Pencarian

Kutukan Sang Badik 3

Wiro Sableng 132 Kutukan Sang Badik Bagian 3


Jatilegowo terhadap dirinya dan Sri Sumini selama ini. Mereka diperlakukan bukan
sebagai istri. Mereka disuruh melayani bukan sebagai suatu kewajiban. Tapi
mereka diperlakukan sebagai budak bahkan seperti binatang, dengan cara-cara
tidak wajar. "Kangmas, saya akan panggilkan Kakak Sumini. Tapi setahu saya dia sedang sakit.
Sejak dua hari lain dia ter-serang demam panas..."
"Perduli setan dia sakit demam panas atau sakit apa!
Aku bilang panggil dan suruh dia datang ke sini sekarang juga! Aku ingin
dilayani saat ini juga!"
Jatilegowo membentak marah.
"Baik Kangmas, akan saya panggilkan Kakak."
Lalu dengan ketakutan Kemuning turun dari atas
tempat tidur sambil merapikan dada pakaian tidurnya yang tersingkap lebar. Tak
lama kemudian dia muncul kembali sambil memapah Sri Sumini, istri tua
Jatilegowo. Tanpa pupur dan pemerah bibir, perempuan ini kelihatan sangat pucat
dan lernah. Tubuhnya lunglai, mungkin akan sempoyongan jatuh kalau tidak
dipegangi Sri Kemuning.
Selain itu Sumini masih berada dalam keadaan panas.
Sebagai seorang suami, melihat keadaan istrinya seperti itu seharusnya
Jatilegowo menaruh rasa hiba. Tapi dasar manusia setengah binatang, laki-laki
ini malah menarik Sumini ke atas tempat tidur.
"Kangmas, saya sedang sakit. Saya mohon maaf. Saat ini saya tidak bisa melayani
Kangmas..." Keluar ucapan perlahan dan suara bergetar dari mulut Sri Sumini.
"Siapa yang suruh kau sakit" Apa yang kau lakukan selama aku tidak ada di
sini"!" Bentak Jatilegowo.
"Tak ada yang saya lakukan. Saya tidak ke mana-mana Kangmas..."
"Kalian berdua sama saja pandai berdusta!"
"Kangmas, kalau boleh biar saya saja yang melayani-mu malam ini. Kasihan Kakak
Sumini. Dia benar-benar sakit..." Sri Kemuning memohon.
"Sekali lagi kau berani bicara mengatur diri dan kema-uanku, kutampar pecah
mulutmu!" Hardik Jatilegowo.
Sri Kemuning tak berani lagi mengeluarkan kata. Perlahan-lahan dia memapah
madunya naik ke atas tempat tidur. Kemudian dia menyusul berbaring di samping
Sri Sumini. *** Suasana sunyi menjelang pagi di gedung Kadipaten
dirobek oleh suara jeritan. Jeritan itu keluar dari kamar tidur Adipati
Jatilegowo. Yang menjerit , adalah Sri Kemuning. Beberapa orang termasuk
pengawal yang bertugas saat itu berhamburan menuju kamar tapi mereka tidak bisa
masuk karena pintu dikunci dari dalam. Suara jeritan Sri Kemuning masih
terdengar. Lalu terdengar bentakan-bentakan keras Adipati Jatilegowo.
"Apa yang terjadi"
Di lantai kamar Sri Kemuning menangis keras, sesekali kembali menjerit. Di
hadapannya terbujur sosok Sri Sumini, pucat dingin tak bergerak. Dan hidung dan
mulutnya mengucur darah. Sebelumnya dalam keadaan sakit parah bersama-sama Sri
Kemuning perempuan ini telah dipaksa oleh Jatilegowo untuk melayani nafsu
badaniahnya. Karena keadaan tubuhmya yang sakit dan lemah, Sri Sumini tidak
mampu melayani sang suami. Akibatnya Jatilegowo menjadi marah. Setelah
mendaratkan tempelengnya beberapa kali Sri Sumini diusir keluar kamar.
Terhuyung-huyung dan dengan berpakaian seadanya perempuan ini turun dari tempat
tidur, melangkah menuju pintu. Namun sebelum mencapai pintu tubuhnya terjerem-
bab dan jatuh terbanting ke lantai. Kepalanya bagian belakang mendarat keras di
lantai kamar. Sri Sumini keluarkan keluhan pendek lalu sosoknya tak bergerak
lagi. Dari hidung dan mulutnya kelihatan darah mengucur.
Melihat kejadian itu Sri Kemuning yang masih berada dalam pelukan Jatilegowo
meronta lepaskan diri. Istri muda Adipati Salatiga ini langsung menjerit ketika
dia dapatkan Sumini tidak bernafas lagi. Jatilegowo melompat turun dari atas
tempat tidur. Memeriksa Sumini lalu membentak, Kemuning agar perempuan itu
berhenti berteriak-teriak.
Tapi jerit pekik Kemuning malah semakin menjadi-jadi.
Tidak tahu apa yang akan dilakukannya akhirnya Jatilegowo mendaratkan tangan
menempelengi Kemuning
hingga perempuan muda ini babak belur. Hidung dan mulutnya mengeluarkan darah.
Jatilegowo ikut berteriak-teriak. Tangannya terus bekerja memukul dan menampar
Kemuning. Saat dirinya dilanda ketakutan yang amat sangat serta rasa sakit dihajar
Jatilegowo seperti itu tiba-tiba Sri Kemuning melihat Badik Sumpah Darah
tergeletak di atas meja.
Dengan cepat dia menyambar senjata sakti mandraguna ini. Tidak jelas apakah
senjata itu akan ditusukkannya kepada Jatilegowo atau dipakai untuk menusuk
dirinya sendiri, namun sebelum badik terhunus keluar dari dalam sarungnya
Jatilegowo telah merampas senjata itu. Lalu tangan kanannya kembali mengirimkan
tamparan keras ke muka Sri Kemuning hingga perempuan ini terpelanting; menjerit
keras dan jatuh terrguling di lantai.
Dengan muka bengkak dan luka-luka akibat pukulan serta tamparan Jatilegowo, Sri
Kemuning merangkak menuju pintu. Dia berhasil membuka pintu yang terkunci lalu
tersaruk-saruk keluar dari kamar.
"Perempuan celaka! Mau kemana kau! Masuk kembali!" teriak Jatilegowo. Dia coba
mengejar tapi Sri Kemuning telah berada di luar kamar. Beberapa orang menolong
perempuan malang itu. Beberapa lainnya mencoba masuk ke dalam kamar namun
terbirit-birit kembali keluar, ketakutan karena dibentak dan diterjang
Jatilegowo. Ketika Adipati itu keluar dari kamar Sri Kemuning tak kelihatan
lagi. Dia berteriak pada para pengawal.
"Cari perempuan itu! Bawa kesini! Cepat!"
Para pengawal menjadi sibuk. Namun sampai sekian lama mereka mencari ke seluruh
pelosok gedung Kadipaten, Sri Kemuning tak berhasil ditemukan. Apa yang terjadi"
Kemana lenyapnya sang istri muda itu"
Bi Supi, pembantu di Kadipaten yang selalu merawat dan melayani Sri Kemuning
dengan bantuan dua orang temannya membawa istri muda Adipati Jatilegowo itu ke
bagian belakang gedung, menyembunyikannya di sebuah gudang yang jarang orang
keluar masuk. "Bi Supi... Saya mohon.... Tolong keluarkan saya dari gedung ini. Adipati pasti
mencari saya. Dia akan membunuh saya. Tolong...."
Bi Supi dan dua temannya tentu saja menjadi bingung mendengar ucapan Sri
Kemuning itu. Mereka ' hanya bisa menolong mengamankan Sri Kemuning di dalam
gedung Kadipaten. Jika harus membawa istri Adipati itu keluar gedung, tentu saja
mereka tidak mampu dan tidak berani melakukan. Terlalu berbahaya. Kalau sampai
Adipati mengetahui, mereka bertiga bukan saja bakal dihajar habis-habisan tapi
juga akan dipecat. Dalam bingungnya tiga pelayan itu hanya bisa menangis sambil
memeluki Sri Kemuning.
Dalam keadaan seperti itu muncul Paman Rejo, lelaki berkumis yang juga bekerja
di gedung Kadipaten.
Dekat dengan Bi Supi dan sangat bersahabat dengan Sri Kemuning. Bi Supi
menyampaikan permintaan Sri Kemuning.
"Paman, tolong. Saya mohon. Saya tidak takut mati.
Tapi kalau matipun saya tidak mau di gedung ini." Kata Sri Kemuning dengan
berurai air mata.
Paman Rejo ikutan bingung. Tapi hanya sebentar.
"Jeng Ayu, tunggu di sini. Jangan keluar sampai saya datang!"
Tak lama kemudian Paman Rejo muncul bersama se-
orang temannya, membawa selembar kain lebar
menyerupai terpal. Sri Kemuning mereka buntal di dalam kain lebar ini, lalu
digotong dan dinaikkan ke atas sebuah gerobak kuda yang biasa dipakai untuk
segala macam keperluan Kadipaten. Di sebelah atas, sosok Sri Kemuning ditutupi
dengan tumpukan jerami kering.
Sewaktu kawannya naik ke atas gerobak, Paman Rejo berbisik. "Bawa ke Kali
Tuntang. Di bawah jembatan bambu di sebelah timur ada sebuah perahu milik
seorang teman. Tunggu aku di situ."
Gerobak keluar dari gedung Kadipaten tanpa ada yang mencurigai, tanpa diperiksa
oleh perajurit dan pengawal. Di dalam kamarnya Adipati Jatilegowo berteriak
marah seperti orang gila ketika pengawai melaporkan Sri Kemuning tidak berhasil
ditemukan. "Kurang ajar! Pasti ada orang dalam yang menolong!
Kalau kutemukan perempuan itu akan kubunuh! Juga semua orang yang menolongnya!"
Menjelang tengah hari Adipati Jatilegowo kelihatan meninggalkan gedung Kadipaten
bersama dua orang pengawal. Tampangnya sangat kusam. Pakaiannya tidak diganti.
Dia masih mengenakan pakaian yang dipakainya semalam. Tidak ada satu orangpun
yang tahu ke mana dia pergi. Ditunggu sampai keesokan harinya dia tak kunjung
muncul. Jenazah Sri Sumini terpaksa dimakamkan tanpa kehadirannya.
*** WIRO SABLENG KUTUKAN SANG BADIK
11 OMBONGAN Pendekar 212 Wiro Sableng tengah
dalam perjalanan menuju Kotaraja ketika mereka
Rberpapasan dengan sebuah kereta terbuka ditarik dua ekor kuda.
Kusir yang mengemudikan kuda kereta mengenakan
pakaian bagus berwarna merah. Di sebelah bawah dia memakai sebentuk kain panjang
longgar. Di pinggangnya tersisip senjata seperti sebuah pisau besar.
Di bagian belakang, di atas kursi kayu yang dipantek mati ke lantai kereta dan
diberi bantalan empuk duduk seorang kakek berjubah hitam ditaburi sulaman benang
emas. Di atas kepalanya ada sebuah topi hitam berbentuk tarbus lengkap dengan
jumbai-jumbainya. Di bawah tarbus menjulai rambut panjang kelabu. Janggut dan
kumisnya putih seperti kapas. Kakek ini memiliki wajah sangat cekung seolah
tidak berdaging. Dia duduk di atas kursi dengan sepasang mata terpejam-pejam.
Kalau saja wajahnya pucat pasi maka tampang kakek ini hampir menyerupai Si Muka
Mayat. Di sebelah belakang, di kiri kanan kakek bertopi tarbus, di atas dua buah peti
kayu duduk dua orang lelaki berpakaian hampir menyerupai kusir kereta. Bedanya
dua orang ini membekal dua buah golok besar. Dari sikap mereka agaknya keduanya
adalah pengawal kakek ber-tarbus hitam.
Agar tidak ditabrak atau diserempet oleh kereta yang berjalan kencang itu Wiro
dan kawan-kawannya cepat menepi. Tepi jalan. Kereta melewati rombongan dengan
cepat. Namun di depan sana atas perintah kakek ber-tarbus, kusir hentikan kereta
lalu berbalik kembali ke arah rombongan Wiro. Kusir hentikan kereta di depan
rombongan yang berhenti di tepi jalan.
Kakek berjubah hitam buka dua matanya yang sejak tadi terpejam. Sepasang mata
kakek ini ternyata memancarkan cahaya berkilat aneh dan angker. Dia layangkan
pandangan pada orang-orang di depannya, lalu tertawa mengekeh.
"Sekian lama aku berada di Tanah Jawa, baru hari ini aku bisa mencuci mata,
menikmati wajah-wajah cantik.
Sungguh besar berkah Tuhan atas diriku."
Si kakek tentu saja tujukan ucapannya pada Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan
Anggini. Karena si kakek tidak bicara nakal dan memandang tidak memandang secara
kurang ajar, tiga gadis mengambil sikap diam. Dari logat bicara orang, Wiro dan
kawan-kawan sudah bisa menduga bahwa si kakek di atas kereta adalah orang dari
tanah seberang.
Si kakek turun dari atas kursi, tegak di lantai kereta.
Ternyata kakek ini bertubuh pendek bungkuk. Tetapi ketika dia meluruskan
badannya, astaga! Sosoknya menjadi sangat tinggi. Tarbusnya hampir menyondok
ujung ranting sebuah pohon di tepi jalan. Si kakek membungkuk dalam-dalam pada
Wiro dan rombongan.
"Para sahabat, terima salam penghormatan dariku."
Wiro menggaruk kepala lalu membungkuk membalas
hormat orang. Sementara Setan Ngampol berdiri satu tangan pegangi celana yang
merosot satu lagi menekap bagian bawah perutnya menahan kencing.
Di atas kereta kakek bertubuh tinggi jangkung bung-kukkan badannya hingga
seperti tadi dia kembali kelihatan pendek. Matanya yang berkilat memperhatikan
sosok Rana Suwarte yang melintang tak bergerak di atas seekor kuda yang dituntun
Wiro. "Hemmm...." Si kakek bergumam. "Kalau bukan manusia jahat tidak akan mengalami
nasib seperti itu."
Dia lalu arahkan pandangan pada Wiro.
"Kami kehilangan jalan. Sebelum benar-benar tersesat ada baiknya kami bertanya
pada para sahabat. Kami harap para sahabat mau menolong."
"Orang tua, kau datang dari mana dan tujuan ke mana?" Tanya Wiro.
"Kami datang dari seberang. Dari tanah Makassar.
Jauh-jauh ke sini mengejar seseorang. Satu minggu lalu orang yang kami kejar
lenyap. Kemudian kami mendapat kabar bahwa orang itu akan berada di Bukit Watu
Ireng. Itulah tempat yang kami tuju. Tapi kami tidak paham jalan.
Harap para sahabat sudi memberitahu mana arah dan jalan yang harus kami tempuh."
"Kek, bukit yang kau tuju terletak di sebelah utara sana." Wiro berikan
penjelasan. "Kau bisa mengikuti jalan ini. Jika bertemu simpangan membelok ke
kanan. Terus saja. Kira-kira menjelang sore kau akan sampai di kawasan kaki
bukit." "Ah...." Si kakek luruskan tubuhnya hingga dia kembali kelihatan tinggi. "Kami
sangat berterima kasih padamu, anak muda. Tuhan akan memberkatimu!"
Wiro anggukkan kepala lalu ajukan pertanyaan.
"Kakek dari tanah seberang. Tadi kau mengatakan tengah mengejar seseorang. Orang
yang kau kejar lenyap di tengah jalan. Kalau kami boleh bertanya siapakah orang
yang kau cari. Apakah dia punya nama?"
"Tentu, tentu saja kau boleh bertanya. Siapa tahu penjelasan kami bisa
mendatangkan berkah bagi kita semua. Orang yang aku cari itu di tanah Jawa
bernama Aryo Probo. Konon dia adalah seorang Pangeran. Entah benar entah tidak
kami tidak perduli. Tapi sewaktu dia berada di tanah seberang, aku memberi nama
baru padanya. Sarontang."
"Aku rasa-rasa pernah mendengar nama itu," bisik Ratu Duyung pada dua gadis
sahabatnya. "Mungkin juga salah satu diantara kita ada yang pernah melihat. Biar
aku tanyakan mengapa dia mencari orang itu." Lalu Ratu Duyung ajukan pertanyaan
pada si kakek. "Mengapa aku mencari orang itu?" Kakek yang ditanya mengulang lalu tertawa
mengekeh. Dia susutkan tubuhnya lalu duduk kembali ke atas kursi. Setelah duduk
baru dia keluarkan jawaban yang mengejutkan. "Aku ingin dia membunuhku!"
Wiro dan teman-temannya tentu saja jadi terkesiap mendengar jawaban si kakek.
Setan Ngompol tak usah ditanya lagi. Saat itu kakek yang kepalanya plontos ini
langsung kucurkan air kencing.
"Aneh, baru hari ini kami menemui orang yang ingin mati dengan cara meminta
dirinya dibunuh. Apa kau tidak salah bicara Kek?" Tanya Wiro.
Si kakek di atas kursi gelengkan kepalanya yang memakai tarbus hitam.
"Aku sudah hidup seratus dua puluh tahun lebih. Aku sudah bosan melihat dunia
ini. Orang juga sudah bosan melihat diriku. Jadi bukankah lebih pantas aku mati
saja" Tapi celakanya aku tidak mati-mati. Entah mengapa Malaikat Maut masih belum mau
datang mengunjungiku.
Padahal makin panjang umurku bisa saja makin tambah dosaku! Aku ingin mati,
malah sudah mencobanya beberapa kali. Tapi tak ada senjata yang bisa membunuhku.
Kecuali satu senjata sakti yang ada di tangan Sarontang.
Dulu dia berjanji akan membunuhku di Gunung Lompo-batang tempat kediamanku.
Namun entah mengapa dia kabur begitu saja ke Tanah Jawa ini. Aku terpaksa
mengejarnya untuk minta dibunuh. Untuk minta mati!"
Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepala. Tiga gadis kembali berbisik-bisik. Setan
Ngompol cepat pegangi bagian bawah perutnya.
"Kalian pasti tidak percaya ucapanku! Biar aku buktikan!"
Si kakek tanggalkan topi hitamnya. Lalu. "Klik!"
Si kakek gesekkan jari tengah tangan kanannya
dengan ibu jari hingga mengeluarkan suara keras. Melihat isyarat ini pengawal
yang duduk di peti sebelah kanan cabut golok besar di pinggangnya. Lalu tanpa
banyak bicara dia bacokkan senjata itu ke kepala, bahu, serta punggung si kakek.
Tak satu bacokanpun mempan melukai orang tua itu, apa lagi membunuhnya. Suara
berdentrangan terdengar berulang kali setiap golok besar beradu dengan kepala
atau bagian tubuh si kakek. Si pengawal terus saja membacokkan goloknya. Dia
baru berhenti ketika senjata itu akhirnya terlepas dari tangannya yang menjadi
licin oleh keringat, lalu jatuh berdentrangan di atas lantai kereta!
Setan Ngompol terkencing-kencing melihat kejadian itu. Wiro dan tiga gadis sama
terkesima kagum.
"Sekarang apa kalian mau percaya" Atau masih belum?" Si kakek bertanya. Dia
memandang pada Anggini.


Wiro Sableng 132 Kutukan Sang Badik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gadis cantik berpakaian ungu. Aku mengira ada se-kantung senjata rahasia
berbentuk paku terbuat dari perak di balik pakaianmu yang bagus. Jika salah
dugaanku harap maafkan. Tapi jika benar mohon kau mau menyerangku dengan senjata
rahasia itu."
Wiro dan yang lain-lainnya jadi melengak kaget. Yang paling hebat kagetnya tentu
Anggini sendiri.
Di sebelahnya Ratu Duyung berbisik.
"Aneh, apa sepasang mata kakek itu bisa menembus pakaianmu hingga dia bisa tahu
dan melihat senjata rahasia Paku Perak Pemburu Nyawa milikmu" Jika matanya
tembus pandang kita bisa celaka. Jangan-jangan dia sudah menggerayangi sekujur
tubuh kita dengan matanya!"
"Anak gadis berpakaian ungu, kau mau menolongku membuktikan bahwa aku yang
kepingin mati ini memang benar-benar belum bisa menemui ajal?" Si kakek berkata
sambil menatap pada Anggini.
"Baiklah, aku akan mencoba. Harap maafkan kalau aku sampai kesalahan tangan."
Kata Anggini murid Dewa Tuak. Dengan cepat dia mengeluarkan lima buah paku perak
yang menjadi senjata rahasia andalannya. Sekali tangannya bergerak lima paku itu
melesat laksana kilat.
Dua menyambar ke arah mata, satu mencari sasaran di tenggorokan, satu menghantam
ke dada kiri tepat di arah jantung dan yang kelima melesat ke arah kening si
kakek. Di atas kursi si kakek duduk tenang-tenang, tidak bergerak malah sambil
tersenyum. Lima paku perak menghantam sasarannya dengan tepat. Terdengar suara
lima dentringan. Lima paku itu mental ke udara, jatuh ke tanah. Kening, dua
mata, leher dan dada yang kena hantaman paku sedikitpun tidak luka atau
berbekas! "Kuharap sekarang kalian mau percaya," ujar si kakek sambil kenakan kembali topi
tarbusnya. "Atau mungkin masih ada yang merasa penasaran dan mengira aku bermain
sulap?" Si kakek menatap ke arah Wiro, memperhatikan pinggang sang pendekar di
mana di balik pakaian putihnya terselip Kapak Maut Naga Geni 212. Wiro tahu apa
yang ada di benak orang tua ini. Dia hendak menjajal kehebatan Kapak Naga Geni
212. Sebelum si kakek bicara Wiro cepat membuka mulut.
"Terima kasih Kek. Aku sungguh kagum. Kau luar biasa sekali. Kalau boleh aku
hanya ingin bertanya. Senjata apakah yang berada di tangan orang bernama
Sarontang. Yang menurutmu merupakan satu-satunya senjata yang bisa mengakhiri hidupmu."
"Senjata itu berupa sebilah badik. Bernama Badik Sumpah Darah."
"Badik Sumpah Darah..." Mengulang Wiro. Dia memandang pada kawan-kawannya. Lalu
dengan suara perlahan sekali hingga tidak terdengar oleh si kakek dia berkata
"Menurut kabar yang aku dengar, bukankah senjata itu berada di tangan Adipati
Jatilegowo?" Wiro memandang pada kakek di atas kereta. "Kek, kalau kami boleh
bertanya, siapakah dirimu ini sebenarnya?"
Yang ditanya tersenyum, usap-usap janggutnya lalu berkata. "Namaku Pattirobajo.
Di tanah Makassar dan tanah Bugis aku dijuluki Iblis Seribu Nyawa. Julukan gila!
Itu yang membuat tambah berat beban diriku. Aku seolah punya seribu nyawa. Saat
ini tidak tahu tinggal berapa nyawa. Mungkin seratus, dua ratus... Ha... ha...
ha!" Puas tertawa dari atas kursi si kakek menjura. "Para sahabat, kami sangat
berterima kasih pada kalian! Doakan agar aku lekas mati!"
Tiga gadis menutup mulut menahan tawa. Wiro garuk-garuk kepala. Setan Ngompol
manggut-manggut lalu kucurkan air kencing.
"Gila!" kata murid Sinto Gendeng. "Orang hidup bisanya minta didoakan agar
panjang umur. Kakek itu malah minta didoakan agar lekas mati!" Sang pendekar
menatap ke arah kereta di kejauhan. Setan Ngompol mendekatinya.
"Apa yang ada di benakmu, anak sableng?" Setan Ngompol bertanya.
Wiro memandang si kakek. Dua-duanya sama tertawa.
"Aku tahu, pikiran kita sama. Kalau Sarontang ada di Bukit Watu Ireng, manusia
jahat Adipati Jatilegowo pasti juga bakalan ada di sana..."
"Mungkin begitu. Tapi...." Wiro tidak teruskan ucapannya. Di ujung jalan muncul
seorang penunggang kuda.
Begitu melihat rombongan Wiro orang ini segera hentikan kudanya secara mendadak
hingga binatang itu meringkik keras dan angkat dua kakinya ke atas. Untung saja
si penunggang cukup cekatan hingga dia tidak sampai dilemparkan tunggangannya.
Malah orang ini membuat gerakan melenting ke udara, jungkir balik lalu mendarat
turun di hadapan Wiro dan kawan. Setan Ngompol
terkencing dan pelototkan mata.
"Loh Gatra!" seru Pendekar 212 begitu mengenali orang yang berdiri di
hadapannya. Ternyata penunggang kuda itu adalah Loh Gatra, cucu mendiang Ki
Sarwo Ladoyo, sesepuh Kadipaten Temanggung yang mati dibunuh Jatilegowo.
"Tuhan Maha Besar! Beruntung aku menemui para sahabat di sini."
"Sobatku, kau dari mana dan mau menuju ke mana?"
tanya Wiro. "Saya memang tengah mencari kalian. Dua peristiwa besar terjadi di Temanggung
dan Salatiga. Di Temanggung Jeng Ayu Nyi Larasati diungsikan ke luar kota. Tapi
Jatilegowo berhasil mengetahui rumah persembunyiannya lalu menculik Nyi Lara.
Saya dan sahabat Bujang Gila Tapak Sakti berhasil memergoki Adipati itu. Namun
kami tidak berdaya menghadapinya.
Dia memiliki sebilah senjata luar biasa sakti
mandraguna..."
"Pasti Badik Sumpah Darah," kata Wiro. "Loh Gatra, teruskan ceritamu."
"Ketika saya dan Bujang Gila Tapak Sakti berkelahi melawan Adipati Jatilegowo,
ada orang lain muncul menculik Nyi Lara. Di mana Nyi Lara berada sekarang dan
bagaimana keadaannya tidak diketahui."
"Apa yang terjadi di Salatiga?" tanya Pendekar 212.
"Adipati Jatilegowo membunuh istri tuanya, Sri Sumini.
Dia juga hendak membunuh Kemuning istri mudanya. Tapi perempuan itu berhasil
lari diselamatkan oleh para sahabat abdi Gedung Kadipaten. Seorang bernama Paman
Rejo menyerahkan Kemuning pada saya di tepi Kali Opak dua hari lalu untuk
diungsikan ke tempat yang lebih aman.
Kemuning minta saya mencarimu. Katanya ada satu hal penting yang hendak
disampaikannya."
"Di mana Kemuning saat ini berada?" Tanya Pendekar 212 pula.
"Di sebuah rumah kenalan saya. Di desa Klingkit, tak jauh dari sini."
Menerangkan Loh Gatra.
Wiro menggaruk kepala. Otaknya bekerja. Lalu keluar ucapannya.
"Kalau Jatilegowo kembali ke Salatiga seorang diri, membunuh istri tuanya,
bahkan juga hendak membunuh istri mudanya, lalu keterangan Loh Gatra barusan
bahwa ada orang lain menculik Nyi Lara, berarti Nyi Lara memang benar-benar
tidak berada di tangan Jatilegowo. Loh Gatra, kau tahu dimana Jatilegowo berada
sekarang?"
"Setelah membunuh Sri Sumini, Jatilegowo
meninggalkan Kadipaten Salatiga. Dua orang pengawal ikut bersamanya. Sebelum
pergi salah satu dari Pengawal itu sempat bicara dengan temannya. Katanya
Adipati minta dikawal ke Bukit Watu Ireng..."
"Tidak meleset dugaanku!" Ucap Wiro. "Berarti besar kemungkinan Nyi Lara juga
ada di situ. Janganjangan Sarontang yang telah menculik Nyi Lara. Berarti
Jatilegowo pasti berada di tempat itu. Nyawa Nyi Lara sangat terancam. Kalau dia
tidak celaka di tangan Sarontang, pasti akan binasa di tangan Jatilegowo." Wiro
menggaruk kepalanya. Lalu berkata pada Loh Gatra. "Sahabat, aku dan kawan-kawan
tadinya akan ke Kotaraja. Tapi mendengar keterangan darimu aku memutuskan akan
segera menuju Bukit Watu lreng saat ini juga."
"Bagaimana dengan pesan Kemuning" Dia ingin menemuimu. Ada satu pesan penting
yang harus disampaikannya padamu. Tidak boleh melalui perantara sekalipun
diriku." Wiro garuk-garuk kepala. Setan Ngompol usap kepala botaknya. Lalu kakek ini
berkata. "Begini saja. Kami tetap akan berangkat menuju Bukit Watu Ireng. Kau jemput Kemuning.
Bawa ke Watu Ireng. Kami menunggu di sana.
Ini pekerjaan berbahaya. Tapi tak ada cara lain. Dan satu hal! Dandani Kemuning
seperti lelaki!"
Loh Gatra hanya bisa mengangguk-angguk. Dia menjura pada orang-orang itu lalu
melompat naik ke atas kudanya.
Setan Ngompol berpaling pada Wiro. Lalu memandang pada tiga gadis cantik.
Seperti tahu membaca pikiran si kakek, tiga gadis ini berbarengan keluarkan
ucapan. "Kami ikut ke Bukit Watu Ireng."
"Lalu bagaimana dengan manusia bernama Rana Suwarte ini?" tanya Wiro.
"Mudah saja," jawab Setan Ngompol. "Tambah totokan di tubuhnya agar tahan
beberapa hari. Lalu kita titipkan dia di rumah salah seorang penduduk desa yang
tadi kita lewati."
"Kau memang cerdik kek," puji Wiro.
"Siapa dulu! Setan Ngompol!" kata si kakek memuji diri sendiri.
"Tukang kencing..." Menimpali Bidadari Angin Timur lalu tertawa cekikikan.
Ketika berjalan agak terpisah dari tiga gadis itu, Wiro berbisik pada Setan
Ngompol. "Kek, sebenarnya aku ingin tiga gadis itu membawa Rana Suwarte ke Kotaraja. Kita
titipkan bunga Melati Tujuh Racun pada mereka..."
"Mana bisa begitu?" ujar Setan Ngompol pula.
"Mengapa tidak bisa?" tukas Wiro.
"Anak sableng! Apa kau kira mereka tidak pernah menyirap kabar apa yang terjadi
antara kau dengan Sri Kemuning setelah peristiwa kau menyelamatkan gadis itu
dari perampok di Kali Tuntang. Jangan-jangan mereka juga tahu kalau kau pernah
mengecup leher gadis itu sampai meninggal bekas cupangan!"
"Edan, aku mengecupnya bukan untuk membuat cupang. Tapi melepaskan totokan di
lehernya! Karena aku tidak boleh menyentuhnya mempergunakan tangan!"
Setan Ngompol tertawa lebar. Sambil pegangi bagian bawah perutnya dia berkata.
"Seumur hidup baru aku mendengar kalau ada orang melepaskan totokan dengan
kecupan. Ilmu dari mana itu. Gila kali."
Wiro jadi diam. Garuk-garuk kepala. Lalu tertawa.
Setan Ngompol pegang lengan Wiro. "Eh, kau tahu mengapa tiga gadis itu ingin
ikut?" Wiro menggeleng.
"Jangan pura-pura tolol. Mereka pasti pada cemburu.
Takut kau bakal keplingsut pada istri muda yang cantik jelita itu. Kalau sampai
kejadian bisa-bisa kau membuat cupang baru. Kali ini bukan di leher tapi di
bawah pusarnya! Ha... ha... ha!"
"Tua bangka jorok!" Maki Wiro. Lalu ikutan tertawa.
*** WIRO SABLENG KUTUKAN SANG BADIK
12 UKIT Watu Ireng merupakan gugusan tanah tinggi
ditumbuhi pohon-pohon raksasa tak jauh dari
B Pakem. Di sela-sela pepohonan kelihatan batu-batu aneh berwarna sangat hitam,
menyerupai tiang berujung lancip dengan ketinggian antara satu sampai tiga
tombak. Ketika terjadi musim kemarau panjang beberapa
tahun lalu, kawasan itu dilanda kebakaran hebat. Semua pohon besar habis dilalap
api. Begitu kebakaran reda dan api padam, yang kelihatan kini adalah
batangbatang kayu hitam gosong serta batu-batu hangus. Debu yang berasal dari
bakaran daun, ranting dan cabang pohon mengendap di permukaan pedataran lambat
laun berubah keras, hitam membatu menjadi satu dengan permukaan pedataran.
Pada malam hari kawasan itu tampak seram sekali.
Selama bertahun-tahun tak ada orang yang naik ke bukit ini. Mereka lewat di kaki
bukit yang tidak terlalu tinggi itu, melintas cepat-cepat. Ada perasaan angker
kalau berada di sekitar tempat itu.
Malam itu langit hitam pekat tanpa sebuah bintangpun kelihatan. Saat itu adalah
bulan mati hari ke empat.
Kawasan Bukit Watu Ireng dibungkus kegelapan
menggidikkan. Di kejauhan terdengar suara raungan anjing hutan menambah seramnya
suasana. Sesekali ada suara aneh datang dari puncak bukit.
Suara sesuatu yang bergerak dalam air. Sejak sore tadi Wiro dan Ratu Duyung
secara bergantian menerapkan Ilmu Menembus Pandang. Namun mereka tidak melihat
apa-apa kecuali batu dan pepohonan dalam kepekatan malam.
"Para sahabat," kata Setan Ngompol yang duduk di tanah bersandar ke batu besar
di belakangnya. "Janganjangan kita datang ke tempat yang salah. Mana Adipati
Jatilegowo. Mana manusia bernama Sarontang! Tak ada siapa-siapa di sini! Juga
kakek aneh yang tubuhnya bisa ciut bisa molor mengaku berjuluk Iblis Seribu
Nyawa itu! Katanya dia mau menuju ke sini untuk minta mati! Tapi mata hidungnya tidak
kelihatan!"
"Kek, jangan mengomel dulu. Nanti kau beser lagi.
Tenang, sabar. Aku punya firasat satu peristiwa besar akan terjadi di tempat
ini." Berkata Wiro sambil memegang kepala botak Setan Ngompol. "Aku yakin di
puncak bukit batu sana, diantara tiga buah tiang batu itu ada benda hidup. Aku
mendengar suara sesuatu bergerak di dalam air. Berarti di atas sana ada kolam
atau telaga, ada makhluk hidup di dalamnya."
"Aku tidak mendengar apa-apa," kata Setan Ngompol.
Tiga gadis juga tidak mendengar suara seperti yang dikatakan Wiro. Hal ini
memang tidak aneh. Karena sejak masuk ke dasar samudera, diberi kekuatan hawa
murni secara aneh oleh Naga Biru, pendengaran Wiro menjadi jauh lebih tajam.
"Ratu," bisik Wiro. "Coba kau terapkan Ilmu Menyerap Detak Jantung. Selidiki apa
ada orang sembunyi di atas bukit sana."
Ratu Duyung lakukan apa yang dikatakan Wiro. Dua tangan diangkat, telapak
dikembangkan dan diarahkan ke puncak bukit. Sesaat kemudian sepuluh jari tangan
gadis cantik bermata biru ini kelihatan bergetar. Ratu Duyung pejamkan mata,
letakkan dua tangan di atas dada lalu berkata.
"Ada dua makhluk hidup di atas bukit. Tapi bukan manusia."
"Serrr!" Setan Ngompol langsung kencing.
"Kalau bukan makhluk hidup lalu apa" Setan" Jin"
Mungkin dedemit?" Ujar Wiro.
"Tidak bisa kupastikan. Mungkin sekali binatang bersosok besar. Ada dua ekor.
Tadi aku mendengar suara sesuatu dalam air. Dua binatang itu memang berada dalam
air..." Pendekar 212 angkat tangan kanan memberi tanda.
Ratu Duyung hentikan ucapannya.
"Aku melihat sesuatu bergerak di atas bukit."
Semua pandangan serta merta diarahkan ke atas
bukit. Memang benar. Saat itu di sela-sela deretan pohon dan batu-batu hitam
kelihatan seseorang berjalan sambil memanggul sosok tubuh manusia di bahu
kirinya. Dari rambutnya yang tergerai panjang ke bawah jelas sosok yang
dipanggul itu adalah seorang perempuan.
"Aku yakin, perempuan yang dipanggul itu adalah Nyi Larasati," kata Wiro. "Tapi
siapa orang yang memanggul dan membawanya ke atas bukit batu itu"!"
Di atas bukit, si pemanggul menurunkan dan mem-
baringkan sosok perempuan di atas sebuah batu datar.
Lalu dia duduk bersila di pinggiran batu. Tangan kiri terkulai buntung di atas
paha, tangan kanan melintang di dada, memegang sebuah benda memancarkan cahaya
kuning terang. Wiro dan Ratu Duyung kerahkan Ilmu Menembus
Pandang. Keduanya sama-sama terkejut.
"Perempuan di atas batu memang Nyi Larasati!" kata Ratu Duyung.
"Benda bersinar kuning sudah dapat kupastikan Keris Kiai Naga Kopek!" Wiro
menyambungi ucapan Ratu Duyung.
Semua orang sama terkejut.
"Dulu senjata itu berada di tangan Rana Suwarte. Rana Suwarte sudah kita bekuk.
Apakah Rana Suwarte menyerahkan keris tersebut pada orang itu" Lalu siapa orang
yang kini memegang senjata pusaka Kerajaan itu?"
"Aku yakin dialah manusianya yang bernama Sarontang," kata Bidadari Angin Timur
pula. "Sosok Nyi Lara tidak bergerak tidak bersuara. Mungkin pingsan, mungkin ditotok.
Tapi mungkin juga sudah dibunuh oleh Sarontang. Kita harus bergerak sekarang
juga!" Kata Wiro pula.
Mendadak dari atas bukit batu orang yang memegang benda bercahaya kuning terang
keluarkan suara nyanyian.
Ketika bintang dan bulan sembunyi mendekam
Sewaktu angin malam bertiup bersama hembusan nafas para arwah
Kutukan jatuh atas manusia sejagat salah sejagat dosa Malam bulan mati hari ke
empat Aku duduk bersila di tempat ini
Menunggu saat bertuah


Wiro Sableng 132 Kutukan Sang Badik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuh hidup ditukar dengan benda mati.
Sosok bernyawa ditukar dengan senjata sakti.
"Orang gila kesasar dari mana dia! Malam-malam begini menyanyi di tempat begini
rupa..." Baru saja Setan Ngompol keluarkan gerendengan, tiba-tiba dari arah
timur kaki bukit terdengar derap kaki-kaki kuda. "Ada tiga penunggang Ruda
bergerak ke arah bukit," kata Ratu Duyung.
Semua mata dipalingkan ke arah timur. Walau malam gelap pekat namun orang-orang
itu bisa mengenali.
Penunggang kuda paling depan bertubuh tinggi besar bukan lain adalah Adipati
Salatiga Jatilegowo. Sekali bergerak Adipati ini melesat dari kudanya, lalu
melompat menaiki bukit. Ketika dia mencapai pertengahan bukit, diikuti dua
pengawalnya, di atas sana orang yang memegang senjata bercahaya kuning berdiri
dari duduknya. "Cukup sampai disitu Jatilegowo! Kalau kau berani naik lebih tinggi, kematian
akan lebih cepat menjamah janda yang kau sukai ini!"
Habis keluarkan ancaman orang di atas bukit injakkan kakinya pada sebuah batu.
Tiba-tiba ujung batu di bagian kepala diatas mana terbaring sosok perempuan yang
memang Nyi Larasati adanya, bergerak ke atas.
"Jatilegowo! Dengar baik-baik! Di bawah batu, satu tombak di ujung kaki Nyi Lara
ada sebuah liang berair dihuni dua ekor buaya hitam yang selama bertahun-tahun
tidak bisa keluar dan tidak pernah mendapat makanan!
Sekali aku menggerakkan kaki, batu tempat Nyi Lara terbaring akan terangkat
tegak lurus dan perempuan itu akan meluncur masuk ke dalam telaga maut, menjadi
santapan sepasang buaya lapar!"
"Sarontang bangsat keparat! Jangan berdusta menakuti diriku! Aku bukan anak
kecil! Mana ada buaya di bukit ini! Kau yang akan kubantai lebih dulu!" Teriak
Jatilegowo marah. Tangannya bergerak mencabut Badik Sumpah Darah dari pinggang.
Begitu senjata sakti tersebut ketuar dari sarungnya, satu cahaya hitam angker
menebar di lereng Bukit Batu Ireng, membuat pudar terangnya cahaya Keris Naga
Kopek di tangan Sarontang. Dari bentrokan dua cahaya sakti ini sudah terlihat
bahwa badik di tangan Jatilegowo memiliki pamor atau kekuatan lebih hebat,
setingkat lebih tinggi dari Keris Kiai Naga Kopek.
Saat itu antara Jatilegowo dan Sarontang terpisah sekitar tiga tombak. Ketika
Jatilegowo membuat gerakan hendak melompat ke atas bukit, Sarontang segera
tekankan kaki kanannya ke batu yang dipijaknya. Batu hitam tempat Nyi Lara
terbujur bergerak di atas, lebih tinggi. Tubuh Nyi Lara meluncur turun. Di ujung
batu sebelah bawah, dari dalam sebuah hang berair, terdengar suara-suara
menyeramkan disertai muncratan air. Jatilegowo tercekat dan terpaksa hentikan
gerakannya. Di bawah bukit Wiro dan para sahabat terkesiap. Sarontang, orang di
atas bukit batu tertawa mengekeh. Gerakan batu ditahannya hingga sosok Nyi
Larasati berhenti meluncur.
Jatilegowo berpaling pada pengawal di sebelah kanannya. "Naik ke bukit, selidiki
apa yang ada di atas sana!"
Meski ragu tapi karena harus menjalankan perintah sang pengawal berlari naik ke
atas bukit. Sarontang segera menghadang.
"Kau mau apa"!" bentak si kakek berambut biru berminyak. "Mau menyelidik"! Biar
majikanmu percaya aku akan memperlihatkan sesuatu padanya!"
Ketika Sarontang mendekat, pengawal ini segera
menghunus pedangnya. Walau bersenjata dia bukan tandingan Sarontang. Sambil
berkelit Sarontang menendang selangkangannya. Pengawal ini keluarkan jeritan
dahsyat. Tubuhnya mencelat ke bawah. Setengah tombak akan mencapai bebatuan,
tiba-tiba ada suara meng-gemuruh disertai muncratan air dan melesatnya dua sosok
buaya hitam dari liang batu berair! Untuk kedua kalinya pengawal itu keluarkan
jeritan keras. Lalu suara jeritannya lenyap. Berganti dengan suara gaduh dua
ekor buaya hitam mencabik-cabik dan melahap tubuh pengawal malang itu. Kalau
saja hal itu terjadi pada siang hari, maka akan terlihat bagaimana air hitam di
dalam liang batu telah berubah menjadi merah pekat!
Wiro, Setan Ngompol dan tiga gadis terkesiap ngeri.
Jatilegowo dan pengawal satunya terbeliak kaget. Sementara Sarontang enak saja
umbar tawa bergelak. Begitu hentikan tawa, dia tudingkan Keris Naga Kiai Kopek
kepada Jatilegowo.
"Adipati, kau saksikan sendiri! Setiap saat bisa terjadi kematian mengerikan di
atas bukit ini. Sekarang saatnya kita berjual beli. Saatnya tubuh hidup ditukar
dengan benda mati. Saatnya sosok bernyawa ditukar dengan senjata sakti! Serahkan
Badik Sumpah Darah padaku!
Letakkan di atas tiang batu setinggi lutut di depanmu. Lalu turun jauh-jauh ke
bukit. Aku akan mengambil badik.
Meninggalkan tempat ini! Kau akan mendapatkan Nyi Lara dalam keadaan selamat!"
Jatilegowo mendelik besar. Dua matanya laksana di-kobari api. Tiba-tiba dia
keluarkan tertawa bergelak lalu meludah ke tanah.
"Aku bisa nekad Sarontang! Aku tidak akan memberikan Badik Sumpah Darah ini
padamu!" Sarontang tertawa mengekeh. "Aku juga bisa nekad!
Aku tidak mendapatkan badik, kau tidak akan mendapatkan janda idamanmu ini!"
"Perduli setan! Kau mau berbuat apa, kau mau membunuh Nyi Lara silahkan! Aku
masih bisa mendapatkan perempuan lain. Tapi nyawamu cuma satu! Aku merasa lebih
puas jika bisa membunuhmu!" Dengan badik diacung-kan ke atas, Adipati Jatilegowo
menerjang ke arah Sarontang.
"Ha... ha! Secepat itukah hati dan pikiranmu berubah"!"
Sarontang yang tidak mengira Jatilegowo akan berbuat senekad itu cepat kiblatkan
Keris Naga Kopek menahan sambaran Badik Sumpah Darah. Bersamaan dengan itu kaki
kanannya menginjak kuat-kuat batu penggerak batu besar di atas mana Nyi Lara
terbaring. "Saatnya kita bergerak! Ingat apa yang barusan sudah kita atur!" Dibawah bukit
Wiro berteriak. Lima sosok berkelebat ke atas bukit. Bidadari Angin Tirnur
melesat ke arah batu di mana Nyi Lara terbujur. Ratu Duyung berlari sambil
keluarkan cermin sakti. Setan Ngompol terkencing-kencing membuat dua lompatan.
Anggini melesat sambil mengeruk tiga paku perak senjata rahasia.
Saat itulah tiba-tiba dua penunggang kuda mendatangi cepat dari arah barat.
"Wiro! Tunggu!" Seorang berteriak.
Pendekar 212 yang telah melesat ke atas bukit
terpaksa hentikan gerakan. Walau lama tidak pernah bertemu tapi dia mengenali
suara itu. Wiro berpaling ke bawah bukit. Dua orang pemuda dilihatnya lari ke
arahnya. Di sebelah depan dikenalinya sebagai Loh Gatra. Satunya, jauh tertinggal di
sebelah belakang seorang pemuda berkulit halus, berwajah cakap memakai daster.
ltulah Sri Kemuning yang diberi dandanan laki-laki. Wiro ingat ucapan Loh Gatra
tentang pesan penting yang hendak disampaikan istri muda Jatilegowo itu padanya.
Dengan cepat Wiro melompat ke bawah. Loh Gatra sambil lari ke atas bukit
perhatikan suasana. Dia melihat Setan Ngompol dan tiga gadis berkelebat menyerbu
ke arah Jatilegowo. Dia melihat batu di atas mana Nyi Larasati terbujur bergerak
ke atas, membuat tubuh perempuan muda itu meluncur ke bawah, siap jatuh ke dalam
lobang dimana terdapat dua ekor buaya hitam ganas. Tidak tunggu lebih lama
pemuda ini melesat ke arah batu itu.
"Wiro!" Begitu sampai di hadapan Wiro Kemuning jatuhkan diri dalam pelukan sang
pendekar. Nafasnya megap-megap karena berlari mendaki bukit. Dadanya turun naik.
"Jeng Ayu Kemuning, kata Loh Gatra ada satu pesan penting hendak Jeng Ayu kau
sampaikan padaku. Pesan apa" Katakan cepat!"
"Jangan panggil saya Jeng Ayu!"
"Baik, baik.... Sekarang katakan apa pesan yang hendak kau sampaikan."
"Jatilegowo!" Ucap Kemuning. "Dia memiliki kekebalan bersumber dari kesaktian
Badik Sumpah Darah. Tidak ada pukulan atau senjata yang sanggup membunuhnya!
Kecuali jika kau menghantam kelemahannya..."
"Apa"! Bagaimana Jeng Ayu... kau bisa tahu" Di mana letak kelemahannya?"
Belum sempat Sri Kemuning menjawab, di atas bukit sana terdengar suara letusan-
letusan keras dibarengi kiblatan cahaya hitam kuning serta jerit pekik dahsyat!
Wiro palingkan kepala, memandang ke atas bukit.
*** WIRO SABLENG KUTUKAN SANG BADIK
13 ELIHAT Jatilegowo melompat ke arahnya dan
melancarkan serangan dengan Badik Sumpah
MDarah, Sarontang segera injak keras-keras batu dibawah kaki kanannya. Batu
besar di atas mana sosok Nyi Larasati terbujur tanpa bisa bergerak dan bersuara
meluncur ke bawah, ditunggu dua ekor buaya ganas dalam liang batu berair. Sesaat
kemudian kakek bertangan kanan buntung ini menerjang ke depan, sambuti sambaran
senjata lawan dengan Keris Kiai Naga kopek. Sarontang begitu percaya bahwa keris
pusaka Kerajaan itu akan sanggup menghadapi badik di tangan lawan.
"Traangg!" Dua senjata sakti beradu di udara. Bunga api memercik di kegelapan
malam disusul dengan
bentrokan sinar kuning dan hitam hingga mengeluarkan suara gelegar letusan
keras. Sarontang menjerit. Keris Kiai Naga Kopek terlepas dari genggaman tangan
kanannya. Jatuh berkerontangan di atas tanah membatu. Tubuhnya sendiri mencelat
dua tombak, terpental ke arah liang batu. Dia membuat gerakan jungkir balik,
berusaha menghindari agar tidak jatuh ke dalam liang maut itu. Namun saat itu
Jatilegowo telah melancarkan serangan susulan dengan membabatkan secara ganas
Badik Sumpah Darah ke arah leher Sarontang.
"Crasss!"
Sarontang keluarkan jeritan pendek. Darah menyembur dari pangkal lehernya yang
terkena sambaran Badik Sumpah Darah. Saat itu juga leher, muka dan bagian atas
dadanya berubah hitam oleh ganasnya racun Seratus Pohon Tuba. Tubuhnya yang
berjungkir balik tak ampun lagi melayang jatuh ke dalam liang batu. Sarontang
menjerit keras. Suara jeritannya lenyap begitu dua ekor buaya menyergap dan
melahap tubuhnya!
Jatuhnya Sarontang ke dalam liang batu justru
menyelamatkan Nyi Larasati. Sosoknya yang meluncur deras ke bawah dan seharusnya
masuk amblas ke dalam liang maut, untuk sesaat tertahan oleh tubuh Sarontang
yang telah lebih dulu jatuh ke dalam liang. Hal ini memberi kesempatan pada
Bidadari Angin Timur untuk menyelamatkan janda mendiang Adipati Temanggung itu.
Bidadari Angin Timur yang punya kemampuan bergerak cepat luar biasa, laksana
kilat menyambar tubuh Nyi Larasati, tapi gerakannya terhalang karena Jatilegowo
secara tidak terduga membabatkan badiknya ke arah sang d.ara.
Sesaat setelah Jatilegowo membabat leher Sarontang, Setan Ngompol, Anggini dan
Ratu Duyung menghantam, dengan tiga serangan. Cahaya putih yang melesat dari
cermin sakti Ratu Duyung menyambar ke arah kepala Jatilegowo, membuat lelaki ini
meraung marah kesilauan.
Dari samping kiri Setan Ngompol lancarkan pukulan tangan kosong mengandung
tenaga dalam tinggi. Dari sebelah kanan tiga paku perak yang dilemparkan Anggini
menyambar ke arah kepala dan dada!
Jatilegowo menggembor marah. Dia tidak begitu
mengenali siapa orang-orang yang menyerbunya.
"Keparat! Siapa kalian! Kalau minta mati akan kuberikan saat ini juga!"
"Wuuuuttt!"
Sinar hitam angker menderu di kegelapan malam.
Setan Ngompol berteriak kaget ketika sinar hitam yang keluar dari Badik Sumpah
Darah laksana badai menghantam dirinya hingga dia terpental dan jatuh
terjengkang terkencing-kencing. Sekujur tubuhnya terasa remuk. Ketika dia
mencoba bangun, tubuhnya terseok rubuh!
Tiga suara berdentringan terdengar begitu pakupaku perak yang dilemparkan
Anggini disapu Badik Sumpah Darah, mental hancur berkeping-keping. Anggini
sendiri tergontai-gontai hampir jatuh berlutut di tanah.
Di bagian lain Ratu Duyung terpekik sewaktu cahaya putih panas yang keluar dari
cermin saktinya berbalik ke arahnya begitu kena diterpa sinar hitam yang melesat
keluar dari badan senjata di tangan lawan. Kalau tidak lekas melompat menjauh,
cermin saktinya akan terlepas mental, mungkin bisa pecah bertaburan.
Pendekar 212 yang masih berada di lereng bukit
sebelah bawah menyaksikan semua kejadian itu hampir tak percaya. Belum pernah
dia melihat senjata begitu luar biasa seperti Badik Sumpah Darah. Angin dan
cahayanya saja bisa membuat lawan celaka. Wiro sadar, dia harus segera turun ke
gelanggang pertempuran menolong para sahabat.
"Kemuning, lekas katakan dimana letak kelemahan Jatilegowo! Aku harus segera
menolong teman-temanku di atas bukit sana."
"Bagian bawah perut, antara ke dua pangkal paha,"
jawab Kemuning.
Pendekar 212 merasa bimbang mendengar ket-
erangan itu. "Bagaimana kau bisa tahu" Siapa yang mengatakan padamu?"
"Saya kedatangan seorang tua aneh dalam mimpi..."
"Mimpi" Jadi kau mengetahui kelemahan Jatilegowo dalam mimpi" Ah..." Wiro jadi
garuk-garuk kepala.
"Kau boleh percaya atau tidak. Saya bermimpi sampai tiga kali. Seorang tua
berjubah merah muncul. Dia mengaku bernama Daeng Wattansopeng. Katanya dia yang
membuat Badik Sumpah Darah. Kutuk akan segera jatuh atas diri Jatilegowo."
Wiro memandang ke arah bukit. Saat itu dilihatnya Setan Ngompol masih terduduk
di tanah. Ratu Duyung walau mengeroyok Jatilegowo bersama Anggini dan Bidadari
Angin Timur namun berada dalam keadaan terdesak hebat. Setiap saat salah seorang
dari mereka bisa celaka.
Sebelumnya, sewaktu Bidadari Angin Timur gagal
menyelamatkan Nyi Larasati yang siap jatuh masuk ke dalam liang batu berisi
sepasang buaya, Loh Gatra yang datang kemudian berhasil bertindak cepat,
merangkul pinggang Nyi Larasati. Janda muda itu selamat tapi Loh Gatra justru
dilanda bencana. Dalam satu pertempuran beberapa waktu lalu Loh Gatra berhasil
melukai salah satu telinga Jatilegowo dengan senjata rahasia berbentuk bintang
(Baca Episode "Meraga Sukma") Kini melihat pemuda itu muncul dan berusaha
menyelamatkan Nyi Lara, dendam amarah Jatilegowo jadi berkobar. Didahului makian
kotor dia tusukkan Badik Sumpah Darah ke arah dada Loh Gatra. Pemuda ini masih
sanggup menghindar dengan jatuhkan diri sambil terus memeluk tubuh Nyi Lara.
Namun ketika kaki kiri Jatilegowo bergerak menghantamkan tendangan, Loh Gatra
tak dapat lagi mengelak. Tulang pinggulnya remuk. Tubuhnya terpental sejauh dua
tombak. Terguling-guling ke bawah. Dalam keadaan seperti itu tubuh Nyi Larasati tidak
dilepaskannya, terus saja dipeluk sampai akhirnya keduanya terkapar di kaki
bukit batu. Wiro cabut Kapak Maut Naga Geni 212. Dia sampai di atas bukit tepat ketika Badik
Sumpah Darah di tangan Jatilegowo membabat deras ke arah kepala Bidadari Angin
Timur. Untung saja gadis ini memiliki kecepatan luar biasa dalam bergerak. Namun
walau dia berhasil menyelamatkan kepala, tak urung sebagian rambutnya yang
pirang dan bagus masih kena dibabat putus dan mengepulkan asap.
Bidadari Angin Timur berseru tegang, melompat mundur.
Wajahnya yang jelita tampak pucat sekali. Dalam keadaan terkesima kaget dan
kecut seperti itu, lawan pergunakan kesempatan untuk menyerbu kembali. Satu
tusukan dihunjamkannya ke dada Bidadari Angin Timur.
"Adipati jahanan! Aku lawanmu!"
Satu bentakan menggeledek disusul berkeiebatnya satu bayangan putih, memotong
gerakan Jatilegowo. Lalu ada suara menderu laksana ratusan tawon mengamuk.
Sinar putih berselubung cahaya kemerahan disertai hawa panas berkiblat dafam
kegelapan. Sang Adipati tidak melihat jelas benda atau senjata apa yang melabrak
ke arahnya. Percaya akan kekuatan dan kesaktian Badik Sumpah Darah Jatilegowo
belokkan tusukan senjatanya, memburu ke arah benda yang menyambar.
"'Traang!"
Bunga api memercik hebat. Dua orang sama-sama
berseru kaget. Wiro terpental dua langkah, lututnya goyah.
Tangan kanan terasa panas dan perih. Dia genggam gagang kapak erat-erat agar
tidak lepas. Namun dia tidak mampu menjaga keseimbangan
tubuh. Murid Sinto Gendeng ini akhirnya jatuh bertutut. Di hadapannya Jatilegowo
terjengkang di tanah. Dadanya mendenyut sakit seperti ada ratusan jarum
menusuki. Mukanya yang garang kelihatan pucat. Mata mendelik merah. Ketika dia mengenali
siapa orang di depannya segera dia melompat.
"Pendekar jahanam! Kau rupanya!" Teriak Jatilegowo memaki. "Aku memang sudah
lama mencarimu! Sekarang kau datang sendiri mengantar nyawa!"
Wiro cepat melompat bangun. Kapak Naga Geni 212
diputar sebat demikian rupa hingga puncak Bukit Watu Ireng laksana dilanda
topan. Namun Badik Sumpah Darah sungguh luar biasa. Cahaya hitam senjata
beberapa kali menembus iingkaran sinar putih Kapak Naga Geni 212.
Tahu kehebatan badik lawan Wiro tidak berani bentrokan senjata. Sambil terus
memutar kapak di tangan kanan, tangan kiri ikut melancarkan pukulan-pukulan inti


Wiro Sableng 132 Kutukan Sang Badik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kitab Putih Wasiat Dewa. Dua kali pukulan sakti yang dihantamkan Wiro mengenai
sasaran di dada dan perut lawan.
Pertama pukufan bernama Tangan Dewa Menghantam Air Bah. yang kedua pukulan
Tangan Dewa Menghantam Batu Karang. Jangankan tubuh manusia, batang pohon atau
tembok pasti hancur dan jebol jika kena dihantam dua pukulan itu. Wafau tubuhnya
terpental dan kelihatan menahan sakit, tapi begitu Badik Sumpah Darah
diusapkannya ke bagian tubuh yang terpukul, rasa sakit dan cidera serta merta
lenyap! Malah ketika dengan nekad Wiro menyerbu tak mau memberi kesempatan pada
lawan, Jatilegowo berhasil menyusupkan satu jotosan ke dada Wiro, membuat murid
Sinto Gendeng ini terpental satu tombak dan muntah darah.
Tiga gadis sama terpekik menyaksikan kejadian itu. Sri Kemuning yang tak mau
diam di lereng bukit dan naik ke puncak terisak pejarnkan mata, tidak tega
melihat sang pendekar terluka parah seperti itu. Setan Ngompol kucurkan air
kencing. Jatilegowo menyeringai. Sekali lompat dia sudah berada di hadapan Wiro.
"Pendekar keparat! Terima kematianmu!" Badik Sumpah Darah dihunjamkan ke batok
kepala Wiro. Setengah jengkal lagi senjata sakti mandraguna itu akan menancap di kepala Wiro,
tiba-tiba sang pendekar rebahkan tubuh ke belakang, kaki kanan menderu ke atas
menendang perut lawan. Jatilegowo berteriak kaget, dia tarik tusukan badik ke
kepala. Senjata itu kini dibabatkan ke kaki lawan. Tapi saat itu Wiro sudah
membuat gerakan meliuk. Masih setengah berputar di tanah tubuhnya melompat ke
atas. Wiro ingat pesan yang disampaikan Sri Kemuning. Namun kedudukan dirinya
tidak memungkinkan untuk menendang atau membacok bagian bawah perut lawan. Maka
murid Sinto Gendeng ini keluarkan jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung. Kapak
Maut Naga Geni 212
menderu. Yang jadi sasaran adalah batang leher lawan dan kena!
"Deesss! Craassss!"
Leher Jatilegowo putus! Kepalanya menggelinding di tanah keras membatu. Badannya
terkapar menelungkup.
Para gadis terpekik ngeri. Setan Ngompol terkencing habis-habisan. Semua orany
merasa lega. Tapi hanya sesaat.
Tiba-tiba tangan kanan Jatilegowo yang masih memegang badik bergerak ke arah
leher yang buntung dan masih mengucurkan darah. Badik bergerak mengusap bagian
atas kutungan leher. Dan terjadilah satu peristiwa yang sulit dipercaya.
Kepala Jatilegowo yang tadi putus dan menggelinding jauh tiba-tiba melesat dan
menempel kembali ke leher.
Semua orang menjadi geger! Setan Ngompol menenga-dah ke langit, pejamkan mata.
Dua tangan menekap bagian bawah perut kencang-kencang.
Sambil keluarkan tawa bergelak perlahan-lahan sosok Jatilegowo bangkit berdiri.
Wiro memperhatikan dengan mata mendelik besar. Dia memutar otak.
"Ilmu jahanam apa yang dimiliki keparat ini! Kepala jelas-jelas putus. Darah
menyembur. Tapi bisa menclok kembali ke leher. Dan hidup! Gila!"
Ketika Jatilegowo melangkah ke arahnya, Wiro
bergerak mendahului. Kapak Maut Naga Geni 212
dibabatkan ke bawah perut, yang menurut Sri Kemuning adalah titik kelemahan sang
Adipati. Tapi lebih cepat sang Adipati melesat ke udara hingga serangan Wiro
hanya mengenai tempat kosong. Penasaran Wiro mengejar dengan membuat lompatan
yang lebih tinggi. Kapak Naga Geni 212 kembali menderu. Jatilegowo gerakkan
tangan kanan, sengaja hendak menangkis dengan badik karena dia tahu bahwa
senjatanya memiliki kehebatan jauh di atas senjata lawan. Namun kali ini dia
kecele. Wiro bukan saja menghindari bentrokan senjata, tapi dengan memutar kapak
demikian rupa dia berhasil membabat pergelangan tangan lawan.
Tangan yang putus dan masih memegang Badik
Sumpah Darah melayang ke udara. Saat itulah tiba-tiba dari balik tiang batu
besar setinggi dua tombak, melesat sosok seorang berjubah hitam, mengenakan
tarbus hitam berjumbai. Sekali tangannya bergerak memukul, jari-jari potongan
tangan Jatilegowo yang memegang Badik
Sumpah Darah terpentang membuka. Senjata sakti itu melayang jatuh, langsung
disambuti oleh si iubah hitam yang ternyata adalah kakek dari tanah seberang
yang sebelumnya memperkenalkan diri dengan nama Pattirobajo.
"lblis Seribu Nyawa!" seru Wiro dan Ratu Duyung berbarengan.
Sambil berdiri acungkan Badik Sumpah Darah tinggi-tinggi ke atas, si kakek
tertawa mengekeh.
"Badik sakti badik kematian! Akhirnya aku dapatkan dirimu! Semua roh di langit
dan di bumi! Saksikan! Inilah akhir hidup seratus dua puluh tahun Pattirobajo,
berjuluk iblis Seribu Nyawa!" Si kakek palingkan kepalanya ke arah Pendekar 212
Wiro Sableng. Dia menyeringai dan kedipkan mata. "Anak muda, aku berterima kasih
padamu! Kau telah menolong aku mendapatkan senjata pengakhir hayat ini!"
Habis berkata begitu Pattirobajo pegang gagang badik dengan dua tangan
sekaligus. Tubuhnya yang pendek diluruskan hingga kelihatan tinggi sekali. Lalu
kembali dia mengumbar tawa panjang, Tiba-tiba suara tawanya berhenti. Badik
Sumpah Darah ditusukkannya ke dada kirinya hingga menancap dalam, menembus
sampai ke jantung!
Kakek berjubah hitam itu keluarkan suara mengerang panjang. Perlahan-lahan
tubuhnya menyusut pendek kembali lalu jatuh punggung di tanah. Dua matanya
menatap langit gelap. Sesaat dua tangan masih
memegangi gagang badik yang menancap di dada. Lalu dua tangan itu terkulai jatuh
ke sisi. Perlahan-lahan kulit tubuhnya berubah hitam. Satu senyum menyeruak di
mulut si kakek. Bersamaan dengan itu nyawanya melayang.
Dari tenggorokan Jatilegowo keluar suara meng-
gembor. Dia melangkah mendekati mayat Pattirobajo untuk mengambil Badik Sumpah
Darah. Namun sebelum
tangannya sempat menyentuh gagang senjata yang ber-lumuran darah itu, tiba-tiba
terjadi lagi satu peristiwa aneh.
Dari sosok mayat Pattirobajo keluar kepulan asap yang dengan cepat membentuk
sosok seorang kakek berjubah merah, berambut, berkumis dan berjanggut putih.
Jatilegowo melengak kaget. Langkahnya terhenti.
Mulutnya bergetar ketika berucap. "Kakek... Kakek Daeng Wattansopeng..."
"Wiro!" Seru Sri Kemuning. "Kakek itu yang mendatangi diriku dalam mimpi!"
Wiro terkejut. Semua orang memandang sesaat pada Sri Kemuning yang saat itu
telah membuang dasternya dan membiarkan rambutnya yang panjang hitam tergerai
lepas. Di depan sana, sosok kakek berjubah yang keluar dari mayat Pattirobajo
membungkuk mencabut Badik Sumpah Darah yang menancap di dada Iblis Seribu Nyawa.
Dia memandang ke arah Jatilegowo. Sambil melangkah mendekati Adipati itu dia
berkata. "Jatilegowo, matamu masih terang bisa mengenali diriku. Mulutmu masih fasih
menyebut namaku. Allah Maha Besar, Maha Adil dan Maha Mengetahui. Dia telah
berlaku seribu benar. Ketika kau membunuhku dengan badik ini, aku belum
menyempurnakan usapan kekebalan di seluruh tubuhmu. Ada satu bagian yang masih
tersisa. Di tempat itulah terletak titik kelemahanmu!"
Habis berkata begitu sosok kakek berjubah merah, entah makhluk apa sebenarnya
dirinya, menggerakkan sepasang kaki dan tahu-tahu dia sudah berada di hadapan
Jatilegowo. Badik di tangan kanan dihunjamkan ke bawah perut Adipati itu, tepat
di antara dua pangkal paha. Mulut Jatilegowo terbuka lebar, tenganga tapi tidak
keluarkan suara. Matanya membeliak besar tapi tidak melihat apa-apa. Ketika
Badik dicabut tubuhnya sesaat masih tertegak.
Kakek berjubah merah gerakkan tangan kanan yang memegang badik, membuat tanda
silang di depan wajah Jatilegowo lalu keluarkan ucapan.
"Sampai hari Kiamat rohmu akan tergantung antara langit dan bumi! Semoga ummat
terbebas dari kejahatan yang bersumber dari dirimu."
Begitu selesai ucapannya sosok orang tua inipun berubah menjadi asap tipis dan
akhirnya sirna. Sementara itu sosok Jatilegowo yang tadi masih berdiri,
perlahan-lahan jatuh tersungkur. Sekujur kulit tubuhnya berubah menjadi hitam
mengepulkan asap. Inilah akhir kehidupan jahat dan keji seorang Adipati.
Dikisahkan kemudian bahwa Keris Kiai Naga Kopek dikembalikan ke Istana. Jenazah
Jatilegowo dibawa ke Salatiga oleh satu-satunya pengawal yang masih hidup.
Mayat Pattirobajo dikubur di kaki bukit oleh tiga orang pengiringnya. Nyi
Larasati yang ternyata telah ditotok oleh Sarontang dan pernah mempunyai kaul
akan mengawini orang yang menolong dirinya, akhirnya melangsungkan perkawinan
dengan Loh Gatra. Pemuda ini memang pantas menerima bahagia besar itu karena dia
sejak lama mencintai Nyi Larasati dan telah beberapa kali mengorban-kan diri
untuk menyelamatkan sang janda. Patih Kerajaan berhasil disembuhkan dengan
minuman air godokan bunga Melati Tujuh Racun. Sang Patih menawarkan jabatan
Panglima Kerajaan pada Pendekar 212 Wiro Sableng, namun murid Sinto Gendeng ini
lebih suka meneruskan perjalanan bersama para sahabatnya. Apa lagi dia masih
punya beberapa tugas berat. Antara lain menemukan Pedang Naga Suci212 dan
mencari Kitab Seribu
Pengobatan milik gurunya yang lenyap dicuri orang. Rana Suwarte yang dititipkan
di rumah penduduk desa, entah bagaimana berhasil melarikan diri hingga selamat
dari hukuman Kerajaan.
TAMAT SEGERA TERBIT EPISODE PERTAMA DARI
RANGKAIAN SERIAL WIRO SABLENG
BERIKUTNYA : 113 LORONG KEMATIAN
Document Outline
BASTIAN TITO WIRO SABLENG Sumber: Kitab 212 (Bastian Tito)
EBook: Syauqy_arr@yahoo.co.id
*** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** TAMAT Istana Kumala Putih 11 Pendekar Rajawali Sakti 62 Tuntutan Gagak Ireng Pedang Sinar Emas 6
^