. Kalau ilmu sihirnya tidak bisa dilawan, mengapa tidak
langsung menghajar sumbernya, yaitu si nenek sihir itu sendiri" Tapi dari
tempatnya berdiri, Wiro sama sekali tidak melihat perempuan tua itu.
Pandangannya terhalang oleh semacam kabut tipis yang berwarna biru kemerahan!
Itulah tabir sihir yang keluar dari tongkat di tangan nenek Arashi.
" Tongkat itu! Tongkat sihir itu yang harus kuhancurkan! " pikir Wiro. Namun
manusia yang memegang tongkat sama sekali tidak kelihatan. Tiba-tiba Pendekar
212 ingat. " Ada satu yang belum kulakukan! Senjata dan pukulan sakti tidak bisa
tembus, tapi suara sanggup menembus dinding besi dan dinding karang setebal
apapun!" Wiro melompat mundur sejauh dua tombak. Lalu tegak dengan dua kaki terkembang.
Gagang Kapak Maut Naga Geni yang berbentuk kepala naga lengkap dengan mulutnya
ditempelkan ke bibirnya. Jari-jari tangannya menekan pada enam lobang yang ada
di gagang kapak di bawah kepala naga. Tenaga dalam dipusatkannya di perut. Lalu
seperti layaknya meniup sebuah seruling, Wiro mulai meniup bagian mulut kepala
naga. Meniup bukan dengan hawa yang ada dalam mulut dan tenggorokannya, tetapi
dengan tenaga dalam tinggi yang dikerahkannya dari perut terus ke dada sampai ke
mulut. Serta merta Lembah Hozu dibuncah oleh lengking dahsyat yang keluar
dari"seruling" yang ditiup Wiro.
Nenek Arashi kernyitkan kening sewaktu gelombang suara yang dahsyat menembus
asap biru merah terus mencucuk kedua liang telinganya! Mula-mula liang
telinganya bergetar keras lalu menyusul rasa sakit yang amat sangat. Kedua
telinganya serasa ditusuk besi panas!
Perempuan tua ini cepat tutup kedua telinganya. Di lain pihak Wiro terus semakin
kuat meniup. Jari-jari tangan si nenek ternyata tidak sanggup melindungi liang-
liang telinganya! Gelombang suara yang keluar Page 40
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
dari kapak sakti terus menerobos. Kalau tadi perhatiannya dapat dipusatkan pada
ilmu sihirnya yang mampu menciptakan potongan-potongan tangan yang berwarna
merah dan biru, kini perhatiannya jadi terbagi dan mengendur! Potongan-potongan
tangan itu tampak bergerak tidak seganas tadi lagi.
Sepertinya mengambang di udara sambil menggapai-gapai lemah. Lalu satu demi satu
jatuh ke tanah lalu lenyap!
Nenek Arashi bertahan terus! Mulutnya berusaha merapal sesuatu. Tongkatnya
dipukulkan ke depan.
Asap ungu membersit di udara, namun segera lenyap kembali pertanda si nenek
tidak bisa lagi memusatkan kekuatan ilmu sihirnya akibat suara lengking Kapak
Naga Geni 212 yang ditiup Wiro.
Perempuan itu malah tersentak kaget ketika dirasakannya ada cairan meleleh
keluar dari kedua liang telinganya. Darah!
Nenek Arashi berseru tegang. Sepasang matanya tampak berkilat-kilat dan
jelalatan kian kemari. Dia masih sempat melihat potongan tangan terakhir ciptaan
sihirnya jatuh ke tanah lalu lenyap tak berbekas.
Si nenek menggeram marah. Tak ada jalan lain! Dia harus menyerang pemuda itu.
Tubuhnya yang bungkuk melompat ke depan. Tongkat merah-birunya menusuk ke arah
Pendekar 212. Justru inilah kesalahan terbesar si nenek. Kemampuan ilmu sihirnya
tidak sehebat ilmu silatnya.
Begitu si nenek menusuk dengan tongkatnya, Wiro berhenti meniup. Kapak Maut Naga
Geni 212 dibabatkannya ke depan. Nenek Arashi terpekik ketika merasakan ada hawa panas
menyambar disertai dengan berkelebatnya sinar yang menyilaukan dan suara
menderu. Dia cepat berkelit ke samping. Tapi terlambat. Senjata lawan sempat
menghantam tongkat bambunya hingga mental dan berantakan. Nenek Arashi merasakan
tangan kanannya sakit sekali seperti ditusuk ratusan jarum panas!
Perempuan itu menggembor marah. Dia loloskan tabung-tabung bambu yang menggandul
di pinggangnya. Tabung bambu yang berjumlah enam buah dan saling dihubungkan
dengan ikatan tali ini berisi air keras yang sangat berbahaya. Sekali seseorang
kena siramannya pasti bagian tubuhnya akan rusak hancur mengerikan!
Nenek Teruko yang sudah mengetahui isi tabung itu segera berteriak
memperingatkan pada Wiro. "
Gaijin, hati-hati tabung bambu itu berisi air keras,! Wuuttt! Byaaarrr...
byarrr! " Enam tabung bambu melesat di udara lalu secara aneh menderu turun ke arah Wiro.
Dua tabung dari enam tabung itu menumpahkan air keras ke arah muka dan perut
Wiro. Sambil melompat menjauh, Pendekar 212 menghantamkan kapak mustikanya ke
depan. Sinar menyilaukan berkiblat. Air keras yang muncrat dari dua tabung
berbalik ke arah nenek Arashi. Empat tabung lainnya hancur berantakan. Isinya
muncrat-muncrat dan lagi-lagi mengarah ke tubuh dan muka nenek.
Terdengar jeritan dari nenek tukang sihir itu berulang kali. Tubuhnya yang
bungkuk langsung jatuh tergelimpang di tanah menggeliat-geliat. Air keras yang
mengenai tubuh dan mukanya membuat dagingnya mengkerut, mengepul dan
mengeluarkan asap! Pakaiannya hangus. Sebentar saja nenek Arashi berubah menjadi
mahluk mengerikan. Dia coba berdiri tapi jatuh kembali. Mencoba lagi, jatuh
lagi. Kali terakhir jatuh, tubuh itu tidak bergerak lagi!
Melihat kematian nenek Arashi yang menjadi andalan mereka, Sumio Matsuura dan
kawan-kawannya menjadi gentar. Terlebih ketika mendengar Pendekar 212 Wiro
Sableng dengan Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan kanan melangkah ke arah
mereka. Sumio, Masashigi dan Minoru serta hampir duapuluh orang-orang Lembah
Hozu lainnya melompat menjauhi Akiko, Ichiro yang dalam keadaan terluka serta
Kenichi. Sementara Kunio Ota tergeletak di tanah dalam keadaan sekarat akibat
racun panah yang menghujam di punggungnya.
Page 41 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Sumio Matsuura yang melihat keadaan bakal tidak menguntungkan lagi baginya dan
orang-orangnya, secara tiba-tiba melompat ke arah Kenichi, oarng yang paling
dekat dengannya. Kenichi Asano jadi terganggu pucat ketika sebilah katana yang
dipegang Sumio dari belakang tiba-tiba sudah membelintang di tenggorokannya! "
Tinggalkan tempat ini atau kugorok lehernya! " yang mengancam Sumio.
Akiko dan Ichiro terkesiap. Apa yang dilakukan Sumio begitu cepat sehingga
mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Sebaliknya Pendekar 212 terus melangkah
mendekati. " Satu langkah lagi kau berani maju, kusembelih pemuda ini! " kembali
Sumio mengancam. Dia tidak main-main.
" Gaijin! Akiko! Ichiro! " tiba-tiba Kenichi berteriak. " Jangan pedulikan
nyawaku! Serang mereka!
Hancurkan mereka, aku rela mati menebus dosa-dosaku! " Akiko dan Ichiro saling
pandang. Mereka menoleh ke arah Wiro yang masih terus melangkah mendekati Sumio.
" Berhenti! " teriak Akiko. Wiro hentikan langkahnya. Tetapi Sumio yang merasa
tidak bakal bisa lolos, tiba-tiba saja dengan sadis menggerakkan tangannya yang
memegang pedang. Darah langsung menyembur!
" Kenichi! " teriak Akiko dan Ichiro berbarengan. Keduanya langsung menyerbu
Sumio dengan pedang di tangan. Begitu Kenichi roboh bergelimpang, dia tewas
dengan tangan kanan masih memegang buku ilmu pedang milik gurunya.
" Serahkan durjana satu ini padaku! Kalian selesaikan urusan dengan Masashigi
dan Minoru! "
terdengar suara Wiro keras lalu pemuda ini berkelebat mendahului ke arah Sumio
Matsuura. Sebenarnya Sumio merupakan orang pertama dengan kepandaian tinggi di antara
orang-orang Lembah Hozu. Namun saat itu dirinya sudah dihantui oleh rasa takut.
Ketika kapak Naga Geni 212 berkelebat, dia hanya terkesiap. Lalu dengan sangat
lambat dia acungkan pedangnya untuk menangkis. " Trang! "
Kapak dan pedang beradu. Sumio berseru kesakitan. Pedangnya patah jadi dua. Lalu
dilihatnya senjata lawan kembali menderu. Kali ini dia sama sekali tidak punya
kesempatan untuk selamatkan diri. Kapak Naga Geni 212 membalik. Sumio menjerit
keras ketika salah satu ujung kapak menghujam dadanya.
Kedua tangannya menggapai-gapai ke udara. Tubuhnya terbanting. Orang ini
kemudian mati dengan luka di dada. Sebagian tubuhnya hangus!
Melihat kawan mereka tewas begitu rupa, nyali Masashigi Sakaji dan Minoru
Shirota menjadi leleh.
Terlebih anak buah mereka yang juga ada di sekitar situ. " Minoru, apa
pendapatmu" " bisik Masashigi.
" Aku malu mengatakannya, " jawab Minoru. " Tapi tidak ada pilihan lain,
tinggalkan tempat ini! "
Mendengar ucapan kawannya itu Masashigi segera berteriak. " Semua yang memegang
panah lekas menyerbu musuh! " Saat itu ada delapan orang Lembah Hozu memegang
busur panah. Mendengar perintah, mereka segera merentang busur. Di saat itu pula
Masashigi Sakaji dan Minoru pergunakan waktu untuk menyelamatkan diri.
Pendekar 212 cepat mengambil tindakan. Dia berteriak pada Akiko untuk mengejar
kedua orang yang berusaha kabur itu. Dia sendiri hantamkan pukulan sinar
matahari dengan tangan kiri ke arah orang Lembah Hozu yang siap melancarkan
serangan panah beracun. " Buummmm! "
Sinar putih menyilau menderu. Hawa panas menyengat dan di depan sinar terdengar
pekikan kematian.
Enam orang Lembah Hozu mencelat dengan tubuh hangus. Langsung tewas begitu
tergelimpang di tanah.
Empat lainnya selamat tetapi pakaian dan beberapa bagian tubuh mereka melepuh! "
Kawan-kawan, Page 42
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
pemimpin kita melarikan diri, tunggu apa lagi, segera tinggalkan tempat ini, "
ujar salah seorang mereka.
Orang-orang Lembah Hozu segera berhamburan masuk ke dalam hutan. Wiro tidak
mempedulikan, dia segera melesat ke kanan ke arah Akiko dan Ichiro yang berhasil
mencegat Masashigi dan Minoru yang melarikan diri dan kini sedang bertarung satu
lawan satu. Dengan ilmu pedang yang dimilikinya, Akiko tidak gentar menghadapi Masashigi
Sakaji. Paling tidak dia akan mempu menghadapi musuh besar yang telah membunuh
gurunya. Justru dia mengkhawatirkan Ichiro yang terluka parah saat melawan
Minoru. Jika tidak segera ditolong, Ichiro bisa menemui ajal di tangan Minoru.
Dalam keadaan begitu, tiba-tiba nenek Teruko meloncat membantu Ichiro. Di tangan
kanannya tergenggam golok pendek.
" Keparat! Masih di sini bangsat tua ini rupanya! " maki Minoru. Dia maju
selangkah berusaha membereskan Ichiro lebih cepat. Tapi gebrakan yang dibuat
nenek bermuka celemotan itu dapat menahan serangan. Ketika Teruko dan Ichiro
maju bersamaan, Minoru malah terdesak.
Pendekar 212 yang memperhatikan setiap gerak Akiko berseru. " Nona Akiko, walau
mempelajari baru beberapa hari, mengapa kau tidak pergunakan jurus sinar
matahari"! "
Akiko terkesiap sesaat. Sebaliknya Masashigi diam-diam merasa terkejut. Apa
benar dia menguasai pukulan yang lebih hebat dari semua ilmu sihir nenek Arashi"
Dilihatnya Akiko menyilangkan pedang di depan dada. Sepasang matanya memandang
tajam. Mulutnya bergerak sedang tangan kiri bergerak ke atas. Wiro melihat
tangan itu berubah keputihan tapi tidak memancarkan sinar menyilaukan.
" Kerahkan seluruh tenaga dalammu! " teriak Wiro. Lengan yang memutih itu tampak
laksana sinar, pertanda Akiko sedang mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
" Aku harus mendahului! " kata Masashigi sambil melompat ke depan dan
membabatkan pedangnya.
" Hantam! " teriak Wiro ketika melihat Akiko ragu-ragu. Mendengar teriakan itu,
si gadis langsung hantamkan tangan kirinya ke arah lawan. " Wuss! "
Sinar putih melesat walau kurang putih dan kurang panas. Di depansanaMasashigi
keluarkan suara keras. Tubuhnya tersapu lalu terjengkal jatuh. Pakaiannya
sebelah depan hangus dan kulitnya melepuh.
Namun pukulan yang dilepas Akiko yang masih dasar itu tidak mampu membunuhnya.
Penasaran, Akiko kembali hendak menghantamkan lagi tangan kirinya. Tapi saat itu
tangannya tidak mengeluarkan sinar putih lagi.
Wiro cepat berteriak, " Jangan! Pergunakan pedangmu! "
" Ah! " Akiko sadar belum bisa melepaskan pukulan sinar matahari untuk kedua
kalinya dalam waktu secepat itu. Maka dengan pedang di tangan dia menerjang ke
Masashigi yang berusaha bangkit berdiri.
Katanadi tangannya menderu, Masashigi mencoba menangkis. " Traaannng! Celaka! "
keluh Masashigi ketika tangannya tergetar keras dan pedangnya terpelanting.
Sebelum pedang lawan memburu, dia jatuhkan diri dan bergulingan di tanah. Tapi
orang ini salah arah. Dia justru bergulingan ke arah Pendekar 212.
Gulingannya terhenti ketika tubuhnya membentur kaki Wiro. Melihat itu Masashigi
berteriak. " Bangsat!
Page 43 Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Aku tidak menyesal mati jika bisa membunuhmu dulu! " Lalu Masashigi tusukkan
pedangnya ke arah Wiro. Murid Sinto Gendeng itu tidak berusaha menghindar karena


Wiro Sableng 078 Pendekar Gunung Fuji di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia melihat Akiko lebih dahulu berkelebat dan mengayunkan pedangnya. Darah
muncrat di celana putih Wiro ketika pedang Akiko menembus dalam leher Masashigi.
Pembunuh Hiroto Yamasaki itu mengerang pendek menggeliat sesaat, lalu tidak
berkutik lagi. Akiko jatuhkan diri berlutut dan seperti hendak menangis. " Perempuan Jepang
pantang menangis, "
ujar Wiro sambil memegang bahu Akiko. " Apakah kamu tidak melihat kedua mayat
yang membunuh gurumu. "
Mendengar itu Akiko menggenggam erat pedang di tangannya, berdiri dan membalik.
Saat itu Ichiro seperti kesetanan dibantu nenek Teruko sedang menghujamkan
pedang ke perut Minoru. Orang ini mengeluarkan lolongan beberapa kali sebelum
akhirnya roboh mati ke tanah.
Ichiro berdiri terhuyung-huyung. Luka dibahunya banyak mengeluarkan darah. Akiko
menubruk saudara seperguruannya ini. Keduanya saling berpelukan dengan dada
sesak menahan tangis. Ketika selesai berpelukan mereka melihat sekeliling dan
yang terlihat hanya nenek Teruko satu-satunya yang masih berada di tempat itu.
Bahkan Kunio Ota juga ikut lenyap! " Eh, kemana dia"! " ujar Akiko, lalu
berpaling pada nenek Teruko.
" Kau tak usah kawatir kehilangan gaijin itu. Dia sengaja meninggalkan tempat
ini lebih dahulu untuk mengobati luka racun panah Kunio. Dia pesan akan menunggu
kalian di lereng Gunung Fuji, " kata Teruko. " Kalau begitu kita segera menyusul
setelah mengurus jenazah Kenichi dan mengamankan buku milik sensei, " kata Akiko
pula. Nenek Teruko mengangguk. " Urusanku di sini sudah selesai, aku minta undur
diri..." ujarnya.
Tapi Akiko segera memegang kepala nenek itu seraya berkata, " Tidak, kau tidak
boleh pergi. Antara kita sekarang ada ikatan utang budi yang kuat. Kau harus ikut kami ke
lereng gunung Fuji ..."
Nenek Teruko tersenyum lebar. " Mana berani aku menolak permintaanmu, nona
Akiko. Aku sendiri masih ingin sekali bertemu si gaijin itu. Ilmunya banyak dan
aneh-aneh. Siapa tahu aku kebagian sepertimu, selain itu, hi... hik... hikkk! "
Si nenek tidak teruskan ucapannya.
" Selain itu apa..." " tanya Akiko Bessho.
" Selain itu ... hemmm..., gaijin itu tampan sekali wajahnya. Hik... hik... kalau
aku masih muda sepertimu, pasti akan aku ikuti ke mana dia pergi. Sayang aku
sudah tua, keriputan dan jelek.
Berdandan saja tidak bisa. Lihat pupurku yang celemongan, hik... hik...! "
Page 44 Perempuan Lembah Hitam 3 Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Api Di Karang Setra 2
^