Kitab 1000 Pengobatan 3
Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan Bagian 3
Melejang-lejang beberapa kali lalu diam tak bergerak lagi!
Pendekar 212 Wiro Sableng setengah melongo garuk-garuk kepala. Tadi dia jelas-
jelas menen- dang kepala dan dada kedua orang itu. Tapi jangankan mati, cidera sedikitpun
tidak! Setan Ngompol bertindak cepat. Dia gulingkan tubuh Galirenik lalu membetot lepas
kantong kulit. Kantong ini kemudian diserahkannya pada Hantu Malam Bergigi
Perak. "Terima kasih," kata si nenek. "Tapi jangan terlalu dekat. Nanti pakaianku
kebasahan air ken-
cingmu!" Setan Ngompol cuma bisa tersipu-sipu.
"Kedua orang berpakaian dan berbelangkon
serba hitam itu. Siapa mereka?" bertanya si kakek.
Kudengar tadi kau menyebut mereka sebagai kaki tangan pemberontak. Murid-muridmu
menyebut mereka orang-orang Keraton Kaliningrat. Aku tidak pernah mendengar nama
Keraton itu."
Si nenek tidak segera menjawab. Dia meman-
dang ke langit memperhatikan gugus bintang-bintang lalu berpaling pada dua
muridnya. "Kalian berdua pergilah lebih dulu. Tak lama lagi pagi segera datang."
"Kami siap pergi," menyahuti gadis berbaju merah. "Tapi, Nek, kalau kami boleh
menunggu barang beberapa ketika, bukankah kita tengah mencari sebuah benda. Di
sini ada orang yang punya hubungan dekat dengan pemilik benda itu."
Si baju merah lalu mengerling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kau betul," kata si nenek pula. Dia menatap wajah dua muridnya yang cantik itu,
lalu terse- nyum penuh arti, membuat wajah dua gadis can-
tik bersemu merah. Si nenek lalu lambaikan tangan ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng. "Anak muda, kemarilah sebentar! Ada yang hendak aku tanyakan padamu."
Wiro mendekat dan berhenti empat langkah di depan si nenek. Sambil menatap wajah
perem- puan tua itu hatinya berkata. "Melihat dandanan-
nya yang begini mencorong, nenek satu ini pasti sudah genit dari sejak mudanya."
"Hai, apa yang kau ucapkan dalam hati?" tiba-tiba Hantu Malam Bergigi Perak
membentak, membuat Wiro jadi tergagau dan berpura batuk-batuk.
Sambil senyum dan garuk kepala murid Sinto Gendeng merunduk unjukkan sikap
hormat lalu bertanya. "Nek, apa yang hendak kau tanyakan padaku?"
"Apa betul kau murid Sinto Gendeng?"
"Pasti kakek kuping lebar itu yang bilang padamu," sahut Wiro pula.
"Aku dan dua muridku tengah mencari sebuah kitab. Namanya Kitab Seribu
Pengobatan. Menurut kabar yang aku sirap, kitab itu adalah milik guru-
mu. Kami telah menghabiskan hampir tiga ratus hari dan sempat pergi ke puncak
Gunung Gede tapi gurumu tak ada di sana. Kami cari dia di mana-mana tapi dia
seperti cacing tanah, amblas tidak kelihatan, sulit dicari."
"Kitab Seribu Pengobatan itu tak ada lagi padanya." Menjelaskan Wiro.
"Maksudmu, anak muda?"
"Hilang dicuri orang."
Si nenek unjukkan wajah risau. Dua muridnya juga nampak gelisah.
"Menatap wajahmu dan mendengar nada sua-
ramu aku tahu kau tidak berdusta. Kau tahu siapa pencurinya?" tanya Hantu Malam
Bergigi Perak. Wiro menggeleng. Lalu berkata. "Seseorang pernah bilang kalau dia tahu di mana
beradanya kitab itu."
"Berarti dialah pencurinya!" kata si nenek pula tanpa tedeng aling-aling.
"Tapi orangnya sudah mati." menyelutuk Setan Ngompol.
Wiro sodokkan sikunya ke perut Setan Ngompol hingga kakek ini mengeluh kesakitan
dan pancar- kan air kencing. Wiro menyengir. "Nek, sangkaan-
mu bahwa orang yang memberi tahu itu adalah pencuri kitab tidak mungkin. Selain
dia seorang baik, dia juga sahabatku paling dekat."
Hantu Malam Bergigi Perak rangkapkan dua
tangan di depan dada. Suara seperti tungku api yang keluar dari bambu kuning di
atas kepalanya mengeras lalu kembali meredup.
"Dalam kehidupan ini, suatu kejahatan kerap-
kali dilakukan oleh orang-orang di dekat kita. Sulit dipercaya, tapi itulah
kenyataan! Kalau kau mau memberi tahu siapa orangnya, aku dan muridku akan
mencari pencuri itu."
"Aku tak mau ada yang kesalahan tangan. Biar aku sendiri yang mencari kitab itu.
Eyang Sinto Gendeng telah menugaskan hal itu padaku." Lalu dia bertanya pada si
nenek. "Apa pentingnya kitab itu bagi kalian?"
"Namanya saja kitab pengobatan. Apa ada
tujuan lain?"
"Siapa di antara kalian yang sakit" Aku lihat kalian bertiga sangat ceria dan
sehat-sehat saja,"
kata Setan Ngompol.
Si nenek ataupun dua muridnya tidak menja-
wab. Wiro garuk-garuk kepala.
"Nek, tadi sahabatku kakek tukang ngompol ini menanyakan beberapa hal
bersangkutan dengan dua orang yang sudah jadi mayat itu. Bahwa mereka kaki
tangan pemberontak. Murid-muridmu menyebut mereka orang-orang dari Keraton Kali-
ningrat. Aku tak pernah mendengar letak Keraton itu. Di mana letaknya?"
"Cerdiknya kau mengalihkan pembicaraan."
Ucap si nenek. Namun dia memberi penjelasan juga. "Yang namanya Keraton
Kaliningrat itu ha-
nya merupakan keraton bayangan. Letaknya bisa di mana-mana. Di sana bergabung
orang-orang pandai yang hendak menumbangkan tahta Kera-
jaan, termasuk dua manusia itu. Mereka menge-
nakan pakaian dan belangkon hitam. Di dada pakaian ada gambar rumah joglo serta
sepasang keris bersilang. Mereka memiliki semacam ilmu kebal. Buktinya pukulan
dan tendanganmu sama sekali tidak mempan! Sementara dua muridku dengan mudah
berhasil menghabisi mereka."
"Berarti kalian mengetahui cara memusnahkan ilmu kebal mereka," kata Wiro. "Kau
mau memberi tahu pada kami?"
"Aku tidak akan memberi tahu padamu!" jawab si nenek.
Wiro tertawa. "Kalau kau inginkan kitab pengo-
batan itu, kau harus membantu. Bukan mustahil kitab itu ada di tangan orang-
orang Keraton Kaliningrat."
Sesaat si nenek terdiam berpikir-pikir. Ucapan Wiro ada betulnya. Namun dia
tetap tidak mau memberi tahu. "Kau dan kakek itu dua tokoh rimba persilatan.
Punya ilmu selangit punya pengalaman seluas samudera. Kurasa jika mau kalian
bisa mencari sendiri kelemahan ilmu kebal orang-orang Keraton Kaliningrat."
"Kalau kau bilang begitu Nek, kalau kitab itu aku temukan, aku tidak akan
memberikannya padamu," ucap Wiro pula.
"Bagaimana dengan kau?" kata si nenek sambil berpaling pada Setan Ngompol dan
kedap-kedip- kan matanya serta senyum-senyum genit. "Jika kau yang menemukan, apa juga tidak
akan mau memberikan padaku?"
Si kakek kesemsem dan tekap dulu bagian
bawah perutnya baru menjawab. "Itu bisa kita atur, bisa kita atur."
Hantu Malam Bergigi Perak tertawa lebar.
Nenek ini dekati Setan Ngompol lalu membisikkan sesuatu. Wajah Setan Ngompol
tampak mengere-
nyit lalu kakek ini tertawa-tawa sendiri sambil goleng-goleng kepala.
Karena si nenek tidak mau memberi tahu kele-
mahan ilmu kebal orang-orang Keraton Kaliningrat Wiro alihkan percakapan dengan
bertanya. "Kantong kulit yang ada di punggungmu itu.
Apa isinya hingga kau begitu ingin memilikinya?"
"Madat!" jawab si nenek dengan suara keras dan polos.
Setan Ngompol langsung terkencing mendengar jawab si nenek. Wiro melongo
garukkan kepala.
"Jadi kau merampasnya untuk dipakai sen-
diri?" Si nenek tersenyum sementara dua muridnya menutup mulut menahan tawa cekikikan.
"Kalau aku pakai sendiri, sampai dua ratus tahun baru madat ini habis! Hik...
hik! Orang-orang Keraton Kaliningrat telah lama memburu madat ini. Asal
muasalnya rampasan dari sebuah kapal Cina yang berlabuh di Tuban. Mereka
bermaksud menjual barang setan ini. Hasil penjualan untuk membia-
yai perjuangan sesat mereka merebut tahta Kera-
jaan." "Siapa orang dibalik rencana pemberontakan itu Nek. Biasanya pasti ada pentolan
atau dedeng- kotnya. Kau tahu?"
"Aku tidak tahu namanya. Ada yang menyebut dia seorang pangeran tua yang punya
pertalian darah sangat dekat dengan Sri Baginda. Mungkin salah seorang adik tiri
Sri Baginda."
Si nenek untuk kedua kalinya menatap ke
langit lalu memberi tanda pada dua muridnya.
Sebelum tinggalkan tempat itu pada Wiro dia berkata.
"Jika kau dapatkan kitab itu, aku bersedia memberikan madat satu kantong ini
padamu!" "Oala...!" ucap Setan Ngompol setengah berseru sementara Wiro cuma garuk-garuk
kepala. Sekali berkelebat si nenek lenyap dalam gelapnya malam.
Hanya cahaya kepulan asap yang keluar dari po-
tongan bambu di atas kepalanya yang masih keli-
hatan di kejauhan. Dua orang gadis cantik murid si nenek untuk beberapa lama
masih berada di tempat itu. Menatap ke arah Wiro.
"Hai! Kalian mengapa masih belum bergerak?"
Di kejauhan terdengar suara Hantu Malam Bergigi Perak.
"Kami segera menyusul!" jawab gadis berpa-
kaian biru. Dia berpaling pada si merah.
Gadis berpakaian merah dekati Wiro lalu
berkata. "Kami berdua sangat mengharapkan kau bisa mendapatkan kitab pengobatan
itu secepat- nya." "Kalau begitu mengapa tidak ikut bersama
kami?" ujar Setan Ngompol.
"Kami mempunyai keterbatasan," jawab si
merah pula. "Keterbatasan apa?" tanya Pendekar 212.
"Kami tidak bisa memberitahu" jawab si merah.
Lalu ditariknya lengan gadis berpakaian biru.
Setelah dua gadis cantik pergi Wiro dekati Setan Ngompol dan bertanya. "Apa yang
tadi dibisikkan nenek ganjen itu padamu?"
Setan Ngompol nyengir. Tekap dulu bagian ba-
wah perutnya baru menjawab. "Dia bilang, kalau aku menyerahkan kitab pengobatan
padanya, dia akan memberikan satu gigi perak di mulutnya padaku."
"Kau mau?" tanya Wiro.
"Mauku dia memberikan gigi di mulut bawah perut, bukan gigi atas!" Habis berkata
begitu Setan Ngompol tertawa terkekeh-kekeh dan serrrr.
Kencingnya langsung muncrat.
WIRO SABLENG 10 KITAB SERIBU PENGOBATAN
ERLAHAN-LAHAN sang surya menyembul di.
ufuk timur. Setan Ngompol baru saja
Pkembali dari telaga. Dilihatnya Wiro sudah bangun dan duduk di pinggiran lantai
dangau. Si kakek duduk di samping sang pendekar.
"Aku masih ingat-ingat saja pada dua gadis cantik murid Hantu Malam Bergigi
Perak..." kata Setan Ngompol.
"Kau ingat muridnya atau gurunya" Bukankah kau sudah kecantol sama si nenek yang
ber- dandan menor itu" Apa lagi kau dijanjikan mau diberikan gigi! Pasti sedap kalau
kau berciuman dengan nenek itu, Kek!"
Setan Ngompol tertawa gelak-gelak hingga
kencingnya mengucur banyak. Celananya yang tadi sudah dicuci di telaga kini
kembali bau pesing air kencing.
"Aku yang tua bangka ini masih tahu diri.
Masakan naksir sama dua gadis yang pantas jadi cicitku. Kalau dapatkan si nenek
saja rasanya sudah seabrek-abrek. Hik... hik... hik! Menurutmu apakah aku cocok
menjadi pendamping Hantu Malam Bergigi Perak?"
"Kau tanyakan saja sendiri nanti kalau bertemu dia," jawab Wiro.
"Menurutku dua gadis cantik itu kelihatannya ingin sekali ikut bersamamu. Demi
untuk menda- patkan Kitab Seribu Pengobatan. Namun si merah mengatakan mereka punya
keterbatasan. Keterba-
tasan apa" Selain itu aku merasa heran. Di mana ada manusia apa lagi dua gadis
cantik, merendam diri dalam air telaga malam-malam buta."
"Kitab Seribu Pengobatan," ucap Wiro sambil garuk-garuk kepala. "Ke mana aku
harus men- carinya?" "Menurutmu, apakah ucapan Hantu Malam
Bergigi Perak ada benarnya" Bahwa orang yang memberitahumu itu adalah si pencuri
kitab?" Setan Ngompol malah balik bertanya.
"Kek, orang yang memberi tahu itu adalah
Bidadari Angin Timur. Aku pernah mencerita-
kannya padamu. Semalam mulutmu enak saja
nyelonong mengatakan gadis itu sudah mati! Atas dasar itu apakah seseorang
lantas bisa menuduh-
nya begitu saja sebagai pencuri kitab" Apa kepen-
tingannya mencuri kitab itu" Apa lagi mencuri sesuatu yang dia ketahui adalah
milik guruku Eyang Sinto Gendeng. Bidadari Angin Timur per-
nah beberapa kali diselamatkan oleh guruku.
Seandainya pun aku dan dia ada permusuhan, kurasa Bidadari Angin Timur tidak
akan sejahat itu."
"Kau pernah mendengar rasa cemburu bisa
lebih panas dari bara api" Rasa cemburu bisa lebih jahat dari setan kepala
tujuh?" "Hebat sekali bicaramu. Tapi aku tidak menger-
ti maksudmu Kek," kata Wiro pula.
"Satu saat kau akan mengerti. Aku tidak mau bicara banyak. Takut kau salah
menduga dan marah..."
"Sudahlah, kita harus melanjutkan perjalanan.
Aku tidak tahu kita mau menuju ke mana.
Kurasa..." Wiro berhenti bicara. Dari tikungan jalan muncul berlari seseorang.
Begitu mengenali orang ini, Setan Ngompol keluarkan ucapan. "Si centil satu ini.
Bukankah sebelumnya dia pergi bersama Dewa Tuak" Me-
ngapa sekarang tahu-tahu bisa muncul di sini?"
Yang datang dan kini berdiri di hadapan Wiro dan Setan Ngompol adalah Wulan
Srindi. Seperti dituturkan sebelumnya, sewaktu semua orang mulai meninggalkan
jurang batu di 113 Lorong Kematian, gadis ini ikut naik perahu bersama Dewa
Tuak. Apa yang terjadi"
Karena Wiro dan Setan Ngompol sama-sama
terdiam seperti melongo melihat kehadirannya, Wulan Srindi lantas keluarkan
ucapan. "Ada mayat dua lelaki dekat telaga. Apakah kalian mengetahui?"
Wiro berpaling pada Setan Ngompol sambil
kedipkan mata kiri, memandang kembali ke arah Wulan Srindi lalu gelengkan
kepala. Setan Ngom-
pol ikutan gelengkan kepala.
"Semalaman kami tidur di dangau. Pagi ini belum ke mana-mana," kata si kakek
pula berdus- ta. "Sudahlah, soal dua mayat itu akupun tidak perduli. Ada satu hal lain yang jauh
lebih penting."
Kata Wulan Srindi. Dari balik pakaiannya dia keluarkan sehelai kain panjang.
"Kalian mengenal pemilik kain ini?"
Wiro menggeleng. Setan Ngompol juga meng-
Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
geleng. Wulan Srindi campakkan kain panjang ke ta-
nah. Kembali dari balik pakaiannya dia mengelu-
arkan beberapa carik robekan kain biru halus.
"Kalian mengenali robekan kain ini" Harap diperiksa dan coba cium baunya."
Si gadis melemparkan dua potongan robekan kain biru itu ke arah Wiro dan satu
robekan lagi kepada Setan Ngompol. Wiro perhatikan dua robekan kain biru itu.
Tanpa mendekatkan ke hidung, dia sudah
dapat mencium bau harum yang tak asing lagi baginya. Air muka Pendekar 212 serta
merta berubah. Di sampingnya Setan Ngompol menciumi potongan kain biru berulang
kali. Mata kakek yang sudah belok ini bertambah mendelik. Dia berpaling pada
Wiro, hendak mengatakan sesuatu tapi tak ada suara yang keluar, hanya bibirnya
saja yang kelihatan bergetar.
"Wulan, dari mana kau dapatkan robekan kain itu?" Bertanya Wiro
"Kalian bisa mengenali?" Balik bertanya Wulan Srindi.
"Dari kehalusan kain, warna serta bau harum-
nya aku merasa yakin ini adalah robekan pakaian Bidadari Angin Timur." Ucap
Wiro. "Betul," membenarkan Setan Ngompol.
"Aku sudah menduga. Itulah yang membuat
aku khawatir kalau-kalau telah terjadi sesuatu dengan Bidadari Angin Timur,"
kata Wulan Srindi pula.
Baik Wiro maupun Setan Ngompol menduga-
duga apakah ucapan si gadis keluar dari hati yang tulus. Karena sebelumnya di
hadapan Sinto Gen-
deng Wulan Srindi berani membakar hati dan perasaan para gadis cantik sahabat
Wiro. "Cukup jauh dari sini terdapat sebuah jurang yang ada air terjunnya. Robekan
pakaian biru serta kain panjang itu aku temui di sebelah barat jurang. Hatiku
merasa tidak enak. Kain dan robe-
kan pakaian aku ambil. Aku cukup kenal kawasan ini dan tahu kalau ada sebuah
telaga tak jauh dari jurang. Ketika aku sampai ke telaga, kulihat dua mayat
tergeletak di tanah. Ada bekas-bekas perkelahian. Aku coba menyusuri jejak yang
datang dari arah sini. Ternyata aku menemui kalian berdua di dangau ini..."
"Tunggu dulu," Wiro memotong ucapan Wulan Srindi. "Sebelumnya bukankah kau ikut
bersama Dewa Tuak" Mengapa tahu-tahu bisa muncul di tempat ini?",
"Wiro, pertanyaanmu terasa mengandung
kecurigaan," kata Wulan Srindi datar tapi dengan mulut tersenyum. "Sesuai
perjanjian, Dewa Tuak menurunkan aku di satu tempat. Guruku itu meneruskan
perjalanan, aku tak tahu ke mana.
Tapi beliau berjanji akan bersedia menemuiku lagi pada hari ke sepuluh bulan
muka." "Di mana?" tanya Wiro. Dia tidak suka Wulan Srindi selalu menyebut-nyebut Dewa
Tuak sebagai gurunya.
"Saat ini aku belum bersedia memberi tahu padamu. Tapi jika kau, suka kita bisa
pergi sama-sama ke tempat itu," jawab sang dara.
Wiro tidak perdulikan kata-kata si gadis.
"Wulan, antarkan kami ke tempat kau menemu-
kan kain dan potongan pakaian ini."
"Ikuti aku," si gadis berkata lalu balikkan badan.
Pada saat matahari sudah mulai meninggi,
mereka akhirnya sampai di sekitar jurang yang diceritakan Wulan Srindi. Si gadis
kemudian menunjukkan tempat di mana dia menemui kain panjang dan robekan-robekan
kain biru. Tempat ini merupakan satu pedataran kecil ditumbuhi rumput liar dan
ada sebatang pohon berdaun rindang.
"Jika ini memang benar potongan pakaian
Bidadari Angin Timur, sulit aku menduga apa yang terjadi," kata Wiro sambil
memandang berkeliling.
"Ketika kita ramai-ramai memasuki lorong
kematian, gadis itu tidak kelihatan, tidak diketa-
hui di mana beradanya."
Setan Ngompol tekap bagian bawah perutnya.
"Kalau binatang buas mencelakai Bidadari Angin Timur, darah akan berceceran di
mana-mana. Sisa-sisa tubuhnya pasti ada yang tertinggal di tempat ini. Yang aku
takutkan..."
Setengah berlari Wiro mendekati tepi jurang.
Wulan dan Setan Ngompol mengikuti. Jurang batu itu ternyata dalam sekali. Di
salah satu sisinya menderu air terjun. Jatuhan air terjun pada beba-
tuan di dasar jurang membuat air seolah berubah menjadi asap dan membumbung naik
ke atas sampai ketinggian satu tombak.
"Jurang ini tak ubahnya seperti satu tabung panjang. Aku tidak melihat ke mana
mengalirnya curahan air terjun. Kalau tidak ada tempat meng-
alir, pasti sejak lama jurang ini sudah berubah menjadi sebuah danau atau
telaga." Wiro berucap, memberitahu jalan pikirannya kepada Setan Ngompol dan
Wulan Srindi. Lalu dia menam-
bahkan. "Kalau ada orang jatuh ke dalam jurang, pasti mayatnya akan terapung
berputar-putar di dasar sana."
"Apa yang ada dalam benakmu, Wiro?" tanya Setan Ngompol sambil pegangi perut.
"Tiba-tiba saja aku punya firasat buruk. Aku khawatir, satu malapetaka telah
menimpa Bida- dari Angin Timur. Seseorang telah memperkosanya lalu membunuh dan membuang
mayatnya ke dalam jurang."
"Ingat waktu aku menceritakan mimpiku ten-
tang Bidadari Angin Timur padamu" Saat itu aku katakan Bidadari Angin Timur
telah menemui ajal.
Lalu menurutmu jika ada yang berbuat jahat terhadapnya, siapa orangnya" Pangeran
Matahari, kurasa bukan..." ujar Setan Ngompol pula.
"Hantu Muka Dua," kata Wiro. "Dia pernah
mencoba merusak kehormatan Bidadari Angin Timur. Untung Jatilandak muncul dan
menyela- matkan gadis itu."
"Waktu di lorong kematian, Luhkentut pernah memberi tahu bahwa ada perubahan
pada diri Hantu Muka Dua. Dia bahkan ingin mencarimu karena telah menyelamatkan
dirinya..."
"Yang namanya hantu, siapa percaya ucapan-
nya!" jawab Wiro. Lalu dia tegak tak bergerak. Dua tangan disilang di depan
dada. Mata diarahkan ke dasar jurang. Dia mulai mengerahkan ilmu
Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung. Cukup lama Wiro meneliti
keadaan dasar jurang yang bisa dilihatnya cukup jelas. Namun dia tidak menemukan
sosok manusia. Wiro meng-
hela nafas panjang.
"Kau melihat sesuatu?" tanya Setan Ngompol.
Wiro menggeleng. "Aku harus menyelidik, turun ke dalam jurang. Kalian berdua
harap menunggu di sini."
"Bagaimana caranya kau turun ke bawah?"
tanya Wulan Srindi. "Jurang itu dalam sekali. Tak ada tempat untuk menjejak
kaki, tak ada pohon untuk bergantung. Kalaupun kau bisa turun ke dasar jurang,
apakah kau mampu naik lagi ke sini?"
Murid Sinto Gendeng tidak menjawab. Dia du-
duk bersila di tepi jurang. Dua tangan diletakkan bersilang di atas dada. Mata
dipejamkan dan jalan pendengaran ditutup dengan cara mengalirkan hawa sakti ke
liang telinga. Perlahan-lahan Wiro mulai kosongkan pikiran. Lalu hatinya
melafalkan kata Basmallah tiga kali berturut-turut disusul dengan ucapan Meraga
Sukma. "Ah... Ilmu Meraga Sukma..." ujar Setan
Ngompol sambil berusaha menahan kencing ketika melihat dari tubuh Pendekar 212
bergerak keluar sosok samar. hampir menyerupai bayangan. Perla-
han-lahan sosok ini berubah berbentuk utuh dan melangkah ke jurang.
Setan Ngompol tak sanggup menahan pancaran kencingnya, sementara Wulan Srindi
memperhati- kan semua yang terjadi dengan mata membeliak besar. "Ilmu Meraga Sukma?" ucapnya
dalam hati. Tanpa keraguan sama sekali, sosok sukma Pendekar 212 Wiro Sableng seperti seekor
burung besar melayang turun ke dalam jurang batu, lenyap di balik curahan air
terjun. Setan Ngompol terduduk di tanah. Masih
kucurkan air kencing. Dia sudah lama tahu kalau Wiro memiliki kesaktian yang
sangat langka itu.
Namun baru sekali ini menyaksikan. Sementara Wulan Srindi yang tidak pernah tahu
keberadaan ilmu itu dan bahwa Wiro memilikinya, sampai sekian lama masih saja
tegak di tepi jurang, memandang dengan mata tak berkesip mulut
ternganga. Ada rasa khawatir dalam diri gadis ini.
Apalagi setelah ditunggu sekian lama Wiro tidak kunjung muncul. Hingga dia
bertanya pada Setan Ngompol.
"Kek, aku khawatir sesuatu terjadi dengan Wiro di dasar jurang sana. Bagaimana
kita menolong- nya?" "Kau tak usah khawatir. Dia pasti akan kembali ke sini."
"Kek, setahuku Eyang Sinto Gendeng tidak
memiliki yang disebut ilmu Meraga Sukma. Dari mana Wiro mewarisinya?"
"Aku sendiri tidak tahu," jawab Setan Ngompol.
"Dia anak baik. Suka menolong orang. Tidak mustahil banyak orang pandai yang
berkenan memberikan ilmu kesaktian padanya."
Baru saja Setan Ngompol berkata begitu tiba-tiba dari dalam jurang melayang naik
sosok suk- ma Pendekar 212 Wiro Sableng. Sosok ini melang-
kah mendekati Wiro asli yang sejak tadi masih duduk bersila di tanah. Sosok
samar perlahan-lahan masuk dan menyatu dengan tubuh yang duduk bersila. Begitu
kesadaran memasuki alam pikirannya, Wiro ucapkan Basmallah lalu kata-kata Meraga
Sukma Kembali Pulang masing-ma-
sing sebanyak tiga kali.
Begitu Wiro buka kedua matanya, Wulan Srindi segera mendekati dan Setan Ngompol
bertanya. "Bagaimana?"
"Aku tidak menemukan tanda-tanda adanya
orang jatuh ke dalam jurang. Di dinding dasar jurang di hadapan air terjun ada
satu celah ber-
bentuk cegukan. Aku menerobos masuk, mengi-
kuti aliran air. Di balik dinding batu ada sebuah kolam kecil. Air kolam yang
berasal dari air terjun mengalir deras menuju sebuah anak sungai."
"Aku berharap segala dugaan kita atas diri Bidadari Angin Timur tidak benar.
Mudah-mudahan. gadis itu berada dalam keadaan sela-
mat," kata Wulan Srindi pula.
Wiro memandang pada Setan Ngompol. "Aku
harus mencari gadis itu sampai dapat. Apa lagi kalau kitab yang aku cari memang
ada padanya..."
"Wiro, sambil mencari Bidadari Angin Timur, dalam perjalanan kita bisa mampir ke
tempat guruku Dewa Tuak berjanji untuk bertemu..."
"Maaf Wulan, aku tidak punya kesempatan
memenuhi permintaanmu."
"Tapi nanti akan ada pembicaraan sangat pen-
ting antara aku, kau, dan Dewa Tuak. Menyang-
kut soal perjodohan kita."
Wiro tertawa lebar tapi hatinya terasa panas mendengar ucapan si gadis. "Kalau kau memang ingin memaksa dan mau cepat-cepat mencari jo-
doh, kawin saja dengan Dewa Tuak!" Wiro sampai keluarkan ucapan tidak enak
saking kesalnya.
"Tunggu dulu Wiro," kata Wulan Srindi sambil memegangi lengan pemuda itu ketika
dilihatnya Wiro hendak berlalu. "Apakah sapu tangan yang pernah aku berikan
padamu masih kau simpan?"
Pendekar 212 jadi sengit dan meraba ke balik pakaiannya. Sesaat kemudian dia
keluarkan sehe-
lai sapu tangan biru muda. Seperti diceritakan dalam Episode berjudul Pernikahan
Dengan Mayat, karena bicara usil, Sinto Gendeng sampai menam-
par muka Wiro hingga bibirnya luka dan mengucurkan darah. Wulan Srindi kemudian
mengusap darah itu dengan sehelai sapu tangan biru muda.
Sapu tangan ini kemudian diselipkannya di ping-
gang Wiro. "Kau inginkan sapu tangan ini kembali" Ambil-
lah!" kata Wiro pula lalu susupkan sapu tangan biru muda ke dalam genggaman
Wulan Srindi. Tanpa banyak bicara lagi Wiro kemudian tinggal-
kan tempat itu.
Setan Ngompol tampak bingung. "Ah, kenapa urusan jadi tak karuan begini" Aku..."
Si kakek tekap bagian bawah perutnya lalu lari terbung-
kuk-bungkuk tinggalkan si gadis.
Wulan Srindi tampak tenang saja malah gadis cantik berkulit hitam manis ini
mengulum senyum. Sambil mengibas-ngibas sapu tangan biru muda dia. berkata seorang diri.
"Siapa yang ingin meminta kembali sapu tangan ini. Aku hanya ingin tahu apakah
dia masih memegangnya.
Ternyata dia masih menyimpannya. Pertanda dia tidak melupakan diriku..." Gadis
ini campakkan sapu tangan biru muda bernoda darah ke dalam jurang lalu masih
senyum-senyum dia tinggalkan tempat itu ke arah lenyapnya Wiro dan Setan
Ngompol. Namun baru berlari kurang dari lima puluh langkah tiba-tiba di belakangnya
terdengar suara kuda dipacu menyusul bentakan keras.
"Perempuan berpakaian hijau! Hentikan larimu!
Jangan berani bergerak!"
Dalam kejutnya Wulan Srindi yang memang
mengenakan pakaian hijau perlambat larinya.
Baru saja dia berhenti di pinggir jalan, dua kuda besar yang ditunggangi dua
lelaki berpakaian hi-
tam dan belangkon hitam berhenti di hadapannya.
Di atas dua ekor kuda tunggangan mereka keliha-
tan melintang dua orang yang juga berpakaian hitam. Wulan Srindi segera
mengenali, dua sosok itu adalah dua mayat yang ditemuinya tak jauh dari telaga.
"Apa kepentingan kalian memerintahkan aku berhenti?" tanya Wulan Srindi sambil
berkacak pinggang.
"Ah, ternyata seorang gadis cantik! Bukan main!" ucap lelaki di sebelah kanan.
"Aku suka gadis galak!" kata lelaki di samping kiri.
Seperti dua mayat, pada dada kiri baju kedua orang itu terdapat sulaman rumah
joglo dan dua keris bersilang. Orang-orang dari Keraton Kali-
ningrat. "Kami lihat kau memiliki ilmu lari cukup tinggi.
Dua teman kami mati dibunuh orang. Hanya
orang berkepandaian tinggi yang sanggup meng-
habisi mereka. Kami tidak menuduh kau pembu-
nuhnya. Paling tidak kau mungkin mengetahui siapa si pembunuh!"
"Aku sedang ada urusan! Kalian berdua hanya menghabisi waktuku dengan pertanyaan
edan! Siapa pembunuh kedua temanmu mana aku
tahu" Mana aku perduli" Tanyakan pada setan di jurang air terjun sana!" Wulan
Srindi mencibir lalu berkelebat untuk lanjutkan perjalanan. Namun dalam gerakan
cepat salah seorang dari kedua lelaki berhasil mencekal lengannya.
"Dua temanku ini membawa satu kantong kulit.
Kau melihat kantong itu?" tanya lelaki yang men-
cekal lengan Wulan Srindi.
"Tanyakan pada setan air terjun!" jawab Wulan Srindi. Dia berusaha menarik lepas
tangannya yang dicekal. Tapi tidak mampu!
WIRO SABLENG 11 KITAB SERIBU PENGOBATAN
ULAN SRINDI kerahkan tenaga dalam lalu
sentakkan tangan orang yang mencekal
Wlengannya. Bersamaan dengan itu dengan
jurus Membelah Ombak Menembus Gunung anak murid Perguruan Silat Lawu Putih ini
sodokkan siku kanannya ke lambung orang. Bukkk!
Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kuntorandu, orang yang kena hantam, terjajar dua langkah dan terpaksa lepaskan
cekalannya. Namun tak ada kerenyit kesakitan di wajahnya.
Pekik Ireng, orang dari Keraton Kaliningrat satunya tertawa mencemoohkan
Kuntorandu. "Menghadapi seorang gadis jelita saja kau tak mampu. Memalukan! Atau kau memang
sengaja mengalah?"
Melihat lawan kena dihantam Wulan Srindi jadi bersemangat. Dia teruskan
serangannya dengan jurus Menyapu Lereng Menjebol Puncak Gunung.
Tangan kiri menggebuk ke arah dada, tangan kanan menjotos mencari sasaran di
kepala lawan. Bukkk! bukkkt Dua pukulan Wulan Srindi mendarat telak di dada dan rahang Kuntorandu. Namun
lelaki ini hanya menyeringai. Tiba-tiba Kuntorandu kem-
bangkan kedua tangannya. Wulan Srindi tengge-
lam dalam rangkulan Kuntorandu. Penuh nafsu lelaki ini ciumi wajah, leher, dan
dada si gadis. Dia tidak perdulikan sama sekali pukulan yang men-
dera perut serta punggungnya. Dalam keadaan bergelantungan, dua kaki tidak
menginjak tanah, tiba-tiba Wulan Srindi gigit dagu Kuntorandu hingga luka dan
mengucurkan darah. Kuntorandu menjerit kesakitan, lepaskan pukulan.
Plaakk! Kuntorandu daratkan tamparan keras ke wajah Wulan Srindi. Selagi gadis ini
melintir kesakitan, dari belakang Pekik Ireng memeluk tubuh gadis itu kuat-kuat.
Dari arah depan Kuntorandu tusukkan dua jari tangan ke pertengahan dada, tepat
di antara dua payudara. Wulan Srindi mengeluh tinggi. Nafasnya sesak. Tubuhnya
tak bisa bergerak lagi.
Pekik Ireng tertawa bergelak. "Di situ ada dangau. Kita bawa dia ke sana!"
Kuntorandu segera menggendong Wulan Srindi dan membaringkannya di lantai dangau.
"Aku duluan! Kau jauh-jauh dulu dari sini!"
Pekik Ireng tertawa lebar. "Jangan tertalu lama.
Jangan dihabisi semua! Ha... ha... ha!"
Sebelum melangkah pergi, Pekik Ireng mende-
ngar suara pakaian robek dilucuti lalu suara pekik jerit Wulan Srindi tiada
henti! *** Jatilandak, pemuda dari alam 1200 tahun si-
lam melangkah tanpa tujuan. Dia hanya tahu kalau saat itu malam hari dan dia ada
di tepi su- ngai, berjalan sepembawa kaki menyusuri sungai.
Pikiran dan ingatannya tidak pupus dari apa yang baru dialaminya. Perempuan
cantik berupa ba-
yang-bayang yang telah menolong dirinya itu, siapa dia sebenarnya" Mengapa dia
menginginkan Kitab 1000 Pengobatan" Apakah dia akan bertemu lagi" Apakah dia
dapat membalas budi baiknya yang telah menolong dan menyelamatkan jiwanya"
"Aneh, kenapa aku ingin sekali bertemu dengan dia. Mengapa tiba-tiba ada
kerinduan dalam hatiku terhadapnya. Kitab Seribu Pengobatan. Dia menginginkan
kitab itu. Aku harus berusaha keras untuk mendapatkan dan memberikan pada
perempuan muda bayangan itu."
Jatilandak juga ingat pada Bidadari Angin Timur, Wiro, Naga Kuning, Anggini,
serta semua orang yang mendatangi 113 Lorong Kematian. Di mana mereka sekarang"
Ketika malam berganti pagi dan matahari mulai naik, Jatilandak masih saja
berjalan menyusuri tepi sungai ke arah hulu. Sampai pada satu ketika langkahnya
terhenti karena di depannya menju-
lang satu dinding bukit batu yang tinggi. Di kiri kanan sungai mengapit rimba
belantara. "Sungai aneh. Airnya seolah keluar dari dalam dinding batu..." kata Jatilandak
dalam hati sambil memperhatikan aliran air sungai yang deras. Di balik dinding
batu Jatilandak mendengar suara menderu tak berkeputusan.
"Sepertinya ada air mencurah di balik dinding batu. Air terjun..."
Memandang ke depan pemuda dari negeri
Latanahsilam ini melihat ada tebing terjal di sebelah kiri dinding batu yang
menjulang tinggi.
Cukup lama berada di tempat itu Jatilandak tiba-tiba saja merasa hatinya tidak
enak. Seperti ada orang yang memperhatikan gerak-geriknya dari tempat
tersembunyi. Dia memandang berkeliling.
Tak terlihat ada orang di sekitar situ. Tidak tampak hal-hal yang mencurigakan.
Kemudian, di antara deru air yang mencurah di balik bukit batu, sayup-sayup
Jatilandak mendengar suara sesu-
atu. "Seperti suara jeritan orang minta tolong. Atau mungkin salah pendengaranku"
Mungkin desau suara angin?"
Jatilandak akhirnya terjun menyeberangi
sungai lalu mendaki tebing curam di sebelah kiri dinding batu. Walau dia
memiliki kepandaian ting-
gi serta ilmu meringankan tubuh namun cukup susah juga baginya untuk mencapai
bagian men- daki lamping batu yang sangat terjal itu. Di bagian atas dia menemukan sebuah
pedataran, lalu sebu-
ah telaga. Ketika berada di tepi telaga inilah kem-
bali dia mendengar suara teriakan orang minta tolong. Kini dia dapat mengenali.
Suara teriakan itu adalah suara teriakan perempuan. Datangnya dari balik
tikungan jalan di kiri pendataran. Jati-
landak segera berlari ke arah datangnya suara.
Cukup jauh setelah melewati tikungan terlihat sebuah dangau. Di atas dangau
inilah tampak tergeletak sesosok tubuh perempuan. Perempuan inilah yang
berteriak dan kini suara teriakannya terdengar melemah parau.
Begitu sampai di dangau, kejut Jatilandak bukan olah-olah. Dia cepat membuka
bajunya dan dipakai menutupi tubuh perempuan yang tergele-
tak dalam keadaan miring di lantai dangau. Pakai-
annya robek serta tersingkap tak karuan, mem-
buatnya nyaris telanjang.
"Tolong... tolong..."
Tubuh itu bisa bersuara tapi tak bisa bergerak.
Perlahan-lahan Jatilandak balikkan sosok perem-
puan itu. Dia melihat satu wajah perempuan mu-
da penuh bengkak dan berdarah bekas pukulan.
Dalam keadaan seperti itu Jatilandak masih bisa mengenali siapa adanya perempuan
itu. "Wulan Srindi. Kaukah ini..." Betul...?"
Suara mengerang berhenti. Perempuan muda
itu yang memang Wulan Srindi adanya berusaha membuka dua matanya yang sembab
namun dia tidak mampu melihat jelas. "Siapapun kau ada-
nya, tolong... Orang telah menganiaya diriku. Aku ditotok di pertengahan dada...
Tolong..."
Jatilandak singkapkan sedikit bagian dada yang tertutup pakaian. Dia melihat ada
tanda me- rah di antara dua payudara Wulan Srindi. Jati-
landak bertindak cepat. Pemuda dari negeri 1200
tahun silam ini basahi ibu jari tangan kanannya dengan ujung lidah. Lalu ibu
jari itu ditempelkan pada bagian dada Wulan Srindi yang berwarna merah bekas
totokan. Jatilandak alirkan tenaga dalam serta hawa sakti yang dimilikinya.
Dess! Bagian tubuh yang ditekan keluarkan asap.
Beginilah cara Jatilandak memusnahkan totokan di tubuh Wulan Srindi. Begitu
dirinya lepas dari totokan, Wulan Srindi menggeliat, menjerit keras lalu
gelungkan kedua tangannya ke leher Jatilan-
dak, bergayut di tubuh pemuda itu beberapa lama.
Jatilandak cepat pegang tubuh Wulan Srindi agar tidak jatuh.
"Tidak! Jahanam! Jangan sentuh tubuhku!"
Teriak Wulan Srindi tiba-tiba. Dalam keadaan nyaris tidak melihat dia melompat
dari dangau lalu berlari kencang ke arah timur sambil terus menjerit-jerit.
Jatilandak berusaha mengejar namun dia men-
dengar ada suara mencurigakan di balik semak-semak tak jauh di samping kirinya.
Dia hentikan larinya dan memperhatikan. Semak-semak itu kelihatan bergoyang.
Ketika dia mendekati, Jati-
landak tidak menemukan siapa-siapa. Namun matanya yang tajam dapat melihat
tanda-tanda kalau sebelumnya ada seseorang bersembunyi di tempat itu.
Jatilandak cepat berbalik dan mengejar ke arah larinya Wulan Srindi. Mudah
baginya untuk mengetahui ke arah mana larinya si gadis karena sambil lari Wulan
Srindi terus berteriak-teriak.
Sekonyong-konyong teriakan itu lenyap. Jatilan-
dak mengejar terus dan baru berhenti ketika dia menyadari telah kehilangan
jejak. "Wulan! Wulan Srindi! Kau di mana?" teriak Jatilandak berulang kali memanggil
Wulan Srindi. Namun tak ada jawaban.
"Aneh, tak mungkin dia bisa melenyapkan diri begitu saja. Suara jeritannya
lenyap. Di mana dia berada saat ini" Apa yang terjadi?"
Jatilandak akhirnya sandarkan badan ke seba-
tang pohon sambil menyeka keringat yang bercu-
curan di kening dan dadanya yang telanjang.
"Wulan Srindi... kasihan. Gadis itu agaknya telah diperkosa. Siapa manusia bejat
yang tega melakukan" Kalau si pemerkosa menotok Wulan Srindi berarti dia adalah
orang dari rimba persi-
latan. Seingatku ketika aku dan kawan-kawan menerobos masuk ke dalam lorong
kematian Wulan Srindi merupakan salah satu gadis yang diculik. Bagaimana dia bisa berada
di dangau"
Pasti para sahabat membebaskannya atau dia berhasil kabur melarikan diri."
Saat itu kembali terbayang wajah cantik perem-
puan muda berbentuk bayangan di pelupuk mata Jatilandak. "Aku telah berjanji
padanya untuk mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan itu. Aku harus mencari kitab
itu. Mungkin pertama sekali aku harus mencari Wiro lebih dulu. Tapi antara aku
dan dia ada ganjalan besar. Apakah dia bers-
edia menolongku" Bidadari Angin Timur, di mana kau berada saat ini?"
WIRO SABLENG 12 KITAB SERIBU PENGOBATAN
ALAM HARI, dalam sebuah rimba belan-
tara di tenggara Gunung Lawu. Setan
MNgompol atur tumpukan kayu perapian.
"Ini malam ketiga perjalanan kita. Mencari Bidadari Angin Timur seperti mencari
seekor ikan dalam lautan. Petunjuk di mana beradanya Kitab Seribu Pengobatan
sedikitpun belum kita dapat-
kan." "Perjalanan ini bisa berminggu-minggu. Bahkan berbulan-bulan. Sebenarnya ada
beberapa orang yang bisa kita temui untuk mendapatkan petun-
juk. Pertama guruku sendiri Eyang Sinto Gen-
deng." Setan Ngompol pencongkan mulut lalu geleng-
kan kepala. "Gunung Gede jauh sekali dari sini.
Belum tentu nenek itu ada di sana pada saat kita datang. Lagi pula menurutku dia
tidak punya petunjuk apa-apa. Kalau tahu di mana kitab itu beradanya pasti sudah
diberitahukan kepadamu."
"Eyang Sinto pernah menyatakan kecurigaan-
nya pada Dewa Tuak. Sebelum kitab hilang, Dewa Tuak pernah mampir di Gunung
Gede." "Aku tidak percaya kalau kakek itu yang jadi pencuri..."
"Terus terang aku juga tidak percaya," kata Wiro pula. "Ketika sama-sama di
lorong kematian, aku menyesal tidak banyak bertanya pada Kakek Segala Tahu."
"Kita harus mencari kakek buta itu. Ingat sewaktu kau menyerahkan kipas kayu
cendana, dia merubah niatnya naik perahu ikut bersama Dewa Tuak dan Wulan
Srindi. Kau bisa menduga ke mana perginya kakek itu?"
"Ke mana lagi kalau bukan menemui si pemberi kipas, Nyi Roro Manggut di pantai
selatan. Aku memang punya niat menemui Nyi Roro Manggut.
Siapa tahu sekalian bisa menemui Kakek Segala Tahu. Tapi untuk pergi ke sana
tidak sembarang waktu dan sulitnya bukan main. Aku harus minta bantuan Ratu
Duyung. Gadis itupun lenyap entah ke mana. Pada siapa aku benar-benar bisa men-
dapatkan pertolongan...?"
"Bagaimana kekasihmu yang dari alam roh
itu?" tanya Setan Ngompol pula sambil usap mata-
nya yang belok jereng.
"Maksudmu Bunga?" Wiro tertawa, "Aku harus tahu diri Kek. Baru beberapa hari
lalu kita men- dapat pertolongan dari dia sewaktu menyerbu 113
Lorong Kematian. Sekarang mau minta tolong lagi..."
Si kakek usap-usap kepalanya yang setengah botak. "Menurutku dalam bercinta,
kekasih adalah segala-galanya. Jangankan pertolongan, nyawa-
pun akan diberikan..."
"Ucapanmu mengada-ada. Dari mana kau tahu aku bercinta dengan gadis alam roh
itu?" Setan Ngompol tertawa lebar lalu terbatuk-batuk beberapa kali. "Kalian saling
peluk di telaga, saling..."
Wiro julurkan kakinya ke arah bagian bawah perut si kakek, Setan Ngompol cepat-
cepat bersu- rut mundur sambil menahan kencing.
"Yang membuat aku khawatir, bukan cuma kita yang menginginkan kitab keramat itu.
Ingat Hantu Malam Bergigi Perak dan dua muridnya" Mereka juga menginginkan.
Wiro, kita harus berhati-hati dalam bicara dan menebar kabar. Semakin banyak
orang yang tahu kitab itu hilang semakin banyak yang ingin mencari dan
mendapatkannya."
Lama Wiro terdiam dan merenung. Akhirnya
murid Sinto Gendeng keluarkan Kapak Naga Geni 212 dari balik pinggang. Mata
kapak diusap-usap sesaat. Lalu perlahan-lahan kapak diangkat, gagang yang
berbentuk kepala naga didekatkan ke bibir. Jari-jari tangan ditempelkan pada
lubang-lubang di batang gagang kapak yang menyerupai seruling. Wiro meniup
seruling Kapak Naga Geni 212 dengan penuh perasaan dan mata dipejam-
kan. Mula-mula perlahan saja, kemudian mulai keras namun tetap dalam irama naik
turun meng- alun lembut. Siapa mendengar tiupan seruling dengan berhiba-hiba itu pasti akan
tercenung dan ikut terbawa larut perasaannya.
Pendekar 212 Wiro Sableng sengaja memainkan seruling kapak untuk berusaha
membebaskan dirinya dari pikiran serta perasaan yang meng-
himpit. Kemudian dia juga berharap ada seseorang yang mendengar suara tiupan
seruling itu, yakni Bidadari Angin Timur, dan datang menemuinya.
Namun lain dengan diharapkan lain pula yang datang. Di bawah nyala perapian yang
mulai redup, berkelebat satu bayangan. Di lain kejap bayangan ini telah berdiri
di hadapan Wiro dan Setan Ngompol.
"Jatilandak!" ucap Setan Ngompol setengah berseru begitu dia mengenali siapa
adanya yang datang dan berdiri di hadapannya tanpa baju. Pe-
muda dari negeri 1200 tahun silam itu membung-
kuk sedikit memberi hormat pada si kakek.
"Kek, aku senang bisa bertemu denganmu
kembali." "Sewaktu di lorong kematian, kami berusaha mencari. Kau lenyap entah ke mana
tahu-tahu muncul di sini dalam keadaan cuma pakai celana, tidak mengenakan
baju." "Aku terpaksa menyerahkan bajuku untuk
menolong seseorang," jawab Jatilandak.
Perlahan-lahan suara tiupan seruling bergema perlahan dan akhirnya lenyap.
Pendekar 212 buka sepasang matanya. Pandangannya saling berben-
turan dengan tatapan Jatilandak.
"Wiro, aku gembira dapat menemui lebih cepat dari yang aku duga. Ada yang perlu
kita bicara- kan..." Wiro susupkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaian lalu berkata. "Saat di lorong
kematian, aku meninggalkanmu di tepi telaga. Aku berjanji akan kembali untuk
menjemputmu. Tapi ketika aku dan kawan-kawan kembali ke telaga di dasar jurang,
kau tak ada lagi di situ."
"Wiro, sekali lagi terima kasih kau telah menye-
Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lamatkan jiwaku. Ada hal lain yang ingin kubica-
rakan agar lenyap kesalahpahaman antara kita..."
"Jika yang hendak dibicarakan soal hubungan-
mu dengan Bidadari Angin Timur, kurasa semua sudah jelas. Tak ada lagi yang
perlu dibicarakan.
Aku menerima keadaan apa adanya."
"Kau salah mengerti Wiro..."
Pendekar 212 tersenyum dan gelengkan kepala.
Jatilandak akhirnya memutuskan untuk tidak membicarakan hal itu. Maka dia
mengalihkan pembicaraan. "Tak lama setelah kau meninggalkan aku di tepi telaga,
ada satu mahluk perempuan aneh berbentuk bayang-bayang menolongku
keluar. Aku dibawa ke sungai dan racun belerang dalam tubuhku dikuras keluar.
Sebelum pergi mahluk itu minta agar aku mencarikan Kitab Seribu Pengobatan. Jika
dapat dia ingin memin-
jamnya barang beberapa lama. Karena aku sudah menerima budi maka permintaannya
itu aku luluskan. Aku berjanji akan mencarikan kitab ter-
sebut dan menyerahkannya. Wiro, aku tahu kitab itu adalah milik gurumu. Aku juga
tahu kitab itu lenyap dicuri orang. Jika kau punya petunjuk aku akan melakukan
apa saja untuk dapatkan kitab itu."
Wiro diam saja. Yang bersuara adalah Setan Ngompol. "Satu-satunya orang yang
punya petun- juk tentang kitab itu adalah Bidadari Angin Timur.
Kini gadis itu lenyap seperti ditelan bumi, laksana asap ditelan udara."
Jatilandak terdiam. Ketika dia hendak menga-
takan sesuatu tiba-tiba belasan orang berkelebat dalam kegelapan. Sesaat
kemudian dua belas obor besar menyala menerangi rimba belantara itu, membentuk
lingkaran lapis luar. Sepuluh orang pada lapis terdepan ikut merangsak maju,
juga dalam bentuk lingkaran. Semua bersenjatakan golok telanjang. Orang
kesebelas yang tidak men-
cekal senjata melangkah mendekati Jatilandak.
Usianya masih muda, bertubuh tinggi langsing.
Keseluruhan ada 23 orang mengurung tempat itu.
Semua berseragam pakaian serta ikat kepala ber-
warna biru tua.
"Jatilandak! Berlututlah agar kepalamu bisa aku penggal dengan cepat!" Habis
berkata begitu tahu-tahu sebilah golok sudah tergenggam di tangan kanan pemuda
tinggi langsing.
Kejut Jatilandak bukan alang kepalang. Orang tahu namanya sementara dia tidak
mengenal satu pun di antara mereka. Setan Ngompol kucurkan air kencing,
perlahan-lahan bangkit berdiri sambil pegangi bagian bawah perut.
"Orang tua! Tetap di tempatmu atau kau bakal mampus duluan!" bentak pemuda
tinggi langsing.
Si kakek terpaksa duduk menjelepok di tanah kembali. Pendekar 212 Wiro Sableng
tenang-tenang saja malah garuk-garuk kepala.
"Ada apa ini" Apa salahku" Siapa kalian?"
tanya Jatilandak.
Tangan kiri berkacak pinggang, tangan kanan tudingkan ujung golok ke muka
Jatilandak pemu-
da tinggi langsing keluarkan ucapan.
"Aku Yuda Paranglangit. Murid ketiga mewakili mendiang Ketua Perguruan Silat
Lawu Putih. Dua hari lalu kau memperkosa kakak seperguruan kami Wulan Srindi di
sebuah dangau!"
"Tuduhan palsu! Aku tidak pernah melakukan kejahatan itu. Aku malah..."
"Tutup mulutmu!" teriak Yuda Paranglangit.
Golok di tangan kanannya diputar demikian rupa hingga, craass! Rambut kuning di
kepala Jati- landak putus ujungnya. Pemuda dari negeri Latanahsilam ini tersentak kaget dan
jadi marah. Sekali melompat tinju kanannya menghantam ke dada Yuda Paranglangit. Namun
serangan terpak-
sa di tahan karena pada saat itu juga tujuh golok malah menempel di kepala,
leher, dan tubuhnya.
"Kakang Yuda, perlu apa bicara panjang lebar.
Kita cincang saja bangsat ini sekarang juga!"
"Lakukan!" teriak Yuda Paranglangit. Tangan-
nya yang memegang golok bergerak mendahului sepuluh golok lainnya!
"Tunggu!" Tiba-tiba satu bentakan menggelegar.
Semua anak murid Perguruan Lawu Putih merasa bagaimana bentakan dahsyat itu
menggetarkan tanah yang mereka pijak. Membuat mereka jadi terkesiap dan
palingkan kepala.
Pendekar 212 Wiro Sableng yang barusan kelu-
arkan bentakan berdiri di hadapan Yuda Parang-
langit. "Sahabat, aku kenal baik dengan kakak seperguruanmu Wulan Srindi. Aku
juga kenal baik dengan pemuda berkulit kuning ini. Dia tidak mungkin melakukan
perbuatan bejat itu terhadap Wulan Srindi!"
"Gondrong! Kau membela pemuda bejat berkulit kuning ini! Apa kepentinganmu!"
Seorang anak murid Perguruan Lawu Putih melintangkan golok di leher Pendekar
212. Murid Sinto Gendeng menyeringai lalu garuk-garuk kepala. "Jangan main-main
dengan senjata tajam. Salah-salah kau bisa terluka!" Sambil bica-
ra, dengan kecepatan yang sulit terlihat mata Wiro pergunakan tangan kiri untuk
menotok urat di pinggang pemuda itu. Lalu sekali tangan kanan bergerak, golok
yang dipegang orang sudah ber-
pindah tangan. "Senjata seperti ini sesekali harus disimpan baik-baik karena bisa mencelakai
orang!" Wiro lalu hujamkan golok yang dipegangnya ke tanah hing-
ga amblas tak kelihatan.
Kini Yuda Paranglangit dan saudara seperguru-
annya baru menyadari kalau saat itu mereka berhadapan dengan seorang
berkepandaian tinggi.
Jelas melebihi tingkat kepandaian kakak sepergu-
ruan dan ketua mereka. Namun karena amarah dendam kesumat terjadinya pemerkosaan
atas diri kakak seperguruan, semua anak murid Perguruan Lawu Putih tidak
unjukkan rasa jerih.
"Kita semua bersahabat. Mengapa tidak bicara baik-baik" Aku yakin kau tidak
sembarang tuduh.
Bukan menfitnah kawanku ini." Kata Wiro pula sambil pegang bahu kiri Yuda
Paranglangit. Saat itu juga Yuda Paranglangit merasa seperti ada batu sangat
besar menindih tubuhnya hingga dia bergeletar dan kucurkan keringat dingin.
"Siapa sembarang tuduh" Siapa melakukan
fitnah" Kami punya saksi!" Habis berkata begitu Yuda Paranglangit berteriak.
"Warok Jangkrik!
Lekas datang kesini!"
Dari arah kegelapan muncul seorang lelaki ber-
kulit hitam berkilat. Kepala menyerupai jangkrik ketiongan. Pakaian dan ikat
kepala serba hitam.
Janggut dan kumis lebat kasar. Pada telinga dan cuping hidung sebelah kiri
mencantel sebuah giwang emas. Tangan kanannya buntung sebatas lengan. Inilah
Warok Jangkrik, manusia jahat yang pernah menjadi pimpinan rampok hutan
Sarnigalih.1 Beberapa waktu sebelumnya sebagai-
mana diceritakan dalam Episode Bendera Darah, Warok Jangkrik pernah menculik
Wulan Srindi. Beruntung Bidadari Angin Timur dan Jatilandak yang melakukan pengejaran berhasil
selamatkan gadis itu. Sebagai hukuman dan peringatan agar Warok Jangkrik sadar
serta kembali ke jalan yang benar, Bidadari Angin Timur menabas putus lengan
kanan gembong rampok ini.
Melihat Warok Jangkrik, Jatilandak jadi geram sekali. Dengan suara lantang dia
berkata. "Kau pernah menculik Wulan Srindi. Aku dan Bidadari Angin Timur
memergokimu ketika hendak meru-
sak kehormatan gadis itu. Sekarang kau bersaksi bahwa aku memperkosa Wulan
Srindi! Jangan berani bersaksi dusta!"
Sebenarnya saat itu nyali Warok Jangkrik agak menciut karena tidak menyangka di
tempat itu ada pemuda yang dikenalinya sebagai Pendekar 212. Dia melihat juga
seorang kakek bermata 1 Baca: Wiro Sableng Si Cantik Dalam Guci belok jereng "berkuping lebar yang pasti juga seo-
rang berkepandaian tinggi. Namun Warok Jang-
krik juga punya dendam kesumat pada Jatilandak yang mengakibatkan tangan
kanannya sampai cacat begitu rupa.
"Warok Jangkrik! Katakan kesaksianmu!"
perintah Yuda Paranglangit.
"Siang itu, aku kebetulan lewat dekat sebuah dangau. Aku mendengar ada perempuan
berte- riak-teriak minta tolong. Dari balik semak belukar aku lihat pemuda berkulit
kuning ini baru saja memperkosa seorang gadis yang aku ketahui adalah Wulan
Srindi, murid kedua Perguruan Lawu Putih..."
"Fitnah busuk! Jahanam keparat!" Jatilandak berteriak marah. Ketika dia berusaha
hendak menggebuk Warok Jangkrik, Yuda Paranglangit tahan dada Jatilandak dengan
ujung golok. "Jatilandak, biarkan dia meneruskan kesaksi-
annya! Kalau kau memang tidak melakukan
perbuatan keji itu mengapa harus takut" Tenang saja!" Wiro yang berdiri di
samping Jatilandak keluarkan ucapan.
"Warok! Teruskan keteranganmu!" kata Yuda Paranglangit.
"Selesai memperkosa dia membuka bajunya
lalu ditutupkan ke tubuh Wulan Srindi. Waktu dia mau menggendong gadis itu,
Wulan Srindi ber-
hasil melarikan diri."
"Kalian lihat sendiri! Pemuda berkulit kuning ini tidak mengenakan baju! Itu
satu bukti bahwa apa yang dikatakan Warok Jangkrik bukan
fitnah!" "Aku bersumpah! Aku tidak pernah memper-
kosa Wulan Srindi. Aku membuka bajuku untuk dapat menolong menutupi auratnya.
Ketika aku sampai di dangau keadaannya nyaris tanpa pakai-
an. Dia berteriak-teriak. Sekujur tubuhnya tak bisa bergerak karena ditotok..."
"Kalau kau mau bersumpah, bersumpahlah di hadapan setan neraka!" ucap Yuda
Paranglangit. Dia berpaling pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Gondrong, kau masih membela manusia bejat ini?"
"Aku juga membelanya. Aku yakin pemuda ini tidak melakukan perbuatan keji itu!"
Setan Ngom- pol yang berikan jawaban.
Yuda Paranglangit menyeringai. Tiba-tiba dia berteriak. "Kawan-kawan! Mari kita
berebut pahala menghabisi manusia mesum keparat ini! Siapapun yang ingin
membelanya akan menemui ajal di tempat ini."
Teriakan Yuda Paranglangit disambut dengan teriakan keras oleh semua anak murid
Perguruan Lawu Putih. Belasan golok berkelebat. Wiro meng-
hantam. Dua orang penyerang roboh terjungkal.
Setan Ngompol menyikut membuat seorang murid Perguruan Lawu Putih mencelat dan
menjerit karena patah tulang iganya. Namun serangan datang laksana banjir. Apa
lagi dua belas orang yang memegang obor kini cabut senjata masing-masing dan
ikut menyerbu. "Kalau kalian tidak hentikan serangan jangan salahkan banyak yang bakal cidera!"
Setan Ngom- pol memperingatkan sementara Wiro sudah siap untuk menyapu serbuan lawan dengan
pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan.
Namun anak murid Perguruan Lawu Putih yang sudah seperti kemasukan setan karena
amarah dendam kesumat itu tidak perdulikan ucapan si kakek. Mereka terus
merangsak membabat,
menusuk dan membacok dengan senjata masing-masing ke arah Jatilandak.
Desss! Traang! Traang! Traang!
Didahului suara berdesis keras, sosok Jati-
landak lenyap. Kini berdiri angker binatang ber-
ujud seekor landak raksasa. Bacokan, babatan maupun tusukan senjata yang
mengenai tubuh-
nya disambut dengan bulu landak yang berjing-
krak sebat. Semua anak murid Perguruan Lawu Putih
menjadi geger. Terlebih ketika landak raksasa ini memutar tubuh demikian rupa,
mereka serta mer-
ta selamatkan diri berhamburan. Ternyata Jatilan-
dak yang telah mengubah diri ke ujud aslinya tidak ingin mencelakai lawan yang
rata-rata masih muda belia itu. Yang jadi incarannya adalah Warok Jangkrik.
Selagi manusia hitam berkilat ini berusaha kabur, sang landak gelindingkan diri
di tanah dan berhasil menangkap kaki tangan Warok Jangkrik. Bekas pentolan
rampok ini berteriak kesakitan dan ketakutan setengah mati.
Kraakkk! Sambungan lutut kanan Warok Jangkrik
hancur. Tubuhnya kemudian dilempar mental ke udara, jatuh di atas pohon besar
dan terkapar melintang di salah satu cabang. Darah menyem-
bur dari lehernya yang koyak kena cakaran landak. Mulut menganga seperti hendak
menyua- rakan sesuatu namun yang keluar adalah nafas-
nya yang terakhir. Setan Ngompol terduduk di tanah, tak sanggup menahan pancaran
air ken- cing. Jatilandak yang telah merubah dirinya men-
jadi pemuda berkulit kuning duduk di samping si kakek sementara Pendekar 212
Wiro Sableng berdiri memperhatikan ke arah murid-murid Perguruan Lawu Putih yang
tinggalkan tempat itu dengan membawa kawan mereka yang cidera.
Sesaat kemudian Jatilandak berdiri lalu men-
dekati Wiro. "Mungkin kau merasa tidak enak kalau aku terlalu lama di tempat
ini. Aku akan berusaha mencari Bidadari Angin Timur untuk dapatkan keterangan
tentang kitab yang hilang.
Jika aku berhasil menemukan, aku akan memin-
jamkannya beberapa lama. Aku berjanji akan mengembalikan buku itu padamu..."
"Sebelum kau kembalikan, berikan dulu pada-
ku. Aku juga memerlukan kitab itu!" satu suara perempuan menggema di tempat itu
disusul suara cekikikan.
"Hantu Malam Bergigi Perak!" seru Setan
Ngompol sambil tekap bagian bawah perutnya.
"Ah, jangan-jangan dia mau memberikan giginya!"
Setan Ngompol buru-buru tekap bagian bawah pusarnya.
Betul saja, sesaat kemudian dari kegelapan keluar sosok si nenek yang berdandan
menor. "Kalian berdua lihat sendiri. Sebelum aku dapat-
kan kitab itu, aku tidak akan pernah jauh-jauh dari kalian." ucap si nenek.
"Mana dua muridmu si merah dan si biru?"
tanya Setan Ngompol.
"Kau menanyakah orang-orang yang tidak ada.
Apakah diriku kurang menarik di matamu yang belok?"
"Ah..." Setan Ngompol tersenyum gembira.
Sambil kedip-kedipkan mata dia dekati si nenek.
"Eit! Kalau mau dekat denganku kau harus
mandi kembang di tujuh sumur agar bau pesing-
mu hilang! Hik... hik... hik!"
Si nenek gerakkan tangan kirinya. Walau tidak menyentuh dada namun Setan Ngompol
merasa seperti didorong keras hingga terjajar dan jatuh terduduk di tanah. Walau
pantat terasa sakit namun si kakek tertawa terkekeh.
"Disuruh mandi aku mau saja. Siapa takut!
Apalagi kalau kau ikut menemani, mandi berbugil ria bersamaku! Ha... ha... ha...
! Dan kau jangan lupa membawa madat satu kantong tempo hari.
Sambil menyedot madat pasti mandinya tambah asyiik. Apa lagi sambil usap-usap
gigi bawahmu. Ha... ha... ha!"
Wajah berdandan medok si nenek berubah.
"Kakek kurang ajar, apa maksudmu usap-usap gigi bawahku?"
"Maaf, jangan salah mengerti. Aku tidak bicara kurang ajar. Maksudku aku suka
mengusap gigi di mulutmu pada deretan sebelah bawah. Aku tidak tahu kalau kau
punya gigi lain di sebelah bawah.
Ha... ha... ha!" Habis berkata begitu Setan Ngom-
pol lalu menyelinap ke balik semak belukar, sem-
Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bunyi di tempat gelap, takut digebuk Hantu Malam Bergigi Perak.
TAMAT Berhasilkah Pendekar 212 Wiro Sableng dan Jati-
landak mencari Bidadari Angin Timur dan menda-
patkan Kitab 1000 Pengobatan" Atau mereka akan kedahuluan Hantu Malam Bergigi
Perak" Atau lenyapnya kitab keramat ini akan menjadi sebuah misteri yang tak
pernah terungkapkan" Bagai-
mana pula nasib Wulan Srindi" Komplotan pem-
berontak Keraton Kaliningrat, apakah mereka berhasil merebut tahta Kerajaan"
Tunggu Episode Berikutnya:
PERJANJIAN DENGAN ROH
Document Outline
KKCover.pdf KKCover.pdf BASTIAN TITO
WIRO SABLENG e-book oleh: kiageng80 sumber cover: kelapalima
sumber kitab: pendekar212
Dendam Manusia Kelelawar 3 Pendekar Hina Kelana 6 Pusaka Penebus Dendam Tapak Tapak Jejak Gajahmada 1
Melejang-lejang beberapa kali lalu diam tak bergerak lagi!
Pendekar 212 Wiro Sableng setengah melongo garuk-garuk kepala. Tadi dia jelas-
jelas menen- dang kepala dan dada kedua orang itu. Tapi jangankan mati, cidera sedikitpun
tidak! Setan Ngompol bertindak cepat. Dia gulingkan tubuh Galirenik lalu membetot lepas
kantong kulit. Kantong ini kemudian diserahkannya pada Hantu Malam Bergigi
Perak. "Terima kasih," kata si nenek. "Tapi jangan terlalu dekat. Nanti pakaianku
kebasahan air ken-
cingmu!" Setan Ngompol cuma bisa tersipu-sipu.
"Kedua orang berpakaian dan berbelangkon
serba hitam itu. Siapa mereka?" bertanya si kakek.
Kudengar tadi kau menyebut mereka sebagai kaki tangan pemberontak. Murid-muridmu
menyebut mereka orang-orang Keraton Kaliningrat. Aku tidak pernah mendengar nama
Keraton itu."
Si nenek tidak segera menjawab. Dia meman-
dang ke langit memperhatikan gugus bintang-bintang lalu berpaling pada dua
muridnya. "Kalian berdua pergilah lebih dulu. Tak lama lagi pagi segera datang."
"Kami siap pergi," menyahuti gadis berbaju merah. "Tapi, Nek, kalau kami boleh
menunggu barang beberapa ketika, bukankah kita tengah mencari sebuah benda. Di
sini ada orang yang punya hubungan dekat dengan pemilik benda itu."
Si baju merah lalu mengerling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kau betul," kata si nenek pula. Dia menatap wajah dua muridnya yang cantik itu,
lalu terse- nyum penuh arti, membuat wajah dua gadis can-
tik bersemu merah. Si nenek lalu lambaikan tangan ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng. "Anak muda, kemarilah sebentar! Ada yang hendak aku tanyakan padamu."
Wiro mendekat dan berhenti empat langkah di depan si nenek. Sambil menatap wajah
perem- puan tua itu hatinya berkata. "Melihat dandanan-
nya yang begini mencorong, nenek satu ini pasti sudah genit dari sejak mudanya."
"Hai, apa yang kau ucapkan dalam hati?" tiba-tiba Hantu Malam Bergigi Perak
membentak, membuat Wiro jadi tergagau dan berpura batuk-batuk.
Sambil senyum dan garuk kepala murid Sinto Gendeng merunduk unjukkan sikap
hormat lalu bertanya. "Nek, apa yang hendak kau tanyakan padaku?"
"Apa betul kau murid Sinto Gendeng?"
"Pasti kakek kuping lebar itu yang bilang padamu," sahut Wiro pula.
"Aku dan dua muridku tengah mencari sebuah kitab. Namanya Kitab Seribu
Pengobatan. Menurut kabar yang aku sirap, kitab itu adalah milik guru-
mu. Kami telah menghabiskan hampir tiga ratus hari dan sempat pergi ke puncak
Gunung Gede tapi gurumu tak ada di sana. Kami cari dia di mana-mana tapi dia
seperti cacing tanah, amblas tidak kelihatan, sulit dicari."
"Kitab Seribu Pengobatan itu tak ada lagi padanya." Menjelaskan Wiro.
"Maksudmu, anak muda?"
"Hilang dicuri orang."
Si nenek unjukkan wajah risau. Dua muridnya juga nampak gelisah.
"Menatap wajahmu dan mendengar nada sua-
ramu aku tahu kau tidak berdusta. Kau tahu siapa pencurinya?" tanya Hantu Malam
Bergigi Perak. Wiro menggeleng. Lalu berkata. "Seseorang pernah bilang kalau dia tahu di mana
beradanya kitab itu."
"Berarti dialah pencurinya!" kata si nenek pula tanpa tedeng aling-aling.
"Tapi orangnya sudah mati." menyelutuk Setan Ngompol.
Wiro sodokkan sikunya ke perut Setan Ngompol hingga kakek ini mengeluh kesakitan
dan pancar- kan air kencing. Wiro menyengir. "Nek, sangkaan-
mu bahwa orang yang memberi tahu itu adalah pencuri kitab tidak mungkin. Selain
dia seorang baik, dia juga sahabatku paling dekat."
Hantu Malam Bergigi Perak rangkapkan dua
tangan di depan dada. Suara seperti tungku api yang keluar dari bambu kuning di
atas kepalanya mengeras lalu kembali meredup.
"Dalam kehidupan ini, suatu kejahatan kerap-
kali dilakukan oleh orang-orang di dekat kita. Sulit dipercaya, tapi itulah
kenyataan! Kalau kau mau memberi tahu siapa orangnya, aku dan muridku akan
mencari pencuri itu."
"Aku tak mau ada yang kesalahan tangan. Biar aku sendiri yang mencari kitab itu.
Eyang Sinto Gendeng telah menugaskan hal itu padaku." Lalu dia bertanya pada si
nenek. "Apa pentingnya kitab itu bagi kalian?"
"Namanya saja kitab pengobatan. Apa ada
tujuan lain?"
"Siapa di antara kalian yang sakit" Aku lihat kalian bertiga sangat ceria dan
sehat-sehat saja,"
kata Setan Ngompol.
Si nenek ataupun dua muridnya tidak menja-
wab. Wiro garuk-garuk kepala.
"Nek, tadi sahabatku kakek tukang ngompol ini menanyakan beberapa hal
bersangkutan dengan dua orang yang sudah jadi mayat itu. Bahwa mereka kaki
tangan pemberontak. Murid-muridmu menyebut mereka orang-orang dari Keraton Kali-
ningrat. Aku tak pernah mendengar letak Keraton itu. Di mana letaknya?"
"Cerdiknya kau mengalihkan pembicaraan."
Ucap si nenek. Namun dia memberi penjelasan juga. "Yang namanya Keraton
Kaliningrat itu ha-
nya merupakan keraton bayangan. Letaknya bisa di mana-mana. Di sana bergabung
orang-orang pandai yang hendak menumbangkan tahta Kera-
jaan, termasuk dua manusia itu. Mereka menge-
nakan pakaian dan belangkon hitam. Di dada pakaian ada gambar rumah joglo serta
sepasang keris bersilang. Mereka memiliki semacam ilmu kebal. Buktinya pukulan
dan tendanganmu sama sekali tidak mempan! Sementara dua muridku dengan mudah
berhasil menghabisi mereka."
"Berarti kalian mengetahui cara memusnahkan ilmu kebal mereka," kata Wiro. "Kau
mau memberi tahu pada kami?"
"Aku tidak akan memberi tahu padamu!" jawab si nenek.
Wiro tertawa. "Kalau kau inginkan kitab pengo-
batan itu, kau harus membantu. Bukan mustahil kitab itu ada di tangan orang-
orang Keraton Kaliningrat."
Sesaat si nenek terdiam berpikir-pikir. Ucapan Wiro ada betulnya. Namun dia
tetap tidak mau memberi tahu. "Kau dan kakek itu dua tokoh rimba persilatan.
Punya ilmu selangit punya pengalaman seluas samudera. Kurasa jika mau kalian
bisa mencari sendiri kelemahan ilmu kebal orang-orang Keraton Kaliningrat."
"Kalau kau bilang begitu Nek, kalau kitab itu aku temukan, aku tidak akan
memberikannya padamu," ucap Wiro pula.
"Bagaimana dengan kau?" kata si nenek sambil berpaling pada Setan Ngompol dan
kedap-kedip- kan matanya serta senyum-senyum genit. "Jika kau yang menemukan, apa juga tidak
akan mau memberikan padaku?"
Si kakek kesemsem dan tekap dulu bagian
bawah perutnya baru menjawab. "Itu bisa kita atur, bisa kita atur."
Hantu Malam Bergigi Perak tertawa lebar.
Nenek ini dekati Setan Ngompol lalu membisikkan sesuatu. Wajah Setan Ngompol
tampak mengere-
nyit lalu kakek ini tertawa-tawa sendiri sambil goleng-goleng kepala.
Karena si nenek tidak mau memberi tahu kele-
mahan ilmu kebal orang-orang Keraton Kaliningrat Wiro alihkan percakapan dengan
bertanya. "Kantong kulit yang ada di punggungmu itu.
Apa isinya hingga kau begitu ingin memilikinya?"
"Madat!" jawab si nenek dengan suara keras dan polos.
Setan Ngompol langsung terkencing mendengar jawab si nenek. Wiro melongo
garukkan kepala.
"Jadi kau merampasnya untuk dipakai sen-
diri?" Si nenek tersenyum sementara dua muridnya menutup mulut menahan tawa cekikikan.
"Kalau aku pakai sendiri, sampai dua ratus tahun baru madat ini habis! Hik...
hik! Orang-orang Keraton Kaliningrat telah lama memburu madat ini. Asal
muasalnya rampasan dari sebuah kapal Cina yang berlabuh di Tuban. Mereka
bermaksud menjual barang setan ini. Hasil penjualan untuk membia-
yai perjuangan sesat mereka merebut tahta Kera-
jaan." "Siapa orang dibalik rencana pemberontakan itu Nek. Biasanya pasti ada pentolan
atau dedeng- kotnya. Kau tahu?"
"Aku tidak tahu namanya. Ada yang menyebut dia seorang pangeran tua yang punya
pertalian darah sangat dekat dengan Sri Baginda. Mungkin salah seorang adik tiri
Sri Baginda."
Si nenek untuk kedua kalinya menatap ke
langit lalu memberi tanda pada dua muridnya.
Sebelum tinggalkan tempat itu pada Wiro dia berkata.
"Jika kau dapatkan kitab itu, aku bersedia memberikan madat satu kantong ini
padamu!" "Oala...!" ucap Setan Ngompol setengah berseru sementara Wiro cuma garuk-garuk
kepala. Sekali berkelebat si nenek lenyap dalam gelapnya malam.
Hanya cahaya kepulan asap yang keluar dari po-
tongan bambu di atas kepalanya yang masih keli-
hatan di kejauhan. Dua orang gadis cantik murid si nenek untuk beberapa lama
masih berada di tempat itu. Menatap ke arah Wiro.
"Hai! Kalian mengapa masih belum bergerak?"
Di kejauhan terdengar suara Hantu Malam Bergigi Perak.
"Kami segera menyusul!" jawab gadis berpa-
kaian biru. Dia berpaling pada si merah.
Gadis berpakaian merah dekati Wiro lalu
berkata. "Kami berdua sangat mengharapkan kau bisa mendapatkan kitab pengobatan
itu secepat- nya." "Kalau begitu mengapa tidak ikut bersama
kami?" ujar Setan Ngompol.
"Kami mempunyai keterbatasan," jawab si
merah pula. "Keterbatasan apa?" tanya Pendekar 212.
"Kami tidak bisa memberitahu" jawab si merah.
Lalu ditariknya lengan gadis berpakaian biru.
Setelah dua gadis cantik pergi Wiro dekati Setan Ngompol dan bertanya. "Apa yang
tadi dibisikkan nenek ganjen itu padamu?"
Setan Ngompol nyengir. Tekap dulu bagian ba-
wah perutnya baru menjawab. "Dia bilang, kalau aku menyerahkan kitab pengobatan
padanya, dia akan memberikan satu gigi perak di mulutnya padaku."
"Kau mau?" tanya Wiro.
"Mauku dia memberikan gigi di mulut bawah perut, bukan gigi atas!" Habis berkata
begitu Setan Ngompol tertawa terkekeh-kekeh dan serrrr.
Kencingnya langsung muncrat.
WIRO SABLENG 10 KITAB SERIBU PENGOBATAN
ERLAHAN-LAHAN sang surya menyembul di.
ufuk timur. Setan Ngompol baru saja
Pkembali dari telaga. Dilihatnya Wiro sudah bangun dan duduk di pinggiran lantai
dangau. Si kakek duduk di samping sang pendekar.
"Aku masih ingat-ingat saja pada dua gadis cantik murid Hantu Malam Bergigi
Perak..." kata Setan Ngompol.
"Kau ingat muridnya atau gurunya" Bukankah kau sudah kecantol sama si nenek yang
ber- dandan menor itu" Apa lagi kau dijanjikan mau diberikan gigi! Pasti sedap kalau
kau berciuman dengan nenek itu, Kek!"
Setan Ngompol tertawa gelak-gelak hingga
kencingnya mengucur banyak. Celananya yang tadi sudah dicuci di telaga kini
kembali bau pesing air kencing.
"Aku yang tua bangka ini masih tahu diri.
Masakan naksir sama dua gadis yang pantas jadi cicitku. Kalau dapatkan si nenek
saja rasanya sudah seabrek-abrek. Hik... hik... hik! Menurutmu apakah aku cocok
menjadi pendamping Hantu Malam Bergigi Perak?"
"Kau tanyakan saja sendiri nanti kalau bertemu dia," jawab Wiro.
"Menurutku dua gadis cantik itu kelihatannya ingin sekali ikut bersamamu. Demi
untuk menda- patkan Kitab Seribu Pengobatan. Namun si merah mengatakan mereka punya
keterbatasan. Keterba-
tasan apa" Selain itu aku merasa heran. Di mana ada manusia apa lagi dua gadis
cantik, merendam diri dalam air telaga malam-malam buta."
"Kitab Seribu Pengobatan," ucap Wiro sambil garuk-garuk kepala. "Ke mana aku
harus men- carinya?" "Menurutmu, apakah ucapan Hantu Malam
Bergigi Perak ada benarnya" Bahwa orang yang memberitahumu itu adalah si pencuri
kitab?" Setan Ngompol malah balik bertanya.
"Kek, orang yang memberi tahu itu adalah
Bidadari Angin Timur. Aku pernah mencerita-
kannya padamu. Semalam mulutmu enak saja
nyelonong mengatakan gadis itu sudah mati! Atas dasar itu apakah seseorang
lantas bisa menuduh-
nya begitu saja sebagai pencuri kitab" Apa kepen-
tingannya mencuri kitab itu" Apa lagi mencuri sesuatu yang dia ketahui adalah
milik guruku Eyang Sinto Gendeng. Bidadari Angin Timur per-
nah beberapa kali diselamatkan oleh guruku.
Seandainya pun aku dan dia ada permusuhan, kurasa Bidadari Angin Timur tidak
akan sejahat itu."
"Kau pernah mendengar rasa cemburu bisa
lebih panas dari bara api" Rasa cemburu bisa lebih jahat dari setan kepala
tujuh?" "Hebat sekali bicaramu. Tapi aku tidak menger-
ti maksudmu Kek," kata Wiro pula.
"Satu saat kau akan mengerti. Aku tidak mau bicara banyak. Takut kau salah
menduga dan marah..."
"Sudahlah, kita harus melanjutkan perjalanan.
Aku tidak tahu kita mau menuju ke mana.
Kurasa..." Wiro berhenti bicara. Dari tikungan jalan muncul berlari seseorang.
Begitu mengenali orang ini, Setan Ngompol keluarkan ucapan. "Si centil satu ini.
Bukankah sebelumnya dia pergi bersama Dewa Tuak" Me-
ngapa sekarang tahu-tahu bisa muncul di sini?"
Yang datang dan kini berdiri di hadapan Wiro dan Setan Ngompol adalah Wulan
Srindi. Seperti dituturkan sebelumnya, sewaktu semua orang mulai meninggalkan
jurang batu di 113 Lorong Kematian, gadis ini ikut naik perahu bersama Dewa
Tuak. Apa yang terjadi"
Karena Wiro dan Setan Ngompol sama-sama
terdiam seperti melongo melihat kehadirannya, Wulan Srindi lantas keluarkan
ucapan. "Ada mayat dua lelaki dekat telaga. Apakah kalian mengetahui?"
Wiro berpaling pada Setan Ngompol sambil
kedipkan mata kiri, memandang kembali ke arah Wulan Srindi lalu gelengkan
kepala. Setan Ngom-
pol ikutan gelengkan kepala.
"Semalaman kami tidur di dangau. Pagi ini belum ke mana-mana," kata si kakek
pula berdus- ta. "Sudahlah, soal dua mayat itu akupun tidak perduli. Ada satu hal lain yang jauh
lebih penting."
Kata Wulan Srindi. Dari balik pakaiannya dia keluarkan sehelai kain panjang.
"Kalian mengenal pemilik kain ini?"
Wiro menggeleng. Setan Ngompol juga meng-
Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
geleng. Wulan Srindi campakkan kain panjang ke ta-
nah. Kembali dari balik pakaiannya dia mengelu-
arkan beberapa carik robekan kain biru halus.
"Kalian mengenali robekan kain ini" Harap diperiksa dan coba cium baunya."
Si gadis melemparkan dua potongan robekan kain biru itu ke arah Wiro dan satu
robekan lagi kepada Setan Ngompol. Wiro perhatikan dua robekan kain biru itu.
Tanpa mendekatkan ke hidung, dia sudah
dapat mencium bau harum yang tak asing lagi baginya. Air muka Pendekar 212 serta
merta berubah. Di sampingnya Setan Ngompol menciumi potongan kain biru berulang
kali. Mata kakek yang sudah belok ini bertambah mendelik. Dia berpaling pada
Wiro, hendak mengatakan sesuatu tapi tak ada suara yang keluar, hanya bibirnya
saja yang kelihatan bergetar.
"Wulan, dari mana kau dapatkan robekan kain itu?" Bertanya Wiro
"Kalian bisa mengenali?" Balik bertanya Wulan Srindi.
"Dari kehalusan kain, warna serta bau harum-
nya aku merasa yakin ini adalah robekan pakaian Bidadari Angin Timur." Ucap
Wiro. "Betul," membenarkan Setan Ngompol.
"Aku sudah menduga. Itulah yang membuat
aku khawatir kalau-kalau telah terjadi sesuatu dengan Bidadari Angin Timur,"
kata Wulan Srindi pula.
Baik Wiro maupun Setan Ngompol menduga-
duga apakah ucapan si gadis keluar dari hati yang tulus. Karena sebelumnya di
hadapan Sinto Gen-
deng Wulan Srindi berani membakar hati dan perasaan para gadis cantik sahabat
Wiro. "Cukup jauh dari sini terdapat sebuah jurang yang ada air terjunnya. Robekan
pakaian biru serta kain panjang itu aku temui di sebelah barat jurang. Hatiku
merasa tidak enak. Kain dan robe-
kan pakaian aku ambil. Aku cukup kenal kawasan ini dan tahu kalau ada sebuah
telaga tak jauh dari jurang. Ketika aku sampai ke telaga, kulihat dua mayat
tergeletak di tanah. Ada bekas-bekas perkelahian. Aku coba menyusuri jejak yang
datang dari arah sini. Ternyata aku menemui kalian berdua di dangau ini..."
"Tunggu dulu," Wiro memotong ucapan Wulan Srindi. "Sebelumnya bukankah kau ikut
bersama Dewa Tuak" Mengapa tahu-tahu bisa muncul di tempat ini?",
"Wiro, pertanyaanmu terasa mengandung
kecurigaan," kata Wulan Srindi datar tapi dengan mulut tersenyum. "Sesuai
perjanjian, Dewa Tuak menurunkan aku di satu tempat. Guruku itu meneruskan
perjalanan, aku tak tahu ke mana.
Tapi beliau berjanji akan bersedia menemuiku lagi pada hari ke sepuluh bulan
muka." "Di mana?" tanya Wiro. Dia tidak suka Wulan Srindi selalu menyebut-nyebut Dewa
Tuak sebagai gurunya.
"Saat ini aku belum bersedia memberi tahu padamu. Tapi jika kau, suka kita bisa
pergi sama-sama ke tempat itu," jawab sang dara.
Wiro tidak perdulikan kata-kata si gadis.
"Wulan, antarkan kami ke tempat kau menemu-
kan kain dan potongan pakaian ini."
"Ikuti aku," si gadis berkata lalu balikkan badan.
Pada saat matahari sudah mulai meninggi,
mereka akhirnya sampai di sekitar jurang yang diceritakan Wulan Srindi. Si gadis
kemudian menunjukkan tempat di mana dia menemui kain panjang dan robekan-robekan
kain biru. Tempat ini merupakan satu pedataran kecil ditumbuhi rumput liar dan
ada sebatang pohon berdaun rindang.
"Jika ini memang benar potongan pakaian
Bidadari Angin Timur, sulit aku menduga apa yang terjadi," kata Wiro sambil
memandang berkeliling.
"Ketika kita ramai-ramai memasuki lorong
kematian, gadis itu tidak kelihatan, tidak diketa-
hui di mana beradanya."
Setan Ngompol tekap bagian bawah perutnya.
"Kalau binatang buas mencelakai Bidadari Angin Timur, darah akan berceceran di
mana-mana. Sisa-sisa tubuhnya pasti ada yang tertinggal di tempat ini. Yang aku
takutkan..."
Setengah berlari Wiro mendekati tepi jurang.
Wulan dan Setan Ngompol mengikuti. Jurang batu itu ternyata dalam sekali. Di
salah satu sisinya menderu air terjun. Jatuhan air terjun pada beba-
tuan di dasar jurang membuat air seolah berubah menjadi asap dan membumbung naik
ke atas sampai ketinggian satu tombak.
"Jurang ini tak ubahnya seperti satu tabung panjang. Aku tidak melihat ke mana
mengalirnya curahan air terjun. Kalau tidak ada tempat meng-
alir, pasti sejak lama jurang ini sudah berubah menjadi sebuah danau atau
telaga." Wiro berucap, memberitahu jalan pikirannya kepada Setan Ngompol dan
Wulan Srindi. Lalu dia menam-
bahkan. "Kalau ada orang jatuh ke dalam jurang, pasti mayatnya akan terapung
berputar-putar di dasar sana."
"Apa yang ada dalam benakmu, Wiro?" tanya Setan Ngompol sambil pegangi perut.
"Tiba-tiba saja aku punya firasat buruk. Aku khawatir, satu malapetaka telah
menimpa Bida- dari Angin Timur. Seseorang telah memperkosanya lalu membunuh dan membuang
mayatnya ke dalam jurang."
"Ingat waktu aku menceritakan mimpiku ten-
tang Bidadari Angin Timur padamu" Saat itu aku katakan Bidadari Angin Timur
telah menemui ajal.
Lalu menurutmu jika ada yang berbuat jahat terhadapnya, siapa orangnya" Pangeran
Matahari, kurasa bukan..." ujar Setan Ngompol pula.
"Hantu Muka Dua," kata Wiro. "Dia pernah
mencoba merusak kehormatan Bidadari Angin Timur. Untung Jatilandak muncul dan
menyela- matkan gadis itu."
"Waktu di lorong kematian, Luhkentut pernah memberi tahu bahwa ada perubahan
pada diri Hantu Muka Dua. Dia bahkan ingin mencarimu karena telah menyelamatkan
dirinya..."
"Yang namanya hantu, siapa percaya ucapan-
nya!" jawab Wiro. Lalu dia tegak tak bergerak. Dua tangan disilang di depan
dada. Mata diarahkan ke dasar jurang. Dia mulai mengerahkan ilmu
Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung. Cukup lama Wiro meneliti
keadaan dasar jurang yang bisa dilihatnya cukup jelas. Namun dia tidak menemukan
sosok manusia. Wiro meng-
hela nafas panjang.
"Kau melihat sesuatu?" tanya Setan Ngompol.
Wiro menggeleng. "Aku harus menyelidik, turun ke dalam jurang. Kalian berdua
harap menunggu di sini."
"Bagaimana caranya kau turun ke bawah?"
tanya Wulan Srindi. "Jurang itu dalam sekali. Tak ada tempat untuk menjejak
kaki, tak ada pohon untuk bergantung. Kalaupun kau bisa turun ke dasar jurang,
apakah kau mampu naik lagi ke sini?"
Murid Sinto Gendeng tidak menjawab. Dia du-
duk bersila di tepi jurang. Dua tangan diletakkan bersilang di atas dada. Mata
dipejamkan dan jalan pendengaran ditutup dengan cara mengalirkan hawa sakti ke
liang telinga. Perlahan-lahan Wiro mulai kosongkan pikiran. Lalu hatinya
melafalkan kata Basmallah tiga kali berturut-turut disusul dengan ucapan Meraga
Sukma. "Ah... Ilmu Meraga Sukma..." ujar Setan
Ngompol sambil berusaha menahan kencing ketika melihat dari tubuh Pendekar 212
bergerak keluar sosok samar. hampir menyerupai bayangan. Perla-
han-lahan sosok ini berubah berbentuk utuh dan melangkah ke jurang.
Setan Ngompol tak sanggup menahan pancaran kencingnya, sementara Wulan Srindi
memperhati- kan semua yang terjadi dengan mata membeliak besar. "Ilmu Meraga Sukma?" ucapnya
dalam hati. Tanpa keraguan sama sekali, sosok sukma Pendekar 212 Wiro Sableng seperti seekor
burung besar melayang turun ke dalam jurang batu, lenyap di balik curahan air
terjun. Setan Ngompol terduduk di tanah. Masih
kucurkan air kencing. Dia sudah lama tahu kalau Wiro memiliki kesaktian yang
sangat langka itu.
Namun baru sekali ini menyaksikan. Sementara Wulan Srindi yang tidak pernah tahu
keberadaan ilmu itu dan bahwa Wiro memilikinya, sampai sekian lama masih saja
tegak di tepi jurang, memandang dengan mata tak berkesip mulut
ternganga. Ada rasa khawatir dalam diri gadis ini.
Apalagi setelah ditunggu sekian lama Wiro tidak kunjung muncul. Hingga dia
bertanya pada Setan Ngompol.
"Kek, aku khawatir sesuatu terjadi dengan Wiro di dasar jurang sana. Bagaimana
kita menolong- nya?" "Kau tak usah khawatir. Dia pasti akan kembali ke sini."
"Kek, setahuku Eyang Sinto Gendeng tidak
memiliki yang disebut ilmu Meraga Sukma. Dari mana Wiro mewarisinya?"
"Aku sendiri tidak tahu," jawab Setan Ngompol.
"Dia anak baik. Suka menolong orang. Tidak mustahil banyak orang pandai yang
berkenan memberikan ilmu kesaktian padanya."
Baru saja Setan Ngompol berkata begitu tiba-tiba dari dalam jurang melayang naik
sosok suk- ma Pendekar 212 Wiro Sableng. Sosok ini melang-
kah mendekati Wiro asli yang sejak tadi masih duduk bersila di tanah. Sosok
samar perlahan-lahan masuk dan menyatu dengan tubuh yang duduk bersila. Begitu
kesadaran memasuki alam pikirannya, Wiro ucapkan Basmallah lalu kata-kata Meraga
Sukma Kembali Pulang masing-ma-
sing sebanyak tiga kali.
Begitu Wiro buka kedua matanya, Wulan Srindi segera mendekati dan Setan Ngompol
bertanya. "Bagaimana?"
"Aku tidak menemukan tanda-tanda adanya
orang jatuh ke dalam jurang. Di dinding dasar jurang di hadapan air terjun ada
satu celah ber-
bentuk cegukan. Aku menerobos masuk, mengi-
kuti aliran air. Di balik dinding batu ada sebuah kolam kecil. Air kolam yang
berasal dari air terjun mengalir deras menuju sebuah anak sungai."
"Aku berharap segala dugaan kita atas diri Bidadari Angin Timur tidak benar.
Mudah-mudahan. gadis itu berada dalam keadaan sela-
mat," kata Wulan Srindi pula.
Wiro memandang pada Setan Ngompol. "Aku
harus mencari gadis itu sampai dapat. Apa lagi kalau kitab yang aku cari memang
ada padanya..."
"Wiro, sambil mencari Bidadari Angin Timur, dalam perjalanan kita bisa mampir ke
tempat guruku Dewa Tuak berjanji untuk bertemu..."
"Maaf Wulan, aku tidak punya kesempatan
memenuhi permintaanmu."
"Tapi nanti akan ada pembicaraan sangat pen-
ting antara aku, kau, dan Dewa Tuak. Menyang-
kut soal perjodohan kita."
Wiro tertawa lebar tapi hatinya terasa panas mendengar ucapan si gadis. "Kalau kau memang ingin memaksa dan mau cepat-cepat mencari jo-
doh, kawin saja dengan Dewa Tuak!" Wiro sampai keluarkan ucapan tidak enak
saking kesalnya.
"Tunggu dulu Wiro," kata Wulan Srindi sambil memegangi lengan pemuda itu ketika
dilihatnya Wiro hendak berlalu. "Apakah sapu tangan yang pernah aku berikan
padamu masih kau simpan?"
Pendekar 212 jadi sengit dan meraba ke balik pakaiannya. Sesaat kemudian dia
keluarkan sehe-
lai sapu tangan biru muda. Seperti diceritakan dalam Episode berjudul Pernikahan
Dengan Mayat, karena bicara usil, Sinto Gendeng sampai menam-
par muka Wiro hingga bibirnya luka dan mengucurkan darah. Wulan Srindi kemudian
mengusap darah itu dengan sehelai sapu tangan biru muda.
Sapu tangan ini kemudian diselipkannya di ping-
gang Wiro. "Kau inginkan sapu tangan ini kembali" Ambil-
lah!" kata Wiro pula lalu susupkan sapu tangan biru muda ke dalam genggaman
Wulan Srindi. Tanpa banyak bicara lagi Wiro kemudian tinggal-
kan tempat itu.
Setan Ngompol tampak bingung. "Ah, kenapa urusan jadi tak karuan begini" Aku..."
Si kakek tekap bagian bawah perutnya lalu lari terbung-
kuk-bungkuk tinggalkan si gadis.
Wulan Srindi tampak tenang saja malah gadis cantik berkulit hitam manis ini
mengulum senyum. Sambil mengibas-ngibas sapu tangan biru muda dia. berkata seorang diri.
"Siapa yang ingin meminta kembali sapu tangan ini. Aku hanya ingin tahu apakah
dia masih memegangnya.
Ternyata dia masih menyimpannya. Pertanda dia tidak melupakan diriku..." Gadis
ini campakkan sapu tangan biru muda bernoda darah ke dalam jurang lalu masih
senyum-senyum dia tinggalkan tempat itu ke arah lenyapnya Wiro dan Setan
Ngompol. Namun baru berlari kurang dari lima puluh langkah tiba-tiba di belakangnya
terdengar suara kuda dipacu menyusul bentakan keras.
"Perempuan berpakaian hijau! Hentikan larimu!
Jangan berani bergerak!"
Dalam kejutnya Wulan Srindi yang memang
mengenakan pakaian hijau perlambat larinya.
Baru saja dia berhenti di pinggir jalan, dua kuda besar yang ditunggangi dua
lelaki berpakaian hi-
tam dan belangkon hitam berhenti di hadapannya.
Di atas dua ekor kuda tunggangan mereka keliha-
tan melintang dua orang yang juga berpakaian hitam. Wulan Srindi segera
mengenali, dua sosok itu adalah dua mayat yang ditemuinya tak jauh dari telaga.
"Apa kepentingan kalian memerintahkan aku berhenti?" tanya Wulan Srindi sambil
berkacak pinggang.
"Ah, ternyata seorang gadis cantik! Bukan main!" ucap lelaki di sebelah kanan.
"Aku suka gadis galak!" kata lelaki di samping kiri.
Seperti dua mayat, pada dada kiri baju kedua orang itu terdapat sulaman rumah
joglo dan dua keris bersilang. Orang-orang dari Keraton Kali-
ningrat. "Kami lihat kau memiliki ilmu lari cukup tinggi.
Dua teman kami mati dibunuh orang. Hanya
orang berkepandaian tinggi yang sanggup meng-
habisi mereka. Kami tidak menuduh kau pembu-
nuhnya. Paling tidak kau mungkin mengetahui siapa si pembunuh!"
"Aku sedang ada urusan! Kalian berdua hanya menghabisi waktuku dengan pertanyaan
edan! Siapa pembunuh kedua temanmu mana aku
tahu" Mana aku perduli" Tanyakan pada setan di jurang air terjun sana!" Wulan
Srindi mencibir lalu berkelebat untuk lanjutkan perjalanan. Namun dalam gerakan
cepat salah seorang dari kedua lelaki berhasil mencekal lengannya.
"Dua temanku ini membawa satu kantong kulit.
Kau melihat kantong itu?" tanya lelaki yang men-
cekal lengan Wulan Srindi.
"Tanyakan pada setan air terjun!" jawab Wulan Srindi. Dia berusaha menarik lepas
tangannya yang dicekal. Tapi tidak mampu!
WIRO SABLENG 11 KITAB SERIBU PENGOBATAN
ULAN SRINDI kerahkan tenaga dalam lalu
sentakkan tangan orang yang mencekal
Wlengannya. Bersamaan dengan itu dengan
jurus Membelah Ombak Menembus Gunung anak murid Perguruan Silat Lawu Putih ini
sodokkan siku kanannya ke lambung orang. Bukkk!
Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kuntorandu, orang yang kena hantam, terjajar dua langkah dan terpaksa lepaskan
cekalannya. Namun tak ada kerenyit kesakitan di wajahnya.
Pekik Ireng, orang dari Keraton Kaliningrat satunya tertawa mencemoohkan
Kuntorandu. "Menghadapi seorang gadis jelita saja kau tak mampu. Memalukan! Atau kau memang
sengaja mengalah?"
Melihat lawan kena dihantam Wulan Srindi jadi bersemangat. Dia teruskan
serangannya dengan jurus Menyapu Lereng Menjebol Puncak Gunung.
Tangan kiri menggebuk ke arah dada, tangan kanan menjotos mencari sasaran di
kepala lawan. Bukkk! bukkkt Dua pukulan Wulan Srindi mendarat telak di dada dan rahang Kuntorandu. Namun
lelaki ini hanya menyeringai. Tiba-tiba Kuntorandu kem-
bangkan kedua tangannya. Wulan Srindi tengge-
lam dalam rangkulan Kuntorandu. Penuh nafsu lelaki ini ciumi wajah, leher, dan
dada si gadis. Dia tidak perdulikan sama sekali pukulan yang men-
dera perut serta punggungnya. Dalam keadaan bergelantungan, dua kaki tidak
menginjak tanah, tiba-tiba Wulan Srindi gigit dagu Kuntorandu hingga luka dan
mengucurkan darah. Kuntorandu menjerit kesakitan, lepaskan pukulan.
Plaakk! Kuntorandu daratkan tamparan keras ke wajah Wulan Srindi. Selagi gadis ini
melintir kesakitan, dari belakang Pekik Ireng memeluk tubuh gadis itu kuat-kuat.
Dari arah depan Kuntorandu tusukkan dua jari tangan ke pertengahan dada, tepat
di antara dua payudara. Wulan Srindi mengeluh tinggi. Nafasnya sesak. Tubuhnya
tak bisa bergerak lagi.
Pekik Ireng tertawa bergelak. "Di situ ada dangau. Kita bawa dia ke sana!"
Kuntorandu segera menggendong Wulan Srindi dan membaringkannya di lantai dangau.
"Aku duluan! Kau jauh-jauh dulu dari sini!"
Pekik Ireng tertawa lebar. "Jangan tertalu lama.
Jangan dihabisi semua! Ha... ha... ha!"
Sebelum melangkah pergi, Pekik Ireng mende-
ngar suara pakaian robek dilucuti lalu suara pekik jerit Wulan Srindi tiada
henti! *** Jatilandak, pemuda dari alam 1200 tahun si-
lam melangkah tanpa tujuan. Dia hanya tahu kalau saat itu malam hari dan dia ada
di tepi su- ngai, berjalan sepembawa kaki menyusuri sungai.
Pikiran dan ingatannya tidak pupus dari apa yang baru dialaminya. Perempuan
cantik berupa ba-
yang-bayang yang telah menolong dirinya itu, siapa dia sebenarnya" Mengapa dia
menginginkan Kitab 1000 Pengobatan" Apakah dia akan bertemu lagi" Apakah dia
dapat membalas budi baiknya yang telah menolong dan menyelamatkan jiwanya"
"Aneh, kenapa aku ingin sekali bertemu dengan dia. Mengapa tiba-tiba ada
kerinduan dalam hatiku terhadapnya. Kitab Seribu Pengobatan. Dia menginginkan
kitab itu. Aku harus berusaha keras untuk mendapatkan dan memberikan pada
perempuan muda bayangan itu."
Jatilandak juga ingat pada Bidadari Angin Timur, Wiro, Naga Kuning, Anggini,
serta semua orang yang mendatangi 113 Lorong Kematian. Di mana mereka sekarang"
Ketika malam berganti pagi dan matahari mulai naik, Jatilandak masih saja
berjalan menyusuri tepi sungai ke arah hulu. Sampai pada satu ketika langkahnya
terhenti karena di depannya menju-
lang satu dinding bukit batu yang tinggi. Di kiri kanan sungai mengapit rimba
belantara. "Sungai aneh. Airnya seolah keluar dari dalam dinding batu..." kata Jatilandak
dalam hati sambil memperhatikan aliran air sungai yang deras. Di balik dinding
batu Jatilandak mendengar suara menderu tak berkeputusan.
"Sepertinya ada air mencurah di balik dinding batu. Air terjun..."
Memandang ke depan pemuda dari negeri
Latanahsilam ini melihat ada tebing terjal di sebelah kiri dinding batu yang
menjulang tinggi.
Cukup lama berada di tempat itu Jatilandak tiba-tiba saja merasa hatinya tidak
enak. Seperti ada orang yang memperhatikan gerak-geriknya dari tempat
tersembunyi. Dia memandang berkeliling.
Tak terlihat ada orang di sekitar situ. Tidak tampak hal-hal yang mencurigakan.
Kemudian, di antara deru air yang mencurah di balik bukit batu, sayup-sayup
Jatilandak mendengar suara sesu-
atu. "Seperti suara jeritan orang minta tolong. Atau mungkin salah pendengaranku"
Mungkin desau suara angin?"
Jatilandak akhirnya terjun menyeberangi
sungai lalu mendaki tebing curam di sebelah kiri dinding batu. Walau dia
memiliki kepandaian ting-
gi serta ilmu meringankan tubuh namun cukup susah juga baginya untuk mencapai
bagian men- daki lamping batu yang sangat terjal itu. Di bagian atas dia menemukan sebuah
pedataran, lalu sebu-
ah telaga. Ketika berada di tepi telaga inilah kem-
bali dia mendengar suara teriakan orang minta tolong. Kini dia dapat mengenali.
Suara teriakan itu adalah suara teriakan perempuan. Datangnya dari balik
tikungan jalan di kiri pendataran. Jati-
landak segera berlari ke arah datangnya suara.
Cukup jauh setelah melewati tikungan terlihat sebuah dangau. Di atas dangau
inilah tampak tergeletak sesosok tubuh perempuan. Perempuan inilah yang
berteriak dan kini suara teriakannya terdengar melemah parau.
Begitu sampai di dangau, kejut Jatilandak bukan olah-olah. Dia cepat membuka
bajunya dan dipakai menutupi tubuh perempuan yang tergele-
tak dalam keadaan miring di lantai dangau. Pakai-
annya robek serta tersingkap tak karuan, mem-
buatnya nyaris telanjang.
"Tolong... tolong..."
Tubuh itu bisa bersuara tapi tak bisa bergerak.
Perlahan-lahan Jatilandak balikkan sosok perem-
puan itu. Dia melihat satu wajah perempuan mu-
da penuh bengkak dan berdarah bekas pukulan.
Dalam keadaan seperti itu Jatilandak masih bisa mengenali siapa adanya perempuan
itu. "Wulan Srindi. Kaukah ini..." Betul...?"
Suara mengerang berhenti. Perempuan muda
itu yang memang Wulan Srindi adanya berusaha membuka dua matanya yang sembab
namun dia tidak mampu melihat jelas. "Siapapun kau ada-
nya, tolong... Orang telah menganiaya diriku. Aku ditotok di pertengahan dada...
Tolong..."
Jatilandak singkapkan sedikit bagian dada yang tertutup pakaian. Dia melihat ada
tanda me- rah di antara dua payudara Wulan Srindi. Jati-
landak bertindak cepat. Pemuda dari negeri 1200
tahun silam ini basahi ibu jari tangan kanannya dengan ujung lidah. Lalu ibu
jari itu ditempelkan pada bagian dada Wulan Srindi yang berwarna merah bekas
totokan. Jatilandak alirkan tenaga dalam serta hawa sakti yang dimilikinya.
Dess! Bagian tubuh yang ditekan keluarkan asap.
Beginilah cara Jatilandak memusnahkan totokan di tubuh Wulan Srindi. Begitu
dirinya lepas dari totokan, Wulan Srindi menggeliat, menjerit keras lalu
gelungkan kedua tangannya ke leher Jatilan-
dak, bergayut di tubuh pemuda itu beberapa lama.
Jatilandak cepat pegang tubuh Wulan Srindi agar tidak jatuh.
"Tidak! Jahanam! Jangan sentuh tubuhku!"
Teriak Wulan Srindi tiba-tiba. Dalam keadaan nyaris tidak melihat dia melompat
dari dangau lalu berlari kencang ke arah timur sambil terus menjerit-jerit.
Jatilandak berusaha mengejar namun dia men-
dengar ada suara mencurigakan di balik semak-semak tak jauh di samping kirinya.
Dia hentikan larinya dan memperhatikan. Semak-semak itu kelihatan bergoyang.
Ketika dia mendekati, Jati-
landak tidak menemukan siapa-siapa. Namun matanya yang tajam dapat melihat
tanda-tanda kalau sebelumnya ada seseorang bersembunyi di tempat itu.
Jatilandak cepat berbalik dan mengejar ke arah larinya Wulan Srindi. Mudah
baginya untuk mengetahui ke arah mana larinya si gadis karena sambil lari Wulan
Srindi terus berteriak-teriak.
Sekonyong-konyong teriakan itu lenyap. Jatilan-
dak mengejar terus dan baru berhenti ketika dia menyadari telah kehilangan
jejak. "Wulan! Wulan Srindi! Kau di mana?" teriak Jatilandak berulang kali memanggil
Wulan Srindi. Namun tak ada jawaban.
"Aneh, tak mungkin dia bisa melenyapkan diri begitu saja. Suara jeritannya
lenyap. Di mana dia berada saat ini" Apa yang terjadi?"
Jatilandak akhirnya sandarkan badan ke seba-
tang pohon sambil menyeka keringat yang bercu-
curan di kening dan dadanya yang telanjang.
"Wulan Srindi... kasihan. Gadis itu agaknya telah diperkosa. Siapa manusia bejat
yang tega melakukan" Kalau si pemerkosa menotok Wulan Srindi berarti dia adalah
orang dari rimba persi-
latan. Seingatku ketika aku dan kawan-kawan menerobos masuk ke dalam lorong
kematian Wulan Srindi merupakan salah satu gadis yang diculik. Bagaimana dia bisa berada
di dangau"
Pasti para sahabat membebaskannya atau dia berhasil kabur melarikan diri."
Saat itu kembali terbayang wajah cantik perem-
puan muda berbentuk bayangan di pelupuk mata Jatilandak. "Aku telah berjanji
padanya untuk mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan itu. Aku harus mencari kitab
itu. Mungkin pertama sekali aku harus mencari Wiro lebih dulu. Tapi antara aku
dan dia ada ganjalan besar. Apakah dia bers-
edia menolongku" Bidadari Angin Timur, di mana kau berada saat ini?"
WIRO SABLENG 12 KITAB SERIBU PENGOBATAN
ALAM HARI, dalam sebuah rimba belan-
tara di tenggara Gunung Lawu. Setan
MNgompol atur tumpukan kayu perapian.
"Ini malam ketiga perjalanan kita. Mencari Bidadari Angin Timur seperti mencari
seekor ikan dalam lautan. Petunjuk di mana beradanya Kitab Seribu Pengobatan
sedikitpun belum kita dapat-
kan." "Perjalanan ini bisa berminggu-minggu. Bahkan berbulan-bulan. Sebenarnya ada
beberapa orang yang bisa kita temui untuk mendapatkan petun-
juk. Pertama guruku sendiri Eyang Sinto Gen-
deng." Setan Ngompol pencongkan mulut lalu geleng-
kan kepala. "Gunung Gede jauh sekali dari sini.
Belum tentu nenek itu ada di sana pada saat kita datang. Lagi pula menurutku dia
tidak punya petunjuk apa-apa. Kalau tahu di mana kitab itu beradanya pasti sudah
diberitahukan kepadamu."
"Eyang Sinto pernah menyatakan kecurigaan-
nya pada Dewa Tuak. Sebelum kitab hilang, Dewa Tuak pernah mampir di Gunung
Gede." "Aku tidak percaya kalau kakek itu yang jadi pencuri..."
"Terus terang aku juga tidak percaya," kata Wiro pula. "Ketika sama-sama di
lorong kematian, aku menyesal tidak banyak bertanya pada Kakek Segala Tahu."
"Kita harus mencari kakek buta itu. Ingat sewaktu kau menyerahkan kipas kayu
cendana, dia merubah niatnya naik perahu ikut bersama Dewa Tuak dan Wulan
Srindi. Kau bisa menduga ke mana perginya kakek itu?"
"Ke mana lagi kalau bukan menemui si pemberi kipas, Nyi Roro Manggut di pantai
selatan. Aku memang punya niat menemui Nyi Roro Manggut.
Siapa tahu sekalian bisa menemui Kakek Segala Tahu. Tapi untuk pergi ke sana
tidak sembarang waktu dan sulitnya bukan main. Aku harus minta bantuan Ratu
Duyung. Gadis itupun lenyap entah ke mana. Pada siapa aku benar-benar bisa men-
dapatkan pertolongan...?"
"Bagaimana kekasihmu yang dari alam roh
itu?" tanya Setan Ngompol pula sambil usap mata-
nya yang belok jereng.
"Maksudmu Bunga?" Wiro tertawa, "Aku harus tahu diri Kek. Baru beberapa hari
lalu kita men- dapat pertolongan dari dia sewaktu menyerbu 113
Lorong Kematian. Sekarang mau minta tolong lagi..."
Si kakek usap-usap kepalanya yang setengah botak. "Menurutku dalam bercinta,
kekasih adalah segala-galanya. Jangankan pertolongan, nyawa-
pun akan diberikan..."
"Ucapanmu mengada-ada. Dari mana kau tahu aku bercinta dengan gadis alam roh
itu?" Setan Ngompol tertawa lebar lalu terbatuk-batuk beberapa kali. "Kalian saling
peluk di telaga, saling..."
Wiro julurkan kakinya ke arah bagian bawah perut si kakek, Setan Ngompol cepat-
cepat bersu- rut mundur sambil menahan kencing.
"Yang membuat aku khawatir, bukan cuma kita yang menginginkan kitab keramat itu.
Ingat Hantu Malam Bergigi Perak dan dua muridnya" Mereka juga menginginkan.
Wiro, kita harus berhati-hati dalam bicara dan menebar kabar. Semakin banyak
orang yang tahu kitab itu hilang semakin banyak yang ingin mencari dan
mendapatkannya."
Lama Wiro terdiam dan merenung. Akhirnya
murid Sinto Gendeng keluarkan Kapak Naga Geni 212 dari balik pinggang. Mata
kapak diusap-usap sesaat. Lalu perlahan-lahan kapak diangkat, gagang yang
berbentuk kepala naga didekatkan ke bibir. Jari-jari tangan ditempelkan pada
lubang-lubang di batang gagang kapak yang menyerupai seruling. Wiro meniup
seruling Kapak Naga Geni 212 dengan penuh perasaan dan mata dipejam-
kan. Mula-mula perlahan saja, kemudian mulai keras namun tetap dalam irama naik
turun meng- alun lembut. Siapa mendengar tiupan seruling dengan berhiba-hiba itu pasti akan
tercenung dan ikut terbawa larut perasaannya.
Pendekar 212 Wiro Sableng sengaja memainkan seruling kapak untuk berusaha
membebaskan dirinya dari pikiran serta perasaan yang meng-
himpit. Kemudian dia juga berharap ada seseorang yang mendengar suara tiupan
seruling itu, yakni Bidadari Angin Timur, dan datang menemuinya.
Namun lain dengan diharapkan lain pula yang datang. Di bawah nyala perapian yang
mulai redup, berkelebat satu bayangan. Di lain kejap bayangan ini telah berdiri
di hadapan Wiro dan Setan Ngompol.
"Jatilandak!" ucap Setan Ngompol setengah berseru begitu dia mengenali siapa
adanya yang datang dan berdiri di hadapannya tanpa baju. Pe-
muda dari negeri 1200 tahun silam itu membung-
kuk sedikit memberi hormat pada si kakek.
"Kek, aku senang bisa bertemu denganmu
kembali." "Sewaktu di lorong kematian, kami berusaha mencari. Kau lenyap entah ke mana
tahu-tahu muncul di sini dalam keadaan cuma pakai celana, tidak mengenakan
baju." "Aku terpaksa menyerahkan bajuku untuk
menolong seseorang," jawab Jatilandak.
Perlahan-lahan suara tiupan seruling bergema perlahan dan akhirnya lenyap.
Pendekar 212 buka sepasang matanya. Pandangannya saling berben-
turan dengan tatapan Jatilandak.
"Wiro, aku gembira dapat menemui lebih cepat dari yang aku duga. Ada yang perlu
kita bicara- kan..." Wiro susupkan Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaian lalu berkata. "Saat di lorong
kematian, aku meninggalkanmu di tepi telaga. Aku berjanji akan kembali untuk
menjemputmu. Tapi ketika aku dan kawan-kawan kembali ke telaga di dasar jurang,
kau tak ada lagi di situ."
"Wiro, sekali lagi terima kasih kau telah menye-
Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lamatkan jiwaku. Ada hal lain yang ingin kubica-
rakan agar lenyap kesalahpahaman antara kita..."
"Jika yang hendak dibicarakan soal hubungan-
mu dengan Bidadari Angin Timur, kurasa semua sudah jelas. Tak ada lagi yang
perlu dibicarakan.
Aku menerima keadaan apa adanya."
"Kau salah mengerti Wiro..."
Pendekar 212 tersenyum dan gelengkan kepala.
Jatilandak akhirnya memutuskan untuk tidak membicarakan hal itu. Maka dia
mengalihkan pembicaraan. "Tak lama setelah kau meninggalkan aku di tepi telaga,
ada satu mahluk perempuan aneh berbentuk bayang-bayang menolongku
keluar. Aku dibawa ke sungai dan racun belerang dalam tubuhku dikuras keluar.
Sebelum pergi mahluk itu minta agar aku mencarikan Kitab Seribu Pengobatan. Jika
dapat dia ingin memin-
jamnya barang beberapa lama. Karena aku sudah menerima budi maka permintaannya
itu aku luluskan. Aku berjanji akan mencarikan kitab ter-
sebut dan menyerahkannya. Wiro, aku tahu kitab itu adalah milik gurumu. Aku juga
tahu kitab itu lenyap dicuri orang. Jika kau punya petunjuk aku akan melakukan
apa saja untuk dapatkan kitab itu."
Wiro diam saja. Yang bersuara adalah Setan Ngompol. "Satu-satunya orang yang
punya petun- juk tentang kitab itu adalah Bidadari Angin Timur.
Kini gadis itu lenyap seperti ditelan bumi, laksana asap ditelan udara."
Jatilandak terdiam. Ketika dia hendak menga-
takan sesuatu tiba-tiba belasan orang berkelebat dalam kegelapan. Sesaat
kemudian dua belas obor besar menyala menerangi rimba belantara itu, membentuk
lingkaran lapis luar. Sepuluh orang pada lapis terdepan ikut merangsak maju,
juga dalam bentuk lingkaran. Semua bersenjatakan golok telanjang. Orang
kesebelas yang tidak men-
cekal senjata melangkah mendekati Jatilandak.
Usianya masih muda, bertubuh tinggi langsing.
Keseluruhan ada 23 orang mengurung tempat itu.
Semua berseragam pakaian serta ikat kepala ber-
warna biru tua.
"Jatilandak! Berlututlah agar kepalamu bisa aku penggal dengan cepat!" Habis
berkata begitu tahu-tahu sebilah golok sudah tergenggam di tangan kanan pemuda
tinggi langsing.
Kejut Jatilandak bukan alang kepalang. Orang tahu namanya sementara dia tidak
mengenal satu pun di antara mereka. Setan Ngompol kucurkan air kencing,
perlahan-lahan bangkit berdiri sambil pegangi bagian bawah perut.
"Orang tua! Tetap di tempatmu atau kau bakal mampus duluan!" bentak pemuda
tinggi langsing.
Si kakek terpaksa duduk menjelepok di tanah kembali. Pendekar 212 Wiro Sableng
tenang-tenang saja malah garuk-garuk kepala.
"Ada apa ini" Apa salahku" Siapa kalian?"
tanya Jatilandak.
Tangan kiri berkacak pinggang, tangan kanan tudingkan ujung golok ke muka
Jatilandak pemu-
da tinggi langsing keluarkan ucapan.
"Aku Yuda Paranglangit. Murid ketiga mewakili mendiang Ketua Perguruan Silat
Lawu Putih. Dua hari lalu kau memperkosa kakak seperguruan kami Wulan Srindi di
sebuah dangau!"
"Tuduhan palsu! Aku tidak pernah melakukan kejahatan itu. Aku malah..."
"Tutup mulutmu!" teriak Yuda Paranglangit.
Golok di tangan kanannya diputar demikian rupa hingga, craass! Rambut kuning di
kepala Jati- landak putus ujungnya. Pemuda dari negeri Latanahsilam ini tersentak kaget dan
jadi marah. Sekali melompat tinju kanannya menghantam ke dada Yuda Paranglangit. Namun
serangan terpak-
sa di tahan karena pada saat itu juga tujuh golok malah menempel di kepala,
leher, dan tubuhnya.
"Kakang Yuda, perlu apa bicara panjang lebar.
Kita cincang saja bangsat ini sekarang juga!"
"Lakukan!" teriak Yuda Paranglangit. Tangan-
nya yang memegang golok bergerak mendahului sepuluh golok lainnya!
"Tunggu!" Tiba-tiba satu bentakan menggelegar.
Semua anak murid Perguruan Lawu Putih merasa bagaimana bentakan dahsyat itu
menggetarkan tanah yang mereka pijak. Membuat mereka jadi terkesiap dan
palingkan kepala.
Pendekar 212 Wiro Sableng yang barusan kelu-
arkan bentakan berdiri di hadapan Yuda Parang-
langit. "Sahabat, aku kenal baik dengan kakak seperguruanmu Wulan Srindi. Aku
juga kenal baik dengan pemuda berkulit kuning ini. Dia tidak mungkin melakukan
perbuatan bejat itu terhadap Wulan Srindi!"
"Gondrong! Kau membela pemuda bejat berkulit kuning ini! Apa kepentinganmu!"
Seorang anak murid Perguruan Lawu Putih melintangkan golok di leher Pendekar
212. Murid Sinto Gendeng menyeringai lalu garuk-garuk kepala. "Jangan main-main
dengan senjata tajam. Salah-salah kau bisa terluka!" Sambil bica-
ra, dengan kecepatan yang sulit terlihat mata Wiro pergunakan tangan kiri untuk
menotok urat di pinggang pemuda itu. Lalu sekali tangan kanan bergerak, golok
yang dipegang orang sudah ber-
pindah tangan. "Senjata seperti ini sesekali harus disimpan baik-baik karena bisa mencelakai
orang!" Wiro lalu hujamkan golok yang dipegangnya ke tanah hing-
ga amblas tak kelihatan.
Kini Yuda Paranglangit dan saudara seperguru-
annya baru menyadari kalau saat itu mereka berhadapan dengan seorang
berkepandaian tinggi.
Jelas melebihi tingkat kepandaian kakak sepergu-
ruan dan ketua mereka. Namun karena amarah dendam kesumat terjadinya pemerkosaan
atas diri kakak seperguruan, semua anak murid Perguruan Lawu Putih tidak
unjukkan rasa jerih.
"Kita semua bersahabat. Mengapa tidak bicara baik-baik" Aku yakin kau tidak
sembarang tuduh.
Bukan menfitnah kawanku ini." Kata Wiro pula sambil pegang bahu kiri Yuda
Paranglangit. Saat itu juga Yuda Paranglangit merasa seperti ada batu sangat
besar menindih tubuhnya hingga dia bergeletar dan kucurkan keringat dingin.
"Siapa sembarang tuduh" Siapa melakukan
fitnah" Kami punya saksi!" Habis berkata begitu Yuda Paranglangit berteriak.
"Warok Jangkrik!
Lekas datang kesini!"
Dari arah kegelapan muncul seorang lelaki ber-
kulit hitam berkilat. Kepala menyerupai jangkrik ketiongan. Pakaian dan ikat
kepala serba hitam.
Janggut dan kumis lebat kasar. Pada telinga dan cuping hidung sebelah kiri
mencantel sebuah giwang emas. Tangan kanannya buntung sebatas lengan. Inilah
Warok Jangkrik, manusia jahat yang pernah menjadi pimpinan rampok hutan
Sarnigalih.1 Beberapa waktu sebelumnya sebagai-
mana diceritakan dalam Episode Bendera Darah, Warok Jangkrik pernah menculik
Wulan Srindi. Beruntung Bidadari Angin Timur dan Jatilandak yang melakukan pengejaran berhasil
selamatkan gadis itu. Sebagai hukuman dan peringatan agar Warok Jangkrik sadar
serta kembali ke jalan yang benar, Bidadari Angin Timur menabas putus lengan
kanan gembong rampok ini.
Melihat Warok Jangkrik, Jatilandak jadi geram sekali. Dengan suara lantang dia
berkata. "Kau pernah menculik Wulan Srindi. Aku dan Bidadari Angin Timur
memergokimu ketika hendak meru-
sak kehormatan gadis itu. Sekarang kau bersaksi bahwa aku memperkosa Wulan
Srindi! Jangan berani bersaksi dusta!"
Sebenarnya saat itu nyali Warok Jangkrik agak menciut karena tidak menyangka di
tempat itu ada pemuda yang dikenalinya sebagai Pendekar 212. Dia melihat juga
seorang kakek bermata 1 Baca: Wiro Sableng Si Cantik Dalam Guci belok jereng "berkuping lebar yang pasti juga seo-
rang berkepandaian tinggi. Namun Warok Jang-
krik juga punya dendam kesumat pada Jatilandak yang mengakibatkan tangan
kanannya sampai cacat begitu rupa.
"Warok Jangkrik! Katakan kesaksianmu!"
perintah Yuda Paranglangit.
"Siang itu, aku kebetulan lewat dekat sebuah dangau. Aku mendengar ada perempuan
berte- riak-teriak minta tolong. Dari balik semak belukar aku lihat pemuda berkulit
kuning ini baru saja memperkosa seorang gadis yang aku ketahui adalah Wulan
Srindi, murid kedua Perguruan Lawu Putih..."
"Fitnah busuk! Jahanam keparat!" Jatilandak berteriak marah. Ketika dia berusaha
hendak menggebuk Warok Jangkrik, Yuda Paranglangit tahan dada Jatilandak dengan
ujung golok. "Jatilandak, biarkan dia meneruskan kesaksi-
annya! Kalau kau memang tidak melakukan
perbuatan keji itu mengapa harus takut" Tenang saja!" Wiro yang berdiri di
samping Jatilandak keluarkan ucapan.
"Warok! Teruskan keteranganmu!" kata Yuda Paranglangit.
"Selesai memperkosa dia membuka bajunya
lalu ditutupkan ke tubuh Wulan Srindi. Waktu dia mau menggendong gadis itu,
Wulan Srindi ber-
hasil melarikan diri."
"Kalian lihat sendiri! Pemuda berkulit kuning ini tidak mengenakan baju! Itu
satu bukti bahwa apa yang dikatakan Warok Jangkrik bukan
fitnah!" "Aku bersumpah! Aku tidak pernah memper-
kosa Wulan Srindi. Aku membuka bajuku untuk dapat menolong menutupi auratnya.
Ketika aku sampai di dangau keadaannya nyaris tanpa pakai-
an. Dia berteriak-teriak. Sekujur tubuhnya tak bisa bergerak karena ditotok..."
"Kalau kau mau bersumpah, bersumpahlah di hadapan setan neraka!" ucap Yuda
Paranglangit. Dia berpaling pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Gondrong, kau masih membela manusia bejat ini?"
"Aku juga membelanya. Aku yakin pemuda ini tidak melakukan perbuatan keji itu!"
Setan Ngom- pol yang berikan jawaban.
Yuda Paranglangit menyeringai. Tiba-tiba dia berteriak. "Kawan-kawan! Mari kita
berebut pahala menghabisi manusia mesum keparat ini! Siapapun yang ingin
membelanya akan menemui ajal di tempat ini."
Teriakan Yuda Paranglangit disambut dengan teriakan keras oleh semua anak murid
Perguruan Lawu Putih. Belasan golok berkelebat. Wiro meng-
hantam. Dua orang penyerang roboh terjungkal.
Setan Ngompol menyikut membuat seorang murid Perguruan Lawu Putih mencelat dan
menjerit karena patah tulang iganya. Namun serangan datang laksana banjir. Apa
lagi dua belas orang yang memegang obor kini cabut senjata masing-masing dan
ikut menyerbu. "Kalau kalian tidak hentikan serangan jangan salahkan banyak yang bakal cidera!"
Setan Ngom- pol memperingatkan sementara Wiro sudah siap untuk menyapu serbuan lawan dengan
pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan.
Namun anak murid Perguruan Lawu Putih yang sudah seperti kemasukan setan karena
amarah dendam kesumat itu tidak perdulikan ucapan si kakek. Mereka terus
merangsak membabat,
menusuk dan membacok dengan senjata masing-masing ke arah Jatilandak.
Desss! Traang! Traang! Traang!
Didahului suara berdesis keras, sosok Jati-
landak lenyap. Kini berdiri angker binatang ber-
ujud seekor landak raksasa. Bacokan, babatan maupun tusukan senjata yang
mengenai tubuh-
nya disambut dengan bulu landak yang berjing-
krak sebat. Semua anak murid Perguruan Lawu Putih
menjadi geger. Terlebih ketika landak raksasa ini memutar tubuh demikian rupa,
mereka serta mer-
ta selamatkan diri berhamburan. Ternyata Jatilan-
dak yang telah mengubah diri ke ujud aslinya tidak ingin mencelakai lawan yang
rata-rata masih muda belia itu. Yang jadi incarannya adalah Warok Jangkrik.
Selagi manusia hitam berkilat ini berusaha kabur, sang landak gelindingkan diri
di tanah dan berhasil menangkap kaki tangan Warok Jangkrik. Bekas pentolan
rampok ini berteriak kesakitan dan ketakutan setengah mati.
Kraakkk! Sambungan lutut kanan Warok Jangkrik
hancur. Tubuhnya kemudian dilempar mental ke udara, jatuh di atas pohon besar
dan terkapar melintang di salah satu cabang. Darah menyem-
bur dari lehernya yang koyak kena cakaran landak. Mulut menganga seperti hendak
menyua- rakan sesuatu namun yang keluar adalah nafas-
nya yang terakhir. Setan Ngompol terduduk di tanah, tak sanggup menahan pancaran
air ken- cing. Jatilandak yang telah merubah dirinya men-
jadi pemuda berkulit kuning duduk di samping si kakek sementara Pendekar 212
Wiro Sableng berdiri memperhatikan ke arah murid-murid Perguruan Lawu Putih yang
tinggalkan tempat itu dengan membawa kawan mereka yang cidera.
Sesaat kemudian Jatilandak berdiri lalu men-
dekati Wiro. "Mungkin kau merasa tidak enak kalau aku terlalu lama di tempat
ini. Aku akan berusaha mencari Bidadari Angin Timur untuk dapatkan keterangan
tentang kitab yang hilang.
Jika aku berhasil menemukan, aku akan memin-
jamkannya beberapa lama. Aku berjanji akan mengembalikan buku itu padamu..."
"Sebelum kau kembalikan, berikan dulu pada-
ku. Aku juga memerlukan kitab itu!" satu suara perempuan menggema di tempat itu
disusul suara cekikikan.
"Hantu Malam Bergigi Perak!" seru Setan
Ngompol sambil tekap bagian bawah perutnya.
"Ah, jangan-jangan dia mau memberikan giginya!"
Setan Ngompol buru-buru tekap bagian bawah pusarnya.
Betul saja, sesaat kemudian dari kegelapan keluar sosok si nenek yang berdandan
menor. "Kalian berdua lihat sendiri. Sebelum aku dapat-
kan kitab itu, aku tidak akan pernah jauh-jauh dari kalian." ucap si nenek.
"Mana dua muridmu si merah dan si biru?"
tanya Setan Ngompol.
"Kau menanyakah orang-orang yang tidak ada.
Apakah diriku kurang menarik di matamu yang belok?"
"Ah..." Setan Ngompol tersenyum gembira.
Sambil kedip-kedipkan mata dia dekati si nenek.
"Eit! Kalau mau dekat denganku kau harus
mandi kembang di tujuh sumur agar bau pesing-
mu hilang! Hik... hik... hik!"
Si nenek gerakkan tangan kirinya. Walau tidak menyentuh dada namun Setan Ngompol
merasa seperti didorong keras hingga terjajar dan jatuh terduduk di tanah. Walau
pantat terasa sakit namun si kakek tertawa terkekeh.
"Disuruh mandi aku mau saja. Siapa takut!
Apalagi kalau kau ikut menemani, mandi berbugil ria bersamaku! Ha... ha... ha...
! Dan kau jangan lupa membawa madat satu kantong tempo hari.
Sambil menyedot madat pasti mandinya tambah asyiik. Apa lagi sambil usap-usap
gigi bawahmu. Ha... ha... ha!"
Wajah berdandan medok si nenek berubah.
"Kakek kurang ajar, apa maksudmu usap-usap gigi bawahku?"
"Maaf, jangan salah mengerti. Aku tidak bicara kurang ajar. Maksudku aku suka
mengusap gigi di mulutmu pada deretan sebelah bawah. Aku tidak tahu kalau kau
punya gigi lain di sebelah bawah.
Ha... ha... ha!" Habis berkata begitu Setan Ngom-
pol lalu menyelinap ke balik semak belukar, sem-
Wiro Sableng 142 Kitab 1000 Pengobatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bunyi di tempat gelap, takut digebuk Hantu Malam Bergigi Perak.
TAMAT Berhasilkah Pendekar 212 Wiro Sableng dan Jati-
landak mencari Bidadari Angin Timur dan menda-
patkan Kitab 1000 Pengobatan" Atau mereka akan kedahuluan Hantu Malam Bergigi
Perak" Atau lenyapnya kitab keramat ini akan menjadi sebuah misteri yang tak
pernah terungkapkan" Bagai-
mana pula nasib Wulan Srindi" Komplotan pem-
berontak Keraton Kaliningrat, apakah mereka berhasil merebut tahta Kerajaan"
Tunggu Episode Berikutnya:
PERJANJIAN DENGAN ROH
Document Outline
KKCover.pdf KKCover.pdf BASTIAN TITO
WIRO SABLENG e-book oleh: kiageng80 sumber cover: kelapalima
sumber kitab: pendekar212
Dendam Manusia Kelelawar 3 Pendekar Hina Kelana 6 Pusaka Penebus Dendam Tapak Tapak Jejak Gajahmada 1