Dendam Dalam Titisan 1
Wiro Sableng 100 Dendam Dalam Titisan Bagian 1
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya : Bastian Tito
Episode DENDAM DALAM TITISAN
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ SATU Ucapan orang berpakaian dan bercadar kuning untuk beberapa lamanya mengiang di
telinga Bidadari Angin Timur. Hatinya diharu biru oleh berbagai perasaan. "Tidak
ada yang paling bahagia di dunia ini selain menolong orang yang kita
cintai....'' "Aku memang mencintai dirinya sepenuh dan setulus hati. Namun kalau kasihnya
bukan untuk diriku" Kusaksikan dengan mata kepala sendiri dia bercinta dengan
Ratu Duyung di tepi telaga. Apakah hati ini masih mau untuk menolong" Jika
kemudian hari hanya memberi jalan dia diambil oleh gadis lain....?"
Orang bercadar di samping Bidadari Angin Timur yang tadinya siap bergerak kini
berpaling heran campur jengkel. "Gadis berambut pirang! Apa lagi yang membuatmu
bimbang"! Aku sudah siap bergerak. Kalau kau ingin orang yang kau cintai selamat
dan jika tidak mau melihat rimba persilatan ditimpa malapetaka besar lebih baik
kau segera berbuat!
Jangan menangis jika akhirnya kau menemui penyesalan hebat!"
Bidadari Angin Timur menatap sepasang mata orang yang tegak di hadapannya.
Yang dilihat saat itu seolah dua mata biru Ratu Duyung. Membuat rasa benci
membakar dirinya. Lalu tiba-tiba muncul bayangan wajah Pendekar 212 Wiro
Sableng. "Aku bicara penghabisan kali! Orang pandai sepertimu tidak boleh tertipu oleh
suara hati! Kalau kau tak sudi aku pun tak perduli!" kata orang bercadar dengan
ucapan yang selalu berpantun. Dia bergerak hendak memutar diri.
"Aku...." Bidadari Angin Timur akhirnya anggukkan kepala. "Aku siap!" Gadis
jelita ini tabahkan sikap dan kuatkan hati.
Begitu mendengar ucapan Bidadari Angin Timur orang bercadar segera bergerak ke
kanan. Berjalan tiga langkah lalu laksana terbang tubuhnya berkelebat cepat ke
arah Puti Andini yang saat itu bersama Panji berlindung di balik pohon dan semak
belukar. Seperti diperintahkan kakek botak, sepasang muda mudi ini terpaksa
menunggu di tempat itu. Si kakek merasa perlu menyelidik apa yang terjadi di
dalam rimba belantara yakni ketika berlangsung bentrokan hebat antara Sinto
Gendeng dan Sabai Nan Rancak sampai-sampai terbakarnya pepohonan. Selain itu dia
juga berusaha mencari tahu siapa adanya bayangan seseorang yang rnengundang
kecurigaan dan tahu-tahu muncul di sekitar situ.
Selagi menunggu itulah orang bercadar muncul dari balik semak belukar di sebelah
kanan. Panji hanya merasa sambaran angin yang membuat dirinya terhuyung dua
langkah. Di sampingnya Puti Andini masih sempat melihat berkelebatnya satu bayangan
kuning lalu merasakan satu tepukan di bahu kanannya. Dalam kagetnya gadis ini
gerakkan kedua tangan untuk mendorong orang yang disangkanya hendak menyerang.
"Breett!"
Gerakan Puti Andini luar biasa ringannya. Ini adalah berkat hawa sakti yang
memancar dari Pedang Naga Suci 212 yang saat itu ada di balik pakaiannya.
Walaupun dia tidak berhasil menyentuh tubuh namun Puti Andini masih sempat
merobek pakaian orang itu. Selagi dia berusaha mengejar tiba-tiba terdengar
teriakan Panji.
"Puti! Awas di samping kirimu!"
Pemuda ini melompat ke depan. Namun ada selarik angin kencang menahan gerakan
yang membuatnya terjengkang di tanah walau dia tidak mengalami cidera apa-apa.
Dendam Dalam Titisan
1 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Dengan cepat Puti Andini memutar tubuhnya ke kiri. Tapi kali ini dia masih kalah
cepat. Dia mencium bau sangat harum lalu ada orang berpakaian biru mendorongnya
ke belakang. Orang ini memiliki rambut panjang berwarna pirang yang melesat
demikian rupa menutupi mata hingga Puti Andini tidak sempat melihat wajahnya.
Selagi mengimbangi diri dia merasakan ada sentuhan halus pada bagian pinggang
sebelah kiri. Lalu si bayangan biru melesat ke kanan dan lenyap di balik pohon
besar. "Puti, kau tak apa-apa...?" tanya Panji seraya bangkit berdiri dan memegang
lengan gadis itu.
"Aku...." Puti Andini mendadak melihat baju hijau milik Panji yang dikenakannya
tersibak di bagian pinggang. Cepat dia meraba bagian tubuh itu. Lalu terpekiklah
gadis ini. Ada apa"!" tanya Panji yang melihat perubahan pada wajah si gadis.
"Pedang Naga Suci 212!" jawab Puti Andini dengan suara bergetar dan wajah pucat
pasi. "Senjata itu lenyap! Pasti si bayangan biru tadi yang mencurinya!" Si
gadis merasa sekujur tubuhnya menjadi lemas. Sampai-sampai dia jatuh terduduk
dan bersimpuh di tanah. Bahunya turun naik. Dadanya sesak menahan tangis. Dia
memandang berkeliling dengan mata nya lang membelalak.
"Sebelumnya aku menanyakan tentang pedang itu padamu. Kau tak mau menjawab.
Aku tidak tahu kalau kau menyimpannya di balik pakaian. Aku sama sekali tidak
melihat gagangnya menyembul. Lagi pula kulihat orang berpakaian biru tadi lenyap
tidak membawa pedang. Betapapun cepat gerakannya masakan aku tidak bisa melihat
pedang yang dicurinya. Coba kau periksa dulu. Mungkin masih ada...."
"Kau mana tahu bentuk pedang itu!" jawab Puti Andini jengkel. Lalu meraba-raba
sekitar pinggang dan perutnya. Gad is ini gelengkan kepala. Wajahnya ditutup
dengan kedua tangan. Tangisnya hampir meledak. Panji berusaha membujuk. Saat
itulah tiba-tiba menggelegar satu bentakan dahsyat.
"Gadis berbaju hijau! Lekas kau serahkan Pedang Naga Suci 212 padaku!"
Puti Andini tersentak. Cepat turunkan kedua tangannya dan memandang ke depan.
Empat langkah di hadapannya dilihatnya berdiri seorang kakek yang walau tua tapi
masih punya tampang klimis. Tubuhnya tinggi besar mengenakan jubah panjang
menjela tanah dan destar kain putih. Semula dia mengira Kiai Gede Tapa Pamungkas
yang tegak di depannya itu. Ternyata bukan. Orang tua tak dikenalnya ini tegak
dengan tangan kiri bertolak pinggang sedang tangan kanan diulurkan dengan sikap
meminta sesuatu. Jari-jari tangannya digerak-gerakkan. Wajahnya walau
menyunggingkan senyum angker dan dingin.
"Orang tua berdestar putih! Kau siapa"!" Panji yang berada di sebelah Puti
Andini ajukan pertanyaan.
"Pemuda gembel tak punya baju! Aku tidak bicara denganmu!" Orang tua tinggi
besar menjawab tanpa memandang pada Panji. Tangan kanannya dikibaskan dan
"wuttt!"
Satu gelombang angin menderu membuat Panji terhuyung-huyung lalu jatuh
menyangsrang di antara serumpunan semak belukar.
Melihat gelagat orang Puti Andini segera melompat bangkit. Diam-diam gadis ini
merasakan gerakannya tidak lagi secepat dan seringan sebelumnya. Ini tidak lain
karena saat itu Pedang Naga Suci 212 yang memberikan kekuatan hebat tidak ada
lagi padanya. "Aku berkata satu kali lagi! Lekas serahkan Pedang Naga Suci 212 padaku!"
"Aku tidak kenal kau! Dan aku tidak punya pedang yang kau minta!"
Dendam Dalam Titisan
2 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Si orang tua berdestar putih kembali menyeringai mendengar ucapan Puti Andini.
"Aku Sutan Alam Rajo Di Bumi datang jauh-jauh dari puncak Gunung Singgalang di
Pulau Andalas. Mana sudi mendengar cerita dusta! Mana sudi aku pergi berhampa tangan! Aku tahu
pedang sakti itu berada padamu! Aku meminta secara baik. Kalau kau tak mau
segera menyerahkan terpaksa aku akan mengambil berikut nyawamu sekalian!"
"Dulu aku pernah mendengar nama orang ini disebut-sebut guru," kata Puti Andini
dalam hati. Yang dimaksudkannya dengan guru adalah neneknya sendiri yakni Sabai
Nan Rancak. Belum sempat Puti Andini berpikir lebih panjang dilihatnya orang berjubah putih
di hadapannya ulurkan tangan. Saat itu jarak mereka masih terpisah empat langkah
namun seolah-olah bisa menjadi panjang tahu-tahu tangan kanan orang yang mengaku
bergelar Sutan Alam Rajo Di Bumi ini telah mencekik leher Puti Andini.
"Aku bisa mematahkan lehermu semudah aku mengedipkan mata!" kata Sutan Alam lalu
tertawa mengekeh.
"Orang tua kurang ajar! Jangan kau berani menyentuh tubuhnya! Lepaskan
cekikanmu!" teriak Panji. Pemuda yang sebelumnya telah dikibas hingga terpental
ini menerjang dan kirimkan satu tendangan ke arah pinggang si orang tua. Disaat
yang sama Puti Andini hunjamkan kaki kirinya ke arah selangkangan si orang tua.
Mendapat serangan berupa tendangan dari dua arah Sutan Alam Rajo Di Bumi membuat
gerakan aneh dan hebat. Tubuhnya melesat ke udara. Jubah putihnya mengembang
seperti kipas terbuka, tokoh sakti dari Pulau Andalas ini membuat gerakan
setengah lingkaran. Ketika dia menginjakkan kedua kakinya kembali ke tanah bukan
saja dia berhasil mengelakkan dua tendangan, tapi juga masih tetap mencekik
leher Puti Andini. Ha nya kini dia berdiri di sebelah belakang si gadis hingga
sulit bagi Puti Andini untuk menyerang.
Namun gadis cucu dan murid Sabai Nan Rancak ini tidak hilang akal.
Seperti diketahui gadis ini sebelumnya dikenal dengan julukan Dewi Payung Tujuh.
Tenaga dalamnya dipusatkan ke kaki. Dua tangan dikembangkan ke samping dengan
telapak tangan terbuka menghadap ke bawah. Begitu jari-jari tangannya
dijentikkan hingga mengeluarkan suara "klik... klik..." maka tubuh Puti Andini
bergerak naik ke atas, inilah gerakan atau jurus yang disebut Payung Mengarak
Awan. Sutan Alam Rajo Di Bumi terkejut sekali ketika dia tak mampu menghentikan
gerakan si gadis. Walau dia kerahkan tenaga dalam tetap saja tubuhnya ikut
terangkat naik ke atas. Sutan Alam tidak mau lepaskan cekikannya di leher Puti
Andini. Malah kini dengan geram dia pergunakan tangan kanan merabai sekujur
tubuh si gadis. Sepertinya dia tengah mencari sesuatu.
"Aneh! Apa betul pedang itu tidak ada padanya" Aku tidak menemukan apa-apa di
tubuhnya!" kata Sutan Alam dalam hati penuh heran.
Di mata Panji apa yang diperbuat oleh si orang tua adalah perbuatan kurang ajar.
Dengan geram dia melompat ke depan.
"Bukkk!"
Sutan Alam Rajo Di Bumi menggereng. Punggungnya barusan digebuk orang. Walau dia
tidak merasa kesakitan tapi amarahnya meluap.
Dengan gerakan kilat dia pergunakan dua jar; tangan kiri untuk menotok urat
besar di punggung Puti Andini hingga sekujur tubuh gadis ini menjadi kaku tegang
dan jatuh di Dendam Dalam Titisan
3 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
tanah. Disaat yang sama di bawah jubah putih panjang kaki kanan Sutan Alam Rajo
Di Bumi melesat ke arah bawah perut Panji. Pemuda ini tak sempat mengelak hanya
bisa berteriak keras.
Sesaat lagi anggota rahasia Panji akan hancur dimakan tendangan Sutan Alam dan
jiwanya tak akan tertolong tiba-tiba dan samping melesat satu bayangan putih.
Sutan Alam merasakan ada sambaran angin deras ke arah batok kepalanya. Kakek ini
cepat tundukkan kepala. Walau dia sanggup mengelak serangan maut itu namun tiba-
tiba dia merasa ada yang menjirat kaki kirinya yang menjejak tanah sementara
kaki kanan yang tadi dipakai menendang masih mengapung di udara.
Belum sempat Sutan Alam Rajo Di Bumi melakukan sesuatu mendadak satu sentakan
membuat kaki kirinya laksana dihantam kayu besar hingga terpental dan tak ampun
lagi tubuhnya terhuyung jatuh siap terbanting di tanah!
* * * Dendam Dalam Titisan
4 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ DUA Sutan Alam Rajo Di Bumi adalah seorang tokoh silat cabang atas yang punya nama
disegani di Pulau Andalas. Pada saat tubuhnya hampir jatuh terbanting ke tanah,
tangan kirinya cepat dipergunakan untuk menopang dirinya. Sesaat kemudian tampak
tubuh orang tua ini seolah membal ke udara. Lalu wuutt... wuutt... wuutt, Angin
deras menyambar. Bayangan putih berkelebatan. Ternyata begitu melompat dan
berdiri kembali Sutan Alam langsung menyerang prang yang barusan menjirat kaki
kirinya. "Bukk! Bukkk!"
Dua jotosan yang dilepaskan Sutan Alam Rajo Di Bumi mengenai sasaran. Bersarang
telak di bagian dada dan perut orang. Sesaat orang yang kena gebuk itu tegak tak
bergeming. Namun setelah itu kakinya terjajar dua langkah dan tubuhnya
terhuyung. Namun dia sama sekali tidak kelihatan cidera. Malah keluarkan tawa mengekeh
sambil gulung sebentuk benang putih halus yang tadi dipakainya untuk menjirat
kaki Sutan Alam.
Begitu benang tergulung dengan cepat disimpannya di balik pakaian putihnya yang
lusuh. "Tua bangka kepala botak! Kau sanggup menahan pukulanku! Siapa kau!" Bentak
Sutan Alam Rajo Di Bumi.
"Ha... ha...! Pukulanmu tadi lumayan mantap. Tapi apa gunanya memiliki ilmu
tinggi kalau dipergunakan menurut kehendak hati yang salah! Kakek berjubah kau
datang dari jauh tentu saja tidak mengenali diriku!" Menjawab orang yang
dibentak dan ternyata adalah kakek kepala botak. Sambil tertawa dia mengusap-
usap kepalanya yang licin berkilat. "Kau tidak kenal aku. Tapi aku cukup kenal
tampangmu! Bukankah kau yang di Pulau Andalas dikenal dengan julukan Sutan Alam
Rajo Di Bumi"!"
Sutan Alam Rajo di Bumi cepat menguasai diri agar wajahnya tidak berubah. "Kakek
botak ini tahu siapa aku. Aku sendiri tidak kenal padanya. Kalau melihat senjata
berupa benang halus putih yang tadi dipergunakannya untuk menjiratku berat
dugaan dia adalah....
Tapi wajahnya lain. Kepalanya botak. Hemmm.... Siapapun dia adanya agaknya dia
bukan manusia sembarangan. Dia sanggup menahan dua jotosan telakku yang
mengandung setengah tenaga dalamku!"
"Tua bangka botak! ternyata kau kenal aku! Harap kau mau memperkenalkan diri
hingga jelas kau ini teman atau lawan!"
Orang tua kepala botak tertawa panjang lalu menjawab.
"Teman atau lawan belum jelas. Mengapa kau menyerang gadis itu, menotoknya
sampai tidak berdaya. Mengapa kau hendak membunuh pemuda itu dengan tendangan
mengarah selangkangan! Lalu barusan kau menjotosku sampai dua kali! Sungguh
hebat! Menghantam dulu baru bertanya teman atau lawan! Apakah begitu adat para tokoh
silat dari tanah seberang"!"
Tampang Sutan Alam menjadi merah.
Sambil menyeringai kakek botak membungkuk mengambil sebuah batu sebesar ujung
ibu jari. Lalu batu itu dilemparkannya ke punggung Puti Andini yang tergeletak
di tanah. Tepat di tempat dimana Sutan Alam menotok sebelumnya. Serta merta
totokan yang menguasai gadis itu menjadi punah. Begitu lepas dari totokan Puti
Andini segera melompat dan langsung hendak menyerang Sutan Alam. Panji juga tak
tinggal diam. Dendam Dalam Titisan
5 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Kakek botak cepat angkat tangan kanannya dan berseru. "Tahan! Jangan menyerang!
Aku mengharapkan orang ini pergi dengan tenang dan kembali ke Pulau Andalas
dengan nyawa utuh di badan. Kehadiran manusia semacammu di tanah Jawa ini hanya
membuat onar dan mencari susah saja!"
"Susah senang diriku bukan urusanmu!" Sentak Sutan Alam Rajo Di Bumi.
"Begitu?" Kakek botak lalu tertawa panjang. "Jauh-jauh kau datang dari tanah
seberang hanya hendak berbuat kejahatan. Buktinya barusan kau hendak merampas
senjata yang dimiliki gadis itu!"
"Apa ada bukti aku mengambil dan memiliki senjata itu saat ini"!" Tanya Sutan
Alam pula dengan berang dan mata mendelik.
Wiro Sableng 100 Dendam Dalam Titisan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si botak kembali tertawa. "Orang seberang memang pandai bicara, pintar bersilat
lidah. Tapi jangan sampai prang di sini membungkam mulutmu hingga tak bisa
bicara atau melipat lidahmu hingga tak mampu bersuara! Bukankah lebih baik
bagimu cepat-cepat meninggalkan tempat ini"!"
"Aku akan pergi dengan satu syarat!" tukas Sutan Alam yang masih penasaran.
"Katakan apa maumu! Aku mulai muak melihat tampangmu!" kata kakek botak pula.
"Jika kau sanggup menahan satu pukulanku aku akan segera angkat kaki dari tempat
ini!" Kakek botak tertawa lebar. "Barusan kau sudah menjotosku sampai dua kali!
Rupanya kau masih penasaran!"
"Apakah kau takut menerima tantanganku"!" tanya Sutan Alam dengan nada dan mimik
mengejek. Kakek botak mendongak ke langit sambil usap-usap kepalanya. "Rupanya kau belum
puas. Rupanya kau masih punya ilmu simpanan. Hemmm.... Coba aku menerka. Ilmu
pukulan apa kira-kira yang hendak kau hadiahkan padaku. Hemmm... mungkin pukulan
Malaikat Maut Mendera Bumi" Pukulan yang kabarnya sanggup menembus batu bahkan
merobek dinding besi itu"!"
Kali ini Sutan Alam tak dapat lagi menyembunyikan perubahan wajah tanda
keterkejutannya. "Dia benar-benar banyak mengetahui tentang diriku!" membatin
Sutan Alam. Kakek botak kembali tertawa. "Hidup manusia tidak lama. Mengapa waktu
dipergunakan untuk berbuat yang tidak-tidak! Manusia setuamu seharusnya sudah
sejak dulu-dulu tobat dan insyaf...!"
"Botak, apa maksud ucapanmu"!" tanya Sutan Alam membentak.
"Begini saja Sutan Alam. Tak usah kau perlihatkan kehebatan pukulan Malaikat
Maut Mendera Bumi padaku. Cukup kau coba saja memutuskan benang buruk ini!"
Habis berkata begitu kakek botak keluarkan kembali gulungan benang putih
halusnya. Sekali tangannya bergerak benang itu melesat ke udara dan berputar-
putar di depan hidung Sutan Alam.
Saking geramnya diperlakukan seperti itu Sutan Alam segera menyambar benang
putih itu dengan kedua tangannya. Lalu dengan gemas benang itu ditariknya. Tapi
bagaimanapun dia mengerahkan tenaga benang halus putih itu tak sanggup
diputusnya. Kakek botak tertawa bergelak. Tangan kanannya disentakkan. "Wuuuttt!" Benang
putih tiba-tiba melesat berbuntal-buntal. Sutan Alam keluarkan seruan tertahan
ketika menyadari bahwa dua pergelangan tangannya tahu-tahu telah dilibat benang
putih! Dendam Dalam Titisan
6 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Didahului bentakan garang Sutan Alam Rajo Di Bumi melompat satu tombak ke atas.
Di udara dia membuat gerakan jungkir balik yang disebut Langit Runtuh Bumi
Bergoncang. Tubuhnya seolah lenyap masuk ke dalam jubah putih. Lalu tibatiba dua kakinya
mencuat ke bawah, melangkah cepat diatas benang putih halus. Sebagai tokoh silat
tingkat tinggi Sutan Alam tentu memiliki keringanan tubuh luar biasa. Itu
sebabnya dia mampu berjalan di atas benang halus. Namun, anehnya disaat yang
sama kakek botak merasa benang putihnya seolah ditindih satu batu raksasa yang
menggelinding ke arahnya. Benang putih melengkung ke bawah, hampir menyentuh
tanah. Pada saat itulah tiba-tiba bagian bawah jubah Sutan Alam membeset ke
depan laksana sambaran sebilah pedang.
"Breeettt!"
"Desss!"
Sutan Alam Rajo Di Bumi berdiri di tanah dengan air muka berubah. Dia pandangi
ujung jubahnya sebelah bawah. Seluruh jubah bagian depan robek besar hingga
kakinya yang biasanya tertutup kini tampak menyembul. Dia masih untung karena
tadi kakinya tidak ikut dibabat benang sakti yang ketajamannya melebihi mata
pedang. "Puluhan tahun hidup ditakuti lawan disegani kawan. Baru hari ini aku
diperlakukan orang seperti ini. Jubahku putus amblas. Kalau si botak ini benar-
benar punya niat jahat salah satu kakiku tadi pasti bisa ditabasnya dengan
benang saktinya. Hemmm.... Tak bisa tidak, manusia satu ini pasti setan alas
yang berjuluk Pendekar Gila Patah Hati alias Iblis Gila Pencabut Jiwa. Yang
lebih dikenal dengan gelar si Tua Gila!" Sehabis berkata dalam hati seperti itu
perlahan-lahan Sutan Alam Rajo Di Bumi angkat kepalanya, memandang ke arah kakek
botak. Tengkuknya terasa dingin.
Saat itu si kakek botak sendiri berdiri setengah tertegun sambil pandangi benang
saktinya yang putus. "Bukan main kemajuan ilmu kepandaian orang ini. Dia sanggup
melepas kakinya yang terjirat. Lalu memutus Benang Kayangan milikku...." Seperti
diketahui senjata berupa benang halus putih yang disebut Benang Kayangan adalah
milik Tua Gila Dari Andalas. Berarti kakek botak itu memang bukan lain adalah
Tua Gila yang tengah menyamar.
Sambil menggulung benang saktinya lalu menyimpannya di balik pakaian Tua Gila
angkat kepala menatap ke arah Sutan Alam Rajo Di Bumi. Untuk beberapa lamanya
dua pasang mata saling bentrokan. SUtan Alam berkedip lebih dulu pertanda ada
rasa gentar dalam hatinya.
"Tua bangka botak siapa dirimu aku sudah bisa menduga! Aku bersumpah akan
kembali mencarimu dalam waktu dekat. Saat ini karena ada urusan lain aku
terpaksa meninggalkanmu. Pada pertemuan kedua jangan bermimpi kau masih bisa
berdiri jual lagak di hadapanku!" ,
Kakek botak hanya ganda tertawa mendengar ucapan orang. Dia kurang yakin Sutan
Alam akan menyudahi persoalan begitu saja. Sebaliknya Panji yang sangat benci
melihat Sutan Alam membuka mulut lemparkan ejekan. "Kau pandai mencari alasan
untuk menghindar. Sebenarnya kau gentar menghadapi kakek sahabatku ini!"
Rahang Sutan Alam sesaat tampak menggembung. Dia acungkan jari telunjuk tangan
kirinya tepat-tepat ke muka si pemuda lalu berkata. "Kau adalah orang kedua yang
kelak akan kubunuh setelah tua bangka ini!"
Habis berkata begitu Sutan Alam segera berkelebat pergi. Tua Gila tak tinggal
diam. "Aku menaruh firasat manusia satu ini adalah racun biang kerok semua kejadian
dalam Dendam Dalam Titisan
7 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
rimba persilatan belakangan ini," kata si kakek dalam hati. Lalu dia berteriak.
"Sutan keparat! Kau mau lari ke mana!"
Tua Gila hentakkan dua kakinya ke tanah. Tubuhnya melesat dua tombak dan
mengejar ke arah lenyapnya Sutan Alam Rajo Di Bumi. Namun setelah mengejar cukup
lama dia tak berhasil menemukan Sutan Alam. "Sialan! Ilmu apa yang dipakai
manusia itu hingga bisa lenyap seolah raib?"
Sebenarnya Sutan Alam tidak memiliki kepandaian melenyapkan diri. Yang
dilakukannya adalah lari kencang ke. satu arah dengan dugaan bahwa lawan pasti
akan mengejar. Beg itu dia mengetahui Tua Gila memang mengejar maka Sutan Alam
berputar kembali dan lari ke jurusan datangnya semula. Dengan sendirinya Tua
Gila tak bakal dapat menemukannya karena kini orang yang dikejar berada jauh di
belakangnya! Begitu berhasil menipu Tua Gila dengan cepat Sutan Alam berbelok ke arah timur.
Dalam waktu singkat dia sampai ke satu tempat dimana di bawah sebatang pohon
besar duduk tersandar seorang nenek berjubah hitam berambut putih. Wajahnya yang
keriput tampak sangat pucat. Di pangkuannya tergeletak sebuah mantel hitam yang
robek di beberapa bagian. Nenek ini bukan lain adalah Sabai Nan Rancak yang
sebelumnya telah mengalami cidera akibat serangan tusuk konde Sinto Gendeng.
"Suto, aku gembira kau kembali ke sini dalam keadaan selamat.... Waktu kau tiba-
tiba muncul tadi dan pergi, aku khawatir kau tak akan kembali," menyapa Sabai
dengan memanggil Sutan Alam Rajo Di Bumi dengan nama aslinya.
"Kau kekasihku. Masakan akan kutinggal begitu saja. Apalagi saat ini kau berada
dalam keadaan terluka dan kita sama-sama di tanah orang," jawab Sutan Alam Rajo
Di Bumi sambil tersenyum. Diam-diam Sabai Nan Rancak merasakan ada satu keanehan
dalam senyum tokoh silat dari Andalas itu. Si nenek tidak sempat menduga-duga
lebih jauh karena saat itu pandangannya membentur jubah sebelah bawah Sutan Alam
Rajo Di Bumi alias Suto Abang.
"Apa yang terjadi Suto?" tanya Sabai Nan Rancak cemas lalu bangkit berdiri
sambil mengenakan Mantel Sakti.
"Aku gagal merampas Pedang Naga Suci 212. Padahal kalau senjata itu berada di
tanganku semua niat dan urusan pasti beres...."
"Kau tak boleh berputus asa Suto..." ujar Sabai Nan Rancak seraya mendekat dan
hendak memeluk Sutan Alam. Tapi si kakek jauhkan diri lalu diceritakannya apa
yang terjadi sambil melangkah mondar-mandir.
"Hendak kupeluk dia sengaja menjauh. Hatiku tak enak. Sikapnya sekali ini benar-
benar aneh...." Membatin Sabai Nan Rancak. Lalu dia berkata.
"Kakek kepala botak itu.... Aku menaruh curiga jangan-jangan dia adalah Sukat
Tandika alias Tua Gila. Aku pernah menemuinya."
"Justru dugaan itu memang yang ada dalam benakku!" jawab Sutan Alam Rajo Di
Bumi. Dia hentikan langkahnya lalu menatap tajam pada Sabai Nan Rancak. "Kalau
kau memang sudah menduga orang itu adalah Sukat Tandika alias Tua Gila, mengapa
tidak kau bunuh" Bukankah itu menjadi salah satu tugasmu"! Tapi kau tidak
melakukannya! Aku curiga Sabai! Jangan-jangan kau masih menaruh hati pada bekas
kekasihmu itu!"
Wajah keriput Sabai Nan Rancak menjadi merah padam.
"Suto Abang, ketahuilah olehmu. Sejak Sukat Tandika berlaku semena-mena dan
meninggalkan diriku seperti sampah! Aku tidak lagi menganggap dirinya manusia.
Tapi Dendam Dalam Titisan
8 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
setan yang harus aku bunuh dengan tanganku sendiri! Lalu sejak aku bertemu
denganmu, hati dan tubuhku hanya untukmu seorang. Walau sampai saat ini aku
masih terus menunggu karena janjimu untuk menikahiku secara sah belum juga kau
penuhi." Mulut Sutan Alam Rajo Di Bumi jadi terkancing mendengar kata-kata Sabai Nan
Rancak itu. Setelah berdiam diri beberapa lama baru dia berkata. "Aku harus meninggalkanmu
Sabai. Se-belum pergi aku ingin kau menyerahkan padaku Mantel Sakti dan Mutiara
Setan...."
Terkejutlah Sabai Nan Rancak mendengar ucapan Sutan Alam. "Kau.... Kau mau ke
mana Suto?"
"Aku tidak bisa mengatakannya padamu sekarang ini...."
Hati Sabai Nan Rancak menjadi tidak enak. "Kau bermain rahasia denganku. Tidak
Suto. Lama kita tidak saling temu. Apakah kau tidak merasa rindu" Kali ini aku
tak mau lagi berpisah denganmu. Ke mana kau pergi aku ikut. Apalagi keadaan
sekarang sedang gawat-gawatnya...."
Sutan Alam gelengkan kepala. "Kau tahu sudah tersiar kabar adanya pemusatan
kekuatan orang-orang persilatan tanah Jawa di tepi barat Telaga Gajahmungkur.
Aku yakin orang-orang Lembah Akhirat juga akan menyusun kekuatan dibantu para
tokoh yang bisa mereka rangkul...."
"Hemmm..." si nenek bergumam. "Menurutmu kau belum lama menginjakkan kaki di
tanah Jawa ini. Tapi ternyata kau tahu banyak apa yang terjadi dalam dunia
persilatan di sini."
Sutan Alam tidak menjawab. Dia maju lebih dekat dan berkata. "Mantel dan Mutiara
Hitam itu, Sabai.... Aku tak punya waktu banyak."
Sabai Nan Rancak menatap wajah Sutan Alam beberapa lamanya. Lalu perlahan-lahan
dibukanya Mantel Sakti dan diserahkannya pada Sutan Alam. Dari balik jubah
hitamnya dia mengeluarkan sebuah kantong kain. Kantong ini berisi senjata
rahasia berupa Mutiara Hitam. Baik mantel maupun mutiara seperti diketahui
adalah milik Datuk Tinggi Rajo Di Langit yang kini berganti gelar sebagai Jagal
Iblis Makam Setan. Begitu menyerahkan kantong berisi Mutiara Setan, Sabai Nan
Rancak berkata, "Suto, dulu kau yang menyuruh aku mencari dan mendapatkan mantel
serta mutiara. Sekarang mengapa kau meminta dua senjata sakti ini?"
"ingat percakapan kita di Singgalang pada pertemuan terakhir dulu, Sabai" Aku
memintamu untuk mencari dan mendapatkan dua senjata sakti ini. Setelah dapat kau
harus mempergunakan senjata-senjata ini untuk membunuh Tua Gila, Sinto Gendeng
dan Pendekar 212 Wiro Sableng! tapi apakah kau telah berhasil melakukan tugas-
tugasmu itu Sabai" Apakah masih ada gunanya Mantel Sakti dan Mutiara Setan
berlama-lama di tanganmu tanpa kau mampu melakukan sesuatu" Bukankah lebih baik
dua senjata kini berada di tanganku agar bisa kupergunakan untuk melaksanakan
tugas yang kau tidak sanggup melakukan"!"
Paras Sabai Nan Rancak jadi berubah. Namun dalam hatinya nenek ini membatin.
"Aku mulai menyangsikan manusia satu ini. Sikap dan cara bicaranya tampak
berubah. Dia sama sekali tidak memperlihatkan kasih sayangnya yang selama ini
diagung-agungkannya padaku. Dia merahasiakan kemana mau pergi. Aku harus
menguntit dirinya, Aku...."
Dendam Dalam Titisan
9 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Begitu Sutan Alam Rajo Di Bumi berkelebat pergi, Sabai menunggu beberapa saat
baru bergerak mengikuti secara diam-diam.
* * * Dendam Dalam Titisan
10 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ TIGA Panji memegang bahu Puti Andini yang saat itu terduduk di tanah sambil menutupi
wajah dengan dua tangan berusaha menahan tangis. Dalam hati berulangkali si
gadis menyesali dan memaki diri sendiri. "Tololnya aku ini! Diberi kepercayaan
untuk memegang Pedang Naga Suci 212. Sekarang pedang sakti itu lenyap dicuri
orang! Ya Tuhan!
Tua Gila pasti akan marah besar mengetahui keteledoranku ini! Bagaimana aku akan
menolong Pendekar 212 dari malapetaka yang menimpa dirinya" Waktu tertinggal
sempit sekali. Hanya sampai nanti malam! Celakalah dunia persilatan!"
"Puti, tak usah bersedih. Kita akan cari pedang itu sampai dapat. Sekarang..."
kata Panji lalu duduk berlutut di hadapan Puti Andini sambil dua tangannya
diletakkan di atas pundak si gadis kiri kanan.
Sentuhan tangan Panji membuat si gadis merasa agak lega. Tanpa sadar gadis ini
rangkulkan tangannya ke punggung Panji dan sandarkan wajahnya di dada si pemuda
yang diam-diam disukai dan kepada siapa dia sudah jatuh hati.
"Rasanya saat ini aku ingin mati saja!" kata Puti Andini setengah berbisik.
Nafasnya menghangati dada Panji yang tidak mengenakan baju. Pemuda beranting
emas ini turunkan kepalanya, mencium mesra rambut Puti Andini. Si gadis pejamkan
sepasang matanya yang bening, terbuai oleh kemesraan yang selama ini memang
selalu didambakannya. Kalau tidak dalam keadaan seperti saat itu mungkin dia
tidak akan malu-malu memeluk dan menciumi dada Panji. Panji sendiri hampir lupa
diri kalau saja wajah Anggini, murid Dewa Tuak tidak muncul secara tiba-tiba dan
aneh di pelupuk matanya.
Puti Andini angkat wajahnya, menatap paras si pemuda sesaat. "Kau memikirkan
sesuatu, Panji...?"
Panji tidak menjawab.
"Pernahkah kau memikirkan tentang diri kita berdua, Panji?"
"Sudahlah. Lebih baik kita tinggalkan tempat ini. Kita harus mengejar dan
mencari kakekmu orang tua botak itu...."
"Aku takut bertemu dengannya. Dia pasti marah besar!"
"Marah atau tidak kita tetap harus mencari kakekmu itu. Menceritakan apa yang
telah terjadi," ujar Panji pula.
Tapi agaknya Puti Andini tidak mau berlaku cepat-cepat. Rangkulannya di tubuh
Panji semakin kencang. Ketika Panji hendak mencium tengkuk si gadis tiba-tiba
ada suara berdehem. Satu bayangan berkelebat.
Kakek kepala botak kembali muncul di hadapan sepasang muda mudi itu. Melihat
siapa yang tegak di hadapannya Puti dan Panji serta merta lepaskan pelukan
masing-masing. Puti Andini segera jatuhkan diri dan pegangi kedua kaki Tua Gila.
"Aku sudah tahu Pedang Naga Suci 212 lenyap dirampas orang! Mau apa lagi! Tapi
aku ingin tahu bagaimana kejadiannya!" ujar Tua Gila.
Setengah meratap Puti Andini lantas ceritakan apa yang terjadi. Wajah Tua Gila
yang tersembunyi di balik topeng tipis berubah kelam. Kepalanya yang botak
dipukulnya berulangkali sedang kakinya di-banting-bantingkan ke tanah hingga
menimbulkan getaran hebat.
Wiro Sableng 100 Dendam Dalam Titisan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dendam Dalam Titisan
11 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Puluhan tahun aku menunggu. Setelah dapat pedang sakti dicuri orang! Sutan Alam
Rajo Di Bumi ikut-ikutan hendak menguasainya. Kukejar jahanam itu kabur
melenyapkan diri!" Tua Gila menatap Puti Andini dan Panji bergantian. "Apa
kalian tahu siapa si pencuri itu?"
Panji memperlihatkan secarik sobekan kain kuning yang tadi dijatuhkan Puti
Andini di tanah. "Puti berhasil merobek pakaian si pencuri. Namun kami tak bisa
menduga siapa dia adanya. Orang itu bergerak cepat luar biasa. Sebelum kami bisa
melihat sosoknya sudah lenyap. Selain itu kami juga melihat ada satu bayangan
biru disertai menebarnya bau sangat wangi. "Tua Gila mengambil sobekan kain
kuning dari tangan Panji. Matanya membeliak besar memperhatikan kain itu. "Kain
kuning, orang berpakaian biru dan bau wangi. Berarti ada dua orang bersekongkol
mengerjaimu, Puti!"
"Maafkan saya Kek. Apakah kau bisa menduga siapa mereka adanya" Biar kucari
sampai ke neraka sekalipun!" kata Puti Andini pula dengan mata memancarkan sinar
geram. "Siapa lagi kalau bukannya manusia bercadar kuning itu. Kawannya pasti gadis
berambut pirang yang dijuluki Bidadari Angin Timur!"
Baik Puti Andini maupun Panji sama-sama terkejut mendengar ucapan kakek botak.
"Tapi Kek..." kata si gadis pula. "Bukankah dua orang itu masih kawan kita
sendiri" Orang-orang sehaluan dalam golongan putih?"
"Dunia persilatan saat ini sudah sangat kacau balau! Sulit diduga mana teman dan
mana lawan! Bukan mustahil mereka berdua telah terperangkap masuk ke dalam
kelompok manusia jahat. Jadi kaki tangan batuk Lembah Akhirat!" jawab Tua Gila.
"Sebelum malam tiba kita harus dapat mencari mereka!"
Tiba-tiba terdengar suara kaleng berkerontang keras memekakkan telinga.
"Tua bangka sialan itu! Mengapa pula dia muncul lagi di tempat ini!" memaki Tua
Gila. Baru saja Tua Gila memaki begitu tiba-tiba kakek bercaping yang mengerontangkan
kaleng sudah muncul di hadapannya. Temyata dia tidak sendirian. Ada beberapa
orang lain ikut datang di tempat itu,
"Kalian semua! Aku muak melihat kalian!" mendamprat Tua Gila.
Terdengar suara tertawa melengking tinggi. Yang tertawa ternyata Sinto Gendeng,
guru Pendekar 212. Di sampingnya berdiri kakek yang dikenal dengan julukan Setan
Ngompol. Tak jauh dari mereka berdiri Sika Sure Jelantik. Lalu di jurusan Iain
terlihat pula si bocah Naga Kuning, Iblis Pemalu, Pendekar 212 Wiro Sableng
didampingi Ratu Duyung.
"Kalian bertiga!" Tiba-tiba Sinto Gendeng keluarkan suara melengking keras
sambil menunjuk dan memandang melotot pada kakek kepala botak yang masih belum
diketahuinya siapa adanya.
"Salah satu dari kalian yang memegang Pedang Naga Suci 212. Lekas serahkan
padaku atau kubuat tempat ini jadi neraka bagi kalian bertiga!"
Semua orang memandang ke depan. Semua mata membelalak terkejut. Nenek sakti dari
puncak Gunung Gede ini agaknya tidak main-main. Saat itu dia berdiri dengan
tangan kiri memegang tiga tusuk konde perak yang merupakan senjata beracun dan
sangat mematikan. Lalu tangan kanannya yang diangkat di atas kepala tampak
memancarkan cahaya putih perak pertanda dia siap melepaskan pukulan sakti Sinar
Matahari! Sepasang Dendam Dalam Titisan
12 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
mata cekung si nenek membeliak galak. Pelipisnya berg era k-g era k dan mulutnya
yang perot berkomat-kamit terus-terusan.
"Nek...!" Wiro yang melihat keadaan gurunya itu berusaha mengatakan sesuatu tapi
segera dibentak oleh Sinto Gendeng.
"Anak setan! Jangan kau banyak bacot! Gara-gara kau urusan jadi kapiran begini
rupa! Berani kau bicara lagi kurobek mulutmu!"
Wiro masih berusaha hendak melangkah mendekati gurunya tapi Ratu Duyung cepat
memegang lengannya seraya berbisik. "Jangan menambah keruh suasana. Lekas
berdiri di belakangku. Kalau terjadi apa-apa aku masih bisa melindungi dirimu.
Dalam keadaan seperti ini bukan mustahil gurumu ketelepasan tangan!"
Wiro hentikan langkahnya. Sambil garuk-garuk kepala akhirnya dia bergerak ke
belakang Ratu Duyung.
"Sinto," Setan Ngompol berbisik. "Kalau berteriak jangan keras-keras. Nanti aku
bisa ngom..."
Ucapan Setan Ngompol terputus. Tendangan kaki kiri Sinto Gendeng mendarat di
bawah pusarnya.
"Dukk!"
Setan Ngompol mengeluh tinggi. Tubuhnya mencelat tiga langkah lalu jatuh duduk
di tanah. "Serrrr!" Saat itu juga kakek ini mancurkan air kencing.
"Jahatnya kau Sinto. Padahal aku tadi sudah mampu menahan kencing. Sekarang aku
malah jadi beser berat!" kata Setan Ngompol seraya mencoba bangkit berdiri. Tapi
tersentak jatuh kembali begitu Sinto Gendeng membentak keras.
"Pedang Naga Suci 212! Lekas serahkan padaku atau kalian bertiga mampus semua!"
Tangan kiri kanan Sinto Gendeng bergerak.
"Tunggu dulu!" Tiba-tiba Sika Sure Jelantik berseru keras. "Aku yang pertama
sekali mendapatkan Pedang Naga Suci 212! Jadi harus diserahkan kembali padaku!"
"Tua bangka jelek! Jangan kau berani pentang bacot di hadapanku!" damprat Sinto
Gendeng. "Lebih baik kau kembali ke kampungmu sebelum kau ku-bantai di tempat
ini! Kau biang kerok semua kekacauan ini!"
Si nenek berambut putih Sika Sure Jelantik dongakkan kepala lalu tertawa
mengekeh. Tawanya dihentikan dengan tiba-tiba lalu dia meludah ke tanah. "Dasar perempuan
gendeng! Rupanya kau tidak pernah berkaca! Pantatku jauh lebih cantik dari
mukamu! Rambutmu sudah sulah. Mulutmu pencong, kulitmu hitam seperti arang! Hik...
hik... hik!"
Marahlah Sinto Gendeng diejek begitu rupa. Dari tenggorokannya keluar suara
menggereng. Matanya yang cekung berapi-api seolah hendak melompat keluar. Dia
memutar tubuh ke arah Sika Sure jelantik. Tapi kakek botak yaitu Tua Gila cepat
menghalangi gerakannya.
"Sinto, jangan tertipu oleh gejolak darah. Jangan terhasut oleh hawa amarah.
Terus terang aku katakan padamu Pedang Naga Suci 212 tidak ada pada kami
bertiga. Kau tidak akan mendapatkannya sekalipun kau membunuh kami semua! Pedang
sakti itu lenyap dicuri orang!"
"Kentut busuk! Jangan berani mengarang cerita!" hardik Sinto Gendeng.
"Aku bersumpah Nek!" kata Puti Andini. "Senjata sakti itu memang telah dicuri
orang. Kami tidak tahu pasti siapa pencurinya. Ada dua orang. Salah satu dari
mereka mengenakan pakaian kuning. Robekan bajunya masih ada di tangan kakek
botak itu!"
Dendam Dalam Titisan
13 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Semua mata diarahkan ke tangan kanan kakek botak. Memang mereka melihat si kakek
memegang sobekan kecil sehelai kain kuning.
"Kalau kau masih kurang percaya silahkan menggeledah diriku luar dalam." Kata si
kakek botak pula sambil menyengir.
"Siapa sudi menyentuh tubuhmu yang bau!" tukas Sinto Gendeng.
Sesaat suasana menjadi sunyi senyap. Kesunyian dirobek oleh suara kerontangan
kaleng Kakek Segala Tahu. Lalu untuk pertama kalinya kakek buta ini membuka
mulut. "Kalian semua orang-orang tolol! Waktu tinggal sedikit sebelum malam datang.
Mengapa mau saling berbunuhan dan bukannya mengatur cara yang baik untuk mencari
pedang sakti itu" Aku tak mau melibatkan diri lebih lama dengan kalian. Aku mau
pergi. Tapi sebelum pergi sekali lagi aku bilang pada kalian. Jangan terlambat
berkumpul di tepi barat Telaga Gajahmungkur malam nanti, Sekarang aku mau tahu
apa anak konyol bernama Naga Kuning ada di tempat ini?".
"Aku memang ada di sini Kek!" menjawab Naga kuning seraya keluar dari balik
serumpunan semak belukar.
"Bagus! Kalau begitu lekas ikuti aku!" kata Kakek Segala Tahu pula seraya
mengerontangkan kaleng dan "memutar tubuh.
"Eh, kau mau membawa aku ke mana Kek?"
"Sudan, jangan banyak tanya. Aku perlu bantuanmu untuk menyelidik ke Lembah
Akhirat...."
Berubahlah paras si bocah sementara yang Iain-Iain terheran-heran. "Kau menyuruh
aku masuk ke sarang macan Kek!"
"Bagimu sarang macan masih jauh lebih baik dari liang kubur! terserah kau mau
memilih mana! Lagi pula aku tahu. Semasa Kiaimu si Gede Tapa Pamungkas bersamadi
bertahun-tahun di Gajahmungkur, kau sudah menggentayangi kawasan ini
berulangkali!"
jawab Kakek Segala Tahu sambil melangkah terus tanpa perdulikan kebingungan si
bocah. "Kek, apa yang musti aku selidiki di Lembah Akhirat?" tanya Naga Kuning sambil
melangkah di belakang Kakek Segala tahu.
Orang tua bercaping bambu itu goyangkan kaleng rombengnya di samping telinga
kiri si bocah hingga Naga Kuning terlompat setengah tombak dan menjerit. "Kau
mau memecahkan liang telingaku Kek!"
Kakek Segala Tahu menyeringai. "Justru aku ingin agar kau memasang telinga,
mendengar baik-baik! Kau tahu para tokoh sahabatku yang berkumpul di tepi barat
telaga cuma bertindak menurut nafsu. Mereka ingin menghancurkan Lembah Akhirat.
Membunuh Datuk Lembah Akhirat. Tapi mereka tidak tahu siapa adanya sang Datuk.
Sampai dimana ilmu kesaktiannya. Senjata apa saja yang dimilikinya. Siapa saja
para pembantunya!"
"Lalu apa kau sendiri tahu, Kek?" tanya Naga Kuning. Sambil melengos anak itu
cibirkan bibirnya.
"Hemmm.... Walau sedikit tapi aku lebih tahu dari para tokoh geblek itu! Bocah
sialan! Jangan kau "berani mengejekku! Aku suruh kau ke sana justru buat
menyelidik! Siapa saja yang sudah bergabung menjadi kaki tangan batuk Lembah Akhirat. Apa
kekuatan dan kelemahan sang Datuk. Aku mendengar mereka adalah orang-orang aneh
yang jalan pikiran dan perbuatannya aneh tidak wajar. Di atas semua itu ada satu
hal yang sangat penting. Aku menyirap kabar bahwa Datuk Lembah Akhirat memiliki
sepasang sarung Dendam Dalam Titisan
14 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
tangan iblis. Senjata itu bukan saja sanggup membunuh lawan tapi sekaligus
menyedot tenaga dalam korbannya! Nah, itu yang perlu kau selidiki!"
"Walah! Tugasku berat amat Kek! Kalau aku tertangkap bisa-bisa tubuhku hanya
tinggal taburan debu merah, hijau atau hitam!"
"Kalau kau menolak perintahku, saat ini juga tubuhmu akan kujadikan taburan tahi
kuning!" kata Kakek Segala Tahu pula lalu tertawa mengekeh dan goyangkan kaleng
tiga kali berturut-turut.
Setelah Kakek Segala Tahu dan Naga Kuning meninggalkan tempat itu, semua orang
yang ada di sana baru menyadari kalau Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ratu Duyung
juga telah lenyap dari tempat itu. Disaat yang sama kakek botak memberi isyarat
pada Put! Andini dan Panji untuk segera pula berlalu dari situ.
Sinto Gendeng menggerendeng panjang. "Celaka si anak setan itu. Kalau pedang
sakti tidak bertemu dan keadaannya tidak bisa dipulihkan sebelum tengah malam
nanti tamatlah riwayatnya! Aku punya firasat, turut apa yang diucapkan gembel
buta tadi. Malam nanti akan terjadi satu peristiwa besar di Gajahmungkur!
Celaka! Benar-benar celaka anak setan itu!"
Sinto Gendeng melirik pada Sika Sure Jelantik yang tegak di samping kirinya lalu
memberi isyarat pada kakek bermata jereng Setan Ngompol. Dua orang ini segera
tinggalkan tempat itu.
Sika Sure Jelantik yang tinggal sendiri sesaat berpikir. "Apa yang aku lakukan
sekarang" Mengikuti rombongan kakek botak. Atau menguntit Sinto Gendeng dan
Setan Ngompol. Atau mengejar ke arah lenyapnya Wiro Sableng dan Ratu Duyung"
Atau baiknya aku kembali saja ke Lembah Akhirat...." Setelah berpikir sejenak
akhirnya nenek berambut riap-riapan ini mengambil keputusan untuk mengikuti
rombongan kakek botak karena dia menduga Pedang Naga Suci 212 masih berada pada
kakek itu atau pada Puti Andini.
* * * Dendam Dalam Titisan
15 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ EMPAT Sebelum mengikuti penguntitan yang dilakukan Sabai Nan Rancak atas diri Sutan
Alam Rajo Di Bumi alias Suto Abang serta apa pula yang bakal dilakukan si nenek
bernama Sika Sure Jelantik, kita kembali dulu pada satu peristiwa yang terjadi
pada masa sekitar tujuh bulan sebelumnya.
Di satu bukit yang menghadap ke pantai selatan. Di atas sebuah makam tua terbuat
dari batu yang telah gugus, duduk bersila seorang kakek bermuka lancip. Rambut
panjang, kumis serta janggutnya berwarna kelabu, melambai-lambai ditiup angin.
Sepasang matanya terpejam dan dari mulutnya tiada putus-putusnya keluar suara
meracau seperti orang membaca mantera. Tempat itu dipenuhi bau kemenyan yang
dibakar di dalam sebuah pendupaan dan diletakkan di kepala makam.
Di depan kakek yang mengenakan jubah hitam gombrong ini duduk seorang lelaki
bertubuh tinggi besar, kepala dan wajahnya tertutup rambut panjang awut-awutan,
kumis tebal, cambang bawuk serta janggut liar. Seperti si kakek, lelaki ini juga
mengenakan sehelai jubah hitam sangat gombrong. Dari mukanya yang garang
kelihatan bahwa orang ini sudah, tidak sabaran. Sebentar-sebentar dari hidungnya
keluar suara mendengus. Lalu mulutnya komat-kamit berulangkali.
Telah tujuh hari tujuh malam kedua orang itu berada di makam batu di puncak
bukit tersebut.
Siang dihantam sengatan sinar matahari dan malam dihajar hawa dingin luar biasa.
Kalau tidak karena satu urusan sangat penting orang tinggi besar mungkin sudah
meledak kesabarannya dan tinggalkan tempat itu dengan kutuk serapah.
Tepat di pertengahan malam, di kejauhan terdengar suara salakan anjing. Lalu di
langit kelam serombongan burung hitam berkelebat dengan sayap-sayap berkesiuran.
Di atas makam burung-burung itu menukik rendah lalu melesat dan akhirnya
lenyap'' dalam kegelapan. Di arah timur mendadak ada sinar terang disusul suara
keras laksana petir menyambar membuat orang tinggi besar tersentak kaget. Tapi
kakek berwajah lancip tetap tenang saja. Perlahan-lahan sepasang matanya yang
sejak tujuh hari lalu terpejam membuka.
Memperhatikan keadaan mata orang tua ini bergidiklah kawan di depannya. Mata si
kakek membuka besar tapi membelalak begitu rupa dan hanya bagian putihnya saja
yang kelihatan!
Suara racauan kakek yang duduk di atas makam batu itu secara perlahan-lahan
berhenti, tubuhnya bergetar hebat. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara halus.
Suara perempuan yang tidak diketahui dari mana datangnya dan juga tidak
kelihatan ujudnya.
"Malam ini malam Jum'at Kliwon. Malam terpuji dari empat puluh malam yang ada.
Malam sakti dari empat puluh kesaktian yang ada. Malam permintaan bagi yang
meminta. Malam perjanjian bagi yang mau berjanji..."
Orang tinggi besar berjubah hitam gombrong tambah dingin tengkuknya. Dia
mendongak ke atas.
Suara yang didengarnya tadi seolah ada di atas ubun-ubun kepalanya. Dia
memandang berkeliling. Tak kelihatan apa-apa.
Dendam Dalam Titisan
16 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Dua anak manusia di atas makam.... Tujuh hari tujuh malam kalian berada di
tempat ini. Ini adalah malam ke tujuh, malam Jum'at Kliwon di mana segala
permintaan yang baik maupun yang jahat akan dikabulkan. Katakan siapa diri
kalian berdua...."
Si kakek berwajah lancip dan dua mata masih terbalik putih segera menjawab.
Wiro Sableng 100 Dendam Dalam Titisan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku Mangkutani yang biasa disebut Ki Juru Tenung. Temanku bernama Suto Angil.
Kami berdua menghaturkan sembah hormat atas kesudian Junjungan datang ke tempat
ini. Kami akan lebih bersyukur kalau Junjungan sudi memperlihatkan diri...."
"Katakan dulu maksud dan tujuanmu bersamadi di atas makam tua di bukit yang
menghadap ke laut selatan ini. Kalau aku dan penguasa samudera berkenan, dengan
syarat-syarat tertentu mungkin permintaanmu akan dikabulkan. Tapi kalau
permintaan kalian ditolak maka malam ini akan menjadi malam laknat bagi kalian
berdua. Kalian akan kubunuh di tempat ini juga!"
Sesaat sepasang mata putih kakek bernama Mangkutani berputar terbalik-balik.
Sebentar putih sebentar hitam lalu putih lagi. Sementara itu orang yang bernama
Suto Angil jadi pucat tampangnya dan mengkirik dingin bulu kuduknya.
"Junjungan, aku bersamadi mewakili Suto Angil. Kami berada di sini dengan niat
baik yakni mengharapkan turunnya berkah bagi kami berdua...."
"Berkah berupa apa anak manusia" Harta, uang atau jabatan"!" tanya suara
perempuan tanpa ujud.
"Junjungan, kami tidak menginginkan harta atau uang. Tidak pula jabatan..."
jawab Mangkutani.
"Aneh! Lalu kalian inginkan apa" Bidadari dari dasar lautan atau bidadari dari
ujung langit"!"
"Juga tidak wahai Junjungan! Suto Angil adalah orang dari dunia persilatan.
Cita-citanya sangat besar ingin menguasai rimba persilatan. Namun bekal ilmu
yang dimilikinya tidak memungkinkan dia melaksanakan niatnya itu. Karena itulah
saat ini jika Junjungan sudi mengabulkan aku ingin memintakan satu bekal
kekuatan baginya. Bekal itu entah berupa apa kami serahkan pada Junjungan...."
Perempuan tanpa ujud tidak segera menjawab. Lalu terdengar suara tawa halus.
"Menguasai rimba persilatan adalah satu hal yang dimimpi-mimpikan oleh setiap
orang persilatan. Aku pun dulu pernah menginginkan hal itu. Namun ajalku lebih
dulu sampai. Aku sangat tertarik mendengar permintaan kawanmu itu, Mangkutani. Aku akan
mengabulkan dengan beberapa syarat...."
Mendengar ucapan tanpa ujud itu Mangkutani alias Ki Juru Tenung segera jatuhkan
diri, bersujud di tanah. Suto Angil segera ikuti apa yang diperbuat si kakek.
Setelah disuruh bangkit baru keduanya duduk bersila kembali. Saat itu kelihatan
bahwa sepasang mata Mangkutani tidak lagi membeliak putih.
"Mangkutani dan Suto Angil. Putar duduk kalian. Menghadaplah ke arah lautan!"
Mendengar perintah, di atas makam batu Mangkutani dan Suto Angil segera memutar
duduk menghadap ke arah lautan luas yang dibungkus kegelapan malam.
"Kalian berdua aku perintahkan membuka mata besar-besar. Jangan berkedip sebelum
kalian melihat sesuatu di depan kalian!" Suara perempuan tanpa ujud terdengar
keras dan lantang. Maka dua orang di atas makam batu itu segera saja membuka
mata lebar-lebar, memandang ke depan.
Dendam Dalam Titisan
17 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Tiba-tiba di bawah sana, di dalam laut seolah-olah keluar dari dasar laut ada
dua kilatan cahaya aneh masing-masing sepanjang satu tombak. Dua cahaya ini
mencuat ke permukaan laut terus melesat di udara malam dan sesaat kemudian
keduanya telah berada di hadapan Mangkutani dan Suto Angil, mengapung di udara
dalam ujud dua ekor ular kobra atau ular sendok besar. Masing-masing binatang
ini memiliki tiga warna yakni hitam, merah dan hijau.
Dua orang di atas makam batu menjadi gemetar. Membeliak dan tak berani bergerak
atau keluarkan suara.
"Suto Angil...." Tiba-tiba suara perempuan tanpa ujud terdengar kembali.
"Katakan apa yang kau lihat di depan matamu"!"
"Aku... aku melihat dua ekor ular besar..." jawab Suto Angil dengan suara
gemetar. "Kau tahu ular jenis apa yang kau lihat?"
"Aku... aku kurang tahu Junjungan...."
"Dua ekor ular itu adalah ular-ular kobra laut betina yang akan kuberikan padamu
sesuai dengan permintaanmu untuk dibekali sesuatu hingga bisa menguasai rimba
persilatan...!"
Mangkutani kerenyitkan kening. Suto Angil tersentak kaget. Kedua orang ini tidak
mengira kalau dua ekor ular berbisa itulah yang mereka dapat. Padahal mereka
mengharapkan bekal berupa senjata atau jimat.
Manusia tanpa ujud tertawa panjang. "Kulihat kalian berdua seperti ketakutan
setengah mati. Hik... hik... hik. Jangan khawatir! Suto Angil, aku tidak akan
membekalimu dengan ular-ular sendok dalam keadaan hidup itu. Sebelum aku memberi
tahu apa yang akan kulakukan, terlebih dulu aku akan memperlihatkan diri pada
kalian. Pejamkan mata kalian. Baru dibuka bila mendengar suara tiupan angin
menyerupai suara seruling di kejauhan...."
Serta merta Mangkutani alias Ki Juru Tenung dan Suto Angil pejamkan mata masing-
masing. Saat mata mereka tertutup di sebelah depan ada cahaya terang. Bersamaan
dengan itu terdengar suara siuran angin dari arah laut yang menyerupai bunyi
tiupan seruling. Lalu udara di sekitar makam batu itu menjadi sangat dingin. Bau
sangat wangi menusuk hidung mengalahkan harumnya kemenyan yang dibakar dalam
pendupaan. Perlahan-lahan dengan rasa takut mencekam Mangkutani dan Suto Angil buka kembali
mata mereka yang barusan dipejamkan. Dua orang ini tercekat melihat pemandangan
yang terpampang di depan mereka.
* * * Dendam Dalam Titisan
18 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ LIMA Dihadapan Mangkutani dan Suto Angil saat itu, seolah mengapung di udara tegak
berdiri seorang perempuan sangat cantik yang di atas kepalanya ada sebuah
mahkota terbuat dari emas berbentuk seekor ular. Dia mengenakan pakaian dalam
hijau tipis. Karena seolah ada cahaya yang menerangi dirinya maka tubuhnya
seperti tidak terbungkus apa-apa.
Sesaat setelah dapat menguasai diri dari keterkejutan masing-masing, Mangkutani
dan Suto Angil segera jatuhkan diri bersujud. Setelah diperintahkan bangkit baru
mereka kembali duduk bersila. Namun mereka tidak berani menatap ke bagian atas
tubuh perempuan berbaju hijau. Mereka tundukan kepala hanya memperhatikan
sepasang kaki yang bagus.
"Junjungan, kami berterima kasih kau telah sudi memperlihatkan diri..." kata
Suto Angil. "Aku terlahir bernama Kunti Arimbi yang kemudian dikenal dengan sebutan Dewi
Ular...." "Ah!"
Mangkutani dan Suto Angil sama-sama keluarkan seruan tertahan. Beberapa waktu
yang lalu orang rimba persilatan mana yang tidak pernah mendengar nama Dewi
Ular. Cuma diam-diam kedua orang itu merasa heran sendiri. Dewi Ular mereka ketahui
telah tewas beberapa waktu lalu. Kalau saat itu dia menunjukkan diri pasti yang
muncul ini adalah roh atau hantu alias ujud jejadiannya!
"Kalian harap bangkit dan dengarkan penuturanku!" kata Dewi Ular. "Aku hidup di
alam yang tidak sama dengan alam kalian. Beberapa waktu lalu aku dan guruku Ratu
Ular terpaksa tewas bunuh diri di satu jurang. Kematian kami adalah akibat
perbuatan orang-orang golongan putih rimba persilatan. Kami menemui ajal dengan
membawa sejuta rasa penasaran dan dendam kesumat ke dalam alam baka! Roh kami
tidak bisa tenteram sebelum para penyebab kematian itu menemui ajal. Nanti akan
kukatakan siapa-siapa mereka adanya. Sekarang waktunya aku akan memberikan bekal
padamu Suto Angil. Apakah kau sudah siap menerima ular-ularku"!"
"Aku siap Junjungan Dewi Ular..." jawab Suto Angil. Tubuhnya yang tinggi besar
bergetar dan tengkuknya kembali terasa dingin.
"Ulurkan dua tanganmu ke depan. Buka telapak tangan, bentangkan ke atas...!"
Suto Angil lakukan apa yang diperintah Dewi Ular.
Sang Dewi arahkan pandangan matanya pada dua telapak tangan Suto Angil lalu
beralih pada dua ekor ular kobra laut yang mengapung di udara dengan kepala
tegak tak bergerak tapi ekor menggeliat-geliat.
"Suto Angil harap perhatikan baik-baik. Aku akan menitis masuk ke dalam dua ekor
ular sendok itu..." berkata Dewi Ular. Lalu dari sepasang matanya mencuat dua
larik sinar hijau, menyambar ke arah kepala dua ekor ular kobra betina.
Binatang-binatang ini keluarkan desisan panjang. Dari kepala masing-masing
mengepul asap hijau. Di sebelah sana tubuh Dewi Ular bergoncang keras. Wajahnya
yang cantik berubah menjadi pucat seolah kehabisan darah. Bibirnya membiru dan
dua bola matanya berubah warna menjadi Dendam Dalam Titisan
19 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
kelabu. Wajahnya yang cantik basah oleh keringat dan kelihatan angker
menggidikkan. Perlahan-lahan dua sinar hijau sirna.
"Titisanku sudah berada dalam sosok dua ekor ular kobra betina. Suto Angil, dua
ekor ular itu sekarang akan kuperintah masuk ke dalam tubuhmu lewat dua telapak
tangan yang terkembang. Jangan bergerak dan apapun yang terjadi kau harus
sanggup menahan sakit...."
Si kakek bernama Mangkutani yang hanya mendengar kata-kata Dewi Ular merasa
bergeming apalagi Suto Angil. Belum apa-apa dadanya sudah terasa sesak dan
mukanya menjadi pucat. Dia berusaha tabahkan diri. Dewi Ular keluarkan pekikan
keras dan goyangkan kepalanya. Dua ekor ular kobra laut belang tiga mendesis
panjang. Lalu laksana dua anak panah binatang-binatang itu melesat ke arah dua
telapak tangan Suto Angil.
"Craasss!"
"Craasss!"
Dua ekor ular menghunjam masuk ke dalam telapak tangan kiri kanan Suto Angil.
Darah muncrat. Laksana ditusuk pedang, begitu sakitnya membuat manusia tinggi
besar ini walau tidak bergerak dari duduknya di atas makam batu tapi tetap saja
tak mampu menahan jerit kesakitan yang meledak keluar dari mulutnya. Sekujur
tubuhnya mendadak sontak basah oleh keringat.
Secara aneh dua ular kobra laut yang menembus telapak tangan Suto Angil terus
menyusup masuk ke dalam tangan, terus amblas sepanjang lengan dan baru berhenti
begitu buntutnya lenyap dari permukaan masing-masing telapak tangan!
Suto Angil merasa nyawanya seperti terbang. Dadanya turun naik. Dia berusaha
agar tidak roboh di atas batu makam. Untuk beberapa lamanya rasa sakit masih
menguasai dirinya. Darah dalam tubuhnya laksana mengalir menyungsang.
"Suto Angil, titisanku berupa dua ekor ular kobra laut telah masuk dan berada
dalam tubuhmu. Sekarang kau telah membekal satu ilmu kesaktian yang tidak ada
duanya di dunia persilatan. Namun ilmu itu belum muncul kalau kau tidak
melakukan syarat-syarat yang akan kusebutkan. Apa kau bersedia menjalankan
syarat yang akan aku katakan Suto Angil?"
"Aku... aku akan menjalankan, Junjungan Dewi Ular," jawab Suto Angil masih
tercekat walau rasa sakit yang menjalari sekujur tubuhnya perlahan-lahan mulai
lenyap. "Syarat pertama. Setelah aku pergi kau harus bersamadi di tempat ini seorang
diri selama dua puluh satu hari. Kalau kau bisa bertahan kau akan hidup dan
dapatkan apa yang menjadi niatmu. Kalau nasibmu buruk dan umurmu pendek, mungkin
sebelum hari kedua puluh satu kau sudah jadi mayat di tempat ini! Pada akhir
samadimu, kau akan melihat tanganmu kiri kanan sebatas siku ke bawah terbungkus
oleh kulit ular kobra laut berwarna hitam, merah dan hijau. Itu berarti kau
telah memiliki sepasang sarung tangan sakti yang kuberi nama Sarung Tangan
Penyedot Batin! Inilah senjata yang dapat kau jadikan bekal untuk menjadi
penguasa rimba persilatan. Sarung tangan itu memiliki dua kekuatan hebat.
Suramnya Bayang Bayang 32 Pendekar Kelana Sakti 3 Iblis Lengan Tunggal Keris Pusaka Sang Megatantra 12
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya : Bastian Tito
Episode DENDAM DALAM TITISAN
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ SATU Ucapan orang berpakaian dan bercadar kuning untuk beberapa lamanya mengiang di
telinga Bidadari Angin Timur. Hatinya diharu biru oleh berbagai perasaan. "Tidak
ada yang paling bahagia di dunia ini selain menolong orang yang kita
cintai....'' "Aku memang mencintai dirinya sepenuh dan setulus hati. Namun kalau kasihnya
bukan untuk diriku" Kusaksikan dengan mata kepala sendiri dia bercinta dengan
Ratu Duyung di tepi telaga. Apakah hati ini masih mau untuk menolong" Jika
kemudian hari hanya memberi jalan dia diambil oleh gadis lain....?"
Orang bercadar di samping Bidadari Angin Timur yang tadinya siap bergerak kini
berpaling heran campur jengkel. "Gadis berambut pirang! Apa lagi yang membuatmu
bimbang"! Aku sudah siap bergerak. Kalau kau ingin orang yang kau cintai selamat
dan jika tidak mau melihat rimba persilatan ditimpa malapetaka besar lebih baik
kau segera berbuat!
Jangan menangis jika akhirnya kau menemui penyesalan hebat!"
Bidadari Angin Timur menatap sepasang mata orang yang tegak di hadapannya.
Yang dilihat saat itu seolah dua mata biru Ratu Duyung. Membuat rasa benci
membakar dirinya. Lalu tiba-tiba muncul bayangan wajah Pendekar 212 Wiro
Sableng. "Aku bicara penghabisan kali! Orang pandai sepertimu tidak boleh tertipu oleh
suara hati! Kalau kau tak sudi aku pun tak perduli!" kata orang bercadar dengan
ucapan yang selalu berpantun. Dia bergerak hendak memutar diri.
"Aku...." Bidadari Angin Timur akhirnya anggukkan kepala. "Aku siap!" Gadis
jelita ini tabahkan sikap dan kuatkan hati.
Begitu mendengar ucapan Bidadari Angin Timur orang bercadar segera bergerak ke
kanan. Berjalan tiga langkah lalu laksana terbang tubuhnya berkelebat cepat ke
arah Puti Andini yang saat itu bersama Panji berlindung di balik pohon dan semak
belukar. Seperti diperintahkan kakek botak, sepasang muda mudi ini terpaksa
menunggu di tempat itu. Si kakek merasa perlu menyelidik apa yang terjadi di
dalam rimba belantara yakni ketika berlangsung bentrokan hebat antara Sinto
Gendeng dan Sabai Nan Rancak sampai-sampai terbakarnya pepohonan. Selain itu dia
juga berusaha mencari tahu siapa adanya bayangan seseorang yang rnengundang
kecurigaan dan tahu-tahu muncul di sekitar situ.
Selagi menunggu itulah orang bercadar muncul dari balik semak belukar di sebelah
kanan. Panji hanya merasa sambaran angin yang membuat dirinya terhuyung dua
langkah. Di sampingnya Puti Andini masih sempat melihat berkelebatnya satu bayangan
kuning lalu merasakan satu tepukan di bahu kanannya. Dalam kagetnya gadis ini
gerakkan kedua tangan untuk mendorong orang yang disangkanya hendak menyerang.
"Breett!"
Gerakan Puti Andini luar biasa ringannya. Ini adalah berkat hawa sakti yang
memancar dari Pedang Naga Suci 212 yang saat itu ada di balik pakaiannya.
Walaupun dia tidak berhasil menyentuh tubuh namun Puti Andini masih sempat
merobek pakaian orang itu. Selagi dia berusaha mengejar tiba-tiba terdengar
teriakan Panji.
"Puti! Awas di samping kirimu!"
Pemuda ini melompat ke depan. Namun ada selarik angin kencang menahan gerakan
yang membuatnya terjengkang di tanah walau dia tidak mengalami cidera apa-apa.
Dendam Dalam Titisan
1 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Dengan cepat Puti Andini memutar tubuhnya ke kiri. Tapi kali ini dia masih kalah
cepat. Dia mencium bau sangat harum lalu ada orang berpakaian biru mendorongnya
ke belakang. Orang ini memiliki rambut panjang berwarna pirang yang melesat
demikian rupa menutupi mata hingga Puti Andini tidak sempat melihat wajahnya.
Selagi mengimbangi diri dia merasakan ada sentuhan halus pada bagian pinggang
sebelah kiri. Lalu si bayangan biru melesat ke kanan dan lenyap di balik pohon
besar. "Puti, kau tak apa-apa...?" tanya Panji seraya bangkit berdiri dan memegang
lengan gadis itu.
"Aku...." Puti Andini mendadak melihat baju hijau milik Panji yang dikenakannya
tersibak di bagian pinggang. Cepat dia meraba bagian tubuh itu. Lalu terpekiklah
gadis ini. Ada apa"!" tanya Panji yang melihat perubahan pada wajah si gadis.
"Pedang Naga Suci 212!" jawab Puti Andini dengan suara bergetar dan wajah pucat
pasi. "Senjata itu lenyap! Pasti si bayangan biru tadi yang mencurinya!" Si
gadis merasa sekujur tubuhnya menjadi lemas. Sampai-sampai dia jatuh terduduk
dan bersimpuh di tanah. Bahunya turun naik. Dadanya sesak menahan tangis. Dia
memandang berkeliling dengan mata nya lang membelalak.
"Sebelumnya aku menanyakan tentang pedang itu padamu. Kau tak mau menjawab.
Aku tidak tahu kalau kau menyimpannya di balik pakaian. Aku sama sekali tidak
melihat gagangnya menyembul. Lagi pula kulihat orang berpakaian biru tadi lenyap
tidak membawa pedang. Betapapun cepat gerakannya masakan aku tidak bisa melihat
pedang yang dicurinya. Coba kau periksa dulu. Mungkin masih ada...."
"Kau mana tahu bentuk pedang itu!" jawab Puti Andini jengkel. Lalu meraba-raba
sekitar pinggang dan perutnya. Gad is ini gelengkan kepala. Wajahnya ditutup
dengan kedua tangan. Tangisnya hampir meledak. Panji berusaha membujuk. Saat
itulah tiba-tiba menggelegar satu bentakan dahsyat.
"Gadis berbaju hijau! Lekas kau serahkan Pedang Naga Suci 212 padaku!"
Puti Andini tersentak. Cepat turunkan kedua tangannya dan memandang ke depan.
Empat langkah di hadapannya dilihatnya berdiri seorang kakek yang walau tua tapi
masih punya tampang klimis. Tubuhnya tinggi besar mengenakan jubah panjang
menjela tanah dan destar kain putih. Semula dia mengira Kiai Gede Tapa Pamungkas
yang tegak di depannya itu. Ternyata bukan. Orang tua tak dikenalnya ini tegak
dengan tangan kiri bertolak pinggang sedang tangan kanan diulurkan dengan sikap
meminta sesuatu. Jari-jari tangannya digerak-gerakkan. Wajahnya walau
menyunggingkan senyum angker dan dingin.
"Orang tua berdestar putih! Kau siapa"!" Panji yang berada di sebelah Puti
Andini ajukan pertanyaan.
"Pemuda gembel tak punya baju! Aku tidak bicara denganmu!" Orang tua tinggi
besar menjawab tanpa memandang pada Panji. Tangan kanannya dikibaskan dan
"wuttt!"
Satu gelombang angin menderu membuat Panji terhuyung-huyung lalu jatuh
menyangsrang di antara serumpunan semak belukar.
Melihat gelagat orang Puti Andini segera melompat bangkit. Diam-diam gadis ini
merasakan gerakannya tidak lagi secepat dan seringan sebelumnya. Ini tidak lain
karena saat itu Pedang Naga Suci 212 yang memberikan kekuatan hebat tidak ada
lagi padanya. "Aku berkata satu kali lagi! Lekas serahkan Pedang Naga Suci 212 padaku!"
"Aku tidak kenal kau! Dan aku tidak punya pedang yang kau minta!"
Dendam Dalam Titisan
2 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Si orang tua berdestar putih kembali menyeringai mendengar ucapan Puti Andini.
"Aku Sutan Alam Rajo Di Bumi datang jauh-jauh dari puncak Gunung Singgalang di
Pulau Andalas. Mana sudi mendengar cerita dusta! Mana sudi aku pergi berhampa tangan! Aku tahu
pedang sakti itu berada padamu! Aku meminta secara baik. Kalau kau tak mau
segera menyerahkan terpaksa aku akan mengambil berikut nyawamu sekalian!"
"Dulu aku pernah mendengar nama orang ini disebut-sebut guru," kata Puti Andini
dalam hati. Yang dimaksudkannya dengan guru adalah neneknya sendiri yakni Sabai
Nan Rancak. Belum sempat Puti Andini berpikir lebih panjang dilihatnya orang berjubah putih
di hadapannya ulurkan tangan. Saat itu jarak mereka masih terpisah empat langkah
namun seolah-olah bisa menjadi panjang tahu-tahu tangan kanan orang yang mengaku
bergelar Sutan Alam Rajo Di Bumi ini telah mencekik leher Puti Andini.
"Aku bisa mematahkan lehermu semudah aku mengedipkan mata!" kata Sutan Alam lalu
tertawa mengekeh.
"Orang tua kurang ajar! Jangan kau berani menyentuh tubuhnya! Lepaskan
cekikanmu!" teriak Panji. Pemuda yang sebelumnya telah dikibas hingga terpental
ini menerjang dan kirimkan satu tendangan ke arah pinggang si orang tua. Disaat
yang sama Puti Andini hunjamkan kaki kirinya ke arah selangkangan si orang tua.
Mendapat serangan berupa tendangan dari dua arah Sutan Alam Rajo Di Bumi membuat
gerakan aneh dan hebat. Tubuhnya melesat ke udara. Jubah putihnya mengembang
seperti kipas terbuka, tokoh sakti dari Pulau Andalas ini membuat gerakan
setengah lingkaran. Ketika dia menginjakkan kedua kakinya kembali ke tanah bukan
saja dia berhasil mengelakkan dua tendangan, tapi juga masih tetap mencekik
leher Puti Andini. Ha nya kini dia berdiri di sebelah belakang si gadis hingga
sulit bagi Puti Andini untuk menyerang.
Namun gadis cucu dan murid Sabai Nan Rancak ini tidak hilang akal.
Seperti diketahui gadis ini sebelumnya dikenal dengan julukan Dewi Payung Tujuh.
Tenaga dalamnya dipusatkan ke kaki. Dua tangan dikembangkan ke samping dengan
telapak tangan terbuka menghadap ke bawah. Begitu jari-jari tangannya
dijentikkan hingga mengeluarkan suara "klik... klik..." maka tubuh Puti Andini
bergerak naik ke atas, inilah gerakan atau jurus yang disebut Payung Mengarak
Awan. Sutan Alam Rajo Di Bumi terkejut sekali ketika dia tak mampu menghentikan
gerakan si gadis. Walau dia kerahkan tenaga dalam tetap saja tubuhnya ikut
terangkat naik ke atas. Sutan Alam tidak mau lepaskan cekikannya di leher Puti
Andini. Malah kini dengan geram dia pergunakan tangan kanan merabai sekujur
tubuh si gadis. Sepertinya dia tengah mencari sesuatu.
"Aneh! Apa betul pedang itu tidak ada padanya" Aku tidak menemukan apa-apa di
tubuhnya!" kata Sutan Alam dalam hati penuh heran.
Di mata Panji apa yang diperbuat oleh si orang tua adalah perbuatan kurang ajar.
Dengan geram dia melompat ke depan.
"Bukkk!"
Sutan Alam Rajo Di Bumi menggereng. Punggungnya barusan digebuk orang. Walau dia
tidak merasa kesakitan tapi amarahnya meluap.
Dengan gerakan kilat dia pergunakan dua jar; tangan kiri untuk menotok urat
besar di punggung Puti Andini hingga sekujur tubuh gadis ini menjadi kaku tegang
dan jatuh di Dendam Dalam Titisan
3 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
tanah. Disaat yang sama di bawah jubah putih panjang kaki kanan Sutan Alam Rajo
Di Bumi melesat ke arah bawah perut Panji. Pemuda ini tak sempat mengelak hanya
bisa berteriak keras.
Sesaat lagi anggota rahasia Panji akan hancur dimakan tendangan Sutan Alam dan
jiwanya tak akan tertolong tiba-tiba dan samping melesat satu bayangan putih.
Sutan Alam merasakan ada sambaran angin deras ke arah batok kepalanya. Kakek ini
cepat tundukkan kepala. Walau dia sanggup mengelak serangan maut itu namun tiba-
tiba dia merasa ada yang menjirat kaki kirinya yang menjejak tanah sementara
kaki kanan yang tadi dipakai menendang masih mengapung di udara.
Belum sempat Sutan Alam Rajo Di Bumi melakukan sesuatu mendadak satu sentakan
membuat kaki kirinya laksana dihantam kayu besar hingga terpental dan tak ampun
lagi tubuhnya terhuyung jatuh siap terbanting di tanah!
* * * Dendam Dalam Titisan
4 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ DUA Sutan Alam Rajo Di Bumi adalah seorang tokoh silat cabang atas yang punya nama
disegani di Pulau Andalas. Pada saat tubuhnya hampir jatuh terbanting ke tanah,
tangan kirinya cepat dipergunakan untuk menopang dirinya. Sesaat kemudian tampak
tubuh orang tua ini seolah membal ke udara. Lalu wuutt... wuutt... wuutt, Angin
deras menyambar. Bayangan putih berkelebatan. Ternyata begitu melompat dan
berdiri kembali Sutan Alam langsung menyerang prang yang barusan menjirat kaki
kirinya. "Bukk! Bukkk!"
Dua jotosan yang dilepaskan Sutan Alam Rajo Di Bumi mengenai sasaran. Bersarang
telak di bagian dada dan perut orang. Sesaat orang yang kena gebuk itu tegak tak
bergeming. Namun setelah itu kakinya terjajar dua langkah dan tubuhnya
terhuyung. Namun dia sama sekali tidak kelihatan cidera. Malah keluarkan tawa mengekeh
sambil gulung sebentuk benang putih halus yang tadi dipakainya untuk menjirat
kaki Sutan Alam.
Begitu benang tergulung dengan cepat disimpannya di balik pakaian putihnya yang
lusuh. "Tua bangka kepala botak! Kau sanggup menahan pukulanku! Siapa kau!" Bentak
Sutan Alam Rajo Di Bumi.
"Ha... ha...! Pukulanmu tadi lumayan mantap. Tapi apa gunanya memiliki ilmu
tinggi kalau dipergunakan menurut kehendak hati yang salah! Kakek berjubah kau
datang dari jauh tentu saja tidak mengenali diriku!" Menjawab orang yang
dibentak dan ternyata adalah kakek kepala botak. Sambil tertawa dia mengusap-
usap kepalanya yang licin berkilat. "Kau tidak kenal aku. Tapi aku cukup kenal
tampangmu! Bukankah kau yang di Pulau Andalas dikenal dengan julukan Sutan Alam
Rajo Di Bumi"!"
Sutan Alam Rajo di Bumi cepat menguasai diri agar wajahnya tidak berubah. "Kakek
botak ini tahu siapa aku. Aku sendiri tidak kenal padanya. Kalau melihat senjata
berupa benang halus putih yang tadi dipergunakannya untuk menjiratku berat
dugaan dia adalah....
Tapi wajahnya lain. Kepalanya botak. Hemmm.... Siapapun dia adanya agaknya dia
bukan manusia sembarangan. Dia sanggup menahan dua jotosan telakku yang
mengandung setengah tenaga dalamku!"
"Tua bangka botak! ternyata kau kenal aku! Harap kau mau memperkenalkan diri
hingga jelas kau ini teman atau lawan!"
Orang tua kepala botak tertawa panjang lalu menjawab.
"Teman atau lawan belum jelas. Mengapa kau menyerang gadis itu, menotoknya
sampai tidak berdaya. Mengapa kau hendak membunuh pemuda itu dengan tendangan
mengarah selangkangan! Lalu barusan kau menjotosku sampai dua kali! Sungguh
hebat! Menghantam dulu baru bertanya teman atau lawan! Apakah begitu adat para tokoh
silat dari tanah seberang"!"
Tampang Sutan Alam menjadi merah.
Sambil menyeringai kakek botak membungkuk mengambil sebuah batu sebesar ujung
ibu jari. Lalu batu itu dilemparkannya ke punggung Puti Andini yang tergeletak
di tanah. Tepat di tempat dimana Sutan Alam menotok sebelumnya. Serta merta
totokan yang menguasai gadis itu menjadi punah. Begitu lepas dari totokan Puti
Andini segera melompat dan langsung hendak menyerang Sutan Alam. Panji juga tak
tinggal diam. Dendam Dalam Titisan
5 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Kakek botak cepat angkat tangan kanannya dan berseru. "Tahan! Jangan menyerang!
Aku mengharapkan orang ini pergi dengan tenang dan kembali ke Pulau Andalas
dengan nyawa utuh di badan. Kehadiran manusia semacammu di tanah Jawa ini hanya
membuat onar dan mencari susah saja!"
"Susah senang diriku bukan urusanmu!" Sentak Sutan Alam Rajo Di Bumi.
"Begitu?" Kakek botak lalu tertawa panjang. "Jauh-jauh kau datang dari tanah
seberang hanya hendak berbuat kejahatan. Buktinya barusan kau hendak merampas
senjata yang dimiliki gadis itu!"
"Apa ada bukti aku mengambil dan memiliki senjata itu saat ini"!" Tanya Sutan
Alam pula dengan berang dan mata mendelik.
Wiro Sableng 100 Dendam Dalam Titisan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si botak kembali tertawa. "Orang seberang memang pandai bicara, pintar bersilat
lidah. Tapi jangan sampai prang di sini membungkam mulutmu hingga tak bisa
bicara atau melipat lidahmu hingga tak mampu bersuara! Bukankah lebih baik
bagimu cepat-cepat meninggalkan tempat ini"!"
"Aku akan pergi dengan satu syarat!" tukas Sutan Alam yang masih penasaran.
"Katakan apa maumu! Aku mulai muak melihat tampangmu!" kata kakek botak pula.
"Jika kau sanggup menahan satu pukulanku aku akan segera angkat kaki dari tempat
ini!" Kakek botak tertawa lebar. "Barusan kau sudah menjotosku sampai dua kali!
Rupanya kau masih penasaran!"
"Apakah kau takut menerima tantanganku"!" tanya Sutan Alam dengan nada dan mimik
mengejek. Kakek botak mendongak ke langit sambil usap-usap kepalanya. "Rupanya kau belum
puas. Rupanya kau masih punya ilmu simpanan. Hemmm.... Coba aku menerka. Ilmu
pukulan apa kira-kira yang hendak kau hadiahkan padaku. Hemmm... mungkin pukulan
Malaikat Maut Mendera Bumi" Pukulan yang kabarnya sanggup menembus batu bahkan
merobek dinding besi itu"!"
Kali ini Sutan Alam tak dapat lagi menyembunyikan perubahan wajah tanda
keterkejutannya. "Dia benar-benar banyak mengetahui tentang diriku!" membatin
Sutan Alam. Kakek botak kembali tertawa. "Hidup manusia tidak lama. Mengapa waktu
dipergunakan untuk berbuat yang tidak-tidak! Manusia setuamu seharusnya sudah
sejak dulu-dulu tobat dan insyaf...!"
"Botak, apa maksud ucapanmu"!" tanya Sutan Alam membentak.
"Begini saja Sutan Alam. Tak usah kau perlihatkan kehebatan pukulan Malaikat
Maut Mendera Bumi padaku. Cukup kau coba saja memutuskan benang buruk ini!"
Habis berkata begitu kakek botak keluarkan kembali gulungan benang putih
halusnya. Sekali tangannya bergerak benang itu melesat ke udara dan berputar-
putar di depan hidung Sutan Alam.
Saking geramnya diperlakukan seperti itu Sutan Alam segera menyambar benang
putih itu dengan kedua tangannya. Lalu dengan gemas benang itu ditariknya. Tapi
bagaimanapun dia mengerahkan tenaga benang halus putih itu tak sanggup
diputusnya. Kakek botak tertawa bergelak. Tangan kanannya disentakkan. "Wuuuttt!" Benang
putih tiba-tiba melesat berbuntal-buntal. Sutan Alam keluarkan seruan tertahan
ketika menyadari bahwa dua pergelangan tangannya tahu-tahu telah dilibat benang
putih! Dendam Dalam Titisan
6 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Didahului bentakan garang Sutan Alam Rajo Di Bumi melompat satu tombak ke atas.
Di udara dia membuat gerakan jungkir balik yang disebut Langit Runtuh Bumi
Bergoncang. Tubuhnya seolah lenyap masuk ke dalam jubah putih. Lalu tibatiba dua kakinya
mencuat ke bawah, melangkah cepat diatas benang putih halus. Sebagai tokoh silat
tingkat tinggi Sutan Alam tentu memiliki keringanan tubuh luar biasa. Itu
sebabnya dia mampu berjalan di atas benang halus. Namun, anehnya disaat yang
sama kakek botak merasa benang putihnya seolah ditindih satu batu raksasa yang
menggelinding ke arahnya. Benang putih melengkung ke bawah, hampir menyentuh
tanah. Pada saat itulah tiba-tiba bagian bawah jubah Sutan Alam membeset ke
depan laksana sambaran sebilah pedang.
"Breeettt!"
"Desss!"
Sutan Alam Rajo Di Bumi berdiri di tanah dengan air muka berubah. Dia pandangi
ujung jubahnya sebelah bawah. Seluruh jubah bagian depan robek besar hingga
kakinya yang biasanya tertutup kini tampak menyembul. Dia masih untung karena
tadi kakinya tidak ikut dibabat benang sakti yang ketajamannya melebihi mata
pedang. "Puluhan tahun hidup ditakuti lawan disegani kawan. Baru hari ini aku
diperlakukan orang seperti ini. Jubahku putus amblas. Kalau si botak ini benar-
benar punya niat jahat salah satu kakiku tadi pasti bisa ditabasnya dengan
benang saktinya. Hemmm.... Tak bisa tidak, manusia satu ini pasti setan alas
yang berjuluk Pendekar Gila Patah Hati alias Iblis Gila Pencabut Jiwa. Yang
lebih dikenal dengan gelar si Tua Gila!" Sehabis berkata dalam hati seperti itu
perlahan-lahan Sutan Alam Rajo Di Bumi angkat kepalanya, memandang ke arah kakek
botak. Tengkuknya terasa dingin.
Saat itu si kakek botak sendiri berdiri setengah tertegun sambil pandangi benang
saktinya yang putus. "Bukan main kemajuan ilmu kepandaian orang ini. Dia sanggup
melepas kakinya yang terjirat. Lalu memutus Benang Kayangan milikku...." Seperti
diketahui senjata berupa benang halus putih yang disebut Benang Kayangan adalah
milik Tua Gila Dari Andalas. Berarti kakek botak itu memang bukan lain adalah
Tua Gila yang tengah menyamar.
Sambil menggulung benang saktinya lalu menyimpannya di balik pakaian Tua Gila
angkat kepala menatap ke arah Sutan Alam Rajo Di Bumi. Untuk beberapa lamanya
dua pasang mata saling bentrokan. SUtan Alam berkedip lebih dulu pertanda ada
rasa gentar dalam hatinya.
"Tua bangka botak siapa dirimu aku sudah bisa menduga! Aku bersumpah akan
kembali mencarimu dalam waktu dekat. Saat ini karena ada urusan lain aku
terpaksa meninggalkanmu. Pada pertemuan kedua jangan bermimpi kau masih bisa
berdiri jual lagak di hadapanku!" ,
Kakek botak hanya ganda tertawa mendengar ucapan orang. Dia kurang yakin Sutan
Alam akan menyudahi persoalan begitu saja. Sebaliknya Panji yang sangat benci
melihat Sutan Alam membuka mulut lemparkan ejekan. "Kau pandai mencari alasan
untuk menghindar. Sebenarnya kau gentar menghadapi kakek sahabatku ini!"
Rahang Sutan Alam sesaat tampak menggembung. Dia acungkan jari telunjuk tangan
kirinya tepat-tepat ke muka si pemuda lalu berkata. "Kau adalah orang kedua yang
kelak akan kubunuh setelah tua bangka ini!"
Habis berkata begitu Sutan Alam segera berkelebat pergi. Tua Gila tak tinggal
diam. "Aku menaruh firasat manusia satu ini adalah racun biang kerok semua kejadian
dalam Dendam Dalam Titisan
7 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
rimba persilatan belakangan ini," kata si kakek dalam hati. Lalu dia berteriak.
"Sutan keparat! Kau mau lari ke mana!"
Tua Gila hentakkan dua kakinya ke tanah. Tubuhnya melesat dua tombak dan
mengejar ke arah lenyapnya Sutan Alam Rajo Di Bumi. Namun setelah mengejar cukup
lama dia tak berhasil menemukan Sutan Alam. "Sialan! Ilmu apa yang dipakai
manusia itu hingga bisa lenyap seolah raib?"
Sebenarnya Sutan Alam tidak memiliki kepandaian melenyapkan diri. Yang
dilakukannya adalah lari kencang ke. satu arah dengan dugaan bahwa lawan pasti
akan mengejar. Beg itu dia mengetahui Tua Gila memang mengejar maka Sutan Alam
berputar kembali dan lari ke jurusan datangnya semula. Dengan sendirinya Tua
Gila tak bakal dapat menemukannya karena kini orang yang dikejar berada jauh di
belakangnya! Begitu berhasil menipu Tua Gila dengan cepat Sutan Alam berbelok ke arah timur.
Dalam waktu singkat dia sampai ke satu tempat dimana di bawah sebatang pohon
besar duduk tersandar seorang nenek berjubah hitam berambut putih. Wajahnya yang
keriput tampak sangat pucat. Di pangkuannya tergeletak sebuah mantel hitam yang
robek di beberapa bagian. Nenek ini bukan lain adalah Sabai Nan Rancak yang
sebelumnya telah mengalami cidera akibat serangan tusuk konde Sinto Gendeng.
"Suto, aku gembira kau kembali ke sini dalam keadaan selamat.... Waktu kau tiba-
tiba muncul tadi dan pergi, aku khawatir kau tak akan kembali," menyapa Sabai
dengan memanggil Sutan Alam Rajo Di Bumi dengan nama aslinya.
"Kau kekasihku. Masakan akan kutinggal begitu saja. Apalagi saat ini kau berada
dalam keadaan terluka dan kita sama-sama di tanah orang," jawab Sutan Alam Rajo
Di Bumi sambil tersenyum. Diam-diam Sabai Nan Rancak merasakan ada satu keanehan
dalam senyum tokoh silat dari Andalas itu. Si nenek tidak sempat menduga-duga
lebih jauh karena saat itu pandangannya membentur jubah sebelah bawah Sutan Alam
Rajo Di Bumi alias Suto Abang.
"Apa yang terjadi Suto?" tanya Sabai Nan Rancak cemas lalu bangkit berdiri
sambil mengenakan Mantel Sakti.
"Aku gagal merampas Pedang Naga Suci 212. Padahal kalau senjata itu berada di
tanganku semua niat dan urusan pasti beres...."
"Kau tak boleh berputus asa Suto..." ujar Sabai Nan Rancak seraya mendekat dan
hendak memeluk Sutan Alam. Tapi si kakek jauhkan diri lalu diceritakannya apa
yang terjadi sambil melangkah mondar-mandir.
"Hendak kupeluk dia sengaja menjauh. Hatiku tak enak. Sikapnya sekali ini benar-
benar aneh...." Membatin Sabai Nan Rancak. Lalu dia berkata.
"Kakek kepala botak itu.... Aku menaruh curiga jangan-jangan dia adalah Sukat
Tandika alias Tua Gila. Aku pernah menemuinya."
"Justru dugaan itu memang yang ada dalam benakku!" jawab Sutan Alam Rajo Di
Bumi. Dia hentikan langkahnya lalu menatap tajam pada Sabai Nan Rancak. "Kalau
kau memang sudah menduga orang itu adalah Sukat Tandika alias Tua Gila, mengapa
tidak kau bunuh" Bukankah itu menjadi salah satu tugasmu"! Tapi kau tidak
melakukannya! Aku curiga Sabai! Jangan-jangan kau masih menaruh hati pada bekas
kekasihmu itu!"
Wajah keriput Sabai Nan Rancak menjadi merah padam.
"Suto Abang, ketahuilah olehmu. Sejak Sukat Tandika berlaku semena-mena dan
meninggalkan diriku seperti sampah! Aku tidak lagi menganggap dirinya manusia.
Tapi Dendam Dalam Titisan
8 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
setan yang harus aku bunuh dengan tanganku sendiri! Lalu sejak aku bertemu
denganmu, hati dan tubuhku hanya untukmu seorang. Walau sampai saat ini aku
masih terus menunggu karena janjimu untuk menikahiku secara sah belum juga kau
penuhi." Mulut Sutan Alam Rajo Di Bumi jadi terkancing mendengar kata-kata Sabai Nan
Rancak itu. Setelah berdiam diri beberapa lama baru dia berkata. "Aku harus meninggalkanmu
Sabai. Se-belum pergi aku ingin kau menyerahkan padaku Mantel Sakti dan Mutiara
Setan...."
Terkejutlah Sabai Nan Rancak mendengar ucapan Sutan Alam. "Kau.... Kau mau ke
mana Suto?"
"Aku tidak bisa mengatakannya padamu sekarang ini...."
Hati Sabai Nan Rancak menjadi tidak enak. "Kau bermain rahasia denganku. Tidak
Suto. Lama kita tidak saling temu. Apakah kau tidak merasa rindu" Kali ini aku
tak mau lagi berpisah denganmu. Ke mana kau pergi aku ikut. Apalagi keadaan
sekarang sedang gawat-gawatnya...."
Sutan Alam gelengkan kepala. "Kau tahu sudah tersiar kabar adanya pemusatan
kekuatan orang-orang persilatan tanah Jawa di tepi barat Telaga Gajahmungkur.
Aku yakin orang-orang Lembah Akhirat juga akan menyusun kekuatan dibantu para
tokoh yang bisa mereka rangkul...."
"Hemmm..." si nenek bergumam. "Menurutmu kau belum lama menginjakkan kaki di
tanah Jawa ini. Tapi ternyata kau tahu banyak apa yang terjadi dalam dunia
persilatan di sini."
Sutan Alam tidak menjawab. Dia maju lebih dekat dan berkata. "Mantel dan Mutiara
Hitam itu, Sabai.... Aku tak punya waktu banyak."
Sabai Nan Rancak menatap wajah Sutan Alam beberapa lamanya. Lalu perlahan-lahan
dibukanya Mantel Sakti dan diserahkannya pada Sutan Alam. Dari balik jubah
hitamnya dia mengeluarkan sebuah kantong kain. Kantong ini berisi senjata
rahasia berupa Mutiara Hitam. Baik mantel maupun mutiara seperti diketahui
adalah milik Datuk Tinggi Rajo Di Langit yang kini berganti gelar sebagai Jagal
Iblis Makam Setan. Begitu menyerahkan kantong berisi Mutiara Setan, Sabai Nan
Rancak berkata, "Suto, dulu kau yang menyuruh aku mencari dan mendapatkan mantel
serta mutiara. Sekarang mengapa kau meminta dua senjata sakti ini?"
"ingat percakapan kita di Singgalang pada pertemuan terakhir dulu, Sabai" Aku
memintamu untuk mencari dan mendapatkan dua senjata sakti ini. Setelah dapat kau
harus mempergunakan senjata-senjata ini untuk membunuh Tua Gila, Sinto Gendeng
dan Pendekar 212 Wiro Sableng! tapi apakah kau telah berhasil melakukan tugas-
tugasmu itu Sabai" Apakah masih ada gunanya Mantel Sakti dan Mutiara Setan
berlama-lama di tanganmu tanpa kau mampu melakukan sesuatu" Bukankah lebih baik
dua senjata kini berada di tanganku agar bisa kupergunakan untuk melaksanakan
tugas yang kau tidak sanggup melakukan"!"
Paras Sabai Nan Rancak jadi berubah. Namun dalam hatinya nenek ini membatin.
"Aku mulai menyangsikan manusia satu ini. Sikap dan cara bicaranya tampak
berubah. Dia sama sekali tidak memperlihatkan kasih sayangnya yang selama ini
diagung-agungkannya padaku. Dia merahasiakan kemana mau pergi. Aku harus
menguntit dirinya, Aku...."
Dendam Dalam Titisan
9 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Begitu Sutan Alam Rajo Di Bumi berkelebat pergi, Sabai menunggu beberapa saat
baru bergerak mengikuti secara diam-diam.
* * * Dendam Dalam Titisan
10 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ TIGA Panji memegang bahu Puti Andini yang saat itu terduduk di tanah sambil menutupi
wajah dengan dua tangan berusaha menahan tangis. Dalam hati berulangkali si
gadis menyesali dan memaki diri sendiri. "Tololnya aku ini! Diberi kepercayaan
untuk memegang Pedang Naga Suci 212. Sekarang pedang sakti itu lenyap dicuri
orang! Ya Tuhan!
Tua Gila pasti akan marah besar mengetahui keteledoranku ini! Bagaimana aku akan
menolong Pendekar 212 dari malapetaka yang menimpa dirinya" Waktu tertinggal
sempit sekali. Hanya sampai nanti malam! Celakalah dunia persilatan!"
"Puti, tak usah bersedih. Kita akan cari pedang itu sampai dapat. Sekarang..."
kata Panji lalu duduk berlutut di hadapan Puti Andini sambil dua tangannya
diletakkan di atas pundak si gadis kiri kanan.
Sentuhan tangan Panji membuat si gadis merasa agak lega. Tanpa sadar gadis ini
rangkulkan tangannya ke punggung Panji dan sandarkan wajahnya di dada si pemuda
yang diam-diam disukai dan kepada siapa dia sudah jatuh hati.
"Rasanya saat ini aku ingin mati saja!" kata Puti Andini setengah berbisik.
Nafasnya menghangati dada Panji yang tidak mengenakan baju. Pemuda beranting
emas ini turunkan kepalanya, mencium mesra rambut Puti Andini. Si gadis pejamkan
sepasang matanya yang bening, terbuai oleh kemesraan yang selama ini memang
selalu didambakannya. Kalau tidak dalam keadaan seperti saat itu mungkin dia
tidak akan malu-malu memeluk dan menciumi dada Panji. Panji sendiri hampir lupa
diri kalau saja wajah Anggini, murid Dewa Tuak tidak muncul secara tiba-tiba dan
aneh di pelupuk matanya.
Puti Andini angkat wajahnya, menatap paras si pemuda sesaat. "Kau memikirkan
sesuatu, Panji...?"
Panji tidak menjawab.
"Pernahkah kau memikirkan tentang diri kita berdua, Panji?"
"Sudahlah. Lebih baik kita tinggalkan tempat ini. Kita harus mengejar dan
mencari kakekmu orang tua botak itu...."
"Aku takut bertemu dengannya. Dia pasti marah besar!"
"Marah atau tidak kita tetap harus mencari kakekmu itu. Menceritakan apa yang
telah terjadi," ujar Panji pula.
Tapi agaknya Puti Andini tidak mau berlaku cepat-cepat. Rangkulannya di tubuh
Panji semakin kencang. Ketika Panji hendak mencium tengkuk si gadis tiba-tiba
ada suara berdehem. Satu bayangan berkelebat.
Kakek kepala botak kembali muncul di hadapan sepasang muda mudi itu. Melihat
siapa yang tegak di hadapannya Puti dan Panji serta merta lepaskan pelukan
masing-masing. Puti Andini segera jatuhkan diri dan pegangi kedua kaki Tua Gila.
"Aku sudah tahu Pedang Naga Suci 212 lenyap dirampas orang! Mau apa lagi! Tapi
aku ingin tahu bagaimana kejadiannya!" ujar Tua Gila.
Setengah meratap Puti Andini lantas ceritakan apa yang terjadi. Wajah Tua Gila
yang tersembunyi di balik topeng tipis berubah kelam. Kepalanya yang botak
dipukulnya berulangkali sedang kakinya di-banting-bantingkan ke tanah hingga
menimbulkan getaran hebat.
Wiro Sableng 100 Dendam Dalam Titisan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dendam Dalam Titisan
11 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Puluhan tahun aku menunggu. Setelah dapat pedang sakti dicuri orang! Sutan Alam
Rajo Di Bumi ikut-ikutan hendak menguasainya. Kukejar jahanam itu kabur
melenyapkan diri!" Tua Gila menatap Puti Andini dan Panji bergantian. "Apa
kalian tahu siapa si pencuri itu?"
Panji memperlihatkan secarik sobekan kain kuning yang tadi dijatuhkan Puti
Andini di tanah. "Puti berhasil merobek pakaian si pencuri. Namun kami tak bisa
menduga siapa dia adanya. Orang itu bergerak cepat luar biasa. Sebelum kami bisa
melihat sosoknya sudah lenyap. Selain itu kami juga melihat ada satu bayangan
biru disertai menebarnya bau sangat wangi. "Tua Gila mengambil sobekan kain
kuning dari tangan Panji. Matanya membeliak besar memperhatikan kain itu. "Kain
kuning, orang berpakaian biru dan bau wangi. Berarti ada dua orang bersekongkol
mengerjaimu, Puti!"
"Maafkan saya Kek. Apakah kau bisa menduga siapa mereka adanya" Biar kucari
sampai ke neraka sekalipun!" kata Puti Andini pula dengan mata memancarkan sinar
geram. "Siapa lagi kalau bukannya manusia bercadar kuning itu. Kawannya pasti gadis
berambut pirang yang dijuluki Bidadari Angin Timur!"
Baik Puti Andini maupun Panji sama-sama terkejut mendengar ucapan kakek botak.
"Tapi Kek..." kata si gadis pula. "Bukankah dua orang itu masih kawan kita
sendiri" Orang-orang sehaluan dalam golongan putih?"
"Dunia persilatan saat ini sudah sangat kacau balau! Sulit diduga mana teman dan
mana lawan! Bukan mustahil mereka berdua telah terperangkap masuk ke dalam
kelompok manusia jahat. Jadi kaki tangan batuk Lembah Akhirat!" jawab Tua Gila.
"Sebelum malam tiba kita harus dapat mencari mereka!"
Tiba-tiba terdengar suara kaleng berkerontang keras memekakkan telinga.
"Tua bangka sialan itu! Mengapa pula dia muncul lagi di tempat ini!" memaki Tua
Gila. Baru saja Tua Gila memaki begitu tiba-tiba kakek bercaping yang mengerontangkan
kaleng sudah muncul di hadapannya. Temyata dia tidak sendirian. Ada beberapa
orang lain ikut datang di tempat itu,
"Kalian semua! Aku muak melihat kalian!" mendamprat Tua Gila.
Terdengar suara tertawa melengking tinggi. Yang tertawa ternyata Sinto Gendeng,
guru Pendekar 212. Di sampingnya berdiri kakek yang dikenal dengan julukan Setan
Ngompol. Tak jauh dari mereka berdiri Sika Sure Jelantik. Lalu di jurusan Iain
terlihat pula si bocah Naga Kuning, Iblis Pemalu, Pendekar 212 Wiro Sableng
didampingi Ratu Duyung.
"Kalian bertiga!" Tiba-tiba Sinto Gendeng keluarkan suara melengking keras
sambil menunjuk dan memandang melotot pada kakek kepala botak yang masih belum
diketahuinya siapa adanya.
"Salah satu dari kalian yang memegang Pedang Naga Suci 212. Lekas serahkan
padaku atau kubuat tempat ini jadi neraka bagi kalian bertiga!"
Semua orang memandang ke depan. Semua mata membelalak terkejut. Nenek sakti dari
puncak Gunung Gede ini agaknya tidak main-main. Saat itu dia berdiri dengan
tangan kiri memegang tiga tusuk konde perak yang merupakan senjata beracun dan
sangat mematikan. Lalu tangan kanannya yang diangkat di atas kepala tampak
memancarkan cahaya putih perak pertanda dia siap melepaskan pukulan sakti Sinar
Matahari! Sepasang Dendam Dalam Titisan
12 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
mata cekung si nenek membeliak galak. Pelipisnya berg era k-g era k dan mulutnya
yang perot berkomat-kamit terus-terusan.
"Nek...!" Wiro yang melihat keadaan gurunya itu berusaha mengatakan sesuatu tapi
segera dibentak oleh Sinto Gendeng.
"Anak setan! Jangan kau banyak bacot! Gara-gara kau urusan jadi kapiran begini
rupa! Berani kau bicara lagi kurobek mulutmu!"
Wiro masih berusaha hendak melangkah mendekati gurunya tapi Ratu Duyung cepat
memegang lengannya seraya berbisik. "Jangan menambah keruh suasana. Lekas
berdiri di belakangku. Kalau terjadi apa-apa aku masih bisa melindungi dirimu.
Dalam keadaan seperti ini bukan mustahil gurumu ketelepasan tangan!"
Wiro hentikan langkahnya. Sambil garuk-garuk kepala akhirnya dia bergerak ke
belakang Ratu Duyung.
"Sinto," Setan Ngompol berbisik. "Kalau berteriak jangan keras-keras. Nanti aku
bisa ngom..."
Ucapan Setan Ngompol terputus. Tendangan kaki kiri Sinto Gendeng mendarat di
bawah pusarnya.
"Dukk!"
Setan Ngompol mengeluh tinggi. Tubuhnya mencelat tiga langkah lalu jatuh duduk
di tanah. "Serrrr!" Saat itu juga kakek ini mancurkan air kencing.
"Jahatnya kau Sinto. Padahal aku tadi sudah mampu menahan kencing. Sekarang aku
malah jadi beser berat!" kata Setan Ngompol seraya mencoba bangkit berdiri. Tapi
tersentak jatuh kembali begitu Sinto Gendeng membentak keras.
"Pedang Naga Suci 212! Lekas serahkan padaku atau kalian bertiga mampus semua!"
Tangan kiri kanan Sinto Gendeng bergerak.
"Tunggu dulu!" Tiba-tiba Sika Sure Jelantik berseru keras. "Aku yang pertama
sekali mendapatkan Pedang Naga Suci 212! Jadi harus diserahkan kembali padaku!"
"Tua bangka jelek! Jangan kau berani pentang bacot di hadapanku!" damprat Sinto
Gendeng. "Lebih baik kau kembali ke kampungmu sebelum kau ku-bantai di tempat
ini! Kau biang kerok semua kekacauan ini!"
Si nenek berambut putih Sika Sure Jelantik dongakkan kepala lalu tertawa
mengekeh. Tawanya dihentikan dengan tiba-tiba lalu dia meludah ke tanah. "Dasar perempuan
gendeng! Rupanya kau tidak pernah berkaca! Pantatku jauh lebih cantik dari
mukamu! Rambutmu sudah sulah. Mulutmu pencong, kulitmu hitam seperti arang! Hik...
hik... hik!"
Marahlah Sinto Gendeng diejek begitu rupa. Dari tenggorokannya keluar suara
menggereng. Matanya yang cekung berapi-api seolah hendak melompat keluar. Dia
memutar tubuh ke arah Sika Sure jelantik. Tapi kakek botak yaitu Tua Gila cepat
menghalangi gerakannya.
"Sinto, jangan tertipu oleh gejolak darah. Jangan terhasut oleh hawa amarah.
Terus terang aku katakan padamu Pedang Naga Suci 212 tidak ada pada kami
bertiga. Kau tidak akan mendapatkannya sekalipun kau membunuh kami semua! Pedang
sakti itu lenyap dicuri orang!"
"Kentut busuk! Jangan berani mengarang cerita!" hardik Sinto Gendeng.
"Aku bersumpah Nek!" kata Puti Andini. "Senjata sakti itu memang telah dicuri
orang. Kami tidak tahu pasti siapa pencurinya. Ada dua orang. Salah satu dari
mereka mengenakan pakaian kuning. Robekan bajunya masih ada di tangan kakek
botak itu!"
Dendam Dalam Titisan
13 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Semua mata diarahkan ke tangan kanan kakek botak. Memang mereka melihat si kakek
memegang sobekan kecil sehelai kain kuning.
"Kalau kau masih kurang percaya silahkan menggeledah diriku luar dalam." Kata si
kakek botak pula sambil menyengir.
"Siapa sudi menyentuh tubuhmu yang bau!" tukas Sinto Gendeng.
Sesaat suasana menjadi sunyi senyap. Kesunyian dirobek oleh suara kerontangan
kaleng Kakek Segala Tahu. Lalu untuk pertama kalinya kakek buta ini membuka
mulut. "Kalian semua orang-orang tolol! Waktu tinggal sedikit sebelum malam datang.
Mengapa mau saling berbunuhan dan bukannya mengatur cara yang baik untuk mencari
pedang sakti itu" Aku tak mau melibatkan diri lebih lama dengan kalian. Aku mau
pergi. Tapi sebelum pergi sekali lagi aku bilang pada kalian. Jangan terlambat
berkumpul di tepi barat Telaga Gajahmungkur malam nanti, Sekarang aku mau tahu
apa anak konyol bernama Naga Kuning ada di tempat ini?".
"Aku memang ada di sini Kek!" menjawab Naga kuning seraya keluar dari balik
serumpunan semak belukar.
"Bagus! Kalau begitu lekas ikuti aku!" kata Kakek Segala Tahu pula seraya
mengerontangkan kaleng dan "memutar tubuh.
"Eh, kau mau membawa aku ke mana Kek?"
"Sudan, jangan banyak tanya. Aku perlu bantuanmu untuk menyelidik ke Lembah
Akhirat...."
Berubahlah paras si bocah sementara yang Iain-Iain terheran-heran. "Kau menyuruh
aku masuk ke sarang macan Kek!"
"Bagimu sarang macan masih jauh lebih baik dari liang kubur! terserah kau mau
memilih mana! Lagi pula aku tahu. Semasa Kiaimu si Gede Tapa Pamungkas bersamadi
bertahun-tahun di Gajahmungkur, kau sudah menggentayangi kawasan ini
berulangkali!"
jawab Kakek Segala Tahu sambil melangkah terus tanpa perdulikan kebingungan si
bocah. "Kek, apa yang musti aku selidiki di Lembah Akhirat?" tanya Naga Kuning sambil
melangkah di belakang Kakek Segala tahu.
Orang tua bercaping bambu itu goyangkan kaleng rombengnya di samping telinga
kiri si bocah hingga Naga Kuning terlompat setengah tombak dan menjerit. "Kau
mau memecahkan liang telingaku Kek!"
Kakek Segala Tahu menyeringai. "Justru aku ingin agar kau memasang telinga,
mendengar baik-baik! Kau tahu para tokoh sahabatku yang berkumpul di tepi barat
telaga cuma bertindak menurut nafsu. Mereka ingin menghancurkan Lembah Akhirat.
Membunuh Datuk Lembah Akhirat. Tapi mereka tidak tahu siapa adanya sang Datuk.
Sampai dimana ilmu kesaktiannya. Senjata apa saja yang dimilikinya. Siapa saja
para pembantunya!"
"Lalu apa kau sendiri tahu, Kek?" tanya Naga Kuning. Sambil melengos anak itu
cibirkan bibirnya.
"Hemmm.... Walau sedikit tapi aku lebih tahu dari para tokoh geblek itu! Bocah
sialan! Jangan kau "berani mengejekku! Aku suruh kau ke sana justru buat
menyelidik! Siapa saja yang sudah bergabung menjadi kaki tangan batuk Lembah Akhirat. Apa
kekuatan dan kelemahan sang Datuk. Aku mendengar mereka adalah orang-orang aneh
yang jalan pikiran dan perbuatannya aneh tidak wajar. Di atas semua itu ada satu
hal yang sangat penting. Aku menyirap kabar bahwa Datuk Lembah Akhirat memiliki
sepasang sarung Dendam Dalam Titisan
14 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
tangan iblis. Senjata itu bukan saja sanggup membunuh lawan tapi sekaligus
menyedot tenaga dalam korbannya! Nah, itu yang perlu kau selidiki!"
"Walah! Tugasku berat amat Kek! Kalau aku tertangkap bisa-bisa tubuhku hanya
tinggal taburan debu merah, hijau atau hitam!"
"Kalau kau menolak perintahku, saat ini juga tubuhmu akan kujadikan taburan tahi
kuning!" kata Kakek Segala Tahu pula lalu tertawa mengekeh dan goyangkan kaleng
tiga kali berturut-turut.
Setelah Kakek Segala Tahu dan Naga Kuning meninggalkan tempat itu, semua orang
yang ada di sana baru menyadari kalau Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ratu Duyung
juga telah lenyap dari tempat itu. Disaat yang sama kakek botak memberi isyarat
pada Put! Andini dan Panji untuk segera pula berlalu dari situ.
Sinto Gendeng menggerendeng panjang. "Celaka si anak setan itu. Kalau pedang
sakti tidak bertemu dan keadaannya tidak bisa dipulihkan sebelum tengah malam
nanti tamatlah riwayatnya! Aku punya firasat, turut apa yang diucapkan gembel
buta tadi. Malam nanti akan terjadi satu peristiwa besar di Gajahmungkur!
Celaka! Benar-benar celaka anak setan itu!"
Sinto Gendeng melirik pada Sika Sure Jelantik yang tegak di samping kirinya lalu
memberi isyarat pada kakek bermata jereng Setan Ngompol. Dua orang ini segera
tinggalkan tempat itu.
Sika Sure Jelantik yang tinggal sendiri sesaat berpikir. "Apa yang aku lakukan
sekarang" Mengikuti rombongan kakek botak. Atau menguntit Sinto Gendeng dan
Setan Ngompol. Atau mengejar ke arah lenyapnya Wiro Sableng dan Ratu Duyung"
Atau baiknya aku kembali saja ke Lembah Akhirat...." Setelah berpikir sejenak
akhirnya nenek berambut riap-riapan ini mengambil keputusan untuk mengikuti
rombongan kakek botak karena dia menduga Pedang Naga Suci 212 masih berada pada
kakek itu atau pada Puti Andini.
* * * Dendam Dalam Titisan
15 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ EMPAT Sebelum mengikuti penguntitan yang dilakukan Sabai Nan Rancak atas diri Sutan
Alam Rajo Di Bumi alias Suto Abang serta apa pula yang bakal dilakukan si nenek
bernama Sika Sure Jelantik, kita kembali dulu pada satu peristiwa yang terjadi
pada masa sekitar tujuh bulan sebelumnya.
Di satu bukit yang menghadap ke pantai selatan. Di atas sebuah makam tua terbuat
dari batu yang telah gugus, duduk bersila seorang kakek bermuka lancip. Rambut
panjang, kumis serta janggutnya berwarna kelabu, melambai-lambai ditiup angin.
Sepasang matanya terpejam dan dari mulutnya tiada putus-putusnya keluar suara
meracau seperti orang membaca mantera. Tempat itu dipenuhi bau kemenyan yang
dibakar di dalam sebuah pendupaan dan diletakkan di kepala makam.
Di depan kakek yang mengenakan jubah hitam gombrong ini duduk seorang lelaki
bertubuh tinggi besar, kepala dan wajahnya tertutup rambut panjang awut-awutan,
kumis tebal, cambang bawuk serta janggut liar. Seperti si kakek, lelaki ini juga
mengenakan sehelai jubah hitam sangat gombrong. Dari mukanya yang garang
kelihatan bahwa orang ini sudah, tidak sabaran. Sebentar-sebentar dari hidungnya
keluar suara mendengus. Lalu mulutnya komat-kamit berulangkali.
Telah tujuh hari tujuh malam kedua orang itu berada di makam batu di puncak
bukit tersebut.
Siang dihantam sengatan sinar matahari dan malam dihajar hawa dingin luar biasa.
Kalau tidak karena satu urusan sangat penting orang tinggi besar mungkin sudah
meledak kesabarannya dan tinggalkan tempat itu dengan kutuk serapah.
Tepat di pertengahan malam, di kejauhan terdengar suara salakan anjing. Lalu di
langit kelam serombongan burung hitam berkelebat dengan sayap-sayap berkesiuran.
Di atas makam burung-burung itu menukik rendah lalu melesat dan akhirnya
lenyap'' dalam kegelapan. Di arah timur mendadak ada sinar terang disusul suara
keras laksana petir menyambar membuat orang tinggi besar tersentak kaget. Tapi
kakek berwajah lancip tetap tenang saja. Perlahan-lahan sepasang matanya yang
sejak tujuh hari lalu terpejam membuka.
Memperhatikan keadaan mata orang tua ini bergidiklah kawan di depannya. Mata si
kakek membuka besar tapi membelalak begitu rupa dan hanya bagian putihnya saja
yang kelihatan!
Suara racauan kakek yang duduk di atas makam batu itu secara perlahan-lahan
berhenti, tubuhnya bergetar hebat. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara halus.
Suara perempuan yang tidak diketahui dari mana datangnya dan juga tidak
kelihatan ujudnya.
"Malam ini malam Jum'at Kliwon. Malam terpuji dari empat puluh malam yang ada.
Malam sakti dari empat puluh kesaktian yang ada. Malam permintaan bagi yang
meminta. Malam perjanjian bagi yang mau berjanji..."
Orang tinggi besar berjubah hitam gombrong tambah dingin tengkuknya. Dia
mendongak ke atas.
Suara yang didengarnya tadi seolah ada di atas ubun-ubun kepalanya. Dia
memandang berkeliling. Tak kelihatan apa-apa.
Dendam Dalam Titisan
16 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Dua anak manusia di atas makam.... Tujuh hari tujuh malam kalian berada di
tempat ini. Ini adalah malam ke tujuh, malam Jum'at Kliwon di mana segala
permintaan yang baik maupun yang jahat akan dikabulkan. Katakan siapa diri
kalian berdua...."
Si kakek berwajah lancip dan dua mata masih terbalik putih segera menjawab.
Wiro Sableng 100 Dendam Dalam Titisan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku Mangkutani yang biasa disebut Ki Juru Tenung. Temanku bernama Suto Angil.
Kami berdua menghaturkan sembah hormat atas kesudian Junjungan datang ke tempat
ini. Kami akan lebih bersyukur kalau Junjungan sudi memperlihatkan diri...."
"Katakan dulu maksud dan tujuanmu bersamadi di atas makam tua di bukit yang
menghadap ke laut selatan ini. Kalau aku dan penguasa samudera berkenan, dengan
syarat-syarat tertentu mungkin permintaanmu akan dikabulkan. Tapi kalau
permintaan kalian ditolak maka malam ini akan menjadi malam laknat bagi kalian
berdua. Kalian akan kubunuh di tempat ini juga!"
Sesaat sepasang mata putih kakek bernama Mangkutani berputar terbalik-balik.
Sebentar putih sebentar hitam lalu putih lagi. Sementara itu orang yang bernama
Suto Angil jadi pucat tampangnya dan mengkirik dingin bulu kuduknya.
"Junjungan, aku bersamadi mewakili Suto Angil. Kami berada di sini dengan niat
baik yakni mengharapkan turunnya berkah bagi kami berdua...."
"Berkah berupa apa anak manusia" Harta, uang atau jabatan"!" tanya suara
perempuan tanpa ujud.
"Junjungan, kami tidak menginginkan harta atau uang. Tidak pula jabatan..."
jawab Mangkutani.
"Aneh! Lalu kalian inginkan apa" Bidadari dari dasar lautan atau bidadari dari
ujung langit"!"
"Juga tidak wahai Junjungan! Suto Angil adalah orang dari dunia persilatan.
Cita-citanya sangat besar ingin menguasai rimba persilatan. Namun bekal ilmu
yang dimilikinya tidak memungkinkan dia melaksanakan niatnya itu. Karena itulah
saat ini jika Junjungan sudi mengabulkan aku ingin memintakan satu bekal
kekuatan baginya. Bekal itu entah berupa apa kami serahkan pada Junjungan...."
Perempuan tanpa ujud tidak segera menjawab. Lalu terdengar suara tawa halus.
"Menguasai rimba persilatan adalah satu hal yang dimimpi-mimpikan oleh setiap
orang persilatan. Aku pun dulu pernah menginginkan hal itu. Namun ajalku lebih
dulu sampai. Aku sangat tertarik mendengar permintaan kawanmu itu, Mangkutani. Aku akan
mengabulkan dengan beberapa syarat...."
Mendengar ucapan tanpa ujud itu Mangkutani alias Ki Juru Tenung segera jatuhkan
diri, bersujud di tanah. Suto Angil segera ikuti apa yang diperbuat si kakek.
Setelah disuruh bangkit baru keduanya duduk bersila kembali. Saat itu kelihatan
bahwa sepasang mata Mangkutani tidak lagi membeliak putih.
"Mangkutani dan Suto Angil. Putar duduk kalian. Menghadaplah ke arah lautan!"
Mendengar perintah, di atas makam batu Mangkutani dan Suto Angil segera memutar
duduk menghadap ke arah lautan luas yang dibungkus kegelapan malam.
"Kalian berdua aku perintahkan membuka mata besar-besar. Jangan berkedip sebelum
kalian melihat sesuatu di depan kalian!" Suara perempuan tanpa ujud terdengar
keras dan lantang. Maka dua orang di atas makam batu itu segera saja membuka
mata lebar-lebar, memandang ke depan.
Dendam Dalam Titisan
17 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Tiba-tiba di bawah sana, di dalam laut seolah-olah keluar dari dasar laut ada
dua kilatan cahaya aneh masing-masing sepanjang satu tombak. Dua cahaya ini
mencuat ke permukaan laut terus melesat di udara malam dan sesaat kemudian
keduanya telah berada di hadapan Mangkutani dan Suto Angil, mengapung di udara
dalam ujud dua ekor ular kobra atau ular sendok besar. Masing-masing binatang
ini memiliki tiga warna yakni hitam, merah dan hijau.
Dua orang di atas makam batu menjadi gemetar. Membeliak dan tak berani bergerak
atau keluarkan suara.
"Suto Angil...." Tiba-tiba suara perempuan tanpa ujud terdengar kembali.
"Katakan apa yang kau lihat di depan matamu"!"
"Aku... aku melihat dua ekor ular besar..." jawab Suto Angil dengan suara
gemetar. "Kau tahu ular jenis apa yang kau lihat?"
"Aku... aku kurang tahu Junjungan...."
"Dua ekor ular itu adalah ular-ular kobra laut betina yang akan kuberikan padamu
sesuai dengan permintaanmu untuk dibekali sesuatu hingga bisa menguasai rimba
persilatan...!"
Mangkutani kerenyitkan kening. Suto Angil tersentak kaget. Kedua orang ini tidak
mengira kalau dua ekor ular berbisa itulah yang mereka dapat. Padahal mereka
mengharapkan bekal berupa senjata atau jimat.
Manusia tanpa ujud tertawa panjang. "Kulihat kalian berdua seperti ketakutan
setengah mati. Hik... hik... hik. Jangan khawatir! Suto Angil, aku tidak akan
membekalimu dengan ular-ular sendok dalam keadaan hidup itu. Sebelum aku memberi
tahu apa yang akan kulakukan, terlebih dulu aku akan memperlihatkan diri pada
kalian. Pejamkan mata kalian. Baru dibuka bila mendengar suara tiupan angin
menyerupai suara seruling di kejauhan...."
Serta merta Mangkutani alias Ki Juru Tenung dan Suto Angil pejamkan mata masing-
masing. Saat mata mereka tertutup di sebelah depan ada cahaya terang. Bersamaan
dengan itu terdengar suara siuran angin dari arah laut yang menyerupai bunyi
tiupan seruling. Lalu udara di sekitar makam batu itu menjadi sangat dingin. Bau
sangat wangi menusuk hidung mengalahkan harumnya kemenyan yang dibakar dalam
pendupaan. Perlahan-lahan dengan rasa takut mencekam Mangkutani dan Suto Angil buka kembali
mata mereka yang barusan dipejamkan. Dua orang ini tercekat melihat pemandangan
yang terpampang di depan mereka.
* * * Dendam Dalam Titisan
18 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ LIMA Dihadapan Mangkutani dan Suto Angil saat itu, seolah mengapung di udara tegak
berdiri seorang perempuan sangat cantik yang di atas kepalanya ada sebuah
mahkota terbuat dari emas berbentuk seekor ular. Dia mengenakan pakaian dalam
hijau tipis. Karena seolah ada cahaya yang menerangi dirinya maka tubuhnya
seperti tidak terbungkus apa-apa.
Sesaat setelah dapat menguasai diri dari keterkejutan masing-masing, Mangkutani
dan Suto Angil segera jatuhkan diri bersujud. Setelah diperintahkan bangkit baru
mereka kembali duduk bersila. Namun mereka tidak berani menatap ke bagian atas
tubuh perempuan berbaju hijau. Mereka tundukan kepala hanya memperhatikan
sepasang kaki yang bagus.
"Junjungan, kami berterima kasih kau telah sudi memperlihatkan diri..." kata
Suto Angil. "Aku terlahir bernama Kunti Arimbi yang kemudian dikenal dengan sebutan Dewi
Ular...." "Ah!"
Mangkutani dan Suto Angil sama-sama keluarkan seruan tertahan. Beberapa waktu
yang lalu orang rimba persilatan mana yang tidak pernah mendengar nama Dewi
Ular. Cuma diam-diam kedua orang itu merasa heran sendiri. Dewi Ular mereka ketahui
telah tewas beberapa waktu lalu. Kalau saat itu dia menunjukkan diri pasti yang
muncul ini adalah roh atau hantu alias ujud jejadiannya!
"Kalian harap bangkit dan dengarkan penuturanku!" kata Dewi Ular. "Aku hidup di
alam yang tidak sama dengan alam kalian. Beberapa waktu lalu aku dan guruku Ratu
Ular terpaksa tewas bunuh diri di satu jurang. Kematian kami adalah akibat
perbuatan orang-orang golongan putih rimba persilatan. Kami menemui ajal dengan
membawa sejuta rasa penasaran dan dendam kesumat ke dalam alam baka! Roh kami
tidak bisa tenteram sebelum para penyebab kematian itu menemui ajal. Nanti akan
kukatakan siapa-siapa mereka adanya. Sekarang waktunya aku akan memberikan bekal
padamu Suto Angil. Apakah kau sudah siap menerima ular-ularku"!"
"Aku siap Junjungan Dewi Ular..." jawab Suto Angil. Tubuhnya yang tinggi besar
bergetar dan tengkuknya kembali terasa dingin.
"Ulurkan dua tanganmu ke depan. Buka telapak tangan, bentangkan ke atas...!"
Suto Angil lakukan apa yang diperintah Dewi Ular.
Sang Dewi arahkan pandangan matanya pada dua telapak tangan Suto Angil lalu
beralih pada dua ekor ular kobra laut yang mengapung di udara dengan kepala
tegak tak bergerak tapi ekor menggeliat-geliat.
"Suto Angil harap perhatikan baik-baik. Aku akan menitis masuk ke dalam dua ekor
ular sendok itu..." berkata Dewi Ular. Lalu dari sepasang matanya mencuat dua
larik sinar hijau, menyambar ke arah kepala dua ekor ular kobra betina.
Binatang-binatang ini keluarkan desisan panjang. Dari kepala masing-masing
mengepul asap hijau. Di sebelah sana tubuh Dewi Ular bergoncang keras. Wajahnya
yang cantik berubah menjadi pucat seolah kehabisan darah. Bibirnya membiru dan
dua bola matanya berubah warna menjadi Dendam Dalam Titisan
19 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
kelabu. Wajahnya yang cantik basah oleh keringat dan kelihatan angker
menggidikkan. Perlahan-lahan dua sinar hijau sirna.
"Titisanku sudah berada dalam sosok dua ekor ular kobra betina. Suto Angil, dua
ekor ular itu sekarang akan kuperintah masuk ke dalam tubuhmu lewat dua telapak
tangan yang terkembang. Jangan bergerak dan apapun yang terjadi kau harus
sanggup menahan sakit...."
Si kakek bernama Mangkutani yang hanya mendengar kata-kata Dewi Ular merasa
bergeming apalagi Suto Angil. Belum apa-apa dadanya sudah terasa sesak dan
mukanya menjadi pucat. Dia berusaha tabahkan diri. Dewi Ular keluarkan pekikan
keras dan goyangkan kepalanya. Dua ekor ular kobra laut belang tiga mendesis
panjang. Lalu laksana dua anak panah binatang-binatang itu melesat ke arah dua
telapak tangan Suto Angil.
"Craasss!"
"Craasss!"
Dua ekor ular menghunjam masuk ke dalam telapak tangan kiri kanan Suto Angil.
Darah muncrat. Laksana ditusuk pedang, begitu sakitnya membuat manusia tinggi
besar ini walau tidak bergerak dari duduknya di atas makam batu tapi tetap saja
tak mampu menahan jerit kesakitan yang meledak keluar dari mulutnya. Sekujur
tubuhnya mendadak sontak basah oleh keringat.
Secara aneh dua ular kobra laut yang menembus telapak tangan Suto Angil terus
menyusup masuk ke dalam tangan, terus amblas sepanjang lengan dan baru berhenti
begitu buntutnya lenyap dari permukaan masing-masing telapak tangan!
Suto Angil merasa nyawanya seperti terbang. Dadanya turun naik. Dia berusaha
agar tidak roboh di atas batu makam. Untuk beberapa lamanya rasa sakit masih
menguasai dirinya. Darah dalam tubuhnya laksana mengalir menyungsang.
"Suto Angil, titisanku berupa dua ekor ular kobra laut telah masuk dan berada
dalam tubuhmu. Sekarang kau telah membekal satu ilmu kesaktian yang tidak ada
duanya di dunia persilatan. Namun ilmu itu belum muncul kalau kau tidak
melakukan syarat-syarat yang akan kusebutkan. Apa kau bersedia menjalankan
syarat yang akan aku katakan Suto Angil?"
"Aku... aku akan menjalankan, Junjungan Dewi Ular," jawab Suto Angil masih
tercekat walau rasa sakit yang menjalari sekujur tubuhnya perlahan-lahan mulai
lenyap. "Syarat pertama. Setelah aku pergi kau harus bersamadi di tempat ini seorang
diri selama dua puluh satu hari. Kalau kau bisa bertahan kau akan hidup dan
dapatkan apa yang menjadi niatmu. Kalau nasibmu buruk dan umurmu pendek, mungkin
sebelum hari kedua puluh satu kau sudah jadi mayat di tempat ini! Pada akhir
samadimu, kau akan melihat tanganmu kiri kanan sebatas siku ke bawah terbungkus
oleh kulit ular kobra laut berwarna hitam, merah dan hijau. Itu berarti kau
telah memiliki sepasang sarung tangan sakti yang kuberi nama Sarung Tangan
Penyedot Batin! Inilah senjata yang dapat kau jadikan bekal untuk menjadi
penguasa rimba persilatan. Sarung tangan itu memiliki dua kekuatan hebat.
Suramnya Bayang Bayang 32 Pendekar Kelana Sakti 3 Iblis Lengan Tunggal Keris Pusaka Sang Megatantra 12