Bendera Darah 2
Wiro Sableng 136 Bendera Darah Bagian 2
dua ekor kuda keluarkan suara meringkik keras. Wiro dan Loh 42 BENDERA
DARAH Gatra cepat usap tengkuk kuda masing-masing. Lari kuda sama diperlambat. Dua
mata Loh Gatra mendelik besar memperhatikan sosok putih yang melayang antara kudanya dan kuda
Wiro. Tengkuknya mendadak dingin memperhatikan sosok seorang gadis berkebaya putih,
berambut hitam panjang lepas tergerai. Berwajah cantik tetapi pucat.
"Setan gentayangan di siang bolong!" teriak Loh Gatra, "Wiro! Pacu kudamu lebih
kencang sebelum kita dicekiknya!" Loh Gatra gebrak kudanya hingga binatang itu
melesat ke depan. Namun beberapa tombak di muka sana dia menoleh ke belakang dan
jadi terheran-heran menyaksikan Wiro turun dari kuda lalu melangkah menghampiri
gadis berkebaya
panjang putih yang tegak di tepi jalan dan tampaknya sengaja menunggu. Kemudian
dilihatnya Wiro dan gadis itu saling berangkulan. Tapi ada sesuatu yang aneh.
Tubuh si gadis seolah tenggelam masuk ke dalam badan Wiro.
"Tubuh bayangan... Jin perempuan, demit, hantu atau apa. Aneh," ucap Loh Gatra
dalam hati. Mau tak mau dia hentikan kuda lalu berbalik ke arah kedua orang itu.
Tanpa turun dari tunggangannya Loh Gatra perhatikan gadis berkebaya panjang
putih mulai dari kepala sampai ke kaki sementara harumnya bau
bunga kenanga mencucuk hidung.
"Benar-behar aneh. Kalau hantu bagaimana mungkin dua kakinya menjejak tanah?"
pikir Loh Gatra. Lalu telinganya mendengar gadis itu berkata.
"Wiro, jarang kejadian seperti ini. Di alam roh aku mendengar kau menyebut
namaku. Satu kekuatan
putih mendorongku masuk ke dalam alammu.
Padahal ini belum saatnya aku bisa mendatangi dirimu. Ini satu pertanda dan aku
punya firasat. Hal ini BENDERA DARAH
43 terjadi karena kau bakal menghadapi satu bahaya besar. Aku harus memberi ingat
agar kau berlaku hati-hati."
"Bunga, aku bersyukur hal ini bisa terjadi. Aku merasa bahagia bisa bertemu lagi
denganmu," kata Wiro sambil memegang tangan gadis berkebaya
putih, gadis alam gaib yang biasa dipanggil Wiro dengan nama Bunga.
"Wiro..." Loh Gatra memanggil dari atas kudanya. Suara dan wajahnya jelas
menunjukkan rasa heran bercampur takut.
Wiro menggaruk kepala, berpaling pada
sahabatnya itu. Sambil tersenyum dia berkata.
"Gadis ini bukan setan perempuan seperti dugaanmu tadi. Dia tidak akan mencekik
siapa-siapa. Dia adalah sahabatku. Namanya Bunga."
"Aku tidak mengerti..." kata Loh Gatra pula.
Bunga tersenyum. "Jangankan dirimu, dia
sendiripun sampai sekarang tidak pernah mengerti akan keadaan diriku yang
seperti ini."
Loh Gatra coba tersenyum dalam
ketidakmengertiannya. Saat itu dia ingin cepat-cepat meninggalkan tempat
tersebut. "Bunga, aku berterima kasih. Kau datang untuk memberi peringatan padaku. Aku
akan berlaku hati-hati. Aku memang sedang menghadapi satu urusan besar. Aku
tengah dalam perjalanan menuju
Sarangan bersama sahabatku ini."
Bunga mengangguk. "Wiro, aku tidak bisa lama-lama muncul di hadapanmu. Sebelum
pergi aku akan berikan lagi padamu sekuntum bunga kenanga yang tak pernah layu.
Simpan baik-baik. Jangan sampai hilang seperti satu yang pernah kuberikan
dahulu. Kalau ada sesuatu yang bisa kubantu, pegang bunga 44 BENDERA
DARAH itu, cium dan sebut namaku. Atas kehendak dan kuasa Gusti Allah mudah-mudahan
aku bisa muncul menemui dirimu. Selamat tinggal Wiro..."
"Bunga, tunggu. Ada sesuatu yang ingin
kusampaikan..."
Gadis dari alam roh itu balikkan diri.
"Ada apakah?"
"Ingat ketika kita berdua-dua berada di satu tempat tak lama setelah kau bebas
dari sekapan guci tembaga?" tanya Wiro.
"Tentu saja aku ingat. Itu adalah salah satu dari hari-hari indahku bersamamu.
Apa maksud pertanyaanmu?"
"Waktu itu kau berkata. Jika kelak aku ingin memilih teman hidup, jatuhkanlah
pilihanku pada Ratu Duyung. Jaga dia baik-baik..."
Bunga mengangguk.
"Waktu itu," Wiro melanjutkan. "Aku bertanya, mengapa kau berkata begitu. Lalu
kau menjawab, biar aku sendiri yang mencari tahu, yang mencari jawabannya."
Bunga tersenyum. "Apakah kau telah
mendapatkan jawabannya, Wiro?"
Pendekar 212 gigit bibir sendiri. Menggaruk
kepala lalu berkata. "Kurasa memang sudah aku dapatkan. Bahkan aku lihat
sendiri." "Jangan hanya menuruti perasaanmu saja Wiro.
Tapi pergunakan akal pikiran serta ketulusan hati.
Siapa tahu kau nanti bakal mendapat jawaban yang lain."
Wiro merasa, kalau tadi jari-jari tangan Bunga yang diremasnya terasa dingin
mendadak berubah hangat. Ketika rasa hangat ini menjalar masuk ke dalam
tubuhnya, pegangannya lepas dari jari jemari BENDERA DARAH
45 si gadis. Lalu ada satu belaian lembut di pipi Pendekar 212.
"Selamat tinggal, Wiro."
Sosok gadis alam roh itu bergerak.
"Bunga..." Wiro berseru memanggil. Namun sosok Bunga telah berubah menjadi
cahaya putih yang melesat ke udara dan akhirnya lenyap seolah menembus langit.
Wiro masih mengusap-usap pipinya yang
barusan dibelai Bunga ketika di sampingnya Loh Gatra berkata.
"Sulit aku mengerti kalau tadi itu bukan sebangsa setan atau hantu. Dia muncul
secara aneh, lenyap secara aneh pula. Terbang lenyap ke langit!
Manusia biasa mana bisa begitu" Wiro..."
"Dia gadis dari alam roh."
"Gadis dari alam roh! Bagaimana ceritanya kalian bisa saling kenal dan
berhubungan" Dari pembicaraan kalian berdua tadi agaknya gadis itu tahu banyak
seluk-beluk hubunganmu dengan
Bidadari Angin Timur."
Wiro masukkan kembang kenanga yang
diberikan Bunga ke balik pakaian putihnya.
"Mengenai Bunga, panjang ceritanya. Tak bisa kujelaskan saat ini..."
Loh Gatra masih punya rasa ingin tahu.
"Sebelum dia pergi, gadis itu membelai pipimu. Apa yang dilakukannya itu, cara
dia bertutur dan
menatapmu, agaknya dia punya satu perasaan hati yang khusus terhadapmu kalau
tidak mau dikatakan cinta. Betul?"
Wiro tertawa. Menatap ke langit lalu berkata.
"Sahabatku, kalau memang ada cinta di dunia ini, bercinta dengan gadis sungguhan
saja susah 46 BENDERA
DARAH setengah mati, apa lagi dengan gadis dari alam roh."
"Kita bersahabat, mengapa kau tidak mau
berterus terang padaku?" ucap Loh Gatra pula.
"Sahabatku, gadis itu telah pergi. Sekarang giliran kita melanjutkan
perjalanan." Wiro melompat naik ke punggung kuda. Loh Gatra geleng-geleng kepala
lalu membedal kuda mengejar Wiro.
Ketika Wiro melewati sebuah pohon besar
mendadak terbayang kembali Bidadari Angin Timur yang duduk berdampingan dekat
mata air sambil saling berpegangan tangan dengan Jatilandak. Juga terbayang saat
ketika Jatilandak mendukung gadis itu dan Bidadari Angin Timur menangis dalam
pelukan si pemuda. Tidak terasa ada hawa panas mendorong tenaga dalam hebat ke
tangan kanan Pendekar 212
Wiro Sableng. Tangan itu berubah menjadi seputih perak mulai dari siku sampai ke
ujung jari. Loh Gatra terkesiap kaget. Belum sempat dia mengatakan
sesuatu tiba-tiba di luar sadar Wiro hantamkan tangannya ke arah pohon.
Bummmm! Kraaak! Pohon besar terbongkar tumbang, hancur dan
berubah jadi kobaran api.
"Wiro! Kau melepas pukulan Sinar Matahari! Kau hancurkan pohon tanpa alasan! Apa
kau sudah gila"!"
Pendekar 212 tertawa bergelak. "Gila mungkin belum. Yang pasti aku memang
sableng! Ha... ha...
ha... ha!"
"Kalau cuma sableng rasanya semua orang
sudah tahu. Yang aku khawatirkan kalau-kalau dirimu telah kesambat kemasukan roh
gadis aneh tadi.
Menghantam tak karuan, tertawa tak karuan..." kata BENDERA DARAH
47 Loh Gatra perlahan, hingga tidak terdengar oleh Wiro yang berada di sebelah
depan. 48 BENDERA DARAH WIRO SABLENG 5 BENDERA DARAH UANG Bendera Darah adalah satu ruangan
batu, terletak di bawah Ruang Kayu Hitam
R dalam kawasan 113 Lorong Kematian. Di
tengah ruangan terdapat sebuah meja batu. Di
samping kiri meja ada sebuah kursi, juga terbuat dari batu. Di atas kursi ini
duduk Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian. Sosok tinggi besar Sang
Ketua tidak bergerak. Sepasang mata di balik dua lobang kecil pada kain kerudung
putih penutup kepala memandang liar ke arah dinding batu di hadapannya. Pada
dinding itu, hampir tak kentara ada sebuah pintu batu. Dari sebelah dalam pintu
ini hanya bisa dibuka dengan menekan satu tombol
rahasia. Tombol tersebut terletak pada ujung lengan kursi sebelah kanan yang
diduduki Yang Mulia Sang Ketua.
Dua tombak di belakang meja dan kursi ada
sebuah tangan batu merapat ke dinding. Pada ujung puncak tangga yang memiliki 13
undakan, sebuah bendera besar berbentuk segi tiga merah menancap ke dinding.
Bendera ini menebar bau anyir menusuk hidung. Inilah yang disebut Induk Bendera
Darah. Empat pendupa pada sudut-sudut kamar yang
menebar bau harumnya kemenyan tidak dapat
menindih tajamnya bau anyir darah setengah kering yang melekat di bendera. Di
atas Bendera Darah, berderet menancap pada dinding batu terdapat dua lusin
bendera kecil berbentuk segi tiga berwarna BENDERA DARAH
49 putih. Tepat di bawah ujung lancip bendera yang menjulai ke bawah ada tonggak
batu yang kedudukannya agak miring ke depan, di atas mana terletak satu tengkorak kepala
manusia tertutup oleh lumut berwarna merah kehitaman. Pada ubun-ubun tengkorak
terdapat sebuah lobang. Di sebelah bawah ada lagi satu tonggak batu setinggi
pinggang. Di atas tonggak batu ini terletak sebuah bokor perak dalam keadaan
kosong. Kepala Yang Mulia Ketua bergerak sedikit ketika sepasang telinganya menangkap
langkah-langkah kaki di balik dinding ruangan batu. Diam-diam dalam hati dia
menghitung gerakan langkah kaki di balik dinding batu. Di lorong di luar sana
ada empat orang tengah berjalan menuju Ruang Bendera Darah.
Cocok dengan perhitungan. Yang datang adalah
orang-orang yang telah ditunggunya. Langkah kaki berhenti. Lalu ada suara
ketukan pada pintu batu.
Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian segera tekan tombol pada ujung
kanan lengan kursi yang didudukinya. Secara aneh bagian tengah
dinding batu di hadapannya bergerak turun ke bawah membentuk pintu terbuka. Api
pendupaan di empat sudut Ruang Bendera Darah tiba-tiba menyala
terang. Asap kelabu mengepul ke atas sampai
menyentuh langit-langit ruangan. Di luar sana, di depan pintu, pada ujung lorong
batu berdiri empat sosok. Tiga di antara mereka mengenakan jubah putih dan tutup
kepala putih. Tiga manusia pocong ini adalah Wakil Ketua, dua Satria Pocong yang
bertindak sebagai pengawal dan masing-masing
membawa sebuah bokor perak berisi darah. Di antara dua Satria Pocong ini berdiri
manusia pocong ke empat. Bau wangi aneh menebar dari tubuhnya yang 50 BENDERA
DARAH semampai. Ketika melangkah masuk walau
gerakannya enteng namun kelihatan jelas gerak sepasang kaki serta dua tangannya
mengayun kaku. Seperti tiga manusia pocong yang berbarengan
masuk dengannya, manusia pocong satu ini
mengenakan jubah dalam dan kain penutup kepala.
Namun pada penutup kepala, di atas kening, ada sebuah mahkota kecil hijau
bercahaya. Kalau tiga manusia pocong lainnya, seperti juga Sang Ketua mengenakan
jubah putih tebal, manusia pocong satu ini memakai jubah putih yang begitu
tipis. Hingga walau samar, auratnya masih bisa terlihat cukup jelas. Lalu di
bawah kain penutup kepala di sebelah belakang menjulai panjang rambut hitam
berkilat. Dari keadaan manusia pocong satu ini jelas dia adalah seorang
perempuan! Di belakang sana terdengar suara desiran halus.
Pintu batu yang tadi membuka kini bergerak naik menutup dinding. Untuk beberapa
ketika Ruang Bendera Darah diselimuti kesunyian. Ada hawa
ketegangan menggantung di udara.
Yang Mulia Ketua memberi isyarat dengan
gerakan jari-jari tangan kanan. Melihat isyarat ini empat manusia pocong segera
bergerak melangkah.
Begitu sampai di hadapan Yang Mulia Ketua
Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian, ke empat orang itu sama menjura,
laju mendongak dan secara berbarengan keluarkan seruan.
"Salam hormat untuk Yang Mulia Ketua! Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib
dicintai!"
Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong
bangkit dari kursi batu, angkat tangan kanan ke BENDERA DARAH
51 depan lalu keluarkan ucapan. "Wakil Ketua, kau tahu apa yang harus dilakukan.
Laksanakan tugasmu!"
Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113
Lorong Kematian melangkah mendekati Satria
Pocong di samping kanan. Satria Pocong ulurkan tangan, serahkan bokor perak
berisi darah yang dipegangnya. Setelah menerima bokor Wakil Ketua melangkah ke
arah tangga batu yang menempel di dinding belakang Ruang Bendera Darah.
Perlahan-lahan dia menaiki tiga belas undakan batu. Pada undakan terakhir di
sebelah atas dia hentikan langkah, berpaling ke bawah. Saat itu pula Satria
Pocong kedua segera tinggalkan tempat, melangkah ke arah tonggak batu setinggi
pinggang. Dengan hati-hati dia letakkan bokor berisi darah yang dibawanya di
atas tiang batu, tepat di sebelah bokor perak kosong. Selesai meletakkan bokor
berisi darah orang ini melangkah mundur, kembali ke tempat semula.
Tak ada yang bergerak, tak ada yang bersuara.
Ruang Bendera Darah kembali diselimuti kesunyian dan ketegangan.
"Wakil Ketua! Kau boleh mulai!" Tiba-tiba suara Yang Mulia Ketua menggema di
ruangan batu. Mendengar ucapan Sang Ketua, Wakil Ketua
Barisan Manusia Pocong ulurkan dua tangan yang memegang bokor perak ke depan.
Wiro Sableng 136 Bendera Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan hati-hati, perlahan-lahan dia curahkan cairan darah di dalam bokor ke
atas bendera besar segi tiga merah.
Kucuran darah jatuh membasahi Induk Bendera
Darah, sebagian meresap pada kain bendera,
sebagian lagi meluncur ke bawah, jatuh tepat dan masuk ke dalam lobang pada
ubun-ubun tengkorak yang terletak di tiang batu miring. Begitu darah memasuki
tengkorak terjadi beberapa keanehan.
52 BENDERA DARAH Induk Bendera Darah berbentuk segi tiga besar yang basah tiba-tiba bergerak
hidup, seolah digerakkan oleh tangan yang tidak kelihatan, bendera ini berkibas
keras. Darah yang membasahi bendera
menyiprat ke dinding dan lantai ruangan batu.
Menempel sesaat lalu secara aneh lenyap tak
berbekas. Di atas sana Induk Bendera Darah kembali kuncup tak bergerak.
Keanehan berikutnya, begitu cairan darah
masuk ke dalam tengkorak lewat bolongan di ubun-ubun, tiba-tiba sepasang mata
tengkorak memancarkan cahaya merah laksana ada api yang membersit dari sebelah dalam. Lalu
empat api pendupaan di sudut ruangan batu menyala terang.
Asap kelabu mengepul ke atas. Di lantai ruangan terasa ada getaran-getaran
halus. Darah yang masuk ke dalam tengkorak melalui
lobang di ubun-ubun mengucur keluar melewati mulut tengkorak dan selanjutnya
masuk tertampung dalam bokor perak kosong yang terletak di atas tiang batu
setinggi pinggang.
Di atas tangga batu, begitu darah dalam bokor perak habis, Wakil Ketua Barisan
Manusia Pocong perlahan-lahan tarik tangannya kembali. Dia tak berani bergerak
sebelum ada perintah dari Sang Ketua.
"Wakil Ketua, tugasmu selesai. Kau boleh turun."
Suara Yang Mulia Ketua menggema di ruangan batu.
Wakil Ketua putar tubuh, lalu melangkah
menuruni tangga 13 undakan. Sampai di bawah dia serahkan bokor yang telah kosong
pada Satria Pocong yang semula membawanya. Kesunyian
kembali mencekam di ruangan batu. Sepasang mata Sang Ketua menatap ke arah dua
buah bokor di atas BENDERA DARAH
53 tonggak batu setinggi pinggang. Perlahan-lahan, tanpa mengeluarkan suara
sedikitpun dia melangkah ke arah tiang batu. Di depan tiang dia tegak diam
sejenak, kepala tertunduk. Dari balik kain putih penutup kepala terdengar
suaranya mengucapkan sesuatu, bergumam tak jelas. Mungkin tengah
merapal mantera. Kemudian kelihatan Sang Ketua angkat ke dua tangannya, lalu
dimasukkah ke dalam bokor berisi darah yang berasal dari curahan lewat Induk
Bendera Darah. Terdengar suara riak cairan. Sang Ketua seperti tengah mencuci tangan dengan
darah di dalam bokor. Anehnya ketika tangan yang basah di
keluarkan, sama sekali tidak ada merah nodanya darah. Kedua tangan itu seperti
dicelup dan dicuci di dalam air biasa!
Wakil Ketua keluarkan secarik kain merah dari balik jubah lalu diberikan pada
Yang Mulia Ketua.
Selesai mengeringkan tangannya dengan kain merah Yang Mulia Ketua kembalikan
kain itu pada wakilnya lalu pergi duduk di kursi batu. Dari tempatnya berdiri
Wakil Ketua kemudian berseru.
"Satria Pocong, letakkan bokor yang kau bawa di atas meja batu."
Satria Pocong yang sejak tadi berdiri
memegangi bokor perak segera laksanakan perintah.
Bokor berisi cairah darah diletakkan di atas meja batu lalu dengan cepat dia
kembali ke tempat semula.
Sang Ketua perhatikan bokor itu sesaat lalu
menatap ke arah manusia pocong perempuan yang tegak beberapa langkah di
hadapannya. "Yang Mulia Sri Paduka Ratu, apakah kau telah siap untuk menerima berkah berupa
pembasahan dan pensucian kepalamu?" Dari tempatnya duduk 54 BENDERA
DARAH Sang Kedua keluarkan ucapan, ajukan pertanyaan.
Pocong perempuan yang dipanggil dengan
sebutan Yang Mulia Sri Paduka Ratu tundukkan
kepala sedikit lalu berkata. "Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!"
"Bagus. Sekarang majulah dua langkah,
tanggalkan kain penutup kepalamu dan berlutut di hadapanku!"
Sesuai perintah Sang Ketua, pocong perempuan
maju dua langkah. Gerakan kaki dan ayunan tangan kelihatan kaku. Lalu dengan
tangan kanannya dia membuka kain penutup kepala bermahkota hijau.
Begitu kain penutup kepala terbuka, kelihatanlah satu wajah gadis cantik tapi
sangat pucat seolah tak berdarah. Bagian putih dari matanya begitu putih hingga
tampak menggidikkan. Pandangan mata
kosong dan dingin. Di pipi kirinya ada guratan cacat bekas luka. Rambut panjang
hitam menjulai-sampai ke punggung. Perlahan-lahan gadis ini tundukkan diri ke
lantai. Kain putih penutup kepala diletakkan di samping kanan, lalu dia berlutut
dengan kepala diarahkan menghadap Ketua Barisan Manusia
Pocong. Sang Ketua duduk tak bergerak. Sepasang mata
dipejamkan. Di balik kain penutup kepala mulut komat-kamit. Sesaat kemudian
terdengar suaranya berucap lantang.
"Penghuni Aksara Batu Bernyawa. Di luar sana, pada bentangan langit malam
menghias bulan sabit hari ke tiga. Inilah malam perjanjian. Sesuai pesan dan
tugas yang tersurat dan tersirat di dalam Aksara Batu Bernyawa, malam ini, aku,
Ketua Barisan Manusia Pocong Seratus Tiga Belas Lorong
BENDERA DARAH 55 Kematian, siap melaksanakan apa yang tertera dalam syarat ke sembilan.
Pengusapan darah bayi yang masih segar ke ubun-ubun Yang Mulia Sri Paduka Ratu,
siap dan segera aku laksanakan."
Baru saja ucapan Sang Ketua berakhir, di
ruangan batu tiba-tiba ada suara silir seperti tiupan angin. Bendera Darah
bergerak-gerak. Hawa dingin untuk beberapa saat menyungkup seantero ruangan.
Semua orang merasa tegang, kecuali Sang Ketua.
Begitu suara tiupan angin sirna dan hawa dingin lenyap. Sang Ketua ulurkan dua
tangan, menyibak rambut gadis yang berlutut di depannya hingga membentuk garis
putih tepat pada ubun-ubun.
Setelah menggulung lengan jubah sebelah kanan sampai sebatas siku, dengan tangan
kiri Yang Mulia Ketua mengambil bokor perak berisi darah di atas meja. Tangan
kanan lalu dimasukkan ke dalam
bokor. Ketika tangan itu dikeluarkan kelihatan merah basah oleh cairah darah
yang mulai mengental.
Tangan yang berlumuran darah kemudian diusapkan ke ubun-ubun gadis yang berlutut
di lantai. Pada saat darah diusapkan ke ubun-ubun, entah dari mana datangnya
selarik sinar merah berkiblat lalu
membungkus sekujur tubuh si gadis mulai dari kepala sampai ke kaki. Tubuh Sri
Paduka Ratu bergetar hebat. Sang Ketua sendiri tersentak dan sampai tersandar ke
kursi batu saking kagetnya.
Semua apa yang dilakukan Sang Ketua tadi
diperhatikan tak berkesip oleh Wakil Ketua dan dua Satria Pocong. Pada saat
darah diusapkan ke ubun-ubun dua mata tengkorak di atas tiang batu kembali
memancarkan cahaya merah dan empat api
pendupaan di sudut ruangan menyala terang serta mengepulkan asap kelabu.
56 BENDERA DARAH Bokor perak diletakkan kembali ke atas meja
batu. Sang Ketua bangkit berdiri, melangkah ke tiang batu di atas mana terletak
bokor berisi darah yang dikucurkan dari Bendera Darah lalu masuk tengkorak yang
berada di tiang miring, selanjutnya ditampung dalam bokor pada tiang batu
setinggi pinggang. Sang Ketua celupkan tangan kanannya yang berlumuran darah ke
dalam bokor ini. Begitu tangan dikeluarkan noda darah telah lenyap. Wakil Ketua
cepat memberikan kain merah. Setelah mengeringkan
tangan dengan kain itu Sang Ketua kembali duduk di kursi batu. Lalu rambut
tersibak gadis yang berlutut dirapikan dan ditautkannya kembali.
"Yang Mulia Sri Paduka Ratu, upacara telah selesai. Silahkan berdiri. Harap
segera mengenakan penutup kepala."
"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua
seorang yang wajib dicintai." Setelah keluarkan ucapan itu si gadis ambil kain
penutup kepala bermahkota lalu bangkit berdiri.
Wakil Ketua datang mendekat. "Yang Mulia Ketua, Bendera Darah tinggal beberapa
buah lagi. Saatnya kita menambah persediaan."
"Hal itu memang sudah aku ketahui," jawab Yang Mulia Ketua. Lalu dia memutar
tubuh, memandang ke arah dinding ruangan sebelah
belakang di mana menancap dua lusin bendera kecil berbentuk segi tiga putih.
Perlahan-lahan Sang Ketua angkat tangan kanannya. Lima jari tangan membuka.
Telapak tangan membentang. Jari telunjuk
diacungkan. Didahului satu bentakan keras dia membuat gerakan seperti menusuk
lalu tangan diputar setengah lingkaran dan jari telunjuk diarahkan BENDERA DARAH
57 ke bokor perak berisi darah yang terletak di atas meja batu.
Terjadilah satu keanehan.
Bett... bettt... bett!
Suara kibasan lain terdengar dua puluh empat
kali berturut-turut. Dua lusin bendera putih segitiga yang menancap di atas
Induk Bendera Darah
melesat ke bawah. Sesuai dengan gerakan jari
telunjuk Yang Mulia Ketua, dua puluh empat bendera itu melesat masuk ke dalam
bokor perut di atas meja batu. Darah di dalam bokor bergejolak mengeluarkan
suara seperti mendidih. Asap merah mengepul. Dua lusin bendera segi tiga yang
tadi berwarna putih kini berubah menjadi merah!
"Wakil Ketua, pada saat fajar menyingsing besok pagi, kau boleh mengambil dua
lusin Bendera Darah itu"
Wakil Ketua barisan Manusia Pocong
membungkuk seraya berkata. "Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan..."
Sang Ketua anggukkan kepala lalu berkata.
"Antarkan Yang Mulia Sri Paduka Ratu ke
Rumah Tanpa Dosa. Dua Satria Pocong tetap di sini untuk membersihkan Ruangan
Bendera Darah."
Habis berkata begitu Sang Ketua lalu memberi isyarat pada wakilnya agar
mendekat. Sang Wakil segera mendatangi. Dengan suara perlahan Sang Ketua
berkata. "Jangan antarkan langsung gadis itu ke Rumah Tanpa Dosa. Bawa ke
kamarku lebih dulu.
Aku ingin bercinta dengannya malam ini. Sudah lama aku mencari waktu dan
kesempatan. Agaknya malam inilah baru bisa kulaksanakan."
Di balik kain penutup kepala Wakil Ketua
tersenyum lebar. Setelah menganggukkan kepala 58 BENDERA
DARAH tanda mengerti dia segera mendampingi Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Dua Satria
Pocong di sebelah depan. Sang Ketua tekan tombol rahasia di lengan kanan kursi
batu. Bagian dinding batu yang
merupakan pintu bergerak turun ke bawah. Hanya tinggal beberapa langkah lagi ke
empat orang itu akan melewati pintu batu, tiba-tiba dari arah depan yang
merupakan sebuah lorong, menggelundung
sesosok tubuh yang kemudian terkapar di ambang pintu! Di sebelah belakang tiga
Satria Pocong tampak mengejar berhamburan.
Ketua Barisan Manusia Pocong tersentak kaget, langsung melompat dari kursinya
seraya membentak.
"Apa-apaan ini"!"
Dua mata Sang Ketua mendelik memperhatikan
sosok yang terkapar di lantai batu. Sosok berjubah putih, berkepala kain putih
yang setengah tersingkap.
Jelas dia adalah salah seorang anggota Barisan Manusia Pocong. Apa yang terjadi
dengan dirinya"
Tiga Satria Pocong belum sempat menjawab,
sosok di lantai tiba-tiba keluarkan suara tawa mengekeh.
"Kalau pertanyaan itu kau tujukan padaku, itulah yang aku tidak bisa menjawab.
Ha... ha... ha!"
"Jahanam! Bagaimana hal ini bisa terjadi"!
Siapa keparat satu ini"!" Yang Mulia Ketua berteriak marah. Sekali berkelebat
dia berhasil menarik tanggal kain penutup kepala Satria Pocong. Begitu melihat
wajah orang kagetnya jadi tambah alang kepalang sampai dia berseru menyebut
nama. "Dewa Tuak!"
"Ha... ha... Kau kenali diriku. Aku tidak kenali dirimu!" Orang yang tergeletak
di lantai lorong di depan Ruang Bendera Darah kucak-kucak matanya.
BENDERA DARAH 59 Dia memang adalah si kakek yang dikenal dengan julukan Dewa Tuak. Sebelumnya
dalam keadaan tubuh lemah dan pikiran kacau dia telah bertempur melawan tiga Satria Pocong.
Walau dia berhasil menghajar mereka namun daya kekuatan yang ada dalam dirinya
semakin parah dan daya ingatnyapun bertambah tidak karuan.
Selain kaget Sang Ketua Juga marah besar.
Mata Sang ketua membelalak pada tiga Satria
Pocong yang muncul berbarengan dengan Dewa
Tuak. "Gila! Bagaimana tua bangka ini bisa lolos!
Bagaimana otaknya masih jernih! Aku tidak akan memberi ampun pada siapa saja
yang telah melakukan kesalahan!"
Tiga Satria Pocong ketakutan setengah mati.
Ketiganya segera menjura dalam sambil berkata berbarengan. "Mohon ampunmu Yang
Mulia Ketua."
Salah seorang di antara mereka lalu beranikan diri memberi keterangan.
"Mohon maafmu Yang Mulia Ketua. Kami tidak tahu bagaimana kejadiannya dia bisa
lolos dari kamar sekapan. Ketika kami pergoki dia telah berada di Lorong Seratus
Dua. Kami segera hendak
membekuknya. Tapi dia melawan. Mohon maaf, kami bertiga sempat dihajarnya. Lalu
dia melarikan diri ke arah sini. Kami mengejar sambil melepaskan tiga pukulan
berbarengan. Pukulan kami membuat dia jatuh menggelundung tepat ketika pintu
Ruang Bendera Darah terbuka."
"Jahanam! Ada yang tidak beres!" Teriak Sang Ketua semakin marah.
Wakil Ketua cepat mendekati dan berbisik.
"Dewa Tuak bukan orang sembarangan. Dia memiliki hawa sakti dan tenaga dalam
sangat tinggi. Dua 60 BENDERA
DARAH kekuatan itu bisa saja merupakan daya tolak dari apa yang telah kita lakukan
terhadapnya. Tapi
percayalah, daya ingatnya tidak akan bertahan lama.
Dia segera akan tunduk pada perintah dan kemauan kita."
"Jangan bicara tolol padaku! Sudah berapa lama dia mendekam di tempat ini! Tokoh
silat lainnya begitu dicekoki minuman Selamat Datang langsung punah daya
ingatnya. Mengapa dia tidak"!"
"Saya akan menyelidik. Saya akan urus tua bangka satu ini. Harap Yang Mulia
Ketua memberi izin."
"Kalau begitu lekas kau ringkus dia! Jebloskan kembali ke kamar tahanan. Kita
memerlukan dirinya dalam waktu singkat," perintah Sang Ketua.
Wiro Sableng 136 Bendera Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan khawatir. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Saya
akan meringkus dan memberikan minuman tambahan
padanya!" Ketika Wakil Ketua hendak bergerak, Yang Mulia Ketua pegang bahu jubah orang ini
lalu berkata. "Satu dari dua Satria Pocong yang bertindak sebagai mata-mata telah memberitahu
padaku. Kawasan
Telaga Sarangan telah didatangi orang-orang tak dikenal. Hari-hari besar yang
kita tunggu akan segera datang."
"Saya gembira," jawab Wakil Ketua. "Asalkan Yang Mulia Ketua mau berbagi rejeki
dengan saya."
"Kita sudah menentukan bagian dan rejeki masing-masing. Tapi jika kau bertindak
lamban, perhitungan rejekimu akan jatuh ke tangan orang lain."
Wajah Wakil Ketua di balik kain putih penutup kepala menyeringai. "Kalau itu
sampai terjadi, saya BENDERA DARAH
61 akan sangat kecewa. Karena sejak dia membunuh saudara saya, jelas-jelas nyawanya
adalah milik saya."
"Itu sudah menjadi perjanjian di antara kita. Tapi jangan lupa Wakil Ketua.
Banyak orang dan banyak tangan yang ingin dan bisa membantainya. Sekarang lekas
kau singkirkan tua bangka itu."
"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!" Habis berkata begitu
Wakil Ketua melompat ke arah sosok Dewa Tuak yang masih
bergelung di lantai batu sambil mengumbar tawa.
Tiba-tiba, hekk!
Satu totokan yang didaratkan Wakil Ketua ke
urat besar di pangkal leher membungkam mulut dan membuat kaku sekujur tubuh Dewa
Tuak. 62 BENDERA DARAH WIRO SABLENG 6 BENDERA DARAH ATU Duyung lama-lama jadi kesal. Setiap dia
memacu kuda meninggalkan Sutri Kaliangan
R di belakang, dia terpaksa berbalik kembali
atau menunggu. Putri Patih Kerajaan itu menunggang kuda perlahan santai-santai
saja. "Aku tak mengerti," Ratu Duyung keluarkan ucapan. "Sewaktu di Kotaraja kau
begitu bersemangat untuk segera melakukan perjalanan.
Kau sangat khawatir atas keselamatan Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng.
Sekarang kau malah
menunggang kuda perlahan enak-enakan. Seperti orang tengah tamasya. Apa kau
tidak melihat sang surya sudah jauh condong ke barat. Bisa-bisa kita kemalaman
di tengah jalan."
Sutri Kaliangan, dara cantik berpakaian serba kuning dengan pedang tergantung di
pinggang tersenyum mendengar ucapan Ratu Duyung.
"Sahabatku Ratu Duyung, menurut hitungan kita sudah setengah jalan. Kalau
dipaksakan memang bisa saja kita sampai malam hari di tempat tujuan.
Padahal tujuan kita masih merupakan teka-teki. Satu-satunya bimbingan arah
adalah apa yang kau lihat di cermin saktimu."
"Kalau sudah tahu mengapa tidak mempercepat lari kuda" Aku tidak mau bolak-balik
menjemputmu dan meminta agar bergerak lebih cepat."
"Ratu Duyung, dengar. Sedikit banyak aku cukup mengenali kawasan yang telah kita
lewati dan BENDERA DARAH
63 yang bakal kita tempuh. Jika kita terus mengikuti arah, di depan sana kita akan
menemui sebuah gunung bernama Gunung Kukusan. Di sebelah barat ada Gunung Lawu. Di dalam cermin
kau melihat ada bahaya besar mengancam Wiro. Kalau kita
memasuki daerah tujuan pada malam hari, apakah menurutmu bukan berarti kita
mencari bahaya?" Ratu Duyung diam saja. Sutri Kaliangan meneruskan kata-katanya.
"Kita perlu istirahat. Dua tunggangan kita juga perlu istirahat. Besok pagi kita
lanjutkan perjalanan."
"Besok pagi" Apa maksudmu, Sutri?"
"Kita bakal melewati sebuah kampung bernama Jatipurno. Ayahku memiliki sebuah
rumah di sana. Karena terletak tak jauh dari kaki Gunung Kukusan udaranya sejuk, pemandangan
sangat indah. Nah, kita bermalam di Jatipurno. Kita perlu mandi, cukup istirahat
dan cukup tidur."
"Kau tidak lagi mengawatirkan keselamatan Wiro?"
"Siapa bilang tidak mengawatirkan. Tapi jangan lupa memikirkan keselamatan diri
sendiri. Kalau kau berniat terus melanjutkan perjalanan, aku tak bisa
menghalangi. Aku tetap akan singgah di Jatipurno."
Setelah menimbang sesaat akhirnya Ratu
Duyung berkata. "Baiklah. Aku mengalah. Kita bermalam di Jatipurno. Tapi besok
pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit kita harus sudah melanjutkan
perjalanan."
Sutri Kaliangan tertawa lebar. "Sahabatku, agaknya kau juga mengawatirkan
keselamatan pemuda itu. Kurasa bukan hanya sekedar
mengawatirkan. Mungkin juga ada rasa rindu. Sudah berapa lama kalian tidak
bertemu?" 64 BENDERA DARAH Ratu Duyung tidak menjawab.
"Aku mendengar, banyak sekali para gadis tergila-gila pada Pendekar itu. Yang
sudah pasti Anggini dan Bidadari Angin Timur. Aku tahu waktu di Gedung Kepatihan
tadi malam mereka berpura-pura acuh ketika kuajak agar segera sama-sama
berangkat. Aku yakin, keduanya mencari jalan
sendiri-sendiri. Mungkin ingin mendahului kita menemui pemuda itu."
"Apakah kau merasa cemburu kalau Bidadari Angin Timur atau Anggini berhasil
menemukan Wiro lebih dulu?"
"O-ooo. Justru hal itu yang akan aku tanyakan padamu." Kata Sutri Kaliangan pula
sambil tersenyum dan melirik. Gadis ini tertawa kecil ketika melihat wajah Ratu
Duyung bersemu merah.
"Kau tak mau menjawab. Ratu, apakah kau
mencintai Wiro" Hemmm... aku bisa melihat pada raut wajah dan sinar matamu. Kau
mencintai pemuda itu."
"Sutri, jika kau terus menggoda, aku lebih baik melanjutkan perjalanan seorang
diri. Terus-terang, aku tidak merasa perlu singgah di Jatipurno."
Sutri Kaliangan dekatkan kudanya ke kuda Ratu Duyung lalu pegang lengan gadis
bermata biru itu.
"Harap kau jangan marah. Aku hanya bergurau.
Soalnya, gadis mana yang tidak terpikat dengan pemuda seperti Wiro. Pendekar
berkepandaian tinggi, berbadan tegap berwajah gagah. Selain itu baik hati pula.
Banyak yang meramalkan dia bakal jadi tokoh utama dalam rimba persilatan tanah
Jawa." "Pendekar berkepandaian tinggi, berbadan tegap berwajah gagah. Selain itu baik
hati pula. Diramalkan bakal menjadi tokoh utama dalam rimba BENDERA DARAH
65 persilatan tanah Jawa..." Ratu Duyung mengulangi ucapan Sutri Kaliangan lalu
cepat menyambung.
"Kau seorang gadis cantik jelita, Putri Patih Kerajaan, juga memiliki ilmu silat
tinggi. Bukankah merupakan pasangan yang cocok dan serasi?" Kini Ratu Duyung
yang menggoda Sutri Kaliangan.
Yang digoda tertawa panjang. "Aku boleh
dibilang gadis yang ketinggalan kereta. Bagaimana mungkin bisa bersaing dengan
para sahabat yang telah lebih dulu mengenal Wiro. Bidadari Angin Timur, Anggini
dan kau sendiri."
"Kurasa kau lebih mendapat perhatian karena kau putri Patih Kerajaan. Cantik..."
"Menurutmu begitu?" tanya Sutri lalu menjawab sendiri pertanyaannya. "Kurasa
tidak. Ketika ayahku menawarkan jabatan Panglima Kerajaan padanya, sebagai balas
jasa dalam membantu mendapatkan Melati Tujuh Racun, satu-satunya obat yang mampu
menyembuhkan penyakit ayah, dia menolak. Berarti dia tidak ada perhatian pada
diriku." "Menolak jabatan bukan berarti menolak cinta seorang gadis cantik sepertimu.
Justru di situlah keluhuran budinya sebagai seorang pendekar. Dia tidak mau
menjual diri dengan jabatan. Lebih dari itu dia tidak mau merendahkan makna
cinta dan kasih sayang dengan balas jasa."
"Apapun alasan penolakannya, yang jelas aku tidak mungkin mendapatkan dirinya,"
kata Sutri Kaliangan pula. Suaranya perlahan seperti sedih, namun di mulutnya
terkulum sekelumit senyum.
"Jangan terlalu berhiba diri, sahabatku.
Dibanding dengan kami-kami rasanya kau lebih
punya kesempatan. Apakah kau pernah mengajuk
hatinya" Apakah kalian pernah berdua-dua?"
66 BENDERA DARAH "Hai! Kau tengah menyelidiki diriku!" kata Sutri Kaliangan lalu tertawa
cekikikan. * * * SUTRI Kaliangan dan Ratu Duyung sampai di
Jatipurno tepat ketika sang surya tenggelam di ufuk barat. Rumah milik ayah
Sutri itu selain besar juga sangat bagus dan kokoh bangunannya. Mulai dari
tangga sampai tiang dan dinding dipenuhi ukiran-ukiran bagus dan halus. Setelah
dua gadis itu mandi, penjaga rumah bersama istri menyiapkan makan
malam. Selesai makan Sutri menyuruh suami istri itu pulang ke rumah mereka yang
terletak tak jauh dari situ. Ketika meninggalkan rumah, Ratu Duyung
sempat melihat keduanya berbisik-bisik sambil menuruni tangga dan sesekali
menoleh ke belakang memperhatikan dirinya. Walau heran melihat sikap dua suami
istri itu namun Ratu Duyung tidak berkata apa-apa.
"Di rumah ini ada dua kamar. Besar-besar.
Sebaiknya kita tidur di satu kamar saja. Kita bisa ngobrol macam-macam sebelum
tidur." Begitu Sutri Kaliangan berkata dan ditanggapi wajar-wajar saja oleh Ratu
Duyung. Sebelum masuk ke dalam kamar Sutri Kaliangan
mengeluarkan sebuah tabung kecil. Tabung ini
ternyata berisi minyak wangi. Begitu penutup tabung dibuka, bau harum luar biasa
memenuhi ruangan.
Sutri mengusapkan minyak wangi di leher, belakang telinga dan pangkal dadanya.
Lalu tabung minyak diserahkan pada Ratu Duyung. "Pakailah..."
"Terima kasih, aku tak biasa memakai minyak wangi." Jawab Ratu Duyung tidak
berdusta. Selain itu BENDERA DARAH
67 dia merasa setiap dia menghela nafas, harumnya minyak wangi itu mendatangkan
perasaan aneh dalam dirinya. "Sekali ini harus. Nanti kau akan biasa. Aku masih ada persediaan satu tabung.
Kau boleh ambil yang satu ini. Pakailah..."
Karena Sutri Kaliangan memaksa terus, Ratu
Duyung mengambil juga tabung kecil berisi minyak wangi itu tapi tidak
dipakainya. Tabung diselipkan di balik pakaian. Tak lama kemudian keduanya masuk
ke dalam kamar. Mereka mengobrol sebentar,
mungkin karena keletihan Ratu Duyung tertidur lebih dulu.
* * * RATU Duyung tidak tahu berapa lama dia telah
tertidur ketika mendadak terbangun. Pertama sekali bau harum minyak wangi
menusuk hidung, masuk ke dalam jalan pernafasannya. Ada perasaan aneh.
Seperti pertama kali mencium bau itu ketika Sutri Kaliangan mengusapkan ke
tubuhnya. Lalu dia
merasakan ada pelukan kuat di pinggang. Ada
himpitan kaki di pahanya. Dia juga merasakan
hembusan nafas panas. Setelah itu ada ciuman di pipi dan pangkal lehernya. Darah
Ratu Duyung mengalir cepat. Jantungnya berdegup keras. Ada kehangatan aneh menyungkupi
dirinya. "Apakah aku bermimpi," pikir Ratu Duyung.
Dibukanya ke dua matanya. Tepat ketika ada satu wajah tersenyum mesra meneduhi
wajahnya dan hendak mengecup bibirnya.
Ratu Duyung cepat mendorong tubuh orang
yang menghimpitnya. Memandang ke depan serasa 68 BENDERA
DARAH tak percaya dia. Sutri Kaliangan duduk di atas ranjang, tersenyum padanya. Dan
gadis ini, tak sehelai pakaianpun melekat di tubuhnya!
"Sutri, apa yang kau lakukan terhadapku?" tanya Ratu Duyung heran.
Sutri Kaliangan masih tersenyum. Lidahnya yang merah dijulurkan membasahi bibir.
"Memangnya aku melakukan apa?" Balik bertanya Sutri. Suara perlahan, mata
setengah dipejamkan.
"Barusan..."
"Barusan apa?" ucap Sutri lirih.
"Kau memelukku. Kau menciumku. Kau juga
hendak mengecup bibirku..."
Sutri Kaliangan dongakkan kepala lalu tertawa panjang.
"Apakah itu aneh?" ucap putri Patih Kerajaan ini sambil tangannya mengelus paha
Ratu Duyung. Ratu Duyung cepat tepiskan tangan gadis itu.
"Tentu saja aneh! Bagiku sangat aneh!" Jawab Ratu Duyung. Suaranya keras tanda
kesal. Tubuhnya terasa semakin hangat.
"Jangan menduga yang bukan-bukan
sahabatku. Malam begitu dingin. Tidak ada selimut di atas ranjang. Kita tidur
berdua-dua. Apakah aku tidak boleh mencari kehangatan dengan memeluk
tubuhmu yang bagus?"
Tersirap darah Ratu Duyung mendengar kata-
kata Sutri Kaliangan itu.
"Tapi, kau bukan cuma memelukku. Kau
menciumiku. Kau hendak mengecup bibirku..."
"Ketika kau tertidur, aku masih sulit
memejamkan mata. Aku pandangi wajahmu yang
cantik seperti boneka. Aku kagumi tubuhmu yang putih mulus dan bagus. Sebagai
seorang sahabat BENDERA DARAH
69 apakah aku tidak boleh menyentuhmu?"
"Apa yang kau lakukan bukan cara orang
bersahabat."
"Lalu, bagaimana seharusnya cara orang
bersahabat. Tunjukkan padaku." Kata Sutri Kaliangan lalu rebahkan dadanya yang
putih terbuka ke bahu Ratu Duyung.
Ratu Duyung cepat menghindar dan berkata.
"Kau tadi berucap malam begitu dingin. Tapi mengapa kau bertelanjang diri
seperti ini?"
Sutri Kaliangan tersenyum dan kedipkan
perlahan sepasang matanya.
Ratu Duyung mengusap leher dan belakang
telinganya. Jari-jarinya kemudian didekatkan ke hidung. "Kau... kau mengusapkan
minyak wangi itu ke tubuhku..."
"Aku ingin kau juga memakainya. Bukan cuma aku. Sebagai tanda kita
bersahabat..."
Ratu Duyung geleng-gelengkan kepala.
Karena bujukannya tidak mengena Sutri
Kaliangan akhirnya berkata, "Tidurlah, pagi masih lama. Kita perlu istirahat."
Sutri Kaliangan ulurkan tangan memegang dan mengelus lengan Ratu
Duyung. Saat itu setelah mencium minyak wangi yang
dioleskan Sutri ke telinga dan lehernya, rasa aneh semakin berkecamuk dalam
tubuh Ratu Duyung.
Wiro Sableng 136 Bendera Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada rangsangan aneh dalam diriku. Aku harus sanggup melawan..." Cepat Ratu
Duyung kerahkan tenaga dalam.
"Malam-malam di atas tempat tidur
mengerahkan tenaga dalam. Untuk apa?" tanya Sutri Kaliangan yang rupanya tahu
apa yang tengah
dilakukan Ratu Duyung. "Tidurlah, aku tidak akan 70 BENDERA
DARAH mengganggumu." Habis berkata begitu putri Patih Kerajaan itu lalu rebahkan
badannya di atas tempat tidur. Sikapnya benar-benar membuat jengah Ratu Duyung.
Sutri berbaring menelentang. Dua tangan dikembangkan ke samping menyingkapkan
ketiaknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus hitam.
"Ada yang tidak beres dengan gadis satu ini.
Apa yang ada di benaknya. Minyak wangi itu... Aku menaruh curiga. Dia memasukkan
sesuatu di dalam minyak wangi. Tubuhku jadi panas. Diriku diselimuti rangsangan.
Aku harus berbuat sesuatu..."
"Ratu, kau mau ke mana?" tanya Sutri ketika dilihatnya Ratu Duyung beranjak
turun dari atas ranjang.
"Aku perlu ke belakang."
"Biar aku temani," kata Sutri.
"Tidak usah."
"Ah matamu indah sekali. Biru bercahaya.
Bolehkah aku menciumnya?" Masih dalam keadaan tanpa pakaian Sutri Kaliangan
beringsut ke tepi ranjang.
Ratu Duyung cepat-cepat turun dari tempat tidur lalu keluar dari kamar,
meninggalkan rumah, pergi ke sumur kecil di halaman belakang. Tubuhnya terasa
lebih segar setelah mencuci wajah, leher dan
dadanya yang diusapi minyak wangi oleh Sutri
Kaliangan. Rangsangan aneh yang ada dalam dirinya perlahan-lahan berkurang. Ratu
Duyung tidak kembali ke dalam bangunan. Di halaman kiri rumah ada sebuah gerobak. Ratu Duyung
naik ke atas gerobak ini. Untuk beberapa lama dia berbaring di lantai gerobak sambil
berpikir-pikir.
"Apa yang telah dilakukan putri Patih Kerajaan itu terhadapku" Dia memberiku
obat perangsang BENDERA DARAH
71 yang dimasukkan dalam minyak wangi. Sikap dan perbuatannya terhadapku... Ada
sesuatu yang tidak beres dengan gadis itu. Jangan-jangan, aku memang pernah
mendengar cerita tentang laki-laki yang hanya bergairah terhadap sesama lelaki.
Tentang perempuan yang hanya mau berhubungan sesama
perempuan. Apakah... Jangan-jangan..." Ratu Duyung ingat pada pasangan suami
istri penjaga rumah. "Ketika meninggalkan rumah, dua orang itu berbisik-bisik
sambil memperhatikan diriku. Mungkin sebelumnya Sutri Kaliangan telah sering
membawa gadis-gadis ke rumah ini. Jika benar ada kelainan pada diri Sutri mereka
pasti tahu banyak. Kalau saja aku bisa menemui keduanya..." Ratu Duyung usap
tengkuknya yang mendadak terasa merinding.
Di dalam gerobak, dinginnya udara malam
membuat Ratu Duyung bergelung dan rangkapkan
tangan di depan dada. Dalam masih mengingat-ingat apa yang barusan dialaminya,
gadis ini keluarkan cermin sakti dari balik pakaian.
"Aku tak mungkin meneruskan perjalanan
bersama gadis itu. Aku tahu betul, orang seperti dia bisa berbuat nekad bila
maksudnya tidak
kesampaian. Bukan mustahil dia akan membunuhku karena malu rahasia dirinya
kuketahui. Aku harus mencari jalan sendiri. Rupanya gerak-geriknya yang selama
ini seperti terpikat dan ingin cepat-cepat menemui Wiro hanya satu kepura-puraan
belaka. Dia punya tujuan lain. Aku harus mencari tahu di mana Wiro berada..." Di
dalam gerobak, dalam gelap, dan dinginnya malam Ratu Duyung arahkan pandangan
pada cermin sakti berbentuk bulat. Tanpa
diketahuinya, dua bayangan putih laksana sepasang setan gentayangan berkelebat
ke arah bangunan lalu 72 BENDERA
DARAH melesat ke atas wuwungan.
BENDERA DARAH 73 WIRO SABLENG 7 BENDERA DARAH I ATAS atap rumah, dalam gelapnya malam
dua sosok mendekam sesaat. Dari jubah serta
D kain penutup kepala yang serba putih jelas
mereka adalah Satria Pocong, anggota Barisan
Manusia Pocong 113 Lorong Kematian. Setelah
saling berbisik salah seorang dari mereka menggeser atap kayu sirap lalu
mengintai ke dalam rumah.
Begitu mengintip orang ini keluarkan suara
terperangah, membuat teman di sebelahnya
bertanya. "Ada apa?"
"Belum pernah aku melihat pemandangan luar biasa seperti ini," suara manusia
pocong pertama bergetar. Nafasnya berhembus kencang.
"Ke pinggirlah, coba kulihat." Manusia pocong kedua ingin tahu pemandangan apa
yang ada di bawah sana. "Aku sedang asyik. Jangan kau ganggu dulu."
"Jangan serakah!" Manusia pocong kedua mengomel.
"Atap ini masih luas. Mengapa tidak membuat lobang sendiri?"
Penasaran ingin tahu apa yang dilihat
kawannya, manusia pocong kedua mengalah lalu
menggeser atap sirap di bagian lain. Ketika dia mengintai ke dalam rumah,
langsung dari mulutnya keluar ucapan.
"Aahhhh..." Tengkuknya yang tertutup kain putih 74 BENDERA
DARAH diusap berulang kali. Tanpa menggeser mata dari renggangan atap sirap manusia
pocong ini berkata pada teman di sebelahnya. "Sebelumnya kau bilang ada dua
gadis. Yang kulihat cuma seorang."
"Gadis satunya mungkin sudah pergi. Mungkin tidak tinggal di sini."
"Apa yang akan kita lakukan?"
"Kita?" tanya manusia pocong pertama. "Aku akan turun ke bawah. Terserah kau.
Kalau kau minta bagian silahkan menunggu. Kalau tidak kembali saja ke Lorong."
"Susah punya teman serakah sepertimu."
Manusia pocong kedua mengomel. Tapi hatinya
bimbang. Apa yang disaksikannya di dalam kamar di bawah sana membuat tubuhnya
keringatan. "Aku memilih kembali saja," katanya kemudian. "Silakan kau
bersenang-senang. Tapi aku nasihatkan agar kau tetap waspada. Hati-hati. Gadis
itu agaknya belum tidur. Seperti menunggu kedatangan
seseorang."
"Dia menunggu aku," jawab manusia pocong pertama lalu tertawa perlahan di balik
kain penutup kepala. "Perlu apa takut terhadap seorang gadis cantik yang saat
ini berbaring di atas ranjang tanpa pakaian."
"Aku hanya mengingatkan. Kau tahu,
belakangan ini kita sudah menyirap kabar tentang terlihat orang-orang tak
dikenal sekitar Telaga Sarangan dan bebukitan batu sekitar Lorong. Belum lama
salah seorang tokoh rimba persilatan berjuluk Dewa Tuak malah berhasil menyusup
ke dalam Lorong." "Tua bangka satu itu perlu apa dikhawatirkan.
Atas perintah Yang Mulia Ketua, Sri Paduka Ratu BENDERA DARAH
75 telah meringkusnya. Lagi pula kemunculan orang-orang yang kau sebutkan itu
bukankah sesuai
dengan rencana dan apa yang telah diatur oleh Yang Mulia Ketua" Dewa Tuak sudah
muncul dan dilumpuhkan. Dia sekarang jadi salah satu anggota Barisan Manusia Pocong. Aku
yakin tidak lama lagi yang disebut Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng akan
segera pula muncul."
"Bagaimana kalau gadis telanjang di dalam kamar itu ternyata merupakan satu
pancingah. Kau bisa celaka..."
"Kalau kau takut, lekas-lekas saja kembali ke Lorong." Manusia pocong pertama
segera hendak bergerak. Tapi bahunya dipegang oleh teman di sebelahnya.
"Sebelum naik ke atap ini, aku sempat
mengelilingi rumah. Di sebelah belakang aku
menemui dua ekor kuda. Besar dan tegap-tegap.
Salah satu diantaranya ada hiasan kain kuning di leher dan dada. Hiasan seperti
ini hanya dimiliki kuda pejabat-pejabat tinggi di Kotaraja..."
"Sobatku, kau kembalilah ke Lorong. Aku kesini mencari gadis cantik itu. Bukan
mencari kuda yang ada hiasan kain kuning." Setelah tertawa perlahan manusia
pocong pertama ini lambaikan tangan pada temannya lalu berkelebat turun dari
atas atap rumah.
Sesaat kawannya masih berada di atas atap.
Sebelum menyusul turun sekali lagi dia mengintai ke dalam rumah lewat renggangan
atap sirap. Menarik nafas panjang, geleng-geleng kepala lalu berkelebat pergi.
* * * 76 BENDERA DARAH DI atas tempat tidur, Sutri Kaliangan berbaring tidak sabar menunggu kedatangan
Ratu Duyung. Ketika pintu kamar terbuka dan ada langkah-langkah kaki halus memasuki kamar,
gadis ini pejamkan mata, tersenyum.
"Ratu Duyung. Kau membuatku gelisah..." Di atas ranjang Sutri Kaliangan balikkan
tubuh, kepala di arahkan ke pintu kamar. Begitu pandangannya
membentur sosok serba putih yang tegak di samping tempat tidur, gadis ini
tersentak kaget dan keluarkan seruan tertahan. Kejap itu juga dalam keadaan
tidak sadar akan keadaan auratnya, gadis ini melompat turun ke lantai. Begitu
sadar kalau saat itu dia tidak mengenakan pakaian sama sekali, langsung menjerit
dan berusaha menyambar pakaian kuningnya yang berserakan di kaki tempat tidur.
Tapi si manusia pocong lebih cepat. Sekali bergerak dia berhasil mengambil
pakaian itu. Sambil membuntal-buntal pakaian kuning dengan kedua tangannya dia
berkata. "Tak perlu risaukan pakaian ini. Kau lebih cantik tanpa pakaian! Ha... ha...
ha!" "Manusia pocong..." ucap Sutri bergetar dalam hati. "Apa ini makhluk yang ramai
dibicarakan orang belakangan ini. Ternyata bukan cuma cerita kosong."
Putri Patih Kerajaan ini hanya terkesiap sesaat.
Keberaniannya kemudian muncul. Sambil melindungi tubuh dengan bantal dia
membentak. "Jahanam! Kau siapa"! Keluar dari kamar ini!"
Matanya melirik ke arah dinding kamar di mana tergantung pedang miliknya.
Manusia pocong sudah membaca apa yang ada di benak si gadis. Buntalan pakaian
kuning yang digenggamnya dilemparkan ke arah Sutri. Selagi Sutri membuat gerakan
menangkap pakaian, secepat kilat manusia pocong melompat ke BENDERA DARAH
77 arah dinding menyambar pedang perak.
Seperti diketahui Sutri Kaliangan yang puteri Patih Kerajaan ini walau mempunyai
kelainan tapi juga memiliki ilmu silat cukup tinggi. Sadar kalau orang menipu,
Sutri segera melesat ke arah manusia pocong sambil lancarkan jurus serangan yang
disebut Menusuk Puncak Gunung. Jurus ini sebenarnya adalah jurus serangan ilmu
pedang. Walau dimainkan dalam serangan tangan kosong kehebatannya tidak kalah
berbahaya dengan memakai pedang. Nyatanya si manusia pocong kena dihantam.
Bukkk! Jotosan Sutri Kaliangan mendarat di bahu kanan manusia pocong. Membuat orang ini
melintir dan mengeluh tinggi kesakitan. Gagang pedang yang sudah ada dalam
genggamannya terlepas, senjata itu jatuh berkerontang di lantai. Manusia pocong
segera balikkan tubuh, tepat ketika Sutri Kaliangan melompat sambil hantamkan
satu tendangan.
Manusia pocong keluarkan suara mendengus
dari hidung. Walau marah dan sakit namun sepasang matanya berkilat menyaksikan
tubuh telanjang yang menyerangnya.
Wuttt! Tendangan Sutri Kaliangan meleset hanya
setengah jengkal di samping kiri tubuhnya. Begitu serangan lawan lewat, manusia
pocong membuat gerakan kilat. Tahu-tahu dia telah mencekal betis kanan Sutri Kaliangan. Sebelum
gadis ini sempat berbuat sesuatu, tangan yang mencekal betis
bergerak dan Sutri terpekik. Tubuhnya terlempar ke atas, jatuh ke bawah,
terjengkang di atas ranjang!
Sutri terpekik. Seolah baru sadar keadaan auratnya yang tanpa pakaian, gadis ini
cepat berguling turun 78 BENDERA
DARAH dari atas tempat tidur. Namun manusia pocong
bergerak lebih cepat. Dengan satu gerakan kilat dia membuat lompatan. Dua jari
tangan ditusukkan ke arah pangkal leher si gadis mendaratkan totokan aneh. Tubuh
putri Patih Kerajaan itu tidak kaku, tetapi mendadak menjadi lemas.
"Manusia setan keparat! Jangan kau berani berlaku kurang ajar terhadapku!"
Teriak Sutri. "Gadis cantik! Siapa yang tega berbuat kurang ajar! Aku malah mau memberikan
kesenangan padamu!" "Setan terkutuk! Aku Sutri Kaliangan Puteri Patih Kerajaan! Ayahku akan
mencincang tubuhmu!"
Sesaat si manusia pocong seperti terkesiap
mendengar ucapan Sutri. Namun kemudiah dia
tertawa. "Aku tidak kenal siapa dirimu. Juga tidak tahu siapa itu yang disebut
Patih Kerajaan. Saat ini aku ingin bersenang-senang."
Habis berkata begitu manusia pocong siap
melucuti jubahnya. Di sebelah atas kain putih penutup kepala tidak ditanggalkan.
Agaknya manusia pocong ini tidak mau wajahnya dilihat orang. Sutri kembali
memaki dan berteriak. Dia berusaha bangkit tapi tidak bisa. Dicobanya
menggulingkan diri, juga tidak mampu.
"Gadis, harap kau pasrah saja pada nasib. Kalau memang berjodoh, urusan hari ini
bisa kita perpanjang sampai nanti. Ha... ha... ha!"
"Makhluk keparat! Aku bersumpah
membunuhmu!"
Sambil tertawa bergelak manusia pocong
melompat ke atas tempat tidur.
* * * BENDERA DARAH 79 DI dalam gerobak di halaman kiri rumah, Ratu
Duyung menatap tak berkesip ke cermin sakti bulat yang dipegangnya dengan kedua
tangan. Perlahan-lahan bayangan hitam di dalam cermin berubah
terang namun seperti ada gelombang asap melapisi permukaan cermin. Sesekali ada
bayangan putih muncul lalu lenyap, muncul lagi dan kembali lenyap.
Ditunggu sekian lama Ratu Duyung masih belum
melihat apa-apa. Tiba-tiba dua tangan yang
memegang cermin mulai bergetar. Ratu Duyung ingat pada kejadian sewaktu dia
melakukan pemantauan di Gedung Kepatihan. Ratu Duyung tidak berani
kerahkan hawa sakti, khawatir akan mengalami
hantaman kekuatan yang tak kelihatan seperti
kejadian tempo hari.
"Ada kekuatan aneh menghalangi. Wiro, di mana kau..." ucap Ratu Duyung. Tiba-
tiba sudut matanya melihat satu bayangan putih berkelebat di depan gerobak. Ratu
Duyung turunkan cermin. Tubuhnya masih melunjur di lantai gerobak. Dada dan
kepala dinaikkan.
"Astaga, apa yang aku lihat ini" Pocong hidup gentayangan di malam hari?"
Gadis cantik yang berasal dari kawasan
samudera selatan ini segera simpan cerminnya lalu bergerak bangkit. Sosok serba
putih lenyap di balik sederetan pepohonan.
Wiro Sableng 136 Bendera Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pocong hidup... Mungkin ini makhluk yang pernah dibicarakan para gadis sewaktu
di Gedung Kepatihan. Makhluk setan penculik perempuan
hamil." Sang Ratu berpikir sejenak. Segera saja muncul niatan di hatinya untuk
mengejar manusia pocong tadi. Tidak menunggu lebih lama Ratu
80 BENDERA DARAH Duyung segera keluar dari dalam gerobak. Ketika dia siap berkelebat mengejar,
tiba-tiba dari arah rumah terdengar jeritan disusul bentakan-bentakan
perempuan. "Sutri Kaliangan..," ucap Ratu Duyung. "Apa yang terjadi dengan gadis itu?"
Untuk seketika gadis jelita bermata biru ini jadi bingung. Apakah akan
meneruskan maksudnya
semula mengejar manusia pocong atau menghambur masuk ke dalam rumah untuk
melihat apa yang
terjadi. "Ah, gadis yang punya kelainan itu mungkin mau menipuku. Sengaja menjerit dan
membentak agar aku segera datang. Lebih baik aku tinggalkan saja dia," membatin
Ratu Duyung. Namun untuk kesekian kalinya dia mendengar suara jeritan gadis itu.
Lalu suara gedebuk pukulan disusul suara senjata jatuh berkerontang di lantai.
Setelah ulang berpikir akhirnya Ratu Duyung berkelebat ke arah rumah. Saat
itulah ada suara perempuan berteriak di atas atap rumah.
"Aku tahu! Maksudmu bukan mau membantu!
Tapi mau melihat lebih dekat aurat telanjang gadis cantik itu! Awas kalau kau
berani menjamah
tubuhnya!"
Terdengar suara tertawa bocah cekikikan.
Lalu, braakk! Salah satu bagian atap sirap jebol.
Ratu Duyung memasuki rumah terus melompat
ke kamar tidur, tepat ketika satu sosok kecil gesit berpakaian hitam terjun dari
atas wuwungan kamar, langsung melompat ke belakang sosok manusia
pocong yang saat itu siap berbuat bejat hendak menggagahi Sutri Kaliangan.
"Pocong jejadian! Hancur kantong menyanmu!"
BENDERA DARAH 81 Sosok kecil berpakaian hitam ulurkan tangan ke depan.
Krekkk... tesss!
Si manusia pocong menjerit setinggi langit.
Darah mengucur dari anggota rahasia di bawah
perutnya. Di samping ranjang seorang anak lelaki berpakaian hitam-hitam berambut
jabrik dekatkan tangannya yang barusan meremas ke lobang hidung, lalu kibas-
kibaskan tangan itu sambil keluarkan suara seperti orang mau muntah kemudian
tertawa gelak-gelak. Sementara itu si manusia pocong gulingkan diri, menungging-
nungging di lantai kamar sambil menjerit megap-megap, pegangi perutnya di
sebelah bawah yang telah hancur diremas orang!
"Naga Kuning! Apa yang kau lakukan"!" teriak Ratu Duyung dengan mata mendelik
ngeri ketika melihat apa yang terjadi dengan manusia pocong yang tadi hendak
menggagahi Sutri Kaliangan.
"Aku hanya mengusap gituannya. Heran, kenapa dia melintir kelojotan seperti itu!
Seharusnya dia bergumam keenakan! Hik... hik... hikkk!"
Si bocah berambut jabrik yang bukan lain adalah Naga Kuning menjawab konyol
seenaknya lalu tertawa cekikikan.
"Bocah edan kurang ajar!" maki Ratu Duyung tapi dengan wajah setengah tersenyum.
"Ratu, mohon maafmu. Mungkin tadinya kau bermaksud meraba perabotan orang. Tapi
kedahuluan oleh aku! Ha... ha... ha!"
"Anak setan! Siapa sudi melakukan yang kau katakan itu!" Ratu Duyung berteriak
marah. Si bocah Naga Kning kembali tertawa gelak-
gelak sambil matanya melirik ke arah sosok tak berpakaian Sutri Kaliangan yang
tertelentang di atas 82 BENDERA
DARAH tempat tidur. BENDERA DARAH 83 WIRO SABLENG 8 BENDERA DARAH AI! Kalian jangan cuma tertawa-tawa. Lekas
tolong diriku!" Sutri Kaliangan berteriak. Di H samping tempat tidur si manusia
pocong masih menjerit-jerit lalu melompat ke arah pintu. Ratu Duyung cepat menghalangi
namun ditabrak dengan keras hingga gadis itu terdorong jauh ke dinding kamar.
"Biarkan pocong keparat itu kabur! Dia akan mati kehabisan darah! Yang penting
tolong dulu diriku.
Aku ditotok!" Sutri Kaliangan kembali berteriak Ratu Duyung berpikir. Sutri
sudah ada orang
yang menolong, lebih baik dia mengejar manusia pocong. Ratu Duyung cepat keluar
dari kamar. Ketika sampai di luar rumah, seekor kuda menghambur
dalam kegelapan.
"Manusia pocong! Dia kabur dengan kuda milik Sutri Kaliangan!" Ratu Duyung
kepalkan tinju lalu cepat lari ke samping rumah. Disitu masih ada seekor kuda
yakni kuda yang sebelumnya ditungganginya dalam perjalanan dari Kotaraja bersama
Sutri. Ratu Duyung melompat ke atas kuda, segera melakukan pengejaran. Namun
entah bagaimana orang
menipunya, Ratu Duyung tidak berhasil mengejar manusia pocong. Orang itu lenyap
dalam kegelapan padahal tadi hanya terpaut belasan tembok saja di depannya.
Dalam gelap Ratu Duyung segera keluarkan
ilmu Menembus Pandang. Dengan ilmu ini dia 84 BENDERA
DARAH mampu melihat benda-benda dalam gelap atau
terhalang benda lain yang berada dalam jarak
tertentu. Hawa sakti dialirkan ke kepala, mata dikedipkan dua kali. Pandangan
dipentang ke depan.
Sesaat kemudian sang Ratu melihat satu keanehan.
Dia mampu melihat kuda besar yang dipergunakan manusia pocong dalam melarikan
diri. Namun si penunggang sama sekali tidak kelihatan. Kuda besar itu menghambur
sendirian seperti ditunggangi hantu yang tidak kelihatan!
"Aneh luar biasa! Dirinya dalam keadaan terluka parah. Ilmu setan apa yang
dimiliki manusia pocong itu hingga dirinya tidak tembus pandang" Atau mungkin
ada satu kekuatan dari luar membantu
melindungi dirinya" Kekuatan yang tempo hari aku pernah lihat di cermin sakti?"
Dituntun oleh ilmu Menembus Pandang meski agak lamban Ratu Duyung berusaha terus
mengikuti manusia pocong yang melarikan diri. Walau tidak takut akan kehilangan
jejak orang yang dikejarnya tapi ada satu hal yang dikhawatirkan Ratu Duyung.
Peristiwa Merah Salju 4 Pendekar Naga Putih 06 Penghuni Rimba Gerantang Pedang Sakti Tongkat Mustika 8
dua ekor kuda keluarkan suara meringkik keras. Wiro dan Loh 42 BENDERA
DARAH Gatra cepat usap tengkuk kuda masing-masing. Lari kuda sama diperlambat. Dua
mata Loh Gatra mendelik besar memperhatikan sosok putih yang melayang antara kudanya dan kuda
Wiro. Tengkuknya mendadak dingin memperhatikan sosok seorang gadis berkebaya putih,
berambut hitam panjang lepas tergerai. Berwajah cantik tetapi pucat.
"Setan gentayangan di siang bolong!" teriak Loh Gatra, "Wiro! Pacu kudamu lebih
kencang sebelum kita dicekiknya!" Loh Gatra gebrak kudanya hingga binatang itu
melesat ke depan. Namun beberapa tombak di muka sana dia menoleh ke belakang dan
jadi terheran-heran menyaksikan Wiro turun dari kuda lalu melangkah menghampiri
gadis berkebaya
panjang putih yang tegak di tepi jalan dan tampaknya sengaja menunggu. Kemudian
dilihatnya Wiro dan gadis itu saling berangkulan. Tapi ada sesuatu yang aneh.
Tubuh si gadis seolah tenggelam masuk ke dalam badan Wiro.
"Tubuh bayangan... Jin perempuan, demit, hantu atau apa. Aneh," ucap Loh Gatra
dalam hati. Mau tak mau dia hentikan kuda lalu berbalik ke arah kedua orang itu.
Tanpa turun dari tunggangannya Loh Gatra perhatikan gadis berkebaya panjang
putih mulai dari kepala sampai ke kaki sementara harumnya bau
bunga kenanga mencucuk hidung.
"Benar-behar aneh. Kalau hantu bagaimana mungkin dua kakinya menjejak tanah?"
pikir Loh Gatra. Lalu telinganya mendengar gadis itu berkata.
"Wiro, jarang kejadian seperti ini. Di alam roh aku mendengar kau menyebut
namaku. Satu kekuatan
putih mendorongku masuk ke dalam alammu.
Padahal ini belum saatnya aku bisa mendatangi dirimu. Ini satu pertanda dan aku
punya firasat. Hal ini BENDERA DARAH
43 terjadi karena kau bakal menghadapi satu bahaya besar. Aku harus memberi ingat
agar kau berlaku hati-hati."
"Bunga, aku bersyukur hal ini bisa terjadi. Aku merasa bahagia bisa bertemu lagi
denganmu," kata Wiro sambil memegang tangan gadis berkebaya
putih, gadis alam gaib yang biasa dipanggil Wiro dengan nama Bunga.
"Wiro..." Loh Gatra memanggil dari atas kudanya. Suara dan wajahnya jelas
menunjukkan rasa heran bercampur takut.
Wiro menggaruk kepala, berpaling pada
sahabatnya itu. Sambil tersenyum dia berkata.
"Gadis ini bukan setan perempuan seperti dugaanmu tadi. Dia tidak akan mencekik
siapa-siapa. Dia adalah sahabatku. Namanya Bunga."
"Aku tidak mengerti..." kata Loh Gatra pula.
Bunga tersenyum. "Jangankan dirimu, dia
sendiripun sampai sekarang tidak pernah mengerti akan keadaan diriku yang
seperti ini."
Loh Gatra coba tersenyum dalam
ketidakmengertiannya. Saat itu dia ingin cepat-cepat meninggalkan tempat
tersebut. "Bunga, aku berterima kasih. Kau datang untuk memberi peringatan padaku. Aku
akan berlaku hati-hati. Aku memang sedang menghadapi satu urusan besar. Aku
tengah dalam perjalanan menuju
Sarangan bersama sahabatku ini."
Bunga mengangguk. "Wiro, aku tidak bisa lama-lama muncul di hadapanmu. Sebelum
pergi aku akan berikan lagi padamu sekuntum bunga kenanga yang tak pernah layu.
Simpan baik-baik. Jangan sampai hilang seperti satu yang pernah kuberikan
dahulu. Kalau ada sesuatu yang bisa kubantu, pegang bunga 44 BENDERA
DARAH itu, cium dan sebut namaku. Atas kehendak dan kuasa Gusti Allah mudah-mudahan
aku bisa muncul menemui dirimu. Selamat tinggal Wiro..."
"Bunga, tunggu. Ada sesuatu yang ingin
kusampaikan..."
Gadis dari alam roh itu balikkan diri.
"Ada apakah?"
"Ingat ketika kita berdua-dua berada di satu tempat tak lama setelah kau bebas
dari sekapan guci tembaga?" tanya Wiro.
"Tentu saja aku ingat. Itu adalah salah satu dari hari-hari indahku bersamamu.
Apa maksud pertanyaanmu?"
"Waktu itu kau berkata. Jika kelak aku ingin memilih teman hidup, jatuhkanlah
pilihanku pada Ratu Duyung. Jaga dia baik-baik..."
Bunga mengangguk.
"Waktu itu," Wiro melanjutkan. "Aku bertanya, mengapa kau berkata begitu. Lalu
kau menjawab, biar aku sendiri yang mencari tahu, yang mencari jawabannya."
Bunga tersenyum. "Apakah kau telah
mendapatkan jawabannya, Wiro?"
Pendekar 212 gigit bibir sendiri. Menggaruk
kepala lalu berkata. "Kurasa memang sudah aku dapatkan. Bahkan aku lihat
sendiri." "Jangan hanya menuruti perasaanmu saja Wiro.
Tapi pergunakan akal pikiran serta ketulusan hati.
Siapa tahu kau nanti bakal mendapat jawaban yang lain."
Wiro merasa, kalau tadi jari-jari tangan Bunga yang diremasnya terasa dingin
mendadak berubah hangat. Ketika rasa hangat ini menjalar masuk ke dalam
tubuhnya, pegangannya lepas dari jari jemari BENDERA DARAH
45 si gadis. Lalu ada satu belaian lembut di pipi Pendekar 212.
"Selamat tinggal, Wiro."
Sosok gadis alam roh itu bergerak.
"Bunga..." Wiro berseru memanggil. Namun sosok Bunga telah berubah menjadi
cahaya putih yang melesat ke udara dan akhirnya lenyap seolah menembus langit.
Wiro masih mengusap-usap pipinya yang
barusan dibelai Bunga ketika di sampingnya Loh Gatra berkata.
"Sulit aku mengerti kalau tadi itu bukan sebangsa setan atau hantu. Dia muncul
secara aneh, lenyap secara aneh pula. Terbang lenyap ke langit!
Manusia biasa mana bisa begitu" Wiro..."
"Dia gadis dari alam roh."
"Gadis dari alam roh! Bagaimana ceritanya kalian bisa saling kenal dan
berhubungan" Dari pembicaraan kalian berdua tadi agaknya gadis itu tahu banyak
seluk-beluk hubunganmu dengan
Bidadari Angin Timur."
Wiro masukkan kembang kenanga yang
diberikan Bunga ke balik pakaian putihnya.
"Mengenai Bunga, panjang ceritanya. Tak bisa kujelaskan saat ini..."
Loh Gatra masih punya rasa ingin tahu.
"Sebelum dia pergi, gadis itu membelai pipimu. Apa yang dilakukannya itu, cara
dia bertutur dan
menatapmu, agaknya dia punya satu perasaan hati yang khusus terhadapmu kalau
tidak mau dikatakan cinta. Betul?"
Wiro tertawa. Menatap ke langit lalu berkata.
"Sahabatku, kalau memang ada cinta di dunia ini, bercinta dengan gadis sungguhan
saja susah 46 BENDERA
DARAH setengah mati, apa lagi dengan gadis dari alam roh."
"Kita bersahabat, mengapa kau tidak mau
berterus terang padaku?" ucap Loh Gatra pula.
"Sahabatku, gadis itu telah pergi. Sekarang giliran kita melanjutkan
perjalanan." Wiro melompat naik ke punggung kuda. Loh Gatra geleng-geleng kepala
lalu membedal kuda mengejar Wiro.
Ketika Wiro melewati sebuah pohon besar
mendadak terbayang kembali Bidadari Angin Timur yang duduk berdampingan dekat
mata air sambil saling berpegangan tangan dengan Jatilandak. Juga terbayang saat
ketika Jatilandak mendukung gadis itu dan Bidadari Angin Timur menangis dalam
pelukan si pemuda. Tidak terasa ada hawa panas mendorong tenaga dalam hebat ke
tangan kanan Pendekar 212
Wiro Sableng. Tangan itu berubah menjadi seputih perak mulai dari siku sampai ke
ujung jari. Loh Gatra terkesiap kaget. Belum sempat dia mengatakan
sesuatu tiba-tiba di luar sadar Wiro hantamkan tangannya ke arah pohon.
Bummmm! Kraaak! Pohon besar terbongkar tumbang, hancur dan
berubah jadi kobaran api.
"Wiro! Kau melepas pukulan Sinar Matahari! Kau hancurkan pohon tanpa alasan! Apa
kau sudah gila"!"
Pendekar 212 tertawa bergelak. "Gila mungkin belum. Yang pasti aku memang
sableng! Ha... ha...
ha... ha!"
"Kalau cuma sableng rasanya semua orang
sudah tahu. Yang aku khawatirkan kalau-kalau dirimu telah kesambat kemasukan roh
gadis aneh tadi.
Menghantam tak karuan, tertawa tak karuan..." kata BENDERA DARAH
47 Loh Gatra perlahan, hingga tidak terdengar oleh Wiro yang berada di sebelah
depan. 48 BENDERA DARAH WIRO SABLENG 5 BENDERA DARAH UANG Bendera Darah adalah satu ruangan
batu, terletak di bawah Ruang Kayu Hitam
R dalam kawasan 113 Lorong Kematian. Di
tengah ruangan terdapat sebuah meja batu. Di
samping kiri meja ada sebuah kursi, juga terbuat dari batu. Di atas kursi ini
duduk Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian. Sosok tinggi besar Sang
Ketua tidak bergerak. Sepasang mata di balik dua lobang kecil pada kain kerudung
putih penutup kepala memandang liar ke arah dinding batu di hadapannya. Pada
dinding itu, hampir tak kentara ada sebuah pintu batu. Dari sebelah dalam pintu
ini hanya bisa dibuka dengan menekan satu tombol
rahasia. Tombol tersebut terletak pada ujung lengan kursi sebelah kanan yang
diduduki Yang Mulia Sang Ketua.
Dua tombak di belakang meja dan kursi ada
sebuah tangan batu merapat ke dinding. Pada ujung puncak tangga yang memiliki 13
undakan, sebuah bendera besar berbentuk segi tiga merah menancap ke dinding.
Bendera ini menebar bau anyir menusuk hidung. Inilah yang disebut Induk Bendera
Darah. Empat pendupa pada sudut-sudut kamar yang
menebar bau harumnya kemenyan tidak dapat
menindih tajamnya bau anyir darah setengah kering yang melekat di bendera. Di
atas Bendera Darah, berderet menancap pada dinding batu terdapat dua lusin
bendera kecil berbentuk segi tiga berwarna BENDERA DARAH
49 putih. Tepat di bawah ujung lancip bendera yang menjulai ke bawah ada tonggak
batu yang kedudukannya agak miring ke depan, di atas mana terletak satu tengkorak kepala
manusia tertutup oleh lumut berwarna merah kehitaman. Pada ubun-ubun tengkorak
terdapat sebuah lobang. Di sebelah bawah ada lagi satu tonggak batu setinggi
pinggang. Di atas tonggak batu ini terletak sebuah bokor perak dalam keadaan
kosong. Kepala Yang Mulia Ketua bergerak sedikit ketika sepasang telinganya menangkap
langkah-langkah kaki di balik dinding ruangan batu. Diam-diam dalam hati dia
menghitung gerakan langkah kaki di balik dinding batu. Di lorong di luar sana
ada empat orang tengah berjalan menuju Ruang Bendera Darah.
Cocok dengan perhitungan. Yang datang adalah
orang-orang yang telah ditunggunya. Langkah kaki berhenti. Lalu ada suara
ketukan pada pintu batu.
Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian segera tekan tombol pada ujung
kanan lengan kursi yang didudukinya. Secara aneh bagian tengah
dinding batu di hadapannya bergerak turun ke bawah membentuk pintu terbuka. Api
pendupaan di empat sudut Ruang Bendera Darah tiba-tiba menyala
terang. Asap kelabu mengepul ke atas sampai
menyentuh langit-langit ruangan. Di luar sana, di depan pintu, pada ujung lorong
batu berdiri empat sosok. Tiga di antara mereka mengenakan jubah putih dan tutup
kepala putih. Tiga manusia pocong ini adalah Wakil Ketua, dua Satria Pocong yang
bertindak sebagai pengawal dan masing-masing
membawa sebuah bokor perak berisi darah. Di antara dua Satria Pocong ini berdiri
manusia pocong ke empat. Bau wangi aneh menebar dari tubuhnya yang 50 BENDERA
DARAH semampai. Ketika melangkah masuk walau
gerakannya enteng namun kelihatan jelas gerak sepasang kaki serta dua tangannya
mengayun kaku. Seperti tiga manusia pocong yang berbarengan
masuk dengannya, manusia pocong satu ini
mengenakan jubah dalam dan kain penutup kepala.
Namun pada penutup kepala, di atas kening, ada sebuah mahkota kecil hijau
bercahaya. Kalau tiga manusia pocong lainnya, seperti juga Sang Ketua mengenakan
jubah putih tebal, manusia pocong satu ini memakai jubah putih yang begitu
tipis. Hingga walau samar, auratnya masih bisa terlihat cukup jelas. Lalu di
bawah kain penutup kepala di sebelah belakang menjulai panjang rambut hitam
berkilat. Dari keadaan manusia pocong satu ini jelas dia adalah seorang
perempuan! Di belakang sana terdengar suara desiran halus.
Pintu batu yang tadi membuka kini bergerak naik menutup dinding. Untuk beberapa
ketika Ruang Bendera Darah diselimuti kesunyian. Ada hawa
ketegangan menggantung di udara.
Yang Mulia Ketua memberi isyarat dengan
gerakan jari-jari tangan kanan. Melihat isyarat ini empat manusia pocong segera
bergerak melangkah.
Begitu sampai di hadapan Yang Mulia Ketua
Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian, ke empat orang itu sama menjura,
laju mendongak dan secara berbarengan keluarkan seruan.
"Salam hormat untuk Yang Mulia Ketua! Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib
dicintai!"
Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong
bangkit dari kursi batu, angkat tangan kanan ke BENDERA DARAH
51 depan lalu keluarkan ucapan. "Wakil Ketua, kau tahu apa yang harus dilakukan.
Laksanakan tugasmu!"
Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113
Lorong Kematian melangkah mendekati Satria
Pocong di samping kanan. Satria Pocong ulurkan tangan, serahkan bokor perak
berisi darah yang dipegangnya. Setelah menerima bokor Wakil Ketua melangkah ke
arah tangga batu yang menempel di dinding belakang Ruang Bendera Darah.
Perlahan-lahan dia menaiki tiga belas undakan batu. Pada undakan terakhir di
sebelah atas dia hentikan langkah, berpaling ke bawah. Saat itu pula Satria
Pocong kedua segera tinggalkan tempat, melangkah ke arah tonggak batu setinggi
pinggang. Dengan hati-hati dia letakkan bokor berisi darah yang dibawanya di
atas tiang batu, tepat di sebelah bokor perak kosong. Selesai meletakkan bokor
berisi darah orang ini melangkah mundur, kembali ke tempat semula.
Tak ada yang bergerak, tak ada yang bersuara.
Ruang Bendera Darah kembali diselimuti kesunyian dan ketegangan.
"Wakil Ketua! Kau boleh mulai!" Tiba-tiba suara Yang Mulia Ketua menggema di
ruangan batu. Mendengar ucapan Sang Ketua, Wakil Ketua
Barisan Manusia Pocong ulurkan dua tangan yang memegang bokor perak ke depan.
Wiro Sableng 136 Bendera Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan hati-hati, perlahan-lahan dia curahkan cairan darah di dalam bokor ke
atas bendera besar segi tiga merah.
Kucuran darah jatuh membasahi Induk Bendera
Darah, sebagian meresap pada kain bendera,
sebagian lagi meluncur ke bawah, jatuh tepat dan masuk ke dalam lobang pada
ubun-ubun tengkorak yang terletak di tiang batu miring. Begitu darah memasuki
tengkorak terjadi beberapa keanehan.
52 BENDERA DARAH Induk Bendera Darah berbentuk segi tiga besar yang basah tiba-tiba bergerak
hidup, seolah digerakkan oleh tangan yang tidak kelihatan, bendera ini berkibas
keras. Darah yang membasahi bendera
menyiprat ke dinding dan lantai ruangan batu.
Menempel sesaat lalu secara aneh lenyap tak
berbekas. Di atas sana Induk Bendera Darah kembali kuncup tak bergerak.
Keanehan berikutnya, begitu cairan darah
masuk ke dalam tengkorak lewat bolongan di ubun-ubun, tiba-tiba sepasang mata
tengkorak memancarkan cahaya merah laksana ada api yang membersit dari sebelah dalam. Lalu
empat api pendupaan di sudut ruangan batu menyala terang.
Asap kelabu mengepul ke atas. Di lantai ruangan terasa ada getaran-getaran
halus. Darah yang masuk ke dalam tengkorak melalui
lobang di ubun-ubun mengucur keluar melewati mulut tengkorak dan selanjutnya
masuk tertampung dalam bokor perak kosong yang terletak di atas tiang batu
setinggi pinggang.
Di atas tangga batu, begitu darah dalam bokor perak habis, Wakil Ketua Barisan
Manusia Pocong perlahan-lahan tarik tangannya kembali. Dia tak berani bergerak
sebelum ada perintah dari Sang Ketua.
"Wakil Ketua, tugasmu selesai. Kau boleh turun."
Suara Yang Mulia Ketua menggema di ruangan batu.
Wakil Ketua putar tubuh, lalu melangkah
menuruni tangga 13 undakan. Sampai di bawah dia serahkan bokor yang telah kosong
pada Satria Pocong yang semula membawanya. Kesunyian
kembali mencekam di ruangan batu. Sepasang mata Sang Ketua menatap ke arah dua
buah bokor di atas BENDERA DARAH
53 tonggak batu setinggi pinggang. Perlahan-lahan, tanpa mengeluarkan suara
sedikitpun dia melangkah ke arah tiang batu. Di depan tiang dia tegak diam
sejenak, kepala tertunduk. Dari balik kain putih penutup kepala terdengar
suaranya mengucapkan sesuatu, bergumam tak jelas. Mungkin tengah
merapal mantera. Kemudian kelihatan Sang Ketua angkat ke dua tangannya, lalu
dimasukkah ke dalam bokor berisi darah yang berasal dari curahan lewat Induk
Bendera Darah. Terdengar suara riak cairan. Sang Ketua seperti tengah mencuci tangan dengan
darah di dalam bokor. Anehnya ketika tangan yang basah di
keluarkan, sama sekali tidak ada merah nodanya darah. Kedua tangan itu seperti
dicelup dan dicuci di dalam air biasa!
Wakil Ketua keluarkan secarik kain merah dari balik jubah lalu diberikan pada
Yang Mulia Ketua.
Selesai mengeringkan tangannya dengan kain merah Yang Mulia Ketua kembalikan
kain itu pada wakilnya lalu pergi duduk di kursi batu. Dari tempatnya berdiri
Wakil Ketua kemudian berseru.
"Satria Pocong, letakkan bokor yang kau bawa di atas meja batu."
Satria Pocong yang sejak tadi berdiri
memegangi bokor perak segera laksanakan perintah.
Bokor berisi cairah darah diletakkan di atas meja batu lalu dengan cepat dia
kembali ke tempat semula.
Sang Ketua perhatikan bokor itu sesaat lalu
menatap ke arah manusia pocong perempuan yang tegak beberapa langkah di
hadapannya. "Yang Mulia Sri Paduka Ratu, apakah kau telah siap untuk menerima berkah berupa
pembasahan dan pensucian kepalamu?" Dari tempatnya duduk 54 BENDERA
DARAH Sang Kedua keluarkan ucapan, ajukan pertanyaan.
Pocong perempuan yang dipanggil dengan
sebutan Yang Mulia Sri Paduka Ratu tundukkan
kepala sedikit lalu berkata. "Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!"
"Bagus. Sekarang majulah dua langkah,
tanggalkan kain penutup kepalamu dan berlutut di hadapanku!"
Sesuai perintah Sang Ketua, pocong perempuan
maju dua langkah. Gerakan kaki dan ayunan tangan kelihatan kaku. Lalu dengan
tangan kanannya dia membuka kain penutup kepala bermahkota hijau.
Begitu kain penutup kepala terbuka, kelihatanlah satu wajah gadis cantik tapi
sangat pucat seolah tak berdarah. Bagian putih dari matanya begitu putih hingga
tampak menggidikkan. Pandangan mata
kosong dan dingin. Di pipi kirinya ada guratan cacat bekas luka. Rambut panjang
hitam menjulai-sampai ke punggung. Perlahan-lahan gadis ini tundukkan diri ke
lantai. Kain putih penutup kepala diletakkan di samping kanan, lalu dia berlutut
dengan kepala diarahkan menghadap Ketua Barisan Manusia
Pocong. Sang Ketua duduk tak bergerak. Sepasang mata
dipejamkan. Di balik kain penutup kepala mulut komat-kamit. Sesaat kemudian
terdengar suaranya berucap lantang.
"Penghuni Aksara Batu Bernyawa. Di luar sana, pada bentangan langit malam
menghias bulan sabit hari ke tiga. Inilah malam perjanjian. Sesuai pesan dan
tugas yang tersurat dan tersirat di dalam Aksara Batu Bernyawa, malam ini, aku,
Ketua Barisan Manusia Pocong Seratus Tiga Belas Lorong
BENDERA DARAH 55 Kematian, siap melaksanakan apa yang tertera dalam syarat ke sembilan.
Pengusapan darah bayi yang masih segar ke ubun-ubun Yang Mulia Sri Paduka Ratu,
siap dan segera aku laksanakan."
Baru saja ucapan Sang Ketua berakhir, di
ruangan batu tiba-tiba ada suara silir seperti tiupan angin. Bendera Darah
bergerak-gerak. Hawa dingin untuk beberapa saat menyungkup seantero ruangan.
Semua orang merasa tegang, kecuali Sang Ketua.
Begitu suara tiupan angin sirna dan hawa dingin lenyap. Sang Ketua ulurkan dua
tangan, menyibak rambut gadis yang berlutut di depannya hingga membentuk garis
putih tepat pada ubun-ubun.
Setelah menggulung lengan jubah sebelah kanan sampai sebatas siku, dengan tangan
kiri Yang Mulia Ketua mengambil bokor perak berisi darah di atas meja. Tangan
kanan lalu dimasukkan ke dalam
bokor. Ketika tangan itu dikeluarkan kelihatan merah basah oleh cairah darah
yang mulai mengental.
Tangan yang berlumuran darah kemudian diusapkan ke ubun-ubun gadis yang berlutut
di lantai. Pada saat darah diusapkan ke ubun-ubun, entah dari mana datangnya
selarik sinar merah berkiblat lalu
membungkus sekujur tubuh si gadis mulai dari kepala sampai ke kaki. Tubuh Sri
Paduka Ratu bergetar hebat. Sang Ketua sendiri tersentak dan sampai tersandar ke
kursi batu saking kagetnya.
Semua apa yang dilakukan Sang Ketua tadi
diperhatikan tak berkesip oleh Wakil Ketua dan dua Satria Pocong. Pada saat
darah diusapkan ke ubun-ubun dua mata tengkorak di atas tiang batu kembali
memancarkan cahaya merah dan empat api
pendupaan di sudut ruangan menyala terang serta mengepulkan asap kelabu.
56 BENDERA DARAH Bokor perak diletakkan kembali ke atas meja
batu. Sang Ketua bangkit berdiri, melangkah ke tiang batu di atas mana terletak
bokor berisi darah yang dikucurkan dari Bendera Darah lalu masuk tengkorak yang
berada di tiang miring, selanjutnya ditampung dalam bokor pada tiang batu
setinggi pinggang. Sang Ketua celupkan tangan kanannya yang berlumuran darah ke
dalam bokor ini. Begitu tangan dikeluarkan noda darah telah lenyap. Wakil Ketua
cepat memberikan kain merah. Setelah mengeringkan
tangan dengan kain itu Sang Ketua kembali duduk di kursi batu. Lalu rambut
tersibak gadis yang berlutut dirapikan dan ditautkannya kembali.
"Yang Mulia Sri Paduka Ratu, upacara telah selesai. Silahkan berdiri. Harap
segera mengenakan penutup kepala."
"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia Ketua
seorang yang wajib dicintai." Setelah keluarkan ucapan itu si gadis ambil kain
penutup kepala bermahkota lalu bangkit berdiri.
Wakil Ketua datang mendekat. "Yang Mulia Ketua, Bendera Darah tinggal beberapa
buah lagi. Saatnya kita menambah persediaan."
"Hal itu memang sudah aku ketahui," jawab Yang Mulia Ketua. Lalu dia memutar
tubuh, memandang ke arah dinding ruangan sebelah
belakang di mana menancap dua lusin bendera kecil berbentuk segi tiga putih.
Perlahan-lahan Sang Ketua angkat tangan kanannya. Lima jari tangan membuka.
Telapak tangan membentang. Jari telunjuk
diacungkan. Didahului satu bentakan keras dia membuat gerakan seperti menusuk
lalu tangan diputar setengah lingkaran dan jari telunjuk diarahkan BENDERA DARAH
57 ke bokor perak berisi darah yang terletak di atas meja batu.
Terjadilah satu keanehan.
Bett... bettt... bett!
Suara kibasan lain terdengar dua puluh empat
kali berturut-turut. Dua lusin bendera putih segitiga yang menancap di atas
Induk Bendera Darah
melesat ke bawah. Sesuai dengan gerakan jari
telunjuk Yang Mulia Ketua, dua puluh empat bendera itu melesat masuk ke dalam
bokor perut di atas meja batu. Darah di dalam bokor bergejolak mengeluarkan
suara seperti mendidih. Asap merah mengepul. Dua lusin bendera segi tiga yang
tadi berwarna putih kini berubah menjadi merah!
"Wakil Ketua, pada saat fajar menyingsing besok pagi, kau boleh mengambil dua
lusin Bendera Darah itu"
Wakil Ketua barisan Manusia Pocong
membungkuk seraya berkata. "Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan..."
Sang Ketua anggukkan kepala lalu berkata.
"Antarkan Yang Mulia Sri Paduka Ratu ke
Rumah Tanpa Dosa. Dua Satria Pocong tetap di sini untuk membersihkan Ruangan
Bendera Darah."
Habis berkata begitu Sang Ketua lalu memberi isyarat pada wakilnya agar
mendekat. Sang Wakil segera mendatangi. Dengan suara perlahan Sang Ketua
berkata. "Jangan antarkan langsung gadis itu ke Rumah Tanpa Dosa. Bawa ke
kamarku lebih dulu.
Aku ingin bercinta dengannya malam ini. Sudah lama aku mencari waktu dan
kesempatan. Agaknya malam inilah baru bisa kulaksanakan."
Di balik kain penutup kepala Wakil Ketua
tersenyum lebar. Setelah menganggukkan kepala 58 BENDERA
DARAH tanda mengerti dia segera mendampingi Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Dua Satria
Pocong di sebelah depan. Sang Ketua tekan tombol rahasia di lengan kanan kursi
batu. Bagian dinding batu yang
merupakan pintu bergerak turun ke bawah. Hanya tinggal beberapa langkah lagi ke
empat orang itu akan melewati pintu batu, tiba-tiba dari arah depan yang
merupakan sebuah lorong, menggelundung
sesosok tubuh yang kemudian terkapar di ambang pintu! Di sebelah belakang tiga
Satria Pocong tampak mengejar berhamburan.
Ketua Barisan Manusia Pocong tersentak kaget, langsung melompat dari kursinya
seraya membentak.
"Apa-apaan ini"!"
Dua mata Sang Ketua mendelik memperhatikan
sosok yang terkapar di lantai batu. Sosok berjubah putih, berkepala kain putih
yang setengah tersingkap.
Jelas dia adalah salah seorang anggota Barisan Manusia Pocong. Apa yang terjadi
dengan dirinya"
Tiga Satria Pocong belum sempat menjawab,
sosok di lantai tiba-tiba keluarkan suara tawa mengekeh.
"Kalau pertanyaan itu kau tujukan padaku, itulah yang aku tidak bisa menjawab.
Ha... ha... ha!"
"Jahanam! Bagaimana hal ini bisa terjadi"!
Siapa keparat satu ini"!" Yang Mulia Ketua berteriak marah. Sekali berkelebat
dia berhasil menarik tanggal kain penutup kepala Satria Pocong. Begitu melihat
wajah orang kagetnya jadi tambah alang kepalang sampai dia berseru menyebut
nama. "Dewa Tuak!"
"Ha... ha... Kau kenali diriku. Aku tidak kenali dirimu!" Orang yang tergeletak
di lantai lorong di depan Ruang Bendera Darah kucak-kucak matanya.
BENDERA DARAH 59 Dia memang adalah si kakek yang dikenal dengan julukan Dewa Tuak. Sebelumnya
dalam keadaan tubuh lemah dan pikiran kacau dia telah bertempur melawan tiga Satria Pocong.
Walau dia berhasil menghajar mereka namun daya kekuatan yang ada dalam dirinya
semakin parah dan daya ingatnyapun bertambah tidak karuan.
Selain kaget Sang Ketua Juga marah besar.
Mata Sang ketua membelalak pada tiga Satria
Pocong yang muncul berbarengan dengan Dewa
Tuak. "Gila! Bagaimana tua bangka ini bisa lolos!
Bagaimana otaknya masih jernih! Aku tidak akan memberi ampun pada siapa saja
yang telah melakukan kesalahan!"
Tiga Satria Pocong ketakutan setengah mati.
Ketiganya segera menjura dalam sambil berkata berbarengan. "Mohon ampunmu Yang
Mulia Ketua."
Salah seorang di antara mereka lalu beranikan diri memberi keterangan.
"Mohon maafmu Yang Mulia Ketua. Kami tidak tahu bagaimana kejadiannya dia bisa
lolos dari kamar sekapan. Ketika kami pergoki dia telah berada di Lorong Seratus
Dua. Kami segera hendak
membekuknya. Tapi dia melawan. Mohon maaf, kami bertiga sempat dihajarnya. Lalu
dia melarikan diri ke arah sini. Kami mengejar sambil melepaskan tiga pukulan
berbarengan. Pukulan kami membuat dia jatuh menggelundung tepat ketika pintu
Ruang Bendera Darah terbuka."
"Jahanam! Ada yang tidak beres!" Teriak Sang Ketua semakin marah.
Wakil Ketua cepat mendekati dan berbisik.
"Dewa Tuak bukan orang sembarangan. Dia memiliki hawa sakti dan tenaga dalam
sangat tinggi. Dua 60 BENDERA
DARAH kekuatan itu bisa saja merupakan daya tolak dari apa yang telah kita lakukan
terhadapnya. Tapi
percayalah, daya ingatnya tidak akan bertahan lama.
Dia segera akan tunduk pada perintah dan kemauan kita."
"Jangan bicara tolol padaku! Sudah berapa lama dia mendekam di tempat ini! Tokoh
silat lainnya begitu dicekoki minuman Selamat Datang langsung punah daya
ingatnya. Mengapa dia tidak"!"
"Saya akan menyelidik. Saya akan urus tua bangka satu ini. Harap Yang Mulia
Ketua memberi izin."
"Kalau begitu lekas kau ringkus dia! Jebloskan kembali ke kamar tahanan. Kita
memerlukan dirinya dalam waktu singkat," perintah Sang Ketua.
Wiro Sableng 136 Bendera Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan khawatir. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Saya
akan meringkus dan memberikan minuman tambahan
padanya!" Ketika Wakil Ketua hendak bergerak, Yang Mulia Ketua pegang bahu jubah orang ini
lalu berkata. "Satu dari dua Satria Pocong yang bertindak sebagai mata-mata telah memberitahu
padaku. Kawasan
Telaga Sarangan telah didatangi orang-orang tak dikenal. Hari-hari besar yang
kita tunggu akan segera datang."
"Saya gembira," jawab Wakil Ketua. "Asalkan Yang Mulia Ketua mau berbagi rejeki
dengan saya."
"Kita sudah menentukan bagian dan rejeki masing-masing. Tapi jika kau bertindak
lamban, perhitungan rejekimu akan jatuh ke tangan orang lain."
Wajah Wakil Ketua di balik kain putih penutup kepala menyeringai. "Kalau itu
sampai terjadi, saya BENDERA DARAH
61 akan sangat kecewa. Karena sejak dia membunuh saudara saya, jelas-jelas nyawanya
adalah milik saya."
"Itu sudah menjadi perjanjian di antara kita. Tapi jangan lupa Wakil Ketua.
Banyak orang dan banyak tangan yang ingin dan bisa membantainya. Sekarang lekas
kau singkirkan tua bangka itu."
"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!" Habis berkata begitu
Wakil Ketua melompat ke arah sosok Dewa Tuak yang masih
bergelung di lantai batu sambil mengumbar tawa.
Tiba-tiba, hekk!
Satu totokan yang didaratkan Wakil Ketua ke
urat besar di pangkal leher membungkam mulut dan membuat kaku sekujur tubuh Dewa
Tuak. 62 BENDERA DARAH WIRO SABLENG 6 BENDERA DARAH ATU Duyung lama-lama jadi kesal. Setiap dia
memacu kuda meninggalkan Sutri Kaliangan
R di belakang, dia terpaksa berbalik kembali
atau menunggu. Putri Patih Kerajaan itu menunggang kuda perlahan santai-santai
saja. "Aku tak mengerti," Ratu Duyung keluarkan ucapan. "Sewaktu di Kotaraja kau
begitu bersemangat untuk segera melakukan perjalanan.
Kau sangat khawatir atas keselamatan Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng.
Sekarang kau malah
menunggang kuda perlahan enak-enakan. Seperti orang tengah tamasya. Apa kau
tidak melihat sang surya sudah jauh condong ke barat. Bisa-bisa kita kemalaman
di tengah jalan."
Sutri Kaliangan, dara cantik berpakaian serba kuning dengan pedang tergantung di
pinggang tersenyum mendengar ucapan Ratu Duyung.
"Sahabatku Ratu Duyung, menurut hitungan kita sudah setengah jalan. Kalau
dipaksakan memang bisa saja kita sampai malam hari di tempat tujuan.
Padahal tujuan kita masih merupakan teka-teki. Satu-satunya bimbingan arah
adalah apa yang kau lihat di cermin saktimu."
"Kalau sudah tahu mengapa tidak mempercepat lari kuda" Aku tidak mau bolak-balik
menjemputmu dan meminta agar bergerak lebih cepat."
"Ratu Duyung, dengar. Sedikit banyak aku cukup mengenali kawasan yang telah kita
lewati dan BENDERA DARAH
63 yang bakal kita tempuh. Jika kita terus mengikuti arah, di depan sana kita akan
menemui sebuah gunung bernama Gunung Kukusan. Di sebelah barat ada Gunung Lawu. Di dalam cermin
kau melihat ada bahaya besar mengancam Wiro. Kalau kita
memasuki daerah tujuan pada malam hari, apakah menurutmu bukan berarti kita
mencari bahaya?" Ratu Duyung diam saja. Sutri Kaliangan meneruskan kata-katanya.
"Kita perlu istirahat. Dua tunggangan kita juga perlu istirahat. Besok pagi kita
lanjutkan perjalanan."
"Besok pagi" Apa maksudmu, Sutri?"
"Kita bakal melewati sebuah kampung bernama Jatipurno. Ayahku memiliki sebuah
rumah di sana. Karena terletak tak jauh dari kaki Gunung Kukusan udaranya sejuk, pemandangan
sangat indah. Nah, kita bermalam di Jatipurno. Kita perlu mandi, cukup istirahat
dan cukup tidur."
"Kau tidak lagi mengawatirkan keselamatan Wiro?"
"Siapa bilang tidak mengawatirkan. Tapi jangan lupa memikirkan keselamatan diri
sendiri. Kalau kau berniat terus melanjutkan perjalanan, aku tak bisa
menghalangi. Aku tetap akan singgah di Jatipurno."
Setelah menimbang sesaat akhirnya Ratu
Duyung berkata. "Baiklah. Aku mengalah. Kita bermalam di Jatipurno. Tapi besok
pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit kita harus sudah melanjutkan
perjalanan."
Sutri Kaliangan tertawa lebar. "Sahabatku, agaknya kau juga mengawatirkan
keselamatan pemuda itu. Kurasa bukan hanya sekedar
mengawatirkan. Mungkin juga ada rasa rindu. Sudah berapa lama kalian tidak
bertemu?" 64 BENDERA DARAH Ratu Duyung tidak menjawab.
"Aku mendengar, banyak sekali para gadis tergila-gila pada Pendekar itu. Yang
sudah pasti Anggini dan Bidadari Angin Timur. Aku tahu waktu di Gedung Kepatihan
tadi malam mereka berpura-pura acuh ketika kuajak agar segera sama-sama
berangkat. Aku yakin, keduanya mencari jalan
sendiri-sendiri. Mungkin ingin mendahului kita menemui pemuda itu."
"Apakah kau merasa cemburu kalau Bidadari Angin Timur atau Anggini berhasil
menemukan Wiro lebih dulu?"
"O-ooo. Justru hal itu yang akan aku tanyakan padamu." Kata Sutri Kaliangan pula
sambil tersenyum dan melirik. Gadis ini tertawa kecil ketika melihat wajah Ratu
Duyung bersemu merah.
"Kau tak mau menjawab. Ratu, apakah kau
mencintai Wiro" Hemmm... aku bisa melihat pada raut wajah dan sinar matamu. Kau
mencintai pemuda itu."
"Sutri, jika kau terus menggoda, aku lebih baik melanjutkan perjalanan seorang
diri. Terus-terang, aku tidak merasa perlu singgah di Jatipurno."
Sutri Kaliangan dekatkan kudanya ke kuda Ratu Duyung lalu pegang lengan gadis
bermata biru itu.
"Harap kau jangan marah. Aku hanya bergurau.
Soalnya, gadis mana yang tidak terpikat dengan pemuda seperti Wiro. Pendekar
berkepandaian tinggi, berbadan tegap berwajah gagah. Selain itu baik hati pula.
Banyak yang meramalkan dia bakal jadi tokoh utama dalam rimba persilatan tanah
Jawa." "Pendekar berkepandaian tinggi, berbadan tegap berwajah gagah. Selain itu baik
hati pula. Diramalkan bakal menjadi tokoh utama dalam rimba BENDERA DARAH
65 persilatan tanah Jawa..." Ratu Duyung mengulangi ucapan Sutri Kaliangan lalu
cepat menyambung.
"Kau seorang gadis cantik jelita, Putri Patih Kerajaan, juga memiliki ilmu silat
tinggi. Bukankah merupakan pasangan yang cocok dan serasi?" Kini Ratu Duyung
yang menggoda Sutri Kaliangan.
Yang digoda tertawa panjang. "Aku boleh
dibilang gadis yang ketinggalan kereta. Bagaimana mungkin bisa bersaing dengan
para sahabat yang telah lebih dulu mengenal Wiro. Bidadari Angin Timur, Anggini
dan kau sendiri."
"Kurasa kau lebih mendapat perhatian karena kau putri Patih Kerajaan. Cantik..."
"Menurutmu begitu?" tanya Sutri lalu menjawab sendiri pertanyaannya. "Kurasa
tidak. Ketika ayahku menawarkan jabatan Panglima Kerajaan padanya, sebagai balas
jasa dalam membantu mendapatkan Melati Tujuh Racun, satu-satunya obat yang mampu
menyembuhkan penyakit ayah, dia menolak. Berarti dia tidak ada perhatian pada
diriku." "Menolak jabatan bukan berarti menolak cinta seorang gadis cantik sepertimu.
Justru di situlah keluhuran budinya sebagai seorang pendekar. Dia tidak mau
menjual diri dengan jabatan. Lebih dari itu dia tidak mau merendahkan makna
cinta dan kasih sayang dengan balas jasa."
"Apapun alasan penolakannya, yang jelas aku tidak mungkin mendapatkan dirinya,"
kata Sutri Kaliangan pula. Suaranya perlahan seperti sedih, namun di mulutnya
terkulum sekelumit senyum.
"Jangan terlalu berhiba diri, sahabatku.
Dibanding dengan kami-kami rasanya kau lebih
punya kesempatan. Apakah kau pernah mengajuk
hatinya" Apakah kalian pernah berdua-dua?"
66 BENDERA DARAH "Hai! Kau tengah menyelidiki diriku!" kata Sutri Kaliangan lalu tertawa
cekikikan. * * * SUTRI Kaliangan dan Ratu Duyung sampai di
Jatipurno tepat ketika sang surya tenggelam di ufuk barat. Rumah milik ayah
Sutri itu selain besar juga sangat bagus dan kokoh bangunannya. Mulai dari
tangga sampai tiang dan dinding dipenuhi ukiran-ukiran bagus dan halus. Setelah
dua gadis itu mandi, penjaga rumah bersama istri menyiapkan makan
malam. Selesai makan Sutri menyuruh suami istri itu pulang ke rumah mereka yang
terletak tak jauh dari situ. Ketika meninggalkan rumah, Ratu Duyung
sempat melihat keduanya berbisik-bisik sambil menuruni tangga dan sesekali
menoleh ke belakang memperhatikan dirinya. Walau heran melihat sikap dua suami
istri itu namun Ratu Duyung tidak berkata apa-apa.
"Di rumah ini ada dua kamar. Besar-besar.
Sebaiknya kita tidur di satu kamar saja. Kita bisa ngobrol macam-macam sebelum
tidur." Begitu Sutri Kaliangan berkata dan ditanggapi wajar-wajar saja oleh Ratu
Duyung. Sebelum masuk ke dalam kamar Sutri Kaliangan
mengeluarkan sebuah tabung kecil. Tabung ini
ternyata berisi minyak wangi. Begitu penutup tabung dibuka, bau harum luar biasa
memenuhi ruangan.
Sutri mengusapkan minyak wangi di leher, belakang telinga dan pangkal dadanya.
Lalu tabung minyak diserahkan pada Ratu Duyung. "Pakailah..."
"Terima kasih, aku tak biasa memakai minyak wangi." Jawab Ratu Duyung tidak
berdusta. Selain itu BENDERA DARAH
67 dia merasa setiap dia menghela nafas, harumnya minyak wangi itu mendatangkan
perasaan aneh dalam dirinya. "Sekali ini harus. Nanti kau akan biasa. Aku masih ada persediaan satu tabung.
Kau boleh ambil yang satu ini. Pakailah..."
Karena Sutri Kaliangan memaksa terus, Ratu
Duyung mengambil juga tabung kecil berisi minyak wangi itu tapi tidak
dipakainya. Tabung diselipkan di balik pakaian. Tak lama kemudian keduanya masuk
ke dalam kamar. Mereka mengobrol sebentar,
mungkin karena keletihan Ratu Duyung tertidur lebih dulu.
* * * RATU Duyung tidak tahu berapa lama dia telah
tertidur ketika mendadak terbangun. Pertama sekali bau harum minyak wangi
menusuk hidung, masuk ke dalam jalan pernafasannya. Ada perasaan aneh.
Seperti pertama kali mencium bau itu ketika Sutri Kaliangan mengusapkan ke
tubuhnya. Lalu dia
merasakan ada pelukan kuat di pinggang. Ada
himpitan kaki di pahanya. Dia juga merasakan
hembusan nafas panas. Setelah itu ada ciuman di pipi dan pangkal lehernya. Darah
Ratu Duyung mengalir cepat. Jantungnya berdegup keras. Ada kehangatan aneh menyungkupi
dirinya. "Apakah aku bermimpi," pikir Ratu Duyung.
Dibukanya ke dua matanya. Tepat ketika ada satu wajah tersenyum mesra meneduhi
wajahnya dan hendak mengecup bibirnya.
Ratu Duyung cepat mendorong tubuh orang
yang menghimpitnya. Memandang ke depan serasa 68 BENDERA
DARAH tak percaya dia. Sutri Kaliangan duduk di atas ranjang, tersenyum padanya. Dan
gadis ini, tak sehelai pakaianpun melekat di tubuhnya!
"Sutri, apa yang kau lakukan terhadapku?" tanya Ratu Duyung heran.
Sutri Kaliangan masih tersenyum. Lidahnya yang merah dijulurkan membasahi bibir.
"Memangnya aku melakukan apa?" Balik bertanya Sutri. Suara perlahan, mata
setengah dipejamkan.
"Barusan..."
"Barusan apa?" ucap Sutri lirih.
"Kau memelukku. Kau menciumku. Kau juga
hendak mengecup bibirku..."
Sutri Kaliangan dongakkan kepala lalu tertawa panjang.
"Apakah itu aneh?" ucap putri Patih Kerajaan ini sambil tangannya mengelus paha
Ratu Duyung. Ratu Duyung cepat tepiskan tangan gadis itu.
"Tentu saja aneh! Bagiku sangat aneh!" Jawab Ratu Duyung. Suaranya keras tanda
kesal. Tubuhnya terasa semakin hangat.
"Jangan menduga yang bukan-bukan
sahabatku. Malam begitu dingin. Tidak ada selimut di atas ranjang. Kita tidur
berdua-dua. Apakah aku tidak boleh mencari kehangatan dengan memeluk
tubuhmu yang bagus?"
Tersirap darah Ratu Duyung mendengar kata-
kata Sutri Kaliangan itu.
"Tapi, kau bukan cuma memelukku. Kau
menciumiku. Kau hendak mengecup bibirku..."
"Ketika kau tertidur, aku masih sulit
memejamkan mata. Aku pandangi wajahmu yang
cantik seperti boneka. Aku kagumi tubuhmu yang putih mulus dan bagus. Sebagai
seorang sahabat BENDERA DARAH
69 apakah aku tidak boleh menyentuhmu?"
"Apa yang kau lakukan bukan cara orang
bersahabat."
"Lalu, bagaimana seharusnya cara orang
bersahabat. Tunjukkan padaku." Kata Sutri Kaliangan lalu rebahkan dadanya yang
putih terbuka ke bahu Ratu Duyung.
Ratu Duyung cepat menghindar dan berkata.
"Kau tadi berucap malam begitu dingin. Tapi mengapa kau bertelanjang diri
seperti ini?"
Sutri Kaliangan tersenyum dan kedipkan
perlahan sepasang matanya.
Ratu Duyung mengusap leher dan belakang
telinganya. Jari-jarinya kemudian didekatkan ke hidung. "Kau... kau mengusapkan
minyak wangi itu ke tubuhku..."
"Aku ingin kau juga memakainya. Bukan cuma aku. Sebagai tanda kita
bersahabat..."
Ratu Duyung geleng-gelengkan kepala.
Karena bujukannya tidak mengena Sutri
Kaliangan akhirnya berkata, "Tidurlah, pagi masih lama. Kita perlu istirahat."
Sutri Kaliangan ulurkan tangan memegang dan mengelus lengan Ratu
Duyung. Saat itu setelah mencium minyak wangi yang
dioleskan Sutri ke telinga dan lehernya, rasa aneh semakin berkecamuk dalam
tubuh Ratu Duyung.
Wiro Sableng 136 Bendera Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada rangsangan aneh dalam diriku. Aku harus sanggup melawan..." Cepat Ratu
Duyung kerahkan tenaga dalam.
"Malam-malam di atas tempat tidur
mengerahkan tenaga dalam. Untuk apa?" tanya Sutri Kaliangan yang rupanya tahu
apa yang tengah
dilakukan Ratu Duyung. "Tidurlah, aku tidak akan 70 BENDERA
DARAH mengganggumu." Habis berkata begitu putri Patih Kerajaan itu lalu rebahkan
badannya di atas tempat tidur. Sikapnya benar-benar membuat jengah Ratu Duyung.
Sutri berbaring menelentang. Dua tangan dikembangkan ke samping menyingkapkan
ketiaknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus hitam.
"Ada yang tidak beres dengan gadis satu ini.
Apa yang ada di benaknya. Minyak wangi itu... Aku menaruh curiga. Dia memasukkan
sesuatu di dalam minyak wangi. Tubuhku jadi panas. Diriku diselimuti rangsangan.
Aku harus berbuat sesuatu..."
"Ratu, kau mau ke mana?" tanya Sutri ketika dilihatnya Ratu Duyung beranjak
turun dari atas ranjang.
"Aku perlu ke belakang."
"Biar aku temani," kata Sutri.
"Tidak usah."
"Ah matamu indah sekali. Biru bercahaya.
Bolehkah aku menciumnya?" Masih dalam keadaan tanpa pakaian Sutri Kaliangan
beringsut ke tepi ranjang.
Ratu Duyung cepat-cepat turun dari tempat tidur lalu keluar dari kamar,
meninggalkan rumah, pergi ke sumur kecil di halaman belakang. Tubuhnya terasa
lebih segar setelah mencuci wajah, leher dan
dadanya yang diusapi minyak wangi oleh Sutri
Kaliangan. Rangsangan aneh yang ada dalam dirinya perlahan-lahan berkurang. Ratu
Duyung tidak kembali ke dalam bangunan. Di halaman kiri rumah ada sebuah gerobak. Ratu Duyung
naik ke atas gerobak ini. Untuk beberapa lama dia berbaring di lantai gerobak sambil
berpikir-pikir.
"Apa yang telah dilakukan putri Patih Kerajaan itu terhadapku" Dia memberiku
obat perangsang BENDERA DARAH
71 yang dimasukkan dalam minyak wangi. Sikap dan perbuatannya terhadapku... Ada
sesuatu yang tidak beres dengan gadis itu. Jangan-jangan, aku memang pernah
mendengar cerita tentang laki-laki yang hanya bergairah terhadap sesama lelaki.
Tentang perempuan yang hanya mau berhubungan sesama
perempuan. Apakah... Jangan-jangan..." Ratu Duyung ingat pada pasangan suami
istri penjaga rumah. "Ketika meninggalkan rumah, dua orang itu berbisik-bisik
sambil memperhatikan diriku. Mungkin sebelumnya Sutri Kaliangan telah sering
membawa gadis-gadis ke rumah ini. Jika benar ada kelainan pada diri Sutri mereka
pasti tahu banyak. Kalau saja aku bisa menemui keduanya..." Ratu Duyung usap
tengkuknya yang mendadak terasa merinding.
Di dalam gerobak, dinginnya udara malam
membuat Ratu Duyung bergelung dan rangkapkan
tangan di depan dada. Dalam masih mengingat-ingat apa yang barusan dialaminya,
gadis ini keluarkan cermin sakti dari balik pakaian.
"Aku tak mungkin meneruskan perjalanan
bersama gadis itu. Aku tahu betul, orang seperti dia bisa berbuat nekad bila
maksudnya tidak
kesampaian. Bukan mustahil dia akan membunuhku karena malu rahasia dirinya
kuketahui. Aku harus mencari jalan sendiri. Rupanya gerak-geriknya yang selama
ini seperti terpikat dan ingin cepat-cepat menemui Wiro hanya satu kepura-puraan
belaka. Dia punya tujuan lain. Aku harus mencari tahu di mana Wiro berada..." Di
dalam gerobak, dalam gelap, dan dinginnya malam Ratu Duyung arahkan pandangan
pada cermin sakti berbentuk bulat. Tanpa
diketahuinya, dua bayangan putih laksana sepasang setan gentayangan berkelebat
ke arah bangunan lalu 72 BENDERA
DARAH melesat ke atas wuwungan.
BENDERA DARAH 73 WIRO SABLENG 7 BENDERA DARAH I ATAS atap rumah, dalam gelapnya malam
dua sosok mendekam sesaat. Dari jubah serta
D kain penutup kepala yang serba putih jelas
mereka adalah Satria Pocong, anggota Barisan
Manusia Pocong 113 Lorong Kematian. Setelah
saling berbisik salah seorang dari mereka menggeser atap kayu sirap lalu
mengintai ke dalam rumah.
Begitu mengintip orang ini keluarkan suara
terperangah, membuat teman di sebelahnya
bertanya. "Ada apa?"
"Belum pernah aku melihat pemandangan luar biasa seperti ini," suara manusia
pocong pertama bergetar. Nafasnya berhembus kencang.
"Ke pinggirlah, coba kulihat." Manusia pocong kedua ingin tahu pemandangan apa
yang ada di bawah sana. "Aku sedang asyik. Jangan kau ganggu dulu."
"Jangan serakah!" Manusia pocong kedua mengomel.
"Atap ini masih luas. Mengapa tidak membuat lobang sendiri?"
Penasaran ingin tahu apa yang dilihat
kawannya, manusia pocong kedua mengalah lalu
menggeser atap sirap di bagian lain. Ketika dia mengintai ke dalam rumah,
langsung dari mulutnya keluar ucapan.
"Aahhhh..." Tengkuknya yang tertutup kain putih 74 BENDERA
DARAH diusap berulang kali. Tanpa menggeser mata dari renggangan atap sirap manusia
pocong ini berkata pada teman di sebelahnya. "Sebelumnya kau bilang ada dua
gadis. Yang kulihat cuma seorang."
"Gadis satunya mungkin sudah pergi. Mungkin tidak tinggal di sini."
"Apa yang akan kita lakukan?"
"Kita?" tanya manusia pocong pertama. "Aku akan turun ke bawah. Terserah kau.
Kalau kau minta bagian silahkan menunggu. Kalau tidak kembali saja ke Lorong."
"Susah punya teman serakah sepertimu."
Manusia pocong kedua mengomel. Tapi hatinya
bimbang. Apa yang disaksikannya di dalam kamar di bawah sana membuat tubuhnya
keringatan. "Aku memilih kembali saja," katanya kemudian. "Silakan kau
bersenang-senang. Tapi aku nasihatkan agar kau tetap waspada. Hati-hati. Gadis
itu agaknya belum tidur. Seperti menunggu kedatangan
seseorang."
"Dia menunggu aku," jawab manusia pocong pertama lalu tertawa perlahan di balik
kain penutup kepala. "Perlu apa takut terhadap seorang gadis cantik yang saat
ini berbaring di atas ranjang tanpa pakaian."
"Aku hanya mengingatkan. Kau tahu,
belakangan ini kita sudah menyirap kabar tentang terlihat orang-orang tak
dikenal sekitar Telaga Sarangan dan bebukitan batu sekitar Lorong. Belum lama
salah seorang tokoh rimba persilatan berjuluk Dewa Tuak malah berhasil menyusup
ke dalam Lorong." "Tua bangka satu itu perlu apa dikhawatirkan.
Atas perintah Yang Mulia Ketua, Sri Paduka Ratu BENDERA DARAH
75 telah meringkusnya. Lagi pula kemunculan orang-orang yang kau sebutkan itu
bukankah sesuai
dengan rencana dan apa yang telah diatur oleh Yang Mulia Ketua" Dewa Tuak sudah
muncul dan dilumpuhkan. Dia sekarang jadi salah satu anggota Barisan Manusia Pocong. Aku
yakin tidak lama lagi yang disebut Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng akan
segera pula muncul."
"Bagaimana kalau gadis telanjang di dalam kamar itu ternyata merupakan satu
pancingah. Kau bisa celaka..."
"Kalau kau takut, lekas-lekas saja kembali ke Lorong." Manusia pocong pertama
segera hendak bergerak. Tapi bahunya dipegang oleh teman di sebelahnya.
"Sebelum naik ke atap ini, aku sempat
mengelilingi rumah. Di sebelah belakang aku
menemui dua ekor kuda. Besar dan tegap-tegap.
Salah satu diantaranya ada hiasan kain kuning di leher dan dada. Hiasan seperti
ini hanya dimiliki kuda pejabat-pejabat tinggi di Kotaraja..."
"Sobatku, kau kembalilah ke Lorong. Aku kesini mencari gadis cantik itu. Bukan
mencari kuda yang ada hiasan kain kuning." Setelah tertawa perlahan manusia
pocong pertama ini lambaikan tangan pada temannya lalu berkelebat turun dari
atas atap rumah.
Sesaat kawannya masih berada di atas atap.
Sebelum menyusul turun sekali lagi dia mengintai ke dalam rumah lewat renggangan
atap sirap. Menarik nafas panjang, geleng-geleng kepala lalu berkelebat pergi.
* * * 76 BENDERA DARAH DI atas tempat tidur, Sutri Kaliangan berbaring tidak sabar menunggu kedatangan
Ratu Duyung. Ketika pintu kamar terbuka dan ada langkah-langkah kaki halus memasuki kamar,
gadis ini pejamkan mata, tersenyum.
"Ratu Duyung. Kau membuatku gelisah..." Di atas ranjang Sutri Kaliangan balikkan
tubuh, kepala di arahkan ke pintu kamar. Begitu pandangannya
membentur sosok serba putih yang tegak di samping tempat tidur, gadis ini
tersentak kaget dan keluarkan seruan tertahan. Kejap itu juga dalam keadaan
tidak sadar akan keadaan auratnya, gadis ini melompat turun ke lantai. Begitu
sadar kalau saat itu dia tidak mengenakan pakaian sama sekali, langsung menjerit
dan berusaha menyambar pakaian kuningnya yang berserakan di kaki tempat tidur.
Tapi si manusia pocong lebih cepat. Sekali bergerak dia berhasil mengambil
pakaian itu. Sambil membuntal-buntal pakaian kuning dengan kedua tangannya dia
berkata. "Tak perlu risaukan pakaian ini. Kau lebih cantik tanpa pakaian! Ha... ha...
ha!" "Manusia pocong..." ucap Sutri bergetar dalam hati. "Apa ini makhluk yang ramai
dibicarakan orang belakangan ini. Ternyata bukan cuma cerita kosong."
Putri Patih Kerajaan ini hanya terkesiap sesaat.
Keberaniannya kemudian muncul. Sambil melindungi tubuh dengan bantal dia
membentak. "Jahanam! Kau siapa"! Keluar dari kamar ini!"
Matanya melirik ke arah dinding kamar di mana tergantung pedang miliknya.
Manusia pocong sudah membaca apa yang ada di benak si gadis. Buntalan pakaian
kuning yang digenggamnya dilemparkan ke arah Sutri. Selagi Sutri membuat gerakan
menangkap pakaian, secepat kilat manusia pocong melompat ke BENDERA DARAH
77 arah dinding menyambar pedang perak.
Seperti diketahui Sutri Kaliangan yang puteri Patih Kerajaan ini walau mempunyai
kelainan tapi juga memiliki ilmu silat cukup tinggi. Sadar kalau orang menipu,
Sutri segera melesat ke arah manusia pocong sambil lancarkan jurus serangan yang
disebut Menusuk Puncak Gunung. Jurus ini sebenarnya adalah jurus serangan ilmu
pedang. Walau dimainkan dalam serangan tangan kosong kehebatannya tidak kalah
berbahaya dengan memakai pedang. Nyatanya si manusia pocong kena dihantam.
Bukkk! Jotosan Sutri Kaliangan mendarat di bahu kanan manusia pocong. Membuat orang ini
melintir dan mengeluh tinggi kesakitan. Gagang pedang yang sudah ada dalam
genggamannya terlepas, senjata itu jatuh berkerontang di lantai. Manusia pocong
segera balikkan tubuh, tepat ketika Sutri Kaliangan melompat sambil hantamkan
satu tendangan.
Manusia pocong keluarkan suara mendengus
dari hidung. Walau marah dan sakit namun sepasang matanya berkilat menyaksikan
tubuh telanjang yang menyerangnya.
Wuttt! Tendangan Sutri Kaliangan meleset hanya
setengah jengkal di samping kiri tubuhnya. Begitu serangan lawan lewat, manusia
pocong membuat gerakan kilat. Tahu-tahu dia telah mencekal betis kanan Sutri Kaliangan. Sebelum
gadis ini sempat berbuat sesuatu, tangan yang mencekal betis
bergerak dan Sutri terpekik. Tubuhnya terlempar ke atas, jatuh ke bawah,
terjengkang di atas ranjang!
Sutri terpekik. Seolah baru sadar keadaan auratnya yang tanpa pakaian, gadis ini
cepat berguling turun 78 BENDERA
DARAH dari atas tempat tidur. Namun manusia pocong
bergerak lebih cepat. Dengan satu gerakan kilat dia membuat lompatan. Dua jari
tangan ditusukkan ke arah pangkal leher si gadis mendaratkan totokan aneh. Tubuh
putri Patih Kerajaan itu tidak kaku, tetapi mendadak menjadi lemas.
"Manusia setan keparat! Jangan kau berani berlaku kurang ajar terhadapku!"
Teriak Sutri. "Gadis cantik! Siapa yang tega berbuat kurang ajar! Aku malah mau memberikan
kesenangan padamu!" "Setan terkutuk! Aku Sutri Kaliangan Puteri Patih Kerajaan! Ayahku akan
mencincang tubuhmu!"
Sesaat si manusia pocong seperti terkesiap
mendengar ucapan Sutri. Namun kemudiah dia
tertawa. "Aku tidak kenal siapa dirimu. Juga tidak tahu siapa itu yang disebut
Patih Kerajaan. Saat ini aku ingin bersenang-senang."
Habis berkata begitu manusia pocong siap
melucuti jubahnya. Di sebelah atas kain putih penutup kepala tidak ditanggalkan.
Agaknya manusia pocong ini tidak mau wajahnya dilihat orang. Sutri kembali
memaki dan berteriak. Dia berusaha bangkit tapi tidak bisa. Dicobanya
menggulingkan diri, juga tidak mampu.
"Gadis, harap kau pasrah saja pada nasib. Kalau memang berjodoh, urusan hari ini
bisa kita perpanjang sampai nanti. Ha... ha... ha!"
"Makhluk keparat! Aku bersumpah
membunuhmu!"
Sambil tertawa bergelak manusia pocong
melompat ke atas tempat tidur.
* * * BENDERA DARAH 79 DI dalam gerobak di halaman kiri rumah, Ratu
Duyung menatap tak berkesip ke cermin sakti bulat yang dipegangnya dengan kedua
tangan. Perlahan-lahan bayangan hitam di dalam cermin berubah
terang namun seperti ada gelombang asap melapisi permukaan cermin. Sesekali ada
bayangan putih muncul lalu lenyap, muncul lagi dan kembali lenyap.
Ditunggu sekian lama Ratu Duyung masih belum
melihat apa-apa. Tiba-tiba dua tangan yang
memegang cermin mulai bergetar. Ratu Duyung ingat pada kejadian sewaktu dia
melakukan pemantauan di Gedung Kepatihan. Ratu Duyung tidak berani
kerahkan hawa sakti, khawatir akan mengalami
hantaman kekuatan yang tak kelihatan seperti
kejadian tempo hari.
"Ada kekuatan aneh menghalangi. Wiro, di mana kau..." ucap Ratu Duyung. Tiba-
tiba sudut matanya melihat satu bayangan putih berkelebat di depan gerobak. Ratu
Duyung turunkan cermin. Tubuhnya masih melunjur di lantai gerobak. Dada dan
kepala dinaikkan.
"Astaga, apa yang aku lihat ini" Pocong hidup gentayangan di malam hari?"
Gadis cantik yang berasal dari kawasan
samudera selatan ini segera simpan cerminnya lalu bergerak bangkit. Sosok serba
putih lenyap di balik sederetan pepohonan.
Wiro Sableng 136 Bendera Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pocong hidup... Mungkin ini makhluk yang pernah dibicarakan para gadis sewaktu
di Gedung Kepatihan. Makhluk setan penculik perempuan
hamil." Sang Ratu berpikir sejenak. Segera saja muncul niatan di hatinya untuk
mengejar manusia pocong tadi. Tidak menunggu lebih lama Ratu
80 BENDERA DARAH Duyung segera keluar dari dalam gerobak. Ketika dia siap berkelebat mengejar,
tiba-tiba dari arah rumah terdengar jeritan disusul bentakan-bentakan
perempuan. "Sutri Kaliangan..," ucap Ratu Duyung. "Apa yang terjadi dengan gadis itu?"
Untuk seketika gadis jelita bermata biru ini jadi bingung. Apakah akan
meneruskan maksudnya
semula mengejar manusia pocong atau menghambur masuk ke dalam rumah untuk
melihat apa yang
terjadi. "Ah, gadis yang punya kelainan itu mungkin mau menipuku. Sengaja menjerit dan
membentak agar aku segera datang. Lebih baik aku tinggalkan saja dia," membatin
Ratu Duyung. Namun untuk kesekian kalinya dia mendengar suara jeritan gadis itu.
Lalu suara gedebuk pukulan disusul suara senjata jatuh berkerontang di lantai.
Setelah ulang berpikir akhirnya Ratu Duyung berkelebat ke arah rumah. Saat
itulah ada suara perempuan berteriak di atas atap rumah.
"Aku tahu! Maksudmu bukan mau membantu!
Tapi mau melihat lebih dekat aurat telanjang gadis cantik itu! Awas kalau kau
berani menjamah
tubuhnya!"
Terdengar suara tertawa bocah cekikikan.
Lalu, braakk! Salah satu bagian atap sirap jebol.
Ratu Duyung memasuki rumah terus melompat
ke kamar tidur, tepat ketika satu sosok kecil gesit berpakaian hitam terjun dari
atas wuwungan kamar, langsung melompat ke belakang sosok manusia
pocong yang saat itu siap berbuat bejat hendak menggagahi Sutri Kaliangan.
"Pocong jejadian! Hancur kantong menyanmu!"
BENDERA DARAH 81 Sosok kecil berpakaian hitam ulurkan tangan ke depan.
Krekkk... tesss!
Si manusia pocong menjerit setinggi langit.
Darah mengucur dari anggota rahasia di bawah
perutnya. Di samping ranjang seorang anak lelaki berpakaian hitam-hitam berambut
jabrik dekatkan tangannya yang barusan meremas ke lobang hidung, lalu kibas-
kibaskan tangan itu sambil keluarkan suara seperti orang mau muntah kemudian
tertawa gelak-gelak. Sementara itu si manusia pocong gulingkan diri, menungging-
nungging di lantai kamar sambil menjerit megap-megap, pegangi perutnya di
sebelah bawah yang telah hancur diremas orang!
"Naga Kuning! Apa yang kau lakukan"!" teriak Ratu Duyung dengan mata mendelik
ngeri ketika melihat apa yang terjadi dengan manusia pocong yang tadi hendak
menggagahi Sutri Kaliangan.
"Aku hanya mengusap gituannya. Heran, kenapa dia melintir kelojotan seperti itu!
Seharusnya dia bergumam keenakan! Hik... hik... hikkk!"
Si bocah berambut jabrik yang bukan lain adalah Naga Kuning menjawab konyol
seenaknya lalu tertawa cekikikan.
"Bocah edan kurang ajar!" maki Ratu Duyung tapi dengan wajah setengah tersenyum.
"Ratu, mohon maafmu. Mungkin tadinya kau bermaksud meraba perabotan orang. Tapi
kedahuluan oleh aku! Ha... ha... ha!"
"Anak setan! Siapa sudi melakukan yang kau katakan itu!" Ratu Duyung berteriak
marah. Si bocah Naga Kning kembali tertawa gelak-
gelak sambil matanya melirik ke arah sosok tak berpakaian Sutri Kaliangan yang
tertelentang di atas 82 BENDERA
DARAH tempat tidur. BENDERA DARAH 83 WIRO SABLENG 8 BENDERA DARAH AI! Kalian jangan cuma tertawa-tawa. Lekas
tolong diriku!" Sutri Kaliangan berteriak. Di H samping tempat tidur si manusia
pocong masih menjerit-jerit lalu melompat ke arah pintu. Ratu Duyung cepat menghalangi
namun ditabrak dengan keras hingga gadis itu terdorong jauh ke dinding kamar.
"Biarkan pocong keparat itu kabur! Dia akan mati kehabisan darah! Yang penting
tolong dulu diriku.
Aku ditotok!" Sutri Kaliangan kembali berteriak Ratu Duyung berpikir. Sutri
sudah ada orang
yang menolong, lebih baik dia mengejar manusia pocong. Ratu Duyung cepat keluar
dari kamar. Ketika sampai di luar rumah, seekor kuda menghambur
dalam kegelapan.
"Manusia pocong! Dia kabur dengan kuda milik Sutri Kaliangan!" Ratu Duyung
kepalkan tinju lalu cepat lari ke samping rumah. Disitu masih ada seekor kuda
yakni kuda yang sebelumnya ditungganginya dalam perjalanan dari Kotaraja bersama
Sutri. Ratu Duyung melompat ke atas kuda, segera melakukan pengejaran. Namun
entah bagaimana orang
menipunya, Ratu Duyung tidak berhasil mengejar manusia pocong. Orang itu lenyap
dalam kegelapan padahal tadi hanya terpaut belasan tembok saja di depannya.
Dalam gelap Ratu Duyung segera keluarkan
ilmu Menembus Pandang. Dengan ilmu ini dia 84 BENDERA
DARAH mampu melihat benda-benda dalam gelap atau
terhalang benda lain yang berada dalam jarak
tertentu. Hawa sakti dialirkan ke kepala, mata dikedipkan dua kali. Pandangan
dipentang ke depan.
Sesaat kemudian sang Ratu melihat satu keanehan.
Dia mampu melihat kuda besar yang dipergunakan manusia pocong dalam melarikan
diri. Namun si penunggang sama sekali tidak kelihatan. Kuda besar itu menghambur
sendirian seperti ditunggangi hantu yang tidak kelihatan!
"Aneh luar biasa! Dirinya dalam keadaan terluka parah. Ilmu setan apa yang
dimiliki manusia pocong itu hingga dirinya tidak tembus pandang" Atau mungkin
ada satu kekuatan dari luar membantu
melindungi dirinya" Kekuatan yang tempo hari aku pernah lihat di cermin sakti?"
Dituntun oleh ilmu Menembus Pandang meski agak lamban Ratu Duyung berusaha terus
mengikuti manusia pocong yang melarikan diri. Walau tidak takut akan kehilangan
jejak orang yang dikejarnya tapi ada satu hal yang dikhawatirkan Ratu Duyung.
Peristiwa Merah Salju 4 Pendekar Naga Putih 06 Penghuni Rimba Gerantang Pedang Sakti Tongkat Mustika 8