Pencarian

Bendera Darah 3

Wiro Sableng 136 Bendera Darah Bagian 3


Yaitu seperti yang dikatakan Sutri Kaliangan.
Manusia pocong itu bisa saja menemui ajal
kehabisan darah sebelum dia berhasil mengejar atau mengetahui sarangnya.
Kembali ke dalam kamar. Mendengar teriakan
Sutri Kaliangan minta tolong dan memberitahu kalau dirinya berada dalam keadaan
tertotok, bocah konyol berambut jabrik Naga Kuning segera melompat ke samping
tempat tidur. Dua matanya menjelajah nakal di sekujur tubuh si gadis.
"Katakan, bagian mana tubuhmu yang ditotok."
Naga Kuning kembangkan tangan kanan di atas dada Sutri Kaliangan. Telapak ke
bawah dan tangan
BENDERA DARAH 85 digerak-gerakkan ke kiri ke kanan. "Ah, pasti di bagian sini. Di bagian dadamu!"
kata anak itu. Tangannya lalu diturunkan mendekati permukaan dada yang tidak tertutup.
"Bocah setan!" Dari atas atap rumah yang jebol terdengar satu bentakan. "Minggir
kau! Aku yang akan menolong gadis itu! Awas kalau kau berani menyentuh
tubuhnya!"
Satu sosok serba hitam, dari atas atap rumah, laksana setan terjun dari langit
melesat masuk ke dalam kamar. Naga Kuning didorong ke samping
hingga terjajar ke dinding. Sambil usap-usap
rambutnya yang jabrik Naga Kuning berkata.
"Kau keliwat cemburu. Masakan aku..."
"Huss! Diam! Siapa percaya dirimu! Waktu Sinto Gendeng dikeluarkan dari pendaman
kau masih suka melihat tubuh telanjang nenek itu! Padahal tubuhnya kurus hitam
keriputan! Apalagi tubuh gadis cantik dan bagus seperti yang ini! Owalah!"
(Mengenai riwayat Sinto Gendeng dilepas dari pendaman baca seri pertama berjudul
113 Lorong Kematian)
Naga Kuning hanya bisa sunggingkan senyum
mendengar ucapan itu.
Sutri Kaliangan tercekat memperhatikan orang
yang tegak di samping tempat tidur. Seorang nenek berjubah hitam. Rambut panjang
kelabu, bermuka seram seperti setan. Sepuluh kuku jarinya panjang runcing dan
hitam. "Nek, mungkin aku pernah melihatmu
sebelumnya. Tapi lupa siapa dirimu. Kau bisa
melepaskan totokan di tubuhku?" Sutri Kaliangan keluarkan ucapan.
Si nenek yang dalam rimba persilatan dikenal
dengan panggilan Gondoruwo Patah Hati tidak 86 BENDERA
DARAH menyahuti pertanyaan orang. Sepasang matanya
menatap sekujur tubuh Sutri Kaliangan. Mencari letak di bagian tubuh sebelah
mana gadis ini telah ditotok.
Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan ditekuk.
Tiba-tiba dua jari yang ditekuk ini bergerak, ditekankan ke pangkal leher
sebelah kiri Sutri Kaliangan.
Desss! Saat itu juga totokan yang menguasai tubuh si gadis punah. Rasa lemas lenyap.
Sutri Kaliangan berseru keras, gulingkan diri ke kiri sambil menarik kain alas
tempat tidur. Untuk beberapa lama dia berdiri terdiam di sudut kamar sambil
lindungi auratnya dengan kain itu. Sepasang mata menatap Gondoruwo Patah Hati
dan Naga Kuning.
"Aku mengucapkan terima kasih..." kata si gadis kemudian.
Gondoruwo Patah Hati tidak menjawab. Dia
melirik ke arah Naga Kuning lalu melangkah ke pintu sambil memberi isyarat agar
si bocah mengikutinya.
Sampai di ambang pintu, ketika Naga Kuning masih tak beranjak di tempatnya, si
nenek hentikan langkah.
"Kau masih berada di situ, apakah mau
menolong gadis itu mengenakan pakaiannya"!"
Si bocah tertawa lebar. Lalu menyahuti, "Kita sudah menolongnya. Tadi kita
bercuriga bahwa orang yang hendak berbuat keji itu mungkin adalah anggota
komplotan orang-orang yang suka menculik
perempuan bunting. Mengapa kita tidak bertanya mencari keterangan pada gadis
ini?" "Kau bisa bertanya pada orang lain. Bukan pada gadis yang masih telanjang bulat
begitu rupa! Ayo ikut aku tinggalkan tempat ini." Si nenek ulurkan tangan
kirinya menjewer telinga Naga Kuning. Dalam BENDERA DARAH
87 keadaan meringis kesakitan bocah ini kemudian dibimbing keluar kamar.
"Hai! Tunggu dulu!" Seru Sutri Kaliangan. "Harap mau memberitahu siapa adanya
kalian." Naga Kuning hendak menjawab tapi Gondoruwo
Patah Hati mendahului. "Kami adalah sahabat kakek berjuluk Setan Ngompol yang
tempo hari mendapatkan kembang Melati Tujuh Racun untuk penyembuh sakit ayahmu."
"Jadi, kau sudah tahu kalau aku puteri Patih Kerajaan?"
Gondoruwo Patah Hati mengangguk perlahan.
"Ah, aku benar-benar berterima kasih pada kalian berdua. Tunggulah di luar
kamar. Aku akan berpakaian. Nanti kita bicara lagi. Aku berjanji akan memberikan
hadiah besar pada kalian berdua."
"Sudah saatnya kami pergi..," kata Gondoruwo Patah Hati.
"Kalian mau menuju ke mana?"
Naga Kuning hendak menjawab. Tapi si nenek
kembali menjewer kupingnya dan menarik si bocah meninggalkan tempat itu.
Sampai di luar Naga Kuning berkata. "Kita menolongnya, mengapa kemudian kau
bersikap ketus pada gadis itu?"
"Sudah, tak perlu banyak bertanya. Aku punya dugaan kita sudah dekat dengan
sarang manusia-manusia penculik perempuan hamil itu."
"Dugaanmu bisa saja betul. Tapi aku ingin tahu..."
"Apa yang kau ingin tahu?" tanya Gondoruwo Patah Hati.
"Intan," Naga Kuning memanggil si nenek dengan nama aslinya. Seperti dituturkan
dalam 88 BENDERA
DARAH beberapa serial Wiro Sableng sebelumnya,
Gondoruwo Patah Hati bernama asli Ning Intan Lestari merupakan kekasih Naga
Kuning di masa muda. Selain itu dia adalah anak angkat Kiai Gede Tapa Pamungkas,
guru Sinto Gendeng yang asal muasal memiliki Kapak Maut Naga Geni 212 dan
Pedang Naga Suci 212. Kiai Gede Tapa Pamungkas ingin menjodohkan anak angkatnya
ini dengan Rana Suwarte. Tetapi Ning Intan Lestari menolak karena hatinya telah
lebih dulu tertambat pada Naga Kuning yang sebenarnya adalah seorang kakek sakti
bernama Gunung berjuluk Kiai Paus Samudera Biru.
Namun perjalanan hidup memisahkan mereka
selama sekian puluh tahun. Dalam kepatahan hatinya ditinggal sang kekasih Intan
tetap menunggu sampai akhirnya dia berhasil bertemu kembali dengan
Gunung walaupun saat itu mereka sudah menjadi seorang kakek dan seorang nenek.
Namun Kiai Gede Tapa Pamungkas masih tetap ingin menjodohkan
anak angkatnya itu dengan Rana Suwarte hingga akhirnya terjadi perseteruan
antara Naga Kuning dengan Rana Suwarte. (Baca serial Wiro Sableng berjudul
Gondoruwo Patah Hati, Senandung
Kematian) "Intan, apakah kau cemburu aku mau berlaku yang tidak-tidak terhadap gadis
tadi?" Naga Kuning bertanya.
"Itu hal yang pertama. Hal kedua kau tidak pantas mengenal apa lagi berdekatan
dengan gadis itu. Aku sudah lama menyirap kabar. Puteri Patih Kerajaan itu punya
kelainan. "Hemm, begitu" Kelainan apa maksudmu" Suka pada anak-anak bagus seperti aku
ini?" "Bocah keblinger! Sombongnya! Kau tahu, gadis BENDERA DARAH
89 itu hanya suka pada sesama jenisnya. Hasratnya hanya bisa tersalur pada sesama
perempuan!"
"Nah... nah! Kalau begitu aku tak bakal diapa-apakannya. Kau yang bakal jadi
incaran. Bukankah kalian sama-sama perempuan" Baiknya kau kembali ke rumah sana.
Aku biar mengintip di luar. Ingin tahu apa saja yang dilakukan antara perempuan
dengan perempuan! Kau pasti bakal diberinya hadiah berlipat ganda! Ha... ha.,
ha..." Gelak tawa Naga Kuning langsung berhenti
begitu jari-jari tangan Gondoruwo Patah Hati
memuntir daun telinga kirinya.
* * * KEMBALI pada Wulan Srindi, murid Perguruan
Silat Lawu Putih. Seperti diceritakan sebelumnya gadis ini sempat diculik dan
hendak diperkosa oleh Warok Jangkrik. Untung dirinya berhasil ditolong
diselamatkan oleh Bidadari Angin Timur dan
Jatilandak. Namun antara Wulan Srindi dan Bidadari Angin Timur kemudian terjadi
rasa saling tidak enak kalau tidak mau dikatakan sebagai perselisihan. Ini
disebabkan Wulan Srindi telah mengaku dirinya adalah murid Dewa Tuak yang akan
dijodohkan dengan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sampai beberapa hari berlalu Wulan Srindi
belum juga berhasil mencari tahu tentang
keberadaan Wiro. Selain itu dia merasa khawatir akan diri Dewa Tuak. Setelah
menyelamatkan dirinya tempo hari, kakek itu diketahui menyusup masuk ke dalam
sebuah lorong di kawasan bukit batu. Sampai saat ini si kakek tidak pernah lagi
muncul. Jangan-jangan telah terjadi sesuatu atas dirinya. Untuk 90 BENDERA
DARAH masuk mencari ke dalam lorong batu Wulan Srindi tidak punya keberanian. Sekali
lagi dirinya sampai ditangkap manusia-manusia pocong, jangan harap dia bakal
bisa keluar dari tempat itu. Kalaupun dia keluar mungkin sudah berupa mayat dan
jadi korban perkosaan! Akhirnya yang dilakukan gadis ini adalah tetap berada di
dalam rimba belantara sekitar pinggiran lembah batu sebelah selatan. Di sebelah
utara, setelah menyeberangi lembah batu menjulang kawasan bukit batu. Di situlah
terletaknya kawasan 113 Lorong Kematian. Sambil menyirap kabar
mengenai Dewa Tuak dan Wiro Sableng Wulan Srindi ingin mengawasi tempat itu
barang satu dua hari.
Karena bagaimanapun juga dia punya dendam
kesumat pada manusia pocong yang telah
membunuh kakak seperguruan yang juga Ketua
Perguruan Silat Lawu Putin yaitu Parit Juwana (baca serial sebelumnya berjudul
"Nyawa Kedua") Saat itu malam hari. Di langit kelihatan rembulan setengah
lingkaran. Walau cahayanya lumayan
terang namun tidak dapat menembus ke dalam rimba belantara di mana Wulan Srindi
berada. Menjelang larut malam gadis ini mulai terkantuk-kantuk. Dia mencari
tempat yang baik untuk berbaring di bawah sebatang pohon besar. Hampir matanya
terpicing tiba-tiba sepasang mata gadis ini terbuka kembali.
Lapat-lapat dia mendengar suara gebrakan kaki kuda dari ujung rimba belantara.
Wulan Srindi cepat berdiri, mendekam ke balik serumpunan semak-belukar,
pentang mata mengintai.
Tak selang berapa lama seekor kuda ditunggang oleh sosok bertutup kepala dan
jubah putih menghambur lewat di depan semak belukar.
"Manusia pocong," desis Wulan Srindi dalam BENDERA DARAH
91 hati. Sambil kepalkan tangan dan keluar dari balik semak belukar gadis ini
meneruskan ucapannya
dalam hati. "Kalau tahu bangsat itu yang bakal lewat pasti akan aku bokong." Si
penunggang kuda sudah lenyap di kejauhan dalam kegelapan malam, Wulan Srindi
tidak berani melakukan pengejaran karena sadar setiap Satria Pocong 113 Lorong
Kematian memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Sambil berpikir-pikir apa
yang harus dilakukannya akhirnya gadis ini kembali duduk ke bawah pohon besar.
Dia coba memejamkan mata. Tapi aneh kantuknya kini seolah lenyap. Pikirannya
melayang pada hal lain yaitu sang pendekar yang tengah dicarinya.
"Bagaimana wajahnya, di mana dia berada. Aku benar-benar ingin sekali melihat
dan menemui."
Wulan Srindi menekap pipinya yang terasa dingin.
Dua telapak tangannya digosok-gosok satu sama lain hingga menjadi hangat lalu
ditekapkan kembali ke pipi. Gadis cantik berkulit hitam manis ini tidak sadar
berapa lama dia duduk di bawah pohon sambil
menekap wajah begitu rupa. Dia tersentak sewaktu di kejauhan kembali terdengar
suara derap kaki kuda.
Kali ini tidak sekeras dan sekencang yang pertama tadi. Kembali Wulan Srindi
bersembunyi di balik semak belukar. Cukup lama dia menunggu hingga akhirnya
kelihatan muncul seekor kuda yang berlari lamban. Kuda ini ditunggangi oleh
seorang yang kepalanya ditutupi kain putih. Tubuh si penunggang kuda rebah ke
depan. Satu tangan bergayut pada leher kuda, tangan yang lain mendekam di bagian
bawah perut. Ketika kuda dan penunggang lewat di depan
semak belukar, Wulan Srindi jadi terperangah dalam kejutnya. Si penunggang
ternyata tidak mengenakan 92 BENDERA
DARAH pakaian selain kain putih penutup kepala. Dari mulutnya keluar suara erangan.
Tampak noda darah di sekujur paha dan kaki.
"Manusia pocong... dia terluka. Apa yang terjadi..." Mengapa dia terpencar dari
temannya yang tadi?" Baru saja Wulan Srindi berucap dalam hati sekitar sepuluh
tombak di depan sana tiba-tiba kuda yang ditunggangi manusia pocong meringkik
keras dan angkat dua kaki depan ke atas. Tak ampun
manusia pocong yang ada di punggungnya jatuh
tersungkur ke tanah, mengerang panjang lalu diam tak berkutik. Entah mati entah
pingsan. Wulan Srindi kerenyitkan kening. Mau
mendekati, tengkuknya merinding karena selain kain putih penutup kepala, si
manusia pocong tidak mengenakan apapun.
"Ah, peduli setan! Mengapa aku harus takut atau jengah! Mungkin dia sudah
mampus! Biar kutarik kain penutup kepalanya. Ingin tahu siapa bangsat satu ini
adanya!" Habis berkata begitu Wulan Srindi segera keluar dari balik semak
belukar, melangkah cepat mendekati manusia pocong yang tergeletak di tanah.
Namun baru berjalan lima langkah tiba-tiba di belakangnya terdengar derap kaki
kuda keras dan cepat. "Jangah-jangan kawan manusia pocong. Aku harus sembunyi,"
pikir Wulan. Cepat gadis ini berkelebat ke balik deretan pohon di samping kiri.
Tak lama kemudian muncul dua orang
penunggang kuda. Di sebelah depan seorang
pemuda berpakaian warna gelap, mengenakan
destar hitam berwajah cakap. Alis mata tebal, hidung mancung. Di belakang
menyusul seorang pemuda
berambut gondrong, mengenakan ikat kepala dan pakaian serba putih.
BENDERA DARAH 93 Di balik pohon Wulan Srindi membatin sambil
matanya memandang tak berkesip. "Jangan-jangan pemuda berdestar hitam ini
Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng yang tengah aku cari. Orangya cakap, sikapnya
gagah. Pasti dia."
Sementara itu penunggang kuda sebelah depan
hentikan lari kudanya. Berkata pada temannya yang di belakang.
"Aneh, tadi makhluk itu tidak jauh di depan kita.
Mengapa mendadak lenyap?"
Teman yang diajak bicara hentikan pula kudanya di samping kuda kawannya yang
bertanya. Memandang berkeliling lalu berkata. "Barusan ada suara kuda meringkik. Lalu
sunyi. Coba kita teruskan bergerak ke depan. Mungkin kita menemukan
sesuatu. Tapi harap berhati-hati. Bukan mustahil orang yang kita kejar sedang
memasang perangkap.
Tempat ini, bukankah tak jauh dari kawasah Telaga Sarangan?" Si gondrong berucap
sambil sesekali menggaruk kepalanya.
"Betul," jawab penunggang kuda berdestar hitam. "Kalau tidak salah, di sebelah
timur sana ada air terjun Ngadiloyo. Rimba belantara ini memang termasuk kawasan
Sarangan..."
Si gondrong angkat tangan kanannya memberi


Wiro Sableng 136 Bendera Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanda lalu menunjuk. "Lihat," katanya. "Di depan sana. Ada sosok menggeletak di
tanah..." Pemuda berdestar hitam memandang ke arah
yang ditunjuk. "Astaga, aku berada lebih dekat. Bagaimana sampai tidak melihat?"
Dua pemuda segera gerakkan kuda ke depan.
Di dekat sosok yang tergeletak di tanah keduanya melompat turun dari kuda
tunggangan masing-94 BENDERA
DARAH masing. Dan keduanya sama-sama terkesiap.
"Seumur hidup baru sekali ini aku melihat ada manusia mati seperti ini!" kata si
gondrong sambil pandangi melotot sosok tubuh yang terkapar di depannya.
"Dari kain putih penutup kepalanya aku yakin dia adalah salah satu anggota
komplotan manusia
pocong yang menculik istriku."
"Aku juga menduga begitu. Tapi mengapa dia mati dalam keadaan begini rupa" Bugil
di sebelah bawah"!" Si gondrong tertawa dan lagi-lagi dia menggaruk kepala.
"Wiro...," pemuda berdestar hitam sebut nama si gondrong.
Di balik pohon Wulan Srindi terkejut mendengar ucapan pemuda berdestar hitam.
"Aku mengira dia yang Wiro. Ternyata si gondrong itu... Ah,
tampangnya memang tak kalah gagah, malah
kelihatan lebih jantan. Tapi kenapa sikapnya aneh konyol, seperti orang kurang
waras. Sebentar-sebentar ketawa, sebentar-sebentar menggaruk
kepala. Apa karena ini maka dia dinamai Wiro
Sableng" Apa betul orang seperti ini memiliki ilmu kepandaian tinggi" Bagaimana
ini, apa aku harus keluar menemuinya" Memperkenalkan diri sambil memberitahu
keadaan Dewa Tuak?"
Setelah berpikir sekali lagi akhirnya Wulan
memutuskan untuk keluar dari balik pohon. Namun belum sempat bergerak tiba-tiba
kedengaran suara derap kuda banyak sekali. Tak lama kemudian rimba belantara
diterangi nyala obor yang dipegang oleh sekitar dua puluh orang penunggang kuda.
Dari pakaian serta perlengkapan yang mereka bawa
kentara mereka adalah serombongan pasukan.
BENDERA DARAH 95 Mungkin balatentara dari Kadipaten.
"Loh Gatra," bisik Wiro pada pemuda di sebelahnya. "Kita kedatangan tamu dari
Kadipaten Magetan. Naga-naganya bakal ada urusan yang tidak enak."
"Kita tidak ada urusan dengan mereka. Malah jika mereka tahu urusan kita, mereka
harus membantu."
"Tenang, lihat saja apa yang bakal terjadi," kata Wiro lalu bangkit berdiri.
Pemuda di sebelahnya yaitu Loh Gatra yang istrinya diculik manusia pocong ikutan
berdiri. Seorang bertubuh besar, mengenakan pakaian
keprajuritan mewah lengkap dengan topi tinggi, menyeruak di antara pasukan
berkuda. Beberapa langkah dari hadapan Wiro dan Loh Gatra yang tegak di samping
mayat telanjang, orang ini hentikan kudanya. Dari atas kuda dia pandangi dua
pemuda di depannya. Lalu mulutnya keluarkan ucapan
memerintah. "Pasukan! Tangkap pemuda gondrong itu!"
96 BENDERA DARAH WIRO SABLENG 9 BENDERA DARAH OH Gatra terkejut besar mendengar perintah
yang dilontarkan penunggang kuda bertopi
L tinggi. Selusin prajurit menyerahkan obor yang mereka pegang pada teman-teman
mereka lalu melompat turun dari kuda masing-masing. Ketika mereka bergerak hendak mengurung
dan meringkus Wiro, Loh Gatra cepat melompat ke muka dan
berucap lantang. Sementara murid Sinto Gendeng hanya berdiri tenang-tenang saja.
"Tahan! Kalau tidak salah menduga, bukankah kami berhadapan dengan Raden Sidik
Mangkurat, Adipati dari Magetan?"
"Jika sudah tahu mengapa masih bertanya"!"
Seorang prajurit yang berdiri di samping kanan Loh Gatra membentak. Tampangnya
memang galak dan
suaranya besar keras. Dia yang mengepalai
rombongan pasukan.
Loh Gatra tidak perdulikan bentakan prajurit
kepala. Dia maju beberapa langkah mendekati
Adipati Magetan lalu berkata. "Saya Loh Gatra, cucu Ki Sarwo Ladoyo, mendiang
sepuh Kadipaten
Temanggung!"
Dengan memberitahu siapa dirinya Loh Gatra
berharap Sidik Mangkurat tidak akan berlaku
sembarangan. Tapi sang Adipati tidak memandang sebelah mata. Malah dia keluarkan
ucapan tajam menyindir.
"Aku pernah mendengar riwayat kakekmu itu.
BENDERA DARAH 97 Nama Ki Sarwo tidak begitu bersih. Dia pernah membangkang terhadap Adipati
Temanggung. Pantas kemudian dia dihabisi!"
"Apa yang kau dengar tidak benar. Justru kakekku dibunuh secara keji oleh orang-
orang Adipati Temanggung Jatilegowo!" (Baca serial Wiro Sableng
"Badik Sumpah Darah" terdiri dari 7 Episode)
"Orang muda! Rupanya kau mau memutar balik peristiwa! Menyingkirlah. Aku dan
pasukan datang kemari bukan untuk berdebat dengan pemuda
ingusan sepertimu. Kalau kau tidak mau menyingkir, pasukan akan kuperintahkan
untuk meringkusmu
bersama si gondrong ini!"
"Kalau sahabatku memang punya kesalahan, aku tidak keberatan kau menangkapnya.
Tapi jelaskan dulu apa kesalahan sahabatku ini!"
"Kalian bersahabat" Bukan mustahil kalian berserikat melakukan kejahatan.
Berkomplot menculik perempuan-perempuan hamil!"
"Edan! Bagaimana Adipati bisa mengarang
cerita fitnah seperti itu"!" Ujar Loh Gatra setengah berteriak sementara Wiro
masih saja berdiri tenang malah cengar-cengir rangkapkan dua tangan di
depan dada. "Siapa mengarang fitnah!" bentak Adipati Raden Sidik Mangkurat marah dan melotot
besar. "Beberapa waktu lalu terjadi penculikan atas diri Nyi Upit Suwarni, puteri Ki
Mantep Jalawardu
sahabatku. Perempuan muda itu tengah hamil tujuh bulan. Penculiknya diketahui
seorang berpakaian serba putih menyerupai pocong hidup. Surablandong, seorang
sahabatku yang melakukan pencarian
dibunuh. Lalu Aji Warangan Kepala Pasukan
Kadipaten Magetan lenyap. Tak diketahui di mana 98 BENDERA
DARAH beradanya, entah masih hidup entah sudah mati. Di Bantul pasukanku hampir
berhasil menangkap salah seorang anggota komplotan manusia pocong itu. Dia kami
ketahui sebagai seorang kakek berjuluk Setan Ngompol. Lalu muncul pemuda keparat
ini mengaku sahabat si kakek, menyatakan diri sebagai Pendekar Kapak Maut Naga
Geni Dua Satu Dua Wiro Sableng!
Setan Ngompol ditolongnya dengan cara mempermalukan diriku. Aku ditotok pada
bagian sini!"
Sang Adipati menunjuk ke arah pangkal lehernya.
Lalu menyambung ucapan. "Aku meragukan apa bangsat gondrong ini benar Pendekar
Dua Satu Dua adanya! Setahuku pendekar itu tidak pernah berbuat kejahatan atau
berkomplot dengan manusia-manusia jahat!"
"Adipati, sahabatku ini memang Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng adanya."
"Aku tidak perduli siapa dia! Yang jelas sudah terbukti dia berserikat dengan
komplotan manusia-manusia pocong!"
Wiro Sableng garuk-garuk kepala lalu keluarkan suara berdehem. Sejak tadi
berdiam diri, kini untuk pertama kali dia keluarkan ucapan.
"Aku dan sahabat Loh Gatra justru dalam
perjalanan mencari sarang komplotan penculik
berupa manusia pocong itu. Istri Loh Gatra ikut jadi korban penculikan. Malam
ini, di satu tempat di selatan, kami melihat ada seorang penunggang kuda yang
kepalanya ditutup kain putih. Kami melakukan pengejaran. Tahu-tahu menemukan
manusia pocong ini tergeletak di tempat ini, dalam keadaan kepala atas ditutup
kain putih tapi kepala sebelah bawah tersingkap polos! Alias bugil plontos!
Silahkan Adipati menyaksikan sendiri." Wiro pergunakan kaki kiri BENDERA DARAH
99 mendorong hingga sosok manusia pocong terguling dan menungging kaku di depan
kuda tunggangan
Sidik Mangkurat. Rahang sang Adipati
menggembung melihat pemandangan yang tidak
sedap ini sementara Wiro senyum-senyum dan Loh Gatra ikutan mesem-mesem.
"Kalian pandai mengarang cerita!" Bentak Adipati Sidik Mangkurat. "Begitu
kepergok lantas saja mengatakan mengejar manusia pocong. Padahal
manusia pocong itu adalah kawan kalian. Mungkin dia dalam keadaan celaka dan
tadi pasti kalian tengah hendak menolong menyelamatkannya!"
Loh Gatra marah besar mendengar ucapan
Adipati Magetan itu.
Wiro menyeringai. Sambil garuk kepala dia
berkata. "Kalau tidak percaya manusia pocong ini bukan sahabat kami, buka saja
kain penutup kepalanya. Nanti bakal ketahuan siapa dia!"
Dengan rahang kaku menggembung menahan
marah yang menggelegak Adipati Magetan berkata.
"Kurang ajar! Beraninya kau memerintah diriku!"
"Jika tidak mau, biar aku sendiri yang membuka kain penutup kepalanya!" Enak
saja dengan tangan kirinya Wiro merampas obor yang dipegang seorang prajurit
Kadipaten. Obor itu bukan didekatkan ke kepala tapi diarahkan ke pantat manusia
pocong yang tergeletak di tanah setengah menungging
karena saat itu tubuhnya telah kaku.
"Adipati, lihat baik-baik. Apa kau mengenali orang ini dari bokongnya?" Habis
berkata Wiro lebih mendekatkan obor ke pantat mayat, memandang ke arah Sidik
Mangkurat lalu tertawa gelak-gelak. Loh Gatra yang tidak bisa menahan geli
ikutan tertawa.
Seorang prajurit bersenjatakan golok yang tak 100 BENDERA
DARAH dapat menahan marahnya langsung menyerbu,
bacokkan senjata ke kepala Wiro. Tapi dari samping Loh Gatra hantamkan satu
jotosan ke dada orang hingga prajurit ini mencelat mental, muntah darah lalu
bergedebuk di tanah tak berkutik lagi. Belasan prajurit di tempat itu menjadi
geger, marah luar biasa.
Terlebih Sidik Mangkurat. Dia berteriak memberi perintah.
"Pasukan! Bunuh dua pemuda itu! Cincang
mereka sampai lumat!"
"Tahan! Tunggu dulu!" teriak Pendekar 212 Wiro Sableng. Dia sengaja kerahkan
tenaga dalam hingga suaranya menggeledek dan tanah terasa bergetar.
Beberapa ekor kuda meringkik ketakutan. Para
prajurit yang hendak menyerang termasuk sang
Adipati sendiri jadi terkesiap.
"Luar biasa, belum pernah aku melihat orang memiliki kekuatan tenaga dalam
dengan pengaruh sehebat ini. Siapa pemuda gondrong ini
sebenarnya?" diam-diam Adipati Sidik Mangkurat berkata dalam hati.
Selagi semua orang terhenyak hening, Wiro
lantas pergunakan kesempatan untuk bicara dan kembali permainkan Adipati itu.
"Adipati, kalau dari pantat kau tidak bisa mengenali, apakah kau bisa mengenali
dari sebelah sini?"
Dengan kaki kirinya Wiro dorong mayat manusia pocong hingga terjungkir dan
terlentang di tanah, dua kaki setengah terangkat menghadap ke arah Adipati Sidik
Mangkurat. Wiro dekatkan obor ke bagian bawah perut mayat manusia pocong yang
terpentang polos! Sambil senyum-senyum dia bertanya. "Adipati, dari bagian yang
satu ini, apakah kau masih belum BENDERA DARAH
101 mengenali siapa adanya manusia pocong ini?"
Untuk seketika mau tak mau Sidik Mangkurat
jadi tercekat ngeri melihat tubuh bagian bawah orang yang hancur berlumuran
darah namun di lain saat Adipati ini keluarkan bentakan menggeledek.
"Jahanam kurang ajar!"
Kali ini Adipati Magetan benar-benar tidak dapat lagi menahan amarahnya. Sambil
melompat dari kuda, kaki kanannya ditendangkan ke arah kepala Wiro. Sementara tangan kanan
bergerak mencabut sebilah pedang yang tergantung di pinggang lalu dibabatkan ke
arah kepala Wiro. Serangan berantai ini memang luar biasa karena Sidik Mangkurat
memiliki ilmu silat tinggi. Dua serangan yang barusan dilancarkannya itu adalah
jurus yang disebut
Mendera Bumi Memapas Langit. Walau usia sudah lebih setengah abad dan tubuh
besar gemuk namun serangan yang dilancarkan sang Adipati kelihatan cepat dan
ganas! Dengan mundur ke belakang Wiro berhasil
mementahkan tendangan lawan. Begitu
tendangannya berhasil dielakkan Wiro, Sidik
Mangkurat keluarkan teriakan menggeledek
sementara pedang membabat dalam kecepatan kilat.
Wiro kembali berkelebat cepat menyingkir namun pedang bergerak aneh dan breett!
Ujung pedang berhasil merobek bahu kiri baju putih murid Sinto Gendeng,
menggores luka daging tubuhnya.
Sambil meringis menahan sakit murid Sinto
Gendeng berteriak. "Adipati geblek! Tahan dulu seranganmu! Lihat, apa kau
mengenali wajah orang ini?" Dengan ujung kakinya Wiro membetot lepas kain putih
penutup kepala manusia pocong. Lalu obor di tangan kiri di dekatkan ke wajah
orang. Begitu 102 BENDERA
DARAH nyala api obor menerangi wajah si manusia pocong, Adipati Sidik Mangkurat
keluarkan seruan tertahan.
Semua prajurit Kadipaten ikut melengak kaget.
"Aji Warangan!" seru Adipati Sidik Mangkurat dengan suara tercekat begitu
mengenali wajah
manusia pocong yang barusan disingkap kain
penutup kepalanya. Matanya yang mendelik
kemudian diarahkan pada Pendekar 212 Wiro
Sableng. "Jahanam!" teriak sang Adipati sambil menuding dengan ujung pedang, "Kau
membunuh Kepala Pasukanku!"
"Tuduhan edan!" ejek Wiro. "Tadi kau menuduhku berserikat dengan manusia pocong
ini. Kini setelah ketahuan siapa dirinya enak saja kau menuduh aku membunuhnya!"
"Aku punya dugaan lain!" Loh Gatra berucap lantang. "Kalau manusia pocong satu
ini adalah Kepala Pasukan Kadipaten Magetan, bukan mustahil Adipatinya yang jadi
pimpinan kelompok masing-masing pocong! Saat ini dia sengaja menjatuhkan tuduhan
busuk pada kita untuk menutupi
kejahatannya sendiri!"
"Bisa jadi! Bisa jadi!" sahut Wiro manggut-manggut konyol lalu tertawa bergelak.
Marahnya Sang Adipati Magetan bukan alang
kepalang. "Pasukan! Cincang dua orang ini!" Teriak Sidik Mangkurat. Lalu dengan pedang di
tangan dia mendahului menyerang. Belasan prajurit segera ikut menyerbu. Belasan lainnya
membentuk lingkaran melakukan pengurungan agar dua orang tersebut tidak lolos.
Tiba-tiba dari balik pohon ada suara teriakan BENDERA DARAH
103 perempuan.

Wiro Sableng 136 Bendera Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tahan serangan! Manusia pocong itu menemui ajal bukan dibunuh Wiro dan
kawannya! Aku tahu apa yang terjadi!"
Adipati Magetan semula tidak mau perduli akan teriakan orang. Namun ketika
seorang gadis cantik melompat gesit ke tengah kalangan pertempuran dia terpaksa
menahan serangan. Melihat sikap atasan mereka anggota pasukan Kadipaten Magetan
terpaksa menahan diri, tak berani teruskan serangan.
Di tengah kalangan pertempuran Wiro berbisik
pada Loh Gatra, "Kau kenal siapa gadis itu?"
Loh Gatra gelengkan kepala.
"Gadis! Katakan siapa dirimu!" Hardik Adipati Sidik Mangkurat.
"Namaku Wulan Srindi. Aku murid kakek sakti berjuluk Dewa Tuak!"
Adipati Magetan yang memang pernah
mendengar nama besar Dewa Tuak jadi tertegun.
Perlahan-lahan dia turunkan pedang dan tatap wajah si gadis yang balas memandang
tak berkedip ke arahnya.
Yang paling kaget adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Mulutnya melongo, hatinya membatin.
"Gadis ini, aku tak pernah mengenal dirinya.
Mengaku murid Dewa Tuak. Setahuku kakek itu
hanya punya seorang murid yaitu Anggini.
Bagaimana mungkin dia bisa saja seenaknya
mengaku murid Dewa Tuak. Anggini juga tidak
pernah menceritakan kalau dia punya saudara satu guru. Atau mungkin ada sesuatu
diluar pengetahuanku?"
"Gadis," Adipati Sidik Mangkurat berkata. "Kalau kau memang murid Dewa Tuak,
demi rasa hormatku 104 BENDERA
DARAH pada kakek sakti itu, aku memberi kesempatan
padamu untuk meringkus pemuda berambut
gondrong itu. Kawannya biar pasukanku yang
melakukan!"
Wulan Srindi angkat kepala lalu tertawa panjang.
"Adipati, harap mau berlaku bijaksana. Aku ingin menerangkan sesuatu, karena aku
tahu apa yang telah terjadi di tempat ini."
Adipati Sidik Mangkurat jadi kesal tapi berusaha mempersabar diri. "Baik, kau
boleh menerangkan apa yang telah terjadi. Tetapi jika kau nanti ternyata
menipuku, aku tidak segan-segan membuat
kepalamu menggelinding di tanah!"
Si gadis ganda tersenyum, melirik pada Wiro lalu membuka mulut.
"Manusia bugil itu muncul lebih dulu.
Menunggangi kuda. Di depan sana dia tersungkur jatuh dari kuda yang ditunggangi.
Tak lama kemudian muncul dua pemuda itu. Mereka memeriksa orang yang jatuh,
mungkin juga hendak menolongnya. Dari pembicaraan di antara mereka jelas
keduanya tidak ada sangkut paut hubungan apa-apa dengan orang yang jatuh dari
kuda. Yang berdestar hitam
memberitahu pemuda bernama Wiro bahwa dia yakin sekali orang itu adalah anggota
komplotan manusia pocong yang telah menculik istrinya."
Adipati Magetan menatap ke arah Loh Gatra.
Masih ada rasa tidak percaya dalam dirinya terhadap pemuda satu ini. Dia
berpaling pada Wiro. Lebih-lebih terhadap si gondrong ini. Selain tidak percaya,
rasa dendamnya karena ditotok dan dipermalukan tempo hari masih belum pupus.
Apalagi barusan si gondrong ini masih sempat mempermainkan dirinya secara kurang
ajar. Setelah berfikir sejenak, Adipati Sidik BENDERA DARAH
105 Mangkurat berkata, "Jangan-jangan kau sahabat dua pemuda ini. Keluar dari
persembunyian, pura-pura mengarang cerita untuk menolong mereka. Kalian semua
telah merencanakan semua ini! Beraninya kalian bersandiwara!"
"Tunggu dulu!" sahut Wulan Srindi sambil mengangkat tangan. "Siapa dua orang
pemuda ini akupun tidak kenal..."
"Aneh, kau membela orang-orang yang tidak kau kenal. Mana mungkin aku percaya
kalau tidak ada apa-apanya di antara kalian bertiga. Lalu mengapa dan apa yang
dikerjakan seorang gadis sepertimu malam-malam buta di tempat ini?" Adipati
Magetan itu kini menjadi penuh curiga.
"Supaya tidak terjadi kesalahpahaman
berkepanjangan, saya akan beri penjelasan," kata Wulan Srindi pula.
Adipati Sidik Mangkurat sudah keburu kesal.
"Aku tidak punya waktu mendengar celoteh palsu!" kata sang Adipati. Dengan
pedang terhunus dia maju satu langkah sambil memberi perintah.
"Pasukan! Tangkap gadis ini! Nanti kita akan selidiki siapa dia sebenarnya!"
Dua orang prajurit yang memegang golok segera sarungkan senjata masing-masing.
Mereka mengira dengan tangan kosong akan mudah saja dan bisa meringkus gadis
murid Perguruan Silat Lawu Putih itu. Tapi keduanya kecele, malah mendapat
hajaran. Begitu dua orang prajurit sampai di hadapannya Wulan Srindi mainkan jurus
Membelah Ombak Menembus Gunung. Dua lutut ditekuk sedikit, dua tangan diluruskan
ke atas dan tiba-tiba sekali dua tangan ini menghantam ke kiri dan ke kanan.
Bukkk! Bukkk! 106 BENDERA DARAH Dua prajurit menjerit keras, mencelat lima
langkah. Satu berdiri terbungkuk-bungkuk,
mengerang sambil pegangi hidungnya yang
mengucurkan darah. Kawannya terkapar di tanah, mengeluh tak berkeputusan. Pipi
dan mata kiri bengkak lebam.
"Gadis kurang ajar! Jelas kini bagiku! Kalian bertiga satu komplotan!" Teriak
Adipati Magetan melihat dua prajuritnya cidera begitu rupa. Dengan pedang di
tangan dia mengejar ke arah Wulan Srindi.
Dari samping kiri seorang prajurit yang menjadi kepala rombongan ikut melompat
seraya berkata.
"Adipati, serahkan gadis ini pada saya. Biar saya yang meringkusnya!"
Tapi amarah Sidik Mangkurat sudah menembus
kepala. "Menyingkir! Biar aku sendiri yang memberi pelajaran pada gadis kurang ajar
ini!" Habis berkata begitu Sidik Mangkurat gerakan tangan kanannya.
Pedang berkilat membabat aneh, bertabur berkilau dalam gelapnya malam.
Sebelumnya Wiro telah merasakan kehebatan
ilmu pedang Sidik Mangkurat yang mampu merobek baju dan menoreh luka bahu
kirinya. Wiro bukannya meremehkan orang. Tapi apakah ilmu yang dimiliki si gadis
melebihi dirinya" Selain itu Wiro khawatir kalau si gadis sampai celaka di
tangan lawan, dia tidak akan berkesempatan menanya dan menyelidiki siapa dia
sebenarnya dan paling penting untuk mengetahui bagaimana pangkal ceritanya
hingga si gadis
menyatakan diri sebagai murid Dewa Tuak.
"Adipati! Tahan serangan! Mari kita bicara dulu!"
Murid Sinto Gendeng berseru seraya melompat ke tengah kalangan pertempuran. Dia
berusaha BENDERA DARAH 107 menahan agar Sidik Mangkurat tidak melanjutkan serangan. Namun diteriaki serta
dihadang begitu rupa malah membuat Adipati dari Magetan itu jadi kalap.
"Gondrong kurang ajar! Silahkan kalau kau mau bicara duluan. Cepat lakukan
sebelum kepalamu kutabas menggelinding di tanah!"
Adipati Magetan yang tidak mau memberi
kesempatan pada Wiro langsung kiblatkan pedang, menggempur dengan jurus-jurus
maut! Dia membuka serangan dengan jurus disebut Kilat Menyambar Menara Keraton.
Laksana kilat senjata di tangan kanan Adipati itu menderu ke arah kepala Wiro.
Ketika lawan berhasil mengelakkan serangannya dengan menundukkan kepala, Sidik
Mangkurat mengejar dengan jurus kedua yang disebut Angin Puting Meremuk Pohon Beringin.
Laksana angin puting beliung pedang berkilat menderu bertabur membungkus tubuh
Pendekar 212 Wiro Sableng
membuat Loh Gatra yang menyaksikan terkesiap
ngeri. Breett! Breettt!
Sungguh luar biasa ilmu pedang Adipati
Magetan itu. Pakaian Wiro robek di dua tempat.
Wulan Srindi tercekat. Sambil berteriak keras gadis ini sambar sebatang tombak
milik seorang prajurit lalu melompat ke dalam kalangan
pertempuran. Wutt! Tombak di tangan Wulan Srindi laksana kitiran, berputar ke arah pedang dan
berusaha menembus menghantam ke bagian kepala lawan dalam jurus Menyapu Lereng
Menjebol Puncak Gunung.
Traang! Pedang dan tombak bentrokkan di udara. Bunga
108 BENDERA DARAH api memercik. Wulan Srindi keluarkan seruan
tertahan ketika dapatkan tombak di tangannya telah patah dibabat pedang lawan!
Selagi dara ini terkesiap begitu rupa, senjata lawan datang menyambar. Loh Gatra
berteriak memberi ingat. Sesaat lagi ujung pedang akan membabat bagian dada
Wulan Srindi, saat itulah Pendekar 212 Wiro Sableng menyusup dalam jurus Membuka
Jendela Memanah Matahari.
Tangan kiri melesat ke atas menahan lengan kanan Sidik Mangkurat. Bersamaan
dengan itu tangan
kanannya menyambar ke arah pedang. Lalu
terdengar tiga kali berturut-turut suara kraak... kraak...
kraaakkkk! BENDERA DARAH 109 WIRO SABLENG 10 BENDERA DARAH EJUT Adipati Sidik Mangkurat dan semua
anggota pasukan Kadipaten Magetan bukan
K alang kepalang ketika menyaksikan bagaimana dengan tangan kosong Pendekar 212
mematahkan pedang di tiga tempat seperti semudah seorang meremas kerupuk! Sepertinya ujung
pedang patah, lalu bagian pertengahan, menyusul badan pedang di atas gagang.
Pada remasan ke empat tangan Wiro bergerak ke arah pergelangan tangan lawan.
Sidik Mangkurat keluarkan seruan keras. Sebelum lima jari tangan Wiro sempat
mencekal pergelangan tangan kanannya dengan cepat dia lepaskan gagang
pedang. Dengan muka pucat dan mata mendelik
besar Adipati ini melompat menjauhi Wiro. Seumur hidup baru sekali ini dia
melihat ada orang memiliki kesaktian yang mampu meremas mematahkan
pedang seperti meremas mematahkan Opak gendar (Opak gendar sejenis kerupuk
dibuat dari nasi yang dikeringkan).
"Ilmu setan apa yang dimiliki pemuda gondrong ini?" membatin Sidik Mangkurat
sambil matanya mengawasi ilmu jari tangan kanan Pendekar 212.
Ilmu yang tadi dikeluarkan Wiro untuk mematah tiga pedang Sang Adipati adalah
ilmu Koppo, yaitu ilmu mematah benda keras yang didapatnya dari Nenek Neko di
Negeri Sakura (baca serial Wiro Sableng berjudul Sepasang Manusia Bonsai).
"Adipati, apakah sekarang kita bisa bicara?"
110 BENDERA DARAH Bertanya Pendekar 212 Wiro Sableng. Tangan kanan berkacak pinggang tangan kiri
menggaruk kepala.
Hawa amarah yang membungkus sekujur tubuh
Adipati Sidik Mangkurat melebihi rasa kecut yang ada dalam hatinya. Selain itu
dia merasa sangat
dipermalukan di hadapan pasukannya. Tanpa
menjawab pertanyaan Wiro dari balik pinggang dia keluarkan sebuah benda
berbentuk tali yang ternyata adalah seutas cambuk berwarna merah, bergagang yang
dilibat kain biru, panjang sekitar dua belas jengkal.
Beberapa prajurit Kadipaten, termasuk kepala
rombongan pasukan tersentak kaget melihat senjata di tangan pimpinan mereka.
Memandang ngeri,
mereka segera bergerak mundur menjauh. Salah
seorang prajurit berbisik pada kepala pasukan.
"Bukankah senjata di tangan Adipati Pecut Sewu Geni?"
"Aku yakin itu memang Pecut Sewu Geni. Tapi bagaimana bisa dimiliki Adipati"
Bukankah..."
Kepala rombongan pasukan Kadipaten itu tidak
meneruskan ucapannya. Ketika Adipati Sidik
Mangkurat menggerakkan tangan, mulai memutar
cambuk mereka mundur semakin jauh. Wajah
masing-masing menunjukkan kengerian.
Semula Wiro menaruh enteng senjata di tangan
lawan yang dianggapnya tidak lebih dari sebuah cambuk butut bendera lembu atau
kuda. Namun matanya menangkap raut ketakutan beberapa prajurit Kadipaten yang melangkah
menjauhi. Hal ini juga dilihat oleh Loh Gatra yang segera berbisik pada Wiro.
"Senjata di tangan Adipati itu agaknya bukan sembarangan. Hati-hati. Atau kali
ini biar aku yang BENDERA DARAH
111 menghadapinya..."
"Loh Gatra, tetap di tempatmu. Aku ingin tahu sampai di mana kehebatan cambuk
itu," jawab Wiro.
Tapi saat itu Loh Gatra sudah melompat ke depan.
"Adipati, kami masih mau berharap agar kau menyadari bahwa kami bukan orang-
orang jahat. Kami tidak punya sangkut paut apa-apa dengan
manusia-manusia pocong. Seperti yang dikatakan Wiro tadi, istriku telah diculik
manusia pocong. Kami berada di sini tengah melakukan pengejaran."
Adipati Sidik Mangkurat keluarkan suara
mendengus. "Anak muda mengaku cucu Ki Sarwo Ladoyo. Aku masih mau sedikit
menghormati mendiang kakekmu itu. Aku memberi kesempatan
mencari selamat padamu. Menyingkirlah! Kecuali kalau kau minta mampus duluan!"
Sidik Mangkurat gerakkan tangannya ke atas. Cambuk yang
dipegangnya kelihatan memancarkan cahaya
benderang merah seolah berubah seperti besi yang digarang. Ketika Loh Gatra
tidak mau beranjak dari tempatnya, Adipati Sidik Mangkurat tidak menunggu lebih
lama. Tangan kanan bergerak memutar. Pecut Sewu Geni mengeluarkan suara menderu
laksana topan menyerbu. Bersamaan dengan itu nyala merah pada sekujur cambuk berubah
menjadi api. Ketika cambuk membabat terdengar suara letupan-letupan keras.
Kobaran lidah api luar biasa banyaknya menyambar ke arah Loh Gatra.
Wuuttt! Wuss... Wusss... Wusss!
"Loh Gatra! Awas!" Teriak Wiro seraya menarik tangan sahabatnya itu. Namun enam
dari sekian banyak kobaran lidah api aneh masih sempat
menyambar tubuhnya sebelah kanan. Pakaiannya
serta merta ditambus api. Loh Gatra keluarkan jeritan 112 BENDERA
DARAH keras, jatuhkan diri di tanah lalu berguling berusaha memadamkan api.
"Adipati keparat! Kejahatan apa yang telah kami perbuat hingga tega-teganya kau
menjatuhkan tangan keji terhadap sahabatku!" Pendekar 212 Wiro Sableng berteriak marah,
melompat ke depan, siap menerkam Sidik Mangkurat. Tangan kiri membuat gerak
jurus Tameng Sakti Menerpa Hujan untuk membentengi diri dari serangan api cambuk
yang ganas. Tangan kanan melancarkan serangan dalam jurus Benteng Topan Melanda
Samudera. Pukulan sakti ini sangat mematikan. Selain itu juga
mengeluarkan angin deras yang sekaligus
diharapkan dapat menghalau datangnya serangan api yang keluar dari Pecut Sewu
Geni. Wajah Adipati Sidik Mangkurat menyeringai
garang. Rahang menggembung. Tangan kanannya
menghantam. Wuuuut! Wusss... Wusss... Wusss!


Wiro Sableng 136 Bendera Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kobaran lidah api, puluhan banyaknya menyerbu ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Wiro gerakkan dua tangan, balas menghantam. Tangan kiri
membentengi diri, tangan kanan lancarkan serangan mengeluarkan angin deras.
Suara letupan-letupan keras menggelegar di tempat itu.
"Tembus!" Teriak Adipati Sidik Mangkurat.
Kenyataannya memang begitu. Empat belas
kobaran lidah api melesat ganas tak sanggup ditahan jurus Tameng Sakti Menerpa
Hujan ataupun dimusnahkan dengan pukulan Benteng Topan
Melanda Samudera. Wiro tersentak kaget. Tidak percaya serangan cambuk api lawan
sanggup menembus dua kekuatan hawa sakti pertahanan dan serangan. Wulan Srindi berteriak
pucat. BENDERA DARAH 113 Pada saat yang luar biasa menegangkan itu tiba-tiba terjadi hal tidak terduga.
Di langit sebelah timur, dalam gelapnya malam mendadak ada satu nyala
putih. Nyala ini bergerak ke arah rimba belantara, begitu cepatnya dan kurang
dari sekejapan mata telah berada di tempat itu. Benda putih menyala ini ternyata
adalah sosok seorang berjubah dan
bersorban putih berkilat. Laksana seekor elang, orang ini menukik ke arah
Adipati Sidik Mangkurat.
Dua lengan jubah dikebutkan. Dua gelombang
cahaya biru disertai sambaran angin luar biasa dinginnya menerpa. Puluhan
kobaran lidah api serta merta padam. Pendekar 212 Wiro Sableng lolos dari
serangan ganas yang bisa membakar dirinya seperti kejadian dengan Loh Gatra.
Sidik Mangkurat sendiri terjajar sampai empat langkah. Begitu dia berhasil
mengimbangi diri, Pecut Sewu Geni sudah tak ada lagi di tangan kanannya. Dia
memandang berkeliling.
Orang yang barusan merampas Pecut Sewu Geni
masih berada di tempat itu. Dia tidak berdiri di tanah tapi memilih tegak di
salah satu cabang pohon.
Cabang pohon ini hanya sebesar pergelangan
tangan. Jika orang itu bisa berdiri di atas cabang itu, pastilah dia memiliki
ilmu meringankan tubuh luar biasa.
Wiro yang barusan terselamatkan ikut
memandang ke arah pohon. Orang yang berdiri di atas pohon itu ternyata seorang
kakek berjubah dan bersorban putih berkilat. Janggut serta kumis putih lebat
tapi rapi menghias wajahnya yang bersih. Pecut Sewu Geni digulungkan ke tangan
kanannya. Cambuk ini kini berada dalam bentuk dan warnanya semula. Tak ada lagi bagian
yang menyala seperti besi digarang.
114 BENDERA DARAH Ketika memperhatikan kakek di cabang pohon,
wajah Adipati Sidik Mangkurat berubah, dadanya bergetar, hatinya tidak enak.
"Orang tua di atas pohon! Mengapa kau merampas cambuk milikku!"
Adipati Sidik Mangkurat menegur dengan suara
keras. "Aha!" si kakek menjawab teguran orang sambil acungkan Pecut Sewu Geni. "Jadi
Pecut Sewu Geni, Pecut Seribu Api ini adalah milikmu"! Maaf, aku tak pernah
menduga sebelumnya." Si kakek tersenyum.
"Lima puluh dua purnama aku mencari. Malam ini baru aku bisa menemukan senjata
sakti mandraguna milik pewaris di tanah seberang. Adipati Sidik Mangkurat, aku
tidak menuduhmu mencuri tapi
bertanya-tanya bagaimana cambuk milik orang lain ini bisa berada di tanganmu.
Saat kau harus sudah cukup puas selama lima puluh dua purnama senjata ini berada
di tanganmu. Saatnya senjata ini
dikembalikan ke tempat asalnya. Aku tidak
menjatuhkan hukuman apapun padamu asalkan kau mau bertobat dan segera
meninggalkan tempat ini.
Jangan mencampuri urusan orang lain..."
"Kau sendiri apa tidak merasa mencampuri urusan orang lain?" Ucap Sidik
Mangkurat memotong ucapan si kakek. "Kembalikan pecut itu padaku."
"Kalau kau memang masih menginginkan,
ambillah sendiri ke sini," jawab si kakek di atas cabang pohon.
Rahang Adipati Magetan menggembung. Sekali
dia menekan dua telapak tangan ke tanah, tubuhnya yang besar itu melesat ke
cabang pohon. Di atas pohon si kakek berjubah dan bersorban putih tersenyum. Dia kembangkan
tangan kanannya lalu dikipas-kipaskan seraya berkata, "Aneh, malam BENDERA DARAH
115 buta begini mengapa udara terasa panas..."
Ketika tangan si kakek mengipas, sosok Adipati Sidik Mangkurat yang tengah
melesat ke arah pohon mendadak terpental kian kemari hingga akhirnya jatuh
bergedebuk ke tanah. Topi tingginya mencelat entah ke mana.
"Hai! Aku sudah menunggu, apakah kau tidak jadi mengambil Pecut Sewu Geni ini"
Astaga, kau malah enak-enakan tiduran di tanah. Sayang
pakaianmu yang bagus..." Si kakek memandang ke arah Sidik Mangkurat lalu tertawa
mengekeh. Dalam keadaan sekujur tubuh sakit Adipati itu mencoba bangkit. Terbungkuk-
bungkuk menahan
sakit dia naik ke atas kudanya, memberi isyarat pada prajurit kepala lalu
tinggalkan tempat itu.
Di atas pohon kakek bersorban dan berjubah
putih berkilat hendak bergerak pergi. Namun batalkan niatnya sewaktu
pandangannya membentur sosok
Loh Gatra yang terkapar di tanah. Wajah dan
tubuhnya sebelah kanan mengalami luka bakar
cukup parah. Saat itu Loh Gatra berusaha bangkit ditolong oleh Wiro. Kakek di
atas pohon melayang turun. Matanya yang kecil tajam pandangi wajah serta bagian
tubuh Loh Gatra yang terbakar lalu geleng-gelengkan kepala. Kakek ini buka
libatan Pecut Sewu Geni di tangannya. Gagang pecut diletakkan di atas kepala,
cambuk dibiarkan menjuntai melewati wajah serta bagian tubuh yang menderita luka
bakar. "Asal cambuk kembali kepada cambuk. Asal pecut kembali kepada pecut." Si kakek
berucap lalu meniup ke arah cambuk. Astaga! Saat itu juga luka bakar di wajah
dan tubuh Loh Gatra lenyap. Keadaan dirinya tak kurang suatu apa kecuali pakaian
yang masih berada dalam keadaan hangus terbakar.
116 BENDERA DARAH "Luar biasa. Kek, kau hebat sekali..." Wiro memuji sambil garuk-garuk kepala dan
menatap si kakek.
Orang tua yang ditatap balas memandang
tersenyum dan kedipkan mata kirinya pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Bersamaan
dengan itu tubuhnya diputar. Sekali dia berkelebat sosoknya lenyap dari tempat
itu. Wiro leletkan tidah, geleng-geleng kepala. "Aku tak kenal siapa adanya kakek
hebat itu."
"Aku malah tak sempat mengucapkan terima kasih padanya..." Ucap Loh Gatra sambil
usap-usap wajahnya setengah tidak percaya.
Tiba-tiba di kejauhan ada suara derap kaki kuda.
Makin cepat makin keras dan mendatangi ke tempat orang-orang itu berada. Tak
lama kemudian dalam gelapnya malam kelihatan seorang penunggang kuda berjubah
dan bertutup kepala putih. Gerakannya menunggang kuda aneh sekali. Sebentar dia
tak kelihatan, di lain saat sudah ada di sebelah kiri atau jurusan kanan.
"Manusia pocong!" ujar Wulan Srindi.
Di depan sana kuda dan penunggang lenyap
kembali. Wulan Srindi putar tubuhnya. Tiba-tiba gadis ini berteriak.
"Awas serangan membokong!"
Wiro berbalik. "Wiro awas!" Teriak Wulan Srindi.
Tapi terlambat.
Pendekar 212 Wiro Sableng hanya sempat
melihat sebuah benda melesat di kegelapan malam.
Ada cairan menyiprat. Lalu dia merasakan perih amat sangat di dadanya. Ketika
dia memperhatikan
ternyata disitu telah menancap sebuah bendera BENDERA DARAH
117 aneh, berbentuk segi tiga dan basah oleh cairan berwarna merah.
"Bendera Darah..." desis Wulan Srindi dengan suara bergetar.
Wiro menggigit bibir menahan sakit. "Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan
ini..." "Pasti manusia pocong tadi. Aku akan
melakukan pengejaran." Kata Loh Gatra.
"Jangan ke mana-mana. Aku curiga serangan membokong ini hanya jebakan belaka.
Wiro pejamkan mata. Menjajaki mencari tahu. "Panah ini tidak beracun. Kalau beracun
aku pasti bisa merasakan. Atau mungkin hawa sakti Kapak Naga Geni Dua Satu Dua telah
memusnahkan."
Wiro kembali menggigit bibir. Ketika dia hendak mencabut gagang bendera darah
yang menancap di dadanya tiba-tiba ada orang berseru.
"Jangan dicabut! Berbahaya!"
Seorang berpakaian coklat, berwajah dan
bertubuh kuning muncul di tempat itu. Jatilandak, pemuda dari Negeri
Latanahsilam. "Huh, dia..." kata Wiro dalam hati. Dia tidak perdulikan kedatangan orang karena
masih merasa sakit hati atas kejadian tempo hari. Dia telah menyaksikan
Jatilandak bermesraan dengan Bidadari Angin Timur. Kini dia merasa benci dan
tidak ingin melihat pemuda ini.
Begitu Jatilandak muncul Wulan Srindi
memandang berkeliling. "Mana yang betina?" Gadis ini membatin. "Bukankan
sebelumnya dia berdua-dua dengan Bidadari Angin Timur" Hemm... mungkin
gadis berambut pirang itu sengaja sembunyikan diri di sekitar sini. Kesempatan
bagiku. Lihat saja, akan aku kerjai lagi dia!"
118 BENDERA DARAH "Wiro, jangan dicabut." Jatilandak mengulangi ucapannya tadi.
Tanpa memandang ke arah pemuda berwajah
kuning itu Wiro bertanya. "Memangnya kalau dicabut kenapa?" Sepasang mata murid
Sinto Gendeng memandang berputar ke arah kegelapan, mencari-cari. Tapi dia tidak
melihat Bidadari Angin Timur.
Padahal sebelumnya dia mengetahui kalau gadis itu berdua-duaan dengan
Jatilandak. Mungkin
bersembunyi di sekitar situ"
"Aku pernah melihat bendera ini sebelumnya.
Ujung lancip yang menancap di dalam daging
tubuhmu berbentuk gerigi menghadap keluar. Jika gagang bendera dicabut, daging
di sekitarnya akan ikut terbongkar. Sebesar ini." Jatilandak membuat lingkaran
dengan dua ibu jari dan dua jari tengah tangan kiri kanan.
"Gila! Sialan!" Maki Wiro. "Aku tidak percaya!
Kalau tak boleh dicabut biar kupatahkan saja!" Nekad murid Sinto Gendeng kembali
gerakkan tangan
hendak mematahkan gagang bendera darah. Tapi
satu tangan halus memegang lengannya mencegah.
"Orang sudah memberi nasihat, jangan berbuat nekad."
Wiro putar kepala, menatap wajah cantik gadis berkulit hitam manis itu.
"Kau yang mengaku sebagai murid Dewa Tuak, siapa kau sebenarnya"!"
"Tadi sewaktu Adipati itu berada di sini sudah kuberitahu. Apakah kau tidak
mendengar" Namaku Wulan Srindi. Aku murid Dewa Tuak. Kau tahu,
selama ini aku mencarimu..."
"Perlu apa kau mencariku" Aku tidak percaya kau adalah murid..."
BENDERA DARAH 119 "Tidak heran, kalau kau tidak percaya. Karena kita tidak pernah bertemu
sebelumnya. Kau akan lebih heran lagi kalau aku katakan bahwa menurut guru aku
berjodoh dengan dirimu!"
"Eee... apa"!" Wiro merasa sakit di dadanya jadi berlipat ganda.
Wulan Srindi tersenyum. "Nanti saja kita bicarakan hal itu. Tak jauh dari sini
ada tempat yang baik. Kau bisa berbaring di sana sementara kami-kami ini
berusaha membantu mengeluarkan bendera darah itu dari tubuhmu."
Baru saja Wulan Srindi selesai berucap tiba-tiba di kejauhan terdengar suara
orang berseru. "Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng! Jika kau ingin selamat dari Bendera Darah
dan jika kau punya nyali silahkan datang ke Seratus Tiga Belas Lorong Kematian."
"Manusia pocong! Pasti itu manusia pocong yang mencelakaiku! Jahanam betul!"
Wiro segera angkat tangan kanannya. Begitu tangan itu berubah putih seperti
perak mulai dari siku sampai ujung jari, dia langsung menghantam.
Wusss! Selarik cahaya putih panas menyilaukan
berkiblat dalam gelapnya malam. Menghantam ke arah munculnya suara orang
berteriak tadi. Pohon-pohon yang terkena sambaran cahaya hangus lalu berderak
roboh. Nyala kobaran api terlihat di mana-mana. Namun manusia pocong yang jadi
sasaran pukulan Sinar matahari yang dilepaskan Wiro berhasil lolos.
"Jahanam itu boleh lolos saat ini. Aku
bersumpah akan mematahkan batang lehernya!"
Wiro memaki sambil mengepalkan tangan kanan
120 BENDERA DARAH penuh geram. Di tempat gelap, di balik sebatang pohon besar, seseorang yang mendekam
menyembunyikan diri,
mengeluarkan umpatan perlahan. "Gadis tak tahu diri. Beraninya mengaku murid
Dewa Tuak. Beraninya mengatakan berjodoh dengan Wiro. Lihat saja, aku bersumpah satu saat
akan menampar mulutmu." "Sahabatku, siapa orang malang yang hendak kau jadikan sasaran tamparanmu"
Mudah-mudahan bukan diriku. Aduh, bisa-bisa kencingku muncrat semua. Saat ini
saja belum apa-apa sudah mau luber rasanya. Hik... hik... hik." Tiba-tiba satu
suara bertanya.
Orang yang sembunyi di balik pohon tersentak
kaget. Dia mencium bau pesing. Cepat palingkan kepala. Dia melihat kepala
berambut tipis nyaris gundul, sepasang telinga berdaun lebar yang salah satunya
terbalik. Lalu sepasang mata belok yang dikedap-kedipkan.
"Kau! Jangan dekat-dekat. Aku tidak mau
celanamu yang basah air kencing menyentuh
pakaian atau tubuhku."
"Aku tahu diri," jawab orang yang barusan datang. "Aku juga takut bersentuhan
dengan dirimu. Bisa-bisa bukan air kencing yang keluar tapi air yang lain. Hik... hik... hik."
"Tua bangka sinting! Aku sedang kesal sakit hati! Jangan bicara jorok!"
"Amboi, gerangan apa yang mengesalkan
hatimu" Putus bercinta, ditinggal kekasih atau..."
"Kakek brengsek! Sudah! Tutup mulutmu! Lihat ke depan sana!"
"Astaga! Yang satu itu bukankah dia si anak BENDERA DARAH
121 setan murid Sinto Gendeng. Eh, anak sableng itu dia memakai apa di dadanya?"
"Bukan memakai apa! Dia barusan dibokong orang dengan Bendera Darah!"
"Astaga! Siapa yang membokong!"
"Manusia pocong!"
Serr! Mendengar disebutnya nama itu langsung kakek
bau pesing yang bukan lain Setan Ngompol adanya kucurkan air kencing.
TAMAT IKUTI SERIAL BERIKUTNYA BERJUDUL
AKSARA BATU BERNYAWA
122 BENDERA

Wiro Sableng 136 Bendera Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

DARAH Document Outline
BASTIAN TITO WIRO SABLENG e-book oleh: kiageng80
WIRO SABLENG BENDERA DARAH WIRO SABLENG BENDERA DARAH WIRO SABLENG BENDERA DARAH WIRO SABLENG BENDERA DARAH WIRO SABLENG BENDERA DARAH WIRO SABLENG BENDERA DARAH WIRO SABLENG BENDERA DARAH WIRO SABLENG BENDERA DARAH WIRO SABLENG BENDERA DARAH WIRO SABLENG BENDERA DARAH Kemelut Di Majapahit 15 Pendekar Naga Putih 52 Penyembah Dewi Matahari Rahasia Si Badju Perak 7
^