Pencarian

Lorong Kematian 2

Wiro Sableng 133 Lorong Kematian Bagian 2


kembali berusaha bangkit berdiri. Namun setengah jalan tiba-tiba satu benda
putih melesat di udara.
Di lain kejap sebuah bendera putih berbentuk segi liga menancap tepat di atas
kening antara dua mata Juru Seta. Kepalanya terbungkuk. Tubuhnya kemudian jatuh
menelungkup di tanah. Darah mengucur membasahi bendera segitiga, serta merta
bendera yang terbuat dari kain putih itu berubah menjadi merah basah. Bendera
Darah! Semakin lelehlah nyali enam pemuda Pamongdesa anak buah Ki Mantep Jalawardu.
Ketika manusia pocong melangkah ke arah mereka, tidak tunggu lebih lama lagi
mereka serta meria menghambur kabur. Ada yang masih sempat melompat naik ke
punggung kuda, ada yang terus lari pontang panting seperti dikejar setan.
BASTIAN TITO 6 113. LORONG KEMATIAN
KETIKA petugas Pamongdesa Plaosan datang memberitahu terjadinya penculikan atas
diri Nyi Upit Suwarni puteri Ki Mantep Jalawardu. Raden Sidik Mangkurat, Adipati
Magetan segera memerintahkan orang andalannya nomor satu di Kadipaten untuk
memberikan bantuan sekaligus menyelidik peristiwa tersebut.
Orang ini adalah Aji Warangan, Kepala Pasukan Kadipaten, seorang lelaki tinggi
kepandaian silatnya, berusaa sekitar setengah abad. Dulunya Aji Warangan adalah
seorang Warok alias kepala rampok yang malang melintang berbuat kejahatan dan
keonaran sepanjang kawasan Kali Madiun, mulai dari Ponorogo di selaian, sampai
Madiun di utara dan tentu saja di wilayah Magetan. Ketika Sidik Mangkurat
menjadi Adipati di Magetan, hal pertama yang dilakukannya adalah menumpas Warok
Aji Warangan dan kelompoknya. Puluhan anak buah Warok Aji berhasil ditangkap.
Yang melawan tidak diberi ampun langsung dihabisi. Namun sang Warok sendiri
tidak berhasil dibekuk.
Sebulan kemudian, setelah seluruh anak buahnya ditumpas. Sidik Mangkurat baru
berhasil menemui sarang Warok Aji Warangan.
Sidik Mangkurat maklum kalau dia berhadapan bukan dengan Kepala Rampok biasa.
Aji Warangan selain berpengalaman dalam berbuat kejahatan juga memiliki ilmu
silat serta kesaktian tinggi. Karenanya begitu bertemu, sang Adipati
menasihatkan dan mengajak kepala rampok itu agar meninggalkan perbuatan
jahatnya, kembali ke jalan yang benar. Namun Warok Aji Warangan mana mau
mendengar ajakan tersebut, Apa lagi puluhan anak buahnya telah ditumpas oleh
Sidik Mangkurat.
Menghadapi sikap kepala rampok itu, walau saat itu Sidik Mangkurat membawa
pasukan terdiri dan lima puluh prajurit terlatih, namun dia tidak memerintahkan
mereka untuk mengeroyok, menangkap atau membunuh Aji Warangan. Adipati ini turun
tangan sendiri membekuk Warok itu. Maka perang tanding satu lawan satupun
terjadilah. Keduanya bertempur dengan tangan kosong tanpa mengandalkan senjata. Berarti
masing-masing mengeluarkan dan mengandalkan kehebatan tenaga luar, tenaga dalam
serta hawa sakti yang dimiliki.
Perkelahian seru berlangsung lebih dan enam puluh jurus. Aji Warangan berhasil
mendaratkan beberapa pukulan ketubuh bahkan muka Adipati Sidik Mangkurat. Namun
jurus-jurus selanjutnya sang Adipati tak memberi hati lagi. Aji Warangan dihajar
habis-habisan sampai akhirnya terkapar dengan muka bersimbah darah luka-luka
dihantam Sidik Mangkurat. Dalam keadaan tak berdaya Warok itu siap menunggu
kematian di tangan Adipati Magetan. Namun sang Adipati tidak membunuhnya. Di
luar dugaan Aji Warangan, Sidik Mangkurat malah memerintahkan anak buahnya
menolong dan mengobati luka-lukanya. Di satu tempat, tanpa dihadiri orang lain
Sidik Mangkurat bicara empat mata dengan kepala rampok yang barusan
dikalahkannya itu.
Kepada kepala rampok itu sang Adipati berjanji akan mengampuni semua dosa
kesalahan dan perbuatan jahatnya asalkan dia mau bertobat. Menyadari bahwa orang
memang berniat baik terhadapnya, sambil kucurkan air mata Aji Warangan jatuhkan
diri, berlutut di hadapan Sidik Mangkurat. Menyatakan dirinya bertobat dan siap
kembali ke jalan yang benar. Sidik Mangkurat tidak percaya begitu saja terhadap
apa yang dikatakan Aji Warangan. Bekas Warok yang ditakuti ini dibiarkan tinggal
bersama sisa-sisa anak buahnya di satu kampung kecil, tapi di bawah pengawasan
orang-orangnya. Di tempat itu dihadirkan seorang guru yang memberikan pelajaran
agama yang selama ini tidak pernah menyentuh diri dan hati Aji Warangan. Berkat
ajaran agama itu dalam waktu singkat bekas kepala rampok ini benar-benar telah
berubah. Namun Sidik Mangkurat masih belum mempercayai dirinya. Secara diam-diam
Adipati itu menyusupkan beberapa orang kepercayaannya. Orang-orang ini menyamar
sebagai para penjahat dari timur. Mereka membujuk Aji Warangan untuk bergabung
dengan mereka bahkan akan dijadikan pimpinan mereka. Kejahatan pertama yang akan
mereka lakukan jatah menghadang rombongan dari Kotaraja yang dikabarkan membawa
barang-barang sangat berharga ke satu tempat. Tapi Aji Warangan yang memang
sudah benar-benar berubah menolak ajakan itu malah dua dari orang yang
mendatanginya dihajar sampai babak belur.
Setelah percaya penuh atas diri Aji Warangan, Sidik Mangkurat memanggil Aji
Warangan ke Magetan. Di sini dia diberi jabatan sebagai satu dari empat Kepala
Perajurit Keamanan Kadipaten. Lalu dijadikan Wakil Pasukan Kadipaten. Lima tahun
kemudian dia diangkat menjadi Kepala Pasukan Kadipaten.
******* Sebelum meninggalkan Kadipaten bersama sepuluh orang anak buahnya Aji Warangan
lebih dulu menemui atasannya.
" Adipati, ada satu hal yang mengherankan dalam peristiwa ini". kata Aji
Warangan pada Sidik Mangkurat. "Biasanya orang jahat selalu menculik gadis atau
perempuan-perempuan muda istri orang. Tapi yang satu ini menculik seorang
perempuan yang tengah hamil."
"Rata heranmu sama dengan rasa heranku, Ki Aji." Jawab Sidik Mangkurat. Saya
merasa ada sesuatu dibalik peristiwa yang tidak biasanya ini. Saya harap kau
mampu menyelidiki sampai tuntas. Yang penting menangkap hidup-hidup pelakunya."
"Menurut Pamong desa yang datang melapor penculik mengenakan pakaian serba
putih. Kepalanya ditutup dengan kain putih berbentuk pocong. Jika seseorang
sengaja menutupi wajahnya, berarti ada sesuatu yang disembunyikan. Saya setuju
dengan pendapat Adipati. Ada sesuatu di balik peristiwa penculikan ini. Saya
pernah mendengar kabar. Beberapa tahun lalu Ki Mantep Jalawardu pernah
menghancurkan beberapa kelompok penjahat yang berkeliaran di sekitar Plaosan
sampai ke Telaga Barangan.
Mungkin ada sisa-sisa dari kawanan penjahat itu yang membatas dendam?"
Adipati Sidik Mangkurat memegang bahu Aji Warangan. Sambil gelengkan kepala dia
berkata. "Saya yakin bukan itu yang sebenarnya terjadi. Kau lebih tahu Ki Aji, untuk
memastikan, itu sebabnya saya muinta Ki Aji turun tangan menyelidiki. Sekali
lagi tangkap hidup-hidup pelakunya"
"Saya berangkat sekarang juga Adipati." Bersama sepuluh orang anak buahnya Aji
Warangan larut malam menjelang pagi itu segera meninggalkan Kadipaten Magetan
menuju Plaosan. Anak buah Kepala Desa Plaosan yang datang melapor dijadikan
sebagai penunjuk jalan.
Pagi harinya setelah mampir sebentar di rumah Ki Mantep Jalawardu di Plaosan,
Aji Warangan dan rombongan segera meneruskan perjalanan ke arah utara, ke arah
mana menurut petugas Pamongdesa penculik melarikan Nyi Upit tadi malam.
Belum jauh meninggalkan Plaosan, di satu jalan lurus dan mendaki. Aji Warangan
dan ank buahnya berpapasan dengan dua orang penunggang kuda. Walau mereka
menempuh jalan menurun namun dua penunggang kuda itu memacu tunggangan masing-
masing seperi! dikejar setan. Agaknya ada sesuatu yang membuat mereka ke susu
seperti Itu. Aji Warangan memberi tanda lalu menepikan kuda diikuti oleh sepuluh anak
buahnya. Ketika dua penunggang kuda mendekat. Aji Warangan segera berteriak.
"Berhenti! Ada apa"!*
Dua penunggang kuda hentikan kuda masing-masing. Yang di sebelah depan begitu
melihat dan mengenali Aji Warangan, dengan nafas terengah segera mendekati,
"Kepala Pasukan Kadipaten, Ki Aji Warangan. Syukur kami bisa menemui Ki Aji
hingga tak perlu jauh-jauh ke Magetan...".
"Kalian siapa?"
"Mereka petugas Pamong desa Plaosan, teman saya," yang bicara petugas Pamong
desa yang ikut bersama rombongan Aji Warangan,
"Betul, kami anak buah Ki Mantep Jalawardu, Kepala Desa Plaosan."
"Kawan kalian ini memberitahu peristiwa penculikan atas diri Nyi Upit, puteri Ki
Mantep Jalawardu. Sekarang kalian menunggang kuda seperti diburu selan. Ada
apa?" "Ki Mantep dan menantunya I Ketut Sudarsana, juga Ki Juru Seta. Mereka semua
dibunuh..."
Kagetlah Aji Warangan mendengar ucapan anak buah Kepala Desa Plaosan itu.
"Tenang, jangan kesusu. Ceritakan bagaimana kejadiannya. Jangan ada satu halpun
yang kau lupakan."
Setelah mendengar semua keterangan mengenai peristiwa kematian Ki Mantep. Ki
Juru Seta dan I Ketut Sudarsana. Aji Warangan berkata pada orang yang barusan
bicara. Kau segera teruskan perjalanan ke Magetan. Beritahu Adipati Sidik Mangkurat apa
yang terjadi. Berangkat sekarang juga!" Sesaat setelah orang itu menggebrak
kudanya dan pergi Aji Warangan berpaling pada petugas Pamongdesa satunya. Kau
menjadi penunjuk jalan. Antarkan kami ke tempat kejadian itu!"
********* KETIKA rombongan Aji Warangan sampai di tepi rimba belantara tempat terjadinya
pembunuhan atas diri Ki Mantep petugas Pamongdesa yang bertindak sebagai
penunjuk jalan terheran-heran. Di tempat itu. tidak satu sosok tubuhpun
kelihatan. Dia segera melompat turun dari kudanya. Di tanah dan bebatuan
sekitarnya masih terlihat jelas tanda-tanda bekas perkelahian. Beberapa buah
golok bergeletakan di tanah. Namun dimana tubuh-tubuh yang telah jadi mayat
korban pembunuhan manusia pocong"
"Aneh...". ucap petugas Pamong desa itu berulang kali.
"Petugas, kau tidak membawa kami ke tempat yang salah?" tegur Aji Warangaa
"Saya yakin ini tempatnya." Jawab pemuda Pamongdesa.
"Kau tidak tengah bersenda gurau?"
"Demi tuhani masakan saya berani bergurau ! Ketika saya pergi, mayat mereka
masih ada disini. Termasuk beberapa mayat petugas Pamongdesa kawan-kawan saya.
Bagaimana mungkin semuanya bisa lenyap?"
Aji Warangan usap-usap dagunya.
"Ada yang tidak beres! Adipati agaknya benar dengan ucapannya. Ada sesuatu
dibalik semua kejadian ini."
Aji Warangan turun dari kudanya. Semua anak buahnya mengikuti. Setelah
memperhatikan keadaan di tempat itu, memandang ke arah rimba belantara, lalu
Kepala Pasukan Kadipaten Magetan ini berjalan ke pinggiran jajaran tiga lembah
batu. Di tepi lembah ini dia jongkok beberapa lama. memasang telinga sambil
layangkan pandangan ke bawah. Sesaat kemudian Aji Warangan bangkit berdiri. Dia
memberi tanda pada sepuluh orang anak buahnya. Ke sepuluh orang ini segera
mendekati. "Ikuti aku. Kita akan menuruni lembah batu ini di sebelah sini. Aku mendengar
sesuatu" Dipimpin oleh Kepala Pasukan Kadipaten Magetan itu rombongan segera menuruni
jajaran lembah di sebelah tengah. Mereka baru menuruni lembah pada kedalaman
kurang dari empat tombak ketika seorang anggola rombongan berteriak.
"Ada mayat di atas batu!"
Ternyata bukan cuma satu mayat yang mereka temui. Mayat Ki Mantep Jalawardu
tergeletak di kaki sebuah pohon berlumut. Kepalanya pecah mengerikan. Jenazah
Juru Seta ditemukan rneringkuk di belakang sebuah balu besar. Di keningnya masih
menancap Bendera Darah.
"Ada suara orang mengerang!" Seorang anggota rombongan berteriak. Dari arah
semak belukar sana!"
Saat Ki Aji Warangan sudah lebih dulu melompat ke balik semak belukar. Sesosok
tubuh tergeletak dalam keadaan mengenaskan. Muka penuh luka, pakaian berlumuran
darah, tangan kanan dan kaki kanan terkulai patah. Walau wajah orang itu penuh
luka dan tertutup darah namun Aji Warangan masih bisa mengenali.
"I Ketut Sudarsana, " Kepala Pasukan Kadipaten Magetan ini berlutut. Dia raba
urat besar di leher menantu Ki Mantep Jalawardu itu. Begitu merasa masih ada
denyutan pada urat nadi, Aji Warangan segera memberi perintah pada empat anak
buahnya untuk mengangkat dan membawa naik sosok Ketut Sudarsana ke atas lembah.
I Ketut Sudarsana walau dengan suara perlahan dan tersendat keluarkan ucapan.
"Nya... nyawaku tidak lama la.., lagi. Biarkan saya terbaring dan meng.,.
menghembuskan nafas terakhir di,., disini. Ada... ada sesuatu yang perlu saya
sampaikan..."
Aji Warangan segera menolok beberapa bagian tubuh Ketut Sudarsana. Totokan ini
adalah untuk memperlancar peredaran darah sekaligus memberi kekuatan.
"I Ketut Sudarsana. katakan. Apa yang kau sampaikan."
"Man... manusia-manusia.., pocong. Menculik.,menculik istriku. Sar... sarang
mereka di sekitar sini. Tolong selamatkan Nyi,... Nyi Upik"
"Manusia-manusia pocong" Lebih dari satu?" ujar Aji Warangan. "Menurut
keterangan yang kudapat, yang melakukan pembunuhan dan mencelakai dirimu hanya
satu manusia pocong...."
"Lebih... lebih dari satu. Tadi pagi muncul tiga manusia pocong. Satu bertindak
sebagai pim.....pimpinan. Dia memberi perinlah... pada dua kawannya. Jenazah
ayah. Juru Seta dan yang lain-lain dilempar ke dalam lembah. Saya... saya yang
terakhir mereka lempar. Saya,,.."
Kepala I Ketut Sudarsana terkulai. Matanya nyalang kosong tak berkesip. Aji
Warangan menarik nafas dalam. Perlahan-lahan diusapnya kedua mataKetut Sudarsana
hingga menutup.
******** WALAU para korban pembunuhan yang dilakukan oleh manusia pocong bertebaran tidak
terlalu jauh di dalam lembah, namun bukan pekerjaan mudah untuk membawa naik
sekian banyak mayat. Menjelang tengah hari, tiga orang perajurit Kadipaten yang
ditugaskan mencari angkutan muncul membawa tiga buah gerobak.
Jenazah Ki Mantep Jalawardu, I Kelut Sudarsana dan Ki Juru Seta serta semua anak
buah Ki Mantep yang jadi korban diangkut dengan gerobak ke Plaosan. Aji Warangan
sendiri tidak ikut mengantar karena bersama dua orang anak buah kepercayaannya
dia akan menyelidiki kemana lenyapnya penculik Nyi Upit, sekaligus pembunuh
Kepala Desa Plaosan dan yang lain-lainnya itu.
Menjelang sore, ketika rombongan pasukan Kadipaten yang membawa para korban
sampai di rumah kediaman Kepala Desa. jerit pekik dan ratap tangis menyayat hati
serta merta pecah merobek kesunyian.
Hari itu seharusnya adalah hari berbahagia, hari kegembiraan upacara selamatan
tujuh bulan hamilnya Nyi Upit. Namun saat itu tidak ada kebahagiaan, tidak ada
kegembiraan! tidak ada upacara selamatan. Yang berlangsung adalah kesedihan yang
tidak dapat dilukiskan. Di mana-mana terdengar ratap tangis orang perempuan. Nyi
Gusni, istri Ki Mantep Jalawardu tergolek di atas tempat tidur. Perempuan ini
menjent keras ketika melihat mayat suaminya lalu roboh pingsan.
Dalam keadaan seperti itulah Adipati Sidik Mangkurat datang bersama para
pengawal dan perajurit Kadipaten Magetan. Sebelumnya dia telah mengutus Aji
Warangan. Kepala Pasukan Kadipaten untuk menyelidiki, mengejar dan menangkap
penculik Nyi Upit. puteri sahabatnya itu. Namun ketika siang harinya seorang
petugas Pamongdesa Plaosan datang membawa berita kematian Ki Mantep Jalawardu.
Adipati Sidik Mangkurat memutuskan untuk turun tangan sendiri, menyusul pasukan
Kadipaten di bawah pimpinan Aji Warangan.
Adipati Sidik Mangkurat telah mengenal Ki Mantep Jalawardu selama puluhan tahun.
Kawan sepermainan sejak kecil. Orang yang banyak membantunya dimasa-masa sulit
ketika dia harus menumpas kaum pemberontak termasuk menghancurkan komplotan
rampok pimpinan Warok Aji Warangan yang kini dijadikannya Kepala Pasukan
Kadipaten. Ketika dia menduduki jabatan Adipati. Sidik Mangkurat menawarkan satu
jabatan tinggi bagi sahabatnya itu. Namun Ki Mantep Jalawardu menolak dengan
sopan dan halus. Agaknya dia lebih suka menjadi Kepala Desa Plaosan. Bagi
Adipati Sidik Mangkurat Ki Mantep Jalawardu bukan Cuma seorang sahabat. Tapi
sudah dianggap sebagai saudara sendiri. Kematian Ki Mantep Jalawardu membual
Sidik Mangkurat sangat terpukul tapi juga marah. Sore itu juga dia membawa satu
pasukan besar terdiri dari lima puluh perajurit bersama dua Kepala Perajurit
berangkat ke utara, singgah dulu di Plaosan.
Ternyata di desa ini kehadirannya bersamaan dengan kedatangan rombongan jenazah
Ki Mantep Jalawardu.
Betapapun tenggelamnya Sidik Mangkurat dalam kedukaan atas kematian sahabatnya
yang tidak wajar itu, ada satu hal yang tidak luput dari perhatian Adipati
Magetan ini. Yakni sebuah bendera merah basah yang menancap di kening Ki Juru
Seta. Itulah Bendera Darah! Bendera seperti ini menurut laporan anak buahnya
juga ditemui menancap di leher Surablandong, seorang sahabat Ki Mantep yang
menemui ajal ketika melakukan pengejaran atas penculik Nyi Upit. Semakin yakin
Adipati Magetan ini bahwa di balik semua kejadian penculikan dan pembunuhan ini.


Wiro Sableng 133 Lorong Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersembunyi satu hal yang lebih ganas, lebih mengerikan.
BASTIAN TITO 7 113. LORONG KEMATIAN
SAMPAI beberapa lama setelah rombongan tiga gerobak pembawa jenazah meninggalkan
lembah dan lenyap di dalam rimba belantara Aji Warangan. Kepala Pasukan
Kadipaten Magetan masih berdiri di tepi lembah. Saat itu dia ingat akan
keterangan l Ketut Sudarsana mengenai manusia-manusia pocong. Sayang menantu Ki
Mantep Jalawardu itu keburu menemui ajal hingga tidak bisa memberitahu lebih
banyak. Aji Warangan sendiri tidak punya kesempatan untuk bertanya.
Kepala Pasukan Kadipaten Magetan ini ingat ucapan I Ketut Sudarsana menjelang
ajalnya. Menurut menantu Ki Mantep Jalawardu itu sarang manusia-manusia pocong
itu berada di sekitar kawasan flu. Tapi dimana" Sambil terus berpikir Aji
Warangan perhatikan lembah di bawahnya. Lalu pandangannya di arahkan ke bukit
batu di seberang lembah. Cahaya matahari petang yang mulai condong ke barat
membuat kawasan bukit batu yang abu-abu kehitaman itu warnanya berubah aneh,
terkadang memancarkan pantulan sinar menyilaukan.
Sebagai orang yang pernah menjadi kepala rampok dan malang melintang di delapan
penjuru angin wilayah itu. Aji Warangan cukup mengenal baik kawasan sekitar
rimba belantara dan jajaran tiga lembah. Bersama dua orang anak buahnya dia
telah menyelidiki keadaan di tiga lembah itu. Bukan satu pekerjaan mudah. Namun
berkat pengalamannya dimasa menjadi orang jahat dahulu Aji Warangan mampu
melakukan penyelidikan dengan cepat. Di tiga lembah dia tidak menemukan tanda-
tanda atau hal-hal yang memberi petunjuk bahwa sarang manusia-manusia pocong itu
berada di tempat tersebut
Keluar dari lembah Aji Warangan memandang ke arah bukit batu di kejauhan. Di
masa dia menjadi rampok bukit batu itu tidak banyak menjadi perhatiannya. Orang-
orang jahat tidak begitu suka berada lama-lama di tempat itu apa lagi
menjadikannya sebagai sarang. Bukit batu tersebut selain tidak terlalu tinggi
mudah dicapai, keadaannya serba terbuka hingga bisa didaki dari berbagai jurusan. Namun
entah bagaimana Aji Warangan tiba-tiba ingat pada sebuah kiat yang biasa
diterapkan oleh orang-orang jahat Kiat itu berbunyi : Menipu penglihatan di
malam hari menipu pandangan di siang hari.
Aji Warangan usap-usap dagunya. Kepala Pasukan Kadipaten Magetan ini
menyeringai. Berdasarkan keterangan yang didengarnya dari beberapa orang anak
buah Ki Mantep Jalawardu yaitu bagaimana manusia pocong itu denganseorang diri
mampu membunuh Ki Mantep dan Ki Juru Seta. menghajar l Ketut Sudarsana sampai
sekarat dan menghabisi begitu banyak para petugas Pamongdesa Klaosan. jelas
manusia pocong itu memiliki ilmu kepandaian linggi. Lalu menurut keterangan
Ketut Sudarsana sebelum menemui kematian. ternyata bukan cuma ada satu manusia
pocong di tempat itu.
Jika mereka lebih dari satu orang berarti mereka memiliki seorang pemimpin. Dan
sang pemimpin tentunya bukan saja memiliki tingkat kepandaian luar biasa tetapi
juga mempunyai otak cerdik.
"Bukan mustahil, pimpinan manusia-manusia pocong itu menerapkan kiat orang-orang
jahat. Menipu penglihatan di siang hari, menipu pandangan di malam hari," Aji
Warangan perintahkan dua anak buahnyamenyiapkan kuda.
"Bukit batu di seberang sana perlu kita selidiki," kata Aji Warangan. Lalu
dengan menunggang kudanya dia mendahului bergerak sepanjang tepi tiga buah
lembah menuju ke timur. Di ujung lembah dia mengambil jalan berputar, kembali ke
barat tapi pada jalur tepi lembah yang berdampingan dengan kaki bukit batu. Di
pertengahan kaki bukit batuh di satu tempat Aji Warangan berhenti, turun dari
kudanya memandang ke langit sebelah barat. Kepala Pasukan ini sesaat menduga-
duga. Apakah mungkin bisa mencari dan mengetahui dimana letak sarang manusia-
manusia pocong itu sebelum sang surya tenggelam dan hari berubah menjadi gelap"
Setelah memperhatikan beberapa lamanya bukit batu yang tidak seberapa tinggi itu
Aji Warangan memberi isyarat pada dua perajurit untuk mengikutinya. Ketiga orang
itu mendekati bukit batu tepat di lereng sebelah tengah. Aji Warangan di sebelah
depan. Mata di pasang telinga di pentang. Tak ada gerakan, tak ada suara selain deru
halus tiupan angin yang sesekali menerpa deras.
Sampai di puncak bukit Aji Warangan memandang berkeliling. Dia dapat melihat
jelas pemandangan cukup indah di bawahnya. Mulai dari rimba belantara, jajaran
lembah dan kaki bukit berbatu-batu.
"Pemimpin, mustahil ada orang bersembunyi di tempal ini. Malam dinginnya pasti
luar biasa, siang panas sekali. Rasanya tidak ada mata air di bukit ini."
Aji Warangan tidak perdulikan ucapan anak buahnya itu. Dia balikkan badan. Kini
matanya memperhatikan kawasan bukit di sebelah utara. Kawasan ini agaknya tidak
pernah disentuh manusia. Pohon-pohon besar, semak belukar tinggi menyelimut d
imana-mana. Agak ke barat ada sebuah jurang batu, tidak seberapa lebar tapi
cukup dalam. "Pimpinan, saya melihat sesuatu," tiba-tiba perajurit di samping kiri berkata
sambil menunjuk ke arah bawah sana, jurusan kanan jurang batu.
"Perajurit, matamu cukup tajam. Aku sudah.tahu. Yang kau lihat sebuah atap
bangunan, terbuat dari batang-batang bambu disusun rapat."
"Benar sekali Pimpinan." Jawab si perajurit. Tanpa mengalihkan pandangannya ke
bawah sana Aji Warangan berkata. "Atap bangunan itu diselimuti tanaman Iiar.
Ujung sebelah kiri miring. Besar kemungkinan bangunan itu tidak terpakai lagi.
Siapapun pemiliknya kurasa tidak pernah lagi mempergunakan. Tapi, bagaimanapun
juga kita perlu menyelidik. Adalah aneh. satu bangunan ada di pinggir jurang, di
kaki bukit batu sunyi yang tidak pernah didatangi manusia."
"Kami berdua akan turun menyelidiki!"
"Kita menyelidik bersama-sama" kata Aji Warangan pula. Lelaki bekas kepala
rampok yang telah berpengalaman ini seperti seekor srigala mulai mencium
sesuatu. Dia mendahului menuruni bukit batu ke arah jurang kecil di bawah sana.
Belum jauh bergerak turun tiba-tiba di sebelah kiri lereng bukit batu Aji
Warangan melihat sebuah celah di antara dua batu besar. Dia perhatikan sejurus
keadaan di tempat itu lalu memerintahkan salah seorang anak buahnya untuk turun
menyelidik. Tak lama kemudian perajurit itu kembali menemuinya dengan nafas
terengah. Wajah orang ini bukan cuma menunjukkan keletihan, tapi juga
memperlihatkan sesuatu yang lain.
"Apa yang kau temui?" tanya Aji Warangan. Dari air muka bawahannya itu dia tahu
ada sesuatu. "Di balik dua celah batu ada satu batu besar. Di belakang batu besar saya
menemui mulut sebuah goa. Saya coba masuk ke dalam, ternyata merupakan satu
lorong panjang. Tanpa perintah pimpinan saya tidak berani menyelidik terlalu
jauh. Saya kembali ke sini.
Tidak menunggu lebih lama, begitu mendengar keterangan si perajurit Aji Warangan
segera menuruni bukit ke arah dua buah batu yang membentuk celah. Setelah turun
melewati celah, seperti yang dikatakan perajurit tadi dia melihat sebuah batu
besar. Lalu dibalik balu besar ini terdapat pedataran sempit seluas beberapa kaki
persegi. Di salah satu sisi pedataran, pada deretan batu-batu yang membentuk
dinding kelihatan sebuah mulut goa. Sesaat Aji Warangan perhatikan keadaan mulut
goa, coba memandang sejauh mungkin ke arah dalam. Memang benar apa yang
dikatakan anah buahnya, Mulut goa itu melupakan awal dari satu lorong batu yang
cukup panjang. Aji Warangan balikkan tubuh, memandang ke arah celah dua buah batu yang tadi
dilewatinya. Walau segala sesuatunya berbentuk alami tapi mata tajam Aji
Warangan melihat ada bekas-bekas ringan manusia yang membuat demikian rupa
hingga batu-batu di tanah menebar demikian rupa merupakan tangga tersamar menuju
mulut terowongan.
Lalu tanah bebatuan di depan mulut terowongan kelihatan bersih dan licin
pertanda tempat itu sering terinjak kaki manusia.
Kembali Aji Warangan membalikkan badan, menghadap ke arah mulut lorong batu.
Keadaan di tempat itu sangat sunyi. Dalam kesunyian ini Aji Warangan semakin
jelas mencium sesuatu yang tidak enak Ada siapa di dalam lorong batu itu "
Apakah tempat ini yang jadi sarang manusia-manusia pocong penculik Nyi Upit,
pembunuh Ki Mantep Jalawardu, Ki Juru Sela, Ketut Sudarsana dan petugas
Pamongdesa Klaosan"
"Kalian berdua masuk ke dalam. Selidiki apa yang ada di dalam lorong batu.
Berlaku hati-hati. Jika menemui sesuatu yang mencurigakan jangan melakukan apa-
apa. Tapi segera kembali menemuiku!"
Dua perajurit cabut golok di pinggang masing-masing, lalu dengan cepat keduanya
menyelinap masuk dan lenyap di mulut lorong batu
******* DI DALAM lorong batu dua perajurit berjalan cepat. Ternyata selain cukup lebar
dan tinggi lorong itu juga cukup terang. Namun baru berjalan sekitar dua puluh
langkah, dua perajurit ini berhenti. Bingung. Di depan mereka, lorong itu
bercabang ke kiri dan ke kanan. Berarti ada tiga arah yang bisa ditempuh. Lurus
atau membelok pada salah satu cabang.
"Kita harus kemana?" tanya peraj rit yang satu pada temannya.
"Aku memilih lurus. Kau membelok ke kiri atau ke kanan."
Dua perajurit meneruskan langkah. Yang pertama berjalan lurus. Temannya membelok
ke abang lorong sebelah kanan. Baru belasan langkah berjalan di masing-masing
lorong, kembali di kiri kanan kelihatan lorong baru. Sekarang bukan cuma satu
cabang lorong tapi ada dua di sebelah kiri dan tiga di samping kanan. Dua
perajurit ini tidak tahu harus menempuh lorong yang mana. Rasa bimbang yang
selanjutnya berubah menjadi rasa takut menyamaki diri keduanya. Kalau di bawah
bukit batu itu begitu banyak lorong, bisa saja mereka akan tersesat. Dan lebih
celaka kalau sampai tidak mampu mencari jalan keluar ke mulut terowongan.
Selagi bingung dan cemas begitu rupa lapat-lapat di kejauhan terdengar suara
aneh. Entah suara orang menangis entah suara orang menyanyi. Dalam keadaan
seperti itu tiba-tiba di depan dua perajurit Kadipaten itu berkelebat satu
bayangan putih. Lalu terdengar dua jeritan hampir berbarengan!
********** KEPALA Pasukan Kadipaten Magetan itu memandang ke langit. Tak lama lagi sang
surya akan tenggelam dan hari akan menjadi gelap. Dia merasa kesa tapi juga
heran. Dua perajufit yang diperintahkannya masuk ke dalam lorong batu ditunggu
sampai sekian lama masih belum muncul.
"Apa yang mereka lakukan di dalam lorong?" pikir Aji Warangan. Hatinya yang
kesal dan heran mendadak berubah menjadi tidak enak bilamana muncul dugaan
jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan kedua anak buahnya itu
"Aku harus masuk ke dalam terowongan." Aji Warangan mengambil keputusan.
Maka dia melangkah ke arah mulut goa di dinding batu. Mendadak terdengar suara
benda melayang, bersiur di udara. Aji Warangan dengan cepat memutar tubuh,
melompat ke samping.
"Wuuuttt!"
Sebuah benda melesat di udara. Sambil keluarkan seruan kaget dan marah Aji
Warangan membuat gerakan menghindar dengan cara melompat. Benda yang melesat
lewat hanya setengah jengkal dari kepalanya, menyipratkan cairan ke pipi kiri
dan bajunya. Lalu menancap di batu besar di depan mulut lorong.
BASTIAN TITO 8 113. LORONG KEMATIAN
SEPASANG mata Aji Warangan membeliak besar. Sambil usap pipinya yang kecipratan
cairan dia memandang ke arah batu besar. Disitu menancap sebuah bendera kecil
berbentuk segitiga. berwarna merah dan basah!.
"Bendera Darah!" ucap Aji Warangan dengan suara bergetar. Sebelumnya dia telah
melihat bendera ini. Satu diantaranya yang menancap di kening Ki Juru Sela. Aji
Warangan perhatikan tangan kirinya. Jari-jari tangan itu basah dan merah oleh
cairan darah yang menyiprat dari Bendera Darah.
Aji Warangan melangkah, dekati batu besar. Sesaat dia perhatikan bendera yang
menancap di batu. Cairan berwarna merah yang membasahi bendera memang darah
adanya. Bukan saja dia bisa mencium amis baunya, tapi bekas kepala perampok ini
yang telah membantai sekian banyak manusia kenal betul dengan apa yang dinamakan
darah. Tangkai bendera terbuat dari bambu kecil. Kalau ada orang yang
melemparkan bendera dari kejauhan dan bendera kemudian mampu menancap di batu
besar, pasti si pelempar memiliki ilmu dan tenaga dalam luar biasa hebatnya!.
Dan dapat dibayangkan, batu saja sanggup ditembus, apa lagi kepala manusia!
Rahang Aji Warangan menggembung. Dengan tangan kanannya dicabutnya Bendera Darah
yang menancap di batu lalu dibantingkannya ke tanah. Seluruh bendera, tangkai
dan kainnya amblas masuk ke dalam tanah. Kepala Pasukan Kadipaten Magetan ini
palingkan kepala ke arah mulut lorong batu. Bendera Darah tadi melesat keluar
dari terowongan itu. Berarti orang yang melempar ada dalam Iorong. Aji Warangan
dekati mulut lorong lalu berteriak.
"Orang yang melempar bendera! Jangan berlaku pengecut! Unjukkan dirimu!
Katakan apa maumu menyerang aku dengan bendera!"
Sunyi. Hanya sesaat. Dari dalam lorong batu terdengar suara orang leletkan lidah
disusul suara tawa bergelak,
"Aji Warangan! Kepala Pasukan Kadipaten Magetan! Ternyata kau punya nyali!
Aku suka pada orang bernyali besar. Untukmu aku akan memberikan dua hadiah
sebagai tanda penghormatan. Harap kau mau menerima dengan senang hati! Ini
hadiah pertama!"
Dari dalam lorong batu kemudian terdengar suara menderu. Sepertinya ada sebuah
benda besar dan berat melesat ke arah mulut lorong. Aji Warangan yang barusan
kaget karena orang di dalam lorong tahu nama serta jabatannya kini bertambah
kaget ketika melihat satu sosok tubuh manusia melayang deras keluar dari mulut
lorong batu. Kalau dia tidak cepat menghindar, badannya akan dibentur sosok
tubuh yang melesai itu.
"Buukkk".
SOSOK tubuh yang melayang menghantam batu besar di seberang lapangan besar di
depan mulut lorong, lalu jatuh terbanting ke tanah. Dua mata Aji Warangan
mendelik besar. Yang terkapar di tanah itu bukan lain adalah salah seorang dari
dua perajurit yang ladi diperintahkannya masuk ke dalam lorong batu untuk
menyelidik "Kurang ajar...."
Baru saja Aji Warangan merutuk seperti itu di dalam lorong kembali terdengar
orang berteriak.
"Ini hadiah kedua!"
Seperti tadi terdengar suara menderu disusul melesatnya satu sosok tubuh di
udara. Aji Warangan sudah tahu tubuh siapa adanya. Sebelum menghantam batu besar
Aji Warangan cepat melompat menangkap tubuh yang melayang. Maksudnya jika orang
itu masih dalam keadaan hidup maka dia berusaha menyelamatkan agar tubuh atau
kepalanya tidak menghantam batu. Dia berhasil. Namun percuma. Ketika dia
memperhatikan orang yang didukungnya ternyata orang itu adalah mayat yang mati
dengan mata mendelik dan kepala pecah!
"Benar-benar biadab!" Kutuk Aji Warangan.
Sosok tubuh dafam dukungannya yakni anak buahnya yang kedua diturunkannya ke
tanah. Dia melompat ke mulut lorong batu dan berteriak keras!
"Jahanam pembunuh! Lekas keluar! Atau kubakar kau hidup-hidup di dalam sana!"
"Orangnya hebat! Ucapannya luar biasa! Aku menerima undanganmu!"
Satu deru yang dahsyat terdengar di dalam lorong batu. Sesaat kemudian didahului
oleh hantaman angin yang berasal dan pukulan tangan kosong mengandung tenaga
dalam tinggi. dari dalam lorong batu melesat keluar satu sosok serba putih mulai
dari kepala sampai ke kaki.
"Manusia pocong!" ucap Aji Warangan, memandang dengan mata melotot.
Sosok serba putih berdiri bertolak pinggang di depan batu besar. Sepasang
matanya yang berada di balik dua buah lobang kecil kain putih penutup kepala
kelihatan menyorot berkilat.
"Dasar pengecut! Kau sengaja menutupi wajah dengan kain putih! Buka penutup
kepalamu! Perlihatkan siapa dirimu sebenarnya!"
Manusia pocong leletkan lidah.
"Sisa-sisa keberanianmu sebagai kepala rampok rupanya masih ada! Ketahuilah Aji
Warangan, hal itulah yang menyelamatkan dirimu dari kematian!".
"Jahanam! Apa maksudmu?".
"Kau tak perlu tahu terlalu banyak. Saat ini aku memberikan satu tawaran padamu.
Serahkan dirimu, ikut aku masuk ke dalam lorong batu."
Aji Warangan mendengus.
"Kau telah membunuh Kepala Desa Plaosan, membunuh menantunya dan juga membunuh
Ki Juru Seta. Belum lagi para petugas Pamongdesa. Dan barusan kau membunuh dua
perajuritku..".
"Mudah-mudahan itu bisa menjadi peringatan padamu agar mau ikut aku secara baik-
baik". "Manusia jahanam! Aku akan membuat dirimu menjadi pocong benaran!"
Habis membentak begitu Kepala Pasukan Kadipaten Magetan ini melompati manusia
pocong, lancarkan satu serangan kilat. Tangan kanan kirimkan satu jotosan ke
dada. Bersamaan dengan itu tangan kiri berkelebat berusaha mencabut penutup


Wiro Sableng 133 Lorong Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala berbentuk pocong,
"Hebat! Tapi sayang gerakanmu kurang cepat sobat! Lihat serangan balasan!"
Dua tangan manusia pocong berkelebat ke depan dalam gerakan aneh dan tahu-tahu
telah memotong sambaran dua tangan Aji Warangan. Kepala Pasukan Kadipaten
Magetan ini sebelumnya telah maklum bahwa lawan memiliki tenaga dalam tinggi.
Kini dia mempunyai kesempatan untuk menjajal dan membuktikan. Sambil lipat
gandakan tenaga luar dan tenaga dalamnya Aji Warangan sengaja tidak mau menarik
pulang serangannya. Akibatnya bentrokan dua lengan tak dapal dihindarkan.
"Bukkk! Bukkkr!"
Sosok manusia pocong terguncang sempoyongan. Namun dua kakinya tidak bergeser
dari kedudukan semula. Sebaliknya Aji Warangan terpental tiga langkah lalu jatuh
berlutut di tanah. Rahang menggembung wajah merah.
Dari balik kerudung putih yang menutupi kepalanya, si manusia pocong keluarkan
suara tawa mengekeh.
"Aji Warangan, apa kau masih belum mau sadar" Aku bukan tandinganmu"
"Aku belum kalah!'' teriak Aji Warangan.
Sewaktu berlutut tadi diam-diam dia telah kerahkan tenaga dalam dan atur aliran
darah. Dalam waktu singkat dia mampu menguasai dirinya. Begitu bangkit berdiri
dia segera lancarkan serangan hebat. Dua tangannya menderu deras dan cepat pada
saat dua tangan tidak melancarkan serangan, di sebelah bawah kaki kanan
menendang. Orang yang diserang leletkan lidah lalu tertawa mengejek.
"Ha... ha! Apakah ini jurus yang disebut Badai Membantai Puncak Gunung?"
Aji Warangan bukan saja marah diejek demikian rupa tapi juga terkejut karena
lawan mengenali jurus serangannya. Di masa menjadi kepala rampok jurus Badai
Membantai Puncak Gunung itu merupakan jurus paling diandalkan ofeh Aji Warangan.
Jurus silat ini bukan merupakan jurus tunggal, tetapi memiliki jurus pecahan
sampai lima jurus.
Empat jurus menyerang habis-habisan Aji Warangan masih belum mampu menyentuh
lawannya. Ketika tubuhnya berkelebat dalam jurus kelima, tiba-tiba satu cahaya
putih berkilat di udara yang mulai redup karena sang surya barusan saja
tenggelam. "Brettt".
Terdengar robekan pakaian disusul seruan tertahan. Manusia pocong melompat
mundur. Sepasang matanya berkilat-kilat laksana dikobar api. Jubah putihnya
ternyata sobek besar di bagian pinggang. Saat itu di hadapannya dilihatnya Aji
Warangan berdiri memegang sebilah golok besar bergagang kayu berbentuk kepala
ular. Walau hatinya cukup terguncang namun si manusia pocong jauh dari rasa
jerih. Diam-diam dia mengagumi jurus terakhir serangan Aji Warangan yang
diketahuinya bernama Badai Melanda Lereng Gunung.
Mengira lawan kini menjadi kecut, tidak membuang waktu Aji Warangan kembali
menyerbu. Golok besar di tangannya menderu ganas ke arah leher, membabat ke dada
lalu menyambar ke pinggang. Dimasa yang sudah-sudah salah satu dari hantaman
golok pasti akan bersarang telak di tubuh lawan. Namun manusia pocong walau tadi
sempat robek pakaiannya terkena sambaran senjata di tangan lawan, kini tidak mau
berlaku ayal. Gerakannya secepat setan malam. Lalu tukkk!
BASTIAN TITO 9 113. LORONG KEMATIAN
AJI WARANGAN mengeluh tinggi. Paha kanannya dihantam totokan dua jari tangan
kiri lawan. Mendadak sontak sekujur kakinya menjadi berat laksana diganduli
batu. Jalan darahnya tidak karuan. Rasa sakit menyengat sampai ke ulu hati.
Golok di tangan terlepas jatuh berkerontangan ke tanah berbatu-batu. Gerahamnya
bergemertakan menahan amarah yang mendidih. Saat itu dia ingin melompati si
manusia pocong, mematahkan batang lehernya dan mencabik-cabik tubuhnya. Namun
jangankan melakukan hal itu, bergerak saja Kepala Pasukan Kadipaten Magetan ini
tidak mampu. Ulu hatinya semakin sakit. Kaki kanannya bertambah berat.
"Aji Warangan! Saatnya kau menyerahkan diri dan ikut aku!"
"Bangsat! Sampai mati aku lidak akan menyerah!"
Manusia pocong mendengus. 'Kita akan lihat!" katanya. Lalu dia melangkah
mendekati. Kembali tangannya bergerak membuat totokan di tubuh Aji Warangan.
Saat itu juga sekujur tubuh lelaki itu menjadi kaku. tak mampu bergerak tak
dapat keluarkan suara. Sebelum tubuhnya jatuh terbanting ke tanah, si manusia
pocong cepat merangkul pinggangnya. Sesaat kemudian Aji Warangan telah berada di
panggulan bahu kirinya, di bawa lari masuk ke dalam terowongan batu.
Walau tubuh kaku, mulut tak bisa keluarkan suara namun jalan pikiran Aji
Warangan masih bisa bekerja. Matanya mampu melihat dan memperhatikan segala
sesuatu. Manusia pocong itu membawanya berlari sepanjang terowongan batu yang
dikiri kanannya dipenuhi banyak sekali lorong.
Banyak lorong di bawah bukit batu. Tempat apa Ini?", pikir Aji Warangan.
'Agaknya memang disini sarang kediaman manusia-manusia pocong. Manusia pocong
yang memanggul aku sebenarnya bisa menghabisi diriku dengan mudah. Tapi dia
tidak membunuhku. Aku mau dibawa kemana" Mau diapakan?"
Setelah melewati puluhan lorong, manusia pocong hentikan langkah di hadapan
sebuah pintu kayu berwarna hitam. Pada pertengahan pintu menancap sebuah bendera
merah basah berbentuk segitiga. Bendera Darah. Dua manusia pocong bersenjata
golok menjaga pintu tersebut. Salah seorang dari mereka membuka pintu kayu hitam
melalui sebuah tombol rahasia di samping kiri pintu. Aji Warangan dapatkan
dirinya berada dalam sebuah ruangan besar dan kosong. Manusia pocong yang
memanggulnya membawanya ke hadapan sebuah pintu berwarna biru, Di pintu ini juga
ada sebuah bendera segitiga merah basah.
Aji Warangan mendengar suara bersiur halus. Tiba-tiba atap ruangan membuka.
Empat manusia pocong melayang turun. Gerakan mereka enteng dan gesit penanda
memiliki kepandaian cukup tinggi. Rupanya mereka sudah tahu dan mengenali siapa
yang datang. Salah seorang dari empat manusia pocong ini menekan satu tombol di
dinding kiri. Pintu biru serra merta terbuka. Empat manusia pocong kembali
melesat ke atas, lenyap dibalik langit-langit ruangan yang menutup.
Ruang di belakang pintu yang dimasuki lagi-lagi kosong. Sepasang mata Aji
Warangan memandang berputar. Walau tidak takut menghadapi kematian namun rasa
tegang membuat tengkuk bekas Warok yang ditakuti ini terasa dingin juga. Telinga
Aji Warangan menangkap suara benda bergeser. Dia melirik ke kiri dan melihat
bagaimana dinding ruangan bergerak aneh. Dari dinding yang terbuka itu muncullah
sarang manusia pocong. Sosoknya tinggi besar.
"Wakil Ketua Yang Mulia, siapa yang kau bawa?" Manusia pocon yang baru muncul
ini menegur. "Ketua, lebih dulu terima salam hormat saya." Masih memanggul Aji Warangan dia
bungkukkan badan lalu menerangkan. "Orang ini bernama Aji Warangan. Dulu
menjalani hidup sebagai Warok ditakuti di delapan penjuru angin, Sekarang
jabatannya adalah Kepala Pasukan Kadipaten Magetan."
"Hemm.., jadi dia orangnya. Ilmunya kudengar lumayan tinggi. Bagus! Rejeki kita
hari ini cukup besar rupanya. Aku akan memberikan hadiah untukmu. Sesuai yang
sudah aku atur, bawa dia ke Ruang Peristirahatan. Suguhkan Minuman Selamat
Datang. Berikan Pakaian Persalinan."
"Perintah Yang Mulia Ketua akan saya lakukan." jawab manusia pocong yang punya
jabatan Wakil Ketua, Dia membungkuk memberi hormat. Lalu bertanya. "Apakah saya
boleh melakukannya sekarang juga?"
"Tunggu. Aku ingin lahu apakah kau sudah menyirap kabar mengenai orang yang
menjadi tugas utamamu?"
"Maksud Ketua pemuda bernama Wiro Sableng berjuluk Pendekar 212?"
Kepala yang tertutup kain putih bergoyang mengangguk.
"Saya belum mendapat laporan dari anak buah yang ditugaskan. Penyelidikan yang
saya lakukan sendiri juga belum menghasilkan apa-apa. Jika boleh, saya ingin
diberi waktu khusus untuk melacak pemuda itu."
Aku akan berikan waktu satu purnama padamu. Ingat, kau juga harus mendapatkan
tiga gadis yang kukatakan tempo hari. Mengumpulkan orang-orang berkepandaian
tinggi sebanyak-banyaknya."
"Perintah Ketua akan saya perhatikan dan lakukan. Saya minta izin membawa orang
ini ke Ruang Peristirahalan." Wakil Ketua bungkukkan tubuh lalu melangkah cepat
memasuki celah di dinding.
Yang disebut Ruang Peristirahatan adalah sebuah ruangan batu terbentuk segitiga
berpintu besi. Pada sisi sebelah atas pintu besi ini ada sebuah lubang berbentuk
lingkaran sebesar lingkaran jari tengah yarng ditemukan dengan ibu jari tangan.
Di sisi kanan ada tempat tidur terbuat dari batu beralaskan tikar jerami kering.
Di bagian kepala bentuk batu tempat tidur agak naik ke atas. Agaknya bagian ini
dijadikan sebagai bantal ketiduran.
Lalu di ruangan itu ada pula sebuah meja dan kursi kecil juga terbuat dari batu.
Ke dalam ruangan inilah Aji Warangan dibawa lalu dibaringkan di atas ranjang
batu. Aji Warangan, silahkan beristirahat. Kau beruntung terpilih untuk masuk dalam
barisan kami. Seseorang akan muncul mengurus segala keperluanmu..."
"Jahanam! Apa yang kau lakukan" Tempat celaka apa ini?" Suara Aji Warangan hanya
menggema di dalam dada Karena sampai saat itu tubuh dan jalan suaranya masih
berada dalam pengaruh totokan.
"Aku masih ada urusan lain. Mudah-mudahan kita berdua bisa menjadi sahabat.
Aku akan menemuimu lagi secepatnya."
"Manusia setan! Kalau tubuhku bebas dari totokan aku bersumpah membunuhmu".
Teriak suara hati Aji Warangan. Manusia pocong itu tepuk-tepuk bahu Aji
Warangan. Yang ditepuk merasa seperti ditiban batu besar, mengerenyit kesakitan dan hanya
bisa menyumpah dalam hati. Walau pintu besi ruangan batu itu di sebelah luar
memiliki dua buah palang besar namun sang Wakil Ketua tidak memalang pintu
tersebut. Dia pergi begitu saja karena memang Aji Warangan yang masih berada
dalam pengaruh totokan tidak akan mampu keluar atau melarikan diri dari tempat
itu. ***************
TAK SELANG berapa lama setelah Wakil Ketua meninggalkan Aji Warangan di Ruang
Peristirahatan, muncullah seorang gadis membawa sebuah keranjang Di dalam
keranjang itu ada sehelai jubah putih dan kain penutup kepala putih. Lalu di
situ juga ada sebuah cangkir besar dan tanah, berisi minuman bening sampai
setengahnya. Kedatangan seorang gadis yang lumayan cantik ini tentu saja mengejutkan Aji
Warangan. Dari wajah, dandanan serta pakaian yang dikenakan gadis ini kentara dia adalah
seorang gadis desa.
Di ambang pintu besi si gadis berhenti sebentar, menatap kosong ke arah Aji
Warangan lalu baru masuk ke dalam. Aji Warangan memperhatikan. Langkah dan gerak
gerik si gadis terlihat aneh di mata Aji Warangan. Setiap gerakan yang dibuat
gadis ini tampak kaku. Selain itu dia melihat perut si gadis besar. Apakah dia
dalam keadaan mengandung. Kalau sa}a dia bisa bicara, puluhan pertanyaan akan
diajukannya pada gadis itu.
Si gadis meletakkan keranjang di atas meja batu. Mengambil cangkir berisi cairan
bening lalu berkata.
"Saya akan menyuguhkan Minuman Selamat Datang dalam cangkir ini kepadamu.
Minumlah sampai habis. Saya akan berada di tempat ini sampai pengaruh minuman
bekerja dan jalan suaramu terbuka. Setelah itu saya akan pergi. Bila saya pergi
harap kau mengganti pakaianmu dengan Pakaian Persalinan, sehelai jubah putih.
Lalu tutup kepalamu dengan kain putih. Hanya perintah Ketua yang harus
dilaksanakan. Hanya Ketua seorang yang wajib dicintai."
Selagi Aji Warangan terheran-heran mendengar ucapan gadis itu, si gadis
mendekatkan cangkir minuman ke bibirnya. Aji Warangan berusaha menolak ketika
cairan dalam cangkir dituangkan ke dalam mulutnya. Tapi dalam keadaan tertotok
demikian rupa tentu saja dia tidak mampu melakukan.
"Tak usah takut. Minuman ini tidak beracun. Minuman ini justru memberi jalan
kehidupan padamu." Si gadis berucap.
"Setan alas! Mana aku tahu minuman itu beracun atau tidak!" Rutuk Aji Warangan.
Tapi suaranya hanya dalam hati. sama sekali tidak keluar, tidak terdengar Walau
tersendat-sendat cairan dalam cangkir akhirnya masuk ke dalam mulut, terus ke
perut lewat tenggorokan. Aji Warangan merasa ada hawa sejuk di dalam perutnya.
Rasa sejuk mi kemudian menjalar ke bawah ke arah kaki dan ke atas ke arah dada
terus ke leher. Begitu hawa sejuk memasuki kepala tanpa disadari kedua matanya
perlahan-lahan tertutup dan Kepala Pasukan Kadipaten Magetan ini lantas
tertidur. Gadis di dalam ruangan tatap wajah Aji Warangan. Lalu mulutnya berucap. "Di
dalam kesejukan ada hawa penidur. Di dalam tidur ada kebangkitan. Di dalam
kebangkitan ada kemenangan. Hanya perintah Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya
Ketua seorang yang wajib dicintai." Habis berkata begitu si gadis ulurkan tangan
kirinya diletakkan di kening Aji Warangan.
Aji Warangan tidak tahu apa yang. Terjadi atas dirinya. Dia batuk-batuk beberapa
kali lalu nyalangkan sepasang mata. Dia dapatkan gadis desa tadi masih ada dalam
ruangan itu. "Kau...." Ucapan keluar dari mulut Aji Warangan. Astaga. Ternyata dia sekarang
bisa bicara. Dia gerakkan dua tangan. Dia mampu. Dia juga bisa menggerakkan ke
dua kaki. Malah bangkit dan duduk. Namun ada keanehan dirasakannya. Sekujur
tubuhnya terasa lemas, seolah dia tidak memiliki tenaga, tidak punya tulang
belulang. Saking lemasnya agar tidak roboh dia sandarkan punggung ke dinding,
menatap ke arah si gadis.
Kau sudah bisa bicara. Sudah bisa bergerak. Saatnya saya pergi. Jangan lupa.
begilu saya keluar dari ruangan ini segera kenakan pakaian dan penutup kepala
putih. Hanya perintah Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya Ketua seorang yang wajib
dicintai." Si gadis dengan kaku memutar tubuh lalu melangkah ke pintu.
"Tunggu!" seru Aji Warangan. Kau siapa" Ini tempat apa" Siapa Ketua yang kau
sebut-sebut! Mengapa tubuhku lemas. Aku..."
Dicecar pertanyaan begitu banyak si gadis tersenyum. Tapi senyumnya terasa aneh
di mata Aji Warangan.
"Siapa saya itulah yang saya tidak ketahui...".
"Hai gadis! Otakmu waras bukan" Masakah kau tidak tahu siapa dirimu sendiri"
Apa kau tidak punya nama" Kau tinggal di sini, muslahil tidak tahu tempat apa
ini adanya Juga mustahil kau tidak kenal siapa manusia-manusia pocong itu!"
Kembali si gadis tersenyum.
"Saya tidak tahu apakah saya waras atau tidak. Saya tidak tahu apakah saya punya
nama atau tidak. Saya tidak tahu tempat apa ini adanya. Yang saya tahu hanyalah
menjalankan perintah Ketua, Hanya perintah Ketua yang harus dilaksanakan. Hanya
Ketua yang wajib dicintai."
"Ucapan aneh. Ucapan gila!" rutuk Aji Warangan. "Apa arti semua ini"! Gila!"
"Saya tidak tahu apakah saya gila atau tidak, berkata si gadis.
Aji Warangan hendak membentak tapi membatalkan niatnya. Ada sesuatu
ketidakberesan pada gadis desa ini. Ketidak beresan mengandung keanehan yang
sukar diketahui apa adanya.
"Dengar, aku yakin tadinya kau tidak tinggal disini. Apa kau masih ingat sudah
berapa lama kau berada di sini?"
"Itulah yang saya tidak ingat...."
"Aku tidak percaya kau tidak ingat segala-galanya. Perutmu besar. Apakah kau
sedang hamil?"
Si gadis memegang perutnya. "Saya tidak tahu apakah saya sedang hamil."
"Benar-benar aneh. Aneh dan gila' Tempat apa ini sebenarnya?" Aji Warangan
pandangi wajah . gadis di depannya. "Tadi kau berkata hanya Ketua seorang yang
wajib dicintai. Apakah kau bercinta dengan Ketua " Apakah kau kekasih Ketua
manusia-manusia pocong itu?"
Si gadis membuka mulut tapi bukan untuk memberikan jawaban.
"Ada orang datang, aku harus meninggalkanmu."
Ketika gadis itu melangkah pergi. Aji Warangan meluncur turun dari tempat tidur
batu. Dia kumpulkan tenaga coba melangkah mengikuti. Tapi baru berjalan dua
langkah tubuhnya jatuh ambruk di depan pintu besar. Si gadis melangkah terus
tanpa berpaling.
Satu sosok manusia pocong kemudian muncul di depan ruangan batu segitiga itu.
Terdengar suara lidah dileletkan.
"Aji Warangan, belum saatnya kau turun dari tempat tidur. Tunggu sampai satu
hari satu malam. Kelak kau akan menjadi manusia pengabdi sempurna."
Manusia pocong itu selinapkan kaki kirinya kebawah dada Aji Warangan. Sekali
kakinya diayunkan tubuh Aji Warangan terangkat dan terlempar jatuh ke atas
tempat tidur batu. Aji Warangan mengeluh tinggi. Tubuhnya yang lemas terasa
seperti hancur berantakan. ,
Antara sadar dan tidak, lapat-lapat dia mendengar suara perempuan. Karena suara
itu terlalu jauh, dan mungkin datang dari salah satu dari sekian banyak lorong
di bawah bukit batu. dia tidak dapat mendengar jelas bait-bait nyanyian yang
diucapkan. Apalagi orang yang menyanyi mengucapkan nyanyiannya setengah meratap.
Aji Warangan pejamkan mata, memasang telinga. Tetap saja dia tidak bisa


Wiro Sableng 133 Lorong Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar Jelas dan lengkap semua apa yang dinyanyikan.
Di dalam lorong batu
Kematian datang ....
Di dalam ... batu
Ada seratus tiga belas lorong
Siapa tersesat...
Di dalam-.. Ada Rumah Tanpa....
Inilah Tempat teraman
Bendera Darah lambang.-.
Darah bayi tumbal....
Tiba-tiba ada suara bentakan. Suara nyanyian mendadak sontak lenyap.
BASTIAN TITO 10 113. LORONG KEMATIAN
KITA tinggalkan dulu Aji Warangan yang berada di dalam perut bukit batu yang
memiliki puluhan lorong aneh. Kita kembali pada satu peristiwa hebat yang
terjadi beberapa waktu sebelumnya.
Dalam Episode "Meraga Sukma" diceritakan setelah terjadi pertempuran hebat di
Bukit Menoreh, Sinto Gendeng berusaha mengejar Nyi Ragil Tawangalu alias Si
Manis Penyebar Maut. Seperti diketahui, nenek kekasih kembaran Si Muka Bangkai
itu telah membunuh Datuk Mudo Carano Ameh, saudara sepupu Tua Gila Dari Andalas.
Dendam Sinto Gendeng terhadap nyi Ragil bukan saja karena pembunuhan tersebut
tetapi juga karena akibat perbuatannya itu Sinto Gendeng telah kesalahan tangan
membunuh seorang anak lelaki bernama Boma Wanareja. cucu Ki Kalimanah seorang
abdi yang bertugas merawat kuda-kuda Keraton (baca "Si Cantik Dalam Guci") Di
saat melakukan pengejaran terhadap Nyi Ragil itulah Sinto Gendeng tersesat ke
sebuah telaga. Di tempat ini tiba-tiba muncul dua nenek kembar, berambut seperti
perak dan berwajah putih. Luar biasanya tubuh sepasang nenek kembar ini
berbentuk sosok seekor naga pulih. Mereka bernama Naga Nini dan Naga Nina,
dikenal dengan julukan Sepasang Naga Putih Kembar.
Kemunculan dua makhluk kemba aneh ini ternyata untuk menghukum Sinto Gendeng
atas dosa kesalahannya telah membunuh anak lelaki bernama Boma Wanareja.
Sinto Gendeng mengakui bahwa dia memang telah membunuh Boma, namun hal itu
terjadi karena kesalahpahaman. Dia mengira anak itulah yang telah membunuh Datuk
Mudo. Karena saat ditemui Boma memegang golok besar yang menghabisi nyawa Datuk
Mudo. Bagaimanapun Sinto Gendeng menerangkan dan membela diri tetap saja
Sepasang Naga Putih Kembar yang mengaku sebagai pelindung Boma Wanareja tidak
mau perduli. Hal ini membuat Sinto Gendeng menjadi marah. Dia menyerang sepasang
naga putih. Tapi sampai seluruh ilmu silat dan kesaktiannya dikeluarkan Sinto
Gendeng tidak mampu mengalahkan dua nenek bertubuh naga itu. Malah dua makhluk
aneh itu akhirnya berhasil memendam Sinto Gendeng ke dalam tanah di tepi telaga
sampai sebatas dada.
Sinto Gendeng merasa sekujur tubuhnya lemas. Dua tangan terkulai di tanah.
Matanya yang biasanya menyorot angker kini kelihatan kuyu. Suaranya terdengar
perlahan ketika dia berucap.
"Kalian... Meng.., mengapa memendam diriku begini rupa. Apa dosa kesalahanku..."
"Kalau ingin kami mengatakan, dosamu terlalu banyak Sinto Gendeng. Tapi dosamu
terakhir yang ada sangkut pautnya dengan diri kami adalah pembunuhan yang kau
lakukan terhadap seorang anak lelaki berusia lima belas tahun. Bernama Boma
Wanareja" "Aaahhh,... Anak itu, ujar Sinto Gendeng lirih dan mata berputar liar. "Aku
membunuhnya secara tidak sengaja. Aku mengira dia orang yang telah membunuh Tua
Gila Dari Andalas. Ternyata orang yang dibunuh itu adalah saudara sepupu Tua
Gila bernama Datuk Mudo Carano Ameh. Aku membunuh anak itu. Tidak sengaja,
karena tidak tahu. Aku ketelepasan tangan. Seumur hidup aku akan menyesali
perbuatanku itu!"
Sepasang Naga Putih sama-sama gelengkan kepala. Lalu keduanya berucap
berbarengan. "Kau tidak ketelepasan tangan Sinto. Kau juga bukan tidak sengaja. Sebelum
menemui ajal anak itu sempat berteriak bahwa dia bukan pembunuh Datuk Mudo
Misteri Pusaka Pedang Gaib 2 Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar Pendekar Super Sakti 1
^