Bendera Darah 1
Wiro Sableng 136 Bendera Darah Bagian 1
BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG BENDERA DARAH e-book oleh: kiageng80
BENDERA DARAH KETIKA GENANGAN AIR MATA JATUH
BERDERAI DI PIPI BIDADARI ANGIN TIMUR.
JATILANDAK ULURKAN TANGAN KIRI UNTUK
MENGUSAP. DENGAN TANGAN KANANNYA
BIDADARI ANGIN TIMUR PEGANG JARI-JARI TANGAN
PEMUDA ITU. LALU DITEMPELKAN KE PIPINYA
SEMENTARA AIR MATA MENETES JATUH SEMAKIN
DERAS. "KAU MENCINTAI PENDEKAR DUA SATU
DUA?" TANYA JATILANDAK. SEPASANG BOLA MATA BIDADARI ANGIN TIMUR MEMBESAR TAPI
MULUT TAK MENJAWAB. MALAH KEDUA MATANYA
DIPEJAMKAN DAN TANGAN JATILANDAK SEMAKIN
KENCANG DIPEGANG DI ATAS PIPINYA. BIBIR
TERBUKA BERGETAR TAPI SUARANYA HANYA
MENGGEMA DI DALAM HATI. "KAU SAHABAT
BAIK... KAU YANG BELUM LAMA MENGENALKU
BISA TAHU PERASAANKU. TAPI DIA YANG
KUHARAPKAN ITU MENGAPA SEOLAH TAK PERNAH
PERDULI...?"
PADA SAAT ITU TIBA-TIBA TERDENGAR
DERAP KAKI KUDA. DUA PENUNGGANG KUDA
BERHENTI DI SEBERANG MATA AIR. SEPASANG
MATA BIDADARI ANGIN TIMUR TERBUKA LEBAR.
WAJAHNYA BERUBAH PUCAT. CEPAT-CEPAT
GADIS INI T A R I K DUA TANGANNYA YANG
SALING BERPEGANGAN DENGAN TANGAN
JATILANDAK. SUARANYA BERGETAR KETIKA
MENYEBUT NAMA. "WIRO...."
WIRO SABLENG 1 BENDERA DARAH IAPIT dan dipegang dua Satria Pocong, nenek
kurus itu melangkah menuju rumah tua
D beratap ijuk hitam berbentuk tanduk kerbau.
Rambut kelabu awut-awutan, tubuh terbungkuk,
wajah pucat keriput menunjukkan rasa takut. Sebuah lampion kain putih menyala
suram di bawah atap rumah, bergoyang ditiup angin malam. Cahaya redup lampion
ini tidak dapat menerangi seantero halaman rumah di mana menebar gundukan-
gundukan batu. Malah bayangan cahaya menimbulkan ujud-ujud
besar aneh menyeramkan di belakang bebatuan.
Mendekati rumah, si nenek tiba-tiba menangkap suara sesuatu. Suara orang
mengerang. Perempuan.
"Seperti orang sekarat. Di dalam rumah..." Ucap hati si nenek. Langkahnya jadi
tertahan. Namun dua manusia pocong yang menggiring memaksanya jalan terus.
Saat itu di depan rumah tua seorang manusia
pocong bersosok tinggi besar berdiri tak bergerak.
Dua tangan dirangkap di depan dada. Sepasang
mata dibalik lobang pada kain putih penutup kepala memandang memperhatikan nenek
berambut kelabu.
"Salam hormat untuk Yang Mulia Ketua! Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib
dicintai!" Dua Satria Pocong keluarkan ucapan berbarengan.
Tanpa melepaskan pandangan matanya dari si
BENDERA DARAH 3 nenek, manusia pocong tinggi besar yang rupanya adalah Ketua Barisan Manusia
Pocong 113 Lorong Kematian anggukkan kepala sedikit lalu ucapkan pertanyaan.
"Aku tidak mau kesalahan. Perempuan tua, siapa namamu"!"
Yang ditanya tak segera menjawab. Bola mata
berputar lalu memandang ke rumah tua, dari arah mana telinganya sejak tadi
mendengar suara
erangan tak berkeputusan. Rasa takut yang sudah menyelinap dalam diri membuat
tubuhnya menjadi dingin dan lutut terasa goyah.
Melihat orang tidak menjawabi pertanyaan, si
tinggi besar jadi marah dan membentak. "Perempuan tua! Aku tahu kau tidak torek!
Katakan siapa namamu!" "Kalian... Saya... mengapa saya diculik.
Mengapa saya dibawa ke sini. Tempat apa ini" Kalian makhluk apa sebenarnya" Saya
ingin pulang. Saya sedang susah. Saya kehilangan seseorang. Magiyo cucuku tidak
pulang sejak satu hari lalu..."
Bukannya menjawab, perempuan tua itu malah
ajukan banyak pertanyaan. Lalu seperti merasa tidak perlu menunggu orang
menjawab pertanyaannya,
nenek ini balikkan badan, berusaha melepaskan diri dari pegangan dua Satria
Pocong dan tinggalkan tempat itu. Namun dua Satria Pocong cepat
mencekal tangan si nenek kiri kanan.
"Perempuan tua! Jangan berani berlaku kurang ajar terhadap Yang Mulia Ketua!"
Salah seorang Satria Pocong membentak. Dengan kasar tubuh
perempuan tua ini diputar hingga kembali
menghadap ke arah Sang Ketua.
"Perempuan tua, kau tak perlu takut." Manusia 4 BENDERA
DARAH pocong tinggi besar keluarkan ucapan. "Kami membawamu ke sini untuk satu
keperluan. Jika
urusan selesai dan kau mematuhi apa perintah kami, kami akan bawa kau kembali ke
desamu! Jawab saja pertanyaanku. Siapa namamu?"
Si nenek pandangi sosok bertutup kepala putih.
Dia melihat sepasang mata berkilat tajam menatap tak berkedip ke arahnya. Hati
si nenek jadi tergetar, tambah takut.
"Saya... saya Paimah."
"Kau tinggal di Desa Sarangan?"
"Be... betul."
"Di Sarangan apa pekerjaanmu?"
"Saya, saya tidak punya pekerjaan. Saya..."
Ucapan si nenek terputus karena Sang Ketua
membentak keras hingga orang tua ini tersirap darah, tambah pucat dan bergetar
tubuhnya dilanda
ketakutan. Sementara itu telinganya masih saja menangkap suara erangan dari
dalam rumah tua.
"Kami tahu kau adalah seorang dukun beranak!
Mengapa berani dusta mengatakan tidak punya
pekerjaan?"
"Maksud saya..."
"Sudah!" Sang Ketua menghardik hingga si nenek merasa tubuhnya seperti leleh.
"Kau dengar apa yang aku katakan! Pasang telingamu baik-baik!
Di dalam rumah ini ada seseorang perlu
pertolonganmu! Ada seorang perempuan akan
segera melahirkan! Masuk ke dalam rumah dan
tolong dia! Kau harus bekerja cepat! Bayi itu harus segera lahir! Kau tidak
boleh menunggu terlalu lama!
Jangan sampai sang bayi mati di dalam perut! Kalau kau mengalami kesulitan,
bedol perut perempuan hamil itu dengan ini!"
BENDERA DARAH 5 Entah di mana tadi dia menyimpannya tahu-tahu Ketua Barisan Manusia Pocong telah
memegang sebilah pisau tipis bermata dua, berkilat terkena cahaya lampion pertanda luar
biasa tajamnya. Pisau ini disodorkan pada Paimah. Tapi dukun beranak ini tidak
berani mengambil. Malah tersurut mundur. Sang Ketua dengan paksa menggenggamkan
senjata itu ke dalam jari-jari tangan kanan si nenek.
"Di dalam rumah tersedia semua keperluanmu untuk menolong perempuan yang
melahirkan. Di atas sebuah meja ada dua buah bokor perak. Begitu bayi lahir
gorok lehernya. Tampung darahnya dalam dua buah bokor itu!"
Kejut dan takut Paimah sampai ke puncaknya
begitu mendengar ucapan manusia pocong. Tubuh perempuan tua ini menggigil. Dua
Satria Pocong segera menggandeng dukun beranak Paimah ke
arah tangga rumah tua beratap ijuk. Di bawah atap, lampion bergoyang-goyang
ditiup angin. Suara halus desau tiupan angin digetari suara erangan
perempuan tak berkeputusan yang keluar dari dalam rumah. Di depan tangga, dua
manusia pocong lepaskan cekalan mereka. Tiba-tiba salah satu dari dua belas pintu di bagian
depan bangunan tua
terbuka. Paimah si dukun beranak terkejut pucat, mata mendelik memandang ke
dalam rumah. "Paimah! Lekas masuk ke dalam rumah!
Kerjakan tugasmu!" Teriak Sang Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian.
Paimah memandang ke kiri dan ke kanan.
Tubuhnya tambah bergetar menggigil. Lutut semakin goyah. Perempuan tua ini
gelengkan kepala lalu berkata dengan suara keras tapi gemetar.
"Tidak, aku tidak mau melakukan. Kalian boleh 6 BENDERA
DARAH bunuh diriku! Tapi aku tidak akan sudi melaksanakan perintah kalian! Aku tidak
akan membedol perut siapapun! Aku tidak akan menggorok bayi manapun!"
Paimah hendak campakkan pisau di tangan
kanannya, namun Satria Pocong di sampingnya
cepat mencekal lengannya dan membentak. "Tua bangka sialan! Jangan berlaku
tolol! Kami tidak mau mendapat hukuman karena ulahmu!"
"Tidak! Kalian boleh bunuh aku! Apapun yang terjadi aku tidak akan mau melakukan
perintah keji kalian!"
Sang Ketua yang berdiri di halaman rumah tua
kelihatan mulai hilang kesabarannya. Di dalam rumah suara erangan perempuan
terdengar semakin keras.
Perlahan-lahan manusia pocong tinggi besar ini turunkan dua tangan yang sejak
tadi dirangkapkan di depan dada. Mulutnya bergerak. Saat itu juga satu suitan
keras melengking dari mulut itu.
Dari samping rumah sebelah kanan tiba-tiba
berkelebat satu bayangan putih. Seorang manusia pocong muncul sambil mencekal
leher baju seorang anak lelaki berusia sekitar enam tahun. Anak ini menangis
keras karena kesakitan dan rasa takut amat sangat.
Begitu melihat dan mengenali si anak lelaki,
Paimah si dukun beranak menjerit keras. "Magiyo!
Setan jahat terkutuk! Jadi kalian yang menculik cucuku! Lepaskan dia! Apa dosa
cucuku! Apa dosa kami!"
Sekali berkelebat Ketua Barisan Manusia
Pocong telah berada di depan Paimah. Pandangan matanya menyorot dari balik kain
putih penutup kepala. Mulutnya keluarkan ancaman.
"Kalau kau berlaku tolol tidak mau melakukan BENDERA DARAH
7 perintah, cucumu akan aku gorok. Kau boleh pulang ke Sarangan membawa kepala
anak itu!"
Paimah meratap keras. Kepalanya digeleng-
gelengkan. Kemudian gelengan berubah menjadi
anggukan. "Jangan bunuh cucuku! Jangan sakiti Magiyo..." ratapnya.
Di balik kain penutup kepala, tampang Sang
Ketua menyeringai. Dia bergumam lalu berkata. "Jadi kau mau melakukan apa yang
aku perintahkan"!"
Paimah tersengguk tercekik. Air mata
bercucuran. Lalu perempuan tua ini anggukkan
kepala berulang kali.
"Masuk ke dalam rumah! Kerjakan tugasmu!
Cepat!" ucap Sang Ketua.
Paimah melangkah dengan kaki goyah tubuh
menggigil serta tangis sesenggukan. Sang Ketua memberi isyarat pada manusia
pocong yang mencekal Magiyo. Manusia satu ini cepat berkelebat dan lenyap di samping rumah
tua bersama bocah yang dicekalnya. Sang Ketua kemudian kembali turun ke halaman.
Di depan pintu rumah, sebelum masuk Paimah
tertegun sejenak. "Gusti Allah, apa dosaku sampai mengalami kejadian begini
rupa. Tuhan, tolong Magiyo. Selamatkan anak itu..."
"Paimah! Tunggu apa lagi! Cepat masuk!"
Bentak Sang Ketua kesal sekali.
Dukun beranak itu akhirnya melangkah masuk.
Begitu sosoknya lenyap ke dalam bangunan, pintu yang tadi terbuka tiba-tiba
menutup kembali!
Di dalam dan di luar rumah beberapa saat
kesunyian yang sangat mencekam menggantung di udara. Angin bertiup dalam
dinginnya udara malam.
Lampion putih kembali bergoyang-goyang. Tak
8 BENDERA DARAH selang berapa lama di dalam rumah tua tiba-tiba terdengar satu pekik keras.
Pekik perempuan yang kesakitan. Lalu menyusul pekik kedua. Pekik tangis bayi.
Dua manusia pocong merasa lega dan
memandang pada pimpinan mereka. Sang Ketua
anggukkan kepala. Namun mendadak terdengar
jeritan ketiga!
Tiga manusia pocong saling pandang lalu sama-
sama memperhatikan ke arah rumah, ke arah deretan dua belas pintu yang tertutup.
Sang Ketua mencium ada sesuatu yang tidak beres.
"Kalian berdua, dengar! Kalau dukun beranak itu telah selesai dengan
pekerjaannya, seharusnya salah satu pintu terbuka. Itu tidak terjadi. Ada yang
tidak beres! Jangan-jangan tua bangka itu berlaku nekad.
Kurang ajar! Kalau sampai Bendera Darah terlambat atau gagal diberi sesajian,
semua kita bisa celaka!"
Baru saja Sang Ketua membatin begitu, di dalam rumah tiba-tiba terdengar pekik
tangis bayi. Terus menerus, tiada henti.
"Jahanam! Benar dugaanku! Ada yang tidak beres!"
Sang Ketua berkelebat, melompat melewati
tangga. Kaki kanannya menendang salah satu pintu yang tertutup hingga ambrol dan
terpentang lebar lalu menerobos masuk ke dalam rumah. Dua Satria
pocohg ikut berkelebat masuk. Di dalam rumah
ketiganya sama-sama tersentak kaget. Kaki masing-masing laksana dipantek ke
lantai kayu. Mata
terpentang membelalak menyaksikan kengerian yang terpampang.
Di atas sebuah ranjang kayu tergeletak sosok
seorang perempuan muda, diam tak bergerak entah pingsan entah sudah mati.
Tubuhnya nyaris telanjang BENDERA DARAH
9 penuh lumuran darah. Darah membasahi ranjang
bahkan sampai ke lantai kayu. Di lantai di samping kanan ranjang, terbujur sosok
bayi merah dalam keadaan masih bergelimang darah. Tali pusatnya yang belum putus
menjela mengerikan. Lalu di
sebelah bayi yang terus menerus menangis ini, melingkar tubuh perempuan tua si
dukun beranak Paimah. Tangannya memegang pisau yang tadi
diberikan Sang Ketua Barisan Manusia Pocong.
Pisau dan tangan berlumuran darah. Dua Satria Pocong mengerenyit ngeri ketika
memperhatikan leher dukun beranak itu. Ada sobekan luka besar menganga dan masih
mengucurkan darah!
"Sang Ketua memerintahkan dia menggorok
Wiro Sableng 136 Bendera Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
leher bayi. Nyatanya dia bunuh diri menggorok leher sendiri..." Bisik salah
seorang Satria Pocong pada temannya.
Sang Ketua hanya terkesiap sesaat. Di lain
kejap dia berteriak berikan perintah pada dua anak buahnya.
"Kau!" sentak Sang Ketua sambil tudingkan tangan pada Satria Pocong di sebelah
kanan. "Lekas hubungi Wakil Ketua! Singkirkan perempuan muda di atas ranjang!
Ingat, dia harus dilenyapkan tanpa bekas tanpa jejak! Dan kamu!" Sang Ketua
ganti menunjuk pada anak buah satunya. "Selesaikan pekerjaan dukun keparat itu!
Isi dua botol dengan darah bayi! Lakukan cepat! Aku menunggu di pintu Ruang
Bendera Darah!"
"Ketua," ucap Satria Pocong yang menerima perintah terakhir. Suaranya tercekat
gemetar. Wajahnya pucat di balik kain penutup kepala.
"Apakah... apakah saya harus menggorok leher bayi itu untuk mendapatkan
darahnya?" Walau otaknya 10 BENDERA
DARAH sudah dicuci dengan racun pemusnah ingatan,
namun karena seumur hidup tidak pernah
mengerjakan hal luar biasa mengerikan seperti itu, nyalinya menjadi leleh.
Tubuhnya serasa lumat ditelan kengerian. Hal ini terbaca oleh Sang Ketua.
Dia langsung membentak.
"Perduli setan kau mau melakukan apa dan bagaimana! Yang penting dua buah bokor
itu harus diisi penuh dengan darah bayi! Kau mengerti"! Atau kau ingin saat ini
juga menemui kematian dalam ketololan!"
Satria Pocong satu ini jadi ketakutan. Cepat-
cepat dia menjura sambil berseru. "Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!"
BENDERA DARAH 11 WIRO SABLENG 2 BENDERA DARAH D ALAM Episode sebelumnya Rumah Tanpa
Dosa diceritakan bagaimana pemuda dari Latanahsilam, negeri 1.200 tahun lalu,
yakni Jatilandak berhasil menyelamatkan Bidadari Angin Timur ketika hendak digagahi
oleh Hantu Muka Dua.
Gadis berambut pirang ini kemudian memberitahu kalau saat itu ada seorang dara
bernama Wulan Srindi telah dilarikan oleh seorang kepala rampok.
Seperti yang hampir terjadi dengan dirinya, gadis itu pasti tengah berada dalam
bahaya besar. Terancam kehormatan serta jiwanya. Sebelum Bidadari Angin Timur
dan Jatilandak sempat meninggalkan pondok di pinggiran lembah, mendadak ada
seseorang melemparkan sehelai Bendera Darah. Bendera
berbentuk segi tiga ini lewat hanya satu jengkal dari wajah Bidadari Angin
Timur, lalu menancap di papan rumah. Ketika Jatilandak mencabut bendera dari
papan, bagian papan seputar mana bendera
menancap ikut terbongkar hingga membentuk
lobang. Setelah memperhatikan sebentar, dia lalu mencium ujung lancip gagang
bendera. Memandang pada Bidadari Angin Timur dia berkata. "Kayu gagang bendera
ini tidak beracun. Namun jika sampai
menancap di wajahnya, akan membuat cacat dalam dan lebar. Lihat, gagang ini
dibuat demikian rupa membentuk gerigi yang bagian lancipnya mengarah ke
belakang. Kalau gagang menancap pada daging tubuh atau muka seseorang, lalu
dicabut, banyak 12 BENDERA
DARAH bagian daging yang akan ikut terbongkar. Lihat saja papan yang berlobang itu.
Kau bisa menduga siapa adanya manusia yang begitu jahat dan keji hendak
mencelakaimu?"
Bidadari Angin Timur perhatikan lobang di papan dengan perasaan ngeri lalu
menjawab. "Tak bisa kuduga. Bahkan aku tidak melihat orangnya.
Gerakannya cepat sekali."
"Aku hanya sempat melihat bayangannya.
Seseorang berpakaian seba putih," memberitahu Jatilandak. "Aku ragu apakah dia
Hantu Muka Dua.
Walau sekilas dandanannya memang mirip-mirip si pelempar bendera."
"Aku punya firasat orang itu bukan Hantu Muka Dua. Sebelumnya Hantu Muka Dua
jelas-jelas hendak menodaiku. Tapi si pelempar bendera tidak bersungguh-sungguh hendak
mencelakai diriku,"
ucap Bidadari Angin Timur yang membuat Jatilandak kerenyitkan kening merasa
heran. "Kalau dia memiliki gerakan luar biasa cepat, muncul melempar lalu lenyap
seperti hembusan angin, jika dia mau, pasti bisa menancapkan bendera itu di
kepala atau tubuhku. Ada satu maksud tersembunyi di balik pelemparan bendera. Mungkin dia
hendak memberikan satu peringatan."
Jatilandak berpikir sejenak lalu berkata.
"Mungkin juga hendak memancingmu. Mengharap kau melakukan pengejaran lalu
membokongmu dalam satu jebakan. Tapi dia kemudian kabur karena aku muncul di tempat ini."
"Bisa jadi begitu," jawab Bidadari Angin Timur sambil menggigit bibir, berpikir-
pikir lalu mengerling memperhatikan pemuda berwajah kuning di
hadapannya. Ada sekelumit rasa kasihan muncul BENDERA DARAH
13 dalam diri gadis ini. Hati kecilnya berkata. "Kalau saja kulitnya tidak kuning
seperti ini, kurasa dia cukup tampan."
"Bendera aneh, sengaja dilumuri darah. Biar kusimpan." Jatilandak kibas-kibaskan
bendera berbentuk segi tiga sampai darah yang membasahi kain bendera menjadi
agak kering. Bendera
kemudian dimasukkan ke balik pakaian coklat. Sambil memandang wajah Bidadari
Angin Timur pemuda
berkulit kuning ini berkata. "Ada cipratan darah bendera di pipi kananmu. Dekat
bibir." Bidadari Angin Timur usap wajahnya di bagian
yang dikatakan Jatilandak. Pemuda dari
Latanahsilam itu tersenyum karena noda darah tidak seluruhnya pupus. Malah ada
sebagian melebar ke atas bibir. Tadinya dia tidak mau memberitahu. Tapi ketika
ditanya oleh Bidadari Angin Timur mengapa dia tersenyum, Jatilandak menjawab.
"Darahnya masih ada. Di atas bibir. Kalau kau izinkan aku membersihkan..."
Bidadari Angin Timur diam saja. Dia coba
menyeka kembali. Tapi salah tempat. Jatilandak tersenyum lagi. "Masih ada,"
katanya. Pemuda ini lalu ulurkan tangan. Sekali mengusap, noda darah di atas
bibirpun lenyap.
Jatilandak mengusap bibir sang dara biasa-biasa saja. Tanpa perasaan apa-apa.
Semata-mata hanya dengan niat menolong. Sebaliknya entah mengapa si gadis merasa
sentuhan tangan si pemuda
menimbulkan getaran aneh dalam dirinya, sekalipun dia yakin Jatilandak tidak
punya maksud tidak baik dalam menolong tadi.
"Kita harus pergi sekarang juga. Mengejar penjahat penculik gadis bernama Wulan
Srindi," kata 14 BENDERA
DARAH Bidadari Angin Timur sambil memandang ke jurusan lain, menyembunyikan wajahnya
yang bersemu merah. "Aku tahu arah lari penjahat itu. Waktu menuju ke sini aku melihat dia keluar
dari lembah, lari ke arah selatan. Mendukung seseorang."
"Datang ke sini tadi, penjahat itu menunggang kuda. Jika dia kabur dengan lari
biasa berarti dia belum berapa jauh."
"Berarti juga tujuan yang hendak dicapainya tidak jauh dari sini," kata
Jatilandak pula.
Bidadari Angin Timur tanpa banyak menunggu
lagi segera melompat ke atas punggung kuda
miliknya. Sedang Jatilandak memilih seekor kuda besar yaitu kepunyaan Warok
Jangkrik yang ditinggalkan kepala rampok itu. Kedua orang ini segera membedal kuda masing-
masing ke arah selatan. * * * DANGAU kecil itu terletak di bawah satu pohon besar, di pinggir ladang kopi yang
sudah sejak lama ditelantarkan pemiliknya. Ke tempat inilah Warok Jangkrik
membawa gadis culikannya. Wulan Srindi dengan keadaan pakaian tidak karuan rupa
nyaris bugil dan dalam tubuh tertotok dibaringkan di lantai dalam keadaan
tertotok, tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Kepala dirundukkan mencium pipi
Wulan Srindi. Bersamaan dengan itu tangan yang membelai wajah turun mengusap
leher yang jenjang lalu secara kurang ajar turun lagi ke dada. Sampai di sini
Warok Jangkrik tak sabaran lagi. Pakaian Wulan Srindi dirobeknya hingga keadaan
gadis malang ini tambah BENDERA DARAH
15 mengenaskan. Sebenarnya saat itu Warok Jangkrik ingin melepaskan totokan yang
melumpuhkan Wulan Srindi. Bagaimanapun juga dia lebih suka
menghadapi orang yang bisa bersuara dan bisa
bergerak. Namun sewaktu di lembah, dia telah
melihat sendiri kehebatan ilmu silat si gadis ketika dikeroyok oleh empat anak
buahnya. Kepala rampok ini tak mau cari penyakit. Dua tangannya bergerak.
Dalam waktu singkat perawan anak murid Perguruan Silat Lawu Putih itu nyaris
tidak tertutup lagi auratnya.
Warok Jangkrik kemudian tanggalkan pakaiannya sendiri. Walau hati menjerit oleh
rasa takut akan apa yang bakal menimpa dirinya, namun dalam keadaan tak berdaya
Wulan Srindi hanya bisa pasrah. Dalam ketidakberdayaan itu tiada henti gadis ini
mengucap memanggil nama Tuhan, meminta pertolonganNya.
Sewaktu Warok Jangkrik meniduri tubuhnya dan
tak ada lagi kemungkinan bagi Wulan Srindi untuk menyelamatkan diri dari
perbuatan keji terkutuk itu tiba-tiba ada dua bayangan berkelebat disusul
ucapan-ucapan lantang.
"Manusia kurang ajar! Kepalamu layak
kuhancurkan!" Satu suara lelaki datang dari arah kanan dangau.
"Tidak! Jahanam itu harus mati di tanganku!"
Suara perempuan meningkahi, datang dari arah yang sama.
Warok Jangkrik tersentak kaget, cepat berpaling.
Dia melihat satu bayangan biru berkelebat lalu satu tendangan menderu ke arah
kepalanya! Sambil berseru keras Warok Jangkrik rundukkan kepala. Tangan kiri cepat menarik
celana ke atas.
Tangan sebelah kanan sebenarnya punya
kesempatan mengirimkan serangan balasan berupa 16 BENDERA
DARAH jotosan ke bawah perut si penyerang. Namun ketika melihat siapa adanya lawan,
kepala rampok ini memilih selamatkan diri dengan berguling lalu jatuhkan tubuh
ke bawah dangau. Tangan kanan
dipergunakan untuk menyambar golok yang
tergeletak di lantai dangau.
Begitu berdiri di tanah Warok Jangkrik segera cabut golok. Memandang ke depan
dia dapatkan diri berhadapan dengan gadis cantik berpakaian biru berambut
pirang. "Bidadari Angin Timur," ucap Warok Jangkrik dengan suara tersendat bergetar. Dua
langkah di belakang si gadis berdiri seorang pemuda aneh berkepala botak. Kepala
botak itu, wajah dan kulit tangan serta kakinya kelihatan kuning. Menghadapi
Bidadari Angin Timur seorang saja kepala rampok ini sudah merasa jerih. Apa lagi
bersama si gadis ada seorang pemuda aneh berkulit kuning yang dari gerak-gerik
penampilannya jelas memiliki ilmu kepandaian tinggi. Warok Jangkrik cepat
memutar otak. "Tunggu! Jangan salah sangka. Gadis itu belum aku apa-apakan. Kau bisa dapatkan
dirinya dalam keadaan selamat. Biar urusan kita selesaikan sampai di sini saja!"
Habis berkata begitu Warok Jangkrik
menghambur ke kiri, siap ambil langkah seribu. Tapi yang dihadapinya adalah
seorang gadis yang bukan saja berkepandaian tinggi namun juga punya
kemampuan bergerak laksana kilatan cahaya. Baru dua langkah kepala rampok itu
membuat lompatan kabur, sosok Bidadari Angin Timur berkelebat dan tahu-tahu
sudah menghadang di depannya.
Sambil sunggingkan senyum sinis dan angkat
BENDERA DARAH 17 kepalanya sedikit, Bidadari Angin Timur berkata.
"Warok Jangkrik! Perampok bejat! Sebelumnya kau menipuku hingga diriku hampir
jadi santapan manusia jahanam bercadar putih. Sekarang kau
hendak berbuat mesum terhadap gadis ini" Dosa kejahatanmu selangit tembus. Kau
pantas dikirim ke neraka saat ini juga! Tapi hari ini aku bersedia memberi
pengampunan jika kau..."
"Sahabatku Bidadari, perlu apa berbaik hati.
Orang jahat semacam dia harus diberi hukuman berat agar tidak ada orang lain
jadi korban keganasannya di kemudian hari!" Pemuda botak berkulit kuning yang
bukan lain adalah Jatilandak dari Negeri
Latanahsilam memotong ucapan Bidadari Angin
Timur. "Aku bersumpah! Aku bertobat!" seru Warok Jangkrik. "Biarkan aku pergi..."
"Kau boleh pergi, tapi ada satu syarat. Ada pertanyaan yang harus kau jawab!"
Berkata Bidadari Angin Timur.
"Jangankan satu syarat, jangankan satu
pertanyaan. Seribu syarat seribu petanyaanpun akan aku patuhi dan akan aku
jawab." kata Warok Jangkrik pula. Dia merasa gembira ternyata orang mau
memberi pengampunan atas dirinya.
"Bagus," kata Bidadari Angin Timur sambil angguk-anggukkan kepala dan kembali
tersenyum hingga lesung pipit muncul di pipinya kiri kanan.
"Sarungkan golokmu. Aku tidak suka bicara dengan orang yang memegang senjata di
tangan." Warok Jangkrik cepat-cepat sarungkan
goloknya, tapi tidak diselipkan di pinggang karena tadi belum sempat mengenakan
sabuk besar dan
celana masih setengah kedodoran. Setelah
18 BENDERA DARAH disarungkan senjata itu dipegangnya di tangan kanan.
"Aku ingin tahu, mengapa kau menjebak diriku hingga hampir celaka di tangan
manusia tinggi besar berjubah dan bertutup kepala kain putih itu."
"Dengar, aku... aku tidak ada permusuhan denganmu. Orang berjubah itu membujuk
diriku. Aku diiming-iming sekantong emas." Menerangkan Warok Jangkrik. "Tapi
bangsat itu menipuku! Emas yang dijanjikan, yang diberikan ternyata hanya tujuh
batu kerikil!"
"Begitu! Penipu tertipu..." ujar Bidadari Angin Timur lalu dongakkan kepala dan
tertawa panjang.
Warok Jangkrik ikut tertawa cengengesan. Jatilandak hanya berdiri mengawasi
kedua orang itu sambil rangkapkan tangan di atas dada. "Kau tahu siapa adanya
orang yang kau sebut bangsat itu?" tanya Bidadari Angin Timur walau sebenarnya
dia sudah tahu karena sebelumnya telah mendapat keterangan dari Jatilandak.
"Aku tidak kenal siapa dia. Bertemunyapun secara kebetulan. Di satu rumah tua di
lembah. Waktu itu aku dalam perjalanan ke Magetan. Aku tidak perduli siapa dia. Saat itu
aku hanya tertarik pada emas yang dijanjikan. Kalau aku bisa
memancingmu ke rumah tua di lembah, sekantong emas akan diberikannya padaku."
"Kau tahu mengapa dia hendak mencelakai
diriku?" Warok Jangkrik gelengkan kepala. "Aku tidak dusta. Aku tidak tahu mengapa dia
ingin mencelakai dirimu. Dia hanya meminta aku melarikan gadis bernama Wulan
Srindi itu dan memancingmu agar datang ke rumah tua di lembah."
BENDERA DARAH 19 Bidadari Angin Timur melirik ke arah Jatilandak lalu berkata. "Warok Jangkrik,
kau sudah menjawab semua pertanyaanku. Kau boleh pergi. Namun..."
"Namun apa?" tanya Warok Jangkrik dan mendadak saja mulai merasa jerih.
Wiro Sableng 136 Bendera Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana aku bisa memastikan bahwa kau akan berubah jadi orang baik?" Tanya
Bidadari Angin Timur sambil menatap tajam ke arah Warok Jangkrik.
"Percaya padaku. Bukankah tadi aku sudah mengucapkan sumpah, sudah mengatakan
tobat!" "Benar sekali. Telingaku tadi memang
mendengar semua ucapan, segala sumpahmu.
Namun hatiku berkata lain. Siapa percaya pada dirimu?" kata Bidadari Angin Timur
pula. "Kalau begitu..."
Belum sempat Warok Jangkrik menyelesaikan
ucapannya sosok gadis di hadapannya mendadak
lenyap. Dia hanya melihat bayangan biru berkelebat disusul suara sreet! Golok
besar di tangan kirinya dicabut orang! Warok Jangkrik berteriak kaget. Dia cepat
melompat mundur. Tapi terlambat. Lengan kanannya mendadak terasa dingin.
Memandang ke bawah dia dapatkan lengan kanan itu telah putus oleh golok miliknya
sendiri yang laksana kilat ditabaskan Bidadari Angin Timur. Warok Jangkrik sudah
puluhan kali melihat semburan darah dari tubuh orang-orang yang jadi korbannya
tanpa rasa merinding. Tapi kali ini dia menjerit setinggi langit melihat darah
sendiri yang menyembur dari kutungan lengan.
"Juangkrikk! Tobaaattt!" Sosok kepala rampok itu terhuyung melintir. Dengan
tangan kiri dia berusaha menotok urat saluran darah di bahu kanan.
Namun darah masih terus mengucur.
20 BENDERA DARAH "Lekas minggat sebelum kubuntungkan
tanganmu yang satu lagi!" Mengancam Bidadari Angin Timur.
Dicekam rasa sakit dan takut bukan kepalang
Warok Jangkrik tidak menunggu lebih lama. Secepat kilat dia kabur tinggalkan
perkebunan kopi.
Sementara berlari dari mulutnya tiada henti keluar jeritan kesakitan.
Bidadari Angin Timur sesaat pandangi golok
berdarah di tangan kanannya lalu melirik ke arah pemuda di sampingnya. Dia
melihat bayangan
ketegangan menyelimuti wajah kuning Jatilandak dan berkali-kali pemuda ini
menarik nafas panjang.
"Ada apa" Kau tidak suka melihat aku menabas buntung tangan manusia jahat itu"
Sebelumnya kau sendiri keluarkan ucapan agar kita menjatuhkan hukuman berat atas
manusia laknat satu ini." Ketika Jatilandak tak menjawab ucapannya Bidadari
Angin Timur meneruskan perkataannya. "Seharusnya kepalanya yang aku tabas. Bukan
tangannya..."
"Lalu, kenapa tidak kau tabas lehernya?" tanya Jatilandak.
Bidadari Angin Timur tersenyum. "Pertanyaanmu aneh," katanya. Lalu golok yang
dipegang dicampakkan ke tanah hingga menghunjam amblas, hanya ujung gagangnya
yang masih menyembul.
Jatilandak ikutan tersenyum walau tengkuknya
agak terasa dingin. Gadis sehalus dan secantik Bidadari Angin Timur ternyata
bisa menghukum seseorang secara mengerikan seperti itu.
"Itulah hukum rimba persilatan. Memang
manusia jahat itu seharusnya layak dibunuh." Di balik senyum Jatilandak,
Bidadari Angin Timur bisa
membaca apa yang mungkin tersirat dalam hati si BENDERA DARAH
21 pemuda. Maka diapun berkata. "Hajaranku tadi masih terlalu ringan. Kalau manusia
satu itu tidak berubah kelakuan, kelak kalau bertemu aku akan benar-benar
menabas batang lehernya."
Jatilandak mengangguk lalu goyangkan kepala
ke arah dangau. "Gadis itu perlu segera ditolong. Kau saja yang melakukan."
Jatilandak merasa rikuh turun tangan karena keadaan aurat Wulan Srindi yang
nyaris telanjang.
Sekali lompat saja Bidadari Angin Timur sudah berada di pinggir dangau. Dari
balik pakaiannya dia keluarkan seperangkat baju dan celana panjang yang kemudian
diletakkan di samping Wulan Srindi.
Setelah memperhatikan keadaan tubuh gadis itu, Bidadari Angin Timur segera
melepaskan totokan di tubuh Wulan Srindi.
"Lekas kenakan pakaian itu. Ada beberapa hal yang perlu aku tanyakan padamu."
Wulan Srindi merasa ada hawa hangat mengalir
dalam tubuhnya pertanda totokan yang mengunci jalan suara dan membuat dirinya
kaku telah musnah.
Gadis ini gerakkan tubuh, langsung dan cepat
mengambil baju dan celana yang terletak di lantai dangau.
"Terima kasih kau telah menolongku," ucap Wulan Srindi lalu dengan cepat, tanpa
membuka pakaian penuh robek yang masih melekat di
badannya, dia kenakan baju dan celana pemberian Bidadari Angin Timur. Ternyata
pakaian ini cocok dengan ukuran tubuhnya. Selesai mengenakan
pakaian, Wulan Srindi turun dari atas dangau lalu jatuhkan diri di tanah,
berlutut di hadapan Bidadari Angin Timur dan membungkuk dalam. "Terima kasih.
Kalau tidak kau yang menolong entah apa jadinya 22 BENDERA
DARAH dengan diriku."
"Tidak perlu berlutut, aku bukan Dewa, bukan pula Gusti Allah."
"Bagaimanapun juga aku berhutang budi,
kehormatan bahkan nyawa. Saat ini aku hanya bisa mengucapkan terima kasih. Kalau
kelak di kemudian hari aku tidak bisa membalas budi pertolonganmu, biarlah Yang
Maha Kuasa membalasnya berlipat
ganda." Dalam mengeluarkan ucapan itu di dalam hati Wulan Srindi merasa seolah
ada sesuatu di balik perkataan Bidadari Angin Timur. "Kata-katanya baik dan
benar. Namun telinga dan hatiku merasa ada sedikit hawa ketus dalam nada
suaranya. Mungkin aku salah menduga." Wulan Srindi berucap dalam hati. Lalu
berkata. "Sahabat cantik, kalau aku boleh bertanya siapakah kau tuan penolongku
ini adanya?"
"Simpan semua pertanyaanmu. Aku yang lebih dulu ingin bertanya padamu," jawab
Bidadari Angin Timur sambil matanya memperhatikan tajam gadis di hadapannya.
Wulan Srindi sejurus tatap wajah cantik gadis di depannya. Kecantikannya semakin
menonjol oleh rambut yang berwarna pirang. Saat memandang
wajah cantik jelita itu, di dalam hati murid Perguruan Silat Lawu Putih ini
kembali merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik nada ucapan Bidadari Angin
Timur. Mungkin kecurigaan, mungkin juga satu ketidakpercayaan dan ingin
menyelidik. Hal ini lebih kentara jika memperhatikan sorot pandang sepasang mata
si gadis. Perlahan-lahan Wulan Srindi
anggukkan kepala. "Jika sahabat hendak bertanya, saya siap menjawab," kata Wulan
Srindi pula. "Pertama, aku ingin tahu siapa dirimu adanya."
"Namaku Wulan Srindi. Aku anak murid
BENDERA DARAH 23 Perguruan Silat Lawu Putih. Beberapa waktu lalu..."
Bidadari Angin Timur yang tak ingin penjelasan berpanjang-panjang potong ucapan
Wulan Srindi. "Sewaktu di kedai Ki Sedap Roso di simpang jalan Sarangan, kau bertanya perihal
seorang pemuda bernama Wiro Sableng pada pemilik kedai. Apa
hubunganmu dengan pemuda itu. Mengapa kau
mencarinya?"
"Nah... nah... nah," ucap Wulan Srindi dalam hati. "Makin kentara nada suaranya
yang ketus. Bukan, bukan cuma ketus... Tapi berbau cemburu.
Aku menaruh hormat padanya. Tapi jika dia
menunjukan sikap curiga bahkan seperti mau
menyudutkanku, sikap hormatku bisa berkurang.
Malah bisa habis..."
"Wulan Srindi, kau belum menjawab
pertanyaanku. Agaknya kau tak mau memberi
keterangan?"
"Jelas, jelas sekali dia menaruh curiga yang berbau cemburu." Kembali Wulan
Srindi membatin.
Lalu gadis ini keluarkan jawaban. "Ada seseorang menugaskan aku mencari pemuda
bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu."
Sepasang alis hitam Bidadari Angin Timur
menjungkit ke atas. "Seseorang menugaskanmu mencari Wiro" Siapa orang itu?"
tanya Bidadari Angin Timur pula penuh rasa ingin tahu.
"Seorang kakek berjuluk Dewa Tuak."
"Dewa Tuak?" Sepasang mata Bidadari Angin Timur menyipit, menatap tajam-tajam ke
mata Wulan Srindi. Dalam hati dia tidak bisa percaya begitu saja pada gadis yang
barusan ditolongnya ini. "Sudah cukup lama tokoh rimba persilatan itu tidak
pernah 24 BENDERA
DARAH muncul. Tahu-tahu kau mendapat tugas darinya
untuk mencari Pendekar 212. Kenapa" Urusan apa"
Di mana kau bertemu orang tua itu. Kapan" Mengapa dia menugaskanmu mencari
Pendekar 212" Tunggu!
Katakan dulu apa hubunganmu dengan Dewa Tuak."
"Aku murid kakek itu," jawab Wulan Srindi dengan air muka bersungguh-sungguh.
"Apa"!"
"Sahabat penolong, kau bertanya apa
hubunganku dengan kakek itu. Aku barusan
menjawab. Aku murid Dewa Tuak." Jawab Wulan Srindi pula.
"Tidak mungkin. Tidak bisa jadi. Setahuku kakek itu hanya punya seorang murid
perempuan. Bernama Anggini. Sebayaku... Kau jangan mengaku-aku."
"Mohon maafmu. Mana berani aku mengaku-
aku. Apa lagi bicara dusta padamu yang telah
menyelamatkan diriku. Menurutmu tadi sudah lama kakek itu tidak muncul dalam
rimba persilatan.
Selama itu banyak hal bisa terjadi. Salah satu di antaranya adalah hubungan
diriku dengan dia.
Memang aku belum lama menjadi muridnya..."
Bidadari Angin Timur terdiam, menggigit bibir lalu melirik pada Jatilandak.
Melihat lirikan Bidadari Angin Timur, pemuda
dari Latanahsilam ini membuka mulut. "Aku rasa Wulan Srindi tidak berdusta. Bisa
saja ada kemungkinan bahwa Dewa Tuak telah mengambilnya jadi murid."
"Aku tahu betul siapa Dewa Tuak. Tidak
semudah itu dia mengangkat seorang murid baru.
Tapi... entahlah, mungkin begitu. Belum lama
berselang aku bertemu Anggini. Dia tidak pernah bicara kalau gurunya telah
mengangkat seorang BENDERA DARAH
25 murid baru. Mungkin... mungkin Anggini juga belum mengetahui hal itu."
Wulan Srindi diam saja tapi dalam hati dia
menunggu apa lagi yang hendak ditanyakan gadis berambut pirang itu padanya.
"Kau ditugaskan mencari Pendekar 212 oleh Dewa Tuak. Baiklah. Sekarang ceritakan
mengapa dia memberi tugas itu padamu" Memangnya kau
punya hubungan apa dengan pemuda itu?"
"Cemburu! Aku benar-benar mencium hawa
cemburu," ucap Wulan Srindi dalam hati. "Biar aku menguji dirinya." Sambil
mengelus jari-jari tangannya sendiri dan tundukkan kepala seolah malu, padahal
sebenarnya dia ingin menyembunyikan senyum
jahilnya, Wulan Srindi berkata. "Sebenarnya ini adalah urusan pribadi. Tapi
karena kau sahabat yang telah menolong dan kepada siapa aku berhutang budi,
kehormatan serta nyawa, maka aku ikhlas menceritakan padamu. Dewa Tuak
menugaskan aku mencari Pendekar 212 menyangkut perihal
perjodohan diriku dengan pemuda itu." Ucapan Wulan Srindi seolah serasa sambaran
petir sampainya di telinga Bidadari Angin Timur. Wajah cantiknya mendadak sontak
bersemu merah sampai ke telinga.
"Gila!" Tiba-tiba meledak ucapan itu dari mulut Bidadari Angin Timur. Membuat
Wulan Srindi tersentak angkat kepala dan juga membuat
Jatilandak menatap heran. Bidadari Angin Timur sadar kalau dia telah kelepasan
ucapan yang tidak wajar. "Tidak mungkin... Tidak mungkin..." Suaranya perlahan
bergetar. Sesaat dia menatap Wulan Srindi kemudian pandangannya diarahkan ke
kejauhan. Perlahan-lahan entah mengapa muncul saja rasa 26 BENDERA
DARAH benci dalam hatinya terhadap Wulan Srindi.
Kebencian yang disertai rasa penyesalan.
"Seharusnya tidak kutolong dia tadi. Menyesal aku menolongnya..." Suara itu
menggema berulang kali dalam hati kecil Bidadari Angin Timur.
"Kena kau sekarang!" ucap Wulan Srindi dalam hati. "Kecemburuanmu kau buktikan
sendiri dengan ucapan, sikap dan air matamu."
Bidadari Angin Timur berpaling pada Jatilandak.
Tanpa berkata apa-apa dia tinggalkan tempat itu.
Berlari kencang ke arah utara.
"Bidadari Angin Timur! Tunggu! Kau mau ke mana"!" Berseru Jatilandak. Menjawab
tidak berpalingpun tidak malah Bidadari Angin Timur percepat larinya sehingga
tubuhnya terlihat seperti kelebatan bayangan biru. Jatilandak usap kepalanya
yang kuning botak.
Dia memandang pada Wulan Srindi, seperti
hendak mengatakan sesuatu pada gadis ini. Si gadis balas memandang dengan
tersenyum, malah dengan nakal dia kedip-kedipkan matanya pada pemuda
yang sedang bingung ini. Tanpa keluarkan ucapan apa-apa Jatilandak akhirnya
berkelebat mengejar Bidadari Angin Timur.
Wulan Srindi menarik nafas panjang. Sambil
tersenyum hatinya menduga. "Pasti ada sesuatu antara gadis penolongku itu dengan
Pendekar 212. Dia kelihatan marah dan cemburu. Apakah dia
mencintai Wiro" Seumur hidup aku belum pernah melihat pemuda itu. Seandainya
tidak ada pesan dari Dewa Tuak, kini aku jadi sungguhan ingin mencari dan
menemui pendekar terkenal itu. Selain memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi,
pasti wajahnya sangat tampan."
BENDERA DARAH 27 Wulan Srindi rapikan pakaian, memandang ke
arah lenyapnya Jatilandak lalu berkata perlahan.
"Pemuda botak itu, agaknya dia menaruh hati pada si rambut pirang. Hemmm..."
Wulan Srindi gelengkan kepala dan kembali tersenyum.
28 BENDERA DARAH WIRO SABLENG 3 BENDERA DARAH NTUK beberapa saat lamanya Jatilandak
hanya berdiri di balik rerumpunan pohon keladi Uhutan memperhatikan Bidadari
Angin Timur yang duduk di dekat sebuah mata air. Dua kaki dilipat dan kepala dibenamkan di
antara dua lutut.
"Heran, apa yang terjadi dengan dirinya?" tanya Jatilandak dalam hati. "Dia
seperti tergoncang.
Apakah aku pergi saja atau menemui dan coba
bicara dengan dia" Siapa tahu bisa menolong..."
Sesaat pemuda dari Latanahsilam itu masih merasa ragu. Antara hasrat hendak
menolong sang dara dan keinginan untuk pergi tak mau mencampuri urusan orang.
Dalam berpikir menimbang-nimbang tak
sengaja daun keladi hutan yang dipegang dan
disibakkannya terlepas, terkuak dan mengeluarkan suara cukup jelas bagi seorang
berkepandaian tinggi seperti Bidadari Angin Timur.
"Kurang ajar! Siapa berani mengintai diriku!"
rutuk gadis berambut pirang itu. "Pasti gadis tak tahu diuntung itu!" Tanpa
mengangkat kepala dari atas lutut Bidadari Angin Timur gerakkan tangan kanan
lalu lepaskan satu pukulan jarak jauh ke arah rerumpunan pohon keladi di balik
mana Jatilandak berada.
Wiro Sableng 136 Bendera Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wuuusss! Satu gelombang angin luar biasa derasnya
menderu. Rumpunan pohon keladi dan semak
belukar di sekitarnya terbongkar dari tanah, melayang BENDERA DARAH
29 ke udara dalam keadaan hancur berantakan. Kalau Jatilandak tidak cepat
menghindar pasti tubuhnya juga akan ikut kena hantaman pukulan jarak jauh
mengandung tenaga dalam tinggi itu.
Masih belum mengangkat kepala dari atas lutut Bidadari Angin Timur kembali
gerakkan tangan
kanan. Dari balik pohon tempatnya berlindung
Jatilandak cepat berseru.
"Sahabat! Tahan pukulanmu! Ini aku!
Jatilandak!"
Tangan yang hendak menghantam perlahan-
lahan turun ke bawah. Kepala masih menunduk. Lalu terdengar suara isakan.
Jatilandak terkesiap heran. "Benar-benar aneh.
Tadi dia menyerangku hebat sekali. Kini malah sesenggukan. Dia sahabatku. Aku
harus tahu apa yang tengah terjadi dengan dirinya." Pemuda dari, Latanahsilam
ini segera mendekati Bidadari Angin Timur dan tetap berlaku waspada, khawatir
tiba-tiba diserang lagi. Dia duduk di dekat mata air, di samping si gadis, lalu
dengan suara lembut bertanya,
"Bidadari Angin Timur, aku tidak ingin mencampuri urusan pribadimu. Kalau boleh
tahu, mengapa kau tiba-tiba bersikap seperti ini" Kalau ada sesuatu yang bisa
aku lakukan untuk menolongmu, katakanlah."
Sapaan Jatilandak itu malah membuat isak
sengguk Bidadari Angin Timur semakin keras.
Pemuda bermuka kuning itu jadi tambah bingung. Dia ulurkan tangan kiri, mengelus
punggung si gadis.
Tiba-tiba Bidadari Angin Timur angkat kepalanya, memandang ke arah Jatilandak.
Wajahnya yang cantik basah oleh air mata.
"Pergi, jangan sentuh," ucap Bidadari Angin Timur. Suaranya memang tidak keras,
tapi cukup 30 BENDERA
DARAH membuat Jatilandak terkejut. "Aku tak ingin diganggu.
Saat ini aku ingin sendirian."
Jatilandak tarik tangannya. "Maaf, aku
bermaksud baik padamu. Aku tidak bisa menduga apa yang terjadi dengan dirimu.
Namun aku melihat, ada satu perubahan pada dirimu setelah pertemuan dengan Wulan
Srindi." "Aku tidak suka pada gadis itu!"
"Heh...?" Jatilandak memandang heran. "Kau tidak suka, tapi kau lupa bahwa kau
telah menyelamatkan dirinya?"
"Aku menyesal telah menolongnya."
"Sahabatku Bidadari Angin Timur. Tidak baik berkata seperti itu. Kau tahu, kau
telah berbuat satu pahala sangat besar menolong gadis yang hampir celaka itu."
"Aku tidak mengharapkan pahala ataupun
pujian. Maafkan kalau tadi aku menyerangmu. Aku mengira kau Wulan Srindi yang
sengaja mengikutiku.
Jatilandak, aku ingin sendirian di tempat ini."
"Baiklah, kalau kau minta aku pergi dari sini,"
kata pemuda muka kuning itu. "Agar aku tidak was-was, aku ingin bertanya, apakah
karena gadis bernama Wulan Srindi itu diambil murid oleh Dewa Tuak dan kau merasa tidak
layak, lalu kau tidak menyukai dirinya?"
Bidadari Angin Timur tidak menjawab.
Jatilandak tersenyum. Pertanyaannya tadi hanya sekedar hendak memancing untuk
satu pertanyaan berikutnya. Tapi karena yang ditanya tidak menjawab maka sebelum
bangkit berdiri pemuda ini berkata lagi. "Maafkan aku. Aku tidak pantas
mencampuri urusanmu. Selamat tinggal, sahabatku. Jaga dirimu baik-baik..."
Pemuda ini hendak membelai rambut BENDERA DARAH
31 pirang sang dara. Tapi membatalkan niatnya dan akhirnya bergerak bangun.
"Tunggu," tiba-tiba Bidadari Angin Timur berkata.
Dalam hati gadis ini membatin. "Ah, mengapa aku tidak bisa menguasai diri.
Apakah aku harus
menjelaskan semua padanya. Bisa-bisa dia menilai aku ini tambah tidak karuan..."
"Kau hendak mengatakan sesuatu?" tanya Jatilandak.
"Soal gadis itu diambil murid oleh orang pandai, itu adalah nasib dan rejeki
masing-masing orang.
Kalau memang benar, gadis itu sangat beruntung."
"Selama berada di tanah Jawa ini aku tidak kenal dan tidak pernah bertemu Dewa
Tuak. Kakek satu itu kepandaiannya pasti setinggi langit sedalam lautan."
Jatilandak diam sebentar, lalu sambil tersenyum dia bertanya. "Kalau soal
dirinya diangkat murid bagimu tidak menjadi ganjalan, lalu apa yang membuatmu
sedih?" "Aku hanya kesal dengan diriku sendiri," jawab Bidadari Angin Timur.
"Kesal terhadap dirimu atau terhadap diriku yang jelek ujud ini?"
Bidadari Angin Timur tersenyum dan pegang
lengan Jatilandak. Tanpa melepaskan pegangannya dia berkata, "Kau orang baik..."
"Kau juga baik," jawab Jatilandak seraya tangan kanannya diletakkan pula di atas
tangan kiri Bidadari Angin Timur yang memegang lengannya.
"Bidadari Angin Timur, gadis bernama Wulan Srindi itu tidak perlu kau ingat-
ingat lagi..."
"Aku sudah melupakan perihal ucapannya
bahwa dia adalah murid Dewa Tuak. Tapi yang aku tidak suka, dia berdusta kalau
Dewa Tuak telah 32 BENDERA
DARAH menjodohkan dirinya dengan Pendekar 212 Wiro
Sableng." "Bagaimana kau yakin dia berdusta?"
"Karena sebelumnya Dewa Tuak ingin
menjodohkan muridnya bernama Anggini dengan
pendekar itu. Namun tidak ada kata putus. Sinto Gendeng guru Pendekar 212 tidak
pernah setuju dengan ikatan perjodohan yang dibuat Dewa Tuak, Wiro sendiri
tampaknya acuh saja."
"Jika begitu ceritanya, tidak heran kalau Dewa Tuak akhirnya menjodohkan Wulan
Srindi dengan Pendekar 212 Wiro Sableng." Kata Jatilandak pula.
Bidadari Angin Timur tatap Jatilandak sesaat.
"Kau... kau percaya hal itu memang terjadi?"
tanya sang dara perlahan sekali.
"Segala sesuatu bisa terjadi. Dewa Tuak pasti orang keras hati. Kalau muridnya
yang bernama Anggini tidak dapat jadi jodoh Pendekar 212, maka dia coba dengan
muridnya yang lain. Wulan Srindi itu.
Baginya yang penting adalah mengikat pendekar itu dengan orang yang ada sangkut
paut dengan dirinya.
Kakek sakti, juga cerdik..."
Lama Bidadari Angin Timur terdiam. Perlahan,
sepasang matanya yang bagus kelihatan mulai
berkaca-kaca. "Dugaanku benar. Aku berhasil memancing
sikapnya. Gadis ini mencintai Pendekar 212 Wiro Sableng. Kini dia takut akan
kehilangan pemuda itu..." Jatilandak membatin dalam hati. Ketika genangan air
mata jatuh berderai di pipi Bidadari Angin Timur, Jatilandak ulurkan tangan kiri
untuk mengusap. Dengan tangan kanannya Bidadari Angin Timur pegang jari-jari
tangan pemuda itu lalu ditempelkan ke pipinya sementara air mata menetes BENDERA
DARAH 33 jatuh semakin deras.
"Kau mencintai Pendekar 212?" Tiba-tiba meluncur pertanyaan itu dari mulut
Jatilandak. Bidadari Angin Timur tersentak. Sepasang bola matanya membesar tapi mulutnya
tidak menjawab.
Malah kedua matanya dipejamkan dan tangan
Jatilandak semakin kencang dipegang di atas
pipinya. Bibir terbuka bergetar tapi suaranya hanya menggema di dalam hati. "Kau
sahabat baik... Kau yang belum lama mengenalku bisa tahu perasaanku.
Tetapi dia yang kuharapkan itu mengapa seolah tak pernah perduli..."
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Bidadari Angin Timur dan
Jatilandak angkat kepala, berpaling. Dua penunggang kuda berhenti di seberang
mata air. Salah seorang dari keduanya, yang mengenakan pakaian serba putih
melesat ke udara. Membuat gerakan jungkir balik dan di lain kejap sudah tegak
berdiri di hadapan kedua orang itu.
Penunggang satunya melompat biasa, turun dari kuda lalu melangkah dan berdiri di
samping penunggang kuda pertama.
Sepasang mata Bidadari Angin Timur terbuka
lebar. Wajahhya yang kemerahan berubah pucat.
Cepat-cepat gadis ini tarik dua tangannya yang saling berpegangan dengan tangan
Jatilandak. Lalu bangkit berdiri diikuti Jatilandak. Suaranya bergetar ketika
menyebut nama orang yang tegak di hadapannya.
"Wiro..."
34 BENDERA DARAH WIRO SABLENG 4 BENDERA DARAH ENDEKAR 212 Wiro Sableng sesaat tatap
wajah Bidadari Angin Timur. Dia jelas melihat P tanda-tanda si gadis habis
menangis. Senyum kecil terkulum di mulut murid Sinto Gendeng. Senyum yang tampak
aneh di mata Bidadari Angin Timur.
Senyum yang menimbulkan satu tusukan pedih di lubuk hatinya. Membuat gadis ini
bertambah canggung memandang sang pendekar. Wiro melirik pada Jatilandak. Pemuda ini
tampak tenang seperti tidak ada apa-apa. Wiro kembali tersenyum,
menggaruk kepala lalu berkata. Suaranya dibuat gembira begitu rupa, sengaja
menindih perasaan hatinya yang galau.
"Dua sahabat! Tidak disangka akan bertemu kalian di tempat ini. Bidadari Angin
Timur apakah kau baik-baik saja" Jatilandak" Ah, tentunya kalian berdua ada
dalam keadaan baik-baik. Bidadari, seharusnya kau berada di Kotaraja. Apakah
Setan Ngompol ada menemanimu di Gedung Kepatihan"
Aku menyuruh dia ke sana untuk menemuimu, Sutri Kaliangan, Ratu Duyung dan
Anggini." Bidadari Angin Timur tidak menjawab. Dua
matanya masih menatap membelalak tertegun ke
arah Wiro, wajahnya bertambah pucat. Kepalanya menggeleng perlahan. Wiro melirik
sekali lagi pada Jatilandak lalu kembali memandang ke arah Bidadari Angin Timur
yang balas menatapnya dengan mata tak berkesip.
BENDERA DARAH 35 "Ah, aku tidak ingin mengganggu ketenteraman kalian berdua. Aku dan sahabat Loh
Gatra ada urusan penting yang harus dilakukan..." Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro
Sableng memberi isyarat pada Loh Gatra dan putar tubuhnya.
"Wiro..." panggil Bidadari Angin Timur. Suaranya agak tersendat.
Saat itu Wiro telah berkelebat dan melompat
naik ke atas kuda. Bidadari Angin Timur bangkit berdiri. Jatilandak juga ikutan
bangun. "Wiro, ada sesuatu yang perlu aku jelaskan,"
kata Jatilandak pula.
Di atas punggung kuda Pendekar 212 hanya
sunggingkan senyum, lambaikan tangan lalu
menggebrak tunggangannya melesat tinggalkan
tempat itu. Loh Gatra merasa tidak ada gunanya dia berlama-lama di tempat itu
segera pula bergerak pergi. Sebelum berlalu dia masih sempat berkata pada
Bidadari Angin Timur. "Ada urusan gawat.
Larasati, istriku, diculik komplotan manusia pocong yang berkeliaran di sekitar
Sarangan. Aku pergi duluan..."
"Loh Gatra, tunggu!" panggil Bidadari Angin Timur yang sebelumnya memang telah
mengenal suami Nyi Larasati itu. (Baca serial Wiro Sableng Badik Sumpah Darah terdiri
dari 7 Episode). Tapi seperti Wiro, Loh Gatra juga telah naik ke atas kudanya
dan tinggalkan tempat itu.
"Ya Tuhan, dia pasti telah menduga..." ucap Bidadari Angin Timur. Lututnya
terasa goyah. Perlahan-lahan dia jatuh berlutut, tundukkan kepala ke dalam dua telapak tangan.
Bahunya turun naik menahan isakan. Jatilandak segera dekati gadis ini, pegang
bahunya seraya berbisik.
36 BENDERA DARAH "Bidadari, kau dan aku sama-sama dalam
keadaan khawatir. Wiro pasti mempunyai kesan keliru terhadap kita. Kita harus
segera mengejarnya..."
Bidadari Angin Timur tetap saja menekap wajahnya dengan dua telapak tangan.
Kepalanya digelengkan.
Lalu terdengar ucapannya tersendat-sendat. "Aku tak ingin ke mana-mana. Biar di
sini saja. Rasanya aku ingin mati di tempat ini."
"Tidak sahabatku. Kau tidak boleh berucap dan bersikap seperti itu. Kita harus
mencari Wiro dan bicara padanya. Kalau perlu aku akan mendukungmu mencari pemuda
itu sampai dapat." Lalu Jatilandak benar-benar mendukung sang dara. Bidadari
Angin Timur berusaha berontak lepaskan diri tapi akhirnya gadis ini hanya bisa
menangis dalam pelukan
pemuda dari Latanahsilam itu.
* * * TAK sampai lima puluh tombak memacu
tunggangannya, sebelum Loh Gatra menyusul,
Pendekar 212 memutar kuda, bergerak perlahan, menyelinap kembali menuju mata
air. Di balik serumpun pohon bambu hutan, murid Sinto Gendeng hentikan kudanya, sibakkan
ranting-ranting
pepohonan, memandang ke depan. Saat itulah dia melihat Jatilandak tengah
mendukung Bidadari Angin Timur dan si gadis menangis dalam pelukan pemuda
berkulit kuning itu. Jantungnya serasa runtuh dan remuk.
"Apa arti semua ini...?" ucap Wiro setengah berbisik dan tubuh mendadak terasa
dingin mematung di atas kuda.
BENDERA DARAH 37 * * * WIRO merasa seolah dia telah memacu
kudanya seperti dikejar setan, tapi Loh Gatra yang berada di sebelahnya melihat
murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini menunggang kuda tertegun-tegun. Dua
mata memandang ke depan, namun
pandangan itu kosong. Mata dan pikiran tidak berada dalam satu kesatuan.
"Sahabat Wiro, kau baik-baik saja?"
"Memangnya ada apa dengan diriku" Mengapa kau bertanya begitu?" balik bertanya
Wiro. "Berbahaya memacu kuda kalau pikiran sedang kacau."
Wiro tertawa bergelak. Menggaruk rambut dan
berkata. "Kau tahu dari mana pikiranku sedang kacau."
"Bukan cuma pikiranmu. Tapi juga hatimu!"
"Pikiran dan hatimu justru lebih kacau. Saat ini kau tengah kehilangan istri.
Diculik orang. Jadi apa perlunya kau memikirkan diriku?"
"Maafkan, aku tidak bermaksud buruk. Kalau aku boleh bertanya, siapa pemuda
berkepala botak yang seluruh kulitnya berwarna kuning itu?"
"Dia pemuda baik. Sahabatku dari negeri seribu dua ratus tahun silam."
"Negeri seribu dua ratus tahun silam. Aneh kedengarannya."
"Kau lihat sendiri. Orangnya juga aneh." ucap Wiro pula.
Wiro Sableng 136 Bendera Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa hubungannya dengan Bidadari Angin
Timur" Apakah mereka sudah saling mengenal sejak lama?"
Murid Sinto Gendeng terdiam. Dia tak mampu
38 BENDERA DARAH menjawab. Karena dua pertanyaan Loh Gatra itu diam-diam juga menjadi pertanyaan
di lubuk hatinya.
"Aku tidak tahu," ucap Wiro perlahan. "Kalau kau bertemu dengan mereka nanti,
sebaiknya tanyakan sendiri."
"Wiro, kau sahabatku. Terserah kau mau marah menuduh aku mencampuri urusanmu.
Setahuku bukankah gadis bernama Bidadari Angin Timur itu kekasihmu dan kau satu-satunya
orang yang dicintainya?"
"Loh Gatra, kau ini bicara apa" Bagaimana kau bisa bicara seperti itu" Antara
aku dan gadis itu hanya ada hubungan persahabatan. Dia sering
menolongku, aku pernah beberapa kali menolongnya.
Itu hal biasa dilakukan antara orang-orang rimba persilatan."
"Aku tahu semua itu, Wiro. Namun, jika tidak ada hubungan yang lebih dari itu,
mengapa aku melihat wajah Bidadari Angin Timur begitu pucat, seperti takut.
Takut sekali karena tertangkap tangan oleh orang yang dicintainya ketika tengah
berkasih-kasihan dengan pemuda lain."
"Ucapan edan!" bentak Wiro namun kemudian pendekar ini terdiam. Ada galau tidak
enak di dalam hatinya. Terbayang kembali apa yang dilihathya ketika dia berbalik
ke mata air dan dapatkan Bidadari Angin Timur menangis dalam dukungan
Jatilandak. Sambil terus menunggang kudanya tanpa berpaling pada Loh Gatra, Pendekar 212
bertanya. Dia tidak sadar kalau pertanyaan itu menunjukkan perasaan hatinya.
"Menurutmu, apakah pemuda bernama Jatilandak itu tengah bercinta dengan Bidadari
Angin Timur?"
Loh Gatra tersenyum. "Nah, sekarang agaknya BENDERA DARAH
39 ada kebimbangan dalam hatimu. Terus terang aku tidak berani berucap menduga-
duga." Wiro garuk kepala, mengigit bibir lalu berkata.
"Dari wajah dan keadaan matanya aku lihat gadis itu habis menangis. Dia menangis
sebelum kita datang. Agaknya ada yang terjadi di antara mereka.
Mungkinkah keduanya telah melakukan sesuatu?"
"Sesuatu apa maksudmu?"
"Sesuatu, lebih dari hanya sekedar saling berpegangan tangan. Misalnya...
mungkin saja sebelumnya kedua orang itu telah bercinta yang melebihi batas. Melakukan
hubungan seperti
sepasang suami istri?"
Loh Gatra tersenyum dan gelengkan kepala.
"Wiro, jika selama kau dan gadis itu
berhubungan, kalian tidak pernah melakukan hal yang kau duga itu, percayalah,
Bidadari Angin Timur tidak akan pernah mau melakukan perbuatan sesat itu dengan
siapapun."
Murid Sinto Gendeng tersenyum kecut.
"Kebenaran ucapanmu hanya setan hutan di mata air itu yang tahu," kata Wiro
sambil menggaruk kepala. Lalu murid Sinto Gendeng ini menambahkan dengan suara
perlahan. "Kalaupun ada perasaan cinta di hatinya terhadapku, perasaan itu bisa
saja berubah. Di dunia ini bukan cuma aku satu-satunya pemuda. Apa lagi
Jatilandak memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi..."
"Bagaimana dengan wajah dan kulit tubuhnya yang serba kuning?"
"Di masa sekarang ini soal wajah bukan menjadi tuntutan pertama untuk disukai
dan dicintai. Lagi pula pemuda bernama Jatilandak itu, kalau saja kulitnya tidak
kuning, dia adalah seorang pemuda yang
40 BENDERA DARAH gagah..." "Dari semua ucapanmu, aku melihat ada rasa cemburu dalam hatimu. Kalau betul
berarti itu satu pertanda bahwa kau sebenarnya memang mengasihi Bidadari Ahgin
Timur." Wiro menggaruk kepala, tertawa panjang. Ketika dia hendak membuka mulut untuk
menjawab ucapan orang, Loh Gatra mendahului,
"Wiro," ujar Loh Gatra yang tetap ingin menghibur dan menguatkan hati sahabatnya
itu walau dia sendiri tengah dilanda malapetaka besar.
"Jika kita melihat sesuatu, duga dan pikir bisa macam-macam. Tapi ketahuilah,
sesuatu yang terlihat belum tentu menyatakan kebenaran dari apa yang kita duga. Selalu ada
kemungkinan bahwa ada sesuatu yang sangat berlainan di balik kenyataan yang kita
lihat. Sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan itu..."
"Aku tidak mengerti maksud semua ucapanmu.
Mungkin aku cuma pemuda tolol yang tidak tahu basa basi ucapan." Kata Wiro pula
sambil menggaruk kepala. Dia lantas saja teringat pada pertemuannya dengan Suci,
gadis alam gaib yang lebih suka
dipanggilnya dengan nama Bunga dan dalam rimba persilatan tanah Jawa dikenal
dengan julukan Dewi Bunga Mayat. Waktu itu Wiro baru saja menyelamatkan Bunga
yang disekap Iblis Kepala Batu Alis Empat di dalam sebuah guci tembaga.
Terngiang kembali ucapan gadis alam gaib itu
kepadanya. " Di luar diriku, aku tahu begitu banyak gadis mencintai dirimu. Aku
tidak tahu bagaimana perasaanmu terhadap mereka. tetapi jika kelak di kemudian
hari kau ingin memilih salah satu dari mereka sebagai teman hidupmu, jatuhkanlah
BENDERA DARAH 41 pilihanmu pada Ratu Duyung. Jaga dia baik-baik. "
Saat itu Wiro sempat bertanya, " Mengapa kau berkata begitu Bunga" "
Dan Bunga menjawab. " Pertanyaanmu tidak akan kujawab. Aku ingin agar kau
sendiri yang mencari tahu, yang mencari jawabannya... " (Baca Episode Wiro
Sableng berjudul Kutukan Sang Badik) Di atas punggung kuda Wiro kembali
menggigit bibir. Hatinya berkata. "Bunga, pertanyaanmu sudah kujawab. Aku sudah
menyaksikan sendiri jawaban itu.
Bila kita memilih teman hidup, unsur kesetiaan adalah yang paling utama dari
segala-galanya. Setia dalam susah dan dalam senang. Aku mengerti sekarang,
Bunga. Waktu itu kau ingin mengatakan bahwa
Bidadari Angin Timur bukanlah seorang gadis yang memiliki rasa dan sifat
kesetiaan itu. Kau tak mau berterus terang. Itu pertanda kau memiliki hati yang
sangat tulus, putih dan bersih. Terima kasih Bunga.
Terima kasih. Aku akan selalu mengingatmu." Wiro menghela nafas dalam dan
panjang. Hati kecilnya berbisik lagi. "Kalau saja ujudmu sempurna dan kau hidup
di alamku, kalau saja kau bukan gadis alam roh, mungkin keadaan akan berbeda.
Tidak seperti ini..."
"Wiro, kau bicara dengan siapa?" Loh Gatra yang berada di samping kanan Pendekar
212 bertanya terheran-heran.
Belum sempat Loh Gahtra mendapat jawaban
tiba-tiba satu bayangan putih laksana kilat berkelebat turun dari langit muncul
melayang di udara antara kuda tunggangannya dan kuda tunggangan Wiro. Loh Gatra
mencium bau harum aneh santar sekali. Bau kembang kenanga! Bersamaan dengan itu
Pendekar Kembar 9 Pendekar Rajawali Sakti 94 Pendekar Aneh Lambang Naga Panji Naga Sakti 4
BASTIAN TITO PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
WIRO SABLENG BENDERA DARAH e-book oleh: kiageng80
BENDERA DARAH KETIKA GENANGAN AIR MATA JATUH
BERDERAI DI PIPI BIDADARI ANGIN TIMUR.
JATILANDAK ULURKAN TANGAN KIRI UNTUK
MENGUSAP. DENGAN TANGAN KANANNYA
BIDADARI ANGIN TIMUR PEGANG JARI-JARI TANGAN
PEMUDA ITU. LALU DITEMPELKAN KE PIPINYA
SEMENTARA AIR MATA MENETES JATUH SEMAKIN
DERAS. "KAU MENCINTAI PENDEKAR DUA SATU
DUA?" TANYA JATILANDAK. SEPASANG BOLA MATA BIDADARI ANGIN TIMUR MEMBESAR TAPI
MULUT TAK MENJAWAB. MALAH KEDUA MATANYA
DIPEJAMKAN DAN TANGAN JATILANDAK SEMAKIN
KENCANG DIPEGANG DI ATAS PIPINYA. BIBIR
TERBUKA BERGETAR TAPI SUARANYA HANYA
MENGGEMA DI DALAM HATI. "KAU SAHABAT
BAIK... KAU YANG BELUM LAMA MENGENALKU
BISA TAHU PERASAANKU. TAPI DIA YANG
KUHARAPKAN ITU MENGAPA SEOLAH TAK PERNAH
PERDULI...?"
PADA SAAT ITU TIBA-TIBA TERDENGAR
DERAP KAKI KUDA. DUA PENUNGGANG KUDA
BERHENTI DI SEBERANG MATA AIR. SEPASANG
MATA BIDADARI ANGIN TIMUR TERBUKA LEBAR.
WAJAHNYA BERUBAH PUCAT. CEPAT-CEPAT
GADIS INI T A R I K DUA TANGANNYA YANG
SALING BERPEGANGAN DENGAN TANGAN
JATILANDAK. SUARANYA BERGETAR KETIKA
MENYEBUT NAMA. "WIRO...."
WIRO SABLENG 1 BENDERA DARAH IAPIT dan dipegang dua Satria Pocong, nenek
kurus itu melangkah menuju rumah tua
D beratap ijuk hitam berbentuk tanduk kerbau.
Rambut kelabu awut-awutan, tubuh terbungkuk,
wajah pucat keriput menunjukkan rasa takut. Sebuah lampion kain putih menyala
suram di bawah atap rumah, bergoyang ditiup angin malam. Cahaya redup lampion
ini tidak dapat menerangi seantero halaman rumah di mana menebar gundukan-
gundukan batu. Malah bayangan cahaya menimbulkan ujud-ujud
besar aneh menyeramkan di belakang bebatuan.
Mendekati rumah, si nenek tiba-tiba menangkap suara sesuatu. Suara orang
mengerang. Perempuan.
"Seperti orang sekarat. Di dalam rumah..." Ucap hati si nenek. Langkahnya jadi
tertahan. Namun dua manusia pocong yang menggiring memaksanya jalan terus.
Saat itu di depan rumah tua seorang manusia
pocong bersosok tinggi besar berdiri tak bergerak.
Dua tangan dirangkap di depan dada. Sepasang
mata dibalik lobang pada kain putih penutup kepala memandang memperhatikan nenek
berambut kelabu.
"Salam hormat untuk Yang Mulia Ketua! Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib
dicintai!" Dua Satria Pocong keluarkan ucapan berbarengan.
Tanpa melepaskan pandangan matanya dari si
BENDERA DARAH 3 nenek, manusia pocong tinggi besar yang rupanya adalah Ketua Barisan Manusia
Pocong 113 Lorong Kematian anggukkan kepala sedikit lalu ucapkan pertanyaan.
"Aku tidak mau kesalahan. Perempuan tua, siapa namamu"!"
Yang ditanya tak segera menjawab. Bola mata
berputar lalu memandang ke rumah tua, dari arah mana telinganya sejak tadi
mendengar suara
erangan tak berkeputusan. Rasa takut yang sudah menyelinap dalam diri membuat
tubuhnya menjadi dingin dan lutut terasa goyah.
Melihat orang tidak menjawabi pertanyaan, si
tinggi besar jadi marah dan membentak. "Perempuan tua! Aku tahu kau tidak torek!
Katakan siapa namamu!" "Kalian... Saya... mengapa saya diculik.
Mengapa saya dibawa ke sini. Tempat apa ini" Kalian makhluk apa sebenarnya" Saya
ingin pulang. Saya sedang susah. Saya kehilangan seseorang. Magiyo cucuku tidak
pulang sejak satu hari lalu..."
Bukannya menjawab, perempuan tua itu malah
ajukan banyak pertanyaan. Lalu seperti merasa tidak perlu menunggu orang
menjawab pertanyaannya,
nenek ini balikkan badan, berusaha melepaskan diri dari pegangan dua Satria
Pocong dan tinggalkan tempat itu. Namun dua Satria Pocong cepat
mencekal tangan si nenek kiri kanan.
"Perempuan tua! Jangan berani berlaku kurang ajar terhadap Yang Mulia Ketua!"
Salah seorang Satria Pocong membentak. Dengan kasar tubuh
perempuan tua ini diputar hingga kembali
menghadap ke arah Sang Ketua.
"Perempuan tua, kau tak perlu takut." Manusia 4 BENDERA
DARAH pocong tinggi besar keluarkan ucapan. "Kami membawamu ke sini untuk satu
keperluan. Jika
urusan selesai dan kau mematuhi apa perintah kami, kami akan bawa kau kembali ke
desamu! Jawab saja pertanyaanku. Siapa namamu?"
Si nenek pandangi sosok bertutup kepala putih.
Dia melihat sepasang mata berkilat tajam menatap tak berkedip ke arahnya. Hati
si nenek jadi tergetar, tambah takut.
"Saya... saya Paimah."
"Kau tinggal di Desa Sarangan?"
"Be... betul."
"Di Sarangan apa pekerjaanmu?"
"Saya, saya tidak punya pekerjaan. Saya..."
Ucapan si nenek terputus karena Sang Ketua
membentak keras hingga orang tua ini tersirap darah, tambah pucat dan bergetar
tubuhnya dilanda
ketakutan. Sementara itu telinganya masih saja menangkap suara erangan dari
dalam rumah tua.
"Kami tahu kau adalah seorang dukun beranak!
Mengapa berani dusta mengatakan tidak punya
pekerjaan?"
"Maksud saya..."
"Sudah!" Sang Ketua menghardik hingga si nenek merasa tubuhnya seperti leleh.
"Kau dengar apa yang aku katakan! Pasang telingamu baik-baik!
Di dalam rumah ini ada seseorang perlu
pertolonganmu! Ada seorang perempuan akan
segera melahirkan! Masuk ke dalam rumah dan
tolong dia! Kau harus bekerja cepat! Bayi itu harus segera lahir! Kau tidak
boleh menunggu terlalu lama!
Jangan sampai sang bayi mati di dalam perut! Kalau kau mengalami kesulitan,
bedol perut perempuan hamil itu dengan ini!"
BENDERA DARAH 5 Entah di mana tadi dia menyimpannya tahu-tahu Ketua Barisan Manusia Pocong telah
memegang sebilah pisau tipis bermata dua, berkilat terkena cahaya lampion pertanda luar
biasa tajamnya. Pisau ini disodorkan pada Paimah. Tapi dukun beranak ini tidak
berani mengambil. Malah tersurut mundur. Sang Ketua dengan paksa menggenggamkan
senjata itu ke dalam jari-jari tangan kanan si nenek.
"Di dalam rumah tersedia semua keperluanmu untuk menolong perempuan yang
melahirkan. Di atas sebuah meja ada dua buah bokor perak. Begitu bayi lahir
gorok lehernya. Tampung darahnya dalam dua buah bokor itu!"
Kejut dan takut Paimah sampai ke puncaknya
begitu mendengar ucapan manusia pocong. Tubuh perempuan tua ini menggigil. Dua
Satria Pocong segera menggandeng dukun beranak Paimah ke
arah tangga rumah tua beratap ijuk. Di bawah atap, lampion bergoyang-goyang
ditiup angin. Suara halus desau tiupan angin digetari suara erangan
perempuan tak berkeputusan yang keluar dari dalam rumah. Di depan tangga, dua
manusia pocong lepaskan cekalan mereka. Tiba-tiba salah satu dari dua belas pintu di bagian
depan bangunan tua
terbuka. Paimah si dukun beranak terkejut pucat, mata mendelik memandang ke
dalam rumah. "Paimah! Lekas masuk ke dalam rumah!
Kerjakan tugasmu!" Teriak Sang Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian.
Paimah memandang ke kiri dan ke kanan.
Tubuhnya tambah bergetar menggigil. Lutut semakin goyah. Perempuan tua ini
gelengkan kepala lalu berkata dengan suara keras tapi gemetar.
"Tidak, aku tidak mau melakukan. Kalian boleh 6 BENDERA
DARAH bunuh diriku! Tapi aku tidak akan sudi melaksanakan perintah kalian! Aku tidak
akan membedol perut siapapun! Aku tidak akan menggorok bayi manapun!"
Paimah hendak campakkan pisau di tangan
kanannya, namun Satria Pocong di sampingnya
cepat mencekal lengannya dan membentak. "Tua bangka sialan! Jangan berlaku
tolol! Kami tidak mau mendapat hukuman karena ulahmu!"
"Tidak! Kalian boleh bunuh aku! Apapun yang terjadi aku tidak akan mau melakukan
perintah keji kalian!"
Sang Ketua yang berdiri di halaman rumah tua
kelihatan mulai hilang kesabarannya. Di dalam rumah suara erangan perempuan
terdengar semakin keras.
Perlahan-lahan manusia pocong tinggi besar ini turunkan dua tangan yang sejak
tadi dirangkapkan di depan dada. Mulutnya bergerak. Saat itu juga satu suitan
keras melengking dari mulut itu.
Dari samping rumah sebelah kanan tiba-tiba
berkelebat satu bayangan putih. Seorang manusia pocong muncul sambil mencekal
leher baju seorang anak lelaki berusia sekitar enam tahun. Anak ini menangis
keras karena kesakitan dan rasa takut amat sangat.
Begitu melihat dan mengenali si anak lelaki,
Paimah si dukun beranak menjerit keras. "Magiyo!
Setan jahat terkutuk! Jadi kalian yang menculik cucuku! Lepaskan dia! Apa dosa
cucuku! Apa dosa kami!"
Sekali berkelebat Ketua Barisan Manusia
Pocong telah berada di depan Paimah. Pandangan matanya menyorot dari balik kain
putih penutup kepala. Mulutnya keluarkan ancaman.
"Kalau kau berlaku tolol tidak mau melakukan BENDERA DARAH
7 perintah, cucumu akan aku gorok. Kau boleh pulang ke Sarangan membawa kepala
anak itu!"
Paimah meratap keras. Kepalanya digeleng-
gelengkan. Kemudian gelengan berubah menjadi
anggukan. "Jangan bunuh cucuku! Jangan sakiti Magiyo..." ratapnya.
Di balik kain penutup kepala, tampang Sang
Ketua menyeringai. Dia bergumam lalu berkata. "Jadi kau mau melakukan apa yang
aku perintahkan"!"
Paimah tersengguk tercekik. Air mata
bercucuran. Lalu perempuan tua ini anggukkan
kepala berulang kali.
"Masuk ke dalam rumah! Kerjakan tugasmu!
Cepat!" ucap Sang Ketua.
Paimah melangkah dengan kaki goyah tubuh
menggigil serta tangis sesenggukan. Sang Ketua memberi isyarat pada manusia
pocong yang mencekal Magiyo. Manusia satu ini cepat berkelebat dan lenyap di samping rumah
tua bersama bocah yang dicekalnya. Sang Ketua kemudian kembali turun ke halaman.
Di depan pintu rumah, sebelum masuk Paimah
tertegun sejenak. "Gusti Allah, apa dosaku sampai mengalami kejadian begini
rupa. Tuhan, tolong Magiyo. Selamatkan anak itu..."
"Paimah! Tunggu apa lagi! Cepat masuk!"
Bentak Sang Ketua kesal sekali.
Dukun beranak itu akhirnya melangkah masuk.
Begitu sosoknya lenyap ke dalam bangunan, pintu yang tadi terbuka tiba-tiba
menutup kembali!
Di dalam dan di luar rumah beberapa saat
kesunyian yang sangat mencekam menggantung di udara. Angin bertiup dalam
dinginnya udara malam.
Lampion putih kembali bergoyang-goyang. Tak
8 BENDERA DARAH selang berapa lama di dalam rumah tua tiba-tiba terdengar satu pekik keras.
Pekik perempuan yang kesakitan. Lalu menyusul pekik kedua. Pekik tangis bayi.
Dua manusia pocong merasa lega dan
memandang pada pimpinan mereka. Sang Ketua
anggukkan kepala. Namun mendadak terdengar
jeritan ketiga!
Tiga manusia pocong saling pandang lalu sama-
sama memperhatikan ke arah rumah, ke arah deretan dua belas pintu yang tertutup.
Sang Ketua mencium ada sesuatu yang tidak beres.
"Kalian berdua, dengar! Kalau dukun beranak itu telah selesai dengan
pekerjaannya, seharusnya salah satu pintu terbuka. Itu tidak terjadi. Ada yang
tidak beres! Jangan-jangan tua bangka itu berlaku nekad.
Kurang ajar! Kalau sampai Bendera Darah terlambat atau gagal diberi sesajian,
semua kita bisa celaka!"
Baru saja Sang Ketua membatin begitu, di dalam rumah tiba-tiba terdengar pekik
tangis bayi. Terus menerus, tiada henti.
"Jahanam! Benar dugaanku! Ada yang tidak beres!"
Sang Ketua berkelebat, melompat melewati
tangga. Kaki kanannya menendang salah satu pintu yang tertutup hingga ambrol dan
terpentang lebar lalu menerobos masuk ke dalam rumah. Dua Satria
pocohg ikut berkelebat masuk. Di dalam rumah
ketiganya sama-sama tersentak kaget. Kaki masing-masing laksana dipantek ke
lantai kayu. Mata
terpentang membelalak menyaksikan kengerian yang terpampang.
Di atas sebuah ranjang kayu tergeletak sosok
seorang perempuan muda, diam tak bergerak entah pingsan entah sudah mati.
Tubuhnya nyaris telanjang BENDERA DARAH
9 penuh lumuran darah. Darah membasahi ranjang
bahkan sampai ke lantai kayu. Di lantai di samping kanan ranjang, terbujur sosok
bayi merah dalam keadaan masih bergelimang darah. Tali pusatnya yang belum putus
menjela mengerikan. Lalu di
sebelah bayi yang terus menerus menangis ini, melingkar tubuh perempuan tua si
dukun beranak Paimah. Tangannya memegang pisau yang tadi
diberikan Sang Ketua Barisan Manusia Pocong.
Pisau dan tangan berlumuran darah. Dua Satria Pocong mengerenyit ngeri ketika
memperhatikan leher dukun beranak itu. Ada sobekan luka besar menganga dan masih
mengucurkan darah!
"Sang Ketua memerintahkan dia menggorok
Wiro Sableng 136 Bendera Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
leher bayi. Nyatanya dia bunuh diri menggorok leher sendiri..." Bisik salah
seorang Satria Pocong pada temannya.
Sang Ketua hanya terkesiap sesaat. Di lain
kejap dia berteriak berikan perintah pada dua anak buahnya.
"Kau!" sentak Sang Ketua sambil tudingkan tangan pada Satria Pocong di sebelah
kanan. "Lekas hubungi Wakil Ketua! Singkirkan perempuan muda di atas ranjang!
Ingat, dia harus dilenyapkan tanpa bekas tanpa jejak! Dan kamu!" Sang Ketua
ganti menunjuk pada anak buah satunya. "Selesaikan pekerjaan dukun keparat itu!
Isi dua botol dengan darah bayi! Lakukan cepat! Aku menunggu di pintu Ruang
Bendera Darah!"
"Ketua," ucap Satria Pocong yang menerima perintah terakhir. Suaranya tercekat
gemetar. Wajahnya pucat di balik kain penutup kepala.
"Apakah... apakah saya harus menggorok leher bayi itu untuk mendapatkan
darahnya?" Walau otaknya 10 BENDERA
DARAH sudah dicuci dengan racun pemusnah ingatan,
namun karena seumur hidup tidak pernah
mengerjakan hal luar biasa mengerikan seperti itu, nyalinya menjadi leleh.
Tubuhnya serasa lumat ditelan kengerian. Hal ini terbaca oleh Sang Ketua.
Dia langsung membentak.
"Perduli setan kau mau melakukan apa dan bagaimana! Yang penting dua buah bokor
itu harus diisi penuh dengan darah bayi! Kau mengerti"! Atau kau ingin saat ini
juga menemui kematian dalam ketololan!"
Satria Pocong satu ini jadi ketakutan. Cepat-
cepat dia menjura sambil berseru. "Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!"
BENDERA DARAH 11 WIRO SABLENG 2 BENDERA DARAH D ALAM Episode sebelumnya Rumah Tanpa
Dosa diceritakan bagaimana pemuda dari Latanahsilam, negeri 1.200 tahun lalu,
yakni Jatilandak berhasil menyelamatkan Bidadari Angin Timur ketika hendak digagahi
oleh Hantu Muka Dua.
Gadis berambut pirang ini kemudian memberitahu kalau saat itu ada seorang dara
bernama Wulan Srindi telah dilarikan oleh seorang kepala rampok.
Seperti yang hampir terjadi dengan dirinya, gadis itu pasti tengah berada dalam
bahaya besar. Terancam kehormatan serta jiwanya. Sebelum Bidadari Angin Timur
dan Jatilandak sempat meninggalkan pondok di pinggiran lembah, mendadak ada
seseorang melemparkan sehelai Bendera Darah. Bendera
berbentuk segi tiga ini lewat hanya satu jengkal dari wajah Bidadari Angin
Timur, lalu menancap di papan rumah. Ketika Jatilandak mencabut bendera dari
papan, bagian papan seputar mana bendera
menancap ikut terbongkar hingga membentuk
lobang. Setelah memperhatikan sebentar, dia lalu mencium ujung lancip gagang
bendera. Memandang pada Bidadari Angin Timur dia berkata. "Kayu gagang bendera
ini tidak beracun. Namun jika sampai
menancap di wajahnya, akan membuat cacat dalam dan lebar. Lihat, gagang ini
dibuat demikian rupa membentuk gerigi yang bagian lancipnya mengarah ke
belakang. Kalau gagang menancap pada daging tubuh atau muka seseorang, lalu
dicabut, banyak 12 BENDERA
DARAH bagian daging yang akan ikut terbongkar. Lihat saja papan yang berlobang itu.
Kau bisa menduga siapa adanya manusia yang begitu jahat dan keji hendak
mencelakaimu?"
Bidadari Angin Timur perhatikan lobang di papan dengan perasaan ngeri lalu
menjawab. "Tak bisa kuduga. Bahkan aku tidak melihat orangnya.
Gerakannya cepat sekali."
"Aku hanya sempat melihat bayangannya.
Seseorang berpakaian seba putih," memberitahu Jatilandak. "Aku ragu apakah dia
Hantu Muka Dua.
Walau sekilas dandanannya memang mirip-mirip si pelempar bendera."
"Aku punya firasat orang itu bukan Hantu Muka Dua. Sebelumnya Hantu Muka Dua
jelas-jelas hendak menodaiku. Tapi si pelempar bendera tidak bersungguh-sungguh hendak
mencelakai diriku,"
ucap Bidadari Angin Timur yang membuat Jatilandak kerenyitkan kening merasa
heran. "Kalau dia memiliki gerakan luar biasa cepat, muncul melempar lalu lenyap
seperti hembusan angin, jika dia mau, pasti bisa menancapkan bendera itu di
kepala atau tubuhku. Ada satu maksud tersembunyi di balik pelemparan bendera. Mungkin dia
hendak memberikan satu peringatan."
Jatilandak berpikir sejenak lalu berkata.
"Mungkin juga hendak memancingmu. Mengharap kau melakukan pengejaran lalu
membokongmu dalam satu jebakan. Tapi dia kemudian kabur karena aku muncul di tempat ini."
"Bisa jadi begitu," jawab Bidadari Angin Timur sambil menggigit bibir, berpikir-
pikir lalu mengerling memperhatikan pemuda berwajah kuning di
hadapannya. Ada sekelumit rasa kasihan muncul BENDERA DARAH
13 dalam diri gadis ini. Hati kecilnya berkata. "Kalau saja kulitnya tidak kuning
seperti ini, kurasa dia cukup tampan."
"Bendera aneh, sengaja dilumuri darah. Biar kusimpan." Jatilandak kibas-kibaskan
bendera berbentuk segi tiga sampai darah yang membasahi kain bendera menjadi
agak kering. Bendera
kemudian dimasukkan ke balik pakaian coklat. Sambil memandang wajah Bidadari
Angin Timur pemuda
berkulit kuning ini berkata. "Ada cipratan darah bendera di pipi kananmu. Dekat
bibir." Bidadari Angin Timur usap wajahnya di bagian
yang dikatakan Jatilandak. Pemuda dari
Latanahsilam itu tersenyum karena noda darah tidak seluruhnya pupus. Malah ada
sebagian melebar ke atas bibir. Tadinya dia tidak mau memberitahu. Tapi ketika
ditanya oleh Bidadari Angin Timur mengapa dia tersenyum, Jatilandak menjawab.
"Darahnya masih ada. Di atas bibir. Kalau kau izinkan aku membersihkan..."
Bidadari Angin Timur diam saja. Dia coba
menyeka kembali. Tapi salah tempat. Jatilandak tersenyum lagi. "Masih ada,"
katanya. Pemuda ini lalu ulurkan tangan. Sekali mengusap, noda darah di atas
bibirpun lenyap.
Jatilandak mengusap bibir sang dara biasa-biasa saja. Tanpa perasaan apa-apa.
Semata-mata hanya dengan niat menolong. Sebaliknya entah mengapa si gadis merasa
sentuhan tangan si pemuda
menimbulkan getaran aneh dalam dirinya, sekalipun dia yakin Jatilandak tidak
punya maksud tidak baik dalam menolong tadi.
"Kita harus pergi sekarang juga. Mengejar penjahat penculik gadis bernama Wulan
Srindi," kata 14 BENDERA
DARAH Bidadari Angin Timur sambil memandang ke jurusan lain, menyembunyikan wajahnya
yang bersemu merah. "Aku tahu arah lari penjahat itu. Waktu menuju ke sini aku melihat dia keluar
dari lembah, lari ke arah selatan. Mendukung seseorang."
"Datang ke sini tadi, penjahat itu menunggang kuda. Jika dia kabur dengan lari
biasa berarti dia belum berapa jauh."
"Berarti juga tujuan yang hendak dicapainya tidak jauh dari sini," kata
Jatilandak pula.
Bidadari Angin Timur tanpa banyak menunggu
lagi segera melompat ke atas punggung kuda
miliknya. Sedang Jatilandak memilih seekor kuda besar yaitu kepunyaan Warok
Jangkrik yang ditinggalkan kepala rampok itu. Kedua orang ini segera membedal kuda masing-
masing ke arah selatan. * * * DANGAU kecil itu terletak di bawah satu pohon besar, di pinggir ladang kopi yang
sudah sejak lama ditelantarkan pemiliknya. Ke tempat inilah Warok Jangkrik
membawa gadis culikannya. Wulan Srindi dengan keadaan pakaian tidak karuan rupa
nyaris bugil dan dalam tubuh tertotok dibaringkan di lantai dalam keadaan
tertotok, tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Kepala dirundukkan mencium pipi
Wulan Srindi. Bersamaan dengan itu tangan yang membelai wajah turun mengusap
leher yang jenjang lalu secara kurang ajar turun lagi ke dada. Sampai di sini
Warok Jangkrik tak sabaran lagi. Pakaian Wulan Srindi dirobeknya hingga keadaan
gadis malang ini tambah BENDERA DARAH
15 mengenaskan. Sebenarnya saat itu Warok Jangkrik ingin melepaskan totokan yang
melumpuhkan Wulan Srindi. Bagaimanapun juga dia lebih suka
menghadapi orang yang bisa bersuara dan bisa
bergerak. Namun sewaktu di lembah, dia telah
melihat sendiri kehebatan ilmu silat si gadis ketika dikeroyok oleh empat anak
buahnya. Kepala rampok ini tak mau cari penyakit. Dua tangannya bergerak.
Dalam waktu singkat perawan anak murid Perguruan Silat Lawu Putih itu nyaris
tidak tertutup lagi auratnya.
Warok Jangkrik kemudian tanggalkan pakaiannya sendiri. Walau hati menjerit oleh
rasa takut akan apa yang bakal menimpa dirinya, namun dalam keadaan tak berdaya
Wulan Srindi hanya bisa pasrah. Dalam ketidakberdayaan itu tiada henti gadis ini
mengucap memanggil nama Tuhan, meminta pertolonganNya.
Sewaktu Warok Jangkrik meniduri tubuhnya dan
tak ada lagi kemungkinan bagi Wulan Srindi untuk menyelamatkan diri dari
perbuatan keji terkutuk itu tiba-tiba ada dua bayangan berkelebat disusul
ucapan-ucapan lantang.
"Manusia kurang ajar! Kepalamu layak
kuhancurkan!" Satu suara lelaki datang dari arah kanan dangau.
"Tidak! Jahanam itu harus mati di tanganku!"
Suara perempuan meningkahi, datang dari arah yang sama.
Warok Jangkrik tersentak kaget, cepat berpaling.
Dia melihat satu bayangan biru berkelebat lalu satu tendangan menderu ke arah
kepalanya! Sambil berseru keras Warok Jangkrik rundukkan kepala. Tangan kiri cepat menarik
celana ke atas.
Tangan sebelah kanan sebenarnya punya
kesempatan mengirimkan serangan balasan berupa 16 BENDERA
DARAH jotosan ke bawah perut si penyerang. Namun ketika melihat siapa adanya lawan,
kepala rampok ini memilih selamatkan diri dengan berguling lalu jatuhkan tubuh
ke bawah dangau. Tangan kanan
dipergunakan untuk menyambar golok yang
tergeletak di lantai dangau.
Begitu berdiri di tanah Warok Jangkrik segera cabut golok. Memandang ke depan
dia dapatkan diri berhadapan dengan gadis cantik berpakaian biru berambut
pirang. "Bidadari Angin Timur," ucap Warok Jangkrik dengan suara tersendat bergetar. Dua
langkah di belakang si gadis berdiri seorang pemuda aneh berkepala botak. Kepala
botak itu, wajah dan kulit tangan serta kakinya kelihatan kuning. Menghadapi
Bidadari Angin Timur seorang saja kepala rampok ini sudah merasa jerih. Apa lagi
bersama si gadis ada seorang pemuda aneh berkulit kuning yang dari gerak-gerik
penampilannya jelas memiliki ilmu kepandaian tinggi. Warok Jangkrik cepat
memutar otak. "Tunggu! Jangan salah sangka. Gadis itu belum aku apa-apakan. Kau bisa dapatkan
dirinya dalam keadaan selamat. Biar urusan kita selesaikan sampai di sini saja!"
Habis berkata begitu Warok Jangkrik
menghambur ke kiri, siap ambil langkah seribu. Tapi yang dihadapinya adalah
seorang gadis yang bukan saja berkepandaian tinggi namun juga punya
kemampuan bergerak laksana kilatan cahaya. Baru dua langkah kepala rampok itu
membuat lompatan kabur, sosok Bidadari Angin Timur berkelebat dan tahu-tahu
sudah menghadang di depannya.
Sambil sunggingkan senyum sinis dan angkat
BENDERA DARAH 17 kepalanya sedikit, Bidadari Angin Timur berkata.
"Warok Jangkrik! Perampok bejat! Sebelumnya kau menipuku hingga diriku hampir
jadi santapan manusia jahanam bercadar putih. Sekarang kau
hendak berbuat mesum terhadap gadis ini" Dosa kejahatanmu selangit tembus. Kau
pantas dikirim ke neraka saat ini juga! Tapi hari ini aku bersedia memberi
pengampunan jika kau..."
"Sahabatku Bidadari, perlu apa berbaik hati.
Orang jahat semacam dia harus diberi hukuman berat agar tidak ada orang lain
jadi korban keganasannya di kemudian hari!" Pemuda botak berkulit kuning yang
bukan lain adalah Jatilandak dari Negeri
Latanahsilam memotong ucapan Bidadari Angin
Timur. "Aku bersumpah! Aku bertobat!" seru Warok Jangkrik. "Biarkan aku pergi..."
"Kau boleh pergi, tapi ada satu syarat. Ada pertanyaan yang harus kau jawab!"
Berkata Bidadari Angin Timur.
"Jangankan satu syarat, jangankan satu
pertanyaan. Seribu syarat seribu petanyaanpun akan aku patuhi dan akan aku
jawab." kata Warok Jangkrik pula. Dia merasa gembira ternyata orang mau
memberi pengampunan atas dirinya.
"Bagus," kata Bidadari Angin Timur sambil angguk-anggukkan kepala dan kembali
tersenyum hingga lesung pipit muncul di pipinya kiri kanan.
"Sarungkan golokmu. Aku tidak suka bicara dengan orang yang memegang senjata di
tangan." Warok Jangkrik cepat-cepat sarungkan
goloknya, tapi tidak diselipkan di pinggang karena tadi belum sempat mengenakan
sabuk besar dan
celana masih setengah kedodoran. Setelah
18 BENDERA DARAH disarungkan senjata itu dipegangnya di tangan kanan.
"Aku ingin tahu, mengapa kau menjebak diriku hingga hampir celaka di tangan
manusia tinggi besar berjubah dan bertutup kepala kain putih itu."
"Dengar, aku... aku tidak ada permusuhan denganmu. Orang berjubah itu membujuk
diriku. Aku diiming-iming sekantong emas." Menerangkan Warok Jangkrik. "Tapi
bangsat itu menipuku! Emas yang dijanjikan, yang diberikan ternyata hanya tujuh
batu kerikil!"
"Begitu! Penipu tertipu..." ujar Bidadari Angin Timur lalu dongakkan kepala dan
tertawa panjang.
Warok Jangkrik ikut tertawa cengengesan. Jatilandak hanya berdiri mengawasi
kedua orang itu sambil rangkapkan tangan di atas dada. "Kau tahu siapa adanya
orang yang kau sebut bangsat itu?" tanya Bidadari Angin Timur walau sebenarnya
dia sudah tahu karena sebelumnya telah mendapat keterangan dari Jatilandak.
"Aku tidak kenal siapa dia. Bertemunyapun secara kebetulan. Di satu rumah tua di
lembah. Waktu itu aku dalam perjalanan ke Magetan. Aku tidak perduli siapa dia. Saat itu
aku hanya tertarik pada emas yang dijanjikan. Kalau aku bisa
memancingmu ke rumah tua di lembah, sekantong emas akan diberikannya padaku."
"Kau tahu mengapa dia hendak mencelakai
diriku?" Warok Jangkrik gelengkan kepala. "Aku tidak dusta. Aku tidak tahu mengapa dia
ingin mencelakai dirimu. Dia hanya meminta aku melarikan gadis bernama Wulan
Srindi itu dan memancingmu agar datang ke rumah tua di lembah."
BENDERA DARAH 19 Bidadari Angin Timur melirik ke arah Jatilandak lalu berkata. "Warok Jangkrik,
kau sudah menjawab semua pertanyaanku. Kau boleh pergi. Namun..."
"Namun apa?" tanya Warok Jangkrik dan mendadak saja mulai merasa jerih.
Wiro Sableng 136 Bendera Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana aku bisa memastikan bahwa kau akan berubah jadi orang baik?" Tanya
Bidadari Angin Timur sambil menatap tajam ke arah Warok Jangkrik.
"Percaya padaku. Bukankah tadi aku sudah mengucapkan sumpah, sudah mengatakan
tobat!" "Benar sekali. Telingaku tadi memang
mendengar semua ucapan, segala sumpahmu.
Namun hatiku berkata lain. Siapa percaya pada dirimu?" kata Bidadari Angin Timur
pula. "Kalau begitu..."
Belum sempat Warok Jangkrik menyelesaikan
ucapannya sosok gadis di hadapannya mendadak
lenyap. Dia hanya melihat bayangan biru berkelebat disusul suara sreet! Golok
besar di tangan kirinya dicabut orang! Warok Jangkrik berteriak kaget. Dia cepat
melompat mundur. Tapi terlambat. Lengan kanannya mendadak terasa dingin.
Memandang ke bawah dia dapatkan lengan kanan itu telah putus oleh golok miliknya
sendiri yang laksana kilat ditabaskan Bidadari Angin Timur. Warok Jangkrik sudah
puluhan kali melihat semburan darah dari tubuh orang-orang yang jadi korbannya
tanpa rasa merinding. Tapi kali ini dia menjerit setinggi langit melihat darah
sendiri yang menyembur dari kutungan lengan.
"Juangkrikk! Tobaaattt!" Sosok kepala rampok itu terhuyung melintir. Dengan
tangan kiri dia berusaha menotok urat saluran darah di bahu kanan.
Namun darah masih terus mengucur.
20 BENDERA DARAH "Lekas minggat sebelum kubuntungkan
tanganmu yang satu lagi!" Mengancam Bidadari Angin Timur.
Dicekam rasa sakit dan takut bukan kepalang
Warok Jangkrik tidak menunggu lebih lama. Secepat kilat dia kabur tinggalkan
perkebunan kopi.
Sementara berlari dari mulutnya tiada henti keluar jeritan kesakitan.
Bidadari Angin Timur sesaat pandangi golok
berdarah di tangan kanannya lalu melirik ke arah pemuda di sampingnya. Dia
melihat bayangan
ketegangan menyelimuti wajah kuning Jatilandak dan berkali-kali pemuda ini
menarik nafas panjang.
"Ada apa" Kau tidak suka melihat aku menabas buntung tangan manusia jahat itu"
Sebelumnya kau sendiri keluarkan ucapan agar kita menjatuhkan hukuman berat atas
manusia laknat satu ini." Ketika Jatilandak tak menjawab ucapannya Bidadari
Angin Timur meneruskan perkataannya. "Seharusnya kepalanya yang aku tabas. Bukan
tangannya..."
"Lalu, kenapa tidak kau tabas lehernya?" tanya Jatilandak.
Bidadari Angin Timur tersenyum. "Pertanyaanmu aneh," katanya. Lalu golok yang
dipegang dicampakkan ke tanah hingga menghunjam amblas, hanya ujung gagangnya
yang masih menyembul.
Jatilandak ikutan tersenyum walau tengkuknya
agak terasa dingin. Gadis sehalus dan secantik Bidadari Angin Timur ternyata
bisa menghukum seseorang secara mengerikan seperti itu.
"Itulah hukum rimba persilatan. Memang
manusia jahat itu seharusnya layak dibunuh." Di balik senyum Jatilandak,
Bidadari Angin Timur bisa
membaca apa yang mungkin tersirat dalam hati si BENDERA DARAH
21 pemuda. Maka diapun berkata. "Hajaranku tadi masih terlalu ringan. Kalau manusia
satu itu tidak berubah kelakuan, kelak kalau bertemu aku akan benar-benar
menabas batang lehernya."
Jatilandak mengangguk lalu goyangkan kepala
ke arah dangau. "Gadis itu perlu segera ditolong. Kau saja yang melakukan."
Jatilandak merasa rikuh turun tangan karena keadaan aurat Wulan Srindi yang
nyaris telanjang.
Sekali lompat saja Bidadari Angin Timur sudah berada di pinggir dangau. Dari
balik pakaiannya dia keluarkan seperangkat baju dan celana panjang yang kemudian
diletakkan di samping Wulan Srindi.
Setelah memperhatikan keadaan tubuh gadis itu, Bidadari Angin Timur segera
melepaskan totokan di tubuh Wulan Srindi.
"Lekas kenakan pakaian itu. Ada beberapa hal yang perlu aku tanyakan padamu."
Wulan Srindi merasa ada hawa hangat mengalir
dalam tubuhnya pertanda totokan yang mengunci jalan suara dan membuat dirinya
kaku telah musnah.
Gadis ini gerakkan tubuh, langsung dan cepat
mengambil baju dan celana yang terletak di lantai dangau.
"Terima kasih kau telah menolongku," ucap Wulan Srindi lalu dengan cepat, tanpa
membuka pakaian penuh robek yang masih melekat di
badannya, dia kenakan baju dan celana pemberian Bidadari Angin Timur. Ternyata
pakaian ini cocok dengan ukuran tubuhnya. Selesai mengenakan
pakaian, Wulan Srindi turun dari atas dangau lalu jatuhkan diri di tanah,
berlutut di hadapan Bidadari Angin Timur dan membungkuk dalam. "Terima kasih.
Kalau tidak kau yang menolong entah apa jadinya 22 BENDERA
DARAH dengan diriku."
"Tidak perlu berlutut, aku bukan Dewa, bukan pula Gusti Allah."
"Bagaimanapun juga aku berhutang budi,
kehormatan bahkan nyawa. Saat ini aku hanya bisa mengucapkan terima kasih. Kalau
kelak di kemudian hari aku tidak bisa membalas budi pertolonganmu, biarlah Yang
Maha Kuasa membalasnya berlipat
ganda." Dalam mengeluarkan ucapan itu di dalam hati Wulan Srindi merasa seolah
ada sesuatu di balik perkataan Bidadari Angin Timur. "Kata-katanya baik dan
benar. Namun telinga dan hatiku merasa ada sedikit hawa ketus dalam nada
suaranya. Mungkin aku salah menduga." Wulan Srindi berucap dalam hati. Lalu
berkata. "Sahabat cantik, kalau aku boleh bertanya siapakah kau tuan penolongku
ini adanya?"
"Simpan semua pertanyaanmu. Aku yang lebih dulu ingin bertanya padamu," jawab
Bidadari Angin Timur sambil matanya memperhatikan tajam gadis di hadapannya.
Wulan Srindi sejurus tatap wajah cantik gadis di depannya. Kecantikannya semakin
menonjol oleh rambut yang berwarna pirang. Saat memandang
wajah cantik jelita itu, di dalam hati murid Perguruan Silat Lawu Putih ini
kembali merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik nada ucapan Bidadari Angin
Timur. Mungkin kecurigaan, mungkin juga satu ketidakpercayaan dan ingin
menyelidik. Hal ini lebih kentara jika memperhatikan sorot pandang sepasang mata
si gadis. Perlahan-lahan Wulan Srindi
anggukkan kepala. "Jika sahabat hendak bertanya, saya siap menjawab," kata Wulan
Srindi pula. "Pertama, aku ingin tahu siapa dirimu adanya."
"Namaku Wulan Srindi. Aku anak murid
BENDERA DARAH 23 Perguruan Silat Lawu Putih. Beberapa waktu lalu..."
Bidadari Angin Timur yang tak ingin penjelasan berpanjang-panjang potong ucapan
Wulan Srindi. "Sewaktu di kedai Ki Sedap Roso di simpang jalan Sarangan, kau bertanya perihal
seorang pemuda bernama Wiro Sableng pada pemilik kedai. Apa
hubunganmu dengan pemuda itu. Mengapa kau
mencarinya?"
"Nah... nah... nah," ucap Wulan Srindi dalam hati. "Makin kentara nada suaranya
yang ketus. Bukan, bukan cuma ketus... Tapi berbau cemburu.
Aku menaruh hormat padanya. Tapi jika dia
menunjukan sikap curiga bahkan seperti mau
menyudutkanku, sikap hormatku bisa berkurang.
Malah bisa habis..."
"Wulan Srindi, kau belum menjawab
pertanyaanku. Agaknya kau tak mau memberi
keterangan?"
"Jelas, jelas sekali dia menaruh curiga yang berbau cemburu." Kembali Wulan
Srindi membatin.
Lalu gadis ini keluarkan jawaban. "Ada seseorang menugaskan aku mencari pemuda
bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu."
Sepasang alis hitam Bidadari Angin Timur
menjungkit ke atas. "Seseorang menugaskanmu mencari Wiro" Siapa orang itu?"
tanya Bidadari Angin Timur pula penuh rasa ingin tahu.
"Seorang kakek berjuluk Dewa Tuak."
"Dewa Tuak?" Sepasang mata Bidadari Angin Timur menyipit, menatap tajam-tajam ke
mata Wulan Srindi. Dalam hati dia tidak bisa percaya begitu saja pada gadis yang
barusan ditolongnya ini. "Sudah cukup lama tokoh rimba persilatan itu tidak
pernah 24 BENDERA
DARAH muncul. Tahu-tahu kau mendapat tugas darinya
untuk mencari Pendekar 212. Kenapa" Urusan apa"
Di mana kau bertemu orang tua itu. Kapan" Mengapa dia menugaskanmu mencari
Pendekar 212" Tunggu!
Katakan dulu apa hubunganmu dengan Dewa Tuak."
"Aku murid kakek itu," jawab Wulan Srindi dengan air muka bersungguh-sungguh.
"Apa"!"
"Sahabat penolong, kau bertanya apa
hubunganku dengan kakek itu. Aku barusan
menjawab. Aku murid Dewa Tuak." Jawab Wulan Srindi pula.
"Tidak mungkin. Tidak bisa jadi. Setahuku kakek itu hanya punya seorang murid
perempuan. Bernama Anggini. Sebayaku... Kau jangan mengaku-aku."
"Mohon maafmu. Mana berani aku mengaku-
aku. Apa lagi bicara dusta padamu yang telah
menyelamatkan diriku. Menurutmu tadi sudah lama kakek itu tidak muncul dalam
rimba persilatan.
Selama itu banyak hal bisa terjadi. Salah satu di antaranya adalah hubungan
diriku dengan dia.
Memang aku belum lama menjadi muridnya..."
Bidadari Angin Timur terdiam, menggigit bibir lalu melirik pada Jatilandak.
Melihat lirikan Bidadari Angin Timur, pemuda
dari Latanahsilam ini membuka mulut. "Aku rasa Wulan Srindi tidak berdusta. Bisa
saja ada kemungkinan bahwa Dewa Tuak telah mengambilnya jadi murid."
"Aku tahu betul siapa Dewa Tuak. Tidak
semudah itu dia mengangkat seorang murid baru.
Tapi... entahlah, mungkin begitu. Belum lama
berselang aku bertemu Anggini. Dia tidak pernah bicara kalau gurunya telah
mengangkat seorang BENDERA DARAH
25 murid baru. Mungkin... mungkin Anggini juga belum mengetahui hal itu."
Wulan Srindi diam saja tapi dalam hati dia
menunggu apa lagi yang hendak ditanyakan gadis berambut pirang itu padanya.
"Kau ditugaskan mencari Pendekar 212 oleh Dewa Tuak. Baiklah. Sekarang ceritakan
mengapa dia memberi tugas itu padamu" Memangnya kau
punya hubungan apa dengan pemuda itu?"
"Cemburu! Aku benar-benar mencium hawa
cemburu," ucap Wulan Srindi dalam hati. "Biar aku menguji dirinya." Sambil
mengelus jari-jari tangannya sendiri dan tundukkan kepala seolah malu, padahal
sebenarnya dia ingin menyembunyikan senyum
jahilnya, Wulan Srindi berkata. "Sebenarnya ini adalah urusan pribadi. Tapi
karena kau sahabat yang telah menolong dan kepada siapa aku berhutang budi,
kehormatan serta nyawa, maka aku ikhlas menceritakan padamu. Dewa Tuak
menugaskan aku mencari Pendekar 212 menyangkut perihal
perjodohan diriku dengan pemuda itu." Ucapan Wulan Srindi seolah serasa sambaran
petir sampainya di telinga Bidadari Angin Timur. Wajah cantiknya mendadak sontak
bersemu merah sampai ke telinga.
"Gila!" Tiba-tiba meledak ucapan itu dari mulut Bidadari Angin Timur. Membuat
Wulan Srindi tersentak angkat kepala dan juga membuat
Jatilandak menatap heran. Bidadari Angin Timur sadar kalau dia telah kelepasan
ucapan yang tidak wajar. "Tidak mungkin... Tidak mungkin..." Suaranya perlahan
bergetar. Sesaat dia menatap Wulan Srindi kemudian pandangannya diarahkan ke
kejauhan. Perlahan-lahan entah mengapa muncul saja rasa 26 BENDERA
DARAH benci dalam hatinya terhadap Wulan Srindi.
Kebencian yang disertai rasa penyesalan.
"Seharusnya tidak kutolong dia tadi. Menyesal aku menolongnya..." Suara itu
menggema berulang kali dalam hati kecil Bidadari Angin Timur.
"Kena kau sekarang!" ucap Wulan Srindi dalam hati. "Kecemburuanmu kau buktikan
sendiri dengan ucapan, sikap dan air matamu."
Bidadari Angin Timur berpaling pada Jatilandak.
Tanpa berkata apa-apa dia tinggalkan tempat itu.
Berlari kencang ke arah utara.
"Bidadari Angin Timur! Tunggu! Kau mau ke mana"!" Berseru Jatilandak. Menjawab
tidak berpalingpun tidak malah Bidadari Angin Timur percepat larinya sehingga
tubuhnya terlihat seperti kelebatan bayangan biru. Jatilandak usap kepalanya
yang kuning botak.
Dia memandang pada Wulan Srindi, seperti
hendak mengatakan sesuatu pada gadis ini. Si gadis balas memandang dengan
tersenyum, malah dengan nakal dia kedip-kedipkan matanya pada pemuda
yang sedang bingung ini. Tanpa keluarkan ucapan apa-apa Jatilandak akhirnya
berkelebat mengejar Bidadari Angin Timur.
Wulan Srindi menarik nafas panjang. Sambil
tersenyum hatinya menduga. "Pasti ada sesuatu antara gadis penolongku itu dengan
Pendekar 212. Dia kelihatan marah dan cemburu. Apakah dia
mencintai Wiro" Seumur hidup aku belum pernah melihat pemuda itu. Seandainya
tidak ada pesan dari Dewa Tuak, kini aku jadi sungguhan ingin mencari dan
menemui pendekar terkenal itu. Selain memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi,
pasti wajahnya sangat tampan."
BENDERA DARAH 27 Wulan Srindi rapikan pakaian, memandang ke
arah lenyapnya Jatilandak lalu berkata perlahan.
"Pemuda botak itu, agaknya dia menaruh hati pada si rambut pirang. Hemmm..."
Wulan Srindi gelengkan kepala dan kembali tersenyum.
28 BENDERA DARAH WIRO SABLENG 3 BENDERA DARAH NTUK beberapa saat lamanya Jatilandak
hanya berdiri di balik rerumpunan pohon keladi Uhutan memperhatikan Bidadari
Angin Timur yang duduk di dekat sebuah mata air. Dua kaki dilipat dan kepala dibenamkan di
antara dua lutut.
"Heran, apa yang terjadi dengan dirinya?" tanya Jatilandak dalam hati. "Dia
seperti tergoncang.
Apakah aku pergi saja atau menemui dan coba
bicara dengan dia" Siapa tahu bisa menolong..."
Sesaat pemuda dari Latanahsilam itu masih merasa ragu. Antara hasrat hendak
menolong sang dara dan keinginan untuk pergi tak mau mencampuri urusan orang.
Dalam berpikir menimbang-nimbang tak
sengaja daun keladi hutan yang dipegang dan
disibakkannya terlepas, terkuak dan mengeluarkan suara cukup jelas bagi seorang
berkepandaian tinggi seperti Bidadari Angin Timur.
"Kurang ajar! Siapa berani mengintai diriku!"
rutuk gadis berambut pirang itu. "Pasti gadis tak tahu diuntung itu!" Tanpa
mengangkat kepala dari atas lutut Bidadari Angin Timur gerakkan tangan kanan
lalu lepaskan satu pukulan jarak jauh ke arah rerumpunan pohon keladi di balik
mana Jatilandak berada.
Wiro Sableng 136 Bendera Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wuuusss! Satu gelombang angin luar biasa derasnya
menderu. Rumpunan pohon keladi dan semak
belukar di sekitarnya terbongkar dari tanah, melayang BENDERA DARAH
29 ke udara dalam keadaan hancur berantakan. Kalau Jatilandak tidak cepat
menghindar pasti tubuhnya juga akan ikut kena hantaman pukulan jarak jauh
mengandung tenaga dalam tinggi itu.
Masih belum mengangkat kepala dari atas lutut Bidadari Angin Timur kembali
gerakkan tangan
kanan. Dari balik pohon tempatnya berlindung
Jatilandak cepat berseru.
"Sahabat! Tahan pukulanmu! Ini aku!
Jatilandak!"
Tangan yang hendak menghantam perlahan-
lahan turun ke bawah. Kepala masih menunduk. Lalu terdengar suara isakan.
Jatilandak terkesiap heran. "Benar-benar aneh.
Tadi dia menyerangku hebat sekali. Kini malah sesenggukan. Dia sahabatku. Aku
harus tahu apa yang tengah terjadi dengan dirinya." Pemuda dari, Latanahsilam
ini segera mendekati Bidadari Angin Timur dan tetap berlaku waspada, khawatir
tiba-tiba diserang lagi. Dia duduk di dekat mata air, di samping si gadis, lalu
dengan suara lembut bertanya,
"Bidadari Angin Timur, aku tidak ingin mencampuri urusan pribadimu. Kalau boleh
tahu, mengapa kau tiba-tiba bersikap seperti ini" Kalau ada sesuatu yang bisa
aku lakukan untuk menolongmu, katakanlah."
Sapaan Jatilandak itu malah membuat isak
sengguk Bidadari Angin Timur semakin keras.
Pemuda bermuka kuning itu jadi tambah bingung. Dia ulurkan tangan kiri, mengelus
punggung si gadis.
Tiba-tiba Bidadari Angin Timur angkat kepalanya, memandang ke arah Jatilandak.
Wajahnya yang cantik basah oleh air mata.
"Pergi, jangan sentuh," ucap Bidadari Angin Timur. Suaranya memang tidak keras,
tapi cukup 30 BENDERA
DARAH membuat Jatilandak terkejut. "Aku tak ingin diganggu.
Saat ini aku ingin sendirian."
Jatilandak tarik tangannya. "Maaf, aku
bermaksud baik padamu. Aku tidak bisa menduga apa yang terjadi dengan dirimu.
Namun aku melihat, ada satu perubahan pada dirimu setelah pertemuan dengan Wulan
Srindi." "Aku tidak suka pada gadis itu!"
"Heh...?" Jatilandak memandang heran. "Kau tidak suka, tapi kau lupa bahwa kau
telah menyelamatkan dirinya?"
"Aku menyesal telah menolongnya."
"Sahabatku Bidadari Angin Timur. Tidak baik berkata seperti itu. Kau tahu, kau
telah berbuat satu pahala sangat besar menolong gadis yang hampir celaka itu."
"Aku tidak mengharapkan pahala ataupun
pujian. Maafkan kalau tadi aku menyerangmu. Aku mengira kau Wulan Srindi yang
sengaja mengikutiku.
Jatilandak, aku ingin sendirian di tempat ini."
"Baiklah, kalau kau minta aku pergi dari sini,"
kata pemuda muka kuning itu. "Agar aku tidak was-was, aku ingin bertanya, apakah
karena gadis bernama Wulan Srindi itu diambil murid oleh Dewa Tuak dan kau merasa tidak
layak, lalu kau tidak menyukai dirinya?"
Bidadari Angin Timur tidak menjawab.
Jatilandak tersenyum. Pertanyaannya tadi hanya sekedar hendak memancing untuk
satu pertanyaan berikutnya. Tapi karena yang ditanya tidak menjawab maka sebelum
bangkit berdiri pemuda ini berkata lagi. "Maafkan aku. Aku tidak pantas
mencampuri urusanmu. Selamat tinggal, sahabatku. Jaga dirimu baik-baik..."
Pemuda ini hendak membelai rambut BENDERA DARAH
31 pirang sang dara. Tapi membatalkan niatnya dan akhirnya bergerak bangun.
"Tunggu," tiba-tiba Bidadari Angin Timur berkata.
Dalam hati gadis ini membatin. "Ah, mengapa aku tidak bisa menguasai diri.
Apakah aku harus
menjelaskan semua padanya. Bisa-bisa dia menilai aku ini tambah tidak karuan..."
"Kau hendak mengatakan sesuatu?" tanya Jatilandak.
"Soal gadis itu diambil murid oleh orang pandai, itu adalah nasib dan rejeki
masing-masing orang.
Kalau memang benar, gadis itu sangat beruntung."
"Selama berada di tanah Jawa ini aku tidak kenal dan tidak pernah bertemu Dewa
Tuak. Kakek satu itu kepandaiannya pasti setinggi langit sedalam lautan."
Jatilandak diam sebentar, lalu sambil tersenyum dia bertanya. "Kalau soal
dirinya diangkat murid bagimu tidak menjadi ganjalan, lalu apa yang membuatmu
sedih?" "Aku hanya kesal dengan diriku sendiri," jawab Bidadari Angin Timur.
"Kesal terhadap dirimu atau terhadap diriku yang jelek ujud ini?"
Bidadari Angin Timur tersenyum dan pegang
lengan Jatilandak. Tanpa melepaskan pegangannya dia berkata, "Kau orang baik..."
"Kau juga baik," jawab Jatilandak seraya tangan kanannya diletakkan pula di atas
tangan kiri Bidadari Angin Timur yang memegang lengannya.
"Bidadari Angin Timur, gadis bernama Wulan Srindi itu tidak perlu kau ingat-
ingat lagi..."
"Aku sudah melupakan perihal ucapannya
bahwa dia adalah murid Dewa Tuak. Tapi yang aku tidak suka, dia berdusta kalau
Dewa Tuak telah 32 BENDERA
DARAH menjodohkan dirinya dengan Pendekar 212 Wiro
Sableng." "Bagaimana kau yakin dia berdusta?"
"Karena sebelumnya Dewa Tuak ingin
menjodohkan muridnya bernama Anggini dengan
pendekar itu. Namun tidak ada kata putus. Sinto Gendeng guru Pendekar 212 tidak
pernah setuju dengan ikatan perjodohan yang dibuat Dewa Tuak, Wiro sendiri
tampaknya acuh saja."
"Jika begitu ceritanya, tidak heran kalau Dewa Tuak akhirnya menjodohkan Wulan
Srindi dengan Pendekar 212 Wiro Sableng." Kata Jatilandak pula.
Bidadari Angin Timur tatap Jatilandak sesaat.
"Kau... kau percaya hal itu memang terjadi?"
tanya sang dara perlahan sekali.
"Segala sesuatu bisa terjadi. Dewa Tuak pasti orang keras hati. Kalau muridnya
yang bernama Anggini tidak dapat jadi jodoh Pendekar 212, maka dia coba dengan
muridnya yang lain. Wulan Srindi itu.
Baginya yang penting adalah mengikat pendekar itu dengan orang yang ada sangkut
paut dengan dirinya.
Kakek sakti, juga cerdik..."
Lama Bidadari Angin Timur terdiam. Perlahan,
sepasang matanya yang bagus kelihatan mulai
berkaca-kaca. "Dugaanku benar. Aku berhasil memancing
sikapnya. Gadis ini mencintai Pendekar 212 Wiro Sableng. Kini dia takut akan
kehilangan pemuda itu..." Jatilandak membatin dalam hati. Ketika genangan air
mata jatuh berderai di pipi Bidadari Angin Timur, Jatilandak ulurkan tangan kiri
untuk mengusap. Dengan tangan kanannya Bidadari Angin Timur pegang jari-jari
tangan pemuda itu lalu ditempelkan ke pipinya sementara air mata menetes BENDERA
DARAH 33 jatuh semakin deras.
"Kau mencintai Pendekar 212?" Tiba-tiba meluncur pertanyaan itu dari mulut
Jatilandak. Bidadari Angin Timur tersentak. Sepasang bola matanya membesar tapi mulutnya
tidak menjawab.
Malah kedua matanya dipejamkan dan tangan
Jatilandak semakin kencang dipegang di atas
pipinya. Bibir terbuka bergetar tapi suaranya hanya menggema di dalam hati. "Kau
sahabat baik... Kau yang belum lama mengenalku bisa tahu perasaanku.
Tetapi dia yang kuharapkan itu mengapa seolah tak pernah perduli..."
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Bidadari Angin Timur dan
Jatilandak angkat kepala, berpaling. Dua penunggang kuda berhenti di seberang
mata air. Salah seorang dari keduanya, yang mengenakan pakaian serba putih
melesat ke udara. Membuat gerakan jungkir balik dan di lain kejap sudah tegak
berdiri di hadapan kedua orang itu.
Penunggang satunya melompat biasa, turun dari kuda lalu melangkah dan berdiri di
samping penunggang kuda pertama.
Sepasang mata Bidadari Angin Timur terbuka
lebar. Wajahhya yang kemerahan berubah pucat.
Cepat-cepat gadis ini tarik dua tangannya yang saling berpegangan dengan tangan
Jatilandak. Lalu bangkit berdiri diikuti Jatilandak. Suaranya bergetar ketika
menyebut nama orang yang tegak di hadapannya.
"Wiro..."
34 BENDERA DARAH WIRO SABLENG 4 BENDERA DARAH ENDEKAR 212 Wiro Sableng sesaat tatap
wajah Bidadari Angin Timur. Dia jelas melihat P tanda-tanda si gadis habis
menangis. Senyum kecil terkulum di mulut murid Sinto Gendeng. Senyum yang tampak
aneh di mata Bidadari Angin Timur.
Senyum yang menimbulkan satu tusukan pedih di lubuk hatinya. Membuat gadis ini
bertambah canggung memandang sang pendekar. Wiro melirik pada Jatilandak. Pemuda ini
tampak tenang seperti tidak ada apa-apa. Wiro kembali tersenyum,
menggaruk kepala lalu berkata. Suaranya dibuat gembira begitu rupa, sengaja
menindih perasaan hatinya yang galau.
"Dua sahabat! Tidak disangka akan bertemu kalian di tempat ini. Bidadari Angin
Timur apakah kau baik-baik saja" Jatilandak" Ah, tentunya kalian berdua ada
dalam keadaan baik-baik. Bidadari, seharusnya kau berada di Kotaraja. Apakah
Setan Ngompol ada menemanimu di Gedung Kepatihan"
Aku menyuruh dia ke sana untuk menemuimu, Sutri Kaliangan, Ratu Duyung dan
Anggini." Bidadari Angin Timur tidak menjawab. Dua
matanya masih menatap membelalak tertegun ke
arah Wiro, wajahnya bertambah pucat. Kepalanya menggeleng perlahan. Wiro melirik
sekali lagi pada Jatilandak lalu kembali memandang ke arah Bidadari Angin Timur
yang balas menatapnya dengan mata tak berkesip.
BENDERA DARAH 35 "Ah, aku tidak ingin mengganggu ketenteraman kalian berdua. Aku dan sahabat Loh
Gatra ada urusan penting yang harus dilakukan..." Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro
Sableng memberi isyarat pada Loh Gatra dan putar tubuhnya.
"Wiro..." panggil Bidadari Angin Timur. Suaranya agak tersendat.
Saat itu Wiro telah berkelebat dan melompat
naik ke atas kuda. Bidadari Angin Timur bangkit berdiri. Jatilandak juga ikutan
bangun. "Wiro, ada sesuatu yang perlu aku jelaskan,"
kata Jatilandak pula.
Di atas punggung kuda Pendekar 212 hanya
sunggingkan senyum, lambaikan tangan lalu
menggebrak tunggangannya melesat tinggalkan
tempat itu. Loh Gatra merasa tidak ada gunanya dia berlama-lama di tempat itu
segera pula bergerak pergi. Sebelum berlalu dia masih sempat berkata pada
Bidadari Angin Timur. "Ada urusan gawat.
Larasati, istriku, diculik komplotan manusia pocong yang berkeliaran di sekitar
Sarangan. Aku pergi duluan..."
"Loh Gatra, tunggu!" panggil Bidadari Angin Timur yang sebelumnya memang telah
mengenal suami Nyi Larasati itu. (Baca serial Wiro Sableng Badik Sumpah Darah terdiri
dari 7 Episode). Tapi seperti Wiro, Loh Gatra juga telah naik ke atas kudanya
dan tinggalkan tempat itu.
"Ya Tuhan, dia pasti telah menduga..." ucap Bidadari Angin Timur. Lututnya
terasa goyah. Perlahan-lahan dia jatuh berlutut, tundukkan kepala ke dalam dua telapak tangan.
Bahunya turun naik menahan isakan. Jatilandak segera dekati gadis ini, pegang
bahunya seraya berbisik.
36 BENDERA DARAH "Bidadari, kau dan aku sama-sama dalam
keadaan khawatir. Wiro pasti mempunyai kesan keliru terhadap kita. Kita harus
segera mengejarnya..."
Bidadari Angin Timur tetap saja menekap wajahnya dengan dua telapak tangan.
Kepalanya digelengkan.
Lalu terdengar ucapannya tersendat-sendat. "Aku tak ingin ke mana-mana. Biar di
sini saja. Rasanya aku ingin mati di tempat ini."
"Tidak sahabatku. Kau tidak boleh berucap dan bersikap seperti itu. Kita harus
mencari Wiro dan bicara padanya. Kalau perlu aku akan mendukungmu mencari pemuda
itu sampai dapat." Lalu Jatilandak benar-benar mendukung sang dara. Bidadari
Angin Timur berusaha berontak lepaskan diri tapi akhirnya gadis ini hanya bisa
menangis dalam pelukan
pemuda dari Latanahsilam itu.
* * * TAK sampai lima puluh tombak memacu
tunggangannya, sebelum Loh Gatra menyusul,
Pendekar 212 memutar kuda, bergerak perlahan, menyelinap kembali menuju mata
air. Di balik serumpun pohon bambu hutan, murid Sinto Gendeng hentikan kudanya, sibakkan
ranting-ranting
pepohonan, memandang ke depan. Saat itulah dia melihat Jatilandak tengah
mendukung Bidadari Angin Timur dan si gadis menangis dalam pelukan pemuda
berkulit kuning itu. Jantungnya serasa runtuh dan remuk.
"Apa arti semua ini...?" ucap Wiro setengah berbisik dan tubuh mendadak terasa
dingin mematung di atas kuda.
BENDERA DARAH 37 * * * WIRO merasa seolah dia telah memacu
kudanya seperti dikejar setan, tapi Loh Gatra yang berada di sebelahnya melihat
murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini menunggang kuda tertegun-tegun. Dua
mata memandang ke depan, namun
pandangan itu kosong. Mata dan pikiran tidak berada dalam satu kesatuan.
"Sahabat Wiro, kau baik-baik saja?"
"Memangnya ada apa dengan diriku" Mengapa kau bertanya begitu?" balik bertanya
Wiro. "Berbahaya memacu kuda kalau pikiran sedang kacau."
Wiro tertawa bergelak. Menggaruk rambut dan
berkata. "Kau tahu dari mana pikiranku sedang kacau."
"Bukan cuma pikiranmu. Tapi juga hatimu!"
"Pikiran dan hatimu justru lebih kacau. Saat ini kau tengah kehilangan istri.
Diculik orang. Jadi apa perlunya kau memikirkan diriku?"
"Maafkan, aku tidak bermaksud buruk. Kalau aku boleh bertanya, siapa pemuda
berkepala botak yang seluruh kulitnya berwarna kuning itu?"
"Dia pemuda baik. Sahabatku dari negeri seribu dua ratus tahun silam."
"Negeri seribu dua ratus tahun silam. Aneh kedengarannya."
"Kau lihat sendiri. Orangnya juga aneh." ucap Wiro pula.
Wiro Sableng 136 Bendera Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa hubungannya dengan Bidadari Angin
Timur" Apakah mereka sudah saling mengenal sejak lama?"
Murid Sinto Gendeng terdiam. Dia tak mampu
38 BENDERA DARAH menjawab. Karena dua pertanyaan Loh Gatra itu diam-diam juga menjadi pertanyaan
di lubuk hatinya.
"Aku tidak tahu," ucap Wiro perlahan. "Kalau kau bertemu dengan mereka nanti,
sebaiknya tanyakan sendiri."
"Wiro, kau sahabatku. Terserah kau mau marah menuduh aku mencampuri urusanmu.
Setahuku bukankah gadis bernama Bidadari Angin Timur itu kekasihmu dan kau satu-satunya
orang yang dicintainya?"
"Loh Gatra, kau ini bicara apa" Bagaimana kau bisa bicara seperti itu" Antara
aku dan gadis itu hanya ada hubungan persahabatan. Dia sering
menolongku, aku pernah beberapa kali menolongnya.
Itu hal biasa dilakukan antara orang-orang rimba persilatan."
"Aku tahu semua itu, Wiro. Namun, jika tidak ada hubungan yang lebih dari itu,
mengapa aku melihat wajah Bidadari Angin Timur begitu pucat, seperti takut.
Takut sekali karena tertangkap tangan oleh orang yang dicintainya ketika tengah
berkasih-kasihan dengan pemuda lain."
"Ucapan edan!" bentak Wiro namun kemudian pendekar ini terdiam. Ada galau tidak
enak di dalam hatinya. Terbayang kembali apa yang dilihathya ketika dia berbalik
ke mata air dan dapatkan Bidadari Angin Timur menangis dalam dukungan
Jatilandak. Sambil terus menunggang kudanya tanpa berpaling pada Loh Gatra, Pendekar 212
bertanya. Dia tidak sadar kalau pertanyaan itu menunjukkan perasaan hatinya.
"Menurutmu, apakah pemuda bernama Jatilandak itu tengah bercinta dengan Bidadari
Angin Timur?"
Loh Gatra tersenyum. "Nah, sekarang agaknya BENDERA DARAH
39 ada kebimbangan dalam hatimu. Terus terang aku tidak berani berucap menduga-
duga." Wiro garuk kepala, mengigit bibir lalu berkata.
"Dari wajah dan keadaan matanya aku lihat gadis itu habis menangis. Dia menangis
sebelum kita datang. Agaknya ada yang terjadi di antara mereka.
Mungkinkah keduanya telah melakukan sesuatu?"
"Sesuatu apa maksudmu?"
"Sesuatu, lebih dari hanya sekedar saling berpegangan tangan. Misalnya...
mungkin saja sebelumnya kedua orang itu telah bercinta yang melebihi batas. Melakukan
hubungan seperti
sepasang suami istri?"
Loh Gatra tersenyum dan gelengkan kepala.
"Wiro, jika selama kau dan gadis itu
berhubungan, kalian tidak pernah melakukan hal yang kau duga itu, percayalah,
Bidadari Angin Timur tidak akan pernah mau melakukan perbuatan sesat itu dengan
siapapun."
Murid Sinto Gendeng tersenyum kecut.
"Kebenaran ucapanmu hanya setan hutan di mata air itu yang tahu," kata Wiro
sambil menggaruk kepala. Lalu murid Sinto Gendeng ini menambahkan dengan suara
perlahan. "Kalaupun ada perasaan cinta di hatinya terhadapku, perasaan itu bisa
saja berubah. Di dunia ini bukan cuma aku satu-satunya pemuda. Apa lagi
Jatilandak memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi..."
"Bagaimana dengan wajah dan kulit tubuhnya yang serba kuning?"
"Di masa sekarang ini soal wajah bukan menjadi tuntutan pertama untuk disukai
dan dicintai. Lagi pula pemuda bernama Jatilandak itu, kalau saja kulitnya tidak
kuning, dia adalah seorang pemuda yang
40 BENDERA DARAH gagah..." "Dari semua ucapanmu, aku melihat ada rasa cemburu dalam hatimu. Kalau betul
berarti itu satu pertanda bahwa kau sebenarnya memang mengasihi Bidadari Ahgin
Timur." Wiro menggaruk kepala, tertawa panjang. Ketika dia hendak membuka mulut untuk
menjawab ucapan orang, Loh Gatra mendahului,
"Wiro," ujar Loh Gatra yang tetap ingin menghibur dan menguatkan hati sahabatnya
itu walau dia sendiri tengah dilanda malapetaka besar.
"Jika kita melihat sesuatu, duga dan pikir bisa macam-macam. Tapi ketahuilah,
sesuatu yang terlihat belum tentu menyatakan kebenaran dari apa yang kita duga. Selalu ada
kemungkinan bahwa ada sesuatu yang sangat berlainan di balik kenyataan yang kita
lihat. Sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan itu..."
"Aku tidak mengerti maksud semua ucapanmu.
Mungkin aku cuma pemuda tolol yang tidak tahu basa basi ucapan." Kata Wiro pula
sambil menggaruk kepala. Dia lantas saja teringat pada pertemuannya dengan Suci,
gadis alam gaib yang lebih suka
dipanggilnya dengan nama Bunga dan dalam rimba persilatan tanah Jawa dikenal
dengan julukan Dewi Bunga Mayat. Waktu itu Wiro baru saja menyelamatkan Bunga
yang disekap Iblis Kepala Batu Alis Empat di dalam sebuah guci tembaga.
Terngiang kembali ucapan gadis alam gaib itu
kepadanya. " Di luar diriku, aku tahu begitu banyak gadis mencintai dirimu. Aku
tidak tahu bagaimana perasaanmu terhadap mereka. tetapi jika kelak di kemudian
hari kau ingin memilih salah satu dari mereka sebagai teman hidupmu, jatuhkanlah
BENDERA DARAH 41 pilihanmu pada Ratu Duyung. Jaga dia baik-baik. "
Saat itu Wiro sempat bertanya, " Mengapa kau berkata begitu Bunga" "
Dan Bunga menjawab. " Pertanyaanmu tidak akan kujawab. Aku ingin agar kau
sendiri yang mencari tahu, yang mencari jawabannya... " (Baca Episode Wiro
Sableng berjudul Kutukan Sang Badik) Di atas punggung kuda Wiro kembali
menggigit bibir. Hatinya berkata. "Bunga, pertanyaanmu sudah kujawab. Aku sudah
menyaksikan sendiri jawaban itu.
Bila kita memilih teman hidup, unsur kesetiaan adalah yang paling utama dari
segala-galanya. Setia dalam susah dan dalam senang. Aku mengerti sekarang,
Bunga. Waktu itu kau ingin mengatakan bahwa
Bidadari Angin Timur bukanlah seorang gadis yang memiliki rasa dan sifat
kesetiaan itu. Kau tak mau berterus terang. Itu pertanda kau memiliki hati yang
sangat tulus, putih dan bersih. Terima kasih Bunga.
Terima kasih. Aku akan selalu mengingatmu." Wiro menghela nafas dalam dan
panjang. Hati kecilnya berbisik lagi. "Kalau saja ujudmu sempurna dan kau hidup
di alamku, kalau saja kau bukan gadis alam roh, mungkin keadaan akan berbeda.
Tidak seperti ini..."
"Wiro, kau bicara dengan siapa?" Loh Gatra yang berada di samping kanan Pendekar
212 bertanya terheran-heran.
Belum sempat Loh Gahtra mendapat jawaban
tiba-tiba satu bayangan putih laksana kilat berkelebat turun dari langit muncul
melayang di udara antara kuda tunggangannya dan kuda tunggangan Wiro. Loh Gatra
mencium bau harum aneh santar sekali. Bau kembang kenanga! Bersamaan dengan itu
Pendekar Kembar 9 Pendekar Rajawali Sakti 94 Pendekar Aneh Lambang Naga Panji Naga Sakti 4