Pencarian

Dadu Setan 1

Wiro Sableng 148 Dadu Setan Bagian 1


Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ SATU alam hari di pantai Losari. Walau angin bertiup cukup kencang dan udara dingin,
air laut tampak tenang. Sejak senja sebuah kapal kayu besar berbendera merah M
bergambar naga hitam telah melego jangkar di perairan Tanjung Losari. Pada saat
malam bertambah gelap karena bulan separuh lingkaran tertutup awan, dari pintu
di lambung kapal sebelah kanan keluar dua orang bertubuh tinggi tegap,
berpakaian dan berikat kepala serba putih. Orang pertama masih muda, bertampang
keren, berkumis kecil.
Di sampingnya berdiri seorang lelaki berusia lanjut, kakek memelihara janggut
dan kumis menjulai sampai di bawah dagu, berwarna hitam karena dicat. Kedua
orang ini sama-sama memiliki alis tinggi mencuat, bermata sipit dan berkulit
kuning. Saat itu sebuah tangga telah terpasang, menghubungi pintu di kapal dengan sebuah
sampan yang sejak petang hari telah merapat di perut kapal kayu. Sampan ini
ditunggui seorang pendayung berpakaian hitam. Orang tua di pintu kapal berpaling
pada lelaki muda di sampingnya.
"Ingat rencana. Begitu sampai di daratan tukang perahu itu harus kau habisi!
Kita tidak mau ada seorangpun saksi hidup dalam urusan ini! Kau mengerti Siauw
Cie?" Lelaki muda berkumis kecil yang dipanggil dengan nama Siauw Cie anggukkan
kepala. Lalu berkata.
"Silahkan Bun enghiong. " (enghiong = orang gagah/panggilan kehormatan).
Orang tua she Bun mundur satu langkah. "Kau turun duluan," katanya. Kedua orang
ini bicara dalam bahasa Cina.
Siauw Cie kencangkan buhul kain putih ikat kepala lalu tidak menunggu lebih lama
tanpa menuruni tangga langsung saja melompat, melayang masuk ke dalam sampan.
Ketika dua kakinya menginjak lantai sampan, perahu kecil ini sedikitpun tidak
oleng. Satu pertanda bahwa Siauw Cie memiliki ilmu meringankan tubuh yang
tinggi. Hal ini diperhatikan oleh pemilik sampan dengan berdecak penuh kagum.
Hanya sesaat setelah Siauw Cie berada di atas sampan, orang tua bernama Bun Pek
Cuan melesat pula ke bawah. Ternyata dia memiliki gerakan lebih sebat serta ilmu
meringankan tubuh lebih andal dibanding Siauw Cie. Ini terlihat selain sampan
tidak bergerak, sampan kayu kecil ini juga tidak diberati dan tidak turun masuk
ke dalam air laut.
Di atas sampan kedua orang Cina itu tidak duduk melainkan tetap berdiri.
Begitu dua orang berpakaian serba putih sudah berada di atas sampan serta
melihat isyarat anggukan kepala dari Siauw Cie, pemilik sampan yang sejak tadi
menunggu segera mendayung sampannya.
Sambil berdiri rangkapkan dua tangan di depan dada sementara angin laut menerpa
dingin, Bun Pek Cuan berkata.
"Sampan ini meluncur lamban. Seperti kura-kura merangkak. Kapan kita sampai"
Aku tidak sabaran. Kita harus kembali ke kapal dan berangkat sebelum tengah
malam. Siauw Cie, lakukan sesuatu. "
"Baik Bun enghiong," jawab Siauw Cie. Lalu dia jongkok di lantai sampan, tangan
kanan dicelupkan ke dalam air laut yang dingin. Sekali tangan itu dikibaskan ke
belakang, sampan kayu serta merta meluncur pesat ke depan seolah didayung enam
orang. Pemilik sampan yang mendayung dan berada di bagian sampan terheran-heran.
Setelah beberapa Dadu Setan 1
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
kali memperhatikan tangan Siauw Cie menyapu air dan sampan melesat kencang,
pemilik perahu akhirnya letakkan dayung di atas pangkuan dan hanya duduk
tertawa-tawa. Jauh di tepi pantai terlihat satu nyala api. Sampan diarahkan menuju cahaya itu.
Tak lama kemudian mereka memasuki arah timur Tanjung Losari dan akhirnya merapat
di daratan. Di situ telah menunggu seorang yang membawa sebuah lentera kecil.
Nyala api lentera inilah yang tadi terlihat dari tengah laut. Tak jauh dari situ
kelihatan tiga ekor kuda tengah merumput.
Bun Pek Cuan melompat ke darat lebih dulu. Di atas sampan Siauw Cie dekati
pemilik perahu sambil tangannya mengeruk saku pakaian. Mengira akan menerima
bayaran pemilik perahu langsung ulurkan tangan kanan dengan telapak terkembang.
Tapi yang keluar dari dalam saku Siauw Cie bukannya uang bayaran melainkan dua
buah jari lurus sekeras besi.
"Bett!"
Sekali hantam saja tanpa suara tubuh pemilik sampan terkulai roboh di lantai
sampan. Pada kening kelihatan dua buah lobang mengucurkan darah! Siauw Cie
angkat orang yang telah jadi mayat itu lalu dicemplungkan ke dalam laut.
Orang yang membawa lentera kecil tidak melihat apa yang terjadi di atas sampan
karena selain. hal itu berlangsung sangat cepat dan tanpa suara, pandangannya
terhalang oleh sosok tinggi besar Bun Pek Cuan. . Bun Pek Cuan mendatangi lelaki
yang membawa lentera. Lalu berkata. "Namaku Hantu Putih. Kami orang-orang
perjanjian. Kami datang membekal kata sandi Malam Gelap. Beritahu namamu,
ucapkan kata sandi. " ternyata Bun Pek Cuan panda) berbahasa daerah setempat
walau tidak begitu lancar.
Lelaki berpakaian hitam yang memegang lentera kecil membungkuk sedikit.
"Namaku Hantu Hitam. Kata sandiku Laut Dingin. "
Saat itu Siauw Cie sudah berada di samping Bun Pek Cuan. "Bagaimana, apakah
enghiong sudah memeriksa?"
"Nama dan kata sandinya cocok. Dia memang orang kita," jawab Bun Pek Cuan.
Lelaki bernama samaran Hantu Hitam campakkan lentera ke laut lalu melangkah ke
arah tiga ekor kuda yang tengah merumput.
* * * Perkuburan Karangsembung terletak di barat daya Tanjung Losari. Selain udara
gelap dan dingin, kabut aneh yang tak biasanya muncul kini terlihat mengambang
di beberapa sudut tanah pemakaman, membuat suasana terasa menggidikkan. Lapat-
lapat di kejauhan terdengar suara rentak kaki kuda mendatangi. Tak lama kemudian
seolah setan di malam buta, dari kegelapan tampak tiga ekor kuda dan tiga
penunggang melompat pagar rendah batas timur tanah pekuburan. Di depan sekali
adalah lelaki berpakaian hitam si Hantu Malam. Di belakangnya menyusul Bun Pek
Cuan dan Siauw Cie.
Setelah berputar-putar beberapa kali di tanah pekuburan yang cukup luas itu,
mereka sampai di hadapan sebuah makam. Makam yang mereka datangi masih baru. Ini
terlihat dari gundukan tanah yang masih merah dan berbagai macam bunga masih
segar bertebaran di atas gundukan tanah makam.
Dadu Setan 2 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Kuburan ini tidak ada papan atau batu nisan. Apa kau yakin ini kuburan yang
kita tuju?" Siauw Cie bertanya pada Hantu Hitam, mempergunakan bahasa setempat.
"Kubur ini memang sengaja tidak diberi tanda. Tapi sahabat berdua tidak perlu
khawatir. Sejak pagi orang-orangku telah mengawasi pekuburan ini. "
"Pasti ini kuburannya Nyi Inten Kameswari?" tanya Bun Pek Cuan.
"Kami tidak mau kesalahan membuat urusan," menimpali Siauw Cie.
"Pasti! Seribu pasti!" jawab Hantu Hitam meyakinkan.
"Kapan jenazah Nyi Inten dimakamkan?"
"Menjelang sore tadi. . . "
"Bisa kita gali sekarang?" tanya Bun Pek Cuan.
"Bisa. . . " jawab Hantu Hitam.
"Kita butuh tenaga dan peralatan," berkata Siauw Cie.
"Jangan khawatir. Aku sudah menyiapkan. " Hantu Hitam lalu keluarkan suara
suitan dua kali. Dari kegelapan malam melompat keluar dua lelaki berpakaian
hitam-hitam bertubuh kekar. Masing-masing membawa pacul dan obor yang belum
dinyalakan. Hantu Hitam memberi isyarat. Dua orang yang barusan datang segera
menyalakan obor lalu ditancapkan pada kuburan di kiri kanan makam baru. Tempat
itu kini jadi terang benderang. Selanjutnya ke dua orang ini dengan cepat
menggali makam yang menurut Hantu Hitam adalah makam Nyi Inten Kameswari.
Cukup lama menggali akhirnya jenazah ditemukan lalu dinaikkan ke atas.
Dibaringkan di tanah. Keadaannya masih utuh, terbungkus kain kafan yang dilumuri
tanah liat. "Bun enghiong, jenazah sudah siap. . . . " berkata Siauw Cie. Orang tua berkumis
menjulai anggukkan kepala. Lalu dia jongkok di samping jenazah. Lima jari tangan
kanan Bun Pek Cuan mengusap dan meraba bagian pinggang lalu pindah ke arah
perut. Lima jari tangan orang tua ini mendadak tampak bergetar.
"Siauw Cie, aku sudah menemukan letaknya yang tepat," ucap Bun Pek Cuan setengah
berbisik. "Silahkan Bun enghiong melanjutkan. Saya akan memagari tempat ini," jawab Siauw
Cie. Lalu dia dongakkan kepala, sepasang mata dipejamkan dan dua tangan
direntang di depan dada dengan telapak mengembang. "Enghiong, keadaan aman. . .
" "Sett. . . sett. . . . sett. . . sett. . . sett!"
Di bawah nyala dua api obor, di atas kain kafan putih tibatiba satu persatu
secara aneh lima jari tangan Bun Pek Cuan melesat panjang, berwarna hitam dengan
lima kuku terpentang mencuat seperti ujung-ujung pisau putih berkilat, luar
biasa tajam! Hantu Hitam merasa tengkuknya dingin sementara dua orang yang tadi menggali
kuburan berdiri dengan muka pucat dan sama tersurut dua langkah. Sesuatu yang
mengerikan akan terjadi!
"Wuttt!"
Tibatiba tangan kanan Bun Pek Cuan menghunjam ke bawah. Menembus tepat di perut
jenazah Nyi Inten Kameswari.
"Brettt!" kain kafan robek.
Di kejauhan terdengar suara raungan anjing. Suasana terasa tambah tegang
menggidikkan. Tangan kanan Bun Pek Cuan amblas hampir sebatas siku.
Dadu Setan 3 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Serta merta kain kafan putih kotor dibasahi darah. Pergelangan tangan Bun Pek
Cuan membuat putaran ke kiri dan ke kanan. Tak selang berapa lama perlahan-lahan
tangan itu diangkat kembali. Keadaannya berlumuran darah. Di dalam genggaman
tangan si orang tua kelihatan dua buah benda putih kekuningan berbentuk kubus.
Dengan tangan kirinya Bun Pek Cuan mengambil satu kantong kulit kecil warna
hitam dari balik pakaian. Dua buah benda putih kekuningan dimasukkan ke dalam
kantong lalu kantong kulit hitam dimasukkan kembali ke balik pakaian.
"Sett. . . . sett. . . sett. . . . sett. . . sett!"
Satu persatu jari tangan kanan Bun Pek Cuan mengerut ke bentuk asal. Lima benda
berbentuk pisau di ujung jari lenyap. Begitu juga darah yang sebelumnya
berselepotan di tangan ikut sirna.
"Hantu Hitam" lekas perintahkan dua orang itu mengubur jenazah kembali," kata
Bun Pek Cuan sementara Siauw Cie masih tegak mendongak, mata terpejam dua tangan
mengambang. Tak lama setelah jenazah dimasukkan Kembali ke Hang lahat dan tanah kuburan
ditimbun, Bun Pek Cuan membuka mulut. "Padamkan obor! Suruh mereka pergi. "
Setelah memberikan sejumlah uang. Hantu Malam menyuruh dua penggali makam
meninggalkan tempat itu. Hantu Hitam ambil dua buah obor yang menancap di atas
dua kuburan lalu membantingkan ke tanah hingga apinya padam. Sesaat kemudian
Siauw Cie rendahkan kepala, buka dua mata yang terpejam dan turunkan dua tangan
yang mengembang. Dia memberi isyarat kedipan mata pada Bun Pek Cuan lalu
berkelebat pergi.
"Sahabat muda itu, mengapa dia pergi duluan?" tanya Hantu Hitam pada Bun Pek
Cuan. "Dia hanya memeriksa keadaan sekitar sini. Untuk memastikan semua dalam keadaan
aman. " Jawab Bun Pek Cuan.
"Tugasku sudah selesai. Aku juga ingin pergi. Harap sahabat tua memberikan
bayaran. "
"Jangan khawatir. Aku sudah menyiapkan satu bayaran besar untukmu," jawab Bun
Pek Cuan sambil tertawa. Dia memberi isyarat agar Hantu Hitam datang mendekat.
Beg itu Hantu Hitam maju dua langkah, Bun Pek Cuan bukan memberikan uang, justru
tangan kirinya melesat dalam satu jotosan luar biasa cepat dan keras.
"Bukk!".
Hantu Hitam menjerit. Suara jeritannya lenyap berbarengan dengan semburan darah
dari mulut. Tubuh terjengkang, muka mengkeret dan mata mendelik.
Tak lama kemudian Siauw Cie muncul kembali.
"Beres?" tanya Bun Pek Cuan.
Siauw Cie mengangguk. "Dua tukang gali itu sudah ku habisi. Sebaiknya kita
segera kembali ke kapal. "
Dua orang berpakaian serba putih melompat ke atas kuda lalu memacu tunggangan
masing-masing ke arah Tanjung Losari. Jauh sebelum tengah malam keduanya sudah
sampai di tepi pantai, melompat turun dan berjalan cepat ke arah sampan di atas
pasir. Di langit bulan setengah lingkaran tersibak dari balik awan gelap,
membuat suasana di tepi pantai menjadi lebih terang. Begitu sampai di samping
sampan, Bun Pek Cuan dan Siauw Cie sama-sama terkejut. Langkah masing-masing
tertahan, dua kaki laksana dipantek. Di dalam perahu saat itu berbaring melunjur
seorang lelaki gemuk berambut putih sebahu, Dadu Setan 4
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
berpakaian jubah bagus warna hijau, lengkap dengan topi tinggi warna merah. Baik
topi, rambut, tubuh maupun pakaian si gemuk ini tampak basah kuyup. Satu-satunya
benda yang masih dalam keadaan kering adalah sebuah hudtim (kebutan) warna ungu
di tangan kanan yang berwarna hitam. Kebutan ini dikipas-kipaskan di depan
wajahnya yang bulat.
Udara di pantai selain dingin juga ada tiupan angin. Sementara sekujur tubuhnya
basah kuyup. Namun si gemuk di dalam perahu kelihatan seperti kepanasan. Ketika
menyeringai tampak deretan gigi besar-besar berwarna merah seperti dilumuri
darah. "Hek Chiu Mo!" seru Bun Pek Cuan dan Siauw Cie berbarengan. Kedua orang ini
dalam kejut masing-masing segera saja bersikap waspada penuh. (Hek Chiu Mo =
Iblis Tangan Hitam) Mereka bukannya kenal lagi dengan si gemuk bertangan hitam
ini. Hek Chiu Mo adalah salah seorang momok golongan hitam dirimba persilatan
Tionggoan (Tiongkok) bagian selatan. Dia diketahui memiliki tiga senjata ganas.
Pertama hudtim ungu di tangan kanan yang sanggup menghancurkan batu sebesar
gajah. Lalu tangan kanan berwarna hitam yang juga memiliki daya penghancur luar
biasa. Dan ketiga adalah semburan ludah berwarna merah yang mampu menembus
setiap bagian tubuh lawan!
Bagaimana manusia satu ini tahu-tahu berada di tempat ini" Memandang ke tengah
lautan Bun Pek Cuan dan Siauw Cie tidak melihat kapal lain selain kapal kayu
besar yang sebelumnya mereka tumpangi.
"Siauw Cie," bisik Bun Pek Cuan. "Ada yang membocorkan rahasia perjalanan kita.
" Orang yang berbaring di dalam sampan menyeringai. Kelihatan deretan gigi-gigi
besar berwarna merah seperti dilumuri darah. Mulut terbuka. Suaranya perlahan
sekali, tidak sesuai dengan keadaan kepala dan tubuhnya yang besar gemuk.
"Jangan heran. Kita menumpang kapal yang sama. Tapi datang ke pantai ini aku
lebih suka berenang dari pada naik perahu seperti kalian. "
Bun Pek Cuan batuk-batuk lalu berkata.
"Sungguh satu pertemuan tidak diduga tidak disangka!" ucap Bun Pek Cuan.
Si gemuk dalam perahu gelengkan kepala.
"Kau dan temanmu boleh menganggap begitu. Namun bagiku ini satu pertemuan yang
sudah aku rencanakan sebelumnya. Sejak kita masih sama-sama berada di Tionggoan.
" Melihat gelagat tidak baik Siauw Cie berkata.
"Hek Chiu Mo, kami tak punya waktu banyak. Kami harus segera kembali ke kapal.
Kau mau ikut sama-sama?" Siauw Cie berkata sambil memberi isyarat kedipan mata
pada Bun Pek Cuan.
Si gemuk dalam perahu perlahan-lahan bangkit dan duduk. Tangan kanannya yang
berwarna hitam masih mengipas-ngipaskan hudtim. "Perahu sekecil ini tidak
mungkin dimuati kita bertiga. Lagi pula aku tidak punya niat buru-buru kembali
ke kapal. "
"Kalau begitu harap kau sudi keluar dari perahu. Kami akan mempergunakan perahu
itu untuk kembali ke kapal," kata Bun Pek Cuan pula.
"Tentu saja. . . . tentu saja," jawab Hek Chiu Mo. Lalu sekali bergerak tubuhnya
yang gemuk melesat ke udara. Ketika turun ke pasir, kepalanya menjejak. menempel
pasir pantai lebih dulu. Dua kaki melejang-lejang, mulut keluarkan suara
tertawa. Si gemuk kemudian melesat ke udara, ketika turun kembali, kali ini


Wiro Sableng 148 Dadu Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakinya dengan enteng menginjak pasir.
"Sudan lama tidak bersalto, aku sampai salah. Kepala turun duluan. . . . Ha. . .
ha. . . ha. " Si gemuk melucu. Namun bagi Bun Pek Cuan dan Siauw Cie jelas orang ini
sengaja Dadu Setan 5
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
memperlihatkan kepandaian. Tanpa banyak menunggu kedua orang ini segera hendak
masuk ke dalam perahu.
"Dua sahabat, sebelum pergi ada sesuatu yang ingin kutanyakan. " Tibatiba Hek
Chiu Mo berkata, membuat Bun Pek Cuan dan Siauw Cie dengan jengkel terpaksa
hentikan langkah.
"Kami ingin cepat. Maaf saat ini tidak bisa berjawab tanya denganmu. Nanti saja
diteruskan kalau bertemu di Tionggoan. " kata Bun Pek Cuan.
"Ah, sayang sekali. Kalian ingin cepat, akupun terburu-buru . Agar adil
bagaimana kalau aku tidak akan mengizinkan kalian pergi dari sini!"
"Apa maksud orang gagah Hek Chiu Mo?" tanya Bun Pek Cuan.
"Maksudku begini!"
Habis berkata begitu Hek Chiu Mo tendangkan kaki kanannya. Sekali menendang
sampan kayu di atas pasir pantai mencelat hancur berkeping-keping.
"Aku tahu kalian tak bisa berenang. Jadi tak mungkin kembali ke kapal. Ha. . .
ha. . . ha!" Hek Chiu Mo tertawa perlahan. Air liurnya yang berwarna merah bercucuran ke
dagu. * * * Dadu Setan 6 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ DUA elihat perbuatan si gemuk Hek Chiu Mo menghancurkan sampan, marahlah Bun Pek
Cuan dan Siauw Cie. "Hek Chiu Mo!" hardik Bun Pek Cuan. "Selama ini M tak ada
silang sengketa diantara kita! Hari ini jauh dari negeri sendiri, kau sengaja
mencari lantai terjungkat!"
Hek Chiu Mo tertawa perlahan. Hudtim di tangan kanan terus dikipas-kipaskan di
depan wajahnya yang gemuk berkeringat.
"Bun Pek Cuan, kalau kakimu yang pincang, jangan mengatakan lantai yang
terjungkat. Ucap kata dan tindak sikapmu sombong sekali. Aku hanya ingin bicara
sesuatu, tapi kau menolak seolah kau tengah ditagih hutang saja.
Ha. . . ha. . . ha!" Dalam soal bicara Iblis Tangan Hitam memang dikenal paling
nomor satu di Tionggoan.
"Hek Chiu Mo, sebaiknya kau berterus terang saja. Katakan apa yang kau inginkan
dari kami!" Kata Siauw Cie walau sebenarnya dia dan juga Bun Pek Cuan sudah bisa
menduga apa yang diinginkan tokoh silat golongan hitam di hadapannya itu.
"Orang sudah bertanya, wajib aku menjawab," ucap Hek Chiu Mo. Lalu tangan
kirinya ditudingkan ke arah pinggang pakaian Bun Pek Cuan. "Aku inginkan dua
buah benda yang kau simpan di balik pakaianmu. Dalam sebuah kantong kulit
berwarna hitam.
Apa ucapanku sudah jelas"!"
"Aku tidak memiliki kantong kulit hitam di balik pakaianku. Bagaimana mungkin
aku memberikan padamu?" ujar Bun Pek Cuan pula.
Mendengar ucapan itu, Hek Chiu Mo tersenyum.
"Tidak sangka orang yang punya nama besar sepertimu pandai pula berdusta!" Ucap
Hek Chiu Mo. "Hek Chiu Mo, harap kau tidak, mengada-ada!" Siauw Cie ikut bicara.
"Aku Hek Chiu Mo ini orang sederhana. Bersikap selalu lemah lembut. Dalam setiap
urusan tidak suka bertindak keras. Apakah hal itu tidak bisa jadi bahan
pertimbangan kalian berdua?"
"Kau membuang waktu kami saja!" Suara Bun Pek Cuan mulai keras.
"Waktuku juga sudah banyak terbuang," menyahuti Hek Chiu Mo. Suaranya tetap
perlahan. Hudtim di tangan kanan terus dikipas-kipas.
"Siauw Cie!" kata Bun Pek Cuan kesal. "Mari kita tinggalkan orang aneh satu
ini!" Hek Chiu Mo menyeringai. "Apakah aneh kalau aku meminta barang yang bukan
milikmu"!"
"Barang apa"!" bentak Siauw Cie.
Lagi-lagi si gemuk Hek Chiu Mo sunggingkan senyum.
"Baiklah, kalau kalian tak mau memberikan biar aku mengambil sendiri!"
Habis bekata begitu tubuh gemuk Hek Chiu Mo melangkah ke arah Bun Pek Cuan.
Hudtim di tangan kanan dikebut.
"Wutt!"
Selarik sinar ungu yang keluar dari kebutan menerpa ganas ke arah wajah Bun Pek
Cuan. Tahu akan kedahsyatan senjata di tangan lawan, Bun Pek Cuan cepat
menghindar sambil jauhkan kepala sementara kaki kanannya tahu-tahu melesat ke
arah perut Hek Chiu Dadu Setan 7
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Mo. Siauw Cie tak tinggal diam. Dari samping tangan kanannya dengan dua jari
terpentang lurus menusuk ke arah leher Iblis Tangan Hitam.
Tubuh gemuk Hek Chiu Mo bergerak lentur menghindari dua serangan lawan.
Hudtim ungu kembali dikebutkan. Lingkaran cahaya ungu berbentuk setengah
Ijngkaran membeset udara.
Bun Pek Cuan berseru kaget dan melompat mundur dengan muka pucat. Kumis kirinya
yang menjulai ke bawah dagu terbabat putus kena sambaran kebutan hingga'
tampangnya jadi lucu dan membuat Hek Chiu Mo tertawa mengekeh.
"Bun Pek Cuan, aku sudah memberi peringatan. Apa kau masih belum mau menyerahkan
benda yang aku minta"!"
"Kau bekerja untuk siapa" Siapa yang menyuruhmu mendapatkan benda itu"!" tanya
Siauw Cie tanpa menyadari kalau pertanyaannya itu memberi kesan bahwa benda yang
dicari dan diingini Hek Chiu Mo memang ada padanya atau pada Bun Pek Cuan.
"Tak ada yang memerintah. Aku bekerja untuk diri sendiri!" jawab Hek Chiu Mo.
"Bagus! Kalau begitu kami tidak akan susah-susah memberi tahu tuanmu bahwa kau
sudah menemui ajal di negeri orang" kata Siauw Cie pula. Lalu orang ini melesat
ke depan. Sepuluh jari tangan membeset lurus, lebih keras dari besi. Siauw Cie memiliki
ilmu kuntauw yang disebut Sepuluh Jari Besi. Sesuai namanya ke sepuluh jari
tangan Siauw Cie bisa berubah lurus dan sekeras besi. Setiap jurus yang
dilancarkan sangat ganas mematikan.
Bun Pek Cuan tak kalah ganas. Dari balik pakaian putihnya dia hunus sebuah golok
yang dalam malam gelap menebar cahaya hijau angker.
Baik Bun Pek Cuan maupun Siauw Cie yang masih muda adalah orang-orang rimba
persilatan yang disegani. Tingkat kepandaian mereka telah banyak kali membuat
kegemparan di daratan Cina. Cahaya golok hijau di tangan Bun Pek Cuan bertabur
ganas mengeluarkan hawa dingin. Yang diserang adalah bagian tubuh lawan mulai
dari leher ke bawah. Sementara sepuluh jari besi Siauw Cie berkelebat mencari
sasaran mulai dari leher sampai kepala. Walau dua orang ini punya nama besar
karena ilmu silatnya yang tinggi namun Hek Chiu Mo merupakan dedengkot golongan
hitam yang sudah dikenal dan ditakuti di delapan penjuru rimba_ persilatan
Tionggoan, terutama di bagian selatan.
Kebutan ungu menderu memapas dan menangkis serangan golok hijau Bun Pek Cuan
serta melindungi kepalanya dari tusukan jari-jari besi Siauw Cie. Tiga jurus
berlalu cepat dan jelas terlihat dua lawan yang dihadapi Iblis Tangan Hitam
mulai kewalahan.
Beberapa kali kebutan ungu membentur badan golok di tangan Bun Pek Cuan. Bukan
saja golok dan tangan Bun Pek Cuan jadi tergetar hebat, tetapi bagian tajam dari
mata golok hijau itu gompal di tiga tempat! Siauw Cie sendiri kalau tidak
berlaku sigap dua kali tangan kirinya hampir kena hantaman hudtim. Walau dia
mampu selamatkan tangan tetap saja ujung lengan kiri baju putihnya hangus
kehitaman dan robek besar.
"Bun Pek Cuah, kau mau serakan benda itu hidup-hidup atau minta mati lebih
dulu"!" Hek Chiu Mo memperingatkan sekaligus mengancam.
Sebagai jawaban Bun Pek Cuan berteriak. "Iblis gendut keparat! Kau rupanya yang
sudah bosan hidup! Lihat golok!"
"Wuttt!"
Golok di tangan Bun Pek Cuan berkelebat dalam jurus bernama Langit Meratap Bumi
Menangis. Sinar hijau bertabur.
"Breett!"
Dadu Setan 8 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Dada jubah hijau yang dikenakan Hek Chiu Mo robek besar. Kulit dadanya ikut
tergores sepanjang satu jengkal hingga mengucurkan darah. Ternyata keberhasilan
Bun Pek Cuan menciderai lawan harus dibayar mahal. Karena pada saat yang hampir
bersamaan hudtim di tangan Hek Chiu Mo menyambar dari samping.
"Praakk!"
Kepala bagian kiri Bun Pek Cuan hancur mengerikan. Orang tua ini mengerang satu
kali lalu roboh ke pasir pantai tak berkutik lagi!
Melihat kematian sahabat tuanya Siauw Cie berteriak marah dan mengamuk. Dia
keluarkan jurus-jurus silat simpanannya hingga beberapa kali Hek Chiu Mo berseru
kaget dan bergerak sebat menghindar dari serangan ganas yang selalu mengarah
leher dan kepala.
Setelah didesak selama hampir empat jurus, kini giliran Iblis Tangan Hitam ganti
menggempur. Hudtim ungu bersuit-suit di udara. "
Siauw Cie bertahan mati-matian untuk selamatkan diri. Karena serangan lawan
semakin ganas, Siauw Cie memutar otak. Dia berpikir lebih baik selamatkan diri
sambil berusaha mengambil kantong kulit yang ada di balik pakaian Bun Pek Cuan
dari pada menemui ajal percuma di tangan Iblis Tangan Hitam.
Didahului satu bentakan keras Siauw Cie lantas kebutkan lengan baju sebelah
kanan. Dari bawah jubah melesat tiga senjata rahasia berbentuk pisau terbang beracun.
"Licik sekali!" ucap Hek Chiu Mo lalu kebutkan hudtim ungu.
"Wuttt!"
Tiga pisau terbang bermentalan dan luruh ke tanah.
Sewaktu lawan menangkis serangan tiga senjata rahasianya, Siauw Cie pergunakan
kesempatan mengambil kantong kulit hitam yang ada di balik pinggang pakaian Bun
Pek Cuan. Dengan merobek pinggang baju Bun Pek Cuan, Siauw Cie segera menemukan
kantong kulit itu. Namun sebelum dia sempat menyentuh tahu-tahu Hek Chiu Mo
sudah ada di hadapannya. Hudtim ungu dikibaskan ke arah tangan kanan Siauw Cie.
"Kraaakk!"
Siauw Cie seperti disambar petir, menjerit setinggi langit. Tangan kanannya
hancur mulai dari ujung jari sampai ke pergelangan! Nyali Siauw Cie pun putus.
Kalau tadi dia berusaha selamatkan kantong kulit, sekarang yang lebih penting
adalah selamatkan nyawanya. Tidak pikir lebih lama Siauw Cie jatuhkan diri,
berguling di pasir lalu melompat dan berkelebat melarikan diri dari tempat itu.
"Manusia-manusia tolol. Memilih mati secara konyol!" kata Hek Chiu Mo pula
seraya melangkah mendekati mayat Bun Pek Cuan. Pada pinggang pakaian yang robek
tersingkap, dia melihat sebuah kantong kulit hitam. Dengan cepat dia ambil
kantong itu. Tali pengikat dibuka, isinya dituangkan ke telapak tangan kiri.
Benda yang ada di dalam kantong kulit itu ternyata adalah dua buah dadu putih
kekuningan, terbuat dari gading, dihias mata dadu berwarna merah.
Hek Chiu Mo menyeringai, masukkan dua buah dadu kembali ke dalam kantong kulit
hitam. Kantong ini kemudian dimasukkan ke dalam saku di sebelah kiri jubah
hijau. Hek Chiu Mo menatap ke langit. "Aku harus segera kembali ke kapal," ucapnya
dalam hati. Pada saat hendak melangkah tibatiba dia mendengar sambaran angin di
samping kiri. Cepat Hek Chiu Mo palingkan diri. Alangkah terkejutnya lelaki
gemuk ini ketika melihat seseorang duduk menjelepok di tepi pasir. Orang ini
ternyata adalah nenek berambut kelabu, bermulut perot dan memiliki sepasang mata
warna merah yang menatap Dadu Setan 9
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
tajam tak berkesip ke arah Hek Chiu Mo. Daun telinga ditindis dengan giwang
terbuat dari tulang-tulang jari manusia. Cipratan ombak membuat rambut kelabu
serta jubah kuning yang dikenakannya basah kuyup.
"Manusia aneh. Urusan tidak enak. Dia berdiri di jalur berenangku arah ke kapal.
Sengaja menghalangi. Dia bukan orang dari Tionggoan. . . "
Tibatiba nenek di atas pasir acungkan tangan kanan ke arah Hek Chiu Mo. Tangan
kiri menepuk-nepuk pinggang. Lalu mulutnya berteriak.
"Serahkan padaku dua dadu di dalam kantong kulit!. " Celakanya Hek Chiu Mo tidak
tahu bahasa setempat. Tapi dari gerak isyarat orang dia tahu kalau si nenek
inginkan dua dadu yang ada di kantong kiri jubah hijau. Tokoh silat berbadan
gemuk ini gelengkan kepala, goyang-goyang tangan kiri sedang tangan kanan di
lambai-lambaikan ke samping memberi tanda agar si nenek pergi dari situ.
Nenek yang duduk di atas pasir pantai balas menggeleng. Tangan kanan
dilambaikan, memberi isyarat agar Hek Chiu Mo mendatanginya!
Tidak mau mencari urusan membuang waktu Hek Chiu Mo lari sepanjang tepi pasir.
Di satu tempat setelah cukup jauh dari nenek aneh itu dia akan mencebur masuk
laut dan berenang menuju kapal. Si nenek tidak tinggal diam. Dalam sikap masih
duduk tubuhnya naik ke atas sejarak satu jengkal, lalu melayang ke kiri
mengikuti arah lari Hek Chiu Mo!
Tokoh silat golongan hitam dari Tionggoan ini hentikan lari. Tubuh si nenek
berhenti pula melesat dan turun duduk kembali di atas pasir. Kejut Hek Chiu Mo
bukan alang-kepalang.
Seumur hidup baru kali ini dia melihat ada orang memiliki kepandaian seperti
itu. Sementara Hek Chiu Mo masih diselimuti perasaan heran, seperti tadi nenek
berjubah kuning berteriak agar Hek Chiu Mo serahkan benda yang dimintanya.
Setelah diam sejenak, mencari akal akhirnya Hek Chiu Mo keluarkan kantong kulit
hitam dari saku jubah sebelah kiri. Benda ini diacungkan tinggi-tinggi ke udara
dan digoyang-goyang sambil tangan kanannya yang memegang kebutan memberi tanda
agar si nenek mendatangi. Begitu si nenek mendekat akan dihantamnya dengan
kebutan serta pukulan tangan kiri.
Nenek mata merah berambut kelabu tidak terpancing. Dia tetap berada di tempatnya
duduk dan kembali berteriak agar Hek Chiu Mo menyerahkan kantong kulit. Wajahnya
kini tampak garang pertanda dia mulai marah.
"Gendut! Berikan kantong kulit itu padaku. Lemparkan kesini! Aku akan memberi
jalan bagimu untuk berenangi kembali ke kapal!"
Walau tidak tahu bahasa yang diucapkan orang tapi Hek Chiu Mo cukup mengerti apa
kemauan si nenek.
"Aku sudah mau memberi. Tapi kau tidak mau mengambil! Perduli setan!" Tokoh
silat dari Tionggoan selatan ini masukkan kantong kulit ke dalam saku jubah
kembali. Lalu dengan sangat tibatiba tangan kiri yang berwarna hitam itu memukul
ke depan. Berbarengan dengan itu kebutan di tangan kanan ikut dihantamkan. Sinar hitam dan
cahaya ungu menyambar nenek di tepi laut.
Pasir pantai laksana digusur topan berhamburan ke udara, meninggalkan lobang
dalam dan panjang. Air laut membentuk ombak besar, muncrat ke udara setinggi
tiga tombak! Nenek di atas pasir menjerit keras. Ketika air laut surut dan pasir
luruh ke pantai kembali, perempuan tua itu tak kelihatan lagi.
Dadu Setan 10 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Hek Chiu Mo sunggingkan seringai. Dia menyangka si nenek sudah amblas ke dalam
laut dan menemui ajal. Tapi alangkah terkejutnya tokoh golongan hitam daratan
Cina selatan ini ketika mendadak terdengar suara tawa cekikikan. Datangnya dari
tiga arah sekaligus!
* * * Dadu Setan 11 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ TIGA emandang ke depan Hek Chiu Mo melihat nenek rambut kelabu bermata merah berdiri
tegak di atas pasir tidak kurang suatu apa. Malah berdiri sambil berkacak M
pinggang dan sunggingkan seringai sinis.
"Luar biasa! Ilmu apa yang dimiliki manusia ini hingga jangankan mati, ciderapun


Wiro Sableng 148 Dadu Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia tidak dihantam dua serangan saktiku!" pikir Iblis Tangan Hitam. Sebenarnya
nenek jubah hitam tidak memiliki kemampuan untuk adu kekuatan dan menangkis
langsung dua serangan lawan. Dia bisa selamatkan diri karena memiliki daya gerak
yang sangat cepat ditambah ilmu meringankan tubuh luar biasa tinggi.
Yang kemudian membuat Hek Chiu Mo terlonjak kaget adalah ketika berpaling ke
kanan. Beberapa langkah di arah itu berdiri nenek yang sama, berjubah kuning,
rambut kelabu mata merah, beranting-anting tulang jari manusia dan bertolak
pinggang sambil menyeringai.
"Gila! Bagaimana bisa jadi dua"!"
Belum habis kejut Hek Chiu Mo sudut mata sebelah kiri menangkap sesuatu. Cepat
si gemuk ini berpaling dan! Astaga! Di arah ini lagi-lagi dia melihat seorang
nenek berambut kelabu bermata merah berjubah kuning lengkap dengan anting-anting
tulang! Jadi ada tiga nenek yang sama! Bagaimana mungkin"
"Aku berhadapan dengan setan perempuan berilmu tinggi, punya kepandaian sihir!"
pikir Hek Chiu Mo.
Tibatiba nenek di sebelah depan berteriak. Tangan kiri ditepuk-tepukkan ke
pinggang. Dua nenek di kiri kanan melakukan hal yang sama! Berteriak sambil menepuk
pinggang kiri. "Serahkan dadu!" teriak nenek di sebelah depan.
"Serahkan dadu!" Dua nenek lainnya ikutan berteriak.
"Ilmu setan harus dihadapi dengan ilmu setan!" Hek Chiu Mo rangkapkan dua tangan
di depan dada. Tubuh mengeluarkan sekilas sinar. Lalu sosok itu berubah menjadi
lebih besar dan lebih tinggi. Hudtim ungu di tangan kanan ikut membesar. Di atas
kepalanya yang mengenakan topi merah mencuat sepasang tanduk. Muka yang tadi
gemuk polos kini ditumbuhi cambang bawuk dan jenggot serta kumis meranggas.
Sepasang matanya mendelik besar berwarna hitam. Ketika menyeringai kelihatan
deretan gigi-gigi besar serta lidah basah dengan cairan merah! Sepuluh kuku jari
tangan mencuat panjang, memancarkan cahaya redup menggidikkan. Hek Chiu Mo
ternyata punya kepandaian merubah diri menjadi raksasa! Didahului suara
menggembor Hek Chiu Mo melompat ke arah nenek rambut kelabu yang ada di sebelah
depan. Tangan kanan kebutkan hudtim, tangan kiri lepaskan pukulan jarak jauh
mengandung tenaga dalam tinggi. Sinar ungu dan lima larik cahaya hitam
berkiblat! Nenek rambut kelabu mata merah di sebelah depan tertawa melengking.
"Raksasa jejadian! Siapa takut! Di hutan Roban aku punya selusin mahluk macam
beginian! Hik. . . hik. . . hik!" Nenek ini lalu tertawa panjang.
Dadu Setan 12 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Dua nenek lainnya ikut keluarkan suara tawa yang sama. Tiga nenek kemudian
melompat setinggi dua tombak, selamatkan diri dari dua serangan lawan lalu
laksana kilat berkelebat lancarkan serangan balasan.
"Bukk! Bukk! Bukkk!"
"Desss!"
Dua jotosan keras mendarat di dada Hek Chiu Mo. Satu tendangan melanda perutnya
yang buncit! Hek Chiu Mo hanya geliatkan badan . seperti tidak merasa sakit
sedikitpun. Sebaliknya salah seorang dari tiga nenek rambut kelabu yaitu yang sebelah kiri
hanya tertawa mengekeh sewaktu hudtim ungu mengemplang kepalanya! Padahal kepala
manusia biasa seperti yang terjadi dengan Bun Pek Cuan pasti akan hancur
dihantam kebutan itu.
"Gila! tidak mempan! Aku harus bisa menggebuk yang asli! Kalau tidak aku bisa
celaka! Tapi yang mana nenek yang asli"!"
Sementara si gemuk dari Tionggoan selatan itu kebingungan, tiga nenek menjerit
keras dan serempak kembali menyerang. Hek Chiu Mo kebutkan hudtim. Cahaya ungu
setengah lingkaran melindungi dirinya. Sementara tangan kiri siap melancarkan
pukulan tangan kosong ke arah depan, dari tanduk di kepalanya mencuat dua larik
sinar biru, melesat k arah nenek di sebelah kiri dan kanan!
Dua nenek yang diserang lagi-lagi keluarkan suara jeritan dan teruskan gempuran.
Tapi serangan mereka terhalang oleh sambaran hudtim. Kini mereka malah disambar
dua larik sinar biru. Nenek di sebelah kanan melesat ke udara selamatkan diri.
Yang sebelah kiri hancur tercabik-cabik dan kepulkan asap begitu kena hantaman
sinar biru. Namun cabikan tubuh itu menyatu lagi dan kembali ke ujud semula!
"Yang depan atau yang kanan!" pikir Hek Chiu Mo lalu tangan kiri keluarkan
cahaya hitam, menyambar ke arah nenek di sebelah depan sementara dari tanduk di
atas kepala mencuat kembali dua larik sinar biru yang menggebubu ke arah nenek
di sebelah kanan.
Tidak terduga nenek sebelah kiri yang tadi telah tercabik-cabik tibatiba melesat
sebat dan tahu-tahu telah berada dua langkah dengan tangan kanan melepas satu
jotosan dahsyat.
Hek Chiu Mo segera sorongkan kepala. Dua tanduk aneh menusuk dada nenek yang
melepas jotosan. Si nenek terpental, keluarkan pekik kesakitan. Tapi keadaannya
tidak cidera sedikitpun. Padahal tembok batu setebal dua kaki sanggup dihantam
jebol oleh sepasang tanduk itu.
Ketika melihat dua sinar biru menderu ke arahnya, nenek sebelah kanan cepat
melesat ke udara. Dalam keadaan melayang dia lepas dua pukulan tangan kosong
yang memancarkan sinar kemerahan. Hek Chiu Mo keluarkan suara menggembor lalu
menyembur. Cairan merah kental menyambar menangkis dua sinar kemerahan pukulan
tangan kosong nenek di sebelah kanan dan terus melabrak ke arah sasaran. Nenek
satu ini berteriak keras. Muka dan pakaiannya di sebelah penuh berselomotan
cairan merah. Namun yang membuat Hek Chiu Mo jadi kaget ialah nenek ini tidak
mengalami cidera sedikitpun.
Padahal semburan ludah berdarah yang dilakukannya tadi sanggup membuat patah
batang pohon dan menghancurkan gundukan batu besar!
Kini Hek Chiu Mo sadar bahwa mahluk asli berupa nenek rambut kelabu itu adalah
yang berada di sebelah depannya dan yang barusan dihantam dengan pukulan tangan
kiri. Kalau pukulan dahsyat itu sempat menyambar ke arah lawan, namun si nenek sebelah
depan masih bisa menghindar dengan jatuhkan diri ke tanah. Lalu dalam keadaaan
tengkurap nenek ini menyeringai, goyangkan kepala. Saat itu juga dua larik sinar
merah Dadu Setan 13
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
berkiblat keluar dari sepasang mata, langsung menyambar ke arah leher dan perut
Hek Chiu Mo. Tokoh golongan hitam Tionggoan selatan ini keluarkan pekikan pendek
lalu tergelimpang di tanah. Lehernya nyaris putus sementara perut robek besar.
Sosoknya yang tadi berbentuk setengah raksasa perlahan-lahan menciut ke bentuk
asal. Menyaksikan Hek Chiu Mo menemui ajal, nenek yang tadi melepaskan dua sinar merah
dari matanya cepat mendatangi untuk mengambil kantong kulit hitam yang tersembul
di pinggang. Namun mendadak satu bayangan putih menyambar kantong kulit itu lalu
kabur ke balik semak belukar.
"Jahanam kurang ajar! Siapa berani mati!" teriak si nenek lalu angkat dua tangan
ke atas dan berteriak pada dua nenek di depannya.
"Kejar! Bunuh!"
Dua nenek yang diberi perintah serta merta melesat ke arah semak belukar
melakukan pengejaran. Tak selang berapa lama dua nenek itu kembali muncul. Yang
sebelah kanan melangkah sambil menenteng kepala manusia yang bukan lain adalah
kepala Siauw Cie. Nenek di sebelah kiri membawa kantong kulit hitam. Begitu
sampai di hadapan nenek pertama, nenek di sebelah kanan campakkan kutungan
kepala hingga menggelinding di atas pasir pantai. Nenek pertama angkat kaki,
menahan kepala yang menggelinding.
"Eyang Sepuh Kembar Tilu! Dia pencurinya!"
Nenek yang dipanggil dengan sebutan Eyang Sepuh Kembar Tilu menyeringai.
"Ternyata orang asing dari kapal. Eh, bukankah dia yang sebelumnya telah dihajar
oleh si gendut itu?" Kaki si nenek menendang. Kutungan kepala mencelat masuk ke
dalam laut. "Eyang Sepuh, kantongnya. . . " kata nenek di samping kiri seraya mengulurkan
kantong hitam yang dipegangnya. Sepasang mata Eyang Sepuh berkilat-kilat. Isi
kantong diperiksa. Setelah memasukkan kantong kulit ke balik dada pakaian, Eyang
Sepuh angkat tangan kanan di atas kepala. Dua mata menatap ke arah dua nenek di
hadapannya yang memiliki ujud sama dengan dirinya. Dari ujung-ujung jari tangan
Eyang Sepuh Kembar Tilu mengepul asap tipis. Si nenek berucap perlahan.
"Kalian berdua pulanglah!"
Saat itu juga dua nenek yang menyerupai ujud Eyang Sepuh serta merta lenyap
laksana ditelan angin malam!
Bersamaan dengan menghilangnya dua nenek rambut kelabu tiba-tiba terdengar suara
tepukan tangan disusul ucapan.
"Eyang Sepuh Kembar Tilu! Pertunjukkan yang sangat mengagumkan. Tidak sia-sia
aku datang dari jauh untuk menyaksikan!"
"Wehhh!" Si nenek rambut kelabu mata merah dongakkan kepala ke langit, agak
heran. Dalam hati dia bekata. "Suaranya sedikit lain. Tapi hanya dia yang
tahu. . . "
"Raden Kumalasakti, aku tidak mengira kalau Raden sudi hadir di tempat ini. "
"Karena barang yang dicari sudah didapat, harap Eyang Sepuh menyerahkan padaku.
" "Tentu, tentu saja. . . " kata Eyang Sepuh Kembar Tilu lalu melangkah ke arah
datangnya suara. Dari kegelapan keluar seorang penunggang kuda, berpakaian serba
hitam, mengenakan topi kain yang bagian depannya ada cadar tipis hingga wajah
orang ini tidak kelihatan. Di sebelah belakang ada dua penunggang kuda lagi,
juga berpakaian hitam tapi tidak mengenakan topi, bercadar.
Dadu Setan 14 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Pada jarak satu langkah di samping nenek rambut kelabu, penunggang kuda bercadar
berhenti. Dia mengambil kantong kulit hitam yang dikeluarkan si nenek dari balik
dada pakaian. Setelah menimang-nimang kantong itu sebentar dia berkata.
"Hadiah dan bayaran untukmu dapat kau ambil besok pagi di tempat perjanjian di
selatan Losari! Kerjamu bagus! Aku akan tambahkan beberapa hadiah! Misalnya
anting tulang di dua telingamu itu. Layak diganti dengan anting emas!"
"Terima kasih Raden," jawab si nenek. Sambil membungkuk dan mengulum senyum dia
ikuti kepergian tiga penunggang kuda. Dia menunggu sebentar lalu berkelebat Ke
arah lenyapnya ke tiga orang itu.
Selewat tengah malam, Raden Kumalasakti dan dua pengiring sampai di desa kecil
bernama Cangkring. Di jalan masuk menuju desa terdapat sebuah kedai minuman yang
selalu buka sampai larut malam, walaupun pada masa itu keadaan di kawasan
tersebut tjdak begitu aman, banyak orang jahat berkeliaran.
Melihat kemunculan tiga orang tak dikenal berpakaian serba hitam dan salah
seorang diantara mereka mengenakan cadar, semua pengunjung yang ad a di dalam
kedai cepat-cepat membayar lalu tinggalkan tempat itu. Mereka menduga ke tiga
orang yang barusan masuk ke dalam kedai adalah kawanan begal. Dari pada cari
perkara lebih baik cepat-cepat pergi.
Pemilik kedai dan istrinya , yang sudah berpengalaman menghadapi berbagai macam
tamu, berusaha tenang saja melayani ke tiga orang yang barusan datang. Dengan
cepat mereka menyuguhkan minuman bandrek panas, singkong, ubi dan pisang rebus
hangat. Setelah meneguk minuman, lelaki bercadar keluarkan kantong kulit hitam yang
diberikan Eyang Sepuh Kembar Tilu. Dua temannya memperhatikan. Ketika isi
kantong digulir di meja, kaget ke tiga orang itu bukan alang kepalang. Dua benda
yang tergeletak di atas meja bukannya yang seperti mereka duga. Bukan dua buah
dadu putih tetapi dua buah batu hitam!
"Kurang ajar! Kita kena ditipu!" teriak orang bercadar sambil menggebrak meja
hingga minuman dan makanan yang ada di atas meja melesat berhamburan!
"Kita kembali! Cari nenek sialan itu! Akan aku gorok batang lehernya!"
Tiba-tiba dari sudut kedai yang agak gelap terdengar suara tawa cekikikan.
"Kalian tidak usah jauh-jauh mencari. Aku ada di sini!"
Dadu Setan 15 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
________________________________________________________________________________
__ EMPAT iga kepala dipalingkan. Tiga pasang mata memandang mendelik ke arah salah satu
sudut kedai yang agak gelap. Disitu memang tampak duduk Eyang Sepuh Kembar
TTilu, si nenek berambut kelabu bermata merah. Amarah lelaki bercadar bukan
alang kepala. Dia ambil dua buah batu dan kantong kulit hitam yang tercampak di
lantai. Lalu melompat ke hadapan si nenek dan bantingkan dua buah batu serta
kantong kulit hitam hingga melesak ke dalam kayu meja!
"Ck. . . ck. . . ckkk!?" Si nenek decakkan mulut. "Pertunjukkan hebat! Tapi aku
tidak tertarik. Hik. . . hik. . . hik!"
"Tua bangka penipu!" teriak lelaki bercadar. "Lekas berikan dua buah dadu itu
padaku! Dan aku akan mengampuni selembar nyawa anjingmu!"
Si nenek ganda tertawa mendengar ucapan orang.
"Aku tidak akan menipumu kalau kau tidak menipuku lebih dulu! Kau inginkan dua
buah dadu" Silahkan ambil!"
Si nenek ulurkan tangan kiri yang tinggal kulit pembalut tulang lalu usap dua
buah batu yang melesak di papan meja. Ketika tangan diangkat dua buah batu hitam
telah berubah menjadi dua buah dadu putih bermata merah.
"Nah, nah. . . Kenapa pada melongo"!" Eyang Sepuh Kembar Tilu tertawa mengekeh
melihat Raden Kumalasakti dan dua anak buahnya tegak ternganga menyaksikan apa
yang terjadi. Tiba-tiba lelaki bercadar ini jentikan ibu jari dan jari tengah
tangan kirinya.
"Klik!"
Dua lelaki berpakaian hitam di samping meja langsung gerakkan tangan.
"Srett! Srett!"
Dua golok berkilat keluar dari sarungnya, terus dibacokkan ke arah nenek rambut
kelabu yang duduk di belakang meja.
"Dua monyet hitam! Kenapa kalian jadi kalap"! Terima bagianmu!"
Sosok nenek rambut kelabu lenyap. Ketika papan meja hancur dilanda bacokan dua
golok, dari bawah kolong meja melesat dua tangan. Dua lelaki berpakaian serba
hitam menjerit keras. Golok terlepas, tubuh mencelat mental, jatuh malang
melintang di atas kursi kayu. Setelah menggelepar-gelepar keduanya terkapar tak
berkutik lagi. Tubuh bagian bawah perut hancur. Darah menggenangi lantai kedai!
Lelaki bercadar berteriak marah. Sambil tangannya menghunus golok, kaki kanan
menendang hingga meja kayu yang sudah hancur kini mental berkeping-keping. Namun
si nenek rambut kelabu tak kelihatan!
"Jahanam! Mau lari kemana"!" teriak orang bercadar dan bergerak ke arah pintu.
"Aku masih di sini. Apa matamu sudah buta"! Hik. . . hik. . . hik!"
"Setan alas!"
Orang bercadar babatkan golok besar di tangan kanan ke arah datangnya suara.
Namun serangan ini tertahan begitu satu tangan mencekal pergelangan yang
memegang golok. Orang bercadar menjerit kesakitan ketika tangannya dipuntir lalu
badannya didorong ke tiang kedai hingga tiang itu patah dan membuat atap nyaris
roboh. "Hik. . . hik! Beraninya kau menipuku! Kau bukan Raden Kumalasakti!" "Brett!"
Dadu Setan 16 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Nenek rambut kelabu betot cadar hitam yang menutupi wajah orang. Ketika cadar
tersingkap kelihatan satu wajah hitam berhidung lebar pesek dan bopeng! Hidung
lebar pesek itu tampak bengkok patah dan mengucurkan darah.
"Pengemis Muka Bopeng dari Karangkoneng!" si nenek berseru. Lalu decakkan lidah.
"Ilmu kepandaian baru sedengkul, beraninya kau mempermainkan diriku!"
"Nenek setan! Biar hari ini aku mengadu jiwa denganmu!" Habis berkata begitu
lelaki muka bopeng layangkan satu jotosan keras dengan tangan kiri. Yang di arah
adalah bagian dada si nenek. Kalaupun tidak bisa menghabisi lawan paling tidak
dia hams dapat menghancurkan dua buah dadu yang diketahuinya disimpan si nenek
di batik dada pakaian.
Untuk kalangan rimba persilatan di perbatasan Jawa sebelah barat dan Jawa
sebelah tengah nama Pengemis Muka Bopeng dari Karangkoneng memang cukup
ditakuti. Konon dia memiliki anggota hampir dua ratus orang yang berkeliaran
mengemis sambil berbuat kejahatan dan terkadang melakukan hal-hal tak senonoh
terhadap kaum perempuan. Walau sudah punya nama besar namun untuk menghadapi
Eyang Sepuh Kembar Tilu pengemis bopeng ini belum bisa menandingi.
Sebelum jotosannya mampu menyentuh dada lawan tiba-tiba si nenek tangkap tangan
kiri lelaki itu lalu kreek. . . kreek. . . kreek. Jari-jari tangan Pengemis Muka
Bopeng hancur berpatahan. Pengemis Muka Bopeng menjerit setinggi langit.
"Tanganmu akan aku hancurkan sampai ke bahu. . . " ucap si nenek. "Kecuali kau


Wiro Sableng 148 Dadu Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberi tahu siapa yang menyuruhmu memainkan sandiwara tolol ini!" "Kreek. . .
kreekkk" Tangan si nenek naik ke atas, kini mulai menghancurkan telapak tangan Pengemis
Bopeng. Untuk kesekian kalinya lelaki ini menjerit kesakitan. Tibatiba Pengemis
Muka Bopeng tarik kepalanya ke belakang lalu dengan nekat kepala ini dibenturkan
ke kepala si nenek. Dua kepala beradu keras. "Praakk!"
Si nenek terhuyung ke belakang, keluarkan tawa mengikik. Pengemis Muka Bopeng
begitu kepalanya beradu langsung terbanting ke belakang lalu roboh ke lantai.
Kening rengkah mengerikan. Darah membasahi muka yang bopeng, mata mendelik.
Tubuh menggeliat satu kali lalu diam tak berkutik lagi.
Eyang Sepuh Kembar Tilu usap-usap keningnya lalu perhatikan mayat Pengemis Muka
Bopeng seketika. Sambil gelengkan kepala nenek berambut kelabu ini berkata.
"Aneh, dia lebih suka bunuh diri dari pada membuka rahasia. Agaknya ada
seseorang yang ditakutinya dibalik semua perbuatannya. " Si nenek memandang
berkeliling. Ternyata di dalam kedai yang porak poranda itu hanya tinggal dia
sendirian. Semua tamu dan juga suami istri pemilik kedai tak kelihatan lagi. Si
nenek melangkah ke arah dapur. Dalam sebuah ceret besar dari tanah dia menemukan
minuman air jahe yang masih panas karena belum lama diseduh. Enak saja si nenek
kucurkan minuman itu ke dalam mulut dan meneguknya dengan lahap. Sebelum pergi
dia letakkan sekeping kecil perak di atas meja dapur. Walau ganas tapi rupanya
dia masih punya hati nurani untuk mengganti kerusakan di kedai itu.
Di sebuah ruangan di dalam kapal kayu besar yang mengapung di perairan Tanjung
Losari. Malam tambah larut, tambah gelap dan tiupan angin laut menjelang pagi
terasa semakin dingin.
Di pintu ruangan terdengar langkah kaki lalu suara pintu diketuk.
Dadu Setan 17 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Tiga buah lilin besar yang ada dalam ruangan serta merta padam oleh lambaian
tangan seorang perempuan bercadar yang duduk di kursi, dekat sebuah jendela.
"Masuk!" perempuan di atas kursi keluarkan ucapan.
Pintu ruangan membuka berderik. Seorang lelaki bertubuh tinggi besar berdiri di
ambang pintu. Dia tidak segera masuk, tapi tegak dulu berdiam diri untuk
menyesuaikan pandangan matanya dalam kegelapan. Sesaat kemudian baru dia masuk
ke dalam ruangan, itupun tidak jauh.
Hanya dua langkah dari ambang pintu orang ini berhenti. Setelah terlebih dulu
membungkuk baru dia membuka mulut.
"Kiang Loan Nio Nikouw, saya Tek It Hui, nakhoda kapal Naga Hitam. Datang
menghadap memberi laporan. " Tek it Hui tidak meneruskan ucapannya, menunggu
tanggapan orang yang duduk di atas kursi.
"Sampaikan laporanmu, nakhoda. "
"Semua orang yang turun ke darat, satupun belum ada yang kembali Saat ini hampir
pagi. Saya menunggu, putusan yang akan Kiang Loan Nio Nikouw ambil. Apakah terus
menunggu atau kita segera berangkat saja. " (Nikouw = panggilan terhadap Paderi
perempuan) Perempuan bercadar di atas kursi memandang keluar jendela. Setelah memperhatikan
keadaan di luar sana dia berkata. "Kita sudah memberi waktu lebih dari cukup.
Seharusnya salah satu dari mereka sudah kembali paling lambat sekitar tengah
malam. Sekarang menjelang pagi. Aku punya firasat mereka semua gagal menjalankan
tugas. " "Berarti kita tak perlu menunggu, berangkat sekarang juga. Atau Kiang Loan Nio
Nikouw berubah pikiran. Ingin turun sendiri ke darat?"
Kiang Loan Nio Nikouw alihkan kepala dari jendela kapal. Lalu menghela nafas
dalam. "Aku pernah mendengar ketinggian ilmu kepandaian serta kehebatan ilmu
kesaktian orang-orang di tanah Jawa. Tapi apa mereka begitu perkasanya hingga
tokoh kang ouw sehebat Bun Pek Guan, Tong Siauw Chie dan Hek Chiu Mo menemui
kegagalan" Mungkin sekali mereka saat ini sudah menemui ajal semua. . . . "
Paderi perempuan itu berpaling pada nakhoda kapal yang tegak dalam kegelapan.
(kangouw= rimba persilatan Tiongkok)
"Aku ingin sekali menjajaki tanah Jawa. Tapi tidak sekarang. Kita akan datang
lagi dalam waktu cepat. Pasti. Nakhoda It Hui, kau ingat nama pendekar tanah
Jawa yang pernah diberi tahu oleh Wakil Ketua Siauw Lim pay. sebelum kita
berangkat?"
Nakhoda kapal Naga Hitam berpikir sejenak. "Kalau saya tidak salah mengingat
namanya Wie Lo Sab Leng. . . "
"Nama aneh. Terdiri dari empat kata. Apakah Wie itu she nya atau apa?"
Nakhoda It Hui tertawa. "Setahu saya orang Jawa tidak pakai she. "
"Kau yakin nama depannya Wie, bukan Lie?"
"Saya yakin sekali Loan Nio Nikouw. "
Paderi perempuan yang wajahnya tertutup cadar mengangguk.
"Nakhoda, ada baiknya kita segera berangkat sekarang saja, ingat, jangan
meniupkan peluit. Sampai kapal merapat di Tionggoan aku harap tidak seorangpun
menggangguku. "
"Saya mengerti Loan Nio Nikouw. "
Nakhoda Tek It Hui membungkuk dalam-dalam. Lalu melangkah ke pintu. Begitu
lelaki itu lenyap di balik pintu dan pintu kembali ditutup, perempuan yang
dipanggil sebagai paderi Dadu Setan 18
Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
segera berdiri dari kursi. Dari dalam sebuah lemari kecil dia mengeluarkan dua
buah benda. Pertama sebuah tas kecil, satunya sebuah papan seluncur. Dengan cepat dia
mengeluarkan seperangkat pakaian ringkas warna merah lalu berganti pakaian.
Selesai bersalin tas kecil digantungkan di punggung. Masih mengenakan cadar yang
menutupi kepala dan wajah dia membuka jendela lalu menyelinap ke luar. Untuk
beberapa lama Loan Nio Nikouw bergelantungan di sanding jendela. Lalu papan
seluncur dilempar ke bawah. Begitu papan mengapung di permukaan air laut, paderi
perempuan ini lepaskan pegangannya pada sanding jendela. Tubuhnya melayang dalam
gelap. Beberapa saat kemudian kaki kanannya telah mendarat di atas papan
seluncur. Begitu kaki kiri dimasukkan ke dalam air dan dikibas ke belakang,
papan seluncur melesat di permukaan air laut.
* * * Ditemukannya tiga mayat fang Cina di pantai, satu diantaranya tanpa kepala
menimbulkan kehebohan besar di Losari dan daerah sekitarnya. Kehebohan itu jadi
bertambah hebat setelah penduduk mengetahui pula adanya tiga mayat tak dikenal
di pantai Losari serta tiga mayat di kedai minuman Akang Punten. Tiga mayat itu
ternyata adalah Pengemis Muka Bopeng Dari Karangkoneng bersama dua anak buahnya.
Sementara itu menjelang siang di tepi pantai terlihat mengapung sesosok mayat
yang kemudian diketahui adalah Supri, seorang nelayan. Kehebohan tidak sampai di
situ. Penjaga pekuburan di Karangsembung memberitahu terjadinya pembongkaran
atas makam Nyi Inten Kameswari.
Setelah mendapat cukup; banyak keterangan dari anak buahnya Kepala Pasukan
Kadipaten Losari Rayi Jantra menghadap Adipati Raden Seda Wiralaga untuk memberi
laporan. Rayi Jantra seorang1 lelaki bertubuh tinggi tegap, memelihara kumis dan
jenggot. tipis. Sebenarnya Losari hanyalah sebuah kota pantai yang kecil tidak pantas
kalau di sana ada seorang Adipati. Namun karena letaknya yang sangat strategis
di kawasan perbatasan maka Kerajaan di timur sengaja menempatkan seorang Adipati
di sana. Maksudnya tiada lain adalah untuk mengawasi Kerajaan di barat.
Sebenarnya Losari masih merupakan daerah di bawah kekuasaan Kerajaan di barat.
Namun karena Kerajaan di barat begitu lemah maka wilayah tersebut tidak sempat
terjangkau dan diperhatikan sebagaimana mestinya. Akibatnya penduduk di sana
merasa lebih dekat pada orang-orang di timur. Hal ini tidak disia-siakan oleh
Kerajaan di timur. Maka mereka menempatkan seorang Adipati di Losari. Dibawah
Adipati Seda Wiralaga Losari maju pesat. Baik di bidang pertanian, nelayan
maupun perdagangan. Banyak kapal-kapal asing yang berlabuh di tanjung untuk
menurunkan barang dagangan sekaligus mengangkut hasil bumi penduduk termasuk
beberapa hasil pertambangan.
"Kematian Pengemis Muka Bopeng dan dua anak buahnya, apakah sudah diketahui
siapa pembunuhnya?" tanya Adipati Seda Wiralaga.
"Menurut pemilik warung pembunuh adalah seorang nenek berambut kelabu, sepasang
mata merah dan berjubah kuning. Akang Punten mengaku baru satu kali itu melihat
orang tersebut. " Menerangkan Kepala Pasukan.
Dadu Setan 19 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
"Dari ciri-ciri itu bisa diduga si pembunuh adalah orang rimba persilatan. . . "
kata Adipati Losari sambil mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut tipis. "Tujuh
orang menemui ajal di hari yang sama. Menurutku semua kejadian ini ada sangkut
pautnya dengan kapal Cina yang muncul di perairan Tanjung Losari. Bagaimana
pendapatmu Rayi Jantra?"
"Semua orang menduga demikian, Adipati," jawab Kepala Pasukan.
"Lain kali, jika ada lagi kapal asing muncul di Tanjung Losari, langsung memberi
tahu padaku. Jangan baru melapor setelah ada kejadian seperti ini. "
"Mohon maaf atas kelalaian saya ini Adipati. "
"Untuk mencegah terulangnya kejadian serupa, tambah jumlah pasukan di
semenanjung. "
"Akan segera saya lakukan Adipati. "
"Mengenai kejadian aneh di pekuburan Karangsembung, apa saja yang kau ketahui?"
tanya Adipati Seda Wiralaga.
"Penjaga pekuburan menemukan tanda-tanda makam Nyi Inten Kameswari dibongkar
orang lalu ditimbun kembali.
Perempuan ini meninggal dan dikubur kemarin sore. Kejadian ini diberi tahu pada
Anom Miharja, suami Nyi Inten. Pagi itu Anom Miharja mendatangi pekuburan
Karangsembung. Makam Nyi Inten dibongkar. Jenazah ditemukan masih dibungkus kain
kafan. Namun perutnya robek besar. Padahal menurut suami Nyi Inten dan
disaksikan banyak orang, sewaktu dikubur jenazah dan kain kafan istrinya dalam
keadaan utuh!"
"Jika perut jenazah dirobek berarti seseorang mengambil sesuatu dari dalam perut
itu. . . " ucap Adipati Seda Wiralaga sambil usap tengkuknya yang mendadak
terasa dingin. "Mengambil apa, Adipati?" tanya Rayi Jantra pula.
"Mungkin mengambil jantung, hati atau isi perutnya yang lain. . . . "
"Tapi untuk apa orang tega-teganya melakukan hal itu, Adipati?"
Adipati Losari terdiam sesaat. Lalu berkata memuji. "Itu pertanyaan bagus. Kau
tahu Rayi, sekarang ini jaman edan. Banyak orang edan menuntut ilmu edan yang
punya syarat-syarat edan!" Sang Adipati terdiam lagi seketika, baru kemudian
menyambung ucapannya.
"Kau tahu rumah kediaman Anom Miharja. Temui dia. Suruh datang menghadapku. Kita
perlu keterangan. Mungkin dia tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan jenazah
istrinya. Seumur hidup baru kali ini aku mendengar ada makam dibongkar, jenazah dijarah
isi perutnya!"
"Saya minta izin berangkat sekarang juga, Adipati. " Kepala pasukan membungkuk
memberi hormat lalu undur diri dari hadapan sang Adipati.
Rumah kediaman Raden Anom Miharja terletak di desa Babakan, pinggiran selatan
Losari, berupa sebuah gedung mewah besar dengan halaman luas. Ketika Kepala
Pasukan Rayi Jantra sampai di gedung itu bersama dua orang anak buahnya,
kelihatan banyak orang berkerumun di pintu gerbang.
"Ada apa ramai-ramai di sini?" tanya Rayi Jantra.
"Raden Anom Miharja mati gantung diri di kandang kuda," jawab seseorang.
Mendengar keterangan orang Kepala Pasukan Kadipaten Losari ini bersama dua
perajurit segera masuk ke dalam terus menuju halaman belakang dimana terdapat
sebuah kandang kuda besar. Di tempat ini lebih banyak lagi orang yang
berkerumun. Melihat siapa yang datang orang banyak segera memberi jalan.
Dadu Setan 20 Wiro Sableng - Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya Bastian Tito
Kandang kuda di belakang gedung mewah itu besar sekali. Terbuat dari kayu dan
bangunannya tampak kukuh. Bisa memuat enam kuda sekaligus. Saat itu tidak seekor
kuda pun tampak di dalam kandang. Di bagian tengah kandang ada satu balok besar
melintang. Pada balok ini terikat seutas tali besar. Ujung lain dari tali menjirat di leher
seorang lelaki bertubuh gempal yang hanya mengenakan celana putih tanpa baju.
Sepasang mata mencelet seperti hendak melompat keluar dari rongganya, lidah
terjulur. Keseluruhan wajah yang mengerikan itu membayangkan satu perasaan
takut. Tubuh yang tergantung itu adalah Anom Miharja, suami Nyi Inten Kameswari.
Kepala Pasukan Rayi Jantra memperhatikan. Pada dada kiri Anom Miharja ada satu
lebam berwarna merah kebiruan. Di bawah dua kaki Anom Miharja yang tergantung
setinggi orang duduk tidak terdapat apa-apa, misal kursi atau meja.
Tiga orang pelayan, satu lelaki dua perempuan, duduk menjelepok di tanah,
menangis terisak-isak. Rayi Jantra meminjam golok salah seorang anak buahnya
lalu menebas putus tali yang menjirat leher Anom Miharja.
Ketika meninggalkan gedung besar, kembali ke tempat mereka menambatkan kuda itu,
Rayi Jantra berkata pada dua anak buahnya. "Aku tidak yakin Anom Miharja mati
karena bunuh diri. Di dalam kandang tidak kelihatan alat bantu tumpuan kaki yang
biasa dipergunakan orang gantung diri. Jika bangsawan kaya raya itu memanjat
dulu ke atas atap, mengikat tali ke balok, menjirat leher lalu terjun ke bawah
rasanya tak masuk akal.
Kalaupun memang itu dilakukannya, lehernya akan tanggal, kepala putus karena
balok di atas atap kandang kuda tinggi sekali dudukannya dan bobot tubuh Anom
Miharja lebih seratus lima puluh kati beratnya. Yang membuat aku curiga ada
tanda merah di dada kirinya. Tepat di arah jantung! Aku punya dugaan, Anom
Miharja dibunuh lebih dulu baru digantung. Apa pendapat kalian?"
"Kami berdua perajurit bodoh, tapi jalan pikiran kami kira-kira sama dengan
Ladang Pertarungan 1 Seruling Gading Lanjutan Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Mustika Lidah Naga 5 1
^