Pencarian

Perempuan Lembah Hitam 3

Pendekar Naga Putih 75 Perempuan Perempuan Lembah Hitam Bagian 3


sampai di tempat tujuan.
Di depan sebuah rumah besar yang dijaga dua orang tukang pukul, mereka berhenti.
Tentu saja kedatangan dua perempuan cantik itu membuat mata penjaga itu melotot.
Keduanya tersenyum nakal menggoda.
"Benarkah ini tempat tinggal Sidanta...?" tanya Ningrum tanpa basa-basi.
Suaranya angkuh dengan wajah dingin tanpa senyum.
"Hm.... Untung kau seorang perempuan cantik. Kalau tidak, salah mengucap seperti
itu sudah cukup sebagai alasan bagi kami untuk menghukummu, Nisanak...!"
sahut salah seorang dari tukang pukul itu memasang wajah angker kepada Ningrum
dan Wilasih. "Hm..., rupanya kalian berdua tuli! Aku bertanya, apakah si keparat Sidanta
tinggal di rumah ini?" tanya Ningrum, sama sekali tak menggubris ancaman tukang
pukul itu. Bahkan ditambahkan kata-kata makian bagi Sidanta, yang seharusnya disebut
sebagai tuan muda.
"Heh! Kau malah semakin kurang ajar, Nisanak! Di sini yang ada Tuan Muda
Sidanta, tahu! Hati-hati kalau bicara, Nisanak!" sahut tukang pukul yang
berkumis tebal melintang. Kelihatannya lelaki gagah itu sengaja memelihara kumis
agar penampilannya lebih menakutkan. Namun semua itu sama sekali tak membuat
Ningrum gentar.
"Jadi benar rumah ini tempat kediaman pemuda keparat yang bernama Sidanta"!"
Tanpa mempedulikan wajah garang kedua tukang pukul itu, Ningrum langsung
bergerak masuk diikuti Wilasih. Tentu saja kedua penjaga itu kaget melihat
tindakan mereka.
"Hei, mau ke mana kalian" Berhenti...!" bentak tukang pukul berkumis tebal itu,
sambil berlari menghadang di jalan masuk. Wajahnya yang garang menatap penuh
ancaman kepada kedua perempuan cantik itu.
"Minggirlah, Manusia Tak Berguna...!" bentak Ningrum sambil menghentakkan
telapak tangan kirinya ke depan. Serangkum angin keras bertiup, menandakan bahwa
dorongan telapak tangan halus itu dialiri tenaga dalam yang kuat.
"Heh..."!"
Tukang pukul berkumis tebal melintang itu tersentak kaget. Namun lelaki bertubuh
kekar itu sama sekali tak berusaha untuk mengelak. Bahkan sengaja jemari
tangannya dijulurkan dengan senyum kurang ajar. Sepertinya dia sudah
membayangkan betapa halusnya kulit lengan perempuan cantik itu. Tapi....
"Huhhh...!"
Trak! Ningrum mendengus sengit sambil memutar tangannya dengan kecepatan
mengagumkan. Secepat kilat pergelangan tangan tukang pukul itu telah tercekal.
Dengan cepat dan keras Ningrum segera menyentakkannya.
"Hiaaat..!"
Wrettt! "Ukhhh...!"
Tukang pukul berkumis tebal melintang itu terpekik kaget. Tanpa dapat dicegah
lagi, tubuhnya terjerembab ke belakang. Belum lagi dia menyadari keadaan, jemari
tangan lembut yang mencekal pergelangan tangannya terlepas. Lalu telapak tangan
mungil itu meluncur ke dadanya.
Blukkk! "Akh...!"
Telapak tangan Ningrum mendarat telak di dada kanan lawan. Tubuh tukang pukul
itu terpental deras ke belakang.
Brukkk! Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tegap itu terbanting keras ke tanah. Terdengar
suara merintih dari mulutnya. Matanya terbelalak menahan rasa sakit yang mendera
sekujur tubuh. Dan dari sela bibirnya terlihat cairan merah mengalir menandakan
luka dalam yang parah.
"Perempuan setan...!" tukang pukul yang bertubuh gemuk memaki kaget. Tanpa pikir
panjang lagi, tangannya langsung menghunus senjata. Rupanya lelaki gemuk itu tak
berani memandang ringan perempuan di depannya. Karena sekali gebrak saja
kawannya roboh tak berdaya. Kenyataan itu membuatnya harus bersikap hati-hati.
"Simpan makianmu, Anjing Keparat...!"
Belum lenyap suara bentakan itu, Wilasih sudah melesat dengan sebuah tendangan
keras ke dagu tukang pukul bertubuh gemuk itu.
"Hiaaa...!"
"Hih!"
Tukang pukul bertubuh gemuk itu rupanya mengetahui gerakan cepat lawan, sehingga
dengan cepat melangkah mundur. Tendangan keras Wilasih luput dari sasaran.
Bahkan dengan cepat tukang pukul itu membabatkan pedangnya. Namun....
"Hiaaa..!"
Bukkk! "Huakhhh...!"
Perempuan cantik itu ternyata lebih cepat mendaratkan serangannya. Sebuah
tendangan susulannya yang dilakukan dengan gerak berputar, membuat tubuh
lawannya terhempas ke belakang. Telapak kaki mungil berisi tenaga dalam kuat itu
tahu-tahu telah menghantam dada lawan. Karuan saja lelaki gemuk itu memuntahkan
darah segar. "Keparat..! Siapa kalian sebenarnya" Dan ada urusan apa dengan majikan muda
kami.."!" bentak tukang pukul berkumis lebat yang sudah bangkit berdiri. Di
tangan kanannya sudah tergenggam sebilah pedang. Matanya baru terbuka setelah
melihat kawannya terbanting muntah darah.
Namun, baik Ningrum maupun Wilasih sama sekali tak menjawab. Keduanya saling
bertukar pandang sesaat. Kemudian tampak mereka saling menganggukkan kepala,
seakan telah saling sepakat untuk melakukan sesuatu. Dan....
"Haiiit..!"
"Hiaaa...!"
Diiringi teriakan melengking, kedua perempuan cantik itu melesat cepat ke atas.
Dan seketika itu juga tampak sinar putih berkelebat menyilaukan mata.
Siiing! Siiing...!
Bret! Bret! "Aaa...!"
"Aaakh...!"
Teriakan keras terdengar dari mulut kedua tukang pukul itu. Sekejap kemudian
tubuh mereka terbanting ke tanah. Darah segar mengalir membasahi tubuh yang
terbeset mata pedang. Sesaat lamanya kedua tubuh berlumur darah itu menggelepar-
gelepar di tanah. Terdengar rintihan kesakitan dari mulut mereka.
"Orang-orang seperti kalian tidak pantas dibiarkan menikmati hidup lebih
lama...!" desis Ningrum dengan sepasang mata menatap penuh kepuasan. Bibirnya
menyunggingkan senyum sinis yang mengerikan.
"Hm...," dengus Wilasih yang juga menatap kedua tubuh sekarat itu.
"Mari kita cari si keparat itu...," ajak Ningrum setelah tubuh kedua tukang
pukul itu diam tak bergerak lagi nyawa mereka telah melayang ke akherat.
Dalam sekejap, kedua tubuh ramping terbungkus pakaian merah muda itu sudah
lenyap di balik pintu gerbang. Perempuan-perempuan haus darah itu siap
melanjutkan tindakannya.
35 "Hei, berhenti...!"
Terdengar bentakan keras yang membuat langkah Ningrum dan Wilasih terhenti.
Tampak sosok-sosok bayangan berlompatan dan langsung mengepung kedua perempuan
cantik itu. "Siapa kalian...?" tegur seorang lelaki bercambang bauk yang bagian dadanya
terbuka, memperlihatkan bulu-bulu halusnya. Sepasang matanya menatap tajam kedua
perempuan berpakaian merah muda itu dengan penuh selidik. Suara jerit kematian
dua orang tukang pukul tadi tampaknya telah mengundang kedatangan mereka.
Terbukti delapan orang tukang pukul lainnya sudah menggenggam pedang di tangan.
"Sebenarnya aku sama sekali tak punya kepentingan dengan kalian! Dan aku pun
enggan mengotori tangan dengan darah kalian! Sebaiknya cepat panggil keluar
pemuda keparat yang bernama Sidanta! Kalau tidak, kalianlah yang akan lebih dulu
kukirim ke akherat!" sahut Ningrum dengan sepasang mata mencorong penuh
kebencian. Namun ancaman itu tampaknya tak membuat mereka gentar, bahkan sebaliknya.
Mereka geram dan marah. Wajah-wajah sangar itu tampak memerah.
"Perempuan sundal! Apa kalian pikir rumah milik bapak moyangmu"! Enak saja kau
mengumbar bacot! Rupanya kau perlu diberi pelajaran, agar lain kali tak
sembarangan membuka mulut!" geram lelaki brewok itu yang langsung memberi
isyarat dengan gerak tangannya untuk meringkus kedua perempuan cantik itu.
"Sebaiknya mereka jangan dibunuh dulu, Kakang," usul salah seorang tukang pukul
yang mengenakan pakaian lengan panjang berwarna hitam. "Kita tangkap saja!
Setelah kita 'kerjai' beramai-ramai sampai puas, baru kita habisi..."
"Hm..., begitu pun bagus...!" sahut lelaki brewok yang rupanya pemimpin para
tukang pukul di rumah besar itu. Wajahnya tampak menyeringai membayangkan betapa
nikmat tubuh-tubuh ramping, padat dan berkulit putih halus itu. Sehingga
ditelannya air liur yang terkumpul di mulut. Matanya yang beringas menatap wajah
kedua perempuan cantik di hadapannya.
Tukang-tukang pukul lainnya yang mengurung tempat itu saling menyahut
menyetujui. Mereka tampak menjilati bibir sambil membayangkan kehangatan tubuh
Ningrum dan Wilasih yang sintal itu. Bahkan ada di antara mereka yang meneteskan
air liur, karena begitu bernafsu.
Ucapan para tukang pukul itu membuat mata kedua perempuan cantik itu berubah
penuh kebencian. Kilatan dendam dan sakit hati, membuat wajah-wajah cantik itu
berubah merah. Hawa maut pun seketika menyelimuti mata tajam keduanya.
"Serbuuu...!"
Tukang-tukang pukul itu rupanya terlalu menganggap ringan kedua lawannya.
Teriakan lelaki brewok pimpinan mereka, membuat tukang-tukang pukul itu
berlompatan maju. Seolah semua saling berlomba untuk lebih cepat menjamah tubuh
molek itu. "Haiiit..!"
"Hiaaa...!"
Suara lengkingan nyaring terdengar mengejutkan. Dan, kedua tubuh perempuan
berpakaian merah muda langsung melesat ke kiri dan kanan. Entah kapan
mencabutnya, tahu-tahu di tangan keduanya telah tergenggam pedang berkilat.
Wut! Cras! Jrab! "Aaa...!"
"Aaakh...!"
Empat orang tukang pukul meraung keras. Wajah mereka berkerut menahan rasa sakit
yang luar biasa. Karena tangan kiri mereka yang semula hendak meraba dan meremas
tubuh gadis-gadis cantik itu telah tertebas pedang dan buntung. Tentu saja
mereka tidak menyangka kalau kedua orang perempuan cantik itu bergerak demikian
cepat. Hingga, mereka tak sempat menghindari.
"Iblis...!" Lejaki brewok itu terkejut setengah mati. "Bunuh mereka...!"
"Yeaaat..!"
Tanpa menunggu anak buahnya bergerak, lelaki brewok itu sudah menerjang maju
dengan teriakan keras. Tangan kanannya memutar pedang dengan kecepatan tinggi.
Sepertinya baru disadari kalau perempuan-perempuan cantik itu tak bisa dipandang
ringan. Terbukti dengan sekali gebrak saja empat orang anak buahnya telah
kehilangan lengan. Kenyataan yang mengejutkan itu membuatnya tak mau gegabah
dalam melancarkan serangan.
Bukan hanya lelaki brewok itu saja yang menjadi marah. Lima orang tukang pukul
lainnya pun sudah serentak berlompatan maju dengan sambaran pedang yang
berdesingan. Gerakan pertama Ningrum dan Wilasih benar-benar telah membuat tukang-tukang
pukul itu kalap. Semua itu terlihat dari gencar dan ganasnya serangan mereka.
Namun kedua perempuan itu hanya mendengus penuh ejekan. Keroyokan itu tampaknya
sama sekali tidak membuat hati mereka gentar, bahkan keduanya langsung melesat
maju menyambut serangan lawan. Dalam sekejap saja pertarungan sengit pun
berlangsung. Untuk kali ini para tukang pukul yang biasanya galak itu benar-benar ketemu
batunya. Sebab, kendati mereka telah menguras tenaga dan kemampuan untuk
mendesak lawan, tetap saja mereka tak mampu berbuat banyak. Bahkan serangan
balasan kedua perempuan itu membuat mereka kaget. Hingga....
"Hiaaa...!"
Bret! Bret! "Aaa...!"
Dua orang tukang pukul terpental keluar dari arena pertarungan. Mereka
terbanting di tanah dengan tubuh bersimbah darah. Nyawa mereka melayang
seketika. Kedua orang perempuan cantik itu sepertinya telah berubah menjadi makhluk-
makhluk haus darah yang buas. Kendati dua orang lawan kembali telah menjadi
korban senjata mereka, keduanya belum merasa puas. Pedang di tangan mereka terus
berkelebat memburu korban berikutnya.
Wuttt! Trang! "Akh!"
Lelaki brewok yang menjadi kepala tukang pukul itu masih sempat menggerakkan
pedangnya, menyambut sambaran pedang Ningrum yang mengancam perutnya. Namun
untuk itu dia terpaksa harus merasakan lengannya linu. Karena tenaga dalam lawan
masih lebih kuat dari tenaganya. Sehingga, kuda-kudanya tergempur mundur
beberapa langkah.
Ningrum sendiri tampaknya tidak mau bertele-tele. Pedang di tangannya berputar
cepat bersilangan dua kali. Sehingga, lawan yang belum siap memperbaiki
kedudukannya terpaksa hanya bisa terpekik saat mata pedang membeset tubuhnya.
Brettt! "Aaargh...!"
Lelaki brewok itu meraung keras. Darah segar muncrat membasahi permukaan tanah.
Tubuh kekar itu langsung ambruk dan tewas. Dua buah luka memanjang yang dalam di
dada dan perut membuat dirinya tak mampu lagi bertahan hidup.
Pada saat yang hampir bersamaan, tukang pukul yang tinggal seorang itu pun
mengakhiri nyawanya di ujung pedang lawan. Sehingga, dalam beberapa jurus saja
enam orang tukang pukul yang biasa menyombongkan kepandaiannya itu, harus
menyerahkan nyawa di tangan dua orang perempuan cantik. Benar-benar sukar untuk
dipercaya! Empat orang tukang pukul yang lengannya putus sebatas pergelangan, menatap
ketakutan. Kematian kawan-kawan mereka bagaikan mimpi buruk yang sukar
dipercaya. Namun, kenyataan itu jelas-jelas terpampang di depan mata mereka. Tidak bisa
dibantah lagi! "Hm...!"
Setelah menyelesaikan perlawanan para tukang pukul yang mengeroyok, kedua orang
perempuan cantik yang haus darah itu memalingkan wajah dengan dengusan kasar.
Karuan saja wajah empat orang tukang pukul itu semakin ketakutan.
"Celaka...!" desis salah seorang dari mereka yang mulai berkeringat dingin.
Karena kedua kakinya sukar sekali untuk diajak berlari meninggalkan tempat itu.
Matanya hanya bisa menatap putus asa menunggu maut yang siap menjemput.
Hai itu juga dialami tiga orang tukang pukul lainnya. Kedua kaki mereka yang
gemetar, sulit sekali untuk digerakkan. Kekejaman kedua perempuan itu benar-
benar telah membuat keberanian dan kegalakan mereka terbang entah ke mana.
Sekarang mereka hanya bisa menatap putus asa menanti kematian.
"Sebaiknya kita habisi saja mereka...," ujar Wilasih dengan sorot mata
memancarkan dendam dan kebencian yang dalam.
Ningrum sama sekali tidak menyahut. Hanya kepalanya yang mengangguk sebagai
tanda setuju. Karena dia memang sudah bertekad untuk membasmi habis seluruh
makhluk hidup di dalam rumah besar itu. Jangankan manusia. Hewan peliharaan pun
akan dihabisi jika tampak di depan matanya. Sepertinya rasa benci telah terbakar
hebat dalam hati perempuan itu.
"Ampun...! Ampunkan kami, Nisanak...!"
Karena rasa takut demikian kuat menghantui perasaan mereka, tanpa malu-malu
keempat tukang pukul itu saling menjatuhkan tubuh dan berlutut di depan dua
perempuan cantik yang tampak beringas itu.
Namun, ucapan itu justru semakin membakar kebencian di hati Ningrum dan Wilasih.
Dengan langkah perlahan mereka bergerak maju. Dan....
Wuttt! Crak! Crak...! Empat buah kepala langsung menggelinding lepas dari leher mereka. Benar-benar
sadis sekali! Kedua perempuan cantik itu sanggup memenggal kepala lawan dengan
bibir tersenyum sinis!
"Mari kita cari Sidanta keparat itu...," ajak Ningrum seraya memutar tubuh dan
bergerak memasuki bangunan. Tanpa menjawab, Wilasih langsung mengikuti langkah
Ningrum.

Pendekar Naga Putih 75 Perempuan Perempuan Lembah Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terdengar jerit kemauan susul-menyusul dari dalam rumah besar itu. Tampaknya
Ningrum dan Wilasih sudah seperti bukan manusia lagi. Siapa saja yang ditemui,
langsung dibantai tanpa ampun! Rupanya kemarahan mereka belum terlampiaskan.
Tidak lama kemudian, terlihat keduanya melesat ke luar bangunan. Seorang pemuda
tampan bertubuh tegap terlihat tak berdaya diseret kedua orang perempuan kejam
itu. Di kedua sisi kepala pemuda itu tampak mengalir darah segar yang tak henti.
Darah itu berasal dari telinga yang telah kehilangan daunnya. Rupanya Ningrum
dan Wilasih telah membabat putus daun telinga pemuda itu.
"Apa yang kau rasakan sekarang masih belum cukup, Sidanta! Kau harus merasakan
betapa sakitnya sebuah penderitaan...!" geram Ningrum sambil terus menyeret
tubuh pemuda yang hanya bisa merintih kesakitan itu.
Tiba di luar bangunan, mereka langsung mengerahkan ilmu lari cepat. Tidak
dipedulikan lagi betapa tubuh Sidanta terguncang-guncang terseret di tanah.
Rupanya rasa sakit hati telah membuat perempuan-perempuan cantik itu berubah
buas dan biadab.
*** "Itu mereka datang...!"
Wanita cantik berpakaian merah muda yang tengah duduk itu bergegas bangkit, lalu
menunjuk ke satu arah. Sedangkan gadis desa yang duduk di sebelahnya turut
bangkit. Wajahnya yang masih agak pucat dengan sepasang mata bengkak karena
terlalu banyak menangis, menatap dengan kening berkerut.
"Kakang Sidanta..."!"
Bibir gadis desa itu bergetar perlahan mengucapkan nama Sidanta. Seketika itu
juga kesenduan wajahnya berubah garang. Kilatan dendam tergambar jelas pada
wajah dan tatapan matanya. Langkahnya bergerak maju menyambut kedatangan Ningrum
dan Wilasih yang menyeret tubuh seorang pemuda yang tak lain Sidanta.
"Hm..., bagaimana, Adik Manis" Apa hasil kerja kami belum memuaskan...?" tanya
Ningrum sambil melemparkan begitu saja tubuh Sidanta ke hadapan gadis cantik
itu. "Winarti..."!"
Pemuda tampan bertubuh kekar yang bernama Sidanta itu menatap sosok gadis cantik
di depannya sembari menekap kedua telinganya yang sudah tak berdaun lagi.
"Hmh...!"
Gadis desa yang dipanggil Winarti hanya mendengus kasar. Sorot matanya tak lagi
menyiratkan keluguan. Bahkan telah berubah garang! Siap menumpahkan dendam dan
sakit hatinya. "Kau masih ingat padaku, Sidanta...?" tegur Winarti dengan tarikan bibir penuh
ejekan. "Bagus! Dengan demikian, berarti kau pun tahu bagaimana rasanya
dicampakkan seperti sampah oleh orang yang sangat dicintai...!"
Setelah berkata demikian Winarti melangkah maju dengan mata menatap penuh
perasaan dendam.
"Winarti...! Apa yang akan kau lakukan kepadaku" Bagaimana kau bisa berkawan
dengan perempuan-perempuan setan itu?" tanya Sidanta dengan wajah pucat. Tentu
saja disadari betapa bekas kekasihnya itu sudah siap untuk membalas sakit
hatinya. "Hm.... Menurut perkiraanmu, apa yang akan kulakukan terhadap dirimu, Sidanta"
Apa kau kira tubuhku, akan kuserahkan lagi kepadamu?" ujar Winarti yang saat itu
benar-benar telah kehilangan sifat aslinya. Gadis itu seolah-olah telah berubah
menjadi makhluk haus darah yang siap mereguk darah dari tubuh Sidanta.
"Apa maksudmu, Winarti" Bukankah apa yang pernah kita lakukan atas dasar suka
sama suka" Aku..., aku sama sekali tak pernah memaksamu, bukan?" Sidanta masih
juga hendak membela diri dan tak mau mengakui kesalahannya.
"Memang benar semua itu kita lakukan atas dasar suka sama suka! Tapi, setelah
kau rayu aku dengan janji-janji muluk. Setelah itu kau hendak meninggalkan aku!
Huh! Tak semudah itu, Sidanta! Kini kau akan merasakan buah dari kebejatanmu itu!"
ujar Winarti yang langsung menyambar cambuk di pinggang Ningrum. Kemudian
melecutkannya sekuat tenaga ke tubuh Sidanta.
Ctarrr! Ctarrr...!
"Auuugh...!"
Sidanta terjingkat akibat sengatan ujung cambuk itu. Tubuhnya bergulir ke kanan.
Rasa sakit membuat Sidanta mengeluh dan mengerang keras. Meskipun Winarti tak
memiliki tenaga dalam, lecutan cambuk itu sudah cukup menyiksa bagi Sidanta.
"Bagus, Winarti! Lakukan sepuasmu..!" Ningrum memberikan dorongan semangat
dengan bibir tersenyum. Seakan-akan dia bersama dua orang kawannya sangat
menikmati pemandangan itu.
Winarti sendiri sudah seperti gila. Sambil menahan isaknya, dia terus melecutkan
cambuk ke tubuh Sidanta. Sehingga, pemuda itu terpekik keras, setiap kali ujung
cambuk menyengat tubuhnya.
Beberapa bagian tubuh Sidanta tampak sudah matang biru dan mengeluarkan darah.
Rasanya tentu saja sangat pedih. Sampai-sampai Sidanta tak mampu menahan air
mata karena merasakan sakit yang luar biasa pada sekujur tubuhnya.
Namun ketika untuk yang kesekian kalinya Winarti hendak melecut tubuh Sidanta,
tiba-tiba ada sesosok bayangan putih berkerlebat. Dengan cepat sosok bayangan
itu menangkap ujung cambuk yang diayunkan Winarti.
"Lepas...!"
Disertai sebuah bentakan, sosok bayangan putih itu langsung menyentakkan ujung
cambuk yang telah digenggamnya. Winarti yang tersentak kaget, tidak mampu
mempertahankan gagang cambuk yang dipegangnya.
"Akh..."!"
Sentakan yang perlahan itu membuat tubuh Winarti terhuyung limbung dan terjatuh
ke tanah. Tampaknya sosok bayangan putih itu tahu kalau si pemegang cambuk bukan
seorang ahli silat. Terbukti dia menyentakkan dengan perlahan, hanya sekadar
merebut cambuk itu dari tangan Winarti.
"Pendekar Naga Putih..."!"
Ningrum dan dua orang kawannya tersentak kaget! Ketiganya bergerak mundur dengan
mata terbelalak. Baru mereka mengerti, mengapa gerak langkah sosok bayangan itu
tak sempat tertangkap pendengaran mereka. Ternyata yang datang Pendekar Naga
Putih, yang telah tersohor kedigdayaannya di kalangan rimba persilatan.
"Kiranya kalian lagi yang membuat ulah...!" ujar sosok bayangan putih yang
memang Parvji. "Persoalan apa lagi yang membuat kalian tega menyiksa pemuda ini
sedemikian rupa?"
"Pendekar Naga Putih! Seharusnya kau tak mencampuri urusan ini! Karena yang
tengah kami siksa adalah seorang pemuda keparat yang kerjanya mempermainkan
wanita! Dan jika kau membelanya, itu sama artinya dengan menyetujui segala perbuatan
jahat yang selama ini dilakukannya!" kilah Ningrum mencoba menggertak Pendekar
Naga Putih. Gertakan Ningrum kelihatannya cukup berhasil. Buktinya Pendekar Naga Putih
terdiam tanpa sahutan untuk beberapa saat. Hanya matanya saja yang menatap tubuh
pemuda penuh luka gores yang tergeletak tak berdaya itu. Lalu beralih ke wajah
Winarti. "Mengapa kau menyiksanya sedemikian rupa, Nisanak?" tanya Panji kepada Winarti.
Karena dia telah menduga kalau gadis manis itulah yang lebih menaruh dendam
terhadap pemuda di hadapannya. Dilihatnya tadi hanya gadis manis itulah yang
dengan bengis menyiksa pemuda yang tergeletak tak berdaya. Sedangkan tiga
perempuan cantik berpakaian merah muda yang pernah bentrok dengannya hanya
berdiri menonton dengan senyum puas.
"Dia..., dia jahat...!"
Hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Winarti. Sosok Pendekar Naga Putih
tampaknya membuat gadis itu luluh dan hilang kebengisannya. Seketika dia berubah
menjadi Winarti, si gadis desa yang lugu dan penakut.
"Apa yang telah dilakukannya terhadapmu..?" tanya Panji mendesak Winarti yang
terlihat mulai menangis. Seakan-akan gadis itu merasa takut setelah kesadarannya
pulih dan melihat tubuh Sidanta tergeletak berlumuran darah.
"Pemuda keparat itu telan memperkosanya, Pendekar Naga Putih! Jadi, sudah
sepantasnyalah kalau dia menjalani hukuman atas kebiadabannya!" selak Ningrum
cepat. "Benarkah apa yang dikatakannya itu?" tanya Panji lagi mendesak Winarti. Karena
dia belum percaya terhadap perempuan berpakaian merah muda itu yang telah
diketahui kelicikan dan kekejamannya. Berbeda dengan Winarti yang tampak lugu
dan tak berani berdusta.
"Untuk apa kami berbohong kepadamu, Pendekar Naga Putih! Jangan kau kira kami
merasa gentar kepadamu! Meski kami sadar kalau kau bukan tandingan bagi kami,
tapi tak ada rasa gentar dalam hati kami! Dan semua jawaban tadi bukan karena
kami takut terhadapmu. Ingat itu baik-baik."
Lagi-lagi Ningrum yang menjawab pertanyaan Pendekar Naga Putih. Bahkan nadanya
terdengar lebih tajam dan menunjukkan kejengkelan harinya.
"Hm...!" Panji bergumam lirih. Kemudian mengalihkan pandangannya ke sosok
Ningrum, dan menelitinya sekilas. "Kalau jawabanmu memang mengandung kebenaran,
mengapa tak kau biarkan saja gadis itu menjawab pertanyaanku?"
"Keparat sombong...!" dengus Ningrum geram. Bantahan Pendekar Naga Putih
membuatnya bungkam. Karena apa yang dikatakan pemuda itu memang benar. Mengapa
tidak dibiarkan Winarti yang menjawabnya" Mengapa dia yang merasa cemas
mendengar pertanyaan-pertanyaan Pendekar Naga Putih terhadap Winarti" Bukankah
makna jawabannya tak akan berbeda jauh"
Ningrum mendengus jengkel. Namun, ketika tatapan tajam mata pendekar muda yang
tampan itu belum juga beranjak dari wajahnya, tiba-tiba saja Ningrum merasakan
dadanya berdebar. Perlahan kedua pipinya dijalari rona merah. Menyadari
keadaannya yang tidak wajar, perempuan cantik itu memalingkan wajahnya ke tempat
lain. Dia bukan tak tahu kalau hatinya terguncang oleh sosok pendekar muda yang
tampan dan penuh ketenangan itu. Rasa kebencian yang telah berakar di dalam
hatinya seketika lenyap entah ke mana. Dan memang baru terhadap Pendekar Naga
Putih, hatinya merasa kagum dan tertarik. Apalagi ketika sepasang mata tajam itu
menatapnya berlama-lama. Ada getaran aneh yang menjalari sekujur tubuhnya dan
membuat parasnya menghangat.
Namun, tentu saja Ningrum tak akan membiarkan dirinya terseret getar asmara.
Ningrum menggigit bibirnya kuat-kuat untuk melawan pengaruh sorot mata Pendekar
Naga Putih. Pendekar Naga Putih pun bukan tak tahu kalau perasaan perempuan cantik itu
tergetar. Maka, cepat-cepat wajahnya berpaling, kembali menatap Winarti. Seolah-
olah hatinya belum merasa puas kalau tidak mendapatkan jawaban dari gadis desa
itu. 8 "Nisanak, benarkah apa yang dikatakan wanita itu?" tanya Panji, ingin
mendapatkan kepastian dari Winarti.
"Sidanta membujukku dengan janji-janji manis. Kemudian... aku... aku menyerahkan
apa yang dimintanya. Tapi..., dia malah pergi setelah segalanya kuberikan...."
Akhirnya, meskipun dengan susah payah, keluar juga jawaban yang ditunggu
Pendekar Naga Putih dari gadis desa itu.
"Tapi, tidak adakah jalan yang lebih baik, selain menyiksanya seperti itu"
Bukankah kau bisa meminta pertanggungjawabannya secara baik-baik?" tanya Panji
ingin tahu bagaimana pendapat gadis cantik itu terhadap pertanyaan yang
dilontarkannya.
"Sidanta..., akan menikah dengan perempuan lain. Mereka berdua sama-sama dari
keluarga terhormat. Tidak sepertiku yang miskin dan bodoh. Dia... membuat aku
menderita dan putus asa...," jawab Winarti lagi sambil terisak. Seolah-olah
gadis itu belum mampu untuk melenyapkan kesedihan setiap kali teringat akan
kepahitan yang pernah dialaminya
"Hm..., lalu kau meminta kepada mereka untuk menyeret kekasihmu ini, dan
menyiksanya sampai sekarat..?"
"Cukup, Pendekar Naga Putih!" Ningrum yang sudah tak sabar, langsung menyelak.
Kakinya melangkah lebar lalu menarik lengan Winarti, menjauhi pemuda tampan
berjubah putih itu.
Pendekar Naga Putih tidak berusaha mencegah tindakan Ningrum. Dia justru
berpaling dan menatap tubuh Sidanta yang masih merintih kesakitan. Baru kemudian
memandang Ningrum dan kawan-kawannya.
"Kendati niat kalian baik, cara yang kalian tempuh tak bisa kubenarkan. Selagi
masih bisa menempuh jalan damai, tak layak kalian berbuat sekehendak hati.
Selain itu, aku ada sedikit pertanyaan untuk kalian bertiga...," ujar Panji
seraya menatap tajam wajah ketiga perempuan cantik berpakaian merah muda itu.
"Maaf, kami tak punya waktu untuk meladenimu, Pendekar Naga Putih! Biarlah kami
mengalah dengan tak membunuh pemuda keparat itu. Nah, selamat tinggal...!"
Setelah berkata demikian, Ningrum memberikan isyarat kepada kawan-kawannya.
Perempuan cantik itu sendiri sudah melesat pergi dengan membawa tubuh Winarti
Tapi... "Tunggu...!"
Pendekar Naga Putih yang merasa masih mempunyai kepentingan dengan
perempuan-perempuan itu, langsung saja berseru mencegah. Bahkan tubuhnya
melenting ke atas, lalu meluncur dengan cepat setelah berputaran beberapa kali
di udara. Jliggg! Ningrum terpaksa menahan langkahnya ketika melihat tubuh Pendekar Naga Putih
telah berdiri tegak menghadang di depan. Tentu saja tindakan pendekar muda itu
membuat kemarahannya bangkit. Semua kekaguman dan rasa sukanya terhadap pemuda
itu ditekan sekeras mungkin. Sikapnya tetap dingin dan tanpa perasaan.
"Mengapa kau masih juga menghalangi kepergian kami. Pendekar Naga Putih?"
tegur Ningrum sambil meraba gagang pedang di punggungnya. Jelas perempuan cantik
dari Lembah Hitam itu telah siap bertindak keras.
"Sudah kukatakan tadi, aku memiliki sedikit kepentingan dengan kalian
bertiga...,"
sahut Panji. Sinar matanya menghunjam tepat di kedua bola mata Ningrum yang
tampak sangat gelisah.
"Apa yang kau inginkan dari kami...?" tanya Ningrum ketus sambil berusaha
menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Dia terpaksa mengalah karena sadar
tak mungkin mampu melepaskan diri dari kejaran pendekar muda itu. Melarikan diri
dari Pendekar Naga Putih merupakan perbuatan bodoh. Karena pemuda itu pasti
dapat menyusulnya.
"Hendak kau bawa ke mana gadis itu?" tanya Panji dengan sinar mata mencorong
tajam, membuat hati Ningrum kian bergetar. Sinar mata pemuda tampan itu
dirasakan begitu berpengaruh dalam jiwanya.
"Aku... sudah berjanji untuk membawanya ke tempat tinggal kami. Dan dia sendiri
sudah setuju. Kalau tak percaya, boleh kau tanyakan kepadanya...," sahut Ningrum
menyembunyikan kegelisahannya. Karena disadari kalau Pendekar Naga Putih tak
dapat dikelabui. Dan, kemungkinan besar tugasnya kali ini akan menemui kegagalan
di tangan pendekar muda yang sakti itu.
"Hm..., jadi selain memusuhi tokoh-tokoh muda persilatan, ternyata kalian pun
merupakan pelaku penculikan terhadap gadis-gadis muda. Nah, apa tuduhanku
terhadap kalian salah...?" tukas Panji. Dia langsung menduga, ketiga perempuan
kejam itulah pelaku penculikan terhadap wanita-wanita muda.
"Kami tak menculik mereka! Tapi mengajaknya untuk bergabung dengan kami!"
bantah Ningrum dengan suara keras. Sepasang matanya mulai melirik ke kiri dan
kanan mencari jalan untuk dapat lolos dari Pendekar Naga Putih.
"Itu anggapan kalian! Tapi, bagaimana dengan orangtua gadis-gadis yang kau ajak
pergi itu" Mereka yang kehilangan anak-anak gadisnya, tentu saja menganggap
perbuatan kalian merupakan tindakan penculikan. Dan, hal itu tak bisa kudiamkan
begitu saja. Meski baru sekadar dugaan, aku yakin kalau kalian akan menjejalkan kebencian di
hati mereka terhadap laki-laki. Bukankah itu yang kalian inginkan?" tukas Panji
tak mau kalah. Hatinya semakin yakin ketika melihat perempuan bertahi lalat di
sudut bibir kanannya itu tak bisa membantah lagi.
Sadar bahwa semua kedok mereka sudah terbuka, Ningrum dan kawan-kawannya tak
berpanjang kata lagi. Jemari tangan mereka langsung meraba gagang pedang. Bahkan
ketiganya telah bergerak dari tiga jurusan mengepung Pendekar Naga Putih.
Siiing! Siiing...!
Terdengar suara berdesingan susul-menyusul. Tiba-tiba di tangan ketiga perempuan
cantik itu telah tergenggam sebatang pedang. Kemudian diputar dengan kecepatan
penuh di atas kepala hingga menimbulkan angin yang menderu-deru. Ketiganya jelas
telah siap untuk mengeroyok Pendekar Naga Putih.
"Hm..., begini lebih bagus...," gumam Panji sambil memperhatikan gerak langkah
ketiga lawannya. Sejauh itu dia belum melakukan gerakan sedikit pun. Karena
pendekar muda itu sudah bisa mengukur sampai di mana kekuatan ketiga orang
pengeroyoknya itu.
"Haiiit...!"
"Hiaaa...!"
Ningrum yang berada di sebelah kanan Pendekar Naga Putih, berteriak nyaring.
Tubuhnya melesat dengan kecepatan tinggi. Pedang di tangannya berputaran cepat
bagaikan baling-baling. Sekali bergerak, perempuan cantik itu langsung
mengirimkan serangkaian serangan yang mematikan. Benar-benar berbahaya sekali!
Karena sebelumnya Pendekar Naga Putih pernah bertarung melawan mereka, serangan


Pendekar Naga Putih 75 Perempuan Perempuan Lembah Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ningrum dengan mudah dapat dikandaskan. Tubuh pemuda itu bergerak menyelinap di
antara sambaran mata pedang lawannya.
Melihat gerakan lawan, Ningrum semakin memperhebat serbuannya. Tampak dua
perempuan berpakaian merah muda lainnya sudah merangsek ke tengah arena. Kilatan
putih dan suara desingan pedang datang bertubi-tubi mengancam tubuh Pendekar
Naga Putih. Namun, sampai beberapa jurus kemudian, serangan ketiga orang
pengeroyok itu belum menunjukkan hasil. Padahal Pendekar Naga Putih masih
mengambil sikap mengalah dengan jalan menghindar.
Setelah merasa cukup memberi kesempatan kepada lawan-lawannya, baru
Pendekar Naga Putih membuka serangan. Kedua tangannya bergerak cepat melakukan
tamparan dan tangkisan. Sehingga, dalam beberapa jurus saja ketiga orang
pengeroyok itu dibuat kelabakan. Serangan-serangan mereka tak lagi terarah
dengan baik. Pemusatan pikiran mereka terganggu oleh hembusan angin dingin
menggigit tulang yang datang mengiringi setiap tamparan dan tangkisan tangan
Pendekar Naga Putih. Sehingga...
"Hiaaa...!"
Plak! "Akh...!"
Salah satu dari tiga perempuan cantik berhati kejam itu terpekik kesakitan.
Tubuhnya terlempar keluar dari arena pertempuran. Tamparan yang mendarat di
punggungnya, membuat tubuhnya terbanting tak sadarkan diri.
"Haiiit...!"
Pada saat Pendekar Naga Putih hampir berhasil mengakhiri perlawanan kedua orang
perempuan itu, tiba-tiba melesat sesosok bayangan merah yang memapak serangan
Pendekar Naga Putih.
Plak! Plak! "Hei..."!" terdengar seruan kaget terlontar dari mulut Pendekar Naga Putih.
Tubuh Pendekar Naga Putih sekali lagi meluncur disertai pekikan keras
menggelegar. Serangkum angin dingin berhembus keras, membuat kedua orang lawan
tersentak kaget. Mereka berusaha mengelak dari tamparan pemuda itu. Namun, ke mana pun mereka bergerak, telapak tangan Pendekar Naga Putih terus mengejar.
Sampai akhirnya mereka tersudut dan tak mungkin dapat menghindar lagi.
Tapi.... "Heaaa...!"
Pada saat Pendekar Naga Putih hampir berhasil mengakhiri perlawanan kedua orang
perempuan cantik itu, tiba-tiba terdengar suara lengkingan panjang yang
memekakkan telinga. Belum lagi gema suara itu lenyap, sesosok bayangan merah
muda telah melesat ke tengah arena. Bayangan merah itu langsung menyambut
serangan Pendekar Naga Putih yang nyaris berhasil itu. Hingga...
Plak! Plak! "Hei..."!"
Terdengar suara benturan yang mirip ledakan. Pendekar Naga Putih sempat
terpekik. Karena lengannya dirasakan bergetar akibat benturan keras itu.
Sehingga, tubuhnya melompat mundur dan meluncur turun beberapa tombak dari arena
pertempuran. "Kau..."!"
Pendekar Naga Putih tersentak kaget ketika melihat siapa yang telah
menyelamatkan kedua lawannya barusan. Seraut wajah buruk yang seperti bekas luka
bakar itu membuat Panji mengerutkan kening dalam-dalam. Karena sosok tubuh
ramping berwajah buruk itu pimpinan para perempuan-perempuan cantik yang telah
menculik banyak gadis muda rimba persilatan.
"Kita bertemu lagi, Pendekar Naga Putih...!" ujar sosok berwajah buruk itu
dengan wajah dingin. Sulit sekali menduga perasaan apa yang saat itu ada dalam
hatinya. Karena luka bakar itu membuat wajahnya seolah-olah tak menggambarkan
perasaan apa pun.
"Ya, kita bertemu lagi, Nisanak! Tapi kali ini aku tak akan membiarkanmu pergi
begitu saja. Perbuatanmu sudah melampaui batas dan membuat keresahan bagi orang
banyak...," ujar Panji seraya bergerak maju. Langkahnya berhenti ketika jarak di
antara mereka hanya terpisah sekitar satu tombak.
"Aku pun datang bukan dengan niat untuk berbincang denganmu, Pendekar Naga
Putih. Perbuatanmu kali ini membuatku harus mengambil keputusan untuk
melenyapkan dirimu. Keberadaan dan keusilanmu telah membuat kami susah...,"
tukas wanita berwajah buruk itu menatap sosok Pendekar Naga Putih dengan
kebencian yang dalam.
"Bagus! Kalau begitu, mari kita selesaikan secepatnya persoalan ini...!" ujar
Panji yang sudah menggeser langkah ke kanan. Sadar kalau kepandaian lawan tidak
rendah, dia bersikap lebih hati-hati.
"Hmh...!"
Perempuan berwajah buruk itu mendengus kasar. Lalu dia tampak membuka jurus,
siap bertarung melawan Pendekar Naga Putih. Gerakannya terlihat mantap dan
seperti mengandung kekuatan tenaga dalam yang hebat. Bahkan dari tatapan
matanya, perempuan berwajah buruk itu tampak bertekad hendak melenyapkan
Pendekar Naga Putih yang memang selalu menentang segala tindak kejahatan.
"Ciaaat..!"
Diiringi pekikan melengking, perempuan berwajah buruk itu membuka serangan
dengan serangkaian pukulan maut yang menimbulkan desiran angin keras. Nampaknya
dia langsung menggunakan jurus-jurus andaian dalam menggempur Pendekar Naga
Putih. Terbukti pukulan-pukulannya begitu gencar seperti mengandung kekuatan dahsyat.
Pendekar Naga Putih tampaknya tahu kalau kesaktian lawan sangat hebat. Segera
dikerahkannya jurus 'Ilmu Silat Naga Sakti'. Seketika hawa dingin menusuk tulang
menyebar menyelimuti arena pertarungan. Sebentar saja kedua tokoh sakti itu
telah terlibat dalam sebuah pertempuran sengit.
Setelah berjalan selama kurang lebih empat puluh jurus, Pendekar Naga Putih
tampak mulai menguasai lawannya. Kecepatannya yang berada dua tingkat di atas
lawan, membuat serangan-serangannya lebih banyak dari gencarnya serangan lawan.
Bahkan dengan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' nya yang berhawa dingin menggigit,
Pendekar Naga Putih dapat membuat tubuh lawannya terkurung dan kacau gerakannya.
Hingga, pada satu kesempatan baik, Panji berhasil menyarangkan sebuah pukulan ke
tubuh lawan. "Heaaa...!"
Plak! Brettt...!
"Aihhh..."!"
Perempuan berwajah buruk itu terpekik kaget. Meskipun berhasil menepis
cengkeraman tangan kanan, namun tamparan tangan kiri Panji telah membuatnya
terdorong ke belakang.
Sementara Pendekar Naga Putih sendiri sempat merasa terkejut. Tebasan tangan
kirinya yang kemudian dirubah menjadi cengkeraman, telah mengenai wajah lawan.
Dan kini di tangannya tergenggam sebuah topeng karet yang sangat tipis. Tentu
saja hatinya heran bukan main.
'"Kupu-kupu Berbisa'..."!" seru Panji ketika menatap wajah yang kini tertutup
kain dari bagian hidung ke atas.
Pendekar Naga Putih pernah mendengar tentang tokoh wanita sakti yang
mengenakan ciri khas demikian. Namun, sepanjang pengetahuannya, tokoh sakti itu
telah lama tidak menampakkan diri di dunia persilatan. Tokoh perempuan yang
sakti itu sebenarnya angkatan tua yang sezaman dengan gurunya. Itulah yang
membuat dirinya hampir tak percaya. Karena Kupu-kupu Berbisa yang kini berada di
hadapannya ternyata memiliki raut wajah seorang perempuan muda.
"Siapakah kau, Nisanak" Mengapa kau memalsukan Kupu-kupu Berbisa?" tanya Panji
yang merasa heran melihat tokoh sesat wanita angkatan gurunya ternyata masih
demikian muda. "Akulah Kupu-kupu Berbisa! Hi hi hi... Aku tak memalsukan siapa-siapa...!" tukas
perempuan yang semula dengan topeng berwajah buruk.
"Tidak mungkin! Kupu-kupu Berbisa telah berusia di atas enam puluh tahun. Lalu,
bagaimana mungkin kau yang baru sekitar dua puluh tahun mengaku sebagai Kupu-
kupu Berbisa" Jelas kau mengada-ada!" bantah Panji tidak percaya akan pengakuan
perempuan cantik itu.
"Memang benar apa yang kau katakan itu. Pendekar Naga Putih! Aku melanjutkan
julukan guruku. Beliau telah wafat setengah tahun silam. Dan mewariskan julukan
Kupu-kupu Berbisa kepadaku. Jelas?" lanjut Kupu-kupu Berbisa menjelaskan.
"Sekarang, bersiaplah untuk mati!"
"Yeaaat...!"
Panji yang termangu mendengar jawaban lawannya, bergerak menarik mundur
langkahnya ke belakang. Kemudian langsung membalas serangan lawan dengan tidak
kalah hebat. Sehingga, pertarungan pun kembali berlanjut, dengan seru.
Sementara itu, di bagian lain telah pula terjadi pertarungan. Tokoh-tokoh
persilatan yang jumlahnya tak kurang dari tiga puluh orang, menggempur Ningrum
dan kawan-kawannya. Pimpinan dari tokoh-tokoh persilatan itu ternyata Gupta dan
Rancaka. Rupanya mereka telah pula tiba di tempat itu. Dan menemukan musuh yang selama
ini dicari-cari, mereka langsung menggempur tanpa banyak tanya lagi.
Di pihak Kupu-kupu Berbisa, terdapat tiga orang wanita cantik berpakaian serba
hijau dan empat orang lelaki kekar pemikul tandu. Ditambah dengan Ningrum dan
dua orang kawannya. Pengikut tokoh sesat itu berjumlah sembilan orang. Mereka
menyambut serbuan tokoh-tokoh persilatan itu dengan senjata terhunus.
"Yeaaat...!"
Gupta menerjang sambil mengayunkan pedang di tangannya. Semangatnya berapi-api,
setelah sempat melihat sosok Pendekar Naga Putih yang bertarung melawan Pimpinan
Perempuan-perempuan Lembah Hitam itu. Keberadaan pendekar muda itu membuat Gupta
dan kawan-kawannya merasa yakin kalau mereka akan dapat melenyapkan para
perempuan berhati iblis itu.
Menghadapi puluhan tokoh persilatan yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi
itu, Ningrum dan kawan-kawannya terpaksa harus berjuang keras. Namun, karena
lawan tiga kali lipat jumlahnya, lama-kelamaan para perempuan kejam itu pun
terdesak hebat.
Dan satu-persatu mulai roboh berlumur darah di ujung senjata pengeroyok mereka.
"Habisi mereka semua..!"
Rancaka, lelaki kekar berwajah keras yang juga memimpin kawan-kawannya,
berteriak tak henti-henti memberikan semangat. Sehingga, Ningrum dan kawan-
kawannya semakin kewalahan. Kendati korban di pihak lawan tak sedikit yang
berjatuhan, di pihak mereka pun juga jatuh korban.
Sementara itu, Pendekar Naga Putih yang telah bertarung selama kurang lebih
empat puluh tiga jurus, mulai dapat mendesak lawannya. Kupu-kupu Berbisa sendiri
berusaha keras untuk dapat mengimbangi permainan Pendekar Naga Putih. Namun,
kepandaian yang dimiliki tokoh sesat itu masih berada beberapa tingkat di bawah
Panji. Sehingga, sekeras apa pun bertarung, tetap saja dia tidak mampu mengungguli
Pendekar Naga Putih.
"Yeaaat...!"
Pada suatu kesempatan, Pendekar Naga Putih berteriak keras mengejutkan lawannya.
Dengan kecepatan laksana sambaran kilat, serangannya meluncur. Melihat serangan
cepat itu, Kupu-kupu Berbisa tampak gugup dan tak sempat bergerak menghindar.
Sehingga.... Plakkk..! "Aaargh...!"
Blukkk! Tanpa ampun lagi, tubuk ramping terbungkus pakaian merah muda itu
terpelanting keras, dan jatuh terbanting di atas tanah. Darah segar muntah dari
mulutnya. Pukulan Pendekar Naga Putih yang mendarat di tubuhnya, membuat tokoh sesat itu
tidak sanggup untuk segera bangkit.
Melihat lawannya tergeletak dengan napas terengah-engah, Panji bergerak
menghampiri dengan sikap waspada. Pendekar Naga Putih yakin, pukulannya tadi
dapat membuat lawannya terluka parah, namun tetap tak menghilangkan
kewaspadaannya.
"Kau memang hebat, Pendekar Naga Putih...!" desah Kupu-kupu Berbisa dengan suara
lemah. Sepasang mata yang tampak dari lubang pada kain hitam itu terlihat sayu.
Pendekar Naga Putih merasa tidak tega menyaksikannya.
Wajah di balik kain itu tiba-tiba membuat kening pendekar muda itu berkerut
Hatinya merasa aneh. Meskipun hanya tampak sebagian wajah Kupu-kupu Berbisa
seperti sudah tidak asing baginya. Karena penasaran, tangannya langsung bergerak
menyambar kain hitam yang menutupi wajah perempuan itu.
"Akh...!"
Kupu-kupu Berbisa terpekik kaget. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Pendekar
Naga Putih akan berbuat demikian. Wajah cantik berkulit halus itu berpaling ke
kiri, berusaha menyembunyikan dengan kedua telapak tangannya.
"Hahhh..."!"
Panji tersentak kaget. Tiba-tiba wajahnya memucat tegang. Meskipun kini wajah
perempuan itu telah tertutup kedua belah telapak tangan, dia sempat mengenalinya
dengan baik. Karena gerakan Kupu-kupu Berbisa agak terlambat.
"Kau.., kau... Suntini..."!" desis Panji hampir tak percaya dengan apa yang
disaksikannya. Memang, Kupu-kupu Berbisa itu adalah Suntini! Gadis cantik yang beberapa hari
lalu menemui Pendekar Naga Putih dan mengemis cintanya. Karena sudah terbongkar
rahasianya, Kupu-kupu Berbisa bergegas menurunkan kedua telapak tangannya.
Kemudian ditatapnya wajah Pendekar Naga Putih dengan mata sayu.
"Mengapa..., mengapa kau melakukan semua ini, Suntini...?" tanya Panji tak
mengerti. "Seharusnya akulah yang bertanya, Kakang. Mengapa kau menolak cintaku"
Apakah aku kurang cantik" Atau kau meragukan kesetiaanku" Kau membuatku kecewa
dan sakit hati, Kakang. Sehingga, aku menjadi benci terhadap laki-laki. Aku
bertekad untuk menyiksa ataupun membunuh mereka sebanyak-banyaknya. Aku.., aku
demikian menderita, Kakang...," rintih Suntini yang mulai mengalirkan air mata
di kedua pipinya.
Pendekar Naga Putih hanya mampu menghela napas penuh sesal. Tidak ada lagi yang
perlu dijelaskan. Suntini telah tahu perasaannya. Hatinya tak bisa menerima
gadis itu, karena tak mungkin mengkhianati Kenanga.
"Kau mengalami luka dalam yang parah, Suntini. Mudah-mudahan obat ini dapat
membuatmu merasa lebih baik...!"
Pendekar Naga Putih menyodorkan dua butir pi] kepada gadis itu. Ketika melihat
Suntini menggeleng, langsung saja dipaksanya dan memasukkan obat itu ke mulut
Suntini. "Kakang! Sekali lagi kuminta kepadamu. Aku rela meskipun harus menjadi orang
kedua yang kau cintai. Aku akan mengabdikan seluruh hidupku untukmu Kakang! Aku
tak akan menuntut banyak. Hanya itu...."
Untuk kesekian kalinya, Suntini kembali mengajukan pertanyaan senada.
Sementara Panji hanya menghela napas dalam-dalam. "Maafkan aku Suntini...!"
Hanya itu yang bisa diucapkan Panji dengan wajah menunduk. Mendengar jawaban
itu, Suntini memaksa dirinya bangkit. Ditepisnya tangan Panji yang mencoba
menolongnya. Wajah yang pucat itu menatap tajam wajah Pendekar Naga Putih.
Kelihatannya Suntini benar-benar tak bisa menerima jawaban pendekar muda itu.
Panji hanya bisa mengikuti langkah gadis malang itu dengan tatapan penuh iba.
Dia tak berusaha mencegah, karena takut Suntini kembali salah menafsirkan. Meski
dengan sangat terpaksa, Panji membiarkan Suntini melangkah terseret-seret
meninggalkan tempat itu. Karena gadis itu bersikeras tak ingin ditolong. Kecuali
Panji bersedia menerima uluran cintanya.
"Pendekar Naga Putih!" seorang lelaki gagah benari mendatangi Panji. "Bukankah
perempuan itu pimpinan mereka" Mengapa kau biarkan pergi...?"
"Jangan ganggu dia, Gupta...!" ujar Panji singkat tanpa penjelasan kepada Gupta.
"Tapi, kita masih memerlukannya untuk menemukan gadis-gadis yang mereka culik"
Karena penculikan itu ulah mereka juga, Pendekar Naga Putih...!" sahut Gupta
membuat Panji terkejut. Namun ketika hendak mengejar Suntini, terdengar suara
halus menahan langkah mereka berdua.
"Mereka membawa gadis-gadis itu ke Lembah Hitam..."
Serentak Panji dan Gupta menoleh. Ucapan ternyata dikeluarkan dari mulut Winarti
yang tengah berdiri kebingungan. Wajah manis dan tampak mendung itu membuat
Gupta terpana. Tatapan matanya terhunjam lekat ke wajah Winarti, membuat gadis
manis itu tersipu.
Tanpa ragu lagi Gupta melangkah menghampiri Winarti. Tatapannya tak beralih dari
wajah manis itu. Gupta tak berusaha menyembunyikan rasa tertariknya terhadap
gadis itu. "Kau sendiri hendak ke mana, Nisanak?" tanya Gupta lembut dengan tatapan penuh
kasih yang tulus.
"Aku tidak tahu...," sahut Winarti tertunduk malu "Mungkin aku harus kembali ke
desa. Tinggal bersama paman dan bibi yang selama ini merawatku"
"Pendek...," Gupta tidak,melanjutkan kalimatnya, karena saat wajahnya menoleh,
sosok Pendekar Naga Putih telah lenyap dari tempat itu. Sehingga Gupta kembali
berpaling kepada Winarti.
"Ikutlah bersama kami ke Lembab Hitam, Nisanak. Setelah itu, aku akan
mengantarkanmu. Juga gadis-gadis desa yang diculik perempuan-perempuan Lembah
Hitam itu...," ujar Gupta menawarkan sembari menyentuh lembut bahu Winarti.


Pendekar Naga Putih 75 Perempuan Perempuan Lembah Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Senyum di bibir lelaki itu mengembang, karena Winarti tak berusaha menghindar.
Itu berarti Winarti tahu perasaannya dan tak menolak.
Gupta dan Rancaka kemudian berembuk. Lalu mereka mengajak kawan-kawan yang masih
hidup untuk pergi ke Lembah Hitam guna menyelamatkan gadis-gadis desa yang
berada di tempat itu. Gupta juga memerintahkan beberapa kawannya untuk
mengantarkan pemuda bernama Sidanta ke desanya.
"Mari ikut kami...!" ajak Gupta kepada Winarti.
"Namaku Winarti...," sahut Winarti seraya tersenyum manis kepada lelaki gagah
itu. Kelihatan sekali betapa sinar mata yang semula redup itu telah kembali
hidup. Tampaknya Winarti menerima uluran tangan Gupta.
Gupta, Rancaka, Winarti, dan tokoh-tokoh persilatan yang masih selamat, bergerak
menuju Lembah Hitam. Tempat yang sudah ditinggalkan penghuninya itu masih harus
mereka datangi. Karena di sana banyak gadis-gadis muda yang harus segera
diselamatkan. SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Bende Mataram 1 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 Karya Marshall Naga Pembunuh 12
^